Download pdf - Case Report P

Transcript

ETIKA MEDIS DALAM PERAWATAN PALIATIF BAGI PASIEN HIV/AIDS

Disusun untuk memenuhi tugas penyusunan CASE REPORT bidang kepeminatan HIV/AIDS PALLIATIVE CARE

Disusun oleh : PRISSILMA TANIA JONARDINIM: 110 2010 221Tutor: dr.YENNI ZULHAMIDAH,Msc

Fakultas Kedokteran Universitas YARSIBlok ELEKTIFTahun ajar 2013/2014

ETIKA MEDIS DALAM PERAWATAN PALIATIF BAGI PASIEN HIV/AIDS

ABSTRAK Objektif : Laporan ini dibuat untuk memaparkan etika medis dalam perawatan paliatif bagi pasien HIV/AIDS. Menjelaskan kaidah etik dalam menghadapi isu- isu yang terkait perawatan paliatif pasien HIV/AIDS. Tujuan perawatan paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien mencakup terapi dukungan seperti dukungan sosial, psikologi, dan dukungan spiritual. Perawatan paliatif tidak hanya digunakan pada penyakit terminal saja, tetapi pada hampir semua penyakit yang mengancam kehidupan. Desain : Laporan Kasus (Case report) Metode : Penulis menggunakan data rekam medis dan studi literatur untuk mengumpulkan informasi.Literatur terdiri atas jurnal kedokteran , buku kedokteran ,dan artikel kedokteran. Diskusi : Etika medis dalam perawatan paliatif sangat diperlukan agar tercapainya hubungan dokter- pasien yang lebih baik serta memiliki potensi membangun semangat untuk sembuh bagi pasien. Berbagai aspek yang terkait pada perawatan paliatif bagi pasien HIV/AIDS seperti informed concent, eutanasia, perawatan paliatif oleh tenaga non-medis dilaksanakan dengan mengacu pada kode etik dan hukum yang berlaku di suatu negara.Kesimpulan : Keputusan dilema etika kedokteran perlu diambil dengan hati-hati dan saling memuaskan dan tidak merugikan bagi pasien dan pengambil keputusan. Yang terpenting adalah rambu-rambu etika, moral maupun hukum yang tegas agar tercapai hubungan dokter dan pasien yang baik khususnya pada perawatan paliatif bagi pasien HIV/AIDSKeywords : Ethical Dimensions of palliative care, Ethical Dimensions of HIV/AIDS, Islamic medical ethics

PENDAHULUAN Lebih dari 7000 penduduk Indonesia terinfeksi HIV/AIDS setiap harinya, peningkatan insidens ini cukup memprihatinkan. Menurut Kemenkes RI, jumlah total penderita HIV/AIDS hingga Juni 2013 mencapai 152.267 orang , dengan angka kematian mencapai 8340 jiwa. Berdasarkan data WHO, prevalensi kematian pasien HIV/AIDS di dunia mencapai 2 juta jiwa. Hampir 70 % dari pasien HIV/AIDS datang ke rumah sakit dengan stadium lanjut. Pada stadium lanjut, pasien tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan , gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial , dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif.. Perawatan paliatif di masa lampau lebih banyak digunakan untuk merawat pasien pasien kanker (kecuali di Afrika Selatan awalnya untuk pasien HIV/AIDS). Kini perawatan paliatif juga bisa digunakan untuk penyakit lain seperti paru obstruktif kronis (COPD), stroke, parkinson, gagal jantung, gagal ginjal, penyakit genetika dan juga infeksi seperti HIV/AIDS. Sifat perawatan paliatif berfokus pada perdebatan tentang masalah etika pada kematian. Keadaan pada akhir hidup dapat mengakibatkan dilema etika yang lebih rumit oleh isu-isu tentang kompetensi orang yang akan meninggal, hak mereka untuk menolak atau menerima perawatan dalam mempertahankan integritas pribadi mereka atas kematian mereka sendiri. Etik adalah norma-norma yang menentukan baik-buruknya tingkah laku manusia, baik secara sendirian maupun bersama-sama dan mengatur hidup ke arah tujuannya ( Pastur scalia, 1971 ). Etika juga berasal dari bahasa yunani, yaitu Ethos, yang menurut Araskar dan David (1978) berarti kebiasaaan . model prilaku atau standar yang diharapkan dan kriteria tertentu untuk suatu tindakan. Etika dapat memberikan dasar untuk menentukan apakah keputusan yang dibuat tentang perawatan dan pengobatan dapat diperbolehkan secara etisKASUS Tn A berusia 39 tahun, dibawa oleh keluarganya ke salah satu Rumah Sakit Y dengan gejala demam dan sakit kepala selama 2 bulan. Selain itu Tn. A menderita sariawan yang tak kunjung sembuh, dan berat badannya turun secara berangsur-angsur. Dari hasil pemeriksaan fisik, tidak ditemukan adanya defek neurologis. Dokter menyarankan agar Tn. A dipindahkan dari UGD ke bangsal perawatan penyakit dalam karena keadaannya sudah sangat lemah serta merencanakan terapi paliatif untuk pasien ini berupa konseling seiring dengan terapi kuratif. Tn. A adalah seorang sopir truk yang sering pergi keluar kota karena tuntutan pekerjaan. Bahkan jarang pulang, kadang-kadang 2 minggu sekali bahkan sebulan sekali. Terdapat riwayat hubungan seksual yang tidak aman dengan berganti ganti pasangan. Tn. A tinggal bersama dengan istri dan kedua anaknya yang masih balita. 6 bulan yang lalu,Tn. A didiagnosis TB paru dan HIV positif , hasil CD4 : 240. Pada saat itu, pasien dipulangkan dengan terapi OAT dan ARV. Pasien rutin memeriksakan diri sekali seminggu ke RS, dan didapatkan keadaan umum baik. Terapi tetap diteruskan dan pasien diberi konseling untuk kepatuhan berobat. Namun, sudah dua bulan ini pasien tidak pernah memeriksakan diri ke RS. Ketika pasien coba dihubungi melalui telepon, pasien menolak untuk berobat kembali dengan alasan tidak tahan dengan efek samping obat ARV yang menimbulkan sakit kepala dan mual. Pasien pun sepertinya mulai kehilangan semangat hidup karena mengeluhkan keinginan untuk mati saja dan pengobatan yang dilakukan terasa sia sia. DISKUSIPerawatan paliatif dilakukan untuk mencegah, memperbaiki, mengurangi gejala gejala suatu penyakit, namun bukan berupaya penyembuhan. Suatu perawatan yang bertujuan mencapai kualitas hidup optimal bagi ODHA dan keluarganya, dengan meminimalkan penderitaan dengan perawatan klinis,psikologis,spiritual,dan sosial sepanjang seluruh perjalanan penyakit HIV (HIV/AIDS Palliative care guideance.US Dept.of State 2003).Secara etimologis, Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak/ moral. Dari pengertian ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia. Etika medis adalah aturan yang mengatur baik atau buruknya suatu keputusan atau suatu tindakan medis. Hak hak asasi manusia yang utama dalam etika kedokteran adalah hak untuk hidup, bebas dari diskriminasi, bebas dari perlakuan yang tidak manusiawi dan tidak pantas, persamaan dalam mendapatkan pelayanan medis, serta bebas beropini dalam menentukan keputusan medis yang akan diambil.Perawatan paliatif bertujuan untuk memberikan kenyamanan pada pasien di akhir hayatnya dan dapat meninggal dunia dengan bermartabat. Dalam perawatan paliatif , dokter seringkali dihadapkan dengan masalah-masalah etika medis terutama pada pasien HIV/AIDS. Pasien berhak mengetahui penyakitnya, menolak atau mendapatkan perawatan. Hal ini berkaitan dengan asas confidentiality/ menjaga rahasia pasien dan concent. Prinsip- prinsip etik meliputi : otonomi , non maleficience ( tidak merugikan), veracity (kejujuran), beneficience (berbuat baik), justice (keadilan), confidentiality (kerahasiaan) Akuntabilitas (tanggung jawab) Sesorang yang menderita HIV/AIDS memerlukan perawatan yang tepat dengan belas kasih. Dokter tidak boleh menolak secara etis untuk melakukan tindakan terhadap pasien hanya karena pasien tersebut positif HIV/AIDS. Dokter yang tidak sanggup memberikan pelayanan untuk pasien HIV/ AIDS haru membuat rujukan yang sesuai terhadap kompetensi dan fasilitas di unit pelayanan yang diperlukan. Sampai rujukan didapatkan, dokter harus terus merawat pasien berdasarkan kemapuan terbaik yang dimilikinya. Ada beberapa aspek yang sering dikaitkan dengan perawatan paliatif pasien HIV/AIDS :1. Informed concent Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran yang membutuhkan informed concent namun pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang beresiko tetap dilakukan informed concent. Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif. Beberapa pasien HIV/AIDS terkadang tidak ingin keluarga mengetahui keadaan penyakitnya, tugas dokter adalah mendorong pasien untuk memberitahu kepada keluarga yang dipercaya atau pasangan ketika pasien masih dalam kondisi kompeten, agar waktu yang cukup dapat digunakan pasien untuk berkomunikasi dengan keluarga. Dokter sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun (advanced directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten. Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan panduan utama bagi tim perawatan paliatif. Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan. Peningkatan kualitas hidup pasien pada perawatan pasien tergantung bagaimana dokter mengetahui keinginan pasien di akhir hayatnya. Sesuai dengan prinsip otonomi, setiap keputusan yang diambil pasien hendaknya menjadi keputusan pasien yang harus dihargai oleh dokter. Namun dalam perawatan paliatif, hendaknya dokter, pasien, dan bila perlu keluarga pasien untuk saling berdiskusi mengenai perawatan apa yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Dokter dapat menginformasikan pengetahuan dan pengalamannya dalam perawatan paliatif kepada pasien sehingga dapat menjadi masukan pada pasien dalam membuat keputusan yang efektif dan efisien. Dokter harus memberitahukan mengenai prognosis dan efek samping terapi yang akan dirasakan oleh pasien hingga pasien mengerti mengenai terapi dengan baik.

2. Perawatan pasien paliatif di ICU.Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas. Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak dan penghentian alat bantu hidup.

3. Perawatan pasien paliatif oleh tenaga non medisMenurut Kep. Menkes NOMOR : 812/Menkes/SK/VII/2007, tim perawatan paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pimpinan rumah sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah pasien. Pada dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenaga medis, tetapi dengan pertimbangan demi keselamatan pasien tindakan-tindakan tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non-medis yang terlatih. Yang utama adalah adanya komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan.

4. Eutanasia Hampir 70 % pasien HIV/AIDS menderita akibat penyakitnya. Tidak jarang mereka telah putus asa dengan segala pengobatan yang ada, karena sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS. Sehingga terkadang mereka memutuskan untuk berhenti berobat bahkan meminta dokter untuk mengakhiri hidup mereka atau eutanasia. Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu Eu berarti baik dan "Thanatos" berarti kematian. Apabila digabungkan berarti kematian yang baik.

Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan. Menurut KNMG (Ikatan Dokter Belanda): Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. Belanda, Belgia , dan negara bagian Oregon di Amerika Serikat memperbolehkan tindakan eutanasia.

Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.

Pseudo-Euthanasia Menurut Profesor Leenen dalam Achadiat (2007) ada 4 betuk golongan pseudo-euthanasia: pengakhiran perawatan medik karena gejala mati otak atau batang otak, pasien menolak perawatan atau bantuan medik terhadap dirinya, berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majure),penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui tidak ada gunanya.

Jenis-jenis eutanasia dan kesadaran pelakunya terdiri atas 1. Eutanasia pasif yaitu penghentikan/mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia. Eutanasia ini dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan pasien. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak memberikan bantuan medis untuk memperpanjang hidup pasien. Misalnya : tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan obat-obat baik antibiotik, vasopressor, vasoaktif, atau analgetik. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun keputusasaan keluargan karena tidak sanggup menanggung beban biaya pengobatan atau alasan lain.

2.Eutanasia aktif Eutanasia jenis ini terdiri atas : 1. Eutanasia aktif tidak langsung adalah tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun pelaku menyadari adanya resiko untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. 2. Eutanasia aktif langsung (mercy killing) adalah tindakan medis secara terarah untuk mengakhiri hidup atau memperpendek usia pasien.

Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia.

PERANAN AGAMA Pertanyaaan yang segera timbul ialah apakah kewajiban seorang dokter seperti terdapat dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, serta sumpah yang telah diikrarkan menurut sumpah dokter, sudah pasti menjamin seorang dokter untuk tidak melakukan penyelewengan dan pelanggaran? Etika yang hanya bersumber dari manusia akan mudah dilanggar bagaimanapun indah rumusannya, bahkan dapat dihindarkan dengan berbagai alasan sehingga tidak mendapat sanksi. Untuk itu Allah SWT, menurunkan agama kepada manusia dan al quran untuk menjadi contoh teladan dalam melaksanakan dan mempraktekkan ajaran etika yang dikehendaki oleh Allah SWT. Rasulullah diutus Allah dengan tugas yang utama adalah meningkatkan akhlak umat manusia.

Sessungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (H.R Malik) Pelayanan kesehatan dalam Islam hendaklah memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Profesionalisme Menurut Islam pelayanan kesehatan tidak boleh dilakukan oleh orang yang bukan ahli atau bukan profesinya. Islam mengancam dengan hukuman berat kepada orang yang membuka praktek pengobatan tanpa ijazah. Rasullulah SAW bersabda : Barangsiapa menjadi tabib (dokter) tetapi ia tidak pernah belajar ilmu kedokteran sebelumnya maka ia akan menanggung resiko (H.R Abu daud) 2. PertanggungjawabanHadis di atas juga memberikan pengertian lain yang tidak kalah pentingya, yaitu pertanggungjawaban terhadap kesalahan pelayanan pengobatan. Undang-Undang juga melindungi kesalahan dokter jika kesalahan itu tidak terbukti ada unsur kesengajaannya atau keteledorannya..3. Setiap penyakit ada obatnyaApabila ada penyakit yang hingga sekarang belum bisa disembuhkan oleh ilmu medis, oleh karena memang keterbatasan ilmu kita. Oleh karena itu Islam menganjurkan agar kita senantiasa berupaya melakukan penelitian sehingga menemukan obat yang dapat menyembuhkannya. Rasulullah SAW. Bersabda:Sesungungnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan menurunkan obatnya. Maka jika didapatkan obat maka sembuhlah ia dengan izin Allah.4. SpesialisasiIslam mendorong spesialisasi (keahlian khusus) dalam pelayanan kesehatan. Hal ini dimaksudkan agar setiap dokter benar-benar ahli dalam bidang yang ditekuninya. Itulah sebabnya maka setiap kali Rasulullah melihat beberapa dokter yang merawat pasien beliau bertanya: Siapakah di antara kalian yang lebih menguasai spesialisasi tentang penyakit ini Apabila beliau melihat seorang di antara mereka yang lebih mengetahui (ahli), maka beliau mendahulukan di antara yang lainnya.5. Tidak mengobati sebelum meneliti secara cermatDilarang mengobati sebelum meneliti pasien dengan tepat sehingga akan tahu jenis penyakit dan sebab-sebabnya.Syabardal, seorang tabib Bani Najran datang kepada Rasulullah SAW. Berkata: Demi Bapakku, engkau dan ibuku, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini adalah seorang dokter dan tukan tenung kaumku pada masa jahiliyah, apa yang baik bagiku. Maka Rasulullah SAW bersabda: janganlah kamu mengobati seseorang sehingga kamu yakin benar penyakitnya

Dari Ibnu Masud radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa mengetahuinya.

Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram. (HR. Abu Dawud dari Abud Darda` radhiallahu anhu) Seorang dokter yang telah bersumpah akan membaktikan hidupnya demi kepentingan perikemanusiaan menjalankan tugasnya dengan cara yang terhormat dan bersusila, kesehatan penderita senantiasa diutamakan, menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan, tidak mempergunakan pengetahuan kedokterannya untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan, begitu pula seperti yang tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Semua itu dilakukan bukan semata-mata sekedar sebagai sumpah melainkan sebagai ibadah dan perintah dari Allah SWT. Bahkan sebagai amanah yang apabila dilaksanakan dengan baik pasti ia akan memperoleh pahala di sisi Allah. Katakanlah : sesungguhnya shalatku, ibadahku , hidupku , dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam KESIMPULAN DAN SARAN Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan pasien dan keluarganya dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan mencegah dan meringankan penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian serta terapi dan masalah lain-fisik, psikososial, dan spiritual. Namun di Indonesia diperlukan suatu pedoman yang mengatur hak-hak pasien yang kompeten dan tidak kompeten untuk menolak atau menghentikan pemberian bantuan kehidupan. Pedoman tersebut harus memuat garis-garis besar untuk melindungi hak-hak pasien untuk menentukan apa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri, merelakan meninggal secara alami dan memungkinkan para dokter dan tim perawatan paliatif, anggota keluarga dan wali menghadapi problema besar ini untuk berani membuat keputusan tanpa khawatir akan tuntutan hukum. Namun tentunya kita tidak bisa meniru saja apa yang sudah dilakukan di belahan dunia Barat, tetapi harus diperhitungkan dengan kondisi etika, sosial, budaya dan melalui kajian keagamaan kita sendiri terutama Islam yang pasti akan berlainan dalam alam pikiran tertentu. Etika merupakan kesadaran yang sistematis terhadap prilaku yang dapat dipertanggung jawabkan, etika bicara tentang hal yang benar dan hal yang salah dan didalam etik terdapat nilai-nilai moral yang merupakan dasar dari prilaku manusia (niat). Keputusan dilema etika kedokteran perlu diambil dengan hati-hati dan saling memuaskan dan tidak merugikan bagi pasien dan pengambil keputusan. Yang terpenting adalah rambu-rambu etika, moral maupun hukum yang tegas agar tercapai hubungan dokter dan pasien yang baik khususnya pada perawatan paliatif bagi pasien HIV/AIDS. Pentingnya perawatan paliatif bagi pasien HIV/AIDS adalah sebagai dukungan spiritual dan psikososial bila efek samping obat dirasakan terlalu berat dan pasien memilih untuk menghentikan pengobatan seiring dengan berjalannya pengobatan.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih atas bimbingannya dalam pembuatan Case Report ini, kepada : Allah SWT, atas ridho-Nyalah penyusunan Case Report ini dapat terlaksana DR. Drh. Hj. Titiek Djannatum selaku Koordinator Penyusun Blok Elektif dr. Hj. RW. Susilowati, Mkes selaku Koordinator Pelaksana Blok Elektif dr. Hj. Riyani Wikaningrum, DMM. Msc. Selaku Koordinator kepeminatan Palliative Care RS. Kanker Nasional Dharmais atas kerjasamanya dalam pelaksanaan pencarian kasus dr. Maria Astheria Witjaksono, Mpall selaku koordinator lapangan kelompok dr Yenni Zulhamidah,Msc selaku tutor kelompok Seluruh anggota kelompok 4, HIV Palliative Care Seluruh teman sejawat Universitas YARSI

DAFTAR PUSTAKA Achadiat. Chritiono M, 2007, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, ECG, Jakarta Fallon, Marie(ed) & Geoffrey Hanks(ed). ABC of Palliative Care: 2nd edt. Blackwell Publishing. Oxford-United Kingdom, 2006 World Medical Association. Medical Ethics Manual : 1st edt. Ethics Unit of World Medical Association.United States of America,2005 Anonim. 2007. Care Support Treatment (CST). Available at http://kpa-provsu.org/cst.php (Last update : 2013, November 17) ONeill et al. A Clinical Guide to Supportive & Palliative Care for HIV/AIDS. 2003 Edition WHO.2009. WHO Definition of Palliative Care. http://www.WHO.Int/ can cerlpallia tiveldefinitionlenl. (Last update : 2013, November 15) Wolf et al. Ethical Dimensions of HIV/AIDS. http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-08-01-05. (Last update : 2013, November 15) Medical Ethics Committee, Islamic Medical Association of North America. The Guidelines for Health Care Providers When Dealing with Muslim Patients. J Islam Med Assn 1998;30:44-45. Pennachio DL. Cultural Competence: Caring for your Muslim Patients. Medical Economics May 6, 2005, p. 47.


Recommended