19

Click here to load reader

Universalitas Yesus Kristus

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Universalitas Yesus Kristus

Unisitas dan Universalitas Yesus Kristus:

Studi Pembacaan dari Dokumen Dominus Iesus

Paper Ujian Akhir Semester

Mata Kuliah Sejarah Doktrin Gereja

Oleh:

Andry Kurniawan, Hubertus

(FT. 3147)

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

2012

Page 2: Universalitas Yesus Kristus

Unisitas dan Universalitas Yesus Kristus

Studi Pembacaan dari Dokumen Dominus Iesus

1. Pengantar: Sekilas tentang Dokumen Dominus Iesus

Dokumen Dominus Iesus dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman

(Congregation for the Doctrine of Faith) pada tanggal 6 Agustus 20001. Dokumen CDF

ini dimaksudkan sebagai sebuah deklarasi ajaran iman tentang kekhasan dan

universalitas Yesus Kristus sebagai satu-satunya pengantara bagi keselamatan manusia

serta kekhasan Gereja sebagai satu-satunya komunitas yang menghadirkan Kristus,

Sang Penyelamat2.

Dokumen CDF ini muncul berkaitan dengan tantangan relativisme iman yang

mulai merambah ke dalam kehidupan Gereja pada pertengahan abad XX ini. Kardinal

Joseph Ratzinger, Prefek Kongregasi Ajaran Iman saat itu, secara khusus menyatakan

adanya tantangan “relativisme iman” 3 dalam era postmodern ini. Hal ini terungkap

ketika pada tahun 1984 Vittorio Messori, seorang wartawan Italia, melakukan

wawancara dengan Ratzinger. Dalam terjemahan bahasa Inggris, hasil wawancara

tersebut diterbitkan dengan judul The Ratzinger Report: An Exclusive Interview on the

State of the Church (1985)4.

Dalam wawancara tersebut, Ratzinger mengungkapkan tentang bahaya

relativisme iman yang berkembang belakangan ini bagi Gereja serta masa depan dialog.

Baginya, dialog iman dengan agama-agama lain haruslah didukung dengan definisi 1 Kongregasi untuk Ajaran Iman, Deklarasi “Dominus Iesus”, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, DokPen KWI, Jakarta, 2001. Selanjutnya akan disebut Dokumen CDF.2 “Teologi Salib sebagai Jembatan Dialog antara Dokumen Dominus Iesus dan Postmodernisme”, yang diakses dari http://omonrupira.multiply.com/journal/item/37 (23 Mei 2012).3Relativisme adalah sikap yang yakin bahwa segala sesuatu adalah relatif; bahwa segala sesuatuditentukan bukan oleh apa yang ada dalam dirinya sendiri, melainkan oleh hubungan (Latin: relatio) antara sesuatu dan sesuatu yang lain. Sedangkan Relativisme iman adalah sikap yang menghayati iman bukan dengan keyakinan akan apa yang ada dalam kekayaan iman tertentu, melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan dengan iman lain. Relativisme menomorduakan gerakan ke arah dalam karena terus menyibukkan diri dengan pandangan ke arah luar. Relativisme menghindari kejujuran untuk melihat ke-khas-an yang berbeda di dalam karena terus mencoba menemukan ke-umum-an yang sama di luar. TA Deshi Ramadhani, “Ratzinger dan Relativisme Iman”, yang diakses dari http://www. kompas.com/kompas-cetak/0504/21/opini/1701701.htm (30 Mei 2012).4 TA Deshi Ramadhani, “Ratzinger dan Relativisme Iman”, yang diakses dari http:// www. kompas.com/ kompas-cetak/0504/21/opini/1701701.htm (30 Mei 2012).

1

Page 3: Universalitas Yesus Kristus

yang jelas dari iman seseorang. Dengan tegas ia menyatakan bahwa "definisi-definisi

jelas dari iman seseorang akan membantu semua pihak, termasuk partner dalam

dialog". Dengan kata lain, dialog hanya bisa terjadi justru kalau masing-masing pihak

sungguh meyakini imannya. Ratzinger yakin bahwa dialog antar-agama tidak boleh

jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme iman". Relativisme ini

marak dalam dunia dengan kebudayaan postmodern dimana kebenaran tunggal tidak

lagi mendapat maknanya. Kebenaran tunggal yang memuncak dalam era modernitas

tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. Era modern telah terlampaui dan

yang muncul adalah era relativitas dalam postmodern.

Dalam konteks demikianlah, Dokumen CDF muncul sebagai bentuk penegasan

Gereja terhadap kebenaran pokok iman Kristiani akan Yesus Kristus. Dokumen ini

tidak mengingkari adanya panggilan untuk berdialog dengan agama-agama lain serta

kebenaran-kebenaran yang tersebar. Dokumen ini justru memiliki maksud untuk

memberi posisi yang jelas akan definisi iman akan Yesus Kristus dalam Gereja Katolik

dalam rangka dialog.

Akan tetapi, bahasa rumusan yang dimunculkan oleh dokumen ini tetap

menyisakan suatu kontroversi yang mengundang berbagai macam reaksi dan diskusi

dari kalangan teolog Katolik. Bahasa yang dimunculkan dalam dokumen ini terkesan

apologetis berhadapan dengan realitas postmodern yang ditandai dengan hadirnya

bahaya relativisme iman5. Di sisi lain, bahasa yang ditampilkan agaknya menampakan

adanya semacam arogansi kekristenan terhadap klaim kebenaran universal tentang

keselamatan (salvation) yang mensubordinasikan agama-agama lain sebagai jalan

kebenaran dan keselamatan.

Secara khusus, Dokumen CDF ini menjadi amat kontroversial di kalangan hidup

beriman Kristiani Asia dimana warna dasar kehidupan iman umatnya (Gereja) adalah

dialog dengan berbagai macam budaya, agama, dan realitas kemiskinan6. Bagaimana

rumusan dokumen Dominus Iesus dapat menjawab berbagai macam persoalan dalam

5 “Teologi Salib sebagai Jembatan Dialog antara Dokumen Dominus Iesus dan Postmodernisme”, yang diakses dari http://omonrupira.multiply.com/journal/item/37 (23 Mei 2012).6 Lih. F. Wilfred, “Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia (FABC): Orientasi, tantangan-tantangan, dampak-pengaruh”, dalam FX. SumantoroSiswaya (Ed.), Dokumen Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-1991, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, Seri Dokumen FABC No. 1, Dokpen KWI, Jakarta, 1995, 13-24 (sebagai pengantar); Lihat juga Dok FABC 1, 39-42.

2

Page 4: Universalitas Yesus Kristus

dialog tersebut? Bagaimana Yesus Kristus yang adalah jalan, keselamatan dan hidup ini

‘nyambung’ dalam realitas keberagaman dalam dialog ini?

Dokumen CDF ini merupakan sebuah rangkuman refleksi iman Gereja yang

diwakili oleh hirarki tentang Yesus Kristus (sebuah refleksi Kristologis) berdasarkan

Kitab Suci dan Tradisi Gereja. Dengan demikian, refleksi Kristologis dalam dokumen

Dominus Iesus ini bukanlah sebuah refleksi Kristologis baru melainkan refleksi

Kristologis alkitabiah dan tradisional. Pokok-pokok tema yang ditulis dalam dokumen

tersebut antara lain: (1) Yesus Kristus sebagai wahyu yang penuh dan definitif; (2)

Inkarnasi Sabda dan Roh Kudus dalam karya keselamatan; (3) Keunikan dan

universalitas Misteri Penyelamatan dalam diri Yesus Kristus; (4) Keunikan dan

Kesatuan Gereja; (5) Gereja: Kerajaan Allah dan Kerajaan Kristus; (6) Gereja dan

agama-agama lain dalam relasinya dengan keselamatan.

2. Konteks

Dokumen CDF ini muncul sebagai salah satu sikap iman Gereja pada Kristus di

tengah dunia dengan arus pemikiran/budaya postmodern yang mulai disadari sebagai

salah satu tantangan bagi hidup beriman. Refleksi itu muncul sebagai sebuah sikap

iman inklusif Gereja pasca Konsili Vatikan II atas relativisme iman yang mulai tampak

di tengah arus postmodernitas. Arus postmodern ditandai oleh lahirnya pluralitas

budaya yang mulai bersuara, globalisasi dan neo-liberalisme. Ciri dasar dari realitas

postmodern adalah berkembangnya pluralisme, narasi kecil, dissensus

(diversitas/keterpecahan), dan pertanyaan tentang akhir sejarah. Dalam kehidupan

sosial, postmodernisme ditandai dengan muncul dan berkembangnya semangat lokal,

munculnya pencitraan yang tidak lagi sebagai gambaran realitas tetapi menjadi entitas

tersendiri, dan berkembangnya masyarakat informasi7.

Dokumen Dominus Iesus muncul seolah sebagai jawaban atas problem kristologis

era postmodern. Masa transisi zaman modern menuju postmodern sekedar

menampilkan pertumbuhan pusat-pusat kekuasaan baru dan jaringan-jaringannya yang

kemudian menyebar kemana-mana (meng-global). Manusia akhirnya menjadi budak

7 Yohanes Ari Purnomo, Narasi Kecil sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern menurut Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2006, 42

3

Page 5: Universalitas Yesus Kristus

sistem dari masyarakat rasional lanjut. Saat itulah teologi yang mendasarkan

refleksinya pada pola pikir modernitas mengalami krisis karena tak lagi mampu

menjawab situasi konkret dari suatu komunitas iman tertentu8.

Meskipun demikian, pokok iman kristiani akan selalu diwartakan dan dihidupi

oleh Gereja di sepanjang zaman dan di segala tempat. Hal ini menjadi esensi dari

perutusan Gereja sebagaimana tertuang dalam kalimat pertama dokumen: Tuhan Yesus,

sebelum naik ke surge, memerintahkan para murid-Nya, agar mewartakan Injil di

seluruh bumi dan membaptis semua bangsa: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah

Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi

siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:15-16)9.

Perutusan ini berlangsung di sepanjang zaman dan berhadapan dengan beragam

realitas budaya serta keyakinan religius dari begitu banyak manusia yang ada dalam

dunia ini. Iman akan Yesus Kristus Sang Penyelamat serta satu-satunya Perantara

antara Allah dan manusialah yang mempersatukan Gereja untuk teguh dalam berziarah

hingga kesempurnaannya di dalam Kristus. Dalam hal ini, Gereja hanya ada karena

Kristus Sang Kebenaran, maka pernyataan iman akan Yesus Kristus sebagai pusat

kebenaran dan kehadiran definitif Allah bagi keselamatan manusia yang secara khusus

dilanjutkan oleh Roh Kudus dalam Gereja perlu mendapat tekanan khusus di tengah-

tengah krisis iman dalam dunia saat ini.

3. Dominus Iesus: Kristologi dari Atas

Menghadapi arus postmodernisme yang memunculkan bahaya relativisme iman di

tengah pluralitas budaya dan agama, Gereja perlu menegaskan kembali pokok imannya

akan Kristus. Penegasan ini merupakan refleksi kristologis yang menyatakan iman

kristiani terhadap Kristus yang adalah satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup;

kepenuhan wahyu Allah dalam sejarah yang definitif lagi absolut10.

Refleksi iman ini berpijak dari Kitab Suci dan Tradisi yang diturunkan sejak para

Rasul bahwa Kristus adalah pribadi kedua Trinitas yang mewahyukan diri-Nya bagi

8“Teologi Salib sebagai Jembatan Dialog antara Dokumen Dominus Iesus dan Postmodernisme”, yang diakses dari http://omonrupira.multiply.com/journal/item/37 (23 Mei 2012).9 Dominus Iesus, 1.10 Bdk. Dei Verbum, 4.

4

Page 6: Universalitas Yesus Kristus

keselamatan manusia. Secara khusus, refleksi iman dalam dokumen Dominus Iesus ini

menampakkan refleksi Kristologis dari Atas (Christology from Above) yang

menyatakan bahwa iman akan Yesus Kristus, Sang Inkarnasi Sabda Bapa telah

menyatukan Gereja sebagai sakramen keselamatan bagi dunia.

Kebenaran iman akan Kristus yang telah tertulis dalam Kitab Suci ini menjadi

dasar bagi Gereja untuk selalu memelihara iman kristiani sejak para Rasul. Tema-tema

yang dirumuskan dalam dokumen ini pun berpijak dari refleksi kristologis alkitabiah

(khususnya Injil Yohanes dan Surat-surat Paulus) dan kristologi dogmatik Tradisi.

Dalam dokumen ini ditekankan tentang Kristus yang diimani oleh Gereja sebagai

Sabda Allah, satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup bagi keselamatan manusia (bdk.

Yoh 14,6).

Dokumen CDF ini tidak meninggalkan sisi historis dari pribadi Yesus yang

sungguh-sungguh manusia yang hidup dalam periode sejarah tertentu (inkarnasi sabda).

Hal ini tampak dalam uraian bab I Dokumen CDF yang tertulis demikian:

Memang, harus diimani secara teguh bahwa dalam misteri Yesus Kristus, Putera Allah yang menjelma, yakni “jalan, kebenaran, dan kehidupan” (Yoh 14,6), dianugerahkan pewahyuan penuh-purna kebenaran ilahi: Tidak seorangpun mengerti Putera kecuali Bapa, dan tak seorangpun mengerti Bapa kecuali Putera lagi pula siapapun juga, yang kepada mereka Putera hendak mewahyukan Dia” (Mat 11,27). “Tak seorangpun pernah melihat Allah; Allah satu-satunya Putera, yang dipangkuan Bapa, telah mewahyukan Dia” (Yoh 1,18). “Sebab dalam Kristus tinggallah seluruh kepenuhan keallahan dalam rupa badani” (Kol 2,9-10).Dengan penuh-setia akan sabda Allah, Konsili Vatikan II mengajarkan: “Maka berkat pewahyuan itu kebenaran yang terdalam tentang Allah dan keselamatan manusia memancar dalam Kristus, yang sekaligus adalah Sang Perantara dan kepenuhan pewahyuan” (Dei Verbum, 2). Lagi pula, “oleh karena itulah, Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, yang diutus ‘sebagai manusia kepada sesama manusia’, ‘berbicara menggunakan kata-kata Allah’ (Yoh 3,34), dan penuh melaksanakan karya penyelamatan, yang oleh Bapa-Nya telah diserahkan kepada-Nya untuk menjalankannya (bdk. Yoh 5,36; 17,4). Memandang Yesus berarti memandang Bapa-Nya (bdk. Yoh 14,9).Oleh karena itulah Yesus menyempurnakan pewahyuan dengan melaksanakannya melalui seluruh karya-Nya untuk menghadirkan Diri dan menampakkan Diri-Nya: melalui pesan dan tindakan-Nya, tanda serta mukjizat-Nya, namun khususnya melalui wafat dan kebangkitan-Nya yang mulia dari maut, dan akhirnya dengan mengutus Roh kebenaran, Ia melengkapkan dan menyempurnakan pewahyuan serta mengukuhkannya dengan kesaksian ilahi11

11 Dominus Iesus, 5.

5

Page 7: Universalitas Yesus Kristus

Munculnya CDF tidak bisa dilepaskan dari konteks komunitas yang mengimani

Kristus dimana sejarah telah membentuk sedemikian rupa mulai dari jemaat Perjanjian

Baru hingga saat ini. Pengenalan terhadap pribadi Yesus Kristus tidak mungkin

melepaskan iman jemaat akan pribadi Yesus Kristus sebagai Mesias. Sehingga menjadi

jelaslah bahwa refleksi kristologis dalam Dokumen CDF ini adalah refleksi Gereja

tentang Yesus Kristus yang diimani oleh Gereja di tengah dunia postmodern dengan

tantangan relativisme imannya. Refleksi ini merupakan sebuah usaha

pertanggungjawaban iman terhadap Yesus Kristus di tengah dunia saat ini demi

keselamatan (fides quaerens intellectum), iman yang mencari pemahaman sebagai

wujud komunikasi sekaligus pewartaan kebenaran iman itu sendiri bagi realitas dunia

yang terdiri dari beranekaragam manusia dengan berbagai macam latar belakang sosial,

budaya, agama (keyakinan religius) dan dinamika sejarahnya12.

4. Unisitas dan Universalitas Yesus Kristus

4.1 Ajaran Dominus Iesus

Salah satu persoalan yang dibicarakan adalah soal universalitas dan keunikan

Yesus Kristus bagi keselamatan manusia. Pada masa sekarang ini, penghayatan iman

akan keunikan dan makna universal dari Yesus Kristus haruslah ditempatkan dalam

kerangka dialog dengan agama-agama lain. Dokumen CDF ini menolak dengan tegas

apabila keunikan Yesus Kristus itu direlativir, ataupun peran Yesus Kristus menjadi

komplementer bersama dengan agama-agama lain. Dengan demikian, pewahyuan Allah

dalam diri Yesus seolah-olah tidak utuh sehingga memerlukan kelengkapan dalam

agama-agama lain13, atau peran Yesus Kristus dilengkapi dalam tokoh-tokoh agama

lain14 Dokumen CDF ini dengan tegas menyatakan bahwa “Yesus Sabda yang

menjelma – pribadi yang satu dan tak terbagi … Kristus itu tidak lain kecuali Yesus

dari Nazaret; Ia itu Sabda Allah yang menjadi manusia demi keselamatan semua

orang”15.

Pada bagian ketiga dalam Dokumen CDF ini dijelaskan secara tegas bahwa

keunikan dan keuniversalan misteri keselamatan oleh Kristus ini, bersandar pada

12 “Teologi Salib sebagai Jembatan Dialog antara Dokumen Dominus Iesus dan Postmodernisme”, yang diakses dari http://omonrupira.multiply.com/journal/item/37 (23 Mei 2012).13 Bdk. Dominus Iesus, 6.14 Bdk. Dominus Iesus, 9.15 Dominus Iesus, 10. Bandingkan juga Redemptoris Missio, 6.

6

Page 8: Universalitas Yesus Kristus

kenyataan bahwa “Bapa telah mengutus Anak-Nya menjadi Juruselamat dunia”, agar

semua orang yang percaya kepada-Nya dapat diselamatkan (1 Yoh 4,14; lih. Yoh 3,16).

Rasul Petrus mengajarkan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain

di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan

kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis 4,12). Selanjutnya, Rasul

Paulus menambahkan bahwa Yesus Kristus adalah “Tuhan di atas segalanya”, “hakim

dari yang hidup dan mati”, dan karenanya, “barang siapa yang percaya kepada-Nya

menerima pengampunan dosa melalui nama-Nya.” (lih. Kis 10,36.42-43).16

Oleh karena itu harus diimani dengan teguh sebagai kebenaran iman Katolik

bahwa keselamatan umat manusia ditawarkan Allah dan digenapi satu kali dan selama-

lamanya dalam misteri Inkarnasi, wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus17. Keunikan

misteri Kristus ini sesuai dengan Sabda Kristus sendiri, yang menyatakan Diri-Nya,

“Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan

Yang Akhir”18 karena Yesus adalah Sang Sabda yang oleh-Nya semua mahluk

diciptakan, Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan

manusia, dan yang akan kembali lagi untuk mengadili semua manusia, di akhir jaman.

4.2 Ajaran Iman Katolik

Keunikan Yesus Kristus dilihat ketika Yesus dipahami sebagai sakramen Allah,

pengantara Allah kepada manusia19. Sebagai sakramen, Yesus Kristus menghadirkan

dalam diri-Nya karya keselamatan Allah, sehingga menjadi jalan bagi manusia untuk

menuju Allah.

Keunikan Yesus Kristus justru terletak dalam misteri inkarnasi, ketika Firman

hadir dalam sejarah manusia melalui seorang manusia konkrit yang hidup dalam

sejarah (bdk. Yoh 1,14)20. Yesus historis menjadi kehadiran unik Firman dalam sejarah

16 Bdk. Dominus Iesus, 13.17 Lih. Dominus Iesus, 14.18 Redemptoris Missio, 6.19 M. Purwatma, Kristologi dan Allah Tritunggal: Pendekatan Historis-Sistematis, Buku Pegangan Mahasiswa, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2006, 65.20 Dalam kelompok Yunani abad II, ada kecenderungan untuk menekankan segi ilahi Yesus Kristus dan memandang tidak bermakna kemanusiaan-Nya. Pandangan ini dilator-belakangi oleh alam pikiran gnostis yang diwarnai oleh pertentangan tajam antara rohani dan jasmani, jiwa dan materi, yang ilahi dan manusiawi. Gnostis memahami keselamatan sebagai kelepasan dari dunia materi, karena dunia materi termasuk manusia adalah jahat. Konsekuensi dari pandangan ini adalah mempersoalkan kemanusiaan Yesus Kristus. Bagi kelompok ini, Firman (logos) adalah makhluk yang tertinggi, ilahi, tetapi tetap makhluk. Sebagai makhluk ilahi, Firman memang datang ke dunia untuk mengajar manusia kembali

7

Page 9: Universalitas Yesus Kristus

manusia. Keunikan Yesus Kristus dapat ditemukan dalam sikap maupun tindakan-

tindakan-Nya yang menghadirkan Kerajaan Allah. Dalam arti tertentu, Yesus Kristus

bukan hanya menghadirkan Firman, tetapi Dia sendirilah Firman itu, karena di dalam

diri-Nya terjadi persatuan antara Firman dan manusia, yang mengundang manusia

untuk bersatu dengan Allah21.

Sebagai sakramen yang menghadirkan Allah, Yesus Kristus juga dipandang

sebagai yang menentukan untuk keselamatan manusia. Perjumpaan maupun

pendamaian manusia dengan Allah hanya dapat terjadi apabila Allah sendiri yang

menyapa manusia. Dalam hal ini, Allah hadir dan menyapa manusia. Inilah yang

menjadi landasan bagi Bapa-Bapa Gereja ketika memperjuangkan iman akan kesatuan

antara yang ilahi dan yang insani dalam diri Yesus Kristus, Allah menjadi manusia agar

manusia menjadi Allah 22. Dalam Yesus Kristus, Firman yang menjadi manusia,

terjadilah perjumpaan manusia dengan Allah. Oleh karena itu, selain menampilkan

kesatuan Allah dan manusia, Yesus Kristus juga menjadi jalan bagi bersatunya manusia

dengan Allah (bdk. Yoh 14,6).

Panggilan manusia menuju Allah ini tidaklah terbatas pada masa tertentu maupun

kelompok tertentu. Dalam diri Yesus, semua manusia dipanggil untuk sampai kepada

Allah. Allah menghendaki agar semua orang bersatu dalam Kristus, “…supaya dalam

nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan

yang ada di bawah bumi” (Fil 2,10), “…untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai

kepada Allah. Akan tetapi Firman itu tidak pernah manjadi sungguh-sungguh manusia; pura-pura menjadi manusia, pura-pura mati di kayu salib. Pandangan ini dikenal dengan sebutan doketisme. Firman nampak sebagai manusia (dianggap sebagai manusia) karena tidak mungkin Firman yang ilahi sungguh menjadi manusia. Pada prinsipnya, doketisme menyangkal kemanusiaan Yesus, karena bagi kelompok ini, kemanusiaan adalah sesuatu yang tidak baik, yang harus ditinggalkan, maka tidak cocok dengan realitas ilahi Firman. Bdk. M. Purwatma, Kristologi dan Allah Tritunggal, 7.21 M. Purwatma, Kristologi dan Allah Tritunggal, 65.22 Dogma-dogma Kristologi dari Nicea sampai Kalsedon dirumuskan untuk menjamin keselamatan manusia. Pergulatan mengenai keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus merupakan pergulatan untuk memahami bahwa dalam Yesus Kristus manusia sungguh diselamatkan, yaitu diilahikan, masuk dalam persatuan dengan Allah. Yesus Kristus yang mempribadikan Firman Allah dalam Diri-Nya, menghadirkan Allah bagi manusia. Dalam diri Yesus, Firman Allah, yang menurut Konsili Nicea diimani sehakikat dengan Bapa, tinggal dan mewujud. Karena Allah tinggal dalam diri Yesus, maka dalam diri Yesus ada keilahian dan kemanusiaan secara bersama-sama. Konsili Kalsedon mengajarkan bahwa Yesus Kristus sehakikat dengan Bapa dalam keilahian dan sehakikat dengan manusia dalam segala hal kecuali dalam hal dosa. Kehadiran Allah dalam diri manusia dapatlah dialami oleh siapapun. Maka di sinilah harus dipahami keunikan Yesus Kristus, karena kehadiran Allah dalam diri-Nya bukanlah sementara, tetapi sejak Ia dikandung. Hal ini seperti dirumuskan dalam Konsili Efesus yang menyatakan bahwa sejak dalam kandungan Maria, Firman Allah hadir dalam diri Yesus. Bdk. M. Purwatma, Kristologi dan Allah Tritunggal, 63.

8

Page 10: Universalitas Yesus Kristus

Kepala segala sesuatu baik yang di surga maupun yang di bumi” (Ef 1,10)23. Karya

keselamatan Allah dalam Kristus tidak hanya menyatukan seluruh umat manusia

melainkan juga seluruh alam semesta. Seluruh alam semesta dipulihkan dalam

relasinya dengan Allah.

Dalam pengertian inilah Yesus Kristus bermakna universal, oleh karena Ia

menampilkan panggilan Allah bagi semua manusia untuk bersatu dengan diri-Nya.

Yesus Kristus adalah sakramen Allah bagi semua orang. Hal ini juga harus dipahami

sebagai sesuatu yang khas dan unik dalam diri Yesus.

5. Penutup

Membicarakan keunikan Kristus di tengah agama-agama lain tidaklah harus

merelativir peran Kristus, yaitu peran tunggal-Nya menjadi sakramen pewahyuan Allah

dalam wujud manusia. Akan tetapi, keunikan harus diartikan secara lain. Paul Knitter

mengusulkan “keunikan relasional” yang berarti mengakui kekhususan Yesus Kristus,

tetapi sekaligus ditempatkan dalam karya Allah yang lebih luas24.

Iman akan Yesus sebagai pewahyuan Firman Allah tidaklah harus

dipertentangkan dengan pandangan bahwa Firman Allah dapat hadir di luar Yesus

Kristus. Keutuhan Firman yang hadir dalam Yesus tetap dipertahankan. Akan tetapi,

pandangan bahwa Firman itu telah berkarya sebelum inkarnasi, tetap hadir dan

berkarya dalam sejarah manusia juga tidak dapat disangsikan. Pengejawantahan Firman

dalam wujud manusia tetaplah sekali untuk selama-lamanya, yaitu dalam pribadi Yesus

dari Nazaret. Dalam hal inilah, iman Kristiani tetaplah unik.

DAFTAR PUSTAKA

23 M. Purwatma, Kristologi dan Allah Tritunggal, 65.24 Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, diterjemahkan dari Jesus and The Other Names: Christian Mission and Global Responsibility, Kanisius, Yogyakarta, 2005, 162.

9

Page 11: Universalitas Yesus Kristus

Dokumen Gereja

Kongregasi untuk Ajaran Iman,

2001 Deklarasi “Dominus Iesus”, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, DokPen

KWI, Jakarta.

Dokumen Konsili Vatikan II,

2009 diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, DokPen KWI & Obor, Jakarta.

Paulus II, Yohanes,

1991 Ensiklik “Redemptoris Missio”, diterjemahkan oleh Alfons S. Suhardi,

DokPen KWI, Jakarta.

Sumantoro Siswaya, FX. (Ed.),

1995 Dokumen Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-

1991, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, Seri Dokumen FABC No. 1, Dokpen

KWI, Jakarta.

Buku/Diktat/Skripsi/Artikel

Ari Purnomo, Yohanes,

2006 Narasi Kecil sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern menurut

Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi, Fakultas Teologi Universitas Sanata

Dharma, Yogyakarta.

Knitter, Paul F.,

2005 Menggugat Arogansi Kekristenan, diterjemahkan dari Jesus and The Other

Names: Christian Mission and Global Responsibility, Kanisius, Yogyakarta.

Purwatma, M.,

2006 Kristologi dan Allah Tritunggal: Pendekatan Historis-Sistematis, Buku Pegangan

Mahasiswa, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Wilfred, F.,

1995 “Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia (FABC): Orientasi, tantangan-

tantangan, dampak-pengaruh”, dalam FX. Sumantoro Siswaya (Ed.), Dokumen

Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-1991,

diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, Seri Dokumen FABC No. 1, Dokpen KWI,

Jakarta, 13-24.

Internet

10

Page 12: Universalitas Yesus Kristus

“Teologi Salib sebagai Jembatan Dialog antara Dokumen Dominus Iesus dan

Postmodernisme”, yang diakses dari http://omonrupira. multiply. com/

journal/item/37 (23 Mei 2012).

Deshi Ramadhani, TA.,

“Ratzinger dan Relativisme Iman”, yang diakses dari http://www.

kompas.com/kompas-cetak/0504/21/opini/1701701.htm (30 Mei 2012).

11