151
WANDA DASAMUKA DALAM LAKON SINTA BOYONG SAJIAN BAMBANG SUWARNO SKRIPSI KARYA ILMIAH oleh Bayu Darsono NIM 11123106 FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2019

WANDA DASAMUKA DALAM LAKON SINTA BOYONGrepository.isi-ska.ac.id/3712/1/Bayu Darsono 11123106.pdf · 2019. 11. 20. · WANDA DASAMUKA DALAM LAKON SINTA BOYONG SAJIAN BAMBANG SUWARNO

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • i

    WANDA DASAMUKA

    DALAM LAKON SINTA BOYONG

    SAJIAN BAMBANG SUWARNO

    SKRIPSI KARYA ILMIAH

    oleh

    Bayu Darsono NIM 11123106

    FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA

    SURAKARTA 2019

  • ii

    WANDA DASAMUKA

    DALAM LAKON SINTA BOYONG

    SAJIAN BAMBANG SUWARNO

    SKRIPSI KARYA ILMIAH

    Untuk memenuhi sebagain persyaratan

    guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Seni Pedalangan

    Jurusan Pedalangan

    oleh

    Bayu Darsono NIM 11123106

    FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA

    SURAKARTA 2019

  • iii

    PENGESAHAN

    Skripsi Karya Ilmiah

    WANDA DASAMULKA DALAM LAKON SINTA BOYONG SAJIAN BAMBANG SUWARNO

    yang disusun oleh

    Bayu Darsono NIM 11123106

    Telah dipertahankan di hadapan dewan penguji

    pada tanggal 8 Agustus 2019

    Susunan Dewan Penguji

    Ketua Penguji, Penguji Utama,

    Dr. Dra. Tatik Harpawati, M.Sn. Suwondo, S.Kar., M.Hum.

    Pembimbing,

    Dr. Bagong Pujiono, S. Sn., M.Sn.

    Skripsi ini telah diterima Sebagai salah satu syarat mencapai derajat Sarjana S-1

    pada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

    Surakarta, 30 September 2019 Dekan Falkutas Seni Pertunjukan

    Dr. Sugeng Nugroho, S.Kar., M.Sn. NIP 196509141990111001

  • iv

    MOTO DAN PERSEMBAHAN

    ing ngendi ta dununging kahanan

    ing kono dununging kaindahan

    - anggayuh mutiaraning karahayon -

    (dalam semua keadaan apapun akan selalu terdapat keindahan)

    -(menggapai mutiara kebahagiaan, kedamaian dan keselamatan)-

    Skripsi ini kupersembahkan kepada:

    • orang tua dan seluruh keluarga

    • semua guru dan sahabat

    • seisi dunia

    • ISI Surakarta yang telah memberi banyak ilmu

  • v

    PERNYATAAN

    Yang bertanda tangan di bawah ini,

    Nama : Bayu Darsono

    NIM : 11123106

    Tempat, Tgl. Lahir : Musirawas, 24 September 1993

    Alamat Rumah : Dusun 2, Desa S Kertosari,

    Kecamatan Purwodadi,

    Kabupaten Musirawas,

    Provinsi Sumatera Selatan

    Program Studi : S-1 Seni Pedalangan

    Fakultas : Seni Pertunjukan

    Menyatakan bahwa skripsi karya ilmiah saya dengan judul: “Wanda Sinta

    Dalam Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno” adalah benar-benar

    hasil karya cipta sendiri, saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku,

    dan bukan jiplakan (plagiasi). Jika di kemudian hari ditemukan adanya

    pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam skripsi karya ilmiah saya ini,

    atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian skripsi karya ilmiah saya

    ini, maka gelar kesarjanaan yang saya terima siap untuk dicabut.

    Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh

    rasa tanggung jawab atas segala akibat hukum.

    Surakarta, 30 Agustus 2019

    Penulis,

    Bayu Darsono

  • vi

    ABSTRAK

    Skripsi berjudul “Wanda Dasamuka Dalam Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno” adalah penelitian yang fokus pada pendalaman makna untuk melihat kegunaan serta peran boneka wayang Dasamuka dalam pertunjukan yang bertempat di dukuh Sawahan, desa Kudu, kecamatan Baki, kabupaten Sukoharjo tanggal 28 Desember 2017. Wanda Dasamuka dijadikan objek penelitian karena kurangnya kajian pada wanda Dasamuka, padahal wayang Dasamuka sendiri secara konvensi memiliki banyak wanda. Lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno dipilih karena pada pertunjukan tersebut menampilkan tiga wanda Dasamuka dan pertimbangan kredibilitas Bambang Suwarno juga sebagai empu boneka wayang kulit. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah (1) Bagaimana gambaran umum tentang wanda wayang kulit gaya Surakarta, (2) bagaimana struktur lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno, (3) bagaimana makna wanda Dasamuka pada lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno dalam perspektif ikonografi.

    Penelitian ini menggunakan landasan konseptual dari struktur dramatik Soediro Satoto dan teori ikonografi oleh Panofsky yang telah diaplikasikan Ahmad Bahrudin pada pengkajian Ornamen Minangkabau. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif interpretatif, sedangkan untuk pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka, wawancara, dan observasi.

    Capaian dari hasil penelitian ini adalah adanya kesesuaian pemilihan wanda Dasamuka pada masing-masing suasana adegan pertunjukan wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno menunjukan komunikasi atau kaitan erat antara konsep wanda dan pakeliran yang saling menunjang untuk memperkuat rasa hayatan dalam pakeliran. Keharmonisan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara tiap-tiap wanda Dasamuka dengan suasana adegan pada pertunjukan wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno menjadi pengaruh besar dari kehadiran wanda Dasamuka. Merujuk dari hal itu, wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno berfungsi sebagai pendukung dan penguat hayatan pada drama pertunjukan.

    Kata kunci : wanda Dasamuka, ikonografi, Sinta Boyong, Bambang Suwarno.

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kepada tuhan yang maha kasih atas

    perjalanan penelitian Wanda Dasamuka Dalam Lakon Sinta Boyong Sajian

    Bambang Suwarno berjalan dengan baik dari awal hingga akhir

    penelitian. Selain daripada itu, peran kedua orang tua juga sangat

    berpengaruh dalam pembiayaan dan motivasi pada proses ini.

    Proses skripsi yang sangat rumit dan sulit dapat terselesaikan berkat

    bimbingan Dr. Bagong Pujiono, S. Sn., M. Hum., yang senantiasa sabar,

    telaten dalam membantu memberi pengarahan dan menjadi narasumber

    dalam penelitian ini. Tidak lupa, kehadiran Suwondo, S.Kar., M.Hum., Dr.

    Dra. Tatik Harpawati, M.Sn., yang selalu memotivasi saya untuk

    menyelesaikan skripsi dengan baik adalah salah satu dorongan moral

    dalam perjalanan. Kehadiran narasumber yang telah memberi saya

    informasi dan pengetahuan penting seperti Dr. Bambang Suwarno, S.Kar.,

    M.Hum., bapak Purbo Asmoro, S.Kar., M.Hum., bapak Edi Sulistyono,

    S.Kar., M.Hum., bapak Sunarno, Dr. Suyanto, S.Kar., M.A., dan bapak

    Suluh Juniarsah, S.Sn., yang juga sangat berpengaruh dalam penyelesaian

    masalah yang ada pada penelitian Wanda Dasamuka Dalam Lakon Sinta

    Boyong Sajian Bambang Suwarno dengan berperan menjadi narasumber.

    Banyak juga rekan dan para sahabat yang tidak bisa disebutkan satu

    persatu telah memberi petunjuk dari pada kesulitan yang dihadapi dalam

    proses penelitian. Hasil dan penulisan skripsi Wanda Dasamuka Dalam

    Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno ini masih amat sangat

    buruk, maka dari karena keterbatasan minimnya pengetahuan dan

    kemampuan. Maka dari itu, kritik serta saran dari semua pihak sangat

  • viii

    diharapkan demi hal yang lebih baik lagi. Walaupun hanya sedikit hal

    bermanfaat dalam skripsi ini, semoga dapat berguna untuk para pembaca

    dan dunia pedalangan.

    Surakarta, 30 September 2019

    Bayu Darsono

    NIM 11123106

  • ix

    DAFTAR ISI ABSTRAK vi KATA PENGANTAR vii DAFTAR ISI ix DAFTAR GAMBAR xii BAB I PENDAHULUAN 1

    A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4 D. Tinjauan Pustaka 5 E. Landasan Teori 7 F. Metode Penelitian 11

    1. Pengumpulan Data 11 a. Observasi 11 b. Studi Pustaka 11 c. Wawancara 12

    2. Aanalisis Data 13 G. Sistematika Penulisan 14

    BAB II WANDA WAYANG KULIT PURWA GAYA SURAKARTA SECARA UMUM 15

    A. Etimologi Wanda dalam Wayang Kulit Purwa 15 B. Perkembangan Wanda Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta 16

    1. Sinta 20 a. Sinta Wanda Lugas 22 b. Sinta Wanda Legawa 23 c. Sinta Wanda Secara Tradisi 24

    2. Rama 25 a. Rama Ngulandara 25 b. Rama Bokongan 26

    3. Laksmana 27 a. Laksmana Lelana 27 b. Laksmana Bokongan 28

    BAB III STRUKTUR DRAMATIK LAKON SINTA BOYONG SAJIAN

    BAMBANG SUWARNO 29 A. Sekilas Cerita Lakon Sinta Boyong 29

    1. Cerita Sinta Boyong versi Sunardi D.M. 29 2. Cerita Sinta Boyong Versi Padmosoekotjo 31

  • x

    B. Struktur Dramatik Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno 34 1. Struktur Adegan 34 2. Alur 48

    a. Tahap Eksposisi 48 b. Tahap Komplikasi 52 c. Tahap Klimaks 60 d. Tahap Resolusi 65 e. Tahap Penyelesaian 70

    3. Penokohan 75 a. Tokoh Protagonis 76 b. Tokoh Antagonis 77 c. Tokoh Tritgonis 77 d. Tokoh Peran Pembantu 78

    4. Latar 79 a. Aspek Ruang 79 b. Aspek Waktu 82

    5. Tema dan Amanat 84 BAB IV WANDA DASAMUKA DALAM LAKON SINTA BOYONG

    SAJIAN BAMBANG SUWARNO 87 A. Tokoh Dasamuka dalam Dunia Pedalangan Gaya Surakarta 87 B. Dasamuka Dalam Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno 93 C. Analisa Wanda Dasamuka dalam Lakon Sinta Boyong

    Sajian Bambang Suwarno 97 1. Bagian-bagian Boneka Wayang Kulit 100

    a. Dedeg 101 b. Irah-irahan 101 c. Awak-awakan 101 d. Sor-soran 102

    2. Perspektif Ikonografi Wanda Dasamuka dalam Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno 102 a. Dasamuka Wanda Bugis 103

    1. Deskripsi Pra-Ikonografis Dasamuka Wanda Bugis 104 2. Analisis Ikonografis 107 3. Interpretasi Ikonologis 108

    b. Dasamuka Wanda Belis 110 1. Deskripsi Pra-Ikonografis Dasamuka Wanda Belis 111 2. Analisis Ikonografis 113 3. Interpretasi Ikonologis 115

    c. Dasamuka Wanda Iblis 116 1. Deskripsi Pra-Ikonografis Dasamuka Wanda Iblis 118 2. Analisis Ikonografis 120

  • xi

    3. Interpretasi Ikonologis 121 BAB V PENUTUP 123

    A. Kesimpulan 123 B. Saran 126

    DAFTAR PUSTAKA 128 DAFTAR NARASUMBER 131 DISKOGRAFI 132 GLOSARIUM 133 BIODATA PENULIS 139

  • xii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1.Wayang Sinta Wanda Lugas, koleksi Bambang Suwarno 22

    Gambar 2. Wayang Sinta Wanda Legawa Koleksi Bambang Suwarno 23

    Gambar 3. Wayang Sinta Secara Tradisi Koleksi Purbo Asmoro 24

    Gambar 4. Wayang Rama Ngulandara Koleksi Bambang Suwarno 25

    Gambar 5. Wayang Rama BokonganKoleksi Bambang Suwarno 26

    Gambar 6. Wayang Laksmana Lelana Koleksi Bambang Suwarno 27

    Gambar 7. Wayang Laksmana Bokongan Koleksi Bambang Suwarno 28

    Gambar 8. Wayang Anoman Kartasura Koleksi Bambang Suwarno 99

    Gambar 9. Wayang Burung Jatayu Koleksi Purbo Asmoro 100

    Gambar 10. Wayang Dasamuka Wanda Bugis Koleksi Bambang Suwarno 103

    Gambar 11. Wayang Dasamuka Wanda Belis Koleksi Bambang Suwarno 110

    Gambar 12. Wayang Dasamuka Wanda Iblis Koleksi Bambang Suwarno 118

  • 1

    BAB I Pendahuluan

    A. Latar Belakang Masalah

    Pertunjukan wayang kulit sering kali disebut sebagai pertunjukan

    yang komposisinya begitu kompleks. Banyak diantara beberapa unsur seni

    dikemas menjadi satu dalam kesatuan seni wayang kulit. Hal ini

    dikarenakan dalam rangkaian pertunjukan wayang kulit terpadu dari

    berbagai unsur seni yang berupa beberapa medium pokok, seperti gerak,

    suara, bahasa dan rupa. Semua unsur tersebut sangat mendukung

    kesuksesan dalam sajian. Rupa menjadi salah satu medium pokok yang

    berpengaruh, di dalamnya terdapat unsur tatahan, sunggingan, dan wanda.

    Wanda yang menjadi salah satu unsur dari medium rupa, berperan penting

    untuk memantapkan rasa suatu tokoh. Kemantapan tersebut dapat

    tercapai bila pemilihan wanda sesuai dengan suasana adegan dan sanggit,

    yang ditunjang penyuaraan, sabet, sulukan dan lainnya unsur pendukung.

    Dengan demikian, ketepatan seorang seniman dalang memilih wanda

    mempunyai andil dalam kesuksesan sajian (Sutarno dkk, 1979:1).

    Berkaitan dengan pengertian wanda, menurut Sumiyanto dalam

    skripsi Margono menjelaskan bahwa wanda adalah wujud dari

    keseluruhan wayang meliputi praupan, dedeg, corekan, pawakan, asesoris,

    dan ciri-ciri tertentu. Pemilihan wanda untuk penggambaran suasana hati

    tokoh seyogyanya disesuaikan dengan adegan dan lakon cerita agar

    penghayat lebih mudah untuk memahaminya (Margono, 2007:12).

    Darman Gondodarsono dalam tesis Bambang Suwarno menjelaskan

    bahwa ciri-ciri wanda wayang dapat dilihat dari corekan, kapangan, tatahan,

  • 2

    bedhahan, sunggingan, dan gapitan. Corekan gambar wanda wayang sangat

    menentukan keberhasilan penggambaran tokoh yang dimaksud. Misal

    Janaka wanda janggleng, sejak dari wajah sampai dengan kaki harus

    mampu menunjukan wanda yang dimaksud. Figur wayang Arjuna wanda

    janggleng corekan postur tubuhnya tegap, kesannya mirip dengan Arjuna

    wanda kinanthi, dan jika postur tubuhnya membungkuk akan mendekati

    Arjuna wanda gendreh. Pergeseran corekan postur tubuh seperti ini akan

    merusak wanda yang ingin divisualkan. Maka ketepatan corekan sangat

    diperlukan untuk melukiskan kesan-kesan wanda tertentu pada tokoh

    wayang kulit (Suwarno, 1999:47).

    Berkembangnya wanda dari tokoh wayang bisa karena tokoh tersebut

    banyak digemari atau karena adalah tokoh utama dalam banyak cerita

    dan memiliki banyak variasi suasana hati (Sutrisno, 1964:2). Sebagai

    contoh adalah tokoh Dasamuka yang memili banyak variasi wanda, karena

    digunakan demi mendukung suasana yang disampaikan oleh dalang

    pada pertunjukan wayang kulit (Sutarno dkk,1979:1). Pertunjukan

    wayang kulit lakon Sinta Boyong tanggal 28 Desember 2017, Bambang

    Suwarno sebagai dalang menampilkan tiga wanda Dasamuka dalam

    sajianya. Menarik untuk dikaji bagaimana makna wanda Dasamuka yang

    digunakan pada pertunjukan tersebut, dan seberapa peran wanda

    Dasamuka atas keberhasilan dramatik adegan dalam lakon Sinta Boyong.

    Pemilihan wanda untuk pertunjukan wayang kulit bukan hal yang

    mudah, karena harus menyesuaikan suasana adegan dari tokoh seperti

    yang disampaikan di atas. Menurut Purbo Asmoro, penyesuaian wanda

    dalam setiap pertunjukan wayang kulit belakangan ini jarang

    diperhatikan. Berbagai faktor penyebabnya adalah memang karena

  • 3

    keterbatasan sarana, ketidak pahaman dalang tentang wanda, dalang acuh

    tak acuh dengan wanda, atau memang ego dalang dengan menampilkan

    wanda atau boneka wayang kesukaan serta karena alasan teknis seperti

    lebih nyaman untuk keperluan sabet (Purbo Asmoro, wawancara 20

    Januari 2019)

    Melihat fakta bahwa generasi dalang saat ini kurang memperhatikan

    wanda dalam setiap pertunjukanya, menarik untuk mengangkat wanda

    sebagai bahan kajian karena sangat disayangkan apabila wanda wayang

    sampai ditinggalkan oleh masyarakat yang notabene wanda adalah

    cerminan budaya luhur dari masyarakat Jawa. Apabila hal tersebut

    dipahami lebih dalam oleh pihak asing sebagai keperluan intelijen tanpa

    kita melakukan antisipasi dengan melakukan pemahaman lebih dahulu,

    maka akan sangat membahayakan dalam bidang kemerdekaan ideologi

    bangsa (Edi Sulistyono, wawancara 14 Mei 2019). Berbagai uraian di atas,

    melatar belakangi untuk mengangkat tentang wanda sebagai bahan kajian

    dalam penelitian. Dengan alasan untuk lebih memfokuskan permasalahan

    ini, maka penulis mambatasi objek penelitian dengan mengkaji wanda

    Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno pada acara

    peringatan 100 hari wafatnya Sukardi yang disajikan di Dukuh Sawahan,

    Desa Kudu Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo. Pada pertunjukan

    tersebut Bambang Suwarno menampilkan tiga wanda Dasamuka, yaitu

    Dasamuka wanda begal, Dasamuka wanda belis, dan Dasamuka wanda iblis.

    Pemilihan ini didasarkan atas alasan bahwa dalam pertunjukan tersebut

    Bambang Suwarno sangat memperhatikan pemakaian wanda yang tepat

    pada sajiannya. Menimbang kredibilitas Bambang Suwarno sebagai

    dalang senior, Bambang Suwarno sebagai empu boneka wayang dengan

  • 4

    banyak ciptaannya yang dipakai oleh dalang senior, menimbang

    kemampuan Bambang Suwarno yang mampu menatah serta menyungging

    wayang, menimbang buku tulisan Bambang Suwarno tentang wanda, serta

    riwayat Bambang Suwarno yang pernah menjadi dosen aktif di Institut

    Seni Indonesia Surakarta, maka menarik untuk mengkaji Wanda

    Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno yang

    ditinjau dari segi makna dan bagaimana peran wanda Dasamuka dalam

    pertunjukan tersebut.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dari penelitian ini

    adalah sebagai berikut.

    1. Bagaimana gambaran umum tentang wanda wayang kulit gaya

    Surakarta?

    2. Bagaimana struktur lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno?

    3. Bagaimana makna wanda Dasamuka pada lakon Sinta Boyong sajian

    Bambang Suwarno dalam perspektif Ikonografi?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Pengungkapan terhadap wanda Dasamuka dalam Lakon Sinta Boyong

    sajian Bambang Suwarno berdasar analisa makna kaitanya dengan

    pertunjukan, diharapkan dapat menjadi pijakan awal dalam melihat

    berbagai lakon yang ada dalam dunia pewayangan secara lebih

    mendalam. Oleh karena itu secara garis besar tujuan dari penelitian ini

    adalah menjawab beberapa rumusan masalah yang dijabarkan sebagai

    berikut :

  • 5

    1. Melihat latar belakang kehadiran serta eksistensi wanda wayang

    kulit gaya Surakarta dalam perkembangannya.

    2. Menjabarkan struktur pertunjukan lakon Sinta Boyong sajian

    Bambang Suwarno guna mengetahui peran Dasamuka dalam

    pertunjukan tersebut.

    3. Memahami dengan detail wanda Dasamuka dan mengetahui

    peranya dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno

    melalui sudut pandang ikonografi untuk melihat makna dan

    kaitannya pada pertunjukan tersebut.

    Sementara manfaat secara umum dari penelitian ini diharapkan

    dapat berguna bagi dunia pedalangan saat ini maupun masa yang akan

    datang. Harapan nyata supaya seniman maupun akademisi pedalangan

    dapat dengan lebih mudah memahami tentang wanda wayang dengan

    contoh pembahasan wanda Dasamuka pada kajian ini.

    D. Tinjauan Pustaka

    Tinjuan pustaka ini berkaitan dengan penelitian-penelitian terdahulu

    yang membahas tentang wanda. Penelitian dan tulisan terdahulu

    menegnai wanda memiliki peran yang sangat penting agar penelitian ini

    menyajikan hasil terbaik serta menghindari kesamaan hasil. Adapun

    penelitian yang sebelumnya adalah sabagai berikut.

    Tesis Bambang Suwarno (1999) yang berjudul “Wanda Wayang

    Kaitanya dengan Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Masa Kini”. Tesis

    tersebut menjabarkan tentang munculnya wanda wayang kulit purwa,

    macam-macam wanda wayang beserta ciri-cirinya, tanggapan para dalang

    berkaitan wanda wayang, dan kaitan antara wanda wayang dengan

  • 6

    pertunjukan wayang kulit diera saat ini. Sama-sama mengangkat objek

    penelitian tentang wanda wayang, namun penelitian tersebut mengangkat

    banyaknya wanda dari beberapa tokoh wayang dalam banyak situasi dan

    ruang waktu, sementara dalam penelitian ini hanya fokus ke dalam wanda

    Dasamuka pada lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno.

    Bambang Suwarno dalam disertasinya yang berjudul “Wanda

    Wayang Purwa Tokoh Pandhawa Gaya Surakarta, Kajian Bentuk, Fungsi,

    dan Pertunjukan” (2015), cukup dalam pembahasannya mengenai wanda

    wayang. Bambang Suwarno mengupas mengenai ciri-ciri dan perbedaan

    wanda wayang tradisi keraton dan luar keraton beserta fungsinya dalam

    konteks pertunjukan dengan mengambil objek material khusus wanda

    tokoh-tokoh pandhawa. Disertasinya mengambil objek pertunjukan yang

    disajikan oleh kelima dalang yaitu sajian Hali Djarwosularso, Manteb

    Soedharsono, Soenarno Dutodiprojo, Gaib Widopandoyo, dan Sudirman

    Ronggodarsono. Maka, disertasi tersebut berbeda dengan penelitian ini

    meskipun sama-sama mengangkat tentang wanda tokoh wayang gaya

    Surakarta. Penelitian ini mengambil objek wanda tokoh Dasamuka dalam

    lakon Sinta Boyong yang disajikan oleh Bambang Suwarno. Penelitian ini

    hanya fokus mengenai fungsinya saja kaitannya dalam pertunjukan

    dengan mengambil satu objek lakon dan satu dalang.

    R. Soetrisno dalam Pitakonan lan Wangsulan bab Wanda Wayang Purwa

    (1964). bentuk tulisan tersebut adalah tanya jawab yang menjelaskan

    dasar-dasar wanda, bentuk, fungsi serta latar belakang wanda wayang

    kaitanya dengan pertunjukan. Walaupun tidak membahas secara

    langsung tentang tokoh Dasamuka, akan tetapi tulisan tersebut juga

    mengangkat wanda wayang sebagai objek utama dan dibahas secara

  • 7

    umum, sedangkan penelitian wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong

    sajian Bambang Suwarmo ini lebih spesifik makna wanda Dasamuka pada

    pertunjukan tersebut.

    Soetarno, dkk (1979) yang menulis “Wanda Wayang Purwa Gaya

    Surakarta”. Buku ini cukup dalam menjelaskan bagaimana peran wanda

    pada pertunjukan wayang kulit, bagaimana latar belakang wanda yang

    sangat penting dipertunjukan wayang kulit dan menjabarkan

    wanda-wanda dari tokoh wayang purwa serta ciri-ciri singkatnya.

    Walaupun di dalamnya juga menulis wanda Dasamuka, akan tetapi lebih

    kepada pengetahuan ragam wandanya serta ciri-ciri singkatnya saja. Tidak

    membahas lebih lanjut mengenai detail tentang makna dan latar

    belakangnya.

    Soetarno, dkk (2007), dalam Teori Pedhalangan, menjelaskan

    elemen-elemen dasar pakeliran. Pada bab 4 menjabarkan tentang “Wanda

    Wayang Kulit Purwa, Perkembangan, Motivasi, dan Fungsi Wanda” yang

    ditulis oleh Kuwato. Buku tersebut menganalisa fungsi wanda dalam

    pertunjukan wayang kulit, berbeda dengan penilitian wanda Dasamuka

    dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno yang lebih menyempit

    pada bahasan makna wanda Dasamuka dalam pertunjukan tersebut.

    E. Landasan Teori

    Berkaitan dengan objek yang akan dikaji, maka akan dilihat terlebih

    dahulu antara objek formal dan objek materialnya dalam penelitian ini.

    Makna dari wanda Dasamuka adalah obyek formal dari penelitian ini dan

    lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno adalah objek materialnya.

  • 8

    Berkaitan dengan objek yang akan dikaji, penelitian ini

    menggunakan teori ikonografi sebagai landasanya untuk melihat makna

    lebih dalam dari wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian

    Bambang Suwarno dan kaitannya dengan pertunjukan tersebut. Teori

    ikonografi oleh Panofsky yang telah diaplikasikan Ahmad Bahrudin pada

    pengkajian Ornamen Minangkabau akan digunakan untuk melihat serta

    menjabarkan wanda Dasamuka yang digunakan oleh Bambang Suwarno

    pada pertunjukan wayang kulit lakon Sinta Boyong.

    Ikonografi merupakan interprestasi makna dibalik bentuk karya seni

    rupa. Sedangkan setiap karya seni selalu memiliki komponen pokok

    berupa objek, peristiwa dan ekspresi. Objek adalah uraian dasar dari

    unsur rupa yang dapat melahirkan imajinasi kepada pengamat, peristiwa

    ialah perubahan dari satu objek atau beberapa objek yang berkaitan,

    sedangkan ekspresi adalah gabungan antara objek serta peristiwa yang

    menghasilkan ungkapan perasaan dalam imajinasi (Bahrudin, 2017:7).

    Dengan begitu untuk mencapai kedalaman makna pada suatu karya seni

    yang tinggi, maka diperlukan pula tingkat kedalaman imajinasi rasa pada

    pengkarya sebagai pengirim maupun pengamat sebagai penerima.

    Langkah-langkah yang diterapkan dalam menganalisa wanda

    Dasamuka pada lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno adalah

    menentukan bagian-bagian inti dari boneka wayang kulit dan

    mendeskripsikan wanda Dasamuka melalui sudut pandang ikonografi

    yang memiliki tiga poin yaitu pra ikonografi, analisa ikonografi dan

    interprestasi ikonologi yang berisi sebagi berikut.

  • 9

    1. Pra Ikonografi

    Pra-ikonografi disebut juga makna primer berisi tanggapan awal

    terhadap suatu karya seni. Unsur-unsur faktual yang terlihat oleh kasat

    mata akan dideteksi untuk menentukan ciri khas. Ciri khas yang diambil

    meliputi ketepatan objektif, susunan formal, gaya emosi dan daya fantasi.

    Ketepatan objektif merupakan kecenderungan karya seni yang merujuk

    pada fenomena alam, susunan formal ialah komposisi dari pola dan

    ukuran yang diaplikasikan menjadi menjadi keseimbangan dan

    keindahan. Gaya emosi adalah getaran rasa pada jiwa yang timbul dari

    karya seni, dan gaya fantasi adalah bentuk imajinasi yang timbul pada

    alam bawah sadar maupun secara sadar (Bahrudin, 2017:7-8). Lebih

    mudahnya Pra Ikonografi adalah fase untuk melihat, memilah serta

    analisa dasar dari ikon-ikon pada objek seni rupa.

    2. Analisis Ikonografi

    Analisa ikonografi disebut juga makna sekunder berisi kajian

    tentang konsep yang berada pada suatu karya seni dengan melihat pola

    dan motif estetik untuk menyimpulkan maka didalamnya yang berkaitan

    dengan budaya dan cerminan sosial. Hasil kajian akan diketahui dengan

    menghubungkan komposisi antar pola dan motif penting yang

    selanjutnya menghasilkan pembawa makna sekunder. Makna sekunder

    ini berisi cerita serta alegori hasil dari kombinasi gambar dan gambaran

    yang ada (Bahrudin, 2017:8). Kesimpulan dari Analisis Ikonografi adalah

    fase selanjutnya dari Pra Ikonografi yang memiliki cara kerja dengan

    menggabungkan rangkaian ikon-ikon pada objek seni rupa. Selanjutnya

  • 10

    menentukan bagaimana dan seperti apa wujud dari rangkaian tersebut

    yang diungkapkan dari hasil kasat mata.

    3. Interpretasi Ikonologi

    Interpretasi Ikonologi juga disebut makna instristik atau isi yang di

    dalamnya memuat hasil analisa akan identifikasi dari motif karya seni

    dengan melalui tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan ini akan

    menemukan cerminan nilai-nilai simbolis dari hasil penggalian dengan

    imajinasi yang intuitif sehingga dapat menarik kesimpulan tentang makna

    serta fungsi dari objek karya seni (Bahrudin, 2017:9). penjelasan lebih

    mudah dari Interprestasi Ikonologi ini digunakan untuk

    menginterprestasikan hasil dari pengamatan pada fase Analisa Ikonografi

    yang ditarik maknanya lebih dalam untuk mendapatkan kesan dan

    maksud dari sebuah objek seni rupa.

    Kegunaan wanda Dasamuka tentu sangat berkaitan erat dengan

    peranan tokohnya dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno.

    Untuk melihat bagaimana dan seberapa dalam peran tokoh Dasamuka

    pada pertunjukan, maka akan dilakukan kajian struktur dramatik pada

    lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno. Sedangkan teori kajian yang

    akan digunakan adalah pendapat Soediro Satoto mengenai pengertian

    struktur dramatik lakon. Adapun langkah yang pertama adalah alur dan

    penokohan, langkah kedua yaitu tema beserta amanat sedangkan langkah

    yang terakhir adalah setting (Satoto,1985:15).

  • 11

    F. Metode Penelitian

    Demi hasil yang maksimal dalam penelitian ini, langkah-langkah

    yang digunakan adalah metode pengumpulan data serta metode analisis

    data. 1. Pengumpulan Data

    Pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini dengan

    dua cara, yaitu sebagai berikut.

    a. Observasi

    Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yang

    pertama observasi secara langsung, yaitu pengamatan dengan menonton

    secara langsung sajian wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang

    Suwarno pada tanggal 14 Desember 2017 di dukuh Sawahan, desa Kudu,

    kecamatan Baki, kabupaten Sukoharjo. Cara kedua adalah observasi tidak

    langsung, yaitu dengan melakukan pengamatan pertunjukan wayang

    lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno melalui rekaman audio

    visual.

    b. Studi Pustaka

    Mengumpulkan data dari sumber tertulis yang berkaitan dengan

    penilitian untuk menunjang pemecahan masalah dengan memahami dari

    skripsi, tesis, desertasi, jurnal, laporan penelitian dan buku-buku terbitan

    yang kesemuanya berkaitan secara langsung maupun tidak langsung

    dengan topik permasalahan.

  • 12

    c. Wawancara

    Metode wawancara dilakukan supaya mendapat informasi yang

    baik tentang wanda Dasamuka dan tokoh-tokoh narasumber adalah yang

    telah lama berkecimpung pada bidangnya serta secara umum mendapat

    pengakuan ahli dalam bidangnya. Kejujuran informasi dari narasumber

    menjadi pertimbangan yang utama dari penulis demi mendapat informasi

    yang sesuai fakta. Pertimbangan ini menjadi penting agar penilitian

    terhindar dari bias pengertian dan isi informasi yang disampaikan

    narasumber (Waridi, 2005:114). Metode wawancara mendalam dipilih

    supaya penelitian lebih terarah. Wawancara dilakukan dengan dua cara,

    yaitu:

    1. Wawancara terencana; daftar masalah telah dipersiapkan secara

    matang yang akan ditanyakan dalam wawancara. Wawancara

    terencana selalu terdiri atas suatu daftar pertanyaan yang telah

    direncanakan dan disusun sebelumnya. Semua responden yang

    telah diseleksi untuk menjadi narasumber, diajukan pertanyaan

    yang sama dengan kata-kata dan tata urut yang seragam

    (Koentjaraningrat, 1994;138).

    2. Wawancara tidak terencana; pengajuan pertanyaan secara sepontan

    atau tanpa persiapan tersusun sebelumnya, tetapi pertanyaan yang

    diajukan penulis tetap mengarah pada bingkai topik penelitian.

    Wawancara ini digunakan untuk memperoleh data yang objektif

    mengenai objek yang akan diteliti. Hal ini sama dengan yang

    diuangkapkan oleh Koentjaraningrat bahwa wawancara yang tidak

    terencana tidak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dari suatu

  • 13

    daftar pertanyaan dengan susunan kata dan dengan tata urut tetap

    yang harus dipatuhi oleh peneliti secara ketat (1994:139).

    2. Analisis Data

    Menurut Gorys Keraf, analisis data adalah proses membagi suatu

    subjek data ke dalam komponen-komponenya (1982:62), sedangkan

    komponen-komponen yang dimaksud berkaitan dengan penelitian ini ada

    beberapa tahap, yaitu :

    1. Reduksi Data, yaitu tahap seleksi data, pemilihan data yang

    mendukung akan digunakan untuk penelitian serta data yang tidak

    mendukung penelitian tidak akan digunakan.

    2. Klasifikasi Data, yaitu pengelompokan data menjadi antara primer

    dan sekunder. Setelah terpisah, perbandingan data akan diamati

    dalam penafsiran kebebasan, makna, dan analisa dengan

    pertolongan konsep atau teori untuk mengetahui tentang makna

    wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang

    Suwarno.

    3. Display Data, yaitu pemaparan ke dalam bentuk tulisan dari data

    yang telah melewati tahap reduksi maupun kalsifikasi yang

    dijabarkan ke bentuk deskritif.

  • 14

    G. SISTEMATIKA PENULISAN

    Penelitian wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian

    Bambang Suwarno pada perspektif estetika pedalangan ini tersusun atas

    lima bab yang terbagi sebagai berikut.

    1. Bab I adalah pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan

    masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan

    teori serta sistematika penulisan.

    2. Bab II berisi penjabaran wanda wayang kulit purwa gaya Surakarta

    secara umum dalam dunia pedalangan.

    3. Bab III berisi tentang struktur dramatik lakon Sinta Boyong sajian

    Bambang Suwarno untuk melihat seberapa penting peran tokoh

    Dasamuka.

    4. Bab IV berisi uraian fungsi wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong

    sajian Bambang Suwarno.

    5. Bab IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

  • 15

    BAB II

    WANDA WAYANG KULIT PURWA

    GAYA SURAKARTA SECARA UMUM

    A. Pengertian Wanda dalam Wayang Kulit Purwa

    Membedah pengertian wanda dapat dengan mengurai dari kata

    dasar arti wanda. Kamus Bausastra Jawa tulisan W.J.S. Poerwadarminta

    menyebutkan wanda berarti awak atau dhapur (Poerwadarminta, 1942:45),

    sedangkan wanda dalam kamus Basa Jawa terbitan Balai Bahasa

    Yogyakarta, diartikan dengan sesipat wujuding wayang (Tim Penyusun

    Balai Bahasa Yogyakarta, 2001:839). Tidak jauh berbeda dalam perspektif

    pedalangan, wanda adalah bagian dari seni kriya wayang kulit yang

    menampilkan karakter khusus seorang tokoh wayang pada suatu suasana

    tertentu (Tim Penulis Sena Wangi, 1999:1396).

    Berkaitan dengan pengertian wanda, dijelaskan bahwa tercermin

    kedalaman ekspresi yang dilambari kepekaan jiwa dan kedalaman spirit

    budaya yang tertuang dengan pengaruh garis-garis ngrawit meliuk

    mengalir membentuk wujud sangat imajinatif. Dari garis-garis tersebut

    ditatah hingga menghasilkan kelembutan dan tampak proporsi serta

    kualitas desain tingkat tinggi yang menunjukan karakter atau ekspresi

    pada suasana tertentu (Sudjarwo dkk, 2010:12). Darman Gandadarsana

    dalam tesis Bambang Suwarno menjelaskan bahwa wanda meliputi

    corekan, kapangan, tatahan, bedhahan, sunggingan, dan gapitan. Corekan

    adalah faktor penentu karakter dari tokoh, seperti contoh Janaka wanda

    janggleng, seluruh corekanya harus mampu menunjukan karakter wanda

  • 16

    yang dimaksud. Pergeseran corekan postur tubuh dapat merusak wanda

    yang ingin divisualkan, seperti wayang Arjuna wanda janggleng corekan

    postur tubuhnya tegap, mirip dengan Arjuna wanda kinanthi, dan jika

    postur tubuhnya sedikit membungkuk akan mendekati Arjuna wanda

    gendreh. Maka ketepatan setiap garis corekan sangat menentukan kesan-

    kesan wanda tertentu pada tokoh wayang kulit (Suwarno, 1999:47).

    B. Perkembangan Wanda Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta

    Wanda wayang purwa tercipta oleh proses transformasi dari

    deskripsi pewayangan yang divisualkan ke dalam bentuk boneka

    wayang. Setiap wanda tokoh wayang purwa memiliki ciri figur tersendiri,

    yakni bentuk wayang secara keseluruhan dari ujung rambut sampai

    telapak kaki (Tristuti Rahmadi Surya Putra dalam disertasi Bambang

    Suwarno, 2015:37). Menelisik sejarah kehadiran wanda wayang, serat

    Centini jilid dua dapat dijadikan referensi bahwa wanda wayang sudah

    dikenal pada masa kemimpinan Sultan Agung raja dari kerajaan Mataram

    Islam. Cerita tersebut terdapat dalam pupuh Salisir pada 46 sampai dengan

    49 yang berisi sebagai berikut.

    46. Ing samengko karsa nata, kang Sinuhun Kanjeng Sultan Agung

    Kyatingrat parabnya, Prabu Anyakrakusuma.

    47. Karsa mangun wayang purwa, prabote wadon lan priya, samya tinatah sedaya, jinait lanyapanira.

    48. Sarta sangkuk dedegira, kan pancen melek matanya, kajait sinungan tandha, gedhondhongan namanira.

    49. Rangkep-rangkep ingkang wanda, ing sawusing paripurna, arjunane pinaringan, aran kiayi mangu ika (Kamajaya, 1986:203).

  • 17

    ( 46. Waktu ini dari kehendak sang raja, Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Kyatingrat yang bergelar Prabu Anyakrakusuma.

    47. Niat untuk membuat wayang purwa, ragamnya putri dan putra, sudah ditatah semuanya, yang bermata dipahat lembut berparas lanyap (posisi muka mendongak)

    48. Serta agak membungkuk perawakannya, yang tampak terbuka matanya, penuh dengan pahatan jait (pahatan yang seperti sulaman benang), disebut bentuk mata kedondongan

    49. Rangkap-rangkap wanda dari setiap figur wayangnya, setelah selesai, salah satu wanda tokoh Arjuna diberi nama Kyai Mangu. )

    Sejarah tentang wanda dari serat Centini diperkuat oleh Bambang

    Suwarno dalam disertasinya yang menyebut bahwa era Jawa-Islam telah

    muncul konsep wanda pada pewayangan Jawa. Sebagai bukti adalah,

    beberapa wayang kulit Cirebon yang diklaim sebagai keturunan langsung

    dari wayang era kerajaan Demak, yaitu tokoh Yudhistira wanda wandu dan

    santri, Bima wanda pambedil, amuk dan klantung, serta Arjuna wanda sabuk

    inten dan sigeger (Suwarno, 2015:39). Buku berjudul Rupa dan Karakter

    Wayang Purwa juga menyebutkan bahwa zaman kerajaan Demak

    melakukan perombakan besar-besaran pada boneka wayang kulit. Para

    wali (ulama kerajaan Demak) merubah bentuk wayang kulit yang semula

    berwujud realis menjadi terlihat profil atau dari sisi samping, tanganya

    dipanjangkan, dan setiap wayang digapit serta ditancapkan pada suatu

    objek untuk mendapatkan bentuk imajinatif abstrak yang tidak

    menyerupai manusia, namun tetap proporsional dan sangat serasi hingga

    tampil sangat indah (Sudjarwo dkk, 2010:51-52).

    Pendapat di atas dikuatkan oleh Kusumadilaga pada Serat

    Sastramiruda yang menyatakan bahwa setelah runtuhnya kerajaan

    Majapahit pada tahun 1433 maka dibawalah gamelan beserta wayang

  • 18

    beber ke negeri Demak. Sri Sultan Syah Alam Akbar (raja pertama

    kerajaan Demak) sangat suka sekali pada gendhing-gendhing karawitan

    dan hiburan wayang, bahkan Sri Sultan menjadi dalang dan sering

    mementaskan pertunjukan wayang Beber. Oleh karena menurut Kitab Fiqh

    (hukum Islam) dinyatakan bahwa wujud wayang pada saat itu masuk

    dalam kriteria haram, maka wayang didesain ulang oleh para wali (ulama

    kerajaan Demak) dengan menghilangkan sifat gambar mahluk hidup

    secara realis dirubah dalam bentuk karekatur manusia. Wayang tersebut

    dibuat dengan berbahan kulit kerbau yang ditipiskan, dasarnya berwarna

    putih yang berasal dari serbuk tulang dan bahan perekat (lem), dilukis

    dengan tinta, wayang berbentuk wujud manusia dari samping yang

    digambar miring sekaligus dengan tanganya yang berukuran sangat

    panjang, kemudian dijepitlah satu demi satu wayang tadi dan

    ditancapkan pada kayu yang sudah dibuatkan lobang. Setiap Sri Sultan

    hadir pada pertunjukan wayang, wayang yang telah terpasang berjajar-

    jajar di panggung diambil dan dipersembahkan pada sultan. Sejak saat itu

    wayang tersebut dinamakan wayang purwa. Hal tersebut diperingati

    dengan sengkalan memet berbunyi : Geni murub siniram in wong dengan arti

    api menyala disiram orang (Kusumadilaga, 1981:14-15). Dengan demikan

    menunjukan bahwa sejak pada era Jawa-Islam sudah mengenal konsep

    wanda dan mengalami proses penciptaan wanda dari gambar realis

    menjadi wujud profil, serta menjadi induk dari wujud boneka wayang

    kulit gaya Surakarta saat ini.

    Secara fisik ciri khas wanda wayang kulit purwa gaya Surakarta

    dapat dillihat pada bentuk yang tidak nyata seperti manusia dan lebih

    berwujud ekspresif, dekoratif, serta karikaturil (Sutrisno, 1964:3). Oleh

  • 19

    karena itu, bukan bentuk fisik nyata dari tokoh yang divisualkan, akan

    tetapi lebih kepada paduan sifat, karakter dan gambaran fisik yang

    disajikan dan berwujud karikatur (Suwarno, 1999:20). Buku Teori

    Pedalangan menyebutkan bahwasanya salah satu unsur penting penunjang

    pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta adalah unsur seni rupa yang di

    dalamnya terdapat wanda sebagai bagianya (Sumanto, 2001:1). Wanda

    menjadi bagian penting pada pertunjukan wayang kulit era modern saat

    ini walaupun pada penerapanya juga tidak mutlak harus ada. Kehadiran

    wanda yang tepat sesuai dengan suasana hati, suasana adegan, karakter

    trokoh dan sanggit lakon akan mempermudah serta memancing ekspresi

    dalang untuk lebih jauh dalam pembawaan teatrikal adegan. Misal saat

    Arjuna dalam suasana sedih pasti akan lebih menjiwai apabila memakai

    wanda janggleng, atau saat suasana hati Arjuna sedang marah pasti lebih

    akan ekspresif jika menggunakan wanda muntap (Purbo Asmoro,

    wawancara 20 Januari 2019).

    Macam-macam wanda wayang tercipta dengan perjalanan waktu

    yang cukup panjang serta mengikuti kebutuhan dari pertunjukan. Hal

    tersebut dibuktikan melalui wanda wayang ciptaan terdahulu memiliki

    candra sengkala yang berbeda pada setiap wayangnya. Candra Sengkala

    sendiri bisa menunjukkan waktu pembuatannya dengan contoh sebagai

    berikut.

    Sri Susuhunan Paku Buwana ke 2 pada tahun 1650 membuat wayang purwa lengkap dengan tiga macam wajah Janaka, yaitu Janaka wanda jimat, Janaka wanda mangu dan Janaka wanda kanyut yang ditatah oleh Cermapengrawit bersama kyai Ganda. Itulah permulaan wayang liyepan dan lanyapan (muka mengadah) dijahit, bahkan Sri Baginda sendiri berkenan memahat Arjuna muda. Sampai pada waktu ini hasil karya tersebut masih masih ada pada saya. Wayang tersebut setelah

  • 20

    selesai pembuatanya diberi nama kyai Pramukanya, dan peristiwanya diperingati dengan sengkalan memet berupa: Raksasa bermata satu, berhidung seperti buah terong kepok dengan menyandang keris yang di dalam dunia pedalangan disebut dengan Buta Congklok, yaitu wayang raksasa yang digunakan dalam menjawab pertanyaan. Candra sengkala dari wayang Buta Congklok tersebut adalah: Buta lima angoyak jagad (raksasa lima menggoncang dunia) yang menunjukan tahun 1655 (Kusumadilaga, 1981:23).

    Catatan di atas menunjukan bahwa ketika Sunan Paku Buwana II

    memerintahkan pembuatan wayang Janaka Pramukanya ditandai dengan

    wayang Raksasa Terong atau Buta Congklok dengan candra sengkala yang

    berbunyi: buta lima hanggoyang jagad yang menunjukan tahun 1655 Jawa.

    Dengan begitu dapat diketahui wayang tersebut diciptakan pada tahun

    1655 Jawa.

    K.P.A. Puger di Kartasura (yang keudian bertahta menjadi Sinuhun Pakubuwana I) mencipta wayang Purwa dengan pola wayang ciptaan Mataram. Wayang Janakanya dengan wajah kanyut, dari situlah dimulai pembaharuan wayang seberangan (kerajaan seberang) dengan mata liyepan (mata sipit), mata thelengan (melotot) dan wayang raksasa prepatan. Kesemuanya dilengkapi baju dengan baju kebesaran dan memakai keris. Peristiwa tersebut diberi sengkalan memet: Raksasa perempuan yang memakai perlengkapan pakaian sama dengan laki-laki, bermata satu dengan tangan dua buah, disebut dengan Buta Kenya Wandu (gadis banci). Candra sengkalanya adalah: Buta nembah rasa tunggal yang berarti raksasa menyembah pada perasaan tunggal), menunjukan tahun 1625 (Kusumadilaga, 1981:22-23).

    Catatan di atas menunjukan bahwa wayang Buta Kenya Wandu

    memiliki candra sengkala: buta nembah rasa tunggal yang menunjukan

    pembuatanya pada tahun 1625 Jawa. Wayang Buta Kenya Wandu tersebut

    menurut catatan diatas dijelaskan sebagai pertanda pembuatan wayang

    Janaka wanda kanyut.

  • 21

    Ragam wanda terdahulu yang terbatas, juga menjadikan faktor

    seniman menciptakan wanda baru untuk tokoh tertentu demi totalitas

    pertunjukan agar lebih mendukung dalam penghayatan pesan serta kesan

    yang disampaikan (Bambang Suwarno, wawancara 18 Desember 2018).

    Fakta diatas menunjukan bahwa ragam wanda wayang yang ada saat ini

    lebih memvisualkan tokoh dengan banyak variasi cerita. Sejalan dengan

    pendapat R. Sutrisno yang menyebut bahwa berkembangnya wanda dari

    tokoh wayang karena tokoh tersebut adalah tokoh utama dalam banyak

    cerita, banyak memiliki variasi suasana hati, dan banyak digemari oleh

    seniman maupun penghayat (Sutrisno, 1964:2). Purbo Asmoro

    menyebutkan bahwa terkadang ada keegoisan dari dalang maupun

    seniman untuk menciptakan serta menampilkan wanda tokoh wayang

    tertentu (Purbo Asmoro, wawancara 20 Januari 2019). Kesimpulannya

    adalah wajar jika tidak semua tokoh wayang memiliki ragam wanda yang

    banyak.

    Beberapa tokoh wayang kulit purwa gaya Surakarta yang memiliki

    variasi wanda antara lain:

    1. Sinta

    Wayang tokoh Sinta di sini akan ditampilkan dengan tiga contoh

    wanda yang berbeda. Ketiga contoh tersebut adalah sebagai berikut.

  • 22

    a. Sinta Wanda Lugas

    Gambar 1. Wayang Sinta Wanda Lugas koleksi Dr. Bambang

    Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto: Bayu Darsono)

  • 23

    b. Sinta Wanda Legawa

    Gambar 2. Wayang Sinta Wanda Legawa koleksi Dr. Bambang Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto: Bayu Darsono)

  • 24

    c. Sinta Secara Tradisi

    Gambar 3. Wayang Sinta Tradisi koleksi Purbo Asmoro, S. Kar, M. Hum (Foto: Bayu Darsono)

  • 25

    2. Rama

    Tokoh Rama Wijaya di sini akan ditampilkan dengan dua contoh

    wanda yang berbeda.

    a. Rama Ngulandara

    Gambar 4. Wayang Rama Wijaya Wanda Ngulandara koleksi

    Dr. Bambang Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto: Bayu Darsono)

  • 26

    b. Rama Bokongan

    Gambar 5. Wayang Rama Wijaya Bokongan koleksi Dr. Bambang Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto:

    Bayu Darsono)

  • 27

    3. Leksmana

    Tokoh Leksmana di sini akan ditampilkan dengan dua contoh wanda

    yang berbeda.

    a. Leksmana Lelana

    Gambar 6. Wayang Leksmana Wanda Lelana koleksi Dr. Bambang Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto: Bayu Darsono)

  • 28

    b. Leksmana Bokongan

    Gambar 7. Wayang Leksmana Bokongan koleksi Dr. Bambang Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto:

    Bayu Darsono)

  • 29

    BAB III

    STRUKTUR DRAMATIK LAKON SINTA BOYONG

    SAJIAN BAMBANG SUWARNO

    A. Versi Cerita Lakon Sinta Boyong

    1. Sinta Boyong dalam Serat Ramayana Karya Sunardi D.M.

    Setelah tewasnya Dasamuka, oleh Rama Regawa tahta kerajaan

    Alengka diserahkan kepada Wibisana, karena hanya Wibisana yang masih

    hidup sebagai pemegang hak waris sah kerajaan Alengka. Mendengar

    kabar kalahnya Dasamuka serta pelantikan Wibisana, Sinta ingin segera

    bertemu Rama Regawa. Rama Regawa berpesan melalui Anoman agar

    Sinta bersuci dahulu untuk menunjukan bahwa selama ini tetap setia

    kepada suami. Sinta yang semula ingin tampil apa adanya saat

    menghadap Rama dengan pakaian lusuh serta kondisi tubuh yang kurus

    kering karena penderitaan selama setahun dalam cengkraman Dasamuka,

    akan tetapi demi menuruti permintaan Rama lantas Sinta mengubah

    niatnya. Rasa terpaksa demi menuruti permintaan Rama, Sinta menafsir

    perintah tersebut dengan bermandikan bunga dan wewangian lainnya,

    mengenakan kain baru, menyanggul rambutnya serta menyiramnya

    dengan aroma wangi sehingga terlihat sangat cantik.

    Rama sangat kaget setelah melihat keadaan Sinta yang menghadap

    dengan keadaan yang sangat cantik dan memperlihatkan tubuh yang

    sehat karena hidup bahagia. Rama menjelaskan rasa keraguan atas

    kesetian Sinta karena setahun berada dalam penguasaan Dasamuka.

    Mendengar hal tersebut, membuat Sinta menangis sedih serta akan pati

  • 30

    obong dan bersumpah dirinya tidak akan selamat jika benar seperti apa

    yang diragukan Rama Regawa. Setelah api unggun dipersiapkan oleh

    prajurit kera atas perintah Rama, Sinta meloncat masuk ke dalam kobaran

    api dengan diiringi tangisan dari semua yang menyaksikan kejadian

    tersebut. Pertolongan dewata mulai muncul ketika batara Brahma sebagai

    dewa api menyelamatkan Sinta dengan merubah panas api menjadi

    dingin. Secara bersamaan batara Guru tiba di Alengka dengan diiringi

    jutaan dewa untuk menemui Rama yang dianggap sudah melampau batas

    dalam memperlakuakn Sinta. Setelah mendengar wejangan dari para

    dewa, Rama Regawa menjadi luluh hatinya dan sungkem kepada batara

    Guru serta bisa menrima Sinta dengan sepenuh hati.

    Suasana suka cita penuh kegembiraan yang terjadi di medan

    pertempuran lantas dilanjutkan dengan perjalanan Rama Regawa

    memboyong pulang dewi Sinta yang diiringi rombongan dari Alengka.

    Langit penuh dengan kendaraan Rama Regawa beserta rombongan

    menuju Ayodya menggunakan kereta terbang dari Alengka. Rama

    Regawa duduk berdua dengan Sinta dalam satu kereta terbang,

    memperlihatkan keindahan gunung Suwela yang penuh dengan kayu

    besar serta batu kristal yang digunakan prajurit kera sebagai senjata.

    Kemudian Rama menunjukan bangunan menakjubkan yaitu tanggul

    Setubanda di atas lautan luas yang dulunya dibangun oleh prajurit kera

    untuk menyebrang ke wilayah Alengka. Ketika berada di atas gunung

    Mangliawan, Sinta mengeluarkan air mata karena mendengarkan cerita

    dari Rama tentang penderitaan batin Rama saat ditinggal Sinta. Air mata

    Sinta semakin deras mengalir saat terbang di atas gunung Reksamuka

    karena mendengar ceritera pertemuan Rama dengan Sugriwa yang lantas

  • 31

    membutuhkan perjalanan panjang untuk berhasil menuju Alengka.

    Perjalanan Rama Regawa beserta rombongan dari Alengka berlangsung

    dengan suka cita dan penuh kebahagiaan.

    Mendengar kabar kepulangan Rama Regawa beserta rombongan

    dari Alengka, prabu Barata raja kerajaan Ayodya yang juga saudara muda

    Rama Regawa mempersiapkan pesta penyambutan yang luar biasa. Saat

    rombongan dari kerajaan Alengka tiba di kerajaan Ayodya, prabu Barata

    beserta keluarga dan seisi kerajaan sangat bahagia sekali menerima

    kedatangan mereka, terutama Rama dan Sinta adalah yang menjadi pusat

    perhatian. Ketiga istri dari mendiang prabu Dasarata, yaitu dewi Ragu

    atau dewi Sukasalya ibu dari Rama Regawa, dewi Kekayi ibu dari Barata,

    dan dewi Sumitra ibu dari Leksmana menangis bahagia menyambut

    kepulangan putra serta menantu mereka setelah sekian lama pergi

    meninggalkan kerajaan Ayodya.

    2. Sinta Boyong Versi Padmosoekotjo

    Lakon Sinta Boyong dalam buku Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita

    jilid III tulisan Padmosoekotjo dijelaskan pada bagian cerita Dewi Sinta

    Manjing Dahana Minangka Cihnaning Kasuciane dan bagian Rama Kondur

    Menyang Ayodya halaman 13 hingga 20. Lakon tersebut menceritakan

    setelah kemenangan Rama Wijaya atas mungsuhnya Dasamuka, lantas

    memerintahkan Anoman menjemput Sinta untuk datang ke setihinggil

    kerajaan Alengka dan berpesan agar Sinta membuktikan kesucianya

    didepan orang banyak bahwa dirinya masih suci belum tersentuh

    Dasamuka. Kabar dari Anoman membuat Sinta sangat bahagia dan

  • 32

    bersemangat, dan dewi Trijatha pun tak tinggal diam dengan melakuakn

    perawatan kepada Sinta serta merias dewi Sinta dengan sangat cantik

    hingga tubuhnya wangi bercahaya.

    Setibanya Sinta di setihinggil kerajaan Alengka disambut dengan

    ekspresi diam dan wajah cemberut penuh curiga dari Rama karna melihat

    Sinta tampak cantik sekali, dengan keadaan tubuh sehat, bersih, bersinar

    serta sangat harum penuh perhiasan yang menandakan bahwa Sinta

    sebelumnya hidup sangat bahagia bersama Dasamuka, penuh

    bergelimang harta, perhiasan, wewangian dan kenikmatan hidup hingga

    melupakan dirinya. Atas kejadian tersebut, Rama Wijaya mempersilahkan

    Sinta supaya meninggalkan dirinya agar menghindarkan dusta kepada

    keluarganya.

    Dewi Sinta dan semua orang yang hadir saat itu sangat sedih dan

    meneteskan air mata mengetahui sikap Rama yang demikian. Atas

    kenyataan tersebut, lantas dewi Sinta meminta kepada raden Leksmana

    agar membuatkan api unggun untuk pati obong. Setelah api unggun siap

    dan Sinta masuk kedalam kobaran api, dewa Hagni menyelamtkan Sinta

    dengan menghilangkan panasnya api menggantinya dengan kesejukan.

    Lalu dewa Hagni memberi tahu kepada Rama dan semua orang bahwa

    Sinta masih sangat suci belum oernah melupakan Rama serta belum

    tersentuh oleh Dasamuka. Untuk meyakinkan Rama Wijaya, bathara

    Sangkara yang didampingi bathara Indra dan banyak dewa di

    belakangnya muncul menemui Rama berkata sama dengan yang

    dikatakan dewa Hagni. Melihat dan mendengar fakta tersebut membuat

    hati Rama Wijaya sangat puas lantas dia bisa menerima Sinta dengan

    lapang dada dan setelahnya bisa menerima keadaan Sinta. Suasana

  • 33

    bahagia hati Rama Regawa lantas dilampiaskan dengan memboyong Sinta

    pulang ke kerajaan Ayodya bersama iring-iring prajurit sebagai rasa suka

    cita atas keberhasilan Rama mendapatkan kembali Sinta.

    Cerita Sinta Boyong antara versi Sunardi D.M. dan versi

    Padmosoekotjo memiliki banyak persamaan isi dan sedikit perbedaan.

    Perbedaan antara kedua versi hanya terletak pada variasi isian dari tiap-

    tiap adegan dan kesamaanya adalah jalan cerita yang dimulai dari

    tewasnya Dasamuka hingga kedatangan Rama dan Sinta di kerajaan

    Ayodya. Lakon Sinta Boyong yang disajikan Bambang Suwarno memiliki

    perbedaan yang mencolok dari kedua versi tersebut, mulai dari jalan

    cerita yang bergandeng antara beberapa perjalanan Rama dan Sinta,

    awalan cerita yang dimulai dari hilangnya Sinta yang dicuri oleh

    Dasamuka, hingga akhir cerita dengan penobatan Rama sebagai raja di

    kerajaan Ayodya.

  • 34

    B. Struktur Dramatik Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno

    Lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno dipentaskan pada

    tanggal 14 Desember 2017 dalam rangka peringatan 100 hari wafatnya

    almarhum Sukardi Samiharjo bertempat di Dukuh Sawahan, Desa Kudu,

    Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo. Untuk melihat bagaimana peran

    tokoh Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno akan

    dikaji melalui teori struktur dramatik dari Soediro Satoto. Langkah-

    langkah yang diterapkan dalam aplikasi teori struktur dramatik dari

    Soediro Satoto adalah dengan mengetahui struktur adegan, alur cerita,

    penokohan, tema dan menentukan tema. Terapan dari teori struktur

    dramatik Soediro Satoto dijabarkan sebagai berikut.

    1. Struktur Adegan

    Struktur adegan lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno terbagi

    atas tiga pathet pembingkai waktu dan laras karawitannya, yaitu pathet nem,

    pathet sanga dan pathet manyura. Rincian struktur adegan pada tiap-tiap

    pathet adalah sebagai berikut.

    a. Pathet Nem

    Pertunjukan wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno

    dalam pathet nem terbagi atas empat belas adegan sebagai berikut.

  • 35

    1. Adegan Rama ngudarasa dengan Sinta dan Leksmana di dalam

    hutan Dandhaka

    Curahan hati antara Rama dan Sinta tentang lelana brata atau bertapa

    dengan cara berkelana di dalam hutan Dandhaka dan Rama

    mengingatkan kepada Leksmana adiknya yang selalu mengikuti

    kepergian Rama untuk waspada kepada segala bentuk gangguan.

    2. Dasamuka dan Marica melihat Sinta dari angkasa

    Dari jauh di angkasa, Dasamuka yang sudah mengetahui

    keberadaan Sinta, Rama dan Leksmana merencanakan sesuatu agar

    perhatian Rama dan Leksmana lepas dari Sinta.

    3. Kijang jelmaan Marica menggoda Sinta

    Seekor kijang berwarna emas datang di hadapan Rama, Sinta dan

    Leksmana. Sinta sangat tergoda untuk memiliki kijang berwarna emas

    tersebut dan memohon kepada Rama untuk menangkapnya.

    4. Rama memburu kijang

    Sekian lama mengejar dan memburu, Rama justru diserang kijang

    buruanya. Kewalahan atas ulah kijang, Rama melepaskan anak panah

    yang tertuju kepada kijang tersebut, kijang terkena panah dan babar

  • 36

    menjadi raksasa Kala Marica. Kaget dan merasa ada dijebak mungsuh,

    Rama mengejar dan menyerang Kala Marica. Kalah dari pertarungan

    tersebut, membuat Marica melarikan diri dan menipu Sinta dengan

    menirukan suara Rama yang sedang membutuhkan pertolongan karena

    serangan kijang.

    5. Sinta menyuruh Leksmana menyusul Rama

    Mendengar suara Marica yang menirukan Rama Regawa sedang

    meminta tolong, Sinta sedih dan memerintah kepada Leksmana agar

    menyusul Rama dalam memburu kijang. Leksmana yang sadar bahwa itu

    adalah suara tipuan dari mungsuh, menolak perintah Sinta dan ada

    perdebatan kecil diantara keduanya. Sifat kewanitaan Sinta yang penuh

    kekawatiran dan curiga muncul, Sinta mengutarakan dugaanya kepada

    Leksmana bahwa ada niat dari Leksmana untuk membiarkan Rama celaka

    lantas memiliki dirinya sebagai istri. Tersinggung akan perkataan Sinta,

    Leksmana lalu membuat rajah Kala Cakra untuk melindungi Sinta dari

    mungsuh. Setelah membuat rajah, Leksmana berangkat menyusul Rama.

    6. Dasamuka menculik Sinta

    Mengetahui kepergian Leksmana, Dasamuka segera mendekati

    Sinta untuk menculiknya. Atas kekuatan rajah yang dibuat Leksmana,

    Dasamuka terpental dan tidak bisa mendekati Sinta. Dengan

    mengamalkan mantra-mantra kesaktian, Dasamuka akhirnya berhasil

    membuka rajah dari Leksmana dan berhasil menculik Sinta.

  • 37

    7. Burung Jatayu bertarung melawan Dasamuka

    Mendengar jeritan Sinta dan mengetahui ulah Dasamuka, burung

    Jatayu yang sedang berkelana di angkasa segera merebut dewi Sinta dari

    Dasamuka. Pertarungan terjadi antara Dasamuka melawan burung Jatayu.

    Atas kesaktian Dasamuka, Jatayu kalah dan sekarat karena terkena

    pusaka dari Dasamuka.

    8. Rama dan Leksmana bertemu dengan Jatayu yang sekarat

    Setelah kembalinya dari pemburuan kijang, Rama menemukan

    keadaan Jatayu yang sekarat ditengah jalan. Jatayu mengaku bahwa

    diirinya diserang oleh Dasamuka yang sedang menculik Sinta. Bersamaan

    dengan kesedihan Rama, Jatayu yang sedang sekarat akhirnya meninggal.

    9. Jejer keraton Guwa Kis Kendha

    Rama Regawa yang menerima pengabdian dari Sugriwa,

    mengungkapkan keinginanya mengutus Anoman untuk pergi ke Alengka

    memberikan cincin sotya ludira ke Sinta. Sugriwa menyetujui rencana

    tersebut dan Anoman menyanggupinya. Rama Regawa bersabda jika

    cincin sotya ludira pas di jari manis Sinta, maka Rama akan menyerang

    Alengka untuk merebut kembali Sinta yang telah diculik Dasamuka.

  • 38

    10. Budhalan Anoman diutus ke Alengka

    Anoman berangkat menuju kerajaan Alengka ditemani Semar

    dengan cara dimasukan ke kancing gelung milik Anoman untuk

    memudahkan perjalanan karena harus melewati samudera luas untuk

    menuju Alengka.

    11. Pertarungan antaraAnoman melawan Kataksini

    Saat Anoman memasuki wilayah kerajaan Alengka, Anoman

    mendarat ke sebuah jalan yang sebenarnya adalah lidah dari Kataksini,

    yaitu raksasa besar berlidah sangat panjang penjaga pantai kerajaan

    Alengka. Sadar masuk kedalam perut raksasa, Anoman merobek perut

    dari dalam dan membunuh Kataksini.

    12. Adegan Kedatonan

    Sinta yang kurung di taman sari oleh Dasamuka, terus menerus

    larut dalam kesedihan. Dewi Trijata putri Wibisana adik Dasamuka

    bersama abdi emban parekan, Cangik dan Limbuk tidak berhenti

    menghibur Sinta dengan lagu-lagu gembira, namun tetap tak

    membuahkan hasil. Kedatangan Dasamuka beserta Togog dan Bilung

    untuk menghibur Sinta agar mendapatkan perhatian juga kandas tidak

    ditanggapi oleh sang kusuma dewi. Sadar akan situasi tersebut, Togog,

    Bilung, Cangik, Limbuk, abdi parekan dan Trijata meninggalkan

    dasamuka serta Sinta agar memberikan keleluasaan dasamuka dalam

  • 39

    menghibur Sinta. Rayuan Dasamuka yang justru diejek oleh Sinta bahwa

    Dasamuka adalah raja picik yang penakut sangat jauh sekali

    dibandingkan kemuliaan Rama Regawa, membuat Dasamuka marah dan

    berniat membunuh Sinta dengan senjata keris. Saat Dasamuka hendak

    menikamkan keris, Sinta justru pasang badan dan mempersilahkan untuk

    dibunuh. Karena rasa cinta Dasamuka yang sangat besar terhap Sinta,

    membuat Dasamuka menjadi luluh dan mengurungkan niatnya untuk

    membunuh Sinta seraya meninggalkan Sinta sendirian. Setelah Dasamuka

    meninggalkan Sinta, datanglah Anoman yang berhasil menelusup masuk

    ke taman sari dan mendekat ke Sinta. Anoman memberikan cincin sotya

    ludira ke dewi Sinta sebagai bukti bahwa dia utusan dari Rama Regawa.

    Anoman juga menyampaikan sabda dari Rama Regawa, jika cincin sotya

    ludira pas di jari manis Sinta, maka Rama akan menyerang Alengka untuk

    merebut kembali Sinta yang telah diculik Dasamuka. Pada kenyataan

    yang dilihat oleh Anoman, cincin sotya ludira dari Rama sangat pas di jari

    Sinta. Begitu juga dengan Sinta memberi cundha manik kancing gelung

    miliknya untuk diberikan kepada Rama sebagai bukti bahwa Anoman

    sudah berhasil menemui Sinta. Merasa tugasnya selesai, Anoman

    berpamitan meninggalkan taman sari.

    13. Anoman membakar keraton Alengka

    Merasa kurang puas dengan pekerjaanya, Anoman merusak dan

    membakar taman kerajaan Alengka hingga diingatkan oleh Semar bahwa

    pekerjaanya telah selesai dan waktunya menghadap ke Rama Regawa.

  • 40

    14. Adegan keraton Alengka

    Dasamuka yang kecewa dengan terbakarnya kerajaan Alengka

    karena ulah Anoman, Dasamuka meminta pendapat kepada Kumbakarna

    dan Wibisana untuk mengatasi Rama beserta para prajurit sekutunya.

    Kumbakarna dan Wibisana secara seragam memberikan pendapat supaya

    Sinta dikembalikan saja ke Rama Regawa agar tak semakin parah

    kehancuran Alengka. Mendengar hal itu, membuat Dasamuka marah dan

    mengusir Wibisana beserta Kumbakarna keluar dari kerajaan Alengka.

    Setelah mengusir Wibisana dan Kumbakarna, Dasamuka memanggil

    patih Prahasta dan Indrajit untuk menyiapkan prajurit alengka supaya

    menyerang Rama Regawa beserta pasukan koalisinya.

    b. Pathet Sanga

    Pertunjukan wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno

    dalam pathet sanga terbagi atas tujuh adegan sebagai berikut.

    1. Budhalan kerajaan Alengka

    Patih Prahasta dan Indrajit memberangkatkan pasukan Alengka

    untuk menyerang Rama Regawa beserta pasukan kera yang menjadi

    sekutunya.

  • 41

    2. Adegan gara-gara

    Berada di pesanggrahan Pancawati milik Rama menyiapkan

    pasukan sekutunya, abdi dari Rama Regawa, yaitu Gareng, Petruk dan

    Bagong sedang menghibur diri dengan lagu-lagu gembira.

    3. Adegan pesanggrahan Pancawati

    Rama Regawa yang ditemani Leksmana, Sugriwa dan patih Anila

    sedang menunggu kepulangan Anoman dari Alengka. Kedatangan

    Anoman dengan memberikan cundha manik kancing gelung membuat Rama

    Regawa gembira. Anoman mengabarkan jika Sinta sangat sedih dengan

    keadaan berpisah dari Rama Regawa. Rama Regawa sangat sedih

    mendengar kabar dari Anoman, namun dikagetkan dengan kedatangan

    Wibisana yang berniat bergabung dengan Rama Regawa. Wibisana

    bercerita jika dirinya diusir dari Alengka karena bersikukuh bahwa Sinta

    harus dikembalikan ke Rama. Mendengarkan perkataan Wibisana,

    membuat Rama geram dengan sikap Dasamuka sehingga menguatkan

    kehendak Rama Regawa untuk menyerang Alengka yang juga disetujui

    Sugriwa. Wibisana menawarkan diri sebagai pengatur siasat untuk

    menembus pertahanan Alengka dan disetujui oleh Rama.

    4. Budhalan prajurit kera dari Pancawati

    Sugriwa yang memimpin pasukan kera dan pasukan dari kerajaan

    Guwa Kis Kendha miliknya untuk berangkat menyerang kerajaan

    Alengka.

  • 42

    5. Adegan pasukan kera membangun tanggul

    Pasukan kera pimpinan Sugriwa berhasil membangun tanggul setu

    banda membelah samudra selatan untuk menyebrang ke kerajaan

    Alengka.

    6. Perang tanding antara Prahasta melawan Anila

    Sesampainya pasukan kera di wilayah Alengka langsung disambut

    dengan serangan dari pasukan Alengka pimpinan patih Prahasta. Melihat

    hal itu, patih Anila tidak tinggal diam dan menyerang patih Prahasta.

    Prahasta yang tinggi besar dan berperang dengan mengendarai gajah

    membuat patih Anila beserta pasukan kera kewalahan. Anila segera

    mengambil senjata gadha dan melumpuhkan gajah kendaraan Prahasta.

    Walaupun gajah kendaraan Prahasta telah lumpuh, namun Anila tetap

    kewalahan menghadapi keperkasaan Prahasta yang jauh lebih tinggi dan

    besar hingga membuat Anila nyaris tewas. Anila yang melihat Prahasta

    lengah segera mengangkat tugu Windardi dan menghantamkan ke kepala

    Prahasta membuat Prahasta tewas seketika.

    7. Kumbakarna maju berperang

    Kumbakarna geram setelah mengetahui tewasnya Prahasta yang

    juga adalah pamanya sendiri. Marahnya Kumbakarna hingga membuat

    dia maju berperang menghadapi pasukan kera. Wibisana yang

    mengetahui kaknya maju berperang segara menemui dan membujuk agar

    Kumbakarna mundur dari peperangan. Namun Kumakarna tetap

  • 43

    bersikukuh dengan pendirianya dengan alasan bahwa ia maju berperang

    untuk membela tanah airnya dari serangan mungsuh dan justru ia

    meminta kepada Wibisana agar dipertemukan dengan Rama Regawa

    sebagai lawan perang tanding. Setelah Wibisana pergi meninggalkan

    Kumbakarna, segera Kumbakarna mengamuk menghancurkan barisan

    dari pasukan kera dan memakan banyak korban. Melihat Kumbakarna

    mengemuk, Wibisana segersa menemui Rama Regawa agar menghadapi

    Kumbakarna dimedan perang. Rama Regawa yang beratarung

    menghadapi Kumbakarna harus terdesak mundur karena kesaktian

    Kumbakarna. Sehingga Rama Regawa melepaskan panah guhwa wijaya

    tertuju ke Kumbakarna. Setelah terkena panah guhwa wijaya,

    Kumbakarna tewas dan dihampiri oleh Gunawan untuk didoakan supaya

    dapat menggapai surga serta penghormatan terakhir Wibisana kepada

    Kumbakarna.

    c. Pathet Manyura

    Pertunjukan wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno

    dalam pathet manyura terbagi atas sepuluh adegan sebagai berikut.

    1. Perang tanding antara Indrajit melawan Wibisana

    Mengetahui kematian Kumbakarna, Indrajit geram dan mengamuk

    ke Gunawan Wibisana yang dianggap sebagai penyebab kerusakan negri

    Alengka karena Wibisana menjadi pengatur strategi perang dari pasukan

    Rama Regawa. Wibisana yang terdesak tak tinggal diam dan segera

    melepaskan panah yang sudah dibacakan mantra sakti. Mengiungat

  • 44

    bahwa Indrajit berasal dari mega yang disulap oleh Wibisana dijadikan

    manusia, maka setelah terkena panah Wibisana, Indrajit tewas kembali

    menjadi mega.

    2. Perang tanding antara Dasamuka melawan Rama Regawa

    Mengetahui negrinya hancur oleh pasukan Rama Regawa,

    Dasamuka maju berperang dengan mengendarai kereta jatisura miliknya.

    Melihat Dasamuka maju ke medan perang dengan mengendarai kereta

    jatisura, Rama Regawa maju berperang menghadapi Dasamuka dengan

    mengendarai kereta jaladara. Pertarungan terjadi sangat sengit, dan Rama

    Regawa terdesak oleh kesaktian Dasamuka melalui gigitan taring

    Dasamuka yang sakti kepada Rama. Datanglah Semar menemui Rama

    untuk memberikan saran agar Dasamuka diserang dengan menggunakan

    pusaka panah guhwa wijaya dan timbunan gunung ngungrungan

    mengingat Dasamuka memiliki ajian pancasonya yang bisa hidup kembali

    apa bila masih terkena suasana matahari dan udara. Makadari itu Semar

    memerintahkan Anoman untuk menyiapkan gunung ngungrungan untuk

    menimbun Dasamuka. Sementara Anoman menyiapkan gunung, Rama

    segera bergerak cepat dengan melepaskankan panah guhwa wijaya tertuju

    ke Dasamuka. Setelah Dasamuka terkena panah segera ditimbun oleh

    Anoman dengan menggunakan gunung ngungrungan dan disitulah akhir

    hayat Dasamuka. datanglahWibisana di depan jasad Dasamuka untuk

    mendoakan kematian Dasamuka.

  • 45

    3. Adegan Sinta Obong

    Rama yang menemui Sinta di kerajaan Alengka dibuat terkejut

    karena Sinta menolak untuk dipeluk oleh Rama. Sinta beralasan bahwa

    dirinya belum siap dengan tanggapan buruk dari lingkungan yang

    berdasar dari dugaanya sendiri karena Sinta telah lama tinggal dalam

    kurungan dasamuka di Alengka. Oleh karena itu untuk menghindarkan

    fitnah apabila Sinta belum pernah “tersentuh” oleh Dasamuka, Sinta

    memutuskan untuk bersuci diri dengan pati obong. Sinta berdoa memohon

    kepada tuhan, jika dirinya masih “bersih” maka mohon diberi

    keselamatan, namun jika dirinya sudah “tersentuh” oleh Dasamuka ia rela

    untuk mati hangus terbakar dalam api unggun. Setelah proses

    pembakaran dalam pati obong selesai, Sinta keluar dari api dengan selamat

    dan menampilkan aura yang semakin bercahaya.

    4. Adegan pelantikan Wibisana

    Saat Wibisana memasrahkan kerajaan Alengka kepada Rama,

    justru Rama melantik Wibisana sebagai raja Alengka selaku ahli waris sah

    dari keturunan Alengka. Setelah pelantikan, Togog abdi setia Alengka

    mengusulkan pergantian nama kerajaan Alengka menjadi kerajaan

    Singgela Pura dengan maksut doa dan harapan menuju kebaikan.

    5. Rama memboyong Sinta pulang

    Setelah selesainya pelantikan, Rama meminta pamit kepada

    Wibisana untuk memboyong Sinta kembali ke Ayodya sebagai simbol doa

  • 46

    dari dhalang dalam acara peringatan 100 hari wafatnya bapak Sukardi

    samiharjo agar mendapatkan jalan yang baik di akhirat.

    6. Adegan keraton Ayodya pembahasan kelayakan Rama kembali ke

    Ayodya

    Prabu Barata yang semantara menjadi raja Ayodya mewakili Rama

    Regawa karena pergi bertapa keluar dari kerajaan, meminta pendapat

    kepada resi Yogiswara dan resi Wismamitra bagaimana kelanjutan dari

    tahta kerajaan Ayodya. Resi Yogiswara memberi nasihat jika tahta harus

    dikembalikan kepada Rama Regawa mengingat mereka sudah mendengar

    kabar kepulangan Rama. Barata dan adik bungsunya Satrugena

    menyetujui pernyataan dari resi Yogiswara.

    7. Penyambutan Rama, Sinta dan Leksmana pulang ke Ayodya

    Kepulangan Rama, Sinta dan Leksmana ke Ayodya disambut

    meriah dari pihak kerajaan dengan berbagai pasukan pembawa sesaji

    yang sangat banyak. Barata, Satrugena, Yogiswara dan Wismamitra

    dengan sangat bahagia menyambut kedatangan Rama, Sinta dan

    Leksmana. Segera Barata menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada

    Rama untuk menjadi raja. Rama yang menerima serah terima tersebut

    segera dilantik oleh resi Yogiswara, resi Wismamitra dan Barata untuk

    menjadi raja resmi dikerajaan Ayodya dengan diberi petuah wejangan

    astha brata yaitu delapan sifat kepemimpinan. Setelah selesai memberi

    wejangan astha brata, datanglah pusaka milik resi Yogiswara dan

  • 47

    disambut dengan resi Yogiswara serta resi Wismamitra berpamitan untuk

    menuju moksa. Resi Yogiswara dan resi Wismamitra terbang

    mengendarai kereta dan hilang moksa bersamaan dengan suara guntur

    bergumuruh dari langit.

    8. Brubuhan prajurit Alengka menghadapi prajurit kera

    Kala Yaksa yang menjadi sekutu dekat Dasamuka mengamuk di

    Ayodya karena tidak terima dengan kematian dasamuka. Setelah Anoman

    berhasil membunuh Kala Yaksa, segera disambut dengan amukan dari

    Rekata Yaksa salah satu panglima perang Dasamuka yang masih tersisa.

    Bathara Bayu turun dari Kahwyangan untuk menumpas Rekata Yaksa

    karena kesaktian Rekata Yaksa yang sulit dibunuh.

    9. Tayungan

    Setelah menumpas Rekata Yaksa, bathara Bayu menari gagahan

    untuk perayaan keberhasilan Rama Regawa. Selesai tayungan tari dari

    bathara Bayu, Semar datang dan berterima kasih kepada bathara Bayu

    karena ikut membantu kerajaan Ayodya serta memohon kepada Tuhan

    melalui cerita keberhasilan Rama dan Sinta bisa menjadi simbol doa untuk

    almarhum bapak Sukardi yang telah wafat semoga mendapat tempat

    yang baik di sisi tuhan.

  • 48

    10. Adegan Golek’an

    Sajian wayang kulit ditutup oleh dhalang dengan tarian wayang

    golek yang menampilkan tokoh wanita sebagai penarinya.

    2. Alur

    Alur adalah rangkaian dari runtutan kejadian yang berasal dari

    proses sebab akibat pada suatu cerita. Alur dari sebuah cerita secara

    umum akan melewati beberapa frase yaitu, eksposisi (pengenalan),

    komplikasi (perumitan), krisis atau klimaks (puncak permasalahan),

    resolusi (peleraian masalah), dan keputusan atau penyelesaian (Satoto,

    1985:16-17).

    Adapun analisis alur lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno

    berdasarkan struktur alur Soediro Soetoto adalah sebagai berikut.

    a. Tahap Eksposisi (Pengenalan)

    Eksposisi adalah tahap perkenalan cerita yang bertujuan supaya

    audiens mendapatkan gambaran sekilas tentang drama tersebut, capaian

    dari tahap ini diharapkan audien menjadi lebih bisa terlibat dalam cerita

    (Soediro Satoto, 1985: 21-22). Tahap pengenalan lakon Sinta Boyong sajian

    Bambang Suwarno terjadi ketika berada dalam adegan pertama yaitu

    adegan Rama Regawa, Sinta dan Leksmana masuk ke dalam hutan

    Dandhaka dengan tujuan lelana brata. Rama, Sinta dan Leksmana

  • 49

    membicarakan hal yang terjadi saat itu mengenai tujuan dari apa yang

    mereka kerjakan.

    Transkrip narasi janturan yang menunjukan tahap pengenalan pada

    pertunjukan wayang kulit lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno

    adalah sebagai berikut.

    Swuh rep dhata pitahana, wusananing alam nunggal tunggal samadyaning nayun nayapada nikeng pada pamadyaning titah hyang jagad karana, karanadya suwadining wininugra winantya basmeng mantyu pudya mangkya tekap dusaneng pamayangkara. Nenggih pundi ta kang rinenggeng waragita, madyaning wana Dhadaka prasasat sesotya coplok saking embanan, sinten ta ingkeng lelana brata wonten ing jenggala dhadaka lah menika satria ing Ayudya sang narpa putra Regawa, marteng jagad peparabe, kekasih Sri Rama Wijaya, sarimbit gegandheng asta kaliyan garwa sang dyah ayu rekyan Sinta. Bawane temanten anyar nedeng pepasihan, samana tinundhung ramanata Dasarata mentar saking nagri Ayodya tinut sang ari Laksmana Widagda ngulandara sekawan welas warsa anglugas raga, busana sarwa cerma miwah agegimbal rikma. Awit saking kasetyaningkang rayi raden Laksmana ingkang saparantan sagandhengan konca marang risang raka, pramila hanggung gandheng kunca kaya tan bisa pinisahake, ana Rama ana Leksmana. Dene risang dyah ayu Sinta ingkang datan ginggang sarikma wusnya kajatu krama dening Sri Rama prasasat aweran lan wewayanganipun ing pundi papaning pangeran Rama ing mriku ing kono dununging dyah ayu Sinta (Bambang Suwarno, Sinta Boyong, track 01:02:30 - 01:05:25).

    (Swuh rep dhata pitahana, wusananing alam nunggal tunggal samadyaning nayun nayapada nikeng pada pamadyaning titah hyang jagad karana, karanadya suwadining wininugra winantya basmeng mantyu pudya mangkya tekap dusaneng pamayangkara. Tersebutlah dimana yang diperindah dengan lantunan sastra indah, di tengah hutan Dandhaka bagaikan permata lepas dari cincin, dialah yang sedang menjalani kelana suci di dalam hutan Dandhaka yaitu kesatria dari negri Ayodya putra raja Regawa, sang pengasuh dunia yang bernama Rama Wijaya, bersamaan dan bergandeng tangan dengan sang istri yaitu dewi Sinta. Aura pengantin muda yang sedang berbahagia penuh rasa kasmaran, akan tetapi sebelumnya terusir oleh sang ayah yaitu prabu Dasarata pergi dari kerajaan Ayodya dan diikuti oleh sang adik yaitu

  • 50

    Laksmana Widagda dengan empat belas tahun lamanya melepas pakaian mewahnya, berbusana serba dengan menggunakan kulit hewan hingga rambut mereka tampak menggimbal. Karena terlalu setiayanya sang adik yaitu raden Leksmana yang bagaikan selalu melekat anatara pakaian mereka, oleh karena itu mereka seperti tidak bias dipisahkan, di mana ada Rama maka di situ juga terdapat Laksmana berada. Sedangkan dewi Sinta juga selalu lengket dengan raden Rama Wijaya bagaikan pagar dengan baying-bayangnya, dimanapun keberadaan pangeran Rama di situ juga terdapat dewi Sinta.)

    Narasi janturan di atas penggambaran tokoh Rama ditemani sang

    istri yaitu Sinta dan sang adik yaitu Laksmana sedang berkelana di tengah

    hutan Dhandaka. Selain itu juga menjelaskan ikatan diantara mereka yang

    menunjukan hubungan antara Rama dan Sinta adalah pengantin baru dan

    Laksmana adalah adik Rama yang sangat setia dengan sang kakak.

    Kutipan dialog dibawah ini juga menunjukan tahap pengenalan cerita

    pada lakon Sinta Boyong yang sedangn menggambarkan situasi pada saat

    itu. Kutipan dialog tersebut disajikan oleh dalang setelah selesainya

    janturan. Adapun dialog tersebut sebagai berikut.

    RAMA : Nimas Sinta kadiparan rasaning tyasira, jeneng sira sun kanthi lelana brata manjing jroning wanadri.

    SINTA : Dhuh pangeran jejimat sesembahan kawula, pangeran Rama pangayoman kawula, sakalangkung remen senadyan mapan wonten madyaning wana wasa, sauger kula tansah humiring dening paduka pangeran Rama.

    RAMA : Heeeem, yayi Sinta, kasetyanira kang kaya mangkono ndadekake bombonging tyasingsun. Mengko ta yayi Lesmana, prayogakna nggonmu ngabyantara ana ngarsaning pun kakang.

    LEKSMANA : Nwuninggih kakangmas, mboten kirang prayogi anggen kula ngabyantara wonten ngarsa paduka, sembah pangabekti kula kunjuk.

  • 51

    RAMA : Iya yayi, ndadekake gedhening atikuteka tata kramamu genep temen

    LEKSMANA : Nwunninggih kakangmas, kawula namung tansah sendika dawuh paduka.

    RAMA : Leksmana kawruhana, aja tinggal ing kaprayitnan awit durung katon mendho raseksa Ngalengka kang demen gendhak sikara ngreridu para pandita lan para titah pujangkara ing wewengkon kene.

    LEKSMANA : Kawula nwuninggih, sabdha paduka kakangmas kaluhuran amung ngestokaken dawuh. (Bambang Suwarno, Sinta Boyong, track 01:09:40 - 01:11:25).

    (RAMA : Dinda Sinta, bagaimana perasaan hatimu saat ini engkau bersamaku melakukan berkelana suci ini masuk kedalam hutan lebat?

    SINTA : Duh pangeran yang sangat saya hormati, pangeran Rama pelindungku, amat sangat bahagia walaupun berada di tengah hutan besar yang lebat, selalu saya akan mengikuti paduka sang pangeran.

    RAMA : Heeeem, dinda Sinta, kesetiaanmu yang demikian membuat hatiku amat bahagia. Wahai adiku Laksmana, silahkan tempatkanlah keadaanmu dengan baik dan nyaman tidak usah ada rasa sungkan ketika bersamaku saat ini.

    LEKSMANA : Baiklah kakanda, sangat tidak ada rasa kecewa dalam keadaan ini yang sedang berada di hadapanmu, hormat dan bakti saya untukmu.

    RAMA : Iya dinda, sangat membaggaka karena kau memiliki tata krama yang sangat baik.

    LEKSMANA : Baiklah kakanda, saya akan selalu mengikuti dan berbakti kepadamu.

    RAMA : Laksmana ketahuilah, jangan tinggalkan kewaspadaan karena kelihatanya belum berkurang raksasa Alengka dalam mengganggu para pertapa dan para manusia di wilayah sini.

  • 52

    LEKSMANA : Saya mengerti, perkataan kakanda sangat saya pegang dan saya jalankan).

    Percakapan di atas menceritakan tentang kesetiaan Sinta dan

    Leksmana untuk selalu mengikuti Rama walaupun berada di tengah

    hutan. Kesetiaan dan kecantikan Sinta menyebabkan Dasamuka yang

    pada saat itu terbang di atas hutan Dhandaka terpesona dan jatuh cinta

    kepada Dewi Sinta. Dasamuka kemudian berniat untuk memiliki Dewi

    Sinta serta menjadikannya permaisuri Kerajaan Alengka. Keinginan

    Dasamuka inilah yang menyebabkan alur pada cerita Sinta Boyong

    tersebut menjadi merumit.

    b. Tahap Komplikasi (Perumitan)

    Tahap komplikasi adalah tahap yang menyajikan munculnya

    persoalan baru dalam cerita yang di dalam tahap ini persoalan mulai

    merumit dan gawat. Tahap ini juga sering disebut dengan tahap

    perumitan (Soediro Satoto, 1985:22). Tahap perumitan lakon Sinta Boyong

    sajian Bambang Suwarno terjadi ketika berada dalam adegan pertama

    yaitu Rama, Sinta dan Leksmana dalam hutan Dandhaka. Di dalam

    adegan tersebut, disajikan di kelir bagian atas berawal dari Dasamuka

    yang menemukan keberadaan Sinta yang telah lama dicari, menjadikan

    abdinya yaitu Kala Marica sebagai umpan untuk menarik perhatian Sinta

    dan Rama dengan dijadikan hewan rusa. Sinta yang tertarik dengan

    hewan tersebut lalu memohon kepada Rama untuk menangkapnya dan

    Rama menuruti kehendak Sinta. Setelah beberapa saat Rama pergi, Sinta

  • 53

    mendengar suara Rama yang sedang meminta tolong dan Sinta memohon

    kepada Leksmana untuk pergi memberi pertolongan kepada Rama,

    padahal sebenarnya suara yang didengar Sinta itu adalah gendam dari

    Dasamuka. Semula Leksmana menolak karena pesan dari Rama agar

    Leksmana tetap bersama Sinta untuk menjaga keselamatan Sinta, namun

    karena didesak Sinta, akhirnya Leksmana bersedia pergi mencari Rama.

    Setelah kepergian Leksmana, datanglah Dasamuka yang kemudian

    berhasil mencuri Sinta dari kelengahan Rama serta Leksmana.

    Kutipan transkrip dialog serta keterangan dari tahap perumitan

    pertunjukan wayang kulit lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno

    adalah sebagai berikut.

    DASAMUKA : Woih lhadalah, bat tobat rekyan Sinta ayune sesigar jagat iba senenging rasane atiku yen bisa sesandingan. Bandhaku ya donyaku, heh Marica!

    MARICA : Wonten timbalan keng ngadawuh sinuwun prabu Dasamuka

    DASAMUKA : Piye reka dayamu kareben Sinta pisah kalawan Rama lan Leksmana.

    MARICA : Sinuwun, cekak wonten budidaya kula mamrih kasembadaning sedya paduka.

    DASAMUKA : Bagus yen pancen kaya mangkono (Bambang Suwarno, Sinta Boyong, track 01:12:12 - 01:12:42).

    (DASAMUKA : Waaaah, luar biasa dewi Sinta memiliki kecantikan yang di dunia tiada tanding alangkah bahagia yang kurasakan jika bisa bersanding denganya. Duh duh, hey Marica!

    MARICA : Ada perintah bagaimana baginda prabu Dasamuka?

    DASAMUKA : Bagaimana rekayasamu supaya Sinta berpisah dengan Rama dan Laksmana?

  • 54

    MARICA : Baginda, cukup dengan usaha saya saja supaya tercapai keinginan paduka.

    DASAMUKA : Baiklah apa bila seperti itu).

    Adegan tersebut Dasamuka dan Kala Marica ditampilkan pada

    bagian layar atas seperti bayangan dari Rama, Sinta dan Laksmna yang

    ditancapkan pada batang pisang atau layar kelir bagian bawah.

    Percakapan tersebut memperlihatkan awal dari perumitan masalah yaitu

    Marica mulai mengatur siasat untuk mewujudkan keinginan Dasamuka.

    Fase di bawah ini memperlihatkan bahwa Sinta sudah terperangkap

    dalam siasat yang dibuat Marica yaitu kala Sinta tergoda untuk memiliki

    hewan kijang emas, potongan adegan ini termasuk menjadi sumber dari

    perumitan masalah.

    SINTA : Dhuh pangeran Rama, mugiu wonten keparenging galih hambujung kidang kencana punika minangka kelangenaning kawula.

    RAMA : Yayi Sinta, aja sira tawang-tawang tangis. Pun kakang sedya minangkani pamintanira mburu kidang kencana.

    SINTA : Ngaturaken genging panuwun keng tanpa upami dhuh pangeran wonten kepareng paduka hambujung kidang kencana punika saget minangka panglipur sepining raos wonten madyaning wana wasa punika.

    RAMA : Hiya yayi Sinta. Sing sabar, aja sumengka pangawak bajra, merga wong sabar iku dadi kekasihing gusti. Leksmana ari mami!

    LEKSMANA : Wonten pangandika ing ngadawuh kakangmas.

    RAMA : Reksananen karahayoning mbakayumu Sinta, pun kakang sedya amburu kidang kencana. Wanti-wanti pitungkasingsun, hawya kongsi ketrombongan lan katalumpen awit iki mapan ana madyaning wana wasa akeh sambikalane akeh

  • 55

    pangrencanane yen aku kalawan kowe ora papa jalaran jejering kakung utawa jalu.

    LEKSMANA : Nwuninggih, liripun kadi pundi.

    RAMA : Yen kakung lan jalu kui separan-paran kendel. Beda kalawan wanodya kang sarwa ringkih.

    LEKSMANA : Nwuninggih ngesta aken dawuh kakangmas, kula ingkang bade rumeksa karahayone mbak ayu Sinta (Bambang Suwarno, Sinta Boyong, track 01:14:33 - 01:16:40).

    (SINTA : Duh pangeran Rama, berharap ada kesanggupan kakanda untuk menangkap kijang emas tersebut untuk peliharaan saya.

    RAMA : Duh dinda Sinta, janganlah engkau menangis. Kakanda akan menuruti permintaanmu memburu kijang emas tersebut.

    SINTA : Menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya yang sangat tak terbayang duh pangeran atas kehendak paduka memburu kijang emas tersebut bisa menjadi penghibur kesepian di dalam hutan lebat ini.

    RAMA : Iya dinda Sinta. Yang sabar ya, jangan tergesa-gesa, karena manusia yang penuh kesabaran itu adalah kekasih sang pencipta. Laksmana adiku!

    LEKSMANA : Ada perintah apa kakanda?

    RAMA : Jagalah keselamatan kakakmu Sinta, kandamu ini hendak memburu kijang emas. Ingat-ingatlah pesanku, jangan terlena dan penuh kewaspadaan karena ini di dalam hutan banyak mara bahaya banyak ancaman, apa bila aku dengan engkau tidak menjadi masalah karena laki-laki.

    LEKSMANA : Kakanda, bagaima maksudnya?

    RAMA : Jikalau laki-laki itu dimanapun tempat akan berani, akan tetapi berbeda dengan wanita yang serba lemah.

    LEKSMANA : Baiklah saya patuh dengan perintah paduka kakanda, saya yang akan menjaga keselamatan ayunda Sinta).

  • 56

    Kelanjutan dari fase perumitan terjadi saat Rama terjebak pada

    siasat yang dibangun oleh Marica. Terjebak yang dimaksud disini karena

    Rama justru mengikuti alur siasat untuk menjebak Rama dan Marica

    mendapatkan jalan untuk menipu Sinta. Fase tersebut terlihat pada

    kutipan adegan dibawah ini. Fase tersebut bisa dilihat pada kutipan di

    bawah ini yang diambil dari pocapan saat Rama menangkap kijang emas.

    Wauta, waringuten pangeran Rama anggenipun nyepeng kidang kencana parandene amung tansah den leleda, lincah cukat trengginas tracake kidang mancat jaja kaya bengkah-bengkaha. Mangkono musthi trisula, sinipataken dening kidang, nratas keng jangga pejah kapisanan babar Marica (Bambang Suwarno, Sinta Boyong, track 01:20:20 - 01:21:00).

    (Begitulah, sangat kuwalahan pangeran Rama menangkap kijang emas yang justru seperti dipermainkan, sangat licah terampil sekali pergerakan kijang kakinya menghujam ke dada seperti akan hancur dada tersebut. Lalu mulailah Rama membidik dengan panah Trisula, diarahkan ke kijang, menembus tepat pada leher mati seketika lalu berubah menjadi Marica).

    Seperti pada narasi pocapan di atas bisa l