Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK
SEBAGAI AKTA PENGAKUAN HUTANG
(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN No.: 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel)
Oleh Rina Puspitasari
Mahasiswi FHUI Program Ext. (0806370412)
Latar Belakang Permasalahan
Negara Indonesia sebagai negara hukum, maka dalam menjalankan segala
kehidupan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku demi
terciptanya kepastian hukum dalam masyarakat. Untuk mendukung terciptanya
kepastian hukum dalam masyarakat maka diperlukan adanya aparatur hukum yang
mewujudkan penegakan hukum.
Hukum acara perdata juga disebut hukum acara perdata formil, yaitu
kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara-cara bagaimana
melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur
dalam hukum perdata materiil.1
Menurut Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Hakim mempunyai kewajiban untuk
mengadili seluruh gugatan dan dilarang menetapkan keputusan yang tidak diminta
atau mengabulkan lebih daripada apa yang dituntut (ultra petitum partium).
Putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi
gugatan yang diajukan, tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebahagian
saja, dan mengabdikan gugatan selebihnya. Oleh karena itu Hakim harus
menggunakan alat-alat yang diperlukan untuk membenarkan anggapannya
mengenai peristiwa yang bersangkutan. Pasal 137 HIR dan Pasal 163 RBg
menentukan bahwa pada umumnya kedua belah pihak yang saling berperkara
1 Retno Wulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, cet.10,
(Bandung : CV. Mandar Madju, 2005), hlm 1.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
2
dapat saling meminta satu dari yang lain supaya diserahkan kepada Hakim surat-
surat yang berada di tangan masing-masing agar pihak lawan mengetahui isinya2.
Dari kelima alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 164 HIR yaitu surat
atau bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah3. Maka alat bukti
yang paling penting adalah alat bukti tertulis terutama alat bukti tertulis otentik
yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu.
Diantara akta otentik yang sering dimajukan kepada Hakim sebagai alat bukti
dalam perkara perdata salah satunya adalah akta notaris4.
Sebagai akta otentik, akta notaris mempunyai kedudukan istimewa
dibandingkan dengan akta dibawah tangan. Akta notaris sebagai akta otentik
mempunyai dua macam kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian formil
dimana akta tersebut membuktikan bahwa para pihak telah menjelaskan apa yang
tertulis di dalam akta tersebut, dan kekuatan pembuktian materiil yaitu akta
tersebut membuktikan bahwa peristiwa yang tercantum dalam akta tersebut benar-
benar terjadi dan kekuatan mengikat keluar kepada pihak ketiga5.
Berdasarkan Pasal 165 HIR dan 285 Rbg akta notaris sebagai akta otentik
merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli waris dan orang-
orang yang mendapat hak daripadanya sehingga tidak diperlukan pembuktian lain.
Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal
5 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membedakan orang.”
Berdasarkan pengertian tersebut di atas apa yang dilakukan oleh hakim
dalam rangka memperoleh kepastian dan kebenaran peristiwa itu sendiri menurut
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH mempunyai beberapa pengertian, yaitu :6
1. Membuktikan dalam arti logis yaitu memberi kepastian yang bersifat mutlak,
karena berlaku bagi setiap orang hingga tidak memungkinkan adanya bukti
lawan.
2 Ibid., hlm 63.
3 Ibid, hlm 61.
4 Ibid., hlm 65.
5 Ibid., hlm 67.
6 Sudikno Mertokusumo, 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. hlm
3.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
3
2. Membuktikan. dalam, arti, konvensional, di. sinipun membuktikann berarti
juga memberikan kepastian, hanya saja kepastian yang nisbi atau relatif
sifatnya.
3. Membuktikan dalam arti yuridis, pembuktian di sini hanya beklaku bagi
pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka.
Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada
kebenaran mutlak, sebab ada kemungkinan jika pengakuan, kesaksian atau surat-
surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan maka dimungkinkan adanya bukti
lawan7. Surat akta ini ada dua macam pula yaitu surat akta otentik dan surat akta
dibawah tangan.
Hal ini mempunyai arti bahwa pada hakekatnya pengadilan dalam
melaksanakan setiap kegiatan mengadili harus sesuai dengan hukum yang
berlaku. Pengadilan juga memandang semua orang sama tanpa harus
membedakan derajat, pangkat maupun kedudukan orang tersebut.
Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dalam
Pasal 84 hanya menyebutkan bahwa suatu akta hanya mempunyai kekuatan
sebagai akta di bawah tangan atau menjadi batal demi hukum apabila akta tersebut
melanggar ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam pasal 84 UUJN tersebut,
dalam hal ini tidak disebutkan bahwa suatu akta notaris dapat dibatalkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, juga tidak menjelaskan bahwa akta PPAT dapat
dibatalkan. Berdasarkan hal tersebut dengan demikian Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UUJN Nomor 30 Tahun 2004, tidak
menyebutkan secara tegas mengenai adanya kewenangan Hakim untuk
menentukan keabsahan suatu akta notaris, namun dalam kenyataannya Hakim
sering membatalkan akta notaris. Hal tersebut dilakukan Hakim berdasarkan
adanya pendapat bahwa suatu akta notaris sebagai bentuk dari suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik dan sesuai dengan kepantasan yang
mengakibatkan Hakim boleh memperluas atau membatasi kewajiban para pihak
dalam perjanjian.
7 Ibid., hlm 103-104.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
4
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik dan menuangkan
dalam penelitihan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap
pembatalan Akta Otentik Sebagai Akta Pengakuan Hutang (Studi Kasus
Putusan No.: 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel)”
II. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka peneliti
merumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan akta pengakuan hutang dianggap menjadi akta otentik?
2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menentukan pembuktian
pembatalan akta pengakuan hutang sebagai akta otentik sesuai dengan syarat
no. 1 tesebut diatas dalam pemeriksaan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan pada perkara dalam putusan No. : 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel?
3. Apa akibat hukum dari batalan akta pengakuan hutang tersebut sebagai akta
otentik?
III. Pembahasan
Pengertian perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu :
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”.8 R. Subekti,
mengemukakan pendapatnya tentang pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal9.
Sedang menurut Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi
Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah
suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
8 Lihat Pasal 1313 KUHPerdata
9 Subekti, Op. Cit., hlm. 1.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
5
untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Menurut Abdul
Kadir Muhammad. Pengertian perjanjian terdapat beberapa unsur, yaitu :10
a. Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang;
b. Adanya persetujuan para pihak;
c. Adanya tujuan yang akan dicapai;
d. Adanya prestasi yang akan dicapai.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, dan syarat itu
diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:
1. Kesepakatan Para Pihak
Pengertian sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh
para pihak. Suatu kesepakatan kehendak terhadap suatu perjanjian dimulai dari
adanya unsur penawaran, (offer) oleh salah satu pihak dan diikuti dengan
penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lainnya.11
2. Kecakapan Untuk Sesuatu
Pasal 1330 KUHPerdata memberikan batasan orang-orang mana saja yang
dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dengan menyatakan
bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian, adalah:12
a) Anak yang belum dewasa;
b) Orang yang ditaruh di bawah pengampunan;
c) Orang perempuan dalam hal-hal ditetapkan Undang-undang dan semua
orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-
perjanjian tertentu.
Sehubungan dengan yang disebut pada point c di atas tidak berlaku dengan
keluarnya SEMA RI Nomor 3 Tahun 1963 yaitu bahwa seorang perempuan
bersuami atau berada dalam suatu ikatan perkawinan telah dapat melakukan
tindakan hukum dengan bebas serta sudah dibenarkan menghadap di
pengadilan walaupun tanpa izin suaminya. Wanita yang bersuami untuk
10
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hlm.
31
11 Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 35
12 Subekti, Opcit, hlm. 1.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
6
mengadakan suatu perjanjian, memerlukan izin tertulis dari suaminya (Pasal
108 KUHPerdata). Namun, seiring dengan perkembangan zaman ketentuan ini
tidak berlaku lagi dengan alasan sebagai berikut yaitu :13
Perkembangan
emansipasi wanita di zaman sekarang yang menempatkan posisi wanita sejajar
dengan pria; dari semula yang dimaksudkan KUHPerdata tentang
ketidakcakapan istri hanyalah dalam bidang hukum kekayaan saja, bukan
dalam bidang-bidang lainnya; dalam Pasal 31 UU Perkawinan No. 1 tahun
1974 disebutkan bahwa suami-istri mempunyai hak dan kedudukan seimbang,
dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
3. Suatu Hal Tertentu
Sebagai syarat yang ketiga untuk sahnya perjanjian adalah perjanjian itu harus
mengenai suatu hal yang tertentu. Artinya apa yang diperjanjikan sebagai hak-
hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan. Suatu
hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu
dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan merupakan objek perjanjian prestasi harus
tertentu jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau
ditetapkan. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian batal demi hukum.14
4. Suatu Sebab Yang Halal
Suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat untuk sahnya perjanjian sering
juga disebut dengan oorzaak (bahasa Belanda) dan causa (bahasa Latin) Sebab
adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong
orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan cause yang halal
dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang
menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan
sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang
akan dicapai oleh pihak-pihak.15
Menurut KUHPerdata syarat sahnya perjanjian terdiri dari empat syarat
yaitu : dua syarat pertama berupa kesepakatan dan kecakapan yang disebut
sebagai syarat subjektif karena mengenai pihak-pihak atau subjek yang terdapat
13
Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 70. 14
Abdulkadir Muhammad, Opcit, hlm. 94. 15
Ibid, hlm. 94.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
7
dalam perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu hal tertentu dan sebab
yang halal disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau
objek hukum yang dilakukan.16
Perbedaan antara dua syarat subjektif dan syarat
objektif terletak pada akibat hukum yang terjadi apabila syarat-syarat tersebut
tidak terpenuhi. Apabila suatu syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian tetap
mengikat kedua belah pihak, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk
meminta agar perjanjian dibatalkan. Perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif,
ialah perjanjian yang tanpa kesepakatan dan atau tanpa kecakapan. Sedangkan jika
syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum (van
rechtswege nietig), artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu kontrak
(perjanjian) dan tidak pernah ada suatu perikatan, sehingga dengan demikian tiada
dasar bagi para pihak untuk saling menuntut dimuka hakim.
Suatu perjanjian biasanya dituangkan dalam akta otentik atau akta di
bawah tangan. Disini yang akan kita bahas adalah mengenai mengenai akta
otentik yang dalam Pasal 1868 KUHPerdata disebutkan : ”Suatu akta otentik
ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di
tempat di mana akta dibuatnya.” Dengan demikian agar suatu akta memiliki
stempel otentisitas haruslah dipenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pasal ini,
yaitu;
a. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
c. Pejabat Umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus memiliki
wewenang untuk membuat akta tersebut.
Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akta otentik menurut
Pasal 1870 KUHPerdata atau Pasal 165 RIB (Pasal 285 RDS) suatu akta otentik
memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang
mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat
didalamnya, Akta otentik itu merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti
bahwa sesuatu yang ditulis dalam akta harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus
16
Subekti, Opcit, hlm. 17.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
8
dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan dan ia sudah tidak
memerlukan suatu bukti lain, dalam arti sudah tidak memerlukan suatu
penambahan pembuktian, ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan
sempurna.
Dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap akta notaris mempunyai tiga macam kekuatan
pembuktian, yaitu meliputi :17
1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijsracht).
Bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi
syarat – syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat diangap
sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Akta otentik membuktikan
sendiri keabsahannya atau seperti yang lazim disebut dalam bahasa latin : ”acta
publica probant sese ipsa”.
2. Kekuatan Pembuktian Formal (Formele Bewijskracht)
Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa
pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana
yang tercantum dalam akta tersebut dan selain dari itu, kebenaran dari apa
yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukannya dan
disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, maka
terjamin kebenaran/kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan
yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir
(comparanten), demikian juga tempat di mana akta itu dibuat dan sepanjang
mengenai akta partij, bahwa para pihak ada menerangkan seperti yang
diuraikan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu
sendiri hanya pasti antara pihak-pihak sendiri (demikian menurut pendapat
yang umum).
3. Kekuatan Pembuktian Material (Materiele Bewijskracht)
Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta
otentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari Notaris yang dicantumkan
dalam akta itu dan keterangan dari para pihak yang tercantum di dalamnya.
Tidak hanya kenyataan, bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan
17
R.Soegondo Notodisoerjo, Op.cit, Hlm 55
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
9
oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang
benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai
tanda bukti terhadap dirinya atau yang dinamakan ”preuve preconstituee”; akta
itu mempunyai kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian inilah
yang dimaksud dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang bunyinya :
”Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-
ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu
bukti yang sempurna tentang apa yang di muat di dalamnya.”
Pasal 1871 KUHPerdata yang bunyinya :
”Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna
tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai suatu penuturan belaka.
Selain sekadar apa yang dituturkan itu ada hubungan langsung dengan
pokok isi akta.”
Oleh karena suatu akta otentik merupakan suatu alat bukti yang sempurna
atau mutlak. Ada beberapa alasan sehingga akta otentik merupakan satu-satunya
alat bukti yang mempunyai nilai yang sangat tinggi dari alat bukti lainnya
termasuk akta dibawah tangan yaitu :18
1. Akta otentik merupakan alat bukti tertulis sebagaimana yang dmaksud dalam
pasal 1868 KUHPerdata, 164 RIB dan 283 RDS;
2. Akta otentik sejak semula sengaja dibuat sebagai alat bukti;
3. Akta otentik dibuat oleh dan dihadapan pejabat Negara yang ditunjuki
berdasarkan undang-undang;
4. Berdasarkan pasal 1870 KUHPerdata atau 165 RIB akta otentik memberikan
diantara pada pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari
mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya;
5. Akta otentik selain merupakan alat bukti sempurna, juga sebagai bukti yang
mengikat. Merupakan bukti yang sempurna dalam arti tidak memerlukan
sesuatu penambahan pembuktian. Sedangkan mengikat dalam arti bahwa apa
yang ditulis didalmnya harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus diangap
sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan.
18
Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
10
Penjelasan mengenai akta otentik diatur dalam KUHPerdata, yaitu Pasal
1868 KUHPerdata bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat
formal/syarat formil suatu akta otentik, yaitu : 19
a. Akta dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) Seorang Pejabat
Umum.
Pejabat umum tidak sama dengan pegawai negeri, meskipun pegawai negeri
mempunyai tugas untuk melayani umum, akan tetapi mereka bukan pejabat
umum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1868 KUHPerdata. Jadi, hanya
pajabat umum dalam arti Pasal 1868 KUHPerdata yang berhak membuat akta
otentik, yang bisa saja merupakan pegawai negeri, misalnya Pegawai Catatan
sipil. Pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris, notaris wajib menjunjung tinggi
martabat jabatannya. Otentisitas dari akta notaris bukan karena penetapan
undang-undang, akan tetapi karena dibuat oleh atau di hadapan seorang
pejabat umum. Dalam hal ini, otentisitas akta notaris bersumber dari Pasal 1
Peraturan Jabatan Notaris, di mana notaris dijadikan sebagai pejabat umum
sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut
memperoleh sifat akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868
KUHPerdata.
b. Akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang.
Dalam hal akta notaris, maka harus memenuhi ketentuan yang tercantum
dalam UUJN. Ketentuan mengenai sifat dan bentuk akta notaris dapat
ditemukan dalam Pasal 38 UUJN. Menurut UUJN, akta antara lain harus
dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum, dihadiri oleh saksi-saksi, disertai
pembacaan oleh notaris dan sesudahnya langsung ditandatangani dan
seterusnya. Penandatanganan adalah suatu fakta hukum yang menerangkan
suatu penyataan kemauan dari pembuat tanda tangan (penanda tangan) bahwa
ia dengan membubuhi tanda tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki
agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.
Dalam Undang-undang Jabatan Notaris pada Pasal 38 dinyatakan bahwa akta
yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris bentuknya yaitu :
19
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, (Surabaya : Arkola,
2003), hlm. 148
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
11
1) Setiap akta notaris terdiri atas: Awal akta atau kepala akta; Badan akta;
dan Akhir atau penutup akta
2) Awal akta atau kepala akta memuat: Judul akta; Nomor akta; Jam, hari,
tanggal, bulan dan tahun; dan Nama lengkap dan kedudukan notaris.
3) Badan akta memuat: Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
kewarganegaraan, pekerjaan jabatan, kedudukan, tempat tinggal para
penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; Keterangan mengenai
kedudukan bertindak menghadap. Isi akta yang merupakan kehendak dan
keinginan dari pada para pihak yang berkepentingan; dan Nama lengkap,
tempat dan tanggal lahir serta pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat
tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
4) Akhir atau penutup akta memuat: Uraian tentang pembacaan akta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat
(7); Uraian tentang penandatangan dan tempat penandatangan atau
penerjemahan akta bila ada; Nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal
lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal tiap-tiap saksi
akta; dan Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam
pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa
penambahan, pencoretan atau penggantian.
c. Akta Otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang
Syarat ketiga adalah bahwa pejabatnya harus berwenang untuk maksud itu di
tempat akta tersebut dibuat. Berwenang ini khususnya menyangkut:
Jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya; hari dan tanggal pembuatan akta;
tempat di mana akta dibuat. Sedangkan berwenang disini, artinya adalah:
1) Seorang notaris diangkat oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri
Hukum dan HAM) dengan Surat Keputusan. Seorang notaris yang
meskipun sudah diangkat, tetapi belum disumpah cakap sebagai notaris,
tetapi belum berwenang membuat akta otentik. Demikian juga dengan
seorang notaris yang sedang cuti. Seorang notaris yang diskors sebagai
notaris dinyatakan tidak cakap (onbekwaam). Sering dijelaskan dalam
kuliah-kuliah “tidak cakap” mencakup seluruh kemampuan bertindak
sebagai notaris, sedang notaris tidak “tidak berwenang” hanya dalam
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
12
beberapa hal atau keadaan, misalnya bilda berada di daerah yang tidak
termasuk dalam wilayah kedudukannya. Bila seorang notaris berada di
luar wilayah kedudukannya dan ternyata membuat sebuak akta, maka ia
bersalah membuat pemalsuan material (materiele vervalsing).
2) Jenis akta yang dibuat oleh seorang notaris. Seorang notaris boleh
membuat semua akta dalam bidang notariat, tetapi dia tidak boleh
membuat berita acara pelanggaran lalu lintas atau keterangan kelakuan
baik, yang semuanya wewenang kepolisian, ia juga tidak boleh membuat
akta perkawinan, akta kematian, akta kelahiran (bukan akta kenal akte
van bekenheid) yang semuanya adalah wewenang pegawai catatan sipil.
3) Seorang notaris harus berwenang pada tanggal akta dibuat. Notaris yang
sudah diangkat, tetapi belum disumpah dan seorang notaris yang sedang
bercuti, tidak berwenang membuat akta otentik sampai penyumpahannya
dilaksanakan, cutinya berakhir atau cuti dihentikan atas permintaan
sendiri.
4) Notaris telah disebutkan diangkat oleh Menteri. Pengangkatan mana
dilakukan untuk suatu wilayah (propinsi – gewest). Pada jaman
penjajahan Belanda, tidak ada pembagian wilayah propinsi untuk daerah
di luar Jawa (sehingga namanya disebut residentie). Selain batas wilayah
ini, berlaku pula ketentuan kode etik bagi kalangan notaris sehingga
terdapat pembatasan wilayah kerja notaris. Notaris dalam menjalankan
jabatannya harus memiliki beberapa kewenangan sehingga akta yang
dibuatnya berlaku sebagai sebuah akta otentik.
Syarat berikutnyaa adalah mengenai syarat materill, suatu akte otentik
dalam pembuatannya terikat pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : Adanya
kesepakatan kedua belah pihak; kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;
adanya obyek yang diperjanjikan, dan adanya kausa yang halal.
Mengenai Kebatalan dan Pembatalan Perikatan-perikatan diatur dalam
Buku III, bagian kedelapan, Bab IV (pasal 1446 – Pasal 1456 KUHPerdata).
Istilah Pembatalan dan Kebatalan adalah dua hal yang berbeda, tapi dipergunakan
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
13
dengan alasan yang sama. Penerapan kedua istilah tersebut perlu dikaitkan dengan
istilah ‘batal demi hukum’ (nietig), merupakan istilah yang biasa dipergunakan
untuk menilai suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat objektif, yaitu suatu hal
tertentu dan sebab yang tidak dilarang, sedangkan istilah ‘dapat dibatalkan’ jika
suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif, yaitu sepakat dan kecakapan
untuk membuat suatu perikatan.20
Akta Notaris batal demi hukum atau mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan terjadi karena tidak dipenuhinya syarat-syarat yang
sudah ditentukan menurut hukum tanpa perlu adanya tindakan hukum tertentu dari
yang bersangkutan yang berkepentingan, sehingga bersifat pasif.21
Istilah Pembatalan bersifat bersifat aktif, meskipun syarat-syarat
perjanjian telah dipenuhi, tapi para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut
berkehendak agar perjanjian yang dibuat tersebut tidak mengikat dirinya lagi
dengan alasan tertentu, baik atas dasar dasar kesepakatan atau dengan jalan
mengajukan gugatan ke Pengadilan umum, misalnya para pihak telah sepakat
untuk membatalkan akta yang pernah dibuatnya atau ada aspek formal akta yang
tidak dipenuhi yang tidak diketahui sebelumnya dan ingin dibatalkan.22
Berdasarkan uraian tersebut, Kebatalan akta Notaris meliputi :
1. Dapat dibatalkan
Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUH Perdata mengenai
kebebasan berkontrak, dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum
kepada para pihak.23
Jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak
yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subyektif, maka atas
permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan.
2. Batal demi hukum
20
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung : Refika Aditama,
2011), hlm.64-65
21 Ibid., hlm. 67.
22 Ibid.
23 Ibid., hlm. 68.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
14
Seperti halnya perjanjian, suatu akta notaris dapat menjadi batal demi hukum
apabila tidak terpenuhinya unsur obyektif suatu perjanjian, yaitu objek
tertentu dan sebab yang halal. Mengenai perjanjian harus mempunyai objek
tertentu di tegaskan dalam pasal 1333 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian
harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya yang di kemudian hari jumlah (barang) tersebut dapat ditentukan
atau dihitung. Dengan demikian suatu perjanjian batal demi hukum, jika :
a. Tidak mempunyai objek tertentu yang dapat ditentukan.
b. Mempunyai sebab yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
3. Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Pasal 1869 KUH Perdata menentukan batasan akta notaris yang mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi apabila
memenuhi ketetentuan karena :24
a. tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau
b. tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau
c. cacat dalam bentuknya, meskipun demikian akta seperti itu tetap
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan jika akta
tersebut ditanda tangani oleh kedua belah pihak.
Sedangkan Pembatalan Akta Notaris meliputi :
1. Dibatalkan oleh para pihak sendiri
Akta notaris merupakan keinginan para pihak yang datang menghadap
notaris, tanpa adanya keinginan tersebut, akta notaris tidak akan pernah
dibuat. Isi akta yang bersangkutan merupakan kehendak para pihak bukan
kehendak notaries. Jika akta notaris yang berangkutan dirasakan oleh para
pihak tidak mencapai tujuan yang diinginkannya atau harus diubah sesuai
keadaaan, maka para pihak secara bersama-sama dan sepakat datang ke
hadapan notaris untuk membatalkan isi akta yang bersangkutan. Jika para
pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan atau mereka
bersengketa, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya ke pengadilan
24
Habib Adjie, Kebatalan dan pembatalan Akta Notaris, Op. Cit., hlm. 81
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
15
umum untuk membatalkan isi akta yang bersangkutan agar tidak mengikat
lagi. Bahwa yang dibatalkan oleh para pihak, baik karena sepakat ataupun
melalui putusan pengadilan adalah isi akta, karena isi akta merupakan
kehendak para pihak, aspek formal akta notaris merupakan tanggung jawab
notaris, yang juga dapat dibatalkan oleh para pihak jika dapat dibuktikan
melalui putusan pengadilan.25
2. Dibuktikan dengan asas praduga sah
Notaris sebagai Pejabat Publik yang mempunyai kewenangan tertentu
sebagaimana tersebut dalam pasal 15 UUJN, yang dalam kewenangannya ,
maka akta Notaris mengikat atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta
tersebut. Jika dalam pembuatan akta Notaris semua ketentuan telah dipenuhi,
seperti :
a. Notaris berwenang untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para
pihak;
b. Secara lahiriah, formal dan materiil telah sesuai dengan aturan hukum
tentang pembuatan akta Notaris, maka akta notaris tersbut harus dianggap
sah.
Asas praduga sah ini berlaku, dengan ketentuan jika atas akta Notaris tersebut
tidak pernah diajukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada
pengadilan umum negeri dan telah ada putusan pengadilan umum yng telah
mempunyai kekuatan hukum tetap atau akta notaris tidak mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau tidak batal demi
hukum atau tidak dibatalkan oleh para pihak sendiri. Dengan demikian
penerapan Asas Praduga Sah untuk akta notaris dilakukan secara terbatas, jika
ketentuan sebagaimana tersebut di atas telah dipenuhi.26
ANALISA
25
Ibid., hlm. 85.
26 Ibid., hlm. 87
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
16
Perkara Perdata No.384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel., adalah mengenai gugatan
pembatalan akta pengakuan hutang, dimana para pihak adalah antara lain:
Penggugat adalah bernama Nugraha Nurtjahja Tirtanata melawan Tergugat I yaitu
PT. Bank Asta, yaitu bank dimana ayah Penggugat merupakan salah satu
pemegang sahamnya. Tergugat II adalah /PT. Ramako Baru, yang merupakan
pemilik saham terbaru dari Tergugat I setelah ditunjuk oleh Bank Indonesia (BI).
Tergugat III adalah H. Bambang Nuryatno Rachmadi selaku pemegang saham
dari Tergugat II dan Tergugat I. Turut Tergugat I adalah adalah H. Abu Jusuf,
SH., selaku notaris yang membuatkan akta pengakuan hutang no. 2 tertanggal 1
April 1996, yaitu dimana Penggugat mengakui dengan secara sadar dan tanpa
paksaan atas hutang-hutang Penggugat terhadap Tergugat I. sedangkan Turut
Tergugat II adalah Ny. Endang Sugiharti Antariksa, SH., selaku notaris yang
membuatkan akta perjanjian no. 2 tertanggal 7 Mei 1997, yaitu perjanjian antara
Penggugat kepada Tergugat I, II, dan III untuk melunasi pembayaran atas hutang-
hutang yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang no. 2 tertanggal 1 April
1996 tersebut. Tetapi perlu diketahui bahwa penggugat adalah anak dari Darma
Sentosa selaku salah sattu pemegang saham Tergugat I.
Sebelum manajemen dan saham Tergugat I dipegang oleh Tergugat II dan
III banyak terjadi transaksi perbankan yang tidak jelas sehingga mengakibatkaan
kerugian pada Tergugat I. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia,
Tergugat I dinyatakan dalam keadaan tidak sehat (rugi) dan agar Tergugat I tetap
berdiri (tidak dilikuidasi) maka Bank Indonesia menyarankan agar Tergugat I
mencari pihak yang bertanggungjawab. Selanjutnya atas dasar arahan tersebut
maka Tergugat I menunjuk Penggugat sebagai pihak yang bertanggungjawab
karena Penggugat berhutang kepada Tergugat I sebesar Rp. 67 M yang
mengatasnamakan tiga perusahaan miliknya yaitu PT. Wahyu Tatawasana, PT.
Anugrah Indrapuramas, PT. Tirtanata dalam bentuk transaksi obligasi, sertifikat
deposito, promissory notes, commercial papper, penempatan pada perusahaan
multi finance serta pemberian kredit pada Penggugat.
Atas dasar tersebut selanjutnya Tergugat I meminta Kepada Penggugat
untuk membuat akte pengakuan hutang di hadapan notaris yang menyatakan
bahwa Penggugat berhutang kepada Tergugat I sebesar Rp 67M Permintaan
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
17
tersebut dipenuhi oleh Penggugat yang dibuat dalam akta no. 2 tanggal 1 April
1996 dibuat di hadapan Notaris H. Abu Jusuf, SH. (Turut Tergugat I).
Agar Tegugat I menjadi sehat kembali, lalu BI menunjuk Bank IFI selaku
bank yang sehat yang sahamnya dimiliki oleh PT. Ramako Baru (Tergugat II) dan
Bambang N. Rachmadi (Tergugat III) untuk mengakusisi Tergugat I agar menjadi
sehat kembali. Setelah Tergugat II dan III masuk dalam manajemen dan
pemegang saham mayoritas, untuk menindaklanjuti akte pengakuan hutang
tersebut maka Tergugat II dan III meminta kepada Penggugat untuk membuat akta
perjanjian pelunasan no. 2 tertanggal 7 Mei 1997 yang dibuat dihadapan Notaris
Endang Antariksa, SH. (Turut Tergugat II). Akta yang kedua ini merupakan
kelanjutan atas Akta Pengakuan Hutang No. 2 tanggal 1 April 1996.
Bahwa setelah sekian lama kurang lebih 12 tahun lamanya, karena Bank
IFI mengalami kondisi menuju tidak sehat, meminta dan menagih piutangnya
terhadap Penggugat, tetapi Penggugat tidak mengacuhkan dan malah
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum untuk membatalkan kedua akte
otentik tersebut dengan alasan adanya perbuatan melawan hukum berupa
penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan akte tersebut yang dilakukan oleh
Tergugat I, II dan III27
.
Dalam gugatannya, Penggugat tidak menjelaskan secara jelas dan nyata
unsur penyalahgunaan apa yang dilakukan oleh Tergugat I, II dan III kepada
Penggugat hingga mengakibatkan Penggugat membuat pengakuan hutang dan
akta perjanjian, dilain pihak Tergugat I, II dan III ternyata tidak dapat
membuktikan mengenai bukti-bukti transaksi antara Penggugat dan Tergugat I
sebagaimana disebutkan dalam akta pengakuan hutang. Berdasarkan hasil
persidangan, majelis hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan
putusan yang mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan bahwa Tergugat
I, II dan III telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga akte otentik
tersebut cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum (buiten effect
stellen). Dalam putusan tersebut majelis hakim tidak menjelaskan unsur perbuatan
hukum apa yang dilakukan oleh Tergugat I, II dan III akan tetapi majelis hakim
27
Data diperoleh dari hasil wawancara penbulis dengan Kuasa Hukum Tergugat II dan
Tergugat III, Bapak Hamzah Fansyuri, SH., pada hari Selasa, 8 Januari 2013.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
18
hanya menyatakan Tergugat I, II dan III tidak dapat membuktikan kebenaran
adanya transaksi hutang piutang antara Penggugat dengan Tergugat I sebagaimana
yang disebutkan dalam akte pengakuan hutang tersebut sehingga kedua akte
tersebut dianggap cacat hukum dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menentukan suatu akta
apakah merupakan otentik atau tidak maka dapat dilihat dari dua syarat yaitu
syarat formil dan materiil. Menurut KUH Perdata, yaitu Pasal 1868 KUH Perdata
yang ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta
otentik, yaitu :
a. akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum
Berdasarkan hal tersebut jika dikaitkan dengan akta pengakuan hutang no 2
tertanggal 1 April 1996 dan akta perjanjian no. 2 tertanggal 7 Mei 1997 yang
dibuat dan ditandatangani secara sukarela oleh Penggugat di hadapan seorang
notaries. Hal ini dapat dibuktikan bahwa kedua akta tersebut dibuat dihadapan
seorang pejabat umum yaitu seorang notaris yang menurut undang-undang
jabatan notaris disebut sebagai pejabat umum sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1 angka 1 UUJN. Dengan demikian maka syarat formil pertama berupa
harus dibuat oleh pejabat umum dalam kedua akta tersebut telah terpenuhi.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
Syarat formil kedua adalah suatu akta dikatakan otentik harus dibuat dalam
bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang. Jika melihat kedua akta
yang menjadi objek sengketa, dapat diketahui bahwa kepala akta, badan akta
dan akhir atau penutup akta pada kedua akta yang menjadi objek pembatalan
isi dan bentuknya telah memenuhi ketentuann sebagaimana diatur dalam
Pasal 38 UUJN. Selain sudah diangkat oleh Menteri Hukum dan
Ham/disumpah, tidak dalam masa cuti dan diskorsing, mengenai territorial
juga menjadi dasar berwenang atau tidaknya notaris untuk membuat akta
karena seorang notaries tidak dapat membuat akta diluar kewenangan
teritorialnya. Para pihak yang membuat akta pengakuan hutang dan perjanjian
berkedudukan di Jakarta dan notaris yang membuat kedua akta tersebut juga
mempunyai kewenangan praktek diwilayah Jakarta sesuai kewenangannya
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
19
yang diberikan oleh Menteri Hukum dan Ham. Dengan demikian maka tidak
ada pelanggaran terhadap kewenangan territorial.
c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus memiliki kuasa
atau wewenang untuk membuat akta tersebut.
Syarat formil selanjutnya dalam ketentuan undang-undang yaitu bahwa akta
dikatakan otentik jika dibuat oleh pejabat yang berwenang. Kedua akta yang
menjadi objek sengketa adalah akta yang dibuat dihadapan seorang notaris
yang berkedudukan di Jakarta. Bahwa notaris yang membuat kedua akta yang
menjadi objek pembatalan telah telah diangkat dan disumpah atau
mendapatkan SK dari Menteri Hukum dan Ham, notaris tersebut juga pada
saat pembuatan kedua akta tersebut tidak dalam masa cuti dan diskorsing
sehingga tetap mempunyai kewenangan membuat akta tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa kedua akta yaitu
akta pengakuan hutang dan akta perjanjian tersebut secara formil telah memenuhi
ketentuan yang diatur oleh undang-undang sehingga disebut sebagai akta otentik.
Mengenai syarat materill ini, suatu akta otentik dalam pembuatannya
terikat pada Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Melihat akta pengakuan hutang dan akta perjanjian yang dibuat oleh
Penggugat dan Tergugat merupakan akta yang dibuat dan ditandatangani di
hadapan notaris secara sukarela dan sesuai dengan ketentuan atau tata cara
pembuatan akta yang diatur dalam undang-undang yang berlaku, serta
pembuatan/penandatangan akta tersebut bukan karena paksaan Tergugat
maka unsur kesepakatan telah terpenuhi. Akan tetapi pada kenyataannya
Penggugat mengajukan gugatan pembatalan kedua akta tersebut dengan dalil
adanya paksaan dari Tergugat.
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Dalam akta pengakuan hutang dan akta perjanjian yang menjadi objek
pembatalan dapat dilihat bahwa para pihak yang membuat akta tersebut
mempunyai akal sehat dan telah dewasa secara hukum sehingga dengan
demikian maka unsur kecakapan telah terpenuhi
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
20
3. Adanya Obyek
Dengan demikian maka jika melihat kedua akta yang menjadi objek
pembatalan dapat diketahui bahwa kedua akta tersebut telah memuat objek
yang jelas dimana akta pengakuan hutang objeknya adalah mengenai hutang
sebesar Rp. 67M dan dalam akta perjanjian objeknya adalah berupa waktu
pembayaran hutang sebesar Rp. 67M. Dengan demikian maka kedua akta
tersebut telah memenuhi unsur ketiga syarat sahnya perjanjian.
4. Adanya kausa yang halal.
Dalam pembuatan kedua akta yng menjadi objek pembatalan ternyata tidak
terdapat hal-hal yang melanggar undang-undang maupun kesusilaan dan
ketertiban umum.
Berdasarkan uraian mengenai syarat-syarat materiil maka dapat diambil
kesimpulan bahwa kedua akta tersebut telah memenuhi syarat materiil yang diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata sehingga dapat disebut sebagai akta otentik.
Dalam pembahasan di atas telah diuraikan bahwa kedua akta yang menjadi
objek sengketa telah memenuhi syarat sebagai akta otentik. meskipun telah
menjadi akta otentik, akan tetapi bukan berarti bahwa akta tersebut tidak dapat
diajukan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh adanya akta otentik
tersebut. Hal ini terjadi dalam perkara No. 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel. dimana
kedua akta tersebut dibatalkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan karena ada unsur perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta
otentik tersebut sehingga akta otentik tersebut dinyatakan cacat hukum.
Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat untuk membatalkan
kedua akta otentik dengan dalil bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan
melawan hukum berupa penyalahgunaan keadaan (paksaan/tekanan) kepada
Penggugat agar Penggugat bersedia membuat kedua akta otentik yaitu Akta
Pengakuan hutang No. 2 tanggal 1 April 1996 dan Akta Perjanjian No. 2 tanggal 7
Mei 1997. Bahwa dalil yang digunakan untuk membatalkan kedua akta otentik
tersebut adalah dalil perbuatan melawan hukum.
Dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
21
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Unsur-
unsur yang terkandung di dalam Pasal 1365 KUH Perdata mengenai Perbuatan
Melawan Hukum (onrechtmatige daad), mengandung 4 (empat) unsur yaitu :
a) Harus adanya perbuatan
Mengenai unsur perbuatan ini diartikan luas, meliputi juga tidak berbuat
kalau orang itu seharusnya wajib berbuat, jadi tidak saja perbuatan negatifnya
di sini adalah bersifat aktif tidak pasif, artinya orang yang diam saja dengan
sadar bahwa ia dengan berdiam saja adalah melanggar hukum, dapat
dikatakan bahwa ia melakukan perbuatan melanggar hukum.
b) Perbuatan itu melanggar hukum
Definisi dari perbuatan melawan hukum sangatlah luas dan mengalami
riwayat yang panjang penafsirannya, diartikan sangatlah luas sehingga
meliputi segala sesuatu yang bertentangan dengan kepatuhan dan kesusilaan.
c) Harus ada kerugian bagi orang lain
Bahwa perbuatan yang melanggar hukum itu harus menimbulkan kerugian
bagi orang lain, sehingga harus ada causa atau sebab akibat antara perbuatan
yang timbul. Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat
agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat dipergunakan.
Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian
materiil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping
kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial
yang juga akan dinilai dengan uang.
d) Adanya kesalahan dari si pembuat.
Ialah bila perbuatan melanggar hukum sebagai sebab yang menimbulkan
akibat kerugian itu sudah ada, barulah kita menginjak pada hal pertanggung
jawab si pembuat, karena tidak ada perbuatan melanggar hukum tanpa adanya
perbuatannya ini berhubungan dengan subjek itu, sampai pada unsur
kesalahan dari pihak pembuat perbuatan melanggar hukum.28
Menurut pandangan penulis, memang pada dasarnya hakim
mempunyai kewenangan untuk memutuskan batal atau tidaknya suatu akta otentik
28
Ibid, hlm.94
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
22
berdasarkan keyakinannya. Akan tetapi meskipun demikian seharusnya hakim
dalam menjatuhkan putusan harus bersikap independen dan objektif, dalam
gugatannya seperti yang sudah disampaikan di atas bahwa Penggugat tidak dapat
membuktikan penyalahgunaan keadaan apa yang dilakukan oleh Tergugat, dengan
demikian maka unsur perbuatan melawan hukum tidak terpenuhi karena pada
faktanya bahwa pembuatan akta tersebut didasarkan kepada persetujuan
Penggugat untuk membuat akta tersebut dan tidak ada undang-undang yang
dilanggar sebagaimana syarat formil dan materil suatu perjanjian/pernyataan yang
dituangkan dalam akta otentik.
Dasar pertimbangan hakim menyatakan akta tersebut cacat hukum
karena Tergugat tidak dapat membuktikan dokumen transaksi hutang-piutang
yang mendasari akta pengakuan hutang tersebut tidak dapat dipandang sebagai
unsur perbuatan melawan hukum. Seandainyapun jika memang benar-benar telah
terjadi unsur paksaan dalam proses pembuatan akta tersebut, Perlu diketahui
bahwa terdapat pengecualian, yaitu bahwa paksaan tidak dapat lagi menjadi alasan
pembatalan jika pihak yang dipaksa membenarkan baik secara tegas maupun
diam-diam atau jika telah dibiarkan lewat waktu (daluwarsa) sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1327 KUHPerdata, maka seharusnya jika memang
Penggugat merasa dipaksa oleh Tergugat seharusnya telah melakukan gugatan
pembatalan sejak ditandatanganinya akta tersebut, akan tetapi kenapa Penggugat
diam dan baru mengajukan pembatalan setelah berjalan waktu 14 tahun lamanya.
Hal ini menurut penulis bahwa sikap diam Penggugat tersebut dapat dipandang
sebagai persetujuan/pembenaran isi akta tersebut dan bisa saj ditafsirkan telah
lewat waktu sehingga paksaan tidak dapat menjadi dasar pembatalan.
Bila dilihat dari bukti yang diajukan oleh Penggugat, pada saat Penggugat
ditahan, itu adalah terjadi setelah Akta Perjanjian no. 2 tertanggal 7 Mei 1997. Hal
ini berarti Penggugat sedang dalam masa proses pemidanaan pada saat
penandatanganan Akta Perjanjian No. 2 tertanggal 7 Mei 1997, tapi bukan berarti
Penggugat berada dalam paksaan, karena Akta Perjanjian No. 2 tertanggal 7 Mei
1997 tersebut merupakan kelanjutan dari akta Pengakuan Hutang No.2 tertanggal
1 April 1996 dimana Akta Perjanjian tersebut hanya menguatkan akta pengakuan
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
23
hutang sebelumnya dan memuat klausa untuk melunasi hutang-hutang yang sudah
ada pada akta Pengakuan Hutang No.2 tertanggal 1 April 1996 sebelumnya,
Menurut pendapat Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H., bahwa
proses pidana berupa perintah penagkapan dan penahanan polisi terhadap
Penguggat pada bulan Juli 1997, tidak serta-merta mengakibatkan bahwa Akta
Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996 dapat dibatalkan, karena akta
tersebut dibuat sebelum proses pidana tersebut terjadi. Sehingga unsur
penyalahgunaan keadaan tidak terpenuhi dalam proses pembuatan Akta
Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996. Adapun bila Penggugat ingin
membatalkan akta otentik maka yang dapat dibatalkan hanya Akta Perjanjian No.
2 tertanggal 7 Mei 1997, akan tetapi Akta Perjanjian No. 2 tertanggal 7 Mei 1997
merupakan penguatan Akta Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996,
sehingga tidak kemudian menghilangkan kewaiban Penggugat untuk
membayarkan hutang-hutangnya terhadap para tergugat.29
Menurut Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H, dari segi pembuktian,
hakim tidak dapat mengatakan bahwa beban pembuktian dalam putusan perkara
No. 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel adalah keliru, yang dalam pertimbangan
hakimnya bahwa beban pembuktian dibebankan lebih terhadap Para Tergugat,
padahal seharusnya Penggugatlah yang harus dapat membuktikan unsur paksaan
yang didalilkan olehnya. Maka dari itu hakim harus menganggap bahwa akta
notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dan hakim juga wajib
menerima bahwa kedua akta notaris tersebut sebagai alat bukti yang sempurna
kecuali Penggugat dalam perkara ini dapat membuktikan bahwa memang ada
unsur paksaan dalam pembuatan kedua akta tersebut.30
Dalam hal ini, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Akta
Pengakuan Hutang tersebut bukanlah merupakan kategori Perbuatan Melawan
Hukum. Maka dari itu Majelis Hakim tidak dapat mengatakan bahwa akta
29
Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H, selaku akademisi dan
ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang dilakukan pada tanggal 14 Januari
2013.
30 Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H, selaku akademisi
dan ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang dilakukan pada tanggal 14
Januari 2013.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
24
pengakuan hutang tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, karena
Penggugat telah melewati batas tenggang waktu untuk melakukan pembayaran
seperti yang telah dituangkan dalam Akta Perjanjian No 2. Tertanggal 7 Mei 1997
tersebut, dimana Penggugat bersedia melunasi hutang-hutangnya yang telah
diakuinya dalam Akta Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996
sebeluumnya. Dalam hal ini maka bisa dikategorikan bahwa Penggugat telah
melakukan wanprestasi karena ada hak Para Tergugat (Tergugat I, II dan III) yang
harus dibayarkan oleh Penggugat.
Dalam hal ini, akibat dari dibatalkannya kedua akta otentik tersebut,
maka Tergugat I, II dan III akan mengalami kerugian yang sangat besar, dan
apabila dana tersebut adalah merupakan dana pihak ketiga (nasabah/kreditornya)
maka berarti para tergugat tersebut juga ikut menanggung kerugian pihak ketiga
tersebut dan wajib menggantinya kepada pihak ketiga.
Kesimpulan
1. Bahwa suatu akta dikatakan otentik jika memenuhi syarat-syarat sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang yaitu :
a. Syarat formil : akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat
Umum; akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang; pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus
memiliki wewenang untuk membuat akta tersebut;
b. Syarat materiil : memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu
adanya kesepakatan para pihak, kecakapanpara pihak, suatu hal tertentu
(jelas objeknya) dan sebab yang halal.
2. Bahwa akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian :
a. Kekuatan pembuktian lahir : keterangan dalam akta otentik tersebut adalah benar
dan berlaku bagi terhadap setiap orang sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
b. Kekuatan pembuktian formal : tanggal dan tempat akta dibuat serta keaslian tanda
tangan dalam akta adalah benar dan berlaku kepada setiap orang sepanjang tidak
terbukti sebaliknya.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013
25
c. Kekuatan pembuktian material : isi dari akta tersebut adalah benar dan berlaku bagi
setiap orang.
Dengan demikian berdasarkan hal tersebut maka akta otentik merupakan alat
bukti yang sempurna dan mengikat yang artinya bahwa bukti yang sempurna
dalam arti tidak harus didukung bukti lainnya, sedangkan mengikat dalam arti
bahwa apa yang ditulis didalamnya harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus
diangap benar kecuali dapat dibuktikan lain. Hakim wajib menganggap dan
menerima akta otentik (akta notaris) sebagai alat bukti yang sempurna
sepanjang pihak yang medalilkan bahwa akta tersebut cacat hukum dapat
membuktikan sebaliknya.
Penyalah gunaan keadaan dalam hal ini adanya unsur paksaan/tekanan pada
salah satu pihak dalam membuat akta otentik dapat menyebabkan akta tersebut
menjadi cacat hukum sehingga dapat diajukan pembatalan dipengadilan
terhadap akta tersebut.
3. Bahwa akibat pembatalan akta otentik oleh hakim karena adanya unsur
penyalah gunaan keadaan memberikan akibat hukum bahwa akta otentik
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (buiten effect stellen) dan
mengikat para pihak sehingga dianggap tidak terjadi seperti yang disebutkan
dalam akta tersebut.
Saran
1. Bahwa bagi pihak yang merasa dirugikan karena adanya unsur paksaan/
tekanan dalam pembuatan akta otentik jika ingin mengajukan pembatalan
terhadap akta tersebut hendaknya diajukan secepat mungkin setelah dibuatnya
akta tersebut dan tidak menjalankan isi akta tersebut guna menghindari
ketentuan yang diatur dalam Pasal 1324 KUHPerdata;
2. Bahwa hakim yang memeriksa perkara pembatalan akta otentik hendaknya
dapat bertindak secara objektif dan independen dalam menjatuhkan putusan
terhadap perkara tersebut.
Tinjauan yuridis terhadap..., Rina Puspitasari, FH UI, 2013