28
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produksi Bersih 2.1.1 Pengertian Produksi Bersih Paradigma pengelolaan lingkungan mulai mengalami perubahan ke arah yang preventif atau pencegahan hingga terus berkembang menjadi sebuah konsep produksi bersih. Produksi bersih menurut UNEP (2003) merupakan sebuah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan (sebagaimana dikutip dalam Indrasti & Fauzi (2009)). Produksi bersih adalah desain produk dan proses produksi yang harmonis dengan siklus ekologi alam, menggunakan sumber daya yang tersedia secara efisien dan mencari penggunaan zat yang tidak berbahaya dalam proses produksi. Produksi bersih melampaui pencarian untuk mengurangi efek merugikan dari perusahaan pada manusia dan lingkungan, juga berusaha untuk meningkatkan efisiensi produksi dan tingkat keberlanjutan. Produksi bersih fokus pada eliminasi dan minimalisasi limbah dan emisi yang dihasilkan dalam sumbernya, daripada mencoba untuk bertindak pada akhir proses (end-of-pipe). Produksi bersih memiliki penekanan pada masalah lingkungan dalam semua fase desain dan proses manufaktur, yaitu dari bahan mentah, manufaktur, produksi, dan pembuangan limbah (Filho et al., 2018). Perbandingan antara pengelolaan lingkungan dengan menggunakan konsep konvensional dan produksi bersih untuk suatu industri dapat dilihat pada Tabel 2.

TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Produksi Bersih

2.1.1 Pengertian Produksi Bersih

Paradigma pengelolaan lingkungan mulai mengalami perubahan ke arah

yang preventif atau pencegahan hingga terus berkembang menjadi sebuah konsep

produksi bersih. Produksi bersih menurut UNEP (2003) merupakan sebuah

strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu

diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk

dengan tujuan mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan (sebagaimana

dikutip dalam Indrasti & Fauzi (2009)). Produksi bersih adalah desain produk dan

proses produksi yang harmonis dengan siklus ekologi alam, menggunakan sumber

daya yang tersedia secara efisien dan mencari penggunaan zat yang tidak

berbahaya dalam proses produksi. Produksi bersih melampaui pencarian untuk

mengurangi efek merugikan dari perusahaan pada manusia dan lingkungan, juga

berusaha untuk meningkatkan efisiensi produksi dan tingkat keberlanjutan.

Produksi bersih fokus pada eliminasi dan minimalisasi limbah dan emisi yang

dihasilkan dalam sumbernya, daripada mencoba untuk bertindak pada akhir proses

(end-of-pipe). Produksi bersih memiliki penekanan pada masalah lingkungan

dalam semua fase desain dan proses manufaktur, yaitu dari bahan mentah,

manufaktur, produksi, dan pembuangan limbah (Filho et al., 2018).

Perbandingan antara pengelolaan lingkungan dengan menggunakan konsep

konvensional dan produksi bersih untuk suatu industri dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

8

Tabel 2. Perbandingan antara konsep konvensional dan produksi bersih

(UNEP, 2001)

Bahan

PertimbanganKonvensional Produksi Bersih

Desain proses Tidak dirancang

untuk pencegahan

limbah

Dirancang untuk limbah

minimum atau zero waste

Perencanaan desain

tata letak (lay-out)

Tidak didesain Dirancang untuk meminimalkan

pergerakan dalam pekerjaan

Pemilihan bahan

baku

Menggunakan bahan

baku termurah

Menggunakan bahan baku yang

kurang berpengaruh pada

lingkungan

Produk sampingan Tidak memanfaatkan

produk sampingan

Penggunaan produk sampingan

Produk Kurang

memperhatikan

lingkungan

Peduli terhadap dampak

lingkungan

Pengolahan Dengan teknologi

end-of-pipe

Teknologi pengendalian

pencemaran

Berdasarkan tabel di atas maka menurut Polprasert (2007), industri yang

mempraktekkan produksi bersih dapat mencapai manfaat sebagai berikut:

1. Peningkatan produk dan proses

2. Menghemat bahan baku dan energi, serta biaya produksi

3. Meningkatkan daya saing melalui penggunaan teknologi baru dan lebih baik

4. Mengurangi keperluan pada peraturan-peraturan lingkungan

5. Mengurangi risiko dari pengolahan di dalam dan di luar lokasi, penyimpanan

dan pembuangan limbah beracun dan jenis limbah lainnya

6. Peningkatan kesehatan dan keselamatan karyawan

7. Peningkatan semangat staf, yang mengarah ke produktivitas yang lebih baik

8. Meningkatkan citra publik industri, dan

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

9

9. Mengurangi biaya solusi end-of-pipe

2.1.2 Prinsip Produksi Bersih

Dalam Purwanto (2009), pola pendekatan produksi bersih dalam melakukan

pengurangan limbah menggunakan strategi IE4R (Elimination, Reduce, Reuse,

Recycle, Recovery/ Reclaim) (UNEP, 1999), sedangkan dalam Kebijakan Nasional

Produksi Bersih (KLH, 2003) berupa 5R (Re-think, Re-use, Reduction, Recovery,

Recycle), dengan pola pendekatan sebagai berikut:

1. Re-think (berpikir ulang), adalah suatu konsep pemikiran yang harus dimiliki

pada saat awal kegiatan akan beroperasi, dengan implikasi:

a. Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi berlaku baik pada proses

maupun produk yang dihasilkan sehingga harus dipahami betul analisis

daur hidup produk.

b. Upaya produksi bersih tidak dapat berhasil dilaksanakan tanpa adanya

perubahan dalam pola pikir, sikap, dan tingkah laku dari semua pihak

terkait yaitu pemerintah, masyarakat, maupun kalangan usaha.

2. Elimination (pencegahan) adalah upaya untuk mencegah timbulan limbah

langsung dari sumbernya, mulai dari bahan baku, proses produksi sampai

produk.

3. Reduce (pengurangan) adalah upaya untuk menurunkan atau mengurangi

timbulan limbah pada sumbernya.

4. Reuse (pakai ulang/ penggunaan kembali) adalah upaya yang memungkinkan

suatu limbah dapat digunakan kembali tanpa perlakuan fisika, kimia, atau

biologi.

5. Recycle (daur ulang) adalah upaya mendaur ulang limbah untuk

memanfaatkan limbah dengan memprosesnya kembali ke proses semula

melalui perlakuan fisika, kimia, dan biologi.

6. Recovery/ Reclaim (pungut ulang/ ambil ulang) adalah upaya mengambil

bahan-bahan yang masih mempunyai nilai ekonomi tinggi dari suatu limbah,

kemudian dikembalikan ke dalam proses produksi dengan atau tanpa

perlakuan fisika, kimia, dan biologi.

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

10

Meskipun prinsip produksi bersih dilakukan dengan strategi 5R, namun

perlu ditekankan bahwa strategi utama adalah penerapan pencegahan dan

pengurangan. Apabila strategi 2R pertama masih menimbulkan pencemar atau

limbah maka dilakukan strategi 3R berikutnya (reuse, recycle, recovery) sebagai

suatu strategi pengelolaan limbah (Purwanto, 2004).

2.1.3 Tindakan Produksi Bersih

Menurut Purwanto (2009), tindakan dan kegiatan produksi bersih adalah

sebagai berikut:

1. Tata kelola yang baik (Good housekeeping)

Perbaikan penanganan bahan, pencegahan kebocoran, perbaikan jadwal

produksi, perbaikan prosedur kerja, pengendalian penyediaan bahan,

pelatihan, segregasi aliran, serta segregasi limbah.

2. Penggantian bahan baku

Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun,

pemakaian bahan baku yang lebih murni, bahan baku yang ramah lingkungan.

3. Perbaikan proses dan teknologi

Perubahan tata letak, otomatisasi, perbaikan kondisi operasi, pengendalian

proses yang baik, perbaikan proses dan modifikasi peralatan.

4. Penggantian teknologi

Mengganti dengan teknologi baru yang dapat mengurangi pemakaian bahan

dan energi dan menurunkan timbulan limbah.

5. Penyesuaian spesifikasi produk

Merancang produk yang mempunyai dampak negatif lingkungan lebih rendah

dengan menggunakan bahan yang kurang berbahaya dan menimbulkan sedikit

limbah, memperpanjang umur produk, dan desain produk moduler.

2.1.4 Penerapan Produksi Bersih di Industri

Secara sistematis menurut Purwanto (2009), penerapan produksi bersih di

industri meliputi lima langkah, yaitu:

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

11

1. Perencanaan dan organisasi

Perusahaan perlu mengembangkan visi dan misi terkait pengelolaan dan

pencegahan pencemaran. Alokasi waktu yang cukup untuk merencanakan

program produksi bersih dan melakukan komunikasi kepada karyawan

mengenai keuntungan yang diperoleh dengan melaksanakan produksi bersih

sangat diperlukan.

2. Kajian peluang produksi bersih

Terdiri dari kajian awal dan kajian rinci:

a. Kajian awal menggunakan diagram alir proses dan peninjauan lapangan

Diagram alir proses

Salah satu metode terbaik untuk memperoleh informasi pada setiap

langkah baik input (bahan baku, bahan penunjang, air, listrik) dan

output (produk, produk samping, limbah).

Peninjauan lapangan

Pengamatan setiap langkah proses untuk mengidentifikasi timbulan

limbah, pemborosan, dan menemukan peluang perbaikan. Kegiatan

pengamatan langsung pada industri dengan mencermati pengelolaan

pabrik, kondisi tata kelola, sumber kebocoran, ceceran bahan, dan tata

letak peralatan yang kurang efisien.

b. Kajian rinci digunakan untuk mengevaluasi kinerja lingkungan, efisiensi

pemakaian bahan, dan timbulan limbah. Informasi yang diperlukan seperti

informasi perusahaan, peraturan perundangan dan standar lingkungan,

neraca massa dan energi, serta struktur biaya produksi.

3. Analisis kelayakan

a. Kelayakan teknik

Layak secara teknik bila dengan modifikasi maupun penggunaan teknologi

baru mampu menjamin kualitas produk atau bahkan menaikkan kualitas.

b. Kelayakan ekonomi

Apabila penerapan produksi bersih memerlukan biaya untuk penyediaan

maupun modifikasi fasilitas produksi maka perlu dihitung investasi yang

diperlukan, waktu pengembalian modal, dan besarnya penghematan dari

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

12

penerapan. Pay-back period adalah penilaian suatu investasi yang

didasarkan pada return of investment (pengembalian biaya investasi) oleh

net benefit. − = Biaya investasiKeuntunganc. Kelayakan lingkungan

Berkaitan erat dengan jaminan produksi bersih dapat mengurangi limbah

baik ditinjau dari segi kuantitas maupun jenis limbah.

Menurut Indrasti & Fauzi (2009) beberapa peluang penerapan produksi bersih

dapat diberikan skor 1 sampai dengan 3 untuk masing-masing penilaian baik

teknis, ekonomi, dan lingkungan, seperti dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Skoring analisis kelayakan penerapan produksi bersih

Skala Teknis Ekonomi Lingkungan

1 Sulit untukdilaksanakan

Investasi lebih dariRp.15.000.000,- potensipenghematan/ keuntungankurang dari Rp.1.000.000,-per tahun dengan pay-backperiod lebih dari 1,5 tahun

Tidak signifikan,mengurangilimbah atau emisikurang dari 20%

2 Relatif mudahuntukdilaksanakan

Investasi sedang antaraRp.10.000.000,- hinggaRp.15.000.000,- berpotensipenghematan/ keuntunganRp.1.000.000,- hinggaRp.10.000.000,- per tahundengan pay-back period 1-1,5 tahun.

Signifikan,mengurangilimbah atau emisiantara 20%-50%.

3 Mudah untukdilaksanakan

Investasi rendah kurangdari Rp.10.000.000,-,berpotensi penghematan/keuntungan lebih dariRp.10.000.000,-per tahun,pay-back period kurangdari 1 tahun.

Sangat signifikanmengurangilimbah atau emisilebih dari 50%.

Sumber: Indrasti & Fauzi, 2009 yang dimodifikasi

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

13

4. Implementasi peluang produksi bersih

Meliputi penyediaan dukungan pembiayaan, kesiapan tim pelaksana yang

melibatkan karyawan sebagai bagian dari pekerjaan rutinnya, pembuatan

jadwal pelaksanaan, sistem monitoring, dan pengukuran keberhasilan

5. Monitoring dan evaluasi

Dilakukan monitoring capaian penerapan secara terjadwal dan periodik.

Evaluasi dan tinjauan ulang dilakukan terhadap capaian yang telah diperoleh

dibandingkan dengan sasaran yang diprogramkan.

2.1.5 Kendala Penerapan Produksi Bersih

Dalam penerapan produksi bersih pada suatu industri akan dihadapi

beberapa kendala. Menurut Indrasti & Fauzi (2009) beberapa kendala tersebut

antara lain:

1. Kendala ekonomi

Sulit bagi suatu manajemen perusahaan untuk menerapkan produksi bersih

apabila tidak memberikan keuntungan. Kendala ekonomi yang timbul

contohnya adalah:

a. Biaya tambahan peralatan

b. Besarnya modal atau investasi dibanding kontrol pencemaran secara

konvensional sekaligus penerapan produksi bersih

2. Kendala teknologi

a. Kurangnya sosialisasi atau penyebaran informasi tentang konsep produksi

bersih

b. Penerapan sistem baru memiliki kemungkinan tidak sesuai dengan yang

diharapkan, bahkan berpotensi menyebabkan gangguan atau masalah baru

c. Tidak memungkinkan adanya penambahan peralatan akibat terbatasnya

ruang kerja atau produksi

3. Kendala sumberdaya manusia

a. Kurangnya dukungan dari pihak manajemen puncak

b. Keengganan untuk berubah, baik secara individu maupun organisasi

c. Lemahnya komunikasi internal tentang proses produksi yang baik

d. Pelaksanaan manajemen organisasi perusahaan yang kurang fleksibel

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

14

e. Birokrasi yang sulit, terutama dalam pengumpulan data primer

f. Kurangnya dokumentasi dan penyebaran informasi

2.2 Kotoran Ternak Sapi (Manure)

Limbah peternakan selalu menjadi masalah yang perlu dipecahkan terutama

untuk peternakan skala besar, karena daya dukung alam tidak sebanding dengan

limbah ternak yang dihasilkan. Limbah ternak atau sering disebut manure sangat

bervariasi baik dari segi bentuk, warna, bau, dan komposisi kimianya. Manure

merupakan sumber nutrien bagi tanaman dan dapat digunakan untuk

meningkatkan produktivitas tanah (Triatmojo et al., 2016).

Kotoran sapi merupakan kotoran yang banyak mengandung air dan lendir.

Kotoran sapi memiliki kadar N (Nitrogen), P (Phospor), dan K (Kalium) yang

tinggi sehingga dapat mensuplai unsur hara yang dibutuhkan tanah secara

maksimal (Nisa, 2016). Menurut (Prihandini & Purwanto, 2007) kotoran yang

baru dihasilkan sapi tidak dapat langsung diberikan sebagai pupuk tanaman, tetapi

harus mengalami proses pengomposan terlebih dahulu. Beberapa alasan mengapa

bahan organik seperti kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum dimanfaatkan

sebagai pupuk tanaman antara lain adalah:

1. Bila tanah mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik

berlangsung cepat sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman

2. Penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur hara

ke dalam tanah

3. Struktur bahan organik segar sangat kasar dan dayanya terhadap air kecil,

sehingga bila langsung dibenamkan akan mengakibatkan tanah menjadi sangat

remah

4. Kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat diperlukan, sehingga pembuatan

kompos merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum digunakan

sebagai pupuk

Produksi kotoran sapi sebagai limbah peternakan untuk kepentingan

perancangan dapat diasumsikan secara langsung dengan bobot badan ternak.

Limbah ternak lebih baik dinyatakan dalam persen bobot hidup, hal ini

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

15

dikarenakan ternak memiliki beragam bobot dan ukuran tubuh yang tergantung

pada umurnya (Triatmojo et al., 2016). Menurut Polprasert (2007), jumlah dan

komposisi kotoran hewan yang diekskresikan per satuan waktu juga sangat

bervariasi. Mereka bergantung pada berbagai faktor seperti total berat hidup

hewan (total live weight of the animal/ TLW), spesies hewan, ukuran dan usia

hewan, pakan dan asupan air, iklim, dan manajemen, dll. Untuk tujuan

perencanaan, Taiganides (1978) mengemukakan bahwa kotoran ternak sapi

(manure) dari sapi potong (feedlot beef) adalah 4,6% TLW/hari sedangkan untuk

sapi perah (dairy cattle) adalah 9,4% TLW/hari.

2.3 Pupuk Organik

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 Tentang

Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah menyebutkan bahwa pupuk

organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/ atau

bagian hewan dan/ atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses

rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat diperkaya dengan bahan mineral dan/

atau mikroba, yang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan hara dan bahan

organik tanah serta memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Dalam

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/5/2013 Tentang

Sistem Pertanian Organik disebutkan bahwa pupuk organik sering juga disebut

kompos, istilah ini lebih dikenal luas karena telah digunakan oleh petani sejak

jaman dahulu.

Penerapan produksi bersih dalam pengelolaan limbah ternak sapi dapat

menggunakan teknik pengomposan. Perundang-undangan saat ini tentang

pengelolaan limbah padat telah menyoroti pentingnya daur ulang dan memulihkan

limbah padat organik sebagai praktik manajemen berkelanjutan untuk

menggantikan pembuangan akhir konvensional melalui pembakaran dan

landfilling (Mejias et al., 2017). Pengomposan dapat menurunkan biaya

pembuangan produk sampingan organik dan residu, serta memberikan

penghasilan, karena kompos dapat memiliki sifat kimia-fisik yang cukup menarik

untuk digunakan sebagai penghalus tanah (Proietti et al., 2016).

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

16

Pengomposan adalah penguraian aerobik bahan organik oleh

mikroorganisme di bawah kondisi yang terkendali untuk menghasilkan zat seperti

humat. Selama pengomposan, mikroorganisme mengkonsumsi oksigen (O2) saat

menggunakan bahan organik yang biodegradable (kotoran ternak, jerami, daun,

sisa makanan, dan lain-lain) sebagai sumber makanan mereka (Gambar 1.). Materi

yang digunakan untuk pengomposan biasanya disebut sebagai “bahan baku”.

Selain panas, proses pengomposan melepaskan uap air dan karbon dioksida

(CO2). Setidaknya 50% karbon dalam material organik hilang (sebagai hasil dari

respirasi mikroba) dan senyawa nitrogen diubah menjadi bentuk organik yang

lebih stabil. Akibatnya, ada pengurangan substansial dalam volume bahan, dan

kompos yang dihasilkan secara fisik dan biokimia berbeda dari bahan asli (NSFA,

n.d.). Kompos yang dihasilkan adalah campuran yang stabil, kaya humus, dan

kompleks yang dapat meningkatkan sifat fisik tanah (Lim et al., 2016).

Pengomposan dianggap sebagai proses ramah lingkungan yang melibatkan

transformasi aerobik materi organik dan penghancuran patogen dan gulma. Proses

ini dianggap sebagai penyumbang besar untuk mempromosikan perputaran sistem

pertanian karena memungkinkan stabilisasi limbah organik dan produksi pupuk

organik yang dapat digunakan sebagai kondisioner tanah, di kebun atau sebagai

media tumbuh dalam budidaya yang tidak tercemar. Model pengelolaan limbah

organik, berdasarkan produksi dan penggunaan kompos berkualitas tinggi,

didorong untuk berkontribusi mengurangi emisi karbon ke atmosfer (Cáceres et

al., 2018).

Gambar 1. Proses kompos (diadaptasi dari Rynk, 1992)

O2

PanasAir

Pile/ tumpukan kompos

Kompos matang

Bahan organik

Mineral

Air

Mikroorganisme

Bahan baku

Bahanorganik;

mineral; air;mikroba

CO2

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

17

Dampak yang paling menguntungkan dari aplikasi kompos sebagai pupuk

organik di tanah ditunjukkan pada Tabel 4, sebagaimana dikemukakan oleh

Sánchez et al. (2017).

Tabel 4. Manfaat kompos sebagai pupuk organik di dalam tanah

Aspek Manfaat

Fisik Ukuran partikel dalam kompos berkontribusi untuk

menghasilkan ruang yang memfasilitasi retensi air dan

pertukaran udara

Peningkatan struktur tanah yang membantu melestarikan

keseimbangan fisikokimia dan mikrobiologi di tanah

Peningkatan horizon A (lapisan tanah subur)

Peningkatan pergerakan nutrisi di dalam tanah

Kimia Masukan bahan organik ke tanah untuk meningkatkan

kesuburan

Stabilisasi dan mineralisasi bahan organik

Generasi prekursor zat humat

Pengurangan konsentrasi pestisida dalam tanah dengan

membentuk ikatan dengan molekul organik kompos

Mikrobiologi Pasokan mikroorganisme yang berkontribusi pada

pembentukan tanah dan pergerakan nutrisi

Peningkatan pertumbuhan akar dan mikroorganisme di

rhizosfer

Bioremediasi oleh mikroorganisme yang berkontribusi

terhadap degradasi agen beracun

Pemulihan dan pencegahan penggurunan tanah

Pasokan mikroorganisme menguntungkan yang

mengendalikan patogen tanaman

Sumber: Sánchez et al., 2017

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

18

Menurut Setiawan, A. I. (2014), pupuk organik dari pengomposan kotoran

ternak (manure) pada kondisi matang mempunyai tanda-tanda fisik yaitu jika

diraba terasa dingin dan jika diremas mudah rapuh serta menurut Rynk (1992),

kompos yang sudah matang seharusnya tidak memiliki bau yang tidak

menyenangkan, warna bahan menjadi coklat tua sampai hitam, dan ukuran

partikel berkurang dan konsisten seperti tekstur tanah (kurang dari 1/2” (13 mm)).

Persyaratan teknis minimal pupuk organik padat diatur Peraturan Menteri

Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 Tentang Pupuk Organik, Pupuk

Hayati dan Pembenah Tanah, Lampiran I, seperti dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Persyaratan teknis minimal pupuk organik padat

No. Parameter Satuan

Standar Mutu

Granul/Pelet Remah/Curah

MurniDiperkaya

mikrobaMurni

Diperkaya

mikroba

1. C – organik % min15 min15 min15 min15

2. C/N rasio 15 - 25 15 - 25 15 - 25 15 - 25

3. Bahan ikutan

(plastik,kaca,

kerikil)

% Maks 2 Maks 2 Maks 2 Maks 2

4. Kadar air*) % 8 – 20 10 – 25 15 - 25 15 - 25

5. Logam berat:

As ppm maks 10 maks 10 maks 10 maks 10

Hg ppm maks 1 maks 1 maks 1 maks 1

Pb ppm maks 50 maks 50 maks 50 maks 50

Cd ppm maks 2 maks 2 maks 2 maks 2

6. pH 4 - 9 4 - 9 4 - 9 4 - 9

7. Hara makro

(N + P2O5 +

K2O)

% Min 4

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

19

No. Parameter Satuan

Standar Mutu

Granul/Pelet Remah/Curah

MurniDiperkaya

mikrobaMurni

Diperkaya

mikroba

8. Mikroba

kontaminan:

E.coli MPN/g maks.

102

maks. 102 maks.

102

maks. 102

Salmonella sp MPN/g maks.

102

maks. 102 maks.

102

maks. 102

9. Mikroba

fungsional:

Penambat N cfu/g - min. 103 - min. 103

Pelarut P cfu/g - min. 103 - min. 103

10. Ukuran butiran

2-5 mm

% min. 80 min. 80 - -

11. Hara mikro:

Fe total atau ppm maks.

9.000

maks.

9.000

maks.

9.000

maks.

9.000

Fe tersedia ppm maks.

500

maks. 500 maks.

500

maks. 500

Mn ppm maks.

5.000

maks.

5.000

maks.

5.000

maks.

5.000

Zn ppm maks.

5.000

maks.

5.000

maks.

5.000

maks.

5.000

12. Unsur lain:

La ppm 0 0 0 0

Ce ppm 0 0 0 0

*) Kadar air atas dasar bobot basah

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

20

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi panjangnya proses pengomposan

dalam pengolahan pupuk organik adalah C/N rasio, kelembaban, sifat bahan baku,

ketersediaan oksigen, dan teknologi pengomposan. Secara umum proses

pembuatan pupuk organik seperti yang disajikan pada Gambar 2. dengan

penjelasannya adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Skema proses produksi pupuk organik melalui pengomposan

(diadaptasi dari Schaub & Leonard, 1996)

1. Bahan baku dan penunjang

a. Bahan baku

Bahan baku utama dalam pembuatan pupuk organik dari limbah

peternakan sapi adalah kotoran sapi (manure) yang relatif kaya nitrogen.

Desain teknik pengomposan

Bahan baku

Proses aktif pengomposan(active phase)

Penyortiran, pencacahan,dan pencampuran

Proses pematangankompos (curing phase)

Penyaringan

Pengemasan

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

21

b. Bulking agent

Berbagai macam bulking agent (misalnya sekam padi, serpihan kayu,

serbuk gergaji, dan kulit kacang) umumnya ditambahkan ke bahan organik

untuk meningkatkan porositas dan rasio C/N bahan baku sebelum

pengomposan (Onwosi et al., 2017). Bulking agent selalu diperlukan untuk

memodifikasi sifat-sifat kotoran hewan selama pengomposan karena

kandungan kelembaban yang tinggi, rasio C/N rendah, dan kepadatan

kotoran hewan yang tinggi (Guo et al., 2012). Rasio C/N dari berbagai

bahan atau limbah organik ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rasio C/N beberapa bahan organik

Bahan organik Rasio C/N Referensi

Kotoran sapi (manure) 18 Golueke (1972) seperti

dikutip dalam Polprasert

(2007)

Potongan rumput 12-15 Golueke (1972) seperti

dikutip dalam Polprasert

(2007)

Serbuk gergaji 200-750 Rynk (1992) seperti dikutip

dalam Tchobanoglous &

Kreith (2002)

Sekam padi 113–1120 Rynk (1992) seperti dikutip

dalam Tchobanoglous &

Kreith (2002)

c. Inoculating agents atau bioaktivator

Terlepas dari kenyataan bahwa pengomposan adalah proses yang

berkembang secara alami, terdapat laporan yang menyebutkan bahwa

penambahan agen inokulasi dapat menghasilkan peningkatan laju

degradasi bahan organik (Cerda et al., 2018). Selain mempercepat

pengomposan, kelebihan penggunaan bioaktivator adalah kualitas produk

lebih terjamin dan proses produksinya relatif sederhana. Kini telah banyak

Page 16: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

22

bioaktivator yang diproduksi secara komersial dan sudah tersedia di

pasaran, antara lain adalah EM-4, OrgaDec, StarDec, Boisca/ Propuri, dan

Promi (Suwahyono, 2014).

d. Bahan tambahan

Kapur pertanian yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3) merupakan

bahan penunjang yang dapat ditambahkan sebagai alternatif untuk

meningkatkan pH saat proses pengomposan (Onwosi et al., 2017).

2. Penyortiran, pencacahan, dan pencampuran

Tahap persiapan pengomposan selanjutnya adalah memilah dan memisahkan

bahan organik biodegradable (kotoran ternak, jerami, daun, dan lain-lain) dari

material yang bersifat susah tergredasi (kayu, kulit, polimer) atau anorganik

(kotoran, kaca, keramik, dan logam). Agar proses pengomposan berjalan lebih

cepat, sebaiknya bahan baku kompos terutama yang memiliki bentuk panjang

dan kasar (rumput, jerami, dan lain-lain) dicacah terlebih dahulu agar menjadi

halus (Djaja, 2010). Ukuran partikel memiliki pengaruh besar pada

pemeliharaan porositas yang memadai untuk aerasi yang tepat. Ukuran

partikel substrat untuk pengomposan tidak boleh terlalu besar karena akan

membusuk secara perlahan. Ukuran partikel juga tidak boleh terlalu kecil

karena dapat membentuk massa padat dan mengurangi porositas substrat

kompos (Onwosi et al., 2017). Formulasi yang harus diperhatikan dalam

pencampuran bahan baku kompos adalah rasio karbon/ nitrogen (C/N) dari

campuran awal bahan baku 30-35:1 untuk memastikan kondisi yang tepat bagi

mikroorganisme saat menguraikan dan mengubah bahan organik meskipun

nilai ke bawah sampai 25 dapat digunakan tetapi dengan resiko peningkatan

keseluruhan waktu pengomposan. Demikian juga, untuk pengembangan

mikroorganisme yang memadai, kelembaban (MC) bahan baku harus berada

dalam kisaran 55-65% (Sánchez et al., 2017). Menurut Rynk (1992), kisaran

yang wajar (reasonable range) untuk rasio C/N 20-40:1 dan kelembaban

(MC) 40-65% serta kisaran yang diminati (preferred range) untuk rasio C/N

25-30:1 dan kelembaban (MC) 50-60%. Nilai pH optimum pengomposan

berkisar dari 5,5 hingga 8 (Chen et al., 2015). Bahan baku utama dalam

Page 17: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

23

pembuatan pupuk organik dari limbah peternakan sapi adalah kotoran sapi

(manure) yang relatif kaya nitrogen, sehingga kandungan nitrogen yang

rendah (seperti dalam kasus banyak bahan asal tumbuhan seperti sekam padi

atau serbuk gergaji) biasanya ditambahkan untuk mencapai rasio C/N yang

sesuai. Dengan rumus umum campuran bahan kompos (Rynk, 1992), maka

data %C-organik, %N total, kadar air (MC), dan massa bahan baku yang

terdiri dari kotoran sapi (manure) dan bulking agent dapat digunakan untuk

merencanakan formulasi bahan pengompos.

= ( × ) + ( × ) +⋯+ +⋯/ = % × × (1 − ) + % × × (1 − ) +⋯% × × (1 − ) + % × × (1 − ) +⋯

dimana:

a, b,... = Total massa bahan a, b,...

ma, mb,... = Kadar air atau moisture content (MC) bahan a, b,...

%Ca, Cb,... = % carbon bahan a, b,... (% bobot kering)

%Na, Nb,... = % nitrogen bahan a, b,... (% bobot kering)

Hasil pencampuran bahan baku selanjutnya diaplikasikan ke metode

pengomposan yang umum digunakan untuk menangani limbah ternak seperti

windrow, aerated static piles, dan sistem in-vessel. Dalam pengomposan

windrow (sistem konvensional), material padat ditumpuk dalam baris paralel

panjang dan dibalik untuk meningkatkan suplai oksigen dan porositas,

mencampur atau menghilangkan kelembaban, dan mendistribusikan kembali

bagian yang lebih dingin dan lebih panas dari tumpukan. Pile windrows dapat

berbentuk trapesium atau segitiga bergantung pada fitur peralatan yang

digunakan untuk mencampur tumpukan. Tumpukan (pile) harus dilakukan

pembalikan satu atau dua kali dalam seminggu untuk memberikan oksigen ke

mikroorganisme (Sánchez et al., 2017). Sistem aerated static piles

menggunakan sistem distribusi udara diwakili oleh pipa berlubang di bagian

bawah tumpukan; sistem ini memungkinkan pengurangan area yang

Page 18: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

24

diperlukan untuk pengomposan karena material tidak harus dipindahkan ke

tempat lain untuk diangin-anginkan (Sánchez et al., 2017). Ada dua jenis

sistem aerated static piles yaitu passively aerated windrow system (PAWS)

dan forced aerated static piles (FAS). PAWS atau natural ventilation static

pile (NVS) menempatkan pipa berlubang di dasar setiap pile untuk mendorong

aliran udara konvektif di seluruh tumpukan. Kunci untuk sistem ini adalah

mencampur bahan baku sebelum dipasang pada pipa berlubang. Juga, pile

perlu diinsulasi dengan kompos yang sudah jadi untuk memastikan suhu

termofilik mencapai ujung luar. Forced aerated static piles (FAS) mirip

dengan sistem PAWS, tetapi blower dipasang di ujung pipa berlubang atau

saluran udara. Aliran udara dapat disesuaikan dengan mengubah frekuensi dan

durasi dari blower (Cooperband, 2002). Secara teoritis dalam sistem aerated

static piles tidak diperlukan pembalikan material kompos namun sesekali

dilakukan pembalikan untuk menambah porositas, mendistribusikan

kelembaban, dan mengoptimalkan dekomposisi. Keuntungan sistem ini adalah

lebih sedikit waktu pengomposan dibandingkan dengan sistem yang pasif

(Alberta, 2001). Sistem in-vessel bergantung pada penggunaan bioreaktor

solid-state, sebagian besar berbentuk silinder. Secara teoritis, sistem ini

memungkinkan kontrol suhu, kelembaban, dan suplai oksigen. Namun,

pengendalian parameter operasi untuk bioreaktor skala besar ini cukup sulit

karena kendala hidrodinamik yang timbul ketika ukuran meningkat, sehingga

sistem ini lebih disukai digunakan untuk penelitian di laboratorium dan skala

pilot (Sánchez et al., 2017).

Page 19: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

25

3. Proses aktif pengomposan (active phase)

Gambar 3. Profil waktu dari suhu tumpukan rata-rata selama proses

pengomposan (Sánchez et al., 2017)

Proses aktif pengomposan materi organik seperti pada Gambar 3. terjadi pada

fase mesophilic, thermophilic, dan cooling. Sánchez et al. (2017) memberikan

penjelasan tentang kondisi yang terjadi pada ketiga fase tersebut, yaitu:

a. Fase pertama atau mesophilic dimulai dengan pemecahan awal bahan

organik yang dilakukan oleh mikroorganisme mesophilic seperti bakteri

milik famili Pseudomonaceae, Erythrobacteraceae, Comamonadaceae,

Enterobacteriaceae, Streptomycetaceae, dan Caulobacteraceae yang

tumbuh antara 15 °C dan 35 °C. Mikroorganisme ini memanfaatkan

senyawa yang larut dan mudah diasimilasi seperti gula, asam amino, dan

lipid yang ada dalam bahan baku yang digunakan untuk membuat kompos.

b. Aktivitas metabolik mikroba menghasilkan reaksi eksotermik yang dapat

meningkatkan suhu pengomposan mencapai 65–85 °C. Dalam kondisi ini,

populasi mikroorganisme mesophilic menjadi kurang kompetitif dan

digantikan oleh mikroorganisme thermophilic. Selama tahap ini, disebut

fase thermophilic, proliferasi actinobacteria (sebagian besar milik famili

Thermoactinomycetacea, Thermomonosporaceae, dan

Pseudonocardiaceae) dan thermophiles lainnya terjadi. Mikroorganisme

Page 20: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

26

ini memiliki enzim yang mendegradasi molekul kompleks seperti selulosa,

lignin, hemiselulosa, dan protein. Dengan cara yang sama, eliminasi agen

patogen dan benih yang dapat berkecambah terjadi ketika suhu meningkat.

c. Kemudian, sumber energi habis dan tumpukan kompos mencapai suhu

antara 15 °C dan 35 °C mengarah pada kolonisasi kompos kedua oleh

mesofil. Selama tahap ini, yang dikenal sebagai fase cooling

(pendinginan), mikroorganisme mesophilic memecah jumlah sisa gula,

selulosa, dan hemiselulosa.

4. Proses pematangan kompos (curing phase)

Pada fase ini ditandai dengan aktivitas mikroba rendah dan suhu konstan,

dekat dengan nilai-nilai ambien serta prekursor zat humat terbentuk (Bernal et

al., 2017).

5. Penyaringan

Penyaringan atau pengayakan dilakukan untuk memisahkan partikel kasar dari

partikel halus. Partikel kasar bisa digunakan kembali pada proses

pengomposan. Hasil dari proses penyaringan diharapkan dapat mempermudah

pengemasan agar tempat kemasan pupuk organik tidak mudah sobek akibat

tergesek partikel kasar.

6. Pengemasan

Pengemasan merupakan cara pengamanan terhadap hasil produksi pupuk

organik agar sampai ke konsumen dengan kondisi kualitas dan kuantitas tidak

berubah. Kompos yang sudah matang dengan indikator temperatur,

kelembaban, dan derajat keasamannya relatif tidak berubah lagi dimasukkan

ke dalam kemasan dan direkatkan. Menurut Setiawan, B. S. (2014), tujuan

dari pengemasan pupuk organik adalah:

a. Melindungi pupuk organik dari kontaminasi yang merugikan

b. Membuat umur simpan pupuk organik lebih panjang

c. Agar tidak kontak langsung dengan air maupun udara lebih (terutama

udara panas)

d. Memudahkan dalam distribusi

Page 21: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

27

e. Menambah nilai jual pupuk organik dengan diberi nama perusahaan dan

informasi terkait komposisi serta kandungan pupuk organiknya

Pupuk organik padat biasanya dikemas dengan menggunakan plastik

atau karung. Secara umum bahan pengemas harus bersifat permeabilitas

(kemampuan melewatkan udara yang sesuai dengan pupuk organik dalam

kemasan), tidak bereaksi dengan pupuk organik, kedap air, mudah dikerjakan

secara massal, serta harganya relatif murah.

2.4 Keluaran Bukan Produk (KBP/ NPO)

2.4.1 Pengertian KBP/ NPO

Keluaran bukan produk didefinisikan sebagai seluruh materi, energi, dan air

yang digunakan dalam proses produksi namun tidak terkandung dalam produk

akhir (GTZ-ProLH, 2009). Pemahaman atas keluaran bukan produk (KBP) atau

Non Produk Output (NPO) merupakan langkah awal dalam melakukan analisis

sebelum penerapan konsep produksi bersih. Dengan melihat keluaran KBP

merupakan pendekatan yang efektif untuk mengidentifikasi peluang perbaikan

lebih lanjut. Bentuk keluaran bukan produk diidentifikasi sebagai berikut:

a. Bahan baku yang kurang berkualitas

b. Barang jadi yang ditolak atau diluar spesifikasi produk yang ditentukan

c. Pemrosesan kembali (reprocess)

d. Limbah padat (B3 maupun non B3)

e. Limbah cair (keseluruhan air yang tidak terkandung dalam produk akhir)

f. Energi yang tidak terkandung dalam produk akhir

g. Emisi (termasuk kebisingan dan bau)

h. Kehilangan dalam penyimpanan

i. Kerugian pada saat penanganan dan transportasi

j. Pengemasan barang

k. Klaim dari pelanggan dan trade return

l. Kerugian karena kurangnya perawatan

m. Kerugian karena permasalahan kesehatan dan lingkungan

Page 22: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

28

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan

perhitungan keluaran bukan produk (KBP), yaitu:

a. Pikirkan apa yang akan direduksi bila KBP dikurangi

b. Lebih baik perkiraan secara kasar tetapi benar daripada terlalu hati-hati tetapi

salah

c. Terdapat kemungkinan berbeda dalam mengalokasikan biaya KBP

d. Mencegah terjadinya perhitungan ganda

e. Tidak perlu berlebihan dalam memperkirakan penghematan

2.4.2 Lindi

Masalah polusi utama yang terkait dengan produksi pupuk organik pada pile

pengomposan adalah produksi lindi (leachate) yang dicirikan oleh kadar garam

yang tinggi dan NH4–N (Ammonia nitrogen) serta muatan organik yang tinggi

(Romero et al., 2013). Pengomposan kotoran ternak (manure) mungkin

melibatkan pembentukan lindi karena beberapa alasan yaitu: kandungan air (MC)

yang tinggi dari kotoran dan kompresi yang disebabkan oleh kolom materi di

atasnya, aplikasi air untuk menjaga kadar air dari bahan yang sedang

dikomposkan dalam kisaran yang sesuai, dan curah hujan yang terjadi selama

proses pengomposan (Cáceres et al., 2015).

Kegagalan untuk mengontrol limpasan lindi dari pile pengomposan dapat

menyebabkan masalah manajemen dan lingkungan, termasuk genangan air, bahan

pengomposan yang jenuh, kondisi lokasi berlumpur dan limpasan lindi yang

berlebihan dari lokasi. Lindi dapat diminimalkan dengan mengontrol kelembaban

selama proses pengomposan (NSFA, n.d.). Pilihan paling murah dalam

pengelolaan lindi adalah merancang fasilitas pengomposan sedemikian rupa untuk

mengurangi dan menggunakan kembali semua kelebihan air, sehingga pengolahan

lindi hanya diperlukan sebagai upaya terakhir. Untuk mencegah produksi lindi,

fasilitas harus dirancang untuk memisahkan curah hujan dari limbah organik dan

kompos. Kemudian, campuran yang tepat dari bahan baku kompos harus

digunakan, campuran ideal bahan baku kompos ini termasuk tidak menggunakan

bahan yang terlalu basah atau menambah banyak air ke dalam campuran. Untuk

Page 23: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

29

mencapai tujuan ini, kadar air kompos tidak boleh melebihi 65% (Roy et al.,

2018).

Nitrifikasi pada pengolahan lindi yang terbentuk selama pengomposan

kotoran ternak juga dapat digunakan lebih lanjut sebagai pupuk cair (Cáceres et

al., 2015). Dalam penelitian (Novitasari et al., 2016), lindi dapat dimanfaatkan

sebagai bahan EM-4 dalam proses pengomposan. Lindi juga dapat digunakan

untuk membasuh bahan yang masih dalam tahap pengomposan aktif, hal ini

dianggap dapat mengembalikan nutrisi tanaman yang dapat larut ke batch kompos

berikutnya (Phillips, 2002).

2.4.3 Emisi Gas Rumah Kaca

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011 Tentang

Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional menyebutkan bahwa

Gas rumah kaca yang selanjutnya disebut GRK adalah gas yang terkandung dalam

atmosfer, baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan memancarkan

kembali radiasi inframerah, sedangkan emisi GRK adalah lepasnya GRK ke

atmosfer pada suatu area tertentu dalam jangka waktu tertentu. GRK sebagaimana

dimaksud pada Peraturan Presiden Republik IndonesiaNomor 71 Tahun 2011

meliputi senyawa karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O),

hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida

(SF6).

Kotoran ternak (manure) adalah sumberdaya yang berharga untuk nutrisi

dan amandemen tanah yang sangat baik untuk meningkatkan kualitas tanah,

produksi, dan produktivitas. Gas rumah kaca utama yang dipancarkan oleh

kotoran ternak adalah metana (CH4), yang dipancarkan saat dekomposisi bahan

organik anaerobik (tanpa oksigen) selama penyimpanan dan nitrous oxide (N2O),

yang dipancarkan selama penyimpanan dan aplikasi ke tanah. Pengelolaan pupuk

merupakan praktik penting dalam meminimalkan emisi gas rumah kaca yang

disebabkan oleh aktivitas mikroba selama dekomposisi pupuk. Faktor-faktor yang

mempengaruhi emisi gas rumah kaca dari kotoran termasuk suhu, tingkat oksigen

(aerasi), kelembaban, dan sumber nutrisi (Alberta, 2004).

Page 24: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

30

Karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan dinitro oksida (N2O) semuanya

merupakan produk sampingan dari proses pengomposan. Kemampuan setiap

perangkap GRK untuk panas tergantung pada kapasitasnya untuk menyerap dan

memancarkan radiasi dan pada berapa lama gas itu tetap berada di atmosfer, hal

ini disebut sebagai potensi pemanasan global (GWP). Untuk membandingkan

emisi GRK dari gas yang berbeda, GWP dikalikan dengan jumlah masing-masing

gas yang dipancarkan untuk mendapatkan satuan CO2 equivalents (CO2e)

(Alberta, 2001). Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, kemampuan potensi

pemanasan global atau Global Warming Potensial (GWP) gas rumah kaca dapat

dilihat pada Tabel 7., dimana CO2 paling kecil (sebagaimana dikutip dalam KLH

(2012a)).

Tabel 7. Jenis-jenis gas rumah kaca di peternakan dan nilai potensi pemanasanglobal

Gas Rumah Kaca Rumus Kimia Nilai Potensi PemanasanGlobal

Karbon dioksida CO2 1

Metana CH4 25

Dinitro oksida N2O 298

Sumber: Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC)

Emisi yang timbul dari pengolahan kotoran sapi (manure) menjadi pupuk

organik dapat bersumber pada konsumsi energi bahan bakar untuk operasional

dan kegiatan pengomposan. Emisi GRK dari sektor peternakan dihitung dari emisi

metana yang berasal dari fermentasi enterik ternak, dan emisi metana dan dinitro

oksida yang dihasilkan dari pengelolaan kotoran ternak. Emisi CO2 dari

peternakan tidak diperkirakan karena emisi CO2 diasumsikan nol karena CO2

diserap oleh tanaman melalui fotosintesis dikembalikan ke atmosfer sebagai CO2

melalui respirasi (KLH, 2012c). Perhitungan emisi pada kegiatan pengelolaan

limbah kotoran ternak sapi (manure) menjadi pupuk organik di PT. Tri Nugraha

Farm dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

Page 25: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

31

1. Emisi yang dihasilkan dari konsumsi energi secara langsung seperti

pemakaian bahan bakar fosil.

Sumber emisi gas rumah kaca (GRK) hasil pembakaran bahan bakar

dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kategori utama, yaitu sumber tidak bergerak

(stasioner) dan sumber bergerak (KLH, 2012b). Dengan mengacu pada IPCC,

perhitungan konsumsi energi bahan bakar dinyatakan dalam perhitungan emisi

gas-gas rumah kaca (GRK) atau sering disebut dengan gas CO2e, didasarkan

pada jenis penggunaan bahan bakar dengan menggunakan pendekatan faktor

emisi. Persamaan yang digunakan untuk estimasi emisi GRK dari pembakaran

bahan bakar sumber tidak bergerak (stasioner) adalah sebagai berikut:

Emisi GRK kgthn = Konsumsi Energi TJthn x Faktor Emisi kgTJKonsumsi energi (TJ) = Konsumsi Energi (sat. Fisik)x Nilai Kalor TJsat.Emisi GRK dari pembakaran bahan bakar pada sumber bergerak adalah emisi

GRK dari kegiatan transportasi, dengan persamaan sebagai berikut:Emisi = Konsumsi BB ×Faktor Emisidimana:

Emisi = Emisi CO2 atau CH4 atau N2O

Konsumsi BBa = Faktor emisi CO2 atau CH4 atau N2O menurut jenis

bahan bakar (kg gas/TJ), default IPCC 2006

Faktor emisia = Faktor emisi CO2 atau CH4 atau N2O menurut jenis

bahan bakar (kg gas/TJ), default IPCC 2006

a = Jenis bahan bakar (premium, solar)

2. Emisi yang dihasilkan dari konsumsi energi secara tidak langsung seperti

penggunaan listrik.Emisi (kg CO ) = Konsumsi listrik (kWh) x Faktor Emisi (kg CO /kWh)

Page 26: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

32

Faktor Emisi GRK Sistem Interkoneksi Tenaga Listrik Tahun 2016 Jamali

(Jawa, Madura, Bali) adalah 0,877 kg CO2/kWh

3. Emisi dari kegiatan pengelolaan kotoran ternak

Kotoran ternak baik padat maupun cair memiliki potensi untuk mengemisikan

gas metana dan dinitro oksida selama proses penyimpanan, pengolahan, dan

penumpukan/pengendapan. Faktor utama yang mempengaruhi jumlah emisi

adalah jumlah kotoran yang dihasilkan dan bagian kotoran yang

didekomposisi secara anaerobik. Emisi ditentukan oleh jenis dan pengolahan

kotoran ternak (KLH, 2012c). Estimasi emisi CH4 dan N2O dari pengelolaan

kotoran ternak dilakukan dengan menggunakan persamaan dari IPCC (2006),

sebagai berikut:

Emisi metana dari pengelolaan kotoran ternak:CH = (EF × N )10dimana:

CH4 manure = Emisi metana dari pengelolaan kotoran ternak, Gg CH4 yr-1

EF(T) = Faktor emisi populasi jenis ternak tertentu, kg CH4 head-1 yr-1

N(T) = Jumlah populasi jenis/ kategori ternak tertentu

T = Jenis/ kategori ternak

Estimasi emisi N2O langsung dari pengelolaan kotoran ternak.

N O ( ) = N( ) ∙ Nex( ) ∙ MS( , ) ∙ EF ( ) ∙ 4428dimana:

N2OD(mm) = Emisi N2O dari pengelolaan kotoran ternak, kg N2O yr-1

N(T) = Jumlah populasi jenis/ kategori ternak tertentu, jumlah ternak

Nex(T) = Rata-rata tahunan ekskresi N per ekor jenis/kategori ternak,

kg N ternak-1 yr-1

MS(T,S) = Fraksi dari total ekskresi nitrogen tahunan dari jenis ternak

tertentu yang dikelola pada sistem pengelolaan kotoran

Page 27: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

33

ternak

EF3(S) = Faktor emisi langsung N2O dari sistem pengelolaan kotoran

tertentu S, kg N2O-N/kg N

S = Sistem pengelolaan kotoran ternak

T = Jenis/kategori ternak

44/28 = Konversi emisi (N2O)-N)(mm) ke dalam bentuk N2O(mm)

Rata-rata tahunan ekskresi N per ekor jenis/kategori ternak (Nex(T)) dilakukan

dengan persamaan: Nex( ) = Nrate( ) × TAM1000 × 365dimana:

Nex(T) = Eksresi N tahunan untuk jenis ternak T, kg N/ekor/tahun

Nrate(T) = Nilai default laju eksresi N, kg N/1000 kg bobot ternak/ hari

TAM = Bobot ternak untuk jenis ternak T, kg/ekor

Estimasi emisi N2O tidak langsung dari pengelolaan kotoran ternak dari

penguapan N dalam bentuk ammonia (NH3) dan NOx (N2OG(mm)) dihitung

dengan menggunakan persamaan berikut:

N O ( ) = (N × EF ) × 4428dimana:

N2OG(mm) = Emisi tidak langsung N2O akibat dari penguapan N dari

pengelolaan kotoran ternak, kg N2O yr-1

Nvolatilization-MMS = Jumlah kotoran ternak yang hilang akibat volatilisasi

NH3 dan NOx, kg N per tahun

EF4 = Faktor emisi N2O dari deposisi atmosfir nitrogen di

tanah dan permukaan air, kg N2O-N (kg NH3-N + NOx-

N tervolatisasi)-1 ; default value IPCC adalah 0,01 kg

N2O-N (kg NH3-N + NOx-N tervolatisasi)-1

Jumlah kotoran ternak yang hilang akibat volatilisasi NH3 dan NOx

(Nvolatilization-MMS) dilakukan dengan persamaan:

Page 28: TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_BAB_II.pdf · Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun, pemakaian bahan baku yang

34

N = N × Nex( ) ×MS( , ) × Frac100 ,dimana:

N(T) = Populasi jenis/kategori ternak tertentu, ekor

Nex(T) = Rata-rata tahunan N yang dieksresikan per jenis/ kategori

ternak tertentu, kg N/ekor/tahun

MS(T,S) = Fraksi N yang dieksresikan untuk setiap jenis kategori ternak

berdasarkan jenis pengelolaan limbah ternak

FracgasMS = Persen limbah N yang tervolatisasi untuk jenis ternak

tertentu yang tervolatisasi menjadi NH3 dan NOx pada

sistem pengelolaan limbah ternak S,%