Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONTAMINASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS
(STH) PADA BUAH STROBERI DI PERKEBUNAN DAN
PASAR CIWIDEY, BANDUNG SELATAN, JAWA BARAT
UUN UNAENI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1441 H
KONTAMINASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS
(STH) PADA BUAH STROBERI DI PERKEBUNAN DAN
PASAR CIWIDEY, BANDUNG SELATAN, JAWA BARAT
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
UUN UNAENI
11150950000029
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M / 1441 H
vi
ABSTRAK
Uun Unaeni. Kontaminasi Telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada
Buah Stroberi di Perkebunan dan Pasar Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa
Barat. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dibimbing oleh
Priyanti dan Narti Fitriana. 2019
Stroberi merupakan buah yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi namun juga
mudah mengalami kontaminasi. Tumbuhan ini memiliki cabang batang menjulur
ke permukaan tanah sehingga dapat terkontaminasi Soil Transmitted Helminths
(STH) pada buahnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
prevalensi kontaminasi soil transmitted helminths pada buah stroberi dan tanah di
perkebunan dan Pasar Ciwidey. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai
Oktober 2019 dengan metode survei. Total sampel buah stroberi yang diperiksa
sebanyak 12 sampel, masing-masing sampel berisi 200 g buah stroberi. Total
sampel tanah yang diperiksa sebanyak 9 sampel, masing-masing sampel berisi 5 g
tanah. Pengamatan dilakukan dengan metode flotasi menggunakan larutan garam
jenuh 33% dilanjutkan dengan analisis deskriptif dan Principal Component
Analysis (PCA) menggunakan SPSS 20. Hasil menunjukkan bahwa terdapat
kontaminasi berupa telur soil transmitted helminths pada 12 sampel buah stroberi
dan 9 sampel tanah di perkebunan dan Pasar Ciwidey. Telur soil transmitted
helminths yang berhasil diidentifikasi adalah Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura. Prevalensi kontaminasi telur soil transmitted helminths pada semua
sampel sebesar 100% dengan kategori kontaminasi sangat parah. Telur soil
transmitted helminths yang paling banyak ditemukan adalah Ascaris lumbricoides
dengan nilai dominansi 98,93% (370 individu) sedangkan Trichuris trichiura
hanya 1,06% (4 indvidu). Buah stroberi yang terkontaminasi telur soil transmitted
helminths penularannya berasal dari tanah. Faktor abiotik yang mempengaruhi
keberadaan telur soil transmitted helminths adalah kelembapan tanah karena telur
soil transmitted helminths dalam perkembangan dan siklus hidupnya
membutuhkan tanah yang lembap dan teduh.
Kata kunci: Buah stroberi; flotasi; PCA; soil transmitted helminths
vii
ABSTRACT
Uun Unaeni. Contamination of Soil Transmitted Helminths (STH) Egg on
Strawberries in Ciwidey Plantation and Market in South Bandung, West
Java. Thesis. Department of Biology. Faculty of Science and
Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Asvised by
Priyanti and Narti Fitriana. 2019
Strawberries are fruits that have high economic value but are also susceptible to
contamination. This plant has stem branches extending to the surface of the soil so
that it can be contaminated with Soil Transmitted Helminths (STH) on the fruit.
This research was conducted to determine the prevalence of soil transmitted
helminths contamination in strawberries and soil in plantations and Ciwidey
Market. The study was conducted on March up to October 2019 using survey
method. The total samples of strawberries examined were 12 samples, each
sample containing 200 g strawberries. The total soil samples examined were 9
samples, each sample containing 5 g of soil. Observations were using the flotation
method using 33% saturated salt solution followed by descriptive analysis and
Principal Component Analysis (PCA) using SPSS 20. The results showed that
there was contamination in the form of soil transmitted helminths eggs in 12
strawberry fruit samples and 9 soil samples in the plantation and Ciwidey Market .
Soil transmitted helminths eggs that have been identified are Ascaris lumbricoides
and Trichuris trichiura. The prevalence of soil transmitted helminths egg
contamination in all samples is 100% with the category of very high
contamination. The most commonly found soil transmitted helminths eggs are
Ascaris lumbricoides with a dominance value of 98.93% (370 individuals) while
Trichuris trichiura is only 1.06% (4 individuals). Strawberry fruit contaminated
with soil transmitted helminths eggs are transmitted from the soil. The abiotic
factor that influences is soil moisture. Soil transmitted helminths eggs in their
development and life cycle require moist and shady soil.
Keywords: Flotation method; PCA; soil transmitted helminths; strawberries
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sains. Shalawat
serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta
keluarga dan para sahabatnya yang membawa kita dari zaman jahiliyah menuju
zaman yang terang benderang.
Skripsi ini berjudul “Kontaminasi Telur Soil Transmitted Helminths
(STH) pada Buah Stroberi di Perkebunan dan Pasar Ciwidey, Bandung
Selatan, Jawa Barat”, disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilaksanakan di Laboratorium Biologi, Pusat Laboratorium Terpadu (PLT),
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik karena adanya
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segala
kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu penyusunan skripsi ini, antara lain kepada:
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus
Pembimbing I yang berperan dalam memberikan bimbingan dan saran
bermanfaat kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi.
3. Narti Fitriana, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Biologi, Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus
Pembimbing II yang berperan dalam memberikan tema penelitian dan ilmu
serta motivasi dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi.
4. Dr. Dasumiati, M.Si dan Dr. Fahma Wijayanti, M.Si selaku Dosen Penguji
Seminar Proposal dan Seminar Hasil yang telah memberikan kritik dan saran
ix
yang membangun dalam proses pembuatan proposal serta dalam pelaksanaan
kegiatan penelitian.
5. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si dan Dr. Iwan Aminudin, M.Si selaku Dosen
Penguji Sidang Munaqosyah yang telah memberikan kritik dan saran yang
membangun dan bermanfaat.
6. Kepala Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) beserta staffnya dan Laboran
Laboratorium Biologi atas kerjasama dan bantuan yang diberikan selama
kegiatan penelitian.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis membuka diri terhadap kritik dan saran yang
bersifat membangun dari berbagai pihak. Penulis berharap skripsi ini
bermanfaat baik bagi penulis sendiri juga para pembaca untuk meningkatkan
ilmu dan pengetahuan.
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Jakarta, Desember 2019
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................... vi
ABSTRACT ........................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ....................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................. 2
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................... 3
1.5. Kerangka Berpikir .............................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Soil Transmitted Helminths (STH) ....................................... 4
2.1.1. Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) ....................... 4
2.1.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ....................... 6
2.1.3. Cacing Tambang (Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale) ........................................... 8
2.2. Faktor yang Mendukung Terjadinya Infeksi
Soil Transmitted Helminths (STH) ....................................... 10
2.3. Pemeriksaan Soil Transmitted Helminths (STH) .................. 10
2.4. Perkebunan Stroberi Ciwidey, Kabupaten Bandung ............. 11
2.5. Morfologi Tanaman Stroberi ................................................. 12
2.6. Tinjauan Umum Tentang Makanan dalam Pandangan
Islam ...................................................................................... 13
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................ 15
3.2. Alat dan Bahan Penelitian ...................................................... 16
3.3. Cara Kerja ............................................................................. 17
3.3.1. Pengambilan Sampel Buah Stroberi di Perkebunan
dan Pasar Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa Barat ..... 17
3.3.2. Pengambilan Sampel Tanah di Perkebunan Ciwidey,
Bandung Selatan, Jawa Barat ..................................... 18
3.3.3. Pengukuran Faktor Abiotik ....................................... 18
3.3.4. Pengamatan Telur Soil Transmitted Helminths (STH)
pada Buah Stroberi dan Tanah .................................. 19
3.3.5. Identifikasi Telur Soil Transmitted Helminths (STH)
pada Buah Stroberi dan Tanah .................................. 20
3.4. Analisis Data ......................................................................... 21
xi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada
Buah Stroberi dan Tanah di Perkebunan dan Pasar
Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa Barat ............................... 23
4.2. Morfologi Telur Soil Transmitted Helminths (STH)
pada Buah Stroberi dan Tanah di Perkebunan dan Pasar
Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa Barat ............................... 26
4.3. Prevalensi, Intensitas dan Dominansi Soil Transmitted
Helminths (STH) pada Buah Stroberi dan Tanah di
Perkebunan dan Pasar Ciwidey, Bandung Selatan,
Jawa Barat............................................................................ 30
4.4. Hubungan Keberadaan Telur Soil Transmitted Helminths
(STH) dengan Faktor Abiotik di Perkebunan dan Pasar
Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa Barat ............................... 35
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ......................................................................... 39
5.2. Saran ................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 40
LAMPIRAN - LAMPIRAN ............................................................. 44
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian kontaminasi telur
Soil Transmitted Helminths (STH) pada buah
stroberi di perkebunan dan Pasar Ciwidey,
Bandung Selatan Jawa Barat ........................................ 3
Gambar 2. Tipe telur Ascaris lumbricoides .................................... 4
Gambar 3. Daur hidup Ascaris lumbricoides ................................. 5
Gambar 4. Telur Trichuris trichiura ............................................. 7
Gambar 5. Daur hidup Trichuris trichiura ..................................... 7
Gambar 6. Telur cacing tambang (hookworm) .............................. 8
Gambar 7. Daur hidup cacing tambang (hookworm) ..................... 9
Gambar 8. Morfologi tanaman stroberi ......................................... 12
Gambar 9. Lokasi perkebunan stroberi. Perkebunan 1 (a);
Perkebunan 2 (b); Perkebunan 3 (c) ............................. 15
Gambar 10. Sampel tanah di Perkebunan Ciwidey ......................... 18
Gambar 11. Telur Ascaris lumbricoides. Fertilized (a dan b);
Fertilized decorticated (c) ............................................ 27
Gambar 12. Telur Ascaris lumbricoides. Unfertilized (a);
Unfertilized decorticated (b) ........................................ 27
Gambar 13. Tipe morfologi telur Ascaris lumbricoides
yang ditemukan ............................................................ 28
Gambar 14. Morfologi telur Trichuris trichiura ............................. 29
Gambar 15. Nilai dominansi Soil Transmitted Helminths
(STH) pada buah stroberi di perkebunan dan
Pasar Ciwidey .............................................................. 33
Gambar 16. Nilai dominansi Soil Transmitted Helminths (STH)
pada tanah di Perkebunan Ciwidey ............................. 33
Gambar 17. Hasil analisis komponen utama faktor abiotik
di perkebunan dan Pasar Ciwidey ................................ 36
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Morfologi telur Soil Transmitted Helminths (STH) ......... 20
Tabel 2. Kriteria prevalensi kontaminasi Soil Transmitted
Helminths (STH) .............................................................. 21
Tabel 3. Kriteria intensitas kontaminasi Soil Transmitted
Helminths (STH) ............................................................... 22
Tabel 4. Kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH )
pada buah stroberi dan tanah di perkebunan dan
Pasar Ciwidey .................................................................... 23
Tabel 5. Nilai prevalensi dan intensitas Soil Transmitted Helminths
(STH) pada buah stroberi dan tanah di perkebunan dan
Pasar Ciwidey .................................................................... 30
Tabel 6. Hasil pengukuran faktor abiotik di perkebunan dan
Pasar Ciwidey ................................................................... 35
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Alur kerja penelitian .................................................. 44
Lampiran 2. Jumlah sampel dan jenis Soil Transmitted
Helminths (STH) yang ditemukan ............................ 45
Lampiran 3. Hasil uji statistik Principal Component Analysis
(PCA) ......................................................................... 46
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Stroberi merupakan buah yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, namun
juga mudah mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan oleh tekstur buah yang
lembut sehingga sangat sensitif terhadap benturan fisik, suhu, dan sinar matahari
(Yuliasari et al., 2015). Buah stroberi juga mudah mengalami kontaminasi parasit
selama proses budidaya di lapangan, transportasi, dan penanganan pascapanen
(Nasution, Trisnowati, & Putra, 2013). Budidaya tanaman stroberi di Perkebunan
Ciwidey masih dilakukan secara konvensional pada lahan terbuka dengan
menggunakan tanah sebagai media tanamnya, sehingga memungkinkan
berkembangnya bermacam-macam parasit yang salah satunya adalah Soil
Transmitted Helminths (STH).
Cacing Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan nematoda usus yang
dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan dari bentuk
noninfektif menjadi infektif (Natadiasastra dan Agoes, 2009). Cacing yang
termasuk golongan ini adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Ancylostoma duodenale, dan Necator americanus. Kontaminasi telur STH pada
buah stroberi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu morfologi dari tanaman
stroberi yang memiliki cabang batang menjulur ke permukaan tanah, permukaan
buah stroberi yang kasar memungkinkan telur soil transmitted helminths mudah
menempel, penggunaan pupuk kandang yang berasal dari kotoran hewan, dan air
sungai atau selokan yang digunakan untuk menyiram tanaman. Sumber air untuk
penyiraman berasal dari hasil buangan masyarakat sekitar yang masih melakukan
kegiatan mandi, mencuci dan defekasi di sungai (Kristinawati, 2017).
Penularan soil transmitted helminths pada manusia dapat terjadi pada saat
memakan buah segar tanpa mengupas atau mencucinya terlebih dahulu. Buah
stroberi yang dimakan langsung pada saat wisata petik terindikasi mengandung
soil transmitted helminths (Ikpeze, Chima, & Chizoba, 2017). Selain pada saat
wisata petik, buah stroberi yang dikonsumsi oleh manusia juga berasal dari pasar.
2
Untuk mengetahui rute kontaminasi telur soil transmitted helminths pada buah
stroberi dari perkebunan sampai dikonsumsi manusia, maka penelitian ini juga
dilakukan pada buah stroberi yang dijual di pasar. Pasar Ciwidey merupakan pasar
tradisional yang sebagian besar penjualnya menerima pasokan buah stroberi dari
Perkebunan Ciwidey.
Pada penelitian Kristinawati (2017) tidak menemukan adanya kontaminasi
telur soil transmitted helminths pada buah stroberi di Desa Sembalun, Lombok
Timur. Hal itu dapat disebabkan oleh faktor cuaca yang dapat mempengaruhi
hasil pemeriksaan karena pada saat pengambilan sampel di daerah Sembalun
sedang mengalami musim hujan. Intensitas curah hujan yang tinggi dikhawatirkan
dapat menyebabkan telur soil transmitted helminths yang menempel pada buah
stroberi terbilas sehingga pada saat pemeriksaan tidak ditemukannya soil
transmitted helminths.
Untuk itu penelitian ini dilakukan pada musim panas untuk mengetahui
ada atau tidaknya kontaminasi telur soil transmitted helminths serta faktor-faktor
yang menyebabkan adanya kontaminasi pada buah stroberi di perkebunan stroberi
dan Pasar Ciwidey, Bandung Selatan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut :
1) Apakah terdapat kontaminasi telur soil transmitted helminths pada buah
stroberi dan tanah yang digunakan untuk menanam buah stroberi di
Perkebunan Ciwidey, Bandung?
2) Bagaimana tingkat prevalensi, intensitas dan dominansi telur soil transmitted
helminths pada buah stroberi dan tanah di perkebunan dan Pasar Ciwidey,
Bandung Selatan, Jawa Barat?
3) Parameter faktor abiotik apakah yang mempengaruhi keberadaan telur soil
transmitted helminths pada buah stroberi dan tanah di perkebunan dan Pasar
Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa Barat?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis :
1) Keberadaan soil transmitted helminths pada buah stroberi dan tanah yang
digunakan untuk menanam buah stroberi di Perkebunan Ciwidey, Bandung
3
2) Kategori tingkat prevalensi, intensitas, dan dominansi telur soil transmitted
helminths yang mengkontaminasi buah stroberi dan tanah di perkebunan dan
Pasar Ciwidey, Bandung
3) Faktor abiotik yang mempengaruhi keberadaan telur STH pada buah stroberi
dan tanah di perkebunan dan Pasar Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa Barat?
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan
kontaminasi telur soil transmitted helminths pada buah stroberi. Data penelitian
dapat digunakan sebagai bahan edukasi masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam
mengkonsumsi buah stroberi secara langsung, pencegahan infeksi soil transmitted
helminths, dan pemutusan rantai kontaminasi telur soil transmitted helminths pada
buah stroberi.
1.5. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir merupakan pola pikir yang diterapkan untuk
mendapatkan gambaran atau fokus perhatian dalam sebuah penelitian. Untuk
memperjelas uraian perlu digambarkan kerangka berpikir tersebut pada suatu
model sehingga alur pikir peneliti dapat dengan mudah dipahami pembaca.
Kerangka berpikir berisi variabel-variabel yang harus diteliti yang menjadi
fokus utama penelitian. Kerangka berpikir pada penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian kontaminasi telur Soil Transmitted
Helminths (STH) pada perkebunan dan Pasar Ciwidey, Bandung
Selatan, Jawa Barat
Manfaat :
- Hasil lebih tinggi
- Sediaan lebih bersih
- Sederhana dan mudah
Belum ada informasi mengenai telur cacing soil transmitted
helminths yang mengkotaminasi buah dan tanah di
Perkebunan Ciwidey Jawa Barat.
Pemeriksaan soil transmitted helminths dengan metode flotasi
dengan larutan garam jenuh 33%.
Untuk mengetahui keberadaan soil transmitted helminths yang mengkontaminasi buah dan tanah
di perkebunan dan Pasar Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa Barat
Buah stroberi mengalami kontaminasi parasit selama proses
budidaya di lapangan, transportasi, dan penanganan pasca
panen.
Penggunaan pupuk kandang peluang kontaminasi telur cacing
soil transmitted helminths pada buah stroberi.
Memakan buah segar tanpa
mengupas atau mencucinya
dapat menjadi faktor
penularan infeksi kepada
manusia.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Soil Transmitted Helminths (STH)
Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam
siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan (Natadisastra &
Agoes, 2009). Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini
akan mencemari tanah. Empat Jenis yang paling umum menginfeksi manusia
adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura),
dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Hotez,
2008).
2.1.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda parasit yang paling banyak
menyerang manusia dan cacing ini disebut juga cacing bulat atau cacing gelang.
Cacing dewasa berwarna agak kemerahan atau putih kekuningan, bentuknya
silindris memanjang, ujung anterior tumpul memipih dan ujung posteriornya agak
meruncing (Irianto, 2013). Cacing betina berukuran lebih besar dari cacing jantan.
Ukuran cacing betina dewasa mencapai 20-35 cm dan cacing jantan dewasa 15-30
cm. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Seekor cacing betina dapat
bertelur 100.000-200.000 butir sehari (Sutanto, 2008).
Gambar 2. Tipe telur Ascaris lumbricoides (Chiodini, Moody, & Manser, 2001)
Telur Ascaris ditemukan dalam dua bentuk, yang dibuahi (fertilized) dan
tidak dibuahi (unfertilized) (Gambar 2). Telur yang dibuahi (fertilized) berukuran
Normal form Decorticated
Embryonated Unfertillized
Chitinous layer
Vitelline layer
Germ cell
Albuminoid layer
Chitinous layer
Vitelline layer
Protein granules
Albuminoid layer
Chitinous layer
Vitelline layer
Germ cell
Albuminoid layer
Chitinous layer
Vitelline layer
Embryo
5
± 60 x 45 mikron, berbentuk oval, berisi embrio, dan berdinding tebal dengan 3
lapisan yaitu lapisan luar yang terdiri atas lapisan albuminoid dengan permukaan
tidak rata, bergerigi, berwarna kecoklat-coklatan karena pigmen empedu, lapisan
tengah merupakan lapisan chitin terdiri atas polisakarida dan lapisan dalam
(membran vitellin) terdiri atas sterol yang membuat telur dapat bertahan sampai
satu tahun dan terapung didalam larutan yang mengalami garam jenuh (pekat).
Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) berukuran ± 90 x 40 mikron,
berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdiri atas 2 lapisan dan
dalamnya bergranula, dihasilkan oleh betina yang tidak subur atau dihasilkan
terlalu cepat oleh betina yang subur. Telur ini akan tenggelam dalam larutan
garam jenuh (Natadisastra & Agoes, 2009). Berdasarkan ada tidaknya lapisan
albuminoid telur dibedakan menjadi dua yaitu corticated dan decorticated. Telur
corticated merupakan telur yang tidak kehilangan lapisan albuminoidnya,
sedangkan telur decorticated, telur yang dibuahi tanpa lapisan albuminoid yang
lepas karena proses mekanik. Telur ini akan terapung didalam larutan garam jenuh
(Safar, 2010).
Daur hidupnya A. lumbricoides keluar bersama feses penderita, telur
cacing yang telah dibuahi jika jatuh di tanah yang lembap dan suhu yang
optimal telur akan berkembang menjadi telur infektif, yang mengandung larva
cacing (Gambar 3).
Gambar 3. Daur hidup Ascaris lumbricoides (Soedarto, 2011)
6
Pada manusia infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang
infektif bersama makanan atau minuman yang tercemar tanah yang
mengandung feses penderita ascariasis. Di dalam usus halus bagian atas
dinding telur akan pecah kemudian larva keluar, menembus dinding usus
halus dan memasuki vena porta hati. Dengan aliran darah vena, larva beredar
menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding kapiler masuk ke dalam
alveoli. Masa migrasi larva ini berlangsung sekitar 15 hari lamanya (Soedarto,
2011).
Sesudah itu larva cacing merambat ke bronkus, trakea dan laring, untuk
selanjutnya masuk ke faring, esofagus, lalu turun ke lambung dan akhirnya
sampai ke usus halus. Selanjutnya larva berganti kulit dan tumbuh menjadi cacing
dewasa. Migrasi larva cacing dalam darah yang mencapai organ paru tersebut
disebut “lung migration”. Dua bulan sejak masuknya telur infektif melalui mulut,
cacing betina mulai mampu bertelur (Soedarto, 2011).
Telur A. lumbricoides dapat ditularkan melalui makanan, minuman, dan
mainan yang telah terkontaminasi. Penularannya dapat melalui perantara tangan
yang tidak bersih. Selain tangan, sayuran juga menjadi salah satu sumber infeksi
dari soil transmitted helminths. Hal ini dikarenakan untuk meningkatkan
kesuburan tanaman sayuran, seringkali menggunakan kotoran manusia. Infeksi
soil transmitted helminths sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa karena
anak-anak yang sering berhubungan dengan tanah yang merupakan tempat
berkembangnya telur A. lumbricoides (Irianto, 2013).Gangguan yang disebabkan
oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi
(Sutanto, 2008).
2.1.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Cacing cambuk merupakan nematoda usus penyebab penyakit trikuriasis
(Seodarmo, Garna, Hadinegoro, & Satari, 2008). Manusia merupakan hospes
definitif dari T. trichiura. Cacing ini terutama dapat ditemukan di sekum dan
appendiks, tetapi juga dapat ditemukan di kolon dan rektum dalam jumlah yang
besar. Cacing cambuk tidak membutuhkan hospes perantara untuk tumbuh
menjadi bentuk infektif (Natadisastra & Agoes, 2009).
7
Gambar 4. Telur Trichuris trichiura (Chiodini et al., 2001)
Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih
pada kedua kutub (Gambar 4). Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-
kuningan dan bagian dalamnya jernih. Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm,
sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk,
panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya
lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada
cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-20.000 butir (Sutanto,
2008).
Gambar 5. Daur hidup Trichuris trichiura (Soedarto, 2011)
Daur hidup T. trichiura mengalami pematangan dan menjadi infektif di
tanah dalam waktu 3-4 minggu lamanya (Gambar 5). Jika manusia tertelan telur
cacing yang infektif, maka di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva ke
luar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu
Egg shell
Embryonic cell
Polar plug
8
bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing telah menjadi dewasa
dan cacing betina sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat hidup
beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia (Soedarto, 2011).
Mekanisme cacing cambuk menimbulkan kelainan pada manusia tidak
diketahui, tetapi paling tidak ada 2 proses yang berperan, yaitu trauma oleh cacing
dan efek toksik. Trauma pada dinding usus terjadi karena cacing ini
membenamkan bagian kepalanya pada dinding usus (Seodarmo et al., 2008). Pada
infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum.
Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat
mengejannya penderita pada waktu defekasi (Sutanto, 2008). Infeksi T. trichiura
ditegakkan dengan menjumpai telur dalam feses ataupun cacing dewasa pada
feses.
2.1.3 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
Cacing tambang merupakan nematoda yang hidup sebagai parasit pada
usus manusia. Cacing ini termasuk kelas nematoda dan tergolong dalam filum
Nemathelmintes. Dua Jenis utama cacing tambang yang menginfeksi manusia
adalah N. americanus dan A. duodenale (Sehatman, 2006). Manusia merupakan
hospes definitif dari cacing tambang.
Gambar 6. Telur cacing tambang (hookworm) (Chiodini et al., 2001)
Telur cacing tambang berbentuk oval, tidak berwarna dan berukuran 40 x
60 μm (Gambar 6). Dinding luar dibatasi oleh lapisan vitelline yang halus, di
antara ovum dan dinding telur terdapat ruangan yang jelas dan bening. Telur yang
baru keluar bersama feses mempunyai ovum yang mengalami segmentasi 2, 4,
dan 8 sel. Bentuk telur N. americanus tidak dapat dibedakan dari A. duodenale.
Jumlah telur per-hari yang dihasilkan cacing betina N. americanus sekitar 9.000-
Vitelline layer
Ovum
9
10.000, sedangkan pada A. duodenale 10.000-20.000 butir (Natadisastra & Agoes,
2009).
Cacing tambang mempunyai dua stadium larva, yaitu larva rhabditiform
yang tidak infektif dan larva filariform yang infektif. Kedua jenis larva ini mudah
dibedakan karena larva rabditiform bentuk tubuhnya agak gemuk dengan panjang
sekitar 250 μm, sedangkan larva filariform yang berbentuk langsing panjang
tubuhnya sekitar 600 μm (Soedarto, 2011).
Gambar 7. Daur hidup cacing tambang (hookworm) (Soedarto, 2011)
Daur hidup A. duodenale maupun N. americanus hanya membutuhkan
satu jenis hospes definitif, yaitu manusia (Gambar 7). Tidak ada hewan yang
bertindak sebagai hospes reservoir. Sesudah keluar dari usus penderita, telur
cacing tambang yang jatuh di tanah dalam waktu dua hari akan tumbuh menjadi
larva rabditiform yang tidak infektif karena larva ini dapat hidup bebas di tanah.
Sesudah berganti kulit dua kali, larva rabditiform dalam waktu satu minggu akan
berkembang menjadi larva filariform yang infektif yang tidak dapat mencari
makan dengan bebas di tanah (Soedarto, 2011).
Cacing ini hidup dalam usus halus terutama di daerah jejunum. Pada
infeksi berat, cacing dapat tersebar sampai ke kolon dan duodenum. Cacing
dewasa hidup di rongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada
mukosa dinding usus. Cacing tambang dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit
dalam bentuk larva infektif. Setelah masuk melalui kulit, larva akan memasuki sistem
sirkulasi kemudian melewati jantung, paru-paru, organ pernapasan dan esofagus. Lalu
10
akan bermigrasi ke usus kecil dan berkembang dewasa dalam waktu 35 hari
(Natadisastra & Agoes, 2009). Gejala yang disebabkan oleh infeksi cacing
tambang stadium dewasa tergantung pada jenis, jumlah cacing, dan keadaan gizi
penderita. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian tetapi dapat
membuat daya tahan tubuh berkurang dan prestasi kerja turun (Seodarmo et al.,
2008).
2.2. Faktor yang Mendukung Terjadinya Infeksi Soil Transmitted
Helminths (STH)
2.2.1. Tanah
Sifat tanah mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan telur dan
daya tahan hidup dari larva cacing. Tanah liat yang lembab dan teduh merupakan
tanah yang sesuai untuk pertumbuhan telur A. lumbricoides dan T. trichiura.
Tanah berpasir yang gembur dan bercampur humus sangat sesuai untuk
pertumbuhan larva cacing tambang disamping teduh (Supali, Margono, & Abidin,
2008).
2.2.2. Iklim
Iklim tropis merupakan keadaan yang sangat sesuai untuk perkembangan
telur dan larva STH menjadi bentuk infektif bagi manusia. Suhu optimum untuk
pertumbuhan telur A. lumbricoides berkisar 25ºC, sedangkan telur T. trichiura
suhu optimum untuk tumbuh adalah 30ºC. Larva A. duodenale akan tumbuh
optimum pada suhu berkisar 23-25ºC, sedangkan untuk N. americanus berkisar
antara 28-32°C (Supali et al., 2008).
2.2.3. Kelembaban
Kelembaban yang tinggi akan menunjang pertumbuhan telur dan larva dari
STH. Pada keadaan kekeringan akan sangat tidak menguntungkan bagi
pertumbuhan STH. Kelembaban 80% sangat baik untuk perkembangan telur A.
lumbricoides sedangkan telur T. trichiura menjadi stadium larva maupun bentuk
infektif pada kelembaban 87% (Supali et al., 2008).
2.3. Pemeriksaan Soil Transmitted Helminths (STH)
Salah satu metode pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi telur soil transmitted helminths pada buah adalah dengan metode
tak langsung. Dalam metode ini telur cacing tidak langsung dibuat sediaan tetapi
sebelum dibuat sediaan sampel diperlakukan sedemikian rupa sehingga telur
11
cacing dapat terkumpul. Metode ini menghasilkan sediaan yang lebih bersih
daripada metode yang lain (Sehatman, 2006).
Metode tak langsung dibagi menjadi dua cara yaitu sedimentasi
(pengendapan) dan flotasi (pengapungan). Prinsip dari teknik sedimentasi adalah
memisahkan antara suspensi dan supernata dengan adanya sentrifugasi sehingga
telur cacing dapat terendap. Sedangkan prinsip dari teknik flotasi adalah berat
jenis telur cacing lebih kecil daripada berat jenis NaCl jenuh sehingga
mengakibatkan telur cacing akan mengapung di permukaan larutan (Yudiar,
2012).
2.4. Perkebunan Stroberi Ciwidey, Kabupaten Bandung
Kabupaten Bandung sebagai sentra produksi pertanian Jawa Barat
memiliki kondisi iklim, lahan dan sumberdaya hayati yang sangat mendukung
pengembangan usaha aneka jenis komoditas pertanian khususnya hortikultura.
Komoditas hortikultura yang sangat potensial untuk memasuki pasar internasional
dan pasar lokal adalah buah-buahan salah satunya buah stroberi karena memiliki
nilai ekonomi yang tinggi. Kabupaten Bandung memiliki potensi pertanian yang
cukup besar karena sebagian besar wilayahnya memiliki jenis tanah andosol,
morfologi yang sangat baik untuk tumbuh tanaman dan kondisi iklim yang
mendukung (Yulianto, 2013).
Ciwidey merupakan sentra produksi stroberi di Indonesia tepatnya di
Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan
Rancabali mempunyai lima desa yaitu, Desa Patengan, Desa Indragiri, Desa
Alamendah, Desa Cipelah dan Desa Sukaresmi. Salah satu dari kelima desa ini
yaitu Desa Alamendah komoditas utamanya mengandalkan buah stroberi. Lahan
stroberi di Desa Alamendah merupakan lahan stroberi yang paling luas di
Kabupaten Bandung, juga dengan tingginya produksi stroberi menjadikan wilayah
ini sebagai salah satu sentra penghasil buah stroberi terbesar di Kabupaten
Bandung. Produksi stroberi yang dihasilkan diantaranya bisa dipasarkan ke
sejumlah pasar swalayan/supermarket dan bahan untuk membuat berbagai jenis
makanan. Salah satu cara memasarkan stroberi yaitu dengan membuka wisata
petik stroberi sendiri (Yulianto, 2013).
12
2.5. Morfologi Tanaman Stroberi
Tanaman stroberi merupakan tanaman berakar tunggang (radix primaria).
Akarnya terus tumbuh, berukuran besar dan dapat mencapai panjang 100 cm,
namun akarnya hanya dapat menembus lapisan tanah atas sedalam 15-45 cm.
Secara morfologi, akar tanaman stroberi terdiri atas pangkal akar (collum), batang
akar (corpus), ujung akar (apeks), bulu akar (pilus radicalis) dan tudung akar
(calyptras) (Dewi, 2017). Morfologi tanaman stroberi dapat dilihat pada Gambar
8.
Gambar 8. Morfologi tanaman stroberi (Dewi, 2017)
Tanaman stoberi memiliki batang yang beruas-ruas pendek dan berbentuk
buku. Batang tanaman banyak mengandung air dan tertutupi oleh pelepah daun
sehingga seolah-olah tampak seperti rumpun tanpa batang. Buku-buku batang
tertutup oleh sisi daun yang mempunyai kuncup (gemma). Kuncup pada ketiak
daun dapat tumbuh menjadi anakan atau stolon. Stolon biasanya tumbuh
memanjang dan menghasilkan beberapa calon tanaman baru. Stolon adalah
cabang kecil yang tumbuh mendatar atau menjalar di permukaan tanah. Tunas
yang berakar dan tumbuh akan membentuk generasi (tanaman) baru, yang
digunakan sebagai bibit untuk perbanyakan vegetatif tanaman stroberi. Bibit yang
berasal dari stolon disebut geragih atau runners (Dewi, 2017).
Daun stroberi tersusun pada tangkai yang berukuran cukup panjang.
Tangkai daun berbentuk bulat dan seluruh permukaannya ditumbuhi oleh bulu-
bulu halus. Helai daun bersusun tiga (trifoliate). Bagian tepi daun bergerigi,
berwarna hijau, dan berstruktur tipis. Daun dapat bertahan hidup selama 1-3
bulan, selanjutnya ketika buah telah dipanen maka daun akan menggering
kemudian mati (Dewi, 2017).
Cabang batang
Buah
Bunga
Batang
Akar
Daun
13
Tanaman stroberi memiliki bunga yang berbentuk klaster (tandan) pada
beberapa tangkai bunga. Biasanya bunga mekar tidak bersamaan, bunga yang
lebih awal mekar ukurannya lebih besar daripada bunga yang mekar terakhir.
Bunga stroberi berwarna putih, berdiameter 2,5-3,5 cm, terdiri dari 5-10 kelopak
bunga berwarna hijau dan 5 mahkota bunga. Stroberi memiliki warna buah yang
sangat menarik yaitu berwarna merah menyala. Buah stroberi adalah buah semu,
yang merupakan pembesaran yaitu receptacle (tangkai buah). Buah sejati yang
berasal dari pembuahan ovul berkembang menjadi buah kering dengan biji yang
keras disebut achene, dimana pembentukannya ditentukan oleh jumlah pistil dan
keefektifan penyerbukan (Dewi, 2017).
2.6. Tinjauan Umum Tentang Makanan dalam Pandangan Islam
Dalam perspektif islam, kesehatan merupakan nikmat dan karunia Allah
swt yang wajib disyukuri. Meskipun kesehatan merupakan kebutuhan fitrah
manusia dan juga sebagai nikmat Allah, tetapi banyak yang mengabaikan dan
melupakan nikmat sehat ini. Berdasarkan konsep kesehatan yang ada, paling tidak
pola hidup sehat ada tiga macam. Pertama, melakukan hal – hal yang berguna
untuk kesehatan. Kedua, menghindari hal –hal yang membahayakan kesehatan.
Ketiga, melakukan hal –hal yang dapat menghilangkan penyakit yang diderita.
Segala jenis makanan apa saja yang ada di dunia halal untuk dimakan
kecuali ada larangan dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW untuk dimakan.
Agama Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk memakan makanan yang
halal dan baik. Makanan “halal” maksudnya makanan yang diperoleh dari usaha
yang diridhai Allah. Sedangkan makanan yang baik adalah yang bermanfaat bagi
tubuh, atau makanan bergizi (Amal, 2012).
Dalam al-Qur‟an, Allah telah memerintahkan agar manusia
mengkonsumsi makanan dan minuman yang bersifat halalan dan thayyiban. Allah
berfirman :
14
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkahlangkah setan,
karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah :
168)
Dalam ayat ini Allah memperbolehkan manusia makan semua makanan
yang ada di bumi, yaitu yang halal dan baik, lezat dan tidak mengandung bahaya
bagi badan, atau akal dan urat syaraf. Makanan yang halal disini berarti makanan
yang tidak haram, yakni memakannya tidak dilarang oleh agama. Namun
demikian, tidak semua makanan yang halal otomatis baik, misalnya ada makanan
yang halal, tetapi tidak bergizi, dan ketika itu ia menjadi kurang baik. Yang
diperintahkan dalam ayat di atas adalah yang halal lagi baik (Al-Hafidz, 2007).
Kata thayyib berasal dari segi bahasa lezat, baik, sehat, dan yang paling
utama menentramkan. Dalam konteks makanan, thayyib artinya makanan yang
tidak kotor dari segi zatnya atau kadaluarsa (rusak), atau dicampuri benda najis.
Secara singkat bahwa makanan yang thayyib adalah makanan yang sehat,
proporsional dan aman (halal). Untuk menilai suatu makanan itu thayyib (bergizi)
atau tidak, maka harus terlebih dahulu diketahui komposisinya. Bahan makanan
yang thayyib bagi umat islam harus terlebih dahulu memenuhi syarat halal (Al-
Hafidz, 2007).
15
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret - Oktober 2019. Pengambilan
sampel dilakukan di Perkebunan Ciwidey, Desa Alamendah, Rancabali dan Pasar
Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa Barat. Pengamatan dilakukan di Laboratorium
Ekologi Dasar, Pusat Laboratorium Terpadu (PLT), Fakultas Sains dan Teknologi,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan.
Gambar 9. Lokasi perkebunan stroberi. Perkebunan 1 (a); Perkebunan 2 (b);
Perkebunan 3 (c)
a
b
c
16
Kriteria perkebunan yang dijadikan lokasi pengambilan sampel adalah
perkebunan yang hanya ditanami stroberi. Pengambilan sampel dilakukan pada
bulan September. Pada bulan tersebut sedang tidak ditemui hujan. Perkebunan
stroberi yang dijadikan lokasi pengambilan sampel sebanyak tiga perkebunan
yang saling berdekatan (Gambar 9) dengan luas masing-masing ± 1 ha. Titik
koordinat perkebunan yang dijadikan lokasi penelitian adalah perkebunan 1
(S:07°07’16.6” ; E:107°25’33.7”), perkebunan 2 (S:07°07’16.1” ;
E:107°25’34.1”), dan perkebunan 3 (S:07°07’16.5” ; E:107°25’38.4”).
Budidaya stroberi di Perkebunan Ciwidey dilakukan di lahan terbuka
dengan menggunakan polybag sebagai tempat media tanamnya. Setiap 1 ha
perkebunan berisi 5.000-8.000 polybag tanaman stroberi. Polybag ini mempunyai
ukuran 40 x 50 cm pada bagian dasar 30 cm diisi tanah, lalu 10 cm berikutnya
diisikan pupuk kandang, 5 cm berikutnya diisikan tanah kembali, dan 5 cm
sisanya untuk penanaman bibit stroberi. Setiap polybag tersusun secara sejajar
dengan jarak dari satu polybag ke polybag lain adalah jarak antara samping kiri
dan kanan 10 cm, sedangkan jarak antara depan dan belakang 60 cm. Pada bagian
depan kebun terdapat rak susun yang ditempati oleh bibit tanaman stroberi pada
polybag-polybag kecil.
Kriteria pasar yang dijadikan lokasi pengambilan sampel adalah pasar
tradisional di sekitar Ciwidey yang menerima pasokan buah stroberi dari
perkebunan Ciwidey. Buah stroberi diperoleh dari tiga penjual yang hanya
menjual buah stroberi. Letak penjual buah stroberi tidak berada di dalam pasar
melainkan berada di luar pasar dekat dengan jalan. Penjual meletakkan buah
stroberi di atas meja kayu dan dibiarkan terbuka sehingga buah stroberi terpapar
sinar matahari langsung.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan meliputi kaca objek, kaca penutup, tabung
sentrifugasi, sentrifugasi, timbangan digital, pipet, mikroskop cahaya, kotak
pendingin, rak tabung, pisau, gelas ukur, gelas piala, tabung reaksi, pinset, pisau,
label, penggaris atau skala, saringan kawat, kantong plastik atau plastik klip, alat
tulis, sekop dan alat ukur faktor abiotik yaitu GPS (Global Position System), soil
tester, thermo hygrometer, dan luxmeter.
17
Bahan yang digunakan sebagai sampel adalah buah stroberi dari
perkebunan dan pasar, tanah dari perkebunan, larutan NaCl atau garam 33%, dan
akuades.
3.3. Cara Kerja
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pengambilan sampel
dari lapangan secara langsung. Populasi dari penelitian ini adalah buah stroberi
yang ditanam di Perkebunan Ciwidey dan buah stroberi yang dijual di Pasar
Ciwidey dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan menentukan
beberapa kriteria. Data yang diperoleh berupa data primer dari hasil pemeriksaan
di Pusat Laboratorium Terpadu. Alur kerja penelitian dapat dilihat pada Lampiran
1. Tahapan kerja pada penelitian ini sebagai berikut.
3.3.1. Pengambilan Sampel Buah Stroberi di Perkebunan dan Pasar
Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa Barat
Seluruh sampel buah stroberi yang diamati pada penelitian ini adalah yang
sudah matang dengan didominasi warna merah (≥ 50%) pada seluruh permukaan
buahnya dengan ukuran diameter buah 1-2 cm. Buah stroberi yang dipetik adalah
buah yang segar dengan kualitas baik ditandai dengan tidak adanya kerusakan
sama sekali pada buah.
Pengambilan sampel stroberi di perkebunan dan pasar dilakukan dalam
satu hari. Sampel buah stroberi yang pertama diambil dari Pasar Ciwidey.
Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari dengan membeli masing-masing 1
kotak buah stroberi (15-20 buah) dari tiga penjual yang berbeda. Tiap kotak diberi
label atau keterangan P1, P2, P3 dan waktu pengambilan pada tutup kemasannya,
kemudian disimpan di dalam kotak pendingin.
Sampel buah stroberi di setiap perkebunan diambil sebanyak 3 sampel.
Setiap sampel terdiri dari 200 g buah stroberi (20-25 buah). Satu sampel buah
stroberi diambil dari beberapa polybag yang kondisi buahnya sesuai dengan
kriteria yang sudah ditentukan. Buah stroberi yang akan dipetik dilakukan pada
buah yang berumur 5 - 6 bulan setelah tanam pada masing-masing perkebunan.
Total buah stroberi yang diambil dari tiga perkebunan yang berbeda yaitu 9
sampel. Tiap sampel dimasukkan ke dalam plastik klip lengkap dengan
keterangan waktu dan nama tiap sampel (K1Ba, K1Bb, K1Bc ; K2Ba, K2Bb,
18
K2Bc ; K3Ba, K3Bb, K3Bc). Semua sampel dimasukkan ke dalam kotak
pendingin agar tetap terjaga kondisinya selama perjalanan.
3.3.2. Pengambilan Sampel Tanah di Perkebunan Ciwidey, Bandung
Selatan, Jawa Barat
Pengambilan sampel tanah dilakukan di Perkebunan Ciwidey. Sampel
tanah yang diambil adalah tanah liat yang digunakan sebagai media untuk
pertumbuhan tanaman stroberi yang buahnya akan diambil sebagai sampel
penelitian, artinya dalam satu polybag yang sama antara buah stroberi dan
tanahnya. Sampel tanah yang diambil adalah tanah yang berada di atas permukaan
polybag karena berkontak langsung dengan tanaman stroberi (Gambar 10).
Gambar 10. Sampel tanah di Perkebunan Ciwidey
Sampel tanah diambil bersamaan dengan proses pengambilan sampel buah
stroberi. Setelah buah stroberi dipetik dilanjutkan dengan pengambilan tanah yang
dilakukan dengan sekop. Sampel diambil sebanyak 5 g (segenggam tangan) di tiga
polybag yang berbeda di setiap perkebunan. Total sampel tanah yang diambil dari
tiga perkebunan yaitu 9 sampel masing-masing dimasukkan ke dalam plastik klip
dan diberi keterangan TK1a, TK1b, TK1c ; TK2a, TK2b, TK2c ; TK3a, TK3b,
TK3c kemudian disimpan di dalam kotak pendingin.
3.3.3. Pengukuran Faktor Abiotik
Faktor abiotik yang diukur adalah suhu udara, kelembapan udara, pH
tanah, suhu tanah, kelembaban tanah, dan instensitas cahaya. Alat yang digunakan
untuk mengukur faktor abiotik yaitu GPS, thermo hygrometer, GPS, soil tester,
dan luxmeter.
Alat GPS digunakan untuk menentukan posisi dan navigasi dengan
menggunakan satelit dengan cara tekan tombol on lalu pilih dan tekan pengaturan
19
pada menu pilihan seperti menentukan titik koordinat suatu wilayah. Thermo
hygrometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu udara dan
kelembapan udara. Alat ini dapat digunakan dengan cara memasang baterai pada
bagian belakang kemudian alat diletakkan di tempat yang ingin diukur.
Soil tester adalah alat yang digunakan untuk mengukur keasaman tanah
dan kelembaban tanah. Alat ini digunakan dengan cara ujung alat ditancapkan ke
dalam tanah sampai batas tertentu kemudian lihat angka yang tertera pada alat
tersebut yang menunjukkan kelembapan tanah (%). Untuk mengukur pH tanah
dilakukan dengan menekan tombol kemudian dilepaskan dan angka yang tertera
menunjukkan pH tanah.
Lux meter yang berfungsi untuk mengukur besarnya intensitas cahaya di
suatu tempat. Lux meter digunakan dengan cara tekan tombol on terlebih dahulu,
kemudian dilakukan kalibrasi. Sensor alat harus diarahkan ke sumber cahaya
kemudian hasil pengukuran dicatat. Data yang diperoleh akan digunakan untuk
mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan.
3.3.4. Pengamatan Telur Soil Transmitted Helminths pada Buah Stroberi
dan Tanah
Pemeriksaan telur cacing STH menggunakan metode tak langsung yaitu
metode pengapungan dengan larutan garam jenuh 33% (Widarti, 2018). Larutan
garam jenuh (33%) dibuat terlebih dahulu dengan menambahkan 99 g garam ke
dalam 300 ml akuades, kemudian diaduk hingga garam mengendap dan berhenti
larut.
Pengamatan kontaminasi telur cacing STH pada sampel tanah hampir
sama prosedurnya dengan pengamatan pada buah stroberi. Sampel buah stroberi
sebanyak 200 g dipotong menggunakan pisau, sedangkan tanah yang telah
diperoleh dari polybag tanaman yang berbeda ditimbang masing-masing sebanyak
5 g. Sampel buah dan tanah direndam dengan larutan garam jenuh dalam gelas
piala 1000 ml. Setelah 30 menit, diaduk dengan pinset hingga merata lalu sampel
dikeluarkan.
Air rendaman disaring kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala lain
dan didiamkan selama 1 jam. Air yang di permukaan gelas piala diambil dengan
volume 10-15 ml menggunakan pipet ukur dan dimasukkan ke dalam tabung
20
sentrifugasi 15 ml. Tabung yang berisi air tersebut disentrifugasi dengan
kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Tabung ditetesi larutan garam jenuh
menggunakan pipet tetes sampai permukaan air menjadi cembung. Permukaan
tabung ditutup dengan kaca penutup selama 45-60 menit. Kaca penutup diambil
dan diletakkan di atas kaca objek untuk diperiksa secara mikroskopis.
Preparat diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 X, 200 X,
400 X dan 1000 X. Spesimen yang ditemukan pada saat pengamatan dibawah
mikroskop didokumentasikan dan diberi nama sesuai kode sampel sebelumnya
serta tanggal untuk proses identifikasi selanjutnya.
3.3.5. Identifikasi Telur Soil Transmitted Helminths pada Buah Stroberi dan
Tanah
Identifikasi telur cacing STH dilakukan berdasarkan bentuk, ukuran,
warna STH yang ditemukan kemudian disesuaikan dengan acuan atau buku
panduan seperti Atlas Parasitologi Kedokteran (Prianto, Tjahaya, & Darwanto,
2006), Buku Parasitologi Kedokteran (Soedarto, 2011), (Purnomo, 2009), dan
Atlas of Medical Parasitology (Rai, Uga, Kataoka, & Matsumura 1996) yang
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Morfologi telur Soil Transmitted Helminths (STH)
No. Jenis STH Morfologi Telur
1. Ascaris lumbricoides
Dibuahi : Ukuran ± 60 x 45 µm, dinding dalam hialin
tebal, dinding luar albuminoid kasar berwarna kuning
tengguli.
Tidak dibuahi : Ukuran ± 90 x 40 µm, dinding dalam
hialin tipis, dinding luar albuminoid kasar berwarna
kuning tengguli dan berisi granula-granula kasar.
2. Trichuris trichiura
Ukuran ± 50 x 22 µm. Bentuk seperti tempayan
dengan tonjolan di kedua ujungnya, dinding tiga lapis,
lapisan luar berwarna kuning tengguli.
3.
Cacing Tambang
Neccator americanus
Ancylostoma duodenale
Bentuk telur berbagai jenis cacing tambang mirip satu
dengan lainnya, sehingga sukar dibedakan. Ukuran ±
70 x 45 µm, telur cacing tambang berbentuk lonjong,
berdinding satu lapis, tipis, dan transparan.
Sumber : Purnomo (2009)
21
3.4. Analisis Data
Data yang didapatkan berupa hasil pemeriksaan kontaminasi telur cacing
STH pada stroberi dan tanah, nama dan jumlah jenis telur cacing STH dari
perkebunan dan pasar di Ciwidey, serta faktor-faktor yang mendukung terjadinya
kontaminasi telur cacing STH pada stroberi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dilakukan analisis secara
deskriptif kuantitatif dengan menggambarkan jenis telur cacing STH yang
ditemukan dan menghitung prevalensi, intensitas dan dominansi telur cacing STH
yang mengkontaminasi sampel. Data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.
Hasil perhitungan prevalensi dan intensitas telur cacing STH dimasukkan
dalam kategori prevalensi dan intensitas STH yang disajikan pada Tabel 2 dan
Tabel 3. Rumus yang digunakan untuk menganalisis tingkat kontaminasi STH
adalah menggunakan perhitungan prevalensi, intensitas, dan dominansi (Maulana,
Muchlisin, & Sugito, 2017), yaitu:
Prevalensi =
Intensitas =
Dominansi =
Tabel 2. Kriteria prevalensi kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH)
No. Tingkat Kontaminasi Keterangan Prevalensi
1 Selalu Kontaminasi sangat parah 100 – 99 %
2 Hampir selalu Kontaminasi parah 98 – 90 %
3 Biasanya Kontaminasi sedang 89 – 70 %
4 Sangat sering Kontaminasi sangat sering 69 – 50 %
5 Umumnya Kontaminasi biasa 49 – 30 %
6 Sering Kontaminasi sering 29 – 10 %
7 Kadang Kontaminasi kadang 9 – 1 %
8 Jarang Kontaminasi jarang < 1 – 0,1 %
9 Sangat Jarang Kontaminasi sangat jarang < 0,1 – 0,1 %
10 Hampir Tidak Pernah Kontaminasi tidak pernah < 0,01 %
Sumber : Maulana et al. (2017)
22
Tabel 3. Kriteria intensitas kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH)
No. Tingkat Kontaminasi Intensitas (ind/buah)
1 Sangat rendah < 1
2 Rendah 1 – 5
3 Sedang 6 – 55
4 Parah 51– 100
5 Sangat parah >100
6 Super terkontaminasi >1000
Sumber : Maulana et al. (2017)
Analisis hubungan antara keberadaan telur STH dengan faktor abiotik
yang ada di perkebunan dan Pasar Ciwidey, Jawa Barat dilakukan dengan analisis
Principal Component Analysis (PCA) pada program SPSS 20.
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada Buah Stroberi
dan Tanah di Perkebunan dan Pasar Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa
Barat
Buah stroberi yang dijadikan sebagai sampel pengamatan berasal dari tiga
perkebunan dan tiga penjual buah stroberi di Pasar Ciwidey. Buah stroberi yang
terkontaminasi dan yang tidak terkontaminasi telur STH tidak dapat dibedakan
secara morfologi, baik warna, ukuran, dan bentuk buahnya. Keberadaan STH
tidak merusak bentuk morfologi dan kualitas buah stroberi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan seluruh sampel positif ditemukan telur
STH yaitu 9 sampel buah stroberi dan 9 sampel tanah dari tiga perkebunan, serta 3
sampel buah stroberi pasar. Jenis telur STH yang ditemukan adalah Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura. Total telur STH yang ditemukan sebanyak
374 individu (Tabel 4). Data kontaminasi telur STH pada setiap sampel dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 4. Kontaminasi Soil Transmitted Helmints (STH) pada buah dan tanah di
perkebunan dan Pasar Ciwidey
Sampel
Hasil Pemeriksaan ∑STH yang ditemukan
A.
lumbricoides
T.
trichiura
A.
lumbricoides T. trichiura
K1 Buah + + 9,67 ± 3,21 0,33 ± 0,58
Tanah + + 28 ± 22,60 0 ± 0
K2 Buah + - 19 ± 15,7 0 ± 0
Tanah + + 23,33 ± 12,50 0,67 ± 0,58
K3 Buah + - 16 ± 9,54 0,33 ± 0,58
Tanah + - 19,33 ± 11,01 0 ± 0
P Buah + - 8 ± 7 0 ± 0
TOTAL 370 4
Keterangan : K1 = Perkebunan 1 P = Pasar
K2 = Perkebunan 2 + = Terkontaminasi
K3 = Perkebunan 3 - = Tidak terkontaminasi
Morfologi tanaman stroberi yang menjulur ke permukaan tanah
menyebabkan adanya kontak langsung dengan tanah sehingga memungkinkan
telur STH yang berada pada tanah menempel pada buah stroberi. Pada saat
24
penyiraman atau diguyur air hujan tanaman dapat terpercik oleh tanah yang
mengandung telur STH, sehingga dapat menempel pada permukaan buah stroberi
yang kasar.
Faktor penyebab ditemukannya telur Soil Transmitted Helminths (STH)
pada buah stroberi dan tanah adalah dari penggunaan pupuk kandang dari kotoran
hewan dan air selokan yang berasal dari hasil buangan rumah tangga. Menurut
Kristinawati (2017) air selokan yang digunakan untuk menyiram tanaman juga
dapat menjadi perantara adanya kontaminasi telur STH apabila air tersebut
mengandung feses yang terkontaminasi telur STH. Apabila air terkontaminasi
feses yang mengandung STH digunakan untuk menyiram tanaman, maka STH
yang terdapat pada feses dapat mencemari tanah dan tanaman tersebut.
Faktor alam juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
telur maupun larva cacing meliputi tanah, iklim, kelembapan, dan suhu. Tanah
yang gembur dan lembap untuk menanam stroberi merupakan media yang sangat
cocok untuk perkembangan STH. Tanah yang terkontaminasi STH terindikasi
berasal dari penggunaan pupuk kandang yang berasal dari kotoran hewan.
Menurut Soedarto (2011) penularan parasit dapat terjadi melalui penggunaan
kotoran hewan sebagai pupuk, jika pupuk yang digunakan mengandung parasit
atau larva cacing, parasit tersebut dapat menempel pada daun tanaman ataupun
buah-buahan.
Semua jenis STH yang ditemukan berada dalam bentuk telur dan tidak
ditemukannya telur atau larva dari cacing tambang (hookworm) pada semua
sampel. Buah stroberi menjadi medium perpindahan STH dari tanah di
perkebunan hingga ke pasar dan dikonsumsi oleh manusia. Keberadaan telur STH
pada buah stroberi akan mengikuti perpindahan buah stroberi tersebut. Telur STH
yang ditemukan dari sampel buah stroberi dan tanah Perkebunan Ciwidey yaitu A.
lumbricoides dan T. trichiura, sedangkan pada sampel pasar hanya ditemukan A.
lumbricoides.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bier (1991) mengenai isolasi parasit
pada buah-buahan dan sayur-sayuran, diantaranya digunakan kubis sebagai
contoh uji pemeriksaan, didapatkan gambaran adanya kontaminasi spesies telur
Ascaris sp. dan Trichuris sp. dalam bentuk telur decorticated dengan rata-rata
25
pertumbuhan 10% dari telur yang dibiakkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Spindola Felix et al. (1996) dan Sandra Regina (2014) menemukan adanya
kontaminasi Ascaris lumbricoides pada buah stroberi di Meksiko dan Brazil.
Buah stroberi yang telah dipanen dari perkebunan dibawa ke pengepul
sebelum didistribusikan ke pasar. Pengepul bertugas sebagai tempat penyimpanan
dan pengemasan buah stroberi. Proses pengemasan buah stroberi tidak terlalu
diperhatikan kebersihannya mulai dari alat dan tempat yang digunakan,
dikarenakan prosesnya masih sederhana atau konvensional. Buah stroberi yang
telah dipanen diletakkan di atas kain sarung disebar dan dipilih untuk dikemas ke
dalam wadah plastik.
Buah stroberi memiliki umur simpan yang sangat singkat dan rentan
terhadap kontaminasi. Daya tahan stroberi hanya mencapai 6 hari bila disimpan
pada suhu dingin antara 0°C hingga 4°C, sedangkan pada suhu ruang stroberi
hanya bertahan sekitar 2-3 hari (Nasution et al., 2013). Untuk itu proses
pengemasan harus segera dilakukan setelah buah stroberi dipanen. Buah stroberi
yang sudah melalui tahap pengemasan di dalam wadah plastik dikumpulkan
dalam sebuah kardus yang selanjutnya akan didistribusikan ke pasar dan penjual
di pinggir jalan.
Buah stroberi tidak mengalami proses pencucian terlebih dahulu sebelum
pengemasan dikarenakan akan mengurangi kualitas buah itu sendiri baik dari
bentuk, tekstur dan kesegaran buah. Proses pencucian akan mengurangi atau
menghilangkan lapisan lilin sebagai penghambat difusi gas ke dalam dan luar
buah yang berada pada permukaan stroberi sehingga buah tidak mudah
mengalami kerusakan (Christy, 2014). Tahapan produksi sampai dengan
pemasaran buah masih dilakukan secara konvensional dengan bantuan tenaga
manusia dan tidak ada kontrol kualitas pada buah yang akan didistribusikan,
misalnya faktor kebersihan dan keamanannya. Hal-hal inilah yang memungkinkan
adanya kontaminasi telur STH pada buah di perkebunan sampai buah dijual ke
pasar tradisional.
Menurut Lobo, Widjadja, Oktaviani, & Puryadi (2016) sayur dapat
berisiko tercemar telur cacing karena banyak faktor, antara lain (1) dijamah
manusia dengan tangan kotor yang mengandung telur cacing atau belum mencuci
26
tangan (2) jatuh ke tanah yang mengandung telur cacing, (3) dihinggapi vektor
penyakit seperti lalat, kecoa sehingga terjadi perpindahan telur cacing dari
tubuhnya ke sayuran, (4) cara mencuci dan mengolah sayur belum benar sehingga
telur cacing masih menempel pada sayuran, dan (5) sayuran tersebut tidak
dimasak dengan matang. Faktor lingkungan yang mendukung siklus hidup cacing,
keberadaan hospes perantara, penggunaan air, kontainer penyimpan sayur, sayur
dijamah dengan tangan kotor atau terkontaminasi selama perpindahan sayur dari
satu lokasi ke lokasi lain. Hal tersebut juga berlaku sebagai faktor penyebab
kontaminasi pada buah stroberi.
4.2 Morfologi Soil Transmitted Helminths (STH) pada Buah Stroberi dan
Tanah di Perkebunan dan Pasar Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa
Barat
Telur STH termasuk endoparasit yang menetap dan seluruh tubuhnya
tenggelam ke dalam jaringan dan tubuh tanaman inangnya. Kondisi telur STH
dalam buah sangat ditentukan oleh kondisi buah tersebut, sehingga perlu kehati-
hatian dalam proses penyimpanannya karena buah stroberi mudah mengalami
kerusakan. Jika buah mengalami kerusakan atau kebusukan akan menyebabkan
telur STH sulit ditemukan atau jika ditemukan bentuknya sulit untuk
diidentifikasi, sehingga pada saat buah stroberi sampai di laboratorium harus
segera diamati. Buku identifikasi yang digunakan adalah Atlas Parasitologi
Kedokteran (Prianto, Tjahaya, & Darwanto, 2006), Buku Parasitologi Kedokteran
(Soedarto, 2011), (Purnomo, 2009), dan Atlas of Medical Parasitology (Rai, Uga,
Kataoka, & Matsumura 1996) beserta jurnal (Oktari, A & Mutamir, 2017) dan
(Tantri, Setyawati, & Khotimah, 2013).
Ascaris lumbricoides mempunyai dua jenis telur, yaitu telur yang sudah
dibuahi (fertilized eggs) dan telur yang tidak dibuahi (unfertilized eggs). Telur
yang dibuahi dan tidak dibuahi dibedakan menjadi dua berdasarkan ada tidaknya
lapisan albuminoid, yaitu telur corticated dan decorticated. Telur corticated
merupakan telur yang tidak kehilangan lapisan albuminoidnya, sedangkan telur
decorticated merupakan telur yang kehilangan lapisan albuminoidnya (Safar,
2010).
Ascaris lumbricoides ditemukan pada fase telur dan memiliki tipe-tipe
telur yaitu fertilized dan unfertilized. Telur tipe fertilized adalah telur yang dibuahi
27
(Gambar 11a, 11b), telur ditemukan dalam bentuk oval atau lonjong, berwarna
coklat tua, bagian tengah telur tidak terlihat karena tertutup albuminoid dan
memiliki permukaan yang bergerigi atau tidak rata. Ciri yang ditemukan memiliki
kesamaan dengan deskripsi di Buku Ajar Parasitologi Kedokteran oleh Soedarto
(2011) yaitu fertilized eggs berbentuk lonjong, berukuran 45-70 x 35-50 µm,
mempunyai kulit telur yang tak berwarna. Bagian terluar telur tertutup oleh
lapisan albuminoid yang permukaannya bergerigi (mamillation), dan berwarna
coklat karena menyerap zat warna empedu.
Gambar 11. Telur Ascaris lumbricoides. Fertilized (a dan b); Fertilized
decorticated (c)
Tipe decorticated merupakan telur yang dibuahi namun kehilangan lapisan
albuminoid (Gambar 11c). Telur yang ditemukan memiliki ciri, yaitu berbentuk
oval atau lonjong dan transparan dengan bagian luar tidak bergerigi atau rata
karena tidak ada lapisan albuminoidnya. Ciri ini seperti yang ditemukan oleh
Hernasari (2011) yaitu telur transparan dan tidak memiliki lapisan albuminoid
karena lapisan albuminoid dapat terlepas akibat proses mekanik.
Gambar 12. Telur Ascaris lumbricoides. Unfertilized (a); Unfertilized
decorticated (b)
a b c 30 µ 30 µ 30 µ
30 µ 30 µ a b
28
Telur unfertilized atau tidak dibuahi yang ditemukan memiliki bentuk
tidak beraturan, bagian isi berupa granula-granula dan memiliki albuminoid
(Gambar 12a). Telur decorticated tidak dibuahi yang ditemukan memiliki ciri
berwarna coklat muda atau coklat tua, berbentuk tidak beraturan dan tidak
terdapat albuminoid (Gambar 12b).
Karakteristik telur A. lumbricoides tersebut sesuai dengan Atlas
Helminthologi Kedokteran (2009) yaitu ukuran berkisar 90 x 40 µm, dinding
dalam berupa hialin tipis, bagian dalam berupa granula-granula kasar, berwarna
kuning tengguli dan dinding luar berupa albuminoid (corticated) atau dinding luar
tidak terdapat albuminoid (decorticated).
Tipe telur A. lumbricoides yang paling banyak ditemukan pada semua
sampel buah stroberi dan tanah adalah unfertillized (tidak dibuahi) atau non
infektif sebanyak 206 individu (Gambar 13). Tipe telur unfertillized dihasilkan
oleh cacing betina pada awal produksi telur sehingga lebih banyak ditemukan.
Telur unfertillized yang dikeluarkan oleh cacing betina akan tumbuh dan
berkembang di tanah apabila kondisi faktor abiotik sesuai maka telur unfertillized
akan berubah menjadi telur fertillized yang sudah berisi embrio. Telur
unfertillized juga dapat dihasilkan oleh cacing betina yang tidak subur. Tipe telur
yang lebih sedikit ditemukan adalah tipe decorticated sebanyak 70 karena telur
telah mengalami kehilangan lapisan albuminoidnya akibat kerusakan mekanik
seperti benturan atau gesekan pada buah stroberi selama perjalanan.
Gambar 13. Tipe morfologi telur Ascaris lumbricoides yang ditemukan
94
206
70
0
50
100
150
200
250
Ind
ivid
u
Tipe morfologi telur Ascaris lumbricoides
Fertillized Unfertillized Decorticated
29
Ascaris lumbricoides dapat menginfeksi manusia melalui beberapa jalan,
yaitu telur infektif masuk mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar,
melalui tangan yang kotor karena adanya kontak dengan tanah yang mengandung
telur infektif, atau telur infektif terhirup melalui udara bersama debu. Jika telur
infektif masuk melalui saluran pernapasan, telur akan menetas di mukosa jalan
napas bagian atas, larva langsung menembus pembuluh darah dan beredar
bersama aliran darah (Soedarto, 2011). Menurut Sandjaja (2007) dalam debu
dapat dijumpai telur telur A. lumbricoides, dalam setiap gram dapat ditemukan 31
butir telur A. lumbricoides, sehingga debu dapat menjadi salah satu sumber
penularan A. lumbricoides.
Gambar 14. Morfologi telur Trichuris trichiura
Karakteristik telur T. trichiura yang ditemukan memiliki bentuk oval
berwarna coklat, dan memiliki dua kutub jernih yang menonjol (Gambar 14).
Ciri-ciri mirip dengan deskripsi Purnomo (2009) yakni berukuran 50 x 25 µm,
bentuk seperti tempayan dengan tonjolan di kedua ujungnya, dinding terdiri dari
tiga lapis, dan lapisan luar berwarna kuning tengguli.
Pada penelitian ini tidak ditemukannya jenis cacing tambang (Hookworm).
Berbeda dengan STH lainnya, telur cacing tambang dapat tumbuh optimum pada
lingkungan yang mengandung pasir karena pasir memiliki berat jenis yang lebih
besar dari pada air sehingga telur-telur akan terlindung dari sinar matahari.
Suriptiastuti (2006) menyatakan bahwa larva cacing tambang sangat menyukai
tanah berpasir sebab tanah berpasir lebih banyak menyediakan oksigen dalam
tanah untuk perkembangannya. Suhu juga merupakan faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan telur cacing tambang. Suhu optimum pertumbuhan cacing tambang
yaitu 35°C-40°C, namun suhu daerah perkebunan stroberi lebih dingin yaitu
30 µ 30 µ a b
30
berkisar antara 25°C-30°C sehingga tidak baik untuk pertumbuhan telur cacing
tambang (Sandjaja, 2007).
Pada perkebunan stroberi yang dijadikan lokasi pengambilan sampel
masih menggunakan pestisida untuk menjaga atau mencegah kerusakan akibat
hama penyebab penyakit pada tanaman. Salah satu dampak negatif penggunaan
pestisida di lahan pertanian adalah kematian organisme tanah seperti cacing tanah,
serangga dan nematoda. Pada penelitian Hairani (2015) ditemukan kontaminasi
cacing tambang yang lebih rendah di lahan perkebunan di Desa Sepunggur dapat
disebabkan lebih tingginya tingkat penggunaan pestisida oleh petani sehingga
organisme yang ada di tanah perkebunan tersebut termasuk larva cacing tambang
mengalami kematian, telurnya rusak dan siklus hidupnya tidak berlanjut lagi.
4.2. Prevalensi, Intensitas dan Dominansi Soil Transmitted Helminths
(STH) pada Buah Stroberi dan Tanah di Perkebunan dan Pasar
Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa Barat
Hasil pemeriksaan yang diperoleh dari penelitian ini berupa nilai
prevalensi, intensitas, dan dominansi Soil Transmitted Helminths (STH) dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai prevalensi dan intensitas Soil Transmitted Helminths (STH) pada
buah stroberi dan tanah di perkebunan dan Pasar Ciwidey
Sampel Jenis STH ∑ STH Prevalensi
(%)
Intensitas
(Ind/sampel)
Kebun 1
Buah A. lumbricoides 29 100 9,6
T. trichiura 1 33,3 1
Tanah A. lumbricoides 84 100 28
T. trichiura 2 33,3 2
Kebun 2
Buah A. lumbricoides 57 100 19
T. trichiura 0 0 0
Tanah A. lumbricoides 70 100 23,3
T. trichiura 1 33,3 1
Kebun 3
Buah A. lumbricoides 48 100 16
T. trichiura 0 0 0
Tanah A. lumbricoides 58 100 19,3
T. trichiura 0 0 0
Pasar Ciwidey A. lumbricoides 24 100 8
T. trichiura 0 0 0
Terdapat 12 sampel buah stroberi dan 9 sampel tanah yang diamati positif
mengandung telur STH. Jenis STH yang ditemukan pada sampel buah stroberi
dan tanah dari perkebunan adalah A. lumbricoides dan T. trichiura. Pada sampel
buah stroberi dari pasar hanya ditemukan STH A. lumbricoides. Hasil
31
menunjukkan bahwa nilai prevalensi A. lumbricoides pada semua sampel
ditemukan tinggi sebesar 100 % yang tergolong tingkat kontaminasi selalu. Hal
ini dikarenakan pada seluruh sampel yang diamati positif ditemukannya telur
STH. Nilai prevalensi T. trichiura hanya sebesar 33,3% pada sampel buah dan
tanah dari kebun 1 dan tanah kebun 2 yang tergolong tingkat kontaminasi biasa.
Nilai intensitas digunakan untuk melihat berapa banyak telur STH yang
mengkontaminasi satu sampel. Intensitas A. lumbricoides tertinggi ada pada
seluruh sampel tanah dari perkebunan. Pada sampel tanah dari kebun 1 nilai
intensitas sebesar 28 individu/sampel, tanah kebun 2 sebesar 23,3 individu/sampel
dan tanah kebun 3 sebesar 19,3 individu/sampel yang tergolong tingkat
kontaminasinya sedang. Pada sampel buah yang memiliki nilai intensitas tertinggi
adalah sampel buah stroberi dari kebun 2 dengan 19 individu/sampel dan kebun 3
dengan 16 individu/sampel yang tergolong tingkat kontaminasinya biasa.
Nilai intensitas T. trichiura hanya diperoleh dari sampel buah stroberi dan
tanah kebun 1, serta sampel tanah dari kebun 2 sebanyak 1-2 individu/sampel
yang tergolong tingkat kontaminasinya rendah. Nilai intensitas A. lumbricoides
lebih tinggi dibandingkan dengan T. trichiura. Hal ini disebabkan karena A.
lumbricoides lebih sering atau lebih banyak ditemukan pada setiap sampel
dibandingkan dengan T. trichiura.
Telur STH yang ditemukan pada sampel tanah dan buah stroberi dari
perkebunan sama jenisnya yaitu A. lumbricoides dan T. trichiura, sedangkan telur
STH yang ditemukan pada sampel buah dari pasar hanya A. lumbricoides.
Terdapat kesamaan antara STH yang ditemukan pada sampel buah dari
perkebunan dan pasar. Pada sampel pasar tidak ditemukannya T. trichiura, hal ini
dapat disebabkan karena buah yang dijual di pasar merupakan buah yang sudah
mengalami masa penyimpanan lebih lama dibandingkan buah yang langsung
dipetik dari perkebunan.
Penyimpanan yang lebih lama dapat menurunkan kualitas buah menuju
kebusukan. Hal ini yang membuat telur STH pada saat diperiksa di bawah
mikroskop lebih sedikit ditemukan karena diduga telur mengalami kerusakan atau
sudah mati seperti yang ditemukan pada sampel pasar. Proses penyimpanan buah
stroberi pada lemari es juga menjadi faktor keberadaan T. trichiura. Telur STH ini
32
dapat bertahan hidup pada suhu optimum 30°C sehingga pada suhu lemari es
dengan jangka waktu penyimpanan lama telur T. trichiura sangat sedikit
ditemukan atau diduga mengalami kerusakan. Hal tersebut sangat berbeda dengan
telur A. lumbricoides yang dapat lebih bertahan pada suhu dingin. Perlu diketahui
bahwa lama penyimpan sampel dalam lemari es selama pengamatan sebanyak dua
hari dari waktu kepulangan pengambilan sampel. Sejalan dengan Siskhawahy
(2010) yang menyatakan bahwa penyimpanan sayuran atau buah-buahan dilemari
pendingin dapat mempertahankan kesegaran dari sayuran atau buah-buahan
tersebut, namun perlu diketahui bahwa pendingin di lemari es tidak dapat
menghilangkan atau merusak telur cacing. Telur A. lumbricoides dapat bertahan
pada suhu kurang dari 8°C walaupun pada suhu ini dapat merusak telur T.
trichiura.
Tinggi rendahnya nilai intensitas dan prevalensi pada setiap sampel
dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti, tanah, iklim, kelembapan
dan suhu. Iklim tropik merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan telur STH, faktor lainnya adalah keadaan tanah
yang dapat menjadi media perkembangan telur dan kehidupan serta
perkembangan larva. Tanah yang subur dan kaya bahan organik yang ditunjang
dengan kelembapan dan iklim yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman stroberi
juga merupakan faktor adanya kontaminasi telur STH (Nugroho, Djanah, &
Mulasari, 2016). Sejalan dengan jumlah telur STH yang ditemukan pada sampel
buah stroberi dari perkebunan lebih banyak dibandingkan dengan buah stroberi
dari pasar. Hal tersebut dikarenakan di perkebunan sampel buah stroberi baru
dipetik sehingga sebelumnya masih terdapat kontak langsung dengan tanah
sebagai faktor utama penularan dan faktor abiotik di perkebunan masih
mendukung perkembangan telur STH, sedangkan buah stroberi di pasar sudah
tidak ada kontak langsung dengan tanah karena sudah mengalami proses
penyimpanan 1-2 hari setelah dipetik. Buah stroberi di pasar telah mengalami
paparan sinar matahari lebih lama, hal tersebut memungkinkan telur STH rusak
akibat kondisi yang tidak sesuai sehingga jumlah telur yang ditemukan lebih
sedikit.
33
Berdasarkan pengamatan secara mikroskopik dengan menggunakan
referensi Buku Atlas Helmintologi Kedokteran Purnomo et al. (2009), Buku Ajar
Parasitologi Soedarto (2011) dan Atlas of Medical Parasitology Rai, Uga,
Kataoka, & Matsumura (1996), jenis STH yang ditemukan pada buah stroberi dan
tanah di Perkebunan dan Pasar Ciwidey dapat diidentifikasi.
Hasil persentase dominansi jenis STH pada buah stroberi dapat dilihat
pada Gambar 15 dan pada tanah pada Gambar 16. Jenis STH yang ditemukan dari
buah stroberi dan tanah yaitu A. lumbricoides dan T. trichiura. Kedua jenis STH
ini ditemukan pada semua sampel dalam bentuk telur, karena stadium larva A.
lumbricoides dan T. trichiura berada di dalam usus manusia (Sutanto, 2008).
Gambar 15. Nilai dominansi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada buah
stroberi di perkebunan dan Pasar Ciwidey
Gambar 16. Nilai dominansi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada tanah
di Perkebunan Ciwidey
Pada sampel buah dan tanah jenis STH yang paling banyak ditemukan
adalah A. lumbricoides dengan nilai dominansi 96-100% sedangkan T. trichiura
hanya 1,4-3%. Telur A. lumbricoides dan T. trichiura sering ditemukan bersamaan
96.60% 100% 100% 100%
3.30% 0 0 0
Kebun 1 Kebun 2 Kebun 3 Pasar
Per
senta
se (
%)
A. lumbricoides T. trichiura
97.67% 98.59% 100%
2,32% 1,40% 0
Kebun 1 Kebun 2 Kebun 3
Per
senta
se (
%)
A. lumbricoides T. trichiura
34
karena kedua jenis STH ini memiliki daerah penyebaran, siklus hidup, stadium
telur yang sama di tanah dan cara infeksi pada manusia yang sama yaitu dengan
tertelan telur infektif.
Telur A. lumbricoides lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan telur
T. trichiura, disebabkan oleh ketahanan telur cacing yang dihasilkan cacing betina
dewasa dan siklus hidupnya. Tingginya jumlah telur A. lumbricoides yang
ditemukan kemungkinan karena adanya lapisan hialin yang tebal dan lapisan
albuminoid yang berbenjol-benjol kasar sehingga berfungsi untuk melindungi isi
telur, sedangkan telur cacing parasit spesies lainnya tidak memiliki lapisan
albuminoid sehingga selama faktor lingkungan tidak mendukung maka ada
kemungkinan telur tidak mampu bertahan akibatnya mudah mengalami kerusakan
(Soedarto, 2011).
Dominasi telur A. lumbricoides disebabkan oleh sifat telur yang di dalam
tanah tetap hidup pada suhu dingin. Telur tahan terhadap desinfektan kimiawi dan
rendaman di dalam berbagai bahan kimia kuat. Telur dapat hidup berbulan-bulan
di dalam air selokan dan feses (Suryani, 2012). Hal ini juga didukung oleh
Siskhawahy (2010) bahwa telur A. lumbricoides akan mati pada suhu lebih dari
40°C dalam waktu 15 jam dan pada suhu dingin telur A. lumbricoides dapat
bertahan hingga suhu kurang dari 8°C. Telur T. trichiura kurang resisten terhadap
kekeringan dan panas, serta tidak dapat bertahan apabila terkena matahari
langsung.
Siklus hidup telur A. lumbricoides lebih cepat dibandingkan T. trichiura.
Cacing betina dewasa A. lumbricoides hanya membutuhkan waktu 8 minggu
untuk menghasilkan telur, sedangkan cacing betina T. trichiura membutuhkan
waktu 10-13 minggu untuk mengasilkan telur. Seekor cacing betina A.
lumbricoides dapat memproduksi 100.000-200.000 telur dalam sehari, sedangkan
telur yang diproduksi cacing betina T. trichiura dan cacing tambang dalam sehari
lebih sedikit, yaitu: T. trichiura sebanyak 3.000-20.000 telur, N. americanus
sebanyak 5.000-10.000 telur dan A. duodenale sebanyak 10.000-25.000 (Soedarto,
2011).
Cacing A. lumbricoides memiliki persebaran geografi yang sangat luas di
dunia dan merupakan penyebab utama penyakit kecacingan pada manusia di
35
negara tropis dan subtropis hingga sekarang (Kattula, Sarkar, & Ajjampur, 2014).
Infeksi parasit yang paling tinggi ditemukan di dunia adalah Ascaris (20%),
sedangkan Hookworm, T. trichiura, masing-masing sebesar 18% dan 10%
(Anbumani & Mallika, 2011). Pada penelitian Fagbenro et al. (2016) menemukan
bahwa cacing A. lumbricoides lebih mendominasi dan banyak ditemukan pada
sayur di Nigeria dengan angka prevalensi lebih tinggi, yaitu sebesar 68,6%.
Cara memutus rantai penularan cacing melalui sayuran maupun buah-
buahan adalah dengan tidak menggunakan feses hewan/manusia untuk pupuk
tanaman dan menggunakan sarung tangan ketika berkebun serta menjauhkan
sayur atau buah berkontak dengan vektor serangga. Berperilaku hidup bersih dan
sehat tiap individu, memperhatikan kebersihan diri pada saat atau setelah
berkontak dengan tanah, selalu menggunakan APD khususnya alas kaki dan
sarung tangan sebelum kontak langsung dengan tanah agar terhindar dari infeksi
cacing melalui tanah. Dalam hal mengkonsumsi sayur atau buah, sebaiknya
mencucinya dengan air yang mengalir dari kran. Upaya ini harus dilakukan oleh
produsen dan konsumen (Ogunniyi, Olajide, & Oyelade, 2015).
4.4. Hubungan Keberadaan Telur Soil Transmitted Helminths (STH)
dengan Faktor Abiotik di Perkebunan dan Pasar Ciwidey, Bandung
Selatan, Jawa Barat
Hasil pengukuran faktor abiotik dilakukan pada 3 perkebunan dan pasar
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil pengukuran faktor abiotik perkebunan dan Pasar Ciwidey
Parameter Perkebunan Pasar
Ciwidey 1 2 3
Suhu Udara (°C) 30 ± 0 31 ± 0 31 ± 0 30 ± 0
Intensitas Cahaya (Klux) 9,52 ± 0,02 9,5 ± 0,1 9,55 ± 0,01 9,52 ± 0,02
Suhu Tanah (°C) 29 ± 0 28 ± 0 29 ± 0 -
Kelembapan Udara (%) 40 ± 0 37 ± 0 38 ± 0 42 ± 0
Kelembapan Tanah (%) 20 ± 0 25 ± 0 20 ± 0 -
pH Tanah 6,53 ± 0,11 6,4 ± 0 6,5 ± 0,1 -
Pengukuran faktor abiotik dilakukan sekitar pukul 10.00-12.00 WIB.
Kondisi abiotik udara dan tanah di tiga Perkebunan dan Pasar Ciwidey dapat
mempengaruhi keberadaan telur STH yang mengkontaminasi buah stroberi. Uji
statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Principal Component
Analysis (PCA) pada program SPSS 20. Uji ini dilakukan dengan tujuan untuk
36
mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara keberadaan telur STH terhadap
parameter faktor abiotik di perkebunan dan Pasar Ciwidey, Bandung Selatan,
Jawa Barat.
Berdasarkan uji yang telah dilakukan, didapatkan nilai KMO (Kaiser-
Meyer-Olkin) sebesar 0,618 (Lampiran 4). Nilai tersebut dapat diterima karena
nilai korelasi antar variabel ≥ 0,5 yang artinya variabel dan sampel yang
digunakan dapat dianalisis lebih lanjut. Parameter faktor abiotik yang digunakan
dalam penelitian ini memenuhi syarat analisa dengan menggunakan PCA.
Gambar 17. Hasil analisis komponen utama faktor abiotik di perkebunan dan
Pasar Ciwidey
Berdasarkan hasil analisis PCA diperoleh Component matrix yang
merupakan hasil analisis faktor yang mempengaruhi keberadaan telur STH
(Gambar 17). Korelasi antara suatu variabel dengan faktor 1 dan faktor 2
ditunjukan pada angka yang terdapat didalam tabel dan disebut dengan factor
loadings. Nilai loading yang dipilih dan dikatakan mampu menjelaskan variabel
yang mempengaruhi adalah nilai loading yang di atas 0,7. Variabel yang memiliki
nilai dibawah 0,7 dapat dikatakan kurang berpengaruh (Elpira, 2014).
37
Variabel yang memiliki nilai diatas 0,7 adalah suhu udara (0,852), suhu
tanah (0,938), kelembapan tanah (0,955), intensitas cahaya (0.953), dan pH tanah
(0,9455) yang berada pada faktor 1, sedangkan kelembapan udara (0,191)
memiliki nilai dibawa 0,7 dan berada pada faktor 2. Hal tersebut menujukkan
bahwa kelembapan tanah merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap
keberadaan telur STH, sedangkan kelembapan udara merupakan variabel yang
kurang berpengaruh terhadap keberadaan telur STH.
Tanah liat yang lembap dan teduh merupakan tanah yang sesuai untuk
pertumbuhan telur A. lumbricoides dan T. trichiura serta media yang dibutuhkan
untuk melengkapi siklus hidupnya. Telur dapat bertahan dan matang lebih cepat
dalam membentuk embrio ketika berada di tanah liat dibandingkan tanah berpasir.
Telur A. lumbricoides dan T. trichiura dapat berkembang di lingkungan yang
lembap dan hangat (Jourdan, Lamberton, Fenwick, & Addiss, 2015). Tanah yang
lembap dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan viabilitas telur STH.
Kelembapan tanah merupakan faktor penting untuk mempertahankan hidup telur
cacing. Apabila kelembapan rendah maka telur A. lumbricoides dan T. trichiura
tidak akan berkembang dengan baik dan larva cacing akan cepat mati.
Kelembapan tanah diperlukan oleh telur STH untuk mencegah kekeringan atau
dehidrasi. Tingkat kelembapan tanah juga digunakan oleh larva cacing tambang
untuk bernafas dan bergerak (Hotez, 2008). Semakin tinggi tingkat kelembapan,
semakin kecil pori-pori yang terbuka di tanah yang mempengaruhi tingkat
oksigenasi serta kurangnya ruang terbuka yang mempengaruhi pergerakan dan
transmisi telur STH (Hotez, 2008).
Hasil pengukuran suhu pada ketiga perkebunan dan pasar berkisar 28-
31°C. Kisaran suhu di tiga perkebunan dan pasar menunjukkan hasil yang tidak
jauh berbeda dengan suhu optimal bagi keberadaan telur STH. Hal tersebut sesuai
dengan suhu optimum untuk pertumbuhan telur A. lumbricoides berkisar 25-30°C,
sedangkan telur T. trichiura suhu optimum untuk tumbuh adalah 30°C (Supali et
al., 2008). Suhu yang optimum dapat meningkatkan permeabilitas membran lipid
dari kulit telur. Pada suhu tersebut sangat baik untuk pertumbuhan telur cacing
menjadi bentuk infektif. Peningkatan suhu mempercepat waktu embrionisasi dan
mempengaruhi kelangsungan hidup telur STH. Apabila suhu udara mencapai
38
40°C telur A. lumbricoides dan T. trichiura akan mati. Telur A. lumbricoides dapat
bertahan pada suhu kurang dari 8°C telur, sedangkan pada suhu ini dapat merusak
telur T. trichiura (Siskhawany, 2010).
Hasil pengukuran intensitas cahaya pada ketiga perkebunan dan pasar
berkisar 9-9,55 Klux. Sejalan dengan kisaran standar telur STH yang dapat
bertahan dalam kondisi cahaya teduh yaitu 4-20 Klux (Supali et al., 2008). Nilai
pH tanah pada ketiga perkebunan berkisar 6,4-6,53. Hasil pengukuran sesuai
dengan pH tanah yang mendukung perkembangan telur STH yaitu 6-7 (Supali et
al., 2008). pH tanah dapat mempengaruhi metabolisme organisme tanah (dengan
mempengaruhi aktivitas enzim tertentu) dan ketersediaan nutrisi (Hotez, 2008).
Pada kondisi abiotik yang sesuai telur STH akan matang dan berubah menjadi
bentuk infektif atau menjadi larva.
Berdasarkan hasil pengukuran faktor abiotik perkebunan 1, 2, dan 3
memiliki nilai yang tidak jauh berbeda pada setiap parameternya sehingga
prevalensi telur STH yang ditemukan pada setiap perkebunan tidak jauh berbeda
dan jenis telur STH yang ditemukan sama yaitu jenis A. lumbricoides dan T.
trichiura. Selain itu, suhu udara dan intensitas cahaya di Pasar tradisional Ciwidey
masih sesuai untuk perkembangan telur A. lumbricoides sehingga masih dapat
ditemukan pada buah stroberi yang dijual di pasar.
39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1) Terdapat kontaminasi telur soil transmitted helminths pada 12 sampel buah
stroberi di perkebunan dan Pasar Ciwidey dan 9 sampel tanah perkebunan.
Jenis telur soil transmitted helminths yang teridentifikasi adalah Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura.
2) Nilai prevalensi kontaminasi soil transmitted helminths sebesar 100% dengan
tingkat kontaminasi sangat parah, dikarenakan semua sampel ditemukan
adanya telur soil transmitted helminths. Telur soil transmitted helminths yang
paling banyak ditemukan adalah Ascaris lumbricoides dengan nilai dominansi
98,93%, sedangkan Trichuris trichiura hanya 1,06%.
3) Kontaminasi pada buah stroberi disebabkan oleh adanya kontak langsung
dengan tanah yang terdapat telur soil transmitted helminths serta faktor abiotik
yang berpengaruh terhadap perkembangan telur soil transmitted helminths
adalah suhu udara, suhu tanah, kelembapan tanah, dan intensitas cahaya.
5.2. Saran
Peneliti menyarankan kepada para petani hendaknya menghindari
penggunaan air sungai atau selokan dari hasil buangan limbah rumah tangga yang
mengandung feses manusia dengan memperbaiki sistem sanitasi dan
menggunakan pupuk organik yang kualitasnya lebih baik atau yang bebas dari
kontaminasi soil transmitted helminths. Para petani hendaknya memperhatikan
kebersihan pra panen, panen dan pasca panen dalam budidaya stroberi. Peneliti
juga menyarankan agar budidaya stroberi yang masih menggunakan media tanah
untuk beralih ke budidaya secara hidroponik. Masyarakat juga dihimbau untuk
mencuci buah dengan air mengalir agar soil transmitted helminths dapat hilang
dari buah stroberi yang akan dikonsumsi dan selalu menjaga kebersihan
lingkungan sekitar dari segala pencemaran baik soil transmitted helminths
ataupun jenis parasit lain yang dapat menyebabkan penyakit.
40
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hafidz. (2007). Fikih kesehatan. Jakarta: Amzah.
Amal, A. W. (2012). Gambaran kontaminasi telur cacing pada daun kemangi
yang digunakan sebagai lalapan pada warung makan Sari Laut di Kel.
Bulogading Kec. Ujung Pandang Kota Makassar. Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar.
Anbumani, & Mallika. (2011). Prevalence and distribution of soil transmitted
helminths (STH) among asymptomatic school going children in South
Chennai, Tamil Nadu, India. International Journal of Medicine and Public
Health, 1(2), 57–59.
Chiodini, P. L., Moody, A. H., & Manser, D, W. (2001). Atlas of medical
helminthology and protozoology. Edinburgh: Churchill Livingstone.
Christy, J. (2014). Penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus
Vannamei) sebagai pengawet alami untuk buah stroberi (Fragaria X
Ananassa Duch). Universitas Sumatera Utara.
Dewi, N. K. (2017). Respon tanaman stroberi (Fragaria sp.) terhadap berbagai
campuran dan volume media tanam pada budidaya di dataran medium.
Universitas Mataram.
Elpira, F. (2014). Penerapan analisis faktor untuk menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi mahasiswa dalam memilih jurusan matematika Fakultas
Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Fagbenro, M., Mogaji, H., Oluwole, A., Adeniran, A., Alabi, O., & Ekpo, U.
(2016). Prevalence of parasites found on vegetables and perception of
retailers and consumers about contamination in Abeokuta Area of Ogun
State, Nigeria. Clinical Microbiology, 2(1), 025.
Hairani, B. (2015). Keberadaan telur dan larva cacing tambang pada tanah di
lingkungan Desa Sepunggur dan Desa Gunung Tinggi Kabupaten Tanah
Bumbu Kalimantan Selatan. Jurnal Vektor Penyakit, 9(1), 15–20.
Hernasari, P. R. (2011). Identifikasi endoparasit pada sampel feses Nasalis
lavatus, Presbytis comata dan Presbytis siamensis dalam penangkaran
dengan metode natif dan pengapungan dengan sentrifugasi. Universitas
Indonesia.
Hotez, P. (2008). Hookworm and poverty. Annals of the New York Academy of
Sciences, 113(6), 38–44. https://doi.org/10.1196/annals.1425.000
Ikpeze, Chima, & Chizoba, S. (2017). Soil Transmitted Helminths (STH) parasites
contaminating edible raw vegetables and fruits sold at Nkwo-Edo
41
Market Nnewi Nigeria. The Bioscientist, 5(1), 66–73.
Irianto, K. (2013). Parasitologi medis (medical parasitology). Bandung: Alfabeta
Buku.
Jourdan, P. M., Lamberton, P. H. L., Fenwick, A., & Addiss, D. G. (2015).
Human ascariasis: diagnostics update. Current Tropical Medicine Reports,
2(1), 189–200. https://doi.org/dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(17)319330-X
Kattula, D., Sarkar, R., & Ajjampur, R. (2014). Prevalence & risk factors for soil
transmitted helminths infection among school children in South India. The
Indian Journal of Medical Research, 139(1), 76–82.
Kristinawati, E. (2017). Studi identifikasi telur cacing golongan STH (Soil
Transmitted Helminths) pada buah stroberi (Fragaria chiloensis) di Desa
Sembalun Lombok Timur. Media Bina Ilmiah, 11(5), 93–97.
Lobo, Widjadja, Oktaviani, & Puryadi. (2016). Kontaminasi telur cacing soil-
transmitted helminths (STH) pada sayuran kemangi pedagang ikan bakar di
Kota Palu Sulawesi Tengah. Media Litbangkes, 26(2), 65–70.
Maulana, D. M., Muchlisin, Z. A., & Sugito, S. (2017). Intensitas dan prevalensi
parasit pada ikan betok (Anabas testudineus) dari perairan umum daratan
Aceh Bagian Utara. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan Dan Perikanan
Unsyiah, 2(1), 1–11.
Nasution, R. P., Trisnowati, S., & Putra, E. T. S. (2013). Pengaruh lama
penyinaran ultraviolet-c dan cara pengemasan terhadap mutu buah stroberi
(Fragaria x ananassa Duchesne) selama penyimpanan. Vegetalika, 2(2), 87–
99.
Natadisastra, D., & Agoes, R. (2009). Parasitologi kedokteran ditinjau dari organ
tubuh yang diserang. Jakarta: EGC.
Nugroho, C., Djanah, S. N., & Mulasari, S. A. (2016). Identifikasi kontaminasi
telur nematoda usus pada sayuran kubis (Brassica oleracea) warung makan
lesehan Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta tahun 2010. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (Journal of Public Health), 4(1), 67–75.
Ogunniyi, T., Olajide, J., & Oyelade, O. (2015). Human intestinal parasites
associated with non-biting flies in Ile-Ife, Nigeria. Jurnal Medical Biology
Science Research, 1(9), 124–129.
Oktari, A & Mutamir. (2017). Optimasi air perasan buah merah (Pandus sp.) pada
pemeriksaan telur cacing. Jurnal Teknologi Laboratorium, 6(1), 7-15.
Prianto, J., Tjahaya, & Darwanto. (2006). Atlas parasitologi kedokteran. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Purnomo. (2009). Patofisiologi konsep penyakit klinis. Jakarta: EGC.
Rai, S. K., Uga, S., Kataoka, N., & Matsumura, T. (1996). Atlas of medical
42
parasitology. Kobe: Keikuseisya Co.
Safar, R. (2010). Parasitologi kedokteran: protozoologi, entomologi dan
helmintologi. Bandung: Yrama Widya.
Sandjaja, B. (2007). Helminthologi kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sandra Regina, et al,. (2014). Detection of intestinal parasites on field-grown
strawberries in the Federal District of Brazil. Revista da Sociedade Brasileira
de Medicina Tropical, 47(6), 1-2.
Sehatman. (2006). Diagnosa infeksi cacing tambang. Jakarta: Media Litbang
Kesehatan.
Seodarmo, S., Garna, H., Hadinegoro, S. R., & Satari, H. I. (2008). Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis (Edisi Kedua). Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak
FKUI.
Siskhawahy. (2010). Pengaruh lama perebusan terhadap keutuhan telur Ascaris
lumbricoides. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Soedarto. (2011). Buku ajar parasitologi kedokteran. Jakarta: Sagung Seto.
Soedarto, & Octavia, S. . (2011). Buku ajar parasitologi kedokteran. Jakarta:
Handbook of Medical Parasitologi.
Spindola Felix et al. (1996). Parasite search in strawberries from Irapuato,
Guanajuato, and Zamora, Michoacan (Mexico). Arch Med Res, 27(2):229-31.
Supali, T., Margono, S., & Abidin, S. (2008). Buku ajar parasitologi kedokteran
(Edisi Ke-4). Jakarta: FKUI.
Suriptiastuti. (2006). Infeksi soil transmitted helminths: askariasis, trikuriasis, dan
cacing tambang. Universa Medica, 25(2), 84–91.
Suryani, D. (2012). Hubungan perilaku mencuci dengan kontaminasi telur
nematoda usus pada sayuran kubis (Brassica Oleracea) pedagang pecel lele
di Kelurahan Warungboto Kota Yogyakarta. Kes Mas: Jurnal Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan, 6(2), 162–232.
Sutanto, I. (2008). Parasitologi kedokteran. (I. Sutanto, I. S. Ismid, P. Sjarifuddin,
& S. Sungkar, Eds.) (Edisi Ke-4). Jakarta: FKUI.
Tantri, N., Setyawati, T. R., & Khotimah, S. (2013). Prevalensi dan intensitas
telur cacing parasit pada feses sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH)
Kota Pontianak Kalimantan Barat. Protobiont, 2(2), 102–106.
Widarti. (2018). Identifikasi telur nematoda usus pada kol (Brassica oleraceae) di
Pasar Tradisional Kota Makassar. Jurnal Media Analis Kesehatan, 1(1), 78-
82.
Yudiar, E. (2012). Pengaruh waktu perebusan terhadap jumlah telur Ascaris
lumbricoides. Semarang.
43
Yulianto, A. (2013). Penerapan model pembelajaran kooperatif pada pelatihan
budidaya strawberry dalam meningkatkan produktivitas. Bandung.
Yuliasari, M. M., Kawuri, R., Proborini, M. W., Udayana, U., Kuning, C., &
Microgen, K. (2015). Isolasi dan identifikasi bakteri penyebab penyakit
busuk lunak pada buah stroberi (Fragaria x ananassa). Journal of Biological
Sciences, 28(1), 23–28.
44
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur kerja penelitian
: Tidak digunakan
Perkebunan dan Pasar Ciwidey,
Bandung Selatan, Jawa Barat
Sampel Buah Stroberi (n=12)
Sampel Tanah (n=9)
- Penggunaan pupuk kandang
dari kotoran hewan
- Penggunaan air selokan
untuk menyiram tanaman
- Cara panen dan pasca panen
masih konvensional
- Objek wisata petik
Metode Flotasi Metode Sedimentasi
Ditemukan telur
Soil Transmitted
Helminths (STH)
Tidak Ditemukan
telur Soil Transmitted
Helminths (STH)
Jenis telur Soil Transmitted
Helminths (STH) (n=2)
Identifikasi telur Soil
Transmitted Helminths (STH)
Jumlah telur Soil Transmitted
Helminths (STH) (n=374) Uji PCA (Principal Component Analysis)
Terdapat hubungan antara faktor abiotik kelembapan tanah, suhu tanah, pH tanah,
suhu udara, dan intensitas cahaya dengan keberadaan telur Soil Transmitted
Helminths STH di perkebunan dan Pasar Ciwidey
45
Lampiran 2. Jumlah sampel dan jenis Soil Transmitted Helminths (STH) yang
ditemukan
Kode
Sampel
Ascaris lumbricoides Trichuris
trichiura Hookworm Keterangan
Fertillized Unfertillized Decorticated
T1Ka 2 28 4 1 -
T1Kb 6 14 3 - -
T1Kc 9 12 6 1 -
Subtotal 17 54 13 2 0
T2 Ka 13 3 7 - -
T2 Kb 1 8 - - -
T2 Kc 15 21 2 1 -
Subtotal 29 32 9 1 0
T3 Ka 1 7 3 - -
T3 Kb 9 14 3 - -
T3 Kc 10 9 2 - -
Subtotal 20 30 8 0 0
P1 - 5 2 - -
P2 2 7 3 - -
P3 1 4 - - -
Subtotal 3 16 5 0 0
K1Ba 2 2 5 1 -
K1Bb 2 4 6 - -
KIBc 2 5 1 - -
Subtotal 6 11 12 1 0
K2Ba 3 7 2 - -
K2Bb 5 7 3 - -
K2Bc 8 23 3 - -
Subtotal 12 37 8 0 0
K3Ba - 6 5 - -
K3Bb 5 9 2 - -
K3Bc 2 11 8 - -
Subtotal 7 26 15 0 0
TOTAL 94 206 70 4 0
46
Lampiran 4. Hasil uji statistik Principal Component Analysis (PCA)
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. ,618
Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square 867,174
df 28
Sig. ,000