20
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Komisi dalam Hukum Islam (al-ji’alah)
1. Pengertian dan Dasar Hukum al-ji’alah
Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah
SWT, berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing
dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang
mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi.
Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan sendirinya terlaksana
tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk menggali semua potensi yang
telah disediakan oleh Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam
secara maksimal inilah manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan
sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan dan perbenturan kepentingan
yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan
kepada umatnya untuk berlaku tolong-menolong dengan sesamanya.1
Agama Islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam segala hal,
salah satunya yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala hal tentang
masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu fiqh muamalah. Kata muamalah
secara bahasa sama dan semakna dengan al-mufa‟alah (saling brbuat). Kata ini
menggambarkan suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa
1 Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 314.
21
orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.2 Secara singkat, fiqh
mu‟amalah secara terminologi didefinisikan sebagai hukum-hukum yang
berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan.3
Kajian fiqh mu‟amalah adalah aspek Hukum Islam yang ruang lingkupnya luas.
Pada dasarnya aspek Hukum Islam yang bukan ibadah seperti, sholat, puasa, zakat
dan haji di golongkan muamalah. Karena itu masalah pidana dan perdata juga
digolongkan hukum muamalah. Namun perkembangan selanjutnya Hukum Islam
dibidang muamalah dapat dibagi menjadi dua garis besar secara umum yakni
munakahat dan jinayat. Sementara itu muamalah dalam arti yang lebih sempit atau
dalam arti yang khusus hanya membahas tentang hukum ekonomi dan bisnis
Islam.4
Pengertian muamalah secara khusus dibahas berbagai macam transaksi
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari terutama dari aspek hukumnya.
Transaksi-transaksi tersebut dibahas dan dipelajari dari sudut pandang fiqh
muamalah. Sehingga semua transaksi yang dibahas dalam fiqh muamalah dapat
ditentukan hukumnya. Apakah suatu transaksi itu halal ataupun haram.5
Fiqh muamalah dibahas banyak tantang transaksi, yang salah satu babnya
membahas tentang transaksi secara umum atau biasa disebut akad. Dalam akad
terdapat banyak sekali rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan
2 Nasrun Haroen, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). h. vii
(Pendahuluan).
3 Ibid. 4 Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: TERAS, 2011), Cetakan 1, h. 1.
5 Ibid., h. 3.
22
agar akad yang dilakukan itu sah, dan menghasilkan produk hukum yang halal.
Dalam menggapai produk hukum yang halal, maka syarat dan rukun seperti yang
disebutkan di atas harus dipahami serta selalu terpenuhi dalam setiap melakukan
kegiatan transaksi.
Inti terdalam dari tujuan agama Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu para rasul terdahulu mengajak umat
(berdakwah) untuk mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai
ajaran agama yang mesti dilaksanakan, tidak ada pilihan bagi seorang mu‟min
untuk tidak mengamalkannya. Dalam konteks ini Allah berfirmannya yang
berbunyi:
ضا ان كال اان مص الت ش غ ان ااهلل يانكى ي و اػبذ با لال م ى شؼ أخا يذ إن
ط و يح كى ػزاب اخاف ػه ا ش اسكى بخ ( ۸۶: د)ا
Artinya: dan kepada (penduduk) Mad-yan (kami utus) saudara mereka, Syuaib. Ia
berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain
Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku
melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir
terhadapmu akam azab hari yang membinasakan (kiamat). (Qs. Hud: 84).6
Dalam hubungan sesama manusia, tentang salah satu akad, yaitu akad
Ji‟alah. akad Ji‟alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah
pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu
menyelesaikan maka ia berhak mendapat upah atau komisi. Secara harfiah Ji‟alah
6 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), h.
178.
23
bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau
perintah yang ditujukan untuk seseorang untuk kemudian dijalankan atau
dikerjakan. 7
a. Pengertian Ji’alah
Akad ji‟alah, ju‟l atau ju‟liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai
sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil
melakukan perbuatan tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan
kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan menurut para
ahli hukum, akad ji‟alah dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus,
komisi atau upah tertentu), maka ji‟alah adalah akad atau komitmen dengan
kehendak satu pihak. Sedangkan menurut syara‟, akad ji‟alah adalah komitmen
memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan tertentu atau tidak tertentu
yang sulit diketahui.8
Adapun definisinya dari Ji‟alah adalah komisi yang diberikan kepada
seseorang karena sesuatu yang ia lakukan. Seperti seseorang berkata, “barangsiapa
melakukan hal ini, maka ia mendapatkan uang sekian”. Orang tersebut
memberikan harta (uang atau yang lainnya) dengan jumlah tertentu, kepada orang
yang melakukan suatu pekerjaan tertentu, seperti membangun pasar dan lainnya.9
Secara terminologi fiqih ji‟alah berarti suatu iltizaam (tanggung jawab)
dalam bentuk janji memberikan imbalan atau upah tertentu secara suka rela
7 Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h.44.
8 Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
h. 432.
9 Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 515.
24
terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang
belum pasti dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.10
Ji‟alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau (ja‟l) kepada orang
yang telah melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan
yang tersesat (dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok,
mejahit pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah sedangkan menurut
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ji‟alah adalah perjanjian imbalan tertentu
dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan
yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. 11
Akad ji‟alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah
pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu
menyelesaikan, maka ia berhak mendapatkan upah atau hadiah. Secara harfiah,
ji‟alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan,
atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan. Sayyid Sabiq
dalam fiqih sunnah menjelaskan ji‟alah adalah jenis akad atas manfaat sesuatu
yang diduga kuat akan diperolehnya.12
Secara syara‟ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid sabiq yang dikutip
oleh Abdul Rahman Ghazaly dalam bukunya Fiqih Muamalah, ji‟alah adalah:
10 Muhammad Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003),h. 265.
11
Madani, Fiqih Ekonomi Syariah (Fiqih Muamalah), (Jakarta: Gema Insani, 2012), h.
314.
12 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid III (Bandung: Alma‟arif, 1986), h. 171.
25
ن حص فؼت ظ ػمذػه ي
Artinya: “sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat
diperoleh”13
Ulama Malikiyah mendefinisikan akad ji‟alah sebagai akad sewa atas
manfaat yang diduga dapat tercapai. Hal ini seperti perkataan seseorang, “Barang
siapa yang bisa mengembalikan binatang tunggangan saya yang kabur atau lari,
atau barang milik saya yang hilang, atau yang bisa mengurus kebun saya ini, atau
menggali sumur untuk saya hingga saya menemukan air, atau menjahit baju atau
kemeja untuk saya, maka dia akan mendapatkan sekian.14
Contoh akad ji‟alah adalah hadiah yang khusus diperuntukan bagi orang-
orang berprestasi, atau para pemenang dalam sebuah perlombaan yang
diperbolehkan atau bagian harta rampasan perang tertentu diberikan oleh
panglima perang kepada orang yang mampu menembus benteng musuh, atau
dapat menjatuhkan pesawat-pesawat.
Termasuk didalam akad ji‟alah juga, komitmen membayar sejumlah uang
pada dokter yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, atau pada guru yang
bisa membimbing anaknya menghapal Al-Qur‟an. Para fuqaha biasa memberikan
contoh untuk akad ini dengan kasus orang yang dapat mengembalikan binatang
tunggangan yang tersesat atau hilang dan budak yang lari atau kabur.15
13 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group,
2010), h. 141.
14
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Op. Cit, h. 432.
15 Ibid., h. 433.
26
Dapat pula dikatakan bahwa ji‟alah menurut rumusan-rumusan yang
terdapat dalam kitab-kitab ulama masa lalu lebih tertuju kepada bentuk usaha
melakukan suatu aktivitas atas tawaran dari seseorang untuk melakukan suatu
kegiatan tertentu yang orangnya akan diberi imbalan bila ia berhasil dengan tugas
yang diberikan kepadanya. Bila rumusan itu diikuti, jelas pengertian ji‟alah sangat
berlainan dengan pertandingan, kompetisi, dan berbagai perlombaan zaman
sekarang yang lebih memprioritaskan kegiatannya untuk menilai ketangkasan.
Namun, bila kita berangkat dari unsur substansial, yakni diberinya imbalan atas
sesuatu prestasi tertentu melalui perpacuan kemampuan, maka berbagai bentuk
perlombaan pun bisa digolongkan sebagai ji‟alah.16
Pengertian upah menurut kamus lengkap Bahasa Indonesia adalah uang
atau alat pembayaran lain yang dibayarkan sebagai pembalasan jasa atau sebagai
pembayaran tenaga yang sudah dilakukan untuk mengerjakan sesuatu.17
Sedangkan upah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang, sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja
atau buruh dan keluarganya atas suatu jasa dan atau pekerjaan yang telah atau
sedang dilakukan.18
16 Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 47.
17
Desi Anwar, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, ( Surabaya: Amelia, 2002 ), h. 578
18 Tim Fokus Media, Undang-Undang Ketenagakerjaan Edisi Terbaru,(Bandung: Fokus
Media, 2013), h.1
27
Afzalur Rahman juga mengatakan bahwa upah adalah harga yang
dibayarkan pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan. Seperti faktor produksi
lainnya, tenaga kerja diberi imbalan atas jasanya. Dengan kata lain upah adalah
harga dari tenaga yang dibayar atas jasanya dalam produksi. Menurut pernyataan
Benham : “Upah dapat didefinisikan dengan sejumlah uang yang dibayar oleh
orang yang memberi pekerjaan kepada seorang pekerja atas jasanya sesuai
perjanjian”.19
Para ahli fiqih sepakat bahwa akad Ji‟alah merupakan hal yang boleh
(Jaiz), termasuk mazhab Maliki, Syafi‟i, Hambali, Serta Syi‟ah. Walaupun para
imam mazhab berbeda pendapat penggunaan akad ji‟alah untuk melakukan
mu‟amalah, mazhab Hanafi dan Zhahiri melarang menggunakan akad ini untuk
mu‟amalah dengan alasan adanya unsur gharar, karena dalam akad ji‟alah boelh
saja tidak dijelaskan secara jelas batas waktu, bentuk atau cara melakukanya.20
Mazhab Maliki mendefinisikan ji‟alah: “Suatu upah yang dijanjikan
sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh
seseorang”.
Mazhab Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat ja‟il (pemilik pekerjaan)
dibolehkan menambahkan atau mengurangi upah yang harus diberikan kepada
amil (pekerja). Karena ju‟alah merupakan akad ja‟iz gair lazim (diperbolehkan
dan tidak mengikat). Namun, Syafi‟iyyah membolehkan penambahan atau
pengurangan tersebut sebelum selesainya pekerjaan ataupun sesudahnya, seperti
19
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam 2, (Jakarta: Dana Bhakti Wahab, 1995), h. 361
20 Sri Nurhayati, Akuntansi Syari‟ah di Indonesia, (Jakarta: Salemba, 2011), h. 270.
28
perkataan seseorang “Barangsiapa yang dapat menemukan Fulan yang hilang
maka aku akan memberikan upah padanya 10 dirham”, kemudian dia berkata “
padanya 5 dirham atau lebih”. Dan Hanabilah membatasi pada sebelum
dilakukannya pekerjaan tersebut.21
Pendapat para ulama‟ dalam mendefinisikan akad Ji‟alah yaitu Definisi
pertama (mazhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian, berhasilnya perbuatan
yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Mazhab Syafi‟i) menekankan segi
ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.22
Meskipun Ji‟alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan
oleh Ibnu Qudamah (ulama Mazhab Hambali), ia dapat dibedakan dengan ijarah
(transaksi upah) dari lima segi:
1. Pada Ji‟alah upah atau hadiah yang dijanjikan, hanyalah diterima orang
yang menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi obyek
pekerjaan tersebut, jika pekerjaan itu telah mewujudkan hasil dengan
sempurna. Sedangkan pada ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan
tersebut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi
yang diberikannya, meskipun pekerjaan itu belum selesai dikerjakan, atau
upahnya dapat ditentukan sebelumnya, apakah harian atau mingguan,
tengah bulanan atau bulanan sebagaimana yang berlaku dalam suatu
masyarakat.
21
Abu Bakar Jbiz Al-Jazari, Minhajul Mialim, Alih bahasa Fadhli Bahri, Ensiklopedia
Muslim Minhajul Muslim, ( Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 438-439.
22 Ibid., h. 438.
29
2. Pada Ji‟alah terdapat unsur gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau
untung-untungan karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi
batas waktu penyelesaian pekerjaan atau cara kerjanya disebutkan secara
tegas dalam akad (perjanjian) atau harus dikerjakan sesuai dengan obyek
perjanjian itu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam Ji‟alah
yang dipentingkan adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau
cara mengerjakannya.
3. Pada Ji‟alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum
pekerjaan dilaksanakan dan mewujudkannya. Sedangkan dalam ijarah,
dibenarkan memberikan upah terlebih dahulu, baik keseluruhan maupun
sebagian, sesuai dengan kesepakatan besama asal saja yang memberi upah
itu percaya.
4. Tindakan hukum yang dilakukan dalam Ji‟alah bersifat suka rela sehingga
apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan, selama pekerjaan belum
dimulai, tanpa menimbulkan akibat hukum. Apalagi tawaran yang
dilakukan bersifat umum seperti mengiklankan di surat kabar. Sedangkan
dalam akad ijarah, terjadi transaksi yang bersifat mengikat semua pihak
yang melakukan perjanjian kerja. Jika pekerjaan itu dibatalkan, maka
tindakan itu akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan.
Biasanya sanksinya disebutkan dalam perjanjian (akad).
5. Dari segi ruang lingkupnya Mazhab Maliki menetapkan kaidah, bahwa
semua yang dibenarkan menjadi obyek akad dalam transaksi Ji‟alah, boleh
juga menjadi obyek dalam transaksi ijarah. Namun tidak semua yang
30
dibenarkan menjadi obyek dalam transaksi ijarah, dibenarkan pula
menjadi obyek dalam transaksi Ji‟alah. Berdasarkan kaidah tersebut, maka
pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air, dapat menjadi obyek
dalam akad ijarah, tetapi tidak boleh dalam akad Ji‟alah. Dalam ijarah,
orang yang menggali sumur itu sudah dapat menerima upah, walaupun
airnya belum ditemukan.23
Sehubungan dengan aktivitas yang berkaitan dengan ji‟alah ini,
ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yakni: Pertama, harus
ada unsur ja‟il (pelaksana yang memberikan tugas) untuk melakukan
ji‟alah. Pihak ja‟il ini bisa perorangan yang mempunyai suatu hubungan
langsung dengan objek yang diji‟alahkan, seperti seseorang yang
kehilangan suatu benda, dan bisa pula pihak lain yang tidak punya
hubungan kepemilikan terhadap suatu objek yang diji‟alahkan. Disamping
itu, ja‟il bisa pula berbentuk lembaga, seperti yang banyak terjadi pada
masa sekarang. Dengan demikian, hadiah yang diberikan dalam kegiatan
ji‟alah ini bisa diberikan oleh pihak pelaksana sendiri ataupun pihak lain.
Kedua, pihak yang melakukan ji‟alah, yakni orang-orang yang aktif
sebagai peserta, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Kenapa demikian?
Sebab, untuk masa sekarang banyak pula kegiatan sayembara yang
diperuntukkan bagi anak-anak, sebagaimana banyak pula kegiatan
sayembara untuk orang yang sudah dewasa. Ketiga, objek ji‟alah mestilah
berupa perbuatan yang mubah, seperti mencari barang yang hilang, dan
23Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2010), h. 143.
31
tidak dibolehkan melakukan ji‟alah pada lapangan yang tidak boleh
dilakukan oleh agama. Keempat, upah dalam berji‟alah bagi pihak yang
menang haruslah berbentuk materi ataupun jasa. Kelima, akad dalam
berji‟alah tidaklah disyaratkan harus dengan lafadz tertentu. Keadaan
„uruf masyarakat bisa dijadikan pedoman untuk menetapkan bagaimana
lafadz yang boleh dipergunakan dalam pelaksanaan ji‟alah, sepanjang
„uruf itu tidak bertentangan dengan ketentuan agama.24
b. Dasar Hukum Ji’alah
Menurut ulama Hanafiah, akad ji‟alah tidak dibolehkan karena di dalamya
terdapat unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya.
Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan adanya
kejelasan dalam pekerjaan,pekerja itu sendiri, upah dan waktunya. Akan tetapi,
mereka hanya membolehkan dengan dalil istihsan memberikan hadiah kepada
orang yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak
perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu sebesar
empat puluh dirham untuk menutupi biaya selama perjalanan.25
Jika dia mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut,
maka hadiah disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan
banyaknya perjalanan. Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak
perjalanan dua hari, maka dia mendapat upah dua pertiganya; dan bila
mengembalikannya dalam jarak perjalanan satu hari, maka dia mendapat upah
24 Helmi Karim, Op. Cit, h. 48.
25 Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Op. Cit, h. 433.
32
sepertiganya. Barang siapa yang dapat mengembalikannya kurang dari satu hari
atau menemukannya di daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan
kadar pekerjaannya. Sebab, untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat
mengembalikan budak kepada pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah
tersebut adalah sebuah cara bagi pemiliknya untuk menjaga hartanya.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah, akad
ji‟alah dibolehkan dengan dalil firman Allah dalam kisah nabi Yusuf as. bersama
saudara-saudaranya.
Al-qur‟an:
Firman Allah dalam surat yusuf yang berbunyi:
ج ن هك اع ان افمذ ص ۷:سف) اء ب حول بعس اا ب صعولان
)
Artinya: Mereka menjawab, „„Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban onta dan
aku jamin itu.”(Yusuf: 72)26
Dalam al-Qur‟an dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah
kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Ar-Ramli
dalam Abdul Aziz Muhammad Azam menilai bahwa ayat ini sebagai isti‟nas
(pembangkit semangat) dan bukan istidlal (bentuk pembuktian).27
Surat al-Maidah ayat 1:
26 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), h.
194.
27 Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 332.
33
(: انائذة) ........ فا بانؼمد آيا أ ا انز ا أ
Atinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.......(QS. al-
Maidah:1)28
Sabda nabi SAW kepada para sahabat yang mendapatkan Ji‟alah berupa
sekawanan kambing karena pengobatan orang yang tersengat, “ambillah Ji‟alah
atau upah dan berikanku satu bagian bersama kalian”. (HR. Bukhari).
Dalil dari As Sunnah adalah hadits abu Sa‟id berikut ia berkata:
Hadits:
ا بشاق نكى حت تجؼها نا ا أ نمذ استضفاكى فهى تضفا، ف انه نك إ نأسل، انه
مشأ ، طهك تفم ػه انغى، فا ى ػه لطغ ي : جؼها، فصانح سب انؼان ذ نه انح
لهبت يا ب ش طهك ػمال، فا ا شط ي 29فكأ
Arinya: Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah
meminta jamuan kepada kamu namun kamu tidak memberikannya kepada kami.
Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau
memberikan imbalan kepada kami.” Maka mereka pun sepakat untuk
memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung
tersebut), kemudian meniupnya dan membaca “Al Hamdulillahi Rabbil
„aalamiin,” (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia
pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit. Kemudian mereka
memberikan imbalan yang mereka sepakati itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
28 Depag RI. Op.Cit, h. 85.
29 Muhammad Fuat Abdul Baqi, Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan (Mutiara Hadits Sahih Bukhari
Dan Muslim), (Jakarta: Ummul Qura, 2013), h. 759.
34
Demikian juga dengan sabda Rasulullah dalam sebuah hadits yang
menceritakan tentang orang yang mengambil upah atas pengobatan dengan surah
al-Fatihah, yang diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam Nasa‟i dari Abu Sa‟id
Al-Khudri. Diriwayatkan bahwa beberapa orang sahabat Rasulullah sampai pada
satu kampung badui tapi mereka tidak dijamu. Pada saat demikian tiba-tiba kepala
suku badui disengat kalajengking. Penduduk kampung itu pun bertanya, “apakah
di antara kalian ada yang bisa mengobati?”. Para sahabat menjawab, “kalian
belum menjamu kami. Kami tidak akan melakukannya kecuali jika kalian
memberi kami upah.” 30
Maka mereka menyiapkan sekawanan domba. Lalu seorang sahabat
membaca surah al-fatihah dan mengumpulkan air ludahnya kemudian
meludahkannya sehingga kepala suku itu pun sembuh. Penduduk kampung itu
pun lalu memberi domba yang dijanjikan kepada para sahabat. Para sahabat itu
berkata, “kami tidak akan mengambilnya hingga kami tanyakan dahulu kepada
Rasulullah.” Kemudian sahabat itu menanyakan hal tersebut kepada rasulullah,
maka beliau pun tertawa dan berkata,“tidakkah kalian tahu? Surah al-fatihah itu
adalah obat. Ambilah domba itu dan berikan kepadaku satu bagian.”31
Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad
ji‟alah, yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akad ji‟alah ini,
seperti untuk mengembalikan binatang yang hilang, budak yang lari atau kabur,
30
Wahbah Az- Zuhaili, Loc. Cit.
31 Ibid., h. 434.
35
dan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri. Maka boleh mengeluarkan upah
seperti akat ijarah dan muda>rabah, hanya saja pekerjaan dan waktu yang belum
jelas dalam ji‟alah tidak merusak akad itu, berbeda halnya dengan ijarah. Hal itu
kareana akad ji‟alah sifatnya tidak mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan
memerlukan kepastian waktu untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan
digunakan. Selain itu, karena akad ji‟alah adalah sebuah keringanan (rukhshah)
berdasarkan kesepakatan ulama, karena mengandung ketidakjelasan, dan
dibolehkan karena ada izin dari Allah.32
Kedudukan transaksi upah (al-Ju‟l) adalah segala bentuk pekerjaan (jasa),
yang memberi upah tidak mengambil sedikitpun dari upah (hadiah) itu. Sebab jika
pemberi upah mengambil sebagian dari upah itu, berarti ia harus terikat dengan
jasa dan pekerjaan itu. Padahal jika calon penerima upah itu (al-Maj‟ul) gagal
mendapatkan manfaat, seperti ditetapkan dalam transaksi upah (al-ju‟l), ia tidak
akan mendapatkan apa-apa. Jika pemberi upah (al-Ja‟il) mengambil hasil kerja
calon penerima upah ( al-maj‟ul), tanpa imbalan kerja atau jasa tertentu, berarti ia
telah suatu kezaliman.33
2. Rukun dan syarat ji’alah
a. Orang yang menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh
juga orang lain yang mendapat persetujuan dari orang yang
kehilangan, atau memiliki pekerjaan.
32
Ibid.
33 Ibnu Rasyd, Bidayatul Mujtahid Analisis Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007), h. 102.
36
b. Pekerja, yaitu mencari barang yang hilang yang mempunyai izin untuk
bekerja dari orang yang punya harta, jika dia bekerja tanpa ada izin
darinya seperti ada harta yang hilang lalu dia menemukannya atau
hewan tersesat lalu dia mengembalikan kepada pemiliknya, maka dalam
hal ini dia tidak berhak mendapat ji‟alah, sebab dia memberikan
bantuan tanpa ada ikatan upah, maka dia tidak berhak dengan upah itu,
adapun jika diizinkan oleh si pemilik harta dan disyaratkan ada
ji‟alahnya lalu dia bekerja, maka dia berhak mendapat ji‟alah, sebab si
pemilik harta menerima manfaat dari usahanya dengan akad ji‟alah,
maka si pekerja pun berhak dengan ji‟alah itu sama seperti orang yang
disewa.
Kedua, hendaklah si pekerja orang yang ahli dengan pekerjaan itu
jika memang dijelaskan bentuknya, maka sah akad ji‟alah dengan orang
yang memang ahlinya walaupun masih anak-anak.
Ketiga, si pekerja tidak berhak mendapatkan upah kecuali jika
sudah selesai bekerja, jika disyaratkan untuk mengembalikan unta yang
lari lalu dia mengembalikannya sampai ke pintu rumah kemudian lari
lagi atau mati sebelum diterima oleh si pemberi ji‟alah, maka dia tidak
berhak mendapatkan sesuatu dari ji‟alah yang ada sebab maksud dari
akad adalah mengembalikan, dan upah sebagai bayarannya dan disini
tidak ada hasil.34
34 Abdul Aziz Muhammad Azam, Op. Cit, 334.
37
c. Upah, disyaratkan keadaan upah dengan barang atau benda yang
tertentu. Kalau yang kehilangan itu berseru: “Barangsiapa yang
mendapat barang atau bendaku, akan saya beri uang sekian. Kemudian
dua orang pekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan
barang itu secara bersama-sama, maka upah yang dijanjikan itu
berserikat antara keduanya (dibagi-bagikan).
d. Shighat, Ucapan ini datang dari pihak pemberi ji‟alah sedangkan dari
pihak pekerja, maka tidak disyaratkan ada ucapan dan dengan ada
qabul darinya dengan ucapan walaupun barangnya sudah jelas sebab
yang dinilai adalah pekerjaanya sama dengan akad perwakilan, dan
tidak batal seandainya dia menjawab, ya seandainya dia berkata
kepadanya saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya
mendapat bayaran datu dinar kemudian si pemberi ja‟alah berkata ya
atau menjawabnya, maka sudah dianggap cukup.35
Adapun yang menjadi syarat ji‟alah yaitu:
a. Pihak-pihak yang berji‟alah wajib memiliki kecakapan bermu‟amalah
(ahliyyah al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak dalam
perwalian). Jadi ji‟alah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak
kecil.
b. Upah yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika
upahnya tidak jelas, maka akad ji‟alah batal adanya, karena
35 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1986), h. 306.
38
ketidakpastian kompensasi, Upah yang tidak jelas akan menimbulkan
perselisihan dimasyarakat, maka dari itu syarat dari upah yaitu,
pertama: harus sesuai dengan apa yang dijanjikan, yaitu jika seseorang
mengadakan sebuah sayembara pemberian upahnya harus ada di awal
perjanjian sebelum sayembara dilaksanakan. Kedua: berupa materi
atau uang, yaitu didalam sebuah sayembara upahnya yang diberikan
haruslah berupa materi, tidak boleh berupa jasa atau yang lain yang
tidak ada manfaatnya. Ketiga: jelas bentuknya. Seperti jika seseorang
mengatakan “Barang siapa yang menemukan mobil saya maka dia
akan mendapat pakaian”. Dalam keadaan ini, maka orang yang
menemukannya atau yang mengembalikannya berhak mendapatkan
upah umum yang berlaku. Dan jika upah itu berupa barang haram,
seperti minuman keras atau barang yang terghasab (diambil oleh orang
lain tanpa hak), maka akadnya juga batal karena kenajisan minuman
keras dan ketidakmampuan untuk menyerahkan barang yang
terghasab. Keadaan upah itu hendaklah ditentukan, uang atau barang,
sebelum seseorang mengerjakan pekerjaan itu. Selain itu, upah upah
yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman
keras.36
c. Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktifitas yang mubah,
bukan yang haram dan diperbolehkan secara syar‟i. Tidak
diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin,
36 Hendi Suhendi, Op. Cit, h. 207.
39
praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap
asset yang boleh dijadikan sebagai objek transaksi dalam akad ji‟alah.
d. Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan
jumlahnya (ma‟lum), di samping itu tentunya harus halal.37
3. Sistem Pengupahan
Dalam Pengupahan terdapat dua sistem, yaitu :
a. Sistem Pengupahan dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan, seperti dalam shalat,
puasa, haji dan membaca al-Qur‟an dipersilisihkan kebolehannya oleh
para ulama‟ karena berbeda cara pandangan terhadap pekerjaan-
pekerjaan ini.
Menurut imam Hanafi bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti
menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, dan membaca al-Qur‟an
yang pahalanya dijadikan kepada orang tertentu haram hukumnya
mengambil upah dari pekerjaan tersebut.38
Mazhab Syafi‟i dan Maliki ibnu Hazm membolehkan mengambil
upah sebagai imbalan mangajar al-Quran dan ilmu-ilmu, karena ini
termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan tenaga yang
diketahui pula. Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagai
37 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1986), h. 306
38 Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 118
40
imbalan mangajar al-Qur‟an dan pengajaran ilmu baik secara bulanan atau
sekaligus karena nash yang melarang tidak ada.39
Menurut Imam Hambali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan
adzan, qamat, mengajarkan al-Qur‟an, fiqh, hadis, badal haji dan puasa
qadha‟ adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil
upah tersebut. Tapi boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan
tersebut jika termasuk kepada masalih, seperti mengajarkan al-Qur‟an,
hadits dan fiqh, dan haram mengambil upah yang termasuk kepada
taqarrub seperti membaca al-Qur‟an, shalat dan lainnya.40
b. Sistem Pengupahan dalam Pekerjaan yang Bersifat Matrial
Dalam melakukan pekerjaan dan besarnya pengupahan seseorang
itu ditentukan melalui standar kompetensi yang dimilikinya, yaitu:
1) Kompetensi teknis, yaitu pekerjaan yang bersifat ketrampilan
teknis, contoh pekerjaan berkaitan dengan mekanik
perbengkelan, pekerjaan di proyek-proyek yang bersifat fisik,
pekerjaan di bidang industri mekanik lainnya.
2) Kompetensi sosial, yaitu pekerjaan yang bersifat hubungan
kemanusiaan, seperti pemasaran, hubungan kemasyarakatan,
dan lainnya.
3) Kompetensi manajerial, yaitu pekerjaan yang bersifat penataan
dan pengaturan usaha, seperti manajer keuangan dan lainnya.
39
Ismail Nawawi, Fiqh Mu‟amalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), h. 92.
40 Hendi Suhendi, Op. Cit, h. 120.
41
4) Kompetensi intelektual, yaitu tenaga di bidang perencanaan,
konsultan, dosen, guru dan lainnya.41
Para ulama‟ tidak meberikan batasan maksimal atau minimal, jadi
diperbolehkan dengan sepanjang waktu dengan tetap ada, sebab tidak ada
dalil yang mengharuskan membatasinya.
Ulama‟ Hanafiyah tidak menetapkan pekerjaan tentang awal waktu
akad. Sedangkan Ulama‟ Syafi‟iyah mensyaratkan sebab kalau tidak
dibatasi hal itu menyebabkan tidak diketahuinya awal waktu yang wajib
dipenuhi.42
4. Perbedan ji’alah dengan ijarah
Ji‟alah berbeda dengan ijarah (menyewa orang) dlam beberapa hal
sebagai berikut:
a. Untuk sahnya ji‟alah tidak disyaratkan diketahuinya pekerjaan yang
dijanjikan komisi atasnya. Ini berbeda dengan ijarah, karena untuk
sahnya ijarah disyaratkan pekerjaan yang akan dikerjakan diketahui.
b. Dalah ji‟alah tidak disyaratkan diketahuinya masa berlangsungnya
pekerjaan, sedangkan dalam ijarah disyaratkan diketahuinya masa
berlangsungnya pekerjaan yang akan dilakukan.
c. Dalam akad ji‟alah antara pekerjaan dan batas waktu yang ditetapkan
untuk menyelesaikannya boleh digabungkan. Seperti seorang berkata,
“barangsiapa dapat membuat baju dalam satu hari, maka ia
41 Ismail Nawawi, Op. Cit, h. 89-93.
42 Rachmat Syafe‟i, Fiqh Mu‟amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 127.
42
mendapatkan bayaran sekian. “Jika ada orang yang dapat membuat
baju dalam satu hari, maka ia berhak mendapatkan komisi (al-ju‟l).
Hal ini berbeda dengan ijarah. Di dalam ijarah tidak boleh
digabungkan antara pekerjaan dan masa pekerjaan tersebut.
d. Dalam ji‟alah, si pekerja tidak wajib melakukan pekerjaan yang
dijanjikan komisi atasnya, sedangkan dalam ijarah si pekerja wajib
melakukan pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
e. Di dalam ji‟alah tidak disyaratkan tertentunya orang yang akan
melakukan pekerjaan. Sedangkan dalam ijarah, orang yang akan
melakukan pekerjaan harus ditentukan dengan jelas.
f. Ji‟alah adalah akad yang masing-masing pihak (jaa‟il dan aamil) boleh
membatalkannya tanpa seizin pihak yang lain. Ini berbeda dengan
ijarah. Ijarah adalah akad yang tetap atas kedua belah pihak, yang
masing-masing tidah boleh membatalkannya tanpa persetujuan pihak
yang lain.43
B. Sistem Pemberian Komisi (al-ji’alah) dalam Hukum Islam
1. Pembatalan Ji’alah
Pembatalan ji‟alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang
kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan ji‟alahatau orang yang mencari
barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja
mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja.
43 Saleh Al-Fauzan, Op.Cit, h. 517-518.
43
Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang
bekerja, menuntut upah sebanyak pekerjaan yang dilakukanya.44
Madzhab malikiyah menyatakan, akad ji‟alah boleh dibatalkan ketika
pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (amil). Sedangkan menurut
syafi‟iyah dan hanabilah, akad ji‟alah boleh dibatalkan kapanpun, sebagaimana
akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan
secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya
kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika
akad dibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka amil atau pekerja boleh
menuntut atau mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan.
2. Operasionalisasi Ji’alah
Adapun operasionalisasi ji‟alah adalah:
a. Pengupahan (ji‟alah) adalah akad yang diperbolehkan kedua belah
pihak yang bertransaksi dalam pengupahan diperbolehkan
membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan
dimulai, maka pekerjaan tidak mendapatkan apa-apa. Jika
pekerjaan terjadi ditengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja
berhak mendapatkan upah atas pekerjaan.
b. Dalam pengupahan, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui.
Jika seseorang berkata, ” barang siapa bisa menemukan untaku
yang hilang, ia mendapat hadiah satu dinar” maka orang yang
44 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2012) , h. 143.
44
berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati
menemukannya setelah sebulan atau setahun.45
c. Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, maka upah atau
hadiahnya dibagi secara merata antara mereka.
d. Pengupahan tidak tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi
sseorang tidak boleh berkata, ”barang siapa menyakiti atau
memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan upah sekian.
e. Barang siapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau
mengerjakan sesuatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak
mengetahui kalau didalamnya terdapat upah, ia tidak berhak atas
upah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer tersebut,
karena perbuatannya itu ia lakukan secara suka rela sejak awal. Jadi
ia tidak berhak mendapatkan upah tersebut kecuali jika ia berhasil
menemukan budak yang melarikan diri dari tuannya maka ia diberi
upah sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.
f. Jika seseorang berkata, ”barang siapa makan dan minum sesuatu
yang dihalalkan, ia berhak atas upah”, maka ji‟alah seperti itu
diperbolehkan, kecuali ia berkata ”barang siapa makan dan tidak
memakan sesuatu daripadanya, ia berhak atas upah”, maka ji‟alah
tidak sah.
g. Jika pemilik upah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya
ji‟alah, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pemilik ji‟alah
45 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Minhajul Muslim, Alih Bahasa Rachmat Djatnika dan
Ahmad Sumpeno, Pola Hidup Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991),h. 90.
45
dengan disuruh sumpah. Jika keduanya berbeda pendapat tentang
pokok ji‟alah, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pekerja
dengan disuruh bersumpah.46
3. Ketentuan Imbalan atau Komisi Dalam Hukum Islam
Menyangkut penentuan imbalan atau upah kerja, syariat Islam tidak
memberikan ketentuan yang rinci secara tekstual, baik dalam ketentuan al-Quran
maupun sunnah Rasul. Yang ada kaitannya dengan penentuan upah kerja secara
umum dalam al-Quran surat an-Nahl ayat 90 :
ؼظكى انبغ كش ان انفحشاء ػ إتاء ر انمشب انإحسا أيش بانؼذل انه إ
نؼهكى (۹ :احم) تزكش
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran” (Q.S. An-Nahl: 90).47
Apabila ayat itu di kaitkan dengan ji‟alah, maka dapat dikemukakan bahwa
Allah memerintahkan kepada para pemberi upah untuk berlaku adil,berbuat baik
dan dermawan kepada penerima upah. Kata kerabat dalam ayat itu dapat diartikan
penerima upah, sebab penerima upah tersebut sudah merupakan bagian dari
pekerjaan, dan kalaulah bukan karena jerih payah penerima upah tidak mungkin
46
Ismail Nawawi, Op. Cit, h. 96-97.
47 Depag RI, Op. Cit, h. 415.
46
usaha pemberi upah dapat berhasil. Disebabkan penerima upah mempunyai
mempunyai andil yang besar untuk kesuksesan usaha pemberi upah, maka
berkewajibanlah pemberi upah untuk menyejahterakan penerima upah, termasuk
memberikan upah yang layak.48
Upah atau ujrah dapat diklasifikasikan menjadi dua: pertama, upah yang
telah disebutkan, upah ini disyaratkan ketika disebutkan harus disertai kerelaan
kedua pihak yang bertransaksi dan kedua, upah yang sepadan, yakni upah yang
sepadan dengan kerja keras serta kondisi pekerjaannya.49
Dalam hal pemberian upah harus ditetapkan secara jelas dalam akad. Jika
masanya ditetapkan, maka kadar harga pengupahan yang harus diberikan juga
harus di tetapkan.
Dalam Surat al-Ahqaf ayat 9 yang berbunyi:
ا إنا يا أ أتبغ إنا يا ح إن نا بكى إ يا أدس يا فؼم ب انشسم ت بذػا ي لم يا ك
(۹: االحماف) زش يب
Artinya : “Katakanlah "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasulrasul dan
aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula)
terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku
dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."50
48 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h 155.
49 M. Ismail Yusanto dan M. Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam, (Jakarta:
Gema Insani Pres, 2002), h. 194.
50 Depag RI. Op.Cit, h. 283.
47
4. Dampak Sosial dan Ekonomi Ji’alah
Menggunakan potensi orang lain untuk melakukan kerja baik di sektor
pertanian, industri dan jasa serta yang lain merupakan aktivitas yang bersifat
ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan orang lain.51
Dalam sistem pengupahan untuk melakukan pekerjaan diberbagai sektor
usaha diperlukan keterampilan sumber daya manusia, baik sebagai wirausaha
maupun sebagai pekerja teknis di bidangnya. Sebagai mana firman Allah dalam
surat al-Isra‟ ayat 84 yang berbunyi:
ذ سبها أ فشبكى أػهى ب م ػه شاكهت (۸۶: االسشأ) لم كم ؼ
Artinya: katakanlah (Muhammad) “tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya” (al-Isra‟: 84)52
Termasuk dalam pengertian keadaan di sini ialah tabiat dan pengaruh alam
sekitarnya. Sedangkan sesuai bidang atau profesi dijelaskan oleh Allah dalam
firmanNya yang berbunyi:
ف تؼه ها ػه يكاتكى إ ػايم فس و اػ (۹: انضيش) لم ا ل
51
Ismail Nawawi, Op.Cit, h. 97.
52 Depag RI. Op.Cit, h. 356.
48
Artnya: “katakanlah hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu,
sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui” (az-
Zumar: 39)53
5. Hukum Perselisihan Antara Pemilik dan Amil
Jika terjadi perselisihan antara pemilik akad ji‟alah dan amil, dalam
masalah asal persyaratan upah, misalnyasalah satu mengingkari persyaratan
tersebut, maka orang yang mengingkari itu yang dibenarkan sumpahnya. Seperti
jika amil bekata, “kamu mensyaratkan upah kepada saya”, tapi si pemilik
mengingkarinya, maka sipemilik itu dibenarkan dengan sumpahnya. Hal itu
karena asalnya tidak ada persyaratan upah.
Apabila mereka berdua berselisih dalam jenis pekerjaannya, seperti
mengembalikan mobil yang hilang, atau barang yang hilang, atau berselisih
tentang siapa yang mengerjakannya, maka yang dibenarkan adalah yang
melaksanakan pekerjaan atau (amil) tersebut dengan sumpahnya.karena amil
mengaku sesuatu yang asalnya tidak ada, maka yang mengingkarinya dibenarkan
dengan sumpahnya.
Demikian juga, orang yang mengingkari dibenarkan jika merka berselisih
dalam usaha yang dilakukan amil. Misalkan sipemilik berkata, “kamu bukan yang
mengembalikannnya, tapi dia (binatang atau barang) yang datang atau kembali
sendiri.” Maka sipemilik itu dibenarkan, karena asalnya tidak ada pengembalian.
53 Ibid, h. 794.
49
Apabila mereka berdua berselisih tentang besarnya upah, atau jauhnya
jarak, atau tempat yang telah diperkirakan adanya barang yang hilang, maka
ulama Malikiyyah dan Syafi‟iyah berpendapat bahawa keduanya disumpah dan
akad ji‟alahnya dibatalkan, lalu sipemilik wajib memberikan upah yang umum
berlaku.
Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang dibenarkan
adalah ucapan si pemilik dengan sumpahnya, karena asalnya tidak ada tambahan
yang diperselisihkan. Juga karena ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si
pemilik dalam ada tidaknya imbalan, maka demikian juga dalam jumlahnya.
Selain itu, karena sipemilik mengingkari yang diakui oleh amil yang melebihi dari
yang pemilik akui, dan asalnya si pemilik itu bebas dari yang diakui oleh amil.
Dan bisa saja mereka berdua bersumpah seperti penjual dan pembeli jika
keduanya berselisih tentang besarnya harga.54
6. Hikmah Ji’alah
Ji‟alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa
materi karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu
yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan
kesehatan, atau membenatu seseorang menghafal al-Qur‟an. Hikmah yang dapat
dipetik adalah dengan ji‟alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan,
menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas
yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji‟alah, akan
54 Wahbah Zuhaili, Op.Cit, h. 439.
50
terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja. Terkait
dengan ji‟alah sebagai sesuatau pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa
Allah selalu menjanjikan balasan berupa surga bagi mereka yang mau
melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan
yang baik yang ia kerjakan.55
55 Nur Azizah, Makalah Ji‟alah, http://nurazizahaza.blogspot.com/2013/01/makalah-
jialah.html. Di akses 25 Maret 2016 pukul 13:36.