28
DERMATITIS KONTAK IRITAN I. DEFINISI Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan nonimunologik pada kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen maupun endogen. Faktor eksogen berupa bahan-bahan iritan (kimiawi, fisik, maupun biologik) dan faktor endogen memegang peranan penting pada penyakit ini. 1 Dermatitis kontak iritan berbeda dengan dermatitis kontak alergi, dimana dermatitis kontak iritan merupakan suatu respon biologis pada kulit berdasarkan variasi dari stimulasi eksternal atau bahan pajanan yang menginduksi terjadinya inflamasi pada kulit tanpa memproduksi antibodi spesifik. 2 Dermatitis kontak iritan lebih banyak tidak terdeteksi secara klinis disebabkan karena penyebabnya yang bermacam-macam dan interval waktu antara kontak dengan bahan iritan serta munculnya ruam tidak dapat diperkirakannya. Dermatitis muncul segera setelah pajanan dan tingkat keparahannya ditentukan berdasarkan kuantitas, konsentrasi, dan lamanya terpajan oleh bahan iritan tersebut. 3 1

TUGAS TYA LBM 4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ASs

Citation preview

Page 1: TUGAS TYA LBM 4

DERMATITIS KONTAK IRITAN

I. DEFINISI

Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan

nonimunologik pada kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen

maupun endogen. Faktor eksogen berupa bahan-bahan iritan (kimiawi, fisik,

maupun biologik) dan faktor endogen memegang peranan penting pada penyakit

ini.1

Dermatitis kontak iritan berbeda dengan dermatitis kontak alergi, dimana

dermatitis kontak iritan merupakan suatu respon biologis pada kulit berdasarkan

variasi dari stimulasi eksternal atau bahan pajanan yang menginduksi terjadinya

inflamasi pada kulit tanpa memproduksi antibodi spesifik.2

Dermatitis kontak iritan lebih banyak tidak terdeteksi secara klinis

disebabkan karena penyebabnya yang bermacam-macam dan interval waktu

antara kontak dengan bahan iritan serta munculnya ruam tidak dapat

diperkirakannya. Dermatitis muncul segera setelah pajanan dan tingkat

keparahannya ditentukan berdasarkan kuantitas, konsentrasi, dan lamanya terpajan

oleh bahan iritan tersebut.3

II. EPIDEMIOLOGI

Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai

golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Data epidemiologi penderita dermatitis

kontak iritan sulit didapat. Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan

cukup banyak, namun sulit untuk diketahui jumlahnya. Hal ini disebabkan antara

lain oleh banyak penderita yang tidak datang berobat dengan kelainan ringan.6

Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic

menunjukkan bahwa 249.000 kasus penyakit akupasional nonfatal pada tahun

2004 untuk kedua jenis kelamin, 15,6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang

merupakan penyebab kedua terbesar untuk semua penyakit okupational. Juga

1

Page 2: TUGAS TYA LBM 4

berdasarkan survey tahunan dari institusi yang sama, bahwa incident rate untuk

penyakit okupasional pada populasi pekerja di Amerika, menunjukkan 90-95%

dari penyakit okupasional adalah dermatitis kontak, dan 80% dari penyakit

didalamnya adalah dermatitis kontak iritan.1,7

Sebuah kusioner penelitian diantara 20.000 orang yang dipilih secara acak

di Sweden melaporkan bahwa 25% memiliki perkembangan gejala selama tahun

sebelumnya. Orang yang bekerja pada industri berat, mereka yang bekerja

bersentuhan dengan bahan kimia keras yang memiliki potensial merusak kulit dan

mereka yang diterima untuk mengerjakan pekerjaan basah secara rutin memiliki

faktor resiko. Mereka termasuk : muda, kuat, laki-laki yang dipekerjakan sebagai

pekerja metal, pekerja karet, terapist kecantikan, dan tukang roti.8

III. ETIOLOGI

Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen

(iritan dan lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan.1,9

Faktor Eksogen

Selain dengan asam dan basa kuat, tidak mungkin untuk memprediksi

potensial iritan sebuah bahan kimia berdasarkan struktur molekulnya. Potensial

iritan bentuk senyawa mungkin lebih sulit untuk diprediksi. Faktor-faktor yang

dimaksudkan termasuk : (1) Sifat kimia bahan iritan: pH, kondisi fisik,

konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan dasar, kelarutan ;

(2) Sifat dari pajanan: jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak,

pajanan serentak dengan bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan

sebelumnya ; (3) Faktor lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan

faktor mekanik seperti tekanan, gesekan atau goresan. Kelembapan lingkunan

yang rendah dan suhu dingin menurunkan kadar air pada stratum korneum yang

menyebabkan kulit lebih rentan pada bahn iritan.1

Faktor Endogen

a. Faktor genetik

2

Page 3: TUGAS TYA LBM 4

Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu untuk

mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzym antioksidan,

dan kemampuan untuk membentuk perlindungan heat shock protein

semuanya dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga menentukan

keberagaman respon tubuh terhadap bahan-bahan ititan. Selain itu,

predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap

bahan iritan.1 Pada penelitian, diduga bahwa faktor genetik mungkin

mempengaruhi kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α polimorfis telah

dinyatakan sebagai marker untuk kerentanan terhadap kontak iritan.10

b. Jenis Kelamin

Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan

wanita dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara

jenis kelamin dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak

terpajan oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan daripada

laki-laki. Tidak ada pembedaan jenis kelamin untuk dermatitis kontak

iritan yang ditetapkan berdasarkan penelitian.1,9,10

c. Umur

Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi bahan-

bahan kimia dan bahan iritan lewat kulit. Banyak studi yang menunjukkan

bahwa tidak ada kecurigaan pada peningkatan pertahanan kulit dengan

meningkatnya umur. Data pengaruh umur pada percobaan iritasi kulit

sangat berlawanan. Iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada

orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan

pertahanan) meningkat pada orang muda.1 Reaksi terhadap beberapa

bahan iritan berkurang pada usia lanjut. Terdapat penurunan respon

inflamasi dan TEWL, dimana menunjukkan penurunan potensial penetrasi

perkutaneus.10

d. Suku

Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi

berkembangnya dermatitis kontak iritan secara signifikan. Karena eritema

sulit diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan eritema

sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur iritasi yang mungkin

3

Page 4: TUGAS TYA LBM 4

sudah sampai pada kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten

terhadap bahan iritan daripada kulit putih.1

e. Lokasi kulit

Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan,

sehingga kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan

terhadap dermatitis kontak iritan. Telapak tangan dan kaki jika

dibandingkan lebih resisten.1,10

f. Riwayat Atopi

Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis

iritan pada tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan

dengan peningkatan kerentanan terhadap dermatitis iritan karena

rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya fungsi pertahanan, dan

lambatnya proses penyembuhan.1 Pada pasien dengan dermatitis atopi

misalnya, menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh bahan

iritan.11

IV. PATOGENESIS

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan

iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Ada empat mekanisme yang dihubungkan

dengan dermatitis kontak iritan, yaitu:1,6

1. Hilangnya substansi daya ikat air dan lemak permukaan

2. Jejas pada membran sel

3. Denaturasi keratin epidermis

4. Efek sitotoksik langsung

4

Page 5: TUGAS TYA LBM 4

Pada respon iritan, terdapat komponen menyerupai respon imunologis yang

dapat didemonstrasikan dengan jelas, dimana hal tersebut ditandai oleh pelepasan

mediator radang, khususnya sitokin dari sel kulit yang non-imun (keratinosit)

yang mendapat rangsangan kimia. Proses ini tidaklah membutuhkan sensitasi

sebelumnya. Kerusakan sawar kulit menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin

seperti Interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, tumor necrosis factor- α (TNF- α). Pada

dermatitis kontak iritan, diamati peningkatan TNF-α hingga sepuluh kali lipat dan

granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan IL-2 hingga

tiga kali lipat. TNF- α adalah salah satu sitokin utama yang berperan dalam

dermatitis iritan, yang menyebabkan peningkatan ekspresi Major

Histocompatibility Complex (MHC) kelas II dan intracelluler adhesin molecul-I

pada keratinosit.1

5

Gambar 1 : (a-d) mekanisme imunologis terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI). (a) bahan iritan fisik dan kimia memicu pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang disebut sinyal bahaya. (b) sel epidermis dan dermis merespon sinyal bahaya tersebut. (c) setelah itu, sitokin inflamasi dikeluarkan dari sel residen dan sel inflamasi yang sudah terinfiltrasi. Sitokin utama pada proses ini adalah CXCL 8 (bentuk yang dikelan adalah IL-8) (d) sebagai akibatnya, dari produksi sitokin inflamasi, banyak sel inflamasi termasuk neutrofil diserang dan dibawa pengaruh picuan inflamasi mengeluarkan mediator inflamasi. Hasilnya dapat dilihat secara klinis pada DKI. Dikutip dari kepustakaan [12]

Page 6: TUGAS TYA LBM 4

Pada dermatitis kontak iritan akut, mekanisme imunologisnya mirip dengan

dermatitis kontal alergi akut. Namun, perbedaan yang mendasar dari keduanya

adalah keterlibatan dari spesisif sel-T pada dermatitis kontak alergi akut.12

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan peradangan klasik di tempat

terjadinya kontak dikulit berupa eritema, edema, panas, dan nyeri bila iritan kuat.

Ada dua jenis bahan iritan yaitu iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan

menyebabkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang,

sedangkan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali

kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena depilasi yang

menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah

kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.6

V. GAMBARAN KLINIS

Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat

memberikan gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu

juga banyak hal yang mempengaruhi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.6

Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh faktor tersebut, dermatitis kontak

iritan dibagi menjadi sepuluh macam, yaitu:

1. Dermatitis Kontak Iritan Akut

Pada DKI, kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel atau bulla.

Luas kelainanya sebatas daerah yang terkena dan berbatas tegas.1,7 Pada

beberapa individu, gejala subyektif (rasa terbakar, rasa tersengat) mungkin

hanya satu-satunya manifestasi. Rasa sakit dapat terjadi dalam beberapa

detik dari pajanan. Spektrum perubahan kulit berupa eritma hingga vesikel

dan bahan pajanan bahan yang dapat membakar kulit dapat menyebabkan

nekrosis.1,6 Secara klasik, pembentukan dermatitis akut biasanya sembuh

segera setelah pajanan, dengan asumsi tidak ada pajanan ulang – hal ini

dikenal sebagai “decrescendo phenomenon”. Pada beberapa kasus tidak

biasa, dermatitis kontak iritan dapat timbul beberapa bulan setelah

pajanan, diikuti dengan resolusi lengkap.2 Bentuk DKI Akut seringkali

6

Page 7: TUGAS TYA LBM 4

menyerupai luka bakar akibat bahan kimia, bulla besar atau lepuhan. DKI

ini jarang timbul dengan gambaran eksematousa yang sering timbul pada

dermatitis kontak.9

2. Dermatitis Kontak Iritan Lambat (Delayed ICD)

Pada dermatitis kontak iritan akut lambat, gejala obyektif tidak

muncul hingga 8-24 jam atau lebih setelah pajanan.1,6,7 Sebaliknya,

gambaran kliniknya mirip dengan dermatitis kontak iritan akut.1

Contohnya adalah dermatitis yang disebabkan oleh serangga yang terbang

pada malam hari, dimana gejalanya muncul keesokan harinya berupa

eritema yang kemudian dapat menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.6

3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)

Juga disebut dermatitis kontak iritan kumulatif. Disebabkan oleh

iritan lemah (seperti air, sabun, detergen, dll) dengan pajanan yang

berulang-ulang, biasanya lebih sering terkena pada tangan.1,6,7 Kelainan

kulit baru muncul setelah beberapa hari, minggu, bulan, bahkan tahun.

Sehingga waktu dan rentetan pajanan merupakan faktor yang paling

penting. Dermatitis kontak iritan kronis ini merupakan dermatitis kontak

iritan yang paling sering ditemukan. Gejala berupa kulit kering, eritema,

7

Gambar 2 : DKI akut akibat penggunaan pelarut industri. Dikutip dari kepustakaan [7]

Page 8: TUGAS TYA LBM 4

skuama, dan lambat laun akan menjadi hiperkertosis dan dapat terbentuk

fisura jika kontak terus berlangsung.1,6

Distirbusi penyakit ini biasanya pada tangan. Pada dermatitis

kontak iritan kumulatif, biasanya dimulai dari sela jari tangan dan

kemudian menyebar ke bagian dorsal dan telapak tangan. Pada ibu rumah

tangga, biasanya dimulai dari ujung jari (pulpitis).7 DKI kumulatif sering

berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemukan

pada tangan dibandingkan dengan bagian lain dari tubuh (contohnya:

tukang cuci, kuli bangunan, montir bengkel, juru masak, tukang kebun,

penata rambut).6

4. Reaksi Iritan

Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat

berupa skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya

terlokalisasi di dorsum dari tangan dan jari. Biasanya hal ini terjadi pada

orang yang terpajan dengan pekerjaan basah. Reaksi iritasi dapat sembuh,

menimbulkan penebalan kulit atau dapat menjadi DKI kumulatif.1,6,7

8

Gambar 3 : DKI kronis akibat efek korosif dari semen Dikutip dari kepustakaan [7]

Page 9: TUGAS TYA LBM 4

5. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)

Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah tauma akut pada kulit

seperti panas atau laserasi. Biasanya terjadi pada tangan dan penyembuhan

sekitar 6 minggu atau lebih lama.1,6 Pada proses penyembuhan, akan

terjadi eritema, skuama, papul dan vesikel. Secara klinik gejala mirip

dengan dermatitis numular.1,2

6. Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous

Juga disebut reaksi suberitematous. Pada tingkat awal dari iritasi

kulit, kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun perubahan

kulit terlihat secara histologi.1,2 Gejala umum yang dirasakan penderita

adalah rasa terbakar, gatal, atau rasa tersengat. Iritasi suberitematous ini

dihubungkan dengan penggunaan produk dengan jumlah surfaktan yang

tinggi.1 Penyakit ini ditandai dengan perubahan sawar stratum korneum

tanpa tanda klinis (DKI subklinis).6

7. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD)

Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa

tersengat, rasa terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan.

Biasanya terjadi di daerah wajah, kepala dan leher. Asam laktat biasanya

menjadi iritan yang paling sering menyebabkan penyakit ini.1,2,6

8. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan (Friction ICD)

Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma

atau gesekan yang berulang.1,2 DKI Gesekan berkembang dari respon pada

gesekan yang lemah, dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama,

9

Gambar 4 : Reaksi Iritan. Dikutip dari kepustakaan [20]

Page 10: TUGAS TYA LBM 4

fisura, dan gatal pada daerah yang terkena gesekan.2 DKI Gesekan dapat

hanya mengenai telapak tangan dan seringkali terlihat menyerupai

psoriasis dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi tidak gatal.

Secara klinis, DKI Gesekan dapat hanya mengenai pinggiran-pinggiran

dan ujung jemari tergantung oleh tekanan mekanik yang terjadi.9

9. Dermatitis Kontak Iritan Akneiform

Disebut juga reaksi pustular atau reaksi akneiform. Biasanya

dilihat setelah pajanan okupasional, seperti oli, metal, halogen, serta

setelah penggunaan beberapa kosmetik. Reaksi ini memiliki lesi pustular

yang steril dan transien, dan dapat berkembang beberapa hari setelah

pajanan. Tipe ini dapat dilihat pada pasien dermatitis atopy maupun pasien

dermatitis seboroik.1,2

10. Dermatitis Asteatotik

10

Gambar 6: DKI Akneiform. Dikutip dari kepustakaan [21]

Gambar 5 : DKI Gesekan. Dikutip dari kepustakaan [9]

Page 11: TUGAS TYA LBM 4

Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia lanjut yang sering mandi

tanpa menggunakan pelembab pada kulit. Gatal yang hebat, kulit kering,

dan skuama ikhtiosiform merupakan gambaran klinik dari reaksi ini.1,2

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat

dan pengamatan gambaran klinis yang akurat. DKI akut lebih mudah diketahui

karena munculnya lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat

penyebab terjadinya. DKI kronis timbul lambat serta mempunyai gambaran klinis

yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Selain anamnesis, juga

perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk lebih memastikan diagnosis DKI.6

A. Anamnesis

Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI

tergantung pada anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien.

Anamnesis yang dapat mendukung penegakan diagnosis DKI (gejala

subyektif) adalah:13

- Pasien mengklain adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus

- Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI

akut. DKI lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya, seperti

benzalkonium klorida (biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana

reaksi inflamasinya terjadi 8-24 jam setelah pajanan.

11

Gambar 7: DKI Asteatotik. Dikutip dari kepustakaan [22]

Page 12: TUGAS TYA LBM 4

- Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu ada

DKI kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan

berulang dari suatu bahan iritan yang merusak kulit.

- Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak

nyaman akibat pruritus yang terjadi.

B. Pemeriksaan Fisis

Menurut Rietschel dan Flowler, kriteria dignosis primer untuk DKI sebagai

berikut: 13-14

- Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah terbentuk

vesikel

- Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh

- Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit

- Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan

C. Pemeriksaan Penunjang.

Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mediagnosis dermatitis kontak

iritan. Ruam kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat

beberapa tes yang dapat memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi

menyebabkan DKI. Tidak ada spesifik tes yang dapat memperlihatkan efek

yang didapatkan dari setiap pasien jika terkena dengan bahan iritan. Dermatitis

kontak iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek

berbagai iritans.14

1. Patch Test

Patch test digunakan untuk menientukan substansi yang menyebabkan

kontak dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis DKA. Konsentrasi

yang digunakan harus tepat. Jika terlalu sedikit, dapat memberikan hasil

negatif palsu oleh karena tidak adanya reaksi. Dan jika terlalu tinggi dapat

terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu). Patch tes dilepas setelah 48

jam, hasilnya dilihat dan reaksi positif dicatat. Untuk pemeriksaan lebih

lanjut, dan kemabali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam berikutnya. Jika

hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik, maka dapat didiagnosis

12

Page 13: TUGAS TYA LBM 4

sebagai DKI,1,7 Pemeriksaan patch tes digunakan untuk pasien kronis,

dengan dermatitis kontak yang rekuren.13

2. Kultur Bakteri

Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi

sekunder bakteri.13

3. Pemeriksaan KOH

Dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya mikology pada

infeksi jamur superficial infeksi candida, pemeriksaan ini tergantung

tempat dan morfologi dari lesi.13

4. Pemeriksaan IgE

Peningkatan imunoglobulin E dapat menyokong adanya diathetis atopic

atau riwayat atopi.13

VII. DIAGNOSA BANDING

1. Dermatitis Kontak Alergi

Berbeda dengan DKI, pada DKA, terdapat sensitasi dari pajanan/iritan.

Gambaran lesi secara klinis muncul pada pajanan selanjutnya setelah

interpretasi ulang dari antigen oleh sel T (memori), dan keluhan utama

pada penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena pajanan.18 Pada

patch tes, didapatkan hasil positif untuk alergen yang telah diujikan, dan

sensitifitasnya berkisar antara 70 – 80%.16

2. Dermatitis Atopi

Merupakan keadaan radang kulit kronis dan residif, disertai dengan gatal

yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak. Sering

berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat

atopi pada keluarga penderita.6 Oleh karena itu, pemeriksaan IgE pada

penderita dengan suspek DKI dapat dilakukan untuk mengurangi

kemungkinan diagnosis dermatitis atopi.

3. Tinea Pedis

Merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya

stratum korneun pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh

jamur dermatofitosis. Penderita bisa merasa gatal dan kelainan berbatas

13

Page 14: TUGAS TYA LBM 4

tegas, terdiri atas macam-macam effloresensi kulit. Bagian tepi lesi lebih

aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah. Pada

tinea pedis, khususnya bentuk mocassin foot, pada seluruh kaki terlihat

kulit menebal, dan bersisik serta eritema yang ringan terutama di tempat

yang terdapat lesi.19

VIII.PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan dari dermatitis kontak iritan dapat dilakukan dengan

melakukan dengan memproteksi atau menghindakan kulit dari bahan iritan. Selain

itu, prinsip pengobatan penyakit ini adalah dengan menghindari bahan iritan,

melakukan proteksi (seperti penggunaan sarung tangan), dan melakukan substitusi

dalam hal ini, mengganti bahan-bahan iritan dengan bahan lain.1,4,5,6,9,16

Selain itu, beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada

penderita dermatitis kontak iritan adalah sebagai berikut:

1. Kompres dingin dengan Burrow’s solution

Kompres dingin dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel dan

membantu mengurangi pertumbuhan bakteri.5,17 Kompres ini diganti setiap 2-

3 jam.5

2. Glukokortikoid topikal

Efek topical dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih

kontrofersional karena efek yang ditimbulkan, namun pada penggunaan yang

lama dari corticosteroid dapat menimbulkan kerusakan kulit pada stratum

korneum.17 Pada pengobatan untuk DKI akut yang berat, mungkin dianjurkan

pemberian prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis inisial, dan di

tappering 10mg.7

3. Antibiotik dan antihistamin

Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut berpotensial untuk terjadinya

infeksi sekunder oleh bakteri. Perubahan pH kulit dan mekanisme

14

Page 15: TUGAS TYA LBM 4

antimikroba yang telah dimiliki kulit, mungkin memiliki peranan yang

penting dalam evolusi, persisten, dan resolusi dari dermatitis akibat iritan, tapi

hal ini masih dipelajari. Secara klinis, infeksi diobati dengan menggunakan

antibiotik oral untuk mencegah perkembangan selulit dan untuk mempercepat

penyembuhan. Secara bersamaan, glukokortikoid topikal, emolien, dan

antiseptik juga digunakan. Sedangkan antihistamin mungkin dapat

mengurangi pruritus yang disebabkan oleh dermatitis akibat iritan. Terdapat

percobaan klinis secara acak mengenai efisiensi antihistamin untuk dermatitis

kontak iritan, dan secara klinis antihistamin biasanya diresepkan untuk

mengobati beberapa gejala simptomatis.5

4. Anastesi dan Garam Srontium (Iritasi sensoris)

Lidokain, prokain, dan beberapa anastesi lokal yang lain berguna untuk

menurunkan sensasi terbakar dan rasa gatal pada kulit yang dihubungkan

dengan dermatitis iritan oleh karena penekanan nosiseptor, dan mungkin

dapat menjadi pengobatan yang potensial untuk dermatitis kontak iritan.5

Garam strontium juga dilaporkan dapat menekan depolarisasi neural pada

hewan, dan setelah dilakuan studi, garam ini berpotensi dalam mengurangi

sensasi iritasi yang dihubungkan dengan DKI.5

5. Kationik Surfaktan

Surfaktan kationik benzalklonium klorida yang iritatif dapat meringankan

gejala dalam penatalaksanaan iritasi akibat anion kimia.5

6. Emolien

Pelembab yang digunakan 3-4 kali sehari adalah tatalaksana yang sangat

berguna. Menggunakan emolien ketika kulit masih lembab dapat

meningkatkan efek emolien. Emolien dengan perbandingan lipofilik :

hidrofilik yang tinggi diduga paling efektif karena dapat menghidrasi kulit

lebih baik.5

7. Imunosupresi Oral

Pada penatalaksanaan iritasi akut yang berat, glukokortikoid kerja singkat

seperti prednisolon, dapat membantu mengurangi respon inflamasi jika

dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal dan emolien. Tetapi, tidak

boleh digunakan untuk waktu yang lama karena efek sampingnya. Oleh

15

Page 16: TUGAS TYA LBM 4

karena itu, pada penyakit kronik, imunosupresan yang lain mungkin lebih

berguna. Obat yang sering digunakan adalah siklosporin oral dan

azadtrioprim.5

8. Fototerapi dan Radioterapi Superfisial

Fototerapi telah berhasil digunakan untuk tatalaksana dermatitis kontak iritan,

khususnya pada tangan. Modalitas yang tersedia adalah fototerapi

photochemotherapy ultraviolet A (PUVA) dan ultraviolet B, dimana

penyinaran dilakukan bersamaan dengan penggunaan fotosensitizer (soralen

oral atau topical). Sedangkan radioterapi superfisial dengan sinar Grentz juga

dapat digunakan untuk menangani dermatitis pada tangan yang kronis.

Penalataksanaan ini jarang digunakan pada praktek terbaru, hal ini mungkin

disebabkan oleh ketakutan terhadap kanker karena radioterapi.5

IX. PROGNOSIS

Prognosisnya kurang baik jika bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak

dapat disingkirkan dengan sempurna. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis

yang penyebabnya multifaktor, juga pada penderita atopi.1,6

DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, editors.

Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw –

Hill; 2008.p.396-401.

2. Chew AL and Howard IM, editors. Ten Genotypes Of Irritant Contact

Dermatitis. In: Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.

Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.5-8

3. Buxton, Paul K. ABC Of Dermatology 4th ed. London: BMJ Books;

2003.p.19-21

4. Grawkrodjer, David J. Dermatology an Illustrated Colour Text Third Edit.

British: Crurchill Livingstone.2002.p.30-1

16

Page 17: TUGAS TYA LBM 4

5. Levin C, Basihir SJ, and Maibach HI, editors. Treatment Of Irritant Contact

Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.

Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.461-5

6. Sularsito, S.A dan Suria Djuanda, editors. Dermatitis. In: Djuanda A,

Mochtar H, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.p.130-33.

7. Wolff C, Richard AJ, and Dick S, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas &

Synopsis Of Clinical Dermatology 5th ed. New York: McGraw – Hill; 2005.

8. Gould Dinah. Occupational Irritan Dermatitis in Healthcare Workers –

Meeting the Challenge of Prevention.[Online] 2003 [cited 2011 January 9]:[5

screens]. Available from : URL:http://ssl-international.com

9. Grand SS. Allergic Contact Dermatitis Versus Irritant Contact Dermatitis.

[Online].2008. [cited 2011 January 9]:[30 screens]. Available from:

URL:http://wsiat.on.ca/english/mlo/allergic.htm

10. Wilkinson SM, and Beck MH. Rook’s Textbook Of Dermatology 7 th ed.

Australia: Blackwell Publishing. 2004.chapter 19.

11. Schnuch A and Berit CC, editors. Genetics And Individual Predispotitions in

Contact Dermatitis. In: Johansen JD, Peter JF, Jean PL, editors. Contact

Dermatitis 5th ed. New York: Springer. 2011.p.28-30

12. Rustenmeyer T, Ingrid MW, B.Mary E, Sue G, Rik JS, editors. In: Johansen

JD, Peter JF, Jean PL, editors. Contact Dermatitis 5th ed. New York:

Springer.2011.p.43-8.

13. Hogan D J. Contact Dermatitis, Irritant. [Online] 2009 [cited 2011 January 8]:

[4 screens]. Available from: URL: http://emedicine.medscape/

article/1049352-overview.htm

14. Anonim. Contact Dermatitis. [Online] 2009 [cited 2011 January 9]:[1 screen].

Available from: URL: http://nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article

/000869..htm

15. Ale SI and Howard IM, editors. Irritant Contact Dermatitis Versus Allergic

Contact Dermatitis. In: Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.

Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.11-6

17

Page 18: TUGAS TYA LBM 4

16. Bourke J, Coulson I, and English J. Guidelines For The Managemen Of

Contact Dermatitis: An Update. London: British Journal of Dermatology;

2008.p.946-54

17. Loffer H and Isaak E, editors. Primary Prevention Of Irritant Contact

Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.

Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.401-6

18. Ngan Vanessa. Irritant Contact Dermatitis. [Online] 2010 [cited 2011 January

9]:[1 screen]. Available from: URL: http://darmnetnz.org/dermatitis/contact-

irritant.htm

19. Budimulja, Unandar. Dermatofitosis. In: Djuanda A, Mochtar H, Aisah S,

editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2008.p.92-3.

20. Anonim. What Is Causing Skin Rashes. [online] 2009 [cited 2011 January

18]: [1 screen]. Available from: URL: http://bhealthy4life.com/?p=1.htm

21. Desar IME, A Phase I Dose Escalation Study To Evaluate Safety And

Tolerability Of Sorafenib Combined With Sirolimus In Patient With Advance

Solid Cancer. [online] 2010 [cited 2011 January 18]:[3 screens]. Available

from: URL: http://nature.com/bjc/journal/v103/n11/fig_tab/6605777f2.html

22. Anderson CK, Asteatotil Eczema. [online] 2009 [cited 2011 January 18]:[1

screen]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/

1124528-overview.htm

18