7
  Jurna l Litb ang Perta nian, 25(2) , 2006 61 K omoditas karet memiliki peran yang sangat penting dalam per- ekonomian nasional, antara lain sebagai sumber pendapata n bagi lebih dari 10 juta  petan i dan menyer ap sekit ar 1,70 juta tenaga kerja, serta memberikan kontribusi  pada Produk Domest ik Bruto (PDB) yang nilainya mencapai Rp6 triliun setiap tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2002). Selain itu, pengem-  bangan perkebunan karet berperan dalam mendorong pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru di wilayah pengembangan. Tanaman karet juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam  peles taria n lingku ngan. Upay a peles taria n lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu  penting menging at kondisi sebagia n besar hutan alam makin memprihatinkan. Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan seperti oksigen, kayu, dan biomassa dapat digunakan untuk mendukung fungsi  perbaikan lingkungan seperti rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir, peng- aturan tata guna air bagi tanaman lain , dan menciptakan iklim yang sehat dan bebas  polusi. Pada daera h kritis, daun karet yang gugur mampu menyuburkan tanah. Daur hidup tanaman karet yang demikian akan terus berputar dan berulang selama satu siklus tanaman karet paling tidak selama 30 tahun. Oleh karena itu, keberadaan  pertanama n karet sangat strategi s bagi kelangsungan kehidupan, karena mampu  berperan sebag ai penyimpan dan sumber energi (Indraty 2005). Hal senada dikemukakan oleh Azwar et al. (1989),  bahwa laju pertumbuhan biomassa rata- rata tanaman karet pada umur 35 tahun mencapai 35,50 ton bahan kering/ha/ tahun. Hal ini berarti perkebunan karet dapat mengambil alih fungsi hutan yang  berperan penting dalam pengaturan tata guna air dan mengurangi peningkatan  pemanasan bumi (  global warming). Perkebunan karet di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan rakyat yang mencakup areal sekitar 2,80 juta ha atau 85% dari total areal perkebunan karet seluas 3,30 juta ha. Dari luasan tersebut,  perkebunan rakyat memberikan kontri- POTENSI PEMANFAATAN KAYU KARET UNTUK MENDUKUNG PEREMAJAAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT Island Boerhendhy dan Dwi Shinta Agustina  Bala i Pene liti an Semb awa, Pusat Pene lit ian Karet, Kota k Pos 1127, Pale mbang 30001 ABSTRAK Kayu karet mempunyai prospek yang cerah sebagai bahan baku industri untuk menyubstitusi kayu hutan alam mengingat ketersediaannya sangat besar dan diharapkan terus meningkat sejalan dengan adanya peremajaan tanaman karet tua. Selain itu, kayu karet mempunyai sifat-sifat fisik, mekanis, dan kimia yang setara dengan kay u hutan alam. Pemanfaatan kayu karet perlu didukung dengan industri pengolahan. Kontinuitas penyediaan bahan  baku bagi industri pengolahan antara lain dapat ditempuh melalui pengembangan pola kemitraan antara petani dan industri pengolahan kayu karet. Pola kemitraan juga dapat menjamin harga jual kayu di tingkat petani sehingga dapat mendukung upaya peremajaan karet rakyat. Klon-klon anjuran seperti BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118 direkomendasikan untuk dikembangkan dalam skala luas sebagai penghasil lateks sekaligus kayu. Kata kunci: Kayu karet, industri kayu, peremajaan tanaman, perkebunan rakyat ABSTRACT  Rubber wood potency in supporting replanting of rubber smallholdings  Nowadays, the use of rubber wood for industry is very profitable because its availability is abundantly and would increase in the future in line with the replanting program of smallholdings. Rubb er wood also has good characteristics in physics, chemical, and mechanic which is equal with other natural timber. Utilization of rubber wood should be supported with industrial processing. Partnership program between supplier of rubber wood and farmers is important to guarantee the continuous supply of raw material for whole year. The partnership will also increase wood price at farm level and support replanting program. Some clones such as BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, and IRR 118 were recommended in a large scale as latex and timber clones. Keywords:  Rubber wood, wood industry, replanting, small farmers

tumbuhan karet-biosistematika

Embed Size (px)

Citation preview

5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 1/7

  Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006  61

omoditas karet memiliki peran

yang sangat penting dalam per-ekonomian nasional, antara lain sebagai

sumber pendapatan bagi lebih dari 10 juta

  petani dan menyerap sekitar 1,70 juta

tenaga kerja, serta memberikan kontribusi

 pada Produk Domestik Bruto (PDB) yang

nilainya mencapai Rp6 triliun setiap tahun

(Direktorat Jenderal Bina Produksi

Perkebunan 2002). Selain itu, pengem-

 bangan perkebunan karet berperan dalam

mendorong pertumbuhan sentra-sentra

ekonomi baru di wilayah pengembangan.

Tanaman karet juga memberikan

kontribusi yang sangat penting dalam

 pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian

lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu

 penting mengingat kondisi sebagian besar 

hutan alam makin memprihatinkan. Padatanaman karet, energi yang dihasilkan

seperti oksigen, kayu, dan biomassa dapat

digunakan untuk mendukung fungsi

 perbaikan lingkungan seperti rehabilitasi

lahan, pencegahan erosi dan banjir, peng-

aturan tata guna air bagi tanaman lain, dan

menciptakan iklim yang sehat dan bebas

 polusi. Pada daerah kritis, daun karet yang

gugur mampu menyuburkan tanah. Daur 

hidup tanaman karet yang demikian akan

terus berputar dan berulang selama satu

siklus tanaman karet paling tidak selama

30 tahun. Oleh karena itu, keberadaan

 pertanaman karet sangat strategis bagi

kelangsungan kehidupan, karena mampu

 berperan sebagai penyimpan dan sumber 

energi (Indraty 2005). Hal senadadikemukakan oleh Azwar et al. (1989),

 bahwa laju pertumbuhan biomassa rata-

rata tanaman karet pada umur 3−5 tahun

mencapai 35,50 ton bahan kering/ha/

tahun. Hal ini berarti perkebunan karet

dapat mengambil alih fungsi hutan yang

 berperan penting dalam pengaturan tata

guna air dan mengurangi peningkatan

 pemanasan bumi ( global warming).

Perkebunan karet di Indonesia masih

didominasi oleh perkebunan rakyat yang

mencakup areal sekitar 2,80 juta ha atau

85% dari total areal perkebunan karet

seluas 3,30 juta ha. Dari luasan tersebut,

  perkebunan rakyat memberikan kontri-

POTENSI PEMANFAATAN KAYU KARET UNTUK

MENDUKUNG PEREMAJAAN PERKEBUNAN

KARET RAKYAT

Island Boerhendhy dan Dwi Shinta Agustina

 Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet, Kotak Pos 1127, Palembang 30001

ABSTRAK 

Kayu karet mempunyai prospek yang cerah sebagai bahan baku industri untuk menyubstitusi kayu hutan alam

mengingat ketersediaannya sangat besar dan diharapkan terus meningkat sejalan dengan adanya peremajaan

tanaman karet tua. Selain itu, kayu karet mempunyai sifat-sifat fisik, mekanis, dan kimia yang setara dengan kayu

hutan alam. Pemanfaatan kayu karet perlu didukung dengan industri pengolahan. Kontinuitas penyediaan bahan baku bagi industri pengolahan antara lain dapat ditempuh melalui pengembangan pola kemitraan antara petani dan

industri pengolahan kayu karet. Pola kemitraan juga dapat menjamin harga jual kayu di tingkat petani sehingga

dapat mendukung upaya peremajaan karet rakyat. Klon-klon anjuran seperti BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100,

AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118 direkomendasikan untuk dikembangkan

dalam skala luas sebagai penghasil lateks sekaligus kayu.

Kata kunci: Kayu karet, industri kayu, peremajaan tanaman, perkebunan rakyat

ABSTRACT

 Rubber wood potency in supporting replanting of rubber smallholdings

 Nowadays, the use of rubber wood for industry is very profitable because its availability is abundantly and wouldincrease in the future in line with the replanting program of smallholdings. Rubber wood also has good characteristics

in physics, chemical, and mechanic which is equal with other natural timber. Utilization of rubber wood should be

supported with industrial processing. Partnership program between supplier of rubber wood and farmers is important

to guarantee the continuous supply of raw material for whole year. The partnership will also increase wood price

at farm level and support replanting program. Some clones such as BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS

2037, IRR5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, and IRR 118 were recommended in a large scale as latex and timber 

clones.

Keywords: Rubber wood, wood industry, replanting, small farmers

5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 2/7

62   Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 

 busi sekitar 1,20 juta ton atau 76% dari

total produksi karet alam nasional sebesar 

1,60 juta ton pada tahun 2002 (Direktorat

Jenderal Bina Produksi Perkebunan

2002).

Secara umum permasalahan utama

dalam perkebunan karet rakyat adalah

 produktivitas yang rendah, hanya sekitar 

610 kg/ha/tahun, padahal produktivitas

  perkebunan besar negara atau swasta

masing-masing mencapai 1.107 kg dan

1.190 kg/ha/tahun (Direktorat Jenderal

Bina Produksi Perkebunan 2002). Rendah-

nya produktivitas karet rakyat tersebut

antara lain disebabkan oleh luasnya areal

karet yang menggunakan bahan tanam

nonunggul ( seedling ), dan tanaman

umumnya sudah tua atau rusak sehingga

 perlu diremajakan (Gambar 1). Upaya pere-

majaan oleh petani dengan menerapkan

teknologi maju secara swadaya berjalanrelatif lambat dan tingkat keberhasilannya

rendah karena adanya berbagai kendala,

antara lain terbatasnya dana, kurangnya

ketersediaan informasi dan sumber daya

manusia yang handal, serta lemahnya

kelembagaan finansial (Supriadi et al.

1999).

 Nilai ekonomis karet terletak pada

kemampuannya dalam menghasilkan

lateks, sedangkan produk nonlateks

seperti kayu karet pada awalnya dianggap

sebagai hasil samping terutama untuk kayu bakar. Namun, sejalan dengan

 berkembangnya teknologi pengolahan

dan pengawetan kayu karet dan makin

terbatasnya ketersediaan kayu dari hutan

alam, baik untuk memenuhi permintaan

  pasar domestik maupun ekspor maka

  permintaan terhadap kayu karet terus

meningkat setiap tahun. Peningkatan

 permintaan kayu karet juga didorong oleh

membaiknya perekonomian dunia dan

  bertambahnya jumlah penduduk, serta

terbatasnya ketersediaan kayu hutan alam

terutama setelah kayu ramin, meranti

 putih, dan agathis dilarang untuk diekspor 

dalam bentuk kayu gergajian (Boerhendhy

et al . 2003). Nilai ekonomi kayu karet

yang makin tinggi tersebut dapat men-

  jadi tambahan modal bagi petani untuk 

melakukan peremajaan kebun karet

dengan menanam klon-klon unggul yang

 produktivitasnya tinggi dan pertumbuh-

annya cepat.

Menurut Manurung (2003), kebutuh-

an bahan baku kayu nasional tahun 2003

sebesar 63 juta m3, sementara dalam rangka

  pelaksanaan kebijakan  soft landing ,

  pemerintah melalui Departemen Kehu-tanan pada tahun yang sama hanya

memberikan jatah tebangan sebesar 6,80

  juta m3. Data tersebut memperlihatkan

adanya kesenjangan yang sangat besar,

sekitar 56 juta m3, antara produksi dan

kebutuhan kayu. Kondisi ini disebabkan

oleh menurunnya produktivitas hutan

alam akibat laju kerusakan hutan yang

sangat tinggi. Oleh karena itu perlu dicari

alternatif kayu pengganti kayu hutan alam

yang memungkinkan untuk diekspor.

Pemanfaatan kayu karet sebagai peng-ganti kayu hutan alam sangat memung-

kinkan mengingat ketersediaan kayu

karet sangat besar serta sifat-sifatnya

relatif sama dengan kayu hutan alam,

seperti kayu ramin, meranti, dan agathis

(Boerhendhy et al . 2003).

Di Indonesia, industri pengolahan

kayu karet skala besar mulai berkembang

sejak akhir tahun 1980-an, seperti di

Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan,

Lampung, dan Jawa. Pada awalnya, kayu

karet banyak dimanfaatkan untuk kayu

  pertukangan, terutama kayu yang ber-

diameter besar, namun akhir-akhir ini kayu

karet berdiameter kecil pun banyak digu-

nakan untuk keperluan pabrik papan serat

densitas medium (Medium Density Fibre-

board, MDF) (Boerhendhy et al . 2003).

MDF dapat diproses menjadi bubur kayu,

selanjutnya menjadi papan partikel, pulp,

dan kertas

Di Malaysia, industri pengolahan

kayu karet untuk ekspor telah dimulai

sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1980,

Malaysia mengekspor 17.500 m3 kayu karetdalam bentuk gergajian dan angka ini

meningkat menjadi 178.000 m3 pada tahun

1986 (Coto 1989). Terbukanya pasar ekspor 

kayu karet gergajian dan berkembangnya

 pemanfaatan kayu karet berdiameter kecil

untuk keperluan pabrik MDF menyebab-

kan makin banyaknya minat pengusaha

  perkayuan untuk ikut dalam kegiatan

 pengolahan kayu karet.

Tulisan ini bertujuan untuk mem-

 bahas potensi pemanfaatan kayu karet dan

  peranannya dalam mendukung perema-

 jaan kebun karet rakyat. Berbagai masalah

yang dihadapi dalam pemanfaatan kayu

karet juga dibahas dan disertai dengan

upaya pemecahannya.

PELUANG KAYU KARET

SEBAGAI SUBSTITUSI KAYU

HUTAN ALAM

Ada beberapa alasan mengapa kayu karet

dapat digunakan sebagai substitusi kayu

hutan alam dan menjadi andalan dalam

memenuhi kebutuhan kayu baik untuk 

 pasar dalam maupun luar negeri. Alasan

tersebut adalah: 1) sifat-sifat dasar kayu

karet, baik sifat fisik, mekanis maupun

kimia relatif sama dengan kayu hutan

alam, 2) potensi ketersediaan kayu karet

cukup besar sejalan dengan peremajaan

 perkebunan karet rakyat, dan 3) nilai

ekonomis kayu karet cukup baik.

Sifat-Sifat Kayu Karet

Salah satu sifat fisik kayu karet yang cukup

 penting adalah kerapatan atau berat jenis.

Kerapatan kayu karet tergolong setengah

 berat yaitu berkisar antara 0,62–0,65 g/cm 3

(Seng 1951; Budiman 1987; Mandika et 

al. 1989; Darsini 1991). Variasi kerapatan

kayu karet disebabkan beberapa hal, antara

lain perbedaan genetik, tempat tumbuh,

dan contoh yang dianalisis (Budiman,

1987). Kerapatan kayu karet setara dengan

kayu eik atau oak (Quercus sp.), Acasia

mangium (0,61), ramin (0,63), dan mahoni

(0,61) (Seng 1951; Kartasujana dan

Martawijaya 1973; Sutigno dan Mas’ud

1989; Darsini 1991).

 Nilai penyusutan (stabilitas dimensi)

kayu karet sangat kecil, hanya sedikit lebih

kecil dari kayu jati (Budiman 1987;

Boerhendhy et al . 2001). Dibandingkan

dengan kayu ramin, penyusutan kayu

karet dari basah sampai kering udara arah

radial dan tangensial jauh lebih kecil, yaitu1,77−3,05% (Boerhendhy et al . 2001),

sedangkan kayu ramin mengalami penyu-Gambar 1. Kebun karet tua yang per-

lu diremajakan.

5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 3/7

  Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006  63

sutan untuk arah radial 4,50% dan arah

tangensial 9,70% (Darsini 1991). Berkaitan

dengan penyusutan, untuk mempercepat

waktu pengeringan diperlukan dapur 

 pengering (kilndry).

Salah satu kelemahan kayu karet yaitu

mudah terjadi cacat (melengkung dan

melintir) dan sering mengalami retak di

 bagian ujung selama proses pengeringan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, tum-

  pukan kayu perlu diberi pemberat atau

 pegas dan bagian ujungnya diberi penu-

tup untuk mengurangi cacat bentuk 

tersebut (Budiman 1987; Coto 1989).

Dilihat dari sifat fisik dan mekanis,

kayu karet tergolong kayu kelas kuat II-

III, yang setara dengan kayu ramin,

 perupuk, akasia, mahoni, pinus, meranti,

durian, ketapang, keruing, sungkai,

gerunggang, dan nyatoh (Seng 1951;

Budiman 1987; Sutigno dan Mas’ud 1989;Sulastiningsih et al . 1999). Kelas awet

kayu karet tergolong kelas awet V yaitu

setara dengan kayu ramin (Seng 1951),

namun kayu karet lebih rentan terhadap

serangga penggerek dan jamur biru (blue

 stain) dibanding kayu ramin. Oleh karena

itu, untuk memanfaatkannya perlu di-

lakukan pengawetan yang lebih intensif 

dibandingkan kayu ramin, terutama

setelah digergaji. Pengawetan kayu ramin

cukup dengan cara pencelupan, sedang-

kan pada kayu karet harus dilakukandengan cara vakum dan tekan (Sutigno

dan Mas’ud 1989). Namun, dengan ber-

kembangnya teknologi pengawetan,

masalah tersebut telah dapat diatasi (Coto

1989).

Sifat lain yang menarik dari kayu karet

adalah mudah digergaji dengan hasil

gergajian yang cukup halus, serta mudah

dibubut dengan permukaan yang rata dan

halus. Kayu karet mudah pecah bila

dipaku sehingga perlu hati-hati dalam

 pengerjaannya. Selain itu, kayu karet

mempunyai sifat perekatan yang baik 

dengan semua jenis perekat industri

(industrial adhesives). Menurut Sutigno

et al . (1979), kayu lapis (tripleks) dari kayu

karet yang direkat dengan perekat urea

 formaldehyde (UP) dan diberi ekstender 

20% mempunyai sifat keteguhan rekat

yang memenuhi standar Indonesia,

Jepang, dan Jerman. Hal ini berarti sifat

  perekatan kayu karet tergolong baik,

karena tidak semua jenis kayu dapat

memenuhi syarat keteguhan rekat ketiga

standar tersebut. Dengan warna khas putihkekuningan atau kuning pucat seperti

warna jerami, serta tekstur yang halus dan

rata mirip kayu ramin, kayu karet mudah

diwarnai sehingga disukai dalam pembu-

atan mebel (Budiman 1987; Boerhendhy

et al. 2001).

Produk berbahan kayu karet makin

 banyak diminati. Menurut Hasan (1989),

  peralatan yang terbuat dari kayu karet

dapat dibuat secara knock down atau

completed knock down seperti meja dan

kursi makan, kursi lipat, rak, pigura dan lis

kaca, dinding penyekat, jelusi jendela,

dan profil lantai. Produk seperti ini

umumnya diekspor ke Asia Timur, Eropa,

dan Amerika.

Sifat-sifat kimia yang penting dari

kayu karet antara lain adalah kadar 

holoselulose, lignin, dan ekstraktif. Hasil

  penelitian menunjukkan bahwa kadar 

holoselulose kayu karet tergolong tinggi

(67,38%), kadar lignin tergolong rendah

(20,68%) dibandingkan dengan kayu  A.mangium yang umum digunakan untuk 

 bahan baku pulp yaitu sebesar 26,72%,

dan kadar zat ekstraktif tergolong tinggi

(4,58%) (Boerhendhy et al . 2001). Kayu

karet dengan kandungan holoselulose

tinggi sangat baik sebagai bahan baku

kertas karena akan menghasilkan ren-

demen pulp yang tinggi. Sementara itu

dengan kadar lignin yang rendah, kayu

karet sangat disukai dalam pengolahan

 pulp karena akan menghasilkan pulp yang

mempunyai sifat keteguhan tinggi danwarnanya cerah. Kayu karet mempunyai

kadar zat ekstraktif lebih tinggi diban-

dingkan dengan klasifikasi kayu Indonesia

(> 4%). Kadar zat ekstraktif yang tinggi

akan menghambat proses pengolahan

 pulp terutama pengolahan secara kimia,

karena akan menurunkan rendemen pulp

dan kemungkinan menimbulkan noda

dalam lembaran kertas yang dihasilkan.

 Namun, masalah tersebut dapat diatasi

dengan cara merendam kayu karet dan

memberikan tambahan ramuan dengan

 jenis kayu lain (Silitonga et al . 1974).

Sifat kimia kayu karet yang juga

cukup penting adalah dimensi serat, yang

meliputi panjang serat, diameter serat,

tebal dinding, dan lebar lumen serat. Baik 

secara tersendiri maupun kombinasinya,

sifat-sifat tersebut akan berpengaruh ter-

hadap sifat keteguhan lembaran pulp yang

dihasilkan. Panjang serat kayu karet cukup

  baik, sekitar 1,70 mikron, lebih tinggi

dibandingkan dengan kayu akasia yang

mempunyai panjang serat 0,986 mikron

Diameter serat kayu karet tergolong kecilyaitu sekitar 24,16 mikron (kurang dari 36

mikron). Tebal dinding sel berukuran tipis

sampai sedang (3,53–4,68 mikron), sedang-

kan lebar lumen serat tergolong lebar (0,61

mikron) (Boerhendhy et al . 2001). Menurut

Hendi dan Suhendi (2000), kayu dengan

serat yang panjang, diameter serat yang

kecil, dinding sel yang tipis, dan lumen

serat yang lebar sangat baik untuk 

 pembuatan pulp dan kertas, karena akan

menghasilkan daya tenun yang tinggi

sehingga kertas yang dihasilkan mem-

  punyai keteguhan sobek yang tinggi.

Ditinjau dari sifat kimia, kualitas kayu karet

termasuk ke dalam kelas II (Hendi dan

Suhendi 2000). Berdasarkan sifat fisik,

mekanis, dan kimia tersebut, kayu karet

memungkinkan dimanfaatkan sebagai

 bahan bangunan, mebel, dan bahan baku

 pulp.

POTENSI DAN PROSPEK PERMINTAAN KAYU KARET

Kayu karet dapat digunakan sebagai

 pengganti kayu hutan alam setelah melalui

  proses pengolahan dan pengawetan.

Penggunaan kayu karet untuk bahan baku

industri sangat cerah mengingat keter-

sediaannya sangat besar dan akan terus

meningkat di masa depan sejalan dengan

luasnya areal tanaman karet yang perlu

diremajakan, meskipun angka yang pasti

  belum diperoleh. Namun, berdasarkandata Direktorat Jenderal Perkebunan tahun

2002, luas tanaman karet yang perlu

diremajakan sekitar 125.000 ha atau 4%

dari total luasan karet di Indonesia. Jika

tiap hektar tanaman karet diperkirakan

dapat menghasilkan 50 m3kayu bulat yang

dapat diproses menjadi kayu gergajian

(Djajapertjunda dan Nasution 1989) maka

dari luasan 125.000 ha akan diperoleh 6,25

 juta m3 kayu bulat, yang bersumber dari

  perkebunan rakyat (87%), perkebunan

 besar negara (6%), dan perkebunan besar 

swasta (7%)). Riau, Sumatera Selatan, dan

Jambi merupakan tiga propinsi yang

memiliki areal karet tua terluas di Sumatera

yang perlu diremajakan, masing-masing

23.907 ha, 20.317 ha, dan 19.012 ha

(Direktorat Jenderal Bina Produksi Perke-

 bunan 2002).

Pada masa lampau, kayu karet hasil

  peremajaan hanya digunakan sebagai

  bahan bakar dalam pembuatan ribbed 

 smoked sheet (RSS), pembakaran kapur,

dan kayu bakar. Namun dengan makin

 berkembangnya teknologi pengolahankayu karet, pemanfaatan kayu karet

menjadi semakin luas. Di Malaysia, kayu

5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 4/7

64   Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 

karet dapat dimanfaatkan menjadi berbagai

  produk, seperti papan, papan partikel,

 papan serat, kertas, komponen bangunan,

 profil lantai, dan furnitur. Di Liberia, kayu

karet sebagian besar digunakan untuk 

 papan partikel dan di Sri Lanka untuk 

 produksi pulp sebagai bahan dasar kertas

(Tan et al. 1980; Paardekooper 1989). Di

India, kayu karet digunakan sebagai bahan

kayu bangunan, ukiran, papan, penyekat,

 palet, dan boneka (Sekhar 1989).

Pada masa mendatang, Indonesia

sangat berpeluang untuk mengembang-

kan kayu karet sebagai bahan baku

industri. Beberapa pabrik di Sumatera

Selatan sudah mulai mengolah kayu karet

dalam bentuk  laminating board  dan

moulding . Di Lampung terdapat pabrik 

 pengolahan papan partikel (Sumana et al.

1991), sedangkan di Jambi terdapat pabrik 

 pengolahan papan partikel, kayu lapis,MDF, dan moulding . Hasil olahan kayu

karet yang berwarna khas putih keku-

ningan seperti kayu ramin dan prupuk 

umumnya dipasarkan ke negara-negara

Eropa seperti Perancis, Belanda, Jerman

dan Inggris; serta negara-negara Asia

seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan

(Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan

dan Perhutanan Sosial 1997). Beberapa

 produk olahan dari kayu karet disajikan

 pada Gambar 2.

Permintaan terhadap produk kayukaret dari tahun ke tahun semakin

meningkat sebagai akibat perkembangan

 penduduk dunia dan membaiknya kondisi

 perekonomian berbagai negara. Selain itu,

dengan berkembangnya teknologi peng-

olahan kayu, pemanfaatan kayu karet

sebagai bahan baku industri tidak lagi

hanya terbatas pada kayu yang berukuran

 besar, tetapi kayu-kayu yang berukuran

lebih kecil pun dapat diproses menjadi

  bubur kayu yang seterusnya diolah

menjadi papan partikel, pulp, dan kertas.

Dengan demikian seluruh bagian kayu

termasuk cabang dan ranting saat ini telah

dapat dimanfaatkan (Asosiasi Penelitian

Perkebunan Indonesia 1999). Berdasarkan

hal tersebut, kayu karet yang bersifat

terbarukan (renewable) diharapkan dapat

digunakan lebih luas sebagai substitusi

kayu hutan alam sehingga memberi nilai

tambah bagi pekebun, terutama sebagai

tambahan modal dalam peremajaan ke-

 bun karet mereka, serta sebagai sumber 

 pendapatan asli daerah (PAD) dan devisa

negara.Sejalan dengan bergesernya peran

tanaman karet dari semula hanya sebagai

Tabel 1. Potensi produksi karet kering dan pertumbuhan beberapa klon

anjuran untuk klon penghasil lateks dan kayu.

Klon Tetua ProduksiPertumbuhan

(kg/ha) TBM T M

BPM 1 AVROS 163 X AVROS 368 1.945 Cepat Sangat cepat

PB 330 PB 5/51 X PB 49 1.774 Sangat cepat Cepat

PB 340 PB 235 X PR 107 2.180 Sangat cepat Sedang

RRIC 100 RRIC 52 X PB 85 1.997 Sangat cepat Cepat

AVROS 2037 AVROS 256 X AVROS 352 1.993 Sangat cepat Cepat

IRR 5 KLON PRIMER 1.609 Sangat cepat Cepat

IRR 32 LCB 1320 X AVROS1734 1.644 Cepat Cepat

IRR 39 LCB 1320 X FX 25 1.640 Sangat cepat Sangat cepat

IRR 42 LCB 1320 X F 351 1.989 Sangat cepat Cepat

IRR 112 IAN 873 X RRIC 110 2.195 Cepat Cepat

IRR 118 LCB 1320 X FX 2784 2.011 Sangat cepat Cepat

Sumber: Balai Penelitian Sembawa (2006).

Gambar 2. Beberapa produk olahan dari kayu karet: kursi dan meja makan, lemari

hias khas Palembang, dan rak majalah atau koran.

  penghasil lateks kemudian menjadi

 penghasil lateks dan kayu, maka pemilihan

klon pun perlu diarahkan untuk memenuhi

kedua keperluan tersebut. Tanaman

hendaknya memiliki pertumbuhan yang

cepat, baik pada masa tanaman belum

menghasilkan (TBM) maupun pada masa

tanaman menghasilkan (TM), serta pro-

duktivitasnya tinggi. Berdasarkan Hasil

Rumusan Lokakarya Pemuliaan Karet

tahun 2005, beberapa klon yang dapat

dikembangkan untuk produksi lateks dan

kayu adalah BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC

100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39,

IRR 42, IRR 112, dan IRR 118 (Balai

Penelitian Sembawa 2006). Potensi

  produksi dan sifat sekunder klon-klon

tersebut disajikan pada Tabel 1.

KAYU KARET MENDUKUNGBIAYA PEREMAJAAN

KARET RAKYAT

Satu siklus tanaman karet untuk meng-

hasilkan lateks sekitar 30 tahun, yang

terbagi atas fase TBM 5 tahun dan TM 25

tahun. Setelah masa tersebut, kebun karet

tidak produktif lagi sehingga perlu

diremajakan. Kebun-kebun seperti ini

merupakan sumber bahan baku pabrik 

 pengolahan kayu karet. Pada penanaman

dengan jarak tanam 6 m x 3 m, populasi

tanaman tiap hektar sekitar 550 pohon.

Pada saat peremajaan, populasi tersebut

  berkurang menjadi 250–300 pohon/ha

karena berbagai hal, seperti tumbang atau

 patah akibat angin.

Umumnya petani mengalami kesu-

litan dalam melakukan peremajaan kebun

karet tua karena kurangnya modal untuk 

  biaya penebangan, pembukaan lahan,

  pemagaran, pengadaan bibit, dan pena-

naman. Selain itu, penebangan atau

  peremajaan dipengaruhi oleh musim

  pembukaan lahan. Pembukaan lahan

  perkebunan biasanya dilakukan padamusim kemarau. Lokasi kebun yang sulit

dijangkau atau tidak dilengkapi akses

  jalan untuk kendaraan roda empat akan

mempersulit pengangkutan kayu ke

tempat pengolahan. Kondisi tersebut

5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 5/7

  Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006  65

mengakibatkan suplai bahan baku ke

 pabrik pengolahan kayu karet menjadi

tidak kontinu.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh

  pemerintah daerah seperti Pemerintah

Propinsi Sumatera Selatan untuk menjamin

kesinambungan pasokan bahan baku bagi

 pabrik pengolahan kayu karet. Pemerintah

Propinsi Sumatera Selatan bekerja sama

dengan salah satu pabrik pengolahan kayu

karet telah membuat kesepakatan melalui

kemitraan dengan petani. Melalui pola

kemitraan dapat disepakati penjadwalan

kegiatan penebangan di kebun petani

sehingga kebutuhan kayu karet dapat

terpenuhi sepanjang tahun.

Dengan pola kemitraan tersebut,

 petani dapat menjual kayu karet kepada

industri pengolahan dengan harga yang

disepakati, dan pihak industri menyedia-

kan bibit unggul, melakukan penebangandan pendongkelan akar dengan menggu-

nakan traktor sehingga pembukaan lahan

untuk peremajaan dapat dilakukan dengan

cepat. Selain itu, pembukaan lahan dengan

cara pendongkelan akar sangat bermanfaat

untuk mengatasi serangan penyakit jamur 

akar putih (JAP) yang merupakan salah

satu penyakit utama pada tanaman karet.

Sementara itu petani hanya mengeluarkan

 biaya untuk pembersihan dan persiapan

tanam seperti pengajiran, pembuatan

lubang tanaman, dan penanaman.Untuk kegiatan persiapan lahan dan

 penanaman, pekebun harus mengeluarkan

 biaya Rp6.652.500/ha masing-masing

untuk tenaga kerja Rp2.320.000 serta bibit,

 pupuk, dan peralatan Rp4.332.500. Pada

saat peremajaan akan diperoleh 247

  pohon/ha dengan kayu berkualitas baik 

dari populasi awal 550 pohon. Jika harga

kayu rata-rata Rp42.600/pohon (diameter 

> 45 cm) maka akan diperoleh pendapatan

  bersih dari hasil penjualan kayu karet

sebesar Rp3.869.700/ha. Pendapatan yang

diperoleh bergantung pada jumlah

tegakan per hektar, diameter batang, jarak 

 pabrik ke lokasi kebun, dan kondisi jalan

yang dilalui.

Selama masa TBM, pendapatan yang

diperoleh dari hasil penjualan kayu karet

dapat digunakan untuk pemeliharaan

kebun dan untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari. Pada masa TBM, petani dapat

menanam tanaman sela di antara karet

untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau

untuk dijual sebagai tambahan pengha-

silan. Di Sumatera Selatan, jenis tanamansela yang dianjurkan adalah padi gogo

 pada tahun pertama serta nenas dan pisang

 pada tahun kedua dan ketiga. Tanaman

sela tahan naungan seperti jahe, kapulaga,

dan vanili masih dapat diusahakan di

antara tanaman karet setelah tanaman

karet menghasilkan (Gambar 3).

PERMASALAHAN DAN

UPAYA PEMANFAATAN

KAYU KARET

Meskipun industri kayu karet mempunyai

  prospek dan potensi yang cukup baik,

  beberapa permasalahan perlu mendapat

  perhatian, yaitu (Boerhendhy et al .

2002):

1) Sebagian besar lokasi kebun karet

rakyat terletak di wilayah yang tidak 

mempunyai akses jalan sehingga sulit

dijangkau oleh kendaraan roda empat.

Selain itu, tidak semua sentra karetmemiliki industri pengolahan kayu

karet, sehingga jarak antara lokasi

kebun dan pabrik relatif jauh. Akibat-

nya, pengangkutan sering tertunda

dan memerlukan biaya cukup besar.

Penundaan pengangkutan menyebab-

kan kayu menjadi rusak karena

terinfeksi jamur biru, terutama untuk 

kayu gergajian. Pada kondisi seperti

itu, penjualan kayu karet menjadi tidak 

ekonomis sehingga kayu karet hanya

digunakan sebagai kayu bakar. Kayukaret akan bernilai ekonomis jika kebun

mempunyai akses jalan yang dapat

dilewati truk dan lokasinya tidak 

terlalu jauh dari pabrik pengolahan.

2) Penebangan biasanya dilakukan pada

musim kemarau karena pada musim

tersebut petani mudah melakukan

 pembakaran untuk membersihkan

lahan yang akan ditanami kembali (re-

 planting ). Akibatnya di luar musim

 peremajaan pabrik mengalami kesulitan

memperoleh bahan baku.

3) Rendemen kayu cukup rendah karena

diameter kayu relatif kecil dan kayu

 banyak yang rusak akibat penyadapan

sampai ke bagian kayu.

Untuk meningkatkan pemanfaatan

kayu karet di masa depan, terutama sebagai

  pengganti atau substitusi kayu hutan

alam, perlu dilakukan berbagai upaya

sebagai berikut:

1) Meningkatkan rendemen kayu karet

dengan menerapkan sistem penya-dapan yang tidak melukai kayu, serta

menggunakan bahan tanaman unggul

yang memiliki pertumbuhan cepat,

  batang lurus, dan produktivitas

tinggi. Klon penghasil lateks dan kayu

yang dapat dikembangkan adalah

BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100,

AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39,

IRR 42, IRR 112, dan IRR118. Klon-

klon tersebut memiliki potensi hasil

karet kering yang cukup tinggi yaitu

1.609−

2.195 kg/ha/tahun. Kayu karetmemiliki rasio penyusutan tangensial

terhadap radial yang rendah sehingga

Gambar 3. Tanaman sela padi, nenas + pisang, dan kapulaga di antara gawangan

karet.

5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 6/7

66   Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 

mempunyai kestabilan dimensi kayu

yang baik (Daslin dan Anas 2003).

2) Dalam penanaman ulang, petani

dianjurkan menanam karet dalam satu

hamparan dan dilengkapi dengan

akses jalan yang dapat dilewati oleh

truk untuk memudahkan pengang-

kutan kayu pada saat peremajaan.

3) Pembangunan industri pengolahan

kayu karet perlu diawali dengan iden-

tifikasi potensi kayu karet di sekitar-

nya, sehingga kapasitas terpasang

 pabrik dapat terpenuhi dari bahan baku

yang tersedia di sekitar pabrik. Pola

kemitraan antara industri pengolahan

dan petani juga dapat menjamin keter-

sediaan kayu karet melalui pengaturan

waktu penebangan (peremajaan).

DAFTAR PUSTAKA

Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. 1999.

Klon-klon karet untuk HTI dan hutan

kemasyarakatan. Warta Penelitian dan

Pengembangan Pertanian 21(4): 8.

Azwar, R., N. Alwi, dan Sunarwidi. 1989. Kajian

komoditas dalam pembangunan hutan

tanaman industri. hlm. 131−155. Prosiding

Lokakarya Nasional HTI Karet, Medan,

28−30 Agustus 1989. Pusat Penelitian

Perkebunan Sungei Putih, Medan.

Balai Penelitian Sembawa. 2006. Rekomendasi

klon karet periode 2006−2020. Balai Pene-

litian Sembawa, Pusat Penelitian Karet,

Palembang.

Boerhendhy, I., N. Hadjib, R.M. Siagian, A.

Gunawan, dan M. Lasminingsih. 2001.

Karakteristik mutu dan sifat kayu karet klon

anjuran dan harapan. hlm.1−26. Prosiding

Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet, 5−6

  November 2001. Pusat Penelitian Karet,

Medan.

Boerhendhy, I., C. Nancy, dan A. Gunawan. 2002.

Prospek dan potensi pemanfaatan kayukaret sebagai substitusi kayu alam. Warta

Penelitian Pusat Karet 21(1−3): 58−66.

Boerhendhy, I., C. Nancy, dan A. Gunawan. 2003.

Kayu karet dapat menggantikan kayu hutan

alam. Warta Penelitian dan Pengembangan

Pertanian 25(1): 3−5.

Budiman, S. 1987. Perkembangan pemanfaatan

kayu karet. Sasaran 1(4): 5−9.

Coto, Z. 1989. Kayu karet sebagai bahan baku

industri pengolahan kayu. hlm. 393−407.

Prosiding Lokakarya Nasional Pem-

 bangunan HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus

1989. Pusat Penelitian Perkebunan SungeiPutih, Medan.

Darsini, A.S. 1991. Struktur dan sifat kayu karet

sebagai pengganti kayu ramin. Tesis Pasca-

sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogya-

karta.

Daslin, A. dan A. Anas. 2003. Karakteristik hasil

serta sifat lateks dan kayu dari berbagai klon

karet unggul generasi IV. hlm. 189−198.

Prosiding Konferensi Agribisnis Karet

Menunjang Industri Lateks dan Kayu 2003.

Pusat Penelitian Karet, Medan.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan.

2002. Statistik Perkebunan Indonesia: Karet.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Perke-

  bunan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial. 1997. Promotion of 

optimum utilization of rubberwood. Socio-

economic Survey and Rubber Wood Develop-

ment Potential in Jambi. 31 pp.

Djajapertjunda, S. dan D. Nasution. 1989. Ke-

mungkinan pembangunan industri kayu karet

di Sumatera Utara. hlm. 381−392. Prosiding

Lokakarya Nasional Pembangunan HTIKaret, Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat

Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan.

Hasan, M. 1989. Pengembangan hutan tanaman

industri dengan karet sebagai alternatif. hlm.

77−85. Prosiding Lokakarya Nasional HTI

Karet, Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat

Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan.

Hendi dan Suhendi. 2000. Pola pewarisan genetik 

sifat-sifat kayu pinus ( Pinus mercusii). hlm.

162−184. Prosiding Diskusi Peningkatan

Kualitas Kayu, 24 Februari. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

Indraty, I.S. 2005. Tanaman karet menyelamat-kan kehidupan dari ancaman karbondiok-

sida. Warta Penelitian dan Pengembangan

Pertanian 27(5): 10−12.

Kartasujana dan Martawijaya. 1973. Sifat dan

kegunaan kayu perdagangan Indonesia.

Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.

Mandika, D., A. Sapta, dan R.K. Sari. 1989. Se-

lintas tentang kayu karet. hlm. 373−379.

Prosiding Lokakarya Nasional HTI Karet,

Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat Pe-

nelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan.

Manurung, T. 2003. Laju kerusakan hutan

Indonesia, terparah di planet bumi. Majalah

Gatra.

Paardekooper, E.C. 1989. Exploitation of the

rubber tree. p. 349−414.  In C.C. Webster 

and W.J. Baulkwill (Eds.). Rubber. Longman

Scientific & Technical Co., published in the

United States with John Wiley & Sons, Inc,

 New York.

Sekhar, A.C. 1989. Rubber wood production and

utilization. RRII, Kottayam 686009. 224

 pp.

Seng, O.D. 1951. Perbandingan berat dari jenis-

 jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya

kayu untuk keperluan praktek. Laporan

 No.46 Balai Penyelidikan Kehutanan, Bogor.

Silitonga, T., Roliadi, dan Sudrajat. 1974. Papan

serat dari campuran kayu karet dan beberapa

  jenis kayu daun lebar lainnya. Laporan No.

43 Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.

Sulastiningsih, I.M., M. Wardani, dan P. Sutigno.

1999. Pengembangan jenis andalan setempat

untuk menunjang industri kayu lapis.

Prosiding Lokakarya Kayu Lapis, 18 Mei

1999. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor.

hlm. 184−205.

Sumana, R. Dereindra, M.N. Ridha, dan S. Ach-

diansyah. 1991. Pendapatan dan motivasi

 petani dalam penjualan kayu karet tebangan.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Agri-

  bisnis, Jakarta. 15 hlm.

4) Diperlukan dukungan pemerintah

dalam pemanfaatan kayu karet misal-

nya melalui kemudahan perizinan

untuk pendirian pabrik pengolahan

kayu karet.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kayu karet mempunyai prospek yang

sangat cerah sebagai substitusi kayu

hutan alam mengingat ketersediaannya

cukup besar, permintaan terus meningkat,

dan mempunyai keunggulan setara

dengan kayu hutan alam. Klon-klon

anjuran seperti BPM 1, PB 330, PB 340,

RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 

39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118 dapat

dikembangkan dalam skala luas untuk 

 produksi lateks sekaligus kayu.

Pemanfaatan kayu karet perlu

didukung dengan industri pengolahan.

Kontinuitas penyediaan bahan baku bagi

industri pengolahan dapat ditempuh

melalui pengembangan pola kemitraan

antara petani dan industri pengolahan,

sekaligus untuk mendukung peremajaan

karet rakyat. Tersedianya akses jalan

dengan kondisi yang baik, penggunaan

 bahan tanam unggul, sistem sadap yang

 baik, lokasi kebun dalam satu hamparan,

serta adanya dukungan positif dari

 pemerintah merupakan langkah-langkah

yang perlu dilakukan berbagai pihak agar 

nilai guna dan nilai ekonomi kayu karet di

masa depan dapat dioptimalkan.

5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 7/7

  Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006  67

Supriadi, M., G. Wibawa, dan C. Nancy. 1999.

Percepatan peremajaan karet melalui pe-

nerapan teknologi dan pemberdayaan masya-

rakat perkebunan. hlm. 45−69. Prosiding

Lokakarya dan Ekspose Teknologi Per-

kebunan. Buku I. Model Peremajaan Karet

Rakyat Secara Swadaya. Asosiasi Penelitian

Perkebunan Indonesia, Bogor.

Sutigno, P., R. Memed, dan S. Kliwon. 1979.

Sifat venir  dan kayu lapis jenis-jenis kayu

Indonesia. Laporan No. 143 Lembaga Pe-

nelitian Hasil Hutan, Bogor.

Sutigno, P. dan A.F. Mas’ud. 1989. Alternatif 

  pengolahan kayu hutan tanaman industri

karet. hlm. 259−269. Prosiding Lokakarya

 Nasional HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus

1989. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei

Putih, Medan. hlm. 259−269.

Tan, A.G., A. Sujan, and T.C. Khoo. 1980. Rubber 

wood for parquet manufacture. Planter’s

Bulletin of Rubber Research Institute of 

Malaysia (163): 81−87.