Click here to load reader
Upload
rupa-lesty
View
34
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS FARMAKOTERAPI II
HIPERTENSI
DI SUSUN OLEH :
RUPA LESTY G1F009059
MUHAMMAD FURQON G1F009067
PUTRI KUSUMA WARDANI G1F010001
(KELAS A)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi menjadi topik pembicaraan yang hangat dan menjadi salah satu prioritas
masalah kesehatan di Indonesia maupun di seluruh dunia, karena dalam jangka panjang
peningkatan tekanan darah yang berlangsung kronik akan menyebabkan peningkatan risiko
kejadian kardiovaskuler, serebrovaskuler dan renovaskuler. Analisis Kearney dkk,
memperlihatkan bahwa peningkatan angka kejadian hipertensi sungguh luar biasa: pada
tahun 2000, lebih dari 25% populasi dunia merupakan penderita hipertensi, atau sekitar 1
miliar orang, dan dua pertiga penderita hipertensi ada di negara berkembang. Bila tidak
dilakukan upaya yang tepat, jumlah ini akan terus meningkat, dan pada tahun 2025 yang akan
datang, jumlah penderita hipertensi diprediksi akan meningkat menjadi 29%, atau sekitar 1,6
miliar orang di seluruh dunia.
Di Indonesia, angka kejadian hipertensi berkisar 6-15%4 dan masih banyak penderita
yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan, terutama di daerah pedesaan. Sementara
itu, di Amerika Serikat, data NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey)
memperlihatkan bahwa risiko hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Data
NHANES 2005-2008 memperlihatkan kurang lebih 76,4 juta orang berusia ≥20 tahun adalah
penderita hipertensi, berarti 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi.
Walau upaya, tindakan sudah banyak dilakukan dan tersedia banyak obat untuk
mengatasi hipertensi, tata laksana hipertensi masih jauh dari berhasil. Data NHANES 2005-
2008 di Amerika Serikat menunjukkan dari semua penderita hipertensi, hanya 79,6% sadar
telah menderita hipertensi; namun hanya 47,8% yang berusaha mencari terapi. Dan dari
70,9% pasien yang menjalani terapi, 52,2% tidak mencapai kontrol tekanan darah target.
BAB II
HIPERTENSI
1. Definisi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan
diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan darah diukur dengan
sphygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi
lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak atau terlentang
paling sedikit selama lima menit sampai tiga puluh menit setelah merokok atau minum kopi.
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada
orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan
derajat 2 (Yogiantoro M, 2006).
2. Epidemiologi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang
berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk
pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus
hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025, dari sejumlah 639 juta kasus di tahun
2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Angka-angka prevalensi
hipertensi di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan
masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Prevalensi
terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15%, tetapi angka prevalensi yang rendah
terdapat di Ungaran, Jawa Tengah sebesar 1,8% dan Lembah Balim Pegunungan Jaya
Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6% sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera
Barat 17,8% (Wade, 2003).
3. Etiologi
Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti. Hipertensi
primer tidak disebabkan oleh factor tunggal dan khusus. Hipertensi sekunder disebabkan
oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu,
stress akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Risiko relative hipertensi tergantung pada
jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain factor genetik, umur,
jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas
dan nutrisi (Yogiantoro M, 2006).
4. Klasifikasi
Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua kali atau
lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan. Tabel Klasifikasi tekanan darah
menurut JNC VII adalah sebagai berikut:
Klasifikasi tekanan
darah
Tekanan darah sistolik
(mmHg)
Tekanan darah
diastolik (mmHg)
Normal >120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80-89
Hipertensitahap I 140 – 159 Atau 90-99
Hipertensitahap II > 160 Atau >100
5. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis
penting dalam mengatur tekanan darah. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I
diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam
menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi
hormone antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus dan bekerja
pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH,
sangat sedikit urin yang diekskresikan keluar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat
dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan
ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah
meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali
dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan
multifaktorial dan sangat komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah
terhadap perfusi jaringan yang adekuat meliputi aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah,
kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi
neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa factor meliputi faktor
genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan
gejala hipertensi. Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang
kadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama,
hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan
organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.
Patoflow Hipertensi
6. Terapi Hipertensi
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1. Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti
diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg.
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
3. Menghambat laju penyakit ginjal.
Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis seperti
penjelasan dibawah ini:
A. Terapi non farmakologi
Modifikasi gaya hidup penting untuk menurunkan tekanan darah
adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau
gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop
Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah
natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja.
JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya
dengan buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar
total lemak dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang
direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari.
Olah raga aerobik secara teratur paling tidak 30 menit/hari
beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Pasien
harus konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga
mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan organ
target.
Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk
penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus
dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan
oleh merokok.
Berikut merupakan table modifikasi gaya hidup untuk mengontrol
hipertensi:
(Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
2006).
B. Terapi farmakologi
Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta,
penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor
angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat
antihipertensi utama. Obat antihipertensi perlu dimulai berdasarkan pada 2 kriteria:
1) tingkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, dan
2) tingkatan risiko kardiovaskular.
Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk
mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan
keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya
diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan
yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan
klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral,
penghambat adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat
alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama (Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas
bukti terbaik yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat
secara sadar, jelas, dan bijak terhadap masing-masing pasien dan/atau
penyakit. Praktek evidence-based untuk hipertensi termasuk memilih obat
tertentu berdasarkan data yang menunjukkan penurunan mortalitas dan
morbiditas kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat hipertensi.
Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekadar menurunkan tekanan darah,
tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam seleksi obat
hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obat yang
paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin
(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan
antagonis kalsium (CCB) (Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
Guideline ESC/ ESH 2007 memberi petunjuk pemilihan golongan obat antihipertensi
sebagai terapi inisial berdasarkan karakteristik kerusakan target organ subklinis.
(Tedjakusuma,2012).
JNC VII (2003) merekomendasikan pilihan jenis obat antihipertensi berdasarkan ada
tidaknya penyakit komorbid (Compelling Indications for Individual Drug Classes).
(Tedjakusuma,2012).
1. Diuretik
Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien
dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan darah,
diuretik salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk
mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik
penahan kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi
memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya
diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian
diuretik lain. Antagonis aldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula
kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton). Tetapi, JNC VII melihatnya sebagai
kelas yang independen karena bukti mendukung indikasi khusus. Diuretik sangat efektif
menurunkan tekanan darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain.
Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air; masalah ini diatasi
dengan pemberian diuretik bersamaan.
2. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI)
ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien
dengan hipertensi. Studi ALLHAT menunjukkan kejadian gagal jantung dan stroke lebih
sedikit dengan klortalidon dibanding dengan lisinopril. Perbedaan untuk stroke konsisten
dengan hasil trial lainnya, the Captopril Prevention Project (CAPP). Pada studi dengan
lansia, ACEI sama efektifnya dengan diuretik dan penyekat beta, dan pada studi yang lain
ACEI malah lebih efektif. Kebanyakan klinisi setuju bila ACEI bukan merupakan terapi lini
pertama pada kebanyakan pasien hipertensi, tetapi sangat mendekati diuretik. ACEI
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah
vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron.
3. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB)
ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang
memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstriksi,
pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormone antidiuretik dan konstriksi
arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2).
Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan,
dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB.
Studi menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan organ target
jangka panjang pada pasien-pasien dengan hipertensi dan indikasi khusus lainnya. Tujuh
ARB telah di pasarkan untuk mengobati hipertensi; semua obat ini efektif menurunkan
tekanan darah. ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti menaikkan dosis
diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah yang drastis.
Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi antihipertensi dari ARB.
Seperti ACEI, kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk pemberian 1
x/hari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh paling pendek
dan diperlukan dosis pemberian 2x/hari agar efektif menurunkan tekanan darah.
4. Penyekat beta
Ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik diantara penyekat beta yang ada,
tetapi menurunkan tekanan darah hampir sama. Ada tiga karakteristik farmakodinamik dari
penyekat beta yang membedakan golongan ini yaitu efek:
Kardioselektif (cardioselektivity)
Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang kardioselektif;
jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada pasien asma, PPOK,
penyakit arteri perifer, dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi penyekat
beta. Tetapi, kardioselektifitas adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang
lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilangan selektifitas relatifnya untuk
reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1.
Pada dosis berapa kardioselektifitas hilang tergantung dari pasien ke pasien. Pada
umumnya, penyekat beta yang kardioselektif lebih disukai bila digunakan untuk
mengobati hipertensi.
ISA (intrinsic sympathomimetic activity)
Beberapa penyekat beta mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsic (ISA).
Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja
secara agonis beta reseptor parsial. Tetapi penyekat beta ISA ini tidak menurunkan
kejadian kardiovaskular dibanding dengan penyekat beta yang lain. Malahan, obat-obat
ini dapat meningkatkan resiko pasca infark miokard atau pada pasien dengan resiko
penyakit koroner yang tinggi. Jadi, ISA jarang diperlukan.
Mestabilkan membrane (membran-stabilizing)
Semua penyekat beta mempengaruhi aksi menstabilkan membrane (membrane-stabilising
action) pada sel jantung bila dosis cukup besar digunakan. Aktifitas ini diperlukan bila
karakteristik antiaritmik dari penyekat beta diperlukan.
5. Antagonis kalsium (CCB)
CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang
membran sel. Ada dua tipe voltage gated calcium channel: high voltage
channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya
menghambat channel tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan
perifer. Ada dua subkelas CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridine.
Keduanya sangat berbeda satu sama lain. Efektifitas antihipertensinya
hampir sama, tetapi ada perbedaan pada efek farmakodinamik yang lain.
Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem) menurunkan denyut jantung
dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular. Verapamil
menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggung
jawab terhadap kecenderungannya untuk memperparah atau
menyebabkan gagal jantung pada pasien resiko tinggi. Diltiazem juga
mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil.
6. Penyekat alfa-1
Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penyekat reseptor α1 selektif. Bekerja pada
pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus,
menyebabkan vasodilasi dan menurunkan tekanan darah. Pada studi ALLHAT doxazosin
adalah salah satu obat yang digunakan, tetapi di stop lebih awal karena secondary end point
stroke, gagal jantung, dan kejadian kardiovaskular terlihat dengan pemberian doxazosin
dibanding chlorthalidone. Tidak ada perbedaan pada primary end point penyakit jantung
koroner fatal dan infark miokard nonfatal. Data ini menunjukkan kalau diuretik tiazid
superior dari doxazosin (dan barangkali α1-blocker lainnya) dalam mencegah kejadian
kardiovaskular pada pasien dengan hipertensi. Jadi penyekat alfa adalah obat alternatif
kombinasi dengan obat antihipertensi primer lainnya.
7. Agonis α2 sentral
Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang
reseptor α2 adrenergic di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat
vasomotor di otak dan meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik, bersamaan
dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac
output, total peripheral resistance, aktifitas plasma rennin, dan reflex baroreseptor. Klonidin
sering digunakan untuk hipertensi yang resistan, dan metildopa adalah obat lini pertama
untuk hipertensi pada kehamilan
8. Reserpin
Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan norepinefrin dari ujung
saraf simpatetik dan memblok perjalanan norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin
juga mengosongkan katekolamin dari otak dan miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi,
dan berkurangnya curah jantung. Reserpin mulai kerja dan waktu paruhnya lambat sehingga
dosis pemberian satu kali per hari. Tetapi, diperlukan 2 sampai 6 minggu sebalum efek
antihipertensi maksimal terlihat. Reserpin dapat menyebabkan retensi natrium dan air yang
cukup bermakna. Harus di kombinasikan dengan diuretic (tiazid lebih disukai).
9. Vasodilator arteri langsung (direct arterial vasodilators)
Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi langsung
otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua
obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat yang mengaktifkan refleks
baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatetik,
sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan rennin. Akibatnya
terbentuk takifilaksis, efek hipotensi akan hilang dengan pemakaian seterusnya. Efek ini
dapat diatasi dengan penggunaan penyekat beta bersamaan (Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2006).
Terapi kombinasi
Data penelitian klinik hipertensi memperlihatkan bahwa mayoritas pasien hipertensi
memerlukan paling sedikit dua golongan obat untuk mencapati target tekanan darah. JNC VII
(2003) dan ESC/ ESH (2007) menganjurkan untuk langsung mulai dengan kombinasi dua
macam obat pada kelas II hipertensi (≥160/100 mmHg) atau pada kelompok hipertensi
dengan risiko kardiovaskuler tinggi atau sangat tinggi. Kombinasi dengan garis solid adalah
yang bermanfaat dan evidence based, sedangkan kombinasi dengan garis putus-putus tidak
direkomendasikan (Tedjasukmana,2012).
Terapi kombinasi obat herbal dan obat antihipertensi
Berdasarkan hasil review yang dilakukan Jie Wang et al (2012) ditemukan bahwa
penggunaan kombinasi terapi herbal antara Yangxue Qingnao granule (YQG) dengan obat
antihipertensi memiliki efek potensial dalam pengobatan hipertensi. Yangxue Qingnao
granule (YQG) merupakan salah satu obat paten tradisional Cina sebagai terapi pengobatan
hipertensi, yang sudah direkomendasikan oleh Newly Edited National Chinese Traditional
Patent Medicines. YQG terdiri dari sebelas tanaman herbal, diantaranya angelica sinensis,
Ligusticum chuanxiong Hort, white peony root, prepared radix rehmanniae, uncaria,
Spatholobus suberectus Dunn, Prunella vulgaris, cassia seed, pearl shell, rhizoma corydalis,
dan asarum herb.
Berdasarkan dua belas percobaan yang dilakukan secara acak yang jumlahnya 1985
partisipan, YQG yang dikombinasikan dengan obat antihipertensi memiliki efek potensial
dalam menurunkan tekanan darah. Namun, bukti tersebut masih belum kuat karena
keterbatasan metode yang dilakukan. Walaupun demikian hampir semuanya menyatakan
bahwa kombinasi terapi dengan YQG memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan pemberian obat antihipertensi sebagai monoterapi dan belum pernah ada bukti yang
dipublikasikan tentang hasil negatif dari kombinasi terapi ini. Kesimpulannya, sudah ada
beberapa hasil yang dapat membuktikan bahwa kombinasi terapi tersebut memiliki efek
potensial terhadap pengobatan hipertensi, sehingga harus dilakukan uji yang lebih akurat
untuk memperkuat temuan ini.
BAB III
KESIMPULAN
1. Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik
lebih dari 90 mmHg. JNC VII mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa terbagi
menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2.
2. Angiotensin II memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi
utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormone antidiuretik (ADH). Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan keluar tubuh (antidiuresis),
sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler.
Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur
volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali
dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.
3. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat komplek.
Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadang muncul
menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi
persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target
di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.
4. Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis. Terapi non
farmakologi yang dilakukan adalah dengan modifikasi gaya hidup yang
penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah mengurangi
berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola
makan DASH yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium;
aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Terapi farmakologi
yang diberikan yaitu dengan mengkonsumsi obat antihipertensi
diantaranya adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin
(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan
antagonis kalsium (CCB). Obat tersebut dapat diberikan secara
monoterapi dan kombinasi terapi baik kombinasi antar obat antihipertensi
maupun kombinasi dengan obat herbal.
DAFTAR PUSTAKA
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi,
Depkes RI, Jakarta.
Jie Wang et al, 2012, Is Yangxue Qingnao Granule Combined with Antihypertensive Drugs, a ew
Integrative Medicine Therapy, More Effective Than Antihypertensive Therapy Alone in
Treating Essential Hypertension?, Hindawi Publishing Corporation.
Tedjakusuma, Pradana, 2012, Tata Laksana Hipertensi, Departemen Kardiologi, RS Premier
Jatinegara dan RS Grha Kedoya, Jakarta.
Yogiantoro M, 2006, Hipertensi Esensial Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi keIV, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FakultasKedokteran Universitas Riau, Jakarta.
Wade, A Hwheir, D N Cameron, A, 2003, Using a Problem Detection Study (PDS) to Identify and Compare Health Care Privider and Consumer Views of Antihypertensive therapy. Journal of Human Hypertension, Jun Vol 17 Issue 6.
JNC VII (The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure), 2004. (Guidline)