Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
TUGAS AKHIR – SB-141510
POTENSI PRODUKSI DEASETILASI ENZIMATIK KITIN SEBAGAI DRUG CARRIER ASETAMINOFEN PADA MENCIT (Mus musculus L.) ALBINO SWISS WEBSTER JANTAN MILLISA 1513 100 007
Dosen Pembimbing : Dr. Awik Puji Dyah Nurhayati, S.Si., M. Si. Dr. techn. Endry Nugroho Prasetyo, M.T. Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017
i
TUGAS AKHIR – SB-141510
POTENSI PRODUKSI DEASETILASI ENZIMATIK KITIN SEBAGAI DRUG CARRIER ASETAMINOFEN PADA MENCIT (Mus musculus L.) ALBINO SWISS WEBSTER JANTAN MILLISA 1513100007 Dosen Pembimbing
Dr. Awik Puji Dyah Nurhayati, S.Si., M. Si.
Dr. techn. Endry Nugroho Prasetyo, M.T.
Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017
ii
FINAL PROJECT - SB-141510
ENZYMATIC DEACETYLATION OF CHITIN
FOR ASETAMINOPHEN DRUG CARRIER
ADMINISTERED IN MALE MICE (Mus
musculus L.) ALBINO SWISS WEBSTER
MILLISA
1513 100 007
Supervisors
Dr. Awik Puji Dyah Nurhayati, S.Si., M. Si.
Dr. techn. Endry Nugroho Prasetyo, M.T.
Biology Department Mathematic and Natural Science Faculty Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya 2017
iv
POTENSI PRODUK DEASETILASI ENZIMATIK KITIN
SEBAGAI DRUG CARRIER ASETAMINOFEN PADA
MENCIT (Mus musculus L.) ALBINO SWISS WEBSTER
JANTAN
Nama Mahasiswa : Millisa
NRP : 1513 100 007
Jurusan : Biologi
Pembimbing : Dr.Awik Puji Dyah Nurhayati, S.Si., M.Si.
Dr. techn. Endry Nugroho P., M.T
Abstrak
Fabrikasi dan formulasi terhadap sediaan farmasi saat
ini terus dikembangkan, Hal ini disebabkan efektifitas dan
bioavailibitas obat yang rendah, oleh karena itu diperlukan
penggunaan drug carrier agar dapat meningkatkan bioavailibitas
obat, mengurangi efek samping dan mengurangi limbah obat.
Kitosan merupakan salah satu biopolimer yang berpotensi
sebagai drug carrier karena bersifat kationik sehingga dapat
berinteraksi dengan senyawa anionik melalui ikatan taut silang
(cross linking). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
mikrosfer obat dengan menggunakan kitosan hasil deasetilasi
enzimatik kitin sebagai drug carrier asetaminofen pada Mus
musculus L. Swiss Webster jantan yang dilakukan secara in vivo.
Hasil fabrikasi mikrosfer berbentuk padatan dan
berwarna kuning kecoklatan, jumlah obat setiap mg mikrosfer
1:1 dan 1:2 yaitu 0,007 mg dan 0,0125 mg, Efisiensi enkapsulasi
yaitu 0,7% dan 1,25 %. serta Persentase asetaminofen pada urin
yaitu kontrol 0,5%, Mikrosfer 1:1 6,4% dan mikrosfer 1:2 19%.
Kata kunci : Asetaminofen, Drug Carrier, Kitosan, Mus musculus
L. Swiss Webster.
v
ENZYMATIC DEACETYLATION OF CHITIN FOR
ASETAMINOPHEN DRUG CARRIER ADMINISTERED IN
MALE MICE (Mus musculus L.) ALBINO SWISS WEBSTER
Student Name : Millisa
NRP : 1513100007
Department : Biologi
Supervisor : Dr. Awik Puji Dyah Nurhayati, S.Si.,M.Si.
Dr.techn. Endry Nugroho P., M.T
Abstract
Fabrication and formulation of pharmaceutical
preparations are currently being developed, this is due to the low
effectiveness and bioavailability of the drug. The usage of drug
carriers therefore is a major factor in improving the
bioavailability, reducing side effects and reducing drug waste.
Chitosan is one of the potential biopolymers as a drug carrier
because its cationic character could interact with anionic
compounds through crosslinking links. The objective of this
study is to create a drug microspheres by using chitosan from
enzymatic chitin deacetylation product as the drug carrier of
acetaminophen in male Mus musculus L. Swiss Webster which
will be carried out under in vivo process.
Microsphere was fabricated as a yellow-brownish solid,
the amount of acetaminophen per mg microsphere 1:1 and 1:2
was 0,007 mg and 0,0125 mg. Encapsulation efficiency was 0,7%
and 1,25%. Acetaminophen percentage of urine was control
0,5%, Microsphere 1:1 6,4% and microsphere 1:2 19%.
Keywords: Acetaminophen, Drug Carrier, Chitosan, Mus
musculus L. Swiss Webster.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat
dan hikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian Tugas Akhir dengan judul Potensi Produk Deasetilasi
Enzimatik Kitin Sebagai Drug carrier Asetaminofen Pada
Mencit (Mus musculus L.) Albino Swiss Webster Jantan.
Penelitian dan Penyusunan Laporan Tugas Akhir ini merupakan
persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata 1 (S1)
pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya.
Penelitian dan Penyusunan Laporan Tugas Akhir ini dalam
pelaksanaannya tidak lepas dari bimbingan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis menyampaikan terima
kasih kepada Ibu Dr. Awik Puji Dyah Nurhayati, S.Si., M.Si dan
Bapak Dr. techn. Endry Nugroho Prasetyo, MT selaku Dosen
Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan
masukan, Kepada bapak Aunurohim, DEA dan Ibu Dr. Dewi
Hidayati, S.Si, M.Si selaku Dosen Penguji. Penulis juga
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada
Ibunda Salmi dan Bapak Mohammad Bausi, dan Adik Rubiyono
yang senantiasa memberikan do’a, semangat dan kasih
sayangnya. Annysa, Kiki, Arighi, Putra, Nizar, Rani, Yuni,
Risvia, Garnish dan Biomaterial and Enzyme Technology
Research Group 2017, serta teman – teman angkatan 2013.
Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan Tugas
Akhir ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat berarti bagi penulis dan semoga
dapat bermanfaat untuk penulis maupun pembaca.
Surabaya, 31 Juli 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ................................. ........... ABSTRAK ....................................................................... ABSTRACT ...................................................................... KATA PENGANTAR .................................................... DAFTAR ISI ................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................... DAFTAR TABEL ............................................................ DAFTAR LAMPIRAN ................................................... BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................... 1.2 Rumusan Permasalahan .............................................. 1.3 Batasan Masalah ......................................................... 1.4 Tujuan ........................................................................ 1.5 Manfaat ...................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kitin ............................................................................ 2.2Kitosan ......................................................................... 2.3Drug Carrier(Penghantar Obat) ................................... 2.4 Asetaminofen .............................................................. 2.4. Mus musculus (Mencit) .............................................. BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian...................................... 3.2 Metode yang Digunakan.............................................. 3.2.1 Pembuatan Kurva Standart Asetaminofen ................ 3.2.2 Fabrikasi Mikrosfer Kitosan dengan Metode Droplet 3.2.3 KOnfirmasi Uji Jumlah Obat Efesiensi Enkapsulasi
pada Mikrosfer Obat.......................................................... 3.2.4Analisis Kitosan, Asetaminofen dan Mikrosfer dengan
Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) ..... 3.2.5 Uji Aplikasi Mikrosfer Kitosan pada Mencit Albino
M. musculus L. Swiss Webster Jantan .......................
iii iv v
vi vii ix xi
xiii
1 3 3 3 3
5 6 9
12 17
21 21 21 21 22 22
23
24
viii
3.2.6 Analisis Residu Asetaminofen pada Sampel Urin
dengan UV-Spektrofotomeeter ............................. 3.3 Analisis Data .............................................................. 3.3.1 Penyusunan, Pengolahan dan Analisis Data ............. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fabrikasi Mikrosfer Kitosan ........................................ 4.2 Konfirmasi Jumlah Asetaminofen pada Mikrosfer
Kitosan ......................................................................... 4.3 Analisis Kitosan, Asetaminofen dan Mikrosfer dengan
Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) ....... 4.4Analisis Residu Asetaminofen pada Sampel Urin ........ BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan.................................................................... 5.2 Saran.............................................................................. DAFTAR PUSTAKA .................................................. ... LAMPIRAN ....................................................................... BIODATA PENULIS .........................................................
24 24 24
25 26 27 29
33 33 35 45 57
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 4.1
Struktur Kitin...................................
Struktur Selulosa (Kiri) dan Struktur
Kitin (Kanan)……………………….
Struktur Kitin, Kitosan, dan
Selulosa………………………..........
Pembentukan Gugus Amino
Kuaterner Bermuatan Positif pada
Posisi C-2 Ketika Larut dalam
Lingkungan Asam ............................
Struktur Pengikatan antara Sodium
Tripolifosfat dan Kitosan
............................................................
Interaksi antara Gugus Karbonil pada
Asetaminofen dengan Gugus Amina
pada Kitosan ……………………......
Visualisasi Fabrikasi Mikrosfer
Kitosan ……………………………...
5
6
7
8
11
16
25
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Aplikasi Kitosan Berdasarkan
Derajat Deasetilasi ............................. Parameter Urin Normal pada Mus
musculus........................................... Beberapa Macam Parameter Biologi
Mus musculus.................................... Konfirmasi Jumlah dan Efisiensi
Enkapsulasi Asetaminofen pada
Mikrosfer Kitosan .............................. Hasil Analisis FTIR pada Kitosan,
Asetaminofen, dan Mikrosfer……… Hasil Residu Asetaminofen pada
Sampel Urin ………………………...
9
18
18
26
27
30
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Skema Kerja Penelitian....................... Kurva Standart Asetaminofen............. Hasil FTIR Kitosan ………………… Hasil FTIR Asetaminfen ………… Hasil FTIR Mikrosfer Obat dan
Kitosan 1:1 …………………………. Hasil FTIR Mikrosfer Obat dan
Kitosan 1:2………………………….. Perhitungan Jumlah Asetaminofen
pada Mikrosfer................................... Hasil Residu Asetaminofen pada
Urin.....................................................
45
46
48
49
50
51
52
55
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kitosan merupakan copolymer linier β-(1-4) terikat 2-
asetamido-2-deoksi–β–D-Glukopiranosa dan 2-amino-2-deoksi-
β– D- Glukopiranosa (Dash et al, 2011; Lewandowska, 2015).
Sumber utama kitin terdapat pada eksoskeleton dari arthropoda
(crustacea, insekta) dan dinding sel fungi (Cheung et al, 2015).
Potensi kitosan dalam berbagai aplikasi yaitu untuk makanan dan
nutrisi, bioteknologi, pertanian, lingkungan, farmasi dan
biomedik (Rinaudo, 2006; Anitha et al, 2014). Kitosan dibidang
farmasi dan biomedik digunakan sebagai drug carrier
(penghantar obat), antibakteri, antifungal, dan antitumor
(Domínguez-Delgado et al, 2014).
Faktor utama yang perlu diperhatikan dalam preparasi obat
dibidang farmasi yaitu menciptakan sediaan farmasi yang efektif
dan meminimalkan efek samping (Martien et al, 2011). Namun,
beberapa kendala dalam formulasi obat saat ini ditunjukkan oleh
efektifitas obat dan bioavailabilitas yang rendah (Vilar et al,
2012; Svenson, 2004). Hal ini disebabkan karena konsentrasi obat
yang diberikan masih tinggi tetapi hanya dalam sejumlah kecil
saja obat yang dapat mencapai site target, dapat menyebabkan
toksik, selektifitas yang rendah, dan memberikan efek samping
(Martien et al, 2012 ; Pandey, 2004 ; Kawabata et al, 2011 ;
Wang et al, 2011). Perkembangan dan modifikasi terhadap
pemberian obat dan sistem penargetan obat dilakukan untuk
meningkatkan bioavailibitas obat khususnya untuk formulasi obat
oral dengan cara menggunakan penghantaran obat (drug carrier)
dengan sistem gastroretentive sehingga obat dapat mencapai site
target (Nayak et al, 2010; Vilar et al, 2004; Martien et al, 2011).
Drug carrier merupakan suatu partikel berasal dari
komponen biologis atau sintesis yang dapat membawa obat baik
secara langsung atau melalui spacer dan dapat site target spesifik
(Peer, 2012; Dumitriu, 2002). Penggunaan penghantar obat (drug
2
carrier) juga berfungsi untuk mengurangi degradasi obat,
mengurangi limbah obat dan mengurangi efek samping (Mitra &
Dey, 2011; Vilar et al, 2012; Tiyaboonchai, 2003). Karakteristik
drug carrier yang baik dan aman yaitu dapat meningkatkan efek
terapi, mengendalikan laju pelepasan obat, dan mengurangi
frekuensi pemberian obat (Rodríguez-Cruz et al, 2014). Terdapat
berbagai macam bentukan drug carrier yang telah diaplikasikan
dalam bidang farmasi seperti mikrosfer, nanopartikel, liposome,
dan lipoprotein (Srikanth, et al, 2012). Drug carrier dapat
digolongkan menjadi dua macam berdasarkan biomaterial yang
digunakan yaitu berbasis natural polimer seperti (kitosan, pektin,
alginat, karaginan, gelatin, dan sellulosa) dan sintesis polimer
poly lactic-co-glycolic acid (PLGA), polyanhydrides, dan
Polyethylene Glycol (PEG) (Tiwari, et al, 2011; Makadia et al,
2011; Jana et al, 2011).
Metode untuk preparasi drug carrier dapat dilakukan dengan
teknik spray drying, emulsi penguapan pelarut, koaservasi
pemisahan fase dan difusi pelarut (Tiwari et al, 2011).Kitosan
merupakan biopolimer yang dapat digunakan sebagai material
drug carrier dan biomedik lainnya, seperti drug carrier untuk
obat anti kanker, obat anti-infammatory, antibiotik, vaksin, dan
terapi gen (Dash et al, 2011; Liu et al, 2006). Kitosan memiliki
sifat kationik karena dapat berinteraksi dengan senyawa anionik
melalui ikatan taut silang dan membentuk partikel dalam ukuran
mikro (Sagala, 2012), berkapasitas absorbsi yang tinggi,
biodegradabel, biokompatibel, dan tidak toksik (Domínguez-
Delgado et al, 2014; Tiwari et al, 2011). Pada Penelitian
sebelumnya telah dilakukan kitosan sebagai drug carrier
asetaminofen secara in vitro dan berhasil sebagai drug carrier
dengan pelepasan obat mencapai 98% selama 6 jam (Liu et al,
2006; Dash et al 2011).
Asetaminofen merupakan obat antipiretik dan analgesik yang
banyak digunakan oleh masyarakat (Grassi et al, 2004) dan
memiliki bioavailibitas secara oral sebesar 88% (Mazaleuskaya et
al, 2015). Namun, penelitian tersebut masih sedikit yang
3
diaplikasikan secara in vivo, Sehingga perlu dilakukan uji potensi
produk deasetilasi enzimatik kitin sebagai drug carrier
asetaminofen pada Mus musculus.
1.2 Rumusan Masalah
Bioavailabilitas dan absorbsi obat yang masih rendah,
frekuensi serta konsentrasi pemberian obat yang masih tinggi
dapat menyebabkan toksik dan adanya efek samping.
Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut maka dalam
penelitian ini dirumuskan bagaimana pemanfaatan kitosan hasil
deasetilasi enzimatik kitin sebagai drug carrier asetaminofen.
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini, yaitu :
1. Menggunakan biopolimer kitosan hasil modifikasi enzimatik
kitin
2. Sampel obat yang digunakan adalah asetaminofen
3. Uji aplikasi efektifitas produk deasetilasi enzimatik kitin
pada mencit (M. musculus L.) albino Swiss Webster Jantan
4. Analisis sampel asetaminofen diambil dari urin mencit (M.
musculus L.) albino Swiss Webster Jantan.
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan bioavaibilitas
obat dan fabrikasi deasetilasi enzimatik kitin sebagai bahan drug
carrier asetaminofen melalui analisis FTIR (Fourier Transform
Infrared Spectroscopy) kitosan, asetaminofen, dan mikrosfer serta
dilakukan analisis dengan UV- Spektrofotometer asetaminofen
yang terserap oleh tubuh mencit (M. musculus L.) albino Swiss
Webster Jantan yang terdapat pada sampel urin.
1.5 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini untuk meningkatkan kualitas obat,
mengurangi dosis penggunaan obat, sehingga konsumsi obat lebih
efektif dan efisien untuk sel target.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kitin
Kitin merupakan biopolimer dan struktur primer eksoskeleton
dari crustacea, dan banyak spesies lainnya seperti moluska,
insekta, dan fungi (Jana et al, 2011; Kumirska et al, 2011; Pal et
al, 2014). Kitin sebagai polisakarida kedua yang sangat melimpah
di alam setelah selullosa (Säkkinen, 2003; Kumirska et al, 2011)
dan salah satu sumber limbah terbesar untuk industri pengolahan
ikan (Pal et al, 2014).
Kitin merupakan polimer rantai panjang dari N-asetil-D-
Glukosamin derivat dari glukosa. Struktur kimia dari kitin yaitu
poli-β-(1-4)-N-asetil-D-Glukosamin. Polimer ini tersusun dari
residu N-asetilglukosamin (GlcNac) (Cheba, 2011) yang
dihubungkan oleh ikatan 1,4-β-glikosidik sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 2.1, tidak bercabang, dan mempunyai
bobot molekul besar (Wang & Chang, 1997; Oh et al, 2000). Kitin
memiliki tiga bentuk polimorfik yaitu, α, β, dan γ kitin. β-kitin
menunjukkan reaktivitas deasetilasi yang lebih tinggi daripada α-
kitin (Rinaudo et al, 2006; Säkkinen, 2003). Kitin tidak larut
dalam air dan pelarut organik umumnya. Di sisi lain, kitin dapat
larut hanya dalam pelarut seperti N,N-Dimethylacetamide,
hexafluoroacetone atau hexafluoro-2-propanol (Kumirska, 2011).
Gambar 2.1 Struktur kitin (Jalal et al, 2012).
6
Perbedaan Kitin dan selulosa terletak pada gugus fungsi
penyusunnya. Gugus hidroksil (-OH) pada ikatan atom karbon
nomor dua selulosa diganti dengan gugus asetamida (-NHCOCH3)
pada kitin sehingga membentuk polimer berunit N-asetil
glukosamin (Rinaudo, 2006 ; Cheba, 2011), seperti pada Gambar
2.2.
Gambar 2.2 Struktur selulosa (Kiri) dan Struktur kitin (Kanan)
(Cheba, 2011).
Kitin memiliki range berat molekul rata – rata dari 1,03 x
106 sampai 2,5 x 106 dalton, range derajat deasetilasi kitin 5-15 %,
kitin memiliki solubilitas tidak larut dalam air (hidrofobik)
(Cheba, 2011).
2.2 Kitosan
Kitosan merupakan copolymer linear yang terdiri dari β- (1-
4) -linked D-glukosamin (GlcN) dan N-asetil-D-Glukosamin
(GlcNAc) (Zeng et al, 2008). Kitosan dapat larut pada larutan
asam organik pada pH kurang dari 6,5 diantaranya format, asam
asetat, tartarat, dan asam sitrat (Tiyaboonchai, 2003). Kitosan
memiliki berat molekul 50.000 – 20.000.000 Dalton, termasuk
basa lemah dengan pKa 6,2 -7.0 (Pati & Dash, 2013) Struktur kitin
dan kitosan ditunjukkan pada Gambar 2.3.
7
Gambar 2.3 Struktur Kitin, Kitosan dan Sellulosa (Santiago,
2011).
Salah satu keuntungan yang nyata dan menarik dari kitosan
yaitu dapat diperoleh dari sumber alami dalam jumlah yang
melimpah serta dapat diperbaharui, berasal dari limbah kepiting,
udang dan kerang (Säkkinen, 2003). Konversi kitin menjadi
kitosan dapat dilakukan secara kiwiawi menggunakan basa kuat
(Prameela et al, 2010) atau dengan menggunakan hidrolisis
enzimatik dengan kitin deasetilase (Rinaudo et al, 2006).
Proses deasetilasi kitosan digunakan untuk mengubah
gugus asetil dari kitin menjadi gugus amina pada kitosan (Khan et
al, 2001). Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari
biopolimer maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan
hidrogen dari kitosan sehingga dapat meningkatkan kualitas
kitosan (Tsigos et al, 2000).
Faktor yang mempengaruhi solubilitas diantaranya
solubilitas kitosan akan meningkat dengan meningkatnya derajat
deasetilasi, berat molekul, dan kondisi pelarutan (Chen, 2005).
8
Solubilisasi terjadi karena protonasi fungsi –NH2 pada posisi C-2
dari unit pengulangan D-glukosamin, dengan mengkonversi
glukosamin menjadi bentuk terlarut R-NH3+, dengan demikian
polisakarida dikonversi menjadi polielektrolit pada media asam
(Rinaudo et al, 2006; Shweta & Sonia 2013). Kitosan merupakan
basa lemah dengan nilai pKa sekitar 6,2-7,0 yang dapat terikat
dengan residu D-glukosamin (Chen, 2005). Menurut teori kitosan
dapat larut pada kondisi asam (Tiyaboonchai, 2003) hal ini karena
gugus amina pada kitosan mengandung atom nitrogen, masing –
masing dengan pasangan elektron, gugus amina merupakan gugus
yang lemah dan dapat mengambil ion hidrogen sehingga molekul
kitosan menjadi elektrolit polikationik seperti pada Gambar 2.4,
Hal ini yang akan berperan dalam pelarutan kitosan pada kondisi
asam (Chen, 2005).
Gambar 2.4 Pembentukan gugus amino kuaterner bermuatan
positif pada posisi C-2 ketika larut dalam lingkungan asam (Chen,
2005).
Derajat deasetilasi merupakan besarnya persentase gugus
asetil dari molekular rantai kitin yang berhasil dikonversi menjadi
gugus amina dan fleksibilitas kitosan yang utama bergantung pada
tingginya derajat gugus kimia amina reaktif (Hussain et al, 2013).
Kitosan memiliki derajat deasetilasi lebih dari 50% sedangkan
kitin memiliki derajat deasetilasi kurang dari 50% (Synowiecki &
Al-Khateeb, 2003; Rinaudo, 2006).
Potensi kitosan memiliki banyak aplikasi diberbagai bidang,
diantaranya biomedis, bioteknologi, industri farmasi, kosmetik,
dan biodegradasi (Santiago, 2011). Hal ini dikarenakan gugus
9
amina pada kitosan memiliki muatan kation, sebagai pengganti
gugus amida atau bersifat polikationik (Morris, 2010; Tokuyasu et
al, 1999) yang menunjukkan kitosan tidak memiliki ikatan karbon
rangkap pada oksigennya (C=O) (Zakaria et al, 2012). Aplikasi
kitosan dibeberapa bidang ditentukan oleh persentase derajat
deasetilasi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 2.1 Aplikasi Kitosan Berdasarkan Derajat Deasetilasi
Derajat
Deasetilasi
%
Aplikasi Referensi
58 Anti Tumor Tokuyasu, 1999
66 – 99,8 Drug Delivery Bansal et al, 2011
80 Anti Kanker Howling et al, 2001
85 Wound – Healing Dressing Mint BM et al, 2004
90 Transfer gen, Antioksidan Ischaidar, 2014
92 Antimikroba Rinaudo et al, 2006
Adanya gugus amina primer reaktif memberikan sifat
khusus kitosan yang sangat berguna digunakan dalam aplikasi
bidang farmasi (Bansal et al, 2011). Saat ini dikembangkan
aplikasi kitosan sebagai penghantar (Eksipien) yang aman dari
formulasi obat. Tujuan menggunakan kitosan dengan berat
molekul dan derajat deasetilasi yang tinggi adalah untuk fabrikasi
mikrosfer, gel, mikrokapsul sehingga didapatkan produk yang
lebih stabil selain itu juga dapat mengkontrol pelepasan obat yang
berkelanjutan (Tsigos et al, 2000; Bansal et al, 2011).
2.3 Drug Carrier (penghantar obat )
Perkembangan sistem penghantaran obat yang
mengoptimalkan aksi farmasi dari obat sekaligus mengurangi efek
samping toksik in vivo masih terus berkembang (Tiyaboonchai,
2003). Penggunaan sistem penghantaran obat yang telah banyak
dikembangkan diantaranya mikro/nano partikel, dan liposom.
10
Oleh karena itu, dapat dijadikan sebagai alternantif penghantar
obat yang dapat mengatasi banyak permasalahan (Tiyaboonchai,
2003).
Terdapat berbagai macam drug carrier yang sudah
digunakan untuk farmasi seperti mikrosfer, nanopartikel, liposom,
dan lipoprotein (Srikanth et al, 2012). Drug carrier dapat
digolongkan menjadi dua macam berdasarkan biomaterial yang
digunakan yaitu berbasis natural polimer (kitosan, pektin, alginat,
karaginan, gelatin, dan sellulosa) atau sintesis polimer (poly lactic-
co-glycolic acid (PLGA), polyanhydrides, dan Poly Ethylen
Glucol (PEG) (Tiwari, et al, 2011; Makadia et al, 2011; Jana et
al, 2011). Mikrosfer kitosan dapat disintesis oleh sejumlah teknik
yang berbeda seperti solvent evaporation, Spray drying,
Coaservasi, Emulsification dan Suspention cross-linking. Prinsip
produksi mikrosfer kitosan untuk mengontrol pelepasan obat
(Desai, & Park, 2005). Mikrosfer kitosan yang paling banyak
dipelajari dalam sistem pengiriman obat yaitu untuk pelepasan
obat terkendali diantaranya antibiotik, agen anti-hipertensi, agen
anti-kanker, agen anti-inflamasi, protein, obat peptida dan vaksin
(Sinha et al. 2004).
Salah satu potensi kitosan sebagai sistem penghantar obat
melalui oral, nasal, transdermal dan lain sebagainya (Kumirska et
al, 2011). Dalam beberapa aplikasi pengiriman obat dari kitosan,
uji dengan mikrograf elektron membuktikan bahwa obat dan
kitosan sebagai pembawa tercampur merata dalam campuran fisik
dan homogen, dan obat terdistribusikan di kitosan. Hal ini
menunjukkan bahwa kitosan telah berhasil diterapkan sebagai
pembawa untuk senyawa farmasi dalam pemberian obat, dan juga
mampu menyerap obat dari lingkungan berair lainnya. Sebagai
contoh kitosan dilaporkan sebagai pembawa Asetaminofen dalam
pemberian obat (Amouzgar & Salamatinia, 2015).
Cross linking kitosan sangat berguna untuk bidang farmasi
untuk formulasi dari variasi sistem penghataran obat seperti
mikrosfer, nanosfer, hidrogel, dan film/membran. Klasifikasi agen
cross linking diantaranya cross linking fisik dan kimia, cross
11
linking kimia polisakarida merupakan metode yang sangat berguna
dengan stabilitas yang baik. Ikatan kovalen terbentuk antara
polimer berbeda atau antara polimer dan cross linker. Contoh agen
cross linking kimia diantaranya Tripolifosfat , glutaraldehid
formaldehid, vanillin, genipin, dan hexandibromid. Mekanisme
cross linking antara kitosan dan Tripolifosfat terbentuk melalui
interaksi antara gugus amina dari kitosan dan gugus anion dari
Tripolifosfat sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.5 (Shweta
& Sonia, 2013 ; Bhumkar & Pokharkar, 2006).
Gambar 2.5 Struktur Pengikatan Antara Sodium Tripolifosfat dan
kitosan (Bhumkar & Pokharkar, 2006).
Sodium Tripolifosfat (TPP) adalah agen cross linking
non-toksik yang dapat digunakan untuk persiapan mikropartikel
kitosan, adanya gugus PO43- dalam struktur TPP mudah tertarik
oleh protonasi gugus NH3+ melalui cross linking ionik (Parize, et
al , 2012). Sodium Tripolifosfat (TPP) sebagai cross linking dapat
12
bersifat fleksibel pada membran dan dapat meningkatkan stabilitas
kimia membran kitosan (Shweta & Sonia, 2013), selain itu juga
interaksi TPP dengan kitosan menyebabkan pembentukan
biokompatibel nanopartikel kitosan, yang dapat secara efisien
digunakan dalam penghantaran protein dan vaksin sebagai potensi
aplikasi dari penghantar obat (Bhumkar & Pokharkar, 2006).
2.4 Asetaminofen
Asetaminofen (APAP) adalah obat umum yang digunakan
sebagai obat analgesik dan antipiretik yang relatif aman dan
efektif bila digunakan pada dosis terapi, namun dalam dosis
berlebih dapat menyebabkan toksisitas pada hati dan ginjal (Fan et
al, 2014; Cheng et al, 2009). Obat merupakan senyawa yang
digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit/
gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu.
Asetaminofen secara farmakokinetik diabsorbsi secara cepat dan
sempurna melalui saluran pencernaan. Konsentrasi tertinggi dalam
plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh didalam
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar keseluruh cairan tubuh.
Dalam plasma 25 % asetaminofen terikat oleh protein plasma.
Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian
asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan
sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Obat ini dieksresi
melalui ginjal, sebagian kecil asetaminofen (3%) dan sebagian
besar dalam bentuk terkonjugasi (Mardjono, 2010).
Farmakokinetik merupakan efek tubuh terhadap obat.
Farmakokinetik mencakup 4 proses yaitu proses absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan eksresi.
a. Absorbsi
Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat
pemberian ke dalam darah. Tempat pemberian obat dapat melalui
saluran cerna, kulit, otot, dan lain sebagainya. Hal terpenting
adalah cara pemberian obat secara oral maka tempat absorbsi
utamanya adalah usus halus karena memiliki permukaan absorbsi
13
yang sangat luas, yakni 200 m2 (panjang 280 cm, diameter 4 cm,
disertai dengan vili dan mikrovili) (Mardjono, 2010). Luas
permukaan besar dari usus halus disebabkan adanya lipatan –
lipatan pada membran mukosa yang merupakan tonjolan –
tonjolan kecil yaitu villi. Villi ini mengandung tonjolan – tonjolan
lebih kecil lagi yang dikenal sebagai mikrovilli (Suprapti, 2012).
Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagian
besar barrier absorbsi adalah membran sel epitel saluran cerna,
seperti halnya semua membran sel di tubuh kita merupakan lipid
bilayer. Dengan demikian agar dapat melintasi membrane sel
tersebut, molekul obat harus memiliki kelarutan lemak (setelah
terlebih dahulu larut dalam air). obat yang diberikan secara oral
akan melintasi saluran pencernaan dari mulut hingga anus
(Mardjono, 2010). Asetaminofen merupakan salah satu obat
dengan pemberian secara oral yang selanjutnya akan di absorbsi
pada jalur gastrointestinal dengan transpor pasif dan sebagian
kecil metabolisme obat pada mencit melalui mukosa
gastrointestinal. Pada laki – laki sebagian kecil terjadi di perut
tetapi secara cepat terjadi di usus halus dan tingkat absorbsi juga
bergantung pada tingkat kekosongan lambung (Prescott, 1980).
b. Distribusi
Obat akan diikat oleh protein plasma di dalam darah dengan
berbagai ikatan lemah (seperti, ikatab hidrogen dan ionik). Obat
yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah
keseluruh tubuh (Suprapti, 2012). Obat bebas akan keluar ke
jaringan yaitu ke tempat obat bekerja, ke hati (dimana obat akan
mengalami metabolisme menjadi metabolit yang akan dikeluarkan
melalui empedu atau masuknya kembali kedalam darah) dan ke
ginjal (dimana obat/ metabolitnya dieksresi kedalam urin)
(Mardjono, 2012). Asetaminofen secara cepat dan sama akan
terdistribusi pada jaringan. Rasio konsentrasi sel darah merah dan
plasma yaitu 1,2 : 1 dan akan berikatan dengan protein plasma
14
secara tidak signifikan. Di jaringan, obat yang larut air akan tetap
berada di luar sel (di cairan intestinal) sedangkan obat yang larut
lemak akan berdifusi melintasi membrane sel dan masuk kedalam
sel tetapi karena perbedaan pH di dalam sel (pH = 7) dan di luar
sel (pH =7,4), maka obat – obat asam lebih banyak di luar sel dan
obat – obat basa lebih banyak di dalam sel (Prescott, 1980).
c. Metabolisme (Biotransformasi)
Metabolisme obat yang utama terjadi di hati yakni di
membrane endoplasmic retikulum (mikrosom) dan di sitosol.
Tujuan dari metabolisme obat adalah mengubah obat yang
nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat
dieksresikan melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini
maka obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tetapi sebagian
berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif,
atau menjadi toksik. Reaksi metabolism terdiri dari reaksi fase I
dan Fase II. Reaksi fase I terdiri oksidasi, reduksi, dan hidrolisis
yang mengubah obat menjadi lebih polar, sedangkan reaksi fase II
merupakan reaksi konjugasi dengan subobat endogen: asam
glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino. Pada reaksi
fase I obat diberikan gugus polar seperti gugus hidroksil, gugus
amino, karboksil, dan lain sebagainya, untuk dapat bereaksi
dengan substrat endogen pada rekasi fase II. Adanya gugus -
gugus tersebut maka dapat langsung bereaksi dengan substrat
endogen (Fase II). Hasil yang reaksi fase I yang sudah cukup polar
dapat langsung dieksresikan melalui ginjal tanpa harus melalui
reaksi fase II (Mardjono, 2012).
Reaksi metabolism yang terpenting adalah oksidasi oleh
enzim Cytochrome P450 (CYP) di dalam endoplasmik retikulum
(mikrosom) hati. Salah satu enzim di hati yang terpenting dalam
metabolisme obat adalah CYP3A4/5 enzim ini akan
mematobolisme sekitar 50% obat untuk manusia, Isoenzim ini
15
juga terdapat pada epitel usus halus (sekitar 70% dari total CYP di
usus halus) dan di ginjal (Mardjono, 2012).
Asetaminofen sebanyak 2-5 % dengan dosis terapi akan
dieskresikan dengan bentuk yang tidak berubah pada urin.
Meskipun biotransformasi terjadi sebagian besar pada hati.
Sebagian besar metabolit asetaminofen yaitu konjugat sulfat dan
glukuronida tetapi sebagian kecil fraksi diubah oleh hati menjadi
metabolit yang sangat reaktif. Metabolit ini biasanya cepat
diinaktivasi oleh konjugasi dengan mengurangi glutathione dan
akhirnya diekskresikan dalam urin sebagai sistein dan konjugat
asam merkapturik. Metabolisme asetaminofen bergantung pada
usia dan dosis. Pada orang dewasa muda yang sehat waktu paruh
asetaminofen didalam plasma pada dosis terapi adalah sekitar 2
jam (kisaran 1,5-2,5 jam), 4% dari dosis diekskresikan ke dalam
urin dalam waktu 24 jam sebagai asetaminofen yang tidak
berubah, sulfat, glukuronat, sistein dan asam merkapturik
(Prescott, 1980).
Over dosis dari asetaminofen yang jenuh pada jalur
Glukuronidasi dan sulfasi, terakumulasi besar pada intermediet
reaktif N-asetil-p-benzokuinon imina (NAPQI). Metabolit reaktif,
N-asetil-p-benzokuinon imina (NAPQI), yang dihasilkan dari
asetaminofen teroksidasi oleh sitokrom hati P450 (P450) (Cheng
et al, 2009) Biasanya, NAPQI didetoksifikasi oleh konjugasi
untuk glutation (GSH) dan secara cepat diekskresikan dalam urin
(Fan et al, 2014).
D. Eksresi
Organ yang berperan dalam eksresi obat adalah ginjal. Obat
dieksresi melalui ginjal dalam bentuk utuh atau bentuk
metabolitnya. Eksresi bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan
cara eliminasi obat melalui ginjal. Eksresi melalui ginjal
melibatkan 3 proses yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif di
tubulus proksimal dan reabsorbsi pasif di sepanjang tubulus.
16
Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni plasma tanpa
protein jadi semua obat bebas akan keluar dalam ultrafiltrat
sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam
darah(Mardjono, 2012).
Sekresi aktif dalam darah ke lumen tubulus proksimal
terjadi melalui transporter membrane p-glikoprotein (P-gp) dan
MRP (multidrug-resistance protein) yang terdapat didalam
membrane sel epitel dengan selektivitas yang berbeda, yakni MRP
untuk anion organik dan konjugat (seperti, glukuronat, sulfat, dan
konjugat glutation). Reabsorbsi pasif terjadi disepanjang tubulus
untuk membentuk nonion obat yang larut lemak (Mardjono,
2012).
Asetaminofen merupakan obat yang berperan dalam
menyembuhkan penyakit didalam tubuh manusia. Namun,
asetaminofen juga memerlukan suatu pembawa salah satunya
adalah kitosan yang bertindak sebagai pembawa asetaminofen ke
dalam tubuh (Ramadhan & Yuswan, 2013). Interaksi antara gugus
karbonil pada asetaminofen dan gugus amina pada kitosan akan
membentuk ikatan hidrogen sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 2.6.
Gambar 2. 6. Interaksi antara gugus karbonil dari asetaminofen
dan gugus amina dari kitosan (Amouzgar & Salamatinia, 2015).
Asetaminofen merupakan derivat dari para amino fenol
yang dapat memberikan efek antipiretik dan analgesik. Efek
antipiretik ini ditimbulkan oleh gugus aminobenzen (Mardjono,
17
2012).. Secara farmakodinamik efek antipiretik dari asetaminofen
yaitu dapat menurunkan suhu tubuh. Suhu tubuh normal yaitu
36,4C pada pagi hari dan 36,9C pada sore hari (Aronoff et al,
2001). Suhu tubuh diatur oleh keseimbangan antara produksi dan
hilangnya panas. Alat pengatur suhu tubuh ini berada di
hipotalamus. Pada saat demam keseimbangan ini akan terganggu
tetapi, dapat kembali pada suhu normal oleh asetaminofen
(Mardjono, 2012; Aronoff et al, 2001).
Peningkatan suhu tubuh terjadi karena adanya pelepasan
propaglandin (PG) yang berlebih didaerah preoptik hipotalamus.
Selain itu COX-3 di hipotalamus dapat dihambat dengan
asetaminofen (Mardjono, 2012). Asetaminofen dengan mudah
menetrasi otak, sehingga bisa menghambat sintesis PG (Botting,
2000). Mekanisme antipiresis yaitu obat antipiretik seperti
asetaminofen, aspirin, dan obat anti-inflamasi yang terkait
(NSAID) dapat menurunkan demam dengan menghambat pesan
inflamasi keduanya yaitu pada periferal dari jaringan yang
mengalami inflamasi dan sistem termoregulasi saraf pusat. Pada
saraf pusat, antipiretik dapat menurunkan termoregulasi terutama
pada set point dengan menghambat produksi cyclooxygenase
prostaglandin E2 (PGE2) (Aronoff et al, 2001).
2.5 Mus Musculus (Mencit)
Mus musculus telah digunakan untuk penelitian ilmiah sejak
1600s. Pada perkembangannya Mus musculus laboratorium mulai
digunakan sebagai model penelitian untuk percobaan genetik sejak
tahun 1900s. Mus musculus juga banyak digunakan untuk
berbagai macam penelitian, diantaranya kanker, immunologi,
toksikologi, metabolisme, perkembangan biologi, diabetes,
obesitas, penuaan, dan penelitian tentang kardiovaskular.
Kelebihan Mus musculus digunakan sebagai hewan uji dalam
penelitian karena ukurannya yang kecil, waktu reproduksi cepat,
murah, dan mudah dibiakkan dalam skala laboratorium. Mus
18
musculus termasuk ordo Rodentia, Famili Muridae beberapa strain
dari Mus musculus adalah NIH Swiss, Swiss Webster, ICR, dan
CD-1. Mus musculus aktif pada malam hari, sehingga
diklasifikasikan sebagai hewan nocturnal. Untuk analisis urine,
urine dikumpulkan biasanya selama 24 jam menggunakan
kandang metabolisme, berikut ini merupakan karakteristik urine
dari Mus musculus yang ditunjukkan pada Tabel 2.2 (Danneman,
2013).
Tabel 2.2 Parameter Urin Normal pada Mus musculus
Parameter ± Nilai Normal
Warna Sedikit kuning
Volume 0,5 – 2,5 mL/ 24 jam
Specific gravity 1,040
pH 5
Glukosa 0,5-3,0 mg/ 24 jam
Protein 0,6 – 2,6 mg / 24 jam
Saluran pencernaan Mus musculus sama dengan mamalia
lainnya (kecuali ruminansia) yang terdiri dari esophagus, perut,
duodenum, jejunum, ileum, sekum, kolon, dan rektum. Pada perut
terdiri dari kardiak (nonglandular) dan pilorik (glandular).
Nonglandular tersusun atas epithel squamous, Mus musculus tidak
memiliki appendik. Berikut ini merupakan beberapa parameter
biologis dai Mus musculus yang ditunjukkan pada Tabel 2.3
(Danneman, 2013).
Tabel 2.3. Beberapa Macam Parameter Biologi Mus musculus
Parameter Nilai khusus
Jumlah Diploid Kromosom 40
Waktu Hidup 2-3 tahun
Berat Badan Dewasa 20-40 g
Suhu tubuh 36,5 – 38,0 °C (97,5 – 100,4
°F)
Kecepatan Metabolisme 180 -505 kcal/ kg/ Hari
19
Jumlah Bahan Makanan yang
Dimakan
12-18 g/ 100 g Berat Badan/
Hari
Jumlah Air yang diminum 15 ml/ 100 g Berat Badan/
Hari
Kecepatan Bernafas 80-230 nafas / menit
Kecepatan Jantung 500 – 600 ketukan/ menit
Beberapa pre-treatment terhadap analisis sampel urin
menggunakan kandang metabolik yaitu dengan cara sampel urin
yang didapatkan diletakkan kedalam tabung gelap dan disimpan
pada suhu 0°C. kandang dari mencit dicuci dengan menggunakan
5 ml air. Kemudian ditambahkan ke urin dan disimpan kembali
pada suhu 20°C sampai analisis NSAID ini akan dilakukan (Bojic
et al, 2014).
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2016 hingga
Juli 2017 di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Serta
Laboratorium Zoologi dan Rekayasa Hewan Jurusan Biologi,
FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
3.2 Metode yang Digunakan
3.2.1 Pembuatan Kurva Standart Asetaminofen
Pembuatan kurva standart ini dilakukan untuk mendapatkan
nilai standart yang akan di gunakan untuk analisis residu
asetaminofen yang terserap pada sampel urin mencit (Mus
musculus). Pembuatan larutan standart dilakukan dengan cara
(w/v:1 mg/ml) menghaluskan asetaminofen yang didapatkan dari
produk komersil sebanyak 500 mg dan dilarutkan dengan
menggunakan aquades 10 ml kedalam 100 ml labu ukur. Preparasi
larutan FeCl3 1 % (w/v) yaitu dengan melarutkan 1 gram FeCl3
kedalam 100 ml aquades. Kemudian dibuat variasi larutan untuk
plot kurva standart dan ditambahkan 400 µl dari 1% FeCl3,
divortex (1000 rpm) sampai menghasilkan warna biru, dan
dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 560 nm (λmaks untuk mendeteksi Asetaminofen dengan
FeCl3). Sehingga didapatkan grafik kurva standart dari nilai
absorbansi (Aman et al, 2012).
3.2.2 Fabrikasi Mikrosfer Kitosan dengan Metode Droplet
Proses pembuatan drug carrier asetaminofen sebagai berikut.
Asetaminofen seberat 1,5 gram dilarutkan kedalam 300 ml asam
asetat 1% (v/v) di dalam gelas Beker sehingga tercapai konsentrasi
0,5 % (w/v), kemudian kitosan berbentuk bubuk (powder)
ditambahkan dan diaduk dengan menggunakan stirrer dengan
kecepatan 8000 rpm selama 24 jam tanpa pemanasan. Setelah itu
agen cross linker Sodium Tripolifosfat (TPP) dengan konsentrasi
22
1% (w/v) ditambahkan sebanyak 10 ml dengan cara diteteskan
secara berkala dan terus diaduk menggunakan stirrer dengan
kecepatan yang sama (8000 rpm) selama 30 menit.
Larutan campuran tersebut kemudian di teteskan
menggunakan dissposible syringe diatas magnetic stirrer dengan
suhu 100oC yang telah dilapisi alumunium foil untuk mendapatkan
bentukan mikrosfer kitosan. Preparasi mikrosfer ini menggunakan
dua perbedaan formulasi ratio obat : polimer kitosan (1:1 dan 1:2).
Sehingga dapat menghasilkan tetesan kecil (droplet). Tetesan kecil
(droplet) tersebut selanjutnya di oven pada suhu 50oC selama 24
jam..
3.2.3 Konfirmasi Uji Jumlah Obat dan Efisiensi Enkapsulasi
pada Mikrosfer Kitosan
Mikrosfer Kitosan sebanyak 20 mg dihaluskan, kemudian
dimasukkan kedalam test tube dan ditambahkan 500 µl FeCl3 1%,
campuran tersebut kemudian di sentrifus selama 1 menit pada
1000 rpm. Supernatan diambil dan dianalisis dengan
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 560
nm (Aman et al, 2012). Nilai absorbansi yang didapatkan di
masukkan kedalam y = ax + b pada kurva standart sebagai nilai y,
Sehingga dapat ditentukan jumlah kandungan obat didalam 20 mg
mikrosfer kitosan. Selanjutnya untuk mendapatkan nilai efisiensi
enkapsulasi nilai hasil uji jumlah obat dimasukkan kedalam rumus
dibawah ini, dengan konsentrasi obat menurut teori didapatkan
dari jumlah mikrosfer kitosan yang diambil (20 mg), sebagaimana
menurut Liu et al (2005), uji Efesiensi kandungan obat tersebut
dihitung menggunakan persamaan berikut :
23
3.2.4 Karakterisasi Mikrosfer dengan Fourier Transform
Infrared Spectroscopy (FTIR)
Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR )adalah
metode yang digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi
senyawa organik (Khopkar, 2003). Kitosan, Asetaminofen dan
Mikrosfer kitosan yang akan diuji terlebih dahulu di preparasi
dengan cara pembuatan pellet. Pembuatan pelletini dilakukan
dengan mengambil beberapa miligram sampel kemudian
dihaluskan dalam mortar, dan ditambahkan KBr (Kalium
Bromida). Serbuk yang telah dihaluskan diletakkan dalam pellet
press secara merata, dihubungkan ke pompa kompresi hydraulik,
selanjutnya ditekan dengan tekanan 10 t/in2. Analisis dilakukan
untuk mengindentifikasi adanya gugus fungsi spesifik yang
berperan dalam fabrikasi mikrosfer seperti adanya gugus (N-H),
(C=O) dan (O-H) (Chun et al., 2005).
3.2.5 Uji Aplikasi Mikrosfer Kitosan Pada Mencit Albino M.
musculus. L Swiss Webster Jantan
Dosis asetaminofen standard untuk mencit (M. musculus L.)
albino Swiss Webster yaitu 300 mg/kg, dengan karakteristik
mencit albino M. musculus L. Swiss Webster jantan berumur ± 2,5
bulan dan berat badan rata – rata 25 gram (Miners et al, 1984).
Hewan uji untuk aplikasi drug carrier dalam penelitian terdapat
sebanyak 15 ekor, untuk 3 perlakuan dan 5 kali ulangan yang
ditempatkan di dalam sebuah bak kandang modifikasi (Selvaraj &
Archunan, 2002).
Asetaminofen (kontrol) dan mikrosfer kitosan A (1:1) dan
mikrosfer kitosan B (1:2), masing masing dengan dosis 300
mg/kg, 0,15 mg asetaminofen, serta 0,16 mg asetaminofen yang
telah diuji dengan kurva standart, selanjutnya dilarutkan kedalam
aquades 1-2 ml hingga terlarut seluruhnya. kemudian diinjeksikan
melalui oral menggunakan jarum kanula. Sampel urin dikoleksi
dari hewan uji selama 24 jam setelah pemberian secara oral
asetaminofen dan mikrosfer asetaminofen-kitosan (wong et al,
24
1981). Pengambilan sampel urine dilakukan dengan cara
mengambil sampel urine yang tertampung didalam kandang
Mencit albino M. musculus L. Swiss Webster jantan menggunakan
mikropipet. Selanjutnya sampel urin sebanyak ± 1-2 ml yang
didapatkan diletakkan kedalam test tube dan disimpan pada suhu
4ºC sampai analisis ini dilakukan (Bojic et al, 2014).
3.2.6Analisis Residu Asetaminofen pada Sampel Urin dengan
UV- Spektrofotometer
Sampel urine sebanyak 100 µl dianalisis menggunakan
single chromogenic reagent FeCl3 1% (w/v) sebanyak 400 µl.
Campuran tersebut kemudian di sentrifus selama 1 menit dengan
1000 rpm. Supernatan diambil dan dianalisis dengan
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 560
nm (Aman et al, 2012). Sehingga dapat ditentukan jumlah
kandungan obat didalam sampel urin.
3.3 Analisis Data
3.3.1 Penyusunan, Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh berupa mikrosfer kitosan hasil
fabrikasi, jumlah obat dan efisiensi enkapsulasi dan perubahan
gugus fungsi dari hasil fabrikasi mikrosfer menggunakan FTIR.
Hasil aplikasi fabrikasi mikrosfer secara in vivo dianalisis secara
deskriptif kuantitatif.
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Fabrikasi Mikrosfer Kitosan
Pembuatan mikrosfer dari kitosan sebagai drug carrier
asetaminofen dilakukan dengan menggunakan metode droplet
yang memanfaatkan sodium tripolifosfat sebagai agen cross
linker. Visualisasi bentuk fabrikasi mikrosfer ditunjukkan pada
Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Visualisasi Bentuk Fabrikasi Mikrosfer.
Pada Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa mikrosfer droplet
berbentuk padatan, berwarna kuning kecoklatan dan setiap satu
bentukan droplet mikrosfer memiliki ukuran ± 1 mm yang diduga
terbentuk karena adanya interaksi antara kitosan dengan
asetaminofen. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa
interaksi antara kitosan dan asetaminofen tersebut menyebabkan
gugus (N-H) pada kitosan berikatan dengan gugus (C=O).
Semakin banyak gugus (N-H) maka semakin banyak
pembentukan gugus (O-H) yang mengindikasikan terbentuknya
ikatan hidrogen antara kitosan dan asetaminofen (Amouzgar &
Salamatinia, 2015).
± 1 mm
26
4.2 Konfirmasi Jumlah dan Efisiensi Enkapsulasi
Asetaminofen pada Mikrosfer Kitosan
Mikrosfer droplet yang terbentuk selanjutnya
dikonfirmasi jumlah dan Efisiensi Enkapsulasi asetaminofen yang
terkandung pada mikrosfer kitosan ditunjukkan dalam Tabel 4.1
untuk mengetahui jumlah asetaminofen yang terikat.
Tabel 4.1 Konfirmasi Jumlah dan Efisiensi Enkapsulasi
Asetaminofen pada Mikrosfer Kitosan
Mikrosfer
Jumlah
asetaminofen per
20 mg mikrosfer
(mg)
Jumlah
asetaminofen per
mg mikrosfer
(mg)
Efisiensi
Enkapsulasi
(%)
A 0,14 0,007 0,7%
B 0,25 0,0125 1,25%
Keterangan (A): Mikrosfer dengan perbandingan obat dan kitosan
1:1, (B): Mikrosfer dengan perbandingan obat dan kitosan 1:2.
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui hasil konfirmasi
jumlah asetaminofen yang terikat setiap 20 mg mikrosfer. Pada
mikrosfer B memiliki kandungan asetaminofen yang terikat lebih
banyak yaitu sebesar 0,25 mg asetaminofen. Sedangkan pada
mikrosfer A hanya memiliki kandungan asetaminofen yang
terikat sebesar 0,14 mg asetaminofen. Hal ini disebabkan karena
jumlah kitosan yang lebih banyak mengindikasikan banyaknya
gugus (N-H) yang dapat mengikat gugus (C=O) dari
asetaminofen. Amouzgar & Salamatinia (2015) dan Takahashi et
al, (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa interaksi
antara gugus (N-H) pada kitosan dan gugus (C=O) pada
asetaminofen menyebabkan terbentuknya gugus (O-H). Selain itu,
dengan mengetahui jumlah asetaminofen per mg mikrosfer, maka
dapat diketahui pula persentase efisiensi enkapsulasi dimana
untuk mikrosfer (B) memiliki enkapsulasi yang lebih besar yaitu
1,25% sedangkan efisiensi enkapsulasi mikrosfer (A) hanya
27
sebesar 0,07%. Persentase ini berbanding lurus dengan jumlah
asetaminofen yang terikat pada setiap mg mikrosfer kitosan.
4.3 Analisis Kitosan, Asetaminofen dan Mikrosfer dengan
Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)
Karakterisasi spektra FTIR menunjukkan adanya gugus
fungsi yang berinteraksi pada asetaminofen dan mikrosfer yang
ditunjukkan pada Tabel 4.2 Hasil Analisis FTIR pada Kitosan,
Asetaminofen dan Mikrosfer.
Tabel 4.2 Hasil Analisis FTIR pada Kitosan, Asetaminofen, dan
Mikrosfer
Analisis
Range
Panjang
Gelombang
Gugus
Fungsi
Panjang Gelombang
(cm)
Gugus
Fungsi
Kitosan 3100-3500
(N-H)
1650-1690
(C=O)
2500-3400
(O-H)
3254,24 ; 1623,62 N-H dan
C=O
Asetaminofen 3321,05 ; 3160,19;
1651,49
N-H dan
C=O
Mikrosfer A 3256,03 ; 2921,80 ;
1618,14
N-H dan
O-H
Mikrosfer B 3255,00 ; 2918.54 ;
1654,28
N-H dan
O-H
Kisaran absorbansi kitosan berada pada spektra FTIR pada
panjang gelombang 4.000- 500 cm-1. Kisaran 3.100 – 3.500
menunjukkan vibrasi stretch pada gugus amina (N-H) yang
ditandai dengan adanya pita serapan pada kisaran absorbansi
tersebut, Adanya vibrasi stretch gugus amina (N-H) pada kitosan
sebelum menjadi drug carrier memiliki intensitas serapan yang
28
lebih tinggi yaitu pada panjang gelombang 3254,24 cm-1,
sedangkan pada asetaminofen hanya memiliki kisaran vibrasi
stretch gugus amina (N-H) pada panjang gelombang 3160,19 cm-
1 dan 3321,05 cm-1. Selain itu pada asetaminofen juga terdapat
pita serapan pada panjang gelombang 1651,49 cm-1 yang
mengindikasikan terdapat gugus karbonil (C=O) yang berada
pada kisaran absorbansi 1650-1690 (Stuart, 2004). Berikut ini
merupakan peak hasil analisis FTIR yang ditunjukkan pada
Gambar 4.2
Gambar 4.2 Peak Hasil Analisis FTIR Kitosan (Hitam),
Asetaminofen (Merah), Mikrosfer A (Hijau), dan Mikrosfer B
(Biru).
Berdasarkan Gambar 4.2 terdapat mikrosfer obat yang
dihasilkan dari adanya pengikatan antara gugus amina yang
terdapat pada biopolimer kitosan sebagai drug carrier dengan
gugus karbonil yang terdapat pada asetaminofen, sehingga
terbentuk ikatan hidrogen (O-H) dengan kisaran absorbansi 2500
– 3400 (Stuart, 2004). Hal tersebut ditunjukkan adanya ikatan
hidrogen yang terbentuk pada mikrosfer dengan perbandingan 1:1
29
dan 1:2, pada mikrosfer (A) memiliki serapan pada panjang
gelombang 2921,80 cm-1 dan 3256,03 cm-1 sedangkan untuk
mikrosfer (B) memiliki intensitas serapan yaitu pada panjang
gelombang 2918,54 cm-1 dan 3255,00 cm-1, dimana mikrosfer (B)
menujukkan absorbansi serapan yang lebih kuat dibandingkan
dengan mikrosfer (A), hal tersebut mengindikasikan bahwa pada
mikrosfer (B) lebih banyak terbentuk ikatan hidrogen (O-H).
4.4 Analisis Residu Asetaminofen pada Sampel Urin
Hasil analisis residu asetaminofen pada sampel urin mencit
(Mus musculus L.) albino Swiss Webster jantan dilakukan dengan
menggunakan metode analisis UV- Spektrofotometer yang
ditunjukkan pada Tabel 4.3. Mencit yang digunakan sebagai
hewan uji merupakan mencit jantan, dikarenakan pada mencit
jantan tidak dipengaruhi oleh hormon reproduksi, seperti pada
mencit betina yang dikhawatirkan akan mengalami fase estrus,
serta hormone resproduksi lainnya yang akan mempengaruhi
metabolisme. Pada penelitian ini sampel urin digunakan untuk
mendapatkan data jumlah asetaminofen yang terserap,
Sebagaimaa Riviere, (2006) menyatakan bahwa untuk
mendapatkan konsentrasi absorbsi dapat menggunakan Urin,
darah dan feses. Namun dalam penelitian lain menyebutkan
bahwa lebih baik jika menggunakan sampel darah untuk
mendapatkan data yang lebih akurat, hal ini disebabkan karena
obat yang masuk akan mengalami proses absorbsi terlebih dahulu
selanjutnya akan di alirkan melalui darah ke site target. Sehingga
konsentrasi obat yang terserap dapat lebih akurat diketahui
dengan menggunakan sampel darah. Prescot, (1980) menyatakan
bahwa proses absorbsi merupakan proses masuknya obat dari
tempat pemberian ke dalam darah. Sehingga obat yang telah
diabsorbsi akan masuk kedala aliran darah untuk disebarkan ke
jaringan dan cairan interseluler dimana proses ini disebut sebagai
distribusi dalam farmakokinetik (Sakai, 2008).
30
Tabel 4.3 Hasil Residu Asetaminofen pada Sampel Urin
Perlakuan
Jumlah Residu Obat
pada Sampel Urin
(mg)
Persentase Jumlah Obat
pada Sampel Urin
(%)
Kontrol 0,005 0,5
A 0,064 6,4
B 0,19 19
Keterangan (A): Mikrosfer dengan perbandingan obat dan kitosan
1:1, (B): Mikrosfer dengan perbandingan obat dan kitosan 1:2.
Berdasarkan Tabel 4.3 ditunjukkan bahwa pada kontrol
jumlah asetaminofen yang terdapat pada urin sebanyak 0,5%,
sedangkan untuk asetaminofen dengan penambahan kitosan yang
terdapat pada mikrosfer A dan mikrosfer B yaitu sebesar 6,4 %
dan 19 %. Jumlah residu asetaminofen pada urin
mengindikasikan banyaknya obat yang terserap. Hal ini
disebabkan karena setiap obat yang masuk akan mengalami
proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan eksresi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa asetaminofen yang terdapat pada urin
telah mengalami absorbsi. Pada hasil penelitian secara in vivo
ini, untuk asetaminofen dengan menggunakan drug carrier
berupa kitosan memiliki residu yang lebih besar dibandingkan
dengan kontrol (asetaminofen tanpa kitosan). Pada kontrol, obat
akan masuk kedalam tubuh secara oral, kemudian akan
mengalami absorbsi pada usus halus dan berikatan dengan
reseptor sehingga dapat masuk kedalam aliran darah dan secara
langsung dapat terdistribusi ke seluruh tubuh dan site target,
namun beberapa obat dapat secara langsung dieksresikan melalui
feses tanpa mengalami metabolisme (biotransformasi) terlebih
dahulu, sehingga obat yang terdapat pada urin sebagai jumlah
obat yang terserap lebih sedikit. Sebagaimana disebutkan bahwa
setiap obat yang masuk akan mengalami proses absorbsi,
distribusi, metabolisme dan eksresi (Sakai, 2008).
31
Pada mikrosfer A obat yang terserap yaitu sebesar 6,4%
dan pada mikrosfer B obat yang terserap adalah sebesar 19%.
Pada mikrosfer A dan B, jumlah obat yang terdapat pada sampel
urin lebih besar jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil ini
dipengaruhi karena adanya kitosan dalam bentuk mikrosfer
sebagai drug carrier yang memiliki sifat mucoadhsive, sehingga
dapat meningkatkan retensi waktu untuk penyerapan obat,
sebagaimana Korting- Schafer, (2010) menyatakan bahwa usus
halus merupakan tempat penyerapan berbagai macam obat oleh
karena itu adanya polimer mucoadhesive dapat melindungi atau
menutupi obat dari pengaruh degradasi enzim, tingginya aktivitas
perpidahan, dan waktu transit yang relatif pendek. Adanya
polimer tersebut dapat memperpanjang waktu kontak dengan
membran sehingga dapat meningkatkan absorbsi. Selain itu Preda
& leucuta (2003) menyatakan bahwa beberapa sistem
mucoadhesive seperti partikel, granul atau pellet dapat
meningkatkan retensi waktu di perut pada hewan uji tikus.
Mikrosfer kitosan pada penelitian ini juga dapat diketahui
jumlah asetaminofen yang terserap melalui analisis sampel urin
dikarenakan obat yang masuk melalui oral akan mengalami
proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan eksresi (Sakai,2008).
Mikrosfer kitosan tersebut masuk secara oral lalu menuju usus
halus untuk proses absorbsi. Asetaminofen merupakan obat
antipiretik dimana tempat absorbsinya pada usus halus
(Mardjono, 2012). Pada proses ini kitosan yang memiliki muatan
positif pada gugus amina yang akan berikatan dengan membran
sel epitel yang bermuatan negatif yaitu lipid bilayer melalui difusi
pasif (Ensign et al, 2012). Sifat bioadhesive dari kitosan adalah
secara ionik berinteraksi pada permukaan mukosa. Karena sifat
fisik ini, kitosan dapat memfasilitasi perpindahan bahan aktif
polar melalui permukaan epitel (Acosta et al, 2015).
Sebagaimana Amouzgar & Salamatinia, (2015) juga menyatakan
bahwa kitosan berperan dalam memaksimalkan proses absorbsi
pada vili usus halus.
32
Setelah proses absorbsi ini selanjutnya obat akan masuk
kedalam sel yang ditargetkan untuk menghasilkan efek terapeutik,
dan akan terdistribusi melalui aliran darah ke site target, ke hati
(untuk proses metabolisme untuk membentuk metabolit yang
akan di keluarkan kembali kedalam darah) dan ke ginjal. Menurut
Mardjono, (2012) dan Sakai (2008) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa obat yang telah terdistribusi akan dilanjutkan
untuk proses metabolisme atau biotransformasi pada proses ini
obat yang memiliki sifat non polar akan diubah menjadi polar
agar dapat dieksresikan melalui ginjal. dan proses selanjutnya
adalah ekskresi. Proses ekskresi ke dalam urin merupakan salah
satu mekanisme paling penting untuk menghilangkan obat.
Apabila obat belum diubah menjadi senyawa larut dalam air di
hati, maka akan diserap kembali melalui aliran darah pada akhir
proses filtrasi, Dan akan dialirkan ke dalam tubuh kembali. Jika
obat tersebut larut dalam air, mereka akan berakhir di urin dan
diekskresikan. Sehingga jumlah asetaminofen yang terdapat pada
sampel urin merupakan jumlah obat yang terserap oleh tubuh.
Oleh karena itu pada penelitian ini di dapatkan bahwa obat yang
terserap dengan pada menggunakan drug carrier lebih tinggi
dibandingkan dengan obat tanpa drug carrier, karena kemampuan
kitosan yang memiliki bersifat mucoadhesive, biodegradable dan
tidak toksik.
33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1. Mikrosfer kitosan yang dihasilkan berbentuk padatan dan
berwarna kuning kecoklatan, serta memiliki ukuran ± 1 mm
dalam setiap satu bentukan droplet.
2. Jumlah obat dalam setiap mg mikrosfer A dan B adalah 0,007
mg dan ,0125 mg, dengan efisiensi enkpasulasi sebesar 0,7 %
dan 1,25 %.
3. Mikrosfer kitosan hasil deasetilasi enzimatik kitin mampu
diaplikasikan sebagai drug carrier asetaminofen sehingga
dapat meningkatkan penyerapan, Hasil analisis melalui
banyaknya jumlah asetaminofen pada sampel urin yaitu
sebesar kontrol 0,5%, mikrosfer (A) 6,4%, dan mikrosfer (B)
19%.
5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu :
1. Perlu adanya optimasi fabrikasi mikrosfer dengan
menggunakan metode lain untuk mendapatkan mikosfer yang
lebih baik sehingga dapat meningkatkan efisiensi enkapsulasi.
2. Perlu adanya studi lanjut mengenai optimasi jumlah polimer,
sehingga dapat meningktkan penyerapan obat secara
sempurna serta perlu adanya optimas karakterisasi mikrosfer
kitosan sehingga dapat dihasilkan mikrosfer yang lebih
optimal untuk aplikasi drug carrier.
35
DAFTAR PUSTAKA
Acosta, N., Sanchez, E. and Calderon, L.2015. Physical Stability
Studies of Semi-Solid Formulations from Natural
Compounds Loaded with Chitosan Microspheres. Department
of Physical Chemistry. Faculty of Pharmacy, Institute of
Biofunctional Studies, Complutense University, Spain.
Aman, T., Kazi, A. A., Hamid, A., Shahwar, D. and Khan, N.
2012. Determination Of Two Analgesics (Acetyl Salicylic Acid
and Acetaminophen) By Single Chromogenic Reagent. A
Review: International Journal Of Pharmateutical Sciences
Review and Research. Vol. 12, Issue 1
Amouzgar, P. and Salamatinia, B. 2015. Presence of
Pharmaceuticals in Water Bodies and the Potential of Chitosan
and Chitosan Derivatives for Elimination of Pharmaceuticals.
Journal Molecular and Genetic Medicine. S4 : 001
Anandharamakrishnan, C. and Ishwarya, P.S. 2015. Spray
Drying Teqniques For Food Ingredient Encapsulation. John
Wiley &Sons, Inc. Canada
Anitha, A., Sowmya, S., Sudheesh Kumar, P.T., Deepthi, S.,
Chennazhi, K.P., Ehrlich, H., Tsurkan, M. and Jayakumar, R.
2014. Chitin and chitosan in selected biomedical applications.
Progress in Polymer Science. 24 : 864
Aronoff, D.M., Eric, G. and Neilson, MD. 2001. Antypiretic
Mechanism Of action and Clinical Use in Fever Suppression.
American Journal of Medicine. Vol. 111
Bansal, V., Sharma, P.K., Sharma, N., Pal, O.P. and Malviya, R.
2011. Applications of Chitosan and Chitosan Derivatives in Drug
Delivery. Advances in Biological Research. 5 (1): 28-37.
36
Botting, R.M. 2000. Mechanism of Action of Acetaminophen:
Is There a Cyclooxygenase 3?. London School of Medicine and
Dentistry, London, England . Infectious Diseases Society of
America.
Bhumkar, D. R. and Pokharkar, V.B. 2006. Studies on Effect of
pH on Cross-linking of Chitosan With Sodium Tripolyphosphate:
A Technical Note. AAPS Pharm Sci Tech . 7 (2)
Chaeba, B.A. 2011. Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers
with Unique Properties and Versatile Applications. Global
Journal of Biotechnology & Biochemistry. 6 (3): 149-153
Chun, M.K., Cho, C. and Choi,H.K. 2005. Mucoadhesive
microspheres prepared by interpolymer complexation and solvent
diffusion method. International Journal of Pharmaceutics 288
: 295–303
Cheung, R.C.F., Ng, T.B., Wong, J.H. and Chan, W.Y. 2015.
Chitosan: An Update on Potential Biomedical and
Pharmaceutical Applications. a review.Marine Drugs, 13:5156-
5186
Chen, W. 2005. Cross-Linked Chitosan in Mini-Tablets for
Controlled Drug Release. Faculty of Health Science.
TSHWANE University of Technology
Cheng, J., Ma, X., Krausz, K.W., Idle, J.R. and Gonzale, F.R.
2009. Rifampicin-Activated Human Pregnane X Receptor and
CYP3A4 Induction Enhance Acetaminophen Induced Toxicity.
Drug Metabolism And Dispotition. Vol. 37, No. 8
Dash, M., Chiellini, F., Ottenbrite, R.M. and Chiellini, E. 2011.
Chitosan : A versatile semi-synthetic polymer in biomedical
applications. Progress in Polymer Science, 36 : 981–1014
37
Danneman, P.J., Mark A.S. and Cory, F.B. The Laboratory
Mouse, 2nd Edition. 2013. CRC PressPress Taylor & Francis
Group. London, New York.
Desai, K.G.H. and Park, H.J. 2005. Preparation of cross-linked
chitosan microspheres by spray drying: Effect of cross-linking
agent on the properties of spray dried microspheres. Journal of
Microencapsulation. 22(4): 377–395
Dumitriu, S. 2002. Polymeric Biomaterial 2nd Edition.
University Of Sherbrok. Canada.
Domínguez-Delgado, C.L., Rodríguez-Cruz, I.M.,Fuentes-Prado,
E.,Escobar-Chávez, J.J., Vidal-Romero, G., García-González, L.
and Puente-Lee, R.I. 2014. Drug Carrier Systems Using
Chitosan for Non Parenteral Routes. Universidad Nacional
Autónoma de México (UNAM). Mexico
Fan, X., Jiang, Y., Chen, P., Wang, Y., Tan, H., Zang, H. and
Wang, Y., Qu, A. 2014. herapeutic Efficacy of Wuzhi Tablet
(Schisandra sphenanthera Extract) on Acetaminophen-Induced
Hepatotoxicity through a Mechanism Distinct from N-
Acetylcysteine. Drug Metab Dispos. 43:317–324
Gad, C.S. 2008. Pharmateutical Manufacturing Handbook:
Production and Process. John Wiley & Sons, Inc. Canada
Grassi, M., Voinovich, D., Grabnar, I., Franceschinis, E. and
Perisstutti, B. 2004. Preparation and in vitro/in vivo
characterisation of a melt pelletised paracetamol/stearic acid
sustained release delivery system. Spectroscopy. 18 : 375–386
Hussain, M.R., Iman, M. and Kaji, T.K. 2013. Determination of
Degree of Deacetylation of Chitosan and Their effect on the
38
Release Behavior of Essential Oil from Chitosan and Chitosan-
Gelatin Complex Microcapsules. International Journal of
Advanced Engineering Applications, Vol.2, Iss.4, pp.4-12
Howling, GI., Dettmar, P., Goodard, P., Hampson, F., Domish, M
and Wood. 2001. J. Biomaterial 22:2959-2966.
Ischaidar., Natsir, H. dan Dali, S., 2014. Production and
Application of Chitin Deacetylase from Bacillus licheniformis
HSA3-la as Biotermicide. Marina Chimica Acta, April 2014
Vol. 15 No. 1.
Jana, S., Gandhi, A., Sen, K.K. and Basu, S.k. 2011. Natural
Polymers and their Application in Drug Delivery and Biomedical
Field Journal of PharmaSci Tech, 1(1):16-27
Kawabata, Y., Wada, K., Nakatani, M., Yamada, S. and Onoue,
S. 2011. Formulation design for poorly water-soluble drugs based
on biopharmaceutics classification system: Basic approaches and
practical applications. International Journal of Pharmaceutics,
420 : 1-10
Kumirska, J., Winhold, M.X., Czerwicka, M., Kaczyński, Z.,
Bychowska, A., Brzozowski, K., Thöming, J. and Stepnowski, P.
2011. Influence of the Chemical Structure and
Physicochemical Properties of Chitin- and Chitosan-Based
Materials on Their Biomedical Activity. UFT- Centre for
Environmental Research and Sustainable Technology. Germany
Khan, T. A., Peh, K.K. and Ch’ng, H. S. 2002. Degree of
deacetylation values of chitosan: the influence of analytical
methods. J Pharm Pharmaceut Sci. 5(3):205-212
Khopkar. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas
Indonesia Press: Jakarta
39
Liu, C., Desai, K.G.H., Tang, X. and Chen, X. 2006. Dug Release
Kinetic of Spray Dried Chitosan – Microsphere. Drying
Technology, 24: 769–776
Lewandowska, K. 2015. Characterization of chitosan composites
with synthetic polymers and inorganic additives. International
Journal of Biological Macromolecules, 81:159–164.
Korting- Schafer, M., 2010. HandBook of Experimental
Pharmacology 197 ; Drug Delivery. Springer Heidelberg
Dordrecht.London New York.
Makadia, H.K and Siegel, S.J. 2011. Poly Lactic-co- Glycolic
Acid (PLGA) as Biodegradable Controlled Drug Delivery
Carrier. Polymer, 3:1377 – 1397.
Mardjono, M. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima.
Jakarta. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Universitas
Indonesia.
Min, BM., Lee, S., Lim, J., Lee, T., Kang, P. and Park, W. 2004.
Chitin and Chitosan Nanofibers: Electrospinning and
Deacetylation of Chitin Nanofibers. Polymer 45:7137-7142.
Miners, J.O., Drew, R. and Birkett, D.J. 1984. Mechanism Of
Action Of Paracetamol, Protective Agents In Mice In Vivo.
Biochemical Pharmacology, Vol. 33, No. 19, pp. 2995-3000
Morris, G.A., Kok, M.S. Harding, S. and Adams, G.G. 2010.
Polysaccharide Drug Delivery System Based on Pectin and
Chitosan. A Review : Biotechnology and Genetic Engineering
Vol. 27, 257-284
40
Oh, Y.S., Shih, I.L., Tzeng, Y.M. and Wang, S.L. 2000. Protease
Produced by Pseudomonas aeruginosa K-187 and its Application
in Deproteinization of Shrimp and Crab Shell Wastes. J. Enzyme
Microbiology Technology. 27: 3–10
Pati , M. K. and Dash, D. 2013. Chitosan : A Versatile
Biopolymer For Various Medical Applications. International
Journal of Scientific & Engineering Research. Vol. 4 : Issue 1
Pal, J., Verma, H.O., Koy, D. and Kumar, . 2014. Biological
Method of Chitin Extraction from Shrimp Waste an Eco-friendly
low Cost Technology and its Advanced Application.
International Journal of Fisheries and Aquatic Studies. 1(6):
104-107
Pandey, A., Mishra, S., Tiwari, A. and Misra, K. 2004. Targeted
drug delivery (Site specific drug delivery). Journal of Scientific
& Industrial Research, 63 : 230-247
Peer, D. 2012. Handbook Of Harnessing Biomaterials in
Nanomedicine : Preparation, Toxicity and Application. Taylor
& Francis Group, LLC.
Prameela, K., Mohan, C.M., Smitha, P.V. and Hemalatha, K.P.J.
2010. Bioremediation of Shrimp Biowaste by Using Natural
Probiotic for Chitin and Carotenoid Production an Alternative
Method to Hazardous Chemical Method. International Journal
of Applied Biology and Pharmaceutical Technology Volume:
I: Issue-3: Nov-Dec -2010.
Preda & leucuta. 2003. Oxprenolol - Loaded Bioadhesive
Microsphere : Preparation and in vitro / in vivo Characterization.
Journal Microencapsul. 20 : 47-57
41
Prescott, L.F.1980.Kinetics And Metabolism of Paracetamol and
Phenacetin. Journal Clnical Pharmateutical. Vol 10. 291S-
298S
Ronny Martien, R., Adhyatmika., Irianto, D.K., Farid V. and
Dian, P.S. 2012. Perkembangan Teknologi Nanopartikel
sebagai Sistem Penghantaran Obat. Majalah Farmaseutik, Vol.
8 No. 1
Rinoudo, M. 2006. Chitin and chitosan: Properties and
applications. Prog. Polym. Sci. 31: 603–632.
Riviere, J.E. 2006. Dermal Absorption Models In Toxicology
and Pharmacology. Tailor & Francis Group, LLC.
Rodrigues, S., Dionisio, M., Lupez, R. C. and Grenha, A. 2012.
Biocompatibility of Chitosan Carriers with Application in Drug
Delivery. a review. Journal of Functional Biomaterials, 3: 615-
641
Sakai, J.B. 2008. Practical Pharmacology for the Pharmacy
Technician. Lippincott Williams & Wilkins,
Santiago E. A. 2011. Characterization and Properties of Chitosan.
Universidade Federal de Viçosa. Brazil
Säkkinen, M. 2003. Biopharmaceutical Evaluation of
Microcrystalline Chitosan as Release-Rate-Controlling
Hydrophilic Polymer in Granules for Gastro-Retentive Drug
Delivery. Department of Pharmacy. University of Helsinki
Sinha, V.R., Singla, A.K., Wadhawan, S., Kaushik, R., Kumria,
R., Bansal, K. and Dhawan, S. 2004. Chitosan microspheres as a
potential carrier for drugs. International Journal of
Pharmaceutics. 274 : 1–33
42
Suprapti, B. 2012. Biofarmasetika & Farmakokinetika
Terapan Edisi kelima. Surabaya. Airlangga University Press
Selvaraj, R. and Archunan, G. 2002. Chemical Identification and
Bioactivity of Rat ( Rattus rattus ) UrinaryCompound.
Zoological Studies. 41 (2) : 127-135
Shweta, A. and Sonia, P. 2013. Pharmaceutical Relevance of
Crosslinked Chitosan in Microparticulate Drug Delivery.
International Research Journal of Pharmacy. 4 (2)
Srikanth, K., Gupta, V.R.M., Manvi, S.R. and Devanna, R. 2013.
Particulate Carrier System. International Research Journal of
Pharmacy, 3: 11
Synowiecki, J. and Al-Khateeb, N.A. 2003. Production,
Properties, and Some New Applications of Chitin and Its
Derivatives. Critical Reviews in Food Science and Nutrition,
43(2):145–171
Tiwari, S. and Verma, P. 2011. Microencapsulation technique by
solvent evaporation method. International Journal Of
Pharmacy & Science, Vol. 2, No. 8 : 998-1005
Tiyaboonchai, W. 2003. Chitosan Nanoparticles: A Promising
System for Drug Delivery. Naresuan University Journal, 11(3):
51-66
Tokuyasu, K., Kaneko, S., Hayashi, K. and Mori, Y. 1999.
Production of Recombinant Chitin Deacetylation in the Culture
Medium of Escherichia coli Cells. Journal FEBS. 458: 23–26.
43
Tsigos, L., Martinou, A., Kafetzopoulos, D. and Bouriotis, V.
2000. Chitin deacetylases: new, versatile tools in biotechnology.
Elsevier Science Ltd. Vol. 18
Vilar, G., Tulla – Puche, J. and Albericio, F. 2012. Polymers and
Drug Delivery Systems. Current Drug Delivery. Vol. 9 No. 4
Wang, J.J., Zeng, Z.W., Xiao, R.Z., Zhou, G.L., Zhan, X.R. and
Wang, S.L. 2011. Recent advances of chitosan nanoparticles as
drug carriers. International Journal of Nanomedicine. 6:765–
774
Wang, S.L. and Chang, W.T. 1997. Purification and
Characterization of Two Bifunctional Chitinase/Lysozymes
Extracellularly Produced by Pseudomonas aeruginosa K-187 in a
Shrimp and Crab Shell Powder Medium. Journal Applied
Environment Microbiology. 63(2): 380–386
Wong, L.T., Whitehouse, L.W., Solomonraj, G. and Paul, C.J.
1981. Pathways Of Disposition Of Acetaminophen Conjugates In
The Mouse. Toxicology Letters. 9 (1981) 145-151
Zakaria, Z., Izzah, Z., Jawaid, M. and Hassan, A. 2012. Effect
Degree Of Deacetylation Of Chitosan On Thermal Stability And
Compatibility Of Chitosan-Polyamide Blend. BioResources.7(4)
: 5568 -5580
Zeng, L., Qin, C., Wang, W., Chi, W. and Li, W. 2008.
Absorption and distribution of chitosan in mice after oral
administration. Carbohydrate Polymers. 71: 435–440.
45
LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema Kerja Penelitian
Fabrikasi Mikrosfer Kitosan dengan Metode
Droplet
Konfirmasi Jumlah Asetaminofen pada Mikrosfer
Kitosan
Konfirmasi Efisiensi
Enkapsulasi
Konfirmasi Jumlah
Asetaminofen
Analisis Mikrosfer
Kitosan
Dengan FTIR
Aplikasi Mikrosfer kitosan
Analisis Residu Asetaminofen
pada Sampel Urin
46
Lampiran 2. Kurva Standart Asetaminofen
Pembuatan kurva standart dilakukann dengan menyiapkan stock
asetaminofen 0,05 % dengan membuat stock serial silution
sebagai berikut :
1. Pembuatan larutan stock awal asetaminofen sebanyak 10 ml
Sebanyak 500 mg asetaminofen dilarutkan dalam 10 ml
aquades.
2. Pembuatan serial dilution asetaminofen
Sebanyak 7 serial dilution disiapkan dengan menggunakan
larutan stock asetaminofen yang telah disiapkan. Disiapkan
dengan variasi konsentrasi 0,11 mg/ml, 0,12 mg/ml, 0,13
mg/ml, 0,14 mg/ml, 0,15 mg/ml, 0,16 mg/ml, 0,17 mg/ml.
Konsentrasi
(mg/ml) Absorbansi (nm)
0,11 0,357
0,12 0,474
0,13 0,484
0,14 0,494
0,15 0,578
0,16 0,638
0,17 0,657
50
Co
llectio
n tim
e: M
on J
ul 0
3 1
5:4
7:0
9 2
01
7 (
GM
T+
07
:00
)
402.71413.62
419.72
440.52
453.25
524.56
559.49
835.12
951.051006.27
1151.23
1258.601308.22
1374.97
1412.29
1508.721545.35
1618.14
1980.48 1996.57 2008.032048.77
2178.95
2921.80
3256.03
-0.0
0
0.0
2
0.0
4
0.0
6
0.0
8
0.1
0
0.1
2
0.1
4
Absorbance
500
1
000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
Wave
num
bers
(cm
-1)
Title
:
Mon J
ul 03 1
5:4
8:0
3 2
017 (
GM
T+
07:0
0)
FIN
D P
EA
KS
: S
pectr
um
: A
Regio
n:
4000.0
0
400.0
0 A
bsolu
te t
hre
shold
: 0.0
08
Sensitiv
ity:
50
Peak lis
t: P
ositio
n:
402.7
1 I
nte
nsity:
0
.0973
Positio
n:
413.6
2 I
nte
nsity:
0
.0965
Positio
n:
419.7
2 I
nte
nsity:
0
.0955
Positio
n:
440.5
2 I
nte
nsity:
0
.103
Positio
n:
453.2
5 I
nte
nsity:
0
.102
Positio
n:
524.5
6 I
nte
nsity:
0
.100
Positio
n:
559.4
9 I
nte
nsity:
0
.0935
Positio
n:
835.1
2 I
nte
nsity:
0
.0442
Positio
n:
951.0
5 I
nte
nsity:
0
.0662
Positio
n:
1006.2
7 I
nte
nsity:
0
.0953
Positio
n:
1151.2
3 I
nte
nsity:
0
.0476
Positio
n:
1258.6
0 I
nte
nsity:
0
.0311
Positio
n:
1308.2
2 I
nte
nsity:
0
.0380
Positio
n:
1374.9
7 I
nte
nsity:
0
.0466
Positio
n:
1412.2
9 I
nte
nsity:
0
.0387
Positio
n:
1508.7
2 I
nte
nsity:
0
.0409
Positio
n:
1545.3
5 I
nte
nsity:
0
.0473
Positio
n:
1618.1
4 I
nte
nsity:
0
.0372
Positio
n:
1980.4
8 I
nte
nsity:
0
.0087
Positio
n:
1996.5
7 I
nte
nsity:
0
.0097
Positio
n:
2008.0
3 I
nte
nsity:
0
.0099
Positio
n:
2048.7
7 I
nte
nsity:
0
.0083
Positio
n:
2178.9
5 I
nte
nsity:
0
.0092
Positio
n:
2921.8
0 I
nte
nsity:
0
.0217
Positio
n:
3256.0
3 I
nte
nsity:
0
.0281
Sp
ectr
um
: A
Re
gio
n:
34
95
.26
-45
5.1
3
Se
arc
h typ
e:
Co
rre
latio
n
Hit L
ist:
Ind
ex
Ma
tch
C
om
po
un
d n
am
e
Lib
rary
8
48
.17
CE
LL
OP
HA
NE
Hu
mm
el P
oly
me
r S
am
ple
Lib
rary
4
0 4
6.4
4 C
EL
LO
PH
AN
E
Hu
mm
el P
oly
me
r S
am
ple
Lib
rary
1
22
36
.47
DE
XT
RO
SE
MO
NO
HY
DR
AT
E P
OW
DE
R
Ge
org
ia S
tate
Cri
me
La
b S
am
ple
Lib
rary
1
07
8 3
5.8
6 P
ullu
lan
P8
00
HR
Hu
mm
el P
oly
me
r a
nd
Ad
ditiv
es
8
0 3
4.4
9 C
HO
ND
RO
ITIN
SU
LF
AT
E G
RA
DE
III S
OD
Sig
ma
Bio
log
ica
l S
am
ple
Lib
rary
1
07
9 3
4.4
4 P
ullu
lan
P2
00
0
HR
Hu
mm
el P
oly
me
r a
nd
Ad
ditiv
es
5
65
33
.65
Ce
llo
ph
an
e
HR
Hu
mm
el P
oly
me
r a
nd
Ad
ditiv
es
4
5 3
2.8
7 P
OL
Y(T
ET
RA
FL
UO
RO
ET
HY
LE
NE
:PR
OP
EN
E)
Hu
mm
el P
oly
me
r S
am
ple
Lib
rary
1
19
32
.74
INO
SIT
OL
PO
WD
ER
IN
KB
R
Ge
org
ia S
tate
Cri
me
La
b S
am
ple
Lib
rary
9
1 3
2.5
3 IS
OM
AL
TO
SE
AP
PR
OX
99
%
Sig
ma
Bio
log
ica
l S
am
ple
Lib
rary
A M
on J
ul 0
3 1
5:4
8:2
0 2
01
7 (
GM
T+
07
:00
)
La
mp
iran
5.
Ha
sil
FT
IR M
ikro
sfer
Ob
at
da
n K
ito
san
1:1
51
Co
lle
ctio
n tim
e: M
on J
ul 0
3 1
5:5
0:3
0 2
01
7 (
GM
T+
07
:00
)
405.22 409.62 415.91
421.20
427.45
433.26
438.97
444.54
450.51
463.01
469.44
475.40
481.15
486.81
492.55
498.43
504.47
510.91
517.03
522.56
528.50
534.16
539.90
545.26
550.18
555.22
589.07
594.36
599.52
604.73
667.59683.68
689.07
833.50
898.60951.86
1007.44
1151.78
1256.331308.31
1375.18
1411.76
1508.521544.98 1559.72
1617.93 1654.28
2918.54
3255.00
-0.0
0
0.0
2
0.0
4
0.0
6
0.0
8
0.1
0
0.1
2
0.1
4
0.1
6
0.1
8
0.2
0
0.2
2
0.2
4
Absorbance
500
1
000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
Wavenum
bers
(cm
-1)
Title
:
Mo
n J
ul
03
15
:51
:45
20
17
(G
MT
+0
7:0
0)
FIN
D P
EA
KS
:
Sp
ec
tru
m:
B
Re
gio
n:
40
00
.00
4
00
.00
Ab
so
lute
th
res
ho
ld:
0.0
37
Se
ns
itiv
ity
: 5
0
Pe
ak
lis
t:
Po
sit
ion
:
40
5.2
2 I
nte
ns
ity
:
0.1
18
Po
sit
ion
:
40
9.6
2 I
nte
ns
ity
:
0.1
26
Po
sit
ion
:
41
5.9
1 I
nte
ns
ity
:
0.1
34
Po
sit
ion
:
42
1.2
0 I
nte
ns
ity
:
0.1
37
Po
sit
ion
:
42
7.4
5 I
nte
ns
ity
:
0.1
25
Po
sit
ion
:
43
3.2
6 I
nte
ns
ity
:
0.1
32
Po
sit
ion
:
43
8.9
7 I
nte
ns
ity
:
0.1
34
Po
sit
ion
:
44
4.5
4 I
nte
ns
ity
:
0.1
37
Po
sit
ion
:
45
0.5
1 I
nte
ns
ity
:
0.1
31
Po
sit
ion
:
46
3.0
1 I
nte
ns
ity
:
0.1
34
Po
sit
ion
:
46
9.4
4 I
nte
ns
ity
:
0.1
29
Po
sit
ion
:
47
5.4
0 I
nte
ns
ity
:
0.1
31
Po
sit
ion
:
48
1.1
5 I
nte
ns
ity
:
0.1
35
Po
sit
ion
:
48
6.8
1 I
nte
ns
ity
:
0.1
37
Po
sit
ion
:
49
2.5
5 I
nte
ns
ity
:
0.1
35
Po
sit
ion
:
49
8.4
3 I
nte
ns
ity
:
0.1
34
Po
sit
ion
:
50
4.4
7 I
nte
ns
ity
:
0.1
35
Po
sit
ion
:
51
0.9
1 I
nte
ns
ity
:
0.1
37
Po
sit
ion
:
51
7.0
3 I
nte
ns
ity
:
0.1
40
Po
sit
ion
:
52
2.5
6 I
nte
ns
ity
:
0.1
43
Po
sit
ion
:
52
8.5
0 I
nte
ns
ity
:
0.1
41
Po
sit
ion
:
53
4.1
6 I
nte
ns
ity
:
0.1
35
Po
sit
ion
:
53
9.9
0 I
nte
ns
ity
:
0.1
35
Po
sit
ion
:
54
5.2
6 I
nte
ns
ity
:
0.1
36
Po
sit
ion
:
55
0.1
8 I
nte
ns
ity
:
0.1
38
Po
sit
ion
:
55
5.2
2 I
nte
ns
ity
:
0.1
36
Po
sit
ion
:
58
9.0
7 I
nte
ns
ity
:
0.1
21
Po
sit
ion
:
59
4.3
6 I
nte
ns
ity
:
0.1
22
Po
sit
ion
:
59
9.5
2 I
nte
ns
ity
:
0.1
21
Po
sit
ion
:
60
4.7
3 I
nte
ns
ity
:
0.1
16
Po
sit
ion
:
66
7.5
9 I
nte
ns
ity
:
0.0
93
3
Po
sit
ion
:
68
3.6
8 I
nte
ns
ity
:
0.0
86
3
Po
sit
ion
:
68
9.0
7 I
nte
ns
ity
:
0.0
86
0
Po
sit
ion
:
83
3.5
0 I
nte
ns
ity
:
0.0
61
5
Po
sit
ion
:
89
8.6
0 I
nte
ns
ity
:
0.0
71
6
Po
sit
ion
:
95
1.8
6 I
nte
ns
ity
:
0.0
96
0
Po
sit
ion
: 1
00
7.4
4 I
nte
ns
ity
:
0.1
44
Po
sit
ion
: 1
15
1.7
8 I
nte
ns
ity
:
0.0
69
9
Po
sit
ion
: 1
25
6.3
3 I
nte
ns
ity
:
0.0
49
7
Po
sit
ion
: 1
30
8.3
1 I
nte
ns
ity
:
0.0
63
3
Po
sit
ion
: 1
37
5.1
8 I
nte
ns
ity
:
0.0
81
1
Po
sit
ion
: 1
41
1.7
6 I
nte
ns
ity
:
0.0
73
6
Po
sit
ion
: 1
50
8.5
2 I
nte
ns
ity
:
0.0
73
6
Po
sit
ion
: 1
54
4.9
8 I
nte
ns
ity
:
0.0
90
0
Po
sit
ion
: 1
55
9.7
2 I
nte
ns
ity
:
0.0
87
1
Po
sit
ion
: 1
61
7.9
3 I
nte
ns
ity
:
0.0
63
3
Po
sit
ion
: 1
65
4.2
8 I
nte
ns
ity
:
0.0
58
3
Po
sit
ion
: 2
91
8.5
4 I
nte
ns
ity
:
0.0
38
5
Po
sit
ion
: 3
25
5.0
0 I
nte
ns
ity
:
0.0
55
4
Sp
ectr
um
: B
Re
gio
n:
34
95
.26
-45
5.1
3
Se
arc
h typ
e:
Co
rre
latio
n
Hit L
ist:
Ind
ex
Ma
tch
C
om
po
un
d n
am
e
Lib
rary
8
48
.52
CE
LL
OP
HA
NE
Hu
mm
el P
oly
me
r S
am
ple
Lib
rary
4
0 4
7.6
1 C
EL
LO
PH
AN
E
Hu
mm
el P
oly
me
r S
am
ple
Lib
rary
8
0 3
6.0
6 C
HO
ND
RO
ITIN
SU
LF
AT
E G
RA
DE
III S
OD
Sig
ma
Bio
log
ica
l S
am
ple
Lib
rary
1
22
34
.38
DE
XT
RO
SE
MO
NO
HY
DR
AT
E P
OW
DE
R
Ge
org
ia S
tate
Cri
me
La
b S
am
ple
Lib
rary
9
1 3
2.7
9 IS
OM
AL
TO
SE
AP
PR
OX
99
%
Sig
ma
Bio
log
ica
l S
am
ple
Lib
rary
1
19
32
.66
INO
SIT
OL
PO
WD
ER
IN
KB
R
Ge
org
ia S
tate
Cri
me
La
b S
am
ple
Lib
rary
4
5 3
1.4
9 P
OL
Y(T
ET
RA
FL
UO
RO
ET
HY
LE
NE
:PR
OP
EN
E)
Hu
mm
el P
oly
me
r S
am
ple
Lib
rary
1
4 3
0.2
2 M
ET
HY
L A
LC
OH
OL
, 9
9.9
%, S
PE
CT
RO
PH
OT
OM
ET
RI A
ldri
ch
Va
po
r P
ha
se
Sa
mp
le L
ibra
ry
C G
RA
DE
5
65
30
.13
Ce
llo
ph
an
e
HR
Hu
mm
el P
oly
me
r a
nd
Ad
ditiv
es
4
96
5 2
9.3
8 N
-Ace
tyle
tha
no
lam
ine
HR
Ald
rich
FT
-IR
Co
lle
ctio
n E
ditio
n II
B M
on J
ul 0
3 1
5:5
2:0
4 2
01
7 (
GM
T+
07
:00
)
La
mp
iran
6.
Ha
sil
FT
IR M
ikro
sfer
Ob
at
da
n K
ito
san
1
:2
52
Mik
rosf
er
Ab
sorb
ansi
(n
m)
Pen
gen
cera
n
Ab
sorb
ansi
x
Pen
gen
cera
n
(nm
)
Jum
lah
Ob
at p
er 2
0 m
g
Mik
rosf
er
(mg
)
Jum
lah
Ob
at p
er m
g
Mik
rosf
er
(mg
)
Jum
lah
ob
at d
alam
mik
rosf
er y
ang
dig
un
akan
(mg
)
A 0,237 2,4 0,568 0,14 0,007 0,15
B 0,477 2,2 0,976 0,25 0,0125 0,16
Lampiran 7. Perhitungan Jumlah Asetaminofen pada Mikrosfer
53
1. Jumlah Obat pada Mikrosfer
Kurva Standart y = 3,8925x - 0,0166
Jumlah obat per 20 mg mikrosfer dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berikut ini :
Dosis asetaminofen yang dibutuhkan untuk mikrosfer 1:1
yaitu 0,15 mg.
Dosis asetaminofen yang dibutuhkan untuk mikrosfer 1:2
yaitu 0,16 mg.
Kandungan obat pada mikrosfer uji (1:1)
= 0,14 mg asetaminofen : 20 mg mikrosfer x 22,7 mg mikrosfer
= 0,15 mg
a. Mikrosfer obat dan kitosan 1:1
y = 3,8925x - 0,0166
0,568 = 3,8925x
x = 0,14 mg asetaminofen
b. Mikrosfer obat dan kitosan 1:2
y = 3,8925x - 0,0166
0,976 = 3,8925x
x = 0,25 mg asetaminofen
54
2. Persentase Efisiensi Enkapsulasi ( EE %)
Mikrosfer Efisiensi Enkapsulasi (EE %)
Mikrosfer obat dan kitosan
1:1 0,7 %
Mikrosfer obat dan kitosan
1:2 1,25 %
Berikut ini perhitungan Efisiensi Enkapsulasi yaitu :
Kandungan obat pada mikrosfer uji (1:2)
= 0,25 mg asetaminofen : 20 mg mikrosfer x 12,9 mg mikrosfer
= 0,16 mg
EE % Mikrosfer 1:1 = 0,14 mg asetaminofen : 20 mg mikrosfer x
100 %
= 0,007 x 100 %
= 0,7 %
EE % Mikrosfer 1:1 = 0,25 mg asetaminofen : 20 mg mikrosfer x
100 %
= 0,0125 x 100 %
= 1,25%
55
Lampiran 8. Hasil Residu Asetaminofen pada Urin
Kurva standart y = 3,8925x - 0,0166
Perlakuan
(Absorbansi x Pengenceran (Kali))
1 2 3 4 5
Kontrol 0,16 0,15 0,15 0,15 0,16
A 0,15 0,15 0,15 0,15 0,12
B 0,11 0,12 0,12 0,12 0,11
Per
lak
uan
Jum
lah
Ob
at m
asu
k (
mg
)
(a)
Rat
a- r
ata
jum
lah
ase
tam
ino
fen
pad
a u
rin
(b)
Rat
a- r
ata
jum
lah
ase
tam
ino
fen
pad
a u
rin
: j
um
lah o
bat
mas
uk
(mg
)
(c)
Jum
lah
ob
at y
ang
ter
sera
p (
mg
)
(c)
: 3
,9
Per
sen
tase
o
bat
yan
g T
erse
rap
(%
)
Kontrol 7,5 0,15 0,02 0,005
0,5 %
A 0,15 0,14 0,25 0,064 6,4 %
B 0,16 0,12 0,75 0,192 19 %
57
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Pamekasan,
04 September 1994. Anak
pertama dari Bapak Mohammad
Bausir dan Ibu Salmi. Riwayat
pendidikan penulis sebagai
berikut: SDN Kolpajung 1
Pamekasan (2001-2007), SMPN
2 Pamekasan (2007-2010),
SMAN 1 Pamekasan (2010-
2013), Biologi ITS (2013-
selesai). Penulis diterima di
jurusan Biologi ITS, Surabaya pada tahun 2013 dengan jalur
SNMPTN. Pengalaman organisasi yang pernah diikuti penulis
selama menempuh pendidikan di Biologi ITS Adalah sebagai
Staff Departemen Sosial Masyarakat (HIMABITS), Staff Ahli
Departemen Kesejahteraan Mahasiswa Himpunan Mahasiswa
Biologi ITS (HIMABITS). Riwayat kepanitiaan yang pernah
diikuti penulis selama menempuh pendidikan di Biologi ITS
adalah Sie konsumsi pada BOF8 2014, Ketua panitia pada
acara Donor Darah HUT Biologi 2015, dan Sie Publikasi
BOF9 2015. Riwayat Prestasi yang pernah dicapai oleh
penulis adalah mendapatkan Dana Hibah Penelitian Pekan
Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2017.
Penulis melaksanakan Kerja Praktek untuk
memenuhi salah satu persyaratan mengambil Tugas Akhir di
PT. Cheil Jedang Indonesia Pasuruan pada tahun 2016.