203
INTERASI POLITIK DALAM PROSES PEMBENTUKAN HUKUM ( STUDI UU NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH ) Oleh : Dr. Nurul Akhmad, SH, M,Hum. 1. Latar Belakang Pemilihan Judul Tema Penulisan. Pemikiran yang melatarbelakangi penulis mengambil judul ”Interaksi Politik dalam Pembentukan Hukum” untuk orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis Fakult as Hukum UNNES tahun 2009 ini yaitu, pertama, adanya realita bahwa antara hukum dan politik keduanya tidak dapat dipisahkan baik dalm pembentukan maupun implementasinya. Soehardjo SS, pakar hukum tata negara Undip, mengatakan “…antara hukum dan politik adalah pasangan, bila hukum dikaitkan dengan recht, politik dikaitkan dengan macht, dengan demikian, hubungan antara keduanya diungkapkan sebagai: ”. . . recht bendichte Werking

riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

INTERASI POLITIK DALAM PROSES PEMBENTUKAN HUKUM

( STUDI UU NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH )

Oleh : Dr. Nurul Akhmad, SH, M,Hum.

1. Latar Belakang Pemilihan Judul Tema Penulisan.

Pemikiran yang melatarbelakangi penulis mengambil judul ”Interaksi Politik

dalam Pembentukan Hukum” untuk orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis Fakult

as Hukum UNNES tahun 2009 ini yaitu, pertama, adanya realita bahwa antara

hukum dan politik keduanya tidak dapat dipisahkan baik dalm pembentukan

maupun implementasinya. Soehardjo SS, pakar hukum tata negara Undip,

mengatakan “…antara hukum dan politik adalah pasangan, bila hukum dikaitkan

dengan recht, politik dikaitkan dengan macht, dengan demikian, hubungan antara

keduanya diungkapkan sebagai: ”. . . recht bendichte Werking des macht, nicht

macht bendichte Werking des recht....”1 Studi Moh. Mahfud (1994)2 dalam

disertasinya yang berjudul ”Perkembangan Politik : Studi tentang Pengaruh

Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia”, menunjukkan bahwa

ada pengaruh cukup signifikan antara konfigurasi politik terhadap produk hukum

1 ? Dalam karya tulis Soehardjo SS, yang berjudul “Kekuasaan Kehakiman dan Sistem Peradilan Berdasarkan UUD 1945, Suatu Analisis Atas Memorandum IKAHI II, Tanggal 23 Oktober 1996.

2 Moh. Mahfud MD, 1993,”Perkembangan Politik : Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia” (Disertasi Doktor), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Page 2: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

di Indonesia. Karena itu, kata Mahfud, kebanyakan produk hukum sudah

terkooptasi kekuasaan atau Muladi3 menyebutnya terjadi ”instrumentalisasi hukum

dan politisasi hukum” dalam kehidupan sosial. Begitu pula studi yang dilakukan

Loeby Loqman4 tentang tindak pidana politik sedikit banyak memberi gambaran

tentang ketidakjelasan konsep tindak pidana politik dalam perundang-undangan di

Indonesia. Ketidakjelasan ini dapat dilihat pada produk putusan peradilan pidana,

yaitu, yang di dalamnya terdapat inkonsistensi antara satu putusan dengan putusan

lainnya. Kedua, masih sedikit literatur yang dapat dijadikan sebagai bahan

rujukan dalam rangka pendidikan hukum5, pengkajian, dan pengembangan ilmu

hukum6 bidang politik. Literatur yang ada selama ini7 lebih banyak melihat hukum

( undang-undang ) dari sisi substansi 3 Muladi, ”Wajah Hukum Indonesia Menapak Tahun 2002”, yang disampaikan pada Seminar

Nasional Sehari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), 26 Januari 2002. Namun instrumentalisasi dan politisasi hukum merupakan hal wajar baik di negara demokratis maupun negara totaliter. Namun, instrumentalisasi dan politisasi hukum hanya sah apabila dikendalikan oleh asas-asas hukum demokrasi yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.

4 Lihat Loeby Loqman, Delik-Delik Politik di Indonesia, Penerbit Hill-Co, Jakarta, 1993 hal 41.5 Menurut Satjipto Rahardjo, pintu masuk ke pendidikan hukum dengan pembelajaran dan diskusi

mengenai keadilan, ketidakadilan, kebenaran, kejujuran, penderitaan manusia, mengasihi (carring), diskriminasi dalam masyarakat dan seterusnya. Baru kemudian menyusul kepada wacana tentang hukum. Yang diharapkan dari rancangan seperti itu agar hukum bisa dijadikan sarana untuk mengabdi kepada kemanusiaan (Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagad Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm, 64).

6 DHM Weuwissen dalam Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara, Tahun 2006, hal 156-157, mengelompokkan ilmu hukum ada 2 kelompok besar, yaitu : Ilmu Hukum Praktis dan Ilmu Hukum Teoretis. Ilmu Hukum praktis menekuni kegiatan manusia dengan tujuan mewujudkan hukum dalam kenyataan sehari-hari secara konkret melalui pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum. Sedangkan Ilmu Hukum Teoretis menekuni refleksi teoretis terhadap hukum.

7 Di Indonesia literatur tentang studi interaksi politik dalam hukum dan implementasinya memang dirasakan masih sangat kurang atau terbatas. Literatur tentang studi interaksi politik dalam hukum dan implementasinya selama ini banyak mengacu pada buku-buku karangan dari M. Mahfud MD, seperti : Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, dan lain-lain.

Page 3: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

( cita dan tujuan hukum8 ) serta bentuknya, dan bukan pada sisi proses

pembentukannya, yang sarat dengan konflik kepentingan ( conflict of interest ),

hegemoni politik, dan kompromi politik, sehingga arah dan konsentrasi

pengkajiannya lebih banyak pada persoalan prosedur dan legalitas pembentukan

hukum.

Sedangkan pemikiran yang melatarbelakangi dijadikannya UU Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai konsentrasi studi kasus dalam

pembentukan hukum dan implementasinya, yaitu : pertama, bahwa UU Pemda

tersebut selain substansinya mengatur tentang otonomi daerah juga mengatur

tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tentu dalam proses

pembentukan dan implementasinya sarat dengan interaksi politik, karena

menyangkut langsung kepentingan partai-partai politik. Kedua, di banyak daerah

implementasi UU tentang Pemda tersebut banyak menimbulkan konflik politik dan

gejolak di masyarakat, berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala

Daerah secara langsung, yang tentu sangat menarik untuk dijadikan sebagai objek

penelitian karena terjadinya diskongruensi antara das sein dan das sollen dengan

dibentuknya UU Pemda tersebut.

8 Menurut Radbruch seperti yang dikutip oleh Soejono Koesoemo Sisworo dalam buku kumpulan pidato pengukuhan guru besar Fakultas Hukum Undip tahun 1995, hal 121, cita dan tujuan hukum itu sekaligus berfungsi sebagai ukuran regulatif dan konstitutif. Selanjutnya dikatakan bahwa cita hukum atau keadilan (dalam arti luas) memiliki tiga komponen aspek yaitu : (1) keadilan dalam arti khusus/terbatas, yaitu yang berujud kesamaan formal di depan umum, (2) kegunaan menurut tujuan, (3) kepastian hukum atau legalitas, yang meletakkan dan menuntut kewajiban penataan kepada hukum yang berlaku.

Page 4: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

2. Rumusan Permasalahan.

Secara teoretis permasalahan muncul karena adanya jarak antara harapan

atau Das Sollen dengan kenyataan atau Das Sein dibentuknya Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004, yaitu untuk mempercepat otonomisasi di daerah dengan

memperhatikan prinsip demokrasi guna mewujudkan masyarakat yang lebih

sejahtera dan adil. Kenyataan yang terjadi di masyarakat pascakeluarnya Undang-

Undang No. 32 Tahun 2004 menunjukkan hal berbeda, banyak protes dari

masyarakat terkait dengan isi atau muatan UU Pemda tersebut9 yang dianggap

kurang menjamin kesamaan hak warga negara di dalam hukum dan pemerintahan,

gejolak dan kekacauan banyak terjadi daerah yang menyebabkan terjadinya

9 Secara konstruktif protes tersebut ditindaklanjuti dengan mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 32 Tahun yang dianggap merugikan hak konstitusional warga dan pemohonnya, yaitu : Pasal 1 angka 21, Pasal 57 ayat (1), dan (2), Pasal 65 ayat (4), Pasa1 89 ayat (3), Pasa1 94 ayat (2), dan Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal 22 E ayat (1) dan Pasa1 22 E ayat (5). Sebagai pemohonnya : Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (CETRO), Smita Notosusanto. Pasal 1 angka 21, Pasa1 57 ayat (1), Pasa1 65 ayat (4), Pasa1 66 ayat (3) huruf e, Pasa1 67 ayat ( 1) huruf e, Pasa1 82 ayat (2), Pasal 89 ayat (3), Pasal 94 ayat (2), Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal 22 E ayat (1), dan Pasa1 22 E ayat (5). Sebagai pemohonnya Ketua-ketua KPUD 16 Provinsi. Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perihal "Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” dalam ketentuan ini adalah Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D dan Pasa1 28 I. Sebagai pemohonnya Ketua-ketua Partai Politik Sulawesi Utara - Manado. Pasal 24 ayat (5) penetapan Wakil Kepala Daerah sebagai pasangan Kepala Daerah dalam Pilkada merupakan sebuah ketetapan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 Bab VI Pemerintahan Daerah, dan Pasal 18 ayat (4). Sebagai pemohonnya Anggota DPD (H. Biem Benjamin - Anggota DPD-RI/MPR/B-43). Pasal 56 sampai dengan Pasal 119 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125) bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3). Sebagai pemohonnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum Nasional (LBHN).

Page 5: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

instabilitas daerah, yang semuanya itu menjadi faktor kendala bagi percepatan

pelaksanaan otonomi daerah10. Dengan kata lain terjadi diskongruensi11 antara

kenyataan dan harapan. Mendasarkan pada judul penelitian ini yaitu : “Interaksi

Politik” dalam Pembentukan Hukum, Studi tentang Pembentukan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Implementasinya dalam

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Jawa Tengah”, maka permasalahan

pokok dalam disertasi ini yaitu :

1. Bagaimana interaksi politik dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 terjadi ?

2. Sejauhmana interaksi politik dalam proses pembentukan UU 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah berpengaruh terhadap karakter hukum ?

3. Benarkah UU 32 Tahun 2004 belum menjamin terselenggranya pembangunan

demokrasi dengan baik di Indonesi ?

4.Tujuan dan Manfaat Penulisan

10 Beberapa media nasional dan lokal banyak memuat berita tentang adanya gejolak dan kekacauan serta anarkisme dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Di Kabupaten Tuban Jawa Timur terjadi gejolak dan kekacauan yang meluas yang dilakukan oleh para pendukung calon bupati yang kalah. Dari hasil penelitian tentang implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 dalam pemilihan Kepala Daerah secara langsung, diperoleh data bahwa di Kabupaten Semarang telah terjadi gejolak dan kekacauan yang di masyarakat yang dilakukan oleh para pendukung calon yang merasa calonnya dirugikan oleh KPUD. Para pendukung calon yang merasa calonnya dirugikan oleh KPUD juga merusak Kantor KPUD Kabupaten Semarang.

11 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Ancangan Metodologi, Presentasi, dan Publikasi Hasil Penelitian untuk Mahasiswa dan Peneliti Pemula Bidang Ilmu-Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora, Penerbit Pustaka Setia Bandung, 2002, Hal 94.

Page 6: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Tujuan penulisan tentang “Interaksi Politik dalam Pembentukan Hukum”

untuk orasi ilimiah pada acara kegiatan Dies Natalis Fakulat UNNES tahun 2009,

yaitu :

1. Untuk mengetahui lebih dekat sejauhmana interaksi politik yang terjadi dalam

prses pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) Republik

Indonesia ?

2. Sejauhmana interaksi politik dalam proses pembentukan hukum (UU Nomor

32 tahun 2004 tentang Pemerinta Daerah ) berpengaruh terhadap karakter

hukum ?

3. Manfaat Penulisan

Sedangkan manfaat dari tulisan”Interaksi Politik dalam Prose Pembentukan

Hukum “ Studi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu pertama, secara

akademis, hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan teori pada khazanah ilmu

hukum bidang politik, terutama menyangkut interaksi politik dalam pembentukan

undang-undang. Kedua, tulisan ini dapat menjadi titik tolak untuk melakukan

pengujian dan pemaknaan secara kritis terhadap beberbagai konsep, teori, dan

paradigma hukum bidang politik. Tulisan ini dapt menjadi “informasi ilmiah” bagi

eksekutif dan legislatif dan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam

merancang kebijakan hukum bidang politik yang lebih transparan, demokratis, dan

berkeadilan, serta humanis. Di samping itu, tulisan ini dapat pula menjadi

Page 7: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

masukan bagi pembaharuan dan pengembangan ilmu12 hukum, khususnya bidang

politik.

Pondasi Teori

Teori-teori13 yang digunakan sebagai pondasi di sini adalah teori-teori yang

relevan dengan judul disertasi ini, baik dilihat dari substansi maupun segi

konteksnya, terutama dalam konteks Indonesia di mana di satu pihak Indonesia

memiliki heterogenitas nilai, suku, agama, di pihak lain secara nasional menganut

hukum nasional yang harus dianut oleh seluruh warga bangsa. Selain itu, teori-

teori yang diangkat di sini diharapkan bisa menjadi model wacana teoritis yang 12 Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda

Karya, Bandung, 1993 mengatakan, dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai media penghubung antara dunia rasional (Sollen) dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu hukum. Melalui kedua dimensi ini, ilmu hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.

13 Apa itu teori dan apa tujuannya dapat dibaca dalam buku David G. Wagner, 1984, The Grouw of Sosiological Theories, London Sage Publication, hal 26-34. Misalnya dikatakan bahwa theories provide general guidelines or strategies for approaching social phenomenon and suggest the theoriest should take to these phenomena, they are orienting strategies. Kemudian dijelaskan tiga unit teori, yaitu : a) a set of concept (either explicity degined) b) set assertions relating these concept to each other in account of sociological problem, and c) a spesification of the scope of aplication of the assetions . Sedangkan menurut Soentandyo W, teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti “perenungan “, yang pada gilirannya dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti ” cara atau hasil pandang ”, adalah suatu konstruksi di dalam cita atau ide manusia, yang dibangun untuk menggambarkan secara teflektif fenomena yang dijumpai didalam pengalaman. Dari kata dasar thea ini pulalah datang kata modern “ tater” yang berarti pertunjukan atau “ tontonan”. Didefinisikan dari rumusan yang demikian, berbicara tentang ”teori” tak pelak lagi orang niscaya akan diperjumpakan dengan dua macam realitas. Yang pertama adalah realitas in abstracto yang ada dalam ide yang imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang berupa realitas in concreto yang berada dalam alam pengalaman yang indrawi (dalam Soetandya Wignyosoebroto, ”Hukum, Metode, dan Dinamika Masalahnya ” ELSAM – HUMA, Jakarta, 2002, hlm 184-185 )

Page 8: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

dapat membantu dalam mengembangkan perspektif hukum dalam bidang politik di

Indonesia, terutama untuk kepentingan ilmiah, legislatif, yudikatif dan eksekutif.

Teori-teori yang diangkat di sini diharapkan dapat dijadikan sebagai pisau analisis

dalam bab pembahasan.

Penjelasan teoretis yang dibahas menyangkut empat hal, yaitu

(1) hukum, (2) pembentukan hukum, (3) implementasi hukum, dan

(4) interaksi politik dalam pembentukan hukum dan implementasinya. Mengingat

salah satu tujuan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 diantaranya untuk

menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan demokratis,

maka juga dimunculkan beberapa teori tentang pembentukan hukum yang

demokratis.

a. Teori Hukum

Pondasi teori penulisan ini yaitu Untuk teori hukum, yang dipilih adalah

teori dari Nonet dan Selznick tentang hukum yang responsif, serta teori kritis atau

Critical Legal Studies (CLS) dari Roberto Mangabeira Unger. Kedua teori

hukum tersebut merupakan paradigma baru dalam hukum dan meninggalkan

paradigma lama. Dalam paradigma baru, hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas

yang berdiri sendiri, melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas lain

dengan tujuan pokok untuk mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di

dalam masyarakat14. Untuk itu, tidaklah heran jika hukum bisa berinteraksi dengan 14 Nonet, Philippe & Selznick, Philip, op.cit, hal. 73-74.

Page 9: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

politik. Hukum yang demikian ini akan lebih mampu memahami atau

menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang terjadi di masyarakat.

Dengan demikian, didalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog untuk

memberikan wacana dan adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas.

Karena itu, hukum yang responsif tidak lagi mendasarkan pertimbangan juridis

belaka, melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif

dalam rangka untuk mengejar apa yang disebut ”keadilan substantif”. Oleh

karena itu, para hakim di dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara

pandang untuk menyikapi hukum adalah sebagai berikut : “The law, like the

traveller, must be ready for the morrow, it must have a principle”15. Hukum

sebagai sarana saja. Sebaliknya, keadilan harus menjadi tujuan yang mau dikejar,

meskipun tidak selalu menggunakan perspektif hukum. Karena itu diskresi dalam

artian positif perlu digunakan, tetapi tetap berpedoman bahwa diskresi dilakukan

untuk memperoleh keadilan substantif. Dengan demikian, fleksibilitas hukum yang

responsif itu tinggi terhadap hal-hal lain di luar hukum.

Konsep pembangunan hukum yang responsif yang dirumuskan oleh Philippe

Nonet dan Philip Selznick adalah sebuah konsep hukum yang memenuhi tuntutan-

tuntutan agar hukum dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial

yang sangat mendesak dan terhadap masalah-masalah keadilan sosial sambil tetap

15 Lloyd, Dennis, op.cit., hal. 326

Page 10: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

mempertahankan hasil-hasil institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan

berdasar hukum.

Konsep hukum responsif ini merupakan jawaban atas kritik bahwa seringkali

hukum tercerai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita

keadilan sendiri16. Sekalipun tesis Nonet dan Selznick ini bukanlah teori yang

mampu menyelesaikan semua problem praktis, tetapi memberikan perspektif dan

kriteria untuk mendiagnosis dan menganalisis problem-problem hukum yang

muncul di masyarakat dengan penekanan khusus atas dilema-dilema institusional

dan pilihan-pilihan kebijakan yang kritis17

Pada keadaan terdapatnya hukum responsif, kesempatan untuk berpartisipasi

dalam pembentukan hukum lebih terbuka. Dalam pengertian ini, arena hukum

menjadi semacam forum politik, dan partisipasi hukum mengandung dimensi

politik. Dengan perkataan lain, aksi hukum merupakan wahana bagi kelompok atau

organisasi untuk berperan serta dalam menentukan kebijaksanaan umum18. Dalam

konteks kebijakan hukum, pembangunan hukum seharusnya mencakup tiga hal.

Pertama, menjamin keadilan dalam masyarakat. Kedua, menciptakan ketentraman

hidup dengan memelihara kepastian hukum. Kepastian hukum berkaitan dengan

efektifitas hukum akan terjamin hanya bila negara mempunyai sarana-sarana yang

16 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition: Towards Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978, hlm. 4.

17 A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto (ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Sinar Harapan, Jakarta, 1990, hlm. 158.

18 Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 18.

Page 11: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

memadai untuk memastikan berlakunya peraturan-peraturan yang ada. Dalam hal

ini aparat penegak hukum memainkan peranan penting. Ketiga, mewujudkan

kegunaan dengan menangani kepentingan-kepentingan yang nyata dalam

kehidupan bersama secara konkrit19. Dengan bergulirnya reformasi banyak pihak

yang telah memberikan kontribusi terhadap pembaharuan hukum di Indonesia,

mulai dari lembaga-lembaga pemerintah, partai politik, LSM hingga calon-calon

Presiden dan Wapres. Munculnya berbagai kontribusi pembaharuan hukum ini

merupakan wujud keprihatinan bangsa atas keterpurukan kondisi hukum sejak

pemerintahan orde lama yang mencapai puncaknya pada pemerintahan orde baru.

Pada kedua orde itu, pembangunan hukum kurang menjadi fokus perhatian

pemerintahan20.

Searah dengan teori hukum responsif adalah teori hukum kritis dengan

tokohnya Roberto Mangabeira Unger tentang Hukum Kritis atau Critical Legal

Studies ( CLS )21 atau lebih dikenal di Indonesia dengan Gerakan Studi Hukum

Kritis ( GSHK ). Teori hukum kritis ini diplih karena teori hukum inilah yang

paling relevan dengan judul disertasi ini. Roberto M. Unger, secara terang-

19 Huijbers, Theo, 1990, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 116-118.20 Pada orde lama, focus perhatian pemerintah pada sektor ekonomi, sedangkan pada orde baru,

fokus pemerintah dilakukan terhadap masalah stabilitas. Dengan menekankan pada stabilitas, semua potensi masyarakat yang dapat mengusik kekuasaan dihadapkan pada kekuatan aparat negara, seperti TNI dan Polri. Itulah sebabnya pada orde baru banyak aktifis dan kritikus ditangkap oleh aparat negara karena aktifitasnya dianggap dapat mengganggu stabilitas negara atau pemerintah. Dengan menggunakan strategi pembangunan hukum ortodok yang positivis-instrumentalisme hukum ditempatkan sebagai instrumen ampuh untuk melaksanakan ideologi dan program negara, serta melegitimasi visi para pihak yang memegang kekuasaan.

21 Roberto M. Unger , Gerakan Studi Hukum Kritis, ELSAM, Jakarta, 1999.

Page 12: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

terangan menolak teori tentang pemisahan hukum dan politik ( law politics

distinction ). Menurutnya, tidak mungkin dalam proses-proses hukum, apakah

dalam membuat undang-undang atau menafsirkannya, berlangsung dalam konteks

bebas atau netral dari pengaruh-pengaruh moral, agama, dan pluralisme politik.

Lebih lanjut Unger mengatakan bahwa tidak mungkin mengisolasi hukum dari

konteks di mana ia eksis. Hubungan hukum dengan lingkungan sosial menurut

Unger dikonstruksikan sebagai “negotiable, subjective and poliy-dependent as

politics”22.

Roberto M. Unger juga menjelaskan tidak mungkin mengisolasi hukum

dari konteks di mana ia eksis, dan bagi mereka teori tersebut merupakan bentuk

penghindaran terhadap adanya latar belakang politik dan ideologis di balik

putusan-putusan hakim dan undang-undang. Bagi kalangan GSHK, hukum itu

dikonstruksikan sebagai "negotiable, subjective and policy-dependent as politics".

Menurut Unger ada dua alasan utama mengapa tidak mungkin

membayangkan netralitas dan objektivitas hukum, seperti dikutip di bawah ini:

First, procedure is inseparable from out came: every method makes certain legislative choices more likely than others... Second, each law making system it self embodies certain values; it incorporates a view of how power ought to be distributed in the society and how conflicts should be resolved23."

22 Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Edisi Bahasa Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1999, hal XVI – XVII.

23 Lihat, Unger, Law and Modern Society, (New York: Free Press, 1975) hlm 180.

Page 13: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Dengan mengacu kepada proses-proses empiris pembuatan kebijakan

hukum, Unger menunjukkan betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum dan

politik, analisis hukum tidak hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi

doktrinal dan asas-asas hukum semata, sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi

secara alamiah, melainkan direkonstruksi secara sosial24.

Roberto M. Unger mengajukan kritik keras terhadap tradisi hukum liberal,

khususnya terhadap formalism dan objectivism. Inti serangan Unger terhadap

formalisme dan objektivisme yaitu untuk menunjukkan tidak sahihnya proyek ahli

hukum klasik abad ke-19, yang membayangkan bahwa di dalam struktur hukum

sudah terpasang-tetap

(built) demokrasi dan pasar. Percobaan memberlakukan konsep ini menjadi

perincian teknis hukum, menurut Unger justru berakhir dengan memperlihatkan

kedok kepalsuannya.

Unger menentang formalisme dan objektivisme itu dengan titik tolak dari

pemikiran bahwa setiap cabang doktrin harus bersandar diam-diam, kalau tidak

secara terang-terangan, pada suatu bentuk-bentuk interaksi manusia yang riil dan

realitis di bidang kehidupan realistik masyarakat tempat doktrin itu berlaku. Itu

artinya diperlukan suatu teori sosial yang dapat dipercaya. Katakanlah misalnya,

seorang ahli hukum tata negara, ia membutuhkan teori tentang republik demokratis

yang menggambarkan hubungan yang tetap antara masyarakat dan negara, sebelum

ia memahami atau membangun suatu doktrin hukum di bidang tata negara.

24 Analisis mengenai bagaimana hukum itu direkonstruksi dan bagaimana rekonstruksi itu sebetulnya diperlukan untuk mengabsahkan suatu tatanan.

Page 14: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Unger mengusulkan peninjauan ulang terhadap teori-teori sosial utama, yang

menawarkan perubahan linear masyarakat. Unger tidak mempercayai keniscayaan

jalannya sejarah - sebagaimana yang menjadi premis teori-teori sosial seperti

Marxisme misalnya. Unger juga terobsesi oleh pencarian alternatif yang radikal

baik terhadap Marxisme maupun Liberalisme25. Dalam konteks pencarian terhadap

alternatif inilah Unger menawarkan suatu program yang disebutnya sebagai

"Superliberalism"26. Menurutnya yang dimaksud dengan superliberalisme, oleh

Unger dijelaskan sebagai berikut :

Program ini mendesak fondasi pikiran liberal tentang negara dan masyarakat, tentang kemerdekaan dari ketergantungan dan penguasaan hubungan sosial oleh kemauan, sampai ke titik ketika semuanya melebur menjadi suatu ambisi besar: pembentukan suatu dunia sosial yang tidak begitu asing bagi suatu kepribadian yang dapat senantiasa melanggar peraturan generatif dari bangunan mental dan sosialnya sendiri serta menempatkan peraturan dan bangunan lain sebagai gantinya.

1.4.1 Teori Bekerjanya Hukum ( Pembentukan dan Implementasi ) dari

Robert Seidman

25 Saya mengatakan terobsesi, karena dengan gigih terus dikembangkannya di dalam berbagai karyanya, seperti pada karya triloginya, yang juga merupakan karya seminarnya, yaitu Social Theory: Its Situation and Its Taks (1987), Politics: A Work in Contructive Social Theory (1987); dan False Necessity (1987). Selain juga muncul dalam karyanya yang pertama, Knowledge and Politics (1975), dan di dalam buku ini, The Critical Legal Studies Movement (198G).

26 Ibid.

Page 15: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Teori yang digunakan untuk melakukan analisis teoretis tentang

pembentukan hukum dan implementasinya adalah teori dari Robert Seidman yaitu

teori tentang bekerjanya hukum. Teori ini akan didayagunakan untuk melakukan

analisis tentang pembentukan hukum sekaligus juga untuk melakukan analisis

terhadap implementasi hukum27. Menurut teori ini, pembentukan hukum dan

implementasinya tidak akan lepas dari pengaruh atau asupan kekuatan-kekuatan

sosial dan personal28, terutama pengaruh atau asupan kekuatan sosial politik.

Dengan menggunakan teori bekerjanya hukum ini akan dapat dijelaskan

bagaimana pengaruh dari personal, lingkungan ekonomi, sosial, budaya, serta

politik dalam proses pembentukan dan implementasinya. Itulah sebabnya kualitas

dan karakter hukum juga tidak lepas dari pengaruh bekerjanya kekuatan-kekuatan

dan personal tersebut29, terutama kekuatan-kekuatan politik pada saat hukum itu

dibentuk. Dalam konteks disertasi ini maka kekuatan-kekuatan yang dimaksud

adalah realitas kekuatan-kekuatan politik di lingkungan di DPR RI, seperti semua

fraksi yang ada, anggota Pansus 2230, dan pemerintah, dan masyarakat yang

27 Meskipun secara khusus masalah implementasi hukum akan disandarkan pada payung teoretis. 28 Robert B. Seidman & William J. Chambles, Law, Order, and Power, Printed in United States of

America, Pubhlised Stimulant Costly in Canada Library of Congress Catalog Card No. 78-111948. 29 Penstudi mengasumsikan personal yang dimaksud oleh Robert Seidman dalam pembentukan

hukum tidak lain adalah para elit politik yang duduk dalam legislatif atau lebih tepat yang menjadi anggota panitia khusus (Pansus) 22, yaitu Pansus yang ditugasi untuk mempersiapkan dan membahas rancangan UU Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pemerintah Daerah.

30 Dari hasil wawancara mendalam atau dept interview dengan para informan di DPR RI dan hasil studi dokumenter diperoleh penjelasan bahwa dalam rangka revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dibentuk panitia khusus yang kemudian diberi nama Pansus 22.

Page 16: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

semuanya memiliki kepentingan yang besar terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004

yang merupakan revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah31.

Secara konstruktif teori Robert Seidman32 tentang bekerjanya hukum

dilukiskan oleh Satjipto sebagai berikut33 .

Gambar 1

Bekerjanya Hukum menurut Seidman

sebagaimana dilukiskan oleh Satjipto Rahardjo

Dari model bekerjanya hukum tersebut, oleh Seidman dirumuskan beberapa

pernyataan teoretis sebagai berikut:34

31 Kepentingan masing-masing kekuatan politik dalam revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dapat dilihat dalam Bab IV tentang Pembahasan disertasi ini.

32 Gambar aslinya dapat dilihat dari buku Robert B. Seidman & William J. Chambles, Law, Order, and Power, hal 21.

33 Lihat buku Satjipto Rahardjo, Hukum dan Mayarakat, Angkasa, Bandung , 1980, hlm. 27. 34 Robert B Seidman. Ibid, 1972.

Lembaga Pembuat Peraturan

Lembaga Penerap

Peraturan

Pemegang Peran

Norma

Umpan-balik

Faktor-faktor Sosial dan Personal

Norma

Aktivitas Penerapan sanksi

Faktor-faktor Sosial dan Personal

Faktor-faktor Sosial dan Personal

Umpan-balik

Page 17: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

(1)Setiap peraturan hukum itu menunjukkan aturan-aturan tentang bagaimana

seseorang pemegang peran diharapkan untuk bertindak;

(2)Tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang pemegang peran sebagai

respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh

peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari aktivitas lembaga

pelaksanaannya, serta dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain

sebagainya yang bekerja atas dirinya;

(3)Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pelaksana sebagai respons

terhadap peraturan-peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh

peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dan dari seluruh

kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas

dirinya, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi;

(4)Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pembuat undang-undang

sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan

oleh berfungsinya peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-saksinya, dan dari

seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja

atas mereka, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan

birokrasi.

Page 18: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

1.4.3 Teori Sistem Cybernetics

Cybernetics merupakan salah satu teori sistem mekanis (mechanism system},

yang secara analogi diterapkan dalam kehidupan manusia (living organism-human

life). Cybernetics diambil dari kata Yunani, ”kubernetes” yang sama artinya

dengan ”steersman” atau ”governor”, yang dalam bahasa Indonesia dapat

dipadankan dengan istilah ”alat” atau ”pengatur” (on an engine). Teori ini untuk

pertama kalinya dicetuskan oleh Norber Wiener, seorang Guru Besar

Matematika di Massachusetts Institute of Technology (MIT)35.

Teori ini kemudian menjadi teori yang sangat menarik, di samping karena

banyak disitir dan bahkan cenderung dikultuskan oleh ahli-ahli ilmu sosial, Karena

terutama, pertama, Cybernetics merupakan teori sistem mekanis abad ke-20-an

yang dibangun di atas prinsip-prinsip teori fisika, mekanis, dan matematika dalam

bentuk kombinasinya dengan teori sistem. Kedua, Cybernetics digunakan untuk

menjembatani pertentangan antara teori sistem (organis) dengan teori mekanis.

Ketiga, Cybernetics secara khusus diterapkan dalam perspektif komunikasi sosial.

Keempat, secara khusus juga diterapkan di dalam perspektif pengetahuan hukum.

Hal yang kemudian perlu disayangkan adalah banyak ahli sosial yang kemudian

menggunakan Cybernetics dalam perspektif teori-teori ilmu sosial umum sehingga

35 Wiener, Norbert. The Human Use of Human Beings, Cibernetic and Society, Doubleday & Company, Inc, New York 1950, dalam Lili Rasjidi Hukum Sebagai Suatu Sistem , Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993, hal 44 – 63.

Page 19: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

dalam kondisi tertentu penggunaan itu justru mengakibatkan kaburnya prinsip-

prinsip Cybernetics36.

1. Teori Cybernetics

Cybernetics adalah teori komunikasi mekanis yang oleh Wiener dibangun di

atas prinsip-prinsip teori fisika dan matematika, khususnya teori probabilitas.

Kendatipun bertolak dari perkembangan fisika, namun sangatlah penting diingat

bahwa Cybernetics bukanlah teori fisika semata. Adalah lebih tepat

mengatakannya sebagai transformasi teori komunikasi mekanis yang berakar pada

fisika dan matematika ke dalam bentuk kehidupan manusia.

Wiener menyebutkan ”perintah” (commands) sebagai dasar utama sistem

komunikasi. Perintah oleh manusia digunakan sebagai alat untuk mengatur

lingkungannya. Sebagai suatu bentuk informasi, perintah merupakan alat yang

berada dalam posisi peralihan antara kondisi yang serba tidak teratur dengan

kondisi yang serba teratur. Perintah yang dikirim oleh suatu pihak kepada pihak

lain melalui sistem komunikasi, tidak selalu dapat dipahami seluruhnya oleh pihak

penerima perintah. Tindakan atau sikap, sebagai ekspresi dari reaksi penerima 36 Salah satunya adalah Parsons, yang menggunakan Cybernetics untuk menjelaskan hukum

sekadar sebagai bagian dan sistem norma belaka dalam sistem sosial, maka Wiener, pemil ik teori itu justru menempatkan hukum sebagai pusat kekuatan, pengendali, dan pengikat keseluruhan unsur-unsur sistem sosial. Perbedaan esensial penggunaan teori ini dalam hubungan dengan analisis hukum telah menunjukkan bahwa orang semacam Parson telah menggunakan teori-teori mekanis secara berlawanan atau mengingkari esensi teori-teori itu. Sehingga mengakibatkan tidak objektifnya hasil penggunaan teori-teori itu. Tentang hal ini dilihat lebih lanjut dalam : Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial, 1984, h1m.115.

Page 20: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

perintah, dan refleksi dari keterpahamannya terhadap perintah yang ia terima,

sering menunjukkan kesenjangan antara jumlah perintah dengan reaksi atas

perintah yang dikirim itu, sehingga kesalahpahaman, kesenjangan pengertian;

merupakan kecenderungan seperti apa yang oleh Gibbs diperkenalkan kepada kita

yaitu, pertumbuhan entropi.

Wiener tidak menemukan perbedaan esensial antara proses pemberian dan

penerimaan perintah pada mesin dan manusia. Manusia menerima perintah melalui

sistem sarafnya yang bekerja menyerupai sistem mekanis, yaitu melakukan proses

seleksi terhadap perintah (pesan) yang diterimanya. Proses ini berlangsung pada

sistem saraf yang berfungsi sebagai organ seleksi (sensory organ), setelah terlebih

dahulu berlangsung proses penerimaan melalui saraf penerima (receptor-organ),

seperti misalnya oleh saraf kinestesia (kinaesthesia), yang secara keseluruhan

dikoordinasikan oleh sistem saraf manusia.

Cybernetics menaruh perhatian besar terhadap proses penyelenggaraan

pesan (messages) dalam proses komunikasi itu. Perhatian terpenting oleh

Cybernetics ditempatkan pada kesamaan karakteristik yang menjadi dasar dari

proses komunikasi itu. Cybernetics akhirnya merupakan suatu teori pesan,

khususnya teori tentang kontrol otomatis yang berlangsung pada proses sistem

pesan itu, yaitu yang hakikatnya adalah suatu sistem kontrol mekanis.

2. Prinsip-Prinsip Dasar Cybernetics

Pada dasarnya Cybernetics merupakan teori pesan searah, yaitu proses

komunikasi (sistem komunikasi) antara pemberi pesan dengan penerima pesan.

Page 21: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Pemberi pesan merupakan pihak pertama yang memberi pesan kepada pihak kedua

(penerima pesan) yang mengakibatkan timbulnya reaksi pada pihak kedua untuk

memberikan informasi kepada pihak pertama, sejumlah kehendak pihak pertama.

Tanpa adanya pesan dari pihak pertama, pihak kedua tidak akan memberi reaksi

kepada pihak pertama. Sehingga pihak pertama, melalui pesan yang diberikannya,

juga berkedudukan sebagai pusat energi yang mendorong pihak kedua untuk

bereaksi, dan sebagai pengendali (controler) yang mengakibatkan pihak kedua

hanya melakukan kegiatan (reaksi) sejumlah kehendak pihak pertama. Karenanya,

teori ini disebut juga teori energi searah, atau juga teori kontrol searah.

Menurut Wiener, hakikat dari suatu sistem komunikasi adalah sistem pe-

rintah searah, dan sistem pengendalian searah. Sistem komunikasi itu merupakan

proses hubungan antara "pemberi pesan" (komunikan I) dengan "penerima pesan"

(komunikan II), melalui hal itu komunikan I memberikan pesan kepada komunikan

II. Jawaban dari (pesan balik) komunikan II semata-mata dianggap sebagai reaksi

otomatis (akibat) yang disebabkan oleh adanya aksi (pemberian pesan) dari

komunikan I, dan adanya pengendalian searah dari komunikan I yang

mengakibatkan komunikan II memenuhi kehendak (perintah - pesan) dari

komunikan I. Dalam formulasi kedua (control the action of another person) dari

pernyataan Wiener itu, proses perintah searah ini menjadi lebih tegas lagi. Bahwa

bagi Wiener, sistem pesan dan sistem kontrol otomatis itu hakikatnya adalah sistem

pemberian perintah (imperative mood-order) searah. Karena bagi Wiener, pesan

Page 22: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

balik (reaksi) dari komunikan atas pesan atau kontrol yang diberikan oleh

komunikan I adalah refleksi dari pemahaman dan penerimaan komunikan II atas

perintah yang diberikan oleh komunikan I.

Gambar 2

Desain Proses Sistem Komunikasi Menurut Cybernetics

Keterangan:

PP = pusat perintah; melalui tindakan (action);

input = data hasil tindakan;

proses = penerimaan dan Pegolahan data;

output = hasil pengolahan data; menghasilkan reaksi tindakan/ informasi balik;

kontrol = monitor terhadap proses pengolahan data;

feedback = hasil kontrol; berfungsi sebagai input bagi proses berikutnya.

PP / K I

inputaksi

Proses outputreaksi

feedback

kontrol

Page 23: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Komunikan I atau pemberi perintah hanyalah bertugas melepaskan perintah

kepada komunikan II, dan perintah itu yang kemudian secara otomatis dianggap

melakukan pengendalian otomatis terhadap proses pada K II, yang akhirnya

membuat K II secara otomatis berproses dan memberikan reaksi sesuai dengan

perintah (kehendak) K I. Gambaran ini sekali lagi lebih memenuhi karakteristik

sistem pada kesatuan-kesatuan mekanis (mesin), sebab setiap mesin akan bekerja

secara otomatis setelah menerima instruksi. Proses penyaluran perintah ini dapat

diamati pada setiap proses mekanis pada benda-benda mekanis, seperti komputer,

tangga otomatis, proyektor film, dan lain-lain. Menurut Wiener, hal serupalah yang

juga dianggap berlangsung pada sistem perilaku manusia37.

Teori cybernetics ini akan digunakan untuk melakukan analisis terhadap

anggota Pansus 22, yaitu Pansus yang ditugasi untuk membahas RUU 32 tahun

2004 tentang pemerintahan daerah. Sebagai anggota dan kepanjangan tangan dari

37 Sebagian analogi Wiener ini mungkin benar. Tetapi generalisasi teori Wiener yang seutuhnya diterapkan terhadap sistem perilaku manusia merupakan pusat kekeliruan Wiener untuk sebagian lain dari analoginya. Proses sensorik yang berlaku pada manusia dalam menentukan sikap sehubungan dengan perintah yang datang dari luar dirinya mungkin benar, seperti ketika ia melakukan perbandingan antara proses komunikasi antara sistem saraf manusia dengan mesin. Tetapi kelirulah jika output pada mesin dipastikan sama dengan output yang dihasilkan oleh proses sistem dalam diri manusia. Benarlah Wiener menyatakan bahwa reaksi (output) yang dihasilkan oleh proses sistem mekanis akan sama besar (sesuai) dengan input yang diterimanya. Tetapi, kelirulah jika rumusan ini diterapkan terhadap proses sensorik yang berlaku dalam diri manusia. Dalam proses penerimaan dan pengolahan pesan, mungkinlah berlangsung proses mekanis secara analogis, tetapi dalam hal output; mesin dan manusia lebih sering berbeda. Hal ini mungkin akan lebih mudah dipahami jika pada satu bagian manusia dimengerti sebagai sistem tertutup, terutama dalam menerima dan otomatisasi pengolahan pesan itu. Tetapi sikap dan perilaku menyimpang yang lebih sering diperlihatkan manusia mungkin akan lebih mendekatkan ia pada penjelasan bahwa manusia juga menyerupai proses sistem terbuka, dengan mempertimbangkan bahwa manusia merupakan kesatuan yang memiliki energi otonom, yang memungkinkan ia bertindak secara berlawanan dengan perintah. Dalam hal ini akan lebih tepat menempatkan manusia tidak dalam konteks mekanis (sistem tertutup), melainkan secara kontekstual menempatkannya pada sistem terbuka (high type of system) yang mengakui komponen-komponen nonmekanis yang ada pada ma-nusia. Wiener pada mulanya juga sangat mempertimbangkan unsur-unsur nonmekanis manusia seperti terminologi "soul", "life" dan lain-lain. Tetapi dorongan untuk menyusun teori komunikasi yang sifatnya aplikatif bagi seluruh sistem komunikasi, telah mendorongnya hanya mempertimbangkan komponen-komponen mekanis pada manusia. Kelemahan ini mungkin Iebih mudah dijelaskan melalui teori hukum yang dibentuknya.

Page 24: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

fraksi, anggota pansus akan memperjuangkan kepentingan politik fraksinya.

Demikian juga fraksi, sebagai kepanjangan tangan dari partai, akan

memperjuangkan kepentingan partainya terhadap muatan dan isi UU 32 tahun

2004, terutama kepentingan dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepada

daerah. Semua aktivitas politik yang dilakukan dan diperjuangkan oleh anggota

pansus 22 akan selalu dikontrol dan dikendalikan oleh partainya masing-masing

melalui fraksinya masing-masing di DPR RI.

1.4.4 Teori Implementasi/Penegakan Hukum dari Joseph Goldstein

Menurut Muladi, implementasi atau penegakan hukum ( law enforcement )

adalah suatu usaha untuk menegakkan dan sekaligus nilai-nilai yang ada

dibelakang norma-norma tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa, penegakan

hukum yang ideal harus disertai kesadaran bahwa penegakan hukum merupakan

subsistem sosial, sehingga pengaruh lingkungan cukup berarti, seperti pengaruh

politik, ekonomi sosial budaya, Hankam, Iptek, pendidikan dan sebagainya. Itulah

sebabnya penegakan hukum tidak bisa hanya dapat mengandalkan logika dan

kekuasaan saja38.

Untuk dapat menganalisis interaksi politik dalam implementasi atau

penegakan UU Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanannya, penstudi

38 Dalam Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro press, Semarang, Cet II 2002, hal 69.

Page 25: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

memilih menggunakan teori penegakan hukum

( law enforcement ) dari Joseph Goldstein39, yang melihat bahwa implementasi

atau penegakan hukum pidana dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : (1) Total

Enforcement, (2) Full Enforcement dan (3) Actual Enforcement. Penegakan hukum

menurut Goldstein ini berpangkal dari konsep penegakan hukum pidana

sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif ( substantive law of

crimes ), namun dalam realitasnya hal ini dimungkinkan dapat dilakukan

sepenuhnya, sebab adanya pembatasan dalam hukum acara sendiri sehingga

membatasi ruang gerak, disamping pengaruh dari faktor penegak hukum itu

sendiri. Oleh karena itu ada ruang dimana tidak dapat dilakukan penegakkan

hukum ( Area of No Enforcement ).

Hampir sama dengan Total Enforcement, Full Enforcement merupakan

ruang sisa dari Total Enforcement yang dikurangi oleh Area No Enforcement,

merupakan ruang dimana penegak hukum tidak dapat berjalan sebagaimana

mestinya. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan yang dimiliki oleh penegakan

hukum itu sendiri. Pada Full Enforcement ini juga digunakan diskresi oleh penegak

hukum untuk memutuskan, melanjutkan atau tidak terhadap kasus tersebut.

39 Joseph Goldstein, Police Discretion Not to invoke the Criminal Proses: Low – Visibilty Disision in the Administration of Justice, dalam Goerge F. Cole, Criminal Justice: Law and Politics, secon edition, 1975.

Page 26: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Sementara Actual Enforcement adalah ruang penegakan hukum yang

sesungguhnya.

Atas dasar konstruksi pemikiran Joseph Goldstein di atas, memberi

pemahaman bahwa dalam implementasi atau penegakan hukum tidak mungkin

dapat dilaksanakan secara total enforcement atau full enforcement karena pertama,

secara substansial ketidakmungkinan hukum dapat menjangkau sampai pada

tujuannya ( ketertiban, keteraturan dan keadilan ) karena adanya pengaruh dan

intervensi dalam implementasinya40, terutama implementasi hukum bidang politik.

Kedua, adanya keterbatasan sarana dan prasarana di lingkungan penegak hukum.

Ketiga, adanya intervensi atau campur tangan baik dari dalam maupun luar

lembaga41, terutama intervensi kekuatan kekuasaan dan politik.

Pendapat Goldstein tentang penegakan hukum tersebut semakin

mendekatkan pada kebenaran untuk memotret implementasi atau penegakan

hukum bidang politik di Indonesia, khususnya implementasi UU Nomor 32 Tahun

40 Contoh yang bagus untuk menjelaskan hal ini adalah seandainya KUHP itu diberlakukan secara sepenuhnya atau total enforcement, maka penjara akan penuh dengan pengemis, kerena para pengemis atau gelandangan yang berada di jalan dapat dikenakan sanksi pidana karena menggangu ketertiban umum.

41 Contoh yang bagus untuk menjelaskan hal ini adalah penegakan hukum pidana, dimana dalam KUHAP dikatakan setelah ada laporan dari masyarakat, polisi berkewajiban untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, namun tidak semua laporan masyarakat tersebut dapat dilakukan penyelidikan dan penyidikan dengan cepat oleh polisi karena adanya keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Polisi. Selain keterbatasan sarana dan prasarana di lingkungan penegak hukum menjadi penyebab ketidakmungkinan hukum diimplementasikan dengan secara sepenuhnya. Ada faktor lain juga menjadikan hukum tidak dapat ditegakkan secara total karena adanya intervensi baik dari luar maupun dari dalam, seperti kepentingan oknum penegak hukum para pengacara dan intervensi dari penguasa maupun politik.

Page 27: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya mengatur tentang pemilihan

Kepala Daerah. Sejak dalam pembentukannya, undang-undang ini sarat dengan

konflik kepentingan politik ( conflict of interest ) oleh fraksi-fraksi, meskipun

akhirnya ada konsensus dan kompromi politik, tetapi bukan berarti tidak

menyisakan konflik karena di dalam konsensus dan kompromi politik tersebut ada

pihak yang lebih diuntungkan dan ada pihak yang merasa dirugikan. Belum

selesainya konflik secara tuntas dalam pembentukan undang-undang menjadi

kendala dalam tahap implementasinya karena nampak adanya ketidakadilan dan

ketidaksamaan hak politik. Inilah yang menjadikan undang-undang tersebut tidak

dapat dilaksanakan secara penuh ( full enforsement ) karena adanya ruang atau area

dimana hukum tidak dapat dilaksanakan ( Area No enforcement ).

1.4 Definisi Operasional

Dari judul dan permasalahan disertasi, maka perlu diberikan definisi

operasional agar tidak salah kaprah dalam menggunakan dan memaknai bahasa dan

istilah dalam kerangka disertasi ini.

1.5.1 Interaksi Politik

Yang dimaksudkan interaksi politik dalam disertasi adalah hubungan yang

saling mempengaruhi dan menekan antar kekuatan-kekuatan politik yang ada

Page 28: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

dalam institusi DPR RI maupun antar kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam

institusi DPR RI dengan kekuatan politik di luar seperti pressure group, interest

group, elit politik, sampai kepada pendapat umum ( public opinion ). Interaksi

politik yang dimaksud dalam disertasi ini adalah interaksi politik yang terjadi

dalam proses revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah oleh

anggota legislatif di DPR RI, anggota Pansus 22, dan Mendagri selaku wakil dari

pemerintah.

1.5.2 Pembentukan Hukum

Pembentukan hukum yang dimaksud dalam judul disertasi ini adalah proses

pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai hasil revisi Undang-

Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dianggap tidak

lagi sesuai dengan perubahan ketatanegaraan pascaamandemen UUD 1945 dengan

dinamika demokrasi yang berkembang di masyarakat menjadi UU Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

1.5.3 Implementasi hukum

Yang dimaksud dengan implementasi hukum dalam disertasi ini yaitu

penegakan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam

pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Jawa Tengah yang pada tahun 2005.

Page 29: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

1.5 Metode Penelitian

Sebelum peneliti lebih jauh memaparkan hasil penelitian yang diperoleh,

terlebih dahulu dipaparkan metode penelitian yang dilakukan, termasuk justifikasi

terhadap pilihan metode dan pendekatan yang digunakan. Hal ini penting, karena

metode penelitian tidak hanya membicarakan bagaimana cara atau langkah-

langkah di lapangan yang berkenaan dengan data tersebut diperoleh serta

dianalisis, tetapi lebih dari itu, metode penelitian juga membicarakan paradigma

yang digunakan dalam mencoba memahami serta menginterpretasikan data

berdasarkan fakta yang ada, serta membicarakan bagaimana sifat data yang

diperoleh, dan bagaimana posisi peneliti dalam melihat data.

1.6.1 Paradigma Penelitian

Istilah paradigma berasal dari istilah Latin, yaitu paradigm yang berarti pola.

Kemudian kata paradigm diintroduksi oleh Khun dalam dua pengertian utama,

yaitu : pertama, sebagai totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan nilai, persepsi,

dan teknik yang dianut oleh akademisi maupun praktisi disiplin ilmu tertentu yang

mempengaruhi cara pandang realitas mereka. Kedua, sebagai upaya manusia

untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan yang mampu menjungkirbalikkan

semua asumsi maupun aturan yang ada.42

42 Lihat Sofian Efendi, Paradigma Pengembangan dan Administrasi Pembangunan, dalam LAN RI, Laporan Temu Kaji dan Peran Ilmu Administrasi dan Manajemen dalam Pembangunan, 1988.

Page 30: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Pendapat Khun di atas kemudian diintroduksi lagi oleh Scott, yaitu bahwa

paradigma diartikan sebagai pencapaian hal yang baru dan dijadikan sebagai pola

untuk pemecahan masalah masa yang muncul di masa mendatang. Hal menarik

dari pengertian ini adalah bahwa paradigma adalah cara pemecahan suatu masalah

yang seharusnya memiliki daya prediksi masa depan. Selain itu, paradigma

diartikan sebagai kesatuan nilai, ide, ukuran dan pandangan umum yang oleh

kalangan ilmuwan tertentu digunakan sebagai cara kerja ilmiah 43

Dalam suatu penelitian, paradigma merupakan persoalan dasar atau subject

matter yang perlu dilihat, sebab paradigma akhirnya akan berpengaruh terhadap

keseluruhan langkah dalam proses penelitian yang sedang dilakukan, baik

menyangkut bagaimana cara melihat, maupun memproses serta menganalis data.

Bahkan perbedaan paradigma dengan sendirinya akan berpengaruh pada perbedaan

konsep, teori, asumsi dan kategori tertentu yang melatarbelakangi penelitian

tersebut dan oleh karenanya berujung pada perbedaan simpulan yang diambil. Oleh

karena itu, dalam perspektif paradigma persoalannya bukan “benar atau salahnya”

suatu penelitian, tetapi landasan paradigma apa yang melatarbelakangi penelitian,

menjadi sangat penting untuk diketahui. Paradigma dalam penelitian ini dipahami

sebagaimana Guba dan Lincoln memahaminya sebagai “set of basic beliefs” atau

keyakinan dasar sebagai sistem filosofi utama, induk atau “payung”, yang

43 Lihat Mustopadijaya, Paradigma-Paradigma Pembangunan Administrasi Negara dan Manajemen Pembangunan , dalam LAN RI, Ibid, hlm 78.

Page 31: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

merupakan konstruksi manusia ( human construction ),44 bukan dalam pengertian

agama atau wahyu yang datangnya dari Illahi, tetapi lebih didasari pada bagaimana

subjek ( baca : Peneliti ) meyakini dunianya. Untuk itu, Paradigma tidak hanya

dipandang sebagai “pendekatan atau approach”45 ataupun “subject matter”

( substansi ) dalam ilmu pengetahuan,46 tetapi lebih dari itu yaitu ideologi atau

keyakinan terhadap bidang yang akan ditekuni, sehingga disanalah menurut

Thomas Kuhn ilmu pengetahuan dianggap bermula, berasal, berakar, dicetak, dan

bersumber/mengalir.47 Hal ini dikarenakan paradigma merupakan “disciplinary

matric”, yakni suatu pangkal, wadah, tempat, cetakan, atau sumber disiplin ilmu

pengetahuan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma

“constructivism”. Dipilihnya konstruktivisme sebagai paradigma dalam penelitian

ini tentunya didasari oleh beberapa hal, seperti yang disebutkan di bawah ini :

a. Dilihat dari objek yang diteliti tentang interaksi politik dalam pembentukan

hukum dan implementasinya, maka terlihat bahwa dalam perspektif ontologinya

terlihat bahwa objek penelitiannya bersifat plural, yaitu banyak faktor yang

44 Guba dan Lincoln, Competing Paradigms In Qualitative Research, di dalam N. K. Danzin dan Y. S. Lincoln (Ed) Handbook of Qualitative Research, Sage Publication, London, 1994, hal 108

45 W.L. Nouman, Social Research Methods dalam Erlyn Indarti, Legal Constructivism: Paradigma Baru Pendidikan Hukum Dalam Rangka Membangun Masyarakat Madani, Majalah Masalah-masalah Hukum Vol. XXX No. 3 Juli-September 2001, Hal139-153.

46 Menurut George Ritzer, a Paradigm is a fundamental image of the subject matter within a science. It serves to define what should be studied, what questions should be asked, how they should be asked, and what rules should be followed in interpreting the answer obtained. The paradigm is the scientific community (or sub community) from another. It subsumes, defines, and interrelates the exemplars, theories and methods and instruments that exist within it. Lihat George Ritzer, Sociology: a Multiple Paradigm Science, Boston Allyn and Bocon, 1975, hal. 7

47Karya Thomas Khun ini tertuang dalam : The Structure of Scientific Revolution, Chicago University Press, 1962, 2nd ed. 1970.

Page 32: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

melingkupi sebagai suatu proses politik, yang tidak lepas dari pengalaman

sosial, individual, latar belakang sosial politik, budaya, ekonomi, dan

pendidikan para aktornya.

b. Demikian juga konsep implementasi hukum, banyak faktor yang melingkupi.

Hal tersebut dapat dipahami karena hukum itu suatu realitas sosial sekaligus

konstruksi sosial, sehingga kebenaran akan pemahaman suatu konsep sangat

tergantung pada bagaimana masyarakat tersebut melakukan interpreatif

terhadap fenomena yang ada.

c. Di samping itu, pemilihan paradigma konstruktivisme berkaitan dengan tujuan

dari penelitian ini yaitu untuk melakukan rekonstruksi data-data yang sangat

plural untuk dikonstruksikan menjadi konsep hukum, dalam hal ini hukum yang

mengatur pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lebih

demokratis, berkualitas, dan efisien.

1.6.2 Metode Pendekatan dan Jenis Penelitian.

Metode yang digunakan dalam studi ini yaitu Yuridis sosiologis atau Sosio-legal

approach. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mempelajar keterkaitan hukum dengan

institusi sosial lainnya. Sebab, pada dasarnya, institusi hukum tidak dapat dilihat

sebagai entitias normatif yang mandiri atau isoterik, tetapi justru harus dilihat sebagai

bagian darai sistem sosial yang tentu saja kait mengkait dengan variabel-variabel sosial

lainnya.

Page 33: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Metode kualitatis dipakai untuk menghasilkan data diskritif naratif mengenai

interaksi anggota pansus dan semua pihak yang terlibat dalam pembentukan UU 32 tahun

2004 tentang pemerintahan daerah yang menjadi fokus atau sasaran studi ini. Secara

teknis metode ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode lainnya,

seperti dikatakan Singarimbun48 sebagai berikut, pertama, menyesuaikan metode

penelitian kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua,

metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan

responden. Ketiga , metode ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman

pengaruh bersama pola-pola nilai yang dihadapi.

Melihat objek penelitian ini, yang banyak ditekankan pada perilaku manusia dan

interaksinya yang selalu berubah-ubah sesuai dengan dinamika yang terjadi, maka jenis

penelitian ini adalah kualitatif. Menurut David D. William, sebagaimana yang dikutip

oleh Sanafiah Faisal mengatakan bahwa, Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian

lainnya dalam tiga hal pokok, yaitu (1) pandangan-pandangan dasar (axioms) tentang

sifat realitas yang bersifat ganda dan hasil konstruksi dalam pengertian dan holistik,

hubungan peneliti dengan yang diteliti sifatnya interaktif dan tak dapat dipisahkan,

posibilitas penarikan generalisasi hanya dimungkinkan dalam ikatan konteks dan waktu

(idiographic statements), peranan nilai dalam penelitian merupakan suatu keharusan dan

karenanya penelitian kualitatif tidak bebas nilai sifatnya. (2) Karakteristik pendekatan

penelitian itu sendiri dan (3) proses yang diikuti untuk melaksanakan penelitian

kualitatif49.

1.6.3 Sumber, Metode Pengumpulan dan Analisis Data

1.6.3.1 Sumber Data

48 M. Singarimbun dan Sofian Efenddi , Metode Penelitian Survei, Jakarta : LP3ES, 1995, hl 34.49 Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi, penerbit Y A 3 Malang, 1990,

Hal. 17 .

Page 34: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Ada dua sumber data dalam penelitian ini, yaitu data yang bersifat primer

dan data yang bersifat sekunder. Sumber data yang bersifat primer adalah kata-

kata dan tindakan. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan dalam bentuk

wawancara yang lepas, sehingga pandangan dari masyarakat tentang objek

penelitian ( berupa interaksi politik dalam pembentukan hukum dan

implementasinya ), tercermin dari hasil penuturan yang sifatnya langsung. Sumber

data yang bersifat sekunder berupa sumber-sumber lain yang non-manusia ( non-

human source of information )50 juga dijadikan sumber dalam penelitian ini

seperti : dokumen, rekaman/cetakan ( record ), buku, disertasi/tesis, majalah,

buletin, arsip, dokumen pribadi/dokumen resmi, foto, dan data statistik.

1.6.3.2 Informan Penelitian

Informan kunci yang digunakan sebagai informan awal dalam penelitian ini

adalah :

1. Ketua atau anggota fraksi yang ada di DPR RI sebagai kepanjangan tangan

partai politik dalam pembentukan hukum;

2. Ketua dan anggota Pansus 22;

3. Pejabat staf DPR RI yang terlibat dalam proses penyiapan materi RUU dan

pembahasan RUU Nomor 32 Tahun 2004;

4. Pejabat Depdagri yang ditugasi untuk mempersiapkan dan menyusun pokok-

pokok pikiran RUU Nomor 32 Tahun 2004 dan terlibat juga dalam pembahasan

RUU Nomor 32 Tahun 2004;

50 Sanafiah Faisal, Op Cit, hal 53

Page 35: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

5. Ketua-ketua partai politik di tingkat cabang dan wilayah di Kabupaten yang

menyelenggarakan Pilkada;

6. Ketua dan anggota KPUD Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah yang

menyelenggarakan Pilkada;

7. LSM atau stakeholder yang memantau jalannya Pilkada di Jawa Tengah, secara

independen.

1.6.3.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen utama dalam

mengungkap suatu realitas yang akan diteliti. Karena sebagai pusat dan instrumen

utama dalam penelitian, maka kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup

rumit.

1.6.3.4 Pengamatan ( Observasi )

Setidaknya ada tiga situasi sosial yang diamati dalam penelitian ini,51 yaitu :

lokasi/fisik tempat suatu situasi sosial itu berlangsung, manusia-manusia pelaku

atau actors yang menduduki status/posisi tertentu dan memainkan peranan-peranan

51 Sanafiah Faisal. Op Cit, hal 77

Page 36: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

tertentu, dan kegiatan atau aktivitas para pelaku pada lokasi/tempat berlangsungnya

suatu situasi sosial.

1.6.3.5 Wawancara

Meskipun peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan pusat kegiatan,

namun wawancara sebagai salah satu cara pengumpulan data tetap digunakan,

bahkan dengan wawancara yang sifatnya terbuka dan terstruktur, peneliti bisa lebih

jauh melihat dan memahami realitas sosial yang sedang diteliti.

Namun demikian, dalam wawancara yang dilakukan sejauh mungkin peneliti

menghindari kesan mempengaruhi informan dalam mengungkapkan realitas dan

fakta sosial, sehingga wawancara tersebut berlangsung dalam tataran yang wajar

dan normal.

1.6.3.6 Catatan Lapangan

Di samping kedua instrumen penelitian tersebut di atas

( observasi dan wawancara ), peneliti juga menggunakan catatan lapangan52 sebagai

instrumen pembantu dalam rencana penelitian ini. Dengan catatan lapangan ini

diharapkan mampu menjadi perantara antara apa yang sedang dilihat dan diamati

antara peneliti dengan realitas dan fakta sosial.52 Bogdan dan Biklen mengartikan catatan lapangan sebagai catatan tertulis tentang apa yang

didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Lihat Lexy J. Moeleong, Op Cit, hal 153.

Page 37: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

1.6.3.7 Analisis Data

Aktivitas yang cukup krusial dalam penelitian kualitatif adalah analisis data.

Dikatakan krusial karena pada tahap inilah seluruh data yang terkumpul dimaknai

ulang dan dianalisis, karena melalui pemaknaan ulang data yang terkumpul

menjadi memiliki makna.53

Sesuai dengan paradigma konstruktivisme, maka teknik analisis utama

terhadap data yang terkumpul dalam penelitian ini menggunakan hermeneutik-

dialektikal.54 Hal ini didasari oleh bahwa ekspresi-ekspresi manusia bersisi

komponen penuh makna. Penggunaan hermeneutik sebagai metode analisis data

memposisikan peneliti dan objek penelitian dalam sebuah konteks tradisi, yang

mengimplikasikan bahwa peneliti telah memiliki sebuah pra-pemahaman atas

objek ketika melakukan kajian terhadap objek tersebut, sehingga kenetralan

pemikiran dalam suatu penelitian merupakan suatu kemustahilan.55

53 Menurut Sudarwan Danim, data harus bermakna jika ditafsirkan atau dianalisis pada konteksnya. Lebih jauh lihat Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Ancangan Metodologi, Presentasi dan Publikasi Hasil Penelitian untuk Mahasiswa dan Peneliti Pemula Bidang Ilmu-Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humanioran, Penerbit CV. Pustaka Setia Bandung, 2002, hlm. 209

54 Secara etimologis, kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Istilah hermeneutik ini mengingat pada mitologi Yunani yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus kedalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalah-pahaman tentang pesan dewa-dewa akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Lebih jauh lihat E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Edisi Revisi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1999, hal 23-24

55 Netralitas suatu ilmu pengetahuan menjadi perdebatan yang cukup lama dikalangan ilmu sosial, hal ini ketika para ilmuwan sosial melihat dan melirik kemajuan yang dicapai oleh ilmu eksakta (ilmu alam) dimana paradigmatic positivisme memposisikan peneliti diluar obyek kajian yang akan diteliti.

Page 38: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Penggunaan hermeneutik dalam penelitian ini dilakukan baik pada tataran

metode, filsafat, maupun kritik.56 Pada tataran hermeneutik sebagai suatu metode,

peneliti berlaku sebagai seorang “pendengar yang baik”, di mana informan

khususnya anggota DPR RI dan para pejabat di lingkungan Depdagri, dibiarkan

dengan bebas menceritakan interaksi politik yang terjadi selama proses

pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004, serta bagaimana pendapatnya setelah

diimplentasikannya undang-undang tersebut. Penggunaan hermeneutik ini kiranya

mampu mendeskripsikan fenomenologi “desain” manusia dalam temporalitas dan

historitasnya. Khusus terhadap dokumen hukum ( semua produk hukum yang

berkaitan dengan pemilihan Pilkada ) hermeneutik dipergunakan untuk melihat sisi

dalam serta latar sosial terbentuknya suatu teks

( undang-undang ).57

Data yang diperoleh dari informan ( masyarakat ) dilakukan analisis dengan

menggunakan model interaktif ( interactive model of analysis ) yaitu suatu aktivitas

di mana dari data yang terkumpul dilakukan pemilahan dengan tujuan diperolehnya

Namun demikian keberpihakan terhadap suatu nilai dalam suatu konsep, teori dan atau penelitian merupakan hal yang penting, dan ini menurut Like Wilardjo merupakan ciri dari aksiologis (lebih lanjut lihat Like Wilardjo, Realita dan Desiderata, Duta wacana University Press, Yogyakarta, 1990, h.169). Bahkan Habermas menilai ketidakberpihakan suatu nilai (value free) dalam suatu teori merupakan suatu hal yang ilusi sifatnya. Sebab menurutnya memandang fakta sosial sebagai bebas nilai akan berakibat manipulasi oleh fakta-fakta atas suatu teori ilmu, dan teori itu tidak menyadari bahwa fakta yang dijaringnya itu penuh dengan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai tersendiri. Lihat lebih jauh dalam Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987, Hal. 30. dan dalam Ibrahim Ali Fauzi, Jurgen Habermas, Seri Tokoh Filsafat, Penerbit Teraju, Jakarta 2003. Hal. 44.

56 Lihat Josef Bielcher, Hermeneutika Kontemporer : Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat dan Kritik, (alih bahasa oleh Masmuni Mahatma), Penerbit Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003

57 Menurut S. Sumaryono, hermenutik mau tidak mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hukum. Lebih lanjut menurutnya, interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi, yaitu : yang tersurat dan yang tersirat, atau bunyi hukum dan semangat hukum. Lebih jauh lihat S. Sumaryono, Op Cit, hal. 29

Page 39: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

data yang dinilai relevan terhadap penelitian ini, kemudian data tersebut diolah

guna ditarik menjadi simpulan.58 Cara yang sama juga disarankan oleh Mattew B.

Miles dan Michael Huberman59 yang memberikan gambaran secara skematis

berupa siklus dari proses analisis data penelitian kualitatif, seperti gambar yang

sudah dimodifikasi di bawah ini:

Gambar 3

Siklus analisis data penelitian kualitatif

yang sudah dimodifikasi

1.6.3.8 Validitas Data58 Penggunaan model interaktif (Interactive Model of Analysis) ini menurut Esmi Warasih sangat

tepat digunakan ketika penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif, lebih jauh lihat Esmi Warasih, Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Bahan Pelatihan Metodologi Penelitian Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1999, hal. 52

59 Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta, 1999, hal. 16

Pengumpulan Data

Penyajian data

Reduksi Data

Kesimpulan/ Verifikasi

Page 40: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Pengujian atas kehandalan data ( Validitas ) dilakukan dengan teknik

trianggulasi data,60 yaitu melakukan cek silang antara satu data dengan data yang

lainnya, baik yang diperoleh melalui observasi, wawancara terstruktur maupun

catatan lapangan. Trianggulasi ini tidak hanya dilakukan terhadap data yang

diperoleh dari DPR RI dan Kantor Depdagri serta Partai-Partai Politik, tetapi

karena independensinya turut serta mengawal proses jalannya pembentukan hukum

dan implementasinya, seperti : LSM, Organisasi Pemantau Pilkada, Media Cetak,

Tokoh Masyarakat, dan lain-lain.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

60 Ibid, hal 20

Page 41: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Dalam bab II atau tinjauan pustaka ini penstudi memaparkan hasil

penelusuran terhadap kepustakaan yang terkait dan masih relevan dengan judul

disertasi ”Interaksi Politik dalam Pembentukan Hukum dan

Implementasinya : Studi Tentang Pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004

dan Implementasinya dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di

Jawa Tengah”, sehingga penstudian ini dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya secara akademis.

2.1 Pengertian Interaksi

Dalam kamus politik interaksi dimaknai sebagai bentuk pengaruh-

mempengaruhi, hubungan antara suatu sistem dengan sistem lainnya.61 Menurut

Blumer, interaksi adalah proses dimana kemampuan berpikir dikembangkan dan

diperlihatkan. Semua jenis interaksi tak hanya selama sosialisasi, dan memperbesar

kemampuan kita untuk berpikir, lebih dari itu, pemikiran membentuk proses

interaksi. Dalam kebanyakan interaksi, aktor harus memperhatikan orang lain dan

menentukan kapan dan bagaimana cara menyesuaikan aktivitasnya terhadap orang

lain. Lebih jauh Blumer mengatakan dalam berinteraksi tidak selamanya

melibatkan pemikiran. Blumer membedakan ( mengikuti Med ) dua bentuk

61 Lihat B.N. Marbun, Kamus Politik, Edisi Baru, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Cet. Kedua, Jakarta, 2003, hal 231. Bandingkan juga pengertian interaksi tersebut dalam kamus ”The Little Oxford Dictionary” yang mengatakan bahwa “Interaction is act on each other”. Lihat Julia Swannell (Edited), The Little Ozford Dictionary, F.A. Thorpe Publishing Ltd, Anstly Britain, 1989, hal 281.

Page 42: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

interaksi yang relevan dikemukakan, yakni : (1) interaksi nonsimbolik, yaitu

percakapan atau gerak isyarat ( menurut Med ) tidak melibatkan pemikiran, dan

(2) interaksi simbolik, memerlukan proses mental.62

Dalam perspektif teori interaksi sosial, dikatakan proses interaksi yang

paling efektif adalah interaksi yang dilakukan dengan tatap muka. Dengan tatap

muka ekspresi bahasa dan tingkah laku dapat terlihat secara utuh, yang kemudian

dapat memberikan pemahaman dalam berinteraksi. Dalam situasi tatap muka

subjektifitas orang lain akan muncul dan terbuka. Artinya orang lain akan dengan

bebas memaknai dan menafsirkan setiap bahasa yang muncul yang wujudnya lisan

maupun dalam bentuk sikap dan tingkah laku. Dalam situasi tatap muka orang lain

adalah nyata sepenuhnya. Kenyataan ini merupakan bagian kenyataan hidup

sehari-hari. Dalam tatap muka dapat dipahami tipikasi orang dan tipikasi ini

secara terus menerus mempengaruhi jalannya interaksi. Skema-skema tipikasi

yang muncul dalam tatap muka bertimbal balik. Dalam interaksi terbuka untuk

saling membentuk tipikasi ( campur tangan ). Dengan kata lain, skema-skema

tipikasi dapat bernegoisasi terus menerus dalam situasi tatap muka63.

2.2 Partai Politik dan Peran yang Dilakukan

62 George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Fajar Interpratama Offset, 2004, hal 290.

63 Tom Camblell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan, Kanisius, Jakarta, 1994.

Page 43: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Pengertian politik mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga

karena keluasannya tersebut, maka pembicaraan mengenai politik pada dasarnya

membicarakan negara dengan segala substansi yang ada padanya, baik struktur,

institusi, aparatur, sistem pemerintahan dan lain sebagainya. Selain itu politik juga

menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan, hakekat negara serta bentuk

dan tujuan negara di samping menyelidiki hal-hal seperti pressure group, interest

group, elit politik, pendapat umum ( public opinion ), peranan partai politik dan

pemilihan umum.64

Mendasarkan pada judul disertasi ini, maka yang dimaksudkan dengan

politik adalah kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam DPR RI, yang secara

kelembagaan terwadahi dalam fraksi-fraksi dan perseorangan yang tersebar dalam

komisi-komisi, maupun institusi Depdagri sebagai realitas institusi politik dari

pemerintah. Dengan demikian itu, maka yang dimaksudkan interaksi politik dalam

disertasi ini adalah hubungan yang saling mempengaruhi dan menekan antar

kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi DPR RI maupun antar

kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi DPR RI dengan kekuatan

politik di luar seperti pressure group, interest group, elit politik, sampai kepada

pendapat umum ( public opinion ) .64 Ibnu Kencana Syafie, "Ilmu Politik" Rineka Cipta, hal 19, 1977. Bandingkan juga dengan

pendapat Wilbur White yang mengatakan bahwa politics science adalah " The study of the formation , forms and proceses of the state and governments”, maksudnya ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari asal mula, bentuk-bentuk negara, proses negara-negara dan pemerintahan-pemerintahan. Lihat Wilbur White's Political Dictionary dalam F. Isjawara, Pengantar Ilmu Politik, Dhiwantara Bandung 1987 .

Page 44: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Menurut Raja Louis XIV pada abad 16, partai politik harus didefinisikan

sebagai organisasi perjuangan dan harus sesuai dengan hukum65. Sementara

menurut Ferdinand Lasalle sebelum demokrasi berkembang, peran partai

politik lebih banyak dilakukan oleh pemimpinnya, semua organisasi politik harus

tunduk pada palu yang ada di tangan pemimpinnya. Itulah yang menjadikan para

pemimpin partai politik pada saat itu berwatak diktator66. Namun demikian partai

politik pada saat itu sudah menunjukkan fungsinya sebagai penyanggah demokrasi

karena secara nyata sudah memiliki visi dan tujuan untuk membuat kesejahteraan

umum, yang tidak lain adalah berorientasi untuk merebut kekuasaan. Setelah itu

yang berlaku adalah adagium Actonian yang terkenal itu : power tend to corrupt,

absolutely power tend to corrupt absolutely.

Lain lagi menurut Weber, menurutnya partai politik adalah sarana untuk

perjuangan untuk bersama-sama melaksanakan politik, atau perjuangan untuk

mempengaruhi pendistribusian kekuasaan, baik di antara kelompok-kelompok di

dalam suatu negara atau sebagai “striving to share power on stiving to influence

the distribution of power, either among states or among group within state“

( Sebuah upaya untuk membagi kekuasaan atau sebuah upaya untuk 65 Robert Michels, Partai Politik, Kecenderungan Oligarki dalam Birokrasi, Rajawali Press,

Jakarta, hlm 46. Tulisan Louis XIV sendiri bisa dapat dilihat pada memories de Louis pour L’constructio du Doupin, Paris, Annotes par Charles Deys, 1860, Vol II hlm 123.

66 Ferdinand Lasalle, seorang pendiri partai buruh yang revolusioner pada pada 16, menyatakan bahwa kediktatoran yang nyata ada dalam suatu masyarakat, yang benar secara teoretik, itu harus diwujudkan dalam praktik nyata. Lasalle mengatakan bahwa seluruh anggota masyarakat biasa harus mengikuti apa yang dititahkan oleh pemimpinnya, bahkan secara membabi buta dan tentu saja seluruh organisasi politik Itu cerita organisasi politik di abad ke-16 dimana kediktatoran masih merajalela dan demokrasi belum berkembang seperti sekarang.

Page 45: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

mempengaruhi cara pembagian kekuasaan di antara negara atau kelompok di

dalam

negara )67. Menurut Budiardjo,68 partai politik adalah suatu kelompok yang

terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-

cita yang sama. Tujuan kelompok tersebut adalah untuk memperoleh kekuasaan

dan kedudukan politik, sebagai medium untuk menyampaikan gagasan-gagasan,

tujuan, dan visi yang berasal dari kelompok mereka. Cara yang dilakukan oleh

partai politik untuk kekuasaan dan kedudukan dilakukan dengan mentaati aturan

main bersama agar mekanisme dinamika politik dapat berjalan dengan tertib.

Sepandangan dengan Weber adalah Budiardjo mengatakan tentang tujuan

partai politik secara umum yaitu : (1) sebagai komunikasi politik, (2) sebagai

sarana sosialisasi politik, (3) sebagai sarana rekrutmen politik, dan (4) sebagai

media pengatur konflik. Cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut

antara negara yang satu dengan yang lainnya tentunya berbeda-beda. Perbedaan

tersebut disebabkan karena perbedaan sosiologi politik di setiap bangsa69.

67 Dalam Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Aneka Cipta, Jakarta, 2001, hlm 22.68 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1985, hal 161.69 Dalam Saiful Arif, “Ilusi Demokrasi” Desantara, 2003, hlm 93. Lebih lanjut Budiardjo

mengatakan, bahwa penerapan sistem demokrasi di masing-masing negara yang mengaku demokrasi pun berbeda-beda, ada yang menganut sistem partai tunggal, sistem dwi-partai, dan multi-partai. Masing-masing memiliki argumen dan dasarnya sendiri-sendiri. Umumnya bentuk penerapan sistem partai politik di suatu negara bergantung pada kondisi kekhasan suatu negara itu sendiri, seperti ideologi, kepentingan, wilayah, agama, dan seterusnya.

Page 46: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Pendapat lainnya tentang partai politik yaitu dari Carl j. Friedrich ( 1967 :

419 )70, yang mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia ( a

group of human beings ) yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk

merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi

kepemimpinan partainya. Penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya

berupa kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material. Menurut Soltau

( 1961:199 ) mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara ( a

group of citizenship ) yang mengorganisasikan, yang bertindak sebagai satu

kesatuan politik yang memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan

menguasai pemerintahan dan menyelenggarakan kebijakan publik mereka.

Sigmund Neuman

( 1963:352 ) menjelaskan bahwa partai adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik

( society sagents ) yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta

merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan sedangkan sutau golongan atau

golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda.

Paradigma yang mendasari pemikiran partai politik adalah, bagaimana

memperoleh kekuasaan dan dengan kekuasaan itu dapat menguasai dan

mengendalikan pemerintahan. Paradigma politik ini diapresiasikan ke dalam

berbagai paradigma untuk memperoleh dukungan, seperti kesejahteraan ekonomi,

sosial-budaya, moralitas, kemanusiaan, agama, dan sebagainya. Untuk itu, tidak

70 Ibid hlm 95.

Page 47: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

mengherankan jika lantas ada beberapa partai politik yang landasan pendiriannya

adalah agama, ideologi, kepentingan ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, pada umumnya partai politik hanya bekerja

untuk merebut kekuasaan dalam pemilu. Perkara program partai yang

direncanakan dan dikampanyekan dapat memajukan kepentingan umum bisa

direalisasikan atau tidak merupakan masalah berikutnya. Hal ini yang membuat

politik merupakan panggung yang amat kotor, penuh tipu daya, dan rekayasa71.

2.3 Konsep Tentang Hukum

Sebelum jauh membicarakan tentang pembentukan hukum dan

implementasinya, akan sangat berguna jika terlebih dahulu dipahami tentang

konsep hukum, sehingga akan mampu memberikan pemahaman yang lebih utuh

pengetahuan tentang hukum.

Menurut Hart, HLA, bahwa hukum adalah merupakan sebuah konsep,72 dan

menurut Soetandyo Wignyosoebroto tak ada konsep yang tunggal mengenai apa

yang disebut hukum itu. Menurut pendapatnya dalam sejarah pengajian hukum

71 Didalam demokrasi seringkali aktivitas politik dituding menodai moralitas. Namun demikian, sepanjang tidak melanggar konstitusi secara formal tetap dikatakan demokratis, sebab ukuran demokrasi hanyalah sekadar mekanisme-mekanisme kuantitatif dan bukan akibat apa yang akan ditimbulkan oleh perbuatan itu. Hal itu menunjukkan bahwa demokrasi, apapun bentuknya, lemah akuntabilitas moralnya. Misalnya politik uang (money politics). Tentu saja politik uang hanya bisa dilakukan oleh kelompok yang memiliki basis ekonomi kuat-meskipun memiliki kepentingan yang minimal, sedangkan bagi yang tidak memiliki uang tidak akan bisa melakukan hal yang sama dengan lawan politiknya meskipun mengemban kepentingan politik yang lebih luas dan signifikan. Kejadian ini sangat rentan dan biasa dilakukan oleh partai politik modern, bahkan dalam suatu negara yang dianggap paling demokratis sekalipun, hal seperti itu bisa terjadi.

72 Hart, HLA, The Concept of Law, Oxford at The Clarendon Press London, 1981 hal. 13.

Page 48: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

tercatat sekurang-kurangnya ada 3 konsep hukum yang pernah dikemukakan

orang, yaitu :

(a) hukum sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal, dan

menjadi bagian inheren sistem hukum alam;

(b) hukum sebagai kaidah-kaidah dan positif yang berlaku pada suatu waktu dan

tempat tertentu, dan terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan

politik tertentu yang berlegitimasi; dan

(c) hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem

kehidupan bermasyarakat, baik dalam proses-proses pemilihan ketertiban dan

penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan

pola-pola perilaku yang baru.73

Dijelaskannya pula, bahwa konsep tersebut (a) di atas ada konsep yang

berwarna moral dan filosofis, yang melahirkan cabang kajian hukum yang amat

moralistis. Konsep (b) jelas kalau konsep positivistis tidak hanya Austinian juga

yang pragmatik realis dan yang Neo-Kantian atau Kelselian yang melahirkan

kajian-kajian Ilmu hukum positif. Konsep-konsep (c) adalah konsep sosiologik

atau antropologik, yang kemudian melahirkan kajian-kajian sosiologi hukum,

antropologi hukum, atau cabang kajian yang akhir-akhir ini banyak dikenal dengan

nama "hukum dan masyarakat”.74 Apa yang disebutkan terakhir inilah yang

menjadi topik pembahasan tulisan ini. Selain itu, patut dicatat konsepsi-konsepsi

hukum seperti apa yang diungkapkan di atas juga tidak mencakup dan dapat 73 Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum dan Metode-Metode Kajiannya, BPHN 1980, hal. 2.74 Ibid hal. 2

Page 49: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

memasukkan seluruh konsepsi tentang hukum yang berlaku pada masa akhir-akhir

ini.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, dalam arti luas konsepsi hukum tidak

hanya merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur

kehidupan manusia dalam masyarakat tetapi meliputi pula lembaga/institusi dan

proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah dan asas-asas itu dalam

kenyataan.75 Konsepsi ini dapat dinilai sebagai konsepsi yang kompromistis.

Djojodigoeno mengajukan suatu konsepsi yang tidak memandang hukum

sebagai rangkaian pengugeran, seperti pada tahun lima puluhan, tetapi sebagai

rangkaian pengugeran ( normering ) tingkah laku dan perbuatan orang.

Pengugeran ini ukurannya, ialah ”unsur-unsur yang menentukan cita-cita keadilan

yang hidup dalam masyarakat” dan ”pengugeran” harus langsung dipergantungkan

pada perikatan-perikatan yang menentukan peragaan masyarakat dan nilai-nilai

yang dijunjung rakyat dalam hubungan timbal balik dan saling menentukan.

Selanjutnya dikatakan :

“een onophoudelijk zich vernieuwend process van normeringen door een gemeenschap, rechtstreeks of door middel van hare gezagsorganen, van de voor zakelijk verhouding en relevante handelingan van hare leden, dat de zin heeft orde, gerechtigheid en gezamelijke welvaart te funderen en te onderhouden”. (hukum adalah suatu proses pengugeran yang terus menerus memburu yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung atau dengan perantaraan alat 75 Mochtar Kusuma Atmadja, Pidato sambutan dan pengarahan Menteri Kehakiman pada Upacara

Pembukaan Sejarah Hukum BPHN, Simposium Sejarah Hukum, Buana cipta Bandung, 1976, halaman 5.

Page 50: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

kekuasaannya, perihal perbuatan-perbuatan dalam hubungan pamrih (lugas) dan tindak laku dari anggota-anggotanya, yang mempunyai makna untuk memberi dasar dan mempertahankan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan bersama).76

A.A.G. Peters memandang hukum sebagai bagian dari masyarakat. Ia

melihat di dalam hukum itu, di satu pihak endapan dari perbandingan kekuatan

yang nyata dan kepentingan-kepentingan yang dominan, sedang di lain pihak juga

aspirasi untuk keadilan dan legitimitasi. Ajaran ini mengkaji hukum dengan

ukuran-ukuran yang dipergunakan oleh hukum itu sendiri. Ia hendak mengetahui

sejauh mana di belakang bentuk juridis yang universal tersembunyi isi yang khas,

yang ditentukan oleh perbandingan kekuatan

( power relationship ) dan struktur kepentingan. Watak hukum yang

sesungguhnya dapat dipahami dari aspirasi-aspirasi menuju hukum yang optimal,

yang melekat pada asas-asas hukum, yang tertuju mengurangi kesewenang-

wenangan penguasa dan melindungi hak-hak asasi manusia.77

Walaupun tiga pendapat yang disebutkan terakhir, tidak dapat dimasukkan

ke dalam salah satu konsepsi mengenai hukum seperti yang dikemukakan oleh

Soetandyo, tetapi kalau diteliti secara seksama ketiga pendapat tersebut ternyata

hukum sebagai realita, masyarakat diberi penekanan secara khusus, sehingga 76 Djojodigoeno, M.M. What is Recht?; Over de aard van het recht asssocial process van

normeringen, UNTAG University Press, Jakarta, 1971, G. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1977, halaman 15.

77 Peters, AAG, Het rechtskarakter van het recht, Deventer, 1972, lihat Soedarto, Op. Cit, halaman 17.

Page 51: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

tidak berlebihan bila dikatakan pendapat tersebut juga sebagai bentuk variasi

daripada konsepsi hukum yang sosiologik.

Bilamana berbicara tentang hukum dalam perspektif sosial, ada beberapa

perspektif tentang ( fungsi ) hukum di dalam masyarakat.

Antonie A.G. Peters mengemukakan ada tiga perspektif yaitu :

Perspektif kontrol sosial dari hukum. Tinjauan demikian ini dapat disebut

sebagai tinjauan dari sudut pandangan seseorang polisi terhadap hukum ( the

policeman view of the law ). Untuk memahami fungsi hukum dalam perspektif

ini dapat diajukan teori Emile Durkheim;

Perspektif kedua dari fungsi hukum di dalam masyarakat adalah perspektif

Social Engineering, merupakan tinjauan yang dipergunakan oleh para pejabat (

the official's perspective of the law ) dan oleh karena pusat perhatiannya adalah

apa yang diperbuat oleh pejabat penguasa dengan hukum, maka tinjauan ini

kerapkali disebut juga the technocrat's view of the law. Yang dipelajari di sini

adalah sumber-sumber kekuasaan yang dapat dimobilisasikan dengan

menggunakan hukum sebagai mekanisme. Untuk memahami hukum dalam

perspektif ini diajukan teori Max Weber mengenai hukum dan perubahan

masyarakat.

Page 52: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Perspektif yang ketiga adalah perspektif emansipasi masyarakat dari hukum.

Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum ( the bottom's up

view of law ) dan dapat pula disebut sebagai perspektif konsumen ( the

consumer's perspective of the law ). Dengan perspektif ini ditinjau

kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan hukum sebagai sarana untuk

menampung aspirasi masyarakat. Untuk memahami fungsi hukum dalam

perspektif emansipasi masyarakat dari hukum, oleh Peters ditunjuk konsepsi

yang dikemukakan oleh Philipe Nonet dan Philip Selznick mengenai hukum

responsif.78

Apa yang dikemukakan oleh Peters di atas masih dapat dipersoalkan lebih

lanjut, misalnya berkenaan dengan konsepsi ”social engineering” kiranya tidaklah

sesempit yang dikemukakan oleh

Peters, karena seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto tentang social

engineering merupakan cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang

teratur dan direncanakan terlebih dahulu, yang mengandung makna hukum sebagai

alat untuk merubah masyarakat79. Yang masih dapat dikaitkan dengan apa yang

dikemukakannya di dalam tulisannya yang lain adalah salah satu fungsi hukum

78 Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni Bandung, 1982. halaman 10 - 11.

79 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Rajawali Press, Jakarta, 1980, halaman 115.

Page 53: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial ( law as a facilitation of

social interaction ).80

Atau seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo di dalam

disertasinya, bahwa hukum sebagai sarana social engineering adalah

penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan

masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-

perubahan yang diinginkan.81 Namun karena hal itu tidak perlu untuk

diperdebatkan karena dalam tulisan ini hanya ingin menyoroti bagaimana pengem-

bangan konsep sosiologik tentang hukum yang dikaitkan dengan salah satu

perspektif yang diungkapkan oleh Peters.

Pandangan yang dikemukakan di atas adalah senada pula dengan apa yang

dikemukakan oleh Lawrence Rosen, seorang ahli sosiologi hukum dari Pronceton

University, yang melihat adanya tiga dimensi penting pendayagunaan pranata-

pranata hukum di dalam masyarakat yang sedang berkembang, yakni :

1. Hukum sebagai pencerminan dan wahana bagi konsep-konsep yang berbeda

mengenai tertib dan kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan pernyataan dan

perlindungan kepentingan masyarakat.

80 Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni Bandung, 1981, halaman 44.81 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial. Alumni Bandung, 1979,

halaman 142.

Page 54: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

2. Hukum dalam peranannya sebagai pranata otonom dapat pula merupakan

pembatas kekuasaan sewenang-wenang, pendayagunaan hukum tergantung

pada kekuasaan-kekuasaan lain di luarnya.

3. Hukum dapat didayagunakan sebagai sarana untuk mendukung dan mendorong

perubahan sosial ekonomi.82 Namun di sini tidak tergambar kemungkinan

berperannya hukum sebagai sarana penampung aspirasi masyarakat.

2.4 Ciri-Ciri Hukum

2.4.1 Ciri-Ciri Hukum Represif

Setiap aturan hukum berpotensi represif, karena dalam hal tertentu dia

sangat terikat pada status quo dan selalu tampil sewenang-wenang agar kekuasaan

bisa efektif. Karena itu ciri-ciri hukum yang represif adalah sebagai berikut :

1. Lembaga-lembaga hukum secara langsung mempunyai akses kepada kekuasaan

politik, sehingga hukum diidentifikasikan dengan negara.

2. Perhatian utama para pejabat hukum adalah bagaimana melestarikan kekuasaan.

3. Para aparat hukum yang khusus, seperti polisi, memiliki kekuasaan yang

independen, terisolasi dari konteks sosialnya, dan mempunyai kemampuan

untuk mempertahankan kekuasaannya.

4. Penguasa memiliki hukum ganda, yaitu dengan melembagakan keadilan kelas (

class justice ) dan melegitimasi pola-pola subkordinasi sosial.

82 Mulyana W. Kusumah, Peranan dan Pendayagunaan Hukum dalam Pembangunan, Alumni Bandung, 1982, halaman 4–5.

Page 55: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

5. Hukum pidana mencerminkan dominasi kekuasan dan dilestarikannya

moralisme hukum.83

Menurut Philip Nonet dan Philip Selznick dalam bentuknya yang jelas dan

sistematis, hukum represif menunjukkan karakter-kerakter berikut ini84 :

1. Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik; hukum

diidentifikasikan sama dengan negara dan disubkordinasikan pada tujuan

negara ( raison d'etat ).

2. Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam

administrasi hukum. Dalam ”perspektif resmi” yang terbangun, manfaat dari

keraguan ( the benefit of the doubt ) masuk ke sistem, dan kenyamanan

administratif menjadi titik berat perhatian.

3. Lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, menjadi pusat-

pusat kekuasaan yang independen; mereka terisolasi dari konteks sosial yang

berfungsi memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik.

4. Sebuah rezim ”hukum berganda” ( ”dual law” ) melembagakan keadilan

berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola

subkordinasi sosial.

5. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan; moralisme hukum yang

akan menang.

83 Ibid, hal. 33.84 Philip Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Pilihan Masa Depan, Huma, 2003, hal

26. Buku ini judul aslinya adalah “Law & Society in Transition : Toward Reponsive Law.

Page 56: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Sebelum diuraikan lebih lanjut ciri-ciri hukum yang represif, maka perlu

dijelaskan dulu istilah ”keadilan kelas” ( class justice ) dan ”moralisme hukum”.

Gagasan tentang ”class justice” 85 memberi jalan kepada hukum untuk

melegitimasi dan secara paksa melembagakan ”class justice”. Hal itu disebabkan

ada integrasi hukum dan politik yang erat dalam bentuk subordinasi langsung

lembaga-lembaga hukum dengan elit-elit publik dan privat yang memerintah.

Hukum merupakan alat yang dapat dibengkokkan yang siap sedia berkonsolidasi

dengan kekuasaan dan menjaga privatisasi. Selanjutnya, diskresi pejabat

merupakan sesuatu yang tak terhindarkan yang segera menghasilkan dan

merupakan jaminan bagi penyalahgunaan hukum untuk kekuasaan. Sebaliknya

”moralitas hukum” tidak cocok dengan moralitas komunal dimana sebuah

komunitas mempunyai moralitasnya sendiri yang harus dipertahankan dan

dipelihara. Namun moralitas hukum mencoba untuk membuat modelnya sendiri

dalam sebuah lembaga yang akan membedakannya dengan anggota lain yang

bukan termasuk dalam lembaga yang bersangkutan. Model-model itu bisa berupa

nilai-nilai khusus yang harus dikejar oleh lembaga yang bersangkutan sehingga

bisa dijadikan aturan perilaku bagi para anggotanya dan sekaligus menentukan

bagaimana perilaku yang benar itu dan mana pula yang tidak benar. Tujuannya

agar dapat membimbing perilaku manusia secara efektif.

85 Ibid, hal. 44-46.

Page 57: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Selanjutnya, dijelaskan pula ciri-ciri hukum yang represif,86 Pertama, norma

menjadi tujuan bagi dirinya sendiri, bukan sebagai sarana sebagaimana yang

dipahami selama ini. Kedua, norma itu tampaknya tidak cukup kuat berlaku bagi

penguasa. Norma itu berlaku untuk orang-orang kecil. Ketiga, apabila terjadi

diskresi, maka hal itu dilakukan semata-mata berdasarkan selera penguasa atau

pejabat hukum yang bersangkutan, dan bukan dalam kerangka mencari kebenaran

materiil, Keempat, pelaksanaan norma dilaksanakan dengan cara paksaan yang

pada gilirannya sulit dikontrol, karena tidak ada batasan yang jelas. Kelima, hukum

disubkordinasikan langsung pada politik kekuasaan, sehingga hukum lalu menjadi

produk kekuasaan. Dengan demikian hukum benar-benar menjadi instrumen

kekuasaan untuk menekan atau melegitimasi kekuasaan. Keenam, pelanggaran

terhadap norma dianggap sebagai penyimpangan dan karena itu harus diberi

sanksi. Ketujuh, tidak dimungkinkannya kritik terhadap norma, karena itu sama

artinya dengan tidak loyal kepada kekuasaan. Ciri-ciri hukum yang represif seperti

ini didasarkan pada praktik-praktik penegakan hukum secara empiris oleh

penguasa negara di berbagai negara setelah ”rule of law” telah disepakati sebagai

rules yang mempedomani perilaku manusia, baik penguasa, rakyat ataupun

masyarakat. Namun seperti pada awal mulanya hukum itu dibentuk bertujuan

untuk mencegah kesewenang-wenangan oleh para penguasa yang lain di zaman

86 Ibid, hal. 32-33.

Page 58: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

”ancient regime”, maka Nonet dan Selznick mencoba menamai hukum yang

demikian sebagai hukum yang otonom.

2.4.2 Ciri-Ciri Hukum yang Otonom

Yang dimaksud Nonet dan Selznick dengan hukum yang otonom adalah

hukum yang lepas sama sekali dari kekuasaan dan aturan-aturan hukum menjadi

sumber untuk mencegah terjadinya respresif oleh penguasa. Dalam sejarah hal ini

telah dibuktikan oleh apa yang disebut “rule of law” di mana lembaga-lembaga

hukum memperoleh cukup kewenangan untuk menetapkan standar-standar

pembatasan terhadap pelaksanaan kekuasaan.

Karena itu untuk mengenali hukum yang otonom, maka ciri-cirinya sebagai

berikut :

1. Hukum terpisah dari politik, kebebasan peradilan terjamin, ada permisahan

yang tegas antara fungsi yudisial dan legislasi;

2. Aturan hukum menentukan ruang lingkup tanggung jawab pejabat yang

berkuasa dan pada waktu yang sama pula lembaga-lembaga hukum sangat

dibatasi kewenangannya untuk bertindak sesuai dengan kreativitasnya.

Kemudian aksesnya ke ranah politik menjadi sangat terbatas;

3. Prosedur merupakan jantungnya hukum. Aturan hukum merupakan tujuan

utamanya, bukan keadilan substantif;

Page 59: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

4. Kepercayaan kepada hukum dimengerti sebagai kepatuhan yang ketat terhadap

aturan-aturan hukum positif hukum yang otonom berpusat pada hakim dan

terikat pada aturan. Hakim menjadi simbol aturan-aturan hukum dan bukan

pada polisi atau para pembuat UU. 87

Bila dicermati ciri-ciri hukum yang otonom di atas, maka beberapa catatan

berikut ini akan sangat membantu untuk mengenali hukum yang otonom lebih

jauh. Pertama, yang menjadi tujuan utama dari hukum yang otonom adalah

meletakkan dasar-dasar yang jelas bagi siapa saja yang dilakukan penguasa kepada

masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Jadi tindakan apa pun yang dilakukan

harus selalu didasarkan pada ketentuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Kedua,

dituntut kejujuran untuk melaksanakan ketentuan dan taat pada prosedur yang

sudah ditetapkan, sehingga ketentuan yang ada mengikat, baik bagi yang berkuasa

maupun bagi yang dikuasai. Ketiga, diskresi sama sekali tidak dimungkinkan

karena semuanya sudah ditentukan oleh peraturan yang sudah ditentukan

sebelumnya. Dengan demikian, moral yang mendasari bekerjanya hukum yang

otonom adalah ”moralitas konstitusi”. Atau dengan kata lain hukum yang otonom

itu sangat UU oriented.

Dari gambaran hukum yang otonom seperti ini dapat dilacak di dalam

pikiran Kelsen dengan teori hukum murninya. Seperti diketahui, teori ini pada

dasarnya menekankan bahwa hukum sama sekali otonom dan berdiri sendiri dan 87 Ibid, hal. 54.

Page 60: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

keabsahan sebuah tindakan harus selalu dipahami dalam terminologi moral atau

sistem norma dan nilai yang lain.

Pandangan ini tidak selalu bisa diikuti oleh setiap zaman. Hal ini disebabkan

oleh adanya perkembangan dimana tuntutan masyarakat demikian cepat sementara

hukum cenderung mengikuti dari belakang yang lama kelamaan hukum itu tak bisa

akomodatif lagi dengan perkembangan zamannya. Menghadapi perkembangan

yang demikian tak bisa lain dibutuhkan sebuah hukum yang bisa merespons

keadaan yang berkembang di dalam masyarakat. Hukum yang demikian

nampaknya lebih cocok mengakomodir kebutuhan masyarakat yang demikian

cepat berubah dan berkembang. Karena itulah menurut Nonet dan Selznick hukum

yang bisa merespons keadaan itu dinamakan hukum yang responsif.

2.4.3 Ciri-Ciri Hukum yang Responsif

Dalam paham Nonet dan Selznick88, hukum yang responsif itu adalah hukum

yang siap mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama.

Artinya, hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia

harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk

mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat89. Atas dasar

tersebut tidaklah heran jika hukum bisa berinteraksi dengan politik, dan Hukum

yang demikian akan lebih mampu memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan

88 Philippe Nonet & Philippe Selzniick, Hukum Responsif, Pilihan di Masa Depan, Huma, Jakarta, 3003, hlm. 59-61.

89 Nonet, Philippe & Selznick, Philip, op.cit., hal. 73-74.

Page 61: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

dan ketidakteraturan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, di dalam

hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog dan wacana serta adanya

pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu hukum yang responsif tidak

lagi selalu mendasarkan pertimbangannya pada pertimbangan juridis melainkan

mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk

mengejar apa yang disebut ”keadilan substantif”. Oleh karena itu, para hakim di

dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara pandang untuk menyikapi

hukum adalah sebagai berikut : “The law, like the traveller, must be ready for the

morrow, it must have a principle”90.

Salah satu tokoh penganut realism hukum ( legal realism ) yang bernama

Jerome Frank mengatakan, pencarian hukum responsif telah menjadi kegiatan teori

hukum modern yang terus-menerus dilakukan. Lebih lanjut Jerome Frank

mengatakan, tujuan utama penganut realisme hukum ( legal realism ) adalah untuk

membuat hukum "menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. ”Untuk

mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan ”bidang-bidang yang memiliki

keterkaitan secara hukum”,91 agar pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup

pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan

resmi para aparat hukum.

90 Lloyd, Dennis, op.cit., hal. 32691 Jerome Frank, "Mr. Justice Holmes and Non-Euclidian Legal Thinking," Cornell Lazu

Quarterly 17 (1932) : 568, 586. Frase ini juga digunakan oleh James William Hurst, yang berbicara mengenai pencarian sebuah "tatanan hukum yang responsif dan bertanggung jawab," yang "mampu memberi respon positif terhadap perubahan-perubahan dalam konteks sosial." Lihat James William Hurst, "Problems of Legitimacy in the Contemporary Lagal Order," OklahomaLazu Review 24 (1971) : 224, 225, 229.

Page 62: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Untuk memudahkan pemahaman ketiga jenis kategori hukum berikut

implementasinya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 1

Tiga kategori Hukum menurut Nonet dan Selznick92

H. Represif H. Otonom H. ResponsifTujuan Aturan Legitimasi Kewenangan

Legitimasi Perlindungan sosial Kejujuran Prosedur Keadilan Substansif

Aturan mendetail tapi lemah

Elaborasi, mengikat pembuat dan diatur kuat melekat pada kewenangan hukum

Disubkordinasi pada prinsip dan kebijakan

NalarDaya ikatnya bagi pembuat aturan Adhoc, Articular

Terikat aturan Memperluas kemampuan kognitif

DiskresiMembantu untuk hal-hal yang khusus oportunis

Delegasi menyempit Meluas namun tetap berpegang pada tujuan

Pemaksaan Meluas, lemahBatasannya

Terkontrol oleh hukum

Mencari alternatif, insentif, sistem mempertahankan diri terhadap kewajiban

Moralitas Moralitas komunal, moralisme hukum Moralitas konstittis Moralitas masyarakat,

moralitas atas kerjasama

Harapan patuh Tak bersyarat Titik tolak aturan

Tak patuh ditentukan dalam kaitannya dengan pelanggaran substansif

Tabel ini memperlihatkan dengan jelas kecenderungan hukum yang lebih

akomodatif kepentingan masyarakat adalah hukum yang responsif. Akan tetapi ada

persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian dari pihak penegak hukum,

yaitu apakah penegak hukum mempunyai kemampuan yang memadai untuk

menjalankan hukum yang responsif seperti itu ? Karena di sana dituntut beberapa

kualifikasi yang esensial yaitu pertama, mulai bekerja dengan paradigma baru 92 Nonet. Philippe & Selnick, Philip, op.cit., hal. l6

Page 63: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

dimana penegak hukum tidak hanya tunduk pada basis-basis hukum sebagai

landasan berpikirnya, tetapi juga berusaha sejauh mungkin menggunakan pisau

analisis non-hukum. Akibatnya, interaksi hukum dengan politik tidak bisa

dihindari lagi.

Kedua, kebenaran atau keadilan tak pernah bisa dicapai hanya dengan

perspektif tunggal karena hal itu hanya mengingkari kebenaran dan keadilan itu

sendiri. Untuk itu diperlukan aparat hukum yang berwawasan luas, yang rasional,

kritis.

2.4.4 Ciri-Ciri Hukum Progresif

Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak untuk kepentingan sendiri,

melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum

progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdog-matiek.

Tradisi atau aliran ini hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri

dengan membicarakan dan melakukan analisis kedalam, khususnya hukum sebagai

suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Dunia di luar

seperti manusia, masyarakat, kesejahteraan, ditepiskannya93.

Dengan tradisi analytical jurisprudence atau rechtdogmatiek, hukum

progresif ingin secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat

dengan manusia dan masyarakat. Meminjam istilah Nonet & Selznick, hukum

progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe yang demikian itu, hukum akan 93 Philippe Nonet & Philip Selznick, Op.cit,1978.

Page 64: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Nonet

dan Selznick menyebutnya sebagai “tire souvereignity of purpose”. Lebih lanjut

mereka mengatakan:

“This a distinctive feature of responsive law is the search of implicit values in rules and policies... a more “flexible” interpretation that sees rules as bound to specific problems and contexts, and undertakes to identify the values at stake in procedural protection." Dengan mengatakan itu mereka sekaligus juga mengritik doktrin "due process of law”.

Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick sebetulnya bisa dikembalikan

kepada pertentangan antara analytical jusrisprudence di satu pihak dan

sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di

dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet.

Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak

otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat.

Hukum progresif berbagi faham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre

karena hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan

dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari

bekerjanya hukum. Dalam aliran realisme, pemahaman orang mengenai hukum

melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan "looking towards last things,

consequencies, fruits". Realisme memalingkan mukanya, "from abstraction, verbal

solutions, bad apriori reasons, fixed principles, closed systems, and pretended

Page 65: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

absolutes and origins". Sebaliknya ia menghadapkan mukanya kepada

"completeness, adequacy, facts, actions and powers"94

Karena kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum

progresif juga dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound”95.

Pound menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan-peraturan, melainkan

keluar dari situ dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum. Dikatakan

oleh Pound :

“... to enable and to compel law making, and also interpretation and application of legal rules, to make more account, and more intelligent account, of the social facts upon which law must proceed and to which it is to be applied...".

Hukum progresif juga bisa dilacak mundur sampai ke aliran yang dikenal

sebagai Interessenjurisprudenz di Jerman sekitar dekade awal abad kedua puluh.

Aliran ini mengatakan bahwa, hakim tidak bisa dibiarkan untuk hanya konstruksi

dalam membuat putusan. Cara demikian ini akan menjauhkan hukum dari

kebutuhan hidup yang nyata. Mengutip pendapat Heck, “... The legislator wants

protection of interests ... The legislator can realise his so & intention and satisfy

the needs of life only if the judge is more that slot-machine functioning according

to the law of logical mechanics ... The primacy of logic is thus replaced by the

primacy of an examination and valuation of life ... 96

94 Friedmann, Wolfgang, Legal Theory, London: Stevens and Sons Ltd., 1953. 95 Roscoe Pound, “Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence”, Harvard Law Review Vol.

25, Desember 1912. 96 Friedman, op Cit 1953.

Page 66: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Kedekatan hukum progresif pada teori-teori hukum alam terletak pada

kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Han Keisen disebut sebagai "meta-

juridical". Teori hukum alam mengutamakan "the search for justice" daripada

lainnya, seperti dilakukan oleh aliran analitis. Hukum progresif mendahulukan

kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut

”logika dan peraturan”.

Barangkali ada juga yang mempertanyakan tentang hubungan antara hukum

progresif dengan Critical Legal Studies ( CLS ) yang muncul tahun 1977 di

Amerika Serikat. Memang keduanya mengandung substansi kritik sehingga

muncul pertanyaan tersebut bisa dipahami. CLS muncul karena ketidakpuasan

terhadap penyelenggaraan hukum di negeri itu. Buku-buku seperti "With Justice

for None"97 dan 'Trials Withouth Truth"98 bisa mewakili ketidakpuasan tersebut.

CLS langsung menusuk jantung pikiran hukum Amerika yang dominan, yaitu

suatu sistem hukum liberal yang dikisarkan pada pikiran politik liberal dikatakan

oleh seorang penstudi :

“... a group of legal scholars has generated an body of literature that challenges some of the most cherished ideals of modem Western legal and political trough… The major theoretical aim of the movement is to provide a critique of liberal legal and political philosophy, and at the total point of the critique, lies the concept of the rule of law.99

97 Gerry Spence, With Justice for None - destroying an American myth, New York: Penguin Books, 1989.

98 Pizzi, William T, Trials Withouth Truth - why our system of criminal trials has become an expensive failure and what we need to do to mbuifd it, New York : New York University Press, 1999.

Page 67: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Pikiran liberal yang merangkul rule of law itu sebetulnya bertentangan

dengan lain prinsip esensial dalam alam pikiran politik liberal. Dikatakan, bahwa

"Law can not perform the liberal task of constraining power and protecting people

from intolerance and oppression, so even I the rule of law did exist, it could not

accomplish its liberal goals."100 Hukum progresif juga menggandeng kritik

terhadap sistem hukum yang liberal itu, karena hukum Indonesia juga turut

mewarisi sistem tersebut. Namun tujuan hukum Progresif tidak hanya terpusat

pada kritik terhadap sistem yang liberal. Ini terutama terletak pada konsep

”progresif” dan ”progresivisme” dalam hukum progresif, sebagaimana akan

diuraikan di bawah.

Apabila hukum itu bertumpu pada ”peraturan dan perilaku”, maka hukum

progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Dengan demikian,

faktor dan kontribusi manusia dianggap lebih menentukan daripada peraturan yang

ada. Faktor manusia ini adalah simbol dari unsur-unsur greget ( compassion,

empathy, sincerety, edication, commitment, dare dan determination ). Ini

mengingatkan kepada ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang

baik, maka dengan peraturan yang burukpun saya bisa membuat putusan yang

baik”. Mantan Hakim Agung, Bismar Siregar, sering mengatakan bahwa “keadilan

ada di atas hukum” dan oleh karena itu ia selalu memutus berdasar hati-nurani

99 Andrew Altman, Critical Legal Studies a liberal critique, Princerton, N.J. : Princeton Univ. Press, 1990.

100 Ibid.

Page 68: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

terlebih dahulu dan baru kemudian dicarikan peraturannya, oleh karena hakim

harus memutus berdasarkan hukum. Mengutamakan faktor manusia daripada

hukum, membawa untuk memahami hukum sebagai suatu proses dan proyek. Hal

itu berkali-kali dikemukakan dengan mengatakan bahwa hukum itu selalu dalam

proses membangun dirinya. Karl Renner merumuskan hal tersebut dengan sangat

bagus pada waktu mengatakan, "The development of the law gradually works out

what is socially reasonable".101

Hukum progresif berbagi pendapat yang sama dengan pikiran-pikiran yang

dikemukakan di atas. Ia tidak bergerak pada arah legalistik positivistik, tetapi lebih

tidak mutlak digerakkan oleh perundang-undangan, tetapi lebih pada azas

sosiologis. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum

perundang-undangan, tetapi bergerak pada azas non-formal. Bukti-bukti untuk itu

merupakan peluang untuk menjalankan hukum progresif.

Hukum progresif bisa merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum

modern yang sarat dengan birokrasi dan prosedur, sehingga sangat berpotensi

meminggirkan kebenaran dan keadilan. Hukum progresif tidak berpendapat bahwa

ketertiban ( order ) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan, melainkan

menerima dan mengakui kontribusi institusi-institusi yang bukan negara.

Ketertiban juga didukung oleh bekerjanya institusi bukan-negara tersebut.102

101 Karl Renner, The Development of capitalist property and the legal instituions complementary to the property norm, sosiology of Law. Vilhelm Aubert (ed), Hamondswort: Penguin Book, 1969.

102 Robert C., Ellideson, Order Without Law, Cambridge, Mass : Harvard University Press, 1991.

Page 69: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

2.4.5 Gerakan Studi Hukum Kritis

Searah dengan hukum progresif yaitu aliran hukum kritis atau lebih dikenal

dengan critical legal studies ( CLS ). Di Indonesia oleh para penganut paham ini

disebut dengan Gerakan Studi Hukum Kritis

( GSHK ). Salah satu pemerhati tentang gerakan hukum kritis ini adalah Satjipto

Rahardjo, sang begawan hukum Indonesia103.

Munculnya Gerakan hukum kritis dilatarbelakangi oleh adanya

ketidakpuasan yang dirasakan secara luas oleh kalangan hukum, bukan hanya

terbatas pada kalangan GSHK, terhadap tradisi pemikiran hukum Barat pada

umumnya. Ketidakpuasan itu, menurut hasil observasi

Harold Berman104, ahli sejarah hukum, berakar pada sesuatu yang lebih serius,

yakni merebaknya suatu krisis yang sangat dalam pada tradisi hukum Barat. Krisis

itu telah menyebabkan doktrin, postulat, sistem penalaran atau interpretasi hukum,

dan seterusnya yang terdapat di dalam tradisi hukum Barat itu digugat dan

dipertanyakan kembali relevansinya. Sementara jawaban terhadap krisis itu belum

muncul, yang akhirnya bermuara pada ketidakpuasan yang digambarkan tadi.

Yang dimaksud oleh Berman dengan ketidakpuasan tersebut adalah :

103 Dalam banyak kesempatan mengajar dalam Program Doktor Ilmu Hukum beliau sering mengatakan : “betapa pentingnya kita untuk belajar hukum seperti apa yang ada dalam gerakan hukum kritis, lebih lanjut beliau mengatakan gerakan hukum kritis ini merupakan upaya untuk meluruskan kembali doktrin tentang hukum modern, yang selalu mengutamakan prosedur untuk mendalilkan adanya kebenaran.

104 Lihat Harold J. Berman, Law and Revolation: The Formation of the Western Legal Tradition (Cambridge: Harvard University Press, 1983), khususnya bab I.

Page 70: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

The crisis of the Western legal tradition is not merely a crisis in legal philosophy but also a crisis in law it self. Legal philosophers have always debated, and presumably always will debate, whether law is founded in reason and morality or whether it is only the will of the political ruler. It is not necessary to resolve that debate in order to conclude that as heirs to the Western legal tradition have been rooted in certain belie forpostulates: that is, the legal system themselves have presupposed the validity of those beliefs. Today those beliefs orpostolates-such as the structural integrity of law, its ongoingness, its religious roots, its transcendent qualities- are rapidly disappearing, not only from the minds of philosophers, not only from the minds of lawmakers, judges, lawyers, law teachers, and other members of legal profession, but from the consciousnesss of the vast majority of citizens, the peopels as whole; and more than that, they are disappearing from the law itself105.

Dalam konteks krisis secara umum yang melanda tradisi hukum Barat itulah

GSHK hadir untuk memberikan pencerahan dan dengan mengembangkan

pemikiran alternatif terhadap pemikiran atau teori hukum liberal. Yang paling

menonjol dari doktrin hukum kritis ini yaitu menolak adanya pemisahan hukum

dengan politik. Paham hukum kritis ini memandang bahwa, hukum merupakan

bangunan dari kepentingan politik yang tidak memungkinkan hukum dapat

dipisahkan dari politik, baik dalam proses pembuatan maupun dalam

implementasinya106. Tokoh utama dari paham GSHK adalah Roberto M. Unger.

Ada dua kecenderungan utama dapat dibedakan dalam Gerakan Studi

Hukum Kritis. Kecenderungan yang pertama yaitu yang memandang doktrin masa

lalu atau masa kini sebagai ungkapan suatu visi khusus dari masyarakat sambil

105 Harold J. Berman, Ibid, hlm. 39. 106 Lihat Gerakan Studi Hukum Kritis, 1999, bagian pengantar ( XVII ),

Page 71: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

menekankan sifat yang bertentangan dan dapat dimanipulasi dari argumen

doktriner. Hal-hal yang mendahuluinya secara langsung terletak pada teori-teori

hukum antiformalis dan pendekatan-pendekatan strukturalis terhadap sejarah

kebudayaan107.

Kecenderungan yang kedua, tumbuh dari teori-teori sosial Marx dan Weber

serta cara analisis sosial dan historis yang menggabungkan metode fungsionalis

dengan tujuan-tujuan radikal. Titik tolaknya terletak pada tesis ”hukum dan doktrin

hukum mencerminkan, menegaskan, dan membentuk kembali pembagian dan

hierarki sosial yang melekat dalam suatu jenis atau tahap organisasi sosial, seperti

kapitalisme”. Namun, tesis ini telah semakin dimodifikasi oleh kesadaran bahwa

tipe-tipe atau tahap-tahap kelembagaan itu kekurangan karakter kohesif dan yang

ditakdirkan menerima atribut-atribut teori kiri untuk mereka108.

Kedua kecenderungan ini menantang gaya doktrin hukum dan teori hukum

dominan yang mencoba memperhalus dan mengabadikan gaya ini. Keduanya tidak

mengakui usaha untuk mempertalikan susunan sosial yang berlaku dengan

kebutuhan-kebutuhan masyarakat industri, sifat manusia, atau tatanan moral.

107 Literatur tentang kecenderungan pemikiran tentang hal ini dapat dilihat dari : Kennedy, "The Structure of Blackstone's Commentaries" dalam 28 Buffalo Iaw Review 205 (1979), dan Kelxnan, "Interpretive Construction in the Substantive Criminal Law" dalam 33 Stanford Law Review 591 (1981).

108 Lihat M. Horwitz, The Transformation of American Law, 1780-1860 (1977); Trubek, “Complexity and Contradiction in the Legal Order: Balbus and the Challenge of Critical Social Thought about Law” dalam 11 Law & Society Review 527 (1977). Banyak di antara esai dalam D. Ivairys. ed., The Politics of Law : A Progressive Critique (1982) juga memberi contoh pandangan ini.

Page 72: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Namun, keduanya harus mengambil suatu sikap yang jelas tentang metode, isi, dan

bahkan kemungkinan pemikiran preskriptif dan programatis, barangkali karena

beberapa di antara asumsi-asumsi itu menerima warisan tradisi radikal yang

menjadikannya sukar untuk mengubah usul konstruktif menjadi lebih dari sekadar

pernyataan komitmen atau antisipasi sejarah.

Makna penting dari kontras di antara kecenderungan-kecenderungan ini

seharusnya tidak dinyatakan secara berlebihan. Kerja yang sesungguhnya sering

lebih sedikit berbeda daripada penafsiran-penafsiran abstrak yang dialamatkan ke

kecenderungan-kecenderungan itu. Banyak tulisan tidak masuk ke dalam satu di

antara dua kelompok yang disebutkan itu109.

2.5 Wacana Teoretik Interaksi Politik Dalam Hukum

Menurut Max Weber, hukum tidak dapat lepas dari kepentingan-

kepentingan dan pengaruh termasuk kepentingan dan pengaruh politik. Adalah

seperti apa yang dikatakan oleh yang mengatakan bahwa, hukum itu dipengaruhi

kepentingan-kepentingan, baik itu kepentingan material maupun kepentingan-

kepentingan ideal dan menurut pendapatnya, hukum juga sangat dipengaruhi cara

berpikir kelas-kelas sosial dan kelompok-kelompok yang berpengaruh termasuk

109 Lihat Gordon, "Historicism in Legal Scholarship" dalam 90 Yale Law journal 1017 (1981); Parker, "The Past of Constitutional Theory--and Its Future" dalam 42 Ohio State Law Journal 223 (1981); Simon, "The Ideology of Advocacy: Procedural justice and essional Ethics" dalam 1978 Wisconsin Law Review 29; Stone, 'The Post-war Paradigm in American Labor Law" dalam 90 Yale Law journal 1509 (1981).

Page 73: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

partai politik.110 Bahkan secara ekstrim Grifiths mengatakan bahwa, suatu undang-

undang tidak akan pernah ada tanpa ada suatu keputusan politik, begitu pula

rincian undang-undang akan menentukan pula pengaruh suatu kebijakan politik111.

Sependapat dengan Max Weber, Seorang ahli hukum bernama Donald

Black, pada tahun 70-an sudah mengingatkan masyarakat agar tidak memaknai

hukum sekadar sebagai barisan kalimat dalam perundang-undangan112. Senada

dengan Black adalah Meir Friedman, mengajarkan ada tiga unsur dalam hukum,

yakni substance,

( aturan main ), structure ( pranata penegak hukum ), dan legal culture

( budaya hukum ), artinya hukum bukan sekadar yang tertulis melainkan juga

norma agama, etika, dan norma sosial113.

Menurut Milovanovic 114 tokoh aliran Legal Realism dan pendukungnya

seperti Karl Lewellyn dan Frank secara tegas menentang paham hukum yang

formal mekanik, lebih mendahulukan rasionalitas yang substantif, dan menolak

kerja hakim yang menekankan pada metode deduksi dalam memahami hukum.

Pendapat tersebut diikuti oleh paham sociological dan realistis jurisprodence,yang

110 Max Weber dalam buku “HAM, KEJAHATAN NEGARA DAN IMPERIALISME MODAL, Agung dan Asep, Pustaka Pelajar, 2001, hal XXII.

111 Jhon Grifiths, Is Law Important, 54.N.Y.U.L REV 339 (1976) dalam Robert B, Seidman & Nalin Abeyeskere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis.

112 Donald Black dalam bukunya Behavior of Law (1976). Black menegaskan hukum bukan sekadar perangkat aturan-aturan, baik tertulis tak tertulis, namun harus dipahami sebagai perilaku.

113 Lihat Kompas 29 Juli 2001.114 Dragan Molovanovic, A Primer The Sociology of Law, New York , Harrow and Heston, 1994,

hal 89-90.

Page 74: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

berpendapat bahwa hukum tidak bebas dari konteks-konteksnya. Mereka menolak

hukum sebagai sistem normatif yang tertutup, yang lepas dari konteks-

konteksnya, yakni politik, sosial maupun kultural. Tokoh kaum realis, Oliver

Wendell Holmes mengatakan, Law has not been logic, it exprerience. Hukum

bukanlah suatu sistem teks normatif yang tertutup. Karena itu kemurnian hukum

dengan menutup diri dari pengaruh konteks-konteksnya adalah suatu upaya yang

tidak hanya sia-sia tetapi juga tidak realistis115.

Hukum, sekalipun telah dibentuk dalam wujudnya yang formal sebagai

produk kebijakan suatu badan pemerintahan negara yang terbilang tinggi, bukanlah

sesuatu yang sakral dan berstatus di atas segala-galanya ( the suprene law –state,

de hoogste rechstaat ). Alih-alih menurut konsepnya yang mutakhir, hukum pada

hakikatnya adalah produk aktivitas politik rakyat yang berdaulat, yang digerakkan

oleh kepentingan-kepentingan ekonomi mereka yang ditujukan ke norma-norma

sosial dan/atau nilai-nilai ideal kultur mereka.

Pemahaman tidak dapatnya hukum dipisahkan dari politik semakin meluas

setelah gerakan pemikiran kritis, yang dikenal dengan The Critical Legal Studies

Movement ( CLS ) tidak bisa menerima produk hukum yang positivis-formalis.

Karena itu, sekalipun merupakan hasil kesepakatan yang sah, tetapi apakah benar-

benar bisa bersifat netral dan dapat ditegakkan oleh lembaga yudisial yang

115 Soetandiyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Realitas Perkembangan Sosial Politik dan Perkembangan Kritik-Teoretik yang Mengarah Mengenai Fungsinya, 2003, hal 13.

Page 75: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

independen dan tidak memihak. Menurut CLS, formalisme hukum hanya akan

berdaya guna melegitimasi para elit yang tengah berkuasa termasuk elit politik.

Rakyat banyak terkecoh oleh formalisme pemikiran di bawah prinsip rule of law.

Hukum dan teorinya menurut Kruish, hakikatnya sebagai suatu ideologi dengan

fungsinya sebagai pelegitimasi, berlangsung melalui proses-proses refikasi dan

proses hegemoni politik.116

Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa sistem hukum dipengaruhi oleh sistem

yang lebih luas yang disebut “super system” yaitu sistem sosial117 ( social system

) dimana sistem hukum itu di bangun. Sistem sosial ini dapat berupa sistem sosial

budaya, sistem politik, sistem ekonomi, sistem ilmu pengetahuan, teknologi dan

lain-lain. Ini berarti bahwa sistem hukum harus dibangun dari berbagai bahan yang

terdapat dimana sistem hukum itu dibangun. Lebih jauh Satjipto Rahardjo

menyatakan, “konsentrasi energi hukum selalu kalah kuat dari konsentrasi energi

politik”.118 Pendapat tersebut sangat tepat apabila disandingkan realitas yang

sesungguhnya terjadi dalam proses pembentukan hukum di DPR RI, dimana

berbagai sistem politik yang ada di DPR RI ikut melingkupi, terutama sistem

politik dari partai-partai politik yang besar. Dengan demikian sistem hukum

116 Soentandyo Wignjosoebroto, Op Cit hal 12.117 Sistem sosial yang dimaksud adalah : sistem sosial ekonomi, politik, pendidikan, sistem sosial

budaya termasuk adat istiadat dan karakter manusianya dimana hukum itu akan dibuat. 118Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan

Hukum Nasional, Penerbit Sinar Baru Bandung, 1985, Hal. 71.

Page 76: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

( nilai-nilai hukum ) yang terbangun dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sejatinya

adalah manifestasi dari sistem politik, terutama sistem politik dari partai-partai

politik yang besar.

Menurut Trasymashus, “hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka

yang kuat”119. Kondisi dimana kalahnya hukum ketika harus berhadapan dengan

politik dalam perspektif konflik adalah hal yang dimungkinkan120. Tidak berlebihan

jika kemudian dikatakan, fenomena menonjolnya fungsi instrumental hukum

sebagai sarana kekuasaan politik dan itu bersifat dominan serta lebih besar

dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya. Lebih dari itu, instrumental hukum

menjadi penopang tangguh struktur politik, ekonomi, dan sosial.121

Pandangan pluralis mengatakan bahwa, hukum qada dan terbentuk karena

shift atau pergeseran kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang

berbeda-beda122. Perbedaan kepentingan antar kelompok ini dapat menimbulkan

terbentuknya koalisi dalam menanggapi isu-isu dan permasalahan tertentu, dan

menumbuhkan kekuasaan melalui dan dengan jalan proses politik. Kelompok--

119 Dalam karangan ilmiah yang ditulis oleh Haryatmoko, di Surat Kabar Harian Kompas dengan judul “ Hukum dan Moral dalam Masyarakat Majemuk”, Kompas 10 Juli 2001

120 Menurut Bruce L. Berg, “from this conflict perspective, then, criminal laws serve a central purpose of protecting the haves from the haves nots and maintaining their superior position in society”. Lebih jauh lihat Bruce L. Berg, Law Enforcement, An Introduction To Police In Society, Allyn And Bacon, A Division Of Simon & Schuster, Inc, Boston, 1991, hal.9.

121 Mulyana W. Kusuma, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum. Rajawali, Jakarta 1986 Hal 19-20.

122 Pendapat Lawrence dalam Geral Turkel, Law and Society, Critical Aprroaches, Bab 5 : Hukum hal 89-106

Page 77: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

kelompok ini bertindak melalui partai-partai politik dan pemilihan-pemilihan, yang

dapat membuat dan menjadikan mereka dapat mengontrol dan mengendalikan

hukum negara.

Perbincangan dan perdebatan tentang pendekatan pluralisme ini pada

awalnya dimulai oleh Robert Dahl dalam satu studi tentang kekuasaan yang

dilakukan di New Haven, Connecticut pada tahun 1961. Dalam mempelajari

kekuasaan dan penyusunan hukum dan peraturan yang berlaku di New Haven,

Dahl menemukan adanya 3 kelompok terorganisir yang saling bertentangan dan

dihadapkan pada konflik yang merupakan sumber yang digunakan oleh para

politisi dan pegawai pemerintah kota sebagai bahan pertimbangan dalam

pengambilan keputusan dalam sentra kekuasaan.

Pembahasan tentang pluralisme ini secara lebih menyeluruh dikemukakan

Lawrence Friedman ( 1977 ). Menurutnya, hukum adalah hasil dari persaingan dan

perbedaan kepentingan antara kelompok-kelompok yang ada, yang seringkali

membutuhkan kekuatan dalam jumlah dan jenis yang berbeda-beda. Hubungan

yang terjadi antara persaingan dan perbedaan kepentingan kelompok dengan

terbentuknya kekuasaan melalui hukum adalah, kemampuan mereka kelompok-

kelompok tersebut untuk membentuk opini publik, dengan cara memperkuat dan

memperluas kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai mereka masing-masing.

Perdebatan kepentingan dan nilai-nilai yang mereka miliki akan membawa dampak

Page 78: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

kepada terciptanya persaingan antar kelompok tadi untuk sama-sama bersaing dan

berkompetisi menanamkan pandangan-pandangan mereka dalam pengambilan

keputusan yang nantinya akan dipakai sebagai dasar-dasar pengambilan keputusan

untuk menetapkan hukum dan peraturan, serta implementasi atau penerapannya.

Secara kontras, para elit yang ada di lembaga dan badan-badan hukum, mereka

melakukan usaha untuk mengelola dan menegakkan kekuatan atau kekerasan

ekonomi dan politik, yang dikonsentrasikan bagi kelompok-kelompok yang sedang

berkuasa, yang memiliki kontrol terbesar dalam pengambilan keputusan dalam

lembaga-lembaga pemerintahan. Para elit di badan-badan hukum mengemukakan

argumen mereka, bahwa sementara mereka melakukan pengaturan atau kontrol

terhadap kelompok yang sedang berkuasa, mereka kurang dapat melakukan

kontrol terhadap masyarakat secara detail dan menyeluruh, pada waktu yang

bersamaan.

Secara spesifik, GSHK ( Gerakan Studi Hukum Kritis ) melalui Roberto M.

Unger123 mengkritik teori pemisahan hukum dan politik

( law politics distinction ). Teori ini mengandalkan bahwa, hukum itu

dikonstruksikan secara objektif, seperti yang didalilkan oleh Ronald Dworkin,124

“law is based on “obyective” decicion of principle, while polincs dependen on

“subjektive decicion of policy”. Inilah yang ditolak keras oleh GSHK. Mereka

menyatakan, tidak mungkin proses-proses hukum (apakah itu dalam membuat

undang-undang atau menafsirkannya) berlangsung dalam konteks bebas atau netral 123 Lihat Roberto M. Unger, Knowledge and Politics (New York; Free Press, 1975) Hlm 63. 124 Lihat Ronald Dworkin , A Matter of Priciples (Cambridge : Harvard University Press, 1985)

Page 79: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

dipengaruhi pengaruh moral, agama dan pluralisme politik. Kalangan GSHK

kadang mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis, dan bagi

mereka teori tersebut merupakan bentuk penghindaran terhadap adanya latar

belakang politik dan dialogis dibalik putusan-putusan hakim dan undang-undang125.

Makanya berbeda dengan teori liberal, bagi kalangan GSHK hukum

dikonstruksikan sebagai “negotiable, subjektictive dan poly dependent as politis”.

Menurut Roberto M. Unger ada dua alasan utama mengapa tidak mungkin

membayangkan netralitas dan objektivitas dalam hukum, karena seperti di bawah

ini :

First procedure is inseparable from outcame: every methode makes certain legislatifve choices more likely than other………. Second, each law making sistem it self embodies certain values; it incorporateas a view of haw power ought to be ditrubuted in the society and how conflicts should be recolved.126

Dengan mengacu kepada proses-proses empiris pembuatan kebijakan

hukum, Unger menunjukkan betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum

dan politik. Analisis hukum yang hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi

doktrinal dan asas-asas hukum semata dengan demikian mengisolasikan hukum

dari konteksnya. Sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah,

melainkan direkonstruksi secara sosial.127 Kritik terhadap teori pemisahan hukum 125 Untuk mendapatkan uraian yang lengkap mengenai kritik-kritik GSHK terhadap doktrin, teori,

dan asas-asas hukum liberal, dapat dilihat dalam Mark Keman, A Guide to Critical Studies (Cambridge : Harvard University Press, 1987).

126 Lihat, Unger, Law and Modern Society, (New York, Free Press , 1975)127 Analisis mengenai bagaimana hukum itu direkonstruksi untuk mengabsahkan suatu tatanan

sosial tertentu dapat dilihat dalam analisis Kennedy terhadap karya ahli hukum abad 18, William Blackstone, yang sangat berpengaruh pada proses pembentukan hukum di Amerika. Kennedy, The Structure of Blackston’s Commentaries”, (1978) 28 Buffalo Law Rev.

Page 80: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

dan politik yang dipaparkan di atas, hanya merepresentasikan salah satu aspek dari

kritik GSHK terhadap tradisi hukum liberal. Meskipun demikian, lewat uraian

singkat mengenai kritik terhadap asas pemisahan hukum dan politik, apa yang

ingin diungkap GSHK sebetulnya juga ikut tersibak, yaitu menggunakan

kontradiksi internal di dalam teori hukum liberal. Maksudnya adalah kesenjangan

yang tajam antara apa yang diidealkan dan apa yang ada dalam realis. Kesenjangan

inilah yang menurut kalangan GSHK menyebabkan dan gagal memahami secara

koheren antara aturan ( rules ) di satu pihak dengan nilai-nilai ( values ) di pihak

lain. Di sinilah letaknya apa yang dikatakan di muka sebagai “self-contradiction”

atau “incoherent” di dalam struktur internal pemikiran

( doktrin ) hukum liberal itu. Sebagai akibatnya adanya kontradiksi-kontradiksi

internal, menurut Roberto M. Unger 128 “Inabalit, to arrive at a coherent

understanding it the relation between rules and values in social life”.

2.6 Wacana Teoretik Tentang Pembentukan Hukum

Sebagai sarana pengintegrasi sosial, hukum tidak akan mungkin bekerja

dalam ruang hampa. Menurut Harry C. Bredemeier, ketika hukum bekerja dalam

sebuah tatanan sosial, maka ia akan selalu mendapatkan asupan dari bidang-bidang

yang lain seperti bidang ekonomi, politik, dan budaya. Asupan yang diterima oleh

hukum itu menjadi masukan ( input ) dan keluaran ( ouput ) yang dikembalikan ke 128 Lihat Roberto M. Unger, Knowledge and Politics (New York : Free Press, 1975) Hal 63.

Page 81: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

dalam masyarakat.129 Lebih lanjut Harry C. Bredemeier mengatakan, itulah

sebabnya hukum dalam realitasya berfungsi sebagai faktor pengintegrasian

masyarakat, maka hukum harus mampu menyelesaikan konflik secara tertib,

sebagaimana yang dikatakan oleh Bredemeier :

”The law fungtiono of the las is the orderly resolotion of conflict. As this implies, “the law” ( the clearest model of which J. Shall take to be the court system ) is brought into operation after there violted by someove else”130

Mengikuti alur pemikiran yang demikian itu, maka dalam menjalankan

fungsinya sebagai pengatur kehidupan sosial, hukum harus menjalani suatu proses

yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbeda-

beda. Dalam garis besarnya aktivitas tersebut berlangsung dalam dua proses

hukum, yakni proses pembuatan hukum dan proses implementasi hukum. Apabila

ingin berbicara lebih pasti, maka proses pembuatan hukum itu sesungguhnya

mengandung pengertian yang sama dengan istilah proses pembuatan undang-

undang, untuk istilah proses implementasi hukum lazim orang menggunakan

istilah proses penegakan undang-undang,131 sekalipun pada prinsipnya proses

129 Pandangan yang demikian itu sebagaimana dikemukakan oleh Harry C. Bredemeier dengan menggunakan kerangka berpikir teori sistem yang dikembangkan oleh Talcott Parsons (Harry C. Bredemeier, “Law as an Integrative Mechanism”, dalam William M. Evan (ed.), Law and Sociology. New York: The Free Press of Gloencoe, 1962, halaman 73-90). Uraian yang demikian itu dapat dibaca juga dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-3, 1991, halaman 143-158.

130 Ibid.131 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm 175-176. Istilah

proses hukum yang digunakan di sini memiliki makna yang lebih luas, yang tidak hanya sekadar menggambarkan jalannya suatu proses peradilan. Yang dimaksudkan dengan proses hukum di sini adalah “perjalanan yang ditempuh hukum untuk menjalankan fungsinya mengatur masyarakat atau kehidupan bersama, yakni semenjak proses pembuatannya hingga penegakannya”.

Page 82: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

hukum tersebut juga mengupayakan agar substansi dari suatu undang-undang

dapat dijalankan atau ditegakkan.

Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan pola

pembentukan hukum untuk mengatur tatanan kehidupan sosial agar tercipta

suasana yang aman dan tertib. Di dalam masyarakat demokratis yang modern,

badan legislatif dapat dianggap sebagai prototipe penguasa yang berdaulat dalam

membuat kebijakan pembuatan hukum. Penegasan kebijakan oleh badan atau

lembaga ini akan merupakan salah satu sumber primer bagi suatu sistem hukum

untuk mengonsepsikan standar-standar yang akan digunakan untuk menyalurkan

aspirasi masyarakat.

Proses hukum tersebut merupakan momentum yang memisahkan keadaan

tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Itu berarti proses

pembuatan hukum merupakan sarana pemisah antara “dunia sosial” dan “dunia

hukum”, yakni dunia di mana segala hal yang diatur itu mulai ditundukkan pada

tatanan hukum. Dengan demikian, segala hal tersebut tidak tunduk pada ukuran-

ukuran dan penilaian sosiologis, melainkan sudah mulai tunduk pada penilaian

hukum, ukuran hukum, dan rumusan-rumusan akibat-akibat hukum yang

ditetapkan.

Pada prinsipnya proses pembuatan hukum tersebut berlangsung dalam tiga

tahapan besar, yakni tahap inisiasi, tahap sosio-politis dan tahap juridis, dan tahap

Page 83: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

penyebarluasan atau desiminasi.132 Pertama, tahap inisiasi merupakan tahap yang

menandakan lahirnya atau munculnya suatu gagasan dalam masyarakat tentang

perlunya pengaturan suatu hal melalui hukum. Aktivitas yang berlangsung pada

tahap inisiasi ini masih murni merupakan aktivitas sosiologis. Ia tampil sebagai

bentuk reaksi terhadap sebuah fenomena sosial yang diprediksikan dapat

mengganggu atau mengancam keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di sinilah letak betapa pentingnya

kajian-kajian sosiologis dalam memberikan sumbangan informasi yang memadai

untuk memperkuat gagasan tentang perlunya pengaturan sesuatu hal dalam tatanan

hukum. Kedua, aktivitas yang berlangsung pada tahap sosio-politis ini dimulai

dengan mengolah, membicarakan ( mendiskusikan ), mengkritisi, mempertahankan

gagasan awal yang berasal dari masyarakat melalui pertukaran pendapat antara

berbagai golongan dan kekuatan dalam masyarakat. Pada tahapan ini suatu gagasan

akan mengalami ujian, apakah ia bisa terus digelindingkan untuk berproses

menjadi sebuah produk hukum ataukah berhenti di tengah jalan. Apabila gagasan

tersebut gagal dalam ujian tersebut, maka dengan sendirinya akan hilang dan tidak

dipermasalahkan lagi oleh dan di dalam masyarakat. Sebaliknya, apabila gagasan

tersebut berhasil untuk menggelinding terus, maka bentuk serta isinya juga

mengalami perubahan dibandingkan dengan pada saat ia muncul untuk pertama

132 Ibid halaman 178.

Page 84: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

kalinya. Perubahan itu menjadikan bentuk dan isi gagasan tersebut semakin luas

dan dipertajam.133

Selanjutnya pada tahap yang ketiga, yakni tahap juridis merupakan tahap

akhir di mana gagasan tersebut dijabarkan atau dirumuskan lebih lanjut secara

lebih teknis menjadi ketentuan-ketentuan hukum, termasuk menetapkan sanksi-

saksi hukumnya. Tahap ini melibatkan kegiatan intelektual yang bersifat murni dan

tidak terlibat konlik kepentingan

( conflict of interest ) politik, yang tentunya ditangani oleh tenaga-tenaga yang

khusus berpendidikan hukum. Aktivitas yang paling ditekankan di sini adalah

merumuskan bahan hukum tersebut menurut bahasa hukum, meneliti konteksnya

dalam sistem hukum yang ada sehingga tidak menimbulkan gangguan sebagai satu

kesatuan sistem.134

Tahap terakhir adalah tahap desiminasi atau penyebarluasan. Tahap ini

merupakan tahap sosialisasi sebuah produk hukum diterapkan di masyarakat.

Sosialisasi ini berpengaruh terhadap bekerjanya hukum di masyarakat. Betapapun

secara substansial hukum bagus tetapi jika tidak disosialisasikan dengan baik,

maka hukum tersebut tidak dapat diterapkan dengan baik di masysarakat.

Sebaliknya jika suatu produk hukum dapat disoliasasikan dengan baik, maka

hukum tesebut dapat berfungsi dengan baik di masyarakat.

133 Satjipto Rahardjo, Ibid., 1991, halaman 177-178. 134 Satjipto Rahardjo, Ibid., 1991, halaman 178.

Page 85: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Hasil akhir dari seluruh proses pembuatan hukum sebagaimana diuraikan di

atas memiliki keterkaitan yang erat dengan tipologi masyarakat di mana hukum

dibuat dan diberlakukan. Chambliss dan Seidman membuat pembedaan hukum

menurut “tipologi masyarakat yang berbasis konsensus pada nilai-nilai” dengan

“tipologi masyarakat yang berbasis konflik”. Tipologi masyarakat yang berbasis

pada kesepakatan nilai-nilai ( value concensus ) selalu menghendaki agar tatanan

hukum yang dibuat itu hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku di

dalam masyarakat. Pembuatan hukum di sini hanya merupakan pencerminan dari

nilai-nilai yang disepakati dan dipertahankan oleh warga masyarakat. Langkah

pembuatan hukum seperti itu dimungkinkan, karena pada tipologi masyarakat yang

demikian sedikit sekali mengenal adanya konflik-konflik atau tegangan secara

internal sebagai akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang menjadi

landasan kehidupannya. Itu berarti, tidak terdapat perbedaan yang signifikan di

antara para anggota masyarakat mengenai apa yang seharusnya dipertahankan di

dalam masyarakat.135

Pada tipologi masyarakat yang berbasis pada konflik tidak terlalu

mengandalkan kemantapan dan kelestarian nilai-nilai, melainkan pada perubahan

135 William J. Chambliss & Robert B. Seidman. Law, Order and Power. Reading, Massachusetts: Adison-Wesley Publishing Company, 1971, halaman 17, 56. Masyarakat dengan model tanpa konflik adalah masyarakat dengan tingkat perkembangan yang sederhana. Satjipto Rahardjo mencontohkan bahwa kalau di Indonesia tipologi masyarakat dapat dihubungkan dengan masyarakat yang menjadi pendukung hukum adat, yakni dalam pengertiannya yang masih tradisional dan tingkat perkembangannya belum begitu kompleks (Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Penerbit Angkasa, 1979, halaman 49-50).

Page 86: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

dan konflik-konflik sosial.136 Dalam situasi masyarakat yang demikian itu, nilai-

nilai yang berlaku dalam masyarakat berada dalam situasi konflik satu sama lain,

sehingga keadaan ini juga akan tercermin dalam pembentukan hukumnya. Tipologi

masyarakat seperti ini ditandai dengan tingkat perkembangan yang lebih maju dan

telah mengalami pembagian kerja yang relatif memadai dan terorganisir secara

baik. Menurut Chambliss dan Saidman, pada tipologi masyarakat yang demikian

ini ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi dalam pembentukan hukumnya,

yaitu:137 pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses adu kekuatan, di

mana negara merupakan senjata di tangan lapisan yang berkuasa dan sekalipun

terdapat pertentangan nilai-nilai di masyarakat, namun negara tetap dapat berdiri

sebagai badan yang tidak memihak, di dalam mana nilai-nilai dan kepentingan-

kepentingan yang bertentangan dapat disesuaikan tanpa mengganggu kehidupan

masyarakat.

Apabila dalam proses pembentukan hukum terjadi pertentangan nilai-nilai

serta kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, maka menurut Schuyt

sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo, terdapat dua kemungkinan yang

dapat timbul, yakni: (a) hukum dipakai sebagai sarana untuk mencairkan

136 Uraian yang secara khusus membahas tentang teori konflik dapat ditemukan dalam Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisis Kritik, Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986.

137 William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Op Cit., 1971, halaman 17, 57. Baca juga dalam Satjipto Rahardjo, Op Cit., 1979, halaman 50.

Page 87: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

pertentangan dalam masyarakat,138 dan (b) hukum sebagai tindakan yang

memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut. Pandangan Schuyt yang

demikian itu mengisyaratkan, bahwa di dalam suatu masyarakat yang tidak

berlandaskan kesepakatan nilai-nilai itu, proses pembuatan hukum selalu

merupakan semacam endapan pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam

masyarakat. Pada kemungkinan yang pertama, pembuatan hukum merupakan suatu

jalan untuk melakukan pencairan pertentangan. Lalu kemungkinan yang kedua,

lebih menjelaskan tentang apa yang dapat timbul apabila masyarakat merasa

tertipu oleh janji-janji atau penyelesaian yang dilakukan melalui pembuatan

hukum.139

Proses merumuskan sesuatu hal dalam sebuah tatanan hukum tidak

berlangsung secara liner dan searah, melainkan berlangsung secara timbal balik

dalam alur input-output. Bredemeier berpendapat bahwa input primer yang

dimasukkan oleh badan pembuat hukum ( badan legislatif ) ke dalam sistem

hukum ini akan berupa deskripsi-deskripsi ideal mengenai segala urusan kehidupan

sosial kemasyarakatan. Deskripsi-deskripsi ideal tersebut dapat terpola dalam

berbagai pertimbangan hukum maupun dalam tampilan yang lebih operasional

berupa rumusan pasal-pasal hukum ( undang-undang ). Sebaliknya, output yang

138 Pandangan yang demikian itu sejalan dengan Lewis A. Coser yang berpendapat, bahwa “konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok (Baca dalam Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV. Radjawali, 1992, halaman 108).

139 Satjipto Rahardjo, Ibid., 1979, halaman 51.

Page 88: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

dihasilkan oleh sistem hukum yang bertemalian dengan input tersebut akan berupa

penerapan kebijakan hukum tersebut kepada berbagai persoalan spesifik yang

dihadapi oleh masyarakat. Dalam situasi seperti ini badan penerap hukum

( pengadilan, dan lain sebagainya ) tidak akan bersikap pasif atau menjadikan

dirinya semata-mata sebagai pelaksana teknis terhadap kebijakan-kebijakan hukum

yang dibuat oleh badan legislatif. Lembaga penerap hukum mulai

menginterpretasikan kebijakan hukum tersebut secara kreatif. Interpretasi dari

lembaga penerap hukum jelas akan memberikan dampak kepada tatanan hukum

berupa “input sekunder”.140

Saling memberi antara badan pembuat dan penerap hukum ini tentu tidak

berlangsung secara otomatis dan secara normal mengikuti alur yang diinginkan

oleh lembaga pembuat hukum. Tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi antara

tatanan hukum dengan kedua lembaga hukum tersebut dalam situasi-situasi

tertentu dapat mengalami gangguan yang berat. Badan-badan penerap hukum,

misalnya, mungkin membuat interpretasi-interpretasi yang tidak bersumber pada

kebijakan badan pembuat hukum ( badan legislatif ), atau bahkan dengan terang-

terangan mengabaikan ketentuan undang-undang yang ada. Sebaliknya, lembaga

kekuasaan negara dapat menolak apa yang diputuskan oleh lembaga penerap

hukum, atau gagal memaparkan secara jelas kebijakan-kebijakan umum yang dapat

dipakai sebagai pedoman dalam melakukan tindakan yudisial. Singkatnya, 140 Harry C. Bredemeier, Op Cit., 1962.

Page 89: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

interaksi antara kedua pihak ini sering berjalan secara tidak seimbang, mantap, dan

tepat.

Proses pertukaran antara “pedoman kebijakan” dengan “interpretasi atas

kebijakan” seperti itu terkadang sangat mudah terganggu dan menjadi gagal,

karena badan pembuat hukum ( badan legislatif ) selalu berada di bawah pengaruh-

pengaruh opini publik terutama politik, yang selalu berubah-ubah secara

mendadak, dan selalu ditekan oleh tuntutan-tuntutan golongan yang mempunyai

kepentingan berbeda.

Dari sisi yang lain, interaksi antara sistem hukum ( termasuk dalam hal ini

lembaga pembuat dan penerap hukum ) dengan sistem politik juga dapat

mengganggu proses pembuatan maupun penerapan kebijakan hukum. Bredemeier

mengingatkan, bahwa tidak ada jaminan sedikit pun bahwa setiap keputusan

yudisial itu pasti akan diimplementasikan secara otomatis. Terkadang input

pelaksanaan keputusan yang diperlukan oleh sistem hukum dapat ditahan atau

dimentahkan kembali oleh sistem politik. Penahanan demikian itu, dalam situasi-

situasi tertentu akan dapat menyebabkan pergeseran sistem hubungan antara

lembaga penerap hukum dengan negara ke arah bentuknya yang bersifat otoriter.141

141 Bredemeier mencontohkan bahwa dulu pernah terjadi di negara bagian Georgia memindahkan secara besar-besaran orang-orang India Cherokee dengan jalan menggiring mereka dalam suatu long mars yang sangat berat, sekalipun Mahkamah Agung pada waktu itu menyatakan bahwa Georgia tidak berhak mengambil-alih tanah-tanah orang Cherrokee. Belum lama berselang Conggress menolak pemberian kekuasaan kepada Jaksa Agung untuk menuntut pejabat-pejabat yang menentang keputusan-keputusan anti-diskriminasi ras yang telah dibuat oleh badan pengadilan (Harry C. Bredemeier, Op Cit., 1962).

Page 90: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Tentang hubungan input-output dalam proses bekerjanya hukum

sebagaimana digagas oleh Bredemeier tersebut sesungguhnya bertolak dari teori

sistem cybernetics 142 dengan tokohnya Wiener. Itulah sebabnya para pencetus

teori sistem pada umumnya atau teori cybernetics pada khususnya merumuskan

beberapa proposisi atau pernyataan teoretik sebagai berikut:

Pertama, sistem adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam

satu kesatuan interaksi ( proces ); Kedua, masing-masing elemen ( subsistem )

terkait dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung (

interdependence of its parts ); Ketiga, kesatuan elemen yang kompleks itu

membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen

pembentuknya itu ( the whole is more than the sum of its parts ); Keempat,

keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya ( the whole

determines the nature of its parts ); Kelima, bagian dari keseluruhan itu tidak dapat

dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (

the parts cannot be understood concidered in isolation from the whole ); Keenam,

142 Apabila dilacak lebih jauh teori Cybernetics yang dikembangkan oleh Parsons dalam memahami masyarakat ini sesungguhnya diadopsi dari seorang Guru Besar Matematika di Massachusetts Institute of Technology bernama Norbert Wiener (1950). Bahkan, dasar yang dipakai oleh Weiner sebagai dasar untuk membangun teori cybernetics itu berasal dari “teori integrasi” dalam bidang ilmu fisika yang dikembangkan oleh Lebesgue seorang fisikawan asal Prancis (Baca misalnya dalam Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1993, halaman 44-46). Uraian mengenai teori cybernetics dapat dibaca dalam Ian Craib, Teori-teori Sosial Modern: dari Parsons sampai Habermas. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, cetakan ke-3, 1994, halaman 69-71.

Page 91: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan

dalam keseluruhan ( system ) itu.143

Menurut Robert B. Seidman dan William J. Chambliss, bahwa proses

bekerjanya hukum sangat ditentukan oleh empat komponen utama, yakni lembaga

pembuat hukum ( undang-undang ), birokrasi penegakan hukum, para pemegang

peran, dan pengaruh kekuatan personal dan sosial. Tiga komponen yang pertama

( lembaga pembuat hukum, birokrasi penegakan hukum, dan pemegang peran ) itu

berperan dalam koridor hukum, sedangkan kekuatan personal maupun sosial

merupakan komponen “non-hukum” yang memiliki andil yang tidak kalah

pentingnya dalam menentukan arah bekerjanya hukum.144

Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Seidman, peraturan yang

diundangkan oleh lembaga yang berwenang ( legislatif, dan lain-lain ) dalam suatu

negara modern mempunyai dua sasaran kembar. Aspek yang pertama ialah

peraturan hukum yang dibuat itu dimaksudkan untuk mengarahkan warga negara

( masyarakat ) agar berbuat menurut cara-cara tertentu. Sasaran yang demikian itu

menurut Kelsen merupakan “bentuk sekunder” dari peraturan hukum. Sasaran

yang kedua ditujukan kepada para penerap hukum atau penegak hukum (termasuk

hakim, dan lain sebagainya ) untuk mengarahkan mereka dalam menerapkan sanksi

143 Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Op Cit., 1993, halaman 40144 William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Ibid, 1971, halaman 12. Baca juga Robert B

Seidman. “Law and Development, A. General Model”, dalam Law and Society Review, Tahun VI, 1972, halaman 322-339.

Page 92: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

manakala ada warga negara yang melanggar peraturan hukum tersebut. Sasaran

hukum yang kedua ini oleh Kelsen dikategorikan sebagai “bentuk primer” dari

peraturan hukum.145

Pandangan Kelsen mengisyaratkan bahwa, pada prinsipnya suatu peraturan

hukum yang dibuat oleh lembaga pembuat hukum itu memiliki arti yang sangat

penting dalam merubah perilaku warga masyarakat sebagai pemegang peran.

Sekalipun demikian, terwujud atau tidaknya tujuan pembuatan hukum yang

demikian itu sangat ditentukan oleh struktur normatif dan kelembagaan, ideologi-

ideologi, hambatan-hambatan fisik di dalam masyarakat, struktur sosial, mitos-

mitos dan tradisi-tradisi masyarakat, nilai-nilai yang dihayati, dan masih banyak

yang lain. Komponen-komponen tersebut juga ikut berpengaruh terhadap sikap dan

tindakan para penerap hukum ( termasuk para penegak hukum: hakim, jaksa,

polisi, dan lain sebagainya ). Itulah sebabnya, dalam kerangka umum proses

bekerjanya hukum, Seidman memasukan para pembuat dan penerap hukum

sebagai bagian dari para pemegang peran

( role ocupant ).

Uraian di atas memperlihatkan bahwa Seidman sendiri mengakui, bahwa

peran-peran yang dimainkan oleh lembaga pembuat hukum, birokrasi penegakan

hukum maupun para pemegang peran, tidak hanya dikontrol dan dikendalikan oleh

aturan hukum, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain di luar hukum, yakni 145 Robert B. Seidman, Ibid., 1972, halaman 322-339.

Page 93: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

kekuatan personal ( individu ) dan kekuatan sosial, budaya, politik, ekonomi, dan

lain sebagainya. Kekuatan-kekuatan non-hukum pula yang membangkitkan atau

mendorong lembaga pembuat hukum mempertimbangkan kembali pemberlakuan

hukum yang dibuat itu atau menyempurnakan atau bahkan mencabut

pemberlakuannya. Kekuatan non-hukum itu juga ikut membangkitkan atau

mendorong para pelaksana birokrasi untuk merubah aktivitas birokrasi dalam

menerapkan peraturan hukum.

Pada kesempatan lain Satjipto Rahardjo mengatakan perlunya pemikiran

tentang model penegakan hukum yang disebut penegakan hukum progresif. Secara

konseptual, keadilan progresif diharapkan mampu menghasilkan keadilan

substantif yang didikotomikan dengan keadilan prosedural146. Lebih lanjut Satjipto

Rahardjo menyebutkan ada dua determinasi penting dalam penegakan hukum

progresif. Pertama, determinasi dari komponen penegakan hukum yang meliputi

hakim, jaksa, polisi dan advokat. Di antara mereka, perlu duduk bersama

menyamakan persepsi. Suatu tindakan yang tidak mungkin dapat dilakukan bagi

mereka yang mengukuhi hukum liberal. Kedua, determinasi mengenai tujuan yang

akan dicapai. Penegakan hukum harus beringsut dari permainan kata ke pencarian

makna sosial. Persamaan persepsi dapat dicapai manakala masing-masing penegak

hukum mampu melihat dalam demensi luas bukan sekadar kepastian melainkan

juga kemanfaatan hukum. Senada dengan pandangan Satjipto Rahardjo tentang

146 Dalam pidato pengukuhan Guru Besar . Yusriadi, hal 34-35, 18 Februari 2006

Page 94: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

penegakan hukum yang progresif adalah Binawan mengatakan, sekalipun secara

konseptual ada keadilan prosedural dan keadilan substantif, namun pertentangan

antara keadilan prosedural dan keadilan progesif adalah hal yang normal sebab ada

ketegangan internal yakni ketegangan antara kepastian hukum ( certainty ) dan

keadilan ( justice ), merupakan dua cita-cita pokok hukum147. Di satu sisi, keadilan

prosedural mengedepankan kepastian hukum sedangkan keadilan progesif

mengedepankan keadilan dalam arti luas dan dinamis.

Secara lebih lengkap Wilhelm Lundsted148 menegaskan bahwa hukum baru

memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan, hukum bukan apa-apa.

Menurutnya tanpa substansi hukum pun, sebenarnya hukum dapat dihasilkan,

karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum149.

Lebih lanjut Wilhelm Lundsted justru menegaskan bahwa aturan bertingkah laku

tersebut bukan apa-apa. Pendapat itu mungkin cukup masuk akal bagi Indonesia

karena terbukti bahwa dengan banyaknya aturan, ternyata juga makin banyak

tuntutan.

Seorang pakar hukum Belanda Taverne berpendapat sebagai berikut150 :

"Berikanlah aku hakim yang baik, jaksa yang baik serta polisi yang baik maka dengan hukum yang buruk sekalipun akan memperoleh hasil yang baik”.

147 Ibid 148 Wilhelm Lundsted seorang filosof hukum terkenal dengan aliran realismenya,

mengatakan bahwa hukum itu bukan apa-apa (Law is nothing). Ia mengartikan hukum tidak seperti penganut paham konvensional yang memaknakan hukum sebagai aturan bertingkah laku manusia yang apabila tidak ditaati akan memberikan sanksi terhadap si pelaku

149 Dalam Antonius Sujata, “ Reformasi dalam Penegakan Hukum”, Jakarta, Jambatan, 2000, hl 6.150 Ibid.

Page 95: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Sifat baik dari aparat tersebut mencakup integritas moral serta

profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi integritas akan

dapat mengarah kepada rekayasa yang tidak dilandasi moral. Sementara integritas

saja tanpa profesionalisme bisa menyimpang keluar dari jalur-jalur hukum.

Masalah lainnya dalam implementasi atau penegakan hukum adalah cara

memaknai atau interpretasi terhadap suatu produk undang-undang. Perbedaan

interpretasi terhadap undang-undang seringkali menjadi sumber konflik hukum di

masyarakat151.

Secara umum setiap produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh

pembuat undang-undang akan tergambar dengan sendirinya maksud dan tujuan

dibuatnya undang-undang bersangkutan. Begitu pula makna dari setiap konsep

yang digantikan. Akan tetapi ada pula undang-undang yang tidak begitu jelas

maksud dari pembuatnya dan makna dari setiap konsep yang termaktup di

dalamnya.

151 Contoh yang paling bagus untuk menjelaskan hal ini adalah implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak konflik dalam Pilkada yang disebabkan karena adanya perbedaan dalam memaknai atau menafsirkan Pasal-Pasal dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Pasal yang sering menimbulkan perbedaan dalam memaknai atau memaknai yaitu Pasal 59 tentang persyaratan pendidikan bagi calon pasangan Kepala Daerah. Kerusuhan di Kabupaten Semarang dalam Pilkada juga disebabkan karena adanya perbedaan dalam memaknai pasal 59 tersebut.

Page 96: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Dalam perspektif Hermeneutika 152, interpretasi yang ideal adalah

menggunakan dua cara, yaitu interpretasi oleh pembuat undang-undang atau

”interpretasi autentik153 dan interpretasi menurut konteks pembacanya atau

zamannya. Dengan menggunakan kedua interpretasi ini akan terhindar dari

dogmatisme berpikir, karena kebenaran dalam ilmu selalu bersifat nisbi dan tidak

pernah mengenal ketunggalan. Dia selalu bersifat tentatif dari waktu ke waktu

akan selalu mengalami perubahan dan kemajuan. Makna inilah yang selalu

dikumandangkan Hegel dalam filsafatnya bahwa yang benar adalah keseluruhan.154

Makna terdalam dari filsafat Hegel ialah setiap pengetahuan dan pengertian yang

baru selalu bersifat dialektis, karena selalu menggeser pengertian yang kurang

tepat. Dengan mendasarkan pada filsafat Hegel inilah, maka dapat ditarik suatu

kongklusi interpretasi sebagai upaya manusia untuk memahami tentang sesuatu

( something of something ).155 Adalah suatu kekeliruan epistemologis, bila hanya

mengandalkan pada satu interpretasi yang belum tentu dapat menangkap dengan

tepat sesuai makna yang terkandung pada sebuah teks perundang-undangan.

2.7 Implementasi dan Berlakunya Hukum

152 Recour, Poul 1976, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning, The Texas Christian University Press, hal. 22, 30, 31. Juga lihat hal. 28. Di sini Recoeur menjelaskan bahwa “Hermeneutical Circle” orang dapat memahami sesuatu sehingga mempercayainya. Maka dari itu di dalam buku-buku teks, hermeneutika terkenal dengan sebuah “maxim” yang berbunyi “Believe in orer to understand in order to believe”.

153 Interpretasi ini tidak dapat ditafsir lain oleh pembacanya selain harus setia pada penafsiran yang sudah ditetapkan oleh pembuatnya. Kesetiaan pada penafsiran yang sudah ada, secara hermeneutik kerap disebut dengan istilah ”otonomi teks” atau "independensi teks”.

154 Magnis-Suseno, Franz, op.cit hal 10-12. 155 Ricouer, Poul, op.cit, hl 22.

Page 97: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Menurut Soerjono Soekanto156, ada lima faktor yang memberikan kontribusi

pengaruh pada mekanisme penegakan hukum, yaitu pertama, faktor hukum (

subtance ) atau peraturan perundang- undangan. Kedua, faktor aparat penegak

hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan

penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor

sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor

masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan, yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor

kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia

di dalam pergaulan hidup.

Sementara itu Satjipto Rahardjo157, membedakan berbagai unsur yang

berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya

pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria

kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang

terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-

undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa

dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan

sosial.

156 Soerjono Soekanto. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta: 1983. hat. 4-5.

157 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, 1983, hlm 23-24.

Page 98: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Kedua pandangan di atas tampaknya saling berkesesuaian. Kelima unsur

sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto dapat direduksikan menjadi tiga

unsur sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo. Sebaliknya ketiga unsur

yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dapat pula dirinci lebih lanjut menjadi

lima unsur seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Melengkapi kedua

pandangan di atas, menarik juga diperhatikan pandangan Jerome Frank, tentang

berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa

faktor ini meliputi selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka

politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi158 .

Dari beberapa proposisi di atas, dapat memberikan gambaran yang jelas

tentang proses penegakan hukum yang meliputi tahapan pembuatan hukumnya, ta-

hapan pemberlakuan dan penegakannya sampai pada tahap pelaksanaan

putusannya, adalah bersifat dinamis dan kontekstual. Dinamis dalam arti corak dan

bentuknya mengikuti dinamika dari waktu ke waktu, sedangkan kontekstual dalam

pengertian terkait erat pada interaksi berbagai faktor pendukung sebagaimana

disebutkan di atas.

Telah lazim diungkapkan bahwa hukum khususnya dalam bentuknya

sebagai undang-undang merupakan produk politik, artinya ialah bahwa undang-

undang dibentuk sebagai hasil kompromi dari berbagai kekuatan sosial dan

158 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Kanisius 1991, hal. 122.

Page 99: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

kemudian diberlakukan dan ditegakkan sebagai sarana untuk merealisasikan

kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada.

Secara ideal kepentingan-kepentingan yang dilindungi tersebut meliputi

kepentingan individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.

Moh. Mahfud MD159 sampai pada kesimpulan, bahwa dalam kenyataannya

produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang

melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada di dalam hukum

itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak yang saling

bersaingan. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa dalam hubungan antara

subsistem hukum dan subsistem politik hukum, politik ternyata memiliki

konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang

lemah160. Kondisi demikian menurut Sri Soemanti161 mengeksplisitkan bahwa

perjalaam politik di Indonesia tidak ubahnya seperti perjalanan kereta api di luar

relnya, artinya banyak sekali praktik politik yang secara substantif bertentangan

aturan-aturan hukum.

Statemen-statemen di atas memberikan penegasan, bahwa di dalam realitas

empirisnya politik sangat menentukan bekerjanya hukum, mulai sejak proses

159 Mahfud MD, Hubungan Kausalitas Antara Politik dan Hukum di Indonesia, 1993, Artikel dalam Majalah Gelora Hukum Nomor IV Tahun 1993 Fakultas Hukum UMS. Hal. 4.

160 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985, hlm. 71.

161 Sri Soemanto, Perkembangan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan, dalam Moh. Mahfud MD, Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Penegakan Hukum, dalam Majalah Gelora Hukum Nomor IV Tahun 1993. FH UMS.

Page 100: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

pembentukan sampai dengan tahap implementasinya. Menurut Moh Mahfud162,

pengaruh politik akan berpengaruh pada karakteristik produk-produk dan proses

pembuatannya. Mahfud kemudian sampai pada kesimpulan bahwa, hubungan

kausalitas antara hukum dan politik, khususnya dalam bidang hukum publik

tampak dengan jelas bahwa sistem politik yang demokratis senantiasa melahirkan

produk hukum yang berkarakter responsif atau populistik sedangkan sistem politik

yang otoriter senantiasa melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks atau

koservatif.163

Secara juridis dan ideologis, instansi penegak hukum dan aparat penegak

hukum di Indonesia merupakan suatu kesatuan sistem yang terintegrasi dalam

membangun satu misi penegakan hukum. Konsepsi ideologis demikian tidak atau 162 Moh. Mafmud MD, Hubungan Kausalitas Antara Hukum dan Politik di Indonesia. Artikel

dalam Majalah Gelora Hukum FH UMS Nomor IV Tahun 1993, hlm. 4-5. 163 Dalam hal ini lebih lanjut Moh. Mahfud MD memberikan contoh tentang pengaruh keadaan

politik terhadap produk hukum, berupa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kedua undang-undang tersebut lahir pada era Orde Baru tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam yang melatarbe lakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda. Undang-Undang Perkawinan lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan Undang-Undang Peradilan Agama lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan sikap saling akomodasi. Perbedaan kondisi politik melahirkan implikasi yang berbeda, terutama dalam penentuan pilihan atas materi produk hukum. RUU Perkawinan yang diajukan pada periode konflik politik, ternyata menyulut protes dan demonstrasi karena materinya memuat banyak hal yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Pada saat itu, pemerintah yang tidak mesra dengan Islam mengajukan RUU yang dipandang dari sudut aqidah Islam harus ditolak, sementara orang Islam sendiri yang sedang agak oposan dengan pemerintah, mencurigai RUU tersebut sebagai upaya mengecilkan Islam. Dengan demikian menjadi jelas bahwa keadaan politik saling curiga dan konflik itu telah melahirkan rancangan produk hukum yang juga menggambarkan kesaling curigaan. Fenomena tersebut berbeda dengan apa yang terjadi pada kasus Undang-Undang Peradilan Agama. RUU yang lahir pada saat hubungan antara pemerintah dan umat Islam secara holitis saling melakukan akomodasi ini ternyata mendapat dukungan luas dari umat Islam karena hal itu seakan-akan menjadi kado mewah bagi umat Islam. Menurut Mahfud, 8 fenomena pembuatan kedua undang-undang itu merupakan bukti betapa keadaan politik tertentu memberi jalan bagi munculnya pembuatan hukum dengan karakteristik yang tertentu pula.

Page 101: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

kurang melihat kondisi wilayah dan faktor sosio-kultural masyarakat yang

heterogen serta faktor-faktor personal dari aparat penegak hukum sendiri yang juga

dalam kenyataannya sangat heterogen.

Statemen di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kendatipun

penegakan hukum secara prinsip adalah satu, namun secara substantif penegakan

hukum, penyelesaian perkara akan melibatkan seluruh integritas kepribadian para

aparat penegak hukum yang terlibat di dalamya. Dalam hal ini Satjipto Rahardjo164

mengemukakan, bahwa kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan, bahwa para

penegak hukum sebagai kategori manusia dan sebagai jabatan, akan cenderung

memberikan penafsirannya sendiri terhadap tugas-tugas yang harus

dilaksanakannya sesuai dengan tingkat dan pendidikan, kepribadiannya dan masih

banyak faktor-faktor pengaruh lain lagi.

Dalam rangkaian mekanisme penegakan hukum yang meliputi tahap

pembentukan hukum dalam berbagai fasenya, dikemukakan oleh Satjipto

Rahardjo, bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum

dijalankan itu dibuat. Dengan demikian terlihat betapa besarnya peranan penegak

hukum yang menduduki posisi sebagai anggota badan legislatif yang merupakan

salah satu mata rantai mekanisme penegakan hukum165.

164 Satjipto Raharjo , Masalah Penegakan Hukum, Alumnus, Bandung, hlm. 26-27.165 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, hlm 23.

Page 102: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie166, norma hukum dapat berlaku

karena beberapa pertimbangan filosofis, pertimbangan juridis, pertimbangan

sosiologis, pertimbangan politis dan pertimbangan yang bersifat administratif.

1. Keberlakuan Filosofis

Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum

itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara.

Seperti dalam pandangan Hans Kelsen mengenai ”gerund-norm” atau dalam

pandangan Hans Nawiasky tentang "staatsfundamentalnorm", pada setiap negara

selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang

diyakini sebagai sumber dari Segala sumber nilai luhur dalam kehidupan

kenegaraan yang bersangkutan.167

Untuk hal ini, nilai-nilai filosofis negara Republik Indonesia terkandung

dalam Pancasila sebagai ”staatsfundamentalnorm". Di dalam rumusan kelima sila

Pancasila terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas

kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam ikatan

berbhineka-tunggal-ikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi

segenap rakyat Indonesia. Tidak satupun dari kelima nilai-nilai filosofis tersebut

yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum yang terdapat dalam

166 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 240.167 Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang

Hukum, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006).

Page 103: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

berbagai kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Keberlakuan Juridis

Keberlakuan juridis adalah keberlakuan norma hukum dengan daya ikatnya

untuk umum sesuatu dogma. yang dilihat dari pertimbangan

bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu norma hukum itu dikatakan berlaku

apabila norma hukum sendiri memang (i) ditetapkan sebagai norma hukum

berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau yang lebih tinggi seperti dalam

pandangan Hans Kelsen dengan teorinya “Stuffenbau Theorie des Recht”168 (ii)

ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara

suatu kondisi dengan akibatnya seperti dalam pandangan J.H.A. Logemann169 (iii)

ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang

berlaku seperti dalan pandangan W. Zevenbergen170, dan (iv) ditetapkan sebagai

norma hukum oleh lembaga yang memang berwewenang untuk itu. Jika ketiga

kriteria tersebut telah terpenuhi sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang

bersangkutan dapat dikatakan memang berlaku secara juridis.

3. Keberlakuan Politis168 Lihat "Stuffenbau Theorie" yang dikembangkan oleh Hans KeLsen. Kelsen,

Op Cit.169 J.H.A. Logemann (1954) dalam Purnadi Purbacaraka, Op.Cit., hal. 116.170 Lihat pandangan W. Zevenbergen mengenai soal ini dalam bukunya terbit pada tahun 1925,

dalam Ibid. hal. 114-115.

Page 104: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis apabila

pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang

nyata ( riele machtsfactoren ). Meskipun norma yang bersangkutan didukung oleh

masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita filosofis negara, dan

memiliki landasan juridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan politik

yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang bersangkutan tidak mungkin

mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum. Dengan

perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan ( power

theory ) yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu

norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila suatu norma

hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan, apapun wujudnya dan

bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah

cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang

bersangkutan dari segi politik.

4. Keberlakuan Sosiologis

Pandangan sosiologis mengenai keberlakuan ini cenderung lebih

mengutamakan pendekatan yang empiris dengan mengutamakan beberapa pilihan

kriteria, yaitu (i) kriteria pengakuan ( recognition theory), (ii) kriteria penerimaan (

reception theory ), atau (iii) kriteria faktisitas hukum. Kriteria pertama ( principle

of recognition ) menyangkut sejauh mana subjek hukum yang diatur memang

Page 105: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

mengakui keberadaan dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri

terhadap norma hukum yang bersangkutan. Jika subjek hukum yang bersangkutan

tidak merasa terikat, maka secara sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak

dapat dikatakan berlaku baginya.

Kriteria penerimaan sebagai kriteria kedua (principle of reception) pada

pokoknya berkenaan dengan kesadaran masyarakat yang bersangkutan untuk

menerima daya-atur, daya-ikat, dan daya-paksa norma hukum tersebut baginya.

Inilah yang dijadikan dasar Christian Snouck Hurgronje menyatakan bahwa di

Hindia Belanda dahulu yang berlaku adalah hukum adat, bukan hukum Islam.

Menurutnya, kalaupun hukum Islam itu secara sosiologis dapat dikatakan berlaku,

maka hal itu semata-mata disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat hukum

adat sudah meresepsikannya ke dalam tradisi hukum adat masyarakat setempat171

Sedangkan kriteria ketiga menekankan pada kenyataan faktual (faktisitas

hukum), yaitu sejauh mana norma hukum itu sendiri memang sungguh-sungguh

berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat. Meskipun suatu norma hukum

secara juridis formal memang berlaku, diakui ( recognized ), dan diterima (

171 Pendapat Christian Snouck Hurgrognje ini banyak ditentang oleh para sarjana hukum Indonesia, terutama oleh Hazairin beserta murid-muridnya, seperti Sayuti Thalib, Mohammad Daud Ali, dan sebagainya. Bahkan, sarjana Belanda sendiri seperti C. van den Berg mempunyai pendapat yang sama sekali berbeda dengan Snouck Hurgrognje mengenai soal ini yang dikenal dengan istilah teori “receptie in complexu”. Sedangkan Hazairin dan Sayuti Thalib mengembangkan teori yang dikenal dengan "receptie a contrario". Lihat Hazairin, Op Cit.

Page 106: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

received ) oleh masyarakat sebagai sesuatu yang memang ada ( exist ) dan berlaku

( valid ), tetapi dalam kenyataan praktiknya sama sekali tidak efektif, berarti dalam

faktanya norma hukum itu tidak berlaku. Oleh karena itu, suatu norma hokum baru

dapat berlaku secara sosiologis apabila norma dimaksud memang berlaku menurut

salah satu kriteria tersebut.

Dalam perspektif implementasi hukum bidang politik, kajian sosiologis

hukum menjadi lebih menarik, terutama dalam penyelesaian sengketa politik, yang

memperlihatkan banyaknya variabel yang ikut berpengaruh, namun sekaligus

memperlihatkan keefektifan penyelesaian perkara politik di luar jalur pengadilan,

yang dilakukan dengan melalui mediasi oleh pihak ketiga. Hal itu menunjukkan,

bahwa keadilan tidak hanya dapat diperoleh di pengadilan, tetapi lebih jauh dari

itu, keadilan yang sebenarnya muncul kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan

oleh para pihak yang bersengketa.

2.8 Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia

Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh

konsep hukum172 yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas

172 Oleh Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra, dalam Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hl. 111, konsep hukum diartikan : ”Sebagai garis-garis dasar , kebijaksanaan hukum yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum. Garis-garis dasar kebijaksanaan ini hakikatnya merupakan pernyataan sikap suatu masyarakat hukum terhadap berbagai pilihan tradisi atau budaya hukum, filsafat atau teori hukum, bentuk hukum, desain-desain pembentukan, dan penyelenggaraan hukum yang hendak dipilihnya (Dalam Hukum Sebagai Suatu Sistem, hlm. 111). Lebih lanjut dikatakan, Penetapan konsep ini merupakan tahap awal yang sangat penting bagi proses pembentukan, penyelenggaraan, dan pembangunan hukum suatu masyarakat hukum. Arti pentingnya terletak pada potensi yang dimiliki oleh suatu konsep hukum, yang pada gilirannya merupakan dasar dan orientasi bagi suatu proses penyelenggaraan dan pembangunan hukum. Pada tahap ini, suatu masyarakat hukum harus memilih dan menetapkan suatu desain pembentukan, penyelenggaraan, dan pembangunan hukum yang dipilihnya,

Page 107: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam

masyarakat sederhana, pembentukannya dapat berlangsung sebagai proses

penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses

pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan

kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat negara yang

menganut sistem Eropa Kontinental atau tradisi hukum sipil, pembentukannya

dilakukan oleh badan legislatif. Sedangkan dalam masyarakat negara yang

menganut tradisi hukum kebiasaan ( common law ) kewenangannya terpusat pada

hakim ( judges as a centralof legal creation )173.

Dalam perkembangannya, terutama di negara-negara ketiga,

berkecenderungan untuk menggabungkan kedua tradisi itu. Kecenderungan ini

tidak hanya terlihat pada negara-negara ketiga, tetapi juga pada negara-negara yang

pada mulanya secara ketat memegang salah satu dari kedua tradisi besar itu, seperti

Inggris, negara-negara Eropa, dan Amerika. Kecenderungan ini ini tampak sebagai

penjelajahan baru peradaban manusia dalam bidang hukum untuk mendapatkan

dengan seutuhnya mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, psikologi, dan seluruh aspek kemasyarakatannya. Mereka harus memilih desain yang mampu memelihara, mengembangkan, dan meningkatkan nilai-nilai peradaban yang dimilikinya. Untuk tradisi hukum, mereka harus memilih budaya hukum tertulis, tidak tertulis, atau kombinasi di antara keduanya, dengan mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing-masing tradisi itu. Untuk filsafat atau teori hukum, mereka harus memilih positivisme hukum, mazhab sejarah, konsepsi hukum pragmatis, atau teori-teori lainnya, dengan sepenuhnya mempertimbangkan nilai-nilai yang melatarbelakangi dan yang terkandung dalam teori-teori atau konsep-konsep itu. Untuk pembentukan, penyelenggaraan, dan pembangunan hukum, mereka harus menetapkan sikap, konsep, dan detail-detail konsep dari masing-masing proses itu.

173 Ibid hlm. 112.

Page 108: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

formulasi paling ideal bagi usaha perwujudan tujuan-tujuannya sebagai suatu

negara hukum.

Memang ada sedikit perbedaan antara perkembangan di Eropa kontinental

dan Inggris. Di Eropa yang mendasarkan pada hukum legislasi atau tertulis

perkembangan berjalan lebih cepat daripada Common Law di Inggris yang lebih

bersikukuh pada hukum tradisionalnya. Hukum Romawi yang coba dibawa ke

Inggris pada abad ke-enam ditolak karena akan mengganggu kontinuitas

perjalanan hukum yang berbasis tradisi itu ( Common Law ). Penolakan tersebut

menjelaskan mengapa Inggris tidak menyukai hukum yang dibuat melalui badan

perundang-undangan. Positivisme Inggris berbeda dari pada positivisme Eropa

Daratan.

Formulasi kombinatif kedua tradisi di atas memberikan kecenderungan

pembentukan hukum dapat dilakukan baik oleh hakim, lembaga legislatif, maupun

badan-badan administratif yang melakukan fungsi semacam itu. Risikonya

memang tidak kecil karena perluasan fungsi semacam itu dapat mengaburkan

kompetensi dari setiap komponen pembentuk hukum. Di samping secara kuantitas

hukum menjadi sangat kompleks, perluasan itu juga dapat mengakibatkan

overlapping substansi atau perselisihan pandangan tentang suatu gejala hukum.

Maka masalah serius yang segaris dengan lintasan masalah ini adalah kekaburan

hukum.

Page 109: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Negara Indonesia sebagai negara hukum, konsep hukumnya mengikuti

Eropa Kontinental, dimana pembentukan hukumnya dilakukan oleh badan

legislatif atau disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ). Landasan Juridis

pemberian kewenangan kekuasaan pembentukan undang-undang kepada badan

legislatif atau DPR didasarkan pada pertama, UUD 1945, yang merupakan hukum

dasar dan hukum tertinggi ( gerundgezetz, groundwet ) yang menjadi bagi

pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Pada Pasal

20 UUD 1945, Ayat (1) dikatakan : ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang

kekuasaan membentuk”174. Kemudian ayat (2) : ”Setiap rancangan undang-

undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan

persetujuan bersama”.175 Juga dalam ayat (5) : dikatakan : ”Dalam hal rancangan

undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam

waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,

rancangan undang-undang terebut sah menjadi undang-undang”.

Oleh perancangnya, Ayat (5) dimaksudkan untuk mengantisipasi

kemungkinan karena sesuatu hal Presiden tidak mau memberikan persetujuannya

dan untuk menghindari keterlambatan dalam proses pembentukan undang-undang

karena pihak pemerintah tidak mau atau mengulur waktu untuk memberikan

174 Pasal ini merupakan hasil amandemen UUD 1945 yang pertama (1)175 Pasal ini hasil amandemen yang pertama (1)

Page 110: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

persetujuan. Kemungkinan lain ayat (5) dimaksudkan untuk mensejajarkan

kewenangan dalam pembentukan undang-undang antara DPR dengan Presiden176.

Landasan Juridis kedua, yaitu UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan

Pembentukan Perundang-undangan. Kewenangan DPR dalam pembentukan

undang-undang secara rinci dalam undang-undang ini diatur dalam Bab IV tentang

”Perencanaan Penyusunan Undang-Undang” dan Bab V tentang ”Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan” ( Pasal 17 sampai Pasal 25 ).

Dalam Bab II tentang Asas Peraturan Perundang-undangan berisi Pasal 5, 6,

dan 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan bahwa dalam “membentuk”

Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik. Asas-asas yang dimaksud itu meliputi :

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan

keterbukaan.

Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan' adalah, bahwa setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas

yang hendak dicapai. Yang dimaksud dengan asas "kelembagaan atau organ 176 Pada rezim orde baru, meskipun kedudukan DPR sama dengan Presiden dalam pembentukan

undang-undang, namun dalam prakteknya, DPR seringkali tidak berdaya menghadapi tekanan dan intervensi dari Presiden. Itulah yang menjadikan hukum pada orde baru tidak lebih sebagai sarana dan alat untuk melindungi kepentingan penguasa atau instrumen of power.?

Page 111: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

pembentuk yang tepat” adalah, bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan

harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang

berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal

demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

Sedangkan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-

undangannya. Asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa, setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan

perundang-undangan di dalam masyarakat, baik secara filosofis, Juridis maupun

sosiologis. Sedangkan yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan

kehasilgunaan" adalah bahwa, setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena

memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Asas lain yang juga disebut di atas adalah asas "kejelasan rumusan", yaitu

bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau

terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak

menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Sementara itu,

yang dimaksud sebagai asas "keterbukaan" adalah bahwa, dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,

Page 112: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian

seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk seluas-

luasnya memberikan masukan dalam proses pembuatan atau pembentukan

peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, Pasal 6 ayat (i) UU No. 10 Tahun 2004 juga menentukan

adanya asas-asas yang harus terkandung dalam materi muatan setiap peraturan

perundang-undangan. Asas-asas yang dimaksud adalah asas :

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah, bahwa setiap materi

muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan

dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Selain itu, dianut pula adanya

"asas kemanusiaan", yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

Page 113: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi

manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia

secara proporsional. Sedangkan "asas kebangsaan" adalah bahwa setiap materi

muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan dan watak bangsa

Indonesia yang pluralistik ( kebhinnekaan ) dengan tetap menjaga prinsip negara

kesatuan Republik Indonesia.

Sementara itu, yang dimaksud dengan asas ”kekeluargaan" adalah bahwa,

setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Asas

yang lain adalah "asas kenusantaraan”, yaitu bahwa, setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh

wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat

di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan

Pancasila. "Asas Bhinneka Tunggal Ika" adalah bahwa, setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk agama,

suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang

menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dam bernegara.

Demikian pula dengan "asas keadilan" dapat dipahami dengan pengertian

bahwa, setiap materi muatau peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

Page 114: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. "Asas

kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa, setiap

Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang

bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,

golongan, gender, atau status sosial. "Asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah

bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menim-

bulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

Sedangkan yang dimaksud dengan ”asas keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan" adalah bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara

kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Selain asas-asas tersebut di atas, peraturan perundang-undangan tertentu

dapat pula berisi asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur oleh

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya, dalam bidang hukum

pidana dikenal luas antara lain adanya asas-asas, seperti asas legalitas, asas tiada

hukuman tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), asas pembinaan narapidana,

dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Semua asas ini berlaku

dalam bidang hukum pidana yang dapat ditambahkan dalam rangka asas-asas

seperti yang dimaksud di atas. Sementara itu, dalam bidang hukum perdata, dapat

dikemukakan pula contoh, seperti adanya asas-asas yang bersifat universal, seperti

asas ikatan kesepakatan ( sanctity of contract ), asas kebebasan berkontrak

Page 115: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

( freedom of contract ), dan asas itikad baik

( te goede trouw ).

2.9 Pembentukan Undang-Undang yang Demokratis

Pembahasan tentang pembentukan undang-undang yang demokratis tidak

bisa dilepaskan dari studi sosiologi hukum177. Apabila memang demikian, maka

pembentukan undang-undang akan dilakukan dengan melihat dan menempatkan

aktivitas tersebut dalam suatu konteks yang lebih substansial daripada artifisial.

Yang dimaksud artifisial adalah penyusunan undang-undang yang dikenal sebagai

legal drafing yang melihat penyusunan undang-undang pada kaidah-kaidah

konvensional-juridis-teknis. Berbeda dengan karakteristik tersebut, sosiologi

hukum tidak membahasnya sebagai suatu pekerjaan yang bersifat teknik dan

spesialistis, melainkan sebagai aktivitas masyarakat secara keseluruhan.

Ditempatkan pada model ”sociological jurisprudence” Donald Black, maka

penyusunan undang-undang akan dibicarakan sebagai suatu aktivitas yang

melibatkan struktur sosial dan perilaku masyarakat178. Disebabkan oleh kehadiran

faktor struktur sosial tersebut menjadi relevanlah untuk membicarakan penyusunan

undang-undang demokratis. Penyusunan undang-undang yang demokratis tidak

177 Ibid.178 Black, Donald, Sosiological Justice, New York : Oxford University Press, 1989, hlm. 21.

Page 116: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

lain merupakan satu aspek dari pembuat undang-undang dalam suatu konteks

struktur sosial tertentu.

Dari perspektif sosiologi hukum, pokok pembicaraan mengenai penyusunan

undang-undang yang demokratis termasuk cukup relevan, semata-mata atas dasar

pertimbangan, bahwa tindakan dan pekerjaan dalam masyarakat tidak pernah dapat

diisolasikan secara steril, tetapi saling berhubungan antara subsistem yang satu

dengan subsistem yang lainnya.

Melihat penyusunan undang-undang sebagai aktivitas masyarakat secara

keseluruhan, mendorong kita untuk mempertanyakan kembali konstatasi-konstatasi

tradisional dan stereotopis tentang pekerjaan tersebut. Konstatasi stereotopis adalah

isue-isue yang ditanamkan dalam pembuatan undang-undang, seperti bahwa

undang- undang itu “mengatur masyarakat”, ”menertibkan masyarakat”,

”melindungi kepentingan umum”, dan ”menimbulkan efek yang dikehendaki”.

Dalam doktrin normatif-legalistik yang mendominasi pemikiran hukum,

pertanyaan-pertanyaan tersebut dilampaui saja ( taken for granted ). Dengan

demikian maka membuat undang-undang memang identik dengan mengatur dan

menertibkan masyarakat, melindungi masyarakat dan sebagainya. Sosiologi hukum

mempertanyakan kembali semua yang selama ini dalam doktrin normatif diterima

sebagai sesuatu yang sudah mapan, sehingga tidak perlu diragukan dan

dipertanyakan lagi. Pertanyaan itu adalah : apakah hukum itu benar-benar

Page 117: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

melakukan hal-hal yang ingin ia lakukan ( doing what is said to do ), apakah

hukum itu memang sungguh-sungguh mengatur rakyat atau masyarakat ( really

ordering people ), dan apakah hukum itu memang pada akhirnya memberikan efek

seperti dikehendakinya ?

Jenis pertanyaan tersebut cukup relevan dalam sosiologi pembuatan hukum,

oleh karena menuntun kita kembali untuk dapat melihat kepada hakikat hukum

sebagai sarana untuk mengatur masyarakat secara substansial. Melalui koridor

pertanyaan tersebut kita akan mampu melihat penyusunan undang-undang sebagai

suatu cara untuk memajukan dan melindungi kepentingan tertentu atau

mengutamakan suatu kepentingan di atas yang lain. Informasi yang demikian itu

tentunya sangat relevan untuk mengetahui apakah suatu undang-undang itu disusun

secara demokratis atau tidak.

Selama ini pembuatan undang-undang lebih menitikberatkan pada kebenaran

prosedur saja, yang manakala suatu undang-undang sudah dibuat melalui prosedur

yang ditentukan, menjadilah ia undang-undang yang baik. Dari kaca mata sosiologi

hukum tidak cukup hanya sampai di situ, karena ingin tahu secara lebih mendalam,

seperti bagaimanakah muatan kepentingan undang-undang itu, misalnya seberapa

besar kepentingan fraksi-fraksi kecil terakomodir dalam undang-undang tersebut.

Apabila berbicara mengenai prosedur pembuatan undang-undang, misalnya dilihat

Page 118: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

apakah undang-undang itu sudah dibuat menurut tata cara yang memungkinkan

suara rakyat diutarakan dengan sebaik-baiknya.

Studi hukum yang mulai ditarik keluar dari batas-batas ranah perundang-

undangan sudah terjadi sejak dekade abad dua puluh, yaitu dengan kemunculan

sociological jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound ( 1911 ). Pound

mengajukan gagasan tentang suatu studi hukum yang juga memperhatikan efek

sosial dari bekerjanya hukum. Studi tentang hukum tidak bisa dibatasi hanya

tentang studi logis terhadap peraturan-peraturan hukum dan penerapannya,

melainkan juga akibat yang ditimbulkan terhadap masyarakat179.

Sejak sosiologi hukum melihat hukum sebagai bagian yang sama sekali tak

dapat dipisahkan dari masyarakat, maka pada waktu kita membicarakan masalah

penyusunan atau pembuatan undang-undang, pendekatan tersebut diterapkan juga.

Di atas sudah dikemukakan, bahwa pekerjaan tersebut tidak dapat dilihat sebagai

suatu kegiatan yang absolut otonom dan steril. Dalam kerangka penglihatan yang

demikian itu, pembuatan undang-undang bukan dilihat sebagai pekerjaan yang

bersifat teknis-profesional, melainkan suatu pekerjaan yang memiliki asal-usul

179 Roscou Pound, Scope and Purpose of Sosiological Jursiprudence, dalam Harvar Law Review, Jilid XXIV, No. 8, June, 1911 dan XXV No. 2 Dec. 1911.

Page 119: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

sosial, tujuan sosial, serta dampak sosial. Oleh Bernard, hal ini disebut sebagai

proses rekonstruksi sosial.180

Apabila pembuatan undang-undang dijadikan obyek kajian ilmu

pengetahuan, maka aspek sosial tersebut harus dibicarakan dengan sebaik-baiknya.

Tuntutan tersebut semata-mata didasarkan pada tugas ilmu pengetahuan untuk

mengamati dengan cermat dan menjelaskan hal-hal yang menjadi obyek kajiannya.

Tanpa menempatkan pembuatan undang-undang dalam konteks tersebut di atas

sangatlah sulit untuk membuat deskripsi mengenai realitasnya yang penuh dan

penjelasan yang baik mengenai pembuatan undang-undang itu.

"To know the true of the community is what constitutes the sciensce of

legislation; the art consists in finding the means to realize that good...”. Begitulah

kata-kata pertama Jeremy Bentham dalam karyanya yang kemudian terkenal

dengan, "Theory of Legislation", yang diterbitkan pada Tahun 1975181.

180 Bernard, L. Tansya, Hukum dalam Ruang Sosial, Srikandi, Surabaya, 2005, hl. 3. Lebih lanjut, Bernard mengatakan, konsep "konstruksi sosial" ditawarkan Peter L. Berger, seorang ahli sosiologi pengetahuan, dalam rangka membahas gerak hidup relasi pengetahuan dan realitas, antara mind dan matter. Dengan mengatakan bahwa mind menciptakan matter, Berger mencoba mengoreksi sekaligus melengkapi ide dasar Marx yang melihat matter-lah yang menciptakan mind. Berger banyak dipengaruhi Edmund Husserl, seorang fenomenolog yang memberi konteks sosial atas konsep "dunia kehidupan" yang dipahami sebagai realitas sosial orang-orang biasa. Konsep dasar konstruksi sosial yang diajukan Berger, melihat masyarakat sebagai suatu proses yang berlangsung secara dialektis dan simultan, dengan mengikuti tiga momen, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Ketiga momen ini terus tanpa henti.Teori ini secara konseptual disajikan dalam tulisannya bersama T Luckmann, The Social Construc-tion of Reality, New York: Doubleday & Company, Inc, 1966.

181 Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, Bombay, India : NM. Triparti, 1975.

Page 120: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Dengan demikian studi terhadap pembuatan undang-undang sudah bersatu

belaka dengan studi dan penelitian sosiologis, oleh karena ia tak dapat melepaskan

diri dari “finding the means to realize the true good of the community”. Bentham

menekankan, bahwa obyek dari pemerintahan dan hukum adalah “the greatest

happiness of the community"182. Dengan mematok tujuan tersebut maka ilmu

hukum dan khususnya ilmu pembuatan hukum tidak dapat dipisahkan dari

sosiologi hukum183. Uraian Bentham mengenai "happiness of society" tersebut

mendekatkan kajian-kajiannya kepada sosiologi hukum, sejak dengan begitu ia

harus membicarakan masalah "pains and pleasures", "sensibilities", "ends of law",

"disposition", "expectations", dan lain-lainnya. Dengan bertindak seperti itu

Bentham berurusan dengan fakta sosial, melakukan kajian analitik kontekstual dan

taksonomis untuk mengorganisasikan fakta sosial dalam rangka suatu pengkajian

ilmiah. Kajian Bentham mengenai pembuatan hukum sudah keluar dari analisis

teknis legislasi ke arah pembahasannya di dalam kerangka kehidupan sosial yang

lebih besar. Ukuran-ukuran yang digunakan bukan lagi semata-mata rasionalitas,

logika, prosedur dan yang semacamnya, melainkan hal-hal yang lebih sosiologis

sifatnya sebagaimana dapat dibaca dari kutipan di sekitar Bentham tersebut diatas.

182 Ibid.183 Baxi, Upendra. “Introduction” dalam Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, Bombay,

India, N.M. Triarthi, 1975.

Page 121: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

Salah satu aspek dari sosiologi pembuatan undang-undang adalah

penggunaan undang-undang untuk mewadahi atau menampung permasalahan

dalam masyarakat. Dengan demikian pembuatan undang- undang merefleksikan

hal-hal yang tengah terjadi dalam masyarakat, bagaimana masyarakat

mempersiapkannya, bagaimana keinginannya untuk menyelesaikan, dan

bagaimana masyarakat tidak ingin melihat hal-hal yang terjadi atau

menyembunyikannya.

Ditempatkan pada latar belakang tersebut, maka pembuatan undang-undang

dapat merupakan endapan dari konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam hubungan ini Duverger mengatakan bahwa sejak undang-undang selalu

merupakan endapan dari adu kekuatan politik, maka ia juga memanggil terjadinya

konflik-konflik dalam masyarakat184.

Undang-undang dapat dibuat sebagai sarana penyelesaian konflik, tetapi

sekaligus juga bisa menimbulkan konflik-konflik baru. Suatu undang-undang yang

pada saat diundangkan mendapat pujian, tidak menutup kemungkinan bagi

184 Schuyt, C.J.M. Rectts Sociologie, Rotterdam : Universitarire Pers, 1971, hl. 99.

Page 122: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

timbulnya konflik di belakang hari185. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa

undang-undang menyimpan potensi konflik.

Tentang pembentukan hukum yang demokratis, juga dapat dijelaskan

dengan teori komunikasi dari Habermas.186 Teori ini menjelaskan kesejajaran

berdialog dalam perumusan hukum. Pengambilan teori ini untuk menjelaskan

pembentukan undang-undang yang demokratis, lebih dasarkan pada realita, bahwa

proses pembentukan undang-undang tidak dapat dipisahkan dari interaksi

komunikasi para legislator. Oleh karena itu dapat dikatakan baik atau buruknya

undang-undang sangat dipengaruhi oleh corak komunikasi atau dialog para

legislator pada saat pembentukan undang-undang187.

Menurut Habermas, perbincangan ( diskursus ) yang bisa dikategorikan

sebagai perbincangan yang ”baik” harus memenuhi beberapa syarat. Syarat itu

antara lain, adalah bahwa individu yang terlibat harus sepenuhnya bebas188,

dipandang dan diperlakukan sejajar, serta mampu berpikir rasional. Dua syarat

pertama penting untuk menciptakan perbincangan yang sungguh fair, sedang 185 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, adalah contoh yang bagus untuk

menjelaskan hal ini. Pada saat undang-undang tersebut diundangkan, banyak pujian dan harapan, karena dengan UU tersebut akan terwujud pemerintahan yang demokratis, yang dimulai dari penyelenggaraan Kepala Daerah secara langsung dan demokratis. Namun setelah UU terebut diimplementasikan, banyak gugatan berupa uji materiil terhadap beberapa pasal UU tersebut karena merugikan hak konstitusional warga negara. Oleh sebagian masyarakat UU tersebut juga dituding sebagai biang terjadinya konflik dalam penyelenggaraan Kepala Daerah karena beberapa pasalnya memang berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat, seperti pasal yang mengatur tentang tata cara rekrutmen pasangan Kepala Daerah berikut pencalonannya di KPUD.

186 Hubermas, Jurgen , 2001 Between Fact an Norm, Constribution to a discourse theory of Law and Democrasy (alih bahasa : William Rehg), Massachusetts, The MIPR Press.

187 Hasil diskusi penstudi dengan beberapa ahli bahasa Universitas negeri Semarang pada saat bedah Focus Goup Discussion (FGD) untuk membedah disertasi ini dari prespetik kebahasaan.

188 Yang dimaksud disini, yaitu suatu kondisi di mana para legislator tidak mendapat tekanan dari manapun, seperti partai-fraksi, atau kelompok pressure group, sehingga dapat melakukan olah pikir dengan baik.

Page 123: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

syarat ketiga penting untuk menciptakan pertimbangan yang dapat dipertanggung-

jawabkan secara etis dan moral. Lebih lanjut Habermas mengatakan, kompromi

dalam merumuskan hukum harus memenuhi tiga syarat, yaitu (a) lebih

menguntungkan bagi semua daripada sama sekali tidak ada kesepakatan, (b)

menghindari ”penumpang gelap” ( free riders ) yang menarik diri dari kerja sama,

dan (c) menghindarkan adanya pihak-pihak yang dirugikan, yaitu yang memberi

terlalu banyak bagi kerjasama itu padahal hanya mendapatkan sedikit keuntungan.

Jika semua syarat komunikasi dalam berdialog merumuskan hukum dan

kompromi sebagaimana disyaratkan oleh Habermas tersebut dapat dilakukan

dalam proses pembentukan undang-undang oleh wakil rakyat di DPR, maka dapat

dikatakan proses pembentukan undang-undang telah berjalan secara demokratis.

Tetapi sebaliknya, jika syarat tersebut tidak dapat penuhi, tidak salah jika

dikatakan proses pembentukan undang-undang tidak demokratis189.

Menurut Satjipto Rahardjo, penyusunan atau pembuat undang-undang, pada

dasarnya merupakan suatu aktivitas yang melibatkan struktur sosial dan perilaku

masyarakat. Di dalam sosial kemasyarakatan yang demokratis, maka akan terdapat

penyusunan undang-undang yang demokratis pula, sehingga akan menghasilkan

sistem dan tatanan hukum yang demokratis. Lebih lanjut Satjipto Rahardjo

mengatakan, kualitas penyusunan undang-undang yang demokratis akan berjalan

189 Teori Habermas ini akan digunakan oleh penstudi sebagai salah satu pisau analisis dalam membahas pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada bab III.

Page 124: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,

sesuai dengan dinamika demokratisasi dalam masyarakat. Untuk menyusun

Undang-Undang yang demokratis, dapatlah ditempuh dengan menciptakan

”transparansi” dan ”partisipasi” ( lebih besar ) dalam pembuatan hukum.

Sedangkan di dalam masyarakat dan sistem sosial totalitarian, akan menghasilkan

sistem dan tatanan hukum yang totalitarian, meskipun tidak tertutup kemungkinan

hukum yang totalitarian tersebut dapat muncul dalam tradisi kultur hukum yang

biasa/normal190.

Dari studi ini akhirnya dapat ditarik suatu kongklusi, yaitu ”pembentukan

undang-undang yang demokratis tidak dapat dipisahkan dari pengaruh lingkungan

sosialnya”. Bagaimanapun, pendekatan dan analisis sosiologi hukum akan

menempatkan hukum di dalam konteks, apakah itu struktur dan perilaku sosial

yang melingkupinya. Dalam kontek disertasi ini, maka tesis tersebut dapat

didiskripsikan sebagai berikut :

1. Interaksi politik dalam pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak dapat

dipisahkan dari struktur politik dan perilaku politik yang melingkupi. Dalam

hal ini yang dimasud struktur dan perilaku sosial adalah struktur politik dan

lingkungan politik pada saat pembentukan UU tersebut dilakukan.

2. Struktur dan perilaku politik yang demokratis sangat berpengaruh pada

karakter atau corak undang-undang yang dihasilkan menjadi undang-undang

yang demokratis. Dalam konteks UU Nomor 32 Tahun 2004, tingkat dinamika

demokrasi yang terjadi pada saat pembentukan undang-undang tersebut akan

berpengaruh pada muatan atau isi UU Pemda tersebut.190 Jurnal Ilmu Hukum, vol. 2 Fakultas Hukum UMS, Badan Penerbit UMS, Surakarta, Th. 1999.

Page 125: riyanislawyer.files.wordpress.com · Web viewLiteratur yang ada selama ini lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi ( cita dan tujuan hukum ) serta bentuknya,