Upload
phamkhuong
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI
LEGALITAS KAYU INDONESIA TERKAIT PERJANJIAN
KEMITRAAN TATA KELOLA SEKTOR KEHUTANAN
DENGAN UNI EROPA DALAM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
TESIS
EVANGELINA HUTABARAT
1306494054
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JANUARI 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI
LEGALITAS KAYU INDONESIA TERKAIT PERJANJIAN
KEMITRAAN TATA KELOLA SEKTOR KEHUTANAN
DENGAN UNI EROPA DALAM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum
EVANGELINA HUTABARAT
1306494054
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
JAKARTA
JANUARI 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
iv
KATA PENGANTAR
“Thank You LORD JESUS!”, itu yang terucap dalam hati Penulis saat Ketua
Sidang Ujian Tesis sekaligus penguji, Bapak Adolf Warouw, SH., LL.M,
mengatakan “Anda lulus dengan baik!” Disambut senyum tipis khas pembimbing
Penulis, Bapak Adijaya Yusuf, SH., LL.M, senyum hangat penguji Bapak Yu
Un Oppusunggu, SH., LL.M., PhD., Penulis mengucapkan TERIMA KASIH
sambil menyalami ketiga dosen senior Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
seraya teringat :
1. dosen-dosen HPI: Bang Hadi Rahmat Purnama, Mas Arie Afriansyah, Ibu
Lita Arjati, Bapak Agus Brotosusilo, Ibu Valerine J.L.Kriekhoff, juga Ibu
Henny Marlyna dan Bapak Teddy Anggoro, TERIMA KASIH telah
membentuk kerangka berpikir penulis secara akademis selama studi di FHUI.
2. saat diantar wara wiri kampus Depok dan Salemba oleh suamiku tercinta
ANDAR TOGAP LUMBANTORUAN menjelang ujian tesis, juga
kesediaannya berperan sebagai seorang „mama‟ dan papa untuk buah cinta
kami saat menunggu Penulis tiba di rumah larut malam karena harus kuliah
hampir setiap hari selama dua tahun. Buah hatiku, ARLENE GRACIA yang
selalu bertanya “Mama pulangnya sore atau malam?” selama satu tahun
terakhir setiap Penulis hendak berangkat kuliah, yang juga beberapa kali
menemani Penulis ke perpustakaan UI Depok dengan kesabaran yang luar
biasa untuk anak usia 4 tahun. ―Thank You so much my loved ones, You are
both make my world so colorful!!‖
3. Abangku, Iman Hutabarat, SH., kakakku Magdalena Tambunan br
Hutabarat, adikku Ratna Juanita Hutabarat, S.Kom., dan Aurora
Quintina Pakpahan br Hutabarat SH., MH., Thank you so much for prayer
and support on each other with love especially since Mom and Dad passed
away..!
4. gelak tawa, canda, tengkar, keriuhan jelang deadline tugas, whatsapp group
yang diisi dengan komentar ala mahasiswa S2 maupun ala bocah alay, mengisi
hari-hari Penulis selama dua tahun bersama 9 temanku di peminatan Hukum
Perdagangan Internasional dengan karakter uniknya. Tulang Brain Sihotang,
pakar dotta, perfilman dan pengusaha property; filsuf Manuel Simbolon,
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
v
pengagum marxisme yang pernah bercita-cita menjadi pendeta namun
akhirnya mendarat di dunia advokat; bebeb Nofri Puspito Wahyuningtyas
nan ayu dengan suara lembutnya; Gea Mahendra, yang konon “terlibat” di
putaran Doha namun akhirnya memilih cuti satu semester; pejabat teras
Dimas Cipta Anugrah, dengan celoteh konyol dan „nyablak‟ tapi baik hati,
sosialita Sulisyanti Rusjam sang ketua kelas nan „jutek‟ empunya tawa
renyah yang sempat “dilengserkan” oleh si bungsu jenius Paul Ronyun
Simanjuntak, yang sering menjadi obyek penderita karena lenggangnya yang
menggoda (saat ini sedang studi di Leiden), si lugu Harkin S. Manta yang
kritis hingga menghasilkan tesis yang “monumental”, dan neng geulis Lya
Marlyana, temanku pulang naik taksi, si pecinta siomay kecap, ―Thank You
so much my friends, for the times we share in 2 years, and hope on the years
ahead! You are all make me feel younger!‖
5. teman-temanku di sinarmas : Siska, Lya, Mbak Aie, Pak Kunarto; mama-
mama cantik para supermoms KG St. John School BSD : Lina, Amel, Meli,
Effi, Iis, Yustine, Siani, yang saling menguatkan dan berdoa untuk menjadi
women in Christ sesuai Amsal 31:10-31, Thanks a lot for your support moms,
you are all my longest friends ever!
Akhir kata, Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat untuk pengembangan
ilmu hukum dan sumbangan pemikiran atau masukan bagi pengambil keputusan
dan penyusun kebijakan tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan Indonesia
di era perdagangan bebas saat ini.
Jakarta, 13 Januari 2016
Penulis
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
vii Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Evangelina Hutabarat
Program Studi : Ilmu Hukum Perdagangan Internasional
Judul : Tinjauan Yuridis Regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
Indonesia Terkait Perjanjian Kemitraan Tata Kelola Sektor
Kehutanan Dengan Uni Eropa Dalam Perdagangan
Internasional
Tesis ini mengenai terwujudnya regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu di
Indonesia untuk mencegah pembalakan liar dan merupakan implikasi dari
Kebijakan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan oleh Uni Eropa berupa regulasi kayu Uni Eropa (European Union
Timber Regulation) 995/2010 yang ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kemitraan
Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan (FLEGT-VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa, yang sudah
diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014. Inti dari Perjanjian
Kemitraan tersebut adalah kesepakatan terhadap kerangka hukum verifikasi
legalitas kayu (Timber Assurance Legal System) dari Negara mitra, Indonesia
yaitu Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini bersifat wajib untuk
semua pemegang ijin industri primer pengolahan hasil hutan kayu dan industri
lanjutan pengolahan kayu, dan untuk eksportir kayu, diwajibkan untuk memenuhi
SVLK ini sampai mendapatkan Dokumen V-Legal dan khusus untuk ekspor ke
Uni Eropa harus mendapatkan lisensi FLEGT. Kesulitan yang dialami dalam
pemenuhan SVLK ini sangat dirasakan oleh industri lanjutan yang sebagian besar
adalah industri kecil dan menengah, khususnya dalam hal biaya. Biaya untuk
SVLK berkisar antara 60 juta sampai dengan 180 juta. Peraturan terkait Sistem
Verifikasi Legalitas kayu seharusnya diterapkan secara adil terhadap industri
primer dan industri lanjutan sehingga dapat mengakomodir daya saing eksportir
kayu Indonesia tanpa melanggar komitmen terhadap Perjanjian yang telah
disepakati. Mengutip pernyataan John Rawls, hukum dan lembaga tidak peduli
seberapa efisien dan diatur dengan baik harus direformasi atau dihapuskan jika
mereka tidak adil.
Kata kunci:
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, FLEGT-VPA Indonesia dan Uni Eropa
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
viii Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Evangelina Hutabarat
Study Program : International Trade Law
Title : Legal Analysis of Indonesia Timber Legal Assurance System
pursuant to Voluntary Partnership Agreement of Forest Law
Enforcement, Governance and Trade between Indonesia and
European Union in International Trade
This theses elaborates the establishment of regulation of Timber Legal Assurance
System in Indonesia to prevent illegal logging as the implication of Voluntary
Partnership Agreement (VPA) of Forest Law Enforcement, Governance and Trade
between Indonesia and European Union (FLEGT), which has been ratified by
Presidential Decree No. 21 Year 2014. The substance of this VPA is an agreement
on the legal framework for Timber Legal Assurance System (TLAS) for Indonesia
called Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). This system is mandatory for all
license holders of primary timber industry, advanced timber industry, and timber
exporters who should meet this TLAS to get a V-Legal documents and get
FLEGT License to export timber products to EU. The difficulties raised in the
fulfillment of this TLAS is mostly happened to small and medium industries,
particularly in terms of cost. Costs for TLAS ranged from 60 million to 180
million rupiahs. TLAS should be applied fairly to the all timber exporters and
timber industry in Indonesia as to accommodate the competitiveness of
Indonesian timber exporters without violate a commitment to the VPA. As John
Rawls said, laws and institutions no matter how efficient and well-governed,
should be reformed or abolished if they are unjust.
Keywords :
Indonesia Timber Legal Assurance System
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI......................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
ABSTRACT ........................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Permasalahan .............................................................................. 12
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 12
1.4 Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 13
1.5 Kerangka Teori dan Konsep ....................................................................... 17
1.5.1 Teori Ketergantungan (Dependency Theory) oleh Raul
Prebisch ............................................................................................. 18
1.5.2 Teori Keadilan John Rawls ............................................................... 22
1.5.3 Kerangka Konsep .............................................................................. 26
1.6 Metodologi Penelitian ................................................................................ 29
1.6.1 Metode Penelitian ............................................................................. 29
1.6.2 Pendekatan Penelitian ....................................................................... 30
1.6.3 Data Penelitian .................................................................................. 31
1.7 Sistematika Penulisan ................................................................................. 33
BAB II PERSETUJUAN TECHNICAL BARRIERS TO TRADE
AGREEMENT dan KETENTUAN GATT 1994 .............................................. 35
2.1 Persetujuan TBT (Technical Barriers to Trade Agreement) ...................... 35
2.1.1 Sejarah Persetujuan TBT .................................................................. 35
2.1.2 Tujuan Persetujuan TBT ................................................................... 36
2.1.3 Lingkup Persetujuan TBT ................................................................. 39
2.1.4 Prinsip Utama Persetujuan TBT ....................................................... 41
2.1.5 Persetujuan TBT dan Anggota Negara Bekembang ......................... 46
2.2 Hubungan antara GATT 1994 dan Persetujuan TBT ................................. 49
2.2.1 Pasal I GATT 1994 ........................................................................... 50
2.2.2 Pasal III GATT 1994 ........................................................................ 50
2.2.3 Pasal XI GATT 1994 ........................................................................ 50
BAB III KEBIJAKAN TINDAK PENEGAKAN HUKUM, TATA
KELOLA DAN PERDAGANGAN SEKTOR KEHUTANAN (FLEGT)
UNI EROPA DAN IMPLEMENTASI BERUPA SISTEM
VERIFIKASI LEGALITAS KAYU ................................................................... 52
3.1 Kebijakan FLEGT Uni Eropa .................................................................... 52
3.2 Regulasi Kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulation) No.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
x Universitas Indonesia
995 tahun 2010 ........................................................................................... 57
3.3 Perjanjian Kemitraan Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata
Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT-VPA) antara
Indonesia dan Uni Eropa ............................................................................ 61
3.3.1 Pembukaan dan Klausula dalam FLEGT-VPA Indonesia-Uni
Eropa ................................................................................................. 66
3.4 Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia ................................ 72
3.4.1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 tentang Standard
dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak .......................... 75
3.4.2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89/M-DAG/PER/2015
tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan ..................... 98
3.4.3 Inkonsistensi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dengan Peraturan Menteri Perdagangan terkait
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) .................................... 101
BAB IV TINJAUAN YURIDIS ........................................................................ 104
4.1 Konsistensi Regulasi Kayu Uni Eropa dengan Persetujuan TBT dan
GATT 1994 .............................................................................................. 104
4.1.1 Konsistensi dengan Persetujuan TBT ............................................. 104
4.1.2 Konsistensi dengan Ketentuan GATT 1994 ................................... 105
4.2 Tinjauan Yuridis Perjanjian Kemitraan Tindak Penegakan Hukum,
Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan Indonesia dan Uni
Eropa (FLEGT-VPA) ................................................................................ 113
4.3 Tinjauan Yuridis Regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu ................. 120
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 132
5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 132
5.2 Saran / Rekomendasi ................................................................................ 135
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 138
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
xi Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Negara Tujuan Ekspor 10 Komoditi Utama Indonesia Tahun
2010-2014.............................................................................................. 6
Tabel 3.1 Jangka Waktu Berlaku Sertifikat PHPL dan Sertifikat LK ................. 78
Tabel 3.2 Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari................................................................................... 81
Tabel 3.3 Jumlah Kriteria, Indikator dan Verifier untuk Pemegang Ijin
Sesuai Jenis Pengelolaan Hutan .......................................................... 87
Tabel 3.4 Persyaratan Dokumen Yang Harus Dipenuhi ..................................... 90
Tabel 3.5 Pos tariff yang dikecualikan dalam Permendag No. 89/M-
DAG/PER/10/2015............................................................................ 100
Tabel 4.1 Kategori Hutan dan cakupan verifikasi ............................................. 126
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
xii Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Nilai ekspor produk kayu Indonesia tahun 1997 – 2001 (dalam
juta US$) ............................................................................................. 8 Gambar 3.1 Kerangka Kerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari ...................... 83 Gambar 3.2 Alur Penerbitan Dokumen V-Legal ................................................. 93 Gambar 4.1 Nilai Ekspor Kayu ke Negara-negara Uni Eropa 2005-2009
(sebelum penerapan SVLK melalui Permenhut P.38/2009)
dalam juta US$ ................................................................................ 123 Gambar 4.2 Nilai Ekspor Kayu ke Negara-negara Uni Eropa 2010- Nov
2015 (setelah SVLK melalui Permenhut 38/2009) dalam juta
US$ ................................................................................................. 123
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
1 Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan perekonomian negara-negara di dunia saat ini sangat
dipengaruhi oleh perdagangan internasional khususnya sejak terbentuknya World
Trade Organization (WTO) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko.
Pengurangan tariff perdagangan impor barang yang bertahap untuk
meminimalisasi hambatan dalam perdagangan adalah tujuan utama dari
liberalisasi perdagangan yang diusung WTO. Perekonomian Indonesia juga sangat
dipengaruhi oleh hal ini melalui peningkatan ekspor selama dua dekade sejak
bergabungnya Indonesia menjadi anggota WTO, khususnya dari ekspor non
minyak dan gas bumi (non migas).
Perdagangan internasional terjadi akibat adanya perbedaan potensi
sumber daya alam, sumber daya modal, sumber daya manusia dan kemajuan
teknologi antar negara1. Dalam karyanya pada tahun 1776, Wealth of Nation,
Adam Smith menyatakan konsep absolute advantage :
―What is prudence in the conduct of every private family, can scarce
be folly in that of a great kingdom. If a foreign country can supply us
with a commodity cheaper than we ourselves can make it, better buy
it of them with some part of the produce of our own industry,
employed in a way in which we have some advantage. The general
industry of the country, being always in proportion to the capital
which employs it, will not therby be diminished... but only left to find
out the way in which it can be employed with the greatest
advantage."2
Secara umum, perdagangan internasional terdiri dari kegiatan ekspor dan
impor. Ekspor merupakan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu
negara ke negara lain, sebaliknya impor merupakan barang dan jasa yang masuk
ke suatu negara. Negara yang memproduksi lebih dari kebutuhan dalam negerinya
1 RH Halwani, “Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi‖, Ghalia Indonesia, Edisi
ke-2, Bogor : 2005, hlm. 41 2 Adam Smith,”An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations‖, Glasgow
ed. 1976 (1st edition. 1776), hlm 45
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
2
Universitas Indonesia
dapat mengekspor kelebihan produksi tersebut ke negara lain. Akan tetapi, negara
yang tidak mampu memproduksi sendiri dapat mengimpor dari negara lain3.
Integrasi antar negara melalui perdagangan internasional akan melahirkan
kompetisi yang berujung pada peningkatan kegiatan ekonomi yang menimbulkan
tekanan terhadap lingkungan. Namun demikian, diupayakan keterbukaan ekonomi
yang cenderung mengakibatkan melebarnya pintu informasi dan komunikasi akan
meningkatkan efisiensi yang berujung pembangunan yang berkelanjutan. Selain
itu, keterbukaan ekonomi juga berarti terbukanya kesempatan untuk bisa
melakukan intervensi terhadap suatu negara melalui forum Internasional4 untuk
lebih menjaga lingkungan. Negara - negara di dunia dapat menghimpun kekuatan
dan mendesak Negara negara yang merusak lingkungan untuk mengurangi
aktivitas ekonomi mereka yang merusak lingkungan5.
Pada awal terbentuknya General Agremeent on Tariffs and Trade (GATT)
tahun 1947, perdagangan antar negara belum dirasakan sebagai suatu masalah
terhadap pelestarian lingkungan hidup, baik oleh para pembuat kebijakan maupun
masyarakat internasional. Selain itu dalam WTO Publications pada tahun 1999
dinyatakan bahwa perdagangan tidak mempunyai dampak langsung terhadap
lingkungan alam6. Namun dalam satu dekade terakhir, perlindungan lingkungan
hidup menjadi masalah yang sangat penting bagi banyak Negara. Masalah
lingkungan hidup saat ini tidak lagi hanya masalah pencemaran dan kerusakan
lingkungan, akan tetapi sudah merupakan bagian integral dari masalah
3 Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, “Analisa Dampak Impelementasi
Environmental Goods List (EGs List) dan Identifikasi Development Products Terhadap Kinerja
Perdagangan”, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia, Jakarta, 2014, hlm 6 4Salah satu forum internasional yang membahas tentang kelanjutan lingkungan hidup
adalah Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil yang
menghasilkan Piagam Bumi (Earth Charter) 1992 dan lebih dikenal sebagai Deklarasi Rio. KTT
Bumi membawa isu-isu lingkungan dan pembangunan ke arena publik. Seiring dengan Deklarasi
Rio tercapai kesepakatan yang menyatukan 2 konvensi sebelumnya yang mengikat secara hukum
setiap Negara yang menandatangani Deklarasi Rio yaitu : Konvensi Keanekaragaman Hayati
(Biological Diversity Convention) dan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (Framework
Convention on Climate Change). Deklarasi ini juga menghasilkan Pernyataan Prinsip Hutan
(Statement of Forest Principles). Deklarasi Rio juga menghasilkan pembentukan Komisi untuk
Pembangunan Berkelanjutan (CSD) dan banyak negara menyusun strategi nasionalnya dengan
prinsip pembangunan berkelanjutan. 5 Ibid
6 Riyatno, “Perlindungan Lingkungan Hidup dalam Perdagangan Internasional : Studi
Mengenai Ekspor Indonesia di bidang Perikanan dan Kehutanan”, Disertasi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, tahun 2005, hlm 52
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
3
Universitas Indonesia
pembangunan. Lingkungan hidup saat ini dibahas baik dalam konteks demografi,
sumber daya alam, ekonomi, politik, social, budaya, hukum bahkan dunia usaha
dan perdagangan. Isu lingkungan menjadi sesuatu yang lintas sector, multi disiplin
dan melibatkan semua lapisan masyarakat, serta sangat terkait dengan masalah-
masalah global lainnya, termasuk masa depan hubungan utara-selatan dan
liberalisasi perdagangan dunia.7
Keadaan ini menciptakan kecenderungan Negara-negara maju mulai
menginisiasi berbagai bentuk hambatan perdagangan. Dalam laporan pengawasan
perdagangan yang dilakukan oleh World Trade Organization (WTO), disebutkan
bahwa terdapat tren peningkatan kebijakan restriksi perdagangan dunia yang
dinotifikasi ke WTO. Pada Oktober 2012 hingga November 2013, terdapat 407
pembentukan restriksi dan inisiasi tindakan pengamanan perdagangan (trade
remedy) baru dan berdampak pada 1,3% impor dunia atau setara dengan US$ 240
miliar. Jumlah restriksi ini meningkat dibanding implementasi kebijakan restriksi
pada periode sebelumnya yang hanya berjumlah 308 restriksi.8 Tindakan
hambatan perdagangan, seperti yang dipaparkan dalam laporan tersebut, terdiri
dari tiga kategori, yakni tindakan fasilitasi perdagangan (trade facilitating
measures), tindakan pengamanan perdagangan (trade remedy measures) dan
tindakan perdagangan lainnya (other trade measures)9. Untuk hambatan
perdagangan lainnya selain hambatan tariff dan hambatan kuota, umumnya,
bentuk hambatan lainnya berasal dari peraturan pemerintah yang secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi volume perdagangan. Sebagai contoh,
pemerintah suatu negara menetapkan standar teknis dan keselamatan untuk
produk tertentu. Ketentuan ini dapat mengurangi impor produk yang bersangkutan
dari Negara negara yang belum memenuhi standar10
.
Dalam WTO Agreement, hambatan perdagangan lainnya ini diatur dalam
ketentuan Hambatan Teknis Perdagangan atau dikenal dengan istilah Technical
Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement). Negara anggota boleh
menerapkan standar teknis untuk produk yang masuk ke negaranya termasuk juga
7 Riyatno, Op. Cit., hlm. 53
8 Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional.Op. Cit, hlm 1
9 Ibid., hlm 2
10 Ibid., hlm. 9
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
4
Universitas Indonesia
standar metode dalam memproduksi produk tersebut, khususnya terkait dengan
keharusan bahwa produsen memakai teknologi ramah lingkungan dan proses
produksi yang mengutamakan pelestarian lingkungan hidup. Tujuan diadakannya
TBT Agreement (Persetujuan TBT) adalah untuk memastikan bahwa peraturan
teknis, standar, pengujian dan prosedur sertifikasi tidak menciptakan hambatan
perdagangan yang tidak perlu. Pada saat yang sama juga memberikan hak kepada
anggota World Trade Organization (WTO) untuk menerapkan langkah-langkah
mencapai tujuan kebijakan yang diperbolehkan, seperti perlindungan kesehatan
dan keselamatan manusia, atau perlindungan lingkungan.
Sebenarnya Persetujuan TBT ini dibuat untuk mengatasi permasalahan
lemahnya disiplin para anggota WTO, di antaranya adalah 11
:
1. Persetujuan bilateral antara beberapa Negara anggota di bidang standar
sering tidak transparan;
2. Praktek yang dilakukan oleh beberapa Negara anggota yang menyangkut
masalah pengujian mutu (testing), pengawasan mutu (inspection) dan
sistem sertifikasi (certification) sering tidak sejalan dengan ketentuan yang
ada;
3. Pengujian, pengawasan mutu dan sistem sertifikasi dalam praktek juga
sering diberlakukan secara diskriminatif;
4. Sering tidak transparannya pembuatan (drafting) dan pelaksanaan
(operation) dari sistem standard dan sertifikasi yang dilakukan oleh
beberapa Negara;
5. Kurang jelas dan tegasnya ketentuan-ketentuan yang menyangkut
standardisasi oleh badan-badan swasta (non-governmental bodies) serta
praktek-praktek standardisasi oleh badan-badan di Negara bagian atau
pemerintah local (local government bodies).
Peraturan dan standar teknis dapat berbeda-beda antara satu negara dengan
Negara lainnya dan ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi produsen dan
eksportir sehingga ketentuan ini sangat mendorong penggunaan standar
11
Novi Pratiwi Dewi,”Tinjauan Yuridis Pemberlakuan Sertifikasi dan Labelisasi Produk
Impor Barang dan Label Halal Produk Impor Pangan di Indonesia dikaitkan dengan Ketentuan
Agreement on Technical Barrier to Trade GATT WTO”, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2010, hlm 32
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
5
Universitas Indonesia
internasional yang bertujuan untuk menciptakan kondisi perdagangan yang dapat
diprediksi melalui persyaratan transparansi regulasi domestik suatu Negara terkait
standardisasi teknis demi perlindungan manusia dan lingkungan12
.
Pada dekade pertama sejak Indonesia menjadi anggota WTO, ekspor
Indonesia mengalami ancaman serius berupa hambatan teknis dalam perdagangan
yang terutama berkaitan dengan isu pelestarian lingkungan hidup.13
Dalam
disertasinya, Riyanto menyatakan bahwa pada dekade tersebut, ekspor Indonesia
umumnya rentan terhadap masalah lingkungan hidup setidak-tidaknya karena tiga
alasan yaitu :
Pertama, sebagian besar ekspor non migas Indonesia ditujukan ke pasar-pasar
Negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang umumnya peka
terhadap masalah lingkungan hidup. Di era perdagangan bebas, non tariff barriers
berupa hambatan teknis menjadi ancaman serius karena Negara-negara maju akan
melindungi kepentingan pasar domestiknya.
Kedua, komposisi ekspor produk-produk unggulan Indonesia sebagian besar
berbasis sumber daya alam. Secara umum internalisasi biaya untuk mencegah
pencemaran lingkungan cenderung menyebabkan dampak yang cukup berarti
karena komoditi yang diproduksi langsung dari sumber daya alam akan
mempunyai dampak langsung terhadap lingkungan hidup.
Ketiga, Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih belum mampu
mengadopsi dan mengembangkan teknologi modern yang ramah lingkungan
dengan mengikuti prinsip produksi bersih dan eko efisiensi. Hal ini disebabkan
keterbatasan sumber daya manusia, sumber dana dan kelembagaan yang
mendukung.14
Data dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia memperlihatkan
bahwa ekspor non migas Indonesia sepanjang dalam tahun 2010 – 2014 untuk 10
komoditi utama mencakup produk hasil hutan, tekstil dan produk tekstil, barang-
barang elektronik, karet dan produk karet, minyak kelapa sawit, alas kaki,
otomotif, udang, kakao (biji coklat), kopi/teh dan rempah-rempah15
. Dalam table
12
https://www.wto.org/english/tratop_e/tbt_e/tbt_e.htm diakses tanggal 2 Maret 2015 13
Riyatno, Op. Cit, hlm 243 14
Ibid., hlm. 244-246 15
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities/10-
main-commodities diakses tanggal 01 Maret 2015
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
6
Universitas Indonesia
di bawah ini, terlihat bahwa pasar ekspor 10 komoditi utama tersebut ditujukan ke
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang :
Tabel 1.1 Negara Tujuan Ekspor 10 Komoditi Utama Indonesia
Tahun 2010-2014
No Komoditi Negara Tujuan Ekspor
1 Kelapa Sawit Hongkong, India, Vietnam, Rep.Rakyat Tiongkok, Jerman,
Singapura, Korea Utara, Italia, Malaysia, Thailand, Spanyol,
Taiwan, Jepang, Kamboja, Sri Langka, Rep.Afrika Selatan,
Perancis, Filipina, Amerika Serikat, Meksiko
2 Produk Hasil
Hutan
India, Rep.Rakyat Tiongkok, Malaysia, Bangladesh, Jerman,
Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Spanyol, Italia, Mesir,
Singapura, Ukraine, Iran, Federasi Rusia, Pakistan,
Tanzania, Brasilia, Rep.Afrika Selatan, Vietnam, Myanmar,
Kenya
3 Tekstil dan
Produk
Tekstil
Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Turki, Korea Selatan,
Inggris, Uni Emirat Arab, Rep.Rakyat Tiongkok, Brasilia,
Malaysia, Belgia, Italia, Belanda, Spanyol, Kanada, Saudi
Arabia, Thailand, Perancis, Vietnam, Taiwan
4 Elektronik Singapura, Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Rep.Rakyat
Tiongkok, Jerman, Malaysia, Belanda, Korea Selatan,
Pilipina, Perancis, Thailand, India, Australia, Uni Emirat
Arab, Inggris, Taiwan, Vietnam, Belgia, Italia
5 Karet dan
Produk Karet
Amerika Serikat, Jepang, Rep.Rakyat Tiongkok, Korea
Selatan, Singapura, Brasilia, Jerman, Kanada, Belanda,
Turki, Perancis, India, Spanyol, Italia, Inggris, Belgia,
Taiwan, Rep.Afrika Selatan, Australia, Argentina
6 Alas Kaki Jepang, Rep.Rakyat Tiongkok, Amerika Serikat, Korea
Selatan, Australia, Malaysia, Taiwan, Saudi Arabia, Uni
Emirat Arab, India, Jerman, Belanda, Inggris, Vietnam,
Singapura, Belgia, Italia, Perancis, Bangla Desh, Thailand
7 Otomotif Amerika Serikat, Belgia, Jerman, Inggris, Belanda, Italia,
Jepang, Meksiko, Perancis, Brasilia, Rep.Rakyat Tiongkok,
Denmark, Panama, Korea Selatan, Singapura, Spanyol,
Australia, Federasi Rusia, Chili, Rep.Afrika Selatan
8 Udang Thailand, Jepang, Saudi Arabia, Pilipina, Malaysia,
Singapura, Uni Emirat Arab, Rep.Afrika Selatan, Brasilia,
Vietnam, Rep.Rakyat Tiongkok, Meksiko, Oman, Kamerun,
Taiwan, Inggris, Myanmar, Jerman, India, Kuwait
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
7
Universitas Indonesia
9 Kakao Amerika Serikat, Jepang, Rep.Rakyat Tiongkok, Inggris,
Belgia, Hongkong, Vietnam, Singapura, Perancis, Kanada,
Australia, Malaysia, Taiwan, Federasi Rusia, Belanda, Italia,
Jerman, Korea Selatan, Denmark
10 Kopi Malaysia, Amerika Serikat, Singapura, Korea Utara,
Spanyol, Jerman, Perancis, Belanda, Inggris, Australia,
Pilipina, India, Kanada, Thailand, Jepang, Brasilia, Uni
Emirat Arab, Estonia, Federasi Rusia, Selandia Baru Sumber : http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities/10-
main-commodities
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada akhir
tahun 2014, wilayah hutan di Indonesia meliputi sekitar 66% dari luas daratan
Indonesia yaitu sekitar 125 juta hektare. Sekitar 37% dari kawasan hutan telah
dicadangkan untuk perlindungan atau konservasi, 17% untuk dikonversi ke
penggunaan lainnya dan sekitar 46% dari hutan diperuntukkan bagi keperluan
produksi. Dalam 5 tahun terakhir nilai ekspor Indonesia dalam bentuk kayu dan
produk perkayuan meningkat dari 8,3 miliar USD menjadi 9,7 miliar USD per
tahun. Kecenderungannya masih positif (1,85% per tahun) tetapi dari sudut
perekonomian secara keseluruhan bagian relatif kehutanan telah turun dari 8,2%
ke 6,2% karena sumbangan nilai berbagai komoditas lain meningkat lebih pesat16
.
Bambang Hendroyono, Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam tulisannya di harian Media Indonesia
tanggal 2 Januari 2015 yang lalu, bahwa pada akhir tahun 1990 hingga awal tahun
2000, pengusaha produk perkayuan di Indonesia dihadapkan pada kondisi sulit
dalam memasarkan produknya di pasar internasional karena pernyataan dari
Negara-negara pasar ekspor produk perkayuan Indonesia :
“I don‘t want to buy your timber, cause they‘re from illegal logging. I
will only buy your timber cheap. Your timber is illegal. I will buy your
timber only when my audit proves that your timber is legal.‖17
16
http://ec.europa.eu/europeaid/what/development-policies/intervention- areas
/environment / forestry_intro_en.htm diakses tanggal 20 April 2015 17
Bambang Hendroyono,”Era Baru Produk Industri Kehutanan”, Media Indonesia : 2
Januari 2015
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
8
Universitas Indonesia
Gambar 1.1 Nilai ekspor produk kayu Indonesia tahun 1997 – 2001
(dalam juta US$)
Sumber : Statisik Departemen Kehutanan Tahun 2001
Turunnya kinerja ekspor Indonesia disebabkan terutama oleh hilangnya
pasar di Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat, Republik Korea, dan Cina. Adapun
pasar tujuan ekspor yang mengalami peningkatan adalah Negara ASEAN,
Australia, dan Selandia Baru. Namun sayangnya peningkatan ekspor ke wilayah
tersebut tidak dapat menutupi hilangnya pasar di negara tujuan ekspor lainnya18
.
Statistik beberapa tahun terakhir sebelum terjadinya krisis ekonomi
menunjukkan bahwa tak kurang dari US$ 7-8 miliar devisa per tahun diperoleh
dari sektor kehutanan dengan nilai investasi mencapai US$ 27,7 miliar dengan
menyerap empat juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung.
Peran sosial ekonomi sektor kehutanan semakin signifikan karena
kemampuannya dalam mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di
berbagai wilayah pedalaman. Ia bahkan menjelma menjadi salah satu sektor yang
mampu mendukung terwujudnya integrasi sosial kultural masyarakat. Namun
pada sisi lainnya ternyata pengelolaan hutan utamanya hutan tropis juga
18
Adrian Lubis, “Daya Saing, Kinerja Perdagangan, Dan Dampak Liberalisasi Produk
Kehutanan“,Pusat Pengkajian Kebijakan Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan-RI, 2013, hlm 38
0
500
1000
1500
2000
2500
1997 1998 1999 2000 2001
kayu papan
kayu olahan
kayu lapis
kayu gergajian
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
9
Universitas Indonesia
menyisakan suatu persoalan besar, yaitu semakin menurunnya kuantitas dan
kualitas hutan19
Kerusakan hutan telah menjadi fokus penting dunia saat ini, mengingat
bahwa sepertiga daratan dunia terdiri dari hutan dan setengah dari 30 juta spesies
tanaman dan binatang hidup di dalamnya, serta peranan vital hutan dalam
pembangunan dan perekonomian, merupakan hlm yang rasional bagi banyak
Negara untuk memasukkan agenda pelestarian hutan ke dalam agenda kebijakan
negaranya. Selain itu pelestarian hutan adalah esensial untuk keberlangsungan
dunia dimana hutan memainkan peranan penting berkenaan dengan tantangan-
tantangan terkait lainnya yang harus dihadapi, seperti : perubahan iklim,
kemiskinan, penegakkan hukum dan pembangunan berkelanjutan.20
Uni Eropa
sebagai kesatuan terbesar Negara-negara Eropa, melalui Komisi Eropa dengan
kebijakan pembangunan dan lingkungannya berinisiatif meminimalisasi
kerusakan hutan dan dampak-dampak akibat kerusakan hutan tersebut. Indonesia
dianggap memiliki beragam hutan tropis yang merupakan paru-paru dunia,
dimana dengan adanya paru-paru dunia ini, kualitas hidup manusia dapat
meningkat. Perubahan iklim pun sedikit banyak dapat dicegah dengan adanya
hutan-hutan di Indonesia. Keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya pun
banyak yang tergolong langka dan harus dilindungi. Faktor-faktor itulah yang
melatarbelakangi keinginan Uni Eropa untuk membantu Indonesia dalam
melestarikan sumber daya hutannya21
.
Sederetan kerjasama dan bantuan kerjasama di sektor kehutanan telah
dijalankan oleh Komisi Eropa dan Indonesia sejak tahun 1995. Proyek kerjasama
dengan skala besar termaktub dalam agenda EC-Indonesia Forestry Programme
(ECIFP) yang memfokuskan pelaksanaannya terhadap beberapa kawasan hutan di
Indonesia, namun pencapaian tujuan proyek kerjasama tersebut berjalan lambat
karena faktor intern Indonesia seperti kurangnya penegakkan hukum, minimnya
19
Priyadi H. et.al., ―Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik : Peningkatan Implementasi
Pengelolaan Hutan Lestari Melalui Sertifikasi Hutan dan Pembalakan Ramah Lingkungan
(Reduced Impact Logging)‖, Prosiding Lokakarya, Balikpapan 21-26 Juni 2006, Bogor : Center
For International Forestry Research (CIFOR), 2007, hlm 32 20
Astrid Wiriadidjaja,”Kerjasama Komisi Eropa dan Indonesia dalam Bidang Lingkungan
Hidup, Khususnya Sektor Kehutanan”, Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia,
2007, hlm. 1 21
Ibid
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
10
Universitas Indonesia
keamanan sosial, dan juga perbedaan kepentingan politik antara Uni Eropa dan
Indonesia dalam politik internasional22
.
Uni Eropa sebagai salah satu aktor kuat dunia yang paling berpengaruh
dalam pengelolaan hutan, telah lama terlibat dalam pengelolaan hutan di
Indonesia melalui bantuan dana pembangunan mereka, terutama karena Uni Eropa
merupakan konsumen dan importer utama kayu dan produk kayu dengan
konsumen potensial mencapai 275 juta orang23
. Indonesia mengekspor bermacam-
macam produk hasil hutan dan pasar ekspor utama untuk produk kayu Indonesia
adalah Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Uni Eropa merupakan salah satu
pasar utama untuk hasil hutan Indonesia dengan rata-rata total nilai tahunan
ekspor kayu dan kertas dari Indonesia mencapai 1,2 miliar USD yakni sekitar 15%
dari ekspor produk perkayuan Indonesia24
. Indonesia merupakan salah satu
eksportir utama kayu dan produk kayu pada skala global. Nilai total ekspor ini
diperkirakan mencapai 9 miliar USD. Indonesia tidak mengekspor produk yang
belum diolah seperti kayu gelondongan dan kayu gergajian kasar, sedangkan
produk kayu utama dengan daerah tujuan Uni Eropa adalah kertas dan karton,
perabot mebel dan kayu lapis. Pasar tujuan utama di dalam UE adalah Jerman,
Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Spanyol dan Italia.25
Pada tahun 2003, Uni Eropa kembali menegaskan kepeduliannya untuk
menangani pembalakan liar dengan menetapkan regulasi bagi impor produk hasil
hutan dan membentuk Rencana Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan
Perdagangan Sektor Kehutanan (Forest Law and Enforcement, Governance and
Trade-FLEGT) dan membuka Voluntary Partnership Agreement dengan Negara-
negara yang ingin melakukan perdagangan produk hasil hutan dengan Uni Eropa.
Lisensi FLEGT (Forest Law and Enforcement, Governance and Trade)
dipersyaratkan Uni Eropa untuk perdagangan kayu dari negara-negara tropis
penghasil kayu melalui Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership
Agreement-VPA). Berdasarkan perjanjian kemitraan ini, negara-negara mitra
22
Astrid Wiriadidjaja, Op. Cit., hlm. 5 23
Ibid., hlm. 82 24
“Informasi Ringkas Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT antara Indonesia dan Uni
Eropa”, dibuat oleh Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Pusat Kerjasama
Luar Negeri Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Direktorat Bina Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Mei 2011, hlm 3 25
Ibid
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
11
Universitas Indonesia
mengembangkan sistem-sistem pengendalian untuk memverifikasi legalitas kayu
yang akan diekspor ke Uni Eropa. Uni Eropa menyediakan dukungan untuk
membangun atau menyempurnakan sistem-sistem pengendalian ini. Apabila telah
disepakati dan diimplementasikan, maka VPA mengikat kedua belah pihak untuk
memperdagangkan hanya produk kayu legal yang telah diverifikasi26
.
Pada tahun 2007 pemerintah Indonesia memulai perundingan-perundingan
VPA dengan Uni Eropa untuk menangani masalah pembalakan liar dan untuk
meningkatkan kesempatan pasar bagi kayu maupun produk kayu Indonesia
sebagai tanggapan terhadap peraturan-peraturan pasar yang baru di Amerika
Serikat, Uni Eropa dan pasar-pasar lainnya. Melalui European Union Timber
Regulation (EUTR) Nomor 995/2010 yang melarang penempatan maupun
peredaran produk kayu ilegal di pasar Uni Eropa, Uni Eropa merealisasikan
kebijakan Rencana Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan
Sektor Kehutanan (Forest Law and Enforcement, Governance and Trade-FLEGT)
sekaligus menegaskan komitmennya. Inti proses VPA adalah penetapan perangkat
peraturan perundangan yang berlaku bagi sektor kehutanan Indonesia („definisi
legalitas‟), dan untuk mengembangkan sistem-sistem pengendalian maupun
prosedur-prosedur verifikasi yang memastikan bahwa semua kayu dan produk
kayu yang diekspor dari Indonesia ke Uni Eropa memenuhi peraturan
perundangan dimaksud. Ini berarti bahwa produk-produk tersebut telah diperoleh,
dipungut, diangkut dan diekspor sesuai dengan peraturan perundangan Indonesia.
Dengan demikian Indonesia maupun Uni Eropa mendukung tata kelola,
penegakan hukum dan transparansi yang lebih baik di sektor kehutanan,
mendorong pengelolaan hutan Indonesia secara berkelanjutan, serta memberi
kontribusi kepada upaya-upaya untuk menghentikan perubahan iklim27
.
Pada tanggal 1 September 2009, Pemerintah Indonesia resmi menerapkan
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.38/ Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada
Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, dan sampai saat ini telah mengalami
beberapa perubahan dan yang terakhir adalah Peraturan Kementerian Lingkungan
26
Astrid Wiriadidjaja, Op. Cit., hlm. 82 27
Ibid
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
12
Universitas Indonesia
Hidup dan Kehutanan No. P.95/Menhut-II/2014 tentang Standar dan Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas
Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
Berangkat dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia terkait Perjanjian
Kemitraan Bilateral Tata Kelola dan Perdagangan Sektor kehutanan dengan Uni
Eropa dan implikasinya terhadap ekspor kayu Indonesia dalam perdagangan
internasional.
1.2 Rumusan Permasalahan
Untuk menganalisa Perjanjian Kemitraan Sukarela Tindak Penegakan
Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor kehutanan dengan Uni Eropa,
penulis berpendapat adalah perlu untuk juga melihat Regulasi Kayu Uni Eropa
yang diberlakukan sebagai realisasi kebijakan tata kelola hutan Uni Eropa.
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya dan pertimbangan ini,
rumusan permasalahan yang hendak diteliti adalah :
1. Apakah Regulasi Kayu Uni Eropa yang merupakan realisasi Kebijakan
Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan, konsisten dengan Persetujuan TBT dan GATT 1994?
2. Bagaimana Perjanjian Kemitraan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola
dan Perdagangan Sektor Kehutanan yang mengatur Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu dan implikasinya terhadap ekspor kayu Indonesia dalam
perdagangan internasional?
3. Bagaimana seharusnya regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang
mampu mengakomodir daya saing ekspor kayu Indonesia dalam
perdagangan internasional?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui apakah Regulasi Kayu Uni Eropa yang merupakan realisasi
Kebijakan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
13
Universitas Indonesia
Sektor Kehutanan Uni Eropa, konsisten dengan Persetujuan TBT dan
GATT 1994
2. Mengetahui Perjanjian Kemitraan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola
dan Perdagangan Sektor Kehutanan yang mengatur Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu dan implikasinya terhadap ekspor kayu Indonesia dalam
perdagangan internasional
3. Memberi rekomendasi terhadap regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
untuk mampu mengakomodir daya saing eksportir kayu dalam
perdagangan internasional.
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Secara akademis yaitu untuk menambah wawasan peneliti mengenai
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu di Indonesia dalam Perjanjian Kemitraan
Sukarela mengenai Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan
Perdagangan Sektor Kehutanan dengan Uni Eropa
2. Secara Praktis memberikan rekomendasi bagi instansi pemerintah atau
lembaga terkait untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan membuat
regulasi sistem verifikasi legalitas kayu dengan saling koordinasi sehingga
mampu mengakomodir daya saing eksportir kayu dalam perdagangan
internasional.
1.4 Tinjauan Pustaka
Tesis yang ditulis oleh Muhammad Sood, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia tahun 2000 dengan judul Pengaturan Perdagangan Internasional dan
Implikasinya Terhadap Kelestarian Fungsi Hutan di Indonesia .
Dalam penelitiannya, Muhammad Sood melakukan analisa mengenai keterkaitan
dan konflik antara pengaturan liberalisasi perdagangan dan upaya perlindungan
hutan. Hal ini diakibatkan oleh adanya perbedaan tujuan dan sasaran antara
liberalisasi perdagangan dengan perlindungan lingkungan hidup sehingga
menuntut adanya harmonisasi. Kebijakan ecolabelling dan badan sertifikasi di
bidang perdagangan hasil hutan merupakan salah satu cara yang digunakan oleh
Negara-Negara di dunia untuk menunjukkan komitmennya dalam upaya
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
14
Universitas Indonesia
melestarikan fungsi hutan. Setelah 15 tahun sejak tesis ini ditulis, sistem hukum
yang mengatur pelestarian hutan khususnya terkait dengan ketentuan teknis
mengenai produk hasil hutan yang wajib dipenuhi oleh para eksportir produk hasil
hutan dan pengusaha hutan tanaman industri sudah semakin terorganisir.
Penelitian yang dilakukan oleh Penulis menitikberatkan pada kajian regulasi tata
kelola dan perdagangan sektor kehutanan Indonesia terkait perjanjian bilateral
antara Uni Eropa dan Indonesia dalam perdagangan internasional.
Disertasi Fakultas Hukum UI oleh Riyatno pada tahun 2005 berjudul
“Perlindungan Lingkungan Hidup dalam Perdagangan Internasional : Studi
Mengenai Ekspor Indonesia di bidang Perikanan dan Kehutanan”.
Fokus penelitian tersebut adalah untuk mengetahui pengaruh adanya ketentuan
lingkungan hidup dalam perdagangan internasional terhadap ekspor produk
perikanan dan kehutanan di Indonesia. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah
adanya klausul berisi kesepakatan antara negara berkembang dan negara maju
dalam pertemuan Doha tahun 2001 mengenai rekonsiliasi antara perlindungan
lingkungan hidup dan perdagangan internasional, malah cenderung merugikan
negara berkembang karena klausul tersebut bisa menjadi “escape clausula” bagi
negara maju dengan dalih perlindungan lingkungan hidup. Perbedaan penelitian
dalam disertasi ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti adalah pada
regulasi yang dianalisa, dimana penulis menitikberatkan pada kajian regulasi
perdagangan sektor kehutanan yang diberlakukan Uni Eropa bagi produk hasil
hutan yang masuk ke negaranya.
Tesis yang ditulis Ratih Rachmawati,”Sertifikasi Hutan Lestari dalam
Tinjauan Hukum Perdagangan Internasional”, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, tahun 2005, yang khusus mengkaji ketentuan GATT/WTO terkait
pengelolaan lingkungan khususnya hutan lestari dan implikasi dari sertifikasi
pengelolaan hutan lestari dalam perdagangan internasional. Dalam tesis ini
disimpulkan bahwa sertifikasi ecolabelling adalah merupakan wujud dari
kepedulian Negara-negara industri maju yang telah merasakan akibat dari adanya
industrialisasi sehingga mereka mengambil langkah untuk menggunakan semua
produk hutan dari ekspor Negara produsen yang telah memperoleh sertifikasi
ecolabelling. Tesis ini mengeksplorasi mengenai sistem Sertifikasi Pengelolaan
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
15
Universitas Indonesia
Hutan Lestari, yang kemudian dalam perkembangannya setelah 10 tahun sejak
tesis ini ditulis telah merupakan bagian dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
yang menjadi pembahasan dalam penelitian tesis yang dilakukan Penulis.
Tesis oleh Astrid Wiriadidjaja “Kerjasama komisi Eropa dan Indonesia
dalam bidang lingkungan hidup, khususnya sektor kehutanan”, Pascasarjana
kajian Wilayah Eropa tahun 2007.
Penelitian ini khusus mengkaji 5 proyek bantuan dari Uni Eropa terhadap sektor
kehutanan di Indonesia di bawah program kerjasama EC-Indonesia Forestry
Programme mulai tahun 1999 – 2006 yaitu Leuser Development Program, Forest
Liaison Bureau, South/Central Kalimantan Production Project, South Sumatra
Forest Fire Management Project dan Illegal Logging Response Centre. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa lima proyek besar tersebut tidak berhasil
sepenuhnya karena ada banyak kendala yang dihadapi Komisi Eropa di Indonesia
yang pada dasarnya merupakan perbedaan kepentingan antara Indonesia dengan
Komisi Eropa yang belum dapat diatasi, seperti prioritas pemerintah Indonesia
untuk mengentaskan kemiskinan sehingga kebijakan pelestarian hutan harus
diselaraskan dengan kepentingan Indonesia bukan kepentingan Uni Eropa.
Center for International Forestry Research pernah mempublikasikan hasil
penelitian dari Marcus Colchester, Marco Boscolo, Arnoldo Contreras Hermosilla,
Sulaiman N. Sembiring dan beberapa peneliti lainnya berjudul Justice in The
Forest : Rural Livelihoods and Forest Law Enforcement pada tahun 2006.
Penelitian ini mengkaji bagaimana implikasi penerapan kebijakan Forest Law
Enforcement terhadap kehidupan masyarakat pedesaan di 6 (enam) Negara yaitu
Bolivia, Kamerun, Kanada, Honduras, Indonesia dan Nikaragua. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa penegakan hukum yang terlalu ketat menjadi tidak efektif
apabila ada denda yang terlalu besar, lemahnya kapasitas kelembagaan, kurangnya
kemandirian dalam pengadilan atau karena mereka yang dituduh melakukan
pelanggaran mungkin terlibat dalam pelanggaran hukum lainnya28
. Kebijakan
Negara untuk melakukan Memorandum of Understanding antara Negara yang
mengekspor dan Negara-negara yang mengimpor untuk mencegah perdagangan
hasil hutan yang ilegal telah mendorong terjadinya perdebatan nasional tentang
28
Marcus Colchester,”Justice in The Forest: Rural Livelihoods and Forest Law
Enforcement‖, Center for International Forestry Research. Bogor, Indonesia, 2006, hlm 59
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
16
Universitas Indonesia
hukum dan kebijakan kehutanan. Meskipun penilaian teknis telah diberlakukan
dalam undang-undang kehutanan, namun, akses pasar yang ditutup oleh negara-
negara pengimpor hanya dapat mengalihkan ekspor hasil hutan ilegal ke pasar
negara pengimpor lain yang sedikit melakukan diskriminasi. Cara melakukan
penegakan hukum yang berbasis pada pendekatan akses pasar ini sangat
tergantung pada “verifikasi legalitas' atau 'kebijakan sertifikasi‟, sehingga petugas
bea cukai, staf pembelian dan pengecer dapat membedakan mana kayu yang 'legal'
yang dapat diterima. Ada satu risiko yang terbukti bahwa tindakan tersebut
ternyata mengesampingkan kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan
dan dengan demikian dapat mendorong sistem pengelolaan hutan yang malahan
menciptakan kemiskinan daripada mengentaskannya29
. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dampak sosial yang terjadi akibat adanya penegakan hukum
sektor kehutanan, dimana fokusnya berbeda dengan apa yang akan diteliti melalui
tesis ini, dimana penulis menekankan pada aspek yuridis dari sistem legalitas
produk kayu dan Perjanjian bilateral kemitraan (dalam penelitian CIFOR disebut
sebagai Memorandum of Understanding) antara Indonesia dan Uni Eropa yang
dikaitkan dengan perdagangan internasional.
Artikel yang ditulis oleh Michael W. Stone dan Benjamin Cashore dalam
publikasi yang diterbitkan oleh International Union of Forest Research
Organizations mengenai kebijakan hutan global untuk mengatasi pembalakan liar
dengan kajian studi pada verifikasi legalitas kayu di Indonesia, menguraikan
tentang maraknya pembalakan liar di Indonesia diakui sebagai salah satu yang
tertinggi di dunia, dan tetap tinggi meskipun banyak upaya yang telah dibuat oleh
masyarakat internasional untuk membantu Indonesia mengatasi masalah tersebut.
Namun kemudian upaya pemberlakuan mekanisme verifikasi legalitas kayu yang
dilakukan untuk menangani pembalakan liar di Indonesia, telah memperoleh
dukungan luas dari berbagai pemangku kepentingan yang berupaya untuk
memerangi deforestasi global. Di dalam tulisan ini juga diuraikan mengenai
penandatanganan Perjanjian Kemitraan Sukarela tentang Tindak Penegakan
Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan antara Indonesia dengan
Uni Eropa yang memberi jaminan sistem verifikasi legalitas kayu di Indonesia
29
Ibid, hlm 60
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
17
Universitas Indonesia
(SVLK) dan memiliki potensi untuk mengurangi pembalakan liar di Indonesia.
Penelitian yang mengambil dua kasus penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
di Indonesia yaitu terhadap eksportir di Sumatera dan eksportir di Jawa Tengah ini
menyimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia, dari tingkat pusat sampai dengan
pemerintah daerah memiliki peran sangat penting dalam pemberlakuan SVLK ini
secara konsisten.30
. Artikel ini banyak memuat data-data yang juga beberapa di
antaranya dideskripsikan dalam penelitian tesis ini, yaitu mengenai Perjanjian
Kemitraan Sukarela tentang Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan
Perdagangan Sektor Kehutanan antara Indonesia dengan Uni Eropa dan sistem
verifikasi legalitas kayu Indonesia. Data yang diberikan cukup signifikan dengan
penelitian tesis ini yang hanya berjarak satu tahun yaitu tahun 2014.
Perbedaannya adalah pada pendekatan yang dilakukan, dimana tesis ini memakai
pendekatan perundang-undangan (Statuta Approach) dimana peneliti mengkaji
aspek yuridis dari sistem verifikasi legalitas produk kayu dan Perjanjian bilateral
kemitraan antara Indonesia dan Uni Eropa dalam kerangka perdagangan
internasional, sedangkan artikel dari IUFRO ini merupakan penelitian sosial yang
mengkaji penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu pada industri produk hasil
hutan di Sumatera dan Jawa.
1.5 Kerangka Teori dan Konsep
Dalam penelitian ini, untuk menganalisa regulasi tentang perdagangan
sektor kehutanan di Indonesia sebagai bentuk komitmen Indonesia menjadi
anggota World Trade Organization sejak tahun 1995 dan kemudian untuk
memenuhi ketentuan teknis yang diberlakukan Uni Eropa dalam Europeran Union
Timber Regulation dalam perdagangan internasional untuk produk hasil hutan,
penulis menggunakan teori ketergantungan (dependency theory) dan teori
keadilan.
30
Michael W. Stone dan Benjamin Cashore,‖Global Forest Governance to Address Illegal
Logging : The Rise of Timber Legality Verification to Rescue Indonesia‘s Forests‖, 3rd
Publication
of Special Project World Forests, Society and Environment (WFSE) dari International Union of
Forest Research Organization (IUFRO), 2014, hlm 253
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
18
Universitas Indonesia
1.5.1 Teori Ketergantungan (Dependency Theory) oleh Raul Prebisch
Teori ketergantungan dikembangkan di akhir 1950-an dalam pengawasan
Direktur Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin, Raul Prebisch. Prebisch dan
rekan-rekannya terganggu dengan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-
negara industri maju tidak selalu mengarah pada pertumbuhan di negara-negara
yang lebih kurang. Memang, studi mereka menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi
di negara-negara maju sering menyebabkan masalah ekonomi yang serius di
negara-negara miskin. Kemungkinan seperti itu tidak diprediksi oleh teori
neoklasik, yang mengasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi
semua, bahkan jika manfaat yang didapat tidak selalu sama31
.
Penjelasan awal Prebisch untuk fenomena ini sangat sederhana: negara-
negara miskin mengekspor komoditi utama mereka ke negara-negara maju yang
kemudian mengolah produk komoditi tersebut dan menjual kembali ke negara-
negara miskin. "Nilai Tambah" yang dibebankan sebagai biaya memproduksi
produk jadi tersebut jauh melebihi dari nilai bahan utama yang digunakan untuk
membuat produk tersebut. Oleh karena itu, negara-negara miskin tidak akan
pernah bisa menghasilkan lebih dari pendapatan ekspor mereka untuk membayar
biaya impor mereka.32
.
Solusi Prebisch adalah sederhana: negara-negara miskin harus memulai
program substitusi impor sehingga mereka tidak perlu membeli produk yang
diproduksi dari negara-negara maju. Negara-negara miskin akan tetap menjual
produk utama mereka di pasar dunia, namun cadangan devisa mereka tidak akan
digunakan untuk membeli produk manufaktur dari luar negeri.
Namun ada tiga hal yang membuat kebijakan substitusi impor ini sulit untuk
diikuti, yaitu33
:
Pertama, pasar internal negara-negara miskin tidak cukup besar untuk mendukung
skala ekonomi yang digunakan oleh negara-negara maju untuk menjaga harga
yang rendah.
31
Vincent Ferraro, "Dependency Theory: An Introduction," dalam The Development
Economics Reader, Editorial oleh Giorgio Secondi, London: Routledge, 2008, hlm. 58 32
Ibid 33
Vincent Ferraro, Op. Cit., hlm 59
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
19
Universitas Indonesia
Kedua, berkaitan dengan kemauan politik dari pemerintah negara-negara miskin,
yaitu apakah transformasi menjadi produsen produk primer itu mungkin atau
diinginkan.
Ketiga, terkait dengan sejauh mana negara-negara miskin benar-benar memiliki
kendali atas produk utama mereka, khususnya di bidang penjualan produk-produk
tersebut di luar negeri.
Hambatan-hambatan terhadap kebijakan substitusi impor menyebabkan orang lain
untuk berpikir sedikit lebih kreatif dan melihat sejarah hubungan antara negara-
negara kaya dan miskin34
.
Pada titik ini, teori ketergantungan dipandang sebagai cara yang mungkin
untuk menjelaskan kemiskinan terus-menerus dari negara-negara miskin.
Pendekatan tradisional neoklasik hampir tidak mempertanyakan hal ini tetapi
menegaskan bahwa negara-negara miskin lah yang terlambat mengikuti praktik
ekonomi yang solid dan bahwa apabila mereka belajar teknik ekonomi modern,
maka kemiskinan akan mulai teratasi. Namun, teori Marxis memandang
kemiskinan terus-menerus sebagai konsekuensi dari eksploitasi kapitalis, dan
sebuah kerangka pemikiran baru yang disebut pendekatan sistem dunia,
berpendapat bahwa kemiskinan adalah konsekuensi langsung dari evolusi
ekonomi politik internasional ke sebuah pemisahan kaku terhadap perburuhan
yang membela orang kaya dan menghukum orang miskin35
.
Teori ketergantungan mengkritisi teori modernisasi yang menyatakan
bahwa faktor internal dari Negara berkembang-lah yang menjadi penyebab
kegagalan terjadinya modernisasi. Para pendukung teori ketergantungan
menekankan bahwa sistem kapitalis global adalah pihak yang bertanggungjawab
terhadap kondisi yang memprihatinkan di Negara-negara berkembang. Penjajah
mengeksploitasi sumber-sumber daya alam dan tenaga kerja dari daerah
jajahannya, menjual produk-produknya ke Negara penjajah dan mendirikan
perusahaan-perusahaan yang terproteksi, ladang perkebunan, dan kompleks
permukiman kulit putih di Negara jajahannya yang dibentengi oleh lisensi
34
Ibid 35
Ibid., hlm 61
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
20
Universitas Indonesia
ekslusif, hak-hak dagang dan rejim hukum dari Negara penjajah tersebut36
. Akhir
dari era penjajahan tidak otomatis menghentikan sistem eksploitatif ini. Negara-
negara berkembang diikat dalam sistem pemasaran dunia dengan basis industri
yang lemah, tidak memiliki teknologi terkini dan infrastruktur komunikasi dan
transportasi. Akibatnya untuk menguatkan kelemahannya dan yang tidak
dimilikinya tersebut, Negara-negara berkembang menarik investor asing,
melakukan pinjaman modal ke Negara barat dan membeli teknologi dan perangkat
industri yang diproduksi Negara barat, yang mana teknologi dan perangkat
tersebut dipergunakan untuk membuat barang jadi yang kemudian diekspor ke
Negara-negara barat dan bukan untuk konsumsi pasar domestic37
.
Wacana tentang hukum dalam teori ketergantungan biasanya terfokus pada
dua hal yaitu : pertama, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Negara
berkembang untuk memperbaiki keadaan, kedua, bagaimana hukum telah
dipergunakan sebagai alat ekspansi kolonial pihak barat38
. Para pendukung teori
ketergantungan berpendapat bahwa modernisasi Negara-negara maju (core
nations) semakin meningkat karena mereka melakukan eksploitasi terhadap
Negara-negara berkembang (peripheral nations) dan eksploitasi yang
berkelanjutan mencegah Negara-negara berkembang untuk maju mencapai
modernisasi penuh sehingga mereka selalu tergantung (dependent) pada Negara-
negara maju39
.
Perdebatan intelektual antara reformis liberal (Raul Prebisch), kaum
Marxis (Andre Gunder Frank), dan teori sistem dunia (Immanuel Wallerstein)
cukup menantang. Masih ada poin ketidaksepakatan yang serius di antara berbagai
aliran teori ketergantungan. Meskipun demikian, ada beberapa proposisi inti yang
tampaknya paling mendasar dalam analisis teori ketergantungan.
Ketergantungan dapat didefinisikan sebagai penjelasan tentang pembangunan
ekonomi suatu negara dalam hal pengaruh eksternal - politik, ekonomi, dan
36
David Greenberg, “Law and Development in Light of Dependency Theory”, in the Law
and Development Vol. 2 Legal Cultures, edited by Anthony Carty, New York : University Press,
1992, hlm 89 37
Ibid 38
Ibid., hlm 5 39
Ibid., hlm 3
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
21
Universitas Indonesia
budaya - pada kebijakan pembangunan nasional40
. Theotonio Dos Santos
mendefinisikan ketergantungan sebagai
kondisi sejarah yang membentuk struktur tertentu dari ekonomi dunia
dimana hal tersebut memuaskan beberapa negara dan merugikan yang
lainnya dan membatasi kemungkinan perkembangan ekonomi dari Negara
yang kondisi ekonominya lebih rendah, ... situasi di mana perekonomian
suatu kelompok Negara tertentu dikondisikan oleh pengembangan dan
perluasan ekonomi Negara lain41
Ada tiga karakteristik umum dalam berbagai definisi yang paling sering dipakai
teori ketergantungan.
Pertama, ketergantungan mencirikan sistem internasional yang terdiri dari dua
kelompok negara, yang digambarkan sebagai dominan-tergantung, pusat-
pinggiran atau metropolitan-satelit. Negara-negara yang dominan adalah negara
industrial maju dalam Organization of Economic Cooperation and Development
(OECD). Negara-negara yang tergantung adalah negara-negara Amerika Latin,
Asia, dan Afrika yang memiliki tingkat produk domestic bruto per-kapita yang
rendah (Gross National Product) dan yang sangat bergantung pada ekspor
komoditas tunggal untuk penerimaan devisa Negara .
Kedua, kedua definisi di atas memiliki kesamaan asumsi bahwa kekuatan
eksternal merupakan kekuatan tunggal yang penting untuk kegiatan ekonomi dari
negara yang bergantung. Kekuatan eksternal ini termasuk perusahaan
multinasional, pasar komoditas internasional, bantuan asing, komunikasi, dan
cara-cara lain dimana negara-negara industri maju dapat mewakili kepentingan
ekonomi mereka di luar negeri .
Ketiga, definisi ketergantungan semua menunjukkan bahwa hubungan antara
negara-negara yang dominan dan yang tergantung adalah dinamis karena interaksi
antara dua kelompok negara tersebut cenderung tidak hanya memperkuat tetapi
juga mengintensifkan pola yang tidak seimbang. Selain itu, ketergantungan adalah
proses sejarah yang sangat mendalam, berakar pada internasionalisasi
kapitalisme42
.
40
Osvaldo Sunkel, " National Development Policy and External Dependence in Latin
America," Journal of Development Study, Vol. 6, no. 1, Oktober 1969, hlm. 23 41
Theotonio Dos Santos, "The Structure of Dependence," dalam K.T. Fann and Donald C.
Hodges, editorial., Readings in U.S. Imperialism. Boston: Porter Sargent, 1971, hlm 226 42
Vincent Ferraro, Op. Cit., hlm 62
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
22
Universitas Indonesia
Singkatnya, teori ketergantungan mencoba untuk menjelaskan keadaan
terbelakang pada banyak bangsa di dunia dengan memeriksa pola interaksi antara
negara dan dengan menyatakan bahwa ketimpangan antara negara-negara
merupakan bagian intrinsik dari interaksi mereka43
.
Pandangan yang lebih optimis memusatkan pokok kajian pada
perlindungan kepentingan Negara-negara berkembang. Usaha-usaha di bidang ini
terdiri dari : jaminan terhadap bagian Negara-negara berkembang dalam the
common heritage of mankind yang meliputi eksploitasi sumber daya lautan
sampai pemanfaatan luar angkasa dan perumusan code of conduct bagi
transnational corporations dan transfer of technology yang harus memperhatikan
situasi khusus Negara-negara berkembang. Cakupan disiplin ini meliputi
dorongan untuk mengamankan preferential treatment bagi Negara-negara
berkembang dan hak-hak Negara berkembang untuk mendapatkan asistensi di
bidang pembangunan yang biasanya terkait dengan trade preferences,
pembebasan utang, pinjaman lunak atau hibah dan alih teknologi dengan biaya
murah44
. Namun harus selalu diingat bahwa dependency theory sangat diwarnai
pengaruh pemikiran Marxism. Dengan demikian pandangannya terhadap peran
hukum pasti sejalan dengan pemikiran pemberi ilhamnya bahwa hukum hanyalah
merupakan superstructure dari landasan ekonominya.45
1.5.2 Teori Keadilan John Rawls
Cita-cita hukum untuk menegakkan keadilan direfleksikan dalam suatu
adagium hukum Fiat Justitia et Pereat Mundus atau ada juga yang menyebutnya
Fiat Justitia Ruat Caelum, yang pengertiannya adalah tegakkan keadilan
sekalipun langit runtuh46
. Oleh karena itu keadilan harus direfleksikan menjadi
bagian dari substansi hukum itu. Kinerja hukum yang konsisten dalam penerapan
43
Ibid., hlm 64 44
Agus Brotosusilo, Op. Cit., hlm 5. Lihat juga : David Heywood, ―Deep Seabed Mining :
Alternative Schemes for Protecting Developing Countries from Adverse Impacts‖, Georgia Journal
of International Law & Comparative Law Vol. 12 No. 173, 1984; Stephen Gorove, “Utilization of
the Natural Resources of the Space Environment in Light of the Concept of Common Heritage of
Mankind‖, in Third World Attitude Towards International Law, edited by F.E. Snyder & S.
Sathirathal, 1987; Aloysius Fonseca, ”Code of Conduct of Multinationals : Their Impact on Third
World Countries, 1984. 45
Ibid 46
Valerie J.L.K,”Metode Penelitian Hukum”, dalam Kumpulan Bahan Bacaan untuk
Program S2 dan S3 Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014, hlm 5
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
23
Universitas Indonesia
dan prosedur yang relative sama terhadap suatu prilaku yang menyimpang dari
norma hukum, menjamin tercapainya keadilan yang substansial47
.
Teori keadilan pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles. Aristototeles
dalam Nichomachean Ethics, mengemukakan konsepnya tentang keadilan, dimana
beliau dalam menjelaskan teorinya tentang keadilan, membagi keadilan menjadi
dua yaitu distributive justice dan rectificatory justice48
. Distributive Justice
adalah peristiwa apabila hukum dan institusi-institusi public mempengaruhi
alokasi manfaat-manfaat social. Rectificatory justice adalah ukuran dari prinsip-
prinsip teknis yang mengatur penerapan hukum. Distributive justice memberi
pengarahan dalam pembagian barang-barang dan penghargaan kepada masing-
masing pribadi sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat. Hal ini
mengharuskan perlakuan yang sama kepada mereka yang berkedudukan sama di
hadapan hukum49
.
John Rawls pada bukunya A Theory of Justice menterjemahkan
terminologi rectificatory justice sebagai retributive justice50
. Menurut Rawls,
hukum ekonomi internasional juga meliputi mekanisme untuk identifikasi dan
koreksi terhadap keuntungan-keuntungan yang diperoleh dengan cara tidak wajar,
melalui mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan multilateral51
.
Di dalam buku Theory of Justice (1971), John Rawls mencoba untuk menganalisa
kembali permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik dengan
merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls
mengakui bahwa karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social
contract) yang pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti
John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Dalam hal ini, kaum
utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana masyarakat
dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara sama-rata. Rawls
berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-
institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, menurutnya, kebaikan bagi
47
Ibid., hlm 6 48
Aristotle,”Nichomachean Ethics”, translated with an introduction by David Ross, revised
by J.C. Ackrill and J.O. Urmson, Oxford University Press, Oxford:first published, 1925; reprinted
1980, hlm 109, 112-113 49
Agus Brotosusilo,Op. Cit., hlm 11 50
Ibid., hlm 12 51
Ibid
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
24
Universitas Indonesia
seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau mengganggu rasa keadilan
dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat
lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls sebagai
perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.52
Rawls merinci konsepsi umum tentang Justice as Fairness menjadi dua
prinsip yaitu Principal of Equal Liberty dan Difference Principle.53
Prinsip pertama, Principal of Equal Liberty mencakup :
Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak bersuara,
hak mencalonkan diri dalam pemilihan).
Kebebasan berbicara (termasuk kebebasan pers).
Kebebasan berkeyakinan (termasuk keyakinan beragama).
Kebebasan menjadi diri sendiri (person).
Hak untuk mempertahankan milik pribadi.
Sedangkan prinsip kedua terdiri dari dua bagian yaitu (a) “prinsip perbedaan”
(difference principle) dan; (b) “prinsip persamaan kesempatan” (equal opportunity
principle). “Prinsip perbedaan” berangkat dari prinsip ketidaksamaan yang dapat
dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan kelompok
masyarakat yang lemah. Sementara itu prinsip persamaan kesempatan yang
terkandung tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas kemampuan semata,
namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas tersebut. Sehingga
dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas
kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu nilai yang
adil berdasarkan persepktif Rawls.
Selain itu, prinsip pertama memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban
dasar, sedangkan prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi ketimpangan sosial
dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat
diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap orang, khususnya terhadap
kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least advantage). Dalam
kaitannya dengan prinsip-prinsip tersebut, Rawls meneguhkan adanya aturan
prioritas ketika antara prinsip satu dengan lainnya saling berhadapan. Jika terdapat
52
Pan Mohammad Faiz,”Teori Keadilan John Rawls”, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor
1, April 2009, hlm 141 53
Ibid
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
25
Universitas Indonesia
konflik di antara prinsip-prinsip tersebut, prinsip pertama haruslah ditempatkan di
atas prinsip kedua, sedangkan prinsip kedua bagian (b) harus diutamakan dari
prinsip kedua bagian (a). Dengan demikian, untuk mewujudkan masyarakat yang
adil Rawls berusaha untuk memposisikan kebebasan akan hak-hak dasar sebagai
nilai yang tertinggi dan kemudian harus diikuti dengan adanya jaminan
kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menduduki jabatan atau posisi
tertentu. Menurut Rawls, penerapan kedua prinsip tersebut akan memadai untuk
menjamin perwujudan keadilan bagi semua sistem alokasi social primary goods.
Pusat perhatian Rawls dalam kajian tentang keadilan adalah pada peoples bukan
pada states54
.
Menurut Rawls, kondisi-kondisi bagi international peace and justice
tergantung pada keberadaan domestic justice terlebih dahulu. Pendapat ini
merupakan pencerminan pendekatan Emmanuel Kant dalam Perpetual Peace
yang pertama-tama harus mewujudkan kondisi-kondisi bagi just states dan
kemudian menjelaskan bagaimana seharusnya interaksi antara sesama just states
tersebut.55
Berbeda dengan karya Rawls sebelumnya dalam Theory of Justice (1973),
buku “The Law of Peoples” (1999) mengurai secara komprehensif mengenai
perspektif keadilan pada ranah politik internasional. Rawls mengupas diskursus
mengenai keberadaan kaum minoritas untuk memperoleh posisi kekuasaan di
dalam negara dan membuka adanya kemungkinan partisipasi politik hanya dengan
pembahasan bertingkat, selain tentunya juga melalui mekanisme pemilihan
umum. Pandangannya mengenai keadilan distributif secara global juga dipaparkan
secara sistematis, misalnya mengenai konsep bantuan luar negeri yang cukup
menarik untuk disimak. Walaupun Rawls mengakui bahwa bantuan harus
diberikan kepada pemerintah di suatu negara yang tidak mampu melindungi hak
asasi manusia karena alasan-alasan ekonomi, namun dirinya menekankan bahwa
bantuan yang diberikan secara terus-menerus dan tanpa batas akan menimbulkan
suatu permasalahan moral yang amat berbahaya. Sebab, pemerintah yang sah
dapat melepaskan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan menjadi sangat
tergantung karena merasa kebutuhannya akan selalu dijamin oleh negara-negara
54
Agus Brotosusilo, Op. Cit., hlm 7 55
Ibid
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
26
Universitas Indonesia
yang memberikan bantuan tersebut. Rawls juga memberikan lingkup dan ciri-ciri
ideal seorang negarawan dan pemimpin politik di suatu negara yang harus mampu
meneropong kebutuhan generasi selanjutnya, menciptakan dan memajukan
keharmonisan hubungan internasional, serta menyelesaikan permasalahan
domestik secara adil56
.
Melalui bukunya Political Liberalism (1993), Rawls mencoba untuk
menjernihkan dan memperbaiki kelemahan teori yang dibahasnya dalam Theory
of Justice dengan menyempurnakan prinsip-prinsip keadilannya menjadi sebagai
berikut: Pertama, setiap orang memiliki klaim yang sama untuk memenuhi hak-
hak dan kemerdekaan-kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama jenisnya
untuk semua orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan nilai-
nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat dipenuhi atas
dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang
dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya persamaan kesempatan yang
adil; dan (b) kemanfaatan sebesar-besarnya bagi anggota-anggota masyarakat
yang paling tidak diuntungkan. Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukan dalam
kedua karyanya tersebut terletak pada konsep yang awalnya disebut sebagai “hak
yang sama” (equal rights) menjadi “klaim yang sama” (equal claim), serta adanya
modifikasi terhadap frasa “sistem kemerdekaan dasar” (system of basic liberties)
menjadi “skema pemenuhan yang memadai terhadap hak-hak dan kemerdekaan
dasar” (a full adequate scheme of equal basic rights and liberties).57
1.5.3 Kerangka Konsep
Untuk menyamakan persepsi terhadap terminologi yang akan sering
dijumpai dalam penelitian ini, berikut Peneliti akan memaparkan definisi
operasional dan konsep yang ada .
1. Perjanjian Kemitraan Sukarela atau Voluntary Partnership Agreements
(VPA) FLEGT adalah perjanjian bilateral antara Uni Eropa (UE) dan
negara-negara pengekspor kayu, yang bersifat mengikat secara hukum
antara mereka, yang mendukung perdagangan kayu legal yang diproduksi
56
Pan Mohammad Faiz, Op. Cit, hlm 144 57
Pan Mohammad Faiz, Op. Cit, hlm 143
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
27
Universitas Indonesia
sesuai dengan standar legalitas yang ditetapkan melalui dialog multi-pihak,
dan tunduk kepada audit independen58
.
2. Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan
Kemitraan Sukarela Antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang
Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan dan Perdagangan Produk
Kayu Ke Uni Eropa tanggal 13 Maret 2014
3. Persetujuan Technical Barriers to Trade ( Persetujuan TBT) merupakan
salah satu bagian dalam ketentuan World Trade Organizations (WTO)
yang mengatur hambatan dalam perdagangan yang terkait dengan
peraturan teknis (technical regulation), standar (standard), dan prosedur
penilaian kesesuaian (conformity assessment procedure) dalam
perdagangan internasional
4. Definisi Perjanjian Internasional berdasarkan Vienna Convention on the
Law of Treaties (Konvensi Wina) 1986 :
―an international agreement concluded between States and International
Organizations in written form and governed by International Law,
whether embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whether its particular designation‖
(persetujuan internasional yang ditandatangani dalam benuk tertulis antara
satu negara atau lebih dan antar satu organisasi atau lebih organisasi
internasional, serta antar organiasasi internasional, dimana persetujuan
tersebut dibuat dalam dua instrumen yang saling berhubungan atau lebih)
5. Hasil hutan kayu adalah hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil,
kayu olahan, atau kayu pacakan yang berasal dari kawasan hutan59
6. Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu
secara tidak sah yang terorganisasi60
7. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu adalah suatu sistem yang menjamin
kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu serta ketelusuran
kayu melalui sertifikasi penilaian PHPL (Pengelolaan Hutan Produksi
58
Jade Saunders, Risto Paivinen, Ilpo Tikkanen, dan Minna Korhonen,”Penegakan Hukum,
Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan: Pendekatan Uni Eropa”, European Forest
Institute, 2008, hlm 10 59
Pasal 1 ayat 13 Undang Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan 60
Pasal 1 ayat 4 Undang Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
28
Universitas Indonesia
Lestari), sertifikasi LK (Legalitas Kayu) dan deklarasi kesesuaian
pemasok61
.
8. Standard dan pedoman pengelolaan hutan lestari adalah persyaratan untuk
memenuhi pengelolaan hutan lestari yang memuat standard, kriteria,
indikator alat penilaian, metode penilaian, dan panduan penilaian62
.
9. Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah persyaratan untuk
memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan
para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standard, kriteria,
indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian63
.
10. Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) adalah surat
keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemegang hak
pengelolaan yang menjelaskan keberhasilan pengelolaan hutan lestari64
11. Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) adalah surat keterangan yang diberikan
kepada pemegang izin, pemegang hak pengelolaan, atau pemilik hutan hak
yang menyatakan bahwa pemegang izin, pemegang hak pengelolaan, atau
pemilik hutan hak telah memenuhi standar legalitas kayu65
12. Deklarasi Kesesuaian Pemasok adalah pernyataan kesesuaian yang
dilakukan oleh pemasok berdasarkan telah dapat dibuktikannya
pemenuhan atas persyaratan66
.
13. Deklarasi Ekspor adalah pernyataan dari industri kecil menengah pemilik
ETPIK bahwa barang yang diekspor menggunakan sumber bahan baku
yang telah memenuhi persyaratan legalitas67
14. Dokumen V-Legal adalah dokumen yang menyatakan bahwa produk kayu
tujuan ekspor memenuhi standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan
ketentuan Pemerintah Republik Indonesia68
.
61
Pasal 1 ayat 19, Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Mo.
P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-
II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas
Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak 62
Pasal 1 ayat 17 63
Pasal 1 ayat 18 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 64
Pasal 1 ayat 20 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 65
Pasal 1 ayat 21 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 66
Pasal 1 ayat 22 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 67
Pasal 1 ayat 24 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 68
Pasal 1 ayat 28 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
29
Universitas Indonesia
15. Tanda V-Legal adalah tanda yang dibubuhkan pada kayu, produk kayu
atau kemasan yang menyatakan bahwa kayu dan produk kayu telah
memenuhi standar PHPL atau standar VLK69
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Metode Penelitian
Menurut Bernard Arief Sidharta, ilmu hukum atau dogmatika hukum
adalah ilmu yang kegiatan ilmiahnya mencakup kegiatan menginvetarisasi,
memaparkan, menginterpretasi dan mensistematisasi dan juga mengevaluasi
keseluruhan hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat atau Negara
tertentu, dengan bersaranakan konsep-konsep (pengertian-pengertian), kategori-
kategori, teori-teori, klasifikasi-klasifikasi dan metode-metode yang dibentuk dan
dikembangkan khusus untuk melakukan semua kegiatan tersebut yang
keseluruhan kegiatannya itu diarahkan untuk mempersiapkan upaya menemukan
penyelesaian yuridik terhadap masalah hukum (mikro maupun makro) yang
mungkin terjadi di dalam masyarakat70
. Menurut Morris L. Cohen, penelitian
hukum adalah suatu proses menemukan hukum yang mengatur masyarakat.
Melalui penelitian, seorang lawyers dapat menemukan sumber-sumber yang
diperlukan untuk memperkirakan stategi atas apa yang akan dilakukan oleh
pengadilan71
. Penelitian ilmu hukum menurut Peter M. Marzuki dilakukan untuk
mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul, sehingga hasil yang dicapai
bukan menolak atau menerima hipotesis, melainkan memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan72
.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Peter Mahmud, penelitian hukum adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan
69
Pasal 1 ayat 27 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 70
Bernard Arief Sidharta,”Penelitian Hukum Normatif : Analisis Penelitian Filosofikal dan
Dogmatikal”, dalam Kumpulan Bahan Bacaan Metode Penelitian Hukum untuk program S2 dan
S3, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia oleh Valerine J.L.K, 2014, hlm.
155 71
Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LL.M, “Penelitian Hukum”, Kencana
Prenada Media Group, Cetakan ke 7, Jakarta : 2005, hlm. 35 72
Lany Ramli,”Metode Penelitian Ilmu Hukum”, dalam Kumpulan Bahan Bacaan Metode
Penelitian Hukum untuk program S2 dan S3, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia oleh Valerine J.L.K, 2014, hlm. 106
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
30
Universitas Indonesia
karakter preskriptif ilmu hukum. Jika pada keilmuan yang bersifat deskriptif,
jawaban yang diharapkan adalah true atau false, jawaban yang diharapkan di
dalam penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate atau wrong.73
Berdasarkan hal tersebut, maka metode penelitian yang dipakai dalam
penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Seorang peneliti
penelitian hukum normatif tidak boleh membatasi kajiannya hanya pada satu
undang-undang saja. Dia harus melihat keterkaitan undang-undang tersebut
dengan perundang-undangan lainnya74
, karena hasil yang hendak dicapai adalah
untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang
diajukan75
. Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian yuridis
normatif terhadap realisasi kebijakan tindak penegakan hukum, tata kelola dan
perdagangan sektor kehutanan yang diluncurkan Uni Eropa yaitu Regulasi Kayu
Uni Eropa dan Perjanjian Kemitraan Sukarela Indonesia dan Uni Eropa, dan
mengkaji implementasi dari ratifikasi perjanjian tersebut berupa Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu oleh industri hasil hutan kayu di Indonesia.
1.6.2 Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan
yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).76
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan
dari undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani77
. Pendekatan undang-undang membuka
kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian
73
Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit 74
Lany Ramli., Op. Cit., hlm. 117 75
Peter Mahmud, Op. Cit., hlm. 41 76
Peter Mahmud, Op. Cit., hlm 93 77
Ibid.,
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
31
Universitas Indonesia
antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-
undang dan Undang Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil
telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan isu yang dihadapi.
Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang, peneliti
mampu menangkap kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang itu
dan akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara
undang undang dengan isu dalam penelitian yang dihadapi78
.
Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian kebijakan tindak
penegakan hukum, tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan Uni Eropa yang
dituangkan dalam Regulasi Kayu Uni Eropa, dan Perjanjian Kemitraan Sukarela
antara Indonesia dan Uni Eropa yang diratifikasi melalui Peraturan Presiden No.
21 Tahun 2014. Selanjutnya penulis akan mengkaji implementasi perjanjian
kemitraan tersebut yang berupa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu oleh industri
hasil hutan kayu di Indonesia.
1.6.3 Data Penelitian
Data penelitian ini adalah terutama berupa data sekunder dan data primer.
Data sekunder diperoleh dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terkait
penelitian ini :
a. Perjanjian Kemitraan Sukarela FLEGT antara Indonesia-Uni Eropa tahun
2013
b. Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan
Kemitraan Sukarela Antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang
Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan dan Perdagangan Produk
Kayu Ke Uni Eropa tanggal 13 Maret 2014
c. Undang Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
d. Regulasi Kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulatin-EUTR)
995/2010 yang melarang penempatan maupun peredaran produk kayu ilegal
di pasar Uni Eropa
78
Ibid., hlm. 94
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
32
Universitas Indonesia
e. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.43/Menhut-
II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 tentang Standar dan Pedoman Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
f. Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.5/VI-BPPHH/2014 jo.
P.14/VI-BPPHH/2014 jo No. P.1//VI-BPPHH/2015 tentang Standar dan
Pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan
verifikasi legalitas kayu (VLK).
g. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.13/Menhut-II/2013 jo P.96/Menhut-
II/2014 tentang Standar Biaya Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
h. Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/12/2014 jo No. 66/M-
DAG/PER/8/2015 jo Permendag No. 89/M-DAG/PER/10/2015 tanggal 19
Oktober 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang
berbahan baku kayu
i. Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 Amandemen
2. Bahan hukum sekunder yaitu :
a. Peter van den Bosch,”The Law and Policy of World Trade
Organization”
b. Publikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia terkait penelitian ini
c. Publikasi dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia terkait
penelitian ini
d. Jurnal ilmiah nasional dan internasional terkait penelitian ini
e. Makalah Seminar-seminar terkait penelitian ini
3. Bahan hukum tersier yaitu :
a. Black‟s Law Dictionary
b. Kamus Rimbawan (Ir. Bambang Winarto MM tahun 2010)
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
33
Universitas Indonesia
Data Primer diperoleh dari wawancara dengan :
1. Bapak Ir. Bambang Edy Poerwanto , mantan Direktur Bina Iuran dan
Peredaran Hasil Hutan dan Ketua Tim Kelompok Kerja Penyusunan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu tahun 2005 Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia.
2. Bapak Zainuri Hasyim, Dinamisator organisasi Jaringan Pemantau
Independen Kehutanan Indonesia
1.7 Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Menguraikan tentang latar belakang permasalahan hukum, isu pelestarian
lingkungan hidup dalam GATT/WTO, regulasi teknis terkait isu pelestarian
lingkungan hidup dari negara tujuan ekspor produk hasil hutan khususnya Uni
Eropa, dan terjadinya Perjanjian Kemitraan Sukarela mengenai Tindak
Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan antara
Indonesia dan Uni Eropa sebagai salah satu upaya Indonesia untuk
meningkatkan ekspor produk unggulannya. Dalam bab ini akan diuraikan
pula rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
dan kerangka teori dan konsep.
BAB II : Persetujuan Technical Barriers to Trade dan Ketentuan GATT
1994/ WTO. Dalam bab ini penulis akan menguraikan ketentuan GATT/WTO
yang terkait dengan Regulasi Kayu Uni Eropa yaitu Technical Barriers to
Trade Agreement, dan ketentuan dalam GATT 1994 yang berkaitan dengan
Persetujuan TBT.
BAB III : Kebijakan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan
Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT) Uni Eropa dan implementasinya
berupa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia. Dalam bab ini penulis
akan menguraikan kebijakan FLEGT Uni Eropa yang terwujud dalam bentuk
Regulasi Kayu Uni Eropa (EUTR 995/2010) dan Perjanjian Kemitraan
Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan (FLEGT-VPA) . Penulis juga akan menguraikan implementasi
kebijakan tersebut dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang disepakati
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
34
Universitas Indonesia
kedua belah pihak sebagai standardisasi legalitas kayu dari Indonesia. Penulis
akan menguraikan Peraturan –peraturan terkait Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu di Indonesia dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dan Peraturan Menteri Perdagangan yang merupakan bentuk
komitmen Indonesia terhadap ratifikasi perjanjian tersebut di atas melalui
Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014 .
BAB IV. Tinjauan Yuridis
Penulis akan menganalisa apakah Regulasi Kayu Uni Eropa konsisten atau
tidak konsisten dengan Persetujuan TBT dan ketentuan dalam GATT 1994,
lalu juga menganalisa isi perjanjian kemitraan FLEGT-VPA Uni Eropa dan
Indonesia serta implementasinya dalam regulasi sistem verifikasi legalitas
kayu dengan pisau analisa teori ketergantungan dan teori keadilan John Rawls.
BAB V : Penutup
Dalam Bab ini Peneliti akan memberikan rekomendasi apakah regulasi Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu yang merupakan komitmen penandatangan
Perjanjian Kemitraan Sukarela Antara Republik Indonesia dan Uni Eropa
tentang Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan sektor kehutanan ke
Uni Eropa perlu disusun ulang ataukah sudah kondusif untuk meningkatkan
daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
35 Universitas Indonesia
BAB II
PERSETUJUAN TECHNICAL BARRIERS TO TRADE AGREEMENT dan
KETENTUAN GATT 1994
2.1 Persetujuan TBT (Technical Barriers to Trade Agreement)
2.1.1 Sejarah Persetujuan TBT
Peter Van den Bossche menyatakan bahwa pemahaman prinsip-prinsip
dalam Agreement on Technical Barrier to Trade (Persetujuan TBT) dan
Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (Perjanjian
SPS) diperlukan agar aturan-aturan tersebut tidak disalahgunakan.156
Persetujuan
TBT dalam WTO yang berlaku sejak tahun 1995 adalah penerus dari Kode
Standar (Standard Code) dalam perdagangan multilateral, yang ditandatangani
oleh 32 anggota GATT (General Agreement of Tariffs and Trade) pada negosiasi
perdagangan putaran Tokyo tahun 1979157
.
Dalam GATT 1947, aturan teknis dan standardisasi tidak diuraikan secara
detail. Walaupun istilah "regulasi" muncul di seluruh aturan GATT 1947, dan
istilah "standar" disebutkan dalam Pasal XI, namun yang pemahamannya
signifikan tentang “regulasi” hanya ada dalam Pasal III.4158
, Pasal XI.2159
, dan
Pasal XX160
. Secara historis, Pasal III GATT 1947 tentang national treatment
menjadi obyek penyalahgunaan. Di awal pemberlakuan GATT 1947, beberapa
anggota mulai menggunakan peraturan teknis dan persyaratan inspeksi sebagai
156
Peter van den Bossche,”Law and Policy World Trade Organization :Text, Cases and
Materials”, 2nd
Edition, New York : Cambridge University Press, 2008, hlm. 376. Salah satu
sengketa DSB-WTO terkait inkonsistensi dengan Persetujuan TBT adalah sengketa antara
Amerika Serikat dengan Meksiko tentang Kebijakan Import, Pemasaran dan Penjualan Produk
Tuna (US-Tuna II) pada tanggal 16 Mei 2012. Sengketa ini menjadi obyek pertentangan antara isu
perdagangan dan isu lingkungan. 157
United Nations Conference on Trade and Development,”Dispute Settlement World Trade
Organization : Technical Barriers to Trade”, New York and Geneva, 2003, hlm 1 158
Article III.4 GATT 1947,”The products of the territory of any contracting party
imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less
favourable than accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulations and
requirements affecting their internal sale, offerin g for sale, purchase, transportation, distribution
or use.‖ 159
Article XI.2(b) GATT 1947,”Import and Export prohibitions or restrictions necessary to
the application of standards or regulations for the classification, grading or marketing of
commodities in international trade‖,” 160
Pasal XX GATT juga signifikan walaupun istilah yang digunakan adalah "measures"
yang dipahami sebagai peraturan. Hanya Pasal XX (d) yang secara khusus menyebutkan istilah
“regulasi”
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
36
Universitas Indonesia
cara untuk proteksi perdagangan, sehingga diperlukan adanya sebuah rezim yang
tegas untuk yang mengatur mengenai penerapan peraturan teknis dan standar ini.
Kondisi di atas melahirkan "Standard Code 1979"161
.
Setelah negosiasi berkepanjangan di Negosiasi Perdagangan Putaran
Tokyo (Tokyo Round) , dihasilkanlah sebuah kesepakatan plurilateral (plurilateral
agreement)162
pada tahun 1979 yaitu sebuah “Standard Code” (kode standar)
yang merupakan cikal bakal dari Persetujuan TBT ini. Dengan hanya
ditandatangani oleh 32 negara163
, kode standar menjadi suatu pedoman acuan
dan cara terbaik untuk mendisiplinkan anggota dalam penerapan aturan teknis
dan standardisasi164
.
Persetujuan TBT dihasilkan dalam negosiasi perdagangan Putaran
Uruguay dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995. Isi dalam Persetujuan
TBT memiliki kemiripan dengan Standard Code (Kode Standar) hasil Putaran
Tokyo namun beberapa kelemahan yang ada pada Standard Code diperbaiki, yaitu
pertama, Persetujuan TBT dihasilkan dari kesepakatan multilateral dan bukan
kesepakatan plurilateral yang berarti bahwa itu berlaku untuk semua Anggota
WTO (konsep single undertaking ) yang mengikuti Putaran Uruguay; dan yang
kedua, Persetujuan TBT memiliki mekanisme penegakan hukum yang lebih kuat,
yang tunduk pada Dispute Settlement Understanding (DSU) WTO165
.
2.1.2 Tujuan Persetujuan TBT
Perdagangan internasional memerlukan akses pasar, sehingga dalam
praktek, tindakan proteksi merupakan suatu hal yang cenderung dilakukan oleh
suatu Negara untuk memperoleh akses pasar yang lebih besar166
. Di bawah World
Trade Organization (WTO) , akses haruslah terukur dan peningkatan atau
penambahan akses harus disepakati oleh Negara-negara anggota WTO. Tariff
barriers dan non-tariff barriers (hambatan tariff dan hambatan non-tariff)
merupakan bentuk proteksi yang sudah semakin dibatasi karena berhasilnya
161
United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit, hlm. 5 162
Disebut sebagai kesepakatan Plurilateral (Plurilateral Agreement) karena kesepakatan
tersebut tidak ditandatangani oleh seluruh negara peserta Tokyo Round 163
Jumlah negara yang mengikuti Tokyo Round adalah 102 negara 164
United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit, hlm. 5 165
Ibid., hlm 6 166
Dina Widyapuri Kariodimedjo,”Prinsip Transparansi dalam Persetujuan TBT dan
SPS”, Jurnal Mimbar Hukum, Edisi Khusus, November 2011, hlm. 144
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
37
Universitas Indonesia
negosiasi di bidang tariff dan kuota. Oleh karenanya, bentuk-bentuk lain dari
tindakan proteksi dengan memanfaatkan ketentuan teknis dan standardisasi perlu
mendapat perhatian khusus167
.
Persetujuan TBT berupaya untuk memastikan bahwa regulasi teknis
produk yang diwajibkan, standardisasi produk secara sukarela dan prosedur
penilaian kesesuaian (prosedur yang dirancang untuk menguji kesesuaian produk
dengan regulasi teknis wajib atau standardisasi sukarela), tidak menjadi hambatan
yang tidak perlu untuk perdagangan internasional dan tidak digunakan untuk
menghambat perdagangan168
. Sebagai contoh, masing-masing Negara membuat
hambatan terhadap perdagangan internasional. Diawali dengan semakin
meningkatnya kekhawatiran Negara-negara maju ketika harus bersaing dengan
Negara-negara industri baru (newly industrialized country‘s) seperti Jepang,
Korea Selatan dan Taiwan yang bisa menghasilkan produk-produk yang
berkualitas sama dengan produk serupa yang dihasilkan oleh Negara-negara maju
tetapi dengan harga yang relatif murah karena ditunjang oleh upah buruh yang
murah, tingkat pajak yang rendah dan keuntungan kompetitif lainnya169
Persoalan
hambatan non tariff ini semakin mengemuka dengan ditemuinya berbagai gejala
ke arah proteksionisme yang bangkit kembali pada dasawarsa tahun 1970-an
karena adanya krisis minyak yang terjadi dua kali sepanjang tahun 1970170
.
Persetujuan TBT berusaha untuk menyeimbangkan dua tujuan kebijakan yaitu171
.
1. Pencegahan proteksionisme
Pengurangan tarif progresif yang telah terjadi dalam konteks GATT / WTO
telah memaksa pemimpin industri dan negara untuk mencari cara lain
dalam melindungi industri mereka. Bentuk perlindungan yang acapkali
diadopsi adalah bentuk hambatan non-tarif (hambatan di luar tarif untuk
melindungi sektor usaha). Bentuk regulasi teknis, standardisasi dan
prosedur penilaian kesesuaian yang merupakan tindakan non-tarif, menjadi
peluang yang kadang digunakan untuk tujuan proteksi. Dengan demikian,
hambatan non-tariff dapat menjadi hambatan potensial dalam perdagangan
internasional. Persetujuan TBT menetapkan aturan dan disiplin yang
167
United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit, hlm 3 168
Ibid, hlm 3 169
Novi Pratiwi Dewi,Op. Cit., hlm 41 170
Ibid 171
United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit, hlm 3-4
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
38
Universitas Indonesia
dirancang untuk mencegah regulasi teknis wajib, standar sukarela, dan
kesesuaian prosedur penilaian agar menjadi hambatan yang tidak perlu
dalam perdagangan internasional .
2. hak otonomi Anggota untuk memberlakukan regulasi teknis produk untuk
disetujui sebagai kebijakan domestik yang sah dalam kerangka
GATT/WTO
Mensejajarkan tujuan untuk mencegah proteksionisme, Persetujuan TBT
juga mengakomodir kebutuhan Anggota untuk memberi ruang yang cukup
dalam membuat kebijakan domestik untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Peraturan domestik dapat memiliki beberapa tujuan yang tidak
terkait dengan proteksionisme. Misalnya, peraturan dalam negeri yang
berfungsi sebagai sarana melindungi keselamatan dan kesehatan
konsumen, lingkungan dan keamanan nasional. Juga ada peraturan
domestik di luar skala ekonomi seperti peningkatan kepercayaan
konsumen, dengan jaminan standardisasi teknis dan produksi yang
seragam. Terjadinya pembangunan ekonomi dan peningkatan pendidikan
bisa menyebabkan permintaan dari konsumen dan kadang-kadang
kalangan pelaku usaha untuk peningkatan peraturan atau standardisasi.
Dalam Persetujuan TBT dan Pasal 2.2 diatur hal mengenai peraturan
tertentu yang dianggap "sah" dengan tujuan Persetujuan TBT yaitu172
:
a. perlindungan kehidupan / kesehatan (manusia, hewan dan tumbuhan)
b. keamanan (manusia),
c. perlindungan keamanan nasional
d. perlindungan lingkungan,
e. pencegahan penipuan dalam praktik pemasaran
Baik aturan tentang harmonisasi teknis maupun standardisasi kualitas sudah
banyak dimanfaatkan, terutama oleh anggota dari negara-negara maju. Anggota
172
Article 2.2 TBT Agreement,”Members shall ensure that technical regulations are not
prepared, adopted or applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to
international trade. For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive
than necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risk non-fulfillment would
create. Such legitimate objectives are, inter alia : national security requirements, the prevention of
deceptive practices, protection of human health or safety, animal or plant life or health, or the
environment. In assessing such risk, relevant elements of consideration are, inter alia:available
scientific and technical information, related processing technology or intended end-uses of
products.‖
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
39
Universitas Indonesia
dari Negara berkembang khawatir bahwa langkah-langkah perdagangan dengan
menetapkan regulasi teknis dan standardisasi yang diambil oleh negara-negara
maju dengan tujuan kebijakan sosial mungkin dalam kenyataannya adalah untuk
tujuan proteksionis173
.
2.1.3 Lingkup Persetujuan TBT
Persetujuan TBT berlaku untuk "regulasi teknis" "standar", dan "prosedur
penilaian kesesuaian untuk regulasi teknis dan standar”. Persetujuan TBT berlaku
untuk setiap pemerintah, organisasi non-pemerintah (non governmental
organizations) pada berbagai tingkat yang berbeda dari masyarakat. Hal ini
disebabkan karena regulasi teknis, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian
tidak hanya diberikan oleh otoritas nasional (dalam negeri), tetapi juga oleh
otoritas internasional, regional, serta organisasi non-pemerintah. Persetujuan TBT
menetapkan aturan dan disiplin yang berlaku untuk internasional, nasional,
pemerintah dan organisasi non-pemerintah174
. Penerapan dari inti Persetujuan
TBT agak sedikit berbeda-beda tergantung pada tingkatan regulasi di suatu
Negara.
a. Regulasi Teknis
Berdasarkan Lampiran 1 Paragraf 1 Persetujuan TBT, definisi regulasi teknis
adalah175
:
“dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau proses terkait produk
dan metode produksi, termasuk ketentuan administratif yang berlaku, yang
menjadi kewajiban untuk dipatuhi. Hal ini juga mencakup atau terkait secara
eksklusif dengan terminologi, simbol, kemasan, persyaratan pelabelan yang
diberlakukan untuk produk, proses atau metode produksi.”
Contoh regulasi teknis yaitu sebuah hukum yang menyatakan bahwa hanya
lemari es yang tingginya satu meter bisa dijual di negara X atau sebuah hukum
yang menyatakan bahwa semua kemasan produk harus bisa daur ulang.176
173
United Nations Conference on Trade and Development, Op. Cit., hlm 4 174
Ibid., hlm 13 175
Annex 1, Paragraf 1, TBT Agreement,” Document which lays down product
characteristics or their related processes and production methods, including the applicable
administrative provisions, with which compliance is mandatory. It may also include or deal
exclusively with terminology, symbols, packaging, marking or labelling requirements as they apply
to a product, process or production method.‖ 176
United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit, hlm 8
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
40
Universitas Indonesia
Berdasarkan Pasal 2 dari Persetujuan TBT, Negara anggota memiliki
kewajiban untuk memastikan bahwa badan-badan pemerintah pusat, badan-
badan non pemerintah dan pemerintahan di luar pemerintah pusat, untuk
mematuhi ketentuan Persetujuan TBT yang mengatur regulasi teknis177
.
b. Standardisasi
Berdasarkan Lampiran 1 Paragraf 2 Persetujuan TBT, definisi standardisasi
adalah178
:
“Dokumen yang disetujui oleh suatu lembaga yang diakui, yang menyediakan,
untuk pemakaian normal dan berulang, pedoman atau karakteristik untuk
produk atau proses terkait dan metode produksi, dimana hal kepatuhan bukan
merupakan kewajiban. Hal ini juga mencakup atau terkait secara eksklusif
dengan terminologi, simbol, kemasan, persyaratan pelabelan yang
diberlakukan untuk produk, proses atau metode produksi.”
Contoh standardisasi adalah sebuah pedoman pemerintah yang menyatakan
bahwa semua telur seberat 62 gram atau lebih berhak untuk diberi label
"Grade A" (artinya telur yang beratnya kurang dari 62 gram masih bisa dijual)
. Atau misalnya suatu pedoman A yang mendefinisikan produk apa saja yang
dapat menempelkan simbol “bisa didaur ulang” di kemasan produknya
(artinya produk yang tidak menempelkan simbol tersebut masih dapat
dijual)179
.
Pasal 4 dari Persetujuan TBT merupakan referensi Code of Good Practice
(Kode Etik Praktis). Kode Etik ini terdapat dalam Lampiran 3 Persetujuan
TBT. Kode ini dirancang untuk mengatur penggunaan standardisasi sukarela.
Hal ini terbuka untuk diterima oleh badan standardisasi pada Anggota WTO,
apakah di tingkat pusat, daerah atau non-pemerintah. Hal ini juga terbuka
untuk badan standardisasi regional180
.
c. Prosedur Penilaian Kesesuaian
177
Ibid., hlm 14 178
Annex 1, Paragraf 2, TBT Agreement,” Document approved by a recognised body, that
provides, for common and repeated use, rules, guidelines or characteristics for products or
related processes and production methods, with which compliance is not mandatory. It may also
include or deal exclusively with terminology, symbols, packaging,marking or labelling
requirements as they apply to a product, process or production method.‖ 179
United Nations Conference on Trade and Development Op. Cit, hlm 8 180
Ibid., hlm 15
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
41
Universitas Indonesia
Berdasarkan Lampiran 1 Paragraf 3 Persetujuan TBT, definisi prosedur
penilaian kesesuaian adalah181
:
”Prosedur yang digunakan, langsung atau tidak langsung, untuk menentukan
bahwa persyaratan terkait regulasi teknis atau standardisasi sudah dipenuhi.”
Paragraf 3 lebih lanjut menjelaskan bahwa prosedur penilaian kesesuaian
termasuk, antara lain, prosedur untuk pengambilan sampel, pengujian dan
inspeksi; evaluasi, verifikasi dan jaminan kesesuaian; pendaftaran, akreditasi
dan persetujuan serta kombinasi dari hal-hal tersebut.
Contoh: Asumsikan suatu negara memerlukan syarat bahwa kandungan
alcohol dari produk bir tertera dengan benar di kemasan botol bir tersebut.
Suatu pengujian formal terhadap produk bir tersebut untuk menentukan bahwa
kandungan alkohol yang ditampilkan dalam kemasan adalah benar, akan
menjadi prosedur penilaian kesesuaian yang diimplementasikan untuk
memverifikasi kepatuhan produsen terhadap dengan regulasi teknis yang
ada182
.
Artikel 5 sampai 9 dari Persetujuan TBT menetapkan ketentuan terkait
pembatasan ruang lingkup dan penerapan Persetujuan TBT untuk prosedur
kesesuaian penilaian. Pasal 6 mengatur tentang ekivalensi, akreditasi,
pengakuan bersama (mutual recognition), dan partisipasi asing dalam prosedur
penilaian kesesuaian183
. Jadi persyaratan yang dimaksud dalam penilaian
kesesuaian antara lain adalah :
1. Pengujian pemeriksaan
2. Sertifikasi conformity of products
3. Sertifikasi sistem manajemen kualitas
4. Akreditasi dari badan yang bertanggungjawab atas hal-hal tersebut di
atas184
2.1.4 Prinsip Utama Persetujuan TBT
181
Annex 1 Paragraph 3,” Any procedure used, directly or indirectly, to determine that
relevant
requirements in technical regulations or standards are fulfilled” 182
United Nations Conference on Trade and Development Op. Cit, hlm 8 183
Ibid. 184
Novi Pratiwi Dewi, Op. Cit., hlm 42
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
42
Universitas Indonesia
Meskipun Persetujuan TBT memiliki tiga bidang yang terpisah dari aplikasi
(teknis peraturan, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian), namun prinsip
umum dan aturan yang berlaku umum di kesepakatan WTO tetap ada di seluruh
bagian Persetujuan TBT, yaitu :
1. Prinsip Non Diskriminasi
Kewajiban non-diskriminasi memiliki dua elemen: most favoured nations
treatment (MFN Treatment), dan national treatment. Singkatnya, MFN
Treatment adalah kewajiban untuk tidak melakukan diskriminasi antara "like
products" (produk sejenis) yang diimpor dari berbagai anggota WTO.
National treatment merupakan kewajiban untuk tidak membedakan antara
produk domestik dan produk impor yang sejenis185
.
Non-diskriminasi merupakan kewajiban untuk tidak membedakan antara
impor dan domestik like product (produk sejenis). Jika dua produk tidak
merupakan produk sejenis, prinsip non-diskriminasi tidak berlaku pada produk
tersebut.
2. Pencegahan Terhadap Hambatan Yang Tidak Perlu
Peraturan teknis, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian harus siap
diadopsi atau diterapkan sehingga tidak menciptakan hambatan yang tidak
perlu untuk perdagangan internasional. Pencegahan hambatan yang tidak perlu
untuk perdagangan internasional adalah prinsip yang berlaku untuk regulasi
teknis, standar dan prosedur penilaian kesesuaian, namun penerapannya tidak
selalu identik dalam tiga bidang tersebut186
.
Untuk regulasi teknis, pencegahan hambatan yang tidak perlu untuk
perdagangan internasional didefinisikan dalam Pasal 2.2 yang menyatakan
bahwa peraturan teknis harus tidak boleh lebih dari yang diperlukan untuk
mencapai tujuan kebijakan dan harus memenuhi tujuan yang sah dengan
memperhitungkan risiko yang timbul187
. Untuk standardisasi, pencegahan
hambatan yang tidak perlu tidak didefinisikan baik dalam Pasal 3 Persetujuan
TBT ataupun di Kode Etik Praktis (Code of Good Practice), namun besar
185
Novi Pratiwi Dewi, Op. Cit., hlm 42 186
United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit., hlm 23 187
United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit., hlm 23
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
43
Universitas Indonesia
kemungkinan bahwa definisi untuk regulasi teknis juga berlaku dalam
standardisasi, tapi ini masih harus dibuktikan188
. Untuk prosedur penilaian
kesesuaian, pencegahan hambatan yang tidak perlu didefinisikan dalam Pasal
5.1.2 yang bermakna bahwa prosedur penilaian kesesuaian tidak boleh
diterapkan lebih ketat daripada yang diperlukan untuk Negara anggota
pengimpor dengan mempertimbangkan terciptanya risiko ketidaksesuaian189
3. Harmonisasi
Harmonisasi merupakan pilar utama dari Persetujuan TBT. Anggota didorong
untuk berpartisipasi dalam harmonisasi standar internasional dan
menggunakan standar internasional yang disepakati sebagai dasar regulasi
teknis dalam negeri dan standardisasi. Penekanan pada harmonisasi didasarkan
pada pandangan bahwa :
(1) gangguan perdagangan berkurang jika Anggota menggunakan
standar yang disepakati secara internasional sebagai sebagai dasar
penyusunan regulasi teknis dan standardisasi dalam negeri , dan
(2) produsen dan konsumen mendapatkan keuntungan dari tingkat
harmonisasi (karena skala ekonomi dan kompatibilitas teknis
masing-masing).
Anggota memiliki kewajiban, dalam batas-batas sumber daya mereka, untuk
berpartisipasi dalam tugas organisasi standardisasi internasional sehubungan
dengan regulasi teknis dan standardisasi produk yang akan mereka susun yang
mengadopsi standar internasional tersebut. Anggota juga memiliki kewajiban
yang sama sehubungan dengan persiapan "panduan dan rekomendasi" untuk
prosedur penilaian kesesuaian190
.
4. Penggunaan Standar Internasional Yang Relevan
Sehubungan dengan regulasi teknis, Pasal 2.4 Persetujuan TBT menyatakan
bahwa191
:
188
Ibid 189
Ibid., hlm 22 190
United Nations Conference on Trade and Development , Op. Cit., hlm 25 191
Article 2.4,” where technical regulations are required and relevant international
standards
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
44
Universitas Indonesia
saat regulasi teknis yang diperlukan dan standar internasional yang relevan
sudah ada atau kelengkapannya sudah mendekati, Anggota harus
menggunakannya, atau menggunakan bagian yang relevan, sebagai dasar
untuk regulasi teknisnya kecuali ketika standar internasional atau bagian yang
relevan akan menjadi tidak efektif atau tidak sesuai untuk pemenuhan tujuan
akan dicapai, misalnya karena faktor iklim atau faktor geografis atau masalah
teknologi yang mendasar.
5. Ekivalensi dan Pengakuan Bersama (Mutual Recognition)
Anggota didorong untuk menerima regulasi teknis dari negara lain sebagai
regulasi teknis yang ekivalen (setara) dengan regulasi teknis domestik (bahkan
jika kedua regulasi tersebut berbeda) asalkan mereka memenuhi yang tujuan
yang sama192
Demikian juga, Anggota didorong untuk menerima prosedur
penilaian kesesuaian sebagai "ekivalen" dengan prosedur mereka sendiri
asalkan anggota puas karena prosedur tersebut menawarkan kepastian
kesesuaian dengan standardisasi dan regulasi teknis mereka sendiri. Meskipun
gagasan kesetaraan tidak disebutkan dalam Code of Good Practice , prinsip
kesetaraan dibuat berlaku untuk standardisasi seperti dinyatakan dalam Pasal
6.1 ( prosedur penilaian kesesuaian)193
.
Anggota didorong untuk ikut dalam negosiasi untuk mendapatkan pengakuan
bersama dari hasil prosedur penilaian kesesuaian. Dengan menerima hasil
prosedur penilaian kesesuaian Anggota lain, biaya pengujian akan berkurang
dan lebih sedikit waktu yang hilang194
.
6. Transparansi
Dalam Pasal 15.2 Persetujuan TBT, secara khusus yang dimaksud dengan
transparansi adalah bahwa Negara anggota WTO wajib untuk menyampaikan
pemberitahuan ke Sekretariat WTO mengenai administrasi Penerapan
Persetujuan TBT, melakukan notifikasi, melakukan publikasi terhadap semua
exist or their completion is imminent, Members shall use them, or the relevant parts of
them, as a basis for their technical regulations except when such international standards or
relevant parts would be an ineffective or inappropriate means for the fulfilment of the legitimate
objectives pursued, for instance because of fundamental climatic or geographical factors or
fundamental technological problems‖ 192
United Nations Conference on Trade and Development ,Op. Cit., hlm 28 193
Ibid 194
United Nations Conference on Trade and Development ,Op. Cit., hlm 28
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
45
Universitas Indonesia
peraturan teknis dan prosedur penilaian kesesuaian dan membentuk enquiry
point.195
Di dalam Peraturan Kepada Badan Standardisasi Nasional No. 1
Tahun 2011 tentang Pedoman Standardisasi Nasional No. 301 tahun 2011
tentang Pedoman Pemberlakuan SNI secara wajib, notifikasi adalah suatu
kewajiban terkait transparansi bagi suatu anggota WTO untuk menyampaikan
informasi kepada Sekretariat WTO terkait peraturan yang akan diberlakukan
dalam suatu anggota WTO yang diperkirakan dapat berpengaruh terhadap
perdagangan anggota WTO yang lain196
.
Kewajiban transparansi mengambil beberapa bentuk yang berbeda dan
diterapkan pada poin perundang-undangan yang berbeda. Persyaratan
transparansi diatur dalam Pasal 2.9, 2.10, 5.6 dan 5.8 serta Lampiran 3 butir
(L), (M), (N) dan (O) yaitu sebagai berikut197
:
1) Publikasi dari pra-implementasi sebelum berlakunya kebijakan untuk
memberi kesempatan pada pihak yang berkepentingan agar memahami
kebijakan yang diusulkan tersebut198
.
2) Sebelum berlakunya regulasi teknis atau prosedur penilaian kesesuaian
(ketika perubahan kebijakan masih bisa diperkenalkan), notifikasi dari
Anggota lain melalui Sekretariat WTO tentang produk yang akan
dibahas dan petunjuk singkat dari regulasi teknis atau prosedur serta
tujuan dan alasan pemberlakukan regulasi teknis dan prosedur tersebut.
Untuk rancangan standar, diberi waktu 60 hari untuk menyampaikan
komentar.199
3) Atas permintaan, dapat memberikan Anggota salinan rancangan
regulasi teknis, standardisasi , dan prosedur penilaian kesesuaian200
.
195
Dina Widyapuri Kariodimedjo,Loc. Cit., hlm. 151 196
Badan Standardisasi Nasional (BSN),”Salah Satu Prinsip dalam Perjanjian TBT WTO
adalah Transparansi, Apa Maksudnya?‖, http://www.bsn.go.id/faq_detail.php?faq_id=89, diakses
9 November 2015 197
United Nations Conference on Trade and Development , Op. Cit., hlm 29 198
Untuk Regulasi Teknis lihat Pasal 2.9.1; untuk standardisasi lihat Lampiran 3 butir (L)
(Code of Good Practice); dan untuk prosedur penilaian kesesuaian lihat Pasal 5.6.1 dari
Persetujuan TBT 199
Untuk Regulasi Teknis lihat Pasal 2.9.2; untuk standardisasi lihat Lampiran 3 butir (L)
(Code of Good Practice); dan untuk prosedur penilaian kesesuaian lihat Pasal 5.6.2 dari
Persetujuan TBT 200
Untuk Regulasi Teknis lihat Pasal 2.9.3; untuk standardisasi lihat Lampiran 3 butir (M)
(Code of Good Practice); dan untuk prosedur penilaian kesesuaian lihat Pasal 5.6.3 dari
Persetujuan TBT
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
46
Universitas Indonesia
4) Sebelum pemberlakuan kebijakan, Anggota diberi waktu yang wajar
untuk memberi komentar tertulis, dan berdiskusi tentang usulan
kebijakan tersebut, dan menjadikan komentar/diskusi tersebut sebagai
bahan pertimbangan201
.
5) Mempublikasikan "atau menyediakan" regulasi teknis, standardisasi ,
dan prosedur penilaian kesesuaian untuk anggota lain dan pihak yang
berkepentingan202
6) Selain itu, sesuai dengan Pasal 10, Anggota diwajibkan untuk
membentuk "Enquiry Point" untuk menjawab pertanyaan,
menyediakan dokumen yang relevan kepada Anggota dan pihak lain
yang berkepentingan mengenai regulasi teknis, standardisasi dan
prosedur penilaian kesesuaian. Enquiry Poin memiliki tanggung jawab
untuk memberikan informasi mengenai partisipasi Anggota WTO
dalam standardisasi regional dan internasional dan lembaga penilaian
kesesuaian. Enquiry Poin juga bertanggung jawab untuk memberikan
informasi tertentu mengenai kegiatan organisasi standardisasi non-
pemerintah.
2.1.5 Persetujuan TBT dan Anggota Negara Bekembang
Persetujuan TBT memberikan perlakuan khusus bagi Negara-negara
berkembang dan masalah yang mungkin dihadapi Negara-negara berkembang
dalam menyetujui kewajiban Persetujuan TBT. Negara berkembang juga selalu
memanfaatkan sistem penyelesaian sengketa WTO apabila ada permasalahan
dengan Negara-negara maju203
.
Dalam Pasal 12.8 Persetujuan TBT, ditegaskan bahwa khusus untuk
Negara berkembang, atas dasar permintaan Anggota, Komite (dalam hal ini
Komite Perdagangan Barang) dapat memberikan pengecualian dalam batas waktu
201
Untuk Regulasi Teknis lihat Pasal 2.9.4; untuk standardisasi lihat Lampiran 3 butir (L)
dan (N) (Code of Good Practice); dan untuk prosedur penilaian kesesuaian lihat Pasal 5.6.4 dari
Persetujuan TBT 202
Untuk Regulasi Teknis lihat Pasal 2.11; untuk standardisasi lihat Lampiran 3 butir (O)
(Code of Good Practice); dan untuk prosedur penilaian kesesuaian lihat Pasal 5.8 dari Persetujuan
TBT 203
Peter Van den Bossche, Op.Cit., hlm 225
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
47
Universitas Indonesia
tertentu, secara keseluruhan atau sebagian dari kewajiban dalam persetujuan ini204
.
Oleh karena itu, Persetujuan TBT memberikan Technical Assistance (bantuan
teknis) dan Special and Differential Treatment (Perlakuan Khusus dan Berbeda)
sehingga Negara-negara berkembang dapat memanfaatkan keistimewaan tersebut.
1) Bantuan Teknis (Technical Assistance)
Dalam Pasal 11 Persetujuan TBT dinyatakan bahwa atas dasar persyaratan
yang disepakati bersama, suatu anggota WTO dapat meminta bantuan teknis
kepada Negara lain berkaitan dengan penyusunan standar, peraturan teknis,
prosedur penilaian kesesuaian, pembentukan dan standardisasi nasional serta
pembentukan badan untuk penilaian kesesuaian205
.
Berdasarkan Pasal 11 Persetujuan TBT, Negara-negara anggota terutama
Negara maju, apabila diminta harus memberikan saran atau menyediakan
bantuan teknis kepada Negara-negara anggota lain terutama pada Negara
berkembang206
. Saran atau bantuan teknis merujuk kepada Pasal 11
terutama menyangkut bantuan di dalam mendirikan lembaga atau badan-
badan pengatur atau badan penilaian kesesuaian terhadap peraturan teknis
dan metode yang dapat dipenuhi dengan sangat baik. Sebagai tambahan,
anggota Negara-negara berkembang dapat meminta bantuan kepada Negara-
negara maju dalam meraih tujuan untuk207
:
a. Berpartisipasi di dalam badan standardisasi internasional
b. Mengakses sistem penilaian penyesuaian mereka
c. Menjadi anggota atau berpartisipasi di dalam sistem penilaian
kesesuaian internasional atau regional
204
Article 12.8 TBT Agreement,”It is recognized that developing country members may
face special problems, including institutional and infrastructureal problems, in the fielf of
preparation and application of technical regulation, standards and conformity assessment
procedures. It is further recognized that the special development and trade needs of developing
country members, as well as their stage of technological development, may hinder their ability to
discharge fully their obligations under this Agreement. Members, therefore, shall take this fact
fully into account. Accordingly, with a view to ensuring that developing country members are able
to comply with this agreement, the Committee on Technical Barriers to Trade provided for in
Article 13 (referred to in this Agreement as the ―Committee) is enabled to grant, upon request,
specified, time limited exceptions in whole or in part from obligations under this Agreement‖ 205
Program Pascasarjana Universitas Indonesia dalam rangka kerjasama dengan
Departemen Perdagangan, Analisis Dampak Yuridis Ratifikasi,‖Final Act – Uruguay Round‖,
Jakarta : Departemen Perdagangan 1995, hlm 120 206
Peter Van den Bossche,Op. Cit., hlm 26 207
Peter Van den Bossche,Op. Cit., hlm 26
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
48
Universitas Indonesia
Berdasarkan Pasal 12.7 Persetujuan TBT, Negara-negara anggota yang
memberikan bantuan teknis kepada Negara-negara berkembang, harus
mempertimbangkan juga tingkat pembangunan dari Negara berkembang
yang meminta bantuan208
.
2) Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and Differential Treatment)
Walaupun Persetujuan TBT tidak dapat meramalkan masa transisi khusus
bagi Negara-negara berkembang, Pasal 12.8 Persetujuan TBT secara tegas
mengetahui kesulitan Negara-negara berkembang dalam
mengimplementasikan kewajiban yang harus dipenuhi dari Persetujuan
TBT. Sebagai konsekuensinya, Komite TBT membolehkan adanya
pengecualian batas waktu secara keseluruhan atau hanya sebagian dari
kewajiban tersebut209
. Dalam hal ini, Negara-negara berkembang yang
tidak mempunyai dasar peraturan teknik, standard dan prosedur penilaian
kesesuaian yang sesuai dengan standar internasional atau jika standar
internasional tidak sesuai dengan pembangunan atau keuangan serta
kebutuhan perdagangan secara khusus diperhatikan teknologi dan metode
produksi dan prosesnya akan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan
Negara masing-masing210
, artinya anggota Negara – Negara berkembang
juga dijamin bahwa badan standardisasi internasional akan memberikan
perhatian yang lebih kepada penetapan standar internasional dengan tetap
menghargai produksi dan kebutuhan semua Negara berkembang211
.
Adapun perlakuan khusus yang diberikan dalam Persetujuan TBT diatur dalam
Pasal 12 yaitu :
a. Setiap Negara anggota harus memberikan perhatian khusus terhadap hak
dan kewajiban Negara berkembang
b. Anggota dalam menyusun dan menerapkan peraturan teknis, standard dan
sistem penilaian kesesuaian harus memperhatikan kebutuhan khusus
pembangunan, perekonomian dan perdagangan Negara berkembang
208
Article 12.7 TBT Agreement 209
Peter Van den Bossche , Op. Cit., hlm 27 210
Ibid 211
Novi Pratiwi Dewi,Op. Cit., hlm 46
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
49
Universitas Indonesia
c. Anggota mengakui meskipun standar, pedoman atau rekomendasi
internasional ada, dalam kondisi teknologi dan sosial ekonomi khusus
Negara berkembang, maka Negara berkembang dapat menetapkan
peraturan teknis, standar maupun prosedur penilaian kesesuaian dengan
maksud untuk mempertahankan teknologi asli serta metode produksi dan
proses yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan Negara berkembang
d. Negara berkembang tidak diwajibkan untuk memakai standar internasional
sebagai acuan dari peraturan teknis maupun standar yang tidak sesuai
dengan kebutuhan pembangunan, perekonomian dan perdagangan
e. Negara berkembang dapat meminta pengecualian dalam batas waktu
tertentu
2.2 Hubungan antara GATT 1994 dan Persetujuan TBT
Hubungan antara GATT 1994 dan Persetujuan TBT adalah pada
perbedaan secara alami dan hal tersebut tidak bertentangan212
. Panel dalam
sengketa EC-Asbestos (DS-135)213
mengatakan bahwa dalam kasus dimana
ketentuan GATT 1994 dan Persetujuan TBT menjadi dasar penerapan tindakan
tersebut, maka Panel harus pertama kali menguji apakah tindakan tersebut
konsisten dengan Persetujuan TBT karena persetujuan tersebut mengatur
“kekhususan dan diuraikan secara rinci” hambatan teknis dalam perdagangan214
.
Lalu, apabila Panel menemukan bahwa tindakan tersebut konsisten dengan
Persetujuan TBT, maka tindakan tersebut selanjutnya harus diuji konsistensinya
dengan ketentuan dalam GATT 1994 pada klausul yang mengandung beberapa
prinsip yang juga ditemukan dalam Persetujuan TBT, seperti kewajiban perlakuan
yang sama terhadap semua anggota (Most Favoured Nations - MFN) dalam Pasal
I, kewajiban perlakuan nasional (national treatment)dalam Pasal III dan
kewajiban menahan diri untuk menciptakan hambatan yang tidak perlu dalam
perdagangan internasional dalam Pasal XI.215
212
Peter Van den Bossch, Op. Cit., hlm 816 213
Dalam kasus ini, Canada mengajukan gugatan atas Peraturan No. 96-1133 yang
dikeluarkan oleh Perancis sehubungan dengan standardisasi produk impor asbestos dan produk
yang mengandung asbestos yang tidak dikenakan pada produk domestic pengganti asbestos seperti
vinyl, selulosa dan serat kaca dan produk yang mengandung material pengganti tersebut. 214
Peter van Den Bossche, Op. Cit 215
Peter van Den Bossche, Op. Cit, hlm 816-817
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
50
Universitas Indonesia
2.2.1 Pasal I GATT 1994
Pasal I GATT mengatur prinsip non diskriminasi paling utama dalam ketentuan
WTO yaitu Most Favoured Nations. Dalam Pasal 1.1. dikatakan :
With respect to customs duties and charges of any kind imposed on or in
connection with importation or exportation, and with respect to all matters
referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III, any advantage, favour, privilege
or immunity granted by any contracting party to any product originating in or
destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally
to the like product originating in or destined for the territories of all other
contracting parties
2.2.2 Pasal III GATT 1994
Pasal III mengatur prinsip non diskriminasi yang kedua yaitu Perlakuan Nasional
(National Treatment) dimana diatur setiap negara anggota WTO harus
memberikan perlakuan yang sama (no less favourable) kepada barang produksi
dalam negeri dengan barang sejenis (like product) luar negeri produksi negara
anggota WTO yang lain.
Pasal III.1 mengatur tentang perlakuan kebijakan yang sama antara produk sejenis
yang diimpor dengan produk domestic dalam hal pengenaan pajak, pemberian
fasilitas seperti tertulis :
“The products of the territory of any contracting party imported into the territory
of any other contracting party shall not be subject, directly or indirectly, to
internal taxes or other internal charges of any kind in excess of those applied,
directly or indirectly, to like domestic products …‖
Pasal III.4 mengatur tentang perlakuan yang harus tidak lebih kurang antara
produk sejenis yang diimpor dengan produk domestic
The products of the territory of any contracting party imported into the territory
of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable
than that accorded to like products of national origin in respect of all laws,
regulations and requirements affecting their internal sale, offering for sale,
purchase, transportation, distribution or use.‖
2.2.3 Pasal XI GATT 1994
Pasal XI ayat 1 GATT menyatakan:
“No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other
charges, whether made effective through quotas, import or export
licences or other measures, shall be instituted or maintained by any
contracting party on the importation of any product of the territory of
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
51
Universitas Indonesia
any other contracting party or on the exportation or sale for export of
any product destined for the territory of any other contracting party”.
Ketentuan Pasal XI ayat 1 GATT diatas pada prinsipnya melarang negara anggota
WTO menerapkan hambatan perdagangan selain melalui tarif (pembatasan
kuatitatif atau quantitative restriction). Sebagaimana dinyatakan oleh Panel dalam
Turkey-Textiles case, Pasal XI ayat 1 menunjukkan bahwa sistem GATT lebih
memilih tarif dari pada kuota sebagai bentuk pembatasan atau hambatan
perdagangan yang dapat diterima216
. Pembatasan kuantitatif dianggap
menghambat perdagangan yang dilarang karena penerapannya menimbulkan
masalah dan administrasi yang tidak transparan dibandingkan tariff yang lebih
transparan dan dapat diupayakan menurun melalui kesepakatan secara timbal
balik (reciprocal concession). Sehingga larangan pembatasan kuantitatif
merupakan cornerstones dari sistem GATT. 217
216
Peter van den Bossche, Op. Cit., hlm 447 217
Ibid
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
52 Universitas Indonesia
BAB III
KEBIJAKAN TINDAK PENEGAKAN HUKUM, TATA KELOLA DAN
PERDAGANGAN SEKTOR KEHUTANAN (FLEGT) UNI EROPA DAN
IMPLEMENTASI BERUPA SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU
3.1 Kebijakan FLEGT Uni Eropa
Pembalakan liar berdampak menghancurkan terhadap sebagian sisa hutan
dunia yang paling berharga. Efeknya terhadap lingkungan hidup mencakup
penggundulan hutan, punahnya keanekaragaman hayati dan meningkatnya emisi
gas rumah kaca. Dampak secara langsung terhadap penduduk antara lain adalah
konflik dengan penduduk pribumi dan dengan penduduk setempat, kekerasan
serta penindasan atas hak-hak azasi manusia, meningkatnya korupsi dan
memburuknya kemiskinan. Bank Dunia memperkirakan bahwa pihak pemerintah
di beberapa negara termiskin di dunia mengalami kerugian lebih dari US$15
milyar per tahun sebagai akibat pembalakan liar – uang tersebut seharusnya dapat
digunakan untuk meningkatkan taraf kehidupan penduduk mereka280
.
Pembalakan liar (illegal logging) adalah penebangan kayu yang
bertentangan dengan hukum dan peraturan negara tempat penebangan dilakukan.
Penebangan liar merupakan masalah global dengan dampak negatif yang
signifikan secara ekonomi, lingkungan dan sosial. Dalam bidang ekonomi, hasil
pembalakan liar menghasilkan kerugian dan kehilangan manfaat-manfaat yang
bisa diperoleh sebelumnya. Dalam bidang lingkungan, pembalakan liar dikaitkan
dengan deforestasi, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Dalam bidang sosial, pembalakan liar dapat dihubungkan dengan konflik atas
tanah dan sumber daya, ketidakberdayaan masyarakat lokal dan masyarakat adat,
korupsi dan konflik bersenjata. Kegiatan ilegal juga merusak upaya operator yang
bertanggung jawab dengan tersedianya produk kayu yang harganya lebih murah
tapi ilegal281
.
280
Jade Saunders, Risto Paivinen, Ilpo Tikkanen, dan Minna Korhonen, “Penegakan
Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan ―, Ringkasan Kebijakan 2 European
Forest Institute, 2008, hlm 3 281
http://ec.europa.eu/environment/forests/illegal_logging.htm diakses tanggal 23
November 2015
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
53
Universitas Indonesia
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pada tahun 2003 Komisi Eropa
mengumumkan Rencana Tindakan Penegakan Hukum, Tata Kelola dan
Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT-Forest Law Enforcement Governance
and Trade Action Plan), yang menguraikan serangkaian langkah-langkah yang
dapat diambil oleh Uni Eropa dan Negara-negara Anggotanya untuk menangani
pembalakan liar di hutan-hutan di seluruh dunia.
Sebetulnya sebelum munculnya kebijakan FLEG, sudah ada beberapa
upaya internasional untuk mencapai kelestarian lingkungan hidup yang
diimplementasikan melalui Kebijakan-Kebijakan dan Konvensi-Konvensi seperti:
1. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora (CITES)282
2. The Lacey Act dan amandemennya oleh Amerika Serikat283
3. Australian Illegal Logging Prohibition Act (AILPA)284
282
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) adalah perjanjian internasional antar pemerintah. Tujuannya adalah untuk memastikan
bahwa perdagangan internasional hewan liar dan tanaman tidak mengancam kepunahannya.
CITES merupakan hasil dari resolusi yang diadopsi pada tahun 1963 pada pertemuan anggota The
World Conservation Union. Naskah Konvensi ini akhirnya disepakati pada pertemuan wakil dari
80 negara di Washington, DC, Amerika Serikat, pada tanggal 3 Maret 1973, dan pada tanggal 1
Juli 1975, CITES mulai diberlakukan. Meskipun CITES mengikat secara hukum pada
anggotanya, namun dia tidak menggantikan hukum nasional, namun menyediakan kerangka kerja
yang harus dihormati oleh setiap anggota, yang harus menerapkan dalam undang-undang domestik
nya untuk memastikan bahwa CITES diimplementasikan di tingkat nasional. Anggota CITES saat
ini ada 181 negara. 283
The Lacey Act adalah Regulasi Amerika Serikat yang melarang perdagangan satwa liar
ilegal. Pada tahun 2008, diadakan amandemen terhadap aturan tersebut dengan memasukkan
tanaman dan produk tanaman seperti kayu dan kertas sebagai obyek tambahan. Amandemen
Lacey Act tahun 2008 menjadi larangan pertama di dunia pada perdagangan produk kayu dari
sumber yang ilegal. Ada dua komponen utama untuk amandemen tanaman yaitu larangan
perdagangan tanaman atau produk tanaman yang dipanen secara illegal; dan persyaratan untuk
mencantumkan nama ilmiah tanaman, nilai, kuantitas, dan negara asal panen untuk beberapa
produk tanaman. Lacey Act adalah undang-undang dengan kewajiban yang ketat, dimana yang
dilihat adalah legalitas sebenarnya ( jadi sertifikasi atau verifikasi dari pihak ketiga tidak dapat
digunakan untuk "membuktikan" legalitas berdasarkan Undang-Undang ini) dan pelanggar hukum
bisa menghadapi sanksi pidana dan perdata, bahkan jika mereka tidak tahu bahwa mereka
berhadapan dengan produk yang ditebang secara ilegal. 284
Australian Illegal Logging Prohibition Act 2012 mulai berlaku pada tanggal 29
November 2012, dan melarang impor kayu ilegal dan pengolahan kayu mentah ilegal. Importir dan
pengolah kayu mentah di Australia diwajibkan untuk melaksanakan uji tuntas kelayakan (due
diligence)sehingga dapat meminimalkan risiko kayu yang ditebang secara ilegal dipasarkan dalam
rantai pasokan mereka. Untuk membuktikan bahwa due diligence telah dilakukan, importir harus
mengajukan deklarasi kepada Menteri Bea Cukai pada saat impor. Definisi kayu ilegal adalah
setiap kayu yang dipanen dengan cara yang tidak sesuai dengan undang-undang di negara asal.
Persyaratan due diligence ini berlaku pada tanggal 30 November 2014.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
54
Universitas Indonesia
FLEGT Action Plan telah muncul sebagai respon kebijakan utama oleh
lembaga-lembaga internasional dan Negara-negara untuk meningkatkan
pengelolaan hutan yang baik (good forest management)285
. Negara-negara yang
menjadi sasaran utama penerapan FLEGT Action Plan adalah Negara –Negara
yang secara bersama-sama memiliki sumber daya alam hutan sebesar 60% dari
hutan dunia dan Negara-negara pemasok kayu terbesar dalam konteks
perdagangan internasional, dimana Negara-negara tersebut adalah Afrika Tengah,
Rusia, Amerika Selatan dan Asia Tenggara286
.
Penegakan Hukum dan Tata Kelola Hutan dipromosikan sebagai sarana
untuk mencegah hilangnya hutan, menghentikan penebangan liar, memperbaiki
kerangka pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), menangkap
pendapatan negara yang hilang dan dengan demikian masyarakat miskin
memperoleh manfaat tidak langsung melalui belanja negara yang lebih tinggi, dan
meningkatkan pembagian keuntungan untuk masyarakat dan pengelolaan hutan
lestari287
.
Untuk pertama kalinya, Rencana tersebut secara eksplisit mengakui bahwa
Uni Eropa (UE) adalah konsumen utama produk kayu dari kawasan-kawasan yang
memiliki tingkat tertinggi dalam hal ilegalitas dan tata kelola yang buruk dalam
sektor kehutanan, dengan demikian menjadi pasar yang potensial untuk kayu
ilegal. Permintaan dari Eropa dianggap sebagai penggerak yang signifikan untuk
ilegalitas kayu, maka, Komisi Eropa merasa terdorong untuk menyelaraskan
metode kehutanan tradisionalnya agar sesuai dengan fokus paralel yaitu
mengendalikan pasar yang berpotensi menerima kayu ilegal di dalam ruang
lingkup UE.288
Rencana Tindakan FLEGT (FLEGT Action Plan ) merupakan
tanggapan terhadap berbagai komitmen politik tingkat tinggi yang dibuat oleh UE,
Negara-negara Anggotanya serta pemerintah-pemerintah negara mitra sebagai
bagian dari Program G8 mengenai Hutan, maupun Konferensi para Menteri
regional mengenai Penegakan Hukum dan Tata Kelola Sektor Kehutanan (FLEG),
yang difasilitasi oleh Bank Dunia. Sasarannya bukan sekadar mengurangi
285
Marcus Colchester, Op. Cit., hlm x 286
http://ec.europa.eu/environment/forests/illegal_logging.htm diakses tanggal 23
November 2015 287
Marcus Colchester, Op. Cit., hlm x 288
Jade Saunders et.al., Op. Cit., hlm 4
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
55
Universitas Indonesia
penggundulan hutan ilegal, tetapi berupaya menangani kemiskinan dengan
mendukung tata kelola yang baik di negara-negara yang menjual kayu kepada UE.
Dengan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab di
Eropa lebih suka membeli kayu dari produsen yang mematuhi peraturan setempat,
yang membayar kayu yang mereka tebang dan bertindak dengan cara yang
bertanggungjawab terhadap penduduk miskin maupun lingkungan hidup di daerah
setempat, maka masalah ini mulai dapat diatasi. Artinya Rencana Tindakan
FLEGT (FLEGT Action Plan) bertujuan mengembangkan pasar produk legal di
Eropa, mendorong sektor usaha dan konsumen untuk membayar biaya riil
produksi kayu legal, ketimbang hanya mencari yang termurah dengan risiko
dikorbankannya kepedulian sosial dan lingkungan hidup. 289
.
Dalam Keputusan Dewan Uni Eropa mengenai kebijakan Penegakan
Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan (Forest Law
Enforcement, Governance and Trade) pada tahun 2003, tujuan penyusunan
kebijakan ini adalah290
:
1. Mendesak Anggota Uni Eropa untuk masuk ke dalam dialog politik
dengan negara-negara utama pengimpor kayu untuk melakukan perbaikan
dalam tata kelola sektor kehutanan, dan lebih khusus lagi untuk
memperkuat hak penguasaan tanah dan hak akses untuk masyarakat yang
terpinggirkan, masyarakat pedesaan dan masyarakat adat
2. Memperkuat partisipasi yang efektif dari semua pemangku kepentingan,
terutama dari aktor swasta dan masyarakat adat, dalam penyusunan dan
implementasi kebijakan;
3. Meningkatkan transparansi terkait tindakan eksploitasi hutan, termasuk
saat pertama kali dilakukan pengawasan secara independen;
4. Mengurangi korupsi dalam hubungan pemberian ijin konsesi pengelolaan
hutan, penebangan dan perdagangan kayu;
5. Melibatkan sektor swasta yang memproduksi hasil hutan (kayu) di Negara
yang menjadi target utama, dalam upaya untuk memerangi pembalakan
liar;
289
Jade Saunders, Op. Cit. 290
Council Conclusions of Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) No.
2003/C268/01, Official Journal of the European Union, 11 Juli 2003
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
56
Universitas Indonesia
6. Menangani isu-isu lain terkait dengan pembalakan liar seperti adanya
pembiayaan manajemen konflik.
Oleh karena itu, Rencana Tindakan FLEGT memusatkan perhatian pada kebijakan
perdagangan yang dikendalikan oleh UE, dan pada pembelian yang dilakukan
secara bertanggung jawab oleh pemerintah maupun importir kayu yang tergabung
dalam Negara Anggota. Kebijakan perdagangan UE yaitu291
:
1. Mengembangkan kemitraan dengan Negara-negara yang ingin mengatasi
masalah ilegalitas dalam sektor kehutanan mereka dan ingin membuktikan
bahwa produk-produk kayu yang mereka ekspor ke UE memang legal;
2. Menyusun peraturan perundang-undangan yang mendorong para importir
untuk memikul tanggung jawab atas asal-usul kayu yang mereka beli
Rencana Tindakan FLEGT telah menghasilkan dua kunci utama peraturan
yaitu :
1. Peraturan Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan (FLEGT Regulation) yang diluncurkan pada tahun 2005, yang
mengatur tentang masuknya kayu ke Uni Eropa dari negara-negara yang
mengadakan Perjanjian Kemitraan Sukarela FLEGT dengan Uni Eropa
2. Regulasi Kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulation), yang
diusulkan oleh Komisi Eropa pada bulan Oktober 2008 dan diadopsi oleh
Dewan dan Parlemen Eropa pada bulan Oktober 2010, sebagai langkah
menyeluruh untuk melarang penempatan kayu dan produk kayu ilegal di
pasar domestik Uni Eropa.
Sejak peluncuran kebijakan ini di Uni Eropa, banyak asosiasi ritel,
perusahaan dan sektor swasta perdagangan kayu di Uni Eropa telah membuat
komitmen melalui Kode Etik untuk menghapus penebangan kayu secara ilegal
kayu dari rantai pasokan mereka. Selain itu, beberapa bank juga menetapkan
kebijakan untuk memastikan kalau nasabah mereka tidak terkait dengan kegiatan
pembalakan liar. Pengembangan kapasitas (capacity building) merupakan elemen
penting dari FLEGT-Action Plan, terutama bagi negara-negara berkembang.
291
Jade Saunders et.al., Op. Cit., hlm 5
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
57
Universitas Indonesia
Komisi bekerja sama dengan negara-negara anggota Uni Eropa untuk melakukan
pengembangan kapasitas tersebut melalui perangkat kerjasama pembangunan
termasuk bantuan ke Lembaga Swadaya Masyarakat dan usaha yang dilakukan
sektor swasta292
.
3.2 Regulasi Kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulation)
No. 995 tahun 2010
Salah satu realisasi dari FLEGT Action Plan adalah mengadakan
Perjanjian dengan Negara mitra yang mengikat komitmen untuk melakukan
Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan sektor kehutanan yang sifatnya
bilateral dan sukarela. Namun karena sifatnya sukarela, maka mungkin saja
ekspor kayu ilegal ke UE akan terus dilakukan melalui negara-negara yang tidak
ikut menandatangani Perjanjian Kemitraan. UE tidak dapat secara langsung
menangani masalah ini karena terdapat aturan-aturan perdagangan internasional
yang ditetapkan oleh World Trade Organization (WTO), tetapi UE berupaya keras
untuk mendorong kesadaran akan pentingnya memperoleh surat izin legalitas
FLEGT dan membantu agar sistem ini dapat diterima lebih luas oleh Pemerintah
dan sektor swasta.
Untuk meningkatkan kesadaran di antara perusahaan-perusahaan Eropa,
Komisi Eropa telah berupaya mencari pilihan-pilihan secara legislatif yang
didasarkan atas prinsip uji tuntas. Prinsip ini mewajibkan para pedagang kayu
untuk mengimplementasikan prosedur-prosedur tertentu guna memastikan secara
masuk akal bahwa produk-produk tersebut – baik yang diimpor ke UE maupun
yang diproduksi untuk kebutuhan dalam negeri – ditebang secara legal. Walaupun
langkah-langkah yang diusulkan tidak secara eksplisit menjadikan bukti legalitas
sebagai syarat penjualan, namun dengan keberadaannya maka mungkin sekali
pembeli akan lebih terdorong mencari sumber kayu yang telah diverifikasi/
disertifikasi293
. Berangkat dari konsep tersebut, pada tahun 2010, UE meluncurkan
Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 (European Union Timber Regulation –
EUTR) . Regulasi kayu ini menyelaraskan pasar UE dengan amandemen Lacey
Act oleh Amerika Serikat yang menetapkan bahwa impor atau penjualan produk
292
http://ec.europa.eu/environment/forests/illegal_logging.htm diakses tanggal 23
November 2015 293
Jade Saunders, et.al, Op. Cit., hlm 7-8
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
58
Universitas Indonesia
kayu ilegal termasuk dalam kejahatan federal, seperti produk-produk lainnya yang
berasal dari perburuan satwa liar dan satwa langka.294
.
Regulasi kayu UE ini mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 2013.
Regulasi kayu UE ini terdiri dari tiga persyaratan utama yaitu 295
:
1. Melarang masuknya kayu dan produk yang berasal dari kayu yang diambil
secara illegal, ke pasar Uni Eropa296
2. Petugas – yaitu mereka yang memasok produk kayu di pasar Uni Eropa
untuk pertama kalinya – harus melakukan uji kelayakan (due diligence
)terhadap produk tersebut dan mampu menunjukkan bahwa mereka telah
melakukan uji kelayakan tersebut297
3. Pedagang – yaitu yang membeli atau menjual kayu dan produk kayu yang
sudah masuk ke pasar Uni Eropa, harus menjaga informasi akurat tentang
pemasok dan pelanggan mereka memudahkan pelacakan rantai pasokan
produk di seluruh bagian Uni Eropa 298
.
Pasal 2.b Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 menjelaskan mengenai definisi
“supply‖ (pasokan):
(b) 'placing on the market ' means the supply by any means, irrespective of the
selling technique used, of timber or timber products for the first time on the
internal market for distribution or use in the course of a commercial activity,
whether in return for payment or free of charge. It also includes the supply by
means of distance communication as defined in Directive 97/7/EC of the
European Parliament and of the Council of 20 May 1997 on the protection of
consumers in respect of distance contracts (3). The supply on the internal market
294
Kasus pertama dari adanya Amandemen Lacey Act menimpa Gibson Guitar tahun 2010
yang diinvestigasi oleh Departemen Kehakiman AS terkait penggunaan bahan baku mahoni dari
Madagaskar yang dilindungi. Gibson akhirnya ditangkap karena tidak dapat menerangkan sumber
bahan baku kayu tersebut.
295Jade Saunders dan Rosalind Reeve,”The EU Timber Regulation and CITES‖, Center for
International Forestry Research, April 2014, hlm 3 296
Pasal 4 ayat 1 EUTR 995/2010, ” The placing on the market of illegally harvested
timber or timber products derived from such timber shall be prohibited.‖ 297
Pasal 4 ayat 2 EUTR 995/2010,” Operators shall exercise due diligence when placing
timber or timber products on the market. To that end, they shall use a framework of procedures
and measures, hereinafter referred to as a ‗due diligence system‘, as set out in Article 6.” 298
Pasal 4 ayat 3 EUTR 995/2010,” Each operator shall maintain and regularly evaluate
the due diligence system which it uses, except where the operator makes use of a due diligence
system established by a monitoring organisation referred to in Article 8. Existing supervision
systems under national legislation and any voluntary chain of custody mechanism which fulfil the
requirements of this Regulation may be used as a basis for the due diligence system.‖
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
59
Universitas Indonesia
of timber products derived from timber or timber products already placed on the
internal market shall not constitute 'placing on the market '
Definisi ini jelas menyatakan bahwa "pasokan" harus:
a. berada di pasar internal - sehingga kayu harus hadir secara fisik di Uni
Eropa, apakah produk tersebut dipanen di dalam Uni Eropa atau di luar
Uni Eropa. Barang di bawah prosedur kepabeanan khusus (misalnya
impor sementara; pengolahan di bawah kontrol pabean; gudang pabean;
zona bebas) serta transit dan barang yang re-export, tidak termasuk dalam
kategori produk yang “placing on the market”
b. untuk pertama kalinya – peraturan ini tidak bersifat retroaktif artinya
produk kayu yang telah berada di pasar Uni Eropa sebelum tanggal 3
Maret 2013, tidak dikenakan peraturan ini. Namun pedagang kayu harus
menunjukkan, ketika diperiksa oleh pihak yang berwenang, bahwa mereka
memiliki sistem operasional uji tuntas kelayakan per- tanggal 3 Maret
2013. Oleh karena itu penting bahwa operator dapat mengidentifikasi
pasokan mereka sebelum dan setelah tanggal tersebut. Kewajiban untuk
ketertelusuran bagi pedagang juga berlaku dari tanggal tersebut.
Sistem operasional uji tuntas kelayakan (due diligence) terhadap produk kayu
yang masuk ke dalam pasar Uni Eropa, baik produk itu sendiri maupun rantai
pasokan produk kayu tersebut, merupakan hal yang penting dalam Regulasi Kayu
Uni Eropa (EUTR)
Pasal 6 EUTR mengatur tentang sistem uji tuntas kelayakan (due diligence),
dimana sistem yang dapat diandalkan (credible) harus mencakup:
a. Pengumpulan informasi: Jenis informasi yang harus dicatat mencakup
rincian produk dan pemasok, negara tempat tebangan kayu, cara
penebangan yang sesuai dengan undang-undang kehutanan yang berlaku di
Negara asal kayu tersebut
b. Penilaian risiko: Petugas diminta untuk mengikuti prosedur penilaian risiko
yang memperhitungkan informasi yang dikumpulkan tentang produk
termasuk kriteria risiko dengan relevasi yang lebih luas, seperti kejadian
penebangan liar di negara pemanen, kompleksitas rantai pasokan yang
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
60
Universitas Indonesia
diberikan atau ketersediaan sertifikasi 'pihak ketiga' dan skema verifikasi
yang tepat.
c. Mitigasi risiko: Jika penilaian risiko menunjukkan ada risiko bahwa produk
kayu tersebut mengandung kayu yang ditebang secara illegal (negligible
risk), maka prosedur mitigasi risiko harus dilakukan. Prosedur mitigasi
risiko adalah berupa hal yang memungkinkan perusahaan untuk
memastikan bahwa dia tidak membeli kayu ilegal dalam situasi di mana
kayu ilegal mungkin ditawarkan dalam penjualan. Mitigasi ini dapat
mencakup pemasok-pemasok yang dibutuhkan untuk memberikan
informasi rinci tentang sumber bahan baku dan lacak balak sebelum
produk dibeli atau membeli hanya produk yang memiliki jaminan diaudit
secara independen dalam menentukan asalnya dan legalitasnya.
Uji tuntas kelayakan membutuhkan pihak yang dapat mengumpulkan
informasi akurat dan melakukan penilaian risiko menyeluruh terhadap kayu dan
produk kayu yang akan masuk pasar Uni Eropa. Informasi yang diperlukan untuk
diuji berdasarkan Pasal 6 EUTR dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu :
a. Pasal 6.1(a) - informasi spesifik terkait dengan kayu atau produk kayu itu
sendiri: deskripsi, Negara lokasi panen (di mana berlaku wilayah sub-
nasional dan konsesi), Negara asal pemasok dan pedagang, dan
dokumentasi yang menunjukkan legalitas dan kepatuhan terhadap undang-
undang asal Negara mereka.
b. Pasal 6.1 (b) - informasi umum yang memberikan informasi spesifik
produk, tentang prevalensi penebangan liar dari jenis pohon tertentu dan
prevalensi praktik penebangan ilegal di lokasi panen, dan pada
kompleksitas rantai pasokan,
Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 mewajibkan setiap petugas bea cukai
untuk hanya mengijinkan produk kayu tertentu yang masuk ke pasar Uni Eropa.
Aturan tersebut mencakup berbagai produk kayu termasuk produk kayu solid,
lantai, kayu lapis, pulp dan kertas. Yang tidak termasuk dalam regulasi ini adalah
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
61
Universitas Indonesia
produk kayu daur ulang, serta barang cetakan seperti buku, majalah dan surat
kabar299
.
Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 ini mengikat semua 28 negara anggota
Uni Eropa300
, yang bertanggung jawab untuk memberlakukan peraturan secara
efektif, proporsional dan memberi penalti kepada pelanggar, dengan tujuan untuk
menegakkan peraturan ini. Peraturan ini juga membentuk adanya "lembaga
pengawasan" yang berupa perusahaan swasta, yang akan menyusun suatu sistem
operasional uji tuntas kelayakan (due diligence system).
3.3 Perjanjian Kemitraan Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola
dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT-VPA) antara Indonesia
dan Uni Eropa
Sejak peluncuran Rencana Tindakan FLEGT, UE terus berupaya
mengembangkan perjanjian bilateral dengan negara-negara yang mengekspor
produk kayu ke UE. Perjanjian kemitraan ini bersifat sukarela bagi negara-negara
pengekspor dan melalui perjanjian tersebut, UE juga mengikat komitmen untuk
membantu negara-negara pengekspor tersebut dalam meningkatkan tata kelola
hutan mereka dengan cara memperkenalkan standar sistem yang mengatur
praktek-praktek tata kelola hutan secara efektif , melacak hasil-hasil hutan dan
memberi izin untuk ekspor ke UE. Apabila suatu negara telah menandatangani
perjanjian tersebut, artinya ia telah menyepakati suatu periode waktu untuk
mengimplementasikan sistem yang diwajibkan, dan setelah itu hanya kayu yang
bersertifikasi dari Negara tersebut yang akan diterima di perbatasan UE.
Sistem tata kelola hutan yang diperkenalkan UE bukanlah sistem mutlak
yang harus diadopsi secara bulat oleh Negara mitra301
. Sistem tersebut hanya
299
Dalam Lampiran Regulasi Kayu Uni Eropa (Annex EUTR 995/2010), dijabarkan produk
kayu yang menjadi subyek Peraturan ini yaitu produk kayu yang termasuk dalam kode
Harmonization System (HS) sebagai berikut : HS 4401, 4403, 4406, 4407, 4408, 4409, 4410,
4411, 4412 , 4413 00 00, 4414 00, 4415, 4416 00 00, 4418, Pulp and paper of Chapters 47 and
48 of the Combined Nomenclature, with the exception of bamboo-based and recovered (waste and
scrap) products, 9403 30, 9403 40, 9403 50 00, 9403 60 , 9403 90 30, 9406 00 20 300
Negara-negara anggota Uni Eropa yang berjumlah 28 Negara saat itu adalah : Belanda,
Belgia, Italia, Jerman, Luksemburg, Perancis, Britania Raya (UK), Denmark, Irlandia, Yunani,
Portugal, Spanyol, Austria, Finlandia, Swedia, Cekoslovakia, Estonia, Hongaria, Latvia, Lithuania,
Malta, Polandia, Siprus, Slovenia, Slovakia, Bulgaria, Rumania, Kroasia 301
Negara mitra adalah Negara pemasok produk kayu hasil hutan yang telah mengadakan
perjanjian kemitraan sukarela dengan Uni Eropa. Sampai tesis ini ditulis, terhitung ada 6 (enam)
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
62
Universitas Indonesia
menjadi acuan. Oleh karena itu yang menjadi dasar untuk pemberian izin ekspor
tersebut adalah standar nasional untuk pengelolaan hutan, yang berakar pada
undang-undang dan peraturan nasional dari masing-masing negara mitra. Ini
mencakup perlindungan lingkungan hidup, aturan-aturan penebangan,
pembayaran iuran, perdagangan kayu dan peraturan pengangkutan serta hak-hak
milik, khususnya bagi masyarakat yang bergantung pada hutan sebagai sumber
penghasilan mereka.
Lembaga-lembaga yang kemudian ditunjuk sebagai lembaga verifikasi
dan sertifikasi, merupakan kunci dari keberhasilan perjanjian kemitraan ini,
dimana lembaga-lembaga tersebut akan membantu memastikan supremasi hukum
berdasarkan undang-undang sektor kehutanan, dan harus memudahkan
perusahaan-perusahaan kayu yang bertanggung jawab untuk lebih cepat
mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan yang bersertifikasi dengan
mengurangi risiko persaingan menghadapi produk ilegal yang murah. Dan dengan
membeli produk kayu berizin, maka perusahaan akan mengurangi risiko untuk
harus berurusan dengan produk ilegal302
. Namun, kesepakatan tersebut serta
sistem transparan yang mendukung surat izin legalitas nasional, tidaklah
menghasilkan solusi yang cepat. Dalam kasus tertentu, mungkin perlu beberapa
tahun untuk mengadakan perundingan dan kemudian mengimplementasikannya.
Meskipun demikian, banyak pihak yang mengharapkan bahwa mekanisme ini,
yang menggabungkan perdagangan dan bantuan, bisa berpotensi sebagai langkah
signifikan untuk melindungi hutan yang terancam punah dan untuk membagikan
manfaat pengelolaan hutan dengan cara yang legal dan berkelanjutan di Negara-
negara mitra303
.
Substansi dari Perjanjian Kemitraan (Voluntary Partnership Agreement-VPA) ini
adalah Sistem Jaminan legalitas yang menetapkan prosedur untuk para eksportir
kayu untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu berasal dari sumber yang
sah secara hukum / legal. Prosedur mendasar dari sistem legalitas ini adalah
kemampuan untuk membedakan antara kayu legal dan ilegal. Oleh karena itu,
setiap Negara yang mengikat komitmen dalam VPA ini harus mendeskripsikan
Negara mitra yang sudah menandatangani dan mengimplementasikan FLEGT-VPA ini yaitu
Kamerun, Afrika Tengah, Indonesia, Ghana, Liberia dan Kongo. 302
Jade Saunders et.al., Op. Cit., hlm 6 303
Jade Saunders et.al., Op. Cit., hlm 7
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
63
Universitas Indonesia
kayu legal menurut regulasi nasional Negara mitra. Definisi legalitas
mengidentifikasi persyaratan tertentu yang harus sistematis untuk memastikan
pemenuhan terhadap hukum nasional yang berlaku. Tujuan dari Rencana Aksi
FLEGT adalah pengelolaan hutan lestari. Oleh karena itu definisi legalitas
diharapkan merupakan gabungan dari regulasi yang membahas tiga pilar
keberlanjutan, yaitu hukum dengan pemenuhan tujuan secara ekonomi, secara
sosial dan secara lingkungan304
.
Ada 5 (lima) hal yang harus ada dalam Legality Assurance System yaitu :
1. Definisi Legalitas : Mendefinisikan persyaratan sistematis sesuai
peraturan yang harus dipenuhi dan diverifikasi, tanpa kecuali, untuk
memastikan kepatuhan produsen kayu terhadap hukum
nasional sebelum lisensi FLEGT dapat diterbitkan di suatu negara.
2. Mengontrol Rantai Pasokan: sistem pelacakan kayu (diistilahkan sebagai
lacak balak) untuk membantu menunjukkan bahwa kayu berasal dari
sumber yang sah secara hukum / legal. Lacak balak meliputi sistem
seluruh rantai pasokan dari titik penebangan / panen atau titik impor
sampai ke titik ekspor .
3. Verifikasi: Proses dan prosedur secara sistematis untuk menilai kepatuhan
terhadap semua persyaratan yang ditentukan dalam definisi legalitas dan
untuk memastikan kontrol dari rantai pasokan kayu / lacak balak .
4. Perizinan: Proses diterbitkannya lisensi FLEGT di negara mitra yang
mengkonfirmasikan bahwa produk kayu yang diekspor ke Uni Eropa telah
diproduksi secara legal.
5. Audit independen: Penunjukkan pihak ketiga yang independen
untuk memeriksa bahwa semua aspek fungsi sistem asuransi legalitas,
sebagaimana dimaksud di atas, terpenuhi .
Setiap negara mitra menyusun definisi legalitas sendiri melalui proses internal
mereka, namun Uni Eropa tetap memberikan dukungan, bimbingan dan kejelasan
lebih lanjut jika diperlukan. Uni Eropa sendiri tidak menetapkan standar aturan
304
http://www.euflegt.efi.int/files/attachments/euflegt/efi_briefing_note_02_eng_221010
diakses pada tanggal 14 Desember 2015
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
64
Universitas Indonesia
tentang bagaimana menyusun definisi legalitas, tapi sebelum terikat dalam VPA,
Negara mitra tersebut harus melakukan pembahasan dengan Uni Eropa.
Dimulai pada bulan September tahun 2001, dimana Indonesia menjadi
tuan rumah sebuah pertemuan tingkat menteri, yang menghasilkan „Deklarasi Bali
mengenai Penegakan Hukum dan Tata Kelola Sektor Kehutanan‟ (Forest Law
Enforcement and Governance - FLEG) yang menyepakati peran dan tanggung
jawab kedua belah pihak antara Indonesia dan Uni Eropa dalam menemukan
solusi terhadap masalah penebangan ilegal dan perdagangan ilegal berikut dengan
produk kayu yang ilegal. Sebagai respon atas FLEG dan insiatiaf regional lainnya,
Uni Eropa (EU) menginisiasi rencana aksi dari Forest Law Enforcement,
Governance and Trade, yang dikenal dengan nama FLEGT305
. Sebagai
manifestasi deklarasi Bali tentang FLEG tersebut selanjutnya ditandatangani
Memorandum of Understanding (MoU) kerjasama penanggulangan illegal
logging dan illegal timber trading pada tahun 2002 yang melibatkan Inggris,
RRC, Jepang dan USA. Sejak itu FLEG berubah menjadi Forest Law
Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) yang pada tahun 2005 menjadi
landasan untuk membangun Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA)306
.
Pada tahun 2003 para pemangku kepentingan Indonesia memulai suatu
proses multi-pihak secara intensif untuk mendefinisikan apa yang dimaksud
dengan produksi kayu legal dalam praktek (definisi “legalitas”) yang akan
digunakan untuk mengaudit unit usaha kehutanan. Pada awalnya proses ini
dipimpin oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) lingkungan hidup seperti Telapak, Environmental
Investigation Agency (EIA), dan The Nature Conservancy (TNC), dengan
masukan dari berbagai organisasi seperti The Forest Trust dan Tropical Forest
Foundation. Partisipasi dalam mengembangkan definisi legalitas semakin luas
sejak tahun 2006 sampai tahun 2008 dengan melibatkan pemerintah dan industri
di tingkat nasional maupun provinsi. Pada bulan Desember 2008 tim kerja multi-
305
“Informasi Ringkas Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT antara Indonesia dan Uni
Eropa”, dibuat oleh Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Pusat Kerjasama
Luar Negeri Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Direktorat Bina Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Mei 2011, hlm 3 306
Tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,”Riset Aksi Penerapan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu”, bekerjasama dengan Multistakeholder Forestry Programme II dan
Yayasan Kehati, 2011, hlm 2-1
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
65
Universitas Indonesia
pihak, dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sebagai fasilitator proses, serta
dukungan Dewan Kehutanan Nasional, secara formal menyerahkan kepada
pemerintah suatu standar legalitas dan usulan sistem jaminan legalitas. Pemerintah
dan suatu tim kecil yang merupakan kelompok pemangku kepentingan selanjutnya
mempersiapkan usulan tersebut menjadi peraturan yang pada akhirnya disahkan
pada bulan Juni 2009307
. Indonesia dan UE memulai perundingan VPA pada
bulan Januari 2007 tetapi barulah setelah bulan Juli 2009 dialog semakin intensif
setelah diselesaikannya sistem jaminan legalitas kayu Indonesia (Timber Legal
Assurance System) yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.39/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada
Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
Kemudian pada tanggal 9 November 2009, Indonesia-Uni Eropa
menandatangani Perjanjian Kerjasama Kemitraan (Partnership Cooperation
Agreement-PCA) yang dianggap merupakan bukti berkembang pesatnya
hubungan Indonesia-Uni Eropa dan membuka era baru dalam hubungan bilateral,
berdasarkan prinsip-prinsip bersama seperti kesetaraan, saling menghormati,
saling menguntungkan, demokrasi, supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Perjanjian ini akan memperkuat kerja sama politik, ekonomi dan sektoral di
berbagai bidang kebijakan, termasuk perdagangan, lingkungan, energi, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan pemerintahan yang baik, serta pariwisata dan
budaya, migrasi, kontra terorisme dan perang melawan korupsi dan kejahatan
terorganisir. Ini akan lebih meningkatkan kerjasama pada tantangan global, di
mana keduanya, yaitu Indonesia dan Uni Eropa memainkan peran yang semakin
penting, seperti di G20308
. Dalam PCA tersebut ada empat hal yang menjadi
prioritas untuk segera dilakukan mulai tahun 2010 yaitu :
1. Perdagangan dan Investasi
2. Lingkungan
3. Pendidikan
4. Hak Asasi Manusia dan Demokrasi
307
Informasi Ringkas, Op. Cit, hlm 5 308
Press Release Council of The European Union,” Signing of the Partnership and
Cooperation Agreement (PCA) at the Ministerial Troika Meeting opens new era for Indonesia-EU
Relations”, Brussels, 12 November 2009 15945/09 (Presse 332)
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
66
Universitas Indonesia
Khusus mengenai lingkungan, disepakati bersama bahwa perubahan iklim
merupakan prioritas politik bersama untuk Indonesia dan Uni Eropa dan sebagai
tindak lanjutnya, Indonesia dan Uni Eropa akan menggunakan Perjanjian yang
lain untuk meningkatkan kerjasama di bidang lingkungan yang menjadi kunci
sensitif, seperti perikanan dan kehutanan, sekaligus membangun komitmen
masing-masing berdasarkan prinsip tanggung jawab yang setara , untuk mengatasi
emisi dan mengurangi efek dari perubahan iklim309
. Atas dasar itulah, setelah
sebelumnya melalui beberapa kali perundingan dan negosiasi, Indonesia dan Uni
Eropa menandatangani Perjanjian Kemitraan Sukarela Tindak Penegakan Hukum,
Tata Kelola Dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT-VPA).
Pada tanggal 30 September 2013, Indonesia dan Uni Eropa telah
melakukan penandatangangan Perjanjian Kemitraan Sukarela tentang Rencana
Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan yang
diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014 tanggal 13 Maret 2014.
Dalam rangka mempercepat proses pengeluaran lisensi kayu FLEGT, pada bulan
November 2013, Indonesia dan Uni Eropa telah menyelesaikan tahap pertama
evaluasi bersama Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Uni Eropa memuji
langkah Indonesia menciptakan SVLK dan keseriusan mendorong sistem
verifikasi ini bisa diterapkan di lapangan310
. Indonesia dan Uni Eropa juga telah
menyelesaikan akhir peninjauan dan penyempurnaan dokumen Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu (SVLK) di Jakarta pasca pertemuan pertengahan Mei 2014 yang
lalu dan memberikan rekomendasi perubahan terhadap peraturan verifikasi
legalitas kayu setelah penandatangan oleh Menteri Kehutanan di akhir Mei 2014.
Jika SVLK disepakati oleh para pemangku kepentingan hutan Indonesia dan Uni
Eropa, sistem verifikasi legalitas kayu buatan Indonesia ini berpeluang mendapat
lisensi legalitas FLEGT.
3.3.1 Pembukaan dan Klausula dalam FLEGT-VPA Indonesia-Uni Eropa
1. Pembukaan
Seperti peraturan perundangan dan perjanjian pada umumnya, sebelum masuk
ke esensi peraturan / perjanjian tersebut, dipaparkan dasar pertimbangan yang
309
Press Release Council of the European Union, Op. Cit 310
Majalah AgroIndonesia, Vol. IX, NO. 534, 24 Februari - 3 Maret 2015, hlm 12
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
67
Universitas Indonesia
melatarbelakangi terwujudnya perjanjian ini dalam bagian pembukaan. Dalam
pembukaan disebutkan beberapa deklarasi , Konvensi Internasional,
kerjasama bilateral, dan kebijakan terkait pelestarian sumber daya alam
dimana Indonesia dan Uni Eropa terlibat di dalamnya yaitu:
a. Komitmen yang dinyatakan dalam Deklarasi Bali tanggal 13
September 2001 tentang Forest Law Enforcement and Governance
(FLEG) oleh Negara-negara Asia Timur dan regional lainnya,
termasuk Negara dalam Uni Eropa dan ASEAN.
b. Kebijakan Rencana Aksi dari Dewan Komisi Parlemen Eropa
mengenai Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan
Sektor Kehutanan sebagai langkah awal mengatasi masalah
mendesak tentang pembalakan liar dan perdagangan terkait.
c. Pernyataan Bersama (Joint statement) antara Menteri Kehutanan
Republik Indonesia dan Dewan Komisi Eropa untuk Pembangunan
dan Lingkungan yang ditandatangani di Brussel, Belgia pada tanggal
8 Januari 2007
d. Prinsip yang ditetapkan dalam Deklarasi Rio 1992 tentang
Lingkungan dan Pembangunan dalam konteks mengamankan
pengelolaan hutan lestari, khususnya Prinsip ke 10 tentang
pentingnya partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam isu-isu
lingkungan dan Prinsip ke 22 tentang peran penting masyarakat adat
dan masyarakat lokal lainnya dalam pengelolaan dan pengembangan
lingkungan
e. Telah adanya upaya oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk
mempromosikan tata kelola hutan yang baik, penegakan hukum dan
perdagangan kayu legal, melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
(SVLK) sebagai sistem jaminan legalitas kayu yang disusun melalui
proses perundingan dengan berbagai pihak dengan mengikuti prinsip-
prinsip tata kelola yang baik, kredibilitas dan keterwakilan;
f. Mengakui bahwa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang dirancang
pemerintah Indonesia adalah untuk memastikan kepatuhan hukum
terhadap semua produk kayu Indonesia;
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
68
Universitas Indonesia
g. Adanya Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora (CITES) khususnya persyaratan bahwa ijin
ekspor yang dikeluarkan oleh CITES untuk spesimen dari spesies
yang terdaftar di Lampiran I, II atau III diberikan hanya dalam
kondisi tertentu, termasuk spesimen tersebut tidak diperoleh
bertentangan dengan hukum perlindungan flora dan fauna
h. Memperhatikan prinsip-prinsip dan aturan dalam sistem perdagangan
multilateral, khususnya hak dan kewajiban yang diatur dalam
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 dan World
Trade Organization (WTO) yaitu transparansi dan non diskriminatif.
i. Regulasi Komisi Eropa (EC) No 2173/2005 tanggal 20 Desember
2005 tentang pembentukan skema lisensi FLEGT untuk impor kayu
ke dalam Uni Eropa dan Regulasi Kayu (EUTR) No 995/2010
tanggal 20 Oktober 2010 yang mewajibkan operator yang
menempatkan kayu dan produk kayu di pasar
2. Tujuan
Dalam Pasal 1 ayat 1, dipaparkan tujuan dari VPA ini yaitu :
The objective of this Agreement, consistent with the Parties' common
commitment to the sustainable management of all types of forest, is to provide
a legal framework aimed at ensuring that all imports into the Union from
Indonesia of timber products covered by this Agreement have been legally
produced and in doing so to promote trade in timber products.311
(…adalah
untuk menyediakan kerangka hukum yang bertujuan untuk memastikan
bahwa semua impor produk kayu yang dicakup oleh Persetujuan ini ke Uni
Eropa dari Indonesia telah diproduksi dengan sah secara hukum dan dengan
melakukannya juga telah menjadi promosi dalam perdagangan produk kayu).
3. Definisi
Substansi dari VPA ini adalah produk kayu yang legal, sehingga terminologi
utama yang didefinisikan dalam VPA ini pada Pasal 2 adalah
Kayu (timber) yaitu yang tercantum dalam lampiran 1A dan 1B sesuai
dengan Kode Sistem Harmonisasi di Bab 44, Bab 47, Bab 48, dan Bab
94
311
Pasal 1 ayat 1 FLEGT-VPA Uni Eropa - Indonesia
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
69
Universitas Indonesia
Kode Sistem Harmonisasi (HS Code) adalah kode komoditas empat
sampai enam digit angka yang ditetapkan dalam Sistem Kodifikasi dan
Deskripsi Komoditas yang diharmonisasikan (Harmonised Commodity
Description and Coding System) yang ada dalam Konvensi
Internasional tentang Sistem Kodifikasi dan Deskripsi Komoditas dari
Organisasi Kepabeanan Dunia (World Customs Organization)
Lisensi FLEGT (FLEGT License) adalah dokumen Verifikasi
Legalitas Indonesia (V-Legal) yang mengkonfirmasi bahwa
pengiriman produk-produk kayu yang diekspor ke Uni Eropa sudah
diproduksi dengan sah secara hukum (legal). Lisensi FLEGT bisa
dalam bentuk kertas atau elektronik.
Pengiriman (shipment) berarti sejumlah produk kayu yang berlisensi
FLEGT yang dikirimkan oleh pengirim dari Indonesia yang
dibebaskan oleh kantor bea cukai di Uni Eropa untuk masuk ke Uni
Eropa
Kayu yang dihasilkan secara sah berarti produk kayu yang dipanen
atau diimpor dan diproduksi sesuai dengan undang-undang
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II.
4. Klausul Substansi
Klausul yang merupakan substansi dari Perjanjian ini tercantum dalam
Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 10.
Pasal 3 menjelaskan tentang Skema Lisensi FLEGT yaitu bahwa
Skema Lisensi FLEGT dibentuk para pihak dalam perjanjian ini yang
menetapkan serangkaian prosedur dan persyaratan yang bertujuan
memverifikasi dan membuktikan dengan cara Lisensi FLEGT, bahwa
Uni Eropa hanya menerima pengiriman produk kayu dari Indonesia
jika produk tersebut dilindungi oleh lisensi FLEGT.
Skema lisensi FLEGT ini hanya ditujukan untuk produk kayu yang
tercantum dalam Lampiran 1A, sedangkan produk kayu yang
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
70
Universitas Indonesia
tercantum dalam Lampiran 1B tidak diekspor ke Uni Eropa sehingga
tidak harus diberi lisensi FLEGT312
.
Pasal 7 menetapkan bahwa Indonesia harus mengimplementasikan
Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (Timber Legality Assurance System) sebagai
verifikasi bahwa produk kayu yang diekspor telah diproduksi secara
legal dan untuk memastikan bahwa hanya pengiriman yang diverifikasi
yang bisa diekspor ke Uni Eropa313
.
Prosedur Sistem Verifikasi Legalitas Kayu diuraikan secara detail di
Lampiran V.314
Pasal 10 menjelaskan bahwa dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
Indonesia, Indonesia harus memverifikasi legalitas kayu yang dijual di
pasar domestik dan yang diekspor ke pasar non-Uni Eropa dan
berusaha juga apabila dimungkinkan, untuk memverifikasi legalitas
produk kayu yang diimpor . Dalam Pasal ini Uni Eropa mengikat
komitmennya untuk mendukung Indonesia menggunakan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu dalam perdagangan ke pasar internasional
lainnya (selain Uni Eropa) dan Negara-negara berkembang dan akan
mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan penempatan kayu
dan produk turunannya yang dipanen secara illegal di dalam pasar Uni
Eropa315
.
5. Pembentukan Joint Implementation Committee (JIC)
Dalam Pasal 14 disepakati pembentukan Joint Implementation
Committee yang merupakan perwakilan dari masing-masing pihak yang
bertugas untuk mempertimbangkan semua isu terkait implementasi dan
evaluasi perjanjian ini, yang akan bertemu minimal sekali dalam satu
tahun.
312
Pasal 3 ayat 1-2 FLEGT-VPA Indonesia dan Uni Eropa 313
Pasal 7 FLEGT VPA Indonesia-Uni Eropa 314
Timber Legality Assurance System (TLAS) yang tercantum dalam Lampiran V Perjanjian
Kemitraan ini, adalah sama dengan prosedur Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang diatur dalam
Peraturan Dirjen Bina Usaha Kehutanan No. P.5/VI-BPPHH/2014 jo P.14/VI-BPPHH/2014 jo P.1/
VI-BPPHH/2015 tentang Standar Dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). 315
Pasal 10 ayat 1-3 FLEGT VPA Indonesia-Uni Eropa
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
71
Universitas Indonesia
6. Pengawasan dan Evaluasi
Pasal 15 mengatur tentang pengawasan dan evaluasi dimana dengan dua
mekanisme yaitu : (a) Indonesia , dalam konsultasi dengan UE, harus
memakai jasa Evaluator Berkala (Periodic Evaluator), dalam melakukan
evaluasi implementasi tugasnya sesuai Lampiran VI316
; dan (b) UE, dalam
konsultasi dengan Indonesia, harus memakai jasa independent market
monitoring dalam melakukan tugasnya sesuai Lampiran VII317
.
Monitoring dilakukan oleh masyarakat sipil (Pemantauan Independen) dan
Evaluasi Menyeluruh. Komponen Penilaian Berkala telah ditambahkan
untuk membuat sistem agar menjadi lebih kokoh di bawah FLEGT-VPA.
Pemantauan Independen dilakukan oleh masyarakat sipil untuk memeriksa
kepatuhan operator, LP, dan LV terhadap persyaratan SVLK, termasuk
standar dan pedoman akreditasi. Masyarakat sipil didefinisikan dalam
konteks ini sebagai badan hukum Indonesia termasuk LSM kehutanan
serta masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dan warga negara
Indonesia perorangan.
Evaluasi Menyeluruh dilakukan oleh tim multi-pihak, yang melakukan
kajian ulang terhadap SVLK dan mengidentifikasi kesenjangan dan
perbaikan-perbaikan yang dapat dilakukan pada sistem, sebagaimana yang
diamanatkan oleh Kementerian Kehutanan.
Tujuan Penilaian Berkala adalah untuk memberikan jaminan independen
bahwa SVLK berfungsi seperti yang dijelaskan, sehingga meningkatkan
kredibilitas lisensi FLEGT yang diterbitkan. Penilaian Berkala
memanfaatkan temuan dan rekomendasi dari kegiatan pemantauan
independen dan evaluasi yang komprehensif Kerangka Acuan Penilaian
Berkala ditetapkan dalam Lampiran VI
316
Lampiran VI berisi tentang Kerangka Acuan untuk Evaluasi Berkala yang bertujuan
untuk memberikan jaminan bahwa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu berfungsi seperti yang
dijelaskan, sehingga meningkatkan kredibilitas lisensi FLEGT yang diterbitkan berdasarkan
Perjanjian ini. 317
Lampiran VII berisi tentang Kerangka Acuan untuk Monitoring Pasar Independen yang
bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang penerimaan kayu Indonesia
berlisensi FLEGT di pasar UE, dan meninjau dampak Regulasi Kayu UE No 995/2010 yang
meletakkan kewajiban operator yang menempatkan kayu dan produk kayu di pasar dan lembaga
terkait lainnya seperti perusahaan pengadaan publik dan swasta.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
72
Universitas Indonesia
7. Wilayah Berlakunya Perjanjian
Perjanjian ini berlaku di seluruh wilayah Uni Eropa dan seluruh wilayah
Indonesia318
8. Penyelesaian Sengketa
Apabila terjadi sengketa, maka para Pihak harus mencari cara
penyelesaian pertama kali dengan melakukan konsultasi segera. Jika gagal,
maka dalam waktu 2 (dua) bulan, salah satu pihak dapat mengajukan
sengketa ini ke JIC yang akan diberikan semua informasi yang relevan
terkait sengketa dan melakukan pemeriksaan mendalam atas situasi. Jika
JIC gagal menyelesaikan sengketa, maka dalam waktu 2 (dua) bulan, para
pihak dapat menempuh cara good offices atau mediasi dengan pihak
ketiga. Jika gagal, maka salah satu pihak dapat menempuh forum arbitrase.
9. Pemberlakuan, Jangka Waktu dan Terminasi
Perjanjian ini berlaku sejak tanggal pertama bulan berikutnya dari
penandatanganan perjanjian ini (yang berarti berlaku sejak tanggal 1
Oktober 2013), dan berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Masa
berlaku akan diperpanjang untuk 5 (lima) tahun berikutnya kecuali salah
satu pihak ingin tidak ingin memperpanjang dan wajib mengajukan surat
ke pihak lainnya minimal 12 (dua belas) bulan sebelum masa berlaku
berakhir.
3.4 Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia
Sebelum terbentuknya SVLK, pemerintah melalui Departemen Kehutanan
(saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sudah mewajibkan
pengusaha pemegang ijin hak pengelolaan hutan, untuk melakukan Tata Usaha
Kayu (sistem lacak balak), dimana produsen kayu harus memiliki dokumen
angkutan kayu yang legal dari sejak penebangan sampai dengan produk kayu
dijual di pasar. Namun kemudian, sistem Tata Usaha Kayu ini dianggap tidak
memadai untuk menjamin kesahihan penebangan pohon karena banyak
ditemukan dokumen palsu, sehingga kayu di Indonesia dicap sebagai hasil
318
Pasal 19 FLEGT VPA Indonesia - UE
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
73
Universitas Indonesia
pembalakan liar oleh Negara-negara industri maju yang adalah pasar ekspor kayu
dari Indonesia319
. Kemunculan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) lebih
didorong oleh tuntutan transparansi dan jaminan akuntabilitas publik dalam
pengelolaan sumberdaya hutan dan meningkatnya tekanan dari konsumen global
yang berkeinginan mengkonsumsi kayu legal dari sumber-sumber yang lestari.
Menguatnya tuntutan ini ditengarai karena semakin maraknya illegal logging dan
illegal timber trading. Kondisi ini direspon antara lain dengan pengembangan
SVLK yang pada mulanya diinisiasi oleh sekelompok Lembaga Masyarakat
(LSM) dan masyarakat madani (civil society) kehutanan. Inisiatif ini selanjutnya
dimatangkan oleh proses-proses multi-pihak dengan masuknya entitas pemerintah
(Cq. Departemen Kehutanan). Proses-proses ini pada akhirnya menghasilkan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan
Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi
Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak yang ditandatangani
Menteri Kehutanan pada tanggal 12 Juni 2009, dan peraturan pelaksanaannya
yaitu Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-Set/2009
tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu dan dilengkapi dengan P.02/VI-BPHH/2010
tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu320
. Terwujudnnya Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu terkait erat dengan dorongan beberapa Negara maju terhadap
Negara-negara produsen kayu terbesar di dunia, termasuk Indonesia , untuk
memberantas illegal logging.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakui SVLK sebagai
kebanggaan Indonesia di tengah maraknya permintaan jaminan legalitas kayu oleh
beberapa Negara industri maju tersebut. SVLK telah diterima secara resmi oleh 28
negara anggota UE melalui penandatanganan Perjanjian Kemitraan Sukarela
(FLEGT-VPA) pada tanggal 30 September 2013 dan diratifikasi Indonesia
melalui Perpres Nomor 21 Tahun 2014 dan pihak UE meratifikasinya pada
tanggal 1 Mei 2014. Australia juga secara resmi telah mengakui SVLK pada
319
Wawancara dengan Ir. Bambang Edy Poerwanto, mantan Direktur Bina Iuran dan
Peredaran Hasil Hutan tahun 2005 yang juga Ketua Tim Kelompok Kerja Penyusunan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu selama tahun 2005-2009. Saat ini beliau menjabat sebagai Advisor di
Sinarmas Forestry Division. 320
Tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Op. Cit., hlm i
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
74
Universitas Indonesia
tanggal 16 Oktober 2014. 321
. Negosiasi keberterimaan SVLK juga sedang
dilakukan dengan pasar utama produk perkayuan seperti Korea, Jepang, Amerika
Serikat, Kanada dan Tiongkok (RRC).322
Secara ringkas ruang lingkup dan definisi SVLK dapat dijelaskan sebagai
berikut323
:
1. Ruang lingkup: Sistem verifikasi legalitas kayu merupakan alat dan
mekanisme untuk melakukan verifikasi atas keabsahan kayu yang
diperdagangkan atau dipindahtangankan berdasarkan pemenuhan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Definisi: Kayu disebut sah/legal jika kebenaran asal kayu, ijin penebangan,
sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan,
pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan
memenuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Manfaat yang diharapkan:
a. Standar yang dihasilkan diharapkan dapat memberi kepastian bagi
para pelaku usaha dan penegak hukum.
b. Standar ini dihasilkan melalui proses yang melibatkan para pihak,
sehingga merupakan milik semua pihak.
c. Dalam tatanan kelembagaan yang diusulkan akan ada pengawasan
(monitoring) secara terus menerus dari masyarakat sipil terhadap
pelaksanaan verifikasi legalitas dengan menggunakan standar hasil
harmonisasi ini.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard
dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak telah
mengalami 5 (lima) kali perubahan yaitu. P.68/Menhut-II/2011 tanggal 22
Desember 2011, P.45/Menhut-II/2012 tanggal 18 Desember 2012, P.42/Menhut-
II/2013 tanggal 16 Agustus 2013, P.43/Menhut-II/2014 tanggal 27 Juni 2014 dan
321
Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ir. Siti Nurbaya dalam suratnya
kepada Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dalam surat Nomor S.490/Menhut-VI/2014 tanggal
11 November 2014. 322
Ibid 323
Ibid., hlm 2-2
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
75
Universitas Indonesia
terakhir P.95/Menhut-II/2014 tanggal 22 Desember 2014, yang masih berlaku
sampai saat tesis ini ditulis.
Sejalan dengan Peraturan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tersebut di atas, setelah penandatanganan Perjanjian Kemitraan Sukarela dengan
Uni Eropa Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri
Perdagangan No 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk
Industri Kehutanan tanggal 30 Desember 2014 dengan perubahan beberapa kali
yaitu Permendag No 66/M-DAG/PER/2015 tanggal 27 Agustus 2015, dan terakhir
Permendag No 89/M-DAG/PER/2015 tanggal 19 Oktober 2015
Dalam Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 ditetapkan mengenai Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu untuk setiap pemegang ijin industri hasil hutan kayu
atau hutan hak yang berupa :
a. Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari
b. Standar Verifikasi Legalitas Kayu
3.4.1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.43/Menhut-
II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 tentang Standard dan Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari pada Pemegang
Izin atau pada Hutan Hak
Dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 tentang Standar dan
Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi
Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Pemegang Izin atau obyek dari Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu adalah pemegang :
1. IUPHHK-HA/HT (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan
Alam atau Hutan Tanaman) adalah izin usaha yang diberikan untuk
memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan
alam atau hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan
lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
76
Universitas Indonesia
2. IUPHHK-RE ( Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi
Ekosistem dalam Hutan Alam) adalah izin usaha yang diberikan untuk
membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang
memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan
keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan
pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan,
penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan
unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan
topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai
keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
3. TPT (Tempat Penampungan Terdaftar) adalah tempat pengumpulan kayu
bulat dan/atau kayu olahan yang berasal dari satu atau beberapa sumber,
milik badan usaha atau perorangan yang ditetapkan oleh Pejabat yang
berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.
4. IUIPHHK (Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu) adalah izin
untuk mengolah kayu bulat dan atau kayu bulat kecil menjadi satu atau
beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu
pemegang izin oleh pejabat yang berwenang.
5. IUI (Izin Usaha Industri) adalah izin usaha industri pengolahan kayu
lanjutan yang memiliki nilai investasi perusahaan seluruhnya di atas
Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.
6. TDI (Tanda Daftar Industri) adalah izin usaha industri pengolahan kayu
lanjutan yang memiliki nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai
dengan Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.
7. ETPIK (Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan) Non Produsen
adalah perusahaan perdagangan yang telah mendapat pengakuan untuk
melakukan ekspor produk industri kehutanan.
8. ETPIK Mebel adalah ETPIK yang memproduksi produk industri
kehutanan yang termasuk dalam Pos Tarif/HS Kelompok mebel yang
diatur oleh kementerian yang bertanggungjawab di bidang perdagangan
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
77
Universitas Indonesia
9. ETPIK Kayu Olahan adalah ETPIK yang memproduksi produk industri
kehutanan yang termasuk dalam Pos Tarif/HS Kelompok kayu olahan
yang diatur oleh kementerian yang bertanggungjawab di bidang
perdagangan
10. IKM (Industri Kecil dan Menengah) adalah industri pemegang Tanda
Daftar Industri dan Ijin Usaha Industri (IUI) dengan batasan nilai investasi
sampai dengan Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) di luar tanah
dan bangunan tempat usaha.
11. Industri Rumah Tangga / Pengrajin adalah industri kecil skala rumah
tangga dengan nilai investasi sampai dengan Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah) di luar tanah dan bangunan dan/atau memiliki tenaga kerja
sejumlah 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) orang.
12. Industri kecil adalah industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya
sampai dengan Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha
Dalam Pasal 4, diatur untuk pemegang izin yang wajib memiliki Sertifikat
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) adalah324
:
1. Pemegang IUPHHK-HA
2. Pemegang IUPHHK- HT
3. Pemegang IUPHHK-RE
4. Pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH)
Setiap pemegang ijin diatas , yang sudah memiliki Sertifikat Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (S-PHPL), tidak perlu lagi mendapatkan Sertifikat Legalitas
Kayu (S-LK). Apabila pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang HPH
belum mendapatkan S-PHPL, maka mereka wajib mendapatkan Sertifikat
Legalitas Kayu (S-LK) terlebih dahulu, tapi hanya berlaku untuk 1 (satu) periode,
dan selanjutnya pemegang ijin tersebut harus mendapatkan S-PHPL.
Selanjutnya, untuk pemegang ijin industri lainnya, dipersyaratkan sebagai berikut:
1. Pemegang IUI , TDI dan ETPIK Non Produsen, wajib mendapatkan S-LK
324
Pasal 4 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
78
Universitas Indonesia
2. TPT, Industri Rumah Tangga /Pengrajin dan Pemilik Hutan Hak, wajib
memperoleh S-LK melalui sertifikasi oleh Lembaga Verifikasi Legalitas
Kayu (LVLK) atau menerbitkan DKP (Deklarasi Kesesuaian Pemasok)
3. Pemegang IUIPHHK, IUI dan TDI yang bahan baku kayunya berasal dari
hutan hak, dapat memfasilitasi pemasoknya untuk mendapatkan S-LK atau
menerbitkan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP).
4. Dalam hal pemegang IUIPHHK, IUI, TDI, TPT, Industri Rumah Tangga
/Pengrajin dan ETPIK Non Produsen menggunakan kayu yang
menggunakan DKP, diwajibkan untuk memastikan legalitas bahan baku
yang digunakan dengan melakukan pengecekan kepada pemasok yang
menggunakan DKP.
Jangka waktu sertifikat PHPL dan sertifikat LK untuk setiap pemegang ijin seperti
yang diatur dalam P.43/Menhut-II/2014 dan perubahannya P.95/Menhut-II/2014
dan yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran No. SE 14/VI-BPPHH/2014 dari
Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan tentang Kewajiban Penerapan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu adalah seperti terlihat dalam tabel berikut :
Tabel 3.1 Jangka Waktu Berlaku Sertifikat PHPL dan Sertifikat LK
No Pemegang Ijin Sertifikat Jangka
Waktu
Surveilance Sifat
1 IUPHHK-HA PHPL 5 tahun per-12 bulan Wajib
2 IUPHHK-HT PHPL 5 tahun per-12 bulan Wajib
3 IUPHHK-RE PHPL 5 tahun per-12 bulan Wajib
4 Hak Pengelolaan PHPL 5 tahun per-12 bulan Wajib
5 IUPHHK-HTR LK 3 tahun per-12 bulan Wajib
6 IUPHHK-HKm LK 3 tahun per-12 bulan Wajib
7 IUPHHK-HD LK 3 tahun per-12 bulan Wajib
8 IUPHHK-HTHR LK 3 tahun per-12 bulan Wajib
9 IUIPHHK dengan
modal investasi >
Rp. 500 juta
LK 3 tahun per-12 bulan Wajib
10 IUI dengan modal
investasi > Rp. 500
juta
LK 3 tahun per-12 bulan Wajib
11 IPK LK 1 tahun per-12 bulan Wajib
12 IUI ≤ Rp. 500 juta LK 6 tahun per-24 bulan Wajib
13 TPT LK 6 tahun per-24 bulan Wajib
14 TDI LK 6 tahun per-24 bulan Wajib
15 Industri Rumah LK 6 tahun per-24 bulan Wajib
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
79
Universitas Indonesia
No Pemegang Ijin Sertifikat Jangka
Waktu
Surveilance Sifat
Tangga/Pengrajin
16 ETPIK Non
Produsen
LK 6 tahun per-24 bulan Wajib
17 Pemilik Hutan Hak LK 10 tahun per-24 bulan Wajib untuk tata
usaha hasil hutan
dengan dokumen
SKSKB325
Deklarasi
Ekspor
Dispensasi untuk
tata hasil hutan
dengan dokumen
nota326
atau
SKAU327
a. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
Untuk mengukur kinerja PHPL diperlukan standar dan pedoman penilaian.
Standar dan pedoman penilaian ini selanjutnya digunakan untuk proses penilaian
kinerja PHPL oleh lembaga penilai (assessor) yang independen yang disebut
sebagai Lembaga Penilaian PHPL (LP-PHPL). Proses penilaian tersebut inilah
yang disebut proses sertifikasi dimana unit pengelola hutan yang lulus proses
penilaian akan mendapat sertifikat sebagai bukti pengakuan telah melakukan
PHPL.
Dalam perkembangannya, respon terhadap isu kayu ilegal menjadi sangat
mendesak. Sehingga dibuatlah standar dan pedoman untuk melakukan verifikasi
legalitas kayu yang diterapkan terhadap unit pengelola hutan sebagai penghasil
kayu dan industri pengolahan kayu sebagai pengguna kayu.
325
SKSKB adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh Pejabat yang Berwenang,
dipergunakan dalam pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan berupa kayu bulat yang
diangkut secara langsung dari areal ijin yang sah pada hutan alam negara dan telah melalui proses
verifikasi legalitas, termasuk telah dilunasi PSDH dan atau DR. (Pasal 1 angka 49 Permenhut No. :
P. 55/MENHUT-II/2006) 326
Dokumen Nota adalah dokumen angkutan yang merupakan surat keterangan yang
menyatakan penguasaan, kepemilikan dan sekaligus sebagai bukti legalitas pengangkutan Hasil
Hutan Hak (kayu bulat atau kayu olahan rakyat) sesuai dengan jenis kayu yang ditetapkan atau
pengangkutan lanjutan semua jenis kayu (Pasal 1 angka 50 dan 51 Permenhut No.P.55/Menhut-
II/2006) 327
SKAU adalah dokumen angkutan yang merupakan surat keterangan yang menyatakan
penguasaan, kepemilikan dan sekaligus sebagai bukti legalitas pengangkutan Hasil Hutan Hak
(kayu bulat dan kayu olahan rakyat). SKAU digunakan untuk setiap angkutan Hasil Hutan Hak
selain kriteria penggunaan Nota Angkutan dan Nota Angkutan Penggunaan Sendiri
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
80
Universitas Indonesia
Menurut Nana Suparna328
, prinsip-prinsip dasar yang dianut dalam penetapan
indikator pada pengelolaan hutan lestari didasarkan pada hal-hal sebagai berikut :
1. Indikator tidak hanya memperhatikan dari segi yuridis formal, tetapi lebih
ditekankan pada segi fakta di lapangan
2. Indikator atas aspek yang dinilai diprioritaskan pada hal-hal yang bersifat
sangat menentukan (key point), sehingga tidak terlalu disibukkan dengan
hal-hal yang tidak mendasar
3. Kegiatan yang perlu dinilai diutamakan terhadap sasaran yang ingin
dicapai oleh adanya suatu kegiatan, sehingga tidak terfokus ke masalah
prosedur atau prosesnya saja
4. Kriteria yang ditetapkan dapat merangsang motivasi dan kreativitas
pelaksana dalam meningkatkan mutu pengelolaan hutannya
5. Tolok ukur harus jelas dan sejauh mungkin dapat diukur
6. Indikator pada aspek dinilai harus bersifat dinamis disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, sejauh hal-
hal tersebut ada kaitannya
Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.43/Menhut-II/2014 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas kayu pada pemegang
ijin atau pada hutan hak dapat dijelaskan melalui Tabel 3.2 sebagai berikut :
328
Nana Suparna “Forest Law Enforcement & Governance –East Asia: A Ministrial
Conference”, dipresentasikan pada Konferensi Tingkat Menteri di Bali pada tanggal 11 –13
September 2001
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
81
Universitas Indonesia
Tabel 3.2 Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari
No Kriteria Indikator
1 Prasyarat
a. Kepastian kawasan Pemegang Ijin dan Pemegang
Hak Pengelolaan
b. Komitmen Pemegang Ijin
c. Jumlah dan kecukupan tenaga profesional bidang
kehutanan pada seluruh tingkatan untuk mendukung
pemanfaatan implementasi penelitian, pendidikan
dan latihan
d. Kapasitas dan mekanisme untuk perencanaan
pelaksanaan pemantauan periodik, evaluasi, dan
penyajian umpan balik mengenal kemajuan
pencapaian (kegiatan IUPHHK-HA/RE/HT/
Pemegang Hak Pengelolaan)
e. Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan
2 Kesinambungan
Produksi
a. Penataan areal kerja jangka panjang dalam
pengelolaan hutan lestari
b. Tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil
hutan kayu utama dan nir kayu pada setiap tipe
ekosistem
c. Pelaksanaan penerapan tahapan sistem silvikultur
untuk menjamin regenerasi hutan
d. Ketersediaan dan penerapan teknologi ramah
lingkungan untuk pemanfaatan hutan
e. Realisasi penebangan sesuai dengan rencana kerja
penebangan/ pemanenan/pemanfaatan pada areal
kerjanya
b. Tingkat investasi dan reinvestasi yang memadai dan
memenuhi kebutuhan dalam pengelolaan hutan,
administrasi, penelitian dan pengembangan, serta
peningkatan kemampuan sumber daya manusia
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
82
Universitas Indonesia
No Kriteria Indikator
3 Aspek Ekologi
a. Keberadaan, kondisi kawasan kemantapan dan
kondisi kawasan dilindungi pada setiap tipe hutan
b. Perlindungan dan pengaman hutan
c. Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap
tanah dan air akibat pemanfaatan hutan
d. Identifikasi spesies flora dan fauna yang dilindungi
dan/atau langka (endangered), jarang (rare),
terancam punah (threatened) dan endemik
e. Pengelolaan fauna untuk : Luasan tertentu tertentu
dari hutan produksi yang tidak terganggu, dan
bagian yang tidak rusak
f. Perlindungan terhadap species fauna dilindungi
dan/atau jarang, langka, terancam punah dan
endemik
4 Aspek Sosial
a. Kejelasan deliniasi kawasan operasional
perusahaan/pemegang ijin dengan kawasan
masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat
setempat
b. Implementasi tanggung jawab sosial perusahaan
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
c. Ketersediaan mekanisme dan implementasi
distribusi manfaat yang adil antar para pihak
d. Keberadaan mekanisme resolusi konflik yang
handal
e. Perlindungan, pengembangan dan peningkatan
kesejahteraan tenaga kerja
5 Aspek
Kelembagaan
a. Kejelasan deliniasi kawasan operasional
perusahaan/pemegang ijin dengan kawasan
masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat
setempat
b. Implementasi tanggung jawab sosial perusahaan
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
c. Ketersediaan mekanisme dan implementasi
distribusi manfaat yang adil antar para pihak
d. Keberadaan mekanisme resolusi konflik yang
handal
e. Perlindungan, pengembangan dan peningkatan
kesejahteraan tenaga kerja
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
83
Universitas Indonesia
Gambar 3.1 Kerangka Kerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
Gambar 2. Kerangka Kerja Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
84
Universitas Indonesia
Tahapan dan Kegiatan Utama Pengelolaan Hutan Produksi Lestari sebagaimana
dimaksud pada bagan alir tersebut di atas dapat dijelaskan berikut ini :
1. Tahap Prakondisi
Tahap ini merupakan tahap yang paling penting dan menentukan
pelaksanaan PHPL. Inti dari tahap ini adalah komitmen pengelola hutan
untuk melaksanakan PHPL. Komitmen harus bisa dibuktikan secara nyata
paling tidak dengan melakukan beberapa hal berikut yang sebagian besar
merupakan tugas dari manajemen puncak perusahaan pengelola hutan hak
2. Harus disusun suatu visi dan misi perusahaan sebagai bentuk komitmen
tertulis yang mencerminkan kesadaran untuk melakukan Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari. Visi, misi dan komitmen untuk PHPL perlu
diketahui oleh seluruh jajaran internal yang terlibat dalam pengelolaan
hutan termasuk kontraktor serta masyarakat secara luas.
3. Pengumpulan Data Dasar
Pengumpulan data dasar dimaksudkan untuk memperoleh informasi
menyeluruh mengenai sumber daya hutan (batas areal kerja, potensi, riap
tegakan, keanekaragaman hayati, dan kawasan yang perlu dilindungi);
dampak potensial dari pengelolaan hutan terhadap lingkungan; dan kondisi
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar hutan.
Dalam tahap ini termasuk pelaksanaan tata batas areal kerja , analisis
mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
4. Penyusunan Rencana Pengelolaan
Penataan areal kerja jangka panjang merupakan kegiatan awal yang sangat
menentukan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Input untuk kegiatan ini
adalah seluruh informasi yang telah diperoleh dari tahap pengumpulan
data dasar, seperti laporan tata batas, Dokumen AMDAL, laporan survei
sosial, laporan penilaian keanekaragaman hayati, dan laporan IHMB.
Kegiatan ini terdiri dari dua tahapan yaitu tahap penyusunan zonasi hutan
dan tahapan penataan blok rencana kerja tahunan .
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
85
Universitas Indonesia
5. Implementasi
Dua hal yang penting dalam tahap implementasi adalah, pertama
pelaksanaan kegiatan dilakukan berdasarkan rencana yang telah disusun
dan yang kedua pelaksanaan kegiatan harus sesuai dengan standar
prosedur yang telah ditetapkan. Pada tahap ini penyusunan standar
prosedur menjadi sangat penting. Untuk mendukung penyusunan standar
prosedur yang sesuai diperlukan peningkatan kompetensi karyawan
melalui training dan implementasi secara terus menerus.
6. Manajemen Umum
Manajemen yang dilakukan perusahaan secara umum yang menjadi
pondasi dan pendukung pelaksanaan PHPL adalah : pengelolaan
keuangan, pengelolaan Sumber Daya Manusia, Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), sistem pengelolaan dokumen
7. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring diperlukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu
kegiatan dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sehingga
mencapai sasaran yang diharapkan. Monitoring dilakukan pada saat proses
pelaksanaan kegiatan. Monitoring bukan merupakan kegiatan pasif,
dengan pengertian adanya tindakan antisipasi terhadap kendala yang akan
timbul dan segera mencari solusi jika ada kendala dalam proses
pelaksanaan kegiatan. Evaluasi dilakukan berdasarkan hasil monitoring
ditambah dengan informasi lainnya yang berhubungan dengan kegiatan
tersebut, sehingga diperoleh suatu kesimpulan dan rekomendasi tindakan
perbaikan. Adanya rekomendasi untuk perbaikan lebih lanjut.
b. Verifikasi Legalitas Kayu
Standard Verifikasi Legalitas Kayu disusun atas beberapa prinsip, kriteria,
indikator dan verifier. Setiap prinsip terdiri atas satu kriteria, setiap kriteria terdiri
atas beberapa indikator, dan setiap indikator terdiri atas beberapa verifier.
Dalam Peraturan Dirjen Bina Usaha Kehutanan No. P.5/VI-BPPHH/2014 jo
P.14/VI-BPPHH/2014 jo P.1/ VI-BPPHH/2015, kriteria dan indikator verifikasi
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
86
Universitas Indonesia
legalitas kayu berbeda-beda tergantung kategori Pemegang Izin atau Hutan Hak
yaitu sebagai berikut :
1. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang IUPHHK-HA, IUPHHK-
HTI, IUPHHK-RE dan Hak Pengelolaan
2. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Hutan Negara yang dikelola oleh
masyarakat (HTR, HKm, HD, HTHR)
3. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Hutan Hak
4. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang IPK
5. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang IUIPHHK dengan
kapasitas di atas 6000m3/tahun dan IUI dengan nilai investasi di atas Rp.
500.000.000,-
6. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang IUIPHHK dengan
kapasitas sampai dengan 6000m3/tahun dan IUI dengan nilai investasi
sampai dengan Rp. 500.000.000,-
7. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang TDI
8. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Industri Rumah Tangga / Pengrajin
9. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada TPT
10. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Industri Rumah Tangga / Pengrajin
11. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada pedagang Ekspor / ETPIK Non-
Produsen
Hal-hal pokok yang diatur dalam masing-masing kelompok standard verifikasi
legalitas kayu ini adalah :
1. standard verifikasi mencakup prinsip, kriteria, indikator, dan verifier;
2. pedoman verifikasi, mencakup metoda verifikasi dan norma penilaian.
Untuk setiap kelompok macam dan jumlah prinsip, kriteria (K), indikator (I) dan
verifier (V) yang dicakup tidak sama, seperti ditunjukkan tabel di bawah ini:
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
87
Universitas Indonesia
Tabel 3.3 Jumlah Kriteria, Indikator dan Verifier untuk Pemegang Ijin
Sesuai Jenis Pengelolaan Hutan
Pengelolaan
Hutan
Prinsip Jumlah Kriteria,
Indikator dan Verifier
dalam P.5/VI-
BPPHH/2014 Jo
P.14/VI-BPPHH/ 2014
jo P.1/VI-BPPHH/2015
Hutan Negara Kepastian areal dan hak
pemanfaatan
Memenuhi sistem dan prosedur
penebangan yang sah
Pemenuhan aspek lingkungan dan
social terkait penebangan
6 Kriteria
11 Indikator
19 Verifier
Hutan Negara
yang dikelola
Masyarakat
Kepastian areal dan hak
pemanfaatan
Memenuhi sistem dan prosedur
penebangan yang sah
Pemenuhan aspek lingkungan dan
social terkait penebangan
6 Kriteria
11 Indikator
19 Verifier
Industri Industri pengolahan hasil hutan
mendukung terselenggaranya
perdagangan kayu yang sah
Unit usaha mempunyai dan
menerapkan sistem penelusuran
kayu yang menjamin keterlacakan
kayu dari asalnya
Keabsahan perdagangan atau
pemindahtanganan kayu olahan
4 Kriteria
10 Indikator
Verifier
Hutan Hak Kepemilikan kayu dapat dibuktikan
keabsahannya
1 Kriteria
2 Indikator
4 Verifier
Pemanfaatan
Kayu
Ijin lain yang sah pada pemanfaatan
hasil hutan kayu
Kesesuaian dengan sistem dan
prosedur penebangan serta
pengangkutan kayu
4 Kriteria
6 Indikator
13 Verifier
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
88
Universitas Indonesia
Contoh prinsip, kriteria, indikator dan verifier adalah seperti di bawah ini :
Prinsip (1) Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu mendukung
terselenggaranya perdagangan kayu
Kriteria (1) 1. Unit usaha industri pengolahan dan eksportir produk olahan
memiliki izin yang sah, terdiri atas 2 indikator:
a. Industri pengolahan memiliki izin yang sah, dengan verifier Akte Pendirian
Perusahaan, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Surat Izin dari
Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk PMA, Tanda Daftar
Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), AMDAL/Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UPL)/Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan
(SPPL), Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri (TDI), Rencana
Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) untuk Industri Primer Hasil
Hutan (IPHH).
b. Eksportir produk hasil kayu olahan adalah eksportir produsen yang memiliki
izin sah. Verifier untuk indikator eksportir sama dengan verifier industri
pengolahan memiliki izin yang sah ditambah dengan verifier Berstatus
Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK).
Prinsip (2) Unit usaha mempunyai dan menerapkan system penelusuran
kayu yang menjamin keterlacakan kayu dari asalnya
Kriteria (2) 1. Keberadaan penerapan sistem penelusuran bahan baku dan hasil
olahannya, terdiri atas 2 indikator:
a. IPHH (Industri Pengolahan Hasil Hutan ) dan industri pengolahan kayu
(IPK) lainnya mampu membuktikan bahwa bahan baku yang diterima
berasal dari sumber yang sah, dengan verifier dokumen jual beli atau kontrak
suplai bahan baku, berita acara serah terima kayu, kayu impor dilengkapi
dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dengan keterangan asal usul
kayu, SKSKB (Surat Keterangan Sah Kayu Bulat) dan atau FAKB (Faktur
Angkutan Kayu Bulat) atau FAKO (Faktur Angkutan Kayu Olahan) /Nota
atau Surat Angkutan Lelang (SAL), dokumen LMKB/LMKBK dan
dokumen pendukung SK RKT (Surat Keterangan Rencana Karya Tahunan).
Dokumen yang sering disalahgunakan adalah dokumen FAKO, SKSKB,
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
89
Universitas Indonesia
SKAU atau FAKB. Dalam beberapa kasus ditemukan penggunaan dokumen
tersebut di atas lebih dari satu kali atau tidak dimatikan oleh petugas yang
berwenang atau ditandatangani oleh penerima.
b. IPHH dan industri pengolahan kayu lainnya menerapkan system penelusuran
kayu, dengan verifier Tally sheet penggunaan bahan baku dan hasil produksi,
Laporan produksi hasil olahan, dan Produksi industri tidak melebihi
kapasitas produksi yang diizinkan.
Prinsip (3) Keabsahan perdagangan atau pemindahtanganan kayu olahan.
Kriteria (3) 1. Pengangkutan dan perdagangan antar pulau, terdiri atas 3 indikator:
a. Pelaku usaha yang mengangkut hasil hutan antar pulau memiliki pengakuan
sebagai Pedagang Kayu Antar Pulau Terdaftar (PKAPT), dengan verifier
SIUP, Akte Pendirian Perusahaan, TDP, NPWP dan Dokumen PKAPT.
b. Pengangkutan kayu atau hasil olahan kayu yang menggunakan kapal harus
berbendera Indonesia dan memiliki izin yang sah, dengan verifier dokumen
yang menunjukkan identitas kapal, identitas kapal sesuai dengan yang
tercantum dalam SKSKB dan atau FAKB atau FAKO/Nota atau Surat
Angkutan Lelang (SAL).
c. PKAPT mampu membuktikan bahwa kayu yang dipindahtangankan berasal
dari sumber yang sah, dengan verifier SKSKB dan atau FAKB dan atau
SKAU atau FAKO/Nota atau SAL, Identitas Permanen Batang (apabila
dalam bentuk kayu bulat).
Kriteria (3) 2. Pengapalan hasil olahan kayu untuk eksport, terdiri atas 2 indikator:
a. Pengapalan hasil olahan kayu untuk ekspor harus memenuhi kesesuaian
dokumen PEB, dengan verifier Pengakuan sebagai Eksportir Terdaftar
Produk Industri Kehutanan (ETPIK), PEB, Packing List, Invoice, B/L,
FAKO/Nota atau SAL dan Bukti Pembayaran Pungutan Ekspor (PE) bila
terkena PE.
b. Jenis dan produk kayu yang diekspor memenuhi ketentuan yang berlaku,
dengan verifier Dokumen yang menyatakan jenis dan produk kayu
(Endorsemen dan Hasil Verifikasi Teknis), Dokumen lain yang relevan
(diantaranya CITES) untuk jenis kayu yang dibatasi perdagangannya.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
90
Universitas Indonesia
Persyaratan dokumen yang harus dipenuhi dalam rangka perolehan SVLK
adalah seperti tertera dalam tabel di bawah ini :
Tabel 3.4 Persyaratan Dokumen Yang Harus Dipenuhi
Legalitas Industri Dokumen Bahan Baku
1. Akte Pendirian Perusahaan dan
Perubahan Terakhir
c. Surat Ijin Usaha Perdagangan
(SIUP)
d. Izin Gangguan (HO)
e. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
f. Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP)
g. Surat Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak (SPPKP) NPWP
h. Dokumen AMDAL
i. IUIPHHK dan IUI
j. Pedagang Kayu Antar Pulau
Terdaftar (jika ada)
k. RPBBI dan pelaporannya
(khusus IUIPHHK)
1. Dokumen Kontrak/Perjanjian jual
beli/Bukti jual beli bahan baku
2. Berita Acara Serah Terima Kayu
3. Pemberitahuan Impor Barang
(PIB) *untuk kayu impor dan
dokumen pendukungnya (Packing
List, Invoice, B/L, dan CoO) (*jika
ada impor kayu)
4. Dokumen angkutan kayu yang sah
(SKSKB/FAKB/Nota Angkutan
/SAP/ FAKO/Nota Perusahaan)
5. Laporan Mutasi Kayu Bulat
(LMKB) dan Laporan Mutasi
Kayu Olahan (LMKO)
Dokumen Produksi Dokumen Pemasaran
1. Alur Proses Produksi untuk
setiap jenis produk
2. Tally sheet penggunaan bahan
baku dan hasil produksi
3. Laporan hasil produksi bulanan
dan tahunan
Dalam negeri :
1. Laporan pemasaran dalam negeri
2. Dokumen angkutan kayu yang sah
(FAKB/FAKO/Nota)
Ekspor :
1. Pemberitahuan Ekspor Barang
2.Packing List
3. Invoice
4. Bill of Lading
5. Bea Keluar (jika ada)
6. CITES (jika ada)
7. Laporan Surveyor (Jika ada)
Dokumen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
Dokumen Pemenuhan Hak Hak
Tenaga Kerja
1. Prosedur K3
2. Daftar Peralatan K3
3. Catatan Kecelakaan Kerja
1. Daftar Tenaga Kerja
2. Daftar serikat pekerja atau peraturan
perusahaan tentang serikat pekerja
3.Dokumen Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
91
Universitas Indonesia
c. Dokumen V-Legal dan Tanda V-Legal
Lisensi FLEGT Indonesia dikenal sebagai "Dokumen V-Legal". Ini adalah
lisensi ekspor yang memberikan bukti bahwa produk kayu yang diekspor
memenuhi standar legalitas sebagaimana yang ditetapkan dalam Lampiran II
FLEGT-VPA dan sumbernya adalah dari rantai pasokan dengan pengendalian
yang memadai terhadap masuknya kayu dari sumber yang tidak diketahui.
Dokumen V-Legal dikeluarkan oleh Lembaga Verifikasi (LV) yang
bertindak selaku Otoritas Penerbit Lisensi dan akan digunakan sebagai lisensi
FLEGT untuk pengiriman-pengiriman ke Uni Eropa setelah para pihak sepakat
untuk memulai skema perlisensian FLEGT.
Dokumen V-Legal diterbitkan pada titik di mana pengiriman ekspor
ditetapkan sebelum pengangkutan ke titik ekspor. Dokumen V-Legal untuk
pengiriman produk kayu yang akan diekspor diterbitkan oleh LV yang dikontrak
oleh pengekspor, tergantung pada hal berikut:
1. Sistem ketertelusuran pengekspor memberikan bukti tentang legalitas kayu
atau produk kayu yang akan diekspor. Sistem ini mencakup semua kendali
yang terkait dengan rantai pasokan dari tahap di mana bahan baku (seperti
kayu bulat atau produk setengah jadi) dikirim ke pabrik pengolahan, di
lingkungan pabrik itu sendiri dan dari pabrik ke titik ekspor.
2. Untuk industri hutan primer, sistem ketertelusuran pengekspor harus
sekurang-kurangnya mencakup transportasi dari tempat pengumpulan kayu
atau tempat penimbunan kayu dan tahap-tahap selanjutnya hingga ke titik
ekspor.
3. Untuk industri hutan sekunder, sistem ketertelusuran harus sekurang-
kurangnya mencakup transportasi dari industri primer dan semua tahap
selanjutnya hingga ke titik ekspor.
4. Apabila dikelola oleh pengekspor, setiap tahap sebelumnya dari rantai
pasokan sebagaimana dimaksud dalam (b) and (c) juga harus dimasukkan
dalam sistem ketertelusuran internal pengekspor tersebut.
5. Untuk setiap bagian dari rantai pasokan yang berada di bawah tanggung
jawab entitas hukum selain pengekspor, LV harus memverifikasi bahwa
bagian dari rantai pasokan tersebut sebagaimana dimaksud dalam (b) dan (c)
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
92
Universitas Indonesia
dikendalikan oleh pemasok atau sub-pemasok pengekspor tersebut, dan
bahwa dokumen pengangkutannya menyebutkan apakah kayu tersebut
berasal dari pemegang izin atau pemilik hutan hak yang telah mendapat
sertifikasi legalitas.
6. Agar Dokumen V-Legal diterbitkan, semua pemasok di sepanjang rantai
pasokan dari suatu pengiriman yang ditujukan untuk ekspor harus dicakup
oleh legalitas atau sertifikat PHPL yang sah dan berlaku dan harus
menunjukkan bahwa di seluruh tahapan rantai pasokan, pasokan kayu atau
produk kayu legal yang sudah diverifikasi dipisahkan dari pasokan yang
tidak dinaungi oleh legalitas atau sertifikat PHPL yang sah dan berlaku.
Untuk mendapatkan Dokumen V-Legal, perusahaan harus menjadi Pengekspor
Terdaftar Produk Industri Kehutanan (pemegang ETPIK) dan harus mempunyai
sertifikat legalitas yang sah dan berlaku untuk pengiriman tersebut untuk diekspor.
Pemegang ETPIK menyerahkan surat permohonan kepada LV dan melampirkan
dokumen-dokumen berikut untuk mendemonstrasikan bahwa kayu dalam produk
tersebut hanya berasal dari sumber-sumber legal yang sudah diverifikasi. Di
bawah ini alur penerbitan dokumen V-Legal.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
93
Universitas Indonesia
Gambar 3.2 Alur Penerbitan Dokumen V-Legal
Setelah dokumen V-Legal diverifikasi, maka kayu yang akan diekspor
akan di beri tanda V-Legal sebagai berikut :
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
94
Universitas Indonesia
d. Lembaga Penilai Kesesuaian dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
Lembaga-Lembaga Penilai Kesesuaian untuk menilai terpenuhinya definisi
legalitas sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.95/Menhut-II/2014 dan Perjanjian Kemitraan Sukarela antara Indonesia dan
Uni Eropa, adalah lembaga yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional
(KAN)329
berdasarkan International Standard Organization (ISO) dan
ditetapkan untuk melaksanakan tugas pengauditannya oleh Kementerian
Kehutanan, dan juga melaporkan hasil akhir auditnya kepada Kementerian
Kehutanan.
Seperti kegiatan sertifikasi hutan pada umumnya, Lembaga-Lembaga Penilai
Kesesuaian ditunjuk dan dikontrak oleh perusahaan yang ingin memperoleh
sertifikat legalitas. Lembaga penilai kesesuaian ini diwajibkan untuk
beroperasi sesuai dengan pedoman-pedoman ISO.
Lembaga-Lembaga Penilai Kesesuaian juga memeriksa para eksportir kayu.
Bila legalitas dipatuhi, mereka akan diberikan lisensi ekspor berupa dokumen
V-Legal atau dokumen Lisensi FLEGT (FLEGT Licensee) bila kayu atau
produk kayu tersebut akan diekspor ke Uni Eropa.
Berdasarkan Pasal 5 dan 5A Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.95/Menhut-II/2014, ada batas waktu yang diberikan bagi
eksportir kayu dan produk kayu untuk memperoleh surat dokumen V-Legal,
dimana apabila setelah batas waktu tersebut, maka apabila eksportir kayu dan
produk kayu belum memiliki dokumen V-Legal, maka produknya tidak boleh
dieskpor, yaitu :
1. Pemegang ETPIK Kayu Olahan yang telah memperoleh S-LK namun
menggunakan bahan baku berbentuk produk olahan yang pemasoknya
belum memiliki S-LK atau DKP (Deklarasi Kesesuaian Pemasok),
329
Komite Akreditasi Nasional (KAN) Komite Akreditasi Nasional (KAN) adalah lembaga
di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia dengan tugas utama untuk
memberikan akreditasi kepada Lembaga Penilaian Kesesuaian. KAN telah didirikan sejak tahun
1992 berdasarkan Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi No 465/IV.2.06/HK.01.04/9/92
dan diperbaharui pada tahun 1997 dengan Keputusan Presiden Nomor 13/1997 dan terakhir pada
tahun 2001 dengan Keputusan Presiden No 78/2001.
Dalam Pasal 9 Undang Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian
Kesesuaian diatur bahwa tugas dan tanggung jawab akreditas Lembaga Penilaian Kesesuaian
dilaksanakan oleh KAN yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden
melalui kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN)
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
95
Universitas Indonesia
dokumen V-Legal diterbitkan melalui inspeksi oleh LVLK (Lembaga
Verifikasi Legalitas Kayu) sampai dengan 30 Juni 2015330
2. Pemegang ETPIK Industri Kecil Menengah (IKM) Mebel yang belum
atau sudah memiliki S-LK atau DKP, untuk keperluan ekspor
menggunakan Deklarasi Ekspor sampai dengan 31 Desember 2015331
3. Bagi pemegang IUIPHHK, IUI, TDI dan ETPIK Non Produsen yang
belum mendapatkan S-LK, maka dokumen V-Legal diterbitkan
melalui inspeksi oleh LVLK sampai dengan 30 Juni 2015332
Saat memberikan lisensi pengapalan kayu, Lembaga-Lembaga Penilai
Kesesuaian akan memeriksa apakah :
1. perusahaan serta semua pemasoknya merupakan pemegang sertifikat
legalitas yang sah dan dengan demikian beroperasi sesuai dengan
definisi legalitas Indonesia;
2. mencocokkan data perdagangan di antara berbagai pemasok ke
eksportir untuk memastikan bahwa tidak ada kayu yang tidak
diverifikasi memasuki rantai pasokan.
Apabila diketemukan bahwa eksportir, atau salah satu di antara para
pemasoknya, tidak memegang sertifikat legalitas yang sah, atau ternyata telah
melanggar peraturan terkait maka sanksi yang akan diberikan adalah
1. permintaan untuk lisensi ekspor akan ditolak, sehingga rencana
pengiriman akan dihentikan;
2. eksportir yang bersangkutan, kemungkinan dicabut sertifikat
legalitasnya, sehingga semua ekspor tidak akan bisa dilakukan sebelum
eksportir tersebut memperbaiki manajemen operasionalnya;
3. apabila kegiatan ilegal terbukti, maka eksportir tersebut atau
pemasoknya akan berisiko dihadapkan kepada tuntutan hukum.
330
Pasal 5 ayat 2 PermenLHK No. 95/Menhut-II/2014 331
Pasal 5A ayat 2 PermenLHK No. 95/Menhut-II/2014 332
Pasal 5A ayat 3 PermenLHK No. 95/Menhut-II/2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
96
Universitas Indonesia
Sampai akhir tahun 2015 , sudah ada 21 (dua puluh satu) Lembaga Penilai dan
Verifikasi Independen (LP&VI) sebagai Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu
yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional .
e. Standar Biaya PHPL dan VLK
Menteri Kehutanan telah mengeluarkan peraturan no. P.13/Menhut-II/2013 jo
P.96/Menhut-II/2014 tentang Standar Biaya Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu .
Standar ini merupakan batas tertinggi yang digunakan sebagai pedoman dalam
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penilaian kinerja PHPL dan atau VLK
yang pembiayaannya dibebankan kepada anggaran Kementerian Kehutanan
yaitu khusus untuk333
:
1. Penilaian kinerja PHPL periode pertama atas Pemegang Hak
Pengelolaan, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, dan IUPHHK-RE;
2. VLK periode pertama atas Pemilik Hutan Hak, Pemegang Hak
Pengelolaan, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-HTR, IUPHHK-
HKm, IUPHHK-HD, IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai
dengan 2.000 M3/tahun, Tanda Daftar Industri (TDI), Pemegang IUI
dengan modal investasi sampai dengan 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah) diluar tanah dan bangunan, termasuk industri rumah
tangga/pengrajin.
Standar ini juga dapat digunakan sebagai acuan pembiayaan kegiatan
penilaian kinerja PHPL dan VLK yang anggarannya dibebankan kepada
pemohon/pemegang izin, yaitu untuk 334
:
1. Penilaian kinerja PHPL atas Pemegang Hak Pengelolaan, IUPHHK-HA,
IUPHHK-HT, dan IUPHHK-RE, untuk periode selanjutnya atau atas
inisiatif pemegang izin;
2. VLK atas Pemegang Hak Pengelolaan, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT,
Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, IUPHHK-HD, IUIPHHK
333
Pasal 2 Permenhut P.13/Menhut-II/2013 jo P.96/Menhut-II/2014 334
Pasal 3 Permenhut P.13/Menhut-II/2013 jo P.96/Menhut-II/2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
97
Universitas Indonesia
dengan kapasitas produksi sampai dengan 2.000 M3/tahun, Tanda Daftar
Industri (TDI), Pemegang IUI dengan modal investasi sampai dengan
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) diluar tanah dan bangunan,
termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan Pemilik Hutan Hak,
periode selanjutnya atau atas inisiatif pemegang izin atau pemilik hutan
hak;
3. VLK Atas Pemegang IUIPHHK kapasitas produksi diatas 2000 s.d.
6.000 M3/Tahun;
4. VLK Atas Pemegang IUI dan IUIPHHK kapasitas Produksi diatas 6.000
M3/Tahun;
5. VLK Atas Tempat Penampungan Terdaftar;
6. VLK Atas Pemegang IPK dan IUPHHK-HTHR;
7. Penyelesaian keluhan dan banding penilaian kinerja PHPL Atas
Pemegang Hak Pengelolaan, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT dan
IUPHHK-RE;
8. Penyelesaian keluhan dan banding VLK Atas Pemegang Hak
Pengelolaan, IUPHHK-HA, dan IUPHHK-HT;
9. Penilikan (surveillance) kinerja PHPL Atas Pemegang Hak Pengelolaan,
IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, dan IUPHHK-RE;
10. Penilikan (surveillance) VLK Atas Pemegang Hak Pengelolaan,
IUPHHK-HA, dan IUPHHK-HT.
Estimasi biaya SVLK berdasarkan batas tertinggi (maksimum) yang ditetapkan
dalam Permenhut P.13/Menhut-II/2013 jo P.96/Menhut-II/2014 diuraikan di
bawah ini :
a. Standar Biaya Maksimum Sertifikasi PHPL
Pemegang Hak Pengelolaan (Perum Perhutani) dan IUPHHK-HA/HT/RE
adahal sebesar Rp. 481.800.000,-
b. Standar Biaya Maksimum Sertifikasi Legalitas Kayu
Pemegang Hak Pengelolaan (Perum Perhutani) dan IUPHHK-HA/HT
adalah Rp. 184.760.000,-
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
98
Universitas Indonesia
Pemegang IPK dan IUPHHK-HTHR adalah Rp. 206.890.000,-
Pemegang IUPHHK-HKm/HD secara kelompok adalah Rp.
48.508.000,-
Industri Rumah tangga / pengrajin adalah Rp. 31.394.000,-
Pemegang TDI, IUI dengan modal investasi sampai dengan lima ratus
juta rupiah (≤ Rp. 500 juta) , industri primer hasil hutan kayu
(IUIPHHK) dengan kapasitas produksi sampai dengan 2000m3 per-
tahun, secara kelompok adalah Rp. 33.498.000,-
Pemegang IUIPHHK kapasitas di atas 2000m3 sampai dengan 6000m3
per-tahun adalah Rp. 44.414.000,-
Pemegang IUI dan IUIPHHK dengan kapasitas di atas 6000m3 per-
tahun adalah Rp. 54.354.000,-
Tempat Penampungan Terdaftar adalah Rp. 18.663.000,-
Hutan rakyat / hutan hak secara kelompok adalah Rp. 32.424.000,-
Pemegang IUPHHK-HTR (perorangan) secara kelompok adalah Rp.
58.276.000,-
Pemegang IUPHHK-HTR (koperasi) secara kelompok adalah Rp.
48.508.000,-
Biaya di atas belum termasuk biaya penilikan (surveillance) yang harus
dilakukan setiap 12 bulan sekali atau 24 bulan sekali dalam masa periode
berlakunya sertifikasi tersebut.
3.4.2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89/M-DAG/PER/2015
tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan
Peraturan ini, berbeda dengan Peraturan Menteri Perdagangan
sebelumnya, ditegaskan bahwa ekspor produk industri kehutanan dibatasi335
.
Produk industri kehutanan yang dibatasi ekspornya adalah produk yang
termasuk Kelompok A, Kelompok B dan Kelompok C seperti yang ada dalam
lampiran penelitian ini.
335
Pasal 2.1. Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015, ―Ekspor Produk Industri Kehutanan
dibatasi.‖
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
99
Universitas Indonesia
Kelompok yang dimaksud tersebut hanyalah perusahaan industri kehutanan yang
memiliki Tanda Daftar Industri (TDI) atau Izin Usaha Industri (IUI) dan Tanda
Daftar Perusahaan (TDP) dan perusahaan perdagangan di bidang ekspor produk
industri kehutanan yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan
Tanda Daftar Perusahaan (TDP)336
.
Dalam Pasal 4, sifat mandatory dari Dokumen V-Legal menjadi kabur dan tidak
konsisten dengan Permenhut P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 yaitu :
a. Eksportir produk industri kehutanan yang termasuk Kelompok B seperti
yang diatur dalam Pasal 2, harus melengkapi produknya dengan dokumen V-
Legal yang diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK)337
.
b. Eksprotir Kelompok B yang tidak dilengkapi dokumen V-Legal, harus
menyertakan dokumen yang membuktikan bahwa bahan bakunya berasal
dari kayu yang diperoleh dari penyedia bahan baku yang sudah memiliki
Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) atau sesuai dengan ketentuan
penatausahaan hasil hutan338
c. Eksportir kelompok C (hasil hutan rotan), tidak diwajibkan untuk memiliki
dokumen V-Legal339
.
Dalam Pasal 3, secara implisit tidak mewajibkan sebuah perusahaan produk
industri kehutanan yang akan melakukan ekspor, memiliki ijin ETPIK (Ekspor
Terdaftar Produk Industri Kehutanan). Jadi peraturan baru ini bermaksud
menyederhanakan persyaratan bagi pengusaha, dengan menghapus syarat ETPIK
dimana syarat tersebut sudah ada dalam peraturan-peraturan sebelumnya
mengenai Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan340
. Selain itu ketentuan
336
Pasal 3 butir a dan b Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015 337
Pasal 4 ayat 1 Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015 338
Pasal 4 ayat 2 Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015. Berdasarkan ayat ini, eksportir
kelompok B yang tidak memiliki dokumen V-Legal, tidak diberikan tenggat waktu untuk
melengkapi produknya dengan dokumen V-Legal, sehingga mereka tidak perlu melakukan SVLK. 339
Pasal 4 ayat 3 Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015 340
Dalam Permendag No. 97/M-DAG/PER/2014 dan Permendag No. 66/M-
DAG/PER/2015 ditetapkan dalam Pasal 3 :
(1) Ekspor Produk Industri Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat
dilaksanakan oleh: (a) perusahaan industri kehutanan yang telah mendapat pengakuan sebagai
ETPIK; dan (b) perusahaan perdagangan di bidang ekspor Produk Industri Kehutanan yang telah
mendapat pengakuan sebagai ETPIK Non-Produsen.
(2) Kewenangan menerbitkan pengakuan sebagai ETPIK dan ETPIK Non-Produsen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b berada pada Menteri.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
100
Universitas Indonesia
bahwa produk kayu yang dicakup dalam FLEGT-VPA harus memiliki dokumen
V-Legal, tidak berlaku terhadap 15 (lima belas) Pos Tarif (HS code) produk kayu,
sebagai gantinya harus disertai dengan dokumen yang dapat membuktikan bahwa
bahan bakunya berasal dari kayu yang diperoleh dari penyedia bahan baku yang
sudah memiliki S-LK atau sesuai dengan ketentuan penatausahaan hasil hutan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lima belas pos tariff yang
dimaksud dalam Permendag ini adalah :
Tabel 3.5 Pos tariff yang dikecualikan dalam Permendag No. 89/M-
DAG/PER/10/2015
No HS Code (Pos Tarif) Uraian Barang
1. 4414.00.00.00 Bingkai kayu untuk lukisan, foto, cermin, atau
barang semacam itu
2 4416.00.10.00 Tahang, tong, bejana, pasu, dan produk lainnya
dari pembuat tong/pasu dan bagiannya dari kayu,
termasuk papan lengkung untuk tahang 3 4416.00.90.00
4 4417.00.10.00 Perkakas, badan perkakas, pegangan perkakas,
badan sapu atau sikat dan pegangannya dari kayu,
acuan dan kelebut sepatu bot atau sepatu dari
kayu
5 4417.00.90.00
6 4419.00.00.00 Perangkat makan dan perangkat dapur dari kayu
7 9401.69.00.10 Lain-lain (tempat duduk lainnya dengan rangka
dari kayu tidak diberi lapisan penutup) 8 9401.69.00.90
9 9403.30.00.00 Perabotan kayu dari jenis yang digunakan di
kantor
10 9403.40.00.00 Perabotan kayu dari jenis yang digunakan di
dapur
11 9403.50.00.00 Perabotan kayu dari jenis yang digunakan di
kamar tidur
12 9403.60.10.00 Perabotan kayu lainnya
13 9403.60.90.00
14 9403.90.90.00 Bagian perabotan dari kayu
15 9401.61.00.00 Tempat duduk lainnya dengan rangka dari kayu
diberi lapisan penutup
(3) Menteri mendelegasikan kewenangan penerbitan pengakuan sebagai ETPIK dan
ETPIK Non-Produsen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada koordinator pelaksana UPTP
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
101
Universitas Indonesia
Apabila demikian, maka Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015 tentang
Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan ini tidak sejalan atau inkonsisten
dengan PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 tentang Standard dan Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas
Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, yang salah satu kategori yang
dijabarkan sebagai pemegang izin adalah pemegang izin ETPIK Non-
Produsen341
.
3.4.3 Inkonsistensi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dengan Peraturan Menteri Perdagangan terkait Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu (SVLK)
Dari sudut pandang pengusaha kecil dan menengah, kebijakan Menteri
Perdagangan dengan mengeluarkan Permendag No. 89/M-DAG/2015 tanggal 19
Oktober 2015 yang merupakan deregulasi Permendag No. 97 Tahun 2014 jo
Permendag No. 66 Tahun 2015 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri
Kehutanan adalah untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Dalam rapat
yang diselenggarakan oleh Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan,
Ditjen Daglu Kemendag pada tanggal 5 Oktober 2015, Kementerian Perdagangan
mendengar dan mengakomodir semua usulan dari para pihak. Asosiasi Mebel dan
Kerajinan Indonesia termasuk pihak yang mengusulkan agar SVLK hanya
diwajibkan untuk industri di sektor hulu, yaitu industri pengolahan kayu (wood
working), industri panel kayu dan industri pulp and paper. Sementara industri
mebel dan kerajinan berbasis kayu yang merupakan industri hilir tidak diwajibkan
bersertifikat SVLK mengingat industri mebel dan kerajinan menggunakan bahan
baku kayu dari sektor hulu yang ber-SVLK. Dalam rapat tersebut, pimpinan rapat
menyetujui usul AMKRI mengenai dihapusnya kewajiban SVLK bagi industri
mebel dan kerajinan dalam revisi Permendag tentang Ketentuan Ekspor Produk
Industri Kehutanan. Kementerian Perdagangan juga akan menghilangkan
kewajiban eksportir produk kehutanan memiliki ETPIK. Dari hasil keputusan
341
Pasal 1 butir 1 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014,
“Pemegang izin adalah pemegang IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-HTR, IUPHHK-
RE, IUPHHK-HKM, IUPHHK-HD, IUPHHK-HTHR, IPK, IUIPHHK, IUI atau TDI, ETPIK
Non-Produsen serta TPT.”
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
102
Universitas Indonesia
rapat tersebut, lahirlah Permendag No. 89/M-DAG/2015 yang tidak konsisten
dengan Permenhut P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014.
Dari sudut pandang Lembaga Swadaya Masyarakat Kehutanan,
koordinator nasional Jaringan Independen Pemantau Kehutanan (JPIK) Zainuri
Hasyim mengatakan Permendag ini membuktikan bahwa Menteri Perdagangan
tidak mengindahkan masukan dan harapan banyak pihak untuk ikut serta
memperkuat upaya perbaikan tata kelola kehutanan yang telah dilakukan selama
ini. Zainuri yang mewakili JPIK, Eyes on the Forest, AURIGA, dan APIKS
mengatakan bahwa organisasi-organisasi pemantau independen telah
menyampaikan pandangan dan masukan sejak pembahasan rancangan Permendag
agar rancangan yang menghapuskan persyaratan dokumen V-Legal pada
kelompok B pada 15 pos tarif dibatalkan, karena tidak sejalan dengan semangat
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Aturan baru ini tidak mewajibkan
SVLK bagi IKM mebel dengan hanya mengharuskan industri ini melampirkan
dokumen yang membuktikan bahwa bahan bakunya berasal dari pemasok yang
telah memperoleh S-LK342
.
Dalam wawancara tertulis, Zainuri Hasyim menegaskan bahwa Peraturan
baru tersebut secara permanen membebaskan seluruh eksportir produk kayu
dengan 15 pos tarif (HS Codes) dari kewajiban menjalani audit SVLK untuk
ekspor, dan hal ini membuka peluang besar untuk memasukkan kayu tak
bersertifikat/ ilegal ke dalam rantai pasok. Peraturan Menteri Perdagangan
tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi struktural pada upaya yang sudah
lama dijalankan Indonesia untuk memperbaiki tata kelola kehutanan melalui
penerapan SVLK, dan akan mengganggu cakupan dan kerangka waktu yang
diusulkan dalam Indonesia-EU Voluntary Partnership Agreement (VPA). Menteri
Perdagangan melalui Permendag 89 Tahun 2015 justru mendukung upaya
pelemahan tata kelola kehutanan, bahkan membuka kembali ruang perdagangan
kayu ilegal 343
.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengatakan
bahwa berdasarkan pengalaman instansinya dalam mengawal SVLK bagi pelaku
342
Harian Warta Ekonomi tanggal 27 Oktober 2015 343
Wawancara tertulis dengan Zainuri Hasyim dari Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan
Pemantau Independen Kehutanan Indonesia, pada tanggal 22 November 2015
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
103
Universitas Indonesia
Usaha Kecil dan Menengah (UKM), terungkap bahwa banyak UKM yang tidak
memiliki perizinan lengkap, tidak tertib pencatatan dan pendokumentasian tata
usaha kayu, serta ketidakmampuan UKM dalam sertifikasi secara individu. Untuk
itu, upaya telah dilakukan oleh kementerian dengan melakukan penyederhanaan
pemenuhan standar perizinan melalui skema Deklarasi Kesesuaian Pemasok untuk
Hutan Rakyat, industri rumah tangga/pengrajin, TPT dan importir yang lebih
sederhana dibandingkan SVLK. Selain itu ada bantuan biaya pendampingan dan
audit melalui alokasi anggaran DIPA344
Kemenhut dan lembaga donor sejak tahun
2012345
.
344
DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang
disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berdasarkan Keputusan Presiden
mengenai rincian anggaran belanja pemerintah pusat. DIPA berfungsi sebagai dasar pelaksanaan
anggaran setelah mendapat pengesahan Menteri Keuangan. 345
Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Ir. Siti Nurbaya, M.Sc dalam
suratnya kepada Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dalam surat Nomor S.490/Menhut-VI/2014
tanggal 11 November 2014, hlm 2
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
104 Universitas Indonesia
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS
4.1 Konsistensi Regulasi Kayu Uni Eropa dengan Persetujuan TBT dan
GATT 1994
4.1.1 Konsistensi dengan Persetujuan TBT
Standardisasi keamanan produk dan regulasi teknis suatu Negara berbeda
dengan Negara lain. Persetujuan Technical Barriers to Trade (TBT) bertujuan
untuk memastikan bahwa peraturan teknis dan standardisasi produk tidak
membuat hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan, dan sekaligus juga
memastikan bahwa anggota WTO berhak dan bebas mempertahankan peraturan
mereka untuk memenuhi tujuan, seperti perlindungan kesehatan dan keselamatan
manusia dan dan lingkungan hidup.
Persetujuan TBT menerapkan regulasi teknis, dimana sesuai dengan
Lampiran 1.1 dari Persetujuan TBT diuraikan bahwa regulasi teknis adalah :
“dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau proses terkait
produk dan metode produksi, termasuk ketentuan administratif yang
berlaku, yang menjadi kewajiban untuk dipatuhi. Hal ini juga
mencakup atau terkait secara eksklusif dengan terminologi, simbol,
kemasan, persyaratan pelabelan yang diberlakukan untuk produk,
proses atau metode produksi.”
dan dengan demikian pengujian terhadap regulasi kayu Uni Eropa (EUTR)
995/2010 harus dilihat apakah regulasi tersebut berlaku untuk satu jenis produk
kayu atau satu kelompok produk kayu (klasifikasi), apakah regulasi tersebut
menetapkan karakteristik tertentu dari produk kayu atau proses dan metode
produksi terkait produk kayu dan apakah regulasi tersebut dapat ditentukan
sebagai mandatory base (wajib).
Untuk pengujian pertama, produk kayu yang dimaksud dalam Regulasi
Kayu Uni Eropa adalah produk kayu yang dicantumkan dalam Lampiran EUTR
995/2010, yang diklasifikasikan berdasarkan Harmonization System Code (HS-
Code) yaitu HS 4401, 4403, 4406, 4407, 4408, 4409, 4410, 4411, 4412 , 4413 00
00, 4414 00, 4415, 4416 00 00, 4418, Pulp and paper of Chapters 47 and 48 of
the Combined Nomenclature, with the exception of bamboo-based and recovered
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
105
Universitas Indonesia
(waste and scrap) products, 9403 30, 9403 40, 9403 50 00, 9403 60 , 9403 90 30,
9406 00 20.346
Dengan demikian bisa diasumsikan bahwa regulasi ini diterapkan
pada kelompok produk kayu berdasarkan HS Code dan bukan satu jenis produk
kayu.
Untuk pengujian kedua, regulasi ini diterapkan pada produk kayu yang
dipanen secara legal/sah berdasarkan hukum nasional yang berlaku di Negara
tempat produk kayu tersebut berasal/dipanen.
Jadi regulasi ini tidak mengatur proses dan metode produksi produk kayu
berdasarkan standardisasi Uni Eropa yang bersifat wajib untuk importir,
melainkan menetapkan produk kayu yang dipanen secara sah / legal berdasarkan
standardisasi Negara produsen sebagai eksportir. Dari sisi Uni Eropa sebagai
importir, kondisi ini adalah sukarela (voluntary base) bagi Negara produsen
apakah mau atau tidak membuat sistem legalitas kayu, yang apabila sepakat dapat
mengikat Perjanjian Kemitraan Sukarela dengan Uni Eropa. Namun dari sisi
Negara produsen sebagai eksportir, kondisi ini adalah wajib (mandatory base) .
Melalui pengujian tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa Regulasi Kayu
Uni Eropa tidak masuk dalam konteks Persetujuan TBT, sehingga tidak dapat
dijadikan ukuran untuk menilai konsistensi Regulasi Kayu Uni Eropa dengan
kewajibannya sebagai Anggota WTO.
4.1.2 Konsistensi dengan Ketentuan GATT 1994
Pada tahun 2011, Trade Policy Review dari Uni Eropa melaporkan ada pernyataan
dari beberapa negara anggota WTO terkait regulasi kayu Uni Eropa (EUTR).
Perwakilan dari Canada mencatat :
“labelisasi atau keberlacakan produk yang disyaratkan yang lebih dari
yang diperlukan sebagai informasi bagi konsumen, dapat menjadi beban
yang tidak proporsional untuk impor karena adanya kompleksitas proses
fabrikan dan rantai pasokan global. Contohnya, Regulasi Kayu Ilegal Uni
Eropa mensyaratkan keberlacakan yang bisa menciptakan an unfair
competitive advantage untuk para pengusaha produk hasil hutan di Uni
Eropa dibanding pengusaha pesaing dari luar Uni Eropa (international
competitors).347
”
346
Lampiran EUTR 995/2010 347
Trade Policy Review Body WTO, Trade Policy Review of the European Union, Minutes
of the Meeting pada tanggal 6 dan 8 Juli 2011, tanggal 14 September 2011, WT/TPR/M/248,
paragraf 135
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
106
Universitas Indonesia
(labelling or traceability requirements beyond what is necessary for
consumer information can place a disproportionate burden on imports
given the complexities of manufacturing processes and global value-
chains. For example the EU's Illegal Timber Regulation has traceability
requirements that could provide an unfair competitive advantage to
manufacturers of forest products in the EU compared to their
international competitors)
El Salvador juga pernah menanyakan mengapa Uni Eropa tidak pernah
memberitahu ke Komite TBT mengenai regulasi kayu yang akan diberlakukan
tersebut. Uni Eropa menjawab bahwa regulasi EU 995/2010 tidak mengandung
regulasi teknis oleh karena itu tidak perlu menyampaikan notifikasi di bawah
lingkup Persetujuan TBT.348
Trade Policy Body Review WTO kemudian mencatat
laporan yang disampaikan oleh Sekretariat bahwa Regulasi Kayu Uni Eropa tidak
dikategorikan sebagai regulasi teknis dan standardisasi.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa negara-negara pengekspor kayu
telah memberi tanggapannya atas regulasi kayu bahwa ada potensi dampak
restriksi perdagangan dari legislasi yang ditujukan untuk pembalakan illegal
(illegal logging) namun tidak secara terang-terangan menyatakan bahwa regulasi
tersebut berimplikasi pada perlindungan domestik negaranya.. Berbeda dengan
Argentina, dalam rapat dengan Komite TBT, perwakilan dari Argentina
menyatakan tanggapannya terkait amademen Lacey Act oleh Amerika pada tahun
2008 yang serupa dengan regulasi kayu Uni Eropa demikian :
“regulasi (implementasi Amandemen Lacey Act) bukanlah ditujukan
untuk melindungi spesies langka namun lebih ke perlindungan pasar
domestik dari produk impor” (the regulation (the implementation of
Revised Lacey Act Provisions) was not necessarily intended to protect
endangered species but rather to protect domestic markets from
imports)349
Walaupun tanggapan dari negara-negara pengekspor kayu tentang regulasi kayu
Uni Eropa tidak bernada negatif, namun tetap terbuka kemungkinan bagi mereka
348
Trade Policy Review Body WTO, Trade Policy Review of the European Union, Minutes
of the Meeting tanggal 6 dan 8 Juli 2011, tanggal 14 September 2011, WT/TPR/M/248, paragraf
396 349
Committee on Technical Barriers to Trade WTO, Minutes of the Meeting tanggal 5-6
November 2008, 29 Januari 2009, G/TBT/M/46, paragraf 36.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
107
Universitas Indonesia
untuk menilai apakah regulasi tersebut inkonsisten dengan ketentuan
GATT/WTO.
Untuk menentukan apakah suatu regulasi nasional inkonsisten dengan
GATT, ada tiga ketentuan utama yang dilarang dalam GATT yang harus dikaji
dalam regulasi tersebut yaitu larangan350
:
1. Melakukan hambatan yang tidak perlu pada sebagian besar sektor dalam
perdagangan internasional(Pasal XI)
2. diskriminasi antara produk domestik dan produk impor (prinsip perlakuan
nasional / national treatment di Pasal III)
3. diskriminasi antara produk sejenis yang diimpor dari satu Negara dengan
Negara yang lain (prinsip most favoured nations di Pasal I)
1. Hambatan Yang Tidak Perlu dalam Regulasi Kayu Uni Eropa (Pasal XI )
Dalam ayat 1 disebutkan :
“tidak boleh ada larangan atau hambatan selain cukai, pajak atau bentuk tariff
lainnya, apakah diberlakukan melalui kuota, ijin impor atau ekspor atau aturan
lainnya…”
Pasal XI ayat 1 GATT menyatakan bahwa pembatasan ekspor yang dilarang
adalah pembatasan ekspor yang dilakukan selain melalui aturan atau kebijakan
tarif. Hal ini menunjukkan bahwa Pasal XI ayat 1 mempunyai ruang lingkup
yang sangat luas. Berdasarkan kasus-kasus GATT terkait dengan Pasal XI ayat
1, pembatasan ekspor yang dianggap bertentangan dengan Pasal XI ayat 1
GATT antara lain adalah pembatasan ekspor secara nyata (de facto) dan
pembatasan ekspor melalui larangan berdasarkan harga (price-based
prohibitions). Pembatasan ekspor de facto maksudnya adalah pembatasan
ekspor yang tidak secara eksplisit tercantum dalam suatu aturan hukum tetapi
ada suatu keterlibatan pemerintah (government involvement) yang secara nyata
menimbulkan pembatasan produk yang diekspor dengan efektif351
.
350
Akiva Fishman dan Krystof Obidzinski, “European Union Timber Regulation : Is It
Legal?‖, Review of European Community and International Environmental Law (RECIEL) Vol.
23, February 2014, hlm 265 351
Eva Maria, Op. Cit., hlm 62
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
108
Universitas Indonesia
Regulasi Kayu Uni Eropa (EUTR) melarang “operator” untuk
menempatkan kayu yang dipanen secara illegal di pasar Uni Eropa. Larangan
tersebut ditegaskan dalam pasal 19 EUTR yang mensyaratkan negara anggota
Uni Eropa untuk mengenakan denda terhadap operator yang melanggar
regulasi ini352
. Walaupun secara tertulis (de jure) regulasi kayu ini tidak
melarang impor kayu hasil pembalakan illegal, karena dalam Pasal 4 tertulis :
“melarang memberi tempat/menempatkan kayu yang dipanen secara illegal di
pasar Uni Eropa353
, namun faktanya (de facto) hal itu dilarang. Pengusaha
importir (operator) di Negara anggota Uni Eropa pasti akan sangat berhati-hati
dalam mengimpor kayu , yaitu dengan memastikan bahwa kayu yang
dibelinya adalah kayu legal yang telah memenuhi standar uji tuntas kelayakan
(due diligence system) di Negara asalnya.
Apabila dikaji secara apa yang tertulis dalam Regulasi Kayu Uni Eropa
dikaitkan dengan Pasal XI GATT, maka regulasi ini tidak mengandung
pembatasan kuota impor. Namun dalam pernyataan Badan Banding WTO
pada kasus Korea - Beef354
, bahwa intervensi yang berasal dari beberapa unsur
pilihan pribadi, tidak akan melepaskan anggota WTO dari tanggung jawab
akan dampak adanya hambatan yang terjadi karena tindakan yang diterapkan.
Jika mengacu pada pernyataan Badan Banding Korea-Beef di atas, maka
konsep uji tuntas kelayakan dan konsep ilegal yang termaktub dalam regulasi
kayu Uni Eropa bisa dianggap sebagai “beberapa unsur pilihan pribadi” dari
Komisi Parlemen Eropa yang berakibat pada hambatan impor yaitu hanya
kayu yang dipanen secara legal yang bisa masuk ke pasar Uni Eropa. Steve
Charnowitz dalam tulisannya menegaskan bahwa ilegalitas impor berdasarkan
hukum negara pengimpor tidak menjadi pembenaran di bawah aturan WTO
untuk dapat menghambat impor.355
352
Pasal 19 ayat 1 EUTR 995/2010,” The Member States shall lay down the rules on
penalties applicable to infringements of the provisions of this Regulation and shall take all
measures necessary to ensure that they are implemented” 353
Pasal 4 EUTR 995/2010,” The placing on the market of illegally harvested timber or
timber products derived from such timber shall be prohibited‖. 354
Appellate Body Report, Korea-Beef, WT/DS161/AB/R, WT/DS169/AB/R paragraph
146,”the intervention of some element of private choice does not relieve a WTO member of
responsibility for the restrictive effects of a measure.‖ 355
Steve Charnovitz, “The World Trade Organization and Law Enforcement”, Kluwer Law
International : Journal of World Trade Volume 37, 2003, hlm 820
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
109
Universitas Indonesia
Jika mendasarkan pada pernyataan Badan Banding dan opini dari Steve
Charnovitz, maka regulasi kayu Uni Eropa bisa dikatakan inkonsisten dengan
Pasal XI GATT karena telah melakukan hambatan bagi Negara pengekspor
kayu ke Uni Eropa secara de facto, namun secara de jure dari yang tertulis,
maka regulasi kayu Uni Eropa tidak melanggar ketentuan Pasal XI GATT.
2. Diskriminasi Produk Kayu Impor dan Produk Kayu Domestik dalam
Regulasi Kayu Uni Eropa (Pasal III)
Isi dari Pasal III adalah national treatment obligation (kewajiban perlakuan
nasional) yang mewajibkan anggota WTO untuk tidak memperlakukan
produk-produk asing (impor) dengan cara yang lebih kurang daripada
perlakuannya terhadap produk domestik356
. Apabila regulasi kayu Uni Eropa
diuji dengan Pasal III ini, yang dipertanyakan adalah :
a. apakah “kayu impor yang dipanen secara ilegal” diperlakukan secara lebih
kurang (less favorable treatment) daripada produk kayu domestik.
b. apakah “kayu impor yang dipanen secara illegal” adalah merupakan
produk sejenis (like product) dengan produk kayu domestik yang dipanen
secara legal357
Untuk menjawab pertanyaan pertama, Andrew Mitchell dalam tulisannya
mengatakan bahwa harus dipastikan terlebih dahulu apakah regulasi kayu
tersebut adalah kebijakan internal (internal measure) atau kebijakan
perbatasan (border measure).358
a. Apakah Regulasi Kayu Uni Eropa adalah kebijakan internal ?
Pasal III GATT hanya berlaku untuk kebijakan internal. Dalam catatan
tambahan pada Pasal III GATT dikatakan bahwa pasal ini bisa diterapkan
untuk kebijakan di perbatasan (border measures) jika produk yang dimaksud
356
Pasal III ayat 4 GATT 1994 357
Andrew Mitchell dan Glyn Ayres,”Out of Crooked Timber : The Consistency of
Australia‘s Illegal Logging Prohibition Bill with the WTO Agreement”, Melbourne :
Environmental and Planning Law Journal, Volume 29, 2012, hlm 12 358
Ibid
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
110
Universitas Indonesia
tidak memenuhi persyaratan yang juga diberlakukan pada produk domestik359
.
Menurut R. Howse, Pasal III.4 dan Pasal XI GATT adalah saling
bertentangan. Dalam pandangannya, rancang bangun GATT menjadi sedikit
masuk akal apabila hukum, regulasi dan persyaratan internal dapat dilihat juga
sebagai hambatan dan larangan terhadap impor atau ekspor. Jika demikian,
maka hukum, regulasi dan persyaratan internal akan menjadi pelanggaran
primer dari GATT walaupun jika kebijakan tersebut non diskriminasi360
. Van
den Bossche menyatakan bahwa adalah mungkin apabila satu kebijakan
merupakan kebijakan internal dan kebijakan di perbatasan (border
measure/impor).361
Regulasi Kayu Uni Eropa tidak secara eksplisit melarang
impor kayu yang dipanen secara illegal, tapi melarang “menempatkan kayu
illegal di pasar”, sehingga kayu yang berasal dari Uni Eropa sendiri, apabila
dipanen secara illegal, maka tidak boleh ada di pasaran Uni Eropa. Jadi dapat
disimpulkan bahwa regulasi kayu uni Eropa adalah kebijakan internal dan
bukan merupakan hambatan impor.
b. Kesamaan (likeness)
Dalam kasus EC-Asbestos, Badan Banding menyatakan bahwa penentuan
“likeness” (kesamaan) dalam Pasal III.4 pada dasarnya adalah penentuan
tentang sifat dan tingkat hubungan kompetitif di antara produk362
. Untuk
menentukan apakah produk dapat dipertimbangkan sebagai “sama” ada 4
penilaian yang harus dilakukan yaitu :
1. Karakteristik fisik
2. Penggunaan akhir (end use)
3. Kebiasaan dan selera konsumen
359
Catatan tambahan dalam Pasal III GATT : ―Any internal tax or other internal charge or
any law, regulation or requirement of the kind referred to in paragraph 1 which applies to an
imported product and to the like domestic product and is collected or enforced in the case of the
imported product at the time or point of importation, is nevertheless to be regarded as an internal
tax or other internal charge or law, a regulation or requirement of the kind referred to in
paragraph 1 and is accordingly subject to the provisions of Article III 360
R.Howse & J. Langille,”Permitting Pluralism : The Seal Products Dispute and Why the
WTO should Accept Trade Restrictions Justified by Noninstrumental Moral Values”, Yale Journal
of International Law Volume 37, Desember 2011, hlm 405 361
Peter van den Bossche,”The Law and Policy of , the World Trade Organization : 2nd
Edition‖, Cambridge University Press, 2008, hlm 347 362
Laporan Badan Banding, EC-Asbestos, WT/DS135/AB/R paragraf 98-99
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
111
Universitas Indonesia
4. Klasifikasi tariff
Karakteristik fisik, penggunaan akhir (end use), dan klasifikasi tariff antara
kayu yang dipanen secara legal dan kayu yang dipanen secara illegal, pada
pokoknya adalah sama. Kriteria kebiasaan dan selera konsumen mungkin yang
bisa dinilai berbeda, karena ada saja konsumen yang pecinta/aktivis
lingkungan sehingga memiliki alasan untuk memilih produk kayu yang
bersertifikat legal walaupun harganya mahal dan ada lagi kelompok konsumen
yang tidak peduli apakah produk kayu yang dibeli nya bersertifikat legal atau
tidak karena dia hanya melihat dari sisi fungsional atau segi keunikan/artistik
atau harga yang relatif murah. Menurut Bartels, berdasarkan analisa kriteria
ini, maka produk yang dibandingkan adalah tidak sama.
c. Perlakuan yang kurang menguntungkan
Pasal III.4 berlaku untuk pelanggaran de jure dan de facto. Regulasi Kayu UE
tidak secara eksplisit membedakan antara kayu domestik dan kayu impor.
Kewajiban terhadap petugas (operator) dan pedagang (trader) yang
termaktub dalam Pasal 4.3 EUTR berlaku sama baik pada produk kayu yang
diproduksi di UE maupun di dari Negara lain. Konsekuensinya, gugatan
inkonsistensi terhadap Pasak III.4 GATT hanya bisa ditujukan untuk
diskriminasi secara de facto. Dalam kasus Korea-Beef, Badan Banding
menyatakan :
‗A formal difference in treatment between imported and like domestic products
is thus neither necessary, nor sufficient, to show a violation of Article III:4.
Whether or not imported products are treated "less favourably" than like
domestic products should be assessed instead by examining whether a
measure modifies the conditions of competition in the relevant market to the
detriment of imported products 363
.
Berdasarkan pernyataan ini, Bartels menyarankan bahwa perlu untuk menguji
apakah ada “faktor atau situasi” yang dapat menjelaskan efek diskriminasi dari
suatu tindakan/kebijakan364
.
363
Appellate Body Report, Korea — Beef, WT/DS161/AB/R, WT/DS169/AB/R, paragraf
135–137. 364
L Bartels, „WTO Law aspects of The Clean Trade Project‘, diakses dari
http://www.wenar.info/CleanTrade.html tanggal 1 Desember 2013.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
112
Universitas Indonesia
3. Diskriminasi Terhadap Negara Eksportir Kayu dalam Regulasi Kayu Uni
Eropa (Pasal I)
Prinsip Most Favoured Nations Treatment dalam Pasal 1.1 GATT
merupakan kewajiban anggota untuk tidak membedakan produk sejenis dari
Negara eksportir. Jadi prinsip non diskriminasi ini terpusat pada Negara
pemasoknya.
Regulasi Kayu Uni Eropa (EUTR) menetapkan suatu aturan bahwa operator
harus patuh aturan dalam rangka menempatkan kayu atau produk kayu yang
sah/legal di pasar internal untuk pertama kalinya. Oleh karena itu, EUTR
menetapkan aturan dan formalitas sehubungan dengan kegiatan perdagangan
untuk seluruh pemasok produk kayu, sehingga EUTR konsisten dengan
Pasal I.1 .
Selanjutnya harus diuji, apakah EUTR memberi keuntungan yang lebih bagi
satu atau beberapa pemasok, daripada pemasok yang lain. Dalam EUTR
setiap pemasok harus menyerahkan dokumen yang menunjukkan bahwa kayu
yang disuplai ke pasar Uni Eropa adalah kayu yang telah dipanen secara legal,
sedangkan kayu yang telah ditebang secara ilegal tidak dapat ditempatkan di
pasar Uni Eropa. Jadi dalam hal ini tidak ada keuntungan berbeda atau lebih
yang diberikan untuk pemasok produk kayu, dan dapat disimpulkan bahwa
EUTR konsisten dengan prinsip Most Favoures Nations dalam Pasal I.
Sekali lagi, seperti halnya pengujian di Pasal III, penulis melihat apakah like
products dalam definisi Pasal I terpenuhi dalam EUTR. Dalam Pasal I,
ditentukan bahwa :
―any advantage, favour, privilege or immunity granted by any contracting
party to any product originating in or destined for any other country shall be
accorded immediately and unconditionally to the like product originating in
or destined for the territories of all other contracting parties.‖( setiap
keuntungan, perlakuan yang baik, keistimewaan atau imunitas yang diberikan
terhadap setiap produk yang berasal atau ditujukan ke suatu negara harus
diberikan segera dan tanpa syarat untuk produk sejenis yang berasal atau
ditujukan ke wilayah berbeda dari semua Negara anggota)
Dari klausul tersebut dapat disimpulkan bahwa EUTR tidak menerapkan hal
yang sama ke semua Negara yang memiliki produk sejenis yaitu kayu, karena
hanya kayu legal yang boleh masuk ke pasar UE, sehingga ada pelanggaran
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
113
Universitas Indonesia
yang dilakukan dalam EUTR ini terkait pemahaman like products dalam Pasal
I.
4.2 Tinjauan Yuridis Perjanjian Kemitraan Tindak Penegakan Hukum,
Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan Indonesia dan Uni
Eropa (FLEGT-VPA)
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Kemitraan Sukarela ini
melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan
Kemitraan Sukarela Antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan
Hukum Kehutanan, Penatakelolaan dan Perdagangan Produk Kayu Ke Uni Eropa.
Pasal 2 Vienna Convention on the Law Treaties tahun 1969 mendefinisikan treaty
sebagai berikut :
―Treaty means an international agreement concluded between States
in written form and governed by international law, whether embodied
in a single instrument or in two or more related instruments and
whatever its particular designations.365
‖
Beberapa kriteria dasar atau parameter yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen
perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut
Konvensi Wina 1969 dan Undang Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional yaitu366
:
1. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional (an international
agreement), sehingga tidak mencakup perjanjian yang berskala nasional
seperti perjanjian antara Negara bagian atau antara Pemerintah daerah dari
suatu Negara nasional
2. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh Negara dan/atau organisasi
internasional (by subject of international law) sehingga tidak mencakup
perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non
subyek hukum internasional, seperti perjanjian antar Negara dengan
perusahaan multinasional
365
Pasal 2 Vienna Convention on the Law of Treaties.
(Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional ditandatangani pada tanggal 23 Mei 1969) 366
DR.iur. Damos Dumoli Agusman,SH.,MA,”Hukum Perjanjian Internasional:Kajian
Teori dan Praktik Indonesia”, Bandung : PT. Refika Aditama, cetakan kedua 2014, hlm 20
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
114
Universitas Indonesia
3. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional (governed by
international law) yang oleh Undang Undang No. 24 tahun 2000 tentang
perjanjian internasional disebut dengan “diatur dalam hukum internasional
serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.
Perjanjian-perjanjian yang tunduk pada hukum perdata nasional, tidak
tercakup dalam kriteria ini.
Perjanjian kemitraan antara Uni Eropa dan Indonesia, memenuhi kriteria
perjanjian internasional menurut Konvensi Wina dan Undang Undang No. 24
Tahun 2000, khususnya kriteria bahwa perjanjian tersebut tunduk pada rezim
hukum internasional. Di dalam preamble Perjanjian kemitraan ini jelas
dicantumkan bahwa perjanjian ini dibuat dengan pertimbangan-pertimbangan
beberapa konvensi internasional yang tunduk pada rezim hukum internasional
yaitu Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan dalam konteks
mengamankan pengelolaan hutan lestari, Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), prinsip non diskriminasi
dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 dan World Trade
Organization (WTO).
Lung Chun Chen menyatakan bahwa perjanjian internasional dalam segala
manifestasinya mewakili secara eksplisit, perumusan preskripsi dan komitmen
yang sengaja dilakukan melalui kerjasama antar pemerintah367
. Jadi perjanjian
kemitraan sukarela tata kelola hutan (FLEGT-VPA) antara Indonesia dan Uni
Eropa adalah merupakan kerjasama antar pemerintah. Arti dari kerjasama itu
sendiri adalah the total political, social, economic and other interaction among
state ( and even non state) actor368
, sehingga perjanjian bilateral kemitraan
Indonesia dan Uni Eropa memang merupakan interaksi politik, social dan
ekonomi, yang diawali dari The Framework Agreement on Comprehensive
Partnership and Cooperation antara Indonesia dan European Union tanggal 9
367
Lung Chu Chen,”An Introduction to Contemporary International Law : A Policy
Oriented Perspective “, 2nd
edition, USA : Yale University, 2000, hlm 255 368
Paul R. Viotty dan Mark V. Kauppi,”International Relations Theory, Realism,
Pluralism, Globalism‖, Mac Milan Publishing Corp.,1992, hlm. 595
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
115
Universitas Indonesia
November 2009 di Jakarta yang merupakan realisasi dari strategi kebijakan
perdagangan UE tahun 2006 yang disebut sebagai Global Europe369
.
Kerjasama internasional dapat juga diartikan sebagai usaha suatu Negara
untuk memanfaatkan Negara atau pihak lain dalam proses pemenuhan kebutuhan
domestik dan kepentingan nasionalnya. Kerjasama tersebut berlangsung dalam
berbagai konteks yang berbeda. Kebanyakan hubungan dan interaksi yang
berbentuk kerjasama terjadi langsung di antara dua pemerintahan yang memiliki
kepentingan atau menghadapi masalah serupa bersamaan, seperti dalam kasus ini
melindungi dan mengatur sumber daya hutan370
.
Perumusan perjanjian internasional adalah strategi penting yang dipilih
oleh sebuah Negara untuk mengikat dirinya sendiri pada suatu kebijakan khusus.
Komitmen-komitmen yang dituangkan merupakan hasil dari proses persuasi untuk
mencari kepentingan yang sama antar pihak yang terlibat371
. Dalam Perjanjian
kemitraan ini, yang dirumuskan sebagai kepentingan bersama, tertuang dalam
Pasal 1 ayat 1 bahwa tujuan perjanjian kemitraan ini adalah untuk menyediakan
kerangka hukum yang bertujuan untuk “memastikan bahwa semua impor produk
kayu yang dicakup oleh Perjanjian ini ke Uni Eropa dari Indonesia telah
diproduksi dengan sah secara hukum.”
Menurut penulis, tujuan tersebut lebih bersifat “instruksi” Uni Eropa ke
Indonesia, dimana Indonesia harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Uni
Eropa berdasarkan perjanjian ini, dengan membuat suatu kerangka hukum berupa
legalitas kayu. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang sudah terlebih dahulu
direalisasikan dalam Permenhut P.38/Menhut-II/2009 , terjadi tiga kali perubahan
sebelum akhirnya Perjanjian Kemitraan ini ditandatangani pada tanggal 30
September 2013, yaitu :
b. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut-II/2011
c. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.45/Menhut-II/2012
d. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.42/Menhut-II/2013
369
“Invigorating The Indonesia-EU Partnership : Towards A Comprehensive Economic
Partnership Agreement‖, publikasi Delegation of The European Union dan Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia, 2011, hlm 16 370
Astrid Wiriadidjaja, Op. Cit., hlm. 10 371
Ibid
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
116
Universitas Indonesia
yang membuktikan bahwa SVLK produk pemerintah dianggap belum memadai
oleh UE. Kemudian setelah ratifikasi perjanjian kemitraan ini melalui Peraturan
Presiden No. 20 Tahun 2014, sistem verifikasi legalitas kayu juga mengalami
perubahan lagi yaitu Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
No. P.95/Menhut-II/2014
Memang, seperti yang telah ditentukan dalam pedoman VPA terkait
kebijakan FLEGT Uni Eropa bahwa setiap negara mitra menyusun definisi
legalitas sendiri melalui proses internal mereka, dengan dukungan, bimbingan dan
kejelasan lebih lanjut dari Uni Eropa dan Uni Eropa tidak menetapkan standar
aturan tentang bagaimana menyusun definisi legalitas, tapi sebelum terikat dalam
VPA, Negara mitra tersebut harus melakukan pembahasan dengan Uni Eropa.
Seperti yang dikatakan Damos Dumoli Agusman (2014) bahwa hukum
perjanjian internasional dewasa ini telah mengalami pergeseran yang radikal
seiring dengan perkembangan hukum internasional372
. Status Negara sebagai
subjek hukum internasional juga mengalami erosi khususnya terhadap konsep
tradisionalnya tentang kedaulatan. Hal ini ditandai dengan kecenderungan bahwa
perbuatan Negara yang bersifat komersial tidak lagi termasuk dalam doktrin act of
state373
. Indonesia dan Uni Eropa menjalin perjanjian bilateral tata kelola hutan,
didasarkan pada tindakan sukarela dari pihak Negara mitra Uni Eropa yaitu
Indonesia, sehingga perjanjian tersebut dinamakan “perjanjian kemitraan
sukarela”. Namun jika melihat bantuan finansial yang diberikan Uni Eropa
kepada Indonesia, tindakan sukarela untuk terikat dalam perjanjian tersebut
menjadi bias karena ternyata Indonesia memang sangat “tergantung” pada Uni
Eropa, dimana Uni Eropa merupakan salah satu penyedia dukungan bilateral yang
besar. Sederetan kerjasama dan bantuan kerjasama di sector kehutanan telah
dijalankan oleh European Commission dan Indonesia sejak tahun 1995 dalam
agenda EC-Indonesia Forestry Programme. Bantuan UE terhadap pembangunan
Indonesia pada tahun 2014 saja berjumlah 570 juta Euro, dan paling besar
372
DR.iur. Damos Dumoli Agusman,SH.,MA, Op. Cit, hlm 2 373
Ibid
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
117
Universitas Indonesia
dialokasikan di bidang lingkungan dan perubahan iklim yang salah satunya
termasuk sector kehutanan yaitu sebesar 341juta euro374
.
Dari kenyataan ini, Uni Eropa semakin memperkuat posisi saling
ketergantungan secara global yang tampak semakin nyata dan titik beratnya
adalah pada upaya meningkatkan kesejahtaraan suatu bangsa. Kerjasama dalam
bidang ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan keamanan dapat dijalin oleh
suatu Negara dengan satu atau lebih Negara lainnya375
.
Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional menyatakan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional harus
berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip
persamaan kedudukan, saling menguntungkan dan memperhatikan, baik hukum
nasional maupun hukum internasional yang berlaku376
.
Dalam perjanjian kemitraan ini yang menjadi kepentingan Indonesia
adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dari devisa
ekspor hasil hutan kayu Indonesia, yang sempat menurun drastis akibat
pembalakan liar dan korupsi dana reboisasi kehutanan untuk proyek di luar sektor
kehutanan yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990an377
.
Momentum krisis multidimensional yang dialami Indonesia pasca turunnya
pemerintahan Soeharto, semakin memperdalam hubungan Uni Eropa dan
374
http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/press_corner/all_news/news/2015/20150505_
01_en.htm diakses tanggal 30 Desember 2015 375
Zulkifli,”Kerjasama Internasional Sebagai Solusi Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Negara : Studi Kasus Indonesia”, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2012, hlm 17 376
DR. iur. Damos Dumoli Agusman, SH., MA ,Op. Cit., hlm 112 377
Penelitian Human Rights Watch Indonesia, yang dipublikasikan pada tahun 2009,
berjudul “Dana Liar : Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia
pada Hak Asasi Manusia‖, memaparkan bahwa mantan Presiden Soeharto telah menggunakan
milyaran dolar dana reboisasi dari Departemen Kehutanan sebagai dana talangan untuk membiayai
program-program yang tidak ada hubungannya dengan sektor kehutanan tanpa melalui proses
pembahasan anggaran secara resmi, yaitu antara lain dana untuk ASEAN Games 1997 di Jakarta,
dana pinjaman untuk Bob Hasan sebesar Rp 250 milyar (100 juta dolar AS) untuk membangun
pabrik bubur kertas dengan bunga pinjaman 4% di bawah bunga bank komersial, pengalokasian
sebesar Rp 500 milyar untuk membuka proyek “Lahan Gambut Satu Juta Hektar” dengan
membabat hutan alam dan mengubah lahan gambut yang tidak subur serta mudah terbakar menjadi
ladang padi (pelaksanaan proyek ini memicu kebakaran hutan yag sangat hebat pada tahun 1997),
memerintahkan pemberian pinjaman bebas bunga sebesar Rp 400 milyar (185 juta dolar AS) dari
Dana Reboisasi bagi Industri Pesawat Terbang Nusantara yang dipimpin Menteri Riset dan
Teknologi BJ Habibie untuk mengembangkan pesawat penumpang pada tahun 1994, dan terakhir
pada tahun 1997, mengalokasikan dana reboisasi untuk “proyek gagal” mobil nasional milik
Tommy Soeharto.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
118
Universitas Indonesia
Indonesia. Pada saat demokrasi dielu-elukan di Indonesia, dan berbagai perubahan
dengan cakupan yang luas yang diupayakan dalam demokratisasi, menjadikan
hubungan Uni Eropa degan Indonesia semakin erat, dimana pada bulan Februari
tahun 2000, dikeluarkannya European Commission meluncurkan kebijakan
formal “Membina hubungan yang lebih erat antara Indonesia dan Uni Eropa”
yang merupakan wujud dari dialog politik dan ekonomi bilateral antara Uni Eropa
dan Indonesia. Saat itu, Uni Eropa menyebut Indonesia sebagai A Voice of
Democracy.
Drastisnya penurunan nilai ekspor kayu Indonesia ke Negara-negara pasar
ekspor utama produk kayu, mendorong Indonesia untuk memperbaiki keadaan.
Peraturan yang dikeluarkan oleh Negara-negara maju sebagai pasar ekspor kayu
yang besar, mendorong Negara eksportir kayu untuk mematuhinya karena
ketergantungan akan pasar di Negara-negara maju tersebut. Penulis mengakui
bahwa peraturan yang diluncurkan oleh Negara-negara maju itu sangat baik,
karena mengedepankan pembangunan berkelanjutan dengan melakukan
pelestarian lingkungan hidup. Uni Eropa meluncurkan Regulasi Kayu 995/2010,
Amerika Serikat dengan Lacey Act Amandment 2008, Australia dengan Australia
Illegal Logging Prohibition Act tahun 2012 dan Jepang dengan the goho wood
system tahun 2012. Kecuali Jepang yang dengan the goho wood system masih
bersifat sukarela (voluntarily base), Negara-negara lainnya memberlakukan
regulasi mereka dengan wajib (mandatory base). Hal ini membuktikan
kebenaran teori ketergantungan dimana dikatakan bahwa hukum dalam teori
ketergantungan biasanya terfokus pada dua hal yaitu : pertama, tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh Negara berkembang untuk memperbaiki keadaan, kedua,
bagaimana hukum telah dipergunakan sebagai alat ekspansi kolonial pihak
barat.378
Dalam perjanjian kemitraan bilateral pada tesis ini, kepentingan Uni Eropa
yang tertangkap oleh penulis adalah untuk menegakkan kebijakan FLEGT (Forest
Law Enforcement, Good Governance and Trade) yang dideklarasikan pada tahun
2001 di Bali, realisasi komitmennya sebagai anggota CITES (the Convention on
378
David Greenberg, “Law and Development in Light of Dependency Theory”, in the Law
and Development Vol. 2 Legal Cultures, edited by Anthony Carty, New York : University Press,
1992, hlm 5
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
119
Universitas Indonesia
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), REDD
(Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), Deklarasi Rio
(Piagam Bumi) tahun 1992 tentang pembangunan berkelanjutan dan konvensi
internasional lainnya tentang pelestarian lingkungan hidup yang menguatkan
posisinya sebagai aktor utama dalam pelestarian lingkungan hidup dan
pencegahan perubahan iklim global.
Dalam disiplin teori ketergantungan, dinyatakan bahwa ketergantungan
meliputi dorongan untuk mengamankan preferential treatment bagi Negara-
negara berkembang dan hak-hak Negara berkembang untuk mendapatkan
asistensi di bidang pembangunan yang biasanya terkait dengan trade preferences,
pembebasan utang, pinjaman lunak atau hibah dan alih teknologi dengan biaya
murah. Teori ketergantungan terbukti berlaku dalam hubungan Indonesia dan Uni
Eropa yang terealisasi dalam Perjanjian Kemitraan ini, dimana perjanjian ini
mengakui Sistem Jaminan Legalitas Kayu di Indonesia dalam Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu yang diwujudkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan dan
Peraturan Menteri Perdagangan untuk dibebankan secara wajib kepada industri
kehutanan di Indonesia.
Posisi Uni Eropa yang memanfaatkan ketergantungan Indonesia akan
pasar produk hasil hutan kayu di Uni Eropa merupakan salah satu faktor kuat
keberhasilan Uni Eropa untuk mengikat komitmen Indonesia dalam VPA ini,
khususnya dalam penyusunan sistem verifikasi legalitas kayu.
Ditinjau dari konsep keadilan dalam Perjanjian internasional ini, menurut
Rawls, kondisi-kondisi bagi international justice tergantung pada keberadaan
domestic justice terlebih dahulu. Pendapat ini merupakan pencerminan pendekatan
Emmanuel Kant dalam Perpetual Peace yang pertama-tama harus mewujudkan
kondisi-kondisi bagi just states dan kemudian menjelaskan bagaimana seharusnya
interaksi antara sesama just states tersebut.379
Jadi, apabila Pemerintah Indonesia
ingin diperlakukan adil dalam konteks hubungan internasional dengan Negara lain
khususnya Negara industri maju, maka terlebih dahulu Pemerintah Indonesia
harus menegakkan keadilan di dalam negaranya terlebih dahulu. Keadilan dari
dalam akan menularkan keadilan dari luar.
379
David Greenberg, Op. Cit
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
120
Universitas Indonesia
4.3 Tinjauan Yuridis Regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
Thomas Nagel berpendapat, kerjasama internasional atau perjanjian
intenasional antar negara untuk mewujudkan kepentingan umum jauh dari
mempunyai kewenangan sebagai lembaga supranasional yang mempunyai
kekuatan penuh untuk melegitimasi keadilan dalam level international380
. Konsep
ini sesuai dengan pendapat John Rawls bahwa prinsip-prinsip keadilan hanya
terbatas dalam lingkungan masyarakat dalam negeri381
. Pendapat kedua ilmuwan
tersebut dapat dipahami karena pada dasarnya suatu Negara mengadakan
perjanjian internasional dan rela untuk melakukan atau memberikan suatu
komitmen kepada negara lain karena untuk mendapat manfaat yang lebih besar
dari komitmen yang diberikan dalam rangka kepentingan nasional atau warga
negaranya daripada kepentingan secara internasional382
.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan tonggak utama
dalam Voluntary Partnership Agreement (VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa,
yang menawarkan banyak peluang untuk para produsen kayu Indonesia untuk
mendapat keuntungan dari peningkatan akses pasar ke pasar eko-sensitif utama.
Kemajuan signifikan telah dicapai dengan penerapan SVLK atas
perusahaan kehutanan dan industri kayu skala besar, dan ada harapan bahwa
SVLK bagi pelaku usaha skala besar secara keseluruhan dapat dicapai secepatnya.
Namun, ada tantangan yang cukup besar dalam mendorong penerapan SVLK bagi
industri kecil dan menengah (IKM), yang sebagian besar adalah pemegang Tanda
Daftar Industri (TDI), Ijin Usaha Industri (IUI), dan Industri Rumah Tangga /
Pengrajin.
380
James Thuo Gathii, “International Justice and Trading Regime,” Economy International
Law
Review (2005), hal. 2, dalam tulisan Eva Maria,”Analisa Hukum Pembatasan Ekspor
Minyak Bumi Indonesia dikaitkan dengan General Agreement on Trade 1994 (GATT)”, Tesis
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011, hlm 10 381
John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge : Harvard University Press, 1971, hlm 523 382
Ernst-Ulrich Petersmann, “De-Fragmentation of International Economic Law Through
Constitutional Interpretation and Adjudication with Due Respect for Reasonable
Disagreement‖,
Loyota University International Law Review (2008), hal. 4; Ernst-Ulrich Petersmann,
“International Economic Law, Public Reason, and Multilevel Governance of Independent Public
Goods, Journal of International Economic Law (March, 2001), Hal. 6-7 dan Chios Carmody, “A
Theory of WTO Law,” Journal of International Economic Law (September 2008), hal 6 dalam
tulisan Eva Maria, Op. Cit,
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
121
Universitas Indonesia
Kendala implementasi bagi IKM adalah banyak dari perusahaan tersebut tidak
memenuhi persyaratan dasar legalitas bisnis. Lambatnya proses verifikasi
legalitas juga disebabkan karena biaya sertifikasi yang tinggi, ketidakcocokan
antara persyaratan SVLK dengan strategi penghidupan petani hutan rakyat;
terbatasnya pemahaman di kalangan usaha perkayuan skala kecil mengenai
kebutuhan dan manfaat SVLK, dan terbatasnya kapasitas lembaga verifikasi untuk
melaksanakan verifikasi SVLK383
. Sedangkan kendala bagi pemegang hak
pengelolaan hutan yang berlokasi di luar pulau Jawa dan Sumatera adalah
terbatasnya kapasitas lembaga verifikasi untuk melaksanakan verifikasi SVLK,
dimana sebagian besar Lembaga verifikasi berdomisili di pulau Jawa dan
Sumatera.
Data yang penulis peroleh dari Sistem Informasi Legalitas Kayu, sampai
tesis ini ditulis, jumlah industri yang sudah terdaftar sebagai pemegang Sertifikat
Legalitas Kayu ada 893 perusahaan, dan yang sedang dalam proses sertifikasi ada
287 perusahaan, dan jumlah eksportir produk hasil hutan kayu yang terdata
berjumlah 1.305 perusahaan. Artinya masih ada 412 eksportir produk hasil hutan
kayu yang belum mendapatkan Sertifikat Legal Kayu, sementara tenggat waktu
perolehan S-LK berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.95/Menhut-
II/2014 adalah tanggal 31 Desember 2015. Artinya, masih banyak yang harus
dilakukan untuk memastikan bahwa semua pelaku memenuhi persyaratan legalitas
dan tenggat waktunya384
.
Implementasi SVLK sudah berlaku sejak dikeluarkannya Permenhut
P.38/Menhut-II/2009, dimana dalam penyusunannya membutuhkan waktu enam
tahun sejak tahun 2003 . Kementerian Kehutanan sebagai pembuat kebijakan,
khusus membentuk Tim Kelompok Kerja dibawah koordinasi pejabat
Kementerian Kehutanan, dengan melibatkan instansi pemerintah terkait, Lembaga
Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan kehutanan
baik lokal maupun asing, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi
Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan
383
Krystof Obidzinski, Ahmad Dermawan, Agus Andrianto, Heru Komarudin dan Dody
Hernawan, “Verifikasi Legalitas Kayu di Indonesia dan Usaha Kehutanan Skala Kecil Pelajaran
dan Opsi Kebijakan‖, Bogor : Info Brief No. 111, Februari 2015, Publikasi CIFOR , hlm 1 384
Ibid., hlm 3
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
122
Universitas Indonesia
Indonesia (AMKRI), masyarakat adat dan pihak terkait lainnya. Dalam
penyusunan SVLK saat itu, yang paling sulit adalah menentukan kriteria dan
indikator legalitas kayu385
. Jadi saat SVLK disusun, pemerintah melalui
Kementerian Kehutanan sudah melibatkan banyak pihak, khususnya pengusaha
eksportir kayu yang paling berkepentingan dalam hal ini, baik dari pengusaha
pemegang ijin hak pengelolaan hutan (skala besar) sampai dengan pengusaha
industri kerajinan rumah tangga atau perorangan (skala kecil).
Dari riset aksi penerapan SVLK yang pernah dilakukan oleh Tim Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010, beberapa industri
menyatakan bahwa insentif yang diperoleh oleh industri pengolahan kayu yang
telah memperoleh sertifikat VLK dapat bersifat eksternal maupun internal.
Dampak positif eksternal yang dapat dinikmati oleh IUIPHHK yang telah
memperoleh sertifikat VLK antara lain self endorsement, kemudahan pengurusan
dokumen lainnya dari pemerintah, peluang pasar yang semakin besar dan harga
produk yang lebih mahal. Sedangkan dampak internal yang diperoleh adalah
ketenangan menjalankan usaha karena mengikuti aturan pemerintah, peningkatan
kepercayaan diri, perbaikan kinerja manajerial dan peningkatan produksi
perusahaan386
. Meskipun demikian, beberapa industri menyatakan bahwa
perolehan sertifikat VLK tidak serta merta memperoleh kenaikan harga jual
produk. Kalaupun terjadi kenaikan harga produk, kenaikan tersebut tidak lebih
dari 5%. Kenaikan ini jauh lebih kecil dari yang diharapkan oleh rata-rata industri
pengolahan kayu387
.
Kenyataan ini memang terlihat dari perbandingan pertumbuhan nilai
ekspor kayu dan produk kayu ke Negara-negara Uni Eropa 5 (lima) tahun sebelum
dan 5 (lima) tahun setelah penerapan SVLK secara wajib berdasarkan Permenhut
P.38/Menhut-II/2009 , yang masih belum terlihat signifikan dalam gambar di
bawah ini.
385
Wawancara dengan Ir. Bambang Edy Poerwanto, mantan Ketua Tim Kelompok Kerja
SVLK 386
Tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,”Riset Aksi Penerapan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu”, Kerjasama dengan Yayasan Kehati, 2011, hlm 3-17 387
Ibid
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
123
Universitas Indonesia
Gambar 4.1 Nilai Ekspor Kayu ke Negara-negara Uni Eropa 2005-2009
(sebelum penerapan SVLK melalui Permenhut P.38/2009) dalam juta US$
Sumber :Badan Pusat Statistik (Kayu dan Produk kayu dari data ekspor Direktorat Jenderal
Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI)
Gambar 4.2 Nilai Ekspor Kayu ke Negara-negara Uni Eropa 2010- Nov 2015
(setelah SVLK melalui Permenhut 38/2009) dalam juta US$
Sumber : Badan Pusat Statistik (Data ekspor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
Kementerian Perdagangan RI)
Namun setelah pemberlakuan SVLK oleh Pemerintah (tahun 2009) dan
setelah SVLK diakui oleh Uni Eropa sebagai sistem jaminan legalitas kayu untuk
mendapatkan lisensi FLEGT (pada tahun 2013), belum ada kenaikan yang
signifikan untuk nilai ekspor kayu ke Uni Eropa, khususnya untuk produk
furniture kayu yang sebagian besar diekspor oleh industri skala kecil menengah.
0
50
100
150
200
250
300
350
400
2005 2006 2007 2008 2009
Kayu dan Produk Kayu
Furnitur kayu
0
50
100
150
200
250
300
350
400
2010 2011 2012 2013 2014
Kayu dan Produk Kayu
Furniture kayu
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
124
Universitas Indonesia
Pelaksanaan SVLK yang secara umum menambah biaya produksi,
berpotensi mendorong terjadinya ekonomi biaya tinggi. Bagi industri primer hasil
hutan yang ber skala besar, hal ini tidaklah menjadi masalah rentan untuk
kelanjutan bisnis mereka, karena sebagian besar pengusaha skala besar tersebut
memiliki bidang usaha di luar produksi hasil hutan kayu388
. Namun bagi industri
skala kecil –yaitu industri rumah tangga / pengrajin /perorangan, yang saat ini
berjumlah kira-kira lebih dari 700.000 (tujuh ratus ribu) industri yang
mempekerjakan sampai satu juta lima ratus ribu tenaga kerja389
, ekonomi biaya
tinggi merupakan masalah besar, karena usaha tersebut merupakan satu-satunya
mata pencaharian dan penghasilan mereka. Walaupun berdasarkan pernyataan
mantan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, dam Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan saat ini, Siti Nurbaya, telah dialokasikan dana dari DIPA Kementerian
Kehutanan sejak tahun 2012, untuk pembiayaan SVLK bagi industri skala kecil,
namun mekanisme permohonan biaya untuk pencairan dana tersebut belum jelas
sampai saat ini.
Bila penerapan SVLK hanya terbatas pada cakupan kegiatan yang
dilaksanakan oleh kegiatan berijin, maka sasaran yang akan dicapai oleh kegiatan
SVLK ini terbatas. Artinya, kerusakan hutan secara nasional, seperti epidemik
kebakaran hutan nasional sejak bulan Agustus 2015 sampai dengan bulan Oktober
2015 yang lalu390
, serta sumber dan sebaran kayu illegal yang masih ada, perlu
mendapat penanganan khusus dan tersendiri.
388
Pengusaha eksportir hasil hutan kayu terbesar di Indonesia saat ini adalah group
Sinarmas( milik Eka Tjipta Widjaja) dan group Royal Golden Eagle (dulu Raja Garuda Mas milik
Sukanto Tanoto) yang memiliki bidang usaha lain seperti perkebunan kelapa sawit, property, jasa
keuangan, pertambangan batubara. 389
Krystof Obidzinski, Op. Cit., hlm 1
390 Tahun 2015 ini, api menghanguskan sekitar 2,1 juta hectare hutan, atau 32 kali luas DKI
Jakarta. Bank Dunia mencatat total kerugian yang dialami akibat kebakaran hutan Indonesia
menjelang akhir tahun 2015 mencapai Rp 221 triliun. Jumlah kerugian yang dialami setara dengan
dengan 1,9% PDB Indonesia atau dua kali lipat biaya rekonstruksi Aceh pasca tsunami. Jumlah
itu tiga kali lipat lebih besar dibanding anggaran kesehatan pada APBN 2015. Lihat majalah
Tempo edisi Kilas Balik 2015, ”Hutan Yang Menitikkan Air Mata” tanggal 3 Januari 2016 hlm 12
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
125
Universitas Indonesia
Menurut Grzegorz W Kolodko (2013), aspek penting dalam masa depan
ekonomi dunia adalah pembangunan sosial-ekonomi jangka panjang yang
seimbang yang mencakup tiga aspek391
:
Pertama, pertumbuhan berkelanjutan ekonomi atau pertumbuhan yang
berhubungan dengan barang dan pasar modal serta investasi, keuangan, dan
tenaga kerja; Kedua, pertumbuhan yang berkelanjutan secara sosial atau
pertumbuhan yang berhubungan dengan keadilan, yaitu distribusi pendapatan
diterima secara merata dan partisipasi yang tepat dari warga dalam pelayanan
publik dasar; Ketiga, pertumbuhan lingkungan yang berkelanjutan atau
pertumbuhan yang berhubungan dengan upaya menjaga keselarasan yang kuat
antara aktivitas ekonomi dan alam.
Konsepsi utama Rawls tentang keadilan adalah keseimbangan.
Penyusunan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu memang sudah berusaha
mewujudkan keseimbangan tersebut. Salah satu bentuk keseimbangan yang
diwujudkan dalam SVLK adalah bahwa setiap pemegang ijin industri di sector
kehutanan, tidak diberikan prinsip, kriteria dan indikator yang persis sama392
untuk menentukan legalitas produk kayu yang dihasilkan pemegang ijin atau
pengusaha tersebut, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
391
Grzegorz W. Kolodko,”Microeconomic Management and Macroeconomic Policy vs
Economic Growth and Social Development”, Kwartalnik Nauk o Przedsiębiorstwie”, Volume 4
No. 29 , 2013 , hlm 13 392
Lihat Lampiran 2,3,4,5,6 Peraturan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan P.5/VI-
BPPHH/2014 Jo P.1/VI-BPPHH/2015 Tentang Standar Dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK)
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
126
Universitas Indonesia
Tabel 4.1 Kategori Hutan dan cakupan verifikasi
Kategori Hutan Pemegang Ijin Cakupan Verifikasi
dalam dalam P.5/VI-
BPPHH/2014 Jo
P.1/VI-BPPHH/2015
Hutan Negara IUPHHK-HA/HP (Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Alam/Hak
Pengusahaan Hutan
IUPHHKHTI/HPHTI (Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Tanaman Industri
IUPHHK-RE (Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Restorasi Ekosistem)
Lampiran 2
Hutan Negara
yang dikelola
Masyarakat
IUPHHK-HTR (Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Hutan Tanaman Rakyat
IUPHHK-HKm (Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Hutan Kemasyarakatan)
Lampiran 3
Industri IUIPHHK (Ijin Usaha Industri
Pengolahan Hasil Hutan Kayu)
IUI Lanjutan (Ijin Usaha Industri
Lanjutan)
Lampiran 4
Hutan Hak Pemilik Hutan Hak Lampiran 5
Pemanfaatan
Kayu
Pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu IPK Lampiran 6
Pembedaannya didasarkan pada skala industri tersebut yang diukur antara
lain dari struktur permodalan, jumlah kapasitas produksi, jumlah tenaga kerja,
tingkat ketrampilan dan keahlian tenaga kerja393
. Hal ini sejalan dengan prinsip
Rawls tentang Justice as Fairness yaitu pada Difference Principle yang terdiri
dari (a) “prinsip perbedaan” (difference principle) dan; (b) “prinsip persamaan
kesempatan” (equal opportunity principle). “Prinsip perbedaan” berangkat dari
prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol
sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah.
393
Wawancara dengan Ir. Bambang Edy Poerwanto tanggal 28 Desember 2015
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
127
Universitas Indonesia
Prinsip ketidaksamaan yang diterapkan didasarkan pada kualitas
kemampuan , kemauan dan kebutuhan dari industri kecil dan menengah dalam
mengimplementasikan SVLK, terlihat dari perbedaan tenggat waktu yang
ditetapkan untuk pemenuhan SVLK bagi industri primer hasil hutan kayu dan
industri lanjutan yang notabene dengan industri kecil menengah. Jadi,
ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas kemampuan,
kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu nilai yang adil
berdasarkan persepktif Rawls, karena prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi
ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai
keadilan dapat diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap orang,
khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least
advantage).
Namun dalam pelaksanaan SVLK kemudian yang telah berjalan sekitar
lima tahun, ditemukan begitu banyak kesulitan yang dialami oleh pengusaha hasil
hutan kayu, yang berkaitan dengan due diligence atau uji tuntas kelayakan yaitu
terkait lima hal: (a) kinerja audit, (b) lembaga sertifikasi, (c) implementasi audit,
(d) penyelesaian keberatan, (e) pendampingan dan penguatan kompetensi . Selain
itu, lambatnya pencapaian target yang ditetapkan pemerintah melalui Permenhut
P.95/Menhut-II/2014 yaitu bahwa semua pemegang ijin usaha industri hasil hutan
kayu harus mendapatkan sertifikat legalitas kayu pada tanggal 31 Desember 2015,
terjadi karena kurangnya jumlah Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK)
terakreditasi, terbatasnya auditor dan lead auditor, kekhawatiran terhadap
penggunaan auditor eksternal oleh LVLK, serta tidak adanya keseragaman (secara
substansi) atas Standar Operational Procedure yang diperlukan oleh LVLK
dalam melaksanakan penilaian dan sertifikasi394
. Selain itu biaya yang sangat
besar untuk SVLK sampai dengan perolehan dokumen V-Legal dan tanda V-
Legal sangat besar untuk skala usaha kecil menengah. Kondisi ini yang kemudian
menimbulkan rasa tidak adil bagi industri kecil menengah tersebut, karena
berdasarkan neraca pembukuan sederhana dengan perbandingan nilai pemasukan
394
Tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,Op. Cit., hlm 3-3
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
128
Universitas Indonesia
dan nilai pengeluaran, mereka menemukan bahwa penghasilan yang didapat dari
ekspor produk kayu mereka tidak terlihat signifikan dengan pengeluarannya395
.
Premium price396
untuk produk kayu yang berhasil mendapatkan tanda V-Legal,
memang pernah diminta oleh Pemerintah Indonesia kepada pihak Uni Eropa, tapi
hanya kemudian menjadi sebatas wacana karena alasan bahwa legalitas kayu yang
diperoleh oleh Negara eksportir lain yang diterapkan dengan dasar voluntary base,
juga tidak mendapatkan premium price397
.
Menurut penulis, hal ini berkaitan juga dengan bantuan finansial yang
sudah disalurkan oleh Uni Eropa untuk sector kehutanan yang cukup besar,
sehingga pemerintah Indonesia pun tidak memiliki kekuatan posisi tawar dalam
meminta premium price ini. Mengutip pandangan Rawls mengenai bantuan luar
negeri, beliau menekankan bahwa bantuan yang diberikan secara terus-menerus
dan tanpa batas akan menimbulkan suatu permasalahan moral yang amat
berbahaya. Sebab, pemerintah yang sah dapat melepaskan tanggung jawabnya
terhadap masyarakat dan menjadi sangat tergantung karena merasa kebutuhannya
akan selalu dijamin oleh negara-negara yang memberikan bantuan tersebut.
Karena gagalnya negosiasi tentang premium price, pemerintah melalui
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyediakan anggaran untuk
industri kecil menengah untuk pelaksanaan SVLK. Aturan ini mencerminkan
prinsip difference principle Rawls, namun kesulitan yang terjadi kemudian adalah
industri kecil menengah belum mendapatkan manfaat dari bantuan tersebut.
Peraturan akhirnya hanya menjadi sebatas tulisan (de jure), dan tidak dijalani
dengan sebenar-benarnya sesuai yang tertulis (de facto). Pemerintah Indonesia
memang membutuhkan seorang negarawan dan pemimpin politik yang dicirikan
oleh Rawls yaitu seseorang yang harus mampu meneropong kebutuhan generasi
selanjutnya dengan menciptakan dan memajukan keharmonisan hubungan
internasional, serta menyelesaikan permasalahan domestik secara adil398
, karena
395
Wawancara tertulis dengan Ketua AMKRI 396
Premium Price adalah penetapan harga yang lebih tinggi oleh pihak penjual karena
keunggulan dari suatu produk atau jasa berdasarkan kriteria tertentu, yang dalam hal ini didasarkan
pada perolehan tanda V-Legal pada produk kayu.
397 Wawancara dengan Ir. Bambang Edy Poerwanto tanggal 28 Desember 2015.
398 Pan Mohammad Faiz, Op. Cit, hlm 144
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
129
Universitas Indonesia
regulasi SVLK ini sangat terkait dengan hubungan internasional Indonesia dengan
Uni Eropa.
Adanya pemisahan wewenang terkait koordinasi untuk industri kayu ini,
dimana industri primer hasil hutan kayu adalah di bawah koordinasi Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedangkan industri lanjutan (Ijin Usaha
Indutri) merupakan berada di bawah Kementerian Perindustrian dan Kementerian
Perdagangan, menjadi penyebab inkonsistensi regulasi terkait SVLK, yang terjadi
karena isu ketidak adilan SVLK yang diusung oleh industri lanjutan yang
sebagian besar adalah industri kecil menengah produk furniture kayu.
Inkonsistensi Peraturan Menteri Kehutanan P.43/Menhut-II/2014 jo
P.95/Menhut-II/2014 dan Peraturan Menteri Perdagangan 89/M-
DAG/PER/10/2015 juga semakin menambah kontroversi implementasi regulasi
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu karena keduanya saling terkait. Menteri
Perdagangan yang seolah tergesa-gesa membuat perubahan-perubahan dalam
Peraturan tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang berbahan
baku kayu dimana terjadi beberapa kali perubahan dalam waktu yang relative
singkat yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/12/2014
tanggal 24 Desember 2014 diubah dengan Permendag No. 66/M-
DAG/PER/8/2015 tanggal 27 Agustus 2015 yang diubah lagi dengan Permendag
No. 89/M-DAG/PER/10/2015 tanggal 19 Oktober 2015 .
Hal yang tertangkap oleh Penulis melalui dikeluarkannya Peraturan
Menteri Perdagangan No. 89/M-DAG/PER/10/2015 yang memberi keringanan
prosedur dan dokumen perijinan untuk ekspor kayu kepada industri lanjutan ini,
sebetulnya merupakan upaya untuk mewujudkan justice as fairness dalam
difference principles bagi pelaku industri kecil menengah, namun karena
kurangnya koordinasi antar lembaga, peraturan tersebut kemudian menjadi
kontroversial. Seharusnya hal demikian tidak perlu terjadi, Menteri Perdagangan
dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus bisa menerapkan pernyataan
Presiden Joko Widodo, “tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dikoordinasikan”399
.
399
Catatan Akhir Tahun Lingkungan,”Perahu Wujudkan Kesejahteraan”, harian Kompas,
Senin, 28 Desember 2015, hlm 14
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
130
Universitas Indonesia
Koordinasi antar kelembagaan mencerminkan gagasan kekeluargaan dan gotong
royong yang menjiwai perumusan gagasan pengelolaan sumber-sumber
perekonomian rakyat dalam UUD 1945. Perekonomian Indonesia disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, Cabang-cabang produksi yang
penting dan menguasai hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh Negara. Semua
sumber kekayaan yang dikuasai oleh Negara itu, baik berupa bumi, air dan
kekayaan alam yang terdapat di dalamnya haruslah digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat400
. Mohammad Hatta, tokoh proklamator Indonesia dan
Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama pernah menyatakan:
”Memang kolektivismelah yang sesuai dengan cita-cita hidup
Indonesia. Sudah dari dahulu, kita masyarakat Indonesia, seperti juga
dengan masyarakat Asia lainnya, berdasar kepada kolektivisme itu,
yang terkenal sebagai dasar tolong menolong (gotong royong).”401
Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 merupakan landasan konstitusional
dalam pemanfaatan hutan, dimana ditegaskan dalam ayat 3, “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.‖
Amanat Undang Undang Dasar 1945 yang termaktub dalam Pasal 33
merupakan hal mendasar dan sumber hukum tertinggi yang harus dipahami dan
diimplementasikan dalam setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang sumber daya alam Indonesia, baik yang merupakan produk hukum
rancangan nasional maupun yang merupakan hasil ratifikasi perjanjian
internasional.
Menurut Sri Edi Swasono, Pasal 33 ayat 1 sampai 3 mengandung sembilan
hal krusial yang harus diperhatikan yaitu : (i) Perekonomian disusun; (ii) Usaha
bersama; (iii) Asas kekeluargaan; (iv) penting bagi Negara; (v) Hajat hidup orang
banyak; (vi) dikuasai oleh Negara; (vii) Kekayaan alam yang terkandung; (viii)
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (ix) orang seorang.402
400
Jimly Asshiddique,”Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya
di Indonesia”, Disertasi Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993, hlm 96 401
Sri Edi Swasono, “Demokrasi Ekonomi : Keterkaitan Usaha Partisipatif vs
Konsentrasi Ekonomi”, KOPKAR, DEKOPIN, Jakarta, 1990, hlm 36 402
Jimly Asshiddique, Op. Cit.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
131
Universitas Indonesia
Sistem yang dianut Indonesia sebagai landasan pembangunan dari awal
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Sistem Ekonomi
Kerakyatan. Dalam sistem ini, kedaulatan di bidang ekonomi ada di tangan rakyat,
dan karena itu, ekonomi kerakyatan itu terkait dengan gagasan demokrasi
ekonomi yang tidak lain ialah kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.
Pasal 33 ayat (4) yang ditambahkan pada tanggal 10 Agustus 2002 oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (Amandemen UUD 1945), berbunyi sebagai berikut :
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
memuat prinsip-prinsip baru yang bertujuan untuk menyempurnakan agar
ketentuan dalam UUD 1945 tidak disalahgunakan. Filosofi yang terkandung
dalam Pancasila dan UUD 1945 menghendaki adanya keseimbangan dalam semua
aspek kehidupan bernegara, termasuk keseimbangan antara kepentingan
individual dan kolektivitas dalam kehidupan bermasyarakat dengan mengadopsi
prinsip efisiensi berkeadilan sebagai salah satu prinsip demokrasi ekonomi.
Dalam konteks perekonomian nasional di era globalisasi ini, selain efisiensi, hal
lain yang harus diperhatikan yakni keadilan, dan artinya Indonesia sebagai negara
berkembang harus memegang prinsip efisiensi untuk keadilan403
.
Rawls menyatakan bahwa hukum dan lembaga tidak peduli seberapa
efisien dan diatur dengan baik harus direformasi atau dihapuskan jika mereka
tidak adil404
403
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010, hlm 259-
260. 404
John Rawls,”Theory of Justice : Revised Edition”, Harvard University Press, 1971, hlm
3
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
132 Universitas Indonesia
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Grzegorz W. Kolodko, mantan menteri keuangan Polandia, dalam salah
satu tulisannya menyimpulkan bahwa globalisasi, sebagai proses terbesar di
zaman ini, memberikan kontribusi untuk dinamika ekonomi yang relatif tinggi,
terutama karena405
: skala ekonomi yang ditimbulkan oleh perdagangan
internasional atau penurunan biaya per unit sebagai akibat dari meningkatnya
ukuran produksi karena ekspor dikarenakan adanya akses ke pasar luar negeri;
alokasi sumber daya manusia dan keuangan lebih efektif, dibandingkan dengan
ekonomi tertutup; keterampilan tenaga kerja yang terlibat dalam pertukaran dunia,
ditingkatkan. Oleh sebab dinamika ekonomi yang tinggi, maka institusi
internasional menjadi sangat penting dalam mengkoordinasi hubungan saling
ketergantungan antar Negara. Namun kemudian, beliau menyatakan bahwa
globalisasi memberi kontribusi terhadap dikotomi tertentu yaitu tidak
menawarkan kesempatan yang sama untuk semua, dan tidak semua sama-sama
dibebani dengan biaya yang muncul secara bersamaan. Artinya, bagaimanapun,
globalisasi belum menyebabkan munculnya sistem planet406
untuk koordinasi
kebijakan ekonomi407
.
Kesimpulan yang penulis ambil dari penulisan tesis ini adalah :
1. Kebijakan Uni Eropa tentang Tindak Penegakan Hukum , Tata Kelola dan
Perdagangan Sektor Kehutanan (Forest Law Enforcement, Governance
and Trade – FLEGT) yang dicanangkan Uni Eropa pada tahun 2003
direalisasikan dalam Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 dan Voluntary
Partnership Agreement untuk Negara-negara mitra pengekspor hasil hutan
kayu ke pasar Uni Eropa
405
Grzegorz W. Kolodko,”Microeconomic Management and Macroeconomic Policy vs Economic
Growth and Social Development”, Kwartalnik Nauk o Przedsiębiorstwie”, Volume 4 No. 29 ,
2013 , hlm 11 406
Makna sistem planet disini adalah bahwa semua planet dalam sistem tata surya (dimana planet
bumi menjadi bagian di dalamnya) bergerak berputar dengan terpusat pada matahari. Kolodko
menganalogikan bahwa konsep kebijakan ekonomi Negara-negara dalam globalisasi seharusnya
terpusat pada satu sistem kebijakan ekonomi, walaupun cara pelaksanaannya berbeda. 407
Grzegorz W. Kolodko,”A World Between Crisis”, Acta Oeconomica, Vol. 62 (1) , 2012, hlm. 4
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
133
Universitas Indonesia
2. Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 yang merupakan bagian dari kebijakan
FLEGT, tidak masuk dalam konteks Persetujuan TBT dan konsisten
dengan ketentuan dalam GATT 1994. Ini membuktikan bahwa Uni Eropa
sangat memperhatikan detil peraturannya yang berimplikasi pada
perdagangan internasional supaya tidak ada peluang Negara lain untuk
menggugat peraturan tersebut
3. Perjanjian Kemitraan Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan
Perdagangan Sektor Kehutanan antara Indonesia dengan Uni Eropa
merupakan salah satu dinamika ekonomi yang terjadi dalam konteks
perdagangan internasional, yang merupakan realisasi dari kebijakan
FLEGT Uni Eropa dan telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui
Peraturan Presiden No. 21 tahun 2014 tanggal 13 Maret 2014, dimana
tujuan dari Perjanjian ini adalah adanya kepastian bahwa kayu yang
diekspor ke Uni Eropa adalah kayu legal sehingga harus ada kerangka
hukum yang merupakan Timber Legal Assurance System , yang
diterjemahkan menjadi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu.
4. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dituangkan dalam beberapa peraturan
yaitu
a. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/ Menhut-II/2009 jo
P.68/Menhut-II/2011 jo P.45/Menhut-II/2012 jo. P.42/Menhut-
II/2013 jo Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014
tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang
Izin atau pada Hutan Hak
b. Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.6/VI-Set/2009 jo
Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.02/VI-
BPPHH/2010 jo Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha
Kehutanan No. P.8/VI-BPPHH/2011 jo Peraturan Direktur
Jenderal No. P.5/VI-BPPHH/2014 jo P.14/VI-BPPHH/2014 jo P.1/
VI-BPPHH/2015, tentang standar dan pedoman penilaian kinerja
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
134
Universitas Indonesia
pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan verifikasi legalitas
kayu (VLK).
c. Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/12/2014
tanggal 24 Desember 2014 jo Permendag No. 66/M-
DAG/PER/8/2015 jo Permendag No. 89/M-DAG/PER/10/2015
tanggal 19 Oktober 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk
Industri Kehutanan yang berbahan baku kayu
5. Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang telah dimulai sejak
tanggal 1 September 2009, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
P.38/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 yang bersifat wajib
(mandatory) bagi pemegang ijin usaha yang tercakup dalam Peraturan
tersebut , berimplikasi pada beberapa kesulitan yang dialami oleh
pengusaha hasil hutan kayu, setelah implementasi SVLK yang telah
berjalan sekitar lima tahun, yang berkaitan dengan: (a) kinerja audit, (b)
lembaga sertifikasi, (c) implementasi audit, (d) penyelesaian keberatan, (e)
pendampingan dan penguatan kompetensi . Selain itu biaya untuk SVLK
sampai dengan perolehan dokumen V-Legal dan tanda V-Legal, dinilai
sangat besar untuk industri kecil menengah.
6. Upaya Menteri Perdagangan untuk mengakomodir industri kecil
menengah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.
89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri
Kehutanan yang menjadi pro kontra karena inkonsisten dengan Peraturan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.43/Menhut-II/2014 jo
P.95/Menhut-II/2014 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada
Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, membuktikan kurangnya koordinasi
antara instansi pemerintah dalam membuat suatu peraturan yang berkaitan
dengan daya saing industri nasional yaitu hasil hutan kayu
7. Adanya ketergantungan Indonesia terhadap Uni Eropa (baca : bantuan
finansial) sehingga tindakan sukarela untuk terikat dalam perjanjian
kemitraan menjadi bias karena Uni Eropa merupakan salah satu penyedia
dukungan bilateral yang besar. Sederetan kerjasama dan bantuan
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
135
Universitas Indonesia
kerjasama di sector kehutanan telah dijalankan oleh European Commission
dan Indonesia sejak tahun 1995 dalam agenda EC-Indonesia Forestry
Programme. Bantuan UE terhadap pembangunan Indonesia pada tahun
2014 saja berjumlah 570 juta Euro, dan paling besar dialokasikan di
bidang lingkungan dan perubahan iklim yang salah satunya termasuk
sector kehutanan yaitu sebesar 341juta euro. Posisi Uni Eropa yang
memanfaatkan ketergantungan Indonesia akan pasar produk hasil hutan
kayu di Uni Eropa merupakan salah satu faktor kuat keberhasilan Uni
Eropa untuk mengikat komitmen Indonesia dalam VPA ini, khususnya
dalam penyusunan sistem verifikasi legalitas kayu.
5.2 Saran / Rekomendasi
1. Perlu diadakan perbaikan/penyederhanaan/penyusunan ulang terhadap
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, dari Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan untuk meningkatkan daya saing industri nasional sekaligus
menjaga komitmen FLEGT-VPA. Selain itu perbaikan/penyederhanaan/
penyusunan ulang juga harus dapat terakomodir bersama dalam peraturan
tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan sehingga tidak
terjadi inkonsistensi yang tidak perlu, seperti yang terjadi saat tesis ini
ditulis yaitu antara Peraturan Menteri Perdagangan No. 89/M-
DAG/PER/10/2015 dengan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014. Kondisi ini juga
terkait erat dengan adanya pemisahan wewenang dalam mengkoordinasi
pelaku usaha industri primer dan industri lanjutan sektor kehutanan.
2. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dapat diupayakan sebagai standar produk
kayu Indonesia untuk dapat diakui secara internasional, khususnya bagi
Negara-negara pasar produk kayu / importir kayu yang telah dan sedang
dalam wacana untuk menerapkan aturan legalitas kayu secara mandatory
di negaranya, mengikuti jejak Uni Eropa. Dengan demikian perlu adanya
peningkatan proses negosiasi pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa
(mengupayakan agar perolehan sertifikat legalitas kayu dapat langsung
diakui sebagai lisensi FLEGT) dan beberapa Negara pasar ekspor hasil
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
136
Universitas Indonesia
hutan kayu Indonesia seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang dan
Tiongkok agar SVLK dikenal dan dapat dijadikan standar legalitas di
Negara-negara tersebut, dengan posisi tawar yang seimbang.
3. Peningkatan peran pemerintah sebagai fasilitator dalam pengurusan SVLK
bagi industri kecil, menengah dan besar, perlu ditingkatkan, khususnya
mengenai mekanisme pemberian dana bantuan untuk industri kecil
menengah dari anggaran DIPA yang telah tersedia di Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
4. Pertimbangan untuk memutuskan apakah Perjanjian Kemitraan Sukarela
Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan diperpanjang atau tidak diperpanjang, mengingat masa berlaku
perjanjian tersebut hanya berlaku lima tahun, dan artinya perjanjian
tersebut akan berakhir pada tanggal 29 September 2018, harus melibatkan
masukan dari pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu pemegang ijin
industri primer dan industri lanjutan yang dibebankan kewajiban SVLK,
melalui asosiasi mereka masing-masing (seperti Asosiasi Pengusaha Hutan
Indonesia, Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, Asosiasi Mebel dan
Kerajinan Rotan Indonesia, dan asosiasi sejenis lainnya), Lembaga
Swadaya Masyarakat sektor Kehutanan atau lingkungan hidup baik
nasional maupun internasional, masyarakat adat yang tinggal di sekitar
hutan, Pegawai Negeri Sipil dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan yang bertugas di lapangan khusus penerapan SVLK, Lembaga
Verifikasi Legalitas Kayu yang sudah terakreditasi oleh Komite Akreditasi
Nasional. Selain itu pemerintah sendiri perlu melakukan kalkulasi nilai
pemasukan (dari bantuan finansial Uni Eropa, dari nilai ekspor kayu ke
Uni Eropa) dan pengeluaran dari implementasi SVLK ini oleh para pelaku
usaha dan dari anggaran kementerian sendiri, apakah surplus atau malah
defisit. Pertimbangan dari faktor-faktor tersebut akan menghasilkan
keputusan yang berorientasi pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
138 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Agusman, DR.iur. Damos Dumoli,SH.,MA ,”Hukum Perjanjian Internasional
:Kajian Teori dan Praktik Indonesia”, Bandung : PT. Refika Aditama,
cetakan kedua 2014
Asshiddique, Jimly, ”Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia”, Disertasi Fakultas Hukum Pascasarjana
Universitas Indonesia, 1993
Asshiddiqie, Jimly,”Konstitusi Ekonomi, , Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2010.
Aristotle,”Nichomachean Ethics”, diterjemahkan dengan pengantar dari David
Ross, diperbaiki oleh J.C. Ackrill and J.O. Urmson, Oxford University
Press, Oxford: 1st published 1925; cetak ulang tahun 1980
Brotosusilo, Agus, ”Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional : Studi
Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri
Melalui Undang Undang Anti Dumping dan Safeguard”, Ringkasan
Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
Carmody, Chios, ―A Theory of WTO Law,” Journal of International Economic
Law , September 2008
Charnovitz, Steve, “The World Trade Organization and Law Enforcement”,
Kluwer Law International : Journal of World Trade Volume 37, 2003
Lung Chu Chen, ”An Introduction to Contemporary International Law : A Policy
Oriented Perspective “, 2nd
edition, USA : Yale University, 2000
Colchester, Marcus, ”Justice in The Forest: Rural Livelihoods and Forest Law
Enforcement‖, Center for International Forestry Research. Bogor,
Indonesia, 2006
Dewi , Novi Pratiwi,”Tinjauan Yuridis Pemberlakuan Sertifikasi dan Labelisasi
Produk Impor Barang dan Label Halal Produk Impor Pangan di
Indonesia dikaitkan dengan Ketentuan Agreement on Technical Barrier to
Trade GATT WTO”, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2010
Dos Santos, Theotonio, "The Structure of Dependence," dalam K.T. Fann and
Donald C. Hodges, editorial., Readings in U.S. Imperialism. Boston:
Porter Sargent, 1971
Faiz, Pan Mohammad, ”Teori Keadilan John Rawls”, Jurnal Konstitusi Volume 6
Nomor 1, April 2009
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
139
Universitas Indonesia
Ferraro, Vincent, "Dependency Theory: An Introduction," dalam The
Development Economics Reader, Editorial oleh Giorgio Secondi,
London: Routledge, 2008
Fishman, Akiva dan Obidzinski, Krystof, “European Union Timber Regulation :
Is It Legal?‖, Review of European Community and International
Environmental Law (RECIEL) Vol. 23, February 2014
Greenberg, David, “Law and Development in Light of Dependency Theory”, in the
Law and Development Vol. 2 Legal Cultures, edited by Anthony Carty,
New York : University Press, 1992
Halwani, RH, “Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi‖, Ghlmia
Indonesia, Edisi ke-2, Bogor , 2005
Hendroyono, Bambang, ”Era Baru Produk Industri Kehutanan”, Media Indonesia
: 2 Januari 2015
Howse & Langille,”Permitting Pluralism : The Seal Products Dispute and Why
the WTO should Accept Trade Restrictions Justified by Noninstrumental
Moral Values”, Yale Journal of International Law Volume 37
Kariodimedjo, Dina Widyapuri, ”Prinsip Transparansi dalam Persetujuan TBT
dan SPS”, Jurnal Mimbar Hukum, Edisi Khusus, November 2011
Kolodko, Grzegorz W., ”Microeconomic Management and Macroeconomic
Policy vs Economic Growth and Social Development”, Kwartalnik Nauk o
Przedsiębiorstwie”, Volume 4 No. 29 , 2013
Kriekhoff, Valerine, “Metode Penelitian Hukum”, dalam Kumpulan Bahan
Bacaan untuk program S2 dan S3, Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia , 2014
Lubis, Adrian, “Daya Saing, Kinerja Perdagangan, Dan Dampak Liberalisasi
Produk Kehutanan“,Pusat Pengkajian Kebijakan Perdagangan
Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan, Kementerian Perdagangan-RI, 2013
Maria, Eva, ”Analisa Hukum Pembatasan Ekspor Minyak Bumi Indonesia
dikaitkan dengan General Agreement on Trade 1994 (GATT)”, Tesis
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
Marzuki, Prof. Dr. Peter Mahmud, “Penelitian Hukum”, Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, Cetakan ke 7, 2005
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
140
Universitas Indonesia
Mitchell, Andrew dan Ayres, Glyn, ”Out of Crooked Timber : The Consistency of
Australia‘s Illegal Logging Prohibition Bill with the WTO Agreement”,
Melbourne : Environmental and Planning Law Journal, Volume 29, 2012
Obidzinski, Krystof; Dermawan, Ahmad ; Andrianto, Agus; Komarudin, Heru dan
Hernawan, Dody, “Verifikasi Legalitas Kayu di Indonesia dan Usaha
Kehutanan Skala Kecil Pelajaran dan Opsi Kebijakan‖, Bogor : Info
Brief No. 111, Februari 2015, Publikasi CIFOR
Petersmann, Ernst-Ulrich, “De-Fragmentation of International Economic Law
Through Constitutional Interpretation and Adjudication with Due Respect
for Reasonable Disagreement‖, Loyola University International Law
Review ,2008
Petersmann, Ernst-Ulrich “International Economic Law, Public Reason, and
Multilevel Governance of Independent Public Goods, Journal of
International Economic Law , Maret 2001
Priyadi H. et.al., ―Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik : Peningkatan
Implementasi Pengelolaan Hutan Lestari Melalui Sertifikasi Hutan dan
Pembalakan Ramah Lingkungan (Reduced Impact Logging)‖, Prosiding
Lokakarya, Balikpapan 21-26 Juni 2006, Bogor : Center For International
Forestry Research (CIFOR), 2007
Ramli, Lany, ”Metode Penelitian Ilmu Hukum”, dalam Kumpulan Bahan Bacaan
Metode Penelitian Hukum untuk program S2 dan S3, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia oleh Valerine J.L.K,
2014
Rawls, John, ”Theory of Justice : Revised Edition”, Harvard University Press,
1971
Riyatno, “Perlindungan Lingkungan Hidup dalam Perdagangan Internasional :
Studi Mengenai Ekspor Indonesia di bidang Perikanan dan Kehutanan”,
Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tahun 2005
Saunders, Jade; Paivinen, Risto; Tikkanen, Ilpo; Korhonen, Minna “Penegakan
Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan ―, Ringkasan
Kebijakan 2 European Forest Institute, 2008
Saunders, Jade dan Reeve, Rosalind, ”The EU Timber Regulation and CITES‖,
Center for International Forestry Research, April 2014
Sidharta, Bernard Arief, ”Penelitian Hukum Normatif : Analisis Penelitian
Filosofikal dan Dogmatikal”, dalam Kumpulan Bahan Bacaan Metode
Penelitian Hukum untuk program S2 dan S3, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia oleh Valerine J.L.K, 2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
141
Universitas Indonesia
Smith, Adam, ”An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations‖,
Glasgow ed. 1976 (1st edition. 1776)
Stone, Michael W. dan Cashore, Benjamin, ‖Global Forest Governance to
Address Illegal Logging : The Rise of Timber Legality Verification to
Rescue Indonesia‘s Forests‖, 3rd
Publication of Special Project World
Forests, Society and Environment (WFSE) dari International Union of
Forest Research Organization (IUFRO), 2014
Suparna, Nana, “Forest Law Enforcement & Governance –East Asia: A
Ministrial Conference”, dipresentasikan pada Konferensi Tingkat Menteri
di Bali pada tanggal 11 –13 September 2001
Sunkel, Osvaldo, " National Development Policy and External Dependence in
Latin America," Journal of Development Study, Vol. 6, no. 1, Oktober
1969
Swasono, Sri Edi, “Demokrasi Ekonomi : Keterkaitan Usaha Partisipatif vs
Konsentrasi Ekonomi”, Jakarta : KOPKAR, DEKOPIN, 1990
Thuo Gathii, James, “International Justice and Trading Regime,” Economy
International Law Review (2005)
United Nations Conference on Trade and Development,”Dispute Settlement World
Trade Organization : Technical Barriers to Trade”, New York and
Geneva, 2003,
Van den Bossche, Peter,”Law and Policy World Trade Organization :Text, Cases
and Materials”, 2nd
Edition, New York : Cambridge University Press :
2008
Viotty, Paul dan Kauppi, Mark, ”International Relations Theory, Realism,
Pluralism, Globalism‖, New York : Mac Milan Publishing Corporation,
1992
Wiriadidjaja, Astrid, ”Kerjasama Komisi Eropa dan Indonesia dalam Bidang
Lingkungan Hidup, Khususnya Sektor Kehutanan”, Pascasarjana Kajian
Wilayah Eropa Universitas Indonesia, 2007
Zulkifli,”Kerjasama Internasional Sebagai Solusi Pengelolaan Kawasan
Perbatasan Negara : Studi Kasus Indonesia”, Tesis Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2012
Appellate Body Report, Korea-Beef, WT/DS161/AB/R, WT/DS169/AB/R
paragraph 146,”the intervention of some element of private choice does not
relieve a WTO member of responsibility for the restrictive effects of a
measure.‖
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
142
Universitas Indonesia
Appellate Body Report, EC-Asbestos, WT/DS135/AB/R
Appellate Body Report, Korea — Beef, WT/DS161/AB/R, WT/DS169/AB/R
Committee on Technical Barriers to Trade WTO, Minutes of the Meeting tanggal
5-6 November 2008, 29 Januari 2009, G/TBT/M/46
Harian Kompas, Catatan Akhir Tahun Lingkungan,”Perahu Wujudkan
Kesejahteraan”, Senin, 28 Desember 2015
Majalah AgroIndonesia, Vol. IX, NO. 534, 24 Februari - 3 Maret 2015
Majalah TEMPO Edisi Kilas Balik 2015 “Para Penakluk Asap”, tanggal 28
Desember 2015-03 Januari 2016
Publikasi Council Conclusions of Forest Law Enforcement, Governance and
Trade (FLEGT) No. 2003/C268/01, Official Journal of the European
Union, 11 Juli 2003
Publikasi, Analisis Dampak Yuridis Ratifikasi,‖Final Act – Uruguay Round‖,
Program Pascasarjana Universitas Indonesia dalam rangka kerjasama
dengan Departemen Perdagangan Jakarta: Departemen Perdagangan 1995
Publikasi “Informasi Ringkas Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT
antara Indonesia dan Uni Eropa”, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia
dan Brunei Darussalam, Pusat Kerjasama Luar Negeri Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia, Direktorat Bina Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia,
Mei 2011
Publikasi Invigorating The Indonesia-EU Partnership : Towards A
Comprehensive Economic Partnership Agreement‖, publikasi
Delegation of The European Union dan Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia, 2011
Publikasi Penelitian Human Rights Watch berjudul “Dana Liar : Konsekuensi
Pembalakan Liar dan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia pada
Hak Asasi Manusia‖, 2009
Publikasi Penelitian ”Riset Aksi Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu”,
Kerjasama Tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan
Yayasan Kehati, 2011
Publikasi “Informasi Ringkas Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT antara
Indonesia dan Uni Eropa”, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan
Brunei Darussalam, Pusat Kerjasama Luar Negeri Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia, Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Mei 2011
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
143
Universitas Indonesia
Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, “Analisa Dampak
Impelementasi Environmental Goods List (EGs List) dan Identifikasi
Development Products Terhadap Kinerja Perdagangan”, Jakarta : Badan
Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia, 2014
Press Release Council of The European Union No.15945/09,” Signing of the
Partnership and Cooperation Agreement (PCA) at the Ministerial Troika
Meeting opens new era for Indonesia-EU Relations”, Brussels, 12
November 2009
Press Release Komisi Eropa dan Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia,”Indonesia dan Uni Eropa Adopsi Kebijakan Baru Legalitas
Perdagangan Kayu Guna Mendorong Perdagangan Bilateral Produk
Kayu‖, Jakarta : 22 Januari 2013
Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ir. Siti Nurbaya Nomor
S.490/Menhut-VI/2014 tanggal 11 November 2014.
Trade Policy Review Body WTO, Trade Policy Review of the European Union,
Minutes of the Meeting pada tanggal 6 dan 8 Juli 2011, tanggal 14
September 2011, WT/TPR/M/248
http://ec.europa.eu/environment/forests/illegal_logging.htm diakses tanggal 23
November 2015
https://www.wto.org/english/tratop_e/tbt_e/tbt_e.htm diakses tanggal 2 Maret
2015
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-
commodities/10-main-commodities diakses tanggal 01 Maret 2015
http://ec.europa.eu/europeaid/what/development-policies/intervention- areas
/environment / forestry_intro_en.htm diakses tanggal 20 April 2015
http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/press_corner/all_news/news/2015/201
50505_01_en.htm diakses tanggal 30 Desember 2015
L Bartels, „WTO Law aspects of The Clean Trade Project‘, diakses dari
http://www.wenar.info/CleanTrade.html tanggal 1 Desember 2013.
Badan Standardisasi Nasional (BSN),”Salah Satu Prinsip dalam Perjanjian TBT
WTO adalah Transparansi, Apa Maksudnya?‖,
http://www.bsn.go.id/faq_detail.php?faq_id=89, diakses 9 November 2015
http://ec.europa.eu/environment/forests/illegal_logging.htm diakses tanggal 23
November 2015
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
144
Universitas Indonesia
http://www.euflegt.efi.int/files/attachments/euflegt/efi_briefing_note_02_eng_221
010 diakses pada tanggal 14 Desember 2015
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
VOLUNTARY PARTNERSHIP AGREEMENT
between the European Union and the Republic of Indonesia on forest law enforcement, governance and trade in timber products into the European Union
THE EUROPEAN UNION
hereinafter referred to as "the Union"
and
THE REPUBLIC OF INDONESIA
hereinafter referred to as "Indonesia"
hereinafter referred to together as the "Parties",
RECALLING The Framework Agreement on Comprehensive Partnership and Cooperation between the Republic of Indonesia and the European Community signed on 9 November 2009 in Jakarta;
CONSIDERING the close working relationship between the Union and Indonesia, particularly in the context of the 1980 Cooperation Agreement between the European Economic Community and Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore and Thailand - member countries of the Association of South-East Asian Nations;
RECALLING the commitment made in the Bali Declaration on Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) of 13 September 2001 by countries from the East Asian and other regions to take immediate action to intensify national efforts and to strengthen bilateral, regional and multilateral collaboration to address violations of forest law and forest crime, in particular illegal logging, associated illegal trade and corruption, and their negative effects on the rule of law;
NOTING the Communication from the Commission to the Council and the European Parliament on a European Union Action Plan for Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) as a first step towards tackling the urgent issue of illegal logging and associated trade;
REFERRING to the Joint Statement between the Minister of Forestry of the Republic of Indonesia and the European Commissioners for Development and for Environment signed on 8 January 2007 in Brussels;
HAVING REGARD to the 1992 Non-Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on the management, conservation and sustainable development of all types of forests, and to the adoption by the United Nations General Assembly of the Non Legally Binding Instrument on all types of forest;
AWARE of the importance of principles set out in the 1992 Rio Declaration on Environment and Development in the context of securing sustainable forest management, and in particular of Principle 10 concerning the importance of public awareness and participation in environmental issues and of Principle 22 concerning the vital role of indigenous people and other local communities in environmental management and development;
RECOGNISING efforts by the Government of the Republic of Indonesia to promote good forestry governance, law enforcement and the trade in legal timber, including through the Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) as the Indonesian Timber Legality Assurance System (TLAS) which is developed through a multi-stakeholder process following the principles of good governance, credibility and representativeness;
RECOGNISING that the Indonesian TLAS is designed to ensure the legal compliance of all timber products;
EN L 150/252 Official Journal of the European Union 20.5.2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
RECOGNISING that implementation of a FLEGT Voluntary Partnership Agreement will reinforce sustainable forest management and contribute to combating climate change through reduced emissions from deforestation and forest degradation and the role of conservation, sustainable management of forest and enhancement of forest carbon stocks (REDD+);
HAVING REGARD to the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) and in particular the requirement that export permits issued by parties to CITES for specimens of species listed in Appendices I, II or III be granted only under certain conditions, including that such specimens were not obtained in contravention of the laws of that party for the protection of fauna and flora;
RESOLVED that the Parties shall seek to minimise any adverse impacts on indigenous and local communities and poor people which may arise as a direct consequence of implementing this Agreement;
CONSIDERING the importance attached by the Parties to development objectives agreed at international level and to the Millennium Development Goals of the United Nations;
CONSIDERING the importance attached by the Parties to the principles and rules which govern the multilateral trading systems, in particular the rights and obligations laid down in the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 and in other multilateral agreements establishing the World Trade Organisation (WTO) and the need to apply them in a transparent and non-discriminatory manner;
HAVING REGARD to Council Regulation (EC) No 2173/2005 of 20 December 2005 on the establishment of a FLEGT licensing scheme for imports of timber into the European Community and to Regulation (EU) No 995/2010 of the European Parliament and of the Council of 20 October 2010 laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market;
REAFFIRMING the principles of mutual respect, sovereignty, equality and non-discrimination and recognising the benefits to the Parties arising from this Agreement;
PURSUANT to the respective laws and regulations of the Parties;
HEREBY AGREE AS FOLLOWS:
Article 1
Objective
1. The objective of this Agreement, consistent with the Parties' common commitment to the sustainable management of all types of forest, is to provide a legal framework aimed at ensuring that all imports into the Union from Indonesia of timber products covered by this Agreement have been legally produced and in doing so to promote trade in timber products.
2. This Agreement also provides a basis for dialogue and co-operation between the Parties to facilitate and promote the full implementation of this Agreement and enhance forest law enforcement and governance.
Article 2
Definitions
For the purposes of this Agreement, the following definitions shall apply:
(a) "import into the Union" means the release for free circulation of timber products in the Union within the meaning of Article 79 of Regulation (EEC) No 2913/1992 of 12 October 1992 establishing the Union Customs Code which cannot be qualified as "goods of a non-commercial nature" as defined in Article 1(6) of Commission Regulation (EEC) No 2454/93 of 2 July 1993 laying down provisions for the implementation of Council Regulation (EEC) No 2913/1992 establishing the Union Customs Code;
EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/253
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
(b) "export" means the physical leaving or taking out of timber products from any part of the geographical territory of Indonesia;
(c) "timber products" means the products listed in Annex IA and Annex IB;
(d) "HS Code" means a four- or six-digit commodity code as set out in the Harmonised Commodity Description and Coding System established by the International Convention on the Harmonised Commodity Description and Coding System of the World Customs Organisation;
(e) "FLEGT licence" means an Indonesian Verified Legal (V-Legal) document which confirms that a shipment of timber products intended for export to the Union has been legally produced. A FLEGT licence may be in paper or electronic form;
(f) "licensing authority" means the entities authorised by Indonesia to issue and validate FLEGT licences;
(g) "competent authorities" means the authorities designated by the Member States of the Union to receive, accept and verify FLEGT licences;
(h) "shipment" means a quantity of timber products covered by a FLEGT licence that is sent by a consignor or a shipper from Indonesia and is presented for release for free circulation at a customs office in the Union;
(i) "legally-produced timber" means timber products harvested or imported and produced in accordance with the legislation as set out in Annex II.
Article 3
FLEGT Licensing Scheme
1. A Forest Law Enforcement, Governance and Trade licensing scheme' (hereinafter "FLEGT Licensing Scheme") is hereby established between the Parties to this Agreement. It establishes a set of procedures and requirements aiming at verifying and attesting, by means of FLEGT licences, that timber products shipped to the Union were legally produced. In accordance with Council Regulation 2173/2005 of 20 December 2005, the Union shall only accept such shipments from Indonesia for import into the Union if they are covered by FLEGT licences.
2. The FLEGT Licensing Scheme shall apply to the timber products listed in Annex IA.
3. The timber products listed in Annex IB may not be exported from Indonesia and may not be FLEGT licensed.
4. The Parties agree to take all necessary measures to implement the FLEGT Licensing Scheme in accordance with the provisions of this Agreement.
Article 4
Licensing Authorities
1. The Licensing Authority will verify that timber products have been legally produced in accordance with the legislation identified in Annex II. The Licensing Authority will issue FLEGT licences covering shipments of legally- produced timber products for export to the Union.
2. The Licensing Authority shall not issue FLEGT licences for any timber products that are composed of, or include, timber products imported into Indonesia from a third country in a form in which the laws of that third country forbid export, or for which there is evidence that those timber products were produced in contravention of the laws of the country where the trees were harvested.
EN L 150/254 Official Journal of the European Union 20.5.2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
3. The Licensing Authority will maintain and make publicly available its procedures for issuing FLEGT licences. The Licensing Authority will also maintain records of all shipments covered by FLEGT licences and consistent with national legislation concerning data protection will make these records available for the purposes of independent monitoring, while respecting the confidentiality of exporters' proprietary information.
4. Indonesia shall establish a Licence Information Unit that will serve as a contact point for communications between the competent authorities and the Licensing Authorities as set out in Annexes III and V.
5. Indonesia shall notify contact details of the Licensing Authority and the Licence Information Unit to the European Commission. The Parties shall make this information available to the public.
Article 5
Competent Authorities
1. The competent authorities shall verify that each shipment is covered by a valid FLEGT licence before releasing that shipment for free circulation in the Union. The release of the shipment may be suspended and the shipment detained if there are doubts regarding the validity of the FLEGT licence.
2. The competent authorities shall maintain and publish annually a record of FLEGT licences received.
3. The competent authorities shall grant persons or bodies designated as independent market monitor access to the relevant documents and data, in accordance with their national legislation on data protection.
4. The competent authorities shall not perform the action described in Article 5(1) in the case of a shipment of timber products derived from species listed under the Appendices of the CITES as these are covered by the provisions for verification set out in the Council Regulation (EC) No 338/97 of 9 December 1996 on the protection of species of wild fauna and flora by regulating trade therein.
5. The European Commission shall notify Indonesia of the contact details of the competent authorities. The Parties shall make this information available to the public.
Article 6
FLEGT Licences
1. FLEGT licences shall be issued by the Licensing Authority as a means of attesting that timber products have been legally produced.
2. The FLEGT licence shall be laid out and completed in English.
3. The Parties may, by agreement, establish electronic systems for issuing, sending and receiving FLEGT licences.
4. The technical specifications of the licence are set out in Annex IV. The procedure for issuing FLEGT licences is set out in Annex V.
Article 7
Verification of Legally-Produced Timber
1. Indonesia shall implement a TLAS to verify that timber products for shipment have been legally produced and to ensure that only shipments verified as such are exported to the Union.
2. The system for verifying that shipments of timber products have been legally produced is set out in Annex V.
EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/255
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Article 8
Release of Shipments covered by a FLEGT Licence
1. The procedures governing release for free circulation in the Union for shipments covered by a FLEGT licence are described in Annex III.
2. Where the competent authorities have reasonable grounds to suspect that a licence is not valid or authentic or does not conform to the shipment it purports to cover, the procedures contained in Annex III may be applied.
3. Where persistent disagreements or difficulties arise in consultations concerning FLEGT licences the matter may be referred to the Joint Implementation Committee.
Article 9
Irregularities
The Parties shall inform each other if they suspect or have found evidence of any circumvention or irregularity in the FLEGT Licensing Scheme, including in relation to the following:
(a) circumvention of trade, including by re-direction of trade from Indonesia to the Union via a third country;
(b) FLEGT licences covering timber products which contain timber from third countries that is suspected of being illegally produced; or
(c) fraud in obtaining or using FLEGT licences.
Article 10
Application of the Indonesian TLAS and Other Measures
1. Using the Indonesian TLAS, Indonesia shall verify the legality of timber exported to non-Union markets and timber sold on domestic markets, and shall endeavour to verify the legality of imported timber products using, where possible, the system developed for implementing this Agreement.
2. In support of such endeavours, the Union shall encourage the use of the abovementioned system with respect to trade in other international markets and with third countries.
3. The Union shall implement measures to prevent the placing on the Union market of illegally-harvested timber and products derived therefrom.
Article 11
Stakeholder Involvement in the Implementation of the Agreement
1. Indonesia will hold regular consultations with stakeholders on the implementation of this Agreement and will in that regard promote appropriate consultation strategies, modalities and programmes.
2. The Union will hold regular consultations with stakeholders on the implementation of this Agreement, taking into account its obligations under the 1998 Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-making and Access to Justice in Environmental Matters (Aarhus Convention)
Article 12
Social Safeguards
1. In order to minimize possible adverse impacts of this Agreement, the Parties agree to develop a better understanding of the impacts on the timber industry as well as on the livelihoods of potentially affected indigenous and local communities as described in their respective national laws and regulations.
EN L 150/256 Official Journal of the European Union 20.5.2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
2. The Parties will monitor the impacts of this Agreement on those communities and other actors identified in paragraph 1, while taking reasonable steps to mitigate any adverse impacts. The Parties may agree on additional measures to address adverse impacts.
Article 13
Market Incentives
Taking into account its international obligations, the Union shall promote a favourable position in the Union market for the timber products covered by this Agreement. Such efforts will include in particular measures to support:
(a) public and private procurement policies that recognise a supply of and ensure a market for legally harvested timber products; and
(b) a more favourable perception of FLEGT-licensed products on the Union market.
Article 14
Joint Implementation Committee
1. The Parties shall establish a joint mechanism (hereinafter referred to as the "Joint Implementation Committee" or "JIC"), to consider issues relating to the implementation and review of this Agreement.
2. Each Party shall nominate its representatives on the JIC which shall take its decisions by consensus. The JIC shall be co-chaired by senior officials; one from the Union and the other from Indonesia.
3. The JIC shall establish its rules of procedure.
4. The JIC shall meet at least once a year, on a date and with an agenda which are agreed in advance by the Parties. Additional meetings may be convened at the request of either of the Parties.
5. The JIC shall:
(a) consider and adopt joint measures to implement this Agreement;
(b) review and monitor the overall progress in implementing this Agreement including the functioning of the TLAS and market-related measures, on the basis of the findings and reports of the mechanisms established under Article 15;
(c) assess the benefits and constraints arising from the implementation of this Agreement and decide on remedial measures;
(d) examine reports and complaints about the application of the FLEGT licensing scheme in the territory of either of the Parties;
(e) agree on the date from which the FLEGT licensing scheme will start operating after an evaluation of the functioning of the TLAS on the basis of the criteria set out in Annex VIII;
(f) identify areas of cooperation to support the implementation of this Agreement;
(g) establish subsidiary bodies for work requiring specific expertise, if necessary;
(h) prepare, approve, distribute, and make public annual reports, reports of its meetings and other documents arising out of its work.
(i) perform any other tasks it may agree to carry out.
EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/257
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Article 15
Monitoring and Evaluation
The Parties agree to use the reports and findings of the following two mechanisms to evaluate the implementation and effectiveness of this Agreement.
(a) Indonesia, in consultation with the Union, shall engage the services of a Periodic Evaluator to implement the tasks as set out in Annex VI.
(b) the Union, in consultation with Indonesia, shall engage the services of an Independent Market Monitor to implement the tasks as set out in Annex VII.
Article 16
Supporting Measures
1. The provision of any resources necessary for measures to support the implementation of this Agreement, identified pursuant to Article 14(5) (f) above shall be determined in the context of the programming exercises of the Union and its Member States for cooperation with Indonesia.
2. The Parties shall ensure that activities associated with the implementation of this Agreement are coordinated with existing and future development programmes and initiatives.
Article 17
Reporting and Public Disclosure of Information
1. The Parties shall ensure that the workings of the JIC are as transparent as possible. Reports arising out of its work shall be jointly prepared and made public.
2. The JIC shall make public a yearly report that includes inter alia, details on:
(a) quantities of timber products exported to the Union under the FLEGT licensing scheme, according to the relevant HS Heading;
(b) the number of FLEGT licences issued by Indonesia;
(c) progress in achieving the objectives of this Agreement and matters relating to its implementation;
(d) actions to prevent illegally-produced timber products being exported, imported, and placed or traded on the domestic market;
(e) quantities of timber and timber products imported into Indonesia and actions taken to prevent imports of illegally- produced timber products and maintain the integrity of the FLEGT Licensing Scheme;
(f) cases of non-compliance with the FLEGT Licensing Scheme and the action taken to deal with them;
(g) quantities of timber products imported into the Union under the FLEGT licensing scheme, according to the relevant HS Heading and Union Member State in which importation into the Union took place;
(h) the number of FLEGT licences received by the Union;
(i) the number of cases and quantities of timber products involved where consultations took place under Article 8(2).
EN L 150/258 Official Journal of the European Union 20.5.2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
3. In order to achieve the objective of improved governance and transparency in the forest sector and to monitor the implementation and impacts of this Agreement in both Indonesia and the Union, the Parties agree that the information as described in Annex IX shall be made publicly available.
4. The Parties agree not to disclose confidential information exchanged under this Agreement, in accordance with their respective legislation. Neither Party shall disclose to the public, nor permit its authorities to disclose, information exchanged under this Agreement concerning trade secrets or confidential commercial information.
Article 18
Communication on Implementation
1. The representatives of the Parties responsible for official communications concerning implementation of this Agreement shall be:
For Indonesia: For the Union:
The Director-General of Forest
Utilisation, Ministry for Forestry
The Head of Delegation
of the European Union in Indonesia
2. The Parties shall communicate to each other in a timely manner the information necessary for implementing this Agreement, including changes in paragraph 1
Article 19
Territorial Application
This Agreement shall apply to the territory in which the Treaty on the Functioning of the European Union is applied under the conditions laid down in that Treaty, on the one hand, and to the territory of Indonesia, on the other.
Article 20
Settlement of Disputes
1. The Parties shall seek to resolve any dispute concerning the application or interpretation of this Agreement through prompt consultations.
2. If a dispute has not been settled by means of consultations within two months from the date of the initial request for consultations either Party may refer the dispute to the JIC which shall endeavour to settle it. The JIC shall be provided with all relevant information for an in depth examination of the situation with a view to finding an acceptable solution. To this end, the JIC shall be required to examine all possibilities for maintaining the effective implementation of this Agreement.
3. In the event that the JIC is unable to settle the dispute within two months, the Parties may jointly seek the good offices of, or request mediation by, a third party.
4. If it is not possible to settle the dispute in accordance with paragraph 3, either Party may notify the other of the appointment of an arbitrator; the other Party must then appoint a second arbitrator within thirty calendar days of the appointment of the first arbitrator. The Parties shall jointly appoint a third arbitrator within two months of the appointment of the second arbitrator.
5. The arbitrators decisions shall be taken by majority vote within six months of the third arbitrator being appointed.
6. The award shall be binding on the Parties and it shall be without appeal.
7. The JIC shall establish the working procedures for arbitration.
EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/259
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Article 21
Suspension
1. A Party wishing to suspend this Agreement shall notify the other Party in writing of its intention to do so. The matter shall subsequently be discussed between the Parties.
2. Either Party may suspend the application of this Agreement. The decision on suspension and the reasons for that decision shall be notified to the other Party in writing.
3. The conditions of this Agreement will cease to apply thirty calendar days after such notice is given.
4. Application of this Agreement shall resume thirty calendar days after the Party that has suspended its application informs the other Party that the reasons for the suspension no longer apply.
Article 22
Amendments
1. Either Party wishing to amend this Agreement shall put the proposal forward at least three months before the next meeting of the JIC. The JIC shall discuss the proposal and if consensus is reached, it shall make a recommendation. If the Parties agree with the recommendation, they shall approve it in accordance with their respective internal procedures.
2. Any amendment so approved by the Parties shall enter into force on the first day of the month following the date on which the Parties notify each other of the completion of the procedures necessary for this purpose.
3. The JIC may adopt amendments to the Annexes to this Agreement.
4. Notification of any amendment shall be made to the Secretary-General of the Council of the European Union and to the Minister for Foreign Affairs of the Republic of Indonesia through diplomatic channels.
Article 23
Entry into Force, Duration and Termination
1. This Agreement shall enter into force on the first day of the month following the date on which the Parties notify each other in writing of the completion of their respective procedures necessary for this purpose.
2. Notification shall be made to the Secretary-General of the Council of the European Union and to the Minister for Foreign Affairs of the Republic of Indonesia through diplomatic channels
3. This Agreement shall remain in force for a period of five years. It shall be extended for consecutive periods of five years, unless a Party renounces the extension by notifying the other Party in writing at least twelve months before this Agreement expires.
4. Either Party may terminate this Agreement by notifying the other Party in writing. This Agreement shall cease to apply twelve months after the date of such notification.
Article 24
Annexes
The Annexes to this Agreement shall form an integral part thereof.
EN L 150/260 Official Journal of the European Union 20.5.2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Article 25
Authentic Texts
This Agreement shall be drawn up in duplicate in the Bulgarian, Croatian, Czech, Danish, Dutch, English, Estonian, Finnish, French, German, Greek, Hungarian, Italian, Latvian, Lithuanian, Maltese, Polish, Portuguese, Romanian, Slovak, Slovenian, Spanish, Swedish and Indonesian (Bahasa Indonesia) languages, each of these texts being authentic. In case of divergence of interpretation the English text shall prevail.
IN WITNESS WHEREOF, the undersigned, being duly authorised thereto, have signed this Agreement.
EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/261
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Съставено в Брюксел на тридесети септември две хиляди и тринадесета година.
Hecho en Bruselas, el treinta de septiembre de dos mil trece.
V Bruselu dne třicátého září dva tisíce třináct.
Udfærdiget i Bruxelles den tredivte september to tusind og tretten.
Geschehen zu Brüssel am dreißigsten September zweitausenddreizehn.
Kahe tuhande kolmeteistkümnenda aasta septembrikuu kolmekümnendal päeval Brüsselis.
Έγινε στις Βρυξέλλες, στις τριάντα Σεπτεμβρίου δύο χιλιάδες δεκατρία.
Done at Brussels on the thirtieth day of September in the year two thousand and thirteen.
Fait à Bruxelles, le trente septembre deux mille treize.
Sastavljeno u Bruxellesu tridesetog rujna dvije tisuće trinaeste.
Fatto a Bruxelles, addì trenta settembre duemilatredici.
Briselē, divi tūkstoši trīspadsmitā gada trīsdesmitajā septembrī.
Priimta du tūkstančiai tryliktų metų rugsėjo trisdešimtą dieną Briuselyje.
Kelt Brüsszelben, a kétezer-tizenharmadik év szeptember havának harmincadik napján.
Magħmul fi Brussell, fit-tletin jum ta’ Settembru tas-sena elfejn u tlettax.
Gedaan te Brussel, de dertigste september tweeduizend dertien.
Sporządzono w Brukseli dnia trzydziestego września roku dwa tysiące trzynastego.
Feito em Bruxelas, em trinta de setembro de dois mil e treze.
Întocmit la Bruxelles la treizeci septembrie două mii treisprezece.
V Bruseli tridsiateho septembra dvetisíctrinásť.
V Bruslju, dne tridesetega septembra leta dva tisoč trinajst.
Tehty Brysselissä kolmantenakymmenentenä päivänä syyskuuta vuonna kaksituhattakolmetoista.
Som skedde i Bryssel den trettionde september tjugohundratretton.
Dibuat di Brussel, pada tanggal tiga puluh bulan September tahun dua ribu tiga belas.
EN L 150/262 Official Journal of the European Union 20.5.2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
За Европейския съюз Por la Unión Europea Za Evropskou unii For Den Europæiske Union Für die Europäische Union Euroopa Liidu nimel Για την Ευρωπαϊκή Ένωση For the European Union Pour l'Union européenne Za Europsku uniju Per l'Unione europea Eiropas Savienības vārdā – Europos Sąjungos vardu Az Európai Unió részéről Għall-Unjoni Ewropea Voor de Europese Unie W imieniu Unii Europejskiej Pela União Europeia Pentru Uniunea Europeană Za Európsku úniu Za Evropsko unijo Euroopan unionin puolesta För Europeiska unionen Untuk Uni Eropa
За Република Индонезия Por la República de Indonesia Za Indonéskou republiku For Republikken Indonesien Für die Republik Indonesien Indoneesia Vabariigi nimel Για τη Δημοκρατία της Ινδονησίας For the Republic of Indonesia Pour la République d'Indonésie Za Republiku Indoneziju Per la Repubblica di Indonesia Indonēzijas Republikas vārdā – Indonezijos Respublikos vardu Az Indonéz Köztársaság részéről Għar-Repubblika tal-Indoneżja Voor de Republiek Indonesië W imieniu Republiki Indonezji Pela República da Indonésia Pentru Republica Indonezia Za Indonézsku republiku Za Republiko Indonezijo Indonesian tasavallan puolesta För Republiken Indonesien Untuk Republik Indonesia
EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/263
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
ANNEX I
PRODUCT COVERAGE
The list in this Annex refers to the Harmonised Commodity Description and Coding System established by the International Convention on the Harmonised Commodity Description and Coding System of the World Customs Union.
ANNEX IA
THE HARMONISED COMMODITY CODES FOR TIMBER AND TIMBER PRODUCTS COVERED UNDER THE FLEGT LICENSING SCHEME
Chapter 44:
HS Codes Description
Fuel wood, in logs, in billets, in twigs, in faggots or in similar forms; wood in chips or particles; sawdust and wood waste and scrap, whether or not agglomerated in logs, briquettes, pellets or similar forms.
4401.21 - Wood in chips or particles - coniferous
4401.22 - Wood in chips or particles - non coniferous
Ex.4404 - Chipwood and the like
Ex.4407 Wood sawn or chipped lengthwise, sliced or peeled, planed, sanded or end-jointed, of a thickness exceeding 6 mm.
4408 Sheets for veneering (including those obtained by slicing laminated wood), for plywood or for similar laminated wood and other wood, sawn lengthwise, sliced or peeled, whether or not planed, sanded, spliced or end-jointed, of a thickness not exceeding 6 mm.
Wood (including strips and friezes for parquet flooring, not assembled) continuously shaped (tongued, grooved, rebated, chamfered, V-jointed, beaded, moulded, rounded or the like) along any of its edges, ends or faces, whether or not planed, sanded or end-jointed.
4409.10 - Coniferous
4409.29 - Non-coniferous – other
4410 Particle board, oriented strand board (OSB) and similar board (for example, waferboard) of wood or other ligneous materials, whether or not agglomerated with resins or other organic binding substances.
4411 Fibreboard of wood or other ligneous materials, whether or not bonded with resins or other organic substances.
4412 Plywood, veneered panels and similar laminated wood
4413 Densified wood, in blocks, plates, strips or profile shapes.
4414 Wooden frames for paintings, photographs, mirrors or similar objects.
4415 Packing cases, boxes, crates, drums and similar packings, of wood; cable-drums of wood; pallets, box pallets and other load boards, of wood; pallet collars of wood.
4416 Casks, barrels, vats, tubs and other coopers' products and parts thereof, of wood, including staves.
EN L 150/264 Official Journal of the European Union 20.5.2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
HS Codes Description
4417 Tools, tool bodies, tool handles, broom or brush bodies and handles, of wood; boot or shoe lasts and trees, of wood.
4418 Builders' joinery and carpentry of wood, including cellular wood panels, assembled flooring panels, shingles and shakes.
Ex.4421.90 - Wooden paving blocks
Chapter 47:
HS Codes Description
Pulp of wood or of other fibrous cellulosic material; recovered (waste and scrap) paper or paperboard:
4701 - Mechanical wood pulp
4702 - Chemical wood pulp, dissolving grades
4703 - Chemical wood pulp, soda or sulphate, other than dissolving grades.
4704 - Chemical wood pulp, sulphite, other than dissolving grades
4705 - Wood pulp obtained by a combination of mechanical and chemical pulping processes
Chapter 48:
HS Codes Description
4802 Uncoated paper and paperboard, of a kind used for writing, printing or other graphic purposes, and non-perforated punch-cards and punch tape paper, in rolls or rectangular (including square) sheets, of any size, other than paper of heading 4801 or 4803; hand-made paper and paperboard:
4803 Toilet or facial tissue stock, towel or napkin stock and similar paper of a kind used for household or sanitary purposes, cellulose wadding and webs of cellulose fibres, whether or not creped, crinkled, embossed, perforated, surface -coloured, surface-decorated or printed, in rolls or sheets.
4804 Uncoated kraft paper and paperboard, in rolls or sheets, other than that of heading 4802 or 4803.
4805 Other Uncoated paper and paperboard, in rolls or sheets, not further worked or processed than as specify in Note 3 to this chapter.
4806 Vegetable parchment, greaseproof papers, tracing papers and glassine and other glazed transparent or translucent papers, in rolls or sheets.
4807 Composite paper and paperboard (made by sticking flat layers of paper or paperboard together with an adhesive), not surface-coated or impregnated, whether or not internally reinforced, in rolls or sheets.
4808 Paper and paperboard, corrugated (with or without glued flat surface sheets), creped, crinkled, embossed or perforated, in rolls or sheets, other than paper of the kind described in heading 4803.
4809 Carbon paper, self-copy paper and other copying or transfer papers (including coated or impregnated paper for duplicator stencils or offset plates), whether or not printed, in rolls or sheets.
EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/265
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
HS Codes Description
4810 Paper and paperboard, coated on one or both sides with kaolin (China clay) or other inorganic substances, with or without binder, and with no other coating, whether or not surface-coloured, surface-decorated or printed, in rolls or rectangular (including square) sheets, of any size.
4811 Paper, paperboard, cellulose wadding and webs of cellulose fibres, coated, impregnated, covered, surface-coloured, surface-decorated or printed, in rolls or rectangular (including square) sheets, of any size, other than goods of the kind described in heading 4803, 4809 or 4810.
4812 Filter blocks, slabs and plates, of paper pulp.
4813 Cigarette paper, whether or not cut to size or in the form booklets or tubes.
4814 Wallpaper and similar wall covering; window transparencies of paper.
4816 Carbon paper, self-copy paper and other copying or transfer papers (other than those of heading 4809), duplicator stencils and offset plates, of paper, whether or not put up in boxes.
4817 Envelopes, letter cards, plain postcards and correspondence cards, of paper or paper board; boxes, pouches, wallets and writing compendiums, of paper or paperboard, containing an assortment of paper stationary.
4818 Toilet paper and similar paper, cellulose wadding or webs of cellulose fibres, of a kind used for household or sanitary purposes, in rolls of a width not exceeding 36 cm, or cut to size or shape; handkerchief, cleansing tissues, towels, tablecloths, serviettes, napkins for babies, tampons, bed sheets and similar household, sanitary or hospital articles, articles of apparel and clothing accessories, of paper pulp, paper, cellulose wadding or webs of cellulose fibres.
4821 Paper or paperboard labels of all kinds, whether or not printed.
4822 Bobbins, spools, cops and similar support of paper pulp, paper or paper board whether or not perforated or hardened.
4823 Other paper, paperboard, cellulose wadding and webs cellulose fibres, cut to size or shape; other articles of paper pulp, paper, paperboard, cellulose wadding or webs of cellulose fibres.
Chapter 94:
HS Codes Description
Other seats, with wooden frames:
9401.61. - Upholstered
9401.69. - Other
Other furniture and parts thereof
9403.30 - Wooden furniture of a kind used in offices
9403.40 - Wooden furniture of a kind used in the kitchen
9403.50 - Wooden furniture of a kind used in the bedroom
9403.60 - Other wooden furniture
Ex. 9406.00. - Pre-fabricated constructions made of wood
EN L 150/266 Official Journal of the European Union 20.5.2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
ANNEX IB
THE HARMONISED COMMODITY CODES FOR TIMBER PROHIBITED FROM EXPORT UNDER INDONESIAN LAW
Chapter 44:
HS Codes Description
4403 Wood in the rough, whether or not stripped of bark or sapwood, or roughly squared:
Ex. 4404 Hoopwood; split poles; piles, pickets and stakes of wood, pointed but not sawn lengthwise; wooden sticks, roughly trimmed, but not turned, bent or otherwise worked, suitable for the manufacture of walking-sticks, umbrellas, tool handles or the like.
4406 Railway or tramway sleepers (cross-ties) of wood.
Ex. 4407 Wood sawn or chipped lengthwise, sliced or peeled, not planed, not sanded or not end-jointed, of a thickness exceeding 6 mm.
EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/267
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
ANNEX II
LEGALITY DEFINITION
Introduction
Indonesian timber is deemed legal when its origin and production process as well as subsequent processing, transport and trade activities are verified as meeting all applicable Indonesian laws and regulations.
Indonesia has five legality standards articulated through a series of principles, criteria, indicators and verifiers, all based on the underlying laws, regulations and procedures.
These five standards are:
— Legality Standard 1: the standard for concessions within production forest zones on state-owned lands;
— Legality Standard 2: the standard for community plantation forests and community forests within production forest zones on state-owned lands;
— Legality Standard 3: the standard for privately-owned forests;
— Legality Standard 4: the standard for timber utilisation rights within non-forest zones on state-owned lands;
— Legality Standard 5: the standard for primary and downstream forest based industries.
These five legality standards apply to different types of timber permits as set out in the following table:
Permit type Description Land ownership / resource management or utilisation
Applicable legality
standard
IUPHHK-HA/HPH Permit to utilise forest products from natural forests
State owned/ company managed 1
IUPHHK-HTI/HPHTI Permit to establish and manage industrial forest plantation
State owned/ company managed 1
IUPHHK-RE Permit for forest ecosystem restoration State owned/ company managed 1
IUPHHK- HTR Permit for community forest plantations State owned/ community managed
2
IUPHHK-HKM Permit for community forest management State owned/ community managed
2
Private Land No permit required Privately owned/ privately utilised
3
IPK/ILS Permit to utilise timber from non-forest zones
State owned/ privately utilised 4
IUIPHHK Permit for establishing and managing a primary processing company
Not applicable 5
IUI Lanjutan or IPKL Permit for establishing and managing a secondary processing company
Not applicable 5
These five legality standards and the associated verifiers are outlined below.
EN L 150/268 Official Journal of the European Union 20.5.2014
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
REGULATION (EU) No 995/2010 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL
of 20 October 2010
laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market
(Text with EEA relevance)
THE EUROPEAN PARLIAMENT AND THE COUNCIL OF THE EUROPEAN UNION,
Having regard to the Treaty on the Functioning of the European Union, and in particular Article 192(1) thereof,
Having regard to the proposal from the European Commission,
Having regard to the opinion of the European Economic and Social Committee ( 1 ),
After consulting the Committee of the Regions,
Acting in accordance with the ordinary legislative procedure ( 2 ),
Whereas:
(1) Forests provide a broad variety of environmental, economic and social benefits including timber and non- timber forest products and environmental services essential for humankind, such as maintaining biodiversity and ecosystem functions and protecting the climate system.
(2) Due to the growing demand for timber and timber products worldwide, in combination with the institutional and governance deficiencies that are present in the forest sector in a number of timber-producing countries, illegal logging and the associated trade have become matters of ever greater concern.
(3) Illegal logging is a pervasive problem of major international concern. It poses a significant threat to forests as it contributes to the process of deforestation and forest degradation, which is responsible for about 20 % of global CO 2 emissions, threatens biodiversity, and undermines sustainable forest management and
development including the commercial viability of op- erators acting in accordance with applicable legislation. It also contributes to desertification and soil erosion and can exacerbate extreme weather events and flooding. In addition, it has social, political and economic implications, often undermining progress towards good governance and threatening the livelihood of local forest-dependent communities, and it can be linked to armed conflicts. Combating the problem of illegal logging in the context of this Regulation is expected to contribute to the Union’s climate change mitigation efforts in a cost-effective manner and should be seen as complementary to Union action and commitments in the context of the United Nations Framework Convention on Climate Change.
(4) Decision No 1600/2002/EC of the European Parliament and of the Council of 22 July 2002 laying down the Sixth Community Environment Action Programme ( 3 ) identifies as a priority action the examination of the possibility of taking active measures to prevent and combat trade in illegally harvested wood and the continuation of the active participation of the Union and of Member States in the implementation of global and regional resolutions and agreements on forest-related issues.
(5) The Commission Communication of 21 May 2003 entitled ‘Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT): Proposal for an EU Action Plan’ proposed a package of measures to support international efforts to tackle the problem of illegal logging and associated trade in the context of overall efforts of the Union to achieve sustainable forest management.
(6) The European Parliament and the Council welcomed that Communication and recognised the need for the Union to contribute to global efforts to address the problem of illegal logging.
(7) In accordance with the aim of that Communication, namely to ensure that only timber products which have been produced in accordance with the national legislation of the timber-producing country enter the Union, the Union has been negotiating Voluntary Partnership Agreements (FLEGT VPAs) with timber-producing countries (partner countries), which create a legally binding obligation for the parties to implement a licensing scheme and to regulate trade in timber and timber products identified in those FLEGT VPAs.
EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/23
( 1 ) OJ C 318, 23.12.2009, p. 88. ( 2 ) Position of the European Parliament of 22 April 2009 (OJ C 184 E,
8.7.2010, p. 145), position of the Council at first reading of 1 March 2010 (OJ C 114 E, 4.5.2010, p. 17) and position of the European Parliament of 7 July 2010 (not yet published in the Official Journal). ( 3 ) OJ L 242, 10.9.2002, p. 1.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
(8) Given the major scale and urgency of the problem, it is necessary to support the fight against illegal logging and related trade actively, to complement and strengthen the FLEGT VPA initiative and to improve synergies between policies aimed at the conservation of forests and the achievement of a high level of environmental protection, including combating climate change and biodiversity loss.
(9) The efforts made by countries which have concluded FLEGT VPAs with the Union and the principles in- corporated in them, in particular with regard to the def- inition of legally produced timber, should be recognised and further encouragement for countries to conclude FLEGT VPAs should be given. It should be also taken into account that under the FLEGT licensing scheme only timber harvested in accordance with the relevant national legislation and timber products derived from such timber are exported into the Union. Therefore, timber embedded in timber products listed in Annexes II and III to Council Regulation (EC) No 2173/2005 of 20 December 2005 on the establishment of a FLEGT licensing scheme for imports of timber into the European Community ( 1 ), originating in partner countries listed in Annex I to that Regulation, should be considered to have been legally harvested provided those timber products comply with that Regulation and any implementing provisions.
(10) Account should also be taken of the fact that the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) places a requirement on parties to CITES only to grant a CITES permit for export when a CITES-listed species has been harvested, inter alia, in compliance with national legislation in the exporting country. Therefore timber of species listed in Annex A, B or C to Council Regulation (EC) No 338/97 of 9 December 1996 on the protection of species of wild fauna and flora by regulating trade therein ( 2 ) should be considered to have been legally harvested provided it complies with that Regulation and any implementing provisions.
(11) Bearing in mind that the use of recycled timber and timber products should be encouraged, and that including such products in the scope of this Regulation would place a disproportionate burden on operators, used timber and timber products that have completed their lifecycle, and would otherwise be disposed of as waste, should be excluded from the scope of this Regulation.
(12) The placing on the internal market for the first time of illegally harvested timber or timber products derived from such timber should be prohibited as one of the measures of this Regulation. Taking into account the complexity of illegal logging, its underlying causes and
its impacts, specific measures should be taken, such as those that target the behaviour of operators.
(13) In the context of the FLEGT Action Plan the Commission and, where appropriate, Member States may support and conduct studies and research on the levels and nature of illegal logging in different countries and make such information publicly available, as well as support the provision of practical guidance to operators on applicable legislation in timber-producing countries.
(14) In the absence of an internationally agreed definition, the legislation of the country where the timber was harvested, including regulations as well as the implementation in that country of relevant international conventions to which that country is party, should be the basis for defining what constitutes illegal logging.
(15) Many timber products undergo numerous processes before and after they are placed on the internal market for the first time. In order to avoid imposing any unnecessary administrative burden, only operators that place timber and timber products on the internal market for the first time should be subject to the due diligence system, while a trader in the supply chain should be required to provide basic information on its supplier and its buyer to enable the traceability of timber and timber products.
(16) On the basis of a systemic approach, operators placing timber and timber products for the first time on the internal market should take the appropriate steps in order to ascertain that illegally harvested timber and timber products derived from such timber are not placed on the internal market. To that end, operators should exercise due diligence through a system of measures and procedures to minimise the risk of placing illegally harvested timber and timber products derived from such timber on the internal market.
(17) The due diligence system includes three elements inherent to risk management: access to information, risk assessment and mitigation of the risk identified. The due diligence system should provide access to information about the sources and suppliers of the timber and timber products being placed on the internal market for the first time, including relevant information such as compliance with the applicable legislation, the country of harvest, species, quantity, and where applicable sub-national region and concession of harvest. On the basis of this information, operators should carry out a risk assessment. Where a risk is identified, operators should mitigate such risk in a manner proportionate to the risk identified, with a view to preventing illegally harvested timber and timber products derived from such timber from being placed on the internal market.
EN L 295/24 Official Journal of the European Union 12.11.2010
( 1 ) OJ L 347, 30.12.2005, p. 1. ( 2 ) OJ L 61, 3.3.1997, p. 1.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
(18) In order to avoid any unnecessary administrative burden, operators already using systems or procedures which comply with the requirements of this Regulation should not be required to set up new systems.
(19) In order to recognise good practice in the forestry sector, certification or other third party verified schemes that include verification of compliance with applicable ĺegislation may be used in the risk assessment procedure.
(20) The timber sector is of major importance for the economy of the Union. Organisations of operators are important actors in the sector as they represent the interests of the latter on a large scale and interact with a diverse range of stakeholders. Those organisations also have the expertise and capacity to analyse relevant legislation and facilitate the compliance of their members, but should not use this competence to dominate the market. In order to facilitate the implementation of this Regulation and to contribute to the development of good practices it is appropriate to recognise organisations which have developed due diligence systems meeting the requirements of this Regulation. Recognition and withdrawal of recognition of monitoring organisations should be performed in a fair and transparent manner. A list of such recognised organisations should be made public in order to enable operators to use them.
(21) Competent authorities should carry out checks at regular intervals on monitoring organisations to verify that they effectively fulfil the obligations laid down in this Regulation. Moreover, competent authorities should endeavour to carry out checks when in possession of relevant information, including substantiated concerns from third parties.
(22) Competent authorities should monitor that operators effectively fulfil the obligations laid down in this Regulation. For that purpose the competent authorities should carry out official checks, in accordance with a plan as appropriate, which may include checks on the premises of operators and field audits, and should be able to require operators to take remedial actions where necessary. Moreover, competent authorities should endeavour to carry out checks when in possession of relevant information, including substantiated concerns from third parties.
(23) Competent authorities should keep records of the checks and the relevant information should be made available in accordance with Directive 2003/4/EC of the European Parliament and of the Council of 28 January 2003 on public access to environmental information ( 1 ).
(24) Taking into account the international character of illegal logging and related trade, competent authorities should cooperate with each other and with the administrative authorities of third countries and the Commission.
(25) In order to facilitate the ability of operators who place timber or timber products on the internal market to comply with the requirements of this Regulation, taking into account the situation of small and medium- sized enterprises, Member States, assisted by the Commission where appropriate, may provide operators with technical and other assistance and facilitate the exchange of information. Such assistance should not release operators from their obligation to exercise due diligence.
(26) Traders and monitoring organisations should refrain from measures which could jeopardise the attainment of the objective of this Regulation.
(27) Member States should ensure that infringements of this Regulation, including by operators, traders and monitoring organisations, are sanctioned by effective, proportionate and dissuasive penalties. National rules may provide that, after effective, proportionate and dissuasive penalties are applied for infringements of the prohibition of placing on the internal market of illegally harvested timber or timber products derived from such timber, such timber and timber products should not necessarily be destroyed but may instead be used or disposed of for public interest purposes.
(28) The Commission should be empowered to adopt delegated acts in accordance with Article 290 of the Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU) concerning the procedures for the recognition and withdrawal of recognition of monitoring organ- isations, concerning further relevant risk assessment criteria that may be necessary to supplement those already provided for in this Regulation and concerning the list of timber and timber products to which this Regulation applies. It is of particular importance that the Commission carry out appropriate consultations during its preparatory work, including at expert level.
(29) In order to ensure uniform conditions for implementation, implementing powers should be conferred on the Commission to adopt detailed rules with regard to the frequency and the nature of the checks by competent authorities on monitoring organisations and to the due diligence systems except as regards further relevant risk assessment criteria. In accordance with Article 291 TFEU, rules and general principles concerning mechanisms for the control by Member States of the Commission’s exercise of implementing powers are to be laid down in advance by a regulation adopted in accordance with the ordinary legislative procedure. Pending the adoption
EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/25
( 1 ) OJ L 41, 14.2.2003, p. 26.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
of that new regulation Council Decision 1999/468/EC of 28 June 1999 laying down the procedures for the exercise of implementing powers conferred on the Commission ( 1 ) continues to apply, with the exception of the regulatory procedure with scrutiny, which is not applicable.
(30) Operators and competent authorities should be given a reasonable period in order to prepare themselves to meet the requirements of this Regulation.
(31) Since the objective of this Regulation, namely the fight against illegal logging and related trade, cannot be achieved by the Member States individually and can therefore, by reason of its scale, be better achieved at Union level, the Union may adopt measures, in accordance with the principle of subsidiarity as set out in Article 5 of the Treaty on European Union. In accordance with the principle of proportionality, as set out in that Article, this Regulation does not go beyond what is necessary in order to achieve that objective,
HAVE ADOPTED THIS REGULATION:
Article 1
Subject matter
This Regulation lays down the obligations of operators who place timber and timber products on the internal market for the first time, as well as the obligations of traders.
Article 2
Definitions
For the purposes of this Regulation, the following definitions shall apply:
(a) ‘timber and timber products’ means the timber and timber products set out in the Annex, with the exception of timber products or components of such products manufactured from timber or timber products that have completed their lifecycle and would otherwise be disposed of as waste, as defined in Article 3(1) of Directive 2008/98/EC of the European Parliament and of the Council of 19 November 2008 on waste ( 2 ),
(b) ‘placing on the market’ means the supply by any means, irrespective of the selling technique used, of timber or timber products for the first time on the internal market for distribution or use in the course of a commercial activity, whether in return for payment or free of charge. It also includes the supply by means of distance
communication as defined in Directive 97/7/EC of the European Parliament and of the Council of 20 May 1997 on the protection of consumers in respect of distance contracts ( 3 ). The supply on the internal market of timber products derived from timber or timber products already placed on the internal market shall not constitute ‘placing on the market’;
(c) ‘operator’ means any natural or legal person that places timber or timber products on the market;
(d) ‘trader’ means any natural or legal person who, in the course of a commercial activity, sells or buys on the internal market timber or timber products already placed on the internal market;
(e) ‘country of harvest’ means the country or territory where the timber or the timber embedded in the timber products was harvested;
(f) ‘legally harvested’ means harvested in accordance with the applicable legislation in the country of harvest;
(g) ‘illegally harvested’ means harvested in contravention of the applicable legislation in the country of harvest;
(h) ‘applicable legislation’ means the legislation in force in the country of harvest covering the following matters:
— rights to harvest timber within legally gazetted boundaries,
— payments for harvest rights and timber including duties related to timber harvesting,
— timber harvesting, including environmental and forest legislation including forest management and biodiversity conservation, where directly related to timber harvesting,
— third parties’ legal rights concerning use and tenure that are affected by timber harvesting, and
— trade and customs, in so far as the forest sector is concerned.
Article 3
Status of timber and timber products covered by FLEGT and CITES
Timber embedded in timber products listed in Annexes II and III to Regulation (EC) No 2173/2005 which originate in partner countries listed in Annex I to that Regulation and which comply with that Regulation and its implementing provisions shall be considered to have been legally harvested for the purposes of this Regulation.
EN L 295/26 Official Journal of the European Union 12.11.2010
( 1 ) OJ L 184, 17.7.1999, p. 23. ( 2 ) OJ L 312, 22.11.2008, p. 3. ( 3 ) OJ L 144, 4.6.1997, p. 19.
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Timber of species listed in Annex A, B or C to Regulation (EC) No 338/97 and which complies with that Regulation and its implementing provisions shall be considered to have been legally harvested for the purposes of this Regulation.
Article 4
Obligations of operators
1. The placing on the market of illegally harvested timber or timber products derived from such timber shall be prohibited.
2. Operators shall exercise due diligence when placing timber or timber products on the market. To that end, they shall use a framework of procedures and measures, hereinafter referred to as a ‘due diligence system’, as set out in Article 6.
3. Each operator shall maintain and regularly evaluate the due diligence system which it uses, except where the operator makes use of a due diligence system established by a monitoring organisation referred to in Article 8. Existing supervision systems under national legislation and any voluntary chain of custody mechanism which fulfil the requirements of this Regulation may be used as a basis for the due diligence system.
Article 5
Obligation of traceability
Traders shall, throughout the supply chain, be able to identify:
(a) the operators or the traders who have supplied the timber and timber products; and
(b) where applicable, the traders to whom they have supplied timber and timber products.
Traders shall keep the information referred to in the first paragraph for at least five years and shall provide that information to competent authorities if they so request.
Article 6
Due diligence systems
1. The due diligence system referred to in Article 4(2) shall contain the following elements:
(a) measures and procedures providing access to the following information concerning the operator’s supply of timber or timber products placed on the market:
— description, including the trade name and type of product as well as the common name of tree species and, where applicable, its full scientific name,
— country of harvest, and where applicable:
(i) sub-national region where the timber was harvested; and
(ii) concession of harvest,
— quantity (expressed in volume, weight or number of units),
— name and address of the supplier to the operator,
— name and address of the trader to whom the timber and timber products have been supplied,
— documents or other information indicating compliance of those timber and timber products with the applicable legislation;
(b) risk assessment procedures enabling the operator to analyse and evaluate the risk of illegally harvested timber or timber products derived from such timber being placed on the market.
Such procedures shall take into account the information set out in point (a) as well as relevant risk assessment criteria, including:
— assurance of compliance with applicable legislation, which may include certification or other third-party- verified schemes which cover compliance with applicable legislation,
— prevalence of illegal harvesting of specific tree species,
— prevalence of illegal harvesting or practices in the country of harvest and/or sub-national region where the timber was harvested, including consideration of the prevalence of armed conflict,
— sanctions imposed by the UN Security Council or the Council of the European Union on timber imports or exports,
— complexity of the supply chain of timber and timber products.
(c) except where the risk identified in course of the risk assessment procedures referred to in point (b) is negligible, risk mitigation procedures which consist of a set of measures and procedures that are adequate and proportionate to minimise effectively that risk and which may include requiring additional information or documents and/or requiring third party verification.
EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/27
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
2. Detailed rules necessary to ensure the uniform implementation of paragraph 1, except as regards further relevant risk assessment criteria referred to in the second sentence of paragraph 1(b) of this Article, shall be adopted in accordance with the regulatory procedure referred to in Article 18(2). Those rules shall be adopted by 3 June 2012.
3. Taking into account market developments and the experience gained in the implementation of this Regulation, in particular as identified through the exchange of information referred to in Article 13 and the reporting referred to in Article 20(3), the Commission may adopt delegated acts in accordance with Article 290 TFEU as regards further relevant risk assessment criteria that may be necessary to supplement those referred to in the second sentence of paragraph 1(b) of this Article with a view to ensuring the effectiveness of the due diligence system.
For the delegated acts referred to in this paragraph the procedures set out in Articles 15, 16 and 17 shall apply.
Article 7
Competent authorities
1. Each Member State shall designate one or more competent authorities responsible for the application of this Regulation.
Member States shall inform the Commission of the names and addresses of the competent authorities by 3 June 2011. Member States shall inform the Commission of any changes to the names or addresses of the competent authorities.
2. The Commission shall make publicly available, including on the Internet, a list of the competent authorities. The list shall be regularly updated.
Article 8
Monitoring organisations
1. A monitoring organisation shall:
(a) maintain and regularly evaluate a due diligence system as set out in Article 6 and grant operators the right to use it;
(b) verify the proper use of its due diligence system by such operators;
(c) take appropriate action in the event of failure by an operator to properly use its due diligence system, including notification of competent authorities in the event of significant or repeated failure by the operator.
2. An organisation may apply for recognition as a monitoring organisation if it complies with the following requirements:
(a) it has legal personality and is legally established within the Union;
(b) it has appropriate expertise and the capacity to exercise the functions referred to in paragraph 1; and
(c) it ensures the absence of any conflict of interest in carrying out its functions.
3. The Commission, after consulting the Member State(s) concerned, shall recognise as a monitoring organisation an applicant that fulfils the requirements set out in paragraph 2.
The decision to grant recognition to a monitoring organisation shall be communicated by the Commission to the competent authorities of all the Member States.
4. The competent authorities shall carry out checks at regular intervals to verify that the monitoring organisations operating within the competent authorities’ jurisdiction continue to fulfil the functions laid down in paragraph 1 and comply with the requirements laid down in paragraph 2. Checks may also be carried out when the competent authority of the Member State is in possession of relevant information, including substantiated concerns from third parties or when it has detected shortcomings in the implementation by operators of the due diligence system established by a monitoring organisation. A report of the checks shall be made available in accordance with Directive 2003/4/EC.
5. If a competent authority determines that a monitoring organisation either no longer fulfils the functions laid down in paragraph 1 or no longer complies with the requirements laid down in paragraph 2, it shall without delay inform the Commission.
EN L 295/28 Official Journal of the European Union 12.11.2010
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
6. The Commission shall withdraw recognition of a monitoring organisation when, in particular on the basis of the information provided pursuant to paragraph 5, it has determined that the monitoring organisation no longer fulfils the functions laid down in paragraph 1 or the requirements laid down in paragraph 2. Before withdrawing recognition of a monitoring organisation, the Commission shall inform the Member States concerned.
The decision to withdraw recognition of a monitoring organ- isation shall be communicated by the Commission to the competent authorities of all the Member States.
7. In order to supplement the procedural rules with regard to the recognition and withdrawal of recognition of monitoring organisations and, if experience so requires, to amend them, the Commission may adopt delegated acts in accordance with Article 290 TFEU, while ensuring that the recognition and withdrawal of recognition are performed in a fair and transparent manner.
For the delegated acts referred to in this paragraph the procedures set out in Articles 15, 16 and 17 shall apply. Those acts shall be adopted by 3 March 2012.
8. Detailed rules concerning the frequency and the nature of the checks referred to in paragraph 4, necessary to ensure the effective oversight of monitoring organisations and the uniform implementation of that paragraph, shall be adopted in accordance with the regulatory procedure referred to in Article 18(2). Those rules shall be adopted by 3 June 2012.
Article 9
List of monitoring organisations
The Commission shall publish the list of the monitoring organ- isations in the Official Journal of the European Union, C series, and shall make it available on its website. The list shall be regularly updated.
Article 10
Checks on operators
1. The competent authorities shall carry out checks to verify if operators comply with the requirements set out in Articles 4 and 6.
2. The checks referred to in paragraph 1 shall be conducted in accordance with a periodically reviewed plan following a risk- based approach. In addition, checks may be conducted when a competent authority is in possession of relevant information, including on the basis of substantiated concerns provided by third parties, concerning compliance by an operator with this Regulation.
3. The checks referred to in paragraph 1 may include, inter alia:
(a) examination of the due diligence system, including risk assessment and risk mitigation procedures;
(b) examination of documentation and records that demonstrate the proper functioning of the due diligence system and procedures;
(c) spot checks, including field audits.
4. Operators shall offer all assistance necessary to facilitate the performance of the checks referred to in paragraph 1, notably as regards access to premises and the presentation of documentation or records.
5. Without prejudice to Article 19, where, following the checks referred to in paragraph 1, shortcomings have been detected, the competent authorities may issue a notice of remedial actions to be taken by the operator. Additionally, depending on the nature of the shortcomings detected, Member States may take immediate interim measures, including inter alia:
(a) seizure of timber and timber products;
(b) prohibition of marketing of timber and timber products.
Article 11
Records of checks
1. The competent authorities shall keep records of the checks referred to in Article 10(1), indicating in particular their nature and results, as well as of any notice of remedial actions issued under Article 10(5). Records of all checks shall be kept for at least five years.
2. The information referred to in paragraph 1 shall be made available in accordance with Directive 2003/4/EC.
EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/29
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Article 12
Cooperation
1. Competent authorities shall cooperate with each other, with the administrative authorities of third countries and with the Commission in order to ensure compliance with this Regulation.
2. The competent authorities shall exchange information on serious shortcomings detected through the checks referred to in Articles 8(4) and 10(1) and on the types of penalties imposed in accordance with Article 19 with the competent authorities of other Member States and with the Commission.
Article 13
Technical assistance, guidance and exchange of information
1. Without prejudice to the operators’ obligation to exercise due diligence under Article 4(2), Member States, assisted by the Commission where appropriate, may provide technical and other assistance and guidance to operators, taking into account the situation of small and medium-sized enterprises, in order to facilitate compliance with the requirements of this Regulation, in particular in relation to the implementation of a due diligence system in accordance with Article 6.
2. Member States, assisted by the Commission where appropriate, may facilitate the exchange and dissemination of relevant information on illegal logging, in particular with a view to assisting operators in assessing risk as set out in Article 6(1)(b), and on best practices regarding the implementation of this Regulation.
3. Assistance shall be provided in a manner which avoids compromising the responsibilities of competent authorities and preserves their independence in enforcing this Regulation.
Article 14
Amendments of the Annex
In order to take into account, on the one hand, the experience gained in the implementation of this Regulation, in particular as identified through the reporting referred to in Article 20(3) and (4) and through the exchange of information as referred to in Article 13, and, on the other hand, developments with regard to technical characteristics, end-users and production processes of timber and timber products, the Commission may adopt delegated acts in accordance with Article 290 TFEU by amending and supplementing the list of timber and timber products set out in the Annex. Such acts shall not create a disproportionate burden on operators.
For the delegated acts referred to in this Article the procedures set out in Articles 15, 16 and 17 shall apply.
Article 15
Exercise of the delegation
1. The power to adopt the delegated acts referred to in Articles 6(3), 8(7) and 14 shall be conferred on the Commission for a period of seven years from 2 December 2010. The Commission shall make a report in respect of the delegated powers not later than three months before the end of a three-year period after the date of application of this Regulation. The delegation of powers shall be automatically extended for periods of an identical duration, unless the European Parliament or the Council revokes it in accordance with Article 16.
2. As soon as it adopts a delegated act, the Commission shall notify it simultaneously to the European Parliament and to the Council.
3. The power to adopt delegated acts is conferred on the Commission subject to the conditions laid down in Articles 16 and 17.
Article 16
Revocation of the delegation
1. The delegation of powers referred to in Articles 6(3), 8(7) and 14 may be revoked at any time by the European Parliament or by the Council.
2. The institution which has commenced an internal procedure for deciding whether to revoke the delegation of powers shall endeavour to inform the other institution and the Commission within a reasonable time before the final decision is taken, indicating the delegated powers which could be subject to revocation and possible reasons for a revocation.
3. The decision of revocation shall put an end to the delegation of the powers specified in that decision. It shall take effect immediately or at a later date specified therein. It shall not affect the validity of the delegated acts already in force. It shall be published in the Official Journal of the European Union.
Article 17
Objections to delegated acts
1. The European Parliament or the Council may object to a delegated act within a period of two months from the date of notification. At the initiative of the European Parliament or the Council this period shall be extended by two months.
2. If, on expiry of that period, neither the European Parliament nor the Council has objected to the delegated act, it shall be published in the Official Journal of the European Union and shall enter into force on the date stated therein.
EN L 295/30 Official Journal of the European Union 12.11.2010
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
The delegated act may be published in the Official Journal of the European Union and enter into force before the expiry of that period if the European Parliament and the Council have both informed the Commission of their intention not to raise objections.
3. If the European Parliament or the Council objects to a delegated act, the act shall not enter into force. The institution which objects shall state the reasons for objecting to the delegated act.
Article 18
Committee
1. The Commission shall be assisted by the Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) Committee established under Article 11 of Regulation (EC) No 2173/2005.
2. Where reference is made to this paragraph, Articles 5 and 7 of Decision 1999/468/EC shall apply, having regard to the provisions of Article 8 thereof.
The period laid down in Article 5(6) of Decision 1999/468/EC shall be set at three months.
Article 19
Penalties
1. The Member States shall lay down the rules on penalties applicable to infringements of the provisions of this Regulation and shall take all measures necessary to ensure that they are implemented.
2. The penalties provided for must be effective, proportionate and dissuasive and may include, inter alia:
(a) fines proportionate to the environmental damage, the value of the timber or timber products concerned and the tax losses and economic detriment resulting from the infringement, calculating the level of such fines in such way as to make sure that they effectively deprive those responsible of the economic benefits derived from their serious infringements, without prejudice to the legitimate right to exercise a profession, and gradually increasing the level of such fines for repeated serious infringements;
(b) seizure of the timber and timber products concerned;
(c) immediate suspension of authorisation to trade.
3. The Member States shall notify those provisions to the Commission and shall notify it without delay of any subsequent amendments affecting them.
Article 20
Reporting
1. Member States shall submit to the Commission, by 30 April of every second year following 3 March 2013, a report on the application of this Regulation during the previous two years.
2. On the basis of those reports the Commission shall draw up a report to be submitted to the European Parliament and to the Council every two years. In preparing the report, the Commission shall have regard to the progress made in respect of the conclusion and operation of the FLEGT VPAs pursuant to Regulation (EC) No 2173/2005 and their contribution to min- imising the presence of illegally harvested timber and timber products derived from such timber on the internal market.
3. By 3 December 2015 and every six years thereafter, the Commission shall, on the basis of reporting on and experience with the application of this Regulation, review the functioning and effectiveness of this Regulation, including in preventing illegally harvested timber or timber products derived from such timber being placed on the market. It shall in particular consider the administrative consequences for small and medium-sized enterprises and product coverage. The reports may be accompanied, if necessary, by appropriate legislative proposals.
4. The first of the reports referred to in paragraph 3 shall include an evaluation of the current Union economic and trade situation with regard to the products listed under Chapter 49 of the Combined Nomenclature, taking particularly into account the competitiveness of the relevant sectors, in order to consider their possible inclusion in the list of timber and timber products set out in the Annex to this Regulation.
The report referred to in the first subparagraph shall also include an assessment of the effectiveness of the prohibition of the placing on the market of illegally harvested timber and timber products derived from such timber as set out in Article 4(1) as well as of the due diligence systems set out in Article 6.
Article 21
Entry into force and application
This Regulation shall enter into force on the 20th day following its publication in the Official Journal of the European Union.
It shall apply as from 3 March 2013. However, Articles 6(2), 7(1), 8(7) and 8(8) shall apply as from 2 December 2010.
EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/31
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
This Regulation shall be binding in its entirety and directly applicable in all Member States.
Done at Strasbourg, 20 October 2010.
For the European Parliament The President
J. BUZEK
For the Council The President O. CHASTEL
EN L 295/32 Official Journal of the European Union 12.11.2010
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
ANNEX
Timber and timber products as classified in the Combined Nomenclature set out in Annex I to Council Regulation (EEC) No 2658/87 ( 1 ), to which this Regulation applies
— 4401 Fuel wood, in logs, in billets, in twigs, in faggots or in similar forms; wood in chips or particles; sawdust and wood waste and scrap, whether or not agglomerated in logs, briquettes, pellets or similar forms
— 4403 Wood in the rough, whether or not stripped of bark or sapwood, or roughly squared
— 4406 Railway or tramway sleepers (cross-ties) of wood
— 4407 Wood sawn or chipped lengthwise, sliced or peeled, whether or not planed, sanded or end-jointed, of a thickness exceeding 6 mm
— 4408 Sheets for veneering (including those obtained by slicing laminated wood), for plywood or for other similar laminated wood and other wood, sawn lengthwise, sliced or peeled, whether or not planed, sanded, spliced or end- jointed, of a thickness not exceeding 6 mm
— 4409 Wood (including strips and friezes for parquet flooring, not assembled) continuously shaped (tongued, grooved, rebated, chamfered, V-jointed, beaded, moulded, rounded or the like) along any of its edges, ends or faces, whether or not planed, sanded or end-jointed
— 4410 Particle board, oriented strand board (OSB) and similar board (for example, waferboard) of wood or other ligneous materials, whether or not agglomerated with resins or other organic binding substances
— 4411 Fibreboard of wood or other ligneous materials, whether or not bonded with resins or other organic substances
— 4412 Plywood, veneered panels and similar laminated wood
— 4413 00 00 Densified wood, in blocks, plates, strips or profile shapes
— 4414 00 Wooden frames for paintings, photographs, mirrors or similar objects
— 4415 Packing cases, boxes, crates, drums and similar packings, of wood; cable-drums of wood; pallets, box pallets and other load boards, of wood; pallet collars of wood
(Not packing material used exclusively as packing material to support, protect or carry another product placed on the market.)
— 4416 00 00 Casks, barrels, vats, tubs and other coopers’ products and parts thereof, of wood, including staves
— 4418 Builders’ joinery and carpentry of wood, including cellular wood panels, assembled flooring panels, shingles and shakes
EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/33
( 1 ) Council Regulation (EEC) No 2658/87 of 23 July 1987 on the tariff and statistical nomenclature and on the Common Customs Tariff (OJ L 256, 7.9.1987, p. 1).
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
— Pulp and paper of Chapters 47 and 48 of the Combined Nomenclature, with the exception of bamboo-based and recovered (waste and scrap) products
— 9403 30, 9403 40, 9403 50 00, 9403 60 and 9403 90 30 Wooden furniture
— 9406 00 20 Prefabricated buildings
EN L 295/34 Official Journal of the European Union 12.11.2010
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.43/Menhut-II/2014
TENTANG
PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IZIN ATAU
PADA HUTAN HAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 125 ayat (3), Pasal 100 dan Pasal 119 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 telah ditetapkan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin
atau pada Hutan Hak, sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.42/Menhut-II/2013;
b. bahwa berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan serta mempertimbangkan perkembangan kinerja pengelolaan hutan
produksi hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu, maka perlu dilakukan pengaturan kembali penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang
izin atau pada hutan hak;
c. bahwa sehubungan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada
Hutan Hak.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun .......
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
2
Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
4. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
4633);
5. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4151);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
7. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4020);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4814);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan
Umum (Perum) Kehutanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 124);
12. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan
dan Organisasi Kementerian Negara, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2013;
13. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II, sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 5/P Tahun 2013;
14. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2013;
15. Keputusan .......
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
3
15. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2011;
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.45/Menhut-II/2009;
17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2012 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 779);
18. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012
tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak (Berita Negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 737);
19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39 tahun 2013 tentang
Pemberdayaan Masyarakat Setempat melalui Kemitraan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 958);
20. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 81/M-DAG/PER/12/2013.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IZIN ATAU
PADA HUTAN HAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Pemegang izin adalah pemegang IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-HTR,
IUPHHK-RE, IUPHHK-HKM, IUPHHK-HD, IUPHHK-HTHR, IPK, IUIPHHK, IUI
atau TDI, ETPIK Non-Produsen serta TPT.
2. Tempat Penampungan Terdaftar yang selanjutnya disebut TPT adalah tempat
pengumpulan kayu bulat dan/atau kayu olahan yang berasal dari satu atau beberapa sumber, milik badan usaha atau perorangan yang ditetapkan oleh
Pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disebut
IUIPHHK adalah izin untuk mengolah kayu bulat dan atau kayu bulat kecil menjadi satu atau beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang berwenang.
4. Izin Usaha Industri yang selanjutnya disebut IUI adalah izin usaha industri
pengolahan kayu lanjutan yang memiliki nilai investasi perusahaan seluruhnya di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
5. Izin Usaha Industri Lanjutan yang selanjutnya disebut IUI Lanjutan adalah perusahaan pengolahan hasil hutan kayu hilir, dengan produk antara lain
furniture.
6. Tanda .......
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
4
6. Tanda Daftar Industri yang selanjutnya disebut TDI adalah izin usaha industri pengolahan kayu lanjutan yang memiliki nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
7. Pemegang hak pengelolaan adalah badan usaha milik negara bidang kehutanan yang mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan hutan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah.
9. Industri rumah tangga/pengrajin adalah industri kecil skala rumah tangga
dengan nilai investasi sampai dengan Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) di luar tanah dan bangunan dan/atau memiliki tenaga kerja 1 sampai dengan 4
orang.
10. Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan Non-Produsen yang selanjutnya disingkat ETPIK Non-Produsen adalah perusahaan perdagangan yang telah mendapat pengakuan untuk melakukan ekspor produk industri
kehutanan.
11. Lembaga akreditasi adalah lembaga yang mengakreditasi Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen yang selanjutnya disebut LP&VI, yaitu Komite Akreditasi
Nasional (KAN).
12. Pemantau Independen yang selanjutnya disebut PI adalah masyarakat madani baik perorangan atau lembaga yang berbadan hukum Indonesia, yang menjalankan fungsi pemantauan terkait dengan pelayanan publik di bidang
kehutanan seperti penerbitan S-PHPL atau S-LK.
13. Standar dan pedoman pengelolaan hutan lestari adalah persyaratan untuk memenuhi pengelolaan hutan lestari yang memuat standar, kriteria, indikator
alat penilaian, metode penilaian, dan panduan penilaian.
14. Standar dan pedoman verifikasi legalitas kayu adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator,
verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian.
15. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang selanjutnya disebut SVLK adalah suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu
serta ketelusuran kayu melalui sertifikasi penilaian PHPL, sertifikasi LK dan deklarasi kesesuaian pemasok.
16. Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang selanjutnya disebut S-PHPL adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemegang
hak pengelolaan yang menjelaskan keberhasilan pengelolaan hutan lestari.
17. Sertifikat Legalitas Kayu yang selanjutnya disebut S-LK adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin, pemegang hak pengelolaan,
atau pemilik hutan hak yang menyatakan bahwa pemegang izin, pemegang hak pengelolaan, atau pemilik hutan hak telah memenuhi standar legalitas kayu.
18. Deklarasi Kesesuaian Pemasok adalah pernyataan kesesuaian yang dilakukan
oleh pemasok berdasarkan telah dapat dibuktikannya pemenuhan atas persyaratan.
19. Inspeksi Acak adalah kegiatan pemeriksaan atas legalitas kayu dan produk
kayu yang dilakukan sewaktu-waktu secara acak oleh Pemerintah atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh Pemerintah dalam menjaga kredibilitas deklarasi kesesuaian pemasok.
20. Inspeksi Khusus adalah kegiatan pemeriksaan atas legalitas kayu dan produk
kayu dalam hal dikuatirkan terjadi ketidaksesuaian dan atau ketidakbenaran atas deklarasi kesesuaian yang diterbitkan oleh pemasok.
21. Tanda .......
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
5
21. Tanda V-Legal adalah tanda yang dibubuhkan pada kayu, produk kayu atau kemasan, yang menyatakan bahwa kayu dan produk kayu telah memenuhi Standar PHPL atau Standar VLK.
22. Dokumen V-Legal adalah dokumen yang menyatakan bahwa produk kayu tujuan ekspor memenuhi standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan
ketentuan Pemerintah Republik Indonesia.
23. Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen yang selanjutnya disebut LP&VI adalah perusahaan berbadan hukum Indonesia yang diakreditasi untuk melaksanakan penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL)
dan/atau verifikasi legalitas kayu.
24. Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang selanjutnya disebut
LPPHPL adalah LP&VI yang melakukan penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL).
25. Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu yang selanjutnya disebut LVLK adalah LP&VI yang melakukan verifikasi legalitas kayu (LK).
26. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
27. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Bina Usaha Kehutanan.
BAB II PENILAIAN DAN VERIFIKASI
Bagian Kesatu
Umum Pasal 2
(1) Penilaian kinerja PHPL dan verifikasi LK dilakukan oleh LP&VI.
(2) Penilaian kinerja atas pemegang IUPHHK-HA/HT/RE atau pemegang Hak
Pengelolaan dilakukan oleh LPPHPL, berdasarkan Standar Penilaian Kinerja PHPL.
(3) Verifikasi atas pemegang izin, pemegang Hak Pengelolaan, atau pemilik Hutan
Hak dilakukan oleh LVLK, berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu.
Pasal 3
Penilaian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, untuk IUPHHK
Alam, Tanaman, Restorasi Ekosistem dan Hak Pengelolaan dapat dilaksanakan
secara bersama-sama dan/atau terpisah oleh LP&VI dalam rangka mendapatkan
Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK, baik atas perintah Menteri maupun atas
permintaan pemegang izin.
Pasal 4
(1) Pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang Hak Pengelolaan wajib mendapatkan S-PHPL.
(2) Dalam hal Pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang Hak Pengelolaan
yang belum mendapatkan S-PHPL sebagaimana ayat (1) wajib mendapatkan S-LK.
(3) Sertifikat Legalitas Kayu sebagaimana ayat (2) berlaku untuk 1 (satu) periode
dan selanjutnya pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang Hak Pengelolaan wajib mendapatkan S-PHPL.
(4) Pemegang IUPHHK-HKm, IUPHHK-HTR, IUPHHK-HD, IUPHHK-HTHR, IPK, IUIPHHK, IUI, TDI, dan EPTIK Non-Produsen wajib mendapatkan S-LK.
(5) Pemegang .......
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
6
(5) Pemegang IUIPHHK yang mempunyai keterkaitan bahan baku dari hutan hak, wajib memfasilitasi pemilik hutan hak untuk memperoleh S-LK.
(6) Pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang Hak Pengelolaan yang telah
memiliki S-PHPL tidak perlu mendapatkan S-LK.
(7) Terhadap pemegang IPK atau IUPHHK-HTHR diwajibkan untuk memiliki S-LK segera setelah diterbitkannya persetujuan Bagan Kerja.
(8) Tempat Penampungan Terdaftar, Industri Rumah Tangga/Pengrajin, dan Pemilik Hutan Hak wajib memperoleh S-LK melalui sertifikasi oleh LVLK, atau
menerbitkan Deklarasi Kesesuaian Pemasok.
(9) Tempat Penampungan Terdaftar yang melakukan Deklarasi Kesesuaian Pemasok sebagaimana dimaksud pada ayat (8) harus memperoleh bahan baku
Kayu Bulat dari hutan hak yang sudah memiliki S-LK atau dilengkapi dengan dokumen Deklarasi Kesesuaian Pemasok dan/atau memperoleh Kayu Olahan
dari IUIPHHK yang sudah memiliki S-LK.
(10) Importir kayu dan/atau produk kayu wajib menerbitkan Deklarasi Kesesuaian Pemasok untuk setiap pengiriman kayu dan atau produk kayu yang diimpor.
Pasal 5
(1) Pemegang IUIPHHK, IUI, TDI, TPT, industri rumah tangga/pengrajin, dan ETPIK
Non-Produsen wajib menggunakan bahan baku dan/atau produk yang telah memiliki S-PHPL atau S-LK atau Deklarasi Kesesuaian Pemasok selambat-
lambatnya 31 Desember 2014.
(2) Deklarasi Kesesuaian Pemasok sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang berasal dari hutan hak, TPT, industri rumah tangga/pengrajin dan kayu
dan/atau produk kayu impor. (3) Dalam hal pemegang IUIPHHK, IUI, TDI, TPT, Industri rumah tangga/pengrajin,
dan EPTIK Non-produsen menggunakan kayu yang menggunakan Deklarasi Kesesuaian Pemasok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwajibkan untuk memastikan legalitas bahan baku yang digunakan dengan melakukan
pengecekkan kepada penerbit Dokumen Kesesuaian Pemasok.
Pasal 6
Standar dan pedoman penilaian kinerja PHPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2), Legalitas Kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), dan
Deklarasi Kesesuaian Pemasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (8)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua Akreditasi dan Penetapan LP&VI
Pasal 7
(1) LP&VI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diakreditasi oleh KAN.
(2) Untuk mendapatkan akreditasi sebagaimana ayat (1), LP&VI mengajukan
permohonan kepada KAN sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
(3) Berdasarkan akreditasi KAN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan LP&VI.
(4) Dalam hal terdapat indikasi bahwa LP&VI melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Direktur Jenderal atas nama Menteri
mencabut penetapan setelah dilakukan pembuktian kebenarannya.
(5) Pembuktian kebenaran sebagaimana dimaksud ayat (4) diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian .......
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
7
Bagian Ketiga
Penilaian
Pasal 8
(1) Penilaian kinerja PHPL atau verifikasi legalitas kayu oleh LP&VI terhadap
pemegang izin yang dibiayai oleh Kementerian Kehutanan sesuai standar biaya yang berlaku, dilaksanakan berdasarkan penugasan dari Direktur Jenderal A.n.
Menteri.
(2) Standar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri dan dapat ditinjau kembali sesuai keperluan.
(3) Pembiayaan penilaian kinerja PHPL atau verifikasi legalitas kayu, untuk periode berikutnya dibebankan kepada pemegang hak/izin atau pemilik hutan hak.
(4) Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, IUPHHK-HD, IUIPHHK dengan kapasitas sampai dengan 2.000 M3 per tahun, TPT, Industri Rumah Tangga/pengrajin, TDI, IUI dengan modal investasi sampai dengan
Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan, dan pemilik hutan hak dapat mengajukan verifikasi LK secara berkelompok.
(5) Pembiayaan pendampingan dan verifikasi legalitas kayu periode pertama oleh
LP&VI dapat dibebankan pada Kementerian Kehutanan atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat terhadap pemilik hutan hak, TPT, Industri Rumah
Tangga/pengrajin, Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, IUPHHK-HD, IUIPHHK dengan kapasitas sampai dengan 2.000 M3 per tahun, TDI, IUI dengan modal investasi sampai dengan Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di
luar tanah dan bangunan, pelaksanaannya dilakukan secara berkelompok.
(6) Pembiayaan penilikan S-LK oleh LP&VI terhadap kelompok pemilik hutan hak,
Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, dan IUPHHK-HD dapat dibebankan pada Kementerian Kehutanan atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sepanjang belum berproduksi.
Pasal 9
(1) Dalam hal keterbatasan biaya Kementerian Kehutanan untuk penilaian dan atau verifikasi, pemegang izin dapat berinisiatif mengajukan permohonan kepada LP&VI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) untuk dinilai guna
mendapatkan sertifikat PHPL dan atau sertifikat LK.
(2) Biaya penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban pemohon.
Bagian Keempat Keberatan
Pasal 10
(1) Keputusan dalam setiap tahapan proses dan/atau hasil penilaian atau keputusan dalam setiap tahapan proses dan/atau hasil verifikasi disampaikan kepada pemegang izin, pemegang hak pengelolaan atau pemilik hutan hak.
(2) Dalam hal pemegang izin, pemegang hak pengelolaan atau pemilik hutan hak keberatan atas keputusan dalam setiap tahapan proses dan/atau hasil
penilaian atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengajukan banding kepada LPPHPL atau LVLK untuk mendapatkan penyelesaian.
(3) Pemantau .......
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
8
(3) Pemantau Independen (PI), pemegang izin, pemegang hak pengelolaan atau pemilik hutan hak dapat mengajukan keluhan kepada KAN atas kinerja LPPHPL atau LVLK untuk mendapatkan penyelesaian.
(4) Komite Akreditasi Nasional (KAN) menyelesaikan keluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai prosedur penyelesaian keluhan yang ada di KAN.
(5) Pemantau Independen (PI) dapat mengajukan keluhan kepada LPPHPL atau
LVLK atas hasil penilaian atau verifikasi untuk mendapatkan penyelesaian.
(6) Tata cara pengajuan dan penyelesaian banding sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan tata cara pengajuan dan penyelesaian keluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur lebih lanjut dengan peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kelima Penerbitan Sertifikat
Pasal 11
(1) Berdasarkan hasil penilaian atau verifikasi dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 dan hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), LP&VI menerbitkan Sertifikat PHPL dan/atau Sertifikat LK kepada
pemegang izin dan melaporkan kepada Direktur Jenderal.
(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan sebagai bahan
pembinaan dan/atau perpanjangan IUPHHK oleh Direktur Jenderal.
(3) Sertifikat PHPL bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/pemegang Hak Pengelolaan berlaku selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan
penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan sekali.
(4) Sertifikat LK bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/Pemegang Hak Pengelolaan,
IUPHHK-HTR/HKm/HD/HTHR, IUIPHHK, dan IUI dengan modal investasi lebih dari Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan
penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan sekali.
(5) Sertifikat LK bagi IPK berlaku selama 1 (satu) tahun sejak diterbitkan.
(6) Sertifikat LK bagi IUI dengan investasi sampai dengan Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan, TPT, TDI, industri rumah tangga/pengrajin dan ETPIK Non-Produsen berlaku selama 6 (enam) tahun
sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveillance) selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) bulan sekali.
(7) Sertifikat LK bagi pemilik hutan hak berlaku selama 10 (sepuluh) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveillance) selambat-lambatnya 24 (dua
puluh empat) bulan sekali.
(8) Penilikan (surveillance) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dilakukan pada waktu bersamaan atau terpisah atas biaya pemegang izin.
(9) Sertifikat PHPL sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekurang-kurangnya berisi nama perusahaan atau nama pemegang izin atau pemegang hak
pengelolaan, luas area, lokasi, nomor keputusan hak/izin/hak kepemilikan, nama perusahaan LP&VI, tanggal penerbitan, masa berlaku, dan nomor identifikasi sertifikasi.
(10) Sertifikat LK sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) sekurang-kurangnya berisi nama perusahaan atau nama pemegang izin, luas area, lokasi, nomor keputusan hak atau izin, nama perusahaan LP&VI,
tanggal penerbitan, masa berlaku dan nomor identifikasi sertifikasi, serta referensi standar legalitas.
(11) Pemegang .......
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
9
(11) Pemegang izin, pemegang Hak Pengelolaan dan pemilik hutan hak yang telah mendapat Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK, berhak membubuhkan Tanda V-Legal sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri tersendiri.
(12) Pedoman penggunaan Tanda V-Legal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 12
(1) Deklarasi Kesesuaian Pemasok bagi TPT, industri rumah tangga/pengrajin dan
pemilik hutan hak masa berlakunya sama dengan masa berlakunya dokumen angkutan yang digunakan.
(2) Untuk menjaga kredibilitas deklarasi kesesuaian pemasok sewaktu-waktu
dapat dilakukan Inspeksi Acak oleh Pemerintah atau pihak ketiga yakni Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu yang ditunjuk Pemerintah atas biaya
Pemerintah. (4) Dalam hal penerbitan Deklarasi Kesesuaian Pemasok ditemukan atau patut
diduga adanya ketidaksesuaian dan/atau ketidakbenaran dari salah satu
deklarasi tersebut di atas maka dilakukan Inspeksi Khusus oleh Pemerintah atau LVLK yang ditunjuk oleh Pemerintah atas Biaya Pemerintah.
Pasal 13
(1) Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL) menerbitkan S-PHPL kepada pemegang IUPHHK- HA/HT/RE/pemegang Hak Pengelolaan yang
telah memenuhi persyaratan kelulusan penilaian kinerja. (2) Dalam hal hasil penilaian berpredikat “Buruk” pemegang izin diberikan
kesempatan memperbaiki kinerja PHPL.
(3) Dalam hal hasil penilaian berpredikat “Buruk” berada pada kriteria prasyarat, kriteria produksi, kriteria ekologi dan kriteria sosial, tetapi memenuhi legalitas kayu, LP-PHPL menerbitkan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK).
(4) Penerbitan S-LK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan apabila LP-PHPL telah terakreditasi dan ditetapkan sebagai LVLK.
(5) Kriteria hasil penilaian berpredikat “Buruk” yang masih diberikan kesempatan memperbaiki kinerja PHPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 14
(1) Sertifikat LK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) diterbitkan dengan kategori “Memenuhi” standar verifikasi legalitas kayu.
(2) Dalam hal hasil Verifikasi “Tidak Memenuhi” pemegang izin diberikan kesempatan memenuhi standar verifikasi legalitas kayu.
Pasal 15
(1) Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL) atau Lembaga
Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) menyampaikan laporan hasil penilaian atau verifikasi kepada Kementerian Kehutanan dan pemegang izin, pemegang hak
pengelolaan, atau pemilik hutan hak.
(2) Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL) atau Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) mempublikasikan resume hasil penilaian PHPL
atau verifikasi LK di website LPPHPL atau LVLK bersangkutan dan website Kementerian Kehutanan (www.dephut.go.id) dan (http://silk.dephut.go.id).
(3) Pengelolaan informasi verifikasi legalitas kayu dilakukan oleh Unit Informasi Verifikasi Legalitas Kayu / Licensing Information Unit melalui Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) yang berkedudukan pada Direktorat Jenderal.
Pasal 16 .......
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
10
Pasal 16
(1) Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) menerbitkan Dokumen V-Legal bagi pemegang IUIPHHK, IUI, TDI, industri rumah tangga/pengrajin dan ETPIK Non-
Produsen yang telah mendapat S-LK. (2) Bagi pemegang IUIPHHK, IUI, TDI, industri rumah tangga/pengrajin dan
ETPIK Non Produsen yang belum mendapat S-LK, maka Dokumen V-Legal
diterbitkan melalui inspeksi oleh LVLK. (3) Inspeksi sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat dilakukan sampai dengan
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah Peraturan ini diundangkan.
(4) Pedoman penerbitan Dokumen V-Legal diatur lebih lanjut dengan peraturan Direktur Jenderal.
BAB III
PEMANTAU INDEPENDEN
Pasal 17
(1) Pelaksanaan penilaian kinerja PHPL dan verifikasi LK dipantau oleh Pemantau
Independen (PI).
(2) Pemantauan pelaksanaan penilaian kinerja PHPL dan/atau verifikasi LK dibiayai secara mandiri oleh PI.
(3) Pemerintah dapat memfasilitasi PI dalam memperoleh sumber pembiayaan pelaksanaan pemantauan dan mendorong pengembangan biaya mandiri sesuai ketentuan yang berlaku.
(4) Tata cara dan pedoman pemantauan sebagaimana ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB IV PENGUATAN KAPASITAS
Pasal 18
(1) Bantuan keterampilan teknis atau pembiayaan dalam rangka penguatan
kapasitas dan kelembagaan LP&VI serta PI dapat dilakukan oleh Pemerintah;
(2) Dalam hal biaya Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tersedia, bantuan pembiayaan dapat diperoleh dari sumber lain yang sifatnya
tidak mengikat.
Pasal 19 Sertifikat PHPL dan sertifikat LK yang sudah diterbitkan sebelum berlakunya
peraturan ini, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya sertifikat.
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
(1) Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK yang telah diterbitkan sebelum berlakunya
peraturan ini, dan masih berlaku, maka masa berlakunya disesuaikan dengan
ketentuan ini setelah melalui penilikan.
(2) Terhadap pemegang IUI, TDI, dan ETPIK Non-Produsen, pemegang IUPHHK-
HKm/HTR/HD/HTHR, diwajibkan untuk memiliki S-LK selambat-lambatnya
tanggal 31 Desember 2014.
(3) Dalam .......
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
11
(3) Dalam hal pemanfaatan dan/atau penatausahaan kayu pada Hutan Adat
kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35 Tahun 2012 akan
diatur setelah adanya Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
(1) Ketentuan pelaksanaan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2013 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Menteri ini tetap berlaku.
(2) Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2013 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 22
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juni 2014
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ZULKIFLI HASAN Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juni 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 883
Salinan sesuai dengan aslinya. KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI,
ttd.
KRISNA RYA
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
MENTERI LINGKUNGAN HIDIIP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
NOMOR : P.95/Msnhut-II/2014.TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR P.43/MENHUT-II/2014 TENTANG PENILAIAN KINERJA
PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI
LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IZIN ATAU PADA HUTAN HAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri KehutananNomor P.43/Menhut-II/2014 telah ditetapkan PedomanPenilaian Kinerja Pengeloiaan Hutan Produksi Lestaridan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin ataupada Hutan Hak;
b. bahwa berdasarkan perkembangan pelaksanaan dilapangan atas Peraturan Menteri Kehutanansebagaimana dimaksud huruf a, terdapat hambatanatau kesulitan bagi industri kecil dan menengah untukdipenuhi pada kurun waktu Tahun 2015 terutama padaindustri kecil dan menengan;
c. bahwa untuk penerapan SVL,K bagi industri kecil danmenengah dalam Tahun 2015 perlu diberikankesempatan untuk memperoleh pembinaan danfasilitasi pemerintah yang memudahkan industri kecilmenengah dalam kegiatan ekspor, namun dalam spiritmenjaga legalitas kayu yang dipergunakan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimanadimaksud hurul a, buruf b dan huruf c, perlumenetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidupdan Kehutanan tentang Perubahan atas PeraturanMenteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014tentang Penilaian Kinerja Pengeloiaan Hutan FroduksiLestari dan Verifikasi Legabtas Kayu Pada Pemegang Izinatau Pada Hutan Hak;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomcr 5 Tahun 1990 tentangKonservasi Sumber Daya Alam Hayati danEkosistemnya (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembsran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3419);
3.Undang £
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016
Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016