Transcript

1

PERITONITIS TERSIERM. Amir ThayebDivisi Bedah Anak Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstrak Objektif. : Melakukan peninjauan kepustakaan mengenai fisiologi, patofisiologi peritonitis khususnya tersier serta penanganannya. Design : Narrative review Setting : Penelusuran kepustakaan melalui Medline. Kasus : manusia dengan peritonitis Intervensi : Tidak ada Hasil : Peritonitis tersier merupakan kelainan berat denghan morbiditas dan mortalitas tinggi sehingga memerlukan penanganan yang cepat dan terarah. Kesimpulan : Pengertian dan pengetahuan kelainan ini serta prosedur diagnostik dan terapeutik dini sangat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pendahuluan Peritonitis merupakan penyakit berat yang harus ditangani dengan benar sejak awal karena berpotensi untuk menjadi penyakit yang sulit disembuhkan. Infeksi intraabdomen yang berkembang menjadi sepsis tetap merupakan penyebab kematian tertinggi di ICU karena biasanya berhubungan dengan abses, peritonitis berulang atau persisten, dan kegagalan organ1,2. Terdapat suatu golongan pasien dengan peritonitis yang menunjukan angka mortalitas sampai 60%3. Diduga golongan ini menderita peritonitis tersier atau peritonitis yang menetap atau timbul kembali minimal 48 jam setelah terapi peritonitis primer atau sekunder4. Risalah ini membicarakan masalah peritonitis tersier ini karena ternyata perjalanan penyakit dan mikrobiologinya berbeda dari peritonitis primer dan sekunder

2yang sering kita tangani dan kurang menunjukan reaksi terhadap terapi antibiotik maupun terapi operatif5. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrana basalis. Ia membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis4,6,7. Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh, yang pada orang dewasa mencapai 1.7 m2. Ia berfungsi sebagai membran semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan partikel. Luas permukaan untuk difusi ini seluas +/1 meter persegi 7,8. Sel mesothel yang melapisi peritoneum juga merupakan sel pertahanan yang dapat mensekresi berbagai sitokin (antara lain : IL-1, IL-6) dan merangsang sel imun lain untuk mensekresi sitokin dan O2 radikal. Semua ini dimaksud sebagai pertahanan terhadap benda asing. Sel mesothel dan makrofag biIa dirangsang juga dapat mensekresi mediator hemostasis dan memulai proses koagulasi intraperitoneal. Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat +/- 100 cc cairan peritoneal dengan BD 1016 yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah 300 /mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel-T, 8% sisanya terdiri dari. NK, sel-B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya terutama Prostacycline dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat meningkat sampai > 3000 /milimeter kubik4,9. Dalam keadaan normal 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis6. Penyerapan cairan oleh limfe diafragma terjadi karena adanya aliran cairan ke kranial yang ditimbulkan oleh gerakan diafragma (pompa diafragma)4. Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel diafragma dengan ukuran 10 yang berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak ke limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke mediastinum8,10. Oleh karena itu sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan yang baik agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung6.

3Cekungan parakolika kanan merupakan jalur utama antara peritoneum atas dan bawah. Hal ini terlihat pada penyuntikan kontras melalui drain yang terletak di daerah Ileosekal. Kontras akan terakumulasi di pelvis dan subhepatik6,8. Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya perlekatan. Respons Peritoneum Peritoneum menangani infeksi (peritonitis) dengan 3 cara : 1. Absorpsi cepat bakteri melalui stomata diafragma 2. Penghancuran bakteri oleh sel imun 3. Lokalisasi infeksi sebagai abses. Ad. 1 Absorpsi Cepat Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri ke arah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii6. Pada percobaan binatang 1/2 jumlah bakteri yang diletakkan di rongga peritoneum dikeluarkan melalui limfe diafragma dan hanya dalam 6 menit sudah ditemukan di ductus thoracicus. Proses pengeluaran cairan dan partikel ini sangat menguntungkan bila bakteri yang terdapat di dalamnya telah dibunuh. Bila tidak, maka yang terjadi adalah masuknya bakteri hidup kedalam aliran sistemik yang kemudian dapat menjadi sepsis6. Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan interstisiel ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pankreas memperbesar pergeseran cairan ini7. Ad.2 Respons Imun Peritoneum Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi Inflamasi.

Tergantung berat trauma, makrofag akan memproduksi TNF- dan IL-1 yang mempengaruhi sel mesothel untuk mengeluarkan IL-8, suatu kemokin, yang menarik

4masuknya netrofil11. Proses ini dibantu dengan peningkatan ekspresi molekul adhesi (ICAM-1 dan VCAM-1) pada sel mesothel12,13.

Sel mast juga membentuk TNF- yang turut meningkatkan emigrasi netrofil. Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang mengandung histamin dan prostaglandin. Histamin dan prostaglandin yang dIlepas sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, imunoglobulin, faktor pembekuan, dan fibrin4.

Sitokin / kemotaksin lain seperti leukotriene B-4 juga asal makrofag, sel mast, PMN dan komplemen C5a turut merangsang masuknya PMN. Sel-B peritoneum berperan dalam imunitas mukosa usus. Ia berhubungan dengan sel plasma IgA di lamina propria usus.

Hubungan Peritoneum dengan Respons Imun Usus GALT (Gut Associated Lymphatic Tissue atau jaringan limfoid usus) merupakan 2/3 sel limfoid tubuh oleh karena itu mereka terus menerus terekspos stimulus. Rangsangan di peritoneum dapat memicu pembentukan sitokin usus. Walaupun tidak ditemukan bakteri di daerah porta maupun di sistemik, usus dapat membentuk IL-6 dan TNF-. Selain bakteri, syok juga dapat merangsang pembentukan kedua sitokin proinflamasi diatas. Bahkan ternyata IL-10 yang bersifat Anti-inflamasi juga dapat dibentuk usus. Hubungan Peritoneum dengan Sistemik Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respons mediator pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator anti-inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menujukan adanya keseimbangan fungsi antara respons pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu : proinflamasi atau anti-inflamasi atau bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi kegagalan organ. Bagaimana hubungan dengan sistemik terlihat misalnya pada peritonitis dimana dalam peritoneum ditemu kadar tinggi mediator pro-inflamasi, tetapi di sistemik terjadi proses anti-inflamasi hebat. Keadaan ini dikenal dengan Compensatory Anti-Inflammatory Response

5Syndrome (CARS). Tetapi seperti telah dikemukakan tidak pada semua proses penyembuhan terjadi mekanisme CARS terkontrol. Respons anti-inflamasi dapat terus meningkat dengan akibat kerusakan organ. Bahkan ditemukan pula keadaan dimana respons pertama yang timbul bukan pro-inflamasi tetapi langsung anti-inflamasi. Belum jelas mengapa tubuh mengadakan respons bunuh diri seperti ini. Yang jelas pada keadaan ini yang ditandai hIlangnya pertahanan anti bakterial, sangat mudah terjadi kerusakan organ yang disebabkan bakteri. Ad.3 Lokalisasi Infeksi Pada peningkatan permeabilitas venule terjadi eksudasi cairan kaya protein yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang mengubah protrombin menjadi trombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menhentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi. Pada jaringan inflamasi dapat ditemukan Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1). PAI-1 sel mesothel ini menentukan apakah fibrin yang terbentuk pada trauma akan dihancurkan atau menimbulkan adhesi6. Abses yang terjadi jarang dapat hIlang sendiri. Di bagian tengah abses ini : terdapat banyak bakteri dan eksoenzim pH rendah tak ada pembunuhan bakteri Semua keadaan yang memudahkan terjadinya pertumbuhan bakteri anaerob7. Penghentian Respons Inflamasi IL-10, salah satu sitokin anti-inflamasi meningkat di limfe mesenterika. Pada beberapa keadaan peningkatan ini sangat tinggi. Kadar serum mediator anti-inflamasi seperti kortisol, IL-1ra, sIL-2r, sICAM-1 dan IL-10 jauh lebih tinggi pada pasien infeksi dibanding relawan sehat4,11. Mediator counter-inflammatory juga ditemukan pada infeksi. Hal ini menujukan bahwa aktivitas biologik mediator inflamasi dihambat oleh zat anti-inflamasi alami, dan tubuh dapat menurunkan kelebihan zat inflamasi untuk mengembalikan homeostasis11.

6Pada resolusi, netrofil akan mengalami apoptosis dan di fagositosis makrofag yang kemudian akan beremigrasi ke kelenjar limfe dan berfungsi untuk presentasi antigen ke sel B untuk membentuk antibodi. Dengan demikian berbeda dari makrofag resident, makrofag inflamasi akan bergerak keluar peritoneum melalui limfe15. Dikemukakan bahwa timbulnya gejala peritonitis bakteri adalah manifestasi respons mediator p-ro dan anti inflamasi baik lokal dan sistemik16. Klasifikasi Peritonitis adalah inflamasi peritoneum apapun sebabnya4,17. Dalam kepustakaan dibedakan 3 jenis peritonitis :

1. Primer : Peritonitis bakterial spontan dangan bakteri yang masuk secarahematogen atau pada perempuan melaui genitalia. Biasanya monomikroba berupa Pneumococcus, Staphylococcus aureus,4

atau

Streptococcus

hemolyticus. Tidak disebabkan perforasi saluran cerna . Dapat ditemukan akibat infeksi nosokomial di ICU17. Pada dewasa dapat ditemu pada pasien dengan sirosis hepatis dengan asites, atau pada pasien yang memerlukan dialisis peritoneal5.

2. Sekunder : Disebabkan bakteri intralumen saluran cerna akibat perforasi atauinfeksi organ intra-abdominal4,5,8,17. Mikrobiologi cairan peritoneal akan menunjukan corak bakteri yang dapat diduga. Dengan operasi dan terapi antibiotik adekuat, sebagian besar peritonitis primer dan sekunder dapat sembuh tanpa sequele.

3. Pada beberapa penderita dengan peritonitis primer atau sekunder tidak terjadiresolusi walaupun telah diberi terapi yang dianggap adekuat bahkan terlihat inflamasi sistemik berkepanjangan (pireksia, gagal organ progresif, infeksi peritoneal persisten / rekuren). Pada pemeriksaan bakteriologi ditemu spektrum mikroorganisme yang berbeda dari yang lazim ditemukan pada peritonitis sekunder. Umumnya ditemukan flora monomikroba yang berasal dari saluran cerna atas seperti Staphylococci coagulase (-), Pseudomonas, Candida, dan Enterococci4,18. Hal ini menunjukan adanya pergeseran atau perubahan pertumbuhan bakteri yang mungkin disebabkan keadaan umum pasien yang lemah atau efek terapi antibiotika yang tidak adekuat 4. Pada pasien ini sering ditemu fokus infeksi yang tidak jelas tetapi kemudian berlanjut dengan timbulnya gejala sepsis serta MOF. Mortalitas umumnya tinggi (30-64%) 5 walau diberikan

7terapi bedah dan antimikrobial secara agresif17. Keadaan diatas menggambarkan peritonitis tersier. Peritonitis Teriser yaitu peritonitis persisten atau rekurens disertai gangguan pertahanan tubuh dan timbulnya MOF karena tidak ada respons terhadap terapi awal. Definisi tersier menurut : Malangoni Nathens : Infeksi peritoneum rekuren setelah sekunder : Infeksi intraabdominal yang dibuktikan dengan kultur yang persisten ataurekurens Reems minimal 48 jam setelah terapi adekuat terhadap peritonitis sekunder : Peritonitis difus tanpa patogen atau fungus, atau bakteri yang patogenitas rendah dengan fokus infeksi yang tidak jelas17. Mikrobiologi Gaster dan Duodenum umumnya steril atau sedikit mengandung aerob Gram (+) berupa Enterococcus, Streptococcus, Staphylococcus, dan patogen tahan asam yang terdapat dalam saliva seperti Candida, Lactobacili, dan Streptococcus4,18,23. Usus Halus Proksimal Mulai ditemukan bakteri Gram (-) seperti E.coli, Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacter, Proteus, Acinetobacter, Citrobacter. Jumlah serupa dengan dalam lambung tetapi pada obstruksi jumlahnya akan meningkat tajam18,23. Usus Halus Distal dan Kolon Ditemukan Gram (-) dan anaerob berupa Bacteroides, Clostridium, dan Fusibacterium4,18,24. Kolon mengandung sangat banyak patogen dan > 99% merupakan anaerob dengan jenis Bacteroides fragilis yang tersering ditemukan. Jumlah patogen ini berada dalam keadaan keseimbangan dengan aerob Gram (-) seperti E. coli dan Gram (+) seperti Enterococcus18. Anaerob dalam usus berperan penting dalam mempertahankan corak mikroflora usus. Percobaan binatang yang menghilangkan anaerob caecum dengan antibiotika peritonitis primer atau

8akan meningkatkan jumlah E. coli caecum sebesar 5-log. Pada manusia hilangnya anaerob akan meningkatkan koloni Candida dan Enterococcus. Jenis dan jumlah mikroflora yang umumnya tetap dapat berubah akibat penyakit atau terapi antimikrobial sebelumnya. Misalnya, hilangnya asam lambung akibat antasid atau obstruksi distal dapat menyebabkan kolonisasi lambung dengan anaerob seperti Bacteroides, fusobacterium, atau Candida, dan Lactobacilli. Komposisi flora juga ditentukan saat mulainya penyakit serta pengobatannya. Enterococcus lebih sering ditemukan pada peritonitis post-operatif atau peritonitis yang timbul selama perawatan di rumah sakit (kebocoran anastomosis dan sebagainya) dari pada peritonitis yang dimulai di diluar rumah sakit atau community based (apendisitis akut)4. Pada perforasi kolon ratusan spesies yang merupakan flora normal akan keluar.Tetapi saat peritonitis sudah manifest umumnya akan tinggal hanya 5 patogen yang terdiri dari 3 anaerob dan 2 aerob8,23. Menurtut penelitian, E. coli merupakan penyebab sepsis dan kematian pada peritonitis dini, sedang B. fragilis bersama E. coli dan Enterococci menyebabkan abses lambat intraperitoneal18. Perjalanan waktu menimbulkan perubahan mikroba penyebab sepsis dari terutama Gram (-) tahun 60-80 menjadi campuran pada tahun 80-90 (tabel 1). Demikian dengan lokasi infeksi primer (tabel 2)20. Tabel 1 Gram(-) Gram(+) Mixed Fungi Lain 1963 - 1987 85% 12% 2% 1% 1988 - 1998 42% 34% 14% 5% 5% (anaerob 2%) organisme oropharynx seperti Streptococcus,

Sepsis Gram negatif disebabkan Enterobacter 29%, Escherichia coli 13%, Klebsiella pneumoniae 8%, dan Pseudomonas aeruginosa 8%. Limapuluh persen sepsis Gram positif disebabkan Staphylococcus (S.aureus 12%, Staphylococcus coagulase (-) 7%). Enterococcus 8%, Pneumococcus 4% sepsis akibat jamur terutama disebabkan Candida. Sepsis oleh anaerob hanya ditemukan sebesar 2%. Tabel 2*

91963 - 1987 27 % 21 % 17 % 16 % 19 % 1988 -1998 19 % 13 % 36 % 20 % 5% 7%

Abdomen Tr Urinarius Paru-paru Darah Lain Kulit dan jaringan lunak

*Intensive Care Med 2001; 27 : S33-S48 (20) Walaupun kebocoran usus mengeluarkan multi flora, komposisi yang keluar umumnya dapat diprediksi1. Tabel 3* PRIMER Gram (-) E. coli Klebsiella SEKUNDER Gram (-) E coli 32-61% Enterobacter 8-26% Klebsiella 6-26% Proteus 4-23% Gram (+) Enterococci 18-24% Streptococci 6-55% Staphylococci 6-16% Anaerob Bacteroides 25-80% Clostridium 5-18% Fungi 2-15 % *Intensive Care Medicine 2003;29:530-38 (22) Dalam usaha untuk lebih merinci dan menjelaskan jenis mikroba yang mungkin ditemu, dibedakan saat pengambilan bahan untuk kultur. Dibedakan antara community based atau awal sakit yang terjadi diluar rumah sakit dari post-operative atau sakit dengan indikasi operasi yang terjadi selama dirawat. mereka yang hidup dan yang meninggal. Dicari pula perbedaan antara Fungi Candida TERSIER Gram (-) Pseudomonas Enterobacter Acinetobacter Gram (+) Enterococci Staphylococci coagulase (-)

Gram (+) S. aureus Enterococci

10Walau sumber infeksi sama (isi usus), terdapat perbedaan mikrobiologi dan virulensi antara community based dan post operative. Enterococcus yang dalam keadaan normal bersifat virulensi rendah, postoperative ia merupakan patogen utama pada infeksi nosokomial dan menunjukan banyak resistensi terhadap berbagai antibiotika. Telah disebut terdapat 2 kondisi peritonitis dapat menunjukan mikrobiologi yang berbeda yaitu : 1. Community acquired disease. Umumnya dikenal dengan peritonitis sekunder. Mikrobiologinya sudah dikenal, resistensi belum ada, pemberian antibiotika disesuaikan dengan jenis mikroba. Community based : E. coli dan B. fragilis24. 2. Peritonitis post-operative. Mikrobiologi belum banyak diketahui. Merupakan kondisi berbahaya karena pasien umumnya sudah lama dirawat dan sudah diberi pengobatan. Terdapat resistensi tinggi terhadap antibiotika, mungkin sudah terjadi perubahan spektrum mikroba akibat seleksi. Penyakit dan komplikasi penyakit dasar dapat berperan besar Post-operative : Enterococcus, Enterobacter, S. aureus, Staphylococcus coagulase (-)23. Hasil Fig. 1,2,3. Tabel 4 Community 9% Post-op. 39%

Mortalitas Meninggal Gram (-) E. coli (Gram (-)) Enterobacter (Gram (-)) Gram (+) Enterococcus Streptococcus Staph. aureus Staph. coag. (-) Pseudomonas

35.6 % 3.4 % 5.0 % 17.8 % 0.8 %

18.9 % 11.7 % 20.7 % 3.6 % 6.3 %

0.8 % 3.4 % lebih tinggi (tidak signifikan)

11E. coli rendah pada post operative dapat dibagi : Hidup 28% Meninggal 9% Enterobacter Hidup 5% Meninggal 19% Enterococcus Hidup 17% Meninggal 25% Pada community based : Perbedaan hidup dan meninggal tak beda bermakna. Perbandingan pasien yang diberi antibiotika pre- operatif dan tidak (antibiotika diberi setelah re-operasi) sangat mempengaruhi perubahan flora. Pasien yang tidak diberi antibiotika mengandung flora serupa dengan community based yaitu E. coli 36%, menjadi 11% setelah antibiotika, Enterococcus menurun dari 24% menjadi 14%. Jumlah Enterobacter tidak banyak berubah. Staphylococcus coagulase (-) hanya ditemukan setelah antibiotika. Pemberian antibiotika selanjutnya sangat mempengaruhi efikasi terapi yang akan datang karena banyak penelitian menunjukan adanya pasien yang seluruh floranya sudah resisten17. Patofisiologi Setiap bakteri dalam peritoneum mempunyai elemen PAMPS (Pathogen Associated Molecular Patterns) yang dikenal oleh sel efektor terutama makrofag. Pengenalan ini akan menimbulkan respons inflamasi baik lokal maupun sistemik berupa vasodilatasi, vasokonstriksi, agregasi sel dan lain-lain8. Histamin, postaglandin, leukotrien B-4, dan produk makrofag lainnya akan meningkatkan permeabilitas pembuluh peritoneal sehingga terjadi influks cairan kaya protein, netrofil, komplemen, imunoglobulin, dan fibrin23. Perubahan permeabilitas dan aliran darah lokal ini akan mengubah pertukaran cairan. Inflamasi peritoneum menyebabkan pergeseran cepat dari intravaskuler ke interstisiel dan ruang peritoneum. Ileus yang selalu menyertai peritonitis akan

12menambah kehilangan cairan akibat pergeseran masuk ke dalam lumen usus dan menurunnya absorpsi. Semua ini menimbulkan hipovolemi dan peningkatan tekanan intraabdominal sehingga dapat terjadi abdominal compartment syndrome. Tekanan > 10 mmHg disebut abdominal compartment syndrome8. Tekanan tinggi ini perlu diperhatikan karena bila tekanan mencapai antara 10-20 mmHg akan mengganggun aliran darah viseral dan gangguan fungsi paru. Tekanan antara 20-40 mmHg menambah penurunan aliran balik vena sehingga terjadi gangguan fungsi miokard dan oliguria. Tekanan > 40 mmHg menimbulkan anuria8. Selain perubahan permeabilitas, inflamasi peritoneum juga merangsang aktivasi kaskade koagulasi dengan percepatan pembentukan fibrin yang menyebabkan adhesi dan kapsul abses4. Fungsi fibrinolisis akan menurun pasca laparotomi dan hilang pada peritonitis. Menetapnya fibrin berguna untuk melokalisir bakteri, akan tetapi pada saat yang sama ia melindungi bakteri dari penghancuran oleh sel imun penderita. Bakteri dalam bekuan fibrin dapat melepas enzim dan O2 reaktif yang merusak jaringan. Keadaan ini berakhir dengan pembentukan abses suatu daerah yang sulit dicapai obat, pembunuhan bakterti oleh Netrofil menurun bahkan jumlah bakteri serta co-enzimnya akan meningkat 4,8. Faktor yang menentukan berat / ringan inflamasi infeksi sekunder antara lain berat kontaminasi dan virulensi bakteri, adanya adjuvan seperti isi usus, empedu, darah, atau barium, respons lokal dan sistemik host, dan terapi yang diberikan19. Pasca terapi peritonitis sekunder dapat dikenal 2 keadaan berbeda yang saat ini banyak diteliti yaitu : 1. Abses sederhana pasca operasi. 2. Infeksi berulang / persisten intraabdomen, sepsis, dan MOF. Untuk identifikasi dua keadaan berbeda ini banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor risiko dan pasien mana yang akan berlanjut5. Kenapa pada seorang penderita dapat terjadi peritonitis tersier memang terdeteksi dengan jelas dan belum banyak penelitian yang mencari sebabnya. Mendeteksi perubahan peritonitis sekunder menjadi tersier mungkin tidak jelas karena gejala yang terlihat adalah tidak adanya perbaikan kondisi dan bukan penurunan drastis. Oleh karena itu kesiagaan untuk mengantisipasi munculnya dengan mencari secara aktif faktor risiko menjadi sangat penting. Walaupun dikatakan bahwa peritonitis tersier

13terjadi bila infeksi awal tidak dapat dihilangkan secara efektif (pertahanan tubuh yang tak optimal, ketidak mampuan melakukan source control dan pemberian antibiotik secara adekuat saat operasi pertama), pencarian terhadap faktor risiko lain harus terus dilakukan.

-

Malangoni mengidentifikasi hipoalbuminemia. Pusajo menemukan MOF, operasi darurat sebelumnya, ileus lama, infeksi luka, nyeri non-insisionil rekuren. Kegagalan pertahanan lokal : akumulasi eksudat berlebih disregulasi imun yang dapat disebabkan cairan GI atau jaringan nekrotik yang menghambat aktivitas netrofil infeksi multimikrobial perubahan keseimbangan koagulasi-fibrinolisis. menumpuknya cairan akan menurunkan efektivitas mediator lokal. dilepasnya O2 reaktif dan enzim proteolitik merupakan mekanisme perusakan diri yang berhubungan dengan timbulnya sepsis berat dan MODS9.

-

Peritonitis yang tidak hilang atau timbul kembali pasca operasi. Organisme resisten. Enterococcus sangat meningkat dan sering merupakan patogen utama. Ia dapat bersinergi dengan E. coli untuk meningkatkan mortalitas, dan dengan B. fragilis untuk meningkatkan pembentukan abses 21.

-

-

Gangguan menghentikan infeksi dalam bentuk abses. Ketidak mampuan melokalisir infeksi. Terjadi perubahan respons lokal peritoneum5,17.

Terapi

Surgical Infection Society North America and Europe mengharuskan terkumpulnya tiga data sebelum mendiagnosis infeksi intraabdomen. : 1. Data pre-operatif A. Gejala klinik peritonitis.

B. Pencitraan yang menunjukan adanya peritonitis atau abses. CT abdomenberguna untuk menentukan adanya abses, cairan persisten, free air. Bila CT normal cari source lain19.

142. Data Intra Operatif A. Infeksi peritoneal terlihat saat operasi berupa : * Abses terlokalisir * Peritonitis difus B. Pus didapat melalui drainage perkutan 3. Data Post Operatif Kultur positif. Penanganan peritonitis tersier penanganan sama dengan sekunder: 1. Suportif terutama untuk organ yang sakit.

2. Source control dengan operasi atau drainage perkutan. Tujuan terapi bedah tidakhanya ditujukan untuk menghilangkan penyebab peritonitis sekunder tetapi juga untuk mencegah disfungsi inflamasi sistemik yang dapat merupakan pencetus timbulnya peritonitis tersier. Intervensi teknis untuk menghilangkan fokus infeksi, kontrol kontaminasi, restorasi anatomi dan fungsi. Untuk intraabdomen antara drainage, debridement, reseksi, penutupan perforasi, pembuatan stoma. Harus selalu diikuti pencucian dengan saline. Tetapi kontrol sumber infeksi tak selalu dapt dilakukan saat operasi pertama. Cara lain adalah dengan planned reoperation, open abdomen,continous post-operative lavage.

3. Antibiotika sesuai resistensi. Batasi 5-7 hari . Bila terdapat gejala infeksipersisten harus dilakukan prosedur tambahan untuk mengontrol infeksi karena antibiotik saja tidak mungkin mengontrolnya. Ditemukannya Enterococcus dalam kultur intraperitoneal dianggap kegagalan terapi. Bakteri ini sering berhubungan dengan infeksi post-operative atau peritonitis rekuren, maka perlu diberi terapi khusus anti-enterococcus19. Ditemukannya Enterococcus pada peritonitis sekunder merupakan pertanda kurang baik, tetapi terapi antibiotika spektrum luas masih memadai. Sedangkan walau bukti penelitian belum defenitif, pemberian antibiotik khusus terhadap Enterrococcus dapat memperbaiki prognosis. Dengan demikian saat ini diambil konsensus bahwa ditemukannya Enterococcus pada peritonitis tersier harus diberi antibiotika spektrum sempit khusus anti-enterococcus yang tidak mengganggu mikroba anaerob. Jenis antimkroba : obat yang ditujukan terhadap B. fragilis dan E. coli ternyata cukup untuk menurunkan Enterococcus. Tetapi beberapa penelitian menunjukan bahwa Enterococcus ini merupakan komponen utama yang perlu mendapat perhatian khusus karena menimbulkan abses, dan penurunan BB. Tampaknya perlu diberi

15terapi khusus terhadapnya23. Pemeriksaan mikrobiologi perlu dilakukan untuk menentukan apakah aspirat steril atau terinfeksi dan mendeteksi perubahan ke tersier5. Pengawasan dan penilaian kembali harus dilakukan secara terus menerus. Lakukan pemeriksaan kultur, pencitraan, dan laboratorium setiap 7 hari untuk menyingkirkan kemungkinan peritonitis rekuren, jangan bersikap WAIT AND SEE5. Kesimpulan Terdapat satu golongan pertitonitis dengan prognosis yang buruk serta penanganannya yang sulit. Segala tindakan harus diarahakan untuk mengawasi untuk mencegah timbulnya kondisi ini. Anjuran Setiap peritonitis harus ditangani secermat mungkin bila tidak ingin penyakit berjalan terus. Source control agar dilaksanakan sebaik mungkin. Pemeriksaan kultur dan resistensi harus diulang terutama pada mereka yang menunjukan perjalanan penyakit yang panjang dan berat. Awasi terjadinya perubahan organisme penyebab infeksi, dan gunakan obat yang sesuai resistensi dan tidak lagi menggantungkan pada antibiotik spektrum luas. Kepustakaan1. Hackford AW. Intra-abdominal sepsis: a medical-surgical dilemma. Clin Ther

2. 3. 4. 5.

6. 7. 8.

1990;12 Suppl B:43-53. Bosscha K, van Vroonhoven Th JMV, van der Werken Ch Surgical management of severe secondary peritonitis. Br J Surg 1999 Nov;86(11):1371-7 Comment in: Br J Surg. 2000 Mar;87(3):378. Schein M, Wittmann DH, Holzheimer R, Condon RE. Hypothesis: compartmentalization of cytokines in intraabdominal infection. Surgery 1996 Jun;119(6):694-700. Marshall JC, Innes M. Intensive Care Management of Intra abdominal Infection. Critical Care Medicine 2003; 31(8) : 2228-37 Evans HL, Raymond DP, Pelletier SJ, Crabtree TD, Pruett TL, Sawyer RG. Tertiary peritonitis (recurrent diffuse or localized disease) is not an independent predictor of mortality in surgical patients with intraabdominal infection. Surg Infect (Larchmt). 2001 Winter;2(4):255-63 . Hall JC, Heel KA, Papadimitriou JM, Platell C. The pathobiology of peritonitis. Gastroenterology 1998 Jan;114(1):185-96. Heemken R, Gandawidjaja L, Hau T. Peritonitis: pathophysiology and local defense mechanisms. Hepatogastroenterology 1997 Jul-Aug;44(16):927-36. Hau T.Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci 2003, 33:131-4.)

169. Broche F,Tellado JM. Defense mechanisms of the peritoneal cavity.Curr Opin Crit Care 2001,7:105-16 10. Farthmann EH, Schoffel U. Epidemiology and pathophysiology of intraabdominal infections (IAI). Infection 1998 Sep-Oct;26(5):329-34. 11. Iwagaki H, Hizuta A, Uomoto M, Takeuchi Y, Kohoka H, Okamoto T, Tanaka N. Clinical value of cytokine antagonists in infectious complications. Res Commun Mol Pathol Pharmacol 1997 Apr;96(1):25-34. 12. Topley N, Mackenzie RK, WILliams JD. Macrophages and mesothelial cells in bacterial peritonitis. Immunobiology 1996 Oct;195(4-5):563-73. 13. Li FK, Davenport A, Robson RL, Loetscher P, Rothlein R, WILliams JD, Topley N. Leukocyte migration across human peritoneal mesothelial cells is dependent on directed chemokine secretion and ICAM-1 expression. Kidney Int 1998 Dec;54(6):2170-83. 14. Ajuebor MN, Das AM, Virag L, Szab, Perretti M. Regulation of macrophage inflammatory protein-1 alpha expression and function by endogenous interleukin10 in a model of acute inflammation. Biochem Biophys Res Commun 1999 Feb 16;255(2):279-82. 15. Bellingan GJ, Caldwell H, Howie SE, Dransfield I, Haslett C. In vivo fate of the inflammatory macrophage during the resolution of inflammation: inflammatory macrophages do not die locally, but emigrate to the draining lymph nodes. J Immunol 1996 Sep 15;157(6):2577-85. 16. Haecker FM, Berger D, Schumacher U, Friess D, Schweizer P. Peritonitis in childhood : aspects of pathogenesis and therapy. Pediatr Surg Int 2000;16(3):182-8 17. Rosengart MR, Nathens AB.Tertiary Peritonitis.Current Treat Options in Infect Dis 2002, 4:403-9 18. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis : Update on Pathophysiology, Clinical Manifestation, and Management.Clin Infect Dis1997;24:1035-47 19. Malangoni MA. Current Concepts in Peritonitis. Current Gastroenterol Rep 2003, 5(4):295-301 (10) 20. Bochud PY, Glauser MP, Calandra T. Antibiotics in Sepsis. Intensive Care Med 2001; 27 : S33-S48 21. Hau T,Wacha N, Siebeck M, Geller B, Lichtwark-Aschoff,M et al. Circulating mediators H. Importance Of Enterococci In Intraabdominal Infections. Shock 2004;suppl 21: 140 22. Levy ML, Fink MP, Marshall JC, Abraham E et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Conference. Intensive Care Medicine 2003;29:530-38 23. Lawrence KL, Adra M, Schwaitzberg SD. An Overview of the Pathophysiology and treatment of secondary peritonitis. Formulary 2003,48:102-11 (17) 24. Roehrborn A, Thomas L, Potreck O, Ebener C, Goretzki PE, Roher HD. The Microbiology of postoperative peritonitis. Clin Infect Dis 2001,33: 1513-9


Recommended