Dari sekian banyak konsep pencitraan pada
media tercetak, kesemuanya menampakkan
pengkomodifikasian caleg layaknya
dagangan
Sejarah Budaya Sosial Kampus
GRATIS ! ! !
APRIL 2009, EDISI # 6
Cover : BOG-BOG Bali
Cartoon Magazine
Seputar Pemilu ! !
4 TAHUN
OASE UPDATED BY:
BIMO ADRIAWAN
a..k.a gommu
KLIK GAMBAR DISAMPING UNTUK KEMBALI KE SINI.
TERSEDIA DI SEMUA BAGIAN BAWAH HALAMAN
DAFTAR ISI :
Hal 2 Pemilu dan Persib
Hal 4 Musim Banjir Citraan
Hal 6 Sejarah RIngan Lalu Lintas Indonesia
Hal 9 Hantu di Balik Autobiografi
Hal 11 Kalender Sejarah
Quotation
KLIK DAFTAR ISI UNTUK MENUJU KE HALAMAN
YANG DIINGINKAN
Bulletin Mahasiswa Sejarah 1
PENGANTAR REDAKSI OASE
Iseng itulah modal kita selama ini hingga
mampu menerbitkan Oase hingga edisi ke-6. Sungguh
modal kecil yang bermanfaat. Tanpa iseng mungkin
tak akan ada artikel terpampang, tak akan ada ribuan eksemplar tercetak, tak akan ada dahi mengkerut
para pembaca, karena memang semua tulisan dalam
Oase adalah karya-karya amatir yang ingin sedikit
memberi manfaat dan mencoba berkaca pada realitas. Walaupun mungkin seringkali ngaco, ngawur,
atau berantakan namun ini adalah sebuah ekspresi,
ekspresi keisengan yang sewaktu-waktu hinggap.
Mudah-mudahan keisengan ini, berbeda
dengan keisengan para selebriti yang akhir-akhir ini banyak nongol sebagai caleg. Ya mungkin mereka
belum kenyang dengan popularitas sampai merambah
amanat rakyat. Demikian redaksi pun mencoba kali
ini mengamati fenomena janggal selama masa
kampanye, tentu dengan bahasa sederhana dan apa
adanya di kepala. Semoga bermanfaat.
Redaksi
ISI :
Hal 2 Pemilu dan Persib
Hal 4 Musim Banjir Citraan
Hal 6 Sejarah Ringan Lalu-lintas Indonesia
Hal 9 Hantu di Balik Autobiografi
Hal 11 Kalender Sejarah dan Quotation
Bulletin Mahasiswa Sejarah
Pemimpin Redaksi: H.G.Corleone
Redaktur : Bulky Rangga Permana
Wakil Redaktur : Hary G. Budiman
Sidang Redaksi : Teguh V. Andrew,
Yandri, Refki, Rendi, H.G Corleone
Desain Visual : Rizki Adi, Agung,
Wildan, Prasetyanto, Idham, Komeng
Dokumentasi: Yeni, Dheti, Uni, Hani, Krisna, Deni, Pramesta, Ferri, Wilman,
Fotografer: Reza Pahlevi, Sari, Hafidz,
Ardi, Rina, Nopida, AM
Pemasaran: Aji Moerdani, Didi, Alang,
Seno, Syamsir, Erik, Nizar, Dona, Reza
Kupret, Dea, Desi, Devita, Hilda, Wina
Penulis: Maul, Fadli, Ade, Yandri, Haq
Alamat Redaksi: Nomaden, seperti
pitechantropus di masa megalithikum
E-mail: [email protected]
MENYEDIAKAN RUANG IKLAN:
iklan kehilangan barang, iklan kehilangan
Hp, iklan orang hilang, iklan acara, iklan
dagangan, dll.
bag i y ang betminat hubungi :
085221575229
Bulletin Mahasiswa Sejarah 2
Pemilu dan Persib
A dakah saat ini benar-benar pesta demokrasi
rakyat ? Mungkin benar karena
bertriliyunan rupiah digelontorkan untuk
pesta yang katanya buat rakyat ini. Benar, kita
sekarang berpesta, pesta dengan kebingungan.
Bingung ? Ya bingung... karena jumlah partai hari
ini sama banyaknya dengan jumlah band-band
lebai di TV. Adakah partai-partai ini sama lebainya
dengan band-band itu? Sepertinya ada benarnya
juga, bukankah mereka bermodal
tampang ? Tampang selebriti, tampang
tokoh-tokoh lawas (dengan track record
buruk), tampang yang sok kaum muda,
tampang kayak orang jujur saja, tampang
sok berwibawa, tampang basi, tampang
rupiah. Lho koq, tampang rupiah...? ya iya lah...
kan agar itu tampang bisa nemplok di gedung-
gedung, jalan-jalan, pasar, tukang beca, angkot,
bak sampah, trotoar, mobil bagus, mobil butut,
pake rupiah. Memangnya itu baligo, poster, stiker,
bendera, spanduk di biayai negara?! seperti fakir
miskin dan anak-anak terlantar dalam pasal 34 ayat
1 (?).
Lha..! Ada apa pula dengan fakir miskin
dan anak-anak terlantar sampai di bawa-bawa
begini? Ow..ternyata memang harus kita bawa-
bawa.
Kenapa? Coba saja kita bayangkan, adakah
mereka semua sibuk memikirkan pemilu?
jumlah partai yang berjibun, jumlah caleg
yang menggunung, pemilu conterng, pemilu
coblos, money politic, black campaign, calon
presiden S, calon presiden M, calon presiden
J, calon presiden P, calon presiden H, ah..
apapun itu tak mungkin mereka (fakir miskin
dan anak-anak terlantar) peduli.
Mereka peduli dimana
mencari beras, di mana ada sesuap
nasi. Ah, Indonesia ini memang penuh
paradoks. Si caleg, si capres sibuk
hambur-hamburkan rupiah demi citra,
pajang-pajang iklan di TV, bahkan
konon katanya itu capres dari partai warna
biru, si pengusaha batik dari Pekalongan,
menghabiskan duit 20 milyar hanya untuk
iklan dan cuap-cuap bola pada Euro 2008 lalu.
Hm...sungguh nilai yang besar. Coba itu duit
dibelikan ikan asin saja, banjirlah pulau Jawa
dengan ikan asin. Tapi pasti, itu orang-orang
yang biasa makan nasi dan garam saja, akan
menggoreskan senyum di bibir karena si nasi
kini ada temannya.
Pojok Ngawur ! !
Bulletin Mahasiswa Sejarah 3
Waduh...parah benar kita menghayal. Sekarang
yang jadi persolan adalah adakah caleg yang door
to door ke pemilihnya? Adakah caleg yang bukan
bersenjatakan kata tapi tindak nyata? Adakah
caleg yang talk less do more ? Adakah mereka
masih memegang prinsip umum demokrasi:
reasonable, eficiency, freedom..? duit, duit, duit,
kuasa, dan tampang. Adakah itu ongkos
demokrasi kita?
Kita mungkin mimpi mengharapkan
caleg layaknya Cicero. Ia, Cicero,
menghafal nama calon-calon pemilihnya,
membongkar kebusukan-kebusukan
korupsi, membela-bela rakyat tanpa dibayar,
walaupun memang pragmatis tujuannya:
kekuasaan, tapi toh ia menawari pemilihnya
dengan jasa yang setimpal sehingga ia layak
dipilih. Lalu, sekarang, apa yang kita temui?
Bukankah hanya kampanye-kampanye aneh
macam balap beca, balap mancing, check up
gratis bersama caleg, cukur murah 2000 perak,
dan tentu saja dangdut erotis. Hanya di Indonesia!
Tapi itu tak apa, yang jadi “apa-apa” adalah
dihentikannya hiburan kita, sarana refreshing kita,
pelepas adrenalin kita, obat dahaga, dan pride of
suppporters: Liga Indonesia. Tentu kita rindu
Persib, rindu Persija, rindu teriak-teriak wasit
goblog, rindu Eka Ramdani, rindu Cabanas, rindu
Kayamba, rindu BP, rindu Jimmi Napitupulu,
rindu bacot-bacot Rendra Sudjono. Ah, jikalah
demikian, jahat benar pemilu ini. Katanya pesta
rakyat... padahal jika berandai-andai, itu
simpatisan Persib mungkin lebih banyak daripada
simpatisan partai-partai. Sudah saja bikin partai
Persib, calegnya Maman Abdulrachman, Nova
Arianto, Eka Ramdani, Robby Darwis
sekalian. Pasti banyak yang milih, bukankah
itu yang sekarang banyak di cari, banyak
yang milih !
Tulisan ini sekedar gambaran
kelinglungan menjelang 9 April mendatang.
Hanya gerutuan si penulis yang bingung dengan 3
lembar kertas suara selebar 56 cm, tinggi ± 58 cm
(?) dengan tulisan kecil-kecil bernomor-nomor.
Kita hanya bisa mengucapkan: selamat berpusing
-pusing ria dengan kertas suara.
(H.G. Corleone ‘05)
Pojok Ngawur ! !
Bulletin Mahasiswa Sejarah 4
H erankah kita ketika hujan terus mengguyur
sepanjang bulan November hingga Desember?
Sudah lumrah, dan tak mesti kita heran, karena
hal demikian sudah hampir pasti menjadi siklus di setiap
tahunnya. Lalu, manakala banjir datang geleng-geleng
kepala dan jengkel tentu ikut hinggap. Demikian, ini
merupakan sebab dan konsekuensi
yang kita terima di setiap musim
penghujan. Tentu di sini kita bukan
membahas banjir di musim
penghujan. Namun, adakah rasa
yang sama –rasa jengkel— ikut
hinggap ketika musim kampanye
tiba dan banjir citraan di mana-
mana? Tidak salah jika kita menjawab ‖ya‖. Bukankah
citraan tersebut selalu setia nemplok tanpa kompromi?
Setidaknya tepatlah kita katakan: citraan tersebut telah
menjadi polusi pemandangan karena muncul di ruang
publik – yang sebagian besar—tidak disertai dengan etika
dan estetika dalam penempatannya. Lalu, sudah kah kita
siap dengan kejengkelan-kejengkelan lainnya? Karena bulan
ini banjir citraan segera menerpa menyongsong musim
kampanye yang semakin memuncak.
Dalam tingkatan daerah, para calon legislatif banyak
memilih media tercetak untuk mengakomodasi kampanye
dan citraannya. Spanduk, baligo, poster, mungkin dinilai
efektif dalam mengenalkan, namun tak efisien dan tak
seefektif yang mereka kira. Media-media tersebut mungkin
mampu mengenalkan tapi tidak serta merta menyedot
minat pemilih. Membanjirnya citraan dalam media tercetak
baru-baru ini menampilkan keunikan-keunikan dalam
melalui citraan (khususnya media tercetak). Citraan para
calon legislatif, khususnya dalam media seperti baligo,
poster, spanduk, dll, ternyata menawarkan konsep yang
beraneka ragam dengan simbol dan pesan yang berbeda
pula. Jika diklasifikasikan ada beberapa konsep yang
disuguhkan:
Pertama, gambar si calon dengan men-
close up wajah atau ¼ badan disertai
nama dan gelar yang ramai. Citraan
demikian yang umum dan paling banyak
ditemui. Konsep seperti ini berusaha,
tentu saja memperkenalkan diri dan
memberi kesan keteguhan, kesiapan,
serta pesona yang coba dihadirkan,
walaupun sering kali sebagian besar gambar para calon
sama sekali tidak menampakkan pesona. Sementara gelar
yang dipampang seolah menyatakan kompetensi dirinya
sebagai seorang yang mampu dan layak menduduki kursi
legislatif kerena ahli dibidangnya. Bagi mereka yang merasa
sedikit unggul dalam penampilan mungkin bisa berbangga
diri dengan konsep ini, sayang tidak banyak calon yang
nampak menonjol dalam penampilan.
Kedua, gambar si calon yang disandingkan dengan
tokoh nasional atau dengan figur yang reputasinya dikenal
oleh publik. Konsep ini hanya memperlihatkan ketidak
percayaan diri si calon. Kedudukan figur yang disandingkan
tidak lepas dari ikatan kepartaiannya, disamping untuk
turut mendongkrak daya tarik si calon. Konsep citraan
seperti ini cukup marak ditemui, meski efektivitasnya
masih sangat dipertanyakan sebagaimana konsep yang
pertama. Kesan yang ada hanyalah bayang-bayang si f1gur
S o s i a l
Musim Banjir Citraan
Bulletin Mahasiswa Sejarah 5
dan si calon sendiri hanya memberi kesan jauh dari
kemandirian berpikir.
Ketiga, si calon mengusung isu kaum muda atau
mengklasifikasikan diri sebagai kaum muda. Konsep kaum
muda begitu populer belakangan ini, dengan menghadirkan
konsep muda, calon seolah diidentikan dengan semanagat
perubahan, revolusioner, penuh optimisme, dan tentu saja
energik. Sayangnya dari citraan yang muncul dengan
mengusung isu kaum muda, seolah menjustifikasi
keburukan yang tua dan secara implisit menyatakan bahwa
kuantitas umur menjadi faktor penentu sejauh mana
prubahan/perbaikan yang lebih baik. Dengan kaum muda,
seolah perubahan lebih banyak terjadi. Tetapi sangat
disayangkan, yang mengaku kaum muda namun media
kampanyenya tidaklah inovatif, konvensional dan kuno.
Keempat, optimalisasi nilai jual selebriti. Konsep citraan
seperti ini dapat mencakup berbagai jenis keterlibatan
selebriti/publik figur. Ada kalanya si selebriti menjadi calon
legislatif itu sendiri atau pun si selebriti menjadi
pendongkrak calon lain. Adanya publik figur, tidak bisa
dipungkiri sedikit banyak mendorong daya ‖lirik‖ pemilih.
Setidaknya pemilih akan ada kecenderungan untuk sekedar
melihat dan mengamati pada figur yang lebih dikenal.
Disamping itu, keberadaan publik figur diasumsikan mampu
meningkatkan nilai jual sebuah partai bagi pemilih, dengan
catatan bagi pemilih yang mudah dibodohi. Dengan konsep
ini, intensits pengenalan ke publik bisa lebih efisien. Ibarat
menjual produk yang lebih dikenal pasar tentu lebih
mudah dari pada memperkenalkan produk baru dan belum
tau kualitasnya. Tetapi tentunya, masih dengan catatan,
bagi mereka pemilih yang tidak kritis.
Kelima, gambar yang menampakkan keseluruhan calon
dari sebuah partai dari wilayah pemilihan tertentu, berdiri
bak keluarga besar. Suatu konsep yang cukup
menarik, kesan yang ditimbulkan adalah mengeliminir
persaingan dalam partai itu sendiri, kolektifitas kelompok,
serta kesatuan visi. Konsep ini sedikit memberi nilai lebih
jika dibandingkan gambar perseorangan, yang lebih
mengandalkan pesona personal. Konsep ini
menggambarkan kegotong royongan dan penekanan
egoisme pribadi. Dengan konsep ini, orang ada
kecenderungan untuk sekedar melihat partainya tetapi
pengenalan pribadi calon kurang dapat terakomodasi.
Dari sekian banyak konsep pencitraan pada media
tercetak, kesemuanya menampakkan pengkomodifikasian
caleg layaknya dagangan. Citraan ini membentuk opini
publik, entah itu menjadi simpati atau antipati. Citraan
yang ada bukan hanya hadir unuk mengenalkan namun
mencoba menyampaikan gagasan serta pesan agar pemilih
tertarik akan gagasan yang berusaha disampaikan.
Mengutip tulisan Yasraf Amir Piliang, bahwa citra
merupakan cara utama di mana gagasan, dan konsep-
konsep dikemas untuk dipersembahkan ke dalam memori
–memori publik, untuk mengatur tindak tanduk publik
(Ibrahim, 328: 1997). Dikaitkan dalam konteks citraan
dalam media kampanye--khususnya media tercetak, yang
menjadi masalah apakah memori-memori publik itu
mampu mengarah pada tindak tanduk publik yang positif
atau sama sekali tak memberi pengaruh pada tindak
tanduk publik? Jikalah tidak, lalu buat apa sekian banyak
rupiah mengalir untuk membentuk citra? Memangnya
dengan berbagai jenis citraan dan ribuan baligo yang
terpampang kita dibuat kenyang? Toh, putaran rupiah
kampanye tak mampir pada tangan-tangan hampa yang
menunggu beras. Ataukah memang ada benarnya pula jika
kita dikatakan kenyang, kenyang dengan kepalsuan ribuan
image. (H.G. Corleone ’05)
S o s i a l
Bulletin Mahasiswa Sejarah 6
Sejarah Ringan
Lalu- lintas Indonesia * Oleh : Luthfi
M engapa Nomor Polisi Jakarta
itu di kode dengan Huruf "B" ?
Penggunaan tanda nomor
kendaraan bermotor di Indonesia, terutama
di Jawa, merupakan warisan sejak zaman
Hindia Belanda, yang
menggunakan kode wilayah
berdasarkan pembagian
wilayah karesidenan. Awalnya
tidak ada orang
Indonesia yang memiliki
mobil. Dan biasanya orang-
orang Indonesia yang kaya
adalah orang yang tinggal
disekitar pelabuhan, mereka
biasanya adalah saudagar nasional dan
internasional, yang kedua adalah orang-
orang yg menjadi juragan perkebunan,
sebagai "ndoro" perkebunan tidak heran bila
uang mereka banyak. Sampailah saatnya
orang kaya pertama di Indonesia memiliki
mobil, dan orang pertama tersebut adalah
orang Banten (pelabuhan) maka mobilnya di
tetap "A". Selanjutnya orang Batavia
(betawi, pelabuhan) yang membeli mobil,
sesuai urutan abjad, maka mobil orang ini
oleh pemerintah Belanda di beri kode "B"
diikuti nomor .., selanjutnya semua mobil
duta dan consul diberi kode C yg saat ini
menjadi CD. Kemudian seorang
"ndoro" perkebunan di Bandung
membeli mobil maka di kode "D",
orang kaya Cirebon (pelabuhan)
juga kemudian beli, maka "E",
orang kaya Bogor (perkebunan)
juga beli, maka "F", orang kaya
Pekalongan (pengusaha kain)
kemudian beli, maka "G", orang
kaya Semarang (pelabuhan) juga beli mobil,
maka nomor polisinya "H". dst... Kira-kira
apa yang kita pikir tentang Huruf "Z" (Tasik)
dan kota-kota yg sudah tidak kebagian abjat
alphabet tunggal? seperti AA (Kedu), AB
(Jogya). Apakah mereka adalah orang-orang
kaya belakangan? belum tentu karena "Z"
untuk Tasik adalah hasil modifikasi
Mesin Waktu
Bulletin Mahasiswa Sejarah 7
sebagian besar memang menggambarkan
urutan orang-orang yg "berhasil kaya" di
Indonesia. (ha..ha..ha. ., untuk orang - orang
yang nomor polisi mobilnya dua huruf,
Peace... ah, he.. he.. he..)
Mengapa Jembatan2 jalan raya buatan
Belanda, tahan lama?
Sebenarnya konstruksinya hampir biasa-
biasa saja, tetapi Belanda merancang
jembatan, bagaimana mobil yg akan
melaluinya bisa pelan-pelan. Maka jalan
masuk jembatan dan keluar jembatan itu
harus dibuat menikung, bila perlu malah
menikung tajam 90 derajat agar kendaraan
mau-tidak mau mengerem kendaraannya.
Alhasil mereka masuk ke jembatan dengan
pelan-pelan, keluar jembatan pun mereka
pelan-pelan karena jalan masih menikung.
Akhirnya jembatanpun menjadi awet. Bahkan
ada yg tahan 100 tahun lebih. Bandingkan
dengan jembatan-jembatan buatan setelah
itu.
Mengapa Jarak antar kota di Jawa rata
-rata ± 60 km?
Perhatikan: Jakarta - Bogor ± 60 km, Bogor -
Sukabumi ± 60 km , Sukabumi - Cianjur ± 60
km, Cianjur - Bogor ± 60 km, Cianjur -
Bandung ± 60 km, Bandung - Garut ±
60 km,
Garut - Tasik ± 60 km, Rangkasbitung -
Banten ± 60 km dst. (atau sekitar 60 an
lah.he..he.. . peace.). Mengapa 60 km?
Karena Pemerintah Belanda saat itu
merancang jarak kota, juga mempunyai peri-
kehewanan, yaitu memikirkan kuda. Kuda
standard itu setelah berjalan 60 km perlu
istirahat besar (beda dengan kuda modif, he..
he.. he...), yaitu makan dan minum dan
istirahat cukup. Nah untuk bisa minum dan
makan, sebaiknya ditempat itu sudah ada
daerah yg dihuni manusia, sehingga
biasanya ada sumur, ladang, lapangan, alun-
alun sehingga tersedia air dan rerumputan yg
bisa disabit untuk si kuda.
Mengapa mobil tanpa hidung /
moncong dibuat. (Carry, Zebra,
Espass dsb.)
Mobil dengan hidung (bagian mesinnya
didepan), sebenarnya lebih nyaman dan
lebih aman dari pada mobil tanpa hidung
(bagian mesinnya dibawah jok pengemudi),
mengapa? kedua jenis mobil ini, dengan
kecepatan yang sama bila terjadi tabrakan
frontal maka tingkat melukainya thdp
pengemudi akan lebih parah yg tanpa
hidung, dan biasanya menggencet si
pengemudi. Berbeda dengan mobil yg punya
Mesin Waktu
Bulletin Mahasiswa Sejarah 8
moncong. Sebagian dari sedan Honda
bahkan telah didesign mengurangi impact
orang yang ditabrak juga. Mobil-mobil
berhidung zaman dulu umumnya
bumpernya full besi, sehingga orang yang
tertabrak saat kecepatan diatas 45 km/jam
bisa meninggal. Pada saat pemerintahan
Jepang masih berkuasa di Indonesia,
banyak orang Indonesia yang
mengemudikan kendaraan mengantuk, hal
ini banyak menimbulkan kecelakaan. Mobil
menabrak rumah, pohon bahkan menabrak
orang yg sedang berjalan di tepi jalan.
Disinyalir penyebabnya adalah suasana
kabin yang cukup senyap, nyaman, tidak
panas, karena mesinnya didepan,
ditambah lagi pada saat itu si pengemudi
banyak yang kekurangan gizi yg berakibat
saat mengemudikan kendaraan sering
mengantuk, maklum zaman penjajahan,
kebutuhan gizi amatlah kurang. Para
petinggi Indonesia saat itu akhirnya
mengusulkan kepada pemerintahan
Jepang agar mendesain mobil yang tidak
mudah membuat ngantuk, yaitu yang tidak
nyaman, taruh saja mesinnya dibawah
pengemudi. Para engineer Jepang
terheran-heran dengan usulan ini.
Tapi rancangannya tetap diselesaikan.
Jadilah saat itu mobil dengan mesin di
bawah pengemudi, agar berisik, tidak
nyaman, dan yg "hot" lagi adalah di bawah
pengemudi ada pemanas. jadi deh supirnya
pada melek. Kalau masih ada yang
mengantuk ya memang bawaan bayi kali ya.
Juga sang supir mikir terus "mobil ini tidak
ada moncongnya kalau nabrak aku bisa
gepeng" (qodar ya.), setidaknya ini membuat
mereka terjaga saat mengemudi.
Saat ini banyak sekali mobil tanpa moncong
berkeliaran di jalan raya, bahkan bisa
dikatakan juga mobil rakyat. (Untuk
penggemar mobil tanpa moncong, peace
ah..).
*) Artikel diambil dari milis JasMerah.
Mesin Waktu
Hantu dibalik Autobiografi
Bulletin Mahasiswa Sejarah 9
S kandal, kejayaan, penderitaan masa
lalu, dan hal-hal pribadi yang tak
tersentuh oleh publik adalah syarat
yang diperlukan oleh sebuah
autobiografi untuk meledak di pasaran. Figur si
tokoh dalam biografi itu sendiri, tentulah unsur
mutlaknya. Selebriti, olahragawan, rockstar, maupun
tokoh politik. Profesi yang disebutkan terakhir ini
yang dihadirkan dalam novel The Ghost buah karya
Robert Harris. Harris, yang belum lama ini cukup
menarik perhatian lewat novel Imperium, kembali
menawarkan dunia penulisan yang dibalut nuansa
politik, namun kali ini ia membubuhi aroma thriller,
dan konspirasi. Bagi pembaca yang mengharapkan
unsur kejut dari pembunuhan, plot cepat dan
meledak-ledak khas novel pop, siaplah untuk sedikit
kecewa. Tapi tidak demikian bagi para pecinta
konspirasi, apalagi minat pada politik, karena The
Ghost menyuguhkan isu-isu seruis seputar politik
internasional yang dituturkan dengan plot sedikit
lambat namun penuh misteri tetapi cerdas.
Perang melawan terorisme. Demikian yang
digembar-gemborkan para pemimpin dunia barat
tahun-tahun belakangan ini. Amerika dan Inggris
adalah garda terdepan dalam misi penuh kebiadaban
ini. Tentulah tak ada perang yang menguntungkan,
ekses negatif bagai gerbong yang membuntut.
Pembunuhan, pengingkaran HAM, penyiksaan adalah
sekian banyak kejahatan perang. Kejahatan peranglah
yang menjadi benang merah dalam The Ghost. Adalah
Adam Lang, seorang mantan Perdana Menteri Inggris,
yang mencoba menyelamatkan sisa-sisa reputasinya
melalui autobiografi yang sebenarnya tidak ―auto‖. Ya,
ada penulis lain di belakang Adam Lang yang mencoba
merekonstruksi ulang alur hidup seorang mantan
negarawan ini.
Ditengah cacian dan makian publik Inggris atas
kebijakan perangnya, Adam Lang seolah menyongsong
akhir karir politiknya. McAra, sang sekretaris pibadi
berusaha menyusun autobiografi Adam Lang, namun
ditengah penulisan McAra ditemukan tewas. Di sinilah
kemudian sosok tokoh utama muncul dengan narasi
sebagai ‖Aku‖ sang penulis bayangan menggantikan
McAra. Aku, si penulis bayangan ini ternyata menyibak
berbagai misteri masa lalu Adam Lang dari manuskrip
milik McAra. Apakah kebijakan Inggris yang selalu
mendukung Amerika ada kaitannya dengan masa lalu
Lang yang dekat dengan agen CIA? Bagaimana mungkin
seorang artis kampus di Cambridge, gemar berfoya-
foya dan tukang gonta-ganti wanita sekelas Adam Lang
dapat terjun ke dunia politik?
Konspirasi yang mungkin sudah akrab dengan telinga
kita. Ada Amerika, CIA, perang, dan pembunuhan.
Memang terdengar tidak terlalu istimewa. Namun The
Ghost memiliki nilai plus dan sisi lain dari sebuah novel
pop: deskripsi yang kuat mengenai seluk beluk
kehidupan sehari-hari seorang mantan perdana
menteri, sisi manusiawi, pesona, dan relasi suami istri
RESENSI
Bulletin Mahasiswa Sejarah 10
yang kompleks dalam sebuah keluarga negarawan.
Salah satu elemn penting yang tidak bisa dilewatkan
dalam buku ini adalah perkenalan kita dengan profesi
Ghostwritter. Tentutulah kita tidak akan menyangka
bahwa mungkin saja autobiografi sekelas Cristiano
Ronaldo, Valentino Rossi, Paul McCarthy, atau
Barrack Obama sekalipun sebenarnya ditulis oleh
seorang Ghostwritter.
Setidaknya novel ini mampu mengobati
antusiasme pembaca yang menaruh minat pada
politik dan sisi gelap dunia penulisan. Memang tak
sehebat masterpiece Harris, Imperium, tetapi buku
ini patut masuk list: ‖buku dibaca kala senggang‖.
Konon buku ini adalah sindiran pada mantan Perdana
Menteri Inggris, Tony Blair.
(H.G. Corleone)
Puisi Iseng. . . "kosong"
Dinamis
sungutmu lontarkan berhujan kata
tentu berbuih sudah itu mulut
sering kosong tak berisi
namun selalu
kosong ucapmu isi kekosongan lain:
rindu hangat sahabat
makian menjadi lecut
lelucon adalah pengikat
dan banyol selayak simpul
(Hary G. Budiman)
"Belukar"
Celoteh rekat berpadu belukar
bertilam hangat rerumputan
kisah dan cerita menggantung
mengangkasa pada dedaun sepoi-sepoi
di sudut jauh hingar bingar
bersama sahabat pasti
lepas kuasa sesak
jatuh sisa awan pagi
sebentar sisakan kesempurnaan hening
(Hary G. Budiman)
RESENSI
The Ghost: Sang Penulis Bayangan
Robert Harris
Harga : Rp 50.000,-
Ukuran : 15 x 23 cm
Tebal : 320 halaman
Bulletin Mahasiswa Sejarah 11
Peristiwa Bersejarah di Bulan
Maret — April
14 Maret 1980 : Proklamator RI, Moh. Hatta wafat
24 Maret 1946 : Peristiwa Bandung Lautan Api
25 Maret 1947 : Persetujuan Lingga Djati
28 Maret 1981 : Pembajakan pesawat pertama di Indonesia terhadap pesawat Garuda
5 April 1950 : Peristiwa Andi Aziz di Ujungpandang
21 April 1879 : Lahirnya RA Kartini
18-21 April 1955 : Konferensi Asia-Afrika
23 April 1987 : Pemilihan Umum ke-4 masa Orde Baru
Quotations
“Janganlah mencita-cita adanya pemimpin-
pahlawan bagi Indonesia, melainkan kendakilah
adanya pahlawan-pahlawan yang tak punya
nama.’’
— Bung Hatta —
" Setinggi-tinggi Ilmu, semurni-murni tauhid,
sepintar-pintar siasat "
— H.O.S Tjokroaminoto —
“Ketika orang tidak lagi diberi ruang kecuali untuk
melawan, Maka intelektual pun menjadi
pemberontak”
— Cornelis Lay —