Click here to load reader
Upload
andry-scj
View
75
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Unisitas dan Universalitas Yesus Kristus:
Studi Pembacaan dari Dokumen Dominus Iesus
Paper Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Sejarah Doktrin Gereja
Oleh:
Andry Kurniawan, Hubertus
(FT. 3147)
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2012
Unisitas dan Universalitas Yesus Kristus
Studi Pembacaan dari Dokumen Dominus Iesus
1. Pengantar: Sekilas tentang Dokumen Dominus Iesus
Dokumen Dominus Iesus dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman
(Congregation for the Doctrine of Faith) pada tanggal 6 Agustus 20001. Dokumen CDF
ini dimaksudkan sebagai sebuah deklarasi ajaran iman tentang kekhasan dan
universalitas Yesus Kristus sebagai satu-satunya pengantara bagi keselamatan manusia
serta kekhasan Gereja sebagai satu-satunya komunitas yang menghadirkan Kristus,
Sang Penyelamat2.
Dokumen CDF ini muncul berkaitan dengan tantangan relativisme iman yang
mulai merambah ke dalam kehidupan Gereja pada pertengahan abad XX ini. Kardinal
Joseph Ratzinger, Prefek Kongregasi Ajaran Iman saat itu, secara khusus menyatakan
adanya tantangan “relativisme iman” 3 dalam era postmodern ini. Hal ini terungkap
ketika pada tahun 1984 Vittorio Messori, seorang wartawan Italia, melakukan
wawancara dengan Ratzinger. Dalam terjemahan bahasa Inggris, hasil wawancara
tersebut diterbitkan dengan judul The Ratzinger Report: An Exclusive Interview on the
State of the Church (1985)4.
Dalam wawancara tersebut, Ratzinger mengungkapkan tentang bahaya
relativisme iman yang berkembang belakangan ini bagi Gereja serta masa depan dialog.
Baginya, dialog iman dengan agama-agama lain haruslah didukung dengan definisi 1 Kongregasi untuk Ajaran Iman, Deklarasi “Dominus Iesus”, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, DokPen KWI, Jakarta, 2001. Selanjutnya akan disebut Dokumen CDF.2 “Teologi Salib sebagai Jembatan Dialog antara Dokumen Dominus Iesus dan Postmodernisme”, yang diakses dari http://omonrupira.multiply.com/journal/item/37 (23 Mei 2012).3Relativisme adalah sikap yang yakin bahwa segala sesuatu adalah relatif; bahwa segala sesuatuditentukan bukan oleh apa yang ada dalam dirinya sendiri, melainkan oleh hubungan (Latin: relatio) antara sesuatu dan sesuatu yang lain. Sedangkan Relativisme iman adalah sikap yang menghayati iman bukan dengan keyakinan akan apa yang ada dalam kekayaan iman tertentu, melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan dengan iman lain. Relativisme menomorduakan gerakan ke arah dalam karena terus menyibukkan diri dengan pandangan ke arah luar. Relativisme menghindari kejujuran untuk melihat ke-khas-an yang berbeda di dalam karena terus mencoba menemukan ke-umum-an yang sama di luar. TA Deshi Ramadhani, “Ratzinger dan Relativisme Iman”, yang diakses dari http://www. kompas.com/kompas-cetak/0504/21/opini/1701701.htm (30 Mei 2012).4 TA Deshi Ramadhani, “Ratzinger dan Relativisme Iman”, yang diakses dari http:// www. kompas.com/ kompas-cetak/0504/21/opini/1701701.htm (30 Mei 2012).
1
yang jelas dari iman seseorang. Dengan tegas ia menyatakan bahwa "definisi-definisi
jelas dari iman seseorang akan membantu semua pihak, termasuk partner dalam
dialog". Dengan kata lain, dialog hanya bisa terjadi justru kalau masing-masing pihak
sungguh meyakini imannya. Ratzinger yakin bahwa dialog antar-agama tidak boleh
jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme iman". Relativisme ini
marak dalam dunia dengan kebudayaan postmodern dimana kebenaran tunggal tidak
lagi mendapat maknanya. Kebenaran tunggal yang memuncak dalam era modernitas
tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. Era modern telah terlampaui dan
yang muncul adalah era relativitas dalam postmodern.
Dalam konteks demikianlah, Dokumen CDF muncul sebagai bentuk penegasan
Gereja terhadap kebenaran pokok iman Kristiani akan Yesus Kristus. Dokumen ini
tidak mengingkari adanya panggilan untuk berdialog dengan agama-agama lain serta
kebenaran-kebenaran yang tersebar. Dokumen ini justru memiliki maksud untuk
memberi posisi yang jelas akan definisi iman akan Yesus Kristus dalam Gereja Katolik
dalam rangka dialog.
Akan tetapi, bahasa rumusan yang dimunculkan oleh dokumen ini tetap
menyisakan suatu kontroversi yang mengundang berbagai macam reaksi dan diskusi
dari kalangan teolog Katolik. Bahasa yang dimunculkan dalam dokumen ini terkesan
apologetis berhadapan dengan realitas postmodern yang ditandai dengan hadirnya
bahaya relativisme iman5. Di sisi lain, bahasa yang ditampilkan agaknya menampakan
adanya semacam arogansi kekristenan terhadap klaim kebenaran universal tentang
keselamatan (salvation) yang mensubordinasikan agama-agama lain sebagai jalan
kebenaran dan keselamatan.
Secara khusus, Dokumen CDF ini menjadi amat kontroversial di kalangan hidup
beriman Kristiani Asia dimana warna dasar kehidupan iman umatnya (Gereja) adalah
dialog dengan berbagai macam budaya, agama, dan realitas kemiskinan6. Bagaimana
rumusan dokumen Dominus Iesus dapat menjawab berbagai macam persoalan dalam
5 “Teologi Salib sebagai Jembatan Dialog antara Dokumen Dominus Iesus dan Postmodernisme”, yang diakses dari http://omonrupira.multiply.com/journal/item/37 (23 Mei 2012).6 Lih. F. Wilfred, “Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia (FABC): Orientasi, tantangan-tantangan, dampak-pengaruh”, dalam FX. SumantoroSiswaya (Ed.), Dokumen Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-1991, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, Seri Dokumen FABC No. 1, Dokpen KWI, Jakarta, 1995, 13-24 (sebagai pengantar); Lihat juga Dok FABC 1, 39-42.
2
dialog tersebut? Bagaimana Yesus Kristus yang adalah jalan, keselamatan dan hidup ini
‘nyambung’ dalam realitas keberagaman dalam dialog ini?
Dokumen CDF ini merupakan sebuah rangkuman refleksi iman Gereja yang
diwakili oleh hirarki tentang Yesus Kristus (sebuah refleksi Kristologis) berdasarkan
Kitab Suci dan Tradisi Gereja. Dengan demikian, refleksi Kristologis dalam dokumen
Dominus Iesus ini bukanlah sebuah refleksi Kristologis baru melainkan refleksi
Kristologis alkitabiah dan tradisional. Pokok-pokok tema yang ditulis dalam dokumen
tersebut antara lain: (1) Yesus Kristus sebagai wahyu yang penuh dan definitif; (2)
Inkarnasi Sabda dan Roh Kudus dalam karya keselamatan; (3) Keunikan dan
universalitas Misteri Penyelamatan dalam diri Yesus Kristus; (4) Keunikan dan
Kesatuan Gereja; (5) Gereja: Kerajaan Allah dan Kerajaan Kristus; (6) Gereja dan
agama-agama lain dalam relasinya dengan keselamatan.
2. Konteks
Dokumen CDF ini muncul sebagai salah satu sikap iman Gereja pada Kristus di
tengah dunia dengan arus pemikiran/budaya postmodern yang mulai disadari sebagai
salah satu tantangan bagi hidup beriman. Refleksi itu muncul sebagai sebuah sikap
iman inklusif Gereja pasca Konsili Vatikan II atas relativisme iman yang mulai tampak
di tengah arus postmodernitas. Arus postmodern ditandai oleh lahirnya pluralitas
budaya yang mulai bersuara, globalisasi dan neo-liberalisme. Ciri dasar dari realitas
postmodern adalah berkembangnya pluralisme, narasi kecil, dissensus
(diversitas/keterpecahan), dan pertanyaan tentang akhir sejarah. Dalam kehidupan
sosial, postmodernisme ditandai dengan muncul dan berkembangnya semangat lokal,
munculnya pencitraan yang tidak lagi sebagai gambaran realitas tetapi menjadi entitas
tersendiri, dan berkembangnya masyarakat informasi7.
Dokumen Dominus Iesus muncul seolah sebagai jawaban atas problem kristologis
era postmodern. Masa transisi zaman modern menuju postmodern sekedar
menampilkan pertumbuhan pusat-pusat kekuasaan baru dan jaringan-jaringannya yang
kemudian menyebar kemana-mana (meng-global). Manusia akhirnya menjadi budak
7 Yohanes Ari Purnomo, Narasi Kecil sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern menurut Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2006, 42
3
sistem dari masyarakat rasional lanjut. Saat itulah teologi yang mendasarkan
refleksinya pada pola pikir modernitas mengalami krisis karena tak lagi mampu
menjawab situasi konkret dari suatu komunitas iman tertentu8.
Meskipun demikian, pokok iman kristiani akan selalu diwartakan dan dihidupi
oleh Gereja di sepanjang zaman dan di segala tempat. Hal ini menjadi esensi dari
perutusan Gereja sebagaimana tertuang dalam kalimat pertama dokumen: Tuhan Yesus,
sebelum naik ke surge, memerintahkan para murid-Nya, agar mewartakan Injil di
seluruh bumi dan membaptis semua bangsa: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah
Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi
siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:15-16)9.
Perutusan ini berlangsung di sepanjang zaman dan berhadapan dengan beragam
realitas budaya serta keyakinan religius dari begitu banyak manusia yang ada dalam
dunia ini. Iman akan Yesus Kristus Sang Penyelamat serta satu-satunya Perantara
antara Allah dan manusialah yang mempersatukan Gereja untuk teguh dalam berziarah
hingga kesempurnaannya di dalam Kristus. Dalam hal ini, Gereja hanya ada karena
Kristus Sang Kebenaran, maka pernyataan iman akan Yesus Kristus sebagai pusat
kebenaran dan kehadiran definitif Allah bagi keselamatan manusia yang secara khusus
dilanjutkan oleh Roh Kudus dalam Gereja perlu mendapat tekanan khusus di tengah-
tengah krisis iman dalam dunia saat ini.
3. Dominus Iesus: Kristologi dari Atas
Menghadapi arus postmodernisme yang memunculkan bahaya relativisme iman di
tengah pluralitas budaya dan agama, Gereja perlu menegaskan kembali pokok imannya
akan Kristus. Penegasan ini merupakan refleksi kristologis yang menyatakan iman
kristiani terhadap Kristus yang adalah satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup;
kepenuhan wahyu Allah dalam sejarah yang definitif lagi absolut10.
Refleksi iman ini berpijak dari Kitab Suci dan Tradisi yang diturunkan sejak para
Rasul bahwa Kristus adalah pribadi kedua Trinitas yang mewahyukan diri-Nya bagi
8“Teologi Salib sebagai Jembatan Dialog antara Dokumen Dominus Iesus dan Postmodernisme”, yang diakses dari http://omonrupira.multiply.com/journal/item/37 (23 Mei 2012).9 Dominus Iesus, 1.10 Bdk. Dei Verbum, 4.
4
keselamatan manusia. Secara khusus, refleksi iman dalam dokumen Dominus Iesus ini
menampakkan refleksi Kristologis dari Atas (Christology from Above) yang
menyatakan bahwa iman akan Yesus Kristus, Sang Inkarnasi Sabda Bapa telah
menyatukan Gereja sebagai sakramen keselamatan bagi dunia.
Kebenaran iman akan Kristus yang telah tertulis dalam Kitab Suci ini menjadi
dasar bagi Gereja untuk selalu memelihara iman kristiani sejak para Rasul. Tema-tema
yang dirumuskan dalam dokumen ini pun berpijak dari refleksi kristologis alkitabiah
(khususnya Injil Yohanes dan Surat-surat Paulus) dan kristologi dogmatik Tradisi.
Dalam dokumen ini ditekankan tentang Kristus yang diimani oleh Gereja sebagai
Sabda Allah, satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup bagi keselamatan manusia (bdk.
Yoh 14,6).
Dokumen CDF ini tidak meninggalkan sisi historis dari pribadi Yesus yang
sungguh-sungguh manusia yang hidup dalam periode sejarah tertentu (inkarnasi sabda).
Hal ini tampak dalam uraian bab I Dokumen CDF yang tertulis demikian:
Memang, harus diimani secara teguh bahwa dalam misteri Yesus Kristus, Putera Allah yang menjelma, yakni “jalan, kebenaran, dan kehidupan” (Yoh 14,6), dianugerahkan pewahyuan penuh-purna kebenaran ilahi: Tidak seorangpun mengerti Putera kecuali Bapa, dan tak seorangpun mengerti Bapa kecuali Putera lagi pula siapapun juga, yang kepada mereka Putera hendak mewahyukan Dia” (Mat 11,27). “Tak seorangpun pernah melihat Allah; Allah satu-satunya Putera, yang dipangkuan Bapa, telah mewahyukan Dia” (Yoh 1,18). “Sebab dalam Kristus tinggallah seluruh kepenuhan keallahan dalam rupa badani” (Kol 2,9-10).Dengan penuh-setia akan sabda Allah, Konsili Vatikan II mengajarkan: “Maka berkat pewahyuan itu kebenaran yang terdalam tentang Allah dan keselamatan manusia memancar dalam Kristus, yang sekaligus adalah Sang Perantara dan kepenuhan pewahyuan” (Dei Verbum, 2). Lagi pula, “oleh karena itulah, Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, yang diutus ‘sebagai manusia kepada sesama manusia’, ‘berbicara menggunakan kata-kata Allah’ (Yoh 3,34), dan penuh melaksanakan karya penyelamatan, yang oleh Bapa-Nya telah diserahkan kepada-Nya untuk menjalankannya (bdk. Yoh 5,36; 17,4). Memandang Yesus berarti memandang Bapa-Nya (bdk. Yoh 14,9).Oleh karena itulah Yesus menyempurnakan pewahyuan dengan melaksanakannya melalui seluruh karya-Nya untuk menghadirkan Diri dan menampakkan Diri-Nya: melalui pesan dan tindakan-Nya, tanda serta mukjizat-Nya, namun khususnya melalui wafat dan kebangkitan-Nya yang mulia dari maut, dan akhirnya dengan mengutus Roh kebenaran, Ia melengkapkan dan menyempurnakan pewahyuan serta mengukuhkannya dengan kesaksian ilahi11
11 Dominus Iesus, 5.
5
Munculnya CDF tidak bisa dilepaskan dari konteks komunitas yang mengimani
Kristus dimana sejarah telah membentuk sedemikian rupa mulai dari jemaat Perjanjian
Baru hingga saat ini. Pengenalan terhadap pribadi Yesus Kristus tidak mungkin
melepaskan iman jemaat akan pribadi Yesus Kristus sebagai Mesias. Sehingga menjadi
jelaslah bahwa refleksi kristologis dalam Dokumen CDF ini adalah refleksi Gereja
tentang Yesus Kristus yang diimani oleh Gereja di tengah dunia postmodern dengan
tantangan relativisme imannya. Refleksi ini merupakan sebuah usaha
pertanggungjawaban iman terhadap Yesus Kristus di tengah dunia saat ini demi
keselamatan (fides quaerens intellectum), iman yang mencari pemahaman sebagai
wujud komunikasi sekaligus pewartaan kebenaran iman itu sendiri bagi realitas dunia
yang terdiri dari beranekaragam manusia dengan berbagai macam latar belakang sosial,
budaya, agama (keyakinan religius) dan dinamika sejarahnya12.
4. Unisitas dan Universalitas Yesus Kristus
4.1 Ajaran Dominus Iesus
Salah satu persoalan yang dibicarakan adalah soal universalitas dan keunikan
Yesus Kristus bagi keselamatan manusia. Pada masa sekarang ini, penghayatan iman
akan keunikan dan makna universal dari Yesus Kristus haruslah ditempatkan dalam
kerangka dialog dengan agama-agama lain. Dokumen CDF ini menolak dengan tegas
apabila keunikan Yesus Kristus itu direlativir, ataupun peran Yesus Kristus menjadi
komplementer bersama dengan agama-agama lain. Dengan demikian, pewahyuan Allah
dalam diri Yesus seolah-olah tidak utuh sehingga memerlukan kelengkapan dalam
agama-agama lain13, atau peran Yesus Kristus dilengkapi dalam tokoh-tokoh agama
lain14 Dokumen CDF ini dengan tegas menyatakan bahwa “Yesus Sabda yang
menjelma – pribadi yang satu dan tak terbagi … Kristus itu tidak lain kecuali Yesus
dari Nazaret; Ia itu Sabda Allah yang menjadi manusia demi keselamatan semua
orang”15.
Pada bagian ketiga dalam Dokumen CDF ini dijelaskan secara tegas bahwa
keunikan dan keuniversalan misteri keselamatan oleh Kristus ini, bersandar pada
12 “Teologi Salib sebagai Jembatan Dialog antara Dokumen Dominus Iesus dan Postmodernisme”, yang diakses dari http://omonrupira.multiply.com/journal/item/37 (23 Mei 2012).13 Bdk. Dominus Iesus, 6.14 Bdk. Dominus Iesus, 9.15 Dominus Iesus, 10. Bandingkan juga Redemptoris Missio, 6.
6
kenyataan bahwa “Bapa telah mengutus Anak-Nya menjadi Juruselamat dunia”, agar
semua orang yang percaya kepada-Nya dapat diselamatkan (1 Yoh 4,14; lih. Yoh 3,16).
Rasul Petrus mengajarkan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain
di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan
kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis 4,12). Selanjutnya, Rasul
Paulus menambahkan bahwa Yesus Kristus adalah “Tuhan di atas segalanya”, “hakim
dari yang hidup dan mati”, dan karenanya, “barang siapa yang percaya kepada-Nya
menerima pengampunan dosa melalui nama-Nya.” (lih. Kis 10,36.42-43).16
Oleh karena itu harus diimani dengan teguh sebagai kebenaran iman Katolik
bahwa keselamatan umat manusia ditawarkan Allah dan digenapi satu kali dan selama-
lamanya dalam misteri Inkarnasi, wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus17. Keunikan
misteri Kristus ini sesuai dengan Sabda Kristus sendiri, yang menyatakan Diri-Nya,
“Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan
Yang Akhir”18 karena Yesus adalah Sang Sabda yang oleh-Nya semua mahluk
diciptakan, Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan
manusia, dan yang akan kembali lagi untuk mengadili semua manusia, di akhir jaman.
4.2 Ajaran Iman Katolik
Keunikan Yesus Kristus dilihat ketika Yesus dipahami sebagai sakramen Allah,
pengantara Allah kepada manusia19. Sebagai sakramen, Yesus Kristus menghadirkan
dalam diri-Nya karya keselamatan Allah, sehingga menjadi jalan bagi manusia untuk
menuju Allah.
Keunikan Yesus Kristus justru terletak dalam misteri inkarnasi, ketika Firman
hadir dalam sejarah manusia melalui seorang manusia konkrit yang hidup dalam
sejarah (bdk. Yoh 1,14)20. Yesus historis menjadi kehadiran unik Firman dalam sejarah
16 Bdk. Dominus Iesus, 13.17 Lih. Dominus Iesus, 14.18 Redemptoris Missio, 6.19 M. Purwatma, Kristologi dan Allah Tritunggal: Pendekatan Historis-Sistematis, Buku Pegangan Mahasiswa, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2006, 65.20 Dalam kelompok Yunani abad II, ada kecenderungan untuk menekankan segi ilahi Yesus Kristus dan memandang tidak bermakna kemanusiaan-Nya. Pandangan ini dilator-belakangi oleh alam pikiran gnostis yang diwarnai oleh pertentangan tajam antara rohani dan jasmani, jiwa dan materi, yang ilahi dan manusiawi. Gnostis memahami keselamatan sebagai kelepasan dari dunia materi, karena dunia materi termasuk manusia adalah jahat. Konsekuensi dari pandangan ini adalah mempersoalkan kemanusiaan Yesus Kristus. Bagi kelompok ini, Firman (logos) adalah makhluk yang tertinggi, ilahi, tetapi tetap makhluk. Sebagai makhluk ilahi, Firman memang datang ke dunia untuk mengajar manusia kembali
7
manusia. Keunikan Yesus Kristus dapat ditemukan dalam sikap maupun tindakan-
tindakan-Nya yang menghadirkan Kerajaan Allah. Dalam arti tertentu, Yesus Kristus
bukan hanya menghadirkan Firman, tetapi Dia sendirilah Firman itu, karena di dalam
diri-Nya terjadi persatuan antara Firman dan manusia, yang mengundang manusia
untuk bersatu dengan Allah21.
Sebagai sakramen yang menghadirkan Allah, Yesus Kristus juga dipandang
sebagai yang menentukan untuk keselamatan manusia. Perjumpaan maupun
pendamaian manusia dengan Allah hanya dapat terjadi apabila Allah sendiri yang
menyapa manusia. Dalam hal ini, Allah hadir dan menyapa manusia. Inilah yang
menjadi landasan bagi Bapa-Bapa Gereja ketika memperjuangkan iman akan kesatuan
antara yang ilahi dan yang insani dalam diri Yesus Kristus, Allah menjadi manusia agar
manusia menjadi Allah 22. Dalam Yesus Kristus, Firman yang menjadi manusia,
terjadilah perjumpaan manusia dengan Allah. Oleh karena itu, selain menampilkan
kesatuan Allah dan manusia, Yesus Kristus juga menjadi jalan bagi bersatunya manusia
dengan Allah (bdk. Yoh 14,6).
Panggilan manusia menuju Allah ini tidaklah terbatas pada masa tertentu maupun
kelompok tertentu. Dalam diri Yesus, semua manusia dipanggil untuk sampai kepada
Allah. Allah menghendaki agar semua orang bersatu dalam Kristus, “…supaya dalam
nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan
yang ada di bawah bumi” (Fil 2,10), “…untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai
kepada Allah. Akan tetapi Firman itu tidak pernah manjadi sungguh-sungguh manusia; pura-pura menjadi manusia, pura-pura mati di kayu salib. Pandangan ini dikenal dengan sebutan doketisme. Firman nampak sebagai manusia (dianggap sebagai manusia) karena tidak mungkin Firman yang ilahi sungguh menjadi manusia. Pada prinsipnya, doketisme menyangkal kemanusiaan Yesus, karena bagi kelompok ini, kemanusiaan adalah sesuatu yang tidak baik, yang harus ditinggalkan, maka tidak cocok dengan realitas ilahi Firman. Bdk. M. Purwatma, Kristologi dan Allah Tritunggal, 7.21 M. Purwatma, Kristologi dan Allah Tritunggal, 65.22 Dogma-dogma Kristologi dari Nicea sampai Kalsedon dirumuskan untuk menjamin keselamatan manusia. Pergulatan mengenai keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus merupakan pergulatan untuk memahami bahwa dalam Yesus Kristus manusia sungguh diselamatkan, yaitu diilahikan, masuk dalam persatuan dengan Allah. Yesus Kristus yang mempribadikan Firman Allah dalam Diri-Nya, menghadirkan Allah bagi manusia. Dalam diri Yesus, Firman Allah, yang menurut Konsili Nicea diimani sehakikat dengan Bapa, tinggal dan mewujud. Karena Allah tinggal dalam diri Yesus, maka dalam diri Yesus ada keilahian dan kemanusiaan secara bersama-sama. Konsili Kalsedon mengajarkan bahwa Yesus Kristus sehakikat dengan Bapa dalam keilahian dan sehakikat dengan manusia dalam segala hal kecuali dalam hal dosa. Kehadiran Allah dalam diri manusia dapatlah dialami oleh siapapun. Maka di sinilah harus dipahami keunikan Yesus Kristus, karena kehadiran Allah dalam diri-Nya bukanlah sementara, tetapi sejak Ia dikandung. Hal ini seperti dirumuskan dalam Konsili Efesus yang menyatakan bahwa sejak dalam kandungan Maria, Firman Allah hadir dalam diri Yesus. Bdk. M. Purwatma, Kristologi dan Allah Tritunggal, 63.
8
Kepala segala sesuatu baik yang di surga maupun yang di bumi” (Ef 1,10)23. Karya
keselamatan Allah dalam Kristus tidak hanya menyatukan seluruh umat manusia
melainkan juga seluruh alam semesta. Seluruh alam semesta dipulihkan dalam
relasinya dengan Allah.
Dalam pengertian inilah Yesus Kristus bermakna universal, oleh karena Ia
menampilkan panggilan Allah bagi semua manusia untuk bersatu dengan diri-Nya.
Yesus Kristus adalah sakramen Allah bagi semua orang. Hal ini juga harus dipahami
sebagai sesuatu yang khas dan unik dalam diri Yesus.
5. Penutup
Membicarakan keunikan Kristus di tengah agama-agama lain tidaklah harus
merelativir peran Kristus, yaitu peran tunggal-Nya menjadi sakramen pewahyuan Allah
dalam wujud manusia. Akan tetapi, keunikan harus diartikan secara lain. Paul Knitter
mengusulkan “keunikan relasional” yang berarti mengakui kekhususan Yesus Kristus,
tetapi sekaligus ditempatkan dalam karya Allah yang lebih luas24.
Iman akan Yesus sebagai pewahyuan Firman Allah tidaklah harus
dipertentangkan dengan pandangan bahwa Firman Allah dapat hadir di luar Yesus
Kristus. Keutuhan Firman yang hadir dalam Yesus tetap dipertahankan. Akan tetapi,
pandangan bahwa Firman itu telah berkarya sebelum inkarnasi, tetap hadir dan
berkarya dalam sejarah manusia juga tidak dapat disangsikan. Pengejawantahan Firman
dalam wujud manusia tetaplah sekali untuk selama-lamanya, yaitu dalam pribadi Yesus
dari Nazaret. Dalam hal inilah, iman Kristiani tetaplah unik.
DAFTAR PUSTAKA
23 M. Purwatma, Kristologi dan Allah Tritunggal, 65.24 Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, diterjemahkan dari Jesus and The Other Names: Christian Mission and Global Responsibility, Kanisius, Yogyakarta, 2005, 162.
9
Dokumen Gereja
Kongregasi untuk Ajaran Iman,
2001 Deklarasi “Dominus Iesus”, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, DokPen
KWI, Jakarta.
Dokumen Konsili Vatikan II,
2009 diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, DokPen KWI & Obor, Jakarta.
Paulus II, Yohanes,
1991 Ensiklik “Redemptoris Missio”, diterjemahkan oleh Alfons S. Suhardi,
DokPen KWI, Jakarta.
Sumantoro Siswaya, FX. (Ed.),
1995 Dokumen Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-
1991, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, Seri Dokumen FABC No. 1, Dokpen
KWI, Jakarta.
Buku/Diktat/Skripsi/Artikel
Ari Purnomo, Yohanes,
2006 Narasi Kecil sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern menurut
Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi, Fakultas Teologi Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
Knitter, Paul F.,
2005 Menggugat Arogansi Kekristenan, diterjemahkan dari Jesus and The Other
Names: Christian Mission and Global Responsibility, Kanisius, Yogyakarta.
Purwatma, M.,
2006 Kristologi dan Allah Tritunggal: Pendekatan Historis-Sistematis, Buku Pegangan
Mahasiswa, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Wilfred, F.,
1995 “Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia (FABC): Orientasi, tantangan-
tantangan, dampak-pengaruh”, dalam FX. Sumantoro Siswaya (Ed.), Dokumen
Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-1991,
diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, Seri Dokumen FABC No. 1, Dokpen KWI,
Jakarta, 13-24.
Internet
10
“Teologi Salib sebagai Jembatan Dialog antara Dokumen Dominus Iesus dan
Postmodernisme”, yang diakses dari http://omonrupira. multiply. com/
journal/item/37 (23 Mei 2012).
Deshi Ramadhani, TA.,
“Ratzinger dan Relativisme Iman”, yang diakses dari http://www.
kompas.com/kompas-cetak/0504/21/opini/1701701.htm (30 Mei 2012).
11