14
TINJAUAN PUSTAKA Narkoba Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain sebagainya (Kurniawan 2008). Narkoba dibagi dalam 3 jenis : 1. Narkotika 2. Psikotropika 3. Zat adiktif lainnya Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau ketagihan yang sangat berat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009). Jenis narkotika di bagi atas 3 golongan : a. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif sangat tinggi menyebabkan ketergantungan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah heroin tidak murni berupa bubuk. b. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memilki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol. c. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: codein dan turunannya (Martono 2006). Psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan prilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997).

TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · murni berupa bubuk. b. ... Hipoglikemia atau gula darah rendah, yang menyebabkan berbagai gejala seperti kecemasan, kelelahan, depresi dan

Embed Size (px)

Citation preview

4

TINJAUAN PUSTAKA

Narkoba

Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi

seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh

manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain

sebagainya (Kurniawan 2008). Narkoba dibagi dalam 3 jenis :

1. Narkotika

2. Psikotropika

3. Zat adiktif lainnya

Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau ketagihan yang sangat

berat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009).

Jenis narkotika di bagi atas 3 golongan :

a. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya

adiktif sangat tinggi menyebabkan ketergantungan. Tidak dapat

digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu

pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah heroin tidak

murni berupa bubuk.

b. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memilki daya adiktif kuat,

tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: petidin dan

turunannya, benzetidin, betametadol.

c. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif

ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh:

codein dan turunannya (Martono 2006).

Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan

narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan

syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan

prilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa (Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 5 tahun 1997).

5

Jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan :

a. Golongan I : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat

untuk menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk

pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya seperti esktasi

(menthylendioxy menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul),

sabu-sabu (berbentuk kristal berisi zat menthaphetamin).

b. Golongan II : adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk

menyebabkan sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan

dan penelitian. Contoh : ampetamin dan metapetamin.

c. Golongan III : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang

berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: lumubal,

fleenitrazepam.

d. Golongan IV : adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan berguna

untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: nitra zepam, diazepam

(Martono 2006).

Rehabilitasi

Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No. 996 tahun 2002, rehabilitasi

adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui

pendekatan medis, psikologis, sosial, dan religi agar pengguna narkoba yang

menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional

seoptimal mungkin. Sarana pelayanan rehabilitasi merupakan tempat yang

digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan

ketergantungan narkoba berupa kegiatan pemulihan dan pengembangan secara

terpadu baik fisik, mental, sosial, dan agama. Program rehabilitasi yang

digunakan yaitu therapeutic community.

Therapeutic community (TC) merupakan lingkunga yang bebas dari obat-

obatan, dimana individu dengan masalah ketergantungan hidup bersama dengan

satu cara yang terstruktur dan terorgaanisasi dalam rangka membuat perubahan

dan memungkinkan kehidupan yang terbebas dari obat-obatan di masyarakat

luar nantinya. TC merupakan program rumahan yang memiliki perencanaan

tinggal selama 15 sampai 24 bulan (Holbrook et al. 2002). TC memfokuskan

pada resosialisasi dari individu dan penggunaan seluruh komunitas dari program

residen. TC merupakan treatment yang terstruktur dan menjadi konfrontasional

6

dengan aktivitas yang dirancang untuk membantu residen menguji kepercayaan

diri, konsep diri serta, pola perilaku yang salah.

Tahapan dalam Program TC

a. Primary

Dalam pusat treatment diajukan sebagai metoe de Leon dalam Armna

(2008). Selama periode kurang lebih 6-12 bulan residen akan tinggal

bersama dengan teman sebayanya. Di dalam lingkungan yang memiliki

struktur hirarkis dan dalam suasana penerimaan dan kenyamanan,

mereka akan belajar untuk mengekspresikan diri dan merubah perilaku

mereka dengan bantuan encounter groups dan metode therapeutic.

Melalui metode ini dipercayai residen akan mencapai tahapan baru dalam

identitas diri dan mendapatkan self insight yang lebih baik.

b. Re-entry

Setengah tahun berikutnya, residen akan berpindah secara bertahap dari

pusat treatment dan kembali ke rumahnya masing-masing. Pendekatan

pada tahap ini lebih kepada perseorangan dan residen secara perlahan

namun pasti melanjutkan kembali hubungan dengan dunia luar. Setelah

lulus dari program residen akan mencapai tahapan baru dalam identitias

sosial, bersamaan dengan insight yang lebih baik dalam tempatnya di

lingkungan.

Kecanduan obat dan alkohol adalah penyakit kompleks. Menurut National

National Institute on Drug Abuse (NIDA), kecanduan narkoba adalah penyakit

otak kronis. Hal ini dianggap penyakit otak karena penelitian telah menunjukkan

bahwa obat dan alkohol secara fisik mengubah struktur otak dan kerja otak.

Secara khusus, obat-obatan dan alkohol mengubah bidang otak yang dapat

mengakibatkan gangguan penilaian, kurangnya kontrol diri, ketidakmampuan

untuk mengatur emosi, dan kurangnya motivasi, memori atau fungsi belajar.

Kecanduan menyebabkan perubahan fisik maupun yang psikologis. Perubahan

fisik sering dapat menyebabkan ketidakseimbangan biokimia berat (atau

memperburuk kerentanan yang sudah ada), kekurangan gizi, dan masalah

pencernaan. Obat-obatan dan alkohol hanya sementara mengubah mood

seseorang atau keadaan emosional. Setelah efek hilang, pengguna sering

mencari lagi dosis jangka pendek (Miller 2010).

Selain itu, ketidakseimbangan biokimia, kecenderungan genetik (yaitu,

kebutuhan gizi, metabolisme), alergi makanan, pilihan diet yang buruk, tekanan

7

psikologis atau mental, terkena racun dan tekanan sosial dapat membuat

seseorang lebih rentan terhadap kecanduan atau membuat lebih sulit bagi

seseorang untuk tetap bersih dan sadar. Akibat dari obat-obatan antara lain

(Miller 2010):

1. Bahan kimia otak yang disebut neurotransmitter rusak.

2. Hipoglikemia atau gula darah rendah, yang menyebabkan berbagai gejala

seperti kecemasan, kelelahan, depresi dan serangan panik, serta fungsi

adrenal menurun.

3. Masalah pencernaan seperti pertumbuhan jamur berlebih, Leaky Gut

Syndrome, dan malabsorpsi zat gizi.

4. Alergi makanan atau sensitif terhadap makanan seperti jagung, gandum,

gula, dan produk susu.

5. Kekurangan zat gizi, asam amino, vitamin, dan mineral.

Program pemulihan yang dilakukan secara tradisional membantu banyak

orang di seluruh dunia. Program holistik yang berakar pada gizi dilaporkan

sukses besar. Kathleen Des Maisons, Ph.D. dan presiden Pemulihan Radiant di

Burlingame, California, melaporkan tingkat keberhasilan 92 persen pecandu

alkohol dengan program gizi. Joan Mathews Larson, direktur pusat pemulihan

kesehatan, melaporkan tingkat pemulihan 70 persen seseorang ketergantungan

obat dengan malnutrisi. Selain aspek-aspek psikologis dari kecanduan, program

gizi fokus pada aspek fisik dari kecanduan. Mereka bekerja untuk memperbaiki

ketidakseimbangan biokimia, memperbaiki kekurangan gizi, dan mengelola

masalah pencernaan, memperbaiki dan menstabilkan tingkat energi, suasana

hati, dan kejernihan mental, yang menyebabkan keberhasilan pemulihan

(Atkinson 2009 dalam Miller 2010).

Makanan yang tepat dan gizi yang penting dalam program pemulihan

ketergantungan untuk menjaga tubuh dan otak kuat dan berfungsi dengan baik.

Masalah biokimia dan kesehatan dapat dikurangi dengan mengubah kebiasaan

makan dan pilihan makanan (Miller 2010).

Penyelenggaraan Makanan

Penyelenggaraan makanan adalah rangkaian kegiatan mulai dari

perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen

dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian

makanan yang tepat dan termasuk kegiatan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi

(Depkes 2003).

8

Penyelenggaraan makanan institusi merupakan suatu proses

menyelenggarakan makanan bagi kelompok individu yang biasanya

diselenggarakan di perusahaan dan industri, sekolah, universitas, asrama, rumah

sakit, panti jompo, institusi khusus (lembaga permasyarakatan, asrama atlet, dan

asrama haji), child care centre, dan akademi militer. Penyelenggaraan makanan

institusi dilaksanakan dalam jumlah besar dengan jumlah 50 porsi atau lebih.

Pendapat lain menyatakan bahwa penyelenggaraan makanan institusi atau

massal minimal 1000 porsi sekali penyelenggaraan (Mukrie et al. 1990).

Pelaksanaan penyelenggaraan makanan meliputi perencanaan anggaran

belanja makanan, perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan,

penyediaan, penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran bahan makanan,

persiapan, pengolahan, penyaluran makanan hingga pencatatan, dan pelaporan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Manajemen penyelenggaraan makanan

sendiri sebenarnya berfungsi sebagai sistem dengan tujuan untuk menghasilkan

makanan yang berkualitas baik (Mukrie et al. 1990).

Fungsi-fungsi manajemen dalam gizi institusi mencakup perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Fungsi perencanaan meliputi

perencanaan ruangan, perencanaan peralatan, perencanaan menu, dan

perencanaan anggaran. Fungsi pengorganisasian meliputi struktur organisasi,

kepegawaian, serta pengarahan dan koordinasi. Fungsi pelaksanaan meliputi

pembelanjaan, penerimaan, penyimpanan, pengolahan, penyajian/

pendistribusian serta higiene dan sanitasi pangan. Fungsi pengawasan meliputi

pengawasan makanan, pegawai, dan biaya. Apabila manajemen pengelolaan

gizi institusi baik maka pangan yang tersedia bagi seseorang atau sekelompok

orang dapat tercukupi (Uripi 2003).

Menu berasal dari bahasa Perancis yang artinya detail atau rincian

hidangan untuk setiap waktu makan. Perencanaan menu adalah serangkaian

kegiatan menyusun berbagai hidangan dengan variasi dan komposisi yang

serasi dan seimbang (DBGM 1991).

Menurut Mukrie et al. (1990), perencanaan menu adalah serangakaian

kegiatan menyusun berbagai hidangan dalam variasi yang serasi untuk

manajemen penyelenggaraan makanan di institusi. Perencanaan menu yang

baik mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

a. Memudahkan pelaksanaan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari.

9

b. Dapat disusun hidangan yang mengandung zat-zat gizi esensial yang

dibutuhkan tubuh.

c. Variasi dan kombinasi hidangan dapat diatur.

d. Menu dapat disusun dengan biaya yang tersedia.

e. Waktu dan tenaga yang tersedia dapat digunakan sehemat mungkin.

Langkah-langkah dalam perencanaan menu yang harus diperhatikan

adalah menentukan menu standar atau menu pilihan; menetapkan siklus menu

yang akan direncanakan, siklus 5 hari, 7 hari, 10 hari atau lebih; menentukan

waktu siklus yang digunakan; menetapkan jenis bahan makanan yang akan

digunakan dalam satu siklus menu dan menentukan frekuensi pemakaian tiap

jenis bahan makanan; menyusun menu dan memeriksa kembali menu yang telah

disusun.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan menu diantaranya yaitu

kecukupan gizi, macam, dan peraturan institusi, kebiasaan makan, jenis dan

jumlah orang yang dilayani, peralatan dan perlengkapan yang tersedia, jenis dan

jumlah pegawai, jenis pelayanan yang diberikan, musim/iklim dan keadaan

pasar, sertra dana yang tersedia. Menu yang direncanakan harus sesuai dengan

kebiasaan individu dan golongan. Kebiasaan makan seseorang ditentukan oleh

faktor kejiwaan, faktor sosial budaya, agama dan kepuasan, latar belakang

pendidikan, dan pengalaman, lingkungan hidup sehari-hari, serta tempat asal

dan demografinya.

Setelah perencanaan kebutuhan bahan makanan telah dilaksanakan

maka akan dilakukan pembelian bahan tersebut. Pembelian bahan makanan

adalah rangkaian kegiatan dalam penyediaan macam dan jumlah serta

spesifikasi bahan makanan tertentu dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan

ketentuan yang berlaku di institusi. Proses ini dapat dilakukan dengan beberapa

prosedur yaitu pembelian langsung ke pasar, pelelangan, pembelian

musyawarah, pembelian yang akan datang, serta pembelian tanpa tanda tangan.

Semua pesanan, penerimaan, dan pengeluaran uang dari bahan makanan harus

dicatat dengan cermat dan kontinyu (Mukrie et al 1990).

Perencanaan kebutuhan makanan adalah kegiatan untuk menetapkan

jumlah, macam/jenis dan kualitas bahan makanan yang dibutuhkan untuk kurun

waktu yang panjang atau kurun wuktu pendek. Kebutuhan bahan makanan

direncanakan setelah menu dibuat. Taksiran kebutuhan bahan makanan dihitung

berdasarkan menu, standar porsi, jumlah konsumen, jumlah hari serta

10

pemakaian bahan makanan per hari atau per putaran menu. Taksiran kebutuhan

bahan makanan diusahakan sedekat mungkin dengan kebutuhan nyata, tidak

berlebih atau kurang (DBGM 1990).

Pembelian bahan makanan yang efisien membutuhkan prosedur

penerimaan bahan makanan yang baik sebagai pelengkap keseluruhan sistem

agar dapat berjalan dengan lancar. Penerimaan bahan makanan didasarkan atas

order/pesanan bahan makanan yang menyediakan macam, jumlah dan kualitas

bahan makanan (DBGM 1990)

Menurut Fadyati (1988), petugas yang bertanggung jawab di bagian

pembelian harus mempertimbangkan beberapa hal. Antara lain. Jumlah bahan

makanan yang diperlukan untuk tiap porsi, cara-cara yang digunakan dalam

membeli bahan makanan, daya tahan bahan makanan, bahan makanan

substitusi jika tidak terdapat di pasaran, fasilitas ruang penyimpanan, harga yang

tidak tetap dan bervariasi, seta baik dan aman dikonsumsi. Petugas bagian

pembelian juga harus mengetahui kualitas bahan makanan yang dibeli yaitu

meliputi warna, ukuran, bentuk, tingkat keempukan, rasa, tekstur, dan tingkat

kematangannya sehingga dengan memperoleh bahan makanan yang berkualitas

baik maka akan diperoleh hasil yang prima pula.

Penerimaan bahan makanan merupakan suatu kegiatan meliputi

pemeriksaan, meneliti, mencatat, dan melaporkan macam, kualitas, dan

kuantitas bahan makanan yang diterima sesuai dengan pesanan serta spesifikasi

yang telah ditetapkan (Depkes RI 2003).Terdapat tiga prinsip utama dalam

penerimaan bahan makanan yaitu jumlah bahan yang diterima harus sesuai

dengan yang tercantum pada faktur pembelian, mutu bahan makanan yang

diterima sesuai dengan spesifikasi bahan makanan yang diminta, dan harga

bahan makanan harus sesuai dengan kesepakatan awal (Yulianto & Santoso

1995).

Penyimpanan bahan makanan adalah proses kegiatan yang menyangkut

pemasukan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, serta penyaluran

bahan makanan sesuai dengan peralatan untuk persiapan pemasakan bahan

makanan. Bagi institusi besar, penyimpanan dapat bertindak sebagai stok bahan

makanan atau persediaan bahan makanan dan sistem penyimpanannya

dipusatkan. Metode penyimpanan bahan makanan yang baik harus

memperhatikan prinsip First in First Out (FIFO) yang artinya bahan makanan

terdahulu diletakkan terdepan atau teratas. Setiap bahan makanan yang diterima

11

diberi tanggal penerimaan untuk mempermudah penerapan FIFO (Yulianto &

Santoso 1995).

Tujuan penyimpanan bahan makanan diantaranya yaitu:

1. Memelihara dan mempertahankan kondisi dan mutu bahan makanan

yang disimpan.

2. Melindungi bahan makanan yang disimpan dari kerusakan, kebusukan,

dan gangguan lingkungan lainnya.

3. Melayani kebutuhan jenis dan jumlah bahan makanan dengan mutu dan

waktu yang tepat.

4. Menyediakan persediaan bahan makanan dalam jenis, jumlah, dan mutu

yang memadai (Depkes RI 1993).

Pengolahan bahan makanan memiliki dua tahapan pengerjaan yaitu

persiapan dan pemasakan. Persiapan meliputi pengerjaan bahan makanan sejak

diterima sampai siap untuk dimasak (menyiangi, membersihkan, mencuci,

memotong, merendam, mengiris, menggiling, menumbuk, merajang, mengaduk,

mengayak, membentuk, dst). Tujuan dari persiapan adalah menyiapkan bahan

makanan serta bumbu-bumbu untuk mempermudah proses pengolahan (Mukrie

et al 1990).

Pemasakan bahan makanan merupakan salah satu kegiatan untuk

mengubah (memasak) bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap

dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi. Tujuan dari proses

pemasakan adalah meningkatkan daya cerna makanan, mempertahankan

kandungan gizi, mempertahankan bahkan menambah rasa dan membuat

makanan tersebut aman untuk dimakan (Mukrie et al 1990).

Pendistribusian makanan merupakan serangkaian kegiatan untuk

menyalurkan makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan

konsumen yang dilayani baik makanan biasa maupun makanan khusus (Depkes

2003). Cara pendistribusian dibagi menjadi dua yaitu, sentralisasi dan

desentralisasi. Pada sistem sentralisasi makanan langsung dibagikan

menggunakan tempat (plato) dan membutuhkan kesiapan peralatan, tenaga, dan

tempat yang baik. Cara yang kedua adalah desentralisasi yaitu membagi

makanan dalam jumlah besar kemudian dikirim ke unit-unit, setelah sampai di

unit-unit, makanan dibagikan menjadi porsi-porsi kecil (Mukrie et al. 1990).

12

Kebutuhan Gizi

Tubuh manusia terdiri dari berbagai sel dan jaringan hidup yang

memerlukan sejumlah zat gizi untuk dapat menjalankan fungsinya secara

optimal. Zat gizi adalah komponen kimia (unsur dan senyawa) yang terkandung

dalam makanan yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Secara sederhana gizi

diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan makanan dan kesehatan

tubuh.

Kebutuhan zat gizi adalah sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi

dari konsumsi makanan. Kekurangan/kelebihan konsumsi zat gizi dari

kebutuhan, terutama bila berlangsung lama dalam jangka waktu yang

berkesinambungan dapat membahayakan kesehatan, bahkan pada tahap

selanjutnya dapat menimbulkan kematian (Hardinsyah & Martianto 1992).

Kebutuhan gizi antar individu bervariasi, ditentukan atau dipengaruhi oleh

jenis kelamin, umur, ukuran tubuh (berat badan dan tinggi badan), keadaan

fisiologis (hamil atau menyusui), aktivitas fisik, serta metabolisme tubuh. Secara

sederhana, penentuan kebutuhan gizi perorangan dapat dilakukan dengan

menggunakan tabel Angka Kebutuhan dan Kecukupan Gizi (AKG) perorangan

yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) (Hardinsyah et

al. 2002).

Kebutuhan zat gizi perorangan yang dianjurkan selalu didasarkan pada

standar berat badan untuk masing-masing kelompok umur, jenis kelamin, dan

tambahan untuk ibu hamil dan menyusui. Standar berat badan ini didasarkan

pada berat badan yang mewakili sebagian besar penduduk yang sehat pada

kelompok usia tersebut. Penggunaan AKG terutama dalam hal energi dan

protein yang sensitif dengan penambahan berat badan, untuk perencanaan

konsumsi pangan berbeda dengan penilaian konsumsi pangan. Untuk

perencanaan konsumsi pangan, AKG yang tercantum dalam tabel digunakan

apa adanya, karena tujuan perencanaan konsumsi pangan adalah untuk

mencapai berat badan ideal. Namun, untuk penilaian konsumsi pangan

digunakan berat badan aktual. Penyesuaian kebutuhan energi dan protein yang

tercantum dalam AKG karena adanya perbedaan berat badan aktual dengan

berat ideal yang tercantum tabel digunakan rumus (Hardinsyah et al. 2002) :

Kebutuhan i i berat badan aktual sehat kg

berat badan dalam daftar K K

Menurut Almatsier (2008) penilaian angka kebutuhan gizi dilakukan

berdasarkan umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik. Komponen utama yang

13

menentukan kebutuhan energi adalah Angka Metabolisme Basal (AMB).

AMBdipengaruhi oleh umur, gender, berat badan, dan tinggi badan. Penentuan

AMB dan kebutuhan energi masing-masing dilakukan dengan rumus sebagai

berikut:

1. M , erat badan Tinggi badan - , Umur

2. Kebutuhan Energi = AMB x faktor aktivitas

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jumlah dan jenis pangan

yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada suatu waktu tertentu

(Hardinsyah &Martianto 1992). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kualitas gizi

seseorang akan lebih baik jika mengkonsumsi pangan yang beragam. Namun,

hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keadaan ekonomi, sosial dan

budaya, kesehatan serta perilaku dalam menyusun menu sehari-hari.

Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan mengenai

gizi dan makanan yang dimilikinya. Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki

atau diketahui oleh sesorang yang didapatkan dari pengamatan indrawi.

Pengetahuan gizi akan mampu mengatasi keterbatasan konsumsi makanan

yang diakibatkan oleh kemiskinan atau keterbatasan akses keluarga terhadap

pangan. Dengan pengetahuan gizi yang baik, pengolahan dan pemanfaatan

pangan yang tersedia dapat lebih optimal untuk memenuhi kebutuhan gizi

(Harper et al. 1986).

Pendapatan seseorang tidak mutlak mempengaruhi konsumsi pangan

karena pendapatan akan ditransformasikan menjadi pengeluaran yang terdiri dari

pengeluaran pangan dan non pangan. Pada konsep tradisional, konsumsi

pangan akan semakin baik dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini tidak

terjadi jika pengeluaran non pangan seperti pendidikan dan pembelian barang-

barang lebih besar daripada pengeluaran pangan. Pengeluaran pangan yang

meningkat belum tentu meningkatkan pembelian makanan dengan gizi yang

lebih bermutu (Berg 1986).

Pemilihan orang dewasa muda terhadap makanan pada umumnya tidak

memperhatikan faktor kesehatan. Orang dewasa muda lebih memilih makanan

yang rasanya sesuai dengan selera dan harganya sesuai dengan daya beli.

Namun, tidak demikian halnya dengan usia dewasa madya akhir dan lanjut usia

awal yang lebih memperhatikan faktor kesehatan dan memilih makanan yang

sehat bagi dirinya (Santrock 2002).

14

Survey konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui dan menelusuri

konsumsi pangan baik dilihat dari jenis-jenis pangan, sumber-sumbernya

maupun jumlah yang dikonsumsinya, termasuk bagaimana kebiasaan

makanannya serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan

tersebut. Data survey pangan dapat menunjukkan cukup tidaknya konsumsi

individu, keluarga, dan kelompok tertentu suatu masyarakat atau penduduk bila

dibandingkan dengan apa yang seharusnya dibutuhkan (Suhardjo et al. 1988).

Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, dihitung jumlah pangan yang

dikonsumsi, sedangkan secara kualitatif, penilaian melihat frekuensi makan,

frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan, dan kebiasaan makan (food

habit). Pada cara kuantitaif, terdapat lima metode yang sering digunakan untuk

pengukuran konsumsi makanan individu yaitu metode recall 24 jam, metode

estimated food records, metode penimbangan makanan, metode dietary history,

dan metode frekuensi makanan (Supariasa et al. 2001).

Weighing method

Prinsip metode ini adalah mengukur secara langsung berat setiap jenis

pangan yang dikonsumsi (Suhardjo 1989). Metode penimbangan langsung ini

dilakukan dengan pengamatan, penimbangan dilakukan sendiri oleh tenaga

pengambil data. Metode ini merupakan metode yang paling akurat, karena

dilakukan penimbangan secara cermat dan tepat terhadap makanan yang

dikonsumsi. Disamping kelebihan tersebut ada beberapa kekurangannya, yaitu

mahal, memakan banyak waktu, kadang-kadang responden segan atau malu

atau tidak memperkenankan bila makanannya harus dipindah-pindahkan dari

tempatnya untuk ditimbang, serta mungkin responden mengubah-ubah pola

konsumsi pangan dari kebiasaannya sehari-hari dengan kehadiran peneliti

Kusharto & Sa‟diyyah 200 .

Kelebihan metode penimbangan adalah data lebih teliti karena benar-

benar merupakan penimbangan langsung. Kekurangannya adalah waktu dan

biaya cuku mahal, responden dapat mengubah kebiasaan mereka apabila

dilakukan dalam waktu yang cukup lama, tenaga penimbang harus terampil dan

harus ada kerjasama yang baik antara responden dan peneliti (Supariasa et al.

2001).

15

Recall Method

Metode mengingat-ingat (recall method) merupakan salah satu metode

penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu. Metode ini dapat menaksir

asupan gizi individu (Gibson 2005). Pada metode ini dicatat mengenai jumlah

dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (biasanya recall 24

jam). Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan

dalam URT (Ukuran Rumah Tangga), setelah itu baru dikonversikan dalam

satuan berat Kusharto & Sa‟diyyah 200 .

Kelebihan metode recall ini antara lain mudah, cepat, murah dan dapat

digunakan untuk menanyakan responden yang buta huruf. Kelemahannya yaitu

mengandalkan daya ingat dari responden dan recall 1 x 24 jam belum dapat

menggambarkan rata-rata konsumsi siswa dalam 1 hari (Supariasa et al. 2001).

Menurut Owen et al. (1993), metode recall ini membutuhkan enumerator yang

terlatih dalam mengumpulkan informasi konsumsi makanan dalam satu hari.

Food Record (Catatan Pangan)

Food record sering juga disebut dengan food diary atau buku harian

pangan. Cara ini menuntut motivasi dan pengertian kedua belah pihak, di

samping itu juga membutuhkan waktu yang lebih lama. Responden diminta

mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi selama paling sedikit

3 hari dalam seminggu, 2 hari biasa dan 1 hari libur. Catatan harus rinci,

termasuk cara makanan dipersiapkan dan dimasak, jika terdiri dari berbagai

bahan pangan, misalkan untuk gado-gado atau capcai, jenis dan jumlah bahan

mentahnya perlu ditulis disamping resep pembuatannya dan jumlah orang yang

menyantap masakan tersebut. Ukuran porsi makanan sebaiknya dicatat dengan

mengacu pada ukuran rumah tangga (URT). Makanan yang telah terukur ini

kemudian disalin dalam „gram‟. Zat gi i yang terkandung dicari pada DK M dan

jika merupakan makanan kemasan, kandungan gizi dilihat pada label. Kesalahan

yang banyak terjadi yaitu responden tidak mampu mengkuantifikasi dengan

tepat. Kekeliruan ini dapat diatasi dengan cara meminta responden untuk

menimbang sendiri makanan dan minuman yang telah dikonsumsi pada waktu

tertentu (Arisman 2010).

Kelebihan metode food record adalah murah, cepat dan dapat

menjangkau sampel dalam jumlah besar, dapat mengetahui sampel dalam

jumlah besar, hasil cukup akurat. Kelemahannya yaitu membebani responden,

tidak cocok untuk responden yang buta huruf, memerlukan kejujuran dan

16

kemampuan responden dalam mengkuantifikasi jumlah konsumsi (Supariasa et

al.). Selain itu, menurut Owen et al. (1993), kualitas pengumpulan data

menggunakan food record dapat ditingkatkan dengan melakukan review secara

individu tentang record yang telah dilakukan. Review juga harus dilakukan oleh

enumerator yang terlatih untuk mengklarifikasi data-data yang telah ditulis

responden dan untuk mengetahui data-data yang lupa ditulis oleh responden.

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi,

penyerapan, dan penggunaan pangan di dalam tubuh (Riyadi 2006). Status gizi

optimal dapat tercapai jika tubuh memperoleh cukup zat-zat yang digunakan

secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,

kemampuan kerja, dan kesehatan umum secara maksimal. Baik gizi kurang

maupun gizi lebih dapat menghambat optimalisasi pencapaian hal tersebut

(Almatsier 2004).

Masalah kekurangan dan kelebihan gizi merupakan masalah yang

penting untuk diperhatikan. Malnutrisi tidak hanya meningkatkan resiko terkena

penyakit namun juga mempengaruhi produktivitas kerja (Supariasa et al. 2001).

Riyadi (2006) juga menyatakan bahwa kekurangan gizi dapat berakibat

menurunnya ketahanan fisik dan akhirnya menurunkan produktivitas kerja.

Soekirman (2000) menyatakan bahwa status gizi dapat ditentukan

dengan beberapa ukuran-ukuran gizi tertentu atau kombinasinya. Beberapa cara

pengukuran status gizi antara lain yaitu pengukuran antropometri, klinik, dan

laboratorik. Pengukuran yang paling sering dilakukan adalah pengukuran

antropometrik karena metodenya relatif paling sederhana dibanding pengukuran

klinik dan laboratorik.

Metode antropometri menggunakan pengukuran terhadap dua dimensi

yaitu dimensi pertumbuhan dan komposisi tubuh. Pengukuran tersebut bervariasi

menurut umur dan derajat gizi, sehingga bermanfaat terutama pada keadaan

terjadinya ketidakseimbangan energi dan protein secara kronis. Antropometri

juga dapat digunakan untuk mendeteksi malnutrisi derajat sedang dan berat.

Keuntungan lain dari pengukuran antropometri adalah memberikan informasi

tentang riwayat gizi masa lampau, hal ini tidak diperoleh (dengan tingkat

kepercayaan yang sama) dengan menggunakan teknik penilaian lainnya (Riyadi

2003). Pengukuran dengan metode ini dapat dilakukan dengan relatif cepat,

17

mudah, dan menggunakan alat pengukur yang reliabel, sehingga teknik dan

peralatannya dapat dikalibrasi dan distandarisasi (Gibson 2005).

Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat digunakan

untuk menilai status gizi yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan

menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan

atas menurut umur, dan resiko lingkar pinggang dengan pinggul. Diantara

keempat indeks tersebut, indeks massa tubuh (IMT) adalah indeks yang paling

mudah diukur dan diinterpretasikan (Supariasa et al. 2001).

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan sebuah instrumen sederhana yang

dapat digunakan untuk menilai status gizi. Pemakaian IMT khususnya untuk

melihat kekurangan dan kelebihan berat badan. Namun, IMT tidak dapat

diterapkan pada keadaan khusus (Supariasa et al. 2001). Perhitungan IMT

adalah sebagai berikut:

MT berat badan kg

(tinggi badan (m))2

Nilai IMT yang didapatkan dari perhitungan kemudian disesuaikan dengan

klasifikasi yang ada seperti di bawah ini (Supariasa et al. 2001).

Tabel 1 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT.

Klasifikasi Status Gizi IMT

Kurus <18.50

Kurus tingkat berat <16.00 Kurus tingkat sedang 16.00-16.99 Kurus tingkat ringan 17.00-18.49

Normal 18.50-22.99

Lebih 23.00-30.00 Overweight ≥ 2 .00 At Risk 23.00-27.50 Obese ≥ 2 .60 Obese kelas I 27.60-30.99 Obese kelas II ≥40.00

Sumber: WHO (2005)