26
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pendekatan Epidemiologi Untuk mengidentifikasi aras dan penyebab suatu kasus, dilakukan kajian observasional. Ada tiga macam kajian observasional: 1. Kajian cross sectional Kajian lintas sectional adalah suatu kajian observasional yang meneliti secara sekaligus faktor exposure dan penyakit tanpa arah dimensi penyelidikan tertentu. Pemilihan kajian ini dengan dasar studi dilakukan pada satu titik waktu (periode satu tahun) (Budiharta dan Suhardana, 2007). Pada umumnya, studi cross sectional ditujukan untuk mencari prevalensi suatu penyakit atau mendeskripsikan cirri-ciri masalah kesehatan di suatu daerah, tetapi dalam hal tertentu penelitian ini dapat digunakan untuk memperkirakan adanya hubungan sebab akibat dan menghasilkan hipotesis. Penelitian cross sectional yang digunakan untuk penelitian analisis mempunyai kelemahan karena sebab akibat diamati pada waktu yang sama hingga tidak terdapat urutan waktu yang merupaka salah satu factor 1

tipus epid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tipus epid

Citation preview

I. TINJAUAN PUSTAKAA. Pendekatan Epidemiologi Untuk mengidentifikasi aras dan penyebab suatu kasus, dilakukan kajian observasional. Ada tiga macam kajian observasional:1. Kajian cross sectionalKajian lintas sectional adalah suatu kajian observasional yang meneliti secara sekaligus faktor exposure dan penyakit tanpa arah dimensi penyelidikan tertentu. Pemilihan kajian ini dengan dasar studi dilakukan pada satu titik waktu (periode satu tahun) (Budiharta dan Suhardana, 2007). Pada umumnya, studi cross sectional ditujukan untuk mencari prevalensi suatu penyakit atau mendeskripsikan cirri-ciri masalah kesehatan di suatu daerah, tetapi dalam hal tertentu penelitian ini dapat digunakan untuk memperkirakan adanya hubungan sebab akibat dan menghasilkan hipotesis. Penelitian cross sectional yang digunakan untuk penelitian analisis mempunyai kelemahan karena sebab akibat diamati pada waktu yang sama hingga tidak terdapat urutan waktu yang merupaka salah satu factor penting dalam mempelajari sebab akibat timbulnya penyakit (Budiarto dan Anggraeni, 2001).

Keuntungan dilakukannya studi lintas sectional ini adalah:a. Sampel dipilih secara acak dari populasi target.b. Cukup valid untuk melihat pengaruh suatu resiko terhadap penyakit.c. Memungkinkan untuk generalisasi hasil studi karena pengambilan sampel dilakukan pada populasi yang besar.d. Memungkinkan untuk menyidik beberapa faktor penyebab potensial penyakit (Budiharta dan Suhardana, 2007).

2. Kajian Retrospektif (Kasus-Kontrol)Penelitian retrospektif dapat diartikan sebagai suatu penelitian dengan pendekatan longitudinal yang bersifat observasional mengikuti perjalanan penyakit ke arah belakang (retrospektif) untuk menguji hipotesis spesifik tentang adanya hubungan pemaparan terhadap faktor resiko di masa lalu dengan timbulnya penyakit. Dengan kata lain, mengikuti perjalanan penyakit dari akibat ke sebab dengan membandingkan besarnya pemaparan faktor resiko di masa lalu antara kelompok kasus dan kelompok kontrol sebagai pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa pada awalnya penelitian terdiri dari kelompok penderita (kasus) dan kelompok bukan penderita yang akan diteliti sebagai control (Budiarto dan Anggraeni, 2001).3. Kajian Prospektif (Kohort)Penelitian prospektif merupakan salah satu penelitian yang bersifat longitudinal dengan mengikuti proses perjalanan penyakit ke depan berdasarkan urutan waktu. Penelitian prospektif ini dimaksudkan untuk menemukan insidensi penyakit pada kelompok yang terpajan oleh factor resiko maupun pada kelompok yang tidak terpajan, kemudian insidensi penyakit pada kedua kelompok tersebut secara statistik dibandingkan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan sebab akibat antara pajanan dan penyakit yang diteliti. Kelompok yang diikuti tersebut dinamakan kohort (Budiarto dan Anggraeni, 2001).

Analisa statistik yang bisa digunakan untuk mengevaluasi suatu asosiasiSuatu faktor berasosiasi dengan kejadian penyakit, apabila:1. Faktor terdapat lebih sering pada hewan sakit daripada yang tidak 2. Tingkat penyakit lebih tinggi pada kelompok terdedah daripada yang tidak

Untuk mengetahui apakah suatu faktor berasosiasi dengan kejadian penyakit atau tidak, maka digunakan rumusan sebagai berikut:

1. Chi-square= (2) menghitung asosiasi [ | (axd)-(bxc) | - 0,5 n] 2 x n 2 = (a+b)x(c+d)x(a+c)x(b+d)

Jika nilai 2 lebih dari 3,84 maka ada asosiasi antara faktor dengan kejadian penyakit.

2. Sedangkan untuk mengukur besarnya asosiasi tersebut, digunakan:a. Relative risk (RR)Risiko relative atau risk ratio adalah cara menghitung rasio antara angka insidensi kelompok terpajan dengan angka insidensi kelompok tidak terpajan (Budiarto dan Anggreini, 2001). Secara skematis dapat dituliskan sebagai berikut:

Risiko relative (RR) =Insidensi terekspose = a/(a+b)Insidensi tdk terekspose = c/(c+d)

RR = [a/(a+b)]/[c/(c+d)]

RR digunakan untuk kajian Lintas seksional dan Kohort, dengan interpretasi :RR < 1 asosiasi/efek negatif antara penyakit dan faktor RR = 1 tidak ada asosiasi antara penyakit dan faktor RR > 1 asosiasi positif antara penyakit dan faktor RR = 0 1 pendedahan bersifat protektif

b. Odds ratio (OR)

OR = a/b = ad/bc c/dInterpretasi: OR < 1 efek negatif OR = 1 tidak ada efek OR > 1 asosiasi positif faktor dan penyakit (Budiarto dan Anggreini, 2001; Thrusfield, 2005)

B. Pengambilan dan Besaran Sampel1. Teknik samplingKata rambang merupakan terjemahan dari random., random sering digunakan untuk menggambarkan berbagai metode sampling secara untung-untungan, convenience dan atau purposif. Sampling tanpa pengembalian artinya bila seekor hewan (suatu unit) telah terpilih, ia tidak akan dipilih lagi. Lima teknik seleksi rambang yaitu rambang sederhana (simple random sampling), rambang sistematis (systematic random sampling), tahapan ganda (multistage sampling), klaster (cluster sampling) dan rambang strata (stratifield random sampling) (Budiharta dan Suardana, 2007).a. Rambang sederhanaSimple random sampling(SRS) adalah jenisdasarpengambilan sampel, yang seringdigunakan sebagaiteknikpengambilan sampelitu sendiriatau sebagaisebuah blok bangunan untukmetode yang lebihkomplekssampling.Namun,SRSbiasanya munculdalam literaturtanpadefinisi yang jelas. PrinsipSRSadalah bahwa setiapsampelmungkinmemilikiprobabilitas yang samauntuk dipilih, tetapi definisisampel mungkin berbeda-beda didesainsampling yang berbeda (Meng, 2013).Simplerandom samplingadalah desainsamplingyangberbedakitem yangdipilih dariitemndalam populasisedemikianrupa sehinggasetiap kemungkinan kombinasikitemsamamungkinsampelyang dipilih (Thompson, 2012 dalam Meng, 2013).

b. Rambang sistematisDalam sampling rambang sitematis, sejumlah n unit sampling dipilih dari N (populasi) dengan interval (k) regular bila digunakan sampling sistematik, titik permulaannya pada interval pertama dilakukan secara rambang formal dengan angka nilai 0 sampai k-1. Sampling sistematis merupakan cara yang praktis memperoleh sampel yang representative dan menjamin bahwa unit sampling tersebar rata dalam populasi (Budiharta dan Suardana, 2007).

c. Tahapan gandaDalam sampling tahapan ganda, seleksi unit sampling dijalankan melalui beberapa tahap. Pada setiap tahap, kelompok unit sampel dalam suatu aras organisasi dipilih secara rambang, dan akhirnya unit sampling diseleksi dari kelompok aras terakhir. Dalam sampling tahapan ganda, setiap unit/kelompok dalam kerangka sampling diberi sejumlah nomor proporsional dengan jumlah populasi ternak yang dikaji (Budiharta dan Suardana, 2007).

d. KlasterDalam sampling klaster, seperrti halnya dengan sampling tahapan ganda, kelompok unit sampel dipilih secara rambang menggunakan kerangka sampling dan sampling proporsional. Setelah semua kelompok terpilih, semua hewan dalam kelompok terakhir dimasukan sebagai sampel (Budiharta dan Suardana, 2007).

e. Strata Dalam sampling rambang strata, pertama populasi dibagi-bagi ke dalam kelompok atau strata tergantung pada tujuan kajian dan penyakit yang disidik,. Populasi dapat di stratifikasi berdasarkan sifat hospes, lingkungan, dan yang sering digunakan geografi. Setelah itu, salah satu gabungan teknik sampling (rambang sederhana, rambang sistematis, tahapan ganda, klaster) digunakan untuk memilih sampel hewan untuk setiap strata(Budiharta dan Suardana, 2007).

2. Besaran sampelBesaran sampel (sampel size) yang diperlukan dalam penyidikan dan kalkulasinya berbeda tergantung penggunaan sampel yang bersangkutan. Tiga penggunaan sampel yang bersangkutan adalah (1) mendeteksi adanya penyakit dalam suatu populasi, (2) memperkirakan aras suatu penyakit dalam suatu populasi dan (3) menyidik penyebab suatu penyakit dalam suatu populasi.a. Deteksi penyakitSebagai bagian dari banyak program pengendalian atau pemberantasan penyakit, kelompok/kawanan secara keseluruhan diuji untuk menentukan apakah penyakit yang dimaksud ada atau secara terbalik untuk meyakinkan bahwa penyakit tersebut tidak ada. Pengujian kelompok/kawanan secara keseluruhan sangat mahal dan penyidik harus dapat menerima hasil pengujian hanya sebagian dari populasi kelompok/kawanan tersebut.

Dengan a sebagai konfidensi (niasanya 95% atau 99%), mendeteksi paling tidak 1 ekor hewan dalam sampel bila penyakit diderita oleh paling tidak D/N dalam populasi; D jumlah hewan yang sakit dalam populasi, dan N sebagai besaran populasi. Bila suatu sampel telah terpilih dan tidak ada kasus yang terdeteksi, maka jumlah maksimum kasus yang mungkin ada dapat diperoleh dengan membalikkan rumus menjadi:(Budiharta dan Suardana, 2007)

b. ArasEstimasi prevalensi reaktor di dalam populasi, yakni parameter P (T+), adalah proporsi sampel pada pengujian, yakni statistik P (T+) atau p. statistik ini dihitung dengan menjumlahkan hasil yang positif tersebut, lalu dibagi dengan besaran sampel. Varian (p) adalah , dan galat baku (standart error) varian ini adalah (p)1/2.Penentuan secara tepat besaran sampel untuk estimasi aras suatu atribut (misalnya prevalensi penyakit) dalam suatu survey dapat sangat rinci, dan survey yang kompleks biasanya memerlukan bantuan seorang ahli statistik. Untuk survei yang kurang kompleks, rumus dibawah biasanya digunakan.Untuk penentuan besaran sampel N, untuk menentukan prevalensi reaktor P (T+) dalam suatu populasi, biasanya penyidik memiliki perkiraan sementara aras reaktor yang dapat dipertanggungjawabkan.Disamping itu penyidik juga harus menentukan seberapa dekat perkiraan tersebut dari P (T+). Untuk tujuan tersebut digunakan rumus:

Keterangan:N = besaran sampelP = perkiraan prevalensi reaktorL = galatQ = 1 PAngka 4 pada rumus lebih kurang merupakan kuadrat z = 1,96 yang memberikan konfidensi sebesar 95%. Bila penyidik menginginkan konfidensi 99% maka angka ini harus diganti dengan 6,6 (lebih kurang merupakan kuadrat 2,56)(Budiharta dan Suardana, 2007). Pada umumnya besaran populasi tidak mempengaruhi besaran sampel, karena dengan prevalensi yang tetap, kenaikan besaran populasi akan diikuti pula dengan kenaikan jumlah hewan sakit secara proporsional. Pengecualian adalah pada keadaan n melebihi 0.1 N, maka jumlah yang diperlukan diperoleh dengan resiprok:

Dimana n adalah besaran sampel semula (n dari rumus aras) dan N adalah jumlah populasi.Untuk estimasi rata-rata variable kuantitatif, penentuan besaran sampel memerlukan perkiraan standar deviasi atau variable varian yang bersangkutan dalam populasi target dan seberapa dekat estimasi tersebut dibandingkan dengan rata-rata sebenarnya (Budiharta dan Suardana, 2007).

Dimana S adalah standar deviasi. Penggunaan rumus-rumus diatas dilandasi suatu asumsi bahwa unit sampel sama dengan unit kepentingan. Bila digunakan sampling klaster atau tahapan ganda, penyesuaian harus dilakukan dengan menaikan besaran sampel, agar diperoleh presisi estimasi yang diinginkan. Bila penyakit tidak begitu menular dan/ atau koefisien korelasi dalam unit primer kecil diperlukan perbesaran 2 sampai 3 kali lipat dari besaran sampel yang didapat. Bila penyakit sangat menular, besaran sampel sebaiknya dilipatkan 5 sampai 7 kali (Budiharta dan Suardana, 2007).

C. SurveilenMenurut WHO, surveilansadalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk diambil tindakan. Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus-menerus terhadap penyakit atau masalah masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyaki atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan, dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan (WHO, 2012). Sementara menurut Timmreck (2005), pengertian surveilans kesehatan masyarakat merupakan proses pengumpulan data kesehatan yang mencakup tidak saja pengumpulan informasi secara sistematik, tetapi juga melibatkan analisis, interpretasi, penyebaran, dan penggunaan informasi kesehatan. Hasil surveilans dan pengumpulan serta analisis data digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang status kesehatan populasi guna merencanakan, menerapkan, mendeskripsikan, dan mengevaluasi program kesehatan masyarakat untuk mengendalikan dan mencegah kejadian yang merugikan kesehatan. Dengan demikian, agar data dapat berguna, data harus akurat, tepat waktu, dan tersedia dalam bentuk yang dapat digunakan.Mekanisme kegiatan surveilans:0. Identifikasi kasus dan masalah kesehatan serta informasi terkait lainnya.0. Perekaman, pelaporan dan pengolahan data.0. Analisis dan interpretasi data.0. Studi epidemiologi.0. Penyebaraninformasi kepada unit yang membutuhkan.0. Membuat rekomendasi dan alternative tindak lanjut.0. Umpanbalik (BudihartadanSuardana, 2007).

Penyelenggaraan berdasarkan aktivitas pengumpulan data:6. Surveilans aktif, mengumpulkan data dengan cara mendatangi masyarakat, unit layanan kesehatan, dan mengambil data langsung kepopulasi.6. Surveilans pasif, mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari masyarakat (Budiharta danSuardana, 2007).

Penyelenggaraan Berdasarkan Metode Pelaksanaan:1. Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu, adalah penyelenggaraan Surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan dan atau faktor resiko kesehatan. 1. Surveilans epidemiologi Khusus, adalah penyelenggaraan Surveilans epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan, faktor resiko atau situasi khusus kesehatan.1. Surveilans sentinel, adalah penyelenggaraan Surveilans epidemiologi pada populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya masalah kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas. 1. Studie pidemiologi, adalah penyelenggaraan Surveilans epidemiologi pada periode tertentu serta populasi atau wilayah tertentu untuk mengetahui lebih mendalam gambaran epidemiologi penyakit, permasalahan dan atau faktor resiko kesehatan.Monitoring (pemantuan) adalah usaha yang terus menerus yang ditujukan untuk mendapatkan taksiran kesehatan dan penyakit pada populasi. Sedangkan aktivitas monitoring meliputi koleksi, pengolahan, peringkatan data (table dangrafik), dan penyebaran informasi/pelaporan keperorangan atau badan-badan yang berkepentingan. Koleksi analisis, dan penyebaran informasi secara sistematik tentang tingkat (misalnya munculnya penyakit, prevalensi, dan insidensi) penyakit yang terjadi pada populasi tertentu (WHO, 2012).

Tiga hal yang dilakukan dalam monitoring dan surveilans:1. Surveilans agen penyakit (disease agent surveillance)2. Monitoring hospes (host monitoring)3. Penilaian lingkungan (environmental assessment) (Bappenas, 2005).

Pencegahan, pengendalian, dan pengobatan:0. Pencegahan, mencegah masuknya penyakit pada suatu populasi dan melindungi populasi yang tidak terinfeksi.0. Pengendalian, kombinasi sistem monitoring dan surveilans, disease strategies, dan intervention strategies pada periode waktu tertentu untuk menurunkan prevalensi penyakit pada populasi (Trushfield, 2005).

D. Septicaemia epizootica (SE)Penyakit ngorok atau haemorrhagic septicaemia (HS), yang di Indonesia dikenal dengan nama penyakit septicaemia epizootica (SE) adalah penyakit akut dan fatal yang menyerang sapi dan kerbau. Penyakit ini telah menyebar ke hampir seluruh propinsi di Indonesia. Penyakit ngorok yang terdapat di Indonesia disebabkan oleh Pasteurella multocida B:2, bersifat akut, dan pada umumnya menjadi penyebab kematian pada hewan. Kasus penyakit biasanya tertinggi pada akhir musim kemarau sampai tiba musim penghujan. Di daerah endemik, diagnosis terhadap penyakit SE sering dilakukan dengan pengamatan gejala klinis dan pemeriksaan pascamati. Konfirmasi diagnosis secara laboratoris sampai saat ini belum dapat dilakukan di laboratorium veteriner daerah karena keterbatasan sarana bahan diagnostik. Teknik diagnosis yang ada masih dianggap kurang praktis dan memakan waktu yang cukup lama untuk dapat mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri, serta menentukan tipe antigen kapsuler dan somatiknya. (Natalia,2006)Pada tahun 1995, penyakit SE digolongkan pada salah satu penyakit hewan menular dari 14 jenis penyakit hewan menular strategis di Indonesia yang pemberantasan dan pengendaliannya berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah. Sejak PELITA dari Pembangunan Jangka Panjang I (PJPI) produksi vaksin oleh Pusat Veterinaria Farma sudah semakin meningkat, baik dalam jumlah maupun mutu. Vaksinasi masal dan reguler setiap tahun sudah rutin dilakukan di daerah tertular, tetapi kematian akibat SE masih sering dilaporkan. Tahun 1997 kematian sapi/kerbau akibat SE masih mencapai 9.288 ekor. Adanya mobilitas ternak di daerah memungkinkan timbulnya daerah-daerah tertular baru. Hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan coverage vaksinasi. Pulau Lombok dengan pola coverage vaksinasi 100% selama 3 tahun berturut, dapat dibebaskan dari SE pada tahun 1985. Tetapi laporan di daerah menunjukkan bahwa coverage vaksinasi di NTT dan Bali masing-masing hanya mencapai 16 22% dan 30 40%(Natalia dan Priadi, 2006).

(Natalia dan Priadi, 2006)Ada beberapa laporan yang telah dipublikasi oleh media masa tentang kejadian penyakit SE di berbagai daerah di Indonesia. Pada Tabel 1 dapat dilihat kejadian penyakit SE di beberapa daerah. Kejadian penyakit SE yang menyerang hewan sapi dan kerbau telah terjadi tiap tahun di daerah Propinsi NTT. Kasus biasanya terjadi karena cakupan vaksinasi yang masih rendah. Kematian pada kerbau juga sering terjadi di daerah Propinsi Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu dan Riau (Natalia dan Priadi, 2006).1. Penelitian Patogenesis PenyakitKasus penyakit SE biasanya dilaporkan sebagai kematian hewan dalam waktu singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh, oedema submandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan dengan suara ngorok atau keluarnya ingus dari hidung. Umumnya, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Hewan kerbau lebih peka terhadap penyakit SE dibandingkan dengan hewan sapi. Lama atau jalannya penyakit sampai pada kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2 5 hari. Gejala penyakit timbul setelah masa inkubasi 2 5 hari. Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan suhu tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu kondisi hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam banyak kasus merupakan tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak selamanya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit (Natalia dan Priadi, 2006).Terlihat bahwa kerbau mengalami gejala yang lebih berat dibandingkan sapi. Suhu tubuh kerbau mencapai puncaknya pada 4 jam setelah infeksi, yaitu 43C. Kenaikan suhu hingga 41C dicapai 12 jam sesudah infeksi. Hal ini mungkin karena rute infeksi yang berbeda yaitu diberikankan secara oral. Pada sapi suhu tubuh mencapai puncaknya 12 jam setelah infeksi, yaitu pada suhu 39,6C. Gejala yang dapat diamati pada kerbau adalah kemerahan mala dan keluarnya cairan hidung. Sedangkan pada sapi yang terlihat hanya kulit yang memerah. Pembengkakan leher yang meluas dari tempat penyuntikkan sampai ke daerah sub mandibula terlihat pada sapi maupun kerbau pada 16 jam setelah infeksi. Kerbau mati pada 22 jam setelah infeksi sedangkan sapi mati 2 jam kemudian (Priadi dan Natalia, 2000).

2. Perubahan PatologiPada pemeriksaan pasca mati, kelainan yang tampil menyolok adalah oedema subcutaneous dengan cairan serogelatinous terutama di daerah submandibula, leher dan dada. Umumnya kebengkakan lebih sering ditemui pada kerbau daripada sapi. Pada infeksi buatan, kebengkakan lebih nyata terlihat pada sapi dari kerbau. Pada jaringan subkutan dapat ditemui adanya perdarahan titik-titik dan kelenjar limfe membengkak yang dapat berupa pembengkakan, kongesti dan hyperemia atau nekrosis yang nyata. Dalam rongga dada terjadi perubahan pada paru-paru yang berkisar dari pembendungan umum sampai konsolidasi yang ekstensif dengan penebalan septa interlobular. Perubahan ini lebih nyata pada kerbau daripada sapi. Pleurisy dan pericarditis yang jelas tampak dengan penebalan perikardium dan adanya cairan serosanguinous dalam ruang pleura dan pericardial. Perdarahan dengan derajat yang bervariasi dapat terlihat pada jantung (Priadi dan Natalia, 2000).

3. PenularanPenularan penyakit biasanya dipengaruhi oleh stres, kepadatan hewan, manajemen yang tidak baik, dan musim. Sumber organisme yang infektif dalam wilayah wabah yang baru diduga berasal dari hewan carrier yang secara intermitent dikeluarkan oleh hewan carrier yang kebal tetapi membawa organisme tersebut dalam tonsilnya. Kuman banyak disekresi melalui leleran hidung pada fase demam awal, sehingga periode ini merupakan masa penularan yang penting. Dalam kondisi yang mendukung yaitu keadaan lembab atau basah kuman yang diekskresi dapat bertahan selama seminggu sehingga memungkinkan penularan tak langsung ke hewan lainnya (Natalia dan Priadi, 2006).Morbiditas dan mortalitas penyakit dipengaruhi oleh berbagai faktor dan interaksinya. Umur endemisitas dari daerah tertentu, kejadian penyakit sebelumnya, kekebalan yang terjadi dan tingkat kekebalan kelompok hewan merupakan faktor-faktor yang penting. Apabila wabah pertama kali melanda wilayah baru, tingkat penyebaran akan sangat tinggi dan kematian dapat terjadi pada hewan segala umur. Pada wilayah endemik dimana proporsi carrier yang kebal tinggi, penyebaran kuman sering terjadi. Bilamana kuman menyebar ke hewan yang sudah kebal, hal ini akan merupakan booster terhadap tingkat kekebalan. Kelompok yang peka dari wilayah endemik ini hanyalah hewan muda yang kekebalan maternalnya sudah menurun atau hewan yang didatangkan dari wilayah yang non-endemik. Jadi wabah tidak menjadi epidemik dan hanya terjadi pada hewan muda di daerah endemik (Natalia dan Priadi, 2006).Meskipun penyakit SE mungkin terjadi setiap saat, penyakit umumnya terjadi dan berkembang selama musim penghujan dimana hewan banyak mengalami stres karena dipekerjakan. Kondisi stres dimusim penghujan tersebut di atas menyebabkan peningkatan daya tahan hidup kuman dalam induk semang dan peningkatan jumlah organisme dalam lingkungan basah. Dalam kondisi induk semang yang lemah, organisme dalam hewan carrier bertahan dan kepekaan hewan terhadap penyaklit meningkat. Hewan dengan kondisi yang buruk dan keengganan pemilik hewan untuk melakukan vaksinasi juga berperan terhadap peningkatan kejadian penyakit (Natalia dan Priadi, 2006).Karena sifat penyakit SE yang dapat berbentuk akut atau menimbulkan adanya hewan carrier yang asimtomatik maka pengendalian penyakit ini sangat tergantung pada tindakan profilaksis yaitu vaksinasi. Berbagai macam vaksin telah dicoba dengan tingkat perlindungan yang bervariasi. Di Indonesia, vaksin killed broth bacterin mulai digunakan dari 1910-1970. Tanpa adjuvant bakterin hanya dapat memberikan perlindungan kurang dari 4 bulan. Vaksin mati beradjuvant minyak dikembangkan di Balai Penelitian Veteriner pada tahun 1970 bekerjasama dengan Australia dan pada tahun 1978 produksi vaksin ini dilakukan di Pusat Veterinaria Farma. Vaksin beradjuvant ini dapat memberi perlindungan 6 hingga 12 bulan. Walaupun vaksinasi sudah dijalankan secara rutin tetapi kerugian akibat penyakit ngorok masih dilaporkan (Priadi dan Natalia, 2002).

1