BAB I
GANGGUAN ANSIETAS
A. PENDAHULUAN
Gangguan ansietas merupakan kelompok gangguan psikiatri yang
paling sering ditemukan. Pengalaman ansietas memiliki dua komponen, yaitu
kesadaran akan sensasi fisiologis (seperti palpitasi dan berkeringat) serta
kesadaran bahwa ia gugup atau ketakutan. Selain pengaruh viseral dan
motorik, ansietas juga mempengaruhi pikiran, persepsi, dan pembelajaran.
Ansietas cenderung menimbulkan kebingungan dan distorsi persepsi, tidak
hanya persepsi waktu dan ruang, tetapi juga orang dan arti peristiwa. Distorsi
ini dapat mengganggu pada proses pembelajaran dengan menurunkan
konsentrasi, mengganggu daya ingat, dan mengganggu kemampuan
menghubungkan satu hal dengan hal lain.
Edisi revisi keempat Diagnostic and Statistical manual of Mental
Disorder (DSM-IV-TR) mencantumkan gangguan ansietas berikut ini:
gangguan panik dengan atau tanpa agorafobia, agorafobia tanpa riwayat
gangguan panik, fobia spesifik dan sosial, gangguan obsesif kompulsif,
gangguan stres pasca trauma, gangguan stres akut, gangguan ansietas
menyeluruh, gangguan ansietas akibat keadaan medis umum, gangguan
ansietas yang diinduksi zat, dan gangguan ansietas yang tidak tergolongkan.
B. GANGGUAN PANIK DAN AGORAFOBIA
B.1. Definisi
Gangguan panik adalah ditandai dengan adanya serangan panik yang
tidak diduga dan spontan. Serangan panik adalah periode kecemasan atau
ketakutan yang kuat dan relatif singkat (biasanya kurang dari satu tahun)
yang disertai oleh gajala somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnea.
Gangguan panik sering disertai agorafobia, yaitu rasa takut sendirian di
1
2
tempat umum, terutama yang sulit untuk keluar dengan cepat saat terjadi
serangan panik.
B.2. Etiologi
Gejala gangguan panik dapat disebabkan oleh berbagai kelainan
biologis di dalam struktur otak dan fungsi otak. Penelitian yang telah
dilakukan menghasilkan hipotesis yang melibatkan disregulasi sistem saraf
perifer dan pusat di dalam patofisiologi gangguan panik. Sistem saraf
otonom pada beberapa pasien dengan gangguan panik telah dilaporkan
menunjukkan peningkatan tonus simpatetik, beradaptasi secara lambat
terhadap stimuli yang berulang, dan berespon secara berlebihan terhadap
stimuli yang berlebihan.
Sistem neurotransmiter utama yang terlibat adalah norepinefrin,
serotonin, dan GABA. Keseluruhan data biologis telah menyebabkan suatu
perhatian kepada batang otak, sistem limbik, dan korteks prafrontalis.
Faktor genetik juga dapat menjadi salah satu penyebab dari gangguan
ansietas. Beberapa data menunjukkan bahwa gangguan panik dapat
diturunkan.
B.3. Epidemiologi
Studi epidemiologi melaporkan angka prevalensi seumur hidup 1,5
sampai 5 persen untuk gangguan panik dan 3 hingga 5,6 persen untuk
serangan panik. Perempuan lebih mudah terkena dua hingga tiga kali
daripada laki-laki walaupun pengabaian diagnosis gangguan panik pada
laki-laki dapat berperan dalam distribusi yang tidak sebenarnya.
Gangguan panik paling lazim muncul pada dewasa muda (rerata usia
25 tahun) tetapi gangguan panik dan agorafobia dapat timbul pada usia
berapapun. Gangguan panik dilaporkan terjadi pada anak dan remaja, serta
diagnosis gangguan ini mungkin kurang terdiagnosis pada kelompok usia
tersebut. Prevalensi seumur hidup agorafobia berkisar antara 0,6 hingga 6
persen.
3
B.4. Gambaran Klinis
B.4.a Gangguan Panik
Serangan panik pertama sering kali spontan, walaupun serangan
panik kadang-kadang terjadi setelah luapan kegembiraan, kelelahan fisik,
aktifitas seksual, atau trauma emosional sedang. Serangan sering dimulai
dengan periode gejala yang meningkat dengan cepat selama 10 menit.
Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat dan suatu perasaan
ancaman kematian dan kiamat. Pasien biasanya tidak mampu
menyebutkan sumber ketakutannya. Pasien merasa kebingungan dan sulit
memusatkan perhatian.
Tanda fisik adalah takikardia, palpitasi, sesak napas, dan berkeringat.
Pasien seringkali meninggalkan situasi dimana ia berada untuk mencari
bantuan. Serangan biasanya terjadi selama 20 hingga 30 menit dan jarang
terjadi lebih dari 1 jam.
B.4.b Agorafobia
Pasien agorafobia secara kaku menghindari situasi dimana akan sulit
untuk mendapatkan bantuan. Mereka lebih suka disertai teman atau
keluarga di tempat-tempat tertentu seperti jalanan yang sibuk, toko yang
padat, atau ruangan tertutup. Pasien mungkin memaksa bahwa mereka
mungkin harus ditemani setiap kali keluar rumah.
B.4.c Gejala Penyerta
Gejala depresif seringkali ditemukan pada serangan panik dan
agorafobia, dan pada beberapa pasien dengan gangguan depresif dapat
ditemukan bersama-sama dengan gangguan panik. Resiko bunuh diri pada
orang dengan gangguan panik dan agorafobia adalah lebih tinggi
dibandingkan dengan orang tanpa gangguan mental.
B.5. Kriteria Diagnostik
B.5.a Serangan Panik
4
Suatu periode tertentu adanya rasa takut atau tidak nyaman, dimana
empat (atau lebih) gejala berikut terjadi secara tiba-tiba dan mencapai
puncaknya dalam 10 menit.
a) Palpitasi, jantung berdebar kuat.
b) Berkeringat.
c) Gemetar atau bergoncang.
d) Rasa napas sesak atau tertahan.
e) Perasaan tercekik.
f) Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman.
g) Mual atau gangguan perut.
h) Perasaan pusing, bergoyang, melayang, atau pingsan.
i) Derealisasi atau depersonalisasi.
j) Ketakutan kehilangan kendali.
k) Rasa takut mati.
l) Parestesia.
m) Menggigil atau perasaan panas.
B.5.b Gangguan Panik
1. Gangguan Panik Tanpa Agorafobia
a) Baik (1) dan (2):
(1) Serangan panik rekuren yang tidak diharapkan.
(2) Sekurangnya satu serangan telah diikuti oleh sekurangnya 1
bulan (atau lebih) berikut ini:
(a) Kekhawatiran yang menetap akan terjadi serangan
tambahan.
(b) Ketakutan tentang arti serangan atau akibatnya
(c) Perubahan perilaku bermakna berhubungan dengan
serangan.
b) Tidak terdapat agorafobia
c) Serangan panik bukan karena efek fisiologis dari zat atau kondisi
medis umum.
5
d) Serangan panik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
mental lainnya.
2. Gangguan Panik Dengan Agorafobia
a) Baik (1) dan (2):
(1) Serangan panik rekuren yang tidak diharapkan.
(2) Sekurangnya satu serangan telah diikuti oleh sekurangnya 1
bulan (atau lebih) berikut ini:
(a) Kekhawatiran yang menetap akan terjadi serangan
tambahan.
(b) Ketakutan tentang arti serangan atau akibatnya
(c) Perubahan perilaku bermakna berhubungan dengan
serangan.
b) Terdapat agorafobia
c) Serangan panik bukan karena efek fisiologis dari zat atau kondisi
medis umum.
d) Serangan panik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
mental lainnya.
B.5.c Agorafobia Tanpa Riwayat Gangguan Panik
a) Adanya agarofobia berhubungan dengan rasa takut mengalami gejala
mirip panik (misalnya pusing atau diare).
b) Tidak pernah memenuhi kriteria untuk gangguan panik.
c) Gangguan bukan karena efek fisiologis dari zat atau kondisi medis
umum.
d) Jika ditemukan suatu kondisi medis umum yang berhubungan rasa
takut yang dijelaskan dalam kriteria A jelas melebihi dari apa yang
biasanya berhubungan dengan kondisi.
B.6. Terapi
B.6.a Farmakoterapi
Obat trisiklik dan tetrasiklik seperti clomipramine dengan dosisi 10
mg per hari efektif dalam pengobatan gangguan panik. Inhibitor
6
monoamin oksidase seperti phenelzine juga efektif mengatasi gangguan
panik.
Inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin (SSRI) seperti fluoxetin
dan sertraline dapat pula digunakan sebagai terapi pada gangguan cemas.
Penggunaan benzodiazepin dalam pengobatan gangguan panik adalah
terbatas karena permasalahan tentang ketergantungan, gangguan kognitif,
dan penyalahgunaan.
B.6.b Terapi Kognitif Perilaku
Terapi kognitif perilaku adalah terapi yang efektif untuk gangguan
panik. Terapi kognitif adalah instruksi tentang kepercayaan salah dari
pasien dan informasi tentang serangan panik. Latihan pernapasan
dilakukan karena hiperventilasi yang bersamaan dengan serangan panik
kemungkinan disertai beberapa gejala, seperti rasa pening dan pingsan
sehingga pasien diharapkan dapat mengendalikan pernapasan selama suatu
serangan panik.
C. GANGGUAN ANSIETAS FOBIK
C.1. Definisi
Suatu fobia adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang
menyebabkan penghindaran yang disadari terhadap objek, aktivitas, atau
situasi yang ditakuti. Adanya atau diperkirakan adanya situasi fobik
menimbulkan ketegangan parah bagi orang yang terkena. Gangguan ansietas
fobik dapat menyebabkan suatu gangguan pada seseorang untuk dapat
berfungsi di kehidupannya. Disamping agorafobia, Diagnostic and
Statistical manual of Mental Disorder (DSM-IV) mencantumkan dua fobia
lainnya, yaitu fobia sosial dan fobia spesifik.
C.2. Etiologi
Baik fobia spesifik maupun fobia sosial memiliki tipe dan penyebab
tepat dari tipe tersebut kemungkinan berbeda. Perkembangan fobia spesifik
dapat disebabkan dari pemasangan objek atau situasi tertentu dengan emosi
7
ketakutan dan panik. Berbagai mekanisme untuk pemasangan tersebut telah
didalilkan. Pada umumnya, suatu kecenderungan tidak spesifik untuk
mengalami kecemasan dan ketakutan membentuk kelompok latar, jika suatu
peristiwa spesifik (misalnya mengemudi) dikaitkan dengan pengalaman
emosional (misalnya kecelakaan). Selain itu faktor genetik juga menjadi
salah satu penyebab pada gangguan ini. Mekanisme asosiasi lain antara
objek fobik dan emosi fobik adalah modeling, dimana seseorang mengamati
reaksi pada orang lain dan pengalihan informasi dimana seseorang diajarkan
atau diperingatkan tentang bahaya objek tertentu. Pada fobia sosial, terdapat
faktor neurokimiawi dan faktor genetika yang dapat menjadi etiologi dari
gangguan ini.
C.3. Epidemiologi
Fobia adalah gangguan mental yang sering ditemukan, walaupun
sejumlah orang tidak mengunjungi klinisi karena fobianya. Fobia spesifik
lebih sering ditemui daripada fobia sosial. Fobia spesifik adalah gangguan
mental yang paling sering pada wanita dan nomor dua tersering pada pria.
Prevalensi enam bulan fobia spesifik adalah 5 sampai 10 per 100 orang.
Sementara itu, prevvalensi fobia sosial adalah kira-kira 2 sampai 3 orang per
100 orang. Dalam penelitian epidemiologis, wanita lebih sering
dibandingkan laki-laki.
C.4. Gambaran Klinis
Fobia adalah ditandai oleh kesadaran akan kecemasan berat jika
pasien terpapar dengan situasi atau objek spesifik atau jika pasien
memperkirakan akan terpapar dengan situasi atau objek tersebut.
Pasien dengan fobia, menurut definisinya, mencoba untuk
menghindari stimulus fobik. Misalnya pasien yang lebih memilih
menggunakan bus pada perjalanan jauh untuk mengindari objek fobiknya
yaitu pesawat terbang.
8
Temuan utama pada pemeriksaan status mental adalah ketakutan yang
irasional dan egodistonik terhadap situasi, aktivitas, atau objek tertentu.
Pasien dapat menggambarkan bagaimana mereka menghindar dari kontak
dengan situasi atau objek fobik. Depresi sering ditemukan pada pemeriksaan
status mental pasien fobia.
C.5. Kriteria Diagnostik
C.5.a Fobia Spesifik
a) Rasa takut yang jelas dan menetap yang berlebihan atau tidak
beralasan, ditunjukkan oleh adanya atau antisipasi suatu objek atau
situasi tertentu.
b) Pemaparan dengan stimulus fobik hampir selalu mencetuskan
kecemasan yang segera.
c) Orang menyadari bahwa rasa takut adalah berlebihan atau tidak
beralasan.
d) Situasi fobik dihindari, atau jika tidak dapat dihindari maka dihadapi
dengan kecemasan dan penderitaan yang kuat.
e) Penghindaran, antisipasi kecemasan atau penderitaan dalam situasi
yang ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas orang normal.
f) Pada individu yang berusia kurang dari 18 tahun, durasi sekurangnya
adalah 6 bulan.
g) Kecemasan, seragan panik, atau penghindaran fobik berhubungan
dengan objek atau situasi spesifik yang tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.
C.5.b Fobia Sosial
a) Rasa takut yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi
sosial
b) Pemaparan dengan situasi sosial yang ditakuti hampir selalu
mencetuskan kecemasan.
9
c) Orang menyadari bahwa rasa takut adalah berlebihan atau tidak
beralasan.
d) Situasi sosial yang ditakuti dihindari, atau jika tidak dapat dihindari
maka dihadapi dengan kecemasan dan penderitaan yang kuat.
e) Penghindaran, antisipasi kecemasan atau penderitaan dalam situasi
yang ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas orang normal.
f) Pada individu yang berusia kurang dari 18 tahun, durasi sekurangnya
adalah 6 bulan.
g) Serangan panik bukan karena efek fisiologis dari zat atau kondisi
medis umum.
h) Jika terdapat suatu kondisi medis umum atau gangguan mental lain,
rasa takut dalam kriteria A adalah tidak berhubungan dengannya.
C.6. Terapi
C.6.a Fobia Spesifik
Terapi yang paling sering diberikan pada fobia spesifik adalah terapi
pemaparan. Ahli terapi mengajari pasien tentang berbagai teknik untuk
menghadapi kecemasan, termasuk relaksasi, kontrol pernapasan dan
pendekatan kognitif terhadap gangguan. Pendekatan kognitif adalah
termasuk mendorong kenyataan bahwa situasi tersebut pada dasarnya
adalah aman.
C.6.b Fobia Sosial
Inhibitor monoamin oksidase, khususnya phenelzine efektif untuk
mengobati fobia sosial. Obat lain yang dilaporkan efektif antara lain
adalah alprazolam dan clonazepam. Psikoterapi untuk fobia sosial
biasanya melibatkan suatu kombinasi metoda perilaku dan kognitif,
termasuk latihan ulang kognitif, desensitasi, sesion selama latihan dan
tugas pekerjaan rumah.
D. GANGGUAN KECEMASAN MENYELURUH
D.1. Definisi
10
Gangguan ansietas menyeluruh adalah ansietas dan kekhawatiran
yang berlebihan mengenai beberapa peristiwa atau aktivitas hamoir
sepanjang hari selama sedikitnya 6 bulan. Kekhawatiran ini sulit
dikendalikan dan berkaitan dengan gejala somatik sperti otot tegang,
iritabilitas, sulit tidur, dan gelisah. Ansietas tidak berfokus pada gambaran
gangguan axis 1 lain, tidak disebabkan penggunaan zat atau keadaan medis
umum, serta tidak hanya terjadi selama gangguan mood atau psikiatri.
Ansietas ini sulit dikendalikan, secara subjektif menimbulkan penderitaan,
dan mengakibatkan hendaya pada area penting kehidupan seseorang. Orang
yang tampaknya cemas patologis mengenai hampir semua hal cenderung
digolongkan memiliki gangguan cemas menyeluruh.
D.2. Etiologi
Seperti sebagian besar gangguan mental, penyebab gangguan
kecemasan umum tidak diketahui. Diduga faktor biologis dan psikososial
berperan dalam gangguan ini. Dua bidang pikiran utama yang tentang faktor
psikososial yang menyebabkan gangguan kecemasan umum adalah bidang
kognitif perilaku dan bidang psikoanalitik.
Bidang kognitif perilaku menghipotesiskan bahwa pasien dengan
gangguan kecemasan umum adalah berespon secara tidak tepat terhadap
bahaya yang dihadapi. Bidang psikoanalitik menghipotesiskan bahwa
kecemasan adalah suatu gejala konflik bawah sadar yang tidak terpecahkan.
D.3. Epidemiologi
Gangguan cemas menyeluruh adalah suatu keadaan yang lazim,
perkiraan yang masuk akal untuk prevalensi 1 tahun berkisar antara 3
hingga 8 persen. Rasio perempuan dibanding laki-laki pada gangguan ini
sekitar 2 banding 1 tetapi rasioperempuan dibanding laki-laki untuk pasien
yang dirawat inap di rumah sakit untuk gangguan ini adalah sekitar 1
banding 1. Prevalensi seumur hidupnya adalah berkisar 45 persen.
11
D.4. Gambaran Klinis
Gejala utama gangguan ansietas menyeluruh adalah ansitas,
ketegangan motorik, hiperaktivitas otonom, dan kesiagaan kognitif.
Ansietasnya berlebihan dan mengganggu aspek kehidupan lain. Ketegangan
motorik paling sering tampak sebagai gemetar, gelisah, dan sakit kepala.
Hiperaktivitas otonom sering tampak sebagai napas pendek, keringat
berlebihan, palpitasi, dan berbagai gejala gastrointestinal. Kesiagaan
kognitif terlihat dengan adanya iritabilitas dan mudahnya pasien merasa
terkejut.
D.5. Kriteria Diagnostik
a) Ansietas dan kekhawatiran berlebihan, terjadi hampir setiap hari selama
sedikitnya 6 bulan, mengenai sejumlah kejadian atau aktivitas.
b) Orang tersebut merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya.
c) Ansietas dan kekhawatiran dikaitkan dengan tiga (atau lebih) dari
keenam gejala berikut:
(1) Gelisah atau merasa terperangkap atau terpojok
(2) Mudah merasa lelah
(3) Sulit berkonsentrasi atau pikiran kosong
(4) Mudah marah
(5) Otot tegang
(6) Gangguan tidur
d) Fokus dari anasietas dan kekhawatiran tidak terbatas hanya pada
gambaran gangguan aksis I.
e) Ansietas, kekhawatiran, atau gejala fisis menyebabkan distres yang
secara klinis bermakna atau hendaya sosial, pekerjaan, atau area
lainnya.
f) Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat
dan tidak terjadi hanya selama gangguan mood, gangguan psikotik,atau
gangguan perkembangan pervasif.
12
D.6. Terapi
D.6.a Farmakoterapi
Karena gangguan bersifat jangka panjang, suatu rencana terapi harus
dilakukan dengan teliti. Tiga obat utama yang harus dipertimbangkan
untuk terapi gangguan ansietas meyeluruh adalah buspiron, benzodiazepin,
dan SSRI. Obat lain yang berguna contohnya adalah trisiklik, antihistamin,
dan antagonis ß–adrenergik.
D.6.b Psikoterapi
Pendekatan psikoterapi utama untuk gangguan ansietas menyeluruh
adalah terapi perilaku-kognitif, suportif, dan psikoterapi berorientasi
tilikan. Teknik perilaku-kognitif memiliki efek jangka pendek maupun
jangka panjang. Pendekatan kognitif secara langsung ditujukan pada
distorsi kognitif pasien yang didalilkan dan pendekatan perilaku ditujukan
pada gejala somatik langsung dengan teknik relaksasi dan biofeedback.
BAB II
GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA
A. DEFINISI
Gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder – PTSD)
adalah suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat di
dalam, atau mendengar stresor traumatik yang ekstrim. Seseorang berekasi
terhadap pengalaman tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, secara
menetap mencoba kembali menghidupkan peristiwa tersebut, dan mencoba
menghindari mengingat hal tersebut.
Untuk menegakkan diagnosis, gejala harus bertahan lebih dari satu
bulan dari peristiwa dab harus mempengaruhi area penting kehidupan secara
signifikan, seperti keluarga dan pekerjaan. Edisi keempat Diagnostic and
Statistical manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR) mendefinisikan
gangguan yang serupa dengan PTSD sebagai stres akut yang berlangsung
lebih dini dari PTSD (dalam 4 minggu setelah peristiwa) dan membaik dalam
waktu 2 hari hingga 4 minggu.. jika gejala tersebut bertahan, maka diagnosis
PTSD diperlukan.
B. EIOLOGI
Stresor, faktor psikodinamika dan faktor biologis merupakan
penyebab dari gangguan PTSD. Menurut definisinya, stresor adalah faktor
penyebab utama dtres pasca traumatik. Walaupun stresor diperlukan sebagai
pencetus, namun stresor saja tidak cukup untuk menyebabkan gangguan.
Faktor biologis, psikososial, dan peristiwa yang terjadi setelah trauma harus
tetap dipertimbangkan.
C. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi seumur hidup PTSD adalah diperkirakan sekitar 8 persen
untuk populasi umum ditambah 5 hingga 15 persen dapat mengalami bentuk
13
14
subklinis dari ganggguan ini. Prevalensi sumur hidup pada perempuan
berkisar 10 hingga 12 persen dan pada laki-laki berkisar 5 hingga 6 persen.
Walaupun PTSD dapat muncul pada usia berapapun, gangguan ini paling
prevalen pada dewasa muda karena mereka cenderung lebih terpajan dengan
dituasi penginduksi.
D. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis utama suatu PTSD adalah mengalami kembali suatu
peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindari dan mematikan emosi,
serta keadaan yang terus terjaga yang cukup konstan. Gangguan ini dapat
tidak timbul sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa
tersebut. Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah,
penolakan, dan cemoohoan.
Pasien juga dapat menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan
panik, serta ilusi dan halusinasi dapat timbul. Uji kognitif menunjukkan
bahwa pasien memiliki hendaya memori dan perhatian. Gejala terkait dapat
mencakup agresi, kekerasan, kemdali impuls yang buruk, depresi dan
gangguan terkait zat.
E. KRITERIA DIAGNOSTIK
Kriteria diagnosis DSM IV untuk PTSD merinci bahwa gejala
mengalami, menghindari, dan terus terjaga telah ada lebih dari 1 bulan. Untuk
pasien yang gejalanya ada tapi kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai
adalah gangguan stres akut.
a) Orang tersebut tersebut terpajan dengan peristiwa traumatik dan kedua
hal ini ada:
(1) Orang tersebut mengalami,menyaksikan, atau dihadapka dengan
peristiwa yang melibatkan kematian atau cedera serius yang
sebenarnya atau mengancam, atau ancman terhadap integritas fisik
dirinya atau orang lain.
15
(2) Respons orang tersebut melibatkan rasa takut yang intens, rasa tidak
berdaya, atau horor.
b) Peristiwa traumatik secara terus-menerus dialami kembali pada satu (atau
lebih) cara berikut ini:
(1) Mengingat kembali peristiwa secara berulang dan mengganggu yang
menimbulkan distres, termasuk bayangan , pikiran, atau persepsi.
(2) Mimpi berulang mengenai peristiwa tersebut yang menimbulkan
penderitaan.
(3) Bertindak atau merasakan seolah-olah peristiwa tersebut kembali.
(4) Penderitaan psikologis yang intens pada pajanan terhadap sinyal
internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek
peristiwa traumatik.
(5) Reaktifitas fisiologis pada pajanan sinyal internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik.
c) Penghindaran persisten stimulus yang berkaitan dengan trayma serta
membuat kebas responsivitas umum, seperti yang ditunjukkan dengan
tiga (atau lebih) gejala berikut ini:
(1) Upaya menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang
berkaitan dengan trauma.
(2) Upaya menghindari tempat, orang, atau aktivitas yang
membangkitkan ingatan tentang trauma.
(3) Ketidakmampuan mengingat kembali aspek penting trauma.
(4) Minat atau pertisipasi berkurang nyata pada aktivitas yang
signifikan.
(5) Perasaan lepas atau menjadi asing bagi orang lain.
(6) Kisaran afek yang terbatas.
(7) Rasa masa depan yang memendek.
d) Meningkatnya keadaan terjaga, seperti ditunjukkan dengan dua (atau
lebih) hal berikut ini:
(1) Sulit tidur atau sulit tetap tidur.
(2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
16
(3) Sulit berkonsentrasi.
(4) Hypervigilance.
(5) Respon kaget yang berlebihan.
e) Durasi gangguan (kriteria a, b, c, dan d) berlangsung lebih dari 1 bulan.
f) Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna
atau gangguan di dalam area fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi
penting lain.
F. TERAPI
F.1. Farmakoterapi
SSRI seperti sertraline atau paroksetin dipertimbangkan sebagai terapi
lini pertama pada PTSD karena efektivitas, tolerabilitas, dan tingkat
keamanannya. SSRI mengurangi gejala semua kelompok gejala PTSD yang
khas, tidak hanya gejala yang serupa dengan depresi atau gangguan ansietas
lain.
F.2. Psikoterapi
Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada banyak
pasien PTSD. Di sejumlah kasus, rekonstruksi peristiwa traumatik dengan
abreaksi dan katarsis dapat bersifat teraupetik, tetapi psikoterapi harus
diindividualisasi, karena mengalami kembali trauma dapat terlalu berat bagi
pasien.
BAB III
GANGGUAN PENYESUAIAN
A. DEFINISI
Gangguan penyesuaian merupakan reaksi maladaptif jangka pendek
terhadap apa yang disebut orang awam sebagai bencana pribadi tetapi istilah
di dalam psikiatri disebut sebagai stresor psikososial. Gangguan penyesuaian
diharakan pulih segera setelah stresor berhenti atau, jika menetap, diperoleh
suatu tingkat adaptasi baru.
Menurut revisi keempat Diagnostic and Statistical manual of Mental
Disorder (DSM-IV-TR), gejala harus tampak dalam 3 bulan sejak onset
stressor. Sifat dan keparahan stressor tidak dirinci. Meskipun demikian,
stresor lebih sering merupakan peristiwa sehari-hari dan muncul dimana-
mana, misalnya kehilangan orang yang dicintai, pergantian pekerjaan atau
keuangan. Gejala-gejala gangguan ini biasanya pulih dalam 6 bulan,
meskipun dapat berlangsung kebih lama bila ditimbulkan oleh stresor kronis
atau jika dengan akibat yag berlangsung lama.
B. ETIOLOGI
Gangguan pemyesuaian dicetuskan oleh satu atau lebih stresor.
Beratnya stresor tidak menggambarkan keparahan gangguan penyesuaian
yang terjadi. Stresor dapat berupa kejadian tunggal seperti perceraian,
kehilangan pekerjaan, atau kematian orang yang dicintai. Stresor dapat pula
berupa kejadian multipel yang terjadi bersamaan. Stadium perkembangan
tertentu, seperti awal masuk sekolah, menikah, menjadi orang tua, juga
seringkali disertai dengan gangguan penyesuaian.
C. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi gangguan ini adalah diperkirakan sekitar 2 hingga 8 persen
untuk populasi umum. Perempuan didiagnosis dua kali lebih sring daripada
17
18
laki-laki. Perempuan lajang umumnya memiliki resiko dua kali lebih besar.
Gangguan dapat terjadi pada usia berapapun, namun lebih sering pada usia
remaja. Faktor stresor yang lazim adalah masalah sekolah, perceraian orang
tua, serta pindah ke lingkungan baru.
D. GAMBARAN KLINIS
Gangguan ini dapat terjadi pada usia berapapun dnegan gejala yang
beragam. Depresif, cemas, dan ciri campuran paling lazim ditemukan pada
orang dewasa. Gejala fisik paling lazim pada anak-anak dan lansia tetapi
dapat terjadi pada kelompok usia berapapun. Maniffestasinya juga dapat
mencakup perilaku menyerang dan menyetir dengan ceroboh, minum alkohol
berlebihan, melalaikan tanggung jawab hukum, penarikan diri, tanda
vegetatif, insomnia, serta perilaku bunuh diri.
E. KRITERIA DIAGNOSTIK
Meskipun menurut definisi, gangguan penyesuaian terjadi setelah suatu
stresor, gejala tidak selalu dimulai segera. Jarak antara stresor hingga
munculnya gejala dapat berlangsung 3 bulan. Gejala tidak selalu bberkurang
setelah stresor hilang, jika stresor berlanjut, gangguan dapat menjadi kronis.
a) Timbulnya gejala emosional atau perilaku sebagai respon terhadap
stresor yang dapat diidentifikasi dalam waktu 3 bulans etelah onset
stresor.
b) Gejala atau perilaku ini secara klinis bermakna seperti yang terlihat dari
hal berikut:
(1) Penderitaan yang nyata dan berlebihan dari apa yang diperkirakan
terjadi akibat pajanan dari stresor.
(2) Hendaya bermakna fungsi sosial atau pekerjaan.
c) Gangguan terkait stres tidak memenuhi kriteria gangguan Aksis I spesifik
lainnya dan bukan hanya perburukan dari gangguan Aksis I dan II yang
telah ada sebelumnya.
d) Gejala tidak menunjukkan berkabung.
19
e) Ketika stresor (atau akibat stresor) berakhir, gejala tidak berlangsung
selama lebih dari 6 bulan lagi.
F. TERAPI
F.1. Farmakoterapi
Seorang pasien dapat memberikan respon pada anti ansietas atau anti
depresan. Pasien dengan ansietas berat yang hampir panik dapat
memperoleh keuntungan dari ansiolitik seperti diazepam. Mereka yang
menarik diri atau berada dalam keadaan inhibisi dapat dibantu dengan obat
psikostimultan untuk suatu periode yang pendek. Obat antipsikotik dapat
digunakan jika terdapat tanda-tanda dekompensasi atau psikosis yang akan
terjadi. SSRI diketahui memiliki efek mengobati gejala berkabung
traumatik. Terdapat pula peningkatan penggunaan antidepresan pada pasien
dengan gangguan penyesuaian.
F.2. Psikoterapi
Psikoterapi tetap merupakan terapi pilihan untuk gangguan
penyesuaian. Terapi kelompok terutama dapat berguna untuk pasien yang
mengalami stres yang sama. Psikoterapi individual dapat menawarkan
kesempatan untuk menggali arti stresor bagi pasien sehingga trauma yang
lebih dini dapat diatasi.
BAB IV
GANGGUAN SOMATOFORM
A. PENDAHULUAN
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani soma artinya tubuh dan
gangguan somatoform adalah kelompok penyakit yang luas dan memiliki
tanda serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama.
Gangguan ini mencakup interaksi pikiran–tubuh. Di dalam interaksi ini,
dengan cara yang masih belum diketahui, otak mengirimkan sinyal yang
mempengaruhi kesadaran pasien dan menunjukkan adanya masalah serius di
tubuh.
DSM IV memasukkan lima kelompok gangguan somatoform spesifik,
yaitu gangguan somatisasi, gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan
dismorfik tubuh, dan gangguan nyeri.
B. GANGGUAN SOMATISASI
B.1. Definisi
Gangguan somatisasi ditandai dengan banyak gejala somatik yang
tidak dapat dijelaskan dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 30 dan dapat
berlanjut hingga tahunan. Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan
somatoform lainnya karena bayaknya keluhan dan banyaknya sistem organ
yang terlibat. Gangguan ini bersifat kronis dan disertai penderitaan
psikologis yang signifikan, hendaya fungsi sosial dan pekerjaan, serta
perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.
B.2. Etiologi
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Rumusan psikososial
tentang penyebab gangguan melibatkan interpretasi gejala sebagai suatu tipe
komunikasi sosial, hasilnya untuk menghindari kewajiban. Penelitan yang
20
21
telah dilakukan menunjukkan bahwa pasien yang memiliki gangguan
somatisasi memiliki gangguan perhatian dan kognitif yang dapat
menyebabkan persepsi dan penilaian yang salah terhadap masukan
somatosensorik.
B.3. Epidemiologi
Studi epidemiologi melaporkan angka prevalensi seumur hidup
gangguan somatisasi adalah berkisar 0,1 sampai 0,2 untuk populasi umum.
Perempuan yang terkena gangguan somatisasi jumlahnya melebihi laki-lai 5
hingga 20 kali. Gangguan ini berbanding terbalik dengan posisi sosial dan
sering terjadi pada kelompok pasien dengan tingkat sosial ekonomi dan
pendidikan rendah. Gangguan somatisasi didefinisikan muncul sebelum usia
30 tahun dan pasling sering dimulai pada masa remaja.
B.4. Gambaran Klinis
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan
somatik dan riwayat medis yang rumit dan panjang. Mual dan muntah,
kesulitan menelan, nyeri di lengan dan tungkai, napas pendek tidak
berkaitan dengan olah raga, dan amnesia adalah gejala yang paling sering
ditemui. Pasien sering meyakini bahwa mereka telah sakit selama sebagian
besar hidup mereka.
Dapat pula terdapat gejala pseudoneurologis seperti gangguan
koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan fokal, kesulitan
menelan atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urin, halusinasi,
hilangnya sensasi raba atau nyerim oengelihatan ganda, buta tuli, kejang,
atau hilang kesadaran.
B.5. Kriteria Diagnostik
a) Riwayat banyak keluhan fisik sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama suatu periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian
terapiatau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya.
22
b) Masing – masing kriteria berikut ini harus dipeuhi dengan setiap gejala
terjadi pada waktu kapanpun selama perjalanan gangguan:
(1) Empat gejala nyeri: riwayat nyeri berkaitan pada sedikitnya empat
tempat atau fungsi yang berbeda.
(2) Dua gejala gastrointestinal selain nyeri.
(3) Satu gejala seksual selain nyeri.
(4) Satu gejala pserudoneurologis yang tidak terbatas pada nyeri.
c) Baik (1) maupun (2):
(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala kriteria B tidak dapat
dijelaskan secara utuh dengan keadaan medis umum yang
diketahui atau efek langsung dari zat.
(2) Jika terdapat gangguan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya
sosial dan pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang
diperkirakan dari ananmnesis, pemeriksaan fisik, dan temuan
laboratorium.
d) Gejala yang dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat.
B.6. Terapi
Gangguan somatisasi paling baik diterapi ketika pasien memiliki satu
dokter yang diketahui sebagai dokter utamanya. Ketika lebih dari satu
klinisi terlibat, pasien tersebut memiliki kesempatan untuk mengekspresikan
keluhan somatiknya.
Psikoterapi menurunkan pengeluaran untuk perawatan kesehatan
pribadi hingga 50 persen. Pada lingkungan psikoterapi, pasien dibantu
beradaptasi dengan gejalanya, mengekspresikan emosi yang mendasari dab
membangun strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaannya.
Memberikan obat psikotropik ketika gangguan somatisasi timbul
bersamaan dengan gangguan mood atau gangguan ansietas selalu memiliki
resiko, tetapi juga diindikasikan terapi psikofarmakologis dan
psikotreaupetik pada keluhan yang muncul bersamaan. Obat harus diawasi
23
karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan
obatnya tidak teratur.
C. HIPOKONDRIASIS
C.1. Definisi
Hipokondriasis didefinisikan sebagai preokupasi seseorang mengenai
rasa takut menderita, atau yakin memiliki penyakit berat. Rasa takut ini
muncul ketika seseorang salah menginterpretasikan gejala atau fungsi tubuh.
Hipokondriasis terjadi akibat interpretasi yang tidak realistik atau tidak
akurat mengenai gejala atau sensasi fisik, walaupun tidak ada penyebab
medis yag ditemukan. Preokupasi pasien mengakibatkan distres yang
signifikan pada mereka dan mengganggu kemampuan mereka berfungsi
dalam peran pribadi, sosial, maupun pekerjaan.
C.2. Etiologi
Dalam DSM IV dinyatakan bahwa gejala hipokondriasis
mencerminkan misinterpretasi gejala-gejala tubuh. Data tubuh yang cukup
menyatakan bahwa orang hipokondrial meningkatkan atau membesarkan
sensasi somatiknya dan memiliki ambang toleransi yang rendah terhadap
gangguan fisik.
Teori kedua menyatakan bahwa hipokondriasis dipandang sebagai
keinginan untuk mendapat peranan sakit oleh seseorang yang menghadapi
masalah yang tampaknya berat dan tidak dapat dipecahkan. Teori ketiga
menyatakan bahwa penyebab hipokondriasis adalah bahwa gangguan ini
merupakan varian dari gangguan mental lainnya. Gangguan yang paling
sering dihipotesiskan berhubungan dengan hipokondriasis adalah gangguan
depresif dan gangguan kecemasan.
C.3. Epidemiologi
Prevalensi 6 bulan hipokondriasis sebanyak 4 hingga 6 persen di
populasi klinik medis umum. Laki-laki maupun perempuan setara dalam
mengalami hipokondriasis. Gejala awitan dapat muncul pada usia
24
berapapun, meskipun paling lazim timbul pada usia 20 – 30 tahun. Keluhan
hipokondriasis dilaporkan terjadi pada sekitar 3 persen mahasiswa
kedokteran pada 2 tahun pertama, tetapi umumnya terjadi hanya sementara.
C.4. Gambaran Klinis
Pasien dengan hipokondriasis yakin kalau mereka mengalami
penyakit berat yang belum terdeteksi dan mereka tidak dapat dibujuk
sebaliknya. Mereka mempertahankan keyakunan bahwa mereka mengalami
penyakit tertentu, seiring waktu berjalan, mereka dapart merubah keyakinan
mereka pada penyakit lain. Pendirian mereka bertahan walaupun hasil
laboratorium menunjukkan negatif.
C.5. Kriteria Diagnostik
a) Preokupasi dengan rasa takut atau gagasan bahwa seseorang memiliki
penyakit serius berdasarkan pada kesalahan interpretasi seseorang
terhadap gejala tubuh.
b) Preokupasi tetap ada meskipun telah dilakukan evaluasi dan penjelasan
medis yang sesuai.
c) Keyakinan pada kriteria (a) tidak memiliki intensitas waham dan tidak
terbatas pada kekhawatiran terbatas mengenai penampilan.
d) Preokupasi ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna
atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan area penting lainnya.
e) Durasi gangguan sedikitnya 6 bulan.
f) Preokupasi ini tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan ansietas
menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif, gangguan panik gangguan
depesif berat, ansietas perpisahan atau somatoform lain.
C.6. Terapi
Pasien dengan hipokondriasis biasanya resisten terhadap terapi
psikiatri, walaupun beberapa pasien menerima terapi ini jika dilakukan
dalam lingkup medis dan berfokus pada pengurangan stres dan edukasi
25
untuk menghadapi penyakit kronis. Psikoterapi kelompok sering
menguntungkan bagi pasien seperti ini, karena psikoterapi kelompok
memberikan dukungan sosial dan interaksi sosial yang membantu
mengurangi ansietasnya.
Pemeriksaan fisik yang rutin dan terjadwal berguna intuk meyakinkan
pasien bahwa dokter tida mengabaikan mereka dan keluhan mereka
dianggap serius. Meskipun demikian, prosedur diagnostik dan teraupetik
yang invasif hanya dilakukan bila bukti objektif mengharuskannya.
Farmakoterapi meringankan gejala hipokondriasis hanya jika pasien
memiliki gejala yang berespon terhadap obat yang mendasarinya, misalnya
gangguan ansietas dan gangguan depresif.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association, 2000, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th ed. Washington DC.
Kaplan, Harold., dkk, 2010, Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Edisi 7, Jilid I, Jakarta: Binarupa Aksara.
Maramis, Willy, 2009, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Ed 2. Surabaya. Airlangga University Press.
Maslim, Rusdi, 2003, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
26