86
agustianto.niriah.com BAB 3 DARI BUKU USHUL FIQH EKONOMI HUKUM, HAKIM, MAHKUM FIH, DAN MAHKUM ‘ALAIH 3.1 Hukum 3.1.1 Pengertian Hukum Pengertian hukum menurut ushul fiqih adalah Titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan maupun wadh’i . وﺿﻌﺎ أو ﺗﺨﻴﻴﺮا أو ﻃﻠﺒﺎ اﻟﻤﻜﻠﻔﻴﻦ ﺑﺄﻓﻌﺎل اﻟﻤﺘﻌﻠﻖ ﺗﻌﺎﻟﻰ اﷲ ﺧﻄﺎبGambar 3.1 Pembagian Hukum 1

ushul fiqh bagian 03 - agustianto

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

BAB 3 DARI BUKU USHUL FIQH EKONOMI

HUKUM, HAKIM, MAHKUM FIH, DAN MAHKUM ‘ALAIH

3.1 Hukum

3.1.1 Pengertian Hukum

Pengertian hukum menurut ushul fiqih adalah Titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan maupun wadh’i .

خطاب اهللا تعالى المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا

Gambar 3.1 Pembagian Hukum

1

Page 2: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

3.2 Hakim

3.2.1 Pengertian Hakim

A. Pengertian Hakim Secara Etimologi

Secara etimologi Hakim mempunyai 2 pengertian:

a. Pembuat Hukum, Yang menetapkan Hukum, Yang memunculkan hukum, Yang menjadi sumber hukum, Yang menerbitkan hukum

b. Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan hukum

B. Pengertian Hakim Secara Terminologi

Pengertian hakim secara terminology adalah sebagai berikut:

a. Hakim merupakan persoalan mendasar dan penting dalam ushul fiqh, karena berkaitan dengan, “Siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syariat Islam”, “Siapa memberikan pahala dan dosa”.

b. Semua Hukum tersebut bersumber dari Allah swt, melalui Nabi saw, maupun ijtihad para mujtahid yang didasarkan pada metode istimbath, seperti qiyas, ijma’, dan metode istimbath lainnya. Kaedah Ushul .ال حكم اال هللا (Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah)

c. Hakim adalah Allah, Dialah Pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan

kepada seluruh mukallaf, baik berkaitan dengan hukum taklify (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), maupun hukum wadh’iy (sabab, syarat, mani’, sah, batal/fasid, azimah dan rukhshah)

3.2.2 Dalil Hakim

Dalil-dalil yang menyatakan hanya Allah SWTPembuat Hukum:

a. Al-An’am, (6) ayat 57

“Menetapkan hukum itu hanya Allah. Dialah yang menjelaskan kebenaran dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”

b. Al-Maidah, (5) ayat 49

“Dan Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”

2

Page 3: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

c. Al-Maidah (5) ayat 44,45,

- Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturukan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir

- Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturukan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim

- Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturukan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq

d. Menetapkan hukum apapun harus merujuk Alquran dan Sunnah (QS. An-Nisaa 4:59)

“Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya, jika kamu beriman kepada Allah dan Hari kiamat”

e. Allah membatalkan iman seseorang sampai ia rela menetapkan hukum sesuai dengan kehendak Allah dan rela dengan hukum-hukum Allah tersebut : (QS 4:65)

“Demi Tuhanmu, Mereka pada hakikatnya tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Kita dan semua ulama sepakat tantang “Hanya Allah sebagai Hakim, (pembuat syari)”, Tetapi bagaimana jika wahyu (syara’) belum turun seperti di zaman sebelum Nabi Muhammad diutus (Zaman Fatrah)?

Dalam hal ini timbul persoalan, “Siapa hakim, syari’ atau pembuat hukum?” Apakah telah ada kewajiban bagi manusia untuk menjalankan syariat atau keharusan baginya untuk meninggalkan larangan? sementara rasul pembawa syariat belum datang?

Apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan (mengetahui) baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan dosa (sanksi hukum)? sehingga akal bisa menjadi pembuat hukum?

Dalam menyelesaikan persoalan inilah, kita perlu melihat kembali definisi Hakim yang kedua

Berkaitan dengan definisi Hakim yang kedua,yaitu: Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan hukum, para ulama ushul membaginya kepada dua kondisi (masa), yaitu:

3

Page 4: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

a. Sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan dan menjelaskan hukum

Apakah Allah semata melalui wahyu (kedatangan Rasul)? atau “Akal” manusia bisa menemukan syari’ah tanpa kedatangan wahyu (Nabi)?

Dalam hal ini, Ada 2 kelompok ulama :

1) Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Jumhur)

2) Ulama Muktazilah Perbedaan Ulama tentang Siapa yang menemukan/memperkenalkan hukum di masa sebelum Nabi Saw Datang 1) Ahlus Sunnah wal Jamaah

Tidak ada Hakim (Tidak ada hukum syara’ sebelum kedatangan Rasulullah SAW)

“Pada saat itu tidak ada hakim. Maka tidak ada hukum syari’ sebelum Nabi Muhammad diutus jadi Rasul”

Alasan mereka, ”Hukum tidak bisa diperoleh kecuali melalui Rasul, sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu menurut mereka, hakim adalah Allah. (Yang memunculkan hukum itu adalah Allah dalam bentuk hukum syara’ yang diciptakan dan diturunkanNya via Nabi). Sedangkan Nabi belum ada.

2) Muktazilah

Hakim pada Hakikatnya Allah, tapi akal mampu menemukan hukum-hukum-Nya tanpa ada wahyu.

“Hakim pada hakikatnya adalah Allah SWT, tetapi akal mampu menemukan hukum-hukum Allah, dan menyingkap serta menjelaskannya, sebelum datangnya syara (sebelum datang Nabi/wahyu)

Persoalan ini oleh para ulama ushul fiqh dikenal dengan istilah Tahsin dan Taqbih.

Tahsin ialah kemampuan akal mengetahui sesuatu itu baik. Sedangkan taqbih ialah kemampuan itu mengetahui sesuatu itu buruk

4

Page 5: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

b. Setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul

Dalam hal ini, para ulama ushul fiqh sepakat bahwa hakim adalah Allah (wahyu-Nya), yaitu berupa syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Apa yang dihalalkan Allah, hukumnya halal, dan apa yang diharamkannya hukumnya haram. Yang dihalalkan itu hasan (baik), dan yang diharamkan itu hukumnya haram (buruk). Dalam hal ini tak ada persoalan.

Menurut ulama Ushul Fiqh Ada 4 Pengertian Baik (Hasan) dan Buruk (Qabih)

a. Baik (hasan) berarti seluruh perbuatan yang sesuai dengan tabiat manusia, seperti menolong orang. Sedangkan buruk (qabih) adalah perbuatan yang tidak disenangi tabiat manusia seperti mengambil harta orang secara zalim

b. Hasan berarti sifat yang positif/mulia/sempurna, seperti memilki ilmu dan kemuliaan. sedangkan qabih sifat yang negatif, seperti bodoh, dan kikir.

c. Hasan adalah sesuatu yang boleh dikerjakan manusia. Dia mengetahui kebaikannya dan mampu mengerjakan. Sedangkan Qabih sesuatu yang tidak boleh dikerjakan, karena perbuatan itu buruk, sehingga ia tak mau mengerjakannya.

d. Hasan berarti sesuatu yang bila dikerjakan, maka orang itu mendapat pujian di dunia dan pahala di akhirat, seperti taat beribadah. Sedangkan qabih berarti sesuatu yang apabila dikerjakan maka orang itu mendapat cercaan di dunia dan mendapat siksa di akhirat, seperti mengerjakan maksiat.

Pendapat Ulama tentang kemampuan akal mengetahui baik-buruk

a. Pengertian Baik dan Buruk No 3 dan 4 tadi, menjadi persoalan bagi ulama ushul, apakah dapat dicapai akal atau tidak?

b. Ulama Asy’ariyah berpendapat bahwa baik dan buruk dalam pengertian ke 3 dan 4 bersifat syar’i dan harus diitentukan oleh syara’ (wahyu)

c. Muktazilah berpendapat bahwa baik dan buruk seluruhnya dapat dicapai/diketahui oleh akal, tanpa harus diberitahu syara (wahyu). Wahyu hanya berfungsi sbg alat konfirmasi dan menguatkan capaian akal.

5

Page 6: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Tabel 3.1 Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at:

Ahlus Sunnah/ Asy’ariyah

Muktazilah Maturidiyah

Akal tidak mampu mengetahui baik &

buruk,tanpa perantaraan Rasul

Akal mampu mengetahui baik dan buruk

Akal mampu mengetahui baik dan buruk

Akal tidak mampu mampu mengetahui orang yang taat dapat pahala di akhirat dan orang yang berbuat maksiat

mendapat siksa

Akal mampu mampu mengetahui orang yang taat dapat pahala di akhirat dan orang yang berbuat maksiat

mendapat siksa

Akal tidak mampu mampu mengetahui orang yang taat dapat pahala di akhirat dan orang yang berbuat maksiat

mendapat siksa

1) Alasan Ahlus Sunnah a. Al-Isra’ : 15 وما آنامعذبين حتى نبعث رسوال

Artinya:

“Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum kami mengutus Rasul”. Ayat ini meniadakan perhitungan dan azab/siksa terhadap seseorang sebelum diutus Rasul.

b. An-Nisaa :165 وللئال يكون للناس علىا هللا حجة بعد الرس

Artinya:

“Supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya Rasul itu”. Ayat ini juga menunjukkan bahwa pertanggung jawaban dan perhitungan terhadap manusia hanya dilakukan setelah diutusnya para Rasul untuk menyampaikan hukum Allah (syara’) kpd manusia

c. Al-Isra’ : 15 وما آنامعذبين حتى نبعث رسوال

“Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum kami mengutus Rasul”

Ayat ini meniadakan perhitungan dan azab/siksa terhadap seseorang sebelum diutus Rasul

6

Page 7: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

d. An-Nisaa :165 لئال يكون للناس علىا هللا حجة بعد الرسول

Artinya:

“Supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya Rasul itu”. Ayat ini juga menunjukkan bahwa pertanggung jawaban dan perhitungan terhadap manusia hanya dilakukan setelah diutusnya para Rasul untuk menyampaikan hukum Allah (syara’) kpd manusia

2) Alasan Ulama Muktazilah

Akal manusia mampu menentukan hukum-hukum Allah sebelum datangnya syariat (Nabi). Tanpa Rasul yang membawa wahyu, baik dan buruk bisa diketahui. Substansi baik dan buruk terletak pada manfaat dan mudharatnya., maka akal dapat mengetahuinya sampai Kami berikan akal padanya” (QS.17:15 sampai Kami berikan akal padanya” (QS.17:15) Kata “Rasul” dalam ayat diartikan mereka sebagai akal, sehingga terjemahan ayat dia ats menjadi, “Kami tidak akan mengazab seseorang sampai Kami berikan akal padanya” (QS.17:15)

3) Maturidiyah menengahi kedua pendapat Ahlus Sunnah dan Muktazilah

Akal memang mampu mengetahui yang baik dan yang buruk, tetapi akal tidak mampu menjangkau kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan menjahi yang buruk juga adanya pahala dan dosa (siksa) bagi pelakunya. Untuk hal ini diperlukan nash (wahyu) dari Rasul. Jadi akal tidak bisa berdiri sendiri dalam menentukan suatu kewajiban untuk melakukan yang baik dan meningggalkan yang buruk.

4) Implikasi Perbedaan

Implikasi lain dari perbedaan pendapat tentang peran akal ini adalah apakah akal dapat menjadi salah satu sumber hokum:

a. Ahlus Sunnah dan Maturidiyah ; akal tidak bisa secara berdiri sendiri menjadi sumber hukum Islam, tetapi akal berperan penting dalam memahami maksud syara dalam mensyariatkan hukum dan menetapkan kaedah-kaedah umum dalam menggali hukum Islam, bukan pencipta (penentu) hukum. Nalar /akal yang digunakan manusia harus senantiasa bersandasar pada nash, bukan lepas sama sekali.

7

Page 8: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

b. Muktazilah & Syiah Ja’fariyah ; bahwa akal merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan Sunnah

c. Implikasi lain dari perbedaan pendapat tentang peran akal ini adalah apakah akal dapat menjadi salah satu sumber hukum ?

d. Ahlus Sunnah dan Maturidiyah ; akal tidak bisa secara berdiri sendiri menjadi sumber hukum Islam, tetapi akal berperan penting dalam memahami maksud syara dalam mensyariatkan hukum dan menetapkan kaedah-kaedah umum dalam menggali hukum Islam, bukan pencipta (penentu) hukum. Nalar /akal yang digunakan manusia harus senantiasa bersandasar pada nash, bukan lepas sama sekali.

e. Muktazilah & Syiah Ja’fariyah ; bahwa akal merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan Sunnah

3.3 Mahkum Fih (Perbuatan Manusia Mukallaf)

3.3.1 Pengertian Mahkum Fih

Mahkum fih yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah Syari’ (Allah dan Rasulnya) yang bersifat tuntutan mengerjakan suatu perbuatan, tuntutan meninggalkan suatu perbuatan, memilih suatu perbuatan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhshah, sah dan batal

Contoh:

a. وأقيمواالصالة (Dirikan kamulah shalat) b. Kewajiban melaksanakan shalat dalam ayat tsb berkaitan dengan perbuatan

mukallaf c. أجل مسمى فاآتبوهيأيها الذين أمنوا اذا تداينتم بدين الى

Dalam ayat tsb ada tuntutan (anjuran) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu mencatat utang-piutang (kredit)

d. يأيها الذين أمنوا اتقواهللا وذروا ما بقى من الربا ان آنتم مؤمنين Pada ayat tsb ada larangan mengambil riba. Larangan ini terkait dengan perbuatan mukallaf

3.3.2 Syarat Mahkum Fih

a. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, tentang rukun, syarat dan tata caranya

b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, yaitu Allah. Suatu perintah shalat misalnya, adalah perintah Allah Swt

c. Perbuatan itu dapat dilaksanakan, jika sulit dilaksanakan, maka terjadi pergeseran hukum asal, dari azimah kepada rukhshah.

8

Page 9: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

3.3.3 Masyaqqah (Kesulitan)

Dari syarat ketiga, yakni perbuatan taklif itu dapat dikerjakan, muncul persoalan masyaqqah. Apakah boleh diterapkan taklif/pembebanan terhadap amalan yang mengandung masyaqqah?

Dalam hal ini ulama membagi masyaqqah kepada dua macam:

a. Masyaqqah Mu’tadah (MM)

b. Masyaqqah Ghair Mu’tadah MGM)

A. Pembagian Masyaqqah (Kesulitan) a. Masyaqqah mu’tadah adalah ttidak menimbulkan keringanan.

Contohnya Puasa menjadi lapar, Haji menguras tenaga masyaqah mu’tadah yaitu, kesulitan yang bisa diatasi tanpa membawa kemudratan. Ini merupakan masyaqqah yang biasa terjadi dan sering dialami manusia. Seperti berpuasa menjadi lapar, haji menguras tenaga. Masyaqqqah seperti ini tidak dihilangkan oleh syara’. Artinya, seorang mukallaf tetap dituntut mengerjakannya.

b. Masyaqqah Ghairu Mu’tadah adalah menimbulkan keringanan. Contohnya Tidak ada makanan ditengah hutan, Puasa dan Sholat bagi seorng Musaffir. Masyaqqah Ghairu Mu’tadah yaitu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan kehidupan,misalnya puasa bagi orang musafir, wanita hamil dan menyusui, suasana ketiadaan makanan di tengah hutan. Di sinilah Islam mengajarkan rukhshah (keringanan)

B. Dalil Musyaqqah Ayat dan hadits tentang prinsip Islam yang menghilangkan kesulitan (masyaqqah)

a. Al-Hajj : 78. b. Al-Baqarah 185 c. Hadits Bukhari, Muslim An-Nasai dan Anas bin Malik.

“Sesungguhnya saya orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah, tetapi saya berbuka, shalat, istirahat dan kawin. Siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukanlah dari golonganku”.

9

Page 10: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

3.3.4 Macam-macam mahkum Fih

Dilihat dari segi keberadaanya secara material dan syara, mahkum fih terdiri dari 4 macam

a. Perbuatan yang ada secara material, tetapi tidak terkait dengan syara (tidak menimbulkan akibat hukum syara), seperti makan dan minum

b. Perbuatan yang ada secara material, tetapi menjadi sebab adanya hukuman, seperti pembunuhan menjadi sebab adanya hukuman qishash.

c. Perbuatan yang ada secara material, dan baru bernilai syara apabila memenuhi rukun dan syarat, seperti shalat dan haji.

d. Perbuatan yang ada secara material dan diakui syara’, serta mengabitkan munculnya hukum syara yang lain, seperti nikah mengakibatkan halalnya hubungan seks, kewajiban nafkah.

3.4 Mahkum ‘Alaih (Manusia Mukallaf)

3.4.1 Pengertian Mahkum ‘Alaih

Mahkum Alaih adalah yang dibebani hukum/subjek hukum.

Definisinya,”Seseorang yang perbuatannya dikenai khitab (titah) Allah SWT”, yang disebut dengan mukallaf.

Mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum. Sedangkan dalam ushul fiqh mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan Nya.

3.4.2 Dasar Taklif (Pembebanan Hukum)

Adapun dasar pembebanan hukum adalah:

a. Dasar pembebaban hukum bagi seorang mukallaf adalah berakal dan pemahaman b. Seseorang baru dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif

(hukum-hukum syariah) yang ditujukan kepadanya. Sabda Nabi.

عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبى حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق: رفع القلم عن ثالث

Artinya:

Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): 1. Orang yang tidur sampai ia bangun. 2. Anak kecil sampai baligh. 3. Orang gila sampai ia sembuh (H.R. Bukhari Tarmizi Nasai Ibnu Majah, dll)

10

Page 11: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Sabda Nabi Muhammad Saw.

رفع أمتي عن الخطاء والنسيان وما استك

Artinya:

“Ummatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlup, tersalah dan dalam keadaaan terpaksa (H. R. Ibnu Majah dan Thabrani)

Simpulan Anak kecil, orang gila, orang lupa, orang terpaksa, orang tidur dan orang bersalah, tidak dikenai taklif (beban hukum),

3.4.3 Syarat-Syarat Taklif Berikut ini adalah syarat-syarat taklif:

a. Orang tersebut telah mampu memahami khitab /titah Allah Swt yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Maka, anak kecil, orang gila,orang lupa, terpaksa, tidur, tidak dikenakan taklif

Kemampuan untuk memahami taklif tsb bisa dicapai melalui akal, tetapi akal adalah suatu yang abstrak dan sulit diukur yang selalu berbeda pada setiap orang. Untuk itu diperlukan patokan dasar yang konkrit yang menentukan seseorang itu berakal atau belum. Indikasinya ialah baligh. Penentu seseorang baligh adalah haidh bagi wanita dan keluar mani bagi pria (al.via mimpi)

واذا بلغ األاطفال منكم الحلم فليستأذنوا آما استأذن الذين من قبلكم

Artinya:

Apabila anakmu telah baligh (bermimpi hingga keluar mani)

b. Seseorang harus cakap bertindak hukum. Dalam istilah ushul fiqh disebut dengan ahliyah (kecakapan), maka anak kecil dan orang gila dipandang belum cakap bertindak hukum. Demikian juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur alaih), dianggap tidak cakap bertindak hukum dalam masalah harta.

11

Page 12: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

3.4.4 Ahliyah (Kecakapan dalam Hukum)

A. Pengertian Ahliyah

Secara etimologi : “kecakapan menangani suatu urusan” Secara terminologi Ahliyah ialah, “Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’”. “Kecakapan seseorang karena kesempurnaan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’”

B. Pembagian Ahliyah a. Ahliyah Ada’

Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun negatif. Bila ia mengerjakan perIntah syara’, maka ia berpahala dan jika ia melaksanakan larangan, maka ia berdosa. Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyatul ada’ ialah aqil, baligh dan cerdas

b. Ahliyah Wujub Ahliyatul Wujub yaitu “Kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi ia belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya : a) anak yang bisa menerima hibah. b) Apabila harta anak tsb dirusak orang lain, ia dianggap mampu untuk menerima ganti

rugi, demikian pula sebaliknya, jika ia merusak harta orang lain, maka gantinya diambil dari harta anak tsb

c) Selain itu juga ia dianggap mampu untuk menerima harta waris.

Berikut iniadalah pembagian ahyatul wujub: 1) Ahliyah al-Wujub al-Naqishah

Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah dianggap memiliki ahliyatul wujub, tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus ia terima, belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir. Para ulama sepakat, ada 4 hak bagi janin: 1.Hak keturunan dari ayahnya 2.Hak warisan dari pewarisnya yang wafat 3. Hak wasiat 4. Harta waqaf yang ditujukan kepadanya

2) Ahliyah al Wujuh al Kamilah

Yaitu “kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai baligh dan berakal”.

12

Page 13: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Seorang yang ahliyah wujub tidak dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah mahdhah seperti shalat maupun tindakan muamalah, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik Namun, bila mereka melakukan tindakan hukum yang merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan berhak memerintahkan walinya untuk mengeluarkan ganti rugi, tetapi ; Apabila tindakannya berkaitan dengan perusakan fisik (seperti melukai), maka tindakan hukum anak yang ahliyah wujub kamilah tersebut, tidak bisa dipertangungjawabkan secara hukum syara, (misalnya ia dihukum qishash), karena ia tidak dianggap cakap hukum

Menurut Ulama Ushul, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyatul wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh dan kecerdasan. Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak lahir. Berdasarkan ahliyatul wujub, maka anak yang baru lahir berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika muwarrisnya meninggal dunia tetapi, harta seorang anak yang belum balIgh tak boleh dikelola sendiri olehnya, melainkan dikelola oleh walinya

C. Halangan Ahliyah

a. Awaridh Samawiyah, yaitu halangan ahliyah yang datangnya dari Allah, bukan karena perbuatan manusia, seperti gila, dungu, lupa, dsb.

b. Awarudh ak-muktasabah, yaitu halangan ahliyah yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, mahjur ‘alaih (dibawah pengampuan).

c. Kedua bentuk halangan itu sangat berpengaruh terhadap tindakan hukumya, yakni adakalanya menghilangkan ahliyah, mengurangi atau mengubahnya.

Dalam hal ini halangan itu terdiri dari 3 bentuk:

1) Halangan yang menyebabkan hilangnya kecapakan secara sempurna (ahliyat ada’) sama sekali, seperti gila, tidur, lupa dan terpaksa.

2) Halangan yang mengurangi ahliyah ada, seperti orang dungu. Tindakannya harus dibatasi, karena ia tidak rusydi (cerdas) dalam mengelola harta.

3) Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang, seperti orang yang berhutang, pailit (di bawah pegampuan). Awalnya ia ahliyatul ada’, tetapi karena pailit, maka terjadi perubahan ahliyah pada dirinya, di mana ia tak cakap lagi mengelola harta

13

Page 14: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

BAB 5 HUKUM TAKLIFI

5.1 Pengertian Hukum Taklifi

Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkannya.

Gambar 5.1 Skema Hukum Taklifi

Gambar di atas menunjukkan bahwaberdasarkan firman Allah SWT manusia dituntut untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. Tuntutan untuk melakukan disebut juga perintah yang hukumnya wajib dan sunnah, tuntutan untuk meninggalkan disebut juga larangan yang hukumnya haram dan makruh, sedangkan pilihan untuk berbuat atau meninggalkan adalah mubah hukumnya.

Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana firman Allah sebagai berikut:

a. Firman Allah yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:

وأقيمواالصالةArtinya:

Dan dirikanlah shalat,(QS. An nur: 56)

Kewajiban dalam ayat tersebut berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu kewajiban mendirikan shalat

14

Page 15: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

b. Firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:

وذروا ما بقى من الربا ان آنتم مؤمنينيأيها الذين أمنوا اتقواهللا

Pada ayat tsb ada larangan mengambil riba. Larangan ini terkait dengan perbutan mukallaf

c. Firman Allah yang bersifat memilih:

يأيها الذين أمنوا اذا تداينتم بدين الى أجل مسمى فاآتبوه

Artinya:

Hai orang-orang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Dalam ayat tsb ada tuntutan (anjuran) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu mencatat utang-piutang (kredit)

Contoh Mubah:

انتشروا في األرضفاذا قضيت الصالة ف

Artinya:

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah rezeki Allah (Al-Jum’ah :11)

Ayat ini mengandung kebolehan mencari rezeki setelah melaksanakan shalat, kebolehan mencari rezeki ini terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu ibahah.

15

Page 16: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

5.2 Pembagian Hukum Taklifi

Gambar 5.2 Pembagian HukumTaklifi

5.2.1 Pembagian hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh (mutakallimin)

Pembagian hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh (mutakallimin) adalah sebagai berikut: 1) Ijab

Yaitu tuntutan syari’ untuk melaksanakan suatu perbuatan dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai hukuman/sanksi. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut wajib, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut wujub. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah: 43, Allah swt, berfirman:

Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat

2) Nadb

Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb.

Misalnya, dalam surat Al-Baqarah: 282, Allah SWT, berfirman:

يأيها الذين أمنوا اذا تداينتم بدين الى أجل مسمى فاآتبوه

Artinya:

Hai orang-orang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

16

Page 17: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Tabel 5.1 Hubungan Antara Pembagian Hukum Taklifi

Tuntutan untuk dikerjakan/dipilih/ditinggalkan

Wajib mandub Mubah makruh Haram

Akibat dari tuntutan (dipandang dari sisi mukallaf)

Wujub Nadb Ibahah Karahah Humah

Dipandang dari sisi khitab Allah

ijab Nadb ibahah Karahah tahrim

Istilah-istilah tersbut berbeda, karena: a. Apabila khitab ayat dilihat dari sisi Allah disebut Ijab, nadb,ibahah,dst b. Apabila ayat dilihat dari sisi mukkalaf yang dituntun (akibat), disebut wujub, dst c. Sifat dari perbuatan mukallaf yang dituntut Allah disebut wajib,dll

3) Ibahah

Yaitu khithab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.

Misalnya, firman Allah dalam surat al-Maidah 2:

“Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu”

Ayat ini juga menggunakan lafar amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Indikasi itu adalah lanjutan ayat tersebut,yaitu: ”Apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya”.(QS.2:282)

Khithab seperti ini disebut ibahah, dan akibat dari khithab ini, juga disebut dengan ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.

4) Karahah

Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat mamaksa. Orang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu, tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga karahah.

Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya hadist Nabi Muhammad Saw:

أبغض الحالل الى اهللا الطالق

Artinya:

“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak”

Khithab hadis ini disebut karahah dan akibat dari khithab ini disebut juga dengan karahah juga, sedangkan perbuatan yang dikenai khithab itu disebut makruh

17

Page 18: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

5) Tahrim

Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Apabila seseorang mengerjakannya dikenai hukuman. Akibat dari tuntan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya, firman Allah dalam surat al-An’am: 151

ال تقتلوا النفس التى حرم اهللا

Artinya:

“...jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah....”(6:151)

ال تأآلوا الربا

Artinya:

Jangan kamu makan (mengambil) riba (QS.3:130)

5.2.2 Hukum Taklifi Menurut Ulama Hanafiyah Pembagian hukum taklifi menurut ulama Hanafiah adalah sebagai berikut:

1) Iftiradh yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil qath’iy. Misalnya tuntutan untuk melaksanakan shalat. Ayat tentang perintah ini bersifat qat’iy pasti. jelas, tegas, maknanya, tidak ada makna lain selain wajib, dan status redaksinya juga qat’iy)

2) Ijab, yaitu tuntutan Allah yang bersifat memaksa untuk dilaksanakan yang didasarkan pada dalil zhanny. Seperti kewajiban membayar zakat fitrah, membaca al-fatihah dalam shalat, ibadah qurban.

3) Nadb sama maknanya dengan jumhur ulama ushul/mutakallimin

4) Ibahah, juga sama dengan jumhur mutakallimin

5) Karahah Tanzihiyah, yaitu tuntutan mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutan tidak bersifat memaksa, seperti larangan puasa sunnat pada hari jumat. Pengertian karahah tanzihiyah ini sama dengan pengertian karahah versi jumhur/mutakallimin

18

Page 19: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

6) Karahah Tahrimiyah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan secara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang zanniy. Bila ia mengerjakan perbuatan yang dilarang itu, ia diberi hukuman. Pengertian ini sama dengan pengertian tahrim/haram versi Jumhur.

7) Tahrim, yaitu tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan secara memaksa yang didasarkan pada dalil qat’iy. Misalnya larangan riba (QS.2:275),memakan harta dengan batil (QS.4:29), curang dalam bisnis (Muthafiffin 2-4)

Gambar 5.3 Pembagian Hukum Taklifi Menurut Ulama Hanafiyah

5.2.3 Perbedaan pembagian hukum taklif antara Jumhur dan Hanafiyah

Perbedaan pembagian hukum taklif antara Jumhur dan Hanafiyah adalah bertolak dari sisi kekuatan dalil, (qath’i atau zanniy). Perbedaan tersebut berakibat pada:

a. Jika tuntutan fardhu atau tahrim diingkarii, menurut ulama Hanafiah hukumnya kafir, karena hukum fardhu atau haram ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy yang tidak mungkin dita’wilkan. Tetapi Jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin, tidak membedakan antara fardhu dengan wajib. Orang yang mengingkari sesuatu yang fardhu, wajib, dan haram tetap dihukumkan kafir.

b. Ulama Hanafiah menyatakan bahwa jika seseorang meninggalkan pekerjaan fardhu ibadah, maka ibadahnya batal, dan ia wajib mengulanginya dari awal. Misalnya meninggalkan ruku’ (fardhu) dalam shalat, maka shalatnya batal. Tetapi jika yang ditinggalkan yang wajib misalnya al-fatihah, maka amalannya tidak batal, namun tidak

19

Page 20: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

sempurna, ia boleh mengulangi shalatnya atau melanjutkannya, tetapi ia berdosa karena meninggalkan yang wajib. Sedagkan ulama Jumhur Ushul Fiqh/mutakallimin berpendapat bahwa apabila amalan shalat yang wajib atau yang fardhu ditinggalkan maka shalatnya batal, karena mereka tidak membedakan antara fardhu dan wajib.

c. Perbuatan yang masuk karahah al-tahrimiyyah. Menurut ulama Hanafiah, jika dikerjakan mendapat dosa, sekalipun pelaku tidak dihukumkan kafir. Sedangkan perbuatan yang termasuk kaharah al-tanzihiyyah, pelakunya tidak dihukum, tidak dicela, dan tidak berdosa, tetapi perbuatannya itu tidak termasuk yang dinilai utama. Namun menurut Jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin, kaharah itu hanya satu bentuk, pelakuya tidak dikenai hukuman tetapi dicela. Dan kaharah tahrimiyyah dalam istilah Hanafiah sama dengan hurmah dalam istilah jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin.

5.2.3 Pembagian Hukum Taklifi ditinjau dari Sisi Sifat Perbuatan

Gambar 5.4 Skema Pembagian Hukum Taklifi Dari Sisi Sifat Perbuatan (Wajib)

Gambar di atas menunjukkan pembagian hukum taklifi dilihat dari sisi sifat perbuatan yang wajib. Dimana terlihat bahwa hukum wajib itu terbagi atas 4, yaitu wajib karena waktu, wajib karena penentuan, wajib karena individu atau jama’ah, dan wajib karena ketentuan nash.

20

Page 21: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Gambar 5.5 Skema Pembagian Hukum Taklifi Dari Sisi Sifat Perbuatan

(Mandub, Haram, Makruh dan Mubah)

Gambar di atas menunjukkan pembagian hukum taklifi dilihat dari sisi sifat perbuatan yang mandub, haram, makruh dan mubah. Dimana terlihat bahwa hukum mandub terbagi atas 3, yaitu muakkah, grairu muakkah, dan zaidah. Haram itu terbagi atas 2, yaitu lizatih dan lighairih. Makruh terbagi atas 2, yaitu tanzih dan tahrim. Sedangkan mubah terbagi ats 3. Penjelasan lebih lanjutnya dapat dilihat pada table dan penjelasan berikut ini:

Tabel 5.2 Pembagian Hukum Taklifi (Dari sisi Sifat Perbuatan)

Wajib Bila dikerjakan dapat pahala, jika ditinggalkan dapat dosa Mandub Bila dikerjakan dapat pujian/pahala, bila ditinggalkan tidak dapat celaan Haram Bila dikerjakan dapat dosa/sanksi, tuntutan meninggalkannya bersifat

memaksa Makruh Bila ditinggalkan dapat pujian, bila dikerjakan tak dapat celaan Mubah Diberikan kepada mukallaf untuk memilih mengerjakan atau meninggalkan

21

Page 22: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

A. Wajib a. Wajib dari Segi Waktu

Dilihat dari segi waktu, wajib terbagi atas: a) Wajib Muthlak

Wajib Mutlak, sesuatu yang dituntut syari’ mengerjakannya tanpa ditentukan waktunya, seperti kewajiban membayar kifarat bagi yang melanggar sumpah

b) Wajib Muaqqat

Wajib Muaqqat,sesuatu yang dituntut syari’ mengerjakannya pada waktu tertentu (Ditentukan waktu-waktunya), seperti shalat, puasa.

Pembagian Wajib Muaqqat

1) Mudhayyaq (Sempit waktunya)

Contoh puasa ramadhan.Harus dilaksanakan dibuan ramadha sebulan penuh, tidak bisa diselingi puasa sunnah

2) Muwassa’ (Lapang waktunya)

Seperti shalat zhuhur,bisa diselingi shalat sunnat. Bahkan meskipun sudah masuk waktu, jam 12.00 misalnya, tetapi shalat tetap shah dilaksanakan pada jam 14.30 WIB.

b. Wajib Dari Segi Ukuran Yang di Wajibkan

Dilihat dari ukuran yang diwajibkan, apakah ditentukan nash terbadi atas:

a) Wajib Muhaddad Muhaddad yaitu suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara’. Misal, jumlah rakaat shalat, porsi harta yang dizakati.

b) Wajib Gairi Muhaddad Ghairu Muhaddad yaitu suatu kewajiban yang tidak ditentukan ukurannya, misalnya, penentuan jarimah ta’zir dalam pidana Islam.

c. Wajib Dari segi Yang Dikenai Kewajiban

Dilihat dari segi orang yang dikenai kewajiban baik individu atau kolektif terdiri dari:

a) Wajib ‘aini Wajib ‘aini adalah kewajiban yang dikenakan pada setiap pribadi

b) Wajib Kifa’i Wajib kifa’i adalah kewajiban yang dibebankan kepada jamaah, misal, mendalami ilmu ekonomi Islam, menguasai sains-teknologi.

22

Page 23: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

d. Wajib Dari sisi kandungan perintah

Dilihat dari sisi kandungan perintah apakah ditentukan atau berupa pilihan terbagi atas: a) Wajib Mu’ayyan

Wajib Mu’ayyan adalah kewajiban yang ditentukan syari’ bentuknya, seperti shalat, puasa, harga barang yang ditentukan wajib dibayar dalam jual beli salam danbsegala jual beli

b) Wajib ghairu mu’ayyan Wajib ghairu mu’ayyan suatu kewajiban yang bisa dipilih mukallaf. Misalnya kaffarah bersetubuh di siang ramadhan, boleh puasa 2 bulan berturut,memerdekakan budak atau memberi makan 60 orang miskin.

Adapun cara-cara mengetahui sesuatu wajib adalah:

a. Melalui lapaz amar (perintah) b. Melalui lapaz perintah itu sendiri

ان اهللا يأمر با العدل و االحسان

Artinya:

Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan (QS.19:90)

c. Melalui isim fi’il (kata yang bermakna kata kerja perintah)

عليكم من األاعما ل ما يطيقون

Artinya:

Hendaklah kamu melaksankan amal yang mampu kamu laksanakannya

(H.R. Thabrani)

d. Lapaz yang menggunakan kata kewajiban itu sendiri,seperti faradha فرض رسول اهللا زآاة الفطر

Rasul saw mewajibkan zakat fitrah

e. Redaksi yang menunjukkan tuntutan mesti dilaksanakan, seperti “kataba” pada ayat puasa.

f. Fiil buhari; yang diiringi lam amar.

لينفق ذو سعة من سعته

Artinya;

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah sesuai dgn kemampuannya

23

Page 24: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

B. Mandub

Pembagian mandub:

a. Sunnat muakkad Sunnat muakkad (sangat dianjurkan), sunnat rawatib (sebelum/sesudah shalat 5 waktu), qurban,dll.

b. Sunnat ghairu muakkad Sunnat ghairu muakkad (sunnah yang biasa saja) seperti shalat dhuha

c. Sunnat zaidah Sunnat zaidah (tambahan), seperti cara makan, tidur dan pakaian Rasulullah SAW

C. Haram

Pembagian haram:

a. Haram lizatih Haram lizatih suatu keharaman langsung sejak semula ditentukan syari, misalnya keharaman riba, bangkai, dan sebagainya

b. Haram lighairih Haram lighairih suatu keharaman yang tidak langsung pada perbuatannya tapi disebabkan oleh adanya perbuatan haram yang mengiringi, seperti melaksanakan shalat dengan pakaian hasil korupsi, jual beli ketika sedang azan jumat, dsb.dan sebagainya

c. Haram karena perbuatan yang menyertainya Shalat dan jual beli pada zatnya tidak haram, tetapi karena ada perbuatan haram yang menyertainya, maka perbutan itu jadi haram, meskipun sah.

D. Makruh

Pembagian makruh

a. Makruh Tanzih Makruh tanzih yaitu tuntutan meninggalkan yang sifatnya tidak memaksa, misal makan jengkol

b. Makruh Tahrim Makruh tahrim yaitu tuntutan meninggalkan berdasarkan dalil zanniy. Misalnya memakai emas bagi laki-laki.

24

Page 25: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

E. Mubah

Pembagian mubah:

a. Mubah yang dilakukan atau tidak, tidak mendatangkan mudharat b. Bila dilakuan tak ada mudharat, tapi asalnya haram,Seperti makan babi karena terpaksa c. Sesuatu yg pada dasarnya mudharat, haram dilakukan, tapi Allah memaafkan

25

Page 26: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

BAB 5

HUKUM WADL’I

5.1 Pengertian Hukum Wadl’i

Hukum wadh’i didefinisikan sebagai firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.

Hukum wadh’i adalah ketentuan Allah yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’ sah fasid, azimah dan rukhshah

5.2 Macam-macam Hukum Wad’i

a. Sebab

Menurut bahasa sebab adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Sedangkan menurut istilah sebab adalah sutatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Menurut ulama ushul, sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia. Pengertian ini menunjukkan sebab sama dengan illat. Walaupun sebnarnya ada perbedaannya.

Contohnya: أقم الصالة لدلوك الشمس

Artinya: Dirikanlah shalat, karena matahari tergelincir

Ayat tersenut menjelaskan adanya sebab perbuatan mukallaf, dimana tergelincirnya

matahari menjadi sebab wajibnya shalat.

b. Syarat

Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada. Tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.

Contoh: اذا قمتم الى الصالة فا غسلوا وجوهكم.......

Artinya: Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu….(5:6)

Wudhu yang dibicarakan ayat ini, menjadi “syarat” pelaksanaan shalat . Wudhu adalah salah satu syarat sah sholat. Shalat tidak dapat dilakukan tanpa wudhu, tetapi jika seorang berwudhu tidak harus melaksanakan shalat.

26

Page 27: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

c. Mani’ (penghalang)

Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.

Contoh: ال يرث القاتل

Artinya: Pembunuh Tidak Mewarisi (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ayat tersebut menjelaskan adanya “penghalang” perbuatan mukallaf. Menurut hadits ini pembunuhan menjadi “penghalang” seorang waris mendapat warisan. Jadi, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan. Jika ayah wafat maka istri dan anak mendapat bagian warisan sesuai haknya tetapi jika, istri atau anak membunuh suami atau ayah tersebut maka hak mewarisi bisa terhalang (H.R. Bukhari & Muslim)

Gambar 5.1 Keterkaitan antara “Sebab”, syarat dan mani

Suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya,terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalang, Sebaliknya hukum tidak ada bila sebab, syaratnya dan penghalang tidak ada. Misalnya shalat zuhur wajib dikerjakan apabila telah tergelincir matahari (sebab), dan telah berwudhuk (syarat) serta tidak ada heidh (penghalang). Jika wanita sedang heidh, maka shalat tidak shah Demikian pula bila matahari belum tergelincir, atau belum berwudhuk, maka Shalatnya tidak shah Salah satu dari tiga unsur itu tidak ada, maka suatu hukum tidak sah

27

Page 28: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

d. Azimah

Azimah adalah hukum yang disyaraitkan allah kepada seluruh hambanya sejak semula. Artinya belum ada hukum seblum hukum itu disyari’atkan allah, sehingga sejak disyari’atkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Menurut Imam Baidhawi, Azimah ialah Hukum yang ditetapkan tidak berbeda dengan dalil yang ditetapkan. Misalnya jumlah rakaat sholat dzuhur adalah 4 rakaat, hal ini ditetapkan allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat dzuhur.

e. Rukhsah

Rukhsah adalah apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dhuhur 2 rakaat seperti seorang musafir atau rukhsah disebut juga hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur. Contoh lain adalah puasa pada orang musafir, di tengah hutan tidak ditemukan makanan, selain babi, bunga bank di daerah yang belum ada bank syari’ah

Gambar 5.1 Ketentuan Allah yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,

syarat, mani’ sah fasid, azimah dan rukhshah

28

Page 29: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

5.3 Perbedaan hukum Taklifi dengan Wadl’i

1. Dalam hukum taklifi ada tuntutan ntuk melaksanakan, meningggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wadl’i ada keterkaitan antara 2 persoalan sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab penghalang atau syarat.

2. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk melaksanakan, meningggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Hukum wadl’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadl’i ditentukan syar’i agar dapat dilaksankan hukum taklifi misalnya, zakat hukumnya wajib (Hukum Taklifi), tetapi kewajiban ini tidak bia dilaksanakan jika harta tersebut tidak mencapai ukuran 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab merupakan penyebab (hukum wadl’i), wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum wadl’i wajib zakat).

3. Hukum taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melakukan atau meninggalkannya karena dalam hukum taklifi tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf sedangkan hukum wadl’i hal seperti ini tidak dipersoalkan kerana masyaqqah dan haraj dalam hukkum wadl’i adakalanya dapat dipikul mukallaf. Seperti menghadirkan saksi sebagai syarat pernikahan dan ada kalanya diluar kmampuan mukalllaf seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat dzuhur.

4. Hukum taklifi ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan hukum wadl’i ditukukan kepada manusia mana saja. Baik telah mukallaf maupun belum.seperti anak kecil dan orang gila.

29

Page 30: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Secara ringkas perbedaan antara hukum taklifi dan hokum wadh’I dapat dilihat pada table berikut ini:

Tabel 5.1 Perbedaan Hukum Taklif dan Hukum Wadh’iy

No Hukum Taklifi Hukum Wadh’i

1 Terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan dan memilih berbuat atau tidak berbuat

Tidak ada tuntutan, melainkan keterkaitan antara 2 persoalan, sehingga salah satunya bisa jadi sebab, syarat atau penghalang

2 Tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan atau pilihan berbuat

Tidak dimaksudkan untuk langsung dilakukan. Hukum wadh’iy dibuat Allah agar hukum taklif dapat dilaksanakan. Kewajiban Zakat merupakan hukum taklif. Kewajiban ini tak wajib dilaksanakan kecuali cukup nishab. Cukup nishab adalah syarat wajib zakat

3 Harus sesuai dgn kemampuan mukallaf, karena dalam hukum taklif tak boleh ada masyaqqah (kesulitan). Kalau ada masyaqqah, timbul rukhshah, akhirnya jadi hukum wadh’y

Kemampuan mukallaf tak dipersoalkan, karena masyaqqqah ada kalanya dapat dipikul mukallaf, seperti saksi dalam talak, dan adakalanya di luar kemampuan mukallaf, seperti tergelincirnya mentari bagi wajibnya shalat dzuhur

4 Ditujukan kepada mukallaf yang baligh dan berakal

Ditujukan kepada siapa saja, baik telah mukallaf maupun belum (anak kecil, orang gila)

5.4 Shah atau Shihhah

Sah ialah Suatu hukum yang sesuai dengan tuntan syara’, yaitu terpenuhi sebab, syarat dan tdk ada mani. Misalnya mengerjakan shalat zuhur setelah tergelincir matahari (sebab), dan telah berwudhuk (syarat),dan tidak ada halangan bagi orang yang melaksanakannya berupa haid, maka shalat orang tersebut shah. Jika salah satu tidak ada, maka shalat tidak shah

5.5 Bathil

Batil merupakan kebalikan dari sah Suatu hukum yang tidak ada sebab, tidak terpenuhi syarat-syarat dan adanya mani’,maka status hukumnya batil. Contoh : Seorang yang shalat zuhur sebelum tergelincir matahari, maka shalatnya tidak shah seorang yang shalat zuhur, tanpa berwudhu’, shalatnya juga tidak shah,karena tak terpenuhi syarat shah shalat, Seorang yang shalat, tetapi dalam kondisi haid, shalat juga tidak shah. Heidh adalah mani’ (penghalang) bagi shahnya shalat, memperjual belikan minuman keras, hukumnya tidak shah, karena syarat sucinya barang tak terpenuhi

30

Page 31: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

BAB 6

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Sumber Hukum Islam pada dasarnya hanyalah Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut juga disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam Karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Dalam perkembangan berikutnya sumber dan dalil hukum Islam berkembang untuk menjawab berbagai permasalahan masyarakat yang berkaitan dengan hukum syara’ yang ternyata tidak tercantum di dalam Al- Quran maupun sunnah.

Untuk lebih jelasnya perhatikan skema Sumber dan Dalil Hukum Islam berikut ini:

Gambar 6.1 Sumber Hukum Islam

Pada skema tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa sumber dan dalil hukum Islam pada dasarnya dapat dikelompokkan kepada dua bagian besar, yaitu: kelompok sumber dan dalil hukum Islam yang telah disepakati ulama dan kelopok sumber dan dalil hukum Islam yang masih diperselisihkan oleh para ulama. Para Ulama di seluruh dunia telah sepakat bahwa yang menjadi sumber hukum Islam itu hanyalah 2 yaitu Al -Quran dan Sunnah, sedangkan Ijma dan Qiyas merupakan Dalil Hulum Islam yang dalam pembuatan atau pelaksanaaannya keduanya tetap harus berpedoman pada Al-quran dan Sunnah. Ada 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisishan bagi para ulama yaitu: Marsalah Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahbi, dan Syar’u Man Qablana.

31

Page 32: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

6.1 Pengertian Al-Quran

Secara etimologis, Al-Quran adalah bentuk masdar dari qa-ra-a ( قرأ( . Ada 2 pengertian Al-Quran Secara etimologi, yaitu:

a. Bacaan )قرأن ( b. Apa yang tertulis ( مقروء(

نه ان علينا جمعه و قرأنه فاذا قرأنا ه فاتبع قرأ

Artinya:

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan (membuat pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu (Al-Qiyamah (75 : 17-18)

آالم اهللا تعالى المنزل على محمد بااللفظ العربي المنقول علينا بالتواتر المكتوب بالصاحف المتعبد بتالوته المبدوء با لفاتحة والمختوم بسورة الناس

Kalam Allah yang mengandung mukjizat dan diturunkan kepada Rasulullah dalam bahasa Arab yang Dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushhaf Dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas.

6.2 Ciri-Ciri Al-Quran

Ciri-Ciri Al-Quran (Berdasarkan definisi tersebut)

a. Al-Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhmmad

b. Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab

c. Periwayatan Al-quran kepada beberapa generasi secara mutawatir

d. Dijamin kemurniannya (Al-Hijr : 9)

e. Membacanya dinilai ibadah (berpahala)

f. Dimulai dari Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas

32

Page 33: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

6.3 Kehujjahan Al-quran Menurut Pandangan Ulama Mazhab

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber utama hukum Islam dan wajib diamalkan. Para mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Quran. Jika tidak ditemukan dalam Al-Quran barulah dibenarkan mencari dalil yang lain.

A. Pandangan Abu Hanifah

Abu Hanifah sependapat dengan jumhur bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum pertama hukum Islam. Namun ia berbeda mengenai Al-Quran itu, apakah mencakup makna dan lapaz atau maknanya saja.Menurut Abu Hanifah hanya maknanya saja, Misalnya ia mengatakan boleh shalat dalam bahasa ‘ajam (luar Arab).Tapi ini bagi orang pemula dan, tidak untuk seterusnya .

B. Pandangan Imam Malik

Hakikat Al-Quran adalah kalam Allah yang lapaz dan maknanya dari Allah. Ia bukan makhluk, karena kalam adalah termasuk sifat Allah. Suatu yang termasuk sifat Allah, tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan Al-Quran makhluk.

Imam Malik mengikuti ulama salaf (sahabat-tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Quran sesempit mungkin, agar tidak terjadi kebohongan atau tafsir serampangan terhadap Al-Quran, maka kitab Al-Muwaththa’ dan Al_Mudawwanah, sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in.

Petunjuk lapaz yang terdapat dalam Al-Quran ada dua macam, yaitu muhkamat dan mutasyabihat (sesuai surah Ali Imran ayat 7)

1) Ayat-ayat Muhkamat

Ayat muhkayat adalah ayat yang tegas dan terang maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah.

2) Ayat-ayat mutasyabihat

Ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.

Pembagian Muhkamat Menurut Imam Malik

Muhkamat terbagi kepada dua, yaitu lapaz nash dan lapaz zhahir.

33

Page 34: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

1) Lapaz Nash menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qath’iy, yang secara pasti tidak memiliki makna lain)

2) lapaz Zhahir juga menunjukkan makna yang jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna yang lain.

Menurut Imam Malik keduanya dapat dijadikan hujjah, hanya lapaz Nash didahulukan dari lapaz zhahir, hal ini dikarenakan lapaz nash bersifat qath’iy, sedangkan lapaz zhahir bersifat zhanniy, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang didahulukan dilalah nash.

Gambar 6.2 Pembagian Petunjuk Lapaz ayat Al-Quran versi Imam Malik

C. Pandangan Imam Syafi’iy

Sebagaiman pendapat ulama yang lain, Imam Syafi’iy menetapkan bahwa sumber hukum paling pokok adalah Al-Quran. Tapi, Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari Sunnah. Jika ulama lain berpandangan sumber hukum Islam pertama Al-Quran dan kedua As-Sunnah, maka Imam Syafi’iy berpandangan bahwa Al-Quran dan Sunnah itu berada pada satu martabat. (Keduanya wahyu Ilahi yang berasal dari Allah Firman Allah :

.إن هو إالوحي يوحى .وماينطق عن الهوى

Artinya:

“Tidaklah ia bertutur itu menurut hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya” (An-Najm : 4)

34

Page 35: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Meskipun Al-Quran dan Sunnah berada dalam satu martabat (karena dianggap sama-sama wahyu, yang berasal dari Allah), namun kedudukan sunnah tetap setelah Al-Quran.

Al-Quran seluruhnya berbahasa Arab. Dalam Al-quran tidak ada bahasa ‘Ajam :

وآذالك أنزلنا قرأنا عربيا

Arinya:

“Dan begitulah Kami turunkan Al-Quran berbahasa Arab”.

Karena itu, Imam Syafi’iy sangat mementingkan bahasa Arab dalam shalat dan mengharuskan penguasaan bahasa Arab untuk istimbath hukum dari Al-Quran

D. Pandangan Ahmad bin Hanbal

Pandangan Imam Ahmad, sama dengan Imam Syafi’iy dalam memposisikan Al-quran sebagai sumber utama hukum Islam dan selanjutnya diikuti oleh Sunnah. Keduanya juga dianggap berada pada satu martabat, sehingga beliau sering menyebut keduanya dengan istilah nash (yang terkandung di dalamnya Al-Quran dan Sunnah). Dalam penafsiran Al-Quran ia betul –betul mementingkan Sunnah.

Sikap Ahmad bin Hanbal dalam konteks ini ada tiga poin :

a. Sesungguhnya zahir Al-Quran tidak mendahulukan As-Sunnah

b. Hanya Rasulullah saja yang berhak menafsirkan atau mentakwilkan Al-Quran

b. Jika tidak ditemukan tafsir dari Nabi, penafsiran sahabatlah yang digunakan, karena merekalah yang menyaksikan turunnya Al-quran dan mendengarkan takwil dari Nabi.

Menurut Ibnu Taymiyah, Al-Quran hanya boleh ditafsirkan oleh atsar. Namun dalam beberapa pendapatnya ia menjelaskan kembali, jika tidak ditemukan dalam sunnah dan atsar sahabat, maka diambil penafsiran tabii’in.

Alasan berhujjah (beragumentasi) dengan Al-Quran:

a. Alquran itu diturunkan kepada Rasulullah diketahui secara mutawatir dan ini memberikan keyakinan bahwa Al-Quran itu benar-benar datang dari Allah melalui Jibril.

35

Page 36: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

b. Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al-Quran itu datangnya dari Allah, al.(3:3)

نزل عليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه وأنزل التوراة واإلنجيل}

Artinya:

Dia menurunkan Al-Quran kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab-kitab yang telah diturunkannya dan menurunkan Taurat dan dan Injil

An-Nisaa : 105

انا أنزلنا اليك الكتاب با لحق

Artinya:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu dengan membawa kebenaran

c. Mukjizat Al-Quran yang tak tertandingi siapapun dalam membuatnya, juga merupakan dalil yang pasti akan kebenaran Al-Quran datangnya dari Allah.

Menurut ahli ushul, mukjizakat Al Quran terlihat ketika banyak keinginan orang-orang Untuk membuat Al-quran tandingan, Tetapi semuanya gagal. Allah menentang mereka untuk membuat satu ayat/surah saja seperti Al-Quran (QS.2:23)

..و ان آنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فأتو بسورة منها أو مثلها

Artinya:

Katakanlah, Seandainya, jin dan manusia berkumpul untuk Membuat Kitab seperti Al-Quran, pasti tidak akan bisa, sekalipun sebagian mereka membantu sebagian yang lain

sehingga Mereka Pasti gagal membuat Al-QuranTandingan. Ini Kemukjizatan Al-Quran.

A. Unsur-unsur yang membuat Al-Quran menjadi mukjizat

a. Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya.

Misalnya keseimbangan jumlah kata dengan lawannya. Hayah (hidup dan maut (mati), masing-masing disebut 145 kali. Kufur dan iman, masing-masing 17 kali.

b. Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang dipaparkan Al-Quran.

Seperti Surah Yunus:92, “Badan Fira’un akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi berikutnya. Ternyata tahun 1896 ditemukan mumminya yang menurut arkeolog adalah Fir’aun yang mengejar Nabi Musa.

36

Page 37: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

c. Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung Al-Quran, seperti surah Yunus :5 dikatakan, “Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari”.

d. Alam jagad raya seperti bunga mawar merah yang mengkilat

فاذا انشقت السما ء فكانت وردة آالدهان

Artinya:

Apabila langit telah terbelah, maka ia seperti bunga mawar yang kemerah-merahan,seperti kilapan minyak.(Ar-Rahman : 37 )

Yang sangat luar biasa adalah informasi Allah SWT tentang bentuk kumpulan galaksi/nebula (nebula adalah kumpulan ratusan miliar galaksi) seperti bunga mawar yang merah yang penuh kilapan minyak.

األنبياء (الم يرالذين آفروا ان السموات و األرض آانتا رتقا ففتقناهما وجعلنا من الماء آل شيء حي افال يؤمنون :30(

Artinya:

Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman (QS.21:30)

والسماء بنيناها بأيد و انا لموسعون (الذاريات :47)

Bintang-bintang dan galaksi terus berekspansi (meluas) sesuai teori Edwin Hubble (1889-1953) dan Alexander Friedmen (1888-1925)

6.4 Hukum-Hukum yang dikandung Al-Quran

a. Hukum-hukum I’tiqad

Hukum i’tiqad yaitu hukum yang mengandung kewajiban para mukalaf untuk mempercayai Allah, malaikat, rasul, Kitab dan Hari Kiamat.

b. Hukum yang berkaitan dengan akhlak.

c. Hukum-hukum (amaliyah) praktis yang berkaitan dengan Allah (ibadah) dan antara sesa manusia (muamalah)

37

Page 38: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Gambar 6.3 Hukum Yang Terkandung Dalam Al-qur’an

A. Hukum Muamalah dalam Al-Quran

Allah SWT menjelaskan pokok-pokok muamalah kehartabendaan (muamalah maliyah) yang adil dalam Al-Quran. Adapun prinsip muamalah maliyah tersebut ialah :

a. Melarang memakan makanan secara bathil (4:29)

ياأيها الذين ءامنوا التأآلوا أموالكم بينكم بالباطل إال أن تكون تجارة عن تراض منكم والتقتلوا أنفسكم إن اهللا آان بكم رحيما

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu (An-Nisaa : 29)

b. Melaksanakan transaksi bisnis atas dasar ridha (Qs.4:29) c. Pencatatan transaksi hutang-piutang (QS.2:282

يأيها الذين أمنوا اذا تداينتم بدين الى أجل مسمى فاآتبوه

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melaksanakan hutang piutang sampai waktu tertentu, maka tuliskanlah

38

Page 39: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

d. Akad tansaksi bisnis disaksikan oleh saksi (2:282)

شهيد يضار آاتب و ال وأشهدوا اذا تبايعتم و ال

Artinya:

“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli Dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan”

e. Larangan riba (Qs.2:275-279)

ان من المس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربا الذين يأآلون الربا ال يقومون إال آما يقوم الذي يتخبطه الشيطوأحل اهللا البيع وحرم الربا فمن جآءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى اهللا ومن عاد فأولئك

} 276{يمحق اهللا الربا ويربي الصدقات واهللا ال يحب آل آفار أثيم } 275{ار هم فيها خالدون أصحاب النم وال خوف عليهم وال إن الذين ءامنوا وعملوا الصالحات وأقاموا الصالة وءاتوا الزآاة لهم أجرهم عند ربه

فإن لم تفعلوا } 278{يآأيها الذين ءامنوا اتقوا اهللا وذروا مابقي من الربا إن آنتم مؤمنين } 277{هم يحزنون رءوس أموالكم ال تظلمون وال تظلمونفأذنوا بحرب من اهللا ورسوله وإن تبتم فلكم

f. Keterkaitan Sektor moneter dengan sektor riil (2:275)

و أحل هللا البيع و حرم الربا

Artinya:

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Jual beli, mengaitkan sektor riil (barang) dengan sektor moneter (uang/harga yang dibayarkan)

g. Investasi dengan sistem mudharabah, musyarakah, ijarah h. Sasaran kebijakan fiskal Islam melalui zakat (5:60) i. Larangan menyuap/sogok, (Al-Baqarah : 188)

بها إلى الحكام لتأآلوا فريقا من أموال الناس باإلثم وأنتم تعلمونال تأآلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا

Artinya:

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa sedangkan kamu mengetahui (2:188)

j. Memberikan keringanan bagi “debitur” yang tak mampu

“Jika ia mengalami kesulitan (membayar hutang), maka berilah dia masa tangguh sampai ia mampu membayar” (QS.2: 283)

39

Page 40: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Bila diperhatikan nash-nash Al-Quran tentang muamalah maliyah, sifatnya global (kully), tidak terinci (juz’iy).Karakter global ini akan membuat hukum muamalah lebih elastis dan fleksibel dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Karena sifat global tersebut, maka Sunnah-lah yang menjelaskan Hukum-hukum muamalah menjadi rinci dan detail

Tabel 6.1 Perbedaan Prinsip Ibadah Dan Muamalah

No Ibadah Muamalah

1 Bersifat tetap ( ثابتة( Bersifat Elastis ( متغيرة(

2 Tidak bisa berkembang Dapat berkembang sesuai dengan zaman & tempat

3 Bersifat khusus,eksklusi Bersifat universal, inklusif

4 Nash-nash lebih terinci (tafshili) Nash-nash umumnya general

5 Peluang Ijtihad sempit Peluang ijtihad luas

a. Kedah Ibadah dan Muamalah

اآلصل في العبادة التحريم حتى يدل الدليل على إ باحتها

Artinya:

“Pada dasarnya dalam ibadah adalah haram, kecuali ada dalil Yang membolehkannya”

اآلصل في المعاملة االبا حة حتى يدل الدليل على تحريمها

Artinya:

“Pada dasarnya semua aktivitas muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya”

اآلحكام يتغير بتغير اآلزمنة و األمكنةو األحوا ل و العاداة

Hukum dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan adat

40

Page 41: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

6.5 Petunjuk (Dilalah) Al-Quran

Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua Ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah Qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir (Syafe’i, 1999:54)

Adapun ditinjau dri segi dilalahnya, ayat-ayat Al-Quran itu dapat dibagi dalam dua bagian nash yang Qath’i dilalahnya dan nash yang Zhanny dilalahnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Skema dilalah Al-Quran berkut ini:

Gambar 6.4 Dilalah Al-Qur’an

A. Qath’iy ad-Dilalah

Qath’iy ialah lapaz-lapaz yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna selainnya.

Misalnya, ayat tentang waris, hudud dan kaffarat. An-Nisaa : 11.

ق اثنتين فلهن ثلثا ماترك وإن آانت واحدة فلها يوصيكم اهللا في أوالدآم للذآر مثل حظ األنثيين فإن آن نسآء فو النصف

Artinya:

Allah mensyariatkan bagi tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari 2 orang, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta.

41

Page 42: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

An-Nur : 24

جلدةائة الزانية والزاني فاجلدوا آل واحد منهما م

Artinya:

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing keduanya 100 kali.

B. Zhanniy ad-Dilalah

zhanni’iy ialah lapaz-lapaz yang mengandung pengertian lebih dari satu dan mungkin untuk dita’wil.

Misalnya, firman Allah tentang tangan yang dipotong (Al-Maidah : 38)

والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزآء بما آسبا نكاال من اهللا واهللا عزيز حكيم

Artinya:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”.

Kata tangan dalam ayat mengandung kemungkinan tangan kanan dan tangan kiri. Juga mengandung kemungkinan, 1. Ujung jari s/d pergelangan, 2. Ujung jari sampai siku, 3.Ujung jari sampai bahu. Kemungkinan makna yang banyak ini,membuat status ayat tersebut zhannniy ad- dilalah

C. Qath’iy ats-Tsubut

Qath’iy Tsubut ialah kepastian dari segi jumlah periwatannya yang banyak pada setiap level, sehingga tidak mungkin terjadi dusta, karena jumlah perawinya mutawatir. Berdasarkan definisi ini , maka seluruh ayat Al-Quran adalah qath’it ast-Tsubut.

Kaitan ayat Qath’i-Zhanny dengan ijtihad adalah Ayat-ayat Qath’iy tidak bisa menjadi Objek ijtihad. Dengan demikian Lapangan (objek) ijtihad hanya-lah ayat-ayat Zhanniy.

D. Zhanniy ats-Tsubut

Qath’iy Tsubut ialah jumlah para perawinya tidak sampai mutawatir. Kezannian ini tidak ada pada ayat Al-quran, yang ada pada hadit ahad dan masyhur.

42

Page 43: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

6.6 Pandangan Ulama tentang Dilalah Al-Quran Berhadapan dengan Sunnah

Sunni memahami dilalah Al-Quran melalui sunnah. Jika tidak ada sunnah mereka memahaminya dengan ilmu bahasa Arab dan ilmu syari’at dengan mengambil maqashid syari’ah.

Syi’iy : Tidak seorangpun yanag mampu memahami Al-Quran selain Imam mereka yang 12. Imam-Imam tsb sebagai kunci memahami Al-Quran, karena Imam tersebut dianggap ma’shum (terhindar dari kesalahan)

a. Cara Penjelasan Al-Quran terhadap hukum-hukum

1) Penjelasan rinci, seperti hukum waris, hukum pidana (hudud) dan kaffarah

2) Penjelasan global, seperti shalat, tidak dirinci jumlah rakaatnya. Zakat juga tidak djelaskan benda yang dizakti, nishab dan haulnya.Untuk menjelaskan ayat yang global itu, Nabi Muhammad melalui sunnahnya merinci, menjelaskan, dan mengkhususkannya.

Sifat Al-Quran yang global dimaksudkan agar Al-quran menjadi elastis dan flexibel dalam menghadapi tantangan zaman yang selalu berubah. Seandainya Al-Quran semuanya bersifat rinci, maka ia akan kaku dalam menghadapi perubahan zaman yang selalu berubah/berkembang. Oleh karena itu prinsip-prinsip umum Al-Quran menjadi penting artinya dalam mengantisipasi perkembangan zaman

b. Kesempurnaan Al-Quran dirangkum dalam 3 hal :

1) Teks-teks rinci yang dikandung Al-Quran

Teks-teks global yang mengandung berbagai kaedah-kaedah dan kriteria umum ajaran Al-Quran. Para ulama memahaminya sesuai dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki syara (maqashid syari’ah)

2) KaedahushulFiqh yang terkait dengan Al-Quran 3) Alquran merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam, sehingga seluruh sumber

hukum atau metode istimbath, harus mengacu kepada kaedah umum yang dikandung Al-Quran

4) Untuk memahami Al-Quran, para mujtahid harus mengetahui asbabun nuzul, karena ayat-ayat Al-Quran itu diturunkan secara bertahap sesuai dengan siatuasi dan kondisi sosial.

43

Page 44: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

c. Alasan urgennya asbabun nuzul ialah

1) Seseorang tidak bisa memahami kemukjizatan Al-Quran, kecuali setelah mempelajari situasi kondisi di zaman turunnya Al-Quran

2) Ketidak tahuan terhadap asbaun nuzul, akan membuat kerancuan dalam memahami hukum-hukum yang dikandung Al-Quran, karena Al-Quran turun sesuai dengan permasalahan yang memerlukan ketentuan hukum

Dalam memahami kandungan hukum dalam Al-quran, mujtahid juga dituntut untuk memahami secara baik adat kebiasaan orang Arab. Contoh dalam memahami firman Allah Swt. (2:196)

مرة هللاوأتموا الحج والع

Artinya:

“Sempurnakanlah haji dan umrah untuk Allah…”

Ayat ini hanya memerintahkan untuk menyempurnakan haji dan umar, bukan memerintahkan haji dan umrah itu sejak semula. Hal ini dikarenakan orang-orang jahiliyah dahulu sudah melaksakana haji dan umar, maka Allah memerintahkan untuk menyempurnakan sebagian manasik haji, seperti wukuf di Arafah.

44

Page 45: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

BAB 7

SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

7.1 Pengertian Sunnah

Sunnah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk Arti tersebut bias ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya: “Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya.” (Syafe’i, 1999:60)

Menurut istilah agama sunnah adalah perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya (yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti membenarkannya). Dengan demikian sunnah nabi dapat berbentuk sunnah Qauliyah (perkataan), sunnah Fi’liyah (perbuatan), dan sunnah Taririyah (ketetapan).

7.2 Jenis-jenis Hadist (Sunnah)

Dilihat dari segi sanadnya hadist terbagi menjadi:

a. Hadis Mutawatir Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak dan tidak mungkin mereka mufakat berbuat dusta pada hadis itu, mengingat banyaknya jumlah mereka.

b. Hadis Ahad Hadis ahad adalah hadis yang tidak sampai ke derajat mutawatir, yaitu shahih, hasan dan dhaif.

1) Hadis Shahih, ialah hadis yang berhubungan sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan dhbit dari orang yang eumpamanya, terpelihara dari mengganjil dan bersih dari cacat yang memburukkan. Contohnya:“Dari Ali bin Abi Abdullah dia berkata, telah meriwayatkan kepada kami sofyan dia berkata, telah meriwayatkan kepada kami Az Zuhriy dari mahmud bin Rabi’ dari Ubadah bin Shamit bahwa sesungguhnya Rasullullah SAW telah bersabda “tidak sah sembahyang orang yang tidak membaca Al-Fatihah” (H.R. Bukhari)

2) Hadis Hasan, ialah hadis yang berhubungan sanadnya diriwatkan oleh orang yang adil yang kurang dhabitnya, terpelihara dari mengganjil dan bersih dari cacat yang memburukkan. Contohnya: “Peliharalah dirimu terhadap azab Allah dimana saja kamu berada dan iringilah kejahatan dengan kebaikan supaya dihapuskan dan pergaulilah manusia dengan budi pekerti yng baik” (H.R. Tarmizi).

45

Page 46: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

3) Hadis Dhaif, ialah hadist yang kurang satu syarat atau lebih diantara syarat-syarat hadis syahih dan hasan atau dalam sanadnya ada orang yang bercacat. Contohnya: “Barangsiapa berkata kepada orang miskin “bergembiralah” maka wajib untuknya syurga” (H.R. Ibnu ‘Adiy)

7.3 Kehujjahan Sunnah dan Pandangan Ulama Mazhab

A. Kehujjahan Sunnah

Sunnah merupakan sumber asli hukum syara’ yang menempati posisi kedua setelah Al-qur’an. Ada beberapa alas an yang dikemukakan ulama ushul fiqh untuk mendukung pernyataan tersebut, antara lain dengan Firman Allah:

a. Surat Ali Imran (3:31)

“Apabila kamu mencintai Allah, maka ikutilah Aku, Allah akan mencintaimu…”

b. Surat Al-Ahzab (33:21)

“sesungguhnya pada diri Rasulullah itu bagi kamu teladan yang baik, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah’

c. Surat Al-Hasyr (59:7)

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka ambillah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah’

d. Surat An Nisaa 59

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul dan uli al amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia pada Allah (Al-qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”

e. Sabda Rasulullah:

“Sesungguhnya pada Saya telah diturunkan Al-qur’an dan yang semisalnya”

46

Page 47: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

B. Sunnah dan Pandangan Ulama Mazhab

a. Ulama Hadis

Kebanyakan ulama hadis menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, hadis terbagi atas:

1) Mutawatir

2) Ahad

a) masyur

b) ‘aziz

c) Gharib

b. Hanafiah

Menurut Hanafiah, Hadist terbagi atas 3 bagian, yaitu:

1) mutawatir

2) ahad

3) masyur

semua ulama telah menyepakati hadis mutawatir, namun berbeda pendapat dalam menghukumi hadis ahad

C. Status Hadits Ahad & Mutawatir

a. Semua hadits ahad dan masyhur adalah zanniy ats-Tsubut

Hadits ahad/masyhur tidak bisa menghasilkan qat’iy ad-dilalah, sekalipun makna lapaznya tunggal, karena yang Zhanniy tidak bisa menghasilkan kecuali yang zhanniy juga.

b. Setiap hadits mutawatir adalah qat’iy a-tsubut.

Semua ulama telah menyepakati kehujahan hadis mutawatir, namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadis ahad, yaitu hadis yang yang iriwayatkan oleh Rasulullah SAW, oleh seorang, dua orang atau jamah, namun tidak mencapai derajat mutawatir (Syafe’i, 1999:60).

47

Page 48: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

7.4 Petujuk (Dilalah) Sunnah

Gambar 7.1 Dilalah Sunnah

Pandangan Asy-Syatibi, dalil syar’iy yang tunggal tidak bisa menjadi qat’hiy ad- dilalah dengan sendirinya, meskipun ia telah qath’iy ats-tsubut. Makna Ayat أقيموا الصالة dengan dirinya sendiri, tidak bersifat qat’h’iy, walaupun maknanya tegas tentang perintah Shalat. Karena tidak setiap perintah menunjukkan wajib.

Keqath’iyan ayat tentang wajibnya shalat, dicapai karena didukung oleh sejumlah dalil lain yang banyak jumlahnya yang mendukung wajibnya shalat, termasuk dukungan dari berbagai hadits. Akumulasi berbagai dalil yang banyak itu menimbulkan ma’lum minad Din bi adh-Dharurah.(diketahui dari agama secara taken for garanted

Konsep mutawatir ma’nawi yang digunakan Asy-Syatibi dalam memahami keqath’iyan dilalah, merupakan analogi terhadap qat’iy tsubut.

a. Qath’iy tsubut terwujud karena periwayatannya dilakukan oleh orang banyak yang tak mungkin berdusta, yang disebut dengan mutawatir.

b. Maka, jika dalam menciptakan keqath’iyan tsubut diperlukan adanya mutawatir al-wurud, demikian pula halnya dalam mewujudkan qath’it ad-dilalah, dibutuhkan mutawatir ma’nawi.

c. Untuk mencari qath’iy ad-Dilalah harus melalui Istiqra’ (penelitian mendalam) terhadap seluruh nash syara’. Dalil yang dihasilkan melalui proses istiqra’ ini disebut Syabihu bil mutawatiri al-ma’nawi, yaitu ditunjang oleh sejumlah dalil yang menunjuk kepada satu pengertian yang sama

48

Page 49: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

d. Jika sebuah dalil tidak didukung oleh sejumlah dalil yang banyak (dalil yang serupa maknanya), maka dalil yang tunggal itu harus memenuhi 10 syarat, agar terwujud keqath’iyannya (Ad-Dilalah). Dalil syara’ yang bersifat tunggal, tidak bisa menjadi qath’iy ad-Dilalah, kecuali terpenuhinya sejumlah syarat berupa premis-premis, antara lain:

1) Bebas dari kaedah bahasa & ilmu Nahwu

2) Tidak isytirak

3) Tidak majaz

4) Bebas dari pemahaman tradisi (adat)

5) Penggunaan dhamir

6) Adanya takhsis terhadap lapaz ‘am

7) Adanya taqyid terhadp muthlaq

8) Bebas dari nasikh

9) Kejelasan taqdim dan ta’khir

10) Tidak bertentangan dengan pemikiran yang logis

Mengingat dalil syara’ yang dapat menunjukkan dilalah yang qath’iy hanya terwujud dengan sepuluh premis di atas, maka menemukan dalil tersebut hampir tidak mungkin, jika pun ada sangat jarang.

Al-Asnawi dalam kitab dalam Kitab an-Nihayah as-Sul, juga hampir sama dengan Asy-Syatibi. Menurutnya, Sunnah mutawatirah, sebagaimana Al-Quran, adalah qath’iy, dipandang dari segi wurud (jumlah perawinya) yang banyak. Sedangkan dilalahnya, zhanniy (jika dalil tunggal). Kezhanniyan itu, karena terkait dengan Al-Ihtimalul Asyrah yang identik dengan sepuluh premis versi Asy-Syatibi

7.5 Kedudukan Sunnah Terhadap Al-qur’an

A. Sunnah sebagai Penguat (Ta’qid) Al-qur’an

Hukum Islam disandarkan pada dua sumber, yaitu Al-qur’an dan sunnah. Tidak heran jika banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.

49

Page 50: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

B.Sunnah Seabagai Penjelas Al-qur’an

Sunnah sebagai penjelas terdapat pada Surat An-Nahl (44):

“Telah Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir”

Hal ini menjelaskan bahwa sunnah berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-qur’an, sehingga dapat menhilangkan kekeliruan dalam memahami Al-qur’an. Dan sebagaimana diketahui bahwa shalat zduhur 4 raka’at, maghrib 3 raka’at, berasal dari sunnah.

Penejlasan sunnah terhadap Al-qur’an dikategorikan atas:

a) Penjelasan terhadap hal global

Seperti perintah shalat dalam Al-qur’an yang tidak diiringi dengan penjelasan rukun, syarat, dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka, dijelaskan oleh sunnah sebagaimana Rasulullah bersabda: “ shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat”

b) Penguat secara mutlak

Sunnah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang ada dalam Al-qur’an

c) Sunnah sebagai takhsis terhadap dalil-dalilAl-Qur’an yang masih umum

C. Sunnah Sebagai Pembuat Syari’at (Musyar’i)

Tidak diragukan lagi sunnah adalah penguat dalil-dalil umum yang ada dalam Al-qur’an, misalnya zakat fitrah, aqiqah, dan lain-lain.

7.6 Sikap Para Ulama Ketika Zahiral-Qur’an Berhadapan Dengan Sunnah

A. Sunnah yang mentakhsish keumuman Al-Quran

a. Imam Syafi’I & Ibnu Hanbal

Menurutnya pemahaman Al-quran mesti disesuaikan dengan penjelasan yang ada dalam Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai:

(a) Penjelas/penafsir Al-Quran dan

(b) Pentakhshish keumuman Al-Quran

50

Page 51: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Maka, semua lapaz ‘amm yang ada dalam Al-Quran, jika ada keterangannya dalam hadits yang mentakhshisnya, maka takhshis itu harus diperpegangi, meskipun terkesan menyalahi zhahir ayat.

Contoh:

وأحل لكم ما و راء ذالك

Artinya:

“Dan Allah menghalalkan (menikahi) selain yang telah disebutkan”

Ayat tersebut ditakhshish oleh hadits Nabi Saw :

ال تنكح المرأة على عمتها وال خالتها

Artinya:

“Wanita yang tidak boleh dinikahi adalah bibinya, baik dari pihak ayah amaupun pihak ibu”.

Ayat 14 Surah An-Nisaa di atas bersifat umum, maka selain yang disebutlkan Al-Quran dalam Surah An-Nisak ayat 14 tidak haram, lalu ada penjelasan hadits yang menjelaskan keharaman tambahan sebagai takhshis.

فاقرأوا ما تيسر منه

Artinya:

Maka bacalah ayat Al-Quran yang termudah bagimu

Ayat ini bersifat umum, sehingga dalam shalat, boleh membaca ayat apa saja, tidak harus surah Al-Fatihah

ال صالة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب

Hadits ini mentakhshish keumuman ayat di atas, sehingga dalam shalat wajib membaca al-Fatihah.

b. Hanafiyah

Hanafiah tidak menerima takhshish hadits tersebut, karena status hadits tersebut adalah hadits ahad.

51

Page 52: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

c. Abu Hanifah

Menurut Abu Hanifah adalah lapaz umum yang ada dalam Al-Quran dijalankan sesuai dengan kebutuhan terhadap keumumannya. Jika ada sunnah mutawatir dan masyhur yang mentakhsishnya, maka sunnah itu bisa mentakhshisnya. Jika tidak, maka Al-quran dipahami berdasarkan keumumannya. Hadits ahad tidak bisa mentakhshish keumuman Al-Quran.

وأحل اهللا البيع

Ayat ini umum, menghalalkan segala bentuk jual-beli. Selanjutnya ditakhshish oleh berbagai hadits Nabi SAW . antara lain, Hadits yang melarang jual beli gharar, jual beli najsy, jual beli al-’inah, talaqqi rukban, dsb.

d. Jumhur Ulama

Jumhur Ulama menerima hadits ahad sebagai pentakhshish ayat, sehingga mereka mewajibkan bacaan surah Al-Fatihah

52

Page 53: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

BAB 9 IJTIHAD

9.1 Pengertian Ijtihad

9.1.1 Pengertian Ijtihad Secara Etimologi

Ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd, al-juhd, )الجهد( dan ath-thaqat, yang artinya kesulitan, kesusahan, dan juga berupa suatu kesanggupan atau kemampuan (al-masyaqat).

Kata Al-Juhd menunjukkan pekerjaan yang sulit dilakukan,(lebih dari pekerjaan biasa)

Sabda Nabi Saw :صلوا علي وجتهدوا في الدعاء

Artinya: Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sunguhlah dalam berdo’a

Ijtihad adalah masdar dari اجتهد Penambahan huruf alif dan ta, berarti “usaha itu lebih sunguh-sungguh”.

Oleh sebab itu ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya untuk mendapatkan sesuatu. Sebaliknya, usaha yang tidak dilakukan secara maksimal (tidak mengunakan daya yang keras), tidak disebut sebagai ijtihad

Ijtihad menurut istilah yaitu suatu aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (isthimbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at.

9.1.2 Pengertian Ijtihad Secara Terminologi Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar hukum Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama) Kenyataan menunjukkan bahwa ijtihad dilakukan di berbagai bidang, yang mencakup aqidah, muamalah dan falsafat. 9.2 Perkembangan Ijtihad

Ijtihad telah berkembang sejak masa Rasul. Sepanjang fiqih mengandung pengertian tentang hokum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, maka ijtihad akan terus berkembang.

Sumber hukum Islam di masa Nabi hanya 2, yaitu Al-Quran dan Sunnah Jika muncul suatu kasus, Rasul menunggu wahyu diturunkan,Jika wahyu tidak turun, maka beliau berijtihad. Hasil Ijtihad ini disebut dengan hadits (Sunnah). Hasil Ijtihad Nabi juga disebut Wahyu (An_Najm : 4).

53

Page 54: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Di masa Nabi, seringkali para sahabat dilatih berijtihad dalam berbagai kasus, seperti:

a. Kasus Shalat Ashar di Bani Quraizah,

b. Kasus tawanan perang, dan

c. Kasus Tayamum Ibnu Mas’ud dan Umar bin Khaththab.

Ijtihad tersebut ada yang ditaqrir (diakui) Nabi (Kasus a), ada yang turun ayat tentangnya (Kasus b) ada yang dibenarkan Nabi (Kasus c).

Selain menggunakan nash, ijtihad juga dapat dilakukan dengan ra’yu, hal ini disebabkan tidak semua masalah ada nash-nya. Ijtihad dengan ra’yu pemikiran telah diizinkan Rasulullah Saw, yang memberi izin kepada Mu’az untuk berijtihad pada saat Mu’az diutus ke Yaman.

Umar bin Khattab juga dikenal sering berijtihad dengan menggunakan ra’yu apabila tidak menemukan ketentuan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pada jaman Imam syafi’I, cara penggunaan ra’yu disitematiskan sehingga ada kerangka acuan yang jelas, seperti yang dikenal dengan metode qiyas. Qiyas dijadikan sebagai alat penggalian hukum yang shahih. Para tabi’in juga melakukan hal yang sama sehingga muncul ahli ra’yu dan ahli hadits

Ahli ra’yi lebih banyak menggunakan ra’y (rasio) dibanding ahli hadits dalam mengistimbath hukum. Sedangkan ahli hadits dalam menyelesaikan berbagai kasus berusaha mencari illat hukum, sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukuman kasus yang dihadapi dengan kasus yang ada nash-nya.

Mereka juga sering mencari rahasia dan maqashid suatu dalil syara, seperti benda zakat yang bisa diganti dengan uang

Kebutuhan akan Ijtihad ini terus berkembang, hal ini dikarenakan:

a. Setelah Rasul wafat, beliau meninggalkan Al-Quran dan Sunnah. Nash Al-quran dan Sunnah tersebut jelas tidak akan bertambah, sementara persoalan dan masalah yang dihadapi kaum muslimin dari zaman ke zaman terus berkembang, karena itu kebutuhan akan ijtihad menjadi sebuah yang niscaya.

b. Ketika wilayah kekuasaan Islam semakin luas, ke Persia, Syam, Mesir, Afrika Utara bahkan sampai ke spanyol, Turki dan India, permasalahan yang dihadapi ulama semakin kompeks,maka ijtihad semakin berperan dalam mengistimbath hukum.

54

Page 55: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

9.3 Dasar Hukum Ijtihad

a. An-Nisaa ayat 105

ا إنآأنزلنآ إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بمآأراك اهللا والتكن للخآئنين خصيم

Artinya:

Sesungguhnya Kami turunkan Kitab kepadamu secara hak, agar kamu dapat menghukumi di antara manusia, dengan rasio yang diberikan Allah kepadamu

ان في ذالك األيات لقوم يتفكرون

Artinya: Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir

Dalam ayat-ayat tersebut terdapat penetapam ijtihad berdasarkan qiyas

a. Hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Umar ra.

اذا حكم الحا آم فاجتهد فأصاب فله أجران واذا حكم فاجتهد ثم أجطأ فله أجر

Artinya:

Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.

b. Hadits Nabi SAW. Kepada Muadz ibnu Jabal untuk menjadi hakim di Yaman.

Rasulullah Saw bertanya, “Dengan apa kamu menghukum?” ia menjawab, “Dengan apa yang ada dalam kitab Allah Swt. Rasulullah bertanya lagi, “Jika kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?” Dia menjawab, “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan oleh Rasulullah”. Rasul bertanya lagi, “Jika tidak mendapat dalam ketetapan Rasulullah?” berkata Muadz,” Aku berijtihad dengan pendapatku.”Rasulullah bersabda,” Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.

Hirarki hadist yang melegitimasi Ijtihad Mu’az

1) Al-Quran 2) Sunnah 3) Ijtihad

55

Page 56: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

9.4 Macam-macam Ijtihad 9.4.1 Menurut Imam syafi’i:

Ijtihad menurut Imam Syfi’i adalah dengan menyamakan ijtihad dengan qiyas. Beliau tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan dan maslahah mursalah .

Sedangkan ulama lain, ijtihad mencakup ra’yu, qiyas, dan akal, sehingga termasuk istihsan dan maslahah.

9.4.2 Menurut Dr. Dawallibi dan Asy-Syatibi

Dr. Dawallibi dan Asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat membagi ijtihad kepada tiga bagian:

a. Ijtihad al-Batani yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash

b. Ijhad al-Qiyasi yaitu, ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas

c. Ijtihad al-Istishlah yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.

9.4.3 Menurut Taqyuddin Al-Hakim Menurut Taqyuddin Al-Hakim ijtihad terbagi atas:

a. Ijtihad al-Aqli

Yaitu ijtihad yang hujjahnya Didasarkan pada akal,Tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid bebas menggunakan berfikir dengan kaedah. Misalnya, menjaga kemudratan, hukuman itu jelek jika tidak disertai dengan penjelasan ,dll

b.Ijtihad Syar’iy

Yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini, ijma’ qiyas, istihsan, Istislah, ‘uruf, istishab

56

Page 57: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

9.5 Syarat-syarat Mujtahid

a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum al-Qur’an secara bahasa dan syari’ah b. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun syari’at c. Mengetahui nasakh dan mansukh ayat al-Qur’an dan Sunnah d. Mengetahui hal atau kasus yang telah ijma ulama e. Mengetahui metode qiyas f. Menguasai bahasa Arab dan ilmu bahasa. g. Mengetahui ilmu ushul fiqh. h. Mengetahui masalah (kasus) yang diijtihadi. i. Mampu mengetahui kaidah-kaidah maqasidus-syariah.

Maqashi Syari’ah adalah, mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudratan yang berada dalam koridor syari’ah. Maqashid Syari’ah merupakan upaya memelihara 5 macam kebutuhan dasar manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (tujuan maqsith syaria’ah) sebagaimana terlihat pada gambar berikut:

Gambar 9.1 Maqasith Syariah

Dalam hal ini kita sebagai manusia harus menjaga agama, akal jiwa, keturunan dan harta

kita tetap berada dalam koridor syariah (hukum Islam) guna kemaslahatan dunia dan akhirat dan terhindar dari kemudharatan.

57

Page 58: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

9.6 Objek Kajian Ijtihad

Objek kajian ijtihad adalah hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’iy. Dengan demikian, syaria’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi atas:

a. Hal-hal yang boleh dijadikan sebagai objek kajian ijtihad adalah hukum yang didasarkan pada dalil zhanni, baik petunjuknya, (dilalahnya) maupun tsubutnya sSerta hukum-hukum yang belum ada nashnya dan belum ada ijma’ ulama tentangnya.

b. Sedangkan hal-hal yang tidak boleh dijadikan objek kajian ijtihad, ialah hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, berdasarkan pada dalil-dalil qath’i. seperti melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, haramnya berzinah, mencuri, dll.

9.7 Objek Ijtihad

Berikut ini adalah objek kajian ijtihad:

a. Muamalat b. Filsafat c. Hukum yang dasarnya dalil zhanniy d. Ijtihad Bidang politik, aqidah, tasawuf, filsafat (Menurut Harun Nst)

9.8 Hukum Melakukan Ijtihad

Mayoritas Ulama fiqih dan ushul, diperkuat oleh at-Taftazani dan ar-Ruhawi mengatakan, “ijtihad tidak boleh dalam masalah qath’iyat dan masalah akidah”. Minoritas Ulama (al.Ibnu Taimiyah dan Al-Hummam) membolehkan adanya ijtihad dalam akidah.

Hukum melakukan ijtihad bagi orang yang telah memenuhi syarat dan kriteria ijtihad:

a. Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia harus mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.

b. Fardu ‘ain juga menjawab permasalahan yang belum ada hukumnya. Dan bila tidak dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut, dan habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.

c. Fardhu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada lagi mujtahid yang lain yang telah memenuhi syarat.

d. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.

e. Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qath’I karena bertentangan dengan syara’.

58

Page 59: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

9.9 Tingkatan Mujtahid Mujtahid memiliki beberapa tingktan, yaitu:

a. Mujtahid mustaqil yaitu orang yang bebas membuat kaidahnya sendiri, menyusun fiqihnya sendiri, dan ber beda dengan madzhab lain.

b. Mujtahid muthlaq ghairu mustaqil yaitu orang yang mempunyai kriteria mujtahid mustaqil tetapi mengikuti salah satu mazhab.

c. Mujtahid muqayyad/takhrij yaitu orang yang diberi kebebasan untuk menentukan landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang dipakai imamnya.

d. Mujtahid tarjih yaitu sangat faqih, hapal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, bisa mengetahui cara mencari dalil yang kuat, dll.

e. Mujtahid fatwa yaitu orang yang hafal dan paham kaidah-kaidah imam mazhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun masih lemah menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas. Menurut imam Nawawi kriteria ini masih sangat bergantung pada fatwa yang telah disusun imam mazhab.

9.10 Tertutup Dan Terbukanya Pintu Ijtihad

Pada abad 4 hijriyah ada anggapan bahwa pintu berijtihad telah tertutup karena umat islam terpecah pada ketaatan dan pengagungan pada masing-masing madzhabnya. Dan adanya perasaan mereka bahwa mereka tidak akan mampu untuk menandingi para imam madzhab pada waktu itu.

Jumhur ulama, para imam madzhab, sunni dan syi’ah, telah sepakat bahwa pintu ijtihad tidak akan pernah tertutup dan akan selalu terbuka.

59

Page 60: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

BAB 10

METODE DAN PENGGALIAN HUKUM ISLAM

10.1 Ijma

A. Pengertian Ijma’

Secara etimologi ada dua pengertian ijma’, yaitu:

a. ijma’ berarti kesepakatan/consensus (Q.S. Yusuf : 12)

فلما ذهبوا به أجمعوا أل يجعلوه في غيابة الجب

Artinya:

Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur

b. ketetapan untuk melaksanakan sesuatu (Q.S.Yunus :71)

:فأجمعوا أمرمكم و شرآاءآم

Pengertian Ijma’ secara terminologi adalah Kesepakatan semua mujtahid dari ummat Muhammad Pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah terhadap suatu hukum syara’. Muhammad Abu Zahroh menambahkan di akhir definisi itu kata “yang bersifat amaliyah”.

اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد وفاة رسول اهللا صلعم على حكم شرعي

B. Rukun Ijma’

a. Rukun Ijma’ (Disepakati Ulama)

Semua rukun/syarat ini disepakati Ulama:

1) Yang terlibat dlm pembahasan hukumnya, semua mujtahid, Jika ada yang tidak setuju, maka hasilnya bukan ijma’

2) Semua Mujtahid hidup di masa tersebut dari seluruh dunia 3) Kesepakatan itu terwujud setelah masing-masing Mengemukakan pendapatnya 4) Hukum yang disepakati adalah hukum syara yang tidak ada hukumnya dalam Al-Quran 5) Sandaran hukum ijma’ tersebut adalah Al-Quran dan atau hadits Rasulullah 6) Yang melakukan ijma’ adalah orang yang memenuhi syarat 7) Kesepakataan itu muncul dari para mujtahid yang adil (berpendirian kuat terhadap

agamanya) 8) Para mujtahid adalah mereka yang berusaha menghindarkan Diri dari ucapan

dannperbuatan yang bid’ah

60

Page 61: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

b. Rukun/Syarat Ijma’ yang (diperselisishkan)

1) Para Mujtahid itu adalah para sahabat 2) Para Mujtahid kerabat Rasulullah 3) Mujtahid itu adalah ulama Madinah 4) Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya Sampai wafatnya seluruh 5) mujtahid yang menyepakatinya

6) Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya tentang masalah yang sama

C. Tingkatan Ijma’

1) Sharih (jelas) Sharih ialah jika semua ulama secara jelas mengemukakan pendapatnya. Ijma’ Sharih, kesepakatn para mujtahid, baik melalui pendapat maupun perbuatan terhadap suatu masalah hukum yang dikemukaan dalam sidang ijma’ setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya terhadap masalah yang dibahas. Ijma’ ini bisa dijadikan hujjah dan statusnya bersifat qath’iy (pasti)

2) Sukuti (Diam)

Sukuti ialah Sebagian Ulama diam Atas Pendapat Mujtahid lain. Pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan sebagian mujtahid lainnya diam saja setelah meneliti pendapat

Pendapat Ulama tentang Ijma’ sukuti:

1) Malikiyah, Syafi’iyah dan Abu Bakar Al-Baqillani Berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan tidak dapat dijadikan hujjah.

2) Mayoritas ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad Berpendapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah yang qath’iy.

3) Al-Juba’iy (dari Muktazilah) Berpendapat bahwa ijma’ sukuti bisa dikatakan ijma’ apabila mujtahid yang menyepakati hukum tersebut telah habis (meninggal semua), karena bila mujtahid (yang diam) dalam persoalan itu masih hidup, mungkin saja sebelum mereka wafat, ada yang membantah hukum tersebut

4) Al-Amidi, Ibnu Hajib, Al-Karkhi Berpendapat bahwa ijma’ sukuti tidak bisa dikatakan ijma’, tetapi dapat dikatakan hujjah yang statusnya zhanniy.

61

Page 62: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Gambar 10.1 pendapat UlamaTentang Ijma’ Sukuti

D. Kehujjahan Ijma’

a. Jumhur Ulama Ushul Fiqh Jumhur Ulama Ushul Fiqh berpendapat “apabila rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’

tersebut menjadi hujjah yang qath’iy, wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya diangap kafir. Masalah hukum yang telah disepakati dengan ijma’, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, dan karena itu pendapat yang berbeda dengan ijma’ tersebut tidak bisa membatalkan ijma’ yang teah terjadi. Alasan ketidakbolehan tersebut, dikarenakan hukum yang telah ditetapkan secara ijma’ bersifat qath’iy dan menempati urutan ketiga setelah Al-Quran,

Tetapi, Ibrahim Ibnu Siyar Al-Nazzam (tokoh Muktazilah), Khawarij dan Syi’ah berpendapat, “Ijma’ tidak bisa dijadikan hujjah. Menurut mereka Ijma’ seperti yang digambarkan Jumhur tidak mungkin terjadi, karena sulit mempertemukan seluruh ulama yang tersebar di berbagai belahan dunia. Selain itu masing-masing daerah mempunyai struktur sosial dan budaya yang berbeda.

b. Syi’ah Menurut Syi’ah, ijma’ tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena pembuat hukum adalah

Imam yang mereka anggap ma’shum`(terhindar dari dosa)

c. Ulama Khawarij Ulama Khawarij dapat merima ijma’ sahabat sebelum terjadinya perpecahan politik di

kalangan sahabat

62

Page 63: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Alasan Tentang Kehujjahan ijma’

a. Jumhur

1) An-Nisaa: 59 ياأيها الذين ءامنوا أطيعوا اهللا وأطيعوا الرسول وأولى األمر منكم فإن تنازعتم في شىء فردوه إلى اهللا والرسول إن آنتم تؤمنون باهللا واليوم األخر ذلك خير وأحسن تأويال

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu.

Menurut jumhur, ulil amri bersifat umum mencakup:

a) Pemimpin agama (mujtahid & pemberi fatwa)

b) Pemimpin negara dan perangkatnya Ibnu Abbas, “Ulil Amri=ulama”

2) An-Nisaa 4:115

ومن يشاقق الرسول من بعد ماتبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ماتولى ونصله جهنم } وسآءت مصيراArtinya:

“Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasaianya itu dan Kami masukkan ke dalam Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat”

3) H.R. At. Tarmizi

أمتى ال تجتمع على الخطأ

Artinya: Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah

4 (ال تجتمع أمتى على ضاللة Artinya Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan

63

Page 64: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

5(و سألت اهللا أال تجتمع أمتى على ضاللة فأعطانيها Artinya:

Saya mohon kepada Allah agar umatku tidak sepakat melakukan kesesatan, lalu Allah mengabulkannya ((H.R.Ahamad dan Thabrani)

b. Al-Ghazali

Menurut Al-Ghazali Surah an-Nisa’ ayat 115, menunjukkan bahwa Allah menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara yang ditempuh umat Islam sebagai orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya itu hukumnya haram.

c. Abdul Wahab Khallaf Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa suatu hukum yang telah disepakati seluruh

mujtahid sebenarnya merupakan hukum umat Islam seluruhnya. Apabila seluruh umat telah sepakat, maka tidak ada alasan menolaknya.

d. Hanafi dan Hanabilah

Alasan Hanafi dan Hanabilah hanya melalui akal (logika)

1) Diamnya para ulama, setelah mengetahui hukum hasil ijtihad para ulama, adalah setelah mempelajari dan menganalisa hasil ijtihad itu dari berbagai segi. Para ulama ushul menyatakan: Artinya, diam saja ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan

2) Adalah tidak dapat diterima (tidak layak) jika para ahli fatwa diam saja ketika ada mendengar fatwa ulama lain.

Jumhur ulama yang menolak kehujjahan ijma’ sukuti mengatakan bahwa rukun dan syarat ijma’ adalah kesepakatn seluruh mujtahid yang hidup di zaman terjadinya ijma’ tersebut, dan masing-masing mereka terlibat membicarakan hukum yang ditetapkan. Sedangkan ijma’ sukuti merupakan pendapat pribadi yang disebarluaskan, sementara mujtahid lainya diam saja. Diamnya mujtahid tidak bisa dianggap sebagai suatu persetejuan. Maka status ijma’ sukuti hanyalah zhanniy.

E. Kemungkinan terjadinya Ijma’

Mayoritas Ulama,”Tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ telah ada. Mereka mencontohkan pembagian waris bagi nenek sebesar 1/6 dari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual.

64

Page 65: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Tetapi Ulama Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Siapa yang mengkalimadanya ijma’, dia sesunguhnya telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju, karena itu sangat sulit mengetahui adanya ijma’ tersebut.

Ulama kontemporer M.Abu Zahroh, A.Wahhab Khallaf dan Khudery Beik,”Ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah di masa sahabat, adapun ijma’ di masa sesudahnya tidak mungkin terjadi, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada satu tempat

10.2 Qiyas

A. Pengertian Qiyas

Secara etimologi, Qiyas berarti menyamakan sesuatu dengan yang lain. Contohnya Miras dengan Narkoba disamakan dengan khamar.

Secara Terminologi, Qiyas berarti “Menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash, dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya dalam nash, disebabkan kesamaan illat hukum antara keduanya” Contoh : Menyamakan wisky dengan khamar (minuman yang memabukkan)

B. Rukun Qiyas

Suatu masalah dapat diqiyaskan apabila memenuhi empat rukun, yaitu:

a. Asal yaitu dasar/titik tolak dimana suatu masalah itu dapat disamakan (musyabbab bib)

b. Furu’ Yaitu suatu masalah yang diqiaskan disamakan dengan asal tadi disebut musyabbah.

c. Ilat yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hokum sesuatu dengan persamaan sebab inilah baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang prtama (asal) karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dngan furu’.

d. Hukum ashl yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada ketetapan hukumnya pada asal, disebut buahnya.

Tabel 10.1 Rukun Qiyas

Asal Furu’cabang illat Hukum Khamar Wisky memabukkan Haram Gandum Padi Mengengkan Wajib Lain-lain

65

Page 66: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Untuk lebih jelasnya tentang contoh penggunaan (implementasi) qiyas dapat dilihat pada skema berikut:

Gambar 10.2 Implementasi Qiyas

Contoh qiyas lainnya adalah Penyalahgunaan Narkoba , Formalin, Korups, Bunga Bank

C. Operasional Qiyas

a. Menetapkan (mengeluarkan) hukum yang terdpat pada kasus yang meiliki nash. Misalnya keharaman khamar (miras)

a. Mencari dan meneliti illat pada kasus yang tidak ada nashnya, Contoh. Narkoba, kamput

b. .Jika illat betul-betul sama, maka hukum kedua persoaln itu menjadi satu, yakni sama-

sama haram misalnya.

D. kehujjahan Qiyas

a. Pendapat yang menerima Qiyas

1) Jumhur Ulama

qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau satana untuk mengistimbath hukum syara’. Bahkan syari’i menuntut penggunaan qiyas. Adapun yang menjadi alasan Jumhur Ulama.

66

Page 67: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

a) Al-Hasyar (59) ayat 2

فاعتبروا يآأولى األبصار

Artinya: “Maka ambillah (kejadian itu) utk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”

Ayat ini menurut Jumhur berbicara tentang hukuman Allah terhadap orang kafir Bani Nadhir disebabkan sikap buruk mereka terhadap Nabi Muhammad. Di akhir ayat Allah memerintahkan umat Islam agar menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu kejadian, termasuk qiyas. Sebab itu, qiyas dibenarkan syari’ah.

b) Hadits Rasul riwayat dari Mu’az bin Jabal

Ketika Rasul saw mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadhi. Rasul berdialog dengan Muaz, “Bagaimana cara kamu memutsukan suatu perkara yang diajukan kepada engkau?, Muaz menjawab,”Saya akan cari hukumnya di dalam Kitabullah. Rasul bertanya lagi, Jika tidak kamu temukan dalam Kitabullah? Jawab Mu’az,”Saya akan ari dalam sunnah Rasulullah. Nabi berkata lagi, “Jika kamu tidak menemukannya juga?,”Jawab Muaz,”Saya akan berijtihad sesuai dengan pendapat saya”.Lalu Rasul mengusap (memukul) dada Mu’az dan berkata,Al-hamdulilah, tindakan utusan Rasulullah telah sesuai dengam kehendak Rasullullah (H.R.Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Thabrani, Ad-Darimiy dan Al-Bahaqy). Menurut Jumhur, dalam hadits ini, Rasul Saw mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal.

c) Ijma’ sahabat.

Menurut Jumhur, penggunaan qiyas sebagai metode istimbath juga didasarkan pada ijma’ sahabat. Dalam sebuah kisah yang amat populer, Umar menulis surat kepada Abu Musa Al-Asya’ari. Dalam surat yang panjang itu, Umar menekankan agar dalam menghadapi berbagai persoalan yang tidak ditemukan dalam nash, agar menggunakan qiyas (Riwayat baihaqy, Ahmad bin hanbal dan Darul Quthniy).

2) Muktazilah

Menurut muktazilah, Qiyas wajib diamalkan pada dua hal saja :

a) ‘Illat-nya manshush (disebutkan dalam nash).

67

Page 68: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

b) Hukum far’u harus lebih utama dari hukum ashal

Contoh illat yang manshush (ada nash):

- Dahulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban, karena (saat itu) ada tamu tamu yang datang ke Madinah.sekarang (tidak ada lagi tam), maka simpanlah saging itu (H.R. Bukhari-Muslim, dll)

- Dalam hadist ini Rasul dgn tegas menyebut illat dari perintah menyimpan daging itu, yaitu untuk kepentingan tamu dari Badui.Ketika masyarakat Badui tidak datang, maka bolehlah menyimpan kembali daging kurban

- Contoh hukum far’u (cabang), harus lebih utama dari hukum ashal, yaitu: “Mengqiyaskan hukum memukul kedua orang tua kepada hukum mengatakan “ah” kepada keduanya. Illatnya adalah sama-sama menyakiti. Dalam hal ini pemukulan lebih berat daripada mengatakan “ah”.

3) Ulama Zhahiriyah, (termasuk Imam Asy-Syawkani) berpendapat, bahwa secara logika qiyas memang boleh, tetapi tak ada satu nash pun yang mewajibkan melaksanakannya.

b. Pendapat yang Menolak Qiyas Ulama Syi’ah Imamiyah dan Al-Nazzam dari Muktazilah berpendapat, “Qiyas tidak bisa

dijadikan lanasan hukum dan tidak wajib diamalkan”. Kewajiban melakasanakan qiyas adalah sesuatu yang mustahil menurut akal. Alasan Ulama yang Menolak

1) Surat Al-Hujurat (49) ayat 1:

ياأيها الذين ءامنوا التقدموا بين يدي اهللا ورسوله واتقوا اهللا إن اهللا سميع عليم

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya”.

Ayat ini melarang seseorang untuk beramal berdasarkan dalil yang tak ada dalam Al-Quran dan Sunnah. Mempedomani qiyas adalah beramal di luar ketentuan Al-Quran dan Sunnah.

2) Mengamalkan qiyas berarti mengamalkan alasan yang zhanniy (sangkaan). Dalam surah Yunus (10) ayat 36

غني من الحق شيئاإن الظن الي Artinya:

‘Sesungguhnya persangkaan (zhan) itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”

Menurut mereka, qiyas itu bersifat zhan (persangkaan), dan arenanya tak berguna dalam menetapkan hukum.

68

Page 69: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

3) Sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah Swt telah menentukan beberapa ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, maka jangan kamu langgar larangan itu dan dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, bukan karena kelupaan Allah tentang itu. Maka jangan kamu bahas hal itu” (H.R.darul Qythniy)

4) Mereka juga beralasan dengan sikap sebagian sahabat lainnya yang mencela qiyas. Meskipun sebagian sahabat lainnya bersikap diam. Ini berarti telah terjdi ijma’ sukuti dalam menolak qiyas. Umar sendiri pernah berkata, “Hindarilah orang-orang yang mengemukakan pendapatnya tanpa alasan, karena mereka itu termasuk musuh sunnah dan hindarilah orang-orang yang menggunakan qiyas (Kisah riwayat Qasim Ibnu Muhammad yang keberadaan perawinya munqathi’,terputus)

E. Qiyas Sebagai Sandaran Ijma’

Ulama berbeda pendapat dalam hal ini :

a. Kelompok I mengatakan, qiyas tidak bisa dijadikan dasar ijma’. Argumentasinya ; ijma’ itu qath’iy sedangkan qiyas itu zhanniy. Menurut Qaidah, Yang Qath’iy tidak sah didasarkan pada yang zhanniy.

b. Kelompok II mengatakan qiyas bisa dijadikan sandaran ijma’.

Contoh:

1) Penunjukan Abu Bakar sebagai Imam oleh Nabi Saw, diqiyaskan kepada penunjukan beliau sebagai Khalifah.

2) Penunjukan Abu Bakar sebagai Khalifah tersebut merupakan ijma’ sahabat. Dengan demikian ijma’ bisa didasarkan kepada Qiyas.

10.3 Maslahah Mursalah

A. Pengertian Mashlahah Mursalah

Marsalah Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menetikan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni sesuatu yang sesuai dengan ketentuan yang berdasarkan pada pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan sesautu manfaat, maka kejadian tersebut disebut al-marsalah al Mursalah.

69

Page 70: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

B.Tujuan Maslahah Mursalah

Tujuan Utama Marsalah Mursalah adalah kemalahatan: yakni memelihara dari kemadharatan dan menjaga kemanfaatannya.

Alasan dikatakan Al–Mursalah adalah, karena syara’ memutlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.

C.Objek Kajian Maslahah Mursalah

Yang menjadi Objek Al_maslahah Al Mursalah secara umum adalah hal-hal yang berlandaskan hukum syara’ juga hal yang berkaitan dengan adat dan hubungan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Lapangan tersebut merupakan objek utama untuk mencapai kemaslahatan. Dengan demikian segi ibadah tidak termasuk dalam lapangan tersebut.

10.4 Istihsan

A. Pengertian Istihsan

Secara etimologis Istihsan berarti:

a) Berbuat sesuatu yang lebih baik b) Mencari yang lebih baik untuk diikuti c) Mengikuti sesuatu yang lebih baik d) Memperhitungkan sesuatu sebagai yang lebih baik

Secara istilah/terminollogis: Rumusan definisi Ibnu Subky

a. عدول عن قياس الى قياس أقوى منه Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat

b. عدول عن الدليل الى العادة للمصلحة Beralih dari penggunaan dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan

c. Istihsan juga dapat diartikan, “pengecualian dari yang umum”, karena adanya maslahah/kebutuhan”.

Contoh, menurut ketentuan umum, pria tidak boleh melihat aurat wanita, kecuali untuk kebutuhan proses melahirkan anak bagi wanita sedangkan dokternya adalah pria. Akan tetapi kebolehan dokter PRIA melihat aurat wanita Dalam berobat (operasi dan atau melahirkan menurut ketentuan umum (qiyas), Seseorang dilarang melihat aurat orang lain, tetapi dalam kasus ini dibolehkan berdasarkan istihsan.

70

Page 71: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

Ada pula ahli ushul fiqh yang menyebut istihsan ijma’, di mana sandarannya adalah ijma’ ulama.

Pengertian Istihsan secara terminologis menurut para ulama adalah:

a. Al-Bazdawi (Hanafi)

Istihsan “Berpaling dari kehendak qiyas kepada Qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat”

b. As-Sarakhsy (Hanafi)

Istihsan ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkan Qiyas yang lebih kuat, karena adanya dalil yang Menghendaki erta lebih sesuai dengan kemaslahatan ummat

c. Al-Ghazali (Syaf’iy)

Istihsan ialah Semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya

d. Ibnu Qudamahi (Hanbali)

Istihsan ialah suatu keadilan terhadap hokum Karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan Sunnah. Imam Ahmad menggunakan istihsan dalam berbagai masalah.

Contoh:

a) kasus keuntungan dalam mudharabah. Apabila mudharib menyalahi syarat yang ditentukan Shahibul Mal dan membeli sesuatu yang tidak disuruh shahibul mal, maka keuntungannya menjadi hak shahibul mal, karena mudharib melakukannya di luar kesepakatan awal. Menurut qiyas umum, keuntungan untuk shahibul mal, tetapi dengan istihsan mudharib berhak mendapat “fee”/ ujrah, karena ia telah menciptakan laba, di mana jika terjadi kerugian mudharib harus mengganti, sebab membeli-menjual di luar kesepakatan awal,

b) shahibul mal mempercayakan kepada mudharib untuk berbisnis di bidang perikanan, namun di tengah masa berlangungnya kontrak mudharabah, mudharib melakukan bisnis pakaian jadi. Dalam kasus ini telah terjadi penyimpangan penggunaan dana. Dan… ternyata mudharib mendapat keuntungan dari bisnis pakaian tersebut. Dalam kasus ini mudhraib berhak mendapatkan ujrah (fee) atas dasar istihsan. Padahal menurut ketentuan umum dia tak berhak, karena telah melakukan penyimpnagan penggunaan dana (side streaming)

71

Page 72: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

e. Asy-Syatibi (Maliki)

Istihsan ialah pengambian suatu kemaslahatan Yang bersifat juz’iy dalam menanggapi dalil yang bersifat global

f. Al-Karkhi (Hanafi)

Perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hokum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan

1) Ulama sepakat tentang pengertian istihsan, karena lapaz istihsan banyak terdapat dalam Al-Quran dan Hadits

2) Az-Zumar : (39) ayat 18) الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه

Artinya:

Orang yang mendengarkan perkataan,lalu mengikuti apa yang paling di antaranya.

واتبعوا أحسن ما أنزل من ربكم (3

Artinya: Dan ikutilah sebaik-baik apa yang ditunrunkan Tuhanmu kepadamu (QS.Az-Zumar : 55)

B. Kehujjahan Istihsan Menurut Ulama

a. Menurut Imam Al-Syatibi, istihsan merupakan hasil induksi dari berbagai ayat dan hadits yang secara keseluruhan menunjukkan secara pasti bahwa kaidah ini didukung oleh syara’.Dari sekumpulan dalil-dalil itulah dirumuskan kaedah istihsan.

b. Contoh : kebolehan mudharabah, menjama’ shalat pada saat musafir, kebolehan berbuka bagi orang musafir, Semua istihsan ini didasarkan pada nash syara’.

c. Imam al-Sarakhsi (dari mazhab Hanafi) menjelaskan bahwa banyak persoalan hukum yang ketentuannya diserahkan kepada ijtihad kita untuk menetapkannya. Di sini kita menggunakan istihsan.

d. Misalnya masalah menetapkan ukuran mut’ah dari suami yang menceraikan istrinya sebelum dicampuri. Seperti firman Allah (QS.2:236). على الموسع قدره وعلى ! و متعوهن المقتر قدره

e. Artinya : Berikanlah suatu mut’ah kepada mereka. Orang-orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang-orang yang tak mampu juga menurut kemampuannya.

f. Menentukan ukuran mut’ah dalam ayat tersebut adalah termasuk berbuat yang lebih baik.Hal itu disebut istihsan dan tidak ada ulama yang menolak hal itu.

g. Contoh lain : kecakapan bertindak hukum dalam kegiatan bisnis menurut ketentuan fiqh adalah baligh dan berakal. Tetapi para ulama menentukan umurnya secara fix, yaitu, pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. Demikian pula usia perkawinan pria dan wanita, sebagaimana yang terdapat dalam UU Nomor 1/1974.

72

Page 73: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

h. Menentukan perusahaan yang termasuk dalam Jakarta Islamic Index, antara lain perusahaan tersebut tidak memiliki hutang lebih dari 45 %. Semua ini adalah pekerjaan ijtihad.

i. Menentukan ketentuan-ketentuan pada wadiah yad dhamanah dalam giro wadiah di bank syariah.

j. Menurut ketentuan umum dalam fiqh klasik tidak ada ketentuan-ketentuan tersebut. k. Seperti menentukan saldo minimun dana yang dititipkan,dan penarikannya dengan cek

dan bilyet giro, tidak seperti tabungan biasa.

C. Jenis Istihsan

a. Istihsan Nash

Istihsan Nash ialah istihsan yang sandaran nya adalah nash.

Contohnya jual beli beli salam/indent.

Pada saat terjadi akad jual-beli salam, barang yang diperjual-belikan belum ada. Menurut ketentuan umum (sandaran qiyas), jual beli seperti itu tidak sah, karena tidak terpenuhinya rukun jual beli yakni adanya barang pada saat transaksi, namun metode berpikir seperti itu, tidak dipakai, karena ada nash dari hadits Nabi yang membolehkan jual beli salam

b. Istihsan Dharury

Istihsan al-dharurah adalah istihsan yang sandarannya adalah dharurat

Contohnya:

b) Tidak diberlakukannya hukum potong tangan terhadap pencuri, karena pencurian dilakukan secara terpaksa/untuk mempertahankan hidup, seperti yang terjadi pada masa Umar ketika terjadi tahun kelaparan (‘amul maja’ah).

c) Menabung di Bank konvensional di kota yang belum terdapat perbankan syariah d) Bekerja di Bank konvensional sementara belum mendapatkan pekerjaan lain yang halal. e) Menggunakan re-asuransi konvensional oleh lembaga asuransi syariah sebelum ada re-

asuransi syariah.

73

Page 74: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

c. Istihsan ‘Urf

Istihsan ‘Urf, yaitu istihsan yang sandarannya ‘urf

Contohnya

1) Jual beli mu’athah di swalayan. Menurut ketentuan umum (qiyas), setiap jual beli mestilah memakai ijab dan qabul, namun karena ‘urf yang berlaku di zaman sekarang di swalayan biasa terjadi jual beli tanpa ijab qabul, maka jual beli mu’athah dibenarkan karena alasan istihsan ‘urf

2) Jasa pemandian di kolam renang Dalam transaksi muamalah harus jelas jumlah barang dan lama waktu pemakaian. Tapi dalam kasus Ijarah/jasa pemandian umum, seperti kolam renang, tidak jelas banyak air dan lama mandi. Jasa Ini dibolehkan karena istihsan. Ulama telah ijma’ tentang kebolehan bisnis pemandian umum. Contoh istihsan ijma’iy ini sama dengan contoh istihsan ‘urf.

3) Makan di longue bandara, hotel atau restoran tertentu dengan harga tertentu, konsumen bisa makan sepuasnya. Dalam kasus ini, jumlah makanan dan minuman yang dibeli tidak jelas kuantitasnya. Secara fiqh mumalah yang berlaku umum, jual beli ini tidak sah. Namun karena sudah menjadi ‘urf di tempat terttentu, maka jual beli tersebut dibolehkan.

4) Jual beli istishna’. Pada saat terjadi akad jual-beli istishna’, barang yang diperjual-belikan belum ada. Menurut ketentuan umum (sandaran qiyas), jual beli seperti itu tidak sah, karena tidak terpenuhinya rukun jual beli yakni adanya barang pada saat transaksi, namun, karena karena praktik istishna sudah menjadi ‘urf, maka jual beli istishna’ dibenarkan.Inilah yang dipraktikkan di bank syariah saat ini,

d. Istihsan Istislahi, yaitu qiyas yang sandarannya maslahah

Dalam hal ini ulama berpindah dari dalil yang biasa/umum digunakan kepada dalil lain yang khusus, berdasarkan pertimbangan maslahah

Contoh :

1) Penerapan revenue sharing dalam sistem bagi hasil (profit distribution) di bank syariah. Menurut kebiasaan umum yang berlaku digunakan PLS, namun berdasarkan maslahah diterapkan Revenue sharing (Lihat fatwa DSN-MUI No 20/2000)

2) Maslahah Revenue Sharing ialah untuk memelihara dan mementingkan harta masyarakat banyak yang ditempatkandi bank syariah. Juga untuk menciptakan rasa nyaman dan rasa was-was para deposan, sehingga mereka tidak curiga kepada bank syariah yang mengeluarkan biaya-biaya operasional.

74

Page 75: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

3) Penerapan agunan/collateral dalam pembiayaan di bank syariah. Menurut ketentuan umum yang baisa, pembiayaan mudharabah, musyarakah dan jual beli murabahah tidak memerlukan collateral, namun demi untuk memproteksi/menjaga harta masyarakat yang dikelola, agar nasabah serius maka perlu diminta collateral. Istihsan dalam kasus ini selain sandarannya maslahah, juga nash Al-quran (2:283)

e. Istihsan Qiyasi, adalah istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi.

Dalam istihsan ini seorang ulama meninggalkan qiyas jali kemudian berpegang kepada qiyas khafi karena ada kemaslahatan.

Contoh :

Bersihnya makanan/minuman sisa burung buas (elang dan gagak). Menurut qiyas jali, sisa tersebut najis karena mengqiyaskannya kepada binatang buas yang lain yang dagingnya sama-sama haram dimakan. Namun, dalam hal kasus ini, ia diqiyaskan kepada burung biasa (qiyas khafi), sehingga sisa minuman/makananya dihukumkan bersih.

D. Istihsan dan Problematika ekonomi dan keuangan modern

Di zaman modern ini, perkembangan bentuk transaksi ekonomi dan keuangan berkembang dengan cepat dan problematikanya semakin kompleks, baik dalam dunia perbankan, asuransi, leasing, pasar modal, sekuritas lainnya, seperti sukuk, pegadaian, BMT, dsb. Semua ini membutuhkan jawaban-jawaban syariah secara tepat. Permasalahan-permasalahan tersebut harus dihadapi dan diberikan jawaban hukum ekonominya nya oleh ulama dan ekonom muslim

Kalau hanya semata merujuk kepada kitab-kitab fiqh muamalah klasik, kemungkinan besar tidak akan mampu menjawab berbagai persoalan kontemporer. Karena itu seorang mujtahid harus mampu menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif, utuh, segar, dan berorientasi kemaslahatan, tidak bisa terbatas pada empat dalil hukum (al-Quran, sunnah, ijma, qiyas), apalagi hanya mengandalkan Al-quran dan Sunnah

Oleh karena itu kecendrungan untuk menggunakan istihsan, sebagai salah satu metode perumusan hukum ekonomi Islam, perlu dilakukan

Contoh-contoh bentuk bisnis modern:

1) Capital Market : sharia “bond”, sharia stock dan mutual fund (reksadana) 2) Islamic Multi Level Marketing 3) Islamic Mortgage 4) Cash waqf di lembaga keuangan 5) Leasing syariah 6) Koperasi syariah BMT

75

Page 76: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

7) Islamic insurance 8) Franchising (waralaba) 9) Konsinyasi, dll.

Contoh pada akad-akad modern di lembaga keuangan:

1) Anjak piutang (factoring) 2) Bank Garansi 3) L/C 4) Take over pembiayaan 5) Sindikasi pembiayaan 6) Obligasi ijarah 7) Salam dan istisna al-muwaziy 8) Ijarah al-muwaziy

10.5 Dzari’ah

A. Pengertian Dzariah

Secara etimologi, dzari’ah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu. Secara umum dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu saad al-dzari’ah (sesuatu yang dilarang) dan fath dzariah (sesuatu yang dituntut dilaksanakan).

B. Saad Dzari’ah

Menurut imam Asy Syatibi adalah melaksanakan sesuatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan). Contohnya seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun belum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.

a. Jenis Saad Dzari’ah

1) Dzari’ah dari segi kemafsadatan

Menurut Imam Asy Syatibi, terbagi atas 4 jenis, yaitu:

a) Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya menggali sumur di depan rumah orang lainpada waktu malam dan menyebabkan pemilik rumah tersebut jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.

b) Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan. Misalnya menjual makanan yang tidak mengandung kemafsadatan

76

Page 77: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

c) Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Misalnya menjual senjata kepada musuh.

d) Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan. Seperti bay’ al ajal yaitu jual beli dengan harga lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan.

2) Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan

Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagiannya ada 2 jenis, yaitu:

a) Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan mafsadat

b) Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan haram, baik disengaja ataupun tidak. Seperti seorang lelaki menikahi wanita yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bias kembali pada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil)

b. Kehujjahan Saad Dzari’ah

Ulama Malikiyyah dan ulamaHanabilah menyatakan bahwa saad dzari’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’, dengan alasan hal tersebut berdasarkan pada:

1) Surat Al-An’am 6:108

“dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa pengetahuan”

2) Sabda Rasulullah SAW

“sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat keduaorang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang ‘wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?’ Rasulullah menjawab, ‘seseorang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicacimaki orang itu, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicacimaki orang itu,” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)

Hadis ini menunjukkan bahwa saad dzari’ah termasuk salah satu alas an untuk menetapkan hukum syara’, karena sabda Rasulullah tersebut masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu, Rasulullah melarangnya.

Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syi’ah dapat menerima saad dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya pada kasus-kasus lain. Imam Syafi’I memperbolehkan seorang yang uzur, sakit, musafir untuk meninggalkan shalat jum’at dan

77

Page 78: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

menggantinya dengan shalat dzuhur. Orang yang uzur tidak puasa diperbolehkan, tetapi jangan makan didepan orang lain yang tidak megerti uzurnya,karena akan menimbulkan fitnah.

Ulama Hanafiah menggunakan saad dzari’ah dalam berbagai kasus hukum. Misalnya mengatakan bahwa orang yang melaksanakan puasa yaum al syakk (akhir bulan sya’ban yang diragukan apakah telah masuk bulan ramadhan atau belum) sebaiknya dilakukan secara diam-diam, apalagi bila ia seorang mufti.

C. Fath Dzariah

Ibn Qayyim al-Jauzilah dan Imam al-Qafari mengatakan bahwa fath dzari’ah adalah suatu perbuatan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan. Misalnya shalat jum’at itu hukumnya wajib, maka usahakanlah sampai ke mesjid dan meninggalkan aktifitas yang juga diwajibkan.

Tapi menurut Wahbah al-Zuhaili, hal tersebut tidak termasuk dzari’ah, tetapi muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Jika hendak melakukan suatu perbuatan yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib. Begitu pula dengan sesuatu yang haram.

Terhadap hokum muqaddimah tersebut para ulama sepakat menerimanya, tetapi tidak sepakat untuk hal tersebut dikategorikan dzari’ah. Ulama malikiyyah dan Hanabilah memasukkannya sebagai fath dzari’ah. Ulama hanafiyyah dan Syafi’iyyah serta sebagian Malikiyyah menyebutnya sebagi hukum muqaddimah, bukan termasuk dzari’ah. Namun mereka sepakat untuk menjadikannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.

10.6 ‘Urf

A. Pengertian ‘urf

Secara etimologi, urf berarti baik, kebiasaan dan sesuatu yang dikenal. Adat dan ‘Urf adalah dua kata yang sinonim (mutaradif) Namun bila digali asal katanya, keduanya berbeda. ‘adat berasal dari kata ‘ada-ya’udu artinya perulangan (berulang-ulang), ‘urf berasal dari ‘arafa – ya’rifu, sering diartikan dengan “sesuatu yang dikenal” (dan diakui orang banyak)

Tidak ada perbedaan yang prinsip antara adat dan ‘urf, karena pengertian keduanya sama, yaitu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan sehingga menjadi dikenal dan diakui orang banyak. Jadi meskipun asal kata keduanya berbeda,namun perbedaannya tidak berarti.(Amir Syarifuddin,II, hlm.364). Oleh karena kedua kata itu sama, maka 5 kaedah utama menggunakan kata ‘adat, bukan ‘urf

‘Urf adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang sudah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi dalam masyarakat. Di kalangan masyarakat sering disebut sebagai adat.

78

Page 79: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

B. Perbedaan adat dengan ‘urf

Namun ada yang membedakan makna keduanya. Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas. Adat dilakukan secara berulang-ulang tanpa melihat apakah adat itu baik atau buruk Adat mencakup kebiasaan pribadi, seperti kebiasaan seorang dalam tidur jam sekian, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Adat juga muncul dari sebab alami, seperti cepatnya anak menjadi baligh di daerah tropis, cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis. Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti suap, pungli dan korupsi. “Korupsi telah membudaya, terjadi berulang-ulang dan dimana-mana”.

Sedangkan ‘urf tidak terjadi pada individu. ‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak عادة جمهور قوم في قول أو فعل

Kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam perkataan atau perbuatan. A.Aziz Khayyath, Nazhayyah al-’Urf, Amman, Maktabah Al-Aqsha, hlm 24

Mustafa Ahmad Zarqa (Yordania), ‘urf bagian dari ‘adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu bukan pada pribadi atau golongan. ‘Urf bukan kebiasaan alami, tetapi muncul dari praktik mayoritas umat yang telah mentradisi. Misalnya, harta bersama, konsinyasi, urbun, dll.

C. Jenis Urf:

a. Dari Segi Obyeknya (Materi) i. ‘Urf Qawli adalah kebiasaan pada lapaz/ucapan

Contoh :

Lapaz daging dipahami di Padang hanya daging sapi Bila sesorang mendatangi penjual daging, dan berkata “Saya beli daging 1 kg”, sedangkan penjual daging memiliki jualan daging-daging lain dan ikan, ayam, bebek. Maka yang diamksud adalah daging sapi. Jika seorang Minang bersumpah tidak akan makan daging, tetapi setelah itu ia makan daging ikan. Maka ia tidak melanggar sumpah / tidak membayar kifarat, karena yang dimaksudkan dengan daging dalam sumpah tersebut adalah daging sapi. Walaupun menurut Al-quran, ikan termasuk daging “لحما طريا”. Ini berarti makna daging difahami sesuai dengan ‘urf di suatu daerah.

Misalnya seorang bernazar, jika saya lulus S2, saya akan mewaqafkan kereta untuk Yayasan Anak Yatim X. Akibat hukum nazar seseorang tergantung adatnya (daerahnya), Di Malaysia hal itu diwujudkan dengan membeli mobil. Di Sumatera diwujudkan dengan membeli motor. Di Jawa diwujudkan dengan membeli kereta Api.

آل عاقد يحمل على عادته في خطابه ولغته التى يتكلم بهJadi setiap orang yang berakad, di dasarkan pada adat kebiasaan dalam ucapan

dan bahasa yang ia ucapkan

79

Page 80: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

ii. ‘Urf Fi’li adalah kebiasaan atau perbuatan Contohnya:

a) Kebiasaan pemilik toko mengantarkan barang belian yang berat/besar, ke rumah pembeli seperti lemari, kursi, dan peralatan rumah tangga yang berat lainnya Tanpa dibebani biaya tambahan

b) Kebiasaan menerapkan proteksi asuransi pada pembiayaan

c) Kebiasaan meminta agunan pada pembiayaan di bank syariah

b.Dari segi cakupannya 1) ‘Urf ‘Am (Umum) adalah kebiasaan yang berlaku secara luas di seluruh

masyarakat dan daerah

a) Kebiasaan menerapkan proteksi asuransi pada pembiayaan bank syariah. ini berlaku di seluruh Indonesia, bahkan dunia

b) Kebiasaan garansi pada pembelian barang elektronik. Ini juga berlaku dimana-mana.

c) Kebiasaan meminta agunan pada pembiayaan di bank syariah

d) Naik Bus Way, jauh dekat, ongkosnya sama

2) ‘Urf Khas (Khusus) adalah kebiasaan yang berlaku secara khusus di daerah

tertentu

i. Kebiasaan pembeli dapat mengembalikan barang yang cacat kepada penjual tertentu, (tetapi tidak berlaku di supermarket).

b) Bagi masyarakat tertentu penggunaan kata “budak” untuk anak-anak dinggap merendahkan, tetapi bagi masyarakat (Malaya / Asahan tanjung Balai), kata budak biasa digunakan untuk anak-anak.

c) Adat menarik garis keturunan melalui garis ibu / matrilineal), di Minang Kabau dan melalui Bapak (patrilineal) di suku Batak

c. Dari Segi baik-buruk (Keabsahan) 1) ’Urf Shahih

Adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan syariah, sopan santun dan budaya yang luhur

Contohnya:

80

Page 81: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

a) Acara halal bi halal (silaturrahmi) saat hari raya. b) Adanya garansi dalam pembelian barang elektronik, dll. c) Memproteksi setiap pembiayaan dengan asuransi syariáh d) Mengasuransikan pendidikan anak, kenderaan, rumah, barang dagangan via lautan, secara syariáh

e) Menerapkan perencanaan keuangan (Financial Planning) dalam keuangan keluarga. Di sini juga ada maslahah

f) Kebiasaan Menabung di Bank Syariáh. g) Kegiatan MTQ setiap tahun

2) ’Urf Fasid

Adat yang berulang-ulang dilakukan tetapi bertentangan dengan syariah Islam

Contohnya:

a) Menyuap untuk lulus PNS/meraih jabatan b) Menyuap DPR untuk mensahkan Undang-Undang c) Menyuap partai politik untuk meluluskan calon gubernur atau bupati, dsb. d) Memberi hadiah kepada pejabat e) Spekulasi valas dan Hedging untuk spekulasi f) Kredit dengan sistem bunga di bank riba g) Future trading (forward transaction) h) Spekulasi saham ? i) Bursa berjangka pada indeks tertentu j) Judi di pusat-pusat hiburan k) Pacaran (pergaulan bebas) l) MLM Konvensional dan kebiasaan-kebiasaan negatifnya. m) Berasuransi secara konvensional (non syariah) n) Call money dengan sistem bunga o) REPO dalam Cek p) Arisan uang berantai (sistem piramida)

D. Pandangan para ulama terhadap urf:

Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa urf fasid harus dijauhkan dari pengambilan dan penetapan hukum.

a. Pandangan Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya pada amal ahli Madinah

b. Imam Syafii memiliki dua pendapat (qaul qadim dan qaul jadid). Qaul Qadim pendapatnya ketika di Bagdad, sedangkan qaul Jadid ketika di Mesir. Hal ini karena perbedaan úruf.

c. Hanafiyah juga banyak menerapkan úrf dalam menetapkan hukum Islam, seperti bay’ wafa. (Jual Beli Wafa’)

81

Page 82: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

E. Banyak Qaidah Fiqh tentang keharusan urf dalam menetapkan hukum, anatara lain:

Adat itu bisa menjadi hukum syara’

,Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan الثابت بالعرف آالثابت با لشرع

sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan Syariat)

Sesuatu yang ditetapkan oleh kebiasaan (adat), sama seperti sesuatu yang ditetapkan

oleh hukum (lihat pasal 1499 Al-Majallah al-Ahkam).

Sesuatu yang sudah dikenal baik dan menjadi tradisi para pedagang, maka ia dianggap sebagai kewajiban yang disepakati di antara mereka. Seperti Uang Panjar dalam Jual-Beli.

F. Syarat-Syarat ‘Urf diterima sbg dalil

a) ‘Urf tidak bertentangan dengan nash b) ‘Urf itu mengandung maslahat c) ‘Urf berlaku pada orang banyak d) ‘Urf itu telah eksis pada masa itu,bukan yang muncul kemudian e) ‘Urf tidak bertentangan dengan syarat yang dibuat dalam transaksi

G. Kehujjahan Urf

a) Urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan b) ‘Urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, tetapi senantiasa terkait dengan dalil-dalil

yang lain, seperti maslahah dan istihsan c) Urf menunjang pembentukan/perumuan hukum Islam

Contoh ‘Urf:

Menurut adat di daerah tertentu, mahar tidak boleh dicicil, jadi harus dibayar sekaligus sebelum walimah. Si Ali melakukan akad nikah dengan Ani dengan sejumlah mahar, tanpa menjelaskan apakah dibayar secara sekaligus atau dicicil (dalam beberapa kali bayar). Adat

82

Page 83: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

yang berlaku saat itu, ialah mahar harus dibayar sekaligus. Beberapa waktu kemudian, istri meminta agar mahar dibayar lunas. Kemudian adat di tempat itu berubah dimana orang-orang mulai mempraktekan pembayaran mahar secara cicilan. Suami berpegang pada adat yang baru muncul, sementara si istri minta bayaran lunas. Maka berdasarkan ketentuan qaidah urf, suaimi harus membayar lunas, karena ia tidak boleh berpegang kpd adat yang baru muncul. Pembeli dan Penjual lemari es sepakat bahwa barang yang dibeli tersebut tidak menjadi tanggung jawab penjual untruk mengantarnya ke rumah pembeli,Itu kesepakatan mereka, walaupun adat yang berlaku berbeda. Maka disini ’urf tidak berlaku, karena berlawanan dengan syarat yang mereka sepakati.

10.7 Istishab

A. Pengertian istishab

Istishab secara harfiah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan Menurut Ushul Ulama istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dali yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hokum yang telah ditetapkan pada masa lampau sampai dengan terdapat dalaoi yang menunjukkan perubahannya (Syafe’i, 1999: 125)

B. Dalil Istishab

Al Baqarah : 29 “ Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu.”

“ Pangkal segala sesuatu adalah kebolehan”

C. Pendapat Ulama tentang Istishab

a. Ulama Hanafiah

Menurutnya Istishab merupakah Hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksudkan oleh mereka. Ini berarti Istishab merupakan ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai dengan ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya. (Syafe’i, 1999: 127)

Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yng tidak tetap. Telah dijleaskan tenatang penetapan orang yang hilang atau yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut diteapkan tidak hilang dan ihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.

Istishab lah yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolaknya dengan kematiannya serta warisan harta bendanya juga perceraian pernikahannya. Tetapi hal itu

83

Page 84: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

bukanlah hujjah untuk menetqpkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan menurut istishab aitu adalah hidup yng diasarkan pada pengakuan.

10.8 Mashab Shahabi

A. Pengertian Shahabi

Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasul. Yang dimaksud para sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukilkan para ulama, baikberupa fatwa maupun ketetapan hokum, sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan hokum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.

Setelah Rasulullah SAW wafat, tampillah par sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal ini disebabkan karena merekalah yang paling lama bergaul dengan rausullah SAW. Dan telah memahami alQuran dan hokum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peritiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabit’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentaqwilan fatwa-fatwa mreka. Dianatara mereka ada yangmengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap umber-sumber pembentukan hokum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahn kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas, kecuali kalau hanya pendpat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat islam.

B. Kehujjahan Madzhab Shahaby

Pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bias dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsng dari rasulullah SAW., seperti ucapan Aisyah; “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.

Keterangan diatas tidaklah sah dijadikan lapangan Ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-bear dari rasulullah SAW. Maka dianggap sebagai sunnah meskipun pada zahirny merupakan ucapan sahabat.

Kehujjahan Madzhab Shahaby adalah jika pendapat sahabat tidak bertenatangan dengan sahabat lain biasa dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW.

84

Page 85: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

C. Pandangan para Ulama tentang Madzhab Shahaby

a. Pandangan Abu hanifah

Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat seorang sahabat itu sebagai hujjah, sebab dia berkata tentang Madzhab Shahaby : “Apabila saya tidak mendapatkan hukum dalam Al-Quran dan Sunnah, saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sesuai dengan yang lainnya.”

Ini berarti Abu Hanifah bias mengambil pendapat mereka yang dia kehendakki, namun dia tidak memperknankan untuk menentng pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia tidak memperkenankan adanya Qiyas terhadap suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh (menghapus/menghilangkan) terhadap berbagai pendapat yang terjadi diantara mereka.

b. Pandangan Imam Syafe’i

Menurut Imam Syafe’i pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbath pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dri orang yang tidak ma’sum (tidak terjaga dari Dosa).

Menurut Imam Syafe’i, para sahabat dibolehkan menentang sahabt lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika imam syafe’i melarang menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dari kitab dan sunnah atau dari pendapat yang disepakati oleh para ulama dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atu menggunakan Qiyas, atau menggunakan qiyas pada sbagiannya.

10.9 Syar’u Man Qablana

A. Pengertian Syar’u man Qablana

Syar’u man qablana berarti syari’at sebelum Islam. Para ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelumIslam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umu oleh syari’at Islam. Mereka juga sepakat menyatakan bahwa pembatalan

85

Page 86: ushul fiqh bagian 03 - agustianto

agustianto.niriah.com

86

syari’at-syari’at sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam, seperti beriman kepa da Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishas dan hukuman bagi tindak pidana pencurian.

B. Hukum Syari’at Sebelum Islam

Jika Al-qur’an atau sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari’atkan pada umat yang dahulu melalui Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaiman diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari’at tersebut ditujukan juga kepada kita, dengan kata lain wajib diikuti, seperti firman Allah dalam Surat Al-baqarah 183: “ Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”

Sebaliknya jika dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan pada kaum terdahulu, namun dihapuskan untuk kita, para ulama sepakat bahwa hokum tersebut tidak disyari’atkan kepada kita, seperti syari’at Nab Musa bahwa seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya. Da jika ada najis ditubuh kita, tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan itu.

C.Pendapat Para Ulama tentang Syari’at Sebelum Kita

Tentang syariat terdahulu telah jelas berupa penghapusan atau penetapan dan telah disepakati para ulama. Namun yang diperselisihkan adalah apabila pada syari’at terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada mereka. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah 32: “oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh orang lain) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.’

Jumhur ulama Hanafiah, sebagian ulama Malikiyyah, dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa hokum tersebut disyari’atkan juga kepada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak mendapatkan hokum yang menasakhnya. Alasannya,mereka menganggap bahwa hal tersebut termasuk diantara hokum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para Rasul-Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang mukallaf wajib mengikutinya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa syari’at kita itu menasakh atau menghapus syari’at terdahulu,kecuali jika dalamsyari’at terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun pendapat pertama karena syari’at kita hanya menasakh syari’at terdahulu yang bertentangan dengan syari’at kita saja.