Upload
others
View
22
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTARA GURU DAN
ANAK PENYANDANG AUTISME DALAM
MENGAJARKAN SHOLAT WAJIB DI RUMAH ANAK
MANDIRI KARIM DEPOK
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Vivi Aulia Rahmawati
NIM. 1113051000061
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 1441 H/ 2020 M
i
ABSTRAK
Vivi Aulia Rahmawati
Komunikasi Interpersonal antara Guru dan Anak
Penyandang Atisme dalam Mengajarkan Sholat Wajib di
Rumah Anak Mandiri Karim Depok.
Berkomunikasi dengan anak penyandang autisme tentu
berbeda dengan anak pada umumnya. Dengan ketidakmampuan
mereka dalam hal komunikasi, bahasa dan interaksi sosial mereka
juga perlu tahu apa itu sholat dan bagaimana caranya.
Berdasarkan hal tersebut guru melakukan komunikasi
interpersonal dalam mengajarkan sholat wajib.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka muncul
pertanyaan, bagaimana proses komunikasi interpersonal
berdasarkan tahapan proses penetrasi sosial antara guru dan anak
penyandang autisme dalam mengajarkan sholat wajib di Rumah
Anak Mandiri Karim Depok? apa saja faktor pendukung dan
penghambat komunikasi interpersonal tersebut?
Teori yang digunakan adalah teori penetrasi sosial yang
dipopulerkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Teori ini
membahas perkembangan hubungan melalui 4 tahap yaitu
tahapan orientasi, tahapan pertukaran pejajakan afektif, tahapan
pertukaran afektif dan tahapan pertukaran stabil.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan
menggunakan metode deskriptif yaitu memberikan gambaran
suatu keadaan sejelas mungkin. Teknik pegumpulan data dalam
penelitian ini melalui observasi, wawancara mendalam dan
dokumentasi.
Proses komunikasi interpersonal yang dilakukan guru
dengan anak penyandang autisme dalam mengajarkan sholat
wajib di Rumah Anak Mandiri Karim Depok melalui 4 tahapan
penetrasi sosial, yaitu tahapan orientasi, tahapan pertukaran
pejajakan afektif, tahapan pejajakan afektif dan tahapan
pertukaran stabil. Faktor yang mempengaruhi yaitu faktor
kemampuan bahasa dan lingkungan yang baik, sedangkan faktor
yang menghambat yaitu faktor kemampuan komunikasi dan
gangguan emosi serta tidak konsisten orang tua di rumah.
Kata kunci : komunikasi interpersonal, guru, anak
penyandang autisme, sholat wajib, Rumah Anak Mandiri Karim
Depok.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahiim
Alhamdulillahirobbil „Alamin. Segala puji dan Syukur
bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang
dan karuniaNya, sehingga penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat beserta salam selalu Allah curahkan kepada baginda
Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa ummatnya
dari zaman jahiliyyah menuju era digital seperti saat ini. Semoga
kita selalu menjadi ummatnya yang taat dan mendapatkan
syafaatnya sampai akhir zaman. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.
Tahap demi tahap dengan selalu memohon ridho Allah
SWT, Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi berjudul “Komunikasi Interpersonal Antara
Guru dan Anak Penyandang Autisme dalam Mengajarkan
Sholat Wajib di Rumah Anak Mandiri Karim Depok”. Skripsi
ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh
gelar sarjana sosial pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis selalu
mendapatkan bantuan dari beberapa pihak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Baik itu berupa pikiran, tenaga,
dorongan moril maupun materil. Maka dari itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu memperlancar penyelesaian skripsi ini.
1. Suparto, M.Ed., Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi, Dr. Siti Napsiyah, MSW selaku
iii
Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr. Sihabudin Noor, MA
selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Drs.
Cecep Castrawijaya, MA selaku Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan.
2. Dr. Armawati Arbi, M.Si selaku Ketua Jurusan Komunikasi
dan Penyiaran Islam, serta Dr. H. Edi Amin, MA selaku
Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
3. Artiarini Puspita Arwan, M.Psi selaku dosen pembimbing
penulis yang telah bersedia membimbing dan banyak
memberikan masukan serta saran kepada penulis dan
dengan kebaikannya selalu memberikan dorongan bagi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dari awal hingga
akhir dengan penuh kesabaran dan dediksi yang tinggi.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada beliau, semoga Allah SWT senantiasa
memberikan keberkahan, kesehatan dan kebaikan setiap
saat kepada beliau dan keluarganya.
4. Nunung Khoiriyah, M.A. selaku Dosen Penasehat
Akademik KPI B Angkatan 2013 yang telah memberikan
masukan dan dukungan dalam pembuatan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi yang telah memberikan beragam ilmu dan
pengalaman kepada penulis selama perkuliahan.
6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu penulis dalam urusan administrasi selama
perkuliahan dan penelitian skripsi ini.
iv
7. Segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu
memperlancar penulis dalam mencari referensi buku.
8. Fauzan Safari.Amd.OT.S.Pd.MM selaku Kepala Sekolah
Rumah Anak Mandiri Karim Depok, yang telah
mengizinkan penulis meneliti disana dan banyak
memberikan informasi yang bermanfaat selama penyusunan
skripsi ini.
9. Etty Fatimah, Budi Hermawan, Muchsin, Sari, Rozak
Romadhon, Dwi Adi Saputra selaku guru di Rumah Anak
Mandiri Karim Depok sekaligus informan dalam penelitian
ini. Terima kasih telah berkenan memberikan informasi
yang penulis butuhkan.
10. Kedua Orangtua tercinta, Papa Alm. Muhammad Nuh dan
Mama Jamilah yang selalu sabar dan tak pernah lelah
mendoakan, mendidik, menyayangi, mengasihi serta
memberikan dukungan dan memotivasi penulis agar
senantiasa semangat dalam mencari ilmu dan
menyelesaikan skripsi ini.
11. Kaka penulis Eva Musyarofah dan adik penulis Akhmad
Fakhri Syauqi dan Syamsul Fajri yang sudah memberikan
semangat dan motivasi penulis untuk segera menyelesaikan
skripsi ini.
12. Erika Sita Prasasti dan Santika Oktaviani Fajrin, sahabat
yang selalu memberikan semangat, masukan, doa, kasih
sayang, meluangkan waktunya untuk membantu penulis,
v
menjadi tempat penulis berkeluh-kesah selama pasang surut
penyusunan skripsi ini.
13. Sahri Rahma Fitri dan Rahmatussirri yang selalu saling
support untuk menyelesaikan skripsi masing-masing, teman
kekampus, yang selalu membantu penulis dalam pembuatan
skripsi ini, dan yang selalu menghibur ketika penulis
sedang jatuh.
14. Sahabat-sahabat tercinta Alm. Indra Jaya, Farha Dinanti
Kirli, Alvian Surya Kristyanto, Vicky Afrinaldi, Shara
Maylani, Yogas Windo Dwiputro, Theza Aldiansyah yang
selalu menghibur, memotivasi, yang selalu sabar menunggu
penulis agar menyelesaikan skripsi ini. Tersayang pokonya.
Ayok foto pakai toga bareng!
15. Tim Ayoan, Hanida Nur Syafitri, Tasha Umi, Azzam
Alaudin, Sefrida Bashar dan Sandi Erlangga yang selalu
ada sedari madrasah, memberikan semangat dan menghibur
penulis.
16. Adik-adikku tersayang Siti Sakhinah, Widya Rahmatia,
Salfania Yuanita, terima kasih telah memberikan semangat
dan doa kepada penulis.
17. Semua pihak yang terlibat membantu dan memberikan
dukungan dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Tanpa mengurangi rasa hormat,
penulis mengucapkan terima kasih yang begitu besar.
vi
Demikian ucapan terima kasih yang dapat penulis
sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu mulai dari
awal penulisan hingga skripsi ini dapat terselesaikan, semoga
Allah SWT membalas semua kebaikan mereka semua dan
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan seluruh
pihak yang membaca.
Jakarta, 20 Januari 2020
Vivi Aulia Rahmawati
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .....................................................................................i
KATA PENGANTAR ................................................................. ii
DAFTAR ISI .............................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................ix
DAFTAR TABEL ........................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah.................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 9
E. Metodologi Penelitian ................................................................ 9
F. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 15
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 20
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................... 22
A. Landasan Teori ......................................................................... 22
1. Teori Penetrasi Sosial .......................................................... 22
B. Landasan Konseptual ............................................................... 27
1. Komunikasi ......................................................................... 27
2. Komunikasi Interpersonal ................................................... 35
3. Anak Penyandang Autisme ................................................. 50
4. Karakteristik Fase Perkembangan ...................................... 59
5. Sholat Wajib ........................................................................ 66
C. Kerangka Berpikir .................................................................... 68
BAB III GAMBARAN UMUM RUMAH ANAK MANDIRI
KARIM DEPOK ........................................................................ 69
A. Profil Umum Rumah Anak Mandiri Karim ............................. 69
viii
B. Visi dan Misi Rumah Anak Mandiri Karim ............................. 70
C. Program Kegiatan Rumah Anak Mandiri Karim ..................... 71
D. Sejarah Berdirinya Rumah Anak Mandiri Karim .................... 71
E. Struktur Organisasi .................................................................. 80
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ..................... 81
A. Proses Komunikasi Interpersonal berdasarkan Tahapan
Penetrasi Sosial antara Guru dengan Anak Penyandang Autisme
dalam Mengajarkan Sholat Wajib di Rumah Anak Mandiri Karim
Depok. .............................................................................................. 81
B. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat. ............................ 97
BAB V PEMBAHASAN .......................................................... 103
A. Proses Komunikasi Interpersonal berdasarkan Tahapan
Penetrasi Sosial antara Guru dengan Anak Penyandang Autisme
dalam Mengajarkan Sholat Wajib di Rumah Anak Mandiri Karim
Depok ............................................................................................. 103
B. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat ........................... 111
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN............... 116
A. Simpulan ................................................................................ 116
B. Implikasi ................................................................................ 119
C. Saran ...................................................................................... 120
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 122
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................... 127
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Ilustrasi tahapan penetrasi sosial .............................. 25
Gambar 2.2 Ilustrasi tahapan proses komunikasi ......................... 39
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir .................................................... 68
Gambar 3.1 Struktur Organisasi ................................................... 80
x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Siswa RAM Karim 2018/2019 ........................ 78
Tabel 3.2 Jumlah Siswa Yang Mengikuti Program Reguler ........ 74
Tabel 3.3 Jumlah Siswa Yang Mengikuti Program Boarding...... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemampuan dalam berkomunikasi merupakan bagian
penting dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi adalah
persyaratan kehidupan manusia untuk bersosialisasi dengan
manusia lainnya. Dengan memiliki kemampuan berkomunikasi
yang baik, manusia dapat memahami dan menyampaikan
informasi, meminta yang disukai, menyampaikan pikiran dan
menyatakan keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Komunikasi itu sendiri adalah suatu proses dimana
seseorang menyampaikan pesannya, baik dengan lambang bahasa
maupun dengan isyarat, gambar, gaya yang antara keduanya
sudah terdapat kesamanaan makna, sehingga keduanya dapat
mengerti apa yang sedang dikomunikasikan. Dengan kata lain,
jika lambangnya tidak dimengerti oleh salah satu pihak, maka
komunikasinya akan tidak lancar dan tidak komunikatif.1
Berdasarkan sifat komunikasi dan jumlah komunikan,
komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, yaitu
komunikasi interpersonal (antarpribadi), komunikasi kelompok
dan komunikasi massa. Komunikasi interpersonal adalah
komunikasi yang berlangsung antara dua orang dimana terjadi
kontak langsung dalam bentuk percakapan. Secara umum
1 Roudhonah, Ilmu Komunikasi, Cet I, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2007), h.21
2
komunikasi interpesonal dapat diartikan sebagai suatu proses
pertukaran makna antara orang yang saling berkomunikasi.2
Karakteristik dari komunikasi interpersonal adalah sifatnya
dua arah atau timbal balik dan feedbacknya langsung dan tidak
tertunda. Salah satu tanda komunikasi itu efektif adalah hubungan
interpersonal yang baik, komunikasi akan tidak efektif dan lancar
apabila isi pesan yang kita sampaikan tidak dimengerti oleh salah
satu pihak. Komunikasi interpersonal dapat dilaksanakan antara
orang tua dan anak, perawat dan pasiennya dan juga guru dengan
murid.
Untuk mengetahui bagaimana suatu hubungan interpersonal
berkembang atau sebaliknya, rusak, dapat dilakukan dengan
mempelajari sebuah teori komunikasi yang disebut Teori
Penetrasi Sosial (Social Penetration Theory – SPT) dari Irwin
Altman & Dalmas Taylor (1973). Teori penetrasi sosial (social
penetration theory) berupaya menggambarkan suatu pola
pengembangan hubungan dan mengidentifikasikan proses
peningkatan keterbukaan dan keintiman seseorang dalam
menjalani hubungan dengan orang lain.3 Maksudnya adalah teori
ini mengupas tentang bagaimana seseorang meningkatkan
kualitas hubungannya, bermula dari rasa sungkan untuk berbicara
hingga akhirnya mencapai tahap terbuka antara satu sama lain.
Melalui pernyataan Griffin dalam bukunya A First Look of
Communication Theories. New York: McGraw Hill diketahui
2 Roudhonah, Ilmu Komunikasi, Cet I, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2007), h.106 3 Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa,(Jakarta:
Kencana Prenada Group, 2013), h.296
3
bahwa kedekatan interpersonal merujuk pada sebuah proses
ikatan hubungan dimana individu-individu yang terlibat bergerak
dari komunikasi superfisial menuju ke komunikasi yang lebih
intim. Lebih lanjut Griffin menyebutkan bahwa keintiman yang
bertahan lama membutuhkan ketidakberdayaan yang terjadi
secara berkesinambungan tetapi juga bermutu dengan cara
melakukan pengungkapan diri yang luas dan dalam.
Keintiman di sini, menurut Altman & Taylor, lebih dari
sekedar keintiman secar fisik; dimensi lain dari keintiman
termasuk intelektual dan emosional, hingga pada batasan di mana
kita melakukan aktivitas bersama. Artinya, perilaku verbal
(berupa kata-kata yang digunakan), perilaku nonverbal (dalam
bentuk postur tubuh, ekspresi wajah, dan sebagainya), serta
perilaku yang berorientasi pada lingkungan (seperti ruang antara
komunikator, objek fisik yang ada di dalam lingkungan, dan
sebagainya) termasuk ke dalam proses penetrasi sosial.4
Seperti komunikasi interpersonal antara guru dengan murid
yang menyandang autisme. Tentu saja cara-cara berkomunikasi
dan interaksi komunikasi dalam mengajarkan anak penyandang
autisme berbeda dengan anak-anak pada umumnya, dalam
mengajarkan dan berkomunikasi dengan anak penyandang
autisme, guru juga harus memiliki kesabaran yang berlebih,
dilakukan setiap hari dan guru juga perlu melakukan pendekatan
4 Tine Agustin Wulandari, "Memahami Pengembangan Hubungan
Antarpribadi Melalui Teori Penetrasi Sosial." Majalah Ilmiah UNIKOM
bidang Humaniora, n.d.: 104-106.
4
agar terjalin hubungan yang baik antara guru dan anak
penyandang autisme.
Intensnya komunikasi interpersonal yang guru lakukan agar
terjadi pengembangan hubungan dari awal masuk hingga
sekarang, termasuk dalam tahapan – tahapan proses penetrasi
sosial. Hal itu dilakukan agar guru dan anak penyandang autisme
saling mengenal, guru mendapatkan perhatian dan anak
penyandang autisme tersebut mau mendengarkan, menerima dan
memberikan feedback.
Menurut Syaira Arlizar Ritonga menjelaskan komunikasi
interpersonal yang terjadi antara guru dengan siswa penyandang
autis, masing-masing informan penulisan mempunyai kedekatan
yang sangat erat dengan masing-masing gurunya karena dalam
proses belajar mereka hanya diajarkan oleh satu orang guru saja.
Hal ini yang membuat chemistry di antara mereka semakin erat
dan keterbukaan komunikasi yang terjalin cukup baik layaknya
orangtua dan anak.
Komunikasi interpersonal yang terjalin di antara mereka
didukung dengan adanya rasa keterbukaan, kasih sayang, dan
saling percaya antara satu sama lain. Peran guru di sekolah sangat
membantu orangtua dalam mengembangkan bakat dan kreativitas
yang dimiliki anak autis. Orangtua sepenuhnya mempercayakan
kepada guru untuk bisa membantu perkembangan anaknya, baik
dalam hal komunikasi maupun perkembangan yang lainnya
seperti sosialisasi, rasa percaya diri, dan lain-lain.5
5 Syaira Arlizar Ritonga, Effiati Juliana Hasibuan. "Komunikasi
Interpersonal Guru dan Siswa Dalam Mengembangkan Bakat dan Kreatifitas
5
Salah satu kesulitan yang dimiliki oleh anak penyandang
autisme adalah dalam hal komunikasi, oleh karena itu
perkembangan komunikasi pada anak penyandang autisme sangat
berbeda, terutama pada anak-anak yang mengalami hambatan
yang berat dalam penguasaan bahasa dan bicara. Kesulitan dalam
komunikasi ini dikarenakan anak penyandang autisme mengalami
gangguan dalam berbahasa (verbal dan nonverbal), padahal
bahasa merupakan media utama untuk berkomunikasi.
Mereka kesulitan untuk mengkomunikasikan keinginannya
baik secara verbal (lisan/tulisan) maupun nonverbal (isyarat/gerak
tubuh). Sebagian besar dari mereka dapat berbicara,
menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata sederhana namun
kosa katanya terbatas dan bicaranya sulit dipahami. Mereka yang
dapat berbicara senang meniru ucapan dan membeo (echolalia).
Autis sendiri berasal dari kata auto yang berarti sendiri.
Penyandang autisme hidup didunianya sendiri.6 Keterlambatan
komunikasi dan bahasa merupakan ciri yang menonjol dan selalu
dimiliki oleh anak autis. Sebagian besar dari mereka cara
berkomunikasi dengan non-verbal communication, karena
sebagian besar dari mereka belum dapat bicara dan mereka pun
membutuhkan rancangan dan strategi serta pendekatan untuk
Anak Autis di SLB Taman Pendidikan Islam (TPI) Medan." Jurnal Simbolika,
Volume 2, Nomer 2, 2016: 197. 6 Y. Handojo, Autisma:Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk
Mengajar Anak Normal, Autis dan Prilaku Lain, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer, 2003), h.12
6
meningkatkan kemampuan komunikasi nonverbal ini secara
tepat.7
Dalam hal ini, peneliti akan melakukan penelitian di Rumah
Anak Mandiri Karim. Rumah Anak Mandiri Karim berada
dibawah Yayasan Maryam Karim, yaitu sebuah yayasan yang
didirikan untuk tujuan melakukan perkhidmatan dan
penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan
khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus tersebut meliputi
mereka yang didiagnosa mengemban sindrom Hiperaktif,
Attention Deficit Hyperactivity Disoser (ADHD), Autisme,
Gangguan Perkembangan Pervasif dan gangguan-gangguan
lainnya yang menyulitkan mereka untuk tumbuh dan berkembang
sebagaimana layaknya anak-anak lain. 8 Yang membedakan
Rumah Anak Mandiri Karim dengan sekolah khusus untuk anak-
anak berkebutuhan khusus yang lainnya adalah Rumah Anak
Mandiri Karim menyelenggarakan pendidikan melalui rumah
pendidikan berasrama dan juga terdapat kurikulum wajib
mengenai akhlak dan spiritual, salah satunya adalah mengenai
sholat wajib.
Seperti yang sudah kita ketahui Sholat merupakan salah
satu dari lima rukun islam. Inilah rukun islam yang sangat
penting bagi kaum muslim, Sholat adalah kewajiban utama bagi
setiap oranag islam yang telah baligh, selama ia masih
menghembuskan nafas, selama itu pula kewajiban sholat melekat
7 Joko Yuwono, Memahami Anak Autistik: Kajian Teoritik dan
Empirik, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 61 8 Tim Rumah Anak Mandiri Karim, About Us, ramkarim.webflow.io,
diakses pada tanggal 5 Agustus 2017 pukul 12.00 WIB.
7
dipundaknya, tidak dapat diwakilkan.9 Sholat pula merupakan
salah satu tanda ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah.
Sholat harus kita kerjakan kapan pun dan dimanapun tanpa ada
terkecuali. Oleh karena pentingnya sholat maka diperlukan untuk
mengetahui tata-cara, rukun, syarat dan bacan sholat, agar sholat
kita diterima Allah SWT, tak terkecuali dengan anak-anak
penyandang autisme.
Berdasarkan permasalahan di atas, perlu adanya penelitian
secara mendalam bagimana komunikasi interpersonal yang
dilakukan guru dan anak penyandang autisme dalam mengajarkan
sholat wajib, tentu komunikasi interpersonal yang dilakukan guru
kepada anak penyandang autisme berbeda dengan anak-anak
pada umumnya, karena berbagai ketidakmampuan anak
penyandang autisme dalam berhubungan sosial dan
berkomunikasi. penulis bermaksud untuk melakukan sebuah
penelitian skripsi yang berjudul “Komunikasi Interpersonal
Antara Guru Dan Anak Penyandang Autisme Dalam
Mengajarkan Sholat Wajib di Rumah Anak Mandiri Karim
Depok.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih fokus dan tidak melebar, maka
peneliti perlu membatasi permasalahan. Peneliti hanya
meneliti tentang komunikasi interpersonal dalam hal
tahapan proses penetrasi sosial antara guru dan anak
9 Yudho P, Buku Penuntun, Shalat Yuk!, (Bandung : Mizan Media
Utama, 2006), h.7-9
8
penyandang autisme (10-12 tahun) dan dalam mengajarkan
sholat wajib, sholat wajib disini yaitu sholat wajib lima
waktu di Rumah Anak Mandiri Karim Depok.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka dapat
dikemukakan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana proses komunikasi interpersonal berdasarkan
tahapan proses penetrasi sosial antara guru dan anak
penyandang autisme dalam mengajarkan sholat wajib di
Rumah Anak Mandiri Karim Depok ?
b. Apa saja faktor pendukung dan penghambat komunikasi
interpersonal antara guru dan anak penyandang autisme
dalam mengajarkan sholat wajib di Rumah Anak
Mandiri Karim Depok ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka diketahui
tujuan dari penelitian ini, anatara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi
interpersonal melalui tahapan proses penetrasi sosial
antara guru dan anak penyandang autisme dalam
mengajarkan sholat wajib di Rumah Anak Mandiri
Karim Depok
2. Untuk mengetahui apa saja faktor pendukung dan
penghambat komunikasi interpersonal antara guru dan
anak penyandang autisme dalam mengajarkan sholat
wajib di Rumah Anak Mandiri Karim Depok.
9
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi untuk
perkembangan keilmuan di bidang komunikasi
interpersonal dan tahapan proses penetrasi sosial . Dan juga
menambah referensi di bidang keilmuan Islam khususnya di
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat di bidang
komunikasi. Diharapkan juga menjadi acuan dalam
penelitian-penelitian mengenai bidang komunikasi.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan penelitian yang di
gunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah “keterkaitan spesifik pada studi hubungan sosial
yang berhubungan dengan fakta dari pluralisasi dunia
kehidupan. Metode yang diterapkan untuk melihat dan
memahami subjek dan objek penelitian, yang meliputi
orang, lembaga, berdasarkan fakta yang tampil secara apa
adanya.”10
Pendekatan kualitatif juga menempatkan peneliti
sebagai orang yang dari masyarakat sehingga penelitian ini
cenderung sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan.
10
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik,
(Jakarta: Bumi Aksara,2013),h. 25
10
Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif.
Metode deskriptif merupakan “jenis metode penelitian
yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan
sejelas mungkin tanpa ada perlakuan khusus terhadap objek
yang diteliti”.11
Metode deskriptif bertujuan untuk
mengumpulkan informasi secara aktual dan terperinci.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, subjek penelitian adalah 6 guru dan
3 anak penyandang autisme di Rumah Anak Mandiri Karim
Depok.
Pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan sampel kasus tipikal, dimana maksud dari
sampel ini adalah data yang dihasilkan tetap tidak
dimaksudkan untuk digeneralisasi, mengingat sampel tidak
bersifat definitive (pasti) melainkan ilustratif (memberi
gambaran tentang kelompok yang dianggap normal
mewakili fenomena yang sedang diteliti).12
Dalam penelitian ini suatu objek atau lokasi penelitian
dipilih bukan karena ciri-cirinya yang sangat berbeda,
melainkan jurtru karena objek atau lokasi tersebut secara
tipikal dapat mewakili fenomena yang diteliti.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih subjek dengan
kriteria sebagai berikut:
11
Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan
Tesis, (Jakarta: PPM, 2003),h. 105 12
E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian
Perilaku Manusia, (Depok: LPSP3 UI, 2017),h. 115
11
a. Guru
1) Mengajar di Rumah Anak Mandiri Karim Depok
2) Mengajarkan anak penyandang autisme berusia
10-12 tahun
3) Mengajarkan sholat wajib kepada anak
penyandang autisme
4) Sudah berpengalaman menjadi guru di Rumah
Anak Mandiri Karim Depok selama 3 – 5 tahun
5) Mendampingi anak penyandang autisme selama
melaksanakan sholat wajib
b. Anak
1) Penyandang Autisme
2) Siswa di Rumah Anak Mandiri Karim Depok
3) Berusia 10-12 tahun
Sedangkan objek penelitian adalah tahapan proses
penetrasi sosial dalam mengajarkan sholat wajib di Rumah
Anak Mandiri Karim Depok.
3. Waktu dan Tempat Penelitian
Tempat untuk melakukan penelitian ini adalah di Rumah
Anak Mandiri Karim, Jalan Perumahan Villa Santika Blok
K, Kelurahan Grogol, Kecamatan Limo, Depok
Waktu penelitian dilakukan pada bulan November 2018–
Desember 2019. Dilakukan pada jam pembelajaran dan
wawancara pada jam istirahat dan jam pulang yang
dilakukan dengan guru.
12
4. Tahapan Penelitian
a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik dan instrumen dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan
keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra
mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra
lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit.
Oleh karena itu, observasi adalah kemampuan
seseorang untuk menggunakan pengamatannya
melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu
pancaindra lainnya.13
Observasi dalam penelitian ini yakni datang
langsung ke tempat penelitian, melakukan proses
penelitian sesuai dengan tujuan yang telah dibuat, dan
mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
narasumber agar dapat merasakan seperti apa
melakukan kegiatan tersebut. Terjun langsung ke
lapangan melihat proses pembelajaran di dalam kelas
sekaligus melihat cara guru berkomunikasi dengan
anak berkebutuhan khusus, tetapi tidak sampai
mengganggu jalannya proses pembelajaran di dalam
kelas. Oleh sebab itu, diperlukan adanya pengamatan
sesuai yang terjadi di lapangan.
13
Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, M.Si, Metodologi Penelitian Sosial
dan Ekonomi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 142.
13
2) Wawancara Mendalam
Teknik wawancara adalah teknik pencarian
data/informasi mendalam yang diajukan kepada
responden/informan dalam bentuk pertanyaan.
Menurut Soehartono, wawancara adalah
pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan
secara langsung kepada responden oleh
peneliti/pewawancara dan jawaban-jawaban
responden dicatat atau direkam dengan alat
perekam.14
Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai guru
untuk mengetahui bagaimana komunikasi antara dia
dengan anak berkebutuhan khusus. Peneliti juga
mewawancarai guru mata pelajaran yang memberikan
materi di kelas. Wawancara yang dilakukan yakni
dengan cara mendalam, artinya tidak hanya sekali
peneliti mewawancarai guru pendamping. Hal ini
dilakukan untuk menggali informasi yang dibutuhkan
dalam penelitian ini.
3) Dokumentasi
Untuk melengkapi data-data yang dikumpulkan,
peneliti juga mengumpulkan data dengan
dokumentasi. Mengumpulkan data berbentuk
dokumen seperti mengumpulkan nama-nama anak
yang menyandang autisme dan juga guru di Rumah
14
DR. Mahi M. Hikmat, Metode Penelitian Dalam Perspektif Ilmu
Komunikasi dan Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 79-80.
14
Anak Mandiri Karim, Visi dan Misi Rumah Anak
Mandiri Karim, dan rekaman mengenai wawancara
peneliti dengan narasumber, serta foto-foto mengenai
kegiatan yang dilakukan anak berkebutuhan khusus
dengan guru terutama pada saat proses mengajarkan
sholat wajib.
b. Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan
data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpetasikan. Dalam menganalisa data, peneliti
mengolah dari hasil observasi dan wawancara, data
tersebut disusun dan dikategorikan berdasarkan hasil
wawancara, dokumen maupun laporan, yang kemudian
dideskripsikan ke dalam bentuk bahasa yang mudah
dipahami.15
Teknik analisis data dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1) Tahap pertama adalah reduksi data, peneliti
mencoba mimilah data yang relevan dengan
komunikasi interpersonal antara guru dan anak
peyandang autisme dalam mengajarkan sholat wajib.
2) Tahap kedua adalah penyajian data, setelah data
mengenai komunikasi interpersonal antara guru dan
anak penyandang autisme dalam mengajarkan sholat
wajib diperoleh, maka data tersebut disusun dan
15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan
Praktik, Cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), h. 78
15
disajikan dalam bentuk narasi, visual gambar, tabel
dan sebagainya.
3) Tahap ketiga adalah penyimpulan atas apa yang
disajikan. Temuan penelitian ini ditafsirkan dan
dianalisis berdasarkan kerangka konsep.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, peneliti juga mencari tahu judul
skripsi yang mirip dan juga menggunakan komunikasi
antarpribadi. Berikut adalah judul yang hampir mirip dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti:
1. Dwi Asriani Nugraha menemukan bahwa pola
komunikasi perawat terhadap pasien skizofernia di
rumah sakit jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ialah
pola komunikasi antarpriadi. Kesimpulan tersebut
berasal dari ciri-cirinya yang sangat identik dengan
ciri-ciri yang ada dalam praktek komunikasi
antarpribadi, seperti suasana komunikasi yang terasa
nonformal/natural sehingga pasien merasa nyaman dan
iklim komunikasi yang diciptakan oleh komunikator
(pasien) terasa hangat, jarak antara komunikator
(perawat) dan komunikan (pasien) teramat dekat, dan
umpan balik dapat secara spontan dlihat dan di
observasi meski umpan balik ini ada yang bersifat
positif maupun negatif. Adapaun persamaan dengan
penelitian ini adalah sama – sama meneliti tentang
komunikasi interpersonal, menggunakan dan
menggunakan teori penetrasi sosial. Sedangkan
16
perbedaannya adalah penelitiannya meneliti mengenai
perawat terhadap pasien Skizofernia dalam proses
peningkatan kesadaran, sedangkan dalam penelitian ini
membahas mengenai guru dan penyandang autisme
dalam mengajarkan sholat wajib.16
2. Fathiyatur Rizkiyah menemukan bahwa bentuk pesan
komunikasi antarpribadi yang diberikan pengajar
kepada santri tunanetra dalam memotivasi menghafal
al – qur’an dalam pesan komunikasi verbal adalah
teguran berupa perbaikan lafadz ayat, teguran diberikan
pada saat proses menghafal atau saat menyetorkan
hafalan. Sedangkan pesan komunikasi nonverbalnya
seperti volume pengajaran ditingkatkan dan
memberikan sindiran kepada santri tunanetra yang
lama tidak menyetorkan hafalan. Adapaun persamaan
dengan penelitian Fathiyatur Rizkiyah adalah sama –
sama meneliti tentang komunikasi antarpribadi,
menggunakan metode deskritif dan pendekatan
kualitatif. Sedangkan perbedaannya adalah
penelitiannya meneliti mengenai pengajar dan santri
tunanetra dalam memotivasi menghafal Al-Qur’an,
sedangkan dalam penelitian ini membahas mengenai
16
Dwi Asriani Nugraha, Komunikasi Antarpribadi Perawat Terhadap
Pasien Skizofernia Dalam Proses Peningkatan Kesadaran Di Rumah Sakit
Jiwa DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor (Jakarta : FIDKOM UIN Jakarta, 2015)
17
guru dan penyandang autisme dalam mengajarkan
sholat wajib.17
3. Risa Permanasari menemukan ternyata personal trainer
di Club House Casa Grande tidak hanya sebatas
memberikan arahan dan hanya sebatas melakukan
kegiatan untuk berolahraga, akan tetapi mereka juga
menjalin relasi dengan pelanggannya. Menjalin relasi
saja tidak cukup, akan tetapi personal trainer dalam
pendektanya kepada pelanggan memiliki pendekatan
yang berbeda-beda antara pelanggan yang satu dengan
pelanggan yang lain. Dalam menjalin relasi justru tidak
mudah, dan ternyata seorang personal trainer harus
beradaptasi dengan pelanggan yang satu dengan yang
lainnya. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama
– sama meneliti tentang komunikasi interpersonal dan
menggunakan teori penetrasi sosial. Sedangkan
perbedaannya adalah penelitiannya meneliti mengenai
personal trainer dengan pelanggan di Club House Casa
Grande Fitnes Center, sedangkan dalam penelitian ini
membahas mengenai guru dan penyandang autisme
dalam mengajarkan sholat wajib.18
17
Fathiyatur Rizkiyah, Komunikasi Antarpribadi Pengajar Dan
Santri Tunanetra Dalam Memotivasi Menghafal Al-Qur‟an Di Yayasan
Raudatul Makfufin Serpong Tangerang Selatan (Jakarta : FIDKOM UIN
JAKARTA, 2015) 18
Risa Permanasari, Proses Komunikasi Interpersonal Berdasarkan
Teori Penetrasi Sosial (Studi Deskritif Kualitatif Proses Komunikasi
Interpersonal Antara Personal Trainer Dengan Pelanggan Di Club House
Casa Grande Fitnes Center), (Yogyakarta : FISIP Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2014)
18
4. Eko Wahyudi menemukan bahwa pada saat
penyampaian materi biasanya guru agama
menggunakan komunikasi interpersonal serta metode
yang digunakan antara lain metode demonstrasi, yaitu
guru mempraktekkan bagimana sholat yang baik dan
benar kepada anak muridnya yang menderita
tunarungu. Persamaan dengan penelitian ini adalah
sama – sama meneliti tentang komunikasi
interpersonal, memakai metode deskritif dan
pendekatan kualitatif. Sedangkan perbedaannya adalah
penelitiannya meneliti mengenai guru dan anak
tunarungu dalam meningkatkan kualitas ibadah shalat
di sekolah luar biasa negeri 1 Lebak Bulus Jakarta
Selatan, sedangkan dalam penelitian ini membahas
mengenai guru dan penyandang autisme dalam
mengajarkan sholat wajib.19
5. Syaira Arlizar Ritongga dan Effati Juliana Hasibuan
menemukan jika dilihat dari komunikasi interpersonal
yang terjadi antara guru dengan siswa autis, masing-
masing informan penulisan mempunyai kedekatan
yang sangat erat dengan masing-masing gurunya
karena dalam proses belajar mereka hanya diajarkan
oleh satu orang guru saja. Hal ini yang membuat
chemistry di antara mereka semakin erat dan
19
Eko Wahyudi, Komunikasi Interpersonal Antara Guru Dan Anak
Tunarungu Dalam Meningkatkan Kualitas Ibadah Shalat Di Sekolah Luar
Biasa Negeri 1 Lebak Bulus Jakarta Selatan (Jakarta : FIDKOM UIN Jakarta,
2013)
19
keterbukaan komunikasi yang terjalin cukup baik
layaknya orangtua dan anak. Komunikasi interpersonal
yang terjalin di antara mereka didukung dengan adanya
rasa keterbukaan, kasih sayang, dan saling percaya
antara satu sama lain. Peran guru di sekolah sangat
membantu orangtua dalam mengembangkan bakat dan
kreativitas yang dimiliki anak autis. Orangtua
sepenuhnya mempercayakan kepada guru untuk bisa
membantu perkembangan anaknya, baik dalam hal
komunikasi maupun perkembangan yang lainnya
seperti sosialisasi, rasa percaya diri, dan lain-lain.
Persamaan dengan penelitian ini adalah sama – sama
meneliti tentang komunikasi interpersonal antara guru
dan anak penyandang autis, memakai metode deskritif
dan pendekatan kualitatif. Sedangkan perbedaannya
adalah penelitiannya meneliti mengenai
mengambangkan bakat dan kreatifitas anak autis di
SLB Taman Pendidikan Islam (TPI) Medan, sedangkan
dalam penelitian ini membahas mengenai guru dan
penyandang autisme dalam mengajarkan sholat wajib
dan menggunakan teori penetrasi sosial.20
20
Syaira Arlizar Ritongga, Effati Juliana Hasibuan, Komunikasi
Interpersonal Guru Dan Siswa Dalam Mengembangkan Bakat Dan Kreativitas
Anak Autis Di SLB Taman Pendidikan Islam (TPI) Medan. (Medan :
Universitas Medan Area, 2016)
20
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan diajukan untuk memudahkan
pemahaman tentang penelitian ini, maka penulis membagi skripsi
ini menjadi lima bab yang terdiri dari bab per bab. Adapun
sistematika penlisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini, dijelaskan apa saja yang akan dibahas
dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian, kajian pustaka, serta sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini, membahas landasan teori yang meliputi
penjelasan tentang teori penetrasi sosial. Setra landasan
konseptual yang menjelaskan definisi komunikasi,
tingkatan proses komunikasi, bentuk komunikasi, dan
faktor pendukung dan penghambat komunikasi. Kemudian
menjelaskan tentang komunikasi interpersonal. Kemudian
menjelaskan mengenai masa perkembangan anak-anak usia
awal, dan anak-anak usia akhir. Kemudian menjelaskan
tentang anak penyandang autisme. Kemudian menjelaskan
tentang karakteristik fase perkembangan. Dan kemudian
menjelaskan tentang sholat wajib.
BAB III GAMBARAN UMUM RUMAH ANAK
MANDIRI KARIM
Bab ini membahas tentang Rumah Anak Mandiri
Karim, meliputi visi-misi, program kegiatan, sarana dan
21
prasarana, sejarah berdirinya Rumah Anak Mandiri Karim
dan struktur organisasinya.
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Bab ini berisi tentang uraian penyajian data dan
temuan-temuan penelitian. Seperti hasil wawancara dengan
guru dan hasil observasi di Rumah Anak Mandiri Karim.
Data dan temuan tersebut berkaitan dengan komunikasi
interpersonal melalui tahapan penetrasi sosial dan faktor
pendukung dan penghambat komuniksi interpersonal
anatara guru dan anak penyandang autisme dalam
mengajarkan sholat wajib.
BAB V PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian yang mengaitkan latar belakang
dan teori. Terkait penguraian komunikasi interpersonal
melalui tahapan penetrasi sosial dan faktor pendukung dan
penghambat komuniksi interpersonal anatara guru dan anak
penyandang autisme dalam mengajarkan sholat wajib.
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
Pada bab ini, berisi kesimpulan dari pembahasan dan
hasil penelitian, implikasi teoritis dan praktis serta
memberikan saran yang berkaitan tentang hasil penelitian
yang sudah diteliti sebagai pertimbangan.
22
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Teori Penetrasi Sosial
a. Pengertian Teori Penetrasi Sosial
Teori penetrasi sosial merupakan bagian dari teori
pengembangan hubungan atau relationship development
theory. Altman & Taylor mengusulkan model ini sebagai
suatu proses bagaimana orang saling mengenal satu sama
lain. Model ini melibatkan self-disclosure (pengungkapan
diri) tetapi dalam perspektif waktu, yaitu ketika
berlangsungnya pengembangan suatu hubungan. Artinya
seseorang mengenal orang lain secara gradual melalui
komunikasi yang semakin meningkat. 21
Teori penetrasi sosial (social penetration theory)
berupaya mengidentifikasikan proses peningkatan
keterbukaan dan keintiman seseorang dalam menjalani
hubungan dengan orang lain.22
Maksudnya adalah teori ini
mengupas tentanng bagaimana seseorang meningkatkan
kualitas hubungannya, bermula dari rasa sungkan untuk
berbicara hingga akhirnya mencapai tahap terbuka antara
satu sama lain.
21
Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti,
Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo, Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-dasar
Komunikasi, h.265 22
Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa,(Jakarta:
Kencana Prenada Group, 2013), h.296
23
Terdapat beberapa asumsi yang mengarahkan pada
social penetration theory, yaitu:
1) Hubungan-hubungan mengalami kemajuan dari
tidak intim mejadi intim. Hubungan komunikasi
antar orang dimulai pada tahapan sufersial dan
bergerak pada sebuah kontinu menuju tahapan
yang lebih intim.23
2) Perkembangan hubungan mencangkup depenetrasi
(penarikan diri) dan disolusi.24
Hal ini dapat
dipahami jika pada proses komunikasi sebelumnya
terdapat banyak konflik yang cenderung destruktif
atau konflik yang tidak berkesudahan maka
hubungan ini akan semakin jauh. Karena, baik
komunikator maupun komunikan merasa kurang
nyaman antara satu sama lain. Akibatnya, masing-
masing dari mereka semakin menjauhkan diri.
3) Asumsi yang terakhir ialah pembukaan diri (self
disclosure), hubungan yang tidak intim bergerak
menuju hubungan yang intim karena adanya
keterbukaan diri.25
Inti dalam hubungan adalah
keterbukaan diri, karena keterbukaan diri ini ibarat
sebuah jembatan yang dapat yang dapat
menghubungkan dua kubu. Ketika kedua belah
23
Richard West &Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi:
Analisis dan aplikasi, (Jakarta : Penerbit Salemba Humanika, 2012), h.197 24
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan
Aplikasi, h. 199 25
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan
Aplikasi, h. 199
24
pihak baik komunikator maupun komunikan sudah
saling terbuka, maka memungkinkan untuk saling
mengenal dan saling memahami satu sama lain.
Sehingga akan timbul rasa nyaman dan rasa saling
ingin mempertahankan kedeketan/hubungan.
b. Tahapan Proses Penetrasi Sosial
Penetrasi sosial merupakan proses bertahap, dimulai
dari komunikasi basa-basi yang tidak akrab hingga berbagi
informasi menyangkut topik pembicaraan yang lebih
pribadi / akrab, seiring dengan berkembangnya hubungan,
disini orang akan membiarkan orang lain untuk mengenal
dirinya secara bertahap.26
Altman dan Taylor menggunakan bawang merah
(union) sebagai analogi untuk menjelaskan bagaimana
orang melalui interaksi saling mengelupas lapisan informasi
mengenai diri masing masing. Lapisan luar berisi informasi
superfisial seperti nama, alamat atau umur. Ketika lapisan
luar sudah terkelupas kita semakin mendekati lapis
terdalam yaitu lapisan informasi tentang kepribadian.27
Dapat dipahami bahwa semakin dalam dan semakin pribadi
informasi yang disampaikan kepada lawan bicara berarti
hubungan yang terjalin semakin akrab. Adapun keakraban
terbentuk karena ada rasa nyaman dan rasa saling percaya.
26
S. Djuarsa Sendjaja, Ph.D., dkk. Teori Komunikasi (Jakarta :
Universitas Terbuka : 1994), h.80 27
Sendjaja, dkk. Teori Komunikasi, h.80
25
Dalam melakukan proses penetrasi sosial terdapat
beberapa tahapan, antara lain : 28
Gambar 2.1 Ilustrasi tahapan penetrasi sosial
1) Tahapan Orientasi : membuka sedikit demi sedikit
Hanya sedikit proses perkenalan secara terbuka pada
tahap ini baik komunikator maupun komunikan masih
sangat berhati-hati untuk menyampaikan sesuatu sehingga
yang dibicarakan hanya hal yang bersifat umum saja,
sehingga konflik dapat dihindari dan kesempatan yang
lebih besar untuk melanjutkan komunikasi ke tahap
selanjutnya.
Dapat disimpulkan masa orientasi dapat disebut masa
pengenalan dan terjadi pada tingkat publik. Saat dua orang
berinteraksi mereka akan membuka diri sedikit demi
sedikit dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang ada di
masyarakat dan cenderung menyimpan rahasia serta
memfilter pesan yang akan disampaikan.
28
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan
Aplikasi, h.205
Orinetasi
Membuka sedikit
informasi tentang diri
kita kepada orang
lain/pembentukan
kepercayaan.
Pertukaran
penjajakan
afektif
Munculnya
kepribadian
seseorang
Pertukaran
afektif
Komunikasi
yang spontan
Pertukaran stabil
Komunikasi yang
efisien ; dibangunnya
sebuah sistem
komunikasi personal
26
2) Pertukaran pejajakan afektif : munculnya diri
Tahapan ini merupakan area dimana aspek-aspek
pribadi mulai muncul. Terdapat sedikit spontanitas dalam
komunikasi karena individu-individu sudah sama-sama
mulai merasa nyaman, dan mereka sudah tidak terlalu
hati-hati jika apa yang disampaikan salah sehingga
akhirnya akan menimbulkan penyesalan, interaksi akan
terjadi lebih santai.
3) Pertukaran afektif : komitmen dan kenyamanan
Tahap ini merupakan tahap interaksi tanpa beban dan
santai, dimana komunikasi sering kali berjalan spontan hal
ini karena peserta komunikasi sudah saling nyaman satu
sama lain. Pesan yang disampaikan juga sudah lebih
banyak bahasa nonverbal. Seperti dengan tersenyum
menggantikan “saya mengerti”. Kesimpulannya adalah
proses komunikasi yang intensif dapat menimbulkan rasa
percaya dan rasa nyaman hingga akhirnya dapat saling
terbuka. Oleh sebab itu. pada tahapan ini kedua belah
pihak tak hanya saling mendengar dan menanggapi saja
namun kini mereka sudah saling mengevaluasi dan
mengkritik satu sama lain. dan hal ini akan terjadi jika
kedua belah pihak sudah mendapat kedekatan pada proses
interaksi sebelumnya.
4) Pertukaran stabil : kejujuran total dan keintiman
Tahapan ini merupakan tahap dimana pengungkapan
pemikiran, perasaan dan perilaku secara terbuka. Dalam
tahap ini peserta komunikasi dalam tingkat keintiman
27
tinggi; maksudnya kadangkala salah satu dari mereka
mampu untuk menilai dan menduga perilaku pasangannya
dengan cukup akurat.
B. Landasan Konseptual
1. Komunikasi
a. Pengertian Komunikasi
Kata atau istilah ”komunikasi” (Bahasa Inggris
“communication”) berasal dari Bahasa Latin
“communicates” atau communication atau communicare
yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik bersama”.
Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa
mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai
kebersamaan.29
Menurut Harold Lasswell komunikasi pada dasarnya
merupakan suatu proses yang menjelaskan “siapa
mengatakan apa”, “dengan saluran apa”, “kepada siapa”
dan “dengan akibat apa” atau “hasil apa”. Definisi Lasswell
ini juga menunjukkan bahwa komunikasi itu adalah suatu
upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan.
Komunikasi merupakan proses interaksi dua individu
atau lebih yang memiliki satu kesamaan makna. Jadi, jika
dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam
bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau
berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa
yang dipercakapkan. Dalam terjadinya proses komunikasi
29
Riswandi, Ilmu Komunikasi, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), h.1
28
tidak selamanya komunikasi dapat dikatakan efektif,
kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan
saat berkomunikasi dapat dilakukan efektif jika kedua
individu yang melakukan komunikasi mengerti bahasa yang
digunakan, juga mengerti makna dari bahan yang
dipercakapkan.30
b. Tingkatan Proses Komunikasi
Menurut Denis McQuail, secara umum kegiatan /
proses komunikasi dalam masyarakat berlangsung dalam 6
tingkatan sebagai berikut :
1) Komunikasi intra-pribadi (intrapersonal
communication)
Yakni proses komunikasi yang terjadi dalam diri
seseorang, berupa pengolahan informasi melalui
pancaindra dan sistem syaraf. Misal, berfikir,
merenung, menggambar, menulis sesuatu, dan lain-
lain.
2) Komunikasi antar-pribadi (intrerpersonal
communication)
Yakni kegiatan komunikasi yang dilakukan secara
langsung antara seseorang dengan orang lain. Misal,
percakapan tatap muka.
3) Komunikasi dalam kelompok
Yakni kegiatan komunikasi yang berlangsung di
antara suatu kelompok. Pada tingkatan ini, setiap
30
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2011) , h. 9
29
individu yang terlibat masing-masing berkomunikasi
sesuai dengan peran dan kedudukannya dalam
kelompok. Pesan atau informasi yang disampaikan
juga menyangkut kepentingan seluruh seluruh
anggota kelompok, bukan bersifat individu. Misalnya,
diskusi guru dan murid di kelas tentang topik
bahasan.
4) Komunikasi antar-kelompok
Yakni kegiatan komunikasi yang berlangsung
antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya.
Jumlah pelaku yang terlibat boleh jadi hanya dua atau
beberapa orang, tetapi masing-masing membawa
peran dan kedudukannya sebagai wakil dari
kelompoknya masing-masing.
5) Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi mencangkup kegiatan
komunikasi dalam suatu organisasi dan komunikasi
antar organisasi. Bedanya dengan komunikasi
kelompok adaah bahwa sifat organisasi lebih formal
dan lebih mengutamakan prinsip–prinsip efisiensi
dalam melakukan kegiatan komunikasinya.
6) Komunikasi dengan masyarakat secara luas.
Pada tingkatan ini kegiatan komunikasi ditujukan
kepada masyarakat luas. Bentuk kegiatan
komunikasinya dapat dilakukan dengan dua cara:
30
a) Komunikasi Massa.
Yaitu komunikasi melalui media massa seperti
radio, surat kabar, tv dan sebagainya.
b) Komunikasi langsung tanpa melalui media
massa.
Misalnya ceramah atau pidato di lapangan
terbuka.31
c. Bentuk-bentuk Komunikasi
1) Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang
menggunakan kata – kata, entah lisan maupun
tertulis. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam
hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, mereka
mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran,
gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan fakta,
data dan informasi setra menjelaskannya dan
sebagainya. Dalam komunikasi verbal bahasa
memegang peranan penting.32
2) Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang
pesannya dikemas dalam bentuk nonverbal atau tanpa
kata-kata. Dalam komunikasi hampir secara otomatis
komunikasi nonverbal ikut terpakai, akan tetapi
31
Riswandi, Ilmu Komunikasi, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), h. 9-
10 32
Agus M. Hardjana, Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal,
(Yogyakarta : Kanisius, 2003), h. 22
31
komunikasi nonverbal lebih sulit ditafsirkan.
Komunikasi nonverbal dapat berbentuk bahasa tubuh,
tangan (sign), tindakan/perbuatan (action) atau objek
(object).33
d. Faktor Pendukung dan Penghambat Komunikasi
1) Faktor Pendukung
Ada empat faktor yang dikategorikan sebagai
faktor pendukung komunikasi. Menurut Elizabeth
Tierney yang menjadi faktor pendukung komunikasi
adalah penguasaan bahasa, sarana komunikasi,
kemampuan berfikir, dan lingkungan yang baik.34
Dari keempat faktor tersebut maka dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Penguasaan Bahasa
Bahasa merupakan sarana dasar komunikasi,
baik komunikator maupun komunikan harus
menguasai bahasa yang digunakan dalam suatu
proses komunikasi agar pesan yang disampaikan
bisa dimengerti dan mendapatkan respon sesuai
yang diharapkan. Jika komunikator dan
komunikan tidak menguasai bahasa yang sama,
maka proses komunikasi akan lebih panjang
karena harus menggunakan media perantara.
33
Agus M. Hardjana, Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal,
(Yogyakarta : Kanisius, 2003), h. 26 34
Elizabeth Tierney, 101 Cara Berkomunikasi Lebih Baik,(Jakarta:
Elex Media Koputindo, 2003), h. 12
32
b. Sarana Komunikasi
Sarana yang dimaksud adalah suatu alat
penunjang dalam berkomunikasi baik secara verbal
ataupun nonverbal. Dengan adanya kemajuan
teknologi maka memudahkan manusia untuk
berkomunikasi. Kehadiran telepon, televisi, radio,
internet dan lain – lain merupakan beberapa contoh
sarana yang dapat digunakan manusia dalam
berkomunikasi
c. Kemampuan Berpikir
Hal yang menentukan apakah komunikasi
berjalan dengan efektif atau tidak ialah
kemampuan berpikir komunikator dan komunikan.
Jika kemampuan berpikirnya lebih tinggi
komunikator maka akan diperlukan usaha lebih
agar membuat komunikan mengerti. Maka sangat
diperlukan kemampuan berpikir yang baik untuk
komunikator dan juga komunikan agar proses
komunikasi dapat berjalan efektif.
d. Lingkungan yang Baik
Lingkungan yang baik juga menjadi faktor
pendukung dalam berkomunikasi. Komunikasi
yang dilakukan disituasi yang tenang lebih bisa
dipahami dengan baik dibandingkan dengan
komunikasi yang dilakukan di tempat yang bising
atau berisik.
33
2) Faktor Penghambat Komunikasi
Faktor penghambat komunikasi dibagi atas tiga
macam yaitu, hambatan sosio-antro-psikologis,
hambatan semantik, hambatan mekanis, dan
hambatan ekologis.35
Dari keempat faktor tersebut,
maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Hambatan sosio-antro-psikologis
Hambatan sosiologis
Hambatan sosiologis diartikan sebagai
hambatan komunikasi akibat perbedaan
golongan dan lapisan, status sosial, agama,
ideology, tingkat pendidikan dan sebagainya.
Hambatan antropologis
Hambatan antropologis merupakan
hambatan yang diakibatkan dari manusia.
Meskipun manusia ditakdirkan satu sama lain
sama dalam jenisnya sebagai “homo sapiens”
tetapi perbedaan warna kulit, kebudayaan, gaya
hidup, norma, kebiasaan, maupun bahasa yang
menjadikan proses komunikasi tidak berjalan
dengan lancar.
Hambatan Psikologis
Hambatan seputar psikologis biasanya
meliputi prasangka yang ditimbulkan oleh
komunikator dan komunikan yang berbeda.
35
Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2008), h. 16
34
Umumnya terjadi jika komunikator tidak
menkaji komunikan sebelum melakukan
komunikasi. Sehingga komunikasi tidak akan
berjalan dengan baik jika komunikator tidak
mengetahui kondisi psikologis yang dialami
oleh komunikan.
b) Hambatan Semantis
Faktor semantis menyangkut bahasa yang
dipergunakan komunikator sebagai “alat” untuk
menyalurkan pikiran dan perasaan kepada
komunikan. Hambatan semantis terjadi ketika
pemilihan kata yang dipilih oleh komunikator
untuk berkomunikasi kepada komunikan tidak
tepat, sehingga terjadi misscommunication.
c) Hambatan Mekanis
Hambatan mekanis dijumpai pada media yang
dipergunakan dalam melancarkan komunikasi.
Hambatan tersebut merupakan hambatan yang
tidak mungkin diatasi oleh komuniktor. Misalnya,
huruf yang diketik pada surat kabar harian terlalu
buram, gambar ditelevisi terlalu runyam dan lain –
lain.
d) Hambatan Ekologis
Hambatan ekologis merupakan hambatan dalam
proses komunikasi yang dilakukan oleh
lingkungan terhadap berlangsungnya proses
komunikasi. Salah satu yang dapat menjadi contoh
35
hambatan ekologis ketika terdengar suara bising
saat berlangsungnya proses komunikasi.
2. Komunikasi Interpersonal
a. Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang
berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang atau
lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan
orang.36
Karena sifatnya dialogis berupa percakapan arus balik
bersifat langsung. Komunikator mengetahui tanggapan
komunikan saat itu juga. Pada saat berkomunikasi,
komunikator mengetahui pasti apakah komunikasinya
berhasil atau tidak, jika tidak dia dapat meyakinkan
komunikan pada saat itu juga dan dapat memberi
kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-
luasnya. Pentingnya situasi komunikasi interpersonal
seperti itu bagi komunikator adalah untuk mengetahui
informasi tentang komunikan selengkap-lengkapnya.
Dengan demikian komunikator dapat mengarahkannya ke
suatu tujuan sebagaimana yang komunikator inginkan.37
Menurut Joseph A. Devito yang telah dikutip oleh
Effendy dalam bukunya “The Interpersonal
Communication Book”, komunikasi interpersonal adalah
36
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Grasindo, 2004) ,
h. 32 37
Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2008)
36
proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua
orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang dengan
beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.38
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Deddy Mulyana
bahwa komunikasi interpersonal ialah komunikasi antara
orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap
pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung
baik verbal maupun non-verbal.39
Dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal
adalah komunikasi yang dilakukan oleh dua orang secara
langsung yang dapat menghasilkan efek dan feedback
secara langsung.
Komunikasi interpersonal dibedakan melalui analisis
untuk membedakan antara komunikasi interpersonal dan
non-interpersonal. Menurut Miller dan Steinberg yang
dikutip oleh Muhammad Budyatna dalam bukunya Teori
Komunikasi Antarpribadi, dibagi menjadi tiga analisis
tingkatan diantaranya:
1) Analisis pada tingkat kultural
Kultural merupakan keseluruhan kerangka kerja
komunikasi seperti kata-kata, tindakan-tindakan,
postur gerak-isyarat, nada suara, ekspresi wajah,
penggunaan waktu, ruang dan materi dan cara ia
bekerja, bermain, bercinta dan mempertahankan diri.
38
Prof. Onong Uchjana Effendy, M.A., Ilmu, Teori dan Filsafat
Komunikasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 59-60. 39
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal (Jogyakarta : Graha
Ilmu,2011), h. 3
37
Semuanya merupakan sistem komunikasi yang
lengkap dengan makna-makna yang hanya dapat
dibaca secara tepat apabila seseorang akrab dengan
perilaku konteks sejarah, sosial dan kultural. Terdapat
dua macam kultur, diantaranya yaitu:
a) Homogeneous, apabila orang-orang disuatu
kultur berperilaku kurang lebih sama dan
menilai sesuatu juga sama.
b) Heterogenous, adanya perbedaan-perbedaan
didalam pola perilaku dan nilai-nilai yang
dianutnya. Jadi, apabila komunikator
melakukan prediksi terhadap reksi penerima
atau komunikan sebagai akibat menerima pesan
dengan menggunakan kultural.40
2) Analisis pada tingkat sosiologis
Apabila komunikator tentang reaksi komunikan
terhadap pesan-pesan yang ia sampaikan didasarkan
kepada keanggotaan komunikan didalam kelompok
sosial tertentu, maka komunikator melakukan prediksi
pada tingkat sosiologis.
3) Analisis pada tingkat psikologis
Apabila prediksi mengenai rekasi pihak
komunikan terhadap perilaku komunikasi kita
didasarkan pada analisis dari pengalaman-
pengalaman belajar individual yang unik, maka
40
Muhammad Budyatna dan Leila Mona Ganiem, Teori Komunikasi
Antarpribadi (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 2
38
prediksi itu didasarkan pada analisis tingkat
psikologis.41
b. Jenis-jenis Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal menurut sifatnya
diklasifikasikan menjadi dua macam, yakni:
1) Komunikasi Diadik
Ialah komunikasi yang berlangsung anatara dua
orang yakni seorang komunikator yang
menyampaikan pesan dan seorang lagi komunikan
yang menerima pesan. Oleh karena perilaku
komunikasi dua orang, maka dialog yang terjadi
berlangsung intens. Komunikator memusatkan
perhatiannya hanya pada diri komunikan seorang itu.
2) Komunikasi triadik
Ialah komunikasi interpersonal yang pelakunya
terdiri dari tiga orang yakni komunikator dan dua
orang komunikan. Apabila dibandingkan dengan
komunikasi diadik, maka komunikasi diadik lebih
efektif, karena komunikator memusatkan
perhatiannya kepada seorang komunikan.
Walaupun demikian dibandingkan dengan bentuk-
bentuk komunikasi lainnya, seperti komunikasi
kelompok dan komunikasi massa, komunikasi triadik
merupakan komunikasi interpersonal lebih efektif
41
Muhammad Budyatna dan Leila Mona Ganiem, Teori Komunikasi
Antarpribadi (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 4-5
39
40
proses komunikan mencerna pesan tersebut menjadi sebuah
informasi, proses pembentukan informasi ini kerap disebut
dengan decoding. Keenam, setelah informasi tersebut sudah
sepenuhnya difahami oleh komunikan, maka tahap terakhir
adalah tahap dimana komunikan memberikan respon atau
feedback kepada komunikator.43
d. Karakteristik Komunikasi Interpersonal
Diantara bentuk komunikasi memiliki masing –
masing karakteristik, maka karakteristik komunikasi
interpersonal bisa dilihat dari segi berikut:
1) Sifatnya yang dua arah atau timbal balik karena
dilakukan secara langsung sehingga masalah dapat
cepat diatasi dan dipecahkan bersama.
2) Feedbacknya langsung, dan tidak tertunda. Karena
berlangsungnya komunikasi tersebut secara
langsung, maka umpan baliknya dapat seketika itu
diketahui.
3) Komunikator dan komunikan dapat bergantian
fungsi, sekali waktu menjadi komunikator dan
sekali waktu pula menjadi komunikan.
4) Bisa dilakukan secara spontanitas, maksudnya
tanpa rencana terlebih dahulu.
5) Tidak berstruktur, maksudnya masalah yang
dibahas tidak mesti berfokus, melainkan mungkin
43
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal (Jogyakarta : Graha
Ilmu,2011), h. 11
41
hal – hal yang tidak dalam rencana juga masuk
dalam pembicaraan.
6) Komunikasi ini lebih banyak terjadi antara dua
orang, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi
pada sekelompok kecil.44
e. Tujuan Komunikasi Interpersonal
Komunikasi Interpersonal merupakan suatu action
oriented atau sesuatu kegiatan yang dilakukan untuk tujuan
tertentu, ada 6 tujuan komunikasi interpersonal sebagai
berikut:
1) Mengenal diri sendiri dan orang lain
Komunikasi interpersonal memberikan
kesempatan pada kita untuk memperbincangkan
tentang diri kita sendiri. Dengan berbincang dengan
orang lain, kita jadi mengenal dan memahami diri kita
sendiri, dan memahami sikap dan perilaku kita.
Dalam kenyataannya, persepsi kita sebagian besar
merupakan hasil dari apa yang telah kita pelajari
tentang diri kita sendiri, dan dari orang lain melalui
komunikasi interpersonal.
2) Mengetahui dunia luar
Komunikasi interpersonal memungkinkan kita
memahami lingkungan kita dengan baik seperti objek
dan peristiwa-peristiwa. Nilai, kepercayaan, dan
harapan-harapan kita sebagai pribadi banyak
44
Rhoudhonah, Ilmu Komunikasi, ( Jakarta; UIN Jakarta dan UIN
Press, 2007), h. 113
42
dipengaruhi oleh komunikasi interpersonal
dibandingkan dengan diperoleh dari media massa.
3) Menciptakan dan memelihara hubungan menjadi
bermakna
Sebagai mahluk sosial, manusia cenderung untuk
mencari dan berhubungan dengan orang lain di mana
ia mengadu, berkeluh kesah, menyampaikan isi hati
dan sebagainya.
4) Mengubah sikap dan perilaku
Dalam komunikasi interpersonal, kita sering
berusaha mengubah sikap dan perilaku orang lain.
Misalnya kita ingin orang lain: mencoba makanan
tertentu, membaca buku tertentu, mendengarkan
musik tertentu, dan sebagainya. Singkatnya kita
banyak mempergunakan waktu uttuk mempersuasi
orang lain melalui komunikasi interpersonal.
5) Bermain dan mencari hiburan
Kita melakukan komunikasi interpersonal
bertujuan untuk menghilangkan kejenuhan dan
ketegangan. Misalnya bercerita dengan teman dan
sebagainya.
6) Membantu
Dengan komunikasi interpersonal orang membantu
dan memberikan saran-saran pada orang lain.
43
Dari keenam tujuan komunikasi interpersonal tersebut
di atas, dapat dikelompokkan ke dalam 2 perspektif
sebagai berikut:
- Perspektif pertama; tujuan-tujuan itu dapat dilihat
sebagai faktor-faktor motivasi atau alasan-alasan
mengapa kita terlibat dalam komunikasi interpersonal.
Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa kita
terlibat dalam komunikasi interpersonal untuk
memperoleh kesenangan, untuk membantu orang lain,
dan untuk mengubah perilaku orang lain.
- Perspektif kedua; tujuan-tujuan itu dapat
dipandang sebagai hasil atau akibat umum dari
komunikasi interpersonal. Dengan demikian kita dapat
mengatakan bahwa sebagai hasil dari komunikasi
interpersonal, kita dapat mengenal diri kita sendiri,
membuat hubungan lebih bermakna, dan memperoleh
pengetahuan tentang dunia luar.45
3. Dakwah Fardiyah
a. Pengertian Dakwah Fardiyah
Dakwah fardiyah adalah ajakan atau seruan ke jalan
Allah yang dilakukan seorang da’i (penyeru) kepada orang
lain secara perorangan dengan tujuan memindahkan al
45
Riswandi, Ilmu Komunikasi, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), h.
87-88
44
mad‟uw (penerima dakwah) pada keadaan yang lebih baik
dan diridhai Allah.46
Yang dimaksud dengan seruan /ajakan dalam dakwah
fardiyah ialah usaha seorang da’i yang berusaha lebih dekat
dengan al mad-uw (penerima dakwah) untuk dituntun ke
jalan Allah. Oleh karena itu, untuk mencapai sasaran
dakwah ia harus selalu harus menyertainya dan membina
persaudaraan dengannya karena Allah.47
b. Keistimewaan dan Tanda-tanda Dakwah Fardiyah
1) Juru dakwah dalam dakwah fardiyah memiliki
kelebihan khusus, ia harus mempunyai kemampuan
tersendiri yang memungkinkannya untuk mendidik orang
lain.48
2) Tugas yang dijalankan juru dakwah dalam dakwah
fardiyah haruslah semata-mata mencari ridha Allah. Ia tidak
mengharapkan keuntungan material maupun spiritual
(pujian dan sebagainya) dari seseorang.49
3) Dalam dakwah fardiyah, da’i adalah “orang
dakwah” dia adalah orang yang mengerti fase-fase dakwah,
dia orang orang yang mengetahui sasaran dan tujuan
dakwah, dia adalah orang yang mengetahui kendala dan
hambatan-hambatan di jalan dakwah, dia adalah orang yang
46
Ali Abdul Halim Mahmud, Da‟wah Fardiyah Metode Membentuk
Pribadi Muslim, (Jskarta: Gema Insani Press, 1995) h.29 47
Ali Abdul Halim Mahmud, Da‟wah Fardiyah Metode Membentuk
Pribadi Muslim, (Jskarta: Gema Insani Press, 1995) h.30 48
Ali Abdul Halim Mahmud, Da‟wah Fardiyah Metode Membentuk
Pribadi Muslim, (Jskarta: Gema Insani Press, 1995) h.56 49
Ali Abdul Halim Mahmud, Da‟wah Fardiyah Metode Membentuk
Pribadi Muslim, (Jskarta: Gema Insani Press, 1995) h.56
45
mengetahui keadaan para penerima dakwah dengan
berbagai tingkatan dan sifat yang mereka miliki dan dia
adalah orang yang mengetahui kewajiban-kewajiban
dirinya terhadap penerima dakwah.50
4) Bahwa Al-mad’uw dalam dakwah fardiyah adalah
orang tertentu yang telah dipilih oleh da’i berdasarkan
pengetahuan dan pengamatannya karena orang tersebut
mempunyai tanda-tanda kebaikan, mau menerima dakwah,
mencintai peraturan dan patuh melaksanakan kebaikan
sesuai kemampuannya.51
5) Al-mad’uw dalam dakwah fardiyah selalu
ditemani dan didekati. Seorang da’i berusaha menjalin
hubungan yang kuat yang melahirkan rasa persaudaraan.52
6) Da’i dalam dakwah fardiyah dituntut melakukan
berbagai macam kebutuhan yang esensial, yang sangat
menentukan eksistensi dakwah fardiyah itu sendiri.53
7) Juru dakwah dalam dakwah fardiyah dituntut
untuk senantiasa melayani kepentingan al mad‟uw tanpa
menunggu permintaannya. 54
50
Ali Abdul Halim Mahmud, Da‟wah Fardiyah Metode Membentuk
Pribadi Muslim, (Jskarta: Gema Insani Press, 1995) h.57 51
Ali Abdul Halim Mahmud, Da‟wah Fardiyah Metode Membentuk
Pribadi Muslim, (Jskarta: Gema Insani Press, 1995) h.57 52
Ali Abdul Halim Mahmud, Da‟wah Fardiyah Metode Membentuk
Pribadi Muslim, (Jskarta: Gema Insani Press, 1995) h.58 53
Ali Abdul Halim Mahmud, Da‟wah Fardiyah Metode Membentuk
Pribadi Muslim, (Jskarta: Gema Insani Press, 1995) h.58 54
Ali Abdul Halim Mahmud, Da‟wah Fardiyah Metode Membentuk
Pribadi Muslim, (Jskarta: Gema Insani Press, 1995) h.58
46
c. Dakwah Fardiyah: Melalui Pendekatan Komunikasi
Antarpribadi
Kemampuan komunikasi antarpribadi bermanfaat
untuk mengenal dan menilai seseoarang dengan cermat agar
agar pendakwah dan mitra dakwah mampu menerapkan
pendekatan komunikasi antarpribadi.55
Maksudnya adalah
komunikator bisa mengenal komunikan dan pendekatan
yang dilakukan dengan menggunakan komunikasi
antarpribadi. Hubungan komunikasi antarpribadi
dimanfaatkan untuk mengkaderisasi seseorang dan
membina persahabatan.
1) Menilai orang lain dengan cermat.
Dakwah fardiyah melalui pendekatan komunikasi
antarpribadi, pendakwah mampu memahami dan
mendekati mitra dakwahnya. Pendakwah dan mitra
dakwah saling mempelajari pesan verbal dan
nonverbal masing-masing agar kedua belah pihak
saling mengenal dan mendapatkan data individu.56
Pendakwah tidak dapat memperlakukan hal yang
sama kepada masing-masing mitra dakwahya,
tergantung keadaan psikologis masing-masing mitra
dakwahnya. Adapun data-data yang psikologis yang
perlu diamati adalah sebagai berikut:
55
Dr. Armawati Arbi, M.Si, Psikologi Komunikasi dan
Tabligh,(Jakarta: Amzah, 2012), h. 138 56
Dr. Armawati Arbi, M.Si, Psikologi Komunikasi dan
Tabligh,(Jakarta: Amzah, 2012), h. 140
47
a) Faktor situasi mempengaruhi penilaian
terhadap seseorang.
Kita dapat menggunakan data kulturan
dan data sosiologi agar kita lebih cermat dan
tepat dalam memanfaatkan data psikologisnya,
karena marah kultural, matah sosiologis
berbeda dengan marahnya individual.57
b) Faktor-faktor personal mempengaruhi
persepsi interpersonal.
Pendakwah harus meningkatkan
kecermatan dan ketepatan menilai seseorang.
Kecermatan tersebut didukung oleh
pengalaman, motivasi dan kepribadian.58
c) Proses pembentukan kesan dan proses
pengolahan pesan.
Beberapa faktor dalam proses
pembentukan kesan adalah stereotyping
(harapan dan pengalaman), implicit
personality theory (kesan pertama), teori
artibusi (kemampan memahami perilaku).
Faktor-faktor dalam proses pengolahan
pesan adalah manajemen kesan dalam
57
Dr. Armawati Arbi, M.Si, Psikologi Komunikasi dan Tabligh,
(Jakarta: Amzah, 2012), h. 143 58
Dr. Armawati Arbi, M.Si, Psikologi Komunikasi dan
Tabligh,(Jakarta: Amzah, 2012), h. 147-152
48
menampilkan diri dan menilai orang lain
dalam mengolah pesannya.59
d) Manajemen kesan dalam pembentukan
kepribadian muslim.
Manajeman kesan dapat dibangun melalui
berbagai bentuk, yaitu penggunaan artifact,
manajemen kesan (disesuaikan dengan profesi
yang digeluti), penampilan, dan kepribadian
muslim.60
e) Pengaruh persepsi interpersonal pada
komunikasi interpersonal.
Komunikasi antarpribadi dipengaruhi oleh
persepsi antarindividu satu dengan lainnya.
Kedua belah pihak saling menilai sehingga
mereka mampu menyadari ada manusia yang
unik, dinamis, dan ada pula manusia yang
tetap.
Dalam kehidupan bermasyarakat,
terkadang ada seseorang yang bersandiwara
agar diterima oleh masyarakat tersebut. Ia
berperilaku sesuai kehendak orang lain dan
59
Dr. Armawati Arbi, M.Si, Psikologi Komunikasi dan
Tabligh,(Jakarta: Amzah, 2012), h. 152-155
60
Dr. Armawati Arbi, M.Si, Psikologi Komunikasi dan
Tabligh,(Jakarta: Amzah, 2012), h. 155-158
49
kadang-kadang menjadi dirinya sendiri
(persepsi yang dibuat sendiri).61
2) Atraksi antara pendakwah dan mitra dakwah.
Daya tarik pendakwah, sikap positif dan daya
tarik seseorang disebut atraksi interpsesonal.
Pendakwah memiliki kesamaan, tekanan emosi, harga
diri yang rendah dan isolasi sosial. Kelima faktor ini
mempengaruhi daya tarik seseorang antara
pendakwah dan mitra dakwa, atau sebaliknya.62
3) Tahapan hubungan interpersonal antara
pendakwah dan mitra dakwah.
Kedekatan antara pendakwah dan mitra dakwah
tidak bisa terjadi begitu saja. Hubungan tersebut
terbentuk melalui tahapan sebagai berikut:
a) Pembentukan hubungan.
Tahap ini sering disebut sebagai tahap
perkenalan. Faktor-faktor pembentukan dalam
menumbuhkan komunikasi interpersonal antara
lain dengan kepercayaan, sikap supportif,
kejujuran, dan sikap terbuka.63
61
Dr. Armawati Arbi, M.Si, Psikologi Komunikasi dan
Tabligh,(Jakarta: Amzah, 2012), h. 158 62
Dr. Armawati Arbi, M.Si, Psikologi Komunikasi dan
Tabligh,(Jakarta: Amzah, 2012), h. 168 63
Dr. Armawati Arbi, M.Si, Psikologi Komunikasi dan
Tabligh,(Jakarta: Amzah, 2012), h. 177
50
b) Peneguhan hubungan interpersonal
Empat faktor yang memelihara dan
memperteguh hubungan interpersonal, yaitu
keakraban, kesepakatan, ketepatan respon dan
emosi yang tepat.64
c) Pemutusan hubungan interpersonal
Jika empat faktor yang memelihara dan
memperteguh hubungan interpersonal dalam
komunikasi interpersonal tidak ada, maka
hubungan interpersonal akan diakhiri. Hubungan
komunikasi harus dipelihara.65
4. Anak Penyandang Autisme
a. Pengertian Anak Penyandang Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan
neurobiologis yang sangat komplek/berat dalam kehidupan
yang panjang, perkembangannya tidak sesuai seperti pada
anak normal yang meliputi gangguan pada aspek perilaku,
interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, serta gangguan
emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya.
Dapat mempunyai perkembangan yang normal pada
awalnya, kemudian menurun atau bahkan sirna, misalnya
64
Dr. Armawati Arbi, M.Si, Psikologi Komunikasi dan
Tabligh,(Jakarta: Amzah, 2012), h. 179 65
Dr. Armawati Arbi, M.Si, Psikologi Komunikasi dan
Tabligh,(Jakarta: Amzah, 2012), h. 180
51
pernah dapat berbicara, kemudian hilang. Gejala autisme
muncul pada usia sebelum 3 tahun.
Anak autisme ditinjau dari masa
kemunculannya/kejadiannya dapat terjadi dari sejak lahir
yang disebut dengan autistik klasik dan sesudah lahir
dimana anak hingga usia 1-2 tahun menunjukkan
perkembangan yang normal. Tetapi pada masa selanjutnya
menunjukkan perkembangan yang menurun/ mundur. Hal
ini disebut dengan autistik regresi.66
b. Ciri-ciri Anak Penyandang Autisme
Ada tiga gangguan pada anak penyandang austisme,
yaitu gangguan perilaku, interaksi sosial dan komunikasi
dan bahasa. Tiga gangguan ini saling keterkaitan satu sama
lain. Berikut adalah beberapa ciri-ciri anak penyandang
autisme yang dapat diamati:
1) Perilaku
a) Cuek terhadap lingkungan
b) Perilaku tak terarah; mondar-mandir, lari-lari,
lompat-lompat, dsb.
c) Kelekatan terhadap benda tertentu
d) Perilaku tak terarah
e) Rigid Routine (pengertian)
f) Tantrum
g) Obsessive-Complusive Behavior
66
Joko Yuwono, Memahami Anak Autistik : Kajian Teoritik dan
Empirik,(Bandung: Alfabeta, 2009), h.24
52
h) Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda
yang bergerak.
2) Interaksi Sosial
a) Tidak mau menatap mata
b) Dipanggil tidak menoleh
c) Tak mau bermain dengan teman sebayanya
d) Asyik/bermain dengan dirinya sendiri
e) Tidak ada empati dalam lingkungan sosial
3) Komunikasi dan Bahasa
a) Kesulitan Komunikasi dan Bahasa Anak Autisme
Komunikasi dan bahasa anak penyandang autisme
sangat berbeda dari kebanyakan anak-anak seusianya.
Anak-anak penyandang autisme kesulitan dalam
memahami komunikasi baik verbal maupun
nonverbal. Sebagai contoh ketika anak penyandang
autisme diminta melakukan tugas tertentu. “ambil
bola merah!” , anak penyandang autisme sulit untuk
merespon tugas tersebut karena kesulitan memahami
konsep ambil, bola dan merah. Demikian pula bisa
anak penyandang autisme menginginkan sesuatu.
Mereka kesulitan dalam menyampaikan pesan kepada
orang lain, misalnya ingin minum susu. Anak
penyandang autisme mungkin hanya mondar-mandir
atau diam saja. Hal lain yang mungkin terjadi adalah
menangis dan akhirnya orang tua harus menawarkan
susu. “adik mau susu?” (sambil menunjukkan botol
susu).
53
b) Komunikasi Non-Verbal Anak Autisme
Keterlambatan komunikasi dan bahasa merupakan
ciri yang menonjol dan selalu dimiliki oleh anak
penyandang autisme. Perkembangan komunikasi dan
bahasanya sangat berbeda dengan perkembangan
anak pada umumnya. Sebagian besar dari mereka cara
berkomunikasi dengan non verbal communication,
karena sebagian besar dari mereka belum dapat
berbicara. Perkembangan anak-anak pada umumnya,
sejak usia dini, bayi mulai muncul kemampuan
berkomunikasi dengan bahasa komunikasi non verbal
yang disebut dengan pre speech yakni berupa gerak
isyarat/gesture, tangisan, mimik, dan sebagainya.
Tahap ini bersifat sementara sebelum anak dapat
menguasai ketrampilan bahasa yang memadai untuk
menggunakan kata-kata yang berarti dan dapat
dipahami baik dipahami diri sendiri dan orang lain.
Perkembangan bahasa pre speech anak-anak pada
umumnya, hampir tidak muncul pada kasus anak-
anak penyandang autisme. Anak-anak autisme
kesulitan dalam menggunakan isyarat sebagai alat
komunikasi nonverbal, sekalipun kemampuan
menujuk benda yang diinginkan, mengangguk atau
menggelengkan kepala sebagai tanda setuju atau tidak
setuju. Anak-anak penyandang autisme sebagian
besar menunjukkan kemampuan pre speech dalam
bentuk menarik tangan bila anak menginginkan
54
sesuatu. Kalaupun anak penyandang autisme memberi
isyarat tertentu, bahasa isyaratnya kurang lazim dan
hanya orang-orang yang sering berinteraksi dengan
anak tersebut yang dapat menafsirkannya. Hal ini
disebut passive non verbal communication.
c) Receptive dan Expresive Language
Receptive language secara sederhana Maurice
(1996) mendefinisikan kemampuan bicara reseptif
adalah kemampuan anak mendengar dan memahami
bahasa. Definisi lengkap tentang receptive language
dituliskan Tilton (2004) yakni kemampuan pikiran
manusia untuk mendengarkan bahasa bicara dari
orang lain dan menguraikan hal tersebut dalam
gambaran mental yang bermakna atau pola pikiran,
dimana dipahami dan digunakan oleh penerima.
Contoh sederhana dalam kesulitan bahasa reseptif
pada anak penyandang autisme adalah ketika mereka
diberikan instruksi untuk mengambil sesuatu, “ambil
bola”, anak penyandang autisme tidak dapat
merespon dengan baik dan benar. Hal ini dikarenakan
anak tersebut kesulitan dalam memahami apa maksud
dari kata ambil dan bola itu sendiri.
Expresive Language adalah penggunaan kata-kata
dan bahasa secara verbal untuk mengkomunikasikan
konsep atau pikiran. Jika anak penyandang autisme
sudah memiliki kemampuan ini, maka mereka
memiliki beberapa tingkat kemampuan reseptif.
55
Anak-anak penyandang autisme belajar
mengeskpresikan bahasa dengan imitasi melalui
orang tua mereka. Mereka belajar bahwa bahasa
sebagai alat untuk berkomunikasi. Kata pertama
ketika anak mulai berkata-kata sebenarnya tanda
bahwa bahasa reseptif itu telah bekerja dan efektif.
Anak-anak penyandang autisme kesulitan dalam
mengekpresikan keinginannya sekalipun
menggunakan bahasa isyarat seperti ingin pipis,
buang air besar ataupun mengangguk atau
menggeleng sebagai tanda setuju/ mau dan menolek/
tidak mau. Cara mengekpresikan keinginan anak-anak
penyandang autisme lebih bersifat presimbolik yakni
sebagai contoh anak penyandang autisme menarik
tangan orang lain dan kemudian meletakkan tangan
tersebut ke handel pintu sebagai isyarat untuk
membuka pintu.
d) Echolalia
Echolalia merupakan bentuk pengulangan kata
atau prase dari orang lain. Pada umumnya setiap anak
mengalami masa perkembangan ini. Pada usia
tertentu, sebelum umur 2 tahun, anak mengalami
proses echolalia (membeo). Demikian juga dengan
anak penyandang autisme, tetapi yang membedakan
adalah derajat echolalia-nya dan waktu lama waktu
dalam tahap perkembangan ini. Anak-anak pada
umumnya mengalami masa ini cukup singkat dan
56
derajat echolalia yang cepat berubah menjadi
fungsional dan bermakna sosial yang lebih baik,
sedang pada anak penyandang autisme cenderung
ditemukan echolalia yang derajat echolalianya tinggi
dan kurang bermakna.
Beberapa alasan anak penyandang autisme
cenderung echolalia dalam berkomunikasi adalah
ketidak pahaman anak penyandang autisme dalam
memahami konsep bahasa dalam konteks pragmatis
komunikasi. Shapiro (1977) dan Carr, Schreibman &
Lovaas (1975) dalam Volkmar, dkk (2005)
menemukan sebagian besar anak penyandang autisme
itu melakukan echolalia terhadap pertanyaan dan
perintah karena mereka tidak mengerti atau tidak
mengetahui bagaimana harus merespon.
Ada beberapa jenis eholalia yang berbeda-beda.
Anak penyandang atisme mungkin akan mengulang
kata atau prase hanya pada bagian yang terakhir
setelah anda mengatakannya, hal ini disebut sebagai
immediate echolalia. Ada anak penyandang autisme
yang mengingat kata atau prase yang dikatakan oleh
orang lain dan digunakan dalam sehari, seminggu,
sebulan atau bahkan setahun kemudian, ini disebut
delayed echolalia. Seringkali juga ada anak
penyandang autisme yang mengulangi kata-kata
setelah ia mendengar secara emosi situasional. Seperti
ketika ia mendengar kata “taruh!” saat ia mengambil
57
barang dan kemudian ia mengulang kata “taruh!”
kapanpun ketika ada ada seseorang terlihat marah
padanya. Dalam hal ini anak penyandang autisme
jelas tau kapan kata itu digunakan tetapi tidak
memahami kata yang diucapkannya, ini disebut
mitigated echolalia, dimana anak penyandang
autisme mungkin mengubah apa yang didengar
berbeda dalam tone-nya atau mengubah beberapa kata
dalam usaha menyesuaikan mereka pada situasi yang
berbeda.
e) Perkembangan Komunikasi Anak Autisme
Menurut Sussman (1999) perkembangan
komunikasi anak penyandang autisme dipengaruhi
beberapa faktor yaitu kemampuan berinteraksi, cara
anak berkomunikasi, alasan dibalik komunikasi yang
dilakukan anak dan tingkat pemahaman anak.
Selanjutnya ia menuliskan bahwa perkambangan
berkomunikasi anak penyandang autisme berkembang
melalui empat tahapan :
Pertama, The Own Agenda Stage. Pada tahap ini
anak cenderung bermain sendiri dan tampak tidak
tertarik pada orang-orang sekitar. Untuk mengetahui
keinginannya kita dapat memperhatikan gerak tubuh
dan ekspresi wajahnya. Anak dapat berinteraksi
cukup lama dengan orang yang sudah dikenalnya,
namun ia akan kesulitan dan menolak interaksi
dengan orang yang baru dikenalnya. Ia akan
58
menangis atau berteriak bila merasa tergangu
aktifitasnya.
Kedua, The Requester Stage. Pada tahap ini bila
menginginkan sesuatu anak penyandang autisme akan
menarik tangan dan mengarah ke benda yang
diinginkannya. Pada umumnya pada tahap ini sudah
dapat memproduksi suara tetapi bukan untuk
berkomunikasi melainkan untuk menenangkan diri.
Anak dapat mengenal perintah sederhana, tetapi
responnya belum konsisten. Ia juga sudah dapat
melakukan kegiatan yang bersifat rutinitas.
Ketiga, The Early Communication Stage. Pada
tahap ini, kemampuan anak penyandang autisme
dalam berkomunikasi lebih baik karena melibatkan
gesture, suara dan gambar. Inisiatif anak untuk
berkomunikasi masih terbatas seperti : mau makan,
minum atau benda-benda/ kegiatan yang disukai saja.
Pada tahap ini anak telah mulai mengulang hal-hal
yang didengar, mulai memahami isyarat
visual/gambar dan memahami kalimat-kalimat
sederhana yang diucapkan.
Keempat, The Partner Stage. Pada tahap ini
merupakan fase yang paling efektif. Bila kemampuan
bicaranya baik, maka ia berkemungkinan dapat
melakukan percakapan sederhana. Namun demikian,
anak masih cenderung menghafal kalimat dan sulit
menemukan topik baru dalam percakapan.
59
Hal-hal lain yang berkaitan dengan ciri-ciri anak
penyandang autisme yang menyertainya seperti
gangguan emosional seperti tertawa dan menangis
tanpa sebab yang jelas, tidak dapat berempati, rasa
takut yang berlebihan dan sebagainya.67
c. Penyebab Anak Menyandang Autisme
Secara spesifik, faktor- faktor yang menyebabkan
anak menjadi autisme belum ditemukan secara pasti,
meskipun secara umum ada kesepakatan di dalam lapangan
yang membuktikan adanya keragaman tingkat
penyebabnya. Hal ini termasuk bersifat genetik, metabolik,
dan gangguan syaraf pusat, infeksi pada masa hamil
(rubella), gangguan pencernaan hingga keracunan logam
berat. Struktur otak yang tidak normal seperti
hydrocephalus juga dapat menyebabkan anak menjadi
autisme.68
5. Karakteristik Fase Perkembangan
a. Fase Masa Awal Anak-Anak
Fase masa awal anak-anak merupakan fase
perkembangan individu sekitar umur 2-6 tahun.
1) Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan dasar bagi
kemajuan perkembangan. Dengan meningkatnya
67
Joko Yuwono, Memahami Anak Autistik : Kajian Teoritik dan
Empirik,(Bandung: Alfabeta, 2009), h.29 68
Joko Yuwono, Memahami Anak Autistik : Kajian Teoritik dan
Empirik,(Bandung: Alfabeta, 2009), h.31
60
pertumbuhan tubuh, baik menyangkut ukuran berat
badan dan tinggi, maupun kekuatannya
memungkinkan anak untuk dapat lebih
mengembangkan keterampilan fisiknya, dan
eksplorasi terhadap lingkungannya tanpa adanya
bantuan dari orang tua.
Pada fase ini anak-anak dengan usia sebaya dapat
memperlihatkan tinggi tubuh yang sangat berbeda,
tetapi pola pertumbuhan tinggi tubuh mereka tetap
mengikuti aturan yang sama. Selama masa anak-anak
awal, tinggi rata-rata anak bertumbuh 2,5 inci dan
berat bertambah antara 2,5-3,5 kg setiap tahunnya.
Salah satu perkembangan fisik yang paling penting
selama masa perkembangan awal anak-anak adalah
perkembangan otak. Pada masa bayi sampai usia dua
tahun, ukuran otaknya rata-rata 75% dari otak orang
dewasa, dan pada usia lima tahun, ukuran otaknya
sudah mencapai 90% otak orang dewasa.
Pertumbuhan otak selama masa awal anak-anak
disebabkan oleh petambahan jumlah dan ukuran urat
saraf yang berujung di dalam dan di antara daerah-
daerah otak.69
Perkembangan fisik anak ditandai juga dengan
berkembangnya kemampuan atau keterampilan
motorik, baik kasar maupun halus. Pada usia 3 –
69
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Kencana, 2011),
h. 184
61
4tahun, kemampuan motorik kasarnya seperti naik
turun dan turun tangga, meloncat dengan dua kaki,
dan melempar bola. Sedangkan kemampuan motoric
halusnya seperti menggunakan benda, dan meniru
bentuk (meniru gerakan orang lain).
Pada usia 4 – 6 tahun, kemampuan motorik
kasarnya seperti mengendarai sepeda anak,
menangkap bola, dan bermain olah raga, sedangkan
kemampaun motoric halusnya seperti menggunakan
pensil, menggambar, memotong dan menggunting,
dan menulis huruf cetak.70
2) Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif pada masa awal anak-anak
dinamakan tahap pra-operasional yang berlangsung
dari usia dua hingga tujuh tahun. Dalam istilah pra-
operasional menunjukkan bahwa pada tahap ini
menurut Piaget difokuskan pada keterbatasan
pemikiran anak. Istilah “operasional” menunjukkan
pada aktifitas mental dan memungkinkan anak untuk
memikirkan peristiwa pengalaman yang dialaminya.71
Pada tahap pra-operasinal ini anak mampu
berpikir dengan menggunakan simbol (symbolic
function), berfikirnya masih dibatasi oleh
persepsinya. Mereka meyakini apa yang dilihatnya,
70
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 164 71
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Kencana, 2011),
h. 185
62
dan hanya berfokus kepada satu atribut terhadap satu
objek dalam waktu yang sama. Berpikirnya masih
kaku tidak fleksibel. Dan anak sudah mulai mengerti
dasar-dasar mengelompokkan sesuatu atau dasar
suatu dimensi, seperti atas kesamaan warna, bentuk,
dan ukuran.72
3) Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa masa anak-anak awal dapat
diklasifikasikan kedalam dua tahap, yaitu:
a) Masa Ketiga (2,0 – 2,6 tahun) yang bercirikan:
Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat
tunggal yang sempurna.
Anak sudah mampu memahami tentang
perbandingan.
Anak banyak menanyakan nama dan tempat:
apa, di mana, dan dari mana.
Anak sudah banyak menggunakan kata-kata
yang berawalan dan berakhiran.
b) Masa Keempat (2,6 – 6.0 tahun) yang
bercirikan:
Anak sudah dapat menggunakan kalimat
majemuk beserta anak kalimatnya.
Tingkat berpikir anak sudah lebih maju, anak
sudah banyak menanyakan soal waktu-
72
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 167
63
sebab akibat melalui pertanyaan-pertanyaan:
kapan, ke mana, mengapa dan bagaimana.
4) Perkembangan Sosial
Pada fase ini (terutama mulai usia 4 tahun),
perkembangan sosial anak sudah tampak jelas, karena
mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman
sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada
tahap ini adalah:
a) Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di
lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan
bermain.
b) Sedikit demi sedikit anak mulai tunduk pada
peraturan.
c) Anak mulai menyadari hak atau kepentingan
orang lain.
d) Anak mulai bermain dengan anak-anak lain,
atau teman sebaya.73
b. Fase Masa Akhir Anak-anak
Fase masa akhir anak-anak merupakan fase
perkembangan individu sekitar umur 6-12 tahun.
1) Perkembangan Fisik
Tinggi rata-rata anak perempuan 11 tahun
mempunyai tinggi badan 58 inci dan laki-laki 57,5
inci. Dan kenaikan berat badan lebih bervariasi
73
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 170-171
64
daripada kenaikan tinggi badan yang berkisar tiga
sampai lima pon pertahun. Rata-rata anak perempuan
11tahun mempunyai berat badan 88.5 pon dan anak
laki-laki 85,5 pon.74
2) Perkembangan Kognitif
Pada masa akhir anak-anak ini, anak sudah dapat
mereaksi rangsangan intelektual, atau melaksanakan
tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan
intelektual atau kemampuan kognitif (seperti
membaca, menulis, dan menghitung). Pada masa awal
anak-anak daya pikir anak masih bersifat imajinatif,
berangan-angan, sedangkan pada masa ini pikirannya
sudah berkembang kearah berpikir konkret dan
rasional (dapat diterima akal). Piaget menamakannya
sebagai masa operasi konkret, masa berakhirnya
berpikir khayal dan mulai berpikir konkret (berkaitan
dengan dunia nyata).
Masa ini ditandai dengan tiga kemampuan baru,
yaitu mengklasifikasikan (mengkelompokkan),
menyusun atau mengasosiasikan (menghubungkan
atau menghitung) angka-angka atau bilangan.
Disamping itu, pada masa akhir ini anak sudah
memiliki kemampuan memecahkan masalah (problem
solving) yang sederhana.
3) Perkembangan Bahasa
74
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Kencana, 2011),
h. 205
65
Pada masa ini merupakan masa berkembang
pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai
perbendaharaan kata (vocabulary). Pada awal masa
ini, anak sudah menguasai sekitar 2.500 kata, dan
pada masa akhir (usia 11-12tahun) telah dapat
menguasai sekitar 50.000 kata. Dengan dikuasainya
keterampilan membca dan berkomunikasi dengan
orang lain, anak sudah gemar membaca atau
mendengarkan cerita yang bersifat kritis (tentang
perjalanan/petualangan, riwayat para pahlawan, dsb).
Pada masa ini tingkat berpikir anak sudah lebih maju,
dia banyak menanyakan soal waktu dan sebab akibat.
4) Perkembangan Sosial
Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan
menyesuaikan diri-sendiri (egosentris) kepada sikap
yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau
memperhatikan kepentingan orang lain). Anak dapat
berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman
sebayanya, dan bertambah kuat keinginannya untuk
diterima menjadi anggota kelompok (gang), dia
merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam
kelompoknya. Berkat perkembangan sosial, anak
dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman
sebayanya maupun dengan lingkungan masyarakat
sekitarnya.75
75
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 178-180
66
6. Sholat Wajib
a. Pengertian Sholat Wajib
Sholat wajib adalah sholat yang harus dilaksanakan
oleh setiap orang islam yang telah balig, berakal dan suci.
Apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa dan apabila
dilaksanakan akan mendapatkan pahala.76
Menurut bahasa,
pengertian sholat adalah doa. Adapun dalam istilah hukum
(fikih) islam, sholat berarti suatu ibadah yang terdiri atas
beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbir (membaca Allahu Akbar) dan disudahi dengan
memberi salam.77
Sholat wajib terdiri dari lima waktu, yaitu sholat
subuh (2 rakaat), sholat zuhur (4 rakaat), sholat asar (4
rakaat), sholat magrib (3 rakaat) dan sholat isya (4 rakaat).
Sholat mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
syariat agama islam. Kesempurnaan amal seseorang, baik
buruk perbuatan manusia dilihat dari sempurna atau
tidaknya pelaksanaan sholatnya.
b. Dalil Kewajiban Sholat.
Sholat adalah kewajiban utama bagi setiap oranag
islam yang telah baligh, selama ia masih menghembuskan
nafas, selama itu pula kewajiban sholat melekat
dipundaknya, tidak dapat diwakilkan. Dalam keadaan
bagaimanapun, kapan pun, dimana pun, sholat harus
76
Asep Maulana, Ust. Abdullah Jinaan, Panduan Lengkap Salat
Fardu & Sunnah, (Jakarta : PT Grasindo, 2017), h.43 77
Asep Maulana, Ust. Abdullah Jinaan, Panduan Lengkap Salat
Fardu & Sunnah, (Jakarta : PT Grasindo, 2017), h.40
67
dikerjakan. Karenanya, dalam islam terdapat syariat tentang
sholat bagi orang yang sakit, ketika dalam perjalanan dan
lain – lain.
Kewajiban sholat bagi setiap muslim yang baligh, telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an, antara lain:78
اكعيه كوۃ واركعوامع الر لوۃ واتوا الز )البقرۃ وأقيموا الص
:٣٤ ) Wa aqiimush shalaata wa aatus zakaata warka’uu
ma’ar raaki’iin.
“dan dirikanlah sholat, dan keluarkanlah zakat, dan
tunduklah rukuk bersama orang-orang yang rukuk.” (QS.
Al-Baqarah(2) :43)
لوۃتنھی عه الفحشاءوالمنكر لوۃ ٳن الص )العنكبوت وأقم الص
:٣٤) Wa aqimish shalaata innash shalaata tanhaa
‘anilfakhsyaa-I wal munkar
“kerjakanlah sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah
perbuatan yang keji dan yang mungkar.” (QS. Al-Ankabut
(29) : 45)
78
Ust. Syaifurrahman El-Fati, Panduan Sholat Praktis & Lengkap
cet.ke-10, (Jakarta: Wahyu Qolbu, 2017), h. 36-37
68
69
BAB III
GAMBARAN UMUM RUMAH ANAK MANDIRI KARIM
DEPOK
A. Profil Umum Rumah Anak Mandiri Karim
Rumah Anak Mandiri Karim berada dibawah Yayasan
Maryam Karim, yaitu sebuah yayasan yang didirikan untuk
tujuan melakukan perkhidmatan dan penyelenggaraan pendidikan
bagi anak-anak berkebutuhan khusus melalui rumah pendidikan
berasrama. Yayasan ini berdiri pada tahun 2011 berdasarkan akta
No.27 tanggal 25 April 2011 dibuat dihadapan Khodijah,S.H.
Notaris di Jakarta.
Rumah Anak Mandiri Karim merupakan pusat layanan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus yang dikembangkan untuk
memberikan pelayanan dalam bentuk komunikasi, sosialisasi,
akhlak, spiritual, kemandirian dan mengembangkan kemampuan
vokasional/talenta. Anak-anak berkebutuhan khusus tersebut
meliputi mereka yang didiagnosa mengemban sindrom
Hiperaktif, Attention Deficit Hyperactivity Disoser (ADHD),
Autisme, Gangguan Perkembangan Pervasif dan gangguan-
gangguan lainnya yang menyulitkan mereka untuk tumbuh dan
berkembang sebagaimana layaknya anak-anak lain.
Rumah Anak Mandiri Karim didukung oleh tim pengajar
yang berpengalaman dibidang PLB (Pendidikan Luar Biasa),
Psikolog, Okupasi, Terapis, dan Konsultan yang berpengalaman
dibidangnya. Rumah Anak Mandiri Karim terletak di Jalan
Perumahan Villa Santika Blok K, Kelurahan Grogol, Kecamatan
Limo, Depok.
70
Rumah Anak Mandiri meyakini anak-anak berkebutuhan
khusus adalah merupakan anak-anak yang diberi keistimewaan
oleh Allah Yang Maha Kasih yang mempunyai kendala dalam
mengikuti kegiatan belajar mengajar yang konvensional serta
kendala dalam melakukan interaksi sosial. Mereka meyakini
bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki talenta dan keahlian
yang masih tersembunyi yang memerlukan bantuan kita semua
untuk menampakkannya keluar sehingga mendatangkan manfaat
yang banyak bagi semua.
B. Visi dan Misi Rumah Anak Mandiri Karim
Rumah Anak Mandiri Karim Depok memiliki visi dan misi
sebagai berikut:
VISI
1. Sebagai tempat untuk membina anak-anak dengan
kebutuhan khusus (special needs)
2. Menjadi wadah untuk menemukan potensi anak-anak,
serta mengembankan talenta mereka
MISI
Memberikan pelayanan dan pendidikan yang terbaik
bagi anak-anak berkebutuhan khusus, sesuai dengan
kekhususan dan keunikan masing-masing siswa, dengan
mengutamakan cinta, kasih dan ketulusan; serta program
dan metode pengajaran yag dirancang khusus bagi
masing-masing siswa sesuai dengan keistimewaan
71
mereka untuk membantu mereka menghadapi masa
depan yang lebih baik.
C. Sejarah Berdirinya Rumah Anak Mandiri Karim
Rumah Anak Mandiri Karim terbentuk karena putra sulung
dari Mirza Karim dan Merry Noventi yang bernama Muhammad
Muthahhari didiagnosis dokter menyadang Autism dan Attention
Deficit/Hyperactivity Disorder (ADD/ADHD). Mereka tetap
berusaha memberikan hal yang terbaik bagi buah hatinya.
Sayangnya, sarana pendidikan bagi anak-anak yang memiliki
kebutuan khusus, seperti Hari, masih minim sehingga mendorong
mereka untuk mendirikan sekolah yang tidak hanya mengajarkan
hal-hal yang bersifat umum tapi juga melatih kemandirian anak.
Menurut Venti, kebanyakan sekolah untuk anak-anak
berkebutuhan khusus yang ada di Indonesia masih kurang
memperhatikan hal-hal yang esensial bagi anak, terutama anak
berkebutuhan khusus yang memasuki masa pubertas. Kemudian
mereka mendirikan Rumah Anak Mandiri Karim yang berada
dalam naungan Yayasan Mandiri Karim dengan metode
pendidikan yang dirancang untuk memberi rasa nyaman bagi
anak. Sarana pendidikan dibuat sedemikian rupa sehingga mereka
merasa seperti berada di rumah sendiri dengan kurikulum yang
disesuaikan dengan keuinikan masing-masing anak.
Sengaja memilih sistem boarding atau asrama, Rumah
Anak Madiri Karim melatih kemandirian siswanya selama 24
jam, sejak bangun tidur hingga tidur kembali. Selama disekolah,
72
para guru membina kemandirian siswa melalui Activity of Daily
Living (ADL), komunikasi, bina diri dan sosialisasi. Venti
mengatakan, selama ini anak-anak autism memang mengalami
kesulitan dalam komunikasi dua arah dan cara bersosialisasi yang
benar, makanya hal itu menjadi prioritas di Rumah Anak Mandiri
Karim.
Sebagaimana layaknya anak-anak lain, anak dengan
kebutuhan khusus atau yang biasa disebut ABK juga berhak
mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kurangnya pengetahuan sebagian orang mengenai keistimewaan
ABK serta minimnya bantuan yang diberikan oleh pemerintah
dan masyarakat dalam pendidikan ABK , memantapkan niat
Rumah Anak Mandiri Karim untuk memberikan yang terbaik
kepada ABK, sekalipun dari awal yang kecil..
Sejak diresmikan pada bulan Juni 2011 lalu, Rumah Anak
Mandiri Karim mendedikasikan diri untuk anak-anak penyandang
Autism Spectrum Disordered (ASD), Attention
Deficit/Hyperactivity Disorder(ADD/ADHD), Asperger‟s
Syndrome, Sensory Integration Disfunction serta anak yang
mengalami keterlambatan bicara serta masalah perilaku lain.
Selain program asrama, Rumah Anak Mandiri Karim juga
memberikan program lainnya seperti program regular (senin
hingga jumat) selama 6-7 jam sehari, private therapy selama 1-2
jam, hingga program Homestay. Tapi program homestay ini
hanya diberikan untuk ABK yang dititipkan ke Rumah Anak
Mandiri Karim karena orang tuanya akan bertugas ke luar kota
atau luar negeri atau melaksanakan ibadah haji dan umrah dimana
73
si anak tidak bisa dapat ikut serta. Rumah Anak Mandiri Karim
tidak melayani penitipan ABK dengan alasan orang tuanya ingin
pergi berlibur dan tidak mau direpotkan dengan anaknya.
Saat ini Rumah Anak Mandiri Karim memilik 26 siswa
dengan keistimewaannya masing-masing. Untuk melatih
kemandirian siswa, setiap hari selasa dan kamis diberikan
program outing, dimana siswa diajak naik angkot dan belanja ke
supermarket. Ketika liburan pun, pihak Rumah Anak Mandiri
Karim tetap memantau perkembangan siswa lewat pemberian
pembekalan lewat orang tua sehingga program penanganan siswa
tidak menjadi kacau. Termasuk dalam hal pemberian makanan
yang harus tetap terjaga. Karena makanan sangat berpengaruh
terhadap ABK terutama makanan yang mengandung gula, bahan
pengawet dan tepung terigu. Sering sekali bersama keluarga,
orang tua tidak tega dan melonggarkan peraturan yang sudah
disepakati bersama.
Banyak ABK yang memiliki keistimewaan serta potensi
yang tersembunyi, sementara orang tua dan sekolah normal tidak
dapat membantu mereka menemukan keistimewaan tersebut serta
gagal mengembangkan menjadi “hal besar” yang bermanfaat bagi
kehidupannya kelak maupun bagi masyarakat. Di Rumah Anak
Mandiri Karim, mereka berusaha membantu serta memberikan
layanan kepada ABK, agar potensi istimewa mereka berkembang
menjadi hal besar yang membawa manfaat bagi mereka sekaligus
masyarakat. Mengabaikan mereka, tidak memberikan hak mereka
akan pendidikan serta tidak memberi kesempatan pada mereka
untuk berkembang bagi Rumah Anak Mandiri Karim merupakan
74
suatu dosa kolektif. Karena sesungguhnya, mereka itu ada dan
masyarakat harus bisa menerima kehadiran mereka. Bukan
dengan cemoohan bukan pula dengan rasa kasihan, melainkan
dengan cinta.
D. Program Kegiatan Rumah Anak Mandiri Karim
Di Rumah Anak Mandiri Karim terdapat beberapa program
kegiatan yaitu:
1. Reguler (senin-jumat)
Anak belajar mengikuti kegiatan Rumah Anak
Mandiri Karim mulai jam 08.30 – 15.00 atau selama 6
jam dengan program IEP yang disusun sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan anak. Jumlah siswa
program reguler tahun 2018/2019 berjumlah 7 siswa
dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 3.1 Jumlah Siswa Yang Mengikuti
Program Reguler
No Jenis Kelamin Jumlah Siswa
1. Laki-laki 7 Anak
2. Perempuan -
Jumlah 7 Anak
2. Boarding
Untuk mendukung program perilaku dan kemandirian
supaya lebih konsisten Rumah Anak Mandiri Karim
menyediakan asrama dengan fasilitas yang cukup
memadai. Asrama dimonitor 24 jam penuh dengan
75
program dan kegiatan yang dirancang sesuai dengan
kebutuhan anak (IEP) dan anak merasa nyaman.
Kegiatan asrama mulai hari senin-jumat dan hari sabtu-
minggu anak diberikan kesempatan untuk berinteraksi
dengan keluarganya khususnya yang tinggal di daerah
Jabodetabek. Jumalah siswa program boarding tahun
2018/2019 berjumlah 19 siswa dengan perincian sebagai
berikut:
Tabel 3.2 Jumlah Siswa Yang Mengikuti
Program Boarding
No Jenis Kelamin Jumlah Siswa
1. Laki-laki 15 Anak
2. Perempuan 4 Anak
Jumlah 19 Anak
3. Homestay
Homestay merupakan solusi bagi orang tua yang
mempunyai anak berkebutuhan khusus yang akan
menunaikan ibadah umrah dan haji, sedangkan anak
tidak bisa ikut serta. Anak bisa mengikuti program home
stay dan mengikuti kegiatan anak boarding.
E. Kerjasama dalam Lembaga
Rumah Anak Mandiri Karim lebih membangun kerjasama
dengan orang tua yang misalnya mempunyai hotel, laundry,
restoran, pasar dan pelayanan housekeeping agar anak bisa
ikut berpartisipasi dan lebih mematangkan life skill yang
76
mereka miliki. Kemudian Rumah Anak Mandiri Karim juga
berkerja sama dengan dengan sekolah-sekolah luar biasa dan
lembaga yang menampung Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) untuk melakukan kerjasama dalam bidang kegiatan,
perlombaan dan studi banding baik dalam atau luar kota, studi
banding sekolah untuk ABK yang hampir sama untuk
boarding school.
Berikut beberapa kegiatan yang Rumah Anak Mandiri
Karim ikuti dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 3.3 Kerjasama dalam lembaga tahun ajaran
2018/2019
NO Tanggal Kegiatan
1 6 April 2018 Berkeliling lingkungan RAM Karim untuk
Sosialisasi Autisme pada Hari Peduli
Autisme
2 24 April 2018 Lomba Peragaan Busana Memperingati Hari
Kartini 2018
3 2 Mei 2018 Berpartisipasi dalam Walk For Autism
Jakarta
4 8 Mei 2018 Lomba Renang Jakarta Open Paralimpic
Swim, Gelanggang Remaja Jakarta Pusat
5 17 Mei 2018 Outing Museum Rumah Keramik
6 5 Juni 2018 Mengadakan Bazzar Murah dan Santunan
Anak Yatim
7 25 Oktober
2018
Lomba Renang ASEAN Autism Games
8 30 Oktober
2018
Lomba Fashion Show dan Kemandirian di
Transmart Kidcity Depok
9 15 Febuari 2019 Renang di PGA Limo
10 17 Febuari 2019 Berpartisipasi mengikuti bazar dengan
menjual snack pada peringatan Maulid Nabi
Muhammad di Masjid Istiqlal
11 4 Maret 2019 Outing ke Taman Lembah Mawar
77
12 21 Maret 2019 Berpartisipasi dalam Equal Fun Run 2019 di
RSUI Depok
13 15 April 2019 Kelas Art oleh Antoresi Drawing Class
14 27 April 2019 Lomba Aku Anak Indonesia di Sekolah Pura
Adhika
15 Mei 2019 Outing ke Taman Margasatwa Ragunan
16 5 Juni 2019 Kunjungan ke Dokter untuk Pemeriksaan
Gigi
17 3 Juli 2019 Menghadiri Undangan ke Kidzania Pasific
Place
F. Alur Metode Penanganan Klien Lembaga
1. Sasaran Lembaga
Pelayanan di Rumah Anak Mandiri Karim diberikan
untuk anak laki-laki dan perempuan berkebutuhan khusus
yang masih berusia 10-20 tahun, tidak menerima yang cacat
ganda seperti buta tuli, lebih ke anak kebutuhan khusus
murni dengan tidak ada penyakit yang berat seperti kanker
yang menular, tidak pernah memiliki masalah kejiwaan,
tidak ada indikasi mengancam dan senjata tajam. Menerima
semua kemampuan anak berkebutuhan khusus dari yang
berat hingga ringan, untuk perilaku yang tidak terlalu berat,
seperti terlalu agresif dan menyerang orang lain secara
berlebihan.
2. Profile Anak Asuh
Jumlah Siswa Rumah Anak Mandiri Karim tahun
2018/2019 berjumlah 26 siswa dengan tabel perincian
sebagai berikut:
78
Tabel 3.4 Jumlah Siswa RAM Karim 2018/2019
No Jenis Kelamin Jumlah Siswa
1. Laki-laki 22 Anak
2. Perempuan 4 Anak
Jumlah 26 Anak
Di Rumah Anak Mandiri Karim anak-anak berkebutuhan
khusus dibagi menjadi 3 kelas, yaitu:
a. Kelas Bromo, diperuntukan bagi siswa yang hanya
memerlukan sedikit bantuan atau sudah bisa mandiri
(dasar).
b. Kelas Semeru, diperuntukan bagi siswa yang masih
memerlukan bantuan atau sebagian mandiri
(menengah).
c. Kelas Rinjani, diperuntukan bagi siswa yang masih
banyak memerlukan bantuan atau belum bisa
mandiri (sulit).
Masing-masing kelas memiliki jumlah siswa yang tabel
perinciannya sebagai berikut:
Tabel 3.5 Jumlah Siswa Setiap Kelas
No Jenis Kelamin Kelas
Bromo
Kelas
Semeru
Kelas
Rinjani
1. Laki-laki 8 10 4
2. Perempuan 2 0 2
Jumlah 10 10 6
79
3. Kurikulum
a. Akhlak dan Spirituan
1) Wudhu dan Sholat
2) Membaca Iqro dan Al-Quran
3) Hafalan doa harian dan surat-surat pendek dalam
Al-Quran
4) Praktek Ibadah Wajib, Sunnah, Infak dan Sedekah
5) Perayaan hari-hari besar umat Islam
b. Akademik Terapan
1) Bahasa (komunikasi fungsional)
2) Matematika (berhitung, belanja, mengenal waktu)
3) IPA (pengetahuan makhluk hidup dan alam)
4) IPS (keterampilan sosial)
5) PKn (aturan dan sopan santun)
6) Komputer (informasi dan komunikasi
pengembangan program)
c. Bina Diri (activities of daily living)
1) Makan dan minum
2) Toileting
3) Mandi
4) Berpakaian
5) Berdandan
d. Kemandirian (life skills)
1) Menyapu dan mengepel
2) Membereskan tempat tidur
3) Belanja
4) Memasak
80
5) Menggunakan fasilitas umum
6) Menggunakan transportasi umum
7) Menggunakan dan menyimpan uang
e. Mengisi waktu luang (leisure)
1) Musik (menyanyi dan bermain alat musik)
2) Sport (jalan, lari, renang, futsal, basket,
bulutangkis, dll)
G. Struktur Organisasi
Gambar 3.1 Struktur Organisasi
81
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Data Anak Penyandang Autisme
Dalam penelitian ini subjeknya adalah Anak Penyandang
Autisme di Rumah Anak Mandiri Karim Depok, sebelum
membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal
berdasarkan tahapan penetrasi sosial dan apa saja faktor
pendukung dan penghambat komunikasinya, berikut adalah data
anak-anak penyandang autisme yang menjadi subjek dari
penelitain ini.
1. Nama : Naura Agustina
Tempat, tanggal lahir : Bekasi, 9 Agustus 2008
Jenis Kelamin : Perempuan
Bahasa yang digunakan : Bahasa Indonesia
Orang Tua : Amila Pudyawati
Terapi : Motorik, behavior, okupasi, dll
(continue dari umur 4tahun)
a. Perilaku
1) Kepatuhan (kurang)
2) Motorik Halus (bagus)
3) Motorik Kasar (kadang bagus kadang kurang)
4) Konsentrasi (kurang)
5) Kemandirian (kadang bagus kadang kurang)
6) Bicara (kurang/sedikit)
b. Keadaan Fisik
1) Penglihatan (baik)
2) Pendengaran (baik)
3) Sakit (jarang)
4) Kidal (tidak)
5) Bicara Cadel (iya)
6) Pernah Jatuh (tidak)
7) Pernah Kejang (tidak)
8) Pernah di rawat di RS (tidak)
c. Bahasa Reseptif
1) Pemahaman kata, kelompok kata, kalimat,
pembicaraan simple dan pembicaraan kelompok
(lemah)
82
2) Merespon namanya ketika dipanggil (mampu)
3) Senyum/tertawa (lemah)
4) Menunjuk gambar (mampu dengan bantuan)
5) Perintah yang dipahami, seperti mengangguk,
menggeleng, lihat, matikan, naik, turun, masuk,
keluar, duduk, berdiri, dorong, tarik, berhenti,
pegang, lepas (mampu dengan bantuan)
d. Level Ekspresif
1) Level ekspresif (bergumam dan satu kata)
2) Metode Komunikasi (suara)
e. Suara
1) Keras (cukup)
2) Kualitas vocal (parau/serak)
3) Pitch (tinggi rendah / bervariasi)
4) Oral
a) Bernafas dengan mulut (kadang-kadang)
b) “ngeces” (tidak pernah)
5) Kelancaran bicara (kurang lancar)
6) Kecepatan berbicara (terlalu lambat)
7) Irama dan intonasi suara (kurang jelas)
2. Nama : Rasya Faiz Mukmin
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 26 Juli 2007
Jenis Kelamin : Laki-laki
Bahasa yang digunakan : Bahasa Indonesia
Orang Tua : Rosmiyati
a. Sensori/motor
1) Mencari lokasi sumber suara (mampu dengan
bantuan)
2) Kontak mata (lemah)
3) Virtual tracking (mampu dengan bantuan)
4) Memegang (mampu)
5) Imitasi motoric (mampu dengan bantuan)
b. Perhatian/atensi
1) Rentang atensi (lemah)
2) Mudah terganggu (lemah)
3) Alertness (mampu dengan bantuan)
4) Kemampuan merespon (mampu dengan bantuan)
5) Kesadaran terhadap orang lain (mampu dengan
bantuan)
83
6) Melihat gambar/objek (lemah)
7) Kesadaran diri terhadap kejadian disekitar lingkungan
(lemah)
c. Perilaku sosial-emosi
1) Agresif
2) Aktif
3) Berani
4) Pemarah
5) Ceria
6) Ingin tahu
7) Keras kepala
8) Kreatif
3. Nama : Azra Herwinan Dya Kartowisastro
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 6 Januari 2006
Jenis Kelamin : Laki-laki
Bahasa yang digunakan : Bahasa Indonesia
Orang Tua : Andre H.K dan Winny W.
Terapi : behavior therapy (4tahun), senso-
sory integrasi dan speech
a. Keadaan fisik
1) Penglihatan (baik)
2) Pendengaran (baik)
3) Sakit (jarang)
4) Kidal (tidak)
5) Bicara cadel (tidak)
6) Pernah kejang (ya, saat usia 5tahun)
7) Pernah di rawat di RS (tidak)
b. Perilaku sosial
1) Suka mencubit
2) Sensitive
3) Kadang menggigit
4) Sering bersikap lembut
5) Memeluk dan banyak bicara
c. Sensori/motor
1) Mencari lokasi sumber suara (mampu dengan
bantuan)
2) Kontak mata (lemah)
3) Visual Tracking (lemah)
4) Imitasi motoric (lemah)
84
d. Perhatian/atensi
1) Rentang atensi (lemah)
2) Mudah terganggu/distractible (mampu dengan
bantuan)
3) Alertness (mampu dengan bantuan)
e. Bahasa reseptif
1) Pemahaman kata, kelompok kata, kalimat,
pembicaraan sederhana, pembicaraan kelompok
(mampu dengan bantuan)
2) Merespon namanya ketika dipanggil (mampu)
3) Menunjuk gambar (mampu dengan bantuan)
4) Memberi benda yang diminta orang lain (mampu
dengan bantuan)
5) Mengikuti perintah (mampu dengan bantuan)
f. Level ekspresif
1) Level ekspresi (bergumam)
2) Metode komunikasi (menunjuk)
3) Ekspresi diri (emosi, keinginan)
g. Bicara
1) Kejelasan (sulit dimengerti)
2) Penyesuaian agar mudah mengerti (nonverbal)
B. Proses Komunikasi Interpersonal berdasarkan
Tahapan Penetrasi Sosial antara Guru dengan Anak
Penyandang Autisme dalam Mengajarkan Sholat Wajib
di Rumah Anak Mandiri Karim Depok.
Proses komunikasi interpersonal yang dilakukan guru dan
anak peyandang autisme sudah berlangsung semenjak mereka
masuk Rumah Anak Mandiri Karim. Para guru melakukan
komunikasi yang intens agar mengetahui karakter dari masing-
masing anak penyandang autisme.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan hubungan
yang terjadi antara guru dan anak penyandang autisme peneliti
85
menggunakan tahapan-tahapan yang ada dalam teori penetrasi
sosial.
Berikut ini merupakan tahapan-tahapan penetrasi sosial
yang dilakukan guru di Rumah Anak Mandiri Karim Depok
terhadap anak-anak penyandang autisme:
1. Tahapan orientasi
Seluruh informan yang peneliti wawancarai, pada awal
pertemuan dan berkomunikasi dengan anak-anak penyandang
autisme melakukan tahapan orientasi. Dapat disimpulkan masa
orientasi dapat disebut masa pengenalan dan terjadi pada tingkat
publik. Yang dibicarakan hanya hal yang bersifat umum saja.
Guru dikatakan sebagai komunikator dan anak autisme sebagai
komunikan.
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan, pada
tahap awal ini, para guru di Rumah Anak Mandiri Karim Depok,
memperkenalkan diri mereka ke anak-anak penyandang autisme
seperti mengenalkan diri mereka kepada orang pada umumnya,
memperkenalkan nama, bertanya nama mereka siapa, dan
pertanyaan-pertanyaan umum lainnya.
Hanya saja, guru juga menggunakan bahasa nonverbal dan
lebih ekspresif dan juga mengenal dia (anak penyandang autisme)
yang akan di ajak kenalan itu seperti apa, mulai dari
kesukaannya, hal yang mengganggunya dan lain-lain. Walaupun
anak penyandang autisme tidak merespon, tetapi guru harus
bersabar dan konsisten dengan yang mereka lakukan.
“Kalau untuk memperkenalkan diri tetap ya, kita
memperkenalkan diri seperti biasa, nama kita siapa, terus
86
kalau dia bisa verbal kita tanya balik ke anak namanya dia
siapa, walaupun agak belum jelas, walaupun dia belum
mengerti kita ya ga apa apa sih maksudnya kita liatin dulu
perilakunya dia, kita supervisi dulu lah cara
berkomunikasinya dia seperti apa, terus gimana kalo dia
pas tantrumnya pas saat apa, gitu sih kita cari infonya
sendiri kita supervisi anak itu seperti apa waktu baru kenal,
Jadi tidak harus memaksakan untuk langsung bisa ini bisa
itu gak juga, tapi harus lihat dulu minatnya dia kemana
terus seperti apa pembelajarannya, insyaAllah nanti kita
jadi tahu.”79
“Sebenernya sih, saya memperkenalkan diri awalnya saya
kaget, anak-anak seperti ini saya ga tau cara
berkomunikasi dan cara pendekatannya saya ga tau, tetapi
lama kelamaan saya belajar dari lingkungan setempat,
cara ngedeketinnya tuh dengan bahasa yang menggunakan
bahasa tubuh, lama kelamaan saya sudah mulai paham.
Awal memperkenalkan diri kemereka itu saya sapa mereka
“hay nama kamu siapa?” mereka kan lebih sering non
verbal ya, terus saya lanjutin “ini azra ya” terus saya
tanya-tanya terus, saya kasih tau nama saya siapa,
walaupun mereka lebih ke nonverbal tapi saya tetap
mengajak mereka bicara.”80
2. Tahapan pertukaran pejajakan afektif
Tahapan kedua yaitu tahapan pertukaran penjajakan afektif
maksudnya pada tahapan ini informan mulai melakukan
perkenalan lebih dalam lagi dan mulai melakukan komunikasi
lebih intens lagi. Pada tahap ini anak-anak mulai merasa nyaman.
Pada tahap ini guru mulai menarik perhatian dan melakukan
pendekatan dengan anak-anak penyandang autisme.
79
Wawancara dengan Etty Fatimah ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 3 Desember 2018. 80
Wawancara dengan Budi Hermawan ( Guru di Rumah Anak
Mandiri Karim) Depok, 11 Desember 2018.
87
Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, untuk
menarik perhatian anak-anak penyandang autisme guru
mempunyai berbagai cara agar anak penyandang autisme mau
memberikan perhatiannya.
“Untuk menarik perhatian lebih dibantu pegang langsung,
face to face aja, gak bisa dari jauh atau gimana, langsung
deketin anaknya kita deketin, terus kita ajak komunikasi,
pertama disuruh ngelihat kita, nanti walaupun kita
ngomong dia tidak melihat tidak apa apa, yang penting
awalnya dia harus melihat kita dulu. Dan hal itu dicoba
terus dan dicoba terus, lama-lama anaknya akan
mengerti.”81
“Kadang kalau dia lagi ga fokus, sedang asik dengan
mainannya, supaya dia perhatian ke kita, kita ambil dulu
mainannya, dia udah mulai ambil mainannya lagi dari kita,
barulah kita mulai ajak bicara, dia mengerti walaupun
tidak bisa bicara, dia mengerti maksud dan tujuan kita.”82
Setelah menarik perhatian anak-anak penyandang Autisme,
guru akan melakukan pendekatan dengan anak-anak penyandang
autisme dengan cara yang hampir mirip dengan menarik
perhatian anak-anak penyandang autisme.
“Sama seperti menarik perhatian anak-anak, mendekati
anak-anak juga langsung face to face ke anaknya, langsung
didekati dan diajak komunikasi. Harus lebih rajin
ngedeketin anak-anaknya, misal kalau sedang istirahat gitu
satu persatu kita deketin, kita ajak ngobrol, ngobrol apa
aja kita tanya tanya kaya gitu aja.”83
81
Wawancara dengan Etty Fatimah ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 3 Desember 2018. 82
Wawancara dengan Muchsin ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 11 Desember 2018. 83
Wawancara dengan Etty Fatimah ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 3 Desember 2018.
88
“Awalnya kita melakukan pendekatannya itu pelan-pelan,
kita dekati dengan cara cara sepeti kita ajak tos, atau
salaman, bisa juga dengan ajak bermain mainan yang dia
suka, kalau dia sudah tersenyum berarti dia sudah siap
untuk menerima kehadiran kita, lebih mudah mendekatkan
diri kemereka”84
Dalam melakukan pendekatan dengan anak-anak
penyandang autisme tidaklah mudah dan instan, guru
memerlukan waktu, kesabaran, konsistensi dan guru harus
menggunakan cara-cara lain (menggunakan hal-hal yang mereka
suka).
“Kalau waktu tergantung anaknya yah, pengalaman saya
sih untuk anak yang autis murni dan agak ringan itu sekitar
5 bulanan, yang kita paham maksudnya dia, dia paham
maksud kita itu sekitar 5 bulanan. Tapi kalau untuk
mengerti dia mau apa, untuk kita sih 3 bulanan, untuk
anaknya masih belum, masih lanjut terus sampe sekarang
prosesnya. Untuk kasus Naura, Azra dan Faiz itu, untuk
Naura pendekatan ke dia itu sebulanan lebih ya karena
anaknya kooperatif, jadi sekitar sebulanan lebih, untuk
Azra itu agak lama ya sekitar 3 bulanan itu juga tarik ulur
kalau Azra, karena Azra kurang mau sama perempuan, dia
lebih suka sama laki-laki, mungkin karena masalah ibunya
jauh makanya dia sama perembuan kurang gitu, jadi 3
bulanan itu masih tarik ulur, mengerti maksud kita tetapi
kita suruh masih kurang mau, karena kita perempuan tapi
kalau sama laki-laki disuruh langsung mau. Kalau untuk
Faiz saya juga sekitar 3 bulanan, sekitar 3 bulanan saya
baru bisa mengerti dia dan dia agak tau maksud saya
seperti apa.”85
84
Wawancara dengan Muchsin ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 11 Desember 2018. 85
Wawancara dengan Etty Fatimah ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 3 Desember 2018.
89
Dalam melakukan pendekatan ini ada beberapa penolakan
yang dilakukan oleh anak-anak penyandang autisme, ketika anak
penyandang autisme menolak pendekatan yang dilakukan,
biasanya mereka akan tantrum, maka dari itu guru harus bersabar
dan konsisten (tetap mengajarkan) asalkan tidak sampai
membahayakan diri.
“Jika ada yang menolak atau tidak mau ketika diajarkan,
kita harus kekeh untuk ngajarin asalkan tidak sampai
membahayakan diri. Kalau sampai membahayakan diri kan
misal Azra itu sampai yang pengen gigit segala macem,
sampe jungkir jungkiran gitu sampai sekarang masih suka
seperti itu, nah itu agak kita stop dulu, nanti kalau dia
sudah berhenti, sudah mulai agak tenang baru diajak
sholat lagi, atau misalnya temen-temennya sholat jamaah
dulu, dianya disuruh duduk dulu, nanti ketika anak-anak
yang lain selesai sholat, anaknya baru kita ajak sholat
sendiri dan biasanya anaknya mau.”86
“Awalnya kita ajak duduk dulu anaknya, kalau masih
menolak juga, kita diamkan dulu anak tersebut, kita ajak
anak yang lain untuk berinteraksi dengan kita, sepeti kita
ajak nyanyi, nanti ketika anak-anak yang lain nyanyi, lama-
lama anak itu (yang menolak) akan mengikuti anak-anak
yang lain.”87
3. Tahapan pertukaran afektif
Tahapan ketiga yaitu tahapan pertukaran afektif maksudnya
pada tahapan ini informan sudah dekat dengan anak-anak, anak-
anak sudah mulai memberikan feedback dengan apa yang
86
Wawancara dengan Etty Fatimah ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 3 Desember 2018. 87
Wawancara dengan Sari ( Guru di Rumah Anak Mandiri Karim)
Depok, 11 Desember 2018
90
diajarkan dan dikomunikasikan. Pesan yang disampaikan juga
sudah lebih banyak menggunakan bahasa nonverbal, contohnya
dengan tersenyum menggantikan “saya mengerti”.
Kesimpulannya adalah proses komunikasi yang intensif
dapat menimbulkan rasa percaya dan rasa nyaman hingga
akhirnya dapat saling terbuka dan hal ini akan terjadi jika kedua
belah pihak sudah mendapat kedekatan pada proses interaksi
sebelumnya.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, pada awal
tahap ini guru mulai mengajarkan dan mengkomunikasikan
tentang apa itu sholat dan bagaimana caranya. Karena anak-anak
penyandang autisme tidak bisa seperti belajar dikelas layaknya
anak-anak pada umumnya, guru harus mengajarkan atau
mempraktekan langsung.
“Kalau untuk sholat harus tetap kita bantu penuh ya di
belakangnya, misal kalau untuk takbir tangannya harus
kita bantu, semuanya sih dari awal dari wudhu semuanya
harus kita bantu, misalkan mereka tuh dikasih tahu
tahapan cuci tangan itu seperti ini, abis itu lupa seperti
apa, jadi kita harus memberi tahu ulang dan ulang terus.
Jadi jangka waktu misal setahun masih harus terus dibantu
di belakangnya terus. Kalau sedang bagus, Faiz itu bisa
langsung mengikuti instruksi “tangannya iz diperut” dia
sudah mulai mengikuti, tapi kalau jelek ya dia ga mau, ga
mengikuti instruksi. Kalau Naura masih dibantu penuh
karena pengenalan sholatnya baru sekarang ya, jadi belum
ada perubahan, karena masih tahap pengenalan sekali
kalau Naura, kalau Azra masih sulit karena masih tahap
pengenalan juga dan masih belum mau mengikuti, kalau
Azra itu untuk kegiatan yang dilakukan itu tergantung
91
mood karena masih pilih-pilih orang itu ya, jadinya belum
bisa banget jadi harus dibantu penuh juga.” 88
“Ketika kita mau sholat kita sampaikan “hari ini kita
sholat ya”, kita juga memberikan contoh ke anak- anak
tersebut “seperti ini gerakannya, ayo ikutin”, diajarin cara
wudhunya, pakai mukenanya, bacaannya, kita yang
mengucapkan (bacaan doanya), kita yang ngajarin, tapi
memang harus selalu kita ingatkan, kita harus berkali-kali
memberitahu, mengajarkan anak itu baru bisa mengerti.”89
Dalam mengajarkan anak-anak penyandang autisme guru
tidak bisa memaksakan mereka agar langsung mau melakukan
apa yang diajarkan. Karena, dalam mengajarkan dan
berkomunikasi dengan anak penyandang autisme harus mengikuti
seuasana hatinya, dibutuhkan kesabaran dan konsistensi dalam
mengajarkan anak-anak penyandang autisme tersebut (sampe
sekarang anak-anak penyandang austisme masih dipegangi ketika
sholat). Diperlukan pembiasaan dari guru dan orang tua dirumah
agar anak-anak penyandang autisme tidak lupa bagaimana sholat
itu.
“Karena anak-anak ini tidak ada materi dikelas, jadi kita
langsung mempraktekkan dan memberi contoh ke anak-
anak, langsung diberi tahu ke anak-anak ketika waktu mau
sholat. yang terpenting pembiasaan. Lebih kepembiasaan
karena mereka setelah makan mereka langsung sholat. jadi
setiap habis makan siang selalu kita ajak sholat seperti
“anak-anak yuk kita wudhu ayo kita sholat dulu” dan harus
terus menerus dan akhirnya jadi pembiasaan untuk anak-
anaknya, karena ga bisa hanya pakai kartu dan gambar-
gambar tentang sholat aja itu sulit, jadi semua karena
88
Wawancara dengan Etty Fatimah ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 3 Desember 2018. 89
Wawancara dengan Sari ( Guru di Rumah Anak Mandiri Karim)
Depok, 11 Desember 2018.
92
pembiasaan. Waktu sholat ashar pun sama, lebih
kepembiasaan, bangun tidur siang itu langsung kaya kita
kasih tau “wudhu dulu, kita sholat” seperti itu sih
pembiasaan.”90
Karena pembiasaan yang dilakukan oleh guru, anak-anak
penyandang autisme sudah mengerti kapan mereka akan
sholat,dan hanya sekedar diajak “ayo sholat” mereka akan
langsung berlari kekamar mandi untuk wudhu ataupun langsung
mengambil sarung atau mukena untuk sholat.
“Mereka suka kasih feedback, tapi tergantung mood
mereka juga, kadang Faiz tuh kalo mau sholat abis makan
“Faiz ayo sholat” dia terus lari ambil sarung, terus minta
tolong pakein, dia cuma bisa masukin sarungnya kebadan,
tapi makein minta tolong kekita, jadi kita omongin terus ke
mereka pas waktu masuk sholat supaya merekanya juga
kaya keinget terus gitu, dan dilakukan pembiasaan seperti
sehabis makan siang itu pasti sholat Zuhur, kalau habis
tidur siang itu sholat Ashar, kalo sholat Magrib itu
makannya setelah sholat, kalo Isya itu kaya lagi santai
nunggu tidur biasanya kita ajak Sholat. Setiap hari
dilakukan pembiasaan seperti itu, supaya ter “maindset”
dimereka gitu”91
4. Tahapan pertukaran stabil
Tahapan pertukaran stabil merupakan tahapan terakhir.
Karena, pada tahap ini informan sudah sangat dekat sekali dengan
anak-anak, dan anak-anak pun sudah langsung melakukan sesuatu
yang informan ajarkan dan perintahkan. Dalam tahap ini peserta
komunikasi dalam tingkat keintiman tinggi, maksudnya
90
Wawancara dengan Etty Fatimah ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 3 Desember 2018. 91
Wawancara dengan Rozak Romadhon ( Guru di Rumah Anak
Mandiri Karim) Depok, 11 Desember 2018.
93
kadangkala salah satu dari mereka mampu untuk menilai dan
menduga perilaku pasangannya dengan cukup akurat.
Pada tahapan ini anak-anak penyandang autisme sudah
mengerti apa yang diajarkan oleh guru, walaupun tetap harus ada
pembiasaan agar yang diajarkan itu tetap mereka ingat.
“Untuk sekarang, komunikasiin ke anaknya kaya biasa aja,
kaya kita kasih tau dan kita ajakin seperti biasa. Karena
sering kita omongin aja kali ya, jadinya setiap habis makan
“habis ini sholat ya” mereka kaya langsung tau gitu,
karena setiap hari seperti itu, jadi sudah kebiasaan.
Mereka Faiz, Naura sama Azra itu ketika diajak
komunikasi verbal juga mereka sudah mengerti, hanya saja
gerakan sholatnya saja yang masih dibantu dengan
nonverbal.”92
“Kalau sekarang sih anaknya sudah pada ngerti ya, pas
udah waktunya sholat kita omongin “Faiz sholat ambil
sarung” dia langsung ambil sarung ditempatnya, nanti dia
pakai gitu. Pokoknya sering-sering kita omongin ke
anaknya aja, kita kasih tau sholat dimana, sebelum sholat
itu wudhu, ambil sarung sama mukena itu dimana, jadi
mereka pas kita kasih tauin sholat ngerti gitu.”93
Untuk sampai tahap ini tentu memerlukan waktu yang tidak
sebentar. Semua tergantung dari kemampuan kognitif anak-anak
penyandang autisme tersebut, kesabaran, konsistensi dan
bagaimana guru mencari cara agar anak-anak penyandang
autisme tersebut mau mengikuti yang di ajarkan oleh mereka.
“Kalau untuk waktu itu tergantung dari kemampuan
kognitif mereka itu seperti apa, kalau Naura itu,
Alhamdulillah walaupun dia belum mengerti sekali
92
Wawancara dengan Etty Fatimah ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 3 Desember 2018. 93
Wawancara dengan Dwi Adi Saputra ( Guru di Rumah Anak
Mandiri Karim) Depok, 3 Desember 2018.
94
tahapannya tapi sekarang dia tau, kalau habis makan,
minum terus langsung wudhu kamar mandi, dia ngerti gitu.
Itu sekitar 2 bulanan gitu. Kalau Azra dari awal dia masuk
sini setahun yang lalu sampai sekarang masih belum, masih
harus kita bantu banget buat mau wudhu gitu. Kalau Faiz
dia juga sudah mengerti, sekitar berapa ya, untuk
pembiasaan sih kayanya sekitar 2 bulanan juga deh, sama
kaya Naura. Faiz itu sekarang karena sudah pembiasaan,
sudah tau langsung lari ke kamar mandi, “ Iz wudhu” kita
teriak kaya gitu dia langsung ke kamar mandi buat
wudhu.”94
“Misal Faiz sama Azra itu butuh waktu lama ya, ketika
mereka ngambek atau marah kita harus bujuk, cari tahu
dulu apa yang mereka suka, kalau kita paksa untuk
menuruti omongan kita yang ada malah tambah marah
ataupun menolak. Kita harus pintar-pintar membaca situasi
, kira-kira mereka moodnya sedang bagus atau tidak,
karena biasanya kalau dari pagi dia sudah tidak mood, itu
akan terbawa sampai seterusnya. Kita juga mengajarkan
dan memberitahu orang tua dirumah tentang pembiasaan-
pembiasaan yang anak-anak lakukan disini, supaya mereka
selalu ingat dan terbiasa, tapi ada orang tua yang kurang
konsisten dalam melakukan pembiasaan-pembiasaan yang
sudah diajarkan sesuai dengan program yang ada, seperti
bangun pagi kemudain membereskan tempat tidur, setelah
makan siang itu sholat zuhur, dan seterusnya”95
Berdasarkan uraian diatas, seluruh informan yang peneliti
temui melakukan tahapan orientasi, maksudnya adalah tahapan
perkenalan. Yaitu awal pertemuan dan berkomunikasi dengan
anak-anak penyandang autisme. Tahapan kedua yaitu tahapan
pertukaran penjajakan afektif maksudnya pada tahapan ini
94
Wawancara dengan Etty Fatimah ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 3 Desember 2018. 95
Wawancara dengan Muchsin (Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 11 Desember 2018.
95
informan mulai melakukan perkenalan lebih dalam lagi dan mulai
melakukan komunikasi lebih intens lagi pada tahap ini anak-anak
mulai merasa nyaman. Tahapan ketiga yaitu tahapan pertukaran
afektif maksudnya pada tahapan ini informan sudah dekat dengan
anak-anak, anak-anak sudah mulai memberikan feedback dengan
apa yang diajarkan dan dikomunikasikan. Tahapan terakhir yaitu
tahapan pertukaran stabil maksudnya pada tahapan ini informan
sudah sangat dekat sekali dengan anak-anak, dan anak-anak pun
sudah langsung melakukan sesuatu yang informan ajarkan dan
perintahkan.
Subjek dalam penelitian ini ada 3 anak penyandang autisme
yaitu Faiz, Azra dan Naura, dan 6 guru yaitu ibu Etty, ibu Sari,
bapak Putra, bapak Rozak, bapak Muksin dan bapak Budi. Untuk
anak penyandang autisme yang perempuan (Naura) diajarkan
oleh bu Etty dan ibu Sari mereka bergantian mengajar Naura.
Sedangkan untuk anak penyandang autisme yang laki-laki (Faiz
dan Azra) diajarkan oleh bapak Putra, Rozak, Muksin dan Budi
secara bergantian pula.
Untuk ibu Etty mengajarkan dan berkomunikasi dengan
Naura ibu Etty memerlukan waktu sebulan untuk melakukan
pendekatan kepada Naura, termasuk waktu yang cepat karena
Naura anaknya kooperatif dan sudah mengerti ketika diajak
komunikasi, ibu Etty juga menggunakan 4 tahapan penetrasi
sosial tersebut ke Naura untuk mengajarkan Naura sholat wajib.
Untuk ibu Sari, pendekatan yang dia gunakan selalu
menggunakan mainan yang Naura sukai dan sering diajak
96
ngobrol. ibu Sari juga menggunakan 4 tahapan penetrasi sosial
tersebut ke Naura untuk mengajarkan Naura sholat wajib.
Untuk pak Putra, pendekatan yang dilakukan dengan Azra
butuh waktu setahun, kalau ke Faiz masih proses terus sampai
saat ini. Menurut pak Putra, Azra itu pilih-pilih guru untuk
diajarkan sholat, sedangkan Faiz sama semua guru mau. Untuk
pak Putra dalam tahapan penetrasi sosial ini tahap 1 dan 2
dilakukan bersamaan, baru ke tahapan-tahapan selanjutnya.
Untuk pak Rozak, pada perkenalan awal dengan Azra
merasakan kesulitan karena menurutnya Azra masih takut sama
orang lain, jadi dia mencari cara agar Azra tidak takut, sedangkan
Faiz berkenalan seperti pada umumnya. Untuk pendekatan Faiz
bisa langsung akrab, sedangkan Azra butuh waktu lebih dari satu
bulan. Pak Rozak menggunakan 4 tahapan penetrasi sosial
tersebut untuk mengajarkan Azra dan Faiz sholat wajib.
Untuk pak Muksin pendekatan yang dia lakukan dengan
Azra dan Faiz yaitu dengan diajak tos, salaman, dan diajak
mainan dulu. Untuk tahapan penetrasi, pak Muksin tahapan 1 dan
2 dilakukan bersamaan, baru setelah itu ke tahapan-tahapan
selanjutnya.
Dan terakhir pak Budi,untuk pak Budi melakukan
pendekatan lebih menggunakan bahasa tubuh dan lebih ekspresif
walaupun begitu, mereka tetap diajak berbicara juga. Menurut
pak Budi, untuk dekat dengan Faiz dan Azra caranya mudah,
yang penting kita sering bareng-bareng dengan Azra dan Faiz
agar cepat akrab, cepat dekat dan cepat nyaman. Untuk pak Budi
97
tahapan 1, 2 dan 3 tidak memerlukan waktu lama bisa dalam satu
wakti, baru ke tahapan 4.
C. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat.
Dalam mengajarkan anak penyandang Autisme sholat
wajib, tentu ada faktor pendukung dan penghambat yang
mempengaruhi komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh
guru di Rumah Anak Mandiri Karim, Depok. Berdasarkan hasil
wawancara peneliti dengan informan, faktor pendukung dan
penghambatnya adalah :
1) Faktor Pendukung
Ada empat faktor yang dikategorikan sebagai faktor
pendukung komunikasi, yaitu penguasaan bahasa, sarana
komunikasi, kemampuan berfikir, dan lingkungan yang
baik.96
Dari keempat faktor tersebut yang mempengaruhi
komunikasi interpersonal guru dan anak penyandang
autisme di Rumah Anak Mandiri Karim adalah,
a) Kemampuan Berpikir
Hal yang menentukan apakah komunikasi berjalan
dengan efektif atau tidak ialah kemampuan berpikir
komunikator dan komunikan. Jika kemampuan
berpikirnya lebih tinggi komunikator maka akan
diperlukan usaha lebih agar membuat komunikan
mengerti. Maka sangat diperlukan kemampuan berpikir
96
Elizabeth Tierney, 101 Cara Berkomunikasi Lebih Baik,(Jakarta:
Elex Media Koputindo, 2003), h. 12
98
yang baik untuk komunikator dan juga komunikan agar
proses komunikasi dapat berjalan efektif.
Guru harus bisa mengimbangi atau menyamakan
kemampuan berpikir dengan anak penyandang agar
proses komunikasi berjalan dengan baik.
Adapun cara-cara yang dilakukan oleh guru di
Rumah Anak Mandiri Karim adalah dengan mencari
tau kesukaan anak tersebut dan bisa membaca situasi
apakah mood anak penyandang autisme sedang baik
atau tidak.
“Kita juga harus cari banyak cara juga, misal
cara dikasih tau langsung “yuk sholat” ga efektif
ke anaknya, kita cari cara lain misal “Azra kita
mau outing nih yukk, tapi kita sholat dulu” gitu,
pokoknya kita harus punya banyak ide, ga harus
monoton caranya harus seperti itu, kalau anaknya
pas pakai cara pertama ga kena ke anaknya pakai
cara yang lain, kalau ga kena juga ujungnya
paling kita ajak ke kamar tenang dulu baru habis
itu kita ajak komunikasi lagi karena biasanya
kalau ga kena diajak komunikasi anaknya itu lagi
badmood atau ngambek atau capek tapi mereka ga
bisa mengomunikasikannya.”97
“ketika mereka ngambek atau marah kita harus
bujuk, cari tahu dulu apa yang mereka suka, kalau
kita paksa untuk menuruti omongan kita yang ada
malah tambah marah ataupun menolak. Kita
harus pintar-pintar membaca situasi , kira-kira
mereka moodnya sedang bagus atau tidak, karena
97
Wawancara dengan Etty Fatimah ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 3 Desember 2018
99
biasanya kalau dari pagi dia sudah tidak mood, itu
akan terbawa sampai seterusnya”98
b) Lingkungan yang Baik
Lingkungan yang baik juga menjadi faktor
pendukung dalam berkomunikasi. Komunikasi yang
dilakukan disituasi yang tenang lebih bisa dipahami
dengan baik dibandingkan dengan komunikasi yang
dilakukan di tempat yang bising atau berisik.
Berdasarkan hasil observasi peneliti ke Rumah
Anak Mandiri Karim Depok, faktor lingkungan yang
kondusif menjadi salah satu faktor pendukung
berhasilnya komunikasi antara Guru dan Anak
Penyandang Autisme disana. Lokasi Rumah Anak
Mandiri Karim yang berada di dalam perumahan yang
jauh dari jalan utama, sehingga terhindar dari
kebisingan di luar lingkungan sekolah.
2) Faktor Penghambat Komunikasi
Faktor penghambat komunikasi interpersonal antara
guru dan anak penyandang autisme di Rumah Anak
Mandiri Karim Depok adalah
a) Faktor Kemampuan Komunikasi dan Gangguan
Emosi Anak Penyandang Autisme
98
Wawancara dengan Muchsin ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 11 Desember 2018.
100
Salah satu kesulitan yang dimiliki oleh anak
penyandang autisme adalah dalam hal komunikasi,
oleh karena itu perkembangan komunikasi pada anak
penyandang autisme sangat berbeda, mereka kesulitan
untuk mengkomunikasikan keinginannya baik secara
verbal (lisan/tulisan) maupun non verbal (isyarat/gerak
tubuh). Sebagian besar dari mereka dapat berbicara,
menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata
sederhana namun kosa katanya terbatas dan bicaranya
sulit dipahami. Mereka yang dapat berbicara senang
meniru ucapan dan membeo (echolalia).
Anak-anak yang menjadi bahan penelitian di
Rumah Anak Mandiri Karim sudah bisa mengerti apa
yang disampaikan guru ketika berkomunikasi dengan
mereka, hanya saja mereka sulit untuk menyampaikan
kembali apa yang ingin mereka sampaikan, sehingga
mereka menggunakan bahasa non-verbal untuk
menyampaikan apa yang mereka mau.
Selain kesulitan dalam berkomunikasi, anak
penyandang autisme juga memiliki gangguan emosi,
mereka mau melakukan sesuatu sesuai suasana hati
mereka, ketika suasana hati mereka sedang tidak baik,
mereka cenderung susah diajak komunikasi, tidak mau
mengikuti yang diajarkan guru dan berujung dengan
tantrum.
”Kalau untuk langsung contoh ke anaknya, Naura
itu anaknya itu sebenernya dua arahnya udah ada,
101
tapi anaknya males komunikasi aja, kalo faiz juga
udah lumayan sih, dia mengerti, dipanggilpun tau,
diajak komunikasinya lumayan mudah tapi untuk
pengungkapannya dia yang sulit, dia lebih sering
bilang “gagaga” untuk komunikasinya, contohnya
setelah sholat dia mau lepas sarung, dia lebih
bilang “gagaga”. Untuk anak-anak yang sedang
sulit diajak komunikasi biasanya saya akan tanya
“mau apa?” terus kita lepaslah dia maunya
seperti apa gitu kan, ya kadang misalnya kaya
Azra, dia nunjukin sih dia mau “ini” dia nunjukin
dia maunya apa gitu, kalau seandainya yang
bener-bener ga bisa verbal alias nonverbal banget
biasanya kita bantu, kita tanya “mau pipis apa
engga? atau mau minum? Atau mau apa?” itu
biasanya kita langsung tanya ke anaknya,
langsung ke kata kerjanya “mau minum?mau
pipis?” gitu, kaya bener2 dianya ga ngomonng
sama sekali.”99
“Komunikasi ya, disini banyak anak yang kita ajak
ngomong dia ngerti sama apa yang kita omongin
tapi dia mau ngungkapin, bales yang kita omongin
yang susah, karena mereka lebih banyak ke
nonverbal ya. Kalo Faiz sama Azra kita suruh dia
ngerti, kita omongin kaya “ayo Faiz kita rukuk”
kita omongin sambil kita arahin, kalo mandiri
mereka belom bisa, masih pake bantuanlah”100
b) Faktor Tidak Konsisten Orang Tua Di Rumah
Ketika di Rumah Anak Mandiri Karim Depok,
segala sesuatu yang dilakukan anak penyandang
autisme diatur dan dilakukan secara teratur. Mulai dari
makanan yang mereka makan harus 4 sehat 5 sempurna
99
Wawancara dengan Etty Fatimah ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 3 Desember 2018. 100
Wawancara dengan Rozak Romadhon ( Guru di Rumah Anak
Mandiri Karim) Depok, 11 Desember 2018.
102
dan hanya makan-makanan yang sehat, waktu mereka
sholat, main, belajar dan tidur selalu konsisten dan
menjadi pembiasaan agar anak-anak tetap mengingat
yang telah diajarkan guru di Rumah Anak Mandiri
Karim Depok.
Ketika mereka pulang ke rumah seringkali
pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan guru tidak
dilakukan orang tua ketika mereka di rumah, dan
“kecolongan” memberikan makanan yang kurang
sehat, sehingga ketika kembali ke sekolah mereka lupa
dengan yang sudah diajarkan.
“Hambatannya mungkin setelah pulang dari
rumah ya, karena menu makanannya bebas karena
makanan mereka harus dijaga tidak boleh
sembarangan,orang tua kurang konsisten dalam
melakukan pembiasaan-pembiasaan yang biasa
dilakukan disini ketika dirumah, jadi kita
kendalanya yang tadinya sudah kita arahkan
pelan-pelan, instruksinya pelan-pelan, jadi kita
agak tegas sedikit, ketika kita ajak misal “ayo
sholat” terus anaknya tidak merespon atau yang
gimana gimana, berarti dirumah “kebocoran”
atau ada yang salah, contohnya seperti dari
makanannya.”101
101
Wawancara dengan Muchsin ( Guru di Rumah Anak Mandiri
Karim) Depok, 11 Desember 2018.
103
BAB V
PEMBAHASAN
A. Proses Komunikasi Interpersonal berdasarkan
Tahapan Penetrasi Sosial antara Guru dengan Anak
Penyandang Autisme dalam Mengajarkan Sholat Wajib
di Rumah Anak Mandiri Karim Depok
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang
berlangsung antara dua orang atau lebih dimana terjadi kontak
langsung dalam bentuk percakapan102
. Komunikasi interpersonal
juga dilakukan guru di Rumah Anak Mandiri Karim Depok
dalam mengajarkan anak-anak penyandang autisme mengenai
sholat wajib.
Komunikasi interpersonal yang dilakukan guru dengan
anak penyandang autisme dalam mengajarkan sholat wajib sudah
terjalin cukup baik di Rumah Anak Mandiri Karim Depok. Para
guru sudah melakukan komunikasi dengan anak penyandang
autisme dari awal anak itu masuk ke Rumah Anak Mandiri Karim
Depok.
Salah satu kesulitan yang dimiliki oleh anak penyandang
autisme adalah dalam hal komunikasi dan bahasa, oleh karena itu
perkembangan komunikasi pada anak penyandang autisme sangat
berbeda dari kebanyakan anak-anak seusianya, padahal bahasa
merupakan media utama untuk berkomunikasi. Keterlambatan
102
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta:Grasindo, 2004),
h.32
104
komunikasi dan bahasa merupakan ciri yang menonjol dan selalu
dimiliki oleh anak penyandang autis.103
Bentuk komunikasi yang digunakan guru-guru di
Rumah Anak Mandiri Karim Depok untuk berkomunikasi dan
mengajar anak-anak penyandang autisme berupa komunikasi
verbal dan komunikasi non-verbal. Komunikasi verbal adalah
komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun
tertulis. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan,
emosi, pemikiran, gagasan atau maksud mereka.104
Untuk
komunikasi verbal guru di Rumah Anak Mandiri Karim langsung
mengungkapkan dengan kata-kata kepada anak-anak penyandang
autisme, berbicara yang terus diulang-ulang dan dengan perlahan.
Sedangkan komunikasi nonverbal adalah komunikasi
yang pesannya dikemas dalam bahasa tubuh, tangan, dan
tindakan/perbuatan.105
Untuk komunikasi nonverbal guru di
Rumah Anak Mandiri Karim, mereka mencontohkan langsung
menggunakan gerakan tubuh, ekspresi wajah dan menggerakkan
langsung anggota tubuh anak-anak penyandang autis tersebut.
Komunikasi interpersonal yang dilakukan guru dengan
anak penyandang autisme dalam mengajarkan sholat wajib
dilakukan agar anak-anak penyadang autisme dapat mengetahui
103
Joko Yuwono, Memahami Anak Autistik: Kajian Teoritik dan
Empirik, (Bandung: Alfabeta, 2009), h.21 104
Agus M.Hardjana, Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal,
(Yogyakarta:Kanisius, 2003), h.22 105
Agus M.Hardjana, Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal,
(Yogyakarta:Kanisius, 2003), h.26
105
apa itu sholat, bagaimana cara sholat dan kapan waktu-waktu
untuk sholat.
Komunikasi yang dilakukan antara guru dan anak
penyandang autisme dilakukan setiap hari dan setiap saat. Para
guru melakukan komunikasi dengan anak penyandang autisme
agar mengetahui apa saja yang anak tersebut suka dan tidak suka,
dan juga untuk mendekatkan diri agar terjalin hubungan yang
baik antara guru dan anak penyandang autisme.
Hubungan antara guru dan anak penyandang autisme
dalam mengajarkan sholat wajib di Rumah Anak Mandiri Karim
Depok dapat dianalisis menggunakan teori penetrasi sosial. Teori
penetrasi sosial merupakan teori yang pada prosesnya berusaha
mengidentifikasi peningkatan dekekatan dan keintiman seseorang
dalam menjalin hubungan dengan orang lain.106
Altman dan Taylor mengusulkan model ini sebagai suatu
proses bagaimana orang saling mengenal satu sama lain. Model
ini melibatkan Self-disclosure (pengungkapan diri) tetapi dalam
perspektif waktu, yaitu ketika berlangsungnya pengembangan
suatu hubungan.107
Maksudnya, teori ini mengupas tentang
bagaimana seseorang ,emimgkatkan kualitas hubungannya,
bermula dari rasa sungkan untuk berbicara hingga akhirnya
mencapai tahap terbuka satu sama lain.
106
Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, (Jakarta:
Kencana Prenada Group, 2013), h.296 107
Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti,
Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo, Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-dasar
Komunikasi. H.265
106
Berdasarkan hal tersebut peneliti melakukan penelitian
mengenai pengembangan hubungan yang terjadi antara guru dan
anak penyandang autisme di Rumah Anak Mandiri Karim Depok
pada awal masuk sekolah hingga sekarang. Pada pengembangan
hubungan yang terjadi antara guru dan anak penyandang autisme
peneliti menggunakan tahapan-tahapan yang ada dalam teori
penetrasi sosial yaitu:
1. Tahapan Orientasi
Tahap orientasi merupakan tahap paling awal dari
interaksi, hanya sedikit proses perkenalan secara terbuka
pada tahap ini baik komunikator maupun komunikan masih
sangat berhati-hati untuk menyampaikan sesuatu sehingga
yang dibicarakan hanya hal yang bersifat umum saja.108
Dapat disimpulkan masa orientasi dapat disebut masa
pengenalan.
Pada tahap awal ini, anak-anak penyandang autisme
baru mulai beradaptasi dengan guru di Rumah Anak
Mandiri Karim Depok, pada tahap ini guru
memperkenalkan diri mereka ke anak-anak penyandang
autisme seperti mengenalkan diri mereka kepada orang
pada umumnya, seperti memperkenalkan nama, bertanya
nama mereka siapa, dan pertanyaan-pertanyaan umum
lainnya. Hanya saja, dalam melakukan tahapan orientasi ini
guru juga harus menggunakan bahasa nonverbal, lebih
108
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan
Aplikasi, h.205
107
ekspresif dan mengulang beberapa pertanyaan yang mereka
tanyakan.
Dalam tahap orientasi ini memahami sifat dan karakter
anak penyandang autisme juga merupakan bagian dari
proses tahap orientasi. Guru juga harus mencari tahu
mengenai anak penyandang autisme yang akan di ajak
kenalan itu seperti apa, mulai dari kesukaannya, hal yang
mengganggunya, yang bisa menarik perhatiannya dan
bagaimana kebiasaannya. Walaupun anak penyandang
autisme tidak merespon, tetapi guru harus bersabar dan
konsisten dengan yang mereka lakukan.
2. Pertukaran pejajakan afektif
Tahapan ini merupakan area dimana aspek-aspek
pribadi mulai muncul. Terdapat sedikit spontanitas dalam
komunikasi karena individu-individu sudah sama-sama
mulai merasa nyaman, dan mereka sudah tidak terlalu hati-
hati jika apa yang disampaikan salah sehingga akhirnya
akan menimbulkan penyesalan, interaksi akan terjadi lebih
santai.109
Pada tahap ini guru mulai lebih menarik perhatian dan
melakukan pendekatan dengan anak-anak penyandang
autisme. Untuk menarik perhatian anak-anak penyandang
autisme guru mempunyai berbagai cara agar anak
penyandang autisme mau memberikan perhatiannya, seperti
109
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan
Aplikasi, h.205
108
menggunakan mainan yang dia suka, diajak bernyanyi,
diajak melakukan hal-hal yang mereka suka atau bisa juga
dengan memegang badan anak penyandang autisme dan
diajak face to face.
Setelah menarik perhatian anak-anak penyandang
Autisme, guru akan melakukan pendekatan dengan anak-
anak penyandang autisme dengan cara yang hampir mirip
dengan menarik perhatian anak-anak penyandang autisme,
bisa dengan cara mencari info mengenai hal yang tidak
mereka suka dan hal yang mereka suka terlebih dahulu, lalu
menggunakan mainan atau hal-hal yang mereka suka itu
untuk melakukan pendekatan, bisa juga dengan diajak face
to face secara langsung baru kemudian diajak komunikasi
bisa ketika jam belajar ataupun ketika anak-anak sedang
istirahat.
Dalam melakukan pendekatan dengan anak-anak
penyandang autisme tidaklah mudah dan instan, guru
memerlukan waktu, kesabaran, konsistensi dan guru harus
menggunakan cara-cara lain (menggunakan hal-hal yang
mereka suka).
Dalam melakukan pendekatan ini ada beberapa
penolakan yang dilakukan oleh anak-anak penyandang
autisme, ketika anak penyandang autisme menolak
pendekatan yang dilakukan, biasanya mereka akan tantrum,
maka dari itu guru harus bersabar dan konsisten (tetap
mengajarkan) asalkan tidak sampai membahayakan diri.
109
3. Pertukaran afektif
Tahap ini merupakan tahap interaksi tanpa beban dan
santai, dimana komunikasi sering kali berjalan spontan hal
ini karena komunikator dan komunikan sudah saling
nyaman satu sama lain. Pesan yang disampaikan juga sudah
lebih banyak menggunakan nonverbal. Contohnya, dengan
tersenyum menggantikan “saya mengerti”. Kesimpulannya
adalah proses komunikasi yang intensif dapat menimbulkan
rasa percaya dan rasa nyaman hingga akhirnya dapat saling
terbuka.110
Pada awal tahap ini guru mulai mengajarkan dan
mengkomunikasikan tentang apa itu sholat dan bagaimana
caranya. Karena anak-anak penyandang autisme tidak bisa
belajar dikelas seperti anak pada umumnya, guru
mengajarkan atau mempraktekan langsung bagaimana itu
sholat dan apa saya yang harus dilakukan ketika sholat,
dengan cara mengucapkan secara lantang bagaimana niat
sholat serta baca-bacaan yang dibaca ketika sholat, guru
juga langsung memegangi, mengarahkan dan
menggerakkan badan anak-anak penyandang autis tersebut.
Dalam mengajarkan anak-anak penyandang autisme
kita tidak bisa memaksakan mereka agar langsung mau
melakukan apa yang guru ajarkan (tergantung suasana hati),
dibutuhkan kesabaran dan konsistensi dalam mengajarkan
anak-anak penyandang autisme tersebut (sampe sekarang
110
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan
Aplikasi, h.205
110
anak-anak penyandang austisme masih dipegangi ketika
sholat). Diperlukan pembiasaan dari guru dan orang tua
dirumah agar anak-anak penyandang autisme tidak lupa
bagaimana sholat itu.
Karena pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan, ketika
waktu sholat anak-anak sudah mengerti kapan mereka akan
sholat. Seperti setelah selesai makan siang mereka sudah
paham setelah itu mereka harus sholat, atau hanya sekedar
diajak “ayo sholat” mereka akan langsung berlari kekamar
mandi untuk wudhu ataupun langsung mengambil sarung
atau mukena untuk sholat.
4. Pertukaran stabil
Tahapan ini merupakan tahap dimana pengungkapan
pemikiran, perasaan dan perilaku secara terbuka. Dalam
tahap ini peserta komunikasi dalam tingkat keintiman
tinggi; maksudnya kadangkala salah satu dari mereka
mampu untuk menilai dan menduga perilaku pasangannya
dengan cukup akurat.111
Pada tahapan ini anak-anak penyandang autisme sudah
mengerti apa yang diajarkan oleh guru, walaupun tetap
harus ada pembiasaan yang dilakukan guru agar yang
diajarkan itu tetap mereka ingat. Karena pembiasaan-
pembiasaan yang dilakukan, ketika waktu sholat anak-anak
111
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan
Aplikasi, h.205
111
sudah mengerti kapan mereka akan sholat dan bagaimana
caranya.
Untuk sampai tahap yang sekarang tentu memerlukan
waktu yang tidak sebentar, semua tergantung dari
kemampuan kognitif anak-anak penyandang autisme
tersebut, kesabaran, konsistensi dan bagaimana guru dan
guru pendamping mencari cara agar anak-anak penyandang
autisme tersebut mau mengikuti yang di ajarkan oleh
mereka.
B. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat
Dalam mengajarkan anak penyandang Autisme sholat
wajib, tentu ada faktor pendukung dan penghambat yang
mempengaruhi komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh
guru di Rumah Anak Mandiri Karim, Depok.
1. Faktor Pendukung
Ada empat faktor yang dikategorikan sebagai faktor
pendukung komunikasi. Menurut Elizabeth Tierney yang
menjadi faktor pendukung komunikasi adalah penguasaan
bahasa, sarana komunikasi, kemampuan berfikir, dan
lingkungan yang baik.112
Dari keempat faktor tersebut yang
mempengaruhi komunikasi interpersonal guru dan anak
penyandang autisme di Rumah Anak Mandiri Karim
adalah:
112
Elizabeth Tierney, 101 Cara Berkomunikasi Lebih Baik,(Jakarta:
Elex Media Koputindo, 2003), h. 12
112
a. Kemampuan Berpikir
Hal yang menentukan apakah komunikasi berjalan
dengan efektif atau tidak ialah kemampuan berpikir
komunikator dan komunikan. Jika kemampuan
berpikirnya lebih tinggi komunikator maka akan
diperlukan usaha lebih agar membuat komunikan
mengerti. Maka sangat diperlukan kemampuan berpikir
yang baik untuk komunikator dan juga komunikan agar
proses komunikasi dapat berjalan efektif.113
Dalam kasus guru dan anak penyandang autisme
tentu guru harus dapat mengimbangi atau menyamakan
kemampuan berpikir dengan anak-anak penyandang
autisme agar proses komunikasi berjalan dengan baik.
Ketika berkomunikasi dengan anak penyandang
autisme, guru harus memiliki banyak cara ataupun ide-
ide yang akan digunakan untuk berkomunikasi dengan
anak-anak penyandang autisme. Guru mencari tau
kesukaan anak tersebut dan harus bisa membaca situasi
apakah mood anak penyandang autisme sedang baik
atau tidak.
b. Lingkungan yang Baik
Lingkungan yang baik juga menjadi faktor
pendukung dalam berkomunikasi. Komunikasi yang
dilakukan disituasi yang tenang lebih bisa dipahami
113
Elizabeth Tierney, 101 Cara Berkomunikasi Lebih Baik,(Jakarta:
Elex Media Koputindo, 2003), h. 12
113
dengan baik dibandingkan dengan komunikasi yang
dilakukan ditempat bising atau berisik.114
Faktor lingkungan yang kondusif di Rumah Anak
Mandiri Karim menjadi salah satu faktor pendukung
berhasilnya komunikasi antara Guru dan Anak
Penyandang Autisme disana. Lokasi Rumah Anak
Mandiri Karim yang berada di dalam perumahan yang
jauh dari jalan utama, sehingga terhindar dari
kebisingan di luar lingkungan sekolah. Karena
komunikasi yang dilakukan disituasi yang tenang lebih
bisa dipahami dengan baik dibandingkan dengan
komunikasi yang dilakukan di tempat yang bising atau
berisik.
2. Faktor Penghambat
Faktor penghambat komunikasi interpersonal antara
guru dan anak penyandang autisme di Rumah Anak
Mandiri Karim Depok adalah
a. Faktor Kemampuan Komunikasi dan Gangguan
Emosi Anak Penyandang Autisme
Salah satu kesulitan yang dimiliki oleh anak
penyandang autisme adalah dalam hal komunikasi,
mereka kesulitan untuk mengkomunikasikan
keinginannya baik secara verbal (lisan/tulisan) maupun
non verbal (isyarat/gerak tubuh). Sebagian besar dari
114
Elizabeth Tierney, 101 Cara Berkomunikasi Lebih Baik, (Jakarta:
Elex Media Koputindo, 2003), h. 12
114
mereka dapat berbicara, menggunakan kalimat pendek
dengan kosa kata sederhana namun kosa katanya
terbatas dan bicaranya sulit dipahami. Mereka yang
dapat berbicara senang meniru ucapan dan membeo
(echolalia).115
Anak-anak yang menjadi bahan penelitian di
Rumah Anak Mandiri Karim sudah bisa mengerti apa
yang disampaikan guru dan guru pendamping ketika
berkomunikasi dengan mereka, hanya saja mereka sulit
untuk menyampaikan kembali apa yang ingin mereka
sampaikan, sehingga mereka menggunakan bahasa
non-verbal untuk menyampaikan apa yang mereka
mau.
Selain kesulitan dalam berkomunikasi, anak
penyandang autisme juga memiliki gangguan emosi,
mereka mau melakukan sesuatu sesuai suasana hati
mereka, ketika suasana hati mereka sedang tidak baik,
mereka cenderung susah diajak komunikasi, tidak mau
mengikuti yang diajarkan guru dan berujung dengan
tantrum.
b. Faktor Tidak Konsisten Orang Tua Di Rumah
Ketika di Rumah Anak Mandiri Karim Depok,
segala sesuatu yang dilakukan anak penyandang
autisme diatur dan dilakukan secara teratur. Mulai dari
makanan yang mereka makan harus 4 sehat 5 sempurna
115
Joko Yuwono, Memahami Anak Autistik : Kajian Teoritik dan
Empirik,(Bandung:Alfabeta,2009), h.29
115
dan hanya makan-makanan yang sehat, waktu mereka
sholat, main, belajar dan tidur selalu konsisten dan
menjadi pembiasaan agar anak-anak tetap mengingat
yang telah diajarkan guru di Rumah Anak Mandiri
Karim Depok.
Ketika mereka pulang ke rumah seringkali
pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan guru tidak
dilakukan orang tua ketika mereka di rumah, dan
“kecolongan” memberikan makanan yang kurang
sehat, sehingga ketika kembali ke sekolah mereka lupa
dengan yang sudah diajarkan.
116
BAB VI
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
1. Proses Komunikasi Interpersonal berdasarkan Tahapan
Penetrasi Sosial antara Guru dengan Anak Penyandang
Autisme dalam Mengajarkan Sholat Wajib di Rumah
Anak Mandiri Karim Depok
Berdasarkan teori Altman dan Taylor proses
komunikasi interpersonal berdasarkan tahapan penetrasi
sosial sebagai berikut :
a. Tahap Orientasi
Pada tahap ini guru di Rumah Anak Mandiri
Karim Depok memperkenalkan diri mereka ke anak-
anak penyandang autisme seperti mengenalkan diri
mereka kepada orang pada umumnya. Hanya saja,
guru juga menggunakan bahasa nonverbal dan lebih
ekspresif.
b. Tahap Pejajakan Afektif
Pada tahap ini guru mulai menarik perhatian dan
melakukan pendekatan dengan anak-anak
penyandang autisme. Guru harus mempunyai
berbagai cara agar anak penyandang autisme mau
memberikan perhatiannya, guru juga harus
mengetahui apa yang anak-anak suka dan tidak suka.
117
c. Tahap Pertukaran Afektif
Awal tahap ini guru mulai mengajarkan dan
mengkomunikasikan tentang apa itu sholat dan
bagaimana caranya. Guru mempraktekan langsung
bagaimana itu sholat dan apa saja yang harus
dilakukan ketika sholat, guru langsung memegangi,
mengarahkan dan menggerakkan badan anak-anak
penyandang autis tersebut. Diperlukan pembiasaan
dari guru dan orang tua dirumah agar anak-anak
penyandang autisme tidak lupa cara sholat dan kapan
saja waktu sholat.
d. Tahap Pertukaran Stabil
Pada tahapan ini anak-anak penyandang autisme
sudah mengerti apa yang diajarkan dan diperintahkan
oleh guru, walaupun tetap harus ada pembiasaan yang
dilakukan agar yang diajarkan itu tetap mereka ingat.
Untuk sampai tahap ini tentu memerlukan waktu yang
tidak sebentar, semua tergantung dari suasana hati
anak-anak penyandang autisme tersebut, kesabaran,
konsistensi dan bagaimana guru mencari cara agar
anak-anak penyandang autisme tersebut mau
mengikuti yang di ajarkan oleh mereka.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Komunikasi
Interpersonal antara Guru dan Anak Penyandang Autisme
118
dalam Mengajarkan Sholat Wajib di Rumah Anak
Mandiri Karim Depok
a. Faktor Pendukung
1) Kemampuan berfikir
Guru harus dapat mengimbangi atau menyamakan
kemampuan berpikir dengan anak-anak penyandang
autisme. Ketika berkomunikasi dengan anak penyandang
autisme, guru harus memiliki banyak cara ataupun ide-
ide yang akan digunakan untuk berkomunikasi
contohnya dengan mencari tau kesukaan anak tersebut
dan bisa membaca situasi apakah mood anak
penyandang autisme sedang baik atau tidak.
2) Lingkungan yang baik
Lokasi Rumah Anak Mandiri Karim yang berada di
dalam perumahan yang jauh dari jalan utama, sehingga
bisa terhindar dari kebisingan di luar lingkungan
sekolah.
b. Faktor Penghambat
1) Faktor Kemampuan Komunikasi dan Gangguan
Emosi Anak Penyandang Autisme.
Anak-anak yang menjadi bahan penelitian sudah
bisa mengerti apa yang disampaikan guru ketika
berkomunikasi dengan mereka, hanya saja mereka sulit
untuk menyampaikan kembali apa yang ingin mereka
sampaikan.
119
Selain kesulitan dalam berkomunikasi, anak
penyandang autisme juga memiliki gangguan emosi,
mereka mau melakukan sesuatu sesuai suasana hati
mereka, ketika suasana hati mereka sedang tidak baik,
mereka cenderung susah diajak komunikasi, tidak mau
mengikuti yang diajarkan guru dan berujung dengan
tantrum.
2) Faktor Tidak Konsisten Orang Tua Di Rumah
Ketika mereka pulang ke rumah seringkali
pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan guru tidak
dilakukan orang tua ketika mereka di rumah, dan
“kecolongan” memberikan makanan yang kurang sehat,
sehingga ketika kembali ke sekolah mereka lupa dengan
yang sudah diajarkan.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemu-kakan
implikasi secara teoritis dan praktis sebagai berikut:
1. Implikasi Teoritis
Peneliti membenarkan komunikasi interpersonal yang
dilakukan guru terhadap anak penyandang autisme dalam
mengajarkan sholat wajib di Rumah Anak Mandiri Karim.
Adapun teori penetrasi sosial sebagai acuan melihat
perkembangan hubungan guru dengan anak penyandang
autisme dalam mengajarkan sholat wajib. Penelitian ini
dapat menjadi acuan bagi para pembaca untuk mempelajari
120
komunikasi interpersonal. Penelitian ini juga dapat menjadi
panduan bagi sekolah, guru dan orang tua untuk
menerapkan komunikasi interpersonal yang baik dalam
berkomunikasi dan mengajarkan anak penyandang autisme.
2. Implikasi Praktis
Hasil penelitian ini digunakan sebagai masukan bagi
sekolah, guru dan orang tua. Menambah pengetahuan
bagaimana cara berkomunikasi dan mengembangkan
hubungan yang baik dengan anak penyandang autisme.
C. Saran
Setelah melakukan penelitian mengenai Komunikasi
Interpersonal Antara Guru Dan Anak Penyandang Autisme
Dalam Mengajarkan Sholat Wajib di Rumah Anak Mandiri
Karim Depok, maka peneliti memiliki beberapa saran antara lain:
1. Saran Akademis
Penelitian ini kiranya dapat memberikan saran untuk
pengembangan ilmu komunikasi khususnya mengenai
komunikasi interpersonal antara guru dan anak penyandang
autisme. Harapan peneliti adalah dengan diketahui
komunikasi seperti apa yang dilakukan guru terhadap anak
penyandang autisme dalam mengajarkan sholat wajib, dapat
membantu orang tua yang memiliki anak penyandang
autisme bagaimana cara berkomunikasi dan mengajarkan
anak mereka melakukan sholat wajib. Pada akhirnya, semoga
penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian sejenis
dan dapat diteliti lebih lanjut.
121
2. Saran Praktis
a. Kepada Guru di Rumah Anak Mandiri Karim Depok.
Kepada guru di Rumah Anak Mandiri Karim Depok
diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan
dalam berkomunikasi dan mengajarkan anak
penyandang autisme sholat wajib, setra menambahkan
media pembelajaran seperti video dalam mengajarkan
anak-anak penyandang autisme.
b. Kepada Wali Murid
Agar sholat wajib dan pembiasaan-pembiasaan yang
telah dilakukan disekolah tetap diingat oleh anak ketika
kembali lagi dari rumah ke sekolah, diharapkan wali
murid agar ikut membantu guru dengan konsisten
menerapkan pembiasaan-pembiasaan yang telah
diajarkan ketika anak-anak pulang kerumah.
122
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian: Satu Pendekatan
Praktik, Cet. ke-2. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
AW, S. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Budyatna, M., & Ganiem, L. M. (2011). Teori Komunikasi
Antarpribadi. Jakarta: Prenada Media Group.
Dr. Silfia Hanani, M. (2017). Komunikasi Antarpribadi Teori &
Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Effendy, O. U. (2003). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
----------.(2008). Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
----------.(2011). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
El-Fati, U. S. (2017). Panduan Sholat Praktis & Lengkap cet. ke-
10. Jakarta: Wahyu Qolbu.
Gunawan, I. (2013). Metode Penelitian Kualitatif Teori dan
Praktik. Jakarta: Bumi Aksara.
123
Handojo, Y. (2003). Autisma: Petunjuk Praktis dan Pedoman
Materi Untuk Mengajar Anak Norma, Autis dan Prilaku
Lain. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Hardjana, A. M. (2003). Komunikasi Intrapersonal dan
Interpersonal. Yogyakarta: Kansius.
Hikmat, D. M. (2011). Metode Penelitian Dalam Perspektif Ilmu
Komunikasi dan Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Jahja, Y. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.
Kountur, R. (2003). Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi
dan Tesis. Jakarta: PPM.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). Teori Komunikasi.
Jakarta: Salemba Humanika.
Maulana, A., & Jinaan, U. (2017). Panduan Lengkap Salat Fardu
& Sunah. Jakarta: PT. Grasindo.
Morissan. (2013). Teori Komunikasi Individu Hingga Massa.
Jakarta: Kencana Prenada Group.
Nurudin. (2016). Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Jakarta.
P, Y. (2006). Buku Penuntun, Sholat Yuk! Bandung: Mizan
Media Utama.
Poerwandari, E. K. (2017). Pendekatan Kualitatif untuk
Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 UI.
124
Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, M. S. (2013). Metodologi
Penelitian Sosial dan Ekonomi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Riswandi. (2009). Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Roudhonah. (2007). Ilmu Komunikasi, Cet.1. Jakarta: UIN
Jakarta Press.
S. Djursa Sendjaja, P. (1994). Teori Komunikasi. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Tierney, E. (2003). 101 Cara Berkomunikasi Lebih Baik. Jakarta:
Flex Media Koputindo.
West, R., & Turner, L. H. (2012). Pengantar Teori Komunikasi:
Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Wiryanto. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta:
Grasindo.
Yusuf, S. (2011). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Yuwono, J. (2009). Memahami Anak Autistik: Kajian Teoritik
dan Empirik. Bandung: Alfabeta.
Website
Karim, T. R. (n.d.). Retrieved Agustus 5, 2017, from
ramkarim.webflow.io
125
Jurnal
Wulandari, T. A. (n.d.). Memahami Pengembangan Hubungan
Antarpribadi Melalui Teori Penetrasi Sosial. Majalah
Ilmiah UNIKOM bidang Humaniora, 104-106.
Ritonga, S. A., & Hasibuan, E. J. (2016). Komunikasi
Interpersonal Guru dan Siswa Dalam Mengembangkan
Bakat dan Kreatifitas Anak Autis di SLB Taman
Pendidikan Islam (TPI) Medan. Jurnal Simbolika, Volume
2, 197.
Karya Ilmiah
Nugraha, D. A. (2015). Komunikasi Antarpribadi Perawat
Terhadap Pasien Skizofernia Dalam Proses Peningkatan
Kesadaran Di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. MArzoeki Mahdi
Bogor. Jakarta: Skripsi S1 FIDKOM UIN.
Pernamasari, R. (2014). Proses Komunikasi Antarpribadi
Interpersonal Berdasarkan Teori Penetrasi Sosial (Studi
Deskriptif Kualitatif Proses Komunikasi Interpersonal
Antara Personal Trainer Dengan Pelanggan Di Club
House Casa Grande Fitnes Center). Yogyakarta: Skripsi
S1 FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Wahyudi, E. (2013). Komunikasi Interpersonal Antara Guru dan
Anak Tunarungu Dalam Meningkatkan Kualitas Ibadah
Sholat Di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Lebak Bulus
126
Jakarta Selatan. Jakarta: Skripsi S1 FIDKOM UIN
Jakarta.
Rizkiyah, F. (2015). Komunikasi Antarpribadi Pengajar dan
Santri Tunanetra, Dalam Memotivasi Menghaval Al-
Qur'an Di Yayasan Roudatul Mukfifin Serpong
Tangerang Selatan. Jakarta: Skripsi S1 FIDKOM UIN
Jakarta.
127
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Transkrip Wawancara Penelitian dengan Guru di Rumah
Anak Mandiri Karim Depok
Transkrip 01
Peneliti : Vivi Aulia Rahmawati
Narasumber : Etty Fatimah
Jabatan : Guru di Rumah Anak Mandiri Karim
Hari/Tanggal : Senin, 3 Desember 2018
Waktu Wawancara : 12.33 WIB
Tempat Wawancara : Rumah Anak Mandri Karim Depok
Tipe Wawancara : Wawancara Tatap Muka
1. Sudah berapa lama bapak/ibu mengajarkan anak-anak
penyandang autis?
Di dirumah Anak Karim atau sebelumnya? sebelum mengajar
dirumah Anak Mandiri Karim saya pernah mengajar di Al
Janah selama 4 tahun, terus dimandiri karim sendiri sekitar 7
tahunan mengajar anak-anak autis ini.
Penetrasi Sosial.
Tahap 1
1. Bagaimana bapak/ibu mengenalkan diri saat pertama kali
bertemu dengan anak-anak?
Kalau untuk memperkenalkan diri tetap ya, kita
memperkenalkan diri seperti biasa, nama kita siapa, terus
kalau dia bisa verbal kita tanya balik ke anak namanya dia
siapa, walaupun agak belum jelas, walaupun dia belum
mengerti kita ya ga apa apa sih maksudnya kita liatin dulu
perilakunya dia, kita supervisi dulu lah cara berkomunikasinya
dia seperti apa, terus gimana kalo dia pas tantrumnya pas saat
apa, gitu sih kita cari infonya sendiri kita supervisi anak itu
seperti apa waktu baru kenal, Jadi tidak harus memaksakan
untuk langsung bisa ini bisa itu gak juga, tapi harus lihat dulu
minatnya dia kemana terus seperti apa pembelajarannya,
insyaAllah nanti kita jadi tahu.
Tahap 2
2. Bagaimana cara bapak/ibu menarik perhatian anak-anak agar
mau memperhatikan?
Untuk menarik perhatian lebih dibantu pegang langsung, face
to face aja, gak bisa dari jauh atau gimana, langsung deketin
anaknya kita deketin, terus kita ajak komunikasi, pertama
disuruh ngelihat kita, nanti walaupun kita ngomong dia tidak
melihat tidak apa apa, yang penting awalnya dia harus melihat
kita dulu. Dan hal itu dicoba terus dan dicoba terus, lama-lama
anaknya akan mengerti.
3. Bagaimana cara bapak/ibu melakukan pendekatan ke anak-
anak tersebut?
Samak seperti menarik perhatian anak-anak, mendekati anak-
anak juga langsung face to face ke anaknya, langsung didekati
dan diajak komunikasi. Harus lebih rajin ngedeketin anak-
anaknya, misal kalau sedang istirahat gitu satu persatu kita
deketin, kita ajak ngobrol, ngobrol apa aja kita tanya tanya
kaya gitu aja.
4. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak bisa merasa dekat
dengan bapak/ibu?
Kalau waktu tergantung anaknya yah, pengalaman saya sih
untuk anak yang autis murni dan agak ringan itu sekitar 5
bulanan, yang kita paham maksudnya dia, dia paham maksud
kita itu sekitar 5 bulanan. Tapi kalau untuk mengerti dia mau
apa, untuk kita sih 3 bulanan, untuk anaknya masih belum,
masih lanjut terus sampe sekarang prosesnya. Untuk kasus
Naura, Azra dan Faiz itu, untuk Naura pendekatan ke dia itu
sebulanan lebih ya karena anaknya kooperatif, jadi sekitar
sebulanan lebih, untuk Azra itu agak lama ya sekitar 3
bulanan itu juga tarik ulur kalau Azra, karena Azra kurang
mau sama perempuan, dia lebih suka sama laki-laki, mungkin
karena masalah ibunya jauh makanya dia sama perembuan
kurang gitu, jadi 3 bulanan itu masih tarik ulur, mengerti
maksud kita tetapi kita suruh masih kurang mau, karena kita
perempuan tapi kalau sama laki-laki disuruh langsung mau.
Kalau untuk Faiz saya juga sekitar 3 bulanan, sekitar 3
bulanan saya baru bisa mengerti dia dan dia agak tau maksud
saya seperti apa.
Tahap 3
5. Setelah melakukan pendekatan dan akhirnya memberi materi
tentang sholat apakah anak-anak langsung mengikuti arahan
bapak/ibu?
Kalau untuk sholat harus tetap kita bantu penuh ya di
belakangnya, misal kalau untuk takbir tangannya harus kita
bantu, semuanya sih dari awal dari wudhu semuanya harus kita
bantu, misalkan mereka tuh dikasih tahu tahapan cuci tangan
itu seperti ini, abis itu lupa seperti apa, jadi kita harus memberi
tahu ulang dan ulang terus. Jadi jangka waktu misal setahun
masih harus terus dibantu di belakangnya terus. Kalau sedang
bagus, Faiz itu bisa langsung mengikuti instruksi “tangannya
iz diperut” dia sudah mulai mengikuti, tapi kalau jelek ya dia
ga mau, ga mengikuti instruksi. Kalau Naura masih dibantu
penuh karena pengenalan sholatnya baru sekarang ya, jadi
belum ada perubahan, karena masih tahap pengenalan sekali
kalau Naura, kalau Azra masih sulit karena masih tahap
pengenalan juga dan masih belum mau mengikuti, kalau Azra
itu untuk kegiatan yang dilakukan itu tergantung mood karena
masih pilih-pilih orang itu ya, jadinya belum bisa banget jadi
harus dibantu penuh juga.
6. Bagaimana jika murid menolak dengan pendekatan yang
bapak/ibu lakukan?
Jika ada yang menolak atau tidak mau ketika diajarkan, kita
harus kekeh untuk ngajarin asalkan tidak sampai
membahayakan diri. Kalau sampai membahayakan diri kan
misal Azra itu sampai yang pengen gigit segala macem, sampe
jungkir jungkiran gitu sampai sekarang masih suka seperti itu,
nah itu agak kita stop dulu, nanti kalau dia sudah berhenti,
sudah mulai agak tenang baru diajak sholat lagi, atau misalnya
temen-temennya sholat jamaah dulu, dianya disuruh duduk
dulu, nanti ketika anak-anak yang lain selesai sholat, anaknya
baru kita ajak sholat sendiri dan biasanya anaknya mau.
7. Bagaimana cara bapak/ibu menjelaskan pelajaran tentang
sholat ke anak-anak tersebut?
Karena anak-anak ini tidak ada materi dikelas, jadi kita
langsung mempraktekkan dan memberi contoh ke anak-anak,
langsung diberi tahu ke anak-anak ketika waktu mau sholat.
yang terpenting pembiasaan. Lebih kepembiasaan karena
mereka setelah makan mereka langsung sholat. jadi setiap
habis makan siang selalu kita ajak sholat seperti “anak-anak
yuk kita wudhu ayo kita sholat dulu” dan harus terus menerus
dan akhirnya jadi pembiasaan untuk anak-anaknya, karena ga
bisa hanya pakai kartu dan gambar-gambar tentang sholat aja
itu sulit, jadi semua karena pembiasaan. Waktu sholat ashar
pun sama, lebih kepembiasaan, bangun tidur siang itu
langsung kaya kita kasih tau “wudhu dulu, kita sholat” seperti
itu sih pembiasaan.
Tahap 4
8. Bagaimana bapak/ibu berkomunikasi dengan anak anak saat
praktek sholat?
Untuk ke mereka, mau mereka bisa verbal ataupun tidak, tetap
harus kita ajak ngomong, “yuk wudhu yuk, sholat yuk, ke
kamar mandi yuk” kita ajak, kita bantu mereka, pokoknya
pembiasaan tingkah laku,untuk praktek sholatnya langsung
biasanya akan ada beberapa guru dan pendamping yang
membantu membacakan surat-surat pendek dan doa-doa
gerakan sholat dengan suara lantang agar anak-anak yang
sholat tetap mengikuti rukun sholat, dan jika ada anak yang
tidak mengikutin gerakan sholat, kita langsung membantu
dengan membenarkan posisi badan anak tersebut agar
mengikuti sholat yang sedang berlangsung. Pokoknya
pembiasaan perilaku saja, gimana kita sholat seperti biasa.
9. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak mengerti apa yang
bapak/ibu ajarkan dan akhirnya bisa mempraktekkan apa yang
bapak/ibu ajarkan?
Kalau untuk waktu itu tergantung dari kemampuan kognitif
mereka itu seperti apa, kalau Naura itu, Alhamdulillah
walaupun dia belum mengerti sekali tahapannya tapi sekarang
dia tau, kalau habis makan, minum terus langsung wudhu
kamar mandi, dia ngerti gitu. Itu sekitar 2 bulanan gitu. Kalau
Azra dari awal dia masuk sini setahun yang lalu sampai
sekarang masih belum, masih harus kita bantu banget buat
mau wudhu gitu. Kalau Faiz dia juga sudah mengerti, sekitar
berapa ya, untuk pembiasaan sih kayanya sekitar 2 bulanan
juga deh, sama kaya Naura. Faiz itu sekarang karena sudah
pembiasaan, sudah tau langsung lari ke kamar mandi, “ Iz
wudhu” kita teriak kaya gitu dia langsung ke kamar mandi
buat wudhu.
10. Bagaimana cara berkomunikasi bapak/ibu agar anak-anak mau
memberikan feedback?
Untuk komunikasiin ke anaknya kaya biasa aja, kaya kita
kasih tau dan kita ajakin seperti biasa. Karena sering kita
omongin aja kali ya, jadinya setiap habis makan “habis ini
sholat ya” mereka kaya langsung tau gitu, karena setiap hari
seperti itu, jadi sudah kebiasaan. Mereka Faiz, Naura sama
Azra itu ketika diajak komunikasi verbal juga mereka sudah
mengerti, hanya saja gerakan sholatnya saja yang masih
dibantu dengan nonverbal.
11. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak tersebut mau
memberikan feedback?
Ya kaya tadi, Naura itu sebulan dua bulanan ya, Faiz juga
sama seperti itu, kalau Azra yang masih kurang, masih jadi PR
kita sampai dia mau memberikan feedback, feedbacknya dia
masih kurang.
Faktor pendukung dan hambatan
1. Selama mengajarkan anak-anak tersebut sholat apa saja
hambatan dan faktor pendukung yang dialami?
Kalau hambatan lebih kekasus anaknya sendiri seperti apa,
kalau Azra itu seperti apa ya, dia masih yang agak mager,
kegiatan belum mau yang ikut banget, jadi masih suka nolak
sampai tantrum gitu tapi tetep kita ajarin sedikit-sedikit kan,
walaupun dia tantrum tapi tetap kita paksa, maksudnya kita
tetap harus konsisten juga untuk ngajarin dia, pokoknya harus
diulang-ulang terus dan bisa masuk ke dia pembiasaannya.
Kalau untuk Naura dulu itu hambatannya lebih ke dia ga ada
tenaga, lemes gitu, akhirnya kita bantu yang bener-bener kita
pegangin gitu tapi sekarang dia berdiri sudah lebih kokoh.
Kalau Faiz sih tidak ada hambatannya Alhamdulillah. Kalau
faktor pendukunya itu dari kognitif mereka masih-masing, dari
pemahaman mereka masing-masing sih. Alhamdulillahnya
kalau Naura kan waktu itu dia ga mau makan nasi, mungkin
itu yang membuat dia lemas, sekarang kan dia mau makan
nasinya, jadi sekarang dia sudah lebih kokoh lah gitu, sudah
bisa beridiri tegak. Kalau Faiz itu benar karena kognitifnya
dia, dia sudah paham, jadi kita kasih instruksi sudah langsung
mengerti maksud kita gitu, lebih pribadi ke anak-anaknya.
Untuk faktor pendukungnya tergantung ke kita, bagaimana
kita mengajarkan merekanya.
2. Apakah dalam mengajarkan dan berkomunikasi dengan anak-
anak tersebut bapak/ibu memperlukan suatu media “khusus” ?
jika iya apa saja media itu?
Kalau untuk video belom ya kita belum pernah coba, kalau
untuk gambar kita sudah, jadi mereka sudah melakukan sholat
tapi kita kasih liat “nih ini yah sholat” dan alhamdulillahnya
memang mereka lebih bisa menunjuk gambar sholat,
menunjuk gambar wudhu lebih tau lebih mengerti kan, jadi
untuk media khusus itu ga ada yang lain paling gambar itu aja.
3. Setiap anak mempunyai karakter yang berbeda-beda, menurut
bapak/ibu tipe anak yang bagaimana yang komunikasinya
mudah dan yang bagaimana yang komunikasinya sulit?
Kalau untuk langsung contoh ke anaknya, Naura itu anaknya
itu sebenernya dua arahnya udah ada, tapi anaknya males
komunikasi aja, kalo faiz juga udah lumayan sih, dia mengerti,
dipanggilpun tau diajak komunikasinya lumayan mudah tapi
untuk pengungkapannya dia yang sulit, dia lebih sering bilang
“gagaga” untuk komunikasinya, contohnya setelah sholat dia
mau lepas sarung, dia lebih bilang “gagaga”. Azra untuk
menerima instruksi dari kita dia bisa, tapi masih masih banyak
penolakan penolakan dari dianya, masih belum mengerti
inginnya dia, jadi dia tuh inginnya sepeti menguasai, mencari-
cari masalah supaya tidak mengerjakan yang disuruh. Untuk
anak-anak yang sedang sulit diajak komunikasi biasanya saya
akan tanya “mau apa?” terus kita lepaslah dia maunya seperti
apa gitu kan, ya kadang misalnya kaya Azra, dia nunjukin sih
dia mau “ini” dia nunjukin dia maunya apa gitu, kalau
seandainya yang bener-bener ga bisa verbal alias nonverbal
banget biasanya kita bantu, kita tanya “mau pipis apa engga?
atau mau minum? Atau mau apa?” itu biasanya kita langsung
tanya ke anaknya, langsung ke kata kerjanya “mau
minum?mau pipis?” gitu, kaya bener2 dianya ga ngomonng
sama sekali, kalo pipis kita langsung ajak kekamar mandi dia
mau kalau memang mau pipis, tapi kalau engga dia tambah
nangis juga sebenernya. Jadi kalau sudah tantrum gitu bisanya
kita sendiriin dulu dianya, soalnya kita sudah mentok nih, ga
tau dia maunya apa, kita sendiriin dulu, nanti kalau udah
tenang kita keluarin dari kamar, baru dia bisa nunjukin dia
maunya apa.
4. Apakah Efektif komunikasi interpersonal digunakan
bapak/ibu untuk mengajarkan anak-anak tersebut sholat? Jika
efektif bagaimana contohnya?
Efektif sih, contohnya sering aja kita pendekatan langsung ke
anaknya, suka nanya nanya ke anaknya, seperti menanyakan
kabarnya jika bertemu, bertanya “maunya apa?” pas anaknya
lagi rewel, pokoknya langsung bertanya ke anaknya, kalau
sering ditanya-tanya anaknya juga lama lama mengerti
maksud dari pembicaraan kita itu apa.
5. Adakah kejadian ketika sedang praktek sholat ada anak yang
“kambuh” ? apakah mengganggu anak-anak yang lain?
Engga sih, biasanya kalau masih tantrum yg biasa aja paling
kita kasih tauin aja kita lagi sholat udah cukup dan ga
ngeganggu kecuali kalau sampai teriak-teriak, itu baru akan
mengganggu kaya akan ada yang merasa terganggu anaknya,
biasanya kalau gitu kita ajak kekamar dulu biar lebih tenang
dan abis itu kita praktekin lagi sholatnya sendiri dikamar.
Kalau mereka lagi tantrum parah biasanya kita harus diem
mba, ga usah bicara karena biasanya mereka langsung ke fisik
kaya mukul gitu atau teriak-teriak, biasanya kita tahan terus
bawa kekamar, “yaudah disini dulu nanti kalau udah tenang
baru keluar” terus pintunya dikunci. Kalau kaya Azra itu kalau
pintunya tidak dikunci dia malah suka keluar terus malah ga
dapet efek jeranya, bukan efek jera juga sih tapi ga dapet
tenangnya, jadi dikunciin dulu dikamar, dan dia tau itu kamar
tenangnya dia, dia sudah mengerti.
6. Ketika ada anak yang sedang “kambuh” bagaimana cara
bpk/ibu berkomunikasi dengan mereka?
Ya itu biasanya diomongin langsung ke anaknya kasih tau kita
sedang sholat, kalau mereka tidak mengikuti gerakan sholat
yang ada kita langsung “bantu” kita yang gerakin badan
mereka untuk mengikuti gerakan sholat yang ada. Kalau
tantrumnya sudah sampai teriak-teriak dan main fisik biasanya
kita pegang anaknya dan kita bawa kekamar agar tenang, baru
habis itu sholat sendiri. Intinya kalau komunikasi ke anak-anak
autis itu kita harus terus-terusan ngasih tau dianya, terus-
terusan diajak ngobrol, kalau untuk praktek itu lebih ke
nonverbal gitu, langsung dibantu anaknya, dibantu
menggerakkan badannya. Kita juga harus cari banyak cara
juga, misal cara dikasih tau langsung “yuk sholat” ga efektif
ke anaknya, kita cari cara lain misal “Azra kita mau outing nih
yukk, tapi kita sholat dulu” gitu, pokoknya kita harus punya
banyak ide, ga harus monoton caranya harus seperti itu, kalau
anaknya pas pakai cara pertama ga kena ke anaknya pakai cara
yang lain, kalau ga kena juga ujungnya paling kita ajak ke
kamar tenang dulu baru habis itu kita ajak komunikasi lagi
karena biasanya kalau ga kena diajak komunikasi anaknya itu
lagi badmood atau ngambek atau capek tapi mereka ga bisa
mengomunikasikannya.
Transkrip 02
Peneliti : Vivi Aulia Rahmawati
Narasumber : Dwi Addi Saputra
Jabatan : Guru di Rumah Anak Mandiri Karim
Hari/Tanggal : Senin, 3 Desember 2018
Waktu Wawancara : 13.00 WIB
Tempat Wawancara : Rumah Anak Mandri Karim Depok
Tipe Wawancara : Wawancara Tatap Muka
1. Sudah berapa lama bapak/ibu mengajar di Rumah Anak
Mandiri Karim?
Kurang lebih sih sudah 5 tahun, saya pertama kali mengajar
anak autis di Rumah Anak Mandiri Karim.
Penetrasi Sosial.
Tahap 1
1. Bagaimana bapak/ibu mengenalkan diri saat pertama kali
bertemu dengan anak-anak?
Waktu pertama kali ngenalin diri keanaknya paling kasih tauin
nama saya siapa, walaupun sering anaknya tidak merespon,
tapi kita coba ajak ngobrol terus, sabar, pokoknya di ulang-
ulang terus.
Tahap 2
2. Bagaimana cara bapak/ibu menarik perhatian anak-anak agar
mau memperhatikan?
Paling sih kalo untuk menarik perhatian anak-anak itu kaya
kita ajak nyanyi dulu biar bi situ fokus belajarnya, dikasih
kaya mainan juga biar dia perhatian ke kita.
3. Bagaimana cara bapak/ibu melakukan pendekatan ke anak-
anak tersebut?
Ngedeketin anaknya ya kita ajak komunikasi, kaya kalau mau
ajak dia belajar nih, kadang dia mau kadang dia ga mau, ya
kita tarik ulur aja, nyari cara lain, kalo misal lagi diajarin ga
mau kita ajak main dulu, kalau main udah bosen biasanya kita
ajak belajar lagi dia mau lagi.
4. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak bisa merasa dekat
dengan bapak/ibu?
Kalau Azra itu cukup lama, tapi lama-lama dia kalau kita
deketein terus dia jadi mau, sekarang sih paling cuma 5 menit,
tapi prosesnya kurang lebih setahun sama dia, kalau Naura
baru jadi masih proses terus, paling kalau mau belajar aja
diajak ngobrol, kalau Faiz sama juga kaya gitu.
Tahapan 3
5. Setelah melakukan pendekatan dan akhirnya memberi tau
tentang sholat apakah anak-anak langsung mengikuti arahan
bapak/ibu?
Pertama-tama sih kalau Azra sama Faiz gerakannya masih kita
bantu gerakan-gerakan sholat ga bisa langsung ngikutin
mereka jadi dibantu.
6. Bagaimana cara bapak/ibu menjelaskan pelajaran tentang
sholat ke anak-anak tersebut?
Kalau untuk memberitahu pertama kali kemereka tentang
sholat itu langsung dipraktekan caranya didepan anak-anak,
sampe sekarangpun setiap hari masih harus dipraktekin
gerakan sholatnya tapi langsung juga sama anak-anak
7. Bagaimana cara bapak/ibu berkomunikasi dengan anak dikelas
agar mereka mengerti apa yang disampaikan?
Kalau verbal itu, kalau anak-anak belum ngerti misalnya
belajar biasanya kita pakai gambar, kita kasih tauin pakai
gambar, gambar makan atau gambar mainan gitu, tapi mereka
memang belum konsisten, tapi kita ngajarnya harus diulang
terus terusan.
8. Bagaimana bapak/ibu berkomunikasi dengan anak anak saat
praktek sholat?
Kalau ke Azra biasanya saya langsung omongin ke anaknya
“Azra waktunya sholat zuhur” nanti dia mau ngikutin tapi itu
tetep masih bantuan, kadang kalau Azra itu kadang ga mau,
kadang suka milih-milih orang, kadang sama saya ga mau,
sama yang lain mau, kalau Faiz sama semua guru dia mau.
Waktu praktek guru-guru yang mendampingi anak-anak ikut
membacakan doa-doa ketika sholat dengan suara keras gitu,
kalau anaknya tiba-tiba ga ngikutin gerakan yang ada kita
bantu anaknya misal saatnya ruku tapi dia diem aja, kita
pegang langsung badan anaknya terus kita rukuin gitu
anaknya.
9. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak mengerti apa yang
bapak/ibu ajarkan dan akhirnya bisa mempraktekkan apa yang
bapak/ibu ajarkan?
Kalau Faiz itu sudah mengeti, ketika temannya ruku dia ikut
ruku, jadi dia ngikutin temennya gitu, kan ada imamnya
didepan jadi dia ngikutin imamnya didepan, kalau Naura saya
ga sering pegang, soalnya dia sering sama guru yang wanita,
kalau Azra masih bantuan. Kalau waktu sih dari awal ngajar
sampe sekarang juga masih terus terusan diajarkan terus dan
diberi contoh terus, dipraktekin terus biar anaknya inget terus
Tahap 4
10. Bagaimana cara berkomunikasi bapak/ibu agar anak-anak mau
memberikan feedback?
Kalau sekarang sih anaknya sudah pada ngerti ya, pas udah
waktunya sholat kita omongin “Faiz sholat ambil sarung” dia
langsung ambil sarung ditempatnya, nanti dia pakai gitu.
Pokoknya sering-sering kita omongin ke anaknya aja, kita
kasih tau sholat dimana, sebelum sholat itu wudhu, ambil
sarung sama mukena itu dimana, jadi mereka pas kita kasih
tauin sholat ngerti gitu
11. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak tersebut mau
memberikan feedback?
Lama sih, dari awal masuk kan tuh dia belum ngerti tuh, masih
nolak sama yang kita kasih tauin,ga mau dipakein sarung,
maunya sarungnya dimainin doing gitu gitu
Faktor pendukung dan hambatan
1. Selama mengajarkan anak-anak tersebut sholat apa saja
hambatan dan faktor pendukung yang dialami?
Hambatannya sih kalau Faiz itu kalau dia lagi badmood kalo
dia lagi gak enak suasana hatinya, ga mau sholat, biasanya kita
tarik ulur aja, kalo udah diajak yang lain dulu biasanya abis itu
dia mau diajak sholat, kalo Azra sama tergantung
kemauannya, kalo dia nolak sama kita, kita kasih ke guru lain
biasanya dia mau, kalau Naura sama bu Etty.
2. Apakah dalam mengajarkan dan berkomunikasi dengan anak-
anak tersebut bapak/ibu memperlukan suatu media “khusus” ?
jika iya apa saja media itu?
Kalau media sih cuma pakai gambar sih, ga cuma waktu
diajarin sholat tapi juga kaya buah-buahan, benda-benda juga
pakai gambar.
3. Setiap anak mempunyai karakter yang berbeda-beda, menurut
bapak/ibu tipe anak yang bagaimana yang komunikasinya
mudah dan yang bagaimana yang komunikasinya sulit?
Yang sulit di ajak komuniaksi sih Azra, kalau mau sholat kita
harus pinter-pinter bujuk dia, terus kalau Faiz itu sudah
mengerti, kalau diajak ngobrol
4. Apakah Efektif komunikasi interpersonal digunakan
bapak/ibu untuk mengajarkan anak-anak tersebut sholat? Jika
efektif bagaimana contohnya?
Efektif-efektif aja, kalau komunikasi ke anaknya, kita
ngomunikasiin ke anaknya, anaknya mendengarkan, walaupun
ada yang mereka kurang paham, tapi kita ajak ngobrol terus.
5. Adakah kejadian ketika sedang praktek sholat ada anak yang
“kambuh” ? apakah mengganggu anak-anak yang lain?
Misal ada yang tantrum nih disebalah anak yang engga
tantrum, kadang anaknya ikut tantrum juga, mungkin dia
ngerasa keganngu, kadang satu anak tantrum anak-anak yang
lain ikutan jugak. Kalau Faiz suka gemes gitu, kalo kita
bilangin “Faiz sholat, ga boleh iseng tangannya” dia kaya
gemes gitu ke kita tapi ga ganggu anak yang lain, kalau Azra
tantrum itu sering nyubit-nyubit, kalau dia tantrum guru yang
lagi sama dia itu bisa seharian dicubitin gurunya, dia ngincer
satu guru itu aja.
6. Ketika ada anak yang sedang “kambuh” bagaimana cara
bpk/ibu berkomunikasi dengan mereka?
Paling kalau anak-anak lagi tantrum sih biasnaya kita kasih
yang dia suka, kalau dia suka mainan kita kasih mainan, kalo
engga mungkin dia ga mau sama kita, jadi kita kasih guru yang
lain, pokoknya kita alihin dulu dari tantrumnya dia, lakuin
yang dia suka abis itu baru diajak sholat lagi.
Transkrip 03
Peneliti : Vivi Aulia Rahmawati
Narasumber : Rozak Ramadhan
Jabatan : Guru di Rumah Anak Mandiri Karim
Hari/Tanggal : Selasa, 11 Desember 2018
Waktu Wawancara : 12.19 WIB
Tempat Wawancara : Rumah Anak Mandri Karim Depok
Tipe Wawancara : Wawancara Tatap Muka
1. Sudah berapa lama bapak/ibu guru di Rumah Anak Mandiri
karim?
Kurang lebih udah 4 tahun.
Penetrasi Sosial.
Tahap 1
1. Bagaimana bapak/ibu mengenalkan diri saat pertama kali
bertemu dengan anak-anak?
Awalnya kalo kenalan kemereka tuh kita deketin anaknya, kita
kenalan, kita nanya-nanya kemereka, nanti mereka juga bakal
nanya kekita, ada disini satu dua anak yang bisa
berkomunikasi, nah dia nanti nanya langsung terus nanti
mereka bisa langsung inget, kalo Faiz, Azra sama Naura, kalo
kenalan sama Azra agak gimana gitu, dia takut sama orang dan
suka nyubit-nyubit gitu, kita biasain gimana caranya agar dia
ga nyubit gitu, biar dia ngerasa nyaman sama kita, pokoknya
bikin dia ga takut sama seseorang.
Tahap 2
2. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak bisa merasa dekat
dengan bapak/ibu?
Kalau Faiz dia bisa langsung akrab anaknya, kalau Azra butuh
kira-kira kurang lebih satu bulanan.
3. Setelah melakukan pendekatan, apakah anak-anak langsung
mengikuti arahan bapak/ibu?
Ga langsung ngikutin sih, kita masih suka tarik ulur buat
mereka mau ngikutin arahan kita, ga langsung ujug-ujug ikutin
arahan kita, awalnya kita ikutin dulu dia maunya apa, nanti
kalau dia udah bosen baru kita tarik ke kita, apa yang mau kita
arahin gitu.
Tahap 3
4. Bagaimana cara bapak/ibu menarik perhatian anak-anak agar
mau mengikuti arahan bapak/ibu?
Caranya sih hampir sama pas ngelakuin pendekatan, kita pakai
cara ikutin apa yang dia mau, kita turutin baru pas dia bosen,
kita arahin, dia harus ikutin cara kita
5. Bagaimana jika murid menolak dengan pendekatan yang
bapak/ibu lakukan?
Kalau dia nolak ya kita tarik ulur aja terus caranya sampe dia
mau.
6. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak mau terbuka dengan
bapak/ibu?
Kalo itu waktu itu saya kira-kira 3 bulanan, kalo sekarang
karena udah kenal, cukup dengan instruksi udah bisa
Tahap 4
7. Bagaimana cara bapak/ibu berkomunikasi dengan anak-anak
agar mengerti dengan yang bapak/ibu sampaikan?
Kita kasih tauin aja, kita omongin langsung ke anaknya, kita
ajak ngobrol terus anaknya kita lakuin tiap hari dan terus
terusan insyaAllah lama lama anaknya mengerti.
8. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak mengerti apa yang
bapak/ibu sampaikan dan akhirnya bisa mempraktekkan apa
yang bapak/ibu sampaikan?
Kalo itu sih lumayan lama ya, kadang Faiz sama Azra kalo
disuruh sholat suka ga mau, kalo lagi mood sholat bareng-
bareng temennya dia mau sholat, kalo ga kadang maunya
sholat di musholla, kadang maunya sholat, kadang maunya
diruangan aja, tapi kita usahain kita terus ajakin biar tetap
sholat.
9. Bagaimana bapak/ibu berkomunikasi dengan anak anak saat
praktek sholat?
Komunikasi ya, disini banyak anak yang kita ajak ngomong
dia ngerti sama apa yang kita omongin tapi dia mau
ngungkapin, bales yang kita omongin yang susah, karena
mereka lebih banyak ke nonverbal ya. Kalo Faiz sama Azra
kita suruh dia ngerti, kita omongin kaya “ayo Faiz kita rukuk”
kita omongin sambil kita arahin, kalo mandiri mereka belom
bisa, masih pake bantuanlah
10. Bagaimana cara berkomunikasi bapak/ibu agar anak-anak mau
memberikan feedback?
Mereka suka kasih feedback, tapi tergantung mood mereka
juga, kadang Faiz tuh kalo mau sholat abis makan “Faiz ayo
sholat” dia terus lari ambil sarung, terus minta tolong pakein,
dia cuma bisa masukin sarungnya kebadan, tapi makein minta
tolong kekita, jadi kita omongin terus ke mereka pas waktu
masuk sholat supaya merekanya juga kaya keinget terus gitu,
dan dilakukan pembiasaan seperti sehabis makan siang itu
pasti sholat Zuhur, kalau habis tidur siang itu sholat Ashar,
kalo sholat Magrib itu makannya setelah sholat, kalo Isya itu
kaya lagi santai nunggu tidur biasanya kita ajak Sholat. Setiap
hari dilakukan pembiasaan seperti itu, supaya ter “mainset”
dimereka gitu
11. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak tersebut mau
memberikan feedback?
Kalau untuk mereka kasih feedback sih saya ga ngitungin ya,
pokoknya butuh waktu lama juga ya.
Faktor pendukung dan hambatan
1. Selama menjadi pendamping anak-anak tersebut sholat apa
saja hambatan dan faktor pendukung yang dialami?
Kalo hambatan sih pasti semua ada hambatannya ya, kaya
mereka sulit diatur, yang penting disini tuh dari awal kerja
ditanemin kerja pake hati, tulus aja, anak-anak juga lama-lama
ngerasain. Kalo Azra hambatannya sulit untuk diarahin, kita
turutin dulu maunya dia apa, kalo engga kadang kalo dia ga
mau belajar kita ajak keluar ruangan biasanya abis itu dia
ngajak masuk keruangan lagi.
2. Apakah dalam berkomunikasi dengan anak-anak tersebut
bapak/ibu memperlukan suatu media “khusus”? jika iya media
apa saja yang diperlukan?
Kalo komunikasi sih paling pake gambar buat pengenalan ke
dia, untuk sholat langsung kita praktekin ke anaknya, kita
arahain anaknya “ayo sholat, ini tangannya kaya gini” waktu
ruku “ayo ruku” kita arahin anaknya untuk ruku
3. Apakah efektif komunikasi interpersonal digunakan bapak/ibu
dalam mendampingi anak-anak tersebut sholat? jika efektif
bagaimana contohnya?
Efektif sebenarnya, tapi kadang kaya Faiz kan nurut-nurutan
tergantung dia mau sama siapa, kadang ke guru A dia nurut
sama guru B dia ga mau, kadang dia mau sama guru A, dia
mau sama yang lain, tergantung dianya aja, kalo untuk Faiz sih
bisa efektif, soalnya kalo dibilangin dia ngerti, kalo Azra
belum bisa banget, kadang kalo lagi ngerti dibilangin diarahin
sesuatu dia suka nyari pembelaan ke guru yang lain, dia
dengerin yang kita omongin atau engga kan kita ga tau, nanti
dia nyari pembelaan ke yang lain,nempel-nempel ke guru lain
nyari pembelaan.
4. Adakah kejadian ketika sedang praktek sholat ada anak yang
“kambuh” ? apakah mengganggu anak-anak yang lain?
Kalo ngeganggu sih ada yang keganggu ada yang engga ya,
kaya ada satu anak namanya Luthfi kalo ada yang berisik pasti
dia ikut berisik karena ngerasa keganggu gitu
5. Ketika ada anak yang sedang “kambuh” bagaimana cara
bpk/ibu berkomunikasi dengan mereka?
Kalo ada yang kambuh dikasih pengertian, ini kita lagi sholat
nih, paling itu aja, abis itu kita arahin lagi untuk sholat.
Transkrip 04
Peneliti : Vivi Aulia Rahmawati
Narasumber : Budi Hermawan
Jabatan : Guru di Rumah Anak Mandiri Karim
Hari/Tanggal : Selasa, 11 Desember 2018
Waktu Wawancara : 12.38 WIB
Tempat Wawancara : Rumah Anak Mandri Karim Depok
Tipe Wawancara : Wawancara Tatap Muka
1. Sudah berapa lama bapak/ibu menjadi guru di Rumah Anak
Mandiri karim?
Saya kerja disini, di Rumah Anak Mandiri Karim udah mau
6tahun
Penetrasi Sosial.
Tahap 1
1. Bagaimana bapak/ibu mengenalkan diri saat pertama kali
bertemu dengan anak-anak?
Sebenernya sih, saya memperkenalkan diri awalnya saya
kaget, anak-anak seperti ini saya ga tau cara berkomunikasi
dan cara pendekatannya saya ga tau, tetapi lama kelamaan
saya belajar dari lingkungan setempat, cara ngedeketinnya tuh
dengan bahasa yang menggunakan bahasa tubuh, lama
kelamaan saya sudah mulai paham. Awal memperkenalkan
diri kemereka itu saya sapa mereka “hay nama kamu siapa?”
mereka kan lebih sering non verbal ya, terus saya lanjutin “ini
azra ya” terus saya tanya-tanya terus, saya kasih tau nama saya
siapa, walaupun mereka lebih ke nonverbal tapi saya tetap
mengajak mereka bicara.
Tahap 2
2. Bagaimana cara bapak/ibu melakukan pendekatan ke anak-
anak tersebut?
Untuk melakukan pendekatan ke anak biasanya saya lihat dulu
perilaku anaknya seperti apa, cara yang tepat ngedeketin dia
bagaimana, jadi saya pelajari dulu, ga langsung saya deketin,
tapi ada yang seperti itu ada beberapa anak yang bisa langsung
saya deketin, tapi juga saya suka takut ada indikasi dia untuk
menyerang.
3. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak bisa merasa dekat
dengan bapak/ibu?
Sebenrnya sih ga terlalu lama ya, paling cuma semingguan,
kalau kita sering sama dia, cepet deketnya, cepet akrabnya,
cepet nyamannya.
4. Setelah melakukan pendekatan, apakah anak-anak langsung
mengikuti arahan bapak/ibu?
kalau itu, kadang mereka langsung mengikuti arahan saya,
instruksi saya, cuma kadang-kadang ada yang engga,
tergantung kondisinya juga, kondisi anak tersebut.
5. Bagaimana cara bapak/ibu menarik perhatian anak-anak agar
mau mengikuti arahan bapak/ibu?
Biasanya sih narik perhatian mereka dari kontak mata juga
bisa, nunjukin ekspresi muka kita kemereka juga bisa, kaya
misal kita nunjukin ekspresi marah, padahal aslinya kita ga
marah
6. Bagaimana jika murid menolak dengan pendekatan yang
bapak/ibu lakukan?
Untuk Faiz sih dia ga ada penolakan ya, tergantung kondisinya
juga, tergantung anak-anak yang lain. Azra, kalau Azra itu
memilih, dia memilih siapa aja yang dia mau, untuk
melakukan pendekatan sama Azra lumayan susah, dia milih
orang.
Tahap 3
7. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak mau terbuka dengan
bapak/ibu?
Untuk pendekatan sama Faiz itu sekitar seminggu, kurang
lebih seminggulah. Kalau Azra itu sebenernya deket sama
semua guru ataupun pendamping, cuma itu dia memilih, jadi
ga sepenuhnya dia nurut sama satu orang itu, dia milih kadang
mau sama guru a, kadang maunya sama yang lain kaya gitu.
8. Bagaimana cara bapak/ibu berkomunikasi dengan anak-anak
agar mengerti dengan yang bapak/ibu sampaikan?
gimana ya, kalau untuk nonverbal kita ajak anaknya langsung,
kita tarik anaknya “ayo kita sholat” dia pasti ngikutin, kalau
untuk verbalnya paling itu kita kasih tauin “ayo kita sholat”
gitu, dia langsung kemushola. Biasanya kalo nonverbal kita
tarik, atau kita pegangin atau kita bantu anaknya, seperti itu
Tahap 4
9. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak mengerti apa yang
bapak/ibu sampaikan dan akhirnya bisa mempraktekkan apa
yang bapak/ibu sampaikan?
Kaya gitu sih ga butuh waktu lama ya, untuk
mempraktekannya mereka masih dibantu terus ya.
10. Bagaimana bapak/ibu berkomunikasi dengan anak anak saat
praktek sholat?
Ketika mereka sholat masih dibantu, selain kita membacakan
ayat-ayat dan takbir-takbir dengan suara lantang, ketika
gerakan sholatpun kita bantu gerakannya, misal kita kasih tau
“sujud” terus ada penekanan gitu kebadan, kita sujudin gitu,
kita bacain doanya kaya gitu, pokoknya masih dibimbing gitu
11. Bagaimana cara berkomunikasi bapak/ibu agar anak-anak mau
memberikan feedback?
Kalau Faiz sudah paham sih ya, mungkin Azra aja yang belum
terlalu memeberikan feedback, ketika kita suruh sholat “ayu
sholat” Faiz itu sudah ada inisiatif dia, dia langsung ambil
sarung, ajak kita untuk wudhu, wudhunya juga kita damping,
minta pakaikan terus ke mushola.
12. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak tersebut mau
memberikan feedback?
Gak cukup lama, paling sekitar semingguan ya, kalau terus
terusan dikasih tau, diajarkan
Faktor pendukung dan hambatan
1. Selama menjadi pendamping anak-anak tersebut sholat apa
saja hambatan dan faktor pendukung yang dialami?
Kalau hambatannya, karena mereka lebih ke nonverbal jadi
rada susah untuk mengerti dia maunya apa, untuk faktor
pendukungnya karena kita semua difasilitasi dengan bagus,
jadi mendukung juga.
2. Apakah dalam berkomunikasi dengan anak-anak tersebut
bapak/ibu memperlukan suatu media “khusus”? jika iya media
apa saja yang diperlukan?
Engga sih, biasa aja sih, kita langsung memperkenalkan,
mengajarkan anaknya langsung dengan kita yang memberikan
contoh dan mendampingi mereka.
3. Apakah efektif komunikasi interpersonal digunakan bapak/ibu
dalam mendampingi anak-anak tersebut sholat? jika efektif
bagaimana contohnya?
Efektif sih, misal ke Faiz itu kita kasih tau “ayo sholat” dia
langsung jalan. Kalau Azra kita harus pinter pinter ngerayu
dia, agar mau mengikuti, kan karena pemilihnya itu ya
4. Adakah kejadian ketika sedang praktek sholat ada anak yang
“kambuh” ? apakah mengganggu anak-anak yang lain?
Engga sih ga ganggu,intinya kita kasih pemahaman ke
anaknya kita lagi sholat, kita harus fokus gitu
5. Ketika ada anak yang sedang “kambuh” bagaimana cara
bpk/ibu berkomunikasi dengan mereka?
Kita kasih pemahaman baik-baik, kita ajak bicara, misal “ini
sholatnya satu rakaat lagi, ayo berdiri” atau engga “jangan
berisik ya, ini kan yang lainnya lagi sholat” gitu sih sambil kita
pegangin anaknya terus balikin ke posisi sholat lagi.
Transkrip 05
Peneliti : Vivi Aulia Rahmawati
Narasumber : Muchsin
Jabatan : Guru di Rumah Anak Mandiri Karim
Hari/Tanggal : Selasa, 11 Desember 2018
Waktu Wawancara : 13.20 WIB
Tempat Wawancara : Rumah Anak Mandri Karim Depok
Tipe Wawancara : Wawancara Tatap Muka
1. Sudah berapa lama bapak/ibu menjadi guru di Rumah Anak
Mandiri karim?
Alhamdulillah sudah cukup lama juga, sudah 5-6 tahunan
Penetrasi Sosial.
Tahap 1
1. Bagaimana bapak/ibu mengenalkan diri saat pertama kali
bertemu dengan anak-anak?
Kalau kita mau memperkenalkan diri kita, sebelumnya kita
harus mengenal dia itu seperti apa, setelah tau baru kita
memperkenalkan diri kita, bertanya nama dia siapa, bisa juga
menggunakan barang-barang atau hal-hal yang dia suka.
Tahap 2
2. Bagaimana cara bapak/ibu menarik perhatian anak-anak agar
mau mengikuti arahan bapak/ibu?
Kadang kalau dia lagi ga fokus, sedang asik dengan
mainannya, supaya dia perhatian ke kita, kita ambil dulu
mainannya, dia udah mulai ambil mainannya lagi dari kita,
barulah kita mulai ajak bicara, dia mengerti walaupun tidak
bisa bicara, dia mengerti maksud dan tujuan kita.
3. Bagaimana cara bapak/ibu melakukan pendekatan ke anak-
anak tersebut?
Awalnya kita melakukan pendekatannya itu pelan-pelan, kita
dekati dengan cara cara sepeti kita ajak tos, atau salaman, bisa
juga dengan ajak bermain mainan yang dia suka, kalau dia
sudah tersenyum berarti dia sudah siap untuk menerima
kehadiran kita, lebih mudah mendekatkan diri kemereka
4. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak bisa merasa dekat
dengan bapak/ibu?
mungkin kalau untuk kita coba sekitar 2 sampe 3 jam, kalau
dia tidak menerima kita bisa menjauh dulu dari dia, supaya
dianya tidak terketakan, habis itu kita coba pelan-pelan dekati
lagi. Untuk Azra kira-kira butuh seharian ya, karena dia
tipenya suka mencubit ya kalau kita dekatin terus dia makin
gemes, jadi tarik ulur, maksudnya tarik ulur kalau dia sudah
mulai mencubit kita mundur dulu.
5. Setelah melakukan pendekatan, apakah anak-anak langsung
mengikuti arahan bapak/ibu?
Engga sih ya, kadang dia butuh ketegasan, sesuatu yang kita
suruh dia tidak langsung mengerti, kadang kita satu dua kali
kita berbicara dia belum mengerti dengan kata-kata kita,
berarti kita harus langsung mencontohkan, mengenalkan lagi
ke anak itu, misal “ini sarung” seperti itu
6. Bagaimana jika murid menolak dengan pendekatan yang
bapak/ibu lakukan?
Kalau pas dia nolak itu, kita usahakan jangan langsung kita
paksa apa yang kita mau, jadi pelan-pelan, nanti pas
momennya enak, misal kita kasih mainan, kan dia suka, terus
kita ambil lagi mainannya, kita kasih tau kita maunya apa,
sambil bilang “mau mainin ini gak?” baru biasanya dia nurut.
Jadi pakai cara sesuatu yang dia suka dulu.
Tahap 3
7. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak mau terbuka dengan
bapak/ibu?
Kalau itu sih masih kontinu sampai sekarang, butuh waktu
lama ya soalnya yang kaya gitu ya
8. Bagaimana cara bapak/ibu berkomunikasi dengan anak-anak
agar mengerti dengan yang bapak/ibu sampaikan?
Dia sebenernya mengeri ucapan kita, tapi tidak bisa
mengungkapkan, misal benda atau warna, mengerti, tapi
memang harus selalu kita ingatkan, kita harus berkali-kali
memberitahu, mengajarkan anak itu baru bisa mengerti. Sama
halnya dengan sholat, jadi tidak langsung memaksa, kita
ajarkan, tetapi biar dia lihat teman-temannya dulu, setelah
teman-temannya sudah berbaris untuk sholat baru kita ikutin
anak tersebut untuk ikut juga.
9. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak mengerti apa yang
bapak/ibu sampaikan dan akhirnya bisa mempraktekkan apa
yang bapak/ibu sampaikan?
Masih harus sering, harus konsisten, tidak instan, kita
kenalkan, diberitahu, misal tentang waktunya sholat, tentang
wudhu yang terus harus didampingi, bacaannya mereka belum
terlalu bisa yang penting gerakannya, pokoknya masih
berlanjut sampai sekarang.
Tahap 4
10. Bagaimana bapak/ibu berkomunikasi dengan anak anak saat
praktek sholat?
Kalau yang sudah biasa cukup kita kasih tau “ayo waktunya
sholat,wudhu” kadang dia langsung kekamar mandi, tapi dia
menunggu kadang,apa yang dia mau, dia kumur atau cuci
muka, atau kaki memang wudhunya tidak sesempurna kita tapi
minimal dia bisa.
11. Bagaimana cara berkomunikasi bapak/ibu agar anak-anak mau
memberikan feedback?
Awalnya kadang kita harus perkenalkan sholat, terus bendanya
misal sarung, kita berkali kali mengenalkan apa itu sarung,
bagaimana memakai sarung gitu gitu, makanya lama lama dia
mengerti ketika dikasih tau sholat itu langsung ambil sarung
contohnya.
12. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak tersebut mau
memberikan feedback?
Butuh waktu lama dan berkali kali sih , tidak langsung jadi,
masih kontinu sampe sekarang
13. Butuh waktu berapa lama agar bapak benar benar mengenal
anak-anak?
Misal Faiz sama Azra itu butuh waktu lama ya, ketika mereka
ngambek atau marah kita harus bujuk, cari tahu dulu apa yang
mereka suka, kalau kita paksa untuk menuruti omongan kita
yang ada malah tambah marah ataupun menolak. Kita harus
pintar-pintar membaca situasi , kira-kira mereka moodnya
sedang bagus atau tidak, karena biasanya kalau dari pagi dia
sudah tidak mood, itu akan terbawa sampai seterusnya. Kita
juga mengajarkan dan memberitahu orang tua dirumah tentang
pembiasaan-pembiasaan yang anak-anak lakukan disini,
supaya mereka selalu ingat dan terbiasa, tapi ada orang tua
yang kurang konsisten dalam melakukan pembiasaan-
pembiasaan yang sudah diajarkan sesuai dengan program yang
ada, seperti bangun pagi kemudain membereskan tempat tidur,
setelah makan siang itu sholat zuhur, dan seterusnya.
Faktor pendukung dan hambatan
1. Selama menjadi pendamping anak-anak tersebut sholat apa
saja hambatan dan faktor pendukung yang dialami?
Hambatannya mungkin setelah pulang dari rumah ya, karena
menu makanannya bebas karena makanan mereka harus dijaga
tidak boleh sembarangan,orang tua kurang konsisten dalam
melakukan pembiasaan-pembiasaan yang biasa dilakukan
disini ketika dirumah, jadi kita kendalanya yang tadinya sudah
kita arahkan pelan-pelan, instruksinya pelan-pelan, jadi kita
agak tegas sedikit, ketika kita ajak misal “ayo sholat” terus
anaknya tidak merespon atau yang gimana gimana, berarti
dirumah “kebocoran” atau ada yang salah, contohnya seperti
dari makanannya. Faktor pendukungnya sih fasilitas-fasilitas
dan peralatan-peralatan yang ada disini cukup mendukung
dalam pembelajaran.
2. Apakah dalam berkomunikasi dengan anak-anak tersebut
bapak/ibu memperlukan suatu media “khusus”? jika iya media
apa saja yang diperlukan?
Untuk anak-anak yang tidak bisa berbicara kadang kita
menggunakan kata-kata dan gerakan tubuh, kalau yang lainnya
sih kita pakai gambar-gambar seperti gambar warna, hewan,
buah seperti itu.
3. Apakah efektif komunikasi interpersonal digunakan bapak/ibu
dalam mendampingi anak-anak tersebut sholat? jika efektif
bagaimana contohnya?
Efektifnya sih kalau mereka lagi tenang atau lagi ga ada
masalah pas belajar, biasanya mereka mendengarkan apa kata
kita, jadi memang harus dilihat dari kondisi anaknya juga.
4. Adakah kejadian ketika sedang praktek sholat ada anak yang
“kambuh” ? apakah mengganggu anak-anak yang lain?
Mengganggu sebenarnya, tapi anak yang tantrum itu akan
disendirikan, ada kamar untuk mereka sendiri ketika sedang
tantrum, pas udah tenang dia akan diajak sholat dan
komunikasi dia mau lagi.
5. Ketika ada anak yang sedang “kambuh” bagaimana cara
bpk/ibu berkomunikasi dengan mereka?
Ketika mereka masih tantrum yang biasa saja paling kita
beritahu “kita lagi sholat” atau “selesain dulu ya sholatnya”
lalu kita benarkan lagi posisi sholat mereka, atau kita pegangi,
tetapi ketika sudah tantrum parah dan mengganggu yang lain,
kita ajak anak tersebut ke kamar, untuk ditenangkan, ditinggal
sendiri, ketika sudah tenang baru di ajak sholat lagi atau
melakukan hal yang lainnya.
Transkrip 06
Peneliti : Vivi Aulia Rahmawati
Narasumber : Sari
Jabatan : Guru di Rumah Anak Mandiri Karim
Hari/Tanggal : Selasa, 11 Desember 2018
Waktu Wawancara : 14.32 WIB
Tempat Wawancara : Rumah Anak Mandri Karim Depok
Tipe Wawancara : Wawancara Tatap Muka
1. Sudah berapa lama bapak/ibu menjadi guru di Rumah Anak
Mandiri karim?
Saya sudah kerja disini sudah hampir 5 tahun ya,
Penetrasi Sosial.
Tahap 1
1. Bagaimana bapak/ibu mengenalkan diri saat pertama kali
bertemu dengan anak-anak?
Pertama kali ketemu Naura, saya tanya “nama kamu siapa?”
terus “suka makan apa?”, “kamu suka mainannya apa?” gitu
aja sih, kita tanya-tanya tentang dirinya, walaupun dia kadang
paham, kadang tidak tapi kita ajak bicara terus.
Tahap 2
2. Bagaimana cara bapak/ibu menarik perhatian anak-anak agar
mau mengikuti arahan bapak/ibu?
Narik perhatian mereka sih awalnya pakai mainan, atau nanyi
yang dia suka, kita ajak main yang dia suka, pokoknya lakuin
hal yang mereka suka
3. Bagaimana cara bapak/ibu melakukan pendekatan ke anak-
anak tersebut?
Melakukan pendekatannya sih sama kaya waktu perkenalan,
kita sering-sering ajak ngobrol. Kita bisa juga tanya “mba” nya
dia suka apa, apa yang ga dia suka, apa kebiasaannya, jadi kita
bisa terapkan keanaknya
4. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak bisa merasa dekat
dengan bapak/ibu?
Tergantung sih, masing-masing anak beda-beda, ada yang
cepat ada yang lama. Seperti Naura itu gampang, kita tinggal
tanya-tanya, kita ajak ngobrol misalnya, “udah makan
belum?”, “kamu lagi ngapain?”
5. Bagaimana jika murid menolak dengan pendekatan yang
bapak/ibu lakukan?
Awalnya kita ajak duduk dulu anaknya, kalau masih menolak
juga, kita diamkan dulu anak tersebut, kita ajak anak yang lain
untuk berinteraksi dengan kita, sepeti kita ajak nyanyi, nanti
ketika anak-anak yang lain nyanyi, lama-lama anak itu (yang
menolak) akan mengikuti anak-anak yang lain.
Tahap 3
6. Setelah melakukan pendekatan, apakah anak-anak langsung
mengikuti arahan bapak/ibu?
Lama-lama pasti pasti mau ngikutin ya, tapi itu tergantung
mood mereka lagi bagus atau engga
7. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak mau terbuka (kenal)
dengan bapak/ibu?
Tergantung sama anaknya jugak, ada anak yang baru masuk
bisa langsung kenal langsung deket, ada yang butuh waktu
baru bisa dekat dan kenal sama kita.
8. Bagaimana cara bapak/ibu berkomunikasi dengan anak-anak
agar mengerti dengan yang bapak/ibu sampaikan?
Ketika kita sholat kita sampaikan “hari ini kita sholat ya”, kita
juga memberikan contoh ke anak- anak tersebut “seperti ini
gerakannya, ayo ikutin”, diajarin cara wudhunya, pakai
mukenanya, bacaannya, kita yang mengucapkan (bacaan
doanya), kita yang ngajarin, tapi memang harus selalu kita
ingatkan, kita harus berkali-kali memberitahu, mengajarkan
anak itu baru bisa mengerti.
Tahap 4
9. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak mengerti apa yang
bapak/ibu sampaikan dan akhirnya bisa mempraktekkan apa
yang bapak/ibu sampaikan?
Kalau kelas atas itu sudah mengerti ya, beda dengan kelas
yang bawah, kalau anak yang bawah itu kadang mau kadang
engga, kita ajarinnya pelan pelan aja, kalau dia lagi mau ikut
sholat ya ikut, kalo engga yaudah, biasanya ketika tadinya
mereka gam au sholat, terus melihat teman-temannya sholat,
dia jadi mau ikut sholat gitu, makanya prosesnya masih
kontinu sampai sekarang
10. Bagaimana bapak/ibu berkomunikasi dengan anak anak saat
praktek sholat?
Kita dampingi kan anak-anaknya ketika mereka sholat, selain
dibicarakan keanaknya, kita gerakan langsung badan anaknya,
misalnya “ayo rukuk” terus kita “rukuin” anaknya, “ayo
sujud” kita bantu dia untuk sujud, “sedekap tangannya” kita
bantu juga, pokonya kita bantu.
11. Bagaimana cara berkomunikasi bapak/ibu agar anak-anak mau
memberikan feedback?
Kita langsung omongin ke anaknya “Naura kita sholat yu”
biasanya dia langsung lari ke kamar mandi untuk wudhu kita
bantu gerakan wudhunya, terus setelah wudhu kita bilang
“ambil mukenanya Naura” dia ambil sendiri ditempatnya,
nanti dia pakai sendiri, kita liatain, nanti kalau kesusahan kita
bantu, seperti itu terus sih, kita ulang-ulang terus setiap
harinya
12. Butuh waktu berapa lama agar anak-anak tersebut mau
memberikan feedback?
Beda-beda sih, beda-beda anak beda waktunya. Kalau Naura
sih paling semingguan kali ya, kan diajarin terus ya, kita juga
bantu kalau dia lupa, paling kita kasih tau “Naura rukuk” dia
rukuk sendiri, “Naura sujud” terus dia sujud, setelah selesai
sholat kita bantu lipat mukenanya, habis itu dia naro
mukenanya ditempatnya lagi, gitu sih
13. Biasanya ada perjanjian ketika anak pulang kerumah, supaya
pembelajaran dan pembiasaan yang diajarkan tidak lupa,
biasanya orang tua kurang konsisten tuh, apa sibuk atau
gimana ya kalo dirumah, menu makanannya juga ga dijaga,
kalau makanan dirumah kan bebas ya, suka “bocor” menu
yang mereka makan, kaya coklat, susu gitu gitu yang
mengandung gula kan bikin anak lebih aktif ya, terus
berdampak sampai sekolah lagi,
Faktor pendukung dan hambatan
1. Selama menjadi pendamping anak-anak tersebut sholat apa
saja hambatan dan faktor pendukung yang dialami?
Paling kalau mereka lagi ngambek, atau ga mood, ga mau
sholat, ga mau ya gak mau, biarpun kita paksa ya ga mau,
paling kita bilangin aja “yaudah duduk ya” nanti dia duduk
tapi gam au sholat. pendukungnya sih fasilitas yang ada disini
memadai ya, mainan-mainan yang anak-anak suka juga ada
2. Apakah dalam berkomunikasi dengan anak-anak tersebut
bapak/ibu memperlukan suatu media “khusus”? jika iya media
apa saja yang diperlukan?
Kalau sholat sih pakai kita aja pakai contoh buat mereka
3. Apakah efektif komunikasi interpersonal digunakan bapak/ibu
dalam mendampingi anak-anak tersebut sholat? jika efektif
bagaimana contohnya?
Efektif, kita bisa tau dia maunya gimana-gimana, kita liatin,
terus kita tanya dianya, sering kalau Naura itu merespon apa
yang kita tanya walaupun ada beberapa yang dia tidak
mengerti seperti “Naura sudah makan belom?” nanti dia jawab
“sudah” ketika kita tanya lagi “makan pakai apa?” biasanya
dia Cuma “emm emm emmm” aja, karena dia tidak tahu yang
dia makan.
4. Adakah kejadian ketika sedang praktek sholat ada anak yang
“kambuh” ? apakah mengganggu anak-anak yang lain?
Kalau ganggu sih pasti keganggu ya anak-anak yang lain, pasti
yang lain akan ngeliatin anak tersebut.
5. Ketika ada anak yang sedang “kambuh” bagaimana cara
bpk/ibu berkomunikasi dengan mereka?
kalau ada yang tantrum, kita stop dulu sholatnya anak tersebut,
terus kita bawa kekamar, atau kita ikutin dulu maunya apa,
nanti kita ajak lagi untuk sholat “ayu kita lanjutin yu
sholatnya”
Dokumentasi
Foto Bapak Fauzan selaku kepala sekolah di Rumah Anak
Mandiri Karim.
Foto dengan Pak Putra dan Ibu Etty
Foto ketika wawancara dengan Pak Rozak
Foto ketika wawancara Ibu Sari
Foto ketika Fauzan dibantu untuk memakai sarung
Foto ketika Naura dibantu memakai mukena.
Foto ketika anak-anak sholat.