Upload
rahmat-gunawan
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
1/122
1
80
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Populasi orang berusia lanjut di dunia mengalami pertumbuhan yang cepat
saat ini dan diprediksikan akan terus meningkat di masa yang akan datang.
Hingga tahun 2020, populasi dunia diperkirakan mencapai lebih dari 1 milyar
orang berumur 60 tahun atau lebih, dan sebagian besar di negara sedang
berkembang (Beers, 2005). Berdasarkan proyeksi penduduk pada tahun 2010, di
Indonesia terdapat 23.992.552 penduduk usia lanjut. Diperkirakan pada tahun
2020, jumlah penduduk usia lanjut ini sebesar 11,34% (Baskoro dan Konthen,
2008).
Pertumbuhan populasi ini merupakan hasil bertambah panjangnya rata-rata
harapan hidup manusia dengan terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, terutama yang berkaitan dengan kesehatan atau kedokteran. Namun,
bertambahnya rata-rata usia harapan hidup ini juga menghadirkan masalah-
masalah baru di bidang kesehatan yang belum pernah dihadapi sebelumnya, yaitu
meningkatnya prevalensi penyakit-penyakit degenaratif, seperti penyakit jantung
koroner, penyakit paru obstruktif kronis, kanker paru dan lain-lain. Banyak
penyakit degeneratif (penyakit akibat penurunan fungsi sruktur jaringan atau
organ tubuh seiring proses penuaan) yang muncul sangat berkaitan dengan gaya
hidup seseorang, salah satunya adalah perilaku merokok.
1
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
2/122
2
Merokok merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas prematur paling
penting pada populasi dunia yang seharusnya bisa dicegah. Angka kematian dini
ini diperkirakan mencapai 4,8 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia pada
tahun 2000 dengan 2,4 juta orang di antaranya terjadi di negara berkembang dan
sisanya terjadi di negara-negara maju (Burns, 2005; McPhee dan Pignone, 2007).
Angka itu kini meningkat menjadi 5,4 juta kematian setiap tahunnya pada tahun
2006. WHO memperkirakan angka tersebut masih akan terus naik dan mencapai
10 juta kematian per tahun pada tahun 2030 (Jaya, 2009). Data hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa perilaku merokok dapat mengurangi angka harapan
hidup sampai 8,8 tahun (Streppel, et al., 2007) . Di Indonesia, menurut data hasil
laporan Lembaga Demografi Universitas Indonesia, jumlah perokok mencapai 57
juta orang (Barber et al.,2008). Diperkirakan lebih dari separuh dari jumlah itu
akan mengalami kematian akibat berbagai macam penyakit yang ditimbulkannya
dalam jangka panjang, dengan rata-rata 427.948 kematian per tahun (Barber et al.,
2008).
Rokok menyebabkan mortalitas secara tidak langsung dengan meningkatkan
insiden berbagai macam penyakit degeneratif pada beberapa sistem organ, yaitu
sistem pernapasan, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, sistem
muskuloskeletal, kulit, sistem syaraf, dan sistem imun (Burns, 2005; Tyndale dan
Sellers, 2005; Hukkanen et al., 2005; McPhee dan Pignone, 2007). Kerusakan
pada berbagai macam sistem organ tersebut disebabkan oleh berbagai macam zat
toksik, iritan dan radikal bebas yang ada dalam asap rokok. Berbagai zat dalam
asap rokok ini dapat mempercepat progresivitas proses penuaan intrinsik melalui
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
3/122
3
akumulasi kerusakan seiring berjalannya waktu dan menimbulkan berbagai
macam penyakit atau gangguan terkait proses penuaan, misalnya penyakit jantung
koroner,stroke, osteoporosis, kanker, penyakit paru obstruktif, serta mempercepat
prosesskin agingberupa munculnya garis-garis keriput, dan meningkatnya proses
degradasi kolagen. (Burns, 2005; Schroeder et al.,2006; Benowitz dan Fu, 2007)
Dari efek rokok pada berbagai sistem organ tersebut, angka mortalitas
terbesar adalah akibat penyakit pada sistem kardiovaskular, yaitu sebesar 37%,
penyakit kanker sebesar 28% dan akibat penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),
yaitu sebesar 26%. Oleh sebab efek destruktif rokok yang sebesar itu, 70-80%
perokok mengungkapkan keinginannya untuk berhenti merokok, namun dari
angka itu hanya 35% orang yang berusaha untuk berhenti merokok, dan akhirnya
hanya 5% yang berhasil (Burns, 2005; Barber et al.,2008). Berbagai kendala juga
dihadapi oleh para dokter dalam membantu para perokok untuk berhenti merokok
mengingat angka relaps yang tinggi (Rutter, 2006).
Peristiwa di atas tidak terlepas dari fakta bahwa perilaku merokok erat
kaitannya dengan faktor ketergantungan. Faktor ketergantungan yang dimaksud
adalah ketergantungan fisik perokok pada nikotin. Dari sini bisa dikatakan bahwa
ketergantungan fisik pada nikotin merupakan faktor determinan seseorang
mempertahankan perilaku merokok. Saat merokok, nikotin yang ada pada daun
tembakau akan terhisap bersama asap rokok ke dalam alveoli paru, kemudian
masuk ke peredaran darah dan mencapai otak sebagai target organhanya dalam
waktu 7 detik (Hukkanen et al., 2005; OBrian, 2006). Di dalam otak, nikotin
menginduksi pelepasan neurotransmiter-neurotransmiter, terutama dopamin di
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
4/122
4
brain reward system pada sistem limbik. Aktivitas nikotin pada brain reward
systemini menimbulkan perilaku apetitif individu terhadap rokok. Namun, seiring
dengan meningkatnya durasi paparan nikotin, motivasi apetitif (motivasi mencari
atau mendekati stimulus yang menyenangkan) berubah menjadi aversif (motivasi
menghindar dari stimulus yang menyakitkan atau tidak menyenangkan) melalui
mekanisme negative reinforcementkarena adanya proses toleransi, dan dari sini
muncul ketergantungan fisik (OBrian, 2006). Meskipun mekanisme dasar
ketergantungan fisik ini telah diketahui sejak lama, masih banyak faktor lain yang
berperan dalam patofisiologi ketergantungan fisik terhadap nikotin belum
diketahui atau belum dapat dijelaskan secara pasti, mengingat sifatnya yang
multifaktorial.
Pada dasarnya, ada dua macam faktor yang mempengaruhi ketergantungan
fisik individu terhadap rokok, yaitu faktor lingkungan dan genetik. Faktor
lingkungan terdiri dari tingkat pendidikan, pendapatan, pekerjaan, pergaulan dan
sebagainya. Dahulu diperkirakan bahwa faktor lingkungan memiliki peran yang
jauh lebih penting terhadap munculnya ketergantungan fisik perokok terhadap
nikotin, tetapi menurut hasil penelitian terakhir, faktor genetik memiliki
kontribusi sebesar 50-70% (Tyndale dan Sellers, 2005). Pernyataan ini didukung
oleh hasil studi pada anak kembar dan keluarga (twin and family studies) yang
menunjukkan bahwa kecenderungan untuk munculnya ketergantungan fisik
terhadap nikotin oleh karena faktor genetik mencapai angka heritability sebesar
42-80% (Henningfield et al.,2000; Caron et al.,2005; Boardman et al.,2006).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
5/122
5
Di antara banyak gen kandidat yang berperan atau diduga berperan dalam
ketergantungan fisik terhadap nikotin, terdapat gen CYP2A6, yaitu gen yang
mengkode enzim sitokrom P450 2a6. Enzim ini bertanggung jawab terhadap 70-
90% metabolisme nikotin dalam darah menjadi cotinine, dan dengan demikian
menghilangkan atau menurunkan efek nikotin untuk memberikan stimulus pada
brain reward system (Gullstn 2000; Rao et al., 2000; Hukkanen et al., 2005;
Davies dan Soundy, 2009). Beberapa penelitian terakhir telah mengungkap
adanya polimorfisme pada gen tersebut yang menghasilkan 37 alel (Hukkanen et
al., 2005). Polimorfisme DNA yang dimaksud dapat berupa Single Nucleotide
Polymorphism (SNP), Copy Number Polymorphism (CNP) ataupun Insertion-
deletion Polymorphism (Nussbaum et al.,2007). Polimorfisme ini memiliki efek
berupa menurun, hilang atau justru meningkatkan aktivitas enzim. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa polimorfisme pada gen CYP2A6 mempengaruhi aktivitas
enzim sitokrom P450 2A6 yang akhirnya berpengaruh juga terhadap kadar nikotin
dalam darah (Rao et al.,2000; Tyndale dan Sellers, 2005; Hukkanen et al., 2005).
Akan tetapi, efek delesi atau inaktivasi gen CYP2A6, yang berarti bahwa tidak
adanya enzim sitokrom P450 2a6, secara in vivo dalam hubungannya dengan
ketergantungan fisik terhadap nikotin masih kontroversial. Pernyataan mengenai
hubungan antara polimorfisme gen CYP2A6 dan perilaku merokok seseorang
pertama kali diuraikan oleh Pianezza (1998). Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa sekelompok orang dengan delesi gen CYP2A6 memiliki risiko untuk
menjadi tergantung pada nikotin lebih kecil dibandingkan dengan perokok yang
mempunyai gen CYP2A6normal (wild type). Sebaliknya, beberapa penelitian lain
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
6/122
6
menunjukkan bahwa adanya duplikasi pada gen CYP2A6 meningkatkan aktivitas
enzim yang dikodenya sebanyak 1,4 kali normal dan akibatnya, mereka
mengkonsumsi rokok lebih banyak dibandingkan perokok dengan gen normal
(Rao et al.,2000; Fukami et al.,2007). Penelitian tersebut semakin memperkuat
hubungan antara polimorfisme gen CYP2A6 dengan perilaku merokok dan
ketergantungan fisik terhadap nikotin. Namun demikian, beberapa penelitian
berikutnya terhadap gen yang sama dalam hubungannya dengan perilaku merokok
menunjukkan hasil yang negatif (Gullstn, 2000). Demikian juga hasil meta-
analisisnya meyimpulkan bahwa masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk
mempelajari peran gen tersebut dalam meningkatkan ketergantungan fisik
perokok terhadap nikotin (Munaf et al.,2003).
Walaupun hasil penelitian terdahulu masih menunjukkan hasil yang
heterogen, secara logis, tidak adanya enzim yang memetabolisme nikotin akan
mempertahankan kadar nikotin dalam darah tetap tinggi. Kadar nikotin yang tetap
tinggi akan menurunkan gejala-gejala ketergantungan fisik perokok terhadap
nikotin (Yoshida et al.,2002). Sebab kadar nikotin yang tinggi dalam darah akan
dapat terus memberikan stimulusnya pada brain reward system, dan menekan
munculnya behavioral reinforcement (Munaf et al., 2003). Akan tetapi, bukti
akan peran gen CYP2A6 dalam meningkatkan ketergantungan fisik terhadap
nikotin ini masih perlu dibuktikan secara ilmiah terutama di Indonesia, sebab
jumlah perokok di Indonesia yang besar, frekuensi alel delesi pada gen CYP2A6
cukup tinggi di Asia, yaitu mencapai 20% serta hubungannya secara langsung
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
7/122
7
dengan ketergantungan fisik terhadap nikotin yang diukur dengan kesioner FTND
belum pernah diteliti sebelumnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas masalah yang dirumuskan dalam
penelitian ini adalah: Apakah gen CYP2A6 lebih sering ditemukan pada
kelompok perokok yang memiliki ketergantungan fisik nikotin yang tinggi
dibandingkan perokok dengan ketergantungan fisik yang rendah?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini dalah untuk mengetahui peran gen CYP2A6 sebagai
faktor risiko ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin.
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Ilmiah
Dalam bidang akademik dan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang salah satu mekanisme
patofisiologi ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin. Sehingga dapat
bermanfaat sebagai sumber rujukan penelitian berikutnya berkaitan dengan
CYP2A6dan ketergantungan fisik terhadap nikotin.
1.4.2.
Manfaat Aplikatif
Dengan diketahuinya peran faktor genetik, dalam hal ini gen CYP2A6, pada
ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin maka pada gilirannya pengetahuan
ini dapat digunakan sebagai dasar dikembangkannya tata cara penatalaksanaan
baru kepada para perokok. Tata cara yang dimaksud yaitu baik dari segi
penggunaan agen-agen farmakologis baru ataupun dengan penggunaan uji
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
8/122
8
diagnostik baru demi menunjang efektivitas terapi untuk individu dengan
ketergantungan fisik terhadap nikotin. Jika efektifitas terapi untuk membantu para
perokok berhenti merokok dapat ditingkatan, pada gilirannya diharapkan angka
harapan hidupnya akan diharapkan dapat meningkat, dan tentu saja peningkatan
angka harapan hidup ini akan diikuti dengan peningkatan kualitas hidup.
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
9/122
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aging danDefinisinya
Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan
fungsi biologik seiring usia kronologik, walaupun keduanya tidak tidak selalu
berjalan dengan laju yang sama. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan
dengan kecepatan berbeda bagi tiap orang, tergantung dari susunan genetik orang
tersebut, lingkungan dan gaya hidup, sehingga agingdapat terjadi lebih dini atau
lambat tergantung kesehatan masing-masing individu.
Sepanjang sejarah, banyak ilmuwan berusaha mendefinisikan dan mengukur
proses aging. Kohn (1997) menyatakan perbedaan antara perkembangan dan
aging. Ia mendefinisikan bahwa perkembangan adalah sejumlah proses yang
terjadi di awal kehidupan organisme yang bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas fungsional organisme terkait, sedangkan aging adalah sejumlah proses
yang tidak memiliki efek atau menurunkan kemampuan fungsional (Fowler, 2003;
Arking, 2006).
Pada tahun 1982, Frolkis mengungkapkan bahwa aging adalah proses
biologis yang berkembang secara alamiah dan menurunkan kemampuan adaptasi
organisme berkaitan, meningkatkan risiko kematian, mengurangi rentang hidup
dan menyebabkan munculnya kondisi patologis sehubungan dengan
bertambahnya umur. Pada tahun yang sama, Strehler mencoba memformulasikan
definisi agingdan memberikan karakteristik fundamental yang harus dimiliki oleh
9
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
10/122
10
proses penuaan sebagai berikut: (1) proses penuaan harus merupakan proses yang
merugikan; (2) proses tersebut haruslah progresif, yang berarti bahwa seiring
berjalannya waktu, tahap demi tahap proses penuaan terus terjadi; (3) proses
penuaan merupakan proses intrinsik dan bukan akibat modifikasi lingkungan
semata; (4) proses aging merupakan proses yang universal, yaitu bahwa setiap
organisme di dunia ini mengalami proses tersebut (Arking, 2006).
Dari berbagai macam definisi dan formula fundamental yang telah
disampaikan di atas, dapat diringkas bahwa aging merupakan suatu rentetan
proses tergantung waktu dari perubahan struktur dan fungsi yang kumulatif,
progresif, intrinsik dan merugikan yang mulai muncul sesudah organisme
mencapai usia reproduksi dan terus terjadi hingga mencapai titik kulminasi berupa
kematian (Arking, 2006). Pada tingkat molekuler dan genomik, kerusakan yang
terjadi akibat proses penuaan tidak berbeda dengan kerusakan yang terjadi akibat
proses patologis pada umummnya. Kerusakan yang terjadi akan terakumulasi
sepanjang waktu dan bermanifestasi berupa proses aging pada seluler jauh
sebelum gejala dan tanda penuaan muncul pada organisme bersangkutan
(McCance dan Grey, 2006).
2.2. Teori-teori Penuaan
Teori-teori dalam penuaan mencakup perubahan-perubahan pada tingkat
genetik, biokimiawi dan fisiologi yang terjadi dalam tubuh organisme seiring
bertambahnya waktu. Teori terbaru dari aging dari tingkat seluler hingga
molekuler secara umum terbagi menjadi dua latar belakang, yaitu agingadalah
program dan aging adalah kebetulan. Teori program berdasarkan pemikiran
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
11/122
11
bahwa sejak konsepsi hingga kematian, perkembangan manusia diperintah oleh
jam biologis. Jam ini mengatur waktu yang tepat untuk sejumlah perubahan. Teori
kebetulan menyatakan organisme menjadi tua oleh sejumlah kejadian acak.
Contohnya kerusakan DNA oleh radikal bebas atau hanya wear and tear dari
kehidupan sehari-hari. Dari dua latar belakang tersebut ada empat teori pokok dari
aging (Goldman dan Klatz, 2007), yaitu:
1) Teori wear and tear
Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan
disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal,
kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan
lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alcohol, dan nikotin, karena
sinar ultraviolet, dan karena stress fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak
terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.
2) Teori neuroendokrin
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.
Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus,
sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan
hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan
bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang
akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.
3) Teori Kontrol Genetik
Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita
dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
12/122
12
mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita
menjadi tua dan berapa lama kita hidup.
4) Teori Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal
bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memilkiki elektron yang tidak
berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktivitas tinggi, karena
kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi
suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada pada
molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh
radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel,
bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal
bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan
bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin
mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang
mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal
bebas juga merusak kolagen dan elastin , suatu protein yang menjaga kulit tetap
lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat
paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan
lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal
bebas (Goldman dan Klatz, 2007).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
13/122
13
2.3. Faktor-faktor yang Mempercepat Proses Penuaan Intrinsik
Berbagai faktor yang dapat mempercepat proses penuaan, yaitu :
1) Faktor lingkungan
a. Pencemaran lingkungan yang berwujud bahan-bahan polutan dan kimia
sebagai hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga) akan
mempercepat penuaan.
b. Pencemaran lingkungan berwujud suara bising. Dari berbagai penelitian
ternyata suara bising akan mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin
dan mampu menyebabkan apoptosisdi berbagai jaringan tubuh.
c. Kondisi lingkungan hidup kumuh serta kurangnya penyediaan air bersih
akan meningkatkan pemakaian energi tubuh untuk meningkatkan
kekebalan.
d. Pemakaian obat-obat/jamu yang tidak terkontrol pemakaiannnya sehingga
menyebabkan turunnya hormon tubuh secara langsung atau tidak langsung
melalui mekanisme umpan balik (hormonal feedback mechanism).
e. Sinar matahari secara langsung yang dapat mempercepat penuaan kulit
dengan hilangnya elastisitas dan rusaknya kolagen kulit (Wibowo, 2003).
2) Faktor diet. Bukti hasil studi-studi terbaru membuktikan bahwa nutrisi dan
gaya hidup adalah faktor determinan utama dalam lingkungan karena
memiliki peran penting dalam kerusakan genom dan selular yang menjadi
penyebab fundamental berkurangnya fungsi dan meningkatnya kecenderungan
untuk menjadi sakit (frailty) yang menjadi karakteristik penuaan (Stanner,
2009).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
14/122
14
3) Faktor genetik
Komposisi genetik yang dimiliki seseorang sangat mempengaruhi proses
penuaan yang dialaminya sepanjang hidup orang itu. Hasil studi terbaru
membuktikan bahwa kontribusi genetik terhadap rentang hidup sesorang
adalah sebesar 35%. Selain itu, adanya penyakit-penyakit genetik yang
menyebabkan penderitanya mengalami penuaan yang jauh lebih cepat
daripada orang normal seperti Down Syndrome, Hutchinson-Gilfords
progeria dan Werners syndrome memberikan petunjuk yang kuat adanya
peran faktor genetik yang mendasari proses penuaan (Markides, 2007).
4) Faktor psikis
Faktor stres psikis mampu mempercepat proses penuaan secara tidak langsung
yaitu dengan meningkatkan tekanan darah, kadar gula darah, lipid (terutama
VLDLdan LDL), meningkatkan kadar oksidan dalam darah dan menurunkan
sistem kekebalan tubuh (McCance et al., 2006). Dalam kondisi yang kronis,
semua efek stress psikis ini dapat menjadi akselerator proses penuaan
2.4. Rokok Mempercepat Proses Penuaan Intrinsik
Asap rokok di samping banyak sekali mengandung bahan-bahan yang bersifat
toksik, terdapat juga zat-zat radikal bebas, di antaranya adalah peroksinitrit,
hidrogen peroksida, dan superoksid. Radikal bebas dalam asap rokok akan dapat
mempercepat kerusakan seluler akibat stress oksidatif. Produksi radikal bebas dan
kerusakan akibat stress oksidatif umum terjadi tiap saat dalam sistem biologis
sebagai limbah metabolisme energi dalam sel. Oleh sebab itu, tubuh kita memiliki
sistem pertahanan berupa enzim atau substrat yang berfungsi sebagai antioksidan,
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
15/122
15
seperti superoksid dismutase, hidrogen peroksidase, gluthatione, dan lain-lain
(Murray, 2006). Keseimbangan antara produksi radikal bebas dan zat antioksidan
dalam tubuh dapat bergeser ke arah meningkatnya konsentrasi radikal bebas jika
kondisi tubuh kita terpapar oleh berbagai macam substansi dalam lingkungan
yang mengandung banyak sekali radikal bebas, dalam hal ini asap rokok.
Peran radikal pada asap rokok dalam meningkatkan kerusakan sistem biologis
adalah sama dengan peran radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh. Radikal
bebas merupakan molekul yang mengandung elektron tidak berpasangan pada
orbit terluarnya. Elektron tidak berpasangan ini membuatnya sangat reaktif. Oleh
karena radikal bebas dapat menyerang molekul penting seperti DNA, protein dan
lipid, dan oleh karena mereka juga cenderung dapat memperbanyak diri, mereka
dapat menciptakan kerusakan yang signifikan. Radikal bebas dapat dibentuk
dalam berbagai macam reaksi seperti misalnya fragmentasi, substitusi, oksidasi,
addisi, dan reduksi.
Oleh karena sifat reaksinya yang acak (random), beberapa produk kimiawi
radikal bebas benar-benar asing bagi sel untuk dapat diperbaiki atau digunakan
kembali oleh sel melalui proses daur ulang. Contoh dari peristiwa ini adalah
ketika 2 protein menjadi berikatan silang (cross-link), mereka dapat menjadi
resisten oleh enzim proteolitik dan molekul seperti ini dapat terakumulasi secara
progresif dalam sel seperti pigmen penuaan yang dapat meningkat jumlahnya
ketika sel dalam tubuh organisme mengalami penuaan. Pigmen penuaan ini jika
terakumulasi sampai mencapai kadar yang signifikan akan dapat mengganggu
fungsi sel secara umum.
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
16/122
16
Contoh lain kerusakan akibat stress oksidatif adalah oksidasi basa nitrogen
guanosin menjadi 8-oxoguanosine, yang tidak lagi membentuk ikatan hidrogen
dengan cytosine tapi membentuk ikatan hidrogen dengan adenosine, dengan
demikian telah terjadi mutasi dalam DNA. Sama halnya dengan produksi radikal
bebas, mutasi DNA hampir terjadi sepanjang waktu, dan mengingat sebagian
besar mutasi adalah merugikan sebab ia merusak fungsi gen, akumulasi kerusakan
akibat oksidasi seperti ini akan mengarah pada menurunnya fungsi seluler atau
bahkan munculnya sel kanker (Hyde, 2009).
Radikal bebas juga dapat mengoksidasi berbagai macam protein dalam sel
dan mengganggu fungsinya, misalnya ia dapat mengoksidasi apolipoprotein
dalam LDL sehingga LDL yang tertimbun dalam dinding sel akan memulai rantai
proses pembentukan plak atheroma. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
asap rokok mempercepat proses atherosclerosisyang umumnya terjadi sepanjang
proses penuaan.
Selain radikal bebas, metabolit nikotin dapat membentuk ikatan pada basa
nitrogen DNA dan menyebabkan mutasi (Hyde, 2009).. Kondisi ini memperburuk
proses mutasi akibat oksidasi yang sudah ada.
Selain melalui radikal bebas, proses penuaan yang dipercepat oleh asap rokok
juga diperantarai oleh penurunan fungsi paru akibat kerusakan yang
ditimbulkannya. Penuaan yang terjadi pada tingkat organ ini dapat memberikan
efek domino terhadap penuaan di organ-organ yang lain, sebab paru merupakan
organ yang vital.
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
17/122
17
2.5. Berbagai Macam Penyakit terkait Kebiasaan Merokok
Angka kematian dini akbiat merokok diperkirakan mencapai 4,8 juta orang
setiap tahunnya di seluruh dunia pada tahun 2000 dengan 2,4 juta orang di
antaranya terjadi di negara berkembang dan sisanya terjadi di negara-negara maju
(Burns, 2005; McPhee dan Pignone, 2008). Angka itu kini meningkat menjadi 5,4
juta kemtian setiap tahunnya pada tahun 2006. WHO memperkirakan angka
tersebut masih akan terus naik dan mencapai 10 juta kematian per tahun pada
tahun 2030 (Jaya, 2009). Di Indonesia, menurut data hasil laporan lembaga
demografi Universitas Indonesia, jumlah perokok mencapai 57 juta orang.
Diperkirakan lebih dari separuh dari jumlah itu akan mengalami kematian akibat
berbagai macam penyakit yang ditimbulkannya dalam jangka panjang, dengan
rata-rata 427.948 kematian per tahun (Barber et al.,2008).
Menurut hasil penelitian terdahulu, perokok mengalami peningkatan risiko
terkena penyakit jantung yang fatal sebesar 2 kali lipat dibanding bukan perokok,
10 kali lipat risiko terkena kanker paru, beberapa kali lipat risiko terkena kanker
rongga mulut, oesofagus, pankreas, ginjal, kandung kemih, dan servik; 2 sampai 3
kali lipat risiko terserang strokedan ulkus peptikum; 2 sampai 4 kali lipat risiko
fraktur panggul, pergelangan tangan dan vertebra; 4 kali risiko terinfeksi
pneumococcus; 2 kali lipat risiko terkena katarak dan 2,5 kali terkena ARMD
(Age Related Macular Degeneration). Pada umumnya perokok meninggal 5-8
tahun lebih cepat dibandingkan bukan perokok. Di Amerika Serikat, lebih dari
90% kasus penyakit paru obstruktif kronis terjadi di antara para perokok atau yang
pernah merokok (McPhee dan Pignone, 2008).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
18/122
18
Baik perokok aktif ataupun perokok pasif akan mengalami destruksi
komponen elastik dari dinding aorta yang menyebabkan peningkatan risiko
terbentuknya aneurisma aorta serta memperparah atherosclerosis pada arteri
karotis. Merokok juga dilaporkan meningkatkan risiko penyakit leukemia, kanker
prostat dan kolon, kanker payudara pada wanita pos menopause dengan aktivitas
enzim N-acetyltransferase yang rendah, osteoporosis dan penyakit Alzheimer.
Kanker yang terjadi disebabkan oleh rusaknya tumor supressor gene, yaitu gen
P53 yang terkait kebiasaan merokok. Indera penciuman dan perasa perokok
umumnya terganggu dan terjadi peningkatan garis kerutan di wajah. Selain
banyak penyakit yang telah disebutkan di atas, anak dari seorang perokok
memiliki berat badan lahir yang rendah, memiliki risiko menderita retardasi
mental, lebih sering terserang infeksi saluran napas dan fungsi paru yang kurang
baik, lebih tinggi risikonya menderita infeksi telinga kronis dibandingkan anak
bukan perokok (McPhee dan Pignone, 2008).
Dengan kenyataan yang demikian, kebiasaan merokok, dapat digolongkan
sebagai behavioral biomarker terhadap proses penuaan. Sebab kebiasaan ini
mempercepat penurunan fungsi paru yang menjadi salah satu biomarker penuaan
itu sendiri. Kebiasaan merokok baik secara langsung maupun tidak langsung
memposisikan perokok dalam kondisi yang lebih sensitif terhadap segala macam
penyakit yang dikaitkan dengan penuaan. Dengan kata lain, penurunan fungsi
berbagai organ yang ditimbulkannya membuat individu memiliki kecenderungan
untuk terserang penyakit lebih mudah (Arking, 2006).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
19/122
19
Menghentikan kebiasaan merokok dapat menurunkan seluruh peningkatan
risiko terserang berbagai macam penyakit seperti yang disebutkan di atas
walaupun tidak pernah mencapai kondisi yang sama seperti orang yang tidak
pernah merokok. Wanita yang berhenti merokok pada umur 35 tahun, rata-rata
menambah angka harapan hidupnya sebanyak 3 tahun, sedangkan laki-laki 2
tahun. Penambahan angka harapan hidup ini terus terjadi bahkan pada perokok
yang menghentikan kebiasaan merokoknya setelah umur 65 tahun. Penghentian
kebiasaan merokok dapat disebut sebagai salah satu tindakan anti aging yang
paling sederhana, logis namun tidak mudah untuk dilakukan mengingat adanya
faktor ketergantungan (Arking, 2006).
Walaupun merokok merupakan penyumbang berbagai masalah medis yang
paling penting, perhatian kepada kebiasaan merokok masih rendah. Tujuh puluh
sampai delapan puluh persen perokok mengungkapkan keinginannya untuk
berhenti merokok dan mengunjungi dokter, namun dari angka itu hanya 20%
orang yang mendapatkan pengobatan atau nasihat, dan akhirnya hanya 5% yang
berhasil berhenti merokok (Burns, 2005; OBrian, 2006; Barber et al., 2008;
McPhee dan Pignone, 2008).
2.6. Substansi Kimia dalam Rokok
Sebenarnya asap rokok tidaklah sesederhana seperti yang terlihat. Asap ini
merupakan suatu campuran substansi-substansi kimia dalam bentuk gas dan
partikel-partikel terdispersi di dalamnya. Sampai saat ini, telah berhasil
diisolasikan berbagai macam zat kimia yang jumlahnya mencapai 3000 senyawa
dalam daun tembakaunya sendiri dan mencapai lebih dari 4000 senyawa pada
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
20/122
20
asap rokok (Benowitz dan Fu, 2007). Sebagian besar bahan atau senyawa-
senyawa tersebut (tabel 2.1) pada umumnya bersifat toksik bagi berbagai macam
sel dalam tubuh kita.
Substansi toksik dalam bentuk gas, yaitu berupa karbon monoksida (CO),
hidrogen sianida (HCN), oksida nitrogen, serta zat kimia yang volatil seperti
nitrosamin, formaldehid banyak terdapat dalam asap rokok. Zat-zat ini dapat
memberikan efek toksiknya dengan mekanisme spesifik dan pada sel-sel atau
unit-unit makromolekuler sel tertentu terutama pada sistem pernapasan (Kuschner
dan Blanc, 2007). Di samping dalam bentuk gas, zat toksik lain yang terdapat
dalam rokok bisa berupa partikel-partikel kecil terdispersi dalam asap yang
terutama alkaloid, yaitu nikotin dan tar.
Tar adalah partikel kering berwarna coklat hasil pembakaran rokok dan bisa
memberi warna pada gigi ataupun kuku. Partikel ini terdiri dari campuran
senyawa-senyawa kimia kompleks yang terdiri dari berbagai macam zat-zat kimia
karsinogenik, kokarsinogenik dan tumor promoter dalam asap rokok. Zat yang
dimaksud adalah benzo(a)pyrene, dan hidrokarbon aromatik polinuklear lainnya,
nitrosamin derivat nikotin, -Napthylamine, berbagai metal seperti kadmium,
nikel, arsen, timbal, merkuri dan elemen radioaktif seperti radium-226 dan
polonium-210 (Hoffmann dan Hoffmann, 1999; Benowitz dan Fu Hua, 2007).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
21/122
21
Tabel 2.1.Komponen Toksik Mayor pada Asap Rokok (Benowitz dan Fu, 2007)
NikotinCatechols
N-nitrosonornicotineFenol
Hidrokarbon Aromatik Polinuklear
Benzena
-NapthylamineNikel (karbonil)
Kadmium
Arsenik
Polonium-210 dan radium-226
Karbon monoksidaAsetaldehid
Oksida Nitrogen
Hidrogen Sianida
AcroleinAmmonia
Formaldehid
Urethane
Hydrazine
Nitrosamin
2.7. Nikotin sebagai Alkaloid Utama dalam Rokok
Literatur paling awal yang menyebutkan adanya kebiasaan menghisap cerutu
atau merokok berasal dari artifak bangsa Maya yang ditemukan di semenanjung
Yucatan, Mexico. Kebiasaan ini merupakan bagian dari ritual religius dan
perkumpulan politik para penduduk asli semenanjung Yucatan. Lima ratus tahun
kemudian, tepatnya pada tahun 1492, ketika Christopher Columbus menemukan
benua Amerika, dia diberi daun tembakau oleh orang-orang Arawak. Jadi,
Columbus dan awak-awak kapalnya adalah orang Eropa pertama yang mengenal
rokok (Hoffmann dan Hoffmann, 1999).
Nama nikotin berasal dari nama tanaman tembakau yang menghasilkannya,
yaituNicotiana tabacumdan Nicotiana rustica. Kedua species tanaman tersebut
termasuk famili Solanaceae. Nama ilmiah untuk tembakau ini mengacu pada
nama seorang duta besar Prancis di Portugal yaitu Jean Nicot de Villemain. Ia
mengirimkan tembakau dari Brazil ke Paris dan menggunakannya untuk tujuan
pengobatan pada tahun 1560. Nikotin sendiri, zat aktif dalam tembakau baru
berhasil diisolasi sekitar dua setengah abad sesudahnya, tepatnya pada tahun 1828
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
22/122
22
oleh ahli kimia Jerman, yaitu Poselt dan Reimann. Mereka pertama kali
menyatakan bahwa zat ini adalah toksin. Formula empirisnya berhasil
dideskripsikan oleh Melsens di tahun 1843, yaitu C10H14N2, sedangkan
strukturnya ditemukan oleh Garry Pinner pada tahun 1895 dan nama kimianya
yaitu 3-(1-methyl-2-pyrrolidinyl)pyridine (Hoffmann dan Hoffmann, 1999).
Nikotin adalah amin tersier yang terdiri dari cincin pyridinedan pyrrolydine
(Gambar 2.1). Produksi nikotin memerlukan asam nikotinat (niacin) dan kationN-
methylpyrrolinium, yang didiversikan dariornithine. Produksi nikotin dalam daun
tembakau diinduksi oleh sinyalJasmonic acidsebagai respons terhadap kerusakan
daun. Sintesis nikotin terjadi di akar tanaman kemudian ditranspor melalui xylem
menuju daun dan bagian tanaman lainnya. Dalam keadaan murninya, nikotin
tampak sebagai cairan yang kental, seperti minyak tidak berwarna dan bersifat
sangat alkalis. Jika dipapar dengan udara terbuka, ia menjadi berwarna kuning
kecoklatan dan memberikan bau khas tembakau (Hoffmann dan Hoffmann, 1999).
Gambar 2.1. Struktur Kimia Nikotin (Hukkanen et al., 2005). Nama struktur
kimia nikotin adalah 3-(2-(N-methylpyrrolidinyl))pyridine.Nikotin merupakan zat
kimia larut air dan dapat diekstraksi dari daun tembakau dengan merendam
potongan daunnya dalam air selama 12 jam.
http://www.knowledgerush.com/kr/encyclopedia/Methyl_group/http://www.knowledgerush.com/kr/encyclopedia/Pyridine/http://www.knowledgerush.com/kr/encyclopedia/Pyridine/http://www.knowledgerush.com/kr/encyclopedia/Pyridine/http://www.knowledgerush.com/kr/encyclopedia/Methyl_group/http://www.knowledgerush.com/kr/encyclopedia/Methyl_group/http://www.knowledgerush.com/kr/encyclopedia/Methyl_group/7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
23/122
23
Gambar 2.2. Struktur Alkaloid Utama dalam Tembakau Selain Nikotin
(Hukkanen et al.,2005). Semua alkaloid di atas merupakan derivat dari nikotin.
Derivat ini muncul akibat proses oksidasi dan degradasi oleh bakteri selama
proses pengolahan rokok dan bukan di sintesis oleh tanaman tembakau itu sendiri,
Sebenarnya nikotin dalam daun tembakau berfungsi sebagai bahan kimia
antiherbivora, terutama serangga. Oleh sebab itu, di masa lalu nikotin banyak
digunakan sebagai insektisida. Kadar nikotin berbeda-beda tergantung jenis
tembakau serta posisi daun, daun yang letaknya relatif lebih tinggi daripada daun
lainnya memiliki kadar nikotin lebih tinggi. Zat ini mendominasi alkaloid yang
ada pada rokok (sekitar 95% alkaloid dalam rokok merupakan nikotin) dan
mencapai berat kering 1,5% tembakau dalam rokok. Rata-rata dalam sebatang
rokok mengandung 10-14 mg nikotin dan sekitar 1 mg nikotin diabsorbsi ke
dalam peredaran darah sistemik selama merokok (Hukkanen et al.,2005).
Sebagian besar nikotin pada daun tembakau berada dalam bentuk levorotary
(S)-isomer, dan hanya sebagian kecil, sekitar 0,1-0,6% dari nikotin total yang
berada dalam bentuk (R)-nikotin. Dalam asap rokok, jumlah (R)-nikotin
meningkat sampai 10%, diperkirakan hal ini terjadi oleh karena proses
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
24/122
24
racemization selama pembakaran. Nikotin mudah menguap pada pembakaran
bersuhu rendah, sekitar 308K (Hukkanen et al.,2005). Oleh karena sifat fisiknya
yang demikian, hampir semua nikotin dalam rokok menguap saat dibakar dan
terinhalasi selama merokok.
Pada sebagian besar strain tembakau, nornikotin dan anatabine adalah
senyawa alkaloid terbanyak kedua setelah nikotin dan disusul dengan anabasine
(Gambar 2.2). Komposisi yang sama berlaku juga pada rokok, cerutu, rokok pipa
dan oral snuff. Alkaloid-alkaloid minor yang lainnya antara lain myosmine, N-
methylmyosmine, cotinine, nicotyrine, nornicotyrine, nicotine N-oxide, 2,3-
bipyridyl dan metanicotine. Alkaloid-alkaloid minor tersebut diduga muncul
akibat adanya aktivitas bakteri dalam tembakau selama pemrosesan rokok
(Hukkanen et al.,2005). Dari sekian banyak alkaloid minor dalam tembakau yang
telah dipelajari, hanya nornicotine, metanicotine, dan anabasine yang memiliki
aktivitas farmakologis mirip nikotin yang cukup bermakna.
2.8. Absorbsi Nikotin ke dalam Sirkulasi Sistemik selama Merokok
Saat rokok dibakar, nikotin dalam tembakau terdestilasi dan terhisap bersama
dengan fraksi partikulat (tar) ke arah pangkal rokok. Absorbsi nikotin melewati
membran biologis targantung pada pH. Nikotin memiliki sifat basa lemah dengan
pKa 8,0, maka dari itu dalam kondisi lingkungan yang asam, nikotin banyak yang
terionisasi dan menjadi sulit untuk menembus membran. Sebaliknya, jika kondisi
lingkungan basa (pH 6,5 atau lebih), lebih banyak nikotin yang dapat terabsorbsi
dalam paru (Hukkanen et al.,2005). Keasaman dalam droplet partikel (tar) sangat
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
25/122
25
bervariasi dari 6,0 sampai 7,8 tergantung merk dan jenis rokok. Semakin tinggi
pH, semakin banyak nikotin yang diabsorbsi dalam paru (Pankow et al.,2003).
Ketika asap rokok mencapai saluran bronkioli respiratorius dan alveoli paru,
nikotin dalam tar yang berdiameter rata-rata 1 m dengan cepat diabsorbsi.
Konsentrasinya dalam darah meningkat dengan cepat saat merokok dan mencapai
puncaknya sesaat setelah selesai merokok (Gambar 2.3). Absorbsi yang cepat ini
diduga karena luasnya permukaan bronkioli dan alveoli paru disertai dengan pH
paru yang sedikit basa, yaitu 7,4. Rata-rata 1 mg (0,3-2 mg) nikotin diabsorbsi ke
sistemik selama merokok (Hukkanen et al.,2005).
Setelah setiap satu hisapan, nikotin terabsorbsi dari alveolus menuju kapiler
paru, dan dari sini mengalir ke dalam ventrikel kiri melalui vena pulmonalis untuk
dipompakan ke seluruh tubuh. Akhirnya, nikotin dapat mencapai otak hanya
dalam waktu 7 detik, lebih cepat dari nikotin IV, dan dengan cepat pula
mengaktivasi neuron-neuron dopaminergik pada brain reward system (OBrian,
2006). Kecepatan peningkatan dan efek yang dihasilkannya inilah yang
menyebabkan para perokok dapat mentitrasi kadar nikotin untuk mencapai efek
stimulasi yang diinginkannya (Henningfield dan Keenan, 1993).
Merokok merupakan suatu proses yang kompleks, dan sesuai dengan yang
telah disebutkan di atas, perokok dapat memanipulasi dosis nikotin dan kadar
nikotin di otak dalam setiap hisapan. Intake nikotin selama merokok tergantung
pada volume hisapan, kedalaman inhalasi, tingkat dilusi dalam udara ruangan,
frekuensi dan intensitas hisapan (Jarvis et al., 2001). Jika perokok yang telah
terbiasa mengkonsumsi rokok dengan kadar nikotin tinggi beralih ke rokok
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
26/122
26
0 30 60 90 120
Waktu (Menit)
Konsentrasinikotind
alam
darahh(ng/ml)
dengan kadar nikotin rendah atau pun mengurangi jumlah rokok yang dihisap per
harinya maka ia akan cenderung untuk mengkompensasinya dengan cara merubah
pola hisap agar tercapai kadar nikotin yang tetap tinggi seperti sebelumnya
(Hukkanen et al.,2005).
Gambar 2.3. Kadar Nikotin dalam Darah Saat Merokok dan Setelahnya
(Hukkanen et al.,2005). Kadar nikotin mencapai puncaknya 10 menit setelah
merokok dan mulai menurun setelahnya.
2.9. Distribusi Nikotin dalam Jaringan Tubuh
Dalam darah dengan pH 7,4, sekitar 69% nikotin terionisasi dan 31% tidak
terionisasi dan hanya 5% nikotin yang terikat pada plasma protein, sedangkan
95% berada dalam bentuk nikotin bebas dalam darah. Nikotin terdistribusi secara
luas dalam jaringan tubuh dengan volume distribusi rata-rata 2,6 liter/kg berat
badan (Hukkanen et al.,2005). Ini artinya nikotin memiliki sifat hidrofobik dan
cenderung untuk terikat dengan jaringan dengan kandungan lipid yang tinggi,
disamping itu pada jaringan-jaringan tersebut, reseptor nikotin memang
ditemukan paling banyak dibandingkan pada jaringan lain.
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
27/122
27
Selama berada dalam sirkulasi sistemik, nikotin memililki afinitas yang tinggi
pada beberapa organ tertentu, yaitu otak, hati, ginjal kelenjar adrenal dan paru.
Afinitas nikotin pada jaringan otak sangatlah tinggi, afinitas ini semakin tinggi
sebanding dengan peningkatan reseptornya pada perokok (Perry et al., 1999).
Afinitas yang tinggi ini disebabkan ikatannya yang spesifik pada reseptor
asetilkolin nikotinik dalam sistem saraf pusat. Bahkan pernah ada laporan kasus
bunuh diri menggunakan nikotin patches, kadar nikotin dalam otak mencapai 2
kali kadarnya dalam darah perifer (Kemp et al., 1997). Ditambah pula dengan
kenyataan bahwa otak merupakan organ vital dengan vaskularisasi yang tinggi,
maka distribusi nikotin dalam otak terjadi hampir secara instan setelah ia
memasuki aliran darah sistemik. Di samping otak, nikotin juga menunjukkan
afinitas yang tinggi pada kelenjar adrenal dan merangsang kelenjar ini untuk
mensekresikan epinefrin ke dalam sirkulasi darah. Hal ini yang mengakibatkan
perokok menunjukkan peningkatan tekanan darah.
Selain pada organ-organ di atas, akumulasi nikotin yang bermakna ditemukan
juga pada cairan lambung, saliva, air susu ibu, amnion dan bahkan serum fetus
yang dikandung oleh ibu perokok (Dempsey dan Benowitz, 2001).
2.10. Konsentrasi Nikotin dalam Darah selama Merokok
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Benowitz pada tahun 1990,
kadar nikotin dalam darah perokok pada saat siang hari umumnya berkisar antara
10-50 ng/ml. Nilai ini berfluktuasi sekitar 10-37 ng/ml sepanjang hari dengan
puncaknya mencapai 19-50 ng/ml (Schneider et al.,2001; Hukkanen et al.,2005).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
28/122
28
Kadar nikotin tersebut dalam darah vena dapat meningkat sejauh 5 sampai 30
ng/ml setelah menghisap sebatang rokok, dan tentu saja hal ini tergantung pola
merokok seseorang. Suatu studi ilmiah yang dilakukan akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan nikotin dalam darah vena ini sebesar
10,9 ng/ml. Dengan catatan, nilai itu didapatkan dari para perokok yang tidak
melakukan puasa pada hari pengukuran (Petterson et al.,2003).
Seperti proses farmakokinetik obat pada umumnya, nikotin juga memiliki
waktu paruh dalam darah. Waktu paruh nikotin di dalam darah sirkulasi rata-rata
sekitar 2 jam. Angka ini didasarkan atas pengukuran konsentrasinya dalam darah.
Jika pengukuran konsentrasi nikotin dilakukan pada urin, waktu paruh akan
memanjang sampai 11 jam, dan konsentrasi yang dihasilkannya juga jauh lebih
kecil. Hal ini disebabkan oleh pelepasan nikotin yang lambat oleh jaringan tubuh
dan metabolisme yang dialaminya. Jadi waktu paruh yang pendek pada awalnya
bukan disebabkan oleh proses metabolisme yang dialaminya tetapi lebih karena
proses distribusinya, dan konsentrasi yang rendah dalam urin merefleksikan
bahwa hanya sedikit kadar nikotin yang dieksresikan dalam bentuk tidak berubah.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, secara logis dapat diprediksikan adanya
akumulasi nikotin selama lebih dari 6-8 jam dalam tubuh (3-4 kali waktu paruh)
pada perokok reguler dan persistensi kadar ini yang signifikan selama waktu yang
sama setelah berhenti merokok. Kadar nikotin mengalami fluktuasi antara puncak
dan lembah (peak and trough) mengikuti aktivitas merokok sepanjang hari, tetapi
mengingat waktu paruh akumulasinya yang panjang, nilai lembah (trough)
meningkat selama waktu berlalu dan akhirnya konsentrasi puncak (peak) menjadi
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
29/122
29
tidak penting lagi. Jadi perokok tidak lagi terpapar dengan kadar nikotin secara
intermiten melainkan terpapar dengan kadar nikotin yang persisten tinggi selama
24 jam penuh setiap harinya (Hukkanen et al.,2005). Fenomena ini lebih jelasya
digambarkan dalam gambar 2.4.
Gambar 2.4.Konsentrasi Sirkadian Nikotin dan Cotininedalam Darah (Hukkanen
et al.,2005). Konsentrasi cotininedalam darah meningkat mengikuti gelombang
peningkatan nikotin yang menandakan adanya proses metabolisme nikotin dalam
tubuh.
Waktu
Konsentrasi
dalamd
arah(ng/ml)
Co
tin
ine
Nikotin
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
30/122
30
Cotinine, metabolit nikotin, memiliki konsentrasi yang jauh lebih tinggi
daripada konsentrasi nikotin dalam darah, yaitu berkisar antara 250-300 ng/ml
pada para perokok. Pada beberapa perokok konsentrasi ini pernah sampai
mencapai kadar 900 ng/ml. Akan tetapi, angka tersebut akan mengalami
penurunan yang linier jika seseorang berhenti merokok. Selain itu, cotinine
memiliki waktu paruh yang lebih lama dari nikotin. Akibatnya konsentrasinya
hampir tetap sepanjang hari jika dibandingkan dengan kadar nikotin. Oleh karena
sifat-sifat farmakokinetiknya yang demikian, konsentrasi nikotin sering dipakai
sebagai biomarker intake nikotin sehari-harinya, baik pada para perokok aktif
maupun pasif (Benowitz, 1996).
2.11. Metabolisme Nikotin
Kemampuan tubuh manusia untuk memetabolisme dan membersihkan obat
dari dalam tubuh adalah suatu proses alami yang melibatkan jalur-jalur
metabolisme dan sistem transpor yang sama untuk metabolisme nutrisi pada
umumnya. Setiap hari, manusia mangalami kontak dengan sejumlah senyawa
kimia asing atau xenobiotika melalui kontaminan lingkungan dan zat-zat dalam
makanan. Tubuh kita telah mengembangkan suatu cara untuk mengeliminasi
bahan-bahan xenobiotika tersebut secara cepat. Salah satu sumber xenobiotika
paling umum dalam diet kita adalah dari tanaman. Tanaman memiliki berbagai
macam zat xenobiotika yang terkait dengan produksi pigmen dan toksin
(phytoallexins) untuk melindungi diri dari predator. Di dunia modern ini, sebagian
besar paparan xenobiotika pada manusia berasal dari polusi lingkungan, zat aditif
pada makanan, produk kosmetik, bahan kimia dalam pertanian, makanan yang
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
31/122
31
diproses, dan obat-obatan. Berbagai macam bahan-bahan kimia tersebut pada
dasarnya bersifat lipofilik, sehingga sangat sulit untuk dieliminasi dari tubuh jika
tidak ada sistem metabolisme yang sesuai. Jika eliminasi tidak dilakukan, maka
zat kimia bersangkutan akan terakumulasi dalam tubuh dan memunculkan gejala
serta tanda toksisitas (Gonzalez dan Tukey, 2006).
Nikotin termasuk xenobiotika. Sebagian besar atau hampir seluruh nikotin
yang terabsorbsi melalui lapisan mukosa mulut, saluran pernapasan, dan saluran
pencernaan, dimetabolisme di dalam hati. Metabolisme dan pembersihannya ini
banyak melibatkan enzim-enzim dalam sistem metabolisme xenobiotika atau
disebut juga Xenobiotic Metabolizing Enzyme (XME), diantaranya adalah enzim
sitokrom P450, Flavin-Containing Monooxygenase 3(FMO3), Aldehid oksidase,
amin N-metiltransferase, dan UDP-Glukoronosiltransferase (UGT). Di samping
hati, ginjal juga berperan saat proses eksresinya dalam urin. Proses
metabolismenya secara lebih mendalam akan dibahas dalam uraian di bawah ini.
Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya jika definisi nikotin
sebagai xenobiotika dan gambaran mengenai apa itu sitokrom P450 yang
merupakan fokus penelitian dibahas terlebih dahulu.
2.11.1. Enzim-Enzim dalam Sistem Metabolisme Xenobiotika
Sesuai uraian di atas, xenobiotika merupakan zat yang asing bagi tubuh
(xenos = asing). Bahan-bahan utama yang termasuk xenobiotika dalam
hubungannya dengan medis bisa berupa obat-obatan, bahan-bahan kimia
karsinogen, dan berbagai macam senyawa yang masuk ke dalam tubuh secara
insidental atau tidak disadari, misalnya polychlorinated biphenyls (PCB) dan
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
32/122
32
insektisida. Lebih dari 200.000 bahan kimia pencemar lingkungan merupakan
substrat utama bagi XME (Xenobiotic Metabolizing Enzyme) dalam hati. Tetapi,
kadang kala xenobiotika bisa saja dieksresikan dalam bentuk tidak berubah
(Kennelly dan Rodwell, 2006).
Sistem metabolisme xenobiotika umumnya dibagi menjadi dua fase. Pada
fase 1, reaksi utama yang terjadi berupa hidroksilasi. Reaksi ini melibatkan enzim
monooksigenase atau lebih sering disebut sitokrom P450. Enzim sitokrom P450
banyak terdapat pada permukaan sitosolik membran retikulum endoplasmik
hepatosit (Gambar 2.5).
Hidroksilasi dapat menginaktivasi obat dalam tubuh, tetapi untuk beberapa
macam obat atau zat kimia tertentu, reaksi hidroksilasi malah mengaktivasinya. Di
samping perannya dalam hidroksilasi, enzim tersebut juga mengkatalisis sejumlah
besar reaksi lain, yaitu deaminasi, dehalogenasi, desulfurasi, epoksidasi,
peroxigenasi, dan reduksi. Reaksi yang melibatkan hidrolisis (dikatalisis oleh
esterase) dan beberapa reaksi lain yang dikatalisis oleh enzim non-P450 juga
terjadi di fase 1.
Pada fase 2, senyawa-senyawa terhidroksilasi atau yang telah mengalami
metabolisme fase 1 diubah oleh enzim spesifik menjadi metabolit yang lebih polar
melalui konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat, asetat, glutathione, atau
beberapa asam amino tertentu, atau dengan metilasi.
Tujuan utama dari keseluruhan proses yang melibatkan XME adalah
meningkatkan kelarutan zat terkait dalam air atau meningkatkan polaritasnya dan
memudahkan eksresinya keluar tubuh. Sebagai contoh, senyawa-senyawa
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
33/122
33
hidrofobik akan tertahan dan terakumulasi dalam jaringan adiposa dalam waktu
yang lama jika mereka tidak ditingkatkan polaritasnya oleh XME.
Gambar 2.5. Lokasi Enzim Cyp dalam Sel (Gonzalez dan Tukey, 2006).
Kompleks enzim sitokrom P450 ada pada permukaan sitosol retikulum
endoplasmik. Kompleks enzim ini mengkatalis substrat larut lemak yang ada
dalam lapisan membran lipid ganda retikulum endoplasmik. Enzim sitokrom P450
memiliki struktur cincin heme pada bagian aktifnya yang berfungsi untuk
mengikat molekul oksigen.
Namun dalam kondisi-kondisi tertentu, reaksi metabolisme fase 1 justru
mengubah senyawa xenobiotika dari inaktif menjadi aktif secara biologis.
Senyawa xenobiotika awal yang demikian disebut sebagai prodrug atau
prokarsinogen.
Istilah detoksifikasi seringkali digunakan dalam berbagai reaksi yang
melibatkan XME seperti yang telah disebutkan di atas. Meskipun demikian
pemberian istilah ini sebenarnya kurang tepat, sebab kadang kala, sesuai
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
34/122
34
pembahasan di atas, reaksi metabolisme yang terjadi malah meningkatkan
aktivitas biologis dan toksisitas suatu zat (Kennelly dan Rodwell, 2006).
2.11.2. Enzim Sitokrom P450 (Cyp)
Cyp berfungsi sebagai enzim utama dalam metabolisme xenobiotika fase 1.
Kini, telah diperkirakan ada sekitar 60 gen Cyp pada genom manusia. Enzim
tersebut banyak terdapat pada membran retikulum endoplasmik halus (Smooth
Reticulum Endoplasmic) yang merupakan bagian dari fraksi mikrosom hepatosit.
Cyp juga bisa ditemukan dalam enterosit dan berbagai macam jaringan lain,
walaupun konsentrasinya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan
konsentrasinya dalam hepatosit. Dalam mikrosom hepatosit, konsentrasi Cyp
mencapai 20% dari total protein. Reaksi yang dikatalisis oleh enzim ini adalah
sebagai berikut :
RH + O2+ NADPH + H+ ROH + H2O + NADP
RH dalam reaksi kimia di atas mewakili berbagai macam xenobiotika, termasuk
obat, karsinogen, pestisida, minyak, dan polutan. Senyawa-senyawa endogen,
seperti steroid tertentu, asam lemak eikosanoid, dan retinoid juga bisa merupakan
substrat Cyp. Substrat-substrat tersebut pada umunya bersifat lipofilik yang
akhirnya diubah menjadi hidrofilik melalui hidroksilasi (Kennelly dan Rodwell,
2006).
Cyp adalah biokatalisator paling cakap yang pernah diketahui. Sebenarnya
reaksi hidroksilasi oleh Cyp dalam hati merupakan mekanisme yang kompleks,
maka itu ia lebih cocok disebut dengan sistem Cyp, karena untuk dapat
melakukan fungsi yang seutuhnya ia tergantung dari kehadiran enzim lain dalam
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
35/122
35
mikrosom sel-sel hepar, yaitu NADPH-sitokrom P450 reduktase dengan rincian
reaksi seperti yang tampak pada gambar 2.6 di bawah (Mckee dan Mckee, 2003;
Kennelly dan Rodwell, 2006). Kerja sama antar kedua macam enzim inilah yang
membangkitkan sistem Cyp dalam proses hidroksilasi substrat xenobiotik.Pada
gambar tersebut, reaksi hidroksilasi yang terjadi khas pada sel korteks adrenal
untuk pembentukan hormon steroid, sedangkan pada mikrosom hepar, tidak
memerlukan protein besi sulfur, Fe2S2.
Cyp memiliki banyak famili yang berhasil ditemukan hingga kini, yaitu
berjumlah sekitar 150 isoform. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang penting
untuk menamainya sesuai dengan sistem nomenklatur yang ada. Dalam sistem
nomenklatur, enzim sitokrom P450 disingkat dengan Cyp, yang diikuti dengan
angka yang menunjukkan famili, misal Cyp1, Cyp2 atau Cyp3. Cyp dimasukkan
dalam satu famili jika sedikitnya 40% sekuens asam aminonya sama. Kemudian,
huruf kapital yang tertera setelah angka menunjukkan subfamili. Jika dua enzim
Cyp memiliki tingkat kesamaan sekuens asam amino mencapai 55% atau lebih,
mereka berada dalam satu subfamili. Angka yang tertera setelah huruf subfamili
menunjukkan nomor anggota, sedangkan huruf terakhir setelah bintang mengacu
pada nomor alel atau varian (Gambar 2.7) (Kennelly dan Rodwell, 2006). Dari
contoh di bawah ini Cyp2a6 berarti enzim Cyp tersebut termasuk dalam famili 2,
subfamili a dan merupakan anggota ke 6 dari subfamili tersebut.
2.11.3. Subfamili CYP2A
Gen CYP2A bersama dengan gen CYP2B, dan gen CYP2F terletak pada
lengan pendek kromosom 19, tepatnya pada 19p13.2, yaitu pada daerah seluas
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
36/122
36
350 kilobasepairs. Tiga subfamili telah diperkirakan berasal dari satu ancestral
gene. Mereka diperkirakan berdiferensiasi selama evolusi sehingga akhirnya
bersifat spesifik substrat. Evolusi gen ini dimulai sekitar 400 juta tahun lalu dan
berkembang menjadi lebih dari 50 gen homolog (gambar 2.8) (Gullstn, 2000).
Gambar 2.6.Reaksi Hidroksilasi oleh sistem Cyp dalam Mikrosom (Botham danMayes, 2006). Reaksi hidroksilasi substrat dimlau dengan pembentukan ikatan
antara substrat dengan enzim Cyp yang diikuti dengan reaksi hidroksilasi setelah
enzim ini mendapatkan donor sepasang elektron hasil proses oksidasi ion sulfur
dalam Fe2S2.
Gambar 2.7. Sistem Nomenklatur Sitokrom P450. Sesuai urutan, CYP adalah
singkatan dari sitokrom P450, angka 2 pertama menunjukkan famili, diikuti
dengan huruf yang menandakan subfamili, angka setelah huruf menunjukkan
nomor anggota dalam subfamili serta angka setelah bintang mengacu pada alel
atau varian dari gen yang bersangkutan.
C Y P 6A2Singkatan dari
sitokrom P450
Nomor Famili
Nomor Subfamili
Nomor Anggota
dalam subfamili
*4
Nomor alel
atau varian
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
37/122
37
Gambar 2.8.Perkembangan Gen CYPSelama Evolusi (Gullstn, 2000). Gen CYP
mengalami proses duplikasi dan divergensi selama sejarah evolusi menghasilkan
banyak famili. Proses duplikasi dan divergensi yang diiringi fenomena seleksi
alam menjadi kunci utama evolusi gen ini. Divergensi yang terjadi salah satunya
akibat proses mutasi pada duplikat-duplikat gen yang bersangkutan.
. Subfamili gen CYP2A ini terdiri dari tiga gen dan dua pseudogen, yaitu
CYP2A6, CYP2A7, CYP2A13, CYP2A7P(T) dan CYP2A7P(C). Gen CYP2A7
terletak setelah gen CYP2A6. Kedua gen ini memiliki kesamaan sekuens
nukleotida mencapai 96%, sedangkan kesamaan sekuens asam amino dari protein
yang dikodenya mencapai 94%. Gen ini terdiri dari 9 ekson dan 8 intron dengan
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
38/122
38
ukuran sebesar 6 kilobasepairs. Sekuens pseudogen, CYP2A7P(T) dan
CYP2A7P(C), terputus pada ekson 5, dan oleh sebab itu tidak mengkode protein.
Gen CYP2A6 mengkode protein yang aktif dalam metabolisme, sedangkan gen
CYP2A7 menghasilkan protein inaktif. Struktur gen-gen yang telah disebutkan di
atas dideskripsikan pada gambar 2.9 dibawah ini
Gambar 2.9.Struktur Gen-Gen dalam Subfamili CYP2. Struktur famili gen CYP
ini terletak pada kromosom 19. Tanda panah berwarna biru menandakan segmen
DNA yang mengkode enzim Cyp, arah panah menunjukkan orientasi gen dalam
rantai DNA.
2.11.4. Peran Enzim Sitokrom P450 2A6 dalam Metabolisme Nikotin dan
Cotinine
Studi in vivo dan in vitro telah menunjukkan bahwa pada manusia, 70-90%
nikotin dioksidasi oleh sitokrom P450 2a6 (Cyp2a6) menjadi nikotin 1(5)-
iminium ion, suatu metabolit antara yang kembali dioksidasi oleh enzim aldehid
oksidase menjadi cotinine dalam sitoplasma sel hepar. Enzim yang sama juga
mengkatalisasi perubahan cotinine menjadi, 5-hydroxycotinine dan norcotinine
(Murphy et al.,1999; Oscarson, 2001).
Kecepatan oksidasi nikotin menjadi cotinine dan cotinine menjadi trans-3-
hydroxycotinine, menunjukkan korelasi yang tinggi dengan aktivitas 7-
Sentromer Telomere
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
39/122
39
hidroksilasi kumarin, karena kedua substrat ini memiliki enzim yang sama yaitu
sitokrom P450 2a6 (Nakajima et al., 1996). Oleh sebab itu, selain menggunakan
nikotin, aktivitas enzim ini sering diukur dengan menggunakan kumarin sebagai
subsrat.
Gambar 2.10.Metablisme Nikotin Oleh Enzim Cyp2a6 (Oscarson, 2001). Tujuh
puluh sampai sembilan puluh persen nikotin dimetabolisme oleh enzim Cyp2a6
mementuk cotininedengan nicotine iminium ionsebagai metabolit antaranya.
Signifikansi peran Cyp2a6 dalam metabolisme nikotin secara in vivo
didukung oleh penelitian yang dilakukan Sellers et alpada tahun 2000 dan 2003
dengan menggunakan inhibitor Cyp2a6 yaitu methoxsalen. Methoxsalen
mengurangi first pass metabolism nikotin yang terbukti dengan berkurangnya
kadar trans-3-hydroxycotininedalam urin perokok
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
40/122
40
Walaupun telah banyak penelitian yang menyebutkan arti pentingnya enzim
Cyp2a6 dalam metabolisme nikotin seperti yang telah disebutkan di atas,
penelitian-penlitian itu juga mengilustrasikan bahwa ada enzim lain yang berperan
dalam pembentukan cotinine dan trans-3-hydroxycotinine. Enzim yang dimaksud
di sini adalah enzim Cyp2b6, Cyp2e1 dan Cyp2a13.
Cyp2b6 adalah enzim aktif dalam osksidasi nikotin kedua setelah Cyp2a6
pada studi in vitro menggunakan jaringan sel hepar (Yamasaki et al., 1999).
Sedangkan Cyp2e1 dan Cyp2a13 yang banyak terdapat dalam mukosa saluran
napas terutama mukosa nasal menunjukkan aktivitas terhadap nikotin jika
konsentrasi nikotin tinggi (Yamasaki et al.,1999; Ting et al.,2000).
2.11.5. Enzim-Enzim Lain dalam Metabolisme Nikotin dan Cotinine
Terdapat beberapa enzim yang juga ikut berperan dalam metabolisme nikotin
walaupun jumlah reaksi yang dikatalisasi olehnya kadang kala jauh lebih kecil
jika dibandingkan dengan Cyp pada fase 1. Tetapi pada fase 2 kehadiran beberapa
enzim-enzim ini penting artinya, sebab reaksi yang terjadi pada fase 2 merupakan
kelanjutan dari reaksi pada fase 1. Pada fase 2 ini kelarutan metabolit nikotin lebih
ditingkatkn lagi sehingga mudah dieksresikan. Enzim-enzim tersebut antara lain :
1. Aldehid Oksidase. Aldehid oksidase adalah enzim sitoplasma yang
mengkatalisasi konvesi ion nikotin-1(5)-iminium menjadi cotinine
(Hukkanen et al.,2005).
2. Flavin-Containing Monooxygenase 3 (Fmo3). Fmo3 merupakan enzim
utama yang bertanggung jawab terhadap pembentukan nikotin N-oksid
(Hukkanen et al.,2005).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
41/122
41
3. Amin N-metiltransferase. N-metilasi nikotin dikatalisis oleh enzim Amine
N-metiltransferase (47). Ekspresi enzim ini tertinggi pada organ tiroid,
adrenal, dan paru (Thompson et al., 1999).
4. UDP-glikoronosiltransferase. Enzim ini sangat penting perannya dalam
fase 2 metabolisme xenobiotika. Nikotin dan cotinine mengalami reaksi
metabolisme fase 2 melalui proses N-glukoronidasi, sedangkan sebagian
besar 3-hydroxycotininemelalui proses O-glukoronidasi (Hukkanen et al.,
2005).
2.11.6. Kuantifikasi Metabolit Primer dari Nikotin dan Cotinine
Hingga saat ini aspek kuantitatif pola metabolisme nikotin telah banyak
dipelajari pada manusia (Gambar 2.8). Sekitar 90% dosis sistemik nikotin
akhirnya dapat ditemukan dalam bentuk nikotin dan metabolitnya dalam urin
(Benowitz et al., 1993). Berdasarkan studi dengan infus nikotin dan cotinine
terlabel, dapat ditentukan bahwa 70-80% nikotin dikonversikan menjadi cotinine
(50). Sekitar 4-7% nikotin dieksresikan sebagai nikotin N-oksid dan 3-5%
sebagai nikotin glukoronid (Benowitz et al.,1993).
Hanya fraksi kecil cotininedieksresikan dalam bentuk yang tetap dalam urin
(10-15% nikotin dan metabolit dalam urin). Sisanya dikonversi menjadi metabolit,
terutama trans-3-hydroxycotinine (33-40%), cotinineglukoronid (12-17%), dan
trans-3-hydroxycotinine glukoronid (7-9%) (Hukkanen et al., 2005). Aspek
kuantifikasi ini dapat lebih jelasnya dilihat pada gambar 2.12.
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
42/122
42
Gambar 2.11. Jalur Metabolisme Nikotin (Hukkanen et al.,2005). Jalur Umum
metabolisme nikotin dalam tubuh menghasilkan berbagai macam metabolit
derivatifnya. Beberapa di antaranya memiliki sifat karsinogenik seperti 4-
(methylamino)-1-(3-pyridil)-1-butanone sebab ia dapat berikatan dengan bsa
nitrogen dalam DNA.
NicotineGlucoronide
Nicotine N Oxide
Nicotine
Isomethonium Ion
Cotininemethonium Ion
CotinineGlucoronide
NICOTINE3-Pyridilacetic Acid Nicotine- ( ).Iminium Ion
COTININECotinine N Oxide
4-(3-Pyridil)-butanoic
Acid2-Hydroxycotinine Nornicotine
Norcotinine
N-Hydroxymethyl-norcotinine
5-Hydroxycotinine Trans 3-Hydroxycotinine
4-(methylamino)-1-(3-pyridil)-1-butanone
4-Oxo-4-(3-pyridyl)-butanamide 4-Oxo-4-(3-pyridyl)-N-
methylbutanamide
Trans3- HydroxycotinineGlucoronide
4-(3-Pyridil)-3-
butanoic Acid
4-Hydroxy-4-(3-
pyridyl)-butanoic Acid
4-Oxo-4-(3-pyridyl)-
butanoic Acid
5-(3-pyridyl)-Tetrahydrofuran-2-one
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
43/122
43
Gambar 2.12. Metabolit Primer Nikotin dan Kuantifikasinya (Hukkanen et alv,
2005). Dalam bagan di atas tampak bahwa mayoritas nikotin diubah menjaditrans-3-hydroxycotinineuntuk kemudian dieksresikan dalam tubuh dalam bentuk
yang sama atau dikonjugasikan dengan glukoronid.
2.11.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Nikotin
Ada beberapa faktor yang menyebabkan variasi interindividual pada
metabolisme nikotin yang secara umum dapat dibagi menjadi tiga macam selain
faktor genetik (akan dibahas dalam sub bab tersendiri) :
1. Pengaruh kondisi fisiologis tertentu
a. Diet dan Mentol
Hepar sebagai organ utama dalam metabolisme nikotin membawa implikasi
bahwa metabolisme nikotin ini sangat bergantung kepada aliran darah ke
dalam organ tersebut. Jadi, faktor fisiologis, seperti makan, postur, aktivitas
ataupun obat-obatan yang mengganggu aliran darah menuju hepar akan
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
44/122
44
mempengaruhi metabolisme nikotin. Gries et al(1996), menemukan bahwa
makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan infus nikotin yang
dipertahankan tetap (steady state) akan menghasilkan penurunan
konsentrasinya yang konsisten dan mencapai maksimal 30-60 menit setelah
makan. Setelah makan aliran darah hepar meningkat 30% dan bersihan
nikotin meningkat sekitar 40% (Hukkanen et al.,2005).
Menthol, zat yang banyak digunakan sebagai perasa dalam makanan,
mouthwash, pasta gigi dan bahkan rokok, telah dilaporkan dapat
menghambat kerja enzim Cyp2a6 (MacDougall et al., 2003). Laporan
mengenai hal ini telah dikonfirmasi oleh Benowitz et al(2004) lalu melalui
penelitiannya yang membandingkan aktivitas Cyp2a6 pada perokok sigaret
bermentol dengan non-mentol. Ia menunjukkan bahwa metabolisme nikotin
menjadi cotinine dan glukoronidasi nikotin terhambat (Benowitz et al.,
2004).
b. Umur
Metabolisme dan bersihan nikotin menurun seiring makin meningkatnya
umur. Bersihan total menurun sebesar 23% dan bersihan oleh ginjal
menurun sebanyak 49% pada orang tua (>65 tahun) jika dibandingkan
dengan umur dewasa muda (Molander et al., 2001). Penurunan ini lebih
disebabkan karena penurunan aliran darah ke hepar dibandingkan dengan
penurunan aktivitas enzimnya sendiri (Messina et al.,1997).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
45/122
45
c. Kronofarmakokinetik Nikotin
Selama tidur, aliran darah hepar akan menurun, demikian juga bersihan
nikotin. Bersihan nikotin bervariasi sebesar 17% (dari puncak ke ambang)
dengan aktivitas minimum antara jam 6 sore dan jam 3 pagi, Jadi aktivitas
bersihan nikotin memiliki irama sirkadian (Gries et al., 1996).
d. Perbedaan Kelamin
Penelitian yang dilakukan oleh Benowitz dan Jacob (1994) menunjukkan
bahwa bersihan nikotin pada pria cenderung lebih tinggi dibandingan pada
wanita walaupun hasilnya tidak signifikan. Akan tetapi, penelitian yang
paling akhir justru menyatakan hal yang sebaliknya yaitu bersihan nikotin
pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria, terutama pada wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral (Robertson et al., 2000; Hukkanen et al.,
2005).
2. Konsumsi obat-obatan
a. Penginduksi (inducers)
Beberapa macam obat dapat menginduksi aktivitas enzim Cyp2a6 dalam
kultur hepatosit meskipun terdapat variasi yang luas antar individu. Obat
tersebut di antaranya adalah rifampicin, dexamethasone, dan Phenobarbital
(Robertson et al.,2000; Rae et al., 2001; Edwards et al., 2003; Madan et al.,
2003).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
46/122
46
b. Inhibitor
Beberapa obat seperti methoxsalen (8-methoxypsoralen), tranylcypromine,
tryptamine, coumarin dan neomenthyl thiol dapat menghambat aktivitas
Cyp2a6 (Wenjiang et al.,2001; Hukkanen et al., 2005).
3. Kondisi patologis
Penyakit-penyakit tertentu telah dilaporkan memiliki pengaruh terhadap
aktivitas Cyp2a6. Penyakit tersebut antara lain hepatitis A, infeksi parasit pada
hepar, dan alcoholic liver disease(Hukkanen et al., 2005).
Gambar 2.13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Nikotin. Pada
umunya metabolisme niotin sangat dipengaruhi oleh empat faktor seperti yang
tertera di atas.
2.11.8. Metabolisme Nikotin Ekstra Hepatik
Hasil penelitian pada binatang membuktikan bahwa sebagian kecil
metabolisme nikotin terjadi dalam organ-organ ekstra hepatik seperti misalnya
paru-paru, ginjal, mukosa hidung dan otak. Demikian juga penelitian yang
dilakukan pada manusia menunjukkan hal yang sama. Di samping liver,
metabolisme nikotin pada manusia terjadi juga dalam sel epitel bronkial, mukosa
hidung, paru, laring esofagus dan bahkan dalam jaringan payudara. Hal tersebut
Metabolisme nikotin
Penyakit tertentu
Kondisi fisiologis
tertentu, misalkan umur,
sex, dan lain lain
Faktor GenetikPenggunaan obat-obatan
tertentu
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
47/122
47
dibuktikan dengan adanya ekspresi gen CYP2A pada organ-organ terkait
walaupun dalam kadar yang rendah (Ting et al.,2000; Hukkanen et al., 2002).
Akan tetapi, protein Cyp2a yang terlibat dalam metabolisme nikotin
kemungkinan besar adalah Cyp2a13, sebab antibodi yang bereaksi terhadap
Cyp2a6 dalam western blot dapat mengalami reaksi silang terhadap Cyp2a13.
Lebih lagi, konsentrasi mRNA CYP2A13pada mukosa hidung dan paru 5-9 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi mRNA CYP2A6(Ting et al.,2000).
Di samping CYP2A6 dan CYP2A13, masih banyak gen CYP2 yang
memetabolisme sejumlah kecil nikotin diekspresikan di berbagai organ. Sebagai
contoh protein Cyp2b6 dan Cyp2d6 banyak diekspresikan dalam otak, Cyp2e1
dalam paru, otak dan esofagus (Hukkanen et al.,2005).
Enzim-enzim lain dalam metabolisme nikotin diekspresikan juga dalam
konsentrasi yang lebih rendah dalam organ-organ ekstra hepatik. Aldehid oksidase
pada paru, ginjal, dan kelenjar adrenal; FMO3 juga diekspresikan pada jaringan
otak, terutama dalam substansia nigra; Amin N-metiltransferase pada kelenjar
tiroid, adrenal dan paru, UGT1A9 dan UGT1A4 (mengkode enzim UDP-
glikoronosiltransferase) diekspresikan juga dalam lambung, jaringan empedu,
ginjal, ileum, esofagus, testis, ovarium dan kelenjar mammae (Hukkanen et al.,
2005).
2.12. Definisi dan Aspek Umum Ketergantungan Fisik Individu terhadap
Obat
Ketergantungan fisik adalah suatu keadaan yang berkembang oleh sebab
adanya toleransi. Proses toleransi terjadi karena adanya pengaturan ulang
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
48/122
48
mekanisme homeostasis sebagai respons penggunaan obat atau zat kimia tertentu
secara berulang (OBrian, 2006). Obat-obatan atau zat kimia tertentu dapat
mempengaruhi banyak sistem pada tubuh kita yang pada awalnya ada dalam
keadaan equilibrium. Sistem ini akan menemukan keseimbangan baru dengan
hadirnya efek inhibisi atau stimulasi dari obat. Seseorang yang berada pada status
adaptasi atau tergantung secara fisik memerlukan asupan obat yang kontinyu
untuk mempertahankan fungsi sistem tubuhnya yang normal. Jika asupan obat
dihentikan dengan tiba-tiba, muncullah ketidakseimbangan lagi, dan sistem yang
berkaitan harus mengatur ulang kembali untuk mencapai kondisi equilibrium
tanpa intervensi obat.
Satu-satunya bukti aktual adanya proses toleransi adalah timbulnya
sekelompok gejala-gejala yang dikenal dengan withdrawal syndromejika asupan
obat dihentikan. Gejala withdrawal sedikitnya berasal dari 2 sumber, yaitu (1)
proses pengeluaran obat penyebab ketergantungan, (2) bangkitan berlebihan dari
sistem saraf pusat (SSP) sebagai bentuk mekanisme readaptasi hilangnya efek
obat. Variabel farmakokinetik mempunyai peran yang sangat penting dalam
menentukan amplitudo dan durasi withdrawal syndrome. Gejala dan tanda
withdrawal syndrome sangat spesifik untuk jenis obat dan cenderung
menunjukkan efek kebalikan dari efek obat sebelum proses toleransi terjadi.
Misalkan, penghentian tiba-tiba asupan agonis opioid yang memiliki efek miosis
dan bradikardia akan menimbulkan gejala withdrawal syndromeberupa midriasis
dan takikardia.
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
49/122
49
Toleransi, ketergantungan fisik, dan withdrawal syndromeadalah fenomena
biologis. Mereka merupakan konsekuensi alami dari penggunaan obat dan dapat
dibuktikan pada hewan coba atau pada manusia setelah penggunaan obat
berulang. Fenomena ini tidak mengimplikasikan bahwa individu yang
bersangkutan terlibat masalah kecanduan atau penyalahgunaan obat (abuse).
Kecanduan dan penyalahgunaan obat, yang dalam bahasa inggris disebut dengan
addiction dan abuse, merupakan sindroma perilaku yang dikarakteristikkan oleh
pola kompulsif pada penggunaan obat dari dosis minimal sampai dosis yang
adiktif. American Psychiatric Association (APA) mendefinisikan kecanduan
sebagai sekelompok gejala yang mengindikasikan bahwa individu meneruskan
penggunaan obat walaupun telah muncul berbagai masalah yang secara signifikan
terkait penggunaan obat tersebut (OBrian, 2006).
2.13. Farmakogenetika
Farmakogenetika adalah studi yang menilai variasi respons terhadap obat oleh
karena pengaruh faktor genetik (Relling dan Giacomini, 2006). Pada aspek yang
lebih luas, farmakogenetika mencakup farmakogenomik yang melibatkan studi
keseleruhan genom untuk menilai determinan multigenik terhadap respons obat.
Respons terhadap obat adalah salah satu bentuk fenotip hasil interaksi faktor
genetik dan lingkungan. Jadi, respons individual terhadap obat tergantung pada
interaksi kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh sebab itu,
variasi respons obat antar individu dapat dijelaskan dengan variasi faktor
lingkungan dan/atau faktor genetik. Sejauh mana proporsi variabilitas respons
obat ditentukan oleh faktor genetik? Studi famili klasik dapat memberikan
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
50/122
50
beberapa informasi penting untuk menjawab pertanyaan itu. Studi pada anak
kembar telah memberikan bukti bahwa variasi metabolisme obat memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk diwariskan. Selain itu, perbandingan variabilitas
antara intra-twin vs. inter-pair study juga menunjukkan bahwa sekitar 75-85%
variasi pada farmakokinetik obat dapat diwariskan (Relling dan Giacomini, 2006).
2.14. Polimorfisme pada Gen CYP sebagai Dasar Variasi Farmakokinetik
Nikotin
2.14.1. Konsep Polimorfisme Genetik
Sekuens DNA pada suatu tempat dalam genom antar individu di seluruh
dunia tidaklah tepat sama, tetapi menunjukkan variasi. Perbedaan atau variasi
sekuens dapat muncul tiap 1000 sampai 2500 pasang basa. Perbedaan ini 2,5 kali
lebih tinggi pada tempat-tempat yang tidak mengkode protein (non-protein-coding
region, mencapai 98% genom), yaitu sekitar 1/1000 pasang basa, dibandingkan
dengan tempat yang mengkode protein (protein-coding region) yang hanya
1/2500 pasang basa. Perbedaan ini tampaknya menunjukkan tekanan seleksi alam
yang lebih besar pada tempat-tempat tersebut dalam genom, sehingga frekuensi
mutasinya rendah selama perjalanan evolusi (Nussbaum et al.,2007).
Jika, suatu varian gen sangat sering ditemukan dalam suatu populasi, maka
gen tersebut dikatakan polimorfik. Jadi, polimorfisme didefinisikan sebagai
variasi bentuk dari gen, protein atau kromosom yang menghasilkan dua atau lebih
varian dan masing-masing varian memiliki frekuensi yang cukup tinggi. Frekuensi
yang demikian tinggi tidak hanya disebabkan proses mutasi genetik berulang saja
(Young, 2005). Suatu gen dikatakan polimorfik jika gen tersebut memiliki varian
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
51/122
51
dengan frekuensi paling sedikit 1% dalam populasi, jika lebih kecil dari 1% maka
disebut sebagai varian langka (rare variants). Dengan kriteria ini, penyakit
genetik termasuk sebagai varian langka, tetapi perlu ditekankan di sini bahwa
frekuensi alel tidak menunjukkan korelasi yang jelas dengan efek gen terhadap
kesehatan individu (Nussbaum et al.,2007).
Tabel 2.2.Jenis-jenis Polimorfisme DNA (Nussbaum et al.,2007)
Polimorfisme
Mekanisme
Polimorfisme Jumlah AlelSNP (Single Nucleotide
Polymorphism)
Substitusi satu basa atau
salah satu dari dua basa
yang lainnya pada satu
lokasi
2
In-del (insersi-delesi)
Simple In-del
Polymorphism
STRP(Short Tandem
Repeat Polymorphism)
VNTR(Variable
Number of Tandem
Repeat)
Ada atau tidaknya
segmen pendek dari DNA
~5-25 kopi unit
pengulangan di-,tri, atau
tetra nukoleotida,membentuk susunan
tandem
Ratusan sampai ribuan
kopi unit pengulangan 10-
100 nukoleotida,
membentuk sususan
tandem
2
5 atau lebih
5 atau lebih
CNP(Copy Number
Polymorphism)
Ada atau tidaknya
segmen DNA sepanjang
200 bp-1,5 Mb, walaupun
duplikasi tandem
sebanyak 2, 3, 4, atau
lebih dapat terjadi
2 atau lebih
Terdapat banyak jenis-jenis polimorfisme. Beberapa polimorfisme adalah
akibat delesi, duplikasi, triplikasi dan seterusnya dari beberapa ratus hingga juta
pasang basa. Polimorfisme ini tidak selalu terlibat dalam munculnya penyakit
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
52/122
52
genetik, meskipun sejumlah di antaranya dapat menyebabkan penyakit genetik
yang serius. Polimorfisme juga dapat berupa perbedaan hanya dalam satu atau
beberapa pasang basa dalam gen, di antara gen, atau di dalam intron. Variasi
bentuk ini dapat tidak memiliki konsekuensi apapun dan hanya terdeteksi saat
dilakukan analisis DNA. Sementara beberapa di antaranya terutama jika
perubahan terletak dalam protein-coding regions, regulatory regions (promoter,
enhancer, silencer, dan lain-lain), dapat menyebabkan perubahan fenotip melalui
perubahan protein yang dikodenya dengan cara perubahan strukturnya atau
jumlahnya (Nussbaum et al.,2007).
Polimorfisme pada gen telah berkembang selama proses evolusi melalui
berbagai macam mekanisme, seperti point mutation (missesnse, nonsense atau
frame-shift), konversi gen, delesi, dan insersi. Banyak SNP juga telah ditemukan
tersebar dalam genom (Gullstn, 2000).
2.14.2. Polimorfisme Gen CYP2A6
Adanya polimorfisme akan tampak pertama kali pada tingkat fenotip. Variasi
dalam aktivitas enzim atau dalam laju eliminasi suatu bahan yang menjadi
substrat enzim terkait telah dijadikan sebagai dasar pengukuran adanya variasi
fenotip. Hal ini banyak dilakukan pada enzim-enzim mikrosom hati baik secara in
vivo maupun in vitro pada hewan. Pada manusia, polimorfisme tertentu dari
XMEs (Xenobiotic Metabolizing Enzymes) telah banyak ditemukan dengan
melihat adanya kegagalan metabolisme obat-obat tertentu atau bahkan gagalnya
suatu terapi (Gullstn, 2000).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
53/122
53
Contoh polimorfisme pada XMEs yaitu polimorfisme pada gen CYP1A1yang
menyebabkannya memiliki 4 varian, yaitu CYP1A1*2A, CYP1A1*2B, CYP1A1*3,
dan CYP1A1*4. Masing-masing varian yang diberi nomor setelah tanda bintang
sesuai dengan urutan ditemukannya memiliki aktivitas enzim yang berbeda-beda
dan bahkan beberapa varian tertentu di antaranya meningkatkan risiko kanker
paru terutama jika bersamaan dengan efek mutasi sinergistik dari gen p53, Ki-ras
atau GSTM1(Gullstn, 2000). Polimorfisme juga terjadi pada gen CYP2A6yang
menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini. Polimorfisme pada gen tersebut
sekarang menghasilkan sekitar 37 varian atau alael dan terus bertambah melalui
penelitian-penelitian yang dilakukan terhadapnya. Variasi yang terjadi tidak hanya
pada tingkat genotip tetapi juga pada tingkat fenotip berupa bertambah atau
berkurangnya dan bahkan pada beberapa varian, hilangnya aktivitas enzim sama
sekali (null mutation) yaitu pada alel CYP2A6*4. Mekanisme yang bertanggung
jawab terhadap hilangnya atau duplikasi gen adalah unequal crossing-over
dimana saat crossing-over, gen CYP2A6dari kromatid yang homolog berpasangan
tidak sejajar dengan CYP2A7 yang berada di samping gen CYP2A6 (flanking
region). Unequal croosing-over seperti ini bisa saja terjadi mengingat gen
CYP2A7 memiliki sekuens yang hampir persis sama dengan CYP2A6 dengan
tingkat kemiripan sebesar 96% jika dilihat dari sekuens nukleotida dalam
genomnya (Gullstn, 2000).
Pada tabel di bawah ini, tabel 2.3 disajikan 28 alel gen CYP2A6 beserta
dengan variasi sekuens nukleotida, dan efeknya in vivomaupun in vitro. Sebagian
besar varian dari normal atau wild type menghasilkan fenotip enzim dengan
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
54/122
54
aktivitas yang menurun, meskipun ada juga yang menghasilkan peningkatan
aktivitas enzim yang dikodenya akibat duplikasi gen CYP2A6. Hampir semua
varian merupakan SNP(Single Nucleotide Polymorphism). Adanya polimorfisme
ini mengakibatkan missense mutation dan gangguan terhadap efektifitas
regulatory elementsepertipromoter(TATA box) atauproximal promoter elements
(CCAAT box). Satu varian alel, yaitu CYP2A6*4 merupakan akibat delesi
keseluruhan gen CYP2A6 yang disebabkan oleh adanya unequal crossing over
saat pembelahan meiosis pembentukan sel gamet dengan salah satu sel gamet
mendapatkan 2 gen CYP2A6(duplikasi) dan sel gamet yang lain mengalami delesi
seperti yang telah dijelaskan di atas.
2.15. Farmakodinamika Nikotin
2.15.1. Efek Nikotin pada Sistem Kardiovaskular, Respirasi, Endokrin dan
Metabolisme Tubuh Secara Umum
Efek Nikotin pada sistem kardiovaskular diperantarai oleh stimulasi simpatik
akibat peningkatan katekolamin dalam sirkulasi. Nikotin menyebabkan stimulasi
simpatis ini melalui mekanisme perifer dan sentral. Mekanisme aktivasi melalui
sistem saraf pusat (SSP), di antaranya adalah aktivasi kemoreseptor perifer,
terutama kemoreseptor karotid, dan efek langsung pada batang otak serta sumsum
tulang belakang..
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
55/122
55
Tabel2.3.
BeberapaMac
amAlelGenCYP2A6beserta
FenotipnyaInVivodanInVitr
o(Hukkanenetal.,
2005)
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
56/122
56
Sedangkan yang termasuk mekanisme perifer di antaranya adalah pelepasan
katekolamin dari kelenjar adrenal dan ujung saraf pada dinding vaskular.
Keseluruhan mekanisme nikotin ini meningkatkan denyut jantung dan tekanan
darah.
Nikotin juga mempengaruhi aliran darah secara diferensial ke organ-organ
yang berbeda, menyebabkan vasokonstriksi pada beberapa jaringan pembuluh
darah (misal kulit) dan vasodilatasi pada jaringan pembuluh darah di tempat lain
(misal jaringan otot). Vasokontriksi pada jaringan kulit akan mengurangi suhu
pada permukaannya. Nikotin juga menginduksi vasokonstriksi pada pembuluh
darah koroner. Vasokonstriksi koroner tersebut tampaknya diperantarai oleh
katekolamin. Selain pada sistem kardiovaskular, nikotin juga memiliki pengaruh
pada sistem respirasi, yaitu berupa konstriksi bronkus dan peningkatan produksi
mukus. Hal ini akan meningkatkan tahanan terhadap aliran udara pernapasan, dan
menurunkan ventilasi paru.
Laju metabolisme tubuh secara umum dipengaruhi juga oleh nikotin. Seorang
perokok rata-rata memiliki berat badan 4 kg lebih rendah dibandingkan dengan
bukan perokok. Berat badan yang lebih rendah ini dipertahankan oleh keadaan
metabolisme yang tinggi dan nafsu makan yang tertekan. Berhentinya kebiasaan
merokok akan kembali meningkatkan nafsu makan dan asupan kalori, akibatnya
terjadi peningkatan berat badan selama 6-12 bulan setelahnya. Pada sistem
endokrin, nikotin menstimulasi pelepasan ACTH dan kortisol serta -endorfin.
Dengan demikian nikotin terbukti memiliki efek analgesik (Britton et al.,2000).
7/24/2019 unud-121-134200215-bab i-lampiran.pdf
57/122
57
2.15.2. Efek Psikoaktif dari Nikotin dan Patofisiologi Ketergantungan Fisik
Individu pada Nikotin
Nikotin termasuk dalam obat-obatan yang memiliki efek adiktif seperti
halnya kokain, heroin, morfin atau amfetamin. Obat-obat adiktif tersebut memiliki
dua karakteristik penting sehubungannya dengan perilaku pemakainya, yaitu (1)
menimbulkan efek dalam otak yang menyenangkan dan mendorong
penggunaannya kembali (self-administration) pada hewan coba ataupun pada