Upload
irenerenie
View
42
Download
16
Embed Size (px)
DESCRIPTION
terapi steroid
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
Uvea adalah organ yang terdiri dari beberapa kompartemen mata yang berperan besar
dalam vaskularisasi bola mata. Terdiri atas iris, badan silier dan koroid. Uveitis didefinisikan
sebagai inflamasi yang terjadi pada uvea. Meskipun demikian sekarang istilah uveitis
digunakan untuk menggambarkan berbagai bentuk inflamasi intraokular yang tidak hanya
pada uvea tetapi juga struktur yang ada didekatnya, baik karena proses infeksi, trauma,
neoplasma, maupun autoimun.1)
Secara anatomis uvea merupakan lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh
kornea dan sklera, juga merupakan lapisan yang memasok darah ke retina. Perdarahan uvea
dibagi antara bagian anterior yang diperdarahi oleh 2 buah arteri siliar posterior longus yang
masuk menembus sklera ditemporal dan nasal dekat tempat masuk saraf optik dan 7 buah
arteri siliar anterior yang terdapat 2 pada setiap otot superior, medial, inferior serta pada otot
rektus lateral. Arteri siliar anterior posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri
sirkulari mayor pada badan siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan dari 15-20 arteri siliar
posterior brevis yang menembus sklera disekitar tempat masuk saraf optik. 2)
Anatomi Bola Mata
Dikutip dari http://www.klinik mata nusantara
Uveitis adalah radang pada uvea. Uveitis merupakan penyebab 10-15% kebutaan di
negara berkembang. Di dunia diperkirakan terdapat 15 kasus baru uveitis per 100.000
populasi per tahun, atau 38.000 kasus baru per tahun dengan perbandingan yang sama antara
laki-laki dan perempuan.
Tujuan utama dari pengobatan uveitis adalah untuk mengembalikan atau memperbaiki
fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi
dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk mencegah memburuknya
penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan. Pada uveitis, pengobatan yang
diberikan tergantung pada penyebab dan luasnya kerusakan pada mata
Tatalaksana terpenting adalah dengan steroid topikal, periokular, atau sistemik dan
sikloplegik. Steroid diindikasikan pada uveitis yang penyebabnya non infeksi.
BAB 2
UVEITIS
2.1. Definisi dan klasifikasi
Uvea merupakan lapis vaskular mata yang terdiri dari iris, korpus siliaris dan koroid.
Uveitis ialah peradangan (inflamasi) pada uvea. Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat
kelompok utama, yaitu klasifikasi secara anatomi, klinis, etiologi, dan patologi.
a. Klasifikasi berdasar anatominya, antara lain:
TipeFokus
InflamasiMeliputi
1. Uveitis Anterior COA a. Iritis
Merupakan bentuk uveitis yang paling umum. Mempengaruhi
kinerja iris dan seringkali dihubungkan dengan kelainan-kelainan
autoimun seperti rheumatoid arthritis. Iritis mungkin berkembang
tiba-tiba dan mungkin berlangsung sampai 8 minggu, bahkan
dengan perawatan.
b. Iridoksiklitis
Inflamasi pada iris dan pars pli
c. Siklitis Anterior
2. Uveitis Intermedia
(inflamasi dominan
pada pars plana dan
retina perifer)
Vitreus a. Siklitis posterior
b. Hialitis
c. Koroiditis
Peradangan pada lapisan di bawah retina. Kemungkinan juga
disebabkan oleh suatu infeksi seperti tub
d. Korioretinitis
e. Pars Planitis
3. Uveitis Posterior
(Inflamasi bagian uvea
di belakang batas basis
vitreus)
Retina dan
Koroid
a. Koroiditis fokal, multifo
b. Korioretinitis
c. Retinokoroiditis
d. Retinitis
Mempengaruhi belakang mata. Perkembangan secara cepat
sehingga mempersulit perawatan. Biasanya disebabkan oleh
virus shingles atau herpes dan infeksi bakteri seperti syphilis atau
toxoplasmosis.
e. Neuroretinitis
4. Panuveitis COA,
Vitreus,
Retina, dan
Koroid
Inflamasi pada seluruh uvea.
b. Klasifikasi berdasar gambaran klinisnya, antara lain:
Tipe Keterangan
1. Akut Karakteristik Episodenya: onset simptomatik tiba-tiba, durasi ≤3 bulan.
2. Rekuren Episodenya berulang, dengan periode inaktivasi tanpa terapi ≥ 3 bulan.
3. Kronis Uveitis berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun,seringkali onset tidak jelas
dan bersifat asimtomatik, dengan relaps < 3 bulan setelah terapi dehentikan.
c. Klasifikasi berdasar etiologinya, antara lain:
Tipe Keterangan
1. Uveitis Eksogen Uveitis terjadi karena trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain dari luar tubuh
2. Uveitis Endogen Uveitis terjadi karena mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh
a. Berhubungan dengan penyakit sistemik, contoh: ankylosing spondylitis
b. Infeksi
yaitu infeksi bakteri (tuberkulosis), jamur (kandidiasis), virus (herpes zoster), protozoa
(toksoplasmosis), atau roundworm toksokariasis)
c. Uveitis spesifik idiopatik
yaitu uveitis yang tidak berhubungan dengan penyakit sistemik, tetapi memiliki
karakteristik khusus yang membedakannya dari bentuk lain (sindrom uveitis Fuch’s)
d. Uveitis non-spesifik idiopatik
yaitu uveitis yang tidak termasuk ke dalam kelompok di atas.
d.Klasifikasi berdasar patologinya, antara lain:
Tipe Keterangan
1. Uveitis Non-
granulomatosa
Infiltrasi dominan limfosit pada koroid.
Umumnya tidak ditemukan organisme patogen dan berespon baik terhadap terapi
kortikosteroid sehingga diduga peradangan ini merupakan fenomena hipersensitivitas.
2. Uveitis
Granulomatosa
Koroid dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa multinukleus.
Umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh organisme penyebab.
2.2. Patofisiologi Uveitis
Antigen dari luar (antigen eksogen) Antigen dari dalam (eksogen)
↓ ↓
Alergi, mekanisme hipersensitivitas
↓
Radang iris dan radang badan siliar
↓
Rusaknya Blood Aqueous Barrier
↓
Protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos⬆.
Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-
partikel
kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
↓
Migrasi eritrosit ke Bilik Depan Mata (BDM) , hifema (bila proses akut)
↓
Sel-sel radang melekat pada endotel kornea (keratik presipitat)
↓
Sel-sel radang, fibrin, fibroblast menyebabkan
iris melekat pada kapsul lensa anterior (sinekia posterior)
dan pada endotel kornea (sinekia anterior)
↓
Sel-sel radang, fibrin, fibroblas menutup pupil
(seklusio pupil / oklusio pupil)
↓
Gangguan aliran aquous humor
dan peningkatan tekanan intra okuler dan terjadi glaukoma sekunder
↓
Gangguan metabolisme pada lensa, lensa jadi keruh, katarak komplikata
↓
Peradangan menyebar bisa menjadi endoftalmitis dan panoftalmitis
2.3. Gejala dan Tanda
2.3.1. Gejala Subyektif
1) Nyeri
2) Fotofobia dan lakrimasi
Fotofobia disebabkan spasme siliar bukan karena sensitif terhadap
cahaya. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi
berhubungan erat dengan fotofobia. Terjadi pada uveitis anterior akut.
3) Penglihatan Kabur
4) Konjungtiva kemerahan
2.3.2. Gejala Obyektif
1) Injeksi siliar, hiperemi pembuluh darah siliar sekitar limbus, berwarna
keunguan.
2) Perubahan kornea, kreatik presipitat.
Terjadi karena pengendapan sel radang dalam bilik mata depan pada endotel
kornea akibat aliran konveksi akuos humor, gaya berat dan perbedaan
potensial listrik endotel kornea.
3) Kelainan kornea
4) Kekeruhan dalam bilik depan mata yang disebabkan oleh meningkatnya kadar
protein, sel, dan fibrin.
5) Perubahan pada lensa, berupa pengendapan sel radang, pengendapan pigmen,
dan perubahan kejernihan lensa.
6) Perubahan dalam bahan kaca
Kekeruhan badan kaca terjadi karena pengelompokkan sel, eksudat fibrin dan
sisa kolagen, di depan atau di belakang, difus, berbentuk debu, benang,
menetap atau bergerak.
7) Perubahan tekanan bola mata.
2.4. Gambaran Klinis
2.4.1 Uveitis anterior
Gejala utama uveitis anterior adalah fotofobia, nyeri, merah, penglihatan menurun, dan
lakrimasi. Tanda-tanda adanya uveitis anterior adalah injeksi silier, keratic precipitate (KP),
nodul iris, sel-sel akuos, flare, sinekia posterior, dan sel-sel vitreus anterior.
2.4.2. Uveitis Intermediet
Gejala uveitis intermediet biasanya berupa floater, meskipun kadang-kadang penderita
mengeluhkan gangguan penglihatan akibat edema makular sistoid kronik. Tanda dari uveitis
intermediet adalah infiltrasi seluler pada vitreus (vitritis) dengan beberapa sel di COA dan
tanpa lesi inflamasi fundus.
2.4.3 Uveitis Posterior
Dua gejala utama uveitis posterior adalah floater dan gangguan penglihatan. Keluhan
floater terjadi jika terdapat lesi inflamasi perifer. Sedangkan koroiditis aktif pada makula atau
papillomacular bundle menyebabkan kehilangan penglihatan sentral.
Tanda-tanda adanya uveitis posterior adalah perubahan pada vitreus (seperti sel, flare,
opasitas, dan seringkali posterior vitreus detachment), koroditis, retinitis, dan vaskulitis.
2.4.4. Panuveitis
Panuveitis merupakan kondisi terdapat infiltrasi sel kurang lebih merata di semua unsur di
traktus uvea.
BAB 3
TATALAKSANA UVEITIS TERUTAMA DENGAN STEROID
Tatalaksana medikamentosa uveitis berupa obat anti inflamasi dan imunosupresan.
Golongan obat yang dapat digunakan adalah kortikosteroid, obat antiinflamasi non-steroid
(NSAID) serta imunomodulator (imunosupresif). NSAID lebih jarang digunakan karena ku-
rang efektif dibandingkan kortikosteroid dan imunomodulator.11
Kortikosteroid merupakan golongan obat yang paling sering digunakan dalam terapi
uveitis. Sangat disayangkan masih banyak penggunaan kortikosteroid yang kurang tepat
seperti pemakaian yang tidak sesuai dengan indikasi, kurangnya perhatian terhadap efek
samping yang ditimbulkan serta dosis pemberian yang tidak tepat. Akibatnya efektivitas ter-
api menjadi tidak optimal, timbulnya resistensi dari organisme penyebab uveitis serta
munculnya berbagai efek samping dan komplikasi akibat uveitis.
Dikutip dari : Uveitis Fundamental and Clinical Practice Expert Consult
Kortikosteroid untuk tata laksana uveitis dapat diberikan secara topikal, sistemik, pe-
riokular dan intravitreal. Setiap metode pemberian memiliki indikasi dan kegunaan masing-
masing. Kortikosteroid topikal merupakan metode pemberian yang paling sering dan bi-
asanya digunakan untuk kasus-kasus uveitis anterior. Injeksi periokular digunakan untuk
uveitis intermediat dan posterior karena dapat bekerja lebih dekat dengan target organ yang
mengalami inflamasi. Pemberian kortikosteroid sistemik dapat berperan sebagai terapi untuk
penyakit sistemik yang menyebabkan uveitis. Jalur pemberian kortikosteroid secara intravit-
real dapat dilakukan dengan injeksi atau implantasi kortikosteroid lepas lambat. 12
Target sel T di uveitis, skema dari lokasi aksi kortikosteroid dan agen imunosupresif non
steroid kepada aktivasi sel T
Dikutip dari : Therapeutics Update in Noninfectious Uveitis
Pemberian kortikosterid memiliki banyak efek samping. Kortikosteroid topikal dapat
menyebabkan katarak dan glaukoma, terutama pada pemakaian jangka panjang. Metode pem-
berian secara periokular memiliki efek samping serupa, ditambah ptosis, perforasi sklera,
serta perdarahan. Penggunaan kortikosteroid sistemik juga telah lama dikenal menimbulkan
berbagai efek samping seperti osteoporosis, hipertensi, penambahan berat badan, retensi
cairan, gangguan toleransi glukosa, gangguan siklus menstruasi, dan ulkus peptikum.
BAB 3
IMUNOMODULATOR SEBAGAI TERAPI MASA KINI
Efek samping pemberian kortikosteroid yang banyak mendorong pemakaian golon-
gan obat lain untuk tata laksana uveitis. Terapi uveitis semakin bergeser dari penekanan re-
spon imun secara umum.13 Hal tersebut yang mendasari penggunaan imunomodulator.
Imunomodulator bekerja dengan menekan jalur-jalur tertentu dari inflamasi secara lebih spe-
sifik sesuai dengan patogenesis dan mekanisme terjadinya uveitis.
Keadaan berikut umumnya merupakan indikasi untuk penggunaan terapi imunomod-
ulator di uveitis:11
- peradangan intraokular yang mengancam penglihatan
- reversibilitas dari proses penyakit
- respon yang tidak memadai terhadap pengobatan kortikosteroid
- kontraindikasi terapi kortikosteroid karena masalah sistemik atau efek samping
yang tidak dapat ditoleransi
- ketergantungan kortikosteroid kronis
Sebelum memulai terapi imunomodulator, harus dipastikan :11
- tidak terdapat infeksi
- tidak terdapat kontraindikasi hepatis dan hematologis
- follow-up yang teliti oleh dokter yang berpengalaman, berkompetensi untuk mere-
sepkan terapi imunomodulator dan menangani potensi toksisitas
- evaluasi longitudinal yang objektif dari proses penyakit
- informed consent
Beberapa golongan imunomodulator yang dapat digunakan untuk tata laksana uveitis
adalah antimetabolit (azathioprine, methotrexate dan mycophenolate mofetil), inhibitor sel T
(siklosporin dan tacrolimus) serta alkylating agents (klorambucil dan siklofosfamid).
Selain itu terdapat pula agen biologis, yakni golongan etanercept® dan infliximab®. 11,12. Imunomodulator juga tidak lepas dari efek samping. Akibat yang tidak diinginkan dari
penekanan sistem imun adalah menurunnya daya tahan terhadap infeksi dan kerja dari gen
yang menekan terjadinya tumor. Beberapa efek samping lain yang patut diwaspadai adalah
hepatotoksisitas, nefrotoksisitas serta gangguan saluran cerna. Pemakaian imunomodulator
sesuai indikasi, dengan dosis dan lama pemakaian yang tepat serta pemantauan yang ketat da-
pat meminimalkan timbulnya efek samping tersebut.14
Azathioprine
Merupakan analog nukleosid purin dengan kerja mengganggu replikasi DNA dan
transkripsi RNA. Dosis 2 mg / kg / hari. Diserap baik secara per oral dan pada salah atu
percobaan pada pasien dengan penyakit Behcet ditemukan bahwa azathioprine efektif dalam
mencegah keterlibatan pada mata dan mengurangi terjadinya keterlibatan mata kontralateral
pada pasien dengan unilateral Behcet uveitis. Azathioprine juga telah ditemukan bermanfaat
untuk uveitis intermediet, sindrom VKH, oftalmia simpatika, dan skleritis nekrotikans.
Secara keseluruhan, hampir 50% pasien yang diobati dengan azathioprine mencapai inflamasi
yang terkontrol dan mampu mengurangi dosis prednisone hingga 10 mg / hari atau kurang.
Banyak dokter memulai dosis pemberian azathioprine pada 50 mg / hari selama 1 minggu
untuk melihat apakah pasien mengalami efek samping gastrointestinal (mual, sakit perut, dan
muntah) sebelum meningkatkan dosis. Gejala-gejala ini umum dan dapat terjadi pada sampai
dengan 25% dari pasien, jika terjadi efek samping ini maka pengobatan perlu dihentikan.
Methotrexate (MTX)
Merupakan analog asam folat dan inhibitor dihidrofolat reduktase; menghambat
replikasi DNA, efek anti-inflamasi berasal dari adenosin ekstraselular. Sejumlah penelitian
telah menunjukkan metotreksat efektif dalam mengobati berbagai jenis uveitis, termasuk
iridosiklilitis terkait JIA (juvenile idiopathic arthritis-associated uveitis), sarkoidosis,
panuveitis, dan skleritis. Pengobatan dengan obat ini unik karena diberikan sebagai dosis
mingguan, biasanya dimulai di 7.5- 10.0 mg /minggu dan secara bertahap meningkat dengan
dosis pemeliharaan 15- 25 mg /minggu. Metotreksat dapat diberikan secara oral, subkutan,
intramuskular, atau intravena dan biasanya ditoleransi dengan baik. Memiliki bioavailabilitas
yang lebih besar bila diberikan secara parenteral. Folat diberikan bersamaan dengan dosis 1
mg / hari untuk mengurangi efek samping. Methotrexate dapat mengambil waktu sampai
dengan 6 bulan untuk menghasilkan efek penuh dalam mengendalikan peradangan
intraokular.Gangguan gastrointestinal dan anoreksia dapat terjadi pada 10% pasien.
Hepatotoksisitas reversible terjadi pada sampai dengan 15% dari pasien, dan sirosis terjadi
dalam waktu kurang dari 0,1% dari pasien yang menerima methotrexate jangka panjang.
Methotrexate bersifat teratogenik, dan pemeriksaan darah lengkap dan tes fungsi hati harus di-
lakukan setiap 4-6 minggu untuk memantau efek samping. Obat ini memiliki catatan panjang
keberhasilan dalam pengobatan anak-anak dengan JLA. Untuk alasan itu, methotrexate
menjadi pilihan lini pertama untuk imunomodulator pada anak-anak. Uji klinis telah
menunjukkan bahwa MTX dapat mengurangi penggunaan kortikosteroid pada dua-pertiga
pasien dengan inflamasi okular kronis.
Sumber : Guidelines for the Use of Immunosuppressive Drugs in Patients with Ocular Inflammatory Disorders: Recommendations of an Expert Panel
Mycophenolate mofetil
Menghambat monofosfat dehidrogenase inosin dan replikasi DNA. Obat ini memiliki
bioavailabilitas oral yang baik dan diberikan dengan dosis 1 g dua kali sehari. Obat ini
cenderung untuk bekerja dengan cepat; median waktu untuk kontrol peradangan mata (den-
gan kombinasi oleh kurang dari 10 mg / hari prednisone) adalah sekitar 4 bulan. Gangguan
gastrointestinal reversible dan diare adalah efek samping yang umum, meskipun kurang dari
20% dari pasien yang menerima mycophenolate mofetil memiliki efek samping; hal ini
biasanya dapat ditangani dengan pengurangan dosis. Pemeriksaan darah lengkap
harus dilakukan setiap minggu selama satu bulan, kemudian setiap 2 minggu selama 2 bulan,
dan kemudian setiap bulan. Dua penelitian retrospektif besar menemukan bahwa
mycophenolate mofetil menjadi agen yang efektif mengurangi penggunaan kortikosteroid
hingga 85% pada pasien dengan uveitis kronis. Memiliki khasiat serupa pada anak-anak
(88%) dan dapat menjadi alternatif aman untuk substitusi methotrexate pada pasien dengan
uveitis anak. Profil efek samping yang baik membuatnya menjadi pilihan pertama untuk
imunomodulator pada orang dewasa.
Siklosporin
Siklosporin tersedia dalam 2 sediaan oral. Salah satunya adalah mikroemulsi
(Neoral®, Novartis). yang memiliki bioavailabilitas yang lebih baik daripada formulasi
lainnya (Sandimmune®, Novartis). Kedua obat ini tidak bioekuivalen. Neoral dimulai pada 2
mg / kg / hari dan Sandimmune 2,5 mg / kg / hari. Dosis disesuaikan berdasarkan toksisitas
dan respon klinis terhadap 1-5 mg / kg / hari. Efek samping yang paling umum dengan
siklosporin adalah hipertensi sistemik dan nefrotoksisitas. Efek samping lainnya termasuk
parestesia, gangguan pencernaan, kelelahan, hipertrikosis, dan hiperplasia gingiva. Tekanan
darah, kadar kreatinin serum dan darah lengkap harus dinilai setiap bulan. Jika serum
kreatinin meningkat sebesar 30% penyesuaian dosis diperlukan. Elevasi berkelanjutan kadar
kreatinin serum akan memerlukan penghentian obat sementara sampai kadar kreatinin
kembali ke awal. Pasien dengan psoriasis yang diobati dengan siklosporin tampaknya
berisiko lebih besar terhadap kanker kulit. Siklosporin terbukti efektif pada percobaan klinis
acak terkontrol untuk pengobatan Behcet uveitis dengan kontrol peradangan pada 50%
pasien. Akan tetapi dosis yang digunakan dalam penelitian adalah 10 mg / kg / hari, jauh
lebih tinggi dari apa yang digunakan sekarang (5 mg / kg / hari) dan penggunaannya
menyebabkan nefrotoksisitas. Siklosporin juga telah terbukti efektif dalam pengobatan
uveitis intermediet dan beberapa jenis posterior uveitis. termasuk penyakit Behcet dan
sindrom VKH. Secara menyeluruh. cyclosporine yang dikombinasikan dengan kortikosteroid
telah terbukti cukup efektif dalam mengendalikan peradangan mata (sampai dengan 33%)
tetapi penghentian terapi karena toksisitas obat sering terjadi pada pasien yang berusia di atas
55.
Takrolimus
Takrolimus diberikan secara oral pada dosis 0,10-0,15 mg / kg / hari. Karena dosis
yang lebih rendah dan potensi yang baik, efek samping yang paling sering yaitu
nefrotoksisitas, kurang umum disbanding dengan dengan siklosporin. Tingkat kreatinin
serum dan darah lengkap dimonitor setiap bulan. Percobaan mengenai cyclosporine dan
tacrolimus menunjukkan efek yang sama dalam mengendalikan
uveitis intermediet dan posterior kronis, dimana takrolimus menunjukkan tingkat keamanan
yang lebih besar (risiko hipertensi dan hiperlipidemia berkurang). Tolerabilitas jangka
panjang dan efektivitas obat juga sangat baik, dengan efektivitas sebesar 85% dalam
mengurangi dosis prednisone menjadi kurang dari 10 mg / hari.
Siklofosfamid
Siklofosfamid adalah agen alkilating yang mengaktifkan metabolit alkilat purin di
DNA dan RNA, sehingga terjadi gangguan replikasi DNA dan kematian sel. Siklofosfamid
bersifat sitotoksik dan secara aktif membelah limfosit. Obat ini diabsorsi secara oral dan
dimetabolisme dalam hati menjadi metabolit aktif. Obat ini lebih efektif dalam mengontrol
peradangan mata bila diberikan secara oral dengan dosis 2 mg / kg / hari dibandingkan jika
diberikan sebagai intermiten melalui intravena. Sebagian besar pasien dirawat selama 1 tahun
dan dosis disesuaikan untuk mempertahankan jumlah leukosit antara 3000- 4000 sel setelah
pasien telah dikurangi dosis kortikosteroidnya. Kontrol peradangan dicapai oleh 75% dari
pasien dalam waktu 12 bulan, remisi penyakit terjadi pada dua pertiga pasien dalam waktu 2
tahun, dan sepertiga terapi dihentikan dalam 1 tahun karena efek samping reversibel. Pasien
yang menerima dosis kumulatif siklofosfamid hingga 36 gram tidak memiliki peningkatan
risiko keganasan sekunder. Setelah saya tahun ketenangan penyakit, siklofosfamid dilakukan
tapering off. Mielosupresi dan sistitis hemoragik adalah efek samping yang paling umum.
Sistitis hemoragik lebih sering terjadi ketika siklofosfamid diberikan secara oral. Pasien harus
didorong untuk minum lebih dari 2 liter cairan per hari selama rejimen ini berlangsung.
Hitung darah lengkap dan urine dipantau setiap minggu atau bulan. Mikroskopis hematuria
adalah peringatan untuk meningkatkan hidrasi. Gross hematuria merupakan indikasi untuk
menghentikan terapi. Jika jumlah leukosit jatuh di bawah 2.500 sel, siklofosfamid harus
dihentikan sampai jumlah sel pulih. Toksisitas lainnya termasuk teratogenitas, kemandulan,
dan alopesia reversibel. Infeksi oportunistik seperti pneumocystis pneumonia lebih sering
terjadi pada pasien yang menerima siklofosfamid; trimethoprimsulfamethoxazole. Profilaksis
direkomendasikan untuk pasien ini. Siklofosfamid telah terbukti efektif dalam mengobati
necrotizing skleritis dan vaskulitis retina dan kondisi uveitis lainnya dalam serangkaian kasus
yang tidak terkendali.
Klorambusil11
Klorambusil adalah agen alkilasi very long-acting yang juga mengganggu replikasi
DNA. Obat ini diserap dengan baik bila diberikan secara oral. Obat ini diberikan sebagai
dosis harian tunggal 0.1-0.2 mg / kg. Obat ini juga dapat diberikan sebagai terapi highdose
jangka pendek, dosis dimulai pada 2 mg / hari selama satu minggu, kemudian meningkat
sebesar 2 mg / hari masing-masing minggu berikutnya sampai peradangan teratasi, jumlah
leukosit turun di bawah 2800 sel, atau jumlah trombosit turun di bawah 100.000. Terapi
jangka pendek dilanjutkan selama 3-6 bulan. Kortikosteroid oral dapat dihentikan jika
inflamasi sudah tidak aktif. Karena klorambusil adalah myelosupresif maka pemeriksaan
darah lengkap harus dilakukan mingguan. Obat ini juga teratogenik dan menyebabkan
kemandulan. Serangkaian kasus terkontrol menunjukkan bahwa klorambusil efektif
memberikan jangka panjang, remisi bebas obat pada 66% -75% dari pasien dengan
ophthalmia simpatik, penyakit Behcet, dan sindrom uveitis lainnya.
Etanercept
Merupakan TNF reseptor bloker, telah terbukti efektif dalam mengendalikan per-
adangan sendi pada poliartikular JIA dan rheumatoid arthritis dewasa tetapi tidak
menunjukkan efek dalam mengendalikan peradangan intraokular aktif. Obat ini umumnya
kurang efektif dibandingkan infliximab dan bukan merupakan agen biologis pilihan untuk
pengobatan uveitis.
Infliximab11
Merupakan sebuah chimeric, monoklonal antibodi lgG1κ yang ditujukan terhadap
TNF-a, efektif dalam mengendalikan peradangan saat ini dan mengurangi kemungkinan
serangan di masa depan pada Behcet uveitis, uveitis idiopatik, sarkoidosis, sindrom VKH di
lebih dari 75% pasien. Obat ini memiliki efek pengurangan kortikosteroid dan dapat
meningkatkan prognosis visual pasien pada pasien Behcet uveitis kekambuhan tinggi. Efek
menguntungkan yang sama telah dilaporkan pada pasien dengan uveitis anterior terkait HLA-
B27 yang diterapi dengan infliximab. Namun, dalam satu penelitian terbaru, meskipun 78%
dari pasien mencapai kendali peradangan sukses dalam 10 minggu, hampir satu setengah
tidak bisa menyelesaikan 50 minggu terapi karena toksisitas obat, termasuk lupus, trombosis
vaskular sistemik, gagal jantung kongestif, keganasan baru, penyakit demielinasi, dan
perdarahan vitreous. Sebanyak 75% dari pasien yang menerima lebih dari 3 infus membentuk
antibodi antinuklear. Metotreksat dosis rendah (5- 7,5 mg / minggu) dapat diberikan
bersamaan untuk mengurangi sindrom lupus yang merupakan risiko obat. Reaktivasi TB juga
ditemukan pada penggunaan obat ini. Dengan demikian, tes kulit purified protein derivative
(PPD) positif dianggap sebagai kontraindikasi untuk terapi infliximab. Penelitian terbaru
menunjukkan frekuensi efek samping yang lebih rendah dari efek samping yang dilaporkan
dalam studi sebelumnya.
BAB 4
PENUTUP
Uveitis adalah penyakit yang merusak jaringan uvea. Bentuk parah dari uveitis
mempengaruhi bagian tengah dan belakang mata. Seringkali kedua mata yang terpengaruh.
Uveitis menyerang pada usia lebih dini daripada banyak penyebab utama kebutaan lainnya,
sehingga dapat menyebabkan kecacatan maupun kebutaan.
Terapi uveitis pada dasarnya adalah menghilangkan penyebab dan mengatasi per-
adangan kortikosteroid mungkin masih menjadi andalan terapi pada serangan akut dari
uveitis tetapi ada beberapa pilihan terapi alternatif yang aman dan efektif yang tersedia untuk
dokter untuk pengelolaan jangka panjang dari uveitis. Agen imunomodulator spesifik adalah
masa depan untuk pengelolaan yang lebih baik dari penyakit radang mata.
DAFTAR PUSTAKA
1. www. uveitis.org/medical/article/case/wds.html
2. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2841368/
3. KMN. Uveitis Posterior. Diunduh dari: http://www.klinik mata nusantara/uveitis
posterior. kmn.htm. 19 Oktober 2008.
4. Conrad. Uveitis Posterior. Diunduh dari: E:\uveitis news_files\imgres.htm 20
Oktober 2008.
5. http://www.med.wisc.edu/news-events/researchers-compare-eye-disease-treatments/
32322
6. Ehlers, J.P., et al. The Wills Eye Manual. Philadelphia. 2008
7. http://www.uveitis.net/uig/journal/Uveitis2007.pdf
8. Guidelines for the use of immunosuppressive drugs in patients with ocular
inflammatory disorders. Am J Ophthalmol. 2000; 130:492-513.
9. The Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN) Working Group. Am J
Ophthalmol. 2005; 140:509-516.
10. Voughan Daniel G, Asburg Taylor, Eva-Riordan Paul. Sulvian John H,editors.
Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta. Widya Medika. 2000 : 266-78
11. American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course 2007-2008,
Section 9: Intraocular inflammation and uveitis. Singapore: American Academy of
Ophthalmology; 2007.
12. Kanski JJ. Clinical opthalmology, a systemic approach. 6th ed
13. Caspi RR. A look at autoimmunity and inflammation in the eye
14. Kempen JH, Gangaputra S, Daniel E, Levy-Clarke GA, Nussenblatt RB, Rosenbaum
JT, et al. Long-term risk of malignancy among patients treated with immunosuppres-
sive agents for ocular inflammation: a critical assessment of the evidence. Am J Oph-
thalmol. 2008;146:802-12.
TERAPI STEROID PADA UVEITIS
Oleh :
Renie Indriani
Pembimbing :
dr. Samuel Malingkas, Sp.M
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2015