Upload
marshall-moehammad
View
44
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
DFGDFFGD
Citation preview
Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan: Suatu Tinjauan Dari Perspektif
Penggunaan Sumberdaya Alam
Oleh :
YUDHISTIRA, S. Hut
BP. 06209004
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2007
i
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
makalah ini ialah pembangunan pertanian subsektor perkebunan khususnya kelapa
sawit dari perspektif sistem pertanian yang berkelanjutan, dengan judul Usaha
Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan:
Suatu Tinjauan Dari Perspektif Penggunaan Sumberdaya Alam.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir Asdi Agustar, M.Sc dan
Bapak Prof. Dr. Ir. Helmi, M.Sc selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada teman sejawat Bapak Murtamin, SP dan Ibu Elfa Yeni,
S. TP yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga makalah ini bermanfaat.
Padang, Mei 2007
Yudhistira, S. Hut
ii
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................... 2
1.3. Tujuan........................................................................................... 2
II. PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
2.1. Potensi Kelapa Sawit..................................................................... 3
2.2. Prospek Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar Alternatif.................. 8
2.3. Kriteria Untuk Pengusahaan Kelapa Sawit .................................... 9
2.4. Tantangan dan Peluang Kelapa Sawit............................................ 12
2.5. Biodiesel sebagai Bahan Bakar Alternatif...................................... 14
III. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 15
3.1. Kesimpulan................................................................................... 15
3.2. Saran............................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 16
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peranan perkebunan besar sebagai lokomotif perkembangan subsektor
perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah terbukti dengan luas areal Perkebunan
Besar Swasta Nasional (PBSN) tahun 2003 yang telah mencapai 52,78% dari luas
perkebunan kelapa sawit Indonesia, sedangkan luas perkebunan negara (PTPN)
dan rakyat, berturut-turut yaitu 12,33% dan 34,89%. Pada masa-masa mendatang
diperkirakan kontribusi PBSN akan semakin dominan, sejalan dengan
peningkatan daya saing produk yang dihasilkan.
Pengembangan PBSN kelapa sawit yang pesat dalam dekade 1985-2005
merupakan proses yang kompleks dan bersinggungan dengan banyak
kepentingan, baik dari sisi pengusaha, pemerintah, maupun rakyat secara totalitas.
Produk akhir yang dapat dikaji secara empiris yaitu meningkatnya luas lahan
perkebunan (kelapa sawit) Indonesia.
Salah satu usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia terdapat di daerah
Sumatera Barat. Dengan luas tanaman kelapa sawit seluas 126.886 ha dan
produksi kelapa sawit pada perkebunan besar swasta di Sumatera Barat tahun
2005 sebesar 362.496 ton lebih besar daripada luas PNP/PTP di Sumatera Barat
yaitu 7.220 ha dengan produksi sebesar 23.402 ton. Hal ini menjadi salah satu
potensi tanaman perkebunan terbesar di Sumatera Barat dibandingkan dengan
jenis tanaman lainnya.
Konsep pengembangan perkebunan yang sukses seyogyanya mengacu
pada beberapa faktor-sukses-kunci, salah satunya yaitu aspek bahan tanaman.
Perkebunan kelapa sawit merupakan jenis usaha jangka panjang. Investasi yang
sebenarnya bagi perkebunan komersil berada pada bahan tanaman (benih) yang
akan ditanam karena merupakan sumber keuntungan perusahaan kelak.
2
1.2. Rumusan Masalah
Dengan berkurangnya sumber bahan bakar minyak di dunia maka Negara
Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor minyak mentah juga ikut
bertanggung jawab mencari solusi dengan cara mencari bahan bakar alternatif.
Bahan bakar nabati menjadi salah satu sumber bahan bakar alternatif. Jika ditinjau
dari dimensi sumberdaya alam, luas lahan beserta potensi kelapa sawit termasuk
yang terbesar di Indonesia khususnya di Sumatera Barat. Dari persoalan tersebut
diperlukan kajian mengenai; (1). Seberapa besar analisa bahan bakar minyak
dibandingkan dengan bahan bakar nabati (biodiesel) yang terdapat pada kelapa
sawit bila ditinjau dari aspek lingkungan.
1.3. Tujuan
1. Menganalisa bahan bakar minyak dibandingkan dengan bahan bakar nabati
(biodiesel) yang terdapat pada kelapa sawit bila ditinjau dari aspek
lingkungan.
3
II. PEMBAHASAN
2.1. Potensi Kelapa Sawit
2.1.1. Penyebaran Kelapa Sawit
Kelapa sawit (E. guineensis) diusahakan secara komersial di Afrika,
Amerika selatan, Asia tenggara, Pasifik selatan, serta beberapa daerah lain dengan
skala lebih kecil. Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika dan Amerika selatan,
tepatnya Brasilia. Di brasilia, tanaman ini dapat ditemukan tumbuh secara liar
atau setengah liar di sepanjang tepi sungai. Kelapa sawit yang termasuk dalam
subfamili Cocoideae merupakan tanaman asli Afrika. Zeven (1965) dalam Pahan,
I. (2006) memastikan asal E. guineensis berdasarkan hasil deskripsi para ahli
botani sebelumnya dan para penjelajah di benua Afrika. Nama-nama kelapa sawit
dalam bahasa daerah di kedua sisi lautan atlantik mengacu pada nama Afrika.
Secara linguistik, nama kelapa sawit di Suriname merupakan perubahan dari
kata Afrika Yoruba, Fanti-twi dan Kikongo. Sementara nama di Brasilia, Dende
kemungkinan merupakan perubahan dari kata Ndende di Kimbudu, Angola.
Selain itu, asal tanaman ini juga diperkuat dengan penemuan fosil tepung sari dari
kali Miosen di delta Nigeria yang bentuknya sangat mirip dengan tepung sari
kelapa sawit sekarang. Spesies-spesies liar yang ada di Amerika diasumsikan
keluar dari Afrika mengikuti perjalanan manusia pada masa prasejarah.
Kelapa sawit Afrika diklasifikasikan oleh Jacquin (1763) sebagai E.
guineensis dengan jumlah kromosom n = 16 atau 2n = 8A + 24C. Spesies kelapa
sawit Amerika selatan mula-mula dinamakan E. melancocca, tetapi diganti oleh
Bailey (1940) menjadi Corozo oleifera. Atas pertimbangan bahwa spesies ini
dapat dihilangkan dengan E. guineensis, Wessels-Boer (1965) menggolongkannya
sebagai genus Elaeis dan namanya diganti menjadi E. oleifera.Wessels-Boer
(1965) juga menambahkan spesies yang ketiga pada genus Elaeis, yaitu: E. odora
(dulu dikenal dengan Barcella odora). spesies ini berbeda dengan kedua Elaeis
lainnya karena mempunyai infloresens biseksual, yaitu bunga betina pada dasar
spikelet yang terbawah dan bunga jantan di atasnya. Uniknya, hal ini kadang-
4
kadang juga ditemui pada E. guineensis dan E. oleifera dan dikenal sebagai gejala
abnormal (Pahan, I. 2006).
Kelapa sawit Afrika telah berhasil didomestikasikan di Afrika barat pada
sekitar abad ke-16 dan ke-17 atau jauh pada periode sebelumnya. Senyawa kimia
yang serupa dengan minyak sawit telah ditemukan pada makam-makam orang
Mesir pada tahun 3000 sebelum masehi.
Perkembangan industri kelapa sawit telah dipaparkan secara jelas oleh
Hartley (1988). Ekspor minyak dan inti sawit dari Afrika dimulai pada abad ke-
19. Pada masa itu, sumber minyak hanya berasal dari tanaman kelapa sawit yang
tumbuh liar dan minyak masih diekstrak dengan cara yang sederhana dan tidak
efisien. dari liar ini akhirnya berkembang menjadi perkebunan rakyat. Perkebunan
bersar yang pertama mulai berkembang di Sumatera dan Malaysia pada awal abad
ke-19, kemudian diikuti oleh Congo Belgia (sekarang Zaire) dan negara-negara
Afrika Barat lainnya pada tahun 1920-an (Pahan, I. 2006).
Kelapa sawit pertama kali diintroduksikan ke Indonesia oleh pemerintah
kolonial Belanda pada tahun 1848, tepatnya di Kebun Raya Bogor. Pada tahun
1876, Sir Yoseph Hooker mencoba menanam 700 bibit kelapa sawit di Labuhan
Deli, Sumatera Utara. Sayangnya, 10 tahun kemudian, tanaman yang benihnya
dibawa dari Kebun Raya Kew (London) ini ditebang habis dan diganti dengan
tanaman kelapa. Sesudah tahun 1911, K. schadt- seorang berkebangsaan Jerman
dan M.Adrien Hallet berkebangsaan Belgia- mulai mempelopori budi daya
tanaman kelapa sawit. Schadt mendirikan perusahaan perkebunan kelapa sawit di
Tanah Ulu (Deli), sedangkan Hallet mendirikan perkebunan di daerah Pulau Raja
(Asahan) dan Sungai Liput (Aceh). sejak itulah, mulai dibuka perkebunan-
perkebunan baru. Pada tahun 1938, di Sumatera diperkirakan sudah ada 90.000 ha
perkebunan kelapa sawit.
Pada saat ini, perkebunan kelapa sawit telah berkembang lebih jauh sejalan
dengan kebutuhan dunia akan minyak nabati dan produk industri oleochemical.
Produk minyak sawit merupakan komponen penting dalam perdagangan minyak
nabati dunia.
5
2.1.2. Iklim
Kelapa sawit tumbuh dengan baik pada dataran rendah di daerah tropis yang
beriklim basah, yaitu sepanjang garis khatulistiwa antara 23,5 0 lintang utara
sampai 23,5 0 lintang selatan. Adapun persyaratan untuk tumbuh pada tanaman
kelapa sawit sebagai berikut :
a. Curah hujan ≥ 2.000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun dengan
periode bulan kering (< 100 mm/bulan) tidak lebih dari 3 bulan.
b. Temperatur siang hari rata-rata 29-33 0C dan malam hari 22-24 0C.
c. Ketinggian tempat dari permukaan laut < 500 m.
d. Matahari bersinar sepanjang tahun, minimal 5 jam per hari.
Zona iklim yang sesuai untuk kelapa sawit dapat diklasifikasikan
berdasarkan kondisi pertumbuhan yang dikembangkan oleh FAO, yaitu pada
variabel temperatur dan periode pertumbuhan. Variabel temperatur mencakup 14
iklim utama yang digolongkan dalam 3 kelompok, yaitu tropis, subtropis, dan
temperate (Pahan, I. 2006).
Daerah Sumatera Barat berdasarkan letak geografisnya tepat dilalui oleh
garis Khatulistiwa (garis lintang nol derajat) tepatnya di Kecamatan Bonjol
Kabupaten Pasaman. Karena pengaruh letak ini pula, maka Propinsi Sumatera
Barat tergolong beriklim tropis dengan suhu udara dan kelembaban yang tinggi.
Ketinggian permukaan daratan Propinsi Sumatera Barat sangat bervariasi,
sebagian daerahnya berada pada daratan tinggi kecuali Kabupaten Pesisir Selatan,
Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman dan Kota
Padang.
Propinsi Sumatera Barat sama dengan propinsi lainnya di Indonesia
mempunyai musim penghujan biasanya sekitar bulan Nopember sampai Maret
dan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai September. Dan
diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba. Secara umum daerah
Sumatera Barat beriklim panas dengan suhu udara berkisar dari 22,6 0C sampai
6
31,5 0C (BPS 2006). Oleh karena itu kelapa sawit sangat cocok tumbuh dan
berkembang dengan baik di daerah Sumatera Barat terutama pada daratan rendah.
2.1.3. Kesuburan Tanah
Istilah “kesuburan tanah” merupakan suatu sifat atau keadaan kompleks
yang harus diusahakan tetap optimum. Komponen kesuburan tanah mencakup
kedalaman solum tanah, struktur tanah, kandungan hara, kapasitas simpan,
kandungan humus, jumlah dan kegiatan (mikro) oraganisme tanah, dan
kandungan unsur beracun.
a. Kedalaman solum tanah, menunjukkan berapa volume tanah yang dapat
dilalui oleh sistem perakaran tanaman.
b. Struktur tanah, berdasarkan pada ukuran penyebaran dan pembentukan
agregat partikel. Hal ini menunjukkan penyebaran dan ukuran pori-pori
tanah yang penting dalam penyediaan air dan udara bagi akar.
c. Reaksi tanah, yang merupakan indikator dan pengatur proses kimia dalam
tanah.
d. Kandungan hara, dalam tingkat ketersediaan yang berbeda.
e. Kapasitas simpan (storage capacity), unsur hara terlarut, baik yang
berasal dari pupuk maupun dari dalam tanah.
f. Kandungan humus, dan kualitasnya (termasuk perbandingan dalam bentuk
yang dapat mengalami mineralisasi).
g. Jumlah dan kegiatan (mikro) organisme tanah, sebagai agen proses
transformasi dalam tanah.
h. Kandungan unsur beracun, baik yang alamiah (seperti garam pada daerah
pantai dan alumunium pada tanah masam) maupun limbah industri
(logam berat).
Tanah produktif yang kesuburan tanahnya tinggi, baik secara alamiah
dan/atau karena perbuatan manusia, terutama disebabkan karena adanya sifat-sifat
berikut :
a. Hara dalam tanah bersifat mobil dan mudah tersedia.
7
b. Kemampuan tanah untuk merubah pupuk menjadi bentuk-bentuk yang
mudah tersedia.
c. Kemampuan tanah menyimpan hara yang terlarut dalam air tanah dari
proses pencucian.
d. Kemampuan tanah dalam memberikan keseimbangan persediaan hara
bagi tanaman secara alamiah.
e. Kemampuan tanah untuk menyimpan dan menyediakan air bagi tanaman.
f. Kemampuan memelihara aerasi tanah yang baik untuk menjamin
ketersediaan oksigen bagi akar.
g. Kemampuan tanah untuk tidak mengikat (memfiksasi) hara dan
mengubahnya menjadi bentuk-bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman.
Upaya pemanfaatan kesuburan tanah dalam konteks perkebunan kelapa
sawit harus memberikan jaminan produksi yang tinggi, konsisten, dan lestari.
Oleh sebab itu, pemeliharaan dan peningkatan kesuburan tanah (baca:
pemupukan) harus dilakukan untuk mengganti hara yang terangkut/hilang dalam
proses konversi menjadi produk akhir (TBS).
Perbedaan kesuburan yang besar di antara tipe dan subtipe tanah harus
diperhitungkan dalam rangka pemberian pupuk untuk memperbaiki tingkat
kesuburannya. Di Indonesia yang umumnya merupakan tanah tropika basah
(humid tropics soil), beberapa indikasi berikut ini dapat digunakan untuk
menyusun strategi pemupukan.
a. Sebagian tanah yang bereaksi masam (pH≤5,5) membutuhkan
pengapuran.
b. Ketersediaan P umumnya rendah atau terfiksasi. Penggunaan pupuk
posfat akan cukup esensial dan dapat dikombinasikan dengan
pengapuran, bila diperlukan
c. Pada daerah yang sangat basah, umumnya ketersediaan K, Mg, dan S
rendah sehingga kebutuhan pupuk bagi unsur hara tersebut cukup tinggi.
8
d. Umumnya tanah mempunyai serapan (sorption) dan kapasitas simpan
unsur-hara-terlarut yang rendah sehingga aplikasi pupuk sebaiknya
dipisahkan dalam beberapa kali pemberian.
e. Umumnya ketersediaan N dalam tanah rendah dan bahan organik yang
dapat terurai sangat cepat mengalami mineralisasi (Pahan, I. 2006).
2.1.4. Lahan
Lahan adalah matriks tempat tanaman berada. Tanpa lahan, tanaman kelapa
sawit tidak akan eknomis untuk diusahakan secara komersial. Lahan yang optimal
untuk kelapa sawit harus mengacu pada 3 faktor, yaitu lingkungan, sifat fisik
lahan, dan sifat kimia tanah atau kesuburan tanah. Kecenderungan praktik
pertanian (perkebunan) yang semakin terdesak ke arah lahan yang “marjinal” dan
semakin menjauh dari daerah pemukiman tradisional menuntut pengembangan
teknlogi (baca: Rupiah) untuk mengatasi kondisi ke-marjinal-an lahan dan
pengembangan infrastruktur wilayah-baru tersebut. Dengan demikian,
pemanfaatan lahan selain mengacu pada konsep kelas kesesuaian lahan, juga
harus mempertimbangkan pengembangan infrastruktur (oleh pemerintah) di masa
yang akan datang (Pahan, I. 2006).
Menurut BPS (2006), kelapa sawit yang termasuk perkebunan besar di
Sumatera Barat memiliki luas lahan dengan total seluas 3159,976 km2. Luas lahan
terbesar kedua setelah perkebunan kecil di Sumatera Barat yang keseluruhan
lahannya terdapat pada kabupaten-kabupaten di Sumatera Barat kecuali Kab. Kep.
Mentawai dan Kab. Padang Pariaman. Lahan kelapa sawit terbesar terdapat di
Kab. Sawahlunto/Sijunjung seluas 726,81 km2.
2.2. Prospek Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar Alternatif
Bahan bakar fosil yang semakin menipis menyebabkan semakin tingginya
bahan bakar minyak (BBM). Sehingga para ilmuwan berusaha mengembangkan
energi alternatif yang lebih murah dan efisien. Para pakar yang terhimpun dalam
FBI (Forum Biodiesel Indonesia) mengembagkan energi alternatif dari minyak
nabati yang dikenal dengan Bahan Bakar Nabati (BBN).
9
Kelapa sawit sebagai pengganti minyak tanah (biokerosin) dan pengganti
solar (biodiesel) dipilih menjadi salah satu BBN berdasarkan pemikiran bahwa
lahan yang dimiliki Indonesia masih cukup luas (59 juta Ha dikategorikan lahan
kritis), sinar matahari yang cukup sepanjang tahun, curah hujan terdistribusi
dengan baik, dan keanekaragaman tanaman yang dapat dijadikan bahan dasar
BBN. Pengembangan BBN ini juga dimungkinkan karena daerah kita masih
agraris, dan menggunakan teknologi rendah. Kalau energi alternatif ini
dikembangkan, tentu banyak manfaat yang bisa dipetik. Selain menghemat devisa
negara, juga meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan pemerataan
ekonomi (Padang Ekspres 2007).
2.3. Kriteria Untuk Pengusahaan Kelapa Sawit
2.3.1. Kriteria Keadaan Tanah Untuk Pengusahaan Kelapa Sawit
Kriteria keadaan tanah untuk pengusahaan kelapa sawit disajikan pada
Tabel 1. Mengacu pada konsep tersebut, lahan dinilai mempunyai prospek
ekonomis yang baik jika memenuhi seluruh kriteria “baik” pada Tabel 1. Setiap
berkurangnya kriteria “baik” pada lahan yang akan dibuka, berarti lebih banyak
input (baca: Rupiah) yang harus diberikan ke dalam sistem perkebunan tersebut.
Tentu saja sumberdaya lahan yang tergolong kelas I tersebut semakin lama akan
semakin berkurang karena dalam penggunaannya bersaing dengan tanaman
pangan, pengembangan wilayah perkotaan, dan kawasan industri.
Tabel 1. Kriteria keadaan tanah untuk pengusahaan kelapa sawit
Keadaan Tanah Kriteria Baik Kriteria Kurang
Baik
Kriteria Tidak
Baik
1. Lereng < 120 120-230 > 230
2. Kedalaman
solum tanah
> 75 cm 37,5-75 cm < 37,5 cm
3. Ketinggian
muka air tanah
< 75 cm 75-37,5 cm < 37,5 cm
4. Tekstur Lempung atau liat Lempung berpasir Pasir berlempung
10
atau pasir
5. Struktur Perkembangan
kuat
Perkembangan
sedang
Perkembangan
lemah/masif
6. Konsistensi Gembur sampai
agak teguh
Teguh Sangat teguh
7. Permeabilitas Sedang Cepat atau lambat Sangat cepat atau
sangat lambat
8. Keasaman (pH) 4,0-6,0 3,2-4,0 < 3,2
9. Tebal gambut 0-60 cm 60-150 cm > 150 cm
*) Populasi 150 pohon/ha di Yangambi, Zaire (Ringoet dalam Ferwerda, 1977)
Klasifikasi wilayah untuk pengusahaan kelapa sawit mengacu pada Tabel 1. di
atas sebagai berikut :
a. Kelas I (baik) : wilayah dengan tanah yang mempunyai seluruh kriteria
baik
b. Kelas II (cukup baik) : wilayah dengan tanah yang mempunyai kriteria
baik dan ≤ 2 kriteria kurang baik.
c. Kelas III (kurang baik) : wilayah dengan tanah yang mempunyai kriteria
baik, 2-3 kriteria kurang baik, dan 1 kriteria tidak baik.
d. Kelas IV (tidak baik) : wilayah dengan tanah yang mempunyai > 2 kriteia
tidak baik.
2.3.2. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Pengusahaan Kelapa Sawit
Kriteria kesesuaian lahan mengacu pada keadaan tanah dan kondisi
agroklimat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria kesesuaian lahan untuk pengusahaan kelapa sawit
Unsur
Kemampuan
S1
(KL tinggi)
S2
(KL sedang)
S3
(KL terbatas)
N
(tidak sesuai)
Zone
agroklimat
A:9/2
B2:7-9/2-3 D1:3-4/2 D2:3-4/2-3
11
(Oldeman) B1:7-9/2 C1:5-6/2 C2:5-6/2-3 D3:4-6/6
E1:3/2
E2:3/2-3
E3:3/4-6
Ketinggian
dari
permukaan air
laut
25-200 m 200-300 m 300-400 m < 25 m
> 400 m
Bentuk daerah
dan lereng
Datar-ombak Ombak-
gelombang
Gelombang-
bukit
Bukit-gunung
< 10%
(4,50)
10-22%
(4,5-100)
22-50%
(10-22,50)
> 50%
(>22,50)
Batuan di
permukaan
dan di dalam
tanah
< 10%
10-25% 22-50% > 50%
Kedalaman
solum tanah
> 100 cm 50-100 cm 25-50 cm < 25 cm
Kedalaman air
tanah
> 100 cm 50-100 cm 25-50 cm < 25 cm
Tekstur tanah Lempung
berdebu
Liat Liat berat Liat sangat
berat
Lempung
berpasir
Liat
berlempung
Pasir beliat Pasir kasar
Lempung liat Lempung
berpasir
Pasir berdebu
Liat berpasir Pasir
berlempung
Struktur tanah Remah kuat Remah sedang Gumpal
lemah
Tidak
berstruktur
12
Gumpal
sedang
Gumpal
sedang
Masif
Konsistensi
tanah
Sangat
gembur
Gembur Teguh/keras Sangat teguh
Tidak lekat Agak lekat Lekat Sangat keras
Kelas
drainase
Sedang Agak cepat Cepat Sangat cepat
Agak lambat Lambat Sangat lambat
Tergenang
Erodibilitas Sangat rendah Rendah/sedang Agak tinggi Sangat tinggi
Kemasaman
tanah
5,0-6,0 4,0-4,9 3,5-3,9 < 3,5
(pH) 6,1-6,5 6,6-7,0 > 7,0
Kesuburan
tanah
Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
(Pangudijatno, Panjaitan, dan Pamin; 1985)
Penggolongan kelas kesesuaian lahan pada Tabel 2. dibagi menjadi 4 kelas,
sebagai berikut.
a. Kelas S-1: Kesesuaian tinggi (highly suitable); potensi produksi > 24 ton
TBS/ha/tahun.
b. Kelas S-2: Kesesuaian sedang (moderately suitable); potensi produksi 19-
24 to n TBS/ha/tahun.
c. Kelas S-3: Kesesuaian terbatas (marginally suitable); potensi produksi
13-18 ton TBS/ha/tahun.
d. Kelas N: tidak sesuai (not suitable); potensi produksi < 12 ton
TBS/ha/tahun.
2.4. Tantangan dan Peluang Kelapa Sawit
Berdasarkan potensi yang dimiliki seharusnya Indonesia dapat menjadi
negara pemasok kebutuhan dunia untuk produk-produk berbasis agro dilihat dari
13
aspek-aspek keragaman hayati, potensi produksi, keragaman produk olahan, dan
sikap Indonesia yang sangat akomodatif terhadap issue ramah lingkungan seperti
Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP).
Dilihat dari peluangnya pada umumnya permintaan terhadap produk-produk
berbasis agro cenderung meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan
peningkatan pendapatan. Selain juga adanya preferensi konsumen dunia untuk
kembali pada produk-produk alami (back to nature) menyebabkan permintaan
terus akan meningkat. Secara spesifik peluang ekspor produk-produk berbasis
agro yang dapat terus dikembangkan antara lain ; kelapa sawit dan olahannya.
Sejalan dengan meningkatnya permintaan dunia terhadap komoditi minyak
goreng, permintaan produk kelapa sawit juga meningkat. India, China, Uni Eropa,
Pakistan dan negara-negara Timur Tengah, serta Yunani, Uzbekistan dan negara-
negara Eropa lainnya merupakan pembeli potensial.
Permintaan (demand) terhadap minyak dan lemak meningkat 2,3 juta
ton/tahun, sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk dunia dan peningkatan
pendapatan. Selain itu berkembangnya pasar baru, terutama di China, Asia
Selatan dan Tengah. Potensi pengembangan industri hilir pengolahan minyak
sawit yang cukup besar, baik untuk pangan, non pangan maupun sumber energi
alternatif.
Kecenderungan makin meningkatnya perhatian terhadap masalah kesehatan
dan lingkungan serta sebagian besar industri pendukung (supplier) dalam
produksi CPO dan turunannya berasal dari Luar Negeri. Bahan baku untuk
memproduksi mesin, peralatan dan bahan penolong tersedia di dalam negeri serta
peluang kerjasama (joint venture) dengan kompetitor untuk melakukan investasi
di bidang teknologi dan pengolahan.
Indonesia saat ini merupakan produsen CPO terbesar dunia dengan produksi
CPO tahun 2006 mencapai 16 juta ton. Sebesar 4,8 juta ton (33%) diekspor dalam
bentuk CPO dan sisanya (67%) diolah didalam negeri menjadi, antara lain : inyak
goreng, margarine, stearin, dan oleo chemical.
14
Sasaran pengembangan industri industri pengolahan CPO adalah
mengembangkan turunan industri oleokimia, meningkatkan pasar ekspor, serta
jangka panjang menjadikan Indonesia sebagai produsen turunan minyak kelapa
sawit terbesar di dunia. Guna mencapai hal tersebut maka rencana aksi yang akan
dilakukan antara lain adalah mempromosikan diversifikasi produk hilir CPO dari
17 mencapai 30 jenis untuk bahan pangan dan non pangan, mendorong
peningkatan pasokan CPO untuk minyak goreng sawit dan oleokimia dalam
negeri (Idris, F. 2007).
2.5. Biodiesel sebagai Bahan Bakar Alternatif
Bahan bakar alternatif yang akan ditinjau adalah minyak-minyak nabati
yang diolah dari minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) dan minyak goreng
(refined bleached and deodorized palm oil, RBDPO) menjadi biodiesel.
Biodiesel yang berupa metil ester atau etil ester mempunyai sifat-sifat yang
baik sebagai pengganti bahan bakar diesel konvensional. Pengolahan biodiesel
dapat dilakukan dengan proses esterifikasi dan transesterifikasi. Biodiesel yang
diolah dari CPO harus melalui dua tahapan proses, yaitu proses esterifikasi dan
kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi, sedangkan biodiesel yang
diolah dari RBDPO dapat dilakukan hanya dengan proses transesterifikasi.
Esterifikasi adalah proses pembuatan ester dari asam karboksilat (CPO) dan
alkohol dengan katalis asam (H2SO4). Ester adalah turunan asam karboksilat yang
gugus –OH dari karboksilatnya diganti dengan gugus –OR dari alkohol. Ester
dapat berikatan hidrogen dengan air, sehingga dalam pengolahan biodiesel air
harus dihilangkan.
Transesterifikasi adalah proses pengubahan ester dari ester dalam bentuk
lain dengan mereaksikan ester karboksilat dan alkohol dengan katalis basa
(NaOH), dalam pengolahan biodiesel proses transesterifikasi merupakan proses
pengubahan trigliserida dari CPO atau RBDPO menjadi metil atau etil ester
sebagai biodiesel (Hanif 2006).
15
III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Biodiesel lebih hemat daripada bahan bakar minyak. Biodiesel-CPO
mempunyai sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan biodiesel-RBDPO sebagai
bahan bakar alternatif. Penggunaan biodiesel-CPO relatif lebih hemat energi
dibandingkan biodiesel-RBDPO.
3.2. Saran
Perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia khususnya
Sumatera Barat memiliki peluang yang besar dengan luas lahan dan potensi
kelapa sawit yang begitu besar. Oleh karena itu sangat disarankan untuk
menggunakan kelapa sawit sebagai sumber bahan bakar alternatif.
16
DAFTAR PUSTAKA
Agustar, A. 2003. Perspektif Teori Perencanaan Partisipatif Dalam Pengelolaan Lingkungan. Makalah. Padang.
Badan Pusat Statistik. 2006. Sumatera Barat Dalam Angka. Sumbar.
Hanif. 2003. Pemanfaatan Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO) dan Minyak Goreng (RBDPO) sebagai Biodiesel untuk Bahan Bakar Alternatif pada Motor Diesel [Tesis]. Program Pascasarjana. ITB. Bandung.
Idris, F. 2007. Kebijakan Pembangunan Industri Berbasis Agro. Departemen Perindustrian. Makalah. Padang.
Padang Ekspres. 2007. Teknologi Terapan. Padang.
Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta.