15
136 Jurnal Administrasi Publik (Public Admnistration Journal), 9 (2) Desember 2019 ISSN 2088-527X (Print) ISSN 2548-7787 (Online), DOI: http://dx.doi.org/10.31289/jap.v9i2.2655 Jurnal Administrasi Publik (Public Administration Journal) Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/jap Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam Membangun Birokrasi yang Transparan dan Akuntabel The Urgency of the Implementation of the Cashless Government System in Building a Transparent and Accountable Bureaucracy Paramita Nur Kurniati*, Bernardus Yuliarto Nugroho** Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Indonesia Diterima: 18 Juni 2019; Disetujui: 16 November 2019; Dipublish: 01 Desember 2019 *email:[email protected]; **email : [email protected] Abstrak Tuntutan masyarakat terhadap birokrasi yang transparan dan akuntabel serta kondisi lingkungan yang semakin dinamis mendorong Pemerintah untuk melaksanakan sistem cashless government dalam rangka modernisasi pengelolaan keuangan negara. Sistem cashless government dianggap sebagai bagian dari inovasi dalam tata kelola pemerintahan dalam rangka mendorong upaya reformasi administrasi sektor publik. Terlepas dari pro dan kontra yang timbul saat ini, kebijakan cashless government dalam belanja Pemerintah diharapkan dapat menjadi langkah strategis pengelolaan anggaran yang sesuai dengan prinsip fleksibel, aman, efektif dan akuntabel. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk (1) menjelaskan kondisi pelaksanaan transaksi Pemerintah saat ini, (2) mengetahui secara mendalam konsep cashless government, dan (3) mengelaborasi urgensi pelaksanaan sistem cashless government di Indonesia. Studi literatur dalam tulisan ini menunjukkan bahwa masih terdapat kelemahan dan potensi korupsi yang ditimbulkan dari banyaknya transaksi Pemerintah yang dilakukan secara tunai. Penting untuk menciptakan kebutuhan mendesak atau menumbuhkan rasa urgensi atas perlunya suatu perubahan dalam organisasi sektor publik dan dengan segera mentransformasikan dirinya menjadi birokrasi yang dinamis dalam menghadapi tantangan zaman. Sistem cashless government diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan Negara serta meminimalkan terjadinya tindak korupsi. Dalam konteks yang lebih luas, sistem tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kata Kunci: Sistem Cashless Government, Good governance, Pengelolaan Keuangan Negara, Reformasi Administrasi. Abstract Public demands for transparent and accountable bureaucracy and increasingly dynamic environmental conditions have prompted the Government to implement cashless government system in order to modernize the transaction of the State Budget (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara - APBN). The cashless governmenst system is considered as part of public innovation in order to encourage public sector administrative reform efforts. Apart from the pros and cons that arise, the government's cashless policy in government expenditure is expected to take strategic steps in the budget that are in line with the principles of flexibility, security, effectiveness and accountability. The purpose of this study is to (1) explain current government transaction conditions, (2) understand the concept of cashless government, and (3) elaborate on the urgency of implementing the cashless government system in Indonesia. The literature study in this paper shows that there are still weaknesses and potential corruption caused by the number of transactions carried out by the government. It is important to create an urgent need or foster a sense of urgency for change in public sector organizations and by immediately transforming into a dynamic bureaucracy in the face of the challenges of the times. The government's cash system is expected to increase the transparency and accountability of the State's finances and approve the payment of acts of corruption. In a broader context, this system is expected to provide benefits in encouraging economic growth and improving public welfare. Keywords: Cashless Government System, Good Governance, Management of State Finances, Administrative Reform. How to Cite. Kurniati, P.N. & Nugroho, B.Y. (2019). Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam Membangun Birokrasi yang Transparan dan Akuntabel. Jurnal Administrasi Publik (Public Admnistration Journal), 9 (2): 136-150

Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

136

Jurnal Administrasi Publik (Public Admnistration Journal), 9 (2) Desember 2019

ISSN 2088-527X (Print) ISSN 2548-7787 (Online), DOI: http://dx.doi.org/10.31289/jap.v9i2.2655

Jurnal Administrasi Publik (Public Administration Journal)

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/jap

Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam Membangun Birokrasi yang Transparan dan Akuntabel

The Urgency of the Implementation of the Cashless Government System in Building a Transparent and

Accountable Bureaucracy

Paramita Nur Kurniati*, Bernardus Yuliarto Nugroho**

Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Indonesia

Diterima: 18 Juni 2019; Disetujui: 16 November 2019; Dipublish: 01 Desember 2019

*email:[email protected]; **email : [email protected] Abstrak

Tuntutan masyarakat terhadap birokrasi yang transparan dan akuntabel serta kondisi lingkungan yang semakin dinamis mendorong Pemerintah untuk melaksanakan sistem cashless government dalam rangka modernisasi pengelolaan keuangan negara. Sistem cashless government dianggap sebagai bagian dari inovasi dalam tata kelola pemerintahan dalam rangka mendorong upaya reformasi administrasi sektor publik. Terlepas dari pro dan kontra yang timbul saat ini, kebijakan cashless government dalam belanja Pemerintah diharapkan dapat menjadi langkah strategis pengelolaan anggaran yang sesuai dengan prinsip fleksibel, aman, efektif dan akuntabel. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk (1) menjelaskan kondisi pelaksanaan transaksi Pemerintah saat ini, (2) mengetahui secara mendalam konsep cashless government, dan (3) mengelaborasi urgensi pelaksanaan sistem cashless government di Indonesia. Studi literatur dalam tulisan ini menunjukkan bahwa masih terdapat kelemahan dan potensi korupsi yang ditimbulkan dari banyaknya transaksi Pemerintah yang dilakukan secara tunai. Penting untuk menciptakan kebutuhan mendesak atau menumbuhkan rasa urgensi atas perlunya suatu perubahan dalam organisasi sektor publik dan dengan segera mentransformasikan dirinya menjadi birokrasi yang dinamis dalam menghadapi tantangan zaman. Sistem cashless government diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan Negara serta meminimalkan terjadinya tindak korupsi. Dalam konteks yang lebih luas, sistem tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kata Kunci: Sistem Cashless Government, Good governance, Pengelolaan Keuangan Negara, Reformasi Administrasi.

Abstract

Public demands for transparent and accountable bureaucracy and increasingly dynamic environmental conditions have prompted the Government to implement cashless government system in order to modernize the transaction of the State Budget (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara - APBN). The cashless governmenst system is considered as part of public innovation in order to encourage public sector administrative reform efforts. Apart from the pros and cons that arise, the government's cashless policy in government expenditure is expected to take strategic steps in the budget that are in line with the principles of flexibility, security, effectiveness and accountability. The purpose of this study is to (1) explain current government transaction conditions, (2) understand the concept of cashless government, and (3) elaborate on the urgency of implementing the cashless government system in Indonesia. The literature study in this paper shows that there are still weaknesses and potential corruption caused by the number of transactions carried out by the government. It is important to create an urgent need or foster a sense of urgency for change in public sector organizations and by immediately transforming into a dynamic bureaucracy in the face of the challenges of the times. The government's cash system is expected to increase the transparency and accountability of the State's finances and approve the payment of acts of corruption. In a broader context, this system is expected to provide benefits in encouraging economic growth and improving public welfare. Keywords: Cashless Government System, Good Governance, Management of State Finances, Administrative Reform. How to Cite. Kurniati, P.N. & Nugroho, B.Y. (2019). Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam Membangun Birokrasi yang Transparan dan Akuntabel. Jurnal Administrasi Publik (Public Admnistration Journal), 9 (2): 136-150

Page 2: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Jurnal Administrasi Publik (Public Admnistration Journal), 9 (2) Desember 2019: 136-150

137

PENDAHULUAN Fenomena maraknya tindak pidana

korupsi yang terjadi dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir mendorong semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap birokrasi yang transparan dan akuntabel. Salah satu titik rawan terjadinya korupsi dan bahkan dapat menimbulkan potensi kerugian negara adalah pengelolaan anggaran negara yang tidak efektif dan efisien.

Untuk merespon fenomena ini, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Keuangan berupaya untuk merancang cashless government di dalam pengelolaan keuangan negara. Konsep cashless government sendiri sebenarnya diadopsi dari konsep cashless society. Bintarto (2018) menyebutkan bahwa cashless society adalah sebutan yang merujuk pada masyarakat yang dalam bertransaksi, tidak lagi menggunakan uang fisik, melainkan melalui perpindahan informasi finansial secara digital (uang digital). Sejalan dengan hal itu, konsep cashless government dimaksudkan untuk meminimalisir penggunaan uang fisik, dari cash basis menjadi cashless, serta secara bertahap mengganti sistem pembayaran proses dari manual menjadi digital.

Dilihat dari aspek makro, R. Maulana Ibrahim dalam Seminar Internasional “Towards a Less Cash Society in Indonesia” yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia menyampaikan bahwa fungsi sistem pembayaran sangatlah kritikal dalam suatu perekonomian. Sistem pembayaran diibaratkan sebagai aliran darah yang menggerakkan dan melancarkan organ-organ perekonomian untuk menjamin kestabilan sistem keuangan. Setiap distorsi yang timbul dalam sistem pembayaran akan mengganggu transmisi likuiditas dalam perekonomian.

Demi terciptanya stabilitas sistem keuangan dan efektivitas kebijakan moneter Pemerintah Indonesia harus terus mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan teknologi membuat proses

setelmen transaksi menjadi lebih mudah, cepat, aman, praktis dan andal. Fenomena ini mengubah paradigma sistem pembayaran secara konvensional yang mengandalkan fisik uang sebagai instrumen pembayaran bergeser pada instrumen non tunai. Oleh karena itu, inovasi dalam sistem pembayaran merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan.

Untuk konteks Indonesia, gagasan inovasi sistem pembayaran dimulai dengan adanya seminar internasional “Towards a Less Cash Society in Indonesia” yang diselengarakan oleh Bank Indonesia pada tahun 2006. Di dalam seminar itu disebutkan bahwa sebagai konsekuensi dari globalisasi dan semakin terintegrasinya perekonomian dunia, uang dan sistem pembayaran juga semakin berkembang sepanjang zaman. Seminar yang dihadiri oleh praktisi, pelaku bisnis, akademisi, anggota parlemen dan kalangan bank sentral diharapkan dapat memberikan pandangan dan pengalamannya dalam pengembangan dan penggunaan instrumen pembayaran non tunai.

Kemudian pada tanggal 27 Agustus 2015 diadakan forum koordinasi dan kerjasama beberapa instansi Pemerintah dan lembaga negara antara lain Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Forum Sistem Pembayaran Indonesia (FSPI) melahirkan kesepakatan yang dituangkan dalam Charter (Piagam) FSPI. Forum tersebut bertujuan untuk melakukan serangkaian kegiatan di bidang Sistem Pembayaran baik dalam bentuk harmonisasi kebijakan, pengaturan maupun pelaksanaan program kerja bersama. FSPI juga akan melibatkan stakeholders terkait sebagai mitra diskusi, antara lain dari pelaku industri, akademisi, lembaga konsumen, dan tenaga

Page 3: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Paramita Nur Kurniati & Bernardus Yuliarto Nugroho, Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government

138

profesional untuk memberikan masukan yang bersifat obyektif untuk mendukung pengembangan Sistem Pembayaran Indonesia.

Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang besar akan layanan keuangan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Kebijakan keuangan inklusif terdiri dari 5 (lima) pilar yaitu (1) edukasi dan keuangan; (2) hak properti masyarakat; (3) fasilitas intermediasi dan saluran distribusi keuangan; (4) layanan keuangan pada sektor pemerintah; dan (5) perlindungan konsumen. Pada paper ini terutama akan dibahas pilar yang keempat yang bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan transparansi pelayanan publik dalam penyaluran dana Pemerintah secara nontunai.

Di dalam Kementerian Keuangan, pilar keempat keuangan inklusif dituangkan ke dalam salah satu inisiatif strategis yaitu “Pengelolaan Likuiditas Keuangan Negara dengan Instrumen Keuangan Modern”. Inisiatif strategis dimaksud menyatakan perlunya modernisasi sistem pembayaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara non tunai. Penggunaan instrument pembayaran cashless merupakan upaya mengurangi penggunaan uang tunai dalam transaksi tertentu, seperti transaksi Pemerintah dan masyarakat.

Sistem cashless di lingkungan pemerintahan dimulai dengan adanya penerbitan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) sebagai alat pembayaran atas beberapa jenis transaksi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Transaksi tersebut mencakup transaksi belanja barang perjalanan dinas jabatan, belanja barang operasional, belanja barang non operasional, belanja barang persediaan, belanja sewa, dan belanja pemeliharaan.

Berdasarkan PP Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pasal 2a disebutkan bahwa mekanisme Uang Persediaan (yang semula hanya dikelola dengan menggunakan uang tunai, cek dan bilyet giro) kini mulai digeser ke arah cashless dengan menggunakan instrumen pembayaran berupa kartu kredit, kartu debit, dan internet banking.

Pada tahun 2017, Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 17/PB/2017 dan Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Kep-494/PB/2017 tentang Pelaksanaan Uji Coba Pembayaran Kartu Kredit dalam rangka Penggunaan Uang Persediaan. Tahap I dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2017 dan diujicobakan pada Satuan Kerja (Satker) Istana Kepresidenan Jakarta, Kementerian Sekretariat Negara, Sekjen Kementerian Keuangan, Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selanjutnya, tahap II dilaksanakan paling lambat bulan November sampai dengan Desember 2017 dan diujicobakan pada seluruh satker vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Tahun 2018 merupakan tahun transisi dimana seluruh K/L diharapkan dapat menyertakan minimal 1 (satu) satker untuk melakukan ujicoba KKP. Tahap terakhir, diharapkan bahwa mulai 1 Juli 2019 seluruh Satker Pusat secara penuh telah mengimplementasikan KKP.

Page 4: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Jurnal Administrasi Publik (Public Admnistration Journal), 9 (2) Desember 2019: 136-150

139

Gambar 1. Tahapan Implementasi

Kartu Kredit Pemerintah Sumber : diolah Penulis, 2019

Dikarenakan penggunaan instrument pembayaran cashless masih tergolong praktik yang baru dan modern di dalam tata kelola pemerintahan, maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan pemahamanan pentingnya urgensi perubahan pada setiap Satuan Kerja di Pusat sebelum kebijakan ini diimplementasikan secara penuh pada 1 Juli 2019. Setiap organisasi sektor publik dan aparatur yang ada di dalamnya seharusnya mampu melihat perubahan sistem pembayaran ini sebagai upaya untuk mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. METODE PENELITIAN

Metode penulisan ini menggunakan metode penelitian pustaka dan penelaahan data sekunder. Menurut Sekaran (2009), data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung, berupa keterangan yang ada hubungannya dengan penelitian. Metode ini merupakan salah satu jenis metode penelitian kualitatif. Data sekunder diperoleh melalui tinjauan kepustakaan serta akses internet dan data online. Selain itu juga data yang diperoleh dari situs resmi Pemerintah Republik Indonesia seperti data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI). Data online diperoleh dari media internasional dan nasional seperti Kompas.com, CNN

Indonesia, BeritaSatu.com, Tirto.id dan sumber lainnya. Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah analisis deskriptif kualitatif untuk mengetahui pentingnya membangun urgensi di dalam organisasi sektor publik untuk menerima inovasi cashless government.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pelaksanaan Transaksi Pemerintah Saat Ini

Saat ini, mekanisme transaksi Pemerintah masih banyak dilakukan menggunakan cash basis. Pengelolaan keuangan negara dengan anggaran yang sangat besar dan dilaksanakan secara tunai tentu menghadapi beberapa kendala diantaranya (1) terhambatnya kegiatan operasional kantor karena masalah ketersediaan atau kesiapan uang di bendahara instansi pemerintah; (2) adanya indikasi atau potensi korupsi dari transaksi secara tunai seperti kasus penggelapan uang kas oleh pengelola keuangan ataupun munculnya tagihan fiktif; dan (3) adanya biaya yang ditimbulkan akibat belum efektifnya manajemen kas pemerintah, misalnya cost of fund/idle cash yang ada di rekening bendahara instansi pemerintah ataupun risiko kehilangan uang tunai.

Pertama, distorsi berupa masalah ketersediaan atau kesiapan uang persediaan di bendahara instansi pemerintah dapat menghambat terlaksananya kegiatan operasional kantor. Uang Persediaan adalah sejumlah uang yang disediakan untuk melaksanakan kegiatan operasional kantor sehari-hari. Jika kegiatan operasional kantor membutuhkan uang dalam jumlah yang banyak dan secara mendadak, sementara tidak tersedia uang persediaan secara fisik di bendahara pemerintah maka hal ini akan mengganggu aktivitas perkantoran.

Kedua, selama ini biaya perjalanan dinas jabatan selalu dibayarkan dengan menggunakan uang cash. Hal ini menimbulkan celah untuk penyelewengan dana anggaran atau potensi korupsi.

Page 5: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Paramita Nur Kurniati & Bernardus Yuliarto Nugroho, Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government

140

Diungkapkan dalam artikel di situs resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pemeriksaan BPK dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun terakhir difokuskan pada komponen perjalanan dinas jabatan. BPK mensinyalir adanya ketidaksesuaian penggunaan anggaran dinas tersebut yang tercermin dari tidak adanya dukungan bukti-bukti yang memadai dan tidak sesuai dengan perundang-undangan, dan bahkan dalam beberapa kasus ditemui perjalanan dinas fiktif. Kasus-kasus ini tentu dapat menimbulkan kerugian dan potensi kerugian negara (berdampak finansial). Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK semester I tahun 2018, permasalahan biaya perjalanan dinas ganda dan/atau tidak sesuai ketentuan ditemukan di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Sesuai dengan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun

2018, BPK mengungkapkan adanya permasalahan biaya perjalanan dinas ganda dan/atau tidak sesuai ketentuan sebesar 5% pada K/L dan 6% pada Pemerintah Daerah dari seluruh permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan kerugian negara.

Ketiga, adanya biaya yang ditimbulkan akibat manajemen kas pemerintah yang masih banyak menggunakan basis kas akan menimbulkan opportunity cost yaitu biaya yang timbul atau kesempatan yang hilang karena memilih alternatif tertentu dibandingkan dengan alternatif yang lain. Perhitungan opportunity cost tersebut disajikan pada tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1. Cost of Fund/Idle Cash Pemerintah

Sumber : Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, 2018

Dari tabel di atas dapat dilihat,

pentingnya melakukan manajemen kas pemerintah adalah untuk meminimalkan opportunity cost yang mungkin muncul. Tabel di atas menjelaskan bahwa opportunity cost dari manajemen pemerintah yang masih banyak menggunakan basis kas adalah adanya potensi penghematan pembayaran bunga sebesar Rp.530.350.016.871,92, atau potensi pendapatan bunga sebesar

Rp.397.762.512.653,94. Uang tersebut akan dapat memberikan nilai tambah melalui penempatan-penempatan investasi jangka pendek yang berisiko rendah.

Selain permasalahan yang telah diungkapkan di atas, penggunaan uang tunai secara fisik dalam transaksi membutuhkan biaya-biaya yang tidak sedikit, terkait dengan penerbitan uang fisik, perputaran dan distribusi, serta perawatan dan penggantian

Jumlah Outstanding Uang Persediaan/Tambahan Uang Persediaan 7,573,575,210,899.00Rp

Asumsi Kas di Bendahara 18,884 Satuan Kerja x 50,000,000.00Rp 944,200,000,000.00Rp

Potensi Uang Persediaan yang Akan Dikurangi 6,629,375,210,899.00Rp

Seandainya Utang yang Dikurangi

Asumsi suku bunga kredit 8%

Potensi Uang Persediaan yang Akan Dikurangi 6,629,375,210,899.00Rp

Penghematan Pembayaran Bunga 530,350,016,871.92Rp

Seandainya Ditempatkan

Asumsi suku bunga 6%

Potensi Uang Persediaan yang Akan Dikurangi 6,629,375,210,899.00Rp

Pendapatan Bunga 397,762,512,653.94Rp

Page 6: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Jurnal Administrasi Publik (Public Admnistration Journal), 9 (2) Desember 2019: 136-150

141

uang yang rusak/usang. Keberadaan fisik uang tunai juga memiliki potensi yang tinggi untuk dicuri atau hilang, bahkan tidak jarang mengundang pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan kejahatan. Konsep Cashless Society dan Cashless Government

Uang dan sistem pembayaran semakin hari semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Di era dimana teknologi maju dengan semakin pesat, masyarakat dihadapkan pada tantangan menuju cashless society atau less cash society.

Dalam paparan Prof Leo Van Hove pada Seminar Internasional “Towards a Less Cash Society in Indonesia” disampaikan bahwa kondisi less cash berarti upaya untuk mengurangi penggunaan instrumen cash, sedangkan cashless adalah upaya untuk menghilangkan penggunaan instrumen cash di masyarakat. Dijelaskan pula bahwa fokus upaya less cash dan cashless adalah untuk mengganti kebiasaan penggunaan instrumen cash dalam transaksi pembayaran yang bersifat ritel (micro payment) dengan menggunakan instrumen non-cash.

Dalam hal ini, uang (money) dilihat sebagai sebuah sarana (tool) dan bukan merupakan entitas fisik semata. Munculnya konsep less cash atau cashless ini juga dilandasi oleh fakta bahwa penggunaan uang tunai secara fisik dalam transaksi membutuhkan biaya-biaya yang tidak sedikit, antara lain biaya penerbitan, perputaran dan distribusi, serta perawatan dan penggantian uang fisik yang rusak/usang.

Cashless society dimaknai sebagai kondisi masyarakat atau komunitas yang tidak lagi memandang uang (money) sebagai sesuatu yang harus berwujud dalam lembaran kertas atau koin (fisik). Dengan adanya sistem cashless payment, pembayaran dapat melalui penggunaan

aplikasi financial technology (fintech), seperti e-wallet atau berupa kartu debit dan kredit yang cukup lazim dikenal selama ini (Banque France, 2018 dalam Bintarto, 2018). Dengan sistem pembayaran semacam ini, masyarakat tidak menggunakan uang nyata melainkan uang digital atau melakukan perpindahan informasi finansial secara digital. Konsep cashless society kemudian yang coba diadopsikan di dalam sistem pembayaran transaksi pemerintah yang semula banyak dilakukan secara cash kemudian digeser ke cashless sehingga kemudian selanjutnya disebut cashless government. Inovasi Sektor Publik

Suwarno (2008) menyatakan bahwa secara tradisional, sektor publik adalah sektor yang relatif tidak leluasa dalam berhubungan dengan inovasi dibandingkan dengan sektor bisnis. Sejarah dan karakteristik organisasi sektor publik yang cenderung statis, formal, dan rigid menimbulkan keengganan sektor publik dalam memanfaatkan inovasi. Di sisi lain, sektor bisnis didorong untuk terus menghasilkan profit demi keberlangsungan hidupnya, sedangkan sektor publik cenderung statis karena merasa tidak ada yang perlu dikejar untuk mempertahankan keberlangsungan hidup organisasi.

Lebih lanjut, Suwarno (2008) menyatakan bahwa sistem dalam sektor publik berkarakteristik status-quo dan dan tidak menyukai perubahan. Bahkan tidak hanya dalam konteks kelembagaan, bahwa secara individu pun sangat jarang menjadikan inovasi sebagai bagian dari keseharian kerjanya. Pada umumnya individu yang terlibat di sektor publik hanya menjalankan tusinya secara biasa-biasa saja (business as usual). Kondisi ini mungkin juga dipengaruhi oleh belum adanya sistem reward and punishment yang diterapkan secara objektif dalam organisasi sektor publik. Hal ini menyebabkan individu tidak termotivasi

Page 7: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Paramita Nur Kurniati & Bernardus Yuliarto Nugroho, Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government

142

untuk dapat berprestasi atau berkinerja lebih baik lagi.

Namun perkembangan dan tantangan jaman menuntut organisasi sektor publik pun harus berubah menyesuaikan kebutuhan jaman. Inovasi menjadi salah satu cara bagi sebuah organisasi atau lembaga tetap eksis dan relevan pada kebutuhan zaman yang senantiasa berubah. Dalam hal ini, inovasi tidak hanya mutlak bagi perusahaan yang ingin terus bertahan (sustain), tetapi juga bagi organisasi sektor publik yang bertugas khusus untuk pelayanan publik.

Wacana dan studi inovasi di sektor publik tergolong baru (emerging) dibanding studi inovasi di sektor bisnis yang telah dipelajari lebih dari 25 tahun (Gault, 2018). Inovasi sektor publik mulai mendapat perhatian dari kalangan akademisi dan praktisi sekitar abad 21, dimana banyak pakar di bidang administrasi publik yang mulai melihat pentingnya perubahan dalam organisasi publik sebagai bentuk upaya untuk merespon berbagai persoalan publik, perubahan teknologi, dan tantangan ekonomi global yang semakin kompleks (Valkaman et. al., 2013; Stewart-Weeks and Kestelle, 2015; Gasco, 2017).

Rogers (1983) mendefinisikan inovasi sebagai suatu ide, gagasan, praktek atau objek atau benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi. Sementara itu, Damanpour dan Gopalakrishnan (1998) menyatakan bahwa inovasi adalah ide atau perilaku yang memberikan hal baru bagi organisasi.

Di konteks Indonesia sendiri, organisasi sektor publik telah banyak memulai untuk melakukan inovasi baik dalam proses bisnisnya maupun pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB) sebagai kementerian yang memegang peranan penting untuk mendorong untuk terjadinya Reformasi

Birokrasi. Salah satu yang dilakukan adalah dengan melakukan benchmark dengan berbagai praktik layanan publik di luar negeri. Salah satu poin penting yang ditemukan adalah bahwa pelayanan publik harus terus melakukan inovasi agar tetap menarik dan relevan sehingga memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Reformasi Birokrasi yang terus digaungkan oleh KemenPAN dan RB juga mendorong agar birokrasi menyederhanakan proses bisnisnya yang cenderung dinilai lambat dan berbelit-belit. Inovasi organisasi pemerintah merupakan proses dalam menciptakan, mengembangkan dan mengimplementasikan ide-ide baru yang dapat memberikan manfaat lebih baik seperti mengurangi biaya, meningkatkan efisiensi, dan efektivitas pelayanan (Nesta, 2014; Kobylinska & Biglieri, 2015).

Cashless government ini dapat dikatakan sebagai bagian dari inovasi sektor publik dalam hal proses dan administrasi pengelolaan keuangan negara. Upaya modernisasi sistem pembayaran belanja APBN melalui Kartu Kredit Pemerintah (KKP) dianggap sebagai salah satu solusi praktis dalam menyikapi perkembangan zaman, dimana segala sesuatu dituntut untuk serba cepat. Hal ini diharapkan dapat mendorong sistem pembayaran yang semakin terintegrasi dan penyelesaian (setelmen) transaksi menjadi semakin cepat, mudah, praktis, murah dan fleksibel.

Reformasi Birokrasi

Era reformasi di Indonesia diawali dengan terjadinya krisis ekonomi yang diawali oleh jatuhnya nilai tukar rupiah pada 1997, lalu pada 2018 telah berkembang menjadi krisis multidimensi. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya tuntutan kuat dari masyarakat terhadap pemerintah untuk segera mengadakan reformasi pada penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Page 8: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Jurnal Administrasi Publik (Public Admnistration Journal), 9 (2) Desember 2019: 136-150

143

Perubahan tersebut dilandasi oleh keinginan masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan demokratis dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai dasar sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu pemerintah melaksanakan reformasi gelombang pertama di bidang ekonomi, hukum, politik, dan birokrasi.

Namun demikian, reformasi birokrasi mengalami ketertinggalan dibanding dengan bidang lainnya (Yusriadi, 2018). Oleh sebab itu, pada tahun 2004, Pemerintah menegaskan kembali pentingnya penerapan prinsip-prinsip good governance dan clean government yang secara universal diyakini menjadi prinsip yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada publik. Untuk mewujudnyatakan prinsip-prinsip tersebut, maka Pemerintah mencanangkan program utama dengan cara membangun aparatur negara melalui penerapan reformasi birokrasi. Dengan demikian, pada tahun 2004 reformasi birokrasi gelombang pertama secara bertahap mulai dilaksanakan.

Di dalam penjelasan tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 -2025, tahapan (milestones) yang diharapkan oleh Pemerintah adalah pada tahun 2011, seluruh K/L serta Pemerintah Daerah (Pemda) ditargetkan telah memiliki komitmen dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi. Pada tahun 2014, secara bertahap dan berkelanjutan, K/L dan Pemda telah memiliki kekuatan untuk memulai proses tersebut, sehingga pada tahun 2025, birokrasi pemerintahan yang professional dan berintegritas tinggi dapat diwujudkan.

Reformasi birokrasi sendiri dimaknai sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia antara lain: (1) mengurangi dan menghilangkan setiap penyalahgunaan

kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan; (2) menjadikan negara yang memiliki birokrasi yang paling unggul; (3) meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat; (4) meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi; (5) meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi; dan (6) menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.

Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan melalui pelaksanaan reformasi birokrasi adalah reformasi yang berkaitan dengan proses tumpang tindah (overlapping) antarfungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Tantangan dan perkembangan jaman pun menambah bobot pelaksanaan reformasi birokrasi dalam menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah dengan melakukan terobosan baru (innovation breakthrough). Proses ini harus dilaksanakan secara bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berpikir di luar kebiasaan yang ada (thinking out of the box), perubahan paradigm (paradigm shifting), dan dengan upaya luar bisa (business not as usual). Dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi secara nasional, Pemerintah perlu merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktik manajemen pusat dan daerah, serta menyesuaikan tugas dan fungsi (tusi) instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru.

Dalam mewujudkan visi reformasi birokrasi yaitu “terwujudnya pemerintahan kelas dunia”, Pemerintah harus ditopang dengan aparatur yang professional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan juga manajemen pemerintahan yang

Page 9: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Paramita Nur Kurniati & Bernardus Yuliarto Nugroho, Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government

144

demokratis agar mampu menghadapi tantangan abad ke-21 melalui tata pemerintahan yang baik.

Membangun Self-Urgency terhadap Kebutuhan akan Perubahan dan Inovasi

Kotter (1996) menyatakan ada 8 (delapan) langkah dalam menciptakan suatu perubahan yang sukses dalam skala apapun dalam organisasi (lihat gambar 2). Langkah tersebut antara lain: (1) menumbuhkan rasa urgensi (establishing a sense of urgency); (2) membentuk koalisi yang kuat (creating the guiding coalition); (3) menciptakan visi dan strategi perubahan (developing a vision and strategy); (4) mengkomunikasikan visi perubahan (communicating the change vision); (5) mengerahkan orang banyak untuk mengambil tindakan (empowering a broad base of people to take action); (6) menciptakan target jangka pendek (generating short term wins); (7) mengkonsolidasikan keuntungan dan menghasilkan lebih banyak perubahan (consolidating gains and producing more change); (8) mengukuhkan pendekatan baru di dalam budaya (anchoring new approaches in the culture).

Kotter (1996) telah memutuskan bahwa tindakan pertama, "tingkatkan urgensi"- “increase urgency” adalah yang paling kritikal. Tanpa rasa urgensi di seluruh organisasi, tindakan yang tersisa akan gagal. Upaya perubahan paling sering gagal ketika agen perubahan “tidak mampu menciptakan rasa urgensi yang cukup tinggi dalam membuat lompatan yang menantang dalam beberapa arah baru”.

Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government di Indonesia

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka Pemerintah Indonesia meluncurkan model baru pengelolaan keuangan negara, yaitu dengan mengkampanyekan less cash bahkan sampai kepada cashless. Salah satu

pendekatan yang digunakan dalam upaya keuangan inklusif, khususnya dalam hal ini penggunaan kartu kredit, adalah dengan mempertimbangkan best practices dan lesson learned dari domestik dan internasional. Penggunaan mekanisme transaksi non tunai sudah banyak sekali diimplementasikan di negara-negara maju dan di Indonesia sendiri, sektor swasta telah banyak menerapkan mekanisme tersebut.

Gambar 2. Delapan Tahapan Proses Menghasilkan Perubahan Besar

Sumber : John P. Kotter (1996)

Swedia adalah negara pertama yang

mengaplikasikan hampir keseluruhan pembayaran digital dalam kehidupan bermasyarakatnya. Permintaan uang secara fisik menurun sebesar 50% dalam satu dekade, karena beralihnya penggunaan masyarakat menuju kartu kredit dan debit ataupun aplikasi digital.

Page 10: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Jurnal Administrasi Publik (Public Admnistration Journal), 9 (2) Desember 2019: 136-150

145

Pada tahun 2017, kurang dari 2% transaksi dari PDB yang menggunakan uang fisik ataupun cek bank. 85% penduduk memiliki akses terhadap online banking. Swedia berambisi untuk menjadi negara pertama yang menerapkan sistem pembayaran cashless secara keseluruhan di dunia pada tahun 2023 (Knowledge Wharton, 2018 dalam Bintarto 2018).

Dalam praktik sehari-hari, mayoritas toko bahkan pedagang kecil menengah Swedia sudah tak lagi menerima pembayaran menggunakan uang fisik. “No Cash Accepted” atau “Pembayaran Uang Fisik Tidak Diterima” terpampang di depan toko. Tempat-tempat publik seperti restoran dan museum bahkan hanya menerima pembayaran melalui kartu ataupun aplikasi ponsel (Bloomberg, 2018). Sistem cashless di Swedia dipercaya dapat mengurangi risiko dan biaya sosial yang tinggi (Dalebrant, Therese, The Monetary Policy Effects of Sweden’s Transition Towards a Cashless Society: An Econometric Analysis, University of California, Berkeley, 2006).

Dalam laporan pembangunan sistem pembayaran nontunai di China selama periode 2013 – 2016, sistem pembayaran nontunai di China terbagi menjadi 3 (tiga) bentuk yaitu melalui (1) kartu, (2) pembayaran dengan menggunakan smart phone melalui aplikasi perbankan, dan (3) pembayaran dengan menggunakan smart phone tanpa terhubung dengan aplikasi non perbankan. Sistem pembayaran dengan kartu merupakan sistem pembayaran dengan jumlah dan nilai transaksi terbanyak, dengan jumlah yang semakin meningkat setiap tahunnya (lihat gambar 3). Namun beberapa tahun belakangan, sistem pembayaran di China bergeser ke sistem pembayaran dengan menggunakan smart phone. Pembayaran dengan menggunakan smart phone merupakan elemen inti yang mendukung

gaya hidup ini. Data statistik dari Asosiasi Pembayaran dan Kliring China (Payment and Clearing Association of China) menunjukkan bahwa dari tahun 2013 sampe 2016, jumlah transaksi yang dilakukan melalui aplikasi seluler non-perbankan meningkat dari 3.777 miliar ke 97 miliar kali transaksi dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan lebih dari 195%. Penggunaan uang secara fisik telah banyak dikurangi, terutama dengan penggunaan aplikasi WeChat Pay (TenCent Holdings) dan AliPay (Alibaba Group). Bahkan berdasarkan data Kompas.com, hasil riset dari Penguin Intelligence di tahun 2019, 92% penduduk kota besar China mengatakan, WeChat Pay dan AliPay merupakan alat pembayaran mereka.

Pergeseran sistem pembayaran dari konvensional ke pembayaran non tunai telah mengubah cara bertransaksi penduduk China, mulai dari restoran hingga Pedagang Kaki Lima (PKL), kantin kampus, pembelian melalui e-commerce, pembelian tiket bis dan sebagainya telah banyak melakukan transaksi non tunai. Bahkan tradisi pemberian angpao pada saat perayaan Tahun Baru China juga telah bergeser dari pemberian amplop yang berisi uang tunai beralih ke layanan non cash payment seperti Red Packets yang disediakan di aplikasi WeChat. Dilansir dalam Kompas.com (26/09/2018), beberapa orang berpandangan pergerakan China menuju nontunai sangat cepat karena adanya anggapan bahwa pembayaran nontunai merupakan sistem pembayaran yang bersih dan efisien. Banyak penduduk China yang mau beralih ke transaksi nontunai karena dapat mengurangi risiko perampokan dan mengurangi uang palsu yang banyak beredar di China.

Page 11: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Paramita Nur Kurniati & Bernardus Yuliarto Nugroho, Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government

146

Gambar 3. Perkembangan Pembayaran Nontunai di China dari periode 2013-2016

Sumber : China Tech Insights, 2017

Perkembangan sistem pembayaran non tunai di India dimulai dengan adanya Putusan Perdana Menteri India Narendra Modi yang mengeluarkan kebijakan demonitisasi. Kebijakan demonetisasi merupakan kebijakan yang dikeluarkan pada 9 November 2016, dimana pecahan 500 dan 1000 rupee ditarik dari peredaran dan diumumkan tidak lagi diterima sebagai alat pembayaran yang sah. Langkah tersebut ditujukan untuk membatasi ruang gerak black money seperti untuk tindakan pengemplangan pajak, pendanaan aksi terorisme serta ancaman dan penyelundupan narkotika. Kebijakan tersebut juga menjadi program besar dalam membasmi korupsi.

Dampak dari kebijakan demonetisasi adalah Pemerintah India berhasil menarik seluruh uang tunai di India sekitar 90% (Wartaekonomi.co.id - 8/11/2017). Di samping itu, teknologi digital Paytm atau “Pay Through Mobile” melonjak sekitar 400%. Paytm merupakan sebuah aplikasi di smart phone yang memudahkan masyarakat dalam melakukan transaksi di toko kue, toko elektronik, supermarket, ongkos bajaj, bahkan stand yang berada di pinggir jalan. Paytm atau “Pay Through Mobile” sukses menjadi dompet digital terbesar di India dengan 220 juta pengguna. Dikutip dari

Tirto.id tanggal 30 Agustus 2017, Dr. Ravi CS dalam tulisannya yang berjudul “Digital Payments System and Rural India : A Review of Trasaction to Cashless Economy” mengungkapkan bahwa pemanfaatan Paytm telah mengakar hingga ke wilayah pelosok India. Tercatat sebanyak 82.746 pedagang di wilayah pelosok India sudah terkoneksi dengan Paytm. India secara cepat telah sukses melakukan transformasi sistem transaksinya menjadi transaksi digital dan hal ini dapat mendisrupsi uang konvensional di India bahkan di masa depan.

Berdasarkan munculnya beberapa permasalahan dalam pengelolaan keuangan negara dengan cara konvensional atau cash basis dan adanya lesson learned tentang cashless payment dari beberapa negara di atas, maka penyelenggara negara perlu menumbuhkan adanya urgensi (self urgency) untuk berubah dan menyesuaikan tantangan dan dinamika zaman. Penting untuk menciptakan kebutuhan mendesak atau menumbuhkan rasa urgensi atas perlunya suatu perubahan dalam organisasi sektor publik dan dengan segera mentransformasikan dirinya menjadi birokrasi yang dinamis dalam menghadapi tantangan zaman. Sistem cashless government diharapkan

Page 12: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Jurnal Administrasi Publik (Public Admnistration Journal), 9 (2) Desember 2019: 136-150

147

dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan Negara serta meminimalkan terjadinya tindak korupsi. Dalam konteks yang lebih luas, sistem tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Urgensi untuk berubah serta budaya yang terbuka terhadap perubahan akan mendorong tingkat akseptansi inovasi yang ditimbulkan dari adanya kebijakan baru.

Dorongan Internal dan Eksternal untuk Pelaksanaan Cashless Government

Perubahan dan tantangan jaman menuntut setiap organisasi untuk berubah. Kotter (1996) mengatakan bahwa langkah pertama dalam Kotter’s 8 Step Change Model adalah menciptakan kebutuhan mendesak atau menumbuhkan rasa urgensi atas perlunya suatu perubahan. Apabila organisasi dapat menciptakan kondisi lingkungan dimana setiap individu menyadari masalah atau krisis yang ada dan dapat melihat solusi yang dapat memecahkan permasalahan yang terjadi, maka dukungan untuk perubahan akan meningkat. Ini juga akan memicu motivasi awal untuk membuat semua individu dalam organisasi bergerak mendukung perubahan.

Menurut Kotter, langkah ini adalah langkah persiapan dan agar tingkat keberhasilan perubahan ini menjadi lebih tinggi, sekitar 75% manajemen harus terlibat dalam perubahan ini. Penting untuk mempersiapkan diri sebelum terjun ke proses perubahan. Langkah ini menciptakan ‘kebutuhan’ untuk perubahan, bukan hanya ‘keinginan’ untuk berubah. Hal ini sangat penting ketika menyangkut dukungan dan kesuksesan perubahan yang mungkin terjadi.

Dorongan yang timbul dari internal organisasi publik antara lain disebabkan karena adanya : (1) beberapa kegiatan operasional kantor yang terhambat karena

ketidaktersediaan uang fisik di bendahara; (2) pegawai merasa ada risiko yang harus ditanggung ketika memegang uang fisik, seperti risiko takut kehilangan dan uang palsu; (3) penggunaan uang konvensional menyebabkan setelmen transaksi menjadi lambat, tidak praktis, dan tidak bisa fleksibel; (4) adanya kebutuhan untuk mengakses laporan secara cepat dan real time; serta (5) adanya willingness dan komitmen dari pimpinan K/L untuk mengikuti perubahan jaman mengikuti revolusi industri 4.0. Sementara, dorongan yang berasal dari luar organisasi publik antara lain berasal dari (1) tuntutan dari masyarakat terhadap birokrasi yang transparan dan akuntabel, (2) upaya mendukung tercapainya Strategi Nasional Keuangan Inklusif yang dikeluarkan melalui Peraturan Presiden, (3) mengoptimalisasi penerimaan pajak dari transaksi Pemerintah yang terjadi; serta (4) perubahan paradigma manajemen kas pemerintah menjadi lebih aktif sehingga setiap rupiah dari anggaran negara dapat digunakan lebih optimal.

Pentingnya upaya modernisasi sistem pembayaran belanja APBN melalui Kartu Kredit Pemerintah (KKP) dan layanan perbankan secara elektronik sebagai salah satu solusi praktis dalam menyikapi perkembangan zaman, dimana segala sesatu dituntut untuk serba cepat. Fenomena ini mengubah paradigma sistem pembayaran secara konvensional yang mengandalkan fisik uang sebagai instrumen pembayaran bergeser pada instrumen non tunai. Perkembangan teknologi di bidang keuangan yang sangat pesat membuat sistem pembayaran yang semakin terintegrasi dan penyelesaian (setelmen) transaksi menjadi semakin cepat, mudah, praktis, murah dan fleksibel.

Meskipun demikian, perubahan ini mendapatkan resistensi bagi sebagian orang. Kotter (1996) mengatakan bahwa banyak aturan di organisasi yang membentuk zona nyaman sehingga membentuk rasa puas yang terlalu cepat

Page 13: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Paramita Nur Kurniati & Bernardus Yuliarto Nugroho, Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government

148

dan enggan berubah (mempertahankan status quo). Adanya kebutuhan yang mendesak terhadap perubahan harus dikelola secara baik untuk dapat menghasilkan perubahan yang diinginkan organisasi, dilanjutkan dengan melakukan 7 (tujuh) tahapan lainnya dalam Kotter’s 8 Step Change Model untuk menginternalisasikan perubahan.

Namun terlepas dari pro kontra pelaksanaan cashless government, sistem pembayaran ini dapat membantu optimalisasi penerimaan negara, meningkatkan transparansi belanja pemerintah, dan meminimalkan terjadinya korupsi.

Pada akhirnya, manfaat sistem pembayaran non tunai bagi konsumen, produsen dan pemerintah tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemudian untuk mengatur secara lebih khusus, Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan mengeluarkan kebijakan penggunaan Kartu Kredit Pemerintah didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah. Tujuan dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk (1) meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara, (2) meningkatkan keamanan dalam transaksi, (3) mengurangi potensi fraud dari transaksi secara tunai, dan (4) mengurangi cost of fund/idle cash dari pengunaan Uang Persediaan.

Peraturan ini akan diberlakukan secara nasional dimana seluruh K/L yang anggarannya bersumber dari APBN wajib mengimplementasikannya. Di dalam pasal 2 dinyatakan bahwa PMK Nomor 196/PMK.05/2018 mengatur mengenai tata cara pembayaran dan penggunaan Kartu Kredit Pemerintah dalam penyelesaian tagihan kepada negara (dibatasi) dengan melalui mekanisme

Uang Persediaan (UP), yaitu Uang Muka Kerja untuk melaksanakan kegiatan operasional kantor sehari-hari.

SIMPULAN

Mekanisme transaksi Pemerintah saat ini masih banyak dilakukan menggunakan cash basis. Pengelolaan keuangan negara dengan cara ini menghadapi beberapa kendala diantaranya (1) terhambatnya kegiatan operasional kantor karena masalah ketersediaan atau kesiapan uang di bendahara instansi pemerintah; (2) adanya indikasi atau potensi korupsi dari transaksi secara tunai seperti kasus penggelapan uang kas oleh pengelola keuangan ataupun munculnya tagihan fiktif; dan (3) adanya biaya yang ditimbulkan akibat belum efektifnya manajemen kas pemerintah, misalnya cost of fund/idle cash yang ada di rekening bendahara instansi pemerintah ataupun risiko kehilangan uang tunai.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, pemerintah menggagas upaya modernisasi sistem pembayaran belanja APBN melalui Kartu Kredit Pemerintah (KKP) yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah. Hal ini dianggap sebagai salah satu solusi praktis dalam menyikapi perkembangan zaman, dimana segala sesuatu dituntut untuk serba cepat.

Menciptakan kebutuhan mendesak atau menumbuhkan rasa urgensi atas perlunya suatu perubahan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan untuk memulai suatu perubahan. Di era dimana segala sesatu dituntut untuk serba cepat, cashless government dianggap sebagai salah satu solusi praktis yang membuat sistem pembayaran yang semakin terintegrasi dan penyelesaian (setelmen) transaksi menjadi semakin cepat, mudah, praktis, murah dan fleksibel. Sistem pembayaran nontunai diharapkan

Page 14: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Jurnal Administrasi Publik (Public Admnistration Journal), 9 (2) Desember 2019: 136-150

149

dapat membantu optimalisasi penerimaan negara, meningkatkan transparansi belanja pemerintah, dan meminimalkan terjadinya korupsi. Dalam skala yang lebih luas, sistem ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Adhiputranto, P. (2018). Inovasi Kartu Kredit

Pemerintah Era Disruption. Diunduh di http://banjarmasin.tribunnews.com/2018/06/20/inovasi-kartu-kredit-pemerintah-era-disruption tanggal 5 Mei 2019

Ancok, D. (2012). Psikologi kepemimpinan & inovasi. Jakarta: Erlangga.

Bank Indonesia. (2006). Seminar Internasional “Towards a Less Cash Society in Indonesia”. Jakarta : Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Press.

Bintarto, E.A. (2018). Fintech dan Cashless Society : Sebuah Revolusi Pendongkrak Ekonomi Kerakyatan. Surabaya : Universitas Airlangga.

China Tech Insights. (2017). The Development of Cashless Payments in China : 2013 – 2016. Diunduh di https://www.ipsos.com/sites/default/files/ct/publication/documents/2017-08/Mobile_payments_in_China-2017.pdf tanggal 5 Mei 2019

Dalebrant, T. (2006). The Monetary Policy Effects of Sweden’s Transition Towards a Cashless Society: An Econometric Analysis. Berkeley : University of California.

Damanpour, F. & Gopalakrishnan, S. (1998). Theories of organizational structure and innovation adoption: The role of environment change. Journal of Engineering and Technology Management, 15(1), 1-24.

Damanpour, F. & Schneider, M. (2006). Phases of the adoption of innovation in organizations: Effects of environment organization and top managers. British Journal of Management, 17, 215–236.

Dasgupta, M. & Gupta, R.K. (2009). Innovation in organizations: A review of the role of organizational lexarning and knowledge management. Global Business Review, 10(2), 203- 224.

Fauzia, M. (2018). Alasan China Cepat Beralih Gunakan Sistem Pembayaran Nontunai. Diunduh di https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/26/100400626/alasan-china-cepat-beralih-gunakan-sistem-pembayaran-nontunai tanggal 5 Mei 2019

Gasco, M. (2017). Living Labs: Implementing Open Innovation in The Public Sector. Government Information Quarterly 34 : 90 – 98.

Gault, F. (2018). Defininng and Measuring Innovation in All Sectors of Economy. Research Policy, 47: 617 – 622.

Gumelar, G. (2018). Belanja Barang Pemerintah Kini Pakai Kartu Kredit. Diunduh di https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180221134911-532-277738/belanja-barang-pemerintah-kini-pakai-kartu-kredit tanggal 21 Mei 2019

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1841.

Kementerian Keuangan. (2017). Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 17/PB/2017 tentang Uji Coba Pembayaran Kartu Kredit dalam rangka Penggunaan Uang Persediaan.

Kobylinska, U. & Biglieri, J.V. (2015). Public sector innovativeness in Poland and in Spain-comparative analysis. International Journal of Contemporary Management, 14(2), 7-22.

Kotter, J.P. (1996). Leading Change. United States of America : Harvard Business School Press.

Muthahhari, T. (2017). Alipay Merevolusi Sistem Pembayaran di Cina. Diunduh di https://tirto.id/alipay-merevolusi-sistem-pembayaran-cina-cyyh tanggal 5 Mei 2019

Nesta. (2014). Innovation in the public sector: how can public organisation better create, improve and adapt?. London: Nesta.

Osborne, S.P. & Brown, K. (2005). Managing change and innovation in public service organizations. Madison Ave, N.Y.: Routledge.

Redaksi 1. (2017). Ini Kisah Sukses India dalam Wujudkan Pembayaran Nontunai. Diunduh di https://www.wartaekonomi.co.id/read160394/ini-kisah-sukses-india-dalam-wujudkan-pembayaran-nontunai.html tanggal 5 Mei 2019

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Republik Indonesia. (2010). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010 – 2025.

Republik Indonesia. (2016). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif.

Republik Indonesia. (2018). PP Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Rogers, E.M. (1983). Diffusion of Innovation (3th ed.). Third Avenue, N.Y.: The Free Press.

Page 15: Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government dalam

Paramita Nur Kurniati & Bernardus Yuliarto Nugroho, Urgensi Pelaksanaan Sistem Cashless Government

150

Safitri, M.R. (2017). Analisis Implementasi Kebijakan Uang Elektronik di Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia.

Sekaran, U. (2009). Metodologi Penelitian untuk Bisnis Buku I ed 4. Jakarta : Salemba Empat.

Suwarno, Y. (2008). Inovasi di Sektor Publik. Diunduh di https://www.researchgate.net/publication/328202667_INOVASI_DI_SEKTOR_PUBLIK/download tanggal 5 Mei 2019.

Swartz, D.D.G., Hahn, R.W. & Layne-farrar, A. (2006). The Move toward a Cashless Society : A Closer Look at Payment Instrument Economics.

Ukpong, O.U. & Friday, A. (2016). Cashless Economic Policy and Sustainable Development in Nigeria Economy: The Missing Links. Journal of Educational Policy and Entrepreneurial Research, 3 (3), 3(2012),80-86.

Windrum, P. (2008). Innovation in public sector services; entrepreneurship, creativity and management. Cheltenham: Edward Elgar.

Yusriadi, (2018). Reformasi Birokrasi Indonesia: Peluang dan Hambatan. Jurnal Administrasi Publik : Public Administration Journal. 8 (2): 178-185.