33
LAPORAN KASUS TONSILOFARINGITIS KRONIK EKSASERBASI AKUT PEMBIMBING: dr. Gusti Ayu Trisna, Sp. THT-KL Oleh : Adi Kurniawan H1A 010 040

Tonsilo Faringitis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

Page 1: Tonsilo Faringitis

LAPORAN KASUS

TONSILOFARINGITIS KRONIK EKSASERBASI AKUT

PEMBIMBING:

dr. Gusti Ayu Trisna, Sp. THT-KL

Oleh :

Adi Kurniawan

H1A 010 040

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB

2014

Page 2: Tonsilo Faringitis

BAB I

PENDAHULUAN

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan

oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin, dan lain-lain.

Jika dilihat dari struktur faring yang terletak berdekatan dengan tonsil, maka

faringitis dan tonsilitis sering ditemukan bersamaan. Oleh karena itu pengertian

faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis,

dimana infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri

tenggorokan. Tonsilofaringitis adalah radang orofaring yang mengenai dinding

posterior yang disertai inflamasi tonsil.1,2

Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian

dari cincin waldeyer. Tonsilitis dapat berkembang menjadi kronis karena

kegagalan atau ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut

sehingga merubah struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi

faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis. Tonsilitis

kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit

tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi

Indonesia pada tahun 1994-1996, menunjukkan prevalensi tonsilitis kronis 4,6%

tertinggi setelah nasofaringitis akut (3,8%).2

1

Page 3: Tonsilo Faringitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Faring

Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu

nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan

sepertiga bagian atas faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di

bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian tengah faring, dari batas bawah

palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila

palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada dasar lidah. Hipofaring

merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran napas atas

yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas. 3

2.1.1. Nasofaring

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan

lateral. Di sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus

basilar os. Oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah

posterior oleh vertebra servikalis, dan di sebelah inferior nasofaring berlanjut

menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak pada dinding lateral

nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas belakang

orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago

Eustachius.5 Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ

penting:

Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah

kubah.

Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid

yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.

Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian

kartilagi tuba eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan

ibu jari ke dinding lateral nasofaring di atas perlekatan palatum mole.

Koana posterior rongga hidung.

2

Page 4: Tonsilo Faringitis

Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat

perluasan penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui

nervus glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen

hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.

Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah

sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal

dari oksipital dan arteri faringeal asenden.

Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya

dekat dengan bagian lateral atap nasofaring.

Ostium dari sinus-sinus sfenoid.3

Batas-batas nasofaring:

Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke

posterior, batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum

durum.

Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan

sinistra oleh os vomer

Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan

dari mukosa bagian atas

Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior,

muara tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller.3

2.1.2. Orofaring

Merupakan ruang antara palatum molle dan radiks lingua yang memanjang

ke bawah sepanjang hyoid bone. Terdapat tosila palatina dan tosila lingua pada

bagian faring ini.5

2.1.3. Laringofaring

Daerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring pada

daerah setinggi hyoid bone. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan

3

Page 5: Tonsilo Faringitis

dorsal dari laring dan berakhir pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior

dari laring. 5

Gambar 1. Faring

2.2. Anatomi Tonsil

Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria

membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran

pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan

ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe

pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak,

adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi

atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal)

merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer.3

Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong di atasnya

dikenal sebagai fossa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada

4

Page 6: Tonsilo Faringitis

muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali makan.

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul

tonsil, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. 1

Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna

yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan

a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina

desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a. faringeal

asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m. konstriktor superior dan

memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden,

mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil.

Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar

m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan

mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. 1,4

Gambar 2. Cincin Waldeyer

Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan

kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah

mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil

Gerlach’s).3

2.2.1. Tonsila Palatina

5

Page 7: Tonsilo Faringitis

Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang

terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla

ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol

kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke

dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas

permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan

lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla

palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.3

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :

1.      Anterior : arcus palatoglossus

2.      Posterior : arcus palatopharyngeus

3.      Superior : palatum mole

4.      Inferior : 1/3 posterior lidah

5.      Medial : ruang orofaring

6.      Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.3

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran

getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah

bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening

selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus. 3

2.3. Tonsilitis Kronis

2.3.1. Definisi

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari

cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang

terdapat di dalam rongga mulut, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina

(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustasius (lateral

band dinding faring/Gerlach’s tonsil).1

6

Page 8: Tonsilo Faringitis

Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi

pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan

ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada

tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk

waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan

tubuh penderita mengalami penurunan.2

2.3.2. Etiologi

Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari

tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau

kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Pada pendería

tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus beta hemolitikus

grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup

B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes. Penelitian Abdulrahman

AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman patogen

terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus

grup A, E.coli dan Klebsiela.2,3

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, bakteri yang paling

banyak ditemukan pada jaringan tonsil adalah Streptococcus β hemolyticus.

Beberapa jenis bakteri lain yang dapat ditemukan adalah Staphylococcus,

Pneumococcus, Haemophylus influenza, virus, jamur dan bakteri anaerob.2

2.3.3. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu

rangsangan kronis (rokok, makanan), higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca

(udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah), alergi (iritasi kronis dari

allergen), keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik), pengobatan tonsilitis akut

yang tidak adekuat.1

7

Page 9: Tonsilo Faringitis

2.3.4. Fisiologi dan Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk

diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai

2 fungsi utama yaitu:8

1. Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif

2. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang bersal

dari diferensiasi limfosit B

Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-

sama dengan adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada

kedua organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan

adenoid, Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian

menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kalenjar sekretori di

seluruh tubuh.8

Antigen dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan diikat dan

dibawa sel mukosa (sel M), antigen presenting cells (APCs), sel makrofag

dan sel dendrit yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum germinativum.

Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator yang akan merangsang sel B.

Sel B membentuk imunoglobulin (Ig)M pentamer diikuti oleh pembentukan IgG

dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori. Imunoglobulin (Ig)G dan IgA

secara fasif akan berdifusi ke lumen. Bila rangsangan antigen rendah akan

dihancurkan oleh makrofag. Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan

respon proliferasi sel B pada sentrum germinativum sehingga tersensititasi

terhadap antigen, mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi

respon imun merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel

dan pembentukan imunoglobulin.8

Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil

mulai mengalami involusi pada saat puberitas, sehingga produksi sel B

menurun dan rasio sel T terhadap sel B relatif meningkat. Pada Tonsilitis

yang berulang dan inflamasi epitel kripta retikuler terjadi perubahan epitel

squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya aktifitas sel imun dan

8

Page 10: Tonsilo Faringitis

menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini menurunkan aktifitas

lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B

pada sentrum germinativum juga berkurang.8

2.3.5. Patogenesis

Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak

dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil.

Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang

infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh

tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.3

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa

juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan

limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga

kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan

terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan

dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan

pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis Kronis terjadi akibat

pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-

faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat

dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi

medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara

permukaan tonsil dan jaringan tonsil.1,2

Tonsil dan kalenjar adenoid adalah organ kekebalan utama dari saluran

aerodigestiv atas. Fungsi dari kedua organ tersebut adalah sebagai agen

pertahanan tubuh lokal. Ransangan akut maupun kronik dari bakteri, virus,

makanan dan bahan iritan dapat menyebabkan produksi antibody lokal dan

sitemik. Pergeseran dari berbagai kompartemen dari rasio sel T dan sel B yang

meningkat pada serum dan immunoglobulin lokal dapat menurun setelah

dilakukan tonsilektomi dan adenoidektomi. Berbeda dengan kalenjar getah bening

tonsil dan kalenjar adenoid tidak memiliki saluran limfatik aferen sehingga epitel

memainkan peran penting dalam mengelola antigen. Hal ini diikuti oleh peran dari

9

Page 11: Tonsilo Faringitis

sel B dan sel T, termasuk produksi immunoglobulin dan produksi

imunomodulator lokal. Kalenjar adenoid juga merupakan sasaran dari ransangan

pathogen yang dapat menyebabkan kalenjar adenoid membesar.7

Tonsil dan kalenjar adenoid memiliki fungsi sebagai alat pertahanan tubuh

yang seharusnya tidak di diangkat, terutama pada masa anak-anak. Pengangkatan

dari tonsil dan kalenjar adenoid harus bedasarkan penyakit klinis yang jelas.7

2.3.6. Manifestasi Klinis

Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis

akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada

tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal

di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.1

2.3.7. Pemeriksaan Fisik

1. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil,

2. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau

material menyerupai keju,

3. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa

faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada

tonsil,

Tanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta yang

melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami

perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang

melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula. Disebutkan dalam

penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di tenggorokan,

kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi mungkin dapat

muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika

anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar

limfe jugulodigastrik maka diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan.2

10

Page 12: Tonsilo Faringitis

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur

jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial

kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

T0 : Tonsil masuk di dalam fossa

T1  : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T4  : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring. 2

2.3.8. Pemeriksaan penunjang

Mikrobiologi

Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi

kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan

mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian

antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan

tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India

terhadap 40 penderita tonsilitis kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan

kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk

menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri tonsilitis kronis tidak

dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu

Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.2

2.3.9. Penatalaksanaan

1. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang

bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah

metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau

abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan

mononukleosis).

2. Terapi dengan tonsilektomi terjadi infeksi yang berulang atau kronik,

gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.2

11

Page 13: Tonsilo Faringitis

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,

gejala sumbatan, serta kecenderungan neoplasma. The American Academy of

Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun

1995 menetapkan indikasi tonsilektomi adalah sebagai berikut :

1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah

mendapatkan terapi yang adekuat,

2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan orofasial,

3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan

jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor

pulmonale,

4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang

tidak berhasil hilang dengan pengobatan,

5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan,

6. Tonsiliitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococus

β hemolitikus,

7. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan,

8. Otitis media efusi / otitis media supuratif. 1

2.4. Faringitis kronik

2.4.1. Etiologi

Adanya paparan dari zat-zat tertentu seperti nikotin, alkohol, gas iritan dan

lainnya. Selain itu, bisa juga terjadi akibat seringya bernafas melalui mulut pada

keadaan terjadinya obstruksi jalan nafas (contohnya pada deviasi septum) atau

pada keadaan yang bersamaan dengan sinusitis kronik.6

2.4.2. Gejala

Gejala utama adalah adanya sensasi tenggorokan yang kering dan adanya

viscous mucus. Beberapa pasien juga mengeluhkan batuk kering dan sensasi

adanya benda asing di faring.6

12

Page 14: Tonsilo Faringitis

2.4.3. Diagnosis

Pada pemeriksaan tampak mukosa faring merah dan tidak rata akibat

adanya hiperplasia dari jaringan limfatik pada dinding posterior faring (hipertrofi).

Mukosa faring juga bisa tampak halus, dan mengkilat pada beberapa kasus

(atrofi).

Melalui pemeriksaan hidung harus dipastikan tidak adanya obstruksi jalan

nafas di hidung yang dapat menjadi penyebab faringitis kronis, ataupun adanya

kelainan-kelainan lain seperti deviasi septum atau hiperplasi konka.6

2.4.4. Penatalaksanaan

Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi local dengan

melakukan kaustik faring dengan zat kimia larutan nitrat argenti atau dengan

listrik (electro cauter). Pengobatan simtomatis diberikan obat kumur atau tablet

hisap. Jika di perlikan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspetoran,

sedangkan pada faringitis atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofinya dan

untuk faringitis kronik atrofinya dengan obat kumur dan menjaga kebersihan

mulut.1

13

Page 15: Tonsilo Faringitis

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama pasien : Ny. I

Umur : 24 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Monjok

Tanggal Pemeriksaan : 9 September 2014

Pekerjaan : SPG

3.2. Anamnesis

Keluhan Utama : Nyeri tenggorokan

Riwayat Penyakit Sekarang: pasien datang dengan mengeluh nyeri di

tenggorokan sejak 2 hari yang lalu. Nyeri tenggorokan dirasakan seperti ditusuk-

tusuk dan panas. Nyeri dirasakan terutama saat menelan. Demam (+), batuk (-),

pilek (-), mengorok saat tidur (-), sulit bernafas (-). Pasien juga mengeluhkan

adanya benjolan di kedua leher kiri dan kanan, nyeri (+), pusing (-), nyeri kepala

(-).

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien mengaku sering mengalami keluhan serupa

sejak 7 tahun yang lalu, keluhan dirasakan hilang timbul, keluhan dirasakan

muncul tiap 2 bulan. Hipertensi (-), DM (-), asma (-), maag (-)

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga pasien yang mengalami

keluhan serupa.

Riwayat Alergi : Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi

makanan maupun obat-obatan.

14

Page 16: Tonsilo Faringitis

3.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda vital :

o TD : 110/80 mmHg

o Nadi : 88 x/menit

o Respirasi : 18 x/menit

o Temperatur : 36,7 oC

Status Lokalis

Pemeriksaan Telinga

No

.

Area Telinga Kanan Telinga Kiri

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun

telinga

Bentuk dan ukuran dalam

batas normal, hematoma (-),

nyeri tarik aurikula (-)

Bentuk dan ukuran dalam

batas normal, hematoma (-),

nyeri tarik aurikula (-)

3. Liang

telinga

Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-),

sekret (-)

Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-),

sekret(-)

4. Membran

timpani

Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-), kolesteatom (-),

cone of light (+)

MT intak

Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-), kolesteatom (-),

cone of light (+)

MT intak

15

Page 17: Tonsilo Faringitis

Cone of light

(+)

Cone of light

(+)

Pemeriksaan Hidung

No

.

Pemeriksaan

Hidung

Hidung Kanan Hidung Kiri

1. Hidung luar Bentuk normal, hiperemi (-),

nyeri tekan (-),

Bentuk normal, hiperemi (-),

nyeri tekan (-)

2. Vestibulum

nasi

Hiperemis (-), sekret (-) Hiperemis (-), sekret (-)

3. Cavum nasi Bentuk (normal), hiperemia

(-)

Bentuk (normal), hiperemia

(-)

4. Meatus nasi

media

Mukosa hiperemis, sekret (-),

massa (-)

Mukosa hiperemis, sekret (-),

massa (-)

5. Konka nasi

inferior

Edema (-), mukosa hiperemi

(-)

Edema (-), mukosa hiperemi

(-)

6. Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-),

ulkus (-), abses (-)

Deviasi (-), perdarahan (-),

ulkus (-), abses (-)

16

Dalam batas normal

Page 18: Tonsilo Faringitis

Dalam batas normal

Pemeriksaan Tenggorokan

No

.

Area Hasil Pemeriksaan

1. Bibir & mulut Mukosa bibir & mulut basah, berwarna merah muda (N)

2. Geligi Tidak ada lubang atau tanda infeksi pada gigi rahang

atas.

3. Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)

4. Uvula Bentuk normal, hiperemi (+), edema (-),

5. Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)

6. Faring Mukosa hiperemi (+), granul (+)

7. Tonsila palatina Kanan : T2, Hiperemi (+), detritus (+), kripte melebar

(+)

Kiri : T2, Hiperemi (+), detritus (+), kripte melebar (+)

Pemeriksaan Kalenjar Limfe Leher

o Submandibula dextra : masaa berukuran 2x3 cm, nyeri tekan (+),

berbatas tegas, permukaan licin, mobile (+)

o Submandibula dextra : masaa berukuran 2x1 cm, nyeri tekan (+),

berbatas tegas, permukaan licin, mobile (+)

17

Granul hiperemiKripte melebar

Detritus

Page 19: Tonsilo Faringitis

3.4. Assessment

Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut

3.5. Planning

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan swab

Terapeutik

Paracetamol 3 x 500 mg sebagai analgetik antipiretik

Amoksisilin tablet 3 x 500 mg sebagai antibiotik untuk menghilangkan

bakteri

Metilprednisolon 3 x 4 mg sebagai kortikosteroid untuk mengurangi

proses inflamasi

Obat kumur

Edukasi

Pasien disarankan untuk sebisa mungkin menjaga kebersihan mulut

Untuk sementara hindari makanan yang berminyak, manis, pedas, dan

lainnya yang dapat mengiritasi tenggorokan. Begitu pula dengan

minuman dingin.

Edukasi mengenai benjolan di leher yang terjadi akibat proses

inflamasi yang nantinya akan sembuh sendiri dengan perbaikan gejala

Edukasi mengenai indikasi dan manfaat tonsilektomi

18

Page 20: Tonsilo Faringitis

Kontrol ke poli tht setelah obat habis, untuk melihat perkembangan

penyakit

3.6. Prognosis

Dubia ad bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan mengeluh nyeri di tenggorokan sejak dua

hari yang lalu. Nyeri tenggorokan dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan panas.

Nyeri dirasakan terutama saat menelan. Terdapat demam, tidak terdapat batuk dan

pilek. Pasien mengaku mengorok saat tidur, tidak mersa kesulitan bernafas. Pasien

juga mengeluhkan adanya benjolan di kedua leher kiri dan kanan terasa nyeri,

pasien tidak merasa pusing dan nyeri kepala.

Perasaan nyeri menelan dirasakan kambuh-kambuhan tiap dua bulan dan

sudah dirasakan sejak dua tahun yang lalu. Saat dilakukan pemeriksaan pada

daerah tenggorok, terlihat tonsil membesar T2 (dextra) dan T2 (sinistra) dengan

tampilan hiperemis, bengkak, kripte melebar dan terlihat detritus, selain itu juga

terdapat benjolan pada daerah submandila kanan dan kiri dengan sifatnya mobile

dan terdapat nyeri tekan. Keterangan tersebut dapat digunakan sebagai acuan

untuk mendiagnosa pasien dengan tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut. Hal

ini diperkuat dengan riwayat infeksi yang sedang diderita pasien saat ini yaitu

demam dan pembesaran kalenjar getah bening di leher.

Dilihat dari keluhan pasien yang sudah di alami sejak dua hari yang lalu,

maka gejala pasien masih dalam fase akut dan pengobatan yang ditujukan adalah

untuk meredakan gejala dari keluhan pasien. Apabila gejala pasien masih belum

mereda setelah diberikan pengobatan, maka dapat disarankan untuk dilakukan

operasi tonsilektomi. Kemungkinan infeksi yang terjadi berasal dari daerah faring

19

Page 21: Tonsilo Faringitis

disebabkan oleh adanya sumber infeksi lain pada daerah tonsil palatina. Namun

sebelum dilakukan tonsilektomi, peradangan pada tonsil ditenangkan terlebih

dahulu dengan terapi medikamentosa sembari memberi waktu keluarga untuk

mempertimbangkan persetujuan operasi. Bila nantinya telah ada persetujuan untuk

dilakukannya tonsilektomi dan saat kontrol kembali keadaan tonsil sudah tenang,

maka dapat dipersiapkan untuk operasi, mulai dengan pemeriksaan laboratorium

untuk mengecek darah lengkap, bleeding time, clotting time HbSAg, dan rontgen

thorax.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.

Dalam Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,

Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-225

2. Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis

Kronik di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/

RSUP H. Adam Malik Medan. Medan. USU Digital Library, 2009. Available

at:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : September

15th 2014).

3. Adams,GL. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,

Esofagus, dan Leher. Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku

Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Ed 6. Jakarta. EGC, 1997: p. 263-271

4. Byron J. Laringology. Head and Neck Surgery - Otolaryngology 3rd Edition,

New York : Lippincott Williams and Wilkin. 2001.

5. Seeley, Stephen, Tate. Respiratory System. Anatomy and Physiology.Chapter

23.The McGraw-Hill Companies, 2004: p. 816

6. Probst, R, Grever, G, Iro, H. Diseases of the Nasopharynx. Basic

Otorhinolaryngology. New York. Thieme, 2006: p. 119

7. Brodsky, L. Poje, C. Head & Neck Surgery – Otolartngology. 4th Edition. New

York : Lippincott Williams and Wilkin. 2006.

20

Page 22: Tonsilo Faringitis

8. Novialdi, N., Pulungan, M. R. Mikrobiologi Tonsilitis Kronis. Bagian Telinga

Hidung Tenggorok-Kepala dan Leher Fak. Kedokteran Universitas

Andalas/RSUP Dr. M.Djamil Padang. 2011.

21