1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada pertengahan 1997 hingga tahun 1998 Indonesia dilanda krisis
moneter. Pemerintahan waktu itu yang dipimpin oleh Presiden Soeharto
untuk kali ketujuh menjadi sasaran dan target utama untuk diruntuhkan atau
dilengserkan. Aksi protes, demonstrasi, dan gerakan sosial marak dilakukan
oleh berbagai komponen masyarakat terutama mahasiswa di berbagai wilayah
Indonesia.1 Gerakan-gerakan sosial tersebut lahir salah satunya diakibatan
oleh ketidakpuasan terhadap keadaan politik yang stagnan dan dirasa
memasung kebebasan, di mana pada mulanya embrio gerakan ini hanya
dimulai dari sekelompok orang yang saling berbagi duka dan mengeluh,
kemudian membesar dan semakin terorganisir.2 Dalam hal ini Gusfield juga
berpendapat bahwa kepentingan-kepentingan yang dikemas dalam suatu
gerakan sosial didasarkan pada perhatian untuk mereformasi dan menentang
mobilisasi partisan dalam suatu upaya terorganisir untuk mengubah struktur
institusional dan politik masyarakat.3
1 Nordholt, Henk Shculte & Irwan Abdullah, 2002, Indonesia: In Search of Transition.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 3. 2 Horton, Paul B & Chester L. Hunt, 2004, Sosiologi Edisi Keenam, (terjemah Aminudin
Ram & Tita Sobari), Jakarta: Erlangga, halaman 195. 3 Gusfield, Joseph R, 1994, “The Reflexivity of Social Movements: Collective Behavior and
mass Society Theory Revisited” in Enrique Larana, Hank Johnston, and Joseph R. Gusfield. New
Social Movements: From Ideology to Identity, Philadelphia: Temple University Press, halaman 59.
2
Gerakan dan aksi sosial yang dipelopori oleh mahasiswa tersebut
menuai hasil, pada tanggal 21 Mei 1998 secara resmi Soeharto mengundurkan
diri, dan berdasarkan ketentuan konstitusi4 secara otomatis tampuk kekuasaan
beralih kepada B. J. Habibie selaku Wakil Presiden.5 Peristiwa ini juga
sebagai tanda lahirnya Reformasi. Reformasi menjadi harapan bagi segenap
masyarakat untuk mengadakan perubahan menuju penyelenggaraan Negara
yang demokratis, transparan, akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good
governance dan adanya kebebasan berpendapat.
Hal ini tersebut dipandang penting dalam mendekatkan bangsa ini pada
pencapaian tujuan nasional seperti dalam amanat Pembukaan UUD 1945.6
Ada beberapa tuntutan reformasi yang dianggap mendesak pada saat itu,
diantaranya adalah amandemen UUD 1945. Tuntutan perubahan UUD 1945
didasarkan pada pandangan bahwa dalam UUD 1945 belum cukup memuat
landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan
penghormatan HAM. UUD 1945 sebelum perubahan merupakan sebuah
UUD yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi
penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup yang
menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai bidang
kehidupan.7 Disisi lain, tuntutan amandemen ini meruntuhkan sebuah mitos
4 Dalam pasal 8 UUD 1945 (sebelum amandemen) disebutkan bahwa “Jika Presiden
mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti
oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. 5 Willem Oltmans, 2001, Chaos in Indonesia, (terjemahan Wahjoedi Marjono, Surya Multi)
Jakarta: Grafika, halaman 7. 6 Tujuan Nasional dalam pembukaan UUN 1945: 1) Melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa; 3) Ikut melaksanakan ketertiban dunia. 7 MPR RI, 2003, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekretariat Jendral
MPR RI: Jakarta, halaman 7.
3
atau suatu pandangan yang sengaja dibangun oleh Presiden Soeharto pada
waktu itu bahwa UUD 1945 bernilai “keramat”.8
Amandemen UUD 1945 dilakukan empat kali9, berturut-turut tanggal
19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, tanggal 10 November 2001, dan tanggal
l0 Agustus 2002.10 Keseluruhan amandemen tersebut mencakup 75 “pasal”
dilakukan dengan mengikuti bentuk adendum atau sistem amandemen
Konstitusi Amerika Serikat, yakni bagian yang diamandemen merupakan atau
menjadi bagian dari konstitusi UUD 1945.11
Konsekuensi dari amandemen konstitusi tersebut adalah berubahnya
sistem politik ketatanegaraan, diantaranya adalah perubahan sistem
kelembagaan Negara dari sistim MPR sebagai lembaga tertinggi negara,
berwenang menentukan arah pembangunan bangsa melalui GBHN (Garis-
garis Besar Haluan Negara) menjadi MPR sebagai lembaga tinggi negara,
sejajar dengan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pasca amandemen
UUD 1945, MPR sebagai lembaga permusyawaratan adalah tempat bertemu
8 Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia, Jakarta: Gema Insani
Press, halaman 12-13. 9 Menurut Mahfud MD, perubahan UUD 1945 setelah reformasi ini hanyalah satu kali
tetapi disahkan dalam empat tahap. Karena sebenarnya selama empat tahun MPR tak berhenti
membahas perubahan itu. A ntar bulan setelah pengesahan ke bulan pengesahan nerikutnya MPR
melalui Paniti Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tak pernah berhenti membahas perubahan UUD
tersebut. Faktanya perubahan itu berkelanjutan dan bukan mengamandemen terhadap hasil
amandemen sebelumnya. Periksa Moh. Mahfud MD, 2012, Konstitusi dan Hukum dalam
Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Press, halaman 73. 10 UUD 1945 Pasca Amandemen Keempat, adalah dengan nama resmi “Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” lihat Ismail Suny, 2006, Amandemen UUD 1945
dan Implikasinya Terhadap Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah,
disampaikan pada Seminar tentang “Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil
Amandemen”, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departeman Hukum dan
HAM RI, Jakarta, 29-31 Mei 2006, halaman 2. 11 Taufiqurrohman Syahuri, 2010, Metode Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Perbandingannya dengan Konstitusi di Beberapa Negara, Jurnal Hukum Nomor 4 Vol. 17,
Oktober 2010, halaman 527.
4
dua lembaga legislatif DPR RI dan DPD RI yang memiliki dua wewenang12.
Pertama, wewenang terhadap UUD (mengubah dan menetapkan UUD).
Kedua wewenang terhadap Presiden (melantik dan memberhentikan
Presiden). Sementara wewenang MPR untuk menentukan arah pembangunan
nasional dihapus. Tujuan dari perubahan sistim ini adalah untuk membangun
demokrasi kelembagaan agar tidak ada hirarki kelembagaan.
Pembangunan nasional merupakan upaya semua komponen bangsa
yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana
diamanatkan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan berdasarkan Pancasila. Sebagai konsekuensi dari tidak adanya
wewenang MPR sebagai lembaga permusyawaratan untuk menafsir dan
menjabarkan pasal-pasal UUD 1945 dalam bentuk GBHN adalah berubahnya
sistem dan lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai upaya
berkesinambungan untuk merealisasikan tujuan nasional.
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diatur dengan UU No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, kemudian
undang-undang ini mengamanatkan13 lahirnya undang-undang tentang
RPJPN, yaitu UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN. Kedua regulasi ini
memuat visi, misi, arah pembangunan nasional, dengan sistimatika Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) per-20 tahun dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) per-5 tahun.
RPJMN disusun oleh Presiden dan ditetapkan dengan Peraturan Presiden RI
12 Lihat pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 13 Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, menyatakan RPJP nasional ditetapkan dengan UU.
5
dengan tujuan meningkatkan taraf hidup, pemenuhan kecerdasan, dan
kesejahteraan masyarakat.
Tetapi hadirnya RPJPN ternyata tidak serta merta membuat puas
mereka yang menghendaki hadirnya sebuah dokumen pedoman perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan sebagaimana GBHN. Hampir 15 tahun
berjalan, RPJPN mendapat banyak tangapan kritis karena dianggap tidak
representatip sebagai pengganti GBHN, alias tidak kredibel untuk disebut
sebagai panduan dalam pelaksanaan pembangunan. Diantara kritik tersebut
datang dari Wakil Ketua MPR, Hajrianto yang mengatakan bahwa dokumen
RPJPN yang berupa UU lemah dibandingkan GBHN yang berstatus sebagai
TAP MPR.14 Senada dengan Cholidah Mahmud, bahwa status sebagai
undang-undang, RPJPN diyakini tidak akan powerful untuk menjadi rujukan
utama perencanaan pembangunan nasional. Dibanding GBHN yang pada
masanya begitu sakral sehingga “haram” untuk dilanggar.15
Oleh karena itu maka penulis sangat tertari untuk menelaah
pernadingan Garis-garis Besar Haluan negara “karya” Majeris
Permusyawaratan Rakyat dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional “karya” Presiden berikut wakilnya, setidaknya meliputi kekuatan
mengikat dan nilai konstitusionalitas masing-masing kebijakan. Kemudian
menarik simpulan terkait kemungkinan menghidupkan kembali GBHN
sebagai pijakan Pembangunan Nasional. Sehingga penulis mengambil judul
14 Robertus Wardhy, 2013, MPR Hidupkan Lagi GBHN, (online), diakses dari http://
www.beritasatu.com, pada 3 Oktober 2015. 15 Cholidah Mahmud, 2012, Reformulasi GBHN Menguatkan Kedudukan Pedoman
Pembangunan Nasional, Makalah, disampaikan dalam FGD tentang “Reformulasi Model GBHN:
Upaya Mewujudkan Kesatuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah”,
Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Kamis, 6
September 2012.
6
“KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM DINAMIKA
KETATANEGARAAN INDONESIA (STUDI KOMPARATIF GBHN
DAN RPJPN TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbandingan GBHN dan RPJPN terhadap pembangunan
nasional?
2. Bagaimanakah prospek GBHN dimunculkan lagi sebagai kebijakan
perencanaan pembangunan nasional?
C. Tujuan
Tujuan penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perbandingan GBHN dan RPJPN dalam “mengawal”
pembangunan nasional;
2. Untuk mengetahui prospek menghidupkan kembali GBHN sebagai Acuan
Pembangunan Nasional;
D. Manfaat Dan Kegunaan
1. Manfaat Teoritis
Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan manfaat sumbangan
pemikiran untuk perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya
pemahaman tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
7
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Karya tulis ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam
rangka menunjang pengembangan ilmu bagi penulis pada
khususnya, mahasiswa fakultas hukum dan seluruh masyarakat
Indonesia pada umumnya.
b. Bagi Pemerintah
Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan masukan, sumbangan
pemikiran serta konstribusi bagi pemerintah untuk terus berbenah
memperbaiki “tangga” menuju “tujuan negara” yang telah digariskan
oleh para Faunding People16.
c. Bagi Masyarakat
Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
membangun kesadaran masyarakat untuk saling mendukung
terciptanya pembangunan nasional secara efektif dan efisien.
E. Metode Penulisan
1. Metode pendekatan
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian
masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai
tujuan penelitian atau penulisan.17 Berdasarkan ruang lingkup serta
16 Menurut Mahfud MD, sebutan faunding people sebenarnya lebih tepat daripada faunding
father, karena “faunding father” seakan-akan hanya mengakui bapak-bapak pendiri. Padahal
kenyataannya anggota BPUPKI dan/atau PPKI itu ada juga kaum perempuannya. Telusuri Moh.
Mahfud MD, 2012, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Press,
halaman 25. 17 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, halaman 112.
8
identifikasi masalah sebagaimana telah diuraikan, untuk mengkaji secara
komprehensif dan holistik pokok permasalahan, akan ditelusuri dengan
menggunakan tipe penelitian yuridis normatif (normatif legal research).
Yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
perundang-undangan, dan didukung dengan literatur yang ada mengenai
pokok permasalahan yang dibahas.
Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah pertama,
pendekatan historis (historical approach) yang bertujuan mencari sejarah
dan pengaturan dan praktek pedoman pembagunan nasional di Indonesia.
Kedua, pendekatan komparatif (comparative approach) antara RPJPN
dan GBHN, Ketiga, pendekatan konsep (conceptual approach) yaitu
penulis hendak menawarkan konsep model pedoman pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhan bangsa.
2. Bahan Hukum18
Bahan hukum penulisan hukum ini meliputi:
a. Bahan Hukum Primer19 meliputi: Undang Undan Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun1945, Tap MPR No. IV/MPR/1973
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Tap MPR No.
18 Dalam penelitian ini tidak digunakan istilah “data”, tapi istilah “bahan hukum”, karena
dalam penelitian normatif tidak memerlukan data, yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadap
bahan hukum. Dalam Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Malang: Bayumedia, halaman 268-269. 19 Bambang Sunggono, 1998, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, halaman. 116. Bambang mengemukakan bahwa bahan hukum Primer yaitu bahan hukum
yang mengikat yang terdiri dari, 1). Norma atau kaidah dasar pembukaan UUD 1945. 2). Peraturan
dasar, yaitu UUD 1945 dan Ketetapan-ketetapan MPR. 3). Peraturan perundang-undangan. 4).
Bahan hukum yang tidak dikodifikasi, misalnya hukum adat. 5). Yurisprudensi. 5). Traktat. 7).
Bahan hukum dari zaman penjajahan yang kini masih berlaku. Dalam UU No. 12 Tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dinyatakan bahwa peraturan perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum.
9
IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Tap MPR
No. II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Tap
MPR No. II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara,
Tap MPR No. II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara, Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.
b. Bahan Hukum Sekunder: Bahan hukum sekunder diperoleh dari
jurnal-jurnal, buku-buku, makalah, atau sumber-sumber lain baik
cetak maupun online yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini
seperti.
c. Bahan Hukum tersier: merupakan bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan bahan-bahan hukum primer dan sekunder
seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia,
dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah model studi
kepustakaan (library research). Yaitu pengkajian informasi tertulis
mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan
secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif,20 yakni
20 Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia, halaman 392
10
penulisan yang didasari pada data-data yang dijadikan obyek penulisan
kemudian dikaji dan disusun secara komprehensif.
4. Teknik Analisa Bahan Hukum
Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif
yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-
pasal di dalam undang-undang. Kemudian membuat sistematika dari
data-data tersebut sehingga akan menghasilkan perbadingan antara
GBHN dan RPJPN. Data yang dianalisis secara kualitatif akan
dikemukan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan
hubungan antar jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah
kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan
dan mengungkapkan dasar hukumnya dan dapat memberikan solusi
terhadap permasalahan yang dimaksud.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis membagi dalam 4 bab
dan masing-masing bab terdiri atas sub yang bertujuan agar mempermudah
pemahamannya. Adapaun sistematika penulisannya sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab yang memuat pendahuluan yang meliputi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis akan memaparkan landasan konsep, teori, atau
kajian teori, berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti,
meliputi: pertama, pembangunan nasional, di dalamnya memuat
tentang pembangunan nasional dalam GBHN dan pembangunan
nasional dalam RPJPN. Kedua, teori kedaultan rakyat, dalam hal ini
akan dipaparkan mengenai pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam
dinamika ketatanegaraan Indonesia. Ketiga, konstitusi dan konvensi
ketatanegaraan, dalam hal ini dipaparkan mengenai teori-teori
konstitusi dan praktek konvensi ketatanegaran yang merupakan salah
satu sumber hukum tata negara. Keempat, teori kebijakan publik,
dalam hal ini akan dipaparkan mengenai pengertian kebijakan
publik, tatap-tahap formulasi kebijakan publik, serta hubungan
hukum dengan kebijakan publik.
BAB III PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan tengtang gambaran mengenai
pembahasan dari rumusan masalah yang diangkat, yaitu mengenai
bagaimana perbandingan GBHN dan RPJPN terhadap pembangunan
nasional dan bagaimana prospek GBHN dimunculkan lagi sebagai
pedoman pembangunan nasional. Uraian pembahasan yang diangkat
oleh penulis serta dianalisis secara content, comparative dan
dianalisa kesesuaian atau keselarasan berdasarkan kenyataan yang
ada (yang terjadi) didukung dengan teori-teori yang relevan dengan
permasalahan dalam penulisan ini.
12
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini dimana
berisi kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya serta berisikan
saran penulis dalam menanggapi permasalahan yang menjadi fokus
kajian serta berisikan saran dan rekomendasi penulis sehingga
diharapkan menjadi masukan yang bermanfaat bagi semua pihak.