ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
OLEH APARAT PEMERINTAH
(Studi Kasus pada Pelaku Korupsi yang ditahan di Rumah Tahanan
Negara dan Lembaga Pemasyarakatan di Wilayah Hukum Daerah
Istimewa Yogyakarta)
TESIS
GunaMemenuhiSebagianPersyaratanMencapaiDerajat
Magister Pada Program StudiIlmuPemerintahan
KonsentrasiPemerintah Daerah
DisusunOleh:
RAFIKA DWI CANDRA
17610001
PROGRAM MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
YOGYAKARTA
2019
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
OLEH APARAT PEMERINTAH
(Studi Kasus pada Pelaku Korupsi yang ditahan di Rumah Tahanan
Negara dan Lembaga Pemasyarakatan di Wilayah Hukum Daerah
Istimewa Yogyakarta)
TESIS
Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat
Magister Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan
KonsentrasiPemerintah Daerah
Oleh:
RAFIKA DWI CANDRA
17610001
PROGRAM MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
YOGYAKARTA
2019
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “ANALISIS FAKTOR PENYEBAB
KORUPSI OLEH APARAT PEMERINTAH (Studi Kasus pada Pelaku Korupsi yang
ditahan di Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan di Wilayah Hukum
Daerah Istimewa Yogyakarta)” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya
sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak
sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini,
saya siap menanggung resiko / sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan
adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain
terhadap keaslian karya saya ini.
Yogyakarta, 01 Maret 2019
Yang Membuat Pernyataan
RAFIKA DWI CANDRA
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
program Studi Magister (S2) Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa STPMD “APMD” Yogyakarta.
Penelitian ini berjudul “ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
OLEH APARAT PEMERINTAH (Studi kasus pada Pelaku Korupsi yang ditahan
di Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan di Wilayah Hukum
Daerah Istimewa Yogyakarta)”.
Penelitian ini akan menggali langsung dari Pelaku Korupsi yang ditahan di
Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan di Wilayah Hukum
Daerah Istimewa Yogyakarta tentang penyebab mereka melakukan korupsi,
sehingga dapat diketahui secara nyata penyebab korupsi yang telah dilakukan
oleh pelaku pelaku korupsi tersebut, dan kemudian dapat digunakan sebagai
upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dalam rangka ikut serta
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penulis menyadari bahwa dalam usaha penyusunan tesis ini tidak luput dari
kekurangan, kesulitan dan hambatan, sehingga tesis ini masih jauh dari kata
sempurna.
v
Terselesaikannya penyusunan tesis ini tidak lepas dari berbagai pihak yang
telah memberikan bimbingan maupun saran-saran yang berguna dalam
penyusunan proposal tesis ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar besarnya kepada seluruh Dosen yang telah memberikan bekal
pengetahuan, Dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan arahan dan
dukungan, serta semua pihak yang telah membantu dan mendukung proposal tesis
ini dapat diselesaikan dengan baik.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan dan melimpahkan Rahmat
dan Karunia-Nya kepada seluruh Dosen dan semua pihak atas segala bantuan
yang telah diberikan kepada penulis.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak serta menambah wawasan pemikiran bagi yang berminat pada
penelitan dibidang korupsi.
Yogyakarta, 01 Maret 2019
Penulis
RAFIKA DWI CANDRA
vii
MOTTO
‘Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari
suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. ‘
(Q.S Al-Insyirah 6-7)
“A wealth without a religion is a blind”
“Prioritas utama dalam hidupku adalah keluarga, yang kedua adalah keluarga, kemudian yang
ketiga adalah keluarga, yang lainnya di urutan berikutnya”
Hendison
vii
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, atas rahmat dan hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan Tesis ini dengan
baik. Karya ini ini ku persembahkan untuk:
1. Bue dan Babe, yang telah mendukung, memberi motivasi dalam segala hal serta
memberikan kasih sayang yang tiada balas.
2. Suamiku, you are the best ever.
3. Anak anak cantikku, ini demi kalian nak.
4. Dosen yang telah membimbing, memberi banyak ilmu dan pengalaman.
5. Rekan seangkatan, Semangat !.
ix
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................................ iii
KATA PENGANTAR .................................................................................................... iv
MOTTO ……………………………………………………………..………………… vi
PERSEMBAHAN …………………………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. viii
INTISARI ....................................................................................................................... x
ABSTRACT ................................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Fokus Penelitian .......................................................................................... 4
C. Rumusan Masalah......................................................................................... 8
D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 9
E. Kerangka Konseptual .................................................................................. 10
F. Metode Penelitian ........................................................................................ 29
BAB II DESKRIPSI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
DAN RUMAH TAHANAN NEGARA
A. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ......................................................... 34
B. Pengertian Rumah Tahanan Negara ............................................................ 37
ix
C. Profil Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.................... 40
a. LAPAS kelas II A Yogyakarta .............................................................. 41
b. RUTAN kelas II B Bantul...................................................................... 59
BAB III ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KORUPSI OLEH APARAT
PEMERINTAH
A. PROFIL INFORMAN .................................................................................. 72
B. SAJIAN DAN ANALISIS DATA ............................................................... 73
1. Jenis – Jenis Korupsi .............................................................................. 73
2. Latar belakang dan Penyebab Korupsi ................................................... 77
3. Cara Terbaik Pemberantasan Korupsi .................................................... 92
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN ............................................................................................ 100
B. SARAN ........................................................................................................ 100
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................
LAMPIRAN ...................................................................................................................
x
INTISARI
Judul Tesis :
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KORUPSI OLEH APARAT PEMERINTAH(Studi Kasus pada Pelaku Korupsi yang ditahan di Rumah Tahanan Negara danLembaga Pemasyarakatan di Wilayah Hukum Daerah Istimewa Yogyakarta)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui penyebab korupsi oleh AparatPemerintahan, yang merupakan bidang pekerjaan yang paling banyak melakukantindak pidana korupsi, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakanminiaturnya Indonesia. Dalam penelitian yang penulis lakukan, penulis menggalilangsung dari Pelaku Korupsi yang ditahan di Rumah Tahanan Negara dan LembagaPemasyarakatan di Wilayah Hukum Daerah Istimewa Yogyakarta tentang penyebabmereka melakukan korupsi, sehingga dapat diketahui secara nyata penyebab korupsiyang telah dilakukan oleh Aparat Pemerintahan pelaku korupsi tersebut, dankemudian dapat digunakan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidanakorupsi dalam rangka ikut serta dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pada penelitian ini akan digunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif denganmetode yang digunakan adalah studi kasus dimana peneliti berusaha untukmenganilis lebih jauh tentang penyebab korupsi aparat pemerintahan pelaku korupsiyang telah ditahan, khususnya di Rumah tahanan Negara kelas II B Bantul danlembaga pemasyarakatan kelas II A Yogyakarta. Peneliti mengumpulkan data danmenganalisis serta mendiskripsikan apa saja faktor-faktor yang sebenarnyamenyebabkan Aparat Pemerintahan tersebut melakukan korupsi.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapati bahwa kewenangan tanpa pengawasanmelatarbelakangi suburnya tindak pidana korupsi oleh aparat pemerintahan.Sedangkan jenis korupsi yang paling banyak dilakukan oleh aparat pemerintahanadalah korupsi dalam pengadaan barang / jasa, korupsi berupa pungli, serta korupsikonvensional berupa penggelapan uang negara. Untuk faktor yang paling berperandalam penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi adalah sifat tamak dan rakusdari pelaku korupsi, serta diketahui bahwa peran serta masyarakat yang ikut sertamengawasi jalannya pemerintahan merupakan cara terbaik dalam pencegahankorupsi.
Kata Kunci: Tindak Pidana Korupsi, Aparat Pemerintah, Rutan / Lapas.
xi
ABSTRACT
Title of Thesis:
ANALYSIS OF THE FACTORS CAUSING CORRUPTION BYGOVERNMENT APPARATUS (Case Study of Corruption Offenders detainedin State Detention Houses and Correctional Institutions in the Legal Areas of theSpecial Region of Yogyakarta)
This study aims to determine the causes of corruption by Government Officials,which is the field of work that most commits criminal acts of corruption, including inthe Special Region of Yogyakarta which is a miniature of Indonesia. In the researchthat the author did, the author explored directly from Corruption Actors who weredetained in State Detention Houses and Correctional Institutions in the SpecialTerritory of Yogyakarta about the causes of corruption, so that the real causes ofcorruption by the Government perpetrators of corruption could be known. and then itcan be used as an effort to prevent corruption in order to participate in eradicatingcorruption.
In this research, descriptive qualitative research will be used with the method used isa case study where the researcher attempts to further investigate the causes ofcorruption of government officials who have been arrested, especially in State II BBantul detention centers and class II A Yogyakarta correctional institutions . Theresearcher collects data and analyzes and describes what factors actually cause theGovernment Official to commit corruption.
Based on the results of this study it was found that unattended authority underlies thefertility of corruption by government officials. While the types of corruption that aremost often carried out by government officials are corruption in the procurement ofgoods / services, corruption in the form of extortion, and conventional corruption inthe form of embezzlement of state money. For the factors that most play a role in thecause of someone committing corruption is the greedy and greedy nature of theperpetrators of corruption, and it is known that the participation of the people whoparticipate in overseeing the running of government is the best way to preventcorruption.
Keywords: Corruption Crime, Government Apparatus, Detention / Prison.
xi
ABSTRACT
The thesis is entitled “The Authority of Political Parties against Dismissal of
Member of Parliament Related to Corruption in Indonesia". Political parties have a
strategic role in a democratic country. Indonesian 1945 Constitution regulates the
status of political parties in the state life in Indonesia. Political parties are the only
organization that can become participants in the elections and nominate candidates
to fill political positions. One of the authorities of political parties is to nominate
candidates of legislators both at the central and regional levels. In addition to
xi
nominating candidates for members of Parliament, political parties also have the
authority to dismiss members of political parties in the Parliament. Departing from
this issue, this study discusses two main problems related to the authority of political
parties against the dismissal of the members of the House of Representatives in
Indonesia as well as on construction of the arrangements for the provision of
dismissal of members of parliament tied to corruption.
The method used in this study is a normative legal research. It aims to clarify
normatively to identify and analyze the weaknesses contained in the relevant
provisions of the law governing the dismissal of members of the House of
Representatives in Indonesia. This study uses two approaches, namely legal approach
and conceptual approaches. The source of legal materials in this research is primary,
secondary and tertiary legal materials.
The study results show that political parties have a very important role in
democracy and runningthe country. In addition to the authority ofnominating
candidates to fill political positions in the executive and legislative, political parties
are also given the authority to replacement and dismissal of members of the House of
Representatives. Related to the dismissal of members of the party sitting in
Parliament, the political parties should set very important conditions such as the
problem of corruption. This serves as a precautionary measure and efforts to realize
corruption-free state officials, because corruption has a very serious impact on the
life of the nation. Thus the judicial review provided for in Article 16 of Law No. 2 of
2011 concerning the Amendment Act No. 2 of 2008 on Political Parties needs to be
done, and then revised. This is to fill the void of legal norms tied to provisions of the
dismissal of members of political parties in the House of Representatives due to
xi
corruption.
Keywords: Authority, Political Party, House of Representatives (DPR), Corruption.
ix
iii
RINGKASAN
Tesis ini berjudul “Kewenangan Partai Politik Terhadap Pemberhentian Anggota
DPR Terkait Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia” ini terbagi dalam 5 (lima) bab
pembahasan yaitu:
BAB I, merupakan awal dari bagian Tesis ini yang menguraikan tentang latar
belakang masalah yang berkaitan dengan peran penting partai politik pasca
amandemen UUD 1945.UUD NRI 1945 telah memberikan wewenang yang besar
kepada partai politik untuk mengajukan calon pada jabatan-jabatan politik. Di
samping diberikan wewenang mengajukan calon untuk mengisi jabatan-jabatan
politik, partai politik juga diberikan wewenang untuk melakukan pemberhentian
(recall) kepada anggota DPR. Dalam hal ini terdapat kekosongan norma dalam
substansi UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, dalam kaitannya dengan syarat pemberhentian
anggota DPR akibat melakukan tindak pidana korupsi. Di samping latar belakang,
pada bab ini terdapat rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.
BAB II, bab ini berisi tentang tinjauan umum dalam Tesis ini, yang meliputi uraian
tentang partai politik, DPR dan tindak pidana korupsi. bab ini diawali dengan
menguraikan tentang perkembangan partai politik di Indonesia, yang kemudian
dilanjutkan dengan pengertian partai politik. Sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU
xi
No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, menentukan bahwa:“Partai politik adalah organisasi yang
bersifat nasional dan dibentuk olehsekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentinganpolitik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhanNegara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.Tinjauan umum
x
iv
partai politik ini juga menguraikan tentang jenis dan fungsi partai politik dan sistem
kepartaian.Kemudian dalam bab ini juga diuraikan tentang kedudukan DPR sebagai
lembaga perwakilan rakyat dengan tugas dan fungsinya menurut UUD NRI 1945 dan
undang-undang terkait. Bagian akhir dari bab ini menguraikan tentang tindak pidana
korupsi, yang dimulai dari pengertian tindak pidana korupsi dilanjutkan dengan
pendapat para ahli tentang penyebab tindak pidana korupsi dan konsepsi bahwa
korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
BAB III, bab ini merupakan hasil penelitian dari permasalahan pertama yang
menguraikan tentang kewenangan pemberhentian anggota DPR oleh partai politik di
Indonesia. Lebih lanjut dalam bab ini menjelaskan tentang fungsi dan hak anggota
DPR dalam sistem demokrasi perwakilan. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat
dalam negara demokrasi adalah salah satu pilar yang sangat penting, karena lembaga
ini berfungsi untuk mewakili kepentingan-kepentingan rakyat.Didalam gagasan
demokrasi perwakilan kekuasaan tertinggi (kedaulatan) tetap ditangan rakyat, tetapi
dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat sendiri.Agar wakil-wakil
xi
rakyat tersebut benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat maka wakil-wakil
rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Dalam menjalankan fungsinya sebagai
wakil rakyat, anggota DPR juga diberikan hak-hak tertentu yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam bab ini juga di uraikan tentang kewenangan
partai politik dalam kaitan dengan pemberhentian anggota DPR. Selain mempunyai
kewenangan rekrutmen, untuk pengisian jabatan-jabatan politik, partai politik juga
diberikan kewenangan untuk mengganti dan memberhentikan keanggotaan seseorang
di partai politik sekaligus di DPR.
BAB IV, bab ini merupakan hasil penelitian dari permasalahan kedua yang
menguraikan konstruksi pengaturan terhadap pemberhentian anggota DPR terkait
tindak pidana korupsi. Pada bab ini didahului dengan uraian tentang mekanisme dan
ketentuan pemberhentian anggota DPR. Bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 22B
UUD NRI Tahun 1945, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari
xi
v
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.Pasal
16 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai politik, telah mengatur ketentuan pemberhentian anggota partai politik
sekaligus anggota DPR. Yang menjadi persoalan bahwa dalam Pasal 16 tersebut tidak
mengatur tentang pemberhentian anggota partai di DPR karena permasalahan
korupsi, padahal kita tahu bahwa dampak korupsi ini sangat serius dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dari uraian tersebut dalam bab ini, dijelaskan tentang
konstruksi pengaturan terhadap ketentuan pemberhentian anggota DPR dalam kaitan
dengan tindak pidana korupsi. Konstruksi ideal dan penting dalam upaya
xi
mewujudkan penyelenggara negara yang bersih bebas KKN, yaitu dengan merevisi
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, khususnya Pasal 16 ayat (1) dengan mensyaratkan ketentuan pemberhentian
anggota DPR karena tindak pidana korupsi. Sebagai negara hukum tentu hukum
harus ditegakkan dengan tetap menjunjung tinggi perlindungan hak asasi manusia.
BAB V, pada bab ini merupakan bagian penutup yang berisi simpulan dan saran dari
hasil penelitian ini. Simpulan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa dalam UUD
NRI Tahun 1945, partai politik diberikan wewenang sangat besar dalam proses
bernegara. Partai politik dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah satunya-satunya
organisasi yang menjadi peserta pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden serta
calon anggota DPR pusat dan daerah. Selain itu partai politik juga diberikan
wewenang untuk melakukan pemberhentian anggota partai politik di DPR. Adanya
kekosongan norma pada Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2011 dalam hal pemberhentian
anggota DPR yang disebabkan melakukan tindak pidana korupsi. Dengan demikian
perlu judicial review dan merevisi Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2011 tersebut, dengan
merumuskan penambahan syarat pemberhentian anggota partai politik di DPR karena
melakukan tindak pidana korupsi.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Tindakan korupsi merupakan salah satu tindakan kriminal sebab hal
tersebut merugikan banyak pihak khususnya negara yang harus bertanggung
jawab kepada masyarakat luas. Korupsi dikelompokkan dalam hukum pidana.
Sesuai dengan UU no. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU no. 31 tahun
1999 tentang pemberantasan tindakan korupsi. Berdasarkan uraian dalam UU
tersebut, korupsi harus diberantas secara luar biasa karena merugikan keuangan
negara. Selain itu, korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat luas.
Korupsi yang berkembang dalam masyarakat tidak hanya dalam bentuk
materiil, namun dalam segi waktu, tenaga dan pikiran pun dapat tergolong sebagai
suatu tindakan korupsi. Sayangnya yang paling tersohor di lensa masyarakat dan
menjadi fokus perhatian hanyalah dari segi materiil yang terwujud dalam uang
yang diambil untuk kepentingan pribadi, padahal korupsi dari segi waktu, tenaga
dan pikiran dapat dijadikan embrio untuk melakukan tindakan korupsi yang lebih
besar seperti korupsi dengan nominal trilyunan rupiah yang terjadi dewasa ini.
Tindakan korupsi tidak selalu berlaku pada pejabat saja. Setiap individu
memiliki potensi untuk melakukan tindakan-tindakan korupsi tersebut. Tetapi
yang menjadi fokus perhatian masyarakat hanyalah para pejabat pemerintahan.
Hal itu didasari oleh posisi seseorang yang berpeluang besar melakukan korupsi,
2
bukan pada siapa orang tersebut. Dasar pertimbangan masyarakat awam selalu
dipadu-padankan dengan konsep kekuasaan.
Individu yang terlibat dalam masalah korupsi, selalu berangkat dari
kesempatan yang didapatkannya untuk melakukan tindakan korupsi, bukan karena
ada niat dari pelaku untuk melakukannya. Ruang pemerintahan menjadi salah satu
lumbung terjadinya korupsi. Dasar pemahamannya adalah bekerja dalam ruang
lingkup pemerintahan merupakan peluang menimbun kekayaan. Anggapan
tersebut setidaknya yang sedang berkembang dimasyarakat dewasa ini. Memiliki
jabatan berarti memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan. Tidak bisa
dipungkiri, tindakan korupsi selalu lahir dari sebuah kesempatan mengemban
jabatan tertentu pada lembaga pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor organisasi menjadi salah satu lahan
terbuka terjadinya peluang tindakan korupsi. Individu yang bersih, apabila masuk
kedalam organisasi atau lingkungan kerja yang cenderung menghalalkan segala
cara ketika mendapatkan peluang melakukan korupsi, akan terjebak dengan
sendirinya dikemudian hari. Ketahanan diri untuk tidak melakukan tindakan
korupsipun menjadi salah satu pintu masuk terjadinya tindakan korupsi. Selain
itu, kebutuhan akan kehidupan yang semakin pesat didunia modern, membuat
individu tersebut terpaksa menghalalkan segala cara untuk mendapatnya. Budaya
konsumtif yang berkembang dimasyarakat menjadi salah satu penguatnya,
individu selalu dituntut mengikuti gaya hidup masyarakat sekitar, sehingga
keseimbangan antara pendapatan yang kecil dan kebutuhan yang semakin
meningkat, membuat korupsi harus dilakukan dan menjadi jalan yang dihalalkan.
3
Pada dasarnya, sebagian orang mampu bertahan pada ajakan melakukan
tindakan korupsi, namun tidak semua orang mampu bertahan pada tahap untuk
melakukannya. Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan akan menular pada setiap
elemen-elemen pendukung kerja pemerintahan atau suatu organisai. Pendapatan
yang tak seimbang dengan pengeluaran para pejabat pemerintahan cenderung
menjadi biang memuluskan tindakan korupsi.
Dalam UU anti korupsi, tersurat bahwa kasus korupsi merupakan kasus
yang besar, namun dalam kenyataanya, khususnya vonis hukuman, pelaku
korupsi hanya dijatuhi hukuman seperti kasus tindak pidana dengan kerugian
materiil yang kecil, misalnya untuk korupsi dengan nominal jutaaan sampai
dengan milyaran rupiah hanya divonis 1 (satu) tahun penjara. Salah satunya
adalah vonis yang diterima oleh Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, yang
dihukum satu tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) Serang pada tahun 2016. Wawan dinyatakan terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama-sama dan
berkelanjutan dalam proyek pembangunan tiga Puskesmas dan Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Tangerang Selatan pada 2011-2012 yang merugikan
keuangan negara Rp. 9,6 miliar. Vonis tersebut adalah salah satu vonis yang
tidak sebanding dengan kerugian negara yang disebabkan oleh pelaku korupsi.
Apabila dibandingkan dengan kasus pencurian (pencurian dibawah 5 juta)
cenderung memiliki masa hukuman yang sama. Dasar perbandingan ini
membuktikan bahwa masih ada kelemahan dalam proses hukum di Indonesia.
Apakah kelemahan dalam proses hukum di Indonesia yang berkaitan dengan
4
kasus korupsi tersebut merupakan salah satu penyebab utama mengapa Aparat
pemerintahan banyak yang melakukan tindakan korupsi? Ataukah ada penyebab
lain yang lebih dominan? Tentu hal ini perlu digali agar kita dapat mengetahui
mengapa oknum Aparat pemerintahan melakukan tindakan korupsi dinegara ini.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik melakukan
penelitian dengan judul : ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
OLEH APARAT PEMERINTAH( Studi Kasus pada Pelaku Korupsi yang
ditahan di Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan di
Wilayah Hukum Daerah Istimewa Yogyakarta ).
Dalam penelitian yang penulis lakukan, penulis menggali langsung dari
Pelaku Korupsi yang ditahan di Rumah Tahanan Negara dan Lembaga
Pemasyarakatan di Wilayah Hukum Daerah Istimewa Yogyakarta tentang
penyebab mereka melakukan korupsi, sehingga dapat diketahui secara nyata
penyebab korupsi yang telah dilakukan oleh pelaku pelaku korupsi tersebut, dan
kemudian dapat digunakan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindak
pidana korupsi dalam rangka ikut serta dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
B. FOKUS PENELITIAN
Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada faktor–faktor yang menyebaban
aparat pemerintahan melakukan tindak pidana korupsi, khususnya pada aparat
5
pemerintahan pelaku korupsi yang telah di tahan di Rumah Tahanan Negara dan
Lembaga Pemasyarakatan di wilayah D.I Yogyakarta.
Faktor-faktor tersebut antara lain :
1. Latar belakang terjadinya korupsi.
2. Jenis – jenis korupsi yang dilakukan.
3. Faktor penyebab aparat pemerintahan melakukan korupsi.
4. Cara terbaik dalam pemberantasan korupsi.
C. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang masalah diatas,maka dapat ditarik beberapa
permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana proses terjadinya korupsi di dalam tubuh pemerintahan?
b. Apa saja jenis korupsi yang dilakukan oleh Aparat Pemerintah pelaku
korupsi?
c. Faktor apakah yang menyebabkan Aparat Pemerintah melakukan tindakan
korupsi?
d. Bagaimana cara terbaik yang bisa dilakukan dalam pemberantasan korupsi?
D. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui proses terjadinya korupsi di dalam tubuh pemerintah.
b. Mengetahui jenis jenis korupsi yang dilakukan oleh pelaku korupsi.
6
c. Mengetahui penyebab pelaku korupsi melakukan korupsi.
d. Mengetahui cara terbaik untuk memberantas korupsi.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
1) Bagi ilmu pemerintahan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi untuk memperkaya kajian keilmuan.
2) Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan penelitian lebih lanjut tentang penyebab korupsi aparat
pemerintah yang berstudi kasus di rumah tahanan negara dan
lembaga permasyarakatan di wilayah hukum daerah istimewa
Yogyakarta.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Peneliti, penelitian ini sebagai sarana aktualisasi diri untuk
mengaplikasikan teori yang telah diperoleh yaitu tentang penyebab
tindak pidana korupsi aparat pemerintah.
2) Bagi Masyarakat, lebih menambah pengetahuan tentang penyebab
aparat pemerintah melakukan korupsi, sehingga masyarakat mampu
untuk tidak melakukan korupsi, dan ikut berperan serta dalam
pencegahan tindak pidana korupsi.
3) Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan
pencegahan terjadinya tindakan korupsi dan sekaligus sebagai bahan
evaluasi.
7
E. KERANGKA KONSEPTUAL
1. Aparat Pemerintah
Pengertian aparat atau aparatur adalah sesuatu yang dimaksudkan /
bertujuan untuk mengorganisir suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak
orang secara teratur. Aparat adalah tipe organisai yang berguna untuk mencapai
tugas-tugas administratif dengan cara mengkoordinasikan berbagai pekerjaan dari
banyak orang secara teratur/sistematis. (Pater Al Blau & Charles H. Page dalam
Bintoro : 1987).
Dalam kamus besar bahasa indonesia kata aparat memiliki beberapa
pengertian. Yang pertama pengertian aparat adalah peralatan atau perlengkapan.
Satu lagi definisi aparat adalah badan atau instansi pemerintah dan orang yang
menjalankan lembaga tersebut untuk mencapai tujuan negara atau pemerintahan.
Pengertian mengenai aparatur pemerintahan disebutkan Dharma Setiawan
Salam dalam buku yang berjudul Manajemen Pemerintah Indonesia yang
menjelaskan bahwa “Aparat Pemerintah adalah pekerja yang digaji pemerintah
melaksanakan tugas-tugas teknis pemerintahan melakukan pelayanan kepada
masyarakat berdasarkan ketentuan yang berlaku” (Setiawan, 2004:169).
Berdasarkan pengertian diatas, maka aparat pemerintah merupakan yang digaji
oleh pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sesuai dengan teknis
dengan berdasar ketentuan yang ada.
Menurut pendapat Soerwono Handayaningrat yang mengatakan bahwa “
Aparatur ialah aspek-aspek organisasi administrasi yang diperlukan dalam
penyelenggaraan pemerintahan atau negara, sebagai alat untuk mencapai tujuan
8
organisasi. Aspek-aspek administrasi itu terutama ialah kelembagaan atau
organisai dan kepegawaian” (Handayaningrat, 1982:154).
Lebih lanjut Soerwono Handayaninigrat mengemukakan aparatur
pemerintahan ialah orang yang menduduki jabatan dalam kelembagaan
pemerintahan (Handayaningrat, 1982:154).
2. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere
berarti busuk, rusak, menggoyahkan. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, korupsi secara harfiah berarti: buruk, rusak, suka memakai barang
(uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi). Adapun arti terminologinya, korupsi adalah penyelewengan
atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau
orang lain.
Korupsi (corrupt, corruptie, corruption) juga bisa bermakna kebusukan,
keburukan, dan kebejatan. Korupsi adalah suatu tindakan yang menyimpang dari
norma masyarakat dengan cara memperoleh keuntungan untuk diri sendiri serta
merugikan kepentingan umum. Korupsi juga adalah penyalahgunakan
kepercayaan yang diberikan publik atau pemilik untuk kepentingan pribadi.
Sehingga, korupsi menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif, yaitu memiliki
kewenangan yang diberikan publik yang seharusnya untuk kesejahteraan publik,
namun digunakan untuk keuntungan diri sendiri. Korupsi terjadi pada situasi
dimana seseorang memegang suatu jabatan yang melibatkan pembagian sumber-
9
sumber dana dan memiliki kesempatan untuk menyalah gunakannya guna
kepentingan pribadi.
Korupsi merupakan tindakan seseorang yang menyalahgunakan
kepercayaan dalam suatu masalah atau organisasi, hanya untuk mendapatkan
keuntungan pribadi.Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan
sosial, budaya kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan di telaah secara
kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh
Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai
korupsi moral (moral corruption)(Semma, 2008:32).
Menurut Transparency international seperti dikutip dalam skripsi oleh
Muhammad Nalar Al Khair, korupsi adalah perilaku pejabat publik, politikus,
pegawai negeri, yang secara tidak wajar/legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengan dirinya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan (Muhammad Nalar Al Khair dalam analisis Pola korupsi di
Indonesia, 2014: 15).
Definisi tentang korupsi juga dapat dipandang dari berbagai aspek,
bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan, sebagaimana dikemukakan
oleh Beveniste dalam Suyanto, korupsi didefinisikan menjadi 4 (empat jenis),
yaitu Discretionery corruptioni ialah korupsi yang dilakukan karena
adanyakebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya
bersifatsah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota
organisasi. Kemudian Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang
bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan
10
regulasi tertentu. Yang ke 3 (tiga) adalah Mercenary corruption, ialah jenis tindak
pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Yang terakhir adalah Ideological
corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan
untuk mengejar tujuan kelompok (Ermanjah Djaja, 2010: 22).
Kata korupsi telah dikenal luas oleh masyarakat, Pengertian korupsi juga
selalu berubah pada tiap zaman, peradaban, dan teritorial, bisa berbeda tergantung
pada titik tekan dan pendekatannya, baik dari perspektif politik, sosiologi,
ekonomi dan hukum. Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan
sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji secara kritis oleh
banyak ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli,
telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral
corruption). Sebetulnya pengertian korupsi sangat bervariasi, namun demikian,
secara umum korupsi itu berkaitan dengan perbuatan yang merugikan
kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau
kelompok tertentu.
Beberapa pandangan dan pengertian korupsi antara lain :
a. David H. Bayley
Korupsi sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan
itikad buruk (seperti misalnya, suapan) agar ia melakukan pelanggaran
kewajibannya”. Lalu suapan (sogokan) diberi definisi sebagai “hadiah,
penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau
11
dijanjikan, dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku,
terutama seorang dari dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat
pemerintah). Jadi korupsi sekalipun khusus terkait dengan penyuapan
atau penyogokan, adalah istilah umum yang mencakup penyalahgunaan
wewenang sebagai hasil pertimbangan demi mengejar keuntungan
pribadi. Korupsi diartikan tidak selalu berbentuk tetapi korupsi dalam
arti yang seluas-luasnya, korupsi yang mencakup penyalahgunaan
kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa dalam
masyarakat untuk maksud-maksud pribadi.
b. Blak’s Law Dictionary
Pandangan masyarakat hukum Amerika Serikat tentang pengertian
korupsi dapat dilihat dari pengertian korupsi menurut kamus hukum
yang paling popular diAmerika Serikat: An act done with an intent to
give some advantage inconsistent with official duty and the rights of
others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and
wrongfully uses his station or character to procure some benefit for
himself or for another person, contrary to duty and the rights of others.
(suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan
suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-
hak dari pihak-pihak lain. Perbuatan dari seorang pejabat atau
kepercayaan yang secara melanggar hukum dan secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
12
keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, berlawanan
dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain
c. Transparency International
Corruption involves behavior on the part of officials in the public
sector, whether politicians or civil servants, in which they improperly
and unlawfully enrich themselves, or those close to them, by the misuse
of the public power entrusted them. (korupsi mencakup perilaku dari
pejabat-pejabat di sektor publik, apakah politikus atau pegawai negeri,
dimana mereka secara tidak benar dan secara melanggar hukum
memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka,
dengan cara menyalahgunakan kewenangan publik yang dipercayakan
kepada mereka)
d. Korupsi menurut beberapa negara :
1. Meksiko
Corruption is acts of dishonesty such as bribery, graft, conflict of
interest, negligence and lack of efficiency that require the planning
of specific strategies it is an illegal inter change of favors.
(korupsi diartikan sebagai bentuk penyimpangan ketidakjujuran
berupa pemberian sogokan, upeti, terjadinya pertentangan
kepentingan, kelalaian dan pemborosan yang memerlukan rencana
dan strategi yang akan memberikan keuntungankepada pelakunya).
13
2. Cameroon
Corruption as the soliciting, accepting, orreceiving by a public
servant or agent, for himself orfor another person of offers,
promises, gifts or presentfor performing, postponing, or retraining
from any actof his office.
(korupsi diartikan sebagai permintaan, persetujuan, atau penerimaan
yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri atau pejabat untuk
dirinya sendiri atau orang lain atas suatu tawaran janji, hadiah, atau
pemberian untuk melakukan, menunda, atau tidak melakukan suatu
pekerjaan pada jabatannya)
3. Nigeria
Corruption is an act done with an intent to give some advantage
inconsistent with official duty and the rights to other. The act of
official or judiciary person who unlawfully and wrongfully use his
station or character to procure some benefit for himself or for other
persons contrary to duty and the right or others.
(korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan tujuan
untuk memberi keuntungan yang tidak sesuai dengan tugasnya dan
hak-hak pribadi yang lain. Perbuatan seorang pejabat atau petugas
hukum yang secara melanggar hukum dan secara salah
menggunakan jabatannya atau kewenangannya untuk mendapatkan
keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain secara
berlawanan dengan tugasnya dan hak-hak pihak lain.
14
4. India
Behaviour of unscrupulous element to indulge in makin quick
money buy misuse of official position or authority or by resisting to
intentional delay and dilatory tactics with a view to cause
harassments and thereby putting pressure on some members of the
public to part with money in clandestine manner.
(perbuatan dari oknum-oknum yang tidak terpuji yang ingin
memperoleh uang secara cepat dengan menyalah gunakan jabatan
dan kewenangan resmi atau dengan taktik sengaja memperlambat
penyelesaian suatu pekerjaan dengan maksud untuk menyebabkan
gangguan dan karena itu memberikan tekanan kepada sejumlah
masyarakat yang berkepentingan untuk melampirinya dengan uang
dibawah meja)
5. Thailand
Corruption as behaviour of public servant that are condemned by
law. (korupsi diartikan sebagai perilaku yang dilarang oleh hukum
bagi pegawai negeri).
3. Faktor Penyebab Korupsi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “faktor” berarti hal (keadaan,
peristiwa) yg ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu, sedangkan
“penyebab” berasal dari kata sebab yang diartikan sebagai yg menjadikan
timbulnya sesuatu; lantaran; karena; (asal) mula. Dengan demikan faktor
15
penyebab korupsi dapat diartikan sebagai sesuatu hal, baik itu keadaan atau
peristiwa yang menyebabkan timbulnya tindak pidana korupsi.
Mengutip GONE Theory yang dikenalkan oleh Jack Boulogne dalam buku
Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques(1995),
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
1. Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang
secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
2. Opportunities (kesempatan): berkaitan dengan keadaan organisasi atau
instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka
kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
3. Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh
individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
4. Exposures (pengungkapan): berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi
yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan
melakukan kecurangan.
Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Faktor-faktor
penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal
dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
1. Faktor Internal Penyebab Korupsi
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang.
Pemahaman seseorang mengenai korupsi tentu berbeda-beda. Menurut Pope
(2003:31), salah satu penyebab masih bertahannya sikap primitif terhadap
16
korupsi karena belum jelas mengenai batasan bagi istilah korupsi, sehingga
terjadi ambiguitas dalam melihat korupsi.
Sementara itu Merican (1971:21) menyatakan sebab-sebab terjadinya
korupsi adalah sebagai berikut:
a. peninggalan pemerintahan kolonial.
b. kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. gaji yang rendah.
d. persepsi yang popular.
e. pengaturan yang bertele-tele.
f. pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Menurut bidang psikologi ada dua teori yang menyebabkan terjadinya
korupsi, yaitu teori medan dan teori big five personality. Menurut Lewin
(Sarwono, 2008) teori medan adalah perilaku manusia merupakan hasil dari
interaksi antara faktor kepribadian (personality) dan lingkungan
(environment) atau dengan kata lain lapangan kehidupan seseorang terdiri
dari orang itu sendiri dan lingkungan, khususnya lingkungan kejiwaan
(psikologis) yang ada padanya. Melalui teori ini, jelas bahwa perilaku
korupsi diapat dianalisis maupun diprediksi memiliki dua opsi motif yakni
dari sisi lingkungan atau kepribadian individu terkait.
Teori yang kedua adalah teori big five personality. Menurut Costa dan
McCrae (dikutip dalam Feist & Feist, 2008:5),big five personality
merupakan konsep yang mengemukakan bahwa kepribadian seseorang
17
terdiri dari lima faktor kepribadian, yaitu extraversion, agreeableness,
neuroticism, openness, dan conscientiousness.
Selain faktor-faktor internal di atas, terdapat faktor-faktor internal lainnya.
faktor tersebut yaitu :
a. Aspek Perilaku Individu:
Menurut Isa Wahyudi (2007:30) terdapat tiga hal yaitu :
1. Sifat Tamak/Rakus Manusia
Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer, yaitu
kebutuhan pangan. Pelakunya adalah orang yang berkecukupan,
tetapi memiliki sifat tamak, rakus, mempunyai hasrat memperkaya
diri sendiri. Unsur penyebab tindak korupsi berasal dari dalam diri
sendiri yaitu sifat tamak/rakus.
2. Moral yang kurang kuat
Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan
tindak korupsi. Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di
sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain
yang memberi kesempatan.
3. Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk berperilaku
konsumptif. Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan
pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang bagi seseorang untuk
melakukan tindak korupsi.
18
b. Aspek Sosial
Perilaku korupsi dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum
behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat
memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat
baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam
hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman
pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
2. Faktor Eksternal Penyebab Korupsi
a. Aspek Sikap Masyarakat terhadap Korupsi
Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi
menjaga nama baik organisasi. Demikian pula tindak korupsi dalam
sebuah organisasi sering kali ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini,
tindak korupsi seakan mendapat pembenaran, bahkan berkembang dalam
berbagai bentuk.
b. Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi.
Pendapatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang
terdesak masalah ekonomi membuka ruang bagi seseorang untuk
melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah korupsi.
c. Aspek Politis
Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak
korupsi, yaitu seseorang atau golongan yang membeli suatu atau menyuap
para pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku
19
korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering
terjadi. Terkait hal itu Terrence Gomes (2000:56) memberikan gambaran
bahwa politik uang sebagai use of money and material benefits in the
pursuit of political influence (menggunakan uang dan keuntungan
material untuk memperoleh pengaruh politik).
d. Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk
sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang
menjadi korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi
andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan
terjadinya korupsi (Tunggal, 2000:22). Aspek-aspek penyebab korupsi
dalam sudut pandang organisasi meliputi:
1. Kurang adanya sikap keteladanan Pemimpin
2. Tidak Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang Benar
3. Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas
4. Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
3. Peran Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi
Pengertian sederhana pemerintahan merupakan upaya mengelolah
kehidupan bersama secara baik dan benar guna mencapai tujuan yang
disepakati bersama. Untuk mencapai tujuan tadi pemerintah membutuhkan
instrumen berupa organisasi yang berfungsi merealisasi semua konsensus
dimaksud. Dalam kaitan itu pemerintah dapat ditinjau dari sejumlah aspek
20
penting seperti kegiatan (dinamika), struktur fungsional maupun tugas dan
kewenangannya. Kegiatan pemerintah berkaitan dengan segala aktivitas yang
terorganisasi, bersumber pada kedaulatan dan dan berlandaskan pada negara,
mengenai rakyat dan negara, serta demi tujuan negara. Struktur fungsional
menyangkut pemerintahan sebagai seperangkat fungsi negara yang satu sama
lain saling berhubungan secara fungsional dan melaksanakan fungsinya atas
dasar tertentu atas tujuan negara. Sementara tugas dan kewenangannnya
berhubungan dengan keseluruhan tugas dan kewenangan negara yang
dilakukan secara konkret oleh pemerintah (Labolo , 2014:35).
Sejalan dengan teori dari Labolo, dalam pengamatan Josef Riwu Kaho
(2012:311-314) tentang pengawasan menegaskan bahwa pengawasan
preventif berwujud kewajiban atau keharusan untuk memperoleh pengesahan
lebih dahulu dari pihak pengawas yaitu menteri dalam negeri bagi Peraturan-
peraturan Daerah/Keputusan-keputusan Gubernur, dan Gubernur bagi
Peraturan-peraturan Daerah/Keputusan-Keputusan Bupati/Walikota, sebelum
Peraturan-peraturan itu mulai berlaku dan dijalankan. Jadi pengawasan ini
disatu pihak merupakan hak pengawasan dari pihak pengawas dan dilain
pihak merupakan kewajiban untak memintahkan pengesahan dari pihak yang
diawasi. Apabila pihak pengawas beranggapan bahwa peraturan-peraturan
yang dimintakan pengesahan tersebut bertentangan dengan kepentingan
umum, maka pengawas dapat menolak untuk memberikan pengesahan.
21
Untuk mewujudkan good governance yang lebih baik lagi perlu beberapa
indikator sebagai penunjang dalam kesuksesan good governance, Wahyuni
Pujiastuti (2014:25), yaitu sebagai berikut:
a) Tata pemerintahan yang berwawasan kedepan (visi strategis). Semua
kegiatan pemerintah diberbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi
dan misi yang jelas disertai strategi implementasi yang tepat sasaran.
b) Tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan). Wujud nyata
prinsip tersebut antara lain dapat dilihat apabila masyarakat mempunyai
kemudahan untuk mengetahui serta memperoleh data dan informasi
tentang kebijakan, program,dan kegiatan aparatur pemerintah, baik yang
dilaksanakan ditingkat pusat maupun daerah.
c) Tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat. Masyarakat
yang berkepentingan ikut serta dalam proses perumusan dan/atau
pengambilan keputusan atas kebijakan publik yang diperuntukan bagi
masyarakat.
d) Tata pemerintahan yang bertanggungjawab/bertanggung gugat. Instansi
pemerintah dan aparaturnya harus dapat mempertanggung-jawabkan
pelaksanaa kewenangan yang diberikan sesuai dengan tugas dan
fungsinya. Demikian halnya dengan kebijakan, program, dan kegiatan
yang dilakukannya.
e) Tata pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum. Wujud nyata
prinsip ini mencakup upaya penuntasan kasus KKN dan pelanggaran
22
HAM, peningkatan kesadaran HAM, peningkatan upaya kesadaran
hukum, serta pengembangan budaya hukum.
f) Tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus.
Perumusan kebijakan pembangunan baik di pusat maupun daerah
dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan oleh
eksekutif.
g) Tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi.
Wujud nyata dari prinsip profesionalitas dan kompetensi dapat dilihat dari
upaya peneilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat
kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari
upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia.
h) Tata pemerintahan yang cepat tanggap (responsif). Aparat pemerintah
harus cepat tanggap terhadap perubahan situasi/kondisi mengakomodasi
aspirasi masyarakat, serta mengambil prakarsa untuk mengatasi berbagai
masalah yang dihadapi masyarakat.
i) Tata pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber daya secara
efesien dan efektif. Pemerintah baik pusat maupun daerah dari waktu ke
waktu harus menilai dukungan struktur yang ada, melakukan perbaikan
struktural sesuai dengan tuntutan perubahan seperti menyusun kembali
struktur kelembagaan secara keseluruan, menyusun jabatan dan fungsi
yang lebih tepat, serta berusaha mencapai hasil yang optimal dengan
memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia secara efisien
dan efektif.
23
j) Tata pemerintahan yang terdesentralisasi. Pendelegasian tugas dan
kewenangan pusat kepada semua tingkatan aparat sehingga dapat
mempercepat proses pengambilan keputusan, serta memberikan
keleluasaan yang cukup untuk mengelola pelayanan publik dan
mensukseskan pembangunan di pusat maupun di daerah.
k) Tata pemerintahan yang mendorong kemitraan dengan dunia usaha
swasta dan masyarakat. Pembangunan masyarakat madani melalui
peningkatan peran serta masyarakat dan sektor swasta harus diberdayakan
melalui pembentukan kerjasama atau kemitraan antara pemerintah, swasta
dan masyarakat.
l) Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan
kesenjangan. Pengurangan kesenjangan dalam berbagai bidang baik
antara pusat dan daerah maupun atara daerah secara adil dan proporsional
merupakan wujud nyata prinsip pengurangan kesenjangan. Hal ini juga
mencakup upaya menciptakan kesetaraan dalam hukum (equity of the
law) serta mereduksi berbagai perlakuan diskriminatif yang menciptakan
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat.
m) Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup.
Daya dukung lingkungan semakin menurun akibat pemanfaatan yang
tidak terkendali.
24
n) Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pasar. Campur tangan
pemerintah dalam kegiatan ekonomi seringkali berlebihan sehingga
akhirnya membebani anggaran belanja dan bahkan merusak pasar.
Dari ke-14 (empat belas) indikator tersebut, pemerintah harus benar-benar
memastikan keberadaannya sehingga dalam prinsip mewujudkan good
governance bisa tercapai.
4. Tanggung jawab Birokrat
Sebuah penelitian sejak lama telah menunjukan bahwa kecenderungan
untuk merujuk pada prosedur dan kurangnya kreativitas merupakan ciri umum
para pegawai negeri Indonesia. Dengan berpijak pada teori Maslow tentang
tingkatan manusia yang diberi skala antara 1 sampai 12, penelitian ini
menunjukan bahwa “kebutuhan akan rasa aman” dikalangan pegawai
memperoleh skor tertinggi (8,31). Kemudian secara berturut-turut, peringkat
kebutuhan selanjutnya adalah kebutuhan sosial (6,77), kebutuhan
dasar/fisiologis (6,34), kebutuhan aktualisasi diri (4,92), dan terakhir
kebutuhan mengenai harga diri (4,84). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
pada umumnya pegawai negeri mempunyai rasa cemas yang tinggi terhadap
kegagalan dan “ingin merasa aman” dalam melakukan pekerjaannya.
Masalahnya adalah prioritas kepada rasa aman akhirnya membuat para
pegawai takut mengambil resiko, takut bertindak, dan tidak berani melakukan
perubahan yang sebenarnya diperlukan bagi perbaikan organisasi (Ismail
Nurdin, 2017 : 128-129)
25
Dengan demikian, untuk menciptakan good governance yang salah
satunya ditunjukan dengan sistem pelayanan birokrasi pemerintah yang
akuntabel, kesadaran diantara pegawai pemerintah mengenai pentingnya
mengubah citra pelayanan sangat diperlukan. Akuntabilitas (accountability)
adalah suatu derajat yang menunjukan besarnya tanggung jawab aparat atas
kebijakan maupun proses pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi
pemerintah. Dalam hal ini, ada dua bentuk akuntabilitas eksplisit dan
akuntabilitas implisit. Akuntabilitas eksplisit (atau acara konseptual dapat
disebut answerability) adalah pertanggungjawaban seorang pejabat atau
pegawai pemerintah manakala dia diharuskan untuk menjawab atau
menanggung konsekuensi dari cara-cara yang mereka gunakan dalam
melaksanakan tugas-tugas kedinasan. Sedangkan akuntabilitas implisit berarti
bahwa setiap pejabat atau pegawai pemerintah secara implisit
bertanggungjawab atas setiap kebijakan, tindakan atau proses pelayanan
publik yang dilaksanakan.
Termasuk di dalam tanggung jawab implisit yang harus dipikul oleh
setiap pegawai atau pejabat pemerintah ialah menghindari penyakit-penyakit
birokrasi yang senantiasa dikeluhkan oleh masyarakat saat ini, yaitu KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme). Perlu diingat bahwa penyakit KKN dalam
birokrasi publik tidak mungkin dapat diberantas hanya dengan menetapkan
beberapa peraturan perundangan yang mengandung ancaman sanksi hukum
kepada pelaku KKN, (Anggota IKAPI, 2014:98).
26
Berdasarkan teori teori diatas, dalam penelitian ini penulis akan
berusaha mengungkapkan apa sajakah penyebab terjadinya tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintahan dan langkah langkah yang
seharusnya dilakukan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini akan digunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif
dengan metode studi kasus. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan
komperhensif mengenai berbagai aspek individu, suatu kelompok, suatu
organisasi (komunitas), suatu program atau suatu situasi sosial. (Deddy
Mulyana, 2013: 201). Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi,
pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti. Semuanya tidak dapat diukur
dengan angka-angka.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dimana
peneliti berusaha untuk menganilis lebih jauh tentang penyebab korupsi aparat
pemerintahan pelaku korupsi yang telah ditahan di Rumah tahanan Negara
dan lembaga pemasyarakatan di D.I Yogyakarta.
Peneliti akan mengumpulkan data dan menganalisis serta
mendiskripsikan apa saja faktor-faktor yang sebenarnya terjadi pada seorang
individu maupun organisasi dalam melakukan korupsi.
27
2. Obyek dan Subyek Penelitian
Obyek penelitian ini dibatasi pada fokus penyebab aparat pemerintahan
melakukan tindak pidana korupsi, dengan studi kasus pelaku korupsi yang
ditahan di rumah tahanan negara dan lembaga permasyarakatan di wilayah
hukum daerah istimewa Yogyakarta, dengan maksud agar benar benar mampu
menggali penyebab penyebab korupsi yang dilakukan oleh aparat
pemerintahan. Sedangkan yang akan menjadi subyek penelitiannya adalah
orang-orang yang berkaitan dengan judul maupun sub judul serta akan penulis
tulis di dalam informan yang akan diteliti nantinya. Pemilihan subyek pada
penelitian dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki informasi,
pengetahuan, pengalaman dan kompotensi terhadap masalah-masalah yang
akan diteliti. Teknik pemilihan subyek penelitian dilakukan atau informan
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive, dalam hal ini yang akan
dijadikan informan oleh peneliti berjumlah 6 (enam) orang yaitu aparat
pemerintahan pelaku korupsi yang telah ditahan (Narapidana) di rumah
tahanan negara dan lembaga permasyarakatan di DI. Yogyakarta serta Petugas
di lingkungan rumah tahanan negara dan lembaga permasyarakatan di DI.
Yogyakarta .
3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di rumah tahanan negara dan lembaga
pemasyarakatan di DI. Yogyakarta, karena Yogyakarta adalah salah satu
provinsi istimewa yang majemuk masyarakatnya, sehingga penulis anggap
cukup mampu untuk mewakili kondisi Indonesia secara keseluruhan.
28
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi digunakan untuk mencari informasi mengenai kondisi
organisasi atau lingkungan kerja beberapa narapidana. Setiap analisis
kasus mengandung data berdasarkan pengamatan, kesan dan pernyataan
orang lain mengenai kasus tersebut. Maulana, (2013). Peneliti akan
mengetahui atau mendeskripsikan permasalahan yang menyebabkan
narapidana melakukan tindakan korupsi dengan observasi lapangan.
b. Wawancara
Wawancara digunakan untuk mencari informasi awal sebelum melakukan
penelitian lebih lanjut. Wawancara ini berguna sebagai penjejakan awal
dalam penelitian ini. Informasi yang digali berupa bagaimana korupsi
yang dilakukan oleh narapida tersebut serta kondisi narapidana saat
menjalani hukuman. Wawancara tersebut ditujukan kepada narapidana
yang ditahan di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di D.I
Yogyakarta serta petugas Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan
Negara.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan salah satu intrumen dalam melakukan penelitian
yang digunakan, kegunaan dari dokumentasi dimana penulis bisa melihat
kembali foto-foto yang sudah direkam penulis dan dengan hasil
29
dokumentasi tersebut penulis bisa jadikan patokan dalam melakukan
penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan suatu proses pelacakan
dan pengaturan secara sistematis transkip wawancara dan hasil pengamatan di
lapangan. Teknik analisis data agar mudah dipahami pembaca melalui
beberapa tahap, yaitu :
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara. Pada
tahap ini, data-data yangtelah dikumpulkan peneliti akan dibuat dibuatkan
transkipnya. Data-data tersebut akan dibentangkan kedalam tulisan yang
mudah dipahami oleh pembaca. Kemudian data-data tersebut diberikan
kode agar memudahkan peneliti untuk membuat pemetaan informasi
sesuai dengan fokus penelitian.
b. Reduksi data
Mereduksi data atau merangkum data merupakan hal yang wajib
dilakukan. Hal ini memudahkan untuk memilah pokok-pokok persoalan
sesuai dengan fokus penelitian yang peneliti lakukan. Data-data ini
kemudian diberi kode lalu dirangkum oleh penulis untuk menganalisa
lebih jauh.
c. Penyajian data
Data yang telah dikumpulkan akan dibentangkan. Fokus permasalahan
adalah analisis faktor-faktor yang mempengaruhi korupsi di D.I
30
Yogyakarta dengan pusat penelitian di rumah tahanan negara dan lembaga
pemasyarakatan di wilayah hukum DI. Yogyakarta.
d. Penarikan kesimpulan
Pada tahap ini, peneliti akan menarik kesimpulan berdasarkan rumusan
masalah yang telah dibuat sejak awal. Penarikan kesimpulan ini mungkin
bisa menjadi salah satu solusi dalam mengatasi faktor-faktor yang
mempengaruhi korupsi di DI. Yogyakarta.
31
BAB II
DESKRIPSI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN
RUMAH TAHANAN NEGARA
A. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga pemasyarakatan atau LAPAS, yang dahulu lebih dikenal dengan
nama penjara sehingga hingga kini masyarakat masih menyebut LAPAS dengan
sebutan penjara, walaupun perubahan nama tersebut telah berlaku sejak
perubahan sistem perlakuan terhadap pelanggar hukum yang mengacu pada upaya
perbaikan sosial para pelanggar hukum atau dengan kata lain bahwa pelaksanaan
pemasyarakatan bagi warga binaan masyarakat adalah sejalan dengan tujuan
hukum, perubahan tersebut dan kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan yang
diproklamirkan oleh Saharjo selaku Menteri Kehakiman saat itu (Panjaitan dan
Simorangkir, 1995:74).
Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
disebutkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang sering disingkat dengan
LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik
yang selanjutnya disebut warga binaan masyarakat (WBP). Lembaga
pemasyarakatan adalah unit pelaksanaan teknis di jajaran Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan bimbingan
kepada warga binaan pemasyarakatan.
32
Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas
pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut diatas melalui
pendidikan, rehabilitasi, reintegrasi.
Lembaga pemasyarakatan mempunyai peran yang stategis dalam proses
peradilan pidana terpadu dalam hal pembinaan terhadap pelanggar hukum yang
mencapai tujuan pemidanaan, menurut Muladi, tujuan pemidanaan Pencegahan
(umum dan khusus) masyarakat, memlihara solidaritas, adalah untuk
memperbaiki kerusakan individual dan social yang diakibatkan oleh tindak
pidana, hal ini terdiri atas seperangkat tujuan yang merupakan titik berat harus
dipenuhi, dengan catatan tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri atas
pengimbalan/perimbangan (Muladi, 2004: 42).
Tujuan dibentuknya Lembaga Pemasyarakatan adalah dengan menitik
beratkan usahanya kepada pemberian kesempatan kepada Narapidana untuk
menduduki kembali tempatnya di tengah - tengah kehidupan masyarakat sebagai
anggota masyarakat yang berfungsi penuh melalui interaksi yang positif dengan
nilai yang berlaku didalam masyarakat.
Kedudukan, tugas, dan fungsi lembaga pemasyarakatan adalah sebagai
berikut :
a. Lembaga pemasyarakatan untuk selanjutnya disebut LAPAS adalah unit
pelaksana teknis dibidang pemasyarakatan yang berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman.
33
b. LAPAS mempunyai tugas melaksanakan pemasyarakatan.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, LAPAS mempunyai fungsi
sebagai berikut: melakukan pembinaan narapidana/anak didik, melakukan
bimbingan sosial, kerohanian narapidana/anak didik, melakukan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban, melakukan tata usaha dan rumah
tangga.
Berdasarkan pada surat keputusanMenteri Kehakiman Rl No. M-01.-
PR.07.03 Tahun 1985 dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut, lembaga permasyarakatan
diklasifikasikan dalam 3 klas yaitu :
1) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I
2) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas II A
3) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas II B
Klasifikasi tersebut didasarkan atas kapasitas, tempat kedudukan dan
kegiatan kerja. Lembaga Pemasyarakatan menurut Departemen Hukum dan HAM
Rl adalah unit pelaksana teknis (UPT) pemasyarakatan yang menampung,
merawat dan membina narapidana. Sedangkan pengertian Lembaga
Pemasyarakatan menurut kamus bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Lembaga adalah organisasi atau badan yang melakukan suatu
penyelidikan atau melakukan suatu usaha.
b. Pemasyarakatan adalah nama yang mencakup semua kegiatan yang
keseluruhannya dibawah pimpinan dan pemilikan Departemen Hukum
dan HAM, yang berkaitan dengan pertolongan bantuan atau tuntutan
kepada hukuman/bekas tahanan, termasuk bekas terdakwa atau yang
34
dalam tindak pidana diajukan ke depan pengadilan dan dinyatakan ikut
terlibat, untuk kembali ke masyarakat.
Dari uraian di atas, yang dimaksud dengan Lembaga Pemasyarakatan
adalah suatu badan hukum yang menjadi wadah/menampung kegiatan pembinaan
bagi narapidana, baik pembinaan secara fisik maupun pembinaan secara rohaniah
agar dapat hidup normal kembali di tengah masyarakat.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana yang
mempunyai fungsi dan tugas yang sama dengan sub sistem lainnya, sebagai
lembaga pembinaan Lembaga Pemasyarakatan sangat berperan dalam penegakan
dan tata hukum, Lembaga Pemasyarakatan mempunyai posisi yang strategis
dalam merealisasi tujuan akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan
resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penanggulangan kejahatan
(Suppression of crime).
B. Pengertian Rumah Tahanan
Rumah Tahanan Negara yang selanjutnya disebut Rutan adalah tempat
tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan. Di tiap-tiap ibu kota kabupaten/kotamadya
dibentuk Rutan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman No.M.03-
UM.01.06 tahun 1983 tanggal 16 Desember 1983 dengan cara menetapkan
beberapa Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sebagai Rutan dan LP tertentu
disamping tetap sebagai LAPAS, beberapa ruangannya ditetapkan sebagai
Rutan (Peraturan Menteri Hukum dan HAM nomor 6 tahun 2013 tentang Tata
Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Pasal 1 angka
35
2) Secara umum, Rutan dan Lapas adalah dua lembaga yang memiliki fungsi
berbeda. Meski berbeda pada prinsipnya, Rutan dan Lapas memiliki beberapa
kesamaan. Kesamaan antara Rutan dengan Lapas di antaranya, baik Rutan
maupun Lapas merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain
itu, penempatan penghuni Rutan maupun Lapas sama-sama berdasarkan
penggolongan umur, jenis kelamin, dan jenis tindak pidana/kejahatan. Dalam
Pasal 38 ayat (1) jo. Penjelasan PP 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan
KUHAP, Menteri dapat menetapkan Lapas tertentu sebagai Rutan. Kemudian,
dengan adanya Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06
Tahun1983 tentang Penetapan Lapas Tertentu sebagai Rutan, Lapas dapat
beralih fungsi menjadi Rutan, dan begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983, di tiap
kabupaten atau kotamadya dibentuk Rutan. Namun kondisi yang terjadi di
Indonesia adalah tidak semua kabupaten dan kotamadya di Indonesia
memiliki rutan dan Lapas, sehingga Rutan difungsikan pula untuk
menampung narapidana seperti halnya Lapas. Hal ini juga mengingat kondisi
banyak Lapas yang ada di Indonesia, telah melebihi kapasitas, yang
mengakibatkan terdakwa yang telah menjalani hukuman di Rutan, yang
seharusnya pindah dari Rutan untuk menjalani hukuman ke Lapas, banyak
yang tetap berada di dalam Rutan hingga masa hukuman mereka selesai.
Sub-sistem Rutan/Lapas sebagai sub-sistem terakhir mempunyai tugas
untuk melaksanakan pembinaan terhadap terpidana khususnya pidana
36
pencabutan kemerdekaan. Dengan demikian berhasil tidaknya tujuan yang
hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana baik tujuan jangka pendek yaitu
rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, tujuan jangka menengah untuk
menekan kejahatan serta tujuan jangka panjang untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat di samping dipengaruhi oleh sub-sub sistem peradilan pidana
yang lain yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, selebihnya juga sangat
ditentukan oleh pembinaan yang dilakukan Rutan / Lapas sebagai pelaksanaan
pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya pidana penjara. Penghuni
Rutan/Lapas bisa napi atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan juga
yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam
proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.
Golongan orang-orang yang dapat dimasukkan atau ditempatkan di dalam
Rutan / Lapas ialah :
a. Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak kejaksaan;
b. Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak pengadilan;
c. Mereka yang telah dijatuhi hukuman pidana hilang kemerdekaan oleh
pengadilan negeri setempat;
d. Mereka yang dikenakan pidana kurungan;
e. Mereka yang tidak menjalani pidana hilang kemerdekaan, akan tetapi
dimasukkan ke Rutan / Lembaga Pemasyarakatan secara sah.
37
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, di bawah Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta,
terdapat beberapa Rutan dan Lapas, yaitu :
1. LAPAS kelas II A Yogyakarta;
2. LAPAS kelas II B Sleman;
3. LAPAS Narkotika kelas II A Yogyakarta;
4. LAPAS Perempuan kelas II B Yogyakarta;
5. Lembaga Pembinaan Khusus Anak kelas II Yogyakarta;
6. RUTAN kelas II B Bantul;
7. RUTAN kelas II B Wates;
8. RUTAN kelas II B Wonosari.
Di kedelapan LAPAS dan RUTAN tersebut diatas, saat penulis
melakukan penelitian, terdapat 31 (tiga puluh satu) narapidana pelaku korupsi,
namun dari narapidana narapida tersebut hanya 4 (empat) yang merupakan
aparat pemerintahan, 3 (tiga) diantaranya di tahan di LAPAS kelas II A
Yogyakarta dan 1 (satu) di tahan di RUTAN Kelas II B Bantul. Sehingga
sesuai degan pokok pembahasan dalam penulisan ini, yang penulis fokuskan
kepada narapida korupsi yang berasal dari aparat pemerintahan, penulis hanya
melakukan penelitian di kedua tempat tersebut.
Profil dari LAPAS kelas II A Yogyakarta dan RUTAN kelas II B
Bantul sebagai tempat penulis melakukan penelitian adalah sebagai berikut :
38
a. LAPAS kelas II A Yogyakarta.
1. Posisi Organisasi
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta atau lebih
dikenal masyarakat dengan Lapas Wirogunan ini berada di Jalan
Taman Siswa No. 6 Yogyakarta, adapun batas wilayah untuk
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta adalah sebagai
berikut: Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Margoyasan,
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Surokasan, Sebelah Barat
berbatasan dengan Desa Bintaran, Sebelah Timur berbatasan
dengan Jalan Taman Siswa.
Sejarah pasti kapan berdirinya Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Wirogunan Yogyakarta belum diketahui secara pasti
dikarenakan arsip – arsip mengenai kelembagaan tersebut belum
ditemukan. Namun diperkirakan berdirinya lapas ini antara tahun
1910 – 1915. Lapas Kelas II A Wirogunan Yogyakarta merupakan
bangunan peninggalan kolonial Belanda dengan nama awal
Gevangelis En Huis Van Bewaring.
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A telah beberapa kali berganti
nama, dengan nama sebagai berikut :
a. Gevangenis En Huis Van Bevaring;
b. Penjara Belanda;
c. Kepenjaraan DIY;
d. Direktorat Tuna Warga;
39
e. Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta;
f. Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta;
Dasar Hukum yang mendasari berdirinya Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Wirogunan Yogyakarta diantaranya:
a. UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan;
b. Pasal 5 UU No. 12 1995 tentang sistem pembinaan;
c. PP No. 31/1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan;
d. PP No. 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
e. PP No. 57/1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan;
f. Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1999.
2. Visi, Misi dan Tujuan Organisasi
a. Visi
“Mengedepankan Lembaga Pemasyarakatan yang bersih,
kondusif, tertib, dan transparan dengan dukungan petugas yang
berintegritas dan berkompeten dalam pembinaan WBP.”
40
b. Misi
1. Mewujudkan tertib pelaksanaan tupoksi Pemasyarakatan
secara konsisten dengan mengedepankan penghormatan
terhadap hukum dan HAM serta transparansi publik.
2. Membangun kerja sama dengan mengoptimalkan
keterlibatan stake holder dan masyarakat dalam upaya
pembinaan WBP.
3. Mendayagunakan potensi sumber daya manusia petugas
dengan kemampuan penguasaan tugas yang tinggi dan
inovatif serta berakhlak mulia.
c. Tujuan
Tujuan dari Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Yogyakarta
yaitu;
1. Membentuk warga binaan menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
negara yang baik dan bertanggung jawab
2. Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang
ditahan di Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah
Tahanan Negara dalam rangka memperlancar proses