Upload
doanphuc
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB. I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertanyaan
Fenomena perkembangan spiritualitas yang sedang terjadi saat ini bisa
dikatakan salah satunya adalah banyaknya orang Kristen yang belajar spiritualitas
Buddha dan mereka belajar di vihara-vihara, secara khusus bagaimana bermeditasi.
Apakah ini sebuah trend? Sebuah program infotainment televisi mengatakan bahwa
ini adalah sebuah trend kalangan artis, oleh karena banyaknya artis yang belajar
meditasi dan bentuk-bentuk pelatihan ketenangan batin lainnya, sebut saja misalnya:
Marcel Siahaan (seorang penyanyi asal Indonesia) atau misalnya Tina Turner
(seorang penyanyi Amerika) atau Richard Gere (seorang aktor Hollywood), dan
sejumlah artis lainnya. Ternyata, apa yang dikatakan infotainment tersebut sebagai
trend, bukan hanya di kalangan artis saja, namun juga kalangan masyarakat biasa
khususnya orang-orang Kristen. Dengan demikian muncul pertanyaan, ada apa
dengan kehidupan orang Kristen sehingga harus belajar spiritualitas Buddha?
Apakah mereka belajar spiritualitas Buddha oleh karena mereka mengalami depresi
atau hal-hal negatif lainnya? Atau memang mereka belajar spiritualitas Buddha oleh
karena keinginan nurani mereka sendiri tanpa ada unsur tekanan dari luar diri
mereka? Ataukah ini sebagai bentuk ketidakpuasan atas pelayanan gereja khususnya
bidang spiritualitas sehingga mereka mencari dan belajar spiritualitas di tempat lain
bahkan agama lain misalnya agama Buddha? Hal menarik apakah yang ditawarkan
oleh vihara Buddha, sehingga orang-orang Kristen belajar spiritualitas di sana?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan dengan sendirinya muncul, ketika melihat
©UKDW
2
kenyataan bahwa sejumlah orang Kristen telah terbuka untuk belajar spiritualitas
Buddha ke vihara-vihara.
Fenomena inilah yang terjadi di Sebuah Vihara di Mendut, Jawa Tengah,
tepat berdampingan dengan Candi Mendut, atau yang dikenal dengan Vihara
Mendut, yang ternyata memiliki data yang menyatakan bahwa terdapat sejumlah
orang Kristen yang berkunjung ke vihara tersebut untuk belajar spiritualitas
Buddha.1 Data yang ditunjukkan oleh salah seorang Samanera (calon rahib
Buddha)2, bahwa ada rata-rata 10-20 orang Kristen setiap tiga bulannya live-in di
Vihara Mendut untuk mengikuti pelatihan spiritualitas dengan sebuah program yang
disebut MMD (Meditasi Mengenal Diri). Jumlah ini belum termasuk orang-orang
yang hanya datang satu hari atau singgah sebentar untuk bermeditasi di Vihara
Mendut.
MMD, diadakan di Vihara Mendut dan menjadi salah satu program rutin dari
Vihara Mendut sekali dalam tiga bulan. Penjadwalan program tersebut dapat dilihat
di www.meditasi-mengenal-diri.org. Seperti data yang diterima penulis ketika
mengadakan observasi ke Vihara Mendut pada 20 Oktober 2011, jumlah peserta
yang telah mendaftar untuk program MMD yang diadakan pada Desember 2011
berjumlah 52 orang. Kemudian pada 27-29 Januari 2012, penulis mengikuti sendiri
program MMD tersebut dengan jumlah peserta 26 orang. Peserta yang hadir tersebut
berasal dari berbagai aliran agama dan juga berbagai denominasi gereja. Peserta
yang hadir juga berasal dari berbagai daerah, misalnya dari Malang, dari Jakarta, dari
Bandung dan dari Yogyakarta. Sebagian besar peserta yang hadir adalah orang-orang
muda, dengan kisaran umur 25-35 tahun dan rata-rata belum menikah. Dari sejumlah
1 Selanjutnya dalam awal thesis ini, data yang diperoleh adalah berdasarkan wawancara dan
observasi di Vihara Mendut pada 20 Oktober 2011 dan pengalaman penulis ikut dalam program MMD pada 27-29 Januari 2012. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, versi elektronik, v1.1
©UKDW
3
peserta yang hadir pada saat penulis ikut serta dalam program MMD tersebut,
terdapat 8 orang yang beragama Kristen (2 orang Kristen Protestan dan 6 orang
Kristen Katolik Roma). Ini menunjukkan bagaimana minat orang-orang Kristen
untuk belajar spiritualitas Buddha di Vihara Mendut.
MMD, diadakan dalam dua variasi waktu, yaitu yang disebut dengan
weekend retreat dan one week retareat. Peserta yang ikut dalam setiap
penyelenggaraan program tersebut dianjurkan untuk live-in di Vihara Mendut. Hal
ini dilakukan agar pelaksanaan program tersebut dapat berjalan dengan baik, oleh
karena panitia MMD sudah menjadwalkan waktu-waktu tertentu untuk mengadakan
evaluasi bersama peserta dan mendiskusikan bersama pengalaman-pengalaman pada
saat meditasi, serta memberikan materi atau penjelasan tentang meditasi itu sendiri.
Pembimbing meditasi pada MMD menyatakan bahwa MMD adalah meditasi
dengan kesadaran (awareness atau mindfullness), dan juga pengosongan diri yang
disebut dengan menghilangkan ego. Pembimbing meditasi juga menyatakan bahwa
meditasi yang sedang dilakukan bersama-sama tersebut adalah meditasi yang
diajarkan oleh Sang Buddha, yang disebut dengan meditasi vipassana, yang
kemudian dikembangkan oleh J. Khrisnamurti. Sedikit mengenal Khrisnamurti dan
pandangannya dalam mengembangkan meditasi dari kutipan yang menarik sebagai
berikut:3
“Mengapa Anda ingin mempelajari buku-buku, alih-alih mempelajari kehidupan?
Temukanlah apa yang benar dan apa yang salah di lingkungan Anda beserta segala
penindasan dan kekejamannya, maka Anda akan mendapatkan apa yang benar.”
Berulang-ulang ia mengemukakan bahwa “buku kehidupan”, yang terus menerus
berubah dengan suatu vitalitas yang tak dapat dikekang dalam pikiran, adalah satu-
satunya buku yang pantas “dibaca”, sedangkan semua buku yang lain penuh dengan
informasi tangan kedua. “Sejarah umat manusia ada di dalam diri Anda, pengalaman
3 J. Khrisnamurthi, Mutiara Kehidupan: Meditasi Harian Bersama Khrisnamurti, (Jakarta: Yayasan
Khrisnamurti Indonesia, 2005)., p.v
©UKDW
4
yang amat luas, ketakutan yang berakar dalam, kecemasan, kesedihan, kenikmatan,
dan semua kepercayaan yang telah dikumpulkan manusia selama ribuan tahun.
Andalah buku itu.”
Kutipan dari pernyataan Khrisnamurti di atas, memiliki pengertian bahwa diri
sendiri memiliki peranan yang sangat penting untuk keberlangsungan seluruh
keidupan. Kemungkinan inilah pokok pemahaman meditasi vipassana yang juga
ditangkap oleh penulis dari penjelasan pembimbing program MMD, yaitu bagaimana
segala sesuatu ditemukan di dalam diri dengan menyadari apa yang ada di dalam
diri.
Meditasi vipassana inilah yang dikembangkan dan diterapkan oleh
pembimbing program MMD tersebut. Pembimbing MMD tersebut adalah seorang
beragama Buddha yang bukan rahib Buddha, atau dapat dikatakan sebagai praktisi
meditasi, bernama Dr. Hudoyo Hupidio. Berikut ini adalah kutipan dari tulisan
beliau tentang apa itu MMD:4
Meditasi Mengenal Diri (MMD) adalah versi meditasi vipassana yang selama
beberapa tahun terakhir telah dikembangkan dari vipassana yang diajarkan secara
“tradisional”. Dalam MMD, meditasi vipassana “tradisional” telah banyak
dimodifikasi berdasarkan ajaran J. Krishnamurti tentang sadar/eling secara pasif atau
sadar/eling tanpa memilih, yang sesungguhnya adalah kembali pada sifat-sifat
praktik meditasi vipassana murni ajaran Sang Buddha sendiri.
Hudoyo kemudian dengan tegas menyatakan bahwa sifat-sifat khusus dari
meditasi vipassana adalah kebalikan dari kehidupan sehari-hari: pasif, berhenti,
4 Hudoyo Hupidio, “Apakah Meditasi Mengenal Diri Itu?”, dalam Sri Panyavaro Mahathera dan
Hudoyo Hupidio, Vipassana-bhavana: Meditasi Mengenal Diri, (Yogyakarta: Suwung, 2009), p. 16
©UKDW
5
diam, lepas, berada pada saat kini.5 Sedangkan untuk kesadaran dalam meditasi itu
sendiri, kemungkinan dapat dijelaskan melalui kutipan berikut:6
Anda boleh bercita-cita mencapai kearifan, tetapi bagaimana itu bisa muncul kalau
ada keinginan (lobha), ketidaksenangan (dosa) atau kegelapan batin (moha)? Itu
sebabnya Anda harus memperhatikan batin jika Anda ingin mengetahui kebenaran.
Bagaimana sikap Anda ketika Anda berlatih? Anda harus selalu memeriksa
bagaimana Anda berlatih. Selalu memeriksa sikap Anda. Jangan terpaku pada objek.
Objek selalu ada. Objek tidak lagi penting. Mereka hanya berperan untuk
mempertahankan kesadaran. Anda menggunakan objek untuk mempertahankan
kesadaran yang tetap. Yogi yang tahu (yang telah berlatih meditasi) akan
menggunakan objek untuk mengembangkan kesadaran (sati), keheningan,
ketenangan (samādhi) dan kearifan (paññā). Mereka yang belum matang, objek
hanya akan menimbulkan keinginan (lobha), ketidaksenangan (dosa) dan kegelapan
batin (moha).
Hal ini berarti bahwa kesadaran penuh terhadap apa yang dilakukan dalam
meditasi akan dilatih terus menerus untuk kemudian membiasakan diri dalam
kesadaran penuh terhadap apa yang dilakukan dalam kehidupan setiap hari.
Agaknya, hal ini merupakan hal yang menarik dalam bentuk spiritualitas yang dicari-
cari oleh setiap orang yang datang ke Vihara Mendut untuk ikut dalam program
MMD.
Kenyataan di atas membuat penulis untuk terlebih dahulu lebih baik
merumuskan apa itu spiritualitas. Agus M. Hardjana mencatat bahwa spiritualitas
berasal dari kata Latin “spiritus” yang berarti roh, jiwa, semangat.7 Lebih luas lagi,
Hardjana menyatakan bahwa spritualitas berarti hidup berdasarkan atau menurut roh
di dalam konteks hubungan dengan Yang Transenden yaitu Roh Allah sendiri yang
diwujudkan dengan mengikuti jejak atau hidup tokoh-tokoh agama entah para
5 Hudoyo Hupidio, “Apakah Meditasi Mengenal Diri Itu?”, dalam Sri Panyavaro Mahathera dan
Hudoyo Hupidio, Vipassana-bhavana: Meditasi Mengenal Diri, ..., p. 15 6 Ashin Tejaniya, Meditasi Kesadaran: Tuntunan Untuk Berlatih, (Yogyakarta: Suwung, 2010)., p. 13
7 Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p.64
©UKDW
6
pendiri agama atau para pengikut agama yang dapat diteladani.8 Spiritualitas
berhubungan dengan kebahagiaan, bahwa kebahagiaan sangat tergantung kepada
apakah dia mampu mengaitkan dirinya dengan “Pusat Diri” (“The Higher
Consciousness”).9 Demikian halnya ketika kata ini diperhadapkan dengan orang
Kristen, maka spiritualitas dapat dirumuskan sebagai hidup berdasarkan kekuatan
Roh Kudus dengan mengembangkan iman, harapan dan cinta kasih atas usaha
mengintegrasikan segala segi kehidupan ke dalam cara hidup yang secara sadar
bertumpu akan iman kepada Yesus Kristus.10
Kenyataan dalam penjelasan di atas, menjadi tantangan tersendiri bagi gereja
untuk menyikapinya. Seperti yang dinyatakan Borrong, saat ini orang Kristen sedang
giat melakukan pencarian spiritualitas yang tidak hanya melulu dari gereja saja, akan
tetapi dapat ditemukan dari semua tempat dan tergantung kepada pengalaman setiap
orang ketika bersua dengan Tuhannya, lalu mencipta nuansanya sendiri secara bebas,
dialektis dan bertanggung jawab kepada Tuhan dan sesama.11
Penulis juga tertarik dengan apa yang dirumuskan melalui pertemuan dalam
program DGD (Dewan Gereja-gereja se-Dunia/ World Council of Churches)
bekerjasama dengan program Pembaruan Hidup dan Kehidupan Berjemaat DGD,
pada Desember 1987, yang dimuat oleh Seevaratnam Wesley Ariarajah sebagai
berikut:12
Pertama, kami mengaku betapa pentingnya dialog di tingkat spiritualitas sebagai
usaha mengenal dan memahami orang-orang dari agama lain sebagai orang-orang
dari doa dan praktek spiritual, sebagai sesama pencari dan peziarah, dan sebagai
8 Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama dan Spiritualitas,..., p.65
9 Ruslani, “Pengantar Penyunting”, dalam Ruslani (ed), Wacana Spiritualitas Timur dan Barat,
(Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2000), p. xv 10
Yosef Lalu, Katekese Umat, (Jakarta: Komisi Kateketik KWI, 2007), p. 151 11
Robert P. Borrong, dkk (peny.), Berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia: 80 tahun Prof. Dr. P.D. Latuihamallo (Jakarta: BPK-GM, 2002), pp. 88-91 12
S. Wesley Ariarajah, Not Without My Neighbour: Issues In Interfaith Relation, (Switzerland: WCC Publications, 1999), p. 43-44
©UKDW
7
mitra dalam usaha menegakkan perdamaian dan keadilan. Kedua, kami mengaku
pentingnya memperdalam iman Kristen kami sendiri dalam perjalanan-perjalanan
yang membawa kami ke dalam kehidupan dan praktek spiritual agama-agama lain.
Dalam perjalanan bersama orang lain, orang asing, seperti murid dalam perjalanan
ke Emaus, kami menemukan, dalam saling berbagi, satu pengalaman pengenalan.
Kami melihat Kristus yang tidak diduga-duga dan telah diperbarui. Ketiga, kami
mengaku karya sang Roh dengan cara-cara yang melintasi agama Kristen, dan
melewati batas-batas agama dan melibatkan kami ke dalam kebersamaan yang
kreatif bersama dengan orang-orang dari agama lain di dalam perjuangan dunia.
Pernyataan di atas menjadi menarik, oleh karena latar belakang perjumpaan
yang dijelaskan dalam buku tersebut adalah kebersamaan mereka (20 orang dari latar
belakang Orthodoks, Katolik Roma dan Protestant)13
dalam doa dan meditasi pada
saat pertemuan dalam program DGD tersebut. Artinya, perjumpaan yang terjadi
dalam pertemuan tersebut adalah berbentuk dialog melalui doa dan meditasi yang
pada akhirnya melahirkan rumusan pengakuan seperti di atas. Belajar mengenal diri
dan semakin meyakinkan diri akan iman dapat dilakukan melalui kehadiran orang
lain atau agama lain (“In light of what we learn from other religions, we are forced to
evaluate what we believe in our own”14
).
1.2. Perumusan pertanyaan
Latar belakang pertanyaan di atas menimbulkan pertanyaan penulis dan
dirumuskan menjadi rumusan pertanyaan di bawah ini:
a. Apa dan bagaimana Meditasi Mengenal Diri dan mengapa Meditasi
Mengenal Diri menjadi begitu penting?
13
S. Wesley Ariarajah, Not Without My Neighbour: Issues In Interfaith Relation…p.43 14
Brennan Hill, Paul F. Knitter, William Madges, Faith, Religion and Theology: a contemporary introduction,(USA: Twenty-Third Publications, 2004), p.209
©UKDW
8
b. Apa sikap hidup yang ada pada pemeditasi Kristen berkaitan dengan Meditasi
Mengenal Diri?
c. Apa tanggapan teologi penulis tentang Meditasi Mengenal Diri?
1.3. Tujuan Penulisan
a. Tesis bertujuan untuk mencari tahu spiritualitas yang ditawarkan oleh
program MMD Vihara Mendut yang membuat orang-orang Kristen tertarik
menekuni spiritualitas Buddha di Vihara Mendut.
b. Tesis ini bertujuan untuk memperkaya wacana teologi di Indonesia dengan
menggali pemahaman spiritulitas Buddha dari perspektif orang-orang Kristen
yang belajar Buddha.
1.4. Teori 15
Sebagai titik tolak dalam pembahasan tulisan ini, penulis akan
menitiktolakkan kepada pandangan Paul F. Knitter, tentang bagaimana hubungan
atau dialog Kristen-Buddha. Secara khusus dalam bukunya yang berjudul “Without
Buddha, I Could not be a Christian”, (Oxford: Oneworld Publications, 2010). Buku
tersebut mencoba menjelaskan bagaimana tantangan terbesar Kekristenan yaitu
jurang yang terbentang dalam dualisme, misalnya dunia materi dan dunia spiritual
(duniawi dan sorgawi?), Timur dan Barat, kenyataan saat ini dan sejarah, laki-laki
dan perempuan, Allah dan dunia. Namun di sisi lain, Buddha berhasil menjembatani
dualisme tersebut. Dari hal inilah Knitter beralih kepada kedalaman iman Kristen
15
Selanjutnya akan dipertegas dalam bab-bab thesis ini secara khusus dalam Bab 3.
©UKDW
9
khususnya tradisi mistik Kristen yang lebih mengutamakan jembatan penghubung
tersebut daripada dualisme tersebut.
Buku tersebut juga menjelaskan bagaimana Buddha justru terbuka dengan
orang-orang yang melakukan kejahatan, bahkan memanggil mereka untuk datang
dan belajar bersama Buddha. Hal ini berbeda dengan Kristen yang kemudian
berusaha menolak dan bahkan berperang dengan orang-orang yang melakukan
kejahatan (dosa). Bahkan Buddha memiliki spiritualitas yang unik yang
menyebabkan orang-orang yang belajar bersamanya nyaman, meski dengan segala
kejahatan dalam hatinya. Hal ini yang membuat Knitter memiliki pendekatan yang
baru, dengan kembali kepada iman Kristen untuk melihat misteri di sekitar kejahatan
dan “bergaul” (dealing) dengan kejahatan itu sendiri.
Bab tentang “Doa dan Meditasi”, Knitter berusaha membawakan bagaimana
keheningan dan kesadaran diri dari meditasi Buddha ke dalam Kekristenannya. Dan
dalam bab “Making Peace and being Peace”, Knitter menyanjung tinggi usaha
orang-orang Buddha untuk mempraktekkan ajaran damai. Kemudian ia
mendialogkannya dengan ajaran Yesus tentang keadilan, dan kasih. Dalam
penutupnya Knitter mengungkapkan: "In 1939, I was baptized. In 2008 I took refuge.
I can truly call myself what I think I've been over these past decades: a Buddhist
Christian."
1.5. Hipotesis
Penulis memiliki hipotesis sebagai berikut:
- Selain tempat (lokasi) dan segala sarana-prasarana yang ditawarkan Vihara
mendut untuk belajar spiritualitas Buddha, maka penulis mengira bahwa
©UKDW
10
pengurus kerohanian di Vihara Mendut mencoba menawarkan nilai-nilai
pemahaman Buddha tentang semua aspek-aspek hidup dan itu cocok dengan
pikiran orang-orang Kristen yang datang ke sana. Atau malah sebaliknya, bahwa
pengurus kerohanian Vihara Mendut mengajarkan nilai-nilai Kristiani terutama
seperti yang diajarkan Yesus Kristus dalam Alkitab sebagai teladan bagi orang-
orang Kristen dari sudut pandang ajaran Buddha sehingga orang-orang Kristen
yang datang ke Vihara Mendut menemukan apa yang mereka cari dalam
kehidupan keberagamaan mereka. Kemungkinan ini yang menjadi alasan
mengapa MMD menjadi begitu penting.
- Setiap orang Kristen yang telah belajar spiritualitas Buddha di Vihara Mendut
mengalami perubahan sikap, tingkah laku atau etika hidup, dan perubahan yang
terjadi adalah berubah ke arah yang lebih baik setelah mengikuti program MMD.
- Ada kesan membiarkan dari pihak gereja asal (pengurus kerohanian, baik
pendeta maupun majelis jemaat), oleh karena urusan kebutuhan spiritualitas tidak
dianggap terlalu penting, sehingga setiap orang dibiarkan mengurus
spiritualitasnya sendiri dan ini menjadi tantangan teologi tersendiri bagi penulis
dalam memberikan tanggapan teologi terhadap program MMD.
1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Mengingat bahwa yang diteliti penulis adalah orang-orang Kristen yang ikut
bergabung dalam program Meditasi Mengenal Diri di Vihara Mendut, maka teknik
pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan observasi berperan serta
(“participan observation”) dan wawancara mendalam (“in depth interview”).
©UKDW
11
Observasi partisipasif yang dimaksud adalah bahwa penulis ikut serta dalam
kegiatan Meditasi Mengenal Diri di Vihara Mendut, mengalami sendiri apa yang
dialami oleh sumber data. Dengan demikian penulis juga dapat terlibat dalam
diskusi-diskusi yang dikembangkan pada saat Meditasi Mengenal Diri tersebut
berlangsung. Dengan observasi partsipasif ini, penulis mengharapkan mampu
mengamati obyek berikut:
1. Ruang dalam aspek fisiknya
2. Semua orang yang terlibat dalam penelitian
3. Seperangkat kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang tersebut.
4. Benda-benda yang terdapat di tempat tersebut.
5. Perbuatan atau tindakan tertentu
6. Rangkaian aktivitas yang dikerjakan orang-orang tersebut.
7. Urutan kegiatan.
8. Tujuan yang ingin dicapai oleh orang-orang tersebut.
9. Emosi yang dirasakan dan diekspresikan oleh orang-orang tersebut.
Wawancara yang dilakukan penulis terhadap sumber informasi adalah
wawancara semi terstruktur, dimana setiap pertanyaan yang diajukan oleh penulis
lebih bersifat terbuka karena sumber data bebas memberikan pendapat dan ide-ide
mereka tentang apa yang ditanyakan. Sumber data atau orang yang diajak untuk
wawancara, penulis menentukan jumlah atau sampel atau populasi yaitu sebanyak 10
orang sampel. Penulis melakukan wawancara pengumpulan data dengan wawancara
yang mengacu kepada 3 variabel yaitu tentang doa dan meditasi, tentang Allah dan
tentang tingkah laku. Pertanyaan berdasarkan ketiga variabel tersebut menjadi
instrumen peneltian sebagai berikut:
©UKDW
12
1. Apakah Anda memiliki waktu-waktu tertentu dalam kehidupan rohani
Anda untuk bermeditasi? Meditasi yang bagaimana (cara atau metodenya
baik dulu maupun sekarang)?
2. Apakah Anda termasuk orang yang taat dalam melakukan praktek ibadah
agama Anda? Misalnya rutin dalam doa bersama di tempat ibadah, atau
ikut kegiatan-kegiatan ibadah.
3. Apakah Anda pernah belajar agama Buddha, khususnya tentang meditasi
yang mereka kembangkan?
4. Sudah berapa kalikah Anda ikut Meditasi Mengenal Diri (MMD)? Dan
apa yang mendorong Anda untuk ikut program MMD?
5. Apakah ada perubahan sudut pandang Anda tentang Allah sesuai dengan
yang Anda terima di dalam Kekristenan Anda, setelah ikut MMD? Apa
perubahan pendangan itu dan bagaimana itu terjadi (misalanya oleh
karena materi MMD atau oleh karena sesuatu hal yang Anda alami saat
MMD)?
6. Apakah Anda setuju atau tidak setuju bahwa di dalam praktek ibadah
bersama di gereja perlu dilaksanakan ibadah yang diam seperti di MMD,
tanpa doa-doa, tanpa liturgi16
, tanpa khotbah, dll? Mengapa demikian?
7. Apakah MMD memiliki pengaruh terhadap emosi Anda? Misalnya
melatih Anda untuk semakin mengasihi, menerima apa adanya, atau
mengubah pandangan Anda tentang kebencian dan kemarahan?
8. Bagaimana tindakan dan pandangan Anda ketika berhadapan dengan
penderitaan di dunia ini setelah Anda mengikuti MMD? Baik penderitaan
berupa kejahatan Anda sendiri, orang lain atau kelompok, atau isu-isu
politik, perang dan bentuk-bentuk penderitaan lainnya, atau tentang
keinginan-keinginan/ kemelekatan?
16
Dalam hal ini liturgi yang dimaksud adalah urutan-urutan atau tata ibadah setiap hari Minggu di gereja.
©UKDW
13
1.7. Judul Thesis
Penulis menentukan judul tulisan ini sebagai berikut:
Spiritualitas Antar-Agama (Sebuah Studi Terhadap Pengalaman Orang
Kristen yang Belajar Spiritualitas Buddha di Vihara Mendut).
Judul besar “Spiritualitas Antar-Agama” dipakai penulis untuk menyatakan
bahwa apa yang sedang terjadi di MMD Vihara Mendut adalah sebagai bentuk
spiritualitas antar-agama yang perlu dicermati agama-gama secara umum dan oleh
teolog Kristen secara khsusus. MMD di Vihara Mendut menjadi wadah terjadinya
kerjasama karya maupun iman dari setiap anggota agama-agama yang datang ke
sana.
Judul kecil “Sebuah studi terhadap pengalaman orang Kristen yang belajar
spiritualitas Buddha di vihara Mendut” dipakai penulis untuk menggambarkan
bahwa ada orang-orang Kristen yang ikut bergabung dengan program MMD Vihara
Mendut. Mereka disebut penulis sebagai pemeditasi Kristen dan dijadikan penulis
sebagai sampel penelitian dengan memilih 10 orang pemeditasi Kristen.
1.8. Sistematika Penulisan
BAB I. Pendahuluan
Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan permasalahan,
hipotesa, tujuan penulisan, landasan teori, metode penelitian, sampel penelitian,
judul thesis dan sistematika penulisan.
©UKDW
14
BAB II. Pembahasan MMD
Bab ini menguraikan Meditasi Mengenal Diri dan semua unsur yang terkait
di dalamnya berdasarkan studi lapangan dan literatur.
BAB III. Pembahasan Teologi Paul F Knitter
Bab ini menguraikan hasil penelitian literatur akan pandangan Paul F Knitter
sebagai yang menuliskan pengalamannya dalam perjumpaannya dengan agama
Buddha. Penulis menganggap ini menjadi penting karena Paul F. Knitter adalah
seorang teolog yang mampu menuntun penulis lewat buku “Without Buddha I Could
Not Be A Christian”, untuk menolong analisa pengalaman penulis sendiri dan orang-
orang Kristen lainnya yang ikut dalam MMD Vihara Mendut.
BAB IV. Hasil penelitian dan wawancara penulis kepada orang-orang Kristen
yang ikut MMD Vihara Mendut
Bab ini menguraikan hasil wawancara penulis kepada orang-orang Kristen
yang ikut dalam MMD Vihara Mendut. Pendapat para pemeditasi juga ditanggapi
penulis dengan tanggapan sederhana, sesuai dengan apa yang dipahami penulis.
BAB V. Teologi Penulis
Bab ini menguraikan pandangan teologi penulis berdasarkan semua data yang
telah dikumpulkan oleh penulis. Penulis membuat tanggapan teologi ini dengan
mengacu kepada variabel yang telah ditentukan di awal, yaitu tentang doa dan
meditasi, Allah dan tingkah laku (praktek).
©UKDW