ANGIOEDEMA
(Sitti Fatimah Siampa, Rohana Sari Suaib)
A. DEFINISI
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan
submukosa.(1-6) Hal ini pertama kali diungkapkan pada tahun 1586. Istilah lainnya
seperti giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema telah digunakan
sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini.(1)
Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Faktanya, sebanyak
50% pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema. Pada banyak kasus,
angioedema sangat mirip dengan urtikaria berdasarkan etiologi dan strategi
penatalaksanaannya.(1)
Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan
menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin yang
dilepaskan setempat akan menimbulkan vasodilatasi yang menyebabkan
timbulnya red flare (kemerahan) dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat
sehingga dalam beberapa menit kemudian akan terjadi pembengkakan setempat
yang berbatas jelas.(7)
Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria. Angioedema
selalu melibatkan lapisan dermis yang lebih dalam atau jaringan submukosa atau
subkutaneus, sementara urtikaria melibatkan lapisan dermis yang lebih superficial.(1)
B. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, angioedema (tidak termasuk angioedema herediter
[Hereditary Angioedema (HAE)] dan angioedema yang didapat [Acquired
Angioedema(AAE)]) terjadi pada 10-20% populasi pada beberapa waktu dalam
kehidupan. Mayoritas angioedema kronik adalah idiopatik. Diperkirakan
prevalensi HAE sebanyak 1 per 10.000-150.000 orang. AAE lebih jarang
ditemukan. Sampai tahun 2006, hanya sekitar 136 kasus yang dilaporkan dalam
1
literatur. Sedangkan menurut laporan, insidensi Angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitor-induced angioedema (AIIA) bervariasi dari 0.1% - 6%.(4)
Ras Afrika-Amerika lebih rentan menderita angioedema yang diinduksi
oleh penggunaan ACE-inhibitor. Sementara, angioedema tipe lainnya tidak
memiliki hubungan yang jelas antara ras dengan jumlah dan derajat keparahan
penyakit.(1)
Angioedema idiopatik lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
pria. Angioedema tipe lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang kuat
antara insidensi angioedema dengan jenis kelamin. Pada HAE, estrogen
berpengaruh terhadap frekuensi serangan dan derajat keparahan gejala yang
ditimbulkan. Berdasarkan literatur, estrogen dianggap mampu memperburuk
angioedema tipe tertentu.(3)
Angioedema dapat terjadi pada segala tingkatan usia. Orang-orang dengan
predisposisi untuk terjadinya angioedema mengalami peningkatan frekuensi
serangan setelah dewasa dan insidensi puncaknya terjadi pada dekade ketiga.
Reaksi alergi terhadap makanan paling sering pada anak-anak. Pasien dengan
HAE, onset gejala sering kali terjadi di usia pubertas. Usia rata-rata pada pasien
dengan angioedema karena induksi oleh ACE-inhibitor adalah 60 tahun.
Angioedema idiopatik paling sering terjadi pada usia 30-50 tahun dibandingkan
grup usia lainnya.(1)
C. ETIO PATOGENESIS
Pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari
peningkatan permeabilitas vaskuler lokal pada jaringan submukosa dan
subkutaneus.(1)
Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema,
pseudoallergic angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic angioedema.(1)
1. Allergic angioedema
Berdasarkan studi yang dilakukan, angioedema paling sering disebabkan
oleh alergi. Sekitar 48 orang pasien dengan allergic angioedema, sebanyak 41.7%
kasus disebabkan oleh makanan, 39.6% oleh obat-obatan, 8.3% oleh binatang, dan
2
sekitar 10.4% dipengaruhi oleh aeroalergen. Makanan yang paling sering
mencetuskan angioedema adalah makanan laut (70%). Sedangkan obat-obatan
yang diduga menjadi penyebab angioedema adalah antibiotik (12 dari 19 kasus;
63.2%), paling sering amoxisilin (3 dari 12 kasus; 25%).(8)
Allergic angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria.
Angioedema biasanya akan mucul dalam waktu 30 menit sampai 2 jam setelah
terpajan alergen (seperti makanan, obat-obatan, dan bahan latex). Brown
melaporkan sebanyak 142 pasien dengan anafilaksis yang dirawat di IRD,
didapatkan angioedema pada sekitar 40% kasus.(1)
Mast cell merupakan sel efektor utama terjadinya urtikaria dan
angioedema, meskipun sel-sel lainnya juga tidak diragukan kontribusinya.(2)
Alergen makanan yang masuk akan mengakibatkan terjadinya cross-
linking IgE yang melekat pada permukaan mast cell atau basofil. Akibat keadaan
tersebut, terjadi pelepasan mediator, misalnya histamin, leukotrien, dan
prostaglandin, yang selanjutnya akan mengakibatkan gejala klinis. Pelepasan
mediator oleh mast cell, terutama histamin, mengakibatkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vaskular.(8)
2. Pseudoallergic angioedema
Pseudoallergic angioedema tidak dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas
IgE. Akan tetapi gejala yang ditimbulkan sangat mirip dengan allergic
angioedema. Contohnya angioedema yang diinduksi oleh penggunaan NSAIDs
seperti aspirin.(1)
Angioedema akibat induksi NSAIDs didapatkan pada sekitar 20% kasus.
Obat-obatan yang bertanggung jawab terhadap angioedema adalah ibuprofen
(57%), aspirin (19%), diklofenat (9.5%), asam mefenamat (4.8%), naproxen
(4.8%) dan meloxicam (4.8%). Angioedema terjadi akibat blokade jalur
pembentukan prostaglandin oleh penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan
NSAIDs lainnya. Sehingga terjadi akumulasi leukotrien vasoaktif.(7)
3. Non-allergic angioedema
3
Non-allergic angioedema merupakan angioedema yang tidak melibatkan
IgE atau histamin dan umumnya tidak berhubungan dengan terjadinya urtikaria,
termasuk diantaranya:(1)
a. Angioedema Herediter (Hereditary Angioedema (HAE))
Angioedema herediter terdiri atas dua subtipe, yaitu:
Angioedema herediter tipe 1 (85%) adalah kelainan yang diturunkan
secara autosomal dominan akibat mutasi pada gen sehingga terjadi supresi
C1-inhibitor sebagai akibat sekresi abnormal ataupun degradasi
intraseluler.(2)
Angioedema herediter tipe 2 (15%) adalah kelainan yang juga diturunkan
yang ditandai dengan mutasi yang menyebabkan pembentukan protein
yang abnormal. Kadar protein C1-inhibitor bisa normal atau meningkat.(2)
Kurangnya C1-inhibitor merangsang aktivasi jalur pembentukan kinin.
Kinin merupakan peptida dengan berat molekul yang rendah, berpartisipasi
dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sel endotel. Akibatnya terjadi
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan mobilisasi asam
arakhidonat. Reaksi radang seperti kemerahan, rasa panas, edema, dan nyeri
merupakan hasil dari pembentukan kinin.(2)
Gambar 1. Angioedema herediter. Kiri: Edema berat yang terjadi di daerah wajah. Kanan: Angioedema menghilang dalam beberapa jam,
tampak wajah kembali normal
b. Angioedema yang didapat (Acquired Angioedema (AAE))
4
Angioedema yang didapat (AAE) juga terdiri atas dua jenis. AAE-I
berkaitan dengan limpoma sel-B atau penyakit jaringan konektif yang
berhubungan dengan penggunaan C1-inhibitor. Sedangkan AAE-2
merupakan kelainan autoimun, yaitu adanya produksi autoantibody IgG
terhadap C1-inhibitor.(2)
c. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor-induced angioedema
(AIIA)
Frekuensi terjadinya angioedema setelah pemberian terapi ACE-
inhibitor sekitar 0.1% sampai 0.7%. AIIA biasanya melibatkan kepala dan
leher, termasuk mulut, lidah, faring, dan laring. Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) merupakan enzim utama yang bertanggung jawab pada
degradasi bradikinin. Pemberian ACE-inhibitor dikontraindikasikan pada
pasien yang memiliki riwayat angioedema idiopatik, HAE, dan defisiensi
C1-inhibitor yang didapat.(2) Kebanyakan AIIA muncul pada minggu
pertama setelah pengobatan dimulai, hanya sekitar 30% kasus AIIA
muncul setelah beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah dimulainya
terapi.(1)
4. Idiopathic angioedema
Istilah idiopatik merujuk pada suatu penyakit atau kondisi tanpa diketahui
penyebabnya. Berdasarkan respon terhadap terapi, beberapa kasus mungkin saja
dimediasi oleh aktivasi mast cell. Hal yang menjadi pemicu paling sering adalah
panas, dingin, stress emosional, dan latihan. Aktivasi dan degranulasi mast cell
dianggap menjadi penyebabnya.(1)
Diagnosis angioedema idiopatik ditegakkan apabila terdapat angioedema,
tidak ditemukan adanya urtikaria dan tidak ada penyebab eksogen yang
ditemukan.(2)
D. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis dari urtikaria yaitu kulit terasa gatal atau pedih, timbul
bulir-bulir, pada awalnya berwarna putih, kemudian merah muda dalam lingkaran
berwarna putih, lesi-lesi dapat sangat menyebar dan bisa timbul di berbagai
5
tempat sekaligus, tetapi dapat selalu hilang spontan dalam beberapa jam walaupun
lesi baru dapat terus timbul.(9)
Gejala yang sering menyertai urtikaria adalah angioedema, dimana edema
meluas ke dalam jaringan subkutan, terutama disekitar mata, bibir, dan di dalam
orofaring. Adanya pembengkakan dapat mengkhawatirkan, kadang-kadang dapat
menutupi mata secara keseluruhan, dan mengganggu jalan udara untuk
pernapasan.(1)
Gambar 2. Makula eritem pada urtikaria
Gambar 3. Angioedema pada wajah
Gambar 4. Angiedema pada bibir
6
E. DIAGNOSIS
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, diagnosis urtikaria
dan angioedema mudah ditegakkan, namun beberapa pemeriksaan diperlukan
untuk membuktikan penyebabnya, misalnya:(1)
1. Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.
2. Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk
menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
4. Tes kulit, meskipun terbatas penggunaannya dapat digunakan dalam
menentukan diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta
tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari allergen inhalan, makanan
dermatofit dan kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.
6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat
membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di
papilla dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak.
Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi selular dan pada tingkat lanjut
terdapat infiltrasi leukosit, terutama di sekitar pembuluh darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat dilakukan pada diagnosis urtikaria
kolinergik.
9. Tes dengan es (ice cube test).
10. Tes dengan air hangat.
Anamnesis yang komprehensif sangat esensial bagi pasien yang menderita
urtikaria, yang meliputi durasi serangan, frekuensi serangan, durasi munculnya
lesi, penyakit yang disertai, pengobatan sebelumnya, efek samping yang terjadi,
riwayat penyakit keluarga, pekerjaan, dan dampak penyakit terhadap aktivitas
pasien sehari-hari. Pemeriksaan fisis yang lengkap untuk mencari morfologi dan
durasi (dengan memberikan tanda disekeliling lesi), luka, dan tanda-tanda
7
penyakit sistemik harus diperhatikan, walaupun biasanya normal. Biasanya pasien
diambil gambarnya saat dilakukan pemeriksaan karena biasanya lesi menghilang
atau berkurang pada kunjungan berikutnya.(3)
F. DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, angioedema didiagnosis banding
dengan beberapa penyakit lainnya, seperti eritema multiforme, vaskulitis
urtikarial, dan dermatitis herpetiformis:(6)
1. Eritema multiforme
Eritema multiforme adalah kelainan pada kulit yang dimediasi oleh sistem
imun, dengan karakteristik target lesion pada tangan dan kaki.(9) Penyebab yang
pasti belum diketahui, namun faktor-faktor penyebab selain alergi terhadap obat
sistemik ialah peradangan oleh bakteri dan virus tertentu, rangsangan fisik,
misalnya sinar matahari, hawa dingin, faktor endokrin seperti kehamilan dan haid,
dan penyakit keganasan. Gejala khas ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri
atas tiga bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-
unguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran
yang merah.(1)
Eritema multiforme paling sering terjadi pada usia dewasa muda
dibandingkan anak-anak. Herpes Simplex Virus (HSV) diduga menjadi faktor
pencetus utama timbulnya penyakit ini. Eritema multiforme biasanya terjadi pada
kulit yang sering terkena paparan sinar matahari. Mungkin pula ditemukan adanya
fenomena Koebner.(2)
Eritema multiforme juga berupa urtika pada mulanya, namun jika lesi
menetap lebih dari 48 jam, maka diagnosis angioedema dapat disingkirkan.(6)
8
Gambar 5. Eritema multiforme. Tampak adanya target lesion pada punggung
tangan.
2. Vaskulitis urtikarial
Vaskulitis urtikarial adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat
berupa palpable purpura yang mengenai kapiler, berbentuk purpura multiple, bila
dipalpasi terasa papul-papul, lesi juga dapat berupa plaque, urtika, angioedema,
pustul, vesikel, ulkus, nekrosis, dan livido retikularis. Kadang terdapat edema
subkutan di bawah lesi. Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah.
Lama lesi antara 1-4 minggu. Pada waktu timbul, dapat disertai demam, malaise,
arthralgia, dan mialgia. Vakulitis urtikarial berbeda dengan urtikaria yang cepat
hilang. Pada penyakit ini lama urtika lebih dari 24 jam. Rasanya seperti terbakar
atau nyeri.(6)
Gambar 6. Vaskulitis dengan purpura dan nekrosis kulit.
3. Dermatitis Herpetiformis
Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kronik dan berlangsung seumur
hidup, dapat terjadi pada usia anak-anak maupun dewasa, tetapi biasanya dimulai
pada usia dekade dua sampai empat.(1)
Ruam bersifat polimorfik berupa eritema, papulo-vesikel, vesikel/bula,
tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal. Mulainya
9
penyakit biasanya perlahan-lahan, perjalanannya kronik dan residif.(15) Tempat
predileksinya ialah dipunggung, daerah sakrum, bokong, daerah ekstensor di
lengan atas, sekitar siku, dan lutut. Kelainan yang utama ialah vesikel, oleh karena
itu disebut herpetiformis yang berarti seperti herpes zoster. Dinding vesikel atau
bula tegang.(6)
Dermatitis herpetiformis juga diawali dengan papul atau plak urtikaria,
akan tetapi munculnya bula akan menyingkirkan diagnosis tersebut.(6)
Gambar 7. Pola distribusi dermatitis herpetiformis
Gambar 8. Dermatitis herpetiformis pada siku
G. PENATALAKSANAAN
Pengobatan urtikaria atau angioedema, terdiri atas terapi medikamentosa
dan non-medikamentosa.9)
1. Non-medikamentosa
10
Pasien sebaiknya diberi penjelasan dan informasi tentang faktor pencetus,
pengobatan dan prognosis penyakit.(10) Pengobatan yang paling ideal tentu saja
adalah mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari penyebab yang
dicurigai. Bila tidak mungkin, paling tidak mencoba mengurangi penyebab
tersebut, minimal tidak menggunakan atau tidak melakukan kontak dengan
penyebabnya.(3) Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simptomatik,
misalnya anti pruritus (calamine atau menthol 1%). Pasien juga diminta untuk
menghindari penggunaan obat-obatan seperti aspirin, NSAIDs, kodein dan
morfin. Selain itu, mengindari faktor pencetus seperti stress, konsumsi alkohol,
dan pajanan terhadap panas secara berlebihan juga penting untuk dilakukan. (9)
Eliminasi diet dicobakan pada pasien yang sensitif terhadap makanan.(3)
2. Medikamentosa
Di samping terapi non-medikamentosa, pasien perlu mendapatkan
intervensi tambahan, termasuk pengobatan sistemik yaitu:(9)
- First line therapies
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara
kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada
reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 (antihistamin 1, AH1)
dan reseptor H2 (AH2).(3)
Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema bergantung
pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1, namun efektivitas
tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik, yaitu sedasi.
Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat
terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi, golongan ini disebut sebagai antihistamin
non-klasik.(3)
Pada umumnya, antihistamin H1 cepat diabsorbsi, dan mencapai puncak
dalam 2 jam.(5)
Biasanya antihistamin golongan AH1 yang klasik menyebabkan kontraksi
otot polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan sekresi
dan penekanan pruritus. Selain efek ini terdapat pula efek yang tidak berhubungan
11
dengan antagonis reseptor H1, yaitu efek antikolinergik atau menghambat reseptor
alfa-adrenergik.(3)
Antihistamin H1 klasik, contohnya hydroxyzine, diphenhydramine, dan
cyproheptadine. Hydroxyzine ternyata lebih efektif daripada antihistamin lain
untuk mencegah urtikaria, dermografisme, dan urtikaria kolinergik.(3) Obat ini
merupakan antihistamin short-acting, dosis 10-25 mg setiap 6 jam. Hydroxyzine
juga dapat dikombinasi dengan antihistamin long-acting seperti chlorpheniramine
maleate. Chlorpheniramine atau diphenhydramine seringkali diberikan pada
wanita hamil karena lebih aman, tetapi pemberian cetirizine, loratidine, dan
mizolastine sebaiknya dihindari.(6,9)
Antihistamin H1 yang non-klasik contohnya terfenadine, astemizole,
loratadine, dan mequitazine. Golongan ini diabsorpsi lebih cepat dan mencapai
kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek
maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadine), sedangkan astemizole dalam
waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektivitasnya berlangsung lebih lama
berbanding AH1 klasik, bahkan astemizole masih efektif hingga 21 hari setelah
pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai
antihistamin yang long-acting.(3) Loratadine (dosis dewasa 10 mg/hari) merupakan
derivat azatadine. Cetirizine (dosis dewasa 10 mg/hari) hanya dimetabolisme di
hati dalam jumlah sedikit, dan lebih banyak diekskresikan dalam bentuk urin.
Cetirizine lebih bersifat sedatif dibandingkan plasebo pada beberapa studi dan
paling baik digunakan di malam hari.(5)
Keunggulan lain AH1 non-klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi
karena tidak dapat menembus sawar darah otak. Di samping itu golongan ini tidak
memberi efek antikolinergik, tidak menimbulkan potensiasi dengan alkohol, dan
tidak terdapat penekanan pada SSP serta relatif non-toksik.(3)
Obat antihistamin mampu menembus plasenta. Namun tidak ada sumber
yang dapat dipercaya yang mengatakan bahwa antihistamin bersifat teratogenik,
tetapi sebaiknya penggunaannya dihindari pada wanita hamil, khususnya pada
trimester pertama.(5)
- Second line therapies
12
Doxepin adalah suatu antidepressant trisiklik dengan aktivitas antihistamin
yang kuat, dimulai dengan dosis 10-30 mg, sangat berguna pada pasien yang
sering merasa cemas di malam hari.(5)
Pemberian kortikosteroid sistemik oral lebih efektif pada urtikaria berat
dengan pemberian prednisolon dosis tinggi yaitu 0.5-1.0 mg/kgBB/hari.(5)
Untuk kasus darurat pada angioedema non-herediter yang menyebabkan
angioedema orofaring-laring, diberikan epinefrin. Epinefrin bekerja secara cepat
dengan menstimulasi β-adrenoreceptor sehingga terjadi vasokonstriksi dan
stabilisasi mast cell.(5) Angioedema pada orofaring sangat membahayakan dan
harus ditangani secepatnya dengan memberikan epinefrin (adrenalin) 0.5-1.0 mg
secara intramuskular. Pemberian dapat diulang setiap 10-15 menit, tergantung
pada tekanan darah dan nadi yang harus dipantau sampai terjadi perbaikan klinis.
Efek samping epinefrin adalah takikardi, kecemasan, dan sakit kepala. Oleh
karena itu, penggunaannya harus berhati-hati pada pasien dengan hipertensi,
penyakit serebrovaskular, penyakit jantung iskemik dan diabetes mellitus.(9)
- Third line therapies
Pasien urtikaria berat yang tidak berespon dengan pemberian antihistamin
menunjukkan adanya penyebab autoimun, sehingga perlu diberikan imunoterapi.
Cyclosporine dan plasmapheresis berhasil digunakan untuk mengobati urtikaria.
Cyclosporine (3–5 mg/kgBB/hari) sebaiknya menjadi pilihan pertama. Jika respon
pasien terhadap cyclosporine kurang, bisa diberikan immunoglobulin intravena
atau plasmapheresis.(10)
Respon angioedema herediter terhadap pengobatan konvensional untuk
urtikaria sangat kurang. Pada angioedema herediter, pemberian kortikosteroid,
antihistamin, dan norepinefrin tidak memiliki efek. Pada serangan yang bersifat
akut, diberikan plasma C1-esterase inhibitor. Jika tidak tersedia, dapat diberikan
infus dengan fresh frozen plasma 500-2000 ml. Untuk tindakan profilaksis, bisa
diberikan Androgen (Danzol 200-600 mg/hari), diatur berdasarkan gambaran
klinis dan inhibitor levels. C4 tidak perlu distabilisasikan.(5)
H. KOMPLIKASI
13
Normalnya, urtikaria maupun angioedema tidak menimbulkan komplikasi
meskipun rasa gatal yang ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari
bahkan menyebabkan depresi. Pada reaksi anafilaktif akut, edema pada laring
merupakan komplikasi paling serius, bisa menyebabkan asfiksia, dan edema pada
trakeobronkial bisa menyebabkan asma.(4,6)
I. PROGNOSIS
Prognosis angioedema pada dasarnya baik. Angioedema yang tidak
mempengaruhi pernapasan mungkin tidak nyaman, tetapi biasanya tidak
berbahaya dan akan menghilang dalam beberapa hari.9
DAFTAR PUSTAKA
1. Li HH. Angioedema. [online]. 2012. [cited 2013, November 7]. Available
from: http://www.medscape.com/article/135208 .
2. Kaplan AP. 2009. Urticaria and angioedema. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Medical
3. Aisah S. 2005. Urtikaria. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI.
4. Buxton PK. 2003. Urticaria. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BMJ
Books.
14
5. Grattan CEH, Black AK. Urticaria and mastocytosis. In: Burns T, Breathnach
S, Cox N, Griffiths C, editors. 2004. Rook's Textbook of Dermatology. 7th ed.
Oxford: Blackwell Science.
6. Hunter JAA, Savin JA, Dahl MV. Reactive erythemas and vasculitis. 2002.
Clinical Dermatology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Science.
7. Guyton AC, Hall JE. 2008. Urtikaria. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th
ed. Jakarta: EGC.
8. Kulthanan K, Jiamton S, Boochangkool K, Jongjarearnprasert K. Clinical and
etiological aspects. [online]. 2007. [cited 2013, November 7]. Available from:
http://ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12639808 .
9. Gawkrodger DJ. 2003. Urticaria and angioedema. Dermatology: An
Illustrated Colour Text. 3rd ed. London: Churchill Livingstone.
10. Grattan CE, Black AK. 2008. Urticaria and angioedema. In: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby
Elsevier.
15