32
A. Pendahuluan Dua pertiga dari permukaan bumi berupa lautan, dan lebih dari 150 negara yang ada di dunia adalah negara pantai dan atau negara kepulauan. Hal ini memberikan pemahaman atas suatu fakta, bahwa kehidupan manusia di dunia baik menyangkut kesejahteraan dan keamanan, dan dalam hubungannya antar bangsa-bangsa di dunia, tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kelautan atau lingkungan maritim. Oleh karenanya, tujuan nasional sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, yang secara spesifik dijabarkan oleh masing-masing negara ke dalam tujuan politik, ekonomi dan militer, akan sangat dipengaruhi oleh fenomena kemaritiman dunia. Fenomena kemaritiman dunia dari waktu ke waktu selalu berubah seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas bagi bangsa-bangsa di dunia menyangkut upayanya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, dan keamanan wilayah teritorialnya. Lebih-lebih lagi bagi negara pantai atau negara kepulauan seperti Indonesia, segala upaya yang dilakukan akan bermuara pada upaya untuk memperkuat Kekuatan Maritimnya, dalam rangka melaksanakan Strategi Maritim untuk Pertahanan dan Keamanan Negara. Memperkuat Kekuatan Maritim bagi bangsa Indonesia merupakan amanat dari Undang-Undang, yaitu Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Undang- Undang No.3 / 2002 tersebut secara jelas mengamanatkan perubahan mendasar terhadap doktrin maupun konsepsi dasar pertahanan negara Indonesia. Pasal 3 ayat 2 UU. No.3 / 2002 menyatakan, bahwa Pertahanan Negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Hal itu berarti, bahwa strategi apapun yang dilakukan

Wawasan Kemaritiman I

  • Upload
    heruyan

  • View
    117

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tentang kemaritiman

Citation preview

Page 1: Wawasan Kemaritiman I

A. Pendahuluan

Dua pertiga dari permukaan bumi berupa lautan,  dan lebih dari 150 negara yang ada di dunia adalah negara pantai dan atau negara kepulauan.    Hal ini memberikan pemahaman atas suatu fakta,  bahwa kehidupan manusia di dunia baik menyangkut kesejahteraan dan keamanan,  dan dalam hubungannya antar bangsa-bangsa di dunia,  tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kelautan atau lingkungan maritim. Oleh karenanya,  tujuan nasional sebagian besar bangsa-bangsa di dunia,  yang secara spesifik dijabarkan oleh masing-masing negara ke dalam tujuan politik,  ekonomi dan militer,  akan sangat dipengaruhi oleh fenomena kemaritiman dunia.

Fenomena kemaritiman dunia dari waktu ke waktu selalu berubah seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.   Hal ini menimbulkan implikasi yang luas bagi bangsa-bangsa di dunia menyangkut upayanya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya,  dan keamanan wilayah teritorialnya.    Lebih-lebih lagi bagi negara pantai atau negara kepulauan seperti Indonesia,  segala upaya yang dilakukan akan bermuara pada upaya untuk memperkuat Kekuatan Maritimnya,  dalam rangka melaksanakan Strategi Maritim untuk Pertahanan dan Keamanan Negara.

Memperkuat Kekuatan Maritim bagi bangsa Indonesia merupakan amanat dari Undang-Undang,  yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.    Undang-Undang No.3 / 2002 tersebut secara jelas mengamanatkan perubahan mendasar terhadap doktrin maupun konsepsi dasar pertahanan negara Indonesia.    Pasal 3 ayat 2 UU. No.3 / 2002 menyatakan,  bahwa Pertahanan Negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan.    Hal itu berarti,  bahwa strategi apapun yang dilakukan untuk melakukan upaya Pertahanan dan Keamanan negara,  harus bertumpu kepada Strategi Maritim.

Page 2: Wawasan Kemaritiman I

B. Upaya Peningkatan dan Pemeliharaan Pertahanan dan Keamanan Wilayah Dalam Kerangka Diplomasi Perbatasan Maritim Indonesia.

Dalam literatur Hubungan Internasional, masalah teritorial merupakan salah satu penyebab klasik munculnya konflik antarnegara dan menjadi ancaman konstan bagi perdamaian serta keamanan internasional Ketidakjelasan batas teritorial, salah satunya, menjadi faktor laten penyebab munculnya sengketa perbatasan yang akan mengganggu stabilitas hubungan antarnegara. Bahkan negara-negara bertetangga yang menikmati hubungan paling bersahabat pun rentan mengalami konflik berkepanjangan jika tidak mengetahui secara persis lokasi perbatasan mereka baik darat maupun laut. Hal ini diakibatkan oleh ketidakjelasan akan menimbulkan klaim tumpang tindih teritorial yang akhirnya bermuara pada sengketa dan konflik perbatasan.

Dalam konteks Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 km dan memiliki wilayah perbatasan dengan 10 negara, baik darat maupun laut, perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah negara, dimana mempunyai nilai penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam,  peningkatan keamanan dan keutuhan wilayah.

Letak geografis Indonesia yang berbatasan dengan 3 negara di wilayah darat dan 10 negara di wilayah laut mengharuskan Indonesia untuk menyelesaikan perjanjian perbatasan antarnegara, terutama untuk segmen-segmen perbatasan negara yang belum disepakati. Salah satu agenda utama Pemerintah Indonesia adalah memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui delimitasi dan demarkasi wilayah dengan negara-negara tetangga dalam konteks diplomasi perbatasan (border diplomacy). Kontribusi diplomasi perbatasan Indonesia tidak hanya berdampak dalam skala multilateral akan tetapi dalam kerangka bilateral.

Dalam skala multilateral, perjuangan diplomasi perbatasan Indonesia sejak tahun 1958 berhasil mengukuhkan status Indonesia sebagai negara kepulauan secara internasional dalam prinsip hukum laut United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) pada tahun 1982. Sebelumnya, batas laut wilayah negara kepulauan hanya 3 mil laut dari titik pulau terluar. Namun, dengan diterimanya prinsip negara kepulauan maka laut-laut di tengah kepulauan Indonesia bukan lagi dianggap sebagai perairan internasional, melainkan sebagai laut pedalaman. Dengan demikian, keberhasilan mengukuhkan kesatuan wilayah daratan dan lautan NKRI di mata dunia tidak terlepas dari kontribusi diplomasi perbatasan.

Page 3: Wawasan Kemaritiman I

Jika ditinjau dari kerangka bilateral, hingga November 2010, Indonesia telah menetapkan batas dengan tujuh negara meskipun belum sepenuhnya tuntas. Batas maritim sudah ditetapkan sejak tahun 1969 dengan Malaysia dan dengan Vietnam tahun 2003. Selain itu, Indonesia telah menetapkan batas maritim dengan India, Thailand, Singapura, Papua Nugini, dan Australia. Meski demikian, hingga saat ini Indonesia belum menyepakati satupun batas maritim dengan Filipina, Palau, dan Timor Leste. Perundingan dengan Filipina sedang berjalan, sementara itu penjajakan dengan Palau sudah dilakukan setelah dibentuknya kantor perwakilan Indonesia di negara tersebut tahun 2007. Sedangkan dengan Timor Leste, Indonesia masih harus berkonsentrasi pada penyelesaian batas darat yang sudah mencapai 97% dari total batas darat yang harus didemarkasi. Terakhir dengan Singapura, Indonesia telah menyelesaikan perjanjian delimitasi laut teritorial di 2 segmen baik tengah tahun 1973 dan barat (Nipah-Tuas)  tahun 2009 di Selat Singapura.

Sejumlah keberhasilan Indonesia dalam proses diplomasi di atas menunjukkan bahwa diplomasi perbatasan maritim menjadi sebuah preseden yang baik dalam penguatan konsepsi wawasan nusantara guna menjaga dan memelihara keamanan dan pertahanan wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan oleh:

Diplomasi perbatasan menjadi sebuah ujung tombak penegakan kedaulatan NKRI;

Diplomasi perbatasan menjadi jembatan penghubung konsep politik luar negeri Indonesia dalam persepsi “pemeliharaan kepentingan nasional” dan juga pemeliharaan hubungan bertetangga yang baik;

Diplomasi perbatasan maritim memberikan sebuah keterjaminan realokasi dan pengembangan SDA perairan dan kelautan;

Diplomasi perbatasan adalah sebuah kunci menuju manajemen wilayah perbatasan dan penguatan sistem pertahanan melalui soft diplomacy

Dalam konsep kekinian, terutama arus globalisasi yang mengaburkan konsep-konsep perbatasan suatu negara, sebuah agenda dan tugas besar bagi Indonesia untuk tetap memelihara dan menjaga patok-patok perbatasan, khsusunya perbatasan maritime dengan negara tetangga. Seperti yang diungkapkan oleh Robert Frost “good fences make good neighbors” nyatanya sejalan dengan konsep politik luar negeri Indonesia yang mengutamakan konsep “good neighbor policy”. Sejumlah perundingan dan negosiasi baik bilateral, trilateral dan multilateral digagas untuk melindungi keutuhan NKRI di samping isu ‘sengketa’ wilayah antara Indonesia-Malaysia di wilayah Camar Bulan, Delimitasi Batas Laut teritorial dengan sejumlah wilayah baik SIngapura, Filipina dan Timor Leste.

Page 4: Wawasan Kemaritiman I

Metode dan Platform diplomasi perbatasan maritim yang digagas oleh Indonesia yang disampaikan oleh wamenlu adalah sebagai berikut:

Indonesia bernegosiasi dengan negara-negara tetangga untuk menyelesaikan masalah perbatasan. Pemerintah akan menyelesaikan masalah tersebut melalui dialog dan perundingan yang terjadual

Indonesia membentuk komite perbatasan bersama dan komite perbatasan umum sebagai kerangka penyelesaian masalah lintas perbatasan. Komite-komite ini juga memfasilitasi aktifitas sosio-ekonomi masyarakat di perbatasan.

Indonesia mempercepat pembangunan sosial dan ekonomi di wilayah perbatasan melalui penguatan koordinasi antar lembaga. Pemberdayaan masyarakat, akan mengurangi kesenjangan sosio-ekonomi antar masyarakat di perbatasan.

Pemerintah terus meningkatkan kapasitas domestik dari aspek keselamatan navigasi hingga keamanan maritim. Dari perlindungan lingkungan maritim hingga pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam negosiasi multilateral isu-isu maritim dan hukum laut. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan pelaksanaan Konvensi PBB tahun 1982 mengenai Hukum Laut. Partisipasi itu, juga diarahkan untuk menyelesaikan isu-isu maritim terkini seperti pembajakan, dampak perubahan iklim terhadap laut, eksploitasi sumber-sumber genetik dan perlindungan maritim.

Diplomasi preventif Indonesia untuk menciptakan saling percaya dan menghindari konflik. Upaya preventif ini dilakukan melalui serangkaian pertemuan para pakar dan ilmuwan guna membahas isu-isu maritim seperti Laut China Selatan. Selain itu, juga melalui pembentukan Pertemuan antar sesi ARF mengenai Keamanan Laut dan Forum Martitim ASEAN.

Sebuah diplomasi perbatasan menjadi bridge bagi persatuan dan kesatuan serta kekokohan wilayah suatu negara. Diplomasi perbatasan yang dimulai dari alokasi, delimitasi dan demarkasi wilayah akan menjadi road map pembangunan wilayah sekaligus pengembangan sektor-sektor kewilayahan, khususnya wilayah maritim menuju manajemen dan pemeliharaan wilayah perbatasan.

C. TNI AL Sebagai Pionir Kebangkitan Spirit Maritim

Sebagai pengawal terdepan penjaga kedaulatan NKRI, TNI AL harus mampu menunjukkan bahwa kekuatannya mampu menanggulangi seluruh gangguan terhadap wilayah Indonesia. Kekuatan dan keunggulan utama TNI AL

Page 5: Wawasan Kemaritiman I

akan dinilai dari kiprah-kiprah satuan operasional Armada dalam menjamin kepentingan nasional di laut. Jika hal ini secara tuntas dapat dilaksanakan maka impian menjadikan TNI AL sebagai aset pertahanan nasional yang mumpuni telah menemukan jalurnya.

Pada abad XIV dunia barat diramaikan dengan teori Copernicus, heliocentric system, yang menyatakan bahwa bumi bulat. Banyak kalangan memperdebatkan teori ini, termasuk para otoritas gereja yang meyakini bumi datar. Christopher Columbus yang juga meyakini bahwa bumi berbentuk bola kecil beranggap sebuah kapal dapat sampai ke timur melalui jalur barat. Dia kemudian menjelajah Samudra Atlantik dan tiba di benua Amerika pada tanggal 12 Oktober 1492. Meskipun sebelumnya orang-orang Viking telah lebih dahulu tiba di Amerika Utara pada abad ke 11, namun sampai 6 abad kemudian klaim Columbus sebagai penemu benua Amerika tak tergoyahkan.

Bumi bulat juga diyakini Ferdinand Magellan yang kemudian membuktikannya dengan berlayar dari Eropa ke barat menuju Asia dengan maksud mengelilingi bola dunia dan menjadi orang Eropa pertama yang melayari Samudra Pasifik. Meskipun dia tewas terbunuh di Filipina, tim ekspedisinya berhasil menyelesaikan misi mengelilingi bola dunia dan kembali ke Spanyol tahun 1522. Tahun 1498 Vasco da Gama mengarungi samudera Atlantik untuk meneruskan misi Bartolomeus Dias yang hanya sampai Tanjung Harapan dan berhasil mendarat di India.

Temuan jalur ini membuka rute antara Eropa dan India serta Timur Jauh yang kemudian membawa peningkatan ekonomi luar biasa bagi masyarakat Eropa, sekaligus berakibat kemunduran luar biasa bagi pedagang-pedagang Muslim yang semula menguasai jalur tersebut. India yang sebelumya wilayah terpencil dan hanya menjalin hubungan ke Asia Tenggara, segera menjadi wilayah penting dalam perdagangan Timur - Barat. Cara Barentz berbeda lagi, dia ingin mencapai Asia dengan keliling bumi melalui Utara. Sayangnya ekspedisi Barentz terhenti karena sesampai di Kutub Utara air laut membeku. James Cook melakukan langkah serupa tetapi kearah selatan dan pada tahun 1770 dia berhasil mendarat di Australia sehingga dia dianggap sebagai penemu Benua Australia.

Dari rentetan berbagai penjelajahan laut ini menjadi gambaran bahwa para pelaut mempunyai kontribusi besar terhadap perkembangan peradaban dunia. Hal-hal yang sebelumnya sebatas ilusi dan teori-teori di lembaran buku, di tangan para pelaut menjadi empiris. Tanpa pelaut mungkin agama Hindu - Budha hanya akan menjadi agama eksklusif orang-orang India, agama Kristen hanya milik orang Jerusalem, agama Islam hanya milik orang Mekah-Madinah. Namun oleh para

Page 6: Wawasan Kemaritiman I

pelautlah kitab-kitab suci “berbunyi” dan menjadi penggerak dinamika kehidupan di muka bumi. Kaum pelaut tidak hanya menjadi penggubah dan pengubah sejarah, tetapi sekaligus penyebar seruan.

Penjelajahan para pelaut juga tidak sebatas pengembaraan saja tetapi juga meninggalkan berbagai catatan sejarah penting. Jika Marcopolo tidak menceritakan dan membuat catatan penjelajahan ke Asia, mungkin orang Eropa akan lebih lama terkungkung dalam kegelapan. Jika I-tsing tidak membuat catatan dalam kunjungan ke Sriwijaya, mungkin sejarah nusantara pertama itu hanya akan terdengar sayup-sayup. Jika Mattiussi tidak meninggalkan catatan dalam perjalanannya ke Jawa, mungkin sedikit yang diketahui tentang sejarah perang Singasari - Mongol. Juga dengan pentingnya catatan penjelajahan Laksamana Cheng Ho ke wilayah Nusantara yang sempat berkunjung ke Majapahit pada masa Wikramawardhana, hal itu memperkaya literatur sejarah kejayaan para pendahulu kita. Tanpa wawasan maritim Gajahmada, mungkin saat ini tidak ada Wawasan Nusatara. Tanpa pembangunan kekuatan maritim dan para pelaut tangguh seperti Laksamana Nala, mungkin wilayah nusantara akan menjadi jarahan bangsa Mongol yang masih bersikeras membalas dendam atas perlakuan Kertanegara dan kekalahan dari Raden Wijaya. Oleh otot dan pena para pelaut, sejarah itu diuntai sehingga tersambung menjadi rentetan benang merah perjalanan dunia. Bayangkan, tanpa kegigihan para pelaut mungkin peradaban bumi akan bergerak sangat lamban.

Melihat bagaimana pelaut menorehkan sejarah panjang di muka bumi, maka selayaknyalah para pelaut Indonesia bangga telah menjadi bagian masyarakat penggerak peradaban dunia. Bahkan tidak hanya dimuka bumi, peran pelaut dalam mendorong peradaban menjamah hingga luar angkasa. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Neil Armstrong, astronot pertama yang mendarat di bulan adalah perwira US Navy. Amstrong yang meninggal pada 25 Agustus lalu telah menerima 20 medali pertempuran. Peran pioner pelaut dalam mendorong peradaban tidak lepas etos-etos pelaut yang melekat kuat dan menjadi nyawa bagi terbentuknya budaya kelautan, seperti inklusif, berani, tangguh, kuat, disiplin, pantang menyerah, solidaritas tinggi, dan respek. Budaya-budaya seperti inilah yang saat ini langka di Indonesia. Budaya penjelajah samudra sebagaimana nenek moyang Nusantara yang mampu menyeberangi Samudra Hindia hingga mencapai Afrika pada abad ke 5 SM, telah lama rapuh.

Saat ini, meskipun mayoritas masih sebatas wacana, keinginan untuk membangkitkan dunia maritim Indonesia kembali bergairah. Lahirnya Wawasan Nusantara di tahun 1957 tidak lepas dari kesadaran maritim para pemimpin bangsa kala itu. Kegagalan Indonesia menjadi negara agraris menggiring sektor

Page 7: Wawasan Kemaritiman I

laut kembali mengemuka, terlebih dengan lahirnya lapisan masyarakat yang aktif berkampanye pentingnya kembali ke semangat maritim dan budaya maritim. Belajar dari berbagai negara maju seperti China, Jepang, Korea Selatan yang mampu unggul dengan berpijak pada budaya adi luhung mereka, maka bangsa inipun sebenarnya bisa melakukan hal serupa dengan budaya unggul kita yang sudah terbukti pernah membawa kejayaan, yaitu budaya maritim.

Beberapa contoh budaya maritim yang apabila diaplikasikan dalam etos hidup keseharian dapat menjadi budaya unggul kita misalnya ketaatan mutlak pelaut terhadap peraturan diatas kapal yang tidak terbantahkan, ini tentu akan mendorong kedisiplinan warga terhadap peraturan yang berlaku sehingga tidak perlu ada suap menyuap dan korupsi. Sikap respek terhadap atasan dan sesama awak kapal, jika diaplikasikan dalam keseharian akan menjadi perekat bagi keselarasan hidup berbangsa dan bernegara. Sifat berani, pantang menyerah, siap bekerja keras dan keinginan kuat mencapai hasil terbaik yang merupakan sikap yang telah terpatri bagi tiap pelaut, apabila diaplikasikan akan menciptakan budaya sukses bagi tiap warga bangsa. Pentingnya kehormatan bagi pelaut juga dapat menjadi contoh bagi setiap warga negara untuk menciptakan budaya malu dan hidup lebih beretika. Sendainya spirit maritim ini menjadi nafas bagi bangsa ini, Indonesia akan menjadi bangsa unggul dan tidak lagi menjadi budak bangsa asing.

Untuk mentransformasikan ini kita membutuhkan pelopor, terutama dari kaum pelaut sendiri terutama TNI AL. Keluarga besar TNI AL harus mampu menjadi role model bagi bangkitnya budaya maritim dengan cara menunjukkan etos dan perilaku maritim sehingga mampu menjadi insipirasi bagi setiap warga bangsa. Untuk dapat menjadi role model TNI AL harus kuat dan tangguh dan ini merupakan keniscayaan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Sebuah benua maritim tentu membutuhkan kekuatan maritim yang besar berikut berbagai atributnya. Tentu agak sulit untuk kembali membangun kekuatan TNI AL seperti pada era 1960-an, karena selain membutuhkan anggaran yang besar juga perlu waktu yang lama. Tugas yang diemban TNI AL sangat berat sehingga harus dibekali infrastruktur yang memadai.

Untuk menjaga lebih dari 17 ribu pulau yang terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudera Hindia dan Pacific dengan panjang pantai 95.181 kilometer dan luas lautan 5.866.165 Km2 tentu membutuhkan sumber daya yang luar biasa. Geostrategis Indonesia yang merupakan silang dua samudra besar dan merupakan alur laut tersibuk di dunia menjadikan tantangan tersendiri bagi pembangunan kekuatan laut Indonesia. Belum lagi dengan dinamika pertahanan kawasan yang setiap saat dapat mengancam kedaulatan negara, seperti kebijakan pertahanan

Page 8: Wawasan Kemaritiman I

Australia AMIS 2005 (Australia’s Maritime Identification System) sejauh 1000 mil (1850 Km) yang berarti memasukkan wilayah ZEE Indonesia sebagai zona penangkal dalam satu waktu dapat saja menyulut sengketa. Juga dengan kebijakan USA tentang seapower protects (the American way of life) dengan strateginya A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower yang implementasinya telah mengepung wilayah Indonesia dengan penempatan armada di Darwin, Singapura dan Philipina.

Berbagai kalangan berpendapat bahwa ancaman perang konvensional sudah berkurang, namun menilik dari belanja pertahanan laut negara-negara Asia Pasifik selama sepuluh tahun terakhir yang mencapai US $ 108 milyar bukanlah sebuah khabar baik. Pada masa ini ada sekitar 841 kapal baru yang siap beroperasi, 83 diantaranya adalah kapal selam, yang akan bertebaran di wilayah Asia Pasifik. Tebaran kekuatan laut negara-negara tetangga dapat segera menjadi ancaman apabila masalah perbatasan maritim Indonesia dengan negara tetangga tidak segera dituntaskan. Konfigurasi kekuatan laut kawasan inilah yang akan menjadi batu ujian yang sangat berat bagi TNI AL sehingga keberadaan armada tangguh mutlak harus. Tidak tuntasnya penanganan berbagai gangguan terhadap kedaulatan maritim Indonesia seperti pembajakan, pencurian ikan, pembuangan limbah oleh kapal asing, trafficking, penyelundupan narkoba, nelayan pelintas batas hingga persengketaan perbatasan dengan negara tetangga sedikit banyak akan mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap TNI AL. Sebagai pengawal terdepan penjaga kedaulatan NKRI, TNI AL harus mampu menunjukkan bahwa kekuatannya mampu menanggulangi seluruh gangguan terhadap wilayah Indonesia. Kekuatan dan keunggulan utama TNI AL akan dinilai dari kiprah-kiprah satuan operasional Armada dalam menjamin kepentingan nasional di laut. Jika hal ini secara tuntas dapat dilaksanakan maka impian menjadikan TNI AL sebagai aset pertahanan nasional yang mumpuni telah menemukan jalurnya.

Page 9: Wawasan Kemaritiman I

Namun demikian tentunya hal tersebut tidak dapat dipikul oleh TNI AL sendiri, TNI AL dapat menjadi sumber inspirasi jika berada dalam lingkungan keunggulan dan lingkungan ini memerlukan dukungan politik. Pembangunan karakter memang penting, namun tanpa dukungan infrastruktur yang kuat akan sulit bagi TNI AL menghadapi ancaman global.Matra laut tidaklah sama dengan matra lain yang dalam keadaan kepepet cukup modal nekad dan modal bambu runcing. Pertahanan laut membutuhkan piranti teknologi yang handal. Kita tentu berharap berbagai keterbatasan ini tidak akan sedikitpun menyurutkan TNI AL dalam menghadapi badai gelombang. Dan kita juga berharap kegigihan ini akan menular dan menjadi inspirasi bangkitnya budaya maritim. Tidak hanya mendorong terciptanya budaya unggul tetapi juga menjadi penerus tradisi-tradisi besar para pelaut masa lampau sebagai pendorong dinamika peradaban dunia.

D. Pembangunan Ekonomi Maritim: Strategi Pertahanan Berlandaskan GeoEkonomi

Potensi Wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi Pembangunan adalah sebagai berikut:

Sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti; Perikanan (Tangkap, Budidaya, dan Pascapanen), Hutan mangrove, Terumbu karang, Industri Bioteknologi Kelautan dan Pulau-pulau kecil.

Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti; Minyak bumi dan Gas, Bahan tambang dan mineral lainnya serta Harta Karun.

Energi Kelautan seperti; Pasang-surut, Gelombang, Angin, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).

Jasa-jasa Lingkungan seperti; Pariwisata, Perhubungan dan Kepelabuhana serta Penampung (Penetralisir) limbah.

Potensi Sumberdaya Pulih (Renewable Resource). Potensi wilayah pesisir dan lautan lndonesia dipandang dari segi Perikanan meliputi; Perikanan Laut (Tuna/Cakalang, Udang, Demersal, Pelagis Kecil, dan lainnya) sekitar 4.948.824 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 15.105.011.400, Mariculture (rumput laut, ikan, dan kerang-kerangan serta Mutiara sebanyak 528.403 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 567.080.000, Perairan Umum 356.020 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 1.068.060.000, Budidaya Tambak 1.000.000 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 10.000.000.000, Budidaya Air Tawar 1.039,100 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 5.195.500.000, dan Potensi Bioteknologi Kelautan tiap tahun sebesar US$ 40.000.000.000, secara total potensi Sumberdaya Perikanan Indonesia senilai US$ 71.935.651.400 dan yang baru sempat digali sekitar US$ 17.620.302.800 atau 24,5 %. Potensi

Page 10: Wawasan Kemaritiman I

tersebut belum termasuk hutan mangrove, terumbu karang serta energi terbarukan serta jasa seperti transportasi, pariwisata bahari yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan.

Potensi Sumberdaya Tidak Pulih (Non Renewable Resource). Pesisir dari Laut Indonesia memiliki cadangan minyak dan gas, mineral dan bahan tambang yang besar. Dari hasil penelitian BPPT (1998) dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 miliar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 miliar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam.

Momentum Hari Nusantara yang diperingati setiap tanggal 13 Desember menandai emergensi perspektif kemaritiman sebagai titik tolak dimulainya pembangunan sektor kelautan dan perikanan sebagai penggerak utama pembangunan nasional., Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah menetapkan visi sebagai “Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015″. Dalam merealisasikan tujuan tersebut, DKP menerapkan sebuah Grand Strategy yang dinamakan The Blue Revolution Policies.

Strategi pertama adalah memperkuat kelembagaan dan sumberdaya manusia secara terintegrasi. Hal ini bertujuan membangun kegiatan usaha perikanan yang memiliki atmosfer sehat sehingga memberikan ruang untuk berlaba dan berpendapatan bagi pelakunya. Pada akhirnya setiap kegiatan kelautan dan perikanan terfokus pada peningkatan produksi dengan hasil yang akuntabel, akurat dan tepat waktu.

Strategi kedua adalah pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan dengan memperhatikan konservasi namun tetap memberi ruang bagi pengembangan ekonomi terutama untuk kawasan pulau-pulau kecil.

Strategi ketiga adalah meningkatkan produktifitas dan daya saing berbasis pengetahuan sehingga produksi kelautan dan perikanan memiliki komoditas unggulan sehingga mampu menghadirkan produk yan bermutu dan memenuhi persyaratan pasar. Strategi keempat adalah menciptakan dan memperluas akses pasar domestik dan internasional. Oleh karenanya

Page 11: Wawasan Kemaritiman I

pemerintah akan menerapkan kebijakan mencari pasar dahulu sebelum memproduksi, hal ini dilakukan agar produksi tidak melimpah tanpa pasar sehingga dapat menurunkan harga dan membuat para nelayan dan pembudidaya ikan mengalami kerugian.

E. Strategi Maritim Dalam Aspek Sosial dan Budaya

Dari aspek kehidupan sosial dan budaya, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia pada masa lalu memiliki pengaruh besar di wilayah Asia Tenggara. Terutama melalui kekuatan maritim di bawah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Tak heran, wilayah laut Indonesia dengan luas dua pertiga nusantara diwarnai banyak pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan besar. Bahkan, mampu mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan.

Penguasaan lautan baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah telah menunjukkan bangsa Indonesia mencintai laut, dan menjadi bagian masyarakat bahari. Tetapi pada masa penjajahan kolonial, bangsa Indonesia digiring hidup di daratan. Hal ini mengakibatkan menurunnya jiwa bahari. Padahal, nenek moyang masyarakat Indonesia telah memahami dan menghayati arti dan kegunaan laut sebagai sarana yang menjamin kepentingan bangsa, seperti perdagangan dan komunikasi.

Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut China Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit. Selain itu, banyak bukti pra sejarah di Pulau Muna, Seram dan Arguni yang diperkirakan budaya manusia sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang

Page 12: Wawasan Kemaritiman I

didirikan perantau dari Nusantara di wilayah Madagaskar. Pengaruh dan kekuasaan tersebut diperoleh bangsa Indonesia karena kemampuannya membangun kapal dan armada yang mampu berlayar lebih dari 4.000 mil.

Dalam strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami pengembangan dan perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa bahari yang besar. Sayang, setelah mencapai kejayaan, Indonesia terus mengalami kemun-duran. Terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda. Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Namun, budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia sebagai negara kepulauan terus menginduksi, dan membentuk budaya maritim bangsa Indonesia.

Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan, dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan budaya bahari secara alamiah. Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan berkurangnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan maritim. Paradigma bangsa telah bergeser yang dulu sangat kental dengan semangat maritim, telah luntur akibat peran kolonial yang telah merampas dan merampok segala bentuk kehidupan yang sangat kental dengan lautan. Kolonialisme telah merubah cara hidup dan cara pandang bangsa Indonesia dari lautan ke daratan untuk memenuhi ambisi mereka untuk memperoleh rempah-rempah untuk kepentingan negara para kaum kolonial kejam tersebut. Berbagai cara dilakukan mereka untuk menghacurkan kekuatan-kekuatan maritim kerajaan di seluruh nusantara.

Kondisi tersebut berlangsung berabad-abad dan berlangsung dari generasi ke generasi. Akibatnya, saat ini bangsa Indonesia masih sangat kental dengan paradigma daratan bahkan orientasi pembangunan pun sangat kental dengan land base oriented. Tentu kondisi ini tak boleh dibiarkan terus berlangsung, diperlukan berbagai upaya dari semua lapisan masyarakat untuk segera merubah paradigma bangsa ini untuk kembali ke cara pandang yang kental dengan strategi maritim. Pemerintah pun harusnya segera memiliki kesadaran ruang bahwa kita hidup di sebuah negara yang dominan laut, sudah sepantasnya jika negara ini dibangun dengan kebijakan yang berorientasi pada maritime base oriented.

Page 13: Wawasan Kemaritiman I

F. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sumber daya alam sangat besar. Namun, dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan yang dimiliki masih kurang maksimal. Ini karena rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Berdasarkan Deklarasi Juanda 1957, wilayah laut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sekitar 3,1 juta kilometer persegi. Setelah diterimanya Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, wilayah laut NKRI bertambah luas dari ZEE 2,7 juta kilometer persegi, menjadi total sekitar 5,8 juta kilometer persegi. Indonesia mendapatkan hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE sejauh 200 mil dari garis pangkal lurus Nusantara atau sampai ke batas continental margin jika masih ada kelanjutan alamiah pulau-pulau Indonesia di dasar samudra. Seperti yang diamanahkan UUD 1945, Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa kekayaan sumber daya alam harus dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 

Ada tiga lapis persoalan yang dihadapi untuk membangun kemandirian Indonesia dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, yakni: (a) Mendorong agar peneliti/akademisi Indonesia agar mampu berperan lebih dominan dalam kegiatan riset kemaritiman di wilayah NKRI, sementara ini lupakan dulu keinginan menjadi peneliti/akademisi kelas dunia di bidang ini; (b) Meningkatkan intensitas dan produktivitas riset di bidang kelautan agar lebih sebanding dengan riset di wilayah daratan; dan (c) Meningkatkan relevansi riset dengan realita kebutuhan dan/atau persoalan nyata di sektor kelautan agar dapat meningkatkan peran dan kontribusi dalam pembangunan ekonomi, sehingga berpeluang untuk ikut men-sejahterakan rakyat dan memakmurkan bangsa, sebagaimana yang diamanahkan konstitusi. Keragaman biologi kelautan Indonesia yang kaya telah menarik perhatian dunia. Penemuan spesies ikan purba Coelacanth (Latimeria Menadoensis, yang sebelumnya diperkirakan sudah punah) di perairan dekat Bunaken juga telah menjadi magnet bagi banyak pakar biologi laut di seluruh dunia. Fenomena iklim di wilayah “benua maritim” Indonesia juga telah menarik minat berbagai pihak, terutama Jepang, untuk melakukan studi prilaku iklim di wilayah Indonesia.

Keunikan posisi geografis Indonesia di antara dua kontinen dan dua samudra, serta dilintasi garis katulistiwa dan rantai gunung berapi (ring of fire), merupakan kondisi yang tak ada duanya di planet bumi ini. Kajian untuk kasus ini hanya dapat dilakukan di Indonesia. Keunikan dan berbagai daya tarik tersebut memunculkan keinginan dunia internasional untuk menjadikan wilayah laut NKRI sebagai “laboratorium lapangan” dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini perlu

Page 14: Wawasan Kemaritiman I

diantisipasi secara positif, jangan sampai Indonesia hanya menjadi ladang subur tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi para akademisi dan peneliti negeri ini hanya menjadi “pemain figuran”. Akademisi Indonesia wajib menjadi tuan di negeri sendiri.

Keunikan geografis dan kekayaan biodiversitas ekosistem laut Indonesia harus dijadikan modal untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) Indonesia dalam menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak asing. Tetapi tentunya modal alamiah ini perlu dilengkapi dengan modal kecerdasan intelektual, yakni penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi kelautan oleh pakar dalam negeri sangat krusial. Tanpa penguasaan teknologi ini, maka Indonesia tidak akan pernah mengetahui secara tepat dan komprehensif tentang ‘apa’ dan ‘berapa banyak’ sumber daya yang dimilikinya di wilayah laut. Ketidakpahaman ini akan menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah dalam setiap forum diplomasi internasional. Argumen baik tidak akan mampu dibangun di atas fondasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang rapuh. Diplomasi untuk memperjuangkan harkat martabat bangsa juga tak akan dapat dimenangkan jika tanpa amunisi pemahaman tentang potensi sumber daya seluruh wilayah Indonesia dan potensi manusianya. Semoga Indonesia sebagai negara maritim segera mulai secara sungguh-sungguh berupaya untuk meningkatkan penguasaan tekno-ekologinomi laut.

Ketertinggalan dalam penguasaan teknologi kelautan tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kemampuan penguasaan teknologi kelautan yang menjadi modal nasional untuk mampu mengelola sumber daya dan wilayah kelautan Nusantara perlu lebih ditingkatkan, terutama melalui peningkatan intensitas kegiatan riset dan pengembangan di sektor-sektor strategis.  Pengelolaan sumber daya kelautan perlu fokus pada aktivitas memanfaatkan kekayaan sumber daya yang dimiliki untuk mensejahterakan rakyat, yang diimbangi dengan upaya menjaga keber-lanjutannya dengan mematuhi kaidah-kaidah ekologis. Teknologi yang dikembangkan perlu menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dengan kearifan ekologi. Ragam teknologi berasas keseimbangan ekonomi-ekologi perlu dijadikan asas pokok dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, termasuk untuk teknologi penangkapan ikan, budidaya ikan dan biota laut, serta teknologi pengolahannya. Kemudian bioteknologi untuk memanfaatkan biodiversitas sebagai sumber bahan baku industri dan sumber tetua untuk program pemuliaan tanaman dan ikan atau biota laut lainnya. Selanjutnya, teknologi eksplorasi dan eksploitasi migas, bahan tambang lainnya dan sumber daya energi terbarukan. Teknologi konservasi sumber daya kelautan, yang dapat juga dilebarkan cakupannya pada potensi pengelolaannya untuk pariwisata bahari.

Page 15: Wawasan Kemaritiman I

Potensi sumber daya laut Indonesia menjadi modal dasar dalam upaya mensejahterakan rakyat, termasuk kekayaan sumber daya perikanan dan biota laut lainnya sebagai bahan pangan atau untuk flora-fauna hias. Potensi lestari perikanan laut Indonesia ditaksir sekitar 6,4 juta ton. Isu pokok dalam pengelolaan sumber daya kelautan dari dahulu. Dalam konsepsi wawasan nusantara, wilayah laut adalah garda terdepan NKRI. Perbatasan Indonesia dengan negara tetangga lebih panjang di wilayah laut dibandingkan dengan daratan. Tetapi kekuatan pertahanan dan keamanan Indonesia saat ini masih sangat timpang. Kekuatan personel, sarana dan prasarana untuk mengamankan wilayah laut masih sangat terbatas, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan di wilayah darat. Tidak mengherankan jika penangkapan ikan secara ilegal, penyelundupan, dan tindak kriminal lainnya di wilayah laut nusantara sulit dikendalikan.

Selain persoalan lemahnya kapasitas pengamanan wilayah kelautan, saat ini transportasi laut juga perlu mendapat perhatian, terutama terkait dengan cukup tingginya frekuensi musibah sarana transportasi laut, baik angkutan orang maupun barang. Tingginya tingkat kecelakaan transportasi laut ini perlu menjadi perhatian semua pihak, tidak hanya pemilik kapal atau perusahaan pelayaran, tetapi juga instansi dan aparatur pemerintah yang berwenang, serta masyarakat luas. Penyebab utama musibah tersebut umumnya terkait dengan kelebihan muatan. Persoalan menurunnya potensi sumber daya perikanan juga telah dilaporkan oleh berbagai pihak pada beberapa wilayah perairan Indonesia, misalnya untuk kawasan perairan Kepulauan Raja Ampat. Berdasarkan persepsi nelayan lokal, populasi biota laut di kawasan Raja Ampat telah mengalami penurunan.

Wilayah konservasi laut Raja Ampat tentu perlu diproteksi, namun keterbatasan sarana dan personel aparatur pengamanan laut di satu sisi, dan maha luasnya wilayah perairan NKRI di sisi lainnya, membuka alternatif bagi aktor lain untuk berperan dalam upaya konservasi wilayah laut Indonesia. Botema dan Bush (2012) mengevaluasi peran dan kinerja lembaga non-pemerintah dalam me-lakukan konservasi wilayah laut yang dilindungi, yakni Yayasan Karang Lestari dalam kegiatan restorasi karang di Pemuteran, pantai utara Bali dan pengelola taman wisata laut di Gili Trawangan, Lombok. Evaluasi ini menyimpulkan bahwa pihak swasta mampu meningkatkan kesadaran wisatawan dan komunitas masyarakat pantai, membuka peluang sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat, serta mampu meningkatkan kapasitas finansial untuk membiayai aktivitas konservasi laut. Namun, semua kontribusi swasta ini tidak akan terealisasi jika tanpa dukungan pemerintah setempat.

G. SDM Maritim

Page 16: Wawasan Kemaritiman I

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan bagian terpenting dalam menjalankan roda perekonomian bangsa. Sebagai negara dengan sumber daya laut yang besar, peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut mutlak harus diprioritaskan dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor paling penting dalam menggerakkan roda ekonomi yang bersumber dari laut adalah ketidaktersediaan sumber daya manusia yang andal dan profesional. Di era globalisasi, persaingan di berbagai lini semakin kompetitif. Dukungan profesionalisme sangat dibutuhkan. Di samping demi perkembangan industri di sektor maritim, profesionalisme akan memberikan keunggulan tersendiri bagi individu yang bekerja pada sektor tersebut, dan di sektor manapun. Individu tersebut akan lebih dihargai karena mampu meningkatkan pendapatan. Lemahnya kapasitas sumber daya manusia Indonesia di bidang maritim diduga berkaitan dengan sistem pendidikan yang diterapkan selama ini. Secara terminologis, seluruh rakyat Indonesia dapat dikatakan sebagai SDM maritim. Namun, melihat kenyataan telah miss orientasi pembangunan, SDM maritim perlu dibentuk dan diubah paradigmanya (cara pandangnya dari land based sosio economic development menjadi marine sosio economic de-velopment). Untuk itu, pemerintah melalui para aparaturnya dituntut harus mampu merumuskan kebijakan tentang manajemen kelautan dan kemaritiman yang tepat guna.

Laode Kamalauddin (Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia, 2002) menyebutkan, SDM yang bekerja di sektor maritim dapat dikelompokkan dalam tujuh kategori, yaitu (1) sebagai pelaut kapal niaga domestik maupun asing; (2) sebagai penangkap ikan di kapal domestik maupun asing; (3) sebagai pelaut pada pelayaran rakyat; dan (4) nelayan; (5)  tenaga kerja pada eksplorasi laut lepas pantai; (6) karyawan yang bekerja di ekoturisme; dan (7) karyawan di bidang kepelabuhanan. Ditaksir total pendapatan yang diperoleh dari seluruh kegiatan ini mencapai Rp 12, 7 triliun. Namun, pendapatan yang dihasilkan SDM masih akan meningkat dengan asumsi, pertama, apabila jumlah tenaga kerja profesional bertambah melalui pendidikan kepelautan dan pendidikan kemampuan tenaga ahli dalam negeri pada eksplorasi laut. Kedua, adanya penambahan jumlah kapal penangkapan, kapal penumpang maupun kargo laut. Ketiga, pengurangan tenaga kerja asing. Keempat, peningkatan kemampuan dan modernisasi peralatan nelayan dan pelayaran rakyat.  Kelima , pendidikan kepelautan yang profesional seperti penyiapan nakhoda yang andal.

Indonesia bukan tidak mungkin dapat berkembang sebagai bangsa maritim yang besar jika memiliki SDM berkualitas. Bahkan, data statistik International Seafarers Suppliers 2011, menempatkan Indonesia pada urutan ketiga dari sepuluh negara penyedia pelaut dunia. Didorong asumsi pasar kerja di bidang maritim

Page 17: Wawasan Kemaritiman I

yang terus berkembang, mengingat sektor maritim memiliki keterkaitan multi sektoral yang sangat kuat, maka potensi pengembangan SDM di bidang kemaritiman diharapkan berjalan lebih maksimal. Perspektif ekonomi paling sederhana memberikan tuntunan tentang bagaimana suatu ekonomi bekerja dari tiga kondisi dasar, yaitu apa yang harus diproduksi, bagaimana berproduksi, dan untuk siapa produksi tersebut? Jawaban dari kombinasi ketiga pertanyaan tersebut dapat dikaitkan dengan kemampuan Indonesia sebagai negara kepulauan, terutama membahas apakah pembangunan hari ini telah menempatkan sektor kelautan sebagai modal pembangunan yang unggul. Dalam istilah lain, memampukan bidang kelautan menjadi sektor pemimpin (leading sector) dalam kegiatan perekonomian nasional.

Pembangunan identik dengan bagaimana suatu negara dapat menggunakan kapasitas sumber dayanya secara optimal dalam berproduksi, atau paling tidak dalam menyediakan iklim kerja yang kondusif bagi kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif. Produksi sektor kelautan secara kuantitatif barang kali tidak mengalami masalah walaupun kerap ada kesenjangan antara potensi dan realisasi. Namun, apabila ditelaah lebih seksama pada isu peruntukan manfaat, maka sektor kelautan mengalami gangguan. Terutama pada tataran bagaimana, dan siapa yang berproduksi. Hal ini sedikitnya dapat menjelaskan kenyataan tentang ketimpangan sosial ekonomi antara penduduk di wilayah daratan dengan kepulauan, atau secara makro mengapa kontribusi sektor kelautan masih kurang signifikan dibandingkan dengan sektor-sektor lain dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam skala yang lebih luas, isu peruntukan manfaat ini juga berkaitan dengan faktor-faktor lain seperti daya saing domestik dan kapasitas SDM bidang kelautan yang rendah.

H. Kebijakan Pembangunan Berbasis Maritim

Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia seharusnya menjadi kekuatan penting yang dapat dimaksimalkan dalam pembangunan. Kekayaan alam yang terkandung di laut merupakan potensi ekonomi yang mampu memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia. Berbagai kekayaan laut ini telah dieksploitasi dan dimanfaatkan sejak dahulu hingga sekarang baik melalui metode produksi tradisional maupun berbasis teknologi. Namun, lemahnya kebijakan pemerintah terhadap pembangunan laut berbasis maritime policy menjadikan pembangunan ekonomi bangsa Indonesia tidak maksimal. Dari berbagai penelitian, nilai ekonomis kekayaan sumber daya alam laut Indonesia melebihi potensi kekayaan di daratan. Bahkan, ada yang menyebutkan kekayaan laut Nusantara tidak akan pernah habis. Deklarasi UNCLOS III yang

Page 18: Wawasan Kemaritiman I

mengukuhkan eksistensi Indonesia sebagai negara Kepulauan patut disyukuri karena hal tersebut secara substansial berdampak pada semakin luasnya klaim wilayah laut yang dimiliki Indonesia. Saat ini Indonesia memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari Laut Territorial dengan luas 0,8 juta km2, Laut Nusantara seluas 2,3 juta km2 dan ZEE seluas 2,7 juta km2. Di samping itu, Indonesia memiliki pulau sebanyak kurang lebih 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Dengan keunggulan sebagai negara kepulauan, wajar sekali jika pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat bertumpu pada sektor kelautan.

Namun, dengan kekayaan laut yang berlimpah pembangunan ekonomi nasional belum mampu memberikan dampak positif yang besar bagi kesejahteraan masyarakat. Gambaran nyata kondisi ini sejalan dengan pendapat bahwa pengelolaan sektor kelautan belum digarap dengan penuh perhatian. Ironisme paling terlihat potret sebagian besar nelayan Indonesia yang masih bergelut dengan kemiskinan. Padahal produksi perikanan terus mengalami peningkatan. Daya saing domestik lemah menyebabkan kegiatan pengangkutan (transportasi laut) maupun eksploitasi sumber daya mineral di wilayah perairan nasional masih lebih banyak dilakukan pihak asing. Kekalahan dalam kompetisi ekonomi berbasis maritim juga terjadi di sektor industri dan jasa kelautan mulai dari hulu (upstream) maupun hilir (downstream). Pembangunan ekonomi maritim dapat dimaknai secara paralel dengan tinjauan perspektif yang diberikan di atas. Dalam definisi yang lebih kontekstual, pembangunan ekonomi maritim ingin menjadikan kekayaan potensi kemaritiman sebagai landasan untuk mengadakan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas terutama di sektor kemaritiman sehingga iklim bisnis dan investasi maritim yang baik akan berkembang.

Dengan sendirinya, pembangunan ekonomi maritim juga akan membawa industri pada kebutuhan akan sumber daya manusia kemaritiman dan inovasi teknologi yang berbasis pada pendidikan kemaritiman yang unggul dan modern. Jika proses ini dapat berlangsung, maka pembangunan ekonomi maritim dipastikan akan  dapat membawa masyarakat ke arah kemakmuran. Sejalan dengan itu, institusi pendidikan di tanah air hari ini diharapkan menjadi garda terdepan dalam menjawab tantangan pembangunan ekonomi di bidang kemaritiman. Rokhmin Dahuri berpendapat pembangunan kelautan hendaknya diarahkan untuk meraih empat tujuan secara seimbang, yakni: (1) pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan; (2) peningkatan kesejahteraan seluruh pelaku usaha, khususnya para nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat kelautan lainnya yang berskala kecil; (3) terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya kelautan; (4) menjadikan laut sebagai pemersatu dan tegaknya kedaulatan bangsa.

Page 19: Wawasan Kemaritiman I

Patut diketahui, bahwa istilah  pembangunan kelautan dan maritim memiliki perbedaan yang empiris. Kelautan merujuk kepada laut sebagai wilayah geopolitik maupun wilayah sumber daya alam, sedangkan maritim merujuk pada kegiatan ekonomi yang terkait dengan perkapalan, baik armada niaga maupun militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu seperti industri maritim dan pelabuhan. Atas hal tersebut kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatif. Terlepas dari rumusan final visi maritim Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, negara perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas dan bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik bangsa dan dengan demikian berwawasan global dan menyangkut pula kebijakan-kebijakan dasar tentang pengelolaan sumber daya alam di samping sumber daya ekonomi pada umumnya. Demi daya saing bangsa kita perlu berangkat dari keunggulan kompetitif yang bisa berbasis lokal.

Kedua, kebijakan kelautan adalah kebijakan negara kepulauan sehingga variabel keruangan harus lengkap, tidak hanya monodimensional laut. Konsep tri-matra (darat-laut-udara), karena kemajuan ilmu dan teknologi serta peningkatan kesadaran lingkungan hidup menjadi tidak lengkap untuk sekarang dan masa depan. Lebih mengena adalah variabel multi-matra (darat termasuk pegunungan; permukaan air dari mata air di hulu sampai permukaan laut; kolom air di sungai, danau maupun laut; pesisir; dasar laut; bawah dasar laut; atmosfir; stratosfir dan angkasa luar), jumlahnya 9 matra. Sejak Presiden Soeharto meluncurkan satelit Palapa pada dekade 1970-an sebenarnya kita telah masuk ke era ruang angkasa, tidak sekedar tri-matra, demikian juga sekarang ketika kita mulai merentang kabel telekomunikasi bawah laut, masuk ke matra dasar laut. Tetapi tetap saja kita menggunakan tri-matra sebagai acuan keruangan, mungkin karena terlanjur menjadi manusia penghafal. Sesuai kemampuan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik yang lebih kompleks, serta kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi tentunya variabel keruangan bisa dikembangkan. Dengan demikian kebijakan kelautan bukanlah pengganti kebijakan masa lampau yang terkesan kuat dominan berorientasi daratan.

Ketiga, hirarki ruang perlu ditentukan, yaitu ruang di mana kita berdaulat penuh, dan mempunyai pengaruh eksklusif dalam kerjasama politik, ekonomi dan pertahanan. Keempat, pemerintah perlu menuntaskan seluruh kewajiban yang tercantum dalam UNCLOS, karena penting artinya bagi effektifitas kedaulatan kita. Adalah ironis bahwa Indonesia sebagai pelopor konsep negara kepulauan lantas nantinya tertinggal dalam pengamanan kedaulatan wilayahnya. Sekiranya hal ini terjadi maka posisi kita secara geopolitik akan lemah, serta memicu berbagai sengketa di wilayah laut yang sulit kita atasi, apalagi dengan kekuatan militer maritim yang demikian kecil. Peristiwa Sipadan/Ligitan dan peristiwa

Page 20: Wawasan Kemaritiman I

Ambalat merupakan peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari.

Kelima, jika semua hal di atas sudah jelas arahnya, maka visi maritim dapat dibangun, dan kekuatan maritim dapat dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik bangsa. Hal ini sesuai dengan persepsi keruangan, dan persepsi tentang keunggulan kompetitif baik yang berbasis sumber daya alam, budaya, ilmu pengetahuan maupun geografi. Kebijakan perkapalan, pelabuhan, transportasi antar matra, prioritas kegiatan ekonomi, pembangunan angkatan bersenjata (militer dan polisi), kebijakan fiskal, investasi, energi, dirgantara, pembangunan daerah,  serta tatanan kelembagaan dan kebijakan pembangunan sumber daya manusia menjadi turunan dari visi maritim, yaitu dalam kebijakan kelautan.