Upload
truongdiep
View
270
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
4
TINJAUAN PUSTAKA
Padi Hibrida
Benih padi (Oryza sativa) merupakan benih dari famili Poaceae yang
bertipe single caryopsis (jenis buah yang memiliki kulit buah yang tipis, dan
berlekatan menyatu dengan kulit biji). Pada beberapa spesies, caryopsis seperti
padi tertutup lemma dan palea sedangkan gandum dan jagung memiliki caryopsis
terbuka (Kusumawardana dan Dina, 2012). Lemma merupakan bagian glume
yang lebih besar sementara bagian glume yang lebih kecil disebut palea
(Gambar 1) (Senthil dan Gowri, 2008).
Gambar 1. Lemma dan Palea (Sumber : Senthil dan Gowri, 2008)
Senthil dan Gowri (2008) menyatakan bahwa benih padi terdiri dari
endosperm dan embrio, dimana embrio terdiri dari plumula (calon daun) dan
radikula (calon akar primer) (Gambar 2). Kusumawardana dan Dina (2012)
menambahkan radikula dilindungi oleh koleoriza sementara plumula dilindungi
oleh koleoptil.
Gambar 2. Plumula dan Radikula (Sumber : Senthil dan Gowri, 2008)
5
Gambar 3 menunjukkan fase-fase perkecambahan benih padi diawali
dengan pecahnya kulit benih oleh koleoriza, radikula, kemudian kolepotil diikuti
dua atau lebih akar seminal (Senthil dan Gowri, 2008).
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3. Fase-Fase Perkecambahan Benih Padi (Sumber : Senthil dan Gowri, 2008)
Padi hibrida merupakan salah satu inovasi yang meningkatkan
produktivitas dan efisiensi usahatani padi (Fatiwati et al., 2008). Pengembangan
teknologi tanaman hibrida dilandasi oleh fenomena genetik yang disebut heterosis,
yaitu kecenderungan tanaman F1 untuk tampil lebih baik dibanding kedua
tetuanya. Tanaman padi menyerbuk sendiri, sehingga penyerbukan silang pada
dua tanaman padi yang berbeda untuk menghasilkan hibrida hanya dimungkinkan
bila bunga jantan pada tanaman betina bersifat mandul atau dibuat tidak berfungsi,
dengan cara membentuk galur mandul jantan yang hanya berfungsi sebagai bunga
betina (Satoto dan Suprihatno, 2008).
Perakitan padi hibrida di Indonesia dilakukan dengan menggunakan
metode tiga galur (untuk membentuk padi hibrida diperlukan tiga galur tetua)
yaitu galur mandul jantan (GMJ atau CMS atau A), galur pelestari (B), dan galur
pemulih kesuburan atau restorer (R). Galur pelestari (B) dan galur pemulih
kesuburan (R) memiliki tepung sari yang normal (fertil) sehingga mampu
menghasilkan benihnya sendiri. GMJ bersifat mandul jantan sehingga hanya
6
mampu menghasilkan benih bila diserbuki oleh tepung sari dari tanaman lain.
GMJ bila diserbuki oleh galur B pasangannya menghasilkan benih GMJ lagi,
sedangkan bila diserbuki oleh galur R akan menghasilkan benih F1 hibrida/benih
hibrida (Fatiwati et al., 2008). Galur mandul jantan tidak dapat memproduksi
serbuk sari yang berfungsi (viable) karena adanya interaksi antara gen-gen
sitoplasma dengan gen-gen inti sehingga disebut juga Cytoplasmic Male Steril
(CMS), galur pelestari juga sama seperti galur mandul jantan hanya saja
mempunyai serbuk sari yang hidup (viable) sehingga digunakan sebagai
pollinator/penyerbuk untuk melestarikan galur CMS (Hidajat, 2006).
Keunggulan padi hibrida antara lain: 1) hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil padi unggul inhibrida, 2) vigor lebih baik sehingga
lebih kompetitif terhadap gulma, 3) aspek fisiologi meliputi aktivitas perakaran
dan area fotosintesis lebih luas, intensitas respirasi yang lebih rendah dan
translokasi asimilat lebih tinggi, 4) keunggulan pada beberapa karakteristik
morfologi seperti sistem perakaran yang lebih kuat, anakan lebih banyak, jumlah
gabah per malai lebih banyak dan bobot 1000 butir gabah isi yang lebih tinggi
(Fatiwati et al., 2008).
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan padi hibrida di
Indonesia saat ini antara lain: (1) ketersediaan benih murni tetua dan F1 hibrida
kurang memadai, (2) hasil belum stabil dan harga benih mahal (Satoto dan
Suprihatno (2008); Fatiwati et al. (2008)), (3) sistem dan teknologi perbenihan
belum berkembang, (4) varietas padi hibrida yang telah dilepas pada umumnya
masih rentan terhadap hama dan penyakit utama, (5) beberapa varietas padi
hibrida mempunyai mutu beras kurang baik dibandingkan dengan beras premium,
(6) keragaan benih tidak stabil akibat manajemen budidaya yang kurang tepat
(Suprihatno, 2009), (7) jumlah polen tanaman restorer dan stigma CMS yang
kurang reseptif menjadi kendala dalam fertilisasi sehingga menyebabkan
tingginya biji hampa dan rendahnya produksi benih F1 (Suharsi, 2009), (8) petani
harus membeli benih yang baru setiap tanam, karena benih hasil sebelumnya tidak
dapat dipakai untuk pertanaman berikutnya, (9) tidak setiap galur atau varietas
dapat dijadikan sebagai tetua padi hibrida (Fatiwati et al., 2008).
7
Penyimpanan dan Coating Benih
Viabilitas benih adalah kemampuan benih untuk berkecambah dan
berproduksi normal. Viabilitas benih menunjukkan benih itu hidup, aktif
bermetabolisme serta mampu memproduksi enzim yang sesuai dengan reaksi
metabolisme untuk perkecambahan dan pertumbuhan benih. Perkecambahan
benih merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk melihat viabilitas
benih (Copeland dan McDonald, 2001). Viabilitas benih selain ditentukan oleh
faktor genetik juga ditentukan oleh faktor lingkungan seperti lokasi produksi,
cedera mekanik benih, mutu awal benih, perlakuan benih, material kemasan dan
kondisi penyimpanan (Patil dan Shekhargouda, 2007).
Penuaan atau penurunan mutu benih adalah proses yang tidak bisa balik
lagi (ireversibel) dan tak terelakkan. Penurunan persentase perkecambahan selama
periode penyimpanan mungkin disebabkan efek penuaan (menipisnya cadangan
makanan dan penurunan aktivitas sintetik embrio terlepas dari hilangnya viabilitas
dan kondisi penyimpanan) (Kunkur et al., 2007). Penyimpanan benih merupakan
tempat yang dapat memberikan perlindungan terhadap mutu benih sampai benih
tersebut terjual/ditanam, dengan tujuan memperlambat laju deteriorasi benih,
namun penyimpanan tidak meningkatkan mutu benih (Nugraha et al., 2009).
Kerusakan benih dimulai segera setelah masak fisiologis yang tercermin
dari menurunnya viabilitas dan vigor benih. Namun, proses penuaan benih bisa
diperlambat baik dengan menyimpan benih dalam kondisi yang terkendali atau
dengan mengunakan perawatan tertentu pada benih (Copeland dan McDonald,
2001). Seed treatment khusus seperti priming (osmoconditioning atau
matriconditioning), coating, pelleting biasa digunakan untuk meningkatkan
perkecambahan atau melindungi benih dari patogen (Ilyas, 2006). Seed treatment
menggunakan air, mineral maupun bahan organik mampu mengurangi waktu
perkecambahan, meningkatkan persentase perkecambahan dan vigor,
meningkatkan resistensi dengan biaya rendah, mudah dimengerti dan sederhana
(Kulkarni dan Chittapur, 2003).
Pelapisan benih dengan polimer (coating) merupakan salah satu
pra-perlakuan penyimpanan yang dapat digunakan baik secara tunggal atau dalam
kombinasi dengan pestisida lainnya untuk melindungi benih terhadap serangan
8
hama dan penyakit. Coating benih merupakan pelapisan benih menggunakan
material tertentu yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan
perkecambahan benih tanpa merubah bentuk dasar benih tersebut. Tujuan dari
pelapisan ini adalah untuk mengaplikasikan manfaat dari suatu zat terhadap benih
seperti insektisida, fungisida, hara mikro dan komponen lainnya yang dapat
membantu mengoptimumkan perkecambahan benih di semua kondisi lingkungan
(Copeland dan McDonald, 2001). Coating juga dapat memperlambat penurunan
mutu benih yang ditunjukkan dengan vigor benih yang tinggi (Giang dan Gowda,
2007) serta dapat mengurangi dampak kerusakan lingkungan akibat penggunaan
fungisida di lapang dan dapat digunakan untuk menggabungkan manfaat bahan
kimia dan biologi (Kaufman, 1991). Seed coating memberikan peluang untuk
pelapisan yang lebih baik dengan beberapa material yang dapat memperbaiki
perkecambahan dan pertumbuhan benih (Kunkur et al., 2007). Coating benih
merupakan salah satu pendekatan yang paling ekonomis untuk meningkatkan
kinerja benih (Copeland dan McDonald, 2001).
Tetua betina padi hibrida memiliki kendala di penyimpanan karena
masalah sistem pemandulan jantan (Patil dan Shekhargouda, 2007). Genetik padi
hibrida telah direkayasa melalui sistem CMS, sehingga benih padi yang dihasilkan
memiliki glume yang terbuka. Hal ini mendukung pertumbuhan jamur di
penyimpanan dan pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan daya simpan
benih. Akibatnya, laju kemunduran mutu benih di penyimpanan menjadi cepat
(Srivastava et al., 2008). Padi hibrida juga memiliki mutu fisik yang kurang tahan
terhadap serangan hama penyakit (dapat mencapai 30%) (Dadang et al., 2009).
Viabilitas benih padi hibrida sekitar 85% dalam suhu kamar hanya dapat
dipertahankan sampai tiga bulan, selanjutnya akan menurun secara signifikan
(Pablico, 2006).
Kadar air merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan juga
dalam penyimpanan dimana kadar air akhir yang diharapkan untuk benih padi
adalah 11% (penyimpanan dalam suhu kamar selama satu tahun) atau di bawah
9% untuk penyimpanan lebih lama. Makin rendah kadar air benih, makin tinggi
pula daya simpannya namun semakin peka benih terhadap kerusakan mekanis
(Nugraha et al., 2009).
9
Penelitian terhadap pengaruh perlakuan benih yang diberikan maupun
tempat penyimpanan benih terhadap kadar air dan viabilitas benih di penyimpanan
juga dilakukan oleh Giang dan Gowda (2007) dimana benih padi hibrida (KRH-2)
yang di-coating menggunakan polimer (W Yellow)+kaptan+thiaram+gouch+
super red 1 ml/kg pada 10 bulan penyimpanan, memiliki kadar air yang lebih
aman (<13%) dengan daya berkecambah 85.70% sementara benih yang disimpan
dalam kain mengalami peningkatan kadar air yaitu sebesar 14.30% serta
penurunan viabilitas yang ditunjukkan dengan rendahnya daya berkecambah yaitu
62.00%. Nugraha, et al. (2009) menambahkan bila penyimpanan benih yang
diperlukan hanya sekitar enam bulan, maka pengeringan sampai kadar air 11-12%
sudah memadai, kemudian harus dikemas dengan kantong polyethilen/
polypropylene 0.08 mm (grade 8) kedap udara agar viabilitas benih dapat
dipertahankan tetap tinggi.
Sebelumnya, penelitian sejenis juga dilakukan oleh Nghiep dan Gaur
(2005) pada benih padi hibrida dan tetuanya (PRH 10, P6-A, P6-B, PRR-78,
DRRH1, IR28025-A, IR28025-B, IR40750-R) yang diberi perlakuan 2.50 g/kg,
Vitavax, Thiram dan Mancozeb terbukti dapat mempertahankan perkecambahan
diatas standar minimum sertifikasi benih (>80%) setelah 6 bulan penyimpanan
dalam plastik polyethylene karena mampu mengurangi cendawan terbawa benih
seperti Bipolaris oryzae, Alternaria padwickii, Curvularia lunata dan lainnya.
Residu kimia(Vitavax, Thiram dan Mancozeb)tersebut juga masih aktif setelah
penyimpanan 6 bulan dibuktikan melalui tes zona penghambatan yaitu sebesar
87.50%, 82.50% dan 65.90%
Thobunluepop et al. (2008) melaporkan coating menggunakan polimer
biologis kitosan-lignosulphonate (CL) dan eugenol yang dimasukkan dalam
kitosan-lignosulphonate polimer (E+CL) dapat mempertahankan daya simpan
benih padi varietas Khao Dawk Mali 15 hingga 12 bulan penyimpanan, serta
merangsang dan memperbaiki perkecambahan benih. Perbaikan ini berkaitan
dengan pertahanan cadangan nutrisi dan aktivitas dehidrogenase dalam benih.
Perlakuan kitosan juga diduga menginduksi aktivitas fitohormon di dalam benih
yang mempengaruhi perkecambahan. Sementara E+CL berfungsi sebagai
antifungal yang melindungi benih dari infeksi selama di penyimpanan.
10
Pada benih jagung, penelitian serupa dilakukan oleh Sangamnathrao
(2009) yang membuktikan penyimpanan benih jagung hibrida NAH-2049
(Nityashree) dalam plastik polyethylene selama 12 bulan menunjukkan persentase
perkecambahan lebih baik (88.70%) dibanding penyimpanan dalam kantong kain
(84.90%). Hal ini mungkin dipengaruhi plastik yang kedap udara sehingga
mampu mengurangi pengaruh lingkungan seperti fluktuasi kelembaban dan suhu.
Selain itu, seed coating menggunakan polimer (polykote 3 ml/kg biji) + fungisida
+insektisida juga terbukti mempengaruhi perkecambahan benih selama
penyimpanan (98.20% - 90.70%) dibanding kontrol (95.70% - 83.40%) dan
priming (97.80 - 82.50) serta mempengaruhi keberadaan penyakit pada benih
yaitu (0.00% - 4.35%) untuk seed coating menggunakan polimer (polykote 3
ml/kg biji)+ fungisida+insektisida, (0.20% - 9.48%) kontrol dan (0.07% - 11.63%)
pada priming. Coating menggunakan polimer+fungisida dan insektisida diduga
mengurangi efek enzim-enzim penuaan (seperti katalase dan peroksidase) dan
memproteksi benih dari serangan jamur serangga maupun fisiologis sehingga
viabilitas benih di penyimpanan dapat dipertahankan.
Coating juga sudah diterapkan pada beberapa jenis benih lain seperti
pada benih kacang panjang, Sari (2009) menyatakan perlakuan coating arabic
gum 0.25 g/ml+TD-L2 mampu menghasilkan nilai indeks vigor tertinggi setelah
disimpan selama dua belas minggu yaitu 85.00%. Kunkur et al. (2007)
menyatakan benih kapas yang dilapisi dengan thiram 1.50 g/kg benih dan
imidacloprid 7.50 g/kg benih terbukti secara signifikan menghasilkan
perkecambahan lebih tinggi (77.40%) dibandingkan dengan kontrol (52.00%).
Sementara Setiyowati et al. (2007) menemukan bahwa perlakuan coating dengan
benomil 2.5 g/l dan tepung curcuma 1 g/l mampu menekan tingkat infeksi
Colletotrichum capsici secara nyata hingga 2% pada benih cabai sementar kontrol
26%, setelah berkecambah tingkat infeksi penyakit C. Capsici ini pun mampu
ditekan hingga 0% dibandingkan kontrol (25.87%).
11
Antioksidan
Daya tahan benih terhadap laju kemunduran juga dipengaruhi oleh
aktivitas enzim oksidasi. Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat
menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus,
antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi
antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid. Penghambatan oksidasi oleh
antioksidan berperan penting dalam mempertahankan mutu produk dari berbagai
kerusakan seperti ketengikan, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik
lain (Priambodo et al., 2009). Antioksidan adalah substansi yang diperlukan untuk
menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkannya dengan
melengkapi kekurangan elektrolit yang dimiliki radikal bebas dan menghambat
terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat
menimbulkan stres oksidatif (Rachmawati, 2010).
Kemunduran benih disebabkan oleh terjadinya perubahan srtuktur sel
yang akhirnya menyebabkan sel kehilangan fungsinya. Peroksidasi lipid
merupakan penyebab utama terjadinya degenerasi sel melalui radikal bebas yang
menyerang struktur dan molekul sel yang penting seperti mitokondria, enzim
dan membran (Ahmed et al., 2009). Radikal bebas merupakan jenis oksigen yang
memiliki tingkat reaktif tinggi dan secara alami ada sebagai hasil dari reaksi
biokimia. Selain itu, radikal bebas juga terdapat di lingkungan akibat polusi udara,
asap tembakau, penguapan alkohol yang berlebihan, bahan pengawet dan pupuk,
sinar ultra violet, x-rays dan ozon. Radikal bebas dapat merusak sel apabila
kekurangan zat antioksidan, merusak membran sel merubah zat kimia serta
merusak dan menonaktifkan protein. Hal ini menyebabkan cepatnya terjadi proses
penuaan (Rachmawati, 2010).
Vitamin C atau asam askorbat merupakan senyawa antioksidan alami,
dan larut dalam air yang dapat melindungi sel dari stres ekstraselular, sifat
antioksidan tersebut berasal dari gugus hidroksil dari nomor C dua dan tiga, yang
mendonorkan ion H+ bersama-sama dengan H elektronnya menuju ke berbagai
senyawa oksidan seperti radikal bebas dengan gugus oksigen
atau nitrogen, peroksida dan superoksida (Wikipedia, 2011). Pada benih
Helianthus annus L. dan Brassica napus L., Dolatabadian dan Modarressanavy
12
(2008) membuktikan pemberian 10 ml asam askorbat dan piridoksin (konsentrasi
100, 200 dan 400 ppm) pada benih dapat meningkatkan persentase
perkecambahan, panjang tunas dan akar serta berat kering kecambah dibanding
kontrol secara nyata. Asam askorbat dan piridoksin diduga mampu mencegah
degradasi protein dan peroksidasi lipid pada kecambah.
Penelitian mengenai pengaruh aplikasi asam askorbat pada benih untuk
meningkatkan toleransi benih terhadap cekaman sudah banyak dilakukan seperti
Shalata dan Neumann (2001) yang melaporkan bibit tomat yang diberi perlakuan
selama 9 jam dengan 300 mM NaCl dan 0,5 mM asam askorbat menunjukkan
pemulihan yang cepat dari kelayuan hingga 50% dibanding perlakuan tanpa asam
askorbat (0%). Peningkatan ketahanan tanaman terhadap cekaman garam
dikaitkan dengan kegiatan anti-oksidan asam askorbat dan penghambatan
sebagian garam yang disebabkan peningkatan peroksidasi lipid dengan spesies
oksigen aktif.
Ahmad et al. (2012) menambahkan priming dengan 20 ml/l H2O2,
20 mg/l salisilat dan 20 mg/l askorbat dapat meningkatkan toleransi terhadap suhu
dingin pada perkecambahan benih jagung hibrida ditunjukkan dengan kecepatan
perkecambahan, tunas dan pertumbuhan akar yang baik serta tingginya aktivitas
enzim antioksidan. Sementara, Hamama dan Murniati (2010) memperoleh hasil
perlakuan asam askorbat konsentrasi 55 mM mampu meningkatkan viabilitas dan
vigor benih jagung varietas Arjuna dan Bisma yang ditanam pada kondisi tekanan
osmotik -0.6 Mpa (cekaman kekeringan) ditandai dengan meningkatnya daya
berkecambah, kecepatan tumbuh, indeks vigor, panjang akar primer 5 dan 7 hari
setelah tanam, panjang dan jumlah akar seminal, panjang pucuk, tinggi bibit,
jumlah dan luas daun hingga umur 4 minggu setelah cekaman.
Asam askorbat juga bertindak sebagai penangkap radikal bebas dan
berperan dalam menjaga kestabilan tingkat kemasaman membran sel untuk
menjaga stabilitas kinerja enzim antioksidan dan enzim metabolisme selama
periode simpan. Lumbanraja (2006) menyatakan bahwa perendaman benih dengan
asam askorbat diduga dapat merangsang pembentukan AsA (Ascorbic acid) dan
aktivitas AsC (Ascorbate) peroksida dalam benih sehingga memiliki potensi
berkecambah lebih baik karena peningkatan pertumbuhan dan pembesaran sel.
13
Hal ini dibuktikan dengan perlakuan perendaman benih pepaya sebelum
peyimpanan dengan asam askorbat memiliki nilai potensi tumbuh maksimum
(PTM) tertinggi pada 0 minggu sebesar 81.33%, minggu ke-6 dan ke-9 sebesar
92.00% dengan nilai daya berkecambah (DB) 69.33% lebih tinggi dibanding
kontrol, dan viabilitas benih sebesar 74.67% dapat dipertahankan sampai pada
minggu ke-9.
Ekmekci dan Karaman (2012) menyimpulkan asam askorbat
meningkatkan sintesis protein dalam perkecambahan benih, termasuk sintesis dari
protein baru protein dan akumulasi protein yang sudah ada. Ini menunjukkan
bahwa pemberian asam askorbat pada tanaman dapat memicu beberapa proses
fisiologis yang tidak diketahui dan kemudian memacu perkecambahan benih,
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)
PGPR merupakan bakteri pemacu pertumbuhan tanaman yang hidup di
rizosfer tanaman serta dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati beberapa
jenis patogen. Perlakuan benih dengan PGPR dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan tanaman seperti lipopolisakarida, siderofor dan asam salisilat. Sifat
endofitik (menjajah dan bertahan dalam ruang antar sel epidermis) menyebabkan
PGPR tepat digunakan saat vegetatif tanaman karena dapat mengurangi
kebutuhan untuk aplikasi lebih lanjut jika bagian-bagian vegetatif yang sama
digunakan sebagai bahan propagatif (Ramamoorthy et al. 2000).
PGPR juga menghasilkan senyawa promotor pertumbuhan tanaman
termasuk enzim 1-aminocyclopropane-1-carboxylate (ACC) deaminase yang
dapat digunakan untuk memanfaatkan ACC sebagai sumber nitrogen tunggal
dalam metabolisme amonia dan á-ketobutyrate. PGPR yang mengandung ACC
deaminase, ketika terikat dengan kulit benih dari bibit yang berkembang,
melakukan mekanisme untuk memastikan dosis etilen tidak meningkat ke titik di
mana pertumbuhan akar terganggu. Etilen diperlukan banyak tanaman untuk
perkecambahan biji tetapi konsentrasi yang tinggi dari etilen dapat menghambat
pertumbuhan tanaman (Abbaspoor et al., 2009). Selain memacu pertumbuhan
tanaman, bakteri penghasil ACC deaminase yang merupakan enzim sitoplasma
14
juga berperan dalam meningkatkan daya tahan tanaman terhadap cekaman (stress)
yang ditimbulkan oleh berbagai faktor biotik (serangan patogen) maupun abiotik
(lingkungan). Bakteri ini mampu mengurangi tingkat cekaman tanaman dengan
mengendalikan pembentukan hormon etilen yang dipicu oleh berbagai faktor
biotik dan abiotik ekstrim (Husen, 2012).
Mekanisme pertahanan bakteri terhadap patogen tanaman dijelaskan juga
oleh Asrul et al. (2004) yaitu di dalam rhizosfer perakaran, eksudat yang
dikeluarkan oleh akar tanaman terutama ujung akar merupakan sumber nutrisi
penting bagi bakteri sehingga bakteri akan terangsang untuk bergerak,
bermultiplikasi dan mengkolonisasi daerah perakaran tanaman. Kolonisasi bakteri
ini memberikan perlindungan khususnya di daerah perakaran tanaman karena
menyebabkan kompetisi dan mekanisme antagonis (produksi antibiosis) terhadap
patogen sehingga patogen sulit melakukan penetrasi ke tanaman.
Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri aerob yang bersifat gram
negatif, berbentuk batang dengan ukuran 0.50-1.00 – 1.50-4.00 m serta mampu
membentuk siderofor (pigmen kuning kehijauan) pada media yang kekurangan
ion Fe seperti King’s B. Koloni bakteri ini berbentuk bulat, rata dan fluidal.
Tumbuh baik pada kisaran suhu 20 - 410C, dengan pH optimum pada kisaran 6-7
dan suhu optimum pada 300 C. Bakteri P. fluorescens juga tidak bersifat patogen
terhadap tumbuhan sehingga dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan
tanaman / plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dan sebagai agens
antagonis terhadap patogen tanaman (Arwiyanto et al., 2007).
Khakipour et al. (2008) menyatakan bakteri Pseudomonas, khususnya P.
fluorescens dan P. putida adalah jenis yang paling penting dari PGPR karena
mampu memproduksi IAA. Uji sekresi senyawa auksin yang dilakukan pada 23
strain P. fluorescens menunjukkan 18 strain bakteri ini mampu memprouksi IAA
dengan kisaran 0.04-7.08 mg/l. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Sutariati et al. (2006) memperoleh hasil Bacillus sp., Pseudomonas sp., dan
Serratia sp. merupakan PGPR yang dapat menghasilkan IAA, Bacillus sp.
memproduksi IAA dengan kisaran konsentrasi antara 25.99-34.97 mg/ml filtrat,
sedangkan kelompok Pseudomonas sp. antara 28.51-100.56 mg/ml filtrat, dan
Serratia sp. antara 24.16-27.98 mg/ml filtrat, auksin tertinggi dihasilkan oleh
15
P. fluorescens Pf01 sebesar 100.56 mg/ml. Penelitian serupa yang dilakukan
Wahyudi et al. (2011) menunjukkan Pseudomonas spp. mampu menghasilkan
auksin dengan kisaran bervariasi antara 0.33 ppm hingga 23.04 ppm.
P. fluorescens juga terbukti memegang peranan penting dalam memacu
pertumbuhan tanaman pada benih padi varietas Basmati tipe-3 yang direndam
menggunakan bakteri P. fluorescens AK1 dan P. aeruginosa AK2. Kemampuan
perakaran padi yang diberi perlakuan bakteri pada benihnya dalam mensekresikan
auksin pada perakaran secara nyata berbeda dengan kontrol, yaitu P. fluorescens
AK1 sebesar 2.30 pmol/ml, P. aeruginosa AK2 sebesar 2.10 pmol/ml) sementara
kontrol sebesar 1.60 pmol/ml (Karnwal, 2009). Kombinasi aplikasi P. fluorescens
(10 g/kg benih) untuk pelapisan benih padi (ADT 43) kemudian aplikasi pada
tanah sebesar 30 DAS (50 kg) dan aplikasi semprot (0.20%) 60-75 DAS efektif
mengurangi penyakit bakteri leaf blight/Xanthomonas oryzae pv. oryzae (1.11%)
dibanding kontrol (60%) serta meningkatkan hasil panen (4.10 t/ha) dibanding
kontrol (1.20 t/ha) (Jeyalakshmi et al., 2010).
Tanggapan gandum dan kacang polong yang diinokulasi dengan bakteri
strain Pseudomonas, Bacillus, Kocuria, dan Microbacterium, dan spesies
Cellulomonas, memberikan respon positif secara signifikan atas kontrol pada
pertumbuhan akar dan tunas, serta peningkatan nodulasi kacang polong, hal ini
mungkin disebabkan strain bakteri menghasilkan indole-3 asam asetat (IAA),
yang paling mungkin menyumbang efek sinergis keseluruhan pada pertumbuhan
kacang polong dan gandum (Egamberdieva, 2008). Perlakuan benih dengan
berbagai isolat rizobakteri (16 isolat Bacillus sp., 5 isolat Pseudomonas sp. dan
4 isolat Serratia sp.) memberikan dampak positif terhadap perkecambahan benih
dan pertumbuhan bibit cabai (Tit Super) pada 6 dan 8 minggu setelah pindah
tanam (msp) hingga 66 dan 87%, jumlah daun pada 6 dan 8 msp hingga 39 dan
68%, serta biomasa kering bibit pada 8 msp hingga 347% dibandingkan perlakuan
standar (Sutariati, 2006). Seed coating menggunakan 20% arabic gum dan bakteri
P. putida strain R-168, P. fluorescens strain R-93, P. fluorescens DSM 50090,
P. putida DSM 291, A. brasilense DSM 1690 (108 cfu/ml) pada benih jagung
(SC 647) mampu menstimulasi perkecambahan dan vigor benih jagung hingga
18.50% dibanding benih tanpa perlakuan, diduga hal ini karena peningkatan
16
sintesis hormon seperti giberelin dan aktivitas enzim promotor pertumbuhan
seperti amilase (Gholami et al., 2009).
P. fluorescens berpotensi juga sebagai agen biokontrol beberapa jenis
patogen seperti Rhizoctonia solani dengan memproduksi siderofor yang
menghambat pertumbuhan miselium R. solani (Kazempour, 2004). Siderofor yang
disekresikan berikatan dengan Fe3+ yang tersedia di rizosfer dan dengan demikian
secara efektif mencegah pertumbuhan patogen di wilayah itu (Kumar et al., 2002).
Bacillus subtilis (BSCBE4), P. chlororaphis (PA23), P. fluorescens endophytic
(ENPF1) dapat menghambat pertumbuhan miselia patogen hawar batang
Corynespora casiicola (Berk dan Curt) dengan memproduksi hydroxamate dan
jenis karboksilat siderofor. Siderofor yang maksimal diperoleh dari isolasi ENPF1.
Aplikasi BSCBE4, PA23 dan ENPF1 juga menyebabkan peningkatan enzim
pertahanan terkait seperti peroksidase, polifenol oksidase, kitinase dan b-1, 3
glukanase pada Phyllanthus amarus (Mathiyazhagan, 2004).
Strain P. fluorescens juga mampu memacu peningkatan empat enzim
pertahanan yaitu Peroksidase (PO), katalase, Fenilalanin Amonia liase (PAL) dan
Fenol Poli oksidase (PPO) dalam black pepper dan dapat dispekulasikan bahwa
kegiatan enzim yang diinduksi P. fluorescens ini mungkin berhubungan dengan
sintesis senyawa bio-fenolik dan lignin yang telah dianggap sebagai penentu
utama dalam menginduksi resistensi sistemik terhadap penyakit busuk akar
(Phytophthora capsici) (Paul dan Sarma, 2005). Coating menggunakan bakteri P.
fluorescens (Pf-1) pada benih kapas sebanyak 10 g/kg benih terbukti mampu
menurunkan populasi Amrasca devatsans sebesar 53.34% dibanding kontrol, P.
fluorescens juga terbukti mampu meningkatkan perkecambahan hingga 42.78%
dibanding kontrol, hal ini mungkin berhubungan dengan kemampuan
Pseudomonas dalam memproduksi senyawa-senyawa yang berhubungan dengan
mekanisme pertahanan maupun pertumbuhan tanaman (Murugesan dan Kavitha,
2009).
Hidayah (2010) menambahkan P. fluorescens banyak digunakan sebagai
agen hayati yang potensial karena: habitat alami bakteri ini adalah pada partikel
bahan organik dan rizosfer, P. fluorescens menggunakan sejumlah besar bahan
organik dan eksudat akar yang dapat menstimulasi pertumbuhannya, laju
17
pertumbuhan P. fluorescens relatif cepat dibanding bakteri lain di rizosfer,
kebutuhan nutrisi yang mudah, pengkoloni akar yang agresif, menghasilkan
berbagai macam senyawa penghambat serta dapat mempengaruhi ketahanan
tanaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arwiyanto et al. (2007)
menunjukkan P. fluorescens Pf 22, 23, 30, 42, 51 dan 83, tidak menimbulkan
reaksi hipersensitifitas (nekrosis) pada daun tembakau. Keenam isolat bakteri
tersebut mampu menghambat pertumbuhan Meloidogyne incognita dengan
membentuk enzim gelatinase yang mampu menghidrolisis gelatin (bahan tipis
penyelimut massa telur nematoda). P. fluorescens Pf 23, Pf 30 dan Pf 83 juga
mampu menghambat pertumbuhan Ralstonia solanacearum in vitro melalui
mekanisme penghambatan bakteriostatik dengan zona hambatan (mm) 7.50, 11.00
dan 3.30. Hal ini menandakan isolat P. fluorescens dapat digunakan sebagai calon
agensia pengendalian hayati patogen tumbuhan yang tidak bersifat patogen
terhadap tumbuhan. Hasil penelitian Asrul et al. (2004) menunjukkan coating
pada benih tomat menggunakan bakteri antagonis Pf-20 Wildtype atau mutan
Pf-20 NalRif dapat mengurangi keparahan penyakit layu bakteri dengan indeks
penyakit sebesar 61.10 - 70.36%.
Inokulasi P. fluorescens dapat digunakan untuk merevegetasi lahan
terganggu melalui produksi beberapa fitohormon, termasuk indole-3-asam asetat
(auksin). Selain itu, P. fluorescens strain B16 dan M45 juga memproduksi 502.40
dan 206.10 mg/l fosfat terlarut dari Ca3(PO4)2 dan hydroxyapati (Jeon et al. 2003).
Pseudomonas sp. juga dapat diinokulasikan pada tanah salin sebagai fitoremidiasi
yang layak dan efektif, terbukti dari hasil penelitian yang menunjukkan penurunan
salinitas tanah secara signifikan pada selang 5% setelah diinokulasi P. fluorescens
strarin 153 dan 169, P. putida strain 108 dan 4 dengan indikator hasil panen
sorghum meliputi hasil biji, berat kering (hasil biologis), gabah per malai, berat
1000-butir dan jumlah anakan (Abbaspoor et al., 2009).
Kemampuan bertahan hidup bakteri dalam formula coating dipengaruhi
oleh lingkungan dan bahan pembawanya. Asrul et al. (2004) menjelaskan bakteri
P. putida (Pf-20 wildtype) yang di-coating pada benih tomat dengan bahan
perekat arabic gum 1% mampu bertahan hidup hingga 28 hari pada suhu dan
kelembaban udara ruang simpan 27-280C dan 52-55%, diduga suhu dan
18
kelembaban udara juga mempengaruhi ketahanan hidup bakteri, suhu lingkungan
yang tinggi dapat menyebabkan bakteri cepat mengalami penurunan viabilitas
akibat membran sitoplasma bakteri yang mengalami koagulasi dan denaturasi
protein.
Wuryandari (2004) menyatakan penyalutan benih tembakau varietas
Deli-4 menggunakan bakteri P. putida strain Pf-20 dengan konsentrasi 1010 cfu/ml
dalam formula gambut+talk sebagai pembawa dan CMC+arginin sebagai
perekat/aditif mampu mempertahankan populasi hidup bakteri hingga tiga bulan.
Kader et al. (2012) mengemukakan coating benih sayuran (tomat, timun, melon
dan lada) menggunakan bakteri antagonis P. fluorescens 105-106 cfu/ml dengan
bahan pembawa (2:1 untuk pembawa dan suspensi bakteri) serbuk gergaji dan 1
gr serbuk gergaji+0.1 gr CMC, mampu mempertahankan viabilitas bakteri hingga
10 bulan (34.4 cfu/gr-23.8 cfu/gr) dan (34.4 cfu/gr-34.0 cfu/gr). Namun jumlah
populasi bakteri yang tinggi tidak signikan bila dibandingkan dengan kemampuan
antagonis bakteri terhadap kemampuan mengendalikan jamur-jamur penyebab
busuk akar (Fusarium solani, Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, Sclerotinia
sclerotiorum and Pythium)yaitu hanya berkurang pada kisaran (0.70-7.80 %) dan
(0.10-6.60 %) bila dibandingkan dengan perlakuan 1 gr serbuk gergaji+0.5 gr
bedak bubuk+0.5 ml kitosan yang populasinya (34.40 cfu/gr-8.40 cfu/gr) tetapi
mampu mengurangi jamur perakaran hingga 15.50-36.20 %. Hal ini mungkin
karena jumlah populasi tidak mempengaruhi kemampuan antagonis bakteri, tidak
dipengaruhi jumlah populasi melainkan kemampuan aktif bakteri.