Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
WANDA DASAMUKA
DALAM LAKON SINTA BOYONG
SAJIAN BAMBANG SUWARNO
SKRIPSI KARYA ILMIAH
oleh
Bayu Darsono NIM 11123106
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA 2019
ii
WANDA DASAMUKA
DALAM LAKON SINTA BOYONG
SAJIAN BAMBANG SUWARNO
SKRIPSI KARYA ILMIAH
Untuk memenuhi sebagain persyaratan
guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Seni Pedalangan
Jurusan Pedalangan
oleh
Bayu Darsono NIM 11123106
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA 2019
iii
PENGESAHAN
Skripsi Karya Ilmiah
WANDA DASAMULKA DALAM LAKON SINTA BOYONG SAJIAN BAMBANG SUWARNO
yang disusun oleh
Bayu Darsono NIM 11123106
Telah dipertahankan di hadapan dewan penguji
pada tanggal 8 Agustus 2019
Susunan Dewan Penguji
Ketua Penguji, Penguji Utama,
Dr. Dra. Tatik Harpawati, M.Sn. Suwondo, S.Kar., M.Hum.
Pembimbing,
Dr. Bagong Pujiono, S. Sn., M.Sn.
Skripsi ini telah diterima Sebagai salah satu syarat mencapai derajat Sarjana S-1
pada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Surakarta, 30 September 2019 Dekan Falkutas Seni Pertunjukan
Dr. Sugeng Nugroho, S.Kar., M.Sn. NIP 196509141990111001
iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN
ing ngendi ta dununging kahanan
ing kono dununging kaindahan
- anggayuh mutiaraning karahayon -
(dalam semua keadaan apapun akan selalu terdapat keindahan)
-(menggapai mutiara kebahagiaan, kedamaian dan keselamatan)-
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
• orang tua dan seluruh keluarga
• semua guru dan sahabat
• seisi dunia
• ISI Surakarta yang telah memberi banyak ilmu
v
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Bayu Darsono
NIM : 11123106
Tempat, Tgl. Lahir : Musirawas, 24 September 1993
Alamat Rumah : Dusun 2, Desa S Kertosari,
Kecamatan Purwodadi,
Kabupaten Musirawas,
Provinsi Sumatera Selatan
Program Studi : S-1 Seni Pedalangan
Fakultas : Seni Pertunjukan
Menyatakan bahwa skripsi karya ilmiah saya dengan judul: “Wanda Sinta
Dalam Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno” adalah benar-benar
hasil karya cipta sendiri, saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
dan bukan jiplakan (plagiasi). Jika di kemudian hari ditemukan adanya
pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam skripsi karya ilmiah saya ini,
atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian skripsi karya ilmiah saya
ini, maka gelar kesarjanaan yang saya terima siap untuk dicabut.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh
rasa tanggung jawab atas segala akibat hukum.
Surakarta, 30 Agustus 2019
Penulis,
Bayu Darsono
vi
ABSTRAK
Skripsi berjudul “Wanda Dasamuka Dalam Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno” adalah penelitian yang fokus pada pendalaman makna untuk melihat kegunaan serta peran boneka wayang Dasamuka dalam pertunjukan yang bertempat di dukuh Sawahan, desa Kudu, kecamatan Baki, kabupaten Sukoharjo tanggal 28 Desember 2017. Wanda Dasamuka dijadikan objek penelitian karena kurangnya kajian pada wanda Dasamuka, padahal wayang Dasamuka sendiri secara konvensi memiliki banyak wanda. Lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno dipilih karena pada pertunjukan tersebut menampilkan tiga wanda Dasamuka dan pertimbangan kredibilitas Bambang Suwarno juga sebagai empu boneka wayang kulit. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah (1) Bagaimana gambaran umum tentang wanda wayang kulit gaya Surakarta, (2) bagaimana struktur lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno, (3) bagaimana makna wanda Dasamuka pada lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno dalam perspektif ikonografi.
Penelitian ini menggunakan landasan konseptual dari struktur dramatik Soediro Satoto dan teori ikonografi oleh Panofsky yang telah diaplikasikan Ahmad Bahrudin pada pengkajian Ornamen Minangkabau. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif interpretatif, sedangkan untuk pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka, wawancara, dan observasi.
Capaian dari hasil penelitian ini adalah adanya kesesuaian pemilihan wanda Dasamuka pada masing-masing suasana adegan pertunjukan wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno menunjukan komunikasi atau kaitan erat antara konsep wanda dan pakeliran yang saling menunjang untuk memperkuat rasa hayatan dalam pakeliran. Keharmonisan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara tiap-tiap wanda Dasamuka dengan suasana adegan pada pertunjukan wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno menjadi pengaruh besar dari kehadiran wanda Dasamuka. Merujuk dari hal itu, wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno berfungsi sebagai pendukung dan penguat hayatan pada drama pertunjukan.
Kata kunci : wanda Dasamuka, ikonografi, Sinta Boyong, Bambang Suwarno.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada tuhan yang maha kasih atas
perjalanan penelitian Wanda Dasamuka Dalam Lakon Sinta Boyong Sajian
Bambang Suwarno berjalan dengan baik dari awal hingga akhir
penelitian. Selain daripada itu, peran kedua orang tua juga sangat
berpengaruh dalam pembiayaan dan motivasi pada proses ini.
Proses skripsi yang sangat rumit dan sulit dapat terselesaikan berkat
bimbingan Dr. Bagong Pujiono, S. Sn., M. Hum., yang senantiasa sabar,
telaten dalam membantu memberi pengarahan dan menjadi narasumber
dalam penelitian ini. Tidak lupa, kehadiran Suwondo, S.Kar., M.Hum., Dr.
Dra. Tatik Harpawati, M.Sn., yang selalu memotivasi saya untuk
menyelesaikan skripsi dengan baik adalah salah satu dorongan moral
dalam perjalanan. Kehadiran narasumber yang telah memberi saya
informasi dan pengetahuan penting seperti Dr. Bambang Suwarno, S.Kar.,
M.Hum., bapak Purbo Asmoro, S.Kar., M.Hum., bapak Edi Sulistyono,
S.Kar., M.Hum., bapak Sunarno, Dr. Suyanto, S.Kar., M.A., dan bapak
Suluh Juniarsah, S.Sn., yang juga sangat berpengaruh dalam penyelesaian
masalah yang ada pada penelitian Wanda Dasamuka Dalam Lakon Sinta
Boyong Sajian Bambang Suwarno dengan berperan menjadi narasumber.
Banyak juga rekan dan para sahabat yang tidak bisa disebutkan satu
persatu telah memberi petunjuk dari pada kesulitan yang dihadapi dalam
proses penelitian. Hasil dan penulisan skripsi Wanda Dasamuka Dalam
Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno ini masih amat sangat
buruk, maka dari karena keterbatasan minimnya pengetahuan dan
kemampuan. Maka dari itu, kritik serta saran dari semua pihak sangat
viii
diharapkan demi hal yang lebih baik lagi. Walaupun hanya sedikit hal
bermanfaat dalam skripsi ini, semoga dapat berguna untuk para pembaca
dan dunia pedalangan.
Surakarta, 30 September 2019
Bayu Darsono
NIM 11123106
ix
DAFTAR ISI ABSTRAK vi KATA PENGANTAR vii DAFTAR ISI ix DAFTAR GAMBAR xii BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4 D. Tinjauan Pustaka 5 E. Landasan Teori 7 F. Metode Penelitian 11
1. Pengumpulan Data 11 a. Observasi 11 b. Studi Pustaka 11 c. Wawancara 12
2. Aanalisis Data 13 G. Sistematika Penulisan 14
BAB II WANDA WAYANG KULIT PURWA GAYA SURAKARTA SECARA UMUM 15
A. Etimologi Wanda dalam Wayang Kulit Purwa 15 B. Perkembangan Wanda Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta 16
1. Sinta 20 a. Sinta Wanda Lugas 22 b. Sinta Wanda Legawa 23 c. Sinta Wanda Secara Tradisi 24
2. Rama 25 a. Rama Ngulandara 25 b. Rama Bokongan 26
3. Laksmana 27 a. Laksmana Lelana 27 b. Laksmana Bokongan 28
BAB III STRUKTUR DRAMATIK LAKON SINTA BOYONG SAJIAN
BAMBANG SUWARNO 29 A. Sekilas Cerita Lakon Sinta Boyong 29
1. Cerita Sinta Boyong versi Sunardi D.M. 29 2. Cerita Sinta Boyong Versi Padmosoekotjo 31
x
B. Struktur Dramatik Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno 34 1. Struktur Adegan 34 2. Alur 48
a. Tahap Eksposisi 48 b. Tahap Komplikasi 52 c. Tahap Klimaks 60 d. Tahap Resolusi 65 e. Tahap Penyelesaian 70
3. Penokohan 75 a. Tokoh Protagonis 76 b. Tokoh Antagonis 77 c. Tokoh Tritgonis 77 d. Tokoh Peran Pembantu 78
4. Latar 79 a. Aspek Ruang 79 b. Aspek Waktu 82
5. Tema dan Amanat 84 BAB IV WANDA DASAMUKA DALAM LAKON SINTA BOYONG
SAJIAN BAMBANG SUWARNO 87 A. Tokoh Dasamuka dalam Dunia Pedalangan Gaya Surakarta 87 B. Dasamuka Dalam Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno 93 C. Analisa Wanda Dasamuka dalam Lakon Sinta Boyong
Sajian Bambang Suwarno 97 1. Bagian-bagian Boneka Wayang Kulit 100
a. Dedeg 101 b. Irah-irahan 101 c. Awak-awakan 101 d. Sor-soran 102
2. Perspektif Ikonografi Wanda Dasamuka dalam Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno 102 a. Dasamuka Wanda Bugis 103
1. Deskripsi Pra-Ikonografis Dasamuka Wanda Bugis 104 2. Analisis Ikonografis 107 3. Interpretasi Ikonologis 108
b. Dasamuka Wanda Belis 110 1. Deskripsi Pra-Ikonografis Dasamuka Wanda Belis 111 2. Analisis Ikonografis 113 3. Interpretasi Ikonologis 115
c. Dasamuka Wanda Iblis 116 1. Deskripsi Pra-Ikonografis Dasamuka Wanda Iblis 118 2. Analisis Ikonografis 120
xi
3. Interpretasi Ikonologis 121 BAB V PENUTUP 123
A. Kesimpulan 123 B. Saran 126
DAFTAR PUSTAKA 128 DAFTAR NARASUMBER 131 DISKOGRAFI 132 GLOSARIUM 133 BIODATA PENULIS 139
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.Wayang Sinta Wanda Lugas, koleksi Bambang Suwarno 22
Gambar 2. Wayang Sinta Wanda Legawa Koleksi Bambang Suwarno 23
Gambar 3. Wayang Sinta Secara Tradisi Koleksi Purbo Asmoro 24
Gambar 4. Wayang Rama Ngulandara Koleksi Bambang Suwarno 25
Gambar 5. Wayang Rama BokonganKoleksi Bambang Suwarno 26
Gambar 6. Wayang Laksmana Lelana Koleksi Bambang Suwarno 27
Gambar 7. Wayang Laksmana Bokongan Koleksi Bambang Suwarno 28
Gambar 8. Wayang Anoman Kartasura Koleksi Bambang Suwarno 99
Gambar 9. Wayang Burung Jatayu Koleksi Purbo Asmoro 100
Gambar 10. Wayang Dasamuka Wanda Bugis Koleksi Bambang Suwarno 103
Gambar 11. Wayang Dasamuka Wanda Belis Koleksi Bambang Suwarno 110
Gambar 12. Wayang Dasamuka Wanda Iblis Koleksi Bambang Suwarno 118
1
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Pertunjukan wayang kulit sering kali disebut sebagai pertunjukan
yang komposisinya begitu kompleks. Banyak diantara beberapa unsur seni
dikemas menjadi satu dalam kesatuan seni wayang kulit. Hal ini
dikarenakan dalam rangkaian pertunjukan wayang kulit terpadu dari
berbagai unsur seni yang berupa beberapa medium pokok, seperti gerak,
suara, bahasa dan rupa. Semua unsur tersebut sangat mendukung
kesuksesan dalam sajian. Rupa menjadi salah satu medium pokok yang
berpengaruh, di dalamnya terdapat unsur tatahan, sunggingan, dan wanda.
Wanda yang menjadi salah satu unsur dari medium rupa, berperan penting
untuk memantapkan rasa suatu tokoh. Kemantapan tersebut dapat
tercapai bila pemilihan wanda sesuai dengan suasana adegan dan sanggit,
yang ditunjang penyuaraan, sabet, sulukan dan lainnya unsur pendukung.
Dengan demikian, ketepatan seorang seniman dalang memilih wanda
mempunyai andil dalam kesuksesan sajian (Sutarno dkk, 1979:1).
Berkaitan dengan pengertian wanda, menurut Sumiyanto dalam
skripsi Margono menjelaskan bahwa wanda adalah wujud dari
keseluruhan wayang meliputi praupan, dedeg, corekan, pawakan, asesoris,
dan ciri-ciri tertentu. Pemilihan wanda untuk penggambaran suasana hati
tokoh seyogyanya disesuaikan dengan adegan dan lakon cerita agar
penghayat lebih mudah untuk memahaminya (Margono, 2007:12).
Darman Gondodarsono dalam tesis Bambang Suwarno menjelaskan
bahwa ciri-ciri wanda wayang dapat dilihat dari corekan, kapangan, tatahan,
2
bedhahan, sunggingan, dan gapitan. Corekan gambar wanda wayang sangat
menentukan keberhasilan penggambaran tokoh yang dimaksud. Misal
Janaka wanda janggleng, sejak dari wajah sampai dengan kaki harus
mampu menunjukan wanda yang dimaksud. Figur wayang Arjuna wanda
janggleng corekan postur tubuhnya tegap, kesannya mirip dengan Arjuna
wanda kinanthi, dan jika postur tubuhnya membungkuk akan mendekati
Arjuna wanda gendreh. Pergeseran corekan postur tubuh seperti ini akan
merusak wanda yang ingin divisualkan. Maka ketepatan corekan sangat
diperlukan untuk melukiskan kesan-kesan wanda tertentu pada tokoh
wayang kulit (Suwarno, 1999:47).
Berkembangnya wanda dari tokoh wayang bisa karena tokoh tersebut
banyak digemari atau karena adalah tokoh utama dalam banyak cerita
dan memiliki banyak variasi suasana hati (Sutrisno, 1964:2). Sebagai
contoh adalah tokoh Dasamuka yang memili banyak variasi wanda, karena
digunakan demi mendukung suasana yang disampaikan oleh dalang
pada pertunjukan wayang kulit (Sutarno dkk,1979:1). Pertunjukan
wayang kulit lakon Sinta Boyong tanggal 28 Desember 2017, Bambang
Suwarno sebagai dalang menampilkan tiga wanda Dasamuka dalam
sajianya. Menarik untuk dikaji bagaimana makna wanda Dasamuka yang
digunakan pada pertunjukan tersebut, dan seberapa peran wanda
Dasamuka atas keberhasilan dramatik adegan dalam lakon Sinta Boyong.
Pemilihan wanda untuk pertunjukan wayang kulit bukan hal yang
mudah, karena harus menyesuaikan suasana adegan dari tokoh seperti
yang disampaikan di atas. Menurut Purbo Asmoro, penyesuaian wanda
dalam setiap pertunjukan wayang kulit belakangan ini jarang
diperhatikan. Berbagai faktor penyebabnya adalah memang karena
3
keterbatasan sarana, ketidak pahaman dalang tentang wanda, dalang acuh
tak acuh dengan wanda, atau memang ego dalang dengan menampilkan
wanda atau boneka wayang kesukaan serta karena alasan teknis seperti
lebih nyaman untuk keperluan sabet (Purbo Asmoro, wawancara 20
Januari 2019)
Melihat fakta bahwa generasi dalang saat ini kurang memperhatikan
wanda dalam setiap pertunjukanya, menarik untuk mengangkat wanda
sebagai bahan kajian karena sangat disayangkan apabila wanda wayang
sampai ditinggalkan oleh masyarakat yang notabene wanda adalah
cerminan budaya luhur dari masyarakat Jawa. Apabila hal tersebut
dipahami lebih dalam oleh pihak asing sebagai keperluan intelijen tanpa
kita melakukan antisipasi dengan melakukan pemahaman lebih dahulu,
maka akan sangat membahayakan dalam bidang kemerdekaan ideologi
bangsa (Edi Sulistyono, wawancara 14 Mei 2019). Berbagai uraian di atas,
melatar belakangi untuk mengangkat tentang wanda sebagai bahan kajian
dalam penelitian. Dengan alasan untuk lebih memfokuskan permasalahan
ini, maka penulis mambatasi objek penelitian dengan mengkaji wanda
Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno pada acara
peringatan 100 hari wafatnya Sukardi yang disajikan di Dukuh Sawahan,
Desa Kudu Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo. Pada pertunjukan
tersebut Bambang Suwarno menampilkan tiga wanda Dasamuka, yaitu
Dasamuka wanda begal, Dasamuka wanda belis, dan Dasamuka wanda iblis.
Pemilihan ini didasarkan atas alasan bahwa dalam pertunjukan tersebut
Bambang Suwarno sangat memperhatikan pemakaian wanda yang tepat
pada sajiannya. Menimbang kredibilitas Bambang Suwarno sebagai
dalang senior, Bambang Suwarno sebagai empu boneka wayang dengan
4
banyak ciptaannya yang dipakai oleh dalang senior, menimbang
kemampuan Bambang Suwarno yang mampu menatah serta menyungging
wayang, menimbang buku tulisan Bambang Suwarno tentang wanda, serta
riwayat Bambang Suwarno yang pernah menjadi dosen aktif di Institut
Seni Indonesia Surakarta, maka menarik untuk mengkaji Wanda
Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno yang
ditinjau dari segi makna dan bagaimana peran wanda Dasamuka dalam
pertunjukan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dari penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana gambaran umum tentang wanda wayang kulit gaya
Surakarta?
2. Bagaimana struktur lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno?
3. Bagaimana makna wanda Dasamuka pada lakon Sinta Boyong sajian
Bambang Suwarno dalam perspektif Ikonografi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Pengungkapan terhadap wanda Dasamuka dalam Lakon Sinta Boyong
sajian Bambang Suwarno berdasar analisa makna kaitanya dengan
pertunjukan, diharapkan dapat menjadi pijakan awal dalam melihat
berbagai lakon yang ada dalam dunia pewayangan secara lebih
mendalam. Oleh karena itu secara garis besar tujuan dari penelitian ini
adalah menjawab beberapa rumusan masalah yang dijabarkan sebagai
berikut :
5
1. Melihat latar belakang kehadiran serta eksistensi wanda wayang
kulit gaya Surakarta dalam perkembangannya.
2. Menjabarkan struktur pertunjukan lakon Sinta Boyong sajian
Bambang Suwarno guna mengetahui peran Dasamuka dalam
pertunjukan tersebut.
3. Memahami dengan detail wanda Dasamuka dan mengetahui
peranya dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno
melalui sudut pandang ikonografi untuk melihat makna dan
kaitannya pada pertunjukan tersebut.
Sementara manfaat secara umum dari penelitian ini diharapkan
dapat berguna bagi dunia pedalangan saat ini maupun masa yang akan
datang. Harapan nyata supaya seniman maupun akademisi pedalangan
dapat dengan lebih mudah memahami tentang wanda wayang dengan
contoh pembahasan wanda Dasamuka pada kajian ini.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjuan pustaka ini berkaitan dengan penelitian-penelitian terdahulu
yang membahas tentang wanda. Penelitian dan tulisan terdahulu
menegnai wanda memiliki peran yang sangat penting agar penelitian ini
menyajikan hasil terbaik serta menghindari kesamaan hasil. Adapun
penelitian yang sebelumnya adalah sabagai berikut.
Tesis Bambang Suwarno (1999) yang berjudul “Wanda Wayang
Kaitanya dengan Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Masa Kini”. Tesis
tersebut menjabarkan tentang munculnya wanda wayang kulit purwa,
macam-macam wanda wayang beserta ciri-cirinya, tanggapan para dalang
berkaitan wanda wayang, dan kaitan antara wanda wayang dengan
6
pertunjukan wayang kulit diera saat ini. Sama-sama mengangkat objek
penelitian tentang wanda wayang, namun penelitian tersebut mengangkat
banyaknya wanda dari beberapa tokoh wayang dalam banyak situasi dan
ruang waktu, sementara dalam penelitian ini hanya fokus ke dalam wanda
Dasamuka pada lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno.
Bambang Suwarno dalam disertasinya yang berjudul “Wanda
Wayang Purwa Tokoh Pandhawa Gaya Surakarta, Kajian Bentuk, Fungsi,
dan Pertunjukan” (2015), cukup dalam pembahasannya mengenai wanda
wayang. Bambang Suwarno mengupas mengenai ciri-ciri dan perbedaan
wanda wayang tradisi keraton dan luar keraton beserta fungsinya dalam
konteks pertunjukan dengan mengambil objek material khusus wanda
tokoh-tokoh pandhawa. Disertasinya mengambil objek pertunjukan yang
disajikan oleh kelima dalang yaitu sajian Hali Djarwosularso, Manteb
Soedharsono, Soenarno Dutodiprojo, Gaib Widopandoyo, dan Sudirman
Ronggodarsono. Maka, disertasi tersebut berbeda dengan penelitian ini
meskipun sama-sama mengangkat tentang wanda tokoh wayang gaya
Surakarta. Penelitian ini mengambil objek wanda tokoh Dasamuka dalam
lakon Sinta Boyong yang disajikan oleh Bambang Suwarno. Penelitian ini
hanya fokus mengenai fungsinya saja kaitannya dalam pertunjukan
dengan mengambil satu objek lakon dan satu dalang.
R. Soetrisno dalam Pitakonan lan Wangsulan bab Wanda Wayang Purwa
(1964). bentuk tulisan tersebut adalah tanya jawab yang menjelaskan
dasar-dasar wanda, bentuk, fungsi serta latar belakang wanda wayang
kaitanya dengan pertunjukan. Walaupun tidak membahas secara
langsung tentang tokoh Dasamuka, akan tetapi tulisan tersebut juga
mengangkat wanda wayang sebagai objek utama dan dibahas secara
7
umum, sedangkan penelitian wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong
sajian Bambang Suwarmo ini lebih spesifik makna wanda Dasamuka pada
pertunjukan tersebut.
Soetarno, dkk (1979) yang menulis “Wanda Wayang Purwa Gaya
Surakarta”. Buku ini cukup dalam menjelaskan bagaimana peran wanda
pada pertunjukan wayang kulit, bagaimana latar belakang wanda yang
sangat penting dipertunjukan wayang kulit dan menjabarkan
wanda-wanda dari tokoh wayang purwa serta ciri-ciri singkatnya.
Walaupun di dalamnya juga menulis wanda Dasamuka, akan tetapi lebih
kepada pengetahuan ragam wandanya serta ciri-ciri singkatnya saja. Tidak
membahas lebih lanjut mengenai detail tentang makna dan latar
belakangnya.
Soetarno, dkk (2007), dalam Teori Pedhalangan, menjelaskan
elemen-elemen dasar pakeliran. Pada bab 4 menjabarkan tentang “Wanda
Wayang Kulit Purwa, Perkembangan, Motivasi, dan Fungsi Wanda” yang
ditulis oleh Kuwato. Buku tersebut menganalisa fungsi wanda dalam
pertunjukan wayang kulit, berbeda dengan penilitian wanda Dasamuka
dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno yang lebih menyempit
pada bahasan makna wanda Dasamuka dalam pertunjukan tersebut.
E. Landasan Teori
Berkaitan dengan objek yang akan dikaji, maka akan dilihat terlebih
dahulu antara objek formal dan objek materialnya dalam penelitian ini.
Makna dari wanda Dasamuka adalah obyek formal dari penelitian ini dan
lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno adalah objek materialnya.
8
Berkaitan dengan objek yang akan dikaji, penelitian ini
menggunakan teori ikonografi sebagai landasanya untuk melihat makna
lebih dalam dari wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian
Bambang Suwarno dan kaitannya dengan pertunjukan tersebut. Teori
ikonografi oleh Panofsky yang telah diaplikasikan Ahmad Bahrudin pada
pengkajian Ornamen Minangkabau akan digunakan untuk melihat serta
menjabarkan wanda Dasamuka yang digunakan oleh Bambang Suwarno
pada pertunjukan wayang kulit lakon Sinta Boyong.
Ikonografi merupakan interprestasi makna dibalik bentuk karya seni
rupa. Sedangkan setiap karya seni selalu memiliki komponen pokok
berupa objek, peristiwa dan ekspresi. Objek adalah uraian dasar dari
unsur rupa yang dapat melahirkan imajinasi kepada pengamat, peristiwa
ialah perubahan dari satu objek atau beberapa objek yang berkaitan,
sedangkan ekspresi adalah gabungan antara objek serta peristiwa yang
menghasilkan ungkapan perasaan dalam imajinasi (Bahrudin, 2017:7).
Dengan begitu untuk mencapai kedalaman makna pada suatu karya seni
yang tinggi, maka diperlukan pula tingkat kedalaman imajinasi rasa pada
pengkarya sebagai pengirim maupun pengamat sebagai penerima.
Langkah-langkah yang diterapkan dalam menganalisa wanda
Dasamuka pada lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno adalah
menentukan bagian-bagian inti dari boneka wayang kulit dan
mendeskripsikan wanda Dasamuka melalui sudut pandang ikonografi
yang memiliki tiga poin yaitu pra ikonografi, analisa ikonografi dan
interprestasi ikonologi yang berisi sebagi berikut.
9
1. Pra Ikonografi
Pra-ikonografi disebut juga makna primer berisi tanggapan awal
terhadap suatu karya seni. Unsur-unsur faktual yang terlihat oleh kasat
mata akan dideteksi untuk menentukan ciri khas. Ciri khas yang diambil
meliputi ketepatan objektif, susunan formal, gaya emosi dan daya fantasi.
Ketepatan objektif merupakan kecenderungan karya seni yang merujuk
pada fenomena alam, susunan formal ialah komposisi dari pola dan
ukuran yang diaplikasikan menjadi menjadi keseimbangan dan
keindahan. Gaya emosi adalah getaran rasa pada jiwa yang timbul dari
karya seni, dan gaya fantasi adalah bentuk imajinasi yang timbul pada
alam bawah sadar maupun secara sadar (Bahrudin, 2017:7-8). Lebih
mudahnya Pra Ikonografi adalah fase untuk melihat, memilah serta
analisa dasar dari ikon-ikon pada objek seni rupa.
2. Analisis Ikonografi
Analisa ikonografi disebut juga makna sekunder berisi kajian
tentang konsep yang berada pada suatu karya seni dengan melihat pola
dan motif estetik untuk menyimpulkan maka didalamnya yang berkaitan
dengan budaya dan cerminan sosial. Hasil kajian akan diketahui dengan
menghubungkan komposisi antar pola dan motif penting yang
selanjutnya menghasilkan pembawa makna sekunder. Makna sekunder
ini berisi cerita serta alegori hasil dari kombinasi gambar dan gambaran
yang ada (Bahrudin, 2017:8). Kesimpulan dari Analisis Ikonografi adalah
fase selanjutnya dari Pra Ikonografi yang memiliki cara kerja dengan
menggabungkan rangkaian ikon-ikon pada objek seni rupa. Selanjutnya
10
menentukan bagaimana dan seperti apa wujud dari rangkaian tersebut
yang diungkapkan dari hasil kasat mata.
3. Interpretasi Ikonologi
Interpretasi Ikonologi juga disebut makna instristik atau isi yang di
dalamnya memuat hasil analisa akan identifikasi dari motif karya seni
dengan melalui tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan ini akan
menemukan cerminan nilai-nilai simbolis dari hasil penggalian dengan
imajinasi yang intuitif sehingga dapat menarik kesimpulan tentang makna
serta fungsi dari objek karya seni (Bahrudin, 2017:9). penjelasan lebih
mudah dari Interprestasi Ikonologi ini digunakan untuk
menginterprestasikan hasil dari pengamatan pada fase Analisa Ikonografi
yang ditarik maknanya lebih dalam untuk mendapatkan kesan dan
maksud dari sebuah objek seni rupa.
Kegunaan wanda Dasamuka tentu sangat berkaitan erat dengan
peranan tokohnya dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno.
Untuk melihat bagaimana dan seberapa dalam peran tokoh Dasamuka
pada pertunjukan, maka akan dilakukan kajian struktur dramatik pada
lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno. Sedangkan teori kajian yang
akan digunakan adalah pendapat Soediro Satoto mengenai pengertian
struktur dramatik lakon. Adapun langkah yang pertama adalah alur dan
penokohan, langkah kedua yaitu tema beserta amanat sedangkan langkah
yang terakhir adalah setting (Satoto,1985:15).
11
F. Metode Penelitian
Demi hasil yang maksimal dalam penelitian ini, langkah-langkah
yang digunakan adalah metode pengumpulan data serta metode analisis
data. 1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini dengan
dua cara, yaitu sebagai berikut.
a. Observasi
Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yang
pertama observasi secara langsung, yaitu pengamatan dengan menonton
secara langsung sajian wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang
Suwarno pada tanggal 14 Desember 2017 di dukuh Sawahan, desa Kudu,
kecamatan Baki, kabupaten Sukoharjo. Cara kedua adalah observasi tidak
langsung, yaitu dengan melakukan pengamatan pertunjukan wayang
lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno melalui rekaman audio
visual.
b. Studi Pustaka
Mengumpulkan data dari sumber tertulis yang berkaitan dengan
penilitian untuk menunjang pemecahan masalah dengan memahami dari
skripsi, tesis, desertasi, jurnal, laporan penelitian dan buku-buku terbitan
yang kesemuanya berkaitan secara langsung maupun tidak langsung
dengan topik permasalahan.
12
c. Wawancara
Metode wawancara dilakukan supaya mendapat informasi yang
baik tentang wanda Dasamuka dan tokoh-tokoh narasumber adalah yang
telah lama berkecimpung pada bidangnya serta secara umum mendapat
pengakuan ahli dalam bidangnya. Kejujuran informasi dari narasumber
menjadi pertimbangan yang utama dari penulis demi mendapat informasi
yang sesuai fakta. Pertimbangan ini menjadi penting agar penilitian
terhindar dari bias pengertian dan isi informasi yang disampaikan
narasumber (Waridi, 2005:114). Metode wawancara mendalam dipilih
supaya penelitian lebih terarah. Wawancara dilakukan dengan dua cara,
yaitu:
1. Wawancara terencana; daftar masalah telah dipersiapkan secara
matang yang akan ditanyakan dalam wawancara. Wawancara
terencana selalu terdiri atas suatu daftar pertanyaan yang telah
direncanakan dan disusun sebelumnya. Semua responden yang
telah diseleksi untuk menjadi narasumber, diajukan pertanyaan
yang sama dengan kata-kata dan tata urut yang seragam
(Koentjaraningrat, 1994;138).
2. Wawancara tidak terencana; pengajuan pertanyaan secara sepontan
atau tanpa persiapan tersusun sebelumnya, tetapi pertanyaan yang
diajukan penulis tetap mengarah pada bingkai topik penelitian.
Wawancara ini digunakan untuk memperoleh data yang objektif
mengenai objek yang akan diteliti. Hal ini sama dengan yang
diuangkapkan oleh Koentjaraningrat bahwa wawancara yang tidak
terencana tidak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dari suatu
13
daftar pertanyaan dengan susunan kata dan dengan tata urut tetap
yang harus dipatuhi oleh peneliti secara ketat (1994:139).
2. Analisis Data
Menurut Gorys Keraf, analisis data adalah proses membagi suatu
subjek data ke dalam komponen-komponenya (1982:62), sedangkan
komponen-komponen yang dimaksud berkaitan dengan penelitian ini ada
beberapa tahap, yaitu :
1. Reduksi Data, yaitu tahap seleksi data, pemilihan data yang
mendukung akan digunakan untuk penelitian serta data yang tidak
mendukung penelitian tidak akan digunakan.
2. Klasifikasi Data, yaitu pengelompokan data menjadi antara primer
dan sekunder. Setelah terpisah, perbandingan data akan diamati
dalam penafsiran kebebasan, makna, dan analisa dengan
pertolongan konsep atau teori untuk mengetahui tentang makna
wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang
Suwarno.
3. Display Data, yaitu pemaparan ke dalam bentuk tulisan dari data
yang telah melewati tahap reduksi maupun kalsifikasi yang
dijabarkan ke bentuk deskritif.
14
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian
Bambang Suwarno pada perspektif estetika pedalangan ini tersusun atas
lima bab yang terbagi sebagai berikut.
1. Bab I adalah pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori serta sistematika penulisan.
2. Bab II berisi penjabaran wanda wayang kulit purwa gaya Surakarta
secara umum dalam dunia pedalangan.
3. Bab III berisi tentang struktur dramatik lakon Sinta Boyong sajian
Bambang Suwarno untuk melihat seberapa penting peran tokoh
Dasamuka.
4. Bab IV berisi uraian fungsi wanda Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong
sajian Bambang Suwarno.
5. Bab IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
15
BAB II
WANDA WAYANG KULIT PURWA
GAYA SURAKARTA SECARA UMUM
A. Pengertian Wanda dalam Wayang Kulit Purwa
Membedah pengertian wanda dapat dengan mengurai dari kata
dasar arti wanda. Kamus Bausastra Jawa tulisan W.J.S. Poerwadarminta
menyebutkan wanda berarti awak atau dhapur (Poerwadarminta, 1942:45),
sedangkan wanda dalam kamus Basa Jawa terbitan Balai Bahasa
Yogyakarta, diartikan dengan sesipat wujuding wayang (Tim Penyusun
Balai Bahasa Yogyakarta, 2001:839). Tidak jauh berbeda dalam perspektif
pedalangan, wanda adalah bagian dari seni kriya wayang kulit yang
menampilkan karakter khusus seorang tokoh wayang pada suatu suasana
tertentu (Tim Penulis Sena Wangi, 1999:1396).
Berkaitan dengan pengertian wanda, dijelaskan bahwa tercermin
kedalaman ekspresi yang dilambari kepekaan jiwa dan kedalaman spirit
budaya yang tertuang dengan pengaruh garis-garis ngrawit meliuk
mengalir membentuk wujud sangat imajinatif. Dari garis-garis tersebut
ditatah hingga menghasilkan kelembutan dan tampak proporsi serta
kualitas desain tingkat tinggi yang menunjukan karakter atau ekspresi
pada suasana tertentu (Sudjarwo dkk, 2010:12). Darman Gandadarsana
dalam tesis Bambang Suwarno menjelaskan bahwa wanda meliputi
corekan, kapangan, tatahan, bedhahan, sunggingan, dan gapitan. Corekan
adalah faktor penentu karakter dari tokoh, seperti contoh Janaka wanda
janggleng, seluruh corekanya harus mampu menunjukan karakter wanda
16
yang dimaksud. Pergeseran corekan postur tubuh dapat merusak wanda
yang ingin divisualkan, seperti wayang Arjuna wanda janggleng corekan
postur tubuhnya tegap, mirip dengan Arjuna wanda kinanthi, dan jika
postur tubuhnya sedikit membungkuk akan mendekati Arjuna wanda
gendreh. Maka ketepatan setiap garis corekan sangat menentukan kesan-
kesan wanda tertentu pada tokoh wayang kulit (Suwarno, 1999:47).
B. Perkembangan Wanda Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta
Wanda wayang purwa tercipta oleh proses transformasi dari
deskripsi pewayangan yang divisualkan ke dalam bentuk boneka
wayang. Setiap wanda tokoh wayang purwa memiliki ciri figur tersendiri,
yakni bentuk wayang secara keseluruhan dari ujung rambut sampai
telapak kaki (Tristuti Rahmadi Surya Putra dalam disertasi Bambang
Suwarno, 2015:37). Menelisik sejarah kehadiran wanda wayang, serat
Centini jilid dua dapat dijadikan referensi bahwa wanda wayang sudah
dikenal pada masa kemimpinan Sultan Agung raja dari kerajaan Mataram
Islam. Cerita tersebut terdapat dalam pupuh Salisir pada 46 sampai dengan
49 yang berisi sebagai berikut.
46. Ing samengko karsa nata, kang Sinuhun Kanjeng Sultan Agung
Kyatingrat parabnya, Prabu Anyakrakusuma.
47. Karsa mangun wayang purwa, prabote wadon lan priya, samya tinatah sedaya, jinait lanyapanira.
48. Sarta sangkuk dedegira, kan pancen melek matanya, kajait sinungan tandha, gedhondhongan namanira.
49. Rangkep-rangkep ingkang wanda, ing sawusing paripurna, arjunane pinaringan, aran kiayi mangu ika (Kamajaya, 1986:203).
17
( 46. Waktu ini dari kehendak sang raja, Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Kyatingrat yang bergelar Prabu Anyakrakusuma.
47. Niat untuk membuat wayang purwa, ragamnya putri dan putra, sudah ditatah semuanya, yang bermata dipahat lembut berparas lanyap (posisi muka mendongak)
48. Serta agak membungkuk perawakannya, yang tampak terbuka matanya, penuh dengan pahatan jait (pahatan yang seperti sulaman benang), disebut bentuk mata kedondongan
49. Rangkap-rangkap wanda dari setiap figur wayangnya, setelah selesai, salah satu wanda tokoh Arjuna diberi nama Kyai Mangu. )
Sejarah tentang wanda dari serat Centini diperkuat oleh Bambang
Suwarno dalam disertasinya yang menyebut bahwa era Jawa-Islam telah
muncul konsep wanda pada pewayangan Jawa. Sebagai bukti adalah,
beberapa wayang kulit Cirebon yang diklaim sebagai keturunan langsung
dari wayang era kerajaan Demak, yaitu tokoh Yudhistira wanda wandu dan
santri, Bima wanda pambedil, amuk dan klantung, serta Arjuna wanda sabuk
inten dan sigeger (Suwarno, 2015:39). Buku berjudul Rupa dan Karakter
Wayang Purwa juga menyebutkan bahwa zaman kerajaan Demak
melakukan perombakan besar-besaran pada boneka wayang kulit. Para
wali (ulama kerajaan Demak) merubah bentuk wayang kulit yang semula
berwujud realis menjadi terlihat profil atau dari sisi samping, tanganya
dipanjangkan, dan setiap wayang digapit serta ditancapkan pada suatu
objek untuk mendapatkan bentuk imajinatif abstrak yang tidak
menyerupai manusia, namun tetap proporsional dan sangat serasi hingga
tampil sangat indah (Sudjarwo dkk, 2010:51-52).
Pendapat di atas dikuatkan oleh Kusumadilaga pada Serat
Sastramiruda yang menyatakan bahwa setelah runtuhnya kerajaan
Majapahit pada tahun 1433 maka dibawalah gamelan beserta wayang
18
beber ke negeri Demak. Sri Sultan Syah Alam Akbar (raja pertama
kerajaan Demak) sangat suka sekali pada gendhing-gendhing karawitan
dan hiburan wayang, bahkan Sri Sultan menjadi dalang dan sering
mementaskan pertunjukan wayang Beber. Oleh karena menurut Kitab Fiqh
(hukum Islam) dinyatakan bahwa wujud wayang pada saat itu masuk
dalam kriteria haram, maka wayang didesain ulang oleh para wali (ulama
kerajaan Demak) dengan menghilangkan sifat gambar mahluk hidup
secara realis dirubah dalam bentuk karekatur manusia. Wayang tersebut
dibuat dengan berbahan kulit kerbau yang ditipiskan, dasarnya berwarna
putih yang berasal dari serbuk tulang dan bahan perekat (lem), dilukis
dengan tinta, wayang berbentuk wujud manusia dari samping yang
digambar miring sekaligus dengan tanganya yang berukuran sangat
panjang, kemudian dijepitlah satu demi satu wayang tadi dan
ditancapkan pada kayu yang sudah dibuatkan lobang. Setiap Sri Sultan
hadir pada pertunjukan wayang, wayang yang telah terpasang berjajar-
jajar di panggung diambil dan dipersembahkan pada sultan. Sejak saat itu
wayang tersebut dinamakan wayang purwa. Hal tersebut diperingati
dengan sengkalan memet berbunyi : Geni murub siniram in wong dengan arti
api menyala disiram orang (Kusumadilaga, 1981:14-15). Dengan demikan
menunjukan bahwa sejak pada era Jawa-Islam sudah mengenal konsep
wanda dan mengalami proses penciptaan wanda dari gambar realis
menjadi wujud profil, serta menjadi induk dari wujud boneka wayang
kulit gaya Surakarta saat ini.
Secara fisik ciri khas wanda wayang kulit purwa gaya Surakarta
dapat dillihat pada bentuk yang tidak nyata seperti manusia dan lebih
berwujud ekspresif, dekoratif, serta karikaturil (Sutrisno, 1964:3). Oleh
19
karena itu, bukan bentuk fisik nyata dari tokoh yang divisualkan, akan
tetapi lebih kepada paduan sifat, karakter dan gambaran fisik yang
disajikan dan berwujud karikatur (Suwarno, 1999:20). Buku Teori
Pedalangan menyebutkan bahwasanya salah satu unsur penting penunjang
pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta adalah unsur seni rupa yang di
dalamnya terdapat wanda sebagai bagianya (Sumanto, 2001:1). Wanda
menjadi bagian penting pada pertunjukan wayang kulit era modern saat
ini walaupun pada penerapanya juga tidak mutlak harus ada. Kehadiran
wanda yang tepat sesuai dengan suasana hati, suasana adegan, karakter
trokoh dan sanggit lakon akan mempermudah serta memancing ekspresi
dalang untuk lebih jauh dalam pembawaan teatrikal adegan. Misal saat
Arjuna dalam suasana sedih pasti akan lebih menjiwai apabila memakai
wanda janggleng, atau saat suasana hati Arjuna sedang marah pasti lebih
akan ekspresif jika menggunakan wanda muntap (Purbo Asmoro,
wawancara 20 Januari 2019).
Macam-macam wanda wayang tercipta dengan perjalanan waktu
yang cukup panjang serta mengikuti kebutuhan dari pertunjukan. Hal
tersebut dibuktikan melalui wanda wayang ciptaan terdahulu memiliki
candra sengkala yang berbeda pada setiap wayangnya. Candra Sengkala
sendiri bisa menunjukkan waktu pembuatannya dengan contoh sebagai
berikut.
Sri Susuhunan Paku Buwana ke 2 pada tahun 1650 membuat wayang purwa lengkap dengan tiga macam wajah Janaka, yaitu Janaka wanda jimat, Janaka wanda mangu dan Janaka wanda kanyut yang ditatah oleh Cermapengrawit bersama kyai Ganda. Itulah permulaan wayang liyepan dan lanyapan (muka mengadah) dijahit, bahkan Sri Baginda sendiri berkenan memahat Arjuna muda. Sampai pada waktu ini hasil karya tersebut masih masih ada pada saya. Wayang tersebut setelah
20
selesai pembuatanya diberi nama kyai Pramukanya, dan peristiwanya diperingati dengan sengkalan memet berupa: Raksasa bermata satu, berhidung seperti buah terong kepok dengan menyandang keris yang di dalam dunia pedalangan disebut dengan Buta Congklok, yaitu wayang raksasa yang digunakan dalam menjawab pertanyaan. Candra sengkala dari wayang Buta Congklok tersebut adalah: Buta lima angoyak jagad (raksasa lima menggoncang dunia) yang menunjukan tahun 1655 (Kusumadilaga, 1981:23).
Catatan di atas menunjukan bahwa ketika Sunan Paku Buwana II
memerintahkan pembuatan wayang Janaka Pramukanya ditandai dengan
wayang Raksasa Terong atau Buta Congklok dengan candra sengkala yang
berbunyi: buta lima hanggoyang jagad yang menunjukan tahun 1655 Jawa.
Dengan begitu dapat diketahui wayang tersebut diciptakan pada tahun
1655 Jawa.
K.P.A. Puger di Kartasura (yang keudian bertahta menjadi Sinuhun Pakubuwana I) mencipta wayang Purwa dengan pola wayang ciptaan Mataram. Wayang Janakanya dengan wajah kanyut, dari situlah dimulai pembaharuan wayang seberangan (kerajaan seberang) dengan mata liyepan (mata sipit), mata thelengan (melotot) dan wayang raksasa prepatan. Kesemuanya dilengkapi baju dengan baju kebesaran dan memakai keris. Peristiwa tersebut diberi sengkalan memet: Raksasa perempuan yang memakai perlengkapan pakaian sama dengan laki-laki, bermata satu dengan tangan dua buah, disebut dengan Buta Kenya Wandu (gadis banci). Candra sengkalanya adalah: Buta nembah rasa tunggal yang berarti raksasa menyembah pada perasaan tunggal), menunjukan tahun 1625 (Kusumadilaga, 1981:22-23).
Catatan di atas menunjukan bahwa wayang Buta Kenya Wandu
memiliki candra sengkala: buta nembah rasa tunggal yang menunjukan
pembuatanya pada tahun 1625 Jawa. Wayang Buta Kenya Wandu tersebut
menurut catatan diatas dijelaskan sebagai pertanda pembuatan wayang
Janaka wanda kanyut.
21
Ragam wanda terdahulu yang terbatas, juga menjadikan faktor
seniman menciptakan wanda baru untuk tokoh tertentu demi totalitas
pertunjukan agar lebih mendukung dalam penghayatan pesan serta kesan
yang disampaikan (Bambang Suwarno, wawancara 18 Desember 2018).
Fakta diatas menunjukan bahwa ragam wanda wayang yang ada saat ini
lebih memvisualkan tokoh dengan banyak variasi cerita. Sejalan dengan
pendapat R. Sutrisno yang menyebut bahwa berkembangnya wanda dari
tokoh wayang karena tokoh tersebut adalah tokoh utama dalam banyak
cerita, banyak memiliki variasi suasana hati, dan banyak digemari oleh
seniman maupun penghayat (Sutrisno, 1964:2). Purbo Asmoro
menyebutkan bahwa terkadang ada keegoisan dari dalang maupun
seniman untuk menciptakan serta menampilkan wanda tokoh wayang
tertentu (Purbo Asmoro, wawancara 20 Januari 2019). Kesimpulannya
adalah wajar jika tidak semua tokoh wayang memiliki ragam wanda yang
banyak.
Beberapa tokoh wayang kulit purwa gaya Surakarta yang memiliki
variasi wanda antara lain:
1. Sinta
Wayang tokoh Sinta di sini akan ditampilkan dengan tiga contoh
wanda yang berbeda. Ketiga contoh tersebut adalah sebagai berikut.
22
a. Sinta Wanda Lugas
Gambar 1. Wayang Sinta Wanda Lugas koleksi Dr. Bambang
Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto: Bayu Darsono)
23
b. Sinta Wanda Legawa
Gambar 2. Wayang Sinta Wanda Legawa koleksi Dr. Bambang Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto: Bayu Darsono)
24
c. Sinta Secara Tradisi
Gambar 3. Wayang Sinta Tradisi koleksi Purbo Asmoro, S. Kar, M. Hum (Foto: Bayu Darsono)
25
2. Rama
Tokoh Rama Wijaya di sini akan ditampilkan dengan dua contoh
wanda yang berbeda.
a. Rama Ngulandara
Gambar 4. Wayang Rama Wijaya Wanda Ngulandara koleksi
Dr. Bambang Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto: Bayu Darsono)
26
b. Rama Bokongan
Gambar 5. Wayang Rama Wijaya Bokongan koleksi Dr. Bambang Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto:
Bayu Darsono)
27
3. Leksmana
Tokoh Leksmana di sini akan ditampilkan dengan dua contoh wanda
yang berbeda.
a. Leksmana Lelana
Gambar 6. Wayang Leksmana Wanda Lelana koleksi Dr. Bambang Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto: Bayu Darsono)
28
b. Leksmana Bokongan
Gambar 7. Wayang Leksmana Bokongan koleksi Dr. Bambang Suwarno, S. Kar, M. Hum (Foto:
Bayu Darsono)
29
BAB III
STRUKTUR DRAMATIK LAKON SINTA BOYONG
SAJIAN BAMBANG SUWARNO
A. Versi Cerita Lakon Sinta Boyong
1. Sinta Boyong dalam Serat Ramayana Karya Sunardi D.M.
Setelah tewasnya Dasamuka, oleh Rama Regawa tahta kerajaan
Alengka diserahkan kepada Wibisana, karena hanya Wibisana yang masih
hidup sebagai pemegang hak waris sah kerajaan Alengka. Mendengar
kabar kalahnya Dasamuka serta pelantikan Wibisana, Sinta ingin segera
bertemu Rama Regawa. Rama Regawa berpesan melalui Anoman agar
Sinta bersuci dahulu untuk menunjukan bahwa selama ini tetap setia
kepada suami. Sinta yang semula ingin tampil apa adanya saat
menghadap Rama dengan pakaian lusuh serta kondisi tubuh yang kurus
kering karena penderitaan selama setahun dalam cengkraman Dasamuka,
akan tetapi demi menuruti permintaan Rama lantas Sinta mengubah
niatnya. Rasa terpaksa demi menuruti permintaan Rama, Sinta menafsir
perintah tersebut dengan bermandikan bunga dan wewangian lainnya,
mengenakan kain baru, menyanggul rambutnya serta menyiramnya
dengan aroma wangi sehingga terlihat sangat cantik.
Rama sangat kaget setelah melihat keadaan Sinta yang menghadap
dengan keadaan yang sangat cantik dan memperlihatkan tubuh yang
sehat karena hidup bahagia. Rama menjelaskan rasa keraguan atas
kesetian Sinta karena setahun berada dalam penguasaan Dasamuka.
Mendengar hal tersebut, membuat Sinta menangis sedih serta akan pati
30
obong dan bersumpah dirinya tidak akan selamat jika benar seperti apa
yang diragukan Rama Regawa. Setelah api unggun dipersiapkan oleh
prajurit kera atas perintah Rama, Sinta meloncat masuk ke dalam kobaran
api dengan diiringi tangisan dari semua yang menyaksikan kejadian
tersebut. Pertolongan dewata mulai muncul ketika batara Brahma sebagai
dewa api menyelamatkan Sinta dengan merubah panas api menjadi
dingin. Secara bersamaan batara Guru tiba di Alengka dengan diiringi
jutaan dewa untuk menemui Rama yang dianggap sudah melampau batas
dalam memperlakuakn Sinta. Setelah mendengar wejangan dari para
dewa, Rama Regawa menjadi luluh hatinya dan sungkem kepada batara
Guru serta bisa menrima Sinta dengan sepenuh hati.
Suasana suka cita penuh kegembiraan yang terjadi di medan
pertempuran lantas dilanjutkan dengan perjalanan Rama Regawa
memboyong pulang dewi Sinta yang diiringi rombongan dari Alengka.
Langit penuh dengan kendaraan Rama Regawa beserta rombongan
menuju Ayodya menggunakan kereta terbang dari Alengka. Rama
Regawa duduk berdua dengan Sinta dalam satu kereta terbang,
memperlihatkan keindahan gunung Suwela yang penuh dengan kayu
besar serta batu kristal yang digunakan prajurit kera sebagai senjata.
Kemudian Rama menunjukan bangunan menakjubkan yaitu tanggul
Setubanda di atas lautan luas yang dulunya dibangun oleh prajurit kera
untuk menyebrang ke wilayah Alengka. Ketika berada di atas gunung
Mangliawan, Sinta mengeluarkan air mata karena mendengarkan cerita
dari Rama tentang penderitaan batin Rama saat ditinggal Sinta. Air mata
Sinta semakin deras mengalir saat terbang di atas gunung Reksamuka
karena mendengar ceritera pertemuan Rama dengan Sugriwa yang lantas
31
membutuhkan perjalanan panjang untuk berhasil menuju Alengka.
Perjalanan Rama Regawa beserta rombongan dari Alengka berlangsung
dengan suka cita dan penuh kebahagiaan.
Mendengar kabar kepulangan Rama Regawa beserta rombongan
dari Alengka, prabu Barata raja kerajaan Ayodya yang juga saudara muda
Rama Regawa mempersiapkan pesta penyambutan yang luar biasa. Saat
rombongan dari kerajaan Alengka tiba di kerajaan Ayodya, prabu Barata
beserta keluarga dan seisi kerajaan sangat bahagia sekali menerima
kedatangan mereka, terutama Rama dan Sinta adalah yang menjadi pusat
perhatian. Ketiga istri dari mendiang prabu Dasarata, yaitu dewi Ragu
atau dewi Sukasalya ibu dari Rama Regawa, dewi Kekayi ibu dari Barata,
dan dewi Sumitra ibu dari Leksmana menangis bahagia menyambut
kepulangan putra serta menantu mereka setelah sekian lama pergi
meninggalkan kerajaan Ayodya.
2. Sinta Boyong Versi Padmosoekotjo
Lakon Sinta Boyong dalam buku Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita
jilid III tulisan Padmosoekotjo dijelaskan pada bagian cerita Dewi Sinta
Manjing Dahana Minangka Cihnaning Kasuciane dan bagian Rama Kondur
Menyang Ayodya halaman 13 hingga 20. Lakon tersebut menceritakan
setelah kemenangan Rama Wijaya atas mungsuhnya Dasamuka, lantas
memerintahkan Anoman menjemput Sinta untuk datang ke setihinggil
kerajaan Alengka dan berpesan agar Sinta membuktikan kesucianya
didepan orang banyak bahwa dirinya masih suci belum tersentuh
Dasamuka. Kabar dari Anoman membuat Sinta sangat bahagia dan
32
bersemangat, dan dewi Trijatha pun tak tinggal diam dengan melakuakn
perawatan kepada Sinta serta merias dewi Sinta dengan sangat cantik
hingga tubuhnya wangi bercahaya.
Setibanya Sinta di setihinggil kerajaan Alengka disambut dengan
ekspresi diam dan wajah cemberut penuh curiga dari Rama karna melihat
Sinta tampak cantik sekali, dengan keadaan tubuh sehat, bersih, bersinar
serta sangat harum penuh perhiasan yang menandakan bahwa Sinta
sebelumnya hidup sangat bahagia bersama Dasamuka, penuh
bergelimang harta, perhiasan, wewangian dan kenikmatan hidup hingga
melupakan dirinya. Atas kejadian tersebut, Rama Wijaya mempersilahkan
Sinta supaya meninggalkan dirinya agar menghindarkan dusta kepada
keluarganya.
Dewi Sinta dan semua orang yang hadir saat itu sangat sedih dan
meneteskan air mata mengetahui sikap Rama yang demikian. Atas
kenyataan tersebut, lantas dewi Sinta meminta kepada raden Leksmana
agar membuatkan api unggun untuk pati obong. Setelah api unggun siap
dan Sinta masuk kedalam kobaran api, dewa Hagni menyelamtkan Sinta
dengan menghilangkan panasnya api menggantinya dengan kesejukan.
Lalu dewa Hagni memberi tahu kepada Rama dan semua orang bahwa
Sinta masih sangat suci belum oernah melupakan Rama serta belum
tersentuh oleh Dasamuka. Untuk meyakinkan Rama Wijaya, bathara
Sangkara yang didampingi bathara Indra dan banyak dewa di
belakangnya muncul menemui Rama berkata sama dengan yang
dikatakan dewa Hagni. Melihat dan mendengar fakta tersebut membuat
hati Rama Wijaya sangat puas lantas dia bisa menerima Sinta dengan
lapang dada dan setelahnya bisa menerima keadaan Sinta. Suasana
33
bahagia hati Rama Regawa lantas dilampiaskan dengan memboyong Sinta
pulang ke kerajaan Ayodya bersama iring-iring prajurit sebagai rasa suka
cita atas keberhasilan Rama mendapatkan kembali Sinta.
Cerita Sinta Boyong antara versi Sunardi D.M. dan versi
Padmosoekotjo memiliki banyak persamaan isi dan sedikit perbedaan.
Perbedaan antara kedua versi hanya terletak pada variasi isian dari tiap-
tiap adegan dan kesamaanya adalah jalan cerita yang dimulai dari
tewasnya Dasamuka hingga kedatangan Rama dan Sinta di kerajaan
Ayodya. Lakon Sinta Boyong yang disajikan Bambang Suwarno memiliki
perbedaan yang mencolok dari kedua versi tersebut, mulai dari jalan
cerita yang bergandeng antara beberapa perjalanan Rama dan Sinta,
awalan cerita yang dimulai dari hilangnya Sinta yang dicuri oleh
Dasamuka, hingga akhir cerita dengan penobatan Rama sebagai raja di
kerajaan Ayodya.
34
B. Struktur Dramatik Lakon Sinta Boyong Sajian Bambang Suwarno
Lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno dipentaskan pada
tanggal 14 Desember 2017 dalam rangka peringatan 100 hari wafatnya
almarhum Sukardi Samiharjo bertempat di Dukuh Sawahan, Desa Kudu,
Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo. Untuk melihat bagaimana peran
tokoh Dasamuka dalam lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno akan
dikaji melalui teori struktur dramatik dari Soediro Satoto. Langkah-
langkah yang diterapkan dalam aplikasi teori struktur dramatik dari
Soediro Satoto adalah dengan mengetahui struktur adegan, alur cerita,
penokohan, tema dan menentukan tema. Terapan dari teori struktur
dramatik Soediro Satoto dijabarkan sebagai berikut.
1. Struktur Adegan
Struktur adegan lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno terbagi
atas tiga pathet pembingkai waktu dan laras karawitannya, yaitu pathet nem,
pathet sanga dan pathet manyura. Rincian struktur adegan pada tiap-tiap
pathet adalah sebagai berikut.
a. Pathet Nem
Pertunjukan wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno
dalam pathet nem terbagi atas empat belas adegan sebagai berikut.
35
1. Adegan Rama ngudarasa dengan Sinta dan Leksmana di dalam
hutan Dandhaka
Curahan hati antara Rama dan Sinta tentang lelana brata atau bertapa
dengan cara berkelana di dalam hutan Dandhaka dan Rama
mengingatkan kepada Leksmana adiknya yang selalu mengikuti
kepergian Rama untuk waspada kepada segala bentuk gangguan.
2. Dasamuka dan Marica melihat Sinta dari angkasa
Dari jauh di angkasa, Dasamuka yang sudah mengetahui
keberadaan Sinta, Rama dan Leksmana merencanakan sesuatu agar
perhatian Rama dan Leksmana lepas dari Sinta.
3. Kijang jelmaan Marica menggoda Sinta
Seekor kijang berwarna emas datang di hadapan Rama, Sinta dan
Leksmana. Sinta sangat tergoda untuk memiliki kijang berwarna emas
tersebut dan memohon kepada Rama untuk menangkapnya.
4. Rama memburu kijang
Sekian lama mengejar dan memburu, Rama justru diserang kijang
buruanya. Kewalahan atas ulah kijang, Rama melepaskan anak panah
yang tertuju kepada kijang tersebut, kijang terkena panah dan babar
36
menjadi raksasa Kala Marica. Kaget dan merasa ada dijebak mungsuh,
Rama mengejar dan menyerang Kala Marica. Kalah dari pertarungan
tersebut, membuat Marica melarikan diri dan menipu Sinta dengan
menirukan suara Rama yang sedang membutuhkan pertolongan karena
serangan kijang.
5. Sinta menyuruh Leksmana menyusul Rama
Mendengar suara Marica yang menirukan Rama Regawa sedang
meminta tolong, Sinta sedih dan memerintah kepada Leksmana agar
menyusul Rama dalam memburu kijang. Leksmana yang sadar bahwa itu
adalah suara tipuan dari mungsuh, menolak perintah Sinta dan ada
perdebatan kecil diantara keduanya. Sifat kewanitaan Sinta yang penuh
kekawatiran dan curiga muncul, Sinta mengutarakan dugaanya kepada
Leksmana bahwa ada niat dari Leksmana untuk membiarkan Rama celaka
lantas memiliki dirinya sebagai istri. Tersinggung akan perkataan Sinta,
Leksmana lalu membuat rajah Kala Cakra untuk melindungi Sinta dari
mungsuh. Setelah membuat rajah, Leksmana berangkat menyusul Rama.
6. Dasamuka menculik Sinta
Mengetahui kepergian Leksmana, Dasamuka segera mendekati
Sinta untuk menculiknya. Atas kekuatan rajah yang dibuat Leksmana,
Dasamuka terpental dan tidak bisa mendekati Sinta. Dengan
mengamalkan mantra-mantra kesaktian, Dasamuka akhirnya berhasil
membuka rajah dari Leksmana dan berhasil menculik Sinta.
37
7. Burung Jatayu bertarung melawan Dasamuka
Mendengar jeritan Sinta dan mengetahui ulah Dasamuka, burung
Jatayu yang sedang berkelana di angkasa segera merebut dewi Sinta dari
Dasamuka. Pertarungan terjadi antara Dasamuka melawan burung Jatayu.
Atas kesaktian Dasamuka, Jatayu kalah dan sekarat karena terkena
pusaka dari Dasamuka.
8. Rama dan Leksmana bertemu dengan Jatayu yang sekarat
Setelah kembalinya dari pemburuan kijang, Rama menemukan
keadaan Jatayu yang sekarat ditengah jalan. Jatayu mengaku bahwa
diirinya diserang oleh Dasamuka yang sedang menculik Sinta. Bersamaan
dengan kesedihan Rama, Jatayu yang sedang sekarat akhirnya meninggal.
9. Jejer keraton Guwa Kis Kendha
Rama Regawa yang menerima pengabdian dari Sugriwa,
mengungkapkan keinginanya mengutus Anoman untuk pergi ke Alengka
memberikan cincin sotya ludira ke Sinta. Sugriwa menyetujui rencana
tersebut dan Anoman menyanggupinya. Rama Regawa bersabda jika
cincin sotya ludira pas di jari manis Sinta, maka Rama akan menyerang
Alengka untuk merebut kembali Sinta yang telah diculik Dasamuka.
38
10. Budhalan Anoman diutus ke Alengka
Anoman berangkat menuju kerajaan Alengka ditemani Semar
dengan cara dimasukan ke kancing gelung milik Anoman untuk
memudahkan perjalanan karena harus melewati samudera luas untuk
menuju Alengka.
11. Pertarungan antaraAnoman melawan Kataksini
Saat Anoman memasuki wilayah kerajaan Alengka, Anoman
mendarat ke sebuah jalan yang sebenarnya adalah lidah dari Kataksini,
yaitu raksasa besar berlidah sangat panjang penjaga pantai kerajaan
Alengka. Sadar masuk kedalam perut raksasa, Anoman merobek perut
dari dalam dan membunuh Kataksini.
12. Adegan Kedatonan
Sinta yang kurung di taman sari oleh Dasamuka, terus menerus
larut dalam kesedihan. Dewi Trijata putri Wibisana adik Dasamuka
bersama abdi emban parekan, Cangik dan Limbuk tidak berhenti
menghibur Sinta dengan lagu-lagu gembira, namun tetap tak
membuahkan hasil. Kedatangan Dasamuka beserta Togog dan Bilung
untuk menghibur Sinta agar mendapatkan perhatian juga kandas tidak
ditanggapi oleh sang kusuma dewi. Sadar akan situasi tersebut, Togog,
Bilung, Cangik, Limbuk, abdi parekan dan Trijata meninggalkan
dasamuka serta Sinta agar memberikan keleluasaan dasamuka dalam
39
menghibur Sinta. Rayuan Dasamuka yang justru diejek oleh Sinta bahwa
Dasamuka adalah raja picik yang penakut sangat jauh sekali
dibandingkan kemuliaan Rama Regawa, membuat Dasamuka marah dan
berniat membunuh Sinta dengan senjata keris. Saat Dasamuka hendak
menikamkan keris, Sinta justru pasang badan dan mempersilahkan untuk
dibunuh. Karena rasa cinta Dasamuka yang sangat besar terhap Sinta,
membuat Dasamuka menjadi luluh dan mengurungkan niatnya untuk
membunuh Sinta seraya meninggalkan Sinta sendirian. Setelah Dasamuka
meninggalkan Sinta, datanglah Anoman yang berhasil menelusup masuk
ke taman sari dan mendekat ke Sinta. Anoman memberikan cincin sotya
ludira ke dewi Sinta sebagai bukti bahwa dia utusan dari Rama Regawa.
Anoman juga menyampaikan sabda dari Rama Regawa, jika cincin sotya
ludira pas di jari manis Sinta, maka Rama akan menyerang Alengka untuk
merebut kembali Sinta yang telah diculik Dasamuka. Pada kenyataan
yang dilihat oleh Anoman, cincin sotya ludira dari Rama sangat pas di jari
Sinta. Begitu juga dengan Sinta memberi cundha manik kancing gelung
miliknya untuk diberikan kepada Rama sebagai bukti bahwa Anoman
sudah berhasil menemui Sinta. Merasa tugasnya selesai, Anoman
berpamitan meninggalkan taman sari.
13. Anoman membakar keraton Alengka
Merasa kurang puas dengan pekerjaanya, Anoman merusak dan
membakar taman kerajaan Alengka hingga diingatkan oleh Semar bahwa
pekerjaanya telah selesai dan waktunya menghadap ke Rama Regawa.
40
14. Adegan keraton Alengka
Dasamuka yang kecewa dengan terbakarnya kerajaan Alengka
karena ulah Anoman, Dasamuka meminta pendapat kepada Kumbakarna
dan Wibisana untuk mengatasi Rama beserta para prajurit sekutunya.
Kumbakarna dan Wibisana secara seragam memberikan pendapat supaya
Sinta dikembalikan saja ke Rama Regawa agar tak semakin parah
kehancuran Alengka. Mendengar hal itu, membuat Dasamuka marah dan
mengusir Wibisana beserta Kumbakarna keluar dari kerajaan Alengka.
Setelah mengusir Wibisana dan Kumbakarna, Dasamuka memanggil
patih Prahasta dan Indrajit untuk menyiapkan prajurit alengka supaya
menyerang Rama Regawa beserta pasukan koalisinya.
b. Pathet Sanga
Pertunjukan wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno
dalam pathet sanga terbagi atas tujuh adegan sebagai berikut.
1. Budhalan kerajaan Alengka
Patih Prahasta dan Indrajit memberangkatkan pasukan Alengka
untuk menyerang Rama Regawa beserta pasukan kera yang menjadi
sekutunya.
41
2. Adegan gara-gara
Berada di pesanggrahan Pancawati milik Rama menyiapkan
pasukan sekutunya, abdi dari Rama Regawa, yaitu Gareng, Petruk dan
Bagong sedang menghibur diri dengan lagu-lagu gembira.
3. Adegan pesanggrahan Pancawati
Rama Regawa yang ditemani Leksmana, Sugriwa dan patih Anila
sedang menunggu kepulangan Anoman dari Alengka. Kedatangan
Anoman dengan memberikan cundha manik kancing gelung membuat Rama
Regawa gembira. Anoman mengabarkan jika Sinta sangat sedih dengan
keadaan berpisah dari Rama Regawa. Rama Regawa sangat sedih
mendengar kabar dari Anoman, namun dikagetkan dengan kedatangan
Wibisana yang berniat bergabung dengan Rama Regawa. Wibisana
bercerita jika dirinya diusir dari Alengka karena bersikukuh bahwa Sinta
harus dikembalikan ke Rama. Mendengarkan perkataan Wibisana,
membuat Rama geram dengan sikap Dasamuka sehingga menguatkan
kehendak Rama Regawa untuk menyerang Alengka yang juga disetujui
Sugriwa. Wibisana menawarkan diri sebagai pengatur siasat untuk
menembus pertahanan Alengka dan disetujui oleh Rama.
4. Budhalan prajurit kera dari Pancawati
Sugriwa yang memimpin pasukan kera dan pasukan dari kerajaan
Guwa Kis Kendha miliknya untuk berangkat menyerang kerajaan
Alengka.
42
5. Adegan pasukan kera membangun tanggul
Pasukan kera pimpinan Sugriwa berhasil membangun tanggul setu
banda membelah samudra selatan untuk menyebrang ke kerajaan
Alengka.
6. Perang tanding antara Prahasta melawan Anila
Sesampainya pasukan kera di wilayah Alengka langsung disambut
dengan serangan dari pasukan Alengka pimpinan patih Prahasta. Melihat
hal itu, patih Anila tidak tinggal diam dan menyerang patih Prahasta.
Prahasta yang tinggi besar dan berperang dengan mengendarai gajah
membuat patih Anila beserta pasukan kera kewalahan. Anila segera
mengambil senjata gadha dan melumpuhkan gajah kendaraan Prahasta.
Walaupun gajah kendaraan Prahasta telah lumpuh, namun Anila tetap
kewalahan menghadapi keperkasaan Prahasta yang jauh lebih tinggi dan
besar hingga membuat Anila nyaris tewas. Anila yang melihat Prahasta
lengah segera mengangkat tugu Windardi dan menghantamkan ke kepala
Prahasta membuat Prahasta tewas seketika.
7. Kumbakarna maju berperang
Kumbakarna geram setelah mengetahui tewasnya Prahasta yang
juga adalah pamanya sendiri. Marahnya Kumbakarna hingga membuat
dia maju berperang menghadapi pasukan kera. Wibisana yang
mengetahui kaknya maju berperang segara menemui dan membujuk agar
Kumbakarna mundur dari peperangan. Namun Kumakarna tetap
43
bersikukuh dengan pendirianya dengan alasan bahwa ia maju berperang
untuk membela tanah airnya dari serangan mungsuh dan justru ia
meminta kepada Wibisana agar dipertemukan dengan Rama Regawa
sebagai lawan perang tanding. Setelah Wibisana pergi meninggalkan
Kumbakarna, segera Kumbakarna mengamuk menghancurkan barisan
dari pasukan kera dan memakan banyak korban. Melihat Kumbakarna
mengemuk, Wibisana segersa menemui Rama Regawa agar menghadapi
Kumbakarna dimedan perang. Rama Regawa yang beratarung
menghadapi Kumbakarna harus terdesak mundur karena kesaktian
Kumbakarna. Sehingga Rama Regawa melepaskan panah guhwa wijaya
tertuju ke Kumbakarna. Setelah terkena panah guhwa wijaya,
Kumbakarna tewas dan dihampiri oleh Gunawan untuk didoakan supaya
dapat menggapai surga serta penghormatan terakhir Wibisana kepada
Kumbakarna.
c. Pathet Manyura
Pertunjukan wayang lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno
dalam pathet manyura terbagi atas sepuluh adegan sebagai berikut.
1. Perang tanding antara Indrajit melawan Wibisana
Mengetahui kematian Kumbakarna, Indrajit geram dan mengamuk
ke Gunawan Wibisana yang dianggap sebagai penyebab kerusakan negri
Alengka karena Wibisana menjadi pengatur strategi perang dari pasukan
Rama Regawa. Wibisana yang terdesak tak tinggal diam dan segera
melepaskan panah yang sudah dibacakan mantra sakti. Mengiungat
44
bahwa Indrajit berasal dari mega yang disulap oleh Wibisana dijadikan
manusia, maka setelah terkena panah Wibisana, Indrajit tewas kembali
menjadi mega.
2. Perang tanding antara Dasamuka melawan Rama Regawa
Mengetahui negrinya hancur oleh pasukan Rama Regawa,
Dasamuka maju berperang dengan mengendarai kereta jatisura miliknya.
Melihat Dasamuka maju ke medan perang dengan mengendarai kereta
jatisura, Rama Regawa maju berperang menghadapi Dasamuka dengan
mengendarai kereta jaladara. Pertarungan terjadi sangat sengit, dan Rama
Regawa terdesak oleh kesaktian Dasamuka melalui gigitan taring
Dasamuka yang sakti kepada Rama. Datanglah Semar menemui Rama
untuk memberikan saran agar Dasamuka diserang dengan menggunakan
pusaka panah guhwa wijaya dan timbunan gunung ngungrungan
mengingat Dasamuka memiliki ajian pancasonya yang bisa hidup kembali
apa bila masih terkena suasana matahari dan udara. Makadari itu Semar
memerintahkan Anoman untuk menyiapkan gunung ngungrungan untuk
menimbun Dasamuka. Sementara Anoman menyiapkan gunung, Rama
segera bergerak cepat dengan melepaskankan panah guhwa wijaya tertuju
ke Dasamuka. Setelah Dasamuka terkena panah segera ditimbun oleh
Anoman dengan menggunakan gunung ngungrungan dan disitulah akhir
hayat Dasamuka. datanglahWibisana di depan jasad Dasamuka untuk
mendoakan kematian Dasamuka.
45
3. Adegan Sinta Obong
Rama yang menemui Sinta di kerajaan Alengka dibuat terkejut
karena Sinta menolak untuk dipeluk oleh Rama. Sinta beralasan bahwa
dirinya belum siap dengan tanggapan buruk dari lingkungan yang
berdasar dari dugaanya sendiri karena Sinta telah lama tinggal dalam
kurungan dasamuka di Alengka. Oleh karena itu untuk menghindarkan
fitnah apabila Sinta belum pernah “tersentuh” oleh Dasamuka, Sinta
memutuskan untuk bersuci diri dengan pati obong. Sinta berdoa memohon
kepada tuhan, jika dirinya masih “bersih” maka mohon diberi
keselamatan, namun jika dirinya sudah “tersentuh” oleh Dasamuka ia rela
untuk mati hangus terbakar dalam api unggun. Setelah proses
pembakaran dalam pati obong selesai, Sinta keluar dari api dengan selamat
dan menampilkan aura yang semakin bercahaya.
4. Adegan pelantikan Wibisana
Saat Wibisana memasrahkan kerajaan Alengka kepada Rama,
justru Rama melantik Wibisana sebagai raja Alengka selaku ahli waris sah
dari keturunan Alengka. Setelah pelantikan, Togog abdi setia Alengka
mengusulkan pergantian nama kerajaan Alengka menjadi kerajaan
Singgela Pura dengan maksut doa dan harapan menuju kebaikan.
5. Rama memboyong Sinta pulang
Setelah selesainya pelantikan, Rama meminta pamit kepada
Wibisana untuk memboyong Sinta kembali ke Ayodya sebagai simbol doa
46
dari dhalang dalam acara peringatan 100 hari wafatnya bapak Sukardi
samiharjo agar mendapatkan jalan yang baik di akhirat.
6. Adegan keraton Ayodya pembahasan kelayakan Rama kembali ke
Ayodya
Prabu Barata yang semantara menjadi raja Ayodya mewakili Rama
Regawa karena pergi bertapa keluar dari kerajaan, meminta pendapat
kepada resi Yogiswara dan resi Wismamitra bagaimana kelanjutan dari
tahta kerajaan Ayodya. Resi Yogiswara memberi nasihat jika tahta harus
dikembalikan kepada Rama Regawa mengingat mereka sudah mendengar
kabar kepulangan Rama. Barata dan adik bungsunya Satrugena
menyetujui pernyataan dari resi Yogiswara.
7. Penyambutan Rama, Sinta dan Leksmana pulang ke Ayodya
Kepulangan Rama, Sinta dan Leksmana ke Ayodya disambut
meriah dari pihak kerajaan dengan berbagai pasukan pembawa sesaji
yang sangat banyak. Barata, Satrugena, Yogiswara dan Wismamitra
dengan sangat bahagia menyambut kedatangan Rama, Sinta dan
Leksmana. Segera Barata menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada
Rama untuk menjadi raja. Rama yang menerima serah terima tersebut
segera dilantik oleh resi Yogiswara, resi Wismamitra dan Barata untuk
menjadi raja resmi dikerajaan Ayodya dengan diberi petuah wejangan
astha brata yaitu delapan sifat kepemimpinan. Setelah selesai memberi
wejangan astha brata, datanglah pusaka milik resi Yogiswara dan
47
disambut dengan resi Yogiswara serta resi Wismamitra berpamitan untuk
menuju moksa. Resi Yogiswara dan resi Wismamitra terbang
mengendarai kereta dan hilang moksa bersamaan dengan suara guntur
bergumuruh dari langit.
8. Brubuhan prajurit Alengka menghadapi prajurit kera
Kala Yaksa yang menjadi sekutu dekat Dasamuka mengamuk di
Ayodya karena tidak terima dengan kematian dasamuka. Setelah Anoman
berhasil membunuh Kala Yaksa, segera disambut dengan amukan dari
Rekata Yaksa salah satu panglima perang Dasamuka yang masih tersisa.
Bathara Bayu turun dari Kahwyangan untuk menumpas Rekata Yaksa
karena kesaktian Rekata Yaksa yang sulit dibunuh.
9. Tayungan
Setelah menumpas Rekata Yaksa, bathara Bayu menari gagahan
untuk perayaan keberhasilan Rama Regawa. Selesai tayungan tari dari
bathara Bayu, Semar datang dan berterima kasih kepada bathara Bayu
karena ikut membantu kerajaan Ayodya serta memohon kepada Tuhan
melalui cerita keberhasilan Rama dan Sinta bisa menjadi simbol doa untuk
almarhum bapak Sukardi yang telah wafat semoga mendapat tempat
yang baik di sisi tuhan.
48
10. Adegan Golek’an
Sajian wayang kulit ditutup oleh dhalang dengan tarian wayang
golek yang menampilkan tokoh wanita sebagai penarinya.
2. Alur
Alur adalah rangkaian dari runtutan kejadian yang berasal dari
proses sebab akibat pada suatu cerita. Alur dari sebuah cerita secara
umum akan melewati beberapa frase yaitu, eksposisi (pengenalan),
komplikasi (perumitan), krisis atau klimaks (puncak permasalahan),
resolusi (peleraian masalah), dan keputusan atau penyelesaian (Satoto,
1985:16-17).
Adapun analisis alur lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno
berdasarkan struktur alur Soediro Soetoto adalah sebagai berikut.
a. Tahap Eksposisi (Pengenalan)
Eksposisi adalah tahap perkenalan cerita yang bertujuan supaya
audiens mendapatkan gambaran sekilas tentang drama tersebut, capaian
dari tahap ini diharapkan audien menjadi lebih bisa terlibat dalam cerita
(Soediro Satoto, 1985: 21-22). Tahap pengenalan lakon Sinta Boyong sajian
Bambang Suwarno terjadi ketika berada dalam adegan pertama yaitu
adegan Rama Regawa, Sinta dan Leksmana masuk ke dalam hutan
Dandhaka dengan tujuan lelana brata. Rama, Sinta dan Leksmana
49
membicarakan hal yang terjadi saat itu mengenai tujuan dari apa yang
mereka kerjakan.
Transkrip narasi janturan yang menunjukan tahap pengenalan pada
pertunjukan wayang kulit lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno
adalah sebagai berikut.
Swuh rep dhata pitahana, wusananing alam nunggal tunggal samadyaning nayun nayapada nikeng pada pamadyaning titah hyang jagad karana, karanadya suwadining wininugra winantya basmeng mantyu pudya mangkya tekap dusaneng pamayangkara. Nenggih pundi ta kang rinenggeng waragita, madyaning wana Dhadaka prasasat sesotya coplok saking embanan, sinten ta ingkeng lelana brata wonten ing jenggala dhadaka lah menika satria ing Ayudya sang narpa putra Regawa, marteng jagad peparabe, kekasih Sri Rama Wijaya, sarimbit gegandheng asta kaliyan garwa sang dyah ayu rekyan Sinta. Bawane temanten anyar nedeng pepasihan, samana tinundhung ramanata Dasarata mentar saking nagri Ayodya tinut sang ari Laksmana Widagda ngulandara sekawan welas warsa anglugas raga, busana sarwa cerma miwah agegimbal rikma. Awit saking kasetyaningkang rayi raden Laksmana ingkang saparantan sagandhengan konca marang risang raka, pramila hanggung gandheng kunca kaya tan bisa pinisahake, ana Rama ana Leksmana. Dene risang dyah ayu Sinta ingkang datan ginggang sarikma wusnya kajatu krama dening Sri Rama prasasat aweran lan wewayanganipun ing pundi papaning pangeran Rama ing mriku ing kono dununging dyah ayu Sinta (Bambang Suwarno, Sinta Boyong, track 01:02:30 - 01:05:25).
(Swuh rep dhata pitahana, wusananing alam nunggal tunggal samadyaning nayun nayapada nikeng pada pamadyaning titah hyang jagad karana, karanadya suwadining wininugra winantya basmeng mantyu pudya mangkya tekap dusaneng pamayangkara. Tersebutlah dimana yang diperindah dengan lantunan sastra indah, di tengah hutan Dandhaka bagaikan permata lepas dari cincin, dialah yang sedang menjalani kelana suci di dalam hutan Dandhaka yaitu kesatria dari negri Ayodya putra raja Regawa, sang pengasuh dunia yang bernama Rama Wijaya, bersamaan dan bergandeng tangan dengan sang istri yaitu dewi Sinta. Aura pengantin muda yang sedang berbahagia penuh rasa kasmaran, akan tetapi sebelumnya terusir oleh sang ayah yaitu prabu Dasarata pergi dari kerajaan Ayodya dan diikuti oleh sang adik yaitu
50
Laksmana Widagda dengan empat belas tahun lamanya melepas pakaian mewahnya, berbusana serba dengan menggunakan kulit hewan hingga rambut mereka tampak menggimbal. Karena terlalu setiayanya sang adik yaitu raden Leksmana yang bagaikan selalu melekat anatara pakaian mereka, oleh karena itu mereka seperti tidak bias dipisahkan, di mana ada Rama maka di situ juga terdapat Laksmana berada. Sedangkan dewi Sinta juga selalu lengket dengan raden Rama Wijaya bagaikan pagar dengan baying-bayangnya, dimanapun keberadaan pangeran Rama di situ juga terdapat dewi Sinta.)
Narasi janturan di atas penggambaran tokoh Rama ditemani sang
istri yaitu Sinta dan sang adik yaitu Laksmana sedang berkelana di tengah
hutan Dhandaka. Selain itu juga menjelaskan ikatan diantara mereka yang
menunjukan hubungan antara Rama dan Sinta adalah pengantin baru dan
Laksmana adalah adik Rama yang sangat setia dengan sang kakak.
Kutipan dialog dibawah ini juga menunjukan tahap pengenalan cerita
pada lakon Sinta Boyong yang sedangn menggambarkan situasi pada saat
itu. Kutipan dialog tersebut disajikan oleh dalang setelah selesainya
janturan. Adapun dialog tersebut sebagai berikut.
RAMA : Nimas Sinta kadiparan rasaning tyasira, jeneng sira sun kanthi lelana brata manjing jroning wanadri.
SINTA : Dhuh pangeran jejimat sesembahan kawula, pangeran Rama pangayoman kawula, sakalangkung remen senadyan mapan wonten madyaning wana wasa, sauger kula tansah humiring dening paduka pangeran Rama.
RAMA : Heeeem, yayi Sinta, kasetyanira kang kaya mangkono ndadekake bombonging tyasingsun. Mengko ta yayi Lesmana, prayogakna nggonmu ngabyantara ana ngarsaning pun kakang.
LEKSMANA : Nwuninggih kakangmas, mboten kirang prayogi anggen kula ngabyantara wonten ngarsa paduka, sembah pangabekti kula kunjuk.
51
RAMA : Iya yayi, ndadekake gedhening atikuteka tata kramamu genep temen
LEKSMANA : Nwunninggih kakangmas, kawula namung tansah sendika dawuh paduka.
RAMA : Leksmana kawruhana, aja tinggal ing kaprayitnan awit durung katon mendho raseksa Ngalengka kang demen gendhak sikara ngreridu para pandita lan para titah pujangkara ing wewengkon kene.
LEKSMANA : Kawula nwuninggih, sabdha paduka kakangmas kaluhuran amung ngestokaken dawuh. (Bambang Suwarno, Sinta Boyong, track 01:09:40 - 01:11:25).
(RAMA : Dinda Sinta, bagaimana perasaan hatimu saat ini engkau bersamaku melakukan berkelana suci ini masuk kedalam hutan lebat?
SINTA : Duh pangeran yang sangat saya hormati, pangeran Rama pelindungku, amat sangat bahagia walaupun berada di tengah hutan besar yang lebat, selalu saya akan mengikuti paduka sang pangeran.
RAMA : Heeeem, dinda Sinta, kesetiaanmu yang demikian membuat hatiku amat bahagia. Wahai adiku Laksmana, silahkan tempatkanlah keadaanmu dengan baik dan nyaman tidak usah ada rasa sungkan ketika bersamaku saat ini.
LEKSMANA : Baiklah kakanda, sangat tidak ada rasa kecewa dalam keadaan ini yang sedang berada di hadapanmu, hormat dan bakti saya untukmu.
RAMA : Iya dinda, sangat membaggaka karena kau memiliki tata krama yang sangat baik.
LEKSMANA : Baiklah kakanda, saya akan selalu mengikuti dan berbakti kepadamu.
RAMA : Laksmana ketahuilah, jangan tinggalkan kewaspadaan karena kelihatanya belum berkurang raksasa Alengka dalam mengganggu para pertapa dan para manusia di wilayah sini.
52
LEKSMANA : Saya mengerti, perkataan kakanda sangat saya pegang dan saya jalankan).
Percakapan di atas menceritakan tentang kesetiaan Sinta dan
Leksmana untuk selalu mengikuti Rama walaupun berada di tengah
hutan. Kesetiaan dan kecantikan Sinta menyebabkan Dasamuka yang
pada saat itu terbang di atas hutan Dhandaka terpesona dan jatuh cinta
kepada Dewi Sinta. Dasamuka kemudian berniat untuk memiliki Dewi
Sinta serta menjadikannya permaisuri Kerajaan Alengka. Keinginan
Dasamuka inilah yang menyebabkan alur pada cerita Sinta Boyong
tersebut menjadi merumit.
b. Tahap Komplikasi (Perumitan)
Tahap komplikasi adalah tahap yang menyajikan munculnya
persoalan baru dalam cerita yang di dalam tahap ini persoalan mulai
merumit dan gawat. Tahap ini juga sering disebut dengan tahap
perumitan (Soediro Satoto, 1985:22). Tahap perumitan lakon Sinta Boyong
sajian Bambang Suwarno terjadi ketika berada dalam adegan pertama
yaitu Rama, Sinta dan Leksmana dalam hutan Dandhaka. Di dalam
adegan tersebut, disajikan di kelir bagian atas berawal dari Dasamuka
yang menemukan keberadaan Sinta yang telah lama dicari, menjadikan
abdinya yaitu Kala Marica sebagai umpan untuk menarik perhatian Sinta
dan Rama dengan dijadikan hewan rusa. Sinta yang tertarik dengan
hewan tersebut lalu memohon kepada Rama untuk menangkapnya dan
Rama menuruti kehendak Sinta. Setelah beberapa saat Rama pergi, Sinta
53
mendengar suara Rama yang sedang meminta tolong dan Sinta memohon
kepada Leksmana untuk pergi memberi pertolongan kepada Rama,
padahal sebenarnya suara yang didengar Sinta itu adalah gendam dari
Dasamuka. Semula Leksmana menolak karena pesan dari Rama agar
Leksmana tetap bersama Sinta untuk menjaga keselamatan Sinta, namun
karena didesak Sinta, akhirnya Leksmana bersedia pergi mencari Rama.
Setelah kepergian Leksmana, datanglah Dasamuka yang kemudian
berhasil mencuri Sinta dari kelengahan Rama serta Leksmana.
Kutipan transkrip dialog serta keterangan dari tahap perumitan
pertunjukan wayang kulit lakon Sinta Boyong sajian Bambang Suwarno
adalah sebagai berikut.
DASAMUKA : Woih lhadalah, bat tobat rekyan Sinta ayune sesigar jagat iba senenging rasane atiku yen bisa sesandingan. Bandhaku ya donyaku, heh Marica!
MARICA : Wonten timbalan keng ngadawuh sinuwun prabu Dasamuka
DASAMUKA : Piye reka dayamu kareben Sinta pisah kalawan Rama lan Leksmana.
MARICA : Sinuwun, cekak wonten budidaya kula mamrih kasembadaning sedya paduka.
DASAMUKA : Bagus yen pancen kaya mangkono (Bambang Suwarno, Sinta Boyong, track 01:12:12 - 01:12:42).
(DASAMUKA : Waaaah, luar biasa dewi Sinta memiliki kecantikan yang di dunia tiada tanding alangkah bahagia yang kurasakan jika bisa bersanding denganya. Duh duh, hey Marica!
MARICA : Ada perintah bagaimana baginda prabu Dasamuka?
DASAMUKA : Bagaimana rekayasamu supaya Sinta berpisah dengan Rama dan Laksmana?
54
MARICA : Baginda, cukup dengan usaha saya saja supaya tercapai keinginan paduka.
DASAMUKA : Baiklah apa bila seperti itu).
Adegan tersebut Dasamuka dan Kala Marica ditampilkan pada
bagian layar atas seperti bayangan dari Rama, Sinta dan Laksmna yang
ditancapkan pada batang pisang atau layar kelir bagian bawah.
Percakapan tersebut memperlihatkan awal dari perumitan masalah yaitu
Marica mulai mengatur siasat untuk mewujudkan keinginan Dasamuka.
Fase di bawah ini memperlihatkan bahwa Sinta sudah terperangkap
dalam siasat yang dibuat Marica yaitu kala Sinta tergoda untuk memiliki
hewan kijang emas, potongan adegan ini termasuk menjadi sumber dari
perumitan masalah.
SINTA : Dhuh pangeran Rama, mugiu wonten keparenging galih hambujung kidang kencana punika minangka kelangenaning kawula.
RAMA : Yayi Sinta, aja sira tawang-tawang tangis. Pun kakang sedya minangkani pamintanira mburu kidang kencana.
SINTA : Ngaturaken genging panuwun keng tanpa upami dhuh pangeran wonten kepareng paduka hambujung kidang kencana punika saget minangka panglipur sepining raos wonten madyaning wana wasa punika.
RAMA : Hiya yayi Sinta. Sing sabar, aja sumengka pangawak bajra, merga wong sabar iku dadi kekasihing gusti. Leksmana ari mami!
LEKSMANA : Wonten pangandika ing ngadawuh kakangmas.
RAMA : Reksananen karahayoning mbakayumu Sinta, pun kakang sedya amburu kidang kencana. Wanti-wanti pitungkasingsun, hawya kongsi ketrombongan lan katalumpen awit iki mapan ana madyaning wana wasa akeh sambikalane akeh
55
pangrencanane yen aku kalawan kowe ora papa jalaran jejering kakung utawa jalu.
LEKSMANA : Nwuninggih, liripun kadi pundi.
RAMA : Yen kakung lan jalu kui separan-paran kendel. Beda kalawan wanodya kang sarwa ringkih.
LEKSMANA : Nwuninggih ngesta aken dawuh kakangmas, kula ingkang bade rumeksa karahayone mbak ayu Sinta (Bambang Suwarno, Sinta Boyong, track 01:14:33 - 01:16:40).
(SINTA : Duh pangeran Rama, berharap ada kesanggupan kakanda untuk menangkap kijang emas tersebut untuk peliharaan saya.
RAMA : Duh dinda Sinta, janganlah engkau menangis. Kakanda akan menuruti permintaanmu memburu kijang emas tersebut.
SINTA : Menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya yang sangat tak terbayang duh pangeran atas kehendak paduka memburu kijang emas tersebut bisa menjadi penghibur kesepian di dalam hutan lebat ini.
RAMA : Iya dinda Sinta. Yang sabar ya, jangan tergesa-gesa, karena manusia yang penuh kesabaran itu adalah kekasih sang pencipta. Laksmana adiku!
LEKSMANA : Ada perintah apa kakanda?
RAMA : Jagalah keselamatan kakakmu Sinta, kandamu ini hendak memburu kijang emas. Ingat-ingatlah pesanku, jangan terlena dan penuh kewaspadaan karena ini di dalam hutan banyak mara bahaya banyak ancaman, apa bila aku dengan engkau tidak menjadi masalah karena laki-laki.
LEKSMANA : Kakanda, bagaima maksudnya?
RAMA : Jikalau laki-laki itu dimanapun tempat akan berani, akan tetapi berbeda dengan wanita yang serba lemah.
LEKSMANA : Baiklah saya patuh dengan perintah paduka kakanda, saya yang akan menjaga keselamatan ayunda Sinta).
56
Kelanjutan dari fase perumitan terjadi saat Rama terjebak pada
siasat yang dibangun oleh Marica. Terjebak yang dimaksud disini karena
Rama justru mengikuti alur siasat untuk menjebak Rama dan Marica
mendapatkan jalan untuk menipu Sinta. Fase tersebut terlihat pada
kutipan adegan dibawah ini. Fase tersebut bisa dilihat pada kutipan di
bawah ini yang diambil dari pocapan saat Rama menangkap kijang emas.
Wauta, waringuten pangeran Rama anggenipun nyepeng kidang kencana parandene amung tansah den leleda, lincah cukat trengginas tracake kidang mancat jaja kaya bengkah-bengkaha. Mangkono musthi trisula, sinipataken dening kidang, nratas keng jangga pejah kapisanan babar Marica (Bambang Suwarno, Sinta Boyong, track 01:20:20 - 01:21:00).
(Begitulah, sangat kuwalahan pangeran Rama menangkap kijang emas yang justru seperti dipermainkan, sangat licah terampil sekali pergerakan kijang kakinya menghujam ke dada seperti akan hancur dada tersebut. Lalu mulailah Rama membidik dengan panah Trisula, diarahkan ke kijang, menembus tepat pada leher mati seketika lalu berubah menjadi Marica).
Seperti pada narasi pocapan di atas bisa l