Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
Yang Tak
Mungkin Kembali “Pada akhirnya semua akan pergi dengan
caranya masing-masing.”
Tegar Setiadi
ii
Judul : Yang Tak Mungkin Kembali Penulis : Tegar Setiadi Tata letak : Cover : Briliera Diterbitkan melalui: Diandra Kreatif (Kelompok Penerbit Diandra) Anggota IKAPI (062/ DIY/ 08) Jl Melati 171, Sambilegi Baru Kidul, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta. Email: [email protected] Telpon: 0274 485222 (fax) www.diandracreative.com Instagram: @diandraredaksi @diandracreative Twitter: @bikinbuku Facebook: www.facebook.com/diandracreativeredaksi Cetakan 1, Februari 2020 Yogyakarta, Diandra Kreatif 2020 14x21 cm, …. Halaman. ISBN: Hak Cipta dilindungi Undang-undang All right reserved Isi di luar tanggung jawab percetakan
Bahwa kamu layak untuk dicintai.
1
PROLOG
Benar, tiba-tiba saja aku sedang berdiri di bawah
guyuran hujan deras malam ini. Aku lupa sudah berapa
lama aku berdiri. Yang jelas sudah cukup untuk membuat
semua tubuhku menggigil, untuk membuat kulit-kulit
jemariku keriput menjijikan. Dan yang paling aku tidak
suka adalah bunyi gigiku yang beradu.
Berisik dan mengganggu.
Kayla hanya berbicara dalam hati. Dia terus
mematung, tidak peduli dengan hujan yang semakin deras
dan malam yang semakin larut. Sama sekali tanpa
gerakan, bahkan seakan tidak bernyawa.
Suasana di sekitarnya begitu sepi. Tentu saja,
dengan hujan sederas itu dan malam yang semakin gelap,
bahkan kelelawar pun mungkin enggan untuk keluar dari
sarangnya.
Tiba-tiba sebuah mobil hitam keluar dari ujung
gang, berjalan perlahan menuju ke tempat gadis itu
berdiri, lalu berhenti tepat satu meter di depannya. Pintu
terbuka, disusul pengemudinya yang keluar sesaat
setelah ia mengembangkan payung.
2
Siapa itu? Apa aku mengenalmu? Kamu tidak
asing bagiku. Tapi, siapa? Dan untuk apa kamu kesini?
“Kayla, kamu nggak apa-apa?”
Kayla? Siapa dia? Apa itu namaku?
Kayla tetap membisu, tanpa ada tanda-tanda
akan menjawab pertanyaan dari laki-laki di hadapannya.
Dan ia tetap mematung saat tubuhnya mendapat dekapan
tiba-tiba yang begitu erat melingkari tubuh.
“Kita pulang sekarang,”
Pulang? Kemana? Dan, betapa nyamannya
pelukan ini, hangat dan aku merasa sangat aman. Aku
kenal kamu, aku kenal pelukan ini, aku kenal rasa aman
ini. Benar, kamu adalah laki-laki yang selalu melindungiku
selama ini.
3
Kayla
Rumah dengan cat tembok berwarna biru itu
menjadi terlihat paling mencolok dibandingkan dengan
rumah-rumah lain yang kebanyakan bertembok putih atau
abu-abu. Dengan sebuah halaman asri yang tertata rapi,
seakan ingin menunjukkan bahwa siapapun penghuni di
dalamnya adalah orang yang menyukai keindahan.
Pintu utama masih tertutup, hari memang masih
cukup pagi. Namun kesibukan sudah terlihat di dalamnya.
Seorang wanita paruh baya berjalan ke arah
jendela dan menyingkap gorden berwarna biru laut,
membiarkan cahaya matahari pagi masuk ke dalam dan
memberikan kesegaran di pagi hari.
“Ma, Kak Diego mana? Kok enggak ada?
Mobilnya juga enggak ada, apa udah berangkat? Kayla
ditinggal? Terus Kayla berangkat sama siapa?”
Gadis dengan seragam putih abu-abu
menyembulkan kepala dari balik tembok ruang makan.
Membuat Rianti, nama wanita paruh baya itu, tersenyum.
“Kakakmu lagi nganterin titipan Mama ke rumah
Tante Lusy. Tadi sebenarnya mau sekalian berangkat,
4
tapi nungguin kamu siap-siap kelamaan. Takutnya Tante
Lusy keburu berangkat kerja, jadi ya nganterin dulu,”
“Kirain Kayla ditinggal. Eh, ngomong-ngomong
Mama cantik banget hari ini?”
Puji Kayla ketika melihat penampilan orang tua
tunggalnya yang sudah siap dengan mengenakan setelan
blazer abu-abu dan rok hitam.
Lagi-lagi Rianti tersenyum menanggapi pujian
anaknya. Sudah biasa dia dengar, bukan cuma dari anak
gadisnya, atau anak laki-lakinya. Tetapi juga dari pegawai
kantor, atau klien yang menawarkan kerja sama dengan
perusahaanya.
Entah itu pujian palsu agar bisa mendapat
perhatian lebih darinya sebagai atasan, atau hanya akal
untuk mencapai kesepakatan kontrak. Namun wanita
berumur empat puluh tiga tahun itu sangat percaya, kalau
pujian yang diucapkan kedua anaknya selalu tulus.
Rianti seorang single parent yang mempunyai dua
orang anak. Diego, laki-laki berusia 22 tahun, anak
pertama. Saat ini tengah menjalani tahun ketiganya
sebagai mahasiswa jurusan managemen. Hobi bermain
gitar dan mendengarkan musik yang terkadang membuat
seisi rumah harus menutup telinga karena pemuda itu
menyetel terlalu keras.
5
Dan anak kedua, Kayla. Remaja putri berusia 16
tahun, siswi kelas tiga SMA yang sedang mengalami masa
puber atau masa tumbuh menjadi seorang remaja yang
hobi nongkrong dengan teman-temannya.
“Yee, cuma senyum nih Mama,”
“Kamu juga cantik kok, Sayang.”
“Iya dong. Mamanya cantik, anaknya jugaaaa,”
gadis itu tersenyum manis.
Tak lama kemudian, sosok laki-laki muda yang
mengenakan kemeja coklat muncul dari ruang tamu.
Celana jeans dan sepatu Converse mendukung
penampilannya.
“Itu, kakakmu,”
“Ayo, Kay. Buruan berangkat,”
Kayla menenggak sekali lagi susu putih di
hadapannya hingga tandas, lalu berdiri menghampiri
Rianti.
“Kita berangkat dulu ya, Ma,” kecupan mendarat
di kedua pipi Rianti.
“Diego juga, Ma. Assalamualaikum.”
Suasana sekolah sudah ramai oleh berbagai
aktivitas yang dilakukan para siswa ketika Kayla turun dari
6
mobil Diego. Dia berjalan melewati pintu gerbang dengan
pos satpam di samping kanan sesaat setelah kakak laki-
lakinya itu memacu mobil menuju kampus.
Kayla melangkah di lapangan upacara, bertegur
sapa dengan teman yang dia jumpai di koridor, sampai
akhirnya tiba di kelas yang terletak di lantai dua.
“Pagi, Kay.”
Kayla meletakkan tasnya di meja, “Pagi, Rin.”
Dia menjawab sapaan Arin, teman sebangkunya
yang memiliki rambut ikal sepanjang bahu.
“Tadi kamu dicariin tuh,” lanjut Arin
“Siapa?”
“Naga, tadi dia kesini tapi kamu belum berangkat.
Katanya istirahat mau ke sini lagi,”
Kayla membuang napas, “Ooh.”
“Dih, gitu doang responnya.”
“Suruh gimana?”
“Ya seenggaknya kamu harus sedikit
menunjukkan rasa antusias, ingin tahu kenapa dicariin,
kek.”
“Emang ada apa dia nyariin aku?”
Arin mengangkat kedua bahunya, “Enggak tau,
dia enggak bilang.”
“Yee,”
7
“Hati-hati, kadang yang awalnya nggak suka
malah jadi sangat suka”
Lima menit berikutnya bel berbunyi, membuat
semua siswa yang sebelumnya berada di luar kelas
berebut masuk dan menempati bangku mereka masing-
masing.
Sekolah hari itu segera dimulai.
Pemuda Tetangga Rumah
8
“Boleh gabung?”
Sebuah pertanyaan yang membuat Kayla dan
Arin serempak menoleh, ketika mereka sedang lahap
menyantap makan siang masing-masing di kantin
sekolah. Naga berdiri sambil memegang sebuah teh botol.
Kayla menoleh ke arah sahabatnya untuk meminta
pertimbangan. Arin hanya mengangkat kedua bahu.
“Duduk aja,”
Naga tersenyum, “Nggak ganggu, kan?”
Dan kedua gadis itu hanya mengangkat bahu
mereka secara bersamaan, membuat Naga menggaruk
kulit kepalanya.
“Tadi pagi aku ke kelasmu, tapi kamu belum
berangkat,”
“Iya, tadi Arin udah ngomong. Ada perlu apa?”
“Aku pengin ngajak kamu jalan habis pulang
sekolah,”
“Jalan?”
“Iya. Aku pikir sekolah kan lagi nggak begitu
banyak tugas, jadi kamu punya banyak waktu luang.
Kemarin-kemarin kamu selalu nolak katanya mau ngerjain
tugas.”
“Kemana?
9
Naga terlihat berpikir beberapa saat, “Random
aja. Makan, ke cafe, nonton, atau kemana kek. Jalan aja
dulu yang penting,”
“Nggak ada tujuan gitu, nanti malah bingung
jadinya,” Kayla terdengar ragu.
“Atau kamu punya alternatif?”
Kayla menggeleng, wajahnya terlihat tidak
antusias dengan ajakan Naga.
“Kapan-kapan aja ya, aku juga lagi malas
kemana-mana,”
Pemuda itu menghela napas pasrah.
“Kalau nganterin kamu pulang?”
Gadis yang ditanya kembali menggelengkan
kepala, “Nggak usah, Ga. Nanti aku bareng Arin kok.”
Naga harus menghela napas sekali lagi, menahan
rasa kecewanya. Lalu mereka terdiam selama beberapa
menit.
“Ya udah deh kalau gitu. Aku kesana dulu yaa,”
Ujar Naga sambil menunjuk ke arah serombongan
murid laki-laki yang nampak sedang berbincang di sisi lain
kantin. Sebuah senyuman melengkung di bibirnya.
Diam-diam, mata Kayla melirik sekilas.
“Kay,”
10
“Sssst, diem, Rin.” Potong Kayla, membuat Arin
merengut.
Kayla turun dari mobil Arin yang
mengantarkannya pulang selepas sekolah usai. Gadis itu
mendorong pintu gerbang kemudian melangkah masuk
halaman.
Mobil Mama nggak ada, berarti belum pulang. Kak
Diego juga tadi pagi bilang kalo hari ini mau pulang malem.
Ucapnya dalam hati.
“Kay, baru pulang ya?” Sebuah suara
menghentikan langkah gadis berambut hitam itu.
Andreas, tetangga sebelah yang menyapa dari
balik tembok pembatas rumah membuat Kayla tertegun,
sedikit grogi ketika matanya beradu pandang dengan
Andreas. Terlebih, laki-laki itu tersenyum, membuat Kayla
semakin kaku, tak dapat menggerakkan lidah untuk
menjawab.
“Hallo, malah diem aja,”
“Eh, i-iya. Iya, baru pulang nih.”
Kenapa selalu seperti ini setiap aku ketemu
Andreas? Aku terlihat memalukan, tak pernah bisa
11
bersikap biasa saja setiap kali bertatapan dengan
matanya.
“Malam ini mau ngerjain tugas sekolah, nggak?”
“Nggak ada tugas yang buat besok, sih. Kenapa
emang?”
“Temenin makan, yuk.”
“Eum, dimana?”
“Makan nasi goreng aja di depan komplek,
gimana?”
Gadis itu terlihat berpikir sejenak sebelum
akhirnya mengangguk setuju. Andreas tersenyum dan
mengacungkan jempol tangan kanannya.
“Sip. Ntar jam 7 aku tunggu di depan gerbang
rumahku ya,”
Gadis itu mengangguk, berusaha sekuat tenaga
menyembunyikan rasa girangnya.
“Ya udah, aku mau masuk dulu,” ucap Kayla
seraya menunjuk pintu rumah.
“Silahkan.”
Kayla melanjutkan langkah sambil bersenandung
dalam hati. Kayla sadar, dia menyukai Andreas.
12
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh kurang
seperempat ketika Kayla siap dengan penampilan
sederhananya. Hanya mengenakan dress langsungan
sepanjang lutut dan dipadukan jaket jeans.
Gadis itu melangkah keluar rumah, menemui
Andreas yang sudah menunggu dengan senyuman
khasnya. Senyum yang selalu membuat Kayla kaku,
membuat lidahnya kelu. Detik ini pun hampir saja seperti
itu andai Kayla tak memantapkan diri untuk bersikap biasa
saja di hadapan Andreas.
Sekuat tenaga, gadis itu menahan getaran di
dadanya.
Sudah sejak terakhir pertemuan mereka saat
Andreas menyapa ketika pulang sekolah sore tadi, Kayla
bertekad untuk mengurangi groginya. Gadis itu tidak ingin
terlihat kacau saat dia berjalan bersama Andreas.
Entah sejak kapan Kayla menyukai Andreas,
cowok yang sudah dia kenal sejak kecil. Andreas adalah
teman main kakaknya, Diego. Yang sering bermain gitar
bersama di rumahnya, yang hampir setiap sore bermain
basket di halaman rumah. Kayla sering mengintip mereka
berdua bermain gitar di kamar Diego, Kayla sering ikut
bermain bersama mereka.
13
Andreas sering menemani dirinya mengerjakan
tugas sekolah di gazebo rumah, membantu
menyelesaikan soal-soal yang Kayla tidak bisa. Andreas
sering menjemput Kayla di sekolah ketika kakaknya tidak
bisa. Andreas sering menolong Kayla. Kayla tak pernah
sadar, sejak kapan dia menyukai teman main kakaknya
ini.
“Berangkat sekarang?” Tanya Andreas,
membuyarkan lamunan Kayla.
Gadis itu menghela napas, mencoba menguasai
diri, lalu mengangguk.
“Gimana sekolah hari ini?” Andreas dan Kayla
menyusuri jalan yang lengang.
“Ya kayak gitu lah, dengerin guru menjelaskan di
depan kelas, nulis, sama dikasih tugas. Nggak ada yang
istimewa,”
“Namanya juga sekolah. Emang yang istimewa itu
yang kayak gimana sih?”
“Without home work. Itu baru istimewa,”
“Ada-ada aja kamu,” tak urung Andreas tertawa.
Keduanya melangkah beriringan, melewati
sebuah taman kecil. Kayla menatap taman itu beberapa
detik, sesaat kemudian dia tersenyum. Andreas
memperhatikan Kayla dengan heran.
14
“Ada apa sih, senyum-senyum sendiri,”
“Dulu kita sering bermain di tempat itu. Aku, kamu,
dan Kak Diego. Waktu kecil, hampir tiap sore kita pasti
pergi bermain di sana. Berkejar-kejaran, ayunan,
perosotan. Menyenangkan sekali waktu itu,”
Andreas ikut tersenyum, “Dan kamu sering jadi
yang pertama mengajak pulang waktu hari sudah hampir
gelap,”
“Tentu saja, mama pasti marah kalau kita nggak
segera pulang,”
Keduanya tertawa, teringat tentang masa kecil
mereka yang setiap hari diisi dengan keceriaan.
“Kakakmu apa kabar? Lama aku nggak liat dia,”
“Baik kok. Kayaknya sekarang kamu nggak
pernah main sama dia lagi ya?”
Andreas terdiam sesaat, “Iya, sudah lama aku
nggak ketemu Diego,”
“Wajar sih, Kak Diego emang lagi sibuk di
kampusnya. Nggak tahu ngapain aja di sana.”
“Nggak kerasa ya, ternyata masa-masa itu sudah
sangat lama berlalu. Rasanya baru kemarin aku
ngeboncengin kamu naik sepeda waktu SD. Sekarang
bocah SD itu sudah sebesar ini rupanya,”
15
Kayla tertawa kecil, “Sepeda itu sudah entah
dimana sekarang. Terakhir kita menaikinya waktu aku
kelas lima SD, kalau tidak salah,”
“Kalaupun masih ada kita tidak mungkin lagi
menaikinya. Dengan tubuh sebesar ini, yang ada malah
patah sepedanya,”
Kayla mengangguk. Ia benar-benar menikmatinya
sekarang, berada di dekat Andreas benar-benar
membuatnya merasa nyaman. Dalam hati, Kayla tidak
ingin cepat-cepat sampai. Bahkan, ia bersedia memutari
belahan bumi kalau itu bisa membuatnya berlama-lama
dengan Andreas.
Bulan sudah sejak sore tadi muncul di langit,
ditemani beberapa bintang yang memancarkan sinarnya,
berkerlip-kerlip dengan genit. Indah sekali malam ini bagi
seorang Kayla, hatinya berdesir ketika sekali lagi dia dapat
melihat senyum Andreas dari dekat.
Tuhan, terima kasih atas sore ini.
Perselisihan
16
Sore itu, Rianti sedang menyirami tanaman bunga
koleksinya di halaman rumah. Bermacam-macam jenis
bunga seperti Mawar, Anyelir, Melati, Anggrek, Kateliya,
Aster, dan beberapa macam bunga lain yang memiliki
bentuk dan warna yang indah tumbuh dengan teratur di
sebuah taman kecil di halaman rumah.
Tanaman yang dirawat sendiri dengan
tangannya. Bunga-bunga yang sangat digemarinya, yang
membuat ia betah berlama-lama di halaman rumah hanya
untuk memandang sambil meminum kopi.
Atau seperti saat ini, dengan teliti Rianti
menyirami dan memotong daun-daun yang telah kering
dan mati.
Memberi kesempatan daun yang baru, daun yang
lebih segar untuk tumbuh.
Mobil Diego dengan perlahan masuk ke dalam
pelataran rumah, membuat Rianti yang tengah memotong
sehelai daun kering menoleh. Beliau tersenyum, lalu
melanjutkan aktivitasnya.
“Asalamualaikum, Ma,”
“Waalaikum salam,” jawab Rianti sambil
membiarkan anak laki-lakinya mencium punggung
tangannya.
“Tumben pulang cepet?”
17
“Iya, kuliahnya kosong, dosennya keluar kota.
Diego juga lagi nggak ada kegiatan apa-apa di kampus.
Jadi ya pulang aja. Tadi sih sempet nganterin temen
pulang dulu,”
“Siapa? Temen kuliah?”
“Iya,”
“Cewek apa cowok?”
“Cewek,”
“Pacar ya?”
“Temen, Ma. Beneran,”
“Ah, pacar juga enggak apa-apa, kok. Kapan-
kapan bawa ke rumah, kenalin ke Mama,”
“Apaan sih, Ma? Dibilangin cuma temen. Lagian
dia juga sudah punya pacar,”
“Tapi kamu suka, kan?”
“Mama ni yaa, iseng aja.”
“Udah ah, Diego masuk dulu. Laper. Kayla
Mana?”
“Lagi pergi sama Andreas,”
Wajah Diego seketika berubah, nampak tidak
suka mendengar nama Andreas disebut. Ia meninggalkan
Rianti yang kembali sibuk dengan bunga-bunganya.
18
“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Andreas
sambil tersenyum, matanya memandang langit yang
sudah mulai gelap.
Kayla tersenyum, “Aku yang seharusnya
ngucapin makasih, kamu udah traktir aku es krim dan
makan malam,”
“Ahaha, nggak masalah,”
Seandainya saja aku bisa setiap hari jalan berdua
seperti ini sama kamu, pasti menjadi saat yang
menyenangkan buatku.
Tutur gadis itu dalam hati, yang membuatnya
senyum-senyum sendiri.
“Kakakmu jarang keluar rumah atau memang
sering pulang malam? Aku nggak pernah melihatnya.”
“Iya, Kak Diego sibuk terus di kampusnya.”
Tapi mungkin kalau ada Kak Diego, kita tidak bisa
jalan hanya berdua saja seperti ini. Seperti saat ini, hanya
ada aku dan kamu. Aku suka kamu, Andreas. Kapan kamu
menyadari itu?
Kayla melanjutkan omongannya dalam hati.
Matanya menerawang ke langit, membuatnya yang tidak
melihat jalan tersandung hingga hampir terjatuh.
Beruntung dengan cepat Andreas menangkap tubuh putih
19
dan mulus Kayla, membuatnya terhindar dari jalan aspal
yang keras.
Deg!
Kulit keduanya bersentuhan, membuat Kayla
merasakan getaran yang nyaman dalam dirinya.
Badannya kaku, membeku, tak dapat digerakkan
seperti patung. Hingga hampir beberapa detik
membuatnya masih berada dalam dekapan pemuda itu.
“Kamu nggak apa-apa?”
Seandainya Andreas tidak mengucapkannya,
mungkin Kayla akan bertahan dalam posisi seperti itu
selama mungkin.
Reflek Kayla melepaskan diri, salah tingkah,
sebelum akhirnya ia mengangguk. Memberi tahu bahwa
dia baik-baik saja. Kayla melangkah kembali, namun tiba-
tiba kakinya terasa linu. Gadis itu terpekik menahan sakit.
Andreas yang melihat raut wajah Kayla segera menunduk,
meneliti kaki Kayla.
“Sepertinya terkilir.”
Andreas menekan kaki Kayla pelan, membuat
gadis itu terpekik.
“Sakit?”
Kayla menjawabnya dengan anggukan.
20
“Nanti sampai rumah kompres pake air es, biar
bengaknya sedikit berkurang. Sekarang aku gendong
sampai rumah,”
Dengan malu-malu Kayla melingkarkan kedua
tangannya ke leher Andreas. Sekali lagi dia dapat dengan
leluasa menghirup aroma parfum yang seakan-akan
membiusnya untuk merebahkan kepala ke pundak
Andreas, menikmati setiap inci tubuh laki-laki yang diam-
diam dia kagumi.
Akankah kau menyadari tentang perasaanku
yang utuh kepadamu, akankah kau mengerti? Kenapa
harus ada aturan bahwa wanita tidak selayaknya
menyatakan perasaan terlebih dulu? Ataukah itu karena
aku malu untuk menyatakannya, hanya karena aku
seorang wanita? Namun, kapankah kau menyadari
tentang rasa ini? Sungguh, aku sungguh mencintaimu.
Kayla berpuisi dalam hatinya.
“Kamu berat juga,” tutur Andreas sambil menahan
tawa.
Kayla langsung mencubit pipi Andreas dengan
pelan, lalu keduanya tertawa bersama-sama.
“Jangan bicara tentang berat badan sama wanita,
pamali.”
21
Andreas hanya menanggapinya dengan tertawa
lebih keras dari sebelumnya.
Masih menggendong Kayla, pemuda itu
membuka pintu gerbang dan berjalan masuk. Ia
menurunkannya dengan perlahan dan membantunya
duduk di kursi rotan yang terdapat di teras rumah.
Diego muncul dari balik pintu, menampakan
wajah sedikit terkejut begitu melihat Andreas berdiri di
depan rumahnya. Ketidaksukaan nampak begitu jelas
ditunjukkan. Entah kenapa, Kayla pun melihat raut wajah
Andreas berubah.
“Malem, Di. Aku cuma mau nganterin Kayla. Tadi
di jalan kakinya terkilir, nggak bisa jalan. Jadi aku gendong
dia sampai ke rumah,”
Diego menoleh ke arah Kayla. Lalu tanpa
menanggapi omongan Andreas ia menghampiri adiknya.
Diego membungkuk, meneliti kaki Kayla.
“Kamu enggak apa-apa?”
Kayla menggeleng. Diego membantu adiknya
berdiri, memapahnya berjalan masuk ke dalam. Gadis itu
melirik ke arah Andreas yang sejak tadi diam melihat
keduanya, ia merasa ada sesuatu yang aneh.
Ada masalah di antara mereka.
22
“Makasih ya,” ujar Kayla sebelum ia menghilang
di balik pintu, Andreas tersenyum dan mengangguk.
Kemudian menghela napas dan berlalu dari
tempat itu.
Sesuatu yang Rumit
23
Dengan tertatih Kayla menaiki tangga sekolah
setapak demi setapak. Sesekali gadis itu meringis
menahan sakit. Memar di kakinya sudah sedikit mengecil
setelah semalam dikompres air es, tetapi rasa linu masih
dirasakan. Membuatnya cukup kesusahan untuk berjalan.
Akhirnya dia tiba di kelas setelah bersusah payah
menaiki tangga. Ia melangkahkan kaki menuju bangku.
Kayla menghela napas sebelum menjatuhkan pantat ke
atas kursi kayu berwarna coklat.
“Kenapa kakimu?”
“Terkilir semalem, linu banget,”
“Kenapa nggak ngabarin biar aku jemput. Tadi
gimana naik tangganya coba?”
“Terbang,” jawab Kayla asal.
“Tapi, ada berkahnya lho kakiku terkilir. Tau
nggak, aku di gendong sama Andreas sampai rumah.
Aah, gila, aku seneng banget,”
“Iya? Gimana ceritanya? Romantis nggak?
Pantesan tadi aku liat kamu jalannya kesusahan tapi
mukanya sumringah. Di gendong sang pangeran
rupanya,” omongan Arin ditanggapi senyuman oleh Kayla.
Kemudian dengan penuh semangat gadis itu
menceritakan kejadian tadi malam. Arin yang
mendengarkan Kayla ikut tersenyum senang. Ikut
24
merasakan kebahagiaan sahabatnya. Sesekali gadis itu
menanggapi dengan antusias.
“Tapi, sepertinya ada yang aneh sama Kak Diego
dan Andreas,” wajah Kayla berubah sendu.
“Maksudnya?”
“Entahlah. Semalem pas Andreas nganterin, Kak
Diego yang bukain pintu. Tapi begitu liat Andreas,
wajahnya kayak nggak suka. Andreas juga sama,
wajahnya langsung beda,”
“Mungkin lagi ada masalah diantara mereka,” Arin
menerka.
“Aku enggak tahu, aku belum nanya sama Kak
Diego atau Andreas. Tapi apapun itu, semoga bukan hal
yang serius,”
“Iya, nanti bisa mengancam hubunganmu sama
Andreas,”
Kayla merenung, pikirannya menerka-nerka
masalah apa yang membuat kakaknya dan Andreas
seperti bermusuhan. Karena Kayla tahu, mereka berdua
sudah bersahabat sejak kecil.
Gadis itu masih merenung ketika Arin
menyenggol bahunya, membuat Kayla sedikit tersentak.
Ia menunjuk pintu dengan lirikan matanya, Kayla
25
mendapati Naga yang sedang mendekat dengan seulas
senyuman tersungging.
Gadis itu mendesah perlahan.
“Pagi Kayla, pagi Arin,”
“Pagi juga, Ga. Tahu aja kamu Kayla udah
berangkat,” jawab Arin sambil tersenyum usil.
“Iya. Wanginya sampai ke kelasku sih, jadi aku
bisa tahu,”
“Bisa aja kamu. Kaki Kayla lagi sakit tuh, nggak
bisa jalan. Jadi ntar pas istirahat, kamu beliin makanan di
kantin, terus bawa ke kelas ya,”
Kayla langsung meninju lengan Arin pelan, gemas
dengan ulah sahabatnya. Arin tertawa puas.
“Iya, Kay? Kenapa kakimu?”
“Cuma terkilir sedikit kok, bentar juga sembuh,”
“Yakin?”
“Makannya, ntar jangan lupa beliin makanan buat
kita di kantin. Kalo bisa, pulangnya juga anterin Kayla
sampai rumah,” Arin masih ingin menggoda.
Kali ini Kayla mencubit pinggangnya, membuat
Arin terpekik.
“Nggak usah dengerin Arin, Ga, anak ini emang
suka ngaco,”
26
“Nggak apa-apa kok. Kalau emang kakimu sakit,
nanti aku anterin pulang ya?”
“Eh, nggak usah, beneran. Kakakku ntar jemput
kok. Nggak usah repot-repot,”
“Oh, ya udah. Tapi entar kalo kakakmu nggak
jemput, ngomong sama aku aja, oke?” Naga masih belum
menyerah.
Kayla mengangguk kaku.
“Terus, kamu ngapain pagi-pagi udah ke kelas
kita?”
“Tadi sebenarnya aku mau ngajak pergi sepulang
sekolah, tapi kakimu lagi sakit gitu.Ya udah kapan-kapan
aja perginya. Itu juga kalau kamu mau,” Naga tertawa
kecil.
“Aku ikut,” dengan cepat Arin mendahuli Kayla
untuk menjawab, lagi-lagi Arin mendapat cubitan di
pinggangnya.
“Boleh kok,”
“Ya liat entar aja, kalau aku lagi nggak sibuk,”
“Iya, santai aja. Itu beneran kan kakimu udah
nggak apa-apa?”
Kayla mengangguk menjawab pertanyaan Naga.
Sedikit malas menanggapi cowok di hadapannya. Naga
27
menyadarinya, ia tahu Kayla tidak pernah suka jika ia
berada di dekat gadis itu.
“Ya udah, aku balik ke kelas dulu ya. Cepat
sembuh buat kakimu,”
Kayla dan Arin mengangguk secara bersamaan,
membiarkan Naga berjalan meninggalkan kelas mereka.
Kayla merasa lega.
“Kenapa sih kamu bisa dingin gitu sama Naga?”
tanya Arin begitu langkah Naga sudah tidak terdengar
oleh mereka.
“Aku nggak tahu kenapa, tapi dari awal ketemu
juga udah nggak sreg sih.”
“Padahal Naga perhatian gitu,”
“Udah deh, kamu tuh sahabatnya siapa sih?”
“Sahabatnya Kayla dong,” jawab Arin sambil
melingkarkan dua tangannya ke leher Kayla. Keduanya
tertawa.
Andreas sedang mencuci mobil di halaman,
tangan kanannya memegang kain yang berbusa,
sementara jari-jari tangan kirinya menggenggam selang
plastik yang terus memancurkan air.
28
Suara mobil yang menggerung menghentikan
aktivitasnya, ia melirik ke halaman rumah Kayla. Sebuah
mobil nampak merangsak masuk ke pelataran rumah.
Andreas tahu itu mobil Diego.
“Di, tunggu bentar,”
Diego yang sedang menuju pintu rumah berhenti
melangkah, memutar badan ke arah suara yang
memanggilnya. Ia mendapati Andreas yang berdiri di
tembok pembatas rumah mereka.
Cat-cat yang mengelupas di sekitar tembok
menjadi hiasan tersendiri.
“Ada apa?” Diego nampak ketus.
Suasana berubah hening beberapa saat. Hanya
samar-samar terdengar suara kucuran air yang keluar dari
selang plastik milik Andreas yang tidak dimatikan,
sehingga mengalir begitu saja membentuk sungai-sungai
kecil di paving halaman rumah.
“Di, apa yang aku omongin ke kamu waktu itu,”
“Nggak usah bahas itu lagi. Aku nggak mau
mikirin masalah nggak penting seperti itu,” Diego
memotong dengan nada yang sedikit emosi.
Andreas kembali terdiam.
29
“Udah kan? Kalo udah nggak ada yang perlu
diomongin lagi, aku masuk,” ujarnya sebelum kembali
melanjutkan langkah.
“Satu lagi, jangan macem-macem sama Kayla,”
ancam Diego sebelum menghilang dibalik pintu.
Andreas menunduk, menghela napas dalam-
dalam. Ia melirik tajam ke arah Diego yang menghilang di
balik pintu.
Menunggu Penjelasan
“Kay, dari mana?”
30
Kayla tersenyum ketika melihat Andreas berjalan
menuju arahnya. Ia menunjukkan kantong plastik hitam di
tangan kanan.
“Disuruh mama beli gorengan depan komplek.
Kamu sendiri, dari mana?”
“Mau beli minuman di warung, malah tutup.
Niatnya mau ke jalan sana siapa tau ada yang buka. Tapi
nggak jadi deh,”
“Lho, kenapa?”
“Ketemu kamu,” Andreas tertawa renyah setelah
itu.
Kayla ikut tertawa. Keduanya melanjutkan
perjalanan menuju rumah.
“Gimana kakimu?”
“Sudah baikan kok, sama sekali nggak sakit lagi.
Tiap malam diurut sama Bi Sum jadi cepet sembuhnya.”
“Syukurlah,”
Kayla hanya menanggapi omongan Andreas
dengan anggukan kepala, ia sedang berusaha menahan
degup jantung yang selalu tidak biasa ketika berada di
samping Andreas. Di samping seseorang yang sudah dia
sukai sejak lama.
“Tumben bukan Bi Sum yang disuruh?”
31
“Bi Sum lagi nyetrika tadi, ya udah jadinya aku
yang disuruh.”
“Mungkin Tuhan pengin kita ketemu disini.”
Sekali lagi keduanya tertawa bersamaan, Kayla
senang dengan candaan-candaan yang terlontar dari
mulut Andreas. Gadis itu memperlambat langkahnya, dia
tidak ingin cepat-cepat sampai di rumah.
“Kita sering banget ya kayak gini. Jalan berdua,
ngobrol, ketawa bareng. Ada saja hal-hal yang bikin kita
ketawa,” Andreas berjalan di sebelah kanan Kayla, kedua
tangannya masuk ke dalam saku jaketnya.
“Iya, kamu selalu bisa bikin aku ketawa,”
“Boleh jujur?” tanya Andreas tiba-tiba.
Kayla menatap cowok di sebelahnya.
“Aku selalu menikmati momen seperti ini. Jalan
berdua sama kamu, ngobrol sepanjang jalan. Aku suka,”
lanjutnya.
Kayla terdiam mendengar ucapan Andreas,
hatinya berdesir.
“Aku nggak tahu kenapa, tapi aku nyaman saat
ngobrol sama kamu,”
Kalimat itu membuat Kayla semakin salah
tingkah. Rona wajahnya memerah. Udara malam kembali
berhembus, menggoyangkan dedaunan pohon yang
32
tertanam di sepanjang jalan yang mereka lewati. Kayla
masih bermain-main dengan hatinya yang sedang
berbunga. Gadis itu tersenyum.
“Aku juga. Aku juga nyaman saat di deket kamu,”
Andreas menatap Kayla, membuat Kayla semakin
menunduk, menghindari tatapan mata yang selalu tajam
namun memiliki kelembutan itu. Tapi Kayla suka mata
bening dengan bulatan coklat milik Andreas. Kayla suka
saat Andreas menatapnya. Kayla suka saat Andreas
tersenyum untuknya. Kayla suka semua tentang Andreas.
“Seandainya,” Andreas menggumam sendiri,
membuat Kayla mengangkat wajah dan menatapnya.
“Kenapa?”
“Eh, nggak. Nggak apa-apa,” laki-laki itu berubah
gugup.
Kayla memicingkan matanya, mencari tahu apa
yang membuat pemuda di sebelahnya tiba-tiba berubah.
“Beberapa hari ini ada yang mengganggu
pikiranku,”
“Apa?
“Kamu, ada masalah sama kakakku?” Kayla
tampak hati-hati saat menanyakannya.
Andreas terhenyak, Kayla dapat melihat jelas laki-
laki di sebelahnya tidak siap mendengar pertanyaan yang
33
terlontar. Ada sesuatu yang rumit dan cukup serius pada
masalah mereka, gadis itu tahu.
Dan Andreas tetap tidak menjawab hingga
mereka sampai di depan rumah Kayla.
“Ndre?”
“Eum, aku masuk dulu ya, Kay. Kamu juga buruan
masuk gih, ditunggu Mamamu.”
Wajah Andreas tegang. Ia melangkah menuju
rumahnya sendiri, meninggalkan Kayla yang masih
mematung di depan pintu gerbang. Sesuatu yang tidak
pernah Andreas lakukan sebelumnya, tidak menunggu
hingga Kayla masuk ke dalam rumah.
Kayla menyesal telah bertanya. Pertanyaan yang
membuat suasana yang sempat indah menjadi kacau.
Ada rasa perih saat matanya memandang punggung
Andreas menjauh.
“Kay, ikut aku yuk,” ajak Naga ketika mereka
bertemu di parkiran sesaat setelah jam sekolah selesai.
“Kemana?”
“Tempat spesial. Bukan tempat yang indah sih,
tapi banyak yang spesial di sana,”
34
“Emm, gimana ya? Hari ini aku ada keperluan.
Kapan-kapan aja ya,” lagi-lagi Kayla menolak.
“Yah, kamu nggak pernah mau pergi sama aku,”
“Sorry. Tapi aku memang nggak bisa hari ini.”
“Tapi kapan-kapan mau aku ajak jalan ya?
Ayolah,” pinta Naga penuh harap.
“Aku usahain, ya. Sekarang aku mau pulang dulu,
udah ditunggu kakakku,”
Naga mengangguk lemah ketika Kayla memohon
diri, membiarkan Kayla berjalan menuju mobil Diego yang
telah beberapa saat menunggu di depan gerbang sekolah.
“Siapa?”
Tanya Diego setelah Kayla duduk nyaman di
sampingnya.
“Temen,”
“Temen spesial?”
“Ih, temen biasa. Udah ah, cepet jalan, udah laper
nih,”
Diego tersenyum simpul, lalu menginjak gas dan
meninggalkan sekolah adiknya. Sesaat, keduanya hanya
terdiam. Gadis itu melirik Diego yang sedang menatap
lurus ke jalan yang mereka lewati.
“Kak, Kak Diego ada masalah sama Andreas?”
“Kenapa tiba-tiba tanya gitu?”
35
Diego balik bertanya. Ekspresi wajahnya datar,
membuat kayla merasa tidak nyaman.
“Nggak, soalnya Kayla lihat kemarin Kakak seperti
nggak suka waktu aku dianter pulang sama Andreas.
Terus, kemarin waktu aku tanya sama Andreas, dia kayak
kaget gitu.”
“Sepertinya akhir-akhir ini kamu lagi deket banget
sama Andreas,” Diego menambah perseneling mobilnya.
“Kamu suka sama dia?”
Kayla sedikit terkejut mendengar pertanyaan
kakaknya. Ia terdiam, matanya menatap keluar jendela,
memperhatikan berbagai aktivitas di sepanjang jalan yang
mereka lewati. Mencoba menghindari mata Diego yang
saat ini tengah menatapnya tajam.
“Kakak nggak mau kamu deket-deket sama
Andreas, apa lagi sampai suka,” lanjut Diego.
“Kenapa?”
“Dia nggak baik buat kamu,”
“Kenapa Kakak bisa ngomong gitu? Dasarnya
apa?” Kayla tampak gusar.
“Intinya Andreas bukan cowok yang baik,”
“Nggak baik gimana? Bilang sama Kayla nggak
baiknya dimana, biar Kayla tahu,”
36
“Kamu nggak perlu tahu, cukup jangan dekat-
dekat sama dia lagi. Akan lebih baik kalau kamu
menjauhinya,”
“Kak Diego egois. Kakak ngelarang aku deket
sama Andreas karena Kakak lagi berantem sama dia,
kan?”
Emosi Kayla terusik, matanya berkaca-kaca.
“Kalian yang punya masalah, kenapa Kayla juga
harus kena?” lanjutnya.
Ia kembali membuang pandangannya keluar
jendela, tidak ingin melihat wajah Diego.
“Kakak cuma nggak mau kamu kecewa nantinya,”
“Kecewa kenapa? Apa yang Kakak sembunyiin
dari Kayla?”
“Kenapa kamu nggak mau nurut sama kakak?”
intonasi Diego meninggi.
“Karena Kayla cinta sama Andreas!”
Diego terdiam mendengar jawaban Kayla. Tidak
ada reaksi yang dia tunjukkan, tidak pula dengan
perkataan. Mobil itu melaju dengan keheningan. Tak ada
lagi kalimat yang keluar dari mulut keduanya, perdebatan
terhenti.
Diego menatap kosong.
37
Hingga mobil mereka masuk ke dalam halaman
rumah. Kayla bergegas turun dari mobil, berlari masuk ke
dalam, meninggalkan Diego yang tetap terdiam. Pikiran
Diego kacau. Ada rahasia tentang Andreas yang dia tahu.
Pernyataan yang Aku Tunggu
“Ndre, kamu masih marah sama aku?”
Tanya Kayla ketika dia berada di beranda rumah
cowok itu.
38
Andreas tersenyum tipis, “Nggak apa-apa kok.
Maaf kemarin aku ninggalin kamu di depan gerbang,”
“Aku yang minta maaf udah nanya-nanya ke
kamu, mungkin itu bikin kamu tersinggung,”
“Ya udah, lupain aja. Bahas yang lain yuk,”
Kayla mengangguk.
Selanjutnya mereka terdiam, Kayla bermain-main
dengan bunga yang di letakkan di atas meja. Sesekali
matanya melirik, mencuri pandang ke arah Andreas.
“Ehem,”
“Eh, kenapa, Kay?”
Kayla hanya mengangkat kedua bahunya.
“Emm, mau minum?”
Kalimat itu terdengar cukup kaku di telinga Kayla,
“Apaan sih? Kok kita jadi kaku gini?”
“Hehehe, iya maaf. Tapi kamu mau minum
nggak? Aku buatin ya,”
“Boleh, deh. Es sirup ada?”
“Ada. Bentar, ya,”
Kayla bangkit dari duduknya sesaat setelah
Andreas menghilang di balik tembok dapur. Ia berjalan
menuju halaman rumah dan memungut bola basket yang
tergeletak begitu saja di bawah ring.
39
Dengan gerakan yang kaku Kayla coba
melakukan driblle, lalu melemparkan bola itu ke arah
keranjang. Meleset, Kayla mendengus kesal, ia kembali
memungut bola dan melakukan hal yang sama, namun
lagi-lagi ia gagal.
Gadis itu cemberut.
Andreas yang sejak tadi memperhatikan,
tersenyum melihat tingkah anak gadis tetangga
rumahnya, ia menghampiri dan mengambil bola yang
sedang di pegang oleh Kayla.
“Nih, perhatiin aku,” tuturnya.
Bola itu melesat mulus masuk melewati
keranjang.
Kayla bertepuk tangan, kagum dengan Andreas,
“Soal basket, kamu emang jago,”
“Mau aku ajarin?”
Kayla mengangguk pasti.
“Jadi posisi kaki sama tangan kamu harus seperti
ini,” Andreas mengatur posisi berdiri Kayla.
“Selanjutnya atur power kamu saat melemparkan
bola. Yup, sekarang coba lempar,”
Kayla menuruti perintah Andreas, ia melemparkan
bola itu. Namun lemparannya hanya menyentuh ujung
40
ring. Lagi-lagi Kayla cemberut, membuat Andreas
tersenyum geli.
“Jangan manyun gitu, coba lagi, nih,” Andreas
memungut bola.
Kayla mengulangi apa yang telah Andreas
ajarkan kepadanya. Dengan mimik serius ia coba
melempar sekali lagi. Gadis itu menahan napas beberapa
detik sebelum bola di tangannya melesat.
Plung.
Lemparannya kali ini masuk melewati keranjang.
Kayla melonjak kegirangan, ia berlari ke arah
Andreas, lalu tanpa sadar memeluknya selama beberapa
detik, membuat Andreas terkejut.
Bola basket masih memantul di lantai beberapa
kali hingga akhirnya menggelinding, mengenai kaki Kayla.
Membuatnya tersentak, disusul gerakan melepaskan
pelukan dari tubuh Andreas. Ia merasakan dejavu,
kejadian malam itu seperti terulang, malam di mana kaki
Kayla terkilir, membuatnya harus digendong Andreas.
“Eh, maaf,” wajahnya bersemu merah.
“Iya, nggak apa-apa kok,”
“A-aku minum dulu ya,”
Dia hendak berjalan menuju teras ketika
tangannya ditarik oleh Andreas. Kayla terkejut, lalu
41
menatap dengan berbagai pertanyaan. Andreas
mendekatkan bibirnya ke telinga Kayla, membuat degup
jantung gadis itu semakin tak beraturan.
“Aku suka kamu,” bisik Andreas, disusul dengan
kecupan pada pipi.
Kayla terkesiap, dia menutup mulut dengan
tangannya. Mencoba mencerna sebuah pernyataan yang
baru saja dia dengar. Dan, kecupan pada pipinya yang
tidak Kayla duga semakin membuatnya tak percaya.
Sebuah kenyataan yang menyenangkan, yang membuat
hatinya berbunga-bunga.
Kayla masih membisu.
“Kamu mau jadi pacarku?”
Mata Andreas tajam menatap Kayla, menunggu
jawaban. Laki-laki itu mengucapkannya dengan penuh
kesungguhan.
Satu lagi kalimat yang keluar dari mulut Andreas
membuat Kayla semakin diselimuti rasa bahagia. Sesuatu
yang telah lama dia tunggu untuk didengar, pertanyaan
yang sudah Kayla siapkan jawabannya sejak lama.
Andreas masih menggenggam kedua tangan
Kayla, menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia
ajukan kepada gadis berwajah manis itu, gadis yang saat
ini masih terdiam di hadapannya. Andreas akan
42
menunggu, selama apapun waktu yang Kayla butuhkan
untuk menjawab pertanyaannya.
“Aku udah lama nunggu ini,” ucap Kayla akhirnya.
Andreas tersenyum puas, dia menarik Kayla ke
dalam pelukannya. Kayla pasrah, membenamkan wajah
ke dalam pelukan laki-laki yang telah dicintainya sejak
lama, merasakan kenyamanan di dalam pelukan Andreas,
gadis itu mengeratkan pelukannya.
“Jadi kamu mau?”
Kayla menganggukan kepala di pelukan Andreas.
Dia menikmati setiap detik saat itu, menikmati desiran
darahnya yang mengalir seirama dengan detak
jantungnya yang belum dapat dia kontrol. Dan Kayla
membiarkan begitu saja ketika Andreas mencium
keningnya.
“Terima kasih,”
Kayla tak bergeming, dia tidak ingin melepaskan
pelukan pada tubuh Andreas. Tak ingin kehilangan
kenyamanan yang sedang dia rasakan saat ini. Kayla
masih ingin menyandarkan kepalanya di dada bidang laki-
laki yang dia cintai.
“Tapi aku punya satu permintaan,” lanjutnya.
“Apa?”
“Jangan beri tahu hubungan kita kepada Diego,”
43
Kayla sedikit terkejut, “Kenapa? Sebenarnya ada
apa dengan kalian?”
“Suatu saat aku akan memberitahumu. Janji ya,
kamu nggak bakal bilang ke kakakmu. Kalau waktunya
udah tepat, aku yang akan ngomong sendiri ke Diego,”
lanjut Andreas meyakinkan. Tangannya menggenggam
erat jari-jari Kayla.
Walaupun berbagai pertanyaan muncul dalam
benak Kayla, dia tetap mengangguk, menuruti permintaan
Andreas.
Yah, tidak ada satupun yang boleh merusak
kebahagiaan ini, apapun itu.
Naga menatap empat butir obat yang saat ini
berada di telapak tangan, wajahnya terlihat tidak begitu
tertarik dengan apa yang sudah sejak lama dia konsumsi
itu. Tanpa minat, ia menelan sekaligus semua obat lalu
meminum air putih untuk mendorong menuju lambung.
Cowok itu menelungkup, menutup wajahnya
dengan tangan. Ia mendesah tanpa suara, lalu
membaringkan diri di tempat tidur. Mata Naga kosong
menatap langit-langit kamar. Sesekali terpejam, lalu
kembali tatapannya kosong.
44
Naga merasa begitu jenuh.
Ia berdiri dan melangkah keluar kamar. Kakinya
terasa lemas dan gemetar. Sesekali tangannya
menjangkau tembok untuk menopang tubuh. Naga duduk
di sofa ruang televisi.
“Apa kabar hari ini, Sayang?”
“Not bad, Ma.” Jawab Naga, jarinya masih sibuk
menekan tombol remote.
“Obatnya udah diminum?”
Naga mengangguk.
“Semuanya?”
Naga kembali mengangguk.
“Kalau gitu kenapa kamu nggak istirahat saja di
kamar?”
“Bosen, cuma tiduran aja. Nggak ada hiburan,”
“Kamu kan harus banyak istirahat. Jangan sampai
terlalu capek,”
“Di sini juga bisa istirahat kan, Ma? Duduk sambil
nonton tivi nggak bakal membuatku merasa lelah,”
sanggahnya.
Perempuan itu memandang anak laki-lakinya
dengan penuh perhatian, terdapat tatapan cemas yang
terlihat dari kedua pupil matanya. Ia memperhatikan bibir
45
Naga yang pucat, lingkaran hitam di kedua mata anaknya
yang cekung.
Naga memberikan senyum, mencoba
meyakinkan kepada ibunya bahwa dirinya baik-baik saja.
Wanita paruh baya itu menghela napas sejenak sembari
memejamkan mata, menghilangkan semua beban yang
ada dalam hati. Mengusir kesedihan yang sempat
menghinggapi dirinya. Sedetik kemudian, ia tersenyum.
Perempuan itu mengerti apa yang Naga minta.
“Ma, hari ini Mama sibuk?”
“Nggak, kenapa?”
“Kita ke yayasan yuk. Naga kangen sama anak-
anak,” ajak Naga antusias.
“Ayo. Kebetulan, udah lama Mama nggak
kesana,”
Cinta Sembunyi-Sembunyi
Dering ponsel milik Kayla menggema di dalam
mobil. Siang itu ia meminta Arin untuk mengantarnya
menemui Andreas selepas sekolah. Kayla langsung
membuka dan membaca pesan yang membuatnya
tersenyum riang.
46
Tanpa menghilangkan senyum di bibir, Kayla
memainkan jempol tangannya, membalas pesan dari
Andreas. Arin yang sedang mengemudikan laju mobil
melirik sahabatnya, ia menggelengkan kepala melihat
tingkah Kayla yang masih tersenyum meskipun ponsel
yang tadi ia genggam sudah tergeletak di atas dashboard.
“Andreas?”
Kayla mengangguk, “Dia udah nungguin aku,
cepetin dong laju mobilnya,”
“Enak aja, nggak mau. Emang aku supirmu,” Arin
menggerutu, membuat Kayla nyengir.
“Deeeh, gitu aja ngambek. Kan tadi udah aku
beliin siomay,”
“Perhitungan,”
“Kamu tuh yang perhitungan, suruh nganterin aku
aja pakai dibeliin siomay dulu,”
“Kan aku nggak minta, kamu yang nawarin
sendiri, kan?”
“Kamu langsung mau kok,”
“Iya lah, gratis,” Arin tertawa terbahak, disusul
Kayla yang ikut tertawa.
Mobil itu terus melaju, membawa keduanya
menuju tempat Andreas berada. Kayla yang sudah tidak
47
sabar terus-menerus tersenyum sepanjang jalan, Arin
hanya mampu menggelengkan kepala.
“Tapi ngomong-ngomong, kenapa kalian harus
ketemuan di luar? Nggak di rumah aja,”
Kayla menghilangkan senyumnya saat
mendengar pertanyaan Arin. Ia menghela napas.
Wajahnya berubah pias.
“Kamu inget ceritaku waktu itu? Yang aku bilang
Kak Diego sama Andreas lagi ada masalah. Kayaknya
masalah itu belum selesai deh. Dan kata Andreas, nggak
enak kalo kita ketemuan di rumah terus Kak Diego tahu,”
“Kan Andreas bisa jemput kamu di sekolah?”
“Katanya takut Kak Diego juga pas jemput aku.
Intinya mereka berdua kayak jadi musuh sekarang,”
“Kamu udah coba tanyain ke mereka berdua?”
Kayla mengangguk.
“Tapi nggak ada yang mau jelasin, Andreas malah
marah pas aku nanya. Jadi ya udah, nggak mau nanya-
nanya lagi. Aku nggak mau Andreas benci sama aku,”
Kayla meraih ponsel dan memasukkan ke dalam tas.
Perlahan Arin menepikan mobilnya di depan
sebuah sedan hitam yang terparkir di pinggir jalan.
Andreas nampak berdiri di samping pintu, dia tersenyum
48
menyambut Kayla. Arin berlalu tidak lama setelah
menerima sapaan Andreas.
“Udah lama? Maaf ya, tadi sempet macet,” Kayla
melingkarkan sabuk pengaman ke tubuhnya.
“Nggak kok. Santai aja.”
Kayla tersenyum, sudah satu minggu sejak
mereka pacaran, dan Andreas selalu bisa membuatnya
merasa menjadi orang yang spesial. Laki-laki itu selalu
memberikan perlakuan istimewa, membuat Kayla semakin
merasa nyaman.
“Ini mau kemana?”
“Kamu udah makan?”
Kayla menggelengkan kepala untuk menjawab
pertanyaan Andreas.
“Ya udah, kita makan dulu sambil mikir mau
kemana,”
“Aku pengin spaghetti.”
“Ya, ayo nyari,” Andreas sempat membelai
rambut Kayla sebelum menyalakan mesin.
Kayla selalu suka ketika Andreas mengusap
rambutnya, membuatnya merasa sangat nyaman. Gadis
itu menyukai perlakuan lembut yang selalu Andreas
berikan.
49
“Gimana kabar sekolah hari ini?” Pertanyaan yang
rutin ditanyakan oleh Andreas setiap mereka bertemu.
“Menyenangkan, hari ini ulangan dan aku bisa
mengerjakan semuanya,” jawab Kayla sembari
mengerjapkan matanya genit.
“Iya? Wah, pacarku emang pinter pokoknya,”
“Kuliahmu?”
“Hari ini aku nggak ada kuliah. Ada sebenernya,
tapi dosennya nggak masuk jadi kuliah ditiadakan,”
“Enak dong di rumah seharian. Nggak main
kemana-mana, kan?” Kayla menatap mata Andreas
curiga.
Andreas tersenyum melihat raut wajah Kayla yang
penuh selidik, “Nggak lah, di rumah terus. Toh kalaupun
aku mau pergi aku pasti bilang sama kamu,”
Kayla kembali ke posisi duduknya semula, ia
merapikan poni melalui cermin. Gadis itu melepaskan
kaca mata yang sejak tadi menempel, memasukkan ke
dalam kotak tempat kaca mata, kemudian meletakkannya
di atas dashboard.
“Bercanda, Ndre. Kalaupun nggak bilang juga
nggak apa-apa. Aku bukan cewek yang posesif kok,”
“Asal nggak sama cewek lain aja.”
50
Andreas menggenggam tangan Kayla dengan
lembut, ia menatap mata bening milik kekasihnya.
“Percayalah, aku tidak akan pernah bisa
mencintai wanita lain.”
“Andreas, berhenti nggak?” Kayla nampak
tersengal-sengal, ia melingkarkan kedua tangannya erat
ke leher Andreas.
Sementara Andreas terus berlari dari tepi pantai
ke arah laut sambil membopong Kayla. Tidak peduli walau
gadis yang berada di gendongannya terus berteriak dan
memohon untuk diturunkan. Saat ombak hanya berjarak
beberapa senti dari kakinya, Andreas melemparkan tubuh
Kayla.
Kayla memejamkan mata. Pasrah saat tubuhnya
jatuh dan diterjang air laut, membuatnya bergulung-gulung
gelagapan. Andreas tertawa terbahak-bahak melihat
Kayla yang basah kuyup.
“Jahaaat,”
Sambil terus tertawa karena berhasil mengerjai
kekasihnya, ia berjalan menghampiri Kayla, lalu
menggenggam jari-jarinya. Membantu untuk bangkit.
“Nyebelin iih, doyan banget ngerjain aku,”
51
Pemuda itu masih terkekeh, “Habis, udah jauh-
jauh ke pantai tapi kamu nggak mau main air, ya udah aku
ceburin aja,”
Kayla memonyongkan bibir, membuat Andreas
gemas dan mencubit kedua pipi Kayla. Gadis itu meringis,
pipinya yang putih berubah sedikit merah. Andreas
menahan tangannya di tempat itu beberapa saat dan
membelainya. Kayla memberikan senyuman manis
kepada kekasihnya.
“Mau aku gendong lagi?”
“Nggak mau,”
Jawab Kayla dengan wajah cemberut, membuat
Andreas kembali tertawa.
“Bahagia banget sih lihat pacarnya menderita.”
“Kan bercanda, Sayang,”
“Huu,” Kayla menjulurkan lidahnya.
Andreas menunggu Kayla yang masih
membersihkan pakaian dengan air laut, ia menatap
ombak yang bergulung-gulung mendekat. Memainkan
pasir menggunakan jari-jari kakinya, sesekali memecah
ombak kecil yang melewati.
Tiba-tiba sebuah tangan mendorongnya dari
belakang, membuat Andreas yang tidak siap jatuh
terjerembab. Andreas gelagapan, tubuhnya bergulung-
52
gulung oleh ombak yang tepat datang. Sementara Kayla
nampak berdiri dan tertawa puas di belakangnya.
“Rasain pembalasanku,” ucap Kayla yang masih
tertawa.
Ia berlari meninggalkan Andreas yang sekarang
ikut tertawa. Andreas langsung bangkit dan mengejar
Kayla. Gadis itu terus berlari menghindar. Sepasang
kekasih itu tertawa bahagia sambil berkejar-kejaran di
sepanjang pantai.
Pertemuan yang Tak Terduga
Kayla lebih memilih menuju outlet pakaian remaja
ketika ia menemani ibunya berbelanja di sebuah Mall,
membiarkan orang tuanya yang sedang mendorong troli
berisi berbagai macam belanjaan melanjutkan belanjanya
seorang diri.
Gadis itu keluar masuk dari satu outlet ke outlet
yang lain, melihat berbagai barang-barang yang cukup
menarik untuknya. Baju, gaun, celana, tas, berbagai
53
aksesoris untuk gadis remaja seusianya tidak luput dari
pengamatan Kayla. Ia begitu tertarik dengan berbagai
pernak-pernik itu.
Namun langkah Kayla terhenti ketika dia akan
masuk ke sebuah gerai pakaian anak-anak. Naga berdiri
dan menatap dengan ekspresi yang sama. Tangan kanan
Naga terlihat membawa beberapa potong pakaian anak.
“H-hai,” sapa Naga tak dapat menutupi rasa
kagetnya.
“Hai juga,”
“Lagi belanja juga ya?”
“Enggak, cuma nemenin mama kok. Kamu
sendiri? Belanja baju anak buat siapa?”
“Anu,”
“Naga, sini cepetan,”
Sebuah suara dari seorang perempuan membuat
Naga tidak sempat melanjutkan kalimatnya.
“Emm, aku kesana dulu ya,”
Kayla hanya mengangguk. Ada sedikit rasa
penasaran dalam hati Kayla, yang langsung buyar ketika
dering handphone berbunyi, telpon dari mama.
Kayla mengangkat telpon itu.
“Oh, iya, Ma. Kayla langsung ke kasir,”
54
Sementara di sudut lain, Naga masih memilih
barang-barang yang akan dia beli.
“Udah dapet semua, Ga?”
“Udah kok,”
“Ya udah, ke kasir yuk,” ajak gadis itu, ia
mengambil alih troli dari tangan Naga.
“Duluan aja, aku mau ke toilet bentar,” Naga
segera berlalu tanpa menunggu reaksi lawan bicaranya.
Dengan setengah berlari Naga menyusuri setiap
sudut tempat itu, mencari seorang gadis yang beberapa
menit lalu masih berbicara dengannya. Kayla, Naga
mencari Kayla dari satu tempat ke tempat yang lain, dari
satu sudut ke sudut yang lain. Matanya dengan awas
mencari sosok gadis itu.
Beberapa menit berlalu tanpa hasil, Naga mulai
merasa lelah. Ia merasa kecewa tidak berhasil
menemukan gadis dengan lesung pipit itu.
“Dari mana? Ke toilet lama amat,”
“Liat-liat sepatu sebentar tadi,” Naga beralasan.
“Kamu nggak apa-apa? Wajahmu pucat,”
Naga menggeleng mantap, “I’m fine. Kamu nggak
usah khawatir,”
“Syukurlah, Kakak takut kamu kecapean. Kamu
harus sadar kondisi badan kamu kayak gimana, jangan
55
terlalu dipaksakan kalau memang kamu sudah merasa
lelah saat melakukan suatu aktivitas,”
Naga mendesah, “Kalau aku bilang nggak apa-
apa ya nggak apa-apa. Aku nggak akan tumbang kalau
cuma belanja kayak gini.”
“Kakak cuma mengingatkan,”
“Terima kasih, tapi jangan berlebihan. Aku yang
paling tahu kondisiku,” Naga mengambil sebatang cokelat
dari rak.
Buat Kayla besok, ucapnya dalam hati.
Bibir Naga tersenyum.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?”
“Nggak apa-apa, Kak. Ini sekalian bayar,” Naga
meletakkan cokelat itu ke troli.
“Tumben beli cokelat?”
“Lagi pengin aja.”
“Mau buat dia ya?”
“Dia?”
“Iya, cewek yang tadi lagi ngobrol sama kamu di
sana,”
“Siapa dia?”
“Temen satu sekolahku. Ayolah udah sore nih,
nanti kita kemalemen,” Naga masih mencoba berkilah.
“Iya-iya, ini masih antri gini kok.”
56
“Akhir-akhir ini kamu nggak pernah lagi minta
Kakak buat jemput kamu?”
Pertanyaan Diego membuat Kayla yang sedang
asik membaca buku terkejut, ia mencoba menutupinya
dengan pura-pura tetap membaca.
“Kay,”
Kayla menoleh, “Iya. Kenapa, Kak?”
“Kamu nggak pernah minta jemput Kakak lagi
kalau pulang sekolah, kenapa?”
Kayla menutup buku yang ia baca, merubah
posisi, mencuri waktu untuk mencari alasan. Gadis itu
melepas kacamata dan menaruhnya di meja. Diego masih
memandang adiknya dengan diam, menunggu jawaban
atas pertanyaan yang baru saja dia tanyakan kepada
Kayla.
“Kayla mulai banyak tugas sekarang, dan Kayla
selalu ngerjain bareng Arin di rumahnya,” gadis itu
menemukan sebuah alasan yang menurutnya tepat.
“Setiap hari?”
“Iya lah, kalau nggak percaya tanya aja sama Arin.
Tiap hari aku juga dianter sama dia, jadi Kakak nggak
perlu jemput aku lagi, malah enak buat Kakak, kan.”
57
Diego masih belum puas dengan jawaban
adiknya. Ia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan
oleh Kayla. Nalurinya sebagai seorang kakak mereka-
reka, mencari tahu sesuatu dari dalam mata Kayla.
Kayla menutupinya dengan kembali mengalihkan
pandangan kepada buku di tangannya.
Laki-laki itu meraih remote tivi yang tergeletak di
atas sofa, menyalakan tivi, kemudian larut dengan acara
yang sedang ditayangkan. Membuat Kayla menghela
napas lega. Dalam hati Kayla menyesal karena telah
berbohong, tetapi dia sudah berjanji pada Andreas untuk
tidak memberitahukan tentang hubungan mereka kepada
siapapun, terutama Diego, kakaknya.
“Semoga kamu sedang tidak berbohong,”
Tiba-tiba Diego berkata, matanya masih menatap
ke layar televisi.
Kayla hanya mengangguk, ia merasa sangat tidak
nyaman sekarang. Kayla berdiri, lalu beranjak dari tempat
itu. Pupil matanya sempat melirik Diego sebelum
melanjutkan langkah masuk ke dalam kamar. Ia menutup
pintu dan menguncinya dari dalam.
Gadis itu meletakkan buku yang sejak tadi berada
di tangannya ke atas meja. Kayla menjatuhkan badan ke
tempat tidur. Pikirannya melayang, kemudian mendarat
58
kepada sebuah bayangan laki-laki yang beberapa minggu
ini selalu menemaninya.
Ah, Andreas. Sedang apa dia sekarang?
Pertanyaan itu muncul dalam benak Kayla.
Kayla teringat bagaimana senyuman hangat
kekasihnya itu, aroma tubuhnya, tatapan mata yang tajam
namun penuh kelembutan. Perlakuan Andreas yang
penuh perhatian benar-benar membuat Kayla merasa
nyaman di sampingnya. Kayla merindukan Andreas saat
ini.
Kadang gadis itu merasa sedih, jarak rumah
mereka sangat dekat. Bahkan tidak sampai satu menit
untuk dapat menemuinya. Tetapi kenyataannya sekarang,
ia justru merasa jarak rumah mereka mencapai jutaan
kilometer.
Tapi biarlah sekarang seperti ini dulu, sambil
menunggu waktu yang tepat untuk memberitahukan
kepada Kak Diego tentang hubungan kami. Kalau tiba
waktunya, hubunganku dengan Andreas pasti akan lebih
menyenangkan tanpa sembunyi-sembunyi. Seperti yang
Andreas selalu janjikan.
59
Tekad Kuat Naga
Handphone Kayla bergetar ketika dirinya baru
satu langkah menginjak tangga sekolah untuk menuju
kelasnya. Sebuah pesan dari Andreas, Kayla tersenyum
dan buru-buru membaca sms dari kekasihnya.
Semangat sekolah hari ini, semangat belajar.
Nanti siang aku jemput.
Senyum Kayla makin mengembang setelah
membaca pesan itu, otaknya merespon. Menyuruh jari-jari
lentiknya mengetik sebuah kalimat balasan untuk
Andreas.
60
Langkah kayla terhenti ketika dia berpapasan
dengan Naga di depan pintu. Laki-laki itu baru saja hendak
kembali ke kelasnya sendiri. Naga memasang senyum
karismatik, dan dibalas sekilas oleh Kayla.
“Aku baru saja dari kelasmu,”
“Iya lah, aku tahu kok. Kamu masih di depan
kelasku sekarang. Ada perlu apa?”
“Nyari kamu, tentu saja. Tapi aku cuma ketemu
Arin,”
“Emang ada apa?”
Naga sedikit merasa tidak enak dengan
tanggapan yang ditunjukkan oleh gadis di depannya.
“Enggak apa-apa. Aku cuma sekedar pengin liat kamu.”
“Oh, udah, cuma itu? Ya udah aku masuk dulu
ya,” Kayla melangkahkan kakinya melewati Naga.
“Kay,”
Panggilan dari Naga menghentikan langkah
Kayla.
“ya?”
“Aku cuma pengin menjadi temanmu.”
Kayla tersentak, merasa tidak enak ketika
mendengar kalimat dari Naga.
“Aku balik kelas dulu ya,”
61
Pamitnya kemudian, senyum kembali
mengembang di bibir Naga.
Kayla mengangguk kaku.
“Kamu sih jadi cewek galak banget sama Naga,”
sambut Arin ketika Kayla meletakkan tasnya di meja.
“Apa aku keterlaluan?”
“Menurutmu? Mungkin Naga memang sekedar
ingin kenal kamu kok, nggak lebih. Siapa tau dia tulus
cuma mau jadi teman kamu,”
Kayla mengangkat kedua bahunya, “Aku nggak
tahu. Aku juga sebenarnya ngerasa nggak enak sama
Naga dengan sikapku yang kayak tadi, tapi entah kenapa
tiap liat Naga aku selalu ngerasa nggak nyaman,”
“Cobalah untuk sedikit lebih welcome sama dia,
nggak ada salahnya kan berteman,”
“Kita udah sering ngomongin ini kan? Dan kamu
selalu nyaranin aku jangan terlalu dingin sama Naga.
Kenapa?”
“Naga orang baik, Kay,” jawab Arin tegas.
“Kamu tau dari mana?”
“Aku bisa lihat dari sorot matanya. Kalau saja
kamu nggak terlanjur no respect sama dia, aku yakin kamu
juga bakalan ngeliat kok,”
62
Otak Kayla memikirkan perkataan yang baru saja
diucapkan oleh teman sebangkunya itu. Kayla merasa
mungkin tidak ada salahnya berteman dengan Naga. Ya,
hanya sebatas teman.
“Baiklah, akan ku coba,”
Tidak banyak yang Naga lakukan sore itu ketika ia
sedang menunggu antrian di rumah sakit, hanya
mendengarkan musik. Earphone terpasang di telinga kiri.
Sesekali cowok itu mengangguk-anggukan kepala,
mengikuti ritme musik yang sedang dia dengar.
Seorang suster keluar dari ruang dokter,
memanggil salah satu orang yang juga tengah antri
bersamanya. Tinggal Naga seorang diri di tempat itu.
Tempat yang sudah sangat akrab dengannya, tempat
yang hampir setiap minggu dia kunjungi.
Leukemia kronis, yang sudah Naga derita telah
membuatnya harus rajin berkunjung ke rumah sakit untuk
memeriksa kondisi tubuhnya. Bukan kegiatan yang
menyenangkan buat Naga, buat semua orang tentu saja.
Tetapi tetap Naga lakukan, hanya sekedar untuk membuat
mamanya tetap tenang.
63
Dengan penyakit yang dia derita, Naga tetap
melakukan aktivitasnya dengan normal. Dia tetap
menjalani hari-harinya tanpa beban, tetap ceria, dengan
senyum yang selalu terpasang di bibir. Walaupun Naga
menyadari kondisi tubuhnya semakin melemah setiap
hari, dia tidak terlalu memperdulikan hal itu. Laki-laki itu
hanya ingin menikmati hidupnya yang mungkin tidak akan
lama lagi.
“Mas Naga,” Suster tadi menepuk pundaknya,
membangunkan Naga yang sempat terlelap. “Silahkan
masuk.”
Naga melepaskan earphone dan berdiri,
melangkah masuk mengikuti suster yang sudah berkali-
kali dia temui di tempat ini, suster yang juga sudah
menghapal dirinya.
“Apa kabar, Mas Naga? Bagaimana aktivitas anda
hari ini?”
“Seperti biasa, Dok. Sekolah, lalu pulang dan
kesini,”
“Tidak melakukan aktivitas yang berat kan?”
“Hari ini tidak, Dok.”
Dokter itu tersenyum dan menggelengkan kepala,
“Mari ikut saya,”
64
Ia mengajak Naga masuk ke dalam ruang periksa
dan menyuruh Naga untuk berbaring. Suster membantu
kerja dokter, memasukkan jarum suntik di lengan kiri Naga
untuk mengambil darahnya.
“Masih sering merasa mual dan pegal-pegal?”
Kata Dokter tadi seraya memeriksa kondisi Naga.
“Masih, Dok. Kadang saya merasa agak pusing
juga,”
“Itu efek dari obat, tidak apa-apa,”
“Beberapa hari ini rambut saya juga sudah mulai
rontok, saya jadi berniat untuk memangkas habis saja
rambut saya sebelum rontok semua,”
Dokter yang memeriksa Naga kembali tersenyum.
Ia merasa kagum dengan pola pikir yang ada dalam benak
pasiennya ini, yang tetap terlihat santai walaupun
menderita penyakit berbahaya.
Dokter meletakkan statoscope di meja, kemudian
ia terlihat menuliskan sesuatu di sebuah kertas, “Untuk
ukuran orang penderita leukemia, anda terlihat bugar.
Tidak seperti kebanyakan penderita lainnya. Apalagi yang
telah mengidap bertahun-tahun,”
“Sebenarnya percuma kan, Dok. Setiap minggu
saya melakukan check up, kemo, minum obat banyak
setiap hari, sia-sia saja kan? Saya tetap tetap akan mati,”
65
“Tidak ada yang percuma, Mas Naga, mukjizat
Tuhan selalu ada,” ucapnya mencoba meyakinkan.
“Yang dapat saya sarankan adalah rutin
melakukan pemeriksaan dan jangan lupa meminum obat
yang saya tuliskan di resep. Jaga selalu kondisi anda,
jangan sampai melakukan aktivitas yang terlalu berat yang
dapat membuat anda kelelahan,”
Tanpa minat, Naga mendengar penjelasan dokter
yang sudah beruban itu. Dia sama sekali tidak ingin
menuruti apapun yang sedang Andreastakan dokter saat
ini.
“Bersabarlah. Walaupun kecil, tapi peluang untuk
sembuh selalu ada,” Dokter menyerahkan secarik kertas
resep berisikan nama-nama obat yang sudah rutin
dikonsumsi oleh Naga.
“Terima kasih, Dok. Saya permisi dulu. Nanti
seperti biasa, biaya pengobatannya akan di transfer ibu
saya,” tuturnya kemudian.
Dokter mengangguk, dan memberikan
senyumnya kepada Naga, “Anda pasien saya yang paling
hebat. Teruslah berjuang,”
66
Laki-Laki Bernama Riko
“Boleh aku duduk di sini? Meja yang lain penuh
semua,”
Naga mengangkat wajahnya ketika sebuah suara
yang sangat dia kenal terdengar meminta ijin. Kayla berdiri
di sampingnya. Istirahat pertama selepas menerima
pelajaran membuat suasana kantin ramai diserbu oleh
murid-murid yang ingin mengisi perut mereka yang
keroncongan, atau sekedar membasahi kerongkongan
67
mereka yang kering. Menghilangkan rasa haus dan kantuk
yang sejak pagi menyerang.
Naga tersenyum riang, “ Tentu. Silahkan duduk.”
“Terima kasih,”
“Tumben nggak bareng Arin?”
“Kata siapa, itu dia di sana,”
Kayla menunjuk ke arah Arin yang sedang
melangkah menuju arah mereka sambil membawa
sepiring siomay.
Gadis itu menyapa Naga dan duduk di sebelah
Kayla, membuat Naga menatap Kayla dan Arin
bergantian. Muncul rasa heran dalam benaknya ketika
dua gadis ini menghampiri, bahkan meminta untuk duduk
bergabung dengannya.
“Kenapa melihat seperti itu?”
Kayla menangkap Naga yang masih
memperhatikan dirinya dan Arin.
“Heran aja. Tumben kalian mau duduk bareng
aku. Terutama kamu, Kayla,”
“Kan aku udah ngomong tadi, kalau semua meja
penuh sama anak-anak. Cuma di sini yang aku liat masih
kosong. Atau, kamu keberatan kita ikut duduk di sini?”
“Dih, nih anak masih sensitif aja. Aku malah
senang bisa duduk satu meja denganmu,”
68
Arin masih menikmati siomay yang ia santap
dengan lahap. Dia mendengarkan perdebatan dua orang
ini dengan geli.
“Kamu ini, sejak dulu selalu galak kalau sama aku,
padahal aku nggak pernah bikin salah apa-apa. Tapi
juteknya minta ampun,”
“Enak aja, aku bukan cewek galak, apa lagi jutek,”
wajah Kayla berubah cemberut.
“Lha itu barusan apa?”
“Sudahlah, kalian ini udah sama-sama gede kan?
Kenapa masih aja berantem seperti itu. Kayak anak kecil,”
Arin tidak tahan untuk tidak berkomentar.
“Dia duluan tuh,” Kayla memonyongkan bibirnya.
“Nah kan, nyalahin aku sekarang,”
“Emang kamu duluan, kan?”
“Udah-udah. Ini malah pada ribut terus, ganggu
orang makan aja. Kenapa sih kalian nggak bisa akur?”
“Siapa yang nggak mau diajak akur coba?” Naga
membela diri.
“Gini aja deh, kenapa kalian nggak berteman aja?
Nggak usah galak-galakan lagi. Kamu juga, Kay. Jangan
jutek lagi sama Naga. Mending kita bercanda-bercanda
aja,”
69
“Deal,” Naga langsung menyodorkan tangan
kepada Kayla, setuju dengan ide Arin.
Kayla terlihat menimbang beberapa saat, ia
melirik ke arah Arin. Arin memberi kode dengan matanya
untuk menerima uluran tangan Naga. Beberapa detik
kemudian, Kayla membalasnya.
“Deal,”
“Nah, gini kan damai. Aku bisa menikmati
makananku dengan tenang,”
Naga merogoh kantong celananya, lalu
mengeluarkan sebungkus cokelat. Ia menyodorkan ke
depan Kayla.
“Buat kamu,”
Kayla nampak terkejut, dia membiarkan tangan
Naga menggantung di udara.
“Tenang, nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma
sekedar tahu kalau kamu suka sama cokelat. Nih.”
Akhirnya gadis itu menerima pemberian Naga.
Arin hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan
keduanya.
“Kalian ini, ada-ada aja,”
“Ternyata, kamu nggak senyebelin yang aku
bayangkan,”
70
“Kamunya aja tuh yang terlalu berpikir negatif
tentang aku. Padahal aku cowok baik-baik,”
“Ya, aku kan denger cerita tentang kamu dari
anak-anak di sini. Kamu playboy, yang suka gonta-ganti
cewek di luar sekolah. Aku jadi nggak respect sama kamu
kan jadinya,”
Naga tersenyum masam, “Dasar korban gosip.
Padahal aku bukan tipe cowok kayak gitu. Satu aja nggak
punya, apalagi buat gonta-ganti?”
“Aku kan nggak tahu kamu di luar kayak apa,”
“Ya sudahlah, intinya aku nggak seburuk itu.
Boleh kamu buktikan sendiri kapan-kapan,”
Kayla mengangkat bahunya, masih mengunyah
potongan cokelat yang dia dapat dari Naga. Batinnya
tengah berusaha untuk mempercayai omongan laki-laki di
depannya. Ia sedang mencoba untuk tidak berpikir buruk
lagi.
Cowok ini hanya ingin berteman kan?Apa
salahnya aku menyambut keinginannya.
“Kay, nanti pulang sekolah kamu dijemput
kakakmu?”
Gadis itu menggeleng, “Nggak. Nanti aku pulang
sama pacarku,”
“Pacar?”
71
“Iya, Naga. Kayla udah punya pacar sekarang.
Kamu udah nggak punya kesempatan lagi,” Arin
menyambar, tawa terdengar dari mulutnya.
“Kesempatan apa? Kan aku udah bilang cuma
pengin jadi temen Kayla,”
“Yah, siapa tau kamu punya niat lain,”
“Nggak usah diladenin, Ga. Arin emang suka
iseng orangnya,”
“Nggak apa-apa, Kay. Aku juga udah tau nih anak
kayak gimana kok,” balas Naga sambil melirik Arin yang
cekikikan.
“Aku baru tahu kalau kamu udah punya pacar,
ketinggalan berita rupanya nih,”
Kayla tersenyum simpul, “Baru beberapa minggu.
Toh aku juga nggak bilang ke siapa-siapa, cuma sama
anak ini aku cerita,”
Ada sedikit rasa kecewa yang muncul dalam hati
Naga setelah mengetahui bahwa Kayla sudah memiliki
kekasih. Naga tak memungkiri kalau dia memang tertarik
kepada Kayla, dan kenyataan yang baru saja dia ketahui
benar-benar membuatnya terkejut.
Setidaknya, ada sesuatu yang membuatnya
cukup merasa lega. Sikap Kayla ketika mengobrol
dengannya tidak lagi kaku. Gadis itu mulai menerima
72
dirinya sebagai seorang teman. Naga cukup merasa
senang.
Kayla menopangkan salah satu tangan di
pembatas eskalator yang sedang melaju naik ke lantai dua
sebuah mall, satu tangan lainnya berada dalam
genggaman lembut tangan Andreas yang berdiri di
sebelahnya. Senyum riang jelas terlihat mengembang di
bibir tipis gadis itu, meningkahi langkah-langkah kaki
mereka.
“Mampir ke sini yuk,”
Andreas membelokkan langkah kakinya menuju
sebuah outlet boneka, ia menarik tangan Kayla agar
mengikuti. Keduanya disambut oleh seorang pramuniaga
wanita yang berdiri di samping pintu masuk.
“Kamu mau?”
Mata Kayla terlihat sangat berbinar senang, ia
meraih boneka Elmo dari uluran Andreas. Kayla memang
sangat menyukai karakter Elmo. Wajah yang selalu
memasang senyum menjadi alasannya. Satu koleksi lagi
dia dapatkan. Kali ini lebih spesial, karena boneka itu
diberikan langsung oleh Andreas.
“Terima kasih,”
73
Andreas mengangguk.
Kayla menggendong boneka pemberian Andreas
dengan tangan kirinya, sementara satu tangannya yang
lain kembali berada dalam genggaman laki-laki yang
berjalan di sebelahnya. Keduanya berjalan dengan
bercerita, sesekali tawa terdengar dari arah mereka.
“Ndre,”
Sebuah suara menghentikan langkah Andreas
dan Kayla. Keduanya menoleh mencari sumber suara
yang memanggil tadi.
Seorang laki-laki nampak melambaikan tangan,
lalu berjalan mendekati mereka. Kayla menautkan alis,
mencoba menatap laki-laki itu dengan lebih jelas namun
tetap tak dapat mengenalinya. Sementara genggaman
tangan Andreas telah terlepas tanpa Kayla sadari. Kedua
laki-laki itu nampak bersalaman.
“Hai, apa kabar?”
“Baik, kamu sendiri? Lama nggak melihatmu,”
“Aku juga baik,” jawabnya.
Ia melirik ke arah Kayla yang sejak tadi hanya
diam memperhatikan mereka. Kayla dapat melihat laki-laki
itu menatap ke arahnya dengan tatapan yang aneh,
membuat Kayla merasa tidak nyaman.
“Oh iya, kenalin. Ini Kayla,”
74
Kayla menjulurkan tangan, “Kayla,”
Cukup lama bagi Kayla untuk menerima balasan
tangan dari laki-laki yang terlihat akrab dengan
kekasihnya itu.
“Riko,”
“Dari mana?” Riko kembali beralih pada Andreas
“Dari rumah. Sekedar jalan-jalan aja di sini. Kamu
sendirian?”
“Iya, mau nyari keperluan. Rumah kamu masih
yang dulu?”
Andreas mengangguk mantap, “Tentu saja
masih,”
“Kalau begitu kapan-kapan aku main ke
rumahmu,”
“Silahkan. Kabarin dulu kalau mau datang. Siapa
tahu aku lagi nggak di rumah,”
Laki-laki seusia Andreas itu memohon diri kepada
keduanya setelah beberapa menit bercengkerama.
Andreas mengajak Kayla melanjutkan langkah mereka
yang sempat tertunda. Kayla masih penasaran dengan
orang tadi.
“Siapa?”
“Teman lamaku.”
75
Kejadian Baik di Hari Buruk
Naga memasukkan seragam cadangan ke dalam
tas, hal yang rutin ia lakukan sebelum berangkat sekolah.
Sebagai persiapan jika nanti teman-temannya
mengajaknya bermain basket ketika istirahat. Meskipun
nggak jago, cowok itu senang melakukan olahraga,
apapun jenis olahraganya.
“Hup,”
Ia mengangkat tas itu dengan tangan kanan, lalu
berjalan keluar.
76
Tetapi langkahnya terhenti, tiba-tiba kepalanya
terasa pusing, Naga merasa mual. Ia mencium bau amis,
secepat kilat pemuda itu menempelkan tangannya ke atas
bibir. Tepat, darah telah keluar dari hidungnya.
“Sial,”
Dengan malas ia membelokkan langkah menuju
kamar mandi, mencuci tangan dan wajahnya yang
bernoda darah. Naga bercermin, sedetik kemudian cowok
itu mencibir penampilannya sendiri.
Ia membasuh wajah sekali lagi, lalu mengelapnya
dengan handuk dan melangkah keluar setelah merasa
kembali segar.
Naga mendahului beberapa kendaraan di jalanan
yang selalu ia lewati ketika berangkat sekolah. Setengah
tidak sabar, cowok itu ingin segera sampai di sekolahnya.
Naga ingin melihat wajah seseorang, ia ingin bertemu
dengan Kayla. Gadis yang selalu membuat semangat
untuk menembus ramainya jalanan menuju sekolah.
Naga keluar dari dalam mobil setelah ia selesai
memarkirkan kendaraannya tersebut dengan sempurna,
berjalan santai menyusuri lorong sekolah, sampai tiba-tiba
77
kepalanya kembali terasa pusing. Pemuda itu harus
menyandarkan tubuh ke tembok agar tetap bisa berdiri.
Kedua kakinya terasa gemetar.
Ia kembali memeriksa hidungnya, tidak ada
bercak darah di tempat itu. Naga merasa sedikit lega
walau masih belum bisa menguasai badan, seluruh
tubuhnya tidak dapat ia gerakkan.Tulang-tulangnya terasa
begitu nyeri.
Naga merasa sangat lemas, matanya mulai
berkunang-kunang. Tubuh Naga merosot ke lantai,
kesadarannya berkurang. Samar-samar ia menangkap
sesosok bayangan yang ia kenal, gestur tubuhnya sangat
familiar buat Naga.
Ah, sial. Kenapa harus bertemu Kayla di saat aku
sedang sekarat kaya gini.
Gadis itu gegas menghampiri Naga yang masih
terduduk lemah di lantai, beberapa siswa yang lewat
nampak memperhatikan dengan tatapan heran.
“Naga, kamu kenapa? Pucat sekali wajahmu,”
Naga tersenyum, mencoba menyembunyikan
rasa sakit yang sedang dia rasakan. “Aku nggak apa-apa,
Kay. Cuma sedikit kelelahan aja,”
“Bohong, nggak mungkin sampai seperti ini.”
78
“Beneran. Yah, anemia juga memang. Tapi nggak
apa-apa kok, sebentar juga baik lagi,”
Kayla menatap Naga dengan prihatin, ada rasa
khawatir dalam batinnya. Ia membantu cowok itu berdiri.
Kayla terlihat kesulitan waktu menopang tubuh laki-laki
yang jelas terlalu berat untuknya.
“Ayo, aku antar kamu ke UKS dulu,”
Naga mengangguk lemah, “Terima kasih.”
“Sama-sama. Kamu yakin keadaanmu sekarang
cuma karena anemia? Maksudku, kamu terlihat sangat
menderita kalau sekedar anemia. Maaf, bukan maksudku
nggak percaya sama kamu,”
Naga masih sempat tersenyum geli karena
mendengar pertanyaan gadis yang sedang membantunya
berjalan itu, satu tangannya menjaAndreasn tembok
sebagai tumpuan.
“Terima kasih sudah mempedulikanku,”
“Aku beneran nggak apa-apa kok, tidur satu jam
sudah cukup untuk mengembalikan tenaga,” lanjut Naga.
Mereka berdua sampai di UKS, Kayla membantu
Naga merebahkan badannya di atas tempat tidur yang
tersedia di ruangan itu. Lalu ia nampak mencari sesuatu
di dalam laci, sebotol minyak kayu putih. Naga tersenyum.
Bukan itu yang aku butuhkan, Kayla.
79
Tetapi Naga tetap membiarkan ketika Kayla
mengoleskan cairan beraroma khas tersebut ke beberapa
bagian tubuhnya. Seketika bau minyak kayu putih
menusuk hidung, membuat rasa mualnya perlahan
menghilang. Dia merasa lebih nyaman, bukan karena
minyak kayu putih yang dioleskan ke tubuhnya. Tetapi
karena merasa senang dengan perlakuan Kayla
kepadanya.
Di saat kondisinya yang semakin lemah, Naga
bersorak gembira di dalam hati. Ia merasa sangat senang
mendapat perhatian seperti itu, tanpa sadar Naga
tersenyum. Membuat Kayla menautkan alisnya.
“Kenapa kamu, senyum-senyum?”
“Nggak apa-apa kok. Hanya sedang berpikir,
Tuhan selalu punya cara yang menakjubkan untuk
membuat manusia bahagia,”
“Maksudnya?”
Naga hanya menggeleng, bibirnya masih
mengembangkan senyum. Membuat Kayla merasa
bingung.
“Ya udah, aku mau masuk kelas dulu. Nanti aku
mampir ke kelasmu buat bilang sama guru kalau kamu lagi
sakit,” ucapnya seraya meraih tas yang tergeletak di atas
kursi. Ia melangkah menuju pintu.
80
“Kay,”
Panggilan Naga membuat langkah Kayla terhenti,
gadis itu memutar tubuhnya.
“Terima kasih,”
Kayla tersenyum manis, senyum paling tulus milik
Kayla yang baru pernah Naga lihat. Detik itu Naga benar-
benar melupakan rasa sakitnya sejenak, perasaannya
terbang melayang. Naga kembali tersenyum senang,
sampai akhirnya ia terlelap.
Perlahan, mata Naga mulai terbuka dari
pejamnya. Ia berusaha memulihkan semua kesadaran
yang belum sepenuhnya kembali. Pemuda itu
mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, ia
teringat dirinya sedang berada di UKS.
Tiba-tiba pintu UKS terbuka, memunculkan dua
gadis dari baliknya. Kayla dan Arin melangkah masuk ke
dalam, raut wajahnya terlihat lega setelah mendapati
Naga telah tersadar. Satu botol air mineral berada dalam
genggaman tangan Kayla.
“Hai, sudah bangun rupanya. Bagaimana
keadaanmu?” Kayla menyodorkan air mineral yang dia
bawa kepada Naga.
81
“Jam berapa sekarang?”
“Setengah dua belas. Ini sudah istirahat kedua,”
Arin yang menjawab pertanyaan Naga.
Naga hampir tersedak minumannya setelah
mendengar jawaban dari Arin.
“Setengah dua belas?”
Kayla mengangguk, “Iya. Kamu tidur hampir lima
jam di sini. Tadi sebenarnya aku dan Arin ke sini waktu
istirahat pertama, tapi kamu masih terlelap. Kami tak tega
untuk membangunkanmu,”
“Tapi kamu tenang saja, kami sudah memintakan
ijin kepada ketua kelasmu,” Arin melanjutkan penjelasan
Kayla.
Naga masih merasa terkejut. Selama itukah
dirinya tertidur? Selemah itukah tubuhnya sekarang?
Sudah separah apakah sakitnya saat ini? Berbagai
pertanyaan muncul dalam benak Naga, membuatnya
terdiam beberapa saat.
Kayla dan Arin saling pandang.
“Hey,” Arin mengembalikan kesadaran Naga.
“Aku heran dengan diriku, bagaimana bisa aku
tertidur selama itu,” tutur Naga, membuat dua gadis di
depannya itu tersenyum.
82
Kayla menatap Naga, “Bagaimana keadaanmu
sekarang?”
“Bisa kamu bayangkan, bagaimana kondisi tubuh
yang telah tertidur begitu lama. Aku merasa sangat baik,
lebih baik dari sebelumnya. Semua tenagaku sudah
kembali lagi. Sekarang aku hanya merasa sangat lapar,”
“Bisa terlihat dari wajahmu yang selalu tersenyum
itu. Bagaimana bisa kamu selalu tersenyum seperti itu
setiap hari? Aku sempat sebal melihatnya,” jujur Kayla.
Naga menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal.
“Mana aku tahu kenapa aku selalu tersenyum.
Tetapi itu jauh lebih baik dari pada harus merasa
ketakutan setiap hari, bukan?”
“Apa maksudmu?”
“Sudahlah, aku lapar. Kenapa kalian hanya
membawakan minuman?”
Arin mendesis, “Ish, masih untung kami baik hati
membawakan minum. Apa jadinya kalau nggak ada kami
berdua?”
“Ya, ya. Terima kasih. Dan ayo aku traktir kalian
makan sebagai ucapan terima kasihku,” Naga menggiring
keduanya berjalan menuju ke arah kantin sekolah.
83
Sore ini aku tidak bisa menemuimu, maaf ya.
Mendadak ada yang harus aku kerjakan di kampus.
Kayla membaca pesan yang dikirim oleh Andreas
dengan raut kecewa. Ia memasukkan ponsel ke dalam tas
tanpa membalasnya. Kayla membuang napas untuk
menghilangkan rasa kecewa di hatinya. Arin melirik ke
arah Kayla.
“Kenapa?”
“Andreas membatalkan janji, ada urusan di
kampus katanya. Padahal tadi pagi dia bilang mau ngajak
aku nonton,”
“Ya mungkin dia memang ada urusan mendadak,
nggak masalah kan satu hari nggak ketemu Andreas?”
Arin memasukkan buku-buku miliknya ke dalam tas.
Suasana kelas sudah cukup sepi, hanya tersisa
beberapa murid saja yang masih bertugas piket dengan
membersihkan ruangan itu. Menyapu lantai dan
membersihkan papan tulis dari tulisan-tulisan sisa
pelajaran terakhir tadi.
Kayla mengamati mereka satu persatu.
“Kamu bisa nganterin aku pulang?”
“Hari ini aku mau kursus piano, kamu kan tahu
sendiri jadwalku. Sori, Kay,”
Kayla tersenyum, “Nggak apa-apa.”
84
“Minta tolong Naga aja, mungkin dia belum
pulang. Tumben banget tuh anak nggak ke kelas kita hari
ini.”
“Mungkin karena lagi sakit jadi nggak kuat untuk
naik tangga ke kelas kita, paling juga udah pulang,”
Arin melirik Kayla, “Deeh, tau banget kamu
tentang Naga. Udah ilang bencinya ya?”
Kayla mencibir, “Kamu maunya apa sih? Aku jutek
sama dia salah, baik sama dia digodain,”
“Ya tapi perubahanmu kok cepet banget? Hati-
hati lho, seperti yang pernah ku bilang, kadang yang
pertamanya benci bisa berubah jadi cinta,” Arin tersenyum
usil setelah mengatakannya.
“Aku kan cuma nurutin saranmu untuk berteman
sama dia. Nggak mungkin lah sampai kayak gitu. Aku kan
sudah punya Andreas,”
“Iya deh iya. Terus jadinya kamu mau pulang
sama siapa?”
Mereka berdua telah berjalan keluar kelas.
Sekolah sudah benar-benar sepi karena semua murid dan
guru sudah pulang ke rumah mereka masing-masing.
“Aku coba telpon Kak Diego aja,”
85
Jawab Kayla sambil meraih ponsel dari dalam
tasnya. Ia nampak berbincang dengan Kakaknya melalui
ponsel itu.
“Bisa?”
Kayla mengangguk untuk menjawab pertanyaan
Arin.
“Ya udah, aku temenin sampai kakakmu datang,”
“Terima kasih, Cantik,”
“Bagaimana kisah asmaramu sama Andreas?”
“Menyenangkan sekali. Andreas benar-benar
tahu cara menyenangkan wanita. Aku di buat sangat
nyaman tiap di dekatnya,”
“Dasar orang dimabuk cinta. Kalian enggak ambil
pusing hambatan yang bisa merusak hubungan kalian?”
“Maksudnya?”
“Bagaimana kalau kakakmu tiba-tiba tahu tentang
hubungan kalian? Aku rasa dia nggak bakal suka, apalagi
sudah satu bulan kalian menyembunyikan hubungan
kalian,”
Kayla terdiam, hatinya membenarkan pendapat
Arin. Gadis itu nampak berpikir sejenak.
“Semoga saja tidak sampai seperti itu. Aku malah
ingin mendamaikan mereka kembali, biar nggak ada
perselisihan lagi,”
86
“Nggak bisa kalau kamu sendiri belum tahu
masalah mereka,”
“Iya, aku ngerti. Aku masih berusaha mencari
tahu, baru aku coba buat mendamaikan masalah antara
kakakku dan Andreas,”
“Emang sesayang apa sih kamu sama Andreas?”
Kayla terlihat berpikir tentang pertanyaan Arin.
“Menurutku, nggak ada ukuran yang pasti untuk
sebuah perasaan. Kalau bisa diukur, nanti kita malah
merasa kalau itu terlalu kecil, atau bahkan terlalu besar.
Cukup dengan mengetahui kalau kita memang sayang
sama seseorang, kan. Nggak harus di ukur lebih dulu,”
“Ya aku sih nggak gitu ngerti masalah perasaan,
tiap orang beda-beda kali ya?”
“Makannya, cari pacar sana biar tahu kayak
gimana rasanya,” Kayla melambaikan tangan ke arah
mobil Diego yang merayap masuk ke dalam parkiran
sekolahnya.
“Makasih ya udah mau nemenin sampai aku
dijemput.”
Arin mengangguk, lalu membiarkan Kayla
melangkah riang menuju mobil Diego. Kemudian dia
berjalan menuju mobilnya sendiri.
87
Ketika Hujan
Naga menghampiri Kayla dan Arin yang tengah
menikmati waktu istirahat sekolah di gazebo taman,
seragamnya nampak basah oleh keringat. Ia menarik kursi
di sebelah Kayla dan duduk di kursi itu.
“Basketan?” sambut Arin.
Cowok itu mengangguk, “Tadi main bentar sama
anak-anak,”
“Wajahmu pucat lagi tuh. Jangan terlalu capek
makannya,”
“Seragamnya sampai basah gitu, nggak risih ntar
di kelas?”
“Aku bawa seragam cadangan kok, ntar aja ganti
pas mau masuk,”
88
Jawab Naga yang langsung membuat kalimat oh
keluar dari bibir Kayla.
Naga memutar tutup botol air mineral yang sejak
tadi berada di tangan kirinya, ia meminum separuh isi botol
tersebut. Sementara Kayla dan Arin memandang cowok di
hadapannya lekat-lekat.
Senyum kecil menghiasi bibir mereka.
“Eh, ada apa? Ada yang aneh?”
“Heran aja, kemarin kamu sampai pingsan tapi
kok ya sekarang malah main basket. Apa udah beneran
nggak apa-apa?”
“Tuh, Ga. Kayla udah mulai perhatian tuh. Seneng
kan kamu?”
Arin langsung mendapatkan cubitan kecil di
lenganya.
Naga tersenyum.
“Tenang aja, aku udah sehat kok. Sekali lagi
makasih ya kemarin udah nolongin,”
“Sama-sama, Naga,” jawab keduanya serempak.
“Kay, tawaranku masih berlaku nih,”
“Tawaran apaan?”
“Pergi ke tempat yang pernah aku omongin ke
kamu itu, gimana?”
89
Kayla nampak berpikir sejenak, “Jangan sekarang
deh, nanti aku mau pergi,”
“Sama Andreas?”
Kayla mengangguk. Naga langsung menyesal
telah bertanya, ia kembali menenggak air dalam botol
mineral di tangannya.
“Bagaimana kalau besok? Mungkin aku bisa,”
Kayla coba menghibur Naga yang terlihat kecewa.
ia merasa tidak enak karena selalu menolak ajakan yang
ditawarkan laki-laki itu.
Wajah Naga kembali antusias, “Beneran?”
Kayla mengangguk pelan, “Iya. Tapi aku nggak
janji. Tapi aku usahain pokoknya,”
“Oke, besok aku tunggu kamu. Kamu mau ikut?”
Naga beralih pada Arin.
“Boleh?”
“Iya lah, kalau nggak ngapain aku tawarin.”
“Oke deh,”
“Sip pokoknya,” Naga mengacungkan jempol
kanannya.
Kemudian ia memohon ijin untuk pergi mengambil
seragam cadangan yang ia bawa di dalam tas. Laki-laki itu
bersiul riang. Kayla tersenyum kecil sambil memandang
punggung Naga yang mulai menjauh dari tempat itu.
90
“Seneng banget tuh anak. Akhirnya kamu mau
diajak pergi sama dia,”
Arin berdiri, lalu mengajak Kayla beranjak menuju
kelas. Istirahat sudah hampir usai.
“Yah, ngerasa nggak enak aja terus-terusan
menolak ajakannya. Aku juga penasaran sebenarnya mau
ngajak kemana sih kok sampai nggak menyerah gitu,”
Arin berjalan di depan Kayla, lebih dulu menapaki
anak tangga pertama. Kayla melangkah di belakangnya.
“Sepertinya kamu mulai bisa menghilangkan
pikiran negatifmu tentang Naga. Buktinya kamu udah mau
menerima ajakan cowok itu, padahal belum tau mau
dibawa kemana,”
“Aku kan cuma nurutin saranmu,”
“Mungkin aja kan, besok Naga membawamu pergi
ke tempat yang nggak jelas, terus kamu diapa-apain sama
dia. Kan banyak tuh kejadian-kejadian kayak gitu
sekarang,”
“Kalau dibawa ke tempat yang nggak jelas, terus
diapa-apain, berarti kamu juga kena. Kamu kan ikut juga
besok,”
“Oh, iya ya,” jawab Arin sambil menggaruk
kepalanya.
91
Kayla menjitak kepala sahabatnya pelan, “Dasar
dodol.”
Sedan hitam itu berjalan perlahan menembus
hujan deras yang telah mengguyur jalanan sejak
beberapa menit yang lalu. Andreas meraih payung di jok
belakang, lalu keluar dari mobil dan membuka pintu
gerbang rumahnya. Tak lama kemudian laki-laki itu
kembali berada di belakang setir, mengemudikan mobil
masuk ke dalam garasi.
“Turun yuk,”
Kayla menurut, ia membuka pintu mobil dan
keluar. Andreas mengulurkan tangan, yang langsung
dibalas oleh Kayla. Laki-laki itu menggandeng tangan
Kayla, membimbingnya masuk ke dalam rumah.
Andreas meraih sebuah handuk yang
menggantung di sebelah kamar mandi dan menyerahkan
kepada Kayla.
“Aku ganti baju sebentar ya,”
Kayla mengembalikan handuk yang baru saja ia
pakai ke tempatnya semula setelah rambutnya sedikit
lebih kering. Lalu melangkahkan kaki menuju ruang
92
tengah. Pandangannya menyapu setiap sudut rumah
Andreas. Rumah yang luas tapi tampak sepi.
Di luar, hujan masih terdengar cukup deras.
Sesekali kilat terlihat, di susul dengan suara petir yang
keras, membuat Kayla harus memejamkan mata karena
rasa ngeri merasuk. Gadis itu berhenti di depan sebuah
foto seorang wanita seusia mamanya.
“Seragam sekolahmu nggak basah, kan?”
Andreas yang telah selesai mengganti
pakaiannya keluar dari dalam kamar. Sedikit membuat
Kayla kaget dan melonjak.
“Maaf,”
“Nggak apa-apa,” jawab Kayla sambil tersenyum.
“Seragam sekolahmu?” laki-laki itu bertanya untuk
kedua kalinya.
Kayla nampak meneliti seragamnya, “Sedikit
basah, tapi nggak apa-apa,”
“Baguslah, karena di sini jelas nggak ada baju
seukuranmu. Ada punya mama kalau kamu mau?”
“Nggak usah, ini aja nggak apa-apa,”
Kayla melangkah mendekati sofa, ia menjatuhkan
pantatnya. Andreas mengikuti Kayla, duduk di sebelah
gadis itu, merapatkan badannya kepada Kayla. Keduanya
93
nampak hening beberapa saat. Belum ada topik yang
mereka temukan untuk dijaAndreasn bahan obrolan.
“Dingin,” Kayla menggosok-gosok kedua telapak
tangannya.
Andreas tersenyum, lalu menggenggam kedua
tangan Kayla, memberikan kehangatan kepada
kekasihnya itu. Kayla balas tersenyum.
“Terima kasih,”
“Rumah kamu sepi,” lanjut Kayla, tangannya
masih berada di genggaman tangan Andreas.
“Tiap hari juga kayak gini. Mama baru pulang nanti
malam, atau mungkin besok pagi. Wanita itu selalu sibuk
dengan pekerjaannya. Rumah ini selalu menghadirkan
sepi untukku,” terang Andreas dengan nada kecewa.
Kayla menatap wajah laki-laki di sampingnya itu
sembari tersenyum. Ia melepaskan genggaman tangan
Andreas, lalu memindahkan tangannya kepada wajah
kekasihnya. Kayla mengusapnya dengan penuh
kelembutan.
“Kamu tidak perlu merasa kesepian sekarang,
ada aku yang akan selalu menemanimu,” gadis itu coba
menghibur.
“Terima kasih,”
94
Tiba-tiba petir terdengar menggelegar di luar,
membuat Kayla terlonjak kaget dan seketika
menelungkupkan wajahnya ke dada cowok di
hadapannya.
“Kamu tidak perlu merasa takut sekarang, ada aku
yang akan selalu menjagamu,” ujar Andreas yang masih
memeluk Kayla.
Gadis itu mencubit Andreas, “Itu kan kata-kataku
barusan. Kamu nyebelin,”
Rasa takut dalam diri Kayla sekejap hilang.
Keduanya tertawa kecil, sebelum akhirnya
mereda dan saling pandang. Kayla menatap mata
kekasihnya lekat-lekat, menikmati setiap keindahan yang
dimiliki oleh laki-laki itu. Tanpa ia sadari wajah Andreas
semakin dekat. Kayla memejamkan mata, dan dirinya
dapat merasakan hangatnya hembusan napas yang
keluar dari hidung pemuda di hadapannya.
Waktu terasa melambat untuk Kayla.
Bibir mereka bersentuhan, Kayla dapat
merasakan lembutnya bibir laki-laki itu. Manis, Kayla
merasakan rasa manis ketika lidah mereka bertaut.
Darahnya berdesir, jantungnya berdegup lebih cepat dari
biasanya. Dia menikmati setiap detik waktu yang sedang
berjalan saat ini.
95
Waktu yang Tepat Untuk Kenyataan Pahit
“Ke super market?”
Tanya Kayla, heran ketika mobil milik Naga masuk
ke parkiran.
Sore itu Kayla menepati janjinya, menerima
ajakan Naga pergi ke suatu tempat. Arin tidak bisa ikut
karena ada urusan mendadak. Mereka hanya pergi
berdua.
“Bukan, aku cuma mau beli sesuatu aja. Habis ini
baru kita ke tempat tujuan kita. Tolong, bantuin aku
belanja,”
Kayla masih bingung, namun ia tetap menuruti
kemana langkah pemuda itu pergi. Ia harus setengah
berlari untuk mengimbangi langkah Naga yang berjalan
cukup cepat.
“Mau beli apa sih?”
“Ntar juga kamu tahu,”
96
Naga mengambil beberapa kotak susu cair, lalu
memasukan ke dalam keranjang belanjanya. Kemudian
dia bergeser menuju jajanan ringan, nampak memilih
beberapa jenis jajanan dan kembali meletakan ke dalam
keranjang. Kayla hanya memandangnya dengan rasa
penasaran.
“Ambilin buah jambu sama apel, Kay. Tolong,”
perintah Naga, ia menatap wajah Kayla memohon.
“Berapa?”
Naga nampak berpikir beberapa jenak, “emm,
masing-masing lima aja,”
“Oke,”
“Tempat yang ingin aku tunjukkan sama sekali
bukan tempat yang indah lho, Kay. Aku harap kamu nggak
kecewa nanti,”
Keduanya telah kembali berada di jalan. Tangan
Naga tak lepas dari kemudi mobil.
Kayla yang sejak tadi di selimuti rasa penasaran
semakin tidak sabar, “Sebenarnya kita mau kemana sih?”
“Ke tempat di mana banyak malaikat-malaikat
kecil yang butuh perhatian kita,”
“Maksudnya?”
“Sebentar lagi sampai, kamu akan tahu dengan
sendirinya. Udah deket kok,”
97
Tak berapa lama, mobil itu memasuki sebuah
halaman yang nampak penuh dengan beberapa jenis
mainan anak-anak, seperti ayunan, perosotan, trampolin,
dan beberapa jenis mainan lainnya.
Kayla mengedarkan pandangan, menyapu semua
yang dia lihat saat ini.
“Ini tempat apa?”
Naga tersenyum, “Turun yuk,”
Ia membuka pintu belakang dan mengambil
beberapa kantong berisi belanjaan yang sebelumnya
mereka beli. Kemudian mengajak Kayla masuk. Mereka di
sambut oleh sekumpulan anak-anak kecil yang langsung
merubung. Naga tersenyum, ia membagikan jajanan yang
dibawanya kepada mereka.
Kayla menautkan alisnya, Menatap kejadian di
hadapannya dengan heran. Sekumpulan anak kecil,
terlihat pucat dan, kurus. Ada juga diantara mereka yang
menggunakan kursi roda. Kayla masih terdiam di
tempatnya sampai Naga meminta tolong untuk ikut
membagikan jajanan.
“Tempat ini?”
Kayla yang masih penasaran terlihat ragu-ragu
untuk bertanya. Semua bocah itu telah mendapatkan
98
bagian mereka masing-masing dan mulai sibuk
memakannya.
“Semua anak-anak yang ada disini penderita
kanker,”
Kayla terkejut, ia sampai harus menutup mulutnya
dengan tangan.
“Mereka semua?”
“Ya, mereka semua menderita penyakit itu. Ada
yang masih bisa sembuh, tapi banyak yang sudah tidak
mungkin lagi,” terang Naga pelan.
Kayla tercengang mendengar penjelasan Naga, ia
sangat terkejut begitu mengetahui tempat yang ingin Naga
tunjukkan kepadanya sejak dulu adalah tempat ini. Gadis
itu hanya membisu ketika dia melihat semua anak-anak
langsung merubung Naga yang berjalan menghampiri
mereka, menyambutnya dengan celotehan-celotehan
menggemaskan.
Semua menunjukkan ekspresi yang hampir
serupa. Tersenyum tanpa beban, terlihat ceria. Dan sorak
tawa terdengar ketika Naga menceritakan sesuatu yang
menarik bagi mereka. Tawa yang keluar dari mulut-mulut
mungil itu, membuat batin Kayla semakin menjerit.
Tiba-tiba sebuah tangan mungil menarik ujung
bajunya, membuat Kayla tersentak.
99
“Kakak siapa?”
Kayla memandang lekat-lekat bocah kecil itu, ia
duduk disebuah kursi roda.
“Nama kakak, Kayla. Temen sekolahnya Kak
Naga. Kalau kamu siapa?”
“Wah, nama kita sama. Namaku juga Kayla.
Salam kenal, Kak Kayla,”
Jawab gadis kecil itu polos. Ia mengembangkan
senyum dibibirnya yang pucat, membuat Kayla tak dapat
menelan ludah. Tenggorokannya telah mengering sejak
tadi.
Apa mereka tahu tentang penyakit yang mereka
derita? Kenapa mereka bisa seceria itu? Atau mereka
sudah tahu, tetapi memutuskan tetap tersenyum?
Kayla memandang wajah anak-anak itu satu
persatu, memandang mereka lekat-lekat. Tiba-tiba
dadanya terasa sesak, matanya kembali berkaca-kaca.
Hampir saja Kayla meneteskan air mata, ketika tiba-tiba
beberapa anak yang lain ikut merubung dan bertanya ini
itu kepadanya.
Kayla nampak sedikit kewalahan menanggapi
pertanyaan polos dan apa adanya dari mereka. Namun
kesabaran terpancar dari raut wajahnya. Hanya butuh
beberapa menit saja untuk membuat Kayla terlihat akrab.
100
Naga berjalan menghampiri. Lalu menyuruh
semua anak-anak berkumpul di dekatnya. Semua
langsung menurut.
“Oke anak-anak. Kak Naga bawa teman baru
untuk kalian, namanya Kak Kayla,” Naga
memperkenalkan Kayla.
Kayla memasang senyum di bibirnya.
“Kak Kayla ini adalah teman satu sekolahnya Kak
Naga. Dan mulai sekarang, kakak ini menjadi teman kalian
juga. Ayo beri salam pada kak Kayla,”
Serempak anak-anak itu mengucapkan salam
seperti yang diperintahkan Naga. Kayla menjawab salam
dari mereka. Matanya masih terlihat berkaca-kaca, meski
tetap ada senyum yang terpasang di bibir.
“Kamu nggak kecewa, kan?”
Kayla langsung menggeleng, “Nggak, sama sekali
nggak. Justru aku mau bilang terima kasih sama kamu,
udah ngajak aku ke tempat ini. Aku senang bertemu
mereka,”
“Aku senang kamu bisa langsung akrab dengan
mereka,”
101
Kayla tersenyum sungkan, “Maaf ya, dulu aku
sering nolak waktu kamu ajak aku ke sini,”
“Nggak apa-apa. Sekarang kamu kan ada di sini
juga akhirnya. Nggak ada bedanya mau kapan aja, selalu
ada waktu yang tepat untuk sebuah takdir,” Naga menatap
anak-anak itu.
“Dan takdirmu bertemu mereka adalah hari ini,”
lanjutnya.
Kayla menghela napas, ia merasa sangat
menyesal karena sempat mengabaikan ajakan Naga.
Padahal Naga ingin mempertemukan dirinya dengan
malaikat-malaikat kecil ini. Hari ini, Kayla merasa
mendapat pelajaran baru dalam hidupnya.
“Mereka memang butuh perhatian dan kasih
sayang dari orang-orang disekitar mereka, selain doa
tentunya. Dukungan sekecil apapun sangat berarti buat
kami,”
Kayla menoleh kaget, menatap Naga dengan
penuh tanda tanya.
“Kami?”
Cowok itu kembali mengangguk, “Aku juga,”
Ia nampak ragu-ragu. Membuat Kayla
menatapnya tajam, menunggu Naga menyelesaikan
jawabannya.
102
“Aku juga mengidap kanker, sama seperti anak-
anak itu,”
Kayla terlihat begitu terkejut, sangat terkejut.
Tampak tidak percaya, atau mungkin mencoba untuk tidak
percaya. Naga yang selalu terlihat ceria di manapun,
dalam kondisi apapun. Naga yang selalu tersenyum,
ternyata menderita sebuah penyakit yang menurutnya
sangat berbahaya.
“Nggak lucu. Kamu lagi bercanda kan?”
Naga menggeleng, “Aku serius, Kayla.”
“Kamu inget kan aku pernah pingsan di sekolah?”
Kayla mengangguk, “Saat itu aku tahu kamu
bohong, itu bukan sekedar anemia. Tapi aku tidak
menyangka kalau ternyata,”
Gadis itu tidak meneruskan kalimatnya,
kehilangan kekuatan untuk berkata-kata.
“Anemia juga salah satu ciri-ciri penderita kanker,
Kay. Aku nggak bohong kan berarti,”
“Tapi kamu juga nggak jujur. Nggak ada
bedanya,”
Naga tersenyum masam, “Sorry. Nggak ada
maksud buat bohong sama kamu,”
“Aku sering ke tempat ini, aku ingin berbagi
kekuatan dengan mereka. Biar tidak perlu ada rasa takut
103
dalam diri kami, karena kami menyadari bahwa selalu ada
teman yang akan tertawa dan membagi kekuatan setiap
hari.”
Kayla masih berusaha untuk tidak percaya
dengan kenyataan yang baru saja dia ketahui. Matanya
mencari sebuah kebohongan yang mungkin sedang
disembunyikan oleh Naga. Nihil. Dia justru baru
menyadari, ternyata wajah Naga sama pucatnya dengan
anak-anak di tempat ini.
Kayla benar-benar baru menyadarinya.
“Tapi, masih bisa sembuh, kan?” tanya Kayla
akhirnya, penuh harap.
Naga mengangkat bahu, “Kemungkinannya
sangat kecil,”
Kayla memejamkan mata, menunduk dan
menghela napas dalam-dalam, “Kenapa nggak di coba
dulu?”
“Biaya untuk operasi pasti sangat mahal. Aku
nggak mau orang tuaku mengeluarkan banyak uang untuk
hal yang percuma,”
“Kenapa pesimis kayak gitu?”
“Karena aku yang paling tahu keadaanku sendiri.
Aku yang paling mengerti dengan kondisi tubuh dan
104
penyakitku saat ini. Perasaanku mengatakan aku sudah
nggak mungkin sembuh,”
“Mungkin, semua keluargaku sudah tahu kapan
aku akan meninggal. Mungkin Dokter yang memeriksaku
sudah mengatakan kepada mereka,”
Naga menghentikan ucapannya, ia mengambil
sebuah bola plastik yang menggelinding menyentuh
kakinya, lalu melempar bola itu kembali ke arah
sekumpulan bocah laki-laki. Kayla masih menunggu Naga
melanjutkan omongannya.
“Tapi aku nggak pengin tahu, karena itu hanya
akan membuatku semakin takut. Aku hanya ingin
tersenyum sampai saat itu tiba. Aku hanya ingin
berkumpul bersama keluargaku, tertawa bersama anak-
anak ini, bercanda bersama teman-temanku. Dan aku
hanya ingin lulus sekolah bersama kalian semua suatu
saat nanti. Semoga aku masih punya waktu,” Naga
menghela napas sejenak.
“Dan, aku masih ingin melihat senyummu,”
lanjutnya.
Kayla terdiam, tak mampu berkata apa-apa untuk
menanggapi omongan Naga. Ia menyembunyikan
matanya yang basah karena air mata mengalir tak dapat
ditahan.
105
Naga tertawa ringan, “Entah kenapa aku malah
cerita ke kamu, maaf ya,”
“Berhasil atau enggaknya, seharusnya itu kita
percayakan saja sama Tuhan. Yang penting berusaha
dulu untuk sembuh kan?” Kayla menoleh, menatap Naga.
Air mata sudah mengalir membasahi pipi.
Membuat Naga tersentak, tawa yang sempat terdengar
dari mulutnya hilang seketika.
“Kay,”
“Tuhan yang memberi sakit, Tuhan pula yang
akan menyembuhkannya. Tapi tentu saja itu tidak akan
terjadi kalau tidak ada usaha untuk sembuh,” Kayla
memotong perkataan Naga.
Pemuda itu tersenyum, matanya menatap kosong
ke atas. Memandang awan yang berarak tertiup angin.
“Percayalah bahwa aku juga sangat ingin
sembuh, Kayla. Bahkan, aku tidak pernah ingin menderita
sakit seperti ini. Tersiksa tentu saja. Bukan cuma karena
rasa sakit yang aku rasakan di tubuhku. Melihat mama,
papa, dan kakak yang selalu mengkhawatirkanku, itu jauh
lebih sakit,”
“Aku bukan tanpa usaha. Check up, kemoterapi,
minum berbagai macam obat sudah rutin aku lakukan.
Tapi seperti yang kamu bilang. Tuhan yang memberi sakit,
106
Tuhan pula yang menyembuhkannya. Tetapi kamu lupa,
Kayla. Tuhan juga bisa memanggil kita kembali ke sisi-
Nya, agar kita tidak lagi merasakan sakit,”
Dalam diamnya Kayla mengangguk. Saat ini ia
merasa sangat menyesal sering berlaku tidak enak
kepada Naga, selalu menolak ajakan Naga yang dia
tawarkan setiap hari tanpa rasa bosan.
Kayla merasa menjadi orang paling jahat.
“Maaf,” ujar Kayla yang masih menunduk, “Maaf
kalau aku selalu bersikap tidak menyenangkan
terhadapmu,”
Naga tersenyum, ia mengangkat dagu Kayla
dengan tangannya, “Aku lebih senang kamu bersikap
seperti biasanya. Jangan berbeda hanya karena telah
mengetahui keadaanku,”
Kayla menemukan sorot mata yang teduh di
dalam pandangan Naga. Merasakan ketenangan yang
terpancar dari raut wajah laki-laki itu.
“Semua akan baik-baik saja. Percayalah,”
bisiknya kemudian.
107
Janji Andreas
Kayla membiarkan Arin menguncir rambutnya
yang sejak tadi pagi tergerai, sementara dirinya terus
membuka-buka buku matematika yang tengah ia pelajari
sambil sesekali menulis angka-angka pada buku catatan.
Suasana tidak begitu ramai, hanya ada beberapa
siswa yang lebih memilih berada di dalam kelas saat jam
istirahat. Untuk sekedar tiduran di atas meja, atau belajar
seperti Kayla. Ada juga yang lebih suka titip jajanan ke
temannya yang pergi ke kantin untuk kemudian mereka
makan di dalam kelas.
“Belum selesai ya?”
“Belum, bentar lagi selesai kok,”
“Leherku udah pegel nih. Awas kalo nggak bagus.
Aku acak-acak rambutmu,”
“Iya-iya, dijamin bagus kok,”
Kayla kembali konsentrasi dengan buku di
tangannya.
“Kemarin kemana sama Naga? Kok tumben
nggak diceritain ke aku. Biasanya kalau ada apa-apa yang
baru, kamu langsung cerita deh,”
108
Kayla seketika teringat tentang apa yang kemarin
ia saksikan. Anak-anak kecil penderita kanker di tempat
itu satu persatu melintas dalam ingatannya. Tentang
kenyataan milik Naga yang telah ia ketahui, dadanya
kembali terasa sesak.
“Kok malah diem, jawab dong,”
“Kemarin, nggak kemana-mana. Cuma nonton
sama makan doang,” Kayla terpaksa berbohong. Naga
yang meminta untuk tidak memberitahukan siapapun
tentang penyakitnya.
“Yakin cuma itu?”
Kayla hanya mengangguk untuk menjawab
pertanyaan dari Arin.
“Selesaiii,”
Kayla meneliti rambutnya melalui cermin,
sementara Arin nampak memperhatikan dengan harap.
Dan gadis itu langsung bersorak kegirangan saat Kayla
mengacungkan jempol tangan kanannya.
“Apa ku bilang, hasilnya pasti bagus. Iya kan?”
“Iya deh. Kamu memang bisa diandalkan.”
“Aku mau ke kantin dulu, laper. Ikut?”
Kayla menggeleng lembut, “Nitip aja. Batagor,
jangan pedes-pedes ya.”
109
Arin mengangguk dan melangkahkan kakinya
keluar kelas. Kayla kembali meneruskan belajarnya
sesaat setelah sahabatnya menghilang di balik tembok.
Kayla semakin menguatkan perasaannya kepada
Andreas sejak kejadian di rumah sore itu. Perasaan Kayla
terlihat semakin besar untuk Andreas.
Setiap hari mereka bertemu dan pergi berdua
selepas pulang sekolah, gadis itu semakin sering
berbohong kepada Rianti dan Diego. Tugas sekolah
adalah alasan yang selalu Kayla pilih untuk menutupi
setiap kali ia pergi bersama Andreas.
Suasana kafe terlihat tidak begitu ramai oleh
pengunjung yang sejenak menikmati waktu senggangnya.
Hanya terdapat lima orang di tempat itu, termasuk Kayla
dan Andreas yang duduk di salah satu sudutnya, satu
gelas capuchino dan cokelat panas tersaji di hadapan
mereka.
“Apa kamu nggak bosen tiap hari ketemu sama
aku?” Andreas menyeruput capuchino dalam cangkir
setelah mengajukan pertanyaan itu.
110
Kayla nampak tidak suka dengan pertanyaan
yang baru saja dia dengar, “Kenapa nanya kayak gitu?
Kamu bosen ketemu sama aku?”
“Nggak lah, aku hanya takut kamu jenuh karena
kita ketemu setiap hari. Aku senang tentu saja, dapat pergi
kemana saja bareng kamu tiap hari,”
“Ya udah, sama aja berarti. Aku nggak pernah
bosan ketemu kamu. Walaupun tiap jam, asal sama kamu
aku nggak bakal ngerasa bosan. Aku nggak suka sama
pertanyaanmu barusan,”
“Iya, maaf. Jangan ngambek dong,” Andreas
menghilangkan kejengkelan Kayla dengan membelai
pipinya yang putih.
Kayla selalu luluh ketika Andreas melakukan itu.
Seketika jengkelnya mereda, seulas senyum langsung
melengkung di bibir Kayla. Andreas tersenyum puas, dan
melepaskan tangannya.
“Ndre, mama dan Kak Diego udah mulai nanya-
nanya ke aku” wajah Kayla berubah serius.
“Tentang?”
“Ya tentang kenapa setiap hari pulang sekolah
sampai sore. Aku mulai bingung mencari alasan,”
“Bilang aja ngerjain tugas di rumah temanmu itu,”
111
“Udah, alasan itu yang aku berikan tiap kali
mereka bertanya. Tapi sampai kapan aku bohong sama
mereka?”
Andreas menutup wajahnya dengan kedua
tangan, dia merebahkan diri di sandaran kursi setelahnya.
Wajahnya nampak berpikir, membisu beberapa jenak.
“Kapan kamu akan bilang sama Kak Diego
tentang hubungan kita? Aku juga sudah tidak ingin main
kucing-kucingan seperti ini. Nggak enak, terus-terusan
bohong sama mereka,”
Mata Kayla sendu, tatapannya tak lepas dari
wajah Andreas.
“Bersabarlah. Aku sedang menunggu waktu yang
tepat,”
“Selalu seperti itu yang kamu katakan saat kita
membicarakan ini, ada apa sebenarnya, Andreas?
Jujurlah, aku pengin tahu semuanya,”
Laki-laki itu mulai panik ketika beberapa pasang
mata melirik ke arah mereka. Suara Kayla terdengar
sampai ke meja-meja yang lain. Membuat pengunjung di
kafe menatap sepasang remaja itu dengan tatapan
bertanya-tanya. Andreas merasa tidak nyaman.
“Besok, aku janji besok akan kukatakan
semuanya kepadamu. Sekarang berhentilah menangis,
112
kita jadi tontonan pengunjung yang lain,” tangan Andreas
kembali meraih pipi gadis dihadapannya.
“Janji?”
Terasa berat ketika Andreas menganggukan
kepala untuk menjawab pertanyaan Kayla.
“Iya. Aku janji,”
“Aku menunggu itu,”
Musik yang diputar melalui i-phod menemani
langkah Naga. Sesekali dia menggumam mengikuti lagu
yang terdengar, tak peduli dengan orang-orang yang
berjalan di sekitarnya. Naga hanya akan tersenyum saat
ia berpapasan dengan seorang suster yang menurutnya
cantik, atau manis, atau paling tidak, tidak gendut.
Begitu dalam benaknya.
Akhirnya Naga sampai di depan pintu sebuah
ruangan, ia mengambil i-phod dari saku celana dan
mematikannya.
“Sore, Dok,”
“Sore, Nak Naga. Silakan-silakan,”
Naga menurut dan duduk di depan dokter yang
terlihat tengah mencatat sesuatu di sebuah buku. Ia
mengamati sekitarnya, memperhatikan setiap benda yang
113
berada di tempat itu. Bau obat selalu tercium saat berada
di ruangan itu.
“Langsung dari sekolah?”
“Iya, Dok. Dari pada bolak-balik, males,”
Dokter itu nampak berjalan ke sebuah lemari kecil
di sudut ruangan dan mengambil map berwarna biru dari
dalam laci. Kemudian melangkah dan duduk di kursinya
semula. Dengan pelan ia menyerahkan map biru tersebut
kepada Naga.
“Gimana hasilnya, Dok?”
Dia sedikit ragu, “Maaf, Nak Naga, dari hasil
pemeriksaan terakhir, sama sekali tidak ada perubahan
tentang penyakit anda,”
Naga tersenyum. Ia berhenti meneliti hasil
laboratorium di tangannya dan memasukan kembali ke
dalam map, lalu diletakkan di atas meja. Dokter menatap
Naga.
“Apa kemo benar-benar bisa menjamin saya bisa
sembuh, Dok?”
“Saya tidak bisa menjanjikan hal itu, karena
seperti yang saya katakan sebelumnya, penyakit anda
sudah cukup parah. Tetapi jika kita terus melakukan kemo
kemungkinan anda sembuh lebih besar dari pada hanya
mengandalkan obat yang saya berikan,”
114
Naga terdiam, tatapan kosong dia berikan kepada
Dokter yang sudah merawatnya sejak pertama kali dirinya
di diagnosa.
“Bagaimana, Nak Naga?”
“Terima kasih, Dok. Pasrahkan saja sama Tuhan,”
Dokter paruh baya itu mendesah pelan. Ia
meletakan kaca mata dan stetoskop di meja, “Maaf
sebelumnya, tetapi melihat hasil lab terakhir ini,” ia meraih
map yang berada di hadapan Naga, “Mungkin hanya
beberapa bulan lagi anda bisa bertahan,”
Naga hanya tersenyum mendengarkan penuturan
Dokter.
“Tapi itu hanya sebuah prediksi. Sebagai manusia
biasa, saya berharap apa yang saya katakan tadi salah,”
“Terima kasih sekali lagi, Dok. Kalau begitu saya
permisi dulu,” Naga bangkit dari duduknya.
“Sebentar, Nak Naga,”
Ia menuliskan sesuatu di sebuah kertas, lalu
menyerahkan kepada Naga, “Ini resep obat. Minum ini
saat anda merasa sakit. Sekali lagi obat ini hanya
mengurangi rasa sakit, tidak bisa menyembuhkan,”
Naga menerima resep dari tangan Dokter,
mengucapkan terima kasih dan memohon diri sekali lagi,
kemudian melangkah keluar.
115
Naga meneliti resep tersebut, meremas kertas itu
dan membuangnya ke tempat sampah. Ia mengambil i-
phod dari dalam tas dan menempelkan earphone di kedua
telinganya. Pemuda itu menghela napas dan tersenyum
sebelum melanjutkan langkahnya.
Terulang Kembali
Kayla duduk seorang diri dengan gelisah di salah
satu kursi di dalam sebuah kafe. Satu cangkir caramel
116
machiato yang sudah tandas separo tergeletak di atas
meja. Berkali-kali gadis itu menilik jam tangan. Sudah
hampir tiga puluh menit sejak ia diantar Arin ke tempat itu.
Seperti biasa selepas pulang sekolah, Kayla akan
menemui kekasihnya secara sembunyi-sembunyi. Dan
hari ini, mereka berdua telah berjanji akan bertemu di kafe
langganan mereka. Namun ini sudah cukup lama baginya
untuk menunggu kedatangan Andreas. Tidak biasanya
laki-laki itu terlambat, bahkan lebih sering Andreas yang
menunggu Kayla.
Hari ini berbeda. Gadis itu nampak tidak sabar.
Untuk yang ke sepuluh kalinya Kayla mencoba
menghubungi Andreas menggunakan ponselnya, tetapi
tidak pernah ada jawaban. Andreas tidak membalas.
Campur aduk perasaan Kayla saat ini. Khawatir, resah,
curiga hinggap satu persatu ke dalam pikirannya.
Membuatnya semakin tidak tenang.
Kayla masih bertahan sampai lima belas menit
berikutnya. Minuman di hadapannya pun telah habis,
hanya menyisakan bekas-bekasnya yang menempel pada
pinggiran cangkir porselen. Gadis itu mulai merasa jenuh,
ia memutuskan untuk beranjak. Kayla melangkah keluar.
Sedang di mana sebenarnya kamu sekarang,
Andreas?
117
Ia melangkah lemas menuju tepi jalan,
melambaikan tangan untuk menghentikan taksi yang
kebetulan sedang melintas. Kemudian masuk ke dalam
dan menyebutkan alamat rumah kepada sopir.
Taksi melaju, membawa Kayla pergi dari tempat
itu.
Pikirannya masih tak menentu ketika kendaraan
itu membawanya menyusuri jalanan. Kayla kembali
meraih ponsel, mencoba sekali lagi menghubungi nomer
kekasihnya. Aktif, tapi tidak ada jawaban, hanya terdengar
nada sambung di telinga Kayla beberapa kali.
Gadis itu menghela napas cukup dalam. Ia
menutup wajahnya dengan kedua tangan. Pikirannya
menerka-nerka, namun tidak menemukan jawaban yang
bisa membuat hati dan pikirannya tenang. Ia
menyandarkan tubuh. Kayla merasa udara di dalam taksi
seakan mulai menipis, membuatnya sulit untuk bernafas.
Taksi telah sampai membawa Kayla ke rumah.
Gadis itu berdiri di depan gerbang, matanya memandang
halaman rumah Andreas. Seketika alisnya bertaut saat ia
melihat ada sebuah mobil asing yang terparkir di dalam
halaman rumah itu.
Batin Kayla bertanya-tanya.
“Kay,”
118
Sebuah suara yang memanggil namanya
mengagetkan Kayla. Ia mengalihkan pandangan ke
halaman rumahnya sendiri.
“Ngapain di tempat itu? Bukannya langsung
masuk malah melihat rumah orang lain,”
Kayla mendesah pelan, membuka pintu gerbang
dan berjalan masuk ke dalam halaman. Matanya sempat
kembali melirik rumah Andreas sebelum ia berhenti di
sebelah kakaknya yang masih sibuk mencuci mobil.
“Mobil siapa itu, Kak?”
Didorong rasa penasarannya, Kayla nekat
bertanya kepada Diego.
“Mana aku tahu, nggak ada urusannya denganku.
Kamu juga ngapain ngurusin urusan orang lain?”
Kayla memajukan bibirnya, “Ya nggak usah sewot
juga kali. Kayla kan cuma nanya. Bukannya ngasih
jawaban malah ngomel,”
Diego menstabilkan emosinya, ia sedang tidak
ingin berdebat dengan adiknya sekarang. “Tumben pulang
cepet, nggak ngerjain tugas hari ini?”
Kayla merasa tersindir mendengar pertanyaan
Diego. Bagaimanapun ia sudah terlalu sering berbohong
kepada laki-laki yang sedang berdiri di sebelahnya ini.
Sebelum ia menjadi pacar Andreas.
119
“Nggak ada,” jawab Kayla asal.
Kakinya mengajak Kayla berlalu dari tempat itu
untuk segera masuk ke dalam rumah. Ia sempat melirik ke
arah halaman rumah Andreas. Rasa penasaran masih
menggelayuti pikirannya.
Wajah Kayla terlihat menunjukkan raut yang tidak
enak, ia sedang duduk di sebuah bangku kayu yang
tersedia di area taman. Andreas duduk di sebelahnya
dengan ekspresi menyesal. Laki-laki itu terlihat begitu
gelisah.
Suasana taman cukup ramai oleh berbagai
aktivitas orang-orang yang sedang menghabiskan waktu
sore mereka. Terlihat satu dua orang sedang berolahraga,
ada yang hanya duduk saja bersama rekan mereka di atas
rumput. Atau ada juga suami istri yang sedang mengawasi
anak mereka yang tengah bermain di taman tersebut.
“Aku minta maaf, Kay. Aku menyesal,”
Wajah Kayla cemberut. Kedua tangannya
menyilang di depan dada. Membuat Andreas harus berdiri
dan berpindah ke hadapan Kayla. Andreas berjongkok di
depan Kayla.
120
“Aku udah mau berangkat ke kafe tadi, tapi tiba-
tiba ada Riko yang datang ke rumah. Nggak enak kan
kalau nyuruh dia pulang?”
“Riko?”
Tanya Kayla, merasa tidak asing dengan nama
itu.
“Iya, Riko. Kamu ingat kita pernah ketemu dia
waktu aku beliin kamu boneka beberapa hari lalu?”
Kayla mencoba memutar memori otaknya, nama
Riko beberapa kali dia sebutkan dalam hati untuk
membantu mengingat. Ah, Kayla berhasil mengingatnya.
Iya, Riko, pemuda yang bertemu dengannya dan Andreas
waktu di mall, yang menatap dirinya dengan tatapan yang
aneh. Kayla berhasil menemukan ingatannya tentang
Riko.
Jadi, mobil yang terparkir di halaman rumah
Andreas, milik Riko?
“Ingat?”
Gadis itu mengangguk.
“Dia mendadak datang waktu aku sudah siap mau
pergi menemuimu di kafe,”
“Terus kenapa kamu nggak ngasih kabar ke aku?
Aku telepon nggak di angkat, chat juga nggak di bales.
Aku di sana nunggu kamu hampir satu jam, Andreas,”
121
“Iya, aku minta maaf. Aku nggak tahu kalau ada
beberapa panggilan dan chat darimu. Maaf,”
Kayla membuang napas dengan sedikit kesal.
“Aku tidak memberitahumu, karena aku pikir dia
hanya mampir sebentar di rumahku, ngobrol beberapa
menit lalu dia akan pamit untuk pulang. Dan aku bisa
berangkat menemuimu. Tapi ternyata kami malah
keasyikan ngobrol. Wajar saja, kita sudah lama tidak
bertemu,” Andreas mencoba menjelaskan.
“Lalu kamu melupakanku. Membiarkan aku
sendirian di kafe nungguin kamu, tanpa kepastian. Gitu?”
“Aku minta maaf, Kayla,” laki-laki itu mengulurkan
tangannya untuk membelai rambut Kayla, tapi gadis itu
langsung menepisnya.
Membuat Andreas tercengang.
“Gampang banget minta maaf,”
“Aku harus gimana sekarang?”
Kayla terdiam, emosinya masih belum
mengijinkan ia memaafkan laki-laki di depannya. Di
hadapan Kayla, Andreas masih terlihat bingung dan serba
salah, ia menunduk.
“Aku cuma nggak suka kamu nggak menepati
janjimu,” nada bicara Kayla melembut.
Andreas mengangkat wajahnya.
122
“Untuk kamu, jangankan hanya satu jam. Disuruh
nunggu satu hari pun aku mau. Asal ada kabar, ada
kepastian.” lanjut Kayla.
Kedua tangannya meraih pipi Andreas. Membuat
mata keduanya bertatapan.
“Aku takut kamu membenciku,”
Kayla tersenyum mendengar pengakuan
Andreas, “Aku memang sempat kecewa. Tapi itu tidak
lantas membuatku menjadi benci sama kamu. Aku terlalu
sayang sama kamu, Andreas,”
“Jadi, kamu mau maafin aku?”
Gadis itu mengangguk pelan.
“Asal kamu janji tidak akan mengulanginya. Asal
kamu janji tidak akan membuatku menunggu tanpa
kepastian lagi,” Pesannya.
Kedua mata Kayla menatap Andreas dengan
hangat.
Andreas mengacungkan kelingkingnya sendiri di
depan wajah Kayla, ia menuntun Kayla melakukan hal
yang serupa. Kelingking keduanya saling bertautan.
“Aku janji,” ucap Andreas sembari tersenyum.
Kayla tersenyum dan mengangguk.
Andreas merentangkan kedua tangannya lebar,
mengundang Kayla untuk segera masuk ke dalam
123
pelukan. Gadis itu tersenyum manis, lalu membawa
tubuhnya masuk ke dalam pelukan Andreas.
“Terima kasih,”
Memaafkan Sekali Lagi
Kayla asik bermain boneka dengan beberapa
gadis kecil di yayasan. Ia sengaja membawa sebagian
koleksi boneka miliknya untuk diberikan kepada anak-
anak perempuan di tempat itu.
Sementara Naga masih sibuk memperbaiki mobil
mainan, beberapa bocah nampak memperhatikannya
dengan rasa ingin tahu. Ada pula yang masih asik dengan
mainannya sendiri. Suasana yayasan terasa lebih hangat
dengan kehadiran Kayla.
124
Saat pulang sekolah, Kayla mengajak Naga untuk
mengunjungi yayasan. Sesuatu yang tidak pernah Naga
duga. Kayla yang mengajukan diri, tentu saja laki-laki itu
langsung mengiyakan. Tidak mungkin Naga menolak
setelah dulu harus bersusah payah untuk mengajaknya
pergi.
“Kak Kayla, memang kakak tidak takut tertular
kalau main sama kita terus? Kata orang-orang, kan, kita
sakit,”
“Kakak nggak takut tuh. Kalian kan nggak
nyeremin kayak hantu,”
Kayla menjawab setelah beberapa saat hening. Ia
melontarkan lelucon untuk memancing tawa anak-anak.
Gadis itu berhasil.
“Tapi wajah kami pucat seperti hantu,” salah
seorang anak menyela.
“Emang kamu pernah lihat hantu?” anak kecil lain
menanggapi perkataan anak sebelumnya.
Ia menggeleng, spontan anak-anak lain
menyorakinya, membuat ia tersenyum malu.
“Ini kok malah pada ngomongin hantu sih? Nggak
baik ngomongin kayak gitu,” Naga bergabung dengan
mereka.
Kayla hanya tersenyum sedari tadi.
125
“Mending kita belajar aja. Pada pengin belajar apa
hayo?”
“Menggambar aja yuk, Kak,” usul salah seorang
anak. Anak-anak lain nampak menyetujui.
“Ya udah, ambil buku gambar kalian sana,”
Semua anak langsung berhamburan untuk
menuruti perintah Naga. Mereka meraih tas mereka
masing-masing dan mengambil buku gambar serta alat
tulis dari dalamnya.
“Kayak gini aktivitas di yayasan, Kay,” Naga
duduk di sebelah Kayla ketika anak-anak itu masih
mengambil buku gambar.
“Nyenengin. Aku suka di sini, di dekat mereka.
Polos-polos banget ya,”
“Begitulah,”
Dalam hati, Naga merasa sangat senang dengan
kedekatan dirinya dan Kayla sekarang.
“Pasti akan lebih menyenangkan kalau mereka
bisa sembuh. Kamu juga,”
“Terima kasih,”
Naga terdiam sejenak, “Kalaupun nanti aku pergi,
kamu mau janji sama aku?”
Gadis itu menatap Naga dengan tajam, tersirat
rasa tidak suka kepada kalimat yang baru saja dia dengar.
126
Naga tidak mencoba untuk mengoreksi kata-katanya. Ia
justru ikut menatap wajah Kayla, tatapannya serius.
“Aku akan berusaha untuk tetap hidup, tapi segala
kemungkinan bisa terjadi, kan?”
Kayla mendesah, tatapannya mengendur.
“Janji apa? Apa yang kamu minta dariku?”
“Kelak kamu akan tetap bermain kesini meskipun
aku sudah tidak ada. Berjanjilah untukku,”
Gadis itu terdiam beberapa saat, menatap bocah-
bocah yang mulai melangkah menghampiri mereka
berdua. Kayla memeluk lututnya sendiri.
“Baiklah, aku janji,”
“Dan kamu juga harus berjanji untuk sembuh,”
lanjut Kayla.
Laki-laki itu tersenyum, “Aku akan berusaha.”
Kayla tetap mengangguk meskipun merasa
kurang puas dengan jawaban Naga. Baginya itu sudah
cukup, ia tidak ingin menambah beban Naga dengan
menuntutnya untuk berjanji. Kayla sadar itu sama sekali
bukan kuasa Naga.
Ia cukup mempercayakan semuanya kepada
Tuhan.
127
“Makasih ya, udah mau nemenin anak-anak di sini
belajar dan bermain,” Naga sedang membereskan sisa-
sisa kegiatan belajar anak-anak yayasan, Kayla
membantunya.
“Sama-sama, Ga. Entah kenapa aku merasa
betah kalau di sini. Mereka semua benar-benar
menyenangkan,” jawab Kayla sambil tersenyum.
“Habis ini aku anter kamu pulang ke rumah ya?”
Naga meletakan alat-alat tulis tersebut di atas
sebuah meja. Kayla melakukan hal serupa.
“Emm, aku di anter ke kafe aja, Ga. Aku mau
ketemu sama Andreas dulu. Biar ntar aku pulang sama dia
aja,”
Naga mendesah pelan mendengar jawaban
Kayla, ia membuang pandangannya yang berubah
kecewa. Naga tidak ingin Kayla melihat perubahan pada
wajahnya.
“Ya udah, ayo sekarang,”
Keduanya melangkah ke arah mobil. Naga
menginjak gas dan mengemudikannya menjauh dari
yayasan. Kayla mengeluarkan sebungkus cokelat dari
dalam tasnya.
“Suka banget kamu sama makanan itu,”
128
“Dari kecil almarhum Papa sering beliin aku,
keterusan sampai sekarang. Biar aku bisa inget Papa
terus,”
“Kapan-kapan bawain juga buat anak-anak. Pasti
mereka suka,”
Kayla mengangguk mantap menanggapi usul
Naga.
Mereka terdiam untuk beberapa jenak, sama-
sama kehilangan topik. Sesekali Naga hanya terbatuk
kecil untuk mengusir kesunyian yang menghinggapi. Mobil
itu terus membawa dua orang itu menuju kafe.
“Di sini?”
Tanya Naga menunjuk sebuah kafe. Kayla
mengangguk.
Naga menepikan mobilnya ke badan jalan,
kemudian membiarkan gadis itu turun. Kayla
mengucapkan terima kasih kepada Naga, lalu melangkah
riang masuk ke dalam kafe. Naga mengamati Kayla
sampai menghilang di balik pintu. Mobil merayap pelan,
masuk ke dalam sebuah parkiran yang agak jauh dari
kafe.
Aku penasaran sama cowok yang namanya
Andreas itu.
129
Batin Naga menyuruhnya untuk masuk ke dalam
kafe secara sembunyi-sembunyi, duduk agak menjauh
dari Kayla yang tidak menyadari kehadirannya. Dari
tempatnya, Naga dapat mengamati Kayla dengan jelas.
Setengah jam berlalu, tidak nampak tanda-tanda
kehadiran laki-laki yang sedang ditunggu oleh Kayla.
Gadis itu mulai terlihat gelisah di tempatnya. Naga dapat
melihat beberapa kali Kayla melihat jam tangan, lalu
merubah posisi duduk, menempelkan ponselnya di
telinga. Kemudian meletakkannya kembali di meja.
Mereka terus duduk terpisah di tempat itu sampai
satu setengah jam. Andreas tetap tidak menampakkan
kehadirannya. Naga mulai jengah, ia bangkit dari
duduknya, lalu berjalan menghampiri Kayla.
“Ayo pulang,”
“Lagi-lagi aku harus menunggumu sampai satu
setengah jam kemarin. Kemana kamu sebenernya?”
Kayla mendesak kekasihnya untuk berkata jujur.
Ia sedang berada di dalam rumah Andreas.
“Riko mengundangku ke rumahnya,”
130
Kayla melotot setelah mendengar jawaban
Andreas, “Dan kamu lebih memilih untuk datang ke
rumahnya dari pada menemui aku?”
“Dengerin dulu, Kayla,”
“Pasti! Tentu saja aku akan mendengarkan alasan
yang sampai membuatmu melupakanku, lagi. Melupakan
janjimu sendiri,”
Andreas mendesah, “Riko datang. Dia bilang
ibunya sudah memasakkan makan malam untukku.
Ibunya ingin menemuiku, memang sudah lama kami tidak
bertemu,”
“Aku sudah tahu kamu langsung menerimanya,”
potong Kayla, nampak tidak sabar.
“Aku belum selesai. Pertama aku menolak
undangan itu, aku bilang sudah ada janji denganmu. Tapi
Riko berkata, bahwa ibunya pasti akan sangat kecewa
kalau aku sampai tidak datang,”
“Lantas?”
“Akhirnya aku memutuskan untuk menerima
undangan mereka,” ucap Andreas lirih.
“Sudah ku duga. Kamu memang lebih
mementingkan orang lain dari pada aku,” mata Kayla
mulai memerah.
“Itu tidak benar, Kayla,”
131
“Memang seperti itu kenyataannya. Kamu
sengaja tidak menghubungiku agar aku tidak
mengganggu, bukan?”
“Itu kesalahanku. Aku tidak sengaja
meninggalkan ponselku di rumah. Waktu itu buru-buru
karena ibu Riko terus-terusan menghubungi anaknya
supaya kami cepat-cepat sampai rumah,”
“Oh, begitu?” Kayla terlihat kurang percaya.
“Terserah kalau kamu tidak percaya, tetapi
begitulah kenyataannya,”
Kayla merenung. Ia mulai memikirkan kebenaran
tentang alasan yang Andreas berikan kepadanya.
Sebagian dari dirinya ingin mempercayai semua yang
Andreas ucapkan, tetapi bagian lain dirinya merasa
kecewa karena Andreas melupakan janji untuk kedua
kalinya.
“Sebentar,”
Laki-laki itu berdiri dan berjalan ke lantai dua,
tempat kamarnya berada. Kayla menunggu dengan
penasaran. Beberapa menit kemudian Andreas telah
kembali turun.
“Aku tahu aku salah, karena itu aku sempat
membelikan ini untukmu,” Andreas menunjukkan sebuah
cincin.
132
“Aku mohon, maafkan kesalahanku,” ucap
Andreas sambil tetap menunjukkan cincin itu di hadapan
Kayla.
Mata Kayla terlihat berkaca-kaca. Hatinya kembali
luluh dengan cara Andreas yang tidak pernah dia duga.
Sejenak kemudian, Kayla mengangguk. Andreas
langsung memasangkan cincin itu di jari manis
kekasihnya. Ia mencium Kayla, lalu menariknya ke dalam
pelukannya.
Pengakuan
Kayla dan Andreas masih berada di dalam mobil
yang melaju menembus hujan, setelah seharian mereka
menghabiskan waktu berdua. Nonton, makan, main game.
Dan Kayla nampak sangat menikmati kebersamaanya
dengan Andreas, hingga ia tidak dapat menyembunyikan
senyum bahagia dari pandangan mata kekasihnya.
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?”
Andreas menyalakan lampu sent dan membelokan laju
mobil.
“Aku seneng banget tiap kali jalan sama kamu.
Kamu paling bisa bikin aku ngerasa bahagia kayak gini.
133
Aku sedang nggak berlebihan, tapi aku bener-bener
bahagia jadi pacar kamu,”
“Kamu sayang aku?”
“Banget,” jawab Kayla pasti.
Matanya menatap dalam-dalam ke mata Andreas,
seakan mencari perasaan yang sama.
Andreas menghentikan mobilnya di pinggir jalan
begitu mendengar jawaban Kayla. Dia terdiam, balik
menatap kedua mata Kayla. Pandangan mereka bertemu,
tatapan keduanya beradu. Andreas mengubah posisi
duduknya, mendekatkan wajahnya ke wajah Kayla
dengan perlahan. Membuat jantung Kayla berdegup tak
beraturan.
Kayla memejamkan matanya begitu bibir Andreas
hanya berjarak beberapa senti dari bibirnya. Kayla dapat
merasakan hembusan napas Andreas yang hangat.
Andreas nampak ragu-ragu, lalu dengan cepat dia
menggelengkan kepala dan menarik wajahnya. Ia
menghela napas, begitu berat. Hingga Kayla dapat
mendengarnya.
“Ndre?”
Andreas menoleh, tatapan mata yang
sebelumnya tajam telah berubah menjadi kesedihan dan,
rasa takut.
134
“Maafin aku Kay, aku nggak bisa,”
“Kenapa?”
“Aku nggak bisa bohongin kamu terus. Aku udah
jahat banget sama kamu,”
“Bohong? Jahat? Apa maksud kamu, Andreas?”
“Aku udah jahat sama kamu, aku udah bohong
sama kamu, aku nggak pernah bisa cinta sama kamu.
Padahal, kamu begitu tulus memberikan perasaanmu,”
“Aku nggak bisa nerusin ini semua,” lanjut
Andreas.
“Kenapa? Apa maksud kamu sebenarnya?”
Andreas menghela napas sejenak, “Aku pacaran
sama kamu, hanya untuk balas dendam sama kakakmu,
Diego. Karena dia nggak pernah bisa terima aku,”
Dalam tangisnya, mata itu menatap tajam wajah
Andreas. Mencari tahu maksud perkataan laki-laki itu.
“Balas dendam untuk apa? Apa yang kakakku
lakukan padamu?”
“Dia nggak bisa terima perasaanku,”
Andreas memejamkan mata saat
mengatakannya, nada yang keluar dari mulutnya terasa
sangat berat.
Kayla tersentak, kaget mendengar kenyataan
yang keluar dari mulut Andreas.
135
“Jadi kamu,”
“Iya. Aku nggak bisa suka kamu, aku nggak bisa
suka sama perempuan,” Andreas memotong perkataan
Kayla. Nada bicara Andreas penuh penyesalan dan
ketakutan.
“Dan Riko adalah pasanganku sekarang,”
Petir menggelegar keras. Bukan hanya di hujan
malam itu, tetapi juga di dalam hati Kayla. Gadis itu
terdiam, sangat terpukul mendengar pengakuan Andreas,
begitu kagetnya hingga ia tak dapat berkata apa-apa.
Kayla mengatupkan rahangnya kuat-kuat, berusaha
menahan amarah yang kini membuncah dalam hati.
“Maafin aku, Kay,”
“Kalau tujuanmu cuma untuk balas dendam, kamu
berhasil banget, Andreas. Kamu berhasil banget nyakitin
aku, ngecewain aku. Aku nggak nyangka kamu sejahat itu
sama aku. Tega kamu!”
Kayla sangat ingin menamparnya, namun
perasaan sayang yang tersisa mencegah Kayla
melakukan hal tersebut.
“Maafin aku,”
Kayla menggeleng, air mata deras mengalir di
kedua pipinya. Ia membuka pintu dan keluar. Penuh
perasaan kecewa Kayla membanting pintu mobil keras-
136
keras. Andreas keluar mengejar Kayla yang berjalan
menjauh.
“Kayla, tunggu. Kamu mau kemana?”
Andreas menggapai lengan Kayla dan
membalikan tubuh gadis itu. Hujan deras mengguyur
mereka berdua.
“Tinggalin aku! Aku nggak mau lihat kamu lagi!”
Kayla mendorong tubuh Andreas.
“Nggak mungkin. Aku nggak bisa ninggalin kamu
sendirian di sini. Udah malem dan hujan begini. Rumah
kita masih jauh, Kayla,”
“Kenapa nggak bisa? Bukannya kamu nggak cinta
sama aku?” Tatapan mata nanar Kayla membuat Andreas
terpukul.
“Aku peduli sama kamu,”
“Bohong! Kamu nggak peduli sama aku. Setelah
apa yang kita lalui, kamu mengatakan hal-hal yang tidak
pernah aku bayangkan. Kamu bener-bener cowok paling
brengsek yang pernah aku kenal!” Hujan menyatu dengan
air mata yang mengalir deras di pipi Kayla.
“Aku mohon, maafin aku,”
“Pergi! Aku nggak mau lihat kamu lagi!” Kayla
mendorong tubuh Andreas sekali lagi, menjauhkan tubuh
laki-laki itu.
137
“Kay,”
“Pergi!”
Andreas melangkah mundur, balik badan dan
masuk ke dalam mobilnya. Ia mengambil handphone dan
menghubungi Diego. Andreas menutup telepon
genggamnya, menghela napas, lalu menjalankan mobil itu
dengan perlahan. Meninggalkan Kayla seorang diri.
Di bawah guyuran hujan, Kayla masih mematung
tak bergerak. Tatapan matanya kosong. Air mata yang
bercampur dengan air hujan masih mengalir di pipi Kayla.
Seluruh badannya menggigil kedinginan. Gigi-gigi Kayla
beradu, menimbulkan suara yang hanya bisa didengar
olehnya.
Suasana begitu sepi, hanya Kayla seorang diri.
Sedan hitam Diego keluar dari ujung gang
beberapa menit kemudian. Tampak berjalan cukup
perlahan, menuju ke tempat Kayla berdiri. Mobil itu
berhenti satu meter di depan Kayla. Sorot lampu menerpa
seluruh tubuhnya, membuat Kayla menyipitkan mata
karena silau. Diego membuka pintu, mengeluarkan
sebuah payung dan mengembangkannya.
Laki-laki itu keluar dari balik kemudi dan bergegas
menghampiri Kayla.
“Kayla, kamu nggak apa-apa?”
138
Ia bertanya dengan agak keras, mengiringi suara
hujan yang semakin deras. Diego membagi payungnya,
melindungi Kayla dari air hujan, meskipun Kayla sudah
basah kuyup sejak tadi.
“Kayla?” Diego memegang bahu Kayla dan
mengguncang-guncangkan dengan lembut.
Ia tetap membisu, tak ada tanda-tanda hendak
menjawab pertanyaan kakaknya.
Diego menghela napas sedih, lalu membimbing
Kayla ke dalam pelukannya. Tatapan matanya begitu iba
memandang Kayla.
“Kita pulang,”
Kayla tetap tidak mengeluarkan kata-kata, tidak
berbicara apapun. Gadis itu hanya membalas pelukan
Diego, menikmati rasa aman yang menjalar diseluruh
tubuhnya. Ia tetap terisak di dalam pelukan laki-laki itu.
Tak sepatah katapun yang terucap dari mulutnya
ketika Diego menuntun dia berjalan ke arah mobil.
Pandangan Kayla mulai samar, semua terlihat semakin
gelap, dia merasa kepalanya sangat pusing dan berat.
Kayla pingsan sebelum berhasil masuk ke dalam
mobil.
“Kay!”
139
Wajahnya pucat, kulitnya terasa sangat dingin.
Diego membopong tubuh adiknya dan memasukkan ke
dalam mobil. Dengan sigap dia meletakkan tubuh Kayla di
jok depan dan melingkarkan sabuk pengaman.
Sesaat kemudian Diego sudah berada di balik
setir mobil dan menjalankan kendaraan itu menembus
hujan.
Sementara itu dari sebuah sudut gang, Andreas
memperhatikan kakak beradik itu dari dalam mobil. Ia
merasa begitu terpukul dan menyesal. Andreas
menjatuhkan kepalanya ke kemudi. Ia memejamkan mata
dan menghela napas.
Perlahan, Kayla membuka mata. Dengan
kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, ia
mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan tempat
dia berada saat ini. Beberapa menit kemudian Kayla baru
menyadari bahwa dirinya telah berada di kamarnya
sendiri.
Kejadian semalam kembali melintas dalam
ingatan Kayla. Perlahan, air mata mengalir membasahi
pipi. Perasaannya tidak menentu. Rasa kecewa, sakit hati,
140
marah, benci, dan rasa sayang menyatu dalam hatinya
saat ini.
Semua itu hanya untuk satu orang, Andreas,
orang yang dia cintai, dan orang yang telah membuatnya
kecewa.
Sayup-sayup, Kayla mendengar suara keributan
dari halaman rumah. Dengan hati-hati Kayla bangkit dari
tidurnya, ia merasa lemas saat mengangkat tubuhnya
sendiri. Sampai-sampai harus bersandar pada dinding
untuk melangkah ke jendela.
Sekilas, Kayla menoleh ke arah cermin, dia
mendapati wajahnya yang pucat pasi, kedua matanya
terlihat sayu.
Kayla menyingkap gorden jendela, melihat apa
yang tengah terjadi di luar. Matanya melihat Diego dan
Andreas di depan pagar rumah. Wajah kakaknya
menunjukkan amarah yang begitu besar, kedua
tangannya mengepal. Kayla dapat mendengar
percakapan kedua orang itu dengan jelas dari jendela
kamar.
“Brengsek! Apa maksudmu bikin Kayla seperti
itu?”
“Maafin aku, Di. Aku bener-bener nyesel. Aku
udah nyoba untuk cinta sama Kayla, tapi aku nggak bisa.”
141
Kayla terkesiap mendengar perkataan Andreas.
Ia menutup mulut menggunakan tangannya, mencoba
untuk tidak mengeluarkan suara. Tangisannya semakin
deras.
Dengan emosi yang meluap ia mengarahkan
kepalan tangan ke pipi kiri Andreas. Darah segar mengalir
begitu saja dari sudut bibirnya.
“Kamu sakit, Ndre,”
Andreas menggeleng, “Aku nggak sakit. Aku
sadar dengan apa yang aku rasain saat ini. Dan aku cuma
ingin kamu tahu, itu saja,”
“Karena kamu nggak bisa terima aku. Dulu aku
hanya ingin manfaatin Kayla untuk balas dendam sama
kamu, tapi perasaan Kayla yang tulus membuatku
kehilangan niat itu. Aku tidak tega. Aku menyesal,” ungkap
Andreas.
“Dasar brengsek, bajingan!” Diego kembali
mengarahkan pukulannya ke arah Andreas.
“Diego!” teriakan Rianti dari depan pintu
menghentikan tangan Diego tepat sebelum mendarat di
pipi Andreas.
“Diego, hentikan! Mama tidak pernah
mengajarkan kamu menjadi kasar seperti itu. Cepat
masuk,”
142
Diego menurunkan tangannya, matanya menatap
tajam ke arah Andreas
“Jangan dekati Kayla lagi, atau aku akan
menghajarmu lebih dari ini,” ancam Diego sebelum
melangkah masuk ke dalam rumahnya.
Andreas mengangkat wajahnya, melihat jendela
kamar Kayla di lantai dua.
Tatapan mata kayla terlihat penuh kekecewaan.
Rasa bersalah langsung memenuhi benak Andreas.
Kayla tak dapat menahan perasaannya saat
menatap Andreas. Ia menutup gorden jendela,
menghilangkan tubuh pemuda itu dari pandangannya.
Gadis itu menjatuhkan diri di lantai. Air mata terus
mengalir. Ia menelungkupkan wajah, merasakan sakit
yang teramat dalam.
Rianti berjalan mendekati Kayla yang masih
terduduk sambil memeluk lutut. Dia berjongkok, menyeka
air mata anak gadisnya. Membimbing Kayla berdiri dan
duduk di tepi ranjang.
“Ma,”
Rianti membelai rambut Kayla dari kepala hingga
ujung. Hatinya sangat terluka melihat putri bungsunya
menangis sedemikian rupa.
143
Ia mencoba menopang semua beban anak
gadisnya itu.
“Kayla kecewa, Ma. Kenapa Andreas sejahat itu
sama Kayla, Kenapa Kayla di kecewain seperti ini? Kayla
sayang sama Andreas tapi kenapa justru ini yang Kayla
dapat?”
Wanita itu diam mendengarkan curahan hati
anaknya. Sekuat tenaga ia berusaha mengontrol emosi,
walaupun sakit yang Kayla rasakan saat ini juga dapat
dirasakan olehnya. Rianti hanya berusaha untuk tidak
menunjukkan kesedihan di depan Kayla. Orang tua akan
mencoba kuat, dan memberikan kekuatan untuk anaknya,
Rianti melakukan itu saat ini.
“Apa salah Kayla sampai Kayla harus merasakan
sakit ini? Kayla benci Andreas, Ma. Kayla benci, benci!”
Tangisan gadis itu semakin dalam, menyayat hati
Rianti yang sejak tadi diam.
“Sayang, Allah maha mengetahui kemampuan
hamba-Nya. Tidak ada cobaan yang tanpa perhitungan-
Nya. Semua rasa sakit yang sedang kamu rasakan
sekarang, akan diganti dengan senyuman sama Allah
suatu saat nanti. Kamu harus ikhlas menerimanya,”
“Apa yang sedang terjadi padamu adalah salah
satu cara Tuhan untuk membuatmu dewasa. Lewati
144
masalah ini dengan sekuat kemampuanmu, Mama
percaya kamu akan menjadi wanita yang tangguh
setelahnya,”
Kayla menyandarkan kepala, mendengarkan
dengan seksama nasehat-nasehat yang diberikan
kepadanya. Kayla menyesal telah berbohong selama ini.
Hatinya semakin perih saat teringat tentang itu.
“Ma,”
Kayla mengangkat wajah, menatap wanita itu.
“Maafin Kayla udah sering bohong sama Mama.
Kayla selalu bilang kalau Kayla mengerjakan tugas. Tapi
sebenarnya Kayla pergi sama Andreas,” gadis itu
membuat pengakuan.
Rianti tersenyum penuh pengertian, “Semoga
setelah ini kamu lebih bisa memilih mana yang benar dan
mana yang tidak benar untuk dilakukan. Kita tidak belajar
kalau tidak melakukan sebuah kesalahan,”
“Kamu harus janji untuk tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan kemarin. Mama tidak pernah
mengajarkan anak-anak Mama untuk berbohong,”
Kayla mengangguk.
“Sekarang kamu istirahat dulu. Pulihkan kondisi
badanmu, juga perasaanmu. Mama selalu ada untukmu.”
145
Sekali lagi Kayla mengangguk dan merebahkan
diri di atas tempat tidur. Sebuah kecupan kembali
mendarat di keningnya.
Rianti menarik selimut dan menutup badan Kayla.
Lalu beranjak, membiarkan anak gadisnya untuk
menenangkan diri.
146
Lekas Sembuh, Kayla
Diego sedang duduk di samping ranjang di kamar
Kayla, sudah sejak lima belas menit yang lalu ia
menunggu adiknya yang masih tertidur pulas. Pukul
sembilan pagi, Kayla belum terlihat akan membuka mata.
Dengan tatapan prihatin Diego terus memandang
adiknya. Bibirnya tak sepucat kemarin, itu membuat Diego
sedikit lebih lega. Ia menopang dagu dengan tangan, satu
detik kemudian merapatkan selimut yang membiarkan
kaki Kayla tak sepenuhnya tertutup.
Diego mengelus kening Kayla, membuatnya
menggeliat. Selanjutnya dengan perlahan gadis itu
membuka mata, terjaga dari tidurnya.
“Kak,”
“Pagi, Kay. Maaf kakak membangunkanmu?”
“Ada apa, Kak? Pagi-pagi udah di kamar Kayla,”
Diego berdiri dari duduknya dan melangkah ke
arah meja belajar Kayla, “Kamu masih pusing?”
“Sedikit, tapi udah nggak apa-apa kok. Udah lebih
baik dari kemarin,”
“Syukurlah,”
“Kakak nggak kuliah?”
147
“Ntar siang kuliahnya. Kalau kamu butuh teman,
kakak nggak apa-apa kalau nggak berangkat kuliah.
Mama udah berangkat ke kantor,”
“Nggak perlu, Kak. Kak Diego kuliah aja, kan ada
bibi di rumah,”
“Kak, Kayla udah pengin sekolah lagi,” lanjutnya.
“Kamu kan masih sakit, buat istirahat dulu sampai
kamu bener-bener sembuh,”
Tanpa sengaja Diego menemukan foto Andreas
yang terselip diantara buku di meja Kayla. Laki-laki itu
melirik adiknya, lalu dengan geram ia meremas foto itu
dan melemparkannya ke tempat sampah.
“Maafin Kayla, Kak.”
“Maaf buat apa? Kamu nggak bikin salah apa-apa
sama Kakak. Kakak yang seharusnya minta maaf,” Diego
kembali duduk di samping adiknya.
Kayla menatap lurus ke depan, pandangannya
terlihat kosong. “Seandainya Kayla dengerin omongan
kakak waktu itu, pasti Kayla nggak bakal sampai kayak
gini,”
“Tentang Andreas?”
Kayla mengangguk, “Seandainya dulu aku nurut
sama kakak untuk nggak deket sama Andreas,
148
seandainya dulu Kayla nggak jatuh cinta sama Andreas,
pasti nggak bakal sesakit ini,”
Air mata mengalir dari kedua pipi Kayla, gadis itu
langsung menghapusnya.
“Kakak yang minta maaf ke kamu, Kakak nggak
bisa jaga kamu,” Diego terlihat begitu menyesal.
“Kakak tahu tentang Andreas, tapi kakak nggak
ngasih tahu kamu. Waktu itu kakak pikir nggak
sepantasnya kamu tahu kalo Andreas itu, gay,”
“Tapi ternyata apa yang kakak takutin justru
terjadi. Kamu bener-bener jatuh cinta sama Andreas, dan
dia cuma manfaatin kamu. Brengsek,”
Kayla merubah posisi duduknya di samping
Diego. Gadis itu menyandarkan kepala di bahu kakak laki-
lakinya. Diego menghela napas, mencoba menguasai
emosinya.
“Kemarin, kakak sudah menghajarnya, meski itu
sama sekali nggak sebanding dengan apa yang dia lakuin
ke kamu. Awas aja kalau kakak lihat dia lagi,”
Kayla memejamkan mata, mencoba menahan air
matanya agar tidak mengalir.
“Kayla tahu, kak Diego bener-bener sayang sama
Kayla. Tapi kakak nggak perlu sampai ngelakuin sejauh
149
itu. Kayla sadar itu untuk Kayla, tapi Kayla nggak pengen
liat kakak jadi kasar seperti ini,”
“Kayla udah nggak apa-apa sekarang, semua
sudah Kayla anggap selesei, Kak. Jangan diperpanjang
lagi dengan emosi.”
“Tapi,”
“Apa bedanya sama Andreas kalau Kak Diego
memakai kekerasan untuk membalas perbuatannya?
Sama-sama menyakiti, kan?”
Diego terdiam mendengar apa yang keluar dari
mulut Kayla. Beberapa detik kemudian senyum terlihat
dari bibirnya.
“Kamu benar, Kayla. Nggak sepantasnya kakak
sekasar itu,”
Diego menarik Kayla ke dalam pelukannya.
Arin berkunjung ke rumah Kayla sore harinya,
selepas pulang sekolah. Nampak Naga juga berada di
tempat itu. Mereka berdua sama-sama menunjukkan
wajah yang prihatin melihat kondisi Kayla yang masih
terbaring di tempat tidur dengan lemas.
“Cepet sembuh, Kay. Kita semua kangen sama
kamu,”
150
“Aku udah sembuh sebenernya. Tapi belum boleh
masuk sekolah sama Mama.”
“Kamu memang masih harus lebih banyak
istirahat. Jangan dipaksakan masuk sekolah dulu sebelum
bener-bener sembuh,” Naga ikut menyumbangkan
pendapatnya.
Kayla menatap Naga, pemuda itu terlihat semakin
kurus sejak terakhir kali ia melihatnya. Membuat batin
Kayla terasa getir. Naga tersenyum, seakan memberi tahu
bahwa semuanya baik-baik saja.
Kayla mengerti, dia membalas senyuman Naga.
“Bosen tau di rumah terus. Cuma tiduran aja
kerjaannya, ngelakuin ini nggak boleh, itu nggak boleh.
Padahal aku beneran udah nggak apa-apa, tapi masih
diperlakukan kayak orang sakit sama keluargaku,”
Arin tersenyum mendengar keluhan Kayla, “Ya
wajar aja lah mereka kayak gitu ke kamu. Kamu kan
hampir empat hari terbaring sakit. Beneran badanmu
panas banget kemarin, wajahmu juga pucat. Kita semua
jelas khawatir sama kamu,”
“Berlebihan deh,”
“Yee. Tanya Naga kalau nggak percaya,”
Naga mengangguk pasti.
151
“Arin bener kok, kamu kelihatan menyedihkan
sekali beberapa hari yang lalu,” ujarnya mencoba
bercanda.
Kayla tertawa kecil.
“Kan kemarin, sekarang aku udah ngerasa sehat.
Aku udah ketinggalan banyak pelajaran nih. Beberapa
bulan lagi kita ujian. Gimana coba?”
“Justru itu, kita kesini jenguk kamu sekaligus mau
ngajarin kamu tentang materi-materi yang udah diajarin di
sekolah. Kurang baik apa coba kita?”
“Iya deh, kalian emang temenku yang terbaik
pokoknya. Ya udah, cepet sini ajarin aku,”
“Kamu beneran udah nggak apa-apa? Takutnya
ntar otakmu belum bisa menerima pelajaran sekolah,”
“Meremehkan nih. Gini-gini aku juara kelas sejak
kelas satu lho.”
Ketiganya tertawa.
Justru seharusnya aku yang bertanya tentang
kondisimu, Naga. Kamu terlihat begitu tersiksa.
Arin mengambil beberapa buku dari dalam tas,
mulai menjelaskan materi pelajaran kepada Kayla yang
telah ketinggalan beberapa kali tatap muka. Sesekali
Naga membantu mereka berdua.
152
Naga melirik ke arah Kayla, ia merasa lega
melihat gadis itu sudah bisa ceria kembali.
Semoga aku masih punya waktu untuk melihat
senyummu, kalau perlu, memilikinya.
153
Do’a Untuk Naga
Kayla mulai berangkat kembali ke sekolah setelah
hampir satu minggu tidak masuk. Gadis itu menerima
sambutan sebuah senyum dari teman-teman sekolah
yang berpapasan dengannya di lorong.
Lagi-lagi ia harus dengan sabar menjelaskan
keadaanya kepada teman-teman satu kelas yang
langsung merubung. Dengan sabar Kayla melayani
pertanyaan mereka satu per satu.
Gadis itu terlihat senang dengan perhatian yang
ia dapatkan.
Bibirnya langsung menciptakan senyum ketika
kedua matanya menangkap sosok Arin yang terlihat
masuk ke dalam kelas. Sama halnya dengan Arin yang
langsung berteriak histeris begitu mendapati sahabatnya
sudah berada di bangku mereka.
Arin berlari menghampiri Kayla sambil tertawa.
Keduanya berpelukan dengan heboh.
“Akhirnya kamu masuk sekolah juga. Udah bosen
aku duduk sendirian terus. Apalagi kalau lagi istirahat,
kantin terasa sepi nggak ada kamu,” gadis itu meletakkan
tasnya di meja, ia masih berbicara dengan heboh.
154
Kayla tersenyum simpul, “Berlebihan ih, mana
ada kantin sepi. Apa lagi waktu istirahat,”
Arin mengamati sahabatnya itu lekat-lekat,
meneliti wajahnya, “Kamu beneran udah sembuh, kan?
Udah nggak ngerasa sakit lagi?”
“Aku bener-bener udah sembuh, Arin. Nggak liat
wajahku udah seger? udah cantik lagi,”
Arin mencibir, “Cantik apanya. Ada juga cantikan
aku,”
Kalimat itu membuat keduanya kembali tertawa,
beberapa siswa lainnya nampak tersenyum
memperhatikan mereka.
“Oke, fisiknya udah sembuh. Kalau hatinya
gimana?”
Gadis itu tertawa ringan, “Hatiku sudah sembuh
bahkan sebelum fisikku sembuh,”
“Aku udah nggak ngerasa kecewa lagi, nggak
ngerasa sakit hati lagi, nggak ngerasa sedih lagi.
Pokoknya aku sudah melupakan itu semua sekarang,”
lanjutnya.
“Asik, itu memang Kayla yang aku kenal. Salut
deh pokoknya,” Arin mengacungkan kedua jempol
tangannya.
155
“Ujian bentar lagi, dan aku juga harus mengejar
materi yang ketinggalan. Mending buat belajar deh, dari
pada mikirin yang nggak-nggak,” celoteh Kayla.
“Oh iya, aku ingat!”
Teriak Arin tiba-tiba, membuat Kayla sedikit
terkejut.
“Kenapa sih?”
“Naga pasti senang kalau tahu kamu udah
berangkat sekolah. Sebentar-sebentar,” Arin bangkit dan
setengah berlari menuju pintu.
“Mau kemana?”
“Ke kelas Naga,” suara Arin masih terdengar
sesaat sebelum tubuhnya melesat keluar.
Ia teringat Naga.
Ah, bagaimana kabarnya? Bagaimana juga
dengan penyakitnya?
Gadis itu menghela napas.
Kepalanya menoleh ketika suara langkah kaki
Arin dan Naga masuk ke dalam kelas bersama-sama.
Kayla mengamati Naga, laki-laki itu terlihat
semakin kurus. Dan meskipun masih tetap memasang
senyum yang sama, tetapi sekarang senyum itu muncul
dari sebuah bibir yang semakin terlihat pucat. Matanya
156
pun, pandangan itu seakan meredup, sedikit sekali
cahaya yang terlihat di sana.
Kayla merasa hatinya miris memandang
perubahan drastis dalam diri Naga.
Kayla dapat mendengar jelas bagaimana napas
Naga yang nampak begitu tersengal ketika ia sampai di
depan mejanya. Berbeda sekali, Naga sudah sering bolak-
balik mengunjungi dirinya dalam kelas ini, tidak pernah
terlihat selelah seperti saat ini.
Cepat sekali penyakit itu mempengaruhi kondisi
tubuh Naga.
“Selamat datang kembali di sekolah, Kayla,”
“Iya, Ga. Terima kasih,”
“Syukurlah kamu sudah bisa berangkat ke
sekolah lagi.”
Arin hanya mengamati keduanya dengan
tersenyum manis, ia telah banyak mendengar cerita Naga
tentang Kayla.
Bagaimana Kayla telah mencuri hati laki-laki itu,
tentang Naga yang merasa hancur ketika tahu Kayla telah
menjadi kekasih orang lain, dan bagaimana dirinya ikut
terluka ketika tahu Kayla telah disakiti oleh kekasihnya itu.
Arin telah mengetahui semuanya dari Naga sendiri.
157
Arin paham bagaimana senangnya hati Naga saat
ini setelah dia dapat bertemu kembali dengan Kayla di
sekolah. Arin sangat mengerti itu.
Senyum itu masih mengembang di bibir Naga.
“Sudah benar-benar sembuh, kan?”
Pertanyaan yang sama dari semua orang kembali
terdengar di telinga Kayla.
Kayla mengangguk.
“Baguslah, aku senang mendengarnya. Kamu
dapat salam dari malaikat-malaikat kecil itu. Mereka selalu
menanyakanmu. Pasti mereka merasa rindu ,” Naga
nampak bersungguh-sungguh ketika mengatakannya.
Malaikat-malaikat kecil?
Ah, Kayla juga merindukan mereka. Ingin sekali
rasanya melihat senyum tulus mereka lagi. Sudah lama ia
tak melihatnya. Hati Kayla langsung tertusuk, ia menatap
Naga. Apa keadaan mereka sekarang juga sama dengan
keadaan Naga yang ada di hadapannya saat ini?
“Iya, aku juga merindukan mereka,” ucap Kayla
setelah beberapa jenak terdiam.
“Bagaimana jika pulang sekolah nanti kita mampir
ke sana?” tawar Naga penuh semangat.
Kayla antusias, ia mengangguk dengan pasti.
Membuat Naga kembali tersenyum puas.
158
“Baiklah, nanti kita ke sana. Sekarang aku harus
kembali ke kelasku dulu, pelajaran hampir mulai,”
Kayla mengangguk, “Terima kasih, Ga.”
“Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk
meminta bantuanku,” ujarnya sebelum beranjak dari kelas
itu.
Kayla menatap punggung Naga, terlihat sangat
ringkih. Gadis itu memejamkan mata.
Arin duduk di sebelahnya, “Siapa yang dia
maksud dengan malaikat kecil?”
Kayla menoleh, kemudian menjawab pertanyaan
Arin. Menjelaskan bagaimana kondisi anak-anak itu,
bagaimana senyum-senyum dari mereka yang terasa
begitu tulus. Arin nampak sedih ketika mendengarkan
penuturan Kayla.
“Aku ikut kesana bersama kalian nanti,” pinta Arin
mantap.
Kayla mengangguk.
“Kay, ada yang ingin aku katakan kepadamu
tentang Naga,”
“Apa?”
Arin terdiam sejenak, terlihat sedang
mengumpulkan keberanian untuk mulai berbicara.
Menunjukkan apa yang hendak di katakannya adalah
159
sebuah masalah yang serius. Dengan sabar Kayla
menunggu sahabatnya mulai berbicara.
“Waktu kamu sakit dan tidak masuk kemarin, aku
mendapati Naga pingsan beberapa kali di sekolah. Ada
darah yang keluar dari hidungnya, mimisan. Kejadian itu
berulang beberapa hari,” Arin mulai bercerita.
“Apa kamu melihat raut wajahnya yang pucat
tadi?” tanya Arin, membuat Kayla mengangguk.
“Aku menyadari itu,”
“Iya, kita semua di sekolah ini menyadari
perubahan pada diri Naga. Tubuh itu sekarang terlihat
begitu kurus dan ringkih. Kay, apa kamu tau kalau Naga
menderita penyakit kanker?” Arin terlihat hati-hati ketika
menanyakannya. Matanya menatap Kayla penuh
kesedihan.
Kayla mengangguk lemah, “Naga pernah
menceritakannya kepadaku dulu. Aku sudah tahu tentang
penyakitnya,”
“Mungkin selama ini Naga butuh teman untuk
bercerita, berkeluh kesah tentang penyakitnya. Atau,
seseorang yang memberikan kekuatan untuknya dalam
menghadapi itu semua. Sayangnya kita tidak pernah
menyadari itu,”
160
“Iya, aku sangat menyesal dengan sikapku
kepadanya. Seharusnya aku tidak menilai Naga buruk
hanya karena kabar yang tidak benar. Aku sudah minta
maaf kepadanya,”
Kayla menghela napas, ia dan Arin sama-sama
terdiam. Larut dalam pikiran mereka masing-masing .
Wajah mereka terlihat muram.
Bel sekolah berbunyi, suasana kelas mulai riuh
dengan gelak tawa murid-murid yang bersiap untuk
mendapatkan pengajaran dari guru yang sedang
melangkah ke arah kelas mereka.
Semoga mukjizat Tuhan berpihak padamu, Naga.
Suasana kantin mendadak riuh oleh murid-murid
yang sedang menikmati jam istirahat di tempat itu.
Semuanya merubung di satu tempat. Sementara di lantai,
Naga terbaring tak sadarkan diri.
Kayla dan Arin menatapnya dengan wajah sangat
panik.
Beberapa siswa laki-laki berusaha membopong
tubuh Naga dan membawanya ke ruang UKS.
161
“Kita bawa ke rumah sakit saja,” perintah seorang
guru yang menyusul ke UKS setelah mendapat laporan
dari salah satu siswa.
Mereka serempak mengangguk.
Naga kembali dibopong, dipindahkan ke dalam
mobil Arin yang langsung melesat meninggalkan parkiran
sekolah. Kayla duduk di belakang, menjaga tubuh Naga
dari goncangan. Ia menyandarkan kepala laki-laki itu di
pundak. Rasa cemas masih mengganggunya.
Sementara dengan cepat Arin melajukan mobil
menuju rumah sakit.
“Kay, seberapa parah sebenarnya penyakit
Naga?” tanya Arin tanpa menoleh ke belakang,
konsentrasinya tak beralih dari jalanan.
“Aku nggak tahu. Naga nggak pernah mau
menjawab kalau aku tanya. Aku takut,” suara Kayla
terdengar parau.
“Kita berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa
dengannya,”
Dua orang perawat langsung keluar dan
mengangkat tubuh Naga dari dalam mobil. Mereka
bergegas membawa Naga ke dalam ruang ICU. Kayla dan
Arin berhenti di luar pintu, menunggu dengan cemas.
162
“Kay, kamu punya nomer telepon keluarganya
Naga?”
Kayla menggelengkan kepala untuk menjawab
pertanyaan Arin. Keduanya nampak bingung.
“Coba Heru, mungkin dia tahu,”
Kayla menyebutkan salah satu nama teman
sekelas Naga. Ia merogoh saku seragamnya, mengambil
ponsel untuk menghubungi nama yang baru saja ia
sebutkan.
Arin mengamati sahabatnya yang nampak
berbincang dengan seseorang. Sedetik kemudian Kayla
mematikan ponselnya.
“Dapet?”
Kayla mengangguk. Arin bernapas lega. Lalu
membiarkan Kayla kembali sibuk dengan ponselnya yang
ia tempelkan di teling kanannya.
“Halo, Assalamualaikum,”
“Maaf, apa benar ini nomer rumahnya Naga?”
Kayla masih berbicara dengan seseorang di seberang
sana.
Arin memperhatikannya dengan seksama.
“Maaf, Tante. Saya Kayla, teman sekolah Naga,”
“Naga, masuk rumah sakit, Tante. Dia pingsan di
sekolah,” lanjutnya dengan nada hati-hati.
163
“Iya, Tante. Sekarang Naga masih di dalam ruang
ICU, sedang mendapat perawatan dari Dokter,”
“Baik, Tante.”
“Mamanya Naga sedang kesini,” kata Kayla yang
melihat Arin sedang memandang ke arahnya dengan
penasaran.
“Syukurlah,”
Keduanya duduk di kursi yang tersedia di rumah
sakit itu. Mereka tertunduk dalam keadaan diam.
Menunggu Naga yang masih berada di dalam ruangan
ICU. Kayla merasa sangat takut.
Obrolan Terakhir
164
Sore itu Kayla duduk di bangku kayu taman, ia
tengah melihat gerombolan anak-anak yang sedang
bermain. Beberapa anak bermain bola, anak lainnya
sedang berkejar-kejaran, sebagian lagi sibuk mengejar
kupu-kupu yang terbang rendah diantara bunga-bunga
yang tumbuh dengan teratur.
Nampak orang tua mereka tengah mengawasi
gerak-gerik buah hatinya dengan seulas senyum. Kayla
turut tersenyum menyaksikan kegiatan sore hari yang
cerah itu.
Ia memandang langit yang berwarna jingga,
matahari yang sudah berada di barat hanya terlihat sedikit,
menyisakan riak-riak sinar yang tak lagi terlihat silau
seperti siang tadi. Awan beriringan perlahan. Burung-
burung sesekali terbang melintas.
Kayla selalu suka suasana yang seperti ini.
Damai, dan dia selalu merasa tenang.
Siluet seorang laki-laki terlihat dari kejauhan.
Kayla sangat hapal dengan gaya berjalan cowok
yang sedang melangkah ke arahnya. Bagaimana ayunan
tangannya saat berjalan, gerakan kakinya saat
melangkah. Semua benar-benar melekat dalam memori
otak Kayla. Beberapa waktu yang lalu, langkah laki-laki itu
165
masih beriringan dengan langkahnya, dan itu membuat
Kayla harus menahan luka.
Andreas berdiri di hadapan Kayla dengan napas
yang sedikit tersengal, bekas wajah tergesa-gesa
tergambar darinya. Ia menatap gadis itu dan memaksakan
senyum di bibir. Kayla membalasnya.
“Udah lama? Sori ya, telat,”
Andreas membuka percakapan di antara mereka,
ia duduk di sebelah Kayla.
“Nggak apa-apa. Aku aja yang datang lebih cepat
dari janji kita, pengen duduk lama disini,”
Andreas mengangguk. “Kamu apa kabar?”
Kayla menoleh ke arah Andreas, “Baik. Kamu
sendiri?”
“Aku juga baik. Cuma lagi sedikit flu, tapi nggak
masalah,”
Keduanya lalu terdiam, Kayla kembali beralih ke
arah anak-anak yang masih asik dengan mainan mereka
masing-masing, sesekali ia tersenyum menyaksikan polah
mereka. Andreas memandang Kayla.
“Kamu suka anak kecil ya?”
“Suka. Lihat mereka, nyenengin banget. Bebas,
belum punya pikiran apa-apa kecuali bermain. Mereka
selalu ceria, setidaknya itu yang aku lihat,”
166
“Melihat mereka bermain membuatku kangen
dengan masa kecil kita dulu. Waktu kecil, kita juga sering
bermain di sini kan? Aku, kamu, dan Kak Diego,”
“Dulu kita bertiga sering bermain bersama di
tempat ini. Memang belum sebagus sekarang. Tapi itu
nggak mengurangi keceriaan kita, kita tetap bisa tertawa,
berkejaran kesana kemari. Dan terkadang kita baru akan
pulang saat mama menyusul kita kesini, saat hari sudah
mulai gelap,”
Andreas mendengarkan cerita Kayla dengan
seksama. Ia tidak ingin menyela Kayla yang sedang
mengenang masa kecilnya, masa kecil yang pernah ada
dirinya di dalamnya. Saat ini, Andreas hanya ingin
mendengarkan Kayla bercerita.
“Kamu inget? Dulu aku jatuh dari ayunan itu,”
Kayla menunjuk sebuah ayunan yang terlihat tua dan
sedikit berkarat.
Andreas mengangguk,
“Tentu,”
“Waktu itu kakiku berdarah. Aku takut banget,
nangis sejadi-jadinya. Terus kalian berdua langsung
nolongin aku. Kamu dan Kak Diego gantian gendong aku
sampai rumah,” Kayla menghela napas sejenak.
167
“Dan kita semua dimarahin sama tante Rianti.
Diego yang dimarahin habis-habisan waktu itu,” potong
Andreas terbawa pembicaraan Kayla. Ia tertawa kecil.
“Aku kangen saat-saat itu,” ujarnya lirih.
“Maafin aku, Kay.”
Kayla menatap Andreas lekat, “Maaf kenapa?”
“Soal hubungan kita. Aku, kamu, dan Diego. Ini
semua salahku. Seandainya aku bisa seperti cowok lain,
pasti kita nggak bakal kayak gini,”
“Sejak kapan?”
“Maksudnya?”
“Sejak kapan kamu jadi seperti ini?”
Andreas terdiam beberapa saat sebelum
menjawab pertanyaan Kayla.
“Aku nggak tahu pasti sejak kapan aku seperti ini.
Mungkin sejak aku SMP. Kamu tahu bagaimana keadaan
keluargaku, Ayahku yang sampai sekarang belum pernah
aku lihat, dan ibuku yang setiap hari kerjaannya cuma
mabuk-mabukan sepulang kerja. Setiap kali dia mabuk
berat, yang dia lakukan adalah menyiksaku, entahlah,
mungkin itu pelampiasan atas semua masalah yang
terjadi padanya,” terang Andreas panjang.
“Aku mendapat pukulan dari ibuku setiap hari.
Setiap dia pulang kerja, meskipun aku nggak bikin salah
168
apa-apa. Mungkin karena aku anak haram, atau mungkin
aku memang bukan anak kandungnya,”
“Kamu nggak boleh ngomong seperti itu, Andreas,
bagaimanapun juga dia ibumu,” potong Kayla.
Andreas tersenyum sinis. “Itu semua bikin aku
trauma, yang selanjutnya menimbulkan kebencian.
Pertama aku benci ibuku sendiri, lalu entah kenapa aku
jadi benci semua wanita. Yang ada dalam pikiranku,
mereka semua sama seperti ibuku. Aku takut dengan
wanita,”
“Termasuk aku?”
Andreas tersenyum, “Kamu pengecualian. Lalu
perasaan itu datang, perasaan nyaman saat bermain
dengan Diego. Aku selalu tenang, selalu merasa nyaman
dan aman saat ada di samping Diego. Bisa di bilang,
Diego cinta pertamaku,”
Kayla cukup risih mendengar pengakuan Andreas
kali ini, ada perasaan marah dan kecewa dalam hatinya.
Namun Kayla lebih memilih untuk tidak menunjukkan
kepada Andreas. Ia hanya diam dan mendengarkan.
Andreas terlihat masih ingin mengatakan sesuatu.
“Aku tahu, kamu pasti kecewa. Bahkan mungkin
benci sama aku. Dan aku nggak akan maksa kamu untuk
maafin aku, karena aku tahu aku memang salah,”
169
“Kemarin, aku sempet ragu waktu mengajakmu
ketemu di tempat ini. Aku takut kamu masih marah dan
nggak mau ketemu aku. Tapi ternyata kamu mau datang
ke sini,”
Kayla mengangguk pelan, “Awalnya aku emang
benci banget sama kamu, bener-bener sakit banget waktu
aku tahu semuanya. Bahkan sampai sekarang pun rasa
kecewa itu masih ada,
“Tapi beberapa hari setelahnya, aku bisa lebih
menerima. Meski kadang rasa sakit itu masih ada, tapi tak
perlu dengan tangisan untuk menunjukkannya. Dan
menurutku, hak kamu untuk memilih jalan hidupmu
sendiri. Termasuk dengan pilihanmu sekarang,”
“Tapi sudahlah, itu bukan sepenuhnya salahmu.
Dan sedalam apapun penyesalan ini, hidup harus terus
berjalan, bukan? Walaupun dengan diriku yang sudah
tidak lagi utuh. Semoga kelak tetap ada laki-laki yang mau
menerima kondisiku,”
“Akan selalu ada orang yang mau menerima masa
lalu orang lain,”
Kayla mengangguk pelan.
“Semoga. Tapi, aku mohon banget sama kamu,”
Kayla memberi jeda pada kalimatnya.
“Jangan kakakku, ya,” lanjutnya serius.
170
Andreas terdiam. Kembali menutup muka dengan
kedua tangan. Ia menarik napas dalam-dalam dan
melepaskan dalam sekali helaan.
“Akan ku lakukan, Kayla,”
Kayla tersenyum puas.
“Dan aku juga punya satu permohonan ke kamu,”
tutur Andreas kemudian.
“Apa?”
“Kita, masih bisa berteman kan?”
Kayla bangkit, dengan telapak tangan ia
membersihkan bagian belakang celananya.
“Akan ku lakukan, Andreas,”
Kayla tersenyum dan melangkah pergi
meninggalkan Andreas yang menggeleng-gelengkan
kepala sambil tertawa kecil. Merasa sedikit lebih lega.
Yang Tak Mungkin Kembali
“Mau kemana, Sayang?”
Rianti yang mendapati anak gadisnya sedang
mematut diri di depan cermin, merasa penasaran.
171
“Mau ke rumah sakit, Ma. Jenguk Naga,”
Ia masih menyisir rambutnya yang lurus dan
berwarna hitam beberapa kali. Wajahnya telah terkena
make up seadanya yang ia poleskan sendiri.
“Temen sekolahmu yang sakit kanker itu?”
Kayla mengangguk.
“Bagaimana keadaannya sekarang?”
Kayla mendesah berat, raut wajahnya berubah
sedih. Tangannya berhenti menyisir rambut, Kayla
berbalik menatap Mama.
“Naga belum sadar, Ma. Dia masih koma. Padahal
ini udah dua hari sejak dia masuk rumah sakit,” jelas Kayla
dengan parau, kecemasan terdengar jelas dalam
kalimatnya.
“Mama ikut prihatin. Semoga temenmu itu bisa
lekas sembuh, Kayla. Kamu juga harus terus
mendoakannya,”
Kayla mengangguk lemah. Ia sudah
melakukannya setiap hari, bahkan mungkin setiap detik
Kayla lakukan untuk mendoakan Naga. Agar laki-laki itu
cepat tersadar dari tidur panjangnya, agar Kayla bisa
kembali melihat senyumnya yang dulu hampir setiap hari
ia lihat, senyum yang dulu sempat menyebalkan untuknya.
Entah kenapa sekarang Kayla merindukan senyum itu.
172
“Sama siapa ke rumah sakitnya?”
“Sama Kak Diego, Ma. Mama mau ikut?”
“Mama mau ada acara sendiri. Titip salam aja
buat orang tua temenmu itu, juga buat temenmu. Semoga
dia sudah siuman sekarang,”
Diego masuk ke kamar Kayla dengan penampilan
yang sudah siap untuk mengantar Kayla ke rumah sakit.
“Udah siap, Kay?”
Kayla mengangguk, ia meneliti sekali lagi
penampilannya di dalam cermin.
“Kita pergi dulu, Ma,”
“Hati-hati ya, Nak. Jangan lupa sampaikan salam
Mama buat mereka,”
Kayla mengangguk.
Beberapa menit kemudian keduanya telah melaju
menembus keramaian jalan. Kayla duduk dalam diam,
matanya menatap kosong ke arah jalanan yang mereka
lewati. Sangat terlihat bagaimana kecemasan masih
menggelayuti pikiran gadis itu.
Beberapa kali mata Diego menangkap Kayla
sedang menghela napas cukup dalam dan memejamkan
mata pada detik berikutnya.
173
“Kita berdoa saja semoga temenmu itu nggak
kenapa-kenapa. Jangan khawatir seperti itu, nanti kamu
malah ikut-ikutan sakit,”
Gadis itu menghela napas, “Nggak tahu kenapa
Kayla bisa sepanik ini, padahal dulu Kayla malah sempat
nggak suka waktu dia ngedeketin Kayla. Tapi banyak
kejadian yang kemudian menyadarkan Kayla bahwa Naga
itu orang baik,”
Diego mendengarkan penuturan adiknya dengan
seksama.
“Dan sekarang, saat Kayla ingin belajar tentang
arti hidup kepadanya,” Kalimat Kayla terpotong, lidahnya
tercekat. Gadis itu mencoba menelan ludah dengan
sedikit susah.
“Kayla takut dia pergi, Kak,”
Air mata mengalir begitu saja dari kedua matanya.
Punggung Kayla nampak bergetar.
“Kita berdoa saja untuknya, Kay.”
Mereka telah sampai di rumah sakit. Dengan
cekatan Diego memasukkan mobilnya diantara mobil-
mobil yang sudah terparkir lebih dulu di tempat itu.
Kemudian suara langkah kaki mereka mengisi lorong
rumah sakit.
174
Samar-samar terdengar suara tangisan yang
cukup membuat miris orang-orang yang mendengarnya.
Langkah mereka terhenti, terlihat ragu-ragu untuk
melanjutkan. Pikiran buruk langsung merasuk ke dalam
otak Kayla.
Diego menggenggam pundak adiknya, menyuruh
untuk terus maju, meyakinkan bahwa semua akan baik-
baik saja. Kayla membuka pintu dengan perlahan-lahan,
ia nampak sangat hati-hati ketika melangkahkan kakinya
masuk ke dalam.
Gadis itu tercengang, menutup mulutnya dengan
tangan.
Kayla membalikkan badan, berlari menuju Diego
yang juga nampak sedang menatap tidak percaya. Gadis
itu menyembunyikan tangis di dalam dada kakaknya.
Diego memeluk tubuh Kayla yang hampir merosot
ke lantai karena kehilangan kesadaran.
175
EPILOG
Kayla masih sibuk memasukkan baju-bajunya ke
dalam lemari. Ia memilih dan memisahkan baju-baju itu
sesuai dengan jenisnya. Kamar kos masih terlihat
berantakan oleh beberapa barang miliknya yang belum
selesai ia rapikan.
176
Hari minggu yang cerah ini di manfaatkan oleh
gadis itu untuk merapikan barang-barang agar tidak
berserakan di berbagai sudut. Baru dua hari Kayla
menempati kamar di sebuah kosan di salah satu sudut
kota Jogyakarta.
Ponselnya yang tergeletak di meja tiba-tiba
berdering, Kayla meraihnya dan menekan tombol
loudspeaker, ia berbicara sambil tetap merapikan baju.
“Assalamualaikum, Ma,”
“Waalaikumsalam. Lagi apa kamu, Sayang?”
suara Rianti terdengar dari dalam ponsel.
“Ini, Ma. Beresin kamar kos. Berantakan banget,
bikin nggak nyaman,”
“Pelan-pelan aja, kamu kan di situ baru dua hari.
Wajar kalau masih belum tertata. Oh iya, bagaimana
kondisi kosmu?”
“Nyaman kok, Ma. Anak-anaknya juga baik-baik
semua. Bikin betah jadinya,”
“Syukurlah kalau begitu. Kapan mau mulai
kuliahnya?”
“Hari Senin besok. Tapi paling baru OSPEK,
semacam pengenalan kampus, belum akan mendapat
kuliah. Kayla udah nggak sabar pengin ngerasain aktivitas
kampus,”
177
“Oh, gitu ya? Mama doain dari sini semoga lancar
semuanya.”
“Makasih, Mama.”
“Tapi Mama masih heran sama kamu, dulu pengin
banget kuliah di jurusan hukum, malah sekarang kuliah
kedokteran. Melencengnya jauh banget,”
Kayla tersenyum seakan Rianti dapat melihatnya,
“Kayla ingin menyembuhkan semua jenis penyakit di
dunia, Ma. Biar nggak perlu lagi ada orang yang
menderita,”
“Ya sudah kalau gitu, dilanjutin dulu aktivitasnya.
Mama juga mau pergi sama kakakmu. Jaga diri di sana
ya, sayang.”
“Iya, Ma. Pasti. Assalamualaikum”
Percakapan berakhir. Kayla terus melanjutkan
aktivitasnya. Kembali memasukkan baju ke dalam lemari.
Gadis itu nampak bersemangat melakukan kegiatan hari
minggunya.
Kayla mengambil sepotong baju dari dalam koper
berwarna merah marun. Ia nampak tercengang ketika
mendapati sebuah buku di bawahnya. Sedetik kemudian
senyum mengembang di bibir tipisnya.
“Buku tahunan sekolah kenapa bisa ada di sini?
Padahal aku tidak merasa memasukkannya. Ah, paling
178
Kak Diego yang iseng. Ada-ada aja dia,” Kayla berbicara
dengan dirinya sendiri.
Kayla mengambil duduk di tepi ranjang. Gadis itu
mendapati nama-nama dan gambar guru sekolahnya
terpampang pada halaman pertama, gadis itu mulai
bernostalgia dengan masa sekolah yang pernah dia lalui.
Kemudian membuka lembar berikutnya, gambar adik-adik
angkatannya yang berbaris rapi sesuai dengan kelasnya
menjadi isi pada halaman itu.
Tiba-tiba hatinya merasa sangat rindu dengan
suasana sekolah.
Kayla menatap lebih lama pada halaman
berikutnya, sebuah gambar wajah seorang laki-laki yang
sangat dia kenal, wajah dengan senyuman yang sampai
sekarang masih sering Kayla rindukan.
Gambar wajah Naga menghiasi halaman khusus
tersebut, di bawah sebuah tulisan yang merangkai kalimat
‘IN MEMORIAM’, sebagai penghormatan kepada dirinya
yang harus lebih dahulu meninggalkan sekolah,
meninggalkan teman-teman kelasnya, meninggalkan
guru-gurunya, dan, meninggalkan Kayla.
Sudah enam bulan berlalu sejak kematian Naga,
kehidupan Kayla kembali berjalan dengan sewajarnya.
Kayla lulus ujian dengan nilai yang memuaskan, kemudian
179
mendaftar pada salah satu perguruan tinggi di kota
Jogyakarta, mengambil jurusan Kedokteran.
Kejadian yang menimpa Naga dan dirinya telah
merubah jalan hidup gadis itu.
Ia telah bertekad untuk membantu semua orang
yang sakit.
Kayla mengelus wajah Naga di dalam gambar,
seketika rasa rindu kembali merasuk ke dalam hatinya.
Kayla merasa sangat kosong, ia merindukan seseorang
yang sudah tidak mungkin lagi datang menemui untuk
mengobati rasa rindunya.
Gadis muda itu tersenyum getir.
Sebenarnya, aku ingin melihat senyummu sekali
lagi. Senyum yang benar-benar memberikan ketenangan,
namun terlambat aku sadari.
Tetapi sudahlah, aku tidak berharap kamu
kembali, kenangan darimu sudah cukup untuk mengobati
rindu ini. Aku hanya berharap kamu tenang di sisiNya.
-end-
180
Persembahan Untuk yang Tercinta
Alhamdulillahirrobbil alamin,
Kalimat terima kasih paling pertama selalu saya
persembahkan kepada Alloh SWT untuk segala nikmat
serta inspirasi yang terus mengalir tanpa henti. TanpaMu
aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Nabi
Muhammad SAW, rasululloh yang kurindukan, yang tak
henti-henti menjadi panutan bagi umatnya.
Untuk ibu Siti Khomsiyah yang selalu mendukung
dan tidak pernah melupakan doa-doa untuk anak
keduanya ini, doa darimu membuat segalanya menjadi
181
semakin mudah. Istriku, Afrida Rachma Primadia, wanita
hebat yang terus menemani dan memberikan motivasi.
Juga bujang lanang Alfarezqi, teman ngobrol terbaik
walaupun pemilihan diksimu masih sulit dipahami.
Tumbuh lah dengan bahagia. Juga kedua saudaraku,
Tabah Setiadi dan Titis Setiadi.
Yang paling berharga, para pembaca sekalian
yang telah menyempatkan waktu untuk menikmati dan ikut
merasakan setiap cerita dalam buku ini.
Salam sahabat,
The Teacher Baper
Tentang Penulis
Mempunyai nama lengkap Tegar Setiadi Dwi
Amrulloh, tetapi lebih memilih Tegar Setiadi untuk menjadi
nama pena. Lahir di Purwokerto pada tanggal 17 Juli, laki-
laki yang juga berprofesi sebagai guru olahraga ini
182
mendapat julukan The Teacher Baper dari orang-orang
disekitarnya karena suka menulis kalimat-kalimat yang
menyentuh perasaan.
Mempunyai mimpi menerbitkan buku sejak kecil,
penulis baru bisa merealisasikannya setelah berkali-kali
mencoba dan bertahun-tahun menunggu.
Karya-karyanya yang sudah diterbitkan
diantaranya adalah Novel solo: Cinta Dalam Telepon
Kaleng (Bhuana Sastra, 2017), Destiny (Bhuana Sastra,
2018), Rumah Harapan (Bhuana Sastra, 2019), Ketika
Rindu (Bhuana Sastra, 2019). Sebuah Antologi dengan
para alumni Workshop Writerpreneur yang diadakan oleh
Bekraf berjudul Antargata (Bitread, 2019). Juga sebuah
novel duet berjudul Beautiful Melody (Guepedia, 2020).
Tegar Setiadi bisa dijumpai melalui akun sosial
medianya, Instagram: tegarrsetiadi, twitter: tegarrsetiadi
dan juga facebook: Tegar Setiadi.