8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan
1. Hakikat Novel
Berbagai pendapat mengenai novel telah banyak dikemukakan oleh para
ahli sastra, tetapi hingga kini belum dibakukan yang dapat diterima oleh semua
pihak. Hal ini karena novel terlalu luas cakupanya dan tidak hanya mencakup
satu masalah saja, tetapi banyak hal. Berikut ini peneliti sampaikan beberapa
definisi tentang novel, meskipun masih bersifat umum. Istilah novel berasal
dari bahasa Italia yakni novella yang artinya cerita pendek dalam sebuah
bentuk prosa (Wardani 2009: 15). Menurutnya novel adalah fiksi yang terdiri
dari 50.000 kata atau lebih dan mengungapkan cerita tentang kehidupan tokoh
dan nilai-nilainya.
Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Stanton (2012: 90)
menurutnya novel memiliki bentuk yang panjang. Artinya bentuk cerita dengan
alur yang cukup panjang, berisi satu buku atau lebih yang mengisahkan suatu
kehidupan dan bersifat imajinatif. Selain itu, novel tidak memiliki bentuk tema
yang menonjol seperti cerpen. Novel mampu menghadirkan perkembangan
satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau
sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun
silam secara lebih mendetail. Dengan begitu novel mampu menciptakan satu
semesta yang lengkap terdiri dari beberapa episode rumit karena menampung
dari berbagai peristiwa dan pengalaman.
Sayuti (1997: 7) menyatakan bahwa sebuah novel jelas tidak dapat
dibaca selesai dalam sekali duduk. Karena panjangnya, sebuah novel secara
khusus cukup mempermasalahkan karakter tokoh dalam sebuah perjalanan
waktu. Jadi salah satu efek perjalanan waktu dalam novel ialah pengembangan
karakter tokoh. Secara ringkas Nurgiyantoro (2005: 11) menyebutkan bahwa
novel adalah sebuah cerita yang panjang mengemukakan sesuatu secara bebas,
menyajikan sesuatu secara lebih banyak, rinci, detail, dan lebih melibatkan
9
berbagai permasalahan yang kompleks hal itu mencakup berbagai unsur cerita
yang membangun novel. Dengan demikian, novel merupakan prosa panjang
yang menyuguhkan tokoh-tokoh, menampilkan serangkaian peristiwa, dan latar
secara tersusun. Panjang, tebal, dan halaman sebuah novel tidak bisa
ditentukan tetapi biasanya lebih panjang dari cerita pendek.
Novel merupakan karya sastra yang banyak mengandung nasihat, teladan
kehidupan, agama, bahkan juga ilmu pengetahuan. Sebuah novel dapat
memperluas pengalaman manusia karena didalamnya terdapat banyak nilai
kehidupan yang diungkapkan. Selain sebagai seni sastra, novel juga berperan
sebagai penyampai misi-misi kemanusiaan yang tidak terkesan menggurui
sebab, sangat halus dan mendalam. Pendapat lain dikemukakan oleh Ratna
(2014: 630) yang menyebutkan bahwa novel adalah proses reduksi masyarakat
dalam bentuk kreativitas imajinatif yang paling sempurna. Kesempurnaan yang
terdapat dalam novel tersebut karena adanya berbagai macam konflik yang
terjadi di masyarakat disertai dengan pemecahan masalah.
Pada umumnya novel berupa karangan yang berisi kisah realitas dan
merupakan refleksi dari kehidupan kontemporer dengan karakter dan
kepedulian akan masalah-masalah esensial dari kehidupan masyarakat
perkotaan (Putra, 2015: 12). Karangan prosa yang panjang mengandung
rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan
menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku. Untuk itu daya imajinasi
pengarang membuat sebuah cerita dalam novel sangat diperlukan untuk
membuat pembaca tertarik untuk membaca.
Dengan demikian, dapat dikatakan hakikat dari novel adalah suatu cerita
fiksi yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang yang
menggambarkan pengalaman, pemikiran, dan mengungkapkan konflik
kehidupan para tokohnya. Pengarang membuat novel sebagai tanggapan dan
menyikapi realitas kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Nilai-nilai yang
terkandung dalam novel tersebut pada akhirnya oleh pembaca dapat diambil
hikmah atau sebuah pelajaran yang bermanfaat bagi kehidupan.
10
Dengan demikian, penelitian yang akan dikaji oleh peneliti memiliki
persamaan yang telah dilakukan oleh Windha Dwi Lestari (2015) dengan judul
“Analisis Penokohan dan Nilai Pendidikan Budi Pekerti dalam Novel
Ngulandara Karya Margana Djajaadmaja dan Relevansinya sebagai Materi
Ajar Apresiasi Sastra Jawa di SMA. Persamaannya terdapat pada objek yang
dikaji yakni sama-sama mengkaji novel berbahasa Jawa, akan tetapi pengarang
dan judul novelnya berbeda. Perbedaan lainnya terletak pada unsur yang
membangun karya sastra tersebut, jika penelitian sebelumnya dikhususkan
pada penokohan saja, penelitian ini akan mengkaji struktur intrinsik secara
keseluruhan, selain itu perbedaan juga terletak pada nilai pendidikan, jika
penelitian sebelumnya mengkaji nilai pendidikan budi pekerti, penelitian ini
mengkaji nilai pendidikan karakter.
2. Hakikat Kajian Struktural
Strukturalisme sastra tumbuh subur di tahun 1960-an sebagai usaha untuk
menerapkan kesusastraan metode dan kemampuan memahami dari pendiri
linguistik struktural modern. Pada akhirnya, strukturalisme tidak hanya
memikirkan segala sesuatu sebagai bahasa; strukturalisme memikirkan segala
sesuatunya secara keseluruhan seakan-akan bahan subjeknya memang bahasa
(Eagleton, 2007: 139).
Secara etimologis struktur berasal dari bahasa Latin, structura yang
berarti bentuk atau bangunan. Asal muasal strukturalisme seperti sudah
dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam
kaitaannya dengan tragedi (Semi, 1990: 67). Struktur itu sendiri merupakan
elemen paling utama dan merupakan prinsip kesatuan lakuan (unity of action)
dalam karya sastra (Satoto 2012: 9). Dengan demikian, pendekatan struktural
juga sering disebut dengan pendekatan objektif karena menjelaskan kaitan
unsur-unsur dalam struktur sebuah cerita. Strukturalisme memberikan
perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya sastra. Setiap unsur karya sastra,
baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda memiliki unsur-
unsur yang tidak sama.
11
Secara historis, perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap,
yaitu formalisme dan strukturalisme dinamik (Ratna, 2015: 76). Meskipun
demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan
tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan
strukturalisme. Strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya
hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan
dalam strukturalis. Disatu pihak, para pelopor formalis terlibat dalam
strukturalis. Di pihak yang lain atas dasar pengalaman formalislah mereka
mendirikan strukturalisme, dengan pengertian bahwa berbagai kelemahan yang
terkandung dalam formalisme diperbaiki kembali ke dalam strukturalisme.
Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu
sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antar hubungan
unsur yang satu dengan unsur yang lainnya, di pihak yang lain hubungan antara
unsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat
positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman tetapi, juga negatif
seperti konflik dan pertentangan.
Pada dasarnya kajian struktural bertujuan memaparkan secermat
mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara
bersama menghasilkan sebuah keseluruhan. Sangidu (2004: 17) menegaskan
kembali bahwa strukturalisme adalah suatu disiplin yang memandang karya
sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling
berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Teknik yang dikerjakan untuk
melaksanakan metode struktural tidak pernah dapat dirumuskan dengan pasif.
Karena itu cenderung bekerja dengan unsur tokoh, plot, alur, tema, sudut
pandang, dan amanat.
Mengutip pengertian strukturalisme yang digunakan untuk menganalisis
sebuah novel disebutkan oleh Ikaningrum (2010: 84) sebagai berikut.
in analyzing a novel there many steps as follows according to
structuralism analysis. Incentive moment is the starting point a story.
After that, play enters the rising action in a series of conflicts. They
are, to mention the major ones. The highest point in the rising action
present the climax, there is a fast falling action. Finally it is which
ended in resolution.
12
Dari kutipan jurnal di atas untuk menganalisis sebuah novel berdasarkan
analisis struktural ada beberapa langkah yang harus diperhatikan. Pertama,
mendeskripsikan cerita dari awal perkenalan konflik, setelah itu kita bisa
mengungkapkan berbagai permasalahan konflik yang menjelaskan cerita.
Setelah itu, pembaca mengalami ketegangan yang disebut dengan klimaks,
setelah ketegangan mereda, pembaca menemui adanya resolusi atau tahap
penyelesaian.
Bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif
memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri
sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar dirinya. Dengan kata lain,
bila hendak dikaji atau diteliti, yang paling utama adalah aspek yang
membangun karya tersebut seperti tema, alur, latar, penokohan, gaya penulisan,
gaya bahasa, serta hubungan harmonis antar aspek yang mampu membuatnya
menjadi sebuah karya sastra. Hal-hal yang bersifat ekstrinsik seperti penulis,
pembaca, atau lingkungan sosial budaya harus dikesampingkan, karena ia tidak
punya kaitan langsung dengan struktur karya sastra tersebut.
Dengan demikian, strukturalisme merupakan salah satu pendekatan
kajian kesusastraan yang menitikberatkan pada hubungan antar unsur
pembangun karya sastra. Unsur pembangun dapat berupa alur, tokoh dan
penokohan, serta latar. Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan
memaparkan secara cermat, teliti, mendetail, dan mendalam dalam hal
keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya sastra yang menghasilkan
makna. Hal ini memberikan pengertian bahwa struktural mencoba memahami
makna esensi hakikat karya sastra berdasarkan unsur intrinsik yang
membangunnya.
Analisis struktural perlu dilakukan karena karya sastra merupakan dunia
dalam kata yang mempunyai kebulatan intrinsik yang hanya dapat digali dari
karya sastra itu sendiri (Utomo, 2001: 96). Kebulatan intrinsik dilakukan jika
peneliti memisahkan karya sastra dari lingkungannya, karena karya sastra
dianggap memiliki otonomi dan bisa dipahami tanpa harus dikaitkan dengan
lingkungan pendukungnya, seperti pengarang, penerbit, dan pembaca. Dengan
13
demikian, yang menjadi kajian unsur intrinsik antara lain tema, tokoh, alur,
bahasa, dan sudut pandang.
Konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya
anggapan bahwa di dalam karya sastra merupakan struktur otonom yang dapat
dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur
pembangunnya yang saling berkaitan. Dengan demikian, ciri aliran
strukturalisme menurut Siswantoro (2010: 21) yaitu dunia ini tersusun dari
jalinan hubungan dan bukan benda-benda yang berdiri sendiri, makna setiap
unsur ditentukan oleh hubunganya dengan unsur lain, dan makna keseluruhan
unsur tidak dapat dipahami jika tidak diintegrasikan ke dalam struktur.
Sehubungan dengan beberapa pendapat tentang strukturalisme di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa strukturalisme merupakan analisis yang
didasarkan pada unsur dalam karya sastra itu atau sering disebut dengan unsur
intrinsik yang meliputi penokohan dan perwatakan, alur, latar, sudut pandang,
tema, dan amanat. Berkaitan dengan pendekatan struktural yang akan
diterapkan, maka pemahaman makna dari sebuah karya sastra menjadi tujuan
utama. Untuk memahami isi dari sebuah novel secara terperinci, harus
diketahui struktur unsur intrinsik pembangun novel. Unsur-unsur tersebut
saling terkait satu sama lain, sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh.
Nurgiyantoro (2005: 12) menyebutkan bahwa unsur-unsur pembangun
sebuah novel yang terdiri dari plot, tema, penokohan, dan latar. Selain itu,
Endraswara (2003: 52) juga menyatakan bahwa suatu novel terdiri dari artefak
seperti ide, tema, plot, latar, watak, amanat, dan tokoh. Berdasarkan standar
kompetensi yang harus dikuasai anak dalam pemahaman novel yang
mengidentifikasi unsur intrinsik yang terdiri dari unsur-unsur pembangun
struktur seperti tokoh, sifat/karakter, alur, latar/setting, serta amanat.
a. Penokohan dan Perwatakan
Penokohan mempunyai hubungan yang erat dengan perwatakan.
Kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama, yaitu tokoh atau suatu
peran. Istilah penokohan merujuk pada pelaku cerita. Sedangkan perwatakan
menunjuk pada sifat tokoh-tokoh dalam cerita. Ratna (2014: 246)
14
mengatakan bahwa tokoh adalah pelaku suatu peristiwa. Sebaliknya dapat
dikatakan bahwa peristiwa selalu melibatkan tokoh. Tidak ada peristiwa
tanpa tokoh, demikian juga sebaliknya tidak ada tokoh tanpa menampilkan
suatu peristiwa. Dengan demikian, kehadiran tokoh dalam cerita sangat
penting.
Tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan
perwatakan menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan
watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005: 165).
Dengan demikian, istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada
tokoh dan perwatakan sebab, penokohan sekaligus mencakup masalah-
masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana
penempatan serta pelukisannya dalam sebuah cerita. Sehingga, sanggup
memberikan gambaran yang jelas pada pembaca. Penokohan sekaligus
menyarankan pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam
sebuah cerita.
Lebih jelas, Suharianto via Sangidu (2004:132) menyebutkan bahwa
penokohan adalah penggambaran para tokoh cerita, baik keadaan lahir
maupun batinnya yang meliputi sifat, sikap, tingkah laku, pandangan hidup,
keyakinan, adat istiadat, dan lain sebagainya. Sedangkan, yang disebut
dengan tokoh adalah para pelaku dalam cerita. Oleh karena itu, melalui
penggambaran tokoh-tokoh itulah sebuah cerita menjadi nyata dalam angan-
angan pembaca.
Lewat penokohan, kita bisa mengetahui watak diri, watak tokoh lain,
peristiwa-peristiwa yang mendahului, peristiwa-peristiwa yang sedang
terjadi, dan peristiwa-peristiwa yang akan datang. Satoto (2006: 12) juga
menjabarkan cara melukiskan watak tokoh dalam cerita menjadi dua, yakni
secara analitik (inrect, langsung) pengarang menjelaskan atau menceritakan
secara terperinci watak tokoh-tokohnya dan secara dramatik (indirect, tak
langsung) yaitu pengarang tidak secara langsung menggambarkan watak
tokoh-tokohnya, tetapi menggambarkan watak tokoh-tokohnya dengan cara
gerak maupun lewat percakapan.
15
Kurniawan (2009: 73) membedakan jenis tokoh menjadi dua, yakni
tokoh utama (tokoh sentral) dan tokoh tambahan. Tokoh utama (tokoh
sentral) merupakan tokoh yang menjadi pusat perhatian cerita. Tokoh ini
merupakan tokoh yang mempunyai karakter bulat, yaitu tokoh yang
memiliki posisi dominan yang banyak terlibat dalam peristiwa cerita dan
memiliki kepribadian serta karakter yang kompleks, sedangkan tokoh
tambahan ialah tokoh yang keberadaannya hanya sebagai penambah,
pelengkap dari tokoh utama. Sehingga, karakter yang ada bersifat datar,
sederhana, dan tidak kompleks.
Selain itu, masih banyak pembagian lagi khususnya pembicaraan dari
segi perkembangannya, seperti tokoh statis dan tokoh dinamis. Pemahaman
lain membedakannya menjadi tokoh bulat dan tokoh pipih, tipologis, dan
psikologis. Sementara itu, Wardani (2009: 40) membedakan tokoh lebih
terperinci, antara lain tokoh protagonis dan antagonis, tokoh wirawan dan
antiwirawan, serta tokoh bulat dan tokoh sederhana. Adapun kutipannya
sebagai berikut.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang merupakan pengejewantahan
norma-norma dan nilai-nilai. Tokoh antagonis bagi manusia adalah
tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik, sementara itu yang
dimaksud dengan tokoh wirawan adalah tokoh yang umumnya
memiliki kegunaan pikiran dan keluhuran budi pekerti serta
bertindak mulia. Tokoh antiwirawan adalah tokoh yang
berkepribadian rendah, jahat, penghasut, dan culas. Terakhir adalah
tokoh bulat dan tokoh sederhana tokoh bulat disebut tokoh yang
memiliki watak yang kompleks, sementara itu tokoh pipih adalah
tokoh yang memiliki watak statis, sederhana, dan tidak kompleks.
Kutipan di atas menjelaskan beberapa karakter yang dimiliki oleh
tokoh ada pada sebuah cerita yang bertugas membawa cerita yang
dikehendaki pengarang dengan watak yang berbeda tiap tokohnya. Satoto
(2006:17) mengemukakan penggambaran perwatakan menjadi tiga, yaitu
berdasarkan keadaan fisik tokoh, berdasar pada keadaan psikis dan
berdasarkan keadaan sosiologis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan pengertian penokohan ialah
penggambaran tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita. Lewat penokohan
16
kita bisa mengetahui watak diri dan watak orang lain, sedangkan yang
dimaksud dengan perwatakan ialah penjelasan mengenai karakter tokoh-
tokoh tersebut. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembaca
dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca dalam menampilkan tokoh,
pengarang berusaha menjadikan tokoh seperti benar-benar hidup yang
mempunyai perasaan, etika, dan keterkaitan dengan lingkungannya.
b. Alur
Alur dapat disebut juga sebagai plot (Stanton, 2012: 26) yang artinya
rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Peristiwa tersebut
merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai
peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada
keseluruhan cerita.
Mengenai pengertian alur, Wardani (2009: 38) menyebutkan bahwa
alur merupakan rangkaian kejadian yang dihubungkan berdasarkan sebab
akibat. Secara konvensional alur dijiwai oleh konflik antara tokoh
protagonis dan antagonis. Peristiwa-peristiwa cerita dalam alur
dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku para tokoh, dan sikap-sikap
para tokoh. Alur merupakan cerminan, atau bahkan perjalanan tingkah laku
para tokoh dalam bertindak, berfikir, berasa, dan bersikap dalam
menghadapi berbagai masalah kehidupan.
Dengan demikian, alur merupakan rangkaian peristiwa yang saling
berhubungan dan ada sebab akibatnya. Pendapat tersebut juga didukung
oleh Putra (2015: 95) yang menyebutkan alur ialah peristiwa yang
membentuk cerita, terutama karena peristiwa satu dengan yang lain
berhubungan, berurutan melalui sebab dan akibat bagaimana pembaca
mengikuti cerita. Menurut Stanton (Kurniawan 2009: 71) alur dalam novel
ada tiga, yakni awal, tengah, dan akhir. Bagian awal mengandung elemen
eksposisi dan instabilitas. Eksposisi digunakan untuk mendeskripsikan
informasi dalam cerita yang menyebabkan peristiwa lain dan instabilitas
17
yakni awal perkenalan konflik. Bagian tengah menghadirkan konflik dan
klimaks, dan bagian akhir berisi pemecahan masalah.
Alur dalam sebuah novel merupakan unsur yang penting, dikarenakan
alurlah yang membangun jalannya cerita dan akan dibawa menuju kemana
sebuah cerita. Aristoteles (Nurgiyantoro 2005: 142) mengungkapkan bahwa
untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita haruslah terdiri dari tiga
tahap, yakni tahap awal, tengah, dan akhir. Berikut tahapan alur dipaparkan
di bawah ini.
Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap
perkenalan yang biasanya berisi informasi penting yang berkaitan
dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap
berikutnya. Tahap tengah cerita juga disebut tahap pertikaian,
menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai
dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat,
semakin menegangkan. Tahap akhir (end) sebuah cerita dapat juga
disebut juga tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai
akibat klimaks.
Konflik merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi alur
cerita. Hal tersebut dikarenakan adanya alur memungkinkan munculnya
sebuah konflik, dari konflik yang terjadi, dapat dengan mudah memahami
alur yang terdapat pada cerita. Dengan demikian, Putra (2015: 81)
mengungkapkan dalam novel setidaknya ada lima macam konflik yang
dapat dikembangkan, yaitu.
character vs self (tokoh dalam cerita yang ragu-ragu, bertarung
melawan dirinya sendiri), character vs character (tokoh utama dan
tokoh lawan saling berhadapan), character vs society (karakter,
atau tokoh berhadapan dengan adat-istiadat atau tradisi dalam suatu
masyarakat), character vs nature (karakter berhadapan dengan
kekuatan alam), dan character vs fate (karakter berhadapan dengan
sesuatu yang tidak dapat dicegahnya atau nasibnya).
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa alur adalah
kerangka jalannya cerita dari tahap permulaan hingga penyelesaian yang
disusun dengan hubungan sebab akibat. Dari alur inilah pembaca dapat
melihat dan menilai logis tidaknya sebuah cerita dalam sebuah karya sastra.
Alur memiliki bagian-bagian yang secara sederhana dapat dilihat sebagai
permulaan, perumitan, puncak, peleraian, dan akhir.
18
c. Latar
Dalam sebuah karya sastra, latar merupakan elemen pembentuk cerita
yang penting. Cerita pada sebuah novel harus terjadi pada suatu tempat dan
dalam suatu waktu seperti halnya kehidupan ini yang juga berlangsung
dalam ruang dan waktu. Kurniawan (2009: 74) juga mengungkapkan bahwa
latar adalah lingkungan dunia cerita sebagai tempat terjadinya peristiwa.
Jadi, dalam latar inilah segala peristiwa yang menyangkut hubungan antar
tokoh terjadi.
Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat (ruang), waktu, dan
suasana sebagai lokasi dan situasi di sekitar tokoh-tokoh dalam karya sastra
(Wibowo, 2013: 43). Dengan demikian, latar adalah tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-
peristiwa itu terjadi dalam latar, tempat, dan waktu. Latar memberikan
informasi mengenai situasi ruang dan tempat serta berfungsi sebagai
proyeksi keadaan batin para tokoh. Latar adalah penggambaran situasi
tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa.
Pendapat lain mengenai latar dikemukakan oleh Satoto (2012: 14)
menurutnya istilah setting sering diterjemahkan latar akan tetapi, pengertian
setting mencakup tidak hanya latar, tetapi mencakup aspek ruang dan waktu.
Dengan demikian, istilah setting lebih luas makna cakupannya dibandingkan
dengan latar yang hanya mencakup istilah waktu dan tempat saja, sedangkan
setting mencakup keadaan dan suasana. Namun demikian, pendapat tersebut
berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Waluyo (2006: 23) yang
menyebutkan bahwa setting atau tempat kejadian cerita sering pula disebut
latar cerita. Setting biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu tempat, ruang, dan
waktu.
Secara sederhana Wardani (2009: 42) mengungkapkan setting dapat
dinyatakan sebagai tempat, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam
karya sastra. Setting meliputi penggambaran lokasi geografis, perlengkapan
rumah, kesibukan sehari-hari, hari tertentu, bulan, tahun, lingkungan,
19
agama, moral intelektual, dan sosial para tokoh. Oleh sebab itu dengan
adanya latar dapat menghidupkan suasana dalam cerita.
Latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu latar tempat
(menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
karya) sastra. Latar waktu (menyarankan pada “kapan” terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya sastra misalnya tahun, musim, hari,
dan jam). Latar sosial (menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya sastra, misalnya kebiasaan hidup, cara berfikir, dan bersikap)
(Nurgiyantoro 2002: 227).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setting/latar yaitu
pelukisan suatu keadaan yang memberikan gambaran peristiwa dalam cerita
berupa tempat, waktu, dan suasana. Latar berfungsi untuk
menginformasikan tentang situasi yang sebenarnya, meskipun latar tidak
dapat berdiri sendiri. Latar dapat menentukan tipe tokoh cerita, sebaliknya
tipe tokoh berbeda tentunya menghendaki latar yang berbeda pula. Latar
dapat membangun suasana yang diharapkan serta dapat menghasilkan
kualitas keterangan dan efek suatu cerita.
d. Sudut Pandang
Dalam menciptakan novel, pengarang menggunakan sudut pandang
atau cara pengarang berposisi dalam cerita. Kenny (Wardani, 2009: 43)
menyatakan point of view merupakan pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah fiksi kepada pembaca.
Nurgiyantoro (2005: 248) mengungkapkan bahwa sudut pandang juga
disebut dengan point of view yang menyarankan pada cara sebuah cerita
dikisahkan. Pada hakikatnya sudut pandang merupakan teknik, strategi,
siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan
ceritanya. Sudut pandang (titik pandang, pusat pengisahan) merupakan
posisi pencerita dalam sebuah cerita (Sangidu, 2004: 142). Dengan
demikian, sudut pandang mengarahkan dari mana pengarang bercerita,
20
apakah dia bertindak sebagai orang pertama, atau sebagai pengobservasi
yang berdiri di luar tokoh-tokoh sebagai orang ketiga.
Sudut pandang atau point of view akan menjawab pertanyaan siapa
yang akan menceritakan kisah dalam cerita tersebut. Sudut pandang adalah
penempatan penulis dalam cerita (Semi, 1990: 69). Dari sudut pandang yang
telah diketahui maka seorang pembaca akan mudah dalam menyimpulkan
siapakah yang membuat atau menuliskan cerita tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas yang berkaitan dengan sudut pandang
Putra (2015: 68) dalam penelitiannya mengemukakan sudut pandang
menjadi lima, yakni orang pertama, orang kedua, orang ketiga objektif,
orang ketiga terbatas (limited omniscient), dan orang ketiga serba tahu
(omniscient) seperti kutipan di bawaha ini.
Orang pertama, narator menjadi karakter dalam sebuah cerita.
Orang kedua, cara mengenalnya melalui tokoh dengan kata ganti
orang kedua tunggal (anda, kamu) maupun orang kedua jamak
(kalian). Orang ketiga objektif, narator adalah orang di luar cerita
yang mengisahkan hanya apa yang dia lihat dan dengar. Orang
ketiga terbatas adalah orang di luar kisah yang melihat ke dalam
pikiran salah satu karakter, namun tidak pada semua karakter.
Orang ketiga serba tahu (omniscient), narator yang serba tahu.
Narator menceritakan karakter dan dapat mengevaluasi karakter
bagi pembaca.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sudut
pandang adalah cara yang digunakan pengarang untuk mengisahkan
tokohnya dalam sebuah cerita. Dari pendapat Putra tersebut orang pertama
dapat menjelma hanya melalui perasaan dan pikiran. Orang kedua selalu
menggunakan kata ganti (Anda, kamu). Orang ketiga objektif, narator
berada di luar cerita hanya dengan mendengar dan melihat. Orang ketiga
sera tahu, narator menceritakan kejadian dan dapat mengevaluasi karakter
bagi pembaca.
21
e. Tema
Menurut Stanton (2012: 36) tema merupakan aspek cerita yang sejajar
dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu
pengalaman begitu mudah diingat. Jadi, tema menyorot dan mengacu pada
aspek-aspek kehidupan, sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang
melingkupi cerita. Sayuti (1997: 118) menambahkan bahwa tema adalah
makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Dari pendapat tersebut yang
dimaksud tema berarti gagasan utama yang mendasari sebuah cerita serta
makna keseluruhan yang mendukung cerita, dengan sendirinya ia akan
tersembunyi dibalik cerita yang mendukungnya.
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang
bersangkutan serta menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan
situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita Tema
secara ringkas didefinisikan sebagai masalah pokok dalam suatu aktivitas
tertentu (Ratna, 2014: 257). Dalam karya sastra tema melukiskan masalah
pokok dan isi secara keseluruhan, tercermin dalam judul, dijabarkan melalui
narasi dari awal hingga akhir cerita. Jadi, tema adalah simpulan dari apa
yang sudah ditulis. Satoto (2012: 9) menyebutkan bahwa tema berupa pokok
pikiran atau dasar suatu cerita yang dipersoalkan atau dipermasalahkan serta
dicari jawabannya. Dengan demikian, di dalam sebuah tema terkandung
berbagai macam pokok permasalahan yang membuat semakin hidup dan
menarik sebuah cerita.
Endraswara (2003: 53) mengungkapkan bahwa tema adalah jiwa dari
karya sastra itu yang mengalir ke dalam setiap unsur. Dengan demikian,
tema harus dikaitkan dengan dasar pemikiran karya satra secara
menyeluruh. Tema terdapat dalam isi sebuah cerita yang berhubungan dan
saling berkaitan dengan unsur intrinsik pembangun cerita. Tema merupakan
pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau
rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun karya sastra
atau gagasan utama dari karya sastra. Tema juga sering tersembunyi dan
22
terbungkus rapat pada bentuk karya sastra. Karena itu, pembacaan berulang-
ulang akan membantu dalam menganalisis tema karya sastra.
Dalam menganalisis tema yang terdapat pada karya sastra novel
tidaklah sama. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa permasalahan yang
terjadi di masyarakat. Shipley (Nurgiyantoro, 2005: 80-82) menggolongkan
tema menjadi lima tingkatan sebagai berikut.
Pertama tema tingkat fisik, tema ini lebih ditujukan oleh aktivitas
fisik daripada tokoh cerita yang bersangkutan, kedua tema tingkat
organik (kejiwaan) tema ini menyangkut aspek kejiwaan tokoh
cerita, ketiga tema tingkat sosial, tema ini mengangkat masalah
sosial, ekonomi, politik, budaya, perjuangan, cinta kasih,
propaganda, hubungan atasan bawahan. Keempat, tema tingkat
egois (persona) tema ini mengangkat masalah martabat, egoistis,
harga diri, dan sifat batin, dan kelima tema tingkat devince
(manusia sebagai makhluk tingkat tinggi), masalah yang
hubungannya antara manusia dengan pencipta alam, masalah
religiusitas, atau masalah bersifat filosofis seperti pandangan hidup,
visi, dan keyakinan.
Dengan demikian, tema dapat berupa persoalan agama, etika, sosial
budaya, teknologi, tradisi yang berhubungan erat dengan manusia. Biasanya
pengarang merumuskan tema sebelum menulis cerita karya sastra.
Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tema
adalah sebuah dasar yang digunakan pengarang untuk membuat cerita
berupa gagasan, ide, pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra yang
hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui jalinan cerita
yang dibuatnya.
f. Amanat
Karya sastra pada umumnya mempunyai suatu pesan moral, atau
pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, itulah yang
disebut dengan amanat (Ratna 2014: 257). Dengan demikian, amanat adalah
semacam wejangan, perintah yang disampaikan kepada seseorang atau
23
kelompok tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam
hubungan ini karya sastra berfungsi sebagai amanat. Pengertian amanat atau
pesan ialah materi yang terkandung dalam tema untuk disampaikan kepada
para pembaca yang datangnya selalu dari pencipta (Satoto, 2012: 50).
Amanat terkandung dalam tema dengan demikian, jika pembaca ingin
mengetahui amanat apa yang tersirat maka harus memahami tema cerita
dengan baik. Amanat merupakan pesan apa yang hendak disampaikan
pengarang.
Amanat dalam sebuah karya sastra dapat diketahui secara tersurat
maupun tersirat. Bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin
bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung, namun adanya pesan moral
yang bersifat langsung dalam sebuah karya sebenarnya justru dapat
diketahui secara langsung. Pembaca atau penonton harus mencari sendiri
amanat yang terdapat dalam cerita itu. Namun demikian, menurut
Nurgiyantoro (2003: 336) tidak semua amanat dapat dengan mudah diterima
penikmat. Ada amanat yang tersembunyi dan ada pula amanat yang
disampaikan langsung dengan menonjolkannya dalam cerita.
Waluyo (2006: 29) menyatakan bahwa amanat merupakan pesan yang
hendak disampaikan pengarang melalui sebuah cerita yang harus dicari oleh
pembaca. Dengan demikian, pembaca harus teliti agar dapat menangkap apa
yang tersirat dibalik yang tersurat, dikarenakan amanat berhubungan dengan
makna, maka amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Jadi, setiap
pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna cerita dalam sebuah karya
sastra.
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa amanat adalah suatu pesan dari pengarang yang terdapat
di dalam karya sastra yang ingin disampaikan kepada pembaca baik secara
tersirat maupun tersurat dari jalan cerita yang dapat memberikan tambahan
pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna dalam hidup yang
memberikan hiburan, kepuasan, dan kekayaan batin kita terhadap hidup.
24
Dengan demikian, penelitian yang akan dikaji oleh peneliti memiliki
beberapa persamaan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Yenie Rahmawati (2006) dalam
skripsinya yang berjudul “Kajian Strukturalisme dan Feminisme pada Novel
Saman Karya Ayu Utami” Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dengan
hasil bahwa novel Saman memiliki unsur-unsur yang saling mendukung
dalam membangun cerita. Tema penelitian ini adalah konflik sosial budaya,
sedangkan novel yang akan dikaji oleh peneliti berjenis novel detektif.
Amanat yang disampaikan oleh tokoh utama memberikan manfaat bagi
masyarakat agar bisa bercermin dan mampu melihat fenomena kehidupan
yang lebih luas dan dewasa. Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-
sama menggunakan kajian strukturalisme. Sementara itu, perbedaannya
ialah sumber data berupa novel yang diteliti.
3. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter dalam Karya Sastra
a. Hakikat Nilai Pendidikan
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas,
dan berguna bagi manusia. Nilai berasal dari bahasa Latin vale’re yang
artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan
sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat, dan paling besar menurut
keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Selain itu, nilai juga dapat
diartikan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi yang dapat mewarnai dan
menjiwai tindakan seseorang (Adisusilo, 2013: 56). Jadi, nilai adalah hal
penting yang berguna bagi kemanusiaan. Dengan nilai, manusia dapat
merasakan kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah.
Definisi nilai sebagai hakikat dari suatu hal yang menyebabkan hal itu
pantas dikejar oleh manusia. Nilai-nilai dalam diri seseorang bersifat
kompleks, maka nilai-nilai itu bersifat kait-mengkait sehingga, menjadi
sistem nilai. Nilai merupakan sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai
subjek mengenai kebaikan dan keburukan dan sebagai pandangan dari
pengalaman dengan seleksi perilaku ketat. Artinya, jika nilai tersebut
25
dihayati oleh seseorang, maka akan mempengaruhi cara berpikir dan cara
bersikap orang tersebut dalam mencapai tujuan hidupnya.
Nilai dapat dikembangkan melalui pendidikan. Nilai selalu menjadi
ukuran dalam menentukan kebenaran dan keadilan sehingga, tidak pernah
lepas dari sumber asalnya, yaitu berupa nilai ajaran agama, logika, dan
norma-norma yang berlaku di masyarakat (Widiyono, 2013: 233). Dalam
hal ini, nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra diresepsi oleh anak
dan secara tidak sadar merekonstruksi sikap dan kepribadian. Mengenai
karya sastra selain sebagai penanaman nilai-nilai dan karakter, juga
merangsang imajinasi kreativitas anak berpikir kritis lewat apa yang ia rasa
akan jalan cerita di dalamnya melalui jalur pendidikan.
Membahas mengenai pendidikan Ratna (2014: 19) menyatakan
definisi pendidikan secara sederhana dan aplikatif sebagai berikut.
Pendidikan adalah proses pemeliharaan, perkembangan, dan
pertumbuhan, baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Pendidikan
berasal dari bahasa Latin, dari akar kata e, ex (keluar) dan ducere,
duct, duco (memimpin, mengadakan, membangunkan). Dalam
bahasa Indonesia pendidikan dari kata dasar “didik”, diartikan
sebagai proses perubahan pikiran dan perasaan, perilaku secara
keseluruhan, baik terhadap individu maupun kelompok. Dalam
pengertian luas pendidikan juga melibatkan lingkungan sosial,
struktur sosial, dan institusi sosial. Ratna juga menyatakan bahwa
pendidikan karakter terkandung baik dalam sastra lisan maupun
tulisan.
Dengan demikian, pendidikan merupakan upaya terencana dalam
mengembangkan potensi siswa. Sehingga, mereka memiliki sistem berpikir,
nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakat dan
mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan
masa kini dan masa yang akan datang. Lebih lanjut, pendidikan merupakan
suatu proses enkulturasi yang berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi
masa lalu ke generasi mendatang.
Pendidikan menurut Wibowo (2012: 18) adalah kegiatan yang
dilakukan dengan terencana oleh orang yang memiliki ilmu dan
keterampilan kepada anak didik demi terciptanya manusia sempurna yang
berkarakter. Sebagai alternatif, pendidikan diharapkan dapat
26
mengembangkan kualitas generasi muda dalam berbabagai aspek, serta
dapat memeperkecil penyebab berbagai masalah budaya dan karakter
bangsa.
Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta
didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungan,
dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang
mungkin berfungsi dalam kehidupan masyarakat (Hamalik, 2014: 3). Hal
tersebut berarti bahwa pendidikan yang menjadi alat dalam masyarakat,
bukan hanya untuk meneruskan nilai dari satu angkatan ke angkatan
lainnya, melainkan juga untuk mengolah kembali tata nilai sehingga, lebih
sesuai dengan harkat dan martabat hidup manusia.
Poerwati dan Amri (2013: 157) dalam penelitiannya juga menyatakan
bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan dalam upaya untuk mengubah
tingkah laku objek didik ke arah positif. Pendidikan merangkum segi-segi
intelektual, afektif, dan psikomotorik manusia, juga menyentuh cipta, rasa,
dan karsa. Pendidikan juga merangsang pikiran-pikiran, perasaan, dan
kehendak manusia untuk bertindak secara bijaksana dengan
mempertimbangkan lingkungan.
Pendidikan merupakan investasi terpenting dalam kehidupan manusia,
baik secara individual maupun kelompok seperti bangsa dan negara. Satuan
pendidikan apabila dilakukan dengan baik dan jelas akan menghasilkan
berbagai manfaat, baik material maupun spiritual. Pendidikan adalah upaya
sadar dan terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi
individu agar tumbuh berkembang menjadi manusia yang mandiri,
bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak (berkarakter)
mulia (UU No. 20 tahun 2003). Suhardan, dkk. (2014: 87) mendefinisikan
pengertian pendidikan menjadi dua yaitu, pendidikan merupakan proses
interaksi manusiawi dan pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek
didik menghadapi lingkungan. Dengan demikian, dengan adanya pendidikan
meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat.
27
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan
merupakan segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan seseorang melalui
proses perubahan pola pikir dan sikap untuk mencapai tujuan hidup yang
lebih baik. Nilai pendidikan akan membawa seseorang untuk lebih
menghayati nilai-nilai kemanusiaan dan membangun nilai tersebut pada
kepribadiaannya.
b. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter dalam Karya Sastra
Membahas mengenai karakter, dalam kutipannya Suyadi (2013: 5)
menyatakan sebagai berikut.
Karakter merupakan nilai-nilai universal perilaku manusia yang
meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan
dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, maupun dengan
lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,
hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Dari pendapat yang dikemukakan Suyadi tesebut dapat ditegaskan
bahwa karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan
digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap, dan
bertindak. Dengan demikian, karakter akan membentuk motivasi yang
dibentuk lewat proses yang bermartabat. Karakter yang baik mencakup
pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, serta
meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku kehidupan moral.
Ratna (2014: 73) mengungkapkan pendidikan karakter yaitu
pendidikan yang bertujuan untuk mendidik watak, akal budi, dan aspek-
aspek kejiwaan lainnya. Menurutnya pendidikan karakter lebih mudah
diterapkan pada usia dini karena pendidikan karakter dianggap dapat
membersihkan sistem saraf sehingga, sering disebut dengan istilah cuci
otak. Mengutip pendapat Krishenbaum (Setiawan, 2010: 55) menyatakan
bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan nilai yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Jadi,
supaya dapat membangun pendidikan karakter tiga komponen tersebut harus
terbangun secara terkait.
28
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan, cara berfikir dan
berperilaku individu untuk hidup dan kerja sama serta membantu orang lain
untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabakan (Widiyono,
2013:234). Pendidikan karakter mengajarkan peserta didik untuk berfikir
cerdas, karena pendidikan karakter bersumber dari nilai moral universal
agama. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang
hal mana yang baik sehingga, siswa menjadi paham (kognitif) tentang benar
dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa
melakukannya (psikomotor).
Tujuan pokok pendidikan karakter adalah menumbuhkan karakter
nalar distingtif agar anak dapat mencerna bahwa kebajikan berbeda secara
diametral dengan kejahatan (Wibowo, 2013: 134). Melalui nalar distingtif,
pendidikan karakter membentuk kesadaran bahwa ada serangkaian faktor
dan sederet variabel penyebab timbulnya kebajikan maupun kejahatan.
Pendidikan karakter membentuk kesadaran di kalangan anak didik untuk
memahami bahwa kebajikan atau kejahatan tidak muncul dari ruang vakum,
tetapi akibat logis sebab dan akibat melalui proses panjang, rumit, dan
berliku.
Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya sadar dan terencana
dalam mengetahui kebenaran atau kebaikan, mencintainya dan
melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter menurut
Asmani (2011: 31) adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru untuk
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu dalam membentuk
watak peserta didik dengan cara memberikan keteladanan, cara berbicara
atau menyampaikan materi yang baik, toleransi, dan berbagai hal lainnya.
Dengan demikian, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai
karakter kepada warga sekolah (Prasetyo dan Rivasintha, 2011: 2).
Penanaman nilai meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan,
dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan.
29
Nilai-nilai pendidikan karakter yang bersumber dari Kemendiknas
sebagaimana tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa yang disusun Kemendiknas melalui Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010)
menyatakan ada delapan belas komponen nilai pendidikan karakter, yakni
religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis,
rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,
dan tanggung jawab.
Dalam karya sastra banyak ditemukan nilai-nilai pendidikan karakter.
Karya sastra dikatakan berguna jika dengan membaca karya sastra, pembaca
bisa menarik pelajaran berharga, yaitu nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya serta bentuk implementasi dalam kehidupan. Hal tersebut
dikemukakan oleh Sutardi (2013: 485) sebagai berikut.
This suggests that literary work is closely related to the practice
of education. To approach the values in literary texts with respect
to values of education should be used didactic approach. Didactic
approach is an approach that seeks to find and understand ideas,
evaluative responses, and attitudes’ author towards life. Ideas,
responses, and attitudes in this case would be able to manifest in
an approach to ethical, philosophical, or religious that will
contain values which can enrich the spiritual life of the readers.
Dengan demikian, pendidikan karakter dapat didefiniskan sebagai
jenis pendidikan yang bertujuan untuk memelihara perilaku dan kepribadian
anak melalui pendidikan moral dan etika. Siswa dibimbing mengaktualisasi
diri dalam dunia sastra dalam rangka membentuk karakter melalui tokoh,
tema, amanat, bahasa, dan alur. Pendidik menggunakan novel sebagai media
untuk mengungkap nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui
diskusi. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan
pendidikan karakter untuk mempengaruhi anak didiknya.
Pembentukan karakter tidak hanya didasarkan pada nilai yang
terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif dapat
dilakukan dengan kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton.
30
Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang pernah
dilakukan oleh Ani Dessy Arifianie (2015) dalam tesisnya yang berjudul
“Analisis konflik psikis tokoh utama dan nilai-nilai pendidikan karakter
dalam novel Asmarani karya Suparto Brata (kajian psikologi sastra). Dalam
penelitian tersebut ia menggunakan kajian psikologi sastra guna
menganalisis konflik psikis tokoh utama, serta nilai pendidikan karakter
yang terkandung dalam novel Asmarani karya Suparto Brata. Hal yang sama
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah kesamaan dalam
nilai pendidikan serta pengarang dalam objek kajian novel, yakni Suparto
Brata. Hal yang membedakan adalah jenis kajian dan novel yang dikaji.
Berdasarkan penelitian Ani Dessy Arifianie tersebut dapat diketahui
bahwa terdapat banyak nilai pendidikan karakter, diantaranya gemar
membaca, rasa ingin tahu, bersahabat/komunikatif, mandiri, jujur, kerja
keras, cinta damai, menghargai prestasi, dan semangat kebangsaan.
Penelitian ini juga merupakan salah satu usaha untuk mengungkap nilai
pendidikan karakter yang didasarkan pada novel. Tujuan penelitian ini
adalah mengungkapkan struktur yang membangun novel Pethite Nyai
Blorong dan penggalian nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam
novel, dengan harapan nilai pendidikan karakter yang ada dapat
diaplikasikan pada pembelajaran sastra Jawa di sekolah.
4. Hakikat Materi Ajar
a. Pengertian Materi Ajar
Materi ajar adalah segala bentuk materi yang digunakan untuk
membantu guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar kepada peserta
didiknya (Putranti, 2015: 32). Dapat disimpulkan bahwa materi ajar
merupakan seperangkat substansi pelajaran yang disusun secara sistematis,
menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam
kegiatan pembelajaran. Dengan materi ajar yang sesuai memungkinkan
siswa dapat mempelajari suatu kompetensi secara runtut dan sistematis.
31
Majid (2007: 174) mengungkapkan materi pembelajaran yaitu, segala
bahan, informasi, alat, dan teks baik tertulis maupun tidak tertulis yang
digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar
mengajar. Artinya, dengan materi ajar yang menarik akan membuat peserta
didik antusias dalam menerima pelajaran sehingga, prestasi belajar mereka
juga akan lebih maksimal.
Materi ajar adalah suatu alat yang digunakan dalam pembelajaran untuk
mencapai tujuan instruktusional (Winkel, 1996: 261). Materi ajar ini
diharapkan dapat membangkitkan motivasi belajar para peserta didik. Hal
senada juga dikemukakan oleh Widodo (2008: 40) menurutnya materi ajar
yang baik harus dirancang dan ditulis sesuai kaidah instruksional, hal ini
diperlukan karena materi ajar akan digunakan pendidik untuk membantu
tugas mereka dalam proses belajar mengajar.
Tujuan dari penggunaan materi ajar adalah membantu guru
menyajikan materi ketika proses belajar-mengajar selain itu, untuk para
peserta didik, materi ajar dapat meningkatkan motivasi dalam belajar.
Dengan adanya motivasi tersebut timbullah ketertarikan untuk memahami
materi pelajaran dengan baik.
b. Materi Ajar Apresiasi Karya Sastra Jawa
Istilah Apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang memiliki
arti mengindahkan atau menghargai (Ismawati, 2013: 73). Selain
mengindahkan atau menghargai, apresiasi juga memiliki arti menilai.
Apresiasi sastra Jawa menjadi bagian dari muatan kurikulum dalam
mata pelajaran bahasa Jawa sebelum memasuki tahap pengapresiasian karya
sastra, seorang peserta didik harus diperkenalkan terlebih dahulu dengan
karya sastra seperti prosa, puisi, drama, dan novel.
Dewasa ini, minat siswa terhadap sastra dalam pembelajaran apresiasi
sastra Jawa khususnya novel di sekolah menurun. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pemilihan materi ajar
yang kurang sesuai. Oleh karena itu, perlu adanya kreatifitas guru untuk
memilih materi ajar yang sesuai dengan usia peserta didik.
32
Materi ajar novel digunakan dalam kegiatan pembelajaran apresiasi
sastra Jawa dikarenakan novel memiliki nilai-nilai pendidikan karakter yang
terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai materi ajar yang
membentuk karakter dan kepribadian siswa.
c. Pembelajaran Apresiasi Satra Jawa di SMK
Menurut pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (2013: 3) kurikulum 2013 merupakan
kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang untuk mengantisipasi
kebutuhan kompetensi abad 21. Kurikulum 2013 juga digalakkan
pendidikan karakter yang berdasarkan 18 pilar nilai pendidikan karakter
yaitu, religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca,
peduli sosial, dan tanggung jawab.
Pembentukan karakter peserta didik didasarkan pada 18 pilar
pendidikan tersebut tidak diajarkan dalam mata pelajaran tersendiri, namun
terintegrasikan dalam materi pelajaran yang diajarkan. Mata pelajaran yang
dianggap mampu membawa nilai-nilai pendidikan karakter salah satunya
bahasa dan sastra.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru di sekolah yang akan
dijadikan tempat penelitian oleh peneliti, diperoleh informasi bahwa sekolah
tersebut menggunakan kurikulum 2013. Berikut ini merupakan pemetaan
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pembelajaran apresiasi sastra Jawa
novel.
33
Tabel 2.1 Pemetaan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar
Pembelajaran Apresiasi Sastra Jawa Novel
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
KI 1: Menghayati dan
mengamalkan
ajaran agama
yang dianutnya.
1.2.Menerima, mensyukuri,
menghayati, dan mengamalkan
anugerah Tuhan berupa
bahasa Jawa dan
menggunakannya melalui teks
novel lisan maupun tulisan.
KI 2:Menghayati dan
mengamalkan
perilaku jujur,
disiplin,
tanggungjawab,
peduli (gotong
royong), kerjasama,
toleran, damai,
santun, responsif dan
pro-aktif dan
menunjukkan sikap
sebagai bagian dari
solusi atas berbagai
permasalahan dalam
berinteraksi secara
efektif dengan
lingkungan sosial
dan alam serta
dalam menempatkan
diri sebagai
cerminan bangsa
dalam pergaulan
dunia.
2.2 Menunjukkan perilaku mulia,
percaya diri, tanggung jawab,
dan santun dalam
menggunakan bahasa Jawa
melalui teks novel lisan
maupun tulisan.
KI 3: Memahami, menerapkan,
menganalisis, dan
mengevaluasi
pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural,
dan metakognitif
berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi,
seni, budaya, dan
humaniora dengan
wawasan kemanusiaan,
3.2 Menganalisis unsur-unsur
pembangun; menyimpulkan
nilai-nilai yang terkandung
di dalam; dan mengevaluasi
relevansi pitutur luhur
dengan kondisi masyarakat
saat ini petikan teks novel
secara lisan atau tulisan.
34
kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan
kejadian, serta
menerapkan
pengetahuan prosedural
pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan
bakat dan minatnya
untuk memecahkan
masalah
KI 4: Mengolah, menalar,
menyaji, dan mencipta
dalam ranah konkret dan
ranah abstrak terkait
dengan pengembangan
dari yang dipelajarinya di
sekolah secara mandiri
serta bertindak secara
efektif dan kreatif, dan
mampu menggunakan
metode sesuai kaidah
keilmuan.
4.2 Menginterpretasi isi dan
menceritakan kembali
petikan novel yang
dibacanya.
Dari pemetaan silabus mengenai pembelajaran karya sastra novel di
atas, dalam kurikulum 2013 pembelajaran karya sastra novel berada di kelas
XI semester ganjil mencakup empat kompetensi yaitu kompetensi spiritual,
kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi ketrampilan.
Guru harus lebih menguasai materi pembelajaran apresiasi karya sastra
novel dan mampu memotivasi siswa untuk menuangkan daya imajinasinya
sesuai dengan pengalaman yang telah dimilikinya. Pada Sekolah Menengah
Kejuruan, apresiasi sastra tidak lagi bertolak pada patokan suka atau tidak
suka, tetapi lebih diarahkan pada keterlibatan pengamatan yang peka dan
kritis terhadap lingkungannya.
Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang pernah
dilakukan oleh Dyah Ayu Meilindasari dalam penelitian skripsi (2015) yang
berjudul “Analisis Struktural Dan Nilai Pendidikan Novel Kembang Kantil
Karya Senggono serta Relevansinya Sebagai Materi Pembelajaran Bahasa
Jawa di SMA”. Persamaan tersebut terletak pada materi ajar yang bertujuan
35
untuk menganalisis unsur intrinsik yang terkandung dalam novel Jawa.
Perbedaannya terletak pada novel yang digunakan serta jenis nilai
pendidikanya. Jika peneliti yang terdahulu hanya nilai pendidikan saja,
penelitian ini akan mengkaji nilai pendidikan karakter pada anak.
B. Kerangka Berfikir
Berdasarkan kajian teori tentang strukturalisme, novel, nilai pendidikan
karakter, dan relevansinya sebagai materi ajar sastra Jawa di Sekolah
Menegah Kejuruan dapat dibuat suatu kerangka berfikir seperti gambar di
bawah ini.
Gambar 2.1. Kerangka Berfikir
Nilai
Pendidikan
Unsur Intrinsik
a. Penokohan
dan
Perwatakan
b. Alur
c. Latar
d. Sudut pandang
e. Tema
f. Amanat
Nilai-nilai
pendidikan
karakter dalam
novel Pethite
Nyai Blorong
karya Peni
Relevansi novel
Pethite Nyai Blorong
karya Peni sebagai
materi ajar apresiasi
sastra Jawa
Karya Sastra
Novel Pethite
Nyai Blorong
Karya Peni
Pendekatan
Strukturalis
me
36
Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan
cermin realitas kehidupan masyarakat. Untuk memahami dan menangkap
makna karya sastra, maka dibutuhkan suatu pendekatan. Pendekatan harus
disesuaikan dengan tujuan kita mengapresiasi karya sastra. Pendekatan
strukturalisme tepat digunakan untuk mengkaji novel. Dikarenakan terjadi
keterkaitan antara karya sastra dengan unsur-unsur pembangunnya.
Karya sastra juga sebagai media pembelajaran yang efektif bagi
pengarang menyampaikan pesan untuk menanamkan pendidikan dalam
benak pembaca. Pembelajaran sastra dalam prosesnya tentu membutuhkan
sebuah karya sastra yang bermutu. Dalam hal ini mutu karya sastra dapat
dilihat dari nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya.
Salah satu karya sastra yang dimaksud yaitu novel. Di dalam novel terdapat
beberapa unsur intrinsik yang saling berkaitan seperti penokohan, alur, latar,
sudut pandang, tema dan amanat. Semua memiliki unsur keterjalinan yang
tidak bisa dipisahkan satu dengan lain.
Dalam setiap kejadian atau peristiwa yang tertuang dalam novel
pastilah ada nilai pendidikan yang bisa diambil. Selanjutnya nilai
pendidikan yang terdapat dalam novel tersebut dapat diaplikasikan dan
direlevansikan dengan pembelajaran apresiasi karya sastra Jawa di sekolah.
Karya sastra yang dibahas pada penelitian ini adalah novel PNB karya Peni.
Novel tersebut mengandung beberapa nilai pendidikan karakter yang dapat
diimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya sebagai alternatif
materi ajar apresiasi karya sastra Jawa ditingkat satuan pendidikan.