107
UNIVERSITAS INDONESIA AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT JAWA SKRIPSI Guntur Pitut DK 0606044890 Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat Depok Juli 2012 Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

  • Upload
    volien

  • View
    240

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK

MENURUT HUKUM ADAT JAWA

SKRIPSI

Guntur Pitut DK

0606044890

Fakultas Hukum

Program Studi Ilmu Hukum

Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat

Depok

Juli 2012

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK

MENURUT HUKUM ADAT JAWA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Guntur Pitut DK

0606044890

Fakultas Hukum

Program Studi Ilmu Hukum

Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat

Depok

Juli 2012

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

ii

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Guntur Pitut DK

NPM : 0606044890

Tanda Tangan :

Tanggal : 13 Juli 2012

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

iii

Universitas Indonesia

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

iv

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah Swt sehingga

Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun tujuan utama dari

penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat guna memenuhi gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Maka untuk maksud

tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM

PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT JAWA.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

terdapat kekurangan. Segala saran-saran dan pendapat serta kritikan yang sifatnya

membangun akan penulis terima dengan senang hati, guna perbaikan di waktu yang

akan datang.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Allah swt, yang masih memberikan kesempatan hingga dapat terselesaikannya

skripsi ini;

2. Bapak Afdol S.H., M.H., selaku pembimbing skripsi yang telah banyak

meluangkan waktunya untuk memeriksa, memberikan saran serta memberikan

koreksi atas skripsi penulis;

3. Ibu Farida Prihatini S.H., M.H., C.N., Ibu Meliyana Yustikarini S.H.,M.H.,

Ibu Wirdyaningsih S.H., M.H., selaku para Penguji yang telah memberikan

banyak koreksi, saran dan masukan kepada penulis dalam menuntaskan

skripsi ini;

4. Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah memberikan

ilmunya kepada penulis;

5. Ayahku, almarhum Marsma (purn) Drs. Poerwanto S.H., M.A., Msi., yang

selalu memberikan semangat kepada penulis, mendoakan dan membiayai

kuliah penulis hingga akhir hayatnya;

6. Ibuku, almarhumah Niek Partini, S.H., C.N., yang selalu menyayangi,

mendukung dan mendoakan penulis semasa hidupnya;

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

v

Universitas Indonesia

7. Kakak perempuanku beserta suami, Nuri Danaryanti dan Drs. Darmansyah

H.S., Akt., M.M., yang selalu mendoakan dan mendukung hingga

terselesaikannya skripsi ini;

8. Kakak laki-lakiku beserta istri, R. Roy Happy Danardono, S.H., S.kom.,

M.kom., dan RA. Ayu Kusumastuti, S.E., yang selalu memberikan semangat

kepada penulis serta mendoakan penulis sejak awal menyusun sampai dengan

terselesaikannya skripsi ini;

9. Keponakan-keponakanku, Natasya, Dimas, alm. Adit, Raras, Miralda N.A.,

S.ked., Andar F., S.E., Iyan, dan Gerry, yang menjadi penyemangat penulis

hingga terselesaikannya skripsi penulis;

10. Om Faisol dan Tante Dewi, yang membiayai penulis serta selalu memberikan

dukungan spiritual dan moril hingga dapat terselesaikannya skripsi ini;

11. Calon mertuaku, bapak Bekti Harsono dan Ibu Rosfita Roesli yang menjadi

motivasi penulis hingga dapat terselesaikannya skripsi ini;

12. Calon Istriku, Kartika Prasasta Wenursita S.E., yang selalu menjadi inspirasi

penulis untuk segera menyelesaikan skripsi dan selalu memberikan semangat

dan doa kepada penulis sejak awal menyusun sampai dengan terselesaikannya

skripsi ini;

13. Dr. Suryadharma Hari Respati, Drg. Yanuarti Retnaningrum, Drg. Presti

Bhakti Pratiwi, Sunu Wahyu Trijati yang selalu mendukung dan memberi

semangat kepada penulis;

14. Sahabatku Metty Widyastari S.S., Andy Gunawan, Denovan Mahesa, Aris

Wihardi, Gede Rezza, Marota Adhiguna, Alloysius Bimo, yang selalu

mendukung penulis, memberikan semangat kepada penulis hingga dapat

terselesaikannya skripsi penulis;

15. Rekan-rekanku Angkatan Program Ekstensi dan Alumni Program Ekstensi

Joseph Orth S.H., Ridwan Ashari S.H., Agung Cahyono S.H., Joko Triyanto

S.H., Dimas Maderi S.H., Bima Anwar S.H., Yoseph Pardede cSH, Teuku

Safriansyah S.H., Moh. Nizar S.H., Immanuel Julius S.H., Dimas Julianto

S.H., Astari Amalia S.H., Dea Dwi S.H., Yulia Prihatini S.H., Imam

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

vi

Universitas Indonesia

Hermanda cSH, Abimantrana cSH, Daniel Mamesah cSH, Joan Caeserine

S.H., Endang Purwanti cSH, Gery Novrano S.H., Ricky Errens S.H., Renol

Sihombing S.H., Ajie Prasetyo S.H., Moh. Thariq S.H., Doddy S.H., M.

Donny S.H., Nathan Goeltom S.H., Sondang Tiurista S.H., Yulia Astri

Dewanty Harun S.H., dan yang tak mungkin penulis sebutkan satu persatu;

16. Rekan-rekan kerjaku di PT. Mata Binar Kalingga, Meivy Bonetha, Monty,

Oni, Pak Yudhi, Pak Moch. Nassarudin, Akkad Setiadi, Pak Wahyu, yang

selalu mendukung penulis hingga terselesaikannya skripsi ini;

17. Semua pihak yang telah membantu memberikan saran dan nasehat hingga

terselesaikannya penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu.

Semoga Allah Swt berkenan memberikan dan melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya kepada mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini, hingga dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas

Indonesia.

Depok, 13 Juli 2012

Guntur Pitut D.K.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

vii

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Guntur Pitut DK

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul : Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum

Adat Jawa.

Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda-beda.

Hukum adat Jawa memiliki karakteristik yang unik dan menarik untuk digali

termasuk pula mengenai pengangkatan anaknya, karena hadirnya anak begitu

pentingnya di dalam suatu keluarga yang jika seorang suami isteri dalam

perkawinannya tidak mendapatkan keturunan akan menimbulkan suatu peristiwa

hukum, salah satunya adalah adopsi. Skripsi ini membahas mengenai mekanisme

pengangkatan anak berdasarkan hukum adat Jawa, pada umumnya di Jawa

pengangkatan anak yang dilakukan adalah secara diam-diam dan tidak menggunakan

konsep terang dan tunai. Di Jawa anak angkat mempunyai kedudukan yang seimbang

dengan anak kandung, anak angkat di Jawa berhak mendapat warisan dari orang tua

angkatnya dan ia tidak terputus hubungannya dengan orang tua kandungnya sehingga

ia juga tetap mendapat warisan dari orang tua kandungnya. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, dimana alat pengumpulan datanya

adalah studi dokumen, yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.

Kata Kunci : Mekanisme Pengangkatan Anak, Akibat Hukum Pengangkatan Anak,

Hukum Adat Jawa.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

viii

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Guntur Pitut DK

Study Program : Law

Title : Legal Status of Adopted Child According to Javanese

Customary Law

Indonesia consist of various ethnic groups with different customs. Java customary

law has a unique and interesting characteristics to be extracted also include the

appointment of his son, due to presence of children is so important in a family that if

husband and wife in marriage is not a descendant of the law will cause an event, one

of which is adoption. This thesis describes how child adoption mechanisms based on

customary law, in Javanese culture ilegal child adoption which doesn’t use bright and

cash consept. In Javanese culture, adopted child has the same equal position as the

legitimate child. Adopted child in Javanese culture has the same rights for heritage

from his/her foster parents. Alas he/she will still have a benefit from their parents

royalty incase of deceased. This study used yuridis normatif research metode, which

the data collected from doctrine and jurisprudence which based on primary and

secondary source.

Keywords: adoption child mechanisms, Legal Status Adopted Child , Javanese

Costumary Law.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

ix

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Guntur Pitut DK

NPM : 0606044890

Program Studi : Ilmu Hukum

Departemen : Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat

Fakultas : Hukum

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non eksklusif ( Non-exclusive Royalty-

Free Rigth ) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa.

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non

eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan,

mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan

tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 13 Juli 2012

Yang menyatakan,

Guntur Pitut DK

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

x

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS..........................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN..................................... Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv

ABSTRAK ..................................................................................................................vii

ABSTRACT...............................................................................................................viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................................... ix

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................ ix

DAFTAR ISI................................................................................................................. x

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang Permasalahan ............................................................................ 11.2. Pokok Permasalahan .......................................................................................... 41.3. Tujuan Penulisan................................................................................................ 41.4. Kerangka Konsepsional ..................................................................................... 41.5. Metode Penelitian............................................................................................. 101.6. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 12

BAB 2 SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT ADAT JAWA...................... 14

2.1. Sistem Kekeluargaan Adat Jawa...................................................................... 142.2. Bentuk Perkawinan dan Akibat Hukumnya..................................................... 18

2.2.1. Perkawinan Adat Jawa ............................................................................. 212.2.2. Kedudukan Suami Isteri............................................................................ 232.2.3. Hubungan Orang Tua dan Anak/Keturunan ............................................. 262.2.4. Tentang Harta Benda Perkawinan............................................................. 30

2.3. Hukum Kewarisan Adat Jawa.......................................................................... 322.3.1. Subyek Hukum Waris ............................................................................... 352.3.2. Objek Hukum Waris ................................................................................. 392.3.3. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat ..................................................... 392.3.4. Harta Warisan............................................................................................ 41

BAB 3 TINJAUAN TENTANG ADOPSI SECARA UMUM................................... 43

3.1. Pengertian Adopsi ............................................................................................ 433.2. Adopsi Sebagai Suatu Lembaga Hukum.......................................................... 43

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

xi

Universitas Indonesia

3.3. Adopsi/Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat............................................ 453.3.1. Tata Cara/Mekanisme Adopsi Menurut Hukum Adat .............................. 473.3.2. Syarat-syarat Adopsi ................................................................................. 473.3.3. Mekanisme Adopsi atau Pengangkatan Anak........................................... 473.3.4. Kriteria Orang Yang Melakukan Adopsi .................................................. 493.3.5. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat ..................... 503.3.6. Hak Mewaris Anak Angkat Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung.51

3.4. Pengaturan Tentang Adopsi ............................................................................. 523.5. Adopsi Dalam Hukum Barat (BW).................................................................. 57

3.5.1. Syarat dan Tata Cara Adopsi Menurut Hukum Barat ............................... 583.5.2. Akibat Hukum Adopsi Menurut Hukum Barat ......................................... 59

3.6. Adopsi Menurut Hukum Islam ........................................................................ 603.6.1. Pengertian Adopsi Dalam Pandangan Islam............................................. 603.6.2. Hubungan Anak Angkat Dalam Hubungan Perkawinan .......................... 623.6.3. Hak Mewaris Anak Angkat....................................................................... 62

BAB 4 AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM

ADAT JAWA ................................................................................................. 64

4.1. Tata Cara Pengangkatan Anak di Jawa............................................................ 644.2. Perbedaan Anak Angkat Dan Anak Piara Di Jawa .......................................... 654.3. Syarat Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa................................. 664.4. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa ................... 674.5. Asas Pewarisan Masyarakat Adat Jawa ........................................................... 684.6. Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan Menurut Hukum Adat Jawa

......................................................................................................................... 684.7. Putusnya Hubungan Pengangkatan Anak ........................................................ 73

BAB 5 PENUTUP ...................................................................................................... 75

5.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 755.2. Saran................................................................................................................. 77

DAFTAR REFERENSI .............................................................................................. 78

LAMPIRAN

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

1

Universitas Indonesia

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap manusia pada dasarnya ingin mempunyai anak karena anak sangat

besar artinya dalam keluarga, masyarakat dan umat manusia. Di samping itu, anak

merupakan penghibur yang sangat dekat dengan ibu bapaknya dan dapat

membangkitkan rasa tanggung jawab dan kasih sayang. Manusia dalam proses

perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup

yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pada

dasarnya untuk mendapatkan keturunan adalah melalui suatu perkawinan.

Perkawinan pada kenyataannya dipandang sebagai jalan untuk mewujudkan suatu

keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa, dan perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak

boleh berakhir begitu saja. Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang yang

telah dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin

atau kaya, tinggal di desa atau di kota, dan lain sebagainya.

Dengan perkawinan maka akan terbentuk suatu keluarga (dalam arti sempit)

yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga mempunyai peranan yang penting

dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok

masyarakat terkecil. Namun di dalam kenyataannya tidak selalu unsur yang

terpenting, yaitu adanya anak itu terpenuhi, sehingga seringkali pula suatu

keluarga tidak memiliki anak atau keturunan.

Begitu pentingnya hal keturunan (anak) ini, sehingga dapat menimbulkan

berbagai peristiwa hukum karena ketiadaan seorang anak di dalam suatu

perkawinan. Perceraian, poligami dan pengangkatan anak merupakan beberapa

peristiwa hukum yang dapat saja terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu

tidak diperoleh keturunan. Dengan demikian, seolah-olah apabila suatu

perkawinan tidak memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan dianggap tidak

tercapai. Dengan demikian, apabila di dalam suatu perkawinan telah ada

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

2

Universitas Indonesia

keturunan (anak), maka tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses

pelanjutan generasi dapat berjalan.1

Sebagai salah satu dari beberapa jalan hukum yang diambil oleh keluarga

yang telah kawin namun tidak dianugerahi keturunan/anak adalah dengan

melakukan perbuatan hukum Adopsi/Pengangkatan anak. Tujuan seseorang

melakukan pengangkatan anak atau adopsi adalah untuk meneruskan keturunan.

Dengan mengangkat anak diharapkan supaya kelak ia ada yang memelihara di

hari tua, untuk mengurusi harta kekayaan sekaligus menjadi generasi penerusnya.

Ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar sebagai

alternatif yang positif serta manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak

dalam pelukan keluarga.

Mengangkat anak adalah merupakan suatu perbuatan hukum, oleh karena itu

perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Salah satu akibat hukum dari

peristiwa pengangkatan anak adalah munculnya persoalan mengenai sah atau

tidaknya pengangkatan anak tersebut di mata hukum, serta kedudukan anak

angkat itu sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, atau juga dengan orang tua

kandungnya sendiri.

Pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia setiap daerah satu berbeda

dengan daerah yang lain karena dilakukan sesuai dengan hukum adat yang berlaku

di daerah yang bersangkutan. Salah satu masyarakat adat yang masih melestarikan

dan menjaga nilai-nilai kebudayaannya hingga kini adalah masyarakat adat Jawa.

Masyarakat Jawa memiliki adat istiadat yang dihormati, ditaati serta dilaksanakan

oleh seluruh warganya, dan juga memiliki Hukum Adat yang mengatur segala

kehidupan masyarakat Jawa yang berisikan suruhan, larangan dan kebolehan.

Suku Jawa atau masyarakat adat Jawa memiliki karakteristik adat istiadat yang

menarik untuk diselami dan diketahui, begitu pula dengan hukum adatnya, hal

inilah yang membuat penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan tema hukum

adat khususnya hukum adat Jawa. Di dalam masyarakat adat Jawa sebagai suatu

akibat dari pengangkatan anak, saudara-saudara dari orang tua angkat si anak

adopsi sering mempermasalahkan sah atau tidaknya kedudukan anak angkat/anak

1 Soerjono Soekanto dan Soleman b.Taneko, Hukum Adat Indonesia, Cet. 1, ( Jakarta:CV. Rajawali, 1981), hal.275 dan 276.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

3

Universitas Indonesia

adopsi ini sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya tersebut. Apakah anak

angkat/anak adopsi tersebut berhak menjadi ahli waris dan mendapatkan seluruh

harta pewaris sementara saudara-saudara orang tua angkatnya (pewaris) masih

hidup, dan berhak pula mendapatkan bagian harta warisan. Permasalahan inilah

yang membuat penulis tertarik dan ingin menggali lebih dalam lagi mengenai

pengangkatan anak/adopsi yang terjadi di dalam masyarakat hukum adat Jawa.

Prosedur pengangkatan anak menurut Hukum Adat terdapat banyak cara,

namun secara umum pengangkatan anak dapat dibedakan menjadi dua : 2

1) Pengangkatan anak secara terang dan tunai.

2) Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai

Adapun maksud dari kata “terang”, ialah suatu prinsip legalitas yang berarti

bahwa perbuatan itu dilakukan di hadapan dan diumumkan di depan orang banyak

dengan sepengetahuan Kepala Adat secara resmi dan formal, dengan demikian

dianggap bahwa semua orang atau warga masyarakat mengetahui terjadinya

perbuatan hukum pengangkatan anak tersebut. Sedangkan kata “tunai” berarti

perbuatan itu akan selesai saat itu juga. 3 Di dalam perbuatan “tunai” ini ada

pemberian berupa benda-benda tertentu dari calon orang tua angkat kepada orang

tua kandung si anak. Tujuan pemberian itu pada dasarnya adalah sebagai simbol

untuk melepaskan hubungan hukum antara anak angkat itu dengan orang tua

kandungnya sendiri. Prosedur tersebut membawa konsekuensi atau akibat hukum,

pertama, mengenai hubungan hukum anak angkat dengan orang tua asli atau

kandungnya, dimana proses pengangkatan anak akan berakibat putus atau

tidaknya hubungan hukum antara anak dengan orang tua kandungnya. Kedua,

akibat hukum yang menyangkut tentang pewarisan anak angkat dengan orang tua

angkatnya.

Pengangkatan anak atau adopsi di Jawa mempunyai pengertian yang hampir

sama dengan pemeliharaan anak, akan timbul suatu masalah apabila orang tua

angkat si anak adopsi atau anak pelihara ini meninggal dunia, bagaimanakah

membedakan antara anak angkat dengan anak pelihara ini sehubungan dengan

2 I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, ,( Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), hal.35.

3 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cet. 10 (Jakarta: Pradnya Paramita,2006), hal. 33.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

4

Universitas Indonesia

masalah warisan, sedangkan di jawa tidak dikenal konsep terang dan tunai. Sistem

pengangkatan anak pada masyarakat Jawa memiliki keunikan tersendiri

dikarenakan masyarakat Jawa adalah masyarakat bilateral atau masyarakat keibu-

bapaan yaitu masyarakat dengan garis keturunan ibu dan bapak. Anak angkat di

dalam masyarakat adat Jawa selain mempunyai hubungan dengan orang tua

angkatnya, ia juga tidak terputus hubungan dengan orang tua kandungnya.

1.2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka pokok pokok

permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana mekanisme pengangkatan anak dan kedudukan anak angkat

dalam masyarakat adat Jawa ?

2. Bagaimanakah akibat hukum pengangkatan anak terhadap masalah-

masalah kewarisan menurut Hukum Adat Jawa ?

1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah disebutkan diatas, maka :

1. Menjelaskan mekanisme pengangkatan anak serta kedudukan anak angkat

pada Masyarakat Hukum Adat Jawa.

2. Menjelaskan akibat hukum pengangkatan anak terhadap masalah-masalah

pewarisan menurut Hukum Adat jawa dan menurut Hukum Nasional

1.4 Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai

pengertian dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini konsep-konsep yang digunakan dan perlu

didefinisikan adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat (1),

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

5

Universitas Indonesia

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.4

Pengertian Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan.5 Dalam Kompilasi Hukum

Islam pada Bab II tentang Dasar-dasar Perkawinan di dalam pasal 2

disebutkan pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk

menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.6

Pengertian perkawinan yaitu, suatu hidup bersama dari seorang laki-laki

dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk

dalam peraturan. Yang dimaksud dengan peraturan ialah “Hukum

Perkawinan”.7

Imam Muhammad Abu Zahrah seorang ahli hukum Islam dari Universitas

Al-Azhar mengemukakan definisi nikah yaitu akad yang menjadikan

halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita,

saling menolong antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban

diantara keduanya8.

2. Warisan

Warisan adalah Harta warisan berupa sejumlah harta kekayaan yang

ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan

pasiva yang berpindah kepada ahli waris.9

Warisan berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.10

4 Pasal 1 dan 2 (1), Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974

5 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet.5 ( Jakarta: UI-Press, 2007), hal. 47.

6 Pasal 2, Kompilasi Hukum Islam.

7 Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. 6,(Jakarta: SumurBandung, 1974), hal. 7.

8 www. Lontar.ui.ac.id/file=digital/125064-PK%201%202139..., diakses tanggal 28Desember 2011.

9 J. Satrio, 1990, Hukum Waris, Bandung, PT. Citra Aditya, hal. 8

10 Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, cet. 2 (Bandung: Mandar Maju,1990), hal. 2.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

6

Universitas Indonesia

Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah

digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,

biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk

kerabat.11

3. Hukum Adat

Hukum Adat adalah peraturan-peraturan yang menjelma di dalam

keputusan-keputusan para pejabat hukum, yang mempunyai kewibawaan

dan pengaruh serta yang didalam pelaksanaannya berlaku secara serta

merta dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan

tersebut.12 Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda

: “Adat-Recht”, yang pertama kali dikemukakan oleh : Snouck Hurgronje

yang kemudian dipakai dalam bukunya : “De Atjehers” (orang-orang

Aceh). Istilah “Adat-Recht” ini kemudian dipakai pula oleh : van

Vollenhoven yang menulis buku-buku/pokok tentang Hukum Adat dalam 3

jilid yaitu : “Het Adat-Recht van Nederlandsch Indie” (Hukum Adat

Hindia Belanda).13 Menurut Van Vollenhoven, Hukum Adat ialah :

Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai

sanksi (oleh karena itu : “Hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak

dikodifikasikan (oleh karena itu : “Adat”).

-positif : Hukum yang dinyatakan berlaku disini dan kini.-sanksi : reaksi/konsekuensi dari pihak lain atas pelanggaran suatu norma.Menurut Ter Haar, apa yang dinamakan Hukum adat itu di dalam pidato

dies natalies tahun 1930, dengan judul : “Peradilan Landraad berdasarkan

hukum tak tertulis”, disebutkan bahwa Hukum Adat lahir dari dan

dipelihara oleh keputusan-keputusan; keputusan para warga masyarakat

hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang

membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal

11 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 butir (e).

12 Soekanto dan Soerjono Soekanto,Pokok-pokok Hukum Adat, cet. 1 (Bandung: Alumni,1978), hal. 16.

13 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat bekal pengantar, cet. 4(Yogyakarta: Liberty,1981), hal. 1.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

7

Universitas Indonesia

pertentangan kepentingan, keputusan para Hakim yang bertugas mengadili

sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu, karena kesewenangan atau

kurang pengertian, tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat,

melainkan senapas-seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui

atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya.14

Sementara itu di dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek : “Hukum

Adat Hindia-Belanda di dalam ilmu, praktek dan pengajaran”, Ter Haar

menyatakan bahwa Hukum Adat itu dengan mengabaikan bagian-

bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan Desa, surat-

surat perintah Raja, adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam

keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas) yang

mempunyai wibawa (Macht Authority) serta pengaruh dan yang dalam

pelaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan

sepenuh hati. (Fungsionaris disini terbatas pada dua kekuasaan yaitu :

Eksekutif dan Yudikatif). Dengan demikian Hukum Adat yang berlaku itu

hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para

Fungsionaris hukum itu; bukan saja hakim tapi juga kepala Adat, rapat

desa, wali tanah, petugas-petugas dilapangan Agama, petugas-petugas desa

lainnya. Keputusan itu bukan saja mengenai suatu sengketa yang resmi,

tetapi juga diluar itu berdasarkan kerukunan (musyawarah). Keputusan-

keputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan

alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu.

Dalam perumusan Ter Haar ini tersimpul ajaran : Beslissingenleer (ajaran

keputusan).15 Ajaran keputusan ini adalah aturan adat /kebiasaan yang

mendapat sifat hukum melalui keputusan-keputusan atau penetapan-

penetapan petugas hukum seperti Kepala Adat, Hakim, baik di dalam

maupun di luar persengketaan. Menurut Ter Haar, jika tidak ada

keputusan, maka belum bisa dikatakan sebagai hukum.

14 Ibid. hlm. 6.

15 Ibid.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

8

Universitas Indonesia

Hukum Adat adalah hukum dari suatu negara tertentu yang kebanyakan

tidak tertulis dalam bentuk perundangan yang resmi dibuat oleh pihak

penguasa pemerintah umum, pengertian hukum adat di Indonesia,

dikatakan “ Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk

perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung

unsur agama “ (BPHN, 1976:250).16

4. Adopsi atau Anak Angkat

Adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris “Adoption” yang

berarti pengangkatan atau pemungutan sehingga sering dikatakan

“Adoption of Child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.

Kata adopsi ini dimaksudkan oleh ahli bangsa Arab dengan istilah

Attabani. Yang dimaksudkan sebagai mengangkat anak, memungut atau

menjadikannya anak. Surojo Wingjodipura. S.H. mengatakan “Adopsi

(mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain

kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang

memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum

kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak”.17

Anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat oleh suatu keluarga dan

dianggap sebagai anak kandungnya sendiri dan biasanya anak angkat ini

dilakukan oleh suatu keluarga oleh karena mereka tidak mempunyai anak

sama sekali.18 Pengertian Adopsi yang diterjemahkan dengan

Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak oleh seseorang dengan

maksud untuk menganggap anak itu sebagai anaknya sendiri.19 Pengertian

16 Prof.H.Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Cet.3, ( Bandung : P.T.Alumni, 2010 ), hlm. 19-20.

17 Relasi untuk berbagi: Adopsi dalam pandangan Islam,http://www.daniexe.co.cc/2009/06/adopsi-dalam-pandangan-islam.html, diakses tanggal 26 April2011.

18 Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Op.cit, hlm. 276.

19 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan danKekeluargaan Perdata Barat, cet. 1 (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 148.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

9

Universitas Indonesia

adopsi atau pengangkatan anak menurut Surat Edaran Mahkamah Agung

No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan anak: perbuatan hukum yang

mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua

yang sah/walinya yang sah/orang lain yang bertanggung jawab atas

perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam

lingkungan kekuasaan keluarga orang tua angkat berdasarkan

penetapan/Putusan Pengadilan Negeri, tanpa mempersoalkan apakah

pengangkatan anak tersebut mempunyai akibat hukum yang

penuh/sempurna atau akibat hukum yang terbatas.20 Pengertian

mengangkat anak menurut Soerojo Wignjodipoero, adalah : 21 “Suatu

perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri

sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak

yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti

yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.”

Kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak

orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.22

5. Masyarakat Adat Jawa

Adalah suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi satu sama lain

menurut sistem adat Jawa, yang sifatnya terus menerus dan terikat dengan

rasa identitas bersama. Masyarakat adat jawa adalah semua orang yang

berbudaya Jawa, yang berasal dari dan bertempat kediaman di daerah

propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan pusat budayanya di

Yogyakarta dan Surakarta yang menurut istilah M.M. Djojodigoeno

disebut daerah “Kejawen”. Jadi semua orang Jawa itu berbudaya satu.

Mereka berpikiran dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa

20 Ibid, hlm. 151.

21 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, ( Jakarta: GunungAgung, 1992), hlm. 117-118.

22 Poerwadarminta, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta, 1976),hlm. 120.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

10

Universitas Indonesia

Tengah dengan kota-kota Yogya dan Solo sebagai pusat-pusat

kebudayaan.23

1.5. Metode Penelitian

Suatu penelitian yang baik membutuhkan metode untuk mengarahkan

penelitian ke arah yang benar secara sistematis dan kronologis, sesuai dengan

tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Untuk menciptakan penelitian ini menjadi

penelitian yang terarah secara sistematis dibutuhkan metode penelitian yang tepat.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan jenis penelitian ini

dimaksudkan untuk menemukan kaidah atau norma hukum yang ada, mengenai

kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa. Sedang

untuk mendapatkan data atau informasi tentang kedudukan anak angkat terhadap

harta warisan ini, maka kemudian diadakan penelitian pustaka, data tersebut

diambil dari bahan primer dan bahan skunder. bahan primer tersebut, antara lain:

buku-buku tentang hukum adat, makalah tentang anak angkat, dan penelitian

mengenai anak angkat. Sedang yang termasuk bahan sekunder, adalah: kamus

dan bibliografi. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan skripsi

ini adalah sebagai berikut:

1. Bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan Hukum yang mengikat,

Peraturan Perundang-undangan. Dalam penelitian ini Hukum Primer yang

digunakan ialah Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan seperti Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam dan

yurisprudensi.

2. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang tidak mengikat dan

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil

penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, artikel ilmiah, skripsi, tesis,

makalah, rancangan undang-undang, laporan penelitian, buku dan lain-

lain. Bahan hukum sekunder yang dipakai adalah buku-buku yang terkait

dengan Hukum Adat, artikel-artikel dari Koran, berita-berita dari internet.

23 Hilman Hadikusuma, Op.cit., hlm. 153.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

11

Universitas Indonesia

3. Bahan Hukum Tertier, Adapun bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, penerbitan

pemerintah.

Penelitian ini berbentuk Yuridis Normatif, kajian terhadap Peraturan

Perundangan yang sudah ada dan Yuridis Sosiologis, Hukum Adat. Tipe

penelitian atau Tipologi Penelitian ini adalah deskriptif-analitis, yaitu bertujuan

menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok

tertentu, atau untuk menentukan suatu gejala. Dengan sifat tersebut, maka pada

penelitian ini akan digambarkan bagaimana keberadaan anak angkat dalam

keluarga berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan menurut hukum

adat Jawa. Gambaran tersebut akan menjelaskan bagaimana anak angkat dapat

memperoleh harta warisan dari orang tua angkat. Adapun jenis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data

yang diperoleh dari kepustakaan. Seluruh data di dapat dari pengumpulan atau

penelusuran data yang dilakukan melalui data tertulis. Sehingga dalam teknik

pengumpulan data studi dokumen, melalui mengumpulkan data, mempelajari

literatur-literatur, buku-buku, tulisan-tulisan dari para ahli yang berkaitan dengan

objek penelitian, yang berhubungan dengan Adopsi dan Kewarisan. Data yang

diperoleh dari penelitian melalui studi dokumen atau bahan pustaka tersebut,

selanjutnya dianalisis dengan pendekatan kualitatif, Namun diperlukan, penulis

juga akan menggunakan alat pengumpul data lain selain studi dokumen, yakni

wawancara dengan narasumber. Hal ini dilakukan untuk menarik asas-asas

hukum. Analisa yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif merupakan

pelaksanaan analisis data secara mendalam, komprehensif dan holistik untuk

memperoleh kesimpulan terhadap masalah yang diteliti. Data yang akan dianalisa

secara Kualitatif (ilmu hukum) dan Kuantitatif (ilmu sosial). Hasil penelitian ini

berbentuk Deskriptif-analitis.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

12

Universitas Indonesia

1.6 Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini sistematika penulisan disusun dalam 5 (lima) bab, yaitu :

BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini berisikan 6 (enam) sub-bab yaitu mengenai Latar

Belakang Masalah, Pokok Permasalahan, Tujuan Penulisan,

Definisi Operasional, Metode Penulisan, dan Sistematika

Penulisan.

BAB 2 SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT ADAT

JAWA

adalah uraian tentang sistem kekerabatan masyarakat adat

Jawa, yaitu tentang sistem kekeluargaan adat Jawa, cara

menarik garis keturunan, perkawinan adat Jawa, bentuk

perkawinan adat Jawa serta akibat hukumnya, kedudukan

suami isteri, harta perkawinan, uraian mengenai hukum

kewarisan adat Jawa, subyek dan obyek hukum waris, sistem

pewarisan serta harta warisan.

BAB 3 TINJAUAN ADOPSI SECARA UMUM

adalah uraian tentang adopsi, pengertian adopsi, jenis-jenis

adopsi, adopsi sebagai suatu lembaga hukum, pengaturan

tentang adopsi, adopsi menurut hukum perdata barat (BW)

berikut syarat dan tata cara serta akibat hukum adopsi, adopsi

menurut hukum Islam berikut pengertian adopsi dalam

pandangan Islam, hubungan anak angkat dalam hubungan

perkawinan serta hak mewaris anak angkat menurut Islam,

kemudian menguraikan pula adopsi menurut hukum Adat,

manguraikan mengenai pelaksanaan pengangkatan anak

menurut hukum adat serta akibat hukumnya.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

13

Universitas Indonesia

BAB 4 AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK

MENURUT HUKUM ADAT JAWA

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang tata cara

mengangkat anak khususnya pada masyarakat adat Jawa,

perbedaan anak angkat dan anak piara di Jawa, akibat hukum

pengangkatan anak menurut hukum adat Jawa terhadap

hubungan anak angkat dengan orang tua kandung, terhadap

hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan terhadap

masalah kewarisan yang ditimbulkan serta putusnya hubungan

pengangkatan anak.

BAB 5 KESIMPULAN

Dalam bab penutup ini penulis memberikan kesimpulan serta

berusaha untuk dapat menguraikan secara garis besar seluruh

hasil dari penelitian dan pembahasan serta penyelesaian atas

masalah yang terjadi terhadap kedudukan serta akibat hukum

pengangkatan anak menurut hukum adat Jawa.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

14

Universitas Indonesia

BAB II

SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT ADAT JAWA

2.1 Sistem Kekeluargaan Adat Jawa

Sejak dahulu kala, sistem-sistem kekerabatan menarik perhatian para ahli

ilmu-ilmu sosial maupun kalangan-kalangan lainnya. Hal itu terutama disebabkan,

oleh karena manusia selalu ingin mengetahui sejarah perkembangan kehidupan

keluarga dalam masyarakat, sebagai suatu sistem sosial yang menyeluruh.

Walaupun di dalam antropologi lazimnya istilah kekerabatan sering dipergunakan

dalam arti kekerabatan dan perkawinan, akan tetapi kedua hal itu dapat dibedakan,

dimana kekerabatan merupakan hubungan darah sedangkan hubungan perkawinan

diberi istilah “affinity”. Maka di dalam bahasa Inggris orang tua dengan anak

adalah kerabat (“kin”) sedangkan suami dan isteri adalah “affines”.24 Pada

kebanyakan masyarakat, seorang anak dipandang sebagai keturunan dari kedua

orang tuanya, sehingga anak tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang

dapat ditelusuri, baik melalui ayah maupun ibunya. Kerabat yang ditelusuri

melalui ayah, biasanya disebut “paternal” atau “patrilineal”, sedangkan yang

melalui ibu, lazimnya dinamakan “maternal” atau “matrilineal”.25 Sistem

kekerabatan masyarakat adat Jawa adalah yang mempunyai hubungan

kekerabatan yang dapat ditelusuri baik melalui ayah maupun melalui ibu, yang

disebut dengan “prinsip kekerabatan bilateral”. Hazairin mengatakan bahwa dari

seluruh hukum yang ada, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang

menentukan dan mencerminkan sistem kekerabatan yang berlaku dalam suatu

masyarakat.26

24 Prof.H. Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Ibid. Hlm.153.

25 Ibid.

26 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an dan Hadits, Cet. 5, (Jakarta:Tintamas, 1981), hlm. 11.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

15

Universitas Indonesia

Secara teoritis sistem keturunan/sistem kekerabatan dapat dibedakan dalam

tiga jenis, yaitu: 27

1. Sistem Patrilineal

Menurut sistem ini, garis keturunan ditarik menurut garis bapak, di mana

kedudukan laki-laki lebih menonjol daripada kedudukan perempuan. Seorang

anggota keluarga merasa dirinya sebagai keturunan dari seorang laki-laki

maka anggapan seketurunan semacam itulah yang menghubungkan laki-laki

sebagai garis pengikatnya. Pertalian keturunan garis laki-laki ini terdapat

dalam masyarakat : Batak, Bali, Ambon, Papua, dan sebagainya.

2. Sistem Matrilineal

Menurut sistem ini garis keturunan ditarik menurut garis ibu, di mana

kedudukan perempuan lebih menonjol daripada kedudukan laki-laki. Prinsip

garis keturunan Matrilineal yaitu bahwa setiap orang laki-laki dan

perempuan, menarik garis keturunannya ke atas hanya melalui penghubung

yang perempuan saja sebagai saluran darah yaitu setiap orang itu menarik

garis keturunannya kepada ibunya dan dari neneknya itu kepada ibunya serta

dari nenek itu dan begitu seterusnya. Pertalian keturunan semacam ini

terdapat pada masyarakat Minangkabau dan Kerinci.

3. Sistem Parental atau Bilateral

Menurut sistem ini, garis keturunan ditarik menurut garis orang tua atau

menurut garis ibu-bapak. Di mana kedudukan laki-laki dan perempuan adalah

sama, tidak dibedakan. Dengan demikian, maka setiap anggota keluarga

menarik garis keturunannya dan menghubungkan dirinya melalui bapak

ibunya. Hal itu dilakukan oleh bapak ibunya, di mana kedua garis keturunan

itu dinilai dan diberi derajat yang sama. Pertalian hukum semacam ini,

terdapat pada masyarakat Jawa, Sulawesi, Aceh, dan Riau.28 Sistem

27Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, ( Penerbit Sumur Bandung, 1983

), hlm.159.

28 Bushar Muhammad, Susunan Hukum Kekeluargaan Indonesia, ( Jakarta : PT. PradnyaParamita, 1985 ), hlm.3.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

16

Universitas Indonesia

kekerabatan pada umumnya dan prinsip garis keturunan khususnya, perlu

dipelajari terlebih dahulu karena merupakan faktor-faktor yang menjadi dasar

bagi masyarakat Indonesia karena mempunyai pengaruh yang besar dalam

bidang-bidang hukum adat tertentu, terutama yang mengatur kehidupan

pribadi dari masyarakat misalnya dalam kaitannya dengan hukum perkawinan

dan hukum waris. Di dalam perkembangannya di Indonesia sekarang nampak

besarnya pengaruh bapak-ibu (parental atau bilateral) dan bertambah surutnya

pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal menyangkut hak waris29. Hukum

keluarga sebenarnya menyangkut “the relationship between husband and wife

and between parent and child, with the rights and duties which spring from

these relationships, and with the status of married women and children”

(E.A. Farnsworth: 1968)30. Sementara Ter Haar menyatakan, bahwa ruang

lingkup hukum keluarga adalah hubungan antara anak dengan orang tua,

hubungan anak dengan kelompok kekerabatan, pengurusan anak yatim-piatu

dan mengenai anak angkat31. Masyarakat Adat jawa adalah masyarakat keibu-

bapaan yaitu masyarakat dengan garis keturunan ibu dan bapak, sebuah istilah

yang sering dipakai oleh Prof. Dr. Hazairin, untuk menunjukkan pada suatu

sistem kemasyarakatan atau sistem menarik garis keturunan dimana

seseorang menarik garis melalui ibu dan bapak, serta keluarga ibu dan

keluarga bapak, sama nilai dan sama derajatnya. Masyarakat Jawa yang

menganut garis keturunan ibu dan bapak adalah berdasarkan keluarga/gezin,

yaitu suatu unit terkecil yang dalam keseluruhannya merupakan sebuah desa.

Sistem kekeluargaan Bilateral ini memiliki ciri-ciri, yaitu :

1) Menarik garis keturunan dari pihak laki-laki maupun perempuan. yang

dimaksud menarik garis keturunan dari pihak laki-laki maupun perempuan

adalah, seorang anak menarik garis keturunan dari pihak ayah juga menarik

garis keturunan dari pihak ibu. Dengan demikian bahwa seorang anak secara

29 Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Anak, ( Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti,1987 ), hlm. 23.

30 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, ( Bandung : Alumni, 1980), Hal.10.

31 Ibid.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

17

Universitas Indonesia

serentak mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya dan juga

dengan kerabat kedua orang tuanya tersebut.

2) Kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan sama. Anak laki-laki

dengan anak perempuan adalah sama, maksudnya sama disini adalah tidak ada

perbedaan kedudukan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dua-

duanya dapat menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Kedua-duanya

mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan sederajat dari orang tuanya.

3) Tidak mengenal klan. Karena di dalam sistem kekeluargaan bilateral ini tidak

mengutamakan pertalian darah ke salah satu pihak saja (pihak ayah saja atau

pihak ibu saja) akan tetapi sistem kekeluargaan bilateral ini menarik garis

keturunan dari kedua belah pihak. Contoh klan ada pada suku Batak, klan

pada suku Batak sering disebut dengan marga, misalnya Lubis, Nasution,

Siregar, Panggabean, Tobing, dan Hasibuan. Pada masyarakat Minangkabau

istilah klan disebut juga suku yang merupakan gabungan dari kampung-

kampung yang ada, misalnya Caniago dan Piliang.

4) Dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Khususnya oleh masyarakat

Jawa dan Kalimantan. Pada masyarakat Jawa, sistem kekeluargaan bilateral ini

bersifat batih, yaitu apabila anak-anak telah kawin, maka mereka akan mencar

(hidup terpisah dari orang tua atau keluarga batih). Pada masyarakat

Kalimantan (suku Dayak) anak-anak yang telah menikah tersebut kemudian

berhimpun kedalam satu rumpun yang sama dengan keluarga asalnya.

Mengenai cara menarik garis keturunan, dengan menyebut masyarakat Jawa

sebagai contoh. Hazairin menjelaskannya, sebagai berikut “Orang Jawa

merupakan masyarakat yang sistem kekeluargaannya menurut cara bilateral, yaitu

setiap orang menarik garis keturunannya ke atas baikpun melalui ayahnya ataupun

melalui ibunya, demikian pula dilakukan oleh ayahnya itu dan ibunya itu dan terus

begitu selanjutnya”. Ditinjau dari atas maka setiap orang Jawa mempunyai

keturunan bukan saja melalui anaknya yang laki-laki dan anaknya yang

perempuan, tetapi juga buat selanjutnya mempunyai keturunan yang lahir dari

cucunya yang perempuan dan dari cucunya yang laki-laki, tidak perduli apakah

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

18

Universitas Indonesia

cucunya itu lahir dari anaknya yang perempuan atau dari anaknya yang laki-laki.

Demikian pula piutnya ialah semua orang yang dilahirkan oleh cucu laki-lakinya

atau cucu perempuannya. Teranglah bahwa setiap saluran darah bagi orang Jawa

itu berarti penghubung dalam keturunannya dan berarti pula menghasilkan

anggota keluarga bagi dirinya”32. Khususnya mengenai daerah Solo, maka

Marbangun Hardjowirogo memberikan catatan-catatan, sebagai berikut

“Berdasarkan keturunan, masyarakat Solo terbagi atas ndoro, bangsawan dan

wong cilik, orang biasa dan berdasarkan profesi terbagi atas priyayi dan saudagar.

Status ndoro di Solo didapat karena adanya keturunan dalam garis lurus melalui

seorang pria atau seorang wanita yang asal-usulnya berpangkal pada seorang

Susuhunan atau seorang Mangku Negoro dan tergantung pada pangkal

kendoroannya. Seseorang bisalah seorang ndoro Kasunan atau Kidulan dan juga

seorang ndoro Mangkunegaran atau Loran. Perlu dicatat dalam hubungan ini,

bahwa gelar ndoro bisa diwariskan bukan saja melalui seorang pria, melainkan

juga melalui seorang wanita, fakta mana membuktikan bahwa kedudukan

genealogis wanita bangsawan di dalam masyarakat Solo sedari dulu sama kuatnya

dengan pria bangsawan. Semua orang yang berada di luar kelompok ndoro

terbatas, kompak dengan eksklusif dengan mudah bisa diketahui siapa-siapa saja

yang termasuk dan tidak termasuk di dalamnya”33.

2.2 Bentuk Perkawinan dan akibat hukumnya

Tujuan perkawinan pada asalnya adalah sebagai wadah atau cara untuk

mempertahankan sistem kekeluargaan. Oleh karenanya bentuk-bentuk perkawinan

sangat terkait dengan sistem kekeluargaan yang berlaku pada masyarakat tersebut.

Dengan demikian, ada hubungan langsung antara bentuk perkawinan dengan

sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat hukum adat tersebut. Secara

sederhana dapatlah dikatakan, bahwa di Indonesia dapat dijumpai tiga bentuk

perkawinan, yaitu :34

32 Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Op.cit, hlm. 62. dan 63.

33 Ibid, hlm. 63 dan 64.

34 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat bekal pengantar, Op.cit, hlm. 23.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

19

Universitas Indonesia

1. Bentuk perkawinan jujur (“bride-gift marriage”),

2. Bentuk kawin semendo (“suitor service marriage”),

3. Bentuk kawin bebas (“exchange marriage”).

Macam-macam bentuk perkawinan dimaksud adalah :

Perkawinan jujur/Kawin jujur (bride-gift marriage) merupakan bentuk

perkawinan dimana pihak pria memberikan jujur kepada pihak wanita;yang dapat

dijadikan jujur adalah benda-benda yang mempunyai kekuatan magis. Perkawinan

jujur dijumpai pada masyarakat-masyarakat patrilineal,baik yang murni maupun

yang beralih-alih. Ciri umum dari perkawinan tersebut adalah patrilokal.

Perkawinan patrilokal adalah perkawinan dimana seorang isteri hidup di tengah

keluarga besar suaminya dan dihormati sebagai ibu dari anak-anak yang

dilahirkannya. Perkawinan jujur ini ada pada masyarakat patrilineal untuk

mempertahankan garis keturunan laki-laki. Seorang wanita yang menikah maka

harus melepaskan kedudukan adat dan kekerabatannya dengan keluarga

biologisnya sendiri dan masuk dalam kekerabatan suaminya. Perkawinan ini dapat

ditemui pada masyarakat Batak, Lampung, Bali, Maluku dan Irian. Kewajiban

ditanggung suami dalam menegakkan rumah tangga, sedangkan istri hanya

pendamping. Jadi hak dan kedudukan suami istri tidak seimbang. Istri tidak bebas

melakukan perbuatan hukum tanpa ijin suami35.

Perkawinan semendo (suitor service marriage) pada hakekatnya bersifat

matrilokal dan exogami. Matrilokal berarti bahwa isteri tidak berkewajiban untuk

bertempat tinggal di kediaman suami, sebaliknya suami yang tinggal di kediaman

isteri. Sedangkan exogami berarti bahwa setiap orang diharuskan menikah dengan

orang luar sukunya. Bentuk perkawinan ini dijumpai di kalangan orang-orang

Minangkabau. Masyarakat Minangkabau terikat oleh satu keturunan yang ditarik

menurut garis ibu (matrilineal), kesatuan dasar keturunan itu disebut suku.

Perempuan/ibu yang disebut bundokanduang digambarkan sebagai limpapeh

(tiang) rumah nan gadang (rumah tangga). Peran utamanya ada dua; pertama,

35 http://www.scribd.com/doc/38109485/Tugas-Adat-Per-Bab. diakses pada tanggal 2Januari 2012.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

20

Universitas Indonesia

melanjutkan keberadaan suku dalam garis Matrilineal dan kedua, menjadi ibu

rumah tangga dari keluarga, suami dan anak-anaknya. Dalam sistim keluarga

matrilineal, selain memiliki keluarga inti (ayah, ibu dan anak) juga punya

keluarga kaum (extended family). Dalam keluarga kaum terhimpun keluarga

Samande (se-ibu). Anggota keluarga Samande berasal dari satu Rumah Gadang

dan dari saudara seibu. Pimpinan dari keluarga Samande adalah Mamak Rumah

(yaitu seorang saudara laki-laki tertua dari ibu). Sistem ini menempatkan laki-laki

pada peran sebagai pelindung, dan pemelihara harta dari perempuan dan anak

turunan saudara perempuannya. Keterkaitan dan keterlibatan seorang individu

dalam sistim matrilineal terhadap keluarga inti dan keluarga kaum adalah sama.

Dimana seorang perempuan, walau sudah menikah tidak lepas dari ikatan

kaumnya. Perempuan Minang dikatakan memegang “kekuasaan” seluruh

kekayaan, rumah, anak, suku dan kaum, ia memiliki kebesaran yang bertuah

(kata-katanya didengar oleh anak cucu). 36

Bentuk perkawinan yang ketiga adalah bentuk kawin bebas (exchange

marriage). Kawin bebas tidak menentukan secara tegas dimana suami atau isteri

harus tinggal. Hal ini tergantung pada keinginan masing-masing pihak, yang pada

akhirnya ditentukan oleh konsensus antara pihak-pihak tersebut. Pada umumnya

bentuk kawin bebas bersifat endogami, artinya, suatu anjuran untuk kawin dengan

warga kelompok kerabat sendiri.37 Kawin Bebas, artinya orang boleh kawin

dengan siapa saja, sepanjang hal itu diijinkan dan sesuai dengan kesusilaan

masyarakat setempat di sepanjang peraturan yang digariskan oleh agama. Yang

dimaksud dengan “sepanjang kesusilaan”tadi, ialah perkawinan tadi tidak

mengadatkan, tidak menentukan keharusan dengan siapa boleh kawin dan dengan

siapa tidak boleh kawin.38 Berbeda dengan bentuk perkawinan jujur dan bentuk

perkawinan semendo yang menentukan tempat tinggal suami isteri itu setelah

menikah, maka pada bentuk perkawinan bebas tidak ditentukan dimana suami

36 http://almakkiyat.wordpress.com/2011/07/27/romantika-perempuan-di-ranah-minang,diakses pada tanggal 2 Januari 2012.

37 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat bekal pengantar, Ibid, hlm.25.

38 Bushar Muhammad, Op.cit., hal 28-29.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

21

Universitas Indonesia

atau isteri harus tinggal. Suami atau isteri bebas menentukan dimana mereka harus

tinggal. Dimungkinkan bahwa isteri bertempat tinggal di kediaman suami ataupun

sebaliknya suami bertempat tinggal di kediaman isteri dan tidak menutup

kemungkinan untuk hidup membangun keluarga/rumah tangganya sendiri secara

mandiri (diluar kediaman isteri atau suami), yang disebut dengan mentas atau

mencar. Bentuk perkawinan bebas ini dianut oleh masyarakat Jawa.

2.2.1 Perkawinan Adat Jawa

Menurut Hukum Adat, perkawinan bukan semata-mata urusan dari

pribadi-pribadi yang akan kawin saja melainkan juga merupakan urusan kerabat,

keluarga, persekutuan, martabat. Dapat merupakan urusan pribadi, bergantung

kepada tata-susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok-kelompok

wangsa yang menyatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan, sebagai persekutuan-

persekutuan hukum, (bagian clan, kaum, kerabat), perkawinan para warganya

(pria, wanita, atau kedua-duanya) adalah sarana untuk melangsungkan hidup

kelompoknya secara tertib-teratur; sarana yang dapat melahirkan generasi baru

yang melanjutkan garis hidup kelompoknya. Namun di dalam lingkungan

persekutuan-persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu merupakan cara

meneruskan (yang diharap dapat meneruskan) garis keluarga tertentu yang

termasuk persekutuan tersebut; jadi merupakan urusan keluarga, urusan bapak-

ibunya selaku inti keluarga yang bersangkutan39. Orang Jawa tidak mengenal tata-

tertib adat pergaulan bujang gadis untuk berkasih cinta. Pertemuan bujang gadis

dapat terjadi pada kesempatan-kesempatan terluang, ketika diadakan acara

selamatan keluarga, acara ziarah ke kuburan, makam leluhur (sadranan), acara

kesenian (wayang), acara kematian dan sebagainya. Dalam keadaan yang biasa

jika seorang pemuda berniat untuk kawin, maka ia harus membicarakannya

kepada orang tuanya begitu pula sebaliknya jika orang tua telah berminat

mengawinkan anaknya maka akan dibicarakan dengan anaknya. Orang tua

menurut adat lama akan merasa senang jika putranya atau putrinya dapat kawin

dengan pria atau wanita yang masih ada hubungan sanak (misanan) atau masih

39 Iman Sudiyat, Op.cit, hlm 107.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

22

Universitas Indonesia

satu kakek nenek yang menurunkan mereka (nakdulur) atau masih satu canggah

(mindoan). Tetapi anak muda sekarang apalagi yang sudah banyak bergaul, tidak

suka lagi kawin dengan anggota yang masih ada hubungan kerabat atau yang

sekampung, mereka lebih suka kawin dengan pria atau wanita pilihan mereka

sendiri, dan jika telah mendapatkan bakal pasangannya mereka meminta kepada

orang tuanya agar mengajukan lamaran. Orang tua tidak begitu saja menerima

pilihan anaknya, ia harus melihat bagaimana “bibit”, “bebet”dan “bobot” bakal

pasangan anaknya itu. Apakah pria atau wanita itu keturunan baik-baik, apakah

orang tuanya tidak berprilaku buruk, bagaimana pula prilaku dan agama bujang

atau gadis dimaksud, apakah dapat diandalkan menjadi bapak atau ibu rumah

tangga, dan bagaimana pula kedudukan sosial ekonomi orang tua atau bakal

besannya, apakah mereka tidak berbeda agama, yang akan menyulitkan

perkawinan dan kehidupan rumah tangga di kemudian hari. Untuk mengetahui

hal-hal tersebut adakalanya orang tua meminta bantuan seseorang penghubung

(dandan) yang akan berperan menghubungi pihak gadis dan meneliti keadaan

kehidupan mereka, demikian sebaliknya dari pihak gadis40.

Menurut adat Jawa, jika orang tua akan menjodohkan anaknya, maka

acaranya sederhana saja, ialah dimulai dari penjajakan, kemudian nontoni,

ngelamar, sasrahan, paningset dan pelaksanaan upacara perkawinan. Penjajakan

dilakukan oleh pihak pria dengan menyuruh anggota kerabat atau tetangga dekat

untuk berkunjung pada orang tua wanita. Dalam kunjungan itu suruhan itu akan

bertanya-tanya tentang apakah si gadis sudah bersedia untuk momong anak. Jika

dijawab belum karena masih sekolah atau sudah ada yang meminang, maka

penjajakan tidak perlu dilanjutkan. Tetapi jika dijawab sudah pandai momong

anak tetapi belum ada yang mau, maka artinya bersedia untuk dilamar, atau

dijawab sebenarnya sudah bisa, tetapi ia harus “nglangkahi gunung” artinya masih

ada kakaknya yang belum kawin. Apabila ada kemungkinan si gadis bisa dilamar,

maka pihak pria akan melakukan kunjungan memperkenalkan diri dan

memperkenalkan si pemuda yang melamar, agar dapat saling melihat-lihat

(nontoni) satu sama lain. Kedatangan pihak pria terdiri dari orang tuanya,

beberapa anggota keluarga, dan tetangga dekat pria dan wanita. Dalam acara

40 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 156-157.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

23

Universitas Indonesia

nontoni ini pertemuan antara dua pihak dilayani oleh bapak si gadis atau

wakilnya, yaitu paman si gadis atau kakak laki-lakinya dengan juru bicara iparnya

atau yang lain. Tujuan nontoni adalah agar si bujang dan si gadis dapat mengenal

rupa dan gayanya sepintas, lalu begitu pula agar orang tua dan keluarga kedua

pihak dapat saling mengenal dan saling memberikan penilaian terhadap si pemuda

dan si gadis. Jika dalam pertemuan nontoni telah terbayang jalan terbuka untuk

melanjutkan lamaran, maka pada hari atau malam yang telah disepakati bersama,

pihak pemuda akan datang lagi berkunjung ke tempat pihak wanita guna

menyampaikan lamaran resmi, terang di hadapan kerabat tetangga sekampung

bahkan juga sering disaksikan perangkat desa setempat. Pelamaran itu dapat

langsung dikaitkan dengan penyampaian hadiah pertunangan (sasrahan). Acara

sasrahan bagi orang yang mampu dapat berwujud pemberian ternak kerbau atau

sapi dan perabot rumah tangga, bagi yang tidak mampu cukup sekedar memberi

hadiah perhiasan atau beberapa potong bahan pakaian untuk si gadis sebagai tanda

pengikat (paningset). Biasanya pemberian hadiah pertunangan dari pihak pria

kepada pihak wanita dilakukan seminggu atau sepuluh hari sebelum upacara

perkawinan dan jarang yang sampai melebihi waktu satu bulan. Masa sejak

paningset diterima oleh pihak wanita merupakan masa pertunangan bagi kedua

sejoli yang akan dikawinkan itu41.

2.2.2 Kedudukan Suami Isteri

Di dalam kekeluargaan yang bersifat kebapa-ibuan (Jawa), pada

hakekatnya tiada perbedaan antara suami dan isteri perihal kedudukannya dalam

keluarga masing-masing. Si suami sebagai akibat dari perkawinan menjadi

anggota keluarga si isteri, dan si isteri juga menjadi anggota keluarga si suami.42

Namun, dalam kenyataan hidup sehari-hari pada masyarakat adat Jawa yang

masih memegang teguh tradisi dan kebudayaannya, sebagian masyarakat masih

menganggap bahwa kedudukan suami itu lebih tinggi dibandingkan dengan istri

(tidak sederajat), hal ini dapat dilihat dari karakteristik pria Jawa yang kadang-

41 Ibid, hlm. 158-159.

42 Wirjono Prodjodikoro, Op.cit,hlm. 19.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

24

Universitas Indonesia

kadang bersifat egois, ketika menghadapi wanita, pria Jawa selalu ingin menang,

ingin lebih, dan ingin lebih terhormat. Dalam tradisi kehidupan orang Jawa, pria

memang dipandang lebih terhormat. Pria selalu berada di depan. Pembedaan pria

dan wanita Jawa semakin jelas, ketika orang Jawa melakukan hukum waris.

Dalam tradisi Jawa, dikenal budaya sepikul segendhongan, bagi pria dan wanita.

Pria dalam hukum waris mendapat sepikul (2 bagian) dan wanita segendhongan (1

bagian). Hal ini menggambarkan sikap orang Jawa yang meninggikan pria

dibandingkan wanita. Pria harus mendapatkan bagian lebih dalam segala hal.

Budaya sepikul segendhongan ini adalah pengaruh dari Hukum Islam, dimana di

dalam Hukum Islam ditentukan bagian warisan antara laki-laki dengan perempuan

adalah 2:1 (dua banding satu) karena p a d a a d a t Ja w a b a n ya k

d ip e n ga r u h i o l e h aga ma Islam yang didasarkan pada Al Qur’an dan Hadits.

Kaitan antara adat dan agama ini senada dengan teori receptio in complexu yang

dicetuskan oleh Van Den Berg. Menurut Van Den Berg dengan teorinya yang

terkenal dengan istilah receptio in complexu tersebut yang berarti bahwa hukum

adat yang dianut didalam masyarakat adalah keseluruhan hukum agama yang

dianutnya, h u k u m p r i b u m i h a r u s m e n g i k u t i a g a m a y a n g

d i p e l u k o l e h masyarakat. Oleh karena itu jika memeluk suatu

agama, maka harus mengikuti hukum-hukum agama itu dengan

sebenarnya.43 Dengan demikian, apabila masyarakat memeluk agama

Islam, ma ka h u ku m- h u ku m lo ka l j u ga h a ru s me n gi ku t i a ga ma

Is l a m yang dipeluk oleh masyarakat. Jadi maksud dari pernyataan Van Den

Berg disini adalah bahwa hukum/kaidah agama sama dengan hukum adat. Seperti

pada masyarakat muslim di jawa pasti menggunakan hukum/kaidah agamanya

sebagai hukum adatnya. Sehingga dalam hal ini agama sebagai unsur kebudayaan

mempengaruhi setiap bidang kehidupan manusia secara keseluruhan dan menjadi

unsur kebudayaan44. N a mu n p ad a p e r ke mba n ga n s e l an ju t n ya , t eo r i

t e r s e bu t berhasil dipatahkan oleh teori receptie yang diusung oleh Snouck

43Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar Untuk mempelajari

Hukum Adat, Cet. 3. (Jakarta: Rajawali Pers. 1996), hlm. 53.

44 http://theadvocateofchange.wordpress.com/2011/04/19/hukum-budaya-dan-agama.diakses pada tanggal 2 Januari 2012.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

25

Universitas Indonesia

H u r gr o n j e . Te o r i r e c e p t i e i n i ya n g o l eh H az a i r in d i s ebu t

s e b a ga i ‘ t eo r i iblis’.45 Sa n ga t b e r l a w a n an d e n ga n t eo r i

s e b e lu mn ya , d i ma na menurut teori ini, sebenarnya yang berlaku di

Indonesia adalah h u ku m a d a t as l i mesk i p un a d a p e n ga r uh d a r i

h u ku m Is l a m. 46 Le b ih l an ju t t e o r i i n i me n ye b u t ka n b ahwa

h u ku m Is l a m b a r u me mp u n ya i ke ku a t a n hu ku m j i ka s udah

d i t e r i ma o l e h hu kum adat dan produk hukum yang keluar berupa hukum

adat.47

Itulah sebabnya pria Jawa juga memiliki tugas dan tanggung jawab lebih

besar dibanding wanita. Pria bertugas melaksanakan lima-A, yaitu : angayani

(memberikan nafkah lahir bathin), angomahi (membuat rumah sebagai tempat

berteduh), angayomi (menjadi pengayom dan pembimbing keluarga), angayemi

(menjaga kondisi keluarga aman, tentram, bebas dari gangguan), angamatjani

(mampu menurunkan benih unggul). Konsep pria yang terahir ini sering

diwujudkan ketika akan memilih isteri dengan mempertimbangkan bibit

(keturunan), bobot (kekayaan), dan bebet (kedudukan). Maksudnya, keturunan

menjadi hal yang istimewa bagi seorang laki-laki, karena anak dipandang akan

melanjutkan sejarah orang tua. Dalam mengenakan pakaian adat jawa pun,

tampak sekali bahwa laki-laki memakai udheng ( iket ). Berarti bahwa laki-laki

dipandang lebih mudheng ( paham ) tentang hidup48.

Di dalam Undang-undang, perihal kedudukan suami isteri berkaitan dengan

hak dan kewajiban antara suami dan isteri, diatur dalam Undang-undang

Perkawinan seperti dibawah ini :49

45 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, cet. 2, (Jakarta: Tintamas, 1968), hlm. 28.

46 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2006), hlm. 297.

47 Ibid, hlm. 298.

48 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, Cet. 3, ( Yogyakarta: Cakrawala, 2010 ),hlm. 54.

49 Andjar Any, Perkawinan Adat Jawa Lengkap, ( Surakarta: PT. Pabelan, 1986 ),hlm. 23.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

26

Universitas Indonesia

1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat (UUP pasal 31 ayat 1).

2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (UUP

pasal 31 ayat 2).

3. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga (UUP

pasal 31 ayat 3). Bahwa suamilah sebagai kepala keluarga yang harus

bertanggung jawab atas baik buruknya keluarga. Sedangkan isteri mengatur

dan menata rumah tangga sebaik-baiknya. Hal ini menunjukkan adanya

pembagian tugas pokok, yang harus sama-sama disadari oleh masing-

masing pihak.

4. Suami-isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan

memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (UUP pasal 33).

Unsur saling memberi bantuan lahir batin, juga merupakan suatu karakter

tersendiri yang merupakan suatu kepribadian bangsa Indonesia yang

bersumber kepada adat dan kebiasaan hidup bergotong royong. Bahwa baik

dan buruk, kaya dan melarat; menjadi tanggung jawab bersama.

Apabila ditelaah adat pada orang Jawa yang bilateral, maka preferensi umum

adalah, bahwa pria dan wanita yang merupakan calon mempelai adalah sederajat

kedudukan sosialnya, walaupun di sana sini ada pelbagai variasi mengenai

preferensi pada perkawinan ini, tidak dijumpai kaedah-kaedahnya di dalam

Undang-Undang Perkawina

2.2.3 Hubungan Orang tua dan anak/keturunan

Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat mempengaruhi status

hukum seseorang. Dalam arti bahwa, dengan perkawinan timbul kedudukan

sebagai suami isteri dan bila dalam perkawinan lahir anak, maka akan timbul

hubungan antara orang tua dan anak. 50

50 www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126017-PK%20III%20695. diakses pada tanggal07 Oktober 2011.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

27

Universitas Indonesia

Dasar bilateral/parental atau keibu-bapaan dalam keluarga menunjukkan

betapa kekuasaan antara ibu dan ayah itu berimbang sama terhadap anak-anak dan

anggota somahnya. Baik anak kandung, maupun anak angkat, demikian juga

dengan anak tiri dan anak piara serta anak di luar kawin, semuanya mempunyai

hak untuk dipelihara oleh orang tuanya. Anak angkat, anak piara dan anak tiri

memperoleh hak untuk dipelihara dengan baik oleh orang tua angkat, orang tua

tiri, dan orang tua piara. Bagi mereka terdapat larangan untuk melakukan

perkawinan (antara anak dengan bapak atau antara ibu dengan anak), kecuali di

Bali, terdapat kasus dimana anak tiri dapat dikawini oleh bapak tirinya (Harian

Kompas, tanggal 10 April 1981). Oleh karenanya anak angkat dan anak piara itu

mendapat hak untuk dipelihara oleh orang tua angkat dan orang tua piara, maka

hal ini sekaligus mengenyampingkan hak dan kewajiban dari orang tua kandung

mereka; namun demikian di dalam hal tertentu kewajiban itu tetap ada, misalnya

wewenang untuk mengawinkan, dan bagi anak piara hubungan dengan orang tua

kandungnya dalam hukum waris. Sedangkan bagi anak luar kawin, maka ia

memperoleh hak untuk dipelihara oleh ibunya (apabila ibunya itu tidak berkawin),

akan tetapi apabila ibunya itu melakukan perkawinan (kawin darurat atau kawin

paksa), maka ia berhak untuk dipelihara oleh kedua orang tuanya itu51.

Seorang ayah/bapak pada masyarakat adat jawa mempunyai peranan yang

sangatlah penting karena di Jawa tradisi patrimonial masih sangat terasa, sehingga

bapak menjadi “penguasa” rumah tangga. Kadang-kadang decision maker

keluarga hampir seluruhnya berada pada tangan seorang bapak. Kepercayaan anak

kepada bapak pun amat berbeda dibanding kepada ibu. Anak lebih takut dan

menurut kepada bapaknya. Apa yang dikatakan bapak, biasanya diikuti oleh anak

dan isteri. Tentu, sikap pria demikian menjadi otokratis, karena berbau kratonik.

Budaya kratonik memang menghendaki demikian, yaitu anak-anak harus sungkem

kepada pinisepuh, terutama kepada bapak52.

Akibat hukum yang terjadi terhadap hubungan orang tua disini berkaitan

dengan bentuk tanggung Jawab orang tua. Ketika seorang anak lahir ke dunia,

maka sudah sepantasnya orang tua yang memiliki hubungan darah memelihara

51 Ibid, hlm. 278 dan 279.

52 Suwardi Endraswara, Op.cit, hlm. 53.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

28

Universitas Indonesia

anak tersebut. Bila dikaitkan dengan aspek hukum, maka si anak itu memiliki

hubungan hukum baik pada bapak maupun ibunya. Seorang anak mempunyai hak

dan kewajiban yang berbanding lurus dengan hak dan kewajiban kedua orang

tuanya.

Undang-undang Perkawinan mengatur tentang hak dan kewajiban antara

orang tua dan anak yang terdapat di dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49

sebagai berikut :

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-

baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak

itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun

perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang

tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan

bantuannya.

Pasal 47

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum

pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya

selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam

dan di luar Pengadilan.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

29

Universitas Indonesia

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-

barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun

atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak

itu menghendakinya.

Pasal 49

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap

seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua

yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang

telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan

dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

b. Ia berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk

memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.

Akibat-akibat hukum dari hubungan antara orang tua dengan anak menurut

hukum adat, adalah (B ter Haar Bzn : 1950) adanya larangan perkawinan antara

anak dengan orang tuanya, artinya disini ialah seorang ayah atau ibu dilarang

untuk kawin dengan anak kandungnya sendiri. Seorang ayah tidak diperbolehkan

kawin dengan anak perempuannya begitu pula seorang ibu tidak diperbolehkan

untuk kawin dengan anak laki-lakinya, kemudian adanya kewajiban orang tua

untuk mengurus anak-anaknya, orang tua wajib menyayangi anak-anaknya,

merawat dengan baik dan mendidik dengan baik anak-anaknya, menyekolahkan

dan mengajarkan nilai-nilai positif kepada anak-anaknya, serta pada perkawinan

anak perempuan, ayah menjadi wali. Jika memiliki anak perempuan yang akan

menikah, seorang ayah wajib untuk menjadi wali nikah anak perempuannya.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

30

Universitas Indonesia

2.2.4 Tentang Harta Benda Perkawinan

Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta-benda merupakan pokok

pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau ketegangan dalam

hidup perkawinan, sehingga memungkinkan akan dapat menghilangkan atau

mempengaruhi kerukunan hidup rumah tangga. Masyarakat adat Jawa, Jawa

tengah khususnya, mengadakan pemisahan harta perkawinan dalam dua golongan,

yakni :53

(1) barang asal atau barang yang dibawa ke dalam perkawinan. Barang asal ini

adalah barang atau harta pribadi suami atau isteri yang didapat sebelum

menikah.

(2) barang milik bersama atau barang perkawinan. Barang milik bersama atau

barang perkawinan adalah barang atau harta yang di dapat setelah mereka

menikah atau yang di dapat secara bersama-sama di dalam perkawinan antara

suami dengan isteri.

Tentang harta bersama, baik suami atau isteri dapat mempergunakannya

dengan persetujuan salah satu pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan, suami

atau isteri mempunyai hak sepenuhnya masing-masing atas harta bendanya itu.

Selanjutnya ditentukan, apabila perkawinan putus, maka tentang harta bersama,

dinyatakan diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud

dengan “hukumnya” itu adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum

lainnya.

Dalam suatu perkawinan menurut Hukum Adat ada kemungkinan sebagian

dari kekayaan suami dan isteri mesing-masing terpisah satu dari yang lain, dan

sebagian merupakan campur kaya.54Campur kaya adalah harta yang diperoleh

selama perkawinan, baik atas usaha istri maupun suami, masing-masing ataupun

bersama-sama.55

53 http://yayiz.wordpress.com/2010/01/04/harta-perkawinan-adat/ , diakses pada tanggal16 Januari 2012.

54 Wirjono Prodjodikoro, Op.cit,hlm. 109.

55 www.deskripsi.com/c/campur-kaya , diakses pada tanggal 12 Juni 2012.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

31

Universitas Indonesia

Bagian ke satu dari kekayaan tersebut, jadi kepunyaan masing-masing dari

suami dan isteri, dapat dibagi lagi dalam dua bagian yaitu :

Ke 1 : barang-barang yang masing-masing didapat secara warisan dari orang tua

atau nenek moyang,

Ke 2 : barang-barang yang masing-masing didapat secara hibah atau melalui

usaha sendiri.

Barang-barang yang terdapat secara warisan ini namanya bermacam-macam

di pelbagai daerah, seperti misalnya pimbit di tanah Ngaju Dayak, Sisila di

Makasar, Babakan di Bali, Asal asli atau Pusaka di Jawa dan Sumatera, Gono,

Gawan di Jawa. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa barang-barang yang

masing-masing suami dan isteri mendapat secara warisan ini, tetap menjadi milik

masing-masing, juga kalau mereka bercerai. Selanjutnya, apabila mereka

meninggal dunia, barang-barang itu diwaris oleh anak. Apabila tidak ada anak,

maka barang –barang itu kembali kepada keluarga dari suami atau isteri yang

meninggal dunia itu. Jadi tidak beralih kepada pihak lain atau keluarga dari pihak

lain itu. Jadi pada pokoknya, barang-barang kepunyaan masing-masing dari suami

dan isteri, yang diterima sebagai warisan, tetap terpisah satu dari yang lain,

sampai pada saatnya barang-barang itu secara warisan beralih pada anak-anak

mereka, kalau ada. Anak-anak inilah yang melanjutkan hak atas kekayaan dari

suatu keluarga.56

Di samping barang-barang kepunyaan masing-masing suami dan isteri yang

terpisah satu dari yang lain ini. Hukum adat mengenal barang-barang, yang

menjadi milik bersama dari dua-duanya suami dan isteri. Barang-barang semacam

ini dinamakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur Barang Gono-Gini, di Jawa

Barat Guna-Kaya atau Campur Kaya. Milik Bersama dari suami dan isteri ini

adalah suatu gejala dalam hukum adat, yang memperlihatkan tumbuh dan makin

kuatnya suatu kelompok dalam masyarakat, yang dapat dinamakan Serumah atau

Somah, yaitu suatu kekeluargaan kecil, yang terdiri dari suami-isteri dan anak-

anaknya. 57

56 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ibid .hlm.109.

57 Ibid, hlm. 111.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

32

Universitas Indonesia

.Berhubung oleh karena itu, Undang-undang Perkawinan memberikan ketentuan-

ketentuan sebagaimana dicantumkan dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37

sebagai berikut :

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya

masing-masing.

2.3 Hukum Kewarisan Adat Jawa

Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum

yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan

harta-kekayaan materiil dan non-materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh

aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris dapat dilukiskan sebagai

berikut :58

1. Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan

membatasi pewarisan tanah;

2. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh para ahli

waris;

58 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. 2, (Yogyakarta : Liberty, 1981), hlm.151.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

33

Universitas Indonesia

3. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap

berkekuatan hukum setelah si pelaku semula meninggal;

4. Struktur pengelompokan wangsa/sanak, demikian pula bentuk perkawinan

turut menentukan bentuk dan isi pewarisan;

5. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak,

pemberian bekal/modal berumah tangga kepada pengantin wanita, dapat

pula dipandang sebagai perbuatan di lapangan hukum waris; hukum waris

dalam arti yang luas, yaitu : penyelenggaraan pemindah-tanganan dan

peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.

Soepomo, dalam buku beliau yang berjudul “bab-bab tentang hukum adat”,

menulis, “mewarisi”, menurut anggapan tradisional orang Jawa bermaksud

mengoperkan harta keluarga kepada turunan, yaitu terutama kepada anak-anak

lelaki dan anak-anak perempuan59. Dari pengertian diatas, nampaklah dari proses

meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta keluarga kepada anak-anak,

kepada keturunan keluarga itu, telah mulai selagi orang tua masih hidup.

Demikian pula dapat dilihat tidak ada perbedaan anak laki-laki dan anak

perempuan dalam hal menerima barang-barang harta warisan dari orang tuanya.

Mengenai jumlah bagian yang diterima oleh anak laki-laki dan anak perempuan

masih menunjukkan untuk beberapa daerah memakai sistem “sepikul-

segendongan”(1: ½), ada beberapa daerah yang juga memakai sistem “sigar-

semongko” (1:1).60 Sigar dalam bahasa Jawa artinya adalah

“membelah”sedangkan semongko artinya adalah “buah semangka”, jadi sigar

semongko maksudnya adalah membelah buah semangka, karena membelah buah

semangka pasti menghasilkan bagian yang sama.

Menurut hukum adat Jawa dalam hal pewarisan berlaku asas kesamaan hak

dan asas kerukunan, artinya dalam pembagian warisan antara anak laki-laki dan

anak perempuan mempunyai nilai yang sama atas harta warisan dari orang tuanya.

Begitu pula dalam penyelesaiannya dilakukan dengan damai diantara para waris

59 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Cet 14, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996),Hlm. 73.

60 IGN. Sugangga, Hukum Waris Adat Jawa Tengah, (Semarang : Biro Konsultasi Hukumdan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1998), hlm. 1.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

34

Universitas Indonesia

dan mereka tidak suka membawa masalah warisan ke pengadilan. Pembagian

warisan itu dilakukan di bawah pimpinan anak tertua atau anak yang lain yang

dipandang mempunyai pengetahuan luas dan dapat bertindak adil. Adakalanya

dalam pembagian warisan itu dimintakan kesaksian dari tetangga (magersari,

gedongpalang, tangga saeyubing blarak) atau anggota perangkat desa yang tidak

saja dapat berkedudukan sebagai saksi tetapi juga sebagai juru damai dalam

penyelesaian pembagian warisan itu. Jalannya pewarisan berlaku sejak pewaris

masih hidup, dengan melakukan lintiran, artinya pewaris telah memindahkan

sesuatu bagian harta peninggalannya kepada waris tertentu sebagai dasar

kebendaan bagi waris yang mulai berumah tangga dalam rangka memisah hidup

dari orang tua (mencar mentas), misalnya orang tua memberi tanah atau rumah

kepada anak laki-laki dan perhiasan kepada anak perempuan, sebagaimana kata

orang Jawa “wong lanang ngomahi, wong wadon ngiseni”, orang laki-laki

membuat rumah dan orang perempuan mengisinya. Adakalanya juga kepada anak

perempuan diberikan tanah, karena kata orang Jawa, “bocah wadon mono

ringkih”, anak perempuan itu lemah, karena ia mudah dicerai oleh suaminya.61

Cara melintir harta peninggalan (ngelintirake) dapat dilakukan dengan

“cungan, garisan atau perangan”, yang mana pemilikan atas harta itu baru beralih

kepada waris setelah pewaris meninggal dunia. Cungan artinya menunjukkan

sesuatu benda tertentu, garisan artinya menunjukkan batas-batas tanahnya,

sedangkan perangan artinya menunjukkan bagian kebendaan tertentu yang dilintir.

Disamping itu dikenal pula yang disebut welingan, wekas atau wasiyat, yaitu

merupakan pesan orang tua kepada anak-anaknya bagaimana harta

peninggalannya kelak apabila ia wafat harus dibagi atau digunakan oleh waris.

Pembagian harta peninggalan dalam kedudukannya sebagai harta warisan

dilakukan dengan berpedoman pada hukum waris Islam yaitu dua berbanding satu

yang disebut nggendong mikul yaitu dua bagian untuk anak laki-laki dan satu

bagian untuk anak prempuan, atau dilakukan pembagian berimbang sama. Jika

tidak ada anak laki-laki yang akan memimpin pembagian warisan, maka ibu

61 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 166.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

35

Universitas Indonesia

selaku janda dapat pula melakukan pembagian warisan itu kepada anak-anaknya,

asal saja setiap anak memperoleh bagian yang pantas.62

Jadi, pada dasarnya semua anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan

menurut hukum adat Jawa mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan

orang tuanya. Hak sama (gelijk gerechtigd) yang mengandung hak untuk

diperlakukan sama (gelijk befegend) oleh orang tuanya di dalam proses

meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarganya.63

2.3.1. Subyek Hukum Waris

Subyek hukum waris adalah siapa-siapa saja yang berhak menerima

warisan dari si pewaris, adalah :

a. Anak Laki-Laki

Tiap tiap anak mendapat bagian yang layak berdasar atas prinsip hak

sama dari tiap-tiap ahli waris. Demikian jugalah terhadap anak laki-laki,

hanya kedudukan anak laki-laki yang tertua dan telah dewasa setelah orang

tuanya (ayah)meninggal dunia, maka anak tersebut mengambil alih

kedudukan hukum almarhum bapaknya, mengurus rumah tangganya apabila

adik-adiknya laki-laki maupun perempuan belum dewasa, mengurus ibu

(janda), serta menjaga serta mengatur peruntukan serta kegunaan harta

peninggalan orang tuanya khususnya untuk pembiayaan kelangsungan hidup

keluarga tersebut. Sesudah adik-adiknya remaja dan hendak menikah, anak

laki-laki tertua inilah yang bertugas mengawinkannya. Sesudah saatnya

berbagi waris, maka dia juga yang mengatur pembagian warisan sedemikian

rupa, agar layak dan sedapat mungkin senantiasa berpegang kepada

kepatutan dan kepantasan untuk bagian masing-masing.64

b. Anak Perempuan

Menurut adat tradisional Jawa, semua anak baik laki-laki maupun

perempuan, lahir lebih dahulu atau belakangan, mempunyai hak sama atas

62 Ibid, hlm. 167.

63 Ibid, hlm. 2.

64 IGN. Sugangga, Op.cit, hlm. 3.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

36

Universitas Indonesia

harta peninggalan orang tuanya. Menurut hukum waris adat Jawa Tengah,

tidak ada perbedaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan sebagai

ahli waris. Hanya mengenai jumlah bagian yang diterima antara anak laki-

laki dengan anak perempuan untuk beberapa daerah ada yang menggunakan

sistem “sepikul-segendongan” (2:1) di mana anak laki-laki mendapat bagian

dua kali lipat lebih banyak dari pada bagian anak perempuan dan ada yang

memakai sistem “sigar semongko” (1:1) dimana bagian anak laki-laki sama

dengan bagian anak perempuan.65

c. Anak Luar Kawin

Menurut hukum waris adat Jawa Tengah, seorang anak yang lahir diluar

perkawinan, hanya menjadi waris terhadap harta peninggalan ibunya

maupun waris terhadap harta peninggalan keluarga ibunya. Dapat dikatakan

untuk anak yang dilahirkan diluar perkawinan terhadap anak ini hukum adat

waris diseluruh Indonesia ada persamaan, yaitu hanya ahli waris dari ibunya

dan keluarga ibunya.66

d. Anak angkat

Di Jawa Tengah pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian

keluarga antara anak yang diangkat dan orang tuanya sendiri. Anak angkat

masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya

sebagai anak angkat sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid) akan

tetapi ia tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk

meneruskan turunan bapak angkatnya. Menurut hukum waris adat Jawa,

khusunya Jawa Tengah, anak angkat hanya mewaris barang Gono-gini dan

harta pencaharian orang tua angkatnya dan anak angkat tidak mewaris harta

asal orang tua angkatnya. Ketentuan ini telah berlaku sejak dahulu, baik

pada zaman penjajahan maupun sesudah kemerdekaan.

65 Ibid, hlm. 4.

66 Ibid, hlm. 5.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

37

Universitas Indonesia

e. Anak Tiri

Anak tiri adalah anak yang dibawa oleh ibu atau bapak kandungnya

kedalam perkawinan. Oleh karena itu anak tiri termasuk anggota rumah

tangga dalam keluarga tersebut. Hampir sama diseluruh Indonesia mengenai

kedudukan hukum dari anak tiri ini, yaitu ia hanya ahli waris terhadap ayah

kandungnya atau ibu kandungnya. Terhadap ayah tirinya ia bukan ahli waris

demikian juga terhadap ibu tirinya ia bukan ahli waris.

f. Hak Waris Mereka Selain Daripada Anak

Dalam hal ini apabila pewaris meninggal tanpa anak juga tidak ada

anak angkat maupun Janda, maka warisan pulang kembali setingkat dalam

silsilah almarhum. Dalam hal orang meninggal tanpa keturunan, maka

warisan jatuh keatas untuk orang tua yang meninggal itu, kalau tidak ada

untuk saudara-saudara laki-laki maupun perempuan yang ada.

g. Penggantian Waris (Plaatsvervulling)

Lembaga penggantian waris ini mengandung makna, bahwa harta benda

keluarga itu dari sejak pertama dan semula disediakan sebagai dasar materiil

kehidupan keluarga dan turunannya. Ini berarti, bahwa bila seorang anak

meninggal terlebih dahulu dari orang tuanya (pewaris) maka anak keturunan

dari anak yang meninggal lebih dahulu itu, menggantikan hak mewaris dari

almarhum bapaknya. Dapat dikatakan bahwa lembaga penggantian waris ini

terdapat dalam hukum adat di seluruh Indonesia, baik pada masyarakat

hukum yang bersistem Patrilineal, Parental maupun Matrilineal.67

h. Kedudukan Janda

Pada asasnya menurut hukum adat Jawa, janda bukan ahli waris dari

suami yang meninggal. Akan tetapi, mereka berhak mendapatkan bagian

dari harta peninggalan suami bersama-sama dengan ahli waris lain atau

menahan pembagian harta peninggalan itu bagi biaya hidup seterusnya.

Dalam hukum adat, janda bukan ahli waris suaminya karena janda tidak

memenuhi syarat-syarat sebagai ahli waris sebagai berikut:

67 Ibid.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

38

Universitas Indonesia

a) Ahli waris harus memiliki hubungan darah dengan pewaris,dalam

hal ini janda tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dan

b) Ahli waris dengan pewaris harus seklen, kedudukan janda disini

adalah orang luar dan tidak seklen dengan pewaris.

Namun, hukum yang menyatakan janda bukan ahli waris suaminya,

hanya ada sebelum kemerdekaan. Sedangkan setelah kemerdekaan, janda

merupakan ahli waris dari suaminya. Sebelum kemerdekaan Janda bukanlah

ahli waris karena janda dianggap orang luar yang tidak memiliki hubungan

darah dengan keluarga suami. Seperti apa yang telah diputus oleh kamar ke

III Raad van Yustisi Jakarta dahulu, memutuskan : “bahwa Janda tidak

dapat dianggap sebagai ahli waris almarhum suaminya, akan tetapi ia berhak

menerima penghasilan dari harta peninggalan si suami, jika ternyata bahwa

harta gono-gini tidak mencukupi. Janda berhak untuk terus hidup sedapat-

dapatnya seperti keadaannya pada waktu perkawinan”. Dari putusan diatas,

jelas janda bukan ahli waris, hanya saja dia hanya punya hak menikmati

harta peninggalan almarhum suaminya untuk menjaga jangan sampai

terlantar hidupnya. Dengan demikian hak janda dapat mempertahankan

harta peninggalan almarhum suaminya untuk hidupnya selama ia menjanda

atau sampai ia kawin lagi atau meninggal dunia. Sesudah kemerdekaan, ada

perubahan besar terhadap kedudukan janda ini. Terutama arahan-arahan

maupun keputusan-keputusan Mahkamah Agung. Misalnya : Keputusan

Mahkamah Agung tertanggal 25 Februari 1959, Reg. No. 387k/SIP/1948,

mengatakan : “Menurut Hukum Adat yang berlaku di Jawa Tengah seorang

Janda mendapat separuh dari harta gono-gini”. Keputusan Mahkamah

Agung tertanggal 20 April 1960, Reg. No. 110k/SIP/1960 sebagai berikut :

“Menurut Hukum Adat, seorang janda adalah juga menjadi ahli waris

almarhum suaminya”.68

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pengadilan-pengadilan di

lingkungan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah menunjukkan hal-hal sebagai

berikut : dalam hal seorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang

68 Ibid, hlm. 9.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

39

Universitas Indonesia

janda dan anak-anak, caranya orang disini membagi warisan sebagai berikut

: Penelitian Pengadilan Negeri Purworejo di kecamatan Loano pada tahun

1981 menunjukkan hal-hal sebagai berikut : untuk harta bersama (gono-

gini) janda mendapat 1/3 dan yang 2/3 untuk anak-anak. Untuk harta gawan,

janda mendapat 1/8 dan sisanya untuk anak-anak. Kalau anak-anak itu

belum dewasa, semua harta peninggalan dikuasai janda itu sebagai walinya.

Dengan demikian jelaslah baik berdasar keputusan-keputusan Mahkamah

Agung maupun hasil Penelitian menunjukan janda adalah ahli waris dan

mempunyai hak untuk menerima warisan.69

2.3.2. Obyek Hukum Waris

Obyek hukum waris ialah harta peninggalan si pewaris yang menjadi sasaran

pelaksanaan hukum waris beserta segala permasalahan berkaitan dengan harta

peninggalan tersebut. Harta peninggalan terdiri dari semua piutang dan tagihan

serta hak-hak yang dipunyai si pewaris pada saat ia meninggal dunia. Pada

hakekatnya yang beralih dari tangan si pewaris kepada ahli waris adalah barang-

barang peninggalan dalam keadaan bersih dalam arti hutang-hutang telah di bayar

dan hibah wasiat telah disampaikan kepada yang berhak. Mengenai hal-hal yang

berhubungan dengan obyek hukum waris ialah : tujuan utama pewarisan lainnya

adalah untuk membuat para penerima warisan (ahli waris) hidup dengan sejahtera,

fungsi harta warisan ialah sebagai bekal/modal dasar bagi pembinaan kehidupan

para ahli waris.70

2.3.3. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat

Sistem pewarisan dalam hukum adat selalu berhubungan dengan sistem

kekerabatan. Di Indonesia kita jumpai tiga sistem pewarisan dalam hukum adat,

yaitu :

1. Sistem Pewarisan Individual

69 Ibid, hlm. 10.

70 Ibid, hlm. 11.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

40

Universitas Indonesia

Sistem pewarisan individual yakni merupakan system pewarisan di mana para

ahli waris mewarisi secara perseorangan (Batak, Jawa, Sulawesi dan lain - lain).71

Ciri-ciri dari sistem ini, adalah harta peninggalan dapat dibagi-bagi di antara ahli

waris secara individu. Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan ini

dapat dikatakan bahwa setiap waris mendapat hak untuk menguasai dan memiliki

harta peninggalan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta peninggalan

itu dibagi, maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta

peninggalannya untuk diusahakan, dinikmati atau dialihkan (dijual) kepada

sesame waris anggota kerabat atau orang lainnya. Faktor lain yang menyebabkan

perlu diadakan pembagian warisan secara individual, adalah tidak ada lagi yang

berhasrat memimpin penguasaan dan pemilikan harta warisan secara bersama,

karena para waris tidak terikat lagi pada suatu kerabat atau orang tua, dan

lapangan kehidupan masing-masing anggota waris telah tersebar diberbagai

tempat kediaman baru.72 Sistem ini terdapat pada masyarakat bilateral Jawa dan

juga patrilineal Batak.

2. Sistem Pewarisan Kolektif

Sistem kewarisan kolektif yaitu merupakan sistem kewarisan di mana para

ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak

dapat dibagai-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris

(Minangkabau)”.73 Ciri-ciri dari sistem ini adalah harta peninggalan diwarisi oleh

sekumpulan ahli waris bersama-sama yang merupakan semacam badan hukum, di

mana harta tersebut disebut dengan harta pusaka. Harta semacam ini tidak boleh

dibagi-bagikan pemiliknya kepada ahli waris, tetapi kepada ahli waris hanya

dibagikan dalam hal pemakaiannya saja. Dengan demikian, kepada seorang ahli

waris hanya diberi hak pakai bukan hak milik karena hak milik atas harta

peninggalan tersebut dimiliki oleh semua ahli warisnya. Oleh karena itu,

diteruskan dan dialihkan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai

suatu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan kepemilikannya melainkan

71 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999 ),hal. 285.

72 Ibid, hal. 24.

73 Ibid,hal.145.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

41

Universitas Indonesia

setiap waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau mandapat hasil dari

harta peninggalan tersebut. Cara pemakaian untuk kepentingan dan kebutuhan

masingmasing waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh

semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan

kepala kerabat. Ada kemungkinan sistem kolektif ini berubah kearah system

individual, apabila harta pusaka yang pada mulanya tidak terbagi-bagi itu

kemudian dapat dibagi secara individu akibat ulah dari para anggota kerabat itu

sendiri.

3. Sistem Pewarisan Mayorat

Sistem Pewarisan Mayorat dibedakan menjadi 2 (dua), yakni :74

1) Mayorat laki-laki yaitu, apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris

meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan

ahli waris tunggal.

2) Mayorat perempuan yaitu, apabila anak perempuan tertua pada saat

pewaris meninggal, adalah ahli tunggal, misalnya pada saat masyarakat di

Tanah Semendo.

Ciri-ciri sistem ini, adalah harta peninggalan diwariskan seluruhnya atau

sebagian kepada seorang ahli waris saja. Umumnya harta peninggalan ini

diwariskan kepada anak tertua.

2.3.4. Harta Warisan

Harta warisan terdiri dari : 75

a. Barang asal/barang gawan, yang terdiri lagi atas :

1) Barang Pusaka, yaitu barang-barang yang diwaris secara turun temurun

dari leluhurnya. Contohnya : keris, tombak, kitab-kitab dan lain-lain.

2) Barang bawaan/ gawan, yaitu barang yang dibawa oleh masing-masing

pihak yaitu suami dan isteri sebelum perkawinan berlangsung.

3) Barang hadiah yang diperoleh secara pribadi selama perkawinan

berlangsung, misalnya : tanah atau sawah yang diperoleh oleh masing-

74 Ibid, Hal. 286.

75 Ibid.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

42

Universitas Indonesia

masing pihak suami atau isteri sebagai warisan. Hadiah berupa kalung,

cincin atau barang-barang lainnya yang didapat dari hadiah perkawinan

atau bekal perkawinan.

b. Barang gono-gini

Barang-barang atau harta kekayaan ini dihasilkan oleh suami isteri secara

kerjasama gotong royong, yang dimaksud dengan gotong royong disini ialah

secara bersama-sama saling bantu antara suami dengan isteri dalam suatu usaha

untuk mendapatkan penghasilan. Sering juga dinamakan harta atau barang-barang

pencaharian bersama. Harta ini di Jawa Tengah merupakan hak bersama dari

suami-isteri tersebut. Di dalam Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974

tentang Perkawinan, dikenal azas asal kembali ke asal. Di dalam praktek, oleh

karena janda/duda adalah ahli waris, maka di dalam pembagian harta warisan

persoalan barang asal jarang muncul, baru muncul bilamana ternyata kelak setelah

meninggalnya suami atau isteri, duda atau jandanya kawin lagi sedang ia tidak

mempunyai keturunan dengan mendiang suami atau isterinya. Demikian juga

halnya dengan harta/barang gono-gini. Di dalam praktek, masalah barang gono-

gini timbul bilamana terjadi perceraian. Di dalam hal terjadi perceraian, maka

pembagian harta dipisahkan antara gono-gini dan barang asal/gawan, sehingga

yang dibagi adalah barang gono-gini, sedang barang asal kembali ke asal.76

76 Ibid, hal. 12.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

43

Universitas Indonesia

BAB 3TINJAUAN TENTANG ADOPSI SECARA UMUM

3.1. Pengertian Adopsi

Adopsi adalah suatu perbuatan hukum pengangkatan anak dengan tujuan

untuk menjadikannya sebagai anak kandung bagi yang mengangkatnya. Secara

umum berarti mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang

menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor

hubungan darah.77

3.2. Adopsi sebagai suatu Lembaga Hukum

Eksistensi lembaga adopsi merupakan suatu keperluan masyarakat yang

mengandung unsur-unsur positif. Sebagai salah satu kebutuhan masyarakat yang

positif dapat dilihat dari motif-motif yang mendasari adanya lembaga adopsi atau

pengangkatan anak di Indonesia. Inti dari motif pengangkatan anak atau adopsi di

Indonesia dapat diringkaskan sebagai berikut : 78

1. Karena tidak mempunyai anak, keinginan untuk mendapat keturunan bagi

sepasang suami isteri yang belum atau tidak mendapat karunia anak, meskipun

mereka telah berusaha. Misalnya A menikah dengan B dan telah bertahun-

tahun tidak dikaruniai anak, maka karena sangat menginginkan seorang anak

sebagai pelengkap sebuah keluarga, A dan B melakukan pengangkatan anak.

2. Karena belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak

mampu memberikan nafkah kepadanya, umumnya dalam hal ini latar

belakang keluarga si anak adalah dari golongan kurang mampu sehingga

orang tua kandung si anak tidak mampu untuk membesarkan si anak dengan

baik, sehingga menimbulkan rasa belas kasihan dan ingin membantu dengan

77 Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 52.

78 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Cet.5, ( Jakarta: SinarGrafika,2006), hal. 14-15.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

44

Universitas Indonesia

mendidik dan merawat serta memberikan nafkah kepada si anak dengan jalan

adopsi.

3. Karena anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua (yatim piatu),

bila dilihat dari sisi agama, merawat anak yatim piatu adalah perbuatan yang

mulia sehingga dengan jalan adopsi dapat meringankan beban penderitaan si

anak tersebut.

4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah seorang anak

perempuan atau sebaliknya.

5. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai

anak kandung, khususnya di Jawa, selain didorong oleh kepercayaan dan

keyakinan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, Yaitu: pancingan

dimaksudkan untuk lebih cepat mendapatkan anak yang diharapkan, sepasang

suami isteri yang setiap melahirkan selalu meninggal dunia sebelum dewasa.

Dengan mengambil/ mengangkat anak, mereka percaya bahwa anak mereka

nantinya akan panjang umur, kemudian juga kepercayaan adanya mimpi oleh

sebagian masyarakat bahwa jika anak suatu keluarga tidak diserahkan kepada

orang lain, maka kesehatan anak tersebut akan terganggu.

6. Untuk menambah tenaga di dalam keluarga, hal ini dimaksudkan bahwa

dengan mengangkat anak, si anak angkat diharapkan dapat membantu

pekerjaan orang tua angkatnya di dalam keluarga, misalnya jika yang diangkat

anak adalah seorang anak perempuan maka dapat membantu untuk memasak,

mencuci pakaian, merawat orang tua angkatnya dan lain sebagainya

sedangkan bila yang diangkat anak itu adalah seorang anak laki-laki maka

akan dapat membantu membetulkan atap rumah, mengangkat perabot rumah

yang tidak mungkin dilakukan oleh orang tua angkatnya dan lain sebagainya.

7. Dengan maksud anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang layak,

karena anak adalah sebagai penerus generasi bangsa yang harus mendapatkan

pendidikan guna masa depan si anak itu sendiri.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

45

Universitas Indonesia

8. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi yang tidak

mempunyai anak kandung;

9. Adanya hubungan keluarga, lagi pula tidak mempunyai anak, maka diminta

oleh orang tua kandung si anak kepada suatu keluarga tersebut, supaya

anaknya dijadikan anak angkat;

10. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan, dengan mengangkat anak maka

antara orang tua kandung dengan orang tua angkat si anak akan timbul suatu

rasa kekeluargaan karena telah terjadi saling bantu membantu, pada

masyarakat jawa pengangkatan anak yang dilakukan umumnya adalah anak

dari saudaranya sendiri/masih terdapat hubungan kekerabatan sehingga

dengan perbuatan mengangkat anak ini dapat menjaga tali silaturahmi diantara

mereka.

11. Anak dahulu sering penyakitan atau selalu meninggal, maka anak yang baru

lahir diserahkan kepada keluarga atau orang lain untuk diadopsi, dengan

harapan anak yang bersangkutan selalu sehat dan panjang umur.

Demikian antara lain beberapa motivasi pengangkatan anak yang dilakukan

oleh orang-orang yang berkepentingan di Indonesia, sehingga jelas adanya

lembaga adopsi ini adalah suatu kebutuhan masyarakat di Indonesia. Berangkat

dari beberapa permasalahan diatas, maka jelaslah bahwa lembaga adopsi ini

merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan sekaligus memerlukan suatu

ketertiban dan ketuntasan dalam mekanisme pelaksanaannya.

Dalam hal adopsi ini, dimana kepentingan orang tua yang mengangkat anak

dengan sejumlah motif tersebut diatas dapat terpenuhi dengan baik di satu pihak,

sedang di pihak lain kepentingan anak yang diangkat atas masa depannya yang

lebih baik harus lebih terjamin kepastiannya.

3.3. Adopsi/Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat

Secara umum sistem hukum adat Indonesia berlainan dengan Hukum Barat

yang individualistis liberalistis. Menurut R. Soepomo, hukum adat kita

mempunyai corak sebagai berikut :

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

46

Universitas Indonesia

1. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat artinya manusia

menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan

yang erat, rasanya kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum

adat. Dalam hal pengangkatan anak ini sifat kebersamaan yang

terkandung di dalamnya dapat terlihat dari ketentuan adat yang berbeda-

beda di setiap daerah, seorang anggota masyarakat adat yang ingin

mengangkat anak harus diketahui oleh masyarakat setempat dan ketua

adat berdasarkan aturan adat yang berlaku di daerah tersebut.

2. Mempunyai corak religious-magis yang berhubungan dengan pandangan

hidup alam Indonesia. Masih percayanya masyarakat dengan hal-hal

magis, pengangkatan anak yang tidak dilakukan secara tunai (dengan

suatu pemberian baik harta maupun benda) dipercaya akan membawa

bencana walaupun sebenarnya hal tersebut hanya sebagai suatu simbolik

untuk menyatakan sahnya perpindahan anak angkat dari orang tua

kandungnya kepada orang tua angkat.

3. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit artinya hukum

adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya

perhubungan hidup yang konkrit. Dalam hal pengangkatan anak, cara dan

ketentuan adat yang berlaku dilaksanakan secara turun temurun yang

menjadi suatu ketentuan baku dengan memperhatikan norma-norma yang

hidup dalam masyarakat tersebut.

4. Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya perhubungan hukum

dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang

dapat dilihat (tanda yang kelihatan). Sebagai contoh adalah hubungan

antara orang tua angkat dengan anak angkat yang saling mengasihi seperti

layaknya anak kandung dan orang tua kandungnya, menurut pandangan

masyarakat yang melihatnya anak angkat tersebut diperlakukan seperti

layaknya anak kandungnya, maka masyarakat mengetahui bahwa adanya

perhubungan hukum yang terjadi diantara keduanya (masyarakat

mengetahui perihal pengangkatan anak tersebut). Hal itu mempunyai sifat

visual karena mempunyai tanda-tanda yang terlihat.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

47

Universitas Indonesia

Dengan demikian, khusus masalah anak angkat atau adopsi bagi

masyarakat Indonesia juga pastilah mempunyai sifat-sifat kebersamaan

antar berbagai daerah hukum, kendatipun tentunya karakteristik masing-

masing daerah tertentu mewarnai kebhinekaan kultural suku bangsa

Indonesia.79

3.3.1 Tata Cara/Mekanisme Adopsi Menurut Hukum Adat

Dalam konteks hukum adat, tidak semua masyarakat hukum adat mengenal

perbuatan hukum pengangkatan anak ini. Bagi masyarakat yang mengenal adopsi

ini, maka pada dasarnya terdapat tata cara atau mekanisme tertentu serta syarat-

syarat tertentu pula.

3.3.2 Syarat – syarat Adopsi

1) Adopsi harus bersifat terang. Yang dimaksud bersifat terang ialah

pengangkatan anak atau adopsi yang dilaksanakan dengan suatu upacara-

upacara tertentu dengan bantuan pemuka-pemuka rakyat atau

pengangkatan anak yang dilakukan di hadapan dan sepengetahuan

pemuka-pemuka rakyat atau kepala adat. Misalnya pengangkatan anak di

Bali (Nyentanayang) yang dilakukan dengan upacara-upacara dalam

prosesinya.

2) Adopsi harus bersifat tunai. Yang dimaksud bersifat tunai adalah adanya

pemberian suatu imbalan yang diberikan oleh calon orang tua angkat

kepada keluarga kandung calon anak angkat sebagai pengganti atau

penukar anak yang akan diangkat. Setelah penggantian dan penukaran

tersebut berlangsung, anak yang akan diangkat tersebut masuk ke dalam

lingkungan orang tua yang mengangkatnya sebagai anak.

3.3.3 Mekanisme Adopsi atau Pengangkatan Anak

1) Adopsi Langsung (mengangkat anak). Yaitu untuk keperluan hukum,

maka seorang anak langsung diangkat menjadi anak, misalnya

79 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: SinarGrafika, 2002), hlm.42-43.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

48

Universitas Indonesia

Nyentanayang di Bali yang diselenggarakan hampir selalu dalam

lingkungan klan besar dari kaum keluarga, akhir-akhir ini telah terjadi

lebih banyak lagi dari luar lingkungan keluarga atau juga dalam beberapa

dusun telah terjadi pengangkatan anak dari lingkungan sanak saudara isteri

atau Pradana. Bila isteri tua tidak mempunyai anak dan isteri selir

mempunyainya, maka anak-anak itu dengan jalan adopsi diangkat menjadi

anak isteri tua. Bilamana tidak ada anak laki-laki yang dapat diambil

anak, maka dapat juga seorang anak perempuan dipungut menjadi santana;

anak itu diangkat dengan jalan perbuatan hukum rangkap, yaitu pertama

dipisahkan dari kerabatnya sendiri dan dilepas dari ibu kandungnya sendiri

dengan jalan pembayaran adat berupa “ Seribu Kepeng” serta “

Seperangkat pakaian Perempuan”, kemudian baru ia dihubungkan dengan

kerabat yang mengangkat : diperas. Suami yang mengambil anak

bertindak dengan persetujuan kerabatnya lalu diumumkan dalam desa

(“Siar”) dari pihak Raja sebagai Kepala Adat dikeluarkan ijin yang

disusun dalam suatu penetapan Raja, berupa akta yang disebut Surat

Peras. Alasan dari pengangkatan semacam ini adalah suatu kekhawatiran

akan kepunahan. Malahan sesudah meninggalnya sang suami, isteri pun

dapat mengangkat anak atas nama sang suami. Jadi janda pun dengan

memegang keris sang suami dapat mengangkat anak atas nama sang suami

sebagai wakilnya. Dalam hubungan ini, masih tetap hubungannya dengan

diatas, adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang anak perempuan

dijadikan, diangkat sebagai laki-laki “pelanjut keturunan” (sentana), oleh

sebab disana hanya ada anak laki-laki saja yang dapat menerima Harta

Peninggalan dan dapat melanjutkan kedudukan sang ayah sebagai kepala

keluarga. Bilamana tidak ada anak laki-laki, dapatlah seorang anak laki-

laki diambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh jandanya : seorang

bapak mengangkat anak perempuan sendiri menjadi sentana melanjutkan

keluarga, dengan anak laki-laki tertua (prinsip mayorat). Anak perempuan

yang demikian hanya dapat kawin secara kawin ambil anak, suaminya

disebut sentana tarikan. Nyatalah disini, bahwa mengangkat anak

merupakan suatu rechtsplicht, suatu kewajiban menurut hukum dan suatu

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

49

Universitas Indonesia

urgensi mendesak, karena hanya anak laki-lakilah yang dapat

menggantikan sang ayah di dalam berbagai kedudukan hukum.80 Di Jawa,

adopsi kemenakan adalah lebih banyak dilakukan dibanding pengangkatan

anak dari luar kerabat, karena dapat memperkokoh kekerabatan. Anak

angkat tersebut adalah seperti anak sendiri, hanya dalam urusan warisan ia

tak berhak atas harta pusaka orang tua angkat, tetapi mendapat bagian

tertentu dari Harta Pencaharian. Hubungan anak angkat tidak putus dari

orang tua aslinya, karena itu ia juga menjadi ahli waris dari orang tua

asli.81

2) Adopsi tidak langsung tetapi melalui perkawinan. Adopsi ini terjadi

bilamana seseorang kawin dan sesudah itu atau selanjutnya ia mengangkat

seorang anak yang akan melanjutkan keturunan, kadang-kadang juga

sebagai ahli waris sepenuhnya.82 Berbeda dari mekanisme adopsi secara

langsung yang ditujukan demi kepentingan hukum, adopsi secara tidak

langsung ini sebagai contoh apabila seorang wanita dan pria menikah dan

telah lama mereka tidak kunjung diberikan keturunan, maka adopsi ini

dilakukan atas persetujuan suami isteri tersebut guna melengkapi

ketidaksempurnaan dalam tujuan perkawinannya demi melanjutkan

keturunan.

Perbedaan dari kedua mekanisme pengangkatan anak tersebut diatas adalah

terdapat pada tujuannya. Adopsi langsung bertujuan demi kepentingan hukum

sedangkan pada adopsi tidak langsung lebih bertujuan kepada kepentingan

pribadi suami isteri.

3.3.4 Kriteria Orang yang melakukan Adopsi

1) Bisa siapa saja, tidak harus orang yang telah kawin. Artinya adalah siapa

saja yang telah dewasa dan dengan tujuan yang positif yang ingin

melakukan perbuatan adopsi atau mengangkat anak adalah diperbolehkan.

80 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat , Ibid. hal. 34 dan 35.

81 Ibid. hal. 37.

82 Ibid.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

50

Universitas Indonesia

2) Janda/Duda/orang yang tidak menikah juga boleh melakukan perbuatan

Adopsi atau mengangkat anak. Tidak harus seseorang yang telah terikat

pada ikatan perkawinan yang boleh melakukan pengangkatan anak

sepanjang tujuan yang dilakukan tidak bertentangan dengan norma-norma

yang berlaku.

3.3.5 Akibat Hukum Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat

a. Dengan orang tua kandung

Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang

tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur

atau tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang

tua kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di

daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur,

Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak

hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja,

tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua

kandungnya. Hanya hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut

orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam

hal urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.

b. Dengan orang tua angkat.

Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan

sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan

keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia,

seperti di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum

melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan

anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut

berkedudukan sebagai anak kandung.83

Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak

dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan

83 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal.99.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

51

Universitas Indonesia

hubungan dengan orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak

angkat mewarisi dari orang tua angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya84.

Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma dalam

bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa : “Selain pengurusan dan

perwalian anak dimaksud bagi keluarga-keluarga yang mempunyai anak, apalagi

tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi, yaitu pengangkatan anak

berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan

anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan hubungan darah antara

anak dan orang tua kandungnya berdasarkan hukum berlaku bagi anak yang

bersangkutan”85.

3.3.6 Hak Mewaris Anak Angkat Berdasarkan Keputusan Mahkamah

Agung

Untuk selanjutnya mengenai hak mewaris anak angkat, meskipun anak angkat

tersebut mempunyai hak mewaris, tetapi menurut Keputusan Mahkamah Agung

tidak semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas

harta gono-gini orang tua angkat, sedang terhadap harta asal orang tua angkat

anak angkat tidak berhak mewaris. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa keputusan

Mahkamah Agung di bawah ini :86

1) Putusan MA tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/Sip/1959 Menurut hukum adat

yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi

harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang

asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.

2) Putusan MA tanggal 24 Mei 1958 No. 82 K/Sip/1957 Anak kukut (anak

angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang-barang ini

kembali kepada waris keturunan darah.

84 Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-AkibatHukumnya di Kemudian Hari, ( Jakarta : Rajawali Pers, 1989 ), hal.117.

85 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 114.

86 Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum, Masalah Hukum Perdata Adat,( Departemen Kehakiman, 1980 ),hal. 17.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

52

Universitas Indonesia

3) Putusan MA tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K/Sip/1959 Anak angkat berhak

mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta

yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.

3.4.Pengaturan Tentang Adopsi

Belum ada pengaturan Undang-undang yang mengatur secara khusus

mengenai adopsi atau pengangkatan anak ini, namun diatur secara sepintas di

dalam :

a. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Disebutkan di dalam pasal :87

Pasal 4

(1) Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh

Negara atau orang atau badan.

Pasal 12

(1) Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan

mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.

(2) Kepentingan kesejahteraan anak yang termaksud dalam ayat (1) diatur

lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan

di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan

perundang-undangan.

Kemudian di dalam penjelasan undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak, disebutkan :

Pada Bagian Umum, Paragraf ke delapan (8), yaitu :

“ Apabila orang tua anak itu sudah tidak ada, tidak diketahui adanya, atau

nyata-nyata tidak mampu untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, maka

dapatlah pihak lain, baik karena kehendak sendiri maupun karena ketentuan

hukum, diserahi hak dan kewajiban itu”.

87 Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun 1979, LN No. 32Tahun 1979, TLN No. 3143, Ps. 4 dan 12

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

53

Universitas Indonesia

Pada pasal 12

(1) Pengangkatan anak berdasarkan pasal ini tidak memutuskan: menetapkan

hubungan darah antara anak dengan orang tuanya dan keluarga orang

tuanya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan.

(2) Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan antara lain perlu mengatur

pencatatan sebagai bukti sah, adanya pengangkatan anak guna

pemeliharaan kepentingan kesejahteraan anak yang bersangkutan.

b. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983, sebagai

penyempurnaan dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979

tentang Pengangkatan Anak. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun

1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia

(WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan

antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga

tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara

Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah

(single parent adoption).

c. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989. Di dalam Surat

Edaran Mahkamah Agung ini dilakukan perubahan atas Surat Edaran

Mahkamah Agung nomor 6 tahun 1983, perubahan tersebut mengenai syarat-

syarat bagi calon orang tua angkat warga Negara asing untuk berdomisili dan

bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya selama tiga (3) tahun dan

mengenai social report untuk pengangkatan anak antar negara yang berbunyi

: “ Surat keterangan atas dasar penelitian social worker dari

instansi/lembaga social yang berwenang dari Negara asal calon orang tua

angkat warga Negara asing”. Dirubah menjadi berbunyi : “ Surat

keterangan/laporan social atas dasar penelitian petugas/pejabat social

setempat”. Dengan catatan: harus didaftarkan dan disetujui kebenaran isinya

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

54

Universitas Indonesia

oleh perwakilan Negara calon orang tua angkat warga Negara asing di

Indonesia melalui Departemen Luar Negeri.88

d. Keputusan Menteri Sosial Nomor 41 Tahun 1984 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Keputusan Menteri Sosial ini

menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua

angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan

anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini

berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.89

e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang

pelaksanaan pengangkatan anak. Di dalam Bab 1 ketentuan umum pada pasal

1 disebutkan definisi anak angkat, pengangkatan anak, orang tua, orang tua

angkat, lembaga pengasuhan anak, masyarakat. Pada pasal 2 disebutkan

tujuan pengangkatan anak yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi

anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak

yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan

perundang-undangan. Pada pasal 3 ayat 1 mengatur tentang agama calon

orang tua angkat harus seagama dengan calon anak angkat, ayat 2 mengatur

tentang dalam hal asal-usul anak tidak diketahui maka agama anak

disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Dalam pasal 4

menyebutkan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah

antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Pasal 5

menyebutkan bahwa pengangkatan anak warga Negara Indonesia oleh warga

Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasal 6

mengenai pemberitahuan asal usul anak angkat dan orang tua kandungnya

oleh orang tua angkat. Kemudian di dalam Bab 2 adalah diatur jenis-jenis

pengangkatan anak baik antar warga Negara Indonesia maupun antar warga

Negara Indonesia dengan warga Negara Asing. Bab 3 adalah tentang syarat-

88 http://www.docstoc.com/docs/20484074/SURAT-EDARAN-MAHKAMAH-AGUNG-NOMOR-4-TAHUN-1989. diakses pada tanggal 28 Maret 2012.

89 http://bambang-rustanto.blogspot.com/2009/12/adopsi-anak.html. diakses pada tanggal28 Maret 2012.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

55

Universitas Indonesia

syarat pengangkatan anak. Bab 4 tentang tata cara pengangkatan anak. Bab 5

adalah bimbingan dalam pelaksanaan pengangkatan anak. Bab 6 pengawasan

pelaksanaan pengangkatan anak. Bab 7 pelaporan. Bab 8 ketentuan peralihan

dan Bab 9 penutup.90

f. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan. Di dalam

pasal 2 Undang-undang ini disebutkan :91

(1) Anak asing yang belum berumur 5 tahun yang diangkat oleh seorang

warga negara Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan

sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat

anak itu;

(2) Pernyataan sah oleh Pengadilan Negeri termaksud harus dimintakan oleh

orang yang mengangkat anak tersebut dalam 1 tahun setelah undang-

undang ini mulai berlaku.

Kemudian di dalam memori penjelasan mengenai undang-undang tentang

kewarganegaraan Republik Indonesia, dijelaskan bahwa “pengangkatan anak

adalah biasa di Indonesia. Sah atau tidak sahnya pengangkatan anak itu

ditentukan oleh hukum yang mengangkat anak. Adakalanya anak yang

diangkat itu anak (orang) asing, akan tetapi karena betul-betul diperlukan

sebagai anak sendiri, tidak diketahui atau dirasakan lagi asal orang itu.

Maka hendaknya kepada anak demikian itu diberikan status orang tua yang

mengangkatnya. Sebagai jaminan bahwa pengangkatan anak itu sungguh-

sungguh pengangkatan sebagai digambarkan di atas dan supaya anak asing

yang diangkat itu betul-betul masih bisa merasa warga negara Indonesia,

maka pemberian kewarganegaraan Republik Indonesia kepada anak angkat

itu hendaknya dibatasi pada anak yang masih muda sekali (lihat pasal 2)”.92

90 http://siak-banjar.webs.com/Undang-Undang/PP%20RI%20No%20542007%20ttg%20Pengangkatan%20Anak.pdf . diakses pada tanggal 25 April 2012.

91 Arif Djohan Tunggal, Peraturan Perundang-undangan Kewarganegaraan RepublikIndonesia Tahun 1950-1996, Cet. 1, (Jakarta: Harvarindo, 1998), Hlm. 16.

92 Ibid.,Hlm. 33.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

56

Universitas Indonesia

g. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdapat

di dalam pasal 39 sampai dengan pasal 41, sebagai berikut :93

Pasal 39

(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang

terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak

memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua

kandungnya.

(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh

calon anak angkat.

(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan

sebagai upaya terakhir.

(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan

dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Pasal 40

(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya

mengenai asal usulnya dan orang tua kandung.

(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak

yang bersangkutan.

Pasal 41

(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan

terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

(2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

93 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002, LN No. 109Tahun 2002, Ps. 39, 40 dan 41.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

57

Universitas Indonesia

3.5.Adopsi dalam Hukum Barat (BW)

Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPER) atau BW, kita tidak

menemukan suatu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau ank angkat, yang

ada hanyalah ketentuan tentang pengakuan anak di luar kawin, yaitu seperti yang

diatur dalam buku I BW bab XII bagian ketiga, pasal 280 sampai 289, tentang

pengakuan terhadap anak-anak luar kawin. Ketentuan ini dapat dikatakan tidak

ada sama sekali hubungannya dengan masalah adopsi ini. Oleh karena Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal hal pengangkatan anak, maka

bagi orang-orang Belanda sampai kini tidak dapat memungut anak secara sah.

Namun di negeri Belanda sendiri, yaitu di Nederland telah diterima baik oleh

Staten General Nederland sebuah Undang-undang Adopsi.94

Landasan diterimanya Undang-undang tersebut adalah bahwa setelah perang

dunia II, dimana seluruh Eropa timbul golongan manusia baru; orang tua yang

telah kehilangan anak yang tidak bisa mendapatkan anak baru lagi secara wajar;

anak-anak piatu yang telah kehilangan orang tuanya dalam peperangan, dan

lahirnya banyak anak di luar perkawinan. Atas landasan itulah, maka Staten

General Nederland telah menerima baik sebuah Undang-undang Adopsi (adoptie

wet) tersebut yang membuka kemungkinan terbatas untuk adopsi ini. Adopsi

merupakan salah satu perbuatan manusia termasuk perbuatan perdata yang

merupakan bagian Hukum Kekeluargaan, dengan demikian ia melibatkan

persoalan dari setiap yang berkaitan dengan hubungan antara manusia. Bagaimana

pun juga lembaga adopsi ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu

sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan. Dengan demikian, karena tuntutan

masyarakat walaupun dalam KUHPER tidak mengatur masalah adopsi ini, sedang

adopsi itu sendiri sangatlah lazim terjadi di masyarakat, maka pemerintah Hindia

Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan yang tersendiri tentang adopsi ini.

Karena itulah dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda Staatsblad nomor 129

tahun 1917, khusus pasal 5 sampai 15 yang mengatur masalah adopsi atau anak

angkat ini untuk golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah Staatsblad 1917

nomor 129 menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur adopsi bagi kalangan

masyarakat Tionghoa yang biasa dikenal dengan golongan Timur Asing. Oleh

94 Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum, Masalah Hukum Perdata Adat,Op.cit.,hlm. 31.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

58

Universitas Indonesia

karena hanya satu-satunya Staatsblad 1917 nomor 129 seperti disebutkan, oleh

Pemerintah Belanda yang merupakan kelengkapan dari KUHPER/BW yang ada,

maka untuk mengemukakan data adopsi menurut versi Hukum Barat ini semata-

mata beranjak dari Staatsblad tersebut.

3.5.1 Syarat dan Tata Cara Adopsi Menurut Hukum Barat

Tata cara pengangkatan anak ini diatur oleh pasal 8 sampai 10 Staatsblad

1917 nomor 129, yaitu : 95

a. Adopsi harus dilakukan dengan akte Notaris (pasal 10). Dengan akte Notaris

ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, adopsi yang dilakukan

tidak dengan akte Notaris (dibawah tangan) adalah tidak sah.

b. Persetujuan yang melakukan adopsi. Adalah persetujuan dari seseorang yang

berniat untuk melakukan adopsi atau pengangkatan anak.

c. Persetujuan orang tua atau ayah atau ibu dari orang yang diadopsi, jika salah

satu orang tua meninggal lebih dulu, seorang dari mereka yang masih hidup,

jika si ibu sudah kawin. Jika kedua orang tua telah meninggal, maka untuk

adopsi anak dibawah umur diperlukan persetujuan dari wali dan dari Balai

Harta Peninggalan. Jika anak itu anak luar kawin, maka perlu adanya

persetujuan orang tua yang mengakui dan jika tidak ada yang mengakui maka

diperlukan persetujuan wali dan Balai Harta Peninggalan.

d. Persetujuan orang yang diadopsi sendiri jika ia telah berusia 15 tahun.

e. Jika adopsi dilakukan oleh seorang janda maka perlu persetujuan dari saudara

lelaki yang dewasa dan ayah dari suami yang telah meninggal dan jika orang-

orang ini telah meninggal atau tidak berada di Indonesia, maka harus ada

persetujuan dari keluarga laki-laki yang telah dewasa dari pancer ayah suami

yang telah meninggal dunia hingga derajat ke-4. Jika semua itu tidak

didapatkan maka dapat diganti dengan izin Pengadilan Negeri, kecuali dalam

hal persetujuan dari seorang ayah atau wali yang tidak dapat diganti.

95 Dr. Winarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan danKekeluargaan Perdata Barat, Cet. 1, ( Jakarta: Gitama Jaya, 2005 ), hal. 149.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

59

Universitas Indonesia

Persetujuan yang termaktub dalam syarat ke empat diatas, dapat diganti

dengan suatu izin dari Pengadilan Negeri di wilayah kediaman janda yang ingin

mengangkat anak tadi.

3.5.2 Akibat Hukum Adopsi Menurut Hukum Barat

Setelah dilangsungkannya pengadopsian yang dilakukan dihadapan

Notaris, maka timbul akibat :96

a. Orang atau anak yang diadopsi harus memakai nama keluarga yang

melakukan adopsi itu (pasal 11).

b. Jika adopsi itu dilakukan oleh suami isteri maka anak yang diadopsi dianggap

lahir dalam perkawinan mereka.

c. Jika yang melakukan adopsi seorang duda/janda, maka orang yang diadopsi

itu dianggap lahir dari perkawinan dengan isteri/suami yang telah meninggal.

(pasal 12).

d. Dengan adopsi maka hubungan keperdataan yang berdasarkan kepada

keturunan darah antara orang yang diadopsi dengan orang tuanya yang

keluarganya sedarah dan semenda terputus kecuali dalam hal :

1) Perderajatan dalam hubungan kekeluargaan sedarah atau semenda sebagai

larangan untuk kawin.

2) Ketentuan-ketentuan di dalam bidang hukum pidana yang didasarkan

keturunan sedarah, (tidak berlakunya KUHP jika yang melakukan

kejahatan itu keluarga sendiri, juga dalam hal persaksian).

3) Kompensasi ongkos perkara.

4) Pembuktian dengan saksi (ketentuan-ketentuan yang mengenai persaksian

keluarga).

5) Persaksian di dalam membuat akte otentik (pasal 14).

96 Ibid, hal. 150.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

60

Universitas Indonesia

Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan suatu persetujuan timbal balik.

Adopsi terhadap seorang perempuan atau adopsi dengan cara lain daripada dengan

akte notaris adalah batal demi hukum sebagaimana diatur dalam pasal 15. Adopsi

dapat dibatalkan di dalam hal ada pelanggaran terhadap orang-orang yang akan

diadopsi, syarat-syarat adopsi dan pelaksanaan adopsi sebagaimana yang diatur

dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10.

3.6 Adopsi menurut Hukum Islam

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadist,

dimana peraturan-peraturan yang tercipta adalah langsung dari sang pencipta,

yaitu Allah Swt. Hukumnya adalah pasti dan abadi, karena tidak ada campur

tangan manusia di dalamnya (hukum Tuhan). Berbagai ketentuan hukum telah

diatur Nya termasuk mengenai pengangkatan anak atau adopsi ini, bagaimana

pandangan Islam terhadap perihal pengangkatan anak, pertama-pertama akan saya

bahas mengenai definisi atau pengertian adopsi menurut sudut pandang Hukum

Islam.

3.6.1 Pengertian Adopsi dalam Pandangan Islam

Hukum Islam tidak mengenal lembaga adopsi, karena menurut ajaran agama

Islam keturunan itu tidak dapat diganti. Adopsi adalah memperlakukan seseorang

sebagai anak dalam segi kecintaan pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan

dalam segala kebutuhannya yang bukan memperlakukan sebagai anak “nasabnya”

sendiri, menurut pandangan Hukum Islam hukumnya adalah mubah atau “boleh”

saja (diperbolehkan). Adopsi ini tidak mempunyai pengaruh selain hanya sekedar

sebagai suatu amal sosial yang terpuji. Di samping itu juga karena mempunyai

berbagai variasi motif/latar belakang yang positif. Maka menurut pandangan

Hukum Islam status hukumnya boleh saja atau bahkan dianjurkan (sunat).

Adopsi yang dilarang menurut ketentuan surah Al-Ahzab ayat 4-5 adalah

yang dalam pengertian aslinya, yakni menurut versi Hukum Barat, yakni

mengangkat secara mutlak. Dalam hal ini adalah memasukkan anak yang

diketahuinya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya yang tidak ada

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

61

Universitas Indonesia

pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak sendiri, seperti hak menerima warisan

sepeninggalnya dan larangan kawin dengan keluarganya.97

Dalam perjalanan sejarah ummat manusia, kita mengenal pula eksistensi

lembaga adopsi ini. Dalam Al Qur’an Kitab suci ummat Islam dikenal atau

ditemukan beberapa cerita yang berkenaan dengan pengangkatan anak, yaitu

diantaranya adalah cerita Nabi Yusuf A.S, yang terdapat pada surah Yusuf,

dimana Yusuf dijual oleh salah seorang saudagar Mesir kepada pembesar

Kerajaan Fir’aun untuk kemudian dijadikan anak angkat. Pembesar Mesir itu

adalah seorang raja muda, Kotifar namanya. Demikian sayangnya kepada Yusuf,

sehingga ia minta kepada isterinya untuk memperlakukan Yusuf dengan baik

sebagai anak asuhnya. “Mudah-mudahan kata raja itu ia kalau dikala dewasa akan

membalas budi baik kita”. Namun dalam perjalanan hidupnya Yusuf ini dikhianati

oleh ibu angkatnya (sang permaisuri) yang telah jatuh hati padanya, dengan jalan

menuduh Yusuf ingin berbuat serong dengannya. Kemudian Allah yang Maha

Mengetahui, membersihkan Yusuf dari segala tuduhan yang semena-mena itu.

Itulah kisah Nabi Yusuf bin Ya’kub bin Ishak bin Ibrahim AS.

Dalam cerita diatas tendensinya bukanlah pada masalah pengangkatan anak.

Namun kalau dikaitkan juga sesuai dengan apa yang dikemukakan ayat 111 dalam

surah Yusuf ini menyatakan bahwa sesungguhnya kisah-kisah yang terdapat

dalam Al Qur’an mengandung pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. Atas

dasar ini dapat dikemukakan, bahwa :98

a. Bagaimana pun juga tidak dapat dipersamakan dalam pengertian pertalian

nasabnya antara anak kandung sendiri dengan anak angkat;

b. Mengangkat anak dengan motivasi yang dibenarkan oleh Islam harus benar-

benar dengan niat yang tulus, yaitu karena Allah semata, dalam rangka ibadah

kepada-Nya, agar dijauhkan dari segala hal yang negatif;

c. Apabila hendak mengangkat anak dengan motivasi yang benar, harus

diperhatikan juga eksistensi calon si anak angkat itu sendiri dan lingkungan

97 Muderis Zaini, Op.cit, hal. 66.

98 Ibid, hal. 68.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

62

Universitas Indonesia

rumah tangga kita yang akan menerimanya sebagai anak angkat dari segala

aspeknya, sehingga terjamin kelanjutan yang baik bagi semua pihak.

3.6.2 Hubungan Anak Angkat dalam Hubungan Perkawinan

Penyebutan seseorang dengan nama bapaknya itu dapat kita lihat dalam

asbabunnuzul (hubungan keterangan tentang turunnya sesuatu ayat) dari

Q.XXXIII : 4 dan 5 itu adalah mengenai seseorang yang bernama Zaid bin

Haritsah. Zaid bin Haritsah ini mulanya dipanggil Zaid bin Muhammad karena dia

diangkat oleh Nabi Muhammad sebagai anak angkat. Kemudian, dengan turunnya

ayat tersebut, dipanggilah ia kembali dengan Zaid bin Haritsah. Pentingnya

penegasan kedudukan lembaga anak angkat ini terasa sekali dalam hubungan

dengan hukum perkawinan. Bagaimanapun juga dekatnya terlihat dalam bentuk

lahirnya hubungan sehari-hari mereka yang dikatakan mengangkat anak dan yang

diangkat anak, sesungguhnya kedudukan hubungan mereka itu tidak

menimbulkan hubungan sedarah. Hubungan sedarah yang sedemikian dekatnya

menyebabkan seseorang haram dan terlarang untuk melakukan perkawinan.

Mereka tidak mempunyai hubungan yang disebut dengan muhrim dalam

hubungan perkawinan. Dengan demikian mereka yang bertalian angkat itu masih

diperbolehkan kawin sesamanya.99

3.6.3 Hak Mewaris Anak Angkat

Penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui dalam hukum Islam

untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip pokok dalam

kewarisan adalah hubungan darah atau arhaam.

Perhubungan kewarisan karena pengangkatan saudara angkat yang telah ada

di zaman sebelum datangnya Islam di tanah Arab mulanya diterima dalam Islam

selama 15 tahun permulaan perkembangan Islam di Mekkah dan di Medinah.

Kemudian pembolehan mewaris karena hubungan saudara angkat itu telah

dihapus dengan datangnya hukum kewarisan Islam pada awal tahun ke-empat

Hijrah. Dengan demikian sekaligus dihapus pulalah hubungan mewaris antara

99 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit UniversitasIndonesia (UI-Press), 1986), hal. 137.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

63

Universitas Indonesia

orang yang mengangkat anak dengan anak angkatnya yang selama ini

dimungkinkan dalam hal anak angkat itu telah dewasa dan sanggup berperang

pada saat terbukanya warisan dari bapak angkatnya itu.100

Karena pengangkatan anak itu tidak diatur di dalam agama Islam, maka

segala sesuatu yang diberikan kepada anak angkat, dapat dilakukan dengan cara

hibah yaitu suatu pemberian dari orang tua kepada anaknya sebagai tanda kasih

sayang serta wasiat waljibah. Dalam hukum Islam persoalan yang tampaknya

seakan-akan atau mendekati bentuk hubungan anak angkat itu dalam hubungan

kewarisan sebaiknya diselesaikan dengan lembaga wasiat. Kalau seseorang

hendak memberikan hartanya kepada orang lain bukan hubungan darahnya yang

dia sebut-sebut sebagai “anak angkat” sebaiknya dia membuat wasiat yang akan

dilaksanakan nanti sesudah dia meninggal dunia oleh pelaksana yang bertugas

mengurus penyelesaian atau oleh penguasa.

100 Ibid.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

64

Universitas Indonesia

BAB 4

AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT

JAWA

4.1 Tata Cara Pengangkatan Anak di Jawa

Menurut Hukum Adat Jawa pengangkatan anak yang dilakukan tidak melalui

suatu upacara-upacara tertentu, namun pada umumnya dilakukan hanya sebatas

pada acara selamatan saja baik dalam bentuk suatu pengajian maupun tumpengan

(membuat nasi kuning untuk dibagi-bagikan kepada saudara dekat maupun

tetangga-tetangga), selamatan ini dilakukan setelah adanya persetujuan antara

orang tua angkat dengan pihak yang menyerahkan anak tersebut dengan

disaksikan oleh keluarga dan tetangga dekat dari orang tua angkat baik dengan

dihadiri oleh Kepala Desa/Kelurahan sebagai Kepala Adat atau tanpa dihadiri oleh

Kepala Desa/Kelurahan sebagai Kepala Adat.

Berdasarkan Hukum adat Jawa, pengangkatan anak yang dilakukan sudah sah

tanpa adanya pengesahan dari Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama,dengan

proses pengangkatan anak seperti yang disebutkan diatas maka dengan demikian

anak yang bersangkutan secara otomatis telah memperoleh status anak yang sah

walaupun hanya mengadakan acara selamatan seperti tersebut diatas tanpa harus

dilakukannya pencatatan oleh Kepala Desa/Kelurahan. Hal ini dapat menimbulkan

permasalahan bila dikemudian hari orang tua angkatnya meninggal dunia dan

terjadi persengketaan mengenai harta peninggalan antara anak angkat dengan

janda orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia, maupun antara anak

angkat dengan keluarga orang tua angkat yang telah meninggal dunia yang mana

dalam hal ini anak angkat tidak dapat menunjukkan bukti-bukti maupun saksi-

saksi, jika misalnya para saksi telah meninggal dunia ataupun telah berpindah

tempat yang tidak diketahui keberadaannya. Apabila permasalahan tersebut timbul

maka pada umumnya masyarakat Jawa lebih memilih untuk dilakukannya suatu

penyelesaian yang bersifat kekeluargaan dengan cara musyawarah.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

65

Universitas Indonesia

4.2 Perbedaan Anak Angkat dan Anak Piara di Jawa

Di Jawa, selain dikenal anak angkat juga dikenal anak piara, keduanya

mempunyai pengertian yang hampir sama namun berbeda akibat hukumnya.

Dimana letak perbedaannya adalah :

1. Anak angkat, adalah anak orang lain yang diambil seseorang sebagai anak

kandung baginya melalui proses pengangkatan anak yang dilakukan

menurut hukum adat yang berlaku di daerah seseorang tersebut tinggal.

Pada umumnya anak yang diangkat ini adalah masih mempunyai

hubungan darah dengan seseorang yang ingin mengangkat anak itu (

keponakannya sendiri) yang kemudian anak tersebut dipelihara, diberi

Sandang Pangan ( pakaian dan makan ), dirawat dikala sakit,

disekolahkan hingga dewasa serta diperlakukan selayaknya anak kandung

sendiri. Bilamana jika suatu saat orang tua angkatnya meninggal dunia,

anak angkat ini berhak untuk mendapatkan warisan dari orang tua

angkatnya tersebut.

2. Anak piara, adalah anak yang di pelihara oleh seseorang dengan maksud

hanya untuk mensejahterakan anak tersebut tanpa adanya proses

pengangkatan anak. Di Jawa pada umumnya anak piara ini tidak

mempunyai hubungan darah dengan yang memelihara, anak tersebut

biasanya disekolahkan, diberi makan, dibesarkan hingga dewasa. Tujuan

piara anak ini hanya demi kepentingan sosial si anak tersebut tidak

terdapat hubungan kasih sayang selayaknya kepada anak kandung sendiri.

Perbedaan dengan anak angkat adalah anak piara ini tidak berhak untuk

mendapatkan warisan dari yang memelihara jikalau si pemelihara

meninggal dunia.

Definisi anak angkat dan anak piara tersebut diatas sedikit memiliki

persamaan namun berbeda dalam hal akibat hukum. Sekilas Nampak sulit untuk

membedakan keduanya. Untuk menentukan bahwa seseorang itu adalah anak

angkat atau anak piara adalah berdasarkan cara pandang masyarakat setempat.

Bagaimana masyarakat mengetahui dan melihat perlakuan orang tua angkat atau

orang tua pelihara terhadap anak angkat atau anak piara ini. Jika dalam hal

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

66

Universitas Indonesia

pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai maka baik masyarakat

maupun kepala adat setempat mengetahui bahwa anak tersebut adalah anak

angkat. Mengenai anak piara biasanya masyarakat setempat dan kepala adatnya

mengetahuinya dari pengakuan anak piara ataupun orang tua yang memeliharanya

bahwa anak yang dipiara tersebut hanya sebatas disekolahkan/diberikan

pendidikan yang layak hingga dewasa karena faktor ketidak mampuan ekonomi

dari orang tua kandung anak piara itu sendiri.

Pada hakekatnya adalah seorang anak baru dapat dianggap sebagai anak

angkatnya, apabila orang tua yang mengangkatnya itu memandang secara “lahir

dan bathin” bahwa anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.

4.3 Syarat Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa

Tidak ada persyaratan khusus yang mengatur mengenai pengangkatan anak

dan tidak ada pula ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh melakukan

adopsi/pengangkatan anak serta batasan usianya. Adanya anak angkat adalah

karena seseorang dijadikan anak oleh orang lain. Anak angkat dapat laki-laki

maupun perempuan dan jumlahnya pun tidak terbatas, sesuai dengan kemampuan

seseorang untuk mengangkat anak, dapat saja ia mengangkat anak dua orang, tiga

orang ataupun lebih dari itu. Namun, pengangkatan anak ini harus sesuai dengan

kemampuan orang yang akan mengangkat anak itu sendiri serta tidak boleh

bertentangan dengan nilai-nilai susila yang hidup di dalam masyarakat,

mengangkat anak yang usianya tidak jauh berbeda dengan yang mengangkat

anak adalah tidak diperbolehkan. Masyarakat adat Jawa juga tidak membedakan

jenis kelamin anak yang akan diangkat. Baik laki-laki maupun perempuan dapat

menjadi anak angkat, kecuali di beberapa daerah seperti di daerah Jawa Barat

kecamatan Leuwidamar (Bandung) disini anak perempuan tidak bisa dijadikan

anak angkat. Mengenai usia, di Kecamatan Garut yang dapat dijadikan anak

angkat adalah mereka yang berusia dibawah 15 (lima belas) tahun dan dapat pula

mereka yang diatas 15 (lima belas) tahun, asalkan belum menikah.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

67

Universitas Indonesia

4.4 Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa

Di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara

anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya sendiri. Pengangkatan anak

yang dilakukan oleh masyarakat adat Jawa, memiliki suatu keunikan, yaitu tidak

dilakukannya konsep terang dan tunai dalam proses pengangkatannya, meskipun

pada sebagian masyarakat jawa terdapat juga yang memakai proses tunai nya

saja, namun pada umumnya yang terjadi proses terang dan tunai ini jarang bahkan

tidak pernah dilakukan, proses tunai nya pun juga berbeda karena dengan

selesainya perbuatan tunai ini maka tidak terputus hubungan antara orang tua

kandung dengan anak yang diangkat tersebut. Perbuatan tunai ini hanya sebagai

simbolisasi saja atau untuk sekedar membantu perekonomian keluarga si anak

angkat apabila keluarga kandung dari anak angkat ini kurang mampu dalam hal

perekonomian/anak angkat berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan.

Perbuatan tunai ini juga bukan sebagai suatu pembelian yang dengan selesai

proses tunai nya maka berpindah pula hubungan orang tua kandung beralih

kepada orang tua angkat. Di Jawa Timur untuk sekedar tanda yang bisa dilihat,

bahwa hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya telah diputuskan,

maka kepada orang tua kandung anak yang bersangkutan diserahkan sebagai

syarat (magis) uang sejumlah “rongwang segobang” sebagai suatu bentuk

perbuatan tunai. Selanjutnya untuk proses “terang” yang umumnya pada

masyarakat adat dilakukan di hadapan kepala adat, kepala desa, lurah, camat atau

pemuka-pemuka adat yang di hormati atau di tuakan di daerahnya, namun pada

masyarakat adat Jawa pengangkatan anak yang terjadi pada kenyataannya tidak

dilakukannya konsep terang ini, perbuatan yang mengandung konsep terang

tersebut hanya disaksikan sebatas keluarga orang tua kandung, orang tua angkat

dengan calon anak angkat saja.

Anak angkat sebagaimana yang telah dikemukakan, adalah seseorang yang

bukan keturunan dari sepasang suami isteri, yang dipelihara dan diperlakukan

sebagai anak keturunannya sendiri. Akibat hukum terhadap pengangkatan anak ini

ialah bahwa anak itu mempunyai kedudukan hukum terhadap yang

mengangkatnya, yang bagi beberapa daerah di Indonesia seperti di Jawa, anak

angkat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak keturunannya

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

68

Universitas Indonesia

sendiri, juga termasuk hak untuk dapat mewarisi kekayaan yang ditinggalkan

orang tua angkatnya pada waktu meninggal dunia.

4.5 Asas Pewarisan Masyarakat Adat Jawa

Menurut hukum adat, bila menggunakan lembaga adat penentuan waris bagi

anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Masyarakat adat Jawa,

dalam hal kewarisan menganut asas/sistem kewarisan individual dan sistem

kekerabatannya menganut sistem parental atau bilateral. Sistem ini mengharuskan

setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki

haknya masing-masing. Faktor yang menyebabkan perlu dilaksanakan pembagian

warisan secara individual adalah dikarenakan tidak ada lagi keinginan untuk

memiliki harta waris tersebut secara kolektif. Hal itu disebabkan para ahli waris

tidak lagi tinggal pada rumah kerabat atau rumah orang tuanya tetapi telah

tersebar sendiri-sendiri mengikuti para istri atau suaminya (mencar). Kebaikan

dari sistem individual ini adalah bahwa para ahliwaris yang telah memiliki bagian

harta warisan secara pribadi dapat dengan leluasa untuk menguasai dan

mengembangkan harta tersebut sebagai bekal kehidupan selanjutnya tanpa

dipengaruhi oleh saudara yang lain.

4.6 Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan

Sebelum melihat secara pasti kedudukan anak angkat terhadap harta warisan

di dalam hukum adat Jawa khususnya, dapat dikemukakan di sini hubungan

kekeluargaan yang terjadi, yaitu :

a) Hubungan kekeluargaan antara bapak angkat dengan anak angkat itu

adalah sebagaimana hubungan kekeluargaan antara orang tua dengan anak

kandung.

b) Demikian pula kewajiban bapak ibu angkat terhadap anak angkat adalah

memelihara dan mendidik mereka sampai dewasa, sehingga tercipta

hubungan dalam rumah tangga yang pada akhirnya menimbulkan hak dan

kewajiban serta konsekwensi terhadap harta benda dalam rumah tangga

tersebut101.

101 Soepomo, Op.cit., hlm. 104.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

69

Universitas Indonesia

c) Di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, pengakuan/pengangkatan

anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangga

yang mengangkatnya, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga antara

anak dengan orang tuanya sendiri. Anak angkat di daerah ini tidak

mempunyai kedudukan sebagai anak kandung dan tidak diambil sebagai

anak dengan maksud meneruskan keturunan orang tua angkatnya.

Anak angkat di dalam Hukum Adat Jawa, tidak mempunyai hak dan

kedudukan untuk mewarisi harta pusaka dari ayah dan ibu angkatnya, karena harta

pusaka hanya dapat diwarisi oleh keluarga yang masih mempunyai hubungan

darah dengan si pewaris sebagai suatu bentuk harta peninggalan turun temurun

sebagai suatu identitas silsilah keluarga. Benda-benda pusaka (keris, tombak)

hanya dapat diwarisi oleh keluarga yang sedarah baik dalam garis keturunan

kebawah maupun kesamping, karena harta pusaka seperti tersebut diatas bagi

masyarakat Jawa dianggap sakral/suci, disamping diantaranya sebagai suatu

bentuk pelestarian budaya, benda-benda pusaka dianggap mempunyai kekuatan

magis, sehingga dipercaya akan mendatangkan musibah jika harta pusaka

diberikan kepada seseorang yang tidak mempunyai hubungan darah serta

menyalahi aturan-aturan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Anak

angkat berhak sepenuhnya mewarisi harta gono-gini ayah dan ibu angkatnya,

dalam keadaan tidak memiliki anak kandung, anak angkat mempunyai kedudukan

keutamaan pertama untuk mewarisi seluruh harta gono-gini orang tua angkatnya,

apabila ada anak kandung, hak dan kedudukan anak angkat sederajat dalam hal

jumlah pembagiannya dengan anak kandung. Iman Sudiyat menegaskan bahwa, di

lapangan hukum waris anak angkat tetap mempunyai pretensi atas harta kekayaan

orang tua kandungnya. Atas harta kekayaan orang tua angkatnya ia juga

mempunyai pretensi tertentu, tetapi mungkin tidak atas harta warisan (barang-

barang asal) yang harus kembali kepada kerabat suami sendiri atau kerabat isteri

sendiri (justru karena pengangkatan anak di sini bukan urusan kerabat dan karena

perbuatannya tidak dibuat terang).102

102 Iman Sudiyat., hlm.104.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

70

Universitas Indonesia

Mengenai hak mewaris anak angkat terhadap waris orang tuanya sendiri,

hal ini sejalan dengan prinsip di Jawa, bahwa pertalian keluarga antara anak

angkat dan orang tua kandungnya tidak terputus. Sehingga anak angkat tetap

tinggal waris orang tua kandung.103

Adapun hak perolehan harta kekayaan atau peninggalan dari orang tua

angkat seperti tersebut di atas kepada anak angkat di sini nampaknya belum begitu

jelas. Untuk lebih dapat diketahui secara jelas, berikut akan saya berikan contoh

kasus mengenai kedudukan anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkat

di beberapa daerah, yaitu:

Pengangkatan anak yang dilakukan sejak si anak masih kecil bahkan

masih bayi, yang berlaku di Salatiga Jawa Tengah menjadikan anak tersebut

sebagai waris penuh dari orang tua angkatnya. Demikian, hingga di Jawa pada

umumnya anak angkat itu ngangsu sumur loro artinya mempunyai dua sumber

warisan, kata “ngangsu” berarti mencari atau memperoleh, “sumur” berarti

tempat mengambil air, dan “loro” berarti dua. Karena di samping ia mendapat

warisan dari orang tua kandung, ia juga mendapat warisan dari orang tua

angkatnya. Keputusan Pengadilan Purworejo tanggal 6 Januari 1937 (T.148 hal.

307) dijelaskan bahwa anak angkat masih mewarisi orang tua kandungnya dan

kerabatnya sendiri. Hanya di dalam pewarisan terhadap orang tua angkat, jika

anak kandung masih ada maka anak angkat mendapat warisan yang tidak

sebanyak anak kandung, dan jika orang tua angkat takut anak angkatnyatidak

mendapat bagian yang wajar/ mungkin tersisih sama sekali oleh anak kandung

dengan menggunakan hukum Islam, maka sudah menjadi adat kebiasaan orang tua

angkat itu memberi bagian harta warisan kepada anak angkat sebelum ia wafat

dengan cara penunjukan atau hibah/ wasiat.

Meskipun anak angkat berhak mewarisi harta orang tua angkatnya, namun

bagiannya tidak boleh melebihi bagian dari anak kandung. Sebagaimana di daerah

Bojonegoro,104 perkara Surijah lawan Kartomejo Karijo; MA No.37 K/Sip/1959-

tgl. 18-3-1959 (Adat, h. 93-97), diputuskan bahwa:

103 Soepomo, Bab-bab., hlm. 106.

104 Achmad Samsudin, dkk, Yurisprudensi Hukum Waris Seri Hukum Adat (II), cet. ke-1,(Bandung: Alumni, 1983), hlm. 27.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

71

Universitas Indonesia

Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya

diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya; jadi

terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak

mewarisinya.

Di daerah Banyuwangi,105 perkara Kasrin lawan Siti Mas’um; a. MA

No.102 K/Sip/1972 – tgl. 23-7-1973, b. PT Surabaya No. 135/1971/Perdt – tgl.

14-6-1971, c. PN Banyuwangi No.77/1966/Pdt – tgl. 27-5-1969, (YI, 1974, h.

205-225), diputuskan bahwa Menurut hukum adat yang berlaku, seorang anak

angkat berhak mewarisi harta gono-gini orang tua angkatnya sedemikian rupa,

sehingga ia menutup hak waris para saudara orang tua angkatnya. Dalam sidang

Mahkamah Agung RI tanggal 18 maret 1996 no. 53 K/pdt/95 atas perkara Ny. Siti

Djubaidah melawan M. Toha dkk, tentang hak mewaris anak angkat terhadap

harta orang tua angkatnya. Menurut kaidah hukum bahwa: “Menurut hukum adat

di daerah Jawa barat, seseorang dianggap sebagai anak angkat bila telah

memenuhi syarat-syarat berikut: diurus, dikhitankan, disekolahkan dan

dikawinkan, dimana anak angkat tersebut berasal dari keluarga ibu angkatnya,

maka anak angkat tersebut mewarisi harta gono gini orang tua angkatnya”.106

Pengadilan Negeri Purworejo dalam putusannya tanggal 25 Agustus 1937,

menetapkan bahwa “barang pencarian dan barang gono-gini jatuh pada janda dan

anak angkat. Sedang barang asal kembali pada saudara-saudara si peninggal

warisan, jika yang wafat itu tidak mempunyai anak keturunannya sendiri”.107

Adapun barang atau harta gono-gini yang dimaksud di atas adalah harta selama

perkawinan. Harta ini disebut juga Harta pencaharian, yaitu yang diperoleh oleh

suami-isteri dalam ikatan perkawinan, baik secara bersama-sama maupun sendiri-

sendiri. Menurut hukum adat semua harta yang diperoleh selama perkawinan

105 Ibid., hlm. 27.

106 Perpustakaan Nasional RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, (Jakarta: MahkamahAgung RI, 1998), hlm. 48.

107 Dimuat dalam majalah “Indicsh Tijdschrift Van het Recht” bagian 148, hlm. 299. atauSoepomo, Bab-bab., hlm.104.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

72

Universitas Indonesia

termasuk gono-gini. Meskipun mungkin harta yang bersangkutan adalah kegiatan

suami sendiri.

Dalam catatan soepomo, dari Raad Yustisi Jakarta menentukan:108

Bahwa jikalau barang gono gini ini tidak mencukupi, pada pembagian harta

peninggalan oleh para waris orang tua angkatnya, anak angkat boleh minta bagian

dari barang asal, hingga jumlah yang menurut keadaan dianggap adil. Begitu pula

bunyi putusan hakim: Jikalau orang tua angkat pada waktu mereka masih hidup,

telah mewariskan barang-barang kepada anak angkatnya, sejumlah sedemikian

hingga nafkah anak angkat itu telah dijamin seperlunya, maka ia pada pembagian

harta peninggalan tidak berhak apa-apa lagi. pada waktu perkara waris di Jawa,

diperiksa oleh Pengadilan Agama (sebelum 1 April 1937), yang mengadili

menurut hukum Islam dan yang tidak mengakui sedikitpun hak anak angkat

terhadap harta peninggalan, maka orang tua angkat biasanya mewariskan sebagian

dari harta bendanya kepada anak angkat dengan cara hibah, agar bagian itu tetap

tidak diganggu pada waktu pembagian harta peninggalan menurut hukum Islam.

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa kedudukan

anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa, yaitu :

1. Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua asal (kandung).

2. Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua angkat dengan bagian

tertentu atau dalam jumlah terbatas (tidak boleh melebihi bagian anak

kandung).

3. Anak angkat berhak atas harta gono-gini.

Adalah hal yang menguntungkan bagi anak angkat adalah meskipun ia telah

diangkat sebagai anak orang lain namun ia tetap mendapat warisan dari orang tua

kandungnya, serta berhak mendapat warisan pula dari orang tua angkatnya.

108 Soepomo, Bab-bab., hlm. 105.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

73

Universitas Indonesia

4.7 Putusnya Hubungan Pengangkatan Anak

Hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat dapat terputus

apabila anak tersebut durhaka kepada orang tua angkatnya. Alasan ini adalah

merupakan suatu alasan yang bersifat umum, karena maksud dari pengangkatan

anak tersebut adalah ketersediaan dari orang tua angkat untuk menjadikan seorang

anak sebagai anak asuh dan dididik agar kelak dikemudian hari menjadi anak

yang berguna dan berbakti, selanjutnya diharapkan anak tersebut dapat menaikkan

derajat dan nama orang tua angkatnya, akan menjadi pembela bagi orang tua

angkat di hari tua, serta akan menjadi generasi penerusnya. Namun demikian

segala harapan keinginan dari orang tua angkat tersebut menjadi hancur, karena si

anak angkat tidak patuh kepadanya, dimana anak angkat tersebut selalu

membangkang dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak patut dan tidak

layak serta tidak terpuji terhadap orang tua angkatnya. Anak angkat tersebut

dengan sendirinya mencemarkan nama baik orang tua angkat dan keluarganya.

Disamping itu, anak tersebut juga melakukan penganiayaan terhadap orang

tua angkat ataupun hendak membunuh orang tua angkatnya. Dengan perbuatan-

perbuatan tersebut di atas, maka anak angkat tersebut dapat dikembalikan kepada

orang tua kandungnya dengan sepengetahuan para kepala adat ataupun

lurah/kepala desa. Ada juga hubungan hukum antara orang tua angkat dan anak

angkat tersebut menjadi putus, karena si anak angkat mempergunakan harta

peninggalan orang tua angkatnya tidak sebagaimana mestinya. Misalnya, dengan

cara menghambur-hamburkannya.

Kemungkinan lain juga disebabkan karena dikehendaki oleh salah satu pihak,

yaitu orangtua angkat sendiri yang mengembalikannya kepada orang tua kandung,

karena orang tua angkat tidak mampu memeliharanya lagi. Atau mungkin karena

anak tersebut menghendaki supaya la dikembalikan kepada orang tua

kandungnya. Ataupun orang tua kandungnya sendiri menghendaki supaya anak

tersebut dikembalikan kepadanya, karena orang tua angkat tidak memelihara anak

tersebut sebagaimana mestinya. Mungkin pula hubungan tersebut terputus

disebabkan terjadinya perselisihan atau pertengkaran antara orang tua angkat

dengan orang tua kandung. Hal ini dapat disebabkan oleh pengangkatan anak

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

74

Universitas Indonesia

tersebut tidak diketahui atau tidak disetujui oleh keluarga orang tua angkat

maupun orang tua kandung.

Dapat juga terjadi hubungan tersebut terputus disebabkan anak tersebut telah

dewasa dan kembali kepada orang tuanya. Hal ini biasanya terjadi apabila anak

tersebut diangkat dari kalangan keluarga sendiri, namun pengabdian anak tersebut

kepada orang tua angkat tetap ada.109

Apabila putusnya hubungan antara orang tua angkat dengan anak disebabkan

orang tua kandung menghendaki supaya anak tersebut dikembalikan kepadanya

atau karena anak tersebut telah dewasa dan kembali kepada orang tua kandung,

maka orang tua kandung harus membayar ongkos pemeliharaan dari sejak kecil

sampai anak tersebut kembali kepada orang tuanya. Ongkos pemeliharaan tersebut

menurut adat tergantung dari kesepakatan antara orang tua kandung dengan

orang tua angkat. Apabila orang tua kandung tidak dapat membayar ongkos piara

tersebut, maka anak tersebut tetap dipelihara oleh orang tua angkat dengan

ketentuan bahwa apabila ia anak perempuan, maka orang tua angkat berhak

menerima mas kawin dan apabila ia anak laki-laki orang tua angkatlah yang

menyediakan mas kawin.

Seorang anak angkat dapat juga dapat kehilangan hak mewarisnya karena

perbuatan yang dilakukan seperti tersebut diatas. Namun perbuatan-perbuatan

tersebut diatas dapat dibatalkan apabila si pewaris ataupun keluarga si pewaris

telah memberikan maaf, mengampuni dengan nyata dalam perkataan ataupun

dalam perbuatan, sebelum atau ketika dilakukan pembagian warisan.

109 Bastian B. Tafal, “Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-AkibatHukumnya di Kemudian Hari”, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989 ), Hal. 50.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

75

Universitas Indonesia

BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dilakukan mengenai proses pengangkatan anak

serta akibat hukum yang timbul berdasarkan hukum adat Jawa, penulis dapat

menarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan tersebut, antara lain

sebagai berikut:

1. Mekanisme pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat adat

Jawa berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Mekanisme

pengangkatan anak yang dilakukan di daerah Jawa Tengah dan Jawa

Timur pada umumnya dilakukan tanpa adanya konsep terang dan

tunai, proses pengangkatan anak dilakukan tanpa sepengetahuan

Kepala Adat/Pemuka Adat setempat dan dilakukan tanpa

sepengetahuan masyarakatnya pula, proses pengangkatan anak tersebut

hanya diketahui oleh kedua belah pihak yang berkepentingan yaitu

hanya diketahui oleh calon orang tua angkat beserta keluarganya dan

orang tua kandung calon anak yang akan diangkat tanpa adanya

pemberian-pemberian suatu barang baik berupa uang maupun suatu

benda sebagai tanda berpindahnya anak yang akan diangkat dari orang

tua kandungnya kepada calon orang tua angkat, namun ada juga

masyarakat yang melaksanakan konsep tunai ini, pemberian dilakukan

kepada orang tua kandung calon anak angkat sebagai hadiah atau

hanya sebagai bantuan untuk menolong perekonomian orang tua

kandung calon anak angkat. Sedangkan di daerah Jawa Barat

mekanisme pengangkatan anak ini pada umumnya dilakukan dengan

menggunakan konsep terang dan tunai, proses pengangkatan anak ini

dilakukan dengan sepengetahuan dari Kepala Adat/Pemuka Adat

sebagai saksi berlangsungnya perbuatan pengangkatan anak tersebut.

Adopsi atau pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum adat

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

76

Universitas Indonesia

Jawa adalah adopsi secara illegal, karena adopsi illegal adalah adopsi

yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua

yang mengangkat dengan orang tua kandung anak, sedangkan yang

dimaksud dengan adopsi secara legal adalah adopsi yang dikuatkan

berdasarkan keputusan Pengadilan. Kedudukan anak angkat di Jawa

tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat

dengan orang tua kandungnya karena pada umumnya anak yang

diangkat adalah anak dari kemenakan calon orang tua angkat sendiri,

masih ada hubungan persaudaraan, walaupun tidak menutup

kemungkinan dapat mengangkat anak dari orang lain.

2. Pengangkatan anak dapat menimbulkan akibat hukum dalam hal

pewarisan, anak angkat dapat menjadi ahli waris dari orang tua

angkatnya namun hanya dapat mewarisi harta gono-gini atau harta

pencaharian dari orang tua angkatnya dan tidak berhak untuk mewarisi

harta pusaka dari orang tua angkatnya, tidak ada ketentuan baku

mengenai jumlah bagian harta warisan yang dapat diterima oleh anak

angkat, namun jika tidak ada anak kandung dari orang tua angkatnya

anak angkat dapat saja mewarisi seluruh harta gono-gini, jika anak

angkat mewaris bersama anak kandung dari orang tua angkatnya maka

bagiannya adalah 1:1 ( satu banding satu ) sesuai istilah “Sigar

Semongko” (membelah semangka). Bila timbul suatu konflik atau

permasalahan seperti sengketa kewarisan antara anak angkat dengan

keluarga kandung si pewaris (orang tua angkat), masyarakat Jawa lebih

memilih untuk menyelesaikan permasalahan itu dengan cara

musyawarah untuk mufakat baik diselesaikan antara pihak-pihak yang

berkepentingan itu sendiri maupun dengan bantuan Kepala Adat

melalui Lembaga Adat yang bertindak sebagai penengah bagi pihak-

pihak tersebut.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

77

Universitas Indonesia

1.2 Saran

1. Perlunya dibentuk suatu Undang-undang yang mengatur secara khusus

mengenai adopsi atau pengangkatan anak ini sehingga dapat

terciptanya keseragaman pengaturan karena hingga saat ini belum ada

suatu undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai adopsi

atau pengangkatan anak. Karena antara daerah yang satu dengan

daerah yang lain belum memiliki keseragaman dalam hal ketentuan

hukum mengenai pengangkatan anak.

2. Lembaga adat adalah suatu payung hukum adat yang eksistensinya di

beberapa daerah sudah memudar bahkan menghilang, namun di

sebagian daerah Jawa seperti Solo, Yogyakarta dan Subang lembaga

adat ini masih ada dan masih memiliki pengaruh yang kuat bagi

masyarakatnya, perlunya pelestarian lembaga adat selain sebagai salah

satu bentuk pelestarian budaya namun juga sebagai poros dalam

penyelesaian maupun pengaturan mengenai hukum adat yang berlaku

baik dalam hal pengangkatan anak maupun hal-hal lain yang berkaitan

dengan hukum adat.

3. Perlunya sosialisasi yang dilakukan oleh Kepala Adat atau Lembaga

Adat mengenai tata cara pengangkatan anak di daerah-daerah

khususnya di Jawa untuk dilakukannya pengesahan pengangkatan anak

melalui Pengadilan Agama bagi yang beragama muslim dan

pengesahan pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri bagi yang

beragama non muslim guna memberikan perlindungan hukum yang

lebih kuat bagi hak-hak anak angkat khususnya dalam hal pewarisan

tanpa merubah atau menghilangkan kebiasaan dan tata cara

pengangkatan anak berdasarkan hukum adat yang berlaku.

4. Perlunya peran dan kesadaran masyarakat itu sendiri akan penting

dilakukannya pengesahan oleh Pengadilan mengenai pengangkatan

anak ini.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

78

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Any, Andjar. Perkawinan Adat Jawa lengkap. Surakarta: PT. Pabelan, 1986.

Direktorat Jendral pembinaan Badan Peradilan Umum. Masalah Hukum perdataadat. Jakarta: Departemen Kehakiman, 1980.

Endraswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala, 2010.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Kekerabatan Anak. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,1987.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1999.

Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: PT. Alumni,2010.

Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta:Tintamas, 1981.

Hazairin. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tintamas, 1968.

Imam Subekti, Winarsih dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan danKekeluargaan Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya, 2005.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana, 2006.

Muhammad, Bushar. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.

Muhammad, Bushar. Susunan Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 1985.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: SumurBandung, 1974.

Poerwadarminta. Kamus Hukum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Warisan di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung,1983.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

79

Universitas Indonesia

Satrio, J. Hukum Waris. Bandung: PT. Citra Aditya, 1990.

Suparman, Eman. Intisari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar Maju,1990.

Soekanto, dan Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Hukum Adat. Bandung: Alumni,1978.

Soekanto, Soerjono dan Soleman b. Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: CV.Rajawali, 1981.

Sugangga, I.G.N. Hukum Waris Adat. Semarang: Universitas Diponegoro, 1995.

Sudiyat, Iman. Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta: Liberty,1981.

Soekanto, Soerjono. Intisari Hukum Keluarga. Bandung: Alumni, 1980.

Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar Untuk MempelajariHukum Adat. Jakarta: Rajawali Pers, 1996.

Sudiyat, Iman. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty, 1981.

Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1996.

Sugangga, I.G.N. Hukum Waris Adat Jawa tengah. Semarang: Biro KonsultasiHukum dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,1998.

Samsudin, Achmad, et all. Yurisprudensi Hukum Waris Seri Hukum Adat (III).Bandung: Alumni, 1983.

Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press, 2007.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press, 1986.

Tafal, Bastian. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-akibatHukumnya di Kemudian Hari. Jakarta: Rajawali Pers, 1989.

Tunggal, Arif Djohan. Peraturan Perundang-undangan KewarganegaraanRepublik Indonesia Tahun 1950-1996. Jakarta: Harvarindo, 1998.

Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: GunungAgung, 1992.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

80

Universitas Indonesia

Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: SinarGrafika, 2006.

Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: SinarGrafika, 2002.

II. SKRIPSI/TESIS

Novi Kartiningrum. Implementasi Pelaksanaan Adopsi Anak Dalam Perspektif

Perlindungan Anak (Studi di Semarang dan Surakarta). Tesis Magister

Hukum Universitas Diponegoro. 2008

III.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

________. Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No.1 Tahun 1974, LN No.

42 tahun 1974. TLN No. 3821.

________. Undang-Undang Tentang Kesejahteraan Anak. UU No. 4 Tahun 1979.

LN No. 32 Tahun 1979. TLN No. 3143.

________. Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak. UU No. 23 Tahun

2002. LN No. 109 Tahun 2002.

IV. INTERNET

Lontar. www. Lontar.ui.ac.id/file=digital/125064-PK%201%202139…. Diunduh

28 Desember 2011.

Adopsi dalam pandangan Islam .http://www.daniexe.co.cc/2009/06/adopsi-dalam-

pandangan-islam.html. Diunduh 26 April 2011.

Tugas Adat Per Bab. http://www.scribd.com, diunduh pada tanggal 2 Januari

2012.

Romantika Perempuan di Ranah Minang. http://almakkiyat.wordpress.com,

diunduh pada tanggal 2 Januari 2012.

Hukum Budaya dan Agama. http://theadvocateofchange.wordpress.com, diunduh

pada tanggal 2 Januari 2012.

Harta Perkawinan Adat. http://yayiz.wordpress.com, diunduh pada tanggal 16

Januari 2012.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

81

Universitas Indonesia

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989. www.docstoc.com,

diunduh pada tanggal 28 Maret 2012.

Adopsi Anak. http://bambang-rustanto.blogspot.com ,diunduh pada tanggal 28

Maret 2012.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54. http://siak-banjar-webs.com,

diunduh pada tanggal 25 April 2012.

Campur Kaya. www.deskripsi.com , diunduh pada tanggal 12 Juni 2012.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007

TENTANG

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengangkatan anak

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN

ANAK.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga

orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

2. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

3. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.

4. Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan.

5. Lembaga pengasuhan anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin dari Menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak.

6. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.

7. Pekerja sosial adalah pegawai negeri sipil atau orang yang ditunjuk oleh lembaga pengasuhan yang memiliki kompetensi pekerjaan sosial dalam pengangkatan anak.

8. Instansi sosial adalah instansi yang tugasnya mencakup bidang sosial baik di pusat maupun di daerah.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Pasal 2 Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 3

(1) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

(2) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Pasal 4

Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.

Pasal 5

Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 6

(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya.

(2) Pemberitahuan asal-usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

BAB II

JENIS PENGANGKATAN ANAK

Pasal 7

Pengangkatan anak terdiri atas: a. pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan b. pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.

Bagian Pertama

Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia

Pasal 8 Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, meliputi: a. pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan b. pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9

(1) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat.

(2) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat dimohonkan penetapan pengadilan.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

Pasal 10 (1) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 huruf b mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak.

(2) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Bagian Kedua

Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing

Pasal 11

(1) Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, meliputi: a. pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing; dan b. pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara

Indonesia. (2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui putusan

pengadilan.

BAB III SYARAT-SYARAT PENGANGKATAN ANAK

Pasal 12

(1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi: a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun; b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan; c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan d. memerlukan perlindungan khusus.

(2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama; b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,

sepanjang ada alasan mendesak; dan c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

Pasal 13 Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: a. sehat jasmani dan rohani; b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; c. beragama sama dengan agama calon anak angkat; d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun; f. tidak merupakan pasangan sejenis; g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak; j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan

terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak; k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan

diberikan; dan m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

Pasal 14 Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, harus memenuhi syarat: a. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau

perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia; b. memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan c. melalui lembaga pengasuhan anak.

Pasal 15

Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, harus memenuhi syarat: a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik Indonesia; dan b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.

Pasal 16

(1) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri.

(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada kepala instansi sosial di provinsi.

Pasal 17

Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, calon orang tua angkat Warga Negara Asing juga harus memenuhi syarat: a. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun; b. mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan c. membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada untuk

Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IV

TATA CARA PENGANGKATAN ANAK Bagian Pertama

Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia

Pasal 19 Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pasal 20

(1) Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan.

(2) Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke instansi terkait.

Pasal 21 (1) Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu

paling singkat 2 (dua) tahun. (2) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan

sekaligus dengan saudara kembarnya oleh calon orang tua angkat.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

Bagian Kedua

Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing

Pasal 22

(1) Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan pengadilan.

(2) Pengadilan menyampaikan salinan putusan pengangkatan anak ke instansi terkait.

Pasal 23 Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara Indonesia berlaku mutatis mutandis ketentuan Pasal 22.

Pasal 24

Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Asing yang berada di luar negeri harus dilaksanakan di Indonesia dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

Pasal 25

(1) Dalam proses perizinan pengangkatan anak, Menteri dibantu oleh Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V

BIMBINGAN DALAM PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

Pasal 26 Bimbingan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat melalui kegiatan: a. penyuluhan; b. konsultasi; c. konseling; d. pendampingan; dan e. pelatihan.

Pasal 27

(1) Penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan informasi dan memahami tentang persyaratan, prosedur dan tata cara pelaksanaan pengangkatan anak.

(2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. meningkatkan pemahaman tentang pengangkatan anak; b. menyadari akibat dari pengangkatan anak; dan c. terlaksananya pengangkatan anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28

(1) Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dimaksudkan untuk membimbing dan mempersiapkan orang tua kandung dan calon orang tua angkat atau pihak lainnya agar mempunyai kesiapan dalam pelaksanaan pengangkatan anak.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. memberikan informasi tentang pengangkatan anak; dan b. memberikan motivasi untuk mengangkat anak.

Pasal 29

(1) Konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, dimaksudkan untuk membantu mengatasi masalah dalam pengangkatan anak.

(2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. membantu memahami permasalahan pengangkatan anak; dan b. memberikan alternatif pemecahan masalah pengangkatan anak.

Pasal 30

(1) Pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d dimaksudkan untuk membantu kelancaran pelaksanaan pengangkatan anak.

(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. meneliti dan menganalisis permohonan pengangkatan anak; dan b. memantau perkembangan anak dalam pengasuhan orang tua angkat.

Pasal 31

(1) Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e dimaksudkan agar petugas memiliki kemampuan dalam proses pelaksanaan pengangkatan anak.

(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. meningkatkan pengetahuan mengenai pengangkatan anak; dan b. meningkatkan keterampilan dalam pengangkatan anak.

BAB VI

PENGAWASAN PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

Pasal 32 Pengawasan dilaksanakan agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran dalam pengangkatan anak.

Pasal 33

Pengawasan dilaksanakan untuk: a. mencegah pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan; b. mengurangi kasus-kasus penyimpangan atau pelanggaran pengangkatan anak; dan c. memantau pelaksanaan pengangkatan anak.

Pasal 34

Pengawasan dilaksanakan terhadap: a. orang perseorangan; b. lembaga pengasuhan; c. rumah sakit bersalin; d. praktek-praktek kebidanan; dan e. panti sosial pengasuhan anak.

Pasal 35

Pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat.

Pasal 36

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

Pengawasan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan oleh Departemen Sosial.

Pasal 37

Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan antara lain oleh: a. orang perseorangan; b. keluarga; c. kelompok; d. lembaga pengasuhan anak; dan e. lembaga perlindungan anak.

Pasal 38

(1) Dalam hal terjadi atau diduga terjadi penyimpangan atau pelanggaran terhadap pelaksanaan pengangkatan anak, masyarakat dapat melakukan pengaduan kepada aparat penegak hukum dan/atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia, instansi sosial setempat atau Menteri.

(2) Pengaduan diajukan secara tertulis disertai dengan identitas diri pengadu dan data awal tentang adanya dugaan penyimpangan atau pelanggaran.

BAB VII

PELAPORAN

Pasal 39 Pekerja sosial menyampaikan laporan sosial mengenai kelayakan orang tua angkat dan perkembangan anak dalam pengasuhan keluarga orang tua angkat kepada Menteri atau kepala instansi sosial setempat.

Pasal 40

Dalam hal pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing, orang tua angkat harus melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat paling singkat sekali dalam 1 (satu) tahun, sampai dengan anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 41

Semua administrasi yang berkaitan dengan pengangkatan anak berada di departemen yang bertanggung jawab di bidang sosial.

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bimbingan, pengawasan, dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 32, dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

Pasal 44

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd. ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 123

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

PENJELASAN ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007

TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

I. UMUM

Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan sejak dini yang berlangsung secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak.

Kondisi ekonomi nasional yang kurang mendukung sangat mempengaruhi kondisi perekonomian keluarga dan berdampak pada tingkat kesejahteraan anak Indonesia. Kenyataan yang kita jumpai sehari-hari di dalam masyarakat masih banyak dijumpai anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, dimana banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan anak penyandang cacat dengan berbagai permasalahan mereka yang kompleks yang memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan, baik dari pihak Pemerintah maupun masyarakat.

Komitmen Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditindak lanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak–hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.

Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh anak. Untuk itu, perlu pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah ini dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang mencakup ketentuan umum, jenis pengangkatan anak, syarat-syarat pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak, bimbingan dalam pelaksanaan pengangkatan anak, pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak dan pelaporan. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini juga dimaksudkan agar pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukup jelas.

Pasal 2 Cukup jelas.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

Pasal 3

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”setempat” adalah setingkat desa atau

kelurahan.

Pasal 4 Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6 Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8 Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pengangkatan anak secara langsung” adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada langsung dalam pengasuhan orang tua kandung. Yang dimaksud dengan “pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak” adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada dalam lembaga pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Menteri.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Yang dimaksud dengan ”sepanjang ada alasan mendesak” seperti anak korban bencana, anak pengungsian dan sebagainya. Hal ini dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak.

Huruf c Yang dimaksud dengan ”anak memerlukan perlindungan khusus” adalah anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan; anak yang menjadi korban penyalahgunaan

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza); anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan; anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental; anak yang menyandang cacat; dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14 Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”orang tua tunggal” adalah seseorang yang berstatus tidak menikah atau janda/duda.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18 Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah Mahkamah Agung melalui Panitera Mahkamah Agung, Departemen Sosial, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) Lihat penjelasan Pasal 20 ayat (2).

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24 Cukup jelas.

Pasal 25

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak” yaitu tim yang dibentuk oleh Menteri, yang bertugas memberikan pertimbangan dalam memperoleh izin pengangkatan anak dan beranggotakan perwakilan dari instansi yang terkait.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 26

Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Yang dimaksud dengan ”konseling” adalah kegiatan yang dilakukan setelah tahap konsultasi dalam hal terjadinya permasalahan pengangkatan anak.

Huruf d Cukup jelas.

Huruf e Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28 Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30 Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32 Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34 Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36 Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38 Ayat (1)

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20320910-S43503-Akibat hukum.pdf · tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah suatu badan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang bertugas: 1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

2. Memberikan laporan, sasaran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40 Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42 Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4768

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012