1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perekonomian nasional digerakkan oleh para pelaku ekonomi,
baik perorangan maupun institusi yang mepunyai tujuan memperoleh
keuntungan. Para pelaku ekonomi melakuan kegiatan ekonomi
dengan menggunakan bentuk usaha yang bervariasi, dan menjalankan
usaha yang bervariasi pula. Hal ini diungkapkan oleh Sri Rejeki
Harono sebagai berikut :
Kegiatan ekonomi masyarakat pada hakekatnya dilaksanakanoleh para pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi terdiri atasperorangan dan institusi yang bertujuan komersial denganistilah badan usaha atau korporasi. Kegiatan ekonomidilaksanakan dalam berbagai sekala dan berbagai bentukkegiatan. Kegiatan dimaksud dapat meliputi baik dalambentuk produksi (barang dan atau jasa), perdagangan (barangatau jasa), maupun perantara, baik berskala lokal, nasionalmaupun internasional.1
Selain bervariasi dalam bentuk usaha, jenis usaha dan ruang
lingkup usaha, para pelaku ekonomi sangat bervariasi pula dalam
eksistensinya didalam hukum nasional dan kedudukan institusinya.
Mengenai hal ini Sri Redjeki Hartono mengungkapkan;
Pelaku ekonomi di Indonesia pada hakekatnya sangatbervariasi, baik; mengenai eksistensinya didalam peraturan,kegiatan maupun kedudukan institusinya. Pada strataterendah, misalnya terdiri dari pelaku ekonomi perorangan
1 Sri Rejeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Madju,Bandung, hal. 70.
2
dengan kekuatan modal yang relatif terbatas. Pada stratamenengah ke atas dapat dijumpai beberapa bentuk badanusaha, baik yang bukan badan hukum maupun yangmempunyai status badan hukum, jyaitu perseroan ataukoperasi sebagai suatu korporasi.2
Pada era globalisasi dewasa ini perkembangan dan
pertumbuhan dibidang ekonomi dan bisnis (usaha) demikian pesat.
Perkembangan tersebut demikian atraktif, dinamis, sangat prospektif
dan penuh persaingan.3 Dalam menopang pertumbuhan dunia usaha
tidak dapat dipungkiri diperlukan modal (dana) dalam persaingan
yang semakin ketat dan kompetitif. Tanpa adanya modal atau dana
yang memadai, suatu kegiatan usaha mustahil dapat berjalan seperti
yang diharapkan.
Setiap perusahaan dalam bentuk atau skala apapun, selalu
membutuhkan dana yang cukup agar laju kegiatan usaha serta
perkembangannya dapat diharapkan terwujud sesuai dengan rencana.
Kebutuhan dana, adakalanya dapat dipenuhi sendiri sesuai dengan
kemampuan perusahaan, tetapi adakalanya dana tersebut sulit
didapat. Untuk itu dibutuhkan bantuan pihak lain yang bersedia
membantu menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
2 Sri Redjeki Hartono, Pengembangan Korporasi Sebagai Pelaku Ekonomi diIndonesia, Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pengembangan HukumNasional VIII, Denpasar, 14-18 Juli 2003, h. 1.
3 Syarin Naihasy, 2007, Hukum Bisnis (Business Law), Mida Pustaka, Yogyakarta,hal.7.
3
Secara umum, kebutuhan dana dapat dipenuhi oleh bank sebagai
salah satu perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Meskipun
demikian, bank tidak selalu mampu memenuhi setiap permintaan
kebutuhan dana. Kebutuhan dana yang relatif makin berjalan sejalan
dengan laju pertumbuhan dunia usaha, maka perlu dicari alternatif lain
untuk mendapatkan dana selain dari bank. Upaya-upaya untuk itu antara
lain dengan mencari lembaga pembiayaan yang kiranya dapat
dimanfaatkan sebagai alternatif sumber pendanaan perusahaan.
Adapun lembaga pembiayaan tersebut diantaranya adalah lembaga
Anjak Piutang (Factoring). Guna mendapatkan bantuan pendanaan
perusahaan, pelaku usaha dapat memanfaatkan lembaga perbankan
untuk mendapatkan pinjaman melalui fasilitas kredit yang
ditawarkan. Seperti diketahui, secara konvensional lembaga
keuangan/pembiayaan bank disamping kegiatannya menghimpun
dana dari masyarakat juga menyalurkan pinjaman dalam bentuk
kredit kepada masyarakat yang membutuhkan.
Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi
orang perseorangan, badan-badan usaha menyimpan dana atau
mendapatkan dana. Melalui kegiatan perkreditan, bank melayani
kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem
pembayaran semua sektor ekonomi.4
4 Hermansyah, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana PrenadaMedia Group, Jakarta, h. 7.
4
Pendanaan perusahaan tidak hanya bisa didapatkan dari bank
saja, tetapi bisa juga didapatkan dari lembaga bukan bank, seperti
melalui lembaga pembiayaan. Lembaga pembiayaan adalah salah
satu bentuk usaha di bidang lembaga keuangan non bank yang
mempunyai peranan sangat penting dalam pembiayaan dan
pengelolaan salah satu sumber dana pembangunan di Indonesia.5
Kegiatan lembaga pembiayaan dilakukan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana
secara langsung dari masyarakat. Kegiatan lembaga pembiayaan
yang pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia
adalah kegiatan sewa guna usaha (leasing)., dan kemudian
berkembang lembaga-lembaga pembiayaan lainnya seperti; modal
ventura, kartu kredit, pembiayaan konsumen, dan anjak piutang
(factoring).
Tumbuh dan berkembangnya lembaga pembiayaan tidak dapat
dilepaskan dari adanya berbagai deregulasi. Hal ini bisa dilihat dari
upaya pemerintah dalam meningkatkan usaha pembiayaan yang
dikonkritkan melalui deregulasi dengan Peraturan Presiden Nomor 9
Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 84/PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan. Menurut pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden
No. 9 Tahun 2009 Lembaga Pembiayaan adalah "badan usaha yang
5 Rachmat, 2002, Multi Finance Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, PembiayaanKonsumen, C.V. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, h. 1
5
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau
barang modal."
Dari pengertian Lembaga Pembiayaan di atas, ada 2 (dua)
unsur pokok yang dapat ditarik yaitu : pertama, melakukan kegiatan
dalam bentuk penyediaan dana dan/atau barang modal, kedua, tidak
ditegaskan bahwa lembaga pembiayaan dapat menarik dana secara
langsung dari masyarakat.6
Lembaga pembiayaan dimaksud berdasarkan pasal 2 Peraturan
Presiden Nomor 9 Tahun 2009 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 84/PMK.012/2006 Lembaga Pembiayaan meliputi:7
1. Perusahaan Pembiayaan
2. Perusahaan Modal Ventura
3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
Selanjutnya kegiatan perusahaan pembiayaan meliputi ;
1. Sewa guna usaha
2. Anjak Piutang
3. Usaha Kartu Kredit dan / atau
4. Pembiayaan Konsumen
Salah satu lembaga pembiayaan yang juga sedang
berkembang dan mulai diminati oleh masyarakat adalah lembaga
6 Harry Harsojono Notodiporo, 1982, Kemungkinan-kemungkinan AplikasiLembaga Pembiayaan di Indonesia, Jakarta. h. 2
7 Zudin Arif Fakrulloh, 2001, Aspek Hukum Kerjasama Perusahaan ModalVentura Dengan Perusahaan Pasangan Usaha, Pro Justitia, Tahun XIX Nomor 3 Juli, h.87.
6
pembiayaan Anjak Piutang (Factoring). Sebagai lembaga
pembiayaan, factoring masih tergolong baru dan belum begitu
banyak dikenal, bahkan pada perkembangannya terakhir, factoring
masih terbatas dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha besar saja.
Padahal sebenarnya usaha kecil dan menengah dapat juga
memanfaatkan lembaga Anjak Piutang (Factoring) sebagai alternatif
pendanaan perusahaan.
Pengertian factoring atau Anjak Piutang di Indonesia yang
merupakan hasil adopsi dari Common Law System, juga dijumpai
dalam referensi formal isi Kamus Bank Indonesia, yaitu sebagai
kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan
serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu
perusahaan atau transaksi perdagangan dalam atau luar negeri,
sedangkan perusahaan yang melakukan Anjak Piutang disebut
penganjak piutang (Factoring) dan pengertian penganjak piutang
adalah pihak yang kegiatannya membeli piutang pihak lain dengan
menanggung resiko tak terbayarnya utang.8
Mengacu pada ketentuan pasal 1 angka 6 Peraturan Presiden
Nomor 9 tahun 2009, Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek
suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. Dari
8 Rinus Pantouw, 2006, Hak Tagih Factor Atas Piutang Dagang, Kencana PrenadaMedia Group, Jakarta, h. 8.
7
pengertian Anjak Piutang (Factoring) tersebut ada 3 pihak yang
terlibat dalam transaksi anjak piutang yaitu ;
1. Pihak Perusahaan Anjak Piutang (Factor)
Perusahaan factor adalah perusahaan yang bergerak dibidang
pembelian dan atau pengalihan piutang dagang.
2. Pihak Klien
Klien adalah perusahaan yang menjual dan atau mengalihkan
piutang dagang.
3. Pihak Customer
Adalah pihak yang mempunyai hutang dagang kepada klien.
Dalam transaksi Anjak Piutang (Factoring) terdapat
adanya pengalihan piutang/tagihan oleh klien sebagai pemilik
piutang kepada perusahaan Factor yang bersedia menerima atau
membeli piutang/tagihan tersebut. Pihak yang memiliki hutang
kepada klien disebut customer. Mengingat piutang/tagihan klien
terhadap customer itu sudah dialihkan kepada perusahaan Factor,
maka selanjutnya perusahaan Factor itulah yang mempunyai hak
untuk menagih piutang/tagihan itu kepada customer.
Sehubungan dengan pengalihan piutang dari klien kepada
perusahaan anjak piutang (factor) mengenai prosesnya mendapatkan
pengaturannya dalam KUH Perdata, karena disana ada ketentuan
tentang hal-hal yang berkaitang dengan pengalihan piutang yang
disebut Subrograsi, Novasi, Cessie. Ketiga bentuk bangunan hukum
8
ini mempunyai kaitan erat dengan Factoring. Menurut Pasal 1400
KUH Perdata, yang dimaksud dengan Subrogasi adalah perpindahan
hak kreditur kepada pihak ketiga, dimana pihak ketiga tersebut
melakukan pembayaran harga piutang yang bersangkutan kepada
kreditur. Sementara yang dimaksud dengan Novasi tidak lain dari
pembaharuan hutang.9 Kemudian yang disebut Cessie adalah
penyerahan piutang dari kreditur lama kepada kreditur baru.10
Dalam konteks kepentingan kegiatan usaha atau perusahaan,
tidak mudah mencari dana segar, apalagi pemain baru di dunia usaha.
Pada satu sisi mereka mempunyai piutang atau tagihan, namun belum
jatuh tempo, sementara kebutuhan dana segar makin mendesak untuk
menjalankan usaha. Salah satu solusinya adalah anjak piutang
(Factoring).11
Skema yang ditawarkan perusahaan Anjak Piutang
(Factoring) pada hakekatnya memikat dan mengandung manfaat bagi
perusahaan (klien) yang memiliki piutang atau tagihan. Adapun
manfaatnya diantaranya:
Pertama, penyediaan dana segar. Dengan pola transaksiekspor biasa, eksportir akan menunggu cukup "lama untukmenerima dana tunai dan pihak importir melalui banknya ataubank lain sebagai bank pembayar (paying bank). Itu pun
9 Munir Fuady, 2006, Hukum tentang Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek), PTCitra Aditya Bakti, Bandung, hal 72-73.
10 Ibid, hal. 74.
11 Paul Sutaryo, Melirik Pembiayaan Anjak Piutang, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0308/22finansial/504395. htm
9
sejauh tidak ada perselisihan atau segala sesuatu sudah sesuai(comply with) dengan syarat-syarat yang disetujui dalam letterof credit (L/C). Dengan skema anjak piutang mi, eksportirtidak perlu menunggu terlalu lama untuk memperoleh danatunai.
Kedua, terjaminnya kelancaran usaha. Dana segar ini dapatdimanfaatkan sebagai modal kerja tambahan "untukmenjalankan roda bisnis lebih lanjut. Dampak positif yangpaling manis untuk dinikmati adalah aliran kas lancar. Dengandemikian, bisnis selanjutnya akan tetap lebih cepat berjalan.
Ketiga, mitigasi risiko kredit. Dengan pola anjak piutang ini,sejatinya pihak eksportir atau perusahaan yang memilikipiutang atau tagihan akan merasa aman, karena mereka tidakperlu lagi memikirkan piutang atau tagihannya. Itu semuasudah diambil alih perusahaan anjak piutang. Inilah manfaatbagi pihak klien karena pembelian atau pengambilalihantersebut berdasarkan tanggung jawab without recourse ataunonrecourse.12
Dari sisi ekonomi tidak dapat dipungkiri adanya manfaat dari
lembaga pembiayaan anjak piutang, namun dari segi hukum tidak
dapat dihindari dapat muncul persoalan-persoalan hukum yang
memerlukan perhatian secara serius. Hal mana terjadi karena
landasan hukum anjak piutang hanya berbentuk Keputusan Presiden
dan Keputusan Menteri. Belum ada peraturan khusus yang berbentuk
undang-undang yang mengatur tentang lembaga pembiayaan,
khususnya Anjak Piutang (Factoring).
Dalam praktek Lembaga Pembiayaan Anjak Piutang sangat
mungkin bisa terjadi pihak customer tidak merasa terikat untuk
membayar utang kepada perusahaan factoring dengan dalih tidak ada
12 Ibid.
10
ikatan/hubungan hukum, dan hubungan hukum hanya ada dengan
klien. Apabila terjadi hal seperti itu perlu dilakukan penelusuran
hukum tentang mekanisme atau persyaratan hukum yang harus
dipenuhi agar pengalihan piutang oleh klien kepada perusahaan
factoring mengikat customer.
Selain itu dapat terjadi pula karena sesuatu hal customer tidak
dapat memenuhi kewajibannya membayar utang kepada perusahaan
factor. Dalam hal ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung
jawab pihak klien sebagai pihak yang telah menjual atau
mengalihkan piutang tersebut kepada perusahaan factor.
Ketika telah disepakati piutang klien terhadap customer
dialihkan kepada perusahaan factor, maka selanjutnya resiko
kerugian akibat adanya kegagalan penagihan ada ditangan
perusahaan factor. Dalam konteks ini penting untuk diperhatikan
mengenai perlindungan hukum bagi perusahaan factor.
Persoalan hukum sebagaimana diutarakan di atas tidak mudah
untuk diberikan jawabannya yang pasti, mengingat tidak jelasnya
norma hukum yang mengaturnya. Aturan hukum yang ada di
Indonesia mengenai hal itu hanya diketemukan didalam Keputusan
Presiden No. 61 tahun 1988 yang mengatur tentang Lembaga
Pembiayaan dan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.
448/KMK.01/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan, sehingga aturan
Anjak Piutang hanyalah diketemukan sebagai salah satu bagian di
11
dalam Hukum Administrasi yang mengatur tentang jenis-jenis
kegiatan perusahaan pembiayaan.
Dengan demikian terlihat pengaturan hukum dibidang
lembaga pembiayaan Anjak Piutang terlihat masih sederhana dan
belum lengkap.13 Konsekuensi hukum administrasi adalah
memberikan aturan yang hanya mengikat para anggota perusahaan
dibidang usaha anjak piutang saja.14
Apabila dikaji berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9
Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayan, di dalamnya hanya
mengatur mengenai ketentuan umum, jenis, kegiatan usaha,
pendirian lembaga pembiayaan dan apabila dikaji berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK. 012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan juga hanya mengatur mengenai ketentuan
umum, kegiatan usaha, tata cara pendirian, kepemilikan dan
kepengurusan. Sedangkan mengenai tanggung jawab sebagai klien
maupun perlindungan hukum terhadap perusahaan factor dalam hal
terjadinya kegagalan penagihan piutang dagang belum ada
pengaturannya. Dalam sistem hukum Indonesia menganut prinsip
kebebasan berkontrak inilah yang menjadi basis utama terhadap
justifikasi adanya pranata hukum anjak piutang (factoring) dengan
persoalan-persoalan hukum yang menyertainya. Berdasarkan hal
13 Rinus Pantouw, Loc.Cit.
14 Rinus Pantouw, Op.Cit, h. 14.
12
inilah penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang
“TANGGUNGJAWAB KLIEN DAN PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PERUSAHAAN FACTOR DALAM PENAGIHAN
PIUTANG DAGANG PADA TRANSAKSI ANJAK PIUTANG
(FACTORING)”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana
dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan 2 (dua) masalah pokok
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tanggung jawab klien dalam hal adanya kegagalan
penagihan piutang dagang oleh perusahaan factor ?
2. Apa bentuk perlindungan hukum terhadap perusahaan factor dari
kemungkinan adanya kegagalan penagihan piutang dagang kepada
customer ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Agar pembahasan dalam proposal penelitian ini tidak jauh
keluar dari cakupan permasalahan yang akan dibahas, maka ruang
lingkup masalah dalam penulisan proposal ini hanya dibatasi pada :
1. Tanggung jawab klien dalam hal adanya kegagalan penagihan
piutang dagang oleh perusahaan factor.
13
2. Bentuk perlindungan hukum terhadap perusahaan factor dari
kemungkinan adanya kegagalan penagihan piutang dagang kepada
customer.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk
memahami tentang aspek hukum berkaitan dengan
pengalihan piutang pada kelembagaan Anjak Piutang
(Factoring) sebagai lembaga pembiayaan. Pemahaman dari
segi hukum sangat penting artinya, mengingat Factoring
sangat besar perannya sebagai alternatif pembiayaan bagi
perusahaan.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang tanggung jawab
klien dalam hal adanya kegagalan penagihan piutang dagang
oleh perusahaan factor.
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang Bentuk
perlindungan hukum terhadap perusahaan factor dari
kemungkinan adanya kegagalan penagihan piutang dagang
kepada customer.
14
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum,
khususnya bidang hukum pembiayaan yang keberadaannya
sangat dibutuhkan dalam menopang aktivitas lembaga
pembiayaan sebagai sumber pendanaan perusahaan.
1.5.2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan masukan atau kontribusi bagi pemerintah,
khususnya pembuat undang-undang dalam menyiapkan
perangkat hukum yang lebih memadai untuk mengatur
lembaga-lembaga pembiayaan, terutama lembaga pembiayaan
Anjak Piutang (Factoring).
1.6. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan
ada beberapa hasil penelitian tesis yang telah dilakukan oleh peneliti
terdahulu yang berkaitan dengan penulisan tesis ini namun berbeda
baik dari segi substansi maupun permasalahan pokok yang dikaji.
Sebagai sumber informasi dan referensi dalam melakukan
penelitian, sehingga nantinya hasil penelitian tesis ini dapat
dipertanggungjawabkan tingkat keasliannya (orisinalitasnya), maka
15
berikut ini dipaparkan beberapa hasil penelitian tesis terdahulu
sebagai berikut;
1. Penelitian tesis tentang Aspek Hukum Transaksi Anjak
Piutang/Factoring (Suatu Studi tentang Jasa Pembiayaan Melalui
Perusahaan Anjak Piutang/Factoring di Indonesia) oleh Aniek
Tyaswati Wiji Lestari, Universitas Diponegoro Tahun 1998 di
Semarang, dengan beberapa permasalahan pokok yang dikaji
yaitu ; 1) Bagaimana konstruksi hukum pengalihan piutang pada
transaksi anjak piutang (factoring) tersebut dalam hukum
Indonesia; 2) Bagaimana hubungan hukum para pihak dalam
transaksi anjak piutang (factoring); 3) Sejauhmana kalangan
dunia usaha memanfaatkan jasa jpembiayaan melalui Perusahaan
Anjak Piutang (factoring); 4) Seberapa jauh upaya-upaya yang
dilakukan Perusahaan Anjak Piutang (factoring) dalam rangka
melindungi kepentingannya terhadap Klien dan Customer.
2. Penelitian tesis tentang Analisis Hak dan Kewajiban Para Pihak
Pada Perjanjian Jual Beli Piutang Dalam Pembiayaan Anjak
Piutang, oleh Muhammad Hendra Universitas Sumatera Utara
pada tahun 2013 di Medan, dengan dua permasalahan pokok yang
dikaji yaitu ; 1) Bagaimana mengenai hak dan kewajiban Para
Pihak serta kemungkinan wanprestasi dalam pelaksanaan
perjanjian Anjak Piutang ; 2) Bagaimana mekanisme
16
penyelesaian sengketa jika terjadi suatu perselisihan pada para
pihak dalam perjanjian anjak piutang tersebut.
Berdasarkan pemaparan beberapa hasil penelitian tesis
terdahulu seperti diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa
penelitian tesis penulis tentang "Tanggung jawab Klien dan
Perlindungan Hukum Terhadap Perusahaan Factor Dalam Penagihan
Piutang Dagang Pada Transaksi Anjak Piutang (Factoring)", berbeda
dengan penelitian-penelitian terdahulu baik dari segi judul maupun
substansi penelitian.
1.7. Landasan Teori
Membahas permasalahan penelitian tesis ini dipergunakan
landasan teori, yang merupakan landasan berpikir yang bersumber
dari suatu teori yang diperlukan sebagai tuntunan untuk memecahkan
berbagai permasalahan penelitian. Begitu pula landasan teori
berfungsi sebagai kerangka acuan yng dapat mengarahkan suatu
penelitian. Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih
mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep,
definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.15
15 Burhanudin Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19.
17
Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua
fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu.16
Fakta tersebut sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat
diuji secara empiris. Dalam bentuknya yang paling sederhana suatu
teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah
diuji kebenarannya.17 Teori juga sangat diperlukan dalam penulisan
karya ilmiah dalam tatanan hukum positif kongkrit.18 Dalam teori
hukum diperlukan suatu pandangan yang merupakan pendahuluan
dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar studi ilmu pengetahuan
terhadap aturan hukum positif.
Adapun teori-teori yang dipergunakan dalam membedah
permasalah penelitian tesis ini dapat dikemukakan dan diuraikan
sebagai berikut:
1. Teori Tanggung Jawab
Dalam bahasa Indonesia, kata tanggung jawab sudah
dipakai secara umum oleh masyarakat. Di kalangan para ahli
hukum, baik praktisi maupun teoritisi untuk tanggung jawab
16 Ronny Hanitijo Soemitro, 1992, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,Jakarta, hal. 46.
17 Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta, hal. 30.
18 Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, 2002, Metodologi Penelitian, Mandar Maju,Bndung, hal. 43.
18
diistilahkan “responsibility” (verantwoordelijkheid) maupun
“liability” (aansprakelijkheid).19
Menurut Muhammad Siddiq Tgk. Armia, tanggung jawab
merupakan hasil yang ditimbulkan dari suatu perbuatan. Ketika
seseorang melakukan perbuatan maka perbuatannya akan
berdampak pada orang lain, dampak atau akibat itu harus
ditanggung oleh yang melakukan perbuatan tersebut. Tanggung
Jawab dituntut karena ada suatu kesalahan yang dapat merugikan
hak dan kepentingan orang lain.20
Pada umumnya setiap orang harus bertanggung jawab
(aanspraklijk) atas perbuatannya. Oleh karena itu bertanggung
jawab dalam pengertian hukum berarti keterikatan.21 Dengan
demikian, tanggung jawab hukum (legal responsibility)
dimaksudkan sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan
hukum. Bila tanggung jawab hukum ini hanya dibatasi pada
bidang Hukum Perdata saja, maka orang hanya terikat pada
19 Agus M Toar, 1990 Tanggung Jawab Produk, Sejarah, dan Perkembangannya,Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Denpasar,Bali, 3-14 Januari 1990, hal. 1
20 Muhammad Siddiq Tgk. Armia, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori IlmuHukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 63.
21 Veronica Komalawati, 1989, Hukum dan Etika Dalam Profesi Dokter, PustakaSinar Harapan, Jakarta, hal. 100.
19
ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum diantara
mereka.22
Suatu tanggung jawab dalam Hukum Perdata dapat timbul
dari atau karena adanya perikatan. Sementara perikatan adalah
merupakan hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan
harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas
prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi
prestasi itu.23
Perikatan itu sendiri dapat lahir karena perjanjian maupun
karena undang-undang. Berbicara tanggung jawab klien dalam
transaksi Anjak Piutang dihubungkan dengan adanya perikatan
disini meliputi baik tanggung jawab kontraktual (berdasarkan
perjanjian Anjak Piutang) maupun tanggung jawab berdasarkan
undang-undang (peraturan yang mengatur tentang Anjak
Piutang).
Berkaitan dengan tanggung jawab klien sehubungan
adanya kegagalan penagihan piutang perusahaan factor terhadap
customer, maka akan dicermati disamping perjanjian factoring
(Anjak Piutangnya) juga peraturan yang mengatur Anjak Piutang
(Factoring) yang ada. Dalam transaksi Anjak Piutang bila
dicermati nampaknya sangat riskan sekali, terutama bila customer
22 Bernadette M. Waluyo, 1997, Hukum Perlindungan Konsumen, Bahan Kuliah,Universitas Parahyangan, Bandung, hal. 15.
23 Ridwan Syahrani, 1985, Seluk-Beluk dan Azas-Azas Hukum Perdata, Alumni,Bandung, hal. 203.
20
tidak dapat memenuhi kewajibannya. Atau dengan kata lain, bila
terjadi kegagalan dalam penagihan piutang oleh perusahaan
factor terhadap customer. Yang dipersoalkan disini adalah
mengenai tanggung jawab klien sebagai pihak yang mengalihkan
/ menjual piutang perlu mendapatkan kepastian.
Dalam konteks transaksi Anjak Piutang, guna menjamin
adanya keamanan dan kenyamanan dalam melakukan transaksi,
harus ada kepastian hukum siapa pihak yang harus bertanggung
jawab atas kegagalan penagihan piutang terhadap customer.
Beban risiko kegagalan penagihan piutang itu apakah menjadi
beban dan tanggung jawab klien atau perusahaan factor.
2. Teori Mengikatnya Kontrak
Dipergunakannya teori tentang kontrak/perjanjian dalam
membedah permasalahan yang pertama penelitian ini mengingat
dasar hubungan hukum antara pihak-pihak dalam transaksi anjak
piutang (factoring) adalah kontrak/perjanjian. Dengan prinsip
kebebasan berkontrak, para pihak dapat dan bebas membuat
perjanjian/kontrak, termasuk perjanjian/kontrak anjak piutang
(factoring).
Sistem hukum Indonesia menganut prinsip kebebasan
berkontrak. Azas kebebasan berkontrak inilah yang menjadi dasar
utama terhadap justifikasi adanya transaksi anjak piutang
21
(factoring). Dengan demikian, tidak diragukan lagi eksistensi anjak
piutang sebagai lembaga pembiayaan yang dasarnya adalah
kontrak/perjanjian.
Ditinjau dari jenis perjanjian anjak piutang bila
dibandingkan ke dalam penggolongan menurut BW, termasuk
dalam perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst), yaitu
perjanjian yang tidak diatur dalam BW (Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata), akan tetapi terdapat di dalam masyarakat.24 Suatu
perjanjian tersebut sebagai perjanjian tidak bernama sebab pada
waktu kodifikasi belum dikenal dan oleh karenanya belum diberi
nama dalam kodifikasi. Pada dasarnya boleh-boleh saja membuat
perjanjian di luar BW, yaitu berdasarkan azas kebebasan
berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 ayat (1) BW, yaitu
kesusilaan, kepatutan, dan ketertiban umum (openbare order).
Dalam ilmu hukum kontrak/perjanjian dikenal berbagai teori
tentang mengikatnya kontrak. Adapun teori-teori tersebut adalah
sebagai berikut; 25
(1) Teori Kehendak (Will Theory)
Menurut teori ini suatu kesepakatan mengikat karena memang
merupakan keinginan para pihak yang menginginkan
24 Mariam Darus Badrulzaman, et.al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. CitraAditya Bakti, Bandung, hal. 67.
25 Huala Adolf, 2007, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, PT.Refika Aditama, h. 18.
22
kesepakatan itu mengikat. Para pihak sendirilah yang pada
intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri.
(2) Teori Persetujuan (The Bargain Theory),
Teori persetujuan ini nampaknya mengikat teori pertama.
Menurut teori ini dasar mengikatnya suatu kontrak bukan
kehendak para pihak, tetapi persetujuan para pihak. Persetujuan
yang telah dibuat oleh para pihak mengikat sepanjang apa yang
telah disepakati oleh para pihak.
(3) Teori Kesetaraan (The Equivalent Theory)
Menurut tori ini bahwa para pihak dalam kesepakatan tersebut
telah memberikan kesetaraan (kesamaan bagi para pihak).
(4) Teori Kerugian (Injurious Reliance Theory)
Menurut teori ini bahwa kesepakatan itu mengikat karena para
pihak telah menyatakan dirinya untuk mengandalkan pada
pihak yang menerima janji dengan akibat adanya kerugian.
Dengan kata lain, pelanggaran kesepakatan akan menimbulkan
kerugian.
Dari berbagai teori tersebut yang dinyatakan oleh Pound,
tampaknya teori yang lebih tepat adalah teori yang pertama yaitu
teori kehendak (will theory).26 Teori ini tampak sesuai dengan
pandangan para sarjana. Sarjana terkemuka Indonesia, R. Subekti
misalnya mengungkapkan bahwa; “…… perikatan yang lahir dari
26 Ibid.
23
perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak
yang membuat suatu perjanjian”27
Selain itu ada juga aliran atau mazhab dalam filsafat hukum
yang memberika jawaban atas kekuatan mengikat kontrak, yaitu
aliran atua mazhab Hukum Alam. Perlu diketahui bahwa aliran atau
mazhab Hukum Alam merupakan aliran tertua dalam aliran
filsafat. Sarjana yang sangat terkenal pengikut aliran Hukum Alam
ini adalah Hugo Grotius. Menurutnya bahwa kekuatan mengikat
suatu kontrak berasal dari Hukum Alam.
Grotius mencari dasar konsensus itu dalam Hukum Alam. Ia
mengatakan, bahwa “pacta sunt servanda” (janji itu mengikat).
Selanjutnya ia menyatakan lagi “promisorum implendorum
obligation” (kita harus memenuhi janji kita). Lebih lanjut Grotius
dalam teori kontraknya menyatakan, “the theory of the inherent
moral force of a promise made as such, came to prevail”28.
Kekuatan mengikat dari perjanjian adalah adanya
tanggungjawawb moral dari para pembuatnya. Azas
konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan azas
kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan azas kekuatan
mengikat yang terdapat didalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
27 Subekti R, 1979, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h. 3.
28 Grotius dalam Roscoe Pound, 1954, An Introduction to the Philosophy of Law,(Revised Edition), New Haven : Yale University Press, h. 146.
24
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang merupakan arti
pentingnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas
kebebasan berkontrak, yaitu :
1. Bebas membuat jenis perjanjian apapun2. Bebas mengatur isi perjanjian3. Bebas mengatur bentuk perjanjian
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menjadi landasan hukum
terhadap lahirnya perjanjian-perjanjian baru seperti perjanjian
anjak piutang (factoring). Dalam pasal tersebut termuat konsep
hukum sistem terbuka yang berasal dari kalimat “semua perjanjian
mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Selanjutnya disebut sebagai Asas Kebebasan Berkontrak. Dengan
asas ini memberikan kedudukan kedua belah pihak pada posisi
sama kuat.
Berkaitan dengan perjanjian anjak piutang (factoring),
dalam hal sudah diperjanjikan didalam perjanjian pihak klien akan
menjamin piutang yang dialihkan itu, maka selanjutnya pihak klien
akan bertanggung jawab apabila pihak perusahaan factor gagal
melakukan penagihan terhadap customer. Sebaliknya apabila tidak
diperjanjikan dalam perjanjian, maka terhadap adanya kegagalan
penagihan piutang sepenuhnya menjadi resiko perusahaan factor.
Dalam mengkaji tentang transaksi anjak piutang, terutama
tentang mengikatnya perjanjian anjak piutang, maka pandangan
dari Hans Kelsen juga sangat relevan untuk dikemukakan. Salah
25
seorang sarjana terkemuka yang menjelaskan hakikat mengikatnya
suatu kontrak atau perjanjian adalah Hans Kelsen. Maka beliau
yang menarik adalah apa yang beliau sebut sebagai doktrin
transaksi atau tindakan hukum (legal transaction atau juristic act).
Menurut Hans Kelsen Doktrin Transaksi atau Tindakan
Hukum (Legal Transaction atau Juristic Act) terbagi ke dalam dua
bentuk, yaitu: pertama: Transaksi hukum sebagai tindakan yang
menciptakan hukum dan yang menerapkan hukum, bentuk kedua
dari doktrin Transaksi Hukum ini adalah kontrak.29
Menurut Hans Kelsen, transaksi hukum adalah suatu
tindakan dimana individu diberi wewenang oleh (tertib) hukum
untuk mengatur tindakan tindakan tertentu secara sah. Transaksi
inilah yang disebut dengan tindakan yang menciptakan hukum
(law-creating act). Disebut demikian karena tindakan tersebut
melahirkan hak dan kewajiban pada para pihak yang terlibat dalam
transaksi tersebut.30 Tindakan transaksi hukum tersebut bukan
hanya menciptakan hukum tetapi juga adalah tindakan penerapan
hukum (law applying act). Jntuk memungkinkan semua tindakan
tersebut sah, para pihak menggunakan norma-norma hukum (legal
order), yang akan memberikan para individu suatu otonomi hukum
tertentu. Dalam fungsinya sebagai pembentukan hukmn maka
29 Huala Adolf, 2008, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, PT RefikaAditama, Bandung, hal. 16.
30 Ibid.
26
transaksi hukum tersebut sebagai otonomi para pihak (private-
autonomy).
Dengan adanya suatu tindakan hukum, maka terbentuklah
suatu norma-norma hukum (umum) yang mengatur hubungan
timbal balik para pihak. Menurut Hans Kelsen norma-norma hukum
ini disebut sebagai norma kedua (Secondary Norm), karena
tindakan hukum tersebut melahirkan hak dan kewajiban hukum
yang apabila hak dan kewajiban tersebut dilanggar maka dapat
menimbulkan suatu sanksi. Norma kedua ini mengatur tingkah laku
atau perbuatan para pihak.31
Bentuk kedua dari dari suatu transaksi disebut kontrak pada
hakekatnya adalah transaksi hukum yang bersifat hukum perdata
(legal transaction of civil law), Kontrak adalah semata-mata
pernyataan kehendak dari dua atau lebih individu. Pernyataan ini
merupakan syarat yang harus ada. Tanpa adanya pernyataan
kehendak, maka kontrak yang dibuat tidak dapat dikuatkan oleh
prosedur hukum (pengadilan), pernyataan ini baru mengikat apabila
pernyataan ini ditujukan kepada pihak lain dan pihak lain
menyatakan menerima; adanya tindakan dua pihak ini sebagai
transaksi hukum dua pihak.32
31 Ibid, hal. 17
32 Ibid.
27
3. Teori Hak dan Kewajiban
Seperti telah dikemukakan di atas, dasar dari transaksi anjak
piutang adalah perjanjian/kontrak. Antara perusahaan factor
dengan klien dan hubungan hukum perjanjian/kontrak, dan dari
hubungan hukum tersebut melahirka hak dan kewajiban.
Disamping hak dan kewajiban, ada juga tanggung jawab yang
harus dan dapat dibebankan kepada perusahaan factor maupun
klien.
Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan
hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum.
sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk
dipenuhi. Kepentingan pada hakekatnya mengandung kekuasaan
yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam
melaksanakannya.33
Menurut Soerjono Soekanto dan Otje Salman, hak
merupakan suatu wewenang untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, dan secara sosiologis, hak merupakan suatu
peranan atau lebih tepat peranan yang diharapkan ("Ideal role",
"expected role")34
33 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,Yogyakarta, hal. 40
34 Soerjono Soekanto dan Otje Salman, 1996, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial,Radjawali Press, Jakarta, hal 96
28
Bachsan Mustafa, memberikan definisi hak adalah
kekuasaan dan kekuasaan itu dapat dipertahankan terhadap setiap
orang, artinya setiap orang harus mengakui, menghormati, dan
mengindahkan kekuasaan itu.35
Begitu juga H.J.Mc. Closkey, secara umum hak dapat
diartikan sebagai klaim atau kepemilikan individu atas sesuatu.36
Seseorang dikatakan memiliki hak jika dia memiliki klaim untuk
melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu, atau jika orang lain
bekewajiban melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu
kepadanya.37
Pada dasarnya hak bersumber pada tiga hal :
1) Dari kodrat manusia sebagai manusia yang diciptakan olehAllah. Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia mempunyaisejumlah hak sebagai manusia dan untuk mempertahankankemanusiaannya, misalnya hak untuk hidup, kebebasan dansebagainya. Hak ini.lah yang disebut.
2) Hak yang hadir dari hukum, yaitu hak-hak yangdiberikan oleh hukum negara kepada manusia dalamkedudukannya sebagai warga negara/warga masyarakat.Hak inilah yang disebut dengan hak hukum, hak dalamartian yuridis (juga disebut sebagai hak dalam artiansempit). Misalnya hak untuk memberikan suara padapemilihan umum, hak untuk mendirikan bangunan dansebagainya.
35 Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu. PT. Aditya Bakti,Bandung, hal. 39.
36 H.J.Mc.closkey dalam John Pieris dan Wiwik Sri Wiarty,2007, Negara Hukumdan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Kedaluarsa, Pelangi Cendekia, Jakarta,hal. 48.
37 Ibid.
29
3) Hak yang lahir dari hubungan hukum antara seseorang danorang lain melalui sebuah kontrak/perjanjian.Misalnya, seseorang meminjamkan mobilnya kepada oranglain, maka orang lain itu mempunyai hak pakai atas mobiltersebut. Meskipun hak ini berasal dari hubungankontraktual, tetap mendapat perlindungan dari hukum jikakontrak yang dibuat untuk melahirkan hak itu sah menuruthukum. Karena itu, hak ini juga masuk dalam kelompok hakhukum.38
Hak yang bersumber dari hukum39 maupun perjanjian itu
dibedakan menjadi hak kebendaan dan hak perorangan. Lebih
lanjut diberikan pengertian dari kedua hak tersebut sebagai berikut
:
Hak kebendaan berkaitan dengan penguasaan langsung atas suatubenda yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang.Sedangkan hak perorangan memberikan suatu tuntutan ataupenagihan terhadap seseorang. Dalam Hukum Romawi keduanyadisebut dengan "actiones in rent" untuk tuntutan kebendaan dan"actiones in personam" untuk tuntutan perseorangan.
Sementara kewajiban, menurut Bachsan Mustafa
didefinisikan sebagai sesuatu keharusan, yaitu keharusan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu atas
tuntutan satu orang atau lebih yang berhak.40 Dalam ilmu hukum
dikenal 3 (tiga) macam kewajiban, yaitu ;
1) Kewajiban hukumYaitu kewajiban yang harus dipenuhi sebab apabila tidakdipenuhi akan menimbulkan akibat hukum. Kewajibanhukum itu timbul dari suatu perikatan, baik perikatan
38 Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. CitraAditya Bakti, Bandung, h. 35-36.
39 Subekti R. 1989, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intenmsa, Jakarta, hal. 63.
40 Bachsan Mustafa, Op.Cit, hal.40.
30
yang timbul dari perjanjian maupun perikatan yangtimbul dari undang-undang.
2) Kewajiban alamiahAdanya dalam perikatan alamiah, Natuurlijkeverbintenisseri). Pada kewajiban alamiah, kewajiban itutetap ada, tetapi yang berhak "kehilangan hak untukmenuntut", yaitu kehilangan hak untuk memaksa agaryang mempunyai kewajiban memenuhi kewajibannya.Kehilangan hak menuntut ini disebabkan ada keputusanhakim yang menyatakan, bahwa "yang mempunyaikewajiban itu ada dalam keadaan tidak mampu untukmemenuhi kewajibannya", misalnya atas pemohonandebitur agar ia oleh hakim dinyatakan dalam keadaanpailit, keadaan tidak mampu untuk membayar hutangnya,berdasarkan Undang-Undang Kepailitan.
3) Kewajiban moralPada kewajiban moral, kewajiban ini tidak harusdipenuhi, bergantung pada keadaan keuangan/ekonomiyang mempunyai kewajiban moral itu. Atau denganperkataan lain, pemenuhan kewajiban moral adalahsukarela, tidak ada paksaan dari luar, selain paksaansuara hati nuraninya. Sebagai contoh, misalnya, seorangalumnus mempunyai kewajiban moral kepadaalmamaternya untuk membantunya dalammengembangkan ilmu dan teknologi. Kewajiban moralini tidak harus dipenuhi bergantung kepada kemampuankeuangan alumnusnya.41
4. Teori Fungsi Hukum (Sebagai Pengayom)
Dalam upaya memberikan pengayoman atau melindungi
pihak-pihak dalam transaksi anjak piutang, terutama terhadap
pihak perusahaan factor yang memikul resiko dari kemungkinan
adanya kegagalan penagihan piutang, maka teori fungsi hukum
sebagai pengayoman dari Sahardjo, mantan menteri kehakiman
41 Bachsan Mustafa, Loc.Cit.
31
dalam Kabinet Presiden Soekarno sangat relevan untuk
diperhatikan.
Menurut Sahardjo, hukum berfungsi mengayomi atau
melindungi manusia dalam bermasyarakat dan berbangsa serta
bernegara, baik jiwa dan badannya maupun hak-hak pribadinya
yaitu hak asasinya, hak-hak kebendaannya, maupun hak
perorangannya. Lambang fungsi pengayoman ini adalah pohon
beringin yang melindungi dan memberikan kesejukan dan
kedamaian kepada segala yang ada di bawahnya, yaitu masyarakat
dengan segala apa yang ada di dalamnya.42
Berkaitan dengan fungsi hukum untuk mengayomi atau
melindungi masyarakat maka relevan juga dikemukakan teori
utilitarisme dari Jeremy Bentam. Salah satu substansi teori Jeremy
Bentam yaitu teori perundang-undangan atau prinsip legislasi,
dimana yang menjadi tujuan pembentukan hukum oleh pembentuk
undang-undang (legislator) adalah manfaat umum (kebaikan
publik).
Di dalam hukum privat (perdata) tujuan hukum diutamakan
untuk mencapai kebahagiaan masyarakat yang terangkum dalam
empat tujuan, yaitu :
1. Sumber nafkah
2. Kemakmuran
42 Sahardjo dalam Bachsan Mustafa , Op.Cit. h. 22
32
3. Kesetaraan
4. Rasa aman43
Dalam konteks hukum perjanjian, maka perjanjian yang
dibuat oleh para pihak secara tahap demi tahap akan tercapai suatu
kemakmuran dimana akan berdampak pada semakin besar usaha
yang bisak dilakukan oleh seseorang dan semakin besar motivasi
seseorang dalam menggerakkan usahanya.44
Dengan tercapainya kemakmuran dalam masyarakat yang
bersumber dari banyaknya sumber nafkah yang tersedia, maka
akan memberikan kesetaraan bagi anggota masyarakat. Posisi
tawar-menawar antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain akan sama-sama seimbang apabila mereka berada pada
tingkat kemakmuran yang sama. Oleh sebab itu pembuat hukum
dan kebijakan acapkali merumuskan hukum tidak lepas dari tujuan
utamanya yaitu terciptanya suatu kesetaraan (equity), yang
cakupannya lebih luas dibandingkan dengan keadilan (justice).
Menurut Bentham, hukum barulah diakui sebagai hukum
jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap
sebanyak-banyaknya orang. Prinsip ini dikemukakan dalam
43 Jeremy Bentham, 2006, Teori Perundang Undangan Prinsip Legislasi HukumPerdata dan Hukum Pidana, terjemahan dari The Theory of Legislation, Nusa Media,Bandung, h. 125.
44 Zainal Asikin, 2009, Perjanjian Build And Transfer Antara Pemerintah DaerahDengan Pihak Swasta Dalam Penyediaan Infrastruktur, Disertasi Universitas BrawijayaMalang, h. 73.
33
karyanya yang berjudul “Introduction to the Principles of Moral
and Ligislation” (1789) yang berbunyi bahwa hukum bertujuan
untuk “the greatest happiness of the greatest number”.45
Bagi Jeremy Bentham tujuan perundang-undangan adalah
untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu
perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai empat
tujuan:
1) To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup)
2) To provide abundance (untuk memberikan makanan yang
berlimpah)
3) To provide security (untuk memberikan perlindungan)
4) To provide equity (untuk mencapai persamaan)46
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Dalam melakukan penelitian ilmiah harus didukung
oleh metode tertentu, sehingga penelitian tersebut dapat
berlangsung secara terencana dan teratur. Van Peursen
menterjemahkan pengertian metode secara harfiah. Mula-mula
metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh
45 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan(Judicial producence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), KencanaPrenada Media Group, Jakarta, h. 78.
46 Ibid.
34
menjadi penyelidikan atau penelitian, berlangsung menurut
suatu rencana tertentu.47
Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi yang
dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.48
Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan tesis
ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian
hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan
pada data sekunder.49
1.8.2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum normatif dikenal
adanya beberapa jenis pendekatan yang dipergunakan.
Adapun jenis-jenis pendekatan dimaksud adalah :
a. Pendekatan Kasus (The Case Approach)
b. Pendekatan Perundang-udangan (The Statue Approach)
c. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)
d. Pendekatan Analisa Konsep Hukum (Analitical and
Conceptual Approach) .
e. Pendekatan Prasa (Word and Pharase Approach).
47 Van Peursen dalam Djony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi PenelitianHukum Normatif, Bayu Publishing, Malang, h. 26.
48 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 42(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I)
49 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,CV. Rajawali, h. 15. (Selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II)
35
f. Pendekatan Sejarah (Historical Approach).
g. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).
Berkaitan dengan penelitian tesis ini dipergunakan
pendekatan perundang-undangan (the statue approach),
pendekatan analisa konsep hukum (analytical and conceptual
approach) dan pendekatan fakta (the fact approach).
Permasalahan penelitian dikaji dengan mempergunakan
interprestasi hukum dengan uraian yang argumentif
berdasarkan teori. azas, dan konsep hukum yang relevan.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian hukum normatif, bahan hukum
mencakup, pertama, bahan hukum primer, kedua, bahan
hukum sekunder, dan ketiga, bahan hukum tertier. Bahan
hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier. Adapun bahan-bahan hukum dimaksud adalah sebagai
berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki
kekuatan mengikat, yaitu;
1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
2) Keputusan Menteri Keuangan No. 84/PMK.012/2006
tentang Perusahaan Pembiayaan
36
3) Burgerlijke Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata)
b. Bahan hukum sekunder; yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer,
yaitu meliputi; buku-buku literatur, jurnal, makalah, dan
bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan
dengan permasalahan penelitian.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa
kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.
1.8.4. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi
dokumen. Bahan hukum yang berhasil diinventarisir
kemudian diidentiflkasi serta diklasifikasikan dengan
melakukan pencatatan secara cermat dan sistematis sesuai
dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. Tujuan dari teknik
dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi,
teori-teori, pendapat-pendapat, penemuan-penemuan yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian.50
50 Rony Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,Ghatia, Indonesia, Jakarta, h. 98
37
1.8.5. Tehnik Analisis
Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam
penelitian ini, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan hukum tertier, dianalisis dengan
menggunakan teknik deskripsi, interprestasi, evaluasi, dan
argumentasi. Pengertian dari masing-masing teknik analisis
dimaksud dapat diberikan penjelasan sebagai berikut :
a. Tehnik deskripsi, adalah berupa uraian apa adanya
terhadap suatu kondisi atau proposisi-proposisi
hukum maupun non hukum.
b. Tehnik interprestasi, adalah menggunakan jenis-
jenis penafsiran dalam hukum, terutama penafsiran
kontekstualnya.
c. Tehnik argumentasi, yaitu penilaian yang didasarkan pada
alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
d. Tehnik evaluasi, yaitu penilaian tepat atau tidak tepat,
benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap
suatu pandangan atau proposisi, pernyataan rumusan
norma, keputusan baik yang tertera dalam hukum primer
maupun sekunder.