Upload
dangbao
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1. Peluang Pengembangan Perikanan Pelagis Kecil di Perairan Utara Nanggroe Aceh
Darussalam
Oleh Dr. Raihanah, M.Si.
2. Studi Kecenderungan Penggunaan Formalin Sebagai Bahan Pengawet pada Produk
Perikanan di Beberapa Pasar Tradisional dalam Wilayah Kota Banda Aceh
Oleh Drs. H. Azwar Thaib, M.Si.
3. Pengaruh Perbandingan Campuran Mortar Pengikat Pasangan Batu Bata Terhadap
Kekuatan Tekan
Oleh Ir. Helwiyah Zain
4. Penyelesaian Pelanggaran HAM di Aceh, Keharusan vs Hambatan
Oleh Mariati B, S.H., M.Hum.
5. Penerapan Strategi Active Learning dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Oleh Drs. Nasruddin A.R., M.Si.
6. Sistem Produksi Hijauan Makanan Ternak di Daerah Pemukiman Transmigrasi
Oleh Ir. Mulyadi, M.Si.
7. Analisis Kelayakan Angkutan Penyeberangan Ulee Lheue (Banda Aceh) – Lamteng
(Pulo Aceh)
Oleh Yulfrita Adamy, S.E., M.Si.
8. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja
Guru pada SMA di Kota Sabang
Oleh Ambia Nurdin, S.Pd. S.K.M.
9. Pemberantasan Hama pada Tanaman Mangga dengan Menggunakan Arus Listrik
Oleh Drs. Zulkarnaini, M.Si.
10. Learning English Over the Air – A Case Study of Nikoya Radio FM
Oleh Ema Dauyah, M.Ed.
VOLUME III, NO 2, JULI 2012
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
1
JURNAL ISSN 2086-8421
TASIMAK Media Sain dan Teknologi Abulyatama
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Volume III, No.2 – Juli 2012
Pelindung/Pembina : Rektor Universitas Abulyatama
Penanggung Jawab : Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat Universitas Abulyatama
Pemimpin Redaksi : Drs. Yusri, M.Pd.
Redaktur Ahli : Prof. Dr. H. Warul Walidin, A.K. M.A. (IAIN)
Prof.H. Burhanuddin Salim, M.Sc. Ph.D. (Unsyiah)
R. Agung Efriyo Hadi, M.Sc. Ph.D (Unaya)
Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd. (Unaya)
Drs. Azwar Thaib, M.Si. (Unaya)
Redaktur Pelaksana : Drs. Zamzami A.R., M.Si.
Yuliana, S.E.
Yulinar, S.Pd.
Dewan Redaksi : Muhammad Nur, S.H., M.Hum
Ir. Mulyadi
Ir. H. Firdaus, M.Si.
Dewi Astini, S.H., M.Hum.
Maryati B, S.H., M.Hum.
Drs. Tamarli, M.Si.
Yulfrita Adamy, S.E. M.Si.
Drs. H.M. Hasan Yakob, M.M.
Drs. Bukhari, M.Si.
Ir. M. Isa T. Ibrahim, M.T.
Distributor/Komunikasi : Drs. Akhyar, M.Si.
Drs. Muhammad, M.Si.
Bendahara : Drs. Nasruddin A.R., M.Si.
Desain Cover : aSOKA Communications (www.asoka.web.id)
Website : www.abulyatama.ac.id.
Alamat Redaksi : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Abulyatama, Jl. Blang Bintang Lama km 8,5
Lampoh Keude – Aceh Besar, Telepon 0651 21255
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
2
DAFTAR ISI
Halaman
. P
1. Peluang Pengembangan Perikanan Pelagis Kecil di Perairan Utara
Nanggroe Aceh Darussalam
Oleh Dr. Raihanah, M.Si. ............................................................................. 1 – 14
2. Studi Kecenderungan Penggunaan Formalin Sebagai Bahan Pengawet
pada Produk Perikanan di Beberapa Pasar Tradisional dalam Wilayah
Kota Banda Aceh
Oleh Drs. H. Azwar Thaib, M.Si. ................................................................ 15 – 25
3. Pengaruh Perbandingan Campuran Mortar Pengikat Pasangan Batu Bata
Terhadap Kekuatan Tekan
Oleh Ir. Helwiyah Zain ................................................................................. 26 – 31
4. Penyelesaian Pelanggaran HAM di Aceh, Keharusan vs Hambatan
Oleh Mariati B, S.H., M.Hum. ..................................................................... 32 – 44
5. Penerapan Strategi Active Learning dalam Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam (PAI)
Oleh Drs. Nasruddin A.R., M.Si. ................................................................ 45 – 58
6. Sistem Produksi Hijauan Makanan Ternak di Daerah Pemukiman
Transmigrasi
Oleh Ir. Mulyadi, M.Si. .............................................................................. 59 – 67
7. Analisis Kelayakan Angkutan Penyeberangan Lintasan Ulee Lheue
(Banda Aceh) – Lanteng (Pulo Aceh)
Oleh Yulfrita Adamy, S.E., M.Si. ............................................................... 68 – 84
8. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja
Terhadap Kinerja Guru pada SMA di Kota Sabang
Oleh Ambia Nurdin, S.Pd., S.K.M. ............................................................. 85 – 99
9. Pemberantasan Hama pada Tanaman Mangga dengan Menggunakan Arus
Listrik
Oleh Drs. Zulkarnaini, M.Si. ................................................................... 100 – 109
10. Learning English Over the Air – A Case Study of Nikoya Radio FM
Oleg Ema Dauyah, M.Ed. ....................................................................... 110 – 119
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
3
PELUANG PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN
UTARA NANGGROE ACEH DARUSSALAM
(Opportunity of Development of Small Pelagic Fisheries in North Territorial Water of
Nanggroe Aceh Darussalam
Dr. Raihanah, M.Si.
ABSTRACT
Action of management of small pelagic fisheries not yet a lot of done in north
territorial water of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), because limited in supporting
information and many problems after tsunami. This research aim to analyze common
condition and maximum sustainable yield of small pelagic resources so that can be
known development opportunities. The method of research are descriptive analysis,
standard analysis of fishing unit, and biological analysis. The result that number of
fisherman domestic (RTN) increase from 1999 until 2004 (1231 RTN), and in 2005
decreasing (361 RTN) because the happening of tsunami, and then grow up slowly which
in 2009 become 480 RTN. Number of fishing boats < 5 GT are 186 units in 2005 and 241
units in 2006 caused there are many grands after tsunami. The average production of
small pelagic in quarterly 2 and 3 showed better than quarterly 1 and 4 that are 1517,7
ton and 1530,9 ton respectively. Maximum sustainable yield (MSY) of small pelagic
resources are achieved 15479 tons per year and F-optimum are 4896 trips in research
location. If connected by a annual production (7069,35 ton), hence the utilization of
small pelagic resources about 45,67 %, so this condition gives development
opportunities in the future.
Key words: development, F-optimum, opportunity, small pelagic resources.
I. PENDAHULUAN
Menurut DKP (2010), potensi ikan
pelagis di perairan Indonesia mencapai 3,2
juta/ton atau 51,62 % dari total potensi
perikanan laut yang ada. Oleh karena
potensinya yang besar dan cara
menangkapnya mudah, maka ikan pelagis
kecil merupakan jenis ikan yang paling
banyak diusahakan oleh usaha perikanan
rakyat. Terkait dengan ini, maka
pengembangan perikanan pelagis terutama
perikanan pelagis kecil menjadi hal
penting untuk menyelamatkan ekonomi
rakyat di daerah pesisir. Pemanfaatan
sumberdaya ikan pelagis kecil di Indonesia
umumnya terdiri ikan Selar (Selaroides
leptolepis), Sunglir (Elagastis
bipinnulatus), Teri (Stolephorus indicus),
Japuh (Dussumieria spp), Tembang
(Sadinella fimbriata), Lemuru (Sardinella
Longiceps) dan Siro (Amblygaster sirm),
dan kelompok Skrombroid seperti
Kembung (Rastrellinger spp).
Perairan utara Propinsi Nanggro
Aceh Darussalam (wilayah Selat Malaka)
termasuk perairan Indonesia yang saat ini
banyak dimanfaatkan potensi ikan pelagis
kecilnya oleh nelayan tradisional setempat
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
2
maupun yang berasal dari propinsi lain.
Hasil tangkapan ikan pelagis kecil
termasuk paling dominan (52,12 %) di
perairan utara Nanggro Aceh Darussalam.
Secara sepintas, hal ini tentu sangat positif
untuk pengembangan usaha perikanan
yang mendukung pembangunan daerah dan
masyarakat di masa datang.
Menurut Dahuri (2001),
pembangunan perikanan di wilayah utara
dan timur Propinsi Nanggro Aceh
Darussalam ini masih menghadapi
tantangan dan permasalahan yang cukup
besar seperti masih banyaknya pencurian
ikan oleh kapal asing, penangkapan ikan
dengan menggunakan cara yang merusak
sumberdaya dan habitatnya, pelayanan di
pelabuhan perikanan yang dapat
mengakibatkan biaya ekonomi tinggi, dan
fokus pengembangan tidak diarahkan pada
produk dengan unggulan dengan trend
produksi yang bagus. Pemecahan hal ini
terkadang sulit karena data dan informasi
terkait terutama yang menyangkut kondisi
nelayan, armada penangkapan, statistik
produksi, serta potensi sumberdaya ikan
yang bisa dimanfaatkan belum tersedia
dengan baik. Penelitian ini diharapkan
dapat membantu hal tersebut di atas,
sehingga peluang pengembangan dapat
diketahui dan tindakan pengelolaan dapat
dilakukan secara tepat.
2 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis kondisi umum kegiatan
perikanan dan menganalisis potensi lestari
sumberdaya ikan pelagis kecil sehingga
dapat diketahui peluang pengembangannya
di perairan utara Propinsi Nanggro Aceh
Darussalam.
3 METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di perairan
utara Propinsi Nanggro Aceh Darussalam
pada koordinat 95,2 – 96,0 BT dan 5,3 –
5,8 LU dengan basis PPN Lampulo.
Penelitian ini dilaksanakan selama 10
(sepuluh) bulan dimulai dari bulan Agustus
2009 sampai dengan Mei 2010.
3.2 Jenis Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder, mencakup jenis hasil
tangkapan, jumlah hasil tangkapan, upaya
penangkapan, musim ikan, daerah
penangkapan, zona pemanfaatan, dan
lainnya.
3.3 Metode Pengumpulan Data
3.3.1 Metode Pengumpulan Data
Primer
Pengumpulan data primer dilakukan
melalui pengamatan langsung dan
wawancara mendalam pada lokasi dengan
intensitas kegiatan penangkapan ikan
pelagis kecilnya dominan. Data primer
difokuskan pada data jenis hasil tangkapan,
jumlah hasil tangkapan, musim ikan dan
daerah penangkapan ikan, Wawancara
mendalam dilakukan dengan bantuan
kuiseoner kepada responden yang
ditetapkan sebanyak 10 % dari total
populasi kelompok sampling (Irianti dalam
Bungin, 2004). Responden berasal dari
kelompok nelayan, pemilik kapal, dan
pengusaha perikanan.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
3
1CPUE
CPUE FPI
s
s
s
s
i
iCPUE
CPUE FPI
i
i
iFE
HT CPUE
s
s
sFE
HT CPUE
3.3.2 Metode Pengumpulan Data
Sekunder
Metode pengumpulan data
sekunder terdiri dari studi literatur,
konsultasi pakar, dan kombinasi keduanya.
3.4. Metode Analisis
Pengolahan dan analisis data yang
dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari
analisis dekriptif, standarisasi unit
penangkapan ikan, dan analisis biologi.
3.4.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan untuk
menjelaskan kondisi umum kegiatan per-
ikanan pelagis kecil di perairan Nanggro
Aceh Darussalam. Analisis deskriptif ini
dapat mencakup analisis terkait kondisi
rumah tangga nelayan (RTN), perkem-
bangan armada penangkapan, perkembang-
an produksi/hasil tangkapan baik dalam
skala tahunan maupun kwartal. Hasil
analisis ini dapat disajikan dalam bentuk
narasi, grafik, tabel, dan lainnya.
3.4.2 Standardisasi Unit Penangkapan
Ikan
Standarisasi unit penangkapan
ikan merupakan tahapan penting untuk
analisis potensi sumberdaya perikanan
pelagis kecil di perairan utara Propinsi
Nanggro Aceh Darussalam. Standarisasi
ini diperlukan untuk keseragaman upaya
penangkapan yang ada sehingga tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan selama ini
di lokasi dapat dihitung dengan mudah,
dapat potensi pengembangannya diketahui.
Unit penangkapan ikan yang dijadikan
standar adalah jenis unit penangkapan
yang paling dominan menangkap jenis-
jenis ikan utama di lokasi yang ditandai
oleh CPUE atau laju tangkapan rata-
ratanya bernilai paling besar. Adapan
persamaan yang terkait dengan
perhitungan FPI ini (Gulland, 1983) :
SE = FPi x FEi
Di mana CPUEs = jumlah hasil
tangkapanan per satuan upaya unit
penangkapan standar pada tahun ke-i;
CPUEi = atau jumlah hasil tangkapanan
per satuan upaya jenis penangkapan yang
akan distandardisasi; HTs = jumlah hasil
tangkapan (catch) jenis unit penangkapan
yang dijadikan standar pada tahun ke-i;
HTi = jumlah hasil tangkapan (catch) jenis
unit penangkapan yang akan
distandardisasi pada tahun ke-i; FEs =
jumlah upaya penangkapan (effort) jenis
unit penangkapan ikan yang dijadikan
standar pada tahun ke-i; FEi = jumlah
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
4
upaya penangkapan (effort) jenis unit
penangkapan yang akan distandardisasi
pada tahun ke-i; FPIs = fishing power
indeks atau faktor daya tangkap jenis unit
penangkapan standar pada tahun ke-i; FPIi
= fishing power indeks jenis unit
penangkapan yang akan distandardisasi
pada tahun ke-i; dan SE =upaya
penangkapan (effort) hasil standardisasi
pada tahun ke-i.
3.4.3. Analisis Biologi
Analisis biologi digunakan untuk
menduga potensi lestari (MSY) perikanan
pelagis kecil yang dilakukan dengan cara
mengolah data hasil tangkapan utama dari
setiap unit tangkapan ikan yang
dioperasikan dan upaya penangkapan.
Menurut Sparre dan Venema (1999) yang
diacu dalam Ihsan (2000), parameter
biologi untuk menduga konstanta-
konstanta persamaan surplus produksi.
Pendugaan potensi lestari (Maximum
Sustainable Yield/MSY) dengan model
surplus produksi ini menggunakan
pendekatan awal berupa metode Schaefer
yang mengembangkan analisis regresi dari
catch per-unit effort (CPUE) terhadap
jumlah effort (f) yang distandarisasi.
Secara matematis, catch per-unit effort
(CPUE), MSY, dan f(opt) dinyatakan
dengan persamaan :
CPUE = a – b.f MSY = 4b
a2
f (opt)
= 2b
a
Dimana CPUE = rata-rata tangkapan per
satuan upaya penangkapan, F = upaya
penangkapan, a dan b = parameter
regresi, MSY = potensi lestari ikan pelagis
kecil, dan f(opt) = upaya
penangkapan optimum ikan pelagis kecil.
4. HASIL PENELITIAN
4.1 Kondisi Nelayan dan Armada
Penangkapan Ikan
4.1.1 Kondisi Rumah Tangga Nelayan
(RTN)
Nelayan merupakan pelaku utama
kegiatan perikanan tangkap termasuk
untuk perikanan pelagis kecil. Peran
nelayan dalam kegiatan perikanan tangkap
termasuk di perairan utara Propinsi
Nanggro Aceh Darussalam (NAD) sangat
tergantung pada kehidupan rumah
tangganya. Nelayan yang melibatkan isteri
dan anaknya dalam kegiatan perikanan
biasanya lebih sukses dan lebih dapat
bertahan terhadap berbagai pemasalahan
yang terjadi pada kegiatan perikanan.
Tabel 1 menyajikan perkembangan jumlah
rumah tangga nelayan (RTN) di perairan
utara Nanggro Aceh Darussalam tahun
1999 – 2009.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
1
Tabel 1 Perkembangan jumlah rumah tangga nelayan (RTN)
di perairan utara NAD tahun 1999 – 2009
Uraian Tahun
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah
Rumah
Tangga
Nelayan
/RTN (KK)
866 851 1069 1121 1156 1231 361 458 480 480 480
Sumber : Hasil analisis data lapang (2010)
Berdasarkan Tabel 1, jumlah
rumah tangga nelayan cenderung
meningkat hinga tahun 2004. Pada tahun
2005, menurun drastis dari 1231 RTN pada
tahun 2004 menjadi 361 RTN
pada tahun 2005. Hal ini terjadi karena
adanya tsunami (tahun 2004) yang
menyebabkan banyak anggota keluarga
nelayan yang menjadi korban. Dengan
adanya program pemulihan yang dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia dan dibantu
oleh beberapa donor dari luar, maka terjadi
peningkatan kembali pada tahun 2006
menjadi 458 RTN, dan tahun 2009 menjadi
480 RTN.
4.1.2 Perkembangan Armada
Penangkapan
Secara umum, armada penang-
kapan ikan yang berkembang di perairan
utara Nanggro Aceh Darussalam terdiri
dari perahu tanpa motor, perahu papan,
motor tempel, dan kapal motor. Armada
penangkapan ikan tersebut berkembang
secara alami di perairan utara NAD,
berdasarkan pilihan nelayan yang terdapat
di lokasi. Secara detail, Gambar 1
menyajikan secara detail perkembangan
perahu papan dan kapal motor yang
terdapat di perairan utara Nanggro Aceh
Darussalam untuk periode tahun 1999 –
2009.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
1
(a) perahu papan (b) kapal motor
Gambar 1 Perkembangan jumlah perahu papan dan kapal motor di perairan utara
Nanggroe Aceh Darussalam tahun 1999 – 2009
Berdasarkan Gambar 1, perahu papan
besar meningkat drastis pada tahun 2001
hingga tahun 2004, yaitu sekitar 125 unit
pada tahun 2001 menjadi 201 unit pada
tahun 2004. Sedangkan perahu papan
kecil tidak menglami peningkatan (tetap 35
unit), dan perahu papan sedang belum
dikembangkan (0 unit). Namun setelah
terjadi tsunami, perahu papan besar dan
perahu papan kecil menurun dratis, dan
yang berkembang adalah perahu papan
sedang. Sedangkan untuk kapal motor,
pada periode tahun 1999 – 2004, kapal
motor < 5 GT dan kapal motor 5 – 10 GT
merupakan kapal motor yang dominan
dikembangkan di perairan utara Nanggro
Aceh Darussalam. Pada tahun 1999, kapal
motor < 5 GT sekitar 77 unit dan
meningkat pada tahun 2003 menjadi 120
unit. Untuk kapal motor 5 – 10 GT, pada
tahun 1999 sekitar 87 unit meningkat pada
tahun 2004 menjadi 196 unit. Kapal motor
< 5 GT meningkat menjadi 186 unit tahun
2005 dan 241 unit tahun 2005 karena ada
bantu pasca tsunami. Peningkatan juga
terjadi pada kapal motor 20 – 30 GT,
dimana dari tidak akan menjadi 135 unit
pafa tahun 2005.
4.2 Perkembangan Hasil Tangkapan
Ikan
4.2.1 Hasil Tangkapan Ikan Tahunan
Secara umum, hasil tangkapan
ikan di perairan utara Nanggro Aceh
Darussalam dapat dilihat dalam skala
tahunan dan juga dalam jangka waktu lebih
pendek, misalnya skala kwartal (3
bulanan). Baik dalam skala tahunan
maupun skala kwartal, hasil tangkapan
ikan yang didapat nelayan bisa berbeda-
beda dipengaruhi oleh pola migrasi ikan,
musim, dan faktor lingkungan perairan
lainnya. Gambar 2 menyajikan
perkembangan hasil tangkapan ikan
pelagis kecil di perairan utara Nanggro
Aceh Darussalam tahun 1999 – 2009.
0
50
100
150
200
250
1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Tahun
Ju
mla
h P
era
hu
Pap
an
(u
nit
)
Perahu Papan Kecil Perahu Papan Sedang Perahu Papan Besar
0
50
100
150
200
250
300
1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Tahun
Ju
mla
h K
ap
al
Mo
tor
(un
it)
< 5 GT 5 - 10 GT 10 - 20 GT 20 - 30 GT
30 - 50 GT 50 - 100 GT 100 - 200 GT
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
1
(a) menurut jenis ikan (b) menurut kwartal
Gambar 2 Perkembangan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan
utara Nanggro Aceh Darussalam tahun 1999 – 2009
Berdasarkan Gambar 2, ikan teri,
layang, dan kembung merupakan hasil
tangkapan yang dominan yang didapat
nelayan di perairan Nanggro Aceh
Darussalam selama periode tahun 1999 –
2009. Namun demikian, hasil tangkapan
tersebut sangat berfluktuasi dari tahun ke
tahun. Ikan teri merupakan hasil
tangkapan terbanyak nelayan periode tahun
2000 – 2001, dan pada tahun 2002 – 2004
sedikit menurun dan digantikan oleh ikan
kembung. Hasil tangkapan ikan layang,
meningkat pesat pada periode tahun 2005 –
2007. Untuk kwartal, hasil tangkapan
tersebut terbagi dalam kwartal 1 (Januari –
Maret), kwartal 2 (April Juni), kwartal 3
(Juli-September), dan kwartal 4 (Oktober –
Desember). Hasil tangkapan rata-rata
ikan pelagis kecil di perairan utara
Nanggro Aceh Darussalam umumnya lebih
banyak pada kwartal 2 dan 3. Pada
kwartal 2, hasil tangkapan rata-rata ikan
pelagis kecil di lokasi mencapai 1517,7 ton
dan pada kwartal 3 meningkat lagi yaitu
rata-rata menjadi 1530,9 ton. Kwartal 4
mempunyai hasil tangkapan rata-rata ikan
pelagis kecil paling rendah di perairan
utara Nanggro Aceh Darussalam, yaitu
1193,1 ton.
4.2.2 Hasil Tangkapan Ikan Di Setiap
Kwartal
Untuk melihat perkembangan hasil
tangkapan setiap jenis ikan pelagis kecil di
setiap kwartal selama 11 tahun (1999 –
2009), maka dilakukan analisis produksi
berdasarkan kwartal (Gambar 3).
Berdasarkan Gambar 3, selama kwartal 1
tahun 2000, 2001 dan 2003, ikan teri
merupakan produk dominan nelayan di
perairan utara Nanggro Aceh Darussalam.
Hasil tangkapan rata-rata ikan teri pada
kwartal 1 tahun 2000, 2001, dan 2003
berturut-turut mencapai 443,1 ton, 877,1
ton, dan 449,6 ton. Selain teri, ikan lemuru
dan selar termasuk jenis hasil tangkapan
penting selama 2000 – 2004, yaitu masing-
masing pada tahun 2000 produksinya
mencapai 354,4 ton dan 135,4 ton, dan
pada tahun 2004 produksinya mencapai
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Tahun
Pro
du
ksi (t
on
)
Kembung
Layang
Tembang
Selar
Teri
Layar
Lemuru
Sunglir
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
Kw artal 1
Kw artal 2
Kw artal 3
Kw artal 4
Produksi (ton)
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
7
312,5 ton dan 291,9 ton. Pada kwartal 1
tahun 2005-2007, ikan layang menjadi
hasil tangkapan dominan nelayan di
perairan utara Nanggro Aceh Darussalam,
yaitu masing-masing mencapai 585,5 ton,
723,7 ton, dan 247 ton.
Untuk kwartal 2 ini, hasil
tangkapan rata-rata ikan teri dominan
hanya pada tahun 2001, sedangkan pada
tahun berikutnya didominasi oleh henis
lainnya. Pada kwartal 2 tahun 2004, hasil
tangkapan dominan berupa ikan kembung
yang mencapai 544,6 ton. Pada
kwartal 2 tahun 2005, hasil tangkapan
dominan nelayan berupa ikan layang
(585,5 ton), sedangkan pada kwartal 2
tahun 2006 berupa ikan kembung dan ikan
sunglir yang produksinya masing-masing
mencapai 727,3 ton. Di kwartal 3 untuk
periode tahun 1999 –teri, kembung, dan
layang ini masing-masing mencapai 813
ton (tahun 2001), 717,4 ton (tahun 2003),
dan 613,6 ton (2006).
Gambar 3 Hasil tangkapan rata-rata ikan pelagis kecil di setiap kwartal di perairan utara
Nanggro Aceh Darussalam tahun 1999 – 2009
0
520
1040
1560
2080
2600
1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Tahun
Pro
du
ksi
Kw
art
al
I (t
on
)
Layang
Tembang
Selar
teri
layar
Lemuru
Sunglir
Jepuh
kembung
(a) kwartal 1 (b) kwartal 2
(c) kwartal 3 (d) kwartal 4
0
520
1040
1560
2080
2600
1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Tahun
Pro
du
ksi
Kw
art
al
III
(Tah
un
)
Layang
Tembang
Selar
teri
layar
Lemuru
Sunglir
Jepuh
kembung
0
520
1040
1560
2080
2600
1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Tahun
Pro
du
ksi
Kw
art
al
IV (
ton
) Layang
Tembang
Selar
teri
layar
Lemuru
Sunglir
Jepuh
kembung
0
520
1040
1560
2080
2600
1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Tahun
Pro
du
ksi
Kw
art
al
II (
ton
) Layang
Tembang
Selar
teri
layar
Lemuru
Sunglir
Jepuh
kembung
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
8
Bila melihat jenis ikannya, maka
hasil tangkapan rata-rata ikan pelagis kecil
di kwartal 4 termasuk kurang stabil
dibandingkan tiga kwartal lainnya. Ikan
teri merupakan produk dominan untuk
kwartal 4 tahun 2001, yang mencapai
577,2 ton. Ikan kembung menjadi produk
dominan untuk jenis ikan pelagis kecil di
kwartal 4 tahun 2004 yang produksinya
mencapai 760,9 ton. Ikan layang menjadi
produk dominan untuk jenis ikan pelagis
kecil di kwartal 4 tahun 2006 yang
produksinya mencapai 626,4 ton.
4.3 Potensi Pengembangan Perikanan
Pelagis Kecil
4.3.1 Standarisasi Upaya Penangkapan
Ikan Pelagis Kecil
Penangkapan ikan pelagis kecil di
perairan utara Nanggro Aceh Darussalam
umumnya menggunakan jaring insang
hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT),
jaring lingkar (JL), payang, purse seine,
jaring klitik (JK), pukat ikan, dan tramel
net. Jenis ikan pelagis kecil yang umum
ditangkap oleh nelayan di di peraiarn utara
Nanggro Aceh Darussalam terdiri dari
jenis ikan layang, tembang, selar, teri
layar, lemuru, sunglir, jepuh, dan
kembung. Tabel 2 menyajikan hasil
tangkapan total (catch total), effort
gabungan hasil standarisasi dan CPUE
standar.
Tabel 2 Catch total, effort gabungan hasil standarisasi dan CPUE standar
Tahun HTs-total (ton) SE-Gab (unit) CPUE Standar
(ton/unit)
1999 9517.1 4889.320 1.947
2000 16143.5 3044.848 5.302
2001 11379.7 4604.928 2.471
2002 6223.8 10064.343 0.618
2003 6292.5 9632.219 0.653
2004 5707.7 5175.898 1.103
2005 3735.7 346.138 10.793
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
1
2006 4093 935.543 4.375
2007 4999.3 4028.183 1.241
2008 4672.2 2894.829 1.614
2009 4998.4 2301.065 2.172
Sumber : Hasil analisis data (2010)
Hasil standarisasi pada Tabel 2 merupakan
gabungan dari hasil analisis standar terkait
hasil tangkapan dan upaya penangkapan
ikan pelagis kecil menggunakan sembilan
jenis alat tangkap tersebut. Alat tangkap
tersebut sangat diandalkan oleh nelayan di
lokasi karena mereka cukup menguasai
teknologinya, meskipun sangat terbatas.
4.3.2 Potensi Lestari Sumberdaya Ikan
Pelagis Kecil
Data hasil standarisasi pada Tabel
2 berguna untuk menganalisis potensi
lestari (MSY) sumberdaya ikan pelagis
kecil dan upaya penangkapan optimumnya
(f-optimum) di perairan utara Nanggro
Aceh Darussalam. Gambar 4 menyajikan
hubungan upaya penangkapan dengan
produksi, MSY dan f-optimum untuk ikan
pelagis kecil di perairan utara Nanggro
Aceh Darussalam.
Gambar 4 Hubungan upaya penangkapanan dengan produksi, MSY dan F Optimum
untuk ikan pelagis kecil di perairan utara Nanggro Aceh Darussalam
MSY =15479 ton
2002
1999
2000
2001
2003
20042005
200620072008
2009
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
0 2000 4000 6000 8000 10000
Upaya Penangkapan (trip)
Prod
uksi
(ton
)
F-opt=4896 trip
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
9
Berdasarkan Gambar 4, potensi
maksimum lestari (Maximum Sustainable
Yield/MSY) sumberdaya ikan pelagis kecil
di perairan utara Nanggro Aceh
Darussalam sekitar 15479 ton setiap
tahunnya, sedangkan upaya penang-
kapannya yang optimum (F opt) sekitar
4896 trip. Produksi tahunan rata-rata ikan
pelagis kecil di perairan utara Nanggro
Aceh Darussalam selama periode 11 tahun
terakhir sekitar 7069,35 ton. Bila nilai
tersebut dihubungkan dengan nilai potensi
maksimum lestari (Maximum Sustainable
Yield/MSY) maka tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan pelagis kecil di Pantai
Utara Nanggroe Aceh Darussalam sekitar
45,67 %. Produksi ikan pelagis kecil pada
tahun 2009 yang sekitar 4998,4 ton (Tabel
2), sehingga masih sangat terbuka untuk
ditingkatkan pada tahun-tahun berikutnya.
Hasil analisis terkait slope/kemiringan
hubungan upaya penangkapan dengan
CPUE ikan pelagis kecil menunjukkan
nilai negatif (-0,00065). Nilai negatif
tersebut menunjukkan bahwa peningkatan
upaya penangkapan ikan cenderung
menurunkan hasil tangkapan ikan untuk
setiap trip penangkapan yang dilakukan di
perairan utara Nanggro Aceh Darussalam.
Namun demikian, nilai negatif sangat kecil
(slope landai) yang menunjukkan bahwa
penurunan hasil tangkapan ikan untuk
setiap trip penangkapan tidak akan terjadi
selama peningkatan upaya penangakapan
dilakukan secara normal.
5. PEMBAHASAN
Potensi lestari sumberdaya ikan
pelagis kecil yang mencapai 15479
ton/tahun merupakan potensi besar untuk
memajukan kegiatan perikanan di perairan
utara Nanggro Aceh Darussalam. Dalam
penelitiannya, Hendriwan, et. al (2008)
menyatakan bahwa potensi perikanan
sangat tingkat optimasi pengelolaan
sumberdaya perikanan dan strategi
pengembangannya sehingga pengelolaan
tersebut dapat berkelanjutan. Namun
demikian, keberhasilan kegiatan perikanan
tangkap termasuk yang terkait dengan
perikanan pelagis kecil, juga sangat
bergantung pada peran yang dilakukan
oleh nelayan. Hal ini karena nelayan
merupakan pelaku langsung yang utama
pada kegiatan perikanan tangkap tersebut.
Menurut Elfindri (2002), nelayan dan
rumah tangganya memegang peran yang
sangat penting dalam memajukan ekonomi
masyarakat pesisir. Hasil tangkapan ikan
yang didapat nelayan dan kontribusi
keluarga nelayan pada usaha perikanan
dapat memacu perkembangan kegiatan
ekonomi kawasan, terutama kawasan
pantai utara Nanggroe Aceh Darussalam.
Pertumbuhan rumah tangga nelayan (RTN)
memberi indikasi positif bagi
perkembangan ekonomi masyarakat
pesisir. Terkait dengan ini, maka berbagai
upaya pembinaan dan pemberdayaan harus
terus dilakukan untuk meningkatkan peran
nelayan tersebut. Pembinaan dari PEMDA
juga sangat diharapkan, Agar peningkatan
pendapatan nelayan sektor ini akan bisa
berjalan sebagai mana harapan.
Untuk hasil tangkapan ikan pelagis
kecil, relatif tinggi pada kwartal 2 (April-
Juni) dan kwartal 3 (Juli-September) setiap
tahunnya terjadi karena kondisi perairan
yang relatif tenang pada bulan-bulan
tersebut, sehingga pergerakan nutrien lebih
stabil. Menurut Dinas Kelautan dan
Perikanan NAD (2010) kepada kwartal 2
dan 3, angin umumnya bertiup dari arah
tenggara menuju ke barat dimana angin
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
10
dan ombak tidak terlalu besar, dan di
daerah tropis kondisi ini menyebabkan
musim kemarau. Di samping membantu
penyebaran nutrien terutama yang berasal
dari perairan Sumatera, kondisi ombak
yang tetap ini memudahkan nelayan untuk
melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Tomascik, et. al (1997) menyatakan bahwa
perairan yang kaya dengan nutrien dapat
meningkatkan hasil tangkapan terutama
dari jenis ikan pelagis kecil. Sedangkan
menurut Mumby, et. al (1999), migrasi
gerombolan ikan pelagis kecil yang
mengikuti pergerakan nutrien dapat
menjadi petunjuk pemasangan alat
penangkapan ikan.
Ikan layang, selar, teri dan
kembung merupakan ikan pelagis kecil
dominan yang ditangkap nelayan di
perairan utara Nanggro Aceh terutama
untuk kwartal 3. Hal ini karena ikan teri
termasuk mudah berkembang bila kondisi
kondisi kesuburan perairan baik dan arus
perairan yang tenang (di kwartal 3). Pada
kwartal yang sama selama periode 1999 -
2009, produksi ikan pelagis kecil cukup
fluktuatif (tidak stabil) dipengaruhi oleh
pola musim dan jenis alat tangkap/armada
penangkapan yang dioperasikan nelayan
dari waktu ke waktu. Menurut Hartoto,
et.al (2009), pola penggunaan alat
tangkap/armada penangkapan dapat
berubah-ubah dalam waktu yang sama
tergantung dari ketrampilan dan
perkembangan teknik penangkapan yang
sukai nelayan, serta musim ikan. Secara
sosial pola pemanfaatan seperti ini
termasuk baik, karena ada upaya adopsi
teknologi penangkapan, pembinaan
ketrampilan nelayan, serta menumbuhkan
partisipasi pihak-pihak yang berkepenting-
an dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan.
Selama ini pemanfaatan sumber-
daya perikanan pelagis kecil di Pantai
Utara Nanggroe Aceh Darussalam belum
optimal terutama setelah terjadinya
tsunami pada tahun 2004. Menurut BRR
(2010), akibat adanya tsunami
menyebabkan semua sektor ekonomi
masyarakat pesisir lumpuh. Pembinaan
oleh BBR masih perlu untuk mengangkat
kegiatan ekonomi perikanan yang aktif
kurang dari 10 %, dan melanjutkan
pengelolaan hibah. Ekonomi perikanan
masih sulit ditingkatkan lagi karena
masyarakat pesisir masih trauma untuk
melakukan aktivitas ekonomi yang
berhubungan dengan laut. Terkait dengan
ini, maka pengembangan kegiatan
perikanan sebagai basis ekonomi
masyarakat pesisir menjadi tugas bersama
PEMDA dan masyarakat sekitar. Potensi
lestari sumberdaya ikan pelagis kecil yang
mencapai 15.479 ton per tahun (Gambar 4)
perlu dimanfaatkan dengan baik sehingga
membawa kesejahteraan bagi masyarakat
pesisir di perairan utara Nanggro Aceh
Darussalam. Menurut Hanna (1995),
peningkatan kesejahteraan masyarakat
lokal harus menjadi tujuan dari setiap
kegiatan pengelolaan sumberdaya alam,
partisipasi mereka perlu diakomodir secara
optimal dan disertai dengan pembinaan
yang terus meneurus. Hal ini karena
masyarakat local mereka stakhoders yang
dekat dengan potensi perikanan tersebut
dan sehari-hari aktivitasnya di kawasan
tersebut.
Produksi perikanan pada tahun
2009 yang hanya mencapai 4672,2 ton per
tahun atau sekitar 30 % dari potensi lestari
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
11
sumberdaya ikan yang ada tentu memberi
ruang untuk pengembangan produksi
perikanan pelagis kecil di perairan utara
Nanggro Aceh Darussalam ini. Bila
mengacu kepada ketentuan Food and
Agriculture Organization (FAO) (2005),
maka tingkat produksi ini berada dalam
range rendah sampai moderat, sehingga
masih leluasa untuk dimanfaatkan.
Sedangkan menurut Fauzi (2005),
pemanfaatan sumberdaya perikanan harus
dilakukan secara selektif dengan memilih
beberapa produk perikanan yang dijadikan
unggulan, dan selanjutnya pemerintah
menetapkan regulasi untuk implementasi
pengelolaannya.
Bila melihat pola produksi/hasil
tangkapan rata-rata yang didapat nelayan
pada semua kwartal, maka ikan teri,
layang, dan kembung dapat dijadikan
sebagai komoditas unggulan untuk jenis
ikan pelagis kecil di perairan utara
Nanggro Aceh Darussalam. Produksi
ketiga jenis ikan pelagis kecil ini cukup
dominan (Gambar 2) dan dapat diperolah
nelayan setiap kwartalnya (Gambar 4.7).
Karyana (1993) dan Mamuaya, et.al
(2007) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa produksi ikan yang stabil dengan
nilai yang cukup tinggi dapat menjamin
keberlanjutan ekonomi perikanan bagi
daerah sekitarnya. Ekonomi perikanan
akan berkembang dengan baik sangat
tergantung pada kontribusi masyarakat
kawasan untuk menghasilkan produk yang
dibutuhkan pasar secara kontinyu.
Produksi perikanan yang terjaga dengan
dapat menarik minat investor luar untuk
mengembangan potensi perikanan yang
ada sehingga menjadi lebih besar dan
berdaya saing.
Terkait dengan ini, maka
pemanfaatan potensi sumberdaya ikan
pelagis kecil komoditas unggulan tersebut
harus dilakukan secara hati-hati dan
bertanggung jawab sehingga keberlanjut-
annya dapat dirasakan oleh generasi
mendatang. Slope hubungan upaya
penangkapan dengan CPUE ikan pelagis
kecil di perairan utara Nanggro Aceh
Darussalam bernilai negatif (-0,00065)
pada Gambar 5 memberi indikasinya
perlunya kehati-hatian ini. Semakin sering
kegiatan penangkapan ikan dilakukan,
maka ada kecenderungan hasil tangkapan
yang didapat semakin kurang. Kehatian-
hatian ini dapat dilakukan dalam bentuk
tidak menggunakan bahan atau alat
tangkap yang destruktif, tidak melakukan
penangkapan ikan di daerah ruaya ikan,
meminimalkan interaksi penangkapan
dengan komponen ekosistem perairan dan
hal ini perlu diawasi terus. Kimker (1994)
menyatakan pengawasan pemanfaatan
harus terus dilakukan baik pada perairan
yang overfishing maupun yang tidak
overfishing. Pengawasan yang baik
merupakan ujung tombak dari pelaksanaan
kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan
secara bertanggung jawab yang menjamin
keberlanjutan kegiatan perikanan di suatu
kawasan.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Jumlah rumah tangga nelayan
(RTN) cenderung meningkat hingga tahun
2004. Pada tahun 2005, menurun drastis
menjadi 361 RTN (dari 1231 RTN pada
tahun 2004). Penurunan juga terjadi pada
armada penangkapan ikan perahu papan
kecil, perahu papan besar, dan kapal motor
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
12
5 -10 GT. Kapal motor < 5 GT meningkat
menjadi 186 unit tahun 2005 dan 241 unit
tahun 2005. Peningkatan jumlah kapal ini
juga terjadi pada kapal motor 20 – 30 GT,
dimana dari tidak akan menjadi 135 unit
pafa tahun 2005. Hasil tangkapan ikan
pelagis kecil di kwartal 2 dan 3 umumnya
lebih baik daripada kwartal 1 dan 4. Pada
kwartal 2, hasil tangkapan rata-rata ikan
pelagis kecil di lokasi mencapai 1517,7 ton
dan pada kwartal 3 meningkat lagi yaitu
rata-rata menjadi 1530,9 ton. Potensi
maksimum lestari (MSY) sumberdaya ikan
pelagis kecil di perairan utara Nanggro
Aceh Darussalam sekitar 15479 ton setiap
tahunnya, sedangkan upaya penang-
kapannya yang optimum (F-optimum)
sekitar 4896 trip. Produksi tahunan rata-
rata ikan pelagis kecil di perairan utara
Nanggro Aceh Darussalam selama periode
11 tahun terakhir sekitar 7069,35 ton dan
bila dibandingkan nilaiMSY maka tingkat
pemanfaatan ini baru sekitar 45,67 %,
sehingga masih ada peluang untuk
dikembangkan di masa yang akan datangm
terutama untuk jenis unggulan. Oleh
karena pola produksinya yang baik, maka
ikan teri, layang, dan kembung dapat
dijadikan sebagai komoditas unggulan
untuk pengembangan perikanan pelagis
kecil di perairan utara Nanggro Aceh
Darussalam.
6.2. Saran
Pengembangan usaha perikanan
pelagis kecil hendaknya diarahkan pada
jenis hasil tangkapan yang menjadi
komoditas unggulan, seperti ikan teri,
layang, dan kembung. Komoditas
unggulan tersebut merupakan jenis ikan
yang banyak tersedia di lokasi dan hasil
tangkapan stabil, dan hal ini penting
untuk menjamin kelestarian hayati dan
konyunitas pendapatan bagi nelayan
sekitar.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
15
DAFTAR PUSTAKA
Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR). 2010. BRR Dinilai Belum Layak
Tinggalkan Aceh. http://news.okezone.com/read/2008/03/27/1/95302/1/ brr-
dinilai-belum-layak-tinggalkan-aceh.
Bungin, B. 2004. Metode Penelitian Kuantitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Dahuri, R., 2001. Kebijakan Penertiban Izin Kapal Asing Di Perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI). Seminar Nasional 20 Oktober 2001,
Diselenggarakan Oleh HIMASEPA IPB. Jakarta. 9 hal.
Dinas Kelautan dan Perikanan NAD. 2010b. Prospek Pengembangan Potensi perikanan
Nanggro Aceh Darussalam. DKP NAD, Banda Aceh.
Elfindri. 2002. Ekonomi Patron-klien. Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dan
Kebijakan Makro. Andalas University Press.
Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Food Agriculture Organization [FAO]. 2005. The State of World Fisheries and
Agriculture (SOFIA). FAO.
Gulland, J. A., 1983. Fish Stock Assessment: Amanual of Basic Methods. Chichester-
New York-Brishbane-Toronto-Singapor: John Wiley Sons. 223 p.
Hanna, S. 1995. Efficiencies of User Participation in Nautral Resource Management. In
Hanna, S. and M. Munasinghe (eds.) In Property Rights and the Environment -
Social and Ecological Issues. Biejer International Institute of Ecological
Economics and The World Bank. Washington, D.C
Hartoto, D., I., Adrianto, L.; Kalikoski, D.; Yunanda, T. (eds) (2009).
Building capacity for mainstreaming fisheries co-management in Indonesia.
Course book. FAO/Jakarta, DKP/Jakarta: Rome, dari website:
ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/012/i0989e/ i0989e.pdf
Hendriwan, M. F. A. Sondita, J. Haluan, dan B. Wiryawan. 2008. Analisis Optimasi
Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Strategi Pengembangannya di Teluk
Lampung. Buletin PSP Volume XVII No.1 April 2008. Hal 44-70.
Karyana, B. 1993. Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis di Perairan Pantai
Barat Kalimantan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 72 tahun 1993 : 33 –
41.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
16
Kimker, A. L. 1994. Tunner Crab Survival in Closed Pots. Alaska Fishery Research
Bulletin, Vol 1 No. 2 pp 179 – 183.
Mamuaya GE., Haluan J, Wisudo SH, dan Astika IW. 2007. Status Keberlanjutan
Perikanan Tangkap di Daerah Kota Pantai : Penelaahan Kasus di Kota Manado.
Buletin PSP Vol. XVI. 1 : 146-160.
Mumby, P.J, E. P. Green, A. J. Edwards, and C. D. Clark. 1999. The cost-effectiveness
of remote sensing for tropical coastal resources assessment and management.
Journal of Environmental Management (1999) 55, 157–166.
Tomascik, T., A.J. Mah., A. Nontji, and K.M. Moosa. 1997. The Ecology of The
Indonesian Seas – Part One and Two. The Ecology Journal of Indonesia Series
Vol. 8. Peripcus, Singapore
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
17
STUDI KECENDRUNGAN PENGGUNAAN FORMALIN SEBAGAI BAHAN
PENGAWET PADA PRODUK PERIKANAN DI BEBERAPA PASAR
TRADISIONAL DALAM WILAYAH KOTA BANDA ACEH
Drs. H. Azwar Thaib, M. Si
(Email: [email protected])
ABSTRAK
Pengawetan produk hasil perikanan dengan tujuan mempertahankan mutu dan
nilai jual menjadi perhatian semua pihak. Dugaan penggunaan bahan pengawet kimia
seperti formalin, telah meresahkan masyarakat konsumen. Hal tersebut disebabkan oleh
meningkatnya kesadaran masyarakat konsumen terhadap bahaya yang akan ditimbulkan
sebagai akibat dari penggunaaan bahan tersebut. Sementara bagi sebahagian kecil
pedagang yang tidak bertanggung jawab melakukan hal tersebut diduga dengan tujuan
mendapat keuntungan yang lebih besar melalui peningkatan daya simpan yang relatif
lama, dan biaya produksi yang tidak terlalu besar.
Penelitian ini bertujuan untuk untuk melihat apakah terdapat kecendrungan
pengunaan formalin sebagai bahan pengawet pada produk perikanan baik segar maupun
olahan yang di pasarkan pada pasar-pasar tradisional dalam wilayah Kota Banda Aceh.
Sebagai sampel uji dilakukan terhadap produk segar dan olahan, baik yang berasal dari
dalam Propinsi Aceh maupun didatangkan dari Medan Propinsi Sumatra Utara. Adapun
titik pengambilan sampel adalah pasar ikan peunanyong, pasar aceh, pasar pagi seutui,
pasar pagi keutapang, pasar ulhee –lhee, dan TPI Lampulo.
Hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa hanya sebahagian sangat
kecil dari ikan sampel uji yang terindikasi terdapat formalin. Dan hasil wawancara tidak
ditemukan pengakuan apakah penangkap atau penjual produk perikanan yang memiliki
kecendrungan mengunakan formalin sebagai bahan pengawet.
Kata Kunci: Formalin, bahan pengawet, produk hasil perikanan, dan pasar tradisional.
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi ikan bagi warga masyarakat kota
Banda Aceh, tumbuh berkembang
beberapa pasar di bebrapa wilayah kota.
Umumnya setiap pasar tradisional terdapat
pasar ikan yang menyediakan bernbagai
jenis ikan baik dalam bentuk segar
maupun olehan. Hasil produksi usaha
perikanan dikenal memiliki resiko
diantaranya adalah kemampuan daya
tahan produk tersebut. Maka sebagai upaya
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
16
mempertahankan daya simpan dan daya
tahan dilakukan beberapa metoda,
diantaranya adalah rantai dingin dengan
penggunaan es pada produk ikan segar.
Sementara pihak-pihak tertentu diduga
memiliki kecendrungan menggunakan
bahan pengawet kimia seperti formalin,
karena selain biaya produksi relatif murah
dan tidak rusak sampai lebih dari sebulan
pada suhu kamar (25oC) untuk ikan olahan.
Sedangkan untuk ikan segar bisa tahan
sampai tiga hari pada suhu kamar (25oC)
dan hal ini menjadi sangat berbahaya bagi
konsumen (Naibaho, 2011).
Formalin merupakan larutan yang
tidak berwarna dan baunya sangat
menusuk dan bersifat karsinogenik atau
bisa menyebabkan kanker. Dalam formalin
terkandung sekitar 37 % formaldehid
dalam air, dan untuk digunakan sebagai
bahan pengawet biasanya di tambahkan
mentanol hingga 15 % (Judarwanto, 2010).
Akibat yang ditimbulkan tersebut dapat
terjadi dalam waktu singkat atau jangka
pendek dan dalam jangka panjang. Ikan
segar yang di berikan formalin pada
tubuhnya teridentifikasi menjadi kaku,
sulit dipotong , tidak rusak sampai 3 (tiga)
hari pada suhu kamar 25%, warna insang
merah tua, dan warna daging ikan putih
bersih.
2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah ada kecenderungan
penggunaan formalin pada produk hasil
perikanan dalam bentuk olahan maupun
ikan segar yang di pasarkan di pasar
tradisional dalam wilayah Kota Banda
Aceh.
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan
adalah melakukan identifikasi, dengan cara
menganalisis sampel dengan menggunakan
teskit antilin, jumlah sampel (92) tujuh
puluh sembilan jenis yang dibuat masing-
masing produk adalah 3 (tiga) yaitu :
control, analisis teksit antilan, analisis
teskit antilan dengan penambahan formalin
sebanyak 4 tetes. Adapun parameter yang
digunakan adalah Indikatif penggunaan
formalin pada produk ikan uji olahan
maupun segar. Sampel uji diambil dari
pasar tradisional berikut; Pasar Penayong,
Pasar Aceh, Pasar Seutui, Pasar Pagi
Keutapang, Pasar Ulee Lheu, dan TPI
Lampulo
4. Hasil Dan Pembahasan
4.1. Produk Olahan Hasil Perikanan
Dari hasil analisis uji formalin
dengan menggunakan testkit antilin pada
produk olahan hasil perikanan yang
didapatkan hasil seperti pada table 1 -
table 6 sebagai berikut:
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
17
Tabel 1 Hasil Analisis Uji Formalin Produk Olahan dengan Menggunakan
Teskit Antilin Lokasi Titik Pengambilan Sampel Pasar Ikan Peunayong
NO Produk
Olahan
Hasil Analisis Ket
Negatif/
Positif Kontrol Antilin
Antilin+
formalin
1 Ikan Pisang-
pisang Putih Ungu
muda Ungu tua -
2 Teri Jengki Abu-abu Abu-abu Ungu tua -
3 Teri nasi Abu-abu Ungu
muda Ungu tua -
4 Ikan kayu Coklat Merah
jambu Ungu tua -
5 Ikan talang Coklat Ungu tua Ungu tua +
6 Ikan kepala
batu Putih susu Abu-abu
muda Ungu tua -
7 Ikan
kembung Kuning
Pudar Ungu tua Ungu tua +
Pada sampel produk olahan yang
diperoleh dari Pasar Penayong, dari 7 jenis
produk yang diteliti (tabel 1), terdapat 2
jenis produk yang terindikasi mengandung
formalin yaitu ikan asin talang dan ikan
asin kembung.
Tabel 2 Hasil Analisis Uji Formalin Produk Olahan dengan Menggunakan
Teskit Antilin Lokasi Titik Pengambilan Sampel Pasar Aceh
NO Produk
Olahan
Hasil Analisis Ket
Negatif/ Positif
Kontrol Antilin Antilin+ Formalin
1 Ikan pisang-
pisang Coklat pudar Abu-abu
muda Ungu tua
-
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
18
2 Teri jengki Coklat Coklat
pudar Ungu tua
-
3 Teri nasi Abu-abu
pudar Ungu tua Ungu tua
+
4 Ikan
kenbung Abu-abu
pudar Abu-abu
pudar Ungu tua
-
5 Ikan kepala
Batu Putih Susu Abu-abu
muda Ungu tua
-
6 Udang sabu Kuning
kecoklatan Ungu tua Ungu tua
+
Pada tabel 2 di atas dapat dilihat
bahwa sampel produk olahan yang
diperoleh dari Pasar Aceh, dari 6 jenis
produk yang diteliti ada 2 jenis produk
yang terindikasi mengandung formalin
yaitu teri nasi dan udang sabu.
Tabel 3 Hasil Analisis Uji Formalin Produk Olahan Lokasi Titik Pengambilan
Sampel Pasar Setui
No Produk
Olahan
Hasil Analisis Ket
Negatif/
Positif Kontrol Antilin
Antilin+
formalin
1 Ikan kepala
batu Putih susu Abu-abu
muda Ungu tua -
2 Ikan
kembung Abu-abu tua Abu-abu
muda Ungu tua -
3 Ikan talang Coklat pudar Ungu
muda Ungu tua -
4 Ikan pisang-
pisang Coklat pudar Ungu
muda Ungu tua -
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
38
5 Udang sabu Coklat muda Abu-abu
tua Ungu tua -
6 Teri jengki Coklat Abu-abu-
muda Ungu tua -
Dari sampel produk olahan yang diperoleh
di Pasar Setuiyaitu dari 6 jenis produk
yang diteliti (tabel 3), tidak terdapat jenis
produk yang terindikasi mengandung
formalin
Tabel 4 Hasil Uji Formalin Produk Olahan dengan Menggunakan Teskit Antiin,
Lokasi Titik Pengambilan Sampel Pasar Pagi Keutapang.
No Produk
Olahan
Hasil Analisis Ket
Negatif/
Positif Kontrol Antilin
Antilin+
Formalin
1 Ikan kayu Coklat pudar Merah
jambu Ungu tua -
2 Ikan
kambing-
kambing
Bening putih Nila
muda Ungu tua -
3 Ikan kepala
batu Putih susu Abu-abu
muda Ungu tua -
4 Ikan talang Coklat pudar Nila
muda Ungu tua -
5 Ikan
kembung Kuning
pudar Nila
muda Ungu tua -
6 Teri rebus Coklat tua Nila
muda Ungu tua -
Pada tabel 4 di atas dapat dilihat
bahwa sampel produk olahan yang
diperoleh dari Pasar Pagi Ketapang, dari 6
jenis produk yang diteliti maka tidak
terdapat jenis produk yang terindikasi
mengandung formalin.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
37
Tabel 5 Hasil Uji Formalin Produk Olahan dengan Menggunakan Teskit Antilin,
Lokasi Titik Pengambilan Sampel Pasar Ulhe Lheue
No Produk
Olahan
Hasil Analisis Ket
Negatif/
Positif Kontrol Antilin
Antilin+
Formalin
1 Ikan pisang-
pisang Kuning pudar Abu-abu Ungu tua -
2 Teri jengki Coklat Coklat tua Ungu tua -
3 Teri nasi Abu-abu
pudar Coklat muda Ungu tua -
4 Ikan talang Coklat pudar Ungu muda Ungu tua -
5 Ikan kepala
batu Putih susu Abu-abu muda Ungu tua -
Sampel produk olahan yang
diperoleh dari Pasar Ulee Lheu yaitu dari 5
jenis produk yang diteliti (tabel 5), tidak
terdapat jenis produk yang terindikasi
mengandung formalin
Tabel 6 Hasil Uji Formalin Produk Olahan dengan Menggunakan Teskit Antilin,
Lokasi Titik Pengambilan Sampel TPI Lampulo
No Produk
Olahan
Hasil Analisis Ket
Negatif/
Positif Kontrol Antilin
Antilin+
Formalin
1 Ikan kayu Coklat pudar Merah jambu Ungu tua -
2 Ikan talang Coklat pudar Coklat tua Ungu tua -
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
20
Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa
sampel produk olahan yang diperoleh dari
pasar TPI Lampulo, dari 2 jenis produk
yang diteliti dapat simpulkan bahwa tidak
terdapat jenis produk yang terindikasi
mengandung formalin.
Dari tabel 1, 2, 3, 4, 5, dan 6
diperoleh data bahwa tidak semua produk
olahan hasil perikanan terindikasi
menggunakan formalin sebagai bahan
pengawet. Dari hasil pengamatan, hanya
Pasar Penayong dan Pasar Aceh yang
terindifikasi mengunakan formalain, yaitu
ikan asin talang; ikan asin kembung; ikan
teri nasi; dan udang sabu.
4.2. Produk Ikan Segar
Dari hasil analisis uji formalin
dengan menggunakan teskit antilin pada
produk ikan segar didapatkan hasil analisis
seperti terlihat pada table 7 - tabel 12
berikut ini.
Tabel 7 Hasil analisis uji formalin produk segar dengan menggunakan teskit antilin
lokasi titik pengambilan sampel pasar ikan peunayong
No
Produk
segar
Hasil Analisis Ket Negatif/
Positif Kontrol Antilin Antilin +
Formalin
1 Cumi-cumi Abu-abu Ungu tua Ungu tua +
2 Udang putih Coklat Coklat
muda Ungu tua -
3 Udang
windu Merah
Jambu Abu-abu Ungu tua -
4 Lemuru Coklat tua
pudar Coklat tua Ungu tua -
5 Tongkol Abu-abu Abu-abu Ungu tua -
6 Teri nasi Abu-abu Ungu tua Ungu tua +
7 Pisang-
pisang Coklat Abu-abu Ungu tua -
8 Rambeu Abu-abu Abu-abu Ungu tua -
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
38
9 Mujair Coklat tua Ungu tua Ungu tua +
10 Petek putih Putih susu Abu-abu Ungu tua -
Pada sampel ikan segar yang
diperoleh dari Pasar Penayong, dari 10
jenis sampel yang diteliti (tabel 7), terdapat
3 jenis ikan segar yang terindikasi
mengandung formalin yaitu cumi-cumi,
yeri nasi dan mujair.
Tabel 8 Hasil Analisis Uji Formalin Produk Segar Lokasi Titik Pengambilan Sampel
Pasar Aceh
No
Jenis
Produk
Segar
Hasil Analisis
Ket Negatif/
Positif Kontrol Antilin Antilin +
Formalin
1 Tongkol Abu-abu
coklat Abu-abu tua Ungu tua -
2 Teri Nasi Abu-abu pudar Ungu tua Ungu tua +
3 Cumi-cumi Abu-abu Ungu tua Ungu tua +
4 Udang
windu Merah jambu
pudar Abu-abu
muda Ungu tua -
5 Pisang–
pisang Coklat chaki
pudar Abu-abu
muda Ungu tua -
6 Tamban Coklat muda Coklat tua Ungu tua -
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
21
7 Lemuru Coklat tua
pudar Coklat tua Ungu tua -
8. Peperek Bening Putih Bening Ungu tua -
19 Mackarel Coklat muda Coklat tua Ungu tua -
10
. Tuna Kuning Abu-abu Ungu tua -
Pada tabel 8 diatas dapat dilihat
bahwa sampel ikan segar yang diperoleh
dari Pasar Aceh, dari 10 jenis sampel yang
diteliti maka terdapat 2 jenis ikan segar
yang terindikasi mengandung formalin
yaitu cumi-cumi dan teri nasi.
Tabel 9 Hasil Analisis Uji Formalin Produk Segar dengan Menggunakan Teskit
Antilin Lokasi Titik Pengambilan Pasar Pagi Setui
No Jenis Produk
Segar
Hasil Analisis Ket Negatif/
Positif Kontrol Antilin Antilin +
Formalin
1 Petek Putih Putih
Susu Abu-abu
muda Ungu tua -
2 Mujair Coklat
Tua Coklat
Tua Ungu tua -
3 Pisang-pisang Coklat
chaki
pudar
Abu-abu
muda Ungu tua
-
4 Cumi-cumi Abu-abu Abu-abu
muda Ungu tua
-
5 Tongkol Abu-abu
coklat Abu-abu
tua Ungu tua -
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
22
6 ikan kembung Kuning
pudar Ungu
muda Ungu tua -
7 Udang Putih Coklat
Chaki Coklat
muda Ungu tua -
8 Kerang Coklat
tua
keabuan
Ungu
muda Ungu tua -
9. Peperek Bening
Putih Bening Ungu tua -
10 Mackarel Coklat
muda Coklat tua Ungu tua -
Pada tabel 9 menunjukkan sampel
ikan segar yang diperoleh dari pasar pagi
setui, dari 10 jenis sampel yang diteliti,
tidak terdapat jenis ikan segar yang
terindikasi mengandung formalin.
Tabel 10 Hasil Uji Formalin Produk Segar Dengan Menggunakan Teskit Antiin,
Lokasi Titik Pengambilan Sampel Pasar Pagi Keutapang
No Jenis Produk
Segar
Hasil Analisis Ket Negatif/
positif Kontrol Antilin Antilin +
Formalin
1 Tamban Coklat
muda Coklat tua Ungu tua -
2 Petek putih Coklat
muda Coklat tua Ungu tua
-
3 Lemuru Coklat tua
pudar Coklat tua Ungu tua -
4 Biji nangka Coklat
pudar Abu-abu
muda Ungu tua -
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
23
5 Peperek Bening
putih Bening Ungu tua -
6 ikan kembung Kuning
pudar Ungu
muda Ungu tua -
7 Mujair Coklat Tua Coklat tua Ungu tua -
8 Mackarel Coklat
muda Coklat tua Ungu tua -
9 Tongkol Abu-abu
coklat Abu-abu
tua Ungu tua -
10 Cumi-cumi Abu-abu Abu-abu
muda Ungu tua
-
Sampel ikan segar yang diperoleh
dari Pasar Pagi Keutapang, dari 10 jenis
sampel yang diteliti (tabel 10), tidak
terdapat jenis ikan segar yang terindikasi
mengandung formalin.
Tabel 11 Hasil Uji Formalin Produk Segar Dengan Menggunakan Teskit Antilin,
Lokasi Titik Pengambilan Sampel Pasar Ulhe Lheue
No Jenis Produk
Segar
Hasil Analisis Ket
Negatif/
Positif Kontrol Antilin
Antilin +
Formalin
1 Lemuru
Coklat muda Coklat tua Ungu tua -
2 Mujair
Coklat tua Coklat tua Ungu tua -
3 Kerang
Coklat tua
keabuan Ungu
muda Ungu tua -
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
10
4 Petek putih
Putih susu
Abu-abu
muda Ungu tua -
5 Pisang-pisang
Coklat chaki
pudar Abu-abu
Muda Ungu tua -
6 Tamban
Coklat muda Coklat tua Ungu tua
-
7 Cumi-cumi Abu-abu Abu-abu
muda Ungu tua
-
8 ikan kembung Kuning pudar Ungu
muda Ungu tua -
9 Udang windu
Merah jambu
muda Abu-abu
muda Ungu tua -
10 Kerang
Coklat tua
keabuabuan Unggu
muda Ungu tua -
Pada tabel diatas menunjukkan
sampel ikan segar yang diperoleh dari
Pasar Ulhe Lheue, dari 10 jenis sampel
yang diteliti (tabel 11), tidak terdapat jenis
ikan segar yang terindikasi mengandung
formalin.
Tabel 12 Hasil Uji Formalin Produk Segar Dengan Menggunakan Teskit Antilin,
Lokasi Titik Pengambilan Sampel TPI Lampulo.
No Jenis Produk
Segar
Hasil Analisis Ket
Negatif/
Positif Kontrol Antilin
Antilin +
Formalin
1 Tongkol
Abu-abu
coklat Abu-abu
tua Ungu tua -
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
38
2 Tuna
Kuning
bening Ungu tua Ungu tua +
3 Udang putih
Coklat
khaki Coklat
muda Ungu tua -
4 Udang windu
Merah
jambu muda Abu-abu
muda Ungu tua -
5 Kerang
Coklat tua
keabuabuan Ungu
muda Ungu tua -
6 Mujair
Coklat tua Coklat tua Ungu tua -
7
Ikan pisang-
pisang
Kuning
pudar Ungu tua Ungu tua +
8 Lemuru
Abu-abu
kecoklatan Abu-abu
muda Ungu tua -
9 Mackarel Coklat
muda Coklat tua Ungu tua -
10 ikan kembung Kuning
pudar Ungu
muda Unu tua -
Tabel 12 menunjukkan bahwa
sampel ikan segar yang diperoleh dari
Pasar TPI Lampulo, dari 10 jenis sampel
yang diteliti ada terdapat 2 jenis ikan segar
yang terindikasi mengandung formalin
yaitu ikan tuna dan ikan pisang-pisang .
Dari analisis data tersebut dapat
dilihat bahwa produk yang di pasarkan
baik dalam bentuk segar maupun dalam
bentuk olahan tidak semua mengandung
formalin (negatif), namun terdapat hanya
sedikit yang mengandung formalin.
Penggunaan teskit antilin hanya
memperlihat perubahan warna bukan
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
25
mengukur persentase kandungan formalin
yang ada pada sampel. Warna yang
dihasilkan juga beraneka ragam abu-abu,
coklat, ungu muda, kuning kehijauan, abu-
abu pudar, bening, putih susu, pink pudar.
Meskipun dari hasil uji formalin
didapatkan warna ungu muda dari
beberapa jenis produk akan tetapi tidaklah
bisa disebut bahwa produk tersebut
mengandung formalin hal ini bisa
disebabkan dari berbagai faktor yang
menjadi penyebabnya. Karena warna
daging produk yang dianalisis terdiri dari
beberapa warna tergantung jenis produk,
daerah penyebarannya/perairan tempat
ikan tersebut hidup serta faktor-faktor
lainnya yang dapat berubah warna setelah
dilakukan analisisnya. Oleh sebab itu
indikasi tersebut perlu dilanjutkan dengan
uji lanjut dengan menggunakan
formaldehida teskit, dengan mengambil
titik pengambilan sampel yang sama dan
jenis ikan yang sama pula.
5. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang
dilakukan dapat disimpulkan sebagai
berikut :
a. Tidak semua produk hasil
olahan dan produk perikanan
yang ada di pasar tradisional
wilayah kota Banda Aceh
ditemukan menggunakan
formalin, namun hanya ditemukan
pada sebahagian kecil produk
saja.
b. Dari hasil wawancara tidak
ditemukan pengakuan apakah
penangkap atau penjual produk
perikanan yang mengunakan
formalin.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
26
DAFTAR PUSTAKA
Judarwanto, W. 2010. Pengaruh Formalin bagi System Tubuh. Jakarta: Putera Kembara.
Naibaho, P, 2011. Formalin pada Ikan. Jakarta: Blog Duniaku.
Menkes No.1168/1999. Bahan-Bahan Tambahan Makanan untuk Pengawet yang
Diperbolehkan dan yang Dilarang.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
27
Pengaruh Perbandingan Campuran MortarPengikat
Pasangan Batu Bata Terhadap Kekuatan Tekan
Helwiyah Zain1)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kekuatan pasangan batu bata
dengan menggunakan beberapa jenis perbandingan campuran . Bahan batu bata diambil
dari beberapa pabrik batu bata yang ada dalam Wilayan Banda Aceh dan Aceh Besar,
pasir didatangkan dari daerah Aneuk Galong Km 13 Jalan Banda Aceh-Medan. Semen
yang dipakai adalah produksi PT Semen Andalas Indonesia. Pengujian dilakukan di
Laboratorium Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Aceh yaitu pengujian terhadap kekuatan
tekan benda uji pasangan batu bata dengan bermacam-macam variasi perbandingan
campuran. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perbandingan campuran 1:4,5
merupakan campuran yang paling ekonomis.
Kata kunci: pasangan batu bata, perbandingan campuran, kekuatan tekan, ekonomis.
Abstract
These research is proposed to get the strength of brick masonry which variation
of mix proportion. Brick materials are used from Banda Aceh and Aceh Besar areas,
sand are coming from Aneuk Galong area at Km 13, Banda Aceh-Medan Road direction.
Cement meterial are used from PT Semen Andalas Indonesia production. The sample
were tested at Dinas Pekerjaan Umum Aceh Province Laboratory to get the relation
between mix proportion and the strength of brick masonry. The result of tested showed
that the most economical mix proportion were 1:4,5.
Keywords: brick masonry,mix proportion,compression strength, economical.
_______________________________________________________
1) Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil Universitas Abulyatama
1. Pendahuluan
Konstruksi bangunan gedung dari
beton bertulang semakin digemari oleh
masyarakat dalam membangun rumah atau
bangunan untuk kebutuhan lainnya. Hal ini
didasari oleh banyaknya kelebihan yang
dipunyai oleh bahan beton bertulang
dibandingkan dengan bahan bangunan
lainnya seperti baja atau kayu, misalnya
seperti bahannya murah, mudah dibentuk,
tidak memerlukan tenaga ahli yang mahal
dan lain-lain.
Konstruksi bangunan gedung dari
bahan beton secara umum terdiri dari dua
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
27
macam komponen yaitu: komponen yang
bersifat struktural dan komponen yang
bersifat non struktural. Komponen
struktural digunakan bahan beton diberi tu-
langan dan komponen non struktural
digunakan bahan pasangan batu gunung
atau pasangan batu bata. Bahan pasangan
batu bata sering digunakan untuk dinding
ruangan, dinding bak kamar mandi,
dinding kolam renang, septiktank, pagar
bangunan, dan lain-lain.
Penggunaan pasangan batu bata hingga
saat ini masih sangat digemari oleh
masyarakat karena harganya relatif murah,
pengerjaan-nya mudah, dan dari segi
keindahan juga tidak kalah menarik
dibanding-kan dengan tipe konstruksi yang
lain. Pasangan batu bata terdiri dari batu
bata diikat dengan bahan campuran semen,
pasir dan air yang dikenal dengan sebutan
mortar. Batu bata hingga saat ini mayoritas
diproduksi oleh masyarakat dari bahan
baku tanah liat dimasak secara tradisional
dalam dapur khusus sampai tahap
kematangan tertentu.
Mutu bahan pasangan batu bata
ditentukan oleh mutu batu bata dan mutu
bahan pengikat (mortar). Mutu bahan
pengikat tergantung pada mutu bahan
pembentuknya yaitu: pasir, semen dan air
serta perbandingan campuran dari ketiga
jenis bahan pembentuknya. Kekuatan
bahan pengikat sering diukur terhadap
kekuatan tekan dan kekuatan geser dari
pasangan batu bata tersebut. Semakin
sedikit jumlah semen terhadap jumlah
pasir maka keku-atan pasangan makin
menurun dan sebaliknya makin banyak
jumlah semen terhadap jumlah pasir maka
kekuatan tekan akan semakin tinggi.
2. Tujuan
Penelitian ini ingin diketahui
kekuatan tekan pasangan batu bata dengan
beberapa variasi perban-dingan campuran
mortar terhadap benda uji dengan cara
pengujian di laboratorium. Variasi
perbandingan campuran yang digunakan
adalah: 1:2, 1:2,5, 1:3, 1:3,5, 1:4, 1:4,5, 1:5
dan 1:5,5. Dari hasil percobaan tekan
terhadap pasangan batu bata dapat dibuat
grafik hubungan kekuatan tekan - variasi
perbanding-an campuran pasangan batu
bata.
3. Metode Penelitian
Berikut ini diuraikan material yang
dipakai, pengambilan sampel, pembuatan
benda uji, dan percobaan benda uji.
3.1 Pengadaan bahan
Bahan yang dipakai pada penelitian
ini adalah: batu bata, semen, pasir dan air.
Bahan batu bata diambil di pabrik di
sekitar daerah Cot Paya, semen diambil
dari toko bahan bangunan di kota Banda
Aceh, pasir diambil dari sumber material
di daerah Aneuk Galong (km.13 jalan
Banda Aceh-Medan), dan air diperoleh
dari PDAM.
3.1.1 Batu bata
Bahan batu bata diambil yang
digunakan untuk penelitian ini sebanyak
10x8x8 = 640 buah, tetapi diambil di
sumber dapur batu bata sebanyak 700 buah
karena dikhawa-tirkan nanti ada yang
pecah. Batu bata disimpan dalam gudang
yang terlindung dari cuaca.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
28
3.1.2 Semen
Bahan semen yang dipakai pada
penelitian ini adalah semen produksi PT
Semen Andalas Indonesia tipe I. Semen
diambil dari toko bangunan di kota Banda
Aceh sebanyak 10 zak yang bungkusnya
masih utuh (tidak koyak).
3.1.3 Pasir
Pasir untuk penelitian ini diambil dari
daerah Aneuk Galong (km.13 jalan Banda
Aceh-Medan). Pasir tersebut pada saat
pengambilan terlihat bersih, tidak
mengandung humus, atau kotoran-kotoran
lain-nya. Jumlah pasir yang diambil adalah
2 m3 yaitu sekali angkut minimal dengan
pick up.
3.1.4 Air
Air diambil langsung dari perusahaan
air minum Tirta Daroy seba-nyak 10
jerigen a 20 liter. Air ini disimpan dalam
gudang yang terlindung dari cuaca.
3.2 Benda Uji
Benda uji adalah pasangan batu bata
yaitu batu bata diikat dengan mortar.
Mortar adalah campuran semen, pasir dan
air.
3.2.1 Bentuk dan ukuran benda uji
Bentuk benda uji disesuaikan dengan
tujuan penelitian yaitu untuk menguji
kekuatan tekan, oleh karena itu bentuk
benda uji adalah kubus. Benda uji terdiri
dari 4 lapis batu bata yang posisi letaknya
selang-seling, ditambah dengan tebal
mortar masing-masing antara pertemuan
sisi batu bata sehingga jumlah batu bata
setiap benda uji adalah 8 buah. Bentuk dan
ukuran benda uji seperti terlihat pada
Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Bentuk dan ukuran benda uji
3.2.2 Pemeriksaan bahan pembentuk
benda uji
Bahan-bahan pembentuk benda uji yang
diperiksa adalah pasir dan batu bata.
Sedangkan semen dan air cukup dilakukan
dengan pengamat-an visual saja.
a. Benda uji pasir
Pasir dilakukan penyaringan untuk
menghindari adanya kotoran yang
kemungkinan ada dalam pasir. Pasir
diambil secara acak dan disaring dengan
saringan 0,3 dan 0,15 mm. Pasir yang
dipakai adalah pasir yang lewat saringan
0,3 mm dan tertahan di atas saringan 0,15
mm. Pasir tidak dicuci karena menurut
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
29
pengamatan terlihat bersih dan keadaan ini
dianggap mendekati keadaan alami.
b. Batu bata
Batu bata diambil dari ke-lompok
dalam keadaan yang masih utuh (tidak
pecah) masing-masing diukur panjang,
lebar dan tingginya. Ukuran ini dicatat
dalam sebuah daftar. Untuk percobaan kuat
tekan digunakan benda uji batu bata
dengan ukuran rata-rata panjang = 20 cm,
lebar 10 cm dan tinggi 4 cm.
3.2.3 Pembuatan benda uji
Benda uji dibuat dengan 8 variasi
perbandingan campuran mortar yaitu: 1:2,
1:2,5, 1:3, 1:3,5, 1:4, 1:4,5, 1:5 dan 1:5,5
dan masing-masing 10 buah benda uji.
Diawali dengan perbandingan campuran
mortar 1:2 dan seterusnya.
Lapis pertama adalah lapisan mortar
tinggi 1 cm, di atasnya disusun 2 buah batu
bata mendatar dalam arah memanjang, di
atasnya diberi lapisan mortar tebal 1 cm, di
atasnya disusun 2 buah batu bata mendatar
dalam arah melintang, di atasnya diberi
lapisan mortar tebal 1 cm, di atasnya
disusun 2 buah batu bata mendatar dalam
arah memanjang, di atasnya diberi lapisan
mortar tebal 1 cm, di atasnya disusun 2
buah batu bata mendatar dalam arah
melintang dan terakhir di atasnya diberi
lapisan mortar tebal 1 cm. Keempat sisi
vertikal dilapisi dengan mortar masing-
masing tebal 1 cm. Benda uji ini masing
direndam selama 28 hari
3.3 Percobaan Kuat Tekan
Benda uji diukur masing-masing
panjang, lebar dan tingginya dan dicatat
pada sebuah daftar. Benda uji diberi
capping untuk menjamin letak benda uji
dalam posisi vertikal. Pada benda uji
dipasang dial gage untuk mencatat
perpendekan benda uji selama percobaan.
Pada saat percobaan, tahap awal dicatat
besarnya beban, dan perpendekan beban =
0. Tahap berikutnya diatur kecepatan
mesin uji sebesar 2 kg/cm2/detik dan
diamati sampai benda uji mulai retak dan
hancur. Setiap benda uji dicatat pola
kehancurannya apakah hancur mortar lebih
dahulu atau kehancuran batu bata lebih
dahulu.
3.4 Analisis Data
Dari percobaan yang telah dilakukan
seperti diuraikan dalam subbab 3.3,
diperoleh sejumlah data. Data yang
diperoleh dari pengujian kuat tekan yaitu
data besarnya beban dan perpendekan
benda uji. Data tersebut dicatat pada
sebuah daftar pada formulir yang sudah
disiapkan. Masing-masing benda uji
dihitung tegangan yang terjadi pada saat
hancur dengan menggunakan persamaan
(2.1). Semua nilai kuat tekan masing-
masing benda uji untuk setiap
perbandingan campuran dihitung tegangan
karakteristiknya dengan menggunakan
persamaan (2.2) dan (2.3). Tegangan
karakteristik ini untuk masing-masing
perbandingan campuran dapat dibuat
grafik hubungan kekuatan tekan dengan
perbandingan campuran.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
30
4. Hasil Penelitian
Percobaan yang dilakukan seperti
diuraikan pada Bab III, telah menghasilkan
sejumlah data dan diolah dengan
menggunakan persamaan (2.1), (2.2) dan
(2.3), sehingga diperoleh hasil berupa
kekuatan tekan untuk masing-masing
perbandingan campuran mortar seperti
diuraikan berikut ini.
4.1 Hasil percobaan kuat tekan
Percobaan kuat tekan terhadap benda
uji menghasilkan kekuatan tekan untuk
masing-masing perbandingan campuran
mortar. Dari perbandingan campuran
mortar yaitu: 1:2, 1:2,5, 1:3, 1:3,5, 1:4,
1:4,5, 1:5 dan 1:5,5 menghasilkan
kekuatan tekan karakteristik seperti terlihat
pada Tabel 4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1 Kekuatan tekan karakteristik
dari beberapa jenis
perbandingan campuran mortar
No
Campuran
Kuat tekan
Karakteristik
1 1sm:2ps 70,455
2 1sm:2,5ps 70,565
3 1sm:3ps 69,971
4 1sm:3,5ps 70,132
5 1sm:4ps 70,943
6 1sm:4,5ps 70,405
7 1sm:5ps 69,199
8 1sm:5,5ps 67,277
Keterangan:
sm = semen
ps = pasir
4.2 Pembahasan
Hasil pengujian terhadap benda uji
sebanyak 8 variasi perbandingan campuran
mulai dari 1sm:2 ps sampai 1sm : 5,5 ps
terlihat bahwa perbandingan campuran
1sm:2 ps sampai 1sm:4,5 ps, kuat tekan
benda uji menunjukkan nilai yang relatif
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
31
hampir sama dan sedikit fluktuatif. Pada
perbandingan campuran mulai dari
1sm:4,5ps sampai 1sm:5,5ps terlihat
tendensi menurun. Angka-angka tersebut
dalam bentuk grafik dapat dilihat pada
Gambar 4.1 di bawah ini.
Gambar 4.1 Hubungan kuat tekan benda uji dan
perbandingan campuran
Dari grafik terlihat bahwan grafik mulai
menurun pada perbandingan campuran
1:4,5. Artinya kehancuran benda uji terjadi
akibat kekuatan batu bata dan mortar
mendekati sama. Di sini pula dapat
disimpulkan bahwa pada perban-dingan
campuran 1sm:4,5ps sampai 1sm:5,5ps
kekuatan batu bata lebih kuat dibanding
dengan kekuatan mortar, oleh karena itu
keruntuhan terjadi akibat kehancuran
mortar. Berdasarkan grafik di atas, dapat
disimpulkan bahwa kekuatan batu bata
yang hampir sama dengan kekuatan mortar
terjadi pada perbandingan campura 1:4,5.
Kekutan tekan pasangan batu bata pada
campuran 1:4,5 dapat dihitung dengan cara
interpolasi didapat 70,405 kg/cm2.
5. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil percobaan yang
dilakukan terhadap benda uji pasangan
batu bata dengan berbagai variasi
perbandingan campuran, maka diperoleh
beberapa kesim-pulan dan saran sebagai
berikut:
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
32
5.1 Kesimpulan
1. Perbandingan capuran pengikat
pasangan batu bata yang paling
ekonomis adalah pada 1: 4,5.
2. Kekuatan tekan pasangan batu bata pada
perbandingan campu-ran 1:4,5 adalah
70,405 kg/cm2.
3. Pada perbandingan campuran yang
semakin gemuk ternyata tidak
memberikan penambahan kekuatan
pasangan karena didahului oleh
kehancuran batu bata.
4. Sebaliknya pada campuran yang
semakin kurus, kekuatan pa-sangan
semakin menurun karena keruntuhran
terjadi akibat
kehancuran mortar.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil pengujian benda uji
seperti terlihat pada Bab IV, dapat
disarankan sebagai berikut:
1. Kepada peneliti lain disarankan agar
dapat menggunakan sampel
batu bata tidak hanya di wilayah Aceh
Besar saja tetapi di wilayah-wilayah
lainnya agar informsi mengenai
kekuatan pasangan batu bata dapat
digu-nakan oleh mesyarakat setempat.
2. Agar tidak berkurang kadar air dalam
mortar, disarankan kepada
pelaksana untuk merendam bat bata
sebelum dipasang
Ucapan terima kasih
Penelitian ini terlaksana berkat
bantuan berbagai pihak baik berupa
dorongan semangat, pelaksanaan penelitian
terutama dalam pembuat-an benda uji,
percobaan di labo-ratorium serta
pengolahan data. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada Dekan
Fakultas Teknik Universitas Abulyatama,
Ketua Jurusan, petugas laborato-rium, dan
teman-teman sejawat di Jurusan Sipil
Unaya.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
33
Daftar Pustaka
Anonim, 1979, American Society for Testing Materials, New York.
Anonim, 1983, Standar Industri Indonesia, Jakarta
Suprapto, J., 1987, Statistik Teori dan Applikasi, Erlangga, Jakarta.
Timoshenko, S., 1976, Strength of Materials, Kringer Publishing Co., New York.
Walpole, R., E., 1985, Probability and Statisyic for Engineer and Scientists, McMillan
Publishing Company, New York.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
34
PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM DI ACEH,
KEHARUSAN vs HAMBATAN
Maryati B*
ABSTRAK
Pada dasarnya MoU Helsinki memberi peluang kepada korban konflik Aceh
untuk mendapat keadilan hukum terkait dengan hak-hak asasi yang dilanggar semasa
konflik Aceh berkecamuk hampir tiga dasa warsa. Namun, upaya-upaya kearah itu bukan
hanya lamban dan terkesan kurang serius, akan tetapi juga terhambat oleh Undang-
undang Pemerintahan Aceh (UUPA) UU No. 11 Tahun 2006, undang-undang yang
merupakan implementasi butir-butir MoU Helsinki sendiri. Hambatan itu tercantum
secara eksplisit dalam pasal 28 ayat (1) UU tersebut yang menyatakan bahwa Pengadilan
HAM yang akan dibentuk untuk Aceh hanya untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran
HAM yang terjadi setelah undang-undang tersebut diundangkan. Saat ini Pengadilan
HAM itu sedang dalam proses pembentukan. Kalau pengadilan HAM itu terbentuk, tentu
saja tidak dapat menampung kasus pelanggaran HAM masa konflik, terutama yang terjadi
sejak Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) 1989 hingga penandatanganan
MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat itu
adalah suatu keharusan guna memberi keadilan kepada para korban konflik dalam rangka
mewujudkan perdamaian permanen yang berkeadilan. Pelanggaran HAM berat yang
terjadi di Aceh pada umumnya berupa kejahatan kemanusiaan, yang meninggalkan luka
teramat dalam bagi korban dan keluarg korban. Agar kasus-kasus pelanggaran HAM
berat itu dapat diadili maka jalan keluar yang mungkin adalah merevisi pasal 228 UU
No. 11 Tahun 2006 melalui proses legislasi, yaitu membentuk undang-undang untuk
mengeluarkan Aceh dari konpetensi pengadilan HAM di Medan dan menjadikan UU itu
berlaku surut, atau merujuk kepada undang-undang lain yaitu UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, dengan membentuk Pengadilan HAM ad Hoc sesuai ketentuan
pasal 43 undang-undang ini. Namun kedua cara itu harus melalui jalan panjang yang sulit,
sekalipun Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan membentuk pengadilan beserta
prasarana dan sarananya telah menyetujui Pembentukan Pengadilan HAM untuk Aceh
dan atau di Aceh sebagaimana dinyatakan dalam surat balasan yang diajukan oleh
Menteri Hukum dan HAM. Hambatan pembentukan Pengadilan HAM untuk Aceh harus
dihilangkan, demikian juga dengan hambatan terhadap pengadilan kasus pelanggaran
HAM selama konflik Aceh berkecamuk. Yang penting kasus pelanggaran HAM berat
harus dapat diadili guna memberi keadilan bagi korban konflik, sementara Pengadilan
HAM untuk dan atau di Aceh harus segera terbentuk sesuai amnat MoU Helsinki.
* Mariati B, S.H. M.Hum. adalah Dosen Kopertis Wil.I dpk FH Unaya, Pengajar Mata Kuliah Hukum dan
HAM
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
35
I.PENDAHULUAN
Penandatanganan Memorandum of
Understanding (MoU) Helsinki pada
tanggal 15 Agustus 2005 oleh Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) merupakan tonggak awal
berakhirnya konflik Aceh yang telah
berlangsung hampir selama dua puluh
sembilan tahun, sejak dideklarasikannya
Aceh Merdeka oleh DR. Hasan
Muhammad Ditiro pada tanggal 4
Desember 1976. Konflik Aceh yang
berkepanjangan itu menyisakan banyak
persoalan Hak Asasi Manusia (HAM)
karena banyaknya pelanggaran HAM
berat terjadi selama hampir tiga dasawarsa
tersebut.
Kamp. Konsentrasi Rumah
Gedong dan Rancung, tragedi Krueng
Arakundo, pembantaian Tgk Bantaqiah
dan pengikutnya di Beutong Ateuh, tragedi
Simpang KKA, tragedi Bumi Fora, dll
merupakan noda-noda hitam pelanggaran
HAM berat di Aceh yang pada dasarnya
memerlukan penyelesaian di masa damai
sesuai amanat MoU Helsinki.
Butir 2 MoU Helsinki mengatur
tentang Hak Asasi Manusia dan butir 2.2
menegaskan tentang keharusan pemben-
tukan Pengadilan HAM untuk Aceh.
Dengan adanya Pengadilan HAM untuk
Aceh berarti bahwa pelanggaran HAM dan
kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama
konflik harus mendapat prioritas untuk
diselesaikan.
Saat ini konflik hampir tujuh tahun
berakhir, akan tetapi amanat MoU Helsinki
itu nyaris terabaikan. Ketentuan MoU
Helsinki tentang Pengadilan HAM
malahan telah diimplementasikan secara
ironis dalam Undang-Undang Pemerin-
tahan Aceh (UUPA), UU No. 11 Tahun
2006. Pasal 28 ayat (1) UUPA
menyebutkan bahwa Pengadilan HAM
yang dibentuk untuk Aceh itu hanya untuk
mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM
setelah UUPA diundangkan yang berarti
tidak dapat berlaku surut.
Pembentukan Pengadilan HAM itu
belum terbentuk, sementara pelanggaran
HAM masih juga terjadi dan korban
konflik terus menuntut keadilan hukum,
kapan semua itu ditegakkan, kapan semua
itu terwujud. Suara korban bahkan makin
nyaring, desakan di hati mareka tak pernah
berhenti, bahkan adakalanya para korban
mengepalkan tinju tanda marah berlebihan
dan memperlihatkan ekspresi kesedihan
yang sangat dalam, karena mareka merasa
ditindas oleh keadilan hukum serta diinjak
harkat dan martabatnya.
Penyelesaian pelanggaran HAM
pasca konflik memang sangat tergantung
pada itikad baik Pemerintah (dalam hal ini
Pemerintah Pusat), di samping perlu
didukung Pemerintah Aceh dan didorong
berbagai elemen sipil. Badan Reintegrasi
Aceh telah memfasilitasinya, akan tetapi
sampai dimanakah upaya penyelesaian
pelanggaran HAM di Aceh pada masa
konflik, sudahkah ada titik terang atau
bahkan akan tenggelam ditelan arus.
Kapan Pengadilan HAM terbentuk dan
mengadili para pelaku pelanggaran HAM
berat guna memberi keadilan bagi para
korban konflik dan mengembalikan harkat
dan martabat mareka. Penulis mencoba
mengupas persoalan itu dalam tulisan
singkat ini berdasarkan analisa kepusta-
kaan, peraturan perundangan nasional dan
universal, hasil seminar, focus group
discussion (FGD), bahan-bahan dari media
cetak dan elektronik serta internet serta
interview jarak jauh .
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
36
II. PELANGGARAN HAM SELAMA
KONFLIK ACEH
Pelanggaran HAM dan
penegakan HAM merupakan dua istilah
kontroversi. Pelanggaran HAM dapat
berupa pelang-garan HAM biasa dan
pelanggaran HAM berat. Pelanggaran
HAM di definisikan sebagai setiap
perbuatan seseorang atau sekelompok
orang termasuk aparat negara baik
disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum, mengurangi, mengha-
langi, membatasi, dan atau mencabut
hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku (pasal
1 butir 6 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia). Menurut
C. de Rover (1998 : 46) Hak asasi
manusi adalah hak hukum yang berarti
hak-hak tersebut merupakan hukum.
Hak asasi manusia dilindungi oleh
kontitusi dan hukum nasional negara-
negara dunia. Pelanggaran HAM
berat menurut pasal 7 UU No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM
meliputi kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kema-nusiaan.
Kejahatan genosida merupakan
perbuatan untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, etnis, atau
kelompok agama dengan cara
membunuh, dll (pasal 8 UU No. 26
Tahun 2000). Sementara kejahatan
kemanusiaan merupakan perbuatan
sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistemik yang ditujukan
langsung terhadap penduduk sipil
berupa pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa,
perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, penyiksaan,
perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran dengan cara paksa,
pemaksaan kehamilan, sterilisasi secara
paksa, penghilangan paksa, kejahatan
apartheid, dan pengamayaan terhadap
kelompok tertentu atas dasar
persamaan ras, paham politik,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis
kelamin, dll (pasal 9 UU No.26 tahun
2000).
a. Pelanggaran HAM Berat di
Dunia Internasional
Pelanggaran HAM berat telah
terjadi sepanjang sejarah umat manusia
dan termasuk di dalamnya upaya
pemusnahan kelompok atau etnis yang
disebut dengan genosida. Genosida
sebagai bagian pelanggaran HAM berat
yang telah didefinisikan di atas merupakan
kejahatan internasional, baik terjadi di
masa perang maupun di masa damai.
Istilah “genosida” yang diciptakan tahun
1944 oleh Raphael Lemkin (Antonio
Cassese, 1994 : 99) merupakan ciri umum
etnis, rasial atau agama, praktik yang
sering terjadi yang dikaitkan dengan salah
satu faktor tersebut. Berbagai kasus
genosida yang pernah terjadi di dunia
antara lain:
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
37
- Pemusnahan suku Armenia oleh
orang Turki tahun 1914-1915 dan
terulang lagi tahun 1985
- Pembantaian 6 juta orang Yahudi
oleh Nazi/Hitler di Jerman selama
tahun 1938 hingga tahun 1945
- Pada tahun 1960 Tentra Nasional
Kongo telah membantai ratusan
orang Baluba di propinsi kasai
Selatan kongo
- Tahun 1960-an dan 1970-an
penghancuran suku Indian yang
mendiami wilayah Brazil oleh
pemerintah negara tersebut dengan
berbagai kebijaksanaan
- Pada tahun 1965 di Burundi
100.000 orang suku Hutu dibantai
oleh suku Tutsi yang minoritas dan
diulang tahun 1972 di mana
300.000 orang suku Hutu dibantai
lagi oleh orang Tutsi
- Pembantaian terhadap 2 juta orang
Kamboja terutama yang menganut
agama Islam dan Budha telah
dilakukan oleh rezim Khmer
Merah-Pol Pot tahun 1975-1978 - Tahun 1971-1978 rezim Presiden
Idi Amin telah membunuh ribuan
orang sipil di Uganda - Tahun 1982 pembunuhan orang-
orang Palestina di Lebanon yang
dilakukan oleh orang Kristen
Falangis di kamp-kamp Sabra dan
Shatila direkomendasi tentara
Israel - Tahun 1986-1987 tindakan
genosida di Srilanka dilakukan
oleh mayoritas Singhala terhadap
orang-orang Tamil yang minoritas. Berbagai kasus genosida lain
terus terjadi di muka bumi hingga detik ini,
seperti penghancuran Irak oleh tentara
Amerika Serikat, demikian juga perang di
Afghanistan yang menghancurkan rakyat
sipil dengan alasan yang tidak jelas yang
kesemuanya bermuara kepada genosida.
Sejak awal terjadi pembantaian
suku-suku bangsa di atas, masyarakat
internasional telah bereaksi keras terhadap
genosida dan kemudian melahirkan
Konvensi Genosida (Konvensi Tentang
Pencegahan dan Hukuman Terhadap
Kejahatan Pemusnahan Suatu Bangsa
dengan Sengaja) yang dideklarasikan
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun
1948. Genosida bukan dilakukan tiba-tiba
tapi ada syarat yang melandasinya. Suatu
persyaratan dari genosida adalah adanya
“dolus” atau “keinginan untuk
menghancurkan” (Antonio Cassese,
1984:106). Genosida merupakan kejahatan
internasional, baik terjadi di masa perang
maupun di masa damai.
b. Pelanggaran HAM Berat di Aceh
Sebelum memaparkan pelanggar-
an HAM berat di Aceh semasa konflik,
terlebih dahulu mencatat pelanggaran
HAM berat yang terjadi di Indonesia
khususnya selama masa orde baru (Edwin
Partoci, dkk, 2002 : 37- 43) :
Kasus Tanjung Priuk, 12
September 1984, kasus Talangsari
Lampung, tanggal 7 Februari 1989,
pembantaian terhadap para Jamaah
Warsidi, kasus Trisakti pada bulan Mei
1998: penembakan mahasiswa Universitas
Trisakti yang sedang melakukan aksi
demontrasi menuntut agar Suharto mundur
dari jabatan presiden, kasus Jembatan
Semanggi I tanggal 13 November 1998
dan Semanggi II 24 September 1999,
penghilangan paksa terhadap 4 aktivis, dll.
Di Aceh, kejahatan kemanusiaan
sebagai bagian dari pelanggaran HAM
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
38
berat seperti didefinisikan di atas, kerap
terjadi selama konflik berlangsung.
Terutama sejak diberlakukannya Aceh
sebagai Daerah Opersi Militer (DOM) dari
tahun 1989 hingga 1998 dengan
menggunakan “rumoh gedong” dan
“rancung” serta berbagai tempat
penyiksaan lain dalam wilayah Aceh
sebagai kamp konsentrasi. Setelah DOM
dicabut tahun 1998, pelanggaran HAM
berat itu justru terus terulang, mulai dari
tragedi Krueng Arakundo, kasus Simpang
KKA, pembantaian kelompok Tgk
Bantaqiah, tragedi Bumi Flora dan
berbagai pembantaian lain yang tak
mungkin ditulis satu persatu, apalagi
dengan diberlakukannya :darurat militer”
dan dilanjutkan dengan “darurat sipil” dari
tahun 2004 hingga penandatanganan MoU
Helsinki.
Selama Aceh berstatus DOM,
pelanggaran HAM berat itu nyaris tidak
terpublikasi karena dilakukan di kamp-
kamp konsentrasi yang tertutup dari
liputan media. Ketika DOM dicabut,
ternyata Aceh menyisakan antara lain apa
yang dinamakan dengan “Kampung Janda”
dan “Bukit Tengkorak.” Dinamakan
Kampung Janda karena di kampung
tersebut nyaris kosong dari kaum laki-laki
kecuali laki-laki tua renta dan anak-anak
laki-laki bawah umur. Laki-laki di sana
telah hilang, baik karena diculik, dibunuh
atau dihilangkan paksa. Sementara
dinamakan Bukit Tengkorak karena di
bukit tersebut ternyata berisikan kuburan
massal yang tak diketahui identitas
penghuninya setelah kuburan massal itu
dibongkar oleh Tim Pencari Fakta (TPF)
usai pencabutan DOM (Ahmad Farhan
Hamid, 2006).
Di samping itu pasca DOM Aceh
menyisakan anak yatim dalam jumlah
besar dan sisa-sisa penghancuran dan
pembakaran rumah-rumah penduduk dan
tempat usaha serta sejumlah kaum
perempuan yang traumatis akibat
perkosaan masa DOM, di samping anak
yang lahir dari akibat perkosaan terhadap
perempuan yang tidak normal.
DOM memang hanya diberla-
kukan di tiga kabupaten sebelum
pemekaran, yaitu Pidie (sekarang termasuk
Pidie Jaya), Aceh Utara (sekarang
termasuk Bireuen, Kota Lhokseumawe)
dan Aceh Timur (sekarang termasuk kota
Langsa dan Aceh Tamiang). Namun akibat
kekejaman aparat militer masa DOM di
tiga kabupaten tersebut, rakyat Aceh
sungguh-sungguh marah, sehingga
kemudian hampir seluruh rakyat Aceh
melawan Jakarta dan menuntut merdeka.
c. Hak Asasi yang Dilanggar
Sesuai ketentuan pasal 227 UU
Pengadilan HAM, maka hak yang dijamin
untuk tidak dilanggar dan tidak
dibenarkan untuk dilakukan (Ifdhal Kasim,
2010 : 5) adalah:
- semua bentuk penggeledahan
sewenang-wenang atas tubuh,
kediaman, pakaian, pencabutan
atau perampasan hak, atau
pembatasan atas kebebasan setiap
orang
- penyiksaan secara sewenang-
wenang dan pencabutan atas hak
hidup secara melawan hukum
- penangkapan, penahanan, dan
dipenjarakan secara melawan
hukum
Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman lain
yang Kejam, Tidak Manusiawi dan
Merendahkan Martabat Manusia atau
disebut dengan Konvensi Anti Penyiksaan
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
39
yang dideklrasikan Tahun 1984 dan
berlaku sejak Juni 1997 telah diratifikasi
Indonesia dengan Undang-Undang No. 5
Tahun 1998. Konvensi ini sangat
menekankan kepada negara pihak konvensi
untuk mencegah tindakan penyiksaan dan
kepada pelaku penyiksaan yang digolong-
kan sebagai tindak pidana harus dihukum
dengan hukuman setimpal dengan pertim-
bangan sifat kejahatannya (Pasal 4
konvensi).
Tindakan penyiksaan yang
tergolong kejahatan kemanusiaan itu kerap
dilakukan oleh aparatur penegak hukum,
baik di masa konflik maupun di saat
damai. Akan tetapi, meskipun ada sanksi
hukum kepada pelaku, penegakan hukum
untuk itu terlewatkan saja, sehingga
penyiksaan menjadi alat ampuh bagi
penyidik untuk mengungkap kasus. Peng-
hilangan paksa, pelaksanaan hukuman mati
di luar proses hukum, sewenang-wenang
dan sumir, adalah tindakan kejam tidak
manusiawi dan merupakan pelanggaran
HAM berat yang kerap dilakukan di masa
konflik Aceh.
Akibat dari berkobarnya pembe-
rontakan GAM di seluruh Aceh, maka
pelanggaran HAM berat juga terjadi di
seluruh Aceh. Mareka yang masih hidup
dan cacat atau trauma akibat penyiksaan
atau pemerkosaan menjadi saksi hidup
pula dari pelanggaran HAM berat itu.
Sementara bagi korban yang telah tiada
baik yang ketahuan pusaranya, maupun
yang tidak ketahuan rimbanya, diberi
kesaksian oleh keluarganya atau janda dan
anak yatim yang diwariskan sebagai ekses
konflik.
Saat MoU Helsinki ditandatangani
karena adanya fakta pelanggaran HAM
selama konflik, maka perundingan
menghasilkan satu poin penting untuk
meninjaklanjuti penyelesaian pelanggaran
HAM tersebut. Poin itu (butir 2) bukan
hanya berisikan tentang pembentukan
Pengadilan HAM untuk Aceh, akan tetapi
juga tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dan poin mengenai Keharusan
Pemerintah Indonesia mematuhi Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik serta Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(butir 2.1).
III. PENYELESAIAN PELANGGAR-
AN HAM BERAT DI ACEH
a. Tanggung Jawab Negara
Menurut C. De Rover (1998 : 471)
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
para petugas penegak hukum merusak
integritas keseluruhan organisasi penegak
hukum, dan adanya pelanggaran tersebut
tidak boleh ditutup-tutupi. Terjadinya
pelanggaran tersebut harus dicegah dan
jika tidak mungkin, maka perlu diselidiki
dengan segera, secara cermat dan tidak
memihak.
Menyimak pendapat di atas, maka
dalam kasus pelanggaran HAM selama
konflik Aceh, tidak hanya dilakukan oleh
para petugas penegak hukum, akan tetapi
terbanyak oleh pihak aparat militer sebagai
ekses perang. Pelanggaran justru dilakukan
terhadap rakyat sipil oleh aparat militer
dan penegak hukum secara bersama-sama
ketika gagal mengejar atau menemukan
tentara GAM atau ketika anggota mareka
terbunuh atau cedera. Jenis pelanggaran
yang dilakukan mulai dari pelanggaran
HAM biasa hingga pelanggaran HAM
berat dan kejahatan kemanusiaan, bahkan
bisa mengarah kepada genosida.
Negara bertanggung jawab
terhadap penyelesaian pelanggaran HAM.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
40
Biasanya pelanggaran HAM berat baik
genosida maupun kejahatan kemanusiaan,
dilakukan oleh aparat negara atau
kelompok dan diadili di Pengadilan HAM.
Sementara jika dilakukan oleh person non
alat negara, maka diadili di Peradilan
Umum dengan katagori tindak pidana.
Itulah sebabnya maka negara memberi
kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi
kepada korban pelanggaran HAM (pasal
228 ayat 2). Oleh Badan Reintegrasi Aceh
diberikan dana santunan yang disebut diat
dari dana APBN. (akan tetapi tidak sejalan
dengan diat dalam pelaksanaan hukum
qisas). Komandan bertanggung jawab
terhadap pelanggaran HAM berat yang
dilakukan pasukan yang berada di bawah
pengendaliannya (pasal pasal 42 ayat 1).
Penting untuk diketahui di mana
posisi negara dalam pemenuhan hak
korban pelanggaran HAM sebagai bagian
tanggung jawab negara (Afridal Darmi,
2010) :
- Negara mesti menyediakan
mekanisme yang efektif bagi para
korban untuk mendapatkan
reparasi
- Negara mesti bekerjasama dalam
mencegah pelanggaran HAM,
hukum pidana internasional dan
hukum Humaniter internasional
- Negara mesti mengizinkan
peradilan terhadap setiap orang
yang bertanggung jawab terhadap
pelanggaran HAM, hukum pidana
internasional, dan hukum
humaniter internasional dalam
yurisdiksi negara tersebut
- Negara tidak boleh menerapkan
sikap pura-pura atau putusan yang
tidak adil
- Perjanjian yang dibuat mesti
konsisten dengan hak-hak korban
Pemeriksaan terhadap para jendral
pelaku pelanggaran HAM Atambua di
Timor Leste usai jajak pendapat tahun
1998 di bekas wilayah Republik Indonesia
itu telah dilaksanakan melalui Pengadilan
HAM ad Hoc. Pengadilan HAM ad Hoc
adalah realisasi dari ketentuan pasal 43
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, yang menetapkan bahwa pelang-
garan HAM berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang Pengadil-
an HAM itu diperiksa dan diputuskan oleh
Pengadilan HAM ad Hoc (ayat (1) yang
dibentuk atas usul DPR RI berdasarkan
peristiwa tertentu dengan keputusan
Presiden (ayat 2) dan pengadilan itu itu
berada di lingkungan Peradilan Umum
(ayat 3).
Meskipun Pengadilan HAM ad
Hoc itu memvonis bebas jendral-jendral
pelaku pelanggaran HAM Atambua,
namun ketentuan pasal 43 UU No.26
Tahun 2000 itu menjadi preseden bagi
kasus-kasus pelanggaran HAM sebelum
Undang-undang Pengadilan HAM itu
diundangkan. Di Aceh juga telah pernah
dipraktekkan mengadili kasus pelanggaran
HAM bukan dengan Pengadilan HAM,
akan tetapi dengan Pengadilan Koneksitas,
sebagaimana dilakukan terhadap para
pelaku pelanggaran HAM dalam kasus
pembantaian Tgk Bantaqiah dan
pengikutnya. Pengadilan Koneksitas itu
dibentuk khusus dan juga berada di
lingkungan Peradilan Umum dalam hal ini
Pengadilan Negeri Banda Aceh. Namun
keputusan Pengadilan Koneksitas seper-
tinya tidak memiliki kekuatan hukum apa-
apa, sebab di samping tidak mengadili
komandan sebagai penanggungjawab
pembantaian, serdadu yang divonnis
sebagai pelaku tidak menjalani
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
41
hukumannya. Mareka bebas kembali pasca
divonnis.
Dua kasus di atas memperlihatkan
bahwa negaralah yang bertanggung jawab
terhadap kasus pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh aparatnya. Pemerintahlah
yang membentuk Pengadilan Koneksitas di
Aceh dan Pemerintah pula yang khusus
membentuk Pengadilan HAM ad Hoc
untuk mengadili para pelaku peanggaran
HAM pada kasus Atambua.
b. Di manakah Pengadilan HAM
untuk Aceh
Kasus-kasus pelanggaran HAM
semasa konflik Aceh terperangkap di jalan
yang rumit untuk diselesaikan terlebih lagi
dengan ketentuan pasal 28 ayat (1) UU
Pemerintahan Aceh. Artinya jika peng-
adilan itu telah terbentuk, tidak untuk
mengadili kasus pelanggaran HAM berat
semasa konflik Aceh, kecuali mengadili
kasus pelanggaran HAM yang terjadi
setelah Undang-undang itu disahkan.
Namun, jika merujuk kepada
upaya penyelesaian kasus pelanggaran
HAM Atambua, ada juga sedikit titik
terang, yakni dengan dibentuknya
Pengadilan HAM ad Hoc. Akan tetapi
pembentukan Pengadilan HAM ad Hocpun
tidak seperti membalikkan tangan,
melainkan penuh ganjalan. Belum lagi
melihat kekuatan hukumnya yang tak
mampu menjerat satu jendralpun yang
bertanggung jawab pada pelanggaran
HAM berat itu. Sementara Pengadilan
Koneksitas sama sekali bukan jalan keluar.
Penyelesaian pelanggaran HAM
berat semasa konflik Aceh, telah
menimbulkan perdebatan sengit, sesengit
tuntutan pihak korban untuk mengadili
para pelaku pelanggaran HAM secara
setimpal. Di awal perdamaian, berbagai
aksi demo dilakukan oleh pihak korban,
kemudian berbagai seminar digelar untuk
membahas bagaimana cara penyelesaian
pelanggaran HAM yang adil dan
bermartabat, serta bagaimana mempercepat
pembentukan Pengadilan HAM.
Pengadilan HAM yang dibentuk haruslah
pengadilan yang berwenang mengadili dan
memutuskan kasus pelanggaran HAM
semasa konflik.
Menurut ketentuan pasal 45 UU
No. 26 tahun 2000, saat ini Aceh berada
dibawah yurisdiksi Pengadilan HAM di
Medan. Hanya di Jakarta Pusat, Surabaya,
Makassar dan Medan Pengadilan HAM
dibentuk untuk pertama kali yang masing-
masing memiliki wilayah hukum sendiri.
Itu pula sebabnya MoU Helsinki
memerintahkan pembentukan Pengadilan
HAM untuk Aceh. Namun apabila
pembentukan Pengadilan HAM sebagai-
mana dimaksudkan pasal 28 (ayat1) UUPA
itu, tentu saja tidak akan memberi makna
bagi korban konflik Aceh.
Saat ini atau sebelum pasal 28 ayat
(1) UUPA diimplementasikan, Pengadilan
HAM untuk Aceh seperti telah disebutkan
berada di Medan. Akan tetapi selama
pengadilan itu dibentuk menurut para
hakim Pengadilan Negeri Medan (laporan
BRA, 2010), belum ada satu kasus
pelanggaran HAMpun diajukan ke sana.
Jadi Pengadilan HAM Medan itu tak
berfungsi sama sekali, sekalipun walayah
konpetensinya sarat dengan pelanggaran
HAM berat, terutama di Aceh semasa
konflik.
Akibat ketentuan pasal 28 ayat (1)
UUPA, memang ada kemungkinan bahwa
kasus pelanggaran HAM untuk Aceh
diadili di Pengadilan HAM Medan. Akan
tetapi mengingat bahwa pelanggaran HAM
berat di Aceh masa konflik juga paling
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
42
banyak terjadi sebelum UU No 26 tahun
2000 diberlakukan, maka kembali
ditemukan jalan buntu apalagi mengingat
pengadilan HAM Medan itu selama ini
tidak berfungsi sama sekali bahkan hakim
dan gedungnyapun belum ada. Kenapa
Pemerintah sampai begitu enggan
membangun gedung dan menempatkan
hakim-hakim untuk Pengadilan HAM,
adakah hubungan dengan objek yang
diadili, wallahualam.
c. Perdebatan Pengadilan HAM
untuk Aceh dan Penyelesaian
Pelanggaran HAM
Pengadilan HAM untuk Aceh
dapat dikatakan masih dalam proses awal
hingga menjelang tahun ketujuh
perdamaian ditandatangani. Perdebatan
untuk itu masih seru dan belum ada titik
temu, meski sudah mulai ditangani
Kementrian Hukum dan HAM serta
Mahkamah Agung. Dalam seminar dan
FGD untuk memfasilitasi pembentukan
Pengadilan HAM untuk Aceh yang
dilaksanakan Badan Reintegrasi Aceh
(BRA) dengan dihadiri pejabat berwenang
di tingkat pusat dan daerah, para praktisi
hukum, akademisi, dan politisi, semua itu
masih pada batas dibicarakan dan
direncanakan, belum ada wujud
konkritnya. Penulis selaku penyelenggara
kegiatan tersebut di tahun 2010 sengaja
mengundang pejabat tinggi tingkat Dirjen
di Kementrian Hukum dan HAM, Deputy
Kementrian Polhukam, Hakim Agung,
anggota DPR RI dan DPD, Ketua Komnas
HAM Pusat, pengacara, dan para hakim
Pengadilan Negeri Medan (sebagai
pengganti hakim Pengadilan HAM
Medan).
Perdebatan itu itu diawali pada
seminar Fasilitasi Pembentukan Peng-
adilan HAM untuk Aceh yang diseleng-
garakan di Banda Aceh dengan
mendatangkan ketua Komnas HAM Pusat
dan Akademisi Spesialis Analis
Pelanggaran HAM serta Aktivis HAM
mantan ketua Lembaga Bantuan Hukum
sebagai nara sumber. Seminar itu
mendatangkan korban pelanggaran HAM
dari berbagai kabupaten kota di Aceh,
akademisi, aktivis HAM, ulama, dll
sebagai peserta sehingga terlihat keteguhan
para korban konflik untuk menyeret para
pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan..
Para korban konflik tak mau surut
seincipun dari tuntutan mareka agar pelaku
pelanggaran HAM terhadap keluarga
mareka atau mareka sendiri diadili dan
dihukum secara setimpal. Sementara pihak
nara sumber dalam hal ini ketua Komnas
HAM memaparkan sejauh mana upaya
yang telah ditempuh untuk mewujudkan
pengadilan HAM guna mengadili
pelanggar HAM berat yang telah dilakukan
semasa konflik Aceh.
Yurisdiksi Pengadilan HAM
(Ifdhal Kasim, 2010) adalah bahwa
yurisdiksi itu mengadili tanggung jawab
negara, bukan subtitusi pengadilan pidana
dan dapat merupakan bagian pengadilan
umum atau pengadilan khusus.
Pelanggaran HAM dapat diajukan ke
Pengadilan HAM sebagaimana diatur
dalam UU Pengadilan HAM (UU No. 26
Tahun 2000) melalui Pengadilan HAM ad
Hoc dan melalui Pengadilan HAM
Permanen.
Apa yang harus dilakukan (Ifdhal
Kasim, 2010) adalah segera menyiapkan
legislasi bagi Pengadilan HAM di Aceh,
menyiapkan sarana dan prasarana bagi
pembentukan Pengadilan HAM untuk atau
di Aceh dan mendorong pembentukan
Pengadilan HAM ad Hoc untuk Aceh.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
43
Oleh karena pengadilan berada di bawah
kewenangan Mahkamah Agung, maka
Mahkamah Agunglah yang lebih
bertanggung jawab memikirkan masalah
tersebut.
Untuk menyelesaikan pelanggaran
HAM masa konflik sebagai bagian
perdamaian di Aceh, mengingat hambatan
yang ada dalam pasal 28 bayat (1) UU
Pemerintahan Aceh maka Pengadilan
HAM ad Hoc sebagaimana dimaksudkan
UU Pengadilan HAM diperlukan untuk
Aceh dan harus didorong pemben-
tukannya. Penyelidikan terhadap kasus
Rumah Gedong dan Bumi Flora pada
dasarnya merupakan penyelidikan ad Hoc.
Pembentukan Pengadilan HAM itu
penting dan memerlukan banyak sumber
daya manusia dan biaya. Akan tetapi DPR
sangat lemah sehingga sangat sulit
melakukan tindakan hukum terhadap
Pemerintah dalam mewujudkan Pengadilan
HAM ad Hoc (Saifuddin Bantasyam:
2010).
Perdebatan pada FGD dengan
melibatkan pihak-pihak yang terkait
dengan pembentukan Pengadilan HAM
untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran
HAM semasa konflik Aceh memperlihat-
kan kecendrungan yang berbeda. Pihak
berwenang itu adalah Dirjen HAM pada
Kementrian Hukum dan HAM, dan Deputy
Kemenkopolhukam serta ketua Komnas
HAM yang diramu dengan pendapat para
praktisi hukum dan akademisi serta politisi
Aceh di Jakarta yang menekuni persoalan
HAM. Pada acara yang diselenggarakan di
Medan awal Desember 2010 itu
memaparkan bahwa apa yang harus
dibangun di Aceh bersandar pada MoU
Helsinki dan UU No. 26 Tahun 2000.
Menurut pihak Dirjen HAM,
Menteri Hukum dan HAM berdasarkan
surat yang dikirim Gubernur Aceh telah
menyurati Mahkamah Agung. Ketua
Mahkamah Agung setuju dengan pem-
bentukan Pengadilan HAM di Aceh, akan
tetapi bagaimana mekanismenya, apakah
dengan Peraturan Presiden atau lainnya.
Yang jelas supaya tidak terjadi duplikasi,
maka jika pasal 228 ayat (1) UU No. 11
Tahun 2006 dijadikan dasar untuk
mengadili pelanggaran HAM berat
masalah yang muncul adalah bagaimana
mengeluarkan Aceh dari yurisdiksi
Pengadilan HAM Medan. Jika merujuk
pada UU No. 26 Tahun 2000 bagaimana
pula jalan keluarnya, berarti dengan
pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc.
Sementara UU No. 11 Tahun 2006
merupakan lex specialist untuk Aceh.
Berarti pasal 28 UU No. 11 Tahun 2006 itu
harus direvisi. Jika melalui revisi berarti
konsekwensinya harus melalui proses
legislasi, sebuah proses panjang yang
melelahkan (demikian Agus Purwanto/
mewakili Dirjen HAM).
Jika dimaknai UU No. 26 Tahun
2000 berarti pembentukan Pengadilan
HAM untuk mengadili pelanggaran HAM
berat dapat berarti pembentukan
Pengadilan HAM ad Hoc. Sementara di
dalam pasal 228 UU No. 11 Tahun 2006
tidak membicarakan pelanggaran HAM
berat. Ini berarti Pasal 228 itu harus
direvisi melalui legislasi (dengan undang-
undang juga).
Akhirnya, FGD tingkat pejabat
berwenang dan terkait dengan persoalan
penyelesaian pelanggaran HAM itu
merekomendasikan bahwa :
1. Merujuk kepada MoU Helsinki
dan UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh dapat
ditempuh kemungkinan :
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
44
- Mahkamah Agung menerbitkan
keputusan mengenai pemben-
tukan prasarana dan sarana
mengenai pembentukan
Pengadilan HAM untuk dan
atau di Aceh.
- Untuk mengantisipasi masalah
kompetensi wilayah, maka
Pemmerintah bersama DPR RI
membentuk undang-undang
tentang pencabutan kompetensi
wilayah Pengadilan HAM di
Medan untuk Aceh.
2. Penyelesaian kasus-kasus pelang-
garan HAM yang terjadi sebelum
dan sesudah pengesahan UU No.
26 tahun 2000 sampai dengan
pengesahan UU No. 11 Tahun
2006 dilakukan dengan mengacu
kepada UU No. 26 Tahun 2000.
Ini berarti kecendrungan Pemben-
tukan Pengadilan HAM ad Hoc
guna menyelesaikan kasus-kasus
Pelanggaran HAM semasa konflik
Aceh.
Pendapat atau hasil rekomendasi di
atas belumlah memberi kepastian yang
kongkrit. Semua masih dalam proses awal,
sehingga belum ada kepastian lewat jalan
mana pelanggaran HAM di Aceh
diselesaikan. Melalui revisi pasal 228 UU
No.11 tahun 2006-kah atau merujuk
kepada UU No. 26 Tahun 2000. Namun,
yang perlu diingat adalah bahwa yang
diamanatkan MoU Helsinki bukan hanya
Pengadilan HAM, akan tetapi juga
rekonsiliasi yang permasalahannya dapat
diselesaikan melalui Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR). Oleh karena itu
yang terpenting dari semua itu adalah
adanya “pengungkapan kebenaran” pada
tahap awal sebelum kasus pelanggaran
HAM berat itu diselesaikan melalui
Pengadilan HAM atau KKR. Tentu saja
kalau melalui jalur Pengadilan HAM
tergantung pada proses mana harus
ditempuh, revisi pasal 228 UU No. 11
Tahun 2006, atau merujuk kepada UU No.
26 Tahun 2000.
IV. P E N U T U P
A. Kesimpulan
1. Selama konflik Aceh berkecamuk
telah terjadi pelanggaran HAM
berat berupa kejahatan kemanu-
siaan, baik dimasa Aceh dijadikan
Daerah Operasi Militer (DOM)
maupun setelahnya hingga
ditanda-tangani perdamaian
2. Pelanggaran HAM berat tersebut
harus diselesaikan melalui
Pengadilan HAM guna memberi
keadilan hukum bagi korban
konflik dalam rangka mewujudkan
perdamaian permanen.
3. Sekalipun penyelesaian pelang-
garan HAM itu merupakan amanat
MoU Helsinki, namun penuh
hambatan berhubung pasal 228 UU
No. 11 Tahun 2006 tidak berlaku
surut sehingga Pengadilan HAM
yang terbentuk berdasarkan pasal
tersebut tidak dapat dipakai untuk
mengadili kasus-kasus pelanggaran
HAM masa konflik sebelum UU
itu direvisi.
4. Meskipun Mahkamah Agung telah
menyetujui pembentukan Peng-
5. adilan HAM untuk Aceh, oleh
karena Aceh berada di bawah
konpetensi Pengadilan HAM di
Medan maka harus dibuat undang-
undang untuk mencabut konpe-
tensi tersebut.
6. Apabila pasal 228 UU No. 11
Tahun 2006 tidak direvisi, maka
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
45
agar pelanggaran HAM di Aceh
masa konflik dapat diselesaikan
perlu merujuk kepada UU No. 26
Tahun 2000 tentang pelanggaran
HAM, di mana sesuai pasal 43
untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM yang terjadi
sebelum pengesahan UU tersebut
dapat dibentuk Pengadilan HAM
ad Hoc atas usul DPR RI.
7. Hingga saat ini upaya
pembentukan Pengadilan HAM
untuk Aceh dan penyelesaian
kasus pelanggaran HAM berat
masa konflik Aceh masih dalam
proses awal dan belum dapat
dipastikan kapan berlanjut,
sementara korban pelanggaran
HAM terus menunggu dan tetap
menuntut agar pelanggaran HAM
semasa konflik Aceh segera
diselesaikan.
B. Saran 1. Agar semua pihak terus
mendorong Pemerintah dan DPR
serta Mahkamah Agung agar
segera membentuk Pengadilan
HAM untuk dan atau di Aceh
2. Agar pihak yang berwenang
sesera mungkin menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM berat di
Aceh semasa konflik, baik melalui
revisi pasal 228 UU No. 11 Tahun
2006, maupun melalui pemben-
tukan Pengadilan HAM ad Hoc
3. Agar sesegera mungkin pula
dilaksanakan pengungkapan kebe-
naran terhadap kasus pelanggaran
HAM berat di Aceh semasa
konflik agar terungkap pelaku
pelanggaran HAM yang sebe-
narnya untuk kemudian dise-
lesaikana melalui sarana KKR atau
Pengadilan HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Afridal Darmi. Pentingnya Pembentukan Pengadilan HAM untuk Aceh Demi
Mewujudkan Perdamaian Abadi, Makalah, disampaikan pada Seminar
Fasilitasi Pembentukan Pengadilan HAM untuk Aceh, diselenggaran BRA,
Banda Aceh, Desember 2010.
Ahmad Farhan Hamid. Jalan Damai Nanggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil Rakyat
Aceh, Suara Bebas Jakarta, 2006.
Anonim. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Fasilitasi Pembentukan Pengadilan HAM untuk
Aceh, Direktur Penyelesaian Dispute, BRA, Banda Aceh, 2010
------------. Hak Asasi Manusia Tanggung Jawab Negara, Peran Institusi Nasional dan
Masyarakat, Komnas HAM, Jakarta, 1999.
------------. Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Bagi Aparatur Penegak Hukum,
ELSAM, Jakarta , 1999.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
46
Cassese Antonio. Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1994
Davidson, Scott. Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan
Internasional, Terjemahan PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta 1994
De Rover, C. To Serve & To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM, T erjemahan,
International Committee of The Red Cross, Geneve, 1998.
Edwin Partogi, dkk, Stagnasi Hak Asasi Manusia, Laporan Tahunan Kondisi HAM di
Indonesia Tahun 2001, Kontras, Jakarta, 2002.
Ifdhal Kasim, Pengadilan HAM di Aceh, Makalah, disampaikan pada Seminar Fasilitasi
Pembentukan Pengadilan HAM untuk Aceh diselenggarakan BRA, Banda
Aceh, Desember 2010.
Ikrar Nusa Bakti (Penyunting). Beranda Perdamaian, Aceh Tiga Tahun Pasca MoU
Helsinki, P2P-LIPI, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2008.
Saifuddin Bantasyam. Percepatan Pembentukan Pengadilan HAM untuk Aceh dalam
Rangka Memberi Keadilan bagi Korban Konflik Aceh, Makalah disampaikan
pada Seminar Fasilitasi Pembentukan Pengadilan HAM untuk Aceh,
diselenggarakan BRA, Banda Aceh, Desember 2010.
Peraturan Perundang-undangan dan Instrumen HAM Universal:
- UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
- UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
- UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
- UU No. 5 Tahun 1998 Tentang Ratifikasi Konvensi menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau penghukuman lain yang Tidak Manusiawi, dan Merendahkan
Martabat manusia (Konvensi Anti Penyiksaan) Tahun 1984 diberlakukan, Tahun
1997.
- Deklarasi Tentang Perlindungan bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa,
Tahun 1992
- Pencegahan dan Penyelidikan Efektif Terhadap Pelaksanaan Hukuman Mati di
luar Proses Hukum, Sewenang-Wenang dan Sumir, Tahun 1989
- Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Tsahun 1966
- Konvensi Tentang Pencegahan dan Hukuman Terhadap Kejahatan Pemusnahan
Suatu Bangsa dengan Sengaja, 1948.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
47
PENERAPAN STRATEGI ACTIVE LEARNING DALAM
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
Drs. Nasruddin A.R., M.Si.
Abstrak
Penggunaan strategi active learning dalam pelaksanaan pembelajaran terutama
pembelajaran PAI dikembangkan untuk meningkatkan kinerja kelas yang hidup dan
menghasilkan pembelajaran yang bermutu tinggi. Realita yang berkembang sekarang ini,
proses pembelajaran masih di dominasi oleh guru sebagai sumber utama pengetahuan dan
ceramah sebagai pilihan metode pembelajarannya. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan
pembelajaran yang lebih memberdayakan siswa, seperti penerapan strategi yang
mendorong siswa mengkonstruksikan sendiri pengetahuan pada diri mereka, dengan
harapan dapat meningkatkan kinerja atau proses pembelajaran selama di kelas. Secara
singkat dan terbatas, suatu kriteria dalam pembelajaran aktif adalah siswa mampu
melakukan sesuatu yang mereka pikirkan secara mandiri dan kelompok seperti, menulis,
berdiskusi, berdebat, memecahkan masalah, mengajukan pertanyaan, menjawab
pertanyaan, menjelaskan, menganalisis, mensintesa, dan mengevaluasi.
Kata Kunci: Strategi, Active Learning, PAI.
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu
faktor penting bagi kehidupan manusia,
sebagai makhluk ciptaan Allah swt yang
terbaik dalam mengembangkan potensi
yang dimilikinya. Diantara pendidikan
yang sangat dibutuhkan manusia adalah
Pendidikan Agama Islam (PAI). PAI
merupakan usaha sadar yang dilakukan
pendidik dalam rangka mempersiapkan
peserta didik untuk meyakini, memahami,
dan mengamalkan ajaran Islam melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran atau
pelatihan yang telah ditentukan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.1
1Abdul Majid., dan Dian Andayani,
Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
Oleh karena itu, pendidikan agama Islam
sangatlah penting, karena dengan adanya
pendidikan agama, orang tua dan guru
berusaha secara sadar mendidik dan
mengarahkan anak kepada perkembangan
jasmani dan rohani, sehingga pada
akhirnya tujuan pendidikan Islam akan
tercapai.
Untuk tercapainya tujuan dari PAI
yang mampu membangun kesadaran
beragama para peserta didik, perlu
peningkatan mutu atau kualitas proses
pendidikan. Hal ini sangat tergantung pada
kemampuan seorang guru dalam me-
nguasai materi yang diajarkan, serta
kecakapan guru dalam mengolah informasi
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal.
132.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
48
dan menyampaikannya dengan cara yang
paling efektif kepada peserta didik,
sehingga pada akhirnya akan tercapai suatu
istilah pembelajaran yang disebut PAKEM
(Pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan), di mana siswa diarahkan
untuk mengeksplorasi kemampuan, kete-
rampilan, dan pengetahuan secara
menyenangkan. Oleh karena itu, seorang
guru juga dituntut memiliki ketrampilan
dan teknik-teknik tertentu dalam
menyampaikan materi tersebut kepada
siswa.
Guru merupakan salah satu tokoh
yang dapat menjembatani siswa untuk
dapat beriman dan bertaqwa. Hal itu
merupakan bentuk usaha guru sebagai
tanggung jawab yang diamanatkan Allah
swt. Adapun berhasil tidaknya siswa
meraih tujuannya, sehingga hidupnya
senantiasa beribadah kepada Allah swt,
merupakan persoalan hidayah dan petunjuk
Allah swt. Cara guru menciptakan suasana
pembelajaran, memiliki pengaruh yang
sangat besar pada reaksi yang ditampilkan
siswa dalam proses pembelajaran karena
guru merupakan salah satu unsur kekuatan
penentu dalam operasional pendidikan.
Tidak hanya jumlahnya yang banyak tetapi
kualitasnya juga harus tinggi sesuai dengan
tuntutan dan perkembangan dunia
pendidikan yang terus berkembang.
Realita yang berkembang selama
ini adalah strategi pembelajaran PAI yang
belum berjalan secara maksimal
sebagaimana diharapkan oleh semua pihak.
Guru kurang mendapat reaksi positif dari
anak didik, seperti: anak didik yang kurang
menghormati gurunya, motivasi belajar
yang menurun, serta rendahnya pema-
haman anak didik dalam mengamalkan
nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-
hari. Fenomena lain yang sering terjadi
dalam proses pembelajaran yaitu,
umumnya guru masih mendominasi ruang
kelas dan siswa pasif (datang, duduk, dan
menonton). Guru memberikan konsep dan
siswa hanya menerima barang jadi.
Demikian juga ujian dari tahun ke tahun,
soal yang diberikan selalu sama tanpa
adanya perubahan yang signifikan.
Sebab-sebab munculnya fenomena
di atas antara lain, kurangnya kemampuan
guru dalam menguasai kelas dan
penggunaan strategi pembelajaran yang
belum sesuai dengan materi ajarnya,
sehingga kualitas pembelajaran PAI di
sekolah menjadi rendah, dan juga sebab-
sebab lainnya. Dengan demikian, peran
guru sangatlah penting dalam memahami
cara belajar anak, sehingga nantinya dapat
membantu para guru mengatasi kesulitan
yang dialaminya dalam proses pem-
belajaran PAI.
1. Bagaimana efektifitas penerapan
pembelajaran aktif (active learning)
dalam pembelajaran PAI?
2. Faktor apa saja yang mendukung
dan menjadi kendala yang dialami
oleh guru PAI dalam penerapan
strategi active learning?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana
efektifitas penerapan
pembelajaran aktif (active
learning) dalam pembelajaran
PAI?
2. Untuk mengetahui Faktor apa
saja yang mendukung dan
menjadi kendala yang dialami
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
49
oleh guru PAI dalam penerapan
strategi active learning? Adapun manfaat dari penelitian ini
adalah:
1. Dengan adanya penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat
bagi guru-guru dalam
penerapan strate-gi
pembelajaran.
2. Dengan adanya penelitian ini
diharapkan dapat menjadi
trobosan baru bagi praktisi
pendidikan da-am
meningkatkan mutu pendi-
dikan pada umumnya.
C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
perpustakaan (Library Research), yaitu
penulis menelaah serta menganalisa buku-
buku (referensi) yang menjelaskan tentang
strategi pembelajaran Active Learning dan
hasil-hasil penelitian yang menyangkut
dengan strategi active learning yang
pernah di tulis oleh peneliti-peneliti
terdahulu
D. Hasil Penelitian dan pembahasan
I. Strategi pembelajaran Active
Learning Dalam konteks pelaksanaan proses
pembelajaran, diperlukan pengembangan
kemampuan berfikir kritis, berfikir kreatif
dan kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah. Untuk itu perlu
digunakan berbagai strategi yang dapat
mendukung proses pembelajaran agar
menyenangkan (joyful learning). Konsek-
wensi logis dari tuntutan ini adalah guru
harus mampu mengembangkan sistem
pembelajaran dengan memposisikan pe-
serta didik sebagai pusat proses
pembelajaran (student center instruction),
sehingga betul-betul tercipta proses
pembelajaran yang aktif (active learning).
Adapun yang menjadi tuntutan
dalam penerapan strategi active learning
yaitu, setiap peserta didik harus diikut-
sertakan dalam setiap kegiatan pem-
belajaran. Strategi ini diharapkan mampu
merangsang dan meningkatkan keterlibat-
an mental peserta didik dalam proses
pembelajaraan. Dalam hal ini, peserta
didik diberikan kebebasan dan keleluasaan
untuk mengembangkan potensi dirinya,
baik pada aspek intelektual (cognitive),
emosional-spiritual (affective) dan
keterampilannya (psychomotoric). Oleh
Karena itu, dalam proses pembelajaran
yang dilakukan di kelas, guru harus
mengubah kegiatan pembelajaran dari
transferring menjadi conditioning, yaitu
yang semula guru memposisikan diri
sebagai transformotor, berubah menjadi
fasilitator.
II. Pengertian active learning
(pembelajaran aktif) Istilah active learning adalah
“segala bentuk pembelajaran yang
memungkinkan siswa berperan secara aktif
dalam proses pembelajaran itu sendiri, baik
dalam bentuk interaksi antar siswa,
maupun siswa dengan guru dalam proses
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
50
pembelajaran tersebut”.2 Masnur Muslich
mendefinisikan active learning adalah
“suatu konsep pembelajaran yang
membantu guru dalam penggabungan
antara materi pembelajaran dengan situasi
dunia nyata, dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari”.3 Cara
belajar siswa aktif tersebut dapat ber-
langsung secara efektif, bila guru
melaksanakan peran dan fungsinya secara
aktif dan kreatif, mendorong dan
membantu serta berupaya mempengaruhi
siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran
dan belajar yang ditentukan.
Peranan guru bukan sebagai orang
yang menuangkan materi pelajaran kepada
siswa, melainkan bertindak sebagai
pembantu dan pelayanan bagi siswanya.
Siswa aktif belajar sedangkan guru
memberikan fasilitas belajar berupa
bantuan dan pelayanan. Dalam kegiatan
pembelajaran aktif, tidak di artikan guru
menjadi pasif, melainkan tetap harus aktif
namun tidak bersikap mendominasi siswa
dan menghambat perkembangan
potensinya. Guru bertindak sebagai
fasilitator, bukan transformotor. Oleh
karena itu, dapat dipahami bahwa
Pembelajaran aktif adalah strategi
pembelajaran yang memungkinkan siswa
berperan secara aktif dalam proses
pembelajaran, baik dalam bentuk interaksi
2T.M. A. Ari Samadhi, Pembelajaran
Aktif (Active Learning) Bahan Workshop,
(Jakarta: Tiw, 2007), hal. 48.
3Masnur Muslich, KTSP
Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan
Learning, (Jakarta: Bumi aksara, 2007), hal.
41.
antar siswa maupun siswa dengan guru.
Pembelajaran aktif (active learning)
dimaksudkan untuk mengoptimalkan
penggunaan semua potensi yang dimiliki
oleh semua anak didik dengan bantuan
pengajar seperti melakukan wawancara,
fokus group untuk memperoleh informasi,
mendiskusi, menjelaskan gagasan, dan
mengamati demo atau fenomena.
III. Prinsip Penerapan Active Learning Pembelajaran yang bermakna lebih
mengedepankan pengembangan potensi
peserta didik, sehingga pembelajaran
bukan bersumber atau terfokus pada guru,
melainkan berfokus dan terpusat pada
peserta didik. Proses pembelajaran yang
demikian idealnya dilakukan dengan cara
santun dan menyenangkan, bukan dengan
doktrinisasi dan intimidasi atau tekanan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa,
pembelajaran tersebut adalah pembelajaran
ramah anak atau dengan prinsip asah, asih
dan asuh.
Dalam penerapan pembelajaran
aktif, tentunya memiliki tolok ukur
sehingga dapat dikatakan bahwa proses
pembelajaran tersebut adalah pembelajaran
yang aktif (active learning), tolok ukur
tersebut adalah:
1. Metode pembelajaran:
a. Kegiatan belajar siswa
menggunakan metode pembelajar-
an yang bervariasi, sesuai dengan
mata pelajaran. Idealnya lebih dari
3 jenis.
b. Kegiatan belajar siswa mengguna-
kan metode pembelajaran yang
sesuai dengan spesifikasi bahan
ajar.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
51
2. Pengelolaan kelas:
a. Kegiatan belajar siswa variatif.
b. Kelompok belajar siswa beragam
c. Kegiatan pembelajaran mengguna-
kan tata meja atau kursi yang
memudahkan siswa berinteraksi
dengan guru maupun dengan siswa
lainnya.
3. Keterampilan bertanya:
a. Pertanyaan yang diajukan guru
dapat memancing atau mendukung
siswa dalam membangun konsep
atau gagasannya secara mandiri.
b. Guru juga mendorong siswa untuk
berani bertanya, berpendapat dan
mempertanyakan gagasan guru atau
siswa lain.
4. Pelayanan individual:
a. Terdapat program kegiatan belajar
mandiri siswa yang terencana dan
dilaksanakan dengan baik.
b. Guru mengidentifikasi, merancang,
mengevaluasi dan menindaklanjuti
Program Pembelajaran Individual
(PPI) sebagai respon adanya
kebutuhan khusus (hiperaktif,
autis, lamban, dsb).
5. Sumber belajar dan alat bantu
pembelajaran:
a. Guru membuat alat bantu pembel-
ajaran sesuai dengan kompetensi
yang dikembangkan sendiri atau
bersama siswa.
b. Lembar kerja mendorong siswa
dalam menemukan konsep,
gagasan, dan cara dan dapat
menerapkannya dalam konteks
kehidupan nyata sehari-hari.
6. Umpan balik dan evaluasi:
a. Guru memberikan umpan balik
yang menantang (mendorong
siswa untuk berpikir lebih lanjut)
sesuai dengan kebutuhan siswa.
b. Setiap proses dan hasil pembel-
ajaran disertai dengan reward atau
penghargaan dan pengakuan
secara verbal dan non verbal.
7. Komunikasi dan interaksi:
a. Bantuan guru kepada siswa dalam
pembelajaran bersifat mendorong
untuk berfikir (misalnya dengan
mengajukan pertanyaan kembali).
b. Setiap pembelajaran terbebas dari
ancaman dan intimidasi (yang
ditandai: tidak ada rasa takut, anak
menikmati, guru ramah).
c. Perilaku warga kelas (siswa dan
guru) sesuai dengan tata tertib
yang dibuat bersama dan etika
yang berlaku.
d. Komunikasi terjalin dengan baik
antara guru-siswa dan atau siswa-
siswa.
8. Keterlibatan siswa:
a. Guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk tampil di
depan kelas untuk menyajikan,
mengemukakan dan melakukan
sesuatu.
b. Dalam setiap kerja kelompok ada
kejelasan peran masing-masing
siswa dan terlaksana secara
bergilir.
9. Refleksi:
a. Setiap selesai pembelajaran guru
meminta siswa menulis atau
mengungkapkan kesan dan
keterpahaman siswa tentang apa
yang telah dipelajari.
b. Guru melaksanakan refleksi atau
perenungan tentang kekuatan dan
kelemahan pembelajaran yang
telah dilaksanakan.
10. Hasil karya siswa:
a. Berbagai hasil karya siswa
dipajangkan, ditata rapi dan
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
52
diganti secara teratur sesuai
perkembangan penyampaian mate-
ri pembelajaran.
b. Hasil karya siswa adalah murni
karya atau buatan siswa sendiri.
11. Hasil belajar:
a. Hasil belajar siswa memenuhi
kriteria ketuntasan minimal
(KKM).
b. Siswa mengalami peningkatan
kompetensi personal atau sosial
sesuai dengan potensinya.
Indikator fisik yang kelihatan
secara lahiriah menandai siswa dalam
proses pengajaran seperti dilansir berikut
ini. Oleh Sudjana diringkas dalam bukunya
Cara Belajar Siswa aktif menyebutkan
sebagai berikut, sebagaimana dikutip oleh
Ahmad Tafsir, yaitu:4
1. Segi siswa:
a. Keinginan, keberanian menampil-
kan minat, kebutuhan dan per-
masalahan yang dihadapinya.
b. Keinginan dan keberanian serta
kesempatan untuk berpartisipasi
dalam kegiatan persiapan, proses,
dan kelanjutan belajar.
c. Penampilan berbagai usaha belajar
dalam menjalani dan menyelesai-
kan kegiatan belajar sampai
mencapai hasil.
d. Kemandirian belajar.
2. Segi guru:
a. Usaha mendorong, membina
gairah belajar dan berpartisipasi
dalam proses pengajaran secara
aktif.
b. Peranan guru yang tidak mendo-
minasi kegiatan belajar siswa.
4Ahmad Tafsir, Metodologi
Pengajaran…”, hal. 146.
c. Memberi kesempatan kepada
siswa untuk belajar menurut cara
dan keadaan masing-masing.
d. Menggunakan berbagai metode
mengajar dan pendekatan multi
media.
3. Segi program tampak hal-hal berikut:
a. Tujuan pengajaran sesuai dengan
minat, kebutuhan serta
kemampuan siswa.
b. Program cukup jelas bagi siswa
dan menantang siswa untuk
melakukan kegiatan belajar.
4. Segi situasi menampakkan hal-hal
berikut:
a. Hubungan erat antara guru dan
siswa, siswa dengan siswa, guru
dengan guru, serta dengan unsur
pimpinan sekolah.
b. Siswa bergairah dalam belajar
5. Segi sarana belajar tampak adanya:
a. Sumber belajar yang cukup.
b. Fleksibel waktu bagi kegiatan
belajar.
c. Dukungan media pengajaran.
d. Kegiatan belajar di dalam maupun
di luar kelas.
Tanda-tanda itu akan mempermu-
dah guru merencanakan dan melaksanakan
pengajaran. Indikator-indikator tersebut
sekurang-kurangnya dapat menjadi rambu-
rambu bagi guru dalam merencanakan dan
melaksanakan lesson plan (rencana
belajar) cara belajar siswa aktif dengan
menggunakan strategi active learning.
IV. Beberapa Strategi Active Learning
untuk PAI
Thomas Samuel Kuhn, seorang
sejarawan dan filsuf sains Amerika Serikat,
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
53
sebagaimana dikutip dalam buku
“Paradigma Baru Pembelajaran
Keagamaan”, mengatakan bahwa per-
ubahan-perubahan dalam ilmu dan
peradaban manusia diawali dengan
pergeseran paradigma. Apabila pandangan-
pandangan dasar ini bergeser, banyak hal
dalam ilmu dan peradaban manusia jadi
berubah, dalam dunia pendidikan dan
pembelajaran pun telah terjadi pergeseran
paradigma. Pergeseran paradigma dalam
pendidikan dan pembelajaran inilah yang
patut di indahkan untuk mengembangkan
metodologi-metodologi pembelajaran yang
baru. Para ilmuwan dan praktisi
pendidikan dapat secara teoritis dan praktis
menciptakan pendekatan-pendekatan pem-
belajaran baru yang selaras dengan
kemajuan zaman.
Dalam hal ini, Mel Silberman
seorang guru besar kajian psikologi pendi-
dikan di Temple University, mencetuskan
dalam sistem pembelajaran aktif terdapat
101 strategi belajar yang menjadikan siswa
aktif. Namun tidak semua strategi tersebut
bisa diterapkan pada satu pelajaran
tergantung kondisi dan kebutuhan dari
pelajaran tersebut. Oleh karena itu, ada
beberapa strategi pembelajaran aktif
(active learning) yang dianggap cocok
untuk diterapkan dalam pembelajaran PAI,
beberapa strategi pembelajaran tersebut
antara lain adalah:5
5Melvin L. Silberman, Active
Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif, terj:
Sarjuli, et. al, judul asli: Active Learning:101
Strategies to Teach any subject, (Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2007), hal. 71, 82, 104,
106, 124, 127, 152, 166, 168, 190.
1. Assessment search (penelitian untuk
penilaian)
Assessment search merupakan
strategi yang cukup menarik untuk
memberi tugas materi pelajaran anda
secara cepat dan pada saat yang
bersamaan, menilai kelas dalam waktu
yang singkat dan sekaligus melibatkan
peserta didik sejak awal pertemuan untuk
saling mengenal dan bekerjasama.
Prosedur penerapannya sebagai
berikut:
a. Bagi 3 atau 4 pertanyaan untuk
memahami siswa anda, anda boleh
memasukkan pertanyaan seperti
berikut:
1) Pengetahuan mereka terhadap
pelajaran
2) Sikap mereka terhadap pel-
ajaran
3) Keinginan atau harapan mere-
ka terhadap mata pelajaran
Tulis pertanyaan sehingga jawaban
nyata dapat dicapai, hindari
pertanyaan open-ended.
b. Bagilah kelompok yang terdiri dari
3 atau 4 orang siswa (tergantung
jumlah pertanyaan yang dibuat).
Berilah setiap peserta didik satu
dari masing-masing tugas
pertanyaan. Mintalah dia (peserta
wanita-pria) untuk mewawancarai
peserta yang lain dalam kelompok
itu dan rekam jawaban dari
pertanyaan yang diberikan kepada-
nya.
c. Panggil seluruh peserta dalam sub
kelompok yang telah diberikan
pertanyaan yang sama. Misalnya,
jika ada 18 orang peserta, bagilah
menjadi 6 kelompok dimana setiap
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
54
kelompok terdiri dari 3 orang
peserta. Maka 6 orang diantara
mereka akan diberi pertanyaan
yang sama.
d. Mintalah masing-masing sub-
kelompok mengumpulkan data
mereka dan meringkasnya.
Kemudian mintalah masing-
masing sub kelompok untuk
melaporkan kepada seluruh kelas
apa yang telah mereka pelajari
tentang peserta lainnya.
2. Active knowledge sharing (berbagi
pengetahuan secara aktif)
Active knowledge sharing meru-
pakan strategi yang bagus untuk menarik
para peserta didik dengan segera kepada
materi pelajaran, strategi ini dapat
digunakan untuk mengukur tingkat
pengetahuan peserta didik pada saat yang
sama, melakukan kerjasama tim (team
work). Strategi ini dapat diterapkan pada
hampir semua mata pelajaran.
Prosedur penerapannya sebagai
berikut:
a. Siapkan sebuah daftar pertanyaan
yang berkaitan dengan materi
pelajaran yang akan anda ajarkan.
Sebagai contoh: (1) Bagaimana
sistem pemerintahan Abu Bakar,
Umar bin Khattab, Utsman Bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib? (2)
Identifikasikan hal-hal berikut:
ash-shabiqu nal awwaluwn, haji
wada`, Fathul Makkah. (3)
Menurut pendapat anda, apa
peristiwa penting dalam Islam
tentang isra` mi`raj?
b. Mintalah peserta didik menjawab
berbagai pertanyaan semampu
mereka.
c. Kemudian, ajaklah mereka berke-
liling ruangan, dengan mencari
peserta didik lain yang dapat
menjawab berbagai pertanyaan
yang tidak mereka ketahui
bagaimana menjawabnya. Dorong-
lah para peserta didik untuk saling
membantu satu sama lain.
d. Kumpulkan kembali seisi kelas
dan ulaslah jawabannya. Isilah
jawaban yang tidak diketahui dari
beberapa peserta didik. Gunakan
informasi itu sebagai jalan
memperkenalkan topik-topik
penting di kelas itu.
3. Inquiring minds what to know
(membangkitkan rasa ingin tahu)
Strategi sederhana ini merangsang
rasa ingin tahu peserta didik dengan
mendorong spekulasi mengenai topik atau
persoalan. Para peserta didik lebih
mungkin menyimpan pengetahuan tentang
materi yang tidak tercakup sebelumnya
jika mereka terlibat sejak awal dalam
sebuah pengalaman pengajaran kelas
penuh.
Prosedur penerapannya sebagai
berikut:
a. Tanyakan ke kelas, satu
pertanyaan pembangkit minat
untuk merangsang. Keingintahuan
tentang sebuah persoalan yang
ingin anda diskusikan. Pertanyaan
itu hendaknya satu, yang dengan
itu anda berharap bahwa beberapa
pesrta didik tahu jawabannya.
b. Doronglah untuk berspekulasi dan
menebak dengan bebas, gunakan
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
55
frase seperti “tebaklah” atau
“cobalah”.
c. Jangan memberi umpan balik
dengan segera. Terimalah semua
tebakan. Bentuk keingintahuan
tentang jawaban yang “sebenar-
nya”.
d. Gunakan pertanyaan sebagai
petunjuk kearah apa yang
sekiranya anda ajarkan. Sertakan
jawaban terhadap pertanyaan anda
dalam presentasi anda. Anda
hendaknya tahu bahwa para
peserta didik lebih memberikan
perhatian daripada biasanya.
4. Active debate (perdebatan aktif)
Debat bisa menjadi satu metode
berharga untuk meningkatkan pemikiran
dan perenungan, terutama jika siswa
diharapkan mengemukakan pendapat yang
bertentangan dengan diri mereka sendiri.
Konsekuwensinya, setiap siswa akan
melibatkan diri dalam perdebatan tersebut
untuk mempertahankan argumentasinya,
dan bukan hanya pelaku debatnya saja
tetapi semua yang ada dalam ruangan
tersebut.
Prosedur penerapannya sebagai
berikut:
a. Kembangkan suatu pertanyaan
yang berkaitan dengan sebuah isu
Kontroversial yang berkaitan
dengan mata pelajaran anda.
b. Bagilah kelas menjadi dua tim
debat. Tugaskan (secara acak)
posisi “pro” pada satu kelompok
dan posisi “kontra” pada kelompok
yang lain.
c. Selanjutnya, buatlah dua atau
empat sub kelompok di dalam
masing-masing tim debat itu.
Dalam sebuah kelas dengan 24
peserta didik, misalnya mungkin
anda buat tiga kelompok pro dan
tiga kelompok kontra, masing-
masing berisi empat anggota.
d. Mintalah tiap-tiap sub kelompok
mengembangkan argumen-
argumen untuk posisi yang
ditentukannya, atau berikan sebuah
daftar argumen yang lengkap yang
mungkin mereka diskusikan dan
pilih. Pada akhir diskusi mereka,
suruhlah sub kelompok tersebut
memilih seorang juru bicara.
5. Jigsaw learning (belajar jigsaw)
Belajar ala jigsaw merupakan
teknik yang paling banyak dipraktekkan.
Teknik ini serupa dengan pertukaran
kelompok dengan kelompok, namun ada
satu perbedaan penting yaitu tiap siswa
mengajarkan sesuatu. Ini merupakan
alternatif menarik bila ada materi belajar
yang bisa disegmentasikan atau dibagi-
bagi, dan bila bagian-bagiannya harus
diajarkan secara berurutan. Tiap siswa
mempelajari sesuatu yang bila digabung-
kan dengan materi yang dipelajari oleh
siswa lain membentuk kumpulan
pengetahuan atau keterampilan yang padu.
Prosedur penerapannya sebagai
berikut:
a. Pilihlah materi belajar yang dapat
dipisah menjadi bagian-bagian.
Sebuah bagian dapat disingkat
seperti sebuah kalimat atau
beberapa halaman.
b. Hitunglah jumlah bagaian belajar
dan jumlah peserta didik. Dengan
satu cara yang pantas, bagikan
tugas yang berbeda kepada
kelompok peserta yang berbeda.
Contoh: bayangkan sebuah kelas
terdiri 12 siswa, anggaplah anda
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
56
dapat membagi materi pelajaran
dalam tiga bagian, kemudian anda
dapat membentuk kwartet atau
“kelompok belajar” membaca,
berdiskusi, dan mempelajari materi
yang ditugaskan kepada mereka.
c. Setelah selesai, bentuklah
kelompok “jigsaw learning” setiap
kelompok mempunyai seseorang
wakil dari masing-masing
kelompok dalam kelas. Seperti
dalam contoh, setiap anggota
masing-masing kwartet menghi-
tung 1, 2, 3, 4. Kemudian
bentuklah kelompok peserta didik
“jigsaw learning” dengan jumlah
sama, hasilnya akan terdapat
empat kelompok yang terdiri dari
3 orang. Dalam setiap trio aka
nada orang peserta yang
memepelajari bagian I, seorang
untuk bagian II, dan seorang lagi
bagaian III.
d. Mintalah anggota kelompok
“jigsaw” untuk mengajarkan
materi yang telah dipelajari kepada
yang lain.
e. Kumpulkan kembali peserta didik
ke kelas besar untuk memberi
ulasan dan sisikan pertanyaan guna
memastikan pemahaman yang
tepat.
Untuk tercapainya strategi terse-
but, guru harus merancang metode
pembelajaran sesuai dengan tujuan
pembelajaran itu sendiri. Karena guru
memegang peranan penting dalam
meningkatkan kualitas pengajaran. Guru
bertanggung jawab terhadap mutu
pendidikan. Guru harus berperan lebih
proaktif dalam melaksanakan tugasnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Zamroni
dalam bukunya “Paradigma Pendidikan
Masa Depan” mengemukakan: “mengajar
hanya dapat dilakukan dengan baik dan
benar oleh seseorang yang telah melewati
pendidikan tersebut yang memang
dirancang untuk mempersiapkan guru
profesional. Guru dituntut untuk dapat
menguasai metode-metode mengajar,
karena peranan guru dalam mengajar akan
memberikan dampak atau pengaruh
terhadap pendidikan anak didik”.6
Melaksanakan tugas sebagai seorang guru
merupakan salah satu perwujudan dari
tanggung jawab. Sikap tanggung jawab ini
tidak hanya kepada masyarakat, tetapi juga
kepada Allah swt.
V. Kendala-kendala dalam Penerapan
Active Learning dalam PAI
Dalam proses pembelajaran
tentunya terdapat kendala-kendala yang
dapat menghambat berjalannya proses
pembelajaran yang seutuhnya, dan
akhirnya menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan. Beberapa kendala dalam
pembelajaran PAI yang diidentifikasikan
sebagai penghambat Pendidikan Agama
Islam di sekolah, antara lain:7
1. Timbulnya sikap masyarakat atau
orang tua di beberapa lingkungan
sekitar sekolah yang kurang
concerned kepada pentingnya
pendidikan agama, tidak menga-
cuhkan akan pentingnya pemantapan
6Zamroni, Paradigma Pendidikan
Masa Depan, (Jakarta: Biografi Publishing,
2000), hal. 60. 7Muzayyin Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2003), hal. 149-153.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
57
pendidikan agama di sekolah yang
berlanjut di rumah.
2. Situasi lingkungan sekitar sekolah
disubversi oleh godaan-godaan setan
yang beragam bentuknya. Situasi
demikian melemahkan daya
konsentrasi dan berakhlak mulia,
serta mengurangkan gairah belajar
siswa.
3. Gagasan baru yang mulai
bermunculan di-impose oleh para
ilmuwan mengenai perlunya men-
cari terobosan baru terhadap
berbagai kemacetan dan problema
pembangunan, meluas kearah jalur
kehidupan remaja yang kondusif
kepada watak dan ciri-ciri usia puber
dan adolesens mereka, secara latah
mempraktekan makna yang keliru
atas kata-kata terobosan menjadi
mengambil jalan pintas dalam
mengejar kemajuan belajarnya tanpa
melihat cara-cara yang halal dan
haram, seperti nyontek atau membeli
soal-soal ujian akhir.
4. Produksi pendidikan sekolah yang
dicapai dalam waktu yang relatif
singkat dengan dana yang seminimal
mungkin, namun berhasil melu-
luskan sejumlah murid yang lebih
besar, dimana dalam hal
menyangkut pendidikan agama
faktor internalisasi (pendalaman)
nilai-nilai proses kependidikan
kurang mendapat tempat yang wajar
dalam sistem efisiensi tersebut.
5. Timbulnya sikap prustasi di
kalangan orang tua atau masyarakat
bahwa tingkat kependidikan yang
dengan susah payah diraih, akan
menjamian anaknya untuk mendapat
pekerjaan yang layak. Namun
karena perluasan lapangan kerja
tidak dapat mengimbangi pembeng-
kakan penuntut kerja. Setelah lulus
sekolah, orang tua masih bersusah
payah berjuang mencarikan peluang
kerja bagi anaknya. Padahal masih
ada beban finansial yang harus di
tanggung oleh mereka. Semuanya
itu menyebabkan tendensi sosial kita
kurang mengharagai pengetahuan
sekolah yang tidak dapat di jadikan
tumpuan mencari nafkah. Pendi-
dikan agama terkena dampak negatif
dari sikap dan kecenderungan
tersebut. Apabila guru agama tidak
terampil memikat minat murid,
maka efektifitas pendidikan agama
tidak dapat diwujudkan.
Dari beberapa hal di atas, dapat
disimpulkan yang menjadi kendala dalam
proses pembelajaran secara umum, dan
akhirnya menjadi kendala khusus dalam
dunia pendidikan, yaitu:
1. Rendahnya kualitas sarana fisik atau
keterbatasan sumber belajar;
2. Rendahnya kualitas guru;
3. Rendahnya kesejahteraan guru;
4. Rendahnya prestasi siswa;
5. Mahalnya biaya pendidikan/ keterba-
tasan dana;
Banyak alternatif yang dapat
diambil oleh seluruh pelaku, peneliti
sekaligus pakar pendidikan dalam
mengatasi problematika ataupun kendala
yang terjadi baik di dunia pendidikan
ummnya dan dalam proses pembelajaran
PAI khususnya, yang terpenting dari itu
adalah komitmen dari semua pihak dan
realisasi dari program yang direncanakan
secara sungguh-sungguh untuk merubah
proses pendidikan yang masih mengalami
banyak kendala menjadi lebih baik.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
58
E. Penutup
Berdasarkan hasil kajian yang
peneliti lakukan tentang penerapan
strategi active learning dalam
pembelajaran PAI, maka dalam hal
tersebut peneliti dapat mengemukakan
beberapa statement seba-gai bentuk
dari kesimpulan dan saran sebagai
berikut:
a. Kesimpulan
1. Guru merupakan salah satu
faktor yang sangat menentukan
terhadap maju mundurnya
pendidikan pada sebuah
lembaga pendidikan,
keberhasilan seorang guru
dalam mengajar sangat
didukung oleh pengalaman-
pengalaman dan latihan yang
serius secara terus menerus
serta menunjukkan sikap dan
perilaku yang simpati
memperlihatkan suri tauladan
yang baik, sehingga dapat
terjadi daya promotor yang
positif bagi kegiatan belajar
anak.
2. Dari hasil olah data dan
sumber-sumber lainnya
menunjukkan bahwa dalam
pelaksanaan pene-rapan active
learning dalam pembelajaran
PAI oleh para guru masih
menghadapi kendala maupun
hambatan seperti terbatasnya
sarana maupun prasarana dari
pihak sekolah, kreatifitas guru
yang masih rendah dimana
pendekatan dan penerapan
active learning yang belum
maksimal baik dalam bentuk
penguasaan materi ataupun
penggunaan media belajar,
kurangnya sumber bacaan yang
dimiliki siswa, dan alokasi dana
yang minim sehingga memaksa
Produksi pendidikan sekolah
yang dicapai dalam waktu yang
relatif singkat harus mencapai
target maksimal.
b. Saran-saran
Sehubungan dengan kesimpulan
diatas, maka dapat dikemukakan beberapa
saran sebagai masukan dalam pelaksanaan
penerapan active learning pada
pembelajaran PAI, antara lain:
1. Agar mutu pelajaran PAI di
sekolah meningkat, maka
kepada para guru PAI harus
lebih mendalami ilmunya,
sehingga wujud dari
profesionalisme guru tersebut
tampak. Guru PAI juga perlu
untuk memahami dan
mendalami tentang strategi
active learning dengan lebih
banyak mengikuti pelatihan-
pelatihan, membaca referensi
buku tentang active learning,
membuka website tentang
strategi active learning terutama
dalam bidang PAI.
2. Diharapkan kepada kepala
sekolah dapat memfasilitasi
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
59
para guru terutama guru PAI
dalam mening-katkan mutu
pendidikan disekolah, baik
dengan yang bersifat pelatihan
maupun bimbingan, serta sudah
seyogyanya kepala sekolah
menyediakan buku-buku
tentang pembelajaran PAI untuk
menam-bahkan khazanah
keilmuwan terutama yang
berkaitan dengan starategi
active learning.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid., dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
T.M. A. Ari Samadhi, Pembelajaran Aktif (Active Learning) Bahan Workshop, Jakarta:
Tiw, 2007.
Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Learning, Jakarta: Bumi
Aksara, 2007.
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004.
Melvin L. Silberman, Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif, terj: Sarjuli, et.
al, judul asli: Active Learning:101 Strategies to Teach any subject, Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2007.
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Jakarta: Biografi Publishing, 2000.
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
60
SISTEM PRODUKSI HIJAUAN MAKANAN TERNAK
DI DAERAH PEMUKIMAN TRANSMIGRASI
Ir. Mulyadi, M.Si.
Abstrak
Hijauan makanan ternak di Indonesia pada umumnya bersumber dari hasil
sisa pertanian, rumput alam, semak-semak, daun dan batang pohon-pohonan.
Sumber daya alam besar pengaruhnya terhadap produksi hijauan tersebut.
Pemanfaatan hijauan ini selain tergantung pada jenis dan kelas ternak yang
dipelihara, juga tergantung pada sistem pertanian dan peternakan yang dianut.
Ternak sebagai salah satu komponen dalam sistem usaha tani harus ditempatkan
dalam struktur menurut fungsinya sebagai salah satu komponen usaha tani.
Alternatif penggunaan ternak dapat diperhitungkan karena ternak banyak jenis,
sistem produksi dan macam produksinya. Di daerah transmigrasi banyak ditanam
tanaman pangan, palawija. Oleh karena itu, makanan ternak diharapkan dari
limbah tanaman pertanian seperti jerami padi, jagung, umbi-umbian dan kacang-
kacangan. Untuk tetap tersedianya sumber hijaun makanan di daerah transmigrasi,
selain mengharapkan dari limbah, maka dapat dilakukan penanaman hijauan di
tanah-tanah limbah (tak digunakan), pematang-pematang bahkan tepi-tepi jalan.
Kata Kunci: hijauan ternak, daerah transmigrasi, dan produksi
1. PENDAHULUAN
Program transmigrasi ditujukan
untuk meningkatkan penyebaran
penduduk dan tenaga kerja serta
pembukaan dan pengembangan daerah
produksi dan pertanian baru dalam
pembangunan dae-rah, khususnya di
luar Pulau Jawa, yang dapat menjamin
peningkatan taraf hidup para
transmigrasi dan masyarakat
sekitarnya, (Siregar:1981).
Pencapaian tujuan program
transmigrasi diperlukan penyesuaian
yang saling menggalang produktivitas
antar- lahan, komoditas dan pola
pertanian/ pemeliharaan yang
tergabung dalam suatu keterpaduan
yang diinginkan dalam TRI MATRA
pembangunan pertanian yaitu: terpadu
wilayah, terpadu komoditas dan
terpadu usaha tani.
Sebahagian besar peternak di
daerah transmigrasi merupakan
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
61
peternak kecil, tidak memikirkan
persediaan makan-an ternaknya.
Mencari rumput hingga jauh dari
desanya setiap hari dalam musim
kemarau merupakan gejala sudah
menipisnya tanaman rumput di
sekitarnya. Menyabit rumput segar
bercampur rumput kering merupakan
usaha untuk menambah makanan
ternak yang diberikan dalam kandang.
Dengan demikian alternatif
yang dapat ditempuh pengembangan
peternakan di daerah transmigrasi dapat
diusahakan dengan jalan perbaikan
hijauan makanan ternak dan
pemanfaatan limbah pertanian,
sehingga luas areal tanah hijauan
makanan
ternak yang dibutuhkan per satuan
ternak dapat dikurangi.
(Soedomo:1985).
Nitis (1979), mengemukakan
bah-wa hijauan makanan ternak di
Indonesia pada umumnya bersumber
dari hasil sisa pertanian, rumput alam,
semak-semak, daun dan batang pohon-
pohonan. Sumber daya alam besar
pengaruhnya terhadap produksi hijauan
tersebut. Pemanfaatan hijauan ini selain
tergantung pada jenis dan kelas ternak
yang dipelihara, juga tergan-tung pada
sistem pertanian dan peternakan yang
dianut.
Sistem produksi hijauan
makanan ternak yang lain, baik di
daerah lahan kering, lahan basah dan
lahan pasang surut untuk dapat
tersedianya hijauan sepanjang tahun
suatu periode secara terus menerus,
dapat ditanam hijauan pada tanah-tanah
khusus atau tanah yang tidak
digunakan untuk pertanian, di bawah
lahan perkebun-an, di pematang-
pematang, di teras-teras dan di pinggir-
pinggir jalan.
Dengan pola pengembangan
hijau-an dengan memanfaatkan lahan-
lahan limbah, maka petani peternak di
daerah pemukiman transmigrasi untuk
penyediaan hijauan bagi ternaknya
dapat diperoleh secara kontinyu, yang
penting adalah cara pengolahannya
harus betul-betul tepat. Keuntungan
yang lain dengan sistem tersebut dapat
mencegah terjadinya erosi, sehingga
kehilangan unsur hara tanah yang
dibawa oleh air dapat dihindari.
Apabila jenis hijauan leguminosa yang
ditanam sekaligus dapat menyuburkan
tanah-tanah di lahan tersebut.
2. BEBERAPA MACAM SISTEM
PRODUKSI HIJAUAN YANG
SESUAI DENGAN KEADAAN
ALAM
Mutu hijauan makanan ternak
pada setiap lahan akan berbeda
menurut daerah atau jenis tanahnya.
Hal ini dipengaruhi oleh suburnya
tanah, kaya tidaknya unsur hara,
semakin subur tanah sehingga mutu
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
62
hijauan semakin baik dan produksi
akan meningkat.
Produksi rumput yang tumbuh
di tanah sawah, tegalan, kebun, hutan
dan pinggir jalan berkisar antara 14-15
ton bahan kering (BK) /ha/tahun. Akan
tetapi, untuk bahan panganan berkisar
1,5 ton dan kebun rumput sekitar 2,5
ton BK/ha/tahun (Nell & Rollinson
yang disitasi Nitis, 1979).
Permasalahan yang ada di
Indonesia adalah tanah yang
diperuntukkan untuk pemukiman
transmigrasi adalah sebahagian besar
tanah kelas IV ke atas, sudah tentu
kesuburannya kurang. Akan tetapi
seandainya pengelolaannya yang baik
akan mening-katkan kesuburannya,
misalnya dengan penamaman jenis
hijaun leguminosa, karena dapat
menfiksasi N dari udara dengan
bantuan bakteri rizobium yang terdapat
pada bintil akarnya.
Umumnya lahan yang diberikan
untuk transmigrasi tidak diperuntukkan
untuk pembuatan padang rumput atau
padang pengembalaan,walaupun dalam
perencanaan ada juga yang khusus
diper-untukkan bagi pembuatan kebun
rumput, tapi tidak begitu luas, namun
kenyataannya petani enggan untuk
menanamnya. Mereka lebih
mengutama-kan untuk menanam
pangan.
Pada pola ini maka peternakan
harus menyesuaikan dengan pola
penyediaan makanan ternaknya dengan
bidang-bidang pertanian, perkebunan
dan kehutanan. Segala bahan makanan
yang berasal dari sisa-sisa pertanian
ataupun limbah harus dimanfaatkan
sebaiknya. Sedangkan areal lahan yang
masih mungkin dipergunakan untuk
penanaman hijauan harus dikelola
dengan baik. Misalnya dengan sistem
zero grazing yaitu hijauan dipotong dan
diberikan pada ternak dalam kandang,
ternak tidak dilepas di tanah-tanah
kristis, tanah-tanah pertanian,
perkebunan dan kehutanan.
Perkembangan peternakan di
daerah transmigrasi mengikuti perkem-
bangan kegiatan terdahulu di daerah itu
atau mengikuti pola asal daerah yang
dikirimkan asal transmigran tersebut.
Akan tetapi, kegiatan terdahulu seperti
kegiatan pembukaan tanah, pertanian,
konservasi tanah dan lingkungan
dilakukan oleh pemerintah. Peternakan
diadakan sedemi-kian rupa, sehingga
tidak akan meng-ganggu kebutuhan
primer rakyat, bahkan jika mungkin
menunjang kegiatan yang sudah ada.
Suatu wilayah pengembangan
transmigrasi sudah barang tentu tidak
akan dipaksakan mengembangkan
suatu model usaha tani terpadu saja,
akan tetapi disusun menurut kesesuaian
komponen lahan dan petani.
Menjadikan suatu model usaha tani
terpadu atau beberapa pengembangan
transmigrasi, berarti mengembangkan
suatu sistem yang lebih besar dari
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
63
sistem usaha tani. Hal ini akan
menyangkut pengorganisasian,
pengadaan komponen pembentuk
usaha tani, tenaga penyuluh, sistem tata
niaga yang lebih luas dan segala
sesuatu untuk mengembangkan areal
tersebut (Siregar et al, 1981).
A. Permasalahan yang Dihadapi
Perwujudan dan keterpaduan
dalam program transmigrasi sangat
mungkin untuk diatur karena
faktor-faktor pembatas masih hanya
pada faktor dasar seperti lahan,
manusia dan komoditas. Namun,
pola usaha, pengolahan dan lain-
lain masih bisa memilih dan
mengatur dari permulaan, yang
sulit dikendali adalah faktor iklim.
Ternak sebagai salah satu
komponen dalam sistem usaha tani
harus ditempatkan dalam struktur
menurut fungsinya sebagai salah
satu komponen usaha tani.
Alternatif penggunaan ternak dapat
diperhitung-kan karena ternak
banyak jenis, sistem produksi dan
macam produksinya (Siregar et al,
1981).
Interaksi ternak dengan lahan
adalah adaptasi ternak secara
biologis, kemampuan lahan
menghasilkan makanan ternak, pola
pemeliharaannya dan daya tampung
areal lahan yang tersedia.
Sedangkan interaksi ternak
dengan komoditi lain mempunyai
beberapa aspek yaitu perebutan
tempat pada lahan terbatas,
perebutan hara, energi, udara dan
air. Masalah hama dan penyakit
yang saling mengganggu secara
fisik, serta saling merebut waktu
dan tenaga petani yang terbatas.
Dengan demikian ternak dengan
komoditi lain bisa berkembang
kearah complementary/
suplementary effect, tetapi bisa juga
berkembang kearah mutualis
exclusivenness.
B. Transmigran di Lahan Kering
Dilahan kering pada umumnya
dengan cara pembukaan hutan dan
padang alang-alang pertanian
pangan dan perkebunan. Hal ini
semakin merosotnya tingkat
kesuburan tanah dengan
temperatur harian yang cukup
tinggi, sehingga pelapukan bahan
organik dan pencucuian hara dan
erosi lebih cepat sert diikuti
dengan produksinya menurut.
Pada daerah kering hijau-
hijauan itu berupa rerumputan
diwaktu musim hujan, dan semak-
semak atau daun-daunan, batang
pohon-pohon pada musim kering.
Pada tanah yang alang-alang
dominan, dapat ditanami stek
gamal maupun stek stylosanthes.
Tanaman baru ini lambat laun akan
mengalahkan alang-alang berubah
menjadi pasture campuran yang
mutunya lebih baik. Alang-alang
jika dipotong maupun digembalai
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
64
secara teratur pada masa
pertumbuhannya, selain
produksinya meningkat,
kualitasnya bertambah baik. Perco-
baan menunjukkan bahwa alang-
alang muda maupun alang-alang
dengan suplemenentasi konsetrat
dapat meningkatkan produksi
ternak domba maupun sapi
(Soewardi dkk, 1974)
Pada pertanian yang bersifat
mixed-farming tujuan utama
adalah produksi pertanian
sedangkan usaha sambilannya
adalah ternak. Selanjut-nya, sistem
pertanian yang dianut pada
umumnya polyculture pada tanah
tegalan dan monoculture pada
tanah sawah. Penanaman khusus
tanaman makanan ternak tidak
dilakukan. hijauan didapat dari
galangan, pinggir jalan dan tanah
kosong sementara setelah panen
padi atau palawija.
Pada tanah tegalan, sistem
tumpangsari yang sudah
dipraktekkan selain mengintensif-
kan penggunaan tanah, meningkat-
kan produksi pa-ngan, juga
meningkatkan produksi hijauan
makanan ternak. Hanya saja pada
sistem yang sering dilakukan
sekarang, yang diberikan kepada
ternak hanya jerami dari tanama
untama atau tanaman selanya.
Pola produksi hijauan dilahan
seperti ini harus ditetapkan sistem
produksi hijauan yang bersifat
protektif dan dapat menyuburkan
tanah, yaitu dengan menanam
hijauan yang perakarannya dapat
mengikat tanah yang kuat serta
penanaman hijauan leguminosa
dilereng-lereng, pematang-
pematang, batas-batas tanah dan
lahan-lahan kosong lainnya yang
tidak ditanam tanaman pangan atau
perkebunan.
Seperti banyak dilakukan di
Jepang, dimana gulma yang
tumbuh dibawah pohon sebagai
cover crop diganti dengan hijaun
makanan ternak, baik jenis
leguminosa maupun jenis rumput.
Sedangkan penanaman hijauan
unggul di bawah pohon kelapa
telah banyak dilakukan seperti di
Bali, Thailand dan Philipina. Dari
hasil percobaan tersebut ternyata
dapat meningkatkan pertambahan
berat badan dengan pengembalaan
ternak di bawah hijauan yang
ditanam di bawah pohon kelapa
tersebut. Sama juga halnya dengan
produksi kelapa yang meningkat
dengan introduksi ternak, karena
secara langsung ternak tersebut
dapat menyuplai feses dan urine
yang dapat menyuburkan pohon
kelapa tersebut. Cover crop-nya
dapat ditanam jenis leguminosa
seperti siratro, calopo dan sentro.
Jadi, cover crop merupakan
sumber pakan bagi ternak
bersamaan juga dengan jenis-jenis
rumput lapangan yang tumbuh
bersamaan dengan cover crop
tersebut. ada juga bagi petani
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
65
peternak yang agak intensif,
mereka menanam hijauan unggul
dengan membuat beberapa larikan
antara sela-sela pohon karet
tersebut.
Sistem pemeliharaan ternak
pada pola diatas untuk menjaga
agar kontinuitas hijauan pakan
dapat terpenuhi serta nmenjaga
agar tidak terjadi kerusakan cover
crop tersebut, maka perlu diatur
pengelolaan yang tepat. Cara yang
telah banyak dilakukan seperti
diperkebunan karet Malaysia
adalah dengan pengemba-laan
semi permanen dan pengaturan
rotasi grazing. Ternak
digembalakan pada pagi hari
sampai siang hari, kemudian
ternak dikandangkan. Tenunya
didalam kandang ternak di-berikan
makanan tambahan makanan.
Adapun pengaturan rotasi
disesuaikan dengan kapasitas
tampung. Seandai-nya faktor ini
tidak dapat diatur, misalnya
kapasitas tampung tinggi maka
akan mengakibatkan kerusakan
cover crop tersebut. begitu pula
jika daya tampung tujuan untuk
pengendalian gulma oleh ternak
tidak terpenuhi, karena kita
pengendalian gulma di samping
keuntungan lainnya.
Ternak yang sesuai untuk
dikem-bangkan pada pola diatas
adalah ternak domba, karena
ternak ini umumnya ketika
merumput tidak banyak menoleh
kiri-kanan dan memakan apa yang
ada disekitarnya. Berbeda dengan
kambing dalam waktu merumput
lebih gesit dan sifatnya suka
memanjat pohon-pohon karet
tersebut yang mengakibatkan
kerusakan dan terganggu
kerusakan karet. Apabila
dipelihara ternak besar seperti sapi
dan kerbau dengan sistem
pengembalaan dapat
mengakibatkan kerusakan cover
crop dan tanah, karena injakannya
terlalu berat serta pohon karet
terganggu dengan gesekan-gesekan
badan ternak ter-sebut.
Salah satu cara yang dapat
ditempuh apabila ingin
memelihara ternak sapi atau
kerbau adalah dengan sistem zero
grazing, tetapi dengan sistem
iniakan menambah waktu dan
tenaga untuk memotog rumput.
Namun apabila petani tersebut
memelihara 1-2 ekor ternak/
kepala keluarga, hal ini masih
memungkin-kan.
Sedangkan menurut Santosa
dan bambang (1981), mengatakan
bahwa sebahagian besar dari
hijauan yang diberikan kepada
ternak dilokasi transmigrasi terdiri
dari rumput lapangan yang
produksinya rendah, bahkan
sebahagian yang lain adalah
gulma. Hanya sebahagian kecil
(7%) merupakan jenis kacang-
kacangan yang berasal dari limbah
pertanian.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
66
C. Transmigrasi dilahan Pasang
surut
Pada lahan pasang surut
prioritas kedua adalah usaha tani
terpadu orientasi ikan.
Pengelolaanya mung-kin dengan
memanfaatkan sistem folder atau
untuk daerah pantai akan bercocok
tambah perpaduan dengan tanaman
keras biasanya dengan kelapa.
Akan tetapi secara alamiah
sebenarnya perpaduan yang ideal
adalah ikan, rumbia/sagu, itik dan
kerbau. Sagu akan jadi sumber
karbohidrat, baik untuk manusia
maupun ternak. Kotoran ternak
akan menyuburkan perairan untuk
meman-faatkan hijauan yang
selalu subur didaerah tropika basah
dan pasang surut tersebut (Siregar
et al, 1981).
Penenpatan transmigrasi di
daerah pasang surut yang kondisi
lahannya rendah dan dekat dengan
laut, maka tanaman keras yang
paling sesuai dikembangkan
adalah kelapa, se-dangkan untuk
tanaman pangan dapat ditanam
tanaman padi pasang surut.
Sedangkan untuk sumber pakan
ternak dapat diharapkan dari
hijauan yang tumbuh di bawah
pohon kelapa tersebut.
M. R. de Guzman dan A.V.
Allo (1979), mengatakan bahwa
jenis rumput yang dapat
dikembangkan harus dapat
beradaptasi dengan intensitas
cahaya yang rendah, tidak
menghambat dalam manajemen
pohon kelapa dan tidak
berkompetisi hara dengan pohon
tersebut.
Sedangkan menurut D.L
Pluckneet (1979), mengatakan
bahwa hijauan yang sesuai
dikembangkan dibawah pohon
kelapa harus memenuhi
karakteristik dibawah ini:
1. Hijauan tersebut harus
toleransi terhadap naungan.
2. Dapat digembalakan pada
hijauan yang tingginya 8-1
cm dari permukaan tanah,
sehingga memudahkan
dalam mengum-pulkan buah
kelapa (tidak tersembunyi
oleh rumput).
3. Hijauan tersebut harus tahan
injakan oleh ternak besar
(sapi atau kerbau)
4. Hijauan tersebut harus
palatebel (disukai oleh
ternak)
5. Tidak berkompetisi hara
dengan kelapa.
6. jenis rumput prenial, kalau
yang anual produksi biji
harus banyak dan daya
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
67
kecambah harus betul-betul
baik.
Apabila dikembangkan jenis
rumput unggul pada perkebunan
yang masih muda (belum
berbuah), maka ternak tidak dapat
digembalakan di bawah pohon
tersebut karena ternak akan
memakan daun-daun kelapa.
Untuk itu maka dianjurkan untuk
memotong rumput tersebut dan
diberikan didalam kandang. Untuk
menjaga agar kesuburan tanah
terjamin, maka dilakukan
kombinasi penanaman rumput
dengan legumi-nosa.
Ternak baru dapat
digembalakan apabila umur pohon
kelapa sekitar 8 tahun atau kira-
kira ternak tersebut tidak sampai
lagi untuk memakan daun-daun
dan buah kelapa yang masih muda,
ini untuk yang jumlah pohon 124
pohon/ha. Sedangkan jika
penanaman sejumlah 143-156
pohon/ ha, maka ternak baru dapat
digembalakan apabila pohon
tersebut berumur 12-15 tahun
(M.R de Guzman dan A. V. Allo,
1979).
Menurut D. L Pluckneet (1979)
kalau tidak dikembangkan rumput
unggul hanya dengan
mengharapkan jenis rumput
lapangan, maka kualitasnya kurang
baik dan daya tampung juga sangat
rendah. Kecuali ada beberapa jenis
rumput lapangan yang nilai gizinya
agak baik seperti rumput kudzu,
paragrass, carpetgrass dan
guineagrass. Salah satu cara untuk
meningkatkan produksi dan nilai
gizi hijauan adalah dengan
pemupukan dan introduksi hijauan
leguminosa.
Jenis rumput dan leguminosa
yang tahan naungan dan kondisi
asin, yang dapat dikembangkan
dibawah pohon kelapa adalah
sebagai berikut:
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
68
Tabel 1. Spesies hijauan yang toleran terhadap hijauan dan kondisi asin
No Species Keterangan
Rumput
1 : Brachiaria Mutica (para graa) xx
2 : Pennisetum Purpureum (Napier Grass) xx
3 : Panicium Maximum (Guinea grass) xx
4 : Dicanthium Aristatum (Alabang x) x
5 : Brachiara Ruziziensis (Ruzi grass) x
6 : B. Miliformis (Cori grass) x
7 : B. Brizantha (Signal grass) xx
8 : Chloris gayana (Rhodes grass) xx
9 : Paspalum Conjugatu (Carabao grass) x
10 : P. Commersonii x
11 : P. Dilatatu x
LEGUME
13 : Centrosema Pubesces (Centro) xx
14 : Phaseolus Antropurpureus (Sirantro) xx
15 : Pueraria Phasiolaides (Kudzu) x
16 : Lucaena Leucocephala (Ipil-ipil) xx
17 : Colopogonium Mucunoides (Calopo) x
Sumber : M.R de Guzman dan A.V. Allo (1975).
Ket : x = tahan naungan
xx = tahan naungan dan kondisi asin.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
69
3. KESIMPULAN
Perkembangan peternakan di
daerah transmigrasi dapat diusahakan
dengan jalan perbaikan hijauan
makanan ternak dan pemanfaatan
limbah pertanian. Di daerah
transmigrasi yang kondisi lahan kering,
yang banyak menanam tanaman
pangan, palawija. Oleh karena itu,
makanan ternak diharapkan dari limbah
tanaman pertanian seperti jerami padi,
jagung, umbi-umbian dan kacang-
kacangan.
Sedangkan pada perkebunan,
pemanfaatan hijauan yang tumbuh
dibawah perkebunan tersebut adalah
alternatif yang dapat ditempuh untuk
pakan ternak. Untuk mendapatkan hasil
pakan yang baik, maka perlu diintro-
duksikan jenis-jenis hijauan unggul
yang tahan naungan. Kalau
transmigrasi didaerah pasang surut
tentu dipilih jenis hijauan yang tahan
naungan dan salinasi yang tinggi.
Untuk tetap tersedianya sumber
hijaun makanan di daerah transmigrasi,
selain mengharapkan dari limbah,
maka dapat dilakukan penanaman
hijauan di tanah-tanah limbah (tak
digunakan), pematang-pematang
bahkan tepi-tepi jalan.
Hijauan yang dipilih tentunya
selain nilai gizinya baik, juga bersifat
protektif terhadap erosi dan kesuburan
tanah, juga pada tanaman pagar agar
bisa ditanam jenis legume pohon, yang
merupakan sumber pakan untuk musim
paceklik
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
69
DAFTAR PUSTAKA
Gusman. M.R. dan A.V. Allo F.N.Z.I.N.S, 1975. Pasture Production Under
Coconut Palms, ASPC. Taiwan.
Nitis, I.M, 1979. “Tanaman Makanan Ternak : Potensi, Pemanfaatan dan
Pengelolaannya.” Procedding Seminar, Penelitian dan Penunjang
Pengembalaan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Pluckneet, D.L, 1979. Managing Pastures and Cattle Under Coconuts. Wesview
Press/Boulder, Colorado.
Reksohadiprodjo. S, 1984. Pengembangan Peternakan di Daerah Transmigrasi.
BPFF.Jogjakarta.
Santosa dan B.R Prawiradiputra, 1981. Budidaya Hewan Ternak di Daerah
Transmigrasi Sitiung. Balai Penelitian Ternak: Bogor.
Sastrodihardjo. S, T. Manurung, A.R Siregar dan P. Sitorus, 1982.
“Pengembangan Budidaya Ternak di Wilayah Transmigrasi”. Journal
Litbang Pertanian. Balai Penelitian Ternak: Bogor.
Soewardi, b. D. Sastrodipradja, A.H Nasution & J.H. Hutosuit. 1974. Studies on
Alan-alang (Imperata Cylindrica) for Cattle Feeding. Boitrop Bull,
no.8.
Wirdjoarmodjo, H dan S. Kusumaputra, 1981. “Usaha Penanaman Hijauan
Makanan Ternak Sebagai Salah Satu Kegiatan Perhutani untuk
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa”. Procedding Seminar
Penelitian Peternakan, Perum Perhutani: Jakarta.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
70
ANALISIS KELAYAKAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN LINTASAN
ULEE LHEU (BANDA ACEH)-LAMTENG (PULO ACEH)
Yulfrita Adamy, S.E., M.Si.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Indonesia merupakan negara kepu-
lauan yang terdiri dari gugusan pulau-pulau
besar maupun gugusan pulau-pulau kecil yang
terbentang dari Sabang sampai Mereuke. Hal
inilah yang mana negara kita memerlukan
angkutan penyeberangan untuk menghubung-
kan antara pulau tersebut.
Angkutan peyeberangan adalah salah
satu bentuk sistem transportasi yang diperlukan
untuk menjangkau daerah-daerah yang dibatasi
oleh sungai, laut, selat, maupun teluk. Kegiatan
angkutan penyebrangan bukanlah merupakan
kegiatan yang berdiri sendiri, tapi berkaitan
erat dengan aspek-aspek ekonomi dan sosial
yang berada dalam jangkauan pelayanan
angkutan penyebrangan tersebut.
Provinsi Aceh mempunyai luas daerah
yang relatif besar, yakni mencapai 57.365,57
Km2 yang terbagi dalam 23 kabupaten/kota, di
mana Provinsi Aceh mempunyai beberapa
gugus kepulauan yang terletak di sisi Barat dan
Utara dari pulau Sumatera. Daerah kepulauan
tersebut memiliki jumlah penduduk dan
produksi, seperti: hasil pertanian, perkebunan,
perikanan dan termasuk pariwisata yang
membutuhkan transportasi laut. Dalam hal ini
keterkaitan antara wilayah daratan dan
kepulauan dalam beberapa hal mengindi-
kasikan pentingnya peningkatan layanan
transportasi antara daratan dan kawasan
kepulauan tersebut. Sampai sejauh ini, di
beberapa kawasan pulau tersebut telah tersedia
prasarana berupa pelabuhan seperti pelabuhan
penyeberangan Balohan, pelabuhan penyebe-
rangan Ulee Lheu, pelabuhan penyeberangan
Sinabang, pelabuhan penyeberangan Lamteng,
pelabuhan penyeberangan Labuhan Haji,
pelabuhan penyeberangan Singkil dan
pelabuhan penyeberangan Pulau Banyak.
Semua lintasan angkutan penyeberangan yang
beroperasi di Provinsi Aceh dilaksanakan oleh
PT. ASDP (Angkutan Sungai Danau dan
Penyeberangan).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian
di atas, maka yang menjadi perumusan masalah
adalah apakah angkutan penyeberangan pada
lintasan Ulee Lheu (Banda Aceh) – Lamteng
(Pulo Aceh) layak secara ekonomis dan
finansial.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk mengkaji kelayakan angkutan penyebe-
rangan pada lintasan Ulee Lheu (Banda Aceh)
– Lamteng (Pulo Aceh) secara ekonomis dan
finansial.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan masukan dan rekomendasi
kepada Dinas Perhubungan, Komunikasi,
Informasi dan Telematika Pemerintah
Aceh terhadap strategi pengembangan
sistem transportasi Penyeberangan lintas
Ulee Lheu – Lamteng.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
71
2. Sebagai referensi bagi pihak-pihak lain
yang tertarik untuk meneliti bidang ini
dalam rangka pengembangan kawasan
Kecamatan Pulo Aceh
II. METODE PENELITIAN
2.1. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam analisis ini yang diperhatikan
adalah hasil yang harus diterima oleh investor
atau siapa saja yang berkepentingan dalam
proyek tersebut.Penelitian ini dilakukan di
pelabuhan penyeberangan PT. ASDP (Persero)
cabang Aceh yang berada di Ulee Lheu (Banda
Aceh) dan pelabuhan penyeberangan Lamteng
(Kecamatan Pulo Aceh). Kapal penyeberangan
yang beroperasi di lintasan penyeberangan
Ulee Lheu – Lamteng adalah kapal ferry type
Ro-Ro KMP. Simeuleu dengan kapasitas kapal
yang dapat mengangkut 15 kendaraan dan 240
penumpang.
2.2 Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
instansi terkait terutama PT ASDP (Persero).
Pengumpulan data sekunder merupakan
pengumpulan data secara tidak langsung dari
sumber/obyek. Dimana data yang diperoleh
dalam bentuk yang sudah jadi dan sudah
dikumpulkan. Biasanya data-data diperoleh
dari tulisan seperti buku-buku teori, buku
laporan, peraturan-peraturan, dan dokumen
baik yang berasal dari instansi terkait maupun
hasil kajian literatur yang sudah dalam bentuk
publikasi sehingga penulis hanya bertugas
mengumpulkan dan mengolah data tersebut
sehingga sesuai dengan data yang dibutuhkan
oleh penulis untuk menyelesaikan penulisan
ini.
2.3 Model Analisis Data
Sesuai dengan topik penelitian yaitu
kelayakan ekonomi dan finansial
penyeberangan lintasan Ulee Lheu-Lamteng,
maka metode analisis yang digunakan kriteria
kelayakan investasi. Kriteria yang
dimaksudkan terdiri dari Net Present Value
(NPV) dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C).
Sedangkan kriteria lainnya seperti Internal rate
of return (IRR) tidak dimasukkan. Hal ini
disebabkan aliran penerimaan (revenue) dari
penggunaan KMP Simeulue dalam melayani
penyeberangan Ulee Lheu-Lamteng relatif
lebih besar bila dibandingkan dengan biaya
(cost) yang dikeluarkan PT ASDP (Persero)
untuk setiap periode waktu analisis.
1. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV adalah selisih
antara jumlah kas yang dihasilkan sebuah
proyek investasi (setelah memperhi-
tungkan nilai waktu uang) dan nilai
investasi yang diperlukan atau selisih
antara present value dari sebuah proyek
dan investasi awal, dengan formula
sebagai berikut:
n
1i0
I
k1
iCF
NPVi
, atau
0I
nk1
nCF.....
3k1
3CF
2k1
2CF
k1
1CF
NPV
Dengan :
I0 : Investasi awal
k : Tingkat diskonto
CFi : Arus kas tahun i
Kriteria kelayakan usaha dengan
menggunakan NPV sebagai berikut:
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
72
b. Apabila NPV > 0 dapat diartikan
bahwa usaha layak dilakukan, artinya
angkutan penyeberangan lintasan Ulee
Lheu (Banda Aceh) – Lamteng (Pulo
Aceh) layak secara ekonomis dan
finansial.
c. Apabila NPV < 0 dapat diartikan
bahwa usaha tidak layak dilakukan,
artinya angkutan penyeberangan
lintasan Ulee Lheu (Banda Aceh) –
Lamteng (Pulo Aceh) tidak layak
secara ekonomis dan finansial.
2. Grosss Benefit Cost Ratio (Gross B/C)
Gross benefit cost ratio (Gross B/C)
adalah perbandingan antara benefit kotor
yang telah di-discount dengan cost secara
keseluruhan yang telah di-discount,
dirumuskan sebagai berikut:
n
1i)1(
iC
n
1i)1(
iB
B/C Grossn
r
nr
Kriteria kelayakan investasi dengan
menggunakan Gross B/C sebagai berikut:
- Apabila Gross B/C > 1 dapat diartikan
bahwa usaha layak dilakukan, artinya
angkutan penyeberangan lintasan Ulee
Lheu (Banda Aceh) – Lamteng (Pulo
Aceh) layak secara ekonomis dan
finansial.
- Apabila Gross B/C < 1 dapat diartikan
bahwa usaha tidak layak dilakukan,
artinya angkutan penyeberangan
lintasan Ulee Lheu (Banda Aceh) –
Lamteng (Pulo Aceh) tidak layak
secara ekonomis dan finansial.
Sebelum dilakukan analisis kelayakan
angkutan penyeberangan secara ekonomis dan
finansial, dilakukan estimasi terhadap jumlah
penumpang (orang), kendaraan (unit) dan
barang (ton) yang dapat dilayani oleh angkutan
penyeberangan KMP Simeulue. Sesuai dengan
ketersediaan data, dasar estimasi adalah data
kwartal selama periode kwartal IV tahun 2008
hingga kwartal IV tahun 2010 (n = 9).
Peralatan yang digunakan untuk melakukan
estimasi adalah metode trend linier
diformulasikan sebagai berikut.
Y = a + bX
Di mana :
Y : Nilai yang diestimasi yang dalam hal ini
adalah jumlah penumpang (orang),
kendaraan (unit) dan barang (ton).
a : Konstanta
b : Koefisien regresi
X : Periode waktu (kwartal).
Setelah diketahui estimasi penumpang
(orang), kendaraan (unit) dan barang (ton) pada
setiap kwartal dalam periode tahun tertentu,
kemudian dibuat estimasi tahunan dengan cara
melakukan penjumlahan jumlah penumpang
(orang), kendaraan (unit) atau barang (ton)
yang diangkut oleh KMP Simeulue mulai dari
kwartal I-IV dalam periode tahun yang sama.
2.4 Definisi Operasional Variabel
Variabel yang dioperasionalkan dalam
penelitian ini terdiri dari variabel-variabel yang
digunakan dalam analisis kelayakan ekonomi
dan finansial berkaitan dengan angkutan
penyeberangan lintasan Ulee Lheu-Lamteng.
Variabel-variabel tersebut dijelaskan sebagai
berikut.
1. Investasi, adalah investasi yang dike-
luarkan oleh PT ASPD (Persero) untuk
memulai angkutan penyeberangan lintasan
Ulee Lheu - Lamteng. Investasi yang
dimaksudkan adalah dalam bentuk
pembelian kapal KMP Simeulue diukur
dengan satuan rupiah.
2. Biaya operasional
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
73
Biaya operasional, adalah biaya-biaya
(cash outflow) yang dikeluarkan oleh PT
ASDP (Persero) berkaitan dengan
pengoperasionalan KMP Simeulue, terdiri
dari:
a. Biaya tetap, terdiri dari gaji ABK,
kesehatan ABK, makanan ABK, air
tawar ABK, dan asuransi dengan
satuan rupiah.
b. Biaya variabel, terdiri dari bahan
bakar (BBM) untuk memenuhi mesin
induk dan mesin bantu, pelumas untuk
mesin induk dan mesin bantu, air
tawar untuk penumpang, biaya
pelabuhan (kapal istirahat), biaya
pelabuhan (kapal sandar), biaya rambu
dan biaya overhead/alokasi perawatan
kapal setiap tahun, dengan satuan
rupiah.
c. Biaya docking tahunan adalah biaya
perawatan kapal pada saat docking di
setiap tahunnya dengan satuan rupiah.
3. Penerimaan usaha
Penerimaan usaha dalam hal ini adalah
penerimaan (cash inflow) yang diperoleh
PT ASDP (Persero) berkaitan dengan
pengoperasionalan KMP Simeulue untuk
melayani angkutan penyeberangan lintasan
Ulee Lheu-Lamteng. Penerimaan usaha
dimaksud terdiri dari :
a. Penerimaan yang berasal dari peng-
angkutan penumpang adalah hasil
perkalian antara jumlah penumpang
yang diangkut dalam periode tahun
tertentu dengan harga tiket (tarif
pelayanan) per penumpang (orang)
pada periode tahun tersebut dengan
satuan rupiah.
b. Penerimaan yang berasal dari peng-
angkutan kendaraan adalah hasil
perkalian antara jumlah kendaraan
yang diangkut dalam periode tahun
tertentu dengan harga tiket (tarif
pelayanan) per unit kendaraan pada
periode tahun tersebut dengan satuan
rupiah.
c. Penerimaan yang berasal dari peng-
angkutan barang adalah hasil
perkalian antara jumlah barang yang
diangkut dalam periode tahun tertentu
dengan tarif pelayanan per ton barang
pada periode tahun tersebut dengan
satuan rupiah.
4. Tarif pelayaran, adalah besarnya nilai
nominal yang harus dibayarkan oleh
seseorang untuk memanfaatkan layanan
jasa penyeberangan KMP Simeulue
lintasan Ulee Lheu-Lamteng tidak
termasuk tarif asuransi. Dengan demikian
tarif pelayaran adalah harga tiket atau
biaya yang dibayarkan penumpang baik
atas orang, kendaraan, maupun barang
setelah dikurangi dengan tarif asuransi
masing-masing jenis angkutan tersebut,
diukur dengan satuan rupiah.
III. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
3.1 Investasi dan Biaya Operasional KMP
Simeulue
Pengoperasian KMP Simeulue untuk
melayani rute penyeberangan Ulee Lheu
(Banda Aceh) - Lamteng (Pulo Aceh)
membutuhkan investasi dan biaya operasional.
Perhitungan kebutuhan investasi dan biaya
operasional yang harus dikeluarkan PT ASDP
berkaitan dengan pelayanan transportasi laut
dari dan ke Pulo Aceh dijelaskan dalam sub
bab berikut.
3.1.1 Investasi Angkutan Penyeberangan
KMP Simeulue
Dalam perspektif kelayakan usaha
dari segi finansial, investasi dapat diartikan
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
74
sebagai dana yang dikeluarkan oleh pengusaha
untuk memulai suatu usaha. Karena itu, dalam
kajian mengenai kelayakan angkutan penyebe-
rangan, maka investasi dimaksud adalah
besarnya dana yang dikeluarkan untuk memulai
usaha angkutan penyebarangan terutama dalam
bentuk biaya yang dikeluarkan untuk
pembelian kapal. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dana yang keluarkan oleh PT ASDP
untuk pengadaan KMP. Simeulue sebesar Rp
15.000.000.000,00 dengan masa produktif
selama 27 tahun, nilai sisa (residu) kapal
tersebut diperkirakan sebesar 10% dari nilai
awal. Dengan demikian nilai sisa (residu) dari
KMP Simeulue sebesar Rp 1.500.000.000,00.
Penyusutan (depresiasi) per tahun
dilakukan secara garis lurus, sehingga besarnya
penyusutan per tahun sebesar Rp
500.000.000,00 dicari dengan membagi dasar
penyusutan dengan jangka waktu analisis.
Dasar penyusutan diperoleh dari hasil
pengurangan antara harga perolehan (harga
kapal pada awal periode) di satu sisi dengan
nilai sisa (residu) pada akhir periode analisis di
sisi lain, seperti perhitungan di bawah ini.
27
0001.500.000. Rp. - .00015.000.000 Rp Depresiasi
27
.000,0013.000.000 Rp Depresiasi
0,00500.000.00 Rp Depresiasi
3.1.2 Perhitungan Biaya Operasional KMP.
Simeulue dan Total Biaya.
Biaya operasional yang dimaksudkan
dalam kajian ini adalah biaya-biaya yang harus
dikeluarkan oleh PT. ASDP (Persero) setelah
adanya investasi. Biaya operasional dimaksud
terdiri dari biaya tetap (fixed cost), biaya
variabel (variable cost) dan biaya docking
tahunan.
(1) Biaya tetap (fixed cost), terdiri dari gaji
ABK, kesehatan ABK, makanan ABK, air
tawar ABK, dan asuransi. KMP Simeulue
memiliki 14 orang ABK dengan gaji per
hari sebesar Rp 70.000,00. Berdasarkan
ketentuan yang berlaku dalam pembayaran
gaji dimaksud, satu tahun dihitung selama
365 hari, sehingga besarnya pembayaran
gaji ABK per tahun sebesar Rp
357.700.000,00 (14 X Rp 70.000,00 X
365). Selanjutnya biaya kesehatan yang
diterima oleh setiap ABK sebesar Rp
8.000,00 per hari. Total biaya kesehatan
dimaksud per tahun sebesar Rp
40.880.000,00 (14 X Rp 8.000,00 X 365).
Selanjutnya biaya makanan ABK dihitung
sebesar Rp 20.000,00 per orang/hari. Total
biaya makan ABK per tahun sebesar Rp
102.200.000,00 (14 X Rp 20.000,00 X
365).
Biaya tetap berikutnya adalah biaya air
tawar ABK dan biaya asuransi. Air tawar
yang dimaksudkan adalah air tawar untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Besarnya biaya air tawar per tahun untuk
memenui kebutuhan ABK sebesar
Rp. 33.726.000,00. Selanjutnya biaya tetap
untuk pembayaran asuransi adalah sebesar
Rp 129.600.000,00 per tahun.
(2) Biaya variabel (variable cost), terdiri dari
bahan bakar (BBM) untuk memenuhi
mesin induk dan mesin bantu, pelumas
untuk mesin induk dan mesin bantu, air
tawar untuk penumpang, biaya pelabuhan
(kapal istirahat), biaya pelabuhan (kapal
sandar), biaya rambu dan biaya
overhead/alokasi perawatan kapal setiap
tahun.
Biaya bahan bakar minyak untuk
memenuhi kebutuhan mesin induk sebesar
Rp 284.582.938,00 per tahun, dan untuk
memenuhi kebutuhan mesin bantu sebesar
Rp 458.933.904,00 per tahun. Biaya
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
75
pelumas untuk memenuhi kebutuhan
mesin induk sebesar Rp 25.709.042,00 per
tahun, dan untuk memenuhi kebutuhan
mesin bantu sebesar Rp 41.459.798,00 per
tahun. Pengeluaran untuk air tawar
penumpang sebesar Rp 1.137.629,00 per
tahun. Selanjutnya biaya kapal istirahat/
sandar masing-masing sebesar Rp
10.656.000,00 per tahun. Demikian pula
halnya dengan biaya rambu sebesar Rp Rp
10.656.000,00 per tahun. Terakhir biaya
variabel berkaitan dengan pengoperasian
KMP Simeulue adalah biaya
overhead/alokasi perawatan kapal sebesar
Rp 66.410.600,00 per tahun.
(3) Biaya docking tahunan, biaya ini dialokasi-
kan untuk perawatan kapal dengan total
biaya sebesar Rp. 370.000.000,00 per
tahun.
Besarnya biaya operasional berdasar-
kan masing-masing jenis biaya seperti
dijelaskan di atas dapat dilihat Tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
76
Biaya Operasional KMP Simeulue Lintasan Ulee Lheu-Lamteng Per Tahun
No Kelompok Biaya Biaya per Item
(Rp)
Total Biaya
(Rp)
I
II
III
Biaya Tetap (Fixed Cost)
1. Gaji ABK
2. Kesehatan ABK
3. Makanan ABK
4. Air Tawar ABK
5. Asuransi
Total Biaya Tetap
Biaya Variabel (Variable
Cost)
1. Bahan Bakar Minyak (BBM)
Mesin Induk
Mesin Bantu
2. Pelumas
Mesin Induk
Mesin Bantu
3. Air Tawar untuk penumpang
4. Biaya pelabuhan (Kapal
Istirahat)
5. Biaya pelabuhan (Kapal
Sandar)
6. Biaya Rambu
7. Overhead/alokasi perawatan
kapal
Total Biaya Variabel
Biaya Docking Tahunan
357.700.000,00
40.880.000,00
102.200.000,00
33.726.000,00
129.600.000,00
284.582.938,00
458.933.904,00
25.709.042,00
41.459.798,00
1.137.629,00
10.656.000,00
10.656.000,00
10.656.000,00
66.410.600,00
370.000.000,00
664.106.000,00
910.201.911,00
370.000.000,00
1.944.307.911,00
Sumber: PT. ASDP (Persero), 2010.
Berdasarkan Tabel 1 di atas terlihat bahwa
biaya operasional dalam bentuk biaya tetap
yang dikeluarkan berkaitan dengan pengope-
rasian KMP Simeulue guna melayani rute
penyeberangan Ulee Lheu - Lamteng sebesar
Rp 664.106.000,00 per tahun, belum termasuk
penyusutan (depresiasi) kapal. Biaya opera-
sional dalam bentuk biaya variabel sebesar
Rp 910.201.911,00 per tahun, dan biaya
docking tahunan sebesar Rp 370.000.000,00
per tahun. Total biaya operasional sebesar Rp
1.944.307.911,00 per tahun.
Sesuai dengan asumsi yang digunakan
dalam analisis kelayakan ini, dimana biaya
operasional diasumsikan naik sebesar 5%
dalam setiap 5 tahun mulai tahun 2016. Total
biaya dalam periode tahun tertentu merupakan
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
77
penjumlahan keseluruhan pengeluaran dalam
tahun tersebut termasuk penyusutan
(depresiasi) armada angkutan. Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya, penyusutan
(depresiasi) armada angkutan per tahun sebesar
Rp 500.000.000,00. Dengan demikian total cost
(pengeluaran total) selama periode tahun 2008
hingga tahun 2035 seperti terlihat dalam Tabel
2 berikut.
Tabel 2
Investasi, Depresiasi dan Biaya Operasional KMP Simeulue Serta Total Biaya
Angkutan Penyeberangan Lintasan Ulee Lheu-Lamteng Per Tahun
Selama Periode Tahun 2008-2035
Tahun
Tahun
Ke
Biaya
Investasi
(Rp)
Depresiasi
(Penyusutan)
(Rp)
Biaya
Operasional
(Rp)
Total Biaya
(Rp)
1 2 3 4 5 6 (3 + 4 + 5)
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
2033
2034
2035
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
15,000,000,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
500,000,000.00
486,076,978
1,944,307,911.00
1,944,307,911.00
1,944,307,911.00
1,944,307,911.00
1,944,307,911.00
1,944,307,911.00
1,944,307,911.00
2,041,523,306.55
2,041,523,306.55
2,041,523,306.55
2,041,523,306.55
2,041,523,306.55
2,143,599,471.88
2,143,599,471.88
2,143,599,471.88
2,143,599,471.88
2,143,599,471.88
2,250,779,445.47
2,250,779,445.47
2,250,779,445.47
2,250,779,445.47
2,250,779,445.47
2,363,318,417.74
2,363,318,417.74
2,363,318,417.74
2,363,318,417.74
2,363,318,417.74
15,486,076,977.75
2,444,307,911.00
2,444,307,911.00
2,444,307,911.00
2,444,307,911.00
2,444,307,911.00
2,444,307,911.00
2,444,307,911.00
2,541,523,306.55
2,541,523,306.55
2,541,523,306.55
2,541,523,306.55
2,541,523,306.55
2,643,599,471.88
2,643,599,471.88
2,643,599,471.88
2,643,599,471.88
2,643,599,471.88
2,750,779,445.47
2,750,779,445.47
2,750,779,445.47
2,750,779,445.47
2,750,779,445.47
2,863,318,417.74
2,863,318,417.74
2,863,318,417.74
2,863,318,417.74
2,863,318,417.74
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
78
Sumber: PT. ASDP (Persero) dan Hasil Estimasi Peneliti.
3.2 Estimasi Jumlah Angkutan dan
Penerimaan
3.2.1 Estimasi Jumlah Angkutan
Lintas penyeberangan Ulee Lheu -
Lamteng baru beroperasi pada kwartal IV
tahun 2008 dan prediksi jumlah penumpang
dan barang pada pelabuhan penyeberangan
Ulee Lheu - Lamteng harus dilakukan karena
data utama masukan model adalah jumlah
penumpang dan barang. Secara garis besar, jasa
angkutan penyeberangan Ulee Lheu - Lamteng
tidak hanya melayani penumpang (orang) akan
tetapi juga melayani kendaraan dan barang.
Berdasarkan data yang diperoleh jumlah
penumpang yang memanfaatkan layanan jasa
KMP Simeulue lintasan penyeberangan Ulee
Lheu – Lamteng mengalami peningkatan dari
waktu ke waktu, seperti terlihat dalam Tabel 3
di bawah ini.
Tabel 3
Perkembangan Jumlah Penumpang, Kendaraan dan Barang Yang Memanfaatkan
Layanan Penyeberangan KMP Simeulue Lintasan Ulee Lheu-Lamteng
Selama Kwartal IV Tahun 2008-Kwartal IV Tahun 2010
Uraian
Tahun
2008 Tahun 2009 Tahun 2010
Kwartal
IV
Kwartal
I
Kwartal
II
Kwartal
III
Kwartal
IV
Kwartal
I
Kwartal
II
Kwartal
III
Kwartal
IV
Penumpang
(Orang)
Dewasa
Anak
538
135
643
161
729
182
742
186
988
247
1.068
267
812
203
1.165
291
1.322
331
Kendaraan
(Unit)
Golongan I
Golongan II
Golongan III
Golongan IV
Golongan V
Golongan VI
Golongan VII
-
120
-
25
20
12
3
-
135
-
45
29
13
4
-
147
-
57
29
14
6
-
150
-
63
32
14
5
-
163
-
67
35
15
8
-
142
-
55
29
13
5
-
146
-
49
33
14
7
-
148
-
68
32
16
6
-
163
-
61
33
14
6
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
79
Golongan VIII 4 4 4 4 4 4 5 4 4
Barang (Ton) 100 111 112 114 117 113 114 115 113
Sumber : PT. ASDP (Persero), 2010.
Berdasarkan data kwartal seperti terlihat dalam
Tabel 1 di atas, maka estimasi (perakiraan)
jumlah penumpang (orang), kendaraan (unit)
dan barang (ton) yang memanfaatkan layanan
jasa penyeberangan KMP Simeulue hingga
tahun 2035 (n = 27) seperti terlihat dalam
Tabel 4.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
80
Tabel 4
Estimasi Jumlah Penumpang, Kendaraan dan Barang Yang Memanfaatkan
Layanan Penyeberangan KMP Simeulue Lintasan Ulee Lheu-Lamteng
Hingga Periode Tahun 2035
Tahun Penumpang
(Orang)
Kendaraan
(Unit) Barang
(Ton) Dewasa
Anak-
Anak Jumlah Gol II Gol IV Gol V
Gol
VI Gol VII Gol VIII
2008
2009
2010
1.182
3.102
4.367
295
776
1.092
1.477
3.878
5.459
120
595
599
25
232
233
20
125
127
12
56
57
3
23
24
4
16
17
100
454
455
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
5.810
7.194
8.579
9.964
11.348
12.733
14.118
15.502
16.887
18.272
19.657
21.042
22.426
23.811
25.196
26.580
27.965
29.350
30.734
32.119
1.452
1.798
2.145
2.491
2.837
3.183
3.530
3.876
4.222
4.568
4.914
5.260
5.606
5.953
6.299
6.645
6.991
7.338
7.684
8.030
7.262
8.992
10.724
12.455
14.185
15.916
17.648
19.378
21.109
22.840
24.571
26.302
28.032
29.764
31.495
33.225
34.956
36.688
38.418
40.149
671
725
779
832
885
939
993
1.047
1.100
1.153
1.207
1.261
1.315
1.368
1.421
1.475
1.529
1.583
1.636
1.689
299
350
401
450
502
551
602
653
702
754
803
854
905
954
1.006
1.055
1.106
1.157
1.206
1.258
150
166
186
202
220
238
254
274
290
308
326
342
362
378
396
414
430
450
466
484
62
67
71
75
79
84
88
93
97
101
105
110
114
118
122
127
131
135
139
144
31
37
42
47
53
58
63
69
74
79
85
90
95
101
106
111
117
122
127
133
16
17
20
20
20
20
20
20
20
22
24
24
24
24
24
24
24
28
28
28
478
495
514
530
550
566
586
602
621
638
656
674
692
710
727
746
763
782
798
818
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
81
2031
2032
2033
2034
2035
33.504
34.890
36.274
37.658
39.043
8.376
8.722
9.068
9.415
9.761
41.880
43.612
45.342
47.073
48.804
1.743
1.797
1.851
1.904
1.957
1.307
1.358
1.409
1.458
1.510
502
518
538
554
572
148
152
157
161
165
138
143
149
154
159
28
28
28
28
30
834
854
870
889
906
Sumber : PT. ASDP (Persero), 2010 dan Hasil Estimasi Peneliti.
Data penumpang, kendaraan dan barang pada
tahun 2008 adalah data riil pada kwartal IV
tahun tersebut. Selanjutnya data tahun 2009
dan tahun 2010 adalah penjumlahan
penumpang, kendaraan dan barang selama
periode tahun tersebut. Selanjutnya data tahun
2011 hingga tahun 2035 merupakan data
estimasi atau perakiraan yang diperoleh dengan
metode trend linier (data estimasi dapat dilihat
lampiran 1 hingga lampiran 8).
3.2.2 Estimasi Penerimaan
Penerimaan usaha layanan jasa
penyeberangan KMP Simeulue lintasan Ulee
Lheu -Lamteng berasal dari tarif angkutan.
Tarif angkutan yang dimaksudkan dalam
penelitian ini bukanlah dihitung sebesar nilai
nominal biaya transportasi yang dibayarkan
oleh penumpang atau pengguna jasa
penyeberangan atas layanan penyeberangan
yang mereka terima. Hal ini disebabkan, harga
tiket atau ongkos yang dibayarkan oleh
pengguna jasa penyeberangan sudah termasuk
tarif asuransi. Besarnya tarif (asuransi dan
pelayaran) KMP Simeulue lintasan penye-
berangan Ulee Lheu-Lamteng seperti terlihat
dalam Tabel 5 berikut.
Tabel 5
Tarif KMP Simeulue Lintasan Ulee Lheu-Lamteng
No Jenis Satuan Tarif Per Satuan (Rp) Tiket/Tarif
Dibayar (Rp) Asuransi Pelayaran
I
II
Penumpang
Ekonomi B Dewasa
Ekonomi B Anak
Kendaraan
Golongan I *
Golongan II
Golongan III *
Golongan IV
Golongan V
Golongan VI
Orang
Orang
Unit
Unit
Unit
Unit
Unit
Unit
1.850
925
90
700
2.450
4.025
4.375
5.250
11.150
7.075
6.910
15.300
55.550
115.975
166.625
204.750
13.000
8.000
7.000
16.000
58.000
120.000
171.000
210.000
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
82
III
Golongan VII
Golongan VIII
Barang
Unit
Unit
Ton
5.250
5.250
6.150
317.750
379.750
73.850
323.000
385.000
80.000
Sumber : PT. ASDP (Persero), 2010.
Keterangan :
*) Belum memanfaatkan layanan
penyeberangan KMP Simeulue.
Berdasarkan Tabel 5 di atas diketahui
bahwa harga tiket atau tarif yang dibayarkan
oleh pengguna jasa angkutan penyeberangan
KMP Simeulue lintasan Ulee Lheu-Lamteng
terdiri dari tarif pelayaran dan tarif asuransi.
Tarif asuransi pada dasarnya adalah bagian dari
tarif/ongkos transportasi yang dibayarkan oleh
pengguna jasa transportasi tetapi menjadi hak
perusahaan jasa asuransi, sehingga tidak dapat
dihitung sebagai penerimaan perusahaan jasa
transportasi. Karena itu, dalam perhitungan
penerimaan (benefit) perusahaan jasa penye-
berangan, tarif yang dihitung adalah tarif
pelayaran.
Sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam bab sebelumnya, asumsi yang digunakan
untuk menganalisis kelayakan finansial layanan
jasa penyeberangan KMP Simeulue di
antaranya adalah ongkos angkutan atau harga
tiket yang harus dibayarkan oleh penumpang
meningkat sebesar 20% setiap 5 tahun mulai
dari tahun 2016. Karena itu, besarnya
penerimaan jasa penyeberangan dicari dengan
menjumlahkan tarif pelayaran untuk seluruh
penumpang (orang), kendaraan (unit) ditambah
dengan barang ton yang diangkut oleh KMP
Simeulue.
3.3 Analisis Kelayakan (Finansial)
Angkutan Penyeberangan Ulee-Lheu
(Banda Aceh) - Lamteng (Pulo Aceh)
Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, kriteria yang digunakan dalam
analisa kelayakan angkutan penyeberangan
lintasan Ulee Lheu (Banda Aceh) - Lamteng
(Pulo Aceh) mengacu pada kriteria kelayakan
investasi. Kriteria yang dimaksud dibatasi
hanya pada net present value (NPV) dan gross
benefit cost ratio (Gross B/C). Sedangkan
internal rate of return (IRR) tidak digunakan
dalam analisa ini. Hal ini disebabkan aliran kas
masuk berupa penerimaan (cash inflow) dari
usaha angkutan penyeberangan pada setiap
periode waktu analisis lebih kecil bila
dibandingkan dengan aliran kas keluar (cash
outflow) usaha tersebut.
a. Net Present Value (NPV)
NPV adalah selisih antara jumlah kas
yang dihasilkan sebuah proyek investasi
(setelah memperhitungkan nilai waktu uang)
dan nilai investasi yang diperlukan atau selisih
antara present value dari sebuah proyek dan
investasi awal. Dalam hal ini, NPV adalah
jumlah penerimaan yang diterima PT ASDP
(Persero) dari pengoperasian KMP Simeulue
dalam melayani rute penyeberangan Ulee Lheu
(Banda Aceh) - Lamteng (Pulo Aceh) (setelah
memperhitungkan nilai waktu uang) dengan
nilai investasi yang diperlukan, yang dalam hal
ini investasi yang dimaksudkan adalah
pembelian kapal.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
83
Penerimaan bersih (net benefit) dari
penggunaan angkutan penyeberangan KMP
Simeulue setiap periode waktu analisis
menunjukkan nilai negatif yang berarti biaya
operasional yang harus dikeluarkan oleh PT
ASDP (Persero) lebih besar bila dibandingkan
dengan penerimaan yang diperoleh (dari tiket
penumpang, ongkos pengangkutan kendaraan
dan ongkos barang). Investasi atau total biaya
pada awal periode analisis (kwartal IV tahun
2008) adalah sebesar Rp 15.458.739.398,00
dengan perincian pembelian kapal sebesar Rp
15.000.000.000,00 dan biaya operasional
selama kwartal IV tahun 2008 sebesar Rp
486.076.978,00. Selanjutnya total net benefit
yang telah di-discount adalah keseluruhan net
benefit selama periode tahun 2009 hingga
tahun 2035 sebesar - Rp 16.175.159.311,00
ditambah dengan present value dari nilai sisa
(residu) kapal sebesar Rp 70,500,000,00 pada
akhir periode analisis. Dengan demikian
jumlah keseluruhan kas yang dihasilkan
menunjukkan angka negatif sebesar -
16.104.659.311,00 (- Rp 16,175,159,311 + Rp
70,500,000,00). Mengacu pada rumus yang
telah dikemukakan, maka besarnya nilai NPV
dapat dicari sebagai berikut (untuk lebih
jelasnya lihat lampiran 9).
n
1i0
I
k1
iCF
NPVi
,39815,458,739 - .31116.104.659 Rp. - NPV
,70931,563,398 Rp. - NPV
Berdasarkan hasil perhitungan
tersebut dapat diketahui bahwa Net Present
Value (NPV) dari angkutan penyeberangan
KMP Simeulue menunjukkan angka negatif
yaitu sebesar - Rp 31.563.398.709,00. Angka
ini lebih kecil dari 0,00 (NPV < 0) dapat
diartikan bahwa dengan menggunakan jangka
waktu analisis selama 27 tahun (periode tahun
2009-2035) maka total kerugian yang harus
ditanggung oleh PT ASDP (Persero) dari
pengoperasian KMP Simeulue guna melayani
rute penyeberangan Ulee Lheu (Banda Aceh)-
Lamteng (Pulo Aceh) adalah sebesar Rp
31.563.398.709,00. Jumlah ini jauh lebih besar
bila dibandingkan dengan nilai investasi
(pembelian kapal motor tersebut) yang hanya
sebesar Rp 15.000.000.000,00. Dengan
demikian dapat diartikan bahwa jika dilihat
dari aspek bisnis terutama kelayakan usaha
menurut sudut pandang PT ASDP (Persero)
sebagai penyedia jasa angkutan, pengoperasian
angkutan penyeberangan KMP Simeuleu guna
melayani rute penyeberangan Ulee Lheu
(Banda Aceh)-Lamteng (Pulo Aceh) sangat
tidak layak. Hal ini disebabkan perusahaan
selalu mengalami kerugian dari pada setiap
tahunnya.
b. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C
Ratio)
Gross benefit cost ratio (Gross B/C)
adalah perbandingan antara benefit kotor yang
telah di-discount dengan cost secara
keseluruhan yang telah di-discount. Hasil
perhitungan menunjukkan total benefit kotor
yang telah di-discount atau present value dari
penerimaan usaha berkaitan dengan
pengoperasian KMP Simeulue dalam melayani
angkutan penyeberangan Ulee Lheu (Banda
Aceh)-Lamteng (Pulo Aceh) sebesar Rp
3.894.870.244,37. Sedangkan total cost yang
telah di-discount atau present value dari
keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk
pengoperasian kapal motor tersebut sebesar Rp.
35.528.768.953,51, sehingga gross benefit cost
ratio (Gross B/C) dicari sebagai berikut.
(Perhitungan Gross Benefit Cost Ratio lihat
lampiran 9).
.953,5135.528.768 Rp.
244,373.894.870. Rp B/C Gross
0,1096 B/C Gross
Gross B/C berdasarkan perhitungan
menunjukkan angka lebih kecil dari 1,00 dapat
diartikan bahwa benefit PT ASDP (Persero)
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
84
dari pengoperasian KMP Simeulue untuk
melayani rute penyeberangan Ulee Lheu
(Banda Aceh)-Lamteng (Pulo Aceh) jauh lebih
kecil bila dibandingkan dengan pengeluaran
yang ditanggung perusahaan. Bahkan nilai
Gross B/C sebesar 0,1096 dapat juga diartikan
bahwa penerimaan usaha angkutan
penyeberangan dimaksud hanya 10,96 persen
dari total pengeluaran yang harus ditanggung
oleh perusahaan. Dengan demikian berarti,
bahwa pengangkutan tersebut selalu merugi,
hanya saja dapat melakukan operasinya karena
mendapat subsidi pemerintah.
3.4 Analisis Ekonomi Angkutan
Penyeberangan Ulee-Lheu (Banda
Aceh) - Lamteng (Pulo Aceh)
Analisis ekonomi yang dimaksudkan
dalam hal ini berkaitan dengan dampak
ekonomi yang dirasakan masyarakat Pulo Aceh
setelah adanya pengoperasian KMP. Simeulue
dalam melayani rute penyeberangan pada
lintasan Ulee Lheu (Banda Aceh)-Lamteng
(Pulo Aceh). Keberadaan KMP tersebut sudah
memberikan dampak positif bagi kelancaran
kegiatan ekonomi masyarakat di Polu Aceh.
Indikator yang dapat dijadikan tolok ukur
peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat
adalah arus barang, pendapatan masyarakat
serta perkembangan infrastruktur dikawasan
Pulo Aceh terutama yang berada di sekitar
Lamteng.
1. Dampak ekonomi berkaitan dengan arus
barang.
Dengan dibukanya rute penyeberangan
KMP. Simeulue telah dapat meningkatkan
arus barang dan jasa termasuk kendaraan
dari dan ke Pulo Aceh. Sebelumnya arus
barang sedikit dan kendaraan roda empat
sulit untuk diseberangkan. Rute
penyeberangan Ulee Lheu (Banda Aceh)
ke Pulo Aceh hanya memanfaatkan kapal
nelayan dengan kapasitas penumpang
sebanyak 100 orang dan 1 unit mobil
pikap. Biaya transportasi juga relatif mahal
yaitu sebesar Rp 15.000 per orang belum
termasuk barang bawaan. Adapun ongkos
transportasi untuk satu unit mobil sebesar
Rp 1.500.000. Akibatnya, sebelum
pengoperasian KMP. Simeulue dalam
melayani rute penyeberangan Ulee Lheu
(Banda Aceh)-Lamteng (Pulo Aceh),
masyarakat Pulo Aceh tidak hanya sulit
memenuhi kebutuhan mereka, akan tetapi
juga hidup dalam keterisolasian. Kondisi
kehidupan masyarakat di Pulo Aceh sangat
jauh berbeda dengan kondisi kehidupan
masyarakat di daratan Aceh.
Setelah pengoperasian KMP Simeulue
guna melayani rute penyeberangan Ulee
Lheu (Banda Aceh)-Lamteng (Pulo Aceh)
terjadi peningkatan arus barang dan jasa.
Masyarakat yang dulunya kesulitan dalam
hal transportasi disebabkan tingginya biaya
angkutan dan hanya menggunakan kapal
nelayan, saat ini sudah bisa menikmati
kemudahan. Selain tarif angkutan yang
harus mereka bayarkan jauh lebih murah,
mereka juga dapat membawa barang
dalam jumlah besar. Demikian pula bagi
mereka yang ingin membawa kendaraan
dari dan ke Pulo Aceh. Tarif angkutan
untuk satu unit bus ukuran kecil hanya
sebesar Rp 171.000,00 sudah termasuk
asuransi.
2. Dampak ekonomi yang berkaitan dengan
pendapatan masyarakat.
Adanya pengoperasian KMP Simeulue
guna melayani rute penyeberangan Ulee
Lheu (Banda Aceh)-Lamteng (Pulo Aceh)
telah menjadi rangsangan bagi masyarakat
untuk meningkatkan kegiatan ekonomi
produktif. Masyarakat yang tinggal di
kawasan Pulo Aceh sudah dapat
memasarkan hasil pertanian mereka
dengan waktu yang relatif cepat bila
dibandingkan dengan kondisi sebelum
adanya pengoperasian kapal motor
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
85
tersebut. Mereka juga bisa membawa
barang dengan jumlah relatif besar dengan
biaya yang jauh lebih murah bila
dibandingkan biaya transportasi yang
harus dikeluarkan jika memanfaatkan
kapal nelayan. Artinya pengoperasian
KMP Simeulue dalam melayani rute
penyeberangan Ulee Lheu (Banda Aceh)-
Lamteng (Pulo Aceh) telah meningkatkan
efisiensi kegiatan ekonomi masyarakat dan
pada akhirnya dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat.
3. Dampak ekonomi yang berkaitan dengan
perbaikan infrastruktur
Pengoperasian KMP Simeulue telah
membawa dampak positif bagi perbaikan
infrastruktur di kawasan tersebut. Pada
kondisi sebelumnya, tidak satu pun ruas
jalan beraspal di Pulo Aceh. Hal ini selain
disebabkan sedikitnya jumlah kendaraan
bermotor, biaya transportasi bagi material
yang dibutuhkan untuk pembangunan
infrastruktur di kawasan tersebut juga
relatif mahal. Ongkos angkut untuk satu
karung pasir bangunan mencapai sebesar
Rp 3.000 (Anonymous, 2008). Akibatnya
selain infrastruktur yang sangat
memprihatinkan, perumahan penduduk
dikawasan Pulo Aceh juga sangat jauh
berbeda dengan perumahan masyarakat
yang tinggal di daratan Aceh.
Setelah dibukanya rute penyeberangan
Ulee Lheu (Banda Aceh)-Lamteng (Pulo
Aceh) sudah terjadi perbaikan
infrastruktur. Sebagian jalan di kawasan
tersebut sudah beraspal, terutama di
kawasan Lamteng. Selain itu, jumlah
kendaraan roda empat di Pulo Aceh juga
sudah mengalami peningkatan. Sekalipun
tidak ada data kuantitatif yang mencatat
tentang jumlah riil kendaraan di kawasan
tersebut, namun berdasarkan hasil
wawancara dengan aparat Kantor
Kecamatan Pulo Aceh diperoleh informasi
jumlah kendaraan di Pulo Aceh meningkat
dari waktu ke waktu. Bahkan truk
inercouler pun sudah bisa ke Pulo Aceh.
Selain terjadinya perbaikan inftrastruktur
untuk kepentingan masyarakat, kondisi
perumahan masyarakat juga semakin baik.
Masyarakat yang tinggal di kawasan Pulo
Aceh sudah dapat memperoleh bahan
bangunan seperti semen, besi dan lain
sebagainya dengan harga relatif lebih
murah akibat murahnya biaya transportasi
setelah pengoperasian KMP Simeulue.
Hingga saat ini sudah banyak rumah
masyarakat di kawasan tersebut dengan
kontruksi semen. Kondisi saat ini jauh
berbeda dengan kondisi sebelum
pengoperasian KMP Simeulue dimana
secara umum bangunan fisik rumah
penduduk di kawasan tersebut
berkontruksi kayu.
4. Dampak ekonomi yang berkaitan dengan
peningkatan mobilisasi penduduk terma-
suk kunjungan wisata ke Pulo Aceh.
Sejak pengoperasian KMP Simeulue guna
melayani rute penyeberangan Ulee Lheu
(Banda Aceh)-Lamteng (Pulo Aceh)
terjadi peningkatan jumlah kunjungan ke
Pulo Aceh. Bahkan pengunjung yang
datang ke Pulo Aceh tidak hanya berasal
dari Kota Banda Aceh, tetapi juga dari
daerah lain selain Banda Aceh. Bahkan
turis manca negara pun sudah mulai
mendatangi daerah tersebut sebagai tempat
berlibur. Mereka yang mengunjungi Pulo
Aceh tidak hanya dengan tujuan
menikmati panorama alam, akan tetapi
juga menghabiskan waktu liburan dengan
cara memancing ikan di kawasan pulau
tersebut.
Meningkatnya jumlah masyarakat yang
berkunjung ke Pulo Aceh sudah membawa
dalam positif bagi peningkatan kegiatan
ekonomi produktif. Indikasi ini secara
nyata terlihat dari munculnya pedagang
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
86
kecil disekitar kawasan pelabuhan yaitu
Desa Lamteng Pulo Aceh.
Berdasarkan uraian di atas dapat
dipahami bahwa sekalipun pengoperasian KMP
Simeulue guna melayani rute penyeberangan
Ulee Lheu (Banda Aceh)-Lamteng (Pulo Aceh)
tidak layak jika dipandang dari aspek finansial
yang berorientasi bisnis, namun layak secara
ekonomi. Karena keberadaan KMP tersebut
sudah tidak hanya dapat membawa dampak
positif bagi peningkatan kegiatan ekonomi
produktif dikalangan masyarakat, akan tetapi
lebih penting lagi mampu membuka
keterisolasian Pulo Aceh dan pulau-pulau di
sekitarnya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian analisa yang telah
dilakukan maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Biaya operasional yang ditanggung oleh
PT ASDP (Persero) dalam mendukung
pengoperasian KMP Simeulue dalam
melayani rute penyeberangan Ulee Lheu
(Banda Aceh)-Lamteng (Pulo Aceh) relatif
besar yaitu sebesar Rp 1.944.307.911,00
per tahun. Biaya ini didominasi oleh biaya
tetap (fixed cost) terdiri dari gaji ABK,
kesehatan ABK, makanan ABK, air tawar
ABK, dan asuransi; dan biaya variabel
(variable cost), terdiri dari bahan bakar
(BBM) untuk memenuhi mesin induk dan
mesin bantu, pelumas untuk mesin induk
dan mesin bantu, air tawar untuk
penumpang, biaya pelabuhan (kapal
istirahat), biaya pelabuhan (kapal sandar),
biaya rambu dan biaya overhead/alokasi
perawatan kapal setiap tahun.
2. Nilai net present value (NPV)
pengoperasian KMP Simeulue dalam
melayani rute penyeberangan Ulee Lheu
(Banda Aceh)-Lamteng (Pulo Aceh)
menunjukkan angka negatif sebesar - Rp
31.563.398.709,00 (NPV < 0). Dengan
demikian dapat disimpulkan jika dilihat
dari aspek ekonomi dan finansial menurut
sudut pandang tujuan bisnis, maka usaha
angkutan penyeberangan tersebut
dinyatakan tidak layak. Hal ini berarti
bahwa upaya untuk mempertahankan
pengoperasian kapal motor tersebut
memerlukan adanya subsidi pemerintah
secara terus menerus.
3. Hasil perhitungan gross benefit cost ratio
(gross B/C) menunjukkan angka sebesar
0,1096. Angka ini lebih besar dari 1, dapat
diartikan bahwa total benefit atau
penerimaan yang diperoleh PT ASDP
(Persero) dari pengoperasian KMP
Simeulue guna melayani rute angkutan
penyeberangan Ulee Lheu (Banda Aceh)-
Lamteng (Pulo Aceh) hanay sebesar 10,96
persen dari total biaya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari
aspek ekonomi dan finansial menurut
sudut pandang tujuan bisnis (mencari
keuntungan), maka usaha angkutan
penyeberangan tersebut dinyatakan tidak
layak.
4. Kendatipun berdasarkan aspek ekonomi
dan finansial (yang berorientasi pada
keuntungan usaha), pengoperasian KMP
Simeulue guna melayani rute
penyeberangan Ulee Lheu (Banda Aceh)-
Lamteng (Pulo Aceh) dinilai tidak layak,
namun jika dilihat dari kepentingan
ekonomi masyarakat Pulo Aceh secara
umum, pengoperasian KMP tersebut
sangat layak. Dengan adanya peng-
operasian KMP tersebut dapat membawa
dampak positif bagi kegiatan ekonomi
masyarakat seperti biaya transportasi orang
dan barang menjadi lebih efisien, arus
barang dan jasa dari dan ke Pulo Aceh
semakin lancar.
4.2 Saran-saran
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
87
Berdasarkan kesimpulan yang telah
diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi
saran dan rekomendasi dari penelitian ini
sebagai berikut.
1. Sebaiknya manajemen PT ASDP (Persero)
mengupayakan adanya peningkatan
efisiensi biaya operasional layanan jasa
angkutan penyeberangan lintasan Ulee
Lheu (Banda Aceh)-Lamteng (Pulo Aceh).
Upaya peningkatan efisiensi dapat
dilakukan dengan cara mencari kapal
motor pengganti dengan kapasitas angkut
yang lebih kecil bila dibandingkan dengan
KMP Simeuleu. Hal ini disebabkan,
penggunaan KMP Simeulue untuk
melayani rute penyebarangan tersebut
belum optimal. Selain jumlah penumpang
relatif sedikit (jauh lebih kecil dari
kapasitas angkut), biaya operasional yang
harus dikeluarkan sehubungan dengan
penggunaan kapal motor tersebut relatif
besar.
2. Pemerintah dipandang perlu untuk
mempertahankan pemberian subsidi bagi
PT ASDP (Persero) dalam mengalokasikan
sumber daya armada angkutan penyebe-
rangan lintasan Ulee Lheu (Banda Aceh)-
Lamteng (Pulo Aceh). Dari segi bisnis,
usaha pelayanan angkutan penyeberangan
untuk lintasan dimaksud tidak mengun-
tungkan bagi perusahaan tersebut. Namun
dampak ekonomi yang diperoleh dengan
adanya layanan jasa penyeberangan
tersebut dapat meningkatkan kegiatan
ekonomi masyarakat Pulo Aceh dan pulau-
pulau lainnya dalam wilayah Kabupaten
Aceh Besar.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
86
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous (2008) Pelayaran Baru di Perbatasan Aceh-India, Media Indonesia, Selasa 4
November 2008.
Aprianoor M. A. 2008. “Analisis Kebutuhan dan Kelayakan Ekonomi Pembangunan Jalan
Arteri Alternatif di Kota Kandangan”, Tesis (Tidak Dipublikasikan) Program
Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro
Semarang.
Badan Litbang Dephub RI. 2007. “Studi Kebutuhan Ruang Kapal Angkutan Laut dan
Penyeberangan Perintis”, Laporan Badan Litbang Dephub, Jakarta.
Dishub Prov. Aceh, 2007. Masterplan Perhubungan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Banda Aceh.
Dishub Prov. Aceh, 2007. Studi Pengembangan Transportasi Terpadu di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Banda Aceh.
Frensidy, B. 2010. Matematika Keuangan, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta.
Halim, Abdul. 2009. Analisis Kelayakan Investasi Bisnis Kajian Dari Aspek Keuangan, Graha
Ilmu, Jakarta.
Ibrahim, M. Y. 2003. Studi Kelayakan Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta.
Morlok, E. K. 1995. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi, Edisi IV, Erlangga,
Jakarta.
Munandar, 2002. Bugeting: Penganggaran Perusahaan, BPFE UGM, Yogyakarta.
Nasution, N. 2004. Manajemen Transportasi, Edisi Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Priyanto. 2006. “Pemodelan Kebutuhan Sarana dan Prasarana Pelabuhan Penyeberangan
(Studi Kasus Pelabuhan Penyeberangan Merek-Bakauheni”, Majalah Ilmiah
Teknologi, Edisi Agustus 2006, Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Sekretariat
Negara, Jakarta.
, Undang-Undang No. 37 Tahun 2000 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 tahun 2000 Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
87
, Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1983 Tentang Perubahan Batas
Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh.
, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 Tentang Angkutan Jalan.
, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 53 Tahun 2002 Tentang
Tatanan Kepelabuhan Nasional.
Salim, Abbas. 2006. Manajemen Transportasi, PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Simbolon, Masringan M. 2003. Ekonomi Transportasi, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sitepu, Ganding. 2009. “Analisis Biaya Operasional Kapal Penyeberangan di Wilayah Pulau
Tertinggal”. Jurnal Penelitian Enjiniring, Vol. 12, No. 2 Tahun 2009. ISSN: 1411-6243.
Hal. 119-128.
Soejono. 1994. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Edisi II, ITB, Bandung.
Sukirno, S. 2004. Pengantar Ekonomi Makro, Edisi Ketiga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suparsa (2005) “Analisis Angkutan Penyeberangan Lintas Ketapang – Gilimanuk”, Tesis
(Tidak Dipublikasikan) Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Sutoyo, S. 2001. Studi Kelayakan Proyek Transportasi, Rineka Cipta, Jakarta.
Warpani, S. 1990. Merencanakan Sistem Transportasi, ITB, Bandung.
Widyakusuma, A. 2007. “Analisis Pengembangan Pelabuhan Penyeberangan Saumlaki di
Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku”. Tesis (Tidak Dipublikasikan)
Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Yuwono, N. 2004. Model Pelabuhan II-Transportasi Sungai dan Saluran (Inland Water
Transportation, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
88
PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN
KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA GURU
PADA SMA DI KOTA SABANG
Ambia Nurdin
ABSTRAK
Keberadaan guru menjadi salah satu kunci suksesnya penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Guru harus memiliki komitmen dan rasa tanggungjawab
dalam kemajuan pendidikan dengan menunjukan kinerja yang maksimal sebagai
pendidik. Peran kepala sekolah sebagai pemimpin dapat mempengaruhi kinerja
dan kepuasan guru tersebut dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dengan gaya
kepemimpinan yang efektif dapat menggerakkan personil sekolah dalam
memajukan pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Selain itu, pentingnya
memperhatikan kepuasan kerja guru, karena dengan adanya kepuasan kerja bagi
guru di sekolah dapat berdampak positif terhadap upaya kerja keras sebagai
motivasi guru dalam menyelesaikan tugas dan tanggungjawab profesinya.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh gaya kepemimpinan kepala
sekolah dan kepuasan kerja terhadap kinerja guru SMA di kota Sabang. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif. Teknik pengambilan data menggunakan angket dengan skala likert.
Analisis data menggunakan regresi linier ganda. Populasi adalah seluruh guru
pada SMA Negeri 1 dan 2 Sabang. Jumlah sampel penelitian sebanyak 70 orang
menggunakan teknik random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)
Hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah dan kepuasan kerja berpengaruh
78,3% untuk meningkatkan kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya untuk
peningkatan kinerja SMA. (2) Gaya kepemimpinan kepala sekolah dan kepuasan
kerja guru secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja guru SMA. (3) Variabel yang dominan mempengaruhi kinerja guru adalah
kepuasan kerja guru yaitu sebesar 66,3%, dan kemudian diikuti variabel gaya
kepemimpinan kepala sekolah sebesar 53,4%. (3) Hasil analisis regresi linier
menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan kepala sekolah akan mempengaruhi
kinerja guru sebesar 30,7% sedangkan kepuasan kerja mempengaruhi kinerja guru
sebesar 44%. Artinya gaya kepemimpinan dan kepuasan kerja dapat
mempengaruhi peningkatan kinerja guru.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
89
Kata Kunci : Gaya Kepemimpinan, Kepuasan Kerja, dan Kinerja guru SMA
PENDAHULUAN
Kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) merupakan salah satu unsur yang
penting dalam menjamin keberlangsungan
pembangunan nasional. Karena bangsa
yang akan bertahan menghadapi persa-
ingan global yang semakin ketat adalah
bangsa yang mempunyai kualitas SDM
yang tinggi, yang menguasai berbagai
macam keterampilan, IPTEK, mampu
mewujudkan gagasan, ide, pemikiran,
sikap, perilaku terbaik, memiliki dan daya
juang yang tinggi.
Pembangunan suatu bangsa dimulai
dari pembangunan sumber daya manusia
melalui jalur pendidikan, yaitu mendidik
segenap masyarakat untuk dapat menem-
patkan diri sesuai dengan potensi dan
kompetensi masing-masing, dan dapat
berperan aktif dalam pembangunan.
Sehingga pendidikan harus ditempatkan
sebagai sentral yang perlu memdapat
perhatian semua pihak, karena melalui
pendidikan akan membentuk masyarakat
yang berkualitas. Namun kenyataanya,
dunia pendidikan Indonesia saat ini belum
dapat mensejajarkan diri dengan negara-
negara berkembang lainnya, terlebih lagi
dengan negara yang sudah maju.
Rendahnya mutu pendidikan disebabkan
oleh berbagai komponen yang dapat
mempengaruhinya seperti kebijakan
pemimpin, kinerja pemimpin termasuk di
dalamnya kinerja kepala sekolah, kinerja
guru, kualitas bahan ajaran, rendahnya
kedisiplinan, dan kurangnya koordinasi
antara pelaksana pendidikan, sehingga
perlunya manajemen yang baik dalam
suatu organisasi, khususnya organisasi
pendidikan.
Dalam suatu organisasi pendidikan,
unsur manusia merupakan unsur yang
sangat besar pengaruhnya terhadap keber-
hasilan suatu organisasi termasuk. Banyak
orang yang mengatakan bahwa manusia di
dalam suatu organisasi merupakan bagian
yang terpenting dibandingkan dengan
komponen-komponen lainnya. Oleh karena
itu, sudah merupakan kewajiban bagi
setiap pimpinan organisasi seperti kepala
sekolah untuk dapat memberikan motivasi
agar dicapai kepuasan kerja bagi para guru.
Terbentuknya kepuasan kerja, diharapkan
berdampak positif terhadap upaya kerja
keras sebagai motivasi guru dalam
mengarahkan segala kemampuan menyele-
saikan tugas atau pekerjaannya di sekolah,
termasuk kegiatan non akademik berupa
kegiatan ekstrakurikuler yang bertujuan
mengembangkan kemampuan keterampil-
an psikomotorik siswa. Selain itu dengan
kepuasan kerja guru diharapkan mampu
mengerjakan tugas di luar jam wajib
mengajar di kelas, seperti dalam mem-
persiapkan bahan ajar atau perangkat
pembelajaran di rumah.
Sekolah sebagai suatu organisasi
pendidikan, penting memperhatikan ke-
mampuan dalam merencanakan dan
mengorganisir pelaksanaan pendidikan
perlu didukung kemampuan dan gaya
kepemimpinan kepala sekolah. Kepemim-
pinan pada hakikatnya merupakan fungsi
inti dalam proses manajemen. Kepala
sekolah harus dapat mengelola sekolahnya
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
90
agar berkembang maju dari waktu ke
waktu. Segenap sumber daya yang ada
harus dilibatkan secara optimal sesuai
dengan potensi dan kompetensinya. Para
guru perlu digerakkan secara efektif dan
hubungan baik antara mereka perlu dibina
agar tercipta suasana yang positif,
menggairahkan, dan produktif. Demikian
pula penataan fisik dan administrasi perlu
dibina agar menjadi lingkungan pendidikan
yang mampu menumbuhkan kreativitas,
disiplin, dan motivasi belajar yang tinggi
bagi siswa.
Gaya kepemimpinan seseorang
merupakan perilaku yang ditampilkan
pimpinan untuk memberikan pengaruh
pada bawahannya. Gaya kepemimpinan
dapat dilihat dari perilaku yang digunakan
pemimpin seorang pada saat mencoba
mempengaruhi perilaku orang lain atau
karyawannya. Sebagai seorang pemim-
pinan harus selalu memiliki kesadaran
bahwa di dalam memimpin sebuah
organisasi pasti sering menghadapi
perubahan-perubahan, baik perubahan
intern maupun perubahan ekstrem. Oleh
karena itu, seorang pimpinan harus sadar
bahwa ia harus memiliki berbagai gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi
organisasi yang dipimpinnya. Setiap
sekolah pasti memiliki keinginan untuk
mewujudkan visi dan misi. Jika setiap
jenjang pendidikan memperhatikan
pemberdayaan SDM dengan baik, maka
kemungkinan besar peningkatan kinerja
guru dapat dicapai dan pada akhirnya akan
meningkatkan mutu pendidikan. Sehingga
kepala sekolah sebagai pimpinan di
sekolah harus mendorong teruwujudnya
visi dan misi sekolah dengan segala
sumber daya yang ada. Mulyasa (2007:
107) mengemukakan bahwa “perilaku
kepala sekolah harus dapat mendorong
kinerja para guru dengan menunjukkan
rasa bersahabat dan penuh pertimbangan
terhadap para guru, baik sebagai individu
maupun sebagai kelompok”.
Setiap kepala sekolah selaku
pimpinan berusaha menempatkan serta
memperlakukan guru dan para, staf, sebaik
mungkin dalam jabatan atau posisi-posisi
dengan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki oleh guru dan staf pegawai yang
ada. Sehubungan dengan hal ini, Robbins
(2006:112) menjelaskan bahwa:
Pemimpin harus mampu membuat
suatu keputusan dalam rangka
mengembangkan suatu proses
dimana ditetapkan suatu pola
tindakan berdasarkan pilihan
antara sejumlah alternatif guna
tercapainya tujuan, sesuatu hasil
yang diinginkan dan perhatian,
memotivasi bawahan untuk
bersama-sama mencapai sasaran
yang telah ditetapkan. Untuk
mencapai keberhasilan seorang
pemimpin harus mampu
mempengaruhi bawahannya,
dengan membuat suatu strategi
atau rencana, menyusun suatu
kebijaksaan dalam rangka
mengantisipasi tantangan,
tanggung jawab dan berusaha
untuk menemukan macam-macam
pola tindakan alternatif dan
menggariskan pedoman petunjuk
dalam mengambil keputusan yang
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
91
akan dilakukan oleh seorang
pimpinan
Gaya seorang pemimpin dalam hal
ini adalah kepala sekolah, sangat
mempengaruhi aktivitas guru, seperti
semangat dalam melaksanakan tugas,
meningkatkan kinerja dan kepuasan dalam
bekerja. Hal ini akan memberi dampak
terhadap peningkatan motivasi dan prestasi
belajar siswa. Kepala sekolah harus
mampu memberi dorongan kepada guru
sehingga mereka memiliki semangat yang
tinggi, percaya diri dalam melaksanakan
tugasnya. Kepala sekolah harus dapat
memberikan motivasi serta berupaya untuk
selalu memberikan kepuasan kerja kepada
guru, sehingga dengan kepuasan kerja
tersebut dapat meningkatkan kinerja guru,
dan akan memberikan kontribusi pada
peningkatan mutu pendidikan.
Kepuasan kerja merupakan sikap
seseorang atau kelompok terhadap
pekerjaan. Keadaan perasaan yang puas
terhadap pekerjaan merupakan bukti
penghargaan yang diterimanya dari
sejumlah aktivitas yang telah diberikan.
Hal ini sesuai sebagaimana dikemukakan
oleh Gibson (2006: 150) : “kepuasan kerja
adalah sikap yang dimiliki pekerja tentang
pekerjaan mereka, merupakan hasil
persepsi mereka tentang pekerjaan”. Jadi
kepuasan kerja merupakan respon emo-
sional dari para pekerja tentang harapan
yang akan didapat dari aktivitasnya.
Motivasi yang ada pada diri se-
seorang merupakan kekuatan pendorong
yang akan mewujudkan suatu perilaku
guna mencapai tujuan pengembangan diri.
Kebutuhan dan keinginan yang ada dalam
diri seseorang akan menimbulkan motivasi
internalnya. Jadi secara singkat dapat
dikatakan dengan pemenuhan kebutuhan
guru oleh pimpinan sekolah merupakan
salah satu hal yang dapat mendorong guru
melakukan pekerjaannya yang menjadi
tanggung jawabnya dengan baik. Semakin
giat guru melakukan pekerjaannya, berarti
semakin mudah untuk mencapai tujuan
organisasi pendidikan.
Di Sabang hanya terdapat dua
Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu
SMA Negeri 1 Sabang dan SMA Negeri 2
Sabang. Kedua SMA ini selalu berupaya
melakukan berbagai cara untuk memper-
baiki sistem tata kelola di sekolah, baik
menyangkut pengelolaan SDM maupun
sumber daya lainnya dalam rangka
perbaikan kinerja sekolah sehingga
melahirkan peserta didik yang bermutu dan
berkualitas. Salah satu permasalahan yang
perlu dicermati yaitu gaya kepemimpinan
kepala sekolah dan kepuasan guru
didorong terus kearah perbaikan karena hal
tersebut akan membawa sekolah menuju
kepada kinerja yang baik.
Berdasarkan informasi dari obser-
vasi awal, di dapatkan beberapa temuan di
lapangan yang cukup mengkhawatirkan
yaitu masih terdapat beberapa guru yang
tidak mau memberikan kontribusinya
terhadap kemajuan sekolah, dengan sering
datang terlambat atau sering tidak hadir
sekolah karena memiliki pekerjaan lain di
luar sekolah. Ketidakdisplinan ini penulis
amati selama kurun waktu yang lama,
disebabkan karena kurang efektifnya gaya
kepemimpinan kepala sekolah dan
rendahnya pemenuhan kepuasan kerja bagi
guru yang seharusnya diberikan oleh
seorang pemimpin kepada bawahannya
(kepala sekolah kepada guru). salah satu
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
92
faktor penyebab rendahnya kinerja Sekolah
ini adalah rendahnya jaminan finansial dan
jaminan sosial yang meliputi sistem,
besarnya gaji, tunjangan, promosi, dan
fasilitas yang diberikan kepada guru
selama ini.
Berdasarkan uraian di atas
penulis merasa tertarik untuk
mengadakan penelitian yang berjudul
“Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja
terhadap Kinerja Guru SMA di Kota
Sabang”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah dikemukakan di
atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah
pengaruh gaya kepemimpinan dan
kepuasan kerja terhadap kinerja Guru
SMA di Kota Sabang”?
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan yang ingin
dicapai melalui penelitian ini adalah
mendapatkan keterangan yang lengkap
dan akurat tentang pengaruh gaya
kepemim-pinan kepala sekolah dan
kepuasan kerja terhadap kinerja Guru
SMA di Kota Sabang.
2. Tujuan Khusus
Sedangkan tujuan khusus yang
ingin dicapai melalui penelitian ini adalah
untuk mengetahui tentang :
a. Pengaruh gaya kepemimpinan
kepala sekolah terhadap kinerja
Guru SMA di kota Sabang.
b. Pengaruh kepuasan kerja
terhadap kinerja Guru SMA di
Kota Sabang.
c. Pengaruh gaya kepemimpinan
kepala sekolah dan kepuasan
kerja terhadap kinerja Guru
SMA di Kota Sabang.
Hipotesis Penelitian
Untuk mempermudah kegiatan
pernyusunan instrumen dan pengumpulan
data perlu dirumuskan hipotesis penelitian
sebagai berikut :
1. Terdapat pengaruh positif dan
signifikan dari gaya
kepemimpinan kepala sekolah
terhadap kinerja Guru SMA di
Kota Sabang
2. Terdapat pengaruh positif dan
signifikan dari kepuasan kerja
terhadap kinerja Guru SMA di
Kota Sabang.
3. Terdapat pengaruh positif dan
signifikan dari gaya
kepemimpinan kepala sekolah
dan kepuasan kerja terhadap
kinerja Guru SMA di Kota
Sabang.
Manfaat Penelitian
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
93
1. Teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini
bermanfaat sebagai bahan kajian bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dalam
bidang administrasi pendidikan, khusunya
tentang kepemimpinan kepala sekolah dan
prilaku guru dalam meningkatkan kualitas
kinerja sekolah sebagai lembaga pendi-
dikan yang memiliki tangungjawab dalam
mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
2. Praktis Secara praktis penelitian ini
diharapkan dapat berguna bagi semua
pihak terutama dalam hal:
a. Memberikan masukan bagi
kepala sekolah dalam rangka
meningkatkan kinerja sekolah
melalui pelaksanaan
kepemimpinan kepala sekolah
yang tepat dan sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
b. Masukan bagi guru dalam melak-
sanakan tugas dan
tanggungjawab-nya sebagai
pendidik di sekolah, agar dapat
meningkatkan kinerjanya bagi
sekolah.
c. Bagi pihak terkait (Dinas
Pendidikan) sebagai bahan
informasi sehingga memberikan
masukan dalam membina kepala
sekolah dan upaya pemenuhan
kepuasan kerja guru di sekolah.
PROSEDUR PENELITIAN
Metode penelitian merupakan
cara ilmiah yang digunakan untuk
mendapatkan data dengan tujuan
tertentu. Pendekatan dalam penelitian
ini adalah pendekatan kuantitatif
dengan menggunakan metode
penelitian deskriptif korelasional.
Margono (2009:56) mengemukakan
bahwa “Pendekatan kuantitatif adalah
suatu proses menemukan pengetahuan
yang menggunakan data berupa angka
sebagai alat menemukan menemukan
keterangan mengenai apa yang kita
ketahui”.
Pemilihan pendekatan
kuantitatif dan metode deskriptif dalam
penelitian ini karena dalam penelitian
yang dilakukan akan menjelaskan
secara empirik pengaruh gaya
kepemimpinan kepala sekolah dan
kepuasan kerja guru terhadap kinerja
SMA di kota Sabang atau dengan kata
lain alasan menggunakan pendekatan
kuantitatif ini yaitu dapat menghasilkan
dan menguji suatu hipotesis mengenai
hubungan antar variabel atau untuk
menyatakan besar kecilnya hubungan
antara kedua variabel. Derajat
hubungan variabel- variabel dinyatakan
dalam suatu indeks yang dinamakan
koeefesien korelasi.
Faktor yang berpengaruh
terhadap faktor yang paling
berpengaruh terhadap besar kecilnya
koefesien korelasi adalah keandalan
instrumen yang digunakan untuk
mengukur variabel- variabelnya. Oleh
karena itu instrumen yang tidak
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
94
memiliki keandalan yang tinggi tidak
mampu mengungkapkan derajat
hubungan yang bermakna atau
signifikan.
Makna suatu korelasi
dinotasikan dalam huruf r (kecil) bisa
mengandung tiga hal. Pertama
kekuatan hubungan antar variabel,
kedua signifikan statistik hubungan
kedua variabel tersebut, dan ketiga arah
korelasi.
Penelitian ini untuk melihat
pengaruh gaya kepemimpinan kepala
sekolah dan kepuasan kerja guru
terhadap kinerja SMA di kota Sabang,
sehingga penelitian ini dilaksanakan di
Sabang yaitu pada SMA Negeri 1
Sabang yang berada di jalan Aneuk
Laot kecamatan Sukakarya dan SMA
Negeri 2 Sabang yang berada di jalan
Tgk. Chik Ditiro kecamatan Sukajaya
Sabang. Sedangkan waktu penelitian
dilakukan mulai dari tanggal Mai 2011
sampai dengan Juni 2011.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini menyajikan
data-data secara kuantitatif, setelah
dilakukan uji validitas dan uji
reliabilitas diketahui bahwa instrumen
penelitian yang diuji validitasnya
ternyata hasilnya semua dari angket
tersebut lebih besar dari rtabel (0,279),
artinya bahwa item-item baik variabel
bebas dan variabel terikat, semua
dinyatakan sahih (valid). Dari hasil uji
reliabilitas, diperoleh bahwa seluruh
item-item tersebut cukup reliabel
(handal) dan konsisten untuk mengukur
variabel-varibel tersebut karena
memiliki nilai cronbach alpha lebih
dari 0,50.
Pada penelitian ini penulis mengolah
seluruh data yang diperoleh dengan
program SPSS versi 13.0 dan hasilnya
menunjukkan adanya pengaruh yang
positif dan signifikan antara gaya
kepemimpinan dan faktor kepuasan
kerja terhadap kinerja SMA di kota
Sabang. Pembahasan penelitian ini
dilakukan dengan maksud untuk
mendeskripsikan variabel-variabel
dalam penelitian yaitu: gaya
kepemimpinan, faktor kepuasan kerja,
dan kinerja guru SMA
1. Pengaruh Variabel Gaya
Kepemimpinan Kepala Sekolah
(X1) Terhadap Kinerja Guru
SMA (Y)
Adapun Indikator gaya
kepemim-pinan meliputi (1) gaya
kepemimpinan delegatif, (2) gaya
kepemimpinan parsi-patif, (3) gaya
kepemimpinan konsultatif dan, (4)
gaya kepemimpinan instruktif. Dari
hasil analisis data penelitian diperoleh
gambaran bahwa nilai maksimum dari
gaya kepemimpinan sebesar 47,5
dengan standar deviasi sebesar 0,440.
Dalam penelitian ini ditemukan adanya
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
95
pengaruh yang positif dan signifikan
antara gaya kepemimpinan kepala
sekolah dengan kinerja guru SMA di
kota Sabang dengan korelasi 0,534
pada tingkat signifikansi 0,000 dalam
hal ini artinya gaya kepemimpinan
kepala sekolah dapat meningkatkan
kinerja guru sebesar 53,4%.
Hasil analisis dari setiap
indikator gaya kepemimpinan kepala
sekolah me-nunjukkan bahwa gaya
kepemimpinan kepala sekolah sangat
mendukung peningkatan kinerja guru
SMA.
Gaya kepemimpinan delegatif
merupakan ciri seorang pemimpin yang
cenderung mendelegasikan wewenang
kepada bawahannya, dimana
pendelegasi-an wewenang ini
dimaksudkan agar staf atau bawahan
merasa diikut-sertakan dalam setiap
tugas dan tanggung jawab. kelebihan
gaya kepemimpinan delegatif adalah
dapat diterapkan dalam suatu
organisasi terutama di lembaga pendi-
dikan, jika lembaga pendidikan
tersebut mempunyai staf dengan
motivasi tinggi dan mempunyai
kemampuan yang tinggi pula, sehingga
pimpinan dapat mendele-gasikali
wewe-nang sesuai dengan bidang dan
kemam-puan para karyawan dalam
menjalankan tugasnya
Gaya kepemimpinan
partisipatif biasanya
mendesentralisasikan wewenang
kepada bawahannya. Keputusan partisi-
patif tidak bersifat sepihak, seperti
halnya dengan delegatif, karena
keputusan itu timbul dari upaya
konsultasi dengan para pengikut dan
keikutsertaan mereka. Para guru
memperoleh informasi dari pemimpin
tentang kondisi yang mempengaruhi
pekerjaan mereka dan didorong untuk
mengungkapkan gagasan dan
mengajukan saran.
Pemimpin dengan gaya
konsultatif dapat dilihat dari cirinya
yaitu jika menghadapi staf yang
memiliki kemam-puan yang kurang
baik, tetapi memiliki motivasi kerja
baik, gaya kepemimpinan konsultatif
paling efektif untuk diterapkan karena
hal ini akan dapat meningkatkan
prestasi kerja dari para karyawan
karena adanya motivasi yang tinggi
dari diri seorang bawahan. Artinya,
pimpinan banyak memberikan
bimbingan sehingga kemampuan staf
secara bertahap me-ningkat.
Sedangkan Ciri dari gaya
kepemimpinan instruktif dapat dilihat
dari sikap pemimpin yang jika
menghadapi staf yang memiliki
kemampuan yang kurang baik dan
produktivitas kerja juga kurang baik,
maka upaya kepemimpinan instruktif
paling efektif. Menurut Zainun (2009:
13) “Seorang pemimpin dapat
melakukan berbagai cara dalam
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
96
kegiatan mempe-ngaruhi atau memberi
motivasi orang lain atau bawahan agar
melakukan tindakan-tindakan yang
selalu terarah terhadap pencapaian
tujuan organisasi”. Sehingga dapat
dimaknai, bahwa pimpinan lebih
banyak memberi petunjuk yang
spesifik dan secara ketat dan
mengawasi staf dalam mengerjakan
tugasnya.
2. Pengaruh Variabel Kepuasan
Kerja (X2) Terhadap Kinerja
Guru SMA (Y)
Dari hasil penelitian dapat
dijelaskan bahwa semua indikator
faktor kepuasan kerja yang diteliti
sangat berpengaruh untuk
meningkatkan kinerja guru SMA di
kota Sabang. Adapun yang menjadi
indikator faktor kepuasan kerja adalah
(1) Isentif, (2) penghargaan, (3)
promosi, (4) kelompok kerja, (5)
kondisi kerja, dan (6) loyalitas.
Dari hasil analisis data
penelitian diperoleh gambaran tentang
nilai maksimum dari faktor kepuasan
kerja sebesar 48,3 dengan standar
deviasi sebesar 0,422 dalam penelitian
ini ditemukan adanya pengaruh yang
positif dan signifikan antara faktor
kepuasan kerja dengan kinerja guru
pada pada SMA di kota Sabang dengan
nilai korelasi 0,663 dengan tingkat
signifikansi 0,000 yang artinya variabel
faktor kepuasan kerja akan mampu
mempengaruhi peningkatan kinerja
guru yaitu sebesar 66,3%.
Hasil analisis dari setiap
indikator faktor kepuasan kerja
menunjukkan bahwa faktor kepuasan
adalah yang paling dominanan
peningkatan kinerja guru SMA. Dalam
hal ini faktor kepuasan kerja adalah
prioritas utama keberhasilan
pendidikan di sekolah, dengan faktor
kepuasan kerja yang baik yang
dirasakan oleh guru maka kinerja guru
tersebut akan meningkat pula,
kepuasan kerja disini bukan hanya
sekedar materi saja tetapi meliputi
perasaan, kesenangan, kenyaman-an
guru dalam menjalankan tugasnya di
sekolah. Sehing-ga dalam menjalankan
tugasnya setiap guru akan memperoleh
hasil yang maksimal. Halini sejalan
dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Robbins (2006:112) bahwa faktor-
faktor yang paling penting dalam
mendorong kepuasan kerja adalah: (1)
kerja yang menantang, (2) ganjaran
yang pantas (upah maupun promosi),
kondisi kerja yang mendukung, dan (4)
rekan sekerja yang mendukung.
Orang yang menyukai
pekerjaan-nya apabila diberikan
peluang kepada mereka untuk
menggunakan keterampilan dan
kemampuan mereka dan menawarkan
keberagaman tugas, kebebasan, dan
umpan balik tentang bagaimana kinerja
mereka, serta adanya pembinaan yang
berkaitan dengan pengembangan
wawasan guru melalui program-
program pembinaan. Hal ini seperti
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
97
pendapat Usman (2012:55) “Melalui
berbagai kegiatan, diharapkan guru
memiliki motivasi untuk berbuat lebih
baik dalam meningkatkan kinerja atau
statusnya sebagai seorang guru, karena
melalui program tersebut guru dihargai
martabat dan haknya dalam
profesinya”.
Selanjutnya pentingnya
dilakukan evaluasi kinerja sebagai
umpan balik terhadap pekerjaan guru
selama ini, sehingga lahirnya
penghargaan terhadap kinerja-kinerja
yang baik. Karena setiap orang
menginginkan sistem pembayaran dan
kebijakan promosi yang adil, sehingga
dalam bekerja mereka akanmelakukan
yang terbaik. Selanjutnya keadaan
lingkungan yang mendukung dan
nyaman juga dianggap perlu dalam
pencapaian kepuasan kerja yang
tujuannya untuk memfasilitasi kinerja
menjadi lebih baik.
Kemudian hasil evaluasi
pekerjaan seseorang tidak boleh
dirahasiakan kepada yang
bersangkutan, akan tetapi dirahasia-kan
kepada orang lain yang tidak memiliki
kepentingan dalam hal ini. Dengan
demikian yang bersangkutan dapat
mengetahui kelemahan-kelemahannya
untuk dapat diatasi, dan diperbsiki di
masa akan datang.
Adapun variabel yang membuat
pekerja saling mendukung di dalam
hubungan kerja antara lain adalah hasil
kerja, yaitu berupa rewars dan biaya
(cost) yang terkait dengan kerja.
Kepuasan kerja dapat diartikan sebagai
sikap umum individu terhadap
pekerjaannya, ini berarti kepuasan
kerja itu sendiri merupakan bagian dan
perilaku organisasi dalam ilmu
administrasi pendidikan. Jadi dapat kita
simpulkan bahwa penilaian seseorang
atas seberapa puas atau tidak puas
dirinya dengan pekerjaan adalah
perhitungan yang sangat sulit dari
sejumlah elemen pekerjaan yang
sensitif. Kepuasan dan ketidakpuasan
kerja seseorang akan sangat tergantung
pada perilaku yang muncul di setiap
individu dalam bekerja.
Mencermati hal tersebut di atas
dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja
adalah salah satu hal yang mempunyai
peran dalam meningkatkan kinerja guru
di sekolah, karena apabila kepuasan
kerja yang dinikmati oleh guru telah
dapat terpenuhi maka dalam bekerja
guru tersebut akan memberikan hasil
yang maksimal atau sebaik mungkin
yang pada akhirnya akan meningkatkan
kinerja dari organisasi tempat mereka
bekerja. Berkaitan dengan itu, guru
akan benar-benar nyaman dalam
bekerja dan dapat meningkatkan
kinerjanya, jika adanya jaminan
kesejahteraan bagi para guru. Menurut
Usman (2012: 51) “Kesejahtraan yang
diperoleh seseorang akan menen-tukan
motivasinya melakukan pekerjaan.
Apabila dalam suatu organisasi, seperti
organisasi pendidikan persekolahan
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
98
selalu dilakukan penilaian terhadap
kesejahteraan yang akan diterima
seseorang. Kesejah-teraan akan
menjadi pertimbangan bagi seseorang
untuk menerima suatu peker-jaan”.
Sehingga pentingnya memperhati-kan
kesejahteraan guru dalam upaya
menjamin kepuasan kerja sebagai
pendidik di sekolah untuk mendorong
peningkatan kinerja guru.
3. Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Kepala Sekolah dan Kepuasan
Kerja Terhadap Kinerja Guru
SMA
Hasil analisis di lapangan
menunjukkan bahwa variabel-variabel
gaya kepemimpinan dan faktor
kepuasan kerja secara simultan dan
parsial mempunyai pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap kinerja
guru. Pengaruh variabel-variabel
tersebut bersifat positif terhadap kinerja
guru dengan korelasi sebesar 0,783.
Besarnya kontribusi dari variabel-
variabel tersebut secara bersama-sama
terhadap variabel perubahan kinerja
guru adalah 78,3% (R2
= 0,783). Secara
teoretis, kinerja selain dipengaruhi oleh
faktor-faktor variabel lain yang
mendukung peningkatan kinerja guru.
Nawawi (2006:71) menjelaskan
bahwa manusia sebagai individu tidak
mungkin bekerja sendiri dalam
mewujud-kan eksistensi organisasi
yang kompetitif, sedangkan di sisi lain
bagaimana sikap bawahan
melaksanakan tugasnya sudah tentu
sangat bergantung pada gaya pemimpin
yang mendesain dan organisasinya.
Sedangkan Robbins (2006: 113)
menyatakan perilaku pemimpin juga
akan sangat menentukan kepuasan
kerja bawahannya. Sehingga
kepemimpinan sangat berpengaruh
terhadap sikap kerja bawahan, yang
juga dapat dicerminkan dari semangat
kerja yang berkaitan dengan ketulusan
hati karena adanya kepuasan kerja
sebagai akibat adanya prilaku yang
membangun dari pimpinan. Dalam hal
ini kinerja SMA akan meningkat
apabila kinerja dari masing-masing
guru juga meningkat. Salah satu cara
untuk meningkatkan kinerja guru yaitu
apabila atasannya mau mengerti dan
ramah, suka memberi pujian bila guru
melakukan kerja yang baik dan juga
mau mendengar keluhan dari
bawahannya.
Tingkat penghasilan sering
disebut sebagai salah satu variabel
determinan dalam meningkatkan
kinerja, karena tingkat penghasilan erat
kaitannya dengan pemenuhan
kebutuhan hidup, dan hal ini
merupakan salah satu unsur yang
terdapat dalam faktor kepuasan guru.
Karena bila tingkat penghasil guru
masih rendah atau dengan kata lain
kesejahteraan guru belum baik, maka
akan berdampat pada kinerja guru di
sekolah, hal ini seperti pendapat Usman
(2012: 52) “Dalam kondisi
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
99
kesejahteraan guru belum baik, harus
mencari tambahan penghasilan diluar
lembaga pendidikannya ditunjang pula
oleh kondisi yang tidak kondusif, tidak
memberi support untuk terciptanya
perilaku yang normatif, maka
perubahan perilaku sangat sulit
diharapkan. Sehingga pentingnya
memperhatikan kesejahteraan guru
dalam upaya menciptakan kepuasan
kerja untuk meningkatkan kinerja para
guru di sekolah, selain kepemimpinan
dari kepala sekolah sebagai pimpinan
di suatu lembaga pendidikan.
Dengan demikian dapat
disimpul-kan bahwa antara gaya
kepemimpinan kepala sekolah dan
kepuasan guru berpengaruh pada hasil
peningkatan kinerja guru, karena
apabila gaya kepemimpinan sorang
atasan disenangi oleh bawahan sudah
tentu guru merasa senang dan selalu
berusas memberikan hasil kerja yang
sebaik mungkin, selanjutnya apabila
semua kebutuhan guru sudah terpenuhi
maka kinerjanyapun akan meningkat
sehingga dengan demikian akan
meningkatkan kinerja dari organisasi
tempat mereka bekerja.
KESIMPULAN
1. Hubungan gaya kepemimpinan
kepala sekolah (X1) dan kepuasan
kerja (X2) berpengaruh 78,3% untuk
meningkat-kan kinerja guru (Y)
dalam melaksa-nakan tugasnya
untuk peningkatan kinerja SMA,
secara kuantitatif tingkat hubungan
antara kedua variabel terhadap
kinerja guru tergolong tinggi.
2. Berdasarkan hasil pengujian statistik
uji F menunjukkan bahwa variabel
gaya kepemimpinan kepala sekolah
dan kepuasan kerja guru secara
bersama-sama berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kinerja guru
SMA. Hal ini dapat dilihat dari hasil
Fhitung > Ftabel yaitu Fhitung sebesar
52,918 sedangkan Ftabel sebesar 3,13.
artinya secara statistik membuktikan
bahwa hipotesis alternatif (Ha) yang
digunakan dapat diterima sebaliknya
hipotesis nihil (Ho) ditolak.
3. Pada penelitian ini bahwa variabel
yang dominan mempengaruhi
kinerja guru SMA di kota Sabang
adalah kepuasan kerja guru yaitu
sebesar 66,3% dan kemudian diikuti
variabel gaya kepemimpinan kepala
sekolah sebesar 53,4%.
4. Hasil analisis regresi linier
menunjuk-kan bahwa gaya
kepemimpinan kepala sekolah akan
mempengaruhi kinerja guru sebesar
30,7% sedangkan kepuasan kerja
mempengaruhi kinerja guru sebesar
44%. Artinya kedua variabel
penelitian tersebut dapat
mempengaruhi peningkatan kinerja
guru, akan tetapi diharapkan adanya
peningkatan yang lebih baik lagi
sehingga ke depan kinerja guru
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
100
SMA akan menjadi lebih baik dan
sesuai dengan yang kita harapkan.
IMPLIKASI
1. Kepala sekolah sebagai pemimpin
dapat mempengaruhi kinerja dan
kepuasan guru tersebut dalam
melaksanakan tugasnya, sehingga
dengan gaya kepemimpinan yang
efektif dapat menggerakkan
personil sekolah dalam memajukan
pendidikan di sekolah yang
dipimpinnya. Kepala sekolah
sebagai pimpinan di sekolah
memiliki peranan yang sangat
penting dalam mempengaruhi,
menggerakkan dan mengendalikan
aktivitas bawahan dengan
mengadakan suatu pendekatan
sesuai arah yang telah ditetapkan
dalam upaya memenuhi kebutuhan
guru dan menerapkan perilaku adil
kepada bawahan.
2. Kepuasan kerja guru akan
meningkat apabila guru merasa
dihargai dan diberikan suatu
penghargaan yang layak dalam
setiap menjalankan tugasnya.
Untuk meningkatkan kinerja guru
SMA melalui kepuasan kerja.
Kepala sekolah hendaknya
menyiap-kan suatu metode rewards
(penghar-gaan) yang sesuai
berdasarkan kinerja yang telah
dilakukan oleh guru-guru di
sekolah.
3. Kinerja guru akan meningkat
apabila dalam bekerja huru tersebut
memperoleh kepuasan kerja yang
layak sebaliknya kinerja guru akan
menurun apabila guru tersebut tidak
memperoleh kepuasan dalam
menjalankan tugasnya.
4. Apabila kinerja guru di suatu
sekolah baik maka kinerja sekolah
juga akan meningkat, sebailknya
apabila kinerja guru di suatu
sekolah kurang maksimal maka
kinerja sekolah tersebut tidak akan
memberikan hasil yang diinginkan.
SARAN
1. Kepala sekolah harus mampu
memberikan motivasi kerja secara
kekeluargaan kepada guru-guru
yang belum menunjukkan prestasi
kerja agar bisa meningkatkan
kinerjanya yaitu dengan
memperhatikan kepuasan kerja bagi
guru tersebut.
2. Guru diharapakan dapat bekerja-
sama dengan kepala sekolah dan
pihak stakeholder lainnya, dalam
melak-sanakan tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pendi-
dik, serta terus meningkatkan
kompetensinya dalam meningkatkan
kinerjanya bagi sekolah.
3. Kepala sekolah selaku manajer di
sekolah harus bisa menghargai dan
memahami kebutuhan guru dalam
meningkatkan kepuasan kerja,
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
101
karena kepuasan kerja yang rendah
dapat mengakibatkan turunnya
motivasi kerja guru sehingga
berdampak pada rendahnya kinerja
sekolah.
4. Untuk meningkatkan kinerja guru
SMA melaui kinerja guru, maka
peran kepala sekolah selaku
pemimpin perlu lebih ditingkatkan
lagi, karena dengan peran
kepemimpinan yang baik,
diharapkan dapat membangkitkan
motivasi kerja guru menjadi lebih
baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abor, A. Rahman. (2006). Kepemimpinan Pendidikan Bagi Perbaikan dan
Peningkatan Pengajaran. Yogyakarta: Nur Cahaya.
As’ad, Mohammad. (2007). Psikologi Industri, Yogyakarta : Liberty.
Arikunto. Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi
Revisi VI. Jakarta: Rineka Cipta.
Arianti, Elli. (2009). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Instruktif, Konsultatif,
Parsipatif, dan Delegatif Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru pada Man
Kota Banda Aceh. Tesis. Banda Aceh.
Asropi (2007) Manajemen Sumber Manusia Daya Manusia, Teori dan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Ary, Donald. (2005). Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Alih Bahasa:
Arief Furchan. Surabaya Usaha Nasional.
Asmara, U.H. (2006). Pengaruh Tindakan Kepemimpinan Kepala Sekolah dan
Kematangan Kerja Karyawan. Tesis. FPS-IKIP Bandung.
Blanchard, K. (2007). Leading at a Higher Level. Upper Sadle River,. New
Jersey: Prentice Hall.
Blanchard, K. & Hersey, P. (2007). Management of Organizational Behavior
Utilizing Human Resource. 9th Edition. London: Prentice-Hall
International Editions.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
101
Brown, U.J. (2007). Organizational Commitment in Higher Education, Working
paper. Mississippi: Jackson State University.
Bush, T & Coleman, M. (2008). Leadership and Strategic Management in
Education. London: A Sage Publications Company.
Depdiknas (2006) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2006
Tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas
Darma , Surya. (2006). Manajemen Kinerja, Falsafah, Teori dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Davis, K dan Newstrom. (2007). Perilaku Manajemen Bekerja. Jakarta: Erlangga.
Dessler, Gary. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Kesepuluh, Jilid
2. Jakarta: Salemba Empat
Effendi, Sofian, 2001, Analisis Kebijakan Publik, Modul Kuliah MAP Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Fathoni, Abdurrahman. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Gibson, Ivancevich. (2006). Organisasi Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Handoko (2008) Manajemen. Yokyakarta: PT. BPFE
Hanim, Yusliza. (2009). Pengaruh Faktor Kepuasan Kerja pan Tanggung Jawab
Terhadap Kinerja Guru Pada SMK Negeri 2 Langsa. Tesis. Banda Aceh.
Harun, Cut Zahri. (2010). Manajemen Sumber Daya Pendidikan. Yogyakarta:
Pena Persada Dekstop Publisher.
Haryana, Gani. (2007). Study Tentang Gaya Kepemimpinan Gaya Wanita Kepala
Sekolah dan Hubungannya Dengan Keefektifltas Organisasi Sekolah Pada
Sekolah Dasar di Kotamadya Malang. Malang : Pascasarjana IKIP Malang.
Kartono, Kartini. (2008). Pemimpin Dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Kurniawati, Elli. (2008). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Guru
pada SMA Negeri Banda Aceh. Tesis. Banda Aceh.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
102
Luthans, Fred & Davis, K. (2006). Organizational Behavior. Sixth Edition,
International Edition. Singapore: McGraw-Hill.
Margono, S. (2009). Metodelogi penelitian. Jakarta: rineka cipta.
Mulyasa, E. (2007). Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Rosda Karya
Nawawi, Hadari. (2006). Administrasi Personil Untuk Peningkatan Produktivitas
Kerja. Jakarta: C V. Haji Masagung.
Purwanto, M. Ngalim (2005) Kepemipinan Kepala Sekolah. Edisi Revisi.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
Rivai, Veithzal. (2007). Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi Edisi Kedua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Robbins, P. Stephen. (2006). Perilaku Organisasi Edisi Lengkap. Jakarta:
Salemba Empat.
Sardiman, N. (2005), Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Siagian, P. Sondang. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka
Cipta
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alphabeta.
Umar, Husein. (2007). Riset sumber daya manusia dalam organisasi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Usman, Nasir. (2012). Manajemen Peningkatan Kinerja Guru. Konsep, Teori, dan
Model. Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Usman, Nasir. (2007). Manajemen Peningkatan Kinerja Guru. Bandung: Mutiara
Ilmu.
Usman, Husaini. (2009). Manajemen Teori, Praktik, Dan Riset Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara
Wahyono, Teguh (2006) Analisis Data Statistik dengan SPSS. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
Wibowo. (2007). Manajemen Kinerja. Jakarta: Rineka Cipta
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
103
Wirawan. (2006). Kapita Selekta Teori Kepemimpinan: Pengantar untuk Praktek
dan Penelitian. Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia & UHAMKA Press.
Wahjosumidjo. (2007) Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teoritik dan
Permasalahannya. Edisi Revisi Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wirosardjono, S. (2008). Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia
Yaverbaum, E dan Sherman, E. (2008). Everthing Leadership Book. Second
Edition. Adams Media: Avon, Massachusetts.
Yukl, Gary A. (2008). Leadership In Organization. New York: Prentice-Hall Inc.
Zainun, Bukhari (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : PT. Toko
Gunung Agung
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
104
PEMBERANTASAN HAMA PADA TANAMAN MANGGA DENGAN
MENGGUNAKAN ARUS LISTRIK
Drs. Zulkarnaini, M.Si.
Dosen FKIP Universitas Abulyatama
Abstrak
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui metode pemberantasan hama
pada tanaman mangga dengan menggunakan arus listrik. Penelitian ini
dilaksanakan di Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan yang
melibatkan sebanyak 88 tanaman mangga ( 44 kelompok kontrol dan 44
kelompok perlakuan ) pada setiap rumah penduduk dalam kecamatan tersebut.
Pelaksanaan penelitian direncanakaI selama satu bulan. Penelitian ini sepenuhnya
menggunakan metode eksperimen dengan memanfaatkan seperangkat alat ukur
arus listrik, tegangan, dan hambatan listrik. Prinsip dasar peralatan ini
menggunakan tegangan listrik untuk pembasmian hama tanaman mangga.
Keberhasilan pelaksanaan penelitian ini digunakan statistik uji t pada taraf
signifikansi 5% antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan menggunakan tegangan listrik
pada tanaman mangga, dapat mematikan hama tanaman mangga, terutama hama
penggerek batang yang terdapat di dalam batang tanaman, yang ditandai dengan
tumbuh kembali daun segar dan berwarna hijau serta berproduksi secara maksimal
tanpa ada ranting atau kanopi yang lapuk atau patah.
Kata kunci : Tanaman mangga, arus listrik, hama tanaman, dan pembasmian hama
I. PENDAHULAN
Masyarakat Kecamatan
Labuhan Haji Tapaktuan Kabupaten
Aceh Selatan sudah berpuluh tahun
menanam mangga dipekarangan
rumah dan di areal kebun-nya. Sifatnya
yang mudah tumbuh, berdaun rindang
dan memiliki banyak varietas dengan
buah yang beraneka rasa, inilah yang
menyebabkan populernya tanaman
mangga di Kecamatan tersebut.
Saat ini tidak kurang 80%
kepala keluarga masyarakat Kecamatan
Labuhan Haji menanam mangga.
Mereka tersebar secara merata di
berbagai desa, dengan mata pencairan
sampinganya adalah menanam mangga.
Kekuatan ekonomi keluarga mereka
disamping bercocok tanam padi dan
budidaya pala mereka juga menanam
mangga. Dapat dibayangkan jika hasil
panen mangga banyak dan berkualitas,
tentu pendapatan mereka meningkat,
maka gaya dan pola hidup mereka akan
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
105
berubah. Hasil wawancara
penulis dengan petani mangga
didapatkan bahwa, untuk satu pohon
yang bebas dari hama dan berdiameter
30 cm, maka buah mangga untuk sekali
petik dapat berjumlah 2 hingga 3 ton.
Kalaulah rata –rata harga jual per kilo
Rp. 6.000 saja, maka petani tanaman
mangga berhak mendapat keun-tungan
untuk satu pohon Rp. 12.000.000 - Rp.
18.000.000. Hitungan tadi hanya
terjadi di atas kertas saja, karena yang
terjadi di masyarakat justru sebaliknya.
Sesungguhnya mereka sangat
iri dengan membanjirnya mangga-
mangga inpor yang tersebar di pasar-
pasar tradisional yang rasanya enak
dan buahnya besar-besar serta cantik-
cantik. Sementara hasil panen mangga
mereka , dimana berpuluh tahun
membanting tulang , namun untuk
mendapatkan seperti mangga impor
hanya untuk satu musim saja, sungguh
merupakan sebuah impian belaka.
Masyarakat setempat punya
alasan yang kuat, kenapa harus
menanam mangga. Disamping harga
jual yang relatif tinggi dan syarat
tumbuh yang terpenuhi serta
masyarakat disana juga sudah paham
tentang manfaat yang dikandung oleh
buah mangga bagi kesehatan manusia.
Menyangkut syarat tumbuh
misalnya; ketinggian 0 – 500 dpl dapat
menghasilkan buahnya yang lebih
bermutu dan jumlahnya yang lebih
banyak dari pada didaratan tinggi.
Parameter lain adalah tanah; untuk
budidaya mangga diperlukan tanah
gembur mengandung pasir dan
lempung dalam jumlah yang seimbang.
Selanjutnya dikatakan bahwa, suhu
optimum untuk pertumbuhan mangga
adalah berkisar 27°C – 38°C. Ketiga
syarat tumbuh di atas sangat terpenuhi
bagi tanaman mangga di Kecamatan
Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan.
Atas pertimbangan itu, disertai
munculnya motivasi masyarakat
setempat serta berbagai bentuk
penyuluhan dari Dinas Pertanian dan
Peternakan, maka masyarakat setempat
secara beramai-ramai ikut menanam
mangga, baik dipekarangan maupun di
areal perkebunanya, dengan harapan
agar berbuah banyak serta berkualitas
sehingga pendapatan keluarga mereka
meningkat. Namun yang terjadi
dilapangan hingga saat ini, adalah
sebuah kekecewaan yang berat karena
hasil yang didapatkan berbanding
terbalik. Mereka telah mengeluarkan
modal, tenaga serta mengorbankan
waktu untuk kemakmuran mereka
sendiri, tetapi yang terjadi diluar
dugaan, dimana semakin hari tanaman
mangga semakin tidak produktif, malah
mengalami kematian. Lebih celaka
lagi adalah, satu demi satu ranting
tanaman mangga jatuh berikut
daunnya, hingga akhirnya batang
mangga rubuh begitu saja.
Pertanyaannya adalah kenapa bisa
terjadi demikian? jawabannya adalah,
adanya serangan hama penyakit yang
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
106
menyerang, mulai dari batang hingga
buahnya, sebagai akibat dari masih
rendahnya kesadaran para petani
dalam memelihara tanaman dan
pemahaman pengetahuannya. Atas
dasar itu, penulis memberi solusi
dengan cara memberikan arus listrik
pada tanaman mangga yang
bertegangan 220 Volt. Dengan cara
tersebut, ternyata tanaman mangga
akan nampak segar, yang ditandai
dengan daunnya yang berwarna hijau
dan dahan tumbuh bertambah banyak,
yang pada akhirnya buah yang
dihasilkan semakin banyak serta
berkualitas, sehingga kita lebih siap
untuk menyambut pasar bebas,
khususnya mengekspor buah mangga
yang berkualitas dan mengantisi-pasi
muncul serta berkembangnya berbagai
hama penyakit.
2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan
masalah dalam tulisan ini adalah :
a. Bagaimanakah penerapan
metode kejutan listrik pada
pemberantasan hama penggerek
batang tanaman mangga.
b. Bagaimanakah efektifitas
penerap-an metode kejutan
listrik untuk pemberantasan
hama penggerek batang
tanaman mangga
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Hama Mangga
Hama tanaman adalah gangguan
pada tumbuhan tanaman yang
disebabkan makhluk hidup lain dengan
cara memakan bagian dari tanaman
tersebut. Hama mangga yang selama
ini sudah dikenal oleh masyarakat
adalah sebagai berikut :
a. Wereng mangga (Indeocerus
niveosparpus, Ideocerus
clypealis, I. atkinsoni)
Gejala pohon mangga yang
terserang hama ini adalah
terhambatnya pertumbuhan
pucuk daun, bunga, dan
buah karena wereng
mengisap cairan pucuk
muda, bunga dan buah.
Selain mengisap cairan,
hama ini mengeluarkan
cairan manis yang dapat
menjadi media baik untuk
pertumbuhan cendawa
jelaga (Capnoduim
mangiferum dan Meliola
mangiferae), yang dapat
menyebabkan kematian bagi
buah mangga muda. Cairan
manis ini juga mengundang
semut api untuk memakan
tunas daun atau kuncup.
Cairan yang dikeluarkan
hama ini akan membeku
dan membentuk jamur
kerak hitam.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
107
Serangan terjadi pada
saat malai bunga stadia
bunga mulai memanjang
membentuk buah. Nimfa
dan wareng dewasa
menyerang secara bersama
dengan mengisap cairan
pada bunga, sehingga bunga
menjadi kering, penyer-
bukan dan pembentukan
buah terganggu kemudian
buah muda akan mati.
Serangan parah terjadi jika
didukung cuaca panas yang
lembab. Hama ini dapat
mengundang tumbuh dan
berkembangnya penyakit
embun jelaga ( sooty mold )
dengan dikeluarkan embun
madu yang menyebabkan
phytotoxid pada tunas,
daun, dan bunga.
b. Penggerak pucuk
Gejala yang timbul dari
serangan hama penggerak
pucuk adalah bagian pucuk
daun digerek hingga menjadi
berkerut dan kering karena
cairan makanan tidak mencapai
bagian yang digerek.
Penggerek pucuk ini memakan
daun muda dan pucuk daun
sehingga pada bagian ini
terlihat habis.
Hama ini menggerek
pucuk yang masih muda ( flush
) dan malai bunga dan
menggerek tunas atau mulai
menuju ke bawah. Tunas daun
atau malai bunga menjadi layu,
kering akibatnya rusak,dan
kemudian mati.
c. Lalat Buah ( Bractocera
dorsalis, Dacus dorsalis )
Gejala yang ditimbulkan
hama lalat buah adalah titik
hitam kecil pada serangan
awal. Perkembangan ulat
ter-jadi pada waktu
pematangan buah. Di
sekeliling titik hitam lama –
kelamaan menguning dan
selanjutnya buah mulai
membusuk. Buah busuk
men-jadi tanda terjadinya
perkem-bangan larva.
Serangan lalat buah bersifat
aggravator, yaitu
memungkinkan serangan
hama sekunder seperti
jamur dan bakteri. Karena
buah jatuh, produktivitas
pohon jadi menurun.
d. Penggerek cabang
(Cryptorrhynchus
goniocnemis)
Gejala serangan hama
penggerek cabang adalah
tajuk rusak, cabang patah,
dan pada patahan terlihat
liang peng-gerek, bekas
hama ini merusak. Dahan
yang mati kelihatan
berlubang dan
mengeluarkan getah, bila
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
108
dibelah tampak lubang yang
besar.
e. Kepik mangga/penggerak
buah (Cryptorrhynochus
gravis)
Hama kepik mangga
me-nyerang buah dan masuk ke
dalam buahnya. Gejala
serangan hama ini adalah, buah
kelihatan berlubang-lubang,
sedangkan bila serangan pada
buah muda menyebabkan buah
gugur sebelum waktu petik.
Pengendaliannya dengan
menggu-nakan semut merah
yang dapat menyebabkan kepik
mangga ini tidak bertelur.
f. Kutu perisai
Gejala serangan yang
ditimbulkan kutu perisai
adalah daya tahan pohon
menjadi hilang atau lemah
sekali, pertumbuhan
terhambat, daun menjadi
kuning, dan akhirnya pohon
mati. Serangan hama ini
terjadi pada pohon mangga
yang masih muda yaitu pada
masa pertumbuhan awal.
g. Bubuk buah mangga
Hama bubuk buah
mangga menyerang buah
yang besar sampai tunas
muda. Gejala yang timbul
adalah kulit buah kelihatan
normal, bila dibelah terlihat
bagian dalamnya dimakan
bubuk buah ini.
h. Bisul daun (Procontarinia
matteiana )
Gejala hama bisul daun
adalah daun menjadi
berbisul dan daun berwana
coklat, hijau, atau
kemerahan.
i. Tungau (Paratetranychus
yothersi, Hamitarsonemus
latus)
Tungai menyerang daun
mangga yang masih muda,
selanjutnya menyerang
permu-kaan daun mangga
bagian bawah. Hama ini
menyerang rangkaian bunga
sehingga produksi mangga
menjadi rendah.
j. Codot
Hama codot menyerang
pohon mangga dengan
memakan buah mangga
pada malam hari, dalam
jumlah kecil tidak
bermasalah, tetapi dalam
jumlah kumulatif, produksi
buah menjadi rendah.
2. Perameter – parameter yang
mempengaruhi syok listrik
Syok listrik serius, apabila arus
melewati body / tanaman
semakin besar. Menurut hukum
Ohm, intensitas arus listrik
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
109
tergantung kepada tegangan dan
tahanan yang ada. (I = V/R)
berarti tegangan penting dalam
menentukan beberapa arus yang
dapat dilewati oleh tahanan
yang diberikan oleh pokok
tanaman. Disamping itu ada
pula parameter-parameter lain
yang turut berperan
mempengaruhi tingkat syok (
J.F. Gabriel, 1996 ).
Dari sudut arus.
a. Tanaman akan menderita
syok lebih serius pada
tegangan 220 volt dari pada
110 volt, oleh karena kuat
arus pada tegangan 220 volt
lebih besar daripada
tegangan 110 volt, dengan
catatan nila R sama.
b. Basah tidaknya kulit
tanaman.
Kulit yang basah akan
memudahkan arus listrik
melewai batang tanaman.
Ini dapat dimengerti, karena
kulit yang basah tahanannya
jauh lebih kecil bila
dibandingkan dengan kulit
yang kering.
Selanjutnya, Hukum Joule,
energi listrik yang dihasilkan oleh
suatu sumber listrik sebanding dengan
kuadrat arus, sebanding dengan
hambatan penghantar dan sebanding
pula dengan lamanya arus mengalir.
W = 0,24I2
Rt
I = Kuat arus ( Ampere )
W = Energi listrik ( Joule )
R = Hambatan ( Ohm )
t = Waktu ( sekon )
Dalam percobaan Joule di atas, energy
listrik berubah menjadi energy kalor.
Joule mendapatkan bahwa 1 Joule = 0,
24 kalori, (Diana Barsella, 2010)
3. Pemberantasan Hama
Ada beberapa peneliti yang
telah melakukan penelitian
berkenaan dengan pemberatsan
hama pada beberapa tanaman
mangga. Penelitian A. Halim, 2008
mengatakan bahwa tanaman
mangga akan terhindar dari ulat jika
diberikan kejut listrik + 80 volt
dengan durasi waktu lebih kecil 15
menit.
Hasil yang sama juga pernah
dilakukan oleh Samsul Bahri ( 2009
) pada tanaman jeruk manis dan
jeruk purut, dimana tanaman
tersebut diberi perlakuan berupa
kejutan listrik yang bertegangan +
50 volt dengan lama waktu dibawah
13 menit, hasilnya sangat luar biasa,
di mana sebelumnya banyak daun
dimakan ulat, namun dalam
beberapa bulan ke depan, kelihatan
daun-daun mudanya mulai muncul
dan tanaman tersebut hidup sangat
segar dan berdaun lebat.
Yenni Tirtasari (2011),
Alumni Mahasiswa Program Studi
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
110
Biologi Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas
Abulyatama, pernah menghasilkan
sebuah penelitian yang
berhubungan dengan ulat pada
tanaman mangga. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa
mangga dengan cara diberikan kejut
listirk hidup subur dan buahnya
relatif banyak.
Nurmiati (2010), Alumni
Universitas Abul Yatama
mengatakan bila kejut listrik
diberikan pada tanaman keras,
maka akan mengakibatkan bebagai
hama pada tanaman keras tersebut
mati, sehingga memungkinkan
tanaman hidup sehat dan berbuah
lebat.
Kejut listrik juga pernah
dilakukan oleh Hans Van Etten (
2008) untuk meningkatkan produksi
tanaman obat. Caranya adalah
dengan pemberian arus listrik
beberapa mili ampere kepada
tanaman obat jenis tertentu
sehingga dapat diketahui
kandungan zat kimia yang
berkhasiat meningkat. Hans Van
Etten dan Timnya mencoba pada 8
spesis tanaman, antara lain dari biji
pagoda dari Jepang hingga biji-
bijian. Masing-masing akarnya
diberi aliran arus listrik 30 mili
ampere. Setelah diamati dalam
waktu tertentu, tujuan tanaman
menghasilkan
Senyawa obat 20 kali lipat daripada
perlakuan normal. Sementara satu
tanaman menghasilkan peningkatan
hingga 168 kali lipat.
Dengan cara yang sama juga,
Zulkarnaini ( 2010 ) pernah
membuat penelitian tentang
pemberantasan ulat pada tanaman
mangga dengan menggunakan
aliran arus listrik. Hasilnya adalah
ulat pada tanaman mangga punah
dan saat musim panen tiba buah
yang dihasilkan besar-besaran dan
berkualitas sehingga para petani
mangga mendapat keuntungan yang
banyak dari hasil penjualan.
Selanjutnya, Zulkarnaini (
2009 ) menghasilkan sebuah
peneltian untuk pemberantasan
hama pada pohon kelapa di seluruh
Kecamatan Tanah Jambo Aye
Kabupaten Aceh Utara, di mana
pohon kelapa dalam jumlah areal +
1 ha diserang hama yang
ditunjukkan oleh daun kelapa habis
dimakannya dan pucuk kelapa
berwarna kuning. Jika ini dibiarkan
maka dalam waktu tidak lama
pohon kelapa akan mati atau
tumbang satu persatu. Penulis
mencoba untuk memberikan kejut
listrik pada setiap pohon kelapa
dengan tegangan 220 volt, ternyata
hasilnya di luar dugaan di mana
dalam waktu 7 minggu daun-daun
kelapa sudah nampak segar
kembali dan seiring dengan
perjalanan waktu, pohon kelapa
tumbuh normal seperti sedia kala
dan hasilnyapun tidak mengece-
wakan.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
111
III. TUJUAN DAN MANFAAT
PENELITIAN
1. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah penggunaan
arus listrik pada tanaman mangga
dapat memberantas hama,
khususnya hama penggerek batang
mangga.
2. Manfaat
Manfaat yang didapat dari hasil
penelitian ini adalah terjadinya
peningkatan ekonomi bagi petani
tanaman mangga sebagai akibat
produksi buah mangga yang
meningkat dengan menguasai
metode pemberantasan hama yang
bernuansa teknologi tepat guna dan
sangat sederhana.
IV. METODE PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Metode yang dilakukan untuk
pemberantasan hama pada tanaman
mangga adalah diawali dengan cara
menyapu batang dan daun dengan sapu
lidi biasa yang telah diikat dengan kayu
panjang atau bambu. Tujuannya adalah
agar semut kerangket yang hidup disela
daun dan semut merah yang dapat
menyebabkan penggerek buah tidak
bertelur serta dapat jatuh ke tanah
sebelum diberikan kejutan listrik. Jika
ketinggian pohon 3 meter berarti
membutuhkan waktu 30 menit per
tanaman, maka selesailah penyapuan
tersebut.
Langkah berikutnya adalah pada
setiap pohon di pasang paku sebanyak
2 biji yang berukuran 3 inci. Kedua
paku tersebut di pasang pada tanaman
mangga bagian atas dan bawah
tanaman mangga. Selanjutnya, pada
kedua paku tersebut diikat wayer listrik
untuk seterusnya dialirkan arus listrik
bertegangan 220 Volt. Biarkan 1-2
jam, tergantung umur tanaman mangga,
lalu arus listrik diputuskan agar jangan
berpengaruh pada pertumbuhan
tanaman mangga. Disarankan pasca
penggunaan metode ini, petani tanaman
mangga memberikan pupuk pada setiap
tanaman mangga.
2. Analisis Data
Data yang diperoleh, dianalisis
dengan menggunakan statistik
deskriptif dan inferensi. Hasil analisis
data akan memberikan informasi
tentang keampuhan metode
pemberantasan hama dengan
menggunakan metode aliran arus
listrik. Disamping itu juga akan di
analisis keterkaitan antara kuat listrik
dengan lama waktu pembasmian hama.
Berdasarkan data yang di dapat dari
kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan akan dilakukan uji-t pada
taraf signifikansi 5%. Hasil uji t akan
menggambarkan keampuhan metode
yang dikembangkan dalam penelitian
ini.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Diawali dengan pengumpulan
data dari hasil percobaan yang
dilakukan pada tanaman mangga untuk
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
112
selanjutnya di analisa dengan
menggunakan uji – t pada taraf
signifikansi 5% antara kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan.
Data-data yang dimaksud dicari rata-
rata, standar deviasi, varian dan
seterusnya untuk kemudian
dimasukkan dalam sebuah persamaan
yang sering dikenal dengan uji –t.
Berdasarkan hasil uji t (t-hitung)
dibandingkan dengan t-tabel untuk
selanjut dianalisa guna mendapatkan
sebuah keputusan .
Berikut ini akan ditampilkan
beberapa parameter angka, antara lain
selang kepercayaan o dan 1 serta to
untuk 1 dan to untuk o. Nilai
kepercayaan adalah 18,744 o
24,154 dan -7,691 1 -3,993.
To untuk 1 = -6,659 dan to untuk o
= 16,673. Nilai-nilai di atas
dimasukkan ke dalam tabel Anova,
seperti berikut ini :
Model Sum of Square Df Mean Squae F Sig
Regresion 29,429 1 24,429 44,337 0,000
Residual 7,301 11 0,664
Total 36,730 12
Dengan mengkombinasikan nilai-nilai
di atas maka didapatlah hasil akhir
untuk diambil sebuah keputusan yaitu
terdapat perbedaan yang signifikan
antara pemberian tegangan listrik
dengan tanpa pemberian tegangan
listrik.
Hal positif yang sangat
menguntungkan masyarakat adalah :
a) Tanaman mangga terhindari
dari berbagai hama, pohonnya
dapat segar kembali, berbuah
banyak serta berkualitas
sehingga harga jual meningkat.
b) Mendapatkan suatu metode
yang tepat, yaitu pemberantasan
hama mangga dengan
menggunakan arus listrik.
c) Menghasilkan suatu artikel
ilmiah yang terkait dengan
bidang yang dikaji
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan.
Ada beberapa kesimpulan
yang dapat dihasilkan
sehubungan dengan telah
selesainya penelitian ini :
a) Tanaman mangga terhindari
dari berbagai hama,
pohonnya dapat segar
kembali, berbuah banyak
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
113
serta berkualitas sehingga
harga jual mening-kat.
b) Mendapatkan suatu metode
yang tepat, yaitu pemberan-
tasan hama mangga dengan
menggunakan arus listrik.
c) Menghasilkan suatu artikel
ilmiah yang terkait dengan
bidang yang dikaji
2. Saran
Saran dalam penelitian ini
adalah, menyangkut metode
yang dikem-bangkan agar dapat
diterapkan pada jenis tanaman
lain yang banyak terdapat di
kawasan Kabupaten Aceh
Selatan, misalnya: tanaman
pala, kelapa sawit dan coklat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Halim, 2008. Kejut Listrik Bertegangan Rendah dapat Mematikan Ulat pada \
Tanaman Mangga : Wacana Kependidikan.
Anonymous (tt tahun). Pengenalan dan Pengendalian Hama dan Penyakit
Tanaman Mangga, (Online), (http://id.shvoong.com, diakses 5 Mei 2009).
Bappenas, 2000. Mangga,(Online), (http ://www.warintek,ristek.go.id, diakses 8
Maret 2009).
Hans Van Etten, 2008. Kejut Listrik Tingkatkan Khasiat Tanaman Obat, (Online),
http://kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.03.20214067&channel=I&mm=
53&idx=71.
Samsul Bahri, 2009. Pengaruh Arus Listrik Pada Tanaman Jeruk Nipis Dan Jeruk
Purut Dengan Menggunakan Tegangan Rendah : Wacana Kependidikan.
Yenni Tirtasari, 2009. Keju Listrik Pada Tanaman Mangga dapat Meningkatkan
Produksi Buahnya. Skripsi Sarjana Tidak Diterbitkan, Universitas
Abulyatama.
Zulkarnaini, 2009. Pemutusan Siklus Hama Pada Pokok Kelapa Dengan
Tegangan 220 Volt : Tasimak
Zulkarnaini, 2009. Pemberantasan Ulat dengan Mnggunakan Arus Listrik pada
Pokok Mangga : Tasimak.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
111
Learning English Over The Air – A case study of Nikoya Radio FM
Ema Dauyah, M.Ed.
ABSTRACT
The purpose of this study is to see whether an English radio program
would affect the participants’ achievement and also to find out whether there is a
correlation between the level of education and their achievement. There were 50
registered members of Nikoya English radio program taken as the sample of this
study. There are two instruments used in this study, a set of questionnaire
consisted of 6 open-ended and 5 close-ended questions, and a set of written test
consisted of reading comprehension, word spelling and structure. The data were
analyzed in some statistical procedure; using point biserial correlation. It was
found that the coefficient correlation was not statistically significant which means
that the higher the level of education they were in does not influence them to get
high achievement. Because of some other factors that might had influence the
result, such as the participants’ attention to follow the program actively (how
active they involved in the program), the frequency they attended the meeting
session, and even their motivation to follow the program by radio.
I. Introduction
1.1. Background of the Study
It is generally accepted that
English the international language has
dominated education all over the world.
Nowadays, many practicians have
developed a lot of English program.
They provide various activities that
hopefully motivate the student to
obtain ability to communicate in the
target language.
English over the radio or TV
seems to be increasing in numbers.
There are series of English programs
broadcasted over the television such as
“Belajar Bahasa Inggris” over TVRI,
and over the radio such as the Voice of
America (VOA), the British
Broadcasting Commission (BBC), and
the Australian Broadcasting
Commission (ABC). These program
are especially designed for people in
Indonesia. Nowadays, a radio station
in Banda Aceh also had designed such
an English program broadcasted by
Nikoya Radio, a local FM radio station.
The program was directed by a native
speaker of English, an American. In
addition, this program had an English
listeners’ club, a forum where the
instructor meets participants. So far,
there were 250 registered members
including males and females. These
members come from different level of
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
112
education. Many of them are Junior
High School students, Senior High
School students, and College students.
The aim of the program was to
make the audience able to
communicate in the target language
and also have a good performance in
English achievement. The program
was aired regularly once a week for a
duration of two hours. In addition,
there was one special session every
month where the instructor of this
program directly met the members of
listeners’ club for a duration of about
two hours of each meeting.
The meeting session provided
communicative environment in which
the participants share the information
about anything that really happened
around them. They also required to
create the new topic and the
n they tried to make a
conversation about such a topic. For
example, sharing ideas about their
activities at school and talk about the
conditions of their country. To make
the participants interested in following
the course, several other activities were
added to improved their interest in
following the program, such as
language games and giving the
comment about love.
In addition to those formal
programs, occasionally they also had a
forum of informal activity. They
sometimes did a picnic and invited a
native speaker as a guest star. Usually,
the guest star was one of the
instructor’s friends. The guest star was
asked to talk about his/her feeling or
experience during his stay in this
country. Consequently, the participants
could improve their English and had
self-confidence to talk. During this
activity, they also talked anything
impromt to with the guest star or to
their instructor about anything thought
of were interested in.
During the conversation, the
instructor often corrected mistakes
made by the participants. For example,
during the conversation the participants
might say, “I want asking you?” The
instructor generally corrected such a
mistake immediately by saying “You
mean do you want to ask me?” which
the student corrects himself: “Yes, I
want to ask you?”
In order to make the
participants able to carried out
conversation, the instructor provided
the participants with conversation
book. The Conversation book was
made by the instructor herself that
contain of simple structure, idioms, and
daily conversations. The instructor
also corrected any mistakes on the air if
the participants sent her questions by
telephone or letters.
The result of this program, is
that the participants would have a
greater confidence when they spoke in
public and could improve their
performance in English without feeling
afraid to make any mistakes. Based on
the interviewer with the participants, it
was shown that their speaking style
was good with a greater self-
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
113
confidence. And they also felt sure that
their English in school was better than
before.
What appears in writers’ mind
then is how far does the Nikoya
English program influence the
participants’ performance in their
English?
1.2. Problem of the Study
Based on such background, the
study would be focused on some
survey questions. First, it is legitimate
to ask whether such an English
program as aired by Nikoya radio
station would affect the Participants’
English achievement as measured by
constructed test. The second question
would deal with whether the
participants’ level of education might
have any influence on their English
achievement
1.3. Aim of the Study
The aim of this study are :
1. This study tries to find out the effect
of the English radio program on the
participants’ English achievement.
2. This study tries to see whether there
is any relationship between the
participants’ different level of
education with the participants’
English achievement dealing with
the English radio program.
3. This study also to fulfill partial
requirements to obtain the degree of
Sarjana Pendidikan (S1) at the
Faculty of Teacher Training and
Education, Syiah Kuala University.
1.4. Scope of the Study
It is necesssary to limit the
scope of this study in order to enable
the writer to study the problem much
deeper. Since the Nikoya FM Radio
listeners live in a wide range of area in
the province of Nanggroe Aceh
Darussalam, this survey study will be
limited to those registered club
members who the parts in once of the
club members’ monthly meeting.
II. RESEARCH METHODOLOGY
2.1.The Population and Sample
The population of the study was
all registered members of the Nikoya
English radio program. For this study,
the data were taken from the
participants who were attenting the
English club meeting. These members
came from different level of education
sample, such as Junior High School,
Senior High School, and College.
However, all the members of this
program had the same position as
learners although the level of their
education varied to some extent. On
that day, from two hundred and fifty
members, only fifty members attended
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
114
the program that consisted of sixteen
males and thirty-four females. It
means that only twenty percent of the
registered members attended the
meeting.
a. Place and Time of the research
The Nikoya English radio
program Started from May 2002, The
English program was directed by a
native speaker, an American, who
carried out all the activities and
prepared materials for the program.
The program had two hundred and fifty
registered members. The test was
conducted on Monday, April 6, 2003,
at SMK 3 Banda Aceh, where the
monthly meeting was scheduled. There
were fifty participants; they were used
as the sample and subject of this study.
b. Instrument
In collecting the data, two kinds
of instruments were used. The first is
that one set of written test and the other
kind is a set of questionnaire. Since the
English radio program did not have any
guide book or text book to use, in this
case, the materials of the test mainly
dealt with reading-comprehension,
writing (word spelling) and structure.
Those three tests were used to measure
the participants’ achievement. Each
test was accompanied by an instruction
of what to do and how to answer the
questions.
The reading comprehension test
consisted of one reading text with five
items in the form of multiple choice
questions. The items number 1, 2, and
3 were about inference questions and
the items number 4 and 5 asked about
word meaning. The participants were
asked to choose the most suitable
answer among five options and then
put the choice in the blank provided.
Each correct answer would have 1
point. Since in this section there were
five items, so, the highest possible
score would be 5 point. The purpose of
this test was to see the participants’
ability in comprehending the
information of the text provided.
Another test was writing, it
specifically focused on word spelling.
There were ten sets of items. Each set
had five different words, labeled A, B,
C, D and E; some sets had misspelled.
The participants were required to
identify the misspell word among the
options by giving a cross. If the
participants correctly crossed the
misspell word in the set, their answer
considered was correct. Each correct
answer would be given 1 score. So, if
the participants answered all items
correctly, the highest possible score
would be 10. The purpose of this test
was to see the participants’ ability in
identifying the word spelling.
The last test was structure. This
test also consisted of ten-items in the
form of multiple choice questions. The
questions number 1-9 were about
subject-verb agreement and the rest
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
115
was about noun-pronoun agreement.
The participants were asked to choose
one suitable answer among five options
by giving a cross. Each correct answer
would be given 1 score. So, the highest
possible score would be 10. This test
was used to see the participants’ ability
about subject verb and noun-pronoun
agreement.
In addition, a set of
questionnaire was prepared, asking
about the participants’ personal
characteristics and background in
learning English. There were eleven
questions. The questionnaire consisted
of two kinds, 6 open-ended and 5
cloze-ended questions. The open-
ended questions required the
participants to fill the blank with their
own answer or realities. Question
number six asked about non-formal
education. There were four options, 3
options were given with 3 choices,
such as, (1) English Course, (2)
Computer Course, (3) Electronics
Course, and the option number 4 was
blank, in this case, the participants
filled the option with their own choice
or answer. Such questions were asked
in order to know the reason why they
were interested in following the
program.
Before the participants did the
test, they were told to fill in the
questionnaire items. They had to finish
the questionnaire and the test in 60
minutes.
c. Process of Analysis
The data were analyzed by
using statistical procedures. The test
consisted of 25 items, each correct
answer would be given 1 score. It
means that if all the items were
answered correctly, the highest
possible score would be 25 and the
lowest would be 0 (zero). Later this
score would be considered as their
achievement of the program.
Further, the participants’ level
of education was compared with their
achievement in order to know whether
there is correlation between because
their level of education and their
achievement score. To find this, the
point biserial statistical procedures
were used because there were two
kinds of data, one continuous and one
categorical variable. The continuous
variabel was related to the achievement
score and categorical variable was
related to their level of education.
To know the type or the degree
of correlation between these two
variables, the table distribution was
used. The elements X and Y in the
table given for each variable,
representing of education and
achievement score and to make them
different respectively. Because there
were three level of education, it is
necessary to use different number. 1
was used to indicate Junior High
School, 2 to indicate Senior High
School, and 3 to indicate College.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
116
In analyzing the data, the step
suggested by Slavin (1984:199) was
used:
1. Compute the sum of each set
score ( , ).
2. Square each score and sum the
square ( , ).
3. Count the number of score in
each group (N).
4. Compute the Standard
Deviation for each group:
= =
5. Compute the scores products by
multiplying each X score by its
corresponding Y score and sum
the cross products ( Y).
6. Calculate the correlation as
follows:
rXY =
Where: rXY : The correlation score
: The sum of X (level of
education
: The sum of Y (achievement
score)
Sx : The standard deviation of
the X
Sy : The standard deviation
of the
N : The total number of
sample
III. RESULT AND DISCUSSION
This part consists of the result
and discussion of the study. The
purpose of the study is to see whether
the English radio program woul effect
the participants’ achievement as
measured by the test given. This study
also intends to find out whether there is
a correlation between the participants’
level of education and their
achievement score. The result of the
study will be summarized in the table
below and followed by the discussion.
(see table 1).
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
117
Table 1. The Result of the Study
Level of education
N=50
Range Score
X
The frequency of participants under and above the mean
r
T
Under Above
1 9 3-10 6.11 2 7 0.17 1.39
2 9 7-12 9.22 2 7
3 32 1-14 8.56 12 20
Where : 1 = junior high school
2 = senior high school
3 = college
N = Sum of the participants
X = mean score
r = point biserial correlation
t = level of significance
The table shows that college
level participants in the study got the
highest score (14). However, they also
got the lowest score (1). Of the three
level participants, it appears that senior
high school participants had better
achievement; their scores range from 7-
12 or their mean score ( X ) = 9.22.
This is the highest among the three
levels.
From such achievement and
mean score on those three levels, senior
high school participants got better
score. It may be caused by the sum of
the participants of each level, junior
and senior high school were the same
(9) where college students were bigger
(32). It means that the English radio
program was dominated by the college
students. This sum, of course,
influences their mean score. In this
case college students got the highest
(14), because their sum was more than
other levels; consequently, the result of
their mean score is lower than senior
high school student.
The mean score of each level of
education shows that the mean score of
senior high school is the highest (9.22).
From 9 participants only 2 of them that
had score lower than the mean and the
rest, 7 participants, were above the
mean. It means that senior high school
student really understood the items in
the test, compared to the other levels.
This frequency is the same with the
junior high school participants although
their mean score is different (6.11).
Compared to the college students
whose mean score was 8.56, 12 out of
32 participants got score lower than the
mean and the rest, 20 participants, were
above. This result seems to be caused
by the number of participants in that
this level had more students than other
levels and also it may be caused by the
variety of their majors. In other words,
most of them were not from the
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
118
English Department. It means that they
did not learn English as their major.
While junior and senior high schools
learn English actively in their school as
English is one of the subjects in the
school curriculum. The result is that
they could answer the item better than
the college level participants.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
119
In order to see how many students got on each
section of their test, 5 reading comprehension items,
10 word spelling items, 10 structure items, the
frequency distribution table is constructed below (see
Table 2 ).
Table 2 Students’ Score Distribution in Terms of the Level of Education
The table shows that, for reading
comprehension test, most of the participants of each
level got score zere (0). It happens because a school, a
private English course and an English radio program
do not focus on teaching reading about inference
questions but they only focus on teaching reading to
find the main idea. So, the participants in this case
did not have enough ability in answering the test
about inference questions. In other words, they were
had difficulties in comprehending the items given and
it made their score low. Only 1 participant of college
level had 4 points, she was from English departement,
in her study she learn about reading more deeper and
has been trained to make inference beside main idea.
Test Score
Reading Comp Word Spelling Structure
0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Junior high school 3 6 4 1 4 2 5 1 1
Senior high school 5 3 1 4 4 1 1 3 1 4
College 17
11
2 1 1 2 4 10
7 7 2 2 2 1 6 5 6 6 1 3
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
120
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
121
For word spelling test, all the
participants of each level seems to be
able to answer the items given. It
means that, no one of them got score
zero (0). Although, in this case, their
score was not too high because they did
not answer the question given, their
scores ranged between 2-6. It means
that the participants would be able to
identify the spelling of the word
provided. It may becaused the effect of
the English radio program that often
introduced new words and gave their
spelling, and also may be caused by the
background knowledge that
participants had at school and in the
English course.
The last test was structure.
English test, it seems that the
participants of its level could answer
the items. But from those three levels,
college students were better than the
other levels. It can be seen from the
table 2 that 3 out of 32 participants got
high score (9). It means that they could
not answer 1 item from those 10 items
given. The other groups of participants
also could answer the test given
although they did not get high score
like the three college participants. In
this case, their scores spread from 2-8.
Compared to those three section
of the test, it seems that the participants
in the study had good score in
structure. This result appears because
the English radio program, school and
private English course focused the
teaching on grammar to the students.
A correlation coefficient (r)
expresses the degree to which to
variable vary in the same (or opposite)
direction (Slavin, 1984). Further,
Slavin gives the coefficient correlation
that range from -1 to +1 as follows:
-1.0 -.8 -.6 -.4 -.2 0 +.2 +.4 +.6 +.8 +.10
When y is high no relationship When x is high
Y is low, and between x and y y is low and
Vice versa vice versa
To know whether there is a
correlation between participants’ level
of education and their achievement, the
point biserial correlation was calculated
and found that the coefficient (r) is
0.17. It indicates that there is no
correlation between their level of
education and their achievement
because it is found in the range of -.2 0
+.2
From the calculation, it was
found the coefficient correlation was
0,17. This means that the students
level of education and their
achievement were not correlated. In
other words, the achievement score that
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
122
participants got was not influenced by
their level of education.
To see whether the coefficient
is significant or not, the coefficient
correlation was tested by finding t and
it was found to be 1.39, which is lower
than the t values in the table. This
means that it is not statistically
significant at 0.05. Therefore, the null
hypothesis is accepted in that their
achievement in the test was not
affected by their level of education. It
can be concluded that the level of
education of the participants does not
influence their achievemen. In other
words, the higher the level of education
they attended does not make them have
better achievement. Because there are
some other factors, that might have
influence the result, such as the
participants’ attention to follow the
program actively (how active they
involved in the program), the frequency
they attended the meeting session, and
even their motivation an interest to
follow the program by radio.
IV. CONCLUSIONS AND
SUGGESTIONS
Conclusions
From the result of the study,
some conclusions can be drawn as
follows:
1. The English radio program, to some
extent, has good effect on the
participants’ achievement.
2. The level of education of the
participants who follow the English
Radio Program does not affect their
achievement in the test.
Suggestions
There are many unknown
factors which may have influence the
participants’ achievement in relation
with the study. It could be offered
some suggestions concerning to the
English radio program by radio.
1. The English radio program should
be aired at about 2 times a week and
at the meeting section to as many as
possible.
2. The material provided in the
program should be suitable to the
members, because there are different
level of education and occupation.
Jurnal Tasimak Vol. III, No.2, Juli 2012 ISSN 2086 - 8421
123
3. Add some other activities to make
the participants more interested in
following the program.
124
BIBLIOGRAPHY
Brown, G. Frederick. (1981). Measuring Classroom Achievement. Canada.
Holt, Rinehart and Winston.
Brown, H. Douglas. (1987). Principles of Language Learning and Teaching.
Englewood Cliff, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Brown, James Dean. (1988). Understanding Research in Second Language
Learning. Cambridge: Cambridge University Press.
Changshum, Chen. (1992). “Using VOA English Program in the Classroom”.
English Teaching Forum, 30 Number 4, October.
Corria, Ignacio Lopez. (1999). “Motivating EFL Learners”. English Teaching
Forum. Volume 37 Number 2, April-June.
Dembo, H. Myron. (1991). Applying Educational Psycology in the Classroom.
Canada: Longman Publishing Group University.
Finocchiaro, Mary and Banomo, Michael. (1973). The Foreign Language
Learner: A Guide for Teachers. New York, Regent Publishing Company,
Inc.
Gronlund, E. Norman. (1987). Constructing Achievement Test. Englewood Cliff,
New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Head, W. Sidney. (1956). Broadcasting in America. Boston: Houghton Mifflin
Company.
Imhoof, Maurice. (1985). “Teaching English by Radio”. English Teaching
Forum. Volume 23, Number 3, July.
Koster, Gerald. (1994). “Breaking the News: Using CNN in the Classroom”.
English Teaching Forum. Volume 32, Number 1 January.
Lindgren, C. Henry. (1976). Educational Psychology in the Classroom. New
York. John Wily and Sons, Inc.
Long, Michael H and Porter, Patricia A. Group Work, Language Talk, and
Second Language Acquisition. TESOL QUATERLY Volume 19
Number 4, June 1985.
125
Measenner, Paul De. (2000). Here’s the News “A Radio News Manual” Unesco
Associate-Expert.
Slavin, E. Robert. (1984). Research Methods in Education. Englewood Cliff,
New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Silver, M. Steven. (1982). “Games for the Classroom and the English Speaking
Club”. English Teaching Forum. Volume 20, Number 2, April.
William, L. Dicks. (1984). “Using the Discussion Group Technique in the ESL
Conversation Class”. Englsih Teaching Forum. Volume 23, Number 4,
October.
Woolfolk, E. Anita. (1987). Educational Psychology. Englewood Cliff, New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
VOA. (2000). VOA GUIDE, Voice of America English Broadcast, Washington,
DC: World Wide Spring Summer.