25
1 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK SEBAGAI AKTA PENGAKUAN HUTANG (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN No.: 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel) Oleh Rina Puspitasari Mahasiswi FHUI Program Ext. (0806370412) Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia sebagai negara hukum, maka dalam menjalankan segala kehidupan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku demi terciptanya kepastian hukum dalam masyarakat. Untuk mendukung terciptanya kepastian hukum dalam masyarakat maka diperlukan adanya aparatur hukum yang mewujudkan penegakan hukum. Hukum acara perdata juga disebut hukum acara perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara-cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil. 1 Menurut Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Hakim mempunyai kewajiban untuk mengadili seluruh gugatan dan dilarang menetapkan keputusan yang tidak diminta atau mengabulkan lebih daripada apa yang dituntut (ultra petitum partium). Putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan, tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebahagian saja, dan mengabdikan gugatan selebihnya. Oleh karena itu Hakim harus menggunakan alat-alat yang diperlukan untuk membenarkan anggapannya mengenai peristiwa yang bersangkutan. Pasal 137 HIR dan Pasal 163 RBg menentukan bahwa pada umumnya kedua belah pihak yang saling berperkara 1 Retno Wulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, cet.10, (Bandung : CV. Mandar Madju, 2005), hlm 1. Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

1

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK

SEBAGAI AKTA PENGAKUAN HUTANG

(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN No.: 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel)

Oleh Rina Puspitasari

Mahasiswi FHUI Program Ext. (0806370412)

Latar Belakang Permasalahan

Negara Indonesia sebagai negara hukum, maka dalam menjalankan segala

kehidupan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku demi

terciptanya kepastian hukum dalam masyarakat. Untuk mendukung terciptanya

kepastian hukum dalam masyarakat maka diperlukan adanya aparatur hukum yang

mewujudkan penegakan hukum.

Hukum acara perdata juga disebut hukum acara perdata formil, yaitu

kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara-cara bagaimana

melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur

dalam hukum perdata materiil.1

Menurut Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Hakim mempunyai kewajiban untuk

mengadili seluruh gugatan dan dilarang menetapkan keputusan yang tidak diminta

atau mengabulkan lebih daripada apa yang dituntut (ultra petitum partium).

Putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi

gugatan yang diajukan, tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebahagian

saja, dan mengabdikan gugatan selebihnya. Oleh karena itu Hakim harus

menggunakan alat-alat yang diperlukan untuk membenarkan anggapannya

mengenai peristiwa yang bersangkutan. Pasal 137 HIR dan Pasal 163 RBg

menentukan bahwa pada umumnya kedua belah pihak yang saling berperkara

1 Retno Wulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, cet.10,

(Bandung : CV. Mandar Madju, 2005), hlm 1.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 2: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

2

dapat saling meminta satu dari yang lain supaya diserahkan kepada Hakim surat-

surat yang berada di tangan masing-masing agar pihak lawan mengetahui isinya2.

Dari kelima alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 164 HIR yaitu surat

atau bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah3. Maka alat bukti

yang paling penting adalah alat bukti tertulis terutama alat bukti tertulis otentik

yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu.

Diantara akta otentik yang sering dimajukan kepada Hakim sebagai alat bukti

dalam perkara perdata salah satunya adalah akta notaris4.

Sebagai akta otentik, akta notaris mempunyai kedudukan istimewa

dibandingkan dengan akta dibawah tangan. Akta notaris sebagai akta otentik

mempunyai dua macam kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian formil

dimana akta tersebut membuktikan bahwa para pihak telah menjelaskan apa yang

tertulis di dalam akta tersebut, dan kekuatan pembuktian materiil yaitu akta

tersebut membuktikan bahwa peristiwa yang tercantum dalam akta tersebut benar-

benar terjadi dan kekuatan mengikat keluar kepada pihak ketiga5.

Berdasarkan Pasal 165 HIR dan 285 Rbg akta notaris sebagai akta otentik

merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli waris dan orang-

orang yang mendapat hak daripadanya sehingga tidak diperlukan pembuktian lain.

Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal

5 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan

tidak membedakan orang.”

Berdasarkan pengertian tersebut di atas apa yang dilakukan oleh hakim

dalam rangka memperoleh kepastian dan kebenaran peristiwa itu sendiri menurut

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH mempunyai beberapa pengertian, yaitu :6

1. Membuktikan dalam arti logis yaitu memberi kepastian yang bersifat mutlak,

karena berlaku bagi setiap orang hingga tidak memungkinkan adanya bukti

lawan.

2 Ibid., hlm 63.

3 Ibid, hlm 61.

4 Ibid., hlm 65.

5 Ibid., hlm 67.

6 Sudikno Mertokusumo, 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. hlm

3.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 3: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

3

2. Membuktikan. dalam, arti, konvensional, di. sinipun membuktikann berarti

juga memberikan kepastian, hanya saja kepastian yang nisbi atau relatif

sifatnya.

3. Membuktikan dalam arti yuridis, pembuktian di sini hanya beklaku bagi

pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka.

Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada

kebenaran mutlak, sebab ada kemungkinan jika pengakuan, kesaksian atau surat-

surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan maka dimungkinkan adanya bukti

lawan7. Surat akta ini ada dua macam pula yaitu surat akta otentik dan surat akta

dibawah tangan.

Hal ini mempunyai arti bahwa pada hakekatnya pengadilan dalam

melaksanakan setiap kegiatan mengadili harus sesuai dengan hukum yang

berlaku. Pengadilan juga memandang semua orang sama tanpa harus

membedakan derajat, pangkat maupun kedudukan orang tersebut.

Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dalam

Pasal 84 hanya menyebutkan bahwa suatu akta hanya mempunyai kekuatan

sebagai akta di bawah tangan atau menjadi batal demi hukum apabila akta tersebut

melanggar ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam pasal 84 UUJN tersebut,

dalam hal ini tidak disebutkan bahwa suatu akta notaris dapat dibatalkan.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah, juga tidak menjelaskan bahwa akta PPAT dapat

dibatalkan. Berdasarkan hal tersebut dengan demikian Undang-undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UUJN Nomor 30 Tahun 2004, tidak

menyebutkan secara tegas mengenai adanya kewenangan Hakim untuk

menentukan keabsahan suatu akta notaris, namun dalam kenyataannya Hakim

sering membatalkan akta notaris. Hal tersebut dilakukan Hakim berdasarkan

adanya pendapat bahwa suatu akta notaris sebagai bentuk dari suatu perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik dan sesuai dengan kepantasan yang

mengakibatkan Hakim boleh memperluas atau membatasi kewajiban para pihak

dalam perjanjian.

7 Ibid., hlm 103-104.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 4: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

4

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik dan menuangkan

dalam penelitihan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap

pembatalan Akta Otentik Sebagai Akta Pengakuan Hutang (Studi Kasus

Putusan No.: 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel)”

II. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka peneliti

merumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan akta pengakuan hutang dianggap menjadi akta otentik?

2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menentukan pembuktian

pembatalan akta pengakuan hutang sebagai akta otentik sesuai dengan syarat

no. 1 tesebut diatas dalam pemeriksaan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan pada perkara dalam putusan No. : 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel?

3. Apa akibat hukum dari batalan akta pengakuan hutang tersebut sebagai akta

otentik?

III. Pembahasan

Pengertian perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”.8 R. Subekti,

mengemukakan pendapatnya tentang pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa

dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan suatu hal9.

Sedang menurut Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi

Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah

suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri

8 Lihat Pasal 1313 KUHPerdata

9 Subekti, Op. Cit., hlm. 1.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 5: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

5

untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Menurut Abdul

Kadir Muhammad. Pengertian perjanjian terdapat beberapa unsur, yaitu :10

a. Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang;

b. Adanya persetujuan para pihak;

c. Adanya tujuan yang akan dicapai;

d. Adanya prestasi yang akan dicapai.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, dan syarat itu

diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:

1. Kesepakatan Para Pihak

Pengertian sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh

para pihak. Suatu kesepakatan kehendak terhadap suatu perjanjian dimulai dari

adanya unsur penawaran, (offer) oleh salah satu pihak dan diikuti dengan

penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lainnya.11

2. Kecakapan Untuk Sesuatu

Pasal 1330 KUHPerdata memberikan batasan orang-orang mana saja yang

dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dengan menyatakan

bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian, adalah:12

a) Anak yang belum dewasa;

b) Orang yang ditaruh di bawah pengampunan;

c) Orang perempuan dalam hal-hal ditetapkan Undang-undang dan semua

orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-

perjanjian tertentu.

Sehubungan dengan yang disebut pada point c di atas tidak berlaku dengan

keluarnya SEMA RI Nomor 3 Tahun 1963 yaitu bahwa seorang perempuan

bersuami atau berada dalam suatu ikatan perkawinan telah dapat melakukan

tindakan hukum dengan bebas serta sudah dibenarkan menghadap di

pengadilan walaupun tanpa izin suaminya. Wanita yang bersuami untuk

10

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hlm.

31

11 Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 35

12 Subekti, Opcit, hlm. 1.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 6: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

6

mengadakan suatu perjanjian, memerlukan izin tertulis dari suaminya (Pasal

108 KUHPerdata). Namun, seiring dengan perkembangan zaman ketentuan ini

tidak berlaku lagi dengan alasan sebagai berikut yaitu :13

Perkembangan

emansipasi wanita di zaman sekarang yang menempatkan posisi wanita sejajar

dengan pria; dari semula yang dimaksudkan KUHPerdata tentang

ketidakcakapan istri hanyalah dalam bidang hukum kekayaan saja, bukan

dalam bidang-bidang lainnya; dalam Pasal 31 UU Perkawinan No. 1 tahun

1974 disebutkan bahwa suami-istri mempunyai hak dan kedudukan seimbang,

dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

3. Suatu Hal Tertentu

Sebagai syarat yang ketiga untuk sahnya perjanjian adalah perjanjian itu harus

mengenai suatu hal yang tertentu. Artinya apa yang diperjanjikan sebagai hak-

hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan. Suatu

hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu

dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan merupakan objek perjanjian prestasi harus

tertentu jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau

ditetapkan. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian batal demi hukum.14

4. Suatu Sebab Yang Halal

Suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat untuk sahnya perjanjian sering

juga disebut dengan oorzaak (bahasa Belanda) dan causa (bahasa Latin) Sebab

adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong

orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan cause yang halal

dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang

menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan

sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang

akan dicapai oleh pihak-pihak.15

Menurut KUHPerdata syarat sahnya perjanjian terdiri dari empat syarat

yaitu : dua syarat pertama berupa kesepakatan dan kecakapan yang disebut

sebagai syarat subjektif karena mengenai pihak-pihak atau subjek yang terdapat

13

Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 70. 14

Abdulkadir Muhammad, Opcit, hlm. 94. 15

Ibid, hlm. 94.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 7: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

7

dalam perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu hal tertentu dan sebab

yang halal disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau

objek hukum yang dilakukan.16

Perbedaan antara dua syarat subjektif dan syarat

objektif terletak pada akibat hukum yang terjadi apabila syarat-syarat tersebut

tidak terpenuhi. Apabila suatu syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian tetap

mengikat kedua belah pihak, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk

meminta agar perjanjian dibatalkan. Perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif,

ialah perjanjian yang tanpa kesepakatan dan atau tanpa kecakapan. Sedangkan jika

syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum (van

rechtswege nietig), artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu kontrak

(perjanjian) dan tidak pernah ada suatu perikatan, sehingga dengan demikian tiada

dasar bagi para pihak untuk saling menuntut dimuka hakim.

Suatu perjanjian biasanya dituangkan dalam akta otentik atau akta di

bawah tangan. Disini yang akan kita bahas adalah mengenai mengenai akta

otentik yang dalam Pasal 1868 KUHPerdata disebutkan : ”Suatu akta otentik

ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,

dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di

tempat di mana akta dibuatnya.” Dengan demikian agar suatu akta memiliki

stempel otentisitas haruslah dipenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pasal ini,

yaitu;

a. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

c. Pejabat Umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus memiliki

wewenang untuk membuat akta tersebut.

Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akta otentik menurut

Pasal 1870 KUHPerdata atau Pasal 165 RIB (Pasal 285 RDS) suatu akta otentik

memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang

mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat

didalamnya, Akta otentik itu merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti

bahwa sesuatu yang ditulis dalam akta harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus

16

Subekti, Opcit, hlm. 17.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 8: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

8

dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan dan ia sudah tidak

memerlukan suatu bukti lain, dalam arti sudah tidak memerlukan suatu

penambahan pembuktian, ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan

sempurna.

Dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap akta notaris mempunyai tiga macam kekuatan

pembuktian, yaitu meliputi :17

1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijsracht).

Bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi

syarat – syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat diangap

sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Akta otentik membuktikan

sendiri keabsahannya atau seperti yang lazim disebut dalam bahasa latin : ”acta

publica probant sese ipsa”.

2. Kekuatan Pembuktian Formal (Formele Bewijskracht)

Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa

pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana

yang tercantum dalam akta tersebut dan selain dari itu, kebenaran dari apa

yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukannya dan

disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, maka

terjamin kebenaran/kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan

yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir

(comparanten), demikian juga tempat di mana akta itu dibuat dan sepanjang

mengenai akta partij, bahwa para pihak ada menerangkan seperti yang

diuraikan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu

sendiri hanya pasti antara pihak-pihak sendiri (demikian menurut pendapat

yang umum).

3. Kekuatan Pembuktian Material (Materiele Bewijskracht)

Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta

otentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari Notaris yang dicantumkan

dalam akta itu dan keterangan dari para pihak yang tercantum di dalamnya.

Tidak hanya kenyataan, bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan

17

R.Soegondo Notodisoerjo, Op.cit, Hlm 55

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 9: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

9

oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang

benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai

tanda bukti terhadap dirinya atau yang dinamakan ”preuve preconstituee”; akta

itu mempunyai kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian inilah

yang dimaksud dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang bunyinya :

”Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-

ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu

bukti yang sempurna tentang apa yang di muat di dalamnya.”

Pasal 1871 KUHPerdata yang bunyinya :

”Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna

tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai suatu penuturan belaka.

Selain sekadar apa yang dituturkan itu ada hubungan langsung dengan

pokok isi akta.”

Oleh karena suatu akta otentik merupakan suatu alat bukti yang sempurna

atau mutlak. Ada beberapa alasan sehingga akta otentik merupakan satu-satunya

alat bukti yang mempunyai nilai yang sangat tinggi dari alat bukti lainnya

termasuk akta dibawah tangan yaitu :18

1. Akta otentik merupakan alat bukti tertulis sebagaimana yang dmaksud dalam

pasal 1868 KUHPerdata, 164 RIB dan 283 RDS;

2. Akta otentik sejak semula sengaja dibuat sebagai alat bukti;

3. Akta otentik dibuat oleh dan dihadapan pejabat Negara yang ditunjuki

berdasarkan undang-undang;

4. Berdasarkan pasal 1870 KUHPerdata atau 165 RIB akta otentik memberikan

diantara pada pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari

mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya;

5. Akta otentik selain merupakan alat bukti sempurna, juga sebagai bukti yang

mengikat. Merupakan bukti yang sempurna dalam arti tidak memerlukan

sesuatu penambahan pembuktian. Sedangkan mengikat dalam arti bahwa apa

yang ditulis didalmnya harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus diangap

sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan.

18

Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 10: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

10

Penjelasan mengenai akta otentik diatur dalam KUHPerdata, yaitu Pasal

1868 KUHPerdata bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat

formal/syarat formil suatu akta otentik, yaitu : 19

a. Akta dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) Seorang Pejabat

Umum.

Pejabat umum tidak sama dengan pegawai negeri, meskipun pegawai negeri

mempunyai tugas untuk melayani umum, akan tetapi mereka bukan pejabat

umum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1868 KUHPerdata. Jadi, hanya

pajabat umum dalam arti Pasal 1868 KUHPerdata yang berhak membuat akta

otentik, yang bisa saja merupakan pegawai negeri, misalnya Pegawai Catatan

sipil. Pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris, notaris wajib menjunjung tinggi

martabat jabatannya. Otentisitas dari akta notaris bukan karena penetapan

undang-undang, akan tetapi karena dibuat oleh atau di hadapan seorang

pejabat umum. Dalam hal ini, otentisitas akta notaris bersumber dari Pasal 1

Peraturan Jabatan Notaris, di mana notaris dijadikan sebagai pejabat umum

sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut

memperoleh sifat akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868

KUHPerdata.

b. Akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang.

Dalam hal akta notaris, maka harus memenuhi ketentuan yang tercantum

dalam UUJN. Ketentuan mengenai sifat dan bentuk akta notaris dapat

ditemukan dalam Pasal 38 UUJN. Menurut UUJN, akta antara lain harus

dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum, dihadiri oleh saksi-saksi, disertai

pembacaan oleh notaris dan sesudahnya langsung ditandatangani dan

seterusnya. Penandatanganan adalah suatu fakta hukum yang menerangkan

suatu penyataan kemauan dari pembuat tanda tangan (penanda tangan) bahwa

ia dengan membubuhi tanda tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki

agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.

Dalam Undang-undang Jabatan Notaris pada Pasal 38 dinyatakan bahwa akta

yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris bentuknya yaitu :

19

Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, (Surabaya : Arkola,

2003), hlm. 148

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 11: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

11

1) Setiap akta notaris terdiri atas: Awal akta atau kepala akta; Badan akta;

dan Akhir atau penutup akta

2) Awal akta atau kepala akta memuat: Judul akta; Nomor akta; Jam, hari,

tanggal, bulan dan tahun; dan Nama lengkap dan kedudukan notaris.

3) Badan akta memuat: Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,

kewarganegaraan, pekerjaan jabatan, kedudukan, tempat tinggal para

penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; Keterangan mengenai

kedudukan bertindak menghadap. Isi akta yang merupakan kehendak dan

keinginan dari pada para pihak yang berkepentingan; dan Nama lengkap,

tempat dan tanggal lahir serta pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat

tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

4) Akhir atau penutup akta memuat: Uraian tentang pembacaan akta

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat

(7); Uraian tentang penandatangan dan tempat penandatangan atau

penerjemahan akta bila ada; Nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal

lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal tiap-tiap saksi

akta; dan Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam

pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa

penambahan, pencoretan atau penggantian.

c. Akta Otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang

Syarat ketiga adalah bahwa pejabatnya harus berwenang untuk maksud itu di

tempat akta tersebut dibuat. Berwenang ini khususnya menyangkut:

Jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya; hari dan tanggal pembuatan akta;

tempat di mana akta dibuat. Sedangkan berwenang disini, artinya adalah:

1) Seorang notaris diangkat oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri

Hukum dan HAM) dengan Surat Keputusan. Seorang notaris yang

meskipun sudah diangkat, tetapi belum disumpah cakap sebagai notaris,

tetapi belum berwenang membuat akta otentik. Demikian juga dengan

seorang notaris yang sedang cuti. Seorang notaris yang diskors sebagai

notaris dinyatakan tidak cakap (onbekwaam). Sering dijelaskan dalam

kuliah-kuliah “tidak cakap” mencakup seluruh kemampuan bertindak

sebagai notaris, sedang notaris tidak “tidak berwenang” hanya dalam

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 12: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

12

beberapa hal atau keadaan, misalnya bilda berada di daerah yang tidak

termasuk dalam wilayah kedudukannya. Bila seorang notaris berada di

luar wilayah kedudukannya dan ternyata membuat sebuak akta, maka ia

bersalah membuat pemalsuan material (materiele vervalsing).

2) Jenis akta yang dibuat oleh seorang notaris. Seorang notaris boleh

membuat semua akta dalam bidang notariat, tetapi dia tidak boleh

membuat berita acara pelanggaran lalu lintas atau keterangan kelakuan

baik, yang semuanya wewenang kepolisian, ia juga tidak boleh membuat

akta perkawinan, akta kematian, akta kelahiran (bukan akta kenal akte

van bekenheid) yang semuanya adalah wewenang pegawai catatan sipil.

3) Seorang notaris harus berwenang pada tanggal akta dibuat. Notaris yang

sudah diangkat, tetapi belum disumpah dan seorang notaris yang sedang

bercuti, tidak berwenang membuat akta otentik sampai penyumpahannya

dilaksanakan, cutinya berakhir atau cuti dihentikan atas permintaan

sendiri.

4) Notaris telah disebutkan diangkat oleh Menteri. Pengangkatan mana

dilakukan untuk suatu wilayah (propinsi – gewest). Pada jaman

penjajahan Belanda, tidak ada pembagian wilayah propinsi untuk daerah

di luar Jawa (sehingga namanya disebut residentie). Selain batas wilayah

ini, berlaku pula ketentuan kode etik bagi kalangan notaris sehingga

terdapat pembatasan wilayah kerja notaris. Notaris dalam menjalankan

jabatannya harus memiliki beberapa kewenangan sehingga akta yang

dibuatnya berlaku sebagai sebuah akta otentik.

Syarat berikutnyaa adalah mengenai syarat materill, suatu akte otentik

dalam pembuatannya terikat pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : Adanya

kesepakatan kedua belah pihak; kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;

adanya obyek yang diperjanjikan, dan adanya kausa yang halal.

Mengenai Kebatalan dan Pembatalan Perikatan-perikatan diatur dalam

Buku III, bagian kedelapan, Bab IV (pasal 1446 – Pasal 1456 KUHPerdata).

Istilah Pembatalan dan Kebatalan adalah dua hal yang berbeda, tapi dipergunakan

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 13: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

13

dengan alasan yang sama. Penerapan kedua istilah tersebut perlu dikaitkan dengan

istilah ‘batal demi hukum’ (nietig), merupakan istilah yang biasa dipergunakan

untuk menilai suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat objektif, yaitu suatu hal

tertentu dan sebab yang tidak dilarang, sedangkan istilah ‘dapat dibatalkan’ jika

suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif, yaitu sepakat dan kecakapan

untuk membuat suatu perikatan.20

Akta Notaris batal demi hukum atau mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta di bawah tangan terjadi karena tidak dipenuhinya syarat-syarat yang

sudah ditentukan menurut hukum tanpa perlu adanya tindakan hukum tertentu dari

yang bersangkutan yang berkepentingan, sehingga bersifat pasif.21

Istilah Pembatalan bersifat bersifat aktif, meskipun syarat-syarat

perjanjian telah dipenuhi, tapi para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut

berkehendak agar perjanjian yang dibuat tersebut tidak mengikat dirinya lagi

dengan alasan tertentu, baik atas dasar dasar kesepakatan atau dengan jalan

mengajukan gugatan ke Pengadilan umum, misalnya para pihak telah sepakat

untuk membatalkan akta yang pernah dibuatnya atau ada aspek formal akta yang

tidak dipenuhi yang tidak diketahui sebelumnya dan ingin dibatalkan.22

Berdasarkan uraian tersebut, Kebatalan akta Notaris meliputi :

1. Dapat dibatalkan

Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUH Perdata mengenai

kebebasan berkontrak, dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum

kepada para pihak.23

Jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak

yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subyektif, maka atas

permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan.

2. Batal demi hukum

20

Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung : Refika Aditama,

2011), hlm.64-65

21 Ibid., hlm. 67.

22 Ibid.

23 Ibid., hlm. 68.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 14: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

14

Seperti halnya perjanjian, suatu akta notaris dapat menjadi batal demi hukum

apabila tidak terpenuhinya unsur obyektif suatu perjanjian, yaitu objek

tertentu dan sebab yang halal. Mengenai perjanjian harus mempunyai objek

tertentu di tegaskan dalam pasal 1333 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian

harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan

jenisnya yang di kemudian hari jumlah (barang) tersebut dapat ditentukan

atau dihitung. Dengan demikian suatu perjanjian batal demi hukum, jika :

a. Tidak mempunyai objek tertentu yang dapat ditentukan.

b. Mempunyai sebab yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan

dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

3. Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Pasal 1869 KUH Perdata menentukan batasan akta notaris yang mempunyai

kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi apabila

memenuhi ketetentuan karena :24

a. tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau

b. tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau

c. cacat dalam bentuknya, meskipun demikian akta seperti itu tetap

mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan jika akta

tersebut ditanda tangani oleh kedua belah pihak.

Sedangkan Pembatalan Akta Notaris meliputi :

1. Dibatalkan oleh para pihak sendiri

Akta notaris merupakan keinginan para pihak yang datang menghadap

notaris, tanpa adanya keinginan tersebut, akta notaris tidak akan pernah

dibuat. Isi akta yang bersangkutan merupakan kehendak para pihak bukan

kehendak notaries. Jika akta notaris yang berangkutan dirasakan oleh para

pihak tidak mencapai tujuan yang diinginkannya atau harus diubah sesuai

keadaaan, maka para pihak secara bersama-sama dan sepakat datang ke

hadapan notaris untuk membatalkan isi akta yang bersangkutan. Jika para

pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan atau mereka

bersengketa, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya ke pengadilan

24

Habib Adjie, Kebatalan dan pembatalan Akta Notaris, Op. Cit., hlm. 81

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 15: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

15

umum untuk membatalkan isi akta yang bersangkutan agar tidak mengikat

lagi. Bahwa yang dibatalkan oleh para pihak, baik karena sepakat ataupun

melalui putusan pengadilan adalah isi akta, karena isi akta merupakan

kehendak para pihak, aspek formal akta notaris merupakan tanggung jawab

notaris, yang juga dapat dibatalkan oleh para pihak jika dapat dibuktikan

melalui putusan pengadilan.25

2. Dibuktikan dengan asas praduga sah

Notaris sebagai Pejabat Publik yang mempunyai kewenangan tertentu

sebagaimana tersebut dalam pasal 15 UUJN, yang dalam kewenangannya ,

maka akta Notaris mengikat atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta

tersebut. Jika dalam pembuatan akta Notaris semua ketentuan telah dipenuhi,

seperti :

a. Notaris berwenang untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para

pihak;

b. Secara lahiriah, formal dan materiil telah sesuai dengan aturan hukum

tentang pembuatan akta Notaris, maka akta notaris tersbut harus dianggap

sah.

Asas praduga sah ini berlaku, dengan ketentuan jika atas akta Notaris tersebut

tidak pernah diajukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada

pengadilan umum negeri dan telah ada putusan pengadilan umum yng telah

mempunyai kekuatan hukum tetap atau akta notaris tidak mempunyai

kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau tidak batal demi

hukum atau tidak dibatalkan oleh para pihak sendiri. Dengan demikian

penerapan Asas Praduga Sah untuk akta notaris dilakukan secara terbatas, jika

ketentuan sebagaimana tersebut di atas telah dipenuhi.26

ANALISA

25

Ibid., hlm. 85.

26 Ibid., hlm. 87

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 16: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

16

Perkara Perdata No.384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel., adalah mengenai gugatan

pembatalan akta pengakuan hutang, dimana para pihak adalah antara lain:

Penggugat adalah bernama Nugraha Nurtjahja Tirtanata melawan Tergugat I yaitu

PT. Bank Asta, yaitu bank dimana ayah Penggugat merupakan salah satu

pemegang sahamnya. Tergugat II adalah /PT. Ramako Baru, yang merupakan

pemilik saham terbaru dari Tergugat I setelah ditunjuk oleh Bank Indonesia (BI).

Tergugat III adalah H. Bambang Nuryatno Rachmadi selaku pemegang saham

dari Tergugat II dan Tergugat I. Turut Tergugat I adalah adalah H. Abu Jusuf,

SH., selaku notaris yang membuatkan akta pengakuan hutang no. 2 tertanggal 1

April 1996, yaitu dimana Penggugat mengakui dengan secara sadar dan tanpa

paksaan atas hutang-hutang Penggugat terhadap Tergugat I. sedangkan Turut

Tergugat II adalah Ny. Endang Sugiharti Antariksa, SH., selaku notaris yang

membuatkan akta perjanjian no. 2 tertanggal 7 Mei 1997, yaitu perjanjian antara

Penggugat kepada Tergugat I, II, dan III untuk melunasi pembayaran atas hutang-

hutang yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang no. 2 tertanggal 1 April

1996 tersebut. Tetapi perlu diketahui bahwa penggugat adalah anak dari Darma

Sentosa selaku salah sattu pemegang saham Tergugat I.

Sebelum manajemen dan saham Tergugat I dipegang oleh Tergugat II dan

III banyak terjadi transaksi perbankan yang tidak jelas sehingga mengakibatkaan

kerugian pada Tergugat I. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia,

Tergugat I dinyatakan dalam keadaan tidak sehat (rugi) dan agar Tergugat I tetap

berdiri (tidak dilikuidasi) maka Bank Indonesia menyarankan agar Tergugat I

mencari pihak yang bertanggungjawab. Selanjutnya atas dasar arahan tersebut

maka Tergugat I menunjuk Penggugat sebagai pihak yang bertanggungjawab

karena Penggugat berhutang kepada Tergugat I sebesar Rp. 67 M yang

mengatasnamakan tiga perusahaan miliknya yaitu PT. Wahyu Tatawasana, PT.

Anugrah Indrapuramas, PT. Tirtanata dalam bentuk transaksi obligasi, sertifikat

deposito, promissory notes, commercial papper, penempatan pada perusahaan

multi finance serta pemberian kredit pada Penggugat.

Atas dasar tersebut selanjutnya Tergugat I meminta Kepada Penggugat

untuk membuat akte pengakuan hutang di hadapan notaris yang menyatakan

bahwa Penggugat berhutang kepada Tergugat I sebesar Rp 67M Permintaan

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 17: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

17

tersebut dipenuhi oleh Penggugat yang dibuat dalam akta no. 2 tanggal 1 April

1996 dibuat di hadapan Notaris H. Abu Jusuf, SH. (Turut Tergugat I).

Agar Tegugat I menjadi sehat kembali, lalu BI menunjuk Bank IFI selaku

bank yang sehat yang sahamnya dimiliki oleh PT. Ramako Baru (Tergugat II) dan

Bambang N. Rachmadi (Tergugat III) untuk mengakusisi Tergugat I agar menjadi

sehat kembali. Setelah Tergugat II dan III masuk dalam manajemen dan

pemegang saham mayoritas, untuk menindaklanjuti akte pengakuan hutang

tersebut maka Tergugat II dan III meminta kepada Penggugat untuk membuat akta

perjanjian pelunasan no. 2 tertanggal 7 Mei 1997 yang dibuat dihadapan Notaris

Endang Antariksa, SH. (Turut Tergugat II). Akta yang kedua ini merupakan

kelanjutan atas Akta Pengakuan Hutang No. 2 tanggal 1 April 1996.

Bahwa setelah sekian lama kurang lebih 12 tahun lamanya, karena Bank

IFI mengalami kondisi menuju tidak sehat, meminta dan menagih piutangnya

terhadap Penggugat, tetapi Penggugat tidak mengacuhkan dan malah

mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum untuk membatalkan kedua akte

otentik tersebut dengan alasan adanya perbuatan melawan hukum berupa

penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan akte tersebut yang dilakukan oleh

Tergugat I, II dan III27

.

Dalam gugatannya, Penggugat tidak menjelaskan secara jelas dan nyata

unsur penyalahgunaan apa yang dilakukan oleh Tergugat I, II dan III kepada

Penggugat hingga mengakibatkan Penggugat membuat pengakuan hutang dan

akta perjanjian, dilain pihak Tergugat I, II dan III ternyata tidak dapat

membuktikan mengenai bukti-bukti transaksi antara Penggugat dan Tergugat I

sebagaimana disebutkan dalam akta pengakuan hutang. Berdasarkan hasil

persidangan, majelis hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan

putusan yang mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan bahwa Tergugat

I, II dan III telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga akte otentik

tersebut cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum (buiten effect

stellen). Dalam putusan tersebut majelis hakim tidak menjelaskan unsur perbuatan

hukum apa yang dilakukan oleh Tergugat I, II dan III akan tetapi majelis hakim

27

Data diperoleh dari hasil wawancara penbulis dengan Kuasa Hukum Tergugat II dan

Tergugat III, Bapak Hamzah Fansyuri, SH., pada hari Selasa, 8 Januari 2013.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 18: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

18

hanya menyatakan Tergugat I, II dan III tidak dapat membuktikan kebenaran

adanya transaksi hutang piutang antara Penggugat dengan Tergugat I sebagaimana

yang disebutkan dalam akte pengakuan hutang tersebut sehingga kedua akte

tersebut dianggap cacat hukum dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menentukan suatu akta

apakah merupakan otentik atau tidak maka dapat dilihat dari dua syarat yaitu

syarat formil dan materiil. Menurut KUH Perdata, yaitu Pasal 1868 KUH Perdata

yang ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta

otentik, yaitu :

a. akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum

Berdasarkan hal tersebut jika dikaitkan dengan akta pengakuan hutang no 2

tertanggal 1 April 1996 dan akta perjanjian no. 2 tertanggal 7 Mei 1997 yang

dibuat dan ditandatangani secara sukarela oleh Penggugat di hadapan seorang

notaries. Hal ini dapat dibuktikan bahwa kedua akta tersebut dibuat dihadapan

seorang pejabat umum yaitu seorang notaris yang menurut undang-undang

jabatan notaris disebut sebagai pejabat umum sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 1 angka 1 UUJN. Dengan demikian maka syarat formil pertama berupa

harus dibuat oleh pejabat umum dalam kedua akta tersebut telah terpenuhi.

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

Syarat formil kedua adalah suatu akta dikatakan otentik harus dibuat dalam

bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang. Jika melihat kedua akta

yang menjadi objek sengketa, dapat diketahui bahwa kepala akta, badan akta

dan akhir atau penutup akta pada kedua akta yang menjadi objek pembatalan

isi dan bentuknya telah memenuhi ketentuann sebagaimana diatur dalam

Pasal 38 UUJN. Selain sudah diangkat oleh Menteri Hukum dan

Ham/disumpah, tidak dalam masa cuti dan diskorsing, mengenai territorial

juga menjadi dasar berwenang atau tidaknya notaris untuk membuat akta

karena seorang notaries tidak dapat membuat akta diluar kewenangan

teritorialnya. Para pihak yang membuat akta pengakuan hutang dan perjanjian

berkedudukan di Jakarta dan notaris yang membuat kedua akta tersebut juga

mempunyai kewenangan praktek diwilayah Jakarta sesuai kewenangannya

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 19: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

19

yang diberikan oleh Menteri Hukum dan Ham. Dengan demikian maka tidak

ada pelanggaran terhadap kewenangan territorial.

c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus memiliki kuasa

atau wewenang untuk membuat akta tersebut.

Syarat formil selanjutnya dalam ketentuan undang-undang yaitu bahwa akta

dikatakan otentik jika dibuat oleh pejabat yang berwenang. Kedua akta yang

menjadi objek sengketa adalah akta yang dibuat dihadapan seorang notaris

yang berkedudukan di Jakarta. Bahwa notaris yang membuat kedua akta yang

menjadi objek pembatalan telah telah diangkat dan disumpah atau

mendapatkan SK dari Menteri Hukum dan Ham, notaris tersebut juga pada

saat pembuatan kedua akta tersebut tidak dalam masa cuti dan diskorsing

sehingga tetap mempunyai kewenangan membuat akta tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa kedua akta yaitu

akta pengakuan hutang dan akta perjanjian tersebut secara formil telah memenuhi

ketentuan yang diatur oleh undang-undang sehingga disebut sebagai akta otentik.

Mengenai syarat materill ini, suatu akta otentik dalam pembuatannya

terikat pada Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Melihat akta pengakuan hutang dan akta perjanjian yang dibuat oleh

Penggugat dan Tergugat merupakan akta yang dibuat dan ditandatangani di

hadapan notaris secara sukarela dan sesuai dengan ketentuan atau tata cara

pembuatan akta yang diatur dalam undang-undang yang berlaku, serta

pembuatan/penandatangan akta tersebut bukan karena paksaan Tergugat

maka unsur kesepakatan telah terpenuhi. Akan tetapi pada kenyataannya

Penggugat mengajukan gugatan pembatalan kedua akta tersebut dengan dalil

adanya paksaan dari Tergugat.

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

Dalam akta pengakuan hutang dan akta perjanjian yang menjadi objek

pembatalan dapat dilihat bahwa para pihak yang membuat akta tersebut

mempunyai akal sehat dan telah dewasa secara hukum sehingga dengan

demikian maka unsur kecakapan telah terpenuhi

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 20: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

20

3. Adanya Obyek

Dengan demikian maka jika melihat kedua akta yang menjadi objek

pembatalan dapat diketahui bahwa kedua akta tersebut telah memuat objek

yang jelas dimana akta pengakuan hutang objeknya adalah mengenai hutang

sebesar Rp. 67M dan dalam akta perjanjian objeknya adalah berupa waktu

pembayaran hutang sebesar Rp. 67M. Dengan demikian maka kedua akta

tersebut telah memenuhi unsur ketiga syarat sahnya perjanjian.

4. Adanya kausa yang halal.

Dalam pembuatan kedua akta yng menjadi objek pembatalan ternyata tidak

terdapat hal-hal yang melanggar undang-undang maupun kesusilaan dan

ketertiban umum.

Berdasarkan uraian mengenai syarat-syarat materiil maka dapat diambil

kesimpulan bahwa kedua akta tersebut telah memenuhi syarat materiil yang diatur

dalam Pasal 1320 KUHPerdata sehingga dapat disebut sebagai akta otentik.

Dalam pembahasan di atas telah diuraikan bahwa kedua akta yang menjadi

objek sengketa telah memenuhi syarat sebagai akta otentik. meskipun telah

menjadi akta otentik, akan tetapi bukan berarti bahwa akta tersebut tidak dapat

diajukan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh adanya akta otentik

tersebut. Hal ini terjadi dalam perkara No. 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel. dimana

kedua akta tersebut dibatalkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan karena ada unsur perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta

otentik tersebut sehingga akta otentik tersebut dinyatakan cacat hukum.

Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat untuk membatalkan

kedua akta otentik dengan dalil bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan

melawan hukum berupa penyalahgunaan keadaan (paksaan/tekanan) kepada

Penggugat agar Penggugat bersedia membuat kedua akta otentik yaitu Akta

Pengakuan hutang No. 2 tanggal 1 April 1996 dan Akta Perjanjian No. 2 tanggal 7

Mei 1997. Bahwa dalil yang digunakan untuk membatalkan kedua akta otentik

tersebut adalah dalil perbuatan melawan hukum.

Dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi tiap perbuatan melanggar

hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 21: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

21

karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Unsur-

unsur yang terkandung di dalam Pasal 1365 KUH Perdata mengenai Perbuatan

Melawan Hukum (onrechtmatige daad), mengandung 4 (empat) unsur yaitu :

a) Harus adanya perbuatan

Mengenai unsur perbuatan ini diartikan luas, meliputi juga tidak berbuat

kalau orang itu seharusnya wajib berbuat, jadi tidak saja perbuatan negatifnya

di sini adalah bersifat aktif tidak pasif, artinya orang yang diam saja dengan

sadar bahwa ia dengan berdiam saja adalah melanggar hukum, dapat

dikatakan bahwa ia melakukan perbuatan melanggar hukum.

b) Perbuatan itu melanggar hukum

Definisi dari perbuatan melawan hukum sangatlah luas dan mengalami

riwayat yang panjang penafsirannya, diartikan sangatlah luas sehingga

meliputi segala sesuatu yang bertentangan dengan kepatuhan dan kesusilaan.

c) Harus ada kerugian bagi orang lain

Bahwa perbuatan yang melanggar hukum itu harus menimbulkan kerugian

bagi orang lain, sehingga harus ada causa atau sebab akibat antara perbuatan

yang timbul. Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat

agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat dipergunakan.

Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian

materiil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping

kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial

yang juga akan dinilai dengan uang.

d) Adanya kesalahan dari si pembuat.

Ialah bila perbuatan melanggar hukum sebagai sebab yang menimbulkan

akibat kerugian itu sudah ada, barulah kita menginjak pada hal pertanggung

jawab si pembuat, karena tidak ada perbuatan melanggar hukum tanpa adanya

perbuatannya ini berhubungan dengan subjek itu, sampai pada unsur

kesalahan dari pihak pembuat perbuatan melanggar hukum.28

Menurut pandangan penulis, memang pada dasarnya hakim

mempunyai kewenangan untuk memutuskan batal atau tidaknya suatu akta otentik

28

Ibid, hlm.94

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 22: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

22

berdasarkan keyakinannya. Akan tetapi meskipun demikian seharusnya hakim

dalam menjatuhkan putusan harus bersikap independen dan objektif, dalam

gugatannya seperti yang sudah disampaikan di atas bahwa Penggugat tidak dapat

membuktikan penyalahgunaan keadaan apa yang dilakukan oleh Tergugat, dengan

demikian maka unsur perbuatan melawan hukum tidak terpenuhi karena pada

faktanya bahwa pembuatan akta tersebut didasarkan kepada persetujuan

Penggugat untuk membuat akta tersebut dan tidak ada undang-undang yang

dilanggar sebagaimana syarat formil dan materil suatu perjanjian/pernyataan yang

dituangkan dalam akta otentik.

Dasar pertimbangan hakim menyatakan akta tersebut cacat hukum

karena Tergugat tidak dapat membuktikan dokumen transaksi hutang-piutang

yang mendasari akta pengakuan hutang tersebut tidak dapat dipandang sebagai

unsur perbuatan melawan hukum. Seandainyapun jika memang benar-benar telah

terjadi unsur paksaan dalam proses pembuatan akta tersebut, Perlu diketahui

bahwa terdapat pengecualian, yaitu bahwa paksaan tidak dapat lagi menjadi alasan

pembatalan jika pihak yang dipaksa membenarkan baik secara tegas maupun

diam-diam atau jika telah dibiarkan lewat waktu (daluwarsa) sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 1327 KUHPerdata, maka seharusnya jika memang

Penggugat merasa dipaksa oleh Tergugat seharusnya telah melakukan gugatan

pembatalan sejak ditandatanganinya akta tersebut, akan tetapi kenapa Penggugat

diam dan baru mengajukan pembatalan setelah berjalan waktu 14 tahun lamanya.

Hal ini menurut penulis bahwa sikap diam Penggugat tersebut dapat dipandang

sebagai persetujuan/pembenaran isi akta tersebut dan bisa saj ditafsirkan telah

lewat waktu sehingga paksaan tidak dapat menjadi dasar pembatalan.

Bila dilihat dari bukti yang diajukan oleh Penggugat, pada saat Penggugat

ditahan, itu adalah terjadi setelah Akta Perjanjian no. 2 tertanggal 7 Mei 1997. Hal

ini berarti Penggugat sedang dalam masa proses pemidanaan pada saat

penandatanganan Akta Perjanjian No. 2 tertanggal 7 Mei 1997, tapi bukan berarti

Penggugat berada dalam paksaan, karena Akta Perjanjian No. 2 tertanggal 7 Mei

1997 tersebut merupakan kelanjutan dari akta Pengakuan Hutang No.2 tertanggal

1 April 1996 dimana Akta Perjanjian tersebut hanya menguatkan akta pengakuan

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 23: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

23

hutang sebelumnya dan memuat klausa untuk melunasi hutang-hutang yang sudah

ada pada akta Pengakuan Hutang No.2 tertanggal 1 April 1996 sebelumnya,

Menurut pendapat Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H., bahwa

proses pidana berupa perintah penagkapan dan penahanan polisi terhadap

Penguggat pada bulan Juli 1997, tidak serta-merta mengakibatkan bahwa Akta

Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996 dapat dibatalkan, karena akta

tersebut dibuat sebelum proses pidana tersebut terjadi. Sehingga unsur

penyalahgunaan keadaan tidak terpenuhi dalam proses pembuatan Akta

Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996. Adapun bila Penggugat ingin

membatalkan akta otentik maka yang dapat dibatalkan hanya Akta Perjanjian No.

2 tertanggal 7 Mei 1997, akan tetapi Akta Perjanjian No. 2 tertanggal 7 Mei 1997

merupakan penguatan Akta Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996,

sehingga tidak kemudian menghilangkan kewaiban Penggugat untuk

membayarkan hutang-hutangnya terhadap para tergugat.29

Menurut Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H, dari segi pembuktian,

hakim tidak dapat mengatakan bahwa beban pembuktian dalam putusan perkara

No. 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel adalah keliru, yang dalam pertimbangan

hakimnya bahwa beban pembuktian dibebankan lebih terhadap Para Tergugat,

padahal seharusnya Penggugatlah yang harus dapat membuktikan unsur paksaan

yang didalilkan olehnya. Maka dari itu hakim harus menganggap bahwa akta

notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dan hakim juga wajib

menerima bahwa kedua akta notaris tersebut sebagai alat bukti yang sempurna

kecuali Penggugat dalam perkara ini dapat membuktikan bahwa memang ada

unsur paksaan dalam pembuatan kedua akta tersebut.30

Dalam hal ini, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Akta

Pengakuan Hutang tersebut bukanlah merupakan kategori Perbuatan Melawan

Hukum. Maka dari itu Majelis Hakim tidak dapat mengatakan bahwa akta

29

Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H, selaku akademisi dan

ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang dilakukan pada tanggal 14 Januari

2013.

30 Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H, selaku akademisi

dan ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang dilakukan pada tanggal 14

Januari 2013.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 24: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

24

pengakuan hutang tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, karena

Penggugat telah melewati batas tenggang waktu untuk melakukan pembayaran

seperti yang telah dituangkan dalam Akta Perjanjian No 2. Tertanggal 7 Mei 1997

tersebut, dimana Penggugat bersedia melunasi hutang-hutangnya yang telah

diakuinya dalam Akta Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996

sebeluumnya. Dalam hal ini maka bisa dikategorikan bahwa Penggugat telah

melakukan wanprestasi karena ada hak Para Tergugat (Tergugat I, II dan III) yang

harus dibayarkan oleh Penggugat.

Dalam hal ini, akibat dari dibatalkannya kedua akta otentik tersebut,

maka Tergugat I, II dan III akan mengalami kerugian yang sangat besar, dan

apabila dana tersebut adalah merupakan dana pihak ketiga (nasabah/kreditornya)

maka berarti para tergugat tersebut juga ikut menanggung kerugian pihak ketiga

tersebut dan wajib menggantinya kepada pihak ketiga.

Kesimpulan

1. Bahwa suatu akta dikatakan otentik jika memenuhi syarat-syarat sebagaimana

ditentukan dalam undang-undang yaitu :

a. Syarat formil : akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat

Umum; akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-

undang; pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus

memiliki wewenang untuk membuat akta tersebut;

b. Syarat materiil : memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu

adanya kesepakatan para pihak, kecakapanpara pihak, suatu hal tertentu

(jelas objeknya) dan sebab yang halal.

2. Bahwa akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian :

a. Kekuatan pembuktian lahir : keterangan dalam akta otentik tersebut adalah benar

dan berlaku bagi terhadap setiap orang sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

b. Kekuatan pembuktian formal : tanggal dan tempat akta dibuat serta keaslian tanda

tangan dalam akta adalah benar dan berlaku kepada setiap orang sepanjang tidak

terbukti sebaliknya.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013

Page 25: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK …

25

c. Kekuatan pembuktian material : isi dari akta tersebut adalah benar dan berlaku bagi

setiap orang.

Dengan demikian berdasarkan hal tersebut maka akta otentik merupakan alat

bukti yang sempurna dan mengikat yang artinya bahwa bukti yang sempurna

dalam arti tidak harus didukung bukti lainnya, sedangkan mengikat dalam arti

bahwa apa yang ditulis didalamnya harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus

diangap benar kecuali dapat dibuktikan lain. Hakim wajib menganggap dan

menerima akta otentik (akta notaris) sebagai alat bukti yang sempurna

sepanjang pihak yang medalilkan bahwa akta tersebut cacat hukum dapat

membuktikan sebaliknya.

Penyalah gunaan keadaan dalam hal ini adanya unsur paksaan/tekanan pada

salah satu pihak dalam membuat akta otentik dapat menyebabkan akta tersebut

menjadi cacat hukum sehingga dapat diajukan pembatalan dipengadilan

terhadap akta tersebut.

3. Bahwa akibat pembatalan akta otentik oleh hakim karena adanya unsur

penyalah gunaan keadaan memberikan akibat hukum bahwa akta otentik

tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (buiten effect stellen) dan

mengikat para pihak sehingga dianggap tidak terjadi seperti yang disebutkan

dalam akta tersebut.

Saran

1. Bahwa bagi pihak yang merasa dirugikan karena adanya unsur paksaan/

tekanan dalam pembuatan akta otentik jika ingin mengajukan pembatalan

terhadap akta tersebut hendaknya diajukan secepat mungkin setelah dibuatnya

akta tersebut dan tidak menjalankan isi akta tersebut guna menghindari

ketentuan yang diatur dalam Pasal 1324 KUHPerdata;

2. Bahwa hakim yang memeriksa perkara pembatalan akta otentik hendaknya

dapat bertindak secara objektif dan independen dalam menjatuhkan putusan

terhadap perkara tersebut.

Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013