31
20 BAB II LANDASAN TEORI A. Komisi dalam Hukum Islam (al-ji’alah) 1. Pengertian dan Dasar Hukum al-ji’alah Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi. Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk menggali semua potensi yang telah disediakan oleh Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan dan perbenturan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk berlaku tolong-menolong dengan sesamanya. 1 Agama Islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam segala hal, salah satunya yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala hal tentang masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu fiqh muamalah. Kata muamalah secara bahasa sama dan semakna dengan al-mufa‟alah (saling brbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa 1 Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 314.

BAB II LANDASAN TEORI A. Komisi dalam Hukum Islam (al-ji’alahrepository.radenintan.ac.id/1283/3/BAB_II.pdf... sebagai hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia

  • Upload
    votram

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

20

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Komisi dalam Hukum Islam (al-ji’alah)

1. Pengertian dan Dasar Hukum al-ji’alah

Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah

SWT, berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing

dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang

mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi.

Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan sendirinya terlaksana

tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk menggali semua potensi yang

telah disediakan oleh Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam

secara maksimal inilah manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan

sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan dan perbenturan kepentingan

yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan

kepada umatnya untuk berlaku tolong-menolong dengan sesamanya.1

Agama Islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam segala hal,

salah satunya yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala hal tentang

masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu fiqh muamalah. Kata muamalah

secara bahasa sama dan semakna dengan al-mufa‟alah (saling brbuat). Kata ini

menggambarkan suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa

1 Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 314.

21

orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.2 Secara singkat, fiqh

mu‟amalah secara terminologi didefinisikan sebagai hukum-hukum yang

berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan.3

Kajian fiqh mu‟amalah adalah aspek Hukum Islam yang ruang lingkupnya luas.

Pada dasarnya aspek Hukum Islam yang bukan ibadah seperti, sholat, puasa, zakat

dan haji di golongkan muamalah. Karena itu masalah pidana dan perdata juga

digolongkan hukum muamalah. Namun perkembangan selanjutnya Hukum Islam

dibidang muamalah dapat dibagi menjadi dua garis besar secara umum yakni

munakahat dan jinayat. Sementara itu muamalah dalam arti yang lebih sempit atau

dalam arti yang khusus hanya membahas tentang hukum ekonomi dan bisnis

Islam.4

Pengertian muamalah secara khusus dibahas berbagai macam transaksi

yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari terutama dari aspek hukumnya.

Transaksi-transaksi tersebut dibahas dan dipelajari dari sudut pandang fiqh

muamalah. Sehingga semua transaksi yang dibahas dalam fiqh muamalah dapat

ditentukan hukumnya. Apakah suatu transaksi itu halal ataupun haram.5

Fiqh muamalah dibahas banyak tantang transaksi, yang salah satu babnya

membahas tentang transaksi secara umum atau biasa disebut akad. Dalam akad

terdapat banyak sekali rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan

2 Nasrun Haroen, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). h. vii

(Pendahuluan).

3 Ibid. 4 Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: TERAS, 2011), Cetakan 1, h. 1.

5 Ibid., h. 3.

22

agar akad yang dilakukan itu sah, dan menghasilkan produk hukum yang halal.

Dalam menggapai produk hukum yang halal, maka syarat dan rukun seperti yang

disebutkan di atas harus dipahami serta selalu terpenuhi dalam setiap melakukan

kegiatan transaksi.

Inti terdalam dari tujuan agama Islam adalah untuk mewujudkan

kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu para rasul terdahulu mengajak umat

(berdakwah) untuk mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai

ajaran agama yang mesti dilaksanakan, tidak ada pilihan bagi seorang mu‟min

untuk tidak mengamalkannya. Dalam konteks ini Allah berfirmannya yang

berbunyi:

ضا ان كال اان مص الت ش غ ان ااهلل يانكى ي و اػبذ با لال م ى شؼ أخا يذ إن

ط و يح كى ػزاب اخاف ػه ا ش اسكى بخ ( ۸۶: د)ا

Artinya: dan kepada (penduduk) Mad-yan (kami utus) saudara mereka, Syuaib. Ia

berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain

Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku

melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir

terhadapmu akam azab hari yang membinasakan (kiamat). (Qs. Hud: 84).6

Dalam hubungan sesama manusia, tentang salah satu akad, yaitu akad

Ji‟alah. akad Ji‟alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah

pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu

menyelesaikan maka ia berhak mendapat upah atau komisi. Secara harfiah Ji‟alah

6 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), h.

178.

23

bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau

perintah yang ditujukan untuk seseorang untuk kemudian dijalankan atau

dikerjakan. 7

a. Pengertian Ji’alah

Akad ji‟alah, ju‟l atau ju‟liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai

sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil

melakukan perbuatan tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan

kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan menurut para

ahli hukum, akad ji‟alah dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus,

komisi atau upah tertentu), maka ji‟alah adalah akad atau komitmen dengan

kehendak satu pihak. Sedangkan menurut syara‟, akad ji‟alah adalah komitmen

memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan tertentu atau tidak tertentu

yang sulit diketahui.8

Adapun definisinya dari Ji‟alah adalah komisi yang diberikan kepada

seseorang karena sesuatu yang ia lakukan. Seperti seseorang berkata, “barangsiapa

melakukan hal ini, maka ia mendapatkan uang sekian”. Orang tersebut

memberikan harta (uang atau yang lainnya) dengan jumlah tertentu, kepada orang

yang melakukan suatu pekerjaan tertentu, seperti membangun pasar dan lainnya.9

Secara terminologi fiqih ji‟alah berarti suatu iltizaam (tanggung jawab)

dalam bentuk janji memberikan imbalan atau upah tertentu secara suka rela

7 Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h.44.

8 Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011),

h. 432.

9 Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 515.

24

terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang

belum pasti dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.10

Ji‟alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau (ja‟l) kepada orang

yang telah melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan

yang tersesat (dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok,

mejahit pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah sedangkan menurut

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ji‟alah adalah perjanjian imbalan tertentu

dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan

yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. 11

Akad ji‟alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah

pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu

menyelesaikan, maka ia berhak mendapatkan upah atau hadiah. Secara harfiah,

ji‟alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan,

atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan. Sayyid Sabiq

dalam fiqih sunnah menjelaskan ji‟alah adalah jenis akad atas manfaat sesuatu

yang diduga kuat akan diperolehnya.12

Secara syara‟ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid sabiq yang dikutip

oleh Abdul Rahman Ghazaly dalam bukunya Fiqih Muamalah, ji‟alah adalah:

10 Muhammad Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2003),h. 265.

11

Madani, Fiqih Ekonomi Syariah (Fiqih Muamalah), (Jakarta: Gema Insani, 2012), h.

314.

12 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid III (Bandung: Alma‟arif, 1986), h. 171.

25

ن حص فؼت ظ ػمذػه ي

Artinya: “sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat

diperoleh”13

Ulama Malikiyah mendefinisikan akad ji‟alah sebagai akad sewa atas

manfaat yang diduga dapat tercapai. Hal ini seperti perkataan seseorang, “Barang

siapa yang bisa mengembalikan binatang tunggangan saya yang kabur atau lari,

atau barang milik saya yang hilang, atau yang bisa mengurus kebun saya ini, atau

menggali sumur untuk saya hingga saya menemukan air, atau menjahit baju atau

kemeja untuk saya, maka dia akan mendapatkan sekian.14

Contoh akad ji‟alah adalah hadiah yang khusus diperuntukan bagi orang-

orang berprestasi, atau para pemenang dalam sebuah perlombaan yang

diperbolehkan atau bagian harta rampasan perang tertentu diberikan oleh

panglima perang kepada orang yang mampu menembus benteng musuh, atau

dapat menjatuhkan pesawat-pesawat.

Termasuk didalam akad ji‟alah juga, komitmen membayar sejumlah uang

pada dokter yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, atau pada guru yang

bisa membimbing anaknya menghapal Al-Qur‟an. Para fuqaha biasa memberikan

contoh untuk akad ini dengan kasus orang yang dapat mengembalikan binatang

tunggangan yang tersesat atau hilang dan budak yang lari atau kabur.15

13 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group,

2010), h. 141.

14

Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Op. Cit, h. 432.

15 Ibid., h. 433.

26

Dapat pula dikatakan bahwa ji‟alah menurut rumusan-rumusan yang

terdapat dalam kitab-kitab ulama masa lalu lebih tertuju kepada bentuk usaha

melakukan suatu aktivitas atas tawaran dari seseorang untuk melakukan suatu

kegiatan tertentu yang orangnya akan diberi imbalan bila ia berhasil dengan tugas

yang diberikan kepadanya. Bila rumusan itu diikuti, jelas pengertian ji‟alah sangat

berlainan dengan pertandingan, kompetisi, dan berbagai perlombaan zaman

sekarang yang lebih memprioritaskan kegiatannya untuk menilai ketangkasan.

Namun, bila kita berangkat dari unsur substansial, yakni diberinya imbalan atas

sesuatu prestasi tertentu melalui perpacuan kemampuan, maka berbagai bentuk

perlombaan pun bisa digolongkan sebagai ji‟alah.16

Pengertian upah menurut kamus lengkap Bahasa Indonesia adalah uang

atau alat pembayaran lain yang dibayarkan sebagai pembalasan jasa atau sebagai

pembayaran tenaga yang sudah dilakukan untuk mengerjakan sesuatu.17

Sedangkan upah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan

dalam bentuk uang, sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada

pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja,

kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja

atau buruh dan keluarganya atas suatu jasa dan atau pekerjaan yang telah atau

sedang dilakukan.18

16 Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 47.

17

Desi Anwar, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, ( Surabaya: Amelia, 2002 ), h. 578

18 Tim Fokus Media, Undang-Undang Ketenagakerjaan Edisi Terbaru,(Bandung: Fokus

Media, 2013), h.1

27

Afzalur Rahman juga mengatakan bahwa upah adalah harga yang

dibayarkan pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan. Seperti faktor produksi

lainnya, tenaga kerja diberi imbalan atas jasanya. Dengan kata lain upah adalah

harga dari tenaga yang dibayar atas jasanya dalam produksi. Menurut pernyataan

Benham : “Upah dapat didefinisikan dengan sejumlah uang yang dibayar oleh

orang yang memberi pekerjaan kepada seorang pekerja atas jasanya sesuai

perjanjian”.19

Para ahli fiqih sepakat bahwa akad Ji‟alah merupakan hal yang boleh

(Jaiz), termasuk mazhab Maliki, Syafi‟i, Hambali, Serta Syi‟ah. Walaupun para

imam mazhab berbeda pendapat penggunaan akad ji‟alah untuk melakukan

mu‟amalah, mazhab Hanafi dan Zhahiri melarang menggunakan akad ini untuk

mu‟amalah dengan alasan adanya unsur gharar, karena dalam akad ji‟alah boelh

saja tidak dijelaskan secara jelas batas waktu, bentuk atau cara melakukanya.20

Mazhab Maliki mendefinisikan ji‟alah: “Suatu upah yang dijanjikan

sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh

seseorang”.

Mazhab Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat ja‟il (pemilik pekerjaan)

dibolehkan menambahkan atau mengurangi upah yang harus diberikan kepada

amil (pekerja). Karena ju‟alah merupakan akad ja‟iz gair lazim (diperbolehkan

dan tidak mengikat). Namun, Syafi‟iyyah membolehkan penambahan atau

pengurangan tersebut sebelum selesainya pekerjaan ataupun sesudahnya, seperti

19

Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam 2, (Jakarta: Dana Bhakti Wahab, 1995), h. 361

20 Sri Nurhayati, Akuntansi Syari‟ah di Indonesia, (Jakarta: Salemba, 2011), h. 270.

28

perkataan seseorang “Barangsiapa yang dapat menemukan Fulan yang hilang

maka aku akan memberikan upah padanya 10 dirham”, kemudian dia berkata “

padanya 5 dirham atau lebih”. Dan Hanabilah membatasi pada sebelum

dilakukannya pekerjaan tersebut.21

Pendapat para ulama‟ dalam mendefinisikan akad Ji‟alah yaitu Definisi

pertama (mazhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian, berhasilnya perbuatan

yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Mazhab Syafi‟i) menekankan segi

ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.22

Meskipun Ji‟alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan

oleh Ibnu Qudamah (ulama Mazhab Hambali), ia dapat dibedakan dengan ijarah

(transaksi upah) dari lima segi:

1. Pada Ji‟alah upah atau hadiah yang dijanjikan, hanyalah diterima orang

yang menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi obyek

pekerjaan tersebut, jika pekerjaan itu telah mewujudkan hasil dengan

sempurna. Sedangkan pada ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan

tersebut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi

yang diberikannya, meskipun pekerjaan itu belum selesai dikerjakan, atau

upahnya dapat ditentukan sebelumnya, apakah harian atau mingguan,

tengah bulanan atau bulanan sebagaimana yang berlaku dalam suatu

masyarakat.

21

Abu Bakar Jbiz Al-Jazari, Minhajul Mialim, Alih bahasa Fadhli Bahri, Ensiklopedia

Muslim Minhajul Muslim, ( Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 438-439.

22 Ibid., h. 438.

29

2. Pada Ji‟alah terdapat unsur gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau

untung-untungan karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi

batas waktu penyelesaian pekerjaan atau cara kerjanya disebutkan secara

tegas dalam akad (perjanjian) atau harus dikerjakan sesuai dengan obyek

perjanjian itu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam Ji‟alah

yang dipentingkan adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau

cara mengerjakannya.

3. Pada Ji‟alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum

pekerjaan dilaksanakan dan mewujudkannya. Sedangkan dalam ijarah,

dibenarkan memberikan upah terlebih dahulu, baik keseluruhan maupun

sebagian, sesuai dengan kesepakatan besama asal saja yang memberi upah

itu percaya.

4. Tindakan hukum yang dilakukan dalam Ji‟alah bersifat suka rela sehingga

apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan, selama pekerjaan belum

dimulai, tanpa menimbulkan akibat hukum. Apalagi tawaran yang

dilakukan bersifat umum seperti mengiklankan di surat kabar. Sedangkan

dalam akad ijarah, terjadi transaksi yang bersifat mengikat semua pihak

yang melakukan perjanjian kerja. Jika pekerjaan itu dibatalkan, maka

tindakan itu akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan.

Biasanya sanksinya disebutkan dalam perjanjian (akad).

5. Dari segi ruang lingkupnya Mazhab Maliki menetapkan kaidah, bahwa

semua yang dibenarkan menjadi obyek akad dalam transaksi Ji‟alah, boleh

juga menjadi obyek dalam transaksi ijarah. Namun tidak semua yang

30

dibenarkan menjadi obyek dalam transaksi ijarah, dibenarkan pula

menjadi obyek dalam transaksi Ji‟alah. Berdasarkan kaidah tersebut, maka

pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air, dapat menjadi obyek

dalam akad ijarah, tetapi tidak boleh dalam akad Ji‟alah. Dalam ijarah,

orang yang menggali sumur itu sudah dapat menerima upah, walaupun

airnya belum ditemukan.23

Sehubungan dengan aktivitas yang berkaitan dengan ji‟alah ini,

ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yakni: Pertama, harus

ada unsur ja‟il (pelaksana yang memberikan tugas) untuk melakukan

ji‟alah. Pihak ja‟il ini bisa perorangan yang mempunyai suatu hubungan

langsung dengan objek yang diji‟alahkan, seperti seseorang yang

kehilangan suatu benda, dan bisa pula pihak lain yang tidak punya

hubungan kepemilikan terhadap suatu objek yang diji‟alahkan. Disamping

itu, ja‟il bisa pula berbentuk lembaga, seperti yang banyak terjadi pada

masa sekarang. Dengan demikian, hadiah yang diberikan dalam kegiatan

ji‟alah ini bisa diberikan oleh pihak pelaksana sendiri ataupun pihak lain.

Kedua, pihak yang melakukan ji‟alah, yakni orang-orang yang aktif

sebagai peserta, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Kenapa demikian?

Sebab, untuk masa sekarang banyak pula kegiatan sayembara yang

diperuntukkan bagi anak-anak, sebagaimana banyak pula kegiatan

sayembara untuk orang yang sudah dewasa. Ketiga, objek ji‟alah mestilah

berupa perbuatan yang mubah, seperti mencari barang yang hilang, dan

23Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,

2010), h. 143.

31

tidak dibolehkan melakukan ji‟alah pada lapangan yang tidak boleh

dilakukan oleh agama. Keempat, upah dalam berji‟alah bagi pihak yang

menang haruslah berbentuk materi ataupun jasa. Kelima, akad dalam

berji‟alah tidaklah disyaratkan harus dengan lafadz tertentu. Keadaan

„uruf masyarakat bisa dijadikan pedoman untuk menetapkan bagaimana

lafadz yang boleh dipergunakan dalam pelaksanaan ji‟alah, sepanjang

„uruf itu tidak bertentangan dengan ketentuan agama.24

b. Dasar Hukum Ji’alah

Menurut ulama Hanafiah, akad ji‟alah tidak dibolehkan karena di dalamya

terdapat unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya.

Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan adanya

kejelasan dalam pekerjaan,pekerja itu sendiri, upah dan waktunya. Akan tetapi,

mereka hanya membolehkan dengan dalil istihsan memberikan hadiah kepada

orang yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak

perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu sebesar

empat puluh dirham untuk menutupi biaya selama perjalanan.25

Jika dia mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut,

maka hadiah disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan

banyaknya perjalanan. Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak

perjalanan dua hari, maka dia mendapat upah dua pertiganya; dan bila

mengembalikannya dalam jarak perjalanan satu hari, maka dia mendapat upah

24 Helmi Karim, Op. Cit, h. 48.

25 Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Op. Cit, h. 433.

32

sepertiganya. Barang siapa yang dapat mengembalikannya kurang dari satu hari

atau menemukannya di daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan

kadar pekerjaannya. Sebab, untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat

mengembalikan budak kepada pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah

tersebut adalah sebuah cara bagi pemiliknya untuk menjaga hartanya.

Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah, akad

ji‟alah dibolehkan dengan dalil firman Allah dalam kisah nabi Yusuf as. bersama

saudara-saudaranya.

Al-qur‟an:

Firman Allah dalam surat yusuf yang berbunyi:

ج ن هك اع ان افمذ ص ۷:سف) اء ب حول بعس اا ب صعولان

)

Artinya: Mereka menjawab, „„Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat

mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban onta dan

aku jamin itu.”(Yusuf: 72)26

Dalam al-Qur‟an dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah

kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Ar-Ramli

dalam Abdul Aziz Muhammad Azam menilai bahwa ayat ini sebagai isti‟nas

(pembangkit semangat) dan bukan istidlal (bentuk pembuktian).27

Surat al-Maidah ayat 1:

26 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), h.

194.

27 Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 332.

33

(: انائذة) ........ فا بانؼمد آيا أ ا انز ا أ

Atinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.......(QS. al-

Maidah:1)28

Sabda nabi SAW kepada para sahabat yang mendapatkan Ji‟alah berupa

sekawanan kambing karena pengobatan orang yang tersengat, “ambillah Ji‟alah

atau upah dan berikanku satu bagian bersama kalian”. (HR. Bukhari).

Dalil dari As Sunnah adalah hadits abu Sa‟id berikut ia berkata:

Hadits:

ا بشاق نكى حت تجؼها نا ا أ نمذ استضفاكى فهى تضفا، ف انه نك إ نأسل، انه

مشأ ، طهك تفم ػه انغى، فا ى ػه لطغ ي : جؼها، فصانح سب انؼان ذ نه انح

لهبت يا ب ش طهك ػمال، فا ا شط ي 29فكأ

Arinya: Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah

meminta jamuan kepada kamu namun kamu tidak memberikannya kepada kami.

Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau

memberikan imbalan kepada kami.” Maka mereka pun sepakat untuk

memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung

tersebut), kemudian meniupnya dan membaca “Al Hamdulillahi Rabbil

„aalamiin,” (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia

pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit. Kemudian mereka

memberikan imbalan yang mereka sepakati itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

28 Depag RI. Op.Cit, h. 85.

29 Muhammad Fuat Abdul Baqi, Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan (Mutiara Hadits Sahih Bukhari

Dan Muslim), (Jakarta: Ummul Qura, 2013), h. 759.

34

Demikian juga dengan sabda Rasulullah dalam sebuah hadits yang

menceritakan tentang orang yang mengambil upah atas pengobatan dengan surah

al-Fatihah, yang diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam Nasa‟i dari Abu Sa‟id

Al-Khudri. Diriwayatkan bahwa beberapa orang sahabat Rasulullah sampai pada

satu kampung badui tapi mereka tidak dijamu. Pada saat demikian tiba-tiba kepala

suku badui disengat kalajengking. Penduduk kampung itu pun bertanya, “apakah

di antara kalian ada yang bisa mengobati?”. Para sahabat menjawab, “kalian

belum menjamu kami. Kami tidak akan melakukannya kecuali jika kalian

memberi kami upah.” 30

Maka mereka menyiapkan sekawanan domba. Lalu seorang sahabat

membaca surah al-fatihah dan mengumpulkan air ludahnya kemudian

meludahkannya sehingga kepala suku itu pun sembuh. Penduduk kampung itu

pun lalu memberi domba yang dijanjikan kepada para sahabat. Para sahabat itu

berkata, “kami tidak akan mengambilnya hingga kami tanyakan dahulu kepada

Rasulullah.” Kemudian sahabat itu menanyakan hal tersebut kepada rasulullah,

maka beliau pun tertawa dan berkata,“tidakkah kalian tahu? Surah al-fatihah itu

adalah obat. Ambilah domba itu dan berikan kepadaku satu bagian.”31

Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad

ji‟alah, yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akad ji‟alah ini,

seperti untuk mengembalikan binatang yang hilang, budak yang lari atau kabur,

30

Wahbah Az- Zuhaili, Loc. Cit.

31 Ibid., h. 434.

35

dan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri. Maka boleh mengeluarkan upah

seperti akat ijarah dan muda>rabah, hanya saja pekerjaan dan waktu yang belum

jelas dalam ji‟alah tidak merusak akad itu, berbeda halnya dengan ijarah. Hal itu

kareana akad ji‟alah sifatnya tidak mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan

memerlukan kepastian waktu untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan

digunakan. Selain itu, karena akad ji‟alah adalah sebuah keringanan (rukhshah)

berdasarkan kesepakatan ulama, karena mengandung ketidakjelasan, dan

dibolehkan karena ada izin dari Allah.32

Kedudukan transaksi upah (al-Ju‟l) adalah segala bentuk pekerjaan (jasa),

yang memberi upah tidak mengambil sedikitpun dari upah (hadiah) itu. Sebab jika

pemberi upah mengambil sebagian dari upah itu, berarti ia harus terikat dengan

jasa dan pekerjaan itu. Padahal jika calon penerima upah itu (al-Maj‟ul) gagal

mendapatkan manfaat, seperti ditetapkan dalam transaksi upah (al-ju‟l), ia tidak

akan mendapatkan apa-apa. Jika pemberi upah (al-Ja‟il) mengambil hasil kerja

calon penerima upah ( al-maj‟ul), tanpa imbalan kerja atau jasa tertentu, berarti ia

telah suatu kezaliman.33

2. Rukun dan syarat ji’alah

a. Orang yang menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh

juga orang lain yang mendapat persetujuan dari orang yang

kehilangan, atau memiliki pekerjaan.

32

Ibid.

33 Ibnu Rasyd, Bidayatul Mujtahid Analisis Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka

Amani, 2007), h. 102.

36

b. Pekerja, yaitu mencari barang yang hilang yang mempunyai izin untuk

bekerja dari orang yang punya harta, jika dia bekerja tanpa ada izin

darinya seperti ada harta yang hilang lalu dia menemukannya atau

hewan tersesat lalu dia mengembalikan kepada pemiliknya, maka dalam

hal ini dia tidak berhak mendapat ji‟alah, sebab dia memberikan

bantuan tanpa ada ikatan upah, maka dia tidak berhak dengan upah itu,

adapun jika diizinkan oleh si pemilik harta dan disyaratkan ada

ji‟alahnya lalu dia bekerja, maka dia berhak mendapat ji‟alah, sebab si

pemilik harta menerima manfaat dari usahanya dengan akad ji‟alah,

maka si pekerja pun berhak dengan ji‟alah itu sama seperti orang yang

disewa.

Kedua, hendaklah si pekerja orang yang ahli dengan pekerjaan itu

jika memang dijelaskan bentuknya, maka sah akad ji‟alah dengan orang

yang memang ahlinya walaupun masih anak-anak.

Ketiga, si pekerja tidak berhak mendapatkan upah kecuali jika

sudah selesai bekerja, jika disyaratkan untuk mengembalikan unta yang

lari lalu dia mengembalikannya sampai ke pintu rumah kemudian lari

lagi atau mati sebelum diterima oleh si pemberi ji‟alah, maka dia tidak

berhak mendapatkan sesuatu dari ji‟alah yang ada sebab maksud dari

akad adalah mengembalikan, dan upah sebagai bayarannya dan disini

tidak ada hasil.34

34 Abdul Aziz Muhammad Azam, Op. Cit, 334.

37

c. Upah, disyaratkan keadaan upah dengan barang atau benda yang

tertentu. Kalau yang kehilangan itu berseru: “Barangsiapa yang

mendapat barang atau bendaku, akan saya beri uang sekian. Kemudian

dua orang pekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan

barang itu secara bersama-sama, maka upah yang dijanjikan itu

berserikat antara keduanya (dibagi-bagikan).

d. Shighat, Ucapan ini datang dari pihak pemberi ji‟alah sedangkan dari

pihak pekerja, maka tidak disyaratkan ada ucapan dan dengan ada

qabul darinya dengan ucapan walaupun barangnya sudah jelas sebab

yang dinilai adalah pekerjaanya sama dengan akad perwakilan, dan

tidak batal seandainya dia menjawab, ya seandainya dia berkata

kepadanya saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya

mendapat bayaran datu dinar kemudian si pemberi ja‟alah berkata ya

atau menjawabnya, maka sudah dianggap cukup.35

Adapun yang menjadi syarat ji‟alah yaitu:

a. Pihak-pihak yang berji‟alah wajib memiliki kecakapan bermu‟amalah

(ahliyyah al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak dalam

perwalian). Jadi ji‟alah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak

kecil.

b. Upah yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika

upahnya tidak jelas, maka akad ji‟alah batal adanya, karena

35 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru

Algensindo, 1986), h. 306.

38

ketidakpastian kompensasi, Upah yang tidak jelas akan menimbulkan

perselisihan dimasyarakat, maka dari itu syarat dari upah yaitu,

pertama: harus sesuai dengan apa yang dijanjikan, yaitu jika seseorang

mengadakan sebuah sayembara pemberian upahnya harus ada di awal

perjanjian sebelum sayembara dilaksanakan. Kedua: berupa materi

atau uang, yaitu didalam sebuah sayembara upahnya yang diberikan

haruslah berupa materi, tidak boleh berupa jasa atau yang lain yang

tidak ada manfaatnya. Ketiga: jelas bentuknya. Seperti jika seseorang

mengatakan “Barang siapa yang menemukan mobil saya maka dia

akan mendapat pakaian”. Dalam keadaan ini, maka orang yang

menemukannya atau yang mengembalikannya berhak mendapatkan

upah umum yang berlaku. Dan jika upah itu berupa barang haram,

seperti minuman keras atau barang yang terghasab (diambil oleh orang

lain tanpa hak), maka akadnya juga batal karena kenajisan minuman

keras dan ketidakmampuan untuk menyerahkan barang yang

terghasab. Keadaan upah itu hendaklah ditentukan, uang atau barang,

sebelum seseorang mengerjakan pekerjaan itu. Selain itu, upah upah

yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman

keras.36

c. Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktifitas yang mubah,

bukan yang haram dan diperbolehkan secara syar‟i. Tidak

diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin,

36 Hendi Suhendi, Op. Cit, h. 207.

39

praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap

asset yang boleh dijadikan sebagai objek transaksi dalam akad ji‟alah.

d. Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan

jumlahnya (ma‟lum), di samping itu tentunya harus halal.37

3. Sistem Pengupahan

Dalam Pengupahan terdapat dua sistem, yaitu :

a. Sistem Pengupahan dalam Pekerjaan Ibadah

Upah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan, seperti dalam shalat,

puasa, haji dan membaca al-Qur‟an dipersilisihkan kebolehannya oleh

para ulama‟ karena berbeda cara pandangan terhadap pekerjaan-

pekerjaan ini.

Menurut imam Hanafi bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti

menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, dan membaca al-Qur‟an

yang pahalanya dijadikan kepada orang tertentu haram hukumnya

mengambil upah dari pekerjaan tersebut.38

Mazhab Syafi‟i dan Maliki ibnu Hazm membolehkan mengambil

upah sebagai imbalan mangajar al-Quran dan ilmu-ilmu, karena ini

termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan tenaga yang

diketahui pula. Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagai

37 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru

Algensindo, 1986), h. 306

38 Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 118

40

imbalan mangajar al-Qur‟an dan pengajaran ilmu baik secara bulanan atau

sekaligus karena nash yang melarang tidak ada.39

Menurut Imam Hambali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan

adzan, qamat, mengajarkan al-Qur‟an, fiqh, hadis, badal haji dan puasa

qadha‟ adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil

upah tersebut. Tapi boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan

tersebut jika termasuk kepada masalih, seperti mengajarkan al-Qur‟an,

hadits dan fiqh, dan haram mengambil upah yang termasuk kepada

taqarrub seperti membaca al-Qur‟an, shalat dan lainnya.40

b. Sistem Pengupahan dalam Pekerjaan yang Bersifat Matrial

Dalam melakukan pekerjaan dan besarnya pengupahan seseorang

itu ditentukan melalui standar kompetensi yang dimilikinya, yaitu:

1) Kompetensi teknis, yaitu pekerjaan yang bersifat ketrampilan

teknis, contoh pekerjaan berkaitan dengan mekanik

perbengkelan, pekerjaan di proyek-proyek yang bersifat fisik,

pekerjaan di bidang industri mekanik lainnya.

2) Kompetensi sosial, yaitu pekerjaan yang bersifat hubungan

kemanusiaan, seperti pemasaran, hubungan kemasyarakatan,

dan lainnya.

3) Kompetensi manajerial, yaitu pekerjaan yang bersifat penataan

dan pengaturan usaha, seperti manajer keuangan dan lainnya.

39

Ismail Nawawi, Fiqh Mu‟amalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,

2012), h. 92.

40 Hendi Suhendi, Op. Cit, h. 120.

41

4) Kompetensi intelektual, yaitu tenaga di bidang perencanaan,

konsultan, dosen, guru dan lainnya.41

Para ulama‟ tidak meberikan batasan maksimal atau minimal, jadi

diperbolehkan dengan sepanjang waktu dengan tetap ada, sebab tidak ada

dalil yang mengharuskan membatasinya.

Ulama‟ Hanafiyah tidak menetapkan pekerjaan tentang awal waktu

akad. Sedangkan Ulama‟ Syafi‟iyah mensyaratkan sebab kalau tidak

dibatasi hal itu menyebabkan tidak diketahuinya awal waktu yang wajib

dipenuhi.42

4. Perbedan ji’alah dengan ijarah

Ji‟alah berbeda dengan ijarah (menyewa orang) dlam beberapa hal

sebagai berikut:

a. Untuk sahnya ji‟alah tidak disyaratkan diketahuinya pekerjaan yang

dijanjikan komisi atasnya. Ini berbeda dengan ijarah, karena untuk

sahnya ijarah disyaratkan pekerjaan yang akan dikerjakan diketahui.

b. Dalah ji‟alah tidak disyaratkan diketahuinya masa berlangsungnya

pekerjaan, sedangkan dalam ijarah disyaratkan diketahuinya masa

berlangsungnya pekerjaan yang akan dilakukan.

c. Dalam akad ji‟alah antara pekerjaan dan batas waktu yang ditetapkan

untuk menyelesaikannya boleh digabungkan. Seperti seorang berkata,

“barangsiapa dapat membuat baju dalam satu hari, maka ia

41 Ismail Nawawi, Op. Cit, h. 89-93.

42 Rachmat Syafe‟i, Fiqh Mu‟amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 127.

42

mendapatkan bayaran sekian. “Jika ada orang yang dapat membuat

baju dalam satu hari, maka ia berhak mendapatkan komisi (al-ju‟l).

Hal ini berbeda dengan ijarah. Di dalam ijarah tidak boleh

digabungkan antara pekerjaan dan masa pekerjaan tersebut.

d. Dalam ji‟alah, si pekerja tidak wajib melakukan pekerjaan yang

dijanjikan komisi atasnya, sedangkan dalam ijarah si pekerja wajib

melakukan pekerjaan yang dibebankan kepadanya.

e. Di dalam ji‟alah tidak disyaratkan tertentunya orang yang akan

melakukan pekerjaan. Sedangkan dalam ijarah, orang yang akan

melakukan pekerjaan harus ditentukan dengan jelas.

f. Ji‟alah adalah akad yang masing-masing pihak (jaa‟il dan aamil) boleh

membatalkannya tanpa seizin pihak yang lain. Ini berbeda dengan

ijarah. Ijarah adalah akad yang tetap atas kedua belah pihak, yang

masing-masing tidah boleh membatalkannya tanpa persetujuan pihak

yang lain.43

B. Sistem Pemberian Komisi (al-ji’alah) dalam Hukum Islam

1. Pembatalan Ji’alah

Pembatalan ji‟alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang

kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan ji‟alahatau orang yang mencari

barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja

mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja.

43 Saleh Al-Fauzan, Op.Cit, h. 517-518.

43

Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang

bekerja, menuntut upah sebanyak pekerjaan yang dilakukanya.44

Madzhab malikiyah menyatakan, akad ji‟alah boleh dibatalkan ketika

pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (amil). Sedangkan menurut

syafi‟iyah dan hanabilah, akad ji‟alah boleh dibatalkan kapanpun, sebagaimana

akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan

secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya

kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika

akad dibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka amil atau pekerja boleh

menuntut atau mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan.

2. Operasionalisasi Ji’alah

Adapun operasionalisasi ji‟alah adalah:

a. Pengupahan (ji‟alah) adalah akad yang diperbolehkan kedua belah

pihak yang bertransaksi dalam pengupahan diperbolehkan

membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan

dimulai, maka pekerjaan tidak mendapatkan apa-apa. Jika

pekerjaan terjadi ditengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja

berhak mendapatkan upah atas pekerjaan.

b. Dalam pengupahan, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui.

Jika seseorang berkata, ” barang siapa bisa menemukan untaku

yang hilang, ia mendapat hadiah satu dinar” maka orang yang

44 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2012) , h. 143.

44

berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati

menemukannya setelah sebulan atau setahun.45

c. Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, maka upah atau

hadiahnya dibagi secara merata antara mereka.

d. Pengupahan tidak tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi

sseorang tidak boleh berkata, ”barang siapa menyakiti atau

memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan upah sekian.

e. Barang siapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau

mengerjakan sesuatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak

mengetahui kalau didalamnya terdapat upah, ia tidak berhak atas

upah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer tersebut,

karena perbuatannya itu ia lakukan secara suka rela sejak awal. Jadi

ia tidak berhak mendapatkan upah tersebut kecuali jika ia berhasil

menemukan budak yang melarikan diri dari tuannya maka ia diberi

upah sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.

f. Jika seseorang berkata, ”barang siapa makan dan minum sesuatu

yang dihalalkan, ia berhak atas upah”, maka ji‟alah seperti itu

diperbolehkan, kecuali ia berkata ”barang siapa makan dan tidak

memakan sesuatu daripadanya, ia berhak atas upah”, maka ji‟alah

tidak sah.

g. Jika pemilik upah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya

ji‟alah, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pemilik ji‟alah

45 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Minhajul Muslim, Alih Bahasa Rachmat Djatnika dan

Ahmad Sumpeno, Pola Hidup Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991),h. 90.

45

dengan disuruh sumpah. Jika keduanya berbeda pendapat tentang

pokok ji‟alah, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pekerja

dengan disuruh bersumpah.46

3. Ketentuan Imbalan atau Komisi Dalam Hukum Islam

Menyangkut penentuan imbalan atau upah kerja, syariat Islam tidak

memberikan ketentuan yang rinci secara tekstual, baik dalam ketentuan al-Quran

maupun sunnah Rasul. Yang ada kaitannya dengan penentuan upah kerja secara

umum dalam al-Quran surat an-Nahl ayat 90 :

ؼظكى انبغ كش ان انفحشاء ػ إتاء ر انمشب انإحسا أيش بانؼذل انه إ

نؼهكى (۹ :احم) تزكش

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat

kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,

kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu

dapat mengambil pelajaran” (Q.S. An-Nahl: 90).47

Apabila ayat itu di kaitkan dengan ji‟alah, maka dapat dikemukakan bahwa

Allah memerintahkan kepada para pemberi upah untuk berlaku adil,berbuat baik

dan dermawan kepada penerima upah. Kata kerabat dalam ayat itu dapat diartikan

penerima upah, sebab penerima upah tersebut sudah merupakan bagian dari

pekerjaan, dan kalaulah bukan karena jerih payah penerima upah tidak mungkin

46

Ismail Nawawi, Op. Cit, h. 96-97.

47 Depag RI, Op. Cit, h. 415.

46

usaha pemberi upah dapat berhasil. Disebabkan penerima upah mempunyai

mempunyai andil yang besar untuk kesuksesan usaha pemberi upah, maka

berkewajibanlah pemberi upah untuk menyejahterakan penerima upah, termasuk

memberikan upah yang layak.48

Upah atau ujrah dapat diklasifikasikan menjadi dua: pertama, upah yang

telah disebutkan, upah ini disyaratkan ketika disebutkan harus disertai kerelaan

kedua pihak yang bertransaksi dan kedua, upah yang sepadan, yakni upah yang

sepadan dengan kerja keras serta kondisi pekerjaannya.49

Dalam hal pemberian upah harus ditetapkan secara jelas dalam akad. Jika

masanya ditetapkan, maka kadar harga pengupahan yang harus diberikan juga

harus di tetapkan.

Dalam Surat al-Ahqaf ayat 9 yang berbunyi:

ا إنا يا أ أتبغ إنا يا ح إن نا بكى إ يا أدس يا فؼم ب انشسم ت بذػا ي لم يا ك

(۹: االحماف) زش يب

Artinya : “Katakanlah "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasulrasul dan

aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula)

terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku

dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."50

48 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h 155.

49 M. Ismail Yusanto dan M. Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam, (Jakarta:

Gema Insani Pres, 2002), h. 194.

50 Depag RI. Op.Cit, h. 283.

47

4. Dampak Sosial dan Ekonomi Ji’alah

Menggunakan potensi orang lain untuk melakukan kerja baik di sektor

pertanian, industri dan jasa serta yang lain merupakan aktivitas yang bersifat

ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan orang lain.51

Dalam sistem pengupahan untuk melakukan pekerjaan diberbagai sektor

usaha diperlukan keterampilan sumber daya manusia, baik sebagai wirausaha

maupun sebagai pekerja teknis di bidangnya. Sebagai mana firman Allah dalam

surat al-Isra‟ ayat 84 yang berbunyi:

ذ سبها أ فشبكى أػهى ب م ػه شاكهت (۸۶: االسشأ) لم كم ؼ

Artinya: katakanlah (Muhammad) “tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya

masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar

jalannya” (al-Isra‟: 84)52

Termasuk dalam pengertian keadaan di sini ialah tabiat dan pengaruh alam

sekitarnya. Sedangkan sesuai bidang atau profesi dijelaskan oleh Allah dalam

firmanNya yang berbunyi:

ف تؼه ها ػه يكاتكى إ ػايم فس و اػ (۹: انضيش) لم ا ل

51

Ismail Nawawi, Op.Cit, h. 97.

52 Depag RI. Op.Cit, h. 356.

48

Artnya: “katakanlah hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu,

sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui” (az-

Zumar: 39)53

5. Hukum Perselisihan Antara Pemilik dan Amil

Jika terjadi perselisihan antara pemilik akad ji‟alah dan amil, dalam

masalah asal persyaratan upah, misalnyasalah satu mengingkari persyaratan

tersebut, maka orang yang mengingkari itu yang dibenarkan sumpahnya. Seperti

jika amil bekata, “kamu mensyaratkan upah kepada saya”, tapi si pemilik

mengingkarinya, maka sipemilik itu dibenarkan dengan sumpahnya. Hal itu

karena asalnya tidak ada persyaratan upah.

Apabila mereka berdua berselisih dalam jenis pekerjaannya, seperti

mengembalikan mobil yang hilang, atau barang yang hilang, atau berselisih

tentang siapa yang mengerjakannya, maka yang dibenarkan adalah yang

melaksanakan pekerjaan atau (amil) tersebut dengan sumpahnya.karena amil

mengaku sesuatu yang asalnya tidak ada, maka yang mengingkarinya dibenarkan

dengan sumpahnya.

Demikian juga, orang yang mengingkari dibenarkan jika merka berselisih

dalam usaha yang dilakukan amil. Misalkan sipemilik berkata, “kamu bukan yang

mengembalikannnya, tapi dia (binatang atau barang) yang datang atau kembali

sendiri.” Maka sipemilik itu dibenarkan, karena asalnya tidak ada pengembalian.

53 Ibid, h. 794.

49

Apabila mereka berdua berselisih tentang besarnya upah, atau jauhnya

jarak, atau tempat yang telah diperkirakan adanya barang yang hilang, maka

ulama Malikiyyah dan Syafi‟iyah berpendapat bahawa keduanya disumpah dan

akad ji‟alahnya dibatalkan, lalu sipemilik wajib memberikan upah yang umum

berlaku.

Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang dibenarkan

adalah ucapan si pemilik dengan sumpahnya, karena asalnya tidak ada tambahan

yang diperselisihkan. Juga karena ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si

pemilik dalam ada tidaknya imbalan, maka demikian juga dalam jumlahnya.

Selain itu, karena sipemilik mengingkari yang diakui oleh amil yang melebihi dari

yang pemilik akui, dan asalnya si pemilik itu bebas dari yang diakui oleh amil.

Dan bisa saja mereka berdua bersumpah seperti penjual dan pembeli jika

keduanya berselisih tentang besarnya harga.54

6. Hikmah Ji’alah

Ji‟alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa

materi karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu

yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan

kesehatan, atau membenatu seseorang menghafal al-Qur‟an. Hikmah yang dapat

dipetik adalah dengan ji‟alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan,

menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas

yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji‟alah, akan

54 Wahbah Zuhaili, Op.Cit, h. 439.

50

terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja. Terkait

dengan ji‟alah sebagai sesuatau pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa

Allah selalu menjanjikan balasan berupa surga bagi mereka yang mau

melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan

yang baik yang ia kerjakan.55

55 Nur Azizah, Makalah Ji‟alah, http://nurazizahaza.blogspot.com/2013/01/makalah-

jialah.html. Di akses 25 Maret 2016 pukul 13:36.