19
Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Suatu Tinjauan Dari Perspektif Penggunaan Sumberdaya Alam Oleh : YUDHISTIRA, S. Hut BP. 06209004 PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2007

Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

DFGDFFGD

Citation preview

Page 1: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan

Pertanian Berkelanjutan: Suatu Tinjauan Dari Perspektif

Penggunaan Sumberdaya Alam

Oleh :

YUDHISTIRA, S. Hut

BP. 06209004

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2007

Page 2: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

i

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-

Nya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

makalah ini ialah pembangunan pertanian subsektor perkebunan khususnya kelapa

sawit dari perspektif sistem pertanian yang berkelanjutan, dengan judul Usaha

Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan:

Suatu Tinjauan Dari Perspektif Penggunaan Sumberdaya Alam.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir Asdi Agustar, M.Sc dan

Bapak Prof. Dr. Ir. Helmi, M.Sc selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan

penulis sampaikan kepada teman sejawat Bapak Murtamin, SP dan Ibu Elfa Yeni,

S. TP yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih

juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan

kasih sayangnya.

Semoga makalah ini bermanfaat.

Padang, Mei 2007

Yudhistira, S. Hut

Page 3: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

ii

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang.............................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah......................................................................... 2

1.3. Tujuan........................................................................................... 2

II. PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

2.1. Potensi Kelapa Sawit..................................................................... 3

2.2. Prospek Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar Alternatif.................. 8

2.3. Kriteria Untuk Pengusahaan Kelapa Sawit .................................... 9

2.4. Tantangan dan Peluang Kelapa Sawit............................................ 12

2.5. Biodiesel sebagai Bahan Bakar Alternatif...................................... 14

III. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 15

3.1. Kesimpulan................................................................................... 15

3.2. Saran............................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 16

Page 4: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peranan perkebunan besar sebagai lokomotif perkembangan subsektor

perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah terbukti dengan luas areal Perkebunan

Besar Swasta Nasional (PBSN) tahun 2003 yang telah mencapai 52,78% dari luas

perkebunan kelapa sawit Indonesia, sedangkan luas perkebunan negara (PTPN)

dan rakyat, berturut-turut yaitu 12,33% dan 34,89%. Pada masa-masa mendatang

diperkirakan kontribusi PBSN akan semakin dominan, sejalan dengan

peningkatan daya saing produk yang dihasilkan.

Pengembangan PBSN kelapa sawit yang pesat dalam dekade 1985-2005

merupakan proses yang kompleks dan bersinggungan dengan banyak

kepentingan, baik dari sisi pengusaha, pemerintah, maupun rakyat secara totalitas.

Produk akhir yang dapat dikaji secara empiris yaitu meningkatnya luas lahan

perkebunan (kelapa sawit) Indonesia.

Salah satu usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia terdapat di daerah

Sumatera Barat. Dengan luas tanaman kelapa sawit seluas 126.886 ha dan

produksi kelapa sawit pada perkebunan besar swasta di Sumatera Barat tahun

2005 sebesar 362.496 ton lebih besar daripada luas PNP/PTP di Sumatera Barat

yaitu 7.220 ha dengan produksi sebesar 23.402 ton. Hal ini menjadi salah satu

potensi tanaman perkebunan terbesar di Sumatera Barat dibandingkan dengan

jenis tanaman lainnya.

Konsep pengembangan perkebunan yang sukses seyogyanya mengacu

pada beberapa faktor-sukses-kunci, salah satunya yaitu aspek bahan tanaman.

Perkebunan kelapa sawit merupakan jenis usaha jangka panjang. Investasi yang

sebenarnya bagi perkebunan komersil berada pada bahan tanaman (benih) yang

akan ditanam karena merupakan sumber keuntungan perusahaan kelak.

Page 5: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

2

1.2. Rumusan Masalah

Dengan berkurangnya sumber bahan bakar minyak di dunia maka Negara

Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor minyak mentah juga ikut

bertanggung jawab mencari solusi dengan cara mencari bahan bakar alternatif.

Bahan bakar nabati menjadi salah satu sumber bahan bakar alternatif. Jika ditinjau

dari dimensi sumberdaya alam, luas lahan beserta potensi kelapa sawit termasuk

yang terbesar di Indonesia khususnya di Sumatera Barat. Dari persoalan tersebut

diperlukan kajian mengenai; (1). Seberapa besar analisa bahan bakar minyak

dibandingkan dengan bahan bakar nabati (biodiesel) yang terdapat pada kelapa

sawit bila ditinjau dari aspek lingkungan.

1.3. Tujuan

1. Menganalisa bahan bakar minyak dibandingkan dengan bahan bakar nabati

(biodiesel) yang terdapat pada kelapa sawit bila ditinjau dari aspek

lingkungan.

Page 6: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

3

II. PEMBAHASAN

2.1. Potensi Kelapa Sawit

2.1.1. Penyebaran Kelapa Sawit

Kelapa sawit (E. guineensis) diusahakan secara komersial di Afrika,

Amerika selatan, Asia tenggara, Pasifik selatan, serta beberapa daerah lain dengan

skala lebih kecil. Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika dan Amerika selatan,

tepatnya Brasilia. Di brasilia, tanaman ini dapat ditemukan tumbuh secara liar

atau setengah liar di sepanjang tepi sungai. Kelapa sawit yang termasuk dalam

subfamili Cocoideae merupakan tanaman asli Afrika. Zeven (1965) dalam Pahan,

I. (2006) memastikan asal E. guineensis berdasarkan hasil deskripsi para ahli

botani sebelumnya dan para penjelajah di benua Afrika. Nama-nama kelapa sawit

dalam bahasa daerah di kedua sisi lautan atlantik mengacu pada nama Afrika.

Secara linguistik, nama kelapa sawit di Suriname merupakan perubahan dari

kata Afrika Yoruba, Fanti-twi dan Kikongo. Sementara nama di Brasilia, Dende

kemungkinan merupakan perubahan dari kata Ndende di Kimbudu, Angola.

Selain itu, asal tanaman ini juga diperkuat dengan penemuan fosil tepung sari dari

kali Miosen di delta Nigeria yang bentuknya sangat mirip dengan tepung sari

kelapa sawit sekarang. Spesies-spesies liar yang ada di Amerika diasumsikan

keluar dari Afrika mengikuti perjalanan manusia pada masa prasejarah.

Kelapa sawit Afrika diklasifikasikan oleh Jacquin (1763) sebagai E.

guineensis dengan jumlah kromosom n = 16 atau 2n = 8A + 24C. Spesies kelapa

sawit Amerika selatan mula-mula dinamakan E. melancocca, tetapi diganti oleh

Bailey (1940) menjadi Corozo oleifera. Atas pertimbangan bahwa spesies ini

dapat dihilangkan dengan E. guineensis, Wessels-Boer (1965) menggolongkannya

sebagai genus Elaeis dan namanya diganti menjadi E. oleifera.Wessels-Boer

(1965) juga menambahkan spesies yang ketiga pada genus Elaeis, yaitu: E. odora

(dulu dikenal dengan Barcella odora). spesies ini berbeda dengan kedua Elaeis

lainnya karena mempunyai infloresens biseksual, yaitu bunga betina pada dasar

spikelet yang terbawah dan bunga jantan di atasnya. Uniknya, hal ini kadang-

Page 7: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

4

kadang juga ditemui pada E. guineensis dan E. oleifera dan dikenal sebagai gejala

abnormal (Pahan, I. 2006).

Kelapa sawit Afrika telah berhasil didomestikasikan di Afrika barat pada

sekitar abad ke-16 dan ke-17 atau jauh pada periode sebelumnya. Senyawa kimia

yang serupa dengan minyak sawit telah ditemukan pada makam-makam orang

Mesir pada tahun 3000 sebelum masehi.

Perkembangan industri kelapa sawit telah dipaparkan secara jelas oleh

Hartley (1988). Ekspor minyak dan inti sawit dari Afrika dimulai pada abad ke-

19. Pada masa itu, sumber minyak hanya berasal dari tanaman kelapa sawit yang

tumbuh liar dan minyak masih diekstrak dengan cara yang sederhana dan tidak

efisien. dari liar ini akhirnya berkembang menjadi perkebunan rakyat. Perkebunan

bersar yang pertama mulai berkembang di Sumatera dan Malaysia pada awal abad

ke-19, kemudian diikuti oleh Congo Belgia (sekarang Zaire) dan negara-negara

Afrika Barat lainnya pada tahun 1920-an (Pahan, I. 2006).

Kelapa sawit pertama kali diintroduksikan ke Indonesia oleh pemerintah

kolonial Belanda pada tahun 1848, tepatnya di Kebun Raya Bogor. Pada tahun

1876, Sir Yoseph Hooker mencoba menanam 700 bibit kelapa sawit di Labuhan

Deli, Sumatera Utara. Sayangnya, 10 tahun kemudian, tanaman yang benihnya

dibawa dari Kebun Raya Kew (London) ini ditebang habis dan diganti dengan

tanaman kelapa. Sesudah tahun 1911, K. schadt- seorang berkebangsaan Jerman

dan M.Adrien Hallet berkebangsaan Belgia- mulai mempelopori budi daya

tanaman kelapa sawit. Schadt mendirikan perusahaan perkebunan kelapa sawit di

Tanah Ulu (Deli), sedangkan Hallet mendirikan perkebunan di daerah Pulau Raja

(Asahan) dan Sungai Liput (Aceh). sejak itulah, mulai dibuka perkebunan-

perkebunan baru. Pada tahun 1938, di Sumatera diperkirakan sudah ada 90.000 ha

perkebunan kelapa sawit.

Pada saat ini, perkebunan kelapa sawit telah berkembang lebih jauh sejalan

dengan kebutuhan dunia akan minyak nabati dan produk industri oleochemical.

Produk minyak sawit merupakan komponen penting dalam perdagangan minyak

nabati dunia.

Page 8: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

5

2.1.2. Iklim

Kelapa sawit tumbuh dengan baik pada dataran rendah di daerah tropis yang

beriklim basah, yaitu sepanjang garis khatulistiwa antara 23,5 0 lintang utara

sampai 23,5 0 lintang selatan. Adapun persyaratan untuk tumbuh pada tanaman

kelapa sawit sebagai berikut :

a. Curah hujan ≥ 2.000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun dengan

periode bulan kering (< 100 mm/bulan) tidak lebih dari 3 bulan.

b. Temperatur siang hari rata-rata 29-33 0C dan malam hari 22-24 0C.

c. Ketinggian tempat dari permukaan laut < 500 m.

d. Matahari bersinar sepanjang tahun, minimal 5 jam per hari.

Zona iklim yang sesuai untuk kelapa sawit dapat diklasifikasikan

berdasarkan kondisi pertumbuhan yang dikembangkan oleh FAO, yaitu pada

variabel temperatur dan periode pertumbuhan. Variabel temperatur mencakup 14

iklim utama yang digolongkan dalam 3 kelompok, yaitu tropis, subtropis, dan

temperate (Pahan, I. 2006).

Daerah Sumatera Barat berdasarkan letak geografisnya tepat dilalui oleh

garis Khatulistiwa (garis lintang nol derajat) tepatnya di Kecamatan Bonjol

Kabupaten Pasaman. Karena pengaruh letak ini pula, maka Propinsi Sumatera

Barat tergolong beriklim tropis dengan suhu udara dan kelembaban yang tinggi.

Ketinggian permukaan daratan Propinsi Sumatera Barat sangat bervariasi,

sebagian daerahnya berada pada daratan tinggi kecuali Kabupaten Pesisir Selatan,

Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman dan Kota

Padang.

Propinsi Sumatera Barat sama dengan propinsi lainnya di Indonesia

mempunyai musim penghujan biasanya sekitar bulan Nopember sampai Maret

dan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai September. Dan

diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba. Secara umum daerah

Sumatera Barat beriklim panas dengan suhu udara berkisar dari 22,6 0C sampai

Page 9: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

6

31,5 0C (BPS 2006). Oleh karena itu kelapa sawit sangat cocok tumbuh dan

berkembang dengan baik di daerah Sumatera Barat terutama pada daratan rendah.

2.1.3. Kesuburan Tanah

Istilah “kesuburan tanah” merupakan suatu sifat atau keadaan kompleks

yang harus diusahakan tetap optimum. Komponen kesuburan tanah mencakup

kedalaman solum tanah, struktur tanah, kandungan hara, kapasitas simpan,

kandungan humus, jumlah dan kegiatan (mikro) oraganisme tanah, dan

kandungan unsur beracun.

a. Kedalaman solum tanah, menunjukkan berapa volume tanah yang dapat

dilalui oleh sistem perakaran tanaman.

b. Struktur tanah, berdasarkan pada ukuran penyebaran dan pembentukan

agregat partikel. Hal ini menunjukkan penyebaran dan ukuran pori-pori

tanah yang penting dalam penyediaan air dan udara bagi akar.

c. Reaksi tanah, yang merupakan indikator dan pengatur proses kimia dalam

tanah.

d. Kandungan hara, dalam tingkat ketersediaan yang berbeda.

e. Kapasitas simpan (storage capacity), unsur hara terlarut, baik yang

berasal dari pupuk maupun dari dalam tanah.

f. Kandungan humus, dan kualitasnya (termasuk perbandingan dalam bentuk

yang dapat mengalami mineralisasi).

g. Jumlah dan kegiatan (mikro) organisme tanah, sebagai agen proses

transformasi dalam tanah.

h. Kandungan unsur beracun, baik yang alamiah (seperti garam pada daerah

pantai dan alumunium pada tanah masam) maupun limbah industri

(logam berat).

Tanah produktif yang kesuburan tanahnya tinggi, baik secara alamiah

dan/atau karena perbuatan manusia, terutama disebabkan karena adanya sifat-sifat

berikut :

a. Hara dalam tanah bersifat mobil dan mudah tersedia.

Page 10: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

7

b. Kemampuan tanah untuk merubah pupuk menjadi bentuk-bentuk yang

mudah tersedia.

c. Kemampuan tanah menyimpan hara yang terlarut dalam air tanah dari

proses pencucian.

d. Kemampuan tanah dalam memberikan keseimbangan persediaan hara

bagi tanaman secara alamiah.

e. Kemampuan tanah untuk menyimpan dan menyediakan air bagi tanaman.

f. Kemampuan memelihara aerasi tanah yang baik untuk menjamin

ketersediaan oksigen bagi akar.

g. Kemampuan tanah untuk tidak mengikat (memfiksasi) hara dan

mengubahnya menjadi bentuk-bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman.

Upaya pemanfaatan kesuburan tanah dalam konteks perkebunan kelapa

sawit harus memberikan jaminan produksi yang tinggi, konsisten, dan lestari.

Oleh sebab itu, pemeliharaan dan peningkatan kesuburan tanah (baca:

pemupukan) harus dilakukan untuk mengganti hara yang terangkut/hilang dalam

proses konversi menjadi produk akhir (TBS).

Perbedaan kesuburan yang besar di antara tipe dan subtipe tanah harus

diperhitungkan dalam rangka pemberian pupuk untuk memperbaiki tingkat

kesuburannya. Di Indonesia yang umumnya merupakan tanah tropika basah

(humid tropics soil), beberapa indikasi berikut ini dapat digunakan untuk

menyusun strategi pemupukan.

a. Sebagian tanah yang bereaksi masam (pH≤5,5) membutuhkan

pengapuran.

b. Ketersediaan P umumnya rendah atau terfiksasi. Penggunaan pupuk

posfat akan cukup esensial dan dapat dikombinasikan dengan

pengapuran, bila diperlukan

c. Pada daerah yang sangat basah, umumnya ketersediaan K, Mg, dan S

rendah sehingga kebutuhan pupuk bagi unsur hara tersebut cukup tinggi.

Page 11: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

8

d. Umumnya tanah mempunyai serapan (sorption) dan kapasitas simpan

unsur-hara-terlarut yang rendah sehingga aplikasi pupuk sebaiknya

dipisahkan dalam beberapa kali pemberian.

e. Umumnya ketersediaan N dalam tanah rendah dan bahan organik yang

dapat terurai sangat cepat mengalami mineralisasi (Pahan, I. 2006).

2.1.4. Lahan

Lahan adalah matriks tempat tanaman berada. Tanpa lahan, tanaman kelapa

sawit tidak akan eknomis untuk diusahakan secara komersial. Lahan yang optimal

untuk kelapa sawit harus mengacu pada 3 faktor, yaitu lingkungan, sifat fisik

lahan, dan sifat kimia tanah atau kesuburan tanah. Kecenderungan praktik

pertanian (perkebunan) yang semakin terdesak ke arah lahan yang “marjinal” dan

semakin menjauh dari daerah pemukiman tradisional menuntut pengembangan

teknlogi (baca: Rupiah) untuk mengatasi kondisi ke-marjinal-an lahan dan

pengembangan infrastruktur wilayah-baru tersebut. Dengan demikian,

pemanfaatan lahan selain mengacu pada konsep kelas kesesuaian lahan, juga

harus mempertimbangkan pengembangan infrastruktur (oleh pemerintah) di masa

yang akan datang (Pahan, I. 2006).

Menurut BPS (2006), kelapa sawit yang termasuk perkebunan besar di

Sumatera Barat memiliki luas lahan dengan total seluas 3159,976 km2. Luas lahan

terbesar kedua setelah perkebunan kecil di Sumatera Barat yang keseluruhan

lahannya terdapat pada kabupaten-kabupaten di Sumatera Barat kecuali Kab. Kep.

Mentawai dan Kab. Padang Pariaman. Lahan kelapa sawit terbesar terdapat di

Kab. Sawahlunto/Sijunjung seluas 726,81 km2.

2.2. Prospek Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar Alternatif

Bahan bakar fosil yang semakin menipis menyebabkan semakin tingginya

bahan bakar minyak (BBM). Sehingga para ilmuwan berusaha mengembangkan

energi alternatif yang lebih murah dan efisien. Para pakar yang terhimpun dalam

FBI (Forum Biodiesel Indonesia) mengembagkan energi alternatif dari minyak

nabati yang dikenal dengan Bahan Bakar Nabati (BBN).

Page 12: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

9

Kelapa sawit sebagai pengganti minyak tanah (biokerosin) dan pengganti

solar (biodiesel) dipilih menjadi salah satu BBN berdasarkan pemikiran bahwa

lahan yang dimiliki Indonesia masih cukup luas (59 juta Ha dikategorikan lahan

kritis), sinar matahari yang cukup sepanjang tahun, curah hujan terdistribusi

dengan baik, dan keanekaragaman tanaman yang dapat dijadikan bahan dasar

BBN. Pengembangan BBN ini juga dimungkinkan karena daerah kita masih

agraris, dan menggunakan teknologi rendah. Kalau energi alternatif ini

dikembangkan, tentu banyak manfaat yang bisa dipetik. Selain menghemat devisa

negara, juga meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan pemerataan

ekonomi (Padang Ekspres 2007).

2.3. Kriteria Untuk Pengusahaan Kelapa Sawit

2.3.1. Kriteria Keadaan Tanah Untuk Pengusahaan Kelapa Sawit

Kriteria keadaan tanah untuk pengusahaan kelapa sawit disajikan pada

Tabel 1. Mengacu pada konsep tersebut, lahan dinilai mempunyai prospek

ekonomis yang baik jika memenuhi seluruh kriteria “baik” pada Tabel 1. Setiap

berkurangnya kriteria “baik” pada lahan yang akan dibuka, berarti lebih banyak

input (baca: Rupiah) yang harus diberikan ke dalam sistem perkebunan tersebut.

Tentu saja sumberdaya lahan yang tergolong kelas I tersebut semakin lama akan

semakin berkurang karena dalam penggunaannya bersaing dengan tanaman

pangan, pengembangan wilayah perkotaan, dan kawasan industri.

Tabel 1. Kriteria keadaan tanah untuk pengusahaan kelapa sawit

Keadaan Tanah Kriteria Baik Kriteria Kurang

Baik

Kriteria Tidak

Baik

1. Lereng < 120 120-230 > 230

2. Kedalaman

solum tanah

> 75 cm 37,5-75 cm < 37,5 cm

3. Ketinggian

muka air tanah

< 75 cm 75-37,5 cm < 37,5 cm

4. Tekstur Lempung atau liat Lempung berpasir Pasir berlempung

Page 13: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

10

atau pasir

5. Struktur Perkembangan

kuat

Perkembangan

sedang

Perkembangan

lemah/masif

6. Konsistensi Gembur sampai

agak teguh

Teguh Sangat teguh

7. Permeabilitas Sedang Cepat atau lambat Sangat cepat atau

sangat lambat

8. Keasaman (pH) 4,0-6,0 3,2-4,0 < 3,2

9. Tebal gambut 0-60 cm 60-150 cm > 150 cm

*) Populasi 150 pohon/ha di Yangambi, Zaire (Ringoet dalam Ferwerda, 1977)

Klasifikasi wilayah untuk pengusahaan kelapa sawit mengacu pada Tabel 1. di

atas sebagai berikut :

a. Kelas I (baik) : wilayah dengan tanah yang mempunyai seluruh kriteria

baik

b. Kelas II (cukup baik) : wilayah dengan tanah yang mempunyai kriteria

baik dan ≤ 2 kriteria kurang baik.

c. Kelas III (kurang baik) : wilayah dengan tanah yang mempunyai kriteria

baik, 2-3 kriteria kurang baik, dan 1 kriteria tidak baik.

d. Kelas IV (tidak baik) : wilayah dengan tanah yang mempunyai > 2 kriteia

tidak baik.

2.3.2. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Pengusahaan Kelapa Sawit

Kriteria kesesuaian lahan mengacu pada keadaan tanah dan kondisi

agroklimat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria kesesuaian lahan untuk pengusahaan kelapa sawit

Unsur

Kemampuan

S1

(KL tinggi)

S2

(KL sedang)

S3

(KL terbatas)

N

(tidak sesuai)

Zone

agroklimat

A:9/2

B2:7-9/2-3 D1:3-4/2 D2:3-4/2-3

Page 14: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

11

(Oldeman) B1:7-9/2 C1:5-6/2 C2:5-6/2-3 D3:4-6/6

E1:3/2

E2:3/2-3

E3:3/4-6

Ketinggian

dari

permukaan air

laut

25-200 m 200-300 m 300-400 m < 25 m

> 400 m

Bentuk daerah

dan lereng

Datar-ombak Ombak-

gelombang

Gelombang-

bukit

Bukit-gunung

< 10%

(4,50)

10-22%

(4,5-100)

22-50%

(10-22,50)

> 50%

(>22,50)

Batuan di

permukaan

dan di dalam

tanah

< 10%

10-25% 22-50% > 50%

Kedalaman

solum tanah

> 100 cm 50-100 cm 25-50 cm < 25 cm

Kedalaman air

tanah

> 100 cm 50-100 cm 25-50 cm < 25 cm

Tekstur tanah Lempung

berdebu

Liat Liat berat Liat sangat

berat

Lempung

berpasir

Liat

berlempung

Pasir beliat Pasir kasar

Lempung liat Lempung

berpasir

Pasir berdebu

Liat berpasir Pasir

berlempung

Struktur tanah Remah kuat Remah sedang Gumpal

lemah

Tidak

berstruktur

Page 15: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

12

Gumpal

sedang

Gumpal

sedang

Masif

Konsistensi

tanah

Sangat

gembur

Gembur Teguh/keras Sangat teguh

Tidak lekat Agak lekat Lekat Sangat keras

Kelas

drainase

Sedang Agak cepat Cepat Sangat cepat

Agak lambat Lambat Sangat lambat

Tergenang

Erodibilitas Sangat rendah Rendah/sedang Agak tinggi Sangat tinggi

Kemasaman

tanah

5,0-6,0 4,0-4,9 3,5-3,9 < 3,5

(pH) 6,1-6,5 6,6-7,0 > 7,0

Kesuburan

tanah

Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah

(Pangudijatno, Panjaitan, dan Pamin; 1985)

Penggolongan kelas kesesuaian lahan pada Tabel 2. dibagi menjadi 4 kelas,

sebagai berikut.

a. Kelas S-1: Kesesuaian tinggi (highly suitable); potensi produksi > 24 ton

TBS/ha/tahun.

b. Kelas S-2: Kesesuaian sedang (moderately suitable); potensi produksi 19-

24 to n TBS/ha/tahun.

c. Kelas S-3: Kesesuaian terbatas (marginally suitable); potensi produksi

13-18 ton TBS/ha/tahun.

d. Kelas N: tidak sesuai (not suitable); potensi produksi < 12 ton

TBS/ha/tahun.

2.4. Tantangan dan Peluang Kelapa Sawit

Berdasarkan potensi yang dimiliki seharusnya Indonesia dapat menjadi

negara pemasok kebutuhan dunia untuk produk-produk berbasis agro dilihat dari

Page 16: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

13

aspek-aspek keragaman hayati, potensi produksi, keragaman produk olahan, dan

sikap Indonesia yang sangat akomodatif terhadap issue ramah lingkungan seperti

Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP).

Dilihat dari peluangnya pada umumnya permintaan terhadap produk-produk

berbasis agro cenderung meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan

peningkatan pendapatan. Selain juga adanya preferensi konsumen dunia untuk

kembali pada produk-produk alami (back to nature) menyebabkan permintaan

terus akan meningkat. Secara spesifik peluang ekspor produk-produk berbasis

agro yang dapat terus dikembangkan antara lain ; kelapa sawit dan olahannya.

Sejalan dengan meningkatnya permintaan dunia terhadap komoditi minyak

goreng, permintaan produk kelapa sawit juga meningkat. India, China, Uni Eropa,

Pakistan dan negara-negara Timur Tengah, serta Yunani, Uzbekistan dan negara-

negara Eropa lainnya merupakan pembeli potensial.

Permintaan (demand) terhadap minyak dan lemak meningkat 2,3 juta

ton/tahun, sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk dunia dan peningkatan

pendapatan. Selain itu berkembangnya pasar baru, terutama di China, Asia

Selatan dan Tengah. Potensi pengembangan industri hilir pengolahan minyak

sawit yang cukup besar, baik untuk pangan, non pangan maupun sumber energi

alternatif.

Kecenderungan makin meningkatnya perhatian terhadap masalah kesehatan

dan lingkungan serta sebagian besar industri pendukung (supplier) dalam

produksi CPO dan turunannya berasal dari Luar Negeri. Bahan baku untuk

memproduksi mesin, peralatan dan bahan penolong tersedia di dalam negeri serta

peluang kerjasama (joint venture) dengan kompetitor untuk melakukan investasi

di bidang teknologi dan pengolahan.

Indonesia saat ini merupakan produsen CPO terbesar dunia dengan produksi

CPO tahun 2006 mencapai 16 juta ton. Sebesar 4,8 juta ton (33%) diekspor dalam

bentuk CPO dan sisanya (67%) diolah didalam negeri menjadi, antara lain : inyak

goreng, margarine, stearin, dan oleo chemical.

Page 17: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

14

Sasaran pengembangan industri industri pengolahan CPO adalah

mengembangkan turunan industri oleokimia, meningkatkan pasar ekspor, serta

jangka panjang menjadikan Indonesia sebagai produsen turunan minyak kelapa

sawit terbesar di dunia. Guna mencapai hal tersebut maka rencana aksi yang akan

dilakukan antara lain adalah mempromosikan diversifikasi produk hilir CPO dari

17 mencapai 30 jenis untuk bahan pangan dan non pangan, mendorong

peningkatan pasokan CPO untuk minyak goreng sawit dan oleokimia dalam

negeri (Idris, F. 2007).

2.5. Biodiesel sebagai Bahan Bakar Alternatif

Bahan bakar alternatif yang akan ditinjau adalah minyak-minyak nabati

yang diolah dari minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) dan minyak goreng

(refined bleached and deodorized palm oil, RBDPO) menjadi biodiesel.

Biodiesel yang berupa metil ester atau etil ester mempunyai sifat-sifat yang

baik sebagai pengganti bahan bakar diesel konvensional. Pengolahan biodiesel

dapat dilakukan dengan proses esterifikasi dan transesterifikasi. Biodiesel yang

diolah dari CPO harus melalui dua tahapan proses, yaitu proses esterifikasi dan

kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi, sedangkan biodiesel yang

diolah dari RBDPO dapat dilakukan hanya dengan proses transesterifikasi.

Esterifikasi adalah proses pembuatan ester dari asam karboksilat (CPO) dan

alkohol dengan katalis asam (H2SO4). Ester adalah turunan asam karboksilat yang

gugus –OH dari karboksilatnya diganti dengan gugus –OR dari alkohol. Ester

dapat berikatan hidrogen dengan air, sehingga dalam pengolahan biodiesel air

harus dihilangkan.

Transesterifikasi adalah proses pengubahan ester dari ester dalam bentuk

lain dengan mereaksikan ester karboksilat dan alkohol dengan katalis basa

(NaOH), dalam pengolahan biodiesel proses transesterifikasi merupakan proses

pengubahan trigliserida dari CPO atau RBDPO menjadi metil atau etil ester

sebagai biodiesel (Hanif 2006).

Page 18: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

15

III. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Biodiesel lebih hemat daripada bahan bakar minyak. Biodiesel-CPO

mempunyai sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan biodiesel-RBDPO sebagai

bahan bakar alternatif. Penggunaan biodiesel-CPO relatif lebih hemat energi

dibandingkan biodiesel-RBDPO.

3.2. Saran

Perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia khususnya

Sumatera Barat memiliki peluang yang besar dengan luas lahan dan potensi

kelapa sawit yang begitu besar. Oleh karena itu sangat disarankan untuk

menggunakan kelapa sawit sebagai sumber bahan bakar alternatif.

Page 19: Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

16

DAFTAR PUSTAKA

Agustar, A. 2003. Perspektif Teori Perencanaan Partisipatif Dalam Pengelolaan Lingkungan. Makalah. Padang.

Badan Pusat Statistik. 2006. Sumatera Barat Dalam Angka. Sumbar.

Hanif. 2003. Pemanfaatan Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO) dan Minyak Goreng (RBDPO) sebagai Biodiesel untuk Bahan Bakar Alternatif pada Motor Diesel [Tesis]. Program Pascasarjana. ITB. Bandung.

Idris, F. 2007. Kebijakan Pembangunan Industri Berbasis Agro. Departemen Perindustrian. Makalah. Padang.

Padang Ekspres. 2007. Teknologi Terapan. Padang.

Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta.