20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN
TEORI DAN MODEL PENELITIAN
Bab ini terdiri atas beberapa sub bab, yaitu tinjauan pustaka yang
mengemukakan penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian
yang dilakukan. Kedua, merupakan konsep yang mengemukakan acuan-acuan
yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah. Ketiga, berupa tinjauan
terhadap teori yang ada yang kemudian dijadikan landasan teori. Keempat model
penelitian yang menjabarkan pola pikir penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Pada sub bab ini dilakukan penelusuran terhadap beberapa pustaka, seperti
hasil penelitian terdahulu dan buku atau jurnal-jurnal ilmiah lainnya yang relevan
dan signifikan untuk dijadikan referensi. Hal ini menjadi penting karena dari
penelusuran pustaka tersebut didapatkan inspirasi, dapat mempertajam konsep dan
teori, serta menambah wawasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan penelitian
yang sedang dilakukan. Selain itu, penjelajahan pustaka juga dimaksudkan untuk
menunjukkan perbedaan substansial penelitian ini dari penelitian-penelitian
terdahulu sehingga dapat menunjukkan orisinalitasnya dan pada gilirannya
signifikan untuk dilakukan. Ada beberapa kajian pustaka yang telah ditelusuri, di
antaranya adalah sebagai berikut.
Penelitian Surpa (2011) yang berjudul ”Implikasi Alih Fungsi Lahan
terhadap Eksistensi Pura Subak dan Sosial Budaya Masyarakat di Kecamatan
20
21
Denpasar Barat, Denpasar”. Penelitian ini dilakukan atas ketertarikan
Wayan Surpa terhadap masyarakat Hindu Bali. Dalam hal ini khususnya
masyarakat Hindu di sekitar Kota Denpasar mengenai alih fungsi lahan pertanian
yang berdampak pada diabaikannya Pura Subak dan dialihfungsikannya pura
tersebut menjadi tempat persembahyangan umum di wilayah Kecamatan
Denpasar Barat. Walaupun perubahan fungsi Pura Subak tersebut masih bersifat
positif untuk meningkatkan nilai srada masyarakat, masih terasa bukan pada
proporsi yang sebenarnya apabila dilihat dari asal mulanya bahwa pura itu
merupakan pura swagina. Aspek pawongan yang dahulu merupakan masyarakat
petani dengan budaya komunal yang didukung dengan adat istiadat yang ketat
telah berubah menjadi masyarakat industri dengan adat istiadat yang terbuka dari
pengaruh budaya luar yang dijadikan sebagai suatu perubahan ke arah kemajuan.
Menurut Surpa, kehadiran para urban yang membawa serta tradisi adat dan
budaya mereka kemudian membangun sebuah kelompok sosial budaya baru yang
kompleks.
Suputra dkk. (2012) melakukan penelitian dengan judul ”Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Studi Kasus di Subak Daksina, Desa
Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung”. Dalam penelitian ini
disebutkan banyak kalangan yang menganggap bahwa pertanian bisa menjadi
pilar pendukung bagi perekonomian Bali. Kendatipun demikian, pertanian Bali
juga dihadapkan dengan banyak kendala. Salah satun di antaranya adalah
mengenai penyesuaian dan penggunaan lahan. Perkembangan arus pariwisata di
Bali yang sangat besar membuat lahan pertanian menjadi tertekan. Kebijakan
22
pemerintah dalam hal pembangunan sarana dan prasarana pendukung sektor
pariwisata yang memanfaatkan lahan pertanian membuat para investor, baik
dalam maupun luar negeri, banyak memburu lahan-lahan yang produktif di bidang
pertanian berubah menjadi lahan bidang pariwisata. Penelitian Suputra dkk.
(2012) menyimpulkan terdapat empat faktor yang memengaruhi alih fungsi lahan
di Subak Daksina, yaitu faktor posisi lahan, faktor keterkaitan lahan dengan
kondisi dan jumlah penduduk, faktor pemanfaatan lahan (untuk kepentingan
sendiri), dan faktor produktivitas lahan.
Suwena dkk. (2012) melakukan penelitian dengan judul “Studi tentang
Arah Perubahan Subak Muwa sebagai Akibat Perkembangan Sarana
Kepariwisataan di Kelurahan Ubud Gianyar”. Dalam penelitian ini disebutkan
pesatnya perkembangan sarana kepariwisataan yang dibangun di atas areal
persawahan Subak Muwa membawa dampak semakin menyempitnya lahan
persawahan dan terganggunya tatanan kerja lembaga subak dalam mengatur
kegiatan pertanian tradisional sesuai dengan keseimbangan konsep tri hita karana.
Berdasarkan hasil pembahasan diperoleh bahwa kondisi Subak Muwa sesudah
perkembangan pariwisata di Kelurahan Ubud mengalami perubahan dari kondisi
sebelumnya. Perubahan tersebut dimulai dari perubahan lahan persawahan Subak
Muwa berupa pemanfaatan lahan persawahan di luar kegiatan pertanian yang
menimbulkan penyempitan lahan, dalam kehidupan sosial masyarakat telah
bergeser dari masyarakat tradisional ke arah masyarakat subsistem dunia pasar
rasional/komersial, dan berubahnya kegiatan pertanian ke arah nonpertanian
dalam industri jasa pariwisata.
23
Selain penelitian-penelitian tersebut, peneliti juga mengkaji buku Involusi
Pertanian, Proses Pembahasan Ekologi di Indonesia (Agriculture Involution)”
tulisan Geertz (1976). Pemikiran utama dalam buku ini mengatakan bahwa
kehadiran sistem pertanian modern yang dibawa oleh pihak kolonial khususnya
Hindia Belanda ke Jawa tidak memunculkan perubahan apa pun bagi masyarakat
petani di sana. Namun, justru timbul keadaan yang involutif karena jumlah
penduduk terus bertambah. Sebelum dibahas bagaimana Geertz sampai pada
simpulan tersebut, perlu dilihat kembali asumsi-asumsi di balik pandangannya
mengenai ekologi dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial budaya.
Dalam pandangannya mengenai hubungan ekologi dan kebudayaan
masyarakat, secara eksplisit Geertz mengikuti konsep “inti kebudayaan” dari
Julian Steward. Salah satu pendekatan ekologi kebudayaan seperti yang
diungkapkan Julian Steward bahwa dalam meneliti suatu ekosistem perhatian
diletakkan pada “inti pola kebudayaan” (cultural core) masyarakat yang
bersangkutan, yaitu serangkaian unsur sosial, politik, kepercayaan, yang paling
nyata menentukan beragam cara masyarakatnya itu menjamin kehidupan ekonomi
dari lingkungan yang dikuasainya.
Dengan perkataan lain, tidak segala aspek kebudayaan merupakan hasil
dari hubungan manusia dengan alam. Namun, selalu ada aspek kebudayaan yang
secara fungsional dipengaruhi oleh alam. Itulah yang disebut Steward sebagai inti
kebudayaan. Memang penggunaan pendekatan ini memerlukan pencarian
terhadap aspek kebudayaan mana yang mempunyai interaksi yang kuat dengan
alam dan dapat menjadi representasi dari inti kebudayaan. Pada kasus di
24
masyarakat Jawa, ekologi yang menjadi inti budaya bukan dari dimensi, baik
udara maupun air/laut, melainkan lebih ke pertanian sawah. Pengelolaan sawah
inilah yang secara lebih lanjut dapat dilihat pengaruhnya pada organisasi sosial,
struktur desa, stratifikasi sosial, hubungan kekerabatan, dan sebagainya seperti
yang ditunjukkan oleh Geertz.
Berdasarkan uraian seluruh penelitian terdahulu, sepanjang pengetahuan
peneliti, diketahui bahwa belum ada penelitian yang menganalisis alih fungsi
lahan persawahan dan implikasinya pada kehidupan petani di Kecamatan
Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Penelitian ini secara spesifik mengkaji tiga
permasalahan utama.yaitu proses alih fungsi lahan, ideologi yang mendorong alih
fungsi lahan, dan implikasi yang diakibatkan oleh adanya alih fungsi lahan di
Kecamatan Denpasar Selatan. Hal yang menjadi pembeda penelitian ini dengan
penelitian yang lainnya, yaitu pertama dari segi objek dan lokasi yang dikaji,
penelitian ini secara spesifik membahas alih fungsi lahan khususnya di Kecamatan
Denpasar Selatan, yakni di Kelurahan Sesetan, Kelurahan Pedungan dan Desa
Pemogan, Kecamatan Denpasar.
Hal lainnya kajian-kajian yang terkait dengan alih fungsi lahan
sebagaimana yang disebutkan di atas juga menggunakan pendekatan kualitatif,
tetapi ada aspek penting yang membedakannya, baik secara teknis maupun
perspektif yang dipakai. Selain itu, hal yang membedakan adalah pada pertanyaan
penelitian yang diajukan dalam disertasi sangat berbeda. Berkenaan dengan itu
maka paradigma yang digunakan pun berbeda. Hal lainnya adalah penelitian
untuk disertasi ini menggunakan paradigma teori kritis seperti yang dianut oleh
25
kajian budaya. Melalui teori kritis penelitian ini diharapkan mampu membongkar
berbagai aktor dan ideologi yang melatarbelakangi alih fungsi lahan di Denpasar
Selatan.
Pendekatan melalui paradigma teori kritis menimbulkan implikasi bahwa
penelitian untuk disertasi ini secara otomatis berbeda, tidak saja secara ontologis,
tetapi juga secara epistemologis, metodologis, dan aksiologis. Perbedaan ini
secara otomatis akan memunculkan hasil penelitian yang berbeda pula. Pemakaian
paradigma bukan teori kritis akan melahirkan etnografi konvensional, sedangkan
pemakaian paradigma teori kritis akan menghasilkan etnografi kritis (Barker,
2005:36--40; Widja, 2014:9--16). Penelitian ini diharapkan dapat mengakji dan
memperhatikan petani dan subak yang membentuk suatu struktur sosial dengan
berbagai struktur sosial lainnya sebagai stakeholder dengan
berbagaikemungkinan adanya permainan kekuasaan, kepentingan, dan hasrat yang
bersumberkan pada suatu ideologi tertentu sehingga bisa terjadi alih fungsi lahan.
Melalui hal tersebut diharapkan dapat dilihat fenomena alih fungsi lahan secara
holistik dan kritis.
Keberadaan kajian tersebut penting bagi penelitian ini untuk memberikan
pemahaman awal tentang fenomena alih fungsi lahan yang terjadi di daerah yang
lainnya. Artinya, kajian-kajian sebelumnya bisa menjadi pedoman awal untuk
mengkaji lebih lanjut fenomena alih fungsi lahan yang terjadi di Kecamatan
Denpasar Selatan. Dalam hal ini terlepas dari kelebihan dan kekurangan penelitian
lain yang sejenis dengan penelitian ini tentunya berkontribusi untuk memahami
permasalahan penelitian yang ada. Berdasarkan seluruh kajian tersebut maka
26
penting dilakukan penelitian dengan paradigma sosial kritis dalam mengkaji
berbagai masalah yang dihadapi oleh petani akibat alih fungsi lahan.
2.2 Konsep
Konsep merupakan suatu pemikiran, ide, atau gagasan yang menjadi objek
penelitian. Fokus dari penelitian ini pada dasarnya mencoba untuk memahami
fenomena alih fungsi lahan pertanian dan implikasinya pada kehidupan petani
Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Dengan demikian, dalam penelitian
ini terdapat tiga satuan konsep utama yang perlu dijelaskan dan didefinisikan
secara tegas agar terhindar dari salahpengertian, kesalahpahaman, dan
salahpemaknaan. Konsep-konsep tersebut adalah lahan persawahan, alih fungsi
lahan, dan petani yang diuraikan di bawah ini.
2.2.1 Lahan Persawahan
Lahan persawahan adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan
dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan dan menyalurkan air,
yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memperhatikan dari mana
diperolehnya atau status lahan tersebut (Jayadinata, 1999:36). Menurut Irawan
(2005: 71), lahan persawahan adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan
dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air.
Menurut peneliti lahan persawahan merupakan lahan pertanian yang dibuat
dengan tujuan terutama untuk tanaman padi. Akan tetapi, dalam kenyataan sehari-
hari sawah sering juga ditanami secara bergiliran dengan palawija dan lain-lain.
Lahan sawah dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan pengairan, yaitu
27
lahan sawah irigasi (teknis, setengah teknis, sederhana) dan lahan sawah non
irigasi (tadah hujan, pasang surut, lebak, polder, dan sawah lainnya). Lahan sawah
irigasi teknis adalah lahan sawah yang mempunyai jaringan irigasi, yaitu saluran
pemberi terpisah dari saluran agar penyediaan dan pembagian lahan sawah yaitu
lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan),
saluran untuk menahan dan menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah
tanpa memperhatikan dari mana diperolehnya atau status lahan tersebut dan air ke
dalam lahan sawah tersebut dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah.
Lahan sawah irigasi teknis adalah lahan sawah yang mempunyai irigasi dari
irigasi setengah teknis. Lahan sawah irigasi sederhana adalah lahan sawah yang
memperoleh pengairan dari irigasi sederhana yang sebagian jaringannya dibangun
oleh PU. Lahan sawah irigasi desa/non PU adalah lahan sawah yang memperoleh
pengairan dari sistem pengairan yang dikelola sendiri oleh masyarakat
(Pakpahan,2003:101).
Lahan persawahan memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas
bercocok tanam untuk menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi
kebutuhan umat manusia. Oleh sebab itu, lahan persawahan dapat dianggap
sebagai barang publik,, karena selain memberikan manfaat yang bersifat
individual bagi pemiliknya juga memberikan manfaat yang bersifat sosial. Lahan
sawah memiliki fungsi yang sangat luas yang terkait dengan manfaat langsung,
manfaat tidak langsung, dan manfaat bawaan. Manfaat langsung berhubungan
dengan perihal penyediaan pangan, penyediaan kesempatan kerja, penyediaan
sumber pendapatan bagi masyarakat dan daerah, sarana penumbuhan rasa
28
kebersamaan, sarana pelestarian kebudayaan tradisional, sarana pencegahan
urbanisasi, serta sarana pariwisata. Manfaat tidak langsung terkait dengan
fungsinya, yaitu sebagai salah satu wahana pelestari lingkungan, sebagai sarana
pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keragaman hayati.
2.2.2 Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan berasal dari kata conversion of land use. Menurut Liber
(2009: 107), Conversion adalah perubahan. Dikaitkan dengan perubahan lahan
yang berarti perubahan dalam penggunaan lahan, maka conversion of land use
diartikan sebagai alih fungsi lahan.
Alih fungsi lahan merupakan perubahan penggunaan lahan dari suatu
fungsi lahan menjadi fungsi lahan lainnya. Alih fungsi lahan muncul sebagai
akibat pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk. Pertambahan penduduk
dan peningkatan kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah mengubah
struktur pemilikan dan penggunaan tanah secara terus-menerus. Perkembangan
struktur industri yang cukup pesat berakibat terkonversinya tanah pertanian secara
besar- besaran. Selain untuk memenuhi kebutuhan industri, alih fungsi lahan
pertanian juga terjadi secara cepat untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang
jumlahnya jauh lebih besar (Husein, 2005:13).
Alih fungsi lahan dapat terjadi karena berubahnya nilai lahan (rent) yang
menyebabkan lahan dapat memberikan manfaat kepada manusia, Harga lahan
yang tinggi menyebabkan lahan tersebut cenderung digunakan untuk kegiatan-
kegiatan yang produktif dan menguntungkan. Jika pada awalnya suatu lahan
digunakan untuk kegiatan yang kurang produktif, maka perubahan kegiatan yang
29
dilakukan di atas lahan tersebut akan memengaruhi nilai lahan menjadi lebih
tinggi. Menurut Nasoetion (2003: 45), pada dasarnya lahan mempunyai lima jenis
rent, yatiu sebagai berikut.
1. Rent ricardian, yatu rent yang timbul sebagai akibat adanya sifat
kualitas tanah yang berhubungan dengan penggunaan tertentu dan
ataukelangkaannya
2. Rent lokasi, yaitu rent yang timbul sebagai akibat dari lokasi suatu
tanah relatif terhadap lokasi lainnya secara praktik berhubungan dengan
aksesibilitas tanah.
3. Rent lingkungan, yaitu rent yang timbul sebagai akibat adanya fungsi
ekologis tanah di dalam suatuekosistem.
4. Rent sosial, yaitu rent yang timbul jika pemilikan penguasaan tanah
menimbulkan sejumlah (hak-hak istimewa)privileges bagi pemilik
penguasaannya.
5. Rent politik, yaitu rent yang timbul jika pemilikan-penguasaan tanah
memberikan sejumlah kekuatan politik ataupun posisi politik yang
lebih menguntungkan kepada pemilikpenguasaannya.
Lahan sebagai komoditas mempunyai nilai atau harga tersendiri yang
ditentukan berdasarkan parameter, yaitu (1) tingkat produktivitas lahan itu
sendiri, (2) lokasi atau letak lahan, dan (3) kegiatan yang berada di atasnya
(Anitasari, 2008: 33). Penentuan nilai berdasarkan parameter tersebut di atas dapat
menjadi salah satu alasan terjadinya alih fungsi lahan. Dikatakan demikian sebab
dengan terjadinya tingkat produktivitas suatu kegiatan yang dilakukan di atas
30
lahan, akan menyebabkan kecenderungan untuk melakukan alih fungsi lahan ke
bentuk lain agar produktivitasnya bertambah yang pada akhirnya akan
meningkatkan nilai lahan tersebut. Nilai lahan dapat berubah seiring dengan
perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat pengelolaannya. Hal inilah
yang menyebabkan berubahnya nilai lahan sehingga akan mendorong terjadinya
alih fungsi lahan (Sukmawati, 2009:52).
Nasoetion (2003:71) menjelaskan sebab-sebab terjadinya alih fungsi lahan
pertanian dan akibat yang ditimbulkan. Pertumbuhan penduduk, kebijakan
pemerintah, dan faktor alami merupakan penyebab alih fungsi lahan. Akibat yang
ditimbulkan dari alih fungsi lahan pertanian adalah masalah produksi makanan,
ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Dengan demikian, akan timbul kelaparan,
kekurangan stok pangan, peningkatan biaya untuk pangan, polusi udara,
keindahan berkurang, kerusakan sumber daya alam, ketidakstabilan penduduk dan
tidak stabilnya masyarakat di daerah pedesaan.
2.2.3 Petani
Meskipun sudah menjadi kata yang sangat umum tak jarang apa yang
dimaksud dengan “petani” pun dapat menjadi suatu penyebab perdebaan yang tak
berujung. Ada dua kata dalam bahasa Inggris berkenaan dengan “petani” yang
memiliki konotasi dan atribut yang sangat berbeda, yaitu “peasant” dan
“farmer”. Secara mudahnya, “peasant” adalah gambaran dari petani yang
subsisten, sedangkan “farmer” adalah petani modern yang berusaha tani dengan
menerapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan
tuntutan agribisnis (Warsana, 2008:3). Jadi, perbedaan antara petani peasant
31
dengan farmer terletak pada sifat usaha tani yang dilakukan. Peasant berusaha
tani dengan bantuan keluarga dan hasilnya juga untuk keluarga. Di pihak lain
petani farmer berusaha tani dengan bantuan tenaga buruh tani dan bertujuan
mencari keuntungan. Pada penelitian ini yang dimaksud petani mengacu pada
petani dalam arti peasant.
Petani atau peasant adalah orang desa yang bercocok tanam di daerah
pedesaan, tetapi tidak melakukan usaha tani dalam arti ekonomi. Ia mengelola
sebuah rumah tangga, bukan sebuah perusahaan bisnis yang merupakan bagian
dari masyarakat yang lebih luas dan besar (Soerjono,2003:27).
Sistem ekonomi dalam masyarakat petani itu berdasarkan pertanian
(bercocok tanam, peternakan, perikanan) yang menghasilkan pangan dengan
teknologi yang sederhana dan dengan ketentuan-ketentuan produksi yang tidak
berspesialisasi (Koentjaraningrat, 2001:36). Pengertian ini lebih menekankan pada
ciri-ciri petani, mentalitas budayanya, dan sistem perekonomian yang
menggunakan teknologisederhana.
Menurut Scott (2003:101), petani adalah seseorang yang bekerja di bidang
pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan
untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah, dan lain
lain). Adapun tujuan adalah untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk
digunakan sendiri ataupun dijual kepada oranglain.
Dari rumusan pengertian petani yang dikemukakan di atas maka peneliti
berpendapat bahwa petani adalah seseorang yang pekerjaan utamanya bertani
untuk konsumsi diri sendiri atau keluarganya, baik yang mempunyai maupun yang
32
tidak mempunyai tanah sendiri. Arinya, mata pencaharian pokoknya adalah
mengusahakan tanah untuk pertanian.
Scott (2003: 117) membagi secara hierarkis status yang sangat konvensional
di kalangan petani, seperti petani lahan kecil, petani penyewa, dan buruh tani.
Menurut beliau, kategori-kategori itu tidak bersifat eksklusif dengan tambahan yang
disewa. Di pihak lain ada buruh yang memiliki lahan sendiri. Jadi, ada tumpang-
tindih dalam hal pendapatan sebab kemungkinan ada petani lahan kecil yang lebih
miskin daripada buruh tani apabila ada pasaran yang lebih baik untuk tenaga kerja.
Menurut Koentjaraningrat (2001: 45), terdapat tiga golongan petani.
Pertama, petani berlahan sempit, yaitu golongan pemilik, penyewa, penggarap,
pemilik, penggarap, dan penyewa penggarap. Kedua golongan petani berlahan
luas, yaitu golongan pemilik, penyewa, penggarap. Ketiga, golongan petani
pemilik, penggarap. Kendala utama bagi usaha tani lahan luas golongan pemilik
penyewa adalah modal, sedangkan golongan pemilik penggarap adalah biaya
pupuk kandang. Harga bayangan setiap kendala atau sumber daya langka tersebut
menunjukkan bila menambah ketersediaan sumber daya tersebut satu rupiah, akan
mendatangkan pendapatan sebesar harga bayangannya (shadow price). Analisis
sensitivitas menunjukkan batasan perubahan dari harga dan biaya agar tidak
mengubah keadaan optimal.
Terkait dengan penulisan disertasi ini dapat dikatakan bahwa yang dimaksud
den. Adapun petani di sini adalah orang, baik yang mempunyai maupun yang tidak
mempunyai tanah sendiri yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan
tanah untuk pertanian.
33
2.3 Landasan Teori
Penelitian tentang alih fungsi lahan persawahan dan implikasinya pada
kehidupan petani Kecamatan Denpasar Selatan ini dianalisis dan dipahami dengan
menggunakan teori hegemoni dari Gramsci dan teori praktik dari Bourdieu. Kedua
teori ini dijadikan landasan teoretis untuk memahami dan mengidentifikasi
permasalahan alih fungsi lahan persawahan. Penggunaan kedua teori ini secara
eklektik diharapkan dapat mengungkap dan menjelaskan proses, ideologi, dan
implikasinya alih fungsi lahan persawahan. Penggunaan teori secara eklektik
dalam penelitian ini penting dan relevan dari perspektif kajian budaya untuk
menjelaskan alih fungsi lahan persawahan dan implikasinya terhadap kehidupan
petani Kecamatan Denpasar Selatan.
Teori-teori yang digunakan di sini juga dijelaskan dalam hubungannya
dengan objek yang diteliti sehingga semakin jelas bagaimana teori-teori tersebut
berfungsi atau digunakan sebagai “pisau analisis “untuk membedah
permasalahan- permasalahan penelitian. Dari segi makna, pemikiran Gramsci
tentang hegemoni dan Bourdieu tentang peran agensi dan struktur digunakan
untuk membedah secara kritis hegemoni dalam alih fungsi lahan persawahan.
Secara teoretis, misalnya, hegemoni kekuasaan dan hegemoni modal dapat
menjadi kekuatan mediasi (mediating force) antara kekuatan hegemoni kekuasaan
dan resistensi masyarakat dalam alih fungsi lahan persawahan. Dalam hal terakhir
ini, teori Bourdieu tentang habitus dan modal dapat menjelaskan “resistensi”
pihak petani, masyarakat, budayawan, dan para intelektual terhadap hegemonik
kekuasaan. Pemerintah sebagai representasi negara merupakan pihak yang
34
menghegemoni kesadaran masyarakat dan pelaku alih fungsi lahan pertanian,
khususnya di Kecamatan DenpasarSelatan.
2.3.1 Teori Hegemoni
Gramsci (1971) menggunakan istilah hegemoni untuk mengacu pada cara
kelompok dominan dalam masyarakat mendapat dukungan dari kelompok-
kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral.
Gramsci menyoroti persoalan baru yang sebelumnya tidak dipikirkan oleh
pemikir Marxisme. Integritas intelektual kaum filsuf merupakan persoalan yang
muncul secara orisinal dalam pengalaman politik di Italia di bawah rezim fasis
Mussolini. Dalam hubungan ini Simon (2004 : xv--xvi) menulis sebagai berikut.
”Dalam realitas sosial yang dianalisis Gramsci menunjukkan bahwa formasi sosial kapitalistik yang eksploitatif dan penindasan politik rezim fasisme Mussolini ternyata tidak secara otomatis melahirkan revolusi sosial, malah muncul gejala menguatnya “deproletarisasi”, di mana para buruh rela dan “concern” menerima penderitaan, bahkan mendukung keberadaan rezim Mussolini. Pengalaman penyerahan ideologi dan budaya kaum tertindas terhadap golongan yang menindas ini menarik perhatian Gramsci, dan reaksi intelektual atas kejadian itu, Gramsci mencetuskan teorinya tentang hegemoni. Teori ini pada dasarnya menjadi antitesis terhadap model perubahan sosial yang sangat positivistik dalam teori Marxisme saatitu”.
Hal-hal yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa pemikiran Gramsci
berpengaruh besar terhadap penyadaran kritis. Beberapa pemikirannya mengenai
civil society, counter hegemony, terutama konsepnya mengenai war of position
telah mendorong munculnya gerakan tandingan terhadap hegemoni dominan.
Dalam karya terpentingnya, Prison Notebooks (1929--1933), Gramsci
mematahkan tesis utama Marxisme bahwa dominasi kekuasaan tidak selamanya
berakhir pada kepentingan ekonomis belaka, melainkan juga karena akar-akar
35
kebudayaan dan politis. Ideologi memegang peranan penting dalam teori
hegemoni. Sebagaimana postrukturalisme yang bermaksud menanggulangi
kelemahan strukturalisme, teori hegemoni bertujuan merevisi kelemahan konsep-
konsep Marxisme, seperti perkembangan politik dianggap sebagai akibat langsung
perkembangan ekonomi. Meskipun demikian, sesuai dengan paradigmanya,
cultural studies melangkah lebih jauh, di satu pihak dengan menempatkan
kebudayaan sebagai titik pusat pembicaraan dalam memperjuangkan
kepentingan kelompok, sedangkan di pihak lain bagaimana kebudayaan
memberikan bentuk historis pada struktur sosial.
Sebagaimana ciri-ciri aliran Marxis pada umumnya, hegemoni Gramsci
sesungguhnya mengandung ide-ide tentang usaha untuk mengadakan perubahan
sosial secara radikal dan revolusioner (Ratna, 2005: 185). Pluralisme multikultural
dan budaya marginal yang menjadi isu pokok dalam cultural studies, pada
dasarnya telah terkandung dalam gagasan Gramsci. Teori hegemoni Gramsci
secara tidak langsung menolak reduksi manusia, termasuk narasi kecil, menolak
konsep-konsep yang menjunjung tinggi kebenaran mutlak, baik yang terkandung
dalam aliran Marxisme maupun nonmarxisme.
Hegemoni menurut Gramsci tidak hanya digunakan untuk menjelaskan
relasi antarkelas, tetapi juga menjelaskan relasi-relasi sosial yang lebih luas.
Konsep hegemoni tidak hanya menjelaskan dominasi politik lewat kekuatan,
tetapi yang lebih penting adalah lewat kepemimpinan intelektual dan moral.
Menurut Gramsci, dominasi kekuasaan diperjuangkan di samping lewat kekuatan
senjata, juga lewat penerimaan publik, yaitu diterimanya ide kelas berkuasa oleh
36
masyarakatluas.
Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, maka kekuatan bahasa
dan kekuatan simbol mempunyai peranan yang sangat penting di dalam prinsip
hegemoni. Makna (meaning) dan nilai-nilai (value) dominan yang dihasilkan
lewat berbagai media sangat kuat menentukan pembentukan proses dominasi
sosial itu sendiri (Piliang, 2009:136).
Berdasarkan pandangan para pakar yang membahas gagasan Gramsci,
misalnya, Simon (2004:21--22), Fakih (2002: 64) diketahui bahwa kelas berkuasa
selalu berkeinginan mempertahankan kekuasaannya, baik dengan cara dominasi
maupun hegemoni. Dominasi merupakan kontrol sosial eksternal
dengan menggunakan hukuman dan ganjaran, bahkan bisa juga kekerasan. Di
pihak lain hegemoni mencakup sarana kultural dan ideologis yang di dalamnya
kelompok- kelompok penguasa menjalankan atau melestarikan kekuasaannya atas
masyarakat melalui konsensus terhadap pihak-pihak yang didominasi.
Pemertahanan kekuasaan acap kali tidak bisa hanya mengandalkan dominasi,
tetapi juga harus disertai dengan hegemoni. Jika hegemoni berhasil, peluang bagi
pemertahanan kekuasaan menjadi lebih mudah.
Menurut gagasan Gramsci (dalam Sugiono, 1999:17) dalam hubungan
yang hegemonik, kelompok berkuasa mendapatkan persetujuan kelompok
subordinat atas subordinasinya. Kelompok berkuasa, yakni dalam hal ini
pemerintah kota Denpasar beserta jajarannya dan golongan masyarakat kaya tidak
ditentang oleh kelompok yang dikuasai, yakni petani di Kecamatan Denpasar
Selatan. Hal itu terjadi karena ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma, dan
37
politiknya sudah diinternalisasikan sebagai kepunyaan sendiri oleh kelompok
subordinat. Dengan didapat konsensus, maka ideologi, kultur, nilai, norma, dan
politik akan terlihat semakin wajar dan terlegitimasi.
”Hegemoni satu kelompok atas kelompok lainnya dalam pengertian
Gramsci bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraih
melalui upaya politis, kultural, dan inetelektual guna menciptakan
pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Ini berarti bahwa
kelompok penguasa harus ”menguniversalkan” pandangan dan
kepentingannya serta harus memastikan bahwa pandangan dan
kepentingan itu tidak hanya bisa, tetapi juga harus menjadi pandangan
dan kepentingan kelompok subordinat” (Sugiono, 1999:41).
Pencapaian sasaran ini memerlukan berbagai cara, misalnya melalui
lembaga- lembaga masyarakat yang menentukan, baik secara langsung maupun
tidak langsung struktur-struktur kognitif dan efektif masyarakat.
Hegemoni sebagai kekuasaan berdasarkan konsensus telah memengaruhi
struktur-struktur kognitif yang dikuasai. Pihak-pihak yang dihegemoni menerima
gagasan-gagasan, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok penghegemoni tidak
karena dipaksa atau dibujuk, tetapi karena memiliki alasan-alasan tertentu untuk
menerimanya. Dengan kata lain, proses hegemoni terjadi jika pihak yang dikuasai
mematuhi penguasa. Artinya, pihak yang dikuasai tidak hanya harus merasa
mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, tetapi juga
harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Hegemoni bukanlah
hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan
persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis (Barker,
2009: 62). Dengan demikian, hegemoni tampak mengekspresikan hal-hal yang
menjadi keinginan yang terhegemoni tersebut.
38
Dalam penelitian ini teori hegemoni digunakan untuk membedah masalah
kedua, yaitu proses terjadinya alih fungsi persawahan. Uang dan kekuasaan dapat
menghegemoni masyarakat petani untuk menjual lahan persawahan yang dimiliki
sehingga lahan persawahan tersebut beralih fungsi menjadi fungsi-fungsi lainnya.
Pada era globalisasi ini negara-negara besar memiliki kekuasaan di bidang politik,
ekonomi, dan budaya yang dominan sehingga memengaruhi perilaku masyarakat
di negara berkembang secara tidak terkendali. Pengaruhnya yang besar terutama
ditunjukkan oleh kekuatan modal yang bersumber dari dunia internasional dalam
pembangunan di bidang pariwisata yang akhirnya mempengaruhi gaya hidup
masyarakat (Ratna, 2005:185).
Abdullah (2006:17) mengatakan bahwa perubahan gaya hidup masyarakat
khususnya di perkotaan memberikan dampak yang luas terutama ditinjau dari
kenyamanan hidup. Tidak semua masyarakat menikmati manfaat kapitalisme
global, tetapi hanya sebagian keci. Artinya, pihak yang mendapatkan manfaat
akan meraih keuntungan dari arus modal global. Dengan demikian, terjadi
dominasi oleh kelompok kaya terhadap kelompok miskin.
Dalam konteks alih fungsi lahan persawahan, gaya hidup masyarakat
membutuhkan biaya sehingga rela menjual sawahnya. Bagi masyarakat yang
berada pada kelas kaya, kebutuhan itu akan menghegemoni masyarakat kelas
miskin untuk melepaskan sawahnya dengan tawaran uang yang tidak sedikit.
2.3.2 Teori Praktik
Bourdieu (Ritzer dan Goodman, 2004:518) merupakan seorang sosiolog
posmodernis, konstruktivis, kontemporer, menggunakan pendekatan yang inovatif
39
dengan model kajian yang transdisipliner. Ia menggabungkan konsep-konsep
sosiologi, linguistik, dan filsafat dari Bachelar, Weber, Marx, Mauss, dan
Durkheim menjadi proyek intelektual yang kreatif dan produktif menurut
Bourdieu (Lubis, 2006: 58, 163, 164). Pendekatan Bourdieu ini disebut sebagai
sosiologi refleksif untuk menunjukkan bahwa teorinya tidak hanya merefleksikan
masyarakat, tetapi juga merefleksikan status objektif dan status subyektif dalam
suatu kerangka diskursif dan sosial.
Dengan pendekatan-pendekatan dan konsep yang transdisipliner tersebut,
teori dan metode Bourdieu disebut beraliran konstruktivisme genetis, yaitu adanya
pertimbangan historis dan ruang sosial pada kerja struktur mental individu (Ritzer
dan Goodman, 2004:518--520). Karena sifatnya kritis, metodenya sering disebut
sosiologi kritis. Peta gagasan pemikiran Bourdieu ini mewariskan konsep-konsep
penting yang sering dipinjam dalam tradisi ilmu-ilmu sosial hingga cultural
studies, seperti habitus, ranah perjuangan, kekuasaan simbolik, dan modal
budaya yang kemudian memengaruhi teori sumber daya dan komoditas. Dalam
pertalian konsep- konsep tersebut, Bourdieu menawarkan formulasi generatif
(Harker dkk,.,2005: 9-- 22) dengan rumus (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.
Rumus ini digunakan untuk menyingkap intensitas dan orientasi individu untuk
melakukan praktik-praktik sosial. Rumus ini menggantikan relasi sederhana antara
individu dan struktur melalui relasi habitus, modal, danranah.
Pierre Bourdieu dalam teori praksis sosial mengajukan konsep habitus dan
field. Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dalam
menghadapi realitas sosial. Manusia dibekali dengan sederetan skema yang
40
terinternalisasi untuk memersepsi, mamahami, menghargai, dan mengevaluasi
realitas sosial. Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural, yakni
pengaruh sejarah yang dianggap alamiah. Habitus mendasari field diartikan
sebagai jaringan relasi antara posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial
yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Field adalah
semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi
individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan
(Takwin,2009:114).
Berdasarkan pengertian habitus dan field serta mekanisme kerjanya pada
diri manusia, Bourdieu mengajukan konsep doxa yang pengertiannya menyerupai
ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan
terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi tanpa
dipertanyakan. Dalam praktiknya, doxa tampil lewat pengetahuan-pengetahuan
yang begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan field individu. Kehidupan
sosial tidak dapat dipahami semata-mata sebagai agregat perilaku individu.
Praksistidak dapat dipahami secara terpisah dalam pengambilan keputusan
individu atau sebagai sesuatu yang ditentukan oleh struktur supraindividual
(Takwin, 2009: 115; Jenkins, 2004:106--107)
Ada semacam aturan yang tidak terucapkan dalam setiap field yang
bekerja sebagai modus kekerasan simbolik (symbolic violence). Kekerasan dalam
bentuknya yang sangat halus dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang
resistensi karena sudah mendapat legitimasi sosial. Bahasa, makna, dan sistem
simbolik para pemilik kekuasaan ditanamkan lewat suatu mekanisme yang
41
tersembunyi dari kesadaran. Kekerasan simbolik dalam bentuk konkretnya dalam
pendidikan adalah ketika seorang guru atau dosen secara halus memaksakan
pengetahuannya untuk diterima oleh murid-muridnya. Pengetahuan-pengetahuan
yang diterima begitu saja merupakan bentuk konkret dari doxa (Takwin, 2009:
116--117).
Teori praktik dari Bourdieu seperti dipaparkan di atas menjelaskan bahwa
terjadinya alih fungsi tanah pertanian tidak lepas dari faktor habitus, yaitu
kebiasaan- kebiasaan yang terjadi sejak lama yang merupakan hasil pembelajaran
secara halus.
Uraian tentang teori-teori yang digunakan di atas memiliki kekhasan
masing- masing dalam menggambarkan cara kerja kekuasaan. Meskipun berbeda
sudut pandang dan istilah, semuanya memiliki persamaan dalam hal kekuasaan
sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok sosial untuk memengaruhi
orang atau kelompok lain melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya.
Pemikiran-pemikiran Gramsci menekankan tentang hegemoni kekuasaan dan
model sebagai sumber dan praktik kekuasaan Bourdieu tentang praktik sosial
sebagai perjuangan untuk “hidup”. Teori-teori tersebut dipandang relevan
untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan penelitian ini, yaitu tentang
alih fungsi lahan persawahan dan implikasinya terhadap kehidupan petani di
Kecamatan Denpasar Selatan.
42
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini dapat dijabarkan ke dalam model penelitian berikut
(gambar 2.1) :
Gambar 2.1 Model Penelitian
Keterangan: : hubungan saling memengaruhi
: memengaruhi
- Lahan persawahan sebagai
penghasilberas
- Keunikan Subak dalam
konsepsi tri hitakarana
- KeindahanPersawahan
- Kapitalismepariwisata
- Komersialismepariwisata - Budaya konsumen (media
dan gaya hidup)
Lahan
Persawahan
KebijakanPenataan Kawasan
(PerdaRT/RW) Industrialisasi
Alih Fungsi Lahan Persawahan danImplikasinya
pada Kehidupan Petani di
Kecamatan Denpasar Selatan
KotaDenpasar
Proses terjadinya alih
fungsi lahan
persawahan di
Kecamatan Denpasar
Selatan, Kota Denpasar
Ideologi yang bekerja
dalam alih fungsi lahan
persawahan di
Kecamatan Denpasar
Selatan, Kota Denpasar
Implikasi terjadinya
alih fungsi lahan
persawahan pada
kehidupan petani di
Kecamatan Denpasar
Selatan, Kota Denpasar
43
Berdasarkan model penelitian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa
industrialisasi telah memengaruhi kebijakan penataan kawasan. Akibatnya,
kebijakan penataan kawasan lebih berorientasi kepada kepentingan bisnis, bukan
berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dampak lebih lanjut, yaitu lahan
persawahan dan komunitas petani Kecamatan Denpasar Selatan sebagai bagian
dari kebudayaan Bali mulai tergerus oleh arus industrialisasi. Sawah yang tadinya
dapat dijadikan sumber beras di Kecamatan Denpasar Selatan banyak beralih
fungsi menjadi fungsi-fungsi penunjang industrialisasi. Wisatawan yang tadinya
terkesan dengan kebudayaan Bali, seperti keunikan subak dengan filosofis tri hita
karana dan pemandangan sawah yang indah, secara pelan, tetapi pasti Bali pada
umumnya dan Kecamatan Denpasar Selatan pada khususnya kehilangan
keindahan pariwisata berbasis pertaniaan. Akibat industrialisasi yang muncul pada
akhir abad kedua puluh menyebabkan perubahan pada masyarakat Bali termasuk
masyarakat di Kecamatan Denpasar Selatan. Karena Bali menjadi daerah tujuan
parwisata domestik dan internasional, maka masyarakat yang sudah terbiasa hidup
nyaman lebih mementingkan diri sendiri atau individualitas. Masyarakat juga
telah diperbudak materi yang didpicu oleh kapitalisme pariwisata. Di samping itu,
hidup yang serba praktis dan efisien dengan munculnya teknologi, khususnya
teknologi informasi, budaya media dan gaya hidup dalam budaya konsumen. Oleh
karena itu, enggan atau malah meninggalkan pertanian. Semua itu mengakibatkan
terjadinya alih fungsi lahanpersawahan.
Fenomena di atas dikaji secara kritis melalui kajian budaya dengan
berbagai konsep dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah sebagai
44
berikut. Pertama, bagaimana proses terjadi alih fungsi lahan persawahan di
Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar? Kedua, ideologi apa yang
bekerja dalam alih fungsi lahan persawahan di Kecamatan Denpasar Selatan,
Kota Denpasar? Ketiga, apa implikasi terjadinya alih fungsi lahan persawahan
pada kehidupan petani di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar?