Upload
phamhanh
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNYAI KETURUNAN “Studi Analisis Putusan Cerai Gugat Karena Suami Impoten di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Perkara Nomor : 241/Pdt.G/2007/PA.JS”
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
oleh :
Deni Ramadhani
NIM : 105044101402
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H / 2009 M
TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNYAI KETURUNAN “Studi Analisis Putusan Cerai Gugat Karena Suami Impoten di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Perkara Nomor: 241/Pdt.G/2007/PA.JS”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
Deni Ramadhani
NIM :105044101402
Di bawah Bimbingan
Drs. H. A. Basiq Djalil ,SH, MA.
NIP : 150 169 102
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNAI KETURUNAN “Studi Analisis
Putusan Cerai Gugat Karena Suami Impoten di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Perkara Nomor : 241/Pdt.G/2007/PA.JS” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada 3 Desember 2009. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al
Sakhshiyyah.
Jakarta, 10 Desember 2009
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA ( ……………… )
NIP 195003061976031001
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH ( ……………… )
NIP 197202241998031003
3. Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA ( ……………… )
NIP 195003061976031001
4. Penguji I : JM. Muslimin. M.A,. Ph.D. ( ……………… )
NIP 150 29 54 89
5. Penguji II : Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lc,. M.A. ( ……………… )
NIP 195507061992031001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata satu (S 1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 13 November 2009
Deni Ramadhani
KATA PENGANTAR
������������������������ �������� �������� ����������������������������
��������������������������������
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba selain segala puji
bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia sebagai
mahluk yang paling sempurna. Semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai
setiap langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Diantara salah satu
kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan.
Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner ummat Islam
sedunia tiada lain yakni, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat
dan ummatnya yang selalu berpegang teguh “istiqamah” dalam menjalankan
risalahnya, hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, Akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah
dan Hukum. Juga dalam menyelesaikan skripsi ini tidak mengalami kesulitan serta
hambatan yang penulis alami dan berkat kesungguhan hati, kerja keras dan
motivasi serta bantuan dari para pihak, segala kesulitan tersebut memberikan
hikmah tersendiri bagi penulis. Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk tentunya tidak terlepas dari beberapa
individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dalam
memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis guna
penyempurnaan skripsi ini. Terutama kepada kedua orang tua penulis yang selalu
mencurahkan kasih sayang dan doanya serta berharap ananda dapat dapat menjadi
anak yang mulia dan sukses dalam menempuh hidup di dunia dan akhirat.
“Semoga amal baik keduanya dicatat disisi-Nya”. Amin.
Dalam kesempatan yang berharga ini penulis ingin mengungkapkan rasa
hormat dan terima kasih tiada terhingga terutama kepada Bapak :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum beserta staff dan jajarannya yang telah memberikan
bimbingan serta arahan baik secara langsung maupun tidak langsung
selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua Program Studi Ahwal Al-
Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama, sekaligus sebagai dosen
pembimbing yang dengan sabar dalam memberikan arahan dan masukan
yang amat bermanfaat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada
kata yang pantas selain ucapan rasa terima kasih dan do’a semoga Allah
SWT membalasnya.
3. Kamarusdiana, S.Ag, MH. Sekretaris Prodi Ahwal Syakhshiyah
Konsentrasi Peradilan Agama yang telah sabar dalam membantu proses
transkif nilai, semoga Allah membalasnya.
4. Dr. KH. A Juaini Syukri, Lc., M.A dan JM. Muslimin, M.A,. Ph.D. selaku
penguji penulis yang telah memberikan banyak kritik dan arahan sehingga
penulis dapat menyempurnakan sekripsi penulis.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis
dengan ilmu yang berharga. Dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam
memperoleh referensi-referensi untuk karya ilmiah ini.
6. Teristimewa buat Ayahanda, dan Ibunda serta kakak dan adik kandungku
seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas segala do’a, kesabaran, jerih
payah dan pengorbanan serta nasihat yang senantiasa memberikan
semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaikan studi. Tiada kata
yang pantas selain ucapan do’a, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan
pernah terbalaskan.
7. Kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta selatan Drs. Pahlawan Harahap.
SH, MA beserta staf, dan para hakim yang telah bersedia untuk wawancara
langsung, Penulis ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi dan
bantuannya.
8. Kepada teman-teman seperjuangan baik dalam organisasi intra atau ekstra
kampus yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas
idea dan dukungan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi. Jasa kalian akan dikenang sampai akhir hayat.
9. Teman-teman angkatan 2005/2006 Fakultas Syariah dan Hukum
Konsentrasi Peradilan Agama, yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama penulis belajar di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga persahabatan
kita terjalin hingga di alam Syurga nanti.
Akhirul kalam, penulis ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh
komponen yang telah berjasa memberikan kontribusinya. Mudah mudahan skripsi
ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi
amal baik kita di sisi Allah SWT, Akhirnya, semoga setiap bantuan yang telah
diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT.
Amin yaa robbal alamien.
Wassalamu’alaikum.Wr.Wb.
Jakarta, 13 November 2009 M
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………........................................................................v
DAFTAR ISI ..............................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..………………………………………………....1
B. Pembatasan dan perumusan masalah ..…………………………...….…….7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..……………………………………...…...8
D. Review Studi Terdahulu .…………………………………………...…......9
E. Kerangka teori konseptual ..........................................................................11
F. Metodologi Penelitian .……………………………………………..….....12
G. Sistematika Penulisan .…………………………………………….……..15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian dan Dasar hukum perceraian …………………………..……..17
B. Jenis-jenis dan Alasan-alasan Perceraian ...................................................20
C. Akibat dan hikmah perceraian ……………….……………………..........29
BAB III TINJAUAN FIQH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
PERCERAIAN AKIBAT SUAMI IMPOTEN
A. Pengertian Impotensi ..................................................................................35
B. Impotensi Menurut Pandangan Ulama Fiqh
.........…….............................38
C. Impotensi Menurut Hukum Positif .........……………………………........40
D. Perceraian Akibat Suami Impoten Menurut Fiqh dan Hukum Positif .......42
BAB IV ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA
SELATAN TENTANG PERCERAIAN AKIBAT TIDAK
MEMPUNYAI KETURUNAN
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan ………………………...……...47
B. Duduk Perkara ....................................................…………….…..............52
C. Pihak-pihak Terkait ...................................................................................53
D. Kronologi ...................................................................................................53
E. Ringkasan Keputusan ................................................................................57
F. Analisa Hukum ..........................................................................................61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………….......66
B. Saran ………………………………………………………………….....67
DAFTAR PUSTAKA …………………………...………………………………...68
LAMPIRAN ……………………………………………………...………………..
1. Surat Pengajuan Proposal Skripsi ……………………………………….
2. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi …………...
3. Laporan Tahunan Pengadilan agama Jakarta Selatan Tahun 2007 ..........
4. Surat Permohonan Data dan Wawancara ………………………………..
5. Surat Bukti Wawancara ………………………………………………….
6. Hasil Wawancara Dengan Hakim ………………………………………..
7. Putusan Nomor 241/Pdt.G/PAJS …………………………………….….
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan mempunyai nilai nilai yang Sakral dalam agama, karena
mempunyai asas yaitu perkawinan untuk selama-lamanya yang diliputi oleh rasa
kasih sayang dan cinta mencintai antar sesama pasangan. Oleh karena itu agama
islam mengharamkan perkawinan yang bertujuan untuk sementara atau waktu
tertentu sekedar untuk melepas hawa nafsu saja.
Setiap perkawinan pasti mempunyai keinginan dan tujuan maka dari itu
banyak sekali tujuan dari perkawinan tersebut, tetapi pada intinya perkawinan itu
bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, hal ini sesuai dengan Undang-undang nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan pada pasal 1.1 Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur
tentang perkawinan bagi warga negaranya, hal ini tercermin dari arti
perkawinan tersebut yang tercantum dalam pasal 2 ayat 1 yang
1 Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya
Paramita, 2006 ), cet 37 h. 537
berbunyi, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan
pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.2
Setiap manusia mendambakan pernikahan yang bahagia, dengan
mewujudkan cita-cita sehingga terbentuklah keluarga yang bahagia tersebut. Akan
tetapi banyak pernikahan tersebut hanyalah sekedar mimpi dan tidak seperti yang
diharapkan karena banyak pasangan suami isteri yang bertengkar hanya karena
masalah kecil, yang kemudian menjadi pertengkaran besar yang tidak sedikit
berakhir dengan perceraian (talak).
Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi petunjuk Allah
dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menjalankan hak dan kewajiban anggota keluarga sejahtera
artinya menciptakan ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya
kebutuhan hidup lahir batinnya, sehingga timbullah kebahagian, kasih sayang
antara anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga ini akan
2 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Akademika Pressindo , 2004) h.114
dirasakan pula dalam masyarakat atau ummat sehingga terbentuklah ummat yang
diliputi cinta dan kasih sayang3.
Tujuan pernikahan yang mereka inginkan tidak tercapai dengan baik, karena
dengan berbagai alasan. Apakah karena faktor ketidak cocokan atau karena faktor
lain seperti tidak mempunyai keturunan, tetapi pada dasarnya dari berbagai macam
alasan tersebut kita haruslah berpikir jernih apakah keturunan atau anak
mempunyai peranan penting dari arti pernikahan tersebut. Karena bila kita
meninjau kembali dari tujuan pernikahan, yang diinginkan dari pernikahan
tersebut banyak sekali tujuannya seperti : memenuhi petunjuk agama dalam
rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.4
Tetapi kalau tidak ada alasan apapun atau alasanya tidak masuk akal, maka
perceraian yang demikaian adalah telah mengkufuri nikmat yang telah diberikan
Allah kepadanya dan telah berlaku jahat kepada isterinya. Oleh karena itu
perceraian (talak) sangat dibenci oleh Allah.
Agama Islam membolehkan suami-istri bercerai, tentunya dengan alasan-
alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.1 Perceraian
(Thalaq) merupakan suatu ajaran Islam dalam pernikahan, namun hal itu sangatlah
3 Kamal mukhtar, Asas-asas hukum islam tentang perkawinan (Jakarta, Bulan Bintang, 1993),
cet 3, h.14
4 Abd.Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006),
cet Ke2, h, 22
1 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), cet ke-2, h.102.
dibenci oleh Allah meskipun halal (boleh), karena dengan perceraian berarti tujuan
perkawinan menjadi pudar dan tidak tercapai
Perceraian dalam Islam bukan merupakan sesuatu yang banyak dilakukan
ketika antara pihak suami dan istri sudah tidak harmonis lagi, akan tetapi ketika
terjadi percekcokan maka antara kedua belah pihak suami ataupun istri
mendelegasikan juru damai (hakam). Hakam ini berfungsi untuk menjembatani
kemungkinan untuk membina kembali rumah tangga, juga melerai pertengkaran
suami-istri agar keutuhan pernikahan mahligai rumah tangga dapat berlanjut
sampai akhir hayat.2
Kasus-kasus perceraian sering terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat
entah itu di lakukan karena inisiatif suami untuk permohonan cerai-thalaq, atau
inisiatif istri untuk menggugat cerai suaminya. Dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) secara umum dijelaskan mengenai perceraian diatur dalam pasal 113 sampai
dengan 148 di bab tentang putusnya perkawinan.
Cerai gugat secara khusus diatur dari pasal 132 ayat 1 yang berbunyi:3
“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada pengadilan
agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.”
2 Satria M Zein, Yurisprudensi Hukum Keluarga Islam Kotemporer Analisis Yurisprudensi
Dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta, Prenada Media, 2004), cet. Ke-1, h. 116.
3 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Akademika Pressindo , 2004). h. 144
Sampai dengan pasal 148 ayat 1 yang berbunyi:4
“Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu
menyampaikan permohonannya kepada pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggalnya disertai alasan-alasannya”.
Dalam hal terjadinya peceraian, haruslah memenuhi beberapa alasan
sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat 2
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri iu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Dalam KHI pasal 116 terdapat alasan-alasan perceraian antara lain yaitu:5
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan sebagainya yang sukar untuk disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun secara terus-menerus tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan pidana 5 (lima) tahun penjara atau
hukuman lain yang lebih berat.
4 Ibid., h. 148 5 Ibid., h. 141
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman yang membahayakan keselamatan
anggota keluarga.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat melakukan kewajibannya sebagai suami-istri.
f. Terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran antara kedua belah
pihak sehingga tidak ada harapan untuk hidup harmonis (terdapat juga
dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat 2)
g. Suami melanggar taklik talaq
h. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa perceraian
(putusnya perkawinan) diatas, salah satu yang menjadi dasar diperbolehkannya
perceraian adalah salah satu pihak mandapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
Dari kedua sumber hukum tersebut tidak ada yang menjelaskan tentang
diperbolehkannya perceraian dengan alasan impotensi atau tidak mempunyai
keturunan. Walaupun hal ini bisa dimasukkan pada poin e pasal 116 KHI, tetapi
hal tersebut masih bisa diperdebatkan, karena apabila pernikahan yang tidak
mempunyai keturunan bisa dijadikan alasan perceraian maka akan banyak
pasangan yang mengalami pereraian.
Dalam menyikapi permasalah alasan perceraian diatas terdapat perbedaan
antara tinjauan fiqh dan hukum positif mengenai apakah impotensi pada laki-laki
dapat dijadikan sebagai alasan perceraian. Sedangkan pada masa sekarang ini ilmu
kedokteran semakin maju sehingga dapat menjadi sarana untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Karena perceraian dapat menimbulkan akibat hukum yang
sangat besar, maka perlu diadakan studi komparatif dari uraian diatas, untuk itu
penulis mengambil judul “TINJAUAN FIQIH DAN HUKUM POSITIF
TERHADAP PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNYAI
KETURUNAN “Studi Analisis Putusan Cerai Gugat Karena Suami Impoten
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 241/Pdt.G/2007/PA.JS”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis membatasi yakni, hanya
menekankan pada perceraian dengan alasan suami impoten atau tidak bisa
memberikan keturunan yang ditinjau dari fiqih dan hukum positif dan mengetahui
apa yang menjadi alasan hakim dalam memutuskan perkara tersebut.
2. Rumusan Masalah
Masalah dalam skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagaimana berikut
“Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 39
dan PP No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 diatur secara
eksplisit tentang kebolehan isteri menggugat cerai suaminya apabila tidak
mempunyai keturunan, sedangkan Undang-undang tersebut tidak mengatur secara
ekplisit kebolehan istri mengajukan cerai gugat apabila suami tidak bisa
memberikan keturunan karena impoten. Tapi pada faktanya putusan cerai gugat
karena alasan suami mengalami impoten terjadi di pengadilan agama. Hal ini
yang ingin penulis telusuri lebih dalam tentang bagaimana hakim mengambil
pertimbangan keputusan dalam putusan cerai gugat karena alasan suami
mengalami impoten”
Dari rumusan di atas penulis dapat merinci dalam bentuk beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana persfektif fiqih mengatur tentang perceraian dengan alasan
impoten ?
2. Bagaimana perspektif hukum positif mengatur tentang perceraian dengan
alasan impoten?
3. Apakah yang menjadi alasan hakim dalam mengambil keputusan pada perkara
tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan merujuk pada pembahasan diatas maka penelitian bertujuan
1. Memahami bagaimana fiqh mengatur terhadap Impotensi sebagai alasan
perceraian.
2. Memahami bagaimana hukum positif mengatur terhadap Impotensi sebagai
alasan perceraian.
3. Menahami alasan hakim dalam memutuskan perkara tersebut
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Bagi penulis menambah wawasan pengetahuan tentang arti pentingnya
pernikahan dan memahami perkembangan hukum islam dan hukum positif
dibidang perkawinan
b. Bagi masyarakat umum menambah wawasan dalam memahami serta lebih
mengerti tentang masalah perkawinan, terutama masalah perceraian
c. Bagi fakultas memberikan sumbangan kepustakaan dalam rangka
pengembangan akademis.
D. Review Studi Terdahulu
Untuk menemukan pembahasan dalam penulisan skripsi ini penulis
menelaah litelature yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis
kemukakan dalam penulisan skripsi :
1. Agustina “Perceraian Akibat Suami Impoten (studi terhadap persepsi
karyawati fakutas syariah dan hukum) ” skripsi ini menjelaskan
mengenai perceraian akibat impoten yang didalamnya mencakup
tentang tinjauan perceraian dalam islam yang mencakup
pengertian perceraian, bentuk dan akibat perceraian, dan Dalam
skripsi ini menjelaskan tentang tinjauan impotensi terhadap keutuhan
rumah tangga dan pandangan hukum islam tentang suami impoten
terhadap keutuhan rumah tangga.
2. Ahmad Madroji “Cerai Gugat Menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif (studi kasus cerai gugat karena cacat badan di pengadilan
agama jakarta timur)” skripsi ini menjelaskan mengenai ketetapan
hukum tentang cerai gugat karena cacat badan menurut hukum
islam dan hukum positif. Dalam kesimpulan skripsi ini, seorang isteri
mempunyai hak menggugat suaminya dengan pertimbangan agar
isteri tercegah dari perbuatan maksiat karena suami tidak bisa
menjalankan kewajibanya.
3. Gufron Tamim “Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap
Impotensi Sebagai Alasan Perceraian” skripsi ini menjelaskan
mengenai perceraian yang di akibatkan karna impotensi yang di
dalamnya mencakup mengenai pengertian perceraian, perceraian
menurut hukum Islam dan hukum positif, pengertian umum tentang
impotensi dalam hubungan rumah tangga. Dan yang terakhir
tinjauan hukum Islam dan hukum positif tentang impotensi sebagai
alasan perceraian. Dalam penulisanya skripsi ini menggunakan studi
pustaka.
Perbedaan skripsi-skripsi diatas dengan skripsi yang akan penulis bahas
adalah dalam skripsi ini yang ingin penulis bahas dan teliti khusus perceraian
akibat tidak mempunyai keturunan. Yang menjadi pembahasan antara lain:
1. Cerai gugat yang dilayangkan isteri dikarenakan sang suami mengalami
impotensi atau tidak dapat memberikan keturunan.
2. Skripsi ini menganalisis putusan pengadilan agama, yang secara tidak
langsung menganalisa putusan hakim yang menyelesaikan perkara cerai
Gugat akibat tidak mempunyai keturunan.
E. Kerangka Teori Konseptual
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan pernikahan dalam Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidhan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Seiringnya waktu berjalan dalam pernikahan pasti akan banyak
timbul permasalahan, yang apabila tidak bisa diselesaikan maka tidak
jarang perceraian yang akan terjadi. Dalam perceraian haruslah ada
alasan-alasan yang dapat diberikan apabila peceraian tersebut ingin
terjadi, karena hal ini sesuai yang diatur dalam Undang-undang nomor 1
tahun 1974 tentang pekawinan pasal 39, PP No 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal
39 ayat 2, dan kompilas hukum islam pasal 116.
Dalam terjadinya perceraian banyak sekali alasan-alasan yang
dikemukakan, salah satunya dalam hal kasus ini, dimana yang menjadi
alasan dari perceraian tersebut adalah karena salah satu pihak tidak
mempunai keturunan, sedangkan apabila kita melihat dari esensi
pernikahan atau tujuan pernikahan maka banyak sekali yang akan kita
jumpai. Sedangkan dalam hal keturunan bisa dapat teratasi bila
pasangan tersebut mempunyai cara lain agar hubungan rumah tangga
mereka dapat diselamatkan. Sehingga perceraian dikarenakan suami
mengalami impoten atau tidak mempunai keturunan akan sangat
berdampak pada salah satu pasangan apabila pernikahan tersebut
diakhiri dengan perceraian.
F. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan dalam menyusun
skripsi ini, maka penulis menggunakan metode Deskriptif Analysis yang
digunakan dalam pendekatan Kualitatif. Deskriptif Analysis adalah
metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap
kenyataan dilapangan. Sedangkan yang di maksud dengan pendekatan
kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata terulis dan lisan dari orang atau prilaku yang diamati.6
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah:
6 Lexi. J. Moleong Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2004)
a. Study Lapangan (Field Research) untuk memperoleh informasi yang
akurat dan obyektif dari tempat penelitian baik dengan observasi
langsung maupun dengan menggunakan data-data dalam bentuk resmi
dari lembaga pengadilan. Sedangkan tempat penelitian adalah
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
b. Study Pustaka (Library Research) yaitu metode pengumpulan data yang
dipergunakan bersama-sama metode lain seperti wawancara,
pengamatan (observasi) dan kuesioner.7 Pada tahapan ini penulis
mencari landasan teoritis dari rumusan masalah yang ada dan studi
kepustakaan merupakan separuh dari keseluruhan aktivitas penelitian.8
pencarian literatur secara umum dengan buku-buku, seminar-seminar
ataupun media elektronik yang menunjang pembahasan penulis.
2. Sumber Data
a. Data primer
Data primer yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang
baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta yang
7 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek., h. 50.
8 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta, PT. Raja grafindo Persada,
2003) Cet. Ke. 6, h. 113.
diketahui maupun mengenai suatu gagasan.9 Diantaranya adalah buku,
seminar, laporan penelitian, majalah, disertasi dan seterusnya. Data
tersebut di dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan berupa
putusan cerai gugat, dan Wawancara terhadap Hakim.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang
bahan primer.10
Dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas
dokumen-dokumen, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran,
Hadis, buku-buku ilmiah, Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, UUPA (undang-undang peradilan Agama) No 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan atas Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang
peradilan Agama, KHI, serta dokumen lainnya.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini di lakukan dengan cara :
a. Menganalisis terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
b. Interview atau wawancara yaitu metode yang dianggap sebagai metode
yang paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan.11
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta, Pusat Dokumentasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986)
h.34.
10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam
Penelitian Hukum, h. 35.
Yaitu penulis mengadakan dialog langsung dengan responden dalam hal
ini adalah hakim, panitra ataupun pihak yang berperkara di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan.
c. Analisis Data
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan
lain, Dalam menganalisis data penulis menggunakan analisis deskriptif
yaitu suatu metode analisis data dimana penulis menjabarkan data-data
yang diperoleh dari hasil penelitian. Sehingga didapatkan suatu
kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan
tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.12
d. Tekhnik Penulisan
Dalam penyusunan metode penulisan, semua berpedoman pada prinsip-
prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
BAB I Pada bab ini menguraikan alasan dan ketertarikan penulis dalam
meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, seperti yang terdapat di
dalam latar belakang masalah, agar penulisan skripsi ini dapat tertuju pada
11
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek., h. 57. 12
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung, Alfabeta, 2007),
cet ke-III, h. 244
masalah pokoknya maka perlu dibuat pembatasan dan perumusan masalah serta
tujuan dan manfaat penelitian, dan supaya penulisan skripsi ini lebih terarah maka
penulis menggunakan review study terdahulu, kerangka teori konseptual, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Sebelum berbicara mengenai impotensi menurut perspektif hukum
fikih dan hukum positif maka penulis akan terlebih dahulu membahas sekilas
tentang tinjauan umum tentang Perceraian yang di dalamnya terdapat penjelasan
mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian dan dasar hukum Perceraian,
Jenis-jenis dan alasan-alasan perceraian, serta akibat dan hikmah dari perceraian.
BAB III Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai perceraian akibat
tidak mempunyai keturunan dalam perspektif hokum fikih dan hukum positif yang
didalamnya terdapat penjelsan mengenai apa yang dimaksud dengan impoten
(pengertian), pandangan Ulama fikih tentang impotensi, pandangan hukum positif
tentang impotensi, serta pandangan ulama fikih dan hukum positif terhadap
impotensi.
BAB IV Pada bab ini menjelaskan mengenai Analisis penulis terhadap
putusan hakim tentang perceraian akibat tidak mempunyai keturunan, terdapat
profil mengenai Pengadilan Agama jakarta selatan, kronologis perkara perceraian
akibat impoten, prosedur jalanya persidangan sampai pada putusan hakim, serta
analisa penulis tentang putusan perkara perceraian nomor : 241/Pdt.G/2007/PA.JS
BAB V Bab terakhir yang memuat kesimpulan yang diperoleh dari teori yang
menggambarkan secara umum tentang permasalahan yang dibahas untuk ditarik
kesimpulan, dalam bab ini juga mencakup saran-saran dari penulis atas
permasalahan yang diteliti sehingga trcapai upaya untuk mencapai tujuan dari
yang dilakukan.
BAB II
TINJAUAN UMUM PERCERAIAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
1. Pengertian perceraian
Secara bahasa (etimologi), talak artinya melepaskan ikatan dan
membebaskan. Sedangkan menurut istilah (terminologi) para Ulama
mengemukankan rumusan yang berbeda tentang arti talak. Al-Jaziri dalam
kitabnya al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arb’ah merumuskan:13
� ��� �� #�" ص ا � � ق إ ز �� ا���� ح أ و ��� ن �
Artinya: “Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau bisa juga
disebut mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata
tertentu”.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan pisah atau
putus hubungan sebagi suami istri.14
13 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arb’ah, (Kairo:
Daarul Hadits, 2004), Juz IV, h. 278.
14 Departemen pendidikan dan kebudayaan kamus besar bahasa Indonesia,
balai pustaka, h. 163
Sedangkan perceraian dalam bahasa arab adalah talak kata thalaq berasal
dari kata ( ,yang artinya lepas dari ikatan, berpisah ( ا%�ق- & �$-%�$
menceraikan, pembebasan.15
Ibnu Hajar dalam kitabnya Bulugh al-Maram
merumuskan talak dengan: 16
-,+ ا���� ح ��� %� ق و �*" ( �)'Artinya: “Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafadz
talak atau semisalnya”.
Menurut Sayyid Sabiq talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa
artinya ‘melepaskan atau meninggalkan’. Sedangkan menurut syara’, talak yaitu:
Menurut bahasa talak adalah:
17 ك> ا �;: و ل8 ر ا4"ه. ق� %4 ا 3 � ذ" خ/� : ق� � ا
Talak diambil dari kata " ithlaq " yang menurut bahasa artinya " melepaskan
atau meninggalkan ". menurut istilah syara' talak yaitu :
C�,18: و ا�<:� -�B ا� ء@�ا واج و ا�<:� ر)'�
Artinya: “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri“.
15 Ahmad Warson Munawir, AlMunawir kamus besar Indonesia, ( Surabaya;
Pustaka Progressif.1997 ). Cet ; 14 h.861
16 Ibnu Hajar al -‘Asqalani, Bulugh al-Maram, (Jakarta: Dar al-Islamiyah,
2002), h. 245.
17 Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah Jilid Dua, ( Darul Fattah, t.th ), h 278
18 Ibid.,
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan.
Setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39 ayat 1)19
Hal ini sesuai dengan
Kompilasi Hukum Islam pasal 115 dikatakan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.20
Bila kita melihat dari redaksi di atas bahwa yang dinamakan perceraian adalah
menghilangkan atau melepas ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan
tersebut maka tidak lagi halal bagi suami atas istrinya. Tetapi dari pengertian di
atas ada perbedaan bahwa para ulama mendefinisikan perceraian bisa dilakukan
kapanpun dan dimanapun, tetapi hal ini berbeda jika kita melihat di dalam Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian dapat
dilangsungkan hanya pada pengadilan agama.
Sehingga apabila ada orang Islam yang berada di negara Indonesia yang
melakukan pernikahan secara sah baik secara agama atau negara dan ia melakukan
19 R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
(PT Pradnya Paramita, Jakarta,2006) cet ke-37, h 549
20 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Akademika
Persindo, Jakarta, 1992 ) h 141
perceraian di luar pengadilan agama maka perceraiannya itu tidak sah demi hukum
atau batal demi hukum.
2. Dasar hukum perceraian
Memang tidak terdapat dalam Al-qur’an ayat-ayat yang menyuruh atau
melarang eksistensi perceraian itu, namun isinya hanya sekedar mengatur bila
thalaq terjadi. Di dalam hal perceraian dasar-dasar perceraian itu dapat kita lihat
dari beberapa ayat Al-Qur'an atau hadis, seperti:
1.) Al-Baqarah Ayat 232
������ ���� �!"�# ���$��%&� '� �(")*�+
,�-.("/0�1 2⌧�+ ,�45�4"67�4�8 9�1
٢٣٢: ا��E>ة �1? ��<0/.-�, =(>;:���'
Artinya : “ Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya”.(Q.S. Al-Baqarah Ayat 232 )
2.) At-Thalaq Ayat 1 @ABC�D! )= EF�GH<� ���� I�K �!"�#
���$��%&� ,�45�6��A"�L�+
MNAP,C�4�� $� �١: ا
Artinya :“ Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar)”. (Q.S. At-Thalaq :1 )
3.) Hadits Abu Dawud dan Ibnu Majah
ل-<IJ 3 ل ر8"ل ااO ص�:K ااJ O�,� وN:�8 اLM ا�*�ل ا�3J : K ا - ااO ا� :�ق
21)روا( ا" داود (
Artinya :“Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda
Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak “( Riwayat Abu
Daud )
B. Jenis-Jenis dan Alasan-alasan Perceraian
1. Jenis-jenis Perceraian
Dilihat dari kemaslahatan atau kemudaharatannya, hukum perceraian adalah
sebagai berikut :22
a. Wajib
Apabila terjadi perselisiahn antar suami isteri lalu tidak ada jalan yang dapat
ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara
keduanya. Jika kedua orang hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih
baik bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib.
b. Makruh
Talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. Sebagian ulama
ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini terdapat dua pendapat, yaitu
:
Pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan. Karena dapat menimbulkan
mudharat bagi dirinya juga bagi isterinya, serta tidak mendatangkan manfaat
21
Abi Daud Sulaiman bin As-as Sajastani, Sunan Abi Daud, ( Daarul
Fikr, 1994 ), h. 500
22
Syaikh Hasan Ayub. Fikih Keluarga, (t.t., Pustaka Al-Kautsar, 2006 ) cet ke
5, h 208
apapun. Talak ini haram sama seperti tindakan merusak atau menghamburkan harta
kekayaan tanpa guna.
Kedua, menyatakan bahwa talak seperti itu dibolehkan, hal itu didasarkan
kepada sabda Rasulullah SAW, yaitu :
ل-<IJ 3 ل ر8"ل ااO ص�:K ااJ O�,� وN:�8 اLM ا�*�ل ا�3J : K ا -3 � C� ( ااO ا� :�ق 23)روا( ا" داود وا
Artinya : “ Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Saw telah
bersabda Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak “(
Riwayat Abu Daud )
Talak itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya tuntutan dan sebab yang
membolehkan, dank karena talak semacam itu dapat membatalkan pernikahan yang
menghasilkan kebaikan yang memang disunnahkan sehingga talak itu menjadi
makruh hukumnya.
c. Mubah
Talak yang dilakukan karena ada kebutuhan, misalnya karena buruknya ahlak
isteri dan kurang baiknya pergaulan yang hanya mendatangkan mudharat dan
menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.
d. Sunnah
23
Abi Daud Sulaiman bin As-as Sajastani, Sunan Abi Daud, h. 500
Talak yang dilakukan pada saat isteri mengabaikan hak-hak Allah Ta’ala yang
telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan kewajiban lainnya.
Sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya. Atau isterinya sudah
tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.
e. Mazhur (Terlarang)
Talak yang dilakukan ketika isteri sedang haid, para ulama Mesir telah
sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini disebut juga dengan talak bid’ah.
Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasull dan
mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya, sesuaikan firman Allah, yaitu :
@ABC�D! )= EF�GH<� ����
I�K �!"�# ���$��%&� ,�45�6��A"�L�+
MNAP,C�4�� $� �١ :ا
Artinya : “Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar)” ( Q.S. At-Thalaq ayat 1 )
Sedangkan dilihat dari dibolehkannya sang suami untuk kembali kepada
isterinya, adalah24
:
1.) Talak raj’iy, talak yang sang suami diberi hak untuk kembali kepada
isterinya tanpa melalui nikah baru, selama isterinya itu masih dalam masa iddah.
Talak raj’iy itu adalah talak satu atau talak dua tanpa didahului tebusan dari pihak
24 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh
Munakahat dan UU Perkawinan, ( Jakarta, Prenada Media, 2006) h 220
isteri. Boleh ruju’ dalam talak satu atau dua itu dapat dilihat dalam firman Allah
Swt, yaitu :
-R ("SL� T9�8�E�U V WW$� X�Y�+
Z�[\�4]^�; ���1 _⌧=�`a,�8
�� $�a��Y�b ة<�E�٢٢٩: ا
Artinya : “ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. “ (
Q.S.Al-Baqarah : 229)
2.) Talak bain, talak yang putus secara penuh dalam arti tidak
memungkinkan suami kembali kepada isterinya kecuali dengan nikah baru, talak
bain inilah yang tepat untuk disebut putusnya perkawinan.
Talak bain ini terbagi kepada dua macam :
a) Bain Sughra, ialah talak yang suami tidak boleh ruju’ kepada mantan
isterinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil.
Yang termasuk bain sughra ini adalah :
Pertama : talak yang dilakukan sebelum isteri digauli oleh suami. Talak
dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah, maka tidak ada kesempatan untuk ruju’,
sebab ruju’ hanya dilakukan dalam masa iddah. Hal ini sesuai firman Allah, yaitu :
@ABC�D! )= )cd�eS� Vf��<)X�� ���� I�K���;)g
�h ]&�X��-☺ � j�4� ,�45�-☺k �!"�# ��X Tlm*�e 9�1
MN45�\�/☺�8 /☺�+ mn�;�� ,��. �(")o a��X p],C�� @A)q�rC)K�4�8 V اب>�Vا :
٤٩
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka
'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” ( Q.S Al-Ahzab ayat :
49 )
Kedua. Talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak isteri atau
disebut khulu’, hal ini dipahami dari isyarat dalam firman Allah, yaitu;
�9�Y�+ ���� ^:' st�1 �uv���= /��-C�( �� 2⌧�+ //]&�0
/☺Am`(")� �uv�+ an/C)k + w���b ; /_+"�8 -��-C�( �� 2⌧�+ /5�-C)k�4�8 x �)X�� ,C/4)k)= /��-C�( ��
/_y! ��D�zD�+ �n45 )9��u�" S6� : ا��E>ة ٢٢٩
Artinya :“ Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (
Q.S. Al-Baqarah : 229 )
Ketiga. Perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau yang disebut
fasakh.
b) Bain Kubra, yaitu talak yang tidak memungkinkan suami ruju’, kepada
mantan isterinya, dia hanya boleh kembali kepada isterinya apabila isterinya telah
kamin lagi dengan laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis
masa iddahnya. Hal ini tersirat di dalamfirman Allah SWT yaitu :
9�Y�+ /.��!"�# 2⌧�+ rl�)�X {�1�� |��X -C�4)b xF}�/� /⌧:;&�8
e~���/? {(�`m�⌧� ; 9�Y�+ /.��!"�# 2⌧�+ //�<�0 �/☺Am`(")o 9�1
�/4/0 ٢٣٠: ا��E>ة =(�(`�
Artinya : “ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,
Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk
kawin kembali “ ( Q.S. Al-Baqarah : 230 )
Sedangkan dilihat dari segi tegas atau tidaknya kata-kata yang dipergunakan
sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu25
:
a) Talak Sharih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas
dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan,
tidak mungkin dipahami lagi.
Menurut Imam Syafi’I mengatakan bahwa kata-kata yang
dipergunakan untuk talak sharih ada tiga, yaitu talak, firaq, dan sarah, ketiga ayat
itu disebut dalam Al-qur’an dan hadits.
Al-Zhahiriyah berkata bahwa talak tidak jatuh kecuali dengan
mempergunakan salah satu dari tiga kata tersebut, karena syara’ telah
mempergunakan kata-kata yang telah ditetapkan oleh syara’. Beberapa contoh
talak sharih ialah seperti suami berkata kepada isterinya26
:
25 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2006 ), cet Ke 2, h 194
26 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2006 ), cet Ke 2, h 195
1. Engkau saya talak sekarang juga, engkau saya cerai sekarang juga.
2. Engkau saya firaq sekarang juga, engkau saya pisahkan sekarang juga.
3. Engkau saya sarah sekarang juga, engkau saya lepas sekarang juga.
Apabila suami menjatuhkan talak terhadap isterinya dengan talak yang
sharih maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapannya itu
dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauan sendiri.
b) Talak Kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran
atau samar-samar seperti suami berkata kepada isterinya :
1. Engakau sekarang telah jauh dari diriku.
2. Selesaikan sendiri segala urusanmu.
3. Janganlah engkau mendekati aku lagi.
4. Keluarlah engkau dari rumah ini sekarang juga.
5. Pergilah engkau dari tempat ini sekarang juga.
6. Susullah keluargamu sekarang juga.
7. Pulanglah ke rumah orang tuamu juga sekarang.
8. Beriddahlah engkau dan bersihkanlah kandunganmu itu.
9. Saya sekarang telah sendirian dan hidup membujang.
10. Engkau sekarang telah bebas merdeka, hidup sendirian.
Talak dengan kata-kata tersebut di atas bisa menjadi jatuh talak, apabila
sang suami mengatakan hal tersebut dengan niat memang menceraikan isterinya,
niatlah yang menjadi indikator menurut Taqiyudin Al-Husaini.27
2. Alasan alasan perceraian
Yang dimaksud dengan alasan perceraian disini adalah suatu kondisi dimana
suami atau isteri mempergunakanya sebagai alasan untuk mengakhiri atau
memutuskan tali perkawinan mereka
Di indonesia dalam hal masalah perceraian telah di atur dalam rangkaian
undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawianan. Dan sebagai warga negara
indonesia sudah sepatutnya kita harus mentaati dan menjalankan peraturan yang
ada. Pada pasal 39 ayat 1 menerangkan bahwa “ perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
Dalam hal terjadinya perceraian haruslah memenuhi beberapa alasan-alasan.
Sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat 2
undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi : “ untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.” Di dalam muatan Peraturan
27 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2006 ), cet Ke 2, h 196
Pemerintah Republik Indonesia No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menerangkan bahwa
alasan-alasan perceraian yang dinyatakan pada pasal 19 sebagai berikut:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
luar kemampuanya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
memnahayakan pihak lain;
e. salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sedangkan Di dalam pasal 116 kompilasi hukum islam (KHI) menjelaskan
hal tambahan dua point dalam penyempurnaannya yaitu, Perceraian dapat terjadi
karena:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain luar
kemampuanya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
memnahayakan pihak lain;
e. salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. suami melanggar taklik-talak
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga
C. Akibat Dan Hikmah Perceraian
1. Akibat Perceraian
Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai, dan perceraian yang
diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian itu
sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau Kompilasi
Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada pasal-pasal-pasal berikut ini, yaitu
:
1. Dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197428
disebutkan,
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi
keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliaharaan dan
pendidikan yang diperlakukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri;
2. Dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI)29
dinyatakan, Bilamana
perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut Qobla al Dukhul;
28 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , (
Jakarta, Pradnya Paramita, 2006) h 549.
29 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta, Akademika
Presindo, 2004, h 149
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama
dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan
dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separoh apabila
Qobla al Dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun;
c) Dalam Pasal 150 dinyatakan, Bekas suami berhak melakukan ruju’
kepada bekas isterinya yang masih dalam masa iddah;
d) Dalam pasal 151 dinyatakan, Bekas isteri selama dalam masa iddah,
wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan
pria lain;
e) Dalam pasal 152 dinyatakan, Bekas isteri berhak mendapat nafkah
iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz;
f) Dalam Pasal 156 dinyatakan, Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah :
a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;
b. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya;
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah
telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula;
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dan dapat mengurus diri sendiri ( 21 tahun );
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c),
dan (d);
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang
tidak turut padanya.
2. Hikmah Perceraian
Dalam suatu kejadian pastilah terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu
juga pada permasalahan perceraian akan ada hikmah yang akan kita dapatkan, baik
bagi sang suami atau sang isteri. Talak pada dasarnya sesuatu yang halal tetapi hal
yang paling dibenci oleh Allah, hikmah dibolehkannya talak itu adalah karena
dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang
bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu.30
Dalam keadaan
begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat bagi kedua belah pihak, baik
itu sang suami atau isteri bahkan kepada sang anak itu sendiri.
Allah Yang Maha Bijaksana menghalalkan talak tapi membencinya, kecuali
untuk kepentingan suami, istri atau keduanya, atau untuk kepentingan
keturunannya. Dalam hal ini masalah ini mengandung dua hal yang merupakan
kemungkinan terjadinya talak:31
1. Kemandulan, apabila seorang laki-laki mandul, maka ia tidak akan mempunyai
keturunan, padahal anak adalah bagian utama dari perkawianan. Dengan anak
atau keturunan, maka dunia kan lebih berwarna. Begitu pula dengan wanita
mandul, maka ia tidak akan dapat memberikan keturnan bagi suaminya.
Sehingga apabila salah satu pasangan mandul, maka perceraian dapat dijadikan
solusi akhir, sebab diantara tujuan yang mendorong untuk melakukan
30
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan
Munakahat dan UU perkawinan, ( Jakarta, Prenada Media, 2006), h 201
31Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta, Akademika
Presindo, 2004, h 167
perkawinan adalah anak atau keturunan. Sehingga disinilah hikmah adanya
perceraian untuk mereka yang mandul, baik bagi laki-laki atau wanita.
2. Terjadinya perbedaan dan pertentangan kemarahan dan segala yang
mengingkari cinta dan kasih saying. Karena kalau cinta dan kasih sayang sudah
hilang dari kehidupan berumah tangga, maka perjalanan berumah tangga tidak
akan lagi nyaman. Ketika terjadi pertengkaran, maka yang menjadi korban
adalah anak, mereka akan berada dalam bahaya kegoncangan akibat sering
melihat kedua orang tuanya bertengkar. Hal ini yang menjadi perceraian adalah
solusi yang baik untuk mengeluarkan sanag anak dari bahaya kejiwaan karena
seringnya ia melihat kedua orang tuanya bertengkar.
Selain hal itu, hikmah adanya perceraian, akan menambahkan kita pada
pembelajaran hidup bahwasanya dalam hidup terdapat dinamika yang harus kita
jalani, baik itu bersifat senang atapun sedih. Karena semua ini sudah ada
ketentuannya yang telah lama ditentukan oleh Allah Swt, sehingga diharapkan
semua peristiwa yang kita alami, dapat kita ambil hikmah atau sebagai
pembelajaran untuk kehidupan kita kedepan agar lebih baik dan bisa lebih
mendekatkan diri dengan sang pencipta yaitu Allah Swt.
BAB III
TINJAUAN FIQH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERCERAIAN
AKIBAT IMPOTENSI
E. Pengertian Impoten
Suatu perkawinan yang bahagia harus ada cinta kasih dan simpatik timbal
balik, ide-ide bersama, minat bersama, keadaan keuangan yang relatif cukup serta
kecocokan dalam berbagai hal seperti pribadi dan sosial. Dilain pihak juga benar
bahwa suatu perkawinan tidak bisa sukses kalau tidak ada daya tarik seksual atau
kalau kehidupan seksual tidak memuaskan.32
Banyak kendala kendala dalam rumah tangga dewasa ini langsung atau tidak
langsung bersumber pada kesulitan-kesulitan seksual. Faktor seksual juga
mempunyai peranan penting dalam perkawinan. Adanya mitos seks yang tidak
benar membuat kendala dalam perkawinan seperti bahwa hubungan seksual adalah
nafsu hewani yang hina dan kotor. Bila hal itu yang diingat karena pemahaman
orang tua yang kaku tentang seks, maka keyakinan mereka tentang seks adalah hal
yang memalukan padahal seks dalam perkawianan itu hal yang logis dan sakral.33
Diantara penyakit seks yang sering dialami seorang pria itu salah satunya adalah
impoten
32 Anto Groho, Penyebab disfungsi pada pria, http://pa-sungailiat.pta-
babel.net/talk-show.pasgt diakses tanggal 30-10-2009.
33 Ibid,
Impotensi atau adalah perihal lemah syahwat keadaan tidak berdaya
sedangkan impoten adalah tidak ada daya untuk bersenggama atau mati pucuk
(lemah syahwat atau tidak mempunyai tenaga) tidak dapat berbuat apa-apa.34
Kata impoten berasal dari bahasa inggris yang berarti tidak berdaya, tak
bertenaga, mati pucuk (lemah zakar). Dan didalam bahasa Arab disebut “Unnah
dan juga bisa disebut ‘Inniin yang berarti35
:
“ 3,�J ” : Yang tak kuasa bersetubuh dengan perempuan
Ibnu abidin juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Firdaweri di
dalam bukunya tentang pengertian impotensi. Menurut bahasa impotensi adalah
orang yang tidak sanggup bersetubuh. Dan menurut istilah orang impoten adalah
orang yang tidak sanggupmensenggamai isterinya, karena terhalang dari sisuami
itu sendiri. Seperti sudah tua atau masih kecil. Dan untuk lebih jelasnya
Abdurrahman Al-Jaziri memperinci lagi maksud dari impoten itu, ia
mengemukakan bahwa orang impoten ialah orang yang tidak sanggup
bersenggama dengan isterinya pada kemaluanya, walaupun sudah bangun
kemaluanya waktu mendekati isterinya, sekalipun dia sanggup bersetubuh dengan
34 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), cet. 2 h. 427
35 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (jakarta, CV
Pedoman Ilmu Jaya, 1998, cet ke-1. h.90
wanita lain. (juga disebut impoten) orang yang hanya sanggup bersenggama
dengan perempuan janda, tidak sanggup dengan perempuan perawan (juga disebut
impoten) orang yang sanggup dengan isterinya pada duburnya dan tidak sanggup
pada kemaluannya. Maka orang yang ditemui keadaanya seperti yang tersebut
diatas dinamakan impoten untuk mensetubuhi isterinya.36
Menurut ilmu kedokteran yang dimaksud impoten disebut juga disfungsi
erektil yang mana pengertiannya adalah Disfungsi erektil, yang juga disebut
impotens, adalah ketidak mampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi
yang cukup untuk menyelesaikan koiteus. Pasien dapan melaporkan penurunan
frekuensi ereksi, ketidak mampuan untuk mencapai ereksi yang keras, atau
detumescence (menghilangnya ereksi) yang cepat.37
Disfungsi seksual sering disebut juga disfungsi ereksi yaitu masalah seksual
bagi sebagian pria. Tingkatan disfungsi ereksi dipengaruhi oleh beberapa hal
seperti fisik (hormonal & gaya hidup) maupun psikis, dari ejakulasi dini hingga
ketidakmampuan untuk mengalami ereksi sama sekali.38
36 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (jakarta, CV
Pedoman Ilmu Jaya, 1998, cet ke-1. h.89
37 Brunner&Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, (Jakarta,
Pnerbit Buku Kedokteran EGC, 1997) jilid 8. h. 1621
38 http://www.andriewongso.com (diakses pada tanggal 30-10-2009)
Dengan demikian jelas bahwa yang dikatakan impoten dalam uraian diatas
adalah menurut bahasa orang yang tidak sanggup bersetubuh, sedangkan menurut
istilah Syara’ ialah orang tidak sanggup bersenggama pada kemaluan isterinya.
Dalam hal ini penulis beranggapan apabila hal ini terdapat pada seorang
seorang suami tentu isteri kurang menerima haknya. Selama seorang isteri tidak
mempermasalahkan hal ini dan merelakan keadaan suaminya impoten tidak akan
menjadi masalah, akan tetapi bagi isteri yang tidak menerima keadaan seperti yang
dijelaskan diatas dia akan menuntut haknya. Seorang isteri bisa mengadukanya
kepada pengadilan Agama setempat dan tidak sedikit dari isteri yang mengalami
keadaan seperti ini akan berakhir pada perceraian.
F. Impotensi Menurut Pandangan Ulama Fiqh
Para ulama telah sepakat bahwa jika salah satu dari suami isteri mengetahui
adanya cacat pada pihak lain sebelum akad nikah ataupun diketahuinya sesudah
akad, tetapi ia telah rela atau ada tanda yang menunjukan kerelaanya, ia tidak
mempunyai hak untuk meminta cerai dengan alasan cacat bagaimanapun juga39
.
Tetapi hal ini bisa berbeda bila salah satu pihak mengetahui adanya cacat pada
salah satu pihak, dan pihak yang merasa dirugikan dapat meminta bercerai. Seperti
seorang suami yang mempunyai penyakit impoten atau lemah syahwat atau
39
Mahmud Syalthut, Muqoronah al-Madzahib fi al-Fiqh, (Mahmud Ali
Shibih, 1953), h.99
disfungsi seksual, maka bila terjadi hal itu istri dapat meminta bercerai atau khulu
terdhadap suaminya.
Hal ini sejalan dengan pendapat para ulama tentang kebolehan khulu dengan
alasan suami impoten atau mengalami disfungsi seksual adalah sebagai berikut:
1. Hanafiyah berpendapat bahwa suami tidak mempunyai hak Fasakh karena
sesuatu cacat yang ada pada isteri. Yang memiliki hak fasakh hanyalah isteri
apabila suaminya impoten, isteri tidak boleh khulu kecuali penyakit jab
(terpotongnya zakar), impoten, gila, sopak, kusta.40
2. Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabillah berpendapat bahwa boleh tidaknya
menuntut cerai adalah hak masing-masing seorang isteri. Ahmad bin Hanbal
menambahkan penyakit yang boleh menuntut cerai adalah delapan yaitu: gila,
sopak, kusta, jab (terpotongnya zakar), impoten, ar-ritq (tersumbatnya lubang
vagina yang menyebabkan kesulitan bersenggama), al-qorn (benjolan yang
tumbuh pada vagina), dan al-a’fal (daging yang tumbuh dan selalu
mengeluarkan bau busuk). Sebagian mereka menambahkan lagi beberapa
cacat seperti ambeien, buang air kecil terus menerus dan bau badan.
Tiga imam tersebut berhujjah dengan dalil nash untuk sebagian dan dengan
qiyas untuk sebagian yang lain. Adapun nash hadits yang menerangkan bahwa
nabi SAW bersabda kepada perempuan yang dilihatnya ada noda putih pada
lambungnya, “bergabung kembali dengan keluargamu”. Dengan hadits ini jelas
40
Ibid. H.100
sopak, kemudian diqiyaskan kepada kusta dan gila dengan alasan sama-sama
menjijikan. Rasulullah SAW bersabda ”Larilah dari orang yang berpenyakit
kusta”.
Hadis ini tegas-tegas memandang kusta itu salah satu untuk lari dan maksud
dari lari itu adalah dengan fasakh. Mereka mengatakan, nikah dikiaskan dengan
jual beli, cacat-cacat yang membolehkan fasakh pada jual beli, membolehkan juga
fasakh pada nikah. Mereka mengqiaskan cacat-cacat tersebut kepada jab dan
impoten, dengan alasan masing masing penyakit tersebut menghilangkan tujuan
nikah bagi pihak suami isteri.
3. Ibnu Qayyim berpendapat boleh fasakh dengan cacat apapun bentuknya yang
dapat menghilangkan ketenangan, kecintaan dankasih sayang. Beliau
berpendapat bahwa menuntut cerai bisa dilakukan dengan alasan setiap cacat
yang mebuat pasangan hidupnya tidak bertahan hidup bersamanya, baik
penyakitnya parah atau tidak seperti mandul, tuli , buta, tangan atau kakinya
terpotong, dan lain-lain.41
G. Impotensi Menurut Hukum Positif
Dalam hal impotensi (disfungsi seksual), di Indonesia sebagai negara hukum
terdapat peraturan hukum atau Undang-undang yang menjelaskan hal itu. Hal
tersebut terdapat pada peraturan yang mengatur tentang perceraian dengan karena
41
Mahmud syalthut, Muqoronah al Madzahib fi al Fiqh, h.101
cacat badan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 124 yang
menyatakan “khulu harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan
pasal 116”
Adapun hubungan dalam masalah cacat badan pada pasal 116 ialah poin e
yang menyatakan “ salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri”
perceraian seperti ini pun selaras dengan KHI yang menyatakan adanya
kesepakatan suami dan isteri sepertiyang tertulis dalam pasal 148 ayat 4
menyatakan: “setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau
tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan izin bagi suami untuk
mengikrarkan talaknya di depan Pengadilan Agama. Terhadap penerapan itu tidak
dapat dilakukan upaya banding dan kasasi”.
Dihubungkan pula pasal 132 KHI yang menyebutkan “gugatan perceraian
diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
mewilayahi daerah hukum penggugat kecuali isteri meninggalkan kediaman
bersama tanpa seizin suami”
Oleh karena itu peraturan tentang cerai gugat sangat mendukung bahwa
sinergi dan selerasnya antara khulu dan cerai gugat. Sinergi disini adalah bahwa
cerai gugat dan khulu sama-sama datangnya atas kehendak isteri, yang
membedakan adalah akibat hukum dan tebusan oleh isteri kepada suami.
Impoten atau lemah syahwat dalam undang undang perkawinan no 1 tahun
1974 tentang perkawinan dan PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
perkawinan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tidak secara tegas disebutkan
bahwa lemah syahwat atau impoten dapat dijadikan alasan tersendiri untuk
melakukan perceraian.
Tetapi bila kita melihat pada pasal 39 poin 2 Undang-undang No 1 Tahun
1974 dikatakan “ untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Hal ini didasari
pada pasal 34 poin 3 yaitu “ jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. Bila kita garis bawahi
pada kata-kata melalaikan kewajiban, banyak arti yang dapat diambil dari kata-
kata tersebut. Dalam hal kewajiban berumah tangga bisa berarti kewajiban
terhadap jasmani atau kewajiban terhadap rohani, kewajiban terhadap rohani disini
seperti terpenuhinya kebutuhan biologis.
Bila kewajiban kebutuhan biologis tidak terpenuhi, maka akan sangat
dikhawatirkan berpengaruh terhadap keharmonisan berumah tangga. Sehingga bila
hal itu terjadi, dan salah satu pihak ingin bercerai maka alasan ketidak harmonisan
tersebut dapat dijadikan alasan untuk bercerai.
H. Perceraian Akibat Impoten Menurut Fiqh dan Hukum Positif
1. Perceraian Akibat Impoten (disfungsi seksual) Menurut Fiqh
Aib dalam rumah tangga haruslah ditutupi oleh semua pihak di dalam kelurga
tersebut, baik itu aib yang terdapat pada pihak suami atau pada pihak istri, tetapi
bila aib tersebut berpengaruh pada keharmonisan rumah tangga, hal ini haruslah
dapat didudukkan permasalahannya dengan bijak dan baik.
ر,ا�# ب YZ �ح��ا دا�>و B� ,[ �I�>أةا�#, ر ا�B,"ب 3� _,^ YV[\ إ�:� ��,�� أZ -"لI:وإ� ZY �[ a�Y وا��B:� ا�
b� ل"- c� � ZBY -"ل وb� ا��;$ ا�#, رإZY:V آ�'� ذ�dEe& ZY c إ�:� وا�_:Ee"ت�+I�أ ZY �(��ا .N�Jوا & Zب أن: أخ",B�ر ا ,#���;EeI�ا �B]ء ت ث�ث� أش, ت_;>ك@,Y ل C�<�ء ا �"ن وهZ وا���[ kام ا� � ن�#; واث� ن وا�E>ص وا� لC�<� Iوه �[ ا���[ ء ت#;l' وأرB� وا��B:� ا� Zوا��;$ وا�>:ت$ ا��>ان وه (�B�وا '[ � Y b - <آk�و ا �:�B�ا > B�3 اJ ع I NnJ وا->ان ا4�;_ ر B+ ا�,3 إ�*>اق وا��;$ إ�_+ادا��>ج وا�>:ت$ ا�"طء b�I& 3� ا��>ج YZ &�"ن � �(*� �kة 3� تb�I ر%"� و-,) ا��>ج ZY &�"ن �*N وا�B�) ا�E"ل و�#>ج ا�"طء عI 42.ا�
Dalam hal ini Penulis mengutip ulasan tentang permaslahan Aib ini dari kitab
mizanul Kubro yang dikarang oleh Abi Al-Mawahib. Dalam kitab fikih ini
menjelaskan bahwa terdapat kriteria aib dalam rumah tangga, baik yang terdapat
pada laki-laki atau terdapat pada wanita atau juga terdapat pada keduanya. Adapun
macam-macam aib tersebut adalah43
:
a. Aib yang terdapat pada laki-laki dan wanita
1. Junun ( Gila ) ا����ن
2. Juzam ( kusta/lepra) ا���ام
42
Abi al-mawahib Abdul wahab bin ahmad, Mizanul Kubro, (Dar El-Fikr,
1978), h.115
43
Ibid., h.115
3. Baros ( Penyakit kulit / Belang ) ا���ص
b. Aib yang terdapat pada Laki-laki
1. Al-Jub ( Terpotongnya zakar ) ���ا�
2. Unnah ( Impoten ) �����ا
c. Aib yang terdapat pada Wanita
1. Qorn ( Yang menghalangi atau mencegahnya Wath’i atau Jima’) ا���ان
2. Rotak ( Vaginanya tertutup daging) ��ا���
3. Fatek ( Dempetnya saluran kencing dan vagina) ����ا
4. Aflun ( Daging yang tumbuh sehingga mencegah nikmatnya berjima’) ����ا
Bila semua atau salah satu tersebut yang di atas ada pada salah satu pihak dan
hal tersebut dapat mempengaruhi keharmonisan dalam berumah tangga, maka
salah satu pihak dapat memilih apakah meneruskan rumah tangga yang sudah
berjalan atau memilih untuk berpisah.
Dalam hal adanya aib yang menyebabkan perceraian ini para fuqaha berbeda
pendapat tentang permasalahan tersebut, yaitu :44
a. Menurut Imam Abu Hanifah ; berpendapat bahwasanya tidak ada fasakh
dalam suatu pernikahan yang didasari karena adanya aib, akan tetapi perempuan
tersebut boleh memilih, jika alasannya atau aibnya berupa al-jub ( terpotongnya
zakar ) dan unnah ( impoten ).
44
Abi al-mawahib Abdul wahab bin ahmad, Mizanul Kubro, (Dar El-Fikr,
1978), h.115
b. Menurut Imam Maliki dan Syafi’i ; berpendapat bahwa ketetapan dalam
masalah memilih tersebut diperbolehkan kecuali aib tersebut adalah fatek (
dempetnya lubang air kencing dan vagina).
c. Menuurt Imam Ahmad bin Hambal ; berpendapat bahwa semua aib dapat
menyebabkan seorang wanita dapat memilih.
2. Perceraian Akibat Disfungsi Seksual Menurut Hukum Positif
Impoten atau lemah syahwat dalam undang undang perkawinan no 1 tahun
1974 tentang perkawinan dan PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
perkawinan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tidak secara tegas disebutkan
bahwa lemah syahwat atau impoten dapat dijadikan alasan tersendiri untuk
melakukan perceraian.
Tetapi bila kita melihat pada pasal 39 poin 2 Undang-undang No 1 Tahun
1974 dikatakan “ untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Hal ini didasari
pada pasal 34 poin 3 yaitu “ jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. Bila kita garis bawahi
pada kata-kata melalaikan kewajiban, banyak arti yang dapat diambil dari kata-
kata tersebut. Dalam hal kewajiban berumah tangga bisa berarti kewajiban
terhadap jasmani atau kewajiban terhadap rohani, kewajiban terhadap rohani disini
seperti terpenuhinya kebutuhan biologis.
Bila kewajiban kebutuhan biologis tidak terpenuhi, maka akan sangat
dikhawatirkan berpengaruh terhadap keharmonisan berumah tangga. Sehingga bila
hal itu terjadi, dan salah satu pihak ingin bercerai maka alasan ketidak harmonisan
tersebut dapat dijadikan alasan untuk bercerai.
BAB IV
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
TENTANG PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNYAI
KETURUNAN
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan
1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah sebagai salah satu institusi
yang melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai
berikut:45
1. Udang-Undang Dasar 1945 pasal 24;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang ketentuan-ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
5. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
45
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06
november 2009, h.1
7. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963, Tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
8. Peraturan-Peraturan lain yang berhubungan dengan tata cara kerja dan
wewenang Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Sejarah Singkat Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia No 69 Tahun 1963 tentang pembentukan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Pada awalnya Pengadilan Agama di wilayah
DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan kantor cabang yaitu46
:
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara;
2. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah;
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk;
Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk wilayah Hukum Cabang
Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang
Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri Agama
Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976 Tentang Dasar Hukum
Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama.47
Semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan
Agama yang berada di daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam wilayah hukum
46
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06
november 2009, h.3.
47
Ibid., h. 3.
Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Berdasarkan
surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1985
tanggal 16 Juli 1985 pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Surakarta
dipindahkan ke Jakarta, akan tetapi baru bisa direalisasikan pada tanggal 30
Oktober 1987 dan secara otoritas wilayah hukum Pengadilan Agama di Wilayah
DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta48
.
3. Perkembangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan jawaban
dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang mana pada tahun 1967 merupakan
cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan
Otista Raya Jakarta timur, dan sebutan pada waktu itu adalah cabang dari
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk serta tuntutan
masyarakat Jakarta Selatan yang wilayahnya cukup luas, Sehingga pada waktu itu
keadaan kantor dalam kondisi darurat, yaitu menempati gedung bekas kantor
kecamatan pasar minggu tepatnya di gang kecil yang sampai saat ini dikenal
dengan sebutan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan yang di
pimpin oleh polana49
.
48
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06
november 2009, h.3.
49
Ibid, h.4.
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar pada permasalahan perceraian akan
tetapi kalaupun ada mengenai warisan maka masuk kepada komparasi itupun
dimulai tahun 1969 bekerja sama dengan Pengadilan Negeri yang pada saat itu
dipimpin oleh Bismar Siregar. Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa
waris akan tetapi hal tersebut ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan
dengan kewenangannya sehingga sempat terjadi penahanan beberapa orang
termasuk Hasan Mughni karena fatwa waris tersebut, sehingga sejak saat itu fatwa
waris ditambahkan dengan kalimat “jika ada harta peninggalan”50
Pada tahun 1976 gedung kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi
masjid Syarif Hidayatullah dan pada saat itu sebutan kantor cabang dihilangkan
menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada saat itu diangkat pula beberapa
hakim honorer yang salah satunya adalah Ichtijanto. Penunjukan tempat tersebut
atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta Selatan yang pada saat itu dijabat oleh
Muhdi Yasin. Seiring dengan perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan
untuk menangani tugas-tugas kepanitraan yaitu; Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari,
Sukandi, Tuwon Haryanto Fathullah AN, Hasan Mughni, dan Imran, keadaan
penempatan kantor diserambi masjid tersebut bertahan sampai tahun 1979.51
50
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06
november 2009, h. 4.
51
Ibid., h. 4.
Pada bulan Desember 1979 kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah
ke gedung baru di. Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati gedung
baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN Pondok
Pinang dan pada tahun 1979 pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang
dipimpin oleh H.Alim, diangkat pula hakim-hakim honorer untuk menangani
perkara-perkara yang masuk, mereka diantaranya adalah KH. Yakub, KH, Muhdas
Yusuf, Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, Noer Chazin. Pada
perkembangan selanjutnya yaitu semasa kepemimpinan Djabir Manshur kantor
Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke jalan Rambutan VII No.48 Pejaten
Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan menempati gedung baru yang
merupakan hibah dari pemda DKI. Di gedung baru ini meskipun kurang
memenuhi syarat karena terletak ditengah-tengah penduduk dan jalan masuk
dengan kelas III C akan tetapi jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya, pembenahan-pembenahan fisikpun dilakukan terutama pada masa
kepemimpinan Jayusman52
.
Begitu pula pembenahan-pembenahan administrasi terutama pada masa
kepemimpinan Ahmad kamil. Pada masa ini pula Pengadilan Agama Jakarta
Selatan mulai menggunakan komputer walaupun hanya sebatas pengetikan dan hal
tersebut terus ditingkatkan pada masa Rif’at Yusuf. Pada masa perkembangan
selanjutnya pada tahun 2001 pada saat itu kepemimpinan dijabat oleh Zainudin
52
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06
november 2009, h. 5.
Fajari, Pembenahan-pembenahan terus dilakukan baik fisik maupun non fisik
sampai pada tahapan komputerisasi online dalam administrasi, dan hal tersebut
pada saat ini masih terus dibenahi sampai sekarang oleh ketua Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Sayed Ustman dan sampai pada ketua Pengadilan Agama Jakarta
Selatan sekarang yang dijabat oleh Pahlawan Harahap, yang tujuannya untuk
meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan sehingga
terciptanya keadilan dalam masyarakat53
.
B. Duduk Perkara
Dalam hal ini penulis merumuskan awal dari permasalahan atau duduk
perkara dari permasalahan yang dialami para pihak, baik dari pihak penggugat
maupun dari pihak tergugat. Masalahnya adalah karena setelah penggugat dan
tergugat berumah tangga ada beberapa hal yang membuat penggugat merasa
membuat hubungan keluarga tidak harmonis lagi, yaitu dengan seringnya tergugat
marah, bersikap temperamental kepada penggugat dan yang lebih utama lagi yaitu
adalah tergugat tidak bisa memberikan nafkah lahir batin dikarenakan tergugat
mempunyai penyakit impoten yang pada intinya dari perkawinan mereka tidak bisa
memberikan keturunan.
53
Ibid, h. 5
C. Pihak-pihak Terkait
- Penggugat : Ira Irayanti bin Maman Suparman, umur 26 tahun, agama Islam,
Pendidikan D1, pekerjaan swasta, tempat tinggal Jl. Raya Lenteng Agung Gg. H
Zakaria, Rt. 005/03, Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
- Tergugat : Ahmad Fakih bin Zainal Abidin, umur 34 tahun, agama islam,
pendidikan S1, pekerjaan swasta, tempat tinggal Jl Raya Lenteng Agung Rt
002/03, Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Para Saksi :
- Koko Komarudin bin H. Maman sebagai kakak kandung penggugat.
- Imam Nursyamsudin bin H. Maman sebagai kakak kandung tergugat.
- Dian binti H. Zainal Abidin sebagai kakak kandung tergugat.
- Yulia binti H. Zainal Abidin sebagai adik kandung tergugat.
D. Kronologi Perkara
Kronologis perkara ini sesuai yang didaftarkan pada kepaniteraan
tertera pada Nomor 241/Pdt.G/2007/PA.JS adalah pada saat Ira Irayanti
binti Maman Suparman sebagai Penggugat mengajukan gugatan di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Ahmad Fikih bin Zainal Abidin
sebagai tergugat. Awalnya mereka menikah pada tanggal 06 Juli 2003
dihadapan Pejabat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Jagakarsa
Jakarta Selatan sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor 716/31/VI/2001 tanggal
06 Juli 2003. Pada pembahasan ini penulis mengambil kasus perceraian
yang diakibatkan pihak tergugat mempunyai penyakit impotensi.
Bahwa dalam persidangannya penggugat dan tergugat hadir
dalam persidangannya yang mana telah ditentukan dengan surat
panggilan dan telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadiri
sidangnya. Pada saat itu majlis hakim mengupayakan perdamaian
diantara kedua belah pihak tetapi hal tersebut tidak berhasil, maka majlis
hakim meneruskan pemeriksaan perkara dengan membacakan surat
gugatan penggugat. Yang mana sebab-sebab terjadinya perselisiahan
tersebut karena:
1. Tergugat tempramental dan sering marah kepada penggugat
2. Tergugat tidak dapat memberikan nafkah bathin kepada penggugat,
dan untuk mengatasi permasalahan tersebut tergugat telah berusaha
untuk berobat, namun tidak berhasil.
Selanjutnya dalam persidangan tersebut setelah Majlis Hakim membacakan
surat gugatan kemudian tergugat memberikan jawaban secara lisan, yang mana
dalam jawaban tersebut penggugat mengakui dan membenarkan atas dalil gugatan
pihak penggugat dengan seringnya terjadi perselisihan dan masalah nafkah bathin
yang tidak pernah mencapai organsme atas ketidak mampuan tergugat. Akan tetapi
pihak tergugat merasa keberatan atas gugatan penggugat karna masih adanya rasa
sayang dan rasa cinta terhadap penggugat.
Setelah mendengarkan gugatan dari pihak pergugat dan mendengarkan
jawaban dari pihak tergugat kemudian majlis hakim meminta kepada pihak
penggugat untuk menghadirkan bukti-bukti, yaitu berupa bukti tertulis dan
pemanggilan para saksi. Adapun saksi-saksi yang dihadirkan berasal dari kedua
belah pihak yaitu antara penggugat dan tergugat.
Pertama yang dihadirkan adalah saksi dari pihak penggugat yaitu Koko
Komarudin bin H. Maman yang tidak lain adalah kakak kandung dari penggugat.
Dalam kesaksianya saksi menjelaskan bahwa rumah tangga pengggugat dengan
tergugat sudah tidak rukun lagi, dengan seringnya terjadi peseisihan dan
pertengkaran yang dikarenakan masalah nafkah bathin. Dan dalam kesaksianya
tersebut saksi juga mengatakan bahwa pernah menerima pengaduan dari penggugat
dana tergugat mengenai ketidak mampuan tergugat dalam memenuhi nafkah bathin
dan saat itu saksi menyarankan kepada para pihak untuk menjalani pengobatan.
Dan setelah memberikan saran saksi juga memberikan nasehat agar para pihak
rukun kembali akan tetapi usaha dari saksi tidak berhasil, dikarenakan pihak
penggugat tetap ingin bercerai dari pihat tergugat.
Selanjutnya Majlis Hakim memanggil saksi yang kedua dari pihak
penggugat yaitu Imam Nursyamsudin bin H. Maman yang tidak lain adalah kakak
kandung penggugat. Yang mana dalam kesaksiannya saksi menerangkan
bahwasanya mereka adalah suami isteri yang belum dikaruniai anak, saksi juga
menerangkan bahwa rumah tangga pengggugat dengan tergugat sudah tidak rukun
lagi dengan seringnya terjadi peseisihan dan pertengkaran yang dikarenakan
masalah nafkah bathin yang mana dari cerita penggugat kepada saksi bahwa
tergugat tidak mampu melakukan hubungan intim karena impoten. Dan juga saksi
pernah ditelepon dengan tenggugat yang menerangkan bahwasanya penggugat
masih perawan, dan keadaan rumah tangga sudah tidak harmonis. Saksipun
mengetahui tergugat pernah berobat ke dokter boyke, dalam kehidupan rumah
tangga saksi menerangkan bahwa penggugat dan tergugat telah pisah ± 3 bulan.
Dan setelah memberikan saran saksi juga memberikan nasehat agar para pihak
rukun kembali akan tetapi usaha dari saksi tidak berhasil, dikarenakan pihak
penggugat tetap ingin bercerai dari pihat tergugat. Tersebut diatas adalah saksi dari
pihak penggugat.
Setelah mendengarkan keterangan saksi dari pihak pengugat majlis hakim
meminta kepada tergugat untuk meneguhkan dalil-dalil bantahanya dengan
menghadirkan bukti-bukti yaitu berupa bukti tertulis dan pemanggilan para saksi
dari pihak tergugat.
Saksi pertama dari pihak tergugat adalah Dian binti H. Zainal Abidin tidak
lain adalah kakak kandung tergugat. Dalam kesaksianya saksi menerangkan
bahwasanya saksi mengetahui rumah tangga tergugat dan penggugat sudah tidak
rukun lagi sering terjadi perselisihan dan pertengkaran karena tergugat tidak punya
kemampuan masalah hubungan sek (suami isteri). Dan juga saksi mengetahui
tergugat karena penyakit tersebut telah melakuakan pengobatan kepada banyak
pihak. Saksi mengetahui bahwa penggugat dan tergugat telah pisah tempat tinggal,
masing-masing tinggal bersama orang tua, dan saksi pun telah berupaya untuk
mendamaikan dan merukunkan kembali antara pihak penggugat dan terguggat
namun tidak berhasil karena penggugat tetap ingin bercerai.
Selanjutnya Majlis Hakim memanggil saksi yang kedua dari pihak tenggugat
yaitu Yulia binti H. Zainal Abidin tidak lain adalah adik kandung tergugat. Dalam
kesaksianya saksi menerangkan bahwa saksi mengetahui rumah tangga penggugat
dan tergugat tidak rukun dan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran karena
tergugat tidak mampu melakukan hubungan suami isteri (impoten), selain itu saksi
juga mengetahui penggugat dan tergugat telah pisah ranjang selama ± 3 bulan
lamanya, dalam hal ini pun saksi telah berupaya untuk mendamaikan dan
merukunkan kembali antara pihak penggugat dan terguggat namun tidak berhasil
karena penggugat tetap ingin bercerai dan saksi menyerahkan kepada majlis.
Tersebut di atas adalah saksi dari pihak tergugat.
Setelah itu penggugat maupun tergugat membenarkan keterangan para saksi-
saksi di atas dan untuk mempersingkat uraian putusan ini selama dalam
persidangan telah ditunjuk dalam berita acara pemeriksaan perkara ini. Dan
selanjutnya penggugat maupun tergugat menyatakan tidak ada lagi yang akan
disampaikan dan telah menyampaikan kesimpulannya dan akhirnya mohon
putusan.
E. Ringkasan Keputusan
Hakim dalam hal kasus yang dilayangkan oleh Ira Irayanti bin
Maman Suparman sebagai pihak Penggugat melawan Ahmad Fikih bin
Zainal Abidin sebagai pihak tergugat dengan pokok perkara yaitu
perceraian akibat pihak tergugat mengalami impoten hakim dalam hal ini
orang yang mengambil keputusan tidak ada satupun dalil hukum yang
dijadikan pertimbangan hukum, lebih banyak pertimbangan keadaan
para pihak.
Berdasarkan fakta yang penulis peroleh dapat diketahui bahwa
setelah pemohon dalam permohonannya meminta agar Pengadilan
Agama Jakarta Selatan
Adapun dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor:
241/Pdt.G/2007/PA.JS diantaranya adalah
Menimbang, bahwa pada pokok gugatannya Penggugat memohon
ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan agar diputuskan perkawinannya
dengan Tergugat dengan alasan bahwa sejak awal kehidupan rumah
tangga Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus yang sulit diatasi sehingga membawa
akibat buruk bagi kelangsungan hidup berumah tangga karena Tergugat
tidak dapat memberiakn nafkah bathin;
Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan pokok
perkaranya terlebih dahulu akan dipertimbangkan hubungan hukum
antara Penggugat dan Tergugat yang untuk kepentingan hal tersebut
Penggugat telah mengajukan bukti surat P.1 dan t.1 yang telah memenuhi
syarat formil dan materiil pembuktian dengan surat sesuai pasal 165 HIR jo
pasal 1 huruf f (2) PP No. 24 tahun 2000 sehingga bukti surat tersebut dapat
diterima sebagai alat bukti di persidangan, dengan demikian telah terbukti
dan telah menjadi fakta hukum bahwa Penggugat dan dan Tergugat
adalah suami istri yang sah yang perkawinannya dilaksanakan
berdasarkan syariat Islam;
Menimbang, bahwa di depan sidang Tergugat telah mengakui
kebenaran dalil-dalil gugat sehingga oleh karenanya pengakuantersebut
dapat diterima sebagai alat bukti di persidangan yang mempunyai nilai
pembuktian sempurna, mengikat dan menentukan sesuai pasal 174 HIR,
dengan demikian dalil gugat telah terbukti dan telah menjadi fakta
hukum;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalilnya Penggugat
telah menghadirkan 2 orang saksi, dan salah satunya bertindak sebaagi
saksi keluarga;
Menimbang, bahwa 2 orang saksi yang diajukan Tergugat secara
bersesuaian menerangkan di bawah sumpahnya, bahwa saksi tersebut
tahu rumah tangga Tergugat dan Pengggugat tidak rukun serta sudah
pisah tempat tinggal bersama Tergugat tidak ammpu memberikan nafkah
bathin terhadap Penggugat saksi juga tahu bahwa pihak keluarga telah
berusaha menasehati dan merukunkan kedua belah pihak tetapi tidak
berhasil;
Menimbang, bahwa karena fakta tentang perselisihan pertengkaran,
dan adanya saling tidak memperdulikan serta ketidakmampuan Tergugat
untuk melakukan hubungan suami istri telah diakui oleh Tergugat meskipun
Tergugat telah melakukan pengobatan dokter ahli bukti T.2 dan T.3 dan
dari keterangan 2 orang saksi Tergugat dan bukti P.2 meneguhkan adanya
fakta ketidakrukunan dan perselisihan terus menerus telah menjadi tetap
dan terbukti. Oleh karenanya majelis berpendapat bahwa hal tersebut
telah sejalan dengan alasan perceraian sebagaimana yang dirumuskan
oleh pasal 19 (f) PP No. 9 tahun 1975 jo pasal 116 (f) KHI,
Menimbang, bahwa oleh karena tergugat selaku suami tidak
mampu melakukan hubungan suami isteri (impoten) maka si isteri memiliki
hak untuk memutuskan perkawinannya sebagaimana dalil dari kitab sirojul
wahaj hal 362 yang berbunyi;
� ت� وC+ أو,�J او �"� � dEر ث KY \]Y ا�*,
ا��� ح
Artinya: "Atau apabila si istri mendapati suaminya impotent dan
maka tetaplah si perempuan itu memiliki hak pisah”.
Menimbang, bahwa perkawinan penggugat dan tergugat sudah
tidak sejalan dengan maksud dan tujuan perkawinan sebagaimana
digariskan oleh Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu untuk membentuk
keluarga yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, dan tidak sejalan dengan tujuan Pasal 3 KHI yaitu untuk mewujudkan
rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah karena yang terjadi
adalah kedua belah pihak sudah tidak saling percaya dan menjauhkan
diri, dan sudah tidak memperdulikan;
Menimbang, bahwa meskipun Tergugat menyatakan masih
mencintai Penggugat namun pada waktu yang sama Penggugat pun
menyatakan sudah tidak ada rasa cinta lagi terhadap Tergugat,
sehingga bila pada perkawinan ini tetap dipertahankan akan berjalan
pincang dan tidak menguntungkan kedua belah pihak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas maka gugatan Penggugat untuk dapat bercerai dengan
Tergugat harus dikabulkan dengan menjatuhkan talak dari Tergugat
terhadap Penggugat;
MENGADILI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menjatuhkan talak bain Tergugat ( Ahmad Fikih bin Zainal Abidin )
terhadap Penggugat ( Ira Irayanti bin Maman Suparman );
3. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara
ini sebesar Rp. 375. 000,- ( Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima ribu Rupiah );
F. Analisa Hukum
Pada bagian analisa akhir ini penulis mengambil satu kasus perceraian
karena suami impoten karena berkaitan Tinjauan Fiqih dan Hukum Positif
terhadap perceraian karena suami tidak bisa memberikan nafkah bathin (impoten),
Majlis Hakim mengabulkan gugatan penggugat dapat penulis analisa
sebagaimana berikut:
Pertama, Tergugat tidak cukup alasan untuk mempertahankan rumah
tangganya, walaupun dalam persidangan tergugat menyatakan tidak ingin berpisah
dari penggugat dengan alasan masih menyayangi penggugat, akan tetapi pada saat
yang bersamaan penggugat menyatakan bahwa penggugat sudah tidak suka
disamping faktor yang utama adalah suami tidak bisa memberikan nafkah bathin
sehingga menimbulkan percekcokan yang berkepanjangan oleh karenanya majlis
hakim berpendapat bahwa hal tersebut telah sejalan dengan alasan perceraian
sebagaimana yang dirumuskan oleh pasal 19 (f) PP No. 9 tahun 1975 jo pasal 116
(f) KHI.
Kedua, Gugatan istri terhadap suaminya bukanlah semata-mata karena suami
tidak bisa memberikan nafkah bathin, akan tetapi suami juga melakukan perilaku-
perilaku negatif seperti tempramental sehingga menimbulkan percekcokan dan
perselisihan berkepanjangan.
Ketiga, Tergugat mengakui dan membenarkan dalil-dalil atau alasan-alasan
yang di arahakan oleh penggugat terhadap tergugat di depan sidang, serta
dikuatkan oleh saksi-saksi baik dari saksi penggugat ataupun tergugat (bukti T. 2
dan T.3 yang menjadikan bukti kuat yang mempunyai nilai pembuktian sempurna
Keempat, Hakim mengabulkan gugatan penggugat yaitu istri “pertama”,
berdasarkan KHI pasal 19 (f) PP no. 9 tahun 1975 jo pasal 116 (f) KHI, bahwa
karena fakta perselisihan pertengkaran, dan adanya saling tidak mempedulikan
serta ketidakmampuan tergugat untuk melakukan hubungan suami istri telah di
akui oleh tergugat telah melakukan pengobatan dokter ahli. “kedua”, berdasarkan
rujukan kitab klasik yang digunakan langsung secara tertulis dalam putusan hakim
yaitu kitab Sirojul Wahaj hal. 362 yang menyatakan karena tergugat selaku suami
tidak mampu melakukan hubungan suami istri (impoten) maka istri memiliki hak
untuk memutuskan perkawinannya. Dan yang “ketiga” pasal 1 UU. No. 1 tahun
1974, yang menyatakan secara global bahwa perkawinan penggugat dan tegugat
sudah tidak sejalan dengan maksud tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.
Putusan Hakim pengadilan Agama Jakarta selatan terhadap kasus tersebut,
yakni mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan menetapkan perkawinan
penggugat dan tergugat putus karena perceraian dengan talak bain sughra,
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut penulis berpendapat
adalah bagian dari Tinjauan Fiqih dan dan Hukum Postif yang memerhatikan
kepentingan pada pihak istri sebagai bagian dari keadilan dalam berumah tangga.
Karena pada dasarnya apabila perkawinan yang faktanya suami tidak bisa
memberikan nafkah bathin, maka akan terjadi pengabaian hak-hak kemanusiaan
yang seharusnya didapatkan oleh seorang istri. Maka pada dasarnya hakim
memutuskan pada kasus tersebut untuk tercapainya tujuan perkawinan yang
diinginkan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa yaitu sakinah mawahdah
warahmah.54
Dalam hal ini penulispun ingin memberikan gambaran profil keluarga yang
tidak sampai kepada perceraian hanya karena tidak mempunyai keturunan.
Gambaran profil perkawinan pasangan suami isteri yang harmonis dan tidak
sampai bercerai hanya karena tidak mempunyai keturunan.
Nama Suami : Ade Badru* (nama disamarkan)
Nama Isteri : Amalia* (nama disamarkan)
Keterangan:
54
Wawancara khususdengan hakim Drs. Muhayat pada tanggal 07-11-2009,
Hakim pengadilan agama Jakarta selatan.
Bahwa pasangan suami isteri ini menikah pada tanggal 12 Desember 2003,
dan dalam perjalanan mahligai rumah tangganya sesuai yang penulis amati dan
menyangkut penulisan skripsi penulis mereka belum dikaruniai anak selama 6
Tahun jalinan rumah tangga mereka. Akan tetapi mereka menerima karena
pasangan suami istri ini beranggapan bahwa Allah SWT belum mengkaruniai
anak kepada mereka. Ketika penulis telusuri ternyata merekapun sudah berusaha
memancing-mancing agar dapat mempunyai keturunan yaitu dengan cara
mengasuh anak atau mengadopsi anak, akan tetapi sampai sekarangpun belum
juga di karuniai anak atau belum hadirnya seorang anak dalam keluarga.
Dari permasalahan ini penulis menilai betapa bahagianya pasangan suami
isteri ini karena satu sama lain saling mengerti dan menerima keadaan dan
kenyataan kehidupan yang mereka jalani. Karena penulis melihat belum pernah
ada masalah atau perseturuan yang tajam dari keluarga mereka karena selama
penulis telusuri dan penulis perhatikan rasa kecintaan antara pasangan suami isteri
ini sangat tinggi dan menjungjung tinggi kesetian, dalam hal ini penulis menilai
tidak banyak pasangan suami isteri yang mengalami hal yang sama. Karena tidak
jarang pula pasangan suami isteri yang lebih memilih kawin lagi dengan cara
berpoligami dalam hal ini suami, atau tidak sedikit pula yang berakhir pada
perceraian.
Jadi disini penulis menilai bahwa tentang perceraian akibat tidak
mempunyai keturunan itu tidak semua kasus cerai ini diputus cerai karean ada
juga yang mempunyai ataupun mengalami kasus yang sama tetapi mereka
memilih jalan untuk menyelesaikan dengan cara kekeluargaan atau menunjuk
hakam dari para pihak yang bersangkutan untuk mendamaikan pasangan suami
isteri yang sedang dilanda masalah ini.
Dalam hal ini penulis mengamati optimalisasi peran hakim dalam mediasi
terasa kurang dalam persidangan, karena sesuai dengan PERMA RI No 1 Tahun
2008 tentang Mediasi di pengadilan, yang mana hakim setiap menyelesaikan
perkara khususnya perkara perdata diwajibkan untuk mendamaikan para pihak.
Pasal 6 PERMA berbunyi hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk
menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal
persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan.
Dari sini penulis beranggapan bahwa setiap dilakukan mediasi itu baiknya
harus mempunyai tempat yang khusus untuk ruangan mediasi bukan pada saat
diruangan sidang dan juga yang menjadi hakam atau juru mediasi harus seorang
hakim yang sudah berpengalaman dalam memberikan nasihat dan tausiyah
sehingga dalam hal ini pasangan suami isteri tidak sampai melanjutkan perkara
perceraian karna mereka sudah cukup untuk di damaikan di sesi mediasi tersebut.
BAB IV
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
TENTANG PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNYAI
KETURUNAN
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan
4. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah sebagai salah satu institusi
yang melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai
berikut:55
9. Udang-Undang Dasar 1945 pasal 24;
10. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang ketentuan-ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
12. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
13. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
14. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
55
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06
november 2009, h.1
15. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963, Tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
16. Peraturan-Peraturan lain yang berhubungan dengan tata cara kerja dan
wewenang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
5. Sejarah Singkat Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia No 69 Tahun 1963 tentang pembentukan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Pada awalnya Pengadilan Agama di wilayah
DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan kantor cabang yaitu56
:
4. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara;
5. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah;
6. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk;
Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk wilayah Hukum Cabang
Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang
Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri Agama
Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976 Tentang Dasar Hukum
Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama.57
Semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan
Agama yang berada di daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam wilayah hukum
56
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06
november 2009, h.3.
57
Ibid., h. 3.
Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Berdasarkan
surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1985
tanggal 16 Juli 1985 pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Surakarta
dipindahkan ke Jakarta, akan tetapi baru bisa direalisasikan pada tanggal 30
Oktober 1987 dan secara otoritas wilayah hukum Pengadilan Agama di Wilayah
DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta58
.
6. Perkembangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan jawaban
dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang mana pada tahun 1967 merupakan
cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan
Otista Raya Jakarta timur, dan sebutan pada waktu itu adalah cabang dari
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk serta tuntutan
masyarakat Jakarta Selatan yang wilayahnya cukup luas, Sehingga pada waktu itu
keadaan kantor dalam kondisi darurat, yaitu menempati gedung bekas kantor
kecamatan pasar minggu tepatnya di gang kecil yang sampai saat ini dikenal
dengan sebutan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan yang di
pimpin oleh polana59
.
58
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06
november 2009, h.3.
59
Ibid, h.4.
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar pada permasalahan perceraian akan
tetapi kalaupun ada mengenai warisan maka masuk kepada komparasi itupun
dimulai tahun 1969 bekerja sama dengan Pengadilan Negeri yang pada saat itu
dipimpin oleh Bismar Siregar. Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa
waris akan tetapi hal tersebut ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan
dengan kewenangannya sehingga sempat terjadi penahanan beberapa orang
termasuk Hasan Mughni karena fatwa waris tersebut, sehingga sejak saat itu fatwa
waris ditambahkan dengan kalimat “jika ada harta peninggalan”60
Pada tahun 1976 gedung kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi
masjid Syarif Hidayatullah dan pada saat itu sebutan kantor cabang dihilangkan
menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada saat itu diangkat pula beberapa
hakim honorer yang salah satunya adalah Ichtijanto. Penunjukan tempat tersebut
atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta Selatan yang pada saat itu dijabat oleh
Muhdi Yasin. Seiring dengan perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan
untuk menangani tugas-tugas kepanitraan yaitu; Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari,
Sukandi, Tuwon Haryanto Fathullah AN, Hasan Mughni, dan Imran, keadaan
penempatan kantor diserambi masjid tersebut bertahan sampai tahun 1979.61
60
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06
november 2009, h. 4.
61
Ibid., h. 4.
Pada bulan Desember 1979 kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah
ke gedung baru di. Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati gedung
baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN Pondok
Pinang dan pada tahun 1979 pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang
dipimpin oleh H.Alim, diangkat pula hakim-hakim honorer untuk menangani
perkara-perkara yang masuk, mereka diantaranya adalah KH. Yakub, KH, Muhdas
Yusuf, Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, Noer Chazin. Pada
perkembangan selanjutnya yaitu semasa kepemimpinan Djabir Manshur kantor
Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke jalan Rambutan VII No.48 Pejaten
Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan menempati gedung baru yang
merupakan hibah dari pemda DKI. Di gedung baru ini meskipun kurang
memenuhi syarat karena terletak ditengah-tengah penduduk dan jalan masuk
dengan kelas III C akan tetapi jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya, pembenahan-pembenahan fisikpun dilakukan terutama pada masa
kepemimpinan Jayusman62
.
Begitu pula pembenahan-pembenahan administrasi terutama pada masa
kepemimpinan Ahmad kamil. Pada masa ini pula Pengadilan Agama Jakarta
Selatan mulai menggunakan komputer walaupun hanya sebatas pengetikan dan hal
tersebut terus ditingkatkan pada masa Rif’at Yusuf. Pada masa perkembangan
selanjutnya pada tahun 2001 pada saat itu kepemimpinan dijabat oleh Zainudin
62
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06
november 2009, h. 5.
Fajari, Pembenahan-pembenahan terus dilakukan baik fisik maupun non fisik
sampai pada tahapan komputerisasi online dalam administrasi, dan hal tersebut
pada saat ini masih terus dibenahi sampai sekarang oleh ketua Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Sayed Ustman dan sampai pada ketua Pengadilan Agama Jakarta
Selatan sekarang yang dijabat oleh Pahlawan Harahap, yang tujuannya untuk
meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan sehingga
terciptanya keadilan dalam masyarakat63
.
B. Kronologis Perkara
Kronologis perkara ini sesuai yang didaftarkan pada kepaniteraan
tertera pada Nomor 241/Pdt.G/2007/PA.JS adalah pada saat Ira Irayanti
binti Maman Suparman sebagai Penggugat mengajukan gugatan di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Ahmad Fikih bin Zainal Abidin
sebagai tergugat. Awalnya mereka menikah pada tanggal 06 Juli 2003
dihadapan Pejabat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Jagakarsa
Jakarta Selatan sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor 716/31/VI/2001 tanggal
06 Juli 2003.
Setelah sekian lama rumah tangga mereka jalani dengan baik
sesuai niat awal mereka dengan membentuk keluarga yang sakinah
63
Ibid, h. 5
mawaddah warohmah, akan tetapi dari perkawinan mereka tidak
dikaruniai keturunan (anak).
Sejak awal kehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat
sering terjadi perselisihan / pertengkaran secara terus menerus yang sulit
diatasi, sehingga membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup
bersama yang telah dibina bersama. Sebab –sebab terjadinya
perselisihan tersebut antara lain tergugat mempunyai sifat tempramental
dan sering marah kepada penggugat juga permasalahan yang inti yaitu
tergugat tidak dapat memberikan nafkah bathin kepada penggugat,
dan dengan adanya masalah ini tergugat telah mencoba dengan
berbagai usaha seperti berobat ke dokter akan tetapi tidak ada
perubahan ( tidak berhasil ) tergugat tetap saja tidak bisa memberikan
keturunan.
Walaupun sudah di adakan musyawarah antara pihak penggugat
dan tergugat juga keluarga tetapi tetap saja pihak tergugat tidak bisa
menunaikan kewajibanya memberikan nafkah bathin kepada penggugat
yang pada akhirnya penggugat memutuskan untuk bercerai dari
tergugat dengan melayangkan surat gugatan terhadap suaminya di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Nomor perkara:
241/Pdt.G/2007/PA.JS
C. Prosedur Jalannya Persidangan Sampai Pada Putusan Hakim
Hakim dalam hal kasus yang di layangkan oleh Ira Irayanti binti Maman
Suparman sebagai Penggugat yang mengajukan gugatan di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dengan melawan Ahmad Fikih bin Zainal Abidin sebagai pihak
tergugat. Dengan pokok perkara yaitu perceraian dengan alasan suami tidak dapat
memberikan nafkah bathin “impoten”
Dalam sub bab ini penulis akan menganalisa masalah perceraian akibat
tidak mempunyai keturunan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, yang di layangkan oleh Ira Irayanti binti Maman Suparman sebagai
Penggugat yang mengajukan gugatan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan
melawan Ahmad Fikih bin Zainal Abidin sebagai pihak tergugat. Dengan pokok
perkara yaitu perceraian dengan alasan suami tidak dapat memberikan nafkah
bathin “impoten”.
Dalam memeriksa kasus ini Pengadilan Agama Jakarta Selata mengambil
sumber Hukum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan
PP nomor 9 tahun 1975 Tentang aturan Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan serta Intruksi Presiden No.1 tahun 1991 Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Dimana ketiga perundang-undangan ini adalah yang
digunakan Pengadilan Agama seluruh Indonesia.
Pada bagian ini penulis menelaah kasus perceraian dengan alasan suami
impoten, sebagaimana telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya. Dalam
pertimbangan majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat (istri) dapat penulis
analisa sebagaimana berikut:
Pertama, dalam sub bab ini penulis menganalisa masalah perceraian karena
suami impoten yang ditetapkan oleh pengadilan agama jakarta selatan, pada kasus
ini diperiksa oleh pengadilan agama jakarta selatan yang mengambil sumber
hukum Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, PP No 9 tahun 1975
tentang aturan pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta
instruksi presiden No 1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam. Dimana ketiga
perundang undangan ini adalah dasar hukum yang digunakan pengadilan agama
seluruh indonesia.
Pada kasus yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya adalah kasus cerai
gugat dalam hal ini isteri sebagai pihak penggugat dan suami adalah pihak
tergugat. Dalam perkara gugat cerai ini, majelis hakim pengadilan agama jakarta
selatan telah berupaya mengambil langkah-langkah positif untuk kelangsungan
hubungan jalinan rumah tangga suami isteri tersebut karena pada kasus ini adalah
suatu kasus yang bisa diselesaikan dengan bermusyawarah dan menyelesaikan
dengan menyembuhkan penyakitnya dan diharapkan dapat diselesaikan tanpa
harus melalui jalur pengadilan yang berakhir pada perceraian, sehingga langkah
pertama yang diambil oleh majlis hakim pengadilan agama jakarta selatan adalah
upaya perdamaian dan apabila upaya perdamaian tidak berhasil maka dilakukan
penyelesaian.64
1. perdamaian lewat mediasi
64
Wawancara khusus dengan Dra. Muhayat, pada tanggal 06-11-2009 selaku
hakim pengadilan agama jakarta selatan.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebelum memberikan putusan pada kasus
tersebut telah berupaya mendamaikan lewat medaiasi yang dilakukan langsung
oleh hakim sebagai mana upaya tersebut berdasarkan petunjuk al-quran surat
annisa ayat 35:
ش� ق خ�;N وإنI@�,eB"ا Y I�� 3� ��أه I��3� و &>&+ا إن أه�@ � ا��:� &"�Y$ إص�I@�, آ ن ا��:� إن: I,�J ا<,E65خ
Kata “persengketaan” yang terdapat dalam terjemahan ayat tersebut adalah
terjemah dari siqoq. Dalam ayat tersebut secara etimologi berarti percekcokan,
perselisihan, dan permusuhan dimana sikap dan arah berfikir masing-masing pihak
sudah tidak bisa dikompromikan.66
Pertama, ketidak sesuaian pada kedua belah pihak, artinya masing-masing
pihak telah memperlihatkan prilaku yang tidak kompromi lagi hal ini terbukti
dengan alasan-alasan gugatan yang diarahkan kepada tergugat dibenarkan oleh
tergugat. Diantaranya
• Tergugat tempramental dan sering marah kepada penggugat
65
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya , yayasan
penyelenggara penterjemah/pentafsir Al-quran, cet. Ke-6, Bandung, CV
Diponegoro, 2005
66 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum keluarga Islam Kontemporer
”analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah”, (Jakarta, Prenada Media,
2004) h. 115
• Tergugat tidak dapat memberikan nafkah bathin kepada
penggugat, dan untuk mengatasi permasalahan tersebut
tergugat telah berusaha untuk berobat, namun tidak berhasil.
Hal inilah yang membedakan antara nusuz dengan siqoq dimana permasalah timbul
dari kedua belah pihak, dalam kasus ini menurut penulis percekcokan
berkepanjangan memang terjadi antara suami dan isteri. Diperkuat dengan adanya
ketidak mampuan suami dalam memberikan nafkah bathin (impoten) dan
mempunyai sifat tempramental walaupun dalam kenyataanya sang suami
memberikan pernyataan bahwa dia masih sayang terhadap isterinya. Dan
akibatnya terjadilah percekcokan yang berkepanjangan.
Kedua, bahwa penggugat dalam hal ini isteri telah berupaya mengatasi
permasalahan tersebut dengan jalan musyawarah namun tidak berhasil dan
akhirnya penggugat memutuskan untuk mengajukan cerai gugat terhadap suami
2. penyelesaian melalui Prosedur pengadilan
Untuk menyelesaikan perkara tersebut pengadilan agama jakarta selatan,
dalam salah satu pertimbangan mengatakan:
“menimbang” bahwa dari pertimbangan-peartimbangan tersebut di atas telah terbukti
hal-hal sebagai berikut:
1) Telah terjadi perselisihan dan pertengkaran sejak awal pernikahan
antara penggugat dan tergugat secara terus menerus yang sulit di
atasi sehingga membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup
rumah tangga, terutama hal tersebut dipicu karena tergugat tidak
bisa menafkahi bathin serta tergugat mempunyai sifat
tempramental
2) Untuk kepentingan hukum bahwa penggugat telah mengajukan
bukti surat P.1 dan T. 1 yang telah memenuhi syarat formil dan
materiil pembuktian dengan surat sesuai pasal 165 HIR jo pasal 1
huruf f angka (2) PP No. 24 tahun 2000 sehingga bukti surat tersebut
dapat diterima sebagai alat bukti dipersidangan, dengan demkian
telah terbukti dan telah menjadi fakta hukum bahwa penggugat
dan tergugat adalah suami istri yang sah yang perkawinannya
dilaksanakan berdasarkan syariat Islam
3) Telah terbukti di depan sidang tergugat telah mengakui kebenaran
dalil-dalil penggugat sehingga oleh karenanya pengakuan
tersebut dapat diterima sebagai alat bukti di persidangan yang
mempunyai nilai pembuktian sempurna, mengikat dan
menentukan pasal 174 HIR, dengan demikian dalil penggugat telah
terbukti dan telah menjadi fakta hukum
4) Bahwa untuk meneguhkan dalil-dalilnya penggugat telah
menghadirkan dua orang saksi, dan salah satunya bertindak
sebagai saksi keluarga, demikian juga dengan tergugat telah
menghadirkan saksi yang telah terbukti berkesuaian, bahwa rumah
tangga penggugat dan tergugat tidak rukun serta sudah pisah
tempat tinggal bersama dan tergugat tidak mampu memberikan
nafkah bathin (impoten) terhadap penggugat, serta saksi juga
mengetahui bahwa keluarga telah berusaha menasihati dan
merukunkan kedua belah pihak akan tetapi tidak berhasil
5) Bahwa telah karena fakta tentang perselisihan pertengkaran, dan
adanya saling tidak mempedulikan serta ketidakmampuan
tergugat untuk melakukan hubungan suami istri telah diakui oleh
tergugat walaupun telah melakukan pengobatan dokter ahli
sebagaimana bukti T.2 dan T.3 dan keterangan dua orang saksi
6) Bahwa oleh karena tergugat selaku suami tidak mampu melakukan
hubungan suami istri (impoten) maka si istri memiliki hak untuk
memutuskan perkawinannya sebagaimana dalil yang dirujuk oleh
hakim dari kitab Sirojul Wahaj hal 362 yang berbunyi:
� ثdE ا�*, ر Y KY[\ أ"� � او �,�J �ت +Cو و
ا��� ح
Artinya: "Atau apabila si istri mendapati suaminya impotent
dan maka tetaplah si perempuan itu memiliki hak pisah”.
Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majlis hakim
jakarta selatan memutuskan kasus tersebut dengan mengabulkan
gugatan penggugat, dan menyatakan perkawinan penggugat
dengan tergugat putus karena perceraian dengan talak bain
sughra.
E. Analisis Penulis
Pada bagian analisa akhir ini penulis mengambil satu kasus perceraian
karena suami impoten karena berkaitan tinjauan fiqih dan hukum positif terhadap
perceraian karena suami tidak bisa memberikan nafkah bathin (impoten),
Majlis Hakim mengabulkan gugatan penggugat dapat penulis analisa
sebagaimana berikut:
Pertama, Tergugat tidak cukup alasan untuk mempertahankan rumah
tangganya, walaupun dalam persidangan tergugat menyatakan tidak ingin berpisah
dari penggugat dengan alasan masih menyayangi penggugat, akan tetapi pada saat
yang bersamaan penggugat menyatakan bahwa penggugat sudah tidak suka
disamping faktor yang utama adalah suami tidak bisa memberikan nafkah bathin
sehingga menimbulkan percekcokan yang berkepanjangan oleh karenanya majlis
hakim berpendapat bahwa hal tersebut telah sejalan dengan alasan perceraian
sebagaimana yang dirumuskan oleh pasal 19 (f) PP No. 9 tahun 1975 jo pasal 116
(f) KHI.
Kedua, Gugatan istri terhadap suaminya bukanlah semata-mata karena
suami tidak bisa memberikan nafkah bathin, akan tetapi suami juga melakukan
perilaku-perilaku negatif seperti tempramental sehingga menimbulkan
percekcokan dan perselisihan berkepanjangan.
Ketiga, Tergugat mengakui dan membenarkan dalil-dalil atau alasan-alasan
yang di arahakan oleh penggugat terhadap tergugat di depan sidang, serta
dikuatkan oleh saksi-saksi baik dari saksi penggugat ataupun tergugat (bukti T. 2
dan T.3 yang menjadikan bukti kuat yang mempunyai nilai pembuktian sempurna
Keempat, Hakim mengabulkan gugatan penggugat yaitu istri “pertama”,
berdasarkan KHI pasal 19 (f) PP no. 9 tahun 1975 jo pasal 116 (f) KHI, bahwa
karena fakta perselisihan pertengkaran, dan adanya saling tidak mempedulikan
serta ketidakmampuan tergugat untuk melakukan hubungan suami istri telah di
akui oleh tergugat telah melakukan pengobatan dokter ahli. “kedua”, berdasarkan
rujukan kitab klasik yang digunakan langsung secara tertulis dalam putusan hakim
yaitu kitab Sirojul Wahaj hal. 362 yang menyatakan karena tergugat selaku suami
tidak mampu melakukan hubungan suami istri (impoten) maka istri memiliki hak
untuk memutuskan perkawinannya. Dan yang “ketiga” pasal 1 UU. No. 1 tahun
1974, yang menyatakan secara global bahwa perkawinan penggugat dan tegugat
sudah tidak sejalan dengan maksud tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.
Putusan Hakim pengadilan Agama Jakarta selatan terhadap kasus tersebut,
yakni mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan menetapkan perkawinan
penggugat dan tergugat putus karena perceraian dengan talak bain sughra,
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut penulis berpendapat
adalah bagian dari Tinjauan Fiqih dan dan Hukum Postif yang memerhatikan
kepentingan pada pihak istri sebagai bagian dari keadilan dalam berumah tangga.
Karena pada dasarnya apabila perkawinan yang faktanya suami tidak bisa
memberikan nafkah bathin, maka akan terjadi pengabaian hak-hak kemanusiaan
yang seharusnya didapatkan oleh seorang istri. Maka pada dasarnya hakim
memutuskan pada kasus tersebut untuk tercapainya tujuan perkawinan yang
diinginkan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa yaitu sakinah mawahdah
warahmah.67
Dalam hal ini penulispun ingin memberikan gambaran profil keluarga yang
tidak sampai kepada perceraian hanya karena tidak mempunyai keturunan.
Gambaran profil perkawinan pasangan suami isteri yang harmonis dan tidak
sampai bercerai hanya karena tidak mempunyai keturunan.
Nama Suami : Ade Badru* (nama disamaran)
Nama Isteri : amalia* (nama disamarkan)
Keterangan:
Bahwa pasangan suami isteri ini menikah pada tanggal 12 Desember 2003,
dan dalam perjalanan mahligai rumah tangganya sesuai yang penulis amati dan
menyangkut penulisan skripsi penulis mereka belum dikaruniai anak selama 6
Tahun jalinan rumah tangga mereka akan tetapi mereka menerima karena
pasangan suami istri ini beranggapan bahwa Allah SWT belum mengaruniai anak.
Ketika penulis telusuri ternyata merekapun sudah berusaha memancing-mancing
67
Wawancara khususdengan hakim Drs. Muhayat pada tanggal 07-11-2009,
Hakim pengadilan agama Jakarta selatan.
agar dapat mempunyai keturunan yaitu dengan cara mengasuh anak atau
mengadopsi anak akan tetapi sampai sekarangpun belm juga di karuniai anak.
Dari permasalahan ini penulis menilai betapa bahagianya pasangan suami
isteri ini karena satu sama lain saling mengerti dan menerima keadaan dan
kenyataan kehidupan yang mereka jalani. Karena penulis melihat belum pernah
ada kata kata perseturuan dari keluarga mereka (wallahua’lam) karena selama
penulis telusuri dan penulis perhatikan rasa kecintaan antara pasangan suami isteri
ini sangat tinggi dan menjungjung tinggi kesetian, karena tidak banya pasangan
suami isteri yang mengalami hal yang sama seperti ini suaminya memilih kawin
lagi dengan cara berpoligami atau tidak sedikit pula yang berakhir pada
perceraian.
Jadi disini penulis menilai bahwa tentang perceraian akibat tidak
mempunyai keturunan itu tidak semua kasus cerai ini diputus cerai karean ada
juga yang mempunyai ataupun mengalami kasus yang sama tetapi mereka
memilih jalan untuk menyelesaikan dengan cara kekeluargaan atau menunjuk
hakam dari para pihak yang bersangkutan untuk mendamaikan pasangan suami
isteri yang sedang dilanda masalah ini.
Dalam hal ini penulis mengamati optimalisasi peran hakim dalam mediasi
terasa kurang dalam persidangan, karena sesuai dengan PERMA RI No 1 Tahun
2008 tentang Mediasi di pengadilan yang mana hakim setiap menyelesaikan
perkara khususnya perkara perdata diwajibkan untuk mendamaikan para pihak.
Pasal 6 PERMA berbunyi hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk
menyeklesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal
persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan.
Dari sini penulis beranggapan bahwa setiap dilakukan mediasi itu baiknya
harus mempunyai tempat yang khusus untuk ruangan mediasi bukan pada saat
diruangan sidang dan juga yang menjadi hakam atau juru mediasi harus seorang
hakim yang sudah berpengalaman dalam memberikan nasihat dan tausiyah
sehingga dalam hal ini pasangan suami isteri tidak sampai melanjutkan perkara
perceraian karna mereka sudah cukup untuk di damaikan di sesi mediasi tersebut.
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat penulis
ambil beberapa kesimpulan dan saran sebagaimana berikut.
A. Kesimpulan
Setelah melihat dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
sesuai registrasi Nomor : 241/Pdt.G/2007/PA.JS. Untuk penulis ada beberapa
kesimpulan yang dapat ditarik dari hal tersebut, yaitu:
1. Dalam perspektif hukum fiqih perceraian dengan alasan suami tidak bisa
memberikan nafkah bathin (impoten) adalah suatu kebolehan (mubah) oleh
syariat, tidak ada fasakh dalam pernikahan karena adanya aib akan tetapi
dalam hal ini fiqih memberikan ruang kepada isteri untuk memilih bercerai
dengan suaminya yang tidak bisa memberikan nafkah bathin (impoten).
Kebolehan tersebut berdasarkan atas pengkompromian nilai ataupun konsep
kebolehan, asalkan tidak bertentangan dengan maqasid syariah. Sebagai mana
hakim merujuk dari kitab fiqih secara tertulis pada putusan dalam kitab
Sirojul Wahaj halaman 362, Hal tersebut dibolehkan oleh hukum fiqih
berdasarkan pertimbangan kemaslahatan secara umum. Menurut penulis
putusan hakim pada kasus perceraian dengan alasan suami tidak bisa
memberikan nafkah bathin “impoten” substansinya adalah sejalan dengan
maqasid syariah yaitu mewujudkan keadilan dalam berumah tangga.
2. Dalam perspektif Hukum Positif penulis menggaris bawahi bahwasanya
substansi yang terkandung dalam muatan pasal 19 (F) PP No 9 Tahun 1975 jo
pasal 116 KHI mengenai perceraian dengan alasan suami tidak bisa
menafkahi bathin “impoten” pada dasarnya bersumber pada kitab fiqih
sehingga penulis menyimpulkan prespektif antara hukum fiqih dengan hukum
positif tentang perceraian dengan alasan suami impoten memiliki substansi
yang sama dengan redaksi yang berbeda.
3. Majlis Hakim berpendapat bahwa hal tersebut telah sejalan dengan alasan
perceraian sebagaimana yang dirumuskan oleh pasal 19 (f) PP No. 9 tahun
1975 jo pasal 116 (f) KHI. Dan kitab sirojul wahaj hal 362. Dalam hal ini
penulis dapat menyimpulkan hakim mengabulkan gugatan penggugat
berdasarkan perspektif fiqih dan hukum positif yang tiada lain memberikan
putusan yang mencegah terjadinya pengabaian hak-hak kemanusian yang
seharusnya didapatkan oleh seorang isteri.
B. Saran - Saran
1. Dirasakan perlu sosialisasi melalui media cetak, seminar-seminar ataupun
majlis ta’lim yang bertujuan menghilangkan dualisme pemikiran antara
perspektif hukum fiqih dengan hukum positif sehingga diharapkan terjadinya
kesadaran secara merata disegala lapisan masyarakat yang awam dan tidak
terjadi pemahaman fanatisme yang berlebihan yang mengakibatkan
kemadharatan pada konteks kekinian. Seperti sosialisasi kompilasi hukum
islam (KHI) ataupun hukum positif yang lainya secara menyeluruh baik
melalui pemahaman pendekatan yang digunakan kompilasi hukum islam
ataupun pemahaman secara metodologi yang digunakan dalam
penyusunannya.
2. Diharapkan pada akademisi-akademisi untuk memberikan pemahaman yang
menyeluruh tentang konsep hukum fiqih dan hukum positif kepada
masyarakat bukan hanya sebatas pada permasalahan yang bersifat tidak terjadi
pada masa ulama terdahulu (Salafusshalih) akan tetapi seyogyanya
mengemukakan permasalahan-permasalahan fiqih yang kontemporer baik
yang bersifat keilmuan secara umum maupun yang bersifat ubudiyah.
3. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang No 1 Tahun 1974 perlu
di sosialisasikan melalui lembaga pendidikan umum, ceramah, khotib, dan
dimasukan kedalam kurikulum fiqih tsanawiyah dan aliyah
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemah, Departemen Agama RI, Yayasan penyelenggara
penterjemah/pentafsir Al-quran, cet. Ke-6, Bandung, CV Diponegoro, 2005
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta, Akademika Presindo,
2004)
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), cet ke-2
Al-Jaziri, abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arb’ah, (Kairo: Daarul Hadits,
2004), Juz IV
Arsip pengadilan agama jakarta selatan pada tanggal 12 juli 2008,
Asqalani, ibnu Hajar al , Bulugh al-Maram, (Jakarta: Dar al-Islamiyah, 2002),
Ayub, syaikh hasan. Fikih Keluarga, (t.t., Pustaka Al-Kautsar, 2006 ) cet ke 5
Bambang, Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006)
Cet. Ke 2, h. 9.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), cet. 2
Effendi, M. Zein Satria, Problematika Hukum keluarga Islam Kontemporer ”analisis
yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah”, (Jakarta, Prenada Media, 2004)
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (jakarta, CV Pedoman Ilmu
Jaya, 1998, cet ke-1
Ghazaly Abd.Rahman, Fiqh Munakahat, ( Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2006 ), cet Ke 2
Mawahib, abi abdul wahab bin ahmad, Mizanul Kubro, (Dar El-Fikr, 1978)
Mukhtar, Kamal, Asas-asas hukum islam tentang perkawinan (Jakarta, Bulan
Bintang, 1993), cet 3
Munawir, ahmad warson, AlMunawir kamus besar Indonesia, ( Surabaya; Pustaka
Progressif.1997 ). Cet ; 14
Sayyid, Sabiq, Fiqh al Sunnah Jilid Dua, ( Darul Fattah, t.th ), h 278
Soerjono, Soekanto dan Mamudji Sri, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di
dalam Penelitian Hukum, (Jakarta, Pusat Dokumentasi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1986)
Suddarth, Brunner, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, (Jakarta, Pnerbit Buku
Kedokteran EGC, 1997) jilid 8
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung, Alfabeta,
2007), cet ke-III, h. 244
Sulaiman, abi daud bin as- sajastani, Sunan Abi Daud, ( Daarul Fikr, 1994 )
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta, PT. Raja grafindo
Persada, 2003) Cet. Ke. 6
Syalthut, Mahmud, Muqoronah al-Madzahib fi al-Fiqh, (Mahmud Ali Shibih, 1953),
h.99
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat
dan UU Perkawinan, ( Jakarta, Prenada Media, 2006)
Tjitrosudibio, Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (PT Pradnya
Paramita, Jakarta,2006) cet ke-37
Wawancara khusus dengan hakim Drs. Muhayat pada tanggal 07-11-2009, Hakim
pengadilan agama Jakarta Selatan
Web Site :Groho, Anto, Penyebab disfungsi pada pria, http://pa-sungailiat.pta-
babel.net/talk-show.pasgt diakses tanggal 30-10-2009
http://www.andriewongso.com (diakses pada tanggal 30-10-2009)
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PEDOMAN WAWANCARA
1. lokasi wawancara berada di pengadilan agama jakarta selatan
2. subjek wawancara adalah penulis dan objek wawancara adalah hakim yang
menangani perkara gugat cerai dengan alasan suami mengalami disfungsi seksual
3. jumlah objek yang akan diwawancara adalah beberapa orang hakim
4. instrumen yang digunakan adalah voice recorder
5. jumlah pertanyaan yang akan ditnyakan kepada objek wawancara ada 8 butir
diantaranya;
a. Alasan-alasan apa saja yang diterima oleh peradilan agama dari seorang isteri
yang mengajukan cerai gugat ?
Jawaban;
“Bisa dilihat pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang No ! Tahun 1974 Tentang Perkawinan jungto
Pasal 116 KHI”
b. Menurut bapak/ibu hakim bolehkah isteri mengajukan gugatan karna suaminya
mengalami impotensi/ disfungsi seksual ?
Jawaban;
“Boleh. Karna apabila seorang isteri mengajukan gugatan dan mempunyai
cukup alasan yang menerangkan bahwa hubungan rumah tangga mereka sudah
tidak harmonis atau sudah tidak sehat lagi maka pengadilan agama bisa
menerimanya. Dan dalam hal impotensi bisa masuk kepada 2 faktor:
i. Faktor Penyakit : Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat melakukan
kewajibannya sebagai suami-istri. Seperti halnya
impoten ini suami tidak bisa menjalankan
kewajibanya sebagai suami
j. Faktor psycologis : diantara suami dan isteri sudah tidak ada lagi
rasa cinta sehingga mempengaruhi terhadap
kewajiban nafkah bathin alhasil tidak tercapai
tujuan perkawinan”
c. Disfungsi seksual apa bahasa hukumnya dan masuk ke faktor yang mana dalam
perkara perceraian,apakah masuk ketidak harmonisan atau yang lain ?
Jawaban;
“Disfungsi seksual masuk kategori cacat badan Pasal 116 Poin E,
Permasalahan ini bisa juga masuk pada pasal 116 poin F
Faktor-faktor yang menyebabkan ketidak harmonisan.
1. faktor komunikasi yang tidak lancar seperti halnya pasangan pekerja karir
(ketemu pagi dimeja makan ketemu malam di tempat tidur). Komunikasi yang
kurang.
2. Komunikasi yang pasif, maksudnya jika salah satu pihak mempunyai
masalah atau kedua belah pihak ada masalah tidak saling terbuka, dan
permasalahan itu disimpan hingga memuncak kemudian berakhir pada
perceraian”.
d. Apakah gugat cerai isteri terhadap suami dalam hal disfungsi seksual selalu
dilandasi dengan siqoq?
Jawaban;
“Siqoq itu adalah perseturuan yang sangat tajam, jadi belum bisa di
kategorikan permasalahan ini siqoq. Jadia dilihat dulu perkara atau
permasalahannya apabila ada perselisihan dan pertengkaran yang tidak bisa di
selesaikan dan berlarut larut dan sudah di datangkan hakam atau juru damai
untuk menyelesaikan masalah atau perkara ini tapi tidak bisa di selesaikan juga
itu masuk perkara siqoq.”
e. Pada pasal 116 point (e) menerangkan bahwa alasan perceraian salah satu pihak
mendapatkan cacat badan/penyakit. Apakah menurut bapak/ibu hakim disfungsi
seksual masuk kedalam kategori cacat badan/penyakit?atau ada kategori lain!
Jawaban;
“Ya karna dalam masalah ini hakim pasif dalam menyidangkan penggugat dan
tergugat jadi dalam permasalahan perceraian hakim hanya mengedepankan
bukti-bukti dari para penggugat dan tergugat juga para saksi. Oleh karena itu
dalam permasalahan ini harus cukup bukti dengan surat keterangan dokter atau
pisum yang otentik”
f. Dalam hal cerai gugat, siapa yang menentukan besarnya iwadh ?
Jawaban;
“Dalam hal ini besarnya iwad telah jelas dalam buku nikah di dalam
pembacaan sighat taklik talak bahwa apabila isteri mengajukan gugatan dan
terjadi perceraian maka besarnya iwad Rp.10.000”
g. Bagaimana proses pembuktiannya di pengadilan agama dalam perkara disfungsi
seksual?
Jawaban;
“Pembuktian dengan cara pisum atau surat keterangan resmi dari dokter”