136
Laporan Studi Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasional Hasbullah Thabrany Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan, Universitas Indonesia Juni 2003

Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Laporan Studi

Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasional

Hasbullah Thabrany Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan, Universitas Indonesia

Juni 2003

Page 2: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 1

Bab I Pendahuluan

Status kesehatan penduduk Indonesia selama 30 tahun pembangunan kesehatan,

mengalami kemajuan yang cukup pesat. Namun demikian, status kesehatan Indonesia

yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti angka kematian bayi dan

angka kematian ibu masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan status kesehatan

penduduk negara-negara tetangga. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia, World Health

Organization (WHO) tahun 2000 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia

pada tahun 1998 masih 48 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi tersebut jauh

lebih tinggi dari angka kematian bayi di Muangtai (29), Filipina (36), Srilanka (18) dan

Malaysia (11)1. Berbagai studi, termasuk yang dilaporkan dalam World Health Report

2000, menunjukkan bahwa rendahnya angka kematian bayi dan kinerja sistem kesehatan

lainnya mempunyai korelasi yang kuat dengan pembiayaan kesehatan. Laporan WHO

tersebut menempatkan kinerja sistem kesehatan Indonesia pada urutan ke-92, yang jauh

lebih rendah dari kinerja sistem kesehatan negara tetangga seperti Malaysia (urutan ke

49), Muangtai (urutan ke 47) dan Filipina (urutan ke 60). Secara rata-rata, laporan

tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan Indonesia menurut nilai tukar yang

berlaku pada tahun 1997 adalah US$ 18 per kapita per tahun. Sementara negara-negara

tetangga seperti Filipina, Malaysia dan Muangtai sudah menghabiskan berturut-turut

sebesar US$ 40, US$ 110, dan US$ 133.

Pengeluaran kesehatan perkapita Indonesia tidak sampai separuh dari yang

dikeluarkan masyarakat Filipina tahun 1997, sedangkan pendapatan per kapita Filipina

tahun 2001 sebesar US$ 1.069 tidak lebih dari dua kali lipat dari PDB per kapita

Indonesia yaitu US$ 670.2 Hal ini menunjukkan bahwa tingkat investasi Indonesia

memang jauh lebih rendah dari tingkat investasi negara tetangga tersebut, sehingga dapat

dimaklumi jika tingkat kesehatan Indonesia juga jauh di bawah. Pengeluaran kesehatan

Indonesia yang rendah tersebut, baik yang bersumber dari masyarakat maupun yang

bersumber dari pemerintah, diduga tidak mengalami kenaikan berarti selama dua puluh

tahun terakhir. Banyak laporan menyampaikan bahwa pemerintah mempunyai kontribusi

Page 3: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 2

sebesar 20-30% dari pembiayaan kesehatan secara keseluruhan (Gani, 3; Malik, ).4

Sementara pembiayaan kesehatan oleh sektor swasta, yang pada umumnya merupakan

pengeluaran yang dibayarkan langsung dari kantong sebdiri (out of pocket, OOP) kepada

pemberi pelayanan kesehatan (PPK) mencapai 60%-70% (Depkes, 2002)5. Tingginya

pengeluaran OOP ini bersifat regresif, yakni semakin berat dirasakan oleh mereka yang

berpendapatan rendah dibandingkan dengan mereka yang berpendapatan tinggi. Sistem

pembiayaan yang regresif ini dikenal sebagai sistem pembiayaan yang tidak adil (unfair)

dalam konsep equity egalitarian karena justru memberatkan penduduk golongan bawah.

Penelitian yang dilakukan Thabrany dan Pujiyanto (2000)6 menunjukkan bahwa

penduduk 10% terkaya mempunyai akses rawat inap di rumah sakit yang 12 kali lebih

besar dari penduduk 10% termiskin. Keadaan ini sudah berlangsung lebih dari satu

dekade dan tanpa upaya yang sistematik dan serius, kesenjangan tersebut akan terus

berlangsung. Untuk melihat tingkat keadilan pembiayaan ini, WHO mengembangkan

indeks keadilan pembiayaan kesehatan (fairness in health care financing). Dalam indeks

inilah Indonesia berada jauh di bawah negara-negara tetangga yang memang telah

memiliki infrastruktur pembiayaan kesehatan yang jauh lebih baik. Berbagai Penelitian

menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan (inequity) dapat diperkecil dengan

memperbesar porsi pembiayaan publik atau asuransi kesehatan publik. Sayangnya,

cakupan asuransi kesehatan yang sustainable di Indonesia masih rendah yaitu berkisar

pada 16% penduduk (Thabrany, 2002)7.

Setelah terjadinya krisis nilai tukar rupiah yang berkepanjangan, masalah

pembiayaan kesehatan di Indonesia semakin mendapat perhatian yang besar dari berbagai

pihak, baik pemerintah Indonesia, organisasi donor bilateral maupun multilateral dan

masyarakat sendiri. Terjadinya krisis telah mengundang banyak pihak memikirkan jalan

keluar pembiayaan kesehatan dan memelihara pencapaian akses dan status kesehatan

yang ada, misalnya melalui Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK)

yang dibiayai Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia.8 Namun demikian program

JPSBK bersifat sementara dan didanai dari uang pinjaman yang tidak sustainable.

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan peta dan tren pembiayaan kesehatan di

Indonesia untuk kemudian mencari solusi sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin

ekuitas dan efisiensi yang sustainable sehingga tujuan pembangunan kesehatan dapat

Page 4: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 3

lebih cepat tercapai. Tim peneliti telah melakukan telaah berbagai literatur yang ada dan

menganalisis data Susesas 2001 untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap

tentang pembiayaan kesehatan dan akses pelayanan kesehatan di Indonesia. Hasil

Penelitian tersebut disajikan dalam laporan ini.

Page 5: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 4

Bab II Kebutuhan Asuransi Kesehatan

Asuransi kesehatan merupakan suatu instrumen sosial untuk menjamin bahwa

seseorang (anggota) dapat memenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehatan tanpa

mempertimbangkan keadaan ekonomi orang tersebut pada waktu terjadinya kebutuhan

pelayanan kesehatan. Pada negara-negara yang mampu menyediakan pelayanan

kesehatan bagi seluruh penduduknya, asuransi kesehatan sama sekali tidak dibutuhkan.

Asuransi kesehatan dibutuhkan jika negara tidak menyediakan pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan penduduknya atau negara hanya mampu menyediakan sebagian dari

kebutuhan pelayanan kesehatan tersebut. Indonesia termasuk negara berkembang yang

tidak menyediakan pemenuhan seluruh kebutuhan pelayanan kesehatan, akan tetapi juga

tidak sama sekali menyerahkan kepada masyarakat. Pembangunan Puskesmas dan rumah

sakit di seluruh Indonesia dimaksudkan untuk menjamin bahwa penduduk yang miskin

atau tidak mampu dapat memenuhi kebutuhan kesehatannya. Sejauh mana pemerintah

telah bekerja untuk menjamin terselenggaranya pemerataan pelayanan kebutuhan

kesehatan dan apakah tujuan yang ditetapkan pemerintah tersebut telah tercapai, akan

dibahas dalam bab ini. Dari bahasan bab ini akan tergambarkan, dimana dan sejauh mana

kebutuhan asuransi kesehatan di Indonesia diperlukan.

Sarana dan Status Kesehatan Yang Telah Dicapai Ada pertanyaan mendasar yang patut direnungkan ketika melihat situasi

pembangunan kesehatan yang dilakukan selama ini. Pertanyaan itu adalah “apa hasil

yang telah dicapai dari pembangunan kesehatan yang dilakukan selama ini?” Cukupkah

hasil-hasil yang dicapai tersebut untuk menjawab tantangan kesehatan yang dihadapi

selama ini? Usaha menjamin penduduk memperoleh pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan telah dilakukan pemerintah dengan membangun Puskesmas untuk tiap 30.000

penduduk. Kini di setiap kecamatan telah terdapat paling sedikit satu Puskesmas. Untuk

menjangkau masyarakat yang masih belum tercakup dengan Puskesmas, pemerintah juga

telah membangun Puskesmas pembantu untuk tiap 10.000 penduduk. Selain itu, di tiap

kabupaten dibangun rumah sakit umum tipe D atau C guna memenuhi kebutuhan

Page 6: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 5

penduduk akan pelayanan kesehatan. Perlu disadari bahwa fasilitas yang telah dibangun

tersebut tidak sepenuhnya bisa dibiayai pemerintah, pusat maupun daerah, dalam

penyelenggaraan pelayanan sehari-hari. Retribusi ditetapkan oleh pemerintah daerah

masing-masing guna menjamin kesinambungan pelayanan. Namun demikian, retribusi

dapat menjadi hambatan finansial bagi penduduk di dalam memperoleh pelayanan

kesehatan yang dibutuhkan. Jika hambatan finansial tidak ada, sebenarnya tidak

diperlukan asuransi kesehatan, baik dalam bentuk JPKM maupun dalam bentuk asuransi

kesehatan tradisional.

Dari sisi input, pembangunan sektor kesehatan yang dilakukan selama ini

memang menunjukkan banyak hasil yang telah dicapai. Hal itu antara lain dapat dilihat

dari meningkatnya jumlah fasilitas kesehatan yang telah dibangun baik berupa rumah

sakit, Puskesmas, Puskesmas pembantu, Polindes, dan sebagainya, maupun jumlah

tenaga kesehatan. Tetapi bagaimana jika dilihat dari sisi output dilihat dari tingkat

pemanfaatan sarana tersebut? Atau dari sisi dampak (outcome) morbiditas maupun

mortalitas? Apakah pembangunan kesehatan yang telah dilakukan selama ini sudah

cukup menjamin penduduk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya atau justru

menemui tantangan yang makin besar?

Tabel 2.1. Perkembangan Jumlah Fasilitas Kesehatan di Indonesia

Fasilitas 1996 1997 1998 1999 2000 Puskesmas 7.110 7.175 7.181 7.195 7.237 Puskesmas Pembantu

20.765 20.889 21.503 21.417 21.267

RSU Pemerintah 523 522 525 517 520 RSU Swasta 329 335 351 363 370 Jumlah Total RSU 851 857 876 880 890 Jumlah Total TT 100.388 102.042 103.886 105.787 107.537

Sumber: Departemen Kesehatan, Profil Kesehatan Indonesia 2000

Hasil yang dicapai dari sisi input (baik berupa perkembangan fasilitas kesehatan

maupun tenaga kesehatan) dapat dilihat pada Tabel 2.1. yang memperlihatkan

perkembangan jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di Indonesia. Dari tabel

tersebut tampak bahwa dalam kurun waktu lima tahun (1996-2000) jumlah rumah sakit

Page 7: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 6

umum bertambah dengan 39 buah (dari 851 rumah sakit menjadi 890 rumah sakit) atau

sekitar 18 rumah sakit per tahun. Dalam kurun waktu yang sama, jumlah tempat tidur di

rumah sakit umum juga meningkat sebesar 7.149 tempat tidur (dari 100.388 pada tahun

1996 menjadi 107.537 tempat tidur pada tahun 2000). Demikian juga dengan jumlah

Puskesmas dan Puskesmas pembantu yang dalam kurun waktu enam tahun meningkat

secara signifikan. Selama kurun waktu lima tahun jumlah Puskesmas meningkat hanya

127 buah (dari 7.110 Puskesmas pada tahun 1996 menjadi 7.237 Puskesmas pada tahun

2000). Selama kurun waktu yang sama jumlah Puskesmas pembantu meningkat 502

buah.

Peningkatan jumlah fasilitas kesehatan tersebut diikuti dengan makin

menurunnya angka kematian penduduk. Angka kematian kasar (crude death rate)

menurun secara signifikan dari sekitar 18,7 kematian per 1.000 penduduk pada tahun

1971 menjadi sekitar 7,5 kematian per 1.000 penduduk dalam kurun waktu 1990-1995.

Angka Kematian Balita juga mengalami penurunan secara berarti dari 111 per 1.000

kelahiran hidup pada ahun 1981 menjadi 81 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1993.

Angka kematian bayi (infant mortality rate) juga mengalami penurunan tajam dari 145

per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1967 (SP, 1971) menjadi sekitar 54 per 1.000

kelahiran hidup pada tahun 1996. Angka harapan hidup (life expectancy at birth)

penduduk Indonesia juga mengalami peningkatan secara berarti yang pada tahun 2000-

2005 diperkirakan akan mencapai 68,23 tahun (Depkes, 1997).

Kemajuan yang dicapai tersebut tidak terlepas dari makin meningkatnya anggaran

pembangunan sektor kesehatan, khususnya anggaran Departemen Kesehatan. Dalam

kurun waktu lima tahun (1994/1995-1999/2000) anggaran Departemen Kesehatan (baik

anggaran pembangunan maupun anggaran rutin) meningkat secara signifikan dari Rp 1,6

trilyun pada tahun anggaran 1994/1995 menjadi Rp 2,7 trilyun pada tahun 1999/2000

(Depkes, 1998 dan 1999).

Meskipun secara absolut jumlah anggaran Departemen Kesehatan meningkat

tajam, tetapi jumlah peningkatan tersebut masih relatif kecil jika dibandingkan dengan

tantangan yang harus dihadapi baik pada saat ini maupun pada masa mendatang.

Pergeseran demografis yang tercermin dalam jumlah maupun komposisi penduduk

mencerminkan makin besarnya tantangan yang dihadapi.

Page 8: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 7

Meskipun dari sisi dampak, tingkat mortalitas penduduk Indonesia mengalami

penurunan namun tetap perlu dicatat bahwa penurunan tingkat mortalitas tersebut tidak

semata-mata dicapai karena pembangunan kesehatan melainkan merupakan interaksi dari

berbagai faktor (multi factorial). Perlu dicatat, bahwa penurunan tingkat mortalitas

tersebut masih belum cukup mengingat tingkat mortalitas penduduk Indonesia masih

relatif lebih tinggi dibandingkankan dengan tingkat mortalitas beberapa negara lain di

Asia.

Meskipun angka kematian bayi (IMR) Indonesia sebagaimana dikemukakan di

atas sudah mengalami penurunan secara berarti sehingga pada tahun 1996 IMR Indonesia

54 per 1.000 kelahiran hidup, tetapi angka tersebut masih relatif tinggi jika

dibandingkankan dengan beberapa negara lain seperti Myanmar (49), Vietnam (38),

Filipina (34), Thailand (32), apalagi jika dibandingkan dengan IMR Malaysia dan

Singapura yang masing-masing pada tahun yang sama adalah 11 dan 4 per 1.000

kelahiran hidup. Demikian juga dengan angka kematian Balita Indonesia yang pada tahun

1993 sebesar 81 per 1.000 kelahiran hidup masih relatif tinggi jika dibandingkankan

dengan negara-negara lain seperti Filipina (59), Cina (43), Thailand (33), Srilangka (19),

apalagi dibandingkankan dengan Malaysia (17) dan Singapura (6). Yang menjadi

masalah besar adalah angka kematian ibu (maternal mortality rate, MMR). MMR

Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan MMR beberapa negara lain di kawasan

ASEAN. Dalam kurun waktu 1980-1992 MMR Indonesia diperkirakan 390 per 100.000

kelahiran, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara seperti Vietnam (120),

Filipina (100), Cina (95), Srilangka (80), Malaysia (59), Thailand (50) dan Singapura

(10) (Depkes, 1997).

Dalam hal pola penyakit, Indonesia juga menanggung beban ganda (double

burden) dimana penyakit-penyakit infeksi belum sepenuhnya dapat diatasi tetapi sudah

muncul penyakit-penyakit degeneratif yang menjadi penyebab utama kematian

penduduk. Dalam hal kualitas pelayanan kesehatan, tantangan juga makin besar dengan

meningkatnya aspirasi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu.

Meningkatnya tingkat pendidikan penduduk dan makin menyebarnya informasi diduga

berkaitan dengan makin meningkatnya tuntutan penduduk terhadap pelayanan kesehatan

yang berkualitas.

Page 9: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 8

Tantangan lain yang juga amat penting untuk diatasi adalah dalam hal

pembiayaan kesehatan. Dari aspek pembiayaan kesehatan, terdapat tantangan yang cukup

besar dimana masih banyak penduduk yang mengalami kesulitan untuk membiayai

kesehatannya. Terbatasnya dana pembangunan kesehatan relatif jika dibandingkankan

dengan tantangan yang dihadapi mendorong untuk diciptakannya sistem pembiayaan

kesehatan yang efisien. Dalam kaitan itu, amat penting untuk mewujudkan sistem

pembiayaan kesehatan yang memungkinkan terjaminnya seluruh penduduk, yang antara

lain dilakukan melalui pengembangan sistem jaminan/asuransi kesehatan. Sayangnya,

cakupan jaminan kesehatan di Indonesia masih rendah.

Beberapa studi mengungkapkan bahwa total cakupan jaminan kesehatan di

Indonesia masih rendah. Thabrany (1999) mengestimasi jumlah penduduk yang tercakup

dalam jaminan kesehatan di Indonesia baru sekitar 15 persen atau sekitar 27-30 juta jiwa.

Jumlah cakupan jaminan kesehatan sebesar itu sudah termasuk pegawai negeri dan

keluarganya, pensiunan ABRI, karyawan swasta dan keluarganya yang sudah menjadi

peserta Jamsostek dan sebagian kecil dalam bentuk asuransi kesehatan konvensional

(Thabrany, H., 1999). Hasil pengolahan data IFLS I (Indonesia Family Life Survey 1993)

juga menunjukkan bahwa proporsi penduduk yang memiliki jaminan kesehatan adalah

sekitar 13 persen (Mundiharno, 1999).

Masih sedikitnya jumlah penduduk yang tercakup dalam jaminan kesehatan

merupakan suatu tantangan serius dalam pembiayaan kesehatan penduduk di Indonesia

mengingat: Pertama, diduga akan banyak penduduk yang mengalami kesulitan dalam

pembiayaan kesehatan dengan pola pembiayaan tunai (out of pocket). Kedua, akibat

kesulitan dalam pembiayaan kesehatan maka derajat kesehatan penduduk juga menjadi

rendah. Uraian berikut akan menunjukkan perbedaan status kesehatan antara penduduk

yang memiliki jaminan kesehatan dengan penduduk yang tidak memiliki jaminan

kesehatan.

Analisis Data Susenas

Status Kesehatan Penduduk Gambaran tentang status kesehatan penduduk Indonesia dalam analisis ini dilihat

dari probabilitas (predicted probability) penduduk yang mengalami gangguan kesehatan

Page 10: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 9

selama satu bulan terakhir sebelum survai. Analisis probabilitas tersebut dikelompokkan

antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, penduduk yang memiliki dana/kartu

sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan menurut karakteristik sosial

demografi.

Yang dimaksud dengan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dalam

analisis ini adalah penduduk yang memiliki asuransi kesehatan, Astek/Jamsostek,

memperoleh bantuan biaya kesehatan dari perusahaan, atau yang memiliki bentuk

asuransi lainnya. Sayangnya, pertanyaan tentang kepemilikan jaminan

pembiayaan/asuransi kesehatan yang terdapat pada data Susenas 1998 berbeda dengan

yang terdapat pada data Susenas 1995. Pada Susenas 1998, ada pertanyaan khusus yang

menanyakan kepemilikan jaminan pembiayaan/asuransi kesehatan oleh responden.

Sedangkan pada Susenas 1995, tidak ada pertanyaan yang secara khusus menanyakan hal

tersebut. Oleh karena itu, pengelompokkan penduduk yang memiliki jaminan didekati

dari (a) jenis pekerjaan (pegawai negeri atau bukan pegawai negeri), dan atau (b) sumber

pembiayaan rawat jalan/rawat inap mereka; apakah sumber pembiayaannya berasal dari

Askes, Astek/Jamsostek, perusahaan, atau asuransi lainnya.

Susenas (baik Susenas 1995 dan 1998) menanyakan tentang “apakah responden

dalam satu bulan terakhir mempunyai keluhan kesehatan?” Ada sejumlah keluhan

kesehatan yang ditanyakan yaitu panas, batuk, pilek, asma, sesak napas, diare, campak,

telinga berair, sakit kuning, sakit kepala, kejang-kejang, lumpuh, pikun, kecelakaan, sakit

gigi, dan lainnya. Jika responden mengalami salah satu atau lebih dari berbagai keluhan

kesehatan tersebut maka dikategorikan mengalami “gangguan kesehatan”.

Secara keseluruhan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan mempunyai

probabilitas mengalami gangguan kesehatan (selama sebulan terakhir) lebih tinggi

dibandingkan dengan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan. Hal itu terlihat baik

untuk tahun 1995 maupun 1998. Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, 272

dari 1.000 orang (tahun 1998) mengalami gangguan kesehatan, sementara pada penduduk

yang tidak mempunyai jaminan kesehatan jumlah tersebut lebih besar yaitu 281 per 1.000

orang.

Temuan ini konsisten dengan berbagai hasil penelitian lain yang menyatakan

bahwa status kesehatan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan pada umumnya lebih

Page 11: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 10

baik dibandingkan status kesehatan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan.

Temuan ini memperkuat argumen tentang perlunya upaya pengembangan jaminan

kesehatan ke masyarakat yang lebih luas. Makin luas cakupan jaminan kesehatan akan

makin meningkatkan status kesehatan penduduk.

Namun jika dibandingkan antara penduduk yang memiliki dana/kartu sehat

dengan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, kondisinya justru terbalik.

Pada penduduk yang memiliki dana/kartu sehat, jumlah orang yang mengalami gangguan

kesehatan, yaitu 283 per 1.000 orang, sedikit lebih besar dibandingkan dengan yang tidak

memiliki jaminan kesehatan (281 per 1.000 orang). Hal ini bisa dimengerti karena pada

umumnya penduduk yang memiliki kartu sehat adalah penduduk miskin.

Jumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan menurun, baik pada yang

memiliki jaminan kesehatan maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada

penduduk yang mempunyai jaminan kesehatan, jumlah yang mempunyai gangguan

kesehatan mengalami penurunan dari 278 per 1.000 orang pada tahun 1995 menjadi 272

per 1.000 orang pada tahun 1998. Sedangkan pada penduduk yang tidak memiliki

jaminan kesehatan, jumlah yang mempunyai gangguan kesehatan menurun dari 287 per

1.000 orang pada tahun 1995 menjadi 281 per 1.000 orang pada tahun 1998.

Perbedaan Antar Kelompok Pengeluaran Rumah-tangga Pengeluaran rumah-tangga ini dapat dijadikan sebagai proksi terhadap

penghasilan rumah-tangga atau status ekonomi rumah-tangga. Makin tinggi pengeluaran

diduga makin tinggi pula penghasilan rumah-tangga, yang berarti makin tinggi status

ekonomi rumah-tangga. Makin tinggi penghasilan rumah-tangga makin baik status

kesehatan mereka. Hal itu konsisten baik pada penduduk yang memiliki jaminan

kesehatan maupun pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada

penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, jumlah yang mengalami gangguan

kesehatan pada kelompok pengeluaran terendah (decile 1) adalah 293 per 1.000 orang,

jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok penghasilan tertinggi (decile 10) yaitu

259 per 1.000 orang. Dengan demikian perbedaan yang mengalami gangguan kesehatan

antara kelompok pengeluaran terendah (decile 1) dan kelompok pengeluaran tertinggi

(decile 10) sebanyak 34 per 1.000 orang (atau 3,4 persen). Besarnya perbedaan tersebut

Page 12: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 11

sama, baik pada penduduk yang memiliki dana/kartu sehat (298 per 1.000 orang pada

kelompok decile 1 dan 264 per 1.000 orang pada kelompok decile 10) maupun pada

penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan (297 per 1.000 orang pada kelompok

decile 1 dan 263 per 1.000 orang pada kelompok decile 10)

Temuan ini sesuai dengan berbagai hasil penelitian lain yang juga menunjukkan

bahwa makin tinggi status ekonomi penduduk makin baik status kesehatan mereka. Hal

ini bisa dipahami mengingat penduduk yang memiliki status ekonomi tinggi juga

memiliki status gizi yang baik dan mampu memelihara kesehatannya.

Perbedaan Antar Kelompok Pekerjaan Untuk keperluan analisis ini pekerjaan penduduk dikelompokkan menjadi (a)

pegawai negeri; (b) pegawai swasta; (c) petani; (d) pedagang, dan (e) lainnya.

Pengelompokkan jenis pekerjaan sebagaimana disebutkan di atas dimaksudkan untuk

melihat perbedaan status kesehatan antara penduduk yang terorganisir (pegawai negeri

dan pegawai swasta) dan penduduk yang relatif tidak terorganisir (petani, pedagang, dan

lainnya).

Perbedaan status kesehatan menurut jenis pekerjaan tidak begitu mencolok.

Namun demikian, jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang lain, petani merupakan

kelompok penduduk yang memiliki status kesehatan terjelek. Sementara pegawai negeri

memiliki status kesehatan terbaik. Penduduk yang memiliki jaminan kesehatan (pada

tahun 1998), 281 dari 1.000 petani mengalami gangguan kesehatan selama sebulan lalu.

Sementara pada pegawai negeri probabilitas yang mengalami gangguan kesehatan jauh

lebih rendah, yaitu 271 per 1.000 orang. Demikian juga halnya pada penduduk yang

memiliki dana sehat dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, petani juga

merupakan kelompok yang paling rentan mengalami gangguan kesehatan.

Perbedaan Antar Wilayah Perkiraan jumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan per 1.000 penduduk

menurut wilayah tempat tinggal responden menunjukkan bahwa status kesehatan

penduduk Jabar/DKI Jakarta merupakan yang terbaik dibandingkan penduduk yang

tinggal di wilayah lainnya. Sementara penduduk di Pulau Jawa (kecuali Jabar/DKI

Page 13: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 12

Jakarta), Bali, dan Nusa Tenggara mengalami gangguan kesehatan relatif hampir sama

dengan penduduk di luar pulau Jawa.

Perbedaan Antar Desa-Kota Banyak studi menyatakan bahwa status kesehatan penduduk yang tinggal di

perkotaan pada umumnya lebih baik dibandingkan penduduk yang tinggal di perdesaan.

Analisis data Susenas 1995 dan 1998 yang dilakukan dalam studi ini juga menunjukkan

hal serupa. Jumlah penduduk perkotaan yang mengalami gangguan kesehatan lebih

rendah dibandingkan dengan penduduk perdesaan, baik mereka memiliki jaminan

kesehatan, dana/kartu sehat, maupun tidak memiliki jaminan kesehatan.

Pada penduduk perkotaan yang memiliki jaminan kesehatan, dari setiap 1.000

orang terdapat 270 orang yang mengalami gangguan kesehatan. Sedangkan di pedesaan

jumlahnya lebih besar lagi, yaitu 277 per 1.000 orang. Sementara itu, dari setiap 1.000

penduduk perkotaan yang tidak memiliki jaminan kesehatan terdapat 275 orang yang

mengalami gangguan kesehatan. Sedangkan di pedesaaan jumlahnya mencapai 284

orang.

Perbedaan Antar Kelompok Pendidikan Dalam banyak analisis, pendidikan seringkali berpengaruh terhadap status

kesehatan. Makin tinggi pendidikan seseorang cenderung makin baik status

kesehatannya. Temuan analisis dalam studi ini juga menunjukkkan hal serupa. Jumlah

penduduk berpendidikan lebih tinggi yang mengalami gangguan kesehatan lebih sedikit

dibandingkan dengan pada penduduk yang berpendidikan lebih rendah, baik pada yang

memiliki maupun tidak memiliki jaminan kesehatan.

Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, kelompok penduduk

berpendidikan tinggi (D1-S3) yang mengalami gangguan kesehatan sebanyak 267 per

1.000 orang. Sementara pada penduduk yang tidak sekolah/tidak tamat SD, jumlah yang

mengalami gangguan kesehatan lebih besar, yaitu 275 per 1.000 orang.

Perbedaan gangguan sakit antar kelompok pendidikan pada penduduk yang tidak

memiliki jaminan kesehatan juga hampir serupa. Jumlah penduduk berpendidikan tinggi

(D1-S3) yang mengalami gangguan kesehatan adalah 269 per 1.000 orang, sementara

Page 14: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 13

pada penduduk yang tidak sekolah/tidak tamat SD jumlahnya lebih besar, yaitu 284 per

1.000 orang.

Akses Pelayanan Kesehatan Masalah akses masyarakat pada pelayanan kesehatan juga merupakan satu hal

penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan upaya pemerataan (equity) pelayanan

kesehatan. Analisis akses pelayanan kesehatan dalam studi ini didekati dari tidak

terpenuhinya kebutuhan pelayanan kesehatan yang diperlukan oleh penduduk yang

mengalami gangguan kesehatan (unmet need). Disamping itu, juga dilihat probabiitas

penduduk yang menggunakan pelayanan rawat jalan dan rawat inap.

Probabilitas Terjadi Unmet Need Analisis unmet need diperlukan untuk memperkirakan seberapa besar jumlah

orang yang mengalami kesulitan berobat ketika dirinya mengalami gangguan sakit.

Unmet need dalam analisis ini didefinisikan sebagai orang yang mengalami keluhan

kesehatan sampai mengganggu pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, tetapi tidak

melakukan berobat jalan selama satu bulan terakhir. Jadi kalau seseorang mengalami

keluhan kesehatan tetapi tidak sampai mengganggu kegiatan sehari-hari, tidak

dikategorikan sebagai unmet need meskipun orang tersebut tidak berobat jalan dalam satu

bulan terakhir. Dengan demikian unmet need dalam analisis ini berlaku untuk gangguan

kesehatan yang sifatnya akut.

Analisis unmet need ini dapat dijadikan sebagai proksi dalam melihat akses

masyarakat pada pelayanan kesehatan. Makin sedikit penduduk yang mengalami unmet

need berarti makin baik akses penduduk pada pelayanan kesehatan.

Secara keseluruhan probabilitas terjadinya unmet need mengalami penurunan

antara kondisi tahun 1995 dengan kondisi tahun 1998, baik pada penduduk yang

memiliki jaminan kesehatan maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada

penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, unmet need pada tahun 1995 dialami oleh

67 per 1.000 penduduk, sedangkan pada tahun 1998 jumlahnya menurun menjadi 62 per

1.000 penduduk. Hal ini mengindikasikan terjadinya perbaikan akses masyarakat pada

pelayanan kesehatan. Probabilitas orang yang mengalami unmet need pada penduduk

yang memiliki jaminan kesehatan lebih rendah dibandingkan dengan penduduk yang

Page 15: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 14

tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari setiap 1.000 orang yang memiliki jaminan

kesehatan, 62 orang di antaranya mengalami unmet need. Sementara pada penduduk yang

tidak memiliki jaminan kesehatan, jumlah orang yang mengalami unmet need lebih besar

lagi, yaitu 69 per 1.000 penduduk (tahun 1998).

Gambar 2.1. Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang , Susenas 1995 dan 1998

Temuan ini memperkuat lagi argumen tentang pentingnya jaminan kesehatan

dalam memelihara kesehatan penduduk, khususnya untuk mengatasi masalah unmet need

yang dihadapi penduduk.

Hal lain yang menarik adalah, ternyata probabilitas unmet need yang terbesar

justru terjadi pada kelompok penduduk yang memiliki dana/kartu sehat. Tampaknya

pemilikan kartu sehat (yang umumnya dimiliki penduduk miskin) bukan satu-satunya

cara dalam memperbaiki akses pelayanan kesehatan. Hal ini diduga karena bagi

penduduk miskin persoalan biaya kesehatan tidak saja terbatas pada biaya

pelayanan/pemeriksaan kesehatan saja, tetapi juga berkaitan dengan biaya transportasi

dan biaya obat. Sementara biaya transportasi tidak dicakup dalam pelayanan kartu sehat.

Perbedaan Antar Kelompok Pengeluaran Rumah-tangga Probabilitas penduduk yang mengalami unmet need menurut kelompok

67

62

75

69

55

60

65

70

75

80

1995 1998

JaminanNon-jaminan

Page 16: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 15

pengeluaran rumah-tangga. Sebagaimana disampaikan di muka, pengeluaran rumah-

tangga ini dapat dijadikan sebagai proksi terhadap penghasilan rumah-tangga atau status

ekonomi rumah-tangga. Makin tinggi pengeluaran diduga makin tinggi pula penghasilan

rumah-tangga, yang berarti makin tinggi status ekonomi rumah-tangga. Semakin tinggi

penghasilan rumah-tangga makin kecil kemungkinannya mengalami unmet need, baik

pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan maupun yang tidak memiliki jaminan

kesehatan. Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, probabilitas unmet need

kelompok pengeluaran decile 1 jauh lebih besar (80 per 1.000 orang) dibandingkan

dengan unmet need kelompok decile 10 (53 per 1.000 orang).

Gambar 2.2.

Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998

Lebih tingginya probabilitas unmet need pada kelompok penghasilan rendah

dibandingkan dengan kelompok penghasilan tinggi juga terjadi pada penduduk yang

memiliki dana/kartu sehat dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada

penduduk yang memiliki dana/kartu sehat, perbedaan unmet need antara kelompok

pengeluaran terendah (decile 1) dengan kelompok pengeluaran tertinggi (decile 10)

adalah sebanyak 28 per 1.000 orang. Perbedaan yang sama juga terjadi pada penduduk

yang tidak memiliki jaminan kesehatan.

Temuan ini sesuai dengan berbagai hasil penelitian lain yang juga menunjukkan

80

7471

6866 65

6361

58

53

83

7774

71 7068

6664

61

56

45

50

55

60

65

70

75

80

85

Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10

JaminanNon-jaminan

Page 17: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 16

bahwa makin tinggi status ekonomi penduduk makin baik akses mereka pada pelayanan

kesehatan. Hal ini bisa dipahami mengingat penduduk yang memiliki status ekonomi

tinggi memiliki kemampuan membayar pelayanan kesehatan lebih besar.

Perbedaan Antar Kelompok Pekerjaan Perbedaan probabilitas unmet need menurut jenis pekerjaan penduduk tidak

begitu mencolok. Dibandingkan jenis pekerjaan yang lain, petani merupakan kelompok

penduduk yang memiliki probabilitas tertinggi mengalami unmet need. Sementara

pegawai negeri dan pedagang merupakan jenis pekerjaan yang memiliki probabilitas

unmet need terendah. Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan (tahun 1998), 69

per 1.000 petani mengalami unmet need. Sementara pada pegawai negeri, probabilitas

unmet need-nya lebih rendah, yaitu 61 per 1.000 orang. Pada penduduk yang memiliki

dana sehat dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, petani juga merupakan

jenis pekerjaan yang paling rentan mengalami unmet need. Banyaknya petani yang

mengalami unmet need relatif dibandingkan jenis pekerjaan lain diduga terkait dengan

rendahnya tingkat kesejahteraan mereka.

Page 18: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 17

Gambar 2.3.

Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998

Perbedaan Antar Wilayah Perkiraan jumlah orang yang mengalami unmet need per seribu penduduk

menurut wilayah tempat tinggal responden. Dari data tersebut tampak bahwa jumlah

penduduk “Jawa Barat dan DKI Jakarta” yang mengalami unmet need merupakan yang

terendah dibandingkan dengan penduduk di wilayah/propinsi lain. Sementara yang paling

banyak mengalami unmet need adalah penduduk yang tinggal di Pulau Jawa (kecuali

Jabar/DKI Jakarta), Bali, dan Nusa Tenggara.

Hal lain yang menarik adalah, ternyata penduduk yang tinggal di Papua/Maluku,

Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi justru mengalami unmet need lebih sedikit

dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di Pulau Jawa.

Perbedaan Antar Desa-Kota Penduduk yang mengalami unmet need diduga berbeda menurut tempat tinggal

mereka (desa-kota). Penduduk yang tinggal di perdesaan lebih besar kemungkinannya

mengalami unmet need dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di perkotaan.

Perbedaan tersebut antara lain terkait dengan ketersediaan fasilitas kesehatan.

Ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan di daerah perkotaan pada umumnya

lebih baik dibandingkan dengan di daerah perdesaan.

6163

69

61 62

6972

6668

50

55

60

65

70

75

PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lain-lain

Jaminan Non-jaminan

Page 19: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 18

Jumlah penduduk perkotaan yang mengalami unmet need lebih rendah

dibandingkan penduduk yang tinggal di perdesaan, baik pada mereka yang memiliki

jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan.

Pada penduduk perkotaan yang memiliki jaminan kesehatan, dari setiap 1.000 penduduk

terdapat 61 orang yang mengalami unmet need, sedangkan di perdesaan jumlahnya lebih

besar lagi, yaitu 66 per 1.000 orang. Sementara itu, dari setiap 1.000 penduduk perkotaan

yang tidak memiliki jaminan kesehatan terdapat 65 orang yang mengalami unmet need,

sedangkan di pedesaaan yang mengalami unmet need mencapai 72 per 1.000 orang.

Perbedaan Antar Kelompok Pendidikan Bagaimana pengaruh pendidikan terhadap probabilitas terjadinya unmet need?.

Apakah makin tinggi pendidikan makin kecil mengalami unmet need?. Gambar 2.4.

menunjukkan bahwa probabilitas penduduk mengalami unmet need berbanding terbalik

(hubungan negatif) dengan tingkat pendidikan penduduk, baik pada mereka yang

memiliki maupun tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah penduduk berpendidikan

tinggi yang mengalami unmet need lebih kecil dibandingkan dengan yang berpendidikan

rendah.

Gambar 2.4.

Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998

6563 62 62

59

7270

6664

60

50

55

60

65

70

75

TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT

JaminanNon-jaminan

Page 20: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 19

Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, kelompok penduduk

berpendidikan tinggi (D1-S3) yang mengalami unmet need sebanyak 59 per 1.000 orang.

Sementara pada penduduk tidak sekolah/tidak tamat SD yang mengalami unmet need

jumlahnya lebih besar, yaitu 65 per 1.000 orang.

Perbedaan unmet need antar kelompok pendidikan pada penduduk yang tidak

memiliki jaminan kesehatan juga hampir serupa. Penduduk berpendidikan tinggi (D1-S3)

yang mengalami unmet need sebanyak 60 per 1.000 orang, sementara pada penduduk

yang tidak sekolah/tidak tamat SD jumlahnya lebih besar, yaitu 72 per 1.000 orang.

Probabilitas Berobat Jalan Analisis probabilitas berobat jalan dalam studi ini dilakukan antara lain untuk

melihat seberapa besar perbedaan konsumsi rawat jalan antara penduduk yang memiliki

jaminan kesehatan dan tidak memiliki jaminan kesehatan ke masing-masing fasilitas

kesehatan. Berapa besar perbedaan probabilitas berobat jalan ke RS Pemerintah, RS

swasta, praktek dokter, Puskesmas/Pustu, poliklinik, dan praktek petugas kesehatan

antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang

tidak memiliki jaminan kesehatan.

Secara keseluruhan besarnya angka rawat jalan ke RS Pemerintah pada penduduk

yang memiliki jaminan kesehatan lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang

memiliki dana/kartu sehat atau yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah

kunjungan rawat jalan ke RS Pemerintah per 1.000 penduduk yang memiliki jaminan

kesehatan sebesar 19 kunjungan. Sementara pada penduduk yang memiliki dana/kartu

sehat maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan hanya 14 kunjungan.

Page 21: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 20

Gambar 2.5.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang, Susenas 1995 dan 1998

Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, pada Gambar 2.6.

tampak bahwa RS Pemerintah lebih banyak digunakan (untuk berobat jalan) oleh

penduduk yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan yang berpendapatan rendah.

Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke

RS Pemerintah, apakah dia memiliki jaminan kesehatan maupun tidak. Jumlah kunjungan

rawat jalan ke RS Pemerintah pada penduduk berpenghasilan tertinggi sekitar 2,5 kali

lebih besar dibandingkan dengan yang berpenghasilan terendah.

Dengan temuan ini dapat diartikan bahwa subsidi terhadap pelayanan rawat jalan

RS Pemerintah sebenarnya lebih banyak dinikmati oleh penduduk yang berpenghasilan

tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu,

subsidi terhadap pelayanan di RS Pemerintah sebaiknya tidak diberikan melalui fasilitas

kesehatan melainkan diberikan langsung kepada penduduk miskin yang menjadi

kelompok sasaran.

16

19

1214

0

5

10

15

20

1995 1998

Jaminan Non-jaminan

Page 22: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 21

Gambar 2.6. Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang

Menurut Penghasilan, Susenas 1998

Gambar 2.7. Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang

Menurut Pekerjaan, Susenas 1998

Gambar 2.7. memperlihatkan perbedaan besarnya jumlah kunjungan rawat jalan

1012 13 14 15

17 18 1921

27

911 12 13 14 15 16 17

19

24

0

5

10

15

20

25

30

Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10

JaminanNon-jaminan

20 19

15

20 19

1513

17 16

0

5

10

15

20

25

PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya

Jaminan Non-jaminan

Page 23: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 22

ke RS Pemerintah per seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut

tampak bahwa penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat jalan RS

Pemerintah adalah mereka yang berprofesi sebagai petani. Sementara penduduk yang

bekerja sebagai “pegawai negeri dan pedagang” justru yang paling banyak menggunakan

pelayanan rawat jalan RS Pemerintah.

Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan yang terbanyak menggunakan

pelayanan rawat jalan RS Pemerintah. Sementara yang paling sedikit menggunakan

pelayanan rawat jalan RS Pemerintah adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah,

DIY, dan Jawa Timur. Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat

jalan RS Pemerintah dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti

antara lain karena akses penduduk perkotaan pada RS Pemerintah lebih mudah

dibandingkan dengan penduduk perdesaan, sebab RS Pemerintah umumnya terletak di

daerah perkotaan. Pelayanan rawat jalan RS Pemerintah lebih banyak digunakan oleh

penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk,

makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat jalan RS Pemerintah.

Gambar 2.8. tampak bahwa secara keseluruhan besarnya kunjungan rawat jalan

ke RS Swasta pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan 1,5 kali lebih besar

dibandingkan dengan penduduk yang memiliki dana/kartu sehat atau yang tidak memiliki

jaminan kesehatan. Dari setiap 1.000 penduduk yang memiliki jaminan kesehatan,

terdapat 12 kunjungan rawat jalan ke RS Swasta. Sedangkan pada penduduk yang tidak

memiliki jaminan kesehatan atau yang memiliki dana/kartu sehat hanya 8 per 1.000

orang.

Page 24: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 23

Gambar 2.8.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang, Susenas 1995 dan 1998

Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, pada Gambar 2.9.

tampak bahwa pelayanan rawat jalan RS Swasta lebih banyak digunakan oleh penduduk

yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpendapatan rendah.

Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke

RS Swasta, apakah dia memiliki maupun tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada

penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, jumlah kunjungan rawat jalan penduduk

berpenghasilan tertinggi (18 kunjungan per 1.000 penduduk) tiga kali lipat dibandingkan

dengan penduduk yang berpenghasilan terendah (5 kunjungan per 1.000 penduduk).

Sementara pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, perbandingannya

mencapai empat kali lipat.

Temuan ini bisa dipahami mengingat biaya pelayanan di RS Swasta umumnya

memang tinggi. Oleh karena itu, penduduk yang berpenghasilan tinggilah yang lebih

mungkin berobat ke RS Swasta.

9

12

6

8

0

2

4

6

8

10

12

14

1995 1998

JaminanNon-jaminan

Page 25: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 24

Gambar 2.9.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998

Gambar 2.10. memperlihatkan perbedaan besarnya jumlah kunjungan rawat jalan

ke RS Swasta per seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut

tampak bahwa petani adalah penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan

rawat jalan RS Swasta, baik pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu

sehat, maupun yang tidak memiliki kesehatan. Sementara penduduk yang paling banyak

menggunakan pelayanan rawat jalan RS Swasta adalah mereka yang bekerja sebagai

pedagang/pengusaha.

56

78

910

1112

14

18

46 6

78 8

910

12

16

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10

Jaminan

Non

Page 26: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 25

Gambar 2.10.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998

Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan

pelayanan rawat jalan RS Swasta. Dari panel keempat tampak bahwa penduduk

perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan RS Swasta dibandingkan

dengan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena akses penduduk

perkotaan terhadap RS Swasta lebih mudah dibandingkan dengan penduduk perdesaan.

Sebab disamping RS Swasta umumnya terletak di daerah perkotaan, juga karena

penduduk perkotaan umumnya lebih tinggi pendapatannya dibandingkan dengan

penduduk pedesaaan.

Gambar 2.11. menunjukkan perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan RS Swasta

menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan,

dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari panel

tersebut tampak bahwa pelayanan rawat jalan RS Swasta lebih banyak dimanfaatkan oleh

penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk,

makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat jalan RS Swasta. Jumlah

12 12

8

1312

9

7

109

0

2

4

6

8

10

12

14

PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya

Jaminan Non-jaminan

Page 27: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 26

kunjungan rawat jalan ke RS Swasta pada rumah-tangga yang kepala rumah-tangganya

berpendidikan D1-S3 sekitar dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak

sekolah/tidak tamat SD.

Gambar 2.11.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut

Pendidikan, Susenas 1998

Jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek Dokter per seribu penduduk menurut

karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan kesehatan. Gambar 2.12. tampak

bahwa secara keseluruhan jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek Dokter lebih besar

pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dibandingkan dengan penduduk yang

memiliki dana/kartu sehat maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari setiap

1.000 penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, terdapat 78 kunjungan rawat jalan ke

Praktek Dokter. Sementara pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan hanya

56 kunjungan per 1.000 orang. Probabilitas berobat jalan ke Praktek Dokter pada

penduduk yang memiliki dana/kartu sehat lebih rendah lagi, yaitu 52 kunjungan per 1.000

penduduk.

79

1112

14

68

911

13

0

5

10

15

TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT

Jaminan

Page 28: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 27

Gambar 2.11.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang, Susenas 1995 dan 1998

Seperti halnya dengan RS Swasta, Gambar 2.12. juga menunjukkan bahwa

Praktek Dokter lebih banyak digunakan (untuk berobat jalan) oleh penduduk yang

berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan yang berpendapatan rendah. Makin tinggi

pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Dokter,

baik pada mereka yang memiliki jaminan kesehatan, lebih-lebih pada mereka yang tidak

memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan ke Praktek Dokter pada penduduk

berpenghasilan tertinggi (decile10) adalah 3-3,5 kali penduduk berpenghasilan terendah

(decile 1). Temuan ini bisa dipahami mengingat seperti halnya dengan RS Swasta, biaya

pelayanan di Praktek Dokter umumnya juga tinggi. Oleh karena itu, penduduk yang

berpenghasilan tinggilah yang lebih mungkin berobat ke Praktek Dokter.

62

78

44

56

0

20

40

60

80

1995 1998

Jaminan Non-jaminan

Page 29: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 28

Gambar 2.12.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998

Gambar 2.13. memperlihatkan perbedaan jumlah kunjungan ke Praktek Dokter

menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut tampak bahwa petani adalah penduduk

yang paling sedikit memanfaatkan pelayanan rawat jalan Praktek Dokter, baik pada

mereka yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki

jaminan kesehatan. Sebaliknya, pedagang/pengusaha dan pegawai negeri adalah yang

paling banyak menggunakan pelayanan rawat jalan praktek dokter.

3544

50 5561 66 71

7990

3039 44 48 52 57 62

6879

108

0

40

80

120

Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10

JaminanNon-jaminan

Page 30: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 29

Gambar 2.13.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998

Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan yang paling banyak berobat

jalan ke Praktek Dokter. Sementara yang paling sedikit berobat jalan ke Praktek Dokter

adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Tingginya

penduduk DKI Jakarta yang berobat jalan ke Praktek Dokter (relatif jika dibandingkan

penduduk di wilayah lain) bisa dipahami mengingat rasio dokter dengan penduduk di

DKI Jakarta memang tinggi, sehingga memungkinkan penduduk lebih mudah menjumpai

Praktek Dokter di DKI Jakarta dibandingkan dengan di wilayah lainnya.

Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Praktek

Dokter dibandingkan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena

akses penduduk perkotaan pada Praktek Dokter dan fasilitas kesehatan lainnya lebih

mudah dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Sebab seperti halnya fasilitas

kesehatan modern lainnya, pada umumnya Praktek Dokter juga terletak di daerah

perkotaan.

Gambar 2.14. menunjukkan perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek

Dokter menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan

kesehatan, dana/kartu sehat, dan yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari panel

tersebut tampak bahwa pelayanan rawat jalan Praktek Dokter lebih banyak dimanfaatkan

82 79

57

8781

5949

67 62

0

20

40

60

80

100

PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya

Jaminan Non-jaminan

Page 31: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 30

oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan

penduduk, makin besar kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Dokter. Jumlah

kunjungan ke Praktek Dokter oleh penduduk yang kepala rumah-tangganya

berpendidikan D3-S1 sekitar dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak

sekolah/tidak tamat SD.

Gambar 2.13.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang Menurut Pendidikan,

Susenas 1998

Kunjungan ke Puskesmas/Puskesmas Pembantu per seribu penduduk menurut

karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan kesehatan. Secara keseluruhan

jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu lebih banyak dilakukan oleh penduduk yang tidak

memiliki jaminan kesehatan dan yang memiliki dana/kartu sehat dibandingkan dengan

yang memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu pada

penduduk yang memiliki dana/kartu sehat sebesar 73 kunjungan per 1.000 orang.

Sementara pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan hanya 56 kunjungan per

1.000 orang. Hal ini berbeda dengan karakteristik penduduk yang berobat ke Praktek

Dokter, RS Swasta, dan RS Pemerintah. Kunjungan rawat jalan ke Praktek Dokter, RS

47

6370

78

94

4352

6271

91

0102030405060708090

100

TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT

JaminanNon-jaminan

Page 32: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 31

Swasta, dan RS Pemerintah justru lebih banyak dilakukan oleh penduduk yang memiliki

jaminan kesehatan dibandingkan dengan yang tidak memiliki jaminan kesehatan.

Berbeda dengan pemanfaatan pelayanan rawat jalan Praktek Dokter, RS Swasta,

dan RS Pemerintah, seperti tampak pada Gambar 2.14, penduduk yang berobat ke

Puskesmas/Pustu lebih banyak yang berpenghasilan rendah dibandingkan dengan yang

berpendapatan tinggi. Makin rendah pendapatan rumah-tangga makin banyak yang

berobat jalan ke Puskesmas/Puskesmas Pembantu, apakah dia memiliki jaminan

kesehatan, lebih-lebih yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Temuan ini bisa dipahami

mengingat biaya pelayanan di Puskesmas/Pustu umumnya rendah, relatif jika

dibandingkankan dengan Praktek Dokter dan RS Swasta. Oleh karena itu, penduduk yang

berpenghasilan rendahlah yang lebih mungkin berobat ke Puskesmas/Pustu.

Gambar 2.14.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Puskesmas/Pustu Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998

Gambar 2.15. memperlihatkan perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan ke

Puskesmas/Pustu per seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut

tampak bahwa penduduk yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat jalan

Puskesmas/Pustu adalah mereka yang bekerja sebagai petani, baik yang memiliki

jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan.

92

7871 67 63 60 57 53 49

41

99

8478

73 69 66 62 5853

45

0

20

40

60

80

100

120

Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10

Jaminan

Non-

Page 33: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 32

Gambar 2.15.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Puskesmas/Pustu Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan,

Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan yang paling sedikit

menggunakan pelayanan rawat jalan Puskesmas/ Pustu. Sementara yang paling banyak

menggunakan pelayanan rawat jalan Puskesmas/Pustu adalah penduduk yang tinggal di

Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Relatif rendahnya penduduk DKI Jakarta yang

berobat jalan ke Puskesmas/Pustu bisa dipahami mengingat banyaknya pilihan tempat

berobat yang dapat dikunjungi penduduk DKI Jakarta. Sebagaimana dikemukakan di

muka, rasio dokter dengan penduduk di DKI Jakarta memang tinggi dan fasilitas

kesehatan modern lain juga lebih banyak dijumpai di DKI Jakarta.

Penduduk perdesaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan

Puskesmas/Pustu dibandingkan penduduk perkotaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain

jika dikaitkan dengan: Pertama, alternatif fasilitas kesehatan selain Puskesmas/Pustu

lebih banyak tersedia di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah perdesaan.

Kedua, biaya pelayanan kesehatan di Puskesmas/Pustu pada umumnya lebih rendah

dibandingkan dengan fasilitas kesehatan modern lainnya, sementara kemampuan

membayar penduduk di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan penduduk

perkotaan.

Gambar 2.16. menunjukkan perbedaan jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu

55 57

69

5457

68

75

6368

40

50

60

70

80

PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya

JaminanNon-jaminan

Page 34: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 33

menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan,

dana/kartu sehat, dan yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari gambar tampak

bahwa pelayanan rawat jalan di Puskesmas/Pustu lebih banyak dimanfaatkan oleh

penduduk yang berpendidikan rendah. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk, makin

kecil kemungkinannya berobat jalan ke Puskesmas/Pustu.

Gambar 2.16.

Perbedaan Angka Rawat Jalan Puskesmas/Pustu Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998

Dari uraian di atas tampak bahwa pengguna Puskesmas/Pustu umumnya adalah

yang berpenghasilan kecil, berpendidikan rendah, dan yang tinggal di perdesaan. Temuan

ini mengisyaratkan bahwa subsidi pembiayaan kesehatan lebih tepat diberikan kepada

Puskesmas/Pustu dibandingkan dengan jika diberikan kepada RS Pemerintah ataupun

fasilitas kesehatan lainnya.

Jumlah kunjungan ke Poliklinik jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah

kunjungan ke fasiltas kesehatan modern lainnya, seperti Puskesmas/Pustu, praktek

dokter, RS Swasta, dan RS Pemerintah. Dari setiap 1.000 penduduk diperkirakan hanya

ada sekitar 6 sampai 7 kunjungan rawat jalan ke poliklinik. Bandingkan misalnya dengan

jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu, praktek dokter, dan RS Pemerintah yang jauh

5957

55 55

50

76

71

6460

53

40

50

60

70

80

TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT

Jaminan

Non-

Page 35: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 34

lebih besar.

Secara keseluruhan jumlah kunjungan ke Poliklinik sedikit lebih besar pada

penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dibandingkan dengan yang memiliki

dana/kartu sehat atau yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari setiap 1.000

penduduk yang memiliki jaminan kesehatan terdapat 7 kunjungan rawat jalan ke

Poliklinik. Sementara pada yang tidak memiliki jaminan kesehatan hanya 6 kunjungan

per 1.000 orang.

Seperti halnya dengan RS Swasta dan Praktek Dokter, penduduk yang berobat ke

poliklinik umumnya adalah yang berpenghasilan tinggi. Makin tinggi pendapatan rumah-

tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke poliklinik, apakah dia memiliki

jaminan kesehatan, lebih-lebih jika tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan

ke poliklinik pada penduduk berpenghasilan tertinggi (8-9 kunjungan per 1.000 orang)

hampir dua kali lipat dibandingkan dengan penduduk yang berpenghasilan terendah (5

kunjungan per 1.000 penduduk). Temuan ini bisa dipahami mengingat seperti halnya

Praktek Dokter, biaya pelayanan di Poliklinik umumnya juga tinggi. Oleh karena itu,

penduduk yang berpenghasilan tinggilah yang lebih mungkin berobat ke Poliklinik.

Perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan ke Poliklinik menurut kelompok

pekerjaan. Dari panel tersebut tampak bahwa penduduk yang paling sedikit menggunakan

pelayanan rawat jalan Poliklinik adalah mereka yang berprofesi sebagai petani, baik pada

yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki jaminan

kesehatan.

Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan

pelayanan rawat jalan Poliklinik. Perbedaan pola pemanfaatan pelayanan antar wilayah

ini hampir serupa dengan pola pemanfaatan pelayanan rawat jalan praktek dokter dan RS

Pemerintah.

Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Poliklinik

dibandingkan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena akses

penduduk perkotaan pada Poliklinik dan fasilitas kesehatan lainnya lebih mudah

dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Sebab seperti halnya fasilitas kesehatan

modern lainnya, Poliklinik umumnya juga terletak di daerah perkotaan. Kekeculian

terjadi pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dimana probabilitas penduduk

Page 36: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 35

perkotaan dan perdesaan yang berobat jalan ke poliklinik sama saja.

Jumlah kunjungan rawat jalan ke Poliklinik menurut kelompok pendidikan. Dari

panel tersebut tampak bahwa pelayanan rawat jalan Poliklinik lebih banyak digunakan

oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan

penduduk, makin besar kemungkinannya berobat jalan ke Poliklinik.

Jumlah kunjungan ke Praktek Petugas Kesehatan per seribu penduduk menurut

karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan kesehatan. Yang tercakup dalam

kategori petugas kesehatan disini termasuk mantri kesehatan, perawat kesehatan, bidan,

dan sebagainya. Dokter tidak termasuk dalam kategori ini, sebab sudah dikategorikan

secara tersendiri. Secara keseluruhan jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek Petugas

Kesehatan lebih besar pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan dan yang

memiliki dana/kartu sehat dibandingkan dengan yang memiliki jaminan kesehatan. Dari

setiap 1.000 penduduk yang memiliki dana/kartu sehat terdapat 70 kunjungan rawat jalan

ke Praktek Petugas Kesehatan. Sementara pada yang memiliki jaminan kesehatan hanya

terdapat 53 kunjungan. Probabilitas ini hampir serupa dengan pola pemanfaatan rawat

jalan ke Puskesmas, dimana probabilitas penduduk yang tidak memiliki jaminan

kesehatan lebih banyak berobat jalan ke Puskesmas dibandingkan dengan penduduk yang

memiliki jaminan kesehatan.

Sama halnya dengan Puskesmas/Pustu, penduduk yang berobat ke Praktek

Petugas Kesehatan lebih banyak yang berpenghasilan rendah dibandingkan dengan yang

berpendapatan tinggi. Makin rendah pendapatan rumah-tangga makin besar

kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan, apakah dia memiliki

jaminan kesehatan, lebih-lebih jika tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan

rawat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan menurut kelompok pekerjaan. Dari panel

tersebut tampak bahwa petani merupakan penduduk yang paling banyak berobat jalan ke

Praktek Petugas Kesehatan.

Jika dilihat perbedaan antar wilayah tampak bahwa penduduk DKI Jakarta dan

Jawa Barat merupakan yang paling sedikit berobat jalan ke Praktek Petugas kesehatan.

Sementara yang paling banyak berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan adalah

penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Relatif rendahnya

Page 37: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 36

penduduk DKI Jakarta yang berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan bisa dipahami

mengingat banyaknya pilihan tempat berobat yang dapat dikunjungi oleh penduduk DKI

Jakarta. Sebagaimana dikemukakan di muka, rasio dokter dengan penduduk di DKI

Jakarta memang tinggi dan fasilitas kesehatan modern lain juga lebih banyak dijumpai di

DKI Jakarta.

Penduduk perdesaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Praktek

Petugas Kesehatan dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Hal ini bisa dimengerti

antara lain karena praktek petugas kesehatan (selain dokter) memang lebih banyak

dijumpai di daerah perdesaan dibandingkan di daerah perkotaan. Probabilitas berobat

jalan ke Praktek Petugas Kesehatan menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang

memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki

jaminan kesehatan. Seperti halnya dengan pemanfaatan rawat jalan Puskesmas/Pustu,

panel tersebut juga memperlihatkan bahwa pelayanan Praktek Petugas Kesehatan lebih

banyak digunakan oleh penduduk yang berpendidikan rendah. Makin tinggi tingkat

pendidikan penduduk, makin kecil kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Petugas

Kesehatan.

Dari uraian di atas tampak bahwa karakteristik pengguna Praktek Petugas

Kesehatan hampir sama dengan karakteristik pengguna Puskesmas/Pustu. Pada umumnya

mereka berpenghasilan kecil, berpendidikan rendah, dan tinggal di perdesaan.

Probabilitas Mengalami Rawat Inap Analisis probabilitas rawat inap dalam studi ini dilakukan antara lain untuk

melihat seberapa besar konsumsi rawat inap penduduk yang memiliki dan tidak memiliki

jaminan kesehatan di masing-masing fasilitas kesehatan. Berapa besar perbedaan

probabilitas rawat inap ke RS Pemerintah dan RS swasta antara penduduk yang memiliki

jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan

kesehatan.

Probabilitas penduduk yang mengalami rawat inap di RS Pemerintah 48% lebih

besar pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dibandingkan dengan penduduk

yang yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Setiap 1.000 penduduk yang memiliki

jaminan kesehatan mengkonsumsi 299 hari rawat di RS Pemerintah. Sementara penduduk

Page 38: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 37

yang tidak memiliki jaminan kesehatan mengkonsumsi 202 hari rawat. Jumlah hari rawat

RS Pemerintah penduduk yang memiliki dana/kartu sehat lebih kecil lagi, yaitu 183 hari

rawat per 1.000 orang.

Gambar 2.17.

Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang,

Susenas 1995 dan 1998

Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, Gambar 2.18. tampak

bahwa pelayanan rawat inap RS Pemerintah lebih banyak digunakan oleh penduduk yang

berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpendapatan rendah.

Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya rawat inap di RS

Pemerintah, apakah dia memiliki jaminan kesehatan maupun tidak. Jumlah hari rawat di

RS Pemerintah penduduk terkaya sekitar 5,7 kali lipat dari penduduk berpenghasilan

terendah. Setiap 1.000 penduduk terkaya (decile 10) yang memiliki jaminan kesehatan

menggunakan rawat inap sebanyak 496 hari rawat di RS Pemerintah selama satu tahun,

sementara pada penduduk termiskin (decile 1) hanya menggunakan rawat inap sekitar 89

hari rawat.

179

303

152199

0

100

200

300

1995 1998

Jaminan

Page 39: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 38

Gambar 2.18.

Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998

Temuan ini menunjukkan bahwa subsidi pada pelayanan rawat inap RS

Pemerintah sebenarnya lebih banyak dinikmati oleh penduduk yang berpenghasilan

tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu,

subsidi pelayanan kesehatan sebaiknya tidak diberikan melalui fasilitas kesehatan

melainkan diberikan langsung kepada penduduk miskin yang menjadi kelompok sasaran.

Gambar 2.19. memperlihatkan perbedaan jumlah hari rawat inap per 1.000

penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel dan gambar tersebut tampak bahwa

petani merupakan penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat inap RS

Pemerintah. Sementara penduduk yang berstatus sebagai majikan dan pegawai swasta

justru yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Pemerintah. Dalam

satu tahun, konsumsi rawat inap petani adalah 196 hari rawat per 1.000 orang, sementara

konsumsi pegawai negeri mencapai 1,5 kalinya (309 hari rawat). Perbedaan antar

kelompok pekerjaan ini konsisten dengan perbedaan antar kelompok penghasilan dimana

petani pada umumnya adalah yang berpendapatan rendah dan yang paling sedikit

menggunakan pelayanan rawat inap.

90135

166191

218240

266302

352

494

73112

137159

179200

224254

299

422

050

100150200250300350400450500

Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10

JaminanNon-jaminan

Page 40: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 39

Gambar 2.19.

Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998

Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan

pelayanan rawat inap RS Pemerintah. Sementara yang paling sedikit menggunakan

pelayanan rawat inap RS Pemerintah adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah,

DIY, dan Jawa Timur. Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat

inap RS Pemerintah dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Untuk kelompok yang

memiliki jaminan kesehatan, jumlah hari rawat penduduk perkotaan (327 hari rawat per

1.000 penduduk) adalah sekitar 40% lebih besar dibandingkan dengan jumlah hari rawat

penduduk perdesaan (232 hari rawat per 1.000 penduduk). Sementara untuk penduduk

yang tidak memiliki jaminan kesehatan, perbedaannya mencapai 60% dimana jumlah hari

rawat inap penduduk perdesaan adalah 165 hari rawat dan penduduk perkotaan adalah

262 hari rawat per 1.000 orang. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena akses penduduk

perkotaan terhadap RS Pemerintah lebih mudah dibandingkan penduduk perdesaan,

sebab RS Pemerintah umumnya terletak di daerah perkotaan.

Gambar 2. 20. menunjukkan perbedaan jumlah hari rawat per 1.000 penduduk

menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan,

dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari panel dan

309 297

196

333306

208

161

242220

100

150

200

250

300

350

PNS Peg Swasta Petani Pedagang Lainnya

Jaminan Non-jaminan

Page 41: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 40

gambar tersebut tampak bahwa pelayanan rawat inap RS Pemerintah lebih banyak

dimanfaatkan oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat

pendidikan penduduk, makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat inap

RS Pemerintah.

Gambar 2.20.

Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998

Konsumsi rawat inap di RS Swasta lebih kecil dibandingkan dengan rawat inap di

RS Pemerintah. Pada penduduk yang memiliki jaminan misalnya, jumlah konsumsi hari

rawat di RS Pemerintah per 1.000 penduduk adalah 303 hari rawat, sedangkan di RS

Swasta lebih kecil, yaitu hanya 225 hari rawat. Perbedaan tersebut lebih besar lagi pada

penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah hari rawat di RS Swasta yang

digunakan penduduk menurut karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan

kesehatan.

Gambar 2.21. tampak bahwa secara keseluruhan konsumsi rawat inap RS Swasta

oleh penduduk yang memiliki jaminan kesehatan 80% lebih banyak dibandingkan dengan

penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Konsumsi rawat inap RS Swasta dari

setiap 1.000 penduduk adalah 225 hari rawat, sedangkan pada penduduk yang tidak

memiliki jaminan kesehatan hanya mengkonsumsi 119 hari rawat. Konsumsi hari rawat

di RS Swasta dari penduduk yang memiliki dana/kartu sehat lebih kecil lagi, yaitu 102

hari rawat per 1.000 orang.

270 287 304 311

372

171 189232

268

355

100

200

300

400

TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT

JaminanNon-jaminan

Page 42: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 41

Gambar 2.21.

Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang,

Susenas 1995 dan 1998

Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, pada Gambar 2.22.

tampak bahwa pelayanan rawat inap di RS Swasta lebih banyak digunakan oleh

penduduk yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan penduduk yang

berpendapatan rendah. Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar

kemungkinannya rawat inap di RS Swasta, apakah dia memiliki jaminan kesehatan

maupun tidak. Konsumsi hari rawat RS Swasta dari penduduk terkaya adalah 15-16 kali

penduduk yang berpenghasilan terendah. Konsumsi rawat inap penduduk terkaya (decile

10) yang memiliki jaminan kesehatan selama satu tahun adalah sebanyak 482 hari rawat

per 1.000 orang, sementara pada penduduk termiskin (decile 1) hanya sekitar 30 hari

rawat.

108

225

86119

0

50

100

150

200

250

1995 1998

Jaminan

Non

Page 43: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 42

Gambar 2.22.

Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998

Gambar 2.23. memperlihatkan perbedaan jumlah hari rawat inap RS Swasta per

seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari gambar tersebut tampak bahwa

penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta adalah

mereka yang bekerja sebagai petani. Sementara penduduk yang bekerja sebagai pegawai

negeri adalah yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta.

Konsumsi rawat inap RS Swasta oleh petani adalah 112 hari rawat per 1.000 orang,

sementara konsumsi pegawai negeri mencapai dua kali lipatnya (202 hari rawat).

30 52 75 94 117 137163

201261

479

24 38 55 70 86 103 124153

201

373

0

100

200

300

400

500

Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10

JaminanNon-jaminan

Page 44: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 43

Gambar 2.23.

Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998

Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan

pelayanan rawat inap RS Swasta. Sementara yang paling sedikit menggunakan pelayanan

rawat inap RS Swasta adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa

Timur. Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta

dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Untuk penduduk yang memiliki jaminan

kesehatan, jumlah hari rawat RS Swasta penduduk perkotaan (253 hari rawat per 1.000

orang) adalah 78% lebih besar dibandingkan dengan penduduk perdesaan (142 hari

rawat per 1.000 orang). Sementara untuk penduduk yang tidak memiliki jaminan

kesehatan, perbedaannya mencapai dua kali lipat dimana konsumsi rawat inap penduduk

perdesaan hanya sebesar 85 hari rawat per 1.000 orang, sementara konsumsi penduduk

perkotaan sebesar 181 hari rawat per 1.000 orang. Dengan demikian, penduduk perdesaan

mengkonsumsi rawat inap RS Swasta lebih kecil dan lebih kecil lagi jika mereka tidak

memiliki jamiman kesehatan.

Gambar 2.24. menunjukkan perbedaan jumlah hari rawat RS Swasta per seribu

penduduk menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan

kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari

228 221

112

267237

127

81

159142

50

100

150

200

250

300

PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya

JaminanNon-jaminan

Page 45: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 44

panel tersebut tampak bahwa pelayanan rawat inap RS Swasta lebih banyak

dimanfaatkan oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat

pendidikan penduduk, makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat inap

RS Swasta. Untuk kelompok yang memiliki jaminan kesehatan, jumlah konsumsi rawat

inap RS Swasta penduduk yang kepala rumah-tangganya tamat D1-S3 (316 hari rawat)

adalah 1,7 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak sekolah/tidak tamat SD (182

hari rawat). Perbedaan tersebut lebih besar lagi pada penduduk yang tidak memiliki

jaminan kesehatan, dimana konsumsi rawat inap penduduk yang kepala rumah-tangganya

berpendidikan D1-S3 (318 hari rawat) adalah sekitar tiga kali lipat dibandingkan dengan

penduduk yang kepala rumah-tangganya tidak sekolah/tidak tamat SD.

Gambar 2.24.

Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998

Masalah Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan merupakan isu yang paling kritis berkaitan dengan upaya

pengembangan asuransi kesehatan. Oleh karena itu, perlu dilihat seberapa besar

sebenarnya beban biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh rumah-tangga jika ada

anggota rumah-tangganya yang mengalami sakit (rawat jalan ataupun rawat inap).

186 205 222 231

319

94 107147

188

313

0

100

200

300

400

TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT

JaminanNon-jaminan

Page 46: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 45

Apakah beban biaya rawat jalan dan rawat inap yang harus ditanggung masih dapat

ditutup dengan oleh penghasilan rumah-tangga atau beban biaya tersebut lebih besar dari

penghasilan rumah-tangga selama satu bulan. Studi ini mencoba menjawab pertanyaan

tersebut dengan membandingkan rata-rata biaya rawat jalan dan rawat inap yang harus

ditanggung oleh rumah-tangga jika ada anggotanya yang mengalami sakit dengan rata-

rata penghasilan rumah-tangga satu bulan.

Isu lain yang juga menarik berkaitan dengan pembiayaan kesehatan adalah

seberapa besar kemampuan membayar (ability to pay) masyarakat terhadap pelayanan

kesehatan. Dari gambaran ability to pay tersebut dapat diperkirakan besarnya premi

asuransi kesehatan yang secara potensial dapat dikenakan pada masyarakat menurut

karakteristik sosial-demografi penduduk.

Beban Biaya Kesehatan Rumah-tangga Analisis tentang beban biaya kesehatan penting dilakukan untuk melihat besarnya

beban biaya kesehatan (rawat jalan dan rawat inap) yang harus ditanggung oleh rumah-

tangga jika ada anggota rumah-tangganya yang sakit. Apakah beban biaya kesehatan

tersebut masih terpikul oleh penghasilan rumah-tangga. Selanjutnya dapat dianalisis

pelayanan mana (rawat jalan atau rawat inap) yang dari sisi risiko biayanya perlu dicakup

dalam paket asuransi.

Beban biaya kesehatan rawat jalan disini dihitung dari rata-rata (median) biaya

rawat jalan yang dikeluarkan oleh rumah-tangga yang selama sebulan lalu ada anggota

keluarganya yang berobat jalan. Sedang beban biaya rawat inap dihitung dari rata-rata

(median) biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga yang selama satu tahun

terakhir ada anggota keluarganya yang dirawat inap. Besarnya biaya rawat jalan dan

rawat inap yang dikeluarkan oleh rumah-tangga menurut karakteristik sosial-demografi.

Gambar 2.25. tampak bahwa secara keseluruhan (total) rata-rata pengeluaran

rumah-tangga mengalami peningkatan, dari Rp 233.000,- pada tahun 1995 menjadi Rp

335.000,- pada tahun 1998. Sementara rata-rata biaya rawat jalan yang dikeluarkan

menurun tajam dari Rp 30.000,- pada tahun 1995 menjadi sekitar separuhnya Rp

16.000,- Tetapi rata-rata biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga meningkat

tajam dari Rp 345.000,- pada tahun 1995 menjadi Rp 573.000,- pada tahun 1998.

Besarnya biaya rawat jalan yang dikeluarkan rumah-tangga (Rp 16.000,-) hanya

Page 47: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 46

sekitar 4,8 persen dari rata-rata penghasilan rumah-tangga (Rp 335.000,-). Dengan

demikian beban biaya rawat jalan terhadap penghasilan rumah-tangga tidak terlalu besar.

Artinya, risiko finansial akibat rawat jalan secara umum masih bisa diatasi dari

penghasilan rumah-tangga.

Sebaliknya, besarnya biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga (Rp 573

.000,-) sekitar 1,7 kali lebih besar dari rata-rata penghasilan rumah-tangga (Rp 335.000).

Besarnya biaya rawat inap tersebut menggambarkan bahwa biaya rawat inap jauh lebih

besar jika dibandingkan dengan rata-rata penghasilan rumah-tangga. Jika ada anggota

rumah-tangga yang harus dirawat inap, beban biayanya tidak bisa dicukupi dari

penghasilan rumah-tangga sebulan.

Gambar 2.25.

Beban Biaya Kesehatan Rumah Tangga (% Pengeluaran RT), Susenas 1995 dan 1998

Temuan ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk memilih pelayanan mana (rawat

inap atau rawat jalan) yang secara finansial mendesak untuk dicakup dalam paket

pelayanan asuransi. Besarnya beban biaya rawat inap dibandingkan dengan penghasilan

rumah-tangga mengindikasikan tentang perlunya memprioritaskan jaminan pelayanan

rawat inap dibandingkan dengan jaminan pelayanan rawat jalan. Untuk biaya pelayanan

rawat jalan data di atas menunjukkan bahwa rumah-tangga masih mampu membiayainya

dari penghasilannya sendiri, sedangkan biaya rawat inap tidak dapat dicukupi dengan

233189

334912

30270 16203

344954

572574

0

200000

400000

600000

1995 1998

Pengeluaran RTBiaya RajalBiaya Ranap

15%

170%

Page 48: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 47

penghasilan rumah-tangganya.

Jika dilihat menurut kelompok penghasilan, pada Gambar 2.26. tampak bahwa

beban biaya rawat jalan dan rawat inap yang harus ditaggung rumah-tangga miskin lebih

besar/berat dibandingkan dengan rumah-tangga kaya. Meskipun rata-rata biaya rawat

jalan rumah-tangga termiskin (decile 1) secara absolut adalah yang paling kecil (Rp

8.000,-), namun karena penghasilannya juga kecil maka beban biaya rawat jalan terhadap

penghasilan rumah-tangga tersebut menjadi besar. Beban biaya rawat jalan pada

kelompok penghasilan terendah (decile 1) adalah sekitar 6,5 persen dari penghasilan

rumah-tangga. Sebaliknya pada rumah-tangga terkaya (decile 10), meskipun nilai absolut

biaya rawat jalannya adalah yang terbesar (Rp 31.000,-), tetapi karena penghasilan

rumah-tanggaya juga besar (Rp 937.000,-) maka beban biaya rawat jalan dibandingkan

dengan penghasilan rumah-tangga mereka menjadi kecil. Pada kelompok penghasilan

terbesar (decile 10) besarnya biaya rawat jalan hanya sekitar 3,4 persen dari penghasilan

rumah-tangga.

Gambar 2.26.

Beban Biaya Kesehatan Rumah Tangga Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998

Berbeda dengan beban biaya rawat jalan terhadap penghasilan rumah-tangga

yang relatif kecil, beban biaya rawat inap jauh lebih besar dibandingkan penghasilan

6.5 5.67 5.54 5.11 4.99 5.12 4.35 4.22 4.34 3.35

230

133 135 125 135120

107131

45

138

0

50

100

150

200

250

Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10

% Biaya Rajal

% Biaya Ranap

Penghasilan RT

Page 49: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 48

rumah-tangga. Beban biaya rawat inap rumah-tangga miskin lebih besar/berat

dibandingkan dengan rumah-tangga kaya. Beban biaya rawat inap kelompok penghasilan

termiskin (decile 1) adalah sekitar 2,3 kali penghasilan rumah-tangga, sementara pada

rumah-tangga terkaya (decile 10) besarnya biaya rawat inap tersebut hanya 1,4 kali dari

penghasilan rumah-tangga, padahal secara absolut biaya rawat inapnya yang terbesar

(Rp 1.300.000,-).

Gambar 2.27. memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan antara

pengeluaran rumah-tangga petani dengan jenis pekerjaan lainnya. Dibandingkan dengan

pengeluaran rumah-tangga pegawai negeri (Rp 533.471,- per bulan) misalnya,

pengeluaran rumah-tangga petani (Rp 240.131,- per bulan) kurang dari setengahnya.

Perbedaan besarnya pengeluaran rumah-tangga tersebut diduga berpengaruh pula pada

perbedaan biaya rawat jalan dan rawat inap yang dikeluarkan. Biaya rawat jalan yang

dikeluarkan rumah-tangga pegawai negeri (Rp 26.642,-) sekitar 2,7 kali lipat biaya rawat

jalan yang dikeluarkan rumah-tangga petani (Rp 9,723). Sementara biaya rawat inap yang

dikeluarkan rumah-tangga pegawai negeri (Rp 714.271,-) sekitar 1,7 kali lipat

dibandingkan biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga petani (Rp 413.305,-).

Namun demikian beban biaya rawat inap rumah-tangga petani (sekitar 1,7 kali

penghasilan per bulan) lebih besar dibandingkan beban biaya rawat inap yang ditanggung

rumah-tangga pegawai negeri (hanya sekitar 1,3 kali penghasilan per bulan).

Page 50: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 49

Gambar 2.27.

Beban Biaya Kesehatan Rumah Tangga Menurut Pekerjaan, Susenas 1998

Perbedaan besarnya beban biaya rawat jalan dan rawat inap menurut wilayah.

Tampak bahwa rata-rata penghasilan rumah-tangga di DKI Jakarta/Jawa Barat

merupakan yang tertinggi (Rp 450.000,-), namun karena besarnya biaya rawat jalan dan

rawat inap di DKI Jakarta/Jawa barat juga besar, maka beban biaya rawat jalan dan rawat

inap terhadap penghasilan rumah-tangga di Jawa Barat/DKI Jakarta juga lebih besar

dibandingkan dengan beban yang dialami penduduk propinsi lainnya. Rata-rata biaya

rawat jalan rumah-tangga di DKI Jakarta/Jawa Barat adalah sekitar 5,5 persen

penghasilan rumah-tangga sebulan. Sedangkan biaya rawat inap yang harus ditanggung

rumah-tangga DKI Jakarta/Jawa Barat adalah sekitar 2,4 kali rata-rata penghasilan

rumah-tangga mereka. Sementara di propinsi yang lain, meskipun rata-rata penghasilan

rumah-tangganya kecil tetapi karena rata-rata biaya rawat jalan dan rawat inapnya juga

lebih kecil maka beban biaya kesehatan yang ditanggung rumah-tangga juga kecil. Beban

biaya rawat inap yang ditanggung penduduk di Sulawesi, Papua, Maluku, Bali, NTB, dan

NTT adalah yang terkecil dibandingkan dengan propinsi lainnya, khususnya propinsi-

propinsi di Pulau Jawa, yaitu antara 1-1,2 kali penghasilan rumah-tangga mereka sebulan.

Perbedaan beban biaya rawat jalan dan rawat inap menurut daerah perdesaan dan

533471

357050

240131

384753347317

26642 16371 9723 18558 18975

714271

491533

413305

570690

672503

0

200000

400000

600000

800000

PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya

Penghasilan Biaya Rajal Biaya Ranap

Page 51: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 50

perkotaan. Dari tabel tersebut tampak bahwa rata-rata biaya rawat jalan dan rawat inap di

daerah perkotaan (masing-masing Rp 23.000,- dan Rp 678.000,-) lebih besar

dibandingkan dengan biaya rawat jalan dan rawat inap di daerah perdesaan (masing-

masing Rp 11.000,- dan Rp 448.000,-). Demikian halnya dengan penghasilan rumah-

tangga di daerah perkotaan (Rp 454.000,-) jauh lebih besar dibandingkan rata-rata

penghasilan rumah-tangga di daerah perdesaan (Rp 252.000,-). Adanya perbedaan biaya

rawat jalan dan rawat inap yang ditanggung rumah-tangga dan perbedaan penghasilan

rumah-tangga antara daerah perdesaan dan perkotaan tersebut berakibat pada perbedaan

beban biaya rawat jalan dan rawat inap antara rumah-tangga di perdesaan dan di

perkotaan. Untuk biaya rawat jalan, rumah-tangga perkotaan menanggung beban lebih

besar/berat (5,1 persen dari penghasilan rumah-tangga sebulan) dibandingkan dengan

rumah-tangga perdesaan (4,4 persen dari pendapatan rumah-tangga sebulan). Sedangkan

untuk biaya rawat inap, rumah-tangga perdesaan menanggung beban yang lebih besar

(1,8 kali penghasilan rumah-tangga) dibandingkan dengan rumah-tangga perkotaan (1,5

kali penghasilan rumah-tangga).

Perbedaan beban biaya rawat jalan dan rawat inap menurut pendidikan kepala

rumah-tangga. Beban biaya rawat inap yang harus dipikul oleh rumah-tangga yang

pendidikan kepala rumah-tangganya rendah adalah lebih besar/berat dibandingkan

dengan yang pendidikan kepala rumah-tangganya tinggi. Beban biaya rawat inap rumah-

tangga yang berpendidikan SD adalah sekitar 2,2 kali penghasilan rumah-tangga sebulan,

sementara pada yang berpendidikan tinggi (D1-S3) hanya 1,7 kali penghasilan rumah-

tangga sebulan.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa beban biaya kesehatan lebih tinggi pada

kelompok penduduk yang berpenghasilan rendah, berpendidikan rendah, dan tinggal di

perdesaan. Dengan demikian, dari sisi risiko finansial merekalah yang sebenarnya amat

membutuhkan asuransi/jaminan kesehatan.

Kemampuan Membayar Pelayanan Kesehatan

Di satu sisi beban biaya kesehatan lebih banyak dirasakan oleh kelompok

penduduk yang berpenghasilan rendah, berpendidikan rendah, dan tinggal di perdesaan

Page 52: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 51

sehingga merekalah yang sebenarnya membutuhkan asuransi/jaminan kesehatan. Namun

di sisi lain, kemampuan membayar kelompok tersebut juga rendah sehingga sulit untuk

mampu membayar premi asuransi. Oleh karena itu, kelompok tersebut perlu memperoleh

subsidi. Tapi benarkah kelompok tersebut memiliki kemampuan membayar rendah?

Tabel 2.13a. memperlihatkan perbedaan kemampuan membayar masyarakat menurut

karekteristik sosial demografi rumah-tangga.

Secara keseluruhan besarnya ATP masyarakat adalah Rp 41.000,- (atau sekitar

12,2 persen dari total pengeluaran rumah-tangga). ATP masyarakat sebesar Rp 41.000,-

tersebut termasuk tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata biaya rawat jalan yang harus

dikeluarkan jika ada anggota rumah-tangga yang berobat jalan. Kemampuan masyarakat

tersebut sekitar 2,5 kali rata-rata biaya rawat jalan. Namun jika dibandingkan dengan

biaya rawat inap, ATP tersebut hanya setara 7,2 persen dari rata-rata biaya rawat inap.

Temuan ini memperkuat argumen lebih mendesaknya mencakup pelayanan rawat

inap dalam paket asuransi kesehatan dibandingkan dengan pelayanan rawat jalan.

Artinya, risiko finansial yang harus ditanggung oleh rumah-tangga jika ada anggotanya

yang dirawat inap adalah jauh lebih besar dibandingkan dengan jika hanya berobat jalan.

Karena risiko finansial rawat inap lebih besar maka jaminan pelayanan rawat inap lebih

mendesak untuk dicakup dalam paket asuransi, sebab pada hakekatnya asuransi

merupakan mekanisme pembagian risiko (risk sharing), yaitu risiko yang besar jika

ditanggung individu akan menjadi kecil jika ditanggung bersama-sama (kelompok).

Kemampuan membayar masyarakat (ATP) di sini didefinisikan sebagai

pengeluaran kesehatan ditambah pengeluaran non-essensial (pesta/upacara, alkohol, dan

tembakau/sirih). Namun perlu pula dicatat bahwa konsep ATP seperti itu mengasumsikan

bahwa masyarakat dengan mudah dapat mengubah (switch) alokasi pegeluaran non-

esensial (alkohol, tembakau, pesta) untuk biaya kesehatan. Dalam pratek, ada saja

masyarakat yang sulit mengurangi biaya pesta atau tembakau untuk biaya kesehatan,

meskipun disadari bahwa pengeluaran untuk kesehatan jauh lebih penting dibandingkan

dengan pengeluaran untuk pesta, tembakau, apalagi untuk alkohol.

Rata-rata pengeluaran untuk membeli rokok (tembakau/sirih, yaitu Rp 17.349,-)

lebih besar dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran kesehatan (Rp 14.664,-).

Sementara rata-rata pengeluaran untuk pesta/ upacara sekitar 58 persen dari pengeluaran

Page 53: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 52

kesehatan. Dengan demikian, jika gaya hidup masyarakat dapat dibuat menjadi lebih

rasional dengan lebih mementingkan aspek kesehatan maka sebenarnya masyarakat

memiliki potensi besar untuk membiaya kesehatannya.

Jika dilihat dari perbedaan menurut kelompok penghasilan tampak bahwa

besarnya ATP berkaitan dengan besarnya penghasilan rumah-tangga. Makin tinggi

penghasilan rumah-tangga makin besar pula ATP-nya. Secara absolut nilai ATP

kelompok rumah-tangga berpenghasilan tertinggi (decile 10) adalah Rp 118.341,- atau

8,8 kali nilai ATP kelompok rumah-tangga berpenghasilan terendah (decile 1) yang

sebesar Rp 13.444,-.

Perbedaan ATP menurut jenis pekerjaan penduduk menunjukkan bahwa rumah-

tangga petani memiliki ATP yang paling rendah dibandingkan dengan rumah-tangga

pegawai negeri, pegawai swasta, pedagang, dan lainnya. ATP rumah-tangga petani (Rp

30.769,-) hanya sekitar separuh ATP rumah-tangga pegawai negeri (Rp 58.782,-).

Perbedaan ATP menurut wilayah/propinsi. ATP tertinggi dijumpai pada rumah-tangga di

DKI Jakarta/Jawa Barat (Rp 49.427,-) dan Kalimantan (Rp 47.012,-). Sedangkan ATP

terendah terdapat pada rumah-tangga di Jawa Tengah/DIY (Rp 32.641,-) dan Jawa

Timur (Rp 33.458,-). Kemampuan membayar penduduk perkotaan (Rp 52.565,-) sekitar

1,6 kali ATP penduduk perdesaan (Rp 32.965,-). Meskipun secara absolut ATP penduduk

perdesaan lebih kecil dibandingkan ATP penduduk perkotaan, namun jika dilihat

persentasenya terhadap pengeluaran rumah-tangga, persentase ATP terhadap pengeluaran

peduduk perdesaan (13,1 persen) lebih besar dibandingkan dengan persentase serupa

pada penduduk perkotaan (11,6 persen).

Jika dilihat dari pendidikan kepala rumah-tangga, ATP tertinggi ada pada rumah-

tangga yang pendidikan kepala rumah-tangganya D3-S1 (Rp 65.964,-). Sedangkan yang

ATP-nya terendah adalah yang kepala rumah-tangganya tidak sekolah/tidak tamat SD

(Rp 25.389,-). Makin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah-tangga makin besar

pengeluaran rumah-tangganya dan makin besar pula ATP-nya.

Jika diasumsikan bahwa besarnya ATP ini sama dengan besarnya potensi

penduduk membayar premi asuransi kesehatan, maka penduduk yang berpotensi

membayar premi tinggi adalah penduduk yang tinggal di perkotaan, yang tinggal di DKI

Page 54: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 53

Jakarta/Jawa Barat, dan Kalimantan, yang pendidikan kepala rumah-tangganya tinggi,

dan yang berpenghasilan tinggi. Sementara penduduk yang memiliki risiko finansial

besar dalam menanggung biaya kesehatan adalah penduduk yang tinggal di perdesaan,

yang pendidikan kepala rumah-tangganya rendah, dan yang berpenghasilan rendah.

Gambaran ini memperkuat perlunya cakupan asuransi yang bersifat universal dan wajib,

yang memungkinkan terjadinya subsidi silang (cross subsidy) antara mereka yang mampu

(dan karenanya risiko finansialnya kecil) terhadap mereka yang kurang mampu (sehingga

risiko finansialnya besar).

Kemauan Membayar Pelayanan Kesehatan Kemauan membayar (Willingness to pay = WTP) disini diartikan maximum

actual payment yaitu jumlah tertinggi yang secara nyata telah dibayarkan masyarakat

terhadap pelayanan kesehatan (rawat jalan dan rawat inap) yang mereka peroleh. Secara

keseluruhan besarnya WTP masyarakat untuk pelayanan rawat jalan menurut Susenas

1998 adalah Rp 324.000,-. Sedangkan WTP untuk pelayanan rawat inap adalah sebesar

60 juta rupiah. WTP sebesar Rp 324.000,- untuk rawat jalan dan 60 juta rupiah untuk

rawat inap tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata ATP mereka.

Jika dilihat dari perbedaan menurut kelompok penghasilan tampak bahwa

besarnya WTP tidak berkaitan secara konsisten dengan besarnya pendapatan rumah-

tangga. Rumah-tangga yang berpenghasilan besar tidak selalu memiliki WTP lebih besar.

Misalnya, WTP rumah-tangga kelompok pendapatan decile 5 lebih besar dibandingkan

dengan kelompok decile 6, decile 7, dan decile 8.

Tidak konsistennya hubungan WTP dengan penghasilan rumah-tangga tersebut

sejalan dengan sifat inelastis dari komoditas kesehatan. Pada komoditas yang bersifat

inelastis, persentase perubahan harga lebih besar dibandingkan dengan persentase

perubahan jumlah barang yang diminta. Sifat pelayanan kesehatan yang dapat

dikategorikan sebagai barang primer (essential goods) memungkinkan seseorang untuk

terus-menerus berusaha memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatannya, berapapun biaya

yang harus dikeluarkan. Dalam dunia kesehatan ada fenomena yang dikenal sebagai the

law of medical money, dimana upaya mencari pelayanan kesehatan akan terus dilakukan

sampai dana yang tersedia habis. Jika biaya kesehatan tidak dapat ditutupi oleh

Page 55: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 54

penghasilan sebulan, maka kekurangannya akan ditutup dari tabungan. Jika dana

tabungan masih juga kurang, maka mereka akan berusaha menjual aset-aset yang dimiliki

atau mencari pinjaman dari kerabat/orang lain. Dalam kaitan itulah, maka bisa dipahami

jika WTP pelayanan kesehatan lebih besar dibandingkan dengan kemampuan membayar

(ATP).

Perbedaan WTP menurut jenis pekerjaan penduduk. Dari tabel tersebut tampak

bahwa pegawai negeri memiliki WTP tertinggi, baik untuk rawat jalan maupun rawat

inap. Sedangkan kelompok yang memiliki WTP paling rendah adalah petani, baik untuk

rawat jalan maupun rawat inap. Perbedaan WTP rumah-tangga menurut wilayah/propinsi.

WTP untuk pelayanan rawat inap tertinggi adalah di wilayah DKI Jakarta/Jawa Barat (60

juta rupiah), sedangkan yang terendah adalah di wilayah Maluku dan Irian Jaya.

Demikian halnya dengan WTP untuk rawat jalan terendah juga terdapat di Maluku dan

Irian Jaya. Sementara, WTP terendah baik untuk pelayanan rawat jalan maupun rawat

inap, jika dilihat dari pendidikan kepala rumah-tangga adalah yang tidak sekolah atau

tidak tamat SD.

Target Peserta Jaminan Kesehatan Salah satu hal yang juga amat penting untuk diperhatikan dalam upaya

pengembangan jaminan kesehatan adalah berkaitan dengan jumlah dan karakteristik

peserta yang akan dijadikan sebagai sasaran. Berapkah jumlah penduduk yang hendak

dicakup dalam sistem jaminan kesehatan dan dimana mereka berada? Bagaimana

karakteristik mereka, seberapa besar di antara mereka yang termasuk dalam kelompok

terorganisir dan berapa yang termasuk dalam kelompok tidak terorganisir? Pertanyaan

tersebut penting artinya karena terorganisir-tidaknya masyarakat akan berpengaruh pada

mudah-tidaknya pencapaian target pengembangan jaminan kesehatan.

Jumlah target peserta jaminan kesehatan menurut data Susenas 1995 dan 1998.

Berdasarkan Susenas 1998 jumlah penduduk yang dapat dijadikan sebagai target peserta

jaminan kesehatan sebanyak 202,6 juta. Jika dilihat dari jenis pekerjaan mereka, dari

jumlah tersebut hanya sekitar sepertiga (31,8 persen) yang merupakan kelompok

Page 56: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 55

terorganisir1. Jangkauan kepesertaan jaminan kesehatan kepada mereka (yang bekerja

sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta) relatif lebih mudah dibandingkan dengan

jangkauan kepesertaan kepada kelompok masyarakat lainnya. Sebagian besar target

peserta (68,2 persen) merupakan kelompok tidak terorganisir dimana mereka bekerja

sebagai petani (30,1 persen), pedagang (11,3 persen), dan jenis pekerjaan lainnya (26

persen). Besarnya kelompok masyarakat yang tidak terorganisir ini menunjukkan

besarnya tantangan yang dihadapi dalam upaya pengembangan jaminan kesehatan.

Tantangan tersebut terutama berkaitan dengan cara pengumpulan premi (iuran).

Pengumpulan iuran dari kelompok yang tidak terorganisir lebih sulit dibandingkan

dengan pengumpulan iuran dari kelompok terorganisir.

Dimanakah target peserta berada? Sebagaimana distribusi penduduk Indonesia,

target peserta jaminan kesehatan juga sebagian besar tersebar di Pulau Jawa (58,7 persen)

dan Sumatera (21,1 persen). Sebagian besar (64,3 persen) dari mereka juga tinggal di

perdesaan dan sebagian besar (76 persen) berpendidikan SD ke bawah. Banyaknya

penduduk yang tinggal di daerah perdesaan dan berpendidikan rendah tersebut

merupakan tantangan lain yang dihadapi dalam upaya pengembangan jaminan kesehatan

di Indonesia.

1Penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta diasumsikan sebagai kelompok terorganisir, sebab mereka bekerja pada sebuah unit usaha yang memiliki bentuk organisasi yang jelas.

Page 57: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 56

Bab III Masalah Asuransi Kesehatan Indonesia

Untuk dapat menilai keadaan sekarang tentang penyelenggaraan jaminan

kesehatan, baik berbentuk JPKM maupun asuransi kesehatan pada umumnya, berbagai

analisis dan telaah literatur perlu dibahas secara komprehensif. Di dalam bab ini akan

disajikan suatu rangkuman analisis yang menelaah kondisi kebutuhan jaminan, berbagai

skema jaminan kesehatan di Indonesia, tujuan dan keinginan berbagai pihak terkait

(stakeholders), berbagai pengalaman negara lain, pelajaran yang dapat dipetik dari negara

lain, dan keselarasan antara tujuan dan keinginan yang hendak dicapai dalam bidang

kesehatan dengan sistem asuransi kesehatan yang ada. Departemen kesehatan dalam

dokumen Indonesia Sehat 2010 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah memberikan

jaminan kesehatan kepada seluruh lapisan penduduk secara adil dan merata.9 Cakupan

terhadap seluruh penduduk atau yang dikenal sebagai cakupan Universal memang

merupakan tujuan pembiayaan kesehatan semua negara di dunia. Organisasi Kesehatan

Dunia dalam World Health Report 2000 bahkan sudah mencantumkan proporsi penduduk

yang dicakup asuransi kesehatan yang disebut prepaid system ke dalam salah satu

indikator untuk menilai kinerja sistem kesehatan negara-negara anggotanya.10 Oleh

karenanya, pada bab ini akan dibahas skenario apakah tujuan cakupan universal tersebut

dapat dicapai jika kondisi sekarang akan terus berlangsung.

Kebutuhan asuransi kesehatan Kebutuhan akan jaminan kesehatan sangat jelas terlihat dari data angka

pemanfaatan (utilisasi) pelayanan kesehatan di fasilitas publik (seperti puskesmas dan

rumah sakit umum pemerintah) maupun swasta baik dari data Susenas 1995 maupun dari

data Susenas 1998. Golongan berpendapatan rendah, baik yang bekerja pada sektor

formal maupun informal, memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang jauh lebih

rendah dibandingkan dengan akses golongan berpendapatan tinggi. Kesenjangan tersebut

lebih terasa lagi pada akses rawat inap. Akses terhadap rawat inap penduduk termiskin

adalah hanya 15-20% dibandingkan dengan akses rawat inap penduduk 10% terkaya. Hal

Page 58: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 57

ini menunjukkan bahwa hambatan finansial masih sangat besar peranannya. Ada yang

berpendapat bahwa hal itu sebenarnya tidak terjadi karena pemerintah telah memberikan

subsidi kepada rumah sakit umum daerah maupun pusat, khususnya untuk perawatan

kelas III. Akan tetapi fakta yang dapat diperoleh dari berbagai survei nasional maupun

lokal menunjukkan terdapat kesenjangan akses yang konsisten yang menunjukkan

besarnya hambatan finansial. Subsidi pemerintah ke rumah sakit tidak membebaskan

orang miskin dari seluruh biaya perawatan termasuk biaya obat dan tindakan lainnya.

Program JPSBK yang memberikan dana pengaman sosial melalui subsidi bantuan dana

operasional rumah sakit (OPRS) yang dapat digunakan untuk membantu pasien yang

tidak mampu, belum memadai untuk menjamin mereka yang tidak mampu dapat terbebas

dari biaya rawat inap yang mencekik. Lagi pula, program JPSBK merupakan program

temporer yang belum jelas kesinambungannya.

Beban biaya rawat inap terasa sangat besar, tidak bagi pada kelompok penduduk

termiskin, akan tetapi bagi penduduk yang relatif mampu sekalipun. Jika suatu penyakit

menimpa salah seroang anggota keluara, sebuah keluarga harus mengeluarkan biaya

rawat inap yang lebih besar dari seluruh pengeluaran/ pendapatan rumah tangga sebulan.

Beban biaya rawat inap yang diukur dengan besarnya rata-rata biaya per kali rawat inap

dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran rumah tangga (sebagai proksi terhadap

pendapatan) dapat dilihat pada gambar 3.1 di bawah ini. Dari gambar tersebut tampak

bahwa pada semua golongan penghasilan, pengeluaran rutin rumah tangga sebulan tidak

memadai untuk membayar rawat inap jika salah seorang anggota keluarganya harus

menjalani rawat inap. Rumah tangga akan menghabiskan tabungannya, menjual harta

benda, meminjam, atau harus mencari bantuan orang lain. Pada kelompok desil I (10%

termiskin) beban tersebut jauh lebih besar (2,3 kali belanja rutin rumah tangga sebulan)

dibandingkan dengan beban biaya rawat inap bagi kelompok lainnya yang rata-rata hanya

sedikit lebih tinggi dari belanja sebulan.

Kesenjangan akses dan konsumsi pelayanan rawat jalan memang masih terjadi

antara yang kaya dan yang miskin dan antara berbagai golongan pekerjaan penduduk.

Namun demikian perbedaan akses dan konsumsi rawat jalan tidaklah sebesar perbedaan

akses dan konsumsi rawat inap. Hal ini dapat terjadi karena pelayanan kesehatan di

puskesmas dan puskesmas pembantu telah disediakan dengan harga subsidi dan dengan

Page 59: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 58

obat yang cuma-cuma (obat inpres) yang mudah diakses penduduk kota dan desa. Lagi

pula, biaya rawat jalan di praktek dokter atau klinik swasta sekalipun relatif masih bisa

dijangkau oleh penduduk miskin atau marjinal. Jika mereka tidak mampu membayar jasa

dokter dan obat di fasilitas swasta, fasilitas puskesmas pembantu dan puskesmas dapat

menyediakan pelayanan substitusi dengan harga sangat terjangkau. Besarnya rata-rata

biaya rawat jalan dibandingkan dengan biaya rutin rumah tangga relatif kecil, hanya

berkisar antara 5-7% dari pengeluaran total rumah tangga sebulan. Apabila terjadi

kebutuhan rawat jalan, rumah tangga masih mampu membiayainya tanpa merusak

ekonomi atau belanja rutin rumah tangga. Hal ini tidak terjadi pada pelayanan rawat inap,

dimana obat inpres hampir tidak tersedia dan berbagai pemeriksaan penunjang medis

masih harus dibayar sendiri oleh penduduk miskin sekalipun. Data dari Susenas

menunjukkan bahwa jika terjadi kebutuhan rawat inap, rata-rata rumah tangga Indonesia

harus mengelurkan 100-230% dari pengeluaran rutin sebulan. Hal ini berarti, jika tidak

ada bantuan dana dari pihak lain, sebuah rumah tangga akan kehilangan uang untuk

belanja makan dan belanja rutin lainnya untuk seluruh anggota keluarga selama satu

sampai dua bulan. Keadaan ini dapat menghancurkan kehidupan sebuah rumah tangga,

jika tidak segera diselenggarakan sistem asuransi kesehatan yang memadai.

Gambar 3.1

Beban biaya rawat inap terhadap Pengeluaran rumah tangga Sebulan, 1998

0

0,5

1

1,5

2

2,5

Kal

i

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Kelompok Pendapatan dalam Desil

Page 60: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 59

Beratnya beban rawat inap ini tidak hanya tampak dari data kuantitatif akan tetapi

sudah sangat dirasakan oleh penduduk. Hal ini tercermin dari ungkapan sebagian besar

peserta diskusi kelompok terarah yang memperkuat bahwa seharusnya asuransi kesehatan

atau bantuan sosial diprioritaskan pada rawat inap dan berbagai pengobatan atau tindakan

medis mahal (major medical, catastrophic illnesses, atau dread diseases). Hal ini

memang sesuai dengan teori asuransi atau teori utilitas dimana kemauan masyarakat

untuk berkontribusi dalam suatu skema asuransi dapat terjadi pada kejadian yang

memiliki resiko finansial besar. Sedangkan kejadian yang memiliki resiko finansial kecil

tidak layak untuk dimobilisir dalam bentuk asuransi sosial maupun komersial.

Cakupan Asuransi Kesehatan Cakupan asuransi kesehatan di Indonesia, dalam berbagai bentuk masih sangat

kecil yaitu berkisar 15% dari seluruh penduduk. Hasil studi Thabrany dan Pujianto

dengan menggunakan data Susenas menunjukkan bahwa hanya 14,05% penduduk yang

memiliki jaminan di tahun 1998. Jumlah inipun sebenarnya boleh dikatakan lebih banyak

dari yang sebenarnya jika diperhatikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak seluruhnya

menanggung risiko berat penduduk. Mereka yang mempunyai jaminan melalui dana

sehat misalnya tidak mendapat jaminan yang memadai. Bahkan jaminan Askes yang

diberikan PT Askes masih mengharuskan pesertanya membayar cukup besar. Sementara

pelayanan yang disedikan pemerintah melalui puskesmas dan rumah sakit umum juga

masih membebani masyarakat. Oleh karenanya tantangan di depan sangat besar bagi

Indonesia. Negara tetangga kita seperti Filipina dan Muangtai telah mencapai cakupan 60

dan 70% penduduknya dengan jaminan yang lebih baik.

Page 61: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 60

Tabel 3.2.

Cakupan Asuransi Kesehatan menurut data Susenas 1998.

Punya asuransi

(%)

Dana/ Kartu Sehat (%)

Tidak punya asuransi (%)

Total (%)

JENDER Laki-laki 12,74 1,85 85,41 100,00Perempuan 11,65 1,87 86,48 100,00UMUR 0-4 9,46 2,02 88,53 100,005 -18 10,45 2,05 87,50 100,0019-54 14,52 1,61 83,87 100,0055+ 9,14 2,32 88,54 100,00PENDIDIKAN AYAH

SD 5,09 1,96 92,95 100,00SLTP 18,75 1,53 79,72 100,00SLTA 43,49 1,39 55,12 100,00D1-S3 69,85 0,83 29,32 100,00PENDAPATAN Desile-1 3,60 2,36 94,04 100,00Desile-2 5,59 1,68 92,73 100,00Desile-3 6,26 1,77 91,98 100,00Desile-4 8,72 1,78 89,50 100,00Desile-5 10,81 1,72 87,46 100,00Desile-6 12,92 1,95 85,14 100,00Desile-7 15,92 1,69 82,39 100,00Desile-8 17,52 1,95 80,53 100,00Desile-9 22,62 1,79 75,59 100,00Desile-10 29,20 1,84 68,96 100,00TEMPAT TINGGAL

Kota 21,73 1,42 76,85 100,00Desa 6,32

2,14 1,54 100,00

NASIONAL 12,19 1,86 85,95 100,00Sumber: Thabrany H dan Pujianto, MKI 2000

Page 62: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 61

Kesenjangan akses karena faktor finansial Jika diperhatikan akses rawat inap di berbagai golongan pendapatan, maka sangat

jelas bahwa terdapat kesenjangan besar terhadap angka/akses rawat inap. Penduduk

miskin memiliki akses rawat inap di rumah sakit umum maupun di rumah sakit swasta

jauh lebih kecil dibandingkan dengan akses rawat inap bagi golongan mampu. Angka

rawat inap (jumlah orang dirawat per 1000 penduduk) dan angka hari rawat (jumlah hari

rawat per 1000 penduduk) menunjukkan bahwa meskipun subsidi pemerintah telah

diberikan kepada RSUD dan RSUP hambatan finansial masih menjadi faktor utama

dalam pemenuhan kebutuhan medis golongan ekonomi rendah. Fakta ini sekaligus

membantah sinyalemen seorang konsultan Amerika11 yang menyatakan bahwa saat ini

Indonesia sudah memiliki asuransi kesehatan nasional sedangkan tarif retribusi yang

dibayar penduduk merupakan copayment dalam model HMO. Copayment merupakan

pembayaran biaya yang kecil dan tetap yang sangat ringan tanpa melihat beban biaya

seluruhnya. Di Indonesia, penduduk harus membayar beban biaya yang amat besar jika ia

sakit. Hal ini menunjukkan tidak adanya jaminan kesehatan yang melindungi penduduk

terhadap pengeluaran biaya besar untuk pengobatan penyakitnya. Beban biaya penduduk

pada waktu memerlukan pengobatan dan perawatan, khususnya rawat inap dan kasus-

kasus mahal masih sangat besar.

Kesenjangan tersebut masih tetap ada akan tetapi semakin kecil pada kelompok

yang memiliki asuransi kesehatan seperti kelompok pegawai negeri dan pegawai swasta

yang mendapat jaminan kesehatan, baik melalui perusahaan asuransi maupun melalui PT

Jamsostek. Hal ini telah dibuktikan melalui berbagai studi yang dilakukan oleh Thabrany

(1995)12, Getler et al (1994)13, Melnick et al (1996)14, Suwondo (1997)15, dan Thabrany

dan Pujianto (2000) yang menunjukkan bahwa akses terhadap rawat jalan dan rawat inap

bagi yang memiliki asuransi kesehatan lebih tinggi dari yang tidak memiliki. Memang

hambatan finansial bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi akses dan

konsumsi rawat jalan dan rawat inap, namun perannya sangat besar di dalam sistem

kesehatan Indonesia.

Oleh karena saat ini masalah utama yang dihadapi penduduk Indonesia adalah

Page 63: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 62

hambatan finansial, maka harus diupayakan suatu sitem pembiayaan yang dapat

menghilangkan hambatan tersebut. Kebutuhan akan sistem pembiayaan yang egaliter,

sudah dirasakan sejak lama di lingkungan kesehatan maupun di luar kesehatan. Di

lingkungan kesehatan, dapat kita baca berbagai publikasi Departemen Kesehatan dari

mulai Sistem Kesehatan Nasional di awal tahun 1980an sampai dokumen Indonesia Sehat

2010 (Depkes, 2000)16. Dengan keterbatasan dana pemerintah dan keinginan agar setiap

penduduk mengambil peran dalam pembiayaan pelayanan kesehatan, maka hanya sistem

asuransilah yang dapat mengurangi kesenjangan diatas. Kebutuhan asuransi kesehatan

dirasakan pada semua kelompok pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan. Sesuai dengan

ideologi bangsa yang menginginkan adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia dan kemanusiaan yang adil dan beradab, sistem asuransi yang tepat untuk

mengurangi atau menghilangkan kesenjangan tersebut adalah sistem asuransi sosial

kesehatan.

Kebutuhan akan asuransi kesehatan tidak selalu diiringi oleh permintaan asuransi

kesehatan, meskipun secara potensial untuk penyakit yang memiliki resiko finansial besar

permintaan akan asuransi kesehatan dapat tumbuh. Dalam prakteknya, negara-negara

maju yang telah menyelenggarakan asuransi kesehatan secara luas tidak mengandalkan

pada permintaan (demand) akan tetapi lebih melihat pada kebutuhan (needs). Itulah

sebabnya bentuk asuransi kesehatan yang dilaksanakan di semua negara maju (kecuali

Amerika) adalah asuransi kesehatan sosial. Karena besarnya kesenjangan informasi,

maka biasanya permintaan asuransi kesehatan jauh lebih kecil dari kebutuhan. Oleh sebab

itu, apabila suatu negara mengandalkan tumbuhnya permintaan yang dapat dipenuhi

melalui penawaran asuransi kesehatan secara sukarela (komersial), maka asuransi

kesehatan hanya akan menjangkau sebagian kecil masyarakat.

Di Indonesia kini terdapat berbagai bentuk asuransi kesehatan yang masing-

masing mempunyai keunggulan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan masing-

masing sistem jaminan tersebut, ditinjau dari aspek pemerataan keadilan (equity),

efisiensi, mutu, dan sustainabilitas dapat dilihat dari matriks berikut ini.

Page 64: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 63

Matriks Evaluasi berbagai bentuk asuransi kesehatan di Indonesia

No Elemen JPKM pola sekarang (komersial) dan asuransi kesehatan komersial lainnya

JPK PNS JPK Jamsostek

1 Apakah equity dapat tercpai jika sistem terkait berkembang dan mendominasi asuransi kesehatan di Indonesia?

Tidak dapat tercapai ∗ Untuk paket yang sama, beban premi bagi

yang lebih miskin lebih berat karena besarnya premi sama bagi yang miskin maupun yang kaya yang dihitung berdasarkan resiko di dalam paket (risk based premium).

∗ Kepesertaan yang sukarela secara otomatis mengeluarkan (exclude) golongan ekonomi bawah dari kepesertaan, karena golongan ekonomi bawah tidak mampu membeli premi untuk suatu paket yang komprehensif.

Dapat tercapai tetapi kurang optimal ∗ Secara teoritis telah terdapat

elemen equity karena besarnya premi proporsional terhadap gaji pokok. Akan tetapi karena porsi gaji pokok untuk premi terhadap pendapatan (take home pay) jauh lebih kecil pada golongan III dan IV dibandingkan dengan golongan I dan II, maka beban premi terhadap pendapatan lebih besar pada golongan I dan II.

∗ Dari sisi rancang bangun, sudah lebih baik dan dapat memfasilitasi equity.

Dapat tercapai, kurang optimal ∗ Secara struktural elemen

equity telah masuk disini dengan premi proporsional terhadap upah (bukan gaji pokok). Namun karena adanya ceiling pendapatan Rp 1 juta dan opsi tidak ikut JPK, maka terjadi adverse selection yang membatasi subsidi silang pada kelompok bawah (gaji di bawah Rp 1 juta); sementara perusahaan yang membayar gaji rata-rata diatas Rp 1 juta memilih opt out dengan membeli askes komersial yang tidak bisa memberikan equity egaliter

2 Apakah rancangan paket jaminan dapat memenuhi kebutuhan kesehatan penduduk yang merupakan hak asasi penduduk?

∗ Secara teori paket JPKM harus komprehensif, tetapi dalam prakteknya pengertian komprehensif hanya basa-basi. Tidak ada produk JPKM yang benar-benar komprehensif

∗ Paket yang ditawarkan oleh para bapel berijin adalah paket yang memiliki limit pelayanan/biaya rendah atau banyak eksklusi. Tidak banyak beda dengan paket Askes tradisional, kecuali bahwa disini digunakan sisem locked in. Biaya medis besar justeru tidak ditanggung sehingga tidak memungkinan peserta mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya, justeru pada saat mereka tidak mampu membiayai sendiri.

∗ Paket yang diberikan jauh lebih komprehensif dari yang lain, meskipun dalam prakteknya pelayanan promotif dan preventif masih minimal.

∗ Kini mulai diterapkan iur biaya (cost sharing) yang dapat diterima untuk efisiensi, tetapi dapat memberatkan peserta karena tidak ada maksimum iur biaya

∗ Karena pelayanan dengan sistem locked in/closed panel, anggota yang tinggal di pedalaman tidak mendapatkan akses yang sama dengan yang tinggal di kota,

∗ Paket yang diberikan lebih terbatas dibandingkan dengan paket JPK PNS. Hal ini menimbulkan inequity ketika anggota menderita, misalnya, gagal ginjal atau kanker, maka beban biaya anggota tersebut menjadi besar sekali karena harus membayar dari kantong sendiri.

∗ Sistem closed panel juga menghambat anggota yang tinggal di tempat terpencil untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan medisnya, meskipun mereka membayar premi yang sama.

Page 65: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 64

∗ Paket asuransi kesehatan tradisional umumnya terbatas sesuai dengan permintaan pasar, yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis

meskipun mereka membayar premi yang sama.

No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya

JPK PNS JPK Jamsostek

3 Pembatasan paket

∗ Dalam teori tidak boleh ada. Dalam praktek, batasannya sangat bervariasi dari yang sangat rendah sampai cukup tinggi. Dalam Permenkes 527, justeru paket jaminan rawat inap disebutkan 5 hari.

∗ Paket askes tradisional memang tidak harus komprehensif, akan tetapi ada yang menjual paket komprehensif dengan berbagai limitasi. Sering batas maksimum ditetapkan sebagai besar biaya yang ditanggung

∗ Ada masalah batasan anak kedua dan usia anak yang ditanggung tanpa klausul pengecualian. Jika anggota keluarga pada saat itu sedang membutuhkan pelayanan medik yang mahal, misalnya menderita gagal ginjal atau mengalami persalinan patologis, beban biaya menjadi sangat berat untuk peserta.

∗ Di era otonomi daerah, RS dibernarkan menarik selisih biaya yang ditanggung dan yang ditagih RS. Jumlah biaya sendiri bisa menjadi lebih besar dari yang ditanggung

∗ Pembatasan lebih banyak dibangingkan dengan paket Askes: batas rawat inap 60 hari, tidak menanggung hemodialisis dan pengobatan kanker.

∗ Usia pensiun tidak ditanggung justeru pada saat tenaga kerja tidak sanggup menanggung sendiri biaya pengobatan karena telah pensiunan.

∗ Sama dengan Askes, ada batasan anak 3 dan usia anak yang ditanggng tanpa pengecualian

4 Apakah terdapat akses merata pada anggota untuk mendapatkan pelayanan di fasilitas PPK yang memadai kualitas dan jenis pelayanannya

∗ Umumnya yang dijual bapel berijin berada di kota besar (mengambil perushaan yang opt-out JPK Jamsostek). Jadi akses relatif sama bagi semua anggota.

∗ Asuransi kesehatan tradisional pada umumnya juga memfokuskan pada pasar di kota besar. Selain itu, biasanya asuransi kesehatan tradisional tidak memberikan batasan PPK, karena peserta bebas memilih PPK yang disukai/kehendaki

∗ Terdapat perbedaan akses yang besar antara mereka yang tinggal di perkotaan/kota besar dan yang tinggal di kota kecil karena tidak meratanya fasilitas di seluruh wilayah.

∗ Akses relatif tidak merata karena sebaran fasilitas yang tidak merata. Namun karena kebanyakan perusahaan berada di daerah perkotaan maka perbedaan akses relatif tidak sebesar perbedaan akses bagi peserta JPK PNS

Page 66: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 65

No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya

JPK PNS JPK Jamsostek

5 Efisiensi makro/alokatif. Jika sistem ini berkembang, apakah secara nasional kita dapat mengendalikan biaya kesehatan?

∗ Model ini tidak akan menghasilkan efisiensi makro.

∗ Bapel JPKM dan asuradur yang banyak dan for profit akan berkompetisi merancang dan menjual produk yang paling menguntungkan. Biaya riset, pemasaran, dan tuntutan laba menyebabkan biaya premi akan mahal.

∗ Pooling yang relatif kecil (karena produk yang bervariasi dan hasil jual yang kecil) menyebabkan biaya profit margin dan contigency margin menjadi besar.17

∗ Secara Nasional pola ini dapat menciptakan efisiensi makro. Kepesertaan wajib meniadakan biaya rancang produk dan pemasaran.

∗ Pooling yang besar (13,8 juta anggota) sehingga porsi biaya administrasi berpotensi relatif kecil.

∗ Pool yang besar memungkinkan (jika pola ini diterapkan secara regional dengan pangsa yang besar) bapel menjadi price leader yang dapat menekan harga.

∗ Secara Nasional pola ini dapat menciptakan efisiensi makro. Kepesertaan wajib meniadakan biaya rancang produk dan pemasaran.

∗ Pooling yang besar (potensi 100 juta anggota) sehingga porsi biaya administrasi berpotensi relatif kecil.

∗ Pool yang besar memungkinkan (jika pola ini diterapkan secara regional dengan pangsa yang besar) bapel menjadi price leader yang dapat menekan harga.

Efisiensi mikro/teknis

Model pembayaran kapitasi pada JPKM secara potensial dapat meningkatkan efisiensi mikro dibandingkan dengan pembayaran per pelayanan (fee for service) tanpa regulasi tarif. Namun dibandingkan dengan sistem asuransi sosial efisiensi ini tidak lebih tinggi18 karena tidak kuatnya efek price leader

Model pembayaran kapitasi secara potensial dapat meningkatkan efisiensi mikro dibandingkan dengan pembayaran per pelayanan (fee for service) tanpa regulasi tarif. Ditambah dengan regulasi tarif dan bentuk asuransi sosial, model ini sangat menjanjikan efisiensi tertinggi akan tetapi perlu berbagai perbaikan. Ini adalah model managed social health insurance/ social managed care

Model pembayaran kapitasi secara potensial dapat meningkatkan efisiensi mikro dibandingkan dengan pembayaran per pelayanan (fee for service) tanpa regulasi tarif. Dengan kombinasi sifat asuransi sosial, model ini menjanjikan efisiensi tertinggi. Seperti juga JPK PNS model ini adalah model managed social health insurance/social managed care.

Efisiensi alokatif dalam bapel/asuradur

Secara teori JPKM menekankan pada aspek promotif dan preventif, yang sifatnya personal sehingga meningkatkan efisiensi alokatif. Tantangannya adalah prilaku masyarakat yang

Secara teori menekankan pada aspek promotif dan preventif, yang sifatnya personal sehingga meningkatkan efisiensi alokatif. Dalam praktek, hal

Secara teori menekankan pada aspek promotif dan preventif, yang sifatnya personal sehingga meningkatkan efisiensi alokatif. Dalam praktek, hal

Page 67: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 66

belum sadar pencegahan dalam hal ini dan keperluan mendesak jaminan pengobatan

ini belum dilaksanakan secara terstruktur. Tantangannya adalah prilaku masyarakat yang belum sadar pencegahan

ini belum dilaksanakan secara terstruktur. Tantangannya adalah prilaku masyarakat yang belum sadar pencegahan

No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya

JPK PNS JPK Jamsostek

Kualitas Secara teori, pelayanan yang diberikan JPKM haruslah berkualitas. Dalam praktek, khususnya dalam bapel percontohan, menggunakan puskesmas dan RSU yang oleh masyarakat menengah dinilai inferior. Akibatnya, JPKM menimbulkan stigma sistem pelayanan kelas rendah (inferior goods) dan karenanya tidak menarik kelas menengah keatas19. Bapel JPKM swasta menggunakan dokter partikelir dan rumah sakit yang cukup memadai mutunya. Demikian juga dengan askes tradisional

Keharusan menggunakan puskesmas sebagai gate keeper menimbulkan rendahnya pemanfaatan rawat jalan, kecuali untuk minta rujukan. Kini sedang diuji coba penggunaan dokter partikelir yang dapat meningkatkan persepsi terhadap mutu. Akan tetapi hal ini akan meningkatkan biaya, relatif terhadap biaya puskesmas. Secara umum mutu pelayanan medis dipersepsi masih belum memuaskan.20

Tidak ada keharusan menggunakan puskesmas dan tidak ada standar tarif. Akan tetapi karena rendahnya besaran premi yang dikumpulkan, besaran kapitasi yang kecil lebih banyak menarik dokter yunior. Dengan demikian PPK I JPK ini lebih bermutu dibandingkan dengan JPK PNS dan percontohan JPKM. Namun secara umum, masih dipersepsi belum memenuhi standar kelas menengah (kepesertaan masih sangat terbatas)21.

Sustainabilitas bapel

Sustainabilitas sangat beragam. Sustainabilitas dapat dinilai dari paket yang memenuhi kebutuhan, pembayaran PPK yang wajar, kualifikasi tenaga, permodalan, dan cara pengumpulan premi otomatis dari pekerjaan yang sinambung. JPKM di daerah, atau yang diusahakan JPSBK, tidak sustainabel. JPKM swasta relatif lebih sustainabel, tetapi sulit untuk jangka panjang karena modal mereka umumnya relatif kecil.

Sustainabilitas tinggi karena dijamin/dimiliki pemerintah. Akan tetapi bentuk PT Persero tidak sesuai dengan misi dan tujuan asuransi sosial. Perlu perombakan menjadi bapel nirlaba.

Sustainabilitas sedang karena adanya ancaman adverse selection tetapi dimiliki pemerintah. Seperti juga pada PT Askes, bentuk PT Persero tidak sesuai dengan tujuan dan misi asuransi sosial yang diemban PT Jamsostek.

` Sustainabilitas, paket

Bervariasi dari yang sangat inferior (tidak sustainabel) ke yang relatif baik. Askes tradisional cukup memenuhi kebutuhan

Memenuhi kebutuhan medis. Sustainabel, tetapi kualitas pelayanan perlu ditingkatkan.

Memenuhi kebutuhan medis menengah, cukup sustainabel, tetapi mutu perlu ditingkatkan

Page 68: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 67

No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya

JPK PNS JPK Jamsostek

Sustainabilitas pembayaran PPK

Bervariasi dari yang tidak sustainabel (puskesmas) di desa, sampai yang relatif baik (di kota). Pembayaran yang kecil menyebabkan pelayanan tidak optimal dan pada akhirnya akan menurunkan persistensi. Askes tradisional cukup sustainbel karena mampu membayar PPK pada tarif pasar yang berlaku

Pembayaran kepada PPK pemerintah, khususnya, RS swadana yang sering dikeluhkan jauh di bawah cost, mengancam pelayanan yang bermutu. Meskipun untuk daerah kecil, pembayaran rumah sakit dapat lebih besar dari tarif Perda, kekecewaan RS swadana dapat membawa dampak lebih besar karena mereka lebih vokal. Sejauh privatisasi RSU tidak meluas dan tidak ada degradasi skema, sustainabilitas masih baik

Pembayaran PPK relatif lebih baik daripada JPK PNS. Namun demikian, JPK ini tidak mempunyai buying power yang sama kuat dengan JPK PNS. Sejauh kenaikan biaya PPK, baik dalam bentuk kapitasi atau FFS, sejalan dengan kenaikan upah, sustainabilitas masih cukup baik.

Sustainabilitas premi

Sistem sukarela yang dijual kepada perusahaan sebagai opsi JPK Jamsostek menjanjikan sustainbalitas yang mantap. Sistem sukarela yang dikembangkan sebagai uji coba, termasuk JPKM JPSBK tanpa target penduduk yang jelas, tidak sustainabel. Askes tradisional juga mengambil pasar tenaga kerja yang cukup sustainabel.

Pengmpulan premi otomatis oleh Departemen Keuangan menjanjikan sustainabilitas yang tinggi. Namun besarnya premi dan persepsi paket dan prosedur dapat mengancam sustainabilitas ini. Dengan kontribusi pemerintah, sesuai .

Pengumpulan premi melalui perusahaan menjanjikan sustainabilitas yang memadai. Namun biaya operasional pengumpulan premi ini relatif lebih tinggi dari JPK PNS. Paket dan prosedur yang belum memenuhi kebutuhan banyak tenaga kerja juga mengancam sustainabilitas

Page 69: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 68

No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya

JPK PNS JPK Jamsostek

Sustainabilitas tenaga

Hanya beberapa bapel JPKM yang telah memiliki tenaga yang pernah mengikuti pendidikan managed care HIAA. Sisanya ada yang memiliki tenaga lulusan D3 asuransi kesehatan FKMUI. Sebagian besar tidak memiliki tenaga yang mendapat pendidikan managed care yang memadai. Pelatihan yang diberikan oleh Depkes, tidak memadai untuk membekali pengelola dengan baik.

Banyak tenaga profesional yang telah mendapat pelatihan asuransi kesehatan komersial maupun sosial di dalam dan di luar negeri. Banyak di antara mereka yang telah memperoleh sertifikat Managed Healthcare Professional dari HIAA. Sistem ini paling sustainabel ditinjau dari kesiapan tenaga profesionalnya.

Sebagian tenaga profesi telah mendapatkan pelatihan atau pendidikan sistem jaminan sosial. Masih sangat sedikit yang memiliki pengetahuan khusus managed care. Namun demikian, perhatian perusahaan terhadap pengelolaan JPK tidak sebesar perhatiannya terhadap pengelolaan JHT. Sustainabilitas program ini cukup baik, tetapi kurang baik dibandingkan dengan JPK PNS.

Modal/aset/solvabilitas

Pada umumnya bapel-bapel berijin tidak memiliki modal dan aset yang memadai. Berbagai perusahaan asuransi yang menjual produk JPKM atau askes tradisional memiliki modal dan solvabilitas yang memadai.

Memiliki aset, modal, dan solvabilitas yang memadai. Sustainabilitas tinggi.

Memiliki aset, modal, dan solvabilitas yang memadai. Sustainabilitas tinggi.

Penjamin/reasuradur

Tidak ada reasuradur pada bapel JPKM. Hal in lebih mengancam sustainabilitas. Askes tradisional telah memiliki reasuradur yang memadai

Pemerintah sebagai penjamin. Akan tetapi tidak secara spesifik bersifat sebagai reasuradur. Karena volume besar, tanpa asuradur sebenarnya JPK PNS cukup memadai

Pemerintah. Tetapi pemerintah tidak secara spesifik sebagai reasuradur. Sustainabilitas tidak sebaik JPK PNS karena volume anggota yang masih kecil

Page 70: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 69

No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya

JPK PNS JPK Jamsostek

Portabilitas Tidak ada sama sekali. Hal ini memberatkan peserta yang pindah tempat atau pindah kerja

Ada. Hanya memerlukan prosedur administrasi tertentu

Tidak tentu. Jika anggota pindah kerja dan majikan baru mendaftarkannya pada Jamsostek, ada portabilitas. Jika tidak, jaminan terputus.

Page 71: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 70

Prediksi ke depan Sustainabilitas Sustainabilitas penyelenggaraan JPKM yang sekarang telah berlangsung, sangat

bervariasi karena variasi modal dan paket yang ditawarkan. Pada berbagai percontohan

bapel JPKM, seperti proyek Klaten dan Magetan, paket yang ditawarkan terlalu

sederhana dan tidak memenuhi kebutuhan kesehatan penduduk sehingga menjadi produk

inferior dan tidak menarik masyarakat. Bahkan berbagai proyek percontohan tersebut

melaksanakan JPKM tidak sesuai dengan Permenkes sehingga menurunkan citra JPKM

itu sendiri. Konsep paket komprehensif yang dijadikan patokan perbedaan dengan askes

tradisional sama sekali tidak tampak. Yang ada justeru paket di bawah standar yang

hanya menanggung rawat jalan di puskesmas dan bantuan biaya perawatan yang sifatnya

indemniti. Penerapan proyek seperti ini justeru mengancam sustainabilitas proyek dan

program JPKM itu sendiri.

Berbagai bapel JPKM berijin, khususnya yang beroperasi di kota besar seperti

Jakarta mampu membuat produk yang lebih realistis dan memenuhi kebutuhan

masyarakat pengusaha. Akan tetapi pasar yang diambil adalah pasar JPK Jamsostek.

Tanpa adanya UU Jamsostek, bapel inipun mungkin akan sulit berkembang. Apabila PP

tentang Jamsostek diubah dan kesempatan opt out ditiadakan, maka para bapel JPKM

terancam runtuh karena tidak ada pangsa pasar lagi.

Volume anggota yang kecil yang disebabkan karena tidak fahamnya pengelola

akan pasar asuransi kesehatan, tidak satupun bapel mampu membayar PPK hanya dengan

kapitasi sebagaimana disyaratkan oleh Permenkes. Sehingga sampai saat ini konsep

managed care dengan pembayaran kapitasi yang secara teoritis menjanjikan efisiensi,

belum bisa dibuktikan oleh penyelenggaraan JPKM yang sekarang berlangsung. Hal ini

menimbulkan skeptisisme tentang kesinambungan konsep JPKM. Lagi pula pembayaran

kapitasi model managed care Amerika tidak banyak dilakukan di Amerika, karena

memang tidak disukai peserta dan PPK. Dalam rancangan UU JPKM yang baru,

penyelenggaraan JPKM akan berubah besar. Hal ini akan dibahas kemudian.

Pada umumnya dalam menetapkan premi para bapel tidak ditetapkannya secara

cermat dan berdasarkan perhitungan aktuarial yang memadai. Kesepatakan harga premi,

Page 72: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 71

tidak bisa dilakukan berdasarkan tarif komunitas, akan tetapi lebih merupakan hasil

negosiasi kepada perusahaan, seperti halnya penyelenggaraan askes tradisional.

Hambatan utamanya adalah tiadanya data yang terkumpul berdasarkan pengalaman

individual bapel maupun gabungan bapel secara kolektif. Meskipun data kolektif dapat

dikumpulkan, ketidak-sebandingan paket menyebabkan penggabungan data pengalaman

tidak ada artinya bagi perhitungan premi. Pada berbagai percontohan dan program yang

diklaim sebagai JPKM, meskipun sebenarnya merupakan program dana sehat, premi

ditetapkan terlalu kecil berdasarkan pendapat ‘politis’. Penggunaan pendapat ‘politis’

untuk suatu program yang berbasis ekonomi tentu saja tidak tepat dan menimbulkan

kekacauan manajemen. Oleh karenanya, program-program tersebut kemudian tidak

mampu melaksanakan kewajibannya. Bahkan kini sebuah bapel berijin di Jakarta sedang

menghadai tuntutan hukum karena tidak mampu membayar kewajibannya kepada rumah

sakit. Kegagalan semacam ini mengancam sustainabilitas bapel bahkan sustainabilitas

program JPKM secara keseluruhan.

Modal yang dimiliki para bapel pada umumnya sangat kecil sehingga tidak

mampu menghadapi pasang surut pasar dan utilisasi. Dari 20 bapel yang berijin dana

deposito yang disetor sebagai jaminan hanya sebesar Rp 1,14 milyar.xxii Dengan mengacu

standar Permenkes yang mengharuskan menyetor dana 25% kebutuhan operasional

setahun dan dana pembayaran PPK selama 3 bulan, berarti bahwa rata-rata tiap bapel

hanya memiliki anggaran operasional sekitar Rp 200 juta setahun. Dengan jumlah pesera

pada awalnya permohonan ijin yang hanya 140 ribuan, berarti tiap bapel rata-rata hanya

memiliki 7.000 anggota, suatu jumlah yang sangat kecil untuk bertahan dalam bisnis

jaminan kesehatan. Bahkan menurut data Profil Kesehatan 1999 yang diterbitkan Depkes

terdapat bapel yang hanya memiliki 400 anggota. Kecilnya modal dan sedikitnya peserta

sangat tidak menjamin sustainabilitas bapel JPKM.

Kemampuan menjangkau seluruh penduduk Kemampuan menjangkau seluruh penduduk dengan model JPK sukarela dan

dengan premi yang ditetapkan berdasarkan paket (risk based premium) tidak akan

mampu mencapai cakupan universal. Sifat kesukarelaan itu sendiri menyebabkan hanya

mereka yang memiliki resiko tinggi yang akan membeli. Kondisi ini dikenal dengan

istilah anti seleksi atau adverse selection. Anti seleksi ini akan mengancam sustainabilitas

Page 73: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 72

JPK, dan hal itu sudah dibuktikan dalam proyek JPKM Klaten ronde pertama. Efek anti

seleksi ini telah dikenal lama di berbagai negara maju sejak puluhan tahun yang lalu dan

telah banyak dibahas dalam literatur asuransi dan ekonomi kesehatan. Kesukarelaan juga

telah dibuktikan tidak akan mampu menarik peserta dalam jumlah yang cukup memadai

kecuali ada insentif lain seperti premi yang bersifat tax deductible. Jika model Amerika

yang mau dicontoh, sukarela memilih HMO atau askes tradisional, maka bukti-bukti

telah nyata bahwa di Amerika kini ada 43 juta penduduk yang tidak memiliki asuransi

kesehatan, meskipun biaya kesehatan per kapita telah melewati batas tertinggi di dunia

yang melebihi US$ 4.000 per kapita per tahun dan AS telah menghabiskan hampir 15%

PDBnya untuk belanja kesehatan. Tanpa insentif pajak, pangsa pasar sukarela ini akan

jauh lebih kecil dan kemungkinan besar bisa menyebabkan 200 juta penduduk Amerika

tanpa asuransi kesehatan sama sekali.

Di lain pihak, JPK PNS yang bersifat wajib telah mampu mengumpulkan premi

dari seluruh pegawai negeri secara kontinyu selama lebih dari 30 tahun. Meskipun

banyak pegawai negeri, khususnya golongan atas, merasa kecewa dan tidak

menggunakan haknya, akan tetapi mereka yang pernah menderita sakit berat sudah

merasakan manfaatnya. Para pensiunan PNS banyak sekali yang menggunakan fasilitas

Askes. Bahkan golongan pensiunan ini dapat mengancam solvabilitas PT Askes karena

utilisasi yang tinggi. Jika kita amati pasien di pusat-pusat hemodialisa, sekitar 70%

pasiennya adalah pasien Askes (bandingkan dengan proporsi peserta Askes terhadap total

penduduk yang hanya mencapai 7% saja). Sementara yang tidak memiliki Askes telah

lama meninggal sehingga prosentasenya sangat kecil. Ini berarti bahwa peserta Askes

memiliki akses hemodialisa 10 kali lebih besar dibandingkan dengan masyarakat umum.

Hal ini menunjukkan manfaat besar yang dapat diterima PNS dari penyelenggaraan JPK

PNS. Seluruh PNS dapat dijamin atau sudah otomatis menjadi peserta.

Tenaga profesional Tenaga yang mengelola bapel JPKM berijin pada umumnya tidak menguasai

bisnis asuransi kesehatan atau managed care. Kebanyakan mereka adalah orang-orang

amatiran yang mengira ada peluang besar dalam bisnis jaminan untuk mendapatkan

untung, namun mereka tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai.

Beberapa bapel telah memiliki tenaga yang mempunyai kualifikasi pendidikan khusus,

Page 74: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 73

meskipun tidak dalam setting Indonesia. Bebarapa bapel juga mempunyai misi sosial

yang kuat, akan tetapi bukan bapel asuransi sosial kesehatan. Banyak tenaga bapel yang

memiliki pengalaman di rumah sakit atau di institusi kesehatan lainnya, seperti Dinas

Kesehatan, namun bisnis jaminan sangat berbeda dengan bisnis pelayanan kesehatan.

oleh karenanya, pengalaman mengelola pelayanan kesehatan tidak memadai untuk

mengelola bapel JPKM.

Di perusahaan asuransi, tenaga-tenaga yang mengelola pada umumnya sudah jauh

lebih baik dibandingkan dengan di perusahaan bapel. Hal ini terkait dengan keharusan

memiliki tenaga profesional, yang umumnya memiliki gelar profesi dari AMAI, PAI,

atau lembaga pendidikan asuransi luar negeri, yang telah diatur dalam peraturan asuransi

di Indonesia. Keharusan modal yang besar untuk membuka asuransi menyebabkan

investor tidak akan secara ceroboh merekrut tenaga yang tidak memenuhi syarat.

Dibandingkan dengan perusahaan asuransi patungan atau asing, memang perusahaan

asuransi domestik masih kurang profesional. Namun dibandingkan dengan bapel JPKM

mereka jauh lebih profesional. Profesionalitas tenaga, yang antara lain ditunjukkan dari

gelar profesi dan pengalaman, sangat menentukan sustainabilitas penyelenggaraan

asuransi kesehatan.

Penyelenggaraan JPKM sesungguhnya merupakan manajemen resiko sakit dan

karenanya harus diatur dan dikelola sebagaimana layaknya usaha asuransi. Hal ini

terutama sangat penting karena tingginya tingkat informasi asimetri pada produk JPKM

maupun asuransi kesehatan tradisional. Kerena itu, ancaman terhadap perlindungan

konsumen/peserta yang tidak mengerti berbagai seluk beluk produk, khususnya pada

pengelolaan secara komersial atau semi komersial, harus diatur ketat. Salah satu

pengaturan penting adalah persyaratan ketenagaan. Seperti halnya perushaan asuransi

yang harus memiliki tenaga dengaan kualifikasi khusus, yang diperoleh melalui program

pendidikan profesi, penyelenggaraan JPKM yang sukarela seharusnya juga memiliki

persyaratan serupa. Namun hal ini belum tertampung dalam JPKM.

PT Askes Indonesia telah lama (sejak 1993) mempersiapkan tenaganya untuk

mampu mengelola program yang ada dan bersaing dengan perusahaan asuransi. Dengan

jumlah tenaga berpendidikan sarjana dan magister yang mencapai hampir 35% dari

sekitar 1.800 karyawannya PT Askes telah mendapatkan sertifikat ISO 9002. Banyak

Page 75: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 74

tenaga profesionalnya yang dilatih khusus asuransi kesehatan, managed care, atau

asuransi sosial di berbagai negara dan di tanah air. Ke-profesionalan ini telah dibuktikan

dengan mendapatkan kepercayaan mengelola produk komersial (disebut sukarela oleh PT

Askes) dengan jumlah mencapai hampir 750.000 orang dari sekitar 1.800 perusahaan.

Dari segi tenaga profesional, PT Askes merupakan satu-satunya perusahaan asuransi

kesehatan yang memiliki kemampuan memadai untuk mempertahankan sustainabilitas

penyelenggaraan jaminan kesehatan saat ini.

Asuransi sesehatan tradisional sebagai ancaman Sampai dengan tahun 2000 ini, khususnya setelah terjadi krisis ekonomi yang

meningkatkan resiko sakit bagi perorangan dan perusahaan, asuransi kesehatan

tradisional yang dijual oleh perusahaan asuransi tumbuh dengan pesat. Sebagai contoh,

Lippo General telah melakukan kontrak dengan hanya 30 perusahaan di tahun 1993,

meningkat menjadi 70 perusahaan di tahun 1995 dan di tahun 1999 telah melakukan

kontrak dengan 228 perusahaan. Dari segi penerimaan premi, perusahaan ini telah

mampu mengumpulkan premi 35% dari total pendapatannya, nomor dua setelah asuransi

kebakaran. Jumlah penduduk yang menjadi tanggung perusahaan ini saja telah mencapai

lebih dari 70.000 orang di tahun 1999.xxiii

Pada tahun 1998, sebanyak 56 perusahaan asuransi kerugian dan jiwa telah

menawarkan asuransi kesehatan dan kecelakaan diri dengan total premi bruto mencapai

Rp 501,5 milyar. Jika kita perhatikan klaim seluruh perusahaan tersebut pada tahun itu

telah mencapai Rp 286 milyar.xxiv Dengan demikian, rasio klaim asuransi kesehatan

mencapai 57%. Lippo General mampu mempertahankan rasio klaim pada tingkat 50%.

Pada tahun 1999 dimana data peserta asuransi kesehatan (umumnya menawarkan paket

rawat inap) dipisahkan dengan peserta asuransi kecelakaan diri, telah menunjukkan

jumlah peserta yang diperkirakan mencapai 1,5 juta orang. Dibandingkan dengan jumlah

peserta komersial PT Askes dan bapel-bapel lainnya, yang diperkirakan secara total tidak

mencapai satu juta orang, maka di pasar komersial telah terjadi dominasi asuransi

kesehatan tradisional.

Jika asuransi kesehatan tradisional ini terus mendominasi asuransi kesehatan di

Indonesia, maka dapat dipastikan bahwa biaya kesehatan secara makro akan naik pesat

Page 76: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 75

dan tidak efisien di kemudian hari. Paling tidak kita bisa melihat dari data diatas bahwa

konsumen pada akhirnya membayar pooling resiko hampir sama banyaknya dengan

biaya kesehatan jika ia bayar sendiri (rasio klaim 57%). Artinya, jika biaya pelayanan

rawat inap yang harus dibayar oleh seseorang sebesar Rp 1 juta, maka untuk

mendapatkan jaminan (kepastian) melalui perusahaan asuransi konsumen harus

membayar Rp 1,75 juta. Jelas hal ini akan mengancam tujuan efisiensi makro.

Pertumbuhan asuransi kesehatan komersial tradisional akan meningkatkan

utilisasi dan biaya kesehatan seperti yang telah dialami Amerika. Pertumbuhan yang

pesat ini yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan yang pesat asuransi kesehatan

terkendali (managed care) akan menambah sulitnya kendali biaya di masa datang. Jika

tidak ada suatu skema jaminan sosial yang melindungi penduduk berpendapatan rendah

(tidak harus miskin), maka kecendrungan ini dapat menjadi beban berat bagi masyarakat

dan pemerintah di kemudian hari. Apalagi penyelenggaraan asuransi kesehatan

tradisional sama sekali belum diatur mengenai paket dan berbagai aspek kontrak asuransi

lainnya seperti yang kita amati di Amerika. Kekurangan peraturan ini akan sangat mudah

merugikan masyarakat banyak. Peraturan rinci tentang paket jaminan, kontrak asuransi,

klaim, dan berbagai masalah lainnya tidak perlu secara ketat dilakukan pemerintah jika

jaminan sosial bidang kesehatan telah tersedia secara memadai bagi seluruh masyarakat.

Tujuan dan keinginan Hasil diskusi kelompok terarah (DKT, atau focus group discussion) menunjukkan

kesamaan pola pikir dan pemahaman pada hampir semua kelompok. Secara umum

sebagian besar peserta DKT belum memiliki pemahaman konsep asuransi dan konsep

barang publik (publi goods) atau barang swasta (private goods). Pemahaman tentang

asuransi sangat bias terhadap apa yang dialami sekarang yang mereka amati dalam

program dana sehat, proyek JPKM, Askes, Jamsostek, dan Askes tradisional tanpa

pengertian yang memadai tentang berbagai konsep dan kendala penyelenggaraan asuransi

tersebut. Pemahaman tentang paket dan cara pembayaran juga umumnya masih belum

memadai sehingga yang keluar adalah pernyataan slogan yang sudah melekat pada

konsep JPKM yang sangat dipengaruhi konsep HMO Amerika. Pemahaman tentang

monopoli dan orientasi pasar, juga sangat dipengaruhi oleh berita-berita umum pasar

bebas tanpa pemahaman yang memadai. Meskipun sejarahnya pendahulu kita telah

Page 77: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 76

membedakan pelayanan kesehatan dari pelayanan jasa lain yang dapat dilepaskan pada

mekanisme pasar, kecendrungan baru yang didorong oleh orientasi pasar yang dipahami

secara bias telah juga merasuk tenaga kesehatan dan kelompok lain.

Memang benar beberapa komponen pelayanan kesehatan memiliki karakter yang

tidak banyak berbeda dengan jasa lain dan karenanya pantas dilepas pada mekanisme

pasar. Akan tetapi sebagian besar tidak. Karena kekurang-fahaman tentang mekanisme

pasar sendiri dan ciri pelayanan kesehatan, banyak tenaga kesehatan yang di dalam

bereaksi terhadap dorongan pasar dan swastanisasi tidak lagi melihat perbedaan tersebut.

Hal ini akan sangat berbahaya karena setelah waktu satu atau dua dekade ke depan,

akibat kesalah-fahamanan ini baru akan tampak. Pembenahan pada masa itu, akan sangat

sulit. Setelah diskusi mendalam dan berbagai pancingan dilontarkan, pada umumnya

peserta DKT akhirnya menyadari ketidak-cocokan pelayanan kesehatan sebagai

komoditas privat yang dapat dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Hal serupa

juga tampak pada waktu diskusi tentang asuransi kesehatan komersial dan sosial.

Pada diskusi lebih mendalam, tampak bahwa pemahaman asuransi sosial

umumnya masih dinilai sebagai asuransi untuk golongan ekonomi lemah atau pelayanan

derma dengan kinerja manajemen yang buruk. Stigma ini memang tidak lepas dari apa

yang mereka amati atau alami dengan pelayanan Askes dan pelayanan Jamsostek pada

masa lalu, yang keduanya sebenarnya tidak mendapat dana yang memadai. Kedua

program tersebut merupakan asuransi sosial yang terdistorsi oleh kesalah-fahaman masa

lalu. Tidak sedikit dari peserta DKT yang berbicara dengan memberikan kesan bahwa

JPKM adalah program untuk rakyat miskin. JPKM dinilai sebagai suatu asuransi yang

bertujuan sosial yaitu memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat golongan bawah.

Padahal konsep JPKM merupakan adopsi konsep HMO yang merupakan integrasi

asuransi kesehatan dan pengendalian biaya melalui kontrak dengan PPK. Sama sekali

konsep itu tidak terkait dengan pemberian jaminan atau bantuan bagi masyarakat miskin.

Pemahaman tentang nirlaba (not for profit) juga umumnya dinilai sebagai suatu

bentuk kerja sukarela yang pengelolanya diberi gaji kecil. Segala yang dikelola secara

nirlaba seolah tidak bisa memenuhi harapan golongan menengah keatas atau tidak

mampu bersaing untuk memberikan pelayanan yang bermutu. Bahwa suatu asuransi atau

jaminan sosial harus dikelola secara nirlaba sama sekali tidak terpikirkan oleh

Page 78: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 77

kebanyakan peserta. Yang tampak di mata kebanyakan peserta adalah bahwa manajemen

perusahaan profesional, seperti hotel Hilton atau Grand Hyaat, mampu memberikan

kepuasan tinggi bagi pelanggannya. Sama sekali tidak terpikirkan bahwa pelayanan

profesional dan komersial seperti itu hanya mampu melayani sebagian kecil konsumen

yang berkantong tebal. Sementara asuransi sosial lebih mengutamakan pemerataan yang

adil. Setelah diskusi mendalam dan pemahaman terbentuk, hampir seluruh kelompok

sepakat bahwa pengelolaan asuransi sosial harus dikelola secara nirlaba. Lebih dari

separuh kelompok bahkan berpendapat bahwa pemerintahlah yang harus mengelolanya.

Begitu juga pemahaman tentang adil dan merata sangat bervariasi sehingga

meskipun kata-kata itu telah tercantum di dalam dokumen Indonesia Sehat 2010 dan di

berbagai dokumen umum lain seperti bahan ajar Pancasila. Masing-masing orang

mempunyai pandangan yang berbeda. Dalam diskusi awal, kebanyakan peserta tidak bisa

memberikan defisini yang tepat apa yang dimaksud dengan adil dan merata. Dengan

pemberian bantuan/clue, pada umumnya peserta sepakat bahwa untuk paket standar, yang

memenuhi kepentingan publik, konsep adil dan merata yang dapat diterima adalah dalam

artian equity yang egaliter, yang sesuai dengan jiwa dan budaya gotong royong penduduk

nusantara ini. Setelah mereka memahami apa arti egaliter dan liberter, hampir seluruh

kelompok sepakat bahwa untuk paket standar harus dikelola guna terselenggaranya

asuransi kesehatan yang egaliter.

Pengertian paket dasar pada umumnya dikaitkan dengan biaya yang relatif

murah/kecil atau pelayanan tertentu yang dibutuhkan banyak orang, bukan dinilai atas

dasar kebutuhan dasar (basic needs). Tidak jarang pemahaman tersebut bertambah rancu

dengan konsep pelayanan dasar di puskesmas. Setelah diskusi mendalam, pada umumnya

peserta menyadari bahwa perawatan mahal, perawatan intensif untuk mempertahankan

kehidupan, atau mempertahankan produktifitas sebenarnya merupakan kebutuhan yang

lebih mendasar yang seringkali tidak sanggup dipenuhi sendiri oleh penduduk ketimbang

kebutuhan rawat jalan. Konsep berat sama dipikul ini pada akhirnya dapat dipahami dan

disetujui sebagai paket dasar atau standar. Sebagian peserta mengakui bahwa kebutuhan

jaminan untuk rawat inap dan tindakan medis mahal lebih mendesak daripada jaminan

komprehensif. Akan tetapi topik ini merupakan topik yang paling kontroversial karena

sebagian peserta sudah sangat melekat dengan konsep pencegahan rawat inap, sehingga

Page 79: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 78

berpendapat lebih baik rawat jalan yang dijamin dulu agar penduduk tidak perlu dirawat

inap. Dalam situasi tertentu hal ini benar, namun demikian tidak semua rawat inap dapat

dicegah dengan pemberian rawat jalan yang baik. Setelah diskusi yang panjang, pada

umumnya sebagian besar peserta setuju untuk mendahulukan jaminan rawat inap, jika

sumber daya yang tersedia belum memadai untuk memberikan jaminan komprehensif.

Jaminan komprehensif merupakan jaminan yang dikehendaki semua pihak.

Dalam diskusi lebih mendalam dan dengan bahasa awam dapat diketahui bahwa

hampir seluruh peserta DKT menyetujui bahwa suatu ketika cakupan universal harus

dicapai. Memang cakupan universal diakui tidak berarti semua orang akan mendapatkan

pelayanan yang sama banyaknya dan sama kualitasnya (equality). Hampir seluruh peserta

setuju bahwa untuk paket standar tertentu, yang mencakup kebutuhan medis yang sangat

mendasar (bukan yang murah) harus mampu disediakan untuk seluruh penduduk.

Penduduk yang kaya dapat memperoleh kenikmatan yang lebih (aspek private goods)

dengan membayar ekstra. Artinya seluruh peserta sepakat perlunya cakupan universal

untuk paket standar. Sebagian besar peserta setuju bahwa sistem yang dikembangkan

harus berlandaskan keadilan yang egaliter untuk paket standar medik dan liberter untuk

paket di atas itu atau untuk paket kenyamanan.

Bahkan sebagian besar peserta mempunyai visi bahwa pelayanan standar tersebut

harus dikelola secara nirlaba dalam bentuk asuransi sosial dan dikelola pemerintah.

Meskipun demikian, peran swasta tetap harus mendapat tempat. Apabila swasta mampu

mengelola, pemerintah diharapkan dapat melepas kepada swasta asal prinsip-prinsip

dasar terpenuhi. Pemerintah dalam hal itu berfungsi hanya sebagai regulator saja.

Mengenai jumlah penyelenggara, hampir seluruh peserta sepakat untuk sedapat mungkin

tidak diselenggarakan hanya oleh satu badan untuk seluruh Indonesia.

Dari diskusi terarah juga terungkap bahwa budaya bangsa Indonesia, seperti juga

bangsa lain pada suatu waktu, belum mengenal belanja resiko dan konsep asuransi.

Masyarakat masih tetap menginginkan bahwa jika ia membayar premi dan mereka tidak

pernah menggunakan pelayanan, maka pada akhir periode mereka harus menerima

uangnya kembali. Atas dasar budaya ini, perusahaan asuransi komersial selalu

menawarkan bonus tidak menggunakan atau pengembalian premi (no claim bonus).

Sebenarnya yang dikembalikan adalah bagian tabungan yang memang diperhitungkan

Page 80: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 79

pada waktu perusahaan menghitung premi. Hal ini sangat perlu diperhatikan di dalam

merancang JPK.

Pengalaman negara lain Semua negara maju menyediakan jaminan kesehatan bagi penduduknya, baik

dalam bentuk jaminan sosial yang bersifat asuransi dan non asuransi. Penyelenggaraan

jaminan sosial berdasarkan mekanisme asuransi merupakan cara yang dianut oleh hampir

seluruh negara maju. Seperti halnya sistem pajak, tidak ada satupun negara maju yang

tidak menyelenggarakan asuransi sosial untuk kesehatan. Amerika yang paling liberal

dan sangat berorientasi pasar tetap masih belum berniat meninggalkan asuransi sosial

kesehatan (Medicare), meskipun memang berbagai reformasi perlu dilakukan. Bahkan

ada kecendrungan Amerika untuk meninggalkan sistemnya yang ada sekarang. Lihat saja

bagaimana Clinton berusaha melakukan reformasi total sistem kesehatannya, karena tidak

baiknya sistem pasar. Sebaliknya, belum ada satupun negara yang menyelenggarakan

asuransi sosial kesehatan yang hendak melakukan reformasi total sistemnya.

Penyelenggaraan asuransi kesehatan di berbagai negara memiliki variasi yang

sangat luas dalam hal kepesertaan, penyelenggara, paket dan cara paket jaminan

diberikan, serta cara pembayaran kepada PPK. Dalam hal kepesertaan, asuransi dapat

dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu asuransi kesehatan komersial dan

asuransi kesehatan sosialxxv. Dalam prakteknya, kedua bentuk pokok asuransi tersebut

didapatkan di banyak negara akan tetapi terdapat perbedaan pokok. Di Negara Amerika,

bentuk dominan yang diatur oleh negara bagi masyarakat resiko normal adalah bentuk

asuransi kesehatan komersial yang dapat berbentuk asuransi kesehatan tradisional

ataupun managed care. Namun demikian, untuk golongan resiko tinggi yaitu pensiunan

dan mereka yang menderita penyakit terminal, pemerintah menjadi pengemban atau

badan penyelenggara (bapel) melalui asuransi sosial Medicare. Jadi model Amerika

adalah dominasi asuransi kesehatan komersial dengan penyanggah/pengaman asuransi

sosial kesehatan. Di negara-negara maju lainnya bentuk dominan adalah asuransi sosial

kesehatan yang dapat dilengkapi dengan asuransi kesehatan komersial. Negara seperti

Taiwan sama sekali tidak mengundang asuransi kesehatan komersial, karena sistem

asuransi kesehatan nasionalnya (berbasis konsep asuransi sosial kesehatan) telah

memadai untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Akan tetapi Kanada yang juga memiliki

Page 81: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 80

sistem asuransi kesehatan nasional tetap memberi kesempatan kepada swasta untuk

menjual produk private goods, sebagai asuransi suplemen.

Kegagalan pasar Perbedaan utama dari kebijakan makro pelayanan kesehatan adalah visi

dasar/fundamental tentang pelayanan kesehatan sebagai public goods atau private goods

dan pengakuan pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia. Kebijakan publik makro

tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu dengan menggunakan mekanisme pasar dan

regulasi.

Suatu mekanisme pasar dapat dikatakan sebagai suatu mekanisme alamiah

dimana pelaku ekonomi, pembeli dan penjual, dapat bebas bergerak sesuai dengan

kapasitasnya masing-masing. Disini terjadi persaingan dinamik yang pada akhirnya

memberikan manfaat terbesar pada penduduk terbanyak/mayoritas. Peningkatan kapasitas

pembeli (demand) tanpa adanya peningkatan kapasitas penjual (supply) menyebabkan

harga naik untuk mutu yang sama. Sebaliknya peningkatan suplai barang tanpa adanya

peningkatan demand akan menyebabkan harga barang turun. Mekanisme tersebut adalah

mekanisme yang sangat lazim terjadi pada pasar. Hasil (outcome) dari mekanisme ini

adalah tercapainya efisiensi. Semakin tinggi tingkat persaingan, peningkatan suplai,

semakin rendah harga suatu barang dan jasa, dan sebaliknya. Jadi konsumen sebagai

penduduk mayoritas akan diuntungkan. Akan tetapi di dalam pelayanan kesehatan,xxvi

keluaran persaingan yang menghasilkan efisiensi tinggi ini selalu dipertanyakan. Apakah

benar dengan mekanisme pasar, pelayanan kesehatan akan lebih murah dan lebih

berkualitas? Suatu barang atau jasa pelayanan kesehatan dapat saja tidak lebih murah

akan tetapi kualitasnya lebih baik, dus terjadi efisiensi juga. Untuk mencapai efisiensi

tersebut harus ada prasyarat pasar yaitu informasi simetri (perfect information). Dokter

sebagai tenaga kunci/utama dalam pelayanan kesehatan berfungsi sebagai agen ganda

(double agent) yang berfungsi sebagai konsultan pasien dan sekaligus penjual jasa

kepada pasien tersebut. Dengan demikian, demand terhadap pelayanan kesehatan bukan

ditentukan oleh pasien/konsumen, akan tetapi oleh produsen. Disinilah mekanisme pasar

gagal di dalam pelayanan kesehatan, karena adanya informasi asimetri yang sangat besar.

Selain efisiensi yang merupakan keluaran umum yang diharapkan dari suatu

Page 82: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 81

mekanisme pasar, di dalam pelayanan kesehatan yang diakui dunia sebagai hak asasi

perlu dipertimbangkan aspek equity (pemerataan) dari mekanisme pasar. Aspek equity

sangat terkait dengan golongan ekonomi lemah atau distribusi pendapatan golongan

ekonomi lemah. Dalam sektor jasa, salon kecantikan misalnya, para ahli ekonomi dan

kebijakan publik tidak perlu mengkhawatirkan aspek pemerataan. Jika ada orang miskin

tidak sanggup ke salon, tidak perduli apakah pasar jasa salon kecantikan itu efisien atau

tidak, publik tidak akan mempersoalkan. Pemerintah tidak pernah ikut campur untuk

menurunkan atau mengatur tarif salon kecantikan. Biarlah mekanisme pasar yang

bekerja. Tentu saja hal ini terjadi karena jasa pelayanan kecantikan merupakan private

goods dan bukan hak bagi semua penduduk. Akan tetapi dalam pasar bahan makanan

pokok (barang esensial) misalnya beras, para ahli tentu sangat peduli jika harga beras

terlalu tinggi sehingga golongan tidak mampu mungkin dapat menjadi kelaparan. Beras

atau makanan pokok sebagai barang esensial harus tersedia dan terjangkau bagi semua

orang. Oleh karenanya pemerintah negara manapun melakukan intervensi dengan

menjual barang kebutuhan pokok di bawah harga pasar atau memberikan subsidi khusus

kepada orang miskin. Mekanisme pasar masih dapat digunakan karena dalam produk

makanan pokok ini terdapat informasi seimbang. Akan tetapi di dalam pelayanan

kesehatan, aspek equity menjadi pertimbangan mutlak karena adanya informasi asimetri,

hak asasi, dan kemanusiaan (humanity). Negara-negara yang berbudaya tidak bisa

menerima jika ada penduduknya yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang

dapat diberikan di negeri itu.

Di dalam mekanisme pasar ada dua aspek penting yang menentukan tercapainya

efisiensi dan equity. Pertama adalah aspek pendanaan (health care financing) yang terkait

dengan kemampuan keuangan konsumen/penduduk. Yang kedua adalah ketersediaan

barang atau jasa, yang didalam pelayanan kesehatan dikenal dengan penyediaan jasa

pelayanan (health care delivery). Dalam kebijakan publiknya, negara maju seperti

Kanada, Taiwan, dan Jepang paling sedikit menjadikan salah satunya dikelola secara

publik. Umumnya pendanaan pelayanan kesehatan yang dikelola secara publik,

sementara penyediaan pelayanan diserahkan kepada swasta (publicly financed, privately

delivered) . Amerika dan Inggris merupakan dua negara maju yang sangat berbeda di

dalam kebijakan publiknya. Amerika menyerahkan pendanaan dan penyediaan kepada

Page 83: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 82

mekanisme pasar, kecuali untuk kelompok resiko tinggi yang dikelola publik yang pada

akhirnya membebani negara dan pembayar pajak. Sementara Inggris menjadikan

keduanya, pendanaan dan penyediaan, dikelola publik yang dikenal dengan nama

National Health Service. Kebijakan kesehatan negara maju, secara umum dapat dilihat

dari matriks berikut:

Gambar-3.3.

Matriks Model Pembiaayan dan Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan

Penyediaan

Pelayanan

Pembiayaan Publik Swasta

Publik Inggris Indonesia dan negara berkembang lainnya

Swasta Kanada, Jerman, Jepang dan Taiwan

Amerika

Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan

kepada sektor swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah,

sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit).

Apabila pembiayaan diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat sosial atau

nirlaba, maka terdapat dua pilihan utama yaitu pembiyaan dari penerimaan pajak (general

tax revenue) seperti yang dilakukan Inggris dan pembiayaan melalui asuransi sosial

seperti yang dilakukan Kanada, Taiwan, Jepang dan Jerman. Kanada dan Taiwan

memberlakukan sistem monopoli Propinsi dan Negara dengan hanya menggunakan satu

badan penyelenggara, yang sering dikenal Asuransi Kesehatan Nasional. Sementara

Jerman dan Jepang menggunakan undang-undang wajib asuransi sosial kesehatan dengan

banyak penyelenggara dari pihak swasta yang nirlaba.

Asuransi kesehatan komersial Di Amerika kadang kali dibedakan pengertian asuransi komersial dan tidak

komersial atas dasar badan penyelenggaranya. Asuransi kesehatan yang dijual oleh

prusahaan asuransi sudah pasti digolongkan sebagai asuransi komersial. Akan tetapi

asuransi kesehatan yang dijual oleh Blue Cross-Blue Shield, HMO, PPO, dan POS tidak

Page 84: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 83

digolongkan asuransi komersial tetapi juga tidak digolongkan asuransi sosial.

Perbedaannya hanyalah pada bentuk badan penyelenggaranya yang bukan perusahaan

asuransi komersial. Blue Cross-Blue Shield adalah suatu organisasi nirlaba, yang dulunya

tidak dikenakan pajak penghasilan badan. Akan tetapi karena belakangan diketahui

adanya pembagian dividen, maka pengelola ini tidak lagi digolongkan sebagai organisasi

nirlaba, akan tetapi tidak juga digolongkan sebagai perusahaan asuransi. Sementara HMO

adalah suatu entitas legal yang diberi ijin menjual produk HMO, yang sangat mirip

dengan produk JPKM, akan tetapi badan penyelenggaranya bisa perusahaan asuransi bisa

juga bukan, bahkan dapat saja perorangan. Sifat HMO ini dapat sebagai pencari laba

(46% dari seluruh HMO, HIAA 1996) dan bisa bersifat nirlaba (pada awal diperkenalkan

HMO, 96% HMO bersifat nirlaba. Kaiser Foundation Health Plan merupakan salah satu

contoh HMO nirlaba yang mampu berkembang sangat pesat dengan anggota melebihi 9

juta jiwa dan penerimaan premi di tahun 1998 melebihi US$ 15 milyar. Namun demikian

produk yang dijual Kaiser bukanlah asuransi sosial. Satu-satunya asuransi sosial

kesehatan yang ada di Amerika adalah Medicare part A.

Asuransi kesehatan sosial Asuransi sosial adalah asuransi yang diselenggarakan atau diatur oleh pemerintah

yang melindungi golongan ekonomi lemah dan menjamin keadilan yang merata (equity).

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka suatu asuransi sosial haruslah didasari pada suatu

undang-undang dengan pembayaran premi dan paket jaminan yang memungkinkan

terjadinya pemerataan. Dalam penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai ciri

(a) kepesertaan wajib bagi sekelompok atau seluruh penduduk, (b) besaran premi

ditetapkan oleh undang-undang, umumnya proporsional terhadap pendapatan/gaji, dan (c)

paketnya ditetapkan sama untuk semua golongan pendapatan, yang biasanya sesuai

dengan kebutuhan medis (Thabrany, 1999)xxvii. Dengan mekanisme ini, maka

dimungkinkan tercapainya keadilan sosial yang egaliter bahkan dapat dilakukan tanpa

harus ada anggaran pemerintah. Penyelenggaraan asuransi sosial kesehatan di Jerman

merupakan suatu contoh dimana anggaran pemerintah untuk sektor kesehatan sangat

minimal, karena masyarakat membiayai hampir seluruh kebutuhan pelayanan kesehatan

melalui asuransi sosial tersebut. Memang diakui bahwa perkembangan asuransi sosial ini

Page 85: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 84

dimulai di Jerman pada tahun 1883.

Dari segi pembiayaan, asuransi sosial mempunyai keunggulan dalam mencapai

efisiensi makro karena tidak memerlukan biaya perancangan produk, pemasaran, dan

pencapaian skala ekonomi yang optimal. Selain itu asuransi sosial mempunyai

kemampuan untuk mewujudkan pemerataan dan kedilan (equity). Taiwan misalnya hanya

menghabiskan kurang dari 3% premi untuk biaya administrasi (Depkes Taiwan,

1997)xxviii. Seluruh penduduk Taiwan memiliki asuransi kesehatan. Program Medicare di

Amerika hanya menghabiskan biaya administrasi sebesar 3-4% sementra asuransi

komersial swasta di Amerika menghabiskan rata-rata 12% (Shalala dan Reinhardt,

1999)xxix Seluruh pensiunan di Amerika memiliki asuransi kesehatan Medicare. Jadi

asuransi sosial kesehatan adalah satu-satunya penyelenggaraan asuransi yang mampu

mencapai dua tujuan kebijakan yaitu efisiensi dan equity yang egaliter.

Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi PBB pasal 22 dan 25

tentang hak asasi manusia dan menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak

asasi penduduk (fundamental human right). Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar

ini pemerintah negara-negara maju mengusahakan suatu sistem kesehatan yang mampu

mencakup seluruh penduduk (universal) secara adil dan merata (equity yang egaliter).

Negara-negara maju pada umumnya mewujudkan peran serta masyarakat dalam

pendanaan/pembiayaan dan penyediaan kesehatan publik yang diatur oleh suatu undang-

undang. Pembiayaan publik dimaksudkan adalah pembiayaan oleh negara atau oleh

sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh undang-undang. Penyelenggara

pembiayaan publik dapat suatu badan pemerintah dapat pula badan swasta yang nirlaba.

Penyediaan kesehatan publik adalah penyediaan rumah sakit, klinik, pusat kesehatan, dan

sebagainya yang disediakan oleh negara yang dapat diselenggarakan secara otonom

(terlepas dari birokrasi pemerintahan) ataupun tidak otonom.

Dengan menempatkan salah satu atau kedua faktor pembiayaan dan atau

penyediaan oleh publik (public not for profit enterprise) dimungkinkan terselenggaranya

cakupan universal dan pemerataan yang adil. Penempatan kesehatan sebagai hak asasi

tidak selalu berarti bahwa pemerintah harus menyediakan seluruh pelayanan dengan

cuma-cuma. Di Indonesia, banyak orang mengkhawatirkan penempatan kesehatan

sebagai hak asasi akan menyebabkan beban pemerintah menjadi sangat berat. Pada

Page 86: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 85

hakikatnya, pembiayaan maupun penyediaan pelayanan dapat dilakukan oleh pemerintah

bersama swasta.

Kinerja asuransi kesehatan sosial dan komersial Kinerja asuransi sosial kesehatan dengan memperhatikan efisiensi makro dan

equity dapat dilihat dari tabel dan gambar dan di bawah ini. Dapat dilihat dari tabel

ringkasan di bawah ini bahwa negara-negara yang menjadikan asuransi sosial kesehatan

sebagai bentuk asuransi dominan mampu mencapai cakupan universal dengan biaya

kesehatan per kapita atau per hari rawat yang jauh lebih murah. Bukan hanya itu,

indikator status kesehatan di negara-negara tersebut juga tidak lebih jelek, bahkan dalam

beberapa negara justeru lebih baik, dari Amerika—satu-satunya negara yang menerapkan

asuransi kesehatan komersial sebagai model asuransi dominan. Sudah barang tentu

indikator ini tidak hanya dipengaruhi sistem dan besarnya biaya. Besarnya biaya

kesehatan tersebut tetapi lebih murah di negara-negara yang menerapkan asuransi sosial

kesehatan meskipun biaya tersebut disesuaikan dengan indeks biaya hidup.

Besarnya biaya kesehatan per kapita dapat bervariasi di berbagai negara yang

menyelenggarakan kebijakan asuransi sosial kesehatan sebagai bentuk dominan. Gambar

di bawah ini dengan jelas dapat menujukkan kinerja biaya tersebut dikaitkan dengan

angka kematian bayi (AKB) dan umur harapan hidup (UHH). Yang jelas, di semua

negara yang menjadikan ASK dominan, indikator kesehatan yang diukur oleh AKB dan

UHH menunjukkan status yang tinggi, bahkan tidak jarang lebih baik dari indikator yang

sama di AS (dominasi asuransi komersial). Perbedaan biaya kesehatan dan biaya per hari

rawat inap di berbagai negara tersebut disebabkan karena perbedaan sistem pembayaran

kepada PPK dan struktur penduduk dan sistem kesehatannya.

Kinerja efisiensi makro dari ASK tidak saja ditunjukkan dari data lintang waktu

seperti pada gambar tersebut, akan tetapi juga ditunjukkan oleh lebih rendahnya produk

domestik bruto suatu negara yang dihabiskan untuk membiayai pelayanan kesehatan.

Perkembangan persentase biaya kesehatan terhadap PDB di enam negara OECD, 1970-

1997 telah dilakukan oleh Ikegami dan Campbell (1999)xxx. Hasil penelitian tersebut

disajikan pada Gambar-2. Efisiensi makro ini dapat dilihat pada Gambar .. dari gambar

tersebut tampak bahwa mekanisme pasar tidak mampu menciptakan efisiensi makro

Page 87: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 86

seperti ditunjukkan pada kasus Amerika.

Gambar-3.4

Perkembangan Biaya Kesehatan (% PDB) di Enam Negara Maju, 1970-1997

0

4

8

12

16

1970 1975 1980 1985 1990 1997

Tahun

Amerika JermanKanada PerancisJepang Inggris

Page 88: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 87

Tabel 3.2

Perbandingan model asuransi, cakupan, biaya dan status kesehatan di berbagai

negara maju.

Negara Jenis

askes dominan

% Pendu

duk denga

n Askes Sosial

% Penduduk yang memili

ki askes

Biaya rawat

inap per hari

(US$, 1997)

Total biaya

kesehatan per kapita

(US$, 1997)

Angka

kematian bayi /100

0

Usia harapan hidup (wanita/ pria)

Amerika Komer-sial

33,3 83 1.128 3.925 7,8 79,4/72,7

Australia Sosial 100 100 242 1.805 5,8 81,1/75,2 Austria Sosial 99 99 109 1.793 5,1 80,2/73,9 Belanda Sosial 72 99 225 1.838 5,2 80,4/74,7 Belgia Sosial 99 100 263 1.747 6,0 81,0/74,3 Ceko Sosial 100 100 75 904 6,0 77,2/70,5 Denmark Sosial 100 100 632 1.848 5,2 78,0/72,8 Finlandia Sosial 100 100 168 1.447 4,0 80,5/73,0 Inggris Negara,

NHS 100 100 320 1.347 6,1 79,3/74,4

Islandia Sosial 100 100 192 2.005 5,5 80,6/76,2 Itali Sosial 100 100 339 1.589 5,8 81,3/74,9 Jepang Sosial 100 100 83 1.741 3,8 83,6/77,0 Jerman Sosial 92,2 99,9 228 2.339 5,0 79,9/73,6 Kanada Nasio-

nal 100 100 489 2.095 6,0 81,5/75,4

Korea Sosial 100 100 110 587 9,0 77,4/69,5 Luksemberg Sosial 100 100 180 2.340 4,9 80,0/73,0 Norwegia Sosial 100 100 123 1.814 4,0 81,1/75,4 Perancis Sosial 99,5 99,5 284 2.051 4,9 82,0/74,1 Portugal Sosial 100 100 249 1.125 6,9 78,5/71,2 Selandia Baru Nasio-

nal 100 100 254 1.352 7,4 79,8/74,3

Spanyol Sosial 99,8 99,8 343 1.168 5,0 81,6/74,4 Turki Sosial 66 66 73 260 42,2 70,5/65,9 Yunani Sosial 100 100 144 974 7,3 80,4/75,1

Page 89: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 88

Gambar 3.5

Hubungan antara Angak Kematian Bayi, Biaya Kesehatan, dan Sistem

Asuransi Kesehatan di Berbagai Negara Maju

0

10

20

30

40

50

0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000Biaya Kesehatan per Kapita (US$)/th

Ang

ka K

emat

ian

Bay

i

Askes Sosial Askes komersial

Page 90: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 89

Gambar 3.6

Hubungan antara Biaya Rawat Inap per Hari, Usia Harapan Hidup, dan Sistem

Asuransi Kesehatan di Berbagai Negara Maju

68

72

76

80

84

88

0 200 400 600 800 1,000 1,200Biaya Rawat Inap per Hari

Usi

a H

arap

an H

idup

Askes sosial Askes komersial

Page 91: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 90

Paket dasar: biaya atau need? Paket dasar dan komprehensif yang dikehendaki dalam pengaturan JPKM

memang mengacu pada teori hulu yang dapat menurunkan biaya di hilir. Namun

demikian, hal itu dapat terjadi dengan baik jika masalah hilir dapat diselesaikan dengan

baik dan jika dana cukup memadai. Dalam praktek, pengertian komprehensif sangat

dibatasi pada pengertian adanya pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif

meskipun masing-masing komponen jumlahnya sedikit-sedikit. Jadi pengertian

komrehensif dalam RUU JPKM masih sangat terbatas, bukan komprehensif dalam artian

memenuhi kebutuhan medis peserta. Dalam beberapa pasal memang disebutkan sesuai

dengan kebutuhan medis, akan tetapi kemudian ada klausul paket dasar. Paket dasar ini

belum dielaborasi dengan jelas, apa yang dimaksud paket dasar. Dalam hal ini ada

beberapa opsi, yaitu:

Paket dasar dapat diartikan sebagai paket yang biayanya relatif kecil. Konsep ini

misalnya digunakan dalam JPK Jamsostek, dimana paket rawat inap ditanggung hanya

sampai 60 hari, rawat inap intensif 20 hari, dan pengobatan kanker serta hemodialisa

tidak ditanggung. Dalam konsep ini pengertian dasar adalah pengertian kemampuan

pembiayaan, bukan pengertian kebutuhan medis. Sebab orang yang secara medis

membutuhkan pengobatan kanker atau hemodialisa, tidak bisa dipenuhi dari paket

tersebut.

Di dalam Permenkes 527/93 paket dasar hanya mencakup 5 hari perawatan. Jika

seorang peserta perlu dirawat lama, karena penyakitnya yang cukup berat, maka jika

sebuah bapel menjual hanya paket dasar dapat dipastikan seorang peserta akan

menanggung beban biaya yang berat. Dalam praktek bapel di daerah, bahkan rawat inap

hanya ditanggung dengan penggantian biaya yang relatif kecil, misalnya di proyek

percontohan JPKM Klaten hanya memberikan maksimum Rp 250.000 (Natal, 1997).

Disinipun, pengertian dasar yang digunakan adalah konsep pendanaan yang terjangkau

oleh bapel atau dana yang terkumpul. Tentu saja hal ini tidak menyelesaikan masalah

kemanusiaan.

Dalam program Askes, paket dasar pada prinsipnya sesuai dengan kebutuhan

Page 92: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 91

medis seseorang. Tidak ada pengecualian atau pembatasan, kecuali anggota mencapai

usia tertentu atau persalinan anak ketiga atau lebih. Hanya saja pelayanan yang diberikan

adalah pada kelas murah (perawatan kelas II untuk golongan I dan II dan rawat jalan di

puskesmas). Obat yang ditanggung juga terbatas pada daftar obat yang ditetapkan PT

Askes. Jadi paket dasar disini komprehensif dalam artian kebutuhan medis, akan tetapi

paket ini tidak mempertimbangkan selera atau kenyamanan. Penetapan paket ini

menyebabkan sekitar separuh anggota Askes tidak menggunakan hak rawat jalannya dan

sepertiga anggota tidak menggunakan hak rawat inap. Kecilnya pembayaran oleh PT

Askes kepada rumah sakit, menyebabkan banyak rumah sakit membebani anggota

dengan biaya tambahan, baik itu untuk pelayanan medis dan kenikmatan. Seorang

anggota yang memerlukan tindakan jantung di RS Jantung Harapan Kita dapat dipastikan

harus membayar lebih dari separuh biaya yang dibutuhkan, karena Rumah Sakit tidak

perduli dengan besaran tarif yang ditetapkan Menteri Kesehatan.

Beberapa negara maju dan berkembang, seperti Filipina, menerapkan paket dasar

dengan mempertimbangkan kebutuhan medis dan kemampuan penduduk membiayainya.

Kanada dan Filipina memulai jaminan rawat inap dan tindakan medis mahal lainnya yang

menjadi paket dasar yang ditanggung oleh asuransi sosial kesehatan. Prinsipnya

sederhana, yang ringan biayanya dimana penduduk mampu membiayai sendiri diserahkan

kepada penduduk. Biaya yang besar yang penduduk tidak mampu membiayainya dipikul

bersama melalui skema asuransi (berat sama dipikul). Model penetapan paket seperti ini

secara ekonomis dan kebijakan publik yang adil adalah lebih rasional. Para oponen

penerapan konsep ini berargumen bahwa dengan menanggung perawatan yang mahal

saja, akan mendorong biaya besar dan tidak mendidik penduduk untuk melakukan

aktifitas promotif/preventif. Akibatnya nanti biaya kesehatan akan menjadi mahal. Bukti-

bukti makro pembiayaan kesehatan tidak terbukti bahwa pada akhirnya beban biaya

kesehatan menjadi mahal, apabila hal itu dilakukan melalui mekanisme asuransi sosial

kesehatan. Para pendukung model ini berargumen bahwa di dalam pelayanan kesehatan,

kita tidak mungkin melepaskan diri dari kewajiban sosial/komunitas untuk tidak

membantu sesama manusia yang membutuhkan pelayanan medis mahal akan tetapi

kemampuan ekonominya tidak memungkinkan ia mendapatkannya. Hal ini sangat sejalan

dengan sila kemenusiaan yang adil dan beradab. Bahwa promotif dan preventif

Page 93: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 92

diperlukan, dapat diterima akan tetapi prioritas tetap pada penangana keadaan yang

menyentuh aspek kemanusiaan. Dalam kondisi dana yang memadai, kosep komprehensif

memang ideal sekali. Akan tetapi dalam kondisi dana terbatas, maka prioritas utama

adalah membantu mereka yang sangat membutuhkan akan tetapi secara ekonomis tidak

mampu membiayai sendiri.

Pemisahan promotif/preventif antara program kesehatan masyarakat dan

pelayanan rumah sakit tampak tercermin dalam konsep JPKM. Ada persepsi bahwa

pelayanan promotif dan preventif tidak diberikan apabila paket yang dicakup, misalnya

perawatan dan tindakan medis saja. Hal ini sebenarnya tidak benar. Sebab pelayanan

promotif dan preventif dapat diberikan pada setiap kondisi, pada orang sehat dan pada

orang sakit. Pada orang yang sudah jatuh sakit, pelayanan promotif dan preventif

diberikan secara perorangan untuk mencegah berulangnya kejadian sakit dan terjadinya

kondisi yang lebih parah. Para dokter klinik sudah sangat terbiasa dengan istilah primary

preventian bagi mereka yang memiliki faktor resiko tertentu, misalnya kadar kolestrol

tinggi terhadap penyakit jantung, akan tetapi belum terkena serangan. Mereka juga

mengenl secondary prevention untuk pasien yang pernah menderita serangan, misalnya

gangguan jantung, yang telah diobati. Untuk mencegah serangan berulang atau tambah

berat, para klinisi memberikan berbagai pelayanan promotif dan preventif.

Apabila semua penduduk sudah mendapatkan akses rawat inap dan masyarakat

telah merasakan manfaat mengikuti program JPK/asuransi, maka paket pelayanan dapat

ditingkatkan hingga mencakup paket komprehensif. Karena selama pemberlakukan paket

rawat inap, secara bertahap biaya rawat jalan di rumah sakit umum dan puskesmas

dinaikkan mendekati tarif dokter di rumah sakit swasta atau praktek pribadi, maka

perlahan-lahan masyarakat akan belajar bahwa resiko finansial untuk berobat jalanpun

mulai berat. Maka perluasan paket wajib dapat dilakukan. Alternatif lain adalah

membiarkan masyarakat membeli asuransi komersial untuk paket rawat jalan dan paket

peningkatan (upgrade) paket rawat inap. Sejauh kebutuhan medis rawat inap sudah

dijamin, maka kita tidak menghadapi masalah dilema prikemanusiaan. Tidak ada lagi

orang yang menderita sakit berat yang dapat diobati yang tidak mendapatkan perawatan.

Mengatur jaminan bukan “bisnis jaminan” Dalam rancangan UU JPKM, belum tampak dengan jelas bahwa UU tersebut

Page 94: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 93

akan mengatur jaminan sehingga di suatu saat seluruh penduduk memiliki jaminan yang

adil dan merata. Meskipun dalam RUU tersebut sudah disebutkan setiap penduduk wajib

menjadi peserta JPKM, tidak secara jelas pentahapannya. Hal ini dapat menimbulkan

kesulitan di lapangan, dimana misalnya seorang bupati akan memaksakan seluruh

penduduknya mendaftarkan diri sementara sarana belum memadai. Apabila premi dari

penduduk yang bekerja pada sektor informal, seperti petani dan pedagang kecil, akan

dikumpulkan dari rumah ke rumah maka biaya pengumpulannya akan jauh lebih mahal.

Pengumpulan melalui pajak penghasilan atau pajak bumi dan bangunan juga tidak mudah

dilakukan. Penduduk seperti itu umumnya belum mempunyai NPWP dan tidak

membayar pajak secara reguler. Jika premi akan ditarik melalui PBB yang setahun sekali,

jumlah premi yang akan ditarik bisa jadi jauh lebih besar dari PBBnya. Selain itu, banyak

masyrakat yang tidak memiliki tanah dan bangunan yang tidak ikut membayar premi.

Suatu rancangan UU harus secara spesifik dan bertahap mewajibkan kelompok

masyarakat untuk menjadi peserta JPKM. Persyaratan pertama adalah adanya instrumen

pengumpulan premi yang jelas, mudah, dan memiliki penghasilan rutin. Hanya kelompok

pekerja formal dan anggota koperasi mandiri (bukan koperasi simpan pinjam) dimana

anggotanya mendapatkan penghasilan rutin dari koperasi tersebut yang memenuhi

persyaratan ini. Yang kedua, kelompok masyarakat tersebut haruslah berada pada

jangkauan PPK yang mutunya dapat diterima. Pengertian mutu yang selama ini

dikumandangkan dalam JPKM baru merupakan slogan-slogan kosong, yang di dalam

prakteknya sama sekali belum terbukti. Hal ini tidak boleh terjadi. Sebab, jika pelayanan

PPK tidak dapat diterima oleh peserta, maka insentif peserta untuk terus melanjutkan

kepesertaan akan hilang. Ketiga, paket yang diberikan harus cukup signifikan sehingga

peserta merasakan benar manfaatnya menjadi anggota JPKM. Apabila peserta ternyata

masih harus mengeluarkan biaya sendiri yang cukup besar (relatif terhadap

pendapatannya), maka tidak ada insentif bagi mereka untuk terus membayar premi.

Pengaturan tarif PPK dan standar pelayanan medis Selama ini pengaturan tarif kapitasi maupun rumah sakit dilakukan oleh bapel

dengan PPK yang secara sendiri-sendiri dihubungi oleh bapel. Keterbukaan dalam

negosiasi tarif, baik dengan bapel JPKM maupun dengan JPK Jamsostek, tidak tampak.

Page 95: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 94

Akibatnya tidak timbul saling kepercayaan antara dokter dengan bapel. Jika dokter

merasa bahwa tarif kapitasi kurang memadai, maka dokter tidak akan memberikan

pelayanan prima. Bukti-bukti empirik tentang hal sudah dapat kita lihat di tanah air.

Dengan logika bisnis akan sangat mudah kita mengerti bahwa hal itu terjadi.

Meskipun sejak lama tarif dokter tidak pernah ditetapkan oleh pemerintah atau

profesi, apabila JPKM diharapkan berjalan dengan baik, tarif dokter harus ditetapkan

dengan wajar dengan melibatkan organisasi profesi setempat. Besaran tarif dokter umum

dan spesialis yang pantas, harus ditetapkan bersama secara terbuka dan adil. Hal ini

mungkin akan membuka paradigma baru, dimana untuk waktu yang lama tarif tidak

pernah ditetapkan karena alasan hubungan dokter pasien yang sifatnya hubungan pribadi.

Dengan bapel JPKM, apalagi jika bapel tersebut bersifat pencari laba, maka besaran tarif

kapitasi atau konsultasi dokter spesialis harus ditetapkan. Disini hubungan dokter dengan

pasien anggota JPKM sudah menjadi hubungan bisnis antara dokter dengan bapel, bukan

lagi hubungan pribadi antara pasien dengan dokternya.

Berbagai program JPKM percontohan dan penyelenggaraan JPK Jamsostek

menggunakan dokter puskesmas dengan tarif yang jauh di bawah tarif dokter pada

praktek pribadi. Kontrak semacam ini sebenarnya tidak cukup sehat bagi kedua belah

pihak. Bagi bapel kontrak dengan puskesmas menimbulkan persepsi tidak baiknya mutu

pelayanan, dan karenanya akan menurunkan minat sekelompok orang untuk ikut JPKM.

Bagi puskesmas yang sebagian besar biaya operasionalnya mendapat subsidi pemerintah

daerah, kontrak semacam itu memuluskan salah subsidi. Para karyawan yang ikut atau

diikut JPKM oleh majikannya adalah kelompok yang seharusnya tidak perlu

mendapatkan subsidi pemerintah lagi. Mereka seharusnya membayar dengan biaya

penuh. Distrosi penyelenggaraan ini harus diubah sehingga, jika puskesmas akan

digunakan maka tarif yang disepakati seharusnya tarif yang tidak mendapatkan subsidi.

Sebagai konsekuensinya, puskesmas harus membuka pelayanan dari pagi hingga sore dan

harus memberikan pelayanan sebagaimana layaknya praktek dokter partikelir. Hal ini

membutuhkan perubahan struktural puskesmas, agar puskesmas cukup lentur melakukan

kontrak dan menggunakan dana yang terkumpul untuk insentif tenaga medis dan

paramedis. Perubahan struktural ini memerlukan otonomi puskesmas, yang saat ini belum

pernah terjadi. Suatu proyek percontohan dapat ditempuh di kota besar seperti Jakarta.

Page 96: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 95

Pengaturan UU JPKM yang tidak mengatur mekanisme pembayaran dan

pelayanan oleh PPK, baik itu dokter praktek perorangan atau rumah sakit, tidak dapat

memberikan dorongan berkembangnya program JPKM ini. Apabila program JPKM ini

diharapkan bernegosiasi dengan PPK atas dasar mekanisme pasar, maka diperlukan

waktu 20-30 tahun untuk mencapai efek kendali biaya.

Prioritas kelompok yang dapat dikelola (manageable) Data cakupan PT Jamsostek dan data cakupan bapel serta perusahaan asuransi

komersial menunjukkan bahwa di tahun 1998, besarnya cakupan asuransi kesehatan

adalah sekitar 28 jtua penduduk. Jika kita bandingkan dengan populasi tenaga kerja di

sektor formal, pekerja swasta dan negeri, yang mempunyai potensi mencakup lebih dari

80 juta penduduk, maka cakupan dari UU Jamsostek masih sangat rendah. Padahal

kelompok yang wajib menurut UU Jamsostek masih besar sekali. Terlepas dari

kepentingan sektoral, perluasan dari sektor ini merupakan pilihan yang cukup viable

untuk dilakukan, dengan berbagai modifikasi atau penyempurnaan.

Kunci keberhasilan Masalah terbesar di dalam pembangunan kesehatan sekarang ini adalah

kurangnya komitmen berbagai sektor terhadap pembangunan kesehatan. Di kalangan

pemerintahan, pembangunan kesehatan dilihat hanya sebagai kepentingan atau urusan

Departemen Kesehatan. Departemen lain belum menempatkan kesehatan sebagai bidang

yang penting. Dalam dengar pendapat dengan Komisi VII DPR misalnya, para anggota

Dewan mengakui bahwa sulit sekali menggoalkan revisi undang-undang dasar untuk

memasukkan kesehatan sebagai salah satu hak penduduk. Berbagai anggota partai politik

maupun pemerintah kebutuhan pengaturan kesehatan belum mendesak. Saat ini hal-hal

yang perlu dibenahi atau diprioritaskan adalah masalah politik, ekonomi, hukum, dan

pemerintahan.

Faktor lain yang amat penting dalam keberhasilan sistem JPK di Indonesia adalah

komitmen dan Kesadaran Pemerintah dari berbagai sektor untuk memiliki program

jaminan yang baik untuk seluruh penduduk. Komitmen ini bukan hanya komitmen

Depkes, Depkeu, atau Depnaker saja, akan tetapi komitmen berbagai perangkat

Page 97: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 96

pemerintah pusat dan daerah. Selain itu paket jaminan yang layak dan sesuai dengan

kemampuan keuangan merupakan faktor lain yang juga esensial. Besaran premi yang

apabila dikumpulkan dapat mencukupi kebutuhan biaya medis dan biaya operasional.

Selanjutnya pengelolaan yang profesional merupakan syarat mutlak agar sistem ini

sustainabel. Sejalan dengan profesionalisme tersebut, keterbukaan manajemen menjadi

kunci penting lain.

Manfaat eksternal Perlu disadari bahwa perluasan JPK tidak hanya sekedar bermanfaat melindungi

penduduk dari kesulitan biaya dan kesulitan pemenuhan kebutuhan kesehatannya, akan

tetapi sistem jaminan yang baik akan meningkatan produktifitas penduduk yang pada

akhirnya akan memberi manfaat besar bagi negara dan masyarakat itu sendiri. Dana yang

terkumpul dan belum digunakan dapat menjadi sumber dana pembangunan yang tidak

sedikit jumlahnya. Selain itu penyerapan tanaga kerja, khususnya tenaga medis dan

tenaga kesehatan lainnya akan sangat besar peranannya dalam menurunkan angka

pengangguran di tanah air ini. Lebih lanjut, sistem yang baik juga akan mampu

meluruskan dan mengurangi beban negara dalam membiaya pelayanan kesehatan bagi

penduduk. Rancang bangun JPK yang baik, akan mampu mengendalikan biaya yang

dapat membantu pemerintah memusatkan perhatian pada pembangunan lain. Sistem JPK

yang baik juga akan eningkatkan solidaritas sosial masyarakat Indonesia.

Untuk itulah, alternatif sistem JPK diajukan pada bab berikutnya. Menjadi

kewajiban kita bersama untuk memilih sistem yang paling baik bagi masyarakat, bukan

bagi pemerintah, pengusaha, atau kepentingan lain.

Page 98: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 97

Bab IV Alternatif Sistem Asuransi Kesehatan Indonesia

Sebagai alternatif sistem penyelenggaraan dengan pilihan kombinasi antara paket

dan penyelenggara dapat dilihat pada matriks di bawah ini

Paket jaminan dimulai dengan Penyelenggara

Opsi I. Rawat Inap dan biaya mahal

Opsi II. Komprehensif dengan cost sharing

Opsi III. Komprehensif tanpa cost sharing

Single payer di Propinsi. Perubahan UU

Efisien, egaliter, manajemen paling mudah, sustaina-bilitas tinggi

Efisien, egaliter, manajemen lebih kompleks, sustain-abilitas tinggi

Kurang efisien, ega-liter, manajemen kompleks, sustaina- bilitas tinggi

Oligo payer di Propinsi /Pusat.Penambahan / per ubahan UU

Efisien, egaliterdalam kelompok, manajemen paling mudah, sustaina-bilitas tinggi

Efisien, egaliter dalam kelompok, manajemen lebih kompleks, sustainabilitas tinggi

Kurang efisien, ega liter dalam kelom pok, manajemen kompleks, sustaina bilitas tinggi

Multi payer 1 di prop/ pusat Penambahan/ perubahan UU

Kurang efisien, egaliter dalam kelom pok, manajemen mu dah, risk pool mung kin masalah, sustaina bilitas mungkin masalah

Kurang efisien,egaliter dalam kelom pok, manajemen mudah, risk pool mungkin masalah, sustainabilitas mungkin masalah

Lebih kurang efi sien, egaliter dalam kelom pok, manaje men mudah, risk pool mungkin ma salah, sustainabilitas mungkin masalah

Multi payer 2 di Kab-kota/ Propinsi/ Pusat. Penambahan/Perubahan UU

Kurang efisien, egaliter dalam kelompok, manajemen mudah, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas

Kurang efisien, egaliter dalam kelompok, manajemen kompleks, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas

Paling tidak efisien, egaliter makin terbatas, manajemen sukar, risk pool masalah besar, ancaman sustainabilitas

Multi payer 3, dengan BAKN. Penambahan/Perubahan UU

Lebih kurang efisien, egaliter dalam kelompok, manajemen sukar, risk pool masalah, sustainabilitas masalah

Kurang efisien, egaliter dalam kelompok,manajemen kompleks, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas

Paling tidak efisien, egaliter makin terbatas, manajemen sukar, risk pool masalah besar, ancaman sustainabilitas

Page 99: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 98

Setelah didiskusikan bersama oleh berbagai unsur, alternatif badan penyelenggara

selaku payer mempunyai kelebihan dan kekurangan seperti dapat disajikan dari hasil

rumusan sebagai berikut.

Unsur Single payer Nasional

Single payer Propinsi

Oligo payer Nasional

Single collector, multi payer

Multi payer district I

Multi payer district II

Efisiensi +++++ ++++ +++ ++ ++ +/- Kualitas, responsif

+

++

++

++++

++++

++++

Kualitas, Pelayanan

++++

+++

+++

+++

+

+/-

Keterjangkauan +++++ ++++ +++ ++ ++ +/- Keberlanjutan +++++ +++++ +++++ +++ ++ +/- Subsidi silang +++++ ++++ ++++ ++++ + +/- Equity +++++ ++++ +++ ++++ ++ +/- Portabilitas +++++ ++++ ++++ +++ ++ +/- Desentralisasi +/- +++ +/- ++ ++++ ++++

Di dalam pengambilan keputusan bentuk apa pun yang paling pas untuk

Indonesia, berbagai bentuk di atas bukanlah merupakan yang eksklusif. Kombinasi beberapa bentuk dapat dilakukan. Yang paling penting untuk diingat ialah bahwa salah satu bentuk mungkin pas untuk saat ini kemudian pada masa yang akan datang dapat berubah menjadi bentuk yang lain. Misalnya, untuk satu badan asuransi Nasional meskipun banyak memiliki kelebihan sulit dilakukan saat ini karena situasi politik yang belum memungkinkan. Bentuk desentralisasi sampai tingkat propinsi merupakan bentuk yang dinilai oleh tim paling baik, ditinjau dari berbagai aspek tersebut diatas.

Badan Penyelenggara Status

Oleh karena bentuk pemberian JPK ini merupakan suatu bentuk asuransi sosial

yang bertujuan memenuhi kebutuhan bersama (gotong royong), maka Badan

Penyelenggara haruslah bersifat nirlaba. Badan ini akan dibentuk oleh Pemerintah

Propinsi dengan modal yang disisihkan dari kekayaan propinsi. Tidak tertutup

kemungkinan modal dari swasta, apabila ada swasta yang berminat memberikan

hibah/donasi kemanusiaan yang berkesinambungan (amal jariah). Bentuk yang ideal

Page 100: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 99

adalah suatu badan hukum, yang bukan perusahaan dan bukan BUMN/BUMD. Bentuk

usaha mutual (usaha bersama) merupakan alternatif yang mendekati bentuk ideal. Tidak

ada pendiri atau pemegang saham yang mempunyai hak veto atau suara mayoritas.

Dengan status nirlaba berarti bahwa apabila Badan Penyelenggara memperoleh surplus,

surplus tersebut tidak dikenakan pajak penghasilan badan dan tidak dibagikan kepada

pemegang saham. Sebagian surplus dapat digunakan untuk membayar insentif kepada

pengelola. Sisa surplus merupakan hak seluruh anggota, yang karenanya dapat

dikembalikan dalam bentuk pengembalian premi, peningkatan fasilitas atau mutu

pelayanan, atau pengurangan premi periode berikutnya. Perlu diperhatikan, bentuk badan

nirlaba seperti ini belum lazim di Indonesia, akan tetapi preseden badan semacam ini

sudah ada, yaitu berdasarkan PP No. 61/1999 tentang universitas sebagai badan hukum.

Yayasan yang diatur dalam undang-undang Yayasan yang baru mungkin dapat

mengakomodir badan seperti ini dan dapat berfungsi sementara.

Bentuk yang ideal dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ini adalah

sebagai suatu badan hukum tersendiri yang diatur dalam UU JPK. Bentuk badan hukum

seperti ini memungkinkan penyelenggaraan asuransi yang bertujuan sosial secara taat

asas dengan pengelolaan yang otonom, tanpa campur tangan birokrasi. Satu-satunya

kekuasaan yang mengatur diatasnya adalah Undang-undang tentang JPK ini.

Bapel-bapel yang sekarang ada atau pra bapel yang sebelumnya mengelola JPKM

JPSBK dapat mengkonversi diri menjadi bapel yang mempunyai wewenang mengelola

JPK ini apabila memenuhi syarat dan bersedia mematuhi peraturan yang ditetapkan

dalam Undang-undang ini. Apabila bapel-bapel tersebut tidak memenuhi syarat atau tidak

berkenan, maka mereka dapat menjadi perusahaan asuransi komersial atau menjadi grup

PPK yang melakukan kontrak dengan bapel, atau menjadi lembaga manajemen mutu dan

utilisasi yang independen.

Struktur organisasi

Di tiap propinsi hanya dapat dibentuk maksimum satu Badan Penyelenggara

otonom/independen untuk satu program. Misalnya di Jawa Barat, hanya boleh ada satu

badan penyelenggara Jamkeskop yang independen mengelola 95% dana premi yang

terkumpul. Sisa dana premi yang 5% akan dipool ditingkat nasional untuk membiayai

Page 101: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 100

pelayanan yang sangat mahal, yang tidak mampu ditanggung oleh bapel di tingkat

propinsi. besarnya batas bapel nasional menanggung biaya tersebut akan dirumuskan oleh

Asosiasi Komite Penetapan Premi yang merupakan organisasi anggota Komite di tingkat

Nasional. Pengaturan ini sangat penting untuk menjamin kecukupan pool resiko. Di tiap

kabupaten/kota dapat dibentuk kantor cabang sebagai perpanjangan tangan bapel di

tingkat propinsi akan tetapi tidak independen.

Tujuan badan penyelenggara ini adalah meningkatkan derajat kesehatan dan

produktifitas kerja para anggotanya secara adil dan merata.

Misi badan penyelenggara adalah menjamin bahwa kebutuhan medis setiap

anggotanya dapat terpenuhi tanpa harus memperhatikan kemampuan ekonomi anggota

tersebut.

Struktur organisasi Badan Penyelenggara paling sedikit terdiri atas:

Wali Amanat/Dewan Asuransi. Wali amanat paling sedikit terdiri atas wakil

peserta, wakil PPK, wakil pemerintah dan direktur utama bapel. Anggota Wali Amanat di

luar Direktur Utama dipilih oleh masyarakat setiap lima tahun sekali, bersamaan

waktunya dengan Pemilihan Umum.

Komite Penetapan Premi. Anggota komite terdiri atas beberapa orang aktuaris,

wakil peserta, wakil PPK, wakil organisasi profesi dan sorang direksi bapel. Anggota

Komite Penetapan Premi diangkat dan diberhentikan oleh Wali Amanat.

Komite Penetapan Tarif PPK. Komite ini terdiri atas wakil peserta, wakil PPK,

wakil organisasi profesi dan seorang direksi bapel. Anggota Komite Penetapan Tarif

diangkat dan diberhentikan oleh Wali Amanat.

Komite Penyelesaian Perselisihan. Komite ini terdiri atas wakil peserta, wakil

pemerintah, arbitrator, wakil PPK, wakil organisasi profesi dan seorang direksi. Anggota

Komite Penyelesaian Perselisihan diangkat dan diberhentikan oleh Wali Amanat.

Direksi. Direksi terdiri atas seorang direktur utama dan tiga orang direktur.

Direksi dipilih dan diangkat oleh Wali Amanat atas dasar seleksi yang mencakup

pengetahuan dan kemampuan teknis, kejujuran, kepemimpinan dan komitmen.

Beberapa Divisi (Kepesertaan, Keuangan, Pelayanan, Pengendalian Mutu dan

Divisi Umum). Kepala Divisi diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama.

Beberapa Kepala Cabang. Di tingkat Kabupaten/kota dapat dibentuk sebuah

Page 102: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 101

cabang yang dipimpin oleh kepala cabang. Kepala cabang diangkat dan diberhentikan

oleh Direktur Utama.

Susunan organisasi tersebut akan dilengkapi dengan unit-unit di bawahnya sesuai

dengan kebutuhan

Persyaratan

Badan penyelenggara idealnya didirikan pemerintah dengan modal awal yang

memadai sebagai hibah pemerintah. Pihak swasta yang ingin menghibahkan kekayaannya

juga dimungkinkan. Modal yang dihibahkan ini akan menjadi milik seluruh peserta.

Alternatif lain adalah setiap peserta dipungut iuran modal. Besarnya modal yang

diperlukan untuk sebuah bapel propinsi yang independen diperkirakan minimal sebesar

Rp. 25 milyar rupiah atau 3% dari premi yang diterima, mana yang lebih besar. Besarnya

modal tersebut diperlukan untuk menjamin bahwa bapel akan tetap solven dan mampu

mengelola resiko yang besar (risk based capital).

Pengurus pada tingkat pengambil keputusan dan manajerial badan penyelenggara

(seperti direktur, kepala divisi dan kepala cabang) harus memiliki pendidikan formal atau

profesional khusus asuransi kesehatan, untuk menjamin terselenggaranya JPK sesuai

dengan tujuan dan misi utamanya.

Tugas pokok

Wali Amanat. Wali amanat adalah lembaga perwakilan stakeholders yang

bertangung jawab memastikan bahwa badan penyelenggara selalu melakukan kegiatan

sesuai dengan tujuan dan misinya. Kedudukannya setara dengan pemegang saham.

Wali amanat bertugas melakukan seleksi dan menyetujui pengangkatan ketua dan

anggota komite.

Wali amanat bertugas melakukan seleksi dan menyetujui pengangkatan seluruh

direktur.

Wali amanat bertugas memeriksa dan menyetujui anggaran penerimaan, anggaran

pengeluaran dan pengembalian premi (premium refund) jika perlu.

Komite Penetapan Premi. Komite Penetapan Premi merupakan badan

kelengkapan Badan Penyelenggara yang berfungsi meyakinkan terkumpulnya dana yang

memadai dari para anggota secara adil (egaliter). Komite ini meninjau besaran premi

Page 103: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 102

yang diterima dari waktu ke waktu, menghitung besarnya premi komunitas untuk peserta

sukarela, menghitung besarnya dana cadangan yang diperlukan dan menghitung besarnya

pengembalian premi kepada peserta.

Komite Penetapan Tarif PPK. Komite ini melakukan pemantauan tarif PPK,

melakukan perhitungan tarif prospektif (paket, per diagnosis, per diem) dan menetapkan

perubahan tarif PPK.

Komite Penyelesaian Perselisihan. Komite ini bertugas menyelesaikan di luar

pengadilan, berbagai perselisihan yang timbul antara badan penyelenggara dengan

kelompok peserta, peserta perorangan, PPK dan konflik internal di dalam organisasi

badan penyelenggara.

Direksi. Direksi berfungsi melaksanakan berbagai keputusan Wali Amanat dan

Komite serta menjamin tercapainya tujuan dan misi program JPK. Direksi juga

mempertanggung jawabkan segala pengeluaran keuangan dan menjamin transparansi.

Direksi bertanggung jawab agar bapel selalu memenuhi tingkat solvabilitas tertentu.

Laporan kegiatan dan keuangan yang telah diaudit harus dapat diakses (melalui situs

Web) oleh para anggota. Direksi dibantu oleh beberapa divisi seperti berikut:

Divisi Kepesertaan. Membantu direksi dalam bidangnya.

Divisi Keuangan. Membantu direksi dalam bidangnya.

Divisi Pelayanan. Membantu direksi dalam bidangnya.

Divisi Pengendalian Mutu dan Utilisasi. Membantu direksi dalam bidangnya.

Divisi Umum. Membantu direksi dalam bidangnya.

Biaya manajemen/administrasi

Biaya manajemen/administrasi badan penyelenggara harus ditekan se-efisien

mungkin dan tidak boleh melebihi 10% dari total biaya penyelenggaraan dan pembiayaan

biaya pelayanan kesehatan.

Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) Untuk 10 tahun pertama dimana paket jaminan lebih diutamakan dengan berbagai

pelayanan medis yang mahal, maka PPK yang dikontrak adalah rumah sakit dan rumah

Page 104: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 103

sakit bersalin. Dokter keluarga pada periode 10 tahun pertama akan dipusatkan untuk melayani program yang sudah berjalan, yaitu JPK PNS dan JPK Jamsostek yang sudah memjamin pelayanan komprehensif. Sementara untuk program JPK baru yang dimulai dengan pelayanan rawat inap dan tindakan/terapi medis mahal, peran dokter keluarga tidak sebesar perannya pada kedua program diatas. Untuk menjamin pelayanan terstruktur dapat terselenggara dengan memuaskan, PPK yang dikontrak tersebut harus memiliki dokter keluarga binaan dimana PPK tersebut akan mendapatkan rujukan. Rujukan dari dokter keluarga harus diberikan umpan balik oleh PPK agar dokter keluarga dapat mengikuti perkembangan penyakit pasien yang dirujuknya. Rujukan yang kurang tepat harus diperbaiki agar tidak terulang kembali. Untuk periode 10 tahun pertama, dokter keluarga mendapat imbalan tunai dari anggota (karena belum dijamin). Setelah paket jaminan ditingkatkan menjadi paket komprehensif, dokter keluarga ini akan menjadi dokter primer yang berfungsi sebagai gatekeeper. Masa transisi 10 tahun tersebut diharapkan dapat membina hubungan dokter keluarga dengan anggota sehingga pada waktu ia menjadi gatekeeper, kepercayaan anggota dan pemahaman tentang pelayanan telah tumbuh dengan baik. Pada propinsi yang cukup mampu, paket jaminan dapat ditingkatkan menjadi paket komprehensif. Apabila hal ini sudah dapat dijalankan, maka bapel harus melakukan kontrak kumpulan dengan grup dokter.

Tugas pokok

Adapun tugas pokok PPK rumah sakit dan RSB adalah sebagai berikut:

Memeriksa kelayakan pengobatan anggota pada tingkat institusi. Pasien rujukan

yang tidak memerlukan perawatan tidak diperkenankan dirawat inap.

Memberikan pelayanan kesehatan, termasuk promotif-preventif terhadap pasien,

sesuai dengan kebutuhan medis peserta.

Mematuhi aturan manajemen utilisasi dan manajemen mutu.

Mengisi basis data laporan utilisasi dan menyerahkan disket laporan atau

mengirimkannya melalui email setiap tanggal 10 untuk utilisasi bulan sebelumnya.

Melakukan pembinaan dan jika mungkin memberikan kesempatan kepada dokter

primer untuk berinteraksi aktif dengan dokter spesialis yang merawat seorang anggota

dalam rangka memantau derajat kesehatan anggota yang menjadi tanggungannya.

Merujuk ke Dinas Kesehatan setiap orang sakit yang belum memiliki JPK tetapi

tidak mampu membayar biaya perawatan/pengobatan yang dibutuhkannya untuk

Page 105: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 104

mendapatkan subsidi pemerintah daerah.

Hak PPK

PPK mempunyai hak untuk:

1) Dilibatkan dalam melakukan kontrak dengan bapel apabila PPK setuju dengan tarif yang telah ditetapkan Komite Tarif dan setuju dengan persyaratan lain seperti manajemen mutu dan manajemen utilisasi.

2) Menerima pembayaran tepat waktu sesuai dengan tarif prospektif yang disepakati. 3) Secara bersama-sama dalam suatu propinsi, PPK berhak mengajukan permohonan

peninjauan tarif atau cara pembayaran. 4) Mengatur cara pembayaran dokter spesialis yang bertugas atau berpraktek di PPK

tersebut. 5) Mengambil keputusan medis atas pasien yang dirawat sesuai dengan standar

pelayanan medis yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi terkait yang tertinggi, yang dapat diberikan di PPK tersebut.

6) Ikut serta dalam komite penetapan premi, penetapan tarif dan penyelesaian perselisihan.

7) Mendapatkan informasi tentang kinerja bapel, peraturan-peraturan operasional yang terkait dengan pelayanan dan informasi tentang data demografik peserta.

Page 106: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 105

Bab V Pilihan untuk Indonesia

Pengantar

Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa Bangsa telah

menempatkan kesehatan sebagai salah satu hak asasi dan menyebutkan bahwa setiap

penduduk berhak atas jaminan manakala ia sakit. Deklarasi ini telah diikuti oleh

Konvensi International Labor Organization No 52 tahun 1948 yang memberikan hak

tenaga kerja atas sembilan macam jaminan termasuk diantaranya Jaminan Kesehatan.

Indonesia sebagai negara yang juga berpihak (yang telah meratifikasi) pada konvensi

tersebut secara bertahap wajib mewujudkan terselenggaranya jaminan kesehatan bagi

semua, sesuai dengan kemampuan dan perkembangan negara. Untuk Pegawai Negeri dan

keluarganya, Indonesia telah mewujudkan jaminan kesehatan mereka sejak tahun 1968.

Di tahun 1992 Indonesia telah mengeluarkan UU Jamsostek yang cakupan serta

manfaatnya masih sangat terbatas. Namun demikian, kedua jaminan tersebut tidak

mengalami perbaikan untuk masa yang cukup lama, sementara standar kebutuhan hidup

dan kebutuhan kesehatan telah berubah cukup banyak. Cakupan kedua program di atas,

yang dapat digolongkan sebagai program jaminan sosial, juga belum cukup memadai.

Program pensiun untuk pegawai swasta masih belum terwujud sama sekali. Jumlah dana

jaminan sosial yang terkumpul oleh dua program jaminan hari tua dan pensiun (PT

Jamsostek dan PT Taspen) sampai saat ini masih kecil sekali, sekitar Rp 28 triliun, atau

kurang dari 2% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah tersebut tentu belum mempunyai

daya ungkit yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Untuk merealisir komitmen Global Indonesia dalam bidang jaminan sosial, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat di tahun 2000 dan 2002 telah mengamendir UUD dengan mencantumkan pasal 28H dan pasal 34 yang menugaskan pemerintah untuk mengembangkan Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat. Secara universal jaminan sosial

Page 107: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 106

mencakup jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kesehatan termasuk jaminan persalinan (maternity benefits). Dengan amendemen UUD tersebut, maka landasan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat dengan mengembangkan dan memperluas jaminan sosial sudah sangat kuat.

Untuk melaksanakan amanat pengembangan jaminan sosial tersebut, Presiden telah mengeluarkan Kepres No. 20 tahun 2002 yang membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diketuai oleh Prof. Yaumil Agus Achir, Kepala BKKBN. Sebelum dikeluarkan Kepres tersebut, Tim sudah dibentuk dibawah SK Menko Kesra di bawah koordinasi Wakil Presiden yang pada waktu itu masih dijabat oleh Ibu Megawati. Dalam rapat-rapat Tim telah menyepakati bahwa sebuah jaminan sosial berdiri atas tiga pilar yaitu:

1. Pilar pertama yang tebawah adalah pilar Bantuan Sosial bagi mereka yang tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.

2. Pilar kedua adalah pilah Asuransi Sosial yang merupakan suatu sistem asuransi yang wajib diikuti bagi semua penduduk yang mempunyai penghasilan dengan membayar iuran yang proporsional terhadap penghasilannya.

3. Pilar ketiga adalah pilar tambahan atau suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan yang lebih besar dari kebutuhan standar hidup yang layak dan mampu menyediakan jaminan tersebut. Pilar ini dapat diisi dengan asuransi komersial, tabungan sendiri, atau program-program lain yang dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok.

Tim telah menyepakati untuk mengembangkan (memperluas dan memperbaiki

sistem jaminan sosial yang ada) substansi jaminan sosial yang meliputi jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan pemutusan hubungan kerja, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Dalam hal penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional di Indonesia, Tim telah mempersiapkan naskah akademik dan telah menyepakati bahwa secara kelembagaan Jaminan Sosial Nasional akan terdiri atas tiga lembaga yaitu Lembaga Jaminan Sosial Nasional yang merupakan suatu Majelis Wali Amanat yang berfungsi sebagai pengambil kebijakan dan pengawasan yang tidak

Page 108: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 107

operasional, satu Badan Penyelenggara Jaminan yang bersifat jangka panjang (jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan pemutusan hubungan kerja) dan satu Badan Penyelenggara Jaminan yang bersifat jangka pendek (jaminan kecelakaan kerja dan jaminan pemeliharaan kesehatan). Tim juga telah menyepakati untuk memperluas jaminan mulai dengan sektor formal (sektor yang menerima upah/gaji) yang merupakan sektor yang paling mudah dikelola dan penduduk miskin yang iurannya dibayar oleh pemerintah pusat dan daerah. Secara bertahap jaminan akan diperluas kepada sektor informal yang tidak miskin sehingga suatu saat seluruh rakyat mendapat jaminan untuk bisa hidup sehat, layak, dan produktif.

Landasan Hukum yang kini tersedia dalam atau melandasi sistem jaminan sosial

di sektor kesehatan adalah: 1. UUD 45 amendemen pasal 28H ayat 1, bahwa setiap penduduk berhak atas

pelayanan kesehatan

2. UUD 45 amendemen pasal 34 ayat 2, bahwa negara mengembangkan sistem

jaminan sosial bagi seluruh rakyat

3. UUD 45 amendemen pasal 34 ayat 3, bahwa negara bertanggung jawab atas

penyediaan fasilitas kesehatan yang layak

4. UU No 3/92 tentang Jamsostek

5. PP 69/91 tentang JPK PNS

6. UU No 23/92 tentang Kesehatan, khususnya pasal 66

7. UU 43/99 tentang pegawai negeri sipil dan PP 28/2003 tentang iuran

pemerintah untuk asuransi kesehatan pegawai negeri sipil

Dalam dokumen ini hanya akan dibahas subsitem jaminan yang bersifat jangka

pendek yang jaminannya diberikan dalam bentuk pelayanan, bukan uang, yaitu yang mencakup sub sitem jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja. Sebelum pokok-pokok pengaturan yang dapat diambil untuk pasal-pasal dalam RUU JSN atau RUU JKN, maka disajikan ringkasan sub sistem di bawah ini.

Page 109: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 108

Ringkasan untuk sub sistem JKN Menurut Susenas 2001, sekitar 40 juta penduduk Indonesia (20,2%) memiliki

jaminan kesehatan dengan manfaat yang bervariasi. Namun demikian, 6,8% atau sekitar

13,2 juta penduduk tersebut memiliki jaminan dalam bentuk Kartu Sehat atau jaminan

sementara yang merupakan program Jaring Pengaman Sosial yang pada akhir tahun 2002

ini akan berakhir. Dengan demikian, hanya sekitar 27 juta penduduk (hampir 14%) saja

yang memiliki jaminan yang berkesinambungan. Padahal, data-data survei angkatan kerja

maupun data Susenas menunjukkan bahwa antara 24 – 30 juta penduduk selama kurun

waktu lima tahun terakhir melakukan hubungan kerja formal. Jika rata-rata setiap pekerja

memiliki dua tanggungan saja, maka antara 75-90 juta jiwa seharusnya sudah memiliki

jaminan kesehatan. Selain itu, jaminan yang dimiliki oleh 14% penduduk itupun tidak

seragam dan tidak selalu memenuhi kebutuhan medik penduduk karena masih ada cost

sharing yang cukup besar pada askes pegawai negeri dan tidak dijaminnya pengobatan

mahal seperti kanker, hemodialisa dan operasi jantung pada program JPK Jamsostek.

Selain itu, mereka yang membeli (dibelikan oleh majikan) asuransi kesehatan atau JPKM

juga mempunyai manfaat yang bervariasi yang tidak selalu memenuhi kebutuhan medik

penduduk. Rendahnya cakupan penduduk dan kurang memadainya jaminan disebabkan

karena perundang-undangan yang ada sekarang ini telah lama tidak disesuaikan dengan

kebutuhan yang berubah. Oleh karenanya, perubahan perundangan untuk memperluas

cakupan penduduk dan memperbaiki manfaat jaminan sudah tidak dapat ditunda lagi.

Tujuan dan Manfaat.

Perluasan program JKN bertujuan untuk memperluas cakupan penduduk yang

memiliki jaminan kesehatan yang memadai sehingga mereka memiliki kepastian

untuk dapat memenuhi kebutuhan mediknya, terlepas dari kondisi ekonomi mereka.

Manfaat bagi penduduk adalah bahwa mereka akan dengan tenang melakukan

kegiatan produksinya setiap hari sehingga pada akhirnya hal tersebut akan

meningkatkan pendapatan negara melalui pajak penghasilan atau pajak penjualan

hasil produksi penduduk tersebut.

Page 110: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 109

Prinsip dasar

Dari sub sistem JKN adalah penyelenggaraan asuransi sosial yang menjamin solidaritas luas diantara berbagai penduduk, penyelenggaraan yang efisien dengan menerapkan teknik-teknik kendali biaya (managed care), menjamin portabilitas dan penyelenggaraan yang akuntabel, transparan, dan responsif. Untuk menjamin semua penduduk turut serta, maka pada tahap awal seluruh pemberi kerja diwajibkan mendaftarkan tenaga kerja dan anggota keluarganya ke JKN dan sekaligus membayar iuran secara rutin ke rekening JKN. Besarnya iuran adalah antara 5-6% dari gaji (ada usulan 3% untuk tenaga kerja lajang, tapi administrasi menjadi sulit) yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja. Penduduk miskin akan didaftarkan oleh Dinas Kesehatan setempat yang preminya akan diperhitungkan sebesar rata-rata premi pekerja formal di daerah tersebut. Anggota yang telah terdaftar akan mendapatkan kartu anggota untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang komprehensif di jaringan pemberi pelayanan kesehatan (PPK) yang telah mengikat kontrak dan sepakat memberikan pelayanan dengan standar mutu yang ditetapkan JKN. Untuk mengendalikan moral hazard, setiap kali anggota memerlukan pelayanan, maka anggota harus membayar iur biaya (cost sharing) yang tidak besar tetapi cukup mengendalikan pelayanan dan biaya. Besarnya iur biaya bervariasi antara 10-30% tergantung jenis pelayanan. Untuk menghindari beban berat bagi peserta, maka iur biaya dibatasi sampai maksimum sebesar satu bulan UMP. Dana iur biaya merupakan hak PPK yang jumlahnya telah diperhitungkan dalam kalkukasi pembayaran prospektif. Untuk mengurangi moral hazard dari sisi PPK, maka JKN akan melakukan telaah utilisasi (utilization review) guna menjamin ketepatan penggunaan dan kualitas pelayanan yang dapat diterima oleh anggota.

Strategi pengembangan

Karena pada saat ini jumlah penduduk di sektor formal yang pasti lebih mudah

diorganisir masih banyak yang belum memiliki jaminan, maka pada 5-10 tahun

pertama perluasan kepesertaan akan dipusatkan pada kelompok sektor formal,

khususnya yang berada di perkotaan, dan penduduk miskin sebagai pengganti

JPSBK. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan dan kesiapan PPK untuk melayani

jumlah anggota yang besar. Sasaran perluasan terutama ditujukan kepada tenaga

Page 111: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 110

kerja yang saat ini sama sekali belum memiliki jaminan. Pada saat yang bersamaan,

penduduk miskin yang tidak mampu membiayai pelayanan medik yang

dibutuhkannya akan mendapatkan jaminan dengan premi yang dibayarkan oleh

pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Cakupan bagi penduduk sektor informal

akan dilakukan pada tahap berikutnya. Untuk menjamin bahwa penduduk sektor

informal dapat memenuhi kebutuhan mediknya, maka pelayanan kesehatan di

fasilitas pemerintah masih harus mendapatkan subisi yang ditujukan bagi mereka

yang bukan anggota JKN.

Kelembagaan.

Secara prinsip, Tim SJSN telah sepakat bahwa badan penyelenggara haruslah

bersifat nirlaba (prinsip Trust Fund atau Public Corporation). Ada berbagai pilihan

kelembagaan dari yang terpusat sampai yang tersebar (desentralisasi). Semakin

terpusat, penyelenggaraan semakin efisien dan semakin portabel tetapi juga kurang

responsif terhadap perubahan kebutuhan anggota. Sebaliknya semakin banyak

penyelenggara maka semakin tidak efisien dan tidak portabel akan tetapi semakin

responsif terhadap perubahan kebutuhan anggota. Agar penyelenggaraan benar-benar

memihak kepada anggota, maka biaya administrasi dibatasi sampai maksimum 5%

dari seluruh iuran yang diterima. Pilihan kelembagaan didasarkan pada manfaat

terbesar bagi anggota/rakyat.

Key Success Factor:

Penyelenggaran JKN maupun JKK akan berhasil apabila:

1. Mendapat dukungan dari pemberi kerja dan organisasi tenaga kerja yang

memahami bahwa program tersebut pada akhirnya akan bermanfaat untuk

meningkatkan produktifitas mereka.

2. Manfaat yang diberikan cukup layak dan memadai jumlah dan mutunya.

Oleh karenanya pelayanan medik yang mahal harus dijamin, sementara

pelayanan yang murah dapat dikurangi. Besarnya manfaat harus secara reguler,

dalam periode yang wajar, disesuaikan dengan kebutuhan.

Page 112: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 111

3. Jumlah iuran harus cukup memadai untuk membiayai manfaat yang

diberikan. Jumlah iuran yang melebihi manfaat yang diberikan akan lebih baik

karena kelebihan dana akan diakumulasi. Akan tetapi jumlah iuran yang terlalu

besar dapat memberatkan sektor usaha dan karenanya dapat menurunkan angka

partisipasi.

4. Penyelenggaraan dilakukan dengan profesional, transparan, bersih, dan

bertanggung-jawab. Oleh karenya seluruh peserta harus bisa memperoleh

informasi akurat tentang penyelenggaraan.

5. Adanya kestabilan politik dan ekonomi yang memungkinkan dunia

usaha berkembang dengan inflasi yang terkendali dan prediktabel

6. Adanya dukungan pemerintah yang kuat yang menjamin berbagai pihak

memenuhi kewajibannya

Prinsip Dasar:

• Prinsip solidaritas sosial. Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan

Jaminan/Asuransi Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan berdasarkan

prinsip asuransi sosial yang wajib untuk menuju cakupan universal (universal

coverage) yang akan dicapai secara bertahap, sehingga tercipta subsidi silang

antara yang kaya kepada yang miskin, antara yang muda kepada yang tua, dan

antara yang sehat kepada yang sakit.

• Prinsip efisiensi. Jaminan terutama diberikan dalam bentuk pelayanan yang

terkendali utilisasi dan biayanya dan dalam bentuk santunan uang untuk

kondisi tertentu yang akan ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Dalam

efisiensi sistem (pengendalian biaya), peserta diwajibkan membayar iur biaya

(co-insurance) setiap kali peserta memanfaatkan pelayanan. Iur biaya program

JKK ditanggung oleh pemberi kerja.

• Prinsip ekuitas. Program JKN diselenggarakan berdasarkan prinsip keadilan

dimana setiap penduduk, tanpa memandang suku, bangsa, agama, aliran

politik, dan status ekonominya, harus memperoleh pelayanan kesehatan sesuai

Page 113: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 112

dengan kebutuhan medisnya dan membayar iuran sesuai dengan kemampuan

ekonominya.

• Prinsip komprehensif. Jaminan program JKN bersifat komprehensif sesuai

dengan kebutuhan medik.

• Prinsip portabilitas. Seorang peserta tidak boleh kehilangan

perlindungan/jaminan bagi dirinya apabila ia pindah tempat tinggal, pindah

kerja, atau sementara tidak bekerja.

• Prinsip nirlaba (not for profit). Pengelolaan program JKN diselenggarakan atas

dasar nirlaba. Badan penyelenggara dibebaskan dari kewajiban membayar

pajak penghasilan badan atas anggaran atau sisa hasil usaha. Karena badan

penyelenggara adalah milik anggota, badan penyelenggara tidak membayarkan

dividen atas sisa anggaran atau sisa hasil usaha

• Prinsip responsif. Penyelenggaraan JKN harus responsif dengan tuntutan

anggota sesuai dengan perubahan standar hidup para anggota

• Prinsip koordinasi manfaat. Dalam pemberian jaminan, tidak boleh terjadi

duplikasi jaminan atau pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan, baik

antar program di dalam JKN maupun antara program JKN dengan program

asuransi atau jaminan lain seperti jaminan kecelakaan lalu lintas yang diterima

oleh anggota

Ketentuan Umum

1.3. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu Sistem perlindungan sosial guna

menjamin seluruh rakyat Indonesia mencukupi kebutuhan hidup minimal yang

layak sesuai dengan amanat UUD 45 pasal 28H(3) dan Pasal 34(3).

1.4. Lembaga Jaminan Sosial Nasional adalah Suatu Lembaga di tingkat nasional

yang dibentuk Presiden atas dasar Undang-undang Jaminan Sosial Nasional

(JSN) yang bertugas menerbitkan Nomor Jaminan Sosial, menerima dan

Page 114: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 113

menyalurkan dana JSN kepada Badan Penyelenggara (Dana Jaminan Sosial, DJS

dan Jaminan Kesehatan Nasional, JKN) membuat kebijakan umum JSN yang

perlu diatur yang belum diatur oleh UU atau peraturan pemerintah, dan

mengawasi DJS dan JKN.

1.5. Badan Penyelenggara DJS adalah badan di tingkat Nasional yang bertugas

mengelola dana iuran dan pemberian jaminan hari tua, pensiun, kematian, dan

pemutusan hubungan kerja. Badan ini hanya satu, yaitu di tingkat nasional saja.

1.6. Badan Penyelenggara JKN (National Health Insurance) adalah badan di tingkat

Nasional yang bertugas mengelola dana iuran jaminan Kecelakaan kerja, jaminan

kesehatan dan pelayanan kesehatan bagi seluruh anggotanya

1.7. Peserta adalah mereka yang membayar iuran yaitu tenaga kerja yang menjalin

hubungan kerja dengan pemberi kerja, penerima pensiun, kepala keluarga pekerja

swakarya yang memiliki penghasilan, dan kepala keluarga miskin telah

didaftarkan atau mendaftarkan diri ke LJSN atau JKN

1.8. Anggota adalah yang berhak menerima manfaat yaitu istri, suami, anak yang sah,

orang tua kandung, dan mertua dari peserta yang belum terdaftar oleh peserta

lainnya.

1.9. Pemberi kerja adalah badan hukum usaha, pemerintah pusat, pemerintah daerah,

atau perseorangan yang menjalin hubungan kerja, baik melalui hubungan kerja

sama tertulis maupun tidak tertulis, dengan memberi upah atau berpenghasilan

tetap atau tidak tetap

1.10. Tenaga kerja adalah setiap orang yang berusia diatas 14 tahun (sesuai

dengan UU ketenaga-kerjaan yang berlaku) yang mampu berproduksi secara

ekonomis, baik melalui hubungan kerja maupun melalui usaha sendiri

(swakarya)

1.11. Pensiunan adalah tenaga kerja yang telah menyelesaikan aktifitas kerja

untuk memperoleh penghasilan, dengan memperoleh uang pensiun, dari dana

Page 115: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 114

pensiun yang ada pada waktu jaminan sosial ini diundangkan dan atau dari

Bapel JSN

1.12. Upah adalah kompensasi yang berupa uang yang menjadi hak tenaga kerja

atas pekerjaan/jasa yang dilakukan/diberikan

1.13. Uang pensiun adalah hak pensiun bulanan yang diterima pensiunan dari

DJS dan atau dana pensiun pemberi kerja atau dana pensiun lembaga keuangan

1.14. Iuran adalah sejumlah dana yang wajib dibayarkan oleh peserta dan

pemberi kerja atau oleh pemerintah untuk penyelenggaraan JKN dan DJS yang

besarnya ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan

1.15. Paling lambat pada akhir tahun 2030 setiap penduduk Indonesia harus

telah menjadi anggota JKN

Penyelenggaraan JKN

2.1. Untuk menindak-lanjuti amanat rakyat seperti yang telah dicantumkan dalam

UUD 45 hasil amendemen II, III, dan IV, maka dibentuk Badan Penyelenggara

JKN untuk jaminan kecelakaan kerja dan kesehatan yang penyelenggaraannya

dikoordinir oleh Lembaga Jaminan Sosial Nasional

2.2. Untuk memberikan perlindungan kepada penduduk Indonesia atas kebutuhan

pemeliharaan kesehatan dan jaminan/santunan kecelakaan kerja maka

diselenggarakan jaminan kesehatan nasional

2.3. Untuk memberikan perlindungan dalam bidang kesehatan dan kecelakaan kerja,

negara mendirikan Badan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bidang jaminan kecelakaan kerja dan

jaminan kesehatan

2.4. Agar setiap penduduk dapat menerima jaminan setiap saat terjadinya kebutuhan

sosial, maka Lembaga Jaminan Sosial Nasional menyusun NOMOR JAMINAN

Page 116: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 115

SOSIAL NASIONAL (SOCIAL SECURITY NUMBER) yang unik yang berlaku

seumur hidup yang merupakan nomor identitas penduduk dimanapun ia bekerja,

tinggal, atau mendapatkan jaminan sosial

2.5. Untuk memenuhi hak-hak penduduk dan memenuhi kecukupan dana untuk itu

setiap pemberi kerja wajib mendaftarkan tenaga kerja yang dipekerjakannya

atau keluarga miskin yang menjadi tanggung jawabnya dan anggota keluarga

mereka paling lambat satu bulan sejak hubungan kerja, baik disepakati secara

tertulis maupun tidak tertulis.

Badan Penyelenggara dan kewenangan badan penyelenggara

3.1. Di tingkat Nasional dibentuk Lembaga Jaminan Sosial Nasional, Badan Jaminan

Sosial Nasional, dan Badan Jaminan Kesehatan Nasional

3.2. Lembaga JSN, Badan JSN, dan Badan JKN dibentuk oleh Presiden Republik

Indonesia atas dasar UU Jaminan Sosial Nasional

3.3. Lembaga JSN (LJSN) mempunyai kewenangan:

3.3.1. Melakukan koordinasi penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat

3.3.2. Melakukan pengawasan kepada badan penyelenggara untuk menjamin

bahwa segala sesuatu yang diatur oleh UU JSN dapat dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundangan

3.3.3. Menerbitkan Nomor Penduduk

3.3.4. Memberikan sangsi administratif dan atau mengusulkan tindakan hukum

kepada pengelola DJS dan JKN yang menyalah gunakan kewenangannya

3.4. Badan Jaminan Sosial Nasional mempunyai tugas dan wewenang

3.4.1. Mematuhi segala segala sesuatu yang diatur dalam peraturan perundangan

JSN

Page 117: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 116

3.4.2. Mengelola iuran peserta dengan melakukan investasi jangka panjang dan

jangka pendek yang optimal

3.4.3. Membayarkan jaminan yang menjadi hak peserta dan atau ahli warisnya

3.4.4. Melaksanakan segala peraturan lain yang diatur oleh lembaga yang

berwenang atau pemerintah

3.5. Badan Jaminan Kesehatan Nasional mempunyai tugas dan wewenang

3.5.1. Mematuhi segala sesuatu yang diatur dalam peraturan perundangan JSN

3.5.2. Mengelola iuran peserta dengan melakukan investasi jangka panjang dan

jangka pendek yang optimal

3.5.3. Melakukan kontrak dengan pemberi pelayanan kesehatan (PPK),

menjamin anggota mendapatkan pelayanan yang bermutu dan sesuai

dengan kebutuhan medis dari PPK tersebut dan membayarkan jaminan

yang menjadi hak peserta dan atau ahli warisnya

3.5.4. Melaksanakan segala peraturan lain yang diatur oleh lembaga yang

berwenang atau pemerintah

3.6. Di tingkat propinsi dapat dibentuk kantor cabang DJS dan JKN yang mempunyai

otonomi dalam penyelenggaraan dan pelayanan kepada anggota

3.7. Bentuk dan struktur Lembaga dan Badan Penyelenggara

3.7.1. Lembaga LJSN, DJS, dan JKN merupakan Badan Public (Public

Corporation/Trust Fund) yang dibentuk khusus dengan undang-undang ini

yang bersifat otonom dan TIDAK MENCARI UNTUNG

3.7.2. Lembaga JSN merupakan sebuah majelis yang terdiri atas 21 orang ahli

atau tokoh masyarakat yang mempunyai integritas nasional tinggi, jujur,

tidak pernah terlibat pelanggaran hukum, dan berkompeten melaksanakan

tugasnya. Lembaga LJSN dikepalai oleh seorang Kepala

Page 118: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 117

3.7.3. Badan DJS dan BJKN terdiri atas Majelis Wali Amanat (Board of

Trustees), Badan Eksekutif, Komite Aktuaria dan investasi, Komite

Perselisihan, dan Komite Pelayanan

3.7.4. Majelis Wali Amanat adalah lembaga kebijakan tertinggi di dalam

LJSN/JKN yang mempunyai kewenangan menetapkan berbagai kebijakan

dalam penyelenggaraan LJSN/BJKN

3.7.5. Dalam menetapkan kebijakannya MAW mendapatkan masukan dan

rekomendasi dari Komite terkait

3.7.6. Anggota MWA terdiri atas 11 orang dengan komposisi sebagai berikut:

wakil pemerintah (2 orang), wakil peserta/serikat pekerja (4 orang), wakil

pemberi kerja (3 orang), dan wakil ahli/pakar bidang asuransi

kesehatan/kecelakaan kerja (2 orang)

3.7.7. Menteri Kesehatan atau Menteri yang bertanggung jawab atas kesehatan

atau orang yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan merupakan anggota tetap

MWA yang mewakili pemerintah di dalam JKN

3.7.8. Di tingkat Nasional, Anggota LJSN, anggota Majelis Wali Amanat dan

Direktur Utama beserta Direktur Executif JSN/JKN dipilih melalui seleksi

kompetensi (fit and proper test) oleh tim yang dibentuk oleh Kepala

Negara berdasarkan usulan calon dari organisasi masyarakat terkait

3.7.9. Calon anggota MWA diusulkan oleh organisasi terkait dan sekurang-

kurangnya mendapatkan dukungan tertulis dari paling sedikit 10 organisasi

sejenis ditingkat nasional ataupun propinsi sesuai dengan tingkat

perwakilan MWA yang diwakilinya

3.7.10. Komite Aktuaria dan Investasi, Komite Perselisihan, dan Komite

Pelayanan terdiri atas sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang ketua dan

anggota yang merupakan para ahli di bidanganya

Page 119: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 118

3.7.11. Komite Aktuaria dan Investasi melakukan penilaian tentang kelayakan

premi dan perumusan investasi

3.7.12. Komite perselisihan memantau dan menyelesaikan secara internal

berbagai perselisihan yang menyangkut pembayaran iuran, pembayaran

kepada PPK, dan perselisihan lain yang melibatkan badan, anggota,

pemberi kerja, dan atau PPK

3.7.13. Komite pelayanan melakukan penilaian tentang mutu pelayanan PPK,

persyaratan mutu pelayanan, dan melakukan telaah (review) terhadap

pelayanan yang diberikan kepada anggota

3.7.14. Anggota Komite dipilih dan ditetapkan oleh MWA

3.7.15. Masa bakti anggota MWA dan Komite adalah 5 (lima) tahun.

3.7.16. Tiap anggota MWA dan Komite dapat dipilih/diangkat kembali untuk

paling banyak satu periode masa bakti berikutnya

3.7.17. Untuk menjamin kesinambungan kebijakan, penggantian anggota MWA

dan Komite dilakukan tiap tengah periode untuk memilih separuh (separuh

ditambah satu) anggota, sedangkan separuh (separuh ditambah satu)

anggota lainnya diganti pada akhir periode.

3.7.18. MWA mempunyai kewenangan untuk menyusun struktur organisasi

Badan Eksekutif yang efisien, mengawasi Badan Eksekutif dan membuat

kebijakan umum tentang premi, investasi, pemberian jaminan, dan hal-hal

lain yang belum diatur oleh UU JSN atau peraturan pemerintah

3.8. Badan penyelenggara jaminan sosial yang ada pada saat UU JSN ini

diundangkan (PT Jamsostek dan PT Taspen) dan aset-aset yang dimilikinya

secara bertahap akan dilebur menjadi DJS dalam waktu 5 (lima) tahun sejak UU

ini diundangkan dalam lembaran negara

Page 120: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 119

3.9. Badan penyelenggara PT Asuransi Kesehatan Indonesia dan Progam JPK

Jamsostek dan aset-aset yang dimilikinya secara bertahap dilebur menjadi BJKN

dalam waktu 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini diundangkan dalam

lembaran negara

3.10. Pengelolaan Keuangan

3.10.1. Iuran yang dibayarkan oleh pemberi kerja atau peserta ke LJSN secara

otomatis dipisahkan untuk akun DJS dan JKN oleh bank penerima iuran

3.10.2. Badan pengelola JKN hanya dapat menggunakan maksimum 15% iuran

yang diterima pada 5 tahun pertama, maksimum 10% pada tahun ke 6-10,

dan 5% pada tahun ke 11 dan seterusnya untuk biaya administrasi.

3.10.3. Dana iuran yang terkumpul dalam rekening JKN dan dana cadangan yang

belum digunakan dapat diinvestasikan dengan ketentuan sebagai berikut:

3.10.3.1. Paling sedikit 70% dana harus ditanamkan di propinsi/kota/ kabupaten

di mana iuran terkumpul

3.10.3.2. Sebanyak-banyaknya 5 (lima) persen dana yang tersedia dapat di-

tanamkan sebagai penyertaan saham di perusahaan negara atau swasta

3.10.3.3. Sebanyak-banyaknya 5 (lima) persen dana yang tersedia dapat

ditanamkan dalam bentuk investasi properti

3.10.3.4. Sedikit-dikitnya 90% dana tersedia harus ditanamkan dalam instrumen

deposito di bank pemerintah atau dalam obligasi dana pemerintah pusat

maupun daerah

3.10.4. Badan JKN dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penghasilan

badan atas sisa lebih anggaran pada akhir tahun anggaran

Page 121: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 120

3.10.5. Sisa anggaran lebih pada tahun anggaran disimpan atas nama badan

sebagai dana cadangan akumulasi dan dikelola oleh Badan Pengelola

untuk kepentingan seluruh anggota

3.10.6. Akuntabilitas keuangan JKN diperiksa secara reguler oleh Badan

Pemeriksa Keuangan dan diumumkan kepada publik

3.10.7. Dalam hal tertentu, akuntan publik dapat dimintakan jasanya untuk

melakukan pemeriksaan keuangan tambahan

3.11. Paling sedikit 60% Direktur dan manajer pengelola badan penyelenggara harus

mempunyai latar belakang pendidikan akademis dan atau profesi yang terkait

dengan asuransi kesehatan dan atau jaminan sosial

Kewajiban Pemberi Kerja

3.12. Setiap pemberi kerja, baik swasta maupun pemerintah, yang

mempekerjakan satu orang tenaga kerja atau lebih wajib, tanpa kecuali,

mendaftarkan tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja dengannya dan

seluruh anggota keluarga tenaga kerja yang sah kepada LJSN atau JKN

3.13. DJS atau dana pensiun wajib mendaftarkan seluruh pesertanya yang belum

pernah terdaftar pada LJSN atau JKN paling lambat satu bulan setelah peserta

berhak menerima pensiun

3.14. Koperasi usaha yang melakukan kegiatan usaha yang merupakan sumber

penghasilan utama para anggotanya diperlakukan sebagai pemberi kerja dan

wajib mendaftarkan anggota koperasi beserta anggota keluarganya ke LJSN atau

JKN terdekat

3.15. Dinas Kesehatan pemerintah kota/kabupaten wajib mendaftarkan seluruh

anggota keluarga miskin, anak terlantar, dan penduduk berusia 65 tahun atau

Page 122: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 121

lebih (lanjut usia) kepada JKN paling lambat pada akhir tahun ke 10 setelah UU

ini dicantumkan dalam lembaran negara

3.16. Penegakan hukum pelaksanaan kewajiban pemberi kerja dilakukan secara

bertahap dengan urutan mulai.

3.16.1. Seluruh pemberi kerja yang mempekerjakan 10 orang atau lebih harus

sudah mendaftarkan seluruh tenaga kerja dan anggota keluarganya kepada

LJSN atau JKN paling lambat pada akhir tahun ke lima setelah UU ini

dicantumkan dalam lembaran negara

3.16.2. Seluruh pemberi kerja yang mempekerjakan 5-9 orang harus sudah

mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya dan anggotanya kepada LJSN atau

JKN paling lambat pada akhir tahun ke delapan setelah UU ini

dicantumkan dalam lembaran negara

3.16.3. Seluruh pemberi kerja yang mepekerjakan 1-4 orang tenaga kerja wajib

mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya dan anggota keluarganya kepada

LJSN atau JKN paling lambat pada akhir tahun ke 10 setelah UU ini

dicantumkan dalam lembaran negara

3.16.4. DJS atau dana pensiun wajib mendaftarkan seluruh pesertanya paling

lambat pada akhir tahun ke-10 setelah UU JSN diundangkan

3.16.5. Badan hukum koperasi usaha yang mempunyai usaha yang merupakan

sumber penghasilan utama anggota koperasi harus telah mendaftarkan

anggotanya paling lambat pada akhir tahun ke 15 setelah UU JSN

diundangkan

3.16.6. Kepada Dinas Kesehatan Kota/Propinsi harus telah mendaftarkan seluruh

keluarga miskin dan penduduk lanjut usia yang belum pernah terdaftar

dalam LJSN atau JKN paling lambat pada akhir tahun ke 15 setelah UU

JSN ini diundangkan

Page 123: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 122

3.16.7. Penduduk swakarya harus dapat mendaftarkan setiap saat dan paling

lambat pada akhir tahun 2030 seluruh penduduk swakarya harus sudah

mendaftarkan diri ke LJSN/JKN

3.17. Paling lambat satu bulan sejak terjadinya perubahan status anggota

keluarga tenaga kerja, baik karena hubungan pernikahan atau karena kelahiran,

pemberi kerja wajib menyampaikan perubahan tersebut kepada LJSN dengan

tembusan kepada JKN

Pembayaran iuran

5.1. Paling lambat tanggal 10 tiap-tiap bulan, pemberi kerja, koperasi usaha, dan Dinas Kesehatan wajib menyetorkan iuran peserta ke rekening LJSN dan rekening JKN pada bank pemerintah yang ditunjuk untuk itu.

5.2. Besarnya iuran adalah sebagai berikut

5.2.1. Pemberi kerja wajib mengiur program JHT sebesar 2% dari upah dan tenaga kerja wajib mengiur 1% dari upah

5.2.2. Pemberi kerja wajib mengiur program pensiun sebesar 4% dari upah dan tenaga kerja wajib mengiur 4% dari upah

5.2.3. Pemberi kerja wajib mengiur sebesar 1% dari upah untuk program jaminan kematian

5.2.4. Pemberi kerja wajib mengiur sebesar 3% dari upah untuk program jaminan pemutusan hubungan kerja

5.2.5. Pemberi kerja wajib mengiur 0,2-1,7% dari upah sesuai dengan tabel kelompok jenis usaha yang ditetapkan oleh surat keputusan presiden untuk iuran progam jaminan kecelakaan kerja

5.2.6. Pemberi kerja wajib membayarkan 6% dari upah tenaga kerja bulanan yang diambil 3% dari upah tenaga kerja dan 3% sisanya merupakan kewajiban pemberi kerja untuk iuran JKN.

Page 124: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 123

5.2.7. DJS dan Dana Pensiun membayarkan 3% uang pensiun utama yang diambil dari uang pensiun yang harus dibayarkan kepada pensiunan. DJS dan Dana Pensiun tidak wajib memberikan kontribusi untuk JKN

5.2.8. Dinas Kesehatan, koperasi, dan pekerja swakarya membayarkan iuran sebesar 110% rata-rata biaya pelayanan per keluarga tahun sebelumnya di suatu kota/kabupaten sesuai dengan tabel biaya pelayanan tahunan yang diterbitkan Komisi aktuaria.

5.3. Besarnya upah dimaksud adalah upah tenaga kerja sebelum dipotong pajak penghasilan dengan jumlah maksimum upah untuk perhitungan iuran asuransi kesehatan pada awal berlakukan JSN ini adalah Rp 5 (10) juta per bulan.

5.4. Iuran JKN yang dibayarkan oleh pemberi kerja dapat diperhitungkan sebagai biaya produksi pemberi kerja

5.5. Tenaga kerja yang mempunyai upah atau penghasilan diatas Rp 50 juta sebulan

pada saat JSN ini diundangkan, yang dibuktikan dengan melampirkan surat

pemberitahun pajak tahun sebelumnya yang telah dilegalisasi oleh kantor pajak

setempat, dapat mengajukan permohonan kepada LJSN atau JKN untuk

dibebaskan dari pembayaran iuran JKN akan tetapi yang bersangkutan wajib

membeli asuransi kesehatan dari perusahaan swasta dan tidak dapat mengikuti

JKN pada masa hidup selanjutnya. (alternatif: Mereka yang memiliki jaminan

kesehatan komersial tetap membayar iuran jaminan kesehatan wajib dengan

diskon 30%).

5.6. Besarnya upah maksimum untuk perhitungan iuran JKN dan jujmlah upah

minimum penduduk yang dibebaskan dari iuran JKN ditetapkan setiap tahun

oleh MWA

5.7. Paling lambat tanggal 10 tiap-tiap bulan, pemberi kerja, koperasi, dan Dinas

Kesehatan menyampaikan rincian daftar iuran peserta disertai dengan nomor

penduduk yang untuk siapa iuran telah disetorkan ke kantor LJSN atau JKN

terdekat

Page 125: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 124

5.8. Daftar peserta yang iurannya telah dibayarkan disampaikan oleh pemberi kerja

kepada kantor LJSN atau JKN terdekat paling paling lambat tanggal 10 tiap-tiap

bulan

5.9. Tenaga kerja swakarya harus menyetorkan iuran paling lambat tanggal 10 tiap-

tiap bulan secara tunai ke bank yang ditunjuk atau melalui debet otomatis atas

rekening tenaga kerja swakarya

Kewajiban JKN

6.1. JKN wajib memberikan jaminan kepada seluruh anggota sesuai dengan ketentuan

yang diatur oleh UU JSN dan yang diatur oleh peraturan pemerintah, Keputusan

Presiden, atau MWA

6.2. Dalam hal di suatu daerah terdapat jumlah anggota yang cukup besar namun

tidak/belum tersedia fasilitas kesehatan yang memadai, JKN wajib menyediakan

tenaga (baik dari dalam maupun luar negeri) dan atau fasilitas kesehatan guna

memenuhi kebutuhan kesehatan para anggotanya sesuai dengan kemampuan

keuangan JKN.

6.3. Komite pelayanan wajib melakukan penilaian tentang akses yang wajar kepada

fasilitas kesehatan bagi para anggotanya dan penilaian kepuasan anggota secara

berkala minimal sekali dalam dua tahun

6.4. Penilaian tentang akses dan kepuasan anggota tersebut dilaksanakan baik oleh

pengelola maupun oleh lembaga independen dengan pendanaan dari pengelola

yang sifatnya tidak mengikat

6.5. JKN wajib mengumumkan kinerja keuangan dan kinerja pelayanan yang telah

dicapai pada suatu tahun takwim di paling sedikit 10 media masa nasional paling

lambat tanggal 31 Juni tahun takwin berikutnya.

Page 126: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 125

6.6. JKN wajib menerbitkan buku saku yang berisi hak-dan kewajiban anggota, tata

cara memperoleh pelayanan, paket yang ditanggung, dan paket yang tidak

ditanggung kepada seluruh peserta/kepala keluarga. JKN wajib menerbitkan

revisi buku saku setiap terjadi perubahan kebijakan iuran, paket, maupun

prosedur pelayanan

6.7. JKN wajib melakukan berbagai upaya untuk menjamin bahwa setiap anggota

akan mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik menurut standar

profesi dan kemampuan tenaga dan keuangan suatu daerah

6.8. Paling lambat akhir tahun takwin ke-lima setelah JSN diundangkan, LJSN wajib

menyampaikan laporan rekening tahunan setiap peserta ke alamat rumah masing-

masing peserta dan mencantumkan status pembayaran iuran tiap peserta dan

dalam website LJSN yang dapat diakses oleh setiap peserta dengan mengisi

nomor penduduk peserta.

Hak anggota

7.1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

7.1.1. Setiap peserta berhak atas JKK apabila peserta mengalami kecelakaan di

dalam menjalankan pekerjaannya atau di dalam perjalanan menuju dan

pulang dari tempat kerja

7.1.2. Tenaga kerja yang sedang melakukan magang di perusahaan, murid

sekolah atau mahasiswa yang sedang berpraktek kerja di perusahaan atau

di laboratorium, perseorangan yang memborong pekerjaan, dan narapidana

yang dipekerjakan di perusahaan dimasukan dalam kategori peserta

7.1.3. Setiap peserta berhak atas JKK apabila peserta menderita penyakit akibat

atau yang terkait dengan pekerjaan peserta

Page 127: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 126

7.1.4. Apabila diperlukan perawatan di rumah sakit, maka hak kelas perawatan

peserta adalah di ruang perawatan kelas I

7.1.5. Daftar penyakit akibat atau terkait dengan pekerjaan (occupational

diseases) ditetapkan oleh Keputusan Presiden setiap tiga tahun sekali

7.1.6. Jaminan kecelakaan kerja diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan

yang mencakup biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan

pemulihan di fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta yang menjalin

kerja sama dengan JKN

7.1.7. Dalam hal diperlukan perawatan di rumah sakit, peserta yang menderita

kecelakaan kerja berhak mendapat perawatan di ruang kelas I beserta

segala biaya aneka (laboratorium, radiologi, obat yang diperlukan sesuai

dengan daftar obat yang dijamin JKN, dan bahan medis lainnya) sejauh

dibutuhkan menurut pendapat profesional dokter)

7.1.8. Pemberi kerja wajib mengiur biaya (cost sharing) sebesar 30% dari biaya

pelayanan kesehatan tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja dengan

pemberi kerja yang mengalami kecelakaan kerja

7.1.9. Apabila kecelakaan kerja menyebabkan terjadinya kecacatan sementara

atau tetap, maka peserta berhak mendapatkan kompensasi uang tunai yang

jumlahnya ditetapkan oleh MWA setiap dua tahun sekali

7.1.10. Kompensasi uang tunai yang menjadi hak peserta meliputi:

7.1.10.1. Biaya pengangkutan ke dan dari fasilitas kesehatan

7.1.10.2. Santunan sementara tidak mampu berkerja sebagai pengganti upah

yang hilang

7.1.10.3. Santunan cacat sebagian anggota badan untuk selama-lamanya

Page 128: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 127

7.1.10.4. Santuan cacat total untuk selama-lamanya, baik cacat fisik maupun

mental

7.1.10.5. Santunan (disamping pensiun dari JSN) kematian akibat kecelakaan

kerja

7.2. Jaminan Kesehatan

7.2.1. Setiap anggota berhak atas jaminan kesehatan manakala ia sakit dan

berhak atas pelayanan pencegahan yang jenis dan jumlahnya ditetapkan

oleh MWA setiap tiga tahun sekali

7.2.2. Pelayanan pencegahan yang menjadi hak peserta meliputi

7.2.2.1. Pelayanan keluarga berencana

7.2.2.2. Pelayanan kehamilan dan pemeriksaan darah rutin selama kehamilan

7.2.2.3. Pemeriksaan medik rutin untuk deteksi dini penyakit-penyakit kurang

gizi dan penyakit infeksi kronis pada anak berusia di bawah lima tahun

7.2.2.4. Pemeriksaan medik berkala sederhana yang rinciannya ditetapkan

MWA tiap tiga tahun sekali bagi anggota yang berusia 50 tahun atau

lebih

7.2.3. Jaminan kesehatan diberikan di fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta

yang menjalin kerja sama dengan JKN

7.2.4. Setiap anggota berhak atas jaminan paling sedikit berupa pelayanan

pengobatan kasus-kasus rawat jalan mahal di rumah sakit dan pelayanan

perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta yang mencakup biaya

pemeriksaan dokter umum dan spesialis, biaya perawatan, pemeriksaan

penunjang, obat-obatan, bahan medis lainnya sejauh secara medik

diperlukan menurut standar profesi medik yang secara ilmiah telah

dibuktikan efektifitasnya

Page 129: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 128

7.2.5. Dalam hal kemampuan propinsi memadai untuk memberikan pelayanan

komprehensif, maka pelayanan kesehatan diberikan secara berjenjang

melalui dokter keluarga yang dipilih oleh anggota setiap enam bulan

sekali.

7.2.6. Anggota dapat memilih pelayanan di rumah sakit yang dikehendaki tetapi

harus mendapatkan rujukan dari dokter keluarga yang dipilihnya

7.2.7. Jaminan yang tidak termasuk dalam JKN (eksklusi):

7.2.7.1. Pelayanan kesehatan yang bersifat kosmetik, baik berupa pemeriksaan,

pengobatan, maupun pembedahan

7.2.7.2. Pelayanan kesehatan yang timbul atau yang merupakan akibat dari

pemakaian obat terlarang dan penggunaan minuman keras

7.2.7.3. Penyakit yang timbul akibat hubungan seksual

7.2.7.4. Pengguguran dan komplikasi dari pengguguran kandungan, kecuali

upaya pengguguran kehamilan dalam rangka menyelamatkan nyawa

seorang ibu

7.2.7.5. Pelayanan kesehatan yang timbul akibat upaya bunuh diri

7.2.8. Hak perawatan anggota di rumah sakit adalah standar perawatan kelas II

(dua)

7.2.9. Untuk setiap perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta, anggota

berkewajiban membayar iur biaya sebesar 10% dari biaya-biaya

pemeriksaan dokter, perawatan, dan biaya pemeriksaan penunjang dan iur

biaya sebesar 20% dari biaya obat dan bahan habis pakai

7.2.10. Besarnya iur biaya untuk rawat inap dan untuk pengobatan rawat jalan

mahal maksimum sebesar satu bulan UMP dalam satu tahun takwim

Page 130: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 129

7.2.11. Untuk pengobatan rawat jalan setiap anggota wajib membayar iur biaya

sebesar 30% dari biaya pemeriksaan, pemeriksanaan penunjang medik,

biaya obat, dan tindakan rehabilitasi untuk setiap kali kunjungan yang

tarifnya telah ditetapkan dengan iur biaya maksium sebesar satu bulan

UMP untuk satu tahun takwim

7.2.12. Anggota dapat meminta pelayanan di kelas yang lebih tinggi dengan

membayar sendiri atau melalui asuransi kesehatan komersial selisih biaya

perawatan yang ditanggung JKN dengan biaya yang timbul akibat

peningkatan kelas perawatan.

Kontrak dan pembayaran provider (Pemberi Pelayanan Kesehatan).

8.1. Untuk efisiensi sistem JKN, pelayanan kesehatan diberikan melalui jaringan PPK

yang telah memenuhi syarat perijinan, fasilitas, dan kualitas pelayananan yang

akan ditetapkan oleh MWA

8.2. Yang dimaksud dengan PPK adalah dokter keluarga, dokter spesialis, klinik

praktek bersama, klinik 24 jam, rumah bersalin, RS pemerintah, RS swasta,

Apotik, Laboratorium klinik, laboratorium radiologi, dan fasilitas lain yang akan

ditetapkan oleh MWA (puskesmas dan ruang perawatan kelas III RS pemerintah

yang memberikan pelayanan dengan tarif subsidi tidak dimasukan dalam

kelompok PPK dalam JKN karena fasilitas tersebut akan diarahkan untuk

memberikan pelayanan kepada penduduk bukan anggota JKN, sampai seluruh

penduduk menjadi JKN).

8.3. JKN membayar PPK dengan tarif prospektif yang diarahkan pada tarif paket

seperti tarif kapitasi, tarif paket rawat jalan, paket prosedur, paket per hari rawat,

atau paket kelompok diagnosis

Page 131: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 130

8.4. Sistem pembayaran kepada PPK dibahas dan disepekati dalam suatu musyawarah

antara JKN, Dinas Kesehatan setempat, dan asosiasi profesi atau fasilitas

kesehatan setempat

8.5. Besarnya biaya pengobatan dan perawatan yang ditanggung oleh JKN ditetapkan

bersama oleh MWA, Dinas Kesehatan Propinsi, dan Asosiasi Fasilitas

Kesehatan setempat dengan mempertimbangkan pemenuhan biaya produksi

operasional PPK

8.6. Dinas Kesehatan setempat berfungsi sebagai lembaga pengawas mutu pelayanan

kepada para anggota JKN

Penegakan hukum

8.7. Badan penyelenggara mempunyai kewenangan untuk melakukan inspeksi kepada

perusahaan dan melaporkan setiap pelanggaran perusahaan dalam memenuhi

kewajibannya membayar iuran atau melaporkan besaran iuran yang tidak sesuai

dengan ketentutan UU

8.8. Perusahaan yang terlambat membayarkan iurannya dikenakan denda sebesar 3

(tiga) persen dari jumlah iuran yang harus dibayarkan untuk tiap bulan

keterlambatan. Pembayaran iuran dalam hitungan hari dikenakan denda rata-rata

harian atas dasar besarnya denda bulanan

8.9. Perusahaan yang terlambat membayar iuran berturut-turut lebih dari tiga kali

dalam setahun dapat dikenakan denda tambahan sebesar 5% dari iuran yang

harus dibayarkan ditambah denda bulanan 3% dari jumlah iuran terhutang

8.10. Perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban membayarkan iuran pada

waktu yang ditetapkan atau membayarkan iuran tidak sesuai dengan peraturan

perundangan dikenakan denda minimal lima kali besarnya iuran setahun.

Page 132: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 131

8.11. Pimpinan perusahaan yang bertanggungjawab yang melanggar

peraturan yang berlaku dikenakan hukuman kurungan sekurang-kurangnya satu

tahun penjara dan selama-lamanya 15 tahun penjara

8.12. Apabila perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya dan pernah

dikenakan denda tiga kali berturut-turut dalam kurun waktu lima tahun diancam

hukuman pencabutan ijin usaha untuk selama-lamanya

8.13. Dalam hal terjadi kelalaian pada pihak JKN, maka pihak JKN wajib

membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan sebesar 300% dari besarnya

kerugian yang diderita oleh perusahaan

Penyelesaian perselisihan

8.14. Apabila terjadi perselisihan mengenai jumlah tenaga kerja, besaran iuran yang

disetorkan, atau besarnya denda, maka perusahaan dapat memilih penyelesaian

melalui arbitrase atau pengadilan tinggi setempat

Ketentuan Peralihan

8.15. Dalam waktu dua tahun sejak UU JSN dicantumkan dalam lembaran negara,

penyelenggara jaminan sosial yang ada sekarang (PT Askes, PT Jamsostek, PT

Taspen, dan PT Asabri) harus mempersiapkan diri dan mempersiapkan tenaga-

tenaga manajerial dan staf untuk berhasilnya penyelenggaraan JSN/JKN yang

diatur dalam UU ini

Page 133: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 132

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan ............................................................................................................ 1 Bab II Kebutuhan Asuransi Kesehatan ............................................................................. 4

Sarana dan Status Kesehatan Yang Telah Dicapai ........................................................ 4 Analisis Data Susenas .................................................................................................... 8

Status Kesehatan Penduduk ....................................................................................... 8 Perbedaan Antar Kelompok Pengeluaran Rumah-tangga ........................................ 10 Perbedaan Antar Kelompok Pekerjaan .................................................................... 11 Perbedaan Antar Wilayah ........................................................................................ 11 Perbedaan Antar Desa-Kota ..................................................................................... 12 Perbedaan Antar Kelompok Pendidikan .................................................................. 12

Akses Pelayanan Kesehatan ......................................................................................... 13 Probabilitas Terjadi Unmet Need ............................................................................. 13

Perbedaan Antar Kelompok Pengeluaran Rumah-tangga .................................... 14 Perbedaan Antar Kelompok Pekerjaan ................................................................ 16 Perbedaan Antar Wilayah .................................................................................... 17 Perbedaan Antar Desa-Kota ................................................................................. 17 Perbedaan Antar Kelompok Pendidikan .............................................................. 18

Probabilitas Berobat Jalan ........................................................................................ 19 Probabilitas Mengalami Rawat Inap ........................................................................ 36 Masalah Pembiayaan Kesehatan .............................................................................. 44

Beban Biaya Kesehatan Rumah-tangga ............................................................... 45 Kemampuan Membayar Pelayanan Kesehatan .................................................... 50 Kemauan Membayar Pelayanan Kesehatan ......................................................... 53

Target Peserta Jaminan Kesehatan ........................................................................... 54 Bab III Masalah Asuransi Kesehatan Kita ...................................................................... 56

Kebutuhan asuransi kesehatan ..................................................................................... 56 Cakupan Asuransi Kesehatan .................................................................................. 59 Kesenjangan akses karena faktor finansial .............................................................. 61 Matriks Evaluasi berbagai bentuk asuransi kesehatan di Indonesia ........................ 63 Tidak dapat tercapai ................................................................................................... 63

Prediksi ke depan ......................................................................................................... 70 Sustainabilitas .......................................................................................................... 70 Kemampuan menjangkau seluruh penduduk ........................................................... 71 Tenaga profesional ................................................................................................... 72 Asuransi sesehatan tradisional sebagai ancaman ..................................................... 74

Tujuan dan keinginan ................................................................................................... 75 Pengalaman negara lain ............................................................................................... 79

Kegagalan pasar ....................................................................................................... 80 Asuransi kesehatan komersial .................................................................................. 82 Asuransi kesehatan sosial ........................................................................................ 83 Kinerja asuransi kesehatan sosial dan komersial ..................................................... 85 Paket dasar: biaya atau need? .................................................................................. 90 Mengatur jaminan bukan “bisnis jaminan”.............................................................. 92 Pengaturan tarif PPK dan standar pelayanan medis ................................................ 93

Page 134: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 133

Prioritas kelompok yang dapat dikelola (manageable) ............................................ 95 Kunci keberhasilan ................................................................................................... 95 Manfaat eksternal ..................................................................................................... 96

Bab IV Alternatif Sistem Asuransi Kesehatan Indonesia ............................................... 97 Badan Penyelenggara ................................................................................................... 98

Status ....................................................................................................................... 98 Struktur organisasi ................................................................................................ 99 Persyaratan ........................................................................................................... 101 Tugas pokok ......................................................................................................... 101 Biaya manajemen/administrasi .......................................................................... 102

Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) ....................................................................... 102 Tugas pokok ......................................................................................................... 103 Hak PPK ............................................................................................................... 104

Bab V Pilihan untuk Indonesia ..................................................................................... 105 Ringkasan untuk sub sistem JKN .......................................................................... 108

Tujuan dan Manfaat. .......................................................................................... 108 Prinsip dasar ....................................................................................................... 109 Strategi pengembangan ...................................................................................... 109 Kelembagaan. ..................................................................................................... 110

Key Success Factor: ............................................................................................... 110 Prinsip Dasar: ..................................................................................................... 111

Ketentuan Umum ................................................................................................... 112 Penyelenggaraan JKN ............................................................................................ 114 Badan Penyelenggara dan kewenangan badan penyelenggara .............................. 115 Kewajiban Pemberi Kerja ...................................................................................... 120 Pembayaran iuran ................................................................................................... 122 Kewajiban JKN ...................................................................................................... 124 Hak anggota ........................................................................................................... 125 Kontrak dan pembayaran provider (Pemberi Pelayanan Kesehatan). ................... 129 Penegakan hukum .................................................................................................. 130 Penyelesaian perselisihan ....................................................................................... 131 Ketentuan Peralihan ............................................................................................... 131

Page 135: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 134

Daftar Pustaka

1 WHO. WHR2000 2 Newsweek, 2001 3 Gani, A. Cari tulisan AG 4 Malik, cari 5 Cari laporan NHA pak Cholik dkk, minta dari Waluyo. 6 Thabrany, H dan Pujianto. MKI, lengkapi 7 Thabrany, 2002. Current health insurance coverage in Indonesia. Paper presented in the Asia-Pacific Summit on Health Insurance and Managed Care, Jakarta May 22-26, 2002. 8 Ambil laporan JPSBK, tanya Mahlil 9 Indonesia Sehat 2010. Depkes RI, Jakarta 1999 10 World Health Report 2000. WHO, Geneva, 2000 11 Pernyataan James Marzof, konsultan USAID pada rapat penyusunan RUU JPKM di Depkes tahun 1999. 12 Thabrany, H. Health Insurance and the Demand for Medical Care in Indonesia. Disertation. University of Californita at Berkeley, USA. 1995 13 Getler, P. et. al., Report on the Indonesian Resource Mobilization Study. Rand Corporation, Santa Monica, USA. 1994 14 Melnick, G.; Molynoux, J.; and IFLS 15 Suwondo, P. Disertation, University of California at Los Angeles, Los Angeles, 1997 16 Indonesia Sehat 2010. Depkes RI, Jakarta, 2000 17 Shalala. D. .. Health Affairs, June/July 1999 18 .. Sistem Asuransi Taiwan. 19 .. Buntu, N. Studi.., Thesis. .. Evaluasi JPKM proyek Klaten, AIM. 20 ..(dari PT Askes) laporan studi kepuasan peserta. Thabrany, H. dkk. Evaluasi Pemanfaatan Pelayanan PT Askes, 92, 95, 98 21 Thabrany, H. dkk. Penatapan Cadangan Teknis JPK Jamsostek, FKMUI, Jakarta 1997. xxii Depkes. Konsep dan pelaksanaan JPKM: Masukan bagi pengembangan Sistem Jaminan Sosial Nasional, Jakarta September 2000. xxiii Wahyudin. Laporan Magang Mahasiswa. Program DIII Asuransi Kesehatan. FKMUI, Depok, 2000 xxiv Dewan Asuransi Indonesia. Laporan Kegiatan Usaha Asuransi Tahun 1998. Jakarta, 1999. xxv) Istilah asuransi kesehatan sosial dan asuransi sosial kesehatan digunakan untuk

maksud yang sama. xxvi Pelayanan kesehatan disini mencakup berbagai lingkup pelayanan kesehatan

mulai dari promotif sampai rehabilitatif, termasuk obat dan alat medis. Istilah ini digunakan juga untuk pemeliharaan kesehatan.

xxvii Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, 1999.

xxviii Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan, ROC. Taipei, 1997 xxix Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview: Viewing the US Health Care System from

Within: Candid Talk from HHS. Health Affairs 18(3): 47-55, 1999

Page 136: Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasionalstaff.ui.ac.id/.../tinjauanakademisasuransikesehatannasional.pdf · yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti

Asuransi Kesehatan Nasional 135

xxx Ikegami, N dan Campbell, JC. Health Care Reform in Japan: The Virtue of Muddling

Trhough. Health Affairs 18(3):56-75.