ANALISIS SEMIOTIK TERORISME PADA FILM HOTEL MUMBAI
NURUL FADHILLAH
Nomor Stambuk : 105650003815
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
ii
ANALISIS SEMIOTIK TERORISME PADA FILM HOTEL MUMBAI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Komunikasi
Disusun dan diusulkan oleh
NURUL FADHILLAH
Nomor Stambuk : 105650003815
Kepada
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
NURUL FADHILLAH. Analisis Semiotik Terorisme pada Film Hotel
Mumbai (dibimbing oleh Amir Muhiddin dan Syukri).
Film merupakan sarana komunikasi audio visual yang paling diminati oleh
khalayak umum, karena menyajikan rentetan cerita, gambar dan musik yang
menarik. Film tidak sekedar menyajikan imajinasi penulis tetapi terdapat realitas
kehidupan yang dikemas dengan apik oleh tangan-tangan profesional. Dalam
membentuk dan menghadirkan kembali realitas, film mengkonvensikan pesan
dalam bentuk tanda dan lambang, sehingga ketika seseorang menonton film,
pesan yang disampaikan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap
pembentukan opini seseorang mengenai maksud dan tujuan dari film tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menginterpretasi makna denotatif dan
konotatif terorisme dan pesan moral dalam film Hotel Mumbai. Penelitian
dilakukan selama dua bulan dan objek penelitiannya fokus terhadap adegan film
Hotel Mumbai. Metode penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Teknik analisis data menggunakan konsep semiotika
Roland Barthes. Data diperoleh dari film Hotel Mumbai berbentuk berkas lunak
dengan terjemahan bahasa Indonesia dan didukung data-data dari buku, jurnal,
penelitian terdahulu dan internet. Dalam penelitian ini informan ditentukan
menggunakan teknik purposive dengan kriteria memiliki pengetahuan tentang
film, terorisme dan semiotika. Untuk mengumpulkan data menggunakan teknik
observasi, wawancara dan dokumentasi. Dalam mengukur tingkat keabsahan data,
peneliti menggunakan empat standar yaitu, kredibilitas, transferabilitas,
dependabilitas dan konfirmabilitas.
Hasil dari penelitian terhadap film Hotel Mumbai, ditemukan bahwa film
Hotel Mumbai merupakan film yang menggambarkan aksi terorisme terorganisir
dan terkontrol yang terjadi akibat, dendam, ekonomi dan agama serta
mengandung pesan moral tentang dedikasi, tanggung jawab, beriman kepada
Tuhan, disiplin dan tidak berprasangka buruk terhadap sesama.
Kata Kunci: Film, Semiotika, Terorisme
vii
KATA PENGANTAR
Tiada kata indah yang patut diucapkan seorang hamba kepada Sang
Pencipta atas segala cinta kasih-Nya yang tak terhingga dan nikmat-Nya yang tak
berujung sehingga kita mampu melewati hari-hari yang penuh makna dan
memberi kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Semiotik Terorisme pada Film Hotel Mumbai” Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. Penulis menyadari bahwa
dalam penyelesaian penulisan skripsi ini dapat terwujud atas bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak yang telah tulus memberikan sumbangsih berupa
fikiran, motivasi dan nasehat. Untuk semua itu dengan kerendahan hati pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
Teruntuk orang tua penulis, Ibu Hafsah dan Bapak M. Amin terimakasih
telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan selalu
mendukung setiap keputusan penulisan serta memberikan motivasi dan do’a yang
tiada henti-hentinya. Terimakasih untuk saudara penulis, Nurul Fitrah dan Imam
Fahrurrahman yang selalu menghibur dan menyemangati penulis dalam proses
penyusunan penelitian ini.
Selanjutnya pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan
penghargaan dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah memberikan semangat dan bantuannya, terutama kepada:
viii
1. Bapak Dr. H. Muh. Tahir, M.Si, selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2. Ibu Dr. Hj. Ihyani Malik, S.Sos., M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Bapak Dr. Amir Muhiddin, M.Si, selaku Pembimbing I dan Bapak Syukri,
S.Sos., M.Si, selaku Pembimbing II yang selalu membantu dan
mengarahkan penulis ditengah kesibukannya sebagai tenaga pengajar dan
kesibukan lainnya. Beliau selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk
penulis selama proses penyusunan skripsi ini. Penghargaan setinggi-
tingginya kepada beliau atas dedikasinya sebagai pembimbing yang telah
menjadi panutan bagi penulis.
4. Terimakasih banyak kepada staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberi
pelayanan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas
Muhammadiyah Makassar.
5. Terimakasih banyak kepada Bapak Ahmad Harakan, S.IP., M.HI, Kak
Arni, S.Kom., M.I.Kom dan Kak Ayu Andriyani, S.Sos., M.Sc, yang telah
bersedia menjadi informan dan membantu penulis selama proses
penyusunan skripsi ini.
6. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada, Asmita Handyani, Febi Ayu
Lestari, Marwah Rahman, Nurhidayati, Sitie Nur Fatiehah, Wa Ode Nur
Asyifah dan Yeyen Nurimba Plorensty yang selalu memberikan do’a dan
dukungan serta telah menjadi sahabat yang baik untuk penulis.
ix
x
DAFTAR ISI
Halaman Pengajuan Skripsi .................................................................................... ii
Halaman Persetujuan ............................................................................................... iii
Halaman Penerimaan Tim ...................................................................................... iv
Halaman Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ......................................................... v
Abstrak ..................................................................................................................... vi
Kata Pengantar......................................................................................................... vii
Daftar Isi .................................................................................................................. x
Daftar Tabel ............................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................
D. Kegunaan Penelitian ................................................................................... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Film sebagai Media Komunikasi Massa.................................................... 10
B. Terorisme..................................................................................................... 29
C. Pesan Moral ................................................................................................. 48
D. Semiotika ..................................................................................................... 51
E. Kerangka Pikir ............................................................................................ 55
F. Fokus Penelitian .......................................................................................... 58
G. Deskripsi Fokus Penelitian ......................................................................... 58
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Objek Penelitian....................................................................... 60
B. Jenis dan Tipe Penelitian ............................................................................ 60
C. Sumber Data ................................................................................................ 61
xi
D. Informan Penelitian .................................................................................... 61
E. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 62
F. Teknik Analisis Data .................................................................................. 63
G. Pengabsahan Data ....................................................................................... 63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Film Hotel Mumbai .................................................................. 67
B. Makna Denotatif dan Konotatif Terorisme pada Film Hotel Mumbai .... 81
C. Makna Denotatif dan Konotatif Pesan Moral Film Hotel Mumbai ......... 104
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................. 115
B. Saran ........................................................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Informan Pendukung ............................................................................. 62
Tabel 4.1. Daftar Aktor Film Hotel Mumbai......................................................... 69
Tabel 4.2. Daftar crew Film Hotel Mumbai .......................................................... 71
Tabel 4.3. Analisis Bentuk Terorisme (Adegan Pilihan 1) ................................... 82
Tabel 4.4. Analisis Dampak Terorisme (Islamophobia) (Adegan Pilihan 2) ...... 84
Tabel 4.5. Analisis Faktor Terorisme (Ekonomi) (Adegan Pilihan 3) ................. 86
Tabel 4.6. Analisis Tindakan Jihad dalam Terorisme (Adegan Pilihan 4) .......... 87
Tabel 4.7. Analisis Faktor Terjadinya Terorisme (Politik) (Adegan Pilihan 5) .. 89
Tabel 4.8. Analisis Hubungan antara Media dan Terorisme (Adegan Pilihan 6) 92
Tabel 4.9. Analisis Agama Tidak Berkaitan dengan Terorisme (Adegan 7)......... 94
Tabel 4.10. Analisis Psikologi Pelaku Teror (Adegan Pilihan 8) .......................... 95
Tabel 4.11. Analsis Tindakan Beriman (Adegan Pilihan 9) ................................ 105
Tabel 4.12. Analisis Tindakan Disiplin (Adegan Pilihan 10).............................. 106
Tabel 4.13. Analisis Tindakan Bertanggung Jawab (Adegan Pilihan 11) .......... 107
Tabel 4.14. Analisis Tindakan Berdedikasi (Adegan Pilihan 12) ....................... 109
Tabel 4.15. Analisis Tindakan Berprasangka Buruk (Adegan Pilihan 13) ......... 110
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan media komunikasi massa saat ini berdampak
signifikan terhadap produksi karya seni terkhusus di ranah perfilman.
Komunikasi massa adalah informasi yang disampaikan melalui media
massa yang ditujukan pada massa yang banyak dan bersifat serempak. Ciri
komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa,
baik audio visual maupun cetak. Media massa harus menyampaikan
informasi yang aktual, faktual dan nyata. Sebab pemberitaan atau
informasi yang disampaikan oleh media massa sangat berpengaruh dalam
pembentukan opini publik. Saat ini media massa menjadi acuan publik
dalam mendefinisikan suatu perkara atau realitas sosial yang terjadi
disekitarnya. Tidak hanya itu media massa pula menjadi pusat hiburan
yang mempresentasikan nilai-nilai budaya yang bersifat mendidik.
Pesan yang disampaikan melalui media komunikasi massa bersifat
satu arah dan proses tanggapan baliknya berlangsung lama dan terbatas.
Namun dengan berkembangnya teknologi komunikasi, hal itu dapat
diatasi, misal pada media komunikasi elektronik, radio dan televisi,
tanggapan balik dari khalayak dapat dilakukan dengan cepat, contoh
melalui telepon interaktif.
Media massa memiliki dua bentuk, yaitu dalam bentuk cetak yang
terdiri dari koran dan majalah, dan dalam bentuk elektronik terdiri dari
2
televisi, radio, dan film. Film menjadi sarana komunikasi visual yang
paling diminati oleh khalayak umum, karena menyajikan rentetan cerita,
gambar dan musik yang menarik perhatian. Film sebagai media
komunikasi massa muncul pada abad ke-18, dan mulai berkembang pada
akhir abad ke-19. Film diciptakan sebagai sebuah karya seni yang digarap
oleh tangan profesional. Meskipun film merupakan hal umum bagi
khalayak, namun film tidak sekedar menyajikan imajinasi penulis tetapi
terdapat realitas kehidupan yang dikemas dengan apik. Dalam membentuk
dan menghadirkan kembali realitas, film mengkonvensikan pesan dalam
bentuk tanda dan lambang, sehingga ketika seseorang menonton film,
pesan yang disampaikan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap
pembentukan opini seseorang mengenai maksud dan tujuan dari film
tersebut.
Film dibentuk dengan banyak tanda, yang bekerjasama untuk
menghasilkan efek yang diharapkan. Dalam film hal yang paling penting
adalah gambar dan suara, yaitu apa yang diucapkan dan dikombinasi
dengan suara-suara lain yang mengiringi gambar. Dari situlah bahasa
sangat berperan dalam menggambarkan situasi dan menyampaikan makna
cerita. Bahasa menjadi alat penggerak dalam keseharian manusia yang
dapat mengontrol tingkah laku individu. Bahasa muncul apabila bunyi dan
ide tampil bersamaan dalam percakapan ataupun wacana. Bahasa tidak
hanya bersifat dialog tetapi juga kadang bersifat monolog. Sehingga dapat
3
dikatakan bahwa film adalah bidang kajian yang amat relevan bagi analisis
semiotik.
Melalui perkembangan media komunikasi massa ini, banyak isu-
isu yang disebarkan oleh media kepada khalayak, salah satunya isu yang
kembali muncul kepermukaan yaitu terorisme. Istilah terorisme sendiri
sampai saat ini masih menjadi perdebatan, sehingga belum ada
kesepakatan terhadap satu istilah yang bersifat universal, sebab terorisme
merupakan permasalahan yang cukup sensitif untuk dikaji. Terorisme
merupakan aksi teror yang terorganisir menggunakan kekerasan fisik
terhadap individu-individu yang tidak bersalah. Ada beberapa asumsi
tentang latar belakang lahirnya terorisme antara lain disebabkan oleh tiga
faktor yaitu ekonomi, politik dan ideologi.
Di Indonesia sendiri isu tersebut mencuat pada Mei 2019, dimana
29 orang terduga teroris ditangkap oleh tim Detasemen Khusus (Densus)
88 antiteror atas rencana serangan 22 Mei 2019. Serangan tersebut
direncanakan akan dilakukan pada saat pesta demokrasi dimana mereka
menilai demokrasi tidak sesuai dengan keyakinan mereka karena
menimbulkan kesyirikan. Berita ini menjadi topik utama di Indonesia
seiring dengan pengumuman Pemilu 2019.
Tidak hanya di Indonesia, serangan terorisme yang sama
menggemparkannya yaitu tragedi penembakan terhadap muslim di
Selandia Baru pada Maret 2019. Tragedi ini merupakan ekspresi dari
ketidaksukaan terhadap muslim yang sering disebutkan dengan istilah
4
Islamophobia yang menggambarkan sikap benci dan perasaan terancam
terhadap muslim. Terorisme menjadi isu global setelah penyerangan
gedung World Trade Center di New York, Amerika Serikat pada 11
September 2001, dan disusul dengan beberapa penyerangan lainnya di
Indonesia seperti bom Bali I pada 2002, bom Hotel Mariot 2003,
pengeboman di depan Kantor Keduataan Australia di Jakarta pada tahun
2004, bom Bali II 2005 serta pengeboman di London 2005 dan India 2008.
Sebagian besar dari penyerangan-penyerangan tersebut dilakukan
atas dalih Jihad untuk menegakan agama Islam. Pernyataan tersebut
membuat stereotip Islam sebagai agama yang mendukung kekerasan dan
pertumpahan darah semakin sering terdengar dikalangan pemeluk agama
lain sehingga dijadikan sebagai objek provokatif oleh media Barat.
Pasca aksi-aksi teror tersebut Islamophobia mulai berkembang di
beberapa Negara terutama di Amerika Serikat, beberapa Negara di Eropa
dan India, yang menyebabkan Islam menjadi sasaran penyerangan baik
secara verbal maupun fisik, terlebih lagi bagi wanita muslim yang
berhijab, sehingga membuat mereka lebih memilih untuk menetap di
dalam rumah dan meninggalkan aktifitas lainnya, akibatnya tidak sedikit
muslim yang merasa kehidupan sosialnya terganggu.
Media memiliki peranan besar dalam merekam jejak terorisme
diberbagai belahan dunia, terkhusus media Hollywood dan Bollywood.
Setelah tragedi penyerangan gedung kembar World Trade Center di New
York, Amerika Serikat dan penyerangan di beberapa tempat di India,
5
membuat media Hollywood dan Bollywood gencar membuat film layar
lebar bertemakan aksi terorisme yang dilakukan oleh muslim diantaranya
London Has Fallen (2016), Phantom (2008), The Kingdom (2007), My
Name is Khan (2010) dan Hotel Mumbai (2019).
Hotel Mumbai menjadi salah satu film layar lebar yang sukses
tahun ini. Film yang diproduksi atas kerjasama antara Australia-Amerika
Serikat ini berhasil mendapat standing ovation pada saat penayangan
perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) pada 7 September
2018 lalu. Film ini diadaptasi dari kisah nyata tentang serangan teror
Mumbai yang terjadi di Taj Mahal Palace Hotel pada 26-29 November
2008. Sang sutradara mampu mendramatisir adegan sehingga lebih terlihat
seperti reka ulang yang sangat nyata berdasarkan sudut pandang para
korban pada saat itu.
Film yang digarap oleh sutradara Anthony Maras ini menceritakan
tentang teror yang berlangsung selama 60 jam yang dilakukan oleh
sepuluh pemuda yang akan menjalankan misi bunuh diri dengan
mengatasnamakan Islam di Taj Mahal Palace Hotel, Mumbai, India. Film
ini diawali dengan latar sepuluh pemuda menuju Mumbai menggunakan
perahu karet. Salah satu pemuda tersebut menggunakan headset untuk
mendengarkan seorang pria berbicara melalui telepon genggam. Setelah
tiba di Mumbai mereka kemudian berpencar ke berbagai tempat seperti
stasiun kereta api, kafe dan Taj Mahal Palace Hotel. Para pemuda tersebut
saling berkomunikasi menggunakan telepon genggam. Setelah tiba
6
dilokasi, dua pemuda yang ada di stasiun kereta api mulai menembak
secara acak orang-orang yang ada di tempat tersebut. Aksi teror lainnya
pun mulai dilakukan di tempat yang berbeda yaitu di kafe Lilopal dan
hotel Taj.
Setelah empat pemuda lainnya berhasil menyerang sebuah kafe,
kemudian mereka menuju ke Taj Mahal Palace Hotel dengan menyelinap
masuk bersama para korban yang selamat dari serangan sebelumnya.
Mereka kemudian mulai menembak secara acak. Para pemuda tersebut
diberikan instruksi melalui telepon oleh seorang lelaki yang mereka
panggil dengan sebutan saudara.
Awalnya mereka menargetkan pendatang asing yang berasal dari
Amerika dan Inggris, namun pada akhirnya mereka menembak secara
acak. Ditengah situasi yang mulai mencekam dan serangan yang bertubi-
tubi salah satu pelayan hotel yang bernama Arjun, kepala koki dan
beberapa staf lainnya berjuang untuk menyelamatkan para tamu,
diantaranya ada sepasang suami istri, Zahra dan David serta anak mereka
dan pengasuhnya, dan seorang laki-laki yang berasal dari Rusia, Vasili.
Enam jam setelah serangan berlangsung David yang berasal dari
Amerika Serikat ditangkap dan dijadikan sandera, dan Imran salah satu
pemuda yang melakukan penyerangan terluka. Dalam percakapannya
dengan Houssam pemuda lainnya, dia bertanya apakah Bull akan
memberikan uang kepada keluarga mereka, dan Houssam menjawab
mereka sedang mengabdi di jalan Allah, hal lainnya tidak penting. Dalam
7
adegan lainnya ketika Imran menelpon keluarganya, seakan Imran
melakukan aksi teror karena keterbatas ekonomi.
Zahra dan Vasili memutuskan untuk keluar dari tempat
persembunyian, dan setelah itu mereka ditangkap dan dijadikan sandera,
sehingga Zahra bertemu dengan suaminya, David. Imran dan Rasyid yang
ditugaskan untuk menjaga para sandera, mulai memeriksa Visili dan
Abdullah menemukan bahwa ia merupakan mantan agen Rusia Spetznaz
yang pernah bertugas di Afghanistan. Houssam menginformasikan kepada
Bull, dan Vasili pun berbicara dengannya. Nampaknya ada unsur dendam
diantara mereka. Bull memerintahkan Imran untuk membunuh semua
sandera, karena mereka akan segera melakukan fase terakhir dalam aksi
tersebut yaitu pengeboman hotel.
Berdasarkan teks penutup dalam film, polisi India membunuh
sebelas dari dua belas pemuda yang melakukan aksi teror, satu diantaranya
selamat dan ditahan. Menurut pemerintah dan polisi India para pemuda
yang melakukan aksi terorisme itu berasal dari Pakistan, dibawah naungan
organisasi teroris yang mengatasnamakan Islam, Laskhar e-Taiba.
Dari gambaran film di atas, penulis tertarik untuk meneliti hal yang
berhubungan dengan aksi terorisme pada film ini. Peneliti ingin mencari
tahu apakah film tersebut memiliki makna sebagai film yang
menggambarkan aksi terorisme, dan apakah aksi terorisme dapat terjadi
akibat agama, dendam dan keterbatas ekonomi serta apakah semua muslim
adalah teroris? Tidak hanya tentang aksi terorisme, namun peneliti juga
8
ingin mengurai pesan-pesan moral yang ingin disampaikan dalam film ini.
Terinspirasi dari indikator-indikator tersebut peneliti ingin mengangkat
film Hotel Mumbai untuk dianalisis dan dikaji secara ilmiah menggunakan
semiotika Roland Barthes. Hal ini penting dilakukan untuk mengurai
pesan-pesan tersembunyi yang ingin disampaikan oleh penulis dan
sutradara film Hotel Mumbai, dengan judul penelitian “Analisis Semiotik
Terorisme pada Film Hotel Mumbai”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka peneliti
memberikan batasan-batasan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana makna denotatif dan konotatif terorisme pada film Hotel
Mumbai?
2. Bagaimana makna denotatif dan konotatif pesan-pesan moral yang
terkandung dalam film Hotel Mumbai?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana batasan-batasan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini yaitu, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui makna denotatif dan konotatif terorisme pada film
Hotel Mumbai.
2. Untuk mengetahui makna denotatif dan konotatif pesan-pesan moral
yang terkandung dalam film Hotel Mumbai.
9
D. Kegunaan Penelitian
Wajarnya sebuah penelitian harus memiliki kegunaan baik untuk
pribadi peneliti maupun untuk pembaca dan masyarakat luas. Adapun
kegunaan dari penelitian ini yaitu, sebagai berikut:
1. Kegunaan secara teoritis:
a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan studi
tentang ilmu komunikasi.
b. Penelitian diharapkan dapat memberikan penggambaran yang lebih
jelas tentang terorisme yang dikonvensikan dalam bentuk film.
2. Kegunaan secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat serta
menyadarkan masyarakat bahwa film merupakan refleksi dari realita
kehidupan. Oleh karena itu diharapkan masyarakat lebih teliti lagi
dalam menyaring informasi yang disampaikan dalam film, terkhusus
dalam film Hotel Mumbai.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Film sebagai Media Komunikasi Massa
1. Pengertian Media Komunikasi Massa
Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan
dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat
komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi (Cangara,
H, 2015, h: 140). Media massa secara garis besar memiliki dua jenis, yaitu
media cetak yang terdiri dari surat kabar dan majalah, kemudian media
elektronik yang terdiri dari televisi, radio dan film.
Menurut Sumadira dalam (Fahmi, B, 2017, h: 5), media massa
berfungsi untuk menyampaikan pesan/informasi kepada masyarakat dan
setiap informasi yang disampaikan harus bersifat akurat, faktual, menarik,
benar, lengkap, berimbang, relevan dan bermanfaat. Menurut Cangara
(2015), media massa memiliki lima karakteristik, yaitu: Pertama, bersifat
melembaga, artinya pihak yang mengelola media tersebut terdiri dari
banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada
penyajian informasi. Kedua, bersifat satu arah, artinya komunikasi yang
dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan
penerima informasi. Kalaupun ada umpan balik, akan membutuh waktu
dan bersifat tidak langsung. Ketiga, meluas dan serempak, artinya tidak
terhalang oleh waktu dan jarak, karena memiliki kecepatan, bergerak luas
dan simultan dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak
11
orang pada saat yang sama. Keempat, menggunakan peralatan teknis dan
mekanis, seperti radio, televisi, surat kabar dan semacamnya. Dan terakhir
bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan
dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin dan suku bangsa (Cangara,
H, 2015, h: 140).
Denis McQuail dalam (Morissan, 2015, h: 480), media massa memiliki
sifat atau karakteristik yang mampu, menjangkau massa dalam jumlah
besar dan luas (universality of reach), bersifat publik dan mampu
memberikan popularitas kepada siapa saja yang muncul di media massa.
Dari perspektif budaya, media massa telah menjadi acuan utama untuk
menentukan definisi-definisi terhadap suatu perkara dan media massa
memberikan gambar atas realitas sosial. Media massa juga menjadi
perhatian utama masyarakat untuk mendapatkan hiburan dan menyediakan
lingkungan budaya bersama bagi semua orang.
2. Fungsi-Fungsi Media Komunikasi Massa
Ada banyak pendapat yang mengemukakan tentang fungsi media
komunikasi massa. Dalam membicarakan fungsi-fungsi komunikasi
massa, ada hal yang perlu disepakati yaitu ketika membicarakan fungsi
komunikasi massa maka secara tidak langsung kita akan membahas
tentang fungsi media massa. Mengapa? Karena komunikasi massa
merupakan komunikasi lewat media massa. Itu berarti, komunikasi massa
tidak akan ditemukan maknanya tanpa menyertakan media massa sebagai
elemen terpenting dalam komunikasi massa. Sebab tidak ada komunikasi
12
massa tanpa ada media massa. Alasan inilah yang mendasari ketika
membahas tentang fungsi komunikasi massa sekaligus akan membahas
tentang fungsi media massa.
Fungsi komunikasi massa menurut Jay Black dan Federick C.
Whitney, antara lain: to inform (menginformasikan), to entertain (memberi
hiburan), to persuade (membujuk) dan transmission of the culture
(transmisi budaya). Sementara itu, fungsi komunikasi menurut John
Vivian, yaitu: providing information, providing entertainment, helping to
persuade dan contributing to social cohesion (mendorong kohesi sosial).
Adapula fungsi komunikasi massa menurut Harold D. Lasswell, yakni:
surveillance of the environment (fungsi pengawasan), correlation of the
part of society in responding to the environment (fungsi korelasi) dan
transmission of the social heritage from one generation to the next (fungsi
pewarisan sosial) (Nurudin, 2015, h: 63-64).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka fungsi-fungsi
media massa dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Informasi
Fungsi informasi merupakan fungsi paling penting yang terdapat
dalam komunikasi massa. Komponen paling penting untuk mengetahui
fungsi ini adalah berita-berita yang disajikan. Selain berita, iklan pun
dalam beberapa hal memiliki fungsi memberikan informasi. Fakta-
fakta yang dikumpulkan oleh jurnalis kemudian disajikan dalam berita
13
merupakan salah satu bentuk informasi. Fakta merupakan kejadian
yang benar-benar terjadi di masyarakat.
Selain berita, buku juga termasuk dalam media komunikasi massa
yang juga memberikan fungsi informasi. Bukan sekedar buku fiksi,
namun buku-buku ilmiah yang ditulis berdasarkan fakta. Sebab
informasi yang dimaksud adalah informasi yang berdasarkan fakta.
Alasannya, informasi yang tidak berdasarkan fakta sama dengan isu,
kabar bohong atau desas-desus.
Fungsi informasi juga berlaku bagi film-film, karena film juga
merupakan media komunikasi massa. Sebagai contoh, film-film
tentang kemerdekaan Indonesia. Terlepas dari propaganda yang
dilakukan dalam film, fakta bahwa Indonesia pernah mengalami masa
penjajahan dan kemudian merdeka dan munculnya nama-nama
pahlawan kemerdekaan sudah menjadi bukti, bahwa film tersebut
memiliki fungsi informasi (Nurudin, 2015, h: 66-68).
b. Hiburan
Fungsi hiburan untuk media elektronik menduduki posisi yang
paling tinggi dibandingkan dengan fungsi-fungsi lain, sebab
masyarakat, khususnya di Indonesia masih menjadikan televisi sebagai
media hiburan. Dalam sebuah keluarga, televisi menjadi perekat
keintiman karena masing-masing anggota keluarga memiliki kesibukan
masing-masing. Oleh karena itu, pada prime time (pukul 19.00-21.00)
14
akan disajikan acara-acara hiburan, seperti sinetron, kuis ataupun
komedi.
Beda halnya dengan media elektronik, media cetak lebih
mendominasi fungsi informasi dari pada hiburan. Namun, media cetak
pun tetap harus menyajikan fungsi hiburan. Gambar-gambar berwarna
pada setiap halaman, teka-teki silang dan cerita pendek merupakan
bukti bahwa media cetak memberikan layanan hiburan (Nurudin, 2015,
h: 69-71).
c. Persuasi
Fungsi persuasif media komunikasi massa tidak kalah penting dari
fungsi informasi dan hiburan. Aktifitas public relations dan promosi
khusus yang dilakukan melalui media massa, tidak lepas dari tujuan
untuk mempengaruhi orang lain. Misalnya, pada iklan shampoo di
televisi yang mengatakan boleh keramas setiap hari. Tujuan iklan
tersebut jelas, yaitu untuk mempengaruhi penonton agar mengikuti apa
yang dikatakan iklan tersebut. Lebih khusus lagi adalah mempengaruhi
penonton untuk memakai produk yang diiklankan.
Banyak hal yang dibaca, didengar dan dilihat penuh dengan
kepentingan persuasif. Kampanye politik yang secara periodik menyita
perhatian kita di media massa, hampir murni persuasif. Berita-berita
yang berasal dari pemerintah pada semua tingkatan memiliki unsur
propaganda yang bertujuan untuk mempengaruhi. Segala hal yang
dilihat, dibaca dan didengar oleh khalayak di media didesain untuk
15
mempengaruhi. Bagi Josep A. Devito dalam (Nurudin, 2015), fungsi
persuasif dianggap paling penting sebab mampu: pertama,
mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan atau nilai
seseorang; kedua, mengubah sikap, kepercayaan atau nilai seseorang;
ketiga, menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu dan yang
terakhir, memperkenalkan etika atau menawarkan sistem nilai tertentu.
Media massa sering kali mampu membuat atau mengukuhkan
nilai-nilai yang sudah kita yakini sebelumnya. Orang-orang religius
cenderung mendengarkan acara-acara televisi yang berbau religius,
sehingga dalam hal ini media mampu mengukuhkan nilai yang
diyakini seseorang. Seseorang yang pada awalnya tidak memihak pada
suatu partai politik akan berubah aspirasi politiknya karena pengaruh
pemberitaan di media massa.
Media massa juga mampu menggerakan seseorang untuk
melakukan sesuatu hal, misalnya dalam iklan. Tujuan utama iklan
adalah menggerakan konsumen untuk membeli produk yang
diiklankan. Media massa dalam beberapa kasus dapat menunjukan
pelajaran etika. Media massa dapat menunjukan mana etika yang baik
dan mana yang buruk. Misalnya, pemberitaan media massa tentang
kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pejabat pemerintah, sama
artinya media massa sedang menawarkan etika bahwa mereka yang
korupsi itu tidak baik dan jangan diikuti. Pemberitaan tersebut
mengandung unsur persuasif (Nurudin, 2015, h: 72-73).
16
d. Pewarisan Sosial
Dalam hal ini media massa berfungsi sebagai seorang pendidik,
baik yang menyangkut pendidikan formal maupun informal yang
mencoba meneruskan atau mewariskan suatu ilmu pengetahuan, nilai,
norma, pranata dan etika dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Misalnya, suatu media cetak memberitakan ulang tahun bung Hatta
(proklamator RI) dengan ulasan yang disertai dengan ide-ide brilian
wakil presiden pertama RI tersebut, seperti ide tentang koperasi yang
saat ini sudah disalah gunakan untuk kepentingan politik. Artinya
media tersebut telah menjalankan fungsi untuk mewariskan ide dan
gagasan bung Hatta kepada generasi selanjutnya (Nurudin, 2015, h:
86).
3. Efek-Efek Media Komunikasi Massa
Efek komunikasi massa dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Secara
sederhana, Keith R. Stamm dan John E. Bowes membagi efek komunikasi
menjadi dua bagian dasar, yaitu: efek primer yang meliputi terpaan,
perhatian dan pemahaman, kemudian efek sekunder terdiri dari perubahan
tingkat kognitif (pengetahuan dan sikap) dan perubahan perilaku
(menerima dan memilih) (Nurudin, 2015, h: 206).
a. Efek Primer
Terpaan informasi dari media massa kepada khalayak menjadi
salah satu efek primer. Akan lebih bagus apabila khalayak tersebut
memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan. Sama halnya ketika
17
kita memperhatikan orang yang sedang berbicara, apabila kita
memperhatikan artinya ada efek primer yang terjadi pada diri kita.
Contohnya, ketika suatu radio sedang memberitakan tentang
kecelakaan beruntun di jalan tol dan kita tertarik untuk mendengar
sampai akhir, bahkan kita memahami apa yang disiarkan oleh radio
tersebut , artinya efek primer media massa telah melekat pada diri kita
(Nurudin, 2015, h: 206-210).
b. Efek Sekunder
Sebenarnya, ada banyak efek yang ditimbulkan oleh media massa,
salah satunya efek kegunaan dan kepuasan yang merupakan salah satu
bentuk efek sekunder. Mengikuti pendapat Swanson, ide dasar yang
melatar belakangi efek ini adalah bahwa audiens aktif dalam
memanfaatkan media massa.
Dengan kata lain, individu menggunakan isi media tersebut untuk
memenuhi tujuannya dalam usaha menikmati media massa. Tujuan
tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan individu
masing-masing. Jika kebutuhan sudah terpenuhi melalui saluran
komunikasi massa, berarti individu telah mencapai tingkat kepuasan
(Nurudin, 2015. h: 210-211).
4. Film
a. Pengertian Film
Film merupakan salah satu dari “The Big Five of mass Media“
setelah surat kabar, majalah, radio dan televisi (Rosabella, T, 2018, h:
18
3). Film adalah salah satu karya seni yang dilengkapi dengan audio dan
visual sebagai media penyampaian pesan yang paling baik. Oleh
karena itu film berperan penting dalam mempengaruhi pola pikir
penonton.
Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar
lebar, tetapi dalam pengertian luasnya bisa juga yang disiarkan di
televisi. Film dengan daya visualnya dan didukung audio yang khas,
sangat efektif sebagai media hiburan, pendidikan dan penyuluhan.
Film dapat diputar berulang kali pada tempat dan khalayak yang
berbeda (Cangara, H, 2015, h: 150).
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 yang dimaksud
dengan film ialah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas
sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan
video dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala
bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, yang dapat
dipertunjukan dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik,
elektronik dan lainnya (Tamburaka, A, 2013, h: 112-113).
Dilihat dari sejarahnya, penemuan film sebenarnya telah
berlangsung cukup lama. Ini disebabkan karena film melibatkan
masalah-masalah teknik yang cukup rumit, seperti optik, lensa, kimia,
proyektor, kamera, roll film, dan bahkan sampai pada masalah
psikologi. Perkembangan penemuan film baru kelihatan setelah abad
19
ke-18 melalui percobaan kombinasi cahaya lampu dan lensa padat,
tetapi belum dalam bentuk gambar yang bisa bergerak. Uji coba untuk
menggerakan gambar berhasil dilakukan menggunakan selinder yang
kemudian berkembang menjadi proyektor. Namun penyempurnaan
baru dicapai lewat kamera oleh Thomas Alva Edison pada tahun 1895.
Setelah itu barulah orang Amerika mampu membuat film tanpa
suara dengan durasi 25 menit, diantaranya A Trip to The Moon (1902),
Life of an Amerika Fireman (1903), dan The Great Train Robbery
(1903). Melihat minat orang-orang untuk menonton film diproduksi
tanpa suara, membuat perusahaan film Warner Brother bekerja sama
dengan American Telephone and Telegraph berusaha mempelajari
bagaimana memindahkan suara yang ada dalam telepon masuk ke
dalam film. Usaha ini berhasil pada tahun 1928 lewat film The Jazz
Singer (Cangara, H, 2015, h: 151-152).
Kekuatan dan kemampuan film dalam menjangkau banyak segmen
sosial, lantas membuat film memiliki potensi untuk mempengaruhi
khalayak. Dua tema yang umumnya menimbulkan kecemasan dan
perhatian masyarakat ketika disajikan dalam film adalah adegan-
adegan seks dan kekarasan karena penggambarannya yang
bertentangan dengan standar baik masyarakat yang berefek pada
moral, psikologi, dan sosial yang merugikan khususnya pada generasi
muda (Sobur, 2016, h: 128).
20
Menurut Irwanto dalam (Sobur, 2016, h: 128), pada hakikatnya
film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu
merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan
kemudian memproyeksikannya ke atas layar.
b. Unsur-unsur Film
Menurut Himawan Pratista dalam (Rifqi, K, 2016), secara umum
film memiliki dua unsur pembentuk, yaitu unsur naratif dan unsur
sinematik. Kedua unsur tersebut saling berkaitan dalam membentuk
film.
1) Unsur Naratif
Unsur naratif berhubungan dengan cerita/tema film yang
akan digarap, yang terdiri dari tokoh, masalah, konflik, lokasi dan
waktu.
2) Unsur Sinematik
Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam
pembentukan sebuah film, yang terbagi menjadi empat elemen,
yaitu: Elemen pertama, mise-en-scene yaitu segala hal yang berada
di depan kamera. Kedua, Cinematography yaitu, teknik
penggunaan kamera dalam film serta hubungan antara kamera
dengan objek yang diambil. Ketiga, Editing yaitu proses
penggabungan/perpindahan sebuah gambar ke gambar lainnya.
Keempat, Sound yaitu segala hal yang ada dalam film yang
mampu ditangkap oleh indera pendengaran.
21
Dalam produksi film, apabila seluruh aspek Mise- en- scene
telah tersedia dan sebuah adegan telah siap untuk diambil
gambarnya, maka pada tahap inilah unsur sinematografi
diperlukan. Sinematografi secara umum terbagi atas tiga aspek,
yakni kamera dan film, framing, dan durasi gambar.
Kamera dan film mencakup teknik-teknik yang dapat
dilakukan melalui kamera, seperti warna, penggunaan lensa,
kecepatan gerak gambar, dan lainnya.
Framing adalah hubungan antara kamera dan objek yang
akan diambil, seperti batasan wilayah gambar, jarak, ketinggian,
pergerakan kamera dan sebagainya. Kemudian durasi pengambilan
gambar yaitu lamanya sebuah objek diambil gambarnya oleh
kamera. Dalam framing terdapat istilah teknik pengambilan
gambar (type of shot), yang terdiri dari: Extreme long shot, yaitu
teknik pengambilan gambar yang paling jauh dari objeknya.
Teknik ini umumnya menggambarkan sebuah objek yang sangat
jauh atau panorama yang luas. Long shot, teknik ini mulai
memperlihatkan objek manusia namun masih didominasi dengan
latar belakang. Teknik ini digunakan sebagai shot pembuka
sebelum shot yang jarak dekat dipergunakan.
Medium long shot, pada teknik pengambilan gambar ini,
hanya seperempat bagian gambar yang diambil dari objek, seperti
tubuh manusia yang diambil hanya bagian lutut sampai kepala,
22
sehingga antara objek dan latar belakang sekitarnya relatif
seimbang. Medium shot, teknik ini mengambil gambar dengan
jarak hampir mendekati objek, yaitu setengah bagian dari objek,
biasanya memperlihatkan tubuh manusia hingga ke pinggang.
Teknik ini mulai menekankan pada ekspresi wajah. Tipe shot ini
sering digunakan dalam sebuah film. Medium close up,
pengambilan gambar dengan jarak dekat yang memperlihatkan
tubuh manusia dari dada sampai ke atas kepala, sehingga
mendominasi frame secara keseluruhan. Tipe ini biasa digunakan
dalam adegan percakapan.
Close up, merupakan tipe pengambilan gambar secara
detail dengan jarak dengan dan hanya fokus pada satu objek saja.
Umumnya hanya memperlihatkan wajah, tangan, kaki atau objek
kecil lainnya, sehingga mampu menangkap ekspresi, emosi serta
gesture wajah dengan jelas. Extreme close up, yaitu pengambilan
gambar dengan jarak yang sangat dekat sehingga hanya
memperlihatkan objek terkecil secara mendetail seperti pada
bagian wajah yaitu, telinga, hidung, mulut, mata dan objek kecil
lainnya. Tipe ini sangat jarang digunakkan dalam pembuatan film
(Rifqi, K, 2016, h: 25-26).
5. Jenis-jenis Film
Film dapat dibagi berdasarkan:
a. Berdasarkan cerita, film dapat dibedakan antara film fiksi dan nonfiksi.
23
Fiksi merupakan film yang dibuat berdasarkan imajinasi manusia,
dengan kata lain film ini tidak didasarkan pada kejadian nyata.
Kemudian film nonfiksi yang pembuatannya didasari oleh suatu
kejadian yang benar-benar terjadi yang kemudian dimasukan unsur-
unsur sinematografis dengan penambahan efek-efek tertentu seperti
efek suara, musik, cahaya, komputerisasi, skenario atau naskah yang
memikat dan lainnya untuk mendukung daya tarik film nonfiksi
tersebut. Contoh film nonfiksi misalnya film The Iron Lady yang
didasari oleh kehidupan Margaret Thatcher (Tamburaka, A, 2013, h:
113).
b. Berdasarkan orientasi pembuatannya, film dapat digolongkan dalam
film komersial dan nonkomersial.
Film komersial orientasi pembuatannya adalah bisnis dan mengejar
keuntungan. Dalam klasifikasi ini, film memang dijadikan sebagai
komoditas industrialisasi hingga film dibuat sedemikian rupa agar
memiliki nilai jual dan menarik untuk disimak oleh berbagai lapisan
masyarakat.
Film komersial biasanya lebih ringan, atraktif dan mudah
dimengerti agar lebih banyak orang yang berminat untuk
menyaksikannya. Berbeda dengan film nonkomersial yang bukan
berorientasi bisnis, film komersial dibuat atas dasar mengejar target
keuntungan dan nonkomersial asasnya bukan untuk menjadikan film
sebagai komoditas, melainkan sebagai seni dalam menyampaikan
24
suatu pesan dan sarat akan tujuan, maka biasanya segmentasi penonton
film nonkomersial juga terbatas.
Contoh film nonkomersial misalnya berupa film propaganda yang
dibuat dengan tujuan mempengaruhi pola pikir massa agar sesuai
dengan pesan yang berusaha disampaikan. Di Indonesia sendiri contoh
film propaganda yang cukup populer adalah film G30S/PKI. Beberapa
film yang dibuat bukan untuk tujuan bisnis, justru dibuat dengan
tujuan untuk meraih penghargaan tertentu di bidang perfilman dan
sinematografi. Film seperti ini biasanya memiliki pesan moral yang
sangat mendalam dan estetika yang diperhatikan detail-detailnya
dengan skenario yang disusun sedemikian rupa agar setiap gerakan dan
perkataanya dapat mengandung makna yang begitu kaya.
Film seperti ini biasanya tidak mudah untuk dicerna oleh banyak
orang, karena sasaran pembuatannya bukan berdasarkan tuntutan
pasar. Contoh film nonkomersial seperti Pasir Berbisik yang
diproduseri oleh Christine Hakim (Tamburaka, A, 2013, h: 113-115).
c. Berdasarkan genre film.
Terdapat beragam genre yang biasa dikenal masyarakat selama ini,
di antaranya: action, komedi, drama, petualangan, epic, musikal,
perang, science fiction, pop, horror, gangster, thriller, fantasi dan
disaster. Salah satu contohnya, film Avatar yang mampu membawa
penonton ke dunia lain yang tidak pernah dijumpai sebelumnya dan
seolah-olah merasakan apa yang dialami para pemain film tersebut.
25
Berbagai adegan dramatis yang mengundang rasa sedih, iba mengajak
kita untuk menjadi bagian dari peristiwa yang dialami. Film ini mampu
mempengaruhi imajinasi setiap orang. Pikiran-pikiran yang timbul
menjadi semacam harapan yang dibangun oleh media, mereka
menciptakan realitas semu yang mungkin sulit untuk digapai, sehingga
dapat dikatakan film mampu memuaskan kebutuhan akan hiburan.
Dapat dikatakan bahwa film merupakan realitas dari dunia nyata
yang kemudian dikonstruksi ulang menurut ide pembuatnya dan
ditampilkan kembali kepada khalayak seolah-olah itulah realitas
sesungguhnya. Namun realitas sesungguhnya tidak akan pernah sama
dengan realitas yang dikonstruksi ulang oleh sutradara film. Kita hanya
mendapat sebagian gambaran realitas tetapi tidak utuh. Meskipun
begitu, sutradara film telah membawa kita kepada sebagian realitas di
masa itu yang mungkin tidak akan pernah kita tahu jika mereka tidak
membawanya ke dalam dunia film (Tamburaka, A, 2013, h: 115-118).
6. Ruang Lingkup Film
Ada sistem tiga komponen dalam industri film, yaitu: produksi,
distribusi dan pertujukan. Setiap komponen sedang mengalami perubahan
signifikan dalam lingkungan media digital dan terkonvergensi dewasa ini
(Baran, S, 2012, h: 231).
a. Produksi
Produksi mengacu pada pembuatan film. Sekitar 900 film dengan
durasi khusus diproduksi setiap tahun di Amerika Serikat, sebuah
26
kenaikan tajam yang melebihi awal tahun 1980-an ketika pada saat itu
hanya 288 film yang diproduksi. Pendapatan signifikan video
merupakan salah satu alasan kenaikan produksi film, juga
berkembangnya kepemilikan konglomerat yang menuntut lebih banyak
produk untuk pasar yang lebih besar.
Teknologi juga mempengaruhi produksi. Banyak film Hollywood
dibuat dan direkam dalam videotape. Dalam banyak kasus, perekaman
ini dilakukan dengan menghubungkan pembuatan film dan digunakan
sebagai bentuk umpan balik segera untuk sutradara sinematografi.
Dampak teknologi lain dapat dilihat pada empat film terlaris pada
tahun 2005, yaitu: Star Wars: Episode III Revenge of The Sith, Harry
Potter and The Goblet of Fire, War of The Worlds dan The Chornicle
of Narnia. Pembuatan film secara digital telah membuat efek khusus
yang luar biasa menjadi tidak sekedar memungkinkan, namun
diharapkan. Misalnya film Titanic (1997) sebagai contoh efek khusus
mampu membuat film bagus menjadi luar biasa.
Kelemahan efek khusus yang dihasilkan oleh komputer adalah
membuat biaya produksi menjadi sangat mahal, contohnya film Titanic
membutuhkan biaya lebih dari $200 juta. Peningkatan biaya produksi
juga disebabkan oleh tuntutan penonton yang mengharapkan sulap
digital (Baran, S, 2012, h: 231-234).
27
b. Distribusi
Dulu proses distribusi pernah sesederhana mencetak pengumuman
film dan mengirimnya ke bioskop-bioskop. Saat ini distribusi
bermakna menawarkan film-film ke stasiun televisi, jaringan televisi
kabel dan satelit, membuat kaset video dan videodisk. Cakupan bisnis
distribusi hanyalah memastikan bahwa perusahaan besar akan
mendominasi. Sebagai tambahan dalam membuat salinan film dan
menjamin pengirimannya, distributor saat ini turut membiayai proses
produksi dan juga bertanggung jawab mengenai iklan dan promosi,
serta peraturan dan penyesuaian waktu peluncuran dan pemutaran film.
Anggaran iklan dan promosi untuk sebuah film Hollywood
biasanya setara dengan 50% biaya produksi. Contohnya, pembuatan
film Pearl Harbor (2001) menelan biaya $140 juta. Studio yang
memproduksinya, Walt Disney menghabiskan $70 juta untuk
mempromosikan film tersebut di AS dan $50 juta lainnya untuk
berpromosi di luar negeri. Jadi menghabiskan $40-$50 juta untuk
menyebarkan sebuah film Hollywood bukanlah sesuatu yang tidak
biasa dan investasi ini dipandang sepadan, bahkan perlu dilakukan.
Para profesional di bagian promosi ini dapat berkata ya atau tidak
untuk suatu produksi film dan mereka juga harus menyatakan berapa
banyak uang dan usaha yang akan mereka kerahkan untuk suatu film
jika mereka mengatakan ya.
28
Faktor penting lain dalam promosi film dan kesuksesan keuangan
pada akhirnya adalah keputusan distributor untuk meluncurkan film
pada sejumlah layar tertentu. Salah satu strategi dinamakan dengan
platform rollout, yaitu memutar film hanya dalam beberapa kali
pemutaran dan berharap adanya respon kritis, kemenangan dalam
festival film dan ulasan yang baik dari mulut ke mulut orang-orang
yang menontonnya sehingga akan mendorong film tersebut menuju
kesuksesan. Biasanya keuntungan pendekatan ini bagi distributor
adalah dapat mengurangi biaya produksi secara signifikan (Baran, S,
2012, h: 234-235).
c. Eksibisi
Eksibisi atau penayangan di Amerika terdiri dari 80% bioskop
memiliki dua atau lebih layar dan rata-rata 340 kursi di depan masing-
masing layar. Satu setengah layar pemutaran film saat ini dikuasasi
oleh sebuah studio, sebuah tren yang masih terus terjadi. Contohnya,
Sony memiliki Sony/Loews Theaters dan 3.000 layarnya, sedangkan
Warner Brothers International Theaters memiliki 1.000 layar di 12
Negara.
Tidak mengejutkan bagi para penonton film bahwa para pengelola
bioskop mendapat uang dari penjualan kosesi sebuah film yang
biasanya memiliki keuntungan 80% yang berarti 25% dari total
pendapatan sebuah bioskop. Inilah alasan mengapa pertunjukan siang
29
dan malam merupakan promosi yang menarik bagi bioskop (Baran, S,
2012, h: 236).
B. Terorisme
1. Pengertian Terorisme
Tindakan terorisme merupakan suatu tindakan yang terencana,
terorganisir dan bisa terjadi dimana dan kapan saja serta kepada siapa saja.
Aksi teror bisa dalam berbagai macam bentuk dan cara tergantung
kehendak orang yang melakukannya. Biasanya aksi teror berbentuk fisik
dan nonfisik (psikis). Teror fisik biasanya akan menimbulkan cedera
hingga kematian, seperti pemukulan, penembakan, peledakan bom dan
lainnya. Sedangkan teror nonfisik berbentuk penyebaran isu, ancaman dan
sejenisnya yang dilakukan menggunakan media, seperti media massa dan
internet. Akibat dari aksi teror tersebut tidak jarang para korban akan
mengalami trauma dan merasa tidak aman (Dwi L & Ary Junaedi, 2017, h:
4-5).
Secara etimologi, kata “teror” berasal dari bahasa latin “terrere” yang
dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi kata “to fright”, yang dalam
bahasa Indonesia berarti “menakutkan”. Untuk definisi secara
terminologinya sampai saat ini belum ada yang bersifat global, meskipun
banyak ahli yang telah mendefinisikannya ( Fitri, I, Alriyani K, dkk, 2018,
h: 3).
Menurut Jainuri dalam (Dwi L & Ary Junaedi, 2017, h: 4-5), istilah
teror dan terorisme telah menjadi idiom ilmu sosial yang sangat populer
30
pada dekade 1990-an sampai awal 2000-an sebagai bentuk kekerasan
agama. Sudianto dalam Jurnalnya (Jihad dan Terorisme dalam Pandangan
Islam, h: 63 & 72-73), menjelaskan teroris secara bahasa merupakan
pengacau, orang yang melakukan aksi teror. Terorisme adalah hal yang
mengacau dalam masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya
dalam bidang politik. Terorisme dapat dikategorikan menjadi dua.
Pertama, horrific terrorism yakni terorisme yang benar-benar jahat karena
menghancurkan kekayaan pribadi dan Negara serta membunuh jiwa yang
tidak bersalah tanpa alasan yang rasional dan menggunakan cara yang
kejam. Kedua, heroic terrorism yakni tindakan terorisme untuk
mempertahankan hidup, seperti bom bunuh diri yang dilakukan pemuda
palestina karena tidak memiliki pilihan lain. Kategori pertama sangat
ditentang oleh Islam karena membunuh orang-orang yang tidak bersalah,
bahkan perlakuan tersebut dapat dikenakan hukuman mati sebagai mana
yang disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah ayat 33 yang artinya “hukum bagi
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh dan disalib atau dipotong
tangan dan kaki mereka secara silang atau diasingkan dari tempat
kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di
akhirat mereka mendapat azab yang besar”.
T.P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964)
mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan
simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku
31
politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan
kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi
dua kategori, yaitu enforcement terror yakni teror yang dijalankan
penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka, dan
agitational terror, yaitu teror yang dilakukan untuk mengganggu tatanan
yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu. Jadi
sudah tentu dalam hal ini, terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi
politik yang tengah berlaku (Mubarok & Muna Madrah, 2012, h: 16).
Sedangkan menurut Mulyadi dalam salah satu artikelnya, menyatakan
bahwa tindak pidana terorisme adalah tindakan yang melibatkan unsur
kekerasan atau menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia dan
melanggar hukum pidana (Afan, K & Mahrus Darmawan, 2019, h: 3).
Jadi dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa terorisme
adalah aksi kekerasan yang dilakukan baik secara individu ataupun
perkelompok (organisasi) dengan tujuan tertentu, yang dilakukan dengan
menyebarkan teror dan ketakutan di tengah-tengah masyarakat, sehingga
menyebabkan kehilangan nyawa dan rasa aman.
2. Faktor-Faktor Penyebab Kemunculan Terorisme
Menurut Whittaker, terorisme dapat muncul karena ajaran agama atau
motivasi agama. Sentimen agama sering menjadi salah satu penyebab
radikalisme dan terorisme (Mustofa, I, 2016, h: 77). Selain motivasi
ideologi, Shmuel Bar dalam artikelnya The Religious Sources of Islamic
Terrorism (2004), menyebutkan secara ringkas tiga faktor yang melatar
32
belakangi munculnya terorisme. Pertama, sebab politik yaitu konflik
berkepanjangan Israel-Arab. Kedua, karena budaya yaitu perlawanan
terhadap penjajahan budaya Barat yang berusaha mendominasi budaya asli
sebuah Negara. Ketiga, sebab sosial dan ekonomi yakni karena aliansi dan
kemiskinan (proverty). Oleh karena tidak adanya keadilan dalam tiga
aspek tersebut, menjadi alasan yang rasional munculnya terorisme
(Mubarak, Z, 2012, h: 250).
kondisi di atas, dapat berdampak pada munculnya keinginan untuk
melakukan aksi teror yaitu fase pertama, munculnya rasa frustasi bagi
sebagian kaum muslim yang diwakili oleh kaum radikal. Rasa frustasi ini
mendorong mereka untuk bersikap tertutup dalam masyarakat, over
reaction dalam menghadapi masalah dan cenderung menggunakan
kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan. Fase kedua, kegagalan
dalam memobilisasi masa pendukung aksi kekerasan. Kegagalan ini dapat
disebabkan karena ketertutupan mereka dalam bersosialisasi. Fase ketiga,
tidak ada pilihan lain.
Para pelaku teror menganggap diri mereka sebagai kelompok lemah
karena tidak memiliki kekuatan militer, dan diplomasi yang selalu
dipegang oleh politik internasional dan nasional. Maka satu-satunya jalan
yang harus ditempuh adalah melawan ketidakadilan, penindasan dan fitnah
menggunakan jalan bom bunuh diri dan aksi teror lainnya yang bertujuan
untuk menyatakan perang terhadap tiga aspek tersebut (Afan, K & Mahrus
Darmawan, 2019, h: 3). Menurut analisis Anthony Storr, pelaku teror atau
33
terorisme, umumnya menderita psikopat agresif. Gangguan psikologis
yang parah membuat pelaku aksi teror menjadi manusia yang kehilangan
nurani, bersikap kejam, agresif, sadistis dan tanpa ampun. Seluruh
perasaan takut seolah dibunuh habis, termasuk perasaan takut terhadap
kematian atas dirinya sendiri, apalagi kematian orang lain (Mubarok &
Muna Madrah, 2012, h: 19).
Hal ini kemudian dimanfaat oleh orang-orang yang berkepentingan
dengan mengatasnamakan membela agama. Pada Juni 2014, muncul
sebuah peristiwa yang mampu menyita perhatian publik, hampir seluruh
media lokal dan Internasional menyoroti peristiwa tersebut, yaitu
munculnya sebuah gerakan Islam yang bernama ISIS (Islamic State of Iraq
and Suriah) atau ISIL (Islamic State in Iraq and the Levant)
mendeklarasikan berdirinya Khilafah atau Negara Islam dengan Abu Bakr
Al-Baghdadi sebagai Khalifah atau kepala Negara (Republika.co.id, 2014).
Di Indonesia sendiri, ada yang pro dan kontra terhadap berdirinya
ISIS, dan telah dinyatakan sebagai teroris oleh Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kepala BNPT, Ansyad Mbai
menyatakan bahwa warga Negara Indonesia yang mendukung kelompok
bersenjata ISIS akan terancam hukuman. Di beberapa Negara seperti
Australia, Amerika Serikat, Kanada, Saudi Arabia, Inggris bahkan dewan
kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah meresmikan bahwa
ISIS adalah organisasi teroris (Rahimah, Latita H & Muhammad Alif,
2017, h: 435).
34
3. Terorisme Menurut Pandangan Barat dan Islam
a. Terorisme Menurut Pandangan Amerika dan Masyarakat Internasional
Pasca runtuhnya Soviet, Amerika Serikat bertekad untuk menjadi
satu-satunya Negara adidaya. Bagi dunia Islam, ambisi itu ditanggapi
dengan kecemasan dan ambivalensi antara negeri-negeri muslim
seperti Saudi Arabia dan Kuwait yang mendukung AS dan Negara-
Negara muslim yang menentangnya, seperti Iran dan Suriah
(Rahsahad, H, 2016, h: 13).
Amerika Serikat menjadi Negara yang paling menarik perhatian
dunia, salah satunya aspeknya adalah perpolitikan Amerika Serikat
yang berkaitan dengan Islam dan Negara-negara Islam. Melihat
hubungan tersebut orang-orang dapat menyimpulkan bahwa ada
hubungan yang tidak baik antara AS dan Islam. Dapat dilihat dari
konflik Arab-Israel, dan sejumlah kasus insidentil lainnya seperti dua
kali serangan militer terhadap Iraq, kesalahan identifikasi pelaku
pemboman sebuah gedung federal di Oklahoma, serangan rudal ke
Afghanistan dan Sudan sebagai bentuk pembalasan dibomnya
Keduataan Besar AS di Kenya dan Tanzania, dan peristiwa yang
paling gempar adalah runtuhnya ikon AS, World Trade Center dan
hancurnya sebagian gedung Pentagon akibat ditabrak oleh pesawat
komersial, yang diduga merupakan reaksi atas kebencian terhadap AS.
Menyikapi peristiwa tersebut Presiden Bush mengkampanyekan
propaganda gerakan anti terorisme secara sistematis yang tersebar ke
35
seluruh penjuru dunia. Target pertamanya atas tindakan tersebut adalah
miliader asal Saudi Osama bin Laden, yang merupakan veteran perang
Afghanistan dan pemimpin kelompok jihad Al.Qaeda yang
digambarkan oleh AS dan Pers sebagai musuh nomor 1 Amerika yang
dikenal dengan julukan The Most Dangerous Evil.
Propaganda yang dilakukan AS berhasil menekan pemerintah
Taliban di Afghanistan yang diduga melindungi Osama, untuk
meyerahkan Osama kepada AS tanpa syarat. Amerika juga mendesak
Pakistan, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk membantunya dalam
menjalankan “Operasi Keadilan Tanpa Balas”. Akhirnya ketiga Negara
itupun memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Afghanistan.
Kondisi ini membuat masyarakat dunia dilanda kebingungan dan
kekhawatiran, sebab apabila rezim Taliban tidak bersedia
menyerahkan Osama, maka AS akan menyerang Afghanistan dan tidak
dapat dipungkiri akan melibatkan Negara-negara lain, yang dapat
menyebabkan warga sipil jatuh kedalam perang berskala besar dan
membuat mereka sengsara berkepanjangan.
Presiden Bush memang tidak secara langsung menyebut Islam atau
orang Arab sebagai pihak yang diduga melakukan tindakan nekad
tersebut. Pandangan tentang Islam fundamentalis atau Islam militan
merupakan sebuah ancaman terbesar bagi kepentingan-kepentingan
AS. Dapat dilihat dari seruan anti Barat yang dilakukan oleh Ayatullah
Khomeini yang menjuluki AS sebagai The Great Satan, kutukan
36
Salman Rushdie dan seruan Saddam Hussein dan Muammar Qadhafy
untuk berjihad melawan kaum asing, telah memperkuat citra Islam di
mata Barat sebagai agama militan, radikal, ekspansionis dan anti Barat.
Wujud gerakan Islam fundamentalis yang kaku, sering diartikan
sebagai perwujudan masyarakat Islam keseluruhan oleh kaum Barat.
Eksistensi Islam sebagai salah satu agama besar dunia dan kekuatan
ideologis yang tidak dapat dianggap remeh terus menimbulkan rasa
takut bagi mereka. Citra negatif terhadap Islam mendorong lahirnya
gagasan yang bersifat pragmatis di kalangan Barat untuk merekayasa
penghancuran Islam. Keyakinan bahwa Islam bertentangan dengan
pandangan dunia, nilai-nilai dan peradaban mengarah pada konfrontasi
antara Islam dan Barat, tercermin dalam pandangan yang melihat Islam
dan gerakannya sebagai monolitik dalam istilah ekstremisme dan
terorisme. Inilah padangan umum masyarakat barat terhadap Islam
(Junaid, H, 2013, h: 124-127).
Persepsi Bush banyak dipengaruhi oleh pandangan Samuel P.
Huntington dan Bernard Lewis dalam memandang dunia Islam. Bagi
Bush, AS menyadari betapa sulit Negara Islam (Timur Tengah, Afrika
Utara, Asia Selatan dan Asia Tenggara) menerima standar AS dalam
hal Islam militan. Huntington telah mengingatkan Bush dan pemimpin
Barat lainnya agar waspada terhadap perkembangan Islam.
Huntington, menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk muslim
merupakan satu faktor destabilisasi terhadap masyarakat muslim di
37
lingkungannya, termasuk destabilisasi terhadap AS/Barat. Jumlah
pertumbuhan pemuda muslim dengan pendidikan menengah akan terus
memperkuat kebangkitan Islam dan militansi Islam, militerisme dan
imigrasi ke Barat.
Hasilnya, pada awal-awal abad 21, Barat akan menyaksikan
kebangkitan kekuatan dan kebudayaan Islam dan sekaligus benturan
antara masyarakat Islam dan Barat. Dalam bukunya yang berjudul Who
Are We? The Challenges to America National Identity 2004,
Huntington meyakinkan Bush dan pemimpin Barat lainnya, bahwa
dewasa ini Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai
musuh utama AS “This new war between militant Islam and America
has many similarities to the cold war”.
Huntington menggunakan istilah perang baru untuk
mereprersentasikan hubungan AS dan Islam militan, yang mengartikan
bahwa Islam berpotensi menjadi musuh dan bahaya bagi AS. Untuk
mempengaruhi Bush, Huntington melakukan polling di sejumlah
negeri Islam pada Desember 2001-Januari 2002 yang hasilnya
menunjukan bahwa sebagian besar kaum muslim sangat tidak
menyukai kebijakan AS. Polling tersebut menampilkan opini umum di
kalangan muslim bahwa AS adalah kejam, agresif, arogan, mudah
terprovokasi dan culas dalam perpolitikan luar negeri.
Banyak kelompok Islam oleh Huntington dimasukan dalam
kategori militan sehingga layak untuk diserang AS. Tanpa memberikan
38
alasan, sebab dan fakta yang akurat dan komprehensif. Huntington
meyakini bahwa Islam dalam beberapa dekade terakhir telah
memerangi kaum Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks, Hindu, Yahudi,
Buddha atau China. Dari sinilah Bush memandang Afghanistan dan
Iraq sebagai negeri muslim yang layak diserang. Akhirnya, ketegangan
dan terorisme global mencuat pesat, terutama yang ditunggangi oleh
aktivis Islam Al-Qaedah dan jaringannya (Rahsahad, H, 2016, h: 13-
14).
b. Terorisme Menurut Pandangan Islam
Salah satu pakar ilmuan Barat, John Louis Esposito berpendapat
bahwa tindakan terorisme tidak ada hubungannya dengan agama Islam
ataupun agama besar lainnya. Oleh karena itu istilah seperti teroris
Islam merupakan gambaran yang salah terhadap akar ajaran agama
Islam. Pada hakikatnya keseluruhan ajaran Islam terdapat dalam
Al.Qur’an yang merupakan rahmat bagi seluruh umat manusia.
Islam menjadi agama yang membawa kebaikan dan kenikmatan
bagi seluruh isi jagat raya. Islam sangat menghargai hak-hak asasi
manusia, oleh karena itu Islam tidak membenarkan aksi terorisme
meskipun dengan alasan untuk membela agama. Islam sebagai agama
yang menghendaki agar setiap ummatnya memiliki pehaman
Egalitarisme yaitu pemahaman untuk memandang sesuatu atau
seseorang itu sederajat, tidak menganggap rendah dan tidak
diskriminatif.
39
Islam itu bukan teroris, karena Islam merupakan agama yang
bermakna kedamaian, ketentraman, cinta dan kasih sayang. Sedangkan
terorisme adalah tindakan ancaman yang serius terhadap kedaulatan
dan berbahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta
kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk
kejahatan yang terorganisir dan tergolong sebagai kejahatan luar biasa
yang tidak membedakan sasarannya, oleh karena itu Islam sangat
menentang aksi tersebut (Junaid, H, 2013, h: 128-129).
Islam sebagai agama pandangan hidup dan sebagai the way of life
atau jalan hidup bagi penganutnya, tentu saja tidak mengizinkan dan
bahkan mengutuk terorisme. Islam dengan kitab sucinya Al.Qur’an
yang mengajarkan tentang moral-moral yang berdasarkan konsep-
konsep seperti cinta, kasih sayang, toleransi dan kemurahan hati. Nilai-
nilai yang ada di dalam Al.Qur’an membuat seorang muslim
bertanggung jawab untuk memperlakukan semua orang, apakah itu
muslim atau non-muslim, dengan rasa kasih sayang dan rasa keadilan,
melindungi yang lemah dan yang tidak bersalah dan mencegah
kemungkaran. Membunuh seseorang tanpa alasan adalah salah satu
contoh yang jelas dari kemungkaran.
Oleh karenanya, Islam melarang setiap umatnya untuk melakukan
kekerasan terhadap orang lain dengan mengatasnamakan agama, baik
dalam bentuk teror, intimidasi fitnah apalagi pembunuhan seperti
40
kasus-kasus terorisme belakangan ini yang merenggut hak hidup orang
lain (Afan, K & Mahrus Darmawan, 2019, h: 8).
Syeikh Zaid bin Muhammad bin Hady Al-Madkhaly, menyatakan
orang-orang yang ekstrim di dalam penilai terorisme adalah mereka
yang tertimpa oleh musibah aturan-aturan rahasi dari kelompok-
kelompok tertentu untuk menentang segenap pemerintah di seluruh
dunia Islam. Mereka menganggap bahwa pemerintah adalah orang-
orang yang sudah kafir keluar dari Islam, berbuat kerusakan, dan
menganiaya, karena berhukum dengan selain dari apa yang diturunkan
oleh Allah. Mereka bergerak dengan strategi untuk menggulingkan
pemerintah dengan menggunakan berbagagai cara seperti pembunuhan
secara rahasia terhadap para penguasa, peledakan bom di tempat-
tempat umum maupun khusus sebagai bentuk balas dendam dan makar
kelompok. Aksi-aksi tersebut menyebabkan tersebarnya
ketidakstabilan di masyarakat, dan terjadi goncangan keamanan. Hal
ini disebabkan tindakan mereka menyusupkan bentuk terorisme secara
nyata maupun pemikiran ke tengah masyarakat (Mubarok & Muna
Madrah, 2012, h: 62).
4. Publisitas Aksi Terorisme di Media
Bagi kelompok teroris, publisitas di media sangat penting karena
merupakan tolak ukur keberhasilan aksi yang mereka lakukan. Sejauh
mana aksi yang mereka lakukan mampu mempengaruhi psikologis
masyarakat. Menurut Brian McNair dalam (Zahid, A & Ahmad Naufel,
41
2018, h: 104), teror merupakan komunikasi politik yang menyimpang dari
koridor konstitusional. Para teroris melakukan aksinya untuk mencari
popularitas di media agar mendapat simpati publik, meruntuhkan moral
musuh, mendemonstrasikan kekuatan, menebar ketakukan dan
menciptakan prahara.
Pasca tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat, media gencar
mempublikasikan dan menayangkan aksi-aksi teror. Runtuhnya gedung
World Trade Center (WTC) diolah sedimikian rupa oleh Amerika untuk
melawan dan menyalahkan teroris. Ironisnya, hal ini justru berdampak luas
karena konstruksi yang dilakukan media atas tindakan teror membuat
Islam menjadi sasaran pemberitaan. Sehingga menyebabkan publik mulai
mengalami Islamophobia.
Islamophobia dapat dipahami sebagai suatu gejala ketakutan yang
mendalam terhadap Islam yang kemudian meningkat menjadi kebencian.
Roman Wolf mendefinisikan Islamophobia sebagai bentuk prasangka dan
permusuhan yang ditujukan kepada Muslim yang secara universal
digeneralisasikan oleh bangsa Barat merupakan orang-orang Arab
(Ma’ruf, H, 2017, h: 5).
Seiring perkembangan zaman, aksi teror yang terjadi di Indonesia
maupun luar negeri, didalangi oleh kelompok teroris dibawah komando
Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS). Aksi yang mereka rencanakan
biasanya terjadi secara berantai dan intens. Berdasarkan data dari CNN,
New York Times dan Esri, sejak tahun 2014 hingga mei 2017, ISIS
42
mengklaim telah melakukan 182 serangan langsung dan menginspirasi 46
aksi terorisme di 33 negara di luar Iraq dan Suriah. Mereka melakukan
aksinya tidak hanya di Eropa dan Amerika namun di Asia Tenggara,
Australia dan Afrika.
Semakin tinggi intensitas aksi teror ini, menyebabkan publisitas media
tentang isu-isu terorisme menjadi semakin naik, apalagi dilengkapi dengan
teknologi komunikasi yang semakin canggih. Media dan terorisme secara
eksplisit merupakan dua hal yang berbeda, namun jika dikaji lebih jauh
keduanya memiliki hubungan, setidaknya dalam hal menciptakan tekanan
psikologis bagi masyarakat.
a. Pemanfaatan Media oleh Terorisme
Menurut studi Schmid dan Graaf ada beberapa pemanfaatan yang
dilakukan oleh teroris terhadap media. Pemanfaatan secara aktif
meliputi: mengkomunikasikan pesan-pesan ketakutan kepada khalayak
luas, mempolarisasi pendapat umum, mencoba menarik anggota baru
pada gerakan teroris, mengecoh musuhnya dengan menyebar informasi
palsu, mengiklankan diri dan menyebabkan mereka merasa terwakili,
membangkitkan keprihatinan publik terhadap korban untuk menekan
agar pemerintah melakukan kompromi atau konsesi, mengalihkan
perhatian publik dari isu-isu yang tidak dikehendaki dengan harapan
berita teror mereka mengisi halaman depan media dan membangkitkan
kekecewaan publik terhadap pemerintah.
43
Kajian dari Soriano menjelaskan bagaimana hubungan antara
media dan terorisme. Soriano memulai eksplorasinya tentang
hubungan antara media dan terorisme dengan menggunakan kata dari
Marshall McLuhan, “Without Communication, terrorism would not
exist”. Pemikiran terorisme membutuhkan peran dari media untuk
mewujudkan eksistensinya. Melalui media, pesan terorisme dapat
disebarluaskan lebih cepat dan meyakinkan (Mubarok & Muna
Madrah, 2012, h: 66-68).
Soriano dalam tulisannya yang berjudul Terorrism and Mass
Media after Al.Qaeda: A Change of Course? (Zahid, A & Ahmad
Naufel, 2018, h: 105), secara jelas mengemukakan adanya hubungan
antara terorisme dan media. Bagi Soriano, media terutama televisi
mengusung format budaya visual dalam menyajikan berita. Faktor ini
menyebabkan kelompok teroris merencanakan objek penyerangan
secara matang. Oleh karena itu, para kelompok teroris memilih tempat
yang signifikan untuk melancarkan aksinya sehingga dapat diliput dan
disiarkan oleh media.
Melalui pemikiran tersebut, maka aksi teror pada 11 Septermber
2001 dalam pandangan Soriano telah cukup secara visual untuk
memenuhi budaya televisi dan memuaskan publik akan liputan
langsung terhadap serangan tersebut. Mengacu pada hal di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa aksi-aksi teror yang terjadi di kota-kota besar
di berbagai Negara, salah satu tujuannya adalah publisitas media agar
44
tekanan psikologis berupa ketakutan bisa tersampaikan kepada
masyarakat luas.
Menurut Brigitte Nacos, ada tiga tujuan utama terorisme yang
berlaku secara universal, yaitu: menarik perhatian, mendapat
pengakuan dan mendapat penghormatan serta pengesahan. Tujuan-
tujuan tersebut merujuk pada hubungan simbiosis antara media dan
terorisme. Brigitte Nacos menggabungkan aspek-aspek tujuan tersebut
menjadi sebuah kerangka kerja dimana teroris memiliki empat
ketergantungan umum terhadap media ketika melakukan serangan.
Keempat kerangka kerja tersebut adalah: pertama, Gaining
Attention and Awareness; spreading fear yakni sebuah upaya untuk
mendapatkan perhatian publik dengan cara menyebar ketakutan.
Tindakan teroris yang bersifat lokal bisa tersebar secara nasional
bahkan internasional dengan pemberitaan media. Penyebaran berita
yang memuat pesan para teroris menunjukan peran penting media
dalam mendukung aksi teror. Strategi untuk mendapatkan perhatian
merujuk pada upaya menunjukan pentingnya tindakan para teroris,
mengintimidasi penonton, pemerintah dan pengambil keputusan politik
melalui ketakutan yang disebarkan.
Tujuan kedua adalah Recognition of motives. Tujuan ini secara
konsep berhubungan dengan agenda setting and framing. Teroris
hanya ingin diketahui oleh audiens tetapi juga menyampaikan pesan
dan motif dibalik tindakan mereka. Misalnya, tindakan bom bunuh diri
45
yang digunakan para teroris akan menimbulkan pertanyaan di benak
audiens tentang motif dari tindakan tersebut. Media melalui
pemberitaannya yang dikembangkan akan memberi penjelasan
mengenai motif para teroris tersebut.
Tujuan ketiga, Gaining Respect and Sympathy. Audiens yang
menyaksikan tindakan teroris bukan hanya audiens yang ditakuti tetapi
juga mereka yang secara potensial akan mendukung aksi teror yang
terjadi. Kelompok yang memiliki akar ideologi yang sama atau
memiliki tujuan yang sama dengan pelaku berpotensi untuk
memberikan rasa hormat dan simpati. Tujuan keempat dari teroris
dalam memanfaatkan media adalah Gaining Legitimacy. Ketika para
teroris secara intens muncul di media, mereka memposisikan diri
sebagai wakil resmi dari kelompoknya. Kelompok teroris seolah
mendapat pengesahan dari para pendukung mereka yang mendapat
informasi melalui media.
Selain memanfaatkan media secara aktif, teroris juga
memanfaatkan media secara pasif diantaranya: sebagai jaringan
komunikasi eksternal di antara teroris, mempelajari teknik-teknik
penanganan terbaru terhadap terorisme dari laporan media, mendapat
informasi terkini pasukan keamanan menghadapi teror yang mereka
lakukan, menikmati laporan media yang berlebihan tentang kekuatan
teroris hingga menciptakan ketakutan pihak musuh dan mencegah
keberanian polisi secara individual, mengidentifikasi target-target
46
selanjutnya dan mencari tahu reaksi publik terhadap tindakan mereka
(Mubarok & Muna Madrah, 2012, h: 68-70).
Kasus teror yang dilakukan oleh ISIS menjadi contoh kongkret,
bahwa media sangat berperan penting bagi mereka untuk melihat
efektif tidaknya serangan yang mereka lakukan. Mereka melakukan
sejumlah serangan di berbagai kota besar, mulai dari aksi terorisme di
Paris, Prancis (13 November 2015), teror di Brussel, Belgia (22 Maret
2016), teror London, Inggris (22 Maret 2017), teror Kampung Melayu,
Jakarta (24 Mei 2017), hingga bom bunuh diri di Manchester Arena,
Inggris (23 Mei 2017). Frekuensi aksi teror yang terus meningkat,
menunjukan betapa ketakutan dipertontonkan media kepada khalayak
semakin intens (Zahid, A & Ahmad Naufel, 2018, h: 104-106).
b. Pemanfaatan Terorisme oleh Media
Hubungan antara media dan terorisme tidak hanya nampak pada
penggunaan media untuk kepentingan teroris. Di sisi lain, media
menggunakan teroris untuk kepentingan mereka. Tragedi berdarah,
peristiwa yang menarik perhatian dan sisi dramatis dari aksi teror
selalu menjadi komoditi yang tinggi bagi media.
Ada beberapa hal yang menjelaskan bagaimana media
menggunakan teroris untuk kepentingan mereka. Pertama,
Exacerbating Factors: competition and speed. Wilkinson dan Ockrent
menyebutkan dua faktor penting dari perubahan kerja media yaitu
kompetisi dan kecepatan. Kompetisi dan kecepatan menuntut media
47
bekerja dengan lebih baik agar bisa bersaing. Dalam kompetisi, materi
berita yang menarik akan menentukan kemampuan untuk menarik
audiens.
Kecepatan menuntut media untuk mendapat berita dari sumber
pertama dalam tempo yang singkat. Aksi terorisme menjadi materi
menarik bagi pemberitaan sekaligus membutuhkan kecepatan untuk
menyiarkannya. Oleh karena itu media berlomba untuk mendapatkan
kesempatan pertama dalam pemberitaan terorisme. Ada dua hal yang
berkumpul secara bersamaan yaitu kasus yang menarik dan isu global
yang dibicarakan di berbagai Negara.
Bagi media, terorisme memiliki daya tarik tersendiri untuk mengisi
berita utama. Terorisme memiliki magnitude yang kuat sehingga
mampu menarik minat pembaca. Dalam kerangka kepentingan
ekonomi media, berita terorisme akan menjadikan oplah penjualan
naik. Salah satu tujuan penggunaan media oleh teroris adalah untuk
meningkatkan pengetahuan dan perhatian publik terhadap aksi mereka.
Propaganda melalui media akan meningkatkan pengetahuan dan
perhatian publik terhadap isu maupun ideologi yang disebarkan para
teroris.
Relasi antara kepentingan propaganda teroris dengan kepentingan
nilai berita dari media bertemu dalam formulasi teks yang lahir.
Hubungan simbiosis antara media dan teroris dalam formulasi teks
nampak dalam pemberitaan yang menjadikan topik tersebut sebagai
48
agenda utama. Media membutuhkan isu terorisme sebagai berita
utama, sementara teroris berusaha untuk menjadi agenda utama dari
pemberitaan media. Bertemunya dua kepentingan antara teroris dan
media memberikan pengaruh bagi persepsi publik dan reaksi
pemerintah dalam menangani terorisme (Mubarok & Muna Madrah,
2012, h: 70-71).
Menurut European Monitoring Center on Racism and Xenophobia
dalam (Sya’roni, M, 2013, h: 127), media massa dengan berita
provokatifnya memiliki peran penting dalam memperkeruh hubungan
antar agama (Islamophobia), sentimen antara kelompok, baik di
Amerika Serikat maupun Eropa.
C. Pesan Moral
Dalam hal mendeskripsikan pesan moral yang akan dianalisis dalam
proposal ini, peneliti perlu mengkaji satu persatu antara pesan dan moral,
karena pembagian antara keduanya perlu untuk dilakukan agar
menghasilkan gambaran khusus dan terperinci dari pesan moral.
Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang
disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan
cara tatap muka atau melalui media komunikasi. Isinya berupa ilmu
pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat atau propaganda (Cangara, H,
2015, h: 27).
Menurut Devito, pesan adalah informasi tentang pikiran dan emosi
seseorang yang dikirim kepada orang lain dan diharapkan orang tersebut
49
bisa mengerti dan memahami apa yang diinginkan oleh si pengirim pesan.
Agar pesan yang disampaikan sesuai harapan, maka pesan yang akan
disampaikan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu: pesan harus
direncanakan dengan baik, serta disesuaikan dengan kebutuhan seseorang,
pesan menggunakan bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak dan
pesan harus menarik minat dan kebutuhan pribadi penerima serta
menimbulkan kepuasan (Pradana, R, 2018, h: 55-56). Membahas pesan
dalam komunikasi, tidak bisa terlepas dari simbol dan kode, karena pesan
yang disampaikan terdiri atas simbol dan kode.
Dalam kamus khusus bahasa Indonesia tulisan WJS Poerwadarminta,
simbol merupakan semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana dan
sebagainya, yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu
(Sobur, 2016, h: 156). Kode pada umumnya dapat dibedakan atas dua
jenis, yaitu verbal dan nonverbal.
Kode verbal dalam penggunaannya berbentuk bahasa. Bahasa dapat
didefinisikan sebagai seperangkat kata yang disusun secara sistematis
sehingga terhimpun kalimat yang mengandung arti. Bahasa memiliki
beberapa fungsi dalam menciptakan komunikasi yang efektif, yaitu:
bahasa berfungsi untuk mempelajari dunia sekitar, membina hubungan
yang baik antar sesama manusia dan menciptakan ikatan-ikatan dalam
kehidupan manusia (Cangara, H, 2015, h: 113).
Selain menggunakan kode verbal, pesan juga mengandung kode
nonverbal yang biasa disebut bahasa isyarat atau bahasa diam. Menurut
50
Mark Knapp, penggunaan kode nonverbal dalam berkomunikasi memiliki
fungsi, yaitu: meyakinkan apa yang diucapkan, menunjukan perasaan dan
emosi yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata, menunjukan jati diri
sehingga orang lain bisa lebih mengenal dan berfungsi untuk melengkapi
ucapan yang dirasa belum sempurna (Cangara, H, 2015, h: 117-118).
Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti sesuai dengan ide-ide yang
umum dan diterima tentang tindakan manusia yang baik dan wajar serta
sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan umum dengan melihat kesatuan
sosial atau lingkungan tertentu. Istilah moral dalam kehidupan sehari-hari
sering disamakan dengan istilah budi pekerti, sopan santun, etika, susila,
tata krama dan sebagainya.
Menurut aliran Otonomus Al-Qamamu Adz-Dzaty ukuran moral itu
ada pada diri kita sendiri. Ia adalah suatu batin yang ada pada diri kita
sendiri, yang memberi tahu bagaimana antara yang hak dan bathil. Antara
moral dan etika memiliki makna yang sama yaitu bentuk penilaian dan
norma yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok tertentu dalam
mengatur tingkah laku. Singkatnya moral mengajarkan bagaimana orang
harus hidup, dengan menjadikan moral sebagai tolak ukur baik dan
buruknya suatu nilai atau pantas dan tidak pantasnya suatu tindakan dalam
tatanan masyarakat. Pesan moral mengandung pelajaran hidup yang
dipetik dari sebuah peristiwa, pengalaman ataupun film yang ditonton.
Dengan dijadikannya tolak ukur, moral melekat dengan aktifitas
manusia sehingga tidak ada perbuatan yang sengaja dan dikehendaki lepas
51
dari nilai moral. Jadi dapat disimpulkan bahwa, pesan moral adalah suatu
nilai yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan melalui
proses komunikasi baik menggunakan kode verbal maupun nonverbal.
Pesan moral merupakan nilai yang dianut oleh suatu kelompok yang
dianggap baik dan buruk, pantas dan tidak pantas (Pradana, R, 2018, h: 58-
63).
D. Semiotika
1. Pengertian Semiotika
Menurut Littlejohn dalam (Sobur, 2016, h: 15), tanda-tanda adalah
basis seluruh komunikasi. Manusia dengan perantara tanda-tanda, dapat
melakukan komunikasi dengan sesamanya. Kajian semiotika terbagi atas
dua jenis yaitu semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika
komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu
diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu
pengirim, penerima kode, pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang
dibicarakan). Semiotika signifikasi lebih menekankan pada teori tanda dan
pemahamannya dalam suatu konteks tertentu, dan tidak mempersoalkan
adanya tujuan komunikasi, sehingga proses kondisinya pada penerimaan
tanda lebih diperhatikan dari pada proses komunikasi.
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda
atau seme yang berarti penafsiran tanda. Semiotika berakar dari studi
klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Semiotika
adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Barthes
52
menyatakan semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan memaknai hal-hal, yang berarti objek-objek tidak hanya
membawa informasi tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari
tanda. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna
ialah hubungan antara suatu objek atau ide dengan suatu tanda (LittleJohn
dalam Sobur, 2016, h: 16). Konsep dasar ini mengikat seperangkat teori
yang berhubungan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk
nonverbal dengan teori-teori yang menjelaskan tentang bagaimana tanda
berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Tanda-
tanda hanya mengemban arti dalam kaitannya dengan pembacanya.
Pembacalah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan
sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan.
Semiotika seperti kata Lechte (Sobur, 2016, h: 16), adalah teori tentang
tanda dan penandaan. Lebih jelasnya semiotik adalah disiplin yang
menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana tanda-
tanda dan berdasarkan pada sistem tanda. Hjelmsley juga mendefinisikan
tanda sebagai suatu keterhubungan antara wahana ekspresi dan wahana isi.
2. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis
yang mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes
lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di
Cherbourg dan dibesarkan di Beyonne, kota kecil dekat pantai Atlantik
sebelah barat barat daya Prancis. Barthes berpendapat bahasa adalah
53
sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Untuk mengetahui cara kerja tanda, Barthes menciptakan peta tentang
bagaimana tanda bekerja, yaitu sebagai berikut:
Gambar 2.1. Peta Tanda Roland Barthes
1. Signifier
(penanda)
2. Signified
(petanda)
3. Denotative sign (tanda
denotatif)
4. Connotative signifier
(penanda konotatif)
5. Connotative signified
(petanda konotatif)
6. Connotative sign (tanda konotatif)
Sumber: Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 2016, hal 69.
Dari peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif terdiri atas
penanda dan petanda. Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan
yang bermakna, jadi penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa
yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis dan dibaca. Sedangkan
petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep, jadi petanda adalah
aspek mental dari bahasa (Sobur, 2016, h: 46). Akan tetapi, pada saat yang
bersamaan tanda denotatif adalah penanda konotatif. Konotasi diartikan
sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas
54
perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara
(penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata lain, hal terseebut
merupakan unsur material, contoh: hanya jika anda mengenal singa,
barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi
mungkin (Sobur, 2016, h: 69 & 263).
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotatif dan konotatif dalam
pengertian secara umum serta denotatif dan konotatif yang dimengerti oleh
Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai
makna harafiah, makna yang sesungguhnya. Denotasi biasanya mengacu
kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang
terucap. Akan tetapi dalam semiologi Roland dan para pengikutnya,
denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sedangkan
konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih
diasosiasikan dengan ketertutupan makna, sensor atau represi politis.
Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya, baginya yang ada
hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini terasa berlebihan, namun
namun tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa
makna harafiah merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Sobur, 2016, h:
70-71).
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi,
yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam
suatu periode tertentu. Di dalam mitos terdapat pola tiga dimensi yaitu
55
penanda, petanda dan tanda, namun sebagai sistem yang unik, mitos
dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau
dengan kata lain, mitos juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua.
(Sobur, 2016, h: 71).
3. Teori Makna
Teori acuan (referential theory), menurut Alston dalam (Sobur, 2016,
h: 259-260), teori acuan merupakan salah satu jenis teori makna yang
mengenali atau mengidentifikasikan makna suatu ungkapan dengan apa
yang diacuannya atau dengan hubungan acuan itu. Referen atau acuan
boleh saja benda, peristiwa, proses atau kenyataan. Referen adalah sesuatu
yang ditunjuk oleh lambang.
Misalnya, apabila seseorang mengatakan sungai, maka yang ditunjuk
oleh lambang tersebut adalah tanah yang berlubang lebar dan panjang
tempat air mengalir dari hulu ke danau atau laut. Kata sungai langsung
dihubungkan dengan acuannya. Tidak mungkin timbul asosiasi yang lain,
karena bagi mereka yang pernah melihat sungai menjadi sangat mudah
untuk memahami apa yang dimaksud dengan sungai.
E. Kerangka Pikir
Terorisme merupakan aksi kekerasan terorganisir yang dilakukan
secara individu maupun kelompok dalam bentuk penyanderaan,
penembakan maupun pengeboman yang dapat menyebabkan kerugian
materil dan non materil. Terorisme telah menjadi isu global setelah
peristiwa runtuhnya gedung World Trade Center, Amerika Serikat pada 11
56
September 2001. Berdasarkan sejarahnya, terorisme telah ada sejak
beberapa abad silam. Awalnya, istilah terorisme hanya mengarah pada
kejahatan seperti pembunuhan dengan orientasi tertentu. Seiring dengan
perkembangannya, terorisme kemudian lahir dari pemahan sempit tentamg
doktrin agama yang berujung pada pembunuhan terhadap orang-orang
yang tidak bersalah.
Dalam film Hotel Mumbai, tidak sekedar menceritakan tentang
aksi teror yang dilakukan sekelompok pemuda selama 60 jam dibeberapa
tempat di Mumbai, namun terdapat pula aksi heroic dan dedikasi yang
dilakukan untuk bertahan hidup. Penyerangan Taj Mahal Palace Hotel dan
beberapa tempat lainnya di Mumbai India, menjadi memoar bagi warga
India dan terkhusus muslim di India. Akibat peristiwa tersebut hubungan
antara India dan Pakistan memanas dan citra Islam menjadi buruk,
sehingga Islamophobia berkembang di Negara tersebut.
Dalam film ini terpapar bagaimana ideologi, politik dan ekonomi
menjadi alasan untuk membunuh orang yang tidak bersalah. Begitu
banyak pesan yang tersembunyi dalam film yang ingin disampaikan
melalui bahasa kepada penonton.
Bahasa menurut Barthes adalah sebuah sistem tanda yang
mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu
tertentu. Berdasarkan pendapat di atas peneliti menggunakan semiotika
Roland Barthes tentang bagaimana tanda bekerja, untuk menganalisis
terorisme dalam film Hotel Mumbai. Dimana konsep tanda tersebut terdiri
57
dari, Signifier (penanda), Signified (petanda), Denotative Sign (tanda
denotatif), Connotative Signifier (penanda konotatif), Connotative
Signified (petanda konotatif) dan Connotative Sign (tanda konotatif),
Dengan menggunakan konsep tanda Roland Barthes diatas,
diharapkan mampu menganalisis aksi terorisme dan pesan moral yang
tersembunyi dalam dialog ataupun adegan film Hotel Mumbai. Dari uraian
tersebut maka peneliti menyusun kerangka pikir sebagai berikut:
Gambar 2.2. Kerangka Pikir
Terorisme dalam Film Hotel Mumbai
Scene/Adegan dalam Film Hotel Mumbai
Semiotika Roland Barthes (Tanda Denotatif,
dan Konotatif tentang Terorisme dalam Film
Hotel Mumbai)
Mengetahui dan
Menginterpretasikan Makna
Denotatif dan Konotatif tentang
Terorisme Melalui Film Hotel
Mumbai
Mengetahui dan
Menginterpretasikan Makna
Denotatif dan Konotatif Pesan-
pesan Moral yang Terkandung
dalam Film Hotel Mumbai
58
F. Fokus Penelitian
Untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis hasil penelitian,
maka penelitian difokuskan pada adegan atau dialog yang mengandung
unsur terorisme dan pesan-pesan moral dalam film Hotel Mumbai.
G. Deskripsi Fokus Penelitian
Dalam rancangan penelitian kualitatif, fokus penelitian
mengandung penjelasan mengenai dimensi-dimensi apa yang menjadi
pusat perhatian serta yang akan dibahas secara mendalam (Bungin, 2015,
h: 41).
Untuk memperoleh kesamaan mengenai objek penelitian, berikut
diuraikan beberapa deskripsi fokus penelitian:
1. Scene yang dimaksud yaitu adegan-adegan dalam film Hotel Mumbai
yang memuat unsur terorisme dan pesan-pesan moral yang ditunjukan
melalui dialog ataupun tindakan.
2. Semiotika Roland Barthes yaitu teknik yang digunakan dalam
menganalisis isi film Hotel Mumbai. Adapun konsep tanda menurut
Barthes, terdiri dari signifier, signified dan denotative sign (denotatif),
signifier, signified dan connotative sign (konotatif).
3. Makna denotatif adalah makna harafiah atau sebenarnya dari
penggunaan bahasa yang telah disepakati yang artinya penggunaan
yang sesuai dengan apa yang terucap.
59
4. Makna konotatif adalah makna yang diperoleh atau berdasarkan hasil
perasaan dan pemikiran yang timbul dan ditimbulkan oleh pembicara
dan pendengar.
5. Terorisme adalah aksi atau tindakan terorganisir yang dilakukan
perorangan atau kelompok dengan cara-cara yang tidak normal seperti
menggunakan kekerasan dan ancaman sehingga dapat menimbulkan
kerugian materil dan merenggut hak hidup orang lain.
6. Pesan moral yang dimaksud adalah nilai-nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan buruk, pantas dan
tidak pantas dikalangan masyarakat. Jadi, pesan moral dalam film
Hotel Mumbai ini, maknanya akan tersampaikan sesuai pemahaman
para penontonnya.
Perlu disadari bahwa fokus penelitian yang telah dirumuskan
sebaik dan serapi mungkin ada kemungkinan sedikit banyak akan
mengalami perubahan dan penyesuaian tertentu setelah lebih mendalami
kenyataan yang sesungguhnya. Dalam pendekatan kualitatif hal ini sesuatu
yang wajar terjadi, karena penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif lebih tunduk pada realitas di lapangan ketimbangan apa yang
dipikirkan atau dibayangkan secara subyektif sejak awal (Burhan, 2015, h:
43).
60
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Objek Penelitian
Dalam meneliti film Hotel Mumbai, peneliti membutuhkan waktu
kisaran dua bulan. Sedangkan untuk objek penelitiannya berfokus pada
pemutaran film Hotel Mumbai, sehingga peneliti terlibat langsung dalam
menganalisis isi dari film tersebut. Hal ini dilakukan karena peneliti
menggunakan metode analisis semiotik, yang diharuskan mengamati dan
menganalisis tanda-tanda dalam film secara langsung. Dimana objek yang
diamati merupakan film Hotel Mumbai, sedangkan unit analisisnya
merupakan potongan-potongan adegan dalam film tersebut yang
mengandung unsur terorisme
B. Jenis dan Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Studi deskriptif bertujuan untuk menggambarkan,
meringkas berbagai kondisi, situasi yang timbul dalam film Hotel Mumbai
sebagai objek penelitian. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk
memberikan gambaran dan pemahaman mengenai perilaku yang tidak
wajar dalam hal ini yang dimaksud ialah tindakan menyakiti dan
menyerang orang yang tidak bersalah menggunakan kekerasan.
Pendekatan deskriptif kualitatif digunakan untuk mengkaji terorisme dan
pesan moral pada film Hotel Mumbai.
61
C. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Sumber data primer, merupakan data yang diperoleh secara langsung
dari objek penelitian perorangan, kelompok dan organisai (Ruslan, R,
2017, h: 29). Dalam penelitian ini data primer yang digunakan peneliti
yaitu data yang diperoleh dari film Hotel Mumbai berbentuk soft file
dengan subtitle bahasa Indonesia.
2. Sumber data sekunder, yaitu data dari sumber yang berkaitan serta
mendukung objek penelitian, yang berbentuk dokumen tertulis yang
diperoleh dari literatur-literatur seperti, buku-buku, koran, jurnal,
penelitian terdahulu serta data yang bersumber dari internet.
D. Informan Penelitian
Informan adalah orang yang memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang kompleks tentang objek yang akan diteliti. Pada
penelitian ini, teknik penentuan informan yang digunakan oleh peneliti
adalah teknik purposive yaitu pemilihan informan berdasarkan pada
karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkut pautnya dengan
objek yang akan diteliti.
Adapun informan dalam penelitian ini adalah informan pendukung
dengan kriteria memiliki pengetahuan tentang film, terorisme dan
semiotika, yaitu sebagai berikut:
62
Tabel 3.1. Informan Pendukung
No. Nama Pekerjaan
1.
2.
3.
3.
Ahmad Harakan, S.IP., M.HI
Arni, S.Kom., M.I.Kom
Ayu Andriyani, S.Sos., M.Sc
Dosen Ilmu
Pemerintahan Fisipol
Universitas
Muhammadiyah
Makassar
Dosen Ilmu Komunikasi
Fisipol Universitas
Muhammadiyah
Makassar
Penonton Film Hotel
Mumbai dan Dosen
Ilmu Komunikasi
Fisipol Universitas
Muhammadiyah
Makassar
E. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif diperlukan kecermatan dalam
mengumpulkan data untuk menghasilkan penelitian yang valid, adapun
teknik yang relevan dengan objek penelitian ini adalah:
1. Observasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung terhadap film
Hotel Mumbai, dan menganalisis dialog dan adegan yang mengarah
63
pada tindakan terorisme. Dalam hal ini peneliti menganalisanya dari
segi semiotik yaitu tanda-tanda komunikasi.
2. Wawancara, dalam hal ini peneliti menggunakan wawancara yang
mendalam (in depth interview), yang bertujuan untuk mencari
informasi secara terstruktur dan terarah sehingga menghasilkan
informasi yang lebih mendalam.
3. Dokumentasi, yaitu mengumpulkan, mempelajari serta mengakaji
dokumen tertulis yang berisi pendapat atau teori yang berhubungan
dengan penelitian ini (Lianda, N, 2010, h: 33).
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis semiotik. Semiotik adalah metode yang dipakai untuk
menganalisis tanda-tanda (signs). Semiotik mempelajari studi tentang
bahasa dan bagaimana bahasa menjadi pengaruh dominan yang
membentuk persepsi manusia tentang dunia. Semiotik juga merupakan alat
untuk menganalisis gambar yang luar biasa (Ida, 2014, h: 75). Dalam
penelitian ini penulis menggunakan analisis semiotika Roland Barthes.
Konsep Roland Barthes terdiri dari penanda, petanda, tanda denotatif,
penanda konotatif, petanda konotatif dan tanda konotatif.
G. Pengabsahan Data
Pengabsahan data merupakan persoalan yang fundamental dalam
kegiatan ilmiah. Menurut Lincoln dan Guba dalam (Bungin, 2015, h: 59-
64
62), paling sedikit ada empat standar atau kriteria utama guna menjamin
keabsahan hasil penelitian kualitatif, yaitu:
1. Standar Kredibilitas
Standar kredibilitas ini bertujuan agar hasil penelitian kualitatif
memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi sesuai dengan informasi yang
didapatkan, dan perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
a. Perpanjangan keikutsertaan
Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan
data. Keikutsertaan tersebut dilakukan dalam jangka waktu yang tidak
singkat. Dengan semakin lamanya peneliti terlibat dalam pengumpulan
data, maka akan semakin memungkinkan meningkatnya kepercayaan
keabsahan data yang dikumpulkan, sebab yang tahu persis tentang
permasalahan yang diteliti adalah peneliti sendiri.
b. Ketekunan Observasi
Ketekunan observasi bertujuan untuk menemukan ciri-ciri dan
unsur-unsur dalam situasi yang relevan atau isu yang dicari dan
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci dan intens. Dalam
hal ini sebelum menentukan pembahasan penelitian, peneliti telah
melakukan pengamatan terlebih dahulu dalam upaya menggali atau
mencari informasi yang unik untuk dijadikan objek penelitian.
c. Trigulasi
Trigulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah trigulasi
sumber data yaitu memilih berbagai sumber data yang sesuai dan
65
mengumpulkan beberapa penelitian yang memiliki kajian objek yang
sama. Dengan demikian teknik trigulasi ini memungkinkan diperoleh
variasi informasi yang seluas-luasnya.
d. Melibatkan Teman Sejawat
Melibatkan teman dalam melakukan penelitian berguna untuk dia
ajak berdiskusi, memberikan masukan bahkan kritikan mulai dari awal
proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini perlu
dilakukan, mengingat keterbatasan kemampuan peneliti, yang
dihadapkan pada kompleksitas fenomena sosial yang diteliti.
2. Standar Transferabilitas
Standar ini merupakan pertanyaan empirik yang tidak dapat
dijawab oleh peneliti, tetapi dijawab dan dinilai oleh para pembaca
laporan penelitian. Hasil penelitian kualitatif memiliki standar
transferabilitas yang tinggi bilamana para pembaca laporan penelitian
memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas tentang konteks dan
fokus penelitian.
3. Standar Dependabilitas
Standar dependabilitas adalah pengecekan atau penilaian akan
ketepatan peneliti dalam mengonseptualisasikan apa yang diteliti
merupakan cerminan dari kemantapan dan ketepatan menurut standar
reliabilitas. Makin konsisten peneliti dalam keseluruhan proses
penelitian, baik dalam kegiatan pengumpulan data, interpretasi temuan
maupun dalam melaporkan hasil penelitian, akan semakin memenuhi
66
standar dependabilitas. Salah satu upaya untuk menilai dependabilitas
yaitu melakukan pemeriksaan terhadap seluruh hasil penelitian.
4. Standar Konfirmabilitas
Standar konfirmabilitas ini lebih terfokus pada audit atau
pemeriksaan kualitas dan kepastian hasil penelitian, apa benar berasal
dari pengumpulan data di lapangan.
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Film Hotel Mumbai
1. Profil Film Hotel Mumbai
Film Hotel Mumbai, merupakan film garapan Anthony Maras, yang
merupakan sutradara dari Australia. Film ini diproduksi oleh A Hamilton
and Electric Pictures Production dan Xeitgeist Entertainment Group yang
bekerjasama dengan beberapa perusahaan lainnya seperti, The South
Australian Film Corporation, American Entertainment Investors, Screen
Australia, Cyan Films, Double Guess Productions, Screen West dan
Thunder Road Pictures.
Film dengan genre history ini rilis perdana pada 7 September 2018, di
Toronto International Film Festival dan mendapat standing ovation. Film
Hotel Mumbai mampu meraih 2 penghargaan di Adelaide Film Festival
sebagai Best Feature dan di Palm Springs International Film Festival
sebagai Directors to Watch (www.Imbd.com).
Film yang ditulis oleh John Collee dan Anthony Maras ini merupakan
drama thriller yang berlatar peristiwa menyedihkan pada 26-29 November
2008, ketika Taj Mahal Palace Hotel dan lokasi-lokasi lainnya di Mumbai,
India, diserang oleh sekelompok teroris. Drama thriller ini menceritakan
kembali kepada para penonton betapa mencekamnya suasana teror yang
dialami para korban dan dedikasi para staf hotel dan polisi yang
mempertaruhkan nyawa mereka umtuk menyelamatkan para tamu.
68
Melalui film ini diperlihatkan bahwa anak muda menjadi sasaran
utama doktrin terorisme. Dilihat dari karakter yang ditampilkan, para
pemuda yang melakukan aksi teror tersebut dijanjikan surga dan uang.
Mereka tanpa sadar telah menjadi target utama para teroris untuk
melakukan aksi teror dengan doktrin mengatasnamakan agama. Film ini
sempat dikritik karena tidak menjelaskan peran para teroris Pakistan yang
terlibat dan bahkan teroris berdarah Amerika-Pakistan, David Coleman
Headly, sebagai otak dari serangan tersebut tidak disebutkan dalam film.
Namun sang sutradara menjelaskan bahwa film ini diangkat berdasarkan
sudut pandang para tamu dan staf hotel yang menjadi korban dalam aksi
tersebut (Gatra.com).
a. Tokoh-Tokoh dalam Film Hotel Mumbai
Selain alur cerita, aktor sangat berpengaruh dalam membangkitkan
emosi penonton, seperti yang disampaikan oleh Himawa dalam (Linda,
N, 2010, h: 35), keberhasilan sebuah film ditentukan oleh peforma para
aktornya, dan tentu juga tidak terlepas dari orang-orang yang bekerja
di balik layar yang biasa dikenal dengan istilah crew film. Dalam film
Hotel Mumbai sendiri terdapat beberapa aktor dan crew yang
menyukseskan film tersebut, diantaranya yaitu:
69
Tabel 4.1. Daftar Aktor Film Hotel Mumbai
AKTOR
No. Aktor Utama No. Aktor Pendukung
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Amandeep Singh sebagai
Imran
Suhail Nayyar sebagai
Abdullah
Manoj Mehra sebagai
Houssam
Dinesh Kumar sebagai
Rashid
Amriptal Singh sebagai
Ismail
Kapil Kumar Netra sebagai
Ajmal
Dev Patel sebagai Arjun
Nazanin Boniadi sebagai
Zahra
Adithi Kalkunte sebagai
Dimple
Alex Pinder sebagai Jamon
Vipin Sharma sebagai Dilip
Armie Hammer sebagai
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Naina Sareen sebagai Lani
Sachin Joab sebagai Vijay
Goswami
Chantal Contouri sebagai
Mrs. Karvelas
Vitthal Kale sebagai DC
Kanu
Nagesh Bhonsle sebagai
DC Vam
Carmen Duncan sebagai
Lady Wynn
Ansuya Nathan sebagai
Layla
Raunak Bhinder sebagai
Gunman
Ishan Khanna sebagai
Gunman
Harjeet Singh sebagai
Gunman
Nitin Dhiman sebagai
70
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
David
Tilda Cobham Hervey
sebagai Sally
Anupam Kher sebagai
Hermant Oberoi
Jason Isaacs sebagai Vasili
Gauray Paswala sebagai
Sanjay
Natasha Liu Bordizzo
sebagai Bree
Pawan Singh sebagai The
Bull (suara)
Angus Mc Laren sebagai
Eddie
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Gunman
Mariette Valsan sebagai
Nisha
Aradhana Dhawan sebagai
Olga
Mariella Hosseini sebagai
ibu Zahra
Rohan Mirchandaney
sebagai Chef Manu
Shiv Dev Singh sebagai
ayah Imran
Manasi Joshi sebagai
asisten Oberoi
Zenia Starr sebagai Prahba
Trishaan sebagai Kepala
Polisi
Sumber: www.Imbd.com
71
Tabel 4.2. Daftar Crew Film Hotel Mumbai
No. CREW
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Directed
Producer
Line Producer
Associate Producer
Production Design
Writing Credits
Casting
Cinematography
Film Editor
Art Director
Music
Visual Effects
Anthony Maras
Mike Gabrawy, Gary Hamilton,
Basil Iwanyk, Andrew Ogilvie,
Julie Ryan & Jomon Thomas
Barbara Gibbs & Pravesh Sahni
Kabir Ahuja, Viren Ahuja,
Marc Iserlis, Prateek Saxena,
Dejay Vi Nguyen & Brent
Robert Williams
Steven Jones-Evans
Jhon Collee & Anthony Maras
Ann Fay, Leigh Pickford &
Trishaan
Nick Remy Matthews
Anthony Maras & Peter
McNuty
Dilip More & Marita Mussett
Volker Bertelmann
Toby Angwin, Jake Barton,
Stuart Campbell, Jireh Canlas,
Nick DeBora, Stephen Deeble,
72
13.
14.
15.
Special Effects
Set Decoration
Costume Design
& Haris Kruskic
Tom Forrest, Tristian Haddon
& Adam Kealy
Nicki Gardiner
Anna Borghesi
Sumber: www.Imbd.com
2. Sinopsis Film Hotel Mumbai
Film berlatar Mumbai, India 26 November 2008 ini diperankan oleh
beberapa aktor papan atas India seperti Dev Patel sebagai Arjun,
Amandeep Singh sebagai Imran, Nazanin Boniadi sebagai Zahra, Anupam
Kher sebagai Oberoi dan beberapa lainnya. Hotel Mumbai bercerita
tentang kisah kemanusiaan dan kepahlawanan dalam situasi peneroran
yang dilakukan oleh kelompok teroris.
Film Hotel Mumbai dibuka dengan adegan yang menunjukkan sepuluh
pemuda yang sedang menaiki perahu karet. Para pemuda masing-masing
membawa ransel besar dan telepon genggam dengan headset terpasang di
telinga mereka. Melalui telepon mereka mendapat instruksi dari pemimpin
kelompok yang dikenal sebagai saudara Bull. Setelah berlabuh, mereka
menuju tempat yang berbeda yaitu Victoria Terminus, Lilopal Café dan
Taj Mahal Palace Hotel menggunakan taksi.
Di sebuah desa, Arjun (Dev Patel) berpisah dengan istrinya yang
sedang hamil dan anaknya, sebelum berangkat kerja di Taj Mahal Palace
Hotel. Arjun bekerja sebagai pelayan di hotel tersebut. Saat Arjun tiba,
73
terlihat para staf sangat sibuk menyiapkan dan menyambut para tamu dari
berbagai Negara. Diantara mereka adalah pewaris Iran-Inggris, Zahra
(Nazanin Boniadi), bersama suaminya dari Amerika David (Armie
Hammer), dan putra mereka Cameron beserta pengasuhnya Sally (Tilda
Cobham-Hervey). Di dapur, kepala koki Hemant Oberoi memeriksa satu
persatu para pelayan, dan memperhatikan Arjun yang hanya memakai
sandal dan menyuruhnya pulang. Namun Arjun dapat meyakinkan Oberoi
bahwa sepatunya tertinggal dan dia harus berkerja agar menghasilkan uang
untuk biaya istrinya yang sedang hamil. Setelah mendengar penjelas dari
Arjun, Oberoi menyuruh Arjun ke kantornya untuk mendapatkan sepasang
sepatu.
Pemberitaan tentang serangan terorisme di Victoria Terminus disiarkan
melalui televisi. Dan dua orang pelaku tersebut berhasil membajak mobil
polisi dan melanjutkan aksi mereka. Di tempat yang berbeda, Zahra dan
David menikmati makan malam di restoran hotel, sementara Sally tetap di
kamar untuk menunggu dokter karena Cameron demam. Sementara itu,
Oberoi memberitahu para staf dan pelayan untuk melayani pasangan
tersebut layaknya bangsawan, serta tamu istimewa lainnya Vasili (Jason
Isaacs), yang merupakan pengusaha Rusia yang memiliki beberapa
permintaan khusus, salah satunya cognac yang merupakan jenis minuman
yang diproduksi di Prancis. Salah satu pelayan Sanjay (Gaurav Paswala)
yang ditugaskan untuk melayani Vasili, keluar untuk membeli beberapa
kebutuhan. Ketika dia berjalan menuju sebuah toko, dia hampir tertabrak
74
taksi yang membawa dua teroris yang akan menuju kafe Lilopal.
Sementara Sanjay berdebat dengan supir taksi, kedua pemuda tersebut
meninggalkan mobil.
Di kafe Lilopal, sepasang turis, Eddie (Angus McLaren) dan pacarnya
Bree (Natasha Liu Bordizzo) menyaksikan pertengkaran antara Sanjay dan
supir taksi sebagai hiburan. Setelah menyaksikan pertengkaran, mereka
memutuskan untuk ketujuan berikutnya, yaitu ke Taj Mahal Palace Hotel.
Namun tiba-tiba seorang pelayan ditembak dan sebuah granat dilempar.
Kedua pemuda memasuki dan mulai menembak orang-orang yang ada di
dalam kafe. Eddie dan Bree berusaha untuk bersembunyi dan berhasil
melarikan diri bersama beberapa orang lainnya.
Berita tentang penyerangan mulai meresahkan para staf hotel, namun
para staf mencoba untuk tetap tenang di depan para tamu. Orang-orang
yang selamat dari serangan di kafe berlari menuju hotel untuk berlindung.
Manajer hotel Dilip (Vipin Sharman) membuka pintu, dan orang-orang
bergegas untuk masuk. Diantara mereka ada empat pemuda yang
menyusup masuk yaitu Imran (Amandeep Singh), Abdullah (Suhail
Nayyar), Manoj Mehra (Houssam) dan Rashid (Dinesh Kumar). Mereka
segera mengeluarkan senjata dan secara acak mereka menembak semua
orang yang terlihat. Breed dan Eddie terpisah selama penembakan dalam
hotel, sayangnya Bree tertembak pada saat dia mencoba melarikan diri.
Arjun menyaksikan pembantaian dari dalam restoran dan
memerintahkan para tamu untuk bersembunyi di bawah meja dan
75
menyuruh staf lain untuk memadamkan lampu dan mengunci pintu. Zahra
dan David mengkhawatirkan Sally dan bayi mereka. David mencoba
menelpon Sally, namun Sally tidak menjawab telepon karena dia sedang
mandi. Dua resepsionis yang bersembunyi di bawah meja, berhasil
menghubungi polisi dan memperingatkan beberapa tamu untuk tetap
tinggal di dalam kamar. Begitu lobi utama sepi, saudara Bull
memerintahkan Imran dan Rashid untuk memulai fase kedua, yaitu
menuju lantai atas dan mengeksekusi siapapun yang terlihat.
Pada saat Imran dan Rashid menuju lantai atas, Sally akhirnya
menjawab telepon dari david, dan seseorang mengetuk pintu. David
memperingatkan Sally bahwa ada penembakan di hotel, dan saat dia
membuka pintu seorang wanita berlumuran darah berlari masuk, diikuti
oleh suara tembakan. Sally yang panik berusaha menggendong Cameron
dan bersembunyi di lemari, sedangkan wanita yang berlumuran darah
akibat tertebak bersembunyi di dalam kamar mandi. Kedua pemuda
dengan senjata ditangan mereka, memasuki kamar dan menemukan
seorang wanita yang akhirnya mereka bunuh. Pada saat yang bersamaan,
Cameron mulai menangis dan Sally berusaha untuk menenangkannya.
Setelah membunuh, kedua pemuda tersebut meninggalkan kamar dan tidak
menemukan Sally dan Cameron.
Sally berlari keluar dari lemari, dan menelpon Zahra. David
memutuskan ke kamar untuk menyelamatkan mereka. Dia menyelinap dan
berhasil masuk ke dalam lift, sayangnya Imran dan Rashid menunggu di
76
depan lift. David bersembunyi di belakang kereta layanan kamar tanpa dan
berhasil melarikan diri dari dua pemuda bersenjata tersebut. David
akhirnya berhasil masuk ke dalam kamar dan bertemu putranya dan Sally.
Dalam waktu yang bersamaan, Eddie berhasil keluar dari hotel dengan
cara melepot dari jendela lantai dua. Saat diselamatkan, Eddie memohon
untuk menyelamatkan Bree yang masih di dalam hotel.
Di luar hotel, serangan berlanjut di beberapa kota dengan skala
kecepatan yang mengkhawatirkan. Polisi setempat tidak dilatih dan
diperlengkapi dengan baik untuk menangani aksi teror skala ini. Satu-
satunya pilihan dan harapan mereka menunggu pasukan khusus dari New
Delhi, yang berjarak 800 mil. Di tempat yang berbeda, Istri Arjun
menyaksikan berita yang disiarkan di televisi dan mengkhawatirkan Arjun.
Meskipun dalam keadaan yang tidak siap, kepala polisi dan beberapa
petugas memutuskan untuk memasuki hotel dengan harapan mencapai
ruangan cctv sehingga mereka dapat mengetahui gerakan para teroris.
Karena para tamu tidak dapat menggunakan pintu darurat, Oberoi
mengambil keputusan untuk memindahkan para tamu yang terperangkap
di restoran ke Chambers Lounge untuk bersembunyi. Arjun memimpin
para tamu ke Lounge melalui lorong layanan. Zahra mengirim pesan lokasi
yang akan mereka tuju kepada David, dan memintanya untuk menemui
mereka disana.
Kelompok polisi masuk melalui lobi utama. Salah satu teroris
melempar granat dan menewakan tiga petugas. Kepala polisi dan satu
77
anggotanya berhasil selamat. David, Sally dan Cameron meninggalkan
kamar dan berusaha menuju Lounge. Di lobi utama, dua teroris
menemukan dua resepsionis dan memerintahkan mereka untuk
menghubungi tamu yang bersumbunyi di kamar untuk membuka pintu.
Kedua resepsionis tersebut menolaknya dan merekapun ditembak. Di
Lounge, wanita paruh baya mendengar Zahra berbicara dengan ibunya
dalam bahasa Arab dan menuduhnya sebagai salah satu teroris. Janom
menenangkan wanita tersebut dan Vasili menangkan Zahra. Tidak hanya
menuduh Zahra, wanita tersebut mengeluh tentang Janggut dan pagri yang
dipakai oleh Arjun. Kemudian Arjun dengan tenang berusaha menjelaskan
kepadanya bahwa pagri yang dia pakai merupakan simbol keberaniannya,
tetapi jika harus melepasnya dia rela. Akhirnya wanita tersebut meminta
maaf kepadanya.
Prahba (Zenia Starr) salah satu staf hotel memasuki Lounge dengan
beberapa tamu, diantara mereka adalah Bree yang terluka parah.
Menyadari Bree membutuhkan pertolongan medis segera, Arjun
berinisiatif untuk membawanya keluar melalui tangga belakang dan
Oberoi menyetujuinya. Arjun menggunakan pagrinya untuk menghentikan
pendarahan Bree. Saat di tangga, mereka bertemu dengan dua polisi, yang
mencurigai Arjun sebagai teroris. Dalam kondisi salah sangka tersebut
Bree berlari menuju pintu dan dibunuh oleh Imran. saudara Bull
memberinya perintah untuk memeriksa identitas Bree, namun Imran
menolak. Setelah itu, Imran diperintahkan untuk mengumpulkan sandera,
78
khususnya orang-orang Amerika, orang-orang kaya dan penting. David
dan Sally mencapai lantai enam dan bertemu Imran. Mereka dikejar,
namun David berhasil mendorong Sally dan Cameron ke dalam lemari
utilitas sebelum ia disandera oleh Imran. Sally dan Cameron terjebak di
dalam lemari tersebut.
Arjun memimpin polisi ke ruangan cctv dan melihat banyak staf
termasuk Sanjay meninggal. Abdullah menggunakan salah satu lencana
petugas yang telah meninggal untuk mendapatkan akses ke Lounge. Saat
Oberoi hendak membuka pintu, Arjun menelpon dan memberitahu bahwa
itu adalah salah satu teroris. Mendengar suara gaduh dari dalam, Abdullah
mulai menembak ke arah pintu. Para staf memandu tamu yang panik ke
ruangan belakang. Melihat kondisi tersebut melalui cctv, polisi
memerintahkan Arjun untuk tetap di tempat dan mengunci pintu, karena
mereka akan menyelamatkan tamu yang ada di dalam Lounge. Kedua
polisi tersebut menyerang para teroris dan berhasil menembak kaki Imran.
Saat menuju ke kamar penyanderaan, Imran bertanya kepada Houssam
apakah saudara Bull akan memberi uang kepada keluarga mereka.
Sesampai di kamar, Imran diperintahkan untuk menjaga para sandera. Di
kamar bersama David dan sandera lainnya, Imran menelpon keluarganya.
Ayahnya yang menjawab telpon dan bertanya apakah pelatihannya
berjalan lancar, dengan sedih dia menjawab bahwa dia baik-baik saja, dia
berkata sangat mencintai ayahnya dan bertanya apakah mereka (Bull) telah
mengirimkan uang dan ayahnya menjawab mereka belum menerima
79
uangnya. Imran mengakhiri panggilannya dengan menyampaikan bahwa
dia menyayangi ibu dan saudarinya.
Enam jam setelah penyerangan, Zahra memutuskan untuk
meninggalkan Lounge bersama Vasili dan beberapa tamu lainnya,
meskipun telah diperingatkan oleh Oberoi. Ketika mereka memasuki lobi,
para tamu dibunuh, sedangkan Zahra dan Vasili disandera. Pagi hari
pasukan khusus India mulai berdatangan. Abdullah diperintah oleh saudara
Bull untuk memeriksa Vasili dan menemukan bahwa Vasili merupakan
mantan agen Rusia Spetznaz.
Dua teroris yang sebelumnya membajak mobil polisi berhasil
ditangkap, satu diantaranya terbunuh dan lainnya ditahan. Setelah
berbicara dengan Vasili, saudara Bull memerintahkan untuk memulai fase
terakhir mereka, yaitu membakar hotel. Abdullah, Rashid dan Houssam
meninggalkan Imran dan para sandera untuk melaksanakan perintah.
David berhasil melonggarkan ikatannya dan mencoba menyerang Imran
tetapi dia ditembak. Sedangkan, Arjun yang berada di ruangan cctv,
memutuskan untuk pergi membantu tamu yang berada di Lounge.
Oberoi mengumumkan bahwa mereka akan pergi melalui pintu
belakang secepat mungkin, namun seorang tamu menelpon reporter dan
memberitahukan lokasi mereka, sehingga informasi tersebut disiarkan di
televisi. Saudara Bull memberitahu kepada para teroris bahwa para tamu
melarikan diri. Imran diperintahkan untuk membunuh para sandera, dia
menembak pasangan Amerika, David dan Vasili. Zahra dengan bercucuran
80
air mata mulai melafaskan shalawat dan doa, sehingga membuat Imran
tidak tega untuk menembaknya karena Zahra seorang muslim. Sebelum
meninggal David memberitahu kepada Zahra tempat persembunyian Sally
dan Cameron.
Para terori mendobrak pintu Lounge dan mengejar para tamu melalui
tangga, mereka menembak beberapa tamu dan staf. Salah seorang tamu
mendengar Selly dan Cameron dan membantu mereka keluar dari lemari.
Ketika para teroris mencapai dapur dan melepas tembakan yang bertubi-
tubi kepada para staf dan tamu, pasukan khusus akhirnya memasuki hotel
dan membalas tembakan. Arjun yang berhasil keluar merangkul Oberoi.
Di lantai atas, Zahra menemukan lemari tersebut dalam keadaan kosong.
Untuk menyelamatkan diri, Zahra memecahkan jendela dan berteriak
minta tolong. Teroris yang masih hidup tertekan dan akhirnya terbunuh.
Zahra diselamatkan dan bersatu kembali dengan Sally dan putranya
Cameron. Arjun dengan mengendarai sepeda motornya kembali ke rumah
dan bersatu dengan istri dan anaknya.
Dalam teks penutup film, mengungkapkan bahwa setelah tiga hari,
polisi India membunuh 11 dari 12 teroris, dan menahan satu diantaranya.
Dalang dari aksi teror yang mengerikan tersebut sampai saat ini masih
menjadi buronan. Dari 31 orang yang terbunuh di Taj Mahal Palace Hotel,
setengah diantaranya merupakan staf yang tetap tinggal membantu para
tamu. Pada 21 Desember 2008, Taj Mahal Palace Hotel kembali dibuka
dengan bantuan Hermant Oberoi, dan mengembalikannya ke masa
81
kejayaan dalam waktu 21 bulan. Hingga saat ini, beberapa karyawan
masih bekerja di Taj Mahal Palace Hotel (www.Imbd.com).
B. Makna Denotatif dan Konotatif Terorisme pada Film Hotel Mumbai
Setelah menjelaskan alur cerita film Hotel Mumbai sebagai objek
penelitian, maka pada deskripsi data penelitian ini, peneliti menjadikan
adegan dan dialog dalam film tersebut sebagai fokus penelitian. Pada bab
ini, peneliti akan memaparkan data yang akan menjadi dasar analisis
peneliti serta hasil dari analisis penelitian ini.
Terdapat beberapa scene yang akan dianalisis dalam film Hotel
Mumbai ini dengan menggunakan konsep semiotika Roland Barthes.
Barthes menawarkan pembahasan tentang makna denotatif dan konotatif
dalam objek yang diteliti.
Makna denotatif adalah makna harafiah atau sesungguhnya
terhadap penggunaan bahasa yang telah disepakati. Makna denotatif
adalah makna sebuah kata yang terdiri dari penanda dan petanda. Makna
konotatif adalah makna suatu kata yang berasal dari ekspresi dan emosi
manusia yang pada akhirnya akan menghasilkan pemaknaan baru.
Dalam penelitian analisis semiotik terorisme pada film Hotel
Mumbai ini, menggunakan semiotika Roland Barthes, sehingga dapat
menganalisis makna denotatif dan konotatif terorisme sebagai berikut:
82
Tabel 4.3. Analisis Bentuk Tindakan Terorisme (Adegan Pilihan 1)
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (25:26-28:52)
Signifier (Penanda) Narasi:
Abdullah : Fase satu selesai, saudara ku. Kami akan ke
atas.
Saudara Bull : Kerja bagus. Satu hal, terus nyalakan
ponsel mu. Aku ingin mendengar tangisan mereka.
Para binatang itu tidak manusiawi, Abdullah, ingat ini.
Abdullah : Ya, saudara ku.
Saudara Bull : Mereka tidak pantas mendapat ampunan
Allah.
Abdullah : Ya, saudara ku, Allahu Akbar!
Saudara Bull : Allahu Akbar!
Signified (Petanda) Dari adegan di atas, terlihat empat pemuda memakai
kaos dan ransel memasuki hotel. Kemudian mereka
menyiapkan senjata dan mulai menembaki orang-orang
di dalam hotel secara acak. Keempat pemuda tersebut
83
menggunakan pistol laras panjang. Satu diantara
mereka berbicara kepada seseorang malalui telepon,
terlihat headset terpasang di telinganya.
Makna Denotatif Empat pemuda memasuki hotel Taj. Di dalam hotel
mereka berpencar, dua orang di lantai dasar dan
lainnya di lantai dua. Dengan hati-hati mereka
membokar ransel yang berisi senajata dan menembak
tamu dan staf hotel secara acak.
Makna Konotatif Berdasarkan adegan di atas, maka makna konotatif
yang ingin ditunjukan adalah empat pemuda tersebut
melakukan aksi teror yang terorganisir dan dipantau
oleh seseorang yang mereka sebut saudara melalui
telepon. Dapat dilihat, bahwa penembakan dan
pengeboman merupakan salah satu bentuk dari
tindakan terorisme. Berdasarkan dialog makna konotasi
yang ingin disampaikan adalah para teroris melakukan
aksi tersebut sebagai bentuk pembalasan dendam
terhadap orang-orang yang mereka anggap musuh
karena tidak sepemikiran, serta meyakini aksi tersebut
benar untuk dilakukan.
84
Tabel 4.4. Analisis Dampak Terorisme (Islamophobia) (Adegan Pilihan 2)
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (55:49-57:23)
Signifier (Penanda) Narasi:
Ibu Zahra : Tuhan menjaga kamu nak. Tutup mata mu,
mari berdo’a.
Zahra : Do’a? Apa gunanya do’a untuk kita bu?
Ibu Zahra : Ibu harus apa? Ibu mencemaskan kamu.
Zahra : Maaf. Aku hanya ingin pulang.
Ibu Zahra : Ibu menyayangi mu. Ibu akan mendo’akan
mu.
Zahra : Aku akan menelpon lagi nanti.
Ibu Zahra : Baik, anakku.
Lady Wynn : Kamu bicara dengan siapa?
Zahra : Apa?
Lady Wynn : Kamu menelpon siapa?
Zahra : Bukan urusan anda.
Lady Wynn : Dia anggota mereka.
Zahra : Apa maksud anda?
85
Lady Wynn : Kamu bicara dalam bahasa itu.
Zahra : Anda menyebut saya teroris? Katakanlah
maksud anda!
Lady Wynn : Kenapa kamu tidak jawab? Katakanlah
siapa kamu.
Signified (Petanda) Adegan ini menunjukan sebuah ruangan mewah yang
di dalamnya terdapat lemari, sofa dan rak-rak yang
berisi minuman. Terlihat seorang wanita dengan
rambut dikuncir sedang duduk di sofa dan berbicara
melalui telepon. Dari jarak jauh seorang wanita paruh
baya memperhatikan wanita tersebut. Setelah
menyadari dirinya diperhatikan wanita tersebut
mengakhiri pembicaraan dengan menjauhkan
handphone dari telinga kanannya. Kemudian wanita
paruh baya tersebut menghampirinya dan mereka
terlihat memperdebatkan sesuatu.
Makna Denotatif Terlihat Lady Wynn mencurigai Zahra sebagai anggota
teroris.
Makna Konotatif Korban dalam aksi terorisme pasti mengalami tekanan
psikis, kemudian tekanan tersebut bertambah akibat
pemberitaan media tentang aksi yang berlangsung.
Dalam film ini dijelaskan bahwa pelaku teror adalah
pemuda muslim. Fakta ini menyebabkan korban
86
mengalami ketakutan terhadap Islam atau
Islamophobia. Dampak tersebut tidak hanya dialami
oleh korban dalam aksi tersebut, tetapi masyarakat
yang mengetahui aksi tersebut melalui media juga ikut
mengalami tekanan psikis yang berujung pada takut
terhadap hal-hal yang merepresentasikan Islam.
Tabel 4.5. Analisis Faktor Terjadinya Terorisme (Ekonomi) (Adegan Pilihan
3)
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (1:15:28-1:18:02)
Signifier (Penanda) Narasi:
Imran : Hei, Houssam! Kamu percaya saudara Bull
akan memberi uang kepada keluarga kita?
Houssam : Imran, kita mengabdi di jalan Allah, yang
lain tidak penting!
Signified (Petanda) Terlihat dua pria mengenakan ransel berjalan sambil
memegang pistol laras panjang. Pria yang mengenakan
jaket merah maron nampaknya terluka sehingga harus
87
ditopang oleh pria yang berkaos garis-garis pada saat
berjalan. Kemudian mereka berhenti di depan pintu dan
membicarakan sesuatu.
Makna Denotatif Dalam adegan ini terlihat dua pemuda berjalan sembari
membicarakan sesuatu.
Makna Konotatif Berdasarkan dialog yang terjadi antara Imran dan
Houssam, makna konotasi yang ingin ditonjolkan ialah
Imran melakukan aksi teror karena diiming-imingi
uang oleh seseorang yang mereka panggil dengan
sebutan saudara Bull. Yang menunjukan bahwa Imran
membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya, sehingga membuatnya terlibat dengan
jaringan terorisme.
Tabel 4.6. Analisis Tindakan Jihad dalam Terorisme (Adegan Pilihan 4)
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (1:25:38-1:27:24)
Signifier (Penanda) Narasi:
88
Teroris : Dia mengatakan “kalian muslim, orang kafir
menipu kalian, mereka membuat kalian melarat,
mereka membuat kalian tertinggal sementara mereka
maju. Pergilah! Berjihadlah! Pergi dan berjihadlah!
Signified (Petanda) Terlihat pada adegan ini, seorang polisi sedang duduk
di samping seorang pria yang terbaring di atas ranjang
dengan luka di sekitar leher dan lengannya. Terlihat di
sekeliling ruang ada meja dengan obat-obatan serta
kamera yang merekam dua pria tersebut.
Makna Denotatif Pada adegan ini, menunjukkan polisi sedang
menginterogasi salah satu teroris di rumah sakit
Makna Konotatif Makna konotatif yang ingin ditunjukan oleh penulis
film ini adalah, para teroris tersebut dihasut oleh
seseorang yang bernama Bull untuk melakukan aksi
teror sebagai bentuk pembalasan dendam yang
disebabkan oleh orang-orang kafir yang dalam
pandangan mereka merupakan orang-orang Amerika
dan Inggris yang membuat umat muslim mengalami
keterbelakangan. Keterbelakangan bisa diartikan
sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh pemerintah
Negara yang korupsi dan eksploitasi yang dilakukan
oleh Amerika dan Eropa di Negara tersebut. Hal ini
kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang yang
89
memiliki kepentingan pribadi dengan menyisipkan
ajaran agama yang salah sebagai alasan untuk membela
agama atau lebih dikenal dengan istilah jihad.
Mereka memahami bahwa pembelaan terhadap Islam
saat ini harus dilakukan menggunakan tindakan-
tindakan tertentu seperti menggunakan senjata, bom
dan sebagainya yang mereka artikan sebagai Jihad.
Kesalah pahaman terhadap arti jihad inilah yang
mendorong orang-orang rela melakukan bom bunuh
diri.
Tabel 4.7. Analisis Faktor Terjadinya Terorisme (Politik) (Adegan Pilihan 5)
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (1:30:02-1:30:56)
Signifier (Penanda) Narasi:
Saudara Bull : Sambungkan pada si Rusia!
Houssam : Baik. Hei, hei, bicara padanya.
Saudara Bull : Vasili Gordetsky.
Vasili : Kamu tahu siapa saya?
90
Saudara Bull : Vasili Gordetsky.
Vasili : Apa?
Saudara Bull : Presiden dan salah satu pendiri NV
Capital. Mantan petugas khusus Soviet.
Vasili : Memang kenapa? Kamu mau uang? Saya akan
beri uang.
Saudara Bull : Uang mu tidak akan menyelamatkan
mu. Kamu akan mati karena perbuatan mu atas
Afghanistan.
Vasili : Astaga! Kamu tahu apa yang saya lakukan di
Afghanistan? Saya tiduri ibu mu, saya tiduri
saudarimu, bajingan!
Signified (Petanda) Pada awal adegan terlihat dua orang pemuda memasuki
ruang dengan senjata di tangannya. Pemuda berkaos
hijau gelap nampaknya sedang berbicara dengan
seseorang melalui telepon. Di dalam ruangan tersebut,
terdapat tujuh orang lainnya, dua di antaranya pemuda
yang duduk bersandar di pintu sambil memegang sejata
laras panjang dan lima lainnya terbaring di lantai
dengan tangan terikat kebelakang. Pemuda yang
berkaos hijau gelap kemudian mendekati salah satu
pria yang terbaring di lantai. Pemuda tersebut
menendang kemudian membalikan badan pria berjas
91
hitam tersebut dan menamparnya. Pemuda tersebut
kembali berbicara melalui telepon kemudian
menyerahkan telepon kepada pemuda lainnya. Terlihat
dua pemuda merobek pakaian dan mengambil barang
milik pria tersebut.
Pemuda dengan kaos bergaris-garis terlihat memotret
sesuatu menggunakan telepon genggamnya. Sedangkan
pemuda berkaos hijau gelap membuat keributan dengan
pria berjas hitam dan berhasil dilerai. Pemuda dengan
kaos bergaris kembali berbicara melalui telepon dan
melangkah ke arah pria berjas hitam kemudian
mendekatkan telepon ke pria tersebut. Pria tersebut
nampaknya berbicara sambil terisak dan terlihat
meneriaki seseorang melalui telepon sehingga
membuat pemuda yang memegang telepon tersebut
memukulnya.
Makna Denotatif Bull memerintahkan Abdullah untuk memeriksa
identitas para sandera terkhusus Vasili.
Makna Konotatif Bull memiliki dendam pribadi terhadap orang-orang
yang terlibat dalam peperangan di Afghanistan. Artinya
aksi tersebut disisipi oleh kepentingan politik, yang
ingin mempengaruhi kebijakan suatu Negara.
92
Tabel 4.8. Analisis Hubungan antara Media dan Terorisme (Adegan Pilihan
6)
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (1:36:30-1:37:11)
Signifier (Penanda) Narasi 1:
Saudara Bull : CNN memberitakan bahwa pasukan
khusus telah mendarat di Mumbai.
Narasi 2:
Penyiar berita : Kami mendapat kabar tentang upaya
pelarian yang berlangsung di Taj hotel. 100 tamu
dilaporkan akan keluar dari Chambers Lounge
berlokasi jauh di dalam hotel yang terbakar.
Signified (Petanda) Pada adegan ini, terlihat pemuda yang berkaos hijau
gelap berbicara melalui telepon.
Pada adegan lainnya terlihat sekumpulan orang sedang
menonton televisi di lokasi yang berbeda.
93
Makna Denotatif Pemberitaan terkait situasi dan kondisi selama aksi
teror di hotel Taj. Hal ini dimanfaatkan oleh terorisme
untuk mengetahui situasi dan kondisi pada saat aksi
berlangsung. Hal ini ditunjukan melalui pernyataan
saudara Bull terhadap Abdullah bahwa pasukan khusus
India telah mendarat di Mumbai melalui pemberitaan
CNN. Informasi ini membuat mereka lebih waspada
dan segera menyelesaikan misi serta teroris
menggunakan media untuk memantau situasi dan
kondisi.
Makna Konotatif Berdasarkan adegan, makna konotatif pemanfaatan
media oleh teroris adalah teroris ingin menunjukan
eksistensi dan kekuatan mereka kepada publik serta
berusaha untuk mendapat penghormatan dan simpati
orang-orang yang sepemikiran dengan mereka.
Selain itu adegan ini juga menunjukan adanya
hubungan simbiosis mutualisme antara media dan
terorisme, dimana media membutuhkan isu terorisme
sebagai nilai berita untuk menjalankan peran sosialnya
dalam menyampaikan informasi dan teroris
membutuhkan media untuk menjadi topik utama
pembahasan.
94
Tabel 4.9. Analisis Agama Tidak Berkaitan dengan Terorisme (Adegan
Pilihan 7)
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (1:39:08-1:40:51)
Signifier (Penanda) Narasi:
Saudara Bull : Tembak dia Imran! Tembak dia! Insya
Allah ini amal baik juga, tembak dia! Imran, tembak
dia!
Signified (Petanda) Pada adegan ini seorang pemuda berjaket merah, duduk
bersandar pada pintu dengan senajata laras panjang di
atas kakinya. Pemuda tersebut menyambungkan
headset pada telepon dan memasang ke telinga
kanannya dan nampaknya dia berbicara dengan
seseorang. Kemudian dia meletakan senjata
disampingnya dan berusaha untuk berdiri. Dia
mengambil pistol dari belakang punggung dan
95
memeriksa pelurunya kemudian menarik pelatukknya.
Perlahan dia berjalan ke arah empat orang yang
terbaring di lantai. Dengan kondisi kaki kiri yang
terluka, dia mulai
Makna Denotatif Imran ditugaskan untuk membunuh para sandera.
Makna Konotatif Makna konotatif dalam adegan ini menunjukan bahwa
korban dan pelaku aksi terorisme dapat terjadi pada
siapapun terlepas dari agama mereka. Jadi, dapat
dilihat bahwa aksi terorisme tidak berkaitan dengan
agama manapun. Hanya saja para pelaku teror
memanfaatkan Islam sebagai dalih untuk melegalkan
aksi tersebut.
Tabel 4.10. Analisis Psikologis Pelaku Teror (Adegan Pilihan 8)
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (1:49:54-1:51:06)
Signifier (Penanda) Narasi:
Saudara Bull : Beranilah para singaku! Seluruh dunia
96
akan menyaksikan. Allah menunggu kalin di surga.
Terus aktifkan ponsel kalian agar seluruh dunia
mendengar auman kalian.
Abdullah dan Houssam : Ucapkan takbir, Allahu
Akbar!
Signified (Petanda) Dalam adegan ini terlihat dua pemuda saling tembak
menembak dengan orang-orang yang berpakaian serba
hitam. Mereka bersembunyi di belakang meja kayu.
Pemuda yang berkaos hijau gelap memasang headset di
telinga kirinya dan pemuda dengan kaos bergaris
terlihat duduk bersandar sambil memegang perutnya
yang terluka. Mereka terus menebak ke arah orang-
orang yang berpakaian hitam. Salah satu pemuda
tampak menangis dengan tangan memegang headset di
telinga kirinya.
Pemuda lainnya terus menembak kemudian kembali
bersandar dan terlihat dia mengatur pernapasannya. Di
depan meja salah seorang yang berpakaian serba hitam
berlari dan terlihat melempar sesuatu ke arah para
pemuda tersebut. Kemudian ledakan terjadi di tempat
persembunyian dua pemuda tersebut.
Makna Denotatif Adegan menunjukan aksi saling tembak menembak
antara dua teroris dengan pasukan khusus. Serta
97
pengeboman yang dilakukan pasukan khusus untuk
melumpuhkan dua teroris tersebut.
Makna Konotatif Dalam adegan ini, makna konotatif yang ingin
ditunjukan adalah keadaan psikologis para pelaku teror
yang tidak lagi takut untuk mengorbankan hidup
mereka sendiri karena mereka yakin aksi yang
dilakukan merupakan tindakan heroic untuk membela
agama.
Setelah melakukan analisis terhadap adegan dalam film Hotel
Mumbai, maka peneliti akan membahas hasil analisis terkait makna
denotatif dan kontatif terorisme serta pesan-pesan moral pada film Hotel
Mumbai. Hotel Mumbai adalah film yang menceritakan tentang salah satu
serangan teroris yang fenomenal di Mumbai, India. Tentunya penulis dan
sutradara menyisipkan pesan-pesan dalam film tersebut melalui adegan
dan dialog.
Film ini menunjukan makna denotatif dan konotatif terorisme
sebagai berikut:
1. Bentuk aksi terorisme, terorisme merupakan aksi yang terorganisir
dengan melakukan tindak kekerasan seperti penembakan dan
pengeboman sehingga dapat menyebabkan kerusakan materil dan
merenggut hak hidup orang lain. Selaras dengan pandangan Mulyadi
dalam (Afan, K & Mahrus Darmawan, 2019, h: 3), yang menyatakan
bahwa tindak terorisme merupakan tindakan yang melibatkan unsur
98
kekerasan atau menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia dan
melanggar hukum pidana. Aksi teror yang terjadi dalam film ini
dilakukan oleh beberapa pemuda yang diprovokasi dengan
mengatasnamakan Islam oleh seseorang yang memiliki dendam
terhadap orang-orang yang terlibat dalam konflik dibeberapa Negara
Islam seperti Afghanistan. Pelaku teror memahami pembelaan
terhadap Islam saat ini harus dilakukan menggunakan tindakan-
tindakan tertentu seperti menggunakan senjata, bom dan sebagainya.
Akibatnya, para pemuda muslim tersebut memiliki pemahaman bahwa
Islam membenci orang-orang non-Islam, sehingga mereka harus
berjihad dengan membunuh mereka. Akhirnya terbentuklah konstruksi
sosial bahwa terorisme berkaitan dengan Islam, sebab masyarakat
merelasikan dengan siapa atau kelompok mana yang menunggangi
aksi teror tersebut.
2. Dampak terorisme salah satunya adalah Islamophobia. Banyaknya aksi
terorisme yang mengatasnamakan agama terkhusus Islam,
menyebabkan Islamophobia berkembang. Sentimen publik menggiring
isu Islam sebagai agama yang radikal dan ekstrim. Film ini
memperlihatkan Islamophobia sebagai bentuk kecurigaan dan
kebencian terhadap hal-hal yang merepresentasikan Islam. Sejalan
dengan pendapat Roman Wolf dalam (Ma’ruf, H, 2017, h: 5), yang
menyebutkan bahwa Islamophobia merupakan bentuk prasangka buruk
99
dan permusuhan yang ditujukan kepada muslim yang kemudian
digeneralisasikan oleh bangsa Barat merupakan orang-orang Arab.
3. Faktor terjadinya terorisme. Dalam film ini ditemukan faktor ekonomi
menjadi salah satu penyebab munculnya terorisme. Keterbatasan
ekonomi yang disebabkan oleh eksploitasi sumber daya oleh bangsa
Barat dan Eropa, dan pemerintah Negara yang korupsi mendorong
pemuda untuk terlibat dalam jaringan terorisme untuk menghasilkan
uang. Sejalan dengan pemikiran Shmuel Bar dalam artikelnya The
Religious Sources of Islamic Terrorism (2004), menyebutkan secara
ringkas tiga faktor yang melatar belakangi munculnya terorisme.
Pertama, sebab politik yaitu konflik berkepanjangan Israel-Arab.
Kedua, karena budaya yaitu perlawanan terhadap penjajahan budaya
Barat yang berusaha mendominasi budaya asli sebuah Negara. Ketiga,
sebab sosial dan ekonomi yakni karena aliansi dan kemiskinan
(proverty) (Mubarak, Z, 2012, h: 250).
4. Jihad sebagai motif para pelaku teror. Dalam film ini, motif para
pelaku teror yaitu untuk menunjukan bahwa mereka ingin melawan
pengaruh budaya Barat yang menyebabkan keterbelakangan baik
ekonomi maupun pendidikan terhadap Negara dan agama mereka. Hal
ini kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki
kepentingan pribadi dengan menyisipkan ajaran agama yang salah
sebagai alasan untuk membela agama atau lebih dikenal dengan istilah
100
jihad. Jihad inilah yang mendorong mereka untuk melakukan
kekerasan terhadap orang lain dan diri sendiri.
Syeikh Zaid bin Muhammad bin Hady Al-Madkhaly, menyatakan
orang-orang yang ekstrim di dalam penilai terorisme adalah mereka
yang tertimpa oleh musibah aturan-aturan rahasia dari kelompok-
kelompok tertentu untuk menentang segenap pemerintah di seluruh
dunia Islam. Mereka menganggap bahwa pemerintah adalah orang-
orang yang sudah kafir keluar dari Islam, berbuat kerusakan, dan
menganiaya, karena berhukum dengan selain dari apa yang diturunkan
oleh Allah. Mereka bergerak dengan strategi untuk menggulingkan
pemerintah dengan menggunakan berbagagai cara seperti pembunuhan
secara rahasia terhadap para penguasa, peledakan bom di tempat-
tempat umum maupun khusus sebagai bentuk balas dendam dan makar
kelompok. Aksi tersebut menyebabkan tersebarnya ketidakstabilan di
masyarakat dan terjadi goncangan keamanan. Hal ini disebabkan
tindakan mereka menyusupkan bentuk terorisme secara nyata maupun
pemikiran ke tengah masyarakat (Mubarok & Muna Madrah, 2012, h:
62).
5. Politik salah satu faktor penyebab terorisme. Dalam film ini
menunjukan bahwa konflik di Afghanistan mendorong palaku teror
untuk melakukan balas dendam terhadap orang-orang yang terlibat
dalam konflik tersebut seperti Amerika Serikat. Dengan melakukan
aksi teror mereka ingin mempengaruhi kebijakan sebuah Negara dan
101
melihat reaksi pemerintah dalam menangani aksi teror yang mereka
lakukan. Seperti yang dikatakan oleh T.P. Thornton, terorisme
merupakan penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang
dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik
dengan cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan
dan ancaman kekerasan (Mubarok & Muna Madrah, 2012, h: 16).
6. Hubungan antara media dan terorisme. Relasi antara media dan
terorisme tidak lepas dari hubungan simbiosis mutualisme.
Berdasarkan adegan, pemanfaatan media oleh teroris adalah teroris
ingin menunjukan eksistensi dan kekuatan mereka kepada publik serta
berusaha untuk mendapat penghormatan dan simpati orang-orang yang
sepemikiran dengan mereka. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat
Brigitte Nacos, bahwa ada tiga tujuan utama teroris yaitu: menarik
perhatian, mendapat pengakuan, penghormatan dan pengesahan
(Mubarok & Muna Madrah, 2012, h: 68). Sedangkan media
membutuhkan isu terorisme sebagai nilai berita dan menjalankan peran
sosialnya dalam menyampaikan informasi. Dalam Islam sendiri wajib
hukumnya untuk memperhatikan kebenaran berita yang disebarkan,
seperti dalam Al.Qur’an (Al. Hujurat: 6):
102
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu”.
7. Agama tidak berkaitan dengan terorisme. Film ini menunjukan bahwa
korban dan pelaku aksi terorisme dapat terjadi pada siapapun terlepas
dari agama mereka. Jadi, dapat dilihat bahwa aksi terorisme tidak
berkaitan dengan agama manapun. Hanya saja para pelaku teror
memanfaatkan Islam sebagai dalih untuk melegalkan aksi tersebut dan
memperkeruh konflik internasional. Hal ini disampaikan pula oleh
John Louis Espasito yang berpendapat bahwa tindakan terorisme tidak
ada hubungannya dengan agama Islam ataupun agama lainnya (Junaid,
H, 2013, h: 128).
Islam sendiri melarang umatnya untuk menyakiti orang lain, seperti
dalam Al.Qur’an (Al-Maidah: 32):
103
Yang artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi
Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. dan sesungguhnya telah datang kepada
mereka Rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan
yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-
sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”.
Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai
membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah
anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga
membunuh keturunannya. Dipertegas pula dalam Al.Qur’an (Al-
An’am: 151):
Yang artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya)”. Jadi, sangat jelas bahwa Islam menentang terorisme.
104
Terlepas dari agama apapun, siapapun berpotensi untuk menjadi
pelaku teror dan juga bisa menjadi korban.
8. Psikologi pelaku teror. Film ini menunjukan bahwa teroris memiliki
gangguan psikologis parah yang membuat mereka menganggap diri
mereka sebagai pahlawan, untuk berani membunuh orang lain dengan
keji, mereka juga harus membuang rasa takut untuk membunuh diri
sendiri sebagai dalih untuk membela kebenaran dan keadilan.
Sependapat dengan hasil analisis Anthony Storr tentang psikologi
pelaku teror yang pada umumnya mengalami psikopat agresif yang
menyebabkan mereka kehilangan nurani, bersikap kejam, agresif,
sadistis dan tanpa ampun, perasaan takut seolah dibunuh habis,
termasuk takut akan kematian diri sendiri dan orang lain (Mubarok &
Muna Madrah, 2012, h: 19).
C. Makna Denotatif dan Konotatif Pesan Moral pada Film Hotel
Mumbai
Dalam sebuah film pasti terdapat pesan-pesan yang ingin
ditunjukan oleh penulis baik secara tersirat maupun tersurat. Sama halnya
dengan film Hotel Mumbai yang syarat akan makna, juga memiliki pesan-
pesan moral yang ingin disampaikan kepada para penontonnya. Moral
yang dimaksud adalah tolak ukur baik atau buruknya sesuatu dan pantas
tidak pantasnya suatu perilaku dalam tatanan masyarakat. pesan moral
merupakan pelajaran yang dapat dipetik dari sebuah peristiwa, pengalaman
105
atau film yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Adapun pesan moral
dalam film Hotel Mumbai sebagai berikut:
Tabel 4.11. Analisi Tindakan Beriman (Adegan Pilihan 9)
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (07:25-07:29)
Signifier (Penanda) Terlihat dari gambar, seorang pria berjenggot tebal,
memakai pagri dan kemeja kotak-kotak.
Signified (Petanda) Nampak seorang laki-laki sedang menutup mata dan
sedikit menunduk di depan foto-foto yang dilengkapi
dengan sesajen. Lelaki tersebut memakai pagri di
kepalanya dan kemeja kotak-kotak.
Makna Denotatif Berdasarkan gambar di atas, nampaknya seorang laki-
laki sedang berdo’a di depan foto dewa-dewa yang
dilengkapi dengan sesajen.
106
Makna Konotatif Makna konotatif yang ingin disampaikan adalah, Arjun
merupakan seorang Hindu yang taat beragama, terbukti
dari dia menyempatkan diri untuk berdo’a sebelum
bekerja. Selain itu, dilihat dari pagri yang dia kenakan
menandakan bahwa dia orang yang berani dan menjaga
kehormatan kaum Sihk dan keluarganya.
Tabel 4.12. Analisis Tindakan Disiplin (Adegan Pilihan 10)
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (11:51-13:21)
Signifier (Penanda) Narasi:
Oberoi : Kau bercanda?
Arjun : Maaf pak, sepatu saya hilang. Pasti terjatuh dari
tas saya.
Oberoi : Pulanglah Arjun. Ayo semuanya kerja!
Arjun : Pak tolonglah.
Oberoi : Tolong apa? Tampilan kamu seperti pengemis.
Arjun : Saya akan cari sepatu, saya sangat
membutuhkan shift ini.
107
Oberoi : Pergilah!
Arjun : Pak tolonglah, istri saya akan segera
melahirkan. Saya mohon.
Oberoi : Ada sepatu cadangan di ruangan saya, di
bawah meja.
Arjun : Terimakasih pak.
Oberoi : Cepat!
Signified (Petanda) Dalam adegan, terlihat beberapa orang staf berjejer dan
pria paruh baya menghampiri mereka satu persatu
untuk mengecek kebersihan kuku dan kerapian para
staf sebelum bekerja.
Makna Denotatif Pengambilan gambar pada adegan ini menjelaskan
tentang Oberoi yang sedang memeriksa kedisiplinan
para staf. Mereka menggunakan seragam hotel dan
nampak sangat rapih dan bersih, namun Arjun
terlambat dan terlihat menggunakan sendal sehingga
menarik perhatian Oberoi. Nampaknya Oberoi
menegur Arjun.
Makna Konotatif Oberoi sebagai kepala koki merupakan orang yang
sangat disiplin dan tegas. Namun, dibalik ketegasannya
dia masih bisa berempati kepada orang lain.
Tabel 4.13. Analisis Tindakan Bertanggung jawab (Adegan Pilihan 11)
108
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (43:13-44:20)
Signifier (Penanda) Narasi:
Polisi 1: Lalu? Kita ke atas sana! Kita lihat posisi
mereka. Kita tidak bisa diam saja, kalau kita diam saja
tidak akan ada yang selamat.
Polisi 2: Baik, baik, ke ruangan cctv.
Signified (Petanda) Dalam adegan ini terlihat polisi yang bersiaga serta
sibuk untuk menghalang para wartawan yang memaksa
mendekat ke lokasi peneroran untuk merekam kondisi
hotel Taj. Nampak dua polisi sedang berbicara dan
sesekali memperhatikan anggotanya.
Makna Denotatif Dari penggambaran situasi di atas, dapat dijelaskan
bahwa terdapat banyak kerumunan wartawan dan polisi
yang bersiaga di depan hotel Taj. Dimana dua orang
polisi yang memakai kemeja putih dan biru muda
dilengkapi dengan rompi anti peluru tampak
membicarakan hal serius.
109
Makna Konotatif Dalam adegan ini makna konotatif yang ditonjolkan
adalah rasa tanggung jawab polisi sebagai pelindung
dalam upaya penyelamatan korban dengan resiko
membahayakan diri sendiri, karena mereka sadar jika
mereka hanya diam maka tidak akan ada yang selamat.
Tabel 4.14. Analisis Tindakan Berdedikasi (Adegan Pilihan 12)
Kategori Makna Penemuan
Tanda (Sign)
Durasi: (44:45-46:29)
Signifier (Penanda) Narasi:
Oberoi : Aku tahu Dilip, tidak ada yang memaksa mu
untuk tinggal. Siapa pun yang ingin pergi, ini saatnya.
Dilip : Maaf pak.
Oberoi : Jangan minta maaf, pergilah! Kalian punya
istri, orang tua dan keluarga. Jangan malu untuk pergi.
Janom : Aku 35 tahun di sini, ini rumah ku.
Staf : Aku juga tinggal. Tamu adalah dewa pak
Oberoi : Ikuti aku!
110
Signified (Petanda) Dalam adegan tersebut terlihat beberapa staf hotel
berdiri berhadapan dengan seorang pria paruh baya,
tampaknya mereka sedang berdiskusi. Terlihat dua staf
menggunakan jas hitam dan staf lainnya menggunakan
seragam juru masak. Di dalam ruangan tersebut
terdapat rak-rak yang berisi makanan dan peralatan
dapur.
Makna Denotatif Adegan ini menunjukan sejumlah staf sedang
berdiskusi dalam ruangan yang dipenuhi dengan rak-
rak yang berisikan bahan makanan dan peralatan dapur.
Mereka membicarakan cara untuk menyelamatkan para
tamu.
Makna Konotatif Adapun makna konotasinya adalah dedikasi para staf
hotel untuk menyelamatkan para tamu. Mereka berani
mengorbankan tenaga, pikiran serta waktu untuk
melayani tamu sepenuh hati. Hal ini terlihat ketika
Oberoi memberikan kesempatan kepada para staf untuk
meninggalkan hotel, namun mereka tetap tinggal
dengan memegang teguh kalimat “tamu adalah dewa”.
Tabel 4.15. Analisis Tindakan Berprasangka Buruk (Adegan Pilihan 13)
Kategori Makna Penemuan
111
Tanda (Sign)
Durasi: (57:24-59:46)
Signifier (Penanda) Narasi:
Janom : Lihat wanita Inggris itu? Di prasmanan, dia
curiga pada janggut mu.
Arjun : Janggut saya?
Janom : Dan juga pagri mu. Kembalilah ke dapur untuk
sementara!
Signified (Petanda) Adegan ini menunjukan pria berjas hitam memanggil
seorang staf pria yang mengenakan pagri di kepalanya.
Mereka nampak sedang membicaran sesuatu dan
membuat staf tersebut menoleh ke arah wanita
berambut putih sebahu yang sedang mengambil
makanan. Kemudian pria berjas hitam bergegas pergi
dan staf pria tersebut menghampiri wanita yang sedang
beridiri di depan prasmanan.
Makna Denotatif Dari penggambaran di atas dapat dilihat bahwa Janon
sedang berbicara kepada Arjun. Mereka
membicarankan tentang Lady Wynn yang mencurigai
112
Arjun. Kemudian Arjun menghampiri Lady Wynn dan
terlihat dia menjelaskan sesuatu tentang dirinya.
Makna Konotatif Arjun yang berjanggut dan memakai pagri, dicurigai
oleh Lady Wynn sebagai teroris, karena janggut dan
pagri merupakan simbol yang merepresentasikan Islam.
Hal ini menyebabkan Lady Wynn berprasangka buruk
pada Arjun. Artinya, aksi terorisme yang dilakukan
oleh kelompok muslim tidak hanya berdampak pada
muslim, tetapi ikut berdampak juga terhadap orang-
orang yang menggunakan simbol tertentu yang
merujuk pada Islam.
Menurut aliran Otonomus Al-Qamamu Adz-Dzaty ukuran moral
itu ada pada diri kita sendiri. Ia adalah suatu batin yang ada pada diri kita
sendiri, yang memberi tahu bagaimana antara yang hak dan bathil. Antara
moral dan etika memiliki makna yang sama yaitu bentuk penilaian baik
buruk, pantas dan tidak pantas, serta norma yang menjadi pegangan
seseorang atau kelompok tertentu dalam mengatur tingkah laku (Pradana,
R, 2018, h: 58). Berdasarkan hasil analisis peneliti dan pandangan aliran
Otonomus Al.Qamamu Adz-Dzaty tentang moral, maka peneliti
menemukan lima pesan moral yang terdapat dalam film Hotel Mumbai,
yaitu sebagai berikut:
113
1. Pesan moral yang mengajarkan untuk selalu mengingat tuhan dalam
setiap aktivitas. Hal tersebut dapat direalisasikan seperti berdo’a
sebelum beraktifitas.
2. Pesan moral yang mengajarkan tentang tepat waktu dalam bekerja
serta patuh pada aturan yang berlaku merupakan bentuk kedisplinan
yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Setiap orang memiliki tanggung jawab, sama halnya dalam
melaksankan tugas, tanggung jawab harus tetap ditunaikan dalam
situasi dan kondisi apapun.
4. Dedikasi, merupakan pesan moral yang menunjukan rela
mengorbankan tenaga, pikiran serta waktu untuk memperoleh hasil
yang memuaskan adalah pesan moral yang juga terlihat dalam film ini.
5. Pesan moral untuk tidak berprasangka buruk terhadap orang lain.
Dalam Islam sendiri berprasangka buruk dianjurkan untuk dijauhi,
seperti yang tersirat dalam Al.Qur’an (Al-Hujurat: 12):
114
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang”.
Film ini secara tidak langsung ingin menyampaikan kepada
penonton bahwa kekerasan tidak bisa dihentikan dengan kekerasan
yang baru. Bahwa setiap aksi terorisme tidak berkaitan dengan agama,
namun orang-orang dengan kepentingan pribadilah yang
memanfaatkan ketidakpahaman seseorang tentang agama.
Kesimpulannya, dalam film Hotel Mumbai terdapat lima pesan moral.
115
116
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara garis besar film Hotel Mumbai ingin menyampaikan bahwa
tindak kekerasan tidak akan berhenti apabila dibalas dengan tindakan
kekerasan pula. Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi yang telah
dilakukan pada film Hotel Mumbai, maka peneliti dapat menarik
kesimpulan bahwa terdapat delapan indikator makna denotatif dan
konotatif terorisme dan lima indikator makna denotatif dan konotatif pesan
moral, yaitu sebagai berikut:
1. Makna denotatif dan konotatif terorisme pada film Hotel Mumbai:
a. Makna denotatif bentuk terorisme dalam film ini adalah terorisme
sebagai aksi teror yang terorganisir dengan melakukan
penembakan dan pengeboman sehingga menyebabkan kerusakan
materil dan merenggut hak hidup orang lain. Aksi teror yang
terjadi dalam film ini dilakukan oleh beberapa pemuda yang
diprovokasi dengan mengatasnamakan Islam oleh seseorang yang
memiliki dendam terhadap orang-orang yang terlibat dalam konflik
dibeberapa Negara Islam seperti Afghanistan. Makna konotatif
terorisme dalam film ini menunjukan bahwa pelaku teror
memahami pembelaan terhadap Islam saat ini harus dilakukan
menggunakan tindakan-tindakan tertentu seperti menggunakan
senjata, bom dan sebagainya. Akhirnya terbentuklah konstruksi
117
sosial bahwa terorisme berkaitan dengan Islam, sebab masyarakat
merelasikan dengan siapa atau kelompok mana yang menunggangi
aksi teror tersebut.
b. Makna denotatif dampak terorisme yang ditunjukan dalam film ini
adalah Islamophobia atau ketakutan terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan Islam. Makna konotatifnya ialah Islamophobia
tidak hanya merugikan bagi muslim, tapi orang-orang yang
menggunakan simbol-simbol yang dianggap merepresentasikan
Islam juga bisa menjadi korban dari orang-orang yang mengalami
Islamophobia itu sendiri.
c. Makna denotatif dari faktor terjadinya aksi terorisme dalam film ini
ialah, kemiskinan atau keterbelakangan ekonomi mendorong
seseorang untuk ikut dalam jaringan terorisme. Makna
konotatifnya adalah keterbatasan ekonomi disebabkan oleh
eksploitasi budaya Barat terhadap budaya asli suatu Negara dan
pemerintah yang melakukan tindak pidana korupsi, sehingga
menimbulkan ketidakstabilan ekonomi.
d. Makna denotatif Jihad dalam film ini adalah, bentuk perlawanan
terhadap budaya Barat. Sedangkan makna konotatifnya ialah Jihad
dijadikan alasan untuk melegalkan aksi terorisme, karena mereka
ingin menunjukan bahwa Islam tidak lemah, oleh karena itu
mereka ingin menjadi pahlawan untuk membela agama.
118
e. Makna denotatif politik sebagai faktor munculnya terorisme dalam
film ini adalah, pelaku teror memiliki dendam pribadi terhadap
orang-orang yang terlibat dalam konflik Afghanista. Makna
konotatifnya ialah dengan melakukan aksi teror mereka ingin
menunjukan kekuatan mereka untuk mempengaruhi kebijakan
suatu Negara dalam menangani aksi terorisme.
f. Makna denotatif hubungan media dan terorisme ialah, teroris
memanfaatkan media sebagai alat pengintai dan media
memberitakan aksi terorisme untuk melaksanakan peran sosialnya
dalam menyebarkan informasi. Makna kontatifnya ialah teroris
menggunakan media untuk menyebarluaskan ketakutakan yang
disebabkan oleh mereka, menunjukan eksistensi dan kekuatan
untuk mendapat simpati dan perhatian. Sedangkan media
memanfaatkan terorisme sebagai nilai berita untuk memenuhi
kebutuhan media.
g. Agama tidak berkaitan dengan terorisme merupakan indikator
terakhir yang dianalisis, dimana makna denotasinya ialah pelaku
dan korban terorisme bisa terjadi pada siapa saja terlepas dari
agama apa yang mereka anut. Makna konotasinya adalah agama
dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkepentingan sebagai dalih
untuk melegalkan aksi teror, karena agama merupakan hal yang
sangat sensitif untuk dibahas. Dalam film ini juga menunjukan
bahwa tidak semua muslim setuju dengan aksi terorisme, karena
119
mereka paham bahwa Islam atau agama manapun tidak ada
satupun mengajarkan kekerasan yang dapat merugikan orang lain.
h. Psikologi pelaku teror, makna denotatifnya ialah pelaku teror
mengalami gangguan psikologis parah yang dikenal dengan istilah
psikopat agresif. Makna konotatifnya gangguan psikologis
membuat mereka menganggap diri sebagai pahlawan, untuk berani
membunuh orang lain dengan keji, mereka juga harus membuang
rasa takut untuk membunuh diri sendiri sebagai dalih untuk
membela kebenaran dan keadilan.
2. Makna denotatif dan konotatif pesan-pesan moral yang disampaikan
berupa tindakan yang dianggap baik oleh masyarakat pada umumnya,
seperti:
a. Selalu mengingat Tuhan dalam setiap aktivitas merupakan makna
konotasi dari tindakan beriman sedangkan makna denotatifnya
ialah berdo’a.
b. Disiplin merupakan makna denotatif dari melakukan atau taat dan
patuh terhadap sesuatu yang telah menjadi tanggung jawabnya.
Makna konotatifnya yang ditunjukan dalam film ini yang berkaitan
dengan kedisiplinan ialah, melakukan pemeriksaan kelengkapan
sebelum bekerja dan menghargai waktu.
c. Sikap bertanggung jawab merupakan makna denotatif dari
pelaksanaan tugas dengan benar dan makna konotasinya
melakukan kewajibannya dalam situasi dan kondisi apapun.
120
d. Dedikasi merupakan makna denotatif dari pengorbanan waktu,
tenaga dan materil untuk hasil yang memuaskan, namun makna
konotatifnya ialah dedikasi merupakan tanggung jawab moril bagi
setiap orang.
e. Film ini juga mengajarkan kita untuk tidak berprasangka buruk
terhadap orang lain merupakan makna denotatif yang ditunjukan.
Makna konotasinya, prasangka buruk merupakan anggapan negatif
terhadap seseorang atau sesuatu yang disebabkan oleh pemahaman
yang tidak mendasar.
B. Saran
Setelah menyimpulkan hasil temuan, peneliti sadar bahwa ada hal-
hal yang harus diperhatikan dalam menikmati suatu karya film. Dalam
film Hotel Mumbai sendiri, banyak pesan yang harus disaring dan
dipahami lebih dalam lagi, maka dari itu peneliti ingin menyampaikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Secara garis besar, film Hotel Mumbai berhasil menggambarkan dan
mendramatisasi kembali kisah nyata serangan terorisme berdasarkan
sudut pandang para korban. Namun, alangkah bagusnya apabila
penulis dan sutradara film mampu menampilkan sudut pandang yang
netral, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
2. Bagi para penikmat film, diharapkan agar lebih teliti dan kritis dalam
memilih tontonan, sehingga tidak mudah terprovokasi oleh tayangan-
tayangan yang belum pasti kebenarannya. Diharapkan pula, agar para
121
penonton mampu menyampaikan pesan-pesan moral dalam tayangan
untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Seperti yang kita ketahui
film tidak sekedar menyajikan imajinasi, namun terdapat pesan-pesan
dan realita kehidupan yang ingin disampaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Afan, K & Mahrus Darmawan. (2019). Islam dan Terorisme, Gerakan Melenial
Bangkit Madur, 15, 3 & 8. https://www.researchgate.net. Diakses pada 15
Agustus 2019.
Al.Qur’an. Surah Al. An’am. ayat 151, Al.Hujurat, ayat 12 & Al.Maidah, ayat 32.
Baran, S. (2012). Pengantar Komunikasi Massa Melek Media dan Budaya.
Erlangga.
Bungin, B. (2015). Analisis Data Penelitian Kualitati. Jakarta: Rajawali Pers.
Cangara, H. (2015). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Dwi, L & Ary Junaedi. (2017). Jihad dan Terorisme dalam Islam (Kajian
Semiotika Roland Barthes dalam Film Phantom), Jurnal Middle East and
Islamic Studies, Vol. 5 No. 1, Juli-Desember 2017, 4-5.
https://Scholar.google.com. Diakses pada 16 Agustus 2019.
Fahmi, B. (2017). Representasi Pesan Moral dalam Film Rudy Habibie Karya
Hanung Bramantyo (Analisis Semiotika Roland Barthes). Jom Fisip, Vol.
4 No. 1, Februari 2017, 5. https://Scholar.google.com. Diakses pada 31
Januari 2019.
Fitri, I, Alriyani Khusnul, Putri Ayu, dkk. (2018). Fanatisme Terorisme Berkedok
Islam. Desember 2018. 3. https://www.researchgate.net. Diakses pada 15
Agustus 2019.
Full credit and cast Film Hotel Mumbai. Website. m.imdb.com.
https://www.imdb.com/title/tt5461944/fullcredits?ref_=tt_cl_sm#cast.
Diakses pada 1 September 2019.
Gatra.com. (2019). Resensi Film Hotel Mumbai: Reka Ulang Tragedi yang
Terlalu Nyata. 05 April 2019. https://www.gatra.com/detail/news/407225-
Resensi-Film-Hotel-Mumbai:-Reka-Ulang-Tragedi-yang-Terlalu-Nyata.
Ida, R. (2016). Metode Penelitian Studi dan Kajian Budaya. Jakarta: Prenada
Media Group.
Junaid, H. (2013). Pergerakan Kelompok Terorisme dalam Perspektif Barat dan
Islam. Sulesana, Vol. 8 No. 2, 2013, 124-129. http://journal.uin-
alauddin.ac.id. Diakses pada 29 Agustus 2019.
Lianda, N. (2010). Analisis Semiotik terhadap Pemahaman Ajaran Islam dalam
Film My Name is Khan. 33 & 35. https://Scholar.google.com. Diakses
pada 10 April 2019.
Ma’ruf, H. (2017). Islamophobia dalam Film Bulan Terbelah di Langit Amerika
Part 1 (Analisis Semiotika). 5. https://Scholar.google.com. Diakses pada
27 Desember 2019.
Morissan. (2013). Teori Komunikasi: Individu hingga Massa. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Mubarak, Z. (2013). Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi,
Ideologi dan Gerakan. Jurnal Studi Masyarakat Islam (Salam), Vol. 15 No
2, Desember 2012, 250. https://Scholar.google.com. Diakses pada 07
September 2019.
Mubarok & Muna Madrah. (2012). Stigma Media dan Terorisme. Banda Aceh:
Bandar Publishing.
Mustofa, I. (2016). Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi (Gerakan Islam Radikal
sebagai Representatif Respon terhadap Imperealism Modern. Religi, Vol. 5
No. 1, April 2012, 77. https://Scholar.google.com. Diakses pada 07
September 2019.
Nurudin. (2015). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali Pers.
Plot Summary and Synopsis Film Hotel Mumbai. Website. m.imbd.com.
https://www.imdb.com/title/tt5461944/plotsummary?ref_=tt_stry_pl#syno
psis. Diakses pada 1 September 2019.
Pradana, R. (2018). Pesan Moral dalam Film The Raid dan The Raid 2 (Analisis
Semiotika Roland Barthes). 55-63. https://Scholar.google.com. Diakses
pada 31 Januari 2019.
Rahimah, Latita Hanief & Muhammad Alif. Stereotip Terorisme dalam Film
Traitor. 435. https://Scholar.google.com. Diakses pada 1 September 2019.
Rahsahad, H. (2016). Amerika Serikat, Globalisme dan Perang Melawan
Terorisme: Refleksi Historis. Jurnal Interakstif, 13-14.
https://Scholar.google.com. Diakses pada 07 September 2019.
Republika. (2014). Negara Khilafah Buatan ISIS dikritik. Republika.co.id. 02
Agustus 2014. https://nasional.republika.co.id/berita/negara-khilafah-
buatan-isis-dikritik.
Rifqi, K. (2016). Analisis Semiotik Makna Emansipasi Wanita dalam Islam pada
Film Dokumenter He Named Me Malala, 25-26.
https://Scholar.google.com. Diakses pada 07 Februari 2019.
Rosabella, T. (2018). Representasi Islamophobia dalam Film Landon Has Fallen,
Jurnal E-Komunikasi, Vol. 6 No. 1, 3. https://Scholar.google.com. Diakses
pada 19 Februari 2019.
Ruslan, R. (2017). Metode Penelitian: Public Relations dan komunikasi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Sobur, A. (2016). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sudianto. Jihad dan Terorisme dalam Pandangan Hukum Islam (Sebuah Analitis
Kritis terhadap Skenario Politik Global). Al-Bayyinah: Journal of Islamic
Law, Vol. 7 No. 2, 63 & 72-73. https://www.researchgate.net. Diakses
pada 1 September 2019.
Sya’roni, M, 2013. Dampak Islamophobia dan Turkhphobia terhadap Pencalonan
Turki sebagai Kandidat Anggota Uni Eropa: Isu Lama Tetap Relevan.
Jurnal Interdependence, Vol. 1 No. 2, Mei-Agustus 2013, 127.
http://Scholar.google.co.id. Diakses pada 11 Juli 2019.
Tamburaka, A. (2013). Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa.
Jakarta: Rajawali Pers.
Zahid, A & Ahmad Naufel. (2018). Terorisme di Era Konvergensi: Analisis
Media Massa dalam Pemberitaan Terorisme. Sosiologi Reflektif, Vol. 13
No. 1, Oktober 2018, 104-106. https://www.researchgate.net. Diakses pada
1 September 2019.
LAMPIRAN
MATRIKS WAWANCARA
NO Fokus Pertanyaan Jawaban Informan
Sub Fokus 1 2 3
1. Latar
Belakang
Terorisme
Bagaimana latar
belakang
munculnya
terorisme?
Terkait dengan terorisme
sampai saat ini beberapa
akademisi masih bersilang
pendapat terkait latar
belakang munculnya
terorisme.
Pertama, ada yang
kemudian berpendapat
bahwa munculnya
terorisme ini dikarenakan
adanya ketidakpuasan satu
pihak yang lemah dalam
sisi tertentu terhadap pihak
lain yang memiliki
kekuatan besar. Hal ini
terlihat pada masa-masa
lampau, misalnya terhadap
kelompok yang tidak puas
dengan kepemimpinan raja
dan sebagainya itu
menyebar teror. Menyebar
terornya itu ke masyarakat.
Kedua, kalau kita mau
melihat teror itu seperti
apa, teror itu sebenarnya
adalah pembawa pesan
tentang satu tujuan yang
ingin dicapai oleh
kelompok-kelompok
tersebut. apa yang
membuktikan bahwa teror
itu pembawa pesan, yang
melakukan itu adalah
orang-orang yang memiliki
posisi rendah yang
bertugas untuk membawa
pesan bahwa, pertama
kami ada, dalam hal ini
eksistensi mereka,
kemudian ada sesuatu hal
yang akan kami tuju dan
tolong orang-orang yang
memiliki posisi tinggi
jangan bertindak macam-
macam, ketiga adalah
pembelaan diri. Frame soal
siapa yang teroris dan
sebagainya baik di era dulu
hingga sekarang dibuat
oleh siapa yang berkuasa
pada saat itu oleh karena
itu ketika kita melihat
orang-orang yang terlibat
dalam hal-hal yang seperti
itu dia pasti orang-orang
lemah yang berusaha
untuk menunjukan
eksistensinya kepada para
penguasa. Terorisme
sendiri telah ada bahkan
sebelum perang dunia,
hanya saja istilahnya yang
berbeda, untuk
substansinya sendiri
hampir sama.
2. Hubungan
antara Politik
dan
Terorisme
Bagaimana politik
dapat menjadi
faktor lahirnya
terorisme?
Jika kita lihat kasus
terorisme zaman dulu,
sebenarnya terkait dengan
politik itu benar,
contohnya, meskipun tidak
menggunakan bahasa
teror, tetapi tindakan-
tindakan seperti
pembunuhan di era
Khilafah itu sudah terjadi.
Artinya hal-hal soal
perebutan kekuasaan,
politik dan sebagainya itu
sudah terjadi sejak dulu.
Selalu diawali dengan
ketidakpuasan atau karena
kelompoknya tidak
diperhitungkan dalam
kepemimpinan politik pada
saat itu. Kalau di era
sekarang ini, orang-orang
yang dianggap teroris oleh
AS adalah orang-orang
yang berpendidikan dan
kaya. Contohnya, osama
yang sudah dianggap
meninggal oleh AS,
merupakan bagian dari
keluarga besar
konglomerat Bin Laden
Group yang memonopoli
seluruh pembangunan di
Arab Saudi. Kemudian
apakah kemudian ini
berawal dari konflik Israel
dan Arab, itu
membingungkan karena
dulu ketika AS dan
beberapa Negara muslim
bersahabat, targetnya itu
satu adalah meruntuhkan
kekuasaan Uni Soviet, hal
itu terlihat pada kasus-
kasus yang terjadi di
Afghanistan. Dimana
setekah US runtuh, AS
memiliki ancaman baru
yaitu Islam.
3. Hubungan
antara
Agama dan
Ekonomi
dengan
Terorisme
Bagaimana
ekonomi dan
agama menjadi
faktor lahirnya
terorisme?
Kalau masalah ekonomi,
kalau saya lihat dari
informasi yang ada soal
yang melakukan bom
bunuh diri, rata-rata
memang dari keluarga-
keluarga yang mampu,
contohnya, ada yang baru-
baru ini terjadi di Surabaya
satu keluarga, dimana
salah satunya selamat dari
bom bunuh diri tersebut,
dan dilihat dari latar
belakangnya adalah
keluarga kaya. Yang
menarik disini adalah
keluarga orang kaya,
keluarga yang
berpendidikan ikut serta
dalam aksi terorisme. Jadi
mereka didoktrin soal
agama betul, tapi persoalan
ekonomi saya kira tidak
mendominasi. Menurut
saya, ini persoalan cita-cita
dalam beragama,
kemudian persoalan
lainnya bahwa mereka
melihat apa yang terjadi
pada saudara-saudaranya
di tempat lain, ketika dia
tidak bisa langsung
melakukan pembelaan
disana, maka dia bisa
membela di tempat
masing-masing. Itu yang
sering saya temukan
Bagaimana
pandangan bapak,
tentang Islam yang
anti barat?
Setelah US runtuh,
disitulah kemengan bagi
AS dan Islam. setelah itu
AS memiliki ancaman
baru yaitu Negara Islam itu
sendiri. Kedua, soal
keramahan budaya barat
dan Islam sejak dulu itu
sudah ada, namun hal yang
hampir ditentang oleh
seluruh Negara Islam
adalah produk-produk
ekonomi AS yang
dianggap membiayai
serangan-serangan
terhadap komunitas-
komunitas Islam. adapun
misalnya, budaya-budaya
barat terkait dengan seks
bebas atau sebagainya itu
hal yang tidak ada saya
kira kaitannya dengan
terorisme.
Bagaimana Islam
bisa terkait dengan
terorisme?
Saya lihat, soal
pemahaman agama yang
mereka kuasai, yaitu
pemahaman agama yang
terkait dengan sekte-sekte
tertentu. Sekte-sekte
tertentu ini yang saya
maksud adalah
pemahaman agama yang
memahami bahwa
pembelaan terhadap Islam
saat ini harus dilakukan
menggunakan tindakan-
tindakan tertentu seperti
menggunakan senjata, bom
dan sebagainya.
Pemahaman ini muncul
dikarenakan sudah
munculnya wilayah-
Saya tidak terlalu
mengikuti literature-
literatur tentang
terorisme, lebih tepatnya
saya tidak mengikuti
perkembangan wacana
soal terorisme dari
literature-literatur, buku
segala macam. Tapi,
mau tidak mau
kemudian media massa
menggiring kita untuk
masuk ke ranah itu, apa
lagi setelah peristiwa
wtc 11/9, setelah itukan
pada akhirnya, orang
jadi terbangun
kesadarannya akan
narasi tentang terorisme.
Awal pertamanya
muncul teroris itu
karena yang pertama
fakornya sebenarnya
adalah jadi kebangkitan
Islam pertama kali itu
kan pada tahun di abad ,
waktu Turki itu masih
disebut Turksmania, nah
jadi Islam sebenarnya
ingin mengembalikan
kejayaan Islam
sebelumnya, dengan
(bagaimana ya saya
menjelaskannya) jadi
begini saja, saya nggak
bisa bilang teroris ya
tapi garis keras. Jadi
Islam garis keras itu
wilayah tertentu terkait
dengan darurat perang.
Bahwa seluruh tempat,
wilayah, daerah, Negara
yang dibawah
kepemimpinan yang tidak
sesuai dengan
kepemimpinan Islam itu
mereka anggap bahwa
daerah itu bebas perang.
Doktrinan itulah yang
dibangun terhadap orang-
orang yang sekarang
dijuluki sebagai pengantin
bom.
Namun parahnya,
terorisme itu akhirnya
dikaitkan dengan Islam.
padahal kalau menurut
saya, itu hanya
konstruksi sosial saja.
Kembali ke definisi
terorisme secara
harafiah, sebenarnya
umum sekali, tidak ada
definisi yang kemudian
merujuk pada terorisme
itu adalah islam.
Apa yang terjadi pada
11/9, kenapa kemudian
konstruksi sosial tentang
terorisme dan islam itu
hadir karena masyarakat
kemudian merelasikan
dengan siapa/kelompok
apa yang menunggangi
momen itu, jadi
kelompok-kelompok
ekstrim seperti al.qaedah
yang kemudian
dianggap mendalangi
moment bersejarah
seperti itu. Pada
dipengaruhi oleh dua
organisasi besar yang
pertama itu adalah
Ihwan Al.Muslimin
sama Al.Qaeda. Nah,
pemikiran-pemikiran
yang melatar belakangi
dua organisasi ini adalah
pemikiran Sayyid Ayub.
Nah munculah dua
oraganisasi tersebut,
Organisasi Ihwan
Al.Muslimin itu Berjaya
di Mesir pada saat itu,
dulu oraganisasi ini
bergerak di bidang
sosial, cuman
belakangan mengikuti
politik praktis. Nah pada
saat dia masuk dipolitik
praktis, pendekatan-
pendekatan yang dia
gunakan untuk
mengambil hati rakyat
Mesir pada saat itu
adalah dengan
pendekatan budaya.
Nah, karena mereka
akhirnya identitas
mereka diketahui, itu
yang kemudian
memunculkan
konstruksi-konstruksi
sosial, terlepas dari teori
konspirasi yang muncul
setelah itukan, tetapi
kalau kita mau melihat
masuk ke ranah
sosialnya, yaitu dia
karena pada saat
moment itu orang-orang
merujuk siapa dalang
dari semua itukan Islam
gitu. Meskipun orang
Islam juga selalu
menganggap bahwa itu
bukan kami, tapikan
orang selalu melihatnya
bahwa ada nama besar
Islam yang
dibawa yang diusung
oleh orang-orang yang
mendalangi itu katanya.
melakukan pendekatan
budaya organisasi ini
mendapatkan simpati
masyarakat Mesir.
Akhirnya pada saat
pemilu partai ini
menang di Mesir dan
menjadi salah satu
pemangku kekuasaan.
Sedangkan Al.Qaeda
melakukan pendekatan
teror, nah itulah teror-
teror yang dia lakukan.
Jadi dua pendekatannya
berbeda , yang satu
melalui budaya
kemudian masuk ke
sistem politik aktif
sementara yang satu dia
melakukan teror, tapi
terornya itu, sebenarnya
Al.Qaeda ingin
menghancurkan Negara-
negara muslim yang
menganut sistem
demokrasi dan liberal.
Sebenarnya gerakan
terorisme itu, pertama
murni memang karena
ingin melawan
westernisasi ajaran-
ajaran Barat karena
selama ini, seperti Eropa
melakukan kapitalisme
pada Negara-negara
Islam, jadi dia mengerut
bahan baku dari Timur
Tengah untuk
keuntungan mereka.
Kedua, mereka
memasukan ideologi-
ideologi Barat di Timur
Tengah. Nah orang-
orang Islam yang
menganut paham bahwa
Islam itu harus
dikembalikan ke ajaran
murni, melakukan
gerakan-gerakan. Ajaran
Islam itukan ada tiga
macam , yang pertama
adalah ajaran murni,
kedua liberal dan yang
ketiga demokratis.
Kalau liberal yang
mengatakan bahwa apa
yang diajarkan oleh
Barat itulah yang harus
kita pelajari, karena
memang Islam liberal,
itula yang benar karena
sesuai dengan zaman.
Kalau kita mengacu lagi
pada ajaran-ajaran yang
dibuat di zaman dahulu,
banyak ajarannya yang
menurut mereka tidak
relevan lagi diterapkan
lagi pada zaman
modern. Nah kalau
demokratis dia lebih
seperti ini ajaran-ajaran
yang dari Barat itu kita
bisa adop asalkan tidak
keluar dari nilai-nilai
keIslaman . jadi, kita
bisa belajar dari Barat,
bisa belajar tentang
teknologinya tapi
selama itu tidak bergeser
dari nilai-nilai
keIslaman, tapi kalau
dia bergeser berarti kita
tidak bisa
mempelajarinya.
Islam klasik/murni,
itulah yang selalu
berpikiran yang itulah
yang benar, jadi dia
tidak mau memperbaiki
pola pikirnya lagi. Jadi,
kalau dia bilang A
berarti A.
Sebenarnya teroris ini,
orang-orang di abad 19
dan 20 ini ada sebuah
gerakan islam yang
mengatakan bahwa kita
harus mengembalikan
kejayan Islam yang
dulu, Cuma gerakan-
gerakan teroris yang
radikal menganggap
salah gerakan tersebut.
Dia beranggap jadi
memusuhi orang-orang
yang tidak sesuai
dengan keyakinan dan
pikiran mereka. Inilah
yang menimbulkan
gerakan-gerakan
terorisme.
Gerakan terorisme
adalah gerakan politik
dan ekonomi. Pada
awalnya gerakan
terorisme murni gerakan
Islam radikal yang
beranggapan bahwa
mereka-mereka yang
Islam Islam Eropa dan
Liberal harus
dimusnahkan. kemudian
gerakan ini disisipi
bisnis, misalnya
penyuplaian senjata oleh
AS, Rusia dll ke
Negara-negara konflik.
Terorisme di dunia
bukan merupakan hal
yang baru, namun
terjadi aktual semenjak
wtc diserang. Tapi yang
harus diingat Islam juga
tidak bisa diidentikan
dengan teroris, karena
yang namanya gerakan
teror itu bukan tidak
boleh selain dari Islam,
terorisme bukan saja
yang berkaitan dengan
agama, bahkan teror
yang dilakukan suku A
ke suku B dan
perorangan pun bisa
dikatakan terorisme.
Bagaimana
dampak yang
ditimbulkan akibat
terorisme?
Dampaknya masuk ke
ranah sosial kultural
pastinya, kalau dari segi
pelaku pasti dia akan
dikucilkan tapi dari segi
korban itu pasti akan
menimbulkan trauma
psikologis yang lama
dan mendalam yang
kemungkinan ada dua,
mereka bisa memelihara
rasa sakit itu dengan
berubah menjadi
dendam, tapi juga bisa
jadi ada orang yang
kemudian bisa
berdamai. Mereka bisa
saja beranggapan bahwa
kekerasan itu tidak akan
bisa dihentikan dengan
kekerasan yang baru.
Saya pernah baca satu
Dampaknya banyak,
terutama dari segi
ekonomi, sasarana
terorisme itu selalu
gedung, fasilitas umum
dan sebagainya, dan itu
sangat menghambat
perekonomian. Misalnya
ada disiarkan berita
tentang pengeboman di
Bali, nah pariwisata Bali
pasti akan terganggu,
trus kalau umpamanya
orang mau berinvestasi
juga pasti akan berpikir,
banyak teroris disini dan
akan menghambat yang
namanya perdagangan
uang. Artinya
kepercayaan terhadap
Negara tersebut
menurun menyebabkan
artikel, anak dari pelaku
teroris bom Bali
berusaha untuk menjadi
jembatan ayahnya ,
kesalahan-kesalahan
ayahnya dengan para
korban. Jadi mereka
disandingkan dalam satu
forum dan pada
akhirnya mereka bisa
berdamai bahwa kita ini
sama-sama korban
sebenarnya, mau itu
keluarga si pelaku
ataupun keluarga si
korbannya. Kalau
memang kita sadar
bahwa ini kekerasan,
kesalahan ini tidak akan
bisa dihentikan dengan
membangun kesalahan-
kesalahan yang baru,
dengan memelihara
dendam, rasa sakit, yang
berimplikasi dengan
hadirnya kesalahan-
kesalahan yang lain.
Jadi efeknya bisa ke
indeks uang itu akan
berpengaruh juga.
Dari segi psikologi juga,
misalnya pemberitaan
melalui media dapat
mempengaruhi psikologi
anak muda yang penuh
dengan rasa ingin tahu,
dan bisa saja mereka
mencari tahu dimana dia
bisa menjadi anggota
teroris, misalnya
beberapa kasus di
Inggris, pemuda yang
ikut dalam gerakan Isis.
ranah itu sosial
kulturapsikologis.
Isu islamophobia “
sebenarnya semua orang
bisa dirugikan oleh isu
Islamophobia, karena
hari ini orang itu
perspektifnya simbol,
jadi kadang misalnya
adalah loh orang yang
beragama Kristen yang
pakai jilbab, merawat
jenggot, dan segala
macam. Nah orang-
orang yang seperti itu
juga bisa ikut terkena
dampak islamophobia,
karena perspektif orang
adalah Islam itu yang
seperti ini, dan pada
akhirnya ketika
misalnya mereka mau
mengakses salah satu
layanan public, mereka
bisa saja menjadi korba,
Karena dianggap kamu
ini pakai jilbab misalnya
dan secara otomatis
kamu muslim, jadi
dampaknya bisa ke siapa
saja. Karena perspektif
simbol itu sangat massif,
ada satu konsep dalam
komunikasi tentang
simulakru dan
simulacra, hari ini
eksistensi bekerja
mendahului esensi, jadi
orang lebih dulu
terpukau dengan simbol
tanpa kemudian
menelisik lebih jauh
apakah makna dari
simbol tersebut. dan
salah satu penyebabnya
adalah media massa
4. Film dan Isu
Terorisme
Bagaimana
representasi
terorisme dalam
film hotel
Mumbai?
Kalau kita merujuk
definisi terorisme adalah
tindakan terencana,
terorganisir dan bisa
terjadi dimana, kapan
dan siapa saja. Itu dari
awal film sudah
kelihatan. Bagaimana
mereka tidak pernah
lepas dari Hp nya,
kemudian mereka
dikontrol, mereka
merasa bahwa mereka
hidup di dalam satu
kelompok yang saling
mendukung, solidaritas,
dan penggunaan kata
saudara ku itu merujuk
pada kelompok yang
menganggap bahwa
saya dekat dengan
mereka selayaknya
saudara. Dari awal
memang sudah terlihat
aktifitas mereka
terorganisir dan
menggunakan kekerasan
serta akses penggunaan
senjata untuk
membunuh orang lain.
Pada akhirnya mereka
juga sedikit menyentil
Islam seperti adengan
yang menunjukan dia
tidak memakan babi,
representasinya
langsung merujuk pada
muslim dan diperkuat
dengan perkataan-
perkataan berkaitan
dengan Islam.
Bagaimana
representasi pesan
moral dalam film
Hotel Mumbai?
Terorisme itu tidak
berkaitan dengan islam,
dan bahwa setiap orang
itu bisa menjadi pelaku
dan setiap orang juga
berpotensi menjadi
korban. Poin pertama
sangat terlihat. Film ini
berdasarkan kisah nyata,
tapi kita tepiskan dulu,
kita lihat dari konteks
filmnya, narasi yang
dibawa memang itu
bahwa awalnya memang
penulis ingin
mengonfirmasi
bagaimana masyarakat
hari ini yang selalu
menghubungkan antara
terorisme dan Islam.
pada part terakhir film,
terlihat seseorang yang
bertasbih yang disitu
posisinya sebagai
korban dan adegan
lainnya juga salah satu
korban bersyahadat,
padahalkan secara
tampilan dia dianggap
bagian dari orang barat.
Hal-hal seperti itu yang
ingin disampaikan
bahwa, disini terlepas
dari agama apapun, dia
akan bisa menjadi
teroris dan dia juga akan
bisa menjadi korban.
Jadi teroris itu tidak
terkait dengan agama
manapun. Agama mana
sih yang menghalalkan
orang untuk membunuh.
Menurut anda,
sebenarnya apa
yang ingin
disampaikan oleh
film tersebut?
Hal-hal seperti itu yang
ingin disampaikan
bahwa, disini terlepas
dari agama apapun, dia
akan bisa menjadi
teroris dan dia juga akan
bisa menjadi korban.
Jadi teroris itu tidak
terkait dengan agama
manapun. Agama mana
sih yang menghalalkan
orang untuk membunuh.
Menurut anda,
akankah film
tersebut
berpengaruh
terhadap
masyarakat?
Film adalah salah satu
medium komunikasi
massa tapi persolannya
film itu punya efek atau
jangkauan yang tidak
semasif media tv,
kecuali dia ditayangkan
di tv. Film ini pertama
kali ditayangkan di
bioskop itupun sempat
dilarang dibeberapa
Negara karena memang
arahnya mereka paham
kalau film ini
berbahaya. Jadi kalau
pertanyaannya sejauh
mana efeknya, secara
medium jelas dia
berefek tapi tidak
semasif yang diharapkan
apakah film ini bisa
merubah cara pandang
masyarakat umumnya
tentang bagaimana islam
dan terorisme itu
sebenarnya tidak
berkaitan satu sama lain.
Poin utama dari media
massa adalah
memastikan bahwa
pesannya tersampaikan,
perkara apakah dia
massif dan memberikan
dampak itu poin plus,
kembali tergantung pada
masyarakat dan poin
bagi industry perfilman.
Yang jelas pesannya
sampai mereka dapat
keuntungan, selesai,
sekalipun film ini
berdasarkan kisah nyata
ketika sudah masuk ke
industry perfilman,
orientasinya pada
keuntungan.
“pesan film tergantung
pemahaman penonton”,
pemahaman masyarakat
gini, berdasarkan
perspekstif komunikasi
di dalam teori proses
penyerapan informasi,
tahapannya terdiri dari
filtering, meaning
maching kemudain
constructions meaning.
Nah di meaning
maching, pengetahuan
dan pengalaman kita
yang pernah didapat
sebelumnya bekerja,
misalnya kita sudah
memiliki pengetahuan
dan pengalaman tentang
terorisme, suatu waktu
kita menonton film ini
otomatis pengetahuan
dan pengalaman itu akan
kita pake untuk
membaca film tersebut.
saya bisa bicara tentang
ini karena, yang kita
tahu Indonesia punya
sejarah panjang soal
terorisme, kita selalu
memperdebatkanya
waktu ke waktu, dan
hampir setiap tahun ada,
ditambah lagi ada
banyak literature yang
mengkaji tentang
terorisme, jadi otomatis
pada saat menonton film
itu, saya akan
mencocokan
pengetahuan dan
pengalaman dengan film
tersebut. sampai pada
tahap ketiga, konstruksi
makna, ketika kamu
bertanya apa kira-kira
yang dapat ditarik dari
film ini misalnya, itu
adalah bentuk
konstruksi pemahaman
saya terhadap apa sudah
saya dapat sebelumnya
dengan apa yang saya
dapat dari film. Jadi
saya bisa bilang bahwa
islam iti tidak berkaitan
dengan terorisme, jelas
itu berdasarkan
pengetahuan yang saya
dapatkan sebelumnya
dan apa yang saya dapat
dari film.
5. Media dan
Terorisme
Bagaimana
hubungan antara
media dan
Betul-betul konstruksi
media itu membuat
Islam sebagai terorisme
terorisme? itu benar-benar berhasil.
Terorisme itu sengaja
untuk dimedia kan,
intinya adalah ingin
menunjukan
eksistensinya, jadi
dengan diberitakan nya
mereka orang tahu
bahwa ternyata ada
gerakan seperti,
menunjukan apa yang
mereka mau dengan
melakukan teror.
Media dan terorisme itu
ada hubungan simbiosis
mutualisme. Ingat media
itu bisnis, meskipun
memiliki etika-etika
tertentu dalam
pemberitaan media.
Terorisme butuh media
dan media butuh
terorisme sebagai berita.
RIWAYAT HIDUP
NURUL FADHILLAH, lahir pada 29 Maret 1998 di
Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Putri terakhir dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak M.
Amin dan Ibu Hafsah.
Jenjang pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-kanak di TK Kembang
Seroja. Kemudian melanjutkan kejenjang Sekolah Dasar di SDN 04 Sape pada
tahun 2006. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 01
Sape pada 2013, dan Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 01 Sape pada
2015. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, pada tahun yang sama penulis
terdaftar sebagai salah satu mahasiswa di Program Studi Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Makassar.
Pada tahun 2020, penulis berhasil mendapatkan gelar S1 Program Studi Ilmu
Komunikasi dengan judul skripsi “Analisis Semiotik Terorisme pada Film Hotel
Mumbai”. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan
penelitian di bidang Ilmu Komunikasi terkhusus di Program Studi Ilmu
Komunikasi, FISIP, Unismuh Makassar.