PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH TERPADU DAN DAMPAKNYA TERHADAP KETERTIBAN PENCATATAN NIKAH (Studi Kasus
Di Kabupaten Bireuen)
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
JULIANDAMahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum
Program Studi Hukum KeluargaNIM: 111209243
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY DARUSSALAM-BANDA ACEH 2017
M/1438 H
ABSTRAK
Nama : JULIANDANim : 111209243Fakultas/Prodi : Syari’ah Dan Hukum/ Hukum KeluargaJudul : Pelaksanaan Itsbat Nikah Terpadu Dan Dampaknya
terhadap Ketertiban Pencatatan Nikah (Studi Kasus DiKabupaten Bireuen)
Tanggal Munaqasyah : 3 Agustus 2017Tebal Skripsi : 66 HalamanPembimbing I : Dr. Khairuddin, M.AgPembimbing II : Chairul Fahmi, MA
Kata Kunci : Itsbat, Nikah, Dampak dan Ketertiban
Itsbat nikah merupakan upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang belum mempunyai akta nikah, sehingga dapat menetapkan kembali pernikahan mereka. Salah satu program pemerintah dalam masalah ini yaitu program itsbat nikah terpadu yang dilaksanakan di Kebupaten Bireuen. Itsbat nikah terpadu tersebut tentunya memiliki aspek positif dalam memudahkan masyarakat mencatatkan kembali perkawianan yang telah dilangsungkan. Namun, dalam prosesnya, masing banyak pasangan yang tidak dapat mencatatkanpernikahan, karena keterbatasan jumlah kuota pasangan yang ditetapkan oleh Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Untuk itu, masalah yang diajukan adalah apa yangmelatarbelakangi dilaksanakannya itsbat nikah terpadu di Kebupaten Bireuen, kemudian bagaimana teknis pelaksanaan itsbat nikah terpadu, serta bagaimana dampak pelaksanaan itsbat nikah terpadu terhadap ketertiban pencatatan pernikahan di Kabupaten Bireuen. Dalam tulisan ini, jenis penelitian yang digunakan terdiri dari dua macam, yaitu penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research) dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu menggambarkan masalah itsbat nikah di lapangan, mulai dari latar belakang serta dampak dari permasalahan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang melatarbelakangi dilaksanakannya itsbat nikah terpadu di Kebupaten Bireuen yaitu mengingat masih banyak pasangan suami-istri yang tidak memiliki buku nikah atau akta nikah. Kemudian, tehnik pelaksanaan itsbat nikahnya yaitu dengan melakukan pendaftaran di setiap kecamatan, kemudian disidangkan dalam satu tempat yang dihadiri dengan dua orang saksi untuk masing-masing pasangan, dan kemudian dilakukan kesimpulan dan penetapan. Adapun dampak positif dari itsbat nikah terpadu tersebut adalah dapat membantu masyarakat berikut dengan pemberian perlindungan atas hak-hak masing-masing pasangan karena perkawinan mereka telah mendapat pengakuan hukum.
iv
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Itsbat Nikah
Terpadu Dan Dampaknya Terhadap Ketertiban Pencatatan Nikah (Studi Kasus
Di Kabupaten Bireuen)” dengan baik dan benar. Shalawat dan salam kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Saw, serta para sahabat, tabi’in dan para ulama
yang senantiasa berjalan dalam risalah-Nya, yang telah membimbing umat manusia
dari alam kebodohan kepada alam pembaharuan yang penuh dengan ilmu
pengetahuan. Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis
sampaikan kepada Bapak Dr. Khairuddin, M.Ag, selaku pembimbing pertama dan
Bapak Chairul Fahmi, MA, selaku pembimbing kedua, di mana kedua beliau dengan
penuh ikhlas dan sungguh-sungguh telah memotivasi serta menyisihkan waktu serta
pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam rangka penulisan karya
ilmiah ini dari awal sampai dengan terselesainya penulisan skripsi ini. Terima kasih
penulis sampaikan kepada Bapak Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-
Raniry, Ketua Prodi HK, Penasehat Akademik, serta seluruh staf pengajar dan
pegawai Fakultas Syariah dan Hukum telah memberikan masukan dan bantuan yang
sangat berharga bagi penulis sehingga penulis dengan semangat menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Perpustakaan Syariah dan
seluruh karyawan, kepala perpustakaan induk UIN Ar-Raniry dan seluruh
v
karyawannya, Kepala Perpustakaan Wilayah serta karyawan yang melayani serta
memberikan pinjaman buku-buku yang menjadi bahan skripsi penulis. Dengan
terselesainya skripsi ini, tidak lupa penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam rangka
penyempurnaan skripsi ini. Selanjutnya dengan segala kerendahan hati penulis
sampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis
yang melahirkan, membesarkan, mendidik, dan membiayai sekolah penulis hingga
ke jenjang perguruan tinggi dengan penuh kesabaran dan keikhlasan tanpa pamrih.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kawan-kawan seperjuangan pada
program sarjana UIN Ar-Raniry khususnya buat teman-teman Prodi Hukum
Keluarga yang saling menguatkan dan saling memotivasi selama perkuliahan hingga
terselesainya kuliah dan karya ilmiah ini. Semoga Allah Swt selalu melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya dengan balasan yang tiada tara kepada semua pihak yang
telah membantu hingga terselesainya skripsi ini. Penulis hanya bisa mendoakan
semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah Swt sebagai amal yang mulia.
Akhirnya, penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih
sangat banyak kekurangannya. Penulis berharap penulisan skripsi ini bermanfaat
terutama bagi penulis sendiri dan juga kepada para pembaca semua. Maka kepada
Allah jualah kita berserah diri dan meminta pertolongan, seraya memohon taufiq dan
hidayah-Nya untuk kita semua. Amin Yarabbal Alamin.
Banda Aceh 1 Oktober 2016Penulis
JULIANDA
vi
TRANSLITERASI
Dalam skripsi ini banyak dijumpai istilah yang berasal dari bahasa Arab
ditulis dengan huruf latin, oleh karena itu perlu pedoman untuk membacanya
dengan benar. Pedoman Transliterasi yang penulis gunakan untuk penulisan kata
Arab adalah sebagai berikut:
1. Konsonan
No. Arab Latin
1 ا Tidakdilambangkan
2 ب b
3 ت t
4 ث ś
5 ج j
6 ح ḥ
7 خ kh
8 د d
9 ذ ż
10 ر r
11 ز z
12 س s
13 ش sy
14 ص ş
15 ض ḍ
Ket
s dengan titik di atasnya
h dengan titik di bawahnya
z dengan titik di atasnya
s dengan titik di bawahnya d
dengan titik di bawahnya
No. Arab Latin Ket
16 ط ṭ t dengan titik dibawahnya
17 ظ ẓ z dengan titik dibawahnya
18 ع ‘
19 غ gh
20 ف f
21 ق q
22 ك k
23 ل l
24 م m
25 ن n
26 و w
27 ه h
28 ء ’
29 ي y
2. Konsonan
Vokal Bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. a. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
ix
Tanda Nama Huruf Latin◌� Fatḥah a◌ Kasrah i◌! Dammah u
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
Tanda dan Nama GabunganHuruf Hurufي ◌� Fatḥah dan ya aiو ◌� Fatḥah dan wau au
Contoh:
,kaifa = فـــیكلوھ = haula
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan Nama Huruf dan tandaHuruf
ا/ ي ◌ Fatḥah dan alif atau ya āي ◌ Kasrah dan ya īو ◌ Dammah dan wau ū
Contoh:
�ق� qāla =لا
ramā =ي�م ر
qīla=لی ق�
yaqūlu=ل وق�ی!
ix
4. Ta Marbutah (ة)
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua.
a. Ta marbutah ( ة) hidup
Ta marbutah ( ة) yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah dan
dammah, transliterasinya adalah t.
b. Ta marbutah ( ة) mati
Ta marbutah ( ة) yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah h.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir huruf ta marbutah ( ة) diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta
marbutah ( ة) itu ditransliterasikan dengan h.
Contoh:
�فط�الا ة�ضو�ر لا : rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatul aṭfāl
!ملا ة�نـي د�ملا ن وـ� ة�ر : al-Madīnah al-Munawwarah/
al-Madīnatul Munawwarah�ط ة�حل : Ṭalḥah
Modifikasi
1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi,
seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai
kaidah penerjemahan. Contoh: Ḥamad Ibn Sulaiman.
2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir,
bukan Misr ; Beirut, bukan Bayrut ; dan sebagainya.
3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus Ba
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat keputusan penunjukkan pembimbing.
2. Surat permohonan izin rekomendasi penelitian.
3. Surat penelitian di KUA Peudada dan KUA Peusangan.
4. Surat penelitian di Mahkamah Syar’iyah Bireuen.
5. Surat penilitian di Dinas Syariat Islam Bireuen.
6. Daftar suami istri yang tidak memiliki kutipan-kutipan akta nikah dalam
rangka itsbat nikah bagi korban konflik dan masyarakat miskin di Kabupaten
Bireuen tahun 2016.
67
DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL .................................................................................... iPENGESAHAN PEMBIMBING .................................................................. iiPENGESAHAN SIDANG ............................................................................. iiiABSTRAK ...................................................................................................... ivKATA PENGANTAR .................................................................................... vTRANSLITERASI ......................................................................................... viiDAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xDAFTAR ISI................................................................................................... xiBAB I : PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Masalah......................................................... 11.2. Rumusan Masalah .................................................................. 51.3. Tujuan Penelitian ................................................................... 61.4. Penjelasan Istilah.................................................................... 61.5. Kajian Pustaka........................................................................ 91.6. Metode Penelitian................................................................... 111.7. Sistematika pembahasan ........................................................ 13
BAB II : KAJIAN TEORITIS TENTANG ISTBAT NIKAH
DAN PENCATATAN PERNIKAHAN ..................................... 152.1. Itsbat nikah ............................................................................. 15
2.1.1. Pengertian Itsbat Nikah .............................................. 152.1.2. Landasan Hukum Itsbat Nikah ................................... 182.1.3. Syarat Pelaksanaan Itsbat Nikah ................................ 20
2.2. Pencatatan Pernikahan ........................................................... 222.2.1. Pengertian Pencatatan Pernikahan ............................. 222.2.2. Kedudukan Hukum Pencatatan Nikah ....................... 232.2.3. Prosedur Pencatatan Nikah......................................... 282.2.4. Akibat Hukum Nikah yang Tidak Dicatat.................. 31
BAB III : PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DI BIREUEN ................. 33
3.1. Profil Umum Kabupaten Bireuen .......................................... 333.2.Sebab Dilaksanakannya Itsbat Nikah Terpadu di
Kabupaten Bireuen................................................................. 373.3.Teknik Pelaksanaan Itsbat Nikah Terpadu di
Kabupaten Bireuen................................................................. 473.4.Dampak Itsbat Nikah Terpadu Terhadap Pencatatan
Nikah di Kabupaten Bireuen .................................................. 56BAB IV : PENUTUP .................................................................................... 62
4.1. Kesimpulan ........................................................................... 624.2. Saran...................................................................................... 64
xi
DAFTAR KEPUSTAKAAN...............................................................................................65LAMPIRAN...............................................................................................................................67DAFTAR RIWAYAT HIDUP............................................................................................68
xi
BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Islam mengajarkan manusia untuk hidup dalam naungan keluarga, karena
keluarga merupakan gambaran terkecil dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Keluarga yang baik menurut Islam sangat menunjang untuk menuju
kepada kesejahteraan. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu
perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai
kemampuan. Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah unuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan
bahagia. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin, sehingga timbul
kebahagiaan yakni kasih sayang antara anggota keluarga.1 Kesejahteraan dan
kebahagiaan tidak akan tercipta apabila hak dan kewajiban dalam sebuah
keluarga (antara pasangan suami-istri) tidak terlaksana dengan baik.
Ditinjau dari segi yuridis, perkawinan merupakan suatu hubungan hukum
yang bersifat kontrak, yaitu mengikatkan hak dan kewajiban antara suami-istri
secara timbal balik. Begitu juga dalam sisi keagamaan, dimana perkawinan
merupakan suatu kontrak atau akad, yang dapat menghalalkan hubungan yang
sebelumnya diharamkan oleh syara’. Untuk itu, pada prinsipnya perkawinan telah
ada aturan mengenai proses pelaksanaannya, baik dalam agama maupun dalam
1Abdur Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2006), hlm. 22.
1
2
suatu negara. Setiap orang harus tunduk atas ketentuan-ketentuan yang telah
dimuat dalam konsep pernikahan yang telah dibentuk.2
Di Indonesia, konsep dan ketentuan proses pelaksanaan telah dimuat
dalam regulasi perundang-undangan. Namun, tidak mengecualikan adanya aturan
agama di dalamnya. Dalam konsep hukum Islam, secara umum perkawinan telah
dipandang sah ketika telah memenuhi ketentuan syarat dan rukun pernikahan.
Adapun rukun pernikahan tersebut yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai
perempuan, wali dari pihak perempuan, dua orang saksi serta adanya ijab dan
qabul (sighah al-aqd).3
Adapun rukun nikah yang harus terpenuhi agar perkawinan dapat
dikatakan sah menurut fuqaha di kalangan Malikiyah adalah wali, mahar, calon
suami, calon istri dan sighat. Fuqaha dari kalangan Syafi’iyah mengelompokkan
rukun nikah menjadi lima yaitu calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi dan
sighat. Sedangkan Abdurahman al-Jaziri menyimpulkan bahwa rukun nikah
terdiri dari dua yaitu ijab dan qabul.4 Setiap rukun nikah tersebut memiliki syarat-
syarat yang harus dipenuhi dan sangat menentukan sah atau tidaknya nikah
tersebut.5 Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa dalam hukum Islam
2Abdurrahman dan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 17.
3Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 59.
4Mardani, Akad Nikah Melalui Telepon, Televisi, dan Internet dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 248.
5Abdul Madjid Mahmud Mathlub, al-Wajiz fi Ahkam al-Usrah al-Islamiyah; Penduan Hukum Keluarga Sakinah, (terj: Harits Fadhly & Ahmad Khotib), (Surakarta: Era Intermedia, 2005), hlm. 33.
3
tidak ada ditetapkan mengenai kaharusan untuk mendokomentasikan atau
mencetatkan pernikahan.
Namun demikian, jika dilihat melalui perspektif peraturan perundang-
undang atau hukum positif yang berlaku di Indonesia, pencatatan perkawinan
adalah sesuatu yang mesti dilakukan, dengan tujuan untuk menertibkan proses
perkawinan dan sebagai bukti autentik dalam bentuk akta nikah. Mengingat posisi
pencatatan pernikahan sangat penting keberadaannya, maka dalam hukum positif
kedudukan pencatatan tersebut dijadikan sebagai syarat administratif.6 Syarat
administratif ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi tiap-tiap pasangan dalam
mengurus masalah-masalah keluarga, seperti harta bersama, hak nafkah, hak
waris dan hak keperdataan lainnya.
Berdasarkan masalah di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa ada
sebagian masyarakat yang tidak mencatatkan perkawinannya di kontor pencatatan
nikah, baik sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maupun setelahnya. Untuk itu, agar dapat diakui oleh hukum
(hukum positif) terkait dengan tidak adanya bukti pernikahan yang
dilangsungkan, maka pemerintah memberikan suatu jalan dengan proses
menetapkan kembali pernikahan yang sebelumnya telah dilakukan namun tidak
dicatat, atau dalam istilah lain disebut dengan itsbat nikah.7
6Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia; Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 103.
7Kementerian Agama RI, Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI), hlm. 115.
4
Itsbat nikah mengandung arti suatu penetapan nikah kepada Pengadilan
Agama melalui permohonan karena pasangan suami-istri sebelumnya tidak dapat
membuktikan perkawinannya melalui akta nikah.8 Itsbat nikah juga diartikan
sebagai suatu permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama
untuk dinyatakan sahnya pernikahan yang dilangsungkan menurut syari’at agama
Islam dan mendapatkan kekuatan hukum.9 Proses itsbat nikah ini kemudian
menghasilkan satu buku nikah (akta) yang memiliki fungsi sebagai akta autentik
dalam pembuktian kepastian pernikahan memang betul-betul telah dilaksanakan.
Dengan adanya akta nikah maka akan mempermudah suatu pasangan dalam
memperjuangkan hak-haknya jika terjadi perceraian, serta
memudahkan dalam pembuatan akte kelahiran anak.10
Sebagai salah satu upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang belum mempunyai akta nikah, itsbat nikah tentunya
memiliki aspek positif dalam memudahkan masyarakat mencatatkan kembali
perkawianan yang telah dilangsungkan. Kedudukan itsbat nikah ini sendiri telah
mendapat pengakuan dengan dibuktikan adanya regulasi hukum, seperti dalam
bunyi Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan
bahwa itsbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama. Itsbat nikah tersebut
dapat diajukan atas beberapa alasan, di antaranya yaitu karena hilangnya akta
nikah, serta ada keraguan mengenai sah tidaknya salah satu syarat perkawinan.
8Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 6, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 117.
9Permberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Panduan Pengajuan Itsbat Nikah, (Jakarta: Australia Indonesia Partnership, 2012), hlm. 2.
10Ibid.
5
Bertalian dengan masalah di atas, di wilayah Kabupaten Bireuen telah dilakukan
suatu langkah oleh pihak pengadilan terhadap pasangan yang belum atau tidak
ada akta nikah untuk ditetapkan kembali pernikahan melalui itsbat nikah terpadu.
Pelaksanaan itsbat nikah terpadu ini menimbulkan dampak negatif. Dalam
hal ini, Karena itsbat nikah terpadu ini hanya dibatasi untuk tiga pasangan per
Kecamatan. Sedangkan menurut keterangan dari salah satu Kepala KUA, bahwa
pasangan yang mendaftar dan ingin untuk diitsbat banyak.11 Dampak negatif dari
itsbat nikah terpadu ini juga mengarah pada tidak terdatanya seluruh pasangan
yang belum memiliki buku nikah, sehingga langkah pencatatan nikah melalui
sidang isbat berpengaruh pada ketertiban pencatatan pernikahan yang ada di
setiap kecamatan.12
Dari penjelasan di atas, menarik kiranya untuk dikaji lebih lanjut terkait
dengan permasalahan itsbat nikah terpadu, dengan judul penelitian yaitu:
Pelaksanaan Itsbat Nikah Terpadu dan Dampaknya terhadap Ketertiban
Pencatatan Nikah; Studi Kasus di Kabupaten Bireuen.
1.2. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang masalah di atas, di bawah ini diajukan
beberapa permasalahan dengan rumusan sebagai berikut:
a. Apa yang melatar belakangi dilaksanakannya itsbat nikah terpadu di
Kebupaten Bireuen?
b. Bagaimana teknis pelaksanaan itsbat nikah terpadu di Kabupaten Bireuen?
11Hasil wawancara dengan Kepala KUA Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen.
12Ibid.
6
c. Bagaimana dampak pelaksanaan itsbat nikah terpadu terhadap ketertiban
pencatatan pernikahan di Kabupaten Bireuen?
1.3. Tujuan Penelitian
Setiap penulisan karya ilmiah sudah tentu mengandung tujuan dari
penulisan tersebut, demikian juga halnya dengan skripsi ini. Tujuan penulisan
skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui latar belakang dilaksanakannya itsbat nikah terpadu di
Kebupaten Bireuen.
b. Untuk mengetahui teknis pelaksanaan itsbat nikah terpadu di Kabupaten
Bireuen.
c. Untuk mengetahui dampak pelaksanaan itsbat nikah terpadu terhadap
ketertiban pencatatan pernikahan di Kabupaten Bireuen.
1.4. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari adanya kesalahpahaman terhadap skripsi ini, maka
terlebih dahulu penulis menjelaskan beberapa istilah. Adapun istilah-istilah yang
dijelaskan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.4.1. Nikah
Makna kata “nikah” dapat ditinjau melalui dua sudut pandang, yaitu
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang ada dalam
Islam, atau lebih tepatnya dalam fikih Islam. Dalam Undang-Undang
7
Perkawinan,13 disebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Redaksi berbeda terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan bahwa “Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah”.14 Sedangkan dalam istilah fikih,15
pemaknaan dari perkawinan lebih sempit dibandingkan dengan pengertian yang
ada dalam beberapa aturan hukum seperti tersebut di atas. Secara umum,
pernikahan diartikan sebagai suatu akad atau perjanjian yang mengandung
maksud membolehkan untuk berhubungan kelamin dengan menggunakan lafaz
na-ka-ha atau za-wa-ja.
Kata nikah secara bahasa mengandung arti yang sempit, yaitu sebatas
hubungan intim, bersenggama atau bercampur.16 Berbeda halnya dengan
pemaknaan nikah secara istilah, dimana istilah ini dapat diartikan lebih
komprehensif, baik dilihat dari literatur-literatur ke-Islaman, seperti kitab-kitab
13Ketentuan di atas merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tepatnya pada Pasal 1, BAB I tentang Perkawinan.
14Ketentuan di atas merujuk pada aturan Kompilasi Hukum Islam (KHI melalui Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991), tepatnya pada Pasal 2, BAB II tentang Dasar-Dasar Perkawinan.
15Terdapat perbedaan ulama fikih dalam memberi redaksi rumusan terkait denganpengertian pernikahan atau perkawinan, walaupun demikian secara umum memiliki maksud dan tujuan yang sama, yaitu “akad yang membolehkan”. Dirujuk dalam buku Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 37.
16Mardani, Akad Nikah Melalui Telepon, Televisi, dan Internet dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal. 246.
8
fikih yang secara gamblang dijelaskan dalam bab nikah, maupun dilihat dari
beberapa rumusan yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan. Menurut
istilah (terminologi), sebagaimana dijelaskan oleh Zakiyah Darajad, bahwa
perkawinan atau pernikahan merupakan suatu akad, artinya akad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafal nikah
atau tazwij atau yang semakna keduanya.17
1.4.2. Itsbat nikah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata itsbat berarti penetapan,
penyungguhan, penentuan. Mengitsbatkan artinya menyungguhkan, menentukan,
menetapkan (kebenaran sesuatu).18 Kata “itsbat” itu sendiri berasal dari bahasa
Arab, yaitu itsbāt yang merupakan masdar dari kata itsbata-yutsbitu-itsbātan,
yang mempunyai makna penetapan, penentuan, pembuktian atau pengabsahan
pengadilan terhadap pernikahan yang telah dilakukan dengan alasan-alasan
tertentu.19
Jadi, pada dasarnya itsbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri yang sudah dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan agama Islam yaitu sudah terpenuhinya syarat dan rukun
17H.M.A. Tihami & Sohari Sahrani, (mengutip Zakiyah Darajat, dkk, Ilmu Fikih), Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. 4, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 8; keterangan yang sama juga terdapat dalam buku Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, cet. 5, (Jakarta: Kencana Prenada Meida Group, 2012), hal. 8; Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim; Pedoman Hidup Seorang Muslim, (terj: Ikhwanuddin Abdullah & Taufiq Aulia Rahman), (Jakarta: Ummul Qura, 2014), hal. 802.
18Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 6, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2012), hlm. 190.
19Indro Wibowo, dalam Yayan Sofyan, Itsbat Nikah bagi Perkawinan yang Tidak Dicatat Setelah Diberlakukan UU No. 1/1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan…, dimuat dalam http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4290/1/INDRO%20WIBOWO-FSH.pdf diakses pada tanggal 23 September 2016.
9
nikah. Tetapi pernikahan yang terjadi pada masa lampau ini belum atau tidak
dicatatkan ke pejabat yang berwenang, dalam hal ini pejabat KUA (Kantor
Urusan Agama) yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
1.4.3. Pencatatan nikah
Pencatatan perkawinan memiliki pengertian sebagai suatu proses dimana
perkawinan yang telah dilangsungkan akan dicatat dan telah ditandatangani oleh
masing-masing pihak antara laki-laki dan perempuan yang melangsungkan
perkawinan.20 Kemudian, hasil dari pencatatan ini dibuat dalam bentuk akta nikah
(syarat administratif ) yang tujuannya untuk dijadikan bukti autentik sebagai buku
kutipan telah dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah.21
1.5. Kajian Pustaka
Sepengetahuan penulis, tulisan yang mendetail membahas tentang itsbat
nikah terpadu belum ada yang membahasnya. Meskipun ada beberapa tulisan
yang berkaitan dengan judul skripsi ini, akan tetapi tidak secara spesifik mengkaji
tentang itsbat nikah terpadu dalam bentuk studi kasus, tepatnya di Kabupaten
Bireuen. Dalam melakukan pembahasan yang berkaitan dengan masalah ini,
penulis menemukan beberapa tulisan, di antaranya skripsi yang ditulis oleh Indro
Wibowo, mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, pada tahun 2011, dengan judul: Itsbat Nikah dalam Perkawinan; Analisis
20Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia…, hlm. 129-130.
21Pernyataan hukum tersebut seperti digambarkan oleh Wasit Aulawi pada bukunya,Sejarah Perkembangan Hukum di Indonesia, dalam Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia…, hlm. 133.
10
Yuridis Penetapan Nomor 083/Pdt.P/2010/PA.JS. Dalam skripsi tersebut,
dirumuskan bagaimana proses penetapan keputusan itsbat nikah dan relevansinya
dengan pernikahan yang tidak dicatat. Dalam kesimpulan akhirnya menyatakan
bahwa ketentuan itsbat nikah yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan
dan KHI menjadi acuan Pengadilan Agama dalam penetapan itsbat nikah. Dalam
prosesnya, pihak yang berkepentingan mengajukan itsbat nikah kepada
pengadilan dengan melakukan pembayaran. Disebutkan pula bahwa Itsbat nikah
tersebut relevan dilakukan terhadap sebuah pasangan yang tidak mempunyai akta
nikah.
Kemudian, terdapat pula dalam skripsi Mukhti Kamal, mahasiswa
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh,
pada tahun 2015, yang Berjudul: Problematika Itsbat Nikah di Indonesia
(Analisis Terhadap Penetapan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Nomor
88/Pdt.P/2013/MS-Bna dan Nomor 167Pdt/2011/ MS-Bna). Dalam skripsi ini,
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa problematika itsbat nikah di Indonesia
yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Syar’iyah mempunyai kekuatan hukum
yang kuat, sehingga dapat dijadikan pegangan hukum.
Kemudian, terdapat pula dalam skripsi Ika Yuni Astuti, mahasiswi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, pada tahun 2014, yang
Berjudul: Pelaksanaan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama Wates. Dalam skripsi
tersebut, dirumuskan bagaimana alasan permohonan itsbat nikah di Pengadilan
Agama Wates dan bagaimana pelaksanaan itsbat nikah di pengadilan tersebut.
Dalam kesimpulan akhirnya dinyatakan bahwa alasan permohonan itsbat nikah di
11
Pengadilan Agama Wates yaitu dikarenakan hilangnya akta nikah yang
disebabkan adanya bencana alam seperti tanah longsor dan kebakaran. Dijelaskan
pula bahwa pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates dilakukan
melalui tahap-tahap pengajuan permohonan, penerimaan perkara, pemeriksaan
perkara dalam persidangan, kesimpulan, dan keputusan hakim. Dalam hal ini,
keputusan hakim didasarkan pada pertimbangan hukum yang melihat maksud
serta tujuan permohonan, lengkapnya persyaratan yang disertai dengan
keterangan saksi dan bukti-bukti yang kuat, Undang-Undang yang berlaku,
Kompilasi Hukum Islam, dan ilmu fiqh. Akibat hukum yang timbul adalah
perkawinan yang diajukan pengesahan tersebut menjadi sah dan dapat dimintakan
pencatatan dan akta nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA).
Dari ketiga karya ilmiah di atas tersebut, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa tidak ada satupun fokus kajian yang membahas secara detail tentang
pelaksanaan itsbat nikah terpadu dan dampaknya terhadap ketertiban masyarakat.
1.6. Metode Penelitian
Pada prinsipnya dalam setiap penelitian selalu memerlukan data-data
lengkap dan objektif serta mempunyai metode dan cara tertentu sesuai dengan
permasalahan yang akan dibahas. Dalam pembahasan penelitian ini, digunakan
metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang bertujuan membuat deskripsi,
gambaran secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai sifat-sifat serta
hubungan antara fenomena yang diselidiki.22
22 Muhammad nazir, metode penelitian, (Jakarta: ghalia Indonesia, 1988). Hlm. 63.
12
1.6.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini terdiri dari dua macam,
yaitu penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library
research). Field research dimaksudkan sebagai sumber data primer, yang terdiri
dari observasi dan wawancara. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bireuen,
dengan mewawancarai pihak KUA Kecamatan di Kabupaten Bireuen, di
antaranya KUA Kecamatan Peusangan, Kecamatan Peudada, serta narasumber
lainnya yang penulis anggap mengetahui permasalahan terkait pelaksanaan itsbat
nikah terpadu.
Sedangkan library research yaitu penelitian kepustakaan dengan mengkaji
sumber-sumber tertulis dari berbagai rujukan, seperti skripsi, buku, artikel,
peraturan perundang-undangan dan rujukan lain yang dianggap berkaitan dengan
pembahasan penulisan ini sebagai sumber data sekunder. Library research
dimaksudkan sebagai sumber data sekunder, yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap sumber data primer, seperti beberapa literatur
diantaranya, buku “Fiqh Islam Wa Adillatuhu”, karangan Wahbah Zuhaily (terj:
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, 2011). Buku “Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No 1/1974 sampai KHI”,
karangan Amiur Nuruddin Azhari Akmal Taringan (2006). Buku “Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia”, karangan A. Hamid Sarong (2004), dan juga
beberapa buku pendukung lainnya.
1.6.2. Teknik pengumpulan data
13
Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu melalui wawancara.
Wawancara yaitu proses pengumpulan data atau informasi dengan mewawancarai
langsung kepada beberapa warga sebagai sampel untuk dijadikan data primer
dalam penelitian ini. Di antara wawancara yang dilakukan yaitu Ketua Pengadilan
Agama Bireuen, Ketua KUA, Keuchik, dan tokoh masyarakat.
1.6.3. Teknik penulisan dan lokasi penelitian
Adapun untuk teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada
“Buku Panduan Penulisan Skripsi”, Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Ar-
Raniry tahun 2014. Sedangkan lokasi penelitiannya di KUA Kecamatan
Peusangan Kabupaten Bireuen dan Kecamatan Peudada Kabupaten Bireuen.
1.7. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan para pembaca dalam memahami pembahasan
skripsi ini, maka dipergunakan sistematika dalam empat bab yang masing-masing
bab terdiri dari sub bab sebagaimana di bawah ini.
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian
pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab dua membahas tentang kajian teoritis tentang istbat nikah dan
pencatatan pernikahan. Pembahasannya meliputi pengertian itsbat nikah, landasan
hukum itsbat nikah, syarat pelaksanaan itsbat nikah, pencatatan pernikahan,
pengertian pencatatan pernikahan, kedudukan hukum pencatatan nikah, prosedur
pencatatan nikah, serta akibat hukum nikah yang tidak dicatat.
14
Bab tiga merupakan pembahasan yang berisi tentang hasil penelitian,
yaitu terkait dengan pelaksanaan itsbat nikah terpadu dan dampaknya terhadap
ketertiban pencatatan pernikahan di Bireuen. Pembahasannya meliputi profil
umum Kabupaten Bireuen, teknik pelaksanaan itsbat nikah terpadu di Kabupaten
Bireuen, sebab dilaksanakannya itsbat nikah terpadu di Kabupaten Bireuen,
dampak itsbat nikah terpadu terhadap pencatatan nikah di Kabupaten Bireuen,
analisis penulis terhadap proses sidang itsbat nikah terpadu di Kabupaten Bireuen.
Bab keempat merupakan penutup. Dalam bab terakhir ini dirumuskan
beberapa kesimpulan dan saran dengan harapan dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
BAB DUA
KAJIAN TEORITIS TENTANG ISTBAT NIKAH DAN PENCATATAN PERNIKAHAN
2.1. Itsbat Nikah
2.1.1. Pengertian Itsbat Nikah
Sebelum dijelaskan makna dari itsbat nikah, terlebih dahulu dijelaskan
tentang nikah. Ulama telah membuat rumusan nikah sebagai sebuah akad antara
seorang pria dengan pihak wali wanita, dengan tujuan untuk penghalalan
hubungan suami-istri (senggama). Dalam fikih Islam, perkawinan disebut dengan
istilah nikah atau zawwaj, yang memiliki arti al-jam’u dan al-dhamu, yaitu
kumpul atau menyetubuhi.1 Menurut Mustofa Hasan, menikahi wanita pada
hakikatnya ialah menggauli istri.2 Sedangkan menurut istilah (terminologi),
sebagaimana dijelaskan oleh Zakiyah Darajad,3 bahwa perkawinan atau
pernikahan yaitu:
ظفلب حاكنلا جيوزـتلاوأ دقع ٸامهانعموأ نمضتـي ةحابإ طو
Artinya: “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin
dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”.
1H.M.A. Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. 4,(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 7.
2Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung, Pustaka Setia, 2011), hlm. 10.
3Zakiyah Darajat, dkk, Ilmu Fikih…, dalam buku H.M.A. Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat…, hlm. 8; keterangan yang sama juga terdapat dalam buku Abdul Rahman Ghazali,Fiqh Munakahat, cet. 5, (Jakarta: Kencana Prenada Meida Group, 2012), hlm. 8; Abu Bakar Jabiral-Jazairi, Minhajul Muslim; Pedoman Hidup Seorang Muslim, (terj: Ikhwanuddin Abdullah &Taufiq Aulia Rahman), (Jakarta: Ummul Qura, 2014), hlm. 802.
15
16
Defenisi yang lebih luas dinyatakan oleh Muhammad Abu Ishrah
sebagaimana dikutip oleh Abdul Rahman Ghazali sebagai berikut:
ا�م�و هي�ل�ع م ن دق�عتا�ب ـجا�و دي ف!ي! ـح ل� علا ـب ة�رش! ـجرلا � ملا�ول! ـت�و ة�أر� ـن�وا�ع� ا�م!ه! مد�!�و ا�م هي�ـك ال� م ن قو!ق!حـ ني حي
Artinya: “Akad yang memberikan kaidah hukum kebolehan mengadakan hubungan
keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-
menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan
kewajiban bagi masing-masing”.4
Menurut Wahbah Zuhaili, pengertian nikah secara bahasa sama seperti
pengertian sebelumnya, yaitu mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan
sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syari’at disebut dengan
akad nikah. Sedangkan secara istilah/teminologi, perkawinan memiliki arti
sebagai sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan
perempuan, dalam arti sempit yaitu berhubungan intim, menyentuh, mencium,
memeluk dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan sebagai mahram dari
segi nasab, sesusuan, dan keluarga.5
Dalam peraturan perundang-undangan, pernikahan justu diartikan bukan
hanya sebagai akad yang membolehkan hubungan senggama atau intim,
melainkan mengandung makna yang lebih luas. Hal ini seperti termuat dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
4Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat…, hlm. 9.
5Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu’, Ila’, Li’an, Zihar dan Masa Iddah, (terj: Abdul Haiyyie Al-Kattani, dkk), jilid 9, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 39.
17
Pasal 1: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan diartikan sebagai sebuah akad
yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan, kemudian akad tersebut merupakan
sunnah rasul yang intinya adalah perbuatan ibadah. Adapun bunyi
pasal tersebut sebagai berikut:
Pasal 2: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”.
Dari ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
tersebut di atas dapat dipahami bahwa perkawinan tidak dimaknai hanya sebagai
hubungan intim (jima’/senggama), dimana dalam kedua aturan tersebut
diistilahkan dengan “ikatan lahir dan batin” dan istilah “akad”, melainkan
perkawinan dimaknai secara lebih luas yang meliputi tujuan-tujuan dari
dilaksanakannya perkawinan, serta pemenuhan dari adanya hak dan kewajiban
yang justru lebih besar pengaruhnya dalam perkawinan itu sendiri.
Adapun frasa “itsbat nikah”, memiliki arti sebagai suatu penetapan
kembali pernikahan yang sebelumnya telah dilakukan namun tidak memenuhi
syarat administratif negara, yaitu pencatatan nikah. Dalam Kamus Besar Bahasa
18
Indonesia, itsbat merupakan penetapan, penyungguhan, dan penentuan. Adapun
itsba nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah.6
Itsbat nikah juga mengandung arti suatu penetapan nikah kepada
Pengadilan Agama melalui permohonan karena pasangan suami-istri sebelumnya
tidak dapat membuktikan perkawinannya melalui akta nikah.7 Ahmad Rafiq
menyebutkan bahwa nikah yang tidak dapat dibuktikan dengan akta maka harus
melakukan permohonan penetapan kembali pernikahan yang telah dilangsungkan.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa itsbat nikah merupakan suatu upaya
yang diberikan oleh pemerintah bagi sebuah pasangan suami-istri yang belum
memiliki akta nikah untuk ditetapkan (diabsahkan) kembali oleh pengadilan
melalui permohonan itsbat nikah.
2.1.2. Landasan Hukum Itsbat Nikah
Itsbat nikah adalah langkah atau upaya yang diberikan oleh pemerintah
bagi setiap pasangan yang belum memiliki akta nikah.8 Pada dasarnya
kewenangan perkara itsbat nikah bagi pengadilan agama dalam sejarahnya adalah
diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perkawinan di bawah tangan sebelum
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
6Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 6, (Jakarta: Pustaka Phoenix,2012), hlm. 190.
7Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 6, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 117.
8Kustini, dalam Kementerian Agama RI, Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI), hlm. 115.
19
Perkawinan. Namun kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan
dipakainya ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Landasan hukum itsbat nikah ini prinsipnya tertuang dalam beberapa
peraturan. Diantaranya dalam KHI, Pasal 7 disebutkan:
Ayat (2) : Itsbat nikah diajukan ke pengadilan agama;Ayat (3) : Itsbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai hal
yang berkenaan dengan;a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;b. hilangnya akta nikah;c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan;d. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut UndangUndang No.1 Tahun 1974.
Pasal 7 ayat (2) KHI tersebut telah memberikan kompetensi absolut yang
sangat luas tentang itsbat nikah ini tanpa batasan dan pengecualian, walaupun
dalam penjelasan pasal-pasalnya hanya dijelaskan bahwa pasal ini diberlakukan
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman beserta penjelasannya menentukan bahwa adanya kewenangan suatu
peradilan untuk menyelesaikan perkara yang tidak mengandung unsur sengketa
(voluntair) adalah dengan syarat apabila dikehendaki (adanya
ketentuan/penunjukan ) oleh undang-undang, salah satunya yaitu perkara itsbat
nikah.
Mengenai itsbat nikah ini, Pasal 39 ayat (4) PERMENAG Nomor 3 Tahun
1975 telah menentukan bahwa jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta
nikah karena catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka
untuk menentukan adanya nikah, talak, cerai, atau rujuk, harus ditentukan dengan
20
keputusan (dalam arti penetapan) Pengadilan Agama. Dengan demikian mengenai
kompetensi absolut tentang itsbat nikah sebagai perkara voluntair ini tidak bisa
dianologikan dengan perkara pembatalan perkawinan, perceraian, atau poligami.
Prinsipnya pengadilan tidak mencari-cari perkara, tetapi perkara itu telah menjadi
kewenangannya karena telah diberikan oleh undang-undang. Menurut Wasit
Aulawi, perkara itsbat nikah adalah perkara voluntair yang harus ditunjuk undang-
undang, kalau undang-undang tidak memberikan kewenangan maka pengadilan
tidak berwenang. Apabila perkawinan di bawah tangan setelah berlakunya
Undang Undang Perkawinan, diberikan tempat untuk itsbat perkawinan, maka
secara sosiologis pastilah akan mendorong terjadinya perkawinan bawah tangan
secara massif.9
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, itsbat nikah diakui
keberadaannya dalam undang-undang yang menjadi landasannya, dan menjadi
bagian dari kewenangan pengadilan dalam menyelesaikan masalah-masalah
perkawinan yang notabene menjadi kompetensi (kewenangan) absolute suatu
peradilan (tepatnya Pengadilan Agama).
2.1.3. Syarat Pelaksanaan Itsbat Nikah
Ketentuan mengenai itsbat nikah hanya dijumpai dalam regulasi
perundang-undangan, namun tidak dijumpai dalam kitab-kitab fikih klasik
maupun kontemporer. Oleh sebab itu, tentang syarat itsbat nikah ini hanya dapat
dilihat dalam aturan undang-undang. Itsbat nikah (penetapan nikah) pada dasarnya
9Wasit Aulawi, Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak, dalam Dian Syafrianto, Pelaksanaan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama, dimuat dalam http://lib.unnes.ac.id /18209/1/3450407114.pdf. diakses pada tanggal 24 September 2016.
21
adalah penetapan suatu perkawinan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam syariat Islam. Bahwa perkawinan ini telah dilakukan dengan
sah yaitu telah sesuai dengan syarat dan rukun nikah tetapi pernikahan ini belum
dicatatkan ke pejabat yang berwenang yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Maka
untuk mendapatkan penetapan (pengesahan nikah) harus mengajukan terlebih
dahulu perkara permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.
Dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam seperti telah disebutkan secara
jelas bahwa itsbat nikah dapat dilakukan karena belum mempunyai akta nikah
yang disebabkan karena beberapa hal. Di antaranya yaitu adanya perkawinan
dalam rangka penyelesaian perceraian, hilangnya Akta Nikah, adanya keraguan
tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, adanya perkawinan yang
terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Perkawinan
yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Itsbat nikah ini dilakukan melalui proses pengajuan permohonan pihak-
pihak yang bersangkutan. Pada Pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan bahwa, yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami
atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan
perkawinan itu. Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa bagi suatu
pasangan yang telah melakukan pernikahan sah menurut agama, dan mengalami
kesulitan dalam membuktikan perkawinannya, maka harus mengajukan
permohonan untuk dapat ditetapkan kembali pernikahan mereka melalui jalan
itsbat nikah.
22
2.2. Pencatatan Pernikahan
2.2.1. Pengertian Pencatatan Pernikahan
Dari segi bahasa, seperti termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
terma pencatatan diambil dari kata “catat”, yaitu menuliskan sesuatu untuk
peringatan. Sedangkan pencatatan yaitu proses, cara, perbuatan mencatat atau
pendaftaran.10 Adapun makna pencatatan pernikahan, Amiur Nuruddin
menyebutkan bahwa pencatatan nikah adalah suatu proses dimana perkawinan
yang telah dilangsungkan akan dicatat dan telah ditandatangani oleh masing-
masing pihak antara laki-laki dan perempuan yang melangsungkan perkawinan.11
Redaksi yang berbeda seperti dikemukakan Neng Djubaidah bahwa
pencatatan perkawinan merupakan pencatatan atas suatu perkawinan yang sah
menurut hukum Islam, yaitu perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat
perkawinan sesuai syari’at Islam yang dilakukan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan tidak dicatat
adalah perkawinan yang sah sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang belum
didaftarkan, sehingga belum tercatat di Kantor Urusan Agama tempat
dilangsungkannya perkawinan. Hal yang terakhir disebut disebabkan beberapa
faktor, di antaranya yaitu kurangnya pengetahuan anggota masyarakat setempat,
atau karena pembiayaan pendaftaran pencatatan dan lokasi yang tidak terjangkau
10Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka 2005), hlm. 51.
11Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1/1974, sampai KHI, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 129-130.
23
oleh masyarakat, atau karena alasan lain yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam.12
Jika dilihat dalam regulasi perundang-undangan, tidak ditemukan rumusan
pencatatan perkawinan. Hanya saja, dalam aturan yang ada disebutkan tentang
kegunaan dan fungsi dari pencatatan tersebut. Sebagaimana terdapat pada Pasal 5
ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pencatatan perkawinan
bertujuan untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam yang
berada di wilayah hukum Indonesia. Selain itu, undang-undang perkawinan
menyebutkan setiap perkawinan dilangsungkan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini merujuk pada Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Dari beberapa defenisi di atas, dapat dipahami bahwa pencatatan
perkawinan merupakan suatu proses pendaftaran perkawinan kepada lembaga
tertentu (baik di Kantor Urusan Agama bagi muslim maupun Kantor Catatan Sipil
bagi non muslim) untuk dibukukan dalam bentuk akta nikah. Adapun tujuan dari
pencatatn tersebut yaitu agar setiap perkawinan diakui oleh hukum.
2.2.2. Kedudukan Hukum Pencatatan Nikah
Pencatatan perkawinan memiliki peranan penting dalam sebuah
perkawinan. Eksistensi pencatatan dalam hukum perkawinan akan berpengaruh
pada diakui atau tidaknya perkawinan di hadapan hukum. Dalam sistem hukum
Indonesia, konsep pencatatan nikah ini bukan merupakan syarat yang menentukan
12Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 3.
24
sahnya perkawinan, karena segala perkawinan yang ada di Indonesia khususnya
sudah dianggap sah apabila dilakukan menurut ketentuan agama (yaitu
terpenuhinya syarat dan rukun pernikahan), dan hal ini diyakini oleh umat Islam
sebagai ketentuan syari’ yang harus dilaksanakan. Akan tetapi, pencatatan itu
sebagai syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh negara dan hal ini
banyak membawa konsekuensi bagi yang melaksanakan perkawinan tersebut.13
Merujuk pada pembahasan awal sub bab ini, memang tidak ditemukan
persoalan pencatatan dalam fikih klasik, dan perihal pencatatan ini bukan menjadi
sesuatu yang signifikan bila dibandingkan dengan tolak ukur kehidupan modern
saat ini. Dalam arti bahwa dalam fikih, pencatatan itu tidak harus dilakukan.
Namun demikian, ide moral pencatatan ini pada prinsipnya telah dimuat dalam al-
Qur’an, khususnya masalah interaksi bermuamalah, tepatnya dalam surat al-
Baqarah ayat 282. Dalam ayat tersebut dijelaskan secara rinci dimana seseorang
yang melakukan akad jual beli yang tidak tunai, maka harus menuliskannya dan
dipersaksikan. Adapun ayat tersebut adalah sebagai berikut:
…
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamumenuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya…, (QS. Al-Baqarah:282).
13Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia; Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. xix.
25
Ayat di atas secara rinci menjelaskan mengenaikonseppencatatan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Amiur Nuruddin,14 dan Muhammad Ali Hasan,15
bahwa ayat tersebut menjadi dasar dilegalkannya pencatatan perkawinan. Berbeda
dengan ketentuan dalam fikih, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan menyatakan bahwa pencatatan perkawinan diposisikan
sebagai sesuatu yang penting. Hal ini sebagaimana tergambar dari beberapa
rumusan materi yang terdapat dalam regulasi perkawinan tersebut. Adapun aturan
tersebut yaitu;
Pasal 2: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Pasal tersebut di atas hanya satu-satunya ketentuan pencatatan yang
terdapat dalam undang-undang tersebut. Akan tetapi, aturan yang lebih rinci
terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, tepatnya pada Pasal 3, yaitu:
Ayat (1): “Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan;
Ayat (2): “Pemberitahuan tersebut pada ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan itu dilangsungkan;
Ayat (3): “Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah”.
Keberadaan pencatatan perkawinan dalam materi hukum Undang-Undang
Perkawinan bukan sebagai pengesah suatu perkawinan, akan tetapi keberadaannya
14Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia…, hlm.120.
15Muhammad Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2003), hlm. 123.
26
sangat penting dan memiliki beberapa manfaat. Sahnya sebuah perkawinan jika
telah dilakukan menurut ketentuan agama, hal ini seperti tercantum dalam Pasal 2
ayat (1) yang menyatakan:
Pasal 2: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dari beberapa aturan tersebut, tentunya negara dalam hal ini Pegawai
Pencatat Nikah menjadi bagian terpenting dalam pelaksanaan pencatatan
perkawinan. Di samping sebagai syarat administratif dalam arti sebagai jaminan
ketertiban dalam pelaksanaan perkawinan sebagaimana tertera dalam materi
hukum Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1): “Agar terkamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.
Dari beberapa aturan tersebut, terlihat bahwa aturan pencatatan diposisikan
sebagai syarat administratif yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini, Amiur
Nuruddin menyatakan bahwa mengingat pentingnya pencatatan perkawinan,
terdapat pakar hukum menjadikan masalah tersebut sebagai suatu kewajiban dan
sebagai penentu bagi sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan.16
Pencatatan pernikahan memiliki beberapa manfaat, di antarannya yaitu
sebagai jalan untuk mendapatkan perlindungan hukum. Kemudian memudahkan
urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan, misalnya dalam hal
peralihan hak-hak keperdataan. Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum
dalam arti bahwa pernikahan dapat diakui oleh hukum negara jika perkawinan
16Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia…, hlm.123.
27
tersebut telah dicatat. Terakhir yaitu terjamin keamanannya dari kemungkinan
terjadinya pemalsuan dan kecurangan.
Di Aceh, secara khusus diatur tentang administrasi kependudukan,
termasuk akta nikah. Permasalahan administrasi kependudukan secara umum telah
diatur dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan. Pada Pasal 1 ayat (1) disebutkan:
“Administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, Pencatatan Perkawinan bagi umatIslam, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan”.
Berdasarkan ketentuan di atas, jelas sekali bahwa pencatatan nikah
(pencatatan perkawinan) masuk dalam administrasi kependudukan. Akta nikah
merupakan salah satu dokumen kependudukan yang sifatnya resmi. Masyarakat
secara keseluruhan berhak atas dokumen kependudukan, seperti akta nikah. Hal
ini telah ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a Qanun Nomor 6 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.17 Untuk itu, kedudukan
pencatatan nikah khususnya di Aceh sangatlah penting. Masyarakat berhak
memperoleh data akta nikah secara resmi dari instansi, khususnya dari Kantor
Urusan agama.
17Yang dimaksud dengan dokumen kependudukan berdasrakan Pasal 1 ayat (8) Qanun Nomor 6 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan yaitu: “DokumenKependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil kabupaten/kota, Kantor Urusan Agama Kecamatan, Mahkamah Syar’iyah Kab/Kota yangmempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dan peristiwa penting lainnya”.
28
2.2.3. Prosedur Pencatatan Nikah
Mengingat hukum pencatatan perkawinan diatur dalam peraturan
perundang-undangan, maka prosedur terkait dengan proses pencatatan ini merujuk
pada ketentuan hukum positif yang berlaku. Al-Quran dan Hadits tidak mengatur
secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan perlu oleh
masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur dalam perundang-
undangan, baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pencatatan perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik
perkawinan itu dilaksanakan menurut hukum Islam maupun perkawinan
dilaksanakan tidak berdasarkan hukum Islam.18
Dijelaskan bahwa bagi seseorang yang ingin melangsungkan pernikahan,
terlebih dahulu harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat
Nikah. Pemberitahuan ini boleh dilakukan oleh orang tua atau wali yang
bersangkutan. Setelah menerima laporan, pegawai pencatat segera meneliti syarat-
syarat perkawinan apakah telah terpenuhi atau tidak. Jika persyaratan tersebut
telah terpenuhi, maka pegawai pencatat membuat pengumuman.19
Setelah dilakukan pengumuman perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah,
selanjutnya perkawinan telah bisa dilaksanakan serta pelaksanaannya dilakukan
menurut masing-masing agama yang dianut oleh pasangan yang ingin
melangsungkan pernikahan. Pada saat perkawinan akan dilangsungkan, pegawai
18Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika,2012), hlm. 26.
19Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 15-16.
29
pencatat menyediakan dan menyiapkan akta nikah dan salinannya. Dalam akta
nikah, dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut dengan taklik
talak atau penggantungan talak, yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad
nikah sebagai janji setia terhadap istrinya. Sesudah pembacaan tersebut, kedua
mempelai menandatangani akta nikah dan salinannya yang telah disediakan
sebelumnya oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.20
Jika dilihat dari peraturan perundang-undangan, prosedur pencatatn
perkawinan telah rinci dijelaskan. Misalnya ketentuan pencatatan yang ada dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tantang Perkawinan. Dalam Pasal 2, disebutkan bahwa:
Ayat (1): “Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk”.
Terkait dengan pemberitahuan kehendak nikah kepada pegawai pencatat
nikah, dijelaskan dalam Pasal 4, dengan ketentuan bahwa pemberitahuan tersebut
dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau
walinya. Dimana pemberitahuan ini harus memuat identitas masing-masing calon
mempelai. Setelah dipenuhi semua persyaratan serta tidak ada halangan untuk
melangsungkan perkawinan antara masing-masing calon, maka perkawinan dapat
dilangsungkan, kemudian dilakukan penandatangan. Ketentuan tersebut seperti
tersemuat dalam Pasal 11 sebagai berikut:
Ayat (1): “Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai
20Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika,2012), hlm. 27-28.
30
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku;
Ayat (2): “Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsingkan perkawinan menurut hukum Islam, ditandatangani oleh wali nikah atau yang mewakilinya;
Ayat (3): “Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.”
Dari ketentuan di atas terlihat bahwa prosedur pencatatan perkawinan
dilakukan dengan maksud dan tujuan sebagai pelengkapan atas syarat-syarat
administrasi, bukan sebagai syarat sahnya atau rukun perkawinan itu sendiri.
Terkait dengan rukun perkawinan, dalam Islam telah dijelaskan secara rinci dalam
banyak literatur. Dalam hal ini, rukun perkawinan menurut jumhur ulama mazhab
tersebut meliputi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan sebagai pembuat
akad, shighah atau ucapan/ungkapan kata, dua orang saksi dan wali nikah.21
Sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa menurut jumhur
ulama yang diwakili oleh ulama mazhab Maliki, Syafi’i dan mazhab Hambali,
mengatakan bahwa rukun merupakan apa-apa yang harus ada demi
menggambarkan wujud sesuatu, baik yang merupakan bagian darinya maupun
tidak. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, rukun diartikan sebagai bagian dari
sesuatu, sedangkan sesuatu itu tidak akan ada jika bagian tersebut tidak ada.
Dalam redaksi lain, rukun yaitu hal yang menentukan keberadaan sesuatu, dan
menjadi bagian di dalam esensinya.22 Jadi, pencatatan perkawinan bukan sebagai
21Abdul Madjid Mahmud Mathlub, al-Wajiz fi Ahkam al-Usrah al-Islamiyah…, hlm. 33; Keterangan yang sama juga terdapat dalam buku Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan…, hlm. 59.
22Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu…, hlm. 45.
31
pengesah dari perkawinan. Akan tetapi tetap harus dilakukan menurut prosedur
seperti telah disebutkan di atas.
2.2.4. Akibat Hukum Nikah yang Tidak Dicatat
Pencatatan perkawinan mempunyai tujuan untuk menertibkan perkawinan
itu sendiri sebagai pemenuhan atas syarat administratif. Tidak mencatatkan
perkawinan pada Pegawai Pencatat Nikah merupakan kesalahan administratif.
Dalam pandangan masyarakat, nikah yang tidak dicatatkan di KUA dinamakan
dengan nikah sirri atau nikah di bawah tangan. Pernikahan semacam ini
merupakan pernikahan yang dilakukan secara agama tetapi tidak dicatatkan. Jika
ditinjau terkait dengan konsekuensi hukum tidak dicatatnya perkawinan yang
dilakukan, Elvi Lusiana menyebutkan bahwa menurut hukum negara, perkawinan
ini tidak dapat diakui oleh hukum. Akibatnya yaitu istri tidak bisa menuntut cerai
di hadapan pengadilan, tidak bisa dilakukan pembagian harta bersama atau harta
gono-gini, hak anak dan tidak bisa mengurus hak waris.23
Disebutkan juga bahwa perkawinan yang tidak dicatat akan menimbulkan
kesulitan tersendiri bagi istri dan anak-anak yang dilahirkan. Di mana, anak yang
dilahirkan dari pernikahan yang tidak dicatat tidak akan diakui oleh hukum
negara, dan dianggap sebagai anak luar nikah. Kerugian bagi anak luar nikah ini
disebabkan karena tidak dicantumkannya nama ayahnya dalam akte kelahirannya
yang selanjutnya anak tersebut juga tidak dapat mengurus dan menerima hak
waris dari ayahnya. Hal ini disebabkan oleh tidak diakuinya pernikahan yang
23Elvi Lusiana, 100+ Kesalahan dalam Pernikahan, (Jakarta: Qultum Media, 2011), hlm.141.
32
dilakukan oleh orangtuanya. Perkawinan yang tidak tercatat memiliki dampak
hukum negatif bagi pelaku perkawinan. Meskipun dampak dari hal tersebut
bersifat kasuitis, namun kenyataannya banyak pasangan yang tidak mencatatkan
pernikahan hidup dengan harmonis, tetapi mengalami kesulitan pada waktu
berurusan dengan pemenuhan hak-hak keperdataan yang dilakukan di
pengadilan.24
Walaupun demikian, konsekuensi hukum bagi anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang tidak dicatat tersebut telah mendapat perlindungan hukum
setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan keperdataan anak
luar nikah dengan ayah biologisnya. Dimana disebutkan bahwa anak tetap
mendapatkan harta dari ayahnya, termasuk bagian dari hak waris yang harus
diterimanya.25
Pada dasarnya, setiap masyarakat yang diatur dalam sebuah aturan hukum,
khusus dalam masalah perkawinan akan memiliki kesulitan-kesulitan tersendiri
dan berdampak negatif bagi pasangan yang tidak mencatatkan perkawinannya.
Konsekuensi hukum dalam kaitannya dengan hukum negara ini agaknya sangat
penting untuk diperhatikan, karena perkawinan yang tidak dicatat nantinya tidak
dapat diakui secara hukum.
24Kementerian Agama RI, Menelusur Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan tidak Tercatat, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2013), hlm. 428.
25Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia; Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 192.
BAB TIGA
PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH TERPADU DAN DAMPAKNYA TERHADAP KETERTIBAN PENCATATAN
PERNIKAHAN DI BIREUEN
3.1. Profil Umum Kebupaten Bireuen
3.1.1. Letak geografis
Kabupaten Bireuen merupakan salah satu kabupaten dalam Provinsi Aceh
yang letaknya sangat strategis dan dilintasi oleh jalan nasional serta diapit oleh
beberapa kabupaten dan merupakan pusat perdagangan di wilayahnya. secara
geografis, Kabupaten Bireuen terletak pada posisi 40 54’ - 50 21’ Lintang Utara
(LU) dan 960 20’ - 970 21’ Bujur Timur (BT) dengan luas wilayahnya 1.901,21
Km2 atau (190.121 Ha) dan berada pada ketinggian 0 sampai 800 M dari
Permukaan Laut (DPL). Secara geografis wilayah Kabupaten Bireuen memiliki
posisi strategis, karena terletak sebagai berikut.1
a. Kawasan pantai Timur pulau Sumatera yang merupakan kawasan cepat
berkembang di pulau Sumatera, dibandingkan dengan kawasan tengah dan
kawasan pantai Barat Sumatera.
b. Berdekatan dengan kota pusat pertumbuhan Lhokseumawe dan Medan yang
merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Di samping itu, di Kota Medan
juga terdapat pelabuhan dan bandar udara internasional. Adapun waktu tempuh
antara Kota Bireuen dengan Kota Lhokseumawe hanya sekitar 45 menit
perjalalan, sedangan dengan kota Medan sekitar 8 – 9 jam perjalanan.
1ppsp.nawasis.info/dokumen/perencanaan/sanitasi/pokja/.../kab.Bireuen/Bab %20II.docx.diakses pada tanggal 26 september 2016.
33
34
c. Berhadapan langsung dengan Selat Malaka yang merupakan Zona Ekonomi
Eksklusif dan jalur pelayaran perdagangan internasional yang padat.
d. Dilintasi oleh jalan nasional lintas Timur (Jalintim) Sumatera, yang merupakan
jalur perdagangan yang padat di pulau Sumatera. Di masa mendatang, Jalintim
Sumatera pada ruas antara Medan sampai Bandar Lampung direncanakan
untuk dikembangkan sebagai jalan internasional Trans Asia dan Trans Asean.
Wilayah Bireuen berkembang menjadi Kabupaten Bireuen sebagai hasil
dari pemekaran Kabupaten Aceh Utara menjadi kabupaten baru, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Bireuen
dan Kabupaten Simeulue, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2000.2
PETA KAB. BIREUEN
Gambar. Peta Kabupaten Bireuen
2ppsp.nawasis.info/dokumen/perencanaan/sanitasi/pokja/.../kab.Bireuen/Bab %20II.docx.diakses pada tanggal 26 september 2016.
35
3.1.2. Topografi
Topografi Kabupaten Bireuen memiliki daerah yang datar dan
bergelombang (0-8%) terutama pada wilayah pesisir Utara, sedangkan pada
daerah bagian Selatan memiliki topografi berbukit dengan kemiringan 15%
sampai dengan 30%. Sejak berdirinya Kabupaten Bireuen berdasarkan Undang-
Undang No. 48 tahun 1999 telah terjadi perkembangan yang cukup signifikan
dalam bidang pemerintahan, dimana pada awalnya terdiri dari 7 (tujuh)
kecamatan. Pada tahun 2001 dimekarkan menjadi 10 kecamatan, selanjutnya pada
tahun 2004 dimekarkan kembali menjadi 17 kecamatan. Adapun kecamatan, serta
luas wilayahnya seperti tabel di bawah ini.
Tabel 2.1. Luas Wilayah Per Kecamatan Kab. BireuenNo Kecamatan Data BPS
Luas (Km2) Luas (Ha) Proporsi (%)
1 Samalanga 156,22 15.622,00 8,222 SimpangMamplam 218,49 21.849,00 11,493 Pandrah 89,33 8.933,00 4,704 Jeunieb 114,52 11.452,00 6,025 Peulimbang 64,15 6.415,00 3,376 Peudada 391,33 39.133,00 20,587 Juli 212,08 21.208,00 11,168 Jeumpa 69,42 6.942,00 3,659 Kota Juang 31,56 3.156,00 1,66
10 Kuala 23,72 2.372,00 1,2511 Jangka 81,33 8.133,00 4,2812 Peusangan 122,36 12.236,00 6,4413 Peusangan Selatan 128,30 12.830,00 6,7514 Peusangan Siblah 54,62 5.462,00 2,87
Krueng15 Makmur 66,53 6.653,00 3,5016 Kuta Blang 41,10 4.110,00 2,1617 Gandapura 36,15 3.615,00 1,90
Kabupaten Bireuen 1.901,21 190.121,00 100,00
36
3.1.3. Administratif
Secara Administratif, Kabupaten Bireuen masuk di dalam Provinsi Aceh.
Batas-batas Administratif Kabupaten Bireuen adalah sebelah Utara berbatas
dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Bener Meriah
dan Aceh Tengah, sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Pidie Jaya dan Pidie,
dan sebelah Timur berbatas dengan Kabupaten Aceh Utara. Kabupaten Bireuen
meliputi 17 kecamatan dan 609 gampong. Kecamatan Peudada merupakan
kecamatan terluas dengan luas sekitar 391,33 km2 atau sekitar 20,58 persen luas
Kabupaten Bireuen.
3.1.4. Kependudukan
Penduduk Kabupaten berjumlah 359,032 jiwa yang tersebar di 17
kecamatan dan 609 gampong dengan penduduk paling terbanyak terdapat di
Kecamatan Peusangan yaitu 44,148 jiwa dan Kecamatan Kota Juang yaitu 42,783
jiwa dan penduduk yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Pandrah yaitu 7,509
jiwa. Jumlah penduduk dan kepadatan kecamatan di Bireuen ditunjukkan pada
tabel berikut:3
Tabel 2.7. Kepadatan Penduduk per Kecamatan Di kab. Bireuen
No Kecamatan Luas Wilayah Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk(Km2) (jiwa) per Km2
1. Samalanga 156,22 24,034 1542. Simpang Mamplam 218,49 21,093 973. Pandrah 89,33 7,509 844. Jeunieb 114,52 18,764 1645. Peulimbang 64,15 9,330 1456. Peudada 391,33 22,148 577. Juli 212,08 25,416 1208. Jeumpa 69,42 28,390 4099. Kota Juang 31,56 42,783 1,356
3ppsp.nawasis.info/dokumen/perencanaan/sanitasi/pokja/.../kab.Bireuen/Bab %20II.docx.diakses pada tanggal 26 september 2016.
37
10. Kuala 23,72 15,100 63711. Jangka 81,18 25,300 31212. Peusangan 122,48 44,148 36013. Psg. Selatan 106,33 11,971 11314. Psg. Siblah Krueng 76,62 9,320 12215. Makmur 66,53 13,295 20016. Gandapura 36,15 20,857 57717. Kuta Blang 46,56 19,765 645
3.1.5. Sosial Masyarakat
Perkembangan pembangunan di bidang spiritual dapat dilihat dari
banyaknya sarana peribadatan masing masing agama. Ditinjau dari jumlah
pemeluk agama, tercatat 358,579 Umat Islam, 200 Umat Kristen, 17 Katolik, 11
Hindu, 225 Hindu.4
3.2. Sebab Dilaksanakannya Itsbat Nikah Terpadu di Kabupaten Bireuen
Mengulas kembali pembahasan pada bab sebelumnya bahwa tujuan
dilaksanakannya itsbat nikah adalah memberikan kesempatan kepada setiap
pasangan yang telah menikah secara sah, namun tidak memiliki buku atau akta
nikah, untuk ditetapkan kembali pernikahan mereka melalui prosedur negara,
sehingga pasangan yang dimaksudkan mendapatkan buku nikah melalui
pencatatan setelah dilakukannya itsbat nikah.
Isbat nikah ini prinsipnya bagian dari upaya atau langkah pemerintah
dalam melayani masyarakat yang berada dalam lingkup kompetensinya.
Pelayanan tersebut dilakukan menimbang banyaknya masyarakat yang tidak
mencatatkan pernikahan. Keberadan itsbat nikah dianggap penting, karena bagi
masyarakat yang perkawinannya tidak tercatat, tidak akan dapat membuktikan
4ppsp.nawasis.info/dokumen/perencanaan/sanitasi/pokja/.../kab.Bireuen/Bab %20II.docx.diakses pada tanggal 26 september 2016.
38
perkawinan mereka ketika terjadi suatu perkara yang melibatkan unsur-unsur
(badan hukum) negara, salah satunya di persidangan pada suatu pengadilan.
Walaupun secara agama telah diakui keabsahannya, namun satu-satunya dapat
dijadikan bukti autentik di pengadilan adalah akta pernikahan. Untuk itu, itsbat
nikah ini sangat bermanfaat bagi masyarakat awam yang notabene sebagai subjek
hukum dan harus dilayani oleh subjek hukum lain, yaitu pemerintah.
Bertalian dengan permasalahan di atas, dalam praktek atau proses
pelaksanaan itsbat nikah, masyarakat atau pasangan yang tidak memiliki buku
nikah mendapat kesulitan ketika berurusan dengan pengadilan. Sebagaimana
dijelaskan oleh Khoiruddin Harahab, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen,
mengungkapkan bahwa pihak Mahkamah memberikan suatu pelayanan terpadu
bagi masyarakat untuk mempermudah menjangkau pengadilan dalam rangka
mewujudkan prinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan terkait dengan itsbat
nikah. Itsbat nikah ini dilakukan dengan terjun langsung ke wilayah kecamatan.
Artinya sidang itsbat dilakukan di tempat yang telah ditentukan sebelumnya di
kecamatan, yaitu dengan dilaksanakan program sidang terpadu perkara itsbat
nikah.5
Menurut keterangan Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen tersebut, dapat
dipahami paling tidak terdapat tiga alasan atau sebab dilaksanakannya itsbat nikah
terpadu di Kabupaten Bireuen. Ketiga alasan tersebut sebagai berikut:
5Hasil Wawancara dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 3 Oktober2016.
39
3.2.1. Masalah akses ke Mahkamah Syar’iyah Bireuen
Kendala yang menghambat masyarakat dalam melakukan sidang perkara
itsbat nikah untuk pengurusan buku nikah dan pengajuan itsbat nikah ke
Mahkamah Syar’iyah Bireuen adalah kendala transportasi, karena jarak yang jauh
antara Mahkamah Syar’iyah Bireuen dengan beberapa kecamatan yang ada di
Bireuen. Sebagaimana dijelaskan oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen
Khoiruddin Harahap, bahwa untuk menempuh perjalanan ke Mahkamah dalam
rangka pengurusan itsbat nikah, membutuhkan biaya yang relatif tidak sedikit
serta kendala waktu yang lama untuk mendaftarkan sidang itsbat, dan sidang juga
tidak bisa dilakukan dalam satu kali untuk mendapatkan penetapan Mahkamah.6
Pernyataan yang sama seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Mahkamah
Syar’iyah Bireuen, bahwa:
“Pengajuan permohonan serta pelaksanaan itsbat nikah tidak begitu mudah, karena terdapat kendala terkait masalah jarak tempuh masyarakat yang ingin melakukan proses itsbat nikah. Dengan rentang jarak yang sangat jauh ini, untuk masyarakat di beberapa kecamatan mengalamikesulitan, bahkan timbul kejenuhan dan tidak ingin melakukan proses itsbat nikah di Mahkamah Syar’iyah Bireuen.7
Dari permasalahan tersebut, timbul keinginan dalam mengupayakan
kemudahan kepada masyarakat yang belum memiliki buku nikah untuk dapat
mengikuti program sidang itsbat nikah terpadu yang dilaksanakan oleh Mahkamah
Syar’iyah Bireuen. Mahkamah membantu memfasilitasi masyarakat dari segi
biaya pengurusan sidang terpadu serta mengurus dan mendata masyarakat yang
6Hasil Wawancara dengan Khoiruddin Harahap, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 3 Oktober 2016.
7Hasil Wawancara dengan Amiruddin, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Pada tanggal 3 Oktober 2016.
40
tidak mempunyai buku nikah untuk mengikuti sidang itsbat nikah terpadu yang
dilakukan di setiap Kantor Kecamatan di Kabupaten Bireuen.8
Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen menambahkan bahwa:
“Sidang perkara itsbat nikah terpadu tersebut tidak dipungut biaya, karenabiaya pendaftaran sidang terpadu tersebut sudah dianggarkan oleh Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh. Selain itu, mengenai dana akomodasi tim sidang terpadu Mahkamah Syar’iyah Bireuen juga sudah dianggarkan oleh Dinas Syari’at Islam, yang meliputi dana program sidang terpadu dan trasportasi untuk menjangkau kecamatan”.
Menurut Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen Khoiruddin Harahap,
dengan adanya program sidang itsbat nikah terpadu ini maka akan tercipta asas
Mahkamah Syar’iyah atau istilah lain Pengadilan Agama yang sederhana, cepat
dan biaya ringan. Karena masyarakat lebih mudah dalam mengakses Mahkamah
Syar’iyah serta masyarakat juga tidak kesulitan dalam hal biaya untuk
menjangkau wilayah Mahkamah Syar’iyah Bireuen yang relatif jauh dari beberapa
kecamatan yang ada.
3.2.2. Masalah keadilan, kemaslahatan dan kepastian hukum
Di samping adanya kendala terkait akses masyarakat ke Mahkamah
Syar’iyah Bireuen, juga yang menjadi alasan dilaksanakannya itsbat nikah terpadu
adalah demi keadilan, kemaslahatan dan kepastian hukum. Hal ini pula yang
diungkapkan oleh Mahkamah Syar’iyah Bireuen, bahwa dengan dilaksanakan
sidang terpadu perkara itsbat nikah tersebut mempermudah dan membantu
masyarakat yang awam tentang hukum serta membantu masyarakat mengetahui
8Ibid.
41
apa sebenarnya itsbat nikah tersebut dan pentingnya pencatatan perkawinan untuk
memberikan perlindungan hukum.
Menurut keterangan salah seorang hakim di Mahkamah Syar’iyah Bireuen,
itsbat nikah terpadu ini dapat membawa dampak maslahat bagi pasangan yang
tidak memiliki buku nikah khususnya, dan umumnya bagi masyarakat luas yang
berada di setiap kecamatan yang ada. Beliau menambahkan pendapat sebagai
berikut:
“Dengan adanya itsbat nikah terpadu, juga sangat membantu pasangan dalam proses sidang itsbat nikah yang belum memenuhi ketentuanadministratif terkait pencatatan perkawinan, sehingga setelah adanya penetapan Mahkamah Syar’iyah Bireuen, hak-hak pasangan yangsebelumnya tidak memiliki akta nikah, akan mendapatkan kepastian hukum. Misalnya, dalam pengurusan hak-hak keperdataan seperti warisan, nafkah, hak suami dan istri setelah terjadi perceraian dan mudah dalam pembuatan akte kelahiran anak”.9
Adapun sidang itsbat nikah terpadu ini diprioritaskan untuk pernikahan
sebelum ataupun setelah Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun, mayoritas perkawinan yang diitsbat nikah terpadu ini adalah perkawinan
yang dilakukan setelah adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Khoiruddin (Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen),
karena bagi pasangan yang menikah sebelum Undang-Undang Perkawinan
tersebut diundangkan, telah melakukan itsbat nikah secara serentak yang
dilakukan oleh KUA di setiap kecamatan di Bereun, melalui instruksi dari
Pengadilan Agama Kabupaten Bireuen saat itu.10
9Hasil wawancara dengan Rubaiyyah, Hakim Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal5 Oktober 2016.
10Wawancara dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 3 Oktober 2016.
42
Terkait dengan pelaksanaan itsbat nikah bagi pasangan yang melakukan
perkawinan sebelum Undang-Undang Perkawinan diundangkan, didasari pada
Kompilasi Hukum Islam, tepatnya pada Pasal 7 ayat (3), yang menyatakan bahwa
itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka perceraian, hilangnya akta
nikah, adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No.
1 Tahun1974, serta perkawinan yang dilakukan oleh merekayang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Sedangkan alasan terkait pelaksanaan itsbat nikah terpadu untuk perkawinan
setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikarenakan
perkawinan yang dilaksanakan oleh sebuah pasangan tidak termasuk perkawinan
yang batal demi hukum, hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 70 Kompilasi
Hukum Islam.
Zulfikri menambahkan bahwa itsbat nikah terpadu yang dilakukan oleh
Mahkamah Syar’iyah Bireuen merupakan suatu tindakan hukum pengecualian
dari hakim untuk terciptanya keadilan dan kemaslahatan, selama pernikahan
pasangan tersebut memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagaimana ketentuan
yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam tentang rukun dan syarat
perkawinan. Hanya saja perkawinan para pemohon yang kemudian diitbatkan itu
tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak mempunyai akta nikah, sehingga
43
diperlukan penetapan pengesahan (itsbat nikah) dari Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syar’iyah.11
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa untuk terciptanya
kemaslahatan masyarakat serta memberikan keadilan khususnya bagi pasangan
yang tidak memiliki akta nikah, maka itsbat nikah terpadu ini adalah langkah yang
tepat dan merupakan bagian dari upaya Mahkamah Syar’iyah Bireuen dalam
melayani masyarakat dengan dikeluarkannya penetapan Mahkamah Syar’iyah
mengenai akta nikah. Berawal dari adanya keinginan untuk menegakkan keadilan
serta untuk menciptakan kemaslahatan dan kepastian hukum bagi masyarakat
yang belum mencatatkan pernikahan, maka itsbat nikah terpadu ini dilakukan
dengan dibantu oleh pihak KUA di setiap kecamatan dalam mendata pasangan
yang belum memiliki akta nikah.
3.2.3. Masalah sosialisasi itsbat nikah dan pencatatan nikah
Umum dipahami bahwa tugas dan wewenang hakim dalam suatu badan
peradilan adalah sebagai media dalam menyelesaikan perkara-perkara yang
diajukan. Namun demikian, unsur-unsur peradilan seperti halnya hakim tidak
hanya sebatas pelaksanaan penyelesaian kasus yang ada dalam melakukan
persidangan secara formal dan kaku, tetapi lebih dari itu bahwa hakim membawa
misi atau tugas untuk mensosialisasikan amanah-amanah negara yang dibebankan
pemerintah kepada mereka. Salah satu tugas dalam hal sosialilasi ini adalah
mengenai pencatatan perkawinan.
11Hasil wawancara dengan Zulfikri, Hakim Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 5 Oktober 2016.
44
Sosialisasi tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan masyarakat
pengetahuan terkait adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam mengenai pencatatan nikah, dalam
kaitan masalah penelitian ini termasuk juga sosialisasi tentang itsbat nikah. Hal ini
dianggap perlu karena dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat arti dari
pentingnya pencatatan nikah. Di Kabupaten Bireuen tidak sedikit masyarakat
lebih percaya dinikahkan oleh seorang Tengku daripada menikah di KUA
setempat, sehingga budaya nikah sirri marak dilakukan. Namun demikian,
semenjak Undang-Undang Perkawinan disebarluaskan, dan menjadi bagian dari
rujukan hukum seorang hakim di setiap Pengadilan Agama, mayoritas masyarakat
yang melakukan perkawinan, paling tidak kisaran tahun 1990, telah mencatatkan
perkawinannya. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh salah seorang Kepala
KUA Peudada, yaitu sebagai berikut:
“Mayoritas masyarakat di Kecamatan Peudada, umumnya telah menyadari arti dari pentingnya pencatatan nikah. Sehingga, di setiap ada peristiwa nikah tetap dilakukan berdasarkan aturan yang dibuat oleh negara. Sepengetahuan saya, masyarakat telah mencatatkan pernikahan di tahun sembilan puluh (1990:pen), walaupun pada tahun sebelumnya ada juga yang mencatatkan pernikahannya, namun tidak sebanyak pada tahun itu. Hal ini tentunya terdapat pengaruh dari pimpinan pengadilan pada saat itu yang mewajibkan pernikahan dicatatkan”.12
Dari penjelasan di atas, dipahami bahwa pengaruh dari kuatnya sosialisasi
dari pengadilan akan pencatatan nikah tentu secara sadar masyarakat dapat
memahami kegunaan dari pencatatan tersebut. Terkait dengan aspek sosialisai ini,
Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen menerangkan bahwa tujuan dari
12Hasil wawancara dengan Mursal M. Nur, Kepala KUA Kecamatan Peudada, pada tanggal 27 September 2016.
45
dilaksanakannya itsbat nikah terpadu ini adalah untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat dalam hal pencatatan pernikahan. Beliau melanjutkan dengan
menyatakan bahwa:
“Tidak mungkin ada itsbat nikah jika memang bukan disebabkan karena pencatatan nikah. Itsbat nikah ini diadakan karena banyak di antara masyarakat belum paham, dan belum mengerti manfaat dari pencatatan tersebut. Untuk itu, itsbat nikah terpadu ini dilakukan di samping melaksanakan tujuan utama, yaitu mendata pasangan yang belum memiliki buku nikah dan mendatakan pernikahannya kembali melalui itsbat nikah, juga sebagai ajang sosialisasi kepada masyarakat setempat mengenai pencatatan nikah.13
Dengan adanya program itsbat nikah ini, pihak pengadilan berikut dengan
unsur-unsur yang ada di dalamnya, seperti hakim, ketua pengadilan, dan
perangkat lainnya dapat secara langsung bertatap muka dengan masyarakat, serta
memberikan pengetahuan mengenai kedudukan pencatatan dan itsbat nikah.
Jika dilihat lebih jauh, bahwa aturan tentang penting pelaksanaan
pencatatan nikah melalui itsbat nikah ini telah dituangkan dalam Qanun Nomor 6
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Di mana,
salah satu dokumen kependudukan yang menjadi hak masyarakat adalah akta
nikah. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf a Qanun tersebut, dinyatakan
masyarakat atau setiap penduduk berhak mendapatkan pelayanan untuk
memperoleh dokumen kependudukan. Di mana, dokumen kependudukan yang
dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (8) qanun tersebut salah satunya yaitu akta nikah
melalui pencatatan nikah. Dengan adanya amanah dari Qanun ini, maka
seyogyanyalah pihak pemerintah, khususnya Pengadilan atau Mahkamah
13Wawancara dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 3 Oktober 2016.
46
Syar’iyyah untuk melakukan sidang-sidang itsbat nikah bagi penduduk Aceh yang
tidak memiliki buku nikah.
Amanah Qanun No. 6 tahun 2008 tersebut juga mengamanahkan kepada
Dinas Kependudukan dengan melakukan Koordinasi kepada Pengadilan Agama
untuk melakukan pencatatan nikah. Ketentuan tersebut telah dimuat dalam Pasal
Pasal 27 huruf a:
“Dalam melaksanakan ketentuan mengenai Administrasi Kependudukan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kabupaten/kota berwenang: Melakukan koordinasi dengan Kantor Departemen Agama kabupaten/kota dan Pengadilan Agama berkaitan dengan pencatatan nikah, talak, cerai danrujuk bagi penduduk yang beragama Islam yang dilakukan oleh Kanor Urusan Agama Kecamatan”.
Bahkan, bagi pasangan yang tidak ada akta nikah pada masa konflik, juga
mendapat jaminan sahnya pernikahan yang dilakukan. Hal ini telah dijelaskan
pada Pasal 91 ayat (3):
“Semua peristiwa perkawinan/pernikahan yang dilakukan pada masa konflik dinyatakan sah dan dapat diterbitkan akta perkawinan/nikah”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa program itsbat nikah
terpadu yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyyah Bireun merupakan suatu
urgen dan sangat penting. Karena, berdasarkan data yang diperoleh dari sidang
itsbat nikah (datanya dapat dilihat pada sub bahasan selanjutnya), pasangan yang
tidak memiliki buku nikah karena pernikahannya dilakukan semasa konflik. Jadi,
perkawinan mereka tetap dipandang sah dan dapat diterbitkan akta nikahnya
melalui instansi yang berwenang (Kantor Urusan Agama).
47
3.3. Teknik Pelaksanaan Itsbat Nikah Terpadu di Kabupaten Bireuen
Dalam pelaksanaan itsbat nikah terpadu di Kabupaten Bireuen, sidang
terpadu ini dilakukan berdasarkan sinergi antara KUA di setiap kecamatan dengan
Mahkamah Syar’iyah Bireuen, dimana lembaga Mahkamah Syar’iyah
mengirimkan surat pemberitahuan untuk diadakannya sidang terpadu perkara
itsbat nikah di Kantor Urusan Agama di masing-masing kecamatan.14
Sebagaimana keterangan Ketua Mahkamah, bahwa diadakannya progam sidang
itsbat nikah terebut dikarenakan sidang terpadu merupakan program bantuan
hukum yang ditujukan kepada masyarakat yang kesulitan untuk menjangkau
Mahkamah, di samping masih banyak diperoleh pasangan yang belum memiliki
akta nikah. Pelaksanaannya dilakukan dalam jangka pendek. Artinya, hanya
dilakukan sekali.
Meskipun melakukan pencatatan nikah bersifat reguler, artinya ada
amanah dari undang-undang untuk mencatatkan pernikahan, tetapi khusus dalam
masalah itsbat nikah ini dilakukan bukan bagian dari program yang dituangkan
dalam Undang-Undang, tetapi hanya sebatas kebijakan pemerintah. Untuk itu,
pelaksanaannya tidak dalam target jangka penjang dan berkelanjutan. Sidang
terpadu dan itsbat nikah dilaksanakan untuk membantu masyarakat yang buta
hukum untuk mendapatkan buku nikah dalam rangka pencatatan pernikahannya.
Adapun prosedur dan teknik sidang terpadu perkara itsbat nikah oleh Makamah
Syar’iyah Bireuen adalah sebagi berikut:
14Wawancara dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 3 Oktober 2016.
48
3.3.1. Pendaftaran perkara sidang itsbat nikah terpadu di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Langkah awal dalam pelaksanaan sidang terpadu perkara itsbat nikah ini
adalah melakukan pendaftaran. Proses pendaftaran ini dilakukan oleh KUA
Kecamatan dengan cara mendata masyarakat yang belum memiliki akta nikah,
kemudian pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan memberikan data tersebut
kepada pihak Mahkamah untuk kemudian ditindaklanjuti.
Terkait dengan blanko pendaftaran, pihak Mahkamah sebelumnya telah
menyediakannya dan diberikan kepada masing-masing Kepala KUA se-
Kecamatan di Bireuen. Adapun mengenai administrasi masyarakat tidak dibebani
biaya pembayaran pendaftaran. Karena, seluruh keperluan dana untuk
pelaksanaan itsbat nikah ini telah disediakan oleh Mahkamah Syar’iyah Bireuen,
yang diperoleh dari Dinas Syari’at Islam Kabupaten Bireuen. Dalam hal ini, Dinas
Syari’at Islam Islam Kabupaten memperolehnya dari Dinas Syari’at Islam
Provinsi Aceh.15 Sebagaimana keterangan dari salah satu pasangan itsbat nikah
terpadu di Kecamatan Peudada, M. Ali menyatakan bahwa dalam pendaftaran
itsbat nikah yang ia ajukan tidak dipungut biaya, dia hanya mendaftarkan diri dan
memenuhi persyaratan yang harus dilengkapi yang sebelumnya telah disampaikan
oleh pihak KUA.16
15Wawancara dengan Irpanusir, Panitera Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 3 Oktober 2016.
16Hasil wawancara dengan M. Ali, pasangan itsbat nikah terpadu, warga Gampong Menasah Krueng, Kecamatan Peudada, pada tanggal 5 Oktober 2016.
49
Keterangan yang sama juga dinyatakan oleh pasangan Jamaluddin dan
Marlina, dimana permohonan itsbat nikah yang mereka ajukan didaftarkan
terlebih dulu ke KUA Peudada. Jamaluddin menambahkan bahwa:
Kami mendaftarkan untuk melakukan sidang itsbat nikah ke KUA Peudada. Sebelum mendaftarkan, terlebih dulu sebelumnya kami mendapat informasi dari Tengku Imum Mesjid dan Keuchik, bahwa ada program itsbat nikah terpadu bagi pasangan yang tidak memiliki akta nikah untuk didaftarkan ke KUA Peudada. Menurut keterangan Keuchik,program ini dulunya diadakan oleh pemerintah, dalam hal ini dari Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Untuk itu, kami mendaftarkan diri, tanpaada pembayaran yang harus kami lakukan. Karena, pihak KUA sendirimengatakan dana untuk program ini telah disediakan oleh Mahkamah Syar’iyah.17
Pendaftaran dalam sidang itsbat nikah terpadu ini secara umum sama
dengan pendaftaran itsbat nikah langsung seperti ke Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah. Permohonan dalam sidang terpadu perkara itsbat
nikah ini tetap yang bersangkutan yang mengajukan permohonan, hanya
perbedaannya sidang itsbat nikah ini bersifat kolektif dan pembiayaan di fasilitasi
oleh Mahkamah Syar’iyah yang bekerja sama dengan KUA di setiap kecamatan.
Sedangkan mengenai tanda tangan di SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar)
tetap yang bersangkutan yang menandatangani.
Amiruddin, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah, menyatakan bahwa kuota
yang disediakan untuk pasangan itsbat nikah terpadu ini adalah sebanyak 50 (lima
puluh) orang.18 Terkait dengan biaya penyelenggaraan sidang terpadu ini,
dibebankan kepada Mahkamah Syar’iyah, yang komponennya terdiri dari biaya
17Hasil wawancara dengan Jamaluddin, pasangan itsbat nikah terpadu, warga Gampong Sawang, Kecamatan Peudada, pada tanggal 7 Oktober 2016.
18Hasil Wawancara dengan Amiruddin, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Pada tanggal 3 Oktober 2016.
50
tempat persidangan, biaya sewa perlengkapan sidang, biaya petugas pelaksana
sidang (terdiri dari hakim dan panitera), dan biaya transportasi untuk keseluruhan
pasangan yang mendaftar.19
3.3.2. Proses pelaksanaan sidang itsbat nikah terpadu
Proses perlaksanaan itsbat nikah terpadu ini dilakukan secara
serentak/bersamaan, dalam arti bahwa setiap peserta atau pasangan yang telah
mendaftar di 17 (tujuh belas) kecamatan kemudian dikumpulkan di Aula SEKDA
Kabupaten Bireuen. Dalam proses perlaksanaan itsbat ini, Mahkamah Syar’iyah
Bireuen menugaskan hakim-hakim untuk melaksanakan sidang terpadu. Sidang
tersebut dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 19 September 2016.
Terkait dengan pelaksanaan sidang terpadu perkara itsbat nikah yang
diadakan di Aula SEKDA Kabupaten Bireuen, dilakukan dalam satu kali sidang,
sehingga pada hari itu juga peserta sidang terpadu perkara itsbat nikah langsung
mendapatkan penetapan. Proses dan tahapan persidangan itsbat nikah terpadu
sama seperti persidangan itsbat nikah pada umumnya, yaitu ada pemeriksaan
identitas, pemberian arahan-arahan, pertanyaan hakim, bacaan permohonan,
pembuktian, dan apabila sudah ditemukan fakta hukum maka diberikan
penetapan.20 Adapun teknik dan proses tahapan-tahapan pelaksanaan sidang itsbat
nikah terpadu ini meliputi pemeriksaan, pembuktian, serta kesimpulan dan
19Keterangan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 3 Oktober 2016.
20Hasil wawancara dengan Irpanusir, Panitera Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 5 Oktober 2016
51
penetapan. Penjelasan dari masing-masing tahapan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Tahap pemeriksaaan
Dalam pemeriksaan sidang terpadu itsbat nikah sama dengan sidang itsbat
nikah pada umumnya. Dalam pemeriksaan perkara terlebih dahulu hakim
mengangkat sumpah para pasangan, kemudian menanyakan identitas para pihak,
setelah itu memberikan nasehat atau arahan-arahan seperlunya, kemudian hakim
melanjutkan pemeriksaan dengan membaca surat permohonan itsbat nikah yang
sebelumnya surat permohonan tersebut telah disediakan oleh pihak Mahkamah.
Dalam hal ini, hakim menanyakan tentang kebenaran identitas para pemohon,
hingga pada pertanyaan terkait proses pelaksanaan pernikahan yang sebelumnya
telah dilakukan oleh masing-masing pasangan.21
Zulfikri menjelaskan bahwa pertanyaan yang diajukan kepada pasangan
dalam sidang itsbat nikah ini sama halnya dengan proses pemeriksaan yang
dilakukan langsung di Mahkamah Syar’iyah. Adapun keterangan lengkapnya
adalah sebagai berikut:
“Pada tahap pemeriksaan pasangan yang sebelumnya telah mendaftar di kecamatan, dimulai dengan tanya jawab, baik masalah kebenaran identitas, maupun kebenaran perkawinan mereka. Dalam hal ini, kami para hakim tidak terlalu formal mengikuti aturan dalam teknis pemeriksaansebagaimana prosedur pemeriksaan itsbat nikah yang berlaku di lembaga Mahkamah Syar’iyah pada umumnya”.22
21Ibid.
22Hasil wawancara dengan Zulfikri, Hakim Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 5
Oktober 2016.
52
b. Tahap pembuktian
Pada tahap ini, para hakim menguji bukti-bukti yang diajukan baik surat,
saksi dan wali. Diawali dengan bukti surat berupa foto kopi kartu tanda penduduk
kedua belah pihak, foto kopi kartu keluarga atas nama para pemohon, surat asli
keterangan pernikahan belum tercatat atas nama pemohon yang ditandatangani
dan dikeluarkan oleh kepala desa berikut dengan tanda tangan Tengku Imum yang
menjabat waktu pelaksanaan nikah sebelumnya.
Selanjutnya setelah bukti surat telah dimintai keterangan, dilanjutkan
untuk pemanggilan para saksi, kemudian saksi ini disumpah terlebih dahulu, dan
Ketua Majelis mulai memberikan beberapa pertanyaan. Pemohon bebas
mengemukakan peristiwa yang berhubungan dengan terjadinya perkawinan.
Apabila semua bukti telah diungkapkan dan menyatakan bahwa pernikahan
dinyatakan tidak cacat demi hukum. Dalam prose pembuktian ini, bukti saksi
dihadirkan untuk tiap-tiap pasangan yaitu dua orang saksi. Mursal M. Nur
menyatakan bahwa pihak pasangan yang melakukan itsbat nikah harus
mendatangkan dua orang saksi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
“Sebelum dilakukannya proses sidang itsbat nikah yang dilakukan di Aula SEKDA Kabupaten Bireuen, awalnya waktu pendaftaran itsbat nikah kami dari pihak KUA diminta untuk menjelaskan persyaratan sidang yang harus dilengkapi tiap-tiap pasangan, salah satunya yaitu kami memberitahukan kepada masyarakat (pasangan: pen) bahwa harus mendatangkan dua orangsaksi untuk dilakukan proses pembuktian di waktu sidang itsbat nikah terpadu”.23
23Hasil wawancara dengan Mursal M. Nur, Kepala KUA Kecamatan Peudada, pada tanggal 27 September 2016.
53
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Amiruddin mengemukakan dengan
penjelasan sebagai berikut:
“Pada tanggal 19 September 2016, kami melakukan proses pemeriksaan, pembuktian, dan penetapan itsbat nikah. Pada hari itu, tiap-tiap pasangan yang telah mendaftar untuk sidang itsbat telah menghadirkan saksi pernikahan mereka. Hal ini sebelumnya dari pihak Mahkamah telah mengeluarkan surat kepada pihak KUA di setiap kecamatan, yang dalam surat itu salah satunya memuat pemberitahuan agar proses pemeriksaan dan pembuktian pasangan yang ingin melakukan itsbat nikah terpadu
berjalan dengan lancar”.24
c. Tahap kesimpulan dan penetapan
Pada tahap ini, setelah adanya pembuktian-pembuktian yang lengkap, baik
berupa bukti surat dan saksi, para hakim yang melakukan proses sidang
mengambil kesimpulan. Apabila keterangan bukti dianggap sempurna dan
menyatakan adanya perkawinan tersebut benar-benar telah dilakukan sebelumnya.
Selanjutnya dilangsungkan pembacaan penetapan itsbat nikah. Setelah penetapan
tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis kepada masing-masing pasangan itsbat
nikah beserta dengan para saksi dari masing-masing pasangan, selanjutnya
diberitahukan kepada pemohon akan hak-haknya, jika dikehendaki untuk
melakukan upaya hukum selanjutnya.
Dari ketiga proses atau langkah-langkah persidangan tersebut, tidak ada
penundaan sidang seperti sidang pada umumnya. Pada hari itu juga hakim
langsung membacakan penetapan itsbat nikah kepada para pihak. Setelah ada hasil
penetapan tersebut, kemudian masing-masing pasangan harus menandatangani
buku nikah pada hari itu juga, yaitu para peserta disuruh mendatangi Kepala KUA
24Hasil Wawancara dengan Amiruddin, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Pada tanggal 3 Oktober 2016.
54
yang juga hadir pada hari itu.25 Di bawah ini, dapat dilihat tabel terkait dengan
pihak-pihak pasangan dan saksi yang melakukan itsbat nikah terpadu khusus di 15
kecamatan yang ada di Kabupaten Bireuen.26
Tabel: Daftar Isbat Nikah di Kabupaten BireuenDAFTAR SUAMI-ISTRI YANG TIDAK MEMILIKI KUTIPAN AKTA NIKAH DALAM RANGKA ISBAT NIKAH BAGI KORBAN KONFLIK DAN MASYARAKAT MISKIN DI
KABUPATEN BIREUEN TAHUN 2016NO PASANGAN
1 Saifuddin denganMardiana
2 M. Ali denganSakdiah
3 Hamdan denganAsma
4 Jamaluddin denganMarlina
5 Jailani dengan AinoMardiah
6 Muhajir denganRamlah
7 Abu Bakar denganNurasama
8 Faudhi denganKasmiati
9 M. Risyad denganAisyah
10 Muzakir M. Husendengan Normasyitah
11 A.Hadi Ilyas denganSuryati Ibrahim
12 Fardami dengan SriWahyuni
13 M. Sufi denganSalamah
14 Ishak dengan Zahara
15 Syukri M. Nurdengan Zainabuon
16 A.Muthalib Ibrahimdengan Gadis Kuim
17 Syarifuddin Yunusdengan Darmawati
18 M. Adam denganRosmawati
19 Mulyadi denganKartini
20 Asnawi denganMurhani
21 Maimun Zakaria
TGL SAKSINIKAH
26/09/1999 Jailani dan Syarbini
31/12/2000 Zakaria Banta danSulaiman
01/01/2001 Jamaluddin dan M.Yunus HZ
01/01/2003 Jamaluddin dan M.Yunus HZ
14/10/2000 Ikhwan dan Mudasir
26/11/1998 Alamsyah dan FuadiBanta Sidi
22/03/2002 M. Ali dan Hasbi M.Talib
01/11/1987 Wardinur dan Syahrur
15/12/1999 M. Daud dan Marzuki
15/01/2000 Abdul Aziz danZulkarnaini
02/03/1992 M Yusuf dan RidwanThaleb
27/11/1999 Rafidin dan Mulyadi
19/05/2000 Alamsyah dan Ismail
21/11/1999 Johari dan AbdulRahman
05/06/2000 Jafar Ali dan RusliHasan
01/07/2002 Tarmizi Amin danZakwan Idris
05/10/1999 A Jalil dan TarmiziIbrahim
29/07/1999 M. Husen danAbdurrahman
03/02/1998 M. Thaib dan Iskandar
15/07/1999 M. Yusuf dan Ibrahm
01/01/2001 Sulaiman dan Bustami
ALAMAT
Pinto Rimba
Meunasah Krueng
Sawang
Sawang
Tanjong Beuridi
Teupin Reudeup
Lueng Baro
Geulanggang Labu
Lancok Ulim
Mns. Reudeup
Lancok Ulim
Kareung
Karang Rejo Krueng Juli BaratUjong Blang Krueng Juli Timu
Mon Jambe
Paloh me
Ie Rhop
Seuneubok Nalan
SeuneubokTeungoh
Lancok Bungo
Simpang Jaya
KET
Kec. Peudada
Kec. Pesangan Selatan
Kec. Pandrah
Kec. Kuala
Kec. Ganda Pura
Kec.Peulimbang
Kec. Juli
jml
4
4
3
3
3
3
3
25Hasil wawancara dengan Irpanusir, Panitera Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 5 Oktober 2016.
26Data diperoleh dari Dinas Syari’at Islam, pada tanggal 5 Oktober 2016.
dengan Nurasmah
55
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
Saiful Bahri dengan AgustinarAgusni dengan Inda MariatiZakaria dengan JulianaMukhlisin M, dengan Rosmani I.Azhari Yahya dengan Abidah AR.
Fauzi dengan Erlina
M. Y. Basyah dan Nurmawati AbakarDahlawi dengan MaryamahAzhar dengan SaryatiSuheri dengan FitrianaM. Isa Ibrahim dengan Rauzah
Efendi Idayani
Kusnan dengan Nurhayati AhmadRasyidin Abdullah dengan NurmiUsman dengan NurmalawatiZakaria dengan ZalikhaHasanuddin dengan DarwatiMurdani Ali dengan MaryaniMunardi dengan NurainiMunirwan dengan MulyaniRidwan dengan NurainiMuslem dengan MahdalenaMutakallim dengan ZaharaMuhammad Nasir dengan RoslindarHandani dengan Cot Ainol MardhiahHasbullah dengan MerawatiM. Isa dengan MuzayyanahJamaluddin dengan LidawatiM. Jafar Abd.dengan Zubaidah
04/08/2002
15/10/2000
21/01/2000
24/05/2000
16/09/1999
08/02/2000
05/02/1996
08/07/2000
15/05/2000
15/05/2000
19/02/2001
05/08/2003
12/02/2002
10/02/2002
02/03/1993
30/06/1980
10/10/2001
23/11/1999
12/08/2000
09/01/2000
25/08/2000
10/08/2000
10/07/2000
27/05/2001
25/11/2001
13/03/1996
27/06/1998
28/06/1999
03/01/--
Sulaiman danZulkarnaini
Rusli dan Karim
Mardani AR, dan T.Yusran T.A.Usman Husen dan Husaini HamidSulaiman Ishak dan Ridwan T.Muhibudin Yusuf dan M. DiahUsman H, dan Abakar M. NurMawardi dan Abdullah AUsman H, dan Muntasyar YusufUsman H, dan Muntasyar Yusuf
Ridhwan dan Isfadil
Husen Musa dan Mulyadi IbrahimSofyan dan Abdurrahman M. NurAlam Masrur Puteh dan Mukhtar A. GaniRusli Yusuf dan Dahlan
M. Dian dan Hanafiah
Suryadi Samaun dan Razali Hasyem
Jailani AR, dan Ramli
Afifuddin dan MukhtarUsman Hasan dan Zakaria HusenDahlan Taeb dan SaifuddinBuktari Yusuf dan Abdul HalimHanafiah dan Mukhtar Nyak CutJamaluddain dan SaflimaMawardi S, dan Ridwan S.
Jufri dan Mahdi
Burhanuddin dan M.Dahlan
Jufri dan Mahdi
Jufri dan Mahdi
Juli TgkDilampoh
Juli Mns Tambo
Blangcot Tunong
Salah Sirong JY
Cot Bada
Seuleumbah
Cot Aneuk Batee Alue LetKubu Raya Mtg.Kumbang
Lueng Danuen
Cot Aneuk Batee
Mns. Reuleut
GLG. Kulam
Uteuen Reutoh
Blang Mane
Leubu Me
Sukarame
Batee Dabai
Buket Dalam
Jarommah Baroh
Kerumbok
Punjot Alue Kuta
Bugeng Pante Ranub
Tanjongan
Mata Mamplam
Keude Tanjong
Blang Lancang
Mns. Keutapang
Blang Lancang
Blang Lancang
Kec. Jempa4
Kec. P. Siblah4
Krueng
Kec. Kota 3Juang
Kec. Makmur 4
Kec. Kuta 3Blang
Kec. Jangka 3
Kec. Peusangan 2
Kec. Jeuneb 4
Sumber: Kementerian Agama Kebupaten Bireuen Tahun 2016
56
3.4. Dampak Itsbat Nikah Terpadu Terhadap Pencatatan Nikah di Kabupaten Bireuen
Setiap peristiwa perkawinan yang sah dilangsungkan, secara langsung
menimbulkan keterikatan hak dan kewajiban. Prinsipnya, keterikatan hak dan
kewajiban masing-masing suami-istri ini sebetulnya ditentukan oleh kebenaran
peristiwa perkawinan yang telah mereka lakukan. Dalam arti bahwa perkawinan
mereka telah memenuhi syarat dan rukun suatu perkawinan, sehingga perkawinan
itu sah secara hukum (Islam). Dalam hal ini, tidak ada tuntutan bagi kedua
pasangan untuk melengkapi syarat-syarat lain, misalnya melakukan pencatatan
perkawinan.
Namun demikian, pencatatan tersebut penting adanya ketika peristiwa
perkawinan itu dikaitkan dengan adanya intervensi negara dalam melindungi hak-
hak warga atau rakyatnya. Karena, dengan pencatatan itulah nantinya dapat
dibuktikan kebenaran perkawinan, walaupun sebetulnya nikah yang dilakukan
telah memenuhi syarat dan ketentuan menurut hukum Islam. Untuk itu, umum
dipahami bahwa meski pencatatan dimaksud-fungsikan sebagai syarat
administratif, namun keberadaannya dapat menentukan apakah hubungan antara
suami-istri atau anak-anak yang dihasilkan itu sah menurut hukum perundangan
atau tidak. Dengan demikian, dapat dipahami di sini bahwa satu sisi perkawinan
sah menurut agama ketika telah lengkap syaratnya, namun sisi lain tidak sah
menurut negara, sehingga perlu adanya pencatatan.
Terhadap pasangan yang tidak memiliki akta nikah, yang sebelumnya
tidak dicatatkan perkawinannya, maka untuk menetapkan hubungan perkwainan
mereka sah secara hukum (negara), terlebih dahulu harus dilakukan itsbat nikah.
57
Itsbat nikah ini tujuannya untuk menetapkan kembali perkawinan. Dalam
kaitannya dengan proses itsbat nikah terpadu yang dilakukan di Kabupaten
Bireuen, tentunya memiliki dampak. Dampak di sini dimaksudkan adalah suatu
pengaruh yang dihasilkan dari adanya itsbat nikah.
Bertalian dengan hal tersebut, dampak itsbat nikah terpadu terhadap
pencatatan nikah di Kabupaten Bireuen tentunya memiliki dampak positif.
Mengenai dampak positif setelah dilakukannya itsbat nikah dalam kaitannya
dengan pencatatan perkawinan secara umum yaitu terlindunginya hak-hak
pasangan suami-istri serta anak yang dihasilkan, berikut dengan penetapan adanya
kewajiban-kewajiban yang melekat bagi masing-masing pasangan, yang oleh
negara dapat dipaksakan pemenuhannya ketika terjadi perselisihan.
Secara umum, Amiruddin menyatakan bahwa dampak hukum dari
diadakannya sidang istbat nikah terpadu di kebupaten ini paling tidak terdapat 7
(tujuh), yaitu sebagai berikut:
a. Dengan adanya itsbat nikah bagi pasangan yang tidak memiliki akta nikah,
maka perkawinan mereka dapat diakui oleh hukum dengan ditetapkan dan
dicatatkannya kembali perkawinan melalui proses sidang itsbat.
b. Timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami-istri. Dalam hal ini, hak dan
kewajiban suami-istri diakui dan dilindungi oleh peraturan perundang-
undangan. Sehingga, ketika ada salah satu pihak suami-istri tidak memenuhi
hak masing-masing mereka, mereka dapat menuntut ke Mahkamah Syar’iyah
Bireuen khususnya.
58
c. Anak-anak yang lahir dari perkawinan setelah ada penetapa itsbat ini menjadi
anak yang sah di mata hukum dan negara. Dalam hal ini, juga dapat dituntut ke
Mahkamah ketika hak-hak anak tidak terpenuhi dengan baik.
d. Timbulnya kewajiban suami untuk mendidik anak-anaknya dan istri serta
mengusahakan tempat tinggal bersama.
e. Berhak saling waris-mewarisi antara suami dan istri dan anak-anak dengan
orang tua.
f. Bapak berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya, sehingga
kewaliannya dapat dibuktikan dengan adanya akta nikah yang sebelumnya
telah dibuat bersamaan dengan adanya itsbat nikah yang kami tetapkan.
g. Bila di antara suami-istri meninggal salah satunya, maka yang lainnya berhak
menjadi wali pengawas terhadap anak-anak dan hartanya.27
Dari ketujuh poin tersebut di atas, Amiruddin menambahkan bahwa dalam
Islam memang hak dan kewajiban antara suami-istri beserta anak itu sudah
timbul, atau ada ketika perkawinan yang sah telah dilakukan. Namun, negara
sebetulnya belum mengakui hal tersebut. Sehingga, bagi pasangan yang tidak
diakui pernikahannya oleh negara, maka terasa penting untuk dilakukan itsbat
nikah yang kemudian dicatatkan kembali pernikahan mereka.28
Dari penjelasan tersebut, dipahami bahwa inti pokok dari dilaksanakannya
itsbat nikah adalah untuk mencatatkan pernikahan masyarakat di Kabupaten
Bireuen yang sebelumnya telah dilakukan secara sah menurut hukum agama, agar
27Hasil Wawancara dengan Amiruddin, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Pada tanggal 3 Oktober 2016.
28Ibid.
59
kemudian dapat diakui oleh hukum negara serta mempunyai kekuatan hukum atas
akta nikah yang telah dibuat.
Pada prinsipnya lembaga peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung pada jenis perkara perdata tugas pokoknya adalah menyelesaikan masalah
sengketa antara orang perorangan atau orang dengan kelompok atau kelompok
dengan kelompok. Itsbat nikah pelayanan terpadu (atau dalam istilah skripsi ini
disebut itsbat nikah terpadu) adalah upaya menyelesaikan masalah yang dihadapi
oleh orang sebagai anggota masyarakat, karena begitu banyak masyarakat yang
tidak memiliki buku nikah, sehingga menimbulkan permasalahan di masyarakat.
Contohnya pasangan suami-istri yang tidak memiliki buku nikah, maka ia akan
terkendala dalam mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK),
Akta Kelahiran anaknya, dan lain-lain sebagainya. Itu semua sangat erat
hubungannya dengan buku nikah, begitu juga bila terjadi sengketa kewarisan,
maka buku nikah sangat dibutuhkan sebagai bukti autenthik ada hubungan
perkawinan dan hubungan darah yang akan mendapat hak waris secara
berkesinambungan. Oleh karena itu, tugas Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan
Agama untuk menerima, menyidangkan dan memberi penetapan perkara itsbat
nikah dalam upaya menyelesaikan masalah yang dihadapi keluarga, hal ini sesuai
pula dengan ketentuan yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata.
Buku Nikah merupakan dukumen yang sangat penting dan bahkan menjadi
persyaratan dalam proses pelayanan adminstrasi kependudukan. Pasangan suami-
istri yang tidak memiliki buku nikah sangat berpengaruh terhadap semua urusan
administrasi kependudukan. Kenyataannya masih banyak masyarakat di
60
Kabupaten Bireuen yang belum memiliki buku nikah, meskipun mereka telah
mempunyai keturunan.
Penetapan sidang itsbat nikah untuk keseluruhan pasangan yang tidak
mempunyai buku nikah merupakan harapan bagi semua kalangan. Meskipun
terdapat pengaruh atau dampak positif dari pelaksanaan itsbat nikah terpadu,
tetapi sejauh ini terkait dengan program itsbat nikah di Kebupaten Bireuen masih
terbatas jumlah kuota pasangan di setiap kecamatannya. Sebagaimana dijelaskan
oleh Khairuddin Harahab, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen, bahwa program
itsbat nikah yang dilakukan di daerah tersebut disesuaikan dengan jumlah dana
yang diberikan untuk Mahkamah, dalam menjalankan program itsbat nikah
tersebut, sehingga seluruh pengeluaran dalam sidang itsbat nikah ini juga dibatasi.
Untuk itu, pasangan yang akan diitsbat nikah itu dibatasi hanya 50 (lima puluh)
orang. Jumlah ini kemudian dibagi dalam 17 (tujuh belas) kecamatan seperti telah
dilakukan sebelumnya.29
Namun demikian, nampaknya jumlah kuota dari pasangan yang telah
diitsbat nikah tersebut masih menuai permasalahan. Mursal M. Nur menyatakan
bahwa dalam sebuah kecamatan, paling tidak pasangan yang diharuskan
mendaftar yaitu sebanyak tiga atau empat pasangan, sedangkan masyarakat yang
mendaftar untuk satu kecamatan melebihi dari jumlah yang diinginkan oleh
Mahkamah.30 Demikian juga dinyatakan oleh Keuchik Gampong Sawang, dimana
jumlah 50 orang yang diinginkan oleh Mahkamah berakibat pada tidak semua
29Keterangan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Khairuddin Harahab Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen, pada tanggal 3 Oktober 2016.
30Hasil wawancara dengan Mursal M. Nur, Kepala KUA Kecamatan Peudada, pada tanggal 27 September 2016.
61
orang dapat dibantu pencatatan nikahnya. Sehingga, program itsbat nikah ini
berdampak pada tidak tertibnya pencatatan bagi pasangan lainnya yang tidak
memilik buku nikah.31
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa itsbat nikah terpadu
memiliki dampak positif bagi masyarakat yang tidak memiliki buku nikah.
Namun, di sisi lain, pemenuhan atas keinginan masyarakat untuk mencatatkan
kembali pernikahannya masih belum terealisasi dengan baik. Karena, pihak
Mahkamah Syar’iyah membatasi kuota istbat nikah, sehingga sampai saat ini
masyarakat masih banyak yang tidak mengikuti program ini.
31Hasil wawancara dengan Keuchik Gampong Sawang, Kecamatan Peudad, pada tanggal5 Oktober 2016.
BAB EMPAT
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Setelah dilakukan pembahasan serta analisis mengenai masalah
pelaksanaan itsbat nikah terpadu di Kabupaten Bireuen yang telah diuraikan
dalam bab-bab terdahulu, dapat ditarik beberapa kesimpulan atas permasalahan-
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.
4.1.1. Hal yang melatar belakangi dilaksanakannya itsbat nikah terpadu di
Kebupaten Bireuen adalah masih banyak pasangan suami-istri yang tidak
memiliki buku nikah atau akta nikah. Di samping itu, karena akses ke
Mahkamah Syar’iyah Bireuen terlalu jauh dengan beberapa kecamatan
yang ada di Bireuen. Kemudian karena ingin menegakkan keadilan,
kemaslahatan dan kepastian hukum bagi pasangan yang tidak memiliki
buku nikah. Sehingga dengan adanya program itsbat nikah tersebut,
pemerintah dapat menjamin perlindungan hukum atas hak-hak yang
dimiliki oleh pasangan yang bersangkutan.
4.1.2. Teknis pelaksanaan itsbat nikah terpadu di Kabupaten Bireuen sama
dengan teknis pelaksanaan itsbat nikah pada umumnya, yaitu
dilakukannya pendaftaran sebelum dilakukannya sidang itsbat. Namun,
itsbat nikah terpadu ini didaftarkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan,
setelah itu dilakukan proses pelaksanaan sidang itsbat nikah terpadu.
Teknik dan tahapan dalam proses pelaksanaan sidang itsbat nikah terpadu
62
63
melalui tiga tahapan, yaitu pemeriksaaan, pembuktian, serta kesimpulan
dan penetapan. Pada tahap pemeriksaan, hakim memberikan pertanyaan
terkait dengan identitas para pihak berikut dengan pertanyaan mengenai
proses perkawinan masing-masing pasangan. Kemudian, dilakukan tahap
pembuktian dengan menghadirkan dua orang saksi nikah berikut dengan
penjelasan-penjelasannya. Terakhir yaitu tahap kesimpulan dan
penetapan, dalam hal ini peristiwa perkawinan masing-masing pasangan
telah dapat dibuktikan, kemudian dikeluarkan penetapan untuk kemudian
dapat dimintakan buku nikah di masing-masing KUA Kecamatan.
4.1.3. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan itsbat nikah terpadu
di Kabupaten Bireuen memiliki dampak positif yang cukup besar. Dimana
pasangan yang tidak memiliki akta nikah, maka perkawinan mereka dapat
diakui oleh hukum dengan ditetapkan dan dicatatkannya kembali
perkawinan melalui proses sidang itsbat. Kemudian timbulnya hak-hak
dan kewajiban antara suami-istri yang secara hukum dapat dilindungi.
Serta, anak-anak yang lahir dari perkawinan setelah ada penetapan itsbat
ini menjadi anak yang sah di mata hukum dan negara. Namun pencatatan
nikah melalui program itsbat nikah belum terealisasi secara menyeluruh
bagi masyarakat Kabupaten Bireuen. Karena Mahkamah Syar’iyah
Bireuen membatasi kouta istbat nikah, yang berakibat pada masih banyak
ditemukan pasangan yang tidak bisa mengikuti program itsbat nikah dan
mencatatkan pernikahannya.
64
4.2. Saran
Adapun saran yang dapat peneliti sampaikan adalah sebagai berikut:
4.2.1. Program itsbat nikah terpadu sangat membantu tiap-tiap pasangan dalam
memperoleh buku nikah. Namun jumlah pesarta sidang itsbat nikah
seharusnya tidak dibatasi seperti jumlah 50 (lima puluh) pasangan, karena
hal ini akan tidak efektif untuk diterapkan bagi suatu wilayah yang
notebene masih banyak tidak mencatatkan pernikahan, termasuk di
wilayah Kebupaten Bireuen.
4.2.2. Hendaknya pihak Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Bireuen mengajukan
kepada Dinas Syari’at Islam untuk tidak membatasi jumlah pasangan yang
ingin melakukan itsbat nikah. Jikapun jumlah tersebut dikarenakan
keterbatasan anggaran, maka pihak Mahkamah Syar’iyah Bireuen
memberitahukan keadaan tersebut ke lapangan, dimana banyak pasangan
yang masih menginginkan sidang itsbat nikah. Sehingga, anggaran
program itsbat nikah ini dapat diperbanyak jumlahnya, sehingga tujuan
untuk mensejahterakan masyarakat dapat terealisasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Madjid Mahmud Mathlub, al-Wajiz fi Ahkam al-Usrah al-Islamiyah; Penduan Hukum Keluarga Sakinah, (terj: Harits Fadhly & Ahmad Khotib), Surakarta: Era Intermedia, 2005.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2006.
Abdur Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Abdurrahman dan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Alumni, 2001.
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim; Pedoman Hidup Seorang Muslim, (terj: Ikhwanuddin Abdullah & Taufiq Aulia Rahman), Jakarta: Ummul Qura, 2014.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1/1974, sampai KHI, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Citra Umbara, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2014.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 2005.
Elvi Lusiana, 100+ Kesalahan dalam Pernikahan, Jakarta: Qultum Media, 2011.
Kementerian Agama RI, Menelusur Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan tidak Tercatat, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2013.
65
66
Mardani, Akad Nikah Melalui Telepon, Televisi, dan Internet dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.
Muhammad Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2003.
Muhammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: ghalia Indonesia, 1988.
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung, Pustaka Setia, 2011.
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Permberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Panduan Pengajuan Itsbat Nikah, Jakarta: Australia Indonesia Partnership, 2012.
Syofian Siregar, Metode Penelitian Kuantitatif, Dilengkapi Perbandingan Perhitungan Manual & SPSS, Edisi Pertama, Jakarta: Kencana, 2013.
Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia; Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Tihami & Sohari Sahrani, (mengutip Zakiyah Darajat, dkk, Ilmu Fikih), Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Phoenix, 2012.
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam; Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan, Jakarta: Nuansa Aulia, 2008.
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu’, Ila’,Li’an, Zihar dan Masa Iddah, (terj: Abdul Haiyyie Al-Kattani, dkk),Jakarta: Gema Insani, 2011.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
DAFTAR RIWAYAT PENULISDATA DIRI
Nama : JULIANDA
NIM : 111209243Fakultas/Prodi : Syariah dan Hukum/ Hukum KeluargaIPK Terakhir : 3,15Tempat Tanggal Lahir : Matang Sagoe / 17 juli 1994Alamat : Lr, keuchik piah no 9, Jeulingke, Banda AcehRIWAYAT PENDIDIKAN
Sekolah Dasar : SDN 4 Peusangan, Matang Sagoe (tahun lulus 2006)
Sekolah Menengah : MTsS Jeumala Amal, Lueng Putu (tahun lulus 2009)Sekolah Menengah Atas :MAS Ruhul Islam Anak Bangsa, Aceh Besar
(tahun lulus 2012)PTN : UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Fakultas Syari’ah dan
HukumDATA ORANG TUA
Nama Ayah : Anwar Hasan
Nama Ibu : NursyidahPekerjaan Ayah : Pensiunan PNSPekerjaan Ibu : Pensiunan PNS
Alamat :Matang Gelumpan Dua, Kecamatan Peusangan,Kabupaten Bireuen.
Banda Aceh, 17 Juli 2017Yang menerangkan
JULIANDA
DAFTAR PERTANYAAN DALAM WAWANCARA
1. Apa saja sebab dan alasan dilaksanakannya sidang itsbat nikah terpadu di Kabupaten Bireuen?
2. Bagaimana pembiayaan dalam pelaksanaan sidang itsbat nikah terpadu?
3. Bagaimana teknik pelaksanaan sidang itsbat nikah terpadu yang dilakukan olehMahkamah Syar’iyyah Bireuen?
4. Apakah pelaskanaan itsbat nikah terpadu tersebut sama dengan pelaksanaan itsbat nikah yang langsung dimohonkan kepada Mahkamah Syar’iyyah melalui peroses persidangan pasa umumnya?
5. Bagimana proses dan tahapan pelaksanaan itsbat nikah terpadu?
6. Berapa jumlah kuota peserta sidang itsbat nikah terpadu yang ditetapkan oleh pihak Mahkamah Syar’iyyah Bireuen?
7. Apa saja dampak dari pelaksanaan itsbat nikah terpadu?
8. Bagaimana dampak bagi pasangan yang tidak memiliki akta nikah?
DAFTAR HASIL WAWANCARA
Hasil Wawancara Tentang Sebab Dilaksanakannya Itsbat Nikah Terpadu:
1. Wawancara dengan Khoiruddin Harahab, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen: “Pelayanan sidang itsbat nikah dilakukan untuk mempermudah menjangkau pengadilan dalam rangka mewujudkan prinsip sederhana, cepat, dan biayaringan. Itsbat nikah ini dilakukan dengan terjun langsung ke wilayah kecamatan”. (3 Oktober 2016)
2. Wawancara dengan Khoiruddin Harahab, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen:“Tiga alasan atau sebab dilaksanakannya itsbat nikah terpadu di KabupatenBireuen. Pertama, karena masyarakat terkendala mengakses pengadilan.Jarak antara Mahkamah Syar’iyah Bireuen dengan beberapa kecamatan yang ada di Bireuen sangat jauah. Kedua demi keadilan, kemaslahatan dankepastian hukum. Ketika, karena pihak Mahkamah ingin mensosialisasika itsbat nikah dan pencatatan nikah kepada masyarakat”. (3 Oktober 2016).
3. Wawancara dengan Khoiruddin Harahab, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen: “Sidang perkara itsbat nikah terpadu tersebut tidak dipungut biaya, karenabiaya pendaftaran sidang terpadu tersebut sudah dianggarkan oleh DinasSyari’at Islam Provinsi Aceh. Selain itu, mengenai dana akomodasi tim sidang terpadu Mahkamah Syar’iyah Bireuen juga sudah dianggarkan oleh DinasSyari’at Islam, yang meliputi dana program sidang terpadu dan trasportasi untuk menjangkau kecamatan”. (3 Oktober 2016).
4. Wawancara dengan Amiruddin, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen:“Pengajuan permohonan serta pelaksanaan itsbat nikah tidak begitu mudah, karena terdapat kendala terkait masalah jarak tempuh masyarakat yang ingin melakukan proses itsbat nikah. Dengan rentang jarak yang sangat jauh ini, untuk masyarakat di beberapa kecamatan mengalami kesulitan, bahkan timbulkejenuhan dan tidak ingin melakukan proses itsbat nikah di MahkamahSyar’iyah Bireuen”. (3 Oktober 2016).
5. Wawancara dengan Rubaiyyah, Hakim Mahkamah Syar’iyah Bireuen: “Itsbat nikah terpadu ini dapat membawa dampak maslahat bagi pasangan yang tidak memiliki buku nikah khususnya, dan umumnya bagi masyarakat luas yang berada di setiap kecamatan yang ada. Dengan adanya itsbat nikah terpadu, juga sangat membantu pasangan dalam proses sidang itsbat nikah yang belum memenuhi ketentuan administratif terkait pencatatan perkawinan, sehingga
setelah adanya penetapan Mahkamah Syar’iyah Bireuen, hak-hak pasangan yang sebelumnya tidak memiliki akta nikah, akan mendapatkan kepastian hukum. Misalnya, dalam pengurusan hak-hak keperdataan seperti warisan, nafkah, hak suami dan istri setelah terjadi perceraian dan mudah dalam pembuatan akte kelahiran anak”. (5 Oktober 2016).
6. Wawancara dengan Zulfikri, Zulfikri, Hakim Mahkamah Syar’iyah Bireuen: “Itsbat nikah terpadu yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah Bireuen merupakan suatu tindakan hukum pengecualian dari hakim untuk terciptanya keadilan dan kemaslahatan, selama pernikahan pasangan tersebut memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam tentang rukun dan syarat perkawinan. Hanya saja perkawinan para pemohon yang kemudian diitbatkan itu tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak mempunyai akta nikah, sehingga diperlukanpenetapan pengesahan (itsbat nikah) dari Pengadilan Agama atau MahkamahSyar’iyah”. (5 Oktober 2016).
7. Wawancara dengan Mursal M. Nur, Kepala KUA Kecamatan Peudada:“Mayoritas masyarakat di Kecamatan Peudada, umumnya telah menyadari arti dari pentingnya pencatatan nikah. Sehingga, di setiap ada peristiwa nikah tetap dilakukan berdasarkan aturan yang dibuat oleh negara. Sepengetahuan saya, masyarakat telah mencatatkan pernikahan di tahun sembilan puluh (1990:pen), walaupun pada tahun sebelumnya ada juga yang mencatatkan pernikahannya, namun tidak sebanyak pada tahun itu. Hal ini tentunyaterdapat pengaruh dari pimpinan pengadilan pada saat itu yang mewajibkan pernikahan dicatatkan”. (27 September 2016).
8. Wawancara dengan Khoiruddin Harahab, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen: “Tidak mungkin ada itsbat nikah jika memang bukan disebabkan karena pencatatan nikah. Itsbat nikah ini diadakan karena banyak di antara masyarakat belum paham, dan belum mengerti manfaat dari pencatatan tersebut. Untuk itu, itsbat nikah terpadu ini dilakukan di samping melaksanakan tujuan utama, yaitu mendata pasangan yang belum memiliki buku nikah dan mendatakan pernikahannya kembali melalui itsbat nikah, jugasebagai ajang sosialisasi kepada masyarakat setempat mengenai pencatatan nikah”. (27 September 2016).
Hasil Wawancara Tentang Teknik Pelaksanaan Itsbat Nikah Terpadu di Kabupaten Bireuen
1. Wawancara dengan Irpanusir, Panitera Mahkamah Syar’iyah Bireuen:“Masyarakat tidak dibebani biaya pembayaran pendaftaran. Karena, seluruh keperluan dana untuk pelaksanaan itsbat nikah telah disediakan olehMahkamah Syar’iyah Bireuen, yang diperoleh dari Dinas Syari’at Islam Kabupaten Bireuen. Dinas Syari’at Islam Islam Kabupaten memperolehnya dari Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh”. (3 Oktober 2016).
2. Wawancara dengan M. Ali, Pasangan itsbat nikah terpadu: “dalam pendaftaran itsbat nikah yang ia ajukan tidak dipungut biaya, dia hanya mendaftarkan diri dan memenuhi persyaratan yang harus dilengkapi yang sebelumnya telah disampaikan oleh pihak KUA”. (Warga Gampong Sawang, 7 Oktober 2016).
3. Wawancara dengan Jamaluddin Jamaluddin, Pasangan itsbat nikah terpadu:“Kami mendaftarkan untuk melakukan sidang itsbat nikah ke KUA Peudada. Sebelum mendaftarkan, terlebih dulu sebelumnya kami mendapat informasi dari Tengku Imum Mesjid dan Keuchik, bahwa ada program itsbat nikah terpadu bagi pasangan yang tidak memiliki akta nikah untuk didaftarkan ke KUA Peudada. Menurut keterangan Keuchik, program ini dulunya diadakan oleh pemerintah, dalam hal ini dari Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Untuk itu, kami mendaftarkan diri, tanpa ada pembayaran yang harus kami lakukan. Karena, pihak KUA sendiri mengatakan dana untuk program ini telah disediakan oleh Mahkamah Syar’iyah”. (Warga Gampong Sawang, 7 Oktober 2016).
4. Wawancara dengan Amiruddin, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen:“Kuota yang disediakan untuk pasangan itsbat nikah terpadu ini adalah sebanyak 50 (lima puluh) orang”. (3 Oktober 2016).
5. Wawancara dengan Khoiruddin Harahab, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen:“Biaya penyelenggaraan sidang terpadu ini, dibebankan kepada MahkamahSyar’iyah, yang komponennya terdiri dari biaya tempat persidangan, biaya sewa perlengkapan sidang, biaya petugas pelaksana sidang (terdiri dari hakim dan panitera), dan biaya transportasi untuk keseluruhan pasangan yang mendaftar”. (3 Oktober 2016).
6. Wawancara dengan Irpanusir, Panitera Mahkamah Syar’iyah Bireuen: “Proses dan tahapan persidangan itsbat nikah terpadu sama seperti persidangan itsbat nikah pada umumnya, yaitu ada pemeriksaan identitas, pemberian arahan-arahan, pertanyaan hakim, bacaan permohonan, pembuktian, dan apabila sudah ditemukan fakta hukum maka diberikan penetapan”. (5 Oktober 2016).
7. Wawancara dengan Zulfikri, Hakim Mahkamah Syar’iyah Bireuen: “Pada tahap pemeriksaan pasangan yang sebelumnya telah mendaftar di kecamatan, dimulai dengan tanya jawab, baik masalah kebenaran identitas, maupun kebenaran perkawinan mereka. Dalam hal ini, kami para hakim tidak terlalu formal mengikuti aturan dalam teknis pemeriksaan sebagaimana prosedur pemeriksaan itsbat nikah yang berlaku di lembaga Mahkamah Syar’iyah pada umumnya”. (5 Oktober 2016).
8. Wawancara dengan Mursal M. Nur, Kepala KUA Kecamatan Peudada:“Sebelum dilakukannya proses sidang itsbat nikah yang dilakukan di Aula SEKDA Kabupaten Bireuen, awalnya waktu pendaftaran itsbat nikah kami dari pihak KUA diminta untuk menjelaskan persyaratan sidang yang harus dilengkapi tiap-tiap pasangan, salah satunya yaitu kami memberitahukan kepada masyarakat (pasangan: pen) bahwa harus mendatangkan dua orang saksi untuk dilakukan proses pembuktian di waktu sidang itsbat nikah terpadu”. (27 September 2016).
9. Wawancara dengan Amiruddin, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen:“Kami melakukan proses pemeriksaan, pembuktian, dan penetapan itsbat nikah. Pada hari itu, tiap-tiap pasangan yang telah mendaftar untuk sidang itsbat telah menghadirkan saksi pernikahan mereka. Hal ini sebelumnya dari pihak Mahkamah telah mengeluarkan surat kepada pihak KUA di setiap kecamatan, yang dalam surat itu salah satunya memuat pemberitahuan agar proses pemeriksaan dan pembuktian pasangan yang ingin melakukan itsbat nikah terpadu berjalan dengan lancar”. (3 Oktober 2016).
10. Wawancara dengan Irpanusir, Panitera Mahkamah Syar’iyah Bireuen: “Tidak ada penundaan sidang seperti sidang pada umumnya. Pada hari itu juga hakim langsung membacakan penetapan itsbat nikah kepada para pihak. Setelah ada hasil penetapan tersebut, kemudian masing-masing pasangan harus menandatangani buku nikah pada hari itu juga, yaitu para peserta disuruh mendatangi Kepala KUA yang juga hadir pada hari itu”. (5 Oktober 2016).
Hasil Wawancara Tentang Dampak Itsbat Nikah Terpadu
1. Wawancara dengan Amiruddin, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireuen. “Diantara dampak positif sidang istbat nikah terpadu di Kebupaten ini di antaranya bagi pasangan yang tidak memiliki akta nikah, perkawinan mereka dapat diakui oleh hukum dengan ditetapkan dan dicatatkannya kembali perkawinan melalui proses sidang itsbat. Timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami-istri. Anak-anak yang lahir diakui dan sah di mata hokum. Timbulnya kewajiban suami untuk mendidik anak-anaknya. Timbulnya hak saling waris-mewarisi antara suami dan istri dan anak-anak dengan orang tua. Bapak berhak menjadi wali nikah”. (3 Oktober 2016)
2. Wawancara dengan Mursal M. Nur, Kepala KUA Kecamatan Peudada:“Pasangan yang diharuskan mendaftar yaitu sebanyak tiga atau empat pasangan, sedangkan masyarakat yang mendaftar untuk satu kecamatan melebihi dari jumlah yang diinginkan oleh Mahkamah”. (27 September 2016).
3. Wawancara dengan Aslam, Keuchik Gampong Sawang, Kecamatan Peudada:“Jumlah 50 orang yang diinginkan oleh Mahkamah berakibat pada tidak semua orang dapat dibantu pencatatan nikahnya. Sehingga, program itsbat nikah ini berdampak pada tidak tertibnya pencatatan bagi pasangan lainnya yang tidak memilik buku nikah”. (5 Oktober 2016).