ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI
SALURAN KEMIH DI RAWAT INAP RUMAH SAKIT
AL ISLAM BANDUNG
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Sarjana (S1)
pada Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Al Ghifari
Oleh :
ADI JATNIKA
D1A140927
UNIVERSITAS AL-GHIFARI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FARMASI
BANDUNG
2018
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL : Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik pada
Pasien Infeksi Saluran Kemih di Rumah Sakit Al Islam
Bandung
PENYUSUN : Adi Jatnika
NIM : D1A140927
Setelah membaca skripsi ini dengan seksama, menurut pertimbangan kami telah
memenuhi persyaratan ilmiah sebagai suatu skripsi.
Bandung, Oktober 2018
Pembimbing I
(Yulia Wardati S.Si., Apt., M.M)
Pembimbing II
(Eni Sofiah S.Si., Apt)
KATA PENGANTAR
Bismillaahirahmaanirahiim
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Tanpa
pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda kita Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penyusun dalam
menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Jurusan Farmasi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Al Ghifari. Selain itu, skripsi ini
diharapkan dapat menambah ilmu pembaca dalam bidang farmakoekonomi atau
pun dalam bidang kefarmasian secara umumnya. Skripsi ini disusun oleh penyusun
dengan berbagai macam rintangan. Namun dengan penuh kesabaran dan
pertolongan dari Allah Subhanahu wa ta’ala akhirnya penyusun dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu terlaksananya penyusunan skripsi ini, antara lain
kepada :
1. Bapak Dr. H. Didin Muhafidin, S.I.P.,M.Si, selaku Rektor Universitas Al-
Ghifari.
2. Bapak Ardian Baitariza, M.Si., Apt, selaku Dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Al-Ghifari.
3. Ibu Ginayanti Hadisoebroto,. M.Si., Apt, selaku Ketua Program Studi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Al-Ghifari.
4. Ibu Yulia Wardati, S.Si., Apt., M.M, selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen
Wali Non-Reguler A10 C yang telah membimbing dan memberikan
pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu Eni Sofiah S.Si.,Apt selaku pembimbing II dan Supervisor Farmasi Rawat
Inap Dua Rumah Sakit Al Islam Bandung yang telah membimbing
penyelesaian penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Al-Ghifari Bandung.
7. Kedua orang tua yang dengan kasih sayangnya dan doanya yang tulus dan
segala materi yang telah banyak dikorbankan untuk anak-anaknya, semoga
Allah Subhanahu wa ta’ala membalas semua kebaikannya.
8. Gery, Chandy, Maulana, Rika, Rani, Leni, Shintia, Dora, Rohmat, Yulia Istini,
Prawedyarini selaku teman-teman seperjuangan.
9. Teman-Teman kelas Non-Reguler A10 C dan rekan seperjuangan angkatan
2014 yang telah sama-sama melewati masa-masa kuliah.
Akhir kata, penyusun memohon maaf apabila skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Penyusun membutuhkan kritik dan saran agar penyusunan
selanjutnya dapat lebih baik lagi dan mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan
manfaat sebesar-besarnya kepada pembaca.
Bandung, Oktober 2018
Penyusun
i
ABSTRAK
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi umum yang sering terjadi. Di
Indonesia, jumlah penderita penyakit infeksi saluran kemih mencapai 90-100 kasus
per 100.000 penduduk per tahun. Di Rumah Sakit Al Islam tercatat 304 pasien pada
tahun 2017. Penggunaan antibiotik adalah pilihan utama dalam pengobatan infeksi
saluran kemih. Seftazidim seharusnya lebih baik dibandingkan seftriakson karena
dapat menghambat lebih banyak bakteri dalam aktivitasnya. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik mana yang paling cost
effective pada pasien infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Al Islam Bandung.
Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari data rekam medis pasien pada
tahun 2017. Metode farmakoekonomi yang digunakan adalah Analisis Efektivitas
Biaya (AEB). Hasil uji statistik outcome menunjukan nilai 0,524 dan statistik total
biaya 0,423 yang menunjukan P > 0,05. REB seftazidim adalah sebesar Rp.
416.341, sedangkan seftriakson nilai REB nya adalah Rp. 364.907. Berdasarkan
hasil analisis statistik, seftazidim dan seftriakson tidak memiliki perbedaan baik
dalam segi efektivitas maupun biaya pengobatan.
Kata Kunci : Farmakoekonomi, ISK, Antibiotik.
ii
ABSTRACT
Urinary Tract Infection (UTI) is a common infection that often occurs. In Indonesia,
the number of patients with urinary tract infections reaches 90-100 cases per
100,000 population per year. At Al Islam Hospital there were 304 patients in 2017.
The use of antibiotics is the main choice in the treatment of urinary tract infections.
Seftazidime should be better than ceftriaxone because it can inhibit more bacteria
in its activity. The purpose of this study was to evaluate which antibiotic use is most
cost effective in patients with urinary tract infections at Al Islam Hospital in
Bandung. Retrieval of data was carried out retrospectively from patient medical
record data in 2017. The pharmacoeconomic method used was Cost Effectiveness
Analysis (CEA). The outcome statistical test results show P Value 0.524 and a total
cost statistic 0.423 which shows P > 0.05. ACER ceftazidime is Rp. 416,341, while
the Ceftriaxone is Rp. 364,907. Based on the results of statistical analysis,
ceftazidim and ceftriaxone do not have differences in terms of effectiveness and cost
of treatment.
Keywords : Pharmacoeconomic, UTI, Antibiotic.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi
DAFTAR DIAGRAM ......................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Identifkasi Masalah .............................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
1.4 Kegunaan Penelitian ............................................................................ 4
1.5 Metodologi Penelitian .......................................................................... 5
1.6 Waktu dan Tempat ............................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 6
2.1 Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assesment)........ 6
2.1.1 Pengertian .................................................................................... 6
2.1.2 Intervensi Kesehatan ................................................................... 7
2.1.3 Hubungan antara PTK dan Farmakoekonomi ............................. 7
2.2 Penyakit ............................................................................................... 8
2.2.1 Infeksi Saluran Kemih ................................................................. 8
2.2.2 Epidemiologi ............................................................................... 9
2.2.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih ............................................ 10
2.2.4 Infeksi Saluran Kemih Non Komplikata ................................... 11
2.2.5 Infeksi Saluran Kemih Komplikata ........................................... 12
2.3 Terapi ................................................................................................. 13
2.3.1 Terapi Non Farmakologi ........................................................... 13
2.3.2 Terapi Farmakologi ................................................................... 14
2.4 Penatalaksanaan ................................................................................. 20
2.4.1 Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih Non Komplikata ....... 22
2.4.2 Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih Komplikata ............... 24
iv
Halaman
2.5 Farmakoekonomi ............................................................................... 25
2.5.1 Pengertian .................................................................................. 25
2.5.2 Metode Farmakoekonomi ......................................................... 26
2.5.3 Analisis Efektivitas Biaya ......................................................... 27
2.6 Pustaka Tempat Penelitian ................................................................. 31
2.6.1 Gambaran Umum Rumah Sakit ................................................ 31
2.6.2 Gambaran Umum Instalasi Farmasi Rumah Sakit .................... 34
2.6.3 Rumah Sakit Al Islam Bandung ................................................ 49
2.6.4 Instalasi Farmasi Rumah Sakit Al-Islam Bandung ................... 55
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 57
3.1 Penetapan Kriteria Alternatif ............................................................. 57
3.2 Penetapan Kriteria Populasi ............................................................... 57
3.3 Penetapan Outcome ........................................................................... 57
3.4 Penetapan Perspektif .......................................................................... 63
3.5 Penetapan Komponen Biaya .............................................................. 63
3.6 Analisis Statistik dan Farmakoekonomi ............................................ 63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 65
4.1 Distribusi Populasi dan Sampel ......................................................... 65
4.2 Hasil Penentuan Outcome .................................................................. 69
4.2.1 Penentuan Outcome Setiap Alternatif ....................................... 69
4.2.2 Analisis Statistik Outcome ........................................................ 72
4.3 Hasil Penentuan Biaya ....................................................................... 75
4.3.1 Analisis Biaya Satuan................................................................ 75
4.3.2 Analisis Biaya Total .................................................................. 76
4.3.3 Analisis Statistik Biaya ............................................................. 78
4.4 Rasio Efektivitas Biaya ...................................................................... 79
4.5 Tabel Efektivitas Biaya ...................................................................... 80
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 82
5.1 Simpulan ............................................................................................ 82
5.2 Saran .................................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 83
LAMPIRAN ......................................................................................................... 86
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2. 1 Klasifikasi dan Aktivitas Sefalosporin ................................................. 18
Tabel 2. 2 Antibiotik yang Umum Digunakan pada ISK ...................................... 21
Tabel 2. 3 Metode Analisis Farmakoekonomi ..................................................... 26
Tabel 2. 4 Tabel Efektivitas Biaya ....................................................................... 30
Tabel 2. 5 Personalia Rumah Sakit Al Islam Bandung ......................................... 55
Tabel 4. 1 Distribusi Populasi Berdasarkan Jenis Kelamin ................................. 65
Tabel 4. 2 Distribusi Pasien Berdasarkan Usia .................................................... 67
Tabel 4. 3 Profil Penggunaan Antibiotik Pasien ISK ........................................... 68
Tabel 4. 4 Distribusi Pasien Berdasarkan Lama Perawatan ................................. 69
Tabel 4. 5 Rata-Rata Lama Perawatan Berdasarkan Antibiotik .......................... 70
Tabel 4. 6 Tes Normalitas Outcome ..................................................................... 73
Tabel 4. 7 Uji Homogenitas dan Perbedaan Outcome .......................................... 74
Tabel 4. 8 Harga Satuan Antibiotik....................................................................... 75
Tabel 4. 9 Komponen Biaya Satuan ...................................................................... 76
Tabel 4. 10 Rata-Rata Biaya Antibiotik ............................................................... 76
Tabel 4. 11 Total Biaya Pengobatan .................................................................... 77
Tabel 4. 12 Uji Normalitas Komponen Biaya ....................................................... 78
Tabel 4. 13 Uji Beda Komponen Biaya ................................................................ 79
Tabel 4. 14 Rasio Efektivitas Biaya ..................................................................... 80
Tabel 4. 15 Efektivitas Biaya ............................................................................... 81
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2. 1 Struktur Dasar Sefalosporin ............................................................. 17
Gambar 2. 2 Struktur Kimia Seftazidim ............................................................... 19
Gambar 2. 3 Struktur Kimia Seftriakson............................................................... 20
Gambar 2. 4 Diagram Efektivitas Biaya .............................................................. 31
Gambar 2. 5 Struktur Organisasi IFRS ................................................................. 37
Gambar 4. 1 Struktur Kimia Seftazidim .............................................................. 71
Gambar 4. 2 Struktur Kimia Seftriakson............................................................... 71
vii
DAFTAR DIAGRAM
Halaman
Diagram 4. 1 Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ................................. 65
Diagram 4. 2 Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ................................. 67
Diagram 4. 3 Rata-Rata Lama Perawatan Berdasarkan Antibiotik....................... 70
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN I PRODUK YANG DITELITI ................................................................... 86
LAMPIRAN II ALUR PENELITIAN ............................................................................. 87
LAMPIRAN III SURAT IZIN PENELITIAN ................................................................ 88
LAMPIRAN IV RUMAH SAKIT AL ISLAM BANDUNG .......................................... 89
LAMPIRAN V TOTAL BIAYA PENGOBATAN DENGAN SEFTAZIDIM............... 90
LAMPIRAN VI TOTAL BIAYA PENGOBATAN DENGAN SEFTRIAKSON ........... 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Kemih (ISK) dapat didefinisikan sebagai adanya bakteri
dalam urin dimana bakteri tersebut kemungkinan dapat menyerang jaringan pada
saluran kemih (Dipiro, 2015). Walaupun saluran kemih normalnya bebas dari
pertumbuhan bakteri, bakteri yang umumnya naik dari rektum dapat menyebabkan
terjadinya ISK. Ketika virulensi meningkat atau pertahanan inang menurun, adanya
inokulasi bakteri dan kolonisasi, maka infeksi pada saluran kemih dapat terjadi
(IAUI, 2015). Secara klinis, ISK dikategorikan menjadi ISK komplikasi dan ISK
tanpa komplikasi (Mireles dkk, 2015).
Infeksi Saluran Kemih adalah infeksi umum yang sering terjadi, sekitar
lebih dari 150 juta orang terjangkit ISK diseluruh dunia. Di Amerika Serikat sendiri
pada tahun 2007 terdapat sekitar 10 juta kunjungan rumah sakit dengan ISK
(Mireles dkk, 2015). Di Indonesia, berdasarkan data dari Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit
infeksi saluran kemih mencapai 90 - 100 kasus per 100.000 penduduk per tahun
( Iro, 2017). Prevalensinya sangat bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin,
dimana infeksi saluran kemih lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan
pria karena perbedaan anatomis antara keduanya (Mantu dkk, 2015). Di Rumah
Sakit Al Islam Bandung sendiri, tercatat pada tahun 2017 jumlah kasus ISK
sebanyak 304 pasien dan pada tahun 2016 sebanyak 179 pasien sesuai informasi
2
yang disampaikan oleh Kepala Bagian Rekam Medik Rumah Sakit Al Islam
Bandung.
Secara umum, kasus infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri Gram
negatif ataupun Gram positif, agen penyebab paling banyak kasus infeksi saluran
kemih komplikasi atau tanpa komplikasi adalah Urophatogenic Escherichia coli
(UPEC). Untuk agen yang terlibat dalam ISK tanpa komplikasi, UPEC diikuti oleh
prevalensi Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
aureus dan Candida spp. Untuk ISK komplikasi, agen yang berperan selain UPEC
adalah Enterococcus spp., Klebsiella pneumonia, Candida spp, Staphylococcus
aureus, P. mirabilis dan Pseudomonas aeruginosa (Mireles dkk, 2015). Untuk
mencegah meluasnya infeksi dan mencegah kekambuhan, maka diperlukan
penatalaksanaan terapi yang tepat untuk penanganan ISK.
Penggunaan antibiotik adalah pilihan utama dalam pengobatan infeksi
saluran kemih. Pemakaian antibiotik secara efektif dan optimal memerlukan
pengertian dan pemahaman mengenai bagaimana memilih dan memakai antibiotik
secara benar. Pemilihan berdasarkan indikasi yang tepat, menentukan dosis, cara
pemberian, lama pemberian, maupun evaluasi efek antibiotik (Yunita dkk, 2015).
Berdasarkan panduan praktik klinik Komite Medik Rumah Sakit Al Islam Bandung,
antibiotik yang menjadi pilihan terapi untuk infeksi saluran kemih adalah golongan
sefalosporin spektrum luas seperti seftriakson dan seftazidim.
Antibiotik golongan sefalosporin adalah golongan antibiotik yang umum
digunakan di Indonesia. Antibiotik yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk
obat generik, obat merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam
3
perlindungan hak paten (obat paten). Harga antibiotik pun sangat beragam. Harga
antibiotik dengan kandungan yang sama bisa berbeda 100 kali lebih mahal
dibanding generiknya. Setepat apapun antibiotik yang diresepkan apabila jauh dari
tingkat kemampuan keuangan pasien tentu tidak akan bermanfaat. Pemilihan
antibiotik harus berdasar pada cost effective dan keamanannya untuk pasien
(Permenkes, 2011).
Berdasarkan dasar pemilihan antibiotik diatas, maka perlu dilakukan upaya
peningkatan efisiensi guna mencapai efektivitas biaya (cost-effectiveness) setinggi
mungkin, yang ditunjukkan dengan perolehan hasil terbaik dengan biaya terendah.
Guna mencapai hasil terbaik dengan biaya terendah perlu digunakan kaidah
farmakoekonomi sebagai alat bantu. Dalam penyusunan Daftar Obat Esensial
Nasional (DOEN) atau Formularium Rumah Sakit, misalnya untuk pemilihan jenis
obat yang akan dimasukkan ke dalamnya perlu dilakukan pembandingan efektivitas
terapi, termasuk frekuensi manfaat dan efek samping yang tidak diinginkan dari dua
atau lebih obat yang berbeda, sekaligus biaya (dalam unit moneter) yang diperlukan
untuk satu periode terapi dari masing-masing obat tersebut (Kemenkes, 2013).
Salah satu metode farmakoekonomi yang banyak digunakan adalah Analisis
Efektivitas Biaya. Analisis Efektivitas Biaya (AEB) cukup sederhana dan banyak
digunakan untuk kajian farmakoekonomi untuk membandingkan dua atau lebih
intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda (Kemenkes, 2013).
Dalam penelitian yang berjudul Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan
Antibiotik pada Pasien Infeksi Saluran Kemih di Rumah Sakit Al Islam Bandung
ini, akan membandingkan dua kriteria alternatif yaitu seftazidim dan seftriakson
4
dengan menggunakan metode Analisis Efektivitas Biaya, untuk mengetahui
antibiotik mana yang paling cost effective untuk terapi infeksi saluran kemih di
Rumah Sakit Al Islam Bandung.
1.2 Identifkasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan yaitu antibiotik manakah yang paling cost effective pada pasien
infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Al Islam Bandung.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik
mana yang paling cost effective pada pasien infeksi saluran kemih di Rumah Sakit
Al Islam Bandung.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Untuk Diri Sendiri
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti dalam bidang
kefarmasian khususnya dalam bidang farmakoekonomi.
2. Untuk Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi antibiotik mana yang paling
cost effective pada terapi infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Al Islam
Bandung.
3. Untuk Pasien
Diharapkan pasien mendapat pengobatan yang paling cost effective sehingga
5
terhindar dari pengeluaran biaya yang lebih besar untuk pengobatannya.
1.5 Metodologi Penelitian
1. Penetapan Kriteria Alternatif
2. Penetapan Kriteria Populasi
3. Penetapan Outcome
4. Penetapan Perspektif
5. Penetapan Komponen Biaya
6. Analisis Statistik dan Farmakoekonomi
1.6 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Al Islam Bandung Periode
Agustus sampai dengan Oktober 2018.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assesment)
2.1.1 Pengertian
Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assesment) dalam
program Jaminan Kesehatan Nasional (PTK-JKN) merupakan analisis kebijakan
yang dilakukan secara sistematis dengan pendekatan multidisiplin untuk menilai
dampak penggunaan teknologi kesehatan. Proses Penilaian Teknologi Kesehatan
(PTK) meliputi aspek klinis, epidemiologi, statistika, ekonomis, sosial, budaya,
etika, politik, dan agama (Permenkes, 2017).
PTK-JKN dalam program JKN merupakan bagian dari upaya kendali mutu
dan kendali biaya sebagaimana diamanahkan dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan pada Pasal 43, bahwa “Dalam rangka menjamin kendali
mutu dan dan kendali biaya Menteri Kesehatan bertanggung jawab untuk penilaian
teknologi kesehatan”. Komite PTK dibentuk dengan Keputusan Menteri Kesehatan
yang terdiri dari unsur Kementrian Kesehatan, akademisi, praktisi di bidang klinis
dan ekonomi kesehatan (Permenkes, 2017).
Komponen penting dalam PTK adalah assesment teknologi kesehatan dan
appraisal hasil assesment teknologi kesehatan. Assesment teknologi kesehatan
dilakukan oleh tenaga teknis komite PTK/agen/tim/unit PTK dan appraisal
dilakukan oleh Komite PTK (Permenkes, 2017).
7
Assesment dilakukan melalui studi kuantitatif atau kualitatif, berupa
evaluasi efektivitas klinis, evaluasi ekonomi, analisis dampak terhadap anggaran,
maupun analisis tematik/isi. Appraisal dilakukan untuk menelaah hasil assesment
teknologi kesehatan sehingga menghasilkan rekomendasi kebijakan (Permenkes,
2017).
2.1.2 Intervensi Kesehatan
Intervensi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kesehatan
(misalnya, melalui pemberian obat atau perawatan kesehatan) dan perilaku
kesehatan yang baik seperti olahraga atau menghindari perilaku kesehatan yang
buruk antara lain merokok, menggunakan obat-obatan terlarang, mengkonsumsi
alkohol secara berlebihan (Kemenkes, 2013).
2.1.3 Hubungan antara PTK dan Farmakoekonomi
Salah satu komponen yang penting dalam PTK adalah evaluasi ekonomi
yang dapat membantu para penentu kebijakan untuk memutuskan apakah suatu
teknologi kesehatan layak untuk dimasukkan ke dalam paket manfaat yang dijamin
oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ataukah tidak (Kemenkes, 2017).
Evaluasi ekonomi, seringkali disebut sebagai evaluasi efisiensi ekonomi,
memberikan informasi penting kepada para penentu kebijakan, dan ingin menjawab
pertanyaan apakah suatu prosedur, layanan, atau program memiliki nilai lebih
(worth doing) dibanding dengan alternatif lain dalam pemanfaatan sumber daya
yang terbatas (Kemenkes, 2017).
Evaluasi ekonomi digunakan dalam PTK dengan maksud membantu me-
mutuskan apakah suatu teknologi kesehatan (yang dapat berupa obat, prosedur, alat
8
kedokteran, dan lainnya) memiliki value for money, untuk menjadi pertimbangan
masuk dalam paket manfaat yang dijamin oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial
(BPJS) bagi teknologi yang baru (disebut investment), atau dikeluarkan dari paket
manfaat bagi teknologi kesehatan yang sudah dijamin (disinvestment) (Kemenkes,
2017).
Dalam hal ini, farmakoekonomi merupakan alat penting untuk mengetahui
outcome atau dampak pengobatan dan intervensi pelayanan kesehatan sehingga
farmakoekonomi merupakan pendekatan penting untuk melakukan pemilihan
secara rasional dan cost effective suatu intervensi produk farmasi (Budiharto, 2008).
2.2 Penyakit
2.2.1 Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) didefinisikan sebagai kehadiran
mikroorganisme di urin yang tidak dapat diperhitungkan sebaagai kontaminasi.
Organisme memiliki potensi untuk menyerang jaringan saluran kemih pada struktur
yang berdekatan (Dipiro, 2015). Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan suatu
respon inflamasi dari sel uroepitelium yang disebabkan adanya invasi bakteri yang
ditandai dengan bakteriuria dan leukosituria (Saraswati dkk, 2018).
Walaupun saluran kemih normalnya bebas dari pertumbuhan bakteri,
bakteri yang umumnya naik dari rektum dapat menyebabkan terjadinya ISK. Ketika
virulensi meningkat atau pertahanan inang menurun, adanya inokulasi bakteri dan
kolonisasi, maka infeksi pada saluran kemih dapat terjadi (IAUI, 2015).
9
Secara umum, kasus infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri Gram
negatif ataupun Gram positif, agen penyebab paling banyak kasus infeksi saluran
kemih komplikasi atau tanpa komplikasi adalah Urophatogenic Escherichia coli
(UPEC). Untuk agen yang terlibat dalam ISK tanpa komplikasi, UPEC diikuti oleh
prevalensi Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
aureus dan Candida spp. Untuk ISK komplikasi, agen yang berperan selain UPEC
adalah Enterococcus spp, Klebsiella pneumonia, Candida spp, Staphylococcus
aureus, P. mirabilis dan Pseudomonas aeruginosa (Ana dkk, 2015).
2.2.2 Epidemiologi
Infeksi Saluran Kemih adalah infeksi umum yang sering terjadi, sekitar
lebih dari 150 juta orang terjangkit ISK diseluruh dunia. Di Amerika Serikat sendiri
pada tahun 2007 terdapat sekitar 10 juta kunjungan rumah sakit dengan ISK (Ana
dkk, 2015). Di Indonesia, berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik
Indonesia tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit infeksi
saluran kemih mencapai 90-100 kasus per 100.000 penduduk per tahun (Iro, 2017).
Prevalensinya sangat bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin,
dimana infeksi saluran kemih lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan
pria karena perbedaan anatomis antara keduanya (Fajrihatin dkk, 2015).
Faktor risiko utama untuk terjadinya ISK meliputi usia, pemasangan kateter,
kandung kemih neurogenik, inkontinensia urin, diabetes, perempuan, gangguan
ginekologi, hipertrofi prostat pada laki-laki dan lain-lain. Faktor risiko sekunder
termasuk dehidrasi, imobilitas, adanya infeksi lain, kolonisasi dengan organisme
yang resisten, serta kebersihan yang buruk. Orang dewasa yang lebih tua, terutama
10
wanita, memiliki risiko tinggi infeksi sekunder setelah terpapar infeksi saluran
kemih (Puca, 2014).
Prevalensi ISK meningkat pada wanita. Kehamilan adalah salah satu faktor
yang meningkatkan resiko ISK karena tekanan rahim pada ureter yang
menyebabkan stasisnya aliran urin, selain itu perubahan respon imun juga terjadi
selama kehamilan normal. Penurunan estrogen diduga sebagai faktor resiko untuk
ISK berulang pada wanita pasca menopouse karena perubahan flora vagina,
diantaranya lactobacilli pelindung digantikan oleh E.coli dan uropatogen lainnya
(Puca, 2014).
Seperti yang dijelaskan Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), pasien
berjenis kelamin laki-laki juga rentan terserang infeksi saluran kemih. Seperti pada
kasus infeksi saluran kemih komplikata, dimana terjadi abnormalitas struktural atau
fungsional saluran genitourinari atau adanya penyakit dasar yang mengganggu
mekanisme pertahanan diri individu. Pada kondisi gangguan urologi, seperti
misalnya Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), pasien laki-laki lanjut usia sangat
mungkin menderita infeksi saluran kemih, atau kondisi lain seperti batu ginjal,
diabetes melitus dan gagal ginjal sering kali menjadi penyebab ISK, dimana tidak
hanya pasien berjenis kelamin wanita saja yang rentan, namun juga pasien berjenis
kelamin laki-laki (IAUI, 2015).
2.2.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih
ISK dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala klinis, hasil pemerikasaan
laboratorium, dan penemuan mikrobiologis. Secara praktis, ISK dibagi menjadi
ISK Non Komplikata, ISK Komplikata dan Sepsis. Tujuan umum klasifikasi ini
11
adalah agar para klinisi dan peneliti mempunyai suatu alat dan nomenklatur yang
terstandarisasi tentang ISK. Panduan yang ada saat ini, merangkum klasifikasi ISK
berdasarkan (IAUI, 2015) :
1. Infeksi sesuai dengan level anatomis yaitu uretra (uretritis), kandung kencing
(sistitis), ginjal (pyelonefritis), darah/sistemik (sepsis).
2. Tingkat keparahan infeksi.
3. Faktor risiko yang mendasari.
4. Temuan mikrobiologi.
Gejala-gejala, tanda-tanda dan hasil pemeriksaan laboratorium dititik
beratkan pada level anatomis dan derajat keparahan infeksi. Analisis faktor risiko
berperanan untuk mendefinisikan terapi tambahan yang diperlukan (misalnya
drainase) (IAUI, 2015).
2.2.4 Infeksi Saluran Kemih Non Komplikata
Yang dimaksud dengan ISK non komplikata adalah ISK yang terjadi pada
orang dewasa, termasuk episode sporadik, episode sporadik yang didapat dari
komunitas, dalam hal ini sistitis akut dan pielonefritis akut pada individu yang
sehat. Fakor risiko yang mendasari ISK jenis ini adalah faktor risiko yang tidak
diketahui, infeksi berulang dan faktor risiko diluar traktus urogenitalis. ISK ini
banyak diderita oleh wanita tanpa adanya kelainan struktural dan fungsional di
dalam saluran kemih, maupun penyakit ginjal atau faktor lain yang dapat
memperberat penyakit. Pada pria ISK non komplikata hanya terdapat pada sedikit
kasus. Berdasarkan level anatomis, ISK non komplikata terdiri dari (IAUI, 2015) :
12
1. Sistitis Non Komplikata
Sistitis adalah infeksi kandung kemih dengan sindroma klinis yang terdiri
dari disuria, frekuensi, urgensi dan kadang adanya nyeri pada suprapubik. Gejala
iritatif berupa disuria, frekuensi, urgensi, berkemih dengan jumlah urin yang
sedikit, dan kadang disertai nyeri supra pubis. Sistitis ditandai dengan adanya
leukosituria, bakteriuria, nitrit, atau leukosit esterase positif pada urinalisis. Bila
dilakukan pemeriksaan laboratorium, kultur urin menunjukan nilai positif.
2. Pielonefritis Akut Non Komplikata
Pielonefritis akut non komplikata adalah infeksi akut pada parenkim dan
pelvis ginjal dengan sindroma klinis berupa demam, menggigil dan nyeri pinggang
yang berhubungan dengan bakteriuria dan piuria tanpa adanya faktor risiko. Faktor
resiko yang dimaksud adalah kelainan struktural dan fungsional saluran kemih atau
penyakit dasar yang dapat meningkatkan resiko infeksi atau kegagalan terapi
antibiotika. Pielonefritis akut ditandai oleh menggigil, demam (>38oC), nyeri pada
daerah pinggang yang diikuti dengan bakteriuria dan piuria yang merupakan
kombinasi dari infeksi bakteri akut pada ginjal.
2.2.5 Infeksi Saluran Kemih Komplikata
Infeksi saluran kemih komplikata adalah sebuah infeksi yang diasosiasikan
dengan suatu kondisi, misalnya abnormalitas struktural atau fungsional saluran
genitourinari atau adanya penyakit dasar yang mengganggu dengan mekanisme
pertahanan diri individu, yang meningkatkan risiko untuk mendapatkan infeksi atau
kegagalan terapi. Infeksi saluran kemih komplikata disebabkan oleh bakteri dengan
spektrum yang lebih luas dibandingkan infeksi saluran kemih non komplikata dan
13
lebih sering resisten terhadap antimikroba. Berkenaan dengan prognosis dan studi
klinis pasien. Pasien ISK komplikata dikelompokkan menjadi dua (IAUI, 2015) :
1. Pasien dengan faktor komplikasi dapat dihilangkan oleh terapi seperti ekstraksi
batu dan melepas kateter.
2. Pasien dimana faktor komplikasi tidak bisa atau tidak dapat dihilangkan dengan
terapi, seperti penggunaan kateter menetap, sisa batu setelah tindakan atau
Neurogenic Bladder.
Faktor risiko terjadinya ISK komplikata antara lain Penggunaan kateter,
splint, stent, atau kateterisasi kandung kemih berkala, residual urin >100ml,
obstruksi saluran kemih atas maupun bawah, refluks vesikoureteral, diversi saluran
kemih, kerusakan urotelium karena kimia ataupun radiasi, ISK yang terjadi saat
pre/post tindakan, contoh transplantasi ginjal. Kondisi khusus yang berkaitan
dengan ISK Komplikata yaitu batu saluran kemih, penggunaan kateter, Adult
Polycystic Kidney Diseases (APCKD), nefritis bakterial, abses renal/perinefrik,
pielonefritis emfisematus, transplantasi ginjal (IAUI, 2015).
2.3 Terapi
2.3.1 Terapi Non Farmakologi
Dalam penatalaksanaannya, terapi untuk ISK memang lebih banyak
menggunakan terapi farmakologi dibanding dengan non farmakologi. Hal ini
disebabkan faktor dasar penyebab ISK itu sendiri dimana penyebab utamanya
adalah bakteri, sehingga penatalaksanaannya lebih banyak menggunakan
antibiotik. Berikut ini adalah beberapa terapi non farmakologi yang bisa diberikan
pada penderita ISK seperti memperbanyak minum air putih, mengkonsumsi vitamin
14
C karena dapat mengurangi jumlah bakteri dalam urin, memberikan kompres
hangat dengan bantal elektrik khusus atau botol berisi air panas pada bagian
abdomen untuk mengurangi rasa tegang pada kandung kemih (Nurarif, 2015).
2.3.2 Terapi Farmakologi
Pemberian obat yang mungkin diberikan pada pasien ISK adalah analgetik,
antiemetik dan antibiotik. Analgetik seperti natrium diklofenak dapat digunakan
untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri pada suprapubik bawah (perut
awah) dan nyeri pinggang yang seringkali menyertai pasien ISK. Sebagian besar
pasien ISK juga mengalami gejala mual, muntah, lemas, hilang nafsu makan, untuk
mengatasi mual dan muntah dapat diberikan antiemetik seperti domperidon
(Musdalipah, 2018).
Pada dasarnya, penggunaan antibiotik adalah pilihan utama dalam
pengobatan infeksi saluran kemih. Pemakaian antibiotik secara efektif dan optimal
memerlukan pengertian dan pemahaman mengenai bagaimana memilih dan
memakai antibiotik secara benar. Pemilihan berdasarkan indikasi yang tepat,
menentukan dosis, cara pemberian, lama pemberian, maupun evaluasi efek
antibiotik (Yunita dkk, 2015).
1. Pengertian Antibiotik
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan dari fungi dan bakteri yang
mempunyai khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan
toksisitasnya pada manusia relatif kecil. Obat yang digunakan untuk membasmi
mikroba harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin di mana obat
15
tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk
hospes (Indijah, 2016).
2. Aktivitas dan Spektrum
Berdasarkan aktivitasnya, ada antibiotik yang bersifat menghambat
pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik, dan ada pula yang
bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Antimikroba
tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila
kadarnya ditingkatkan. Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotik dapat
digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu (Indijah, 2016) :
A. Antibiotik yang berspektrum sempit : hanya efektif untuk jenis bakteri Gram
positif atau negatif saja. Contoh penisilin G, penisilin V, eritomisin, klindamisin,
kanamisin, dan asam fusidat efektif terutama terhadap bakteri Gram positif saja,
sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin B, dan asam nalidiksat khusus
terhadap kuman Gram negatif.
B. Antibiotik yang berspektrum luas : efektif untuk berbagai jenis mikroba. Contoh
tetrasiklin aktif terhadap beberapa jenis bakteri Gram positif, Gram negatif,
Rickettsia, dan Chlamydia.
Walaupun suatu antimikroba berspektrum luas, efektivitas klinisnya belum
tentu seluas spektrumnya karena efektivitas maksimal diperoleh dengan
menggunakan obat terpilih untuk menghadapi infeksi yang sedang dihadapi. Di
samping itu, antimikroba berspektrum luas cenderung menyebabkan super infeksi
oleh kuman yang resisten (Indijah, 2016).
16
3. Mekanisme Kerja
Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu
(Permenkes, 2011) :
A. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta-laktam
(penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase),
basitrasin, dan vankomisin.
B. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein, misalnya aminoglikosid
kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin),
klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.
C. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya
trimetoprim dan sulfonamid.
D. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon,
nitrofurantoin.
4. Antibiotik Betalaktam
Antibiotik beta laktam terdiri dari berbagai golongan yang mempunyai
struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin, monobaktam,
karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam
umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme Gram-
positif dan Gram negatif. Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis dinding sel
bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu
heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri
(Permenkes, 2011).
17
A. Sefalosporin
Gambar 2. 1
Struktur Dasar Sefalosporin
Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremomium yang
diisolasi pada tahun 1948 oleh brotzu. Inti dasar sefalosporin C ialah asam 7-amino-
sefalosporanat (7-ACA : 7-aminocephalosperinic acid) yang merupakan komplek
cincin dihidrothiazin dan cincin betalaktam. Sefalosporin C resisten terhadap
penisilase, tetapi dirusak oleh sefaloporinase. Hidrolisis asam sefalosporin C
menghasilkan 7-ACA yang kemudian dapat dikembangkan menjadi berbagai
macam antibiotik sefaslosporin. Modifikasi R1 pada posisi 7 cincin betalaktamase
berhubungan dengan aktivitas antimikrobanya, sedangkan subtitusi R2 pada posisi
3 cincin dihidrothiazin mempengaruhi farmakokinetiknya (FKUI, 2016).
Sumber : Wikipedia.com
18
Tabel 2. 1
Klasifikasi dan Aktivitas Sefalosporin
Generasi Antibiotik Aktivitas
I
Sefaleksin,sefalotin,
sefazolin,sefradin,
sefadroksil.
Antibiotik yang efektif terhadap Gram-
positif dan memiliki aktivitas sedang
terhadap Gram-negatif.
II
Sefaklor,sefamandol,
sefuroksim,sefoksitin,
sefotetan, sefmetazol,
sefprozil.
Aktivitas antibiotik Gram-negatif yang
lebih tinggi dari pada generasi-I.
III
Sefotaksim,seftriakson
,seftazidim, sefiksim,
sefoperazon,seftizoksi
m,sefpodoksim.
Aktivitas kurang aktif terhadap kokus
Gram-postif dibanding generasi-I, tapi
lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae,
termasuk strain yang memproduksi beta-
laktamase. Seftazidim dan sefoperazon
juga aktif terhadap P.aeruginosa, tapi
kurang aktif dibanding generasi-III
lainnya terhadap kokus Gram-positif.
IV Sefepim, sefpirom Aktivitas lebih luas dibanding generasi-III
dan tahan terhadap beta-laktamase.
Sumber : Katzung, 2015
19
a. Seftazidim
Gambar 2. 2
Struktur Kimia Seftazidim
Seftazidim memiliki aktivitas terhadap sebagian besar komunitas patogen
Gram negatif dan Pseudomonas aeruginosa. Seftazidim telah efektif dalam
mengobati meningitis yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Seftazidim
dapat menginduksi produksi sefalosporinase tingkat tinggi di antara kebanyakan
patogen Gram-negatif nosokomial, termasuk Serratia, Pseudomonas,
Acinetobacter, Citrobacter, dan Enterobacter. Penggunaannya telah menurun
karena potensinya yang lebih besar untuk menginduksi resistensi daripada
cefepime. Waktu paruhnya 1,4 hingga 2,1 jam yang memungkinkan pemberian
dosis setiap 8 jam. Seftazidim kebanyakan dieksresi oleh ginjal (Harrison, 2008).
Sumber : Drugbank.com
20
b. Seftriakson
Gambar 2. 3
Struktur Kimia Seftriakson
Seftriakson adalah bakterisida untuk patogen Gram negatif, khususnya
semua H influenzae (termasuk strain penghasil beta-laktamase), M catarrhalis,
kebanyakan E coli, Klebsiella pneumoniae, Morganella, Neisseria, Proteus, dan
Enterobacter sp; Serratia marcescens. dan Acinetobacter sp Seftriakson juga aktif
terhadap semua grup A dan grup B streptococci dan hampir semua S pneumoniae
(Harrison, 2008).
Seftriakson umumnya juga aktif terhadap Gram positif, tetapi kurang aktif
dibandingkan dengan sefalosporin generasi pertama. Waktu paruhnya mencapai 8
jam. Jumlah seftriakson yang terikat pada protein plasma umumnya sekitar 83-96
%. Pada peningkatan dosis, presentase yang terikat protein menurun cepat.
Seftriakson tersedia dalam bentuk obat suntik 0.25, 0.5 dan 1 g (FKUI, 2016).
2.4 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan ISK adalah untuk memberantas organisme yang
menyerang, mencegah atau mengobati konsekuensi sistemik infeksi, dan mencegah
Sumber : Drugbank.com
21
terulangnya infeksi. Manajemen pasien dengan ISK termasuk evaluasi awal,
pemilihan antibiotik, durasi terapi, dan evaluasi tindak lanjut. Pemilihan awal
antibiotik untuk pengobatan ISK terutama berdasarkan tingkat keparahan dari tanda
dan gejala yang muncul, tempat infeksi, dan apakah infeksi termasuk komplikata
atau non komplikata. Manajemen terapeutik dari ISK paling baik dilakukan dengan
mengelompokkan jenis infeksi sesperti sistitis akut tanpa komplikasi,
asimptomatik bacteriuria, ISK komplikasi, infeksi berulang, atau prostatitis (Dipiro,
2015).
Tabel 2. 2
Antibiotik yang Umum Digunakan pada ISK
Drug Brand Name Adverse Drug Reactions
Oral Theraphy
Trimethoprim–
sulfamethoxazole
Bactrim
Septra
Rash, Stevens–Johnson
Syndrome, renal failure,
photosensitivity,
hematologic (neutropenia,
anemia, etc.)
Nitrofurantoin Macrobid GI intolerance, neuropathies,
and pulmonary reactions
Fosfomycin Monurol Diarrhea, headache, and
Angioedema
Fluoroquinolones
Ciprofloxacin
Levofloxacin
Cipro
Levaquin
Hypersensitivity, photosensitivity,
GI symptoms,
dizziness, confusion, and
tendonitis (black box
warning)
Penicillins
Amoxicillin–
clavulanate
Augmentin Hypersensitivity (rash,
anaphylaxis), diarrhea,
superinfections, and
seizures
22
Cephalosporins
Cefdnir
Cefpodoximeproxetil
Omnicef
Vantin
Hypersensitivity (rash,
anaphylaxis), diarrhea,
superinfections, and
seizures
Parenteral Theraphy
Aminoglycosides
Gentamicin
Tobramycin
Amikacin
Garamycin
Nebcin
Amikin
Ototoxicity, nephrotoxicity
Penicillins
Ampicillin–
sulbactam
Piperacillin–
tazobactam
Unasyn
Zosyn
Hypersensitivity (rash,
anaphylaxis), diarrhea,
superinfections, and
seizures
Cephalosporins
Ceftriaxone
Ceftazidime
Cefepime
Rocephin
Fortaz
Maxipime
Hypersensitivity (rash,
anaphylaxis), diarrhea,
superinfections, and
seizures
Carbapenems/Monob
actams
Imipenem–cilistatin
Meropenem
Doripenem
Ertapenem
Aztreonam
Primaxin
Merrem
Doribax
Invanz
Azactam
Hypersensitivity (rash,
anaphylaxis), diarrhea,
superinfections, and
seizures
Fluoroquinolones
Ciprofloxacin
Levofloxacin
Cipro
Levaquin
Hypersensitivity,
photosensitivity, GI symptoms,
dizziness, confusion,
and tendonitis (black box
warning)
Sumber : Pharmachotherapy Handbook Ninth Edition
2.4.1 Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih Non Komplikata
Infeksi pada ISK non komplikata terutama disebabkan oleh E. coli, terapi
antimikroba harus diarahkan terhadap organisme yang menjadi penyebab. Karena
organisme penyebab dan kerentanan umumnya sudah diketahui, untuk
23
mengefektifkan biaya dianjurkan terapi yang mencakup urinalisis dan inisiasi terapi
empiris tanpa kultur urin (Dipiro, 2015).
Pilihan antibiotik untuk terapi sebaiknya dengan panduan pola resistensi
kuman dan uji sensitivitas antibiotik di rumah sakit atau klinik setempat,
tolerabilitas obat dan reaksi negatif, efek ekologi negatif, biaya, dan ketersediaan
obat. Lama pemberian antibiotik tergantung dari obat yang digunakan dan berkisar
dari 1-7 hari. Terapi antibiotik jangka pendek dapat dipikirkan untuk terapi sistitis
non komplikata pada kehamilan. Secara umum terapi sistitits pada kehamilan dapat
diberikan penisilin, sefalosporin, fosfomisin, nitrofurantoin (tidak boleh pada masa
akhir kehamilan), trimethoprim (tidak boleh pada masa awal kehamilan), dan
sulfonamide (tidak boleh pada masa akhir kehamilan). Terapi sistitis pada pria
direkomendasikan paling sedikit selama 7 hari, dengan pilihan antibiotik
trimetoprim-sulfametoksazol atau florokuinolon, dengan catatan ada uji
sensitivitas. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal tidak perlu dosis penyesuaian
sampai dengan gromerulus filtration rate < 20 ml/menit, kecuali antibiotik dengan
potensi nefrotoksik seperti aminoglikosida. Untuk pyelonefritis non komplikata,
waktu pemberian antibiotika berkisar antara 10-14 hari, sementara pilihan
antibiotika disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemberian antibiotika juga harus
memperhatikan pola resistensi kuman dan uji sensitivitasnya. Apabila respon klinik
buruk setelah 48-72 jam terapi, perlu dilakukan re-evaluasi bagi adanya faktor
pencetus komplikasi dan efektivitas obat, serta dipertimbangkan perubahan obat
atau cara pemberiannya (IAUI, 2015).
24
2.4.2 Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih Komplikata
Tujuan terapi infeksi salurah kemih komplikata adalah tata laksana kelainan
urologi, terapi anti mikroba, dan terapi suportif. Perawatan empiris dari ISK
komplikasi membutuhkan suatu pengetahuan tentang patogen penyebab dan pola
resistensi antibiotik lokal, serta tingkat keparahan dari abnormalitas saluran kemih
(termasuk evaluasi fungsi renal). Pemberian antibiotika empiris berkepanjangan
dapat mengarah terjadinya resistensi antimikroba. Terapi empiris sebaiknya
digantikan terapi sesuai dengan kultur urin, oleh karena itu kultur urin harus
dilakukan sebelum terapi antimikroba dimulai (IAUI, 2015).
Pada pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi, terapi awal adalah
florokuinolon, aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin, atau sefalosporin
spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida. Jika pasien dirawat di rumah sakit
dalam 6 bulan terakhir, memiliki kateter kemih, atau sedang di panti jompo,
kemungkinan infeksi P. aeruginosa dan enterococci, juga organisme multi-resistan
harus dipertimbangkan. Terapi yang dapat diberikan seperti seftazidim, asam
ticarcillin-klavulanat, piperacillin, aztreonam, meropenem, atau imipenem dalam
kombinasi dengan aminoglikosida (Dipiro, 2015).
Pemberian antibiotik selama 7-14 hari umumnya direkomendasikan, tapi
durasi ini harus melihat pada abnormalitas yang terjadi. Terkadang, perpanjangan
hingga 21 hari, menurut situasi klinis dapat dilakukan (IAUI, 2015).
25
2.5 Farmakoekonomi
2.5.1 Pengertian
Setiap institusi pelayanan kesehatan, bahkan semua negara di seluruh dunia,
memiliki keterbatasan sumber daya dan dana yang kebutuhannya terus meningkat,
sumber daya manusia (terutama tenaga ahli), waktu, fasilitas dan peralatan dalam
menjalankan sistem pelayanan kesehatan. Keterbatasan ini memaksa dilakukannya
pemilihan prioritas terhadap teknologi kesehatan, terutama obat, yang digunakan
dan mengalokasikan sumber daya yang tersedia seefisien mungkin, sesuai skala
prioritas yang dibuat secara objektif. Untuk pemilihan obat, faktor efikasi
merupakan salah satu pertimbangan yang penting. Agar tercapai peningkatan
kesehatan yang maksimal di tengah keterbatasan yang ada. Kajian farmakoekonomi
yang mempertimbangkan faktor klinis (efektivitas) sekaligus faktor ekonomi
(biaya) dapat membantu para pengambil kebijakan mendapatkan jawaban obyektif.
Dengan demikian, ilmu farmakoekonomi dapat membantu pemilihan obat yang
rasional, yang memberikan tingkat kemanfaatan paling tinggi (Kemenkes, 2013).
Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi
obat pada sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat. Lebih spesifik, studi
farmakoekonomi adalah proses identifikasi, pengukuran, dan membandingkan
biaya, resiko, dan manfaat dari program, pelayanan, atau terapi dan menentukan
alternatif yang memberikan keluaran kesehatan terbaik untuk sumber daya yang
digunakan. Farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur, dan membandingkan
biaya (sumber daya yang digunakan) dengan konsekuensi (klinik, ekonomik,
humanistik) dari produk dan pelayanan farmasi. Bagi praktisi, diterjemahkan
26
sebagai pertimbangan biaya yang diperlukan untuk mendapatkan produk atau
pelayanan farmasi dibandingkan dengan konsekuensi (outcome) yang diperoleh
untuk menetapkan alternatif mana yang memberikan keluaran optimal per rupiah
yang dikeluarkan. Informasi ini dapat membantu pengambil keputusan klinik dalam
memilih pilihan terapi yang paling cost-effective (Tri Murti, 2013).
2.5.2 Metode Farmakoekonomi
Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis, yang dapat
dilihat pada table 2.3 dibawah. Empat metode analisis ini bukan hanya
mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan,
tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi
prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat
memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien dari
sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya (Kemenkes, 2013).
Tabel 2. 3
Metode Analisis Farmakoekonomi
Metode Analisis Karakteristik Analisis
Analisis Minimalisasi
Biaya (AMiB)
Efek dua intervensi sama (atau setara), valuasi/
biaya dalam rupiah.
Analisis Efektivitas Biaya
(AEB)
Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil
pengobatan diukur dalam unit alamiah / indicator
kesehatan, valuasi / biaya dalam rupiah.
Analisis Utilitas Biaya
(AUB)
Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil
pengobatan dalam quality-adjusted life years
(QALY), valuasi/
biaya dalam rupiah.
Analisis Manfaat Biaya
(AMB)
Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil
pengobatan dinyatakan dalam rupiah, valuasi/biaya
dalam rupiah.
Sumber : Kemenkes 2013
27
2.5.3 Analisis Efektivitas Biaya
Analisis Efektivitas Biaya (AEB) cukup sederhana dan banyak digunakan
untuk kajian farmakoekonomi untuk membandingkan dua atau lebih intervensi
kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda. Dengan analisis yang mengukur
biaya sekaligus hasilnya ini, pengguna dapat menetapkan bentuk intervensi
kesehatan yang paling efisien membutuhkan biaya termurah untuk hasil pengobatan
yang menjadi tujuan intervensi tersebut. Dengan kata lain, AEB dapat digunakan
untuk memilih intervensi kesehatan yang memberikan nilai tertinggi dengan dana
yang terbatas jumlahnya, misalnya (Kemenkes, 2013) :
1. Membandingkan dua atau lebih jenis obat dari kelas terapi yang sama tetapi
memberikan besaran hasil pengobatan berbeda, misalnya dua obat antihipertensi
yang memiliki kemampuan penurunan tekanan darah diastolik yang berbeda.
2. Membandingkan dua atau lebih terapi yang hasil pengobatannya dapat diukur
dengan unit alamiah yang sama, walau mekanisme kerjanya berbeda, misalnya
obat golongan proton pump inhibitor dengan H2 antagonis untuk reflux
oesophagitis parah.
Pada AEB, biaya intervensi kesehatan diukur dalam unit moneter (rupiah)
dan hasil dari intervensi tersebut dalam unit alamiah/indikator kesehatan baik klinis
maupun non klinis (non-moneter). Tidak seperti unit moneter yang seragam atau
mudah dikonversikan, indikator kesehatan sangat beragam mulai dari mmHg
penurunan tekanan darah diastolik (oleh obat antihipertensi), banyaknya katarak
yang dapat dioperasi dengan sejumlah biaya tertentu (dengan prosedur yang
berbeda), sampai jumlah kematian yang dapat dicegah (oleh program skrining
28
kanker payudara, vaksinasi meningitis, dan upaya preventif lainnya). Sebab itu,
AEB hanya dapat digunakan untuk membandingkan intervensi kesehatan yang
memiliki tujuan sama, atau jika intervensi tersebut ditujukan untuk mencapai
beberapa tujuan yang muaranya sama. Jika hasil intervensinya berbeda, misalnya
penurunan kadar gula darah (oleh obat antidiabetes) dan penurunan kadar LDL atau
kolesterol total (oleh obat antikolesterol), AEB tak dapat digunakan. Oleh
pengambil kebijakan, metode kajian farmakoekonomi ini terutama digunakan untuk
memilih alternatif terbaik di antara sejumlah intervensi kesehatan, termasuk obat
yang digunakan, yaitu sistem yang memberikan hasil maksimal untuk sejumlah
dana tertentu (Kemenkes, 2013).
Pada penggunaan metode AEB perlu dilakukan penghitungan rasio biaya
rerata dan rasio inkremental efektivitas-biaya (RIEB = incremental cost-
effectiveness ratio/ICER). Dengan RIEB dapat diketahui besarnya biaya tambahan
untuk setiap perubahan satu unit efektivitas biaya. Selain itu, untuk mempermudah
pengambilan kesimpulan alternatif mana yang memberikan efektivitas-biaya
terbaik, pada kajian dengan metode AEB dapat digunakan tabel efektivitas-biaya.
Dengan menggunakan tabel efektivitas-biaya (tabel 2.4), suatu intervensi kesehatan
secara relatif terhadap intervensi kesehatan yang lain dapat dikelompokkan ke
dalam satu dari empat posisi, yaitu (Kemenkes, 2013) :
1. Posisi Dominan berada pada Kolom G (juga Kolom D dan H)
Jika suatu intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih tinggi dengan
biaya sama (Kolom H) atau efektivitas yang sama dengan biaya lebih rendah
29
(Kolom D), dan efektivitas lebih tinggi dengan biaya lebih rendah (Kolom
G), pasti terpilih sehingga tak perlu dilakukan AEB.
2. Posisi Didominasi berada pada Kolom C (juga Kolom B dan F)
Sebaliknya, jika sebuah intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih
rendah dengan biaya sama (Kolom B) atau efektivitas sama dengan biaya
lebih tinggi (Kolom F), apalagi efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih
tinggi (Kolom C), tidak perlu dipertimbangkan sebagai alternatif, sehingga
tak perlu pula diikutsertakan dalam perhitungan AEB.
3. Posisi Seimbang berada pada Kolom E
Sebuah intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas dan biaya yang
sama (Kolom E) masih mungkin untuk dipilih jika lebih mudah diperoleh
dan/atau cara pemakaiannya lebih memungkinkan untuk ditaati oleh pasien,
misalnya tablet lepas lambat yang hanya perlu diminum 1 x sehari versus
tablet yang harus diminum 3 x sehari, sehingga dalam kategori ini ada faktor
lain yang perlu dipertimbangkan di samping biaya dan hasil pengobatan,
misalnya kebijakan, ketersediaan, aksesibilitas, dan lain-lain.
4. Posisi yang memerlukan pertimbangan efektivitas biaya berada pada Kolom
A dan I
Jika suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih
rendah dengan biaya yang lebih rendah pula (Kolom A) atau, sebaliknya,
menawarkan efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih tinggi,
untuk melakukan pemilihan perlu memperhitungkan RIEB.
30
Tabel 2. 4
Tabel Efektivitas Biaya
Efektivitas-
Biaya
Biaya lebih rendah Biaya sama Biaya lebih tinggi
Efektivitas lebih
rendah
A
(Perlu perhitungan
RIEB)
B
C
(Didominasi)
Efektivitas sama D E F
Efektivitas lebih
tinggi
G
(Dominan)
H
I
(Perlu perhitungan
RIEB)
Sumber : Kemenkes 2013
Alat bantu lain yang dapat digunakan dalam AEB adalah diagram
efektivitas biaya. Suatu alternatif intervensi kesehatan, termasuk obat, harus
dibandingkan dengan intervensi (obat) standar. Menurut diagram ini, jika suatu
intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi tetapi juga membutuhkan
biaya lebih tinggi dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini masuk ke
Kuadran I (Tukaran, Trade-off). Pemilihan intervensi Kuadran I memerlukan
pertimbangan sumber daya (terutama dana) yang dimiliki, dan semestinya dipilih
jika sumberdaya yang tersedia mencukupi. Suatu intervensi kesehatan yang
menjanjikan efektivitas lebih rendah dengan biaya yang lebih rendah dibanding
intervensi standar juga masuk kategori Tukaran, tetapi di Kuadran III. Pemilihan
intervensi alternatif yang berada di Kuadran III memerlukan pertimbangan
sumberdaya pula, yaitu jika dana yang tersedia lebih terbatas. Jika suatu intervensi
31
kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah
dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini masuk ke Kuadran II
(Dominan) dan menjadi pilihan utama. Sebaliknya, suatu intervensi kesehatan yang
menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih tinggi dibanding intervensi
standar, dengan sendirinya tak layak untuk dipilih (Kemenkes, 2013).
Gambar 2. 4
Diagram Efektivitas Biaya
Sumber : Kemenkes 2013
2.6 Pustaka Tempat Penelitian
2.6.1 Gambaran Umum Rumah Sakit
1. Pengertian Rumah Sakit
Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat
menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan (Siregar, 2003).
32
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Permenkes, 2010).
Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit (Permenkes, 2010).
2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Berdasarkan undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal
4 menerangkan bahwa Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna. Selanjutnya dalam pasal 5 untuk
menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit mempunyai
fungsi :
A. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit.
B. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
C. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
D. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
33
3. Klasifikasi Rumah Sakit
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 56
Tahun 2014 pasal 11 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, rumah saki t dibagi
menjadi Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.
A. Rumah Sakit Umum
a. Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 pelayanan medik spesialis dasar, 5 pelayanan
spesialis penunjang medik, 12 pelayanan medik spesialis lain, dan 17 pelayanan
medik sub spesialis, 7 Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.
b . Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 pelayanan medik spesialis dasar, 5 pelayanan
spesialis penunjang medik, minimal 8 dari 13 pelayanan medik spesialis lain,
minimal 2 dari 4 pelayanan medik sub spesialis dasar, 3 Pelayanan medik spesialis
gigi dan mulut.
c. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 pelayanan medik umum, 4 pelayanan medik
spesialis dasar, 3 pelayanan spesialis penunjang, 1 pelayanan medik spesialis gigi
dan mulut.
34
d . Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan 4 pelayanan medik umum, paling sedikit 2 dari 4 pelayanan medik
spesialis dasar dan 2 spesialis penunjang medik.
B. Rumah Sakit Khusus
Rumah Sakit Khusus meliputi Rumah Sakit Khusus ibu dan anak, mata,
otak, gigi dan mulut, kanker, jantung dan pembuluh darah, jiwa, infeksi, paru,
telinga-hidung-tenggorokan, bedah, ketergantungan obat, dan ginjal. Rumah Sakit
Khusus harus mempunyai fasilitas dan kemampuan, paling sedikit meliputi
pelayanan medik, paling sedikit terdiri dari pelayanan gawat darurat, pelayanan
medik umum, pelayanan medik spesialis dasar sesuai dengan kekhususan,
pelayanan medik spesialis dan/atau subspesialis sesuai kekhususan, pelayanan
medik spesialis penunjang.
2.6.2 Gambaran Umum Instalasi Farmasi Rumah Sakit
1. Pengertian Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu bagian/unit/divisi atau
fasilitas di rumah sakit, tempat penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan
kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan rumah sakititu sendiri. Seperti
diketahui, pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan, termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, pengelolaan obat, serta
pengembangan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional. Berdasarkan hal-hal tersebut maka IFRS dapat didefinisikan sebagai
35
suatu departemen atau unit atau bagian di suatu rumah sakit di bawah pimpinan
seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi
persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara
profesional, tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas
seluruh pekerjaan atau pelayanan kefarmasian (Siregar, 2003).
2. Tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Adalah (Siregar, 2003) :
A. Memberi manfaat kepada penderita, rumah sakit, sejawat profesi kesehatan, dan
profesi farmasi oleh apoteker rumah sakit yang kompeten dan memenuhi syarat.
B. Membantu dalam penyediaan perbekalan yang memadai oleh apoteker rumah
sakit yang memenuhi syarat.
C. Menjamin praktik profesional yang bermutu tinggi melalui penetapan dan
pemeliharaan standar etika profesional, pendidikan dan pencapaian, dan melalui
peningkatan kesejahtraan ekonomi.
D. Meningkatkan penelitian dalam praktik farmasi rumah sakit dan dalam ilmu
farmasetik padaa umumnya.
E. Menyebarkan pengetahuan farmasi dengan mengadakan pertukaran informasi
antara apoteker rumah sakit, anggota profesi, dan spesialis yang serumpun.
F. Memperluas dan memperkuat kemampuan apoteker rumah sakit.
G. Meningkatkan pengetahuan dan pengetian praktik farmasi kontemporer bagi
masyarakat.
H. Membantu menyediakan personel pendukung yang bermutu untuk IFRS.
I. Membantu dalam pengembangan proses kefarmasian.
36
3. Tugas dan Tanggung Jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Tugas utama IFRS adalah pengelolaan mulai dari perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung kepada penderita sampai
dengan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan
dalam rumah sakit baik untuk penderita rawat tinggal, rawat jalan maupun untuk
semua unit termasuk poliklinik rumah sakit. Berkaitan dengan pengelolaan tersebut,
IFRS harus menyediakan terapi obat yang optimal bagi semua penderita dan
menjamin pelayanan bermutu tertinggi dan yang paling bermanfaat dengan biaya
minimal (Siregar, 2003).
4. Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
IFRS berfungsi sebagai unit pelayanan dan unit produksi. Unit pelayanan
yang dimaksud adalah pelayanan yang bersifat manajemen (nonklinik) yaitu
pelayanan yang tidak bersentuhan langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan
lain. Pelayanan IFRS yang menyediakan unsur logistik atau perbekalan kesehatan
dan aspek administrasi. IFRS yang berfungsi sebagai pelayanan nonmanajemen
(klinik) pelayanan yang bersentuhan langsung dengan pasien atau kesehatan
lainnya. Fungsi ini berorientasi pasien sehingga membutuhkan pemahaman yang
lebih luas tentang aspek yang berkaitan dengan penggunaan obat dan penyakitnya
serta menjunjung tinggi etika dan perilaku sebagai unit yang menjalankan asuhan
kefarmasian yang handal dan profesional (Rusli, 2016).
5. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Salah satu persyaratan dalam penerapan sistem manajemen mutu
menyeluruh adalah adanya organisasi yang sesuai, yang dapat mengakomodasi
37
seluruh kegiatan pelaksanaan fungsi. IFRS juga harus memiliki suatu organisasi
yang pasti dan sesuai dengan kebutuhan sekarang dan kebutuhan mengakomodasi
perkembangan di masa depan, dan mengikuti visi yang telah ditetapkan pimpinan
rumah sakit (Siregar, 2003).
Struktur organisasi IFRS dan fungsinya adalah sebagai berikut (Rusli,
2016):
Gambar 2. 5
Struktur Organisasi IFRS
A. Kepala IFRS adalah Apoteker yang bertanggung jawab secara keseluruhan
terhadap semua aspek penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dan pengelolaan
sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan di rumah sakit.
B. Panitia Farmasi dan Terapi adalah salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari
IFRS sehingga tidak mempunyai jalur fungsional terhadap IFRS melainkan jalur
koordinasi dan bertanggung jawab kepada pimpinan rumah sakit. Tugas PFT
adalah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan dan pengelolaan
sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan di rumah sakit. Panitia
38
ini terdiri unsur tenaga kesehatan profesional (Dokter, Dokter Gigi, Apoteker,
Ners) sehingga kredibilitas dan akuntabilitas terhadap monitoring dan evaluasi
pelayanan dan pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan
kesehatan dapat dipertanggung jawabkan.
C. Farmasi Klinik membidangi aspek yang menyangkut asuhan kefarmasian
terutama pemantauan terapi obat. Bidang ini membawahi konseling pasien,
pelayanan informasi obat dan evaluasi penggunaan obat baik pasien di ruangan
maupun pasien ambulatory.
D. Logistik mempunyai tugas dalam hal menyiapkan dan memantau perlengkapan
perbekalan kesehatan, perencanaan dan pengadaan, sistem penyimpanan di
gudang, dan produksi obat dalam kapasitas rumah sakit nonsteril dan aseptik.
E. Distribusi mempunyai tugas bertanggung jawab terhadap alur distribusi sediaan
farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan (obat, bahan baku obat, alat
kesehatan dan gas medis) kepada pasien rawat jalan, instalasi rawat darurat,
intensive care unit, kamar operasi, bangsal atau ruangan.
F. Diklat mempunyai tugas dalam memfasilitasi tenaga pendidikan kesehatan dan
non kesehatan yang akan melaksanakan praktek kerja sebagai tuntutan
kurikulum dan melaksanakan pelatihan.
G. Pendidikan dan pelatihan adalah suatu proses atau upaya peningkatan
pengetahuan dan pemahaman di bidang kefarmasian atau bidang yang berkaitan
dengan kefarmasian secara berkesinambungan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan di bidang kefarmasian.
39
H. Pendidikan dan Pelatihan merupakan kegiatan pengembangan sumber daya
manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk meningkatkan potensi dan
produktivitasnya secara optimal, serta melakukan pendidikan dan pelatihan bagi
calon tenaga farmasi untuk mendapatkan wawasan, pengetahuan dan
keterampilan di bidang farmasi rumah sakit.
I. Litbang mempunyai tugas memfasilitasi penelitian dan pengabdian pada
masyarakat.
J. Penelitian yang dilakukan di rumah sakit yaitu : Penelitian farmasetik, termasuk
pengembangan dan menguji bentuk sediaan baru, Formulasi, metode pemberian
(konsumsi) dan sistem pelepasan obat dalam tubuh (Drug Released System).
K. Berperan dalam penelitian klinis yang diadakan oleh praktisi klinis, terutama
dalam karakterisasi terapetik, evaluasi, pembandingan hasil outcome dari terapi
obat dan regimen pengobatan.
L. Penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan, termasuk penelitian
perilaku dan sosioekonomi seperti penelitian tentang biaya keuntungan cost-
benefit dalam pelayanan farmasi.
M. Penelitian operasional operation research seperti studi waktu, gerakan, dan
evaluasi program dan pelayanan farmasi yang baru dan yang ada sekarang.
N. Pengembangan Instalasi Farmasi Rumah Sakit di rumah sakit pemerintah kelas
A dan B (terutama rumah sakit pendidikan) dan rumah sakit swasta sekelas, agar
mulai meningkatkan mutu perbekalan farmasi dan obat-obatan yang diproduksi
serta mengembangkan dan melaksanakan praktek farmasi klinik.
40
O. Pimpinan dan Tenaga Farmasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus berjuang,
bekerja keras dan berkomunikasi efektif dengan semua pihak agar
pengembangan fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang baru itu dapat
diterima oleh pimpinan dan staf medik rumah sakit.
6. Pengelolaan Perbekalan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan
Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan merupakan suatu
siklus kegiatan dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit dalam menyediakan obat, bahan
obat, alat kesehatan, gas medis, yang dimulai dari pemilihan, perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian. Pengelolaan sediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan di rumah sakit merupakan salah satu unsur
penting dalam fungsi pengelolaan rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidak
efisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis
maupun secara ekonomis. Tujuan pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan di rumah sakit adalah agar obat yang diperlukan tersedia setiap saat
dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu yang terjamin dan harga yang
terjangkau untuk mendukung pelayanan yang bermutu (Rusli, 2016).
Evaluasi sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan diperlukan bagi
kegiatan pelayanan kefarmasian dengan tujuan agar diperoleh pengelolaan sediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan yang efektif dan efisien, menerapkan
farmakoekonomi dalam pelayanan farmasi, meningkatkan kompetensi atau
kemampuan tenaga farmasi, mewujudkan sistem informasi manajemen berdaya
guna dan tepat guna serta melaksanakan pengendalian mutu pelayanan farmasi.
41
Diantara proses pengelolaan perbekalan farmasi dan perbekalan kesehatan adalah
sebagai berikut (Rusli, 2016) :
A. Pemilihan Obat
Seleksi atau pemilihan obat merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau
masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk
dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial,
standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan seleksi
obat merupakan peran aktif Panitia Farmasi dan Terapi (PFT).
Pemilihan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai ini
berdasarkan pada formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan
terapi, standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
telah ditetapkan, pola penyakit, efektivitas dan keamanan, pengobatan berbasis
bukti, mutu, harga dan ketersediaan di pasaran.
B. Perencanaaan Obat
Perencanaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka menyusun
daftar kebutuhan perbekalan farmasi yang berkaitan dengan suatu pedoman atas
dasar konsep kegiatan yang sistematis dengan urutan yang logis dalam mencapai
sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Proses perencanaan terdiri dari perkiraan
kebutuhan, menetapkan sasaran dan menentukan strategi, tanggung jawab dan
sumber yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
Perencanaan dilakukan secara optimal sehingga sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan dapat digunakan secara efektif dan efisien. Tujuan
perencanaan adalah untuk menyusun kebutuhan obat yang tepat dan sesuai
42
kebutuhan untuk mencegah terjadinya kekurangan atau kelebihan persediaan
sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan serta meningkatkan penggunaan secara
efektif dan efisien.
C. Pengadaan Obat
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar
mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari
pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan
dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi
kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran.
D. Penyimpanan Obat
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan
sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas
dan keamanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai dengan persyaratan
kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan
stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan
jenis sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan.
E. Pendistribusian Obat
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan
atau menyerahkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan dari tempat
penyimpanan sampai kepada unit pelayanan atau pasien dengan tetap menjamin
mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. IFRS harus menentukan sistem
43
distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian
sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan di unit pelayanan.
7. Panitia Farmasi dan Terapi
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1197
Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, yang dimaksud
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) adalah organisasi yang mewakili hubungan antara
para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang
mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari
Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya.
A. Tujuan Panitia Farmasi dan Terapi
a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat
serta evaluasinya.
b. Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru
yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan.
B. Organisasi dan Kegiatan
a. Susunan kepanitian Panitia Farmasi dan Terapi serta kegiatan yang dilakukan
bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit
setempat.
b. Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga)
Dokter, Apoteker dan Perawat. Untuk rumah sakit yang besar tenaga dokter bisa
lebih dari 3 (tiga) orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang ada.
c. Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dokter yang ada di dalam kepanitiaan
dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka
44
ketuanya adalah ahli farmakologi. Sekertarisnya adalah apoteker dari instalasi
farmasi atau apoteker yang ditunjuk.
d. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2
(dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali.
Rapat Panitia Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakaar-pakar dari dalam
maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan
Panitia Farmasi dan Terapi.
e. Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat Panitia Farmasi dan Terapi
diatur oleh sekretaris, termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat.
f. Membina hubungan kerja dengan panitia di rumah sakit yang sasarannya
berhubungan dengan penggunaan obat.
C. Fungsi dan Ruang Lingkup
a. Mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan merevisinya. Pemilihan obat
untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara
subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus
meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama.
b. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak
produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis.
c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang termasuk
dalam kategori khusus.
d. Membantu instalasi farmasi 'dalam mengembangkan tinjauan terhadap
kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di
rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional.
45
e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan mengkaji
medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi. Tinjauan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus menerus penggunaan obat secara
rasional.
f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.
g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis
dan perawat.
D. Kewajiban Panitia Farmasi dan Terapi
a. Memberikan rekomendasi pada Pimpinan rumah sakit untuk mencapai budaya
pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional.
b. Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah
sakit, pedoman penggunaan antibiotika dan lain-lain.
c. Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat
terhadap pihak-pihak yang terkait.
d. Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan
umpan balik atas hasil pengkajian tersebut.
8. Seleksi Obat
Seleksi merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan
yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis,
menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi
sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan seleksi obat
merupakan peran aktif apoteker dalam panitia farmasi dan terapi untuk menetapkan
kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian (Satibi, 2014).
46
Tujuan seleksi obat yaitu adanya suplai yang menjadi lebih baik, pemakaian
obat lebih rasional, dilihat dari biaya pengobatan lebih terjangkau atau rendah.
Dalam hal ini ada dampak dari seleksi obat yaitu tingginya kualitas perawatan
(Quality of care) dan biaya pengobatan lebih efektif (Satibi, 2014).
Kriteria seleksi obat pada pengelolaan di rumah sakit (Satibi, 2014) :
A. Dibutuhkan oleh sebagian besar populasi.
B. Berdasar pola prevalensi penyakit (10 penyakit terbesar).
C. Aman dan manjur yg didukung dg bukti ilmiah.
D. Mempunyai manfaat yg maksimal dg risiko yg minimal termasuk mempunyai
rasio manfaat-biaya yg baik.
E. Mutu terjamin.
F. Sedapat mungkin sediaan tunggal.
Dalam hal seleksi obat, pemerintah juga melakukan seleksi obat untuk obat
esensial nasional yang dimuat dalam Daftar Obat Esensial Negara (DOEN). Obat
esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan,
mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan
tersedia di fasilitas kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya (Kepmenkes,
2013). Kriteria pemilihan obat esensial berdasarkan Keputusa Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 312 Tahun 2013 adalah sebagai berikut :
A. Memiliki rasio manfaat-resiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan
penderita.
B. Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas.
C. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan.
47
D. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga,
sarana, dan fasilitas kesehatan.
E. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita.
F. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan
biaya langsung dan tidak langsung.
G. Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa,
pilihan dijatuhkan pada :
a. Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah.
b. Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan.
c. Obat yang stabilitasnya lebih baik.
d. Mudah diperoleh.
e. Obat yang telah dikenal.
H. Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut :
a. Obat hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk kombinasi tetap.
b. Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi
daripada masing-masing komponen.
c. Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang
tepat untuk sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi tersebut.
d. Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio).
e. Untuk antibiotik kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi
terjadinya resistensi dan efek merugikan lainnya.
48
9. Formularium Rumah Sakit
Formularium adalah himpunan obat yang diterima atau disetujui oleh
Panitia Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada
setiap batas waktu yang ditentukan. Komposisi Formularium terdiri dari halaman
judul, daftar nama anggota, panitia Farmasi dan Terapi, daftar isi, informasi
mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat, produk obat yang diterima untuk
digunakan, lampiran. Sistem yang dipakai adalah suatu sistem dimana prosesnya
tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara Formularium itu digunakan
oleh staf medis, di lain pihak Panitia Farmasi dan Terapi mengadakan evaluasi dan
menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada dipasaran, dengan lebih
mempertimbangkan kesejahteraan pasien. Adapun pedoman penggunan
formularium adalah sebagai berikut (Rusli, 2016) :
A. Pedoman penggunaan yang digunakan akan memberikan petunjuk kepada
dokter, apoteker perawat serta petugas administrasi di rumah sakit dalam
menerapkan sistem formularium.
B. Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan
Panitia Farmasi dan Terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan,
organisasi, fungsi dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung Sistem
Formularium yang diusulkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi.
C. Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan
tiap-tiap institusi.
49
D. Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh
Panitia Farmasi dan Terapi untuk menguasai sistem Formularium yang
dikembangkan oleh Panitia Farmasi dan terapi.
E. Nama obat yang tercantum dalam Formularium adalah nama generik
Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi
Farmasi.
F. Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik.
2.6.3 Rumah Sakit Al Islam Bandung
1. Lokasi Rumah Sakit Al-Islam Bandung
Rumah Sakit Al Islam (RSAI) Bandung berlokasi di Jalan Soekarno Hatta
No. 644 Kelurahan Manjahlega Kecamatan Rancasari Kota Bandung dengan luas
167,85 km2.
2. Sejarah Singkat RSAI Bandung
RSAI merupakan salah satu amal usaha yang didirikan oleh sekumpulan
wanita yang membentuk suatu badan hukum Yayasan RS Islam BKSWI Jabar.
Dalam proses perkembangannya, usaha ini dibantu oleh berbagai pihak sehingga
RSAI Bandung dapat menjadi sebesar sekarang ini.
RSAI mulai dioperasionalkan pada tanggal 1 Agustus 1990. Saat awal
diresmikan, luas bangunan hanya sekitar 1.200 m2 dan hanya memiliki 28 tempat
tidur. Dari tahun ke tahun, kepercayaan yang diberikan masyarakat baik masyarakat
penyumbang maupun pasien kepada RSAI terus meningkat. Hal ini dapat dilihat
dari sumbangan yang terus mengalir dari masyarakat.
50
Pada tahun 1994 dibangun Gedung Firdaus sehingga menambah kapasitas
tempat tidur RSAI menjadi 90 tempat tidur. Kemudian menyusul dibangunnya
Gedung Raudlah untuk perawatan VIP.
Dengan adanya bantuan pinjaman dana dari Islamic Development Bank
(IDB) dan juga hakekatnya karena adanya pertolongan dari Allah SWT, pada
tanggal 1 November 1997 RSAI meresmikan gedung baru berupa gedung
perawatan yang berjumlah 6 lantai dengan nama Gedung Ibnu Sina. Dengan adanya
Gedung Ibnu Sina, kapasitas tempat tidur bertambah menjadi 175 tempat tidur.
Pengoperasiannya secara bertahap disesuaikan dengan kunjungan pasien dan
kemampuan RSAI Bandung.
Pada Juli 2002 sampai 23 Maret 2003, dilakukan renovasi gedung rawat
jalan terdiri dari 3 lantai dengan dana sumbangan dari berbagai pihak. Pada
tahun 2003, RSAI telah memiliki unit pelayanan Medical Check Up yang
dioperasionalkan di gedung rawat jalan dan pada tahun 2004 dilakukan renovasi
gedung Unit Gawat Darurat yang diharapkan memberikan pelayanan yang cepat,
tepat dan aman serta memberikan kenyamanan bagi para pelanggan. Pada tahun
2007 dilakukan pembangunan rawat inap perinatologi dan pembangunan ruang
rawat intensif (HCU). Pada awal tahun 2008, dilakukan pembangunan perkantoran,
ruang dokter dan ruang kantor perawatan.
Pada pertengahan tahun 2008 dilakukan renovasi dan refungsi Gedung
Rawat Inap Firdaus Lantai 3. Pada pertengahan tahun 2008-2009 dibangun Gedung
Pelayanan Rawat Jalan dan P3D UNISBA, Gedung Pelayanan Rehabilitasi Medis
51
dan Poliklinik Anak Tumbuh Kembang. Pada tahun 2013 Rumah Sakit Al-Islam
Bandung telah memiliki 251 tempat tidur.
Pada Maret tahun 2017, Rumah Sakit Al Islam meresmikan Gedung VVIP
yang diberi nama Gedung Nuurush Shalihaat yang ditujukan untuk rawat inap dan
rawat jalan pasien umum kelas VVIP (poliklinik eksekutif), poliklinik kemoterapi,
dan pelayanan One Day Care (ODC). Dengan didirikannya Gedung Nuurush
Shalihaat, kapasitas tempat tidur RSAI bertambah menjadi 273 tempat tidur.
3. Visi, Misi, dan Falsafah RSAI
A. Visi RSAI
Visi RSAI adalah menjadi Rumah Sakit yang Unggul, Terpercaya, dan Islami
dalam pealayanan dan pendidikan.
B. Misi RSAI
Misi RSAI adalah :
a. Melaksanakan dan menerapkan nilai-nilai Islam ke dalam seluruh aspek
pelayanan maupun pengelolaan rumah sakit.
b. Mendukung dan membantu program pemerintah dalam bidang kesehatan dan
pendidikan.
c. Melakukan kerjasama lintas sektoral dan ikut berperan aktif dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
d. Melaksanakan pelayanan kesehatan dengan memberi kepuasan kepada
konsumen sehingga melebihi apa yang diharapkannya.
52
e. Melaksanakan pendidikan secara komprehensif baik dari sisi intelektual, mental,
spritual dan keterampilan untuk mewujudkan peserta didik yang memiliki
karakter akhlaqul karimah dan professional.
f. Mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kesejahteraan sumber daya
manusia yang dimiliki.
C. Falsafah RSAI
Beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bekerja profesional dengan
menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir serta menjunjung tinggi
etika profesi, bekerja sama dengan prinsip “watawaa shoubi al-haq watawaa
shaoubil al-shabr” sebagai pengamalan Al-Quran dan Al-Hadist.
4. Budaya Organisasi dan Moto RSAI
A. Budaya Organisasi
RSAI Bandung adalah sarana kami untuk beramal dengan ikhlas.
Kesungguhan, kejujuran, keramahan, loyalitas, disiplin, dan inovatif adalah
karakter kami. Meningkatkan profesionalisme adalah bagian hidup kami.
Efektifitas dan efisiensi selalu kami upayakan tanpa meninggalkan asas
kemanusiaan. Kepuasan konsumen adalah prioritas kami. Berprasangka baik dan
memuliakan orang lain adalah jiwa kami. Kesabaran, keterbukaan, ketauladanan,
dan keadilan adalah watak kepemimpinan kami.
B. Motto
Moto Internal adalah Bekerja terbaik 100%, hidup manfaat, hidup selamat.
Moto Eksternal adalah sahabat anda menuju sehat bermanfaat.
53
5. Aktivitas Pelayanan RSAI Bandung
Aktivitas pelayanan kesehatan di RSAI Bandung meliputi :
A. Unit Rawat Jalan
Unit Rawat Jalan terdiri dari klinik umum, klinik gigi dan mulut, klinik paru,
klinik psikiatri, klinik kulit & kelamin, klinik THT, klinik mata, klinik anak, klinik
khitan, klinik jantung, klinik penyakit dalam, klinik saraf, klinik stroke, klinik gizi,
klinik bedah, klinik tumbuh kembang, klinik rehabilitasi medik, klinik obstetri dan
ginekologi.
B. Instalasi Gawat Darurat
Instalasi Gawat Darurat RSAI Bandung siaga 24 jam melayani berbagai
masalah kegawat daruratan dengan didukung oleh tenaga medis dokter, perawat,
dan bidan yang andal, profesional, kompeten, dan tersertifikasi serta ditunjang oleh
peralatan dan fasilitas yang lengkap.
C. Unit Rawat Inap
Terdiri dari perawatan intensif (ICU, HCU, HCCU, NICU & PICU), ruang
persalinan, ruang perawatan obstetri dan ginekologi, dan ruang perawatan umum.
Ruang perawatan umum terdiri dari Ruang Perawatan Paviliun Raudlah, Ruang
Perawatan Darussalam Anak, Ruang Perawatan Darussalam 3 Dewasa, Ruang
Perawatan Darussalam 4, Ruang Perawatan Darussalam 5, Ruang Perawatan
Nuurush Shalihaat.
D. Pelayanan Penunjang
Pelayanan penunjang yang tersedia di RSAI antara lain pelayanan
laboratorium, radiologi, rehabilitasi medis, kamar operasi, farmasi, ambulan gawat
54
darurat, ambulan transportasi, kendaraan jenazah, bank darah, hemodialisa, dan
pelayanan home care.
6. Fasilitas Pendukung RSAI Bandung
Alat canggih, meliputi : CT Scan Multi Detector, Mammografi,Panoramic,
Endoskopi, USG Doppler Echocardiography, EKG, Treadmill, Laparaskopi,
Laserscope, Audiometri, C-Arm, Micro Surgery, Kimia Klinik, Sysmex
Hematology Analyzer, Microbiology Test.
Fasilitas penunjang, meliputi Computerized System, pelayanan administrasi,
operator telepon 24 jam, sistem pengelolaan air limbah, CSSD, Laundry, pelayanan
gizi, santunan kerohanian, kamar jenazah, masjid, penyediaan air dari sumur artesis,
tenaga listrik & genset, sarana parkir yang luas, kantin dan minimarket.
7. Struktur Organisasi dan Personalia
A. Susunan Direksi Rumah Sakit Al-Islam Bandung periode 2018-2020
Direktur : dr. H. Muhammad Iqbal, Sp.PD
Wakil Direktur Medik & Keperawatan : dr. Hj Rita Herawati, Sp.PK M.Kes
Wakil Direktur Umum & Keuangan : Afiandry S.E A.K
55
B. Personalia Rumah Sakit Al-Islam Bandung
Tabel 2. 5
Personalia Rumah Sakit Al Islam Bandung
Tenaga Medis Jumlah
Dokter Umum 14 Orang
Dokter Spesialis 20 Orang
Dokter Gigi 4 Orang
Perawat 360 Orang
Perawat Gigi 6 Orang
Bidan 26 Orang
Perekam Medis 4 Orang
Radiografer 7 Orang
Terapi Wicara 2 Orang
Ahli Gizi 7 Orang
Analis Kesehatan 19 Orang
Apoteker 9 Orang
Asisten Apoteker 46 Orang
Penunjang 67 Orang
Administrasi Kesehatan 5 Orang
Administrasi 168 Orang
Sanitarian 2 Orang
Teknik Elektromedik 1 Orang
2.6.4 Instalasi Farmasi Rumah Sakit Al-Islam Bandung
1. Falsafah
Beriman kepada Allah SWT dengan berpegangan kepada Al-Qur’an dan
Al- Hadits sebagai landasan utama, bekerja profesional dalam suatu team work
untuk memberikan pelayanan farmasi rumah sakit yang berorientasi kepada
pelayanan pasien, penyediaan obat bermutu, pelayanan asuhan kefarmasian yang
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
56
2. Visi
Visi Instalasi Farmasi RSAI adalah Unggul, Terpercaya dan Islami dalam
pelayanan dan pengelolaan farmasi.
3. Misi
Misi Instalasi Farmasi RSAI adalah :
A. Melaksanakan dan menerapkan nilai-nilai islam ke dalam seluruh aspek
pengelolaan dan pelayanan farmasi rumah sakit.
B. Menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem pelayanan kesehatan
rumah sakit dalam mendukung dan membantu program pemerintah di bidang
pelayanan farmasi.
C. Melaksanakan kerjasama lintas sektoral dan ikut berperan aktif dalam
melaksanakan program pelayanan farmasi.
D. Melaksanakan pengelolaan dan pelayanan farmasi dengan memberikan
kepuasan kepada konsumen sehingga melebihi apa yang diharapkannya.
E. Mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap sumber daya manusia
yang dimilikinya.
4. Tujuan
Tujuan Instalasi Farmasi RSAI adalah :
A. Terselenggaranya pelayanan farmasi yang optimal dengan standar kualitas
tinggi baik dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan darurat sesuai dengan
keadaan pasien dan fasilitas yang tersedia.
B. Terselenggaranya pelayanan farmasi yang profesional berdasarkan
prosedur kefarmasian dan kode etik profesi.
57
C. Terselenggaranya Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai obat.
D. Terselenggaranya pengawasan obat dan peningkatan kualitas pengelolaan dan
pelayanan kefarmasian.
E. Terselenggaranya penelitian di bidang kefarmasian.
5. Fungsi
Fungsi Instalasi Farmasi RSAI adalah :
A. Pengelolaan Perbekalan Farmasi.
B. Memilih perbekalan farmasi sesuai dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit.
C. Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi yang efektif.
D. Mengadakan perbekalan farmasi berdasarkan pada kebijakan dan prosedur
perencanaan yang telah ditetapkan oleh Direktur.
E. Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang
berlaku.
F. Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian.
Instalasi Farmasi berkoordinasi dengan Tim Farmasi dan Terapi (TFT)
untuk menetapkan dan mengevaluasi penggunaan formularium terdiri dari standar
terapi, nama generik, satuan, dosis, dan informasi obat.
6. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSAI Bandung
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Al Islam Bandung berada dibawah Bidang
Pelayanan Farmasi & Gizi dan dipimpin oleh seorang apoteker sebagai kepala
IFRS. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Al Islam Bandung dibagi menjadi enam
bagian, yaitu Farmasi Rawat Inap I dengan 1 orang apoteker penanggung jawab
58
dan terdapat 5 orang apoteker klinis, Farmasi Rawat Inap II dengan 1 orang
apoteker penanggung jawab yang sekaligus merangkap menjadi apoteker klinis,
Farmasi Rawat Jalan I dengan 1 orang apoteker penanggung jawab serta 2 orang
apoteker klinis, Farmasi Rawat Jalan II dan Farmasi IGD dengan 1 orang apoteker
penanggung jawab serta 2 orang apoteker klinis, dan Asuhan kefarmasian dengan
1 orang apoteker penanggung jawab, dan Pengelolaan Perbekalan Farmasi (P2F)
dengan 1 orang apoteker penanggung jawab. Secara struktur organisasi, semua
apoteker klinis berada dibawah asuhan kefarmasian.
7. Pelayanan Farmasi Rawat Jalan
Pelayanan farmasi rawat jalan bertugas untuk melayani kebutuhan pasien
polikinik rawat jalan maupun pasien umum dari luar rumah sakit. Sistem
pelayanan yang dilakukan di pelayanan farmasi rawat jalan menggunakan sistem
individual prescription yaitu sistem distribusi perbekalan farmasi secara langsung
kepada pasiennya itu sendiri, baik pasien dari poliklinik rawat jalan yang berada
di RSAI maupun pasien umum dari luar rumah sakit yang akan menebus resepnya.
8. Pengelolaan Perbekalan Farmasi
Pelaksana pengelolaan perbekalan farmasi merupakan bagian dari Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Al-Islam yang mempunyai serangkaian aktivitas untuk
mendapatkan ketersediaan perbekalan farmasi yang optimal untuk memenuhi
permintaan pelanggan (dokter, pasien & perawat).
Dalam melaksanakan tugasnya Pelaksana pengelolaan perbekalan farmasi
melakukan serangkaian kegiatan yaitu perencanaan perbekalan farmasi, pengadaan
59
perbekalan farmasi, penerimaan perbekalan farmasi, penyimpanan perbekalan
farmasi, distribusi perbekalan farmasi, pengendalian perbekalan farmasi.
9. Administrasi Keuangan Instalasi Farmasi
Administrasi keuangan yang dilaksanakan pada Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Al-Islam Bandung adalah sebagai berikut :
A. Pengelolaan Perbekalan Farmasi (P2F)
Pada proses pembelian dan pengadaan perbekalan farmasi di P2F sistem
pembayaran dapat dilakukan secara tunai dan kredit. Dalam hal keuangan pada
proses pengadaan perbekalan farmasi di IFRSAI, P2F hanya melakukan proses
transaksi beserta dokumennya. Sedangkan untuk hal pembayaran sepenuhnya
dilaksanakan oleh bagian keuangan Rumah Sakit Al Islam Bandung.
B. Farmasi Rawat Jalan
Sistem pembayaran untuk penjualan perbekalan farmasi kepada pasien di
farmasi rawat jalan dilakukan pembayaran secara tunai dan kredit. Pembayaran
secara tunai dilakukan oleh pasien umum ke bagian kassa yang bekerjasama
dengan Bank Syari’ah Mandiri, sedangkan pembayaran secara kredit dilakukan
untuk pasien kontraktor dan pasien BPJS, namun pasien kontraktor dan BPJS pun
dapat melakukan pembayaran secara tunai apabila ada selisih harga perbekalan
farmasi. Selanjutnya pendapatan keuangan yang berasal dari penjualan perbekalan
farmasi rawat jalan dikelola oleh bagian keuangan Rumah Sakit Al-Islam
Bandung.
C. Farmasi Rawat Inap
60
Sistem pembayaran untuk penjualan farmasi kepada pasien di farmasi rawat
inap terlebih dahulu dilakukan secara kredit untuk semua pasien. Selanjutnya untuk
pasien umum, petugas farmasi memberikan Bukti Distribusi Perbekalan Farmasi
penjualan kepada petugas billing untuk harga barang perbekalan farmasi yang telah
dipakai. Perhitungan atau rincian keuangan dilakukan oleh petugas billing di setiap
ruang perawatan, pasien mendapatkan rincian harga dari billing kemudian
membayarnya ke bagian kassa. Untuk pasien kontraktor dan BPJS, pembayaran
tetap dilaksanakan secara kredit.Bukti Distribusi Perbekalan Farmasi diberikan
kepada billing, namun apabila ada selisih harga perbekalan farmasi, pembayaran
dilakukan secara tunai seperti proses pada pasien umum. Selanjutnya pendapatan
keuangan yang berasal dari farmasi rawat inap dikelola juga oleh bagian keuangan
Rumah Sakit Al Islam Bandung.
10. Panitia Farmasi dan Terapi
Panitia farmasi dan terapi di RSAI dibentuk pada tahun 1997 berdasarkan
Surat Keputusan Komite Eksekutif Staf Medik No. 895/RSAI/SK/KM/IV/2002
tentang pembentukan kembali Panitia Farmasi dan Terapi. Diketuai oleh dokter
spesialis, kemudian sektertarisnya oleh apoteker dan beranggotakan dokter umum,
dokter gigi, dokter spesialis, apoteker dan perawat. Pertemuan diadakan setiap 3
bulan sekali untuk membahas :
A. Merevisi dan mengevaluasi formularium yang ada.
B. Membahas kebijakan mengenai obat antibiotik dan obat mahal.
C. Membahas monitoring efek samping obat.
61
11. Sistem Formularium RSAI
Formularium RSAI adalah suatu daftar sediaan obat yang telah diproses
melalui evaluasi dan seleksi oleh staf medik RSAI, melalui PFT yang dianggap paling
bermanfaat dengan prinsip kendali mutu dan biaya dalam perawatan pasien, sehingga
harus disediakan secara rutin oleh instalasi farmasi. Formularium disusun
berdasarkan evaluasi sistem standarisasi dan penggunaan obat pada periode
sebelumnya. Kriteria pemilihan obat terdiri dari usulan SMF, sertifikat halal, dan
harga produk serta komitmen perusahaan farmasi dalam meningkatkan mutu dan
pelayanannya. Dalam pelaksanaannya, pelayanan obat di RSAI juga menggunakan
obat-obatan berdasarkan Formularium Nasional (Fornas), daftar obat dari Fornas
tersebut digunakan untuk pasien BPJS sedangkan untuk pasien rawat inap, selain
menggunakan Fornas, juga menggunakan Daftar Obat Non Formularium (DONF),
DONF merupakan daftar obat untuk pasien BPJS rawat inap selain obat Fornas yang
ditanggung oleh RSAI.
62
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Penetapan Kriteria Alternatif
Obat-obatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Seftazidim Injeksi
1g dengan dosis 1-2 g tiap 8-12 jam dan Seftriakson Injeksi 1 g dengan dosis 2-4 g
per hari. Dokumentasi produk yang diteliti dapat dilihat pada Lampiran I.
3.2 Penetapan Kriteria Populasi
1. Kriteria Inklusi
A. Pasien dengan diagnosa infeksi saluran kemih.
B. Pasien yang menggunakan jaminan BPJS kelas 3.
C. Pasien dengan umur dewasa sesuai kategori World Health Organization.
D. Pasien yang mendapatkan antibiotik seftazidim dan atau seftriakson.
2. Kriteria Ekslusi
A. Pasien pulang paksa atau tidak menyelesaikan perawatan.
B. Pasien yang meninggal sebelum pengobatan selesai.
C. Pasien yang data rekam medis, data keuangan, data obat-obatannya tidak
lengkap serta data lainnya tidak ditemukan.
3.3 Penetapan Outcome
Outcome yang digunakan untuk melihat efektivitas antibiotik pada
penelitian ini adalah lama perawatan atau Length of Stay (LOS) berdasarkan hasil
63
keputusan dokter dengan melihat hilangnya gejala serta nilai leukosit urin dan
bakteri urin yang menunjukan nilai negatif.
3.4 Penetapan Perspektif
Perspektif yang digunakan pada penelitian ini adalah perspektif lembaga
atau BPJS.
3.5 Penetapan Komponen Biaya
Komponen biaya yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah biaya
medis langsung yang ditinjau dari perspektif lembaga atau BPJS, yaitu biaya
antibiotik, biaya rawat inap, biaya administrasi, biaya visite dokter, biaya
laboratorium dan biaya jasa tindakan.
3.6 Analisis Statistik dan Farmakoekonomi
Peneltian ini berjenis cross sectional dan deskritip non-eksperimental.
Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari data rekam medis pasien di
Rumah Sakit Al Islam Bandung. Data yang dihasilkan akan diolah dengan analisis
statistik. Analisis farmakoekonomi dalam penelitian ini menggunakan Analisis
Efektifitas Biaya untuk membandingkan dua alternatif yang digunakan. Dalam
analisis ini akan menggunakan tabel efektivitas biaya sebagai alat bantu.
Dengan menggunakan tabel efektivitas biaya, suatu intervensi kesehatan
secara relatif terhadap intervensi kesehatan yang lain dapat dikelompokkan ke
dalam satu dari empat posisi (Kemenkes, 2013).
64
𝐑𝐮𝐦𝐮𝐬 𝐑𝐄𝐁 = 𝐓𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐁𝐢𝐚𝐲𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐨𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧(𝐑𝐩)
𝐋𝐚𝐦𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐨𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧 (𝐇𝐚𝐫𝐢)
𝐑𝐮𝐦𝐮𝐬 𝐑𝐈𝐄𝐁 = 𝐁𝐢𝐚𝐲𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐨𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐁 − 𝐁𝐢𝐚𝐲𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐨𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐀 (𝐑𝐩)
𝐋𝐚𝐦𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐨𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐁 − 𝐋𝐚𝐦𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐨𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐀 (𝐇𝐚𝐫𝐢)
Hasil dari Cost Effective Analysis (CEA) pada umunya digambarkan sebagai
Rasio Efektivitas Biaya (REB), pembilang dari rasio menunjukan total biaya, dan
penyebut dari rasio menggambarkan variabel outcome. Sedangkan Rasio
Inkremental Efektivitas Biaya (RIEB) didefinisikan sebagai rasio perbedaan antara
biaya dari 2 alternatif dengan perbedaan efektivitas antara alternatif. (Tri Murti,
2013). Alur penelitian dapat dilihat pada Lampiran II.
65
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Distribusi Populasi dan Sampel
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan hasil yang
diperoleh dari data rekam medik pasien ISK di Rumah Sakit Al Islam Bandung
periode Januari sampai dengan Desember 2017 diperoleh 100 pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dari total 298 pasien yang diteliti data rekam medis nya.
Surat izin penelitian dan dokumentasi tempat penelitian dapat dilihat pada
Lampiran III dan Lampiran IV.
Tabel 4. 1
Distribusi Populasi Berdasarkan Jenis Kelamin
Diagram 4. 1
Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
41%
59%
Laki-Laki
Perempuan
Jenis Kelamin Jumlah Pasien (n) Presentase (%)
Laki-Laki (L) 41 41 %
Perempuan (P) 59 59 %
Total 100 100 %
66
Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, pasien berjenis kelamin laki-laki
berjumlah 41 orang sedangkan pasien berjenis kelamin perempuan 59 orang.
Berdasarkan hasil penelitian lain, distribusinya adalah 60% perempuan dan 40%
nya laki-laki. Berdasarkan hasil ini, kemungkinan pasien perempuan lebih rentan
menderita infeksi saluran kemih dibanding dengan pasien laki-laki, penyebabnya
adalah karena uretra perempuan lebih pendek sehingga mikroorganisme dari luar
lebih mudah mencapai kandung kemih yang letaknya dekat dengan daerah perianal
(Mantu dkk, 2015).
Pada kasus lain, kemungkinan pasien berjenis kelamin laki-laki juga dapat
rentan terserang infeksi saluran kemih. Seperti pada kasus infeksi saluran kemih
komplikata, dimana terjadi abnormalitas struktural atau fungsional saluran
genitourinari atau adanya penyakit dasar yang mengganggu mekanisme pertahanan
diri individu (IAUI, 2015). Pada kondisi gangguan urologi, seperti misalnya Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH), pasien laki-laki lanjut usia sangat mungkin menderita
infeksi saluran kemih, atau kondisi lain seperti batu ginjal, diabetes melitus dan
gagal ginjal sering kali menjadi penyebab ISK, dimana tidak hanya pasien berjenis
kelamin wanita saja yang rentan, namun juga pasien berjenis kelamin laki-laki.
67
Tabel 4. 2
Distribusi Pasien Berdasarkan Usia
Usia Jumlah Pasien (n) Presentase (%)
25-30 tahun 9 9 %
31-35 tahun 10 10 %
36-40 tahun 23 23 %
41-45 tahun 37 37 %
46-50 tahun 21 21 %
Total 100 100 %
Diagram 4. 2
Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
Jika dilihat berdasarkan umur, rentang umur yang memiliki presentasi tinggi
adalah umur 36 sampai 50 tahun, pasien yang mengalami ISK cenderung meningkat
seiring dengan pertambahan usia. Berdasarkan hasil penelitian lain, kelompok umur
dengan presentasi penderita paling banyak adalah rentang umur 25 tahun sampai 55
tahun. Untuk wanita, banyak terjadi kasus ISK pada masa post menopouse atau usia
40-50 tahun keatas, hal ini kemungkinan disebabkan karena produksi hormon
estrogen menurun dan mengakibatkan pH pada cairan vagina naik sehingga
menyebabkan meningkatnya perkembangan mikroorganisme pada vagina (Mantu
9%
10%
23%
37%
21% 25-30 tahun
31-35 tahun
36-40 tahun
41-45 tahun
46-50 tahun
68
dkk, 2015).
Pada pasien laki-laki, kemungkinan semakin bertambahnya usia akan
semakin rentan terserang ISK. Terutama pada kasus ISK Komplikata batu ginjal,
dimana prevalensi batu ginjal ini adalah 7% pada perempuan dan 13 persen pada
laki-laki. Empat dari 5 pasien adalah laki-laki dan masa puncaknya adalah dekade
ketiga sampai keempat. (Fauzi dkk, 2016). Selain itu, Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH) pada pasien laki-laki turut menjadi pencetus terjadinya ISK, dimana
prevalensi BPH pria berusia 40-49 tahun sebesar 15% dan pada usia diatas 60 tahun
sebesar 43% (IAUI, 2015).
Tabel 4. 3
Profil Penggunaan Antibiotik Pasien ISK
Jenis Antibiotik Jumlah Pasien (n) Presentase (%)
Sefrtriakson 66 66 %
Seftazidim 34 34 %
Total 100 100 %
Di Rumah Sakit Al Islam Bandung, penggunaan antibiotik pada pasien ISK
adalah sefalosporin generasi ketiga, yaitu seftriakson dan seftazidime. Berdasarkan
Handbook of Pharmacotherapy 9th, sediaan parenteral golongan sefalosporin yang
dapat digunakan untuk ISK adalah sefriakson dan seftazidim. Sedangkan,
berdasarkan pedoman penatalaksaan klinis ISK di RSAI Bandung, antibiotik yang
dianjurkan adalah sefalosporin dengan spektrum luas. Sefalosporin generasi ketiga
seperti sefotaksim, seftazidime, sefdinir, sefiksim dan seftriakson stabil terhadap
beberapa betalakmase dan mempunyai spektrum luas (Jumaa dkk, 2015). Dari hasil
69
penelitian ini seftriakson lebih dominan dibanding seftazidim, sebanyak 66 pasien
menggunakan sefrtiakson dan 34 pasien menggunakan seftazidim.
4.2 Hasil Penentuan Outcome
4.2.1 Penentuan Outcome Setiap Alternatif
Outcome adalah hasil atau konsekuensi yang diperoleh setelah pasien
mendapat terapi atau perawatan. Outcome yang digunakan untuk melihat
efektivitas antibiotik pada penelitian ini adalah lama perawatan atau Length of Stay
Tabel 4. 4
Distribusi Pasien Berdasarkan Lama Perawatan
Lama Hari Rawat Inap Jumlah Pasien Presentase (%)
2-4 Hari 77 77 %
5-6 Hari 16 16 %
7-9 Hari 7 7 %
Jumlah 100 100 %
Berdasarkan tabel 4.4 diatas, distribusi pasien paling banyak adalah pada
rentang 2 sampai 4 hari perawatan yaitu sebanyak 77 pasien, kemudian diikuti 5-6
hari perawatan sebanyak 16 pasien dan 7 pasien berada pada rentang 7 sampai 9
hari perawatan. Berdasarkan panduan penalatalaksanaan, lama perawatan untuk
ISK adalah 3 sampai 7 hari perawatan medis. Berdasarkan hasil peneltian lain, lama
perawatan minimal adalah 4 hari.
70
Tabel 4. 5
Rata-Rata Lama Perawatan Berdasarkan Antibiotik
Jenis
Antibiotik
Rata-Rata Lama Hari
Rawat Inap
Jumlah
Pasien
Seftazidim 3,3 Hari 34
Seftriakson 3,6 Hari 66
Diagram 4. 3
Rata-Rata Lama Perawatan Berdasarkan Antibiotik
Berdasarkan Tabel 4.5 di atas, Seftazidim memiliki rata-rata lama
perawatan yang lebih singkat dibandingkan seftriakson walaupun tidak ada
perbedaan yang cukup jauh yaitu seftazidim 3,3 hari dan seftriakson 3,6 hari. Lama
perawatan ini ditentukan oleh dokter dengan melihat hilangnya gejala dari ISK.
Seftazidim dan seftriakson termasuk ke dalam sefalosporin generasi ketiga, dengan
mekanisme kerja menghambat enzim transpeptidase, enzim yang berperan dalam
tahap akhir sintesis lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri (Hardianto dkk, 2016)
3,1
3,2
3,3
3,4
3,5
3,6
3,7
Lama Perawatan
Seftazidim
Seftriakson
71
Gambar 4. 1
Struktur Kimia Seftazidim
Gambar 4. 2
Struktur Kimia Seftriakson
Perbedaan seftazidim dan seftriakson adalah pada struktur kimianya.
Termasuk dalam golongan sepalosporin dengan inti dasar asam 7-amino-
sefalosporanat (7-ACA : 7 aminocepalosporinic acid) yang merupakan kompleks
cincin dihidrothiazin dan cincin betalaktam. Modifikasi R1 pada posisi 7 cincin
betalaktam dihubungkan dengan aktivitas antimikrobanya, sedangkan subtitusi R2
pada posisi 3 cincin dihidrotiazin mempengaruhi farmakokinetiknya (FKUI, 2016).
Seftriakson dan seftazidim termasuk ke dalam sefalosporin generasi ketiga.
Generasi ke tiga ini umumnya aktif terhadap Citobacter, S marcescens dan
Providencia. Mereka juga aktif terhadap penghasil betalaktamase, namun
Sumber : Drugbank.com
Sumber : Drugbank.com
72
seftazidim dan sefoperazon memilki aktivitas lebih baik terhadap P aruginosae
(Katzung, 2015). Berdasarkan perbedaan ini, maka seftazidim seharusnya lebih
baik dibandingkan seftriakson karena dapat menghambat lebih banyak bakteri
dalam aktivitasnya.
4.2.2 Analisis Statistik Outcome
Salah satu ciri penelitian kuantitatif adalah menggunakan statistik.
Kegunaan statistik dalam peneltian bermacam-macam, yaitu sebagai alat untuk
penentuan sampel, pengujian validitas dan realibilitas instrumen, penyajian data
dan analisis data (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini akan dilakukan uji
statistik, namun sebelumnya akan dilakukan uji normalitas. Hasil dari uji normalitas
ini akan menentukan analisis data yang digunakan, jika data terdistribusi normal
maka dapat digunakan statistik parametrik, namun jika data tidak terdistribusi
normal, maka yang digunakan adalah statistik non parametrik.
Dalam peneltian ini, uji normalitas dilakukan terhadap data lama perawatan
dari pasien yang mendapat antibiotik seftazidim dan seftriakson, dengan hipotesis
sebagai berikut :
H0 : Data lama perawatan terdistribusi normal
H1 : Data lama perawatan tidak terdistribusi normal
Dalam pengambilan keputusan, jika nilai signifikansi P > 0,05 maka H0
diterima dan menunjukan data terdistribusi normal. Sedangkan jika P < 0,05 maka
H0 ditolak dan H1 diterima dan menunjukan data tidak terdistribusi normal,. Setelah
dilakukan uji normalitas, hasil yang didapat adalah sebagai berikut :
73
Tabel 4. 6
Tes Normalitas Outcome
Tests of Normality
Antibiotik Kolmogorov-Smirnova
Statistic df Sig.
Hasil Peneltian Seftazidime ,223 8 ,200*
Seftriakson ,218 8 ,200*
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
Dalam penelitian ini, sampel yang diambil adalah 50-100 pasien, sehingga
uji normalitas yang digunakan adalah hasil dari uji Kolmogorov-Smirnov. Dari
hasil pengujian pada tabel 4.6 diatas, nilai signifikansi untuk data lama perawatan
pasien yang menggunakan seftazidim dan seftriakson adalah 0,200 atau P > 0.05
maka H0 dapat diterima, ini berarti data tersebut terdistribusi normal.
Berdasarkan hasil uji normalitas, maka dapat dilakukan uji parametrik
terhadap data tersebut karena terdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji
homogenitas data dan uji T sampel independen untuk menentukan ada atau tidaknya
perbedaan dari data lama perawatan pasien yang menggunakan seftazidim dan
seftriakson. Untuk uji homogenitas dapat digunakan hipotesis sebagai berikut :
H0 : Data lama perawatan memiliki varian yang sama
H1 : Data lama perawatan tidak memiliki varian yang sama
Dan untuk uji T sampel independent dapat digunakan hipotesis sebagai berikut :
H0 : Tidak ada perbedaan antara lama perawatan pasien yang
menggunakan seftazidim dan pasien yang menggunakan seftriakson.
H1 : Ada perbedaan antara lama perawatan pasien yang menggunakan
seftazidim dan pasien yang menggunakan seftriakson.
74
Dalam pengambilan keputusan, jika nilai signifikansi dari uji homogenitas
adalah P > 0,05 maka dan H0 dapat diterima sehingga data lama perawatan memiliki
varian yang sama. Sedangkan jika P < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima,
menunjukan data lama perawatan tidak memiliki varian yang sama maka. Untuk uji
T sampel independen, jika nilai signifikansi adalah P > 0,05 maka H0 dapat diterima
dan menunjukan tidak ada perbedaan antara lama perawatan pasien yang
menggunakan seftazidim dan pasien yang menggunakan seftriakson. Sedangkan
jika P < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 dapat diterima yang menunjukan adanya
perbedaan antara lama perawatan pasien yang menggunakan seftazidim dan pasien
yang menggunakan seftriakson.
Setelah dilakukan uji homogentitas dan uji T sampel independen, maka hasil
yang didapat adalah sebagai berikut :
Tabel 4. 7
Uji Homogenitas dan Perbedaan Outcome
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of
Means
F Sig. t df Sig. (2-
tailed)
Hasil
Peneltian
Equal variances
assumed ,046 ,834 -,654 14 ,524
Equal variances
not assumed -,654 13,987 ,524
Berdasarkan tabel 4.7 diatas, hasil uji homogenitas menunjukan sigifikansi
0,834 yang menunjukan nilai signifikansi nya adalah P > 0,05, maka H0 dapat
75
diterima sehingga menunjukan data memiliki varian yang sama. Untuk hasil uji T
sampel independen, didapatkan hasil signifikansi 0,524 yang artinya bahwa nilai
signifikansinya adalah P > 0.05, maka H0 dapat diterima dan H1 ditolak yang
menunjukan tidak ada perbedaan antara lama perawatan pasien yang menggunakan
seftazidim dan pasien yang menggunakan seftriakson.
4.3 Hasil Penentuan Biaya
4.3.1 Analisis Biaya Satuan
Seftazidim dan seftriakson adalah antibiotik yang umum digunakan di
Indonesia, karena spektrum keduanya yang luas, sehingga banyak digunakan di
instansi-instansi kesehatan di Indonesia. Dari segi harga, seftriakson memiliki harga
lebih rendah dibanding seftazidim.
Tabel 4. 8
Harga Satuan Antibiotik
Jenis
Antibiotik
Rute
Pemberian
Harga per
vial
Seftazidim Injeksi Rp. 30.691
Seftriakson Injeksi Rp. 13.080
Berdasarkan tabel 4.8 diatas, seftazidim memiliki harga yang lebih tinggi
dibanding seftriakson. Jika mempertimbangkan harga, maka seftazidim bukanlah
pilihan terbaik untuk pasien infeksi saluran kemih karena harga nya yang relatif
tinggi, selisih harga dari seftazidim dan seftriakson adalah Rp. 17,611. Berdasarkan
prinsip ekonomi secara umum pilihan terbaik adalah seftriakson karena memiliki
harga yang relatif lebih rendah.
76
Tabel 4. 9
Komponen Biaya Satuan
Komponen Biaya Biaya
Akomodasi Kamar Kelas 3 Rp200.000
Visite Dokter Spesialis Rp65.000
Jasa Tindakan Injeksi Rp14.500
Administrasi Kelas 3 Rp65.000
Pemeriksaan Urin Lengkap Rp75.000
Tabel 4.9 diatas adalah harga satuan komponen biaya, sesuai dengan
penetapan komponen biaya yang digunakan dalam penelitian ini. Biaya akomodasi
kamar kelas 3 adalah biaya kamar yang harus dibayar selama satu hari perawatan.
Biaya visite dokter spesialis adalah biaya yang dihitung perkunjungan dokter
spesialis kepada pasien, biaya jasa tindakan injeksi adalah biaya tindakan perawat
yang diberikan setiap satu kali injeksi, biaya administrasi dihitung satuan per
pasien, dan biaya laboratorium adalah biaya pemeriksaan urin lengkap.
4.3.2 Analisis Biaya Total
Biaya total adalah hasil penjumlahan dari beberapa komponen biaya yaitu
biaya antibiotik, biaya akomodasi perhari, biaya visite dokter spesialis dan biaya
lainnya seperti biaya administrasi, biaya jasa tindakan perawat dan biaya
pemeriksaan laboratorium.
Tabel 4. 10
Rata-Rata Biaya Antibiotik
Jenis Antibiotik Rata-Rata Biaya
Antibiotik
Seftazidim Rp. 229.280
Seftriakson Rp. 97.704
Dari tabel 4.10 dapat dilihat rata-rata biaya antibiotik dari masing-masing
77
antibiotik. Untuk seftazidim, rata rata harga memiliki harga yang lebih tinggi yaitu
sebesar Rp. 229.280, sedangkan seftriakson memiliki rata-rata harga yang lebih
rendah dibanding seftazidim yaitu sebesar Rp. 97.704, selisih rata-rata biaya antara
seftazidim dan seftriakson adalah Rp. 131.576. Dengan hasil ini dapat dilihat
penggunaan antibiotik mana yang paling rendah biayanya untuk setiap outcome
yang didapat. Alternatif yang paling cost effective tidak selalu alternatif yang
biayanya paling murah untuk tujuan terapi yang spesifik. Dalam hal ini cost
effectiveness bukan biaya yang paling murah tetapi optimalisasi biaya (Tri Murti,
2013).
Tabel 4. 11
Total Biaya Pengobatan
Jenis
Antibiotik
Biaya
Antibiotik
Biaya
Akomodasi
Biaya
Visite
Biaya Jasa
Tindakan
Biaya
Admin Biaya Lab Total
Seftazidim Rp.229.280 Rp.676.471 Rp.219.853 Rp.108.324 Rp.65.000 Rp.75.000 Rp.1.373.927
Seftriakson Rp.97.704 Rp.730.303 Rp.237.348 Rp.108.311 Rp.65.000 Rp.75.000 Rp.1.313.666
Tabel 4.11 diatas adalah perbandingan dari biaya total seftazidim dan
seftriakson. Berdasarkan biaya rata-rata antibiotik, seftazidim memiliki harga yang
lebih tinggi dibandingkan seftriakson, hal ini dikarenakan biaya satuan seftazidim
yang lebih tinggi dibandingkan seftriakson. Komponen biaya lain yang ikut
mempengaruhi adalah biaya akomodasi yang dihitung dari harga akomodasi kamar
perawatan per hari, biaya visite dokter spesialis, biaya jasa tindakan untuk injeksi
per vial, biaya administrasi dan biaya pemeriksaan laboratorium urin lengkap. Dari
hasil perhitungan komponen biaya diatas, total komponen biaya untuk seftazidim
adalah Rp. 1.373.927 sedangkan untuk seftriakson adalah Rp.1.313.666. Total
biaya seftazidim sedikit lebih tinggi dibanding seftriakson dengan selisih biaya
78
yang didapat adalah Rp.17.611. Perhitungan komponen biaya lengkap dapat dilihat
pada Lampiran V dan VI.
4.3.3 Analisis Statistik Biaya
Selain sampel, biaya juga harus dilakukan uji statistik untuk mengetahui ada
nya perbedaan atau tidak dari setiap total biaya alternatif. Sebelum dilakukaan
pengujian perbedaan untuk menentukan adaanya perbedaan total biaya, harus
dilakukan dahulu uji normalitas data total biaya untuk menentukan statistik uji yang
akan digunakan. Uji normalitas dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut :
H0 : Data total biaya terdistribusi normal
H1 : Data total biaya tidak terdistribusi normal
Dalam pengambilan keputusan, jika nilai signifikansi P > 0,05 maka H0
diterima dan data terdistribusi normal. Sedangkan jika P < 0,05 maka H0 ditolak dan
data tidak terdistribusi normal. Setelah dilakuakan uji normalitas, didapat hasil
sebagai berikut :
Tabel 4. 12
Uji Normalitas Komponen Biaya
Tests of Normality
Antibiotik
Kolmogorov-Smirnova
Statistic df Sig.
Total Biaya Seftazidim ,333 6 ,037
Seftriakson ,333 6 ,037
a. Lilliefors Significance Correction
Hasil uji normalitas pada tabel 4.12 menunjukan nilai signifikan dari uji
Kolmogorov-Smirnov adalah 0,037 atau P < 0,05 maka H0 ditolak dan menunjukan
bahwa data total biaya tidak terdistribusi normal. Maka untuk melakukan uji beda
79
dapat digunakan analisis non parametrik untuk data total biaya. Untuk uji beda yang
digunakan adalah Uji Mann Whitney dengan hipotesis sebagai berikut :
H0 : Tidak ada perbedaan total biaya
H1 : Ada perbedaan total biaya
Dalam pengambilan keputusan, jika nilai Asymp Signifikan P > 0,05 maka
H0 diterima dan menunjukan tidak ada perbedaan total biaya. Sedangkan jika P <
0,05 maka H0 ditolak dan menunjukan ada perbedaan total biaya. Kemudian didapat
hasil sebagai berikut :
Tabel 4. 13
Uji Beda Komponen Biaya
Test Statisticsa
Total Biaya
Mann-Whitney U 13,000
Wilcoxon W 34,000
Z -,801
Asymp. Sig. (2-tailed) ,423
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,485b
a. Grouping Variable: Antibiotik
b. Not corrected for ties.
Dari hasil uji Mann Whitney U tabel 4.13 diatas nilai Asymp Signifikansi
sebesar 0,423 atau P > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak dan menunjukan tidak
ada perbedaan dari segi total biaya pengobatan menggunakan seftazidim dan
menggunakan seftriakson.
4.4 Rasio Efektivitas Biaya
Dari hasil perhitungan rasio efektivitas biaya, suatu alternatif dikatakan cost
effective jika memiliki nilai rasio efektivitas biaya yang lebih rendah.
80
Tabel 4. 14
Rasio Efektivitas Biaya
Jenis Antibiotik Total Biaya Rata-Rata Lama
Hari Perawatan REB (Rp)/ Hari
Seftazidime Rp.1.373.927 3,3 Hari 416.341
Seftriakson Rp.1.313.666 3,6 Hari 364.907
Dari hasil perhitungan Rasio Efektivitas Biaya (REB), seftazidime memiliki
nilai REB lebih tinggi dibanding seftriakson. Nilai REB seftazidim adalah sebesar
Rp. 416.341 per hari perawatan, sedangkan seftriakson nilai REB nya adalah Rp.
364.907 per hari perawatan, maka seftriakson adalah antibiotik yang lebih cost
effective dibanding dengan seftazidim.
4.5 Tabel Efektivitas Biaya
Dalam analisis efektivitas biaya, untuk membantu pengambilan keputusan
mana alternatif terbaik adalah dengan menggunakan tabel efektivitas biaya.
Penempatan pada tabel ini didasarkan pada hasil uji statistik dari outcome dan total
biaya pengobatan menggunaakan seftazidim dan seftriakson. Hasil kesimpulan uji
statistik baik dari segi outcome dan komponen biaya pengobatan tidak terdapat
perbedaan dari kedua alternatif tersebut. Berikut ini adalah hasil penempatan
seftazidim dan seftriakson pada tabel efektivitas biaya.
81
Tabel 4. 15
Efektivitas Biaya
Efektivitas Biaya Biaya lebih
rendah Biaya sama
Biaya lebih
tinggi
Efektivitas lebih
rendah
A
(Perlu dihitung
RIEB)
B C
(Didominasi)
Efektivitas sama D
E
Seftazidim
terhadap
Seftriakson
F
Efektivitas lebih
tinggi
G
(Dominasi) H
I
(Perlu dihitung
RIEB)
Dari tabel ini dapat disimpulkan, Seftazidim dan seftriakson masuk ke
dalam kolom yang sama yaitu kolom E yang artinya memiliki biaya sama dan
efektivitas sama. Penempatan tersebut didasarkan pada hasil uji statistik outcome
yang mengukur efektivitas antibiotik dan hasil uji statistik komponen biaya, hasil
tersebut tidak menunjukan perbedaan antara efektivitas dan total biaya pengobatan
dengan seftazidim atau seftriakson, maka dapat disimpulkan jika pengobatan
dengan seftazidim dan seftriakson tidak memiliki perbedaan sehingga penempatan
pada tabel efektivitas biaya adalah pada kolom E.
82
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan jika antibiotik yang paling cost
effective untuk kasus infeksi saluran kemih adalah seftriakson jika dilihat dari
perhitungan rasio efektivitas biaya sefrtriakson memiliki REB sebesar Rp. 364.907
per hari perawatan dan seftazidim Rp. 416.341 per hari perawatan. Namun jika
perbandingan dilihat berdasarkan hasil uji statistik dari outcome dan total biaya,
seftazidim dan seftriakson tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
5.2 Saran
1. Penelitian selanjutnya menggunakan sampel lebih banyak.
2. Penelitian selanjutnya dilakukan pengambilan data secara prospektif dengan
jenis penelitian case control.
3. Penelitian selanjutnya outcome menggunakan hasil laboratorium bakteri urin
dan leukosit urin, dengan harapan rumah sakit memiliki dokumentasi yang lebih
lengkap.
83
DAFTAR PUSTAKA
Budiharto, Martuti., Kosen, Soewarta., Peranan Farmakoekonomi dalam Sistem
Pelayanan Kesehatan di Indonesia., Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan., Volume 11., No. 4., Oktober 2008., Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan., Jakarta.
Dipiro, Joseph T., 2015., Pharmacotheraphy Handbook., Ninth Edition., McGraw-
Hill Education., New York., Halaman: 490-499
Fauzi, Ahmad., Manza, Marco., Nefrolitiasis., Majority., Volume 5., No. 2., April
2016., Fakultas Kedokteran Universitas Lampung., Bandar Lampung
FKUI., 2016., Farmakologi dan Terapi Edisi 6., Jakarta., Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Hardianto, Dudi., Wedana, Bima., Xaverius, Fransiskus., Biokonversi
Sefalosporin C Menjadi Asam 7-Aminosefalospororanat Dengan
Sepalosporin Asilase., Bioteknologi dan Biosains Indonesia., Volume 3.,
Nomor 2., Desember 2016., Pusat Teknologi Farmaasi., Banten
Harrison, Cristhoper J., Bratcher, Denise., Cephalosporin : A Review., Pediatric In
Review., Volume 8., No.8., Agustus 2008., University Of Misouri., Kansas
IAUI., 2015., Guideline Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan Genitali
Pria., Jakarta., Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
IAUI., 2015., Guideline Penatalaksanaan Pembesaraan Prostat Jinak, Jakarta.,
Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
Iro.,2017., Prevalensi Infeksi Saluran Kemih Cukup Tinggi.,
http://fk.ugm.ac.id/prevalensi-infeksi-saluran-kemih-cukup-tinggi (Diakses
tanggal 2 April 2018).
Indijah, Sujati Woro., 2016., Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi : Farmakologi.,
Jakarta., Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Jumaaa, Salma., Karaman, Rafik., Antibiotics., Commonly Drug Used., Maret
2015., Nova Science Publisher., Jerusalem.
84
Katzung, Betram G., Trevor, J Anthony.,2015., Basic & Clinical
Pharmacology.,Thrteenth Edition., McGraw-Hill Education., New York.,
Hal : 778
Kemenkes., 2013., Pedoman Kajian Farmakoekonomi., Jakarta., Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes., 2017., Panduan Penilaian Teknologi Kesehatan., Jakarta.,
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kepmenkes., 2013., Daftar Obat Esensial Nasional., Jakarta., Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
Mantu, Fajrihatin N.K., Goenawi, Lily Ranti., Bodhi, Widhhi., Evaluasi
Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih., Jurnal
Ilmiah Farmasi., Volume 4., No. 4., November 2015., UNSRAT., Manado.
Mireles, Ana L. Flores., Walker, Jennifer N., Caparon, Michael., Urinary tract
infections: Epidemiology, mechanisms of infection and treatment
options., Nature Reviews Microbiology., Volume 13., No. 10., April 2015.,
Macmillan Publisher Limited., Washington.
Musdalipah., Indentifikasi Drug Related Problem (DRP) Pada Pasien Infeksi
Saluran Kemih Di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri., Jurnal
Kesehatan., Vol 11., No. 1., 2018., Politeknik Bina Husada., Kendari
Nurarif, Amin Huda., Kusuma, Hardhi., 2015., Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis., Jakarta., Mediaction.
Permenkes., 2010., Klasifikasi Rumah Sakit., Jakarta, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia
Permenkes., 2011., Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik., Jakarta.,
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Permenkes., 2017., Pedoman Penilaian Teknologi Kesehatan (Health
Technology Assesment) Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional.,
Jakarta., Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
85
Puca, Edmoon., Urinary Tract Infection In Adult., Clinical Microbiology
Volume3., No. 6., Desember 2014., Clinical microbilogy Open Access.,
Albania
Rusly, Drs., 2016., Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi : Farmasi Rumah Sakit
dan Klinik., Jakarta., Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Saraswati, Dwi., Martini., Saraswati, Dian Lintang., Gambaran Leukositoria
Tanda Infeksi Saluran Kemih Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe-
2., Jurnal Kesehatan Masyarakat., Volume 6., No. 1.,Januari 2018.,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro., Semarang
Satibi, Dr M.Si.,Apt., 2014., Manajemen Obat di Rumah Sakit., Yogyakarta.,
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Sugiyono., 2007., Statistika Untuk Penelitian., Alfabeta., Bandung., Hal : 3
Yunita, Risa., Meylina, Lisna., Arsyik, Ibrahim., Rijai, Laode., 2013., Kajian
Efektivitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih
(ISK) di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) Kota
Samarinda., Proceding of 5th Mulawarman Pharmaceutical Conferences:
205-222., Samarinda, 23-24 April 2013., Fakultas Farmasi Universitas
Mulawarman.
86
LAMPIRAN I
PRODUK YANG DITELITI
Seftriakson Injeksi
Seftazidim Injeksi
87
LAMPIRAN II
ALUR PENELITIAN
Penetapan kriteria pasien
Inklusi Ekslusi
Analisis Farmakoekonomi dan Statistik
1. REB
2. Analisis Statistik
3. Tabel/diagram efektivtas biaya
4. RIEB
Penetapan kriteria alternatif (obat)
Siprofloksasin
Sefiksim
Penetapan perspektif
Komponen biaya pasien
Penetapan outcome
Lama hari rawat inap (LOS)
88
LAMPIRAN III
SURAT IZIN PENELITIAN
89
LAMPIRAN IV
RUMAH SAKIT AL ISLAM BANDUNG
90
LAMPIRAN V
TOTAL BIAYA PENGOBATAN DENGAN SEFTAZIDIM
NO JENIS
KELAMIN
UMUR
(TAHUN)
LOS
(HARI) KAMAR ANTIBIOTIK
BIAYA
VISITE JASTIN
BIAYA
ADMIN BIAYA LAB
1 LAKI-LAKI 45 6 Rp1.200.000 Rp460.365 Rp390.000 Rp217.500 Rp65.000 Rp75.000
2 LAKI-LAKI 44 2 Rp400.000 Rp184.146 Rp130.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
3 PEREMPUAN 39 3 Rp600.000 Rp30.691 Rp195.000 Rp14.500 Rp65.000 Rp75.000
4 LAKI-LAKI 36 2 Rp400.000 Rp122.764 Rp130.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
5 PEREMPUAN 44 2 Rp400.000 Rp61.382 Rp130.000 Rp29.000 Rp65.000 Rp75.000
6 LAKI-LAKI 43 5 Rp1.000.000 Rp521.747 Rp325.000 Rp246.500 Rp65.000 Rp75.000
7 PEREMPUAN 26 4 Rp800.000 Rp245.528 Rp260.000 Rp116.000 Rp65.000 Rp75.000
8 PEREMPUAN 33 3 Rp600.000 Rp398.983 Rp195.000 Rp188.500 Rp65.000 Rp75.000
9 LAKI-LAKI 42 2 Rp400.000 Rp122.764 Rp130.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
10 PEREMPUAN 43 2 Rp400.000 Rp92.073 Rp130.000 Rp43.500 Rp65.000 Rp75.000
11 PEREMPUAN 37 5 Rp1.000.000 Rp368.292 Rp325.000 Rp174.000 Rp65.000 Rp75.000
12 PEREMPUAN 25 3 Rp600.000 Rp92.073 Rp195.000 Rp43.500 Rp65.000 Rp75.000
13 LAKI-LAKI 39 3 Rp600.000 Rp245.528 Rp195.000 Rp116.000 Rp65.000 Rp75.000
14 PEREMPUAN 44 3 Rp600.000 Rp122.764 Rp195.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
15 PEREMPUAN 49 2 Rp400.000 Rp30.691 Rp130.000 Rp14.500 Rp65.000 Rp75.000
16 PEREMPUAN 36 2 Rp400.000 Rp122.764 Rp130.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
17 LAKI-LAKI 39 2 Rp400.000 Rp61.382 Rp130.000 Rp29.000 Rp65.000 Rp75.000
18 PEREMPUAN 43 2 Rp400.000 Rp61.382 Rp130.000 Rp29.000 Rp65.000 Rp75.000
19 PEREMPUAN 41 2 Rp400.000 Rp184.146 Rp130.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
91
LAMPIRAN V
(LANJUTAN)
NO JENIS
KELAMIN
UMUR
(TAHUN)
LOS
(HARI)
KAMAR ANTIBIOTIK BIAYA
VISITE
JASTIN BIAYA
ADMIN
BIAYA LAB
20 PEREMPUAN 39 5 Rp1.000.000 Rp368.292 Rp325.000 Rp174.000 Rp65.000 Rp75.000
21 LAKI-LAKI 40 3 Rp600.000 Rp245.528 Rp195.000 Rp116.000 Rp65.000 Rp75.000
22 PEREMPUAN 25 6 Rp1.200.000 Rp429.674 Rp390.000 Rp203.000 Rp65.000 Rp75.000
23 LAKI-LAKI 39 3 Rp600.000 Rp491.056 Rp195.000 Rp232.000 Rp65.000 Rp75.000
24 PEREMPUAN 47 3 Rp600.000 Rp122.764 Rp195.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
25 PEREMPUAN 50 4 Rp800.000 Rp184.146 Rp260.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
26 LAKI-LAKI 44 2 Rp400.000 Rp122.764 Rp130.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
27 PEREMPUAN 44 7 Rp1.400.000 Rp429.674 Rp455.000 Rp203.000 Rp65.000 Rp75.000
28 PEREMPUAN 50 3 Rp600.000 Rp214.837 Rp195.000 Rp101.500 Rp65.000 Rp75.000
29 PEREMPUAN 35 3 Rp600.000 Rp184.146 Rp195.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
30 LAKI-LAKI 47 3 Rp600.000 Rp245.528 Rp195.000 Rp116.000 Rp65.000 Rp75.000
31 LAKI-LAKI 48 6 Rp1.200.000 Rp460.365 Rp390.000 Rp217.500 Rp65.000 Rp75.000
32 LAKI-LAKI 46 3 Rp600.000 Rp184.146 Rp195.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
33 LAKI-LAKI 47 3 Rp600.000 Rp153.455 Rp195.000 Rp72.500 Rp65.000 Rp75.000
34 PEREMPUAN 50 6 Rp1.200.000 Rp429.674 Rp390.000 Rp203.000 Rp65.000 Rp75.000
TOTAL 115 Rp23.000.000 Rp7.795.514 Rp7.475.000 Rp3.683.000 Rp2.210.000 Rp2.550.000
RATA-RATA 3,382 Rp676.471 Rp229.280 Rp219.853 Rp108.324 Rp65.000 Rp75.000
92
LAMPIRAN VI
TOTAL BIAYA PENGOBATAN DENGAN SEFTRIAKSON
NO JENIS
KELAMIN
UMUR
(TAHUN)
LOS
(HARI) KAMAR ANTIBIOTIK
BIAYA
VISITE JASTIN
BIAYA
ADMIN BIAYA LAB
1 LAKI-LAKI 38 2 Rp400.000 Rp78.480 Rp130.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
2 PEREMPUAN 35 3 Rp600.000 Rp52.320 Rp195.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
3 LAKI-LAKI 42 7 Rp1.400.000 Rp156.960 Rp455.000 Rp174.000 Rp65.000 Rp75.000
4 LAKI-LAKI 37 3 Rp600.000 Rp65.400 Rp195.000 Rp72.500 Rp65.000 Rp75.000
5 LAKI-LAKI 25 3 Rp600.000 Rp117.720 Rp195.000 Rp130.500 Rp65.000 Rp75.000
6 LAKI-LAKI 41 3 Rp600.000 Rp91.560 Rp195.000 Rp101.500 Rp65.000 Rp75.000
7 PEREMPUAN 28 5 Rp1.000.000 Rp183.120 Rp325.000 Rp203.000 Rp65.000 Rp75.000
8 PEREMPUAN 32 3 Rp600.000 Rp26.160 Rp195.000 Rp29.000 Rp65.000 Rp75.000
9 PEREMPUAN 29 3 Rp600.000 Rp78.480 Rp195.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
10 LAKI-LAKI 42 5 Rp1.000.000 Rp104.640 Rp325.000 Rp116.000 Rp65.000 Rp75.000
11 LAKI-LAKI 43 4 Rp800.000 Rp65.400 Rp260.000 Rp72.500 Rp65.000 Rp75.000
12 PEREMPUAN 35 6 Rp1.200.000 Rp183.120 Rp390.000 Rp203.000 Rp65.000 Rp75.000
13 PEREMPUAN 36 3 Rp600.000 Rp91.560 Rp195.000 Rp101.500 Rp65.000 Rp75.000
14 PEREMPUAN 37 2 Rp400.000 Rp65.400 Rp130.000 Rp72.500 Rp65.000 Rp75.000
15 LAKI-LAKI 42 3 Rp600.000 Rp65.400 Rp195.000 Rp72.500 Rp65.000 Rp75.000
16 PEREMPUAN 33 2 Rp400.000 Rp52.320 Rp130.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
17 LAKI-LAKI 45 3 Rp600.000 Rp117.720 Rp195.000 Rp130.500 Rp65.000 Rp75.000
18 LAKI-LAKI 40 2 Rp400.000 Rp78.480 Rp130.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
19 LAKI-LAKI 50 3 Rp600.000 Rp26.160 Rp195.000 Rp29.000 Rp65.000 Rp75.000
93
LAMPIRAN VI
(LANJUTAN)
NO JENIS
KELAMIN
UMUR
(TAHUN)
LOS
(HARI) KAMAR ANTIBIOTIK
BIAYA
VISITE JASTIN
BIAYA
ADMIN BIAYA LAB
20 PEREMPUAN 46 7 Rp1.400.000 Rp196.200 Rp455.000 Rp217.500 Rp65.000 Rp75.000
21 LAKI-LAKI 45 2 Rp400.000 Rp65.400 Rp130.000 Rp72.500 Rp65.000 Rp75.000
22 PEREMPUAN 47 7 Rp1.400.000 Rp183.120 Rp455.000 Rp203.000 Rp65.000 Rp75.000
23 LAKI-LAKI 49 5 Rp1.000.000 Rp117.720 Rp325.000 Rp130.500 Rp65.000 Rp75.000
24 LAKI-LAKI 50 3 Rp600.000 Rp91.560 Rp195.000 Rp101.500 Rp65.000 Rp75.000
25 LAKI-LAKI 34 3 Rp600.000 Rp52.320 Rp195.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
26 LAKI-LAKI 37 4 Rp800.000 Rp117.720 Rp260.000 Rp130.500 Rp65.000 Rp75.000
27 LAKI-LAKI 38 2 Rp400.000 Rp52.320 Rp130.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
28 LAKI-LAKI 40 6 Rp1.200.000 Rp104.640 Rp390.000 Rp116.000 Rp65.000 Rp75.000
29 LAKI-LAKI 48 3 Rp600.000 Rp104.640 Rp195.000 Rp116.000 Rp65.000 Rp75.000
30 PEREMPUAN 46 4 Rp800.000 Rp156.960 Rp260.000 Rp174.000 Rp65.000 Rp75.000
31 PEREMPUAN 47 4 Rp800.000 Rp170.040 Rp260.000 Rp188.500 Rp65.000 Rp75.000
32 PEREMPUAN 42 3 Rp600.000 Rp52.320 Rp195.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
33 PEREMPUAN 34 4 Rp800.000 Rp91.560 Rp260.000 Rp101.500 Rp65.000 Rp75.000
34 LAKI-LAKI 42 3 Rp600.000 Rp52.320 Rp195.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
35 PEREMPUAN 44 3 Rp600.000 Rp65.400 Rp195.000 Rp72.500 Rp65.000 Rp75.000
36 PEREMPUAN 36 6 Rp1.200.000 Rp156.960 Rp390.000 Rp174.000 Rp65.000 Rp75.000
37 PEREMPUAN 33 3 Rp600.000 Rp78.480 Rp195.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
38 LAKI-LAKI 43 3 Rp600.000 Rp65.400 Rp195.000 Rp72.500 Rp65.000 Rp75.000
94
LAMPIRAN VI
(LANJUTAN)
NO JENIS
KELAMIN
UMUR
(TAHUN)
LOS
(HARI) KAMAR ANTIBIOTIK
BIAYA
VISITE JASTIN
BIAYA
ADMIN BIAYA LAB
39 PEREMPUAN 39 3 Rp600.000 Rp91.560 Rp195.000 Rp101.500 Rp65.000 Rp75.000
40 LAKI-LAKI 41 2 Rp400.000 Rp52.320 Rp130.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
41 PEREMPUAN 44 4 Rp800.000 Rp91.560 Rp260.000 Rp101.500 Rp65.000 Rp75.000
42 LAKI-LAKI 27 3 Rp600.000 Rp130.800 Rp195.000 Rp145.000 Rp65.000 Rp75.000
43 PEREMPUAN 35 3 Rp600.000 Rp104.640 Rp195.000 Rp116.000 Rp65.000 Rp75.000
44 PEREMPUAN 41 2 Rp400.000 Rp52.320 Rp130.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
45 PEREMPUAN 45 3 Rp600.000 Rp130.800 Rp195.000 Rp145.000 Rp65.000 Rp75.000
46 LAKI-LAKI 40 4 Rp800.000 Rp117.720 Rp260.000 Rp130.500 Rp65.000 Rp75.000
47 PEREMPUAN 44 7 Rp1.400.000 Rp183.120 Rp455.000 Rp203.000 Rp65.000 Rp75.000
48 PEREMPUAN 43 5 Rp1.000.000 Rp117.720 Rp325.000 Rp130.500 Rp65.000 Rp75.000
49 PEREMPUAN 39 3 Rp600.000 Rp104.640 Rp195.000 Rp116.000 Rp65.000 Rp75.000
50 PEREMPUAN 29 9 Rp1.800.000 Rp156.960 Rp585.000 Rp174.000 Rp65.000 Rp75.000
51 PEREMPUAN 44 2 Rp400.000 Rp78.480 Rp130.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
52 PEREMPUAN 36 7 Rp1.400.000 Rp104.640 Rp455.000 Rp116.000 Rp65.000 Rp75.000
53 PEREMPUAN 42 3 Rp600.000 Rp117.720 Rp195.000 Rp130.500 Rp65.000 Rp75.000
54 LAKI-LAKI 45 3 Rp600.000 Rp52.320 Rp195.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
55 PEREMPUAN 47 2 Rp400.000 Rp39.240 Rp130.000 Rp43.500 Rp65.000 Rp75.000
56 PEREMPUAN 41 2 Rp400.000 Rp52.320 Rp130.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
57 PEREMPUAN 44 3 Rp600.000 Rp78.480 Rp195.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
95
LAMPIRAN VI
(LANJUTAN)
NO JENIS
KELAMIN
UMUR
(TAHUN)
LOS
(HARI)
KAMAR ANTIBIOTIK BIAYA
VISITE
JASTIN BIAYA
ADMIN
BIAYA LAB
58 PEREMPUAN 28 6 Rp1.200.000 Rp156.960 Rp390.000 Rp174.000 Rp65.000 Rp75.000
59 LAKI-LAKI 50 3 Rp600.000 Rp78.480 Rp195.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
60 PEREMPUAN 48 3 Rp600.000 Rp65.400 Rp195.000 Rp72.500 Rp65.000 Rp75.000
61 PEREMPUAN 36 3 Rp600.000 Rp117.720 Rp195.000 Rp130.500 Rp65.000 Rp75.000
62 LAKI-LAKI 44 2 Rp400.000 Rp52.320 Rp130.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
63 PEREMPUAN 42 3 Rp600.000 Rp130.800 Rp195.000 Rp145.000 Rp65.000 Rp75.000
64 PEREMPUAN 45 3 Rp600.000 Rp78.480 Rp195.000 Rp87.000 Rp65.000 Rp75.000
65 PEREMPUAN 42 5 Rp1.000.000 Rp183.120 Rp325.000 Rp203.000 Rp65.000 Rp75.000
66 PEREMPUAN 49 3 Rp600.000 Rp52.320 Rp195.000 Rp58.000 Rp65.000 Rp75.000
TOTAL 241 Rp48.200.000 Rp6.448.440 Rp15.665.000 Rp7.148.500 Rp4.290.000 Rp4.950.000
RATA-RATA 3,652 Rp730.303 Rp97.704 Rp237.348 Rp108.311 Rp65.000 Rp75.000