i TINDAK TUTUR KOMISIF BAHASA JAWA Kajian Sosiopragmatik DISERTASI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Doktor Program Studi Linguistik Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Diajukan oleh : PAINA NIM 05/1749/PS Kepada PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010
Microsoft Word - TINDAK TUTUR KOMISIF BAHASA JAWA bag
Depan.1DISERTASI
Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora
Kepada
YOGYAKARTA 2010
Telah dipertahankan pada ujian terbuka tanggal dihadapan Tim
Penguji
1. Dr. Ida Rochani Adi, S.U. 2. Prof. Soepomo Poedjosoedarmo, Ph.D.
3. Prof. Dr. Marsono, S.U. 4. Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U.,
M.A. 5. Prof. Stephanus Jawanai, Ph.D. 6. Dr. Fx. Nadar, M.A. 7.
Prof. Dr. Suhartono 8. Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakanbahwa. dalam tesis ini tidak terdapat
karya
yang pemah diajukan untuk memperoleh gelar kesa~ianaan di
suatu
Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak
terdapat
karya atau pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan oleh
orang
lain. kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskahinidan
disebutkan
dalam daftar pustaka.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah
melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
disertasi ini
dengan selamat dan sehat.
melimpahkan rahmat-Nya. Penulis kembali dipertemukan dengan Bapak
Prof.
Soepomo Poedjosoedarmo, Ph.D. Sepulang dari Brunai Darussalam
Universiti
beliau selalu memberikan pengarahan, bimbingan, dan energi sehingga
penulis
dapat bangkit kembali melakukan studi lanjut.
Topik disertasi berjudul “Tindak Tutur Komisif Bahasa Jawa:
Kajian
Sosiopragmatik” ini semula berasal dari hasil diskusi yang cukup
panjang antara
penulis dan Bapak Prof. Soepomo Poedjosoedarmo, Ph.D. Penelitian
tindak
tutur komisif, terutama tindak tutur komisif berniat, berjanji,
bersumpah, dan
bernadar dalam bahasa Jawa dipilih karena memperlihatkan kekhasan
jika
dibandingkan dengan yang berlaku di dalam tradisi barat, yang
telah
diformulasikan oleh Austin, Searle, maupun sarjana barat yang lain.
Fungsi
komisif yang lain, seperti menawarkan, mengancam, belum
diperhatikan dalam
penelitian ini karena sifat commet ‘sanggem’ (Jw) yang tidak
terlalu jelas.
Disebutkan oleh para sarjana barat bahwa maksud sebuah tindakan
ditentukan
oleh bentuk verba. Namun, di dalam bahasa Jawa unsur yang
memegang
peranan sangat penting itu bukanlah verba, melainkan konteks.
Dorongan dan
dukungan dari Bapak Prof. Soepomo Poedjosoedarmo, Ph.D. akhirnya
penulis
v
bahasa Jawa dengan ancangan sosiopragmatik.
Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari uluran tangan dan
bantuan
pemikiran dari berbagai pihak. Dalam hubungan itu, pada kesempatan
ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada beliau-beliau yang senantiasa saya
hormati.
Prof. Soepomo Poedjosoedarmo, Ph.D. selaku Promotor yang
secara
terus-menerus memberikan dorongan, bimbingan, arahan, dan bekal
untuk
kemajuan, baik akademis maupun nonakademis sehingga penulis dapat
bangkit
dan kembali bersemangat untuk menyelesaikan penulisan disertasi
ini. Semoga
beliau selalu dalam lindungan Allah Swt.
Prof. Dr. Marsono, S.U. selaku Ko-Promotor yang sejak penulis
belajar di
Fakultas Sastra dan Kebudayaan, UGM (sekarang menjadi Fakultas
Ilmu
Budaya, UGM) telah memperkenalkan linguistik kepada penulis.
Pemberian
rekomendasi akademik dari beliau akhirnya penulis diterima menjadi
mahasiswa
S3 linguistik. Lebih dari itu, dorongan semangat, arahan, kritik,
dan saran beliau,
disertasi ini dapat terwujud. Semoga Allah Swt. rida dalam
meninggikan derajat
beliau.
Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A. selaku Ketua Pengelola
Program
S3 Linguistik, Program Pascasarjana UGM, yang telah memberikan
kemudahan
untuk belajar, kesempatan untuk menyelesaikan disertasi, dan
rekomendasi
akademik yang akhirnya memungkinkan penulis diterima menjadi
mahasiswa S3
linguistik. Selebihnya, juga atas kesediaan beliau untuk menjadi
Ketua Tim
Penilai Disertasi yang dengan penuh kesabaran bersedia memberikan
arahan
vi
Prof. Drs. M. Ramlan (Alm.), yang telah banyak memberikan
pengetahuan
linguistik, dorongan, dan semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan
disertasi ini. Dorongan semangat itu diwujudkan dalam bentuk
tuturan, “Dik
segera selesaikanlah disertasi itu mumpung saya masih hidup. Saya
akan ikut
berbahagia.” Rupanya Allah Swt. memberikan kebahagiaan yang lain.
Ternyata
beliau terlebih dahulu dipanggil menghadap Allah Swt. Untuk itu,
penulis selalu
berdoa semoga arwah beliau diterima di sisi-Nya; semoga semua amal
kebaikan
dan pahala mengantarkan beliau memasuki surga-Nya.
Prof. Stephanus Jawanai, Ph.D. selaku Anggota Tim Penilai
Disertasi
yang telah berkenan mencermati draf disertasi serta memberikan
petuah dan
saran-saran yang amat berharga sebagai petunjuk untuk
penyempurnaan
disertasi. Dengan sifat kebapakan, beliau selalu memberikan
dorongan
semangat kepada penulis untuk mengarungi samudra ilmu pengetahuan
dan
kehidupan melalui teori analisis wacana. Dengan rasa hormat
penulis
mengucapkan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa
melimpahkan
kekuatan dan kesehatan.
vii
Dr. Fx. Nadar, M.A. selaku Anggota Tim Penilai Disertasi. Dengan
rendah
hati penulis mengucapkan terima kasih atas koreksi, evaluasi, dan
saran-saran
beliau demi penyempurnaan disertasi.
kritik dan saran-saran yang amat berharga untuk penyempurnaan
disertasi ini.
Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro selaku anggota Tim Penguji
berkenan
memberikan kritik dan saran-saran untuk penyempurnaan penulisan
disertasi ini.
J.L. Austin (1962; 1985), J.R. Searle (1976; 1985), Geoffry Leech
(1993),
Stephen Levinson (1983), Soepomo Poedjosoedarmo (1985), I Dewa
Putu
Wijana (1996), Marsono (1980), dan para penulis yang karyanya diacu
dalam
disertasi ini. Kepada beliau-beliau penulis tulus mengucapkan
terima kasih.
Inspirasi yang tertuang dalam karya beliau-beliau itulah, disertasi
ini dapat
penulis selesaikan dengan baik.
Drs. Imam Sutarjo, M.Hum., Drs. Sudarno, M.A., dan Prof. Dr. dr.
Much.
Syamsul Hadi, Sp.KJ. K., masing-masing selaku Ketua Jurusan Sastra
Daerah,
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, dan Rektor Universitas Sebelas
Maret
Surakarta, yang telah memberikan izin dan bantuan dana kepada
penulis selama
melakukan studi lanjut S3 di Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada
Yogyakarta.
Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada,
yang telah memberikan izin, fasilitas, kemudahan, dan pembinaan
sehingga
penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
viii
menerima penulis untuk menjadi mahasiswa S3 bidang studi
Linguistik,
merekomendasi pelaksanaan penelitian untuk penulisan disertasi,
serta
mengusulkan penulis sebagai penerima beasiswa BPPS dari DIKTI
untuk
penyelesaian studi lanjut S3. Dengan rasa hormat, penulis
mengucapkan terima
kasih.
ramah dan sabar memberikan bantuan untuk kelancaran proses studi
lanjut
penulis.
Kawan sejawat, Drs. Tri Mastaya, M.Hum. dan Dr. Tri Wiratno, M.A.,
yang
dengan sabar terus menyemangati penulis, menjadi teman dalam
mendiskusikan
materi disertasi, serta memberikan saran dan kritik sehingga
disertasi ini dapat
terwujud. Kawan-kawan dosen Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra
dan Seni
Rupa, Universitas Sebelas Maret; Jurusan Sastra Nusantara dan
Jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, yang
selalu membesarkan hati dan mendorong semangat penulis selama
menyelesaikan studi lanjut S3 hingga terwujudnya disertasi ini.
Dra. Wiwin Erni
Siti Nurlina, M.Hum. dan Drs. Edi Setiyanta, M.Hum. yang telah
dengan iklas ikut
koreksi draf penulisan disertasi, sehingga terwujud disertasi
ini.
Ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada Siti
Rokhanah,
Yulia Anindyajati, Muhammad Singgih Nugraha, Wara Rahmawati,
Cahyono Adi
Nugroho (istri beserta tiga anakku dan menantu), Farid Wimbadi
Nugraha (cucu
penulis yang masih mungil) yang selalu memberikan dorongan,
semangat, dan
ix
doa yang tiada henti demi keberhasilan ayahnya. Ayah dan Ibu (Alm.
Sidhi
Pardiyasa dan Almh. Sikas Pardiyasa) yang dengan iklas telah
membesarkan,
mendewasakan, dan menuntun penulis sehingga penulis dapat lebih
mengerti
dan memahami arti hidup. Semoga arwah beliau diterima di sisi-Nya.
Mendapat
ampunan atas segala dosanya dan diterima semua amal kebaikannya.
Ayah dan
Ibu mertua, H. Ridwan Suratin dan Hj. Umi Suratin, yang selalu
mendoakan
keberhasilan anaknya. Semoga semua menjadi amal jariah karena rida
Allah
Swt.
Akhir kata, kepada semua pihak yang tak mungkin penulis sebut satu
per
satu, yang secara langsung maupun tak langsung telah ikut
memberikan
bantuan kelancaran dan keberhasilan studi lanjut penulis, penulis
tidak lupa
mengucapkan terima kasih.
HALAMAN JUDUL
.................................................................................................
i PENGESAHAN
.......................................................................................................
iii KATA PENGANTAR
...............................................................................................
iv HALAMAN PERNYATAAN
....................................................................................
x DAFTAR ISI
............................................................................................................
xi INTISARI
.................................................................................................................
xiv ABSTRACT
............................................................................................................
xv DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA
......................................................................
xvi BAB I PENDAHULUAN
..........................................................................................
1 1.1 Latar Belakang
Masalah...................................................................................
1 1.2 Rumusan Masalah
...........................................................................................
17 1.3 Relevansi Penelitian
........................................................................................
19
1.3.1 Bidang Komunikasi
...................................................................................
19 1.3.2 Bidang Sosiolinguistik Bahasa Jawa
......................................................... 19 1.3.3
Bidang Pengajaran Bahasa Jawa
............................................................. 19
1.3.4 Bidang Pengembangan Pragmatik Bahasa Jawa
...................................... 20
1.4 Tujuan Penelitian
.............................................................................................
21 1.4.1 Tujuan Umum
...........................................................................................
21 1.4.2 Tujuan Khusus
..........................................................................................
21
1.5 Manfaat Penelitian
...........................................................................................
21 1.5.1 Manfaat Teoretis
.......................................................................................
22 1.5.2 Manfaat Praktis
.........................................................................................
22
1.6 Metode penelitian
............................................................................................
22 1.6.1 Data Penelitian
.........................................................................................
23 1.6.2 Lokasi Penelitian
.......................................................................................
24 1.6.3 Pengumpulan Data
...................................................................................
25 1.6.4 Analisis Data
.............................................................................................
26 1.6.5 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
....................................................... 28
1.7 Sistematika Penyajian
.....................................................................................
28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
....................................... 32 2.1 Pengantar
.........................................................................................................
32 2.2 Kajian Pustaka tentang Tindak Tutur Komisif
............................................... 33 2.3 Landasan
Teori
................................................................................................
38
2.3.1 Teori tentang Pragmatik
...........................................................................
39 2.3.1.1 Teori Tindak Tutur
........................................................................
42 2.3.1.2 Teori Prinsip Kerja sama
.............................................................. 47
2.3.1.3 Teori Prinsip Kesopanan
..............................................................
51
2.4 Analisis Wacana
..............................................................................................
53 2.4.1 Analisis Internal Wacana
..........................................................................
54 2.4.2 Analisis Eksternal Wacana
.......................................................................
54
2.5 Teori Sosiolinguistik
.......................................................................................
56 2.6 Teori Linguistik Semantik
...............................................................................
62
2.6.1 Pendekatan Makna secara Referensial
.................................................... 62 2.6.2
Pendekatan Makna secara Logika
........................................................... 63
2.6.3 Pendekatan Makna secara Konteks dan Pemakaian
............................... 64
xii
2.6.4 Pendekatan Makna secara Budaya
.......................................................... 64 2.6.5
Pendekatan Makna secara Struktur Konseptual
....................................... 65
2.7 Kalimat Propositif sebagai Pengungkap Tindak Tutur Komisif
................... 65 2.8 Rangkuman
......................................................................................................
70
BAB III BENTUK TINDAK TUTUR KOMISIF BAHASA JAWA
.............................. 72 3.1 Pengantar
.........................................................................................................
72 3.2 Bentuk Tindak Tutur Komisif Berniat
............................................................
72
3.2.1 Bentuk Tindak Tutur Komisif Berniat Ditandai Kata
.................................. 72 3.2.2 Bentuk Tindak Ttutur
Komisif Berniat Predikat Propositif ......................... 78
3.2.3 Bentuk Tindak Tutur Komisif Berniat Ditandai Konteks
............................ 89
3.3 Bentuk Tindak Tutur Komisif Berjanji
............................................................ 94
3.3.1 Penanda Tindak Tutur Komisif Berjanji dengan Kata
............................... 94 3.3.2 Penanda Tindak Tutur
Komisif Berjanji dengan Ungkapan Kesanggupan 104 3.3.3 Penanda
Tindak Tutur Komisif Berjanji dengan Konteks
.......................... 110
3.4 Bentuk Tindak Tutur Komisif Bersumpah
..................................................... 115 3.4.1
Penanda Tindak Tutur Komisif Bersumpah dengan Kata
......................... 115 3.4.2 Penanda Tindak Tutur Komisif
Bersumpah dengan Konteks ................... 124
3.5 Bentuk Tindak Tutur Komisif Bernadar
......................................................... 129 3.5.1
Penanda Tindak Tutur Komisif Komisif Berbentuk Konteks
...................... 130
3.6 Rangkuman
......................................................................................................
136
BAB IV PEMAKAIAN TINDAK TUTUR KOMISIF BAHASA JAWA
..................... 139 4.1 Pengantar
.........................................................................................................
139 4.2 Pemakaian Tindak Tutur Komisif Berniat
...................................................... 139
4.2.1 Pemakaian Tindak Tutur Komisif Berniat Positif
....................................... 140 4.2.2 Pemakaian Tindak
Tutur Komisif Berniat Negatif .....................................
153
4.3 Pemakaian Tindak Tutur Komisif Berjanji
..................................................... 172 4.3.1
Pemakaian Tindak Tutur Komisif Berjanji (O2 Tak Percaya)
.................... 172 4.3.2 Pemakaian Tindak Tutur Komisif
Berjanji karena Unsur Nasihat .............. 184 4.3.3 Pemakaian
Tindak Tutur Komisif Berjanji kepada Diri Sendiri (-)
.............. 188 4.3.4 Pemakaian Tindak Tutur Komisif Berjanji
kepada Diri Sendiri (+) ............. 190
4.4 Pemakaian Tindak Tutur Komisif Bersumpah
............................................... 193 4.4.1 Pemakaian
Tindak Tutur Komisif Bersumpah karena Unsur
Ketidakpercayaan......................................................................................
194 4.4.2 Pemakaian Tindak Tutur Komisif Bersumpah Bertobat
.......................... 202 4.4.3 Pemakaian Tindak Tutur Komisif
Bersumpah Setia ................................... 209 4.4.4
Pemakaian Tindak Tutur Komisif Bersumpah untuk Ipat-Ipat
.................... 218
4.5 Pemakaian Tindak Tutur Komisif Bernadar
................................................... 221 4.5.1
Pemakaian Tindak Tutur Komisif Bernadar untuk Orang Lain
................... 222 4.5.2 Pemakaian Tindak Tutur Komisif
Bernadar untuk Diri Sendiri ................... 226
4.6 Rangkuman
......................................................................................................
230
BAB V MAKSUD TINDAK TUTUR KOMISIF BAHASA JAWA
............................. 234 5.1 Pengantar
.........................................................................................................
234
5.1.1 Maksud Tindak Tutur Komisif Berniat
........................................................ 234 5.1.2
Maksud Tindak Tutur Komisif Berjanji
....................................................... 242 5.1.3
Maksud Tindak Tutur Komisif Bersumpah
................................................. 252 5.1.4 Maksud
Tindak Tutur Komisif Bernadar
.................................................... 261
5.2
Rangkuman.......................................................................................................
265
xiii
BAB VI REALISASI TINDAK TUTUR KOMISIF BAHASA JAWA
........................................................................................
268
6.1 Pengantar
.........................................................................................................
268 6.2 Tuturan Performatif dalam Tindak Tutur Komisif Berniat
............................ 270
6.2.1 Tuturan Performatif implisit dalam Tindak Tutur Komisif
Berniat .............. 271 6.2.2 Tuturan Performatif Eksplisit
dalam Tindak Tutur Komisif Berniat ............ 275
6.3 Tuturan Performatif dalam Tindak Tutur Komisif Berjanji
........................... 279 6.3.1 Tuturan Performatif implisit
dalam Tindak Tutur Komisif Berjanji ............. 280 6.3.2 Tuturan
Performatif Eksplisit dalam Tindak Tutur Komisif Berjanji
............ 286
6.4 Tuturan Performatif dalam Tindak Tutur Komisif Bersumpah
..................... 291 6.4.1 Tuturan Performatif Implisit dalam
Tindak Tutur Komisif Bersumpah ...... 291 6.4.2 Tuturan Performatif
Eksplisit dalam Tindak Tutur Komisif Besumpah ...... 297
6.4 Tuturan Performatif dalam Tindak Tutur Komisif Bernadar
.......................... 303 6.4.1 Tuturan Performatif Eksplisit
dalam Tindak Tutur Komisif Bernadar ......... 303
6.5 Rangkuman
......................................................................................................
305
BAB VII PENUTUP
.................................................................................................
307 7. 1 Pengantar
.........................................................................................................
307 7. 2 Kesimpulan
......................................................................................................
307 7. 3 Saran
...............................................................................................................
309
DAFTAR PUSTAKA
...............................................................................................
310
LAMPIRAN DATA
.................................................................................................
315
Disertasi ini menelaah tindak tutur komisif bahasa Jawa. Tindak
tutur komisif berfungsi menyatakan tindakan antara lain tindakan
berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar. Penelitian ini
mempergunakan pendekatan pragmatik dan sosiolinguistik, yang
selanjutnya disebut pendekatan sosiopragmatik. Masalah yang akan
diteliti ialah bentuk, pemakaian, dan maksud tindak tutur komisif
serta tuturan performatif dalam tindak tutur komisif bahasa Jawa
itu.
Sifat penelitian ini deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian
berupa tuturan tindak tutur komisif bahasa Jawa. Data penelitian
ini diperoleh dengan metode observasi yang ditindaklanjuti dengan
teknik rekam dan catat. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan
tata cara penelitian sosiolinguistik, yaitu dengan mencatat konteks
penggunaan bahasa yang alamiah. Selain itu, dipergunakan pula tata
cara penelitian pragmatik agar dapat mengungkap maksud tuturan
komisif secara tepat. Analisis didesain dengan melakukan pendekatan
kontekstual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, tindak tutur komisif
(berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar) dapat ditandai dengan
bentuk kata dan konteks. Prinsip kesantunan digunakan sebagai dasar
pertimbangan atas pemilihan bentuk kata atau konteks tindak tutur
komisif tersebut. Prinsip kerja sama dapat dipakai untuk menentukan
struktur interaksi dan sebagai pertimbangan pemilihan bentuk
kesantunan berbahasa. Kedua, pemakaian tindak tutur komisif dalam
dialog menunjukkan adanya interaksi komunikasi (berupa stimulus dan
respons dalam berbahasa). Unsur-unsur pembentuk dan penyebab
terjadinya tuturan komisif dapat diformulasikan secara teratur.
Ketiga, maksud tindak tutur komisif ditentukan oleh isi konteks
tuturan, pemakaian predikat propositif tunggal, dan bentuk kata
yang maknanya menunjukkan fungsi tindak tutur komisif tersebut.
Keempat, tindak tutur adalah suatu tuturan untuk menyatakan
tindakan. Sebaliknya, tuturan performatif adalah tuturan untuk
melakukan tindakan. Bentuk tuturan performatif ada dua jenis, yaitu
performatif implisit dan eksplisit. Tuturan performatif, baik
impilsit maupun eksplisit, dapat muncul pada tindak tutur komisif
(berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar). Namun, pada tindak
tutur komisif bernadar, tuturan hanya dapat berupa tuturan
performatif eksplisit. Hal itu sesuai dengan sifat nadar yang harus
dituturkan secara jelas dan langsung, baik kepada orang lain maupun
diri sendiri. Untuk mengkaji maksud tindak tutur, konteks memegang
peranan yang sangat penting.
Pada tradisi linguistik Barat (Austin, Searle, dan lain-lain)
tindak tutur komisif secara dominan ditandai oleh bentuk verba.
Sebagai sebuah kekhasan, dalam Bahasa Jawa, selain ditandai verba,
tindak tutur komisif juga dapat ditandai oleh konteks tuturan.
Selain itu, maksud tindak tutur komisif juga sering berupa
metapesan. Meskipun demikian, peserta tutur tetap dapat memahami
maksud tuturan. Pemakaian tuturan performatif implisit dapat
dieksplisitkan dengan berpedoman pada konteks. Penggantian konteks
menjadikan penolakan terhadap konteks yang sebenarnya.
Kata kunci : tindak tutur, tindak tutur komisif, bahasa Jawa
xv
ABSTRACT
This disertation explored the comissive speech acts in Javanese
language. Comissive speech acts function to state the actions of,
among others, intending, promising, swearing, and vowing. In
exploring the problem, pragmatics and sociolinguistics
approach–hereafter called sociopragmatics approach–was used. The
problem investigated was how were the forms, uses, and intentions
of comissive speech acts of Javanese language, and how performative
acts in comissive speech acts in the language were used.
This research was descriptive and quallitative in nature. The data
source of was utterances taking forms as comissive speech acts in
Javanese language. The data were obtaied by applying observation
methods and recording and note-taking techniques. To obtain the
data, sociolinguistics procedures were employed, by taking notes
the context of natural language use. Pragmatics procedures were
also taken to investigate the intentions of comissive utterances
appropriately. The analysis was designed with respect to contextual
approach.
The results of this research show that firstly, the forms of
comissive speech acts (intending, promising, swearing, and vowing)
can be characterized by word forms and context. Politeness
principle can be used as a consideration to select the word forms
or the context of use of the comissive speech acts. Cooperative
principle can be used to decide the structure of interaction and to
consider selecting the forms of polite language. Secondly, the use
of comissive speech acts that appear in dialogs indicates the
presence of communicative interaction (i.e. there is stimulus dan
response in using a language). The features of comissive speech
acts and how they appear can be regularly formulated. Thirdly, the
intentions of comissive speech acts are ditermined by the content
of the context of untterances, and are characterized by the use of
single propositive predicate, and the word forms that have meanings
to show the functions of the comissive speech acts. Finally, speech
acts are utterances to express actions. There is a performative
utterance, i.e. an utterance to do an action. There are two forms
of perfomative utterances, namely implicit and explicit formatives.
Both implicit and explicit formatives can appear in comissive
speech acts (intending, promising, swearing). However, in comissive
speech acts of vowing, only explicit performative untterances are
used, because vowing must be expressed clearly and directly to both
other people and oneself. In order to analylize the meaning of
speech acts, context plays an important role.
In the tradition of western linguistics (Austin, Searle, and
others), comissive speech acts are dominantly characterized by verb
forms. In Javanese language, besides being characterized by verbs,
comissive speech acts are also expecially characterized by the
context of utterances. The meaning of comissive speech acts in
Javanese language is often framed in meta-message. Nevertheless,
the interlocuters have understood each other the meaning of the
utterances. The use of implicit performative utterances can be
expressed explicitly by relying on the context. The change of a
context will be a rejection to the real context.
Key words : speech acts, comissive speech acts, Javanese
language
xvi
SINGKATAN
Akt = aktif Alsn/Als = alasan Benf = benefaktif Gent = genetif Jw =
Jawa (bahasa Jawa) K = kesimpulan Partk = partikel PK = prinsip
Kerja sama Props = propositif PS = prinsip kesopanan Psf = pasif
Tgl = tunggal
TANDA
N = bentuk tindak tutur komisif
n = penutur
O2 = orang kedua
O3 = orang ketiga
P3 = pihak ketiga
(R. 25 – 3 – 2006. 1, 17) : Rekaman data tanggal 25 Maret 2006.
Dipakai untuk contoh nomor 1 dan 17 pada analisis.
(C. 11 – 3 – 2006. 18) : Catatan data tanggal 11 Maret 2006.
Dipakai untuk contoh nomor 18 pada analisis.
t = lawan tutur
X = konteks tuturan
+ = positif
_ = negatif
Ø = unsur yang dilesapkan
= Konteks tindak tutur komisif
Di dalam kurung siku ini terdapat kalimat yang menyatakan = alasan,
kesimpulan, dan pemakaian bentuk tindak tutur
komisif.
1
Bahasa adalah alat komunikasi antarmanusia. Manusia tidak dapat
lepas
dari penggunaan bahasa untuk mengekspresikan tindakan dalam
kehidupannya.
Ekspresi dalam wujud tindakan berbahasa/berbicara atau mengeluarkan
ujaran
(berupa kalimat, klausa, frasa, atau kata) dianggap sebagai suatu
tindakan.
Tindakan itu dapat disebut tindakan berbicara, tindakan berujar,
atau tindak
bertutur. Istilah yang lazim dipakai untuk mengacu tindakan itu
ialah tindak tutur.
Tindak tutur adalah tindakan bertutur untuk menyampaikan maksud
ujaran atau
tuturan kepada mitra tutur. Oleh karena itu, penggunaan bahasa di
dalam
masyarakat dapat dilihat pada pemanfaatan bentuk tindak tutur
untuk
menyampaikan informasi.
sekaligus kekhasan. Bahasa Jawa termasuk bahasa yang mempunyai
kekhasan
pada bentuk tindak tuturnya. Bahasa Jawa di dalam masyarakat
Jawa
digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari, baik secara lisan
maupun
tertulis. Bahasa Jawa, seperti bahasa-bahasa yang lain,
dipergunakan juga
untuk menyatakan tindakan bertutur. Dengan demikian, di dalam
penggunaan
bahasa Jawa terdapat peristiwa tindak tutur.
Di dalam tindak tutur terdapat tiga jenis tindakan yang dapat
diwujudkan
oleh seorang penutur. Tiga tindakan itu adalah tindak lokusi,
ilokusi, dan
2
perlokusi (Searle, 1976 : 23-24). Tindak ilokusi adalah tindak
tutur untuk
menyatakan sesuatu. Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang
berfungsi untuk
mengatakan atau menginformasikan sesuatu, tetapi sekaligus
melakukan
sesuatu. Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang
pengutaraannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur. Dalam bahasa Jawa
terdapat
tindak ilokusi yang berfungsi untuk mengatakan sesuatu sekaligus
melakukan
sesuatu.
Realisasi bentuk komunikasi dengan bahasa tercermin pada tindak
ilokusi.
Tindak ilokusi ada lima jenis, yaitu tindak tutur asertif,
direktif, komisif, deklaratif,
dan ekspresif (Austin, 1962; Searle ,1976; Kreidler, 1998). Tindak
tutur asertif
adalah tindak ilokusi terkait dengan kebenaran proposisi yang
diungkapkan,
misalnya menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh,
mengemukakan
pendapat, dan melaporkan. Tindak tutur direktif adalah tindak
ilokusi yang
menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur,
misalnya
memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat. Tindak
tutur
komisif adalah tindak ilokusi yang, sedikit banyak, terkait dengan
tindakan di
masa depan, misalnya berniat, berjanji, bersumpah, bernadar. Tindak
tutur
deklaratif adalah tindak ilokusi yang menyatakan kesesuaian antara
isi proposisi
dengan realitas, misalnya mengundurkan diri, membabtis, memecat,
memberi
nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat
pegawai.
Tindak tutur ekspresif adalah tindak ilokusi untuk mengungkapkan
atau
mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang
tersirat dalam
ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat,
memberi
3
maaf, mengecam, memuji, mengucapkan bela sungkawa. Penggunaan
tindak
tutur komisif dalam bahasa Jawa oleh masyarakat Jawa adalah untuk
transaksi
komunikasi.
Penelitian ini hanya difokuskan pada tindak tutur komisif yang
terjadi di
dalam penggunaan bahasa Jawa. Tindak tutur komisif mempunyai
karakteristik
yang agak berbeda dengan tindak tutur yang lain. Kekhasan karakter
itu terdapat
pada (1) cara interaksi antara orang pertama (selanjutnya disebut
O1) dan orang
kedua (selanjutnya disebut O2) yang harus bersifat langsung dan (2)
reaksi tutur
maupun tindakan sebagai akibat adanya tutur komisif yang harus
segera
dilaksanakan. Ciri lain yang menonjol pada tindak tutur komisif
terlihat pada
bentuknya yang tak langsung, yang dikenal dengan istilah
metapesan1. Dengan
kata lain, tindak tutur komisif dapat berbentuk dialog langsung,
tetapi dalam hal
pengungkapan maksud sering berupa metapesan. Oleh karena itu,
tuturan
komisif tergolong tindak tutur dengan tingkat pragmatik yang
tinggi.
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penutur
untuk
melaksanakan apa yang disebutkan dalam tuturan. Penutur dituntut
tulus dalam
melaksanakan apa yang telah dituturkan. Jadi, tindak tutur komisif
berbeda
dengan tindak tutur direktif yang mengharuskan O2 atau O2 dan O3
sebagai
pelaku tindakan.
Istilah tindak tutur komisif pertama kali disampaikan oleh Austin
dalam
karyanya berjudul How to Do Things with Words, yang terbit pada
tahun 1962
(Austin, 1962:150), yang kemudian dilanjutkan oleh Searle (1976)
dan Kreidler
(1998). Kridalaksana (1993) menjelaskan bahwa tindak tutur komisif
adalah
4
Tindak tutur komisif merupakan tindak ilokusioner, yaitu tindakan
dengan tujuan
yang mewajibkan si penutur untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur
komisif
adalah tuturan yang berfungsi untuk mengutarakan niat, janji,
sumpah, dan
nadar.
Penelitian ini difokuskan pada tindak tutur komisif dalam bahasa
Jawa
dengan pertimbangan sebagai berikut.
a) Frekuensi penggunaan tindak tutur ini sangat produktif dengan
variasi
yang cukup banyak karena cenderung dalam bentuk dialog.
b) Adanya interaksi langsung antara O1 dan O2 dengan
kesegeraan
tuntutan atas reaksi tutur maupun tindakan sebagai akibat. Dalam
kaitan
itu, O1 dituntut untuk segera melakukan tindakan yang telah
diujarkan
untuk memberi kepercayaan kepada O2.
c) Kajian tindak tutur, khususnya tindak tutur komisif, telah
dilakukan atas
bahasa Indo-Eropa, seperti bahasa Inggris (Austin, 1962, 1985;
Searle,
1976, 1985; Vendler, 1985a, 1985b). Untuk bahasa-bahasa
Austronesia,
termasuk bahasa Jawa, kajian seperti yang disebutkan belum
pernah
ada. Dari sisi lain, bahasa-bahasa Austronesia, termasuk bahasa
Jawa,
memperlihatkan kecenderungan yang berbeda. Dalam pemakaian
bahasa
Jawa secara informal, penggunaan tuturan performatif untuk
menyatakan
komisif sering tidak ditonjolkan. Oleh karena itu, tindak tutur
komisif dalam
bahasa Jawa perlu diteliti.
sebagai berikut.
maupun informal, baik secara lisan maupun tulis (Marsono, 2005 :
8).
Bahasa Jawa yang dipakai sebagai bahasa sehari-hari itu
berpotensi
memunculkan pemakaian tindak tutur komisif.
2) Tingkat kebakuan bahasa Jawa masih terjaga keasliannya.
Secara
historis bahasa Jawa merupakan bahasa pengantar komunikasi
dalam pemerintahan kraton Surakarta dan Yogyakarta. Sampai
saat
ini bahasa Jawa di Surakarta dan Yogyakarta dikatakan sebagai
bahasa Jawa standar atau baku. Di samping itu bahasa Jawa
juga
merupakan bahasa pendukung budaya Jawa.
3) Dua alasan di atas, secara linguistik dalam penelitian
pragmatik
bahasa Jawa belum banyak dilakukan, khususnya penelitian
mengenai tindak tutur komisif. Penelitian terhadap bahasa
Jawa
selama ini berfokus pada struktur bahasa. Dengan demikian,
penelitian terhadap tindak tutur komisif ini perlu dilakukan.
4) Secara sosiolinguistik orang Jawa mempunyai kekhususan
dalam
kesantunan berbahasa yang ditunjukkan dengan bentuk ngoko dan
krama. Adanya bentuk ngoko krama itu diduga akan mempengaruhi
bentuk tindak tutur komisif.
dengan pertimbangan bahwa bahasa Jawa Modern masih efektif
digunakan oleh
masyarakat sebagai alat komunikasi sehari-hari. Bahasa Jawa secara
diakronis
tidak diperhatikan karena penelitian ini membatasi pada pemakaian
bahasa
Jawa secara aktual.
Di dalam masyarakat tutur Jawa, bahasa Jawa digunakan sebagai
alat
komukasi. Bentuk komunikasi itu secara pragmatik terdapat tindak
tutur komisif
yang perlu dipahami secara komprehensif. Terpahaminya tindak tutur
komisif
secara pragmatis diharapkan dapat memperlancar komunikasi,
meningkatkan
kesantunan berkomunikasi, mengurangi kesalahpahaman berkomunikasi,
dan
memperjelas ketepatan pesan dalam komunikasi.
Masyarakat Jawa dalam bertutur sangat memperhatikan
kesopansantunan berbahasa. Tindakan ini bergantung pada situasi
yang
mendukung fungsi bicara tersebut. Fungsi kesopansantunan ini
terwujud dalam
bentuk undha-usuk atau tingkat tutur berbahasa, yaitu bentuk ngoko
dan krama
(Dwiraharjo, 2001).
Contoh tidak tutur komisif dapat dilihat pada data berikut:
(1) Nani : Wis dhahar (K) Mas ? Sudah makan Mas ? ‘Sudah makan Mas
?
Tanta : Durung . Belum ‘Belum’
7
Nani : Tak pundhut ke bakso dhisik ya. props.aktf .S.O1 tgl benf
saya berniat akan beli - kan bakso dahulu ya .
‘(Saya berniat) akan membeli bakso dahulu.’
Tanta : Ngendi ? ‘Di mana ?’
Tanta : Ya ken. Ya boleh. ‘Ya boleh’.
Konteks : Terjadi peristiwa tutur yang dilakukan oleh Nani (O1) dan
Tanta (O2). Dialog ini dilakukan dengan warna emosi yang santai.
Nani (O1) bermaksud menanyai Tanta apakah sudah makan. Tujuannya,
apabila (O2) belum makan akan dibelikan dulu bakso di warung Bu
Seger. Bab yang dibicarakan dalam dialog ini ialah tentang makan
siang, dengan menggunakan bahasa Jawa ragam krama madya, dengan
cita rasa bahasa yang cukup santai. Urutan bicaranya, (O1) bertanya
dan (O2) memberikan jawaban. Dalam dialog ini Tanta (O2) mengiyakan
dan menyetujui (O1) membelikan bakso.
Pada data (1) bentuk dialog digunakan untuk menyatakan tuturan
komisif
berniat, yaitu berniat akan melakukan tindakan. Maksud yang
terkandung di
dalam dialog ialah Nani, istri Tanta, menanyakan apakah Tanta sudah
makan.
Jika belum, Nani akan membeli bakso (niat yang akan dilakukan oleh
Nani,
kalau Tanta setuju). Niat itu dilakukan Nani dengan tindakan akan
membeli
bakso (Takpundhutke bakso dhisik ya). Pada kata takpundhutke ‘(saya
berniat)
akan saya belikan’, kata tak adalah bentuk propositif aktif orang
pertama tunggal
atau propositif2 aktif orang pertama tunggal yang menyatakan makna
akan
melakukan suatu tindakan dan tindakan itu belum dilakukan. Kata
dhisik ‘dahulu’
8
menyatakan bahwa tindakan niat itu belum dilakukan, tetapi akan
dilakukan.
Untuk meminta persetujuan digunakanlah partikel pementing ya ‘ya’.
Dengan
demikian, penanda tindak tutur komisif berniat terdapat pada
bentuk
Takpundhutke ‘(saya berniat) akan membeli’ pada kalimat
Takpundhutke
ø(bakso) dhisik ‘saya (akan) membeli ø(bakso) dahulu’. Oleh karena
itu, ciri
tindak tutur komisif terletak pada bentuk propositif tak – ake pada
takpundhutake
‘akan saya belikan’. Pekerjaan membeli akan dilakukan oleh O1.
Pekerjaan itu
belum dilakukan, tetapi akan dilakukan di masa mendatang. Di dalam
dialog itu
terlihat keakraban antara suami istri yang tercermin melalui
pemakaian bahasa
Jawa tingkat tutur madya. Kata pundhut ‘beli’ merupakan bentuk
madya dalam
tingkat tutur bahasa Jawa. Penggunaan kata itu menghasilkan kalimat
Tak
pundhutke bakso dhisik ya ‘Saya berniat akan belikan bakso dahulu’.
Bentuk
kalimat itu merupakan kalimat bahasa Jawa tingkat madya. Penggunaan
tingkat
tutur madya dalam dialog tadi menunjukkan tingkat kesopanan
berbahasa yang
netral. Daya pragmatis pada (1) dapat dikatakan berhasil. Tanta
dapat mengerti
maksud Nani dan menyetujui niat Nani untuk membelikan bakso .
Tindak tutur komisif berniat adalah tindakan bertutur untuk
menyatakan
niat melakukan suatu pekerjaan/tindakan bagi orang lain. Niat itu
dilakukan
dalam kondisi ketulusan dengan pelaku tindakan betul-betul penutur
sendiri.
Tindakan tersebut belum dilakukan, dan akan dilakukan pada masa
mendatang.
Di bawah ini contoh tindak tutur komisif berjanji. Data berbentuk
dialog
antara Pak Dar (seorang guru) dengan Rohmat (siswa).
9
(2) Pak Dar : Mat, kandha /n/ana kanca-kanca mu ya ! kandha
impert.psf.O2 jamak gen
Mat, beri tahukanlah teman-teman mu ya ! ‘Mat beri tahukanlah
teman-temanmu !
Rohmat : Wonten napa, Pak ? Ada apa Pak? ‘Ada apa, Pak ?’
Pak Dar : Iki mengko ana rapat guru jam setengah sepuluh, dadi Ini
nanti ada rapat guru pukul setengah sepuluh, jadi
jam ku mengko takkosongke. Tulung ya Mat (jam pelajaran) nanti
props. pasif S O1 tolong partikel
jam pelajaran nanti (akan) saya kosongkan. Tolong Mat
kanca-kanca mu dikandha [n]i! gen. verba psf.O3 jmk. kandha=kata
transf
kawan-kawanmu beritahukanlah !
‘Ini nanti ada rapat guru pukul setengah sepuluh, jadi jam
(pelajaran) saya nanti akan saya kosongkan.Tolong Mat
beritahukanlah teman-temanmu’.
Rohmat : O, nggih Pak! Mengke kula ø(badhe) sanjang . O, ya pak!
Nanti saya ø(akan) kata = memberitahu kalih kanca-kanca. kepada
kawan-kawan.
‘O, ya Pak! Nanti teman-teman akan saya beri tahu.
Pak Dar : (menepuk punggung Rohmat, kemudian pergi).
Konteks : Terjadi peristiwa tutur yang dilakukan oleh Pak Dar
(guru) selanjutnya disebut (O1) dan Rohmat (murid) selanjutnya
disebut (O2). Warna emosi ketika dialog ini dituturkan dalam susana
tenang dan sedikit formal. Maksud atau tujuan pembicaraan, Pak Dar
memberitahukan bahwa nanti akan ada rapat dan jam pelajaran Pak
Rohmat akan dikosongkan. Urutan bicara (O1) menyapa (O2), (O1)
menjelaskan pokok pembicaraan, yaitu masalah pengosongan jam
pelajaran kepada (O2). Instrumen yang digunakan dalam dialog ini
ialah bahasa Jawa. (O1)
10
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko dan (O2) menggunakan ragam
krama. Rahmat (O2) berjanji akan memberitahukan hal yang
dibicarakan itu kepada teman- temannya.
Tuturan tersebut dilakukan oleh dua orang, yaitu Pak Dar, guru SMP
4
Surakarta, dan Rohmat, siswanya. Tuturan tersebut dilakukan dalam
situasi
keduanya baru selesai makan siang di kantin sekolah. Pada tuturan
tersebut
terjadi tindak ilokusi berjanji yang dilakukan oleh Rohmat, yaitu
ia benar-benar
akan memberitahu teman-temannya. Tindak ilokusi berjanji itu
diwujudkan
dengan tuturan, “O, nggih Pak! Mengke kula sanjang kalih
kanca-kanca!” ‘O, ya
Pak! Nanti teman-teman akan saya beri tahu!’. Maksud tuturan
tersebut berupa
kesanggupan Rohmat yang diucapkan dengan berjanji untuk memberi
tahu
teman-temannya. Janji ini diucapkan oleh Rohmat agar Pak Dar
percaya.
Tingkat kesantunan berbahasa pada (2) terlihat melalui Rohmat
yang
menggunakan ragam krama, “O, nggih Pak! Mengke kula sanjang kalih
kanca-
kanca!” ‘O, ya Pak! Nanti teman-teman akan saya beritahu!.’” Maksud
kalimat ini
adalah berjanji untuk melaksanakan perintah Pak Dar. Kesanggupan
yang akan
dilaksanakan oleh Rohmat menandai bahwa daya pragmatik dalam dialog
itu
dapat dipahami oleh Rohmat.
Tindak tutur komisif berjanji adalah suatu tindakan bertutur
yang
dilakukan oleh penutur dengan menyatakan janji akan melakukan
suatu
pekerjaan yang diminta orang lain. Janji itu dilakukan dalam
kondisi tulus
(sungguh-sungguh). Orang yang akan melakukan tindakan itu ialah
orang yang
11
pekerjaan yang diminta O1. Tindakan tersebut belum dilakukan, dan
akan
dilakukan pada masa mendatang.
mitra tutur tentang apa yang dilakukan/dituturkan oleh penutur
ialah benar
seperti yang dikatakan. Tuturan bersumpah ini menggunakan penanda
tuturan
yang dapat meyakinkan lawan tutur, sering kali dengan menyebut
saksi yang
derajatnya lebih tinggi.
Contoh :
(3) Pak Jenal : Piye Le, rapote … entuk Bagaimana panggilan anak
laki-laki raportnya mendapat
rangking ora? rangking tidak ?
‘Bagaimana Le, rapornya … mendapat rangking tidak?’
Rohmat : Hmm … angsal rangking satu Pak Hmm (interjeksi)....
mendapat rangking satu Pak.
‘Mendapat rangking satu Pak’
Pak Jenal : Ah tenane … ah (interjeksi) yang benar (interogatif)
‘Ah yang benar …”
Rohmat : Weh, estu Pak! Kula mboten badhe ngapusi! Weh [interjeksi]
sungguh Pak ! Saya tidak akan /N/
apus menipu Lhe dipirsa [n]i riyin.
Ini verba psf.O1tgl pirsa=lihat transf dahulu dilihat
12
‘Sungguh Pak! Saya tidak akan menipu. Lihatlah dahulu ini
(raportnya).
Pak Jenal : Endi …(raporte) Pron.interogt mana ‘Mana …’
Konteks : Terjadi peristiwa tutur antara Pak Jenal (O1) dan
Rohmat(O2). Suasana emosi peserta tutur dalam keadan santai, tetapi
cukup formal. Maksud pembicaraan dalam dialog itu ialah (O1) Pak
Jenal bertanya kepada (O2) Rohmat tentang rangking rapor yang
diperoleh. Urutan bicaranya, (O1) bertanya kepada (O2) tentang
rangking rapor dengan menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko. (O2)
menggunakan ragam krama. Adegan tutur dalam dialog itu, (O1)
bertanya dan (O2) menjawab. Di dalam mejawab pertanyaan, (O2)
Rahmat bersumpah bahwa ia tidak menipu (berbohong). Ia benar-benar
mendapat rangking satu.
Peristiwa tutur (3) dilakukan oleh dua orang yaitu Pak Jenal
(ayah), dan
Rohmat, anaknya. Pokok pembicaraan ialah hasil rapor Rohmat.
Tuturan terjadi
di waktu malam dalam situasi santai sesudah makan malam. Pada
tuturan
tersebut ditemukan adanya tindak tutur bersumpah sebagai tindak
ilokusi yang
dilakukan oleh Rohmat melalui tuturan, “Weh, estu Pak! Kula mboten
badhe
ngapusi! Lhe dipirsani rumuyin.” ‘Sungguh Pak! Saya tidak akan
menipu. Ini,
(rapornya) dilihat duhulu.’ Di dalam tuturan tersebut, Rohmat
bersumpah kepada
ayahnya, Pak Jenal, bahwa hasil rapor yang diperolehnya benar-benar
rangking
satu. Rohmat bersumpah agar Pak Jenal percaya bahwa ia
benar-benar
mendapat rangking satu, dan ia tidak akan menipu.
Di dalam tindak tutur komisif bahasa Jawa, penggunaan tuturan
performatif3 sering tidak harus dalam bentuk formal.
Contoh:
13
(4) Sarmini : Tik, mesti kowe ora beres. Jare saben dina Tik, pasti
kamu tidak beres. Katanya setiap hari
kok mulih telat. Part.pent kok pulang terlambat.
‘Tik, pasti kamu tidak beres. Katanya setiap hari pulang
terlambat’.
Tatik : Tatik ki. Ra tau Tatik (ki = iki) (pron.dem) ini. (ra =
ora) tidak pernah no. Part.pngs ‘Tatik itu. Tak pernah
(terlambat)’.
Sarmini : Tenane lho Tik. yang benar (interogatif) (interjeksi) lho
Tik (Tatik).
‘Yang benar Tik’.
Tatik : Aku ora arep telat maneh , ben apa ta. Saya tidak akan
terlambat lagi, biar apa part.
‘Saya tidak akan terlambat lagi, biar apa ta’.
Sarmini : Aja ngono Tik, yen ana Malaikat liwat kowe Jangan begitu
Tik, kalau ada Malaikat lewat kamu
gela. kecewa
‘Jangan begitu Tik, kalau ada Malaikat lewat kamu kecewa’.
Konteks : Terjadi peristiwa tutur yang dilakukan Sarmini
selanjutnya disebut (O1) dan Tatik selanjutnya disebut (O2).
Sarmini bertanya kepada Tatik apakah masih sering pulang terlambat.
Tatik bersumpah bahwa ia tidak pulang terlambat lagi.
Dalam dialog (4) terdapat tindak tutur bersumpah yang dilakukan
oleh
Tatik ketika ia ditegur kakaknya, Sarmini, karena katanya setiap
hari pulang
terlambat. Tatik menyangkal seperti pada kalimat Tatik ki. Ra tau
no. ‘Tatik itu.
14
Tak pernah (terlambat)’. Kalimat itu tergolong kalimat bersumpah,
hanya tidak
dalam bentuk sumpah yang jelas.
Tuturan seperti Aku ora arep telat maneh, ben apa ta. ‘Saya tidak
akan
terlambat lagi, biar apa ta’, secara leksikal tidak menunjukkan
sumpah. Akan
tetapi, secara inferensial dapat dirunut melalui kalimat yang
mengikutinya, yaitu
Aja ngono Tik, yen ana Malaikat liwat kowe gela. ‘Jangan begitu
Tik, kalau ada
Malaikat lewat kamu kecewa’. Dialog dalam tindak tutur itu
menyatakan bahwa
sumpah yang diucapkan oleh Tatik apabila disaksikan malaikat akan
dapat
betul-betul terjadi. Dengan kata lain, malaikat menjadi saksi atas
sumpah yang
diucapkan oleh Tatik. Malaikat dianggap memiliki derajat lebih
tinggi daripada
Tatik.
Memperhatikan data (4) terlihat bahwa tuturan untuk
menyatakan
bersumpah dalam bahasa Jawa tidak harus eksplisit. Pada bentuk Ben
apa ta
“biar apa ta” maksud kalimat bukanlah bertanya, tetapi bersumpah.
Apabila
dilengkapkan, kalimat itu menjadi Ben (samber bledhek, apa (liyane)
ta. ”Biar
disambar petir) apa (yang lain) ta”. Bentuk apa ta ‘apa ta’
menggambarkan
kemungkinan akibat dari sumpah yang dapat mengenai dirinya. Bentuk
ta adalah
partikel penegas yang menegaskan isi sumpah. Oleh karena itu, Aku
ora arep
telat maneh, ben apa ta. ‘Saya tidak akan terlambat lagi, biar apa
ta’ adalah
kalimat yang menyatakan sumpah dengan maksud tidak akan terlambat
lagi.
Tuturan performatif bersumpah dalam tindak tutur komisif sering
tidak
eksplisit, tapi oleh masyarakat tutur Jawa dapat dipahami
maksudnya.
15
Berikut ini tindak tutur komisif bernadar yang sering dilakukan
oleh
masyarakat Jawa.
Contoh :
(5) Umi : Le, uripmu kok kebak Le [panggilan anak laki-laki],
hidupmu [part.] penuh
lelara. Kapan ndang waras kaya kanca-kancamu penyakit. Kapan segera
sehat seperti teman-temanmu
‘Le, hidupmu penuh penyakit. Kapan segera sehat seperti teman-
temanmu’.
Yadi : Mbok, yen Allah isih Mbok [mbok= simbok] ibu jika Allah
masih
kersa ngingu aku, mesti waras. berkenan memelihara saya, pasti
sehat
Ibu, jika Allah masih berkenan memelihara saya, (saya) pasti
sembuh’.
Umi : Bener le .... . Ngene, suk yen Benar le [panggilan untuk anak
laki-laki] Begini, besuk jika wis waras tenan, taktukokake sepedha
anyar. sudah sehat betul, props.aktf O1 tgl.,ben. sepeda
baru.
akan kubelikan
Benar le ...... . Begini, besuk jika sudah sehat betul, akan
kubelikan sepeda baru’.
Konteks : Terjadi peristiwa tutur yang dilakukan oleh Umi,
selanjutnya disebut (O1), dan Yadi, selanjutnya disebut (O2). (O2)
adalah anak (O1) yang sedang berobat di rumah sakit IPHI di Pedan,
Klaten. Warna emosi ketika dialog ini dilakukan (O1) dalam suasana
sedih, karena anaknya sakit. Maksud pembicaraan dalam dialog ini
(O1) mengharapkan anaknya segera sehat. Kondisi kesehatan (O2)
memang tidak baik, sering sakit-sakitan, sehingga (O1) mengharapkan
anaknya segera sehat. (O1) selanjutnya mengucapkan nadar. Ia
bernadar jika nanti anaknya sehat akan dibelikan sepeda baru.
16
Dialog (5) di atas merupakan bentuk tindak tutur komisif bernadar
yang
dilakukan Bu Umi ketika menunggui anaknya Yadi di rumah sakit IPHI
Pedan
Klaten. Bentuk tindak tutur komisif bernadar itu ditandai dengan
kalimat suk yen
wis waras tenan, mengko taktukokake sepeda anyar. ‘besok jika sudah
sehat
betul, akan saya belikan sepeda baru’. Yang menjadi penanda tuturan
bernadar
ialah bentuk suk (besuk) ‘besok’ dan yen ‘jika’ atas pokok
peristiwa. ............
Detail pernyataannya menjadi yen wis waras tenan ‘jika sudah sehat
betul’
(sebagai klausa pertama), dan taktukokake sepedha anyar’ akan saya
belikan
sepeda baru’ (sebagai klausa kedua) sebagai tindakan yang akan
dilakukan jika
isi pernyataan klausa pertama itu terlaksana.
Pada masyarakat Jawa sering terjadi peristiwa tutur bernadar.
Ucapan
nadar biasanya dilatarbelakangi oleh kesulitan, kesusahan, atau
cita-cita yang
sulit dicapai oleh penuturnya. Apabila kesulitan atau kesusahan
telah terlampaui,
cita-cita telah terwujud, ucapan nadar betul-betul dilaksanakan.
Ketika nadar
dituturkan, tindakan belum dilakukan. Tindakan akan dilaksanakan
ketika yang
diinginkan oleh penadar telah terwujud. Pada masyarakat Jawa orang
yang
bernadar, tetapi belum melaksanakan nadarnya akan merasa mempunyai
beban
yang harus dilaksanakan.
dinadarkan.
17
dikaji dalam penelitian ini berkenaan dengan, pertama, bagaimanakah
bentuk
tuturan yang digunakan untuk menyatakan tindak tutur komisif
berniat, berjanji,
bersumpah, dan bernadar dalam bahasa Jawa. Faktor yang
memunculkan
pemakaian tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah,
bernadar akan
diformulasikan secara konsisten. Kedua, bagaimanakah maksud tindak
tutur
komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam bahasa
Jawa. Ketiga,
bagaimanakah realisasi tuturan performatif dalam tindak tutur
komisif berniat,
berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam bahasa Jawa.
Kajian atas bentuk tuturan yang digunakan untuk menyatakan
tindak
tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam
bahasa Jawa
dilakukan untuk mendapatkan deskripsi mengenai penanda linguistik.
Selain itu,
juga untuk memperoleh deskripsi mengenai alasan pemilihan atas
sebuah
bentuk.
penjelasan mengenai hal yang melatarbelakangi digunakannya tindak
tutur itu.
Kajian mengenai maksud digunakannya tindak tutur komisif
berniat,
berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam bahasa Jawa dilakukan
untuk
memudahkan pemahaman atas tujuan atau daya pragmatis sebuah tindak
tutur
komisif.
berniat, bernadar dalam bahasa Jawa dilakukan untuk memahami
kekhasannya.
18
Kekhasan itu berkenaan dengan adanya tindak tutur performatif
komisif yang
sifatnya eksplisit dan implisit.
Masalah tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, bernadar
yang
mempunyai ciri-ciri maksud yang khas di dalam komukasi perlu dikaji
secara
mendalam dalam kaitan dengan konteks yang melatarbelakanginya
(band.
Frawly, 1992 : 17).
Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada tipe tindak tutur
komisif
berniat, berjanji, bersumpah, bernadar sehingga kajian dalam
penelitian ini
meliputi empat hal.
tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, bernadar dalam
bahasa
Jawa dan mengapa bentuk tersebut digunakan sebagai penanda
komisif.
dalam bahasa Jawa itu dipakai dan bagaimana formulasinya ?
c) Apa saja maksud tindak tutur komisif berniat, berjanji,
bersumpah,
bernadar dalam bahasa Jawa?
bahasa Jawa ?
Penelitian ini memiliki relevansi dengan (1) bidang komunikasi, (2)
bidang
pengembangan sosiolinguistik bahasa Jawa, (3) bidang pengajaran
bahasa, dan
(4) bidang pengembangan pragmatik bahasa Jawa.
1.3.1 Bidang Komunikasi
antarmanusia. Manusia tidak lepas dari penggunaan tindak tutur
komisif untuk
bertransaksi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam penelitian ini
diambil objek
bahasa Jawa. Secara umum bahasa memiliki ciri-ciri universal di
samping
kekhasan masing-masing. Bahasa Jawa juga mempunyai kekhasan
dalam
tindak tutur komisif, sehingga studi yang sifatnya lintas bahasa
perlu
dilaksanakan.
Penelitian ini akan mengungkapkan salah satu jenis tindak tutur
bahasa
Jawa, yaitu tindak tutur komisif. Pengungkapan tindak tutur ini
akan lengkap
apabila diteliti secara linguistik murni. Namun, akan lebih lengkap
apabila juga
diteliti secara sosiolinguistik. Anggapan ini sesuai dengan
pandangan bahwa
sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya
dengan
pemakaiannya di dalam masyarakat (Suwito, 1985:2). Oleh karena itu,
penelitian
ini memiliki relevansi dengan pengembangan sosiolinguistik bahasa
Jawa.
1. 3. 3 Bidang Pengajaran Bahasa Jawa
Penelitian semacam ini dapat memberikan sumbangan terhadap
pengajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah yang memerlukannya.
Pemahaman
20
bahasa sehingga menjadi baik dan benar di samping menjaga
kesantunan
komunikasi. Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi
kebahasaan, khususnya
mengenai penggunaan tindak tutur komisif yang sesuai dengan
kaidah
komunikasi. Dengan pertimbangan itulah informasi tersebut menjadi
sangat
penting dalam menentukan bahan pengajaran mengenai pokok bahasan
bidang
pragmatik. Penentuan bahan yang baik tentunya disesuaikan dengan
lingkungan
sosialnya. Dengan demikian, tidak akan terjadi hambatan dalam
penerapannya.
1.3.4 Bidang Pengembangan Pragmatik Bahasa Jawa
Hasil penelitian ini akan mengungkapkan salah satu jenis tindak
tutur
dalam bahasa Jawa, yaitu tindak tutur komisif. Pengungkapan tindak
tutur ini
akan lengkap apabila diteliti secara linguistik murni. Namun, akan
lebih lengkap
apabila juga diteliti secara pagmatik. Angapan itu sesuai dengan
pandangan
bahwa pragmatik menempatkan kedudukan bahasa dalam
hubungannya
dengan makna tuturan yang terikat pada konteks (Leech, 1993:5-7).
Oleh karena
itu, penelitian ini memiliki relevansi dengan pengembangan
pragmatik bahasa
Jawa itu sendiri.
1. 4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dapat dirinci menjadi dua, yaitu tujuan umum dan
tujuan
khusus. Dua tujuan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
21
eksploratif, menemukan kaidah dan pola-pola linguistik tindak tutur
komisif
berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam bahasa Jawa.
1.4.2 Tujuan khusus
dan komprehensif mengenai aspek-aspek berikut.
a) Bentuk tuturan yang digunakan untuk menyatakan tindak tutur
komisif
berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam bahasa Jawa serta
alasan
mengapa bentuk tersebut dipilih untuk menyatakan tindak tutur
komisif
tersebut.
b) Mengapa tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan
bernadar
dalam bahasa Jawa dipakai dan bagaimana formulasinya.
c) Maksud tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan
bernadar
dalam bahasa Jawa.
d) Realisasi tuturan performatif dalam tindak tutur komisif
berniat, berjanji,
bersumpah, dan bernadar dalam bahasa Jawa dan mengapa muncul
tuturan
performatif eksplisit dan implisit.
1. 5 Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat dari penelitian ini, yaitu manfaat teoretis dan
praktis.
22
sosiolinguistik karena studi tentang jenis tutur menuntut pemahaman
secara
mendalam. Secara sosiolinguistik variasi tutur dapat dipahami
berdasarkan
faktor penentunya, yaitu tujuan tutur.
Selain memajukan wawasan sosiolinguistik, penelitian ini juga
diharapkan
dapat memajukan wawasan pragmatik karena sifat kajiannya yang
sampai
menjangkau maksud secara pragmatik.
Secara praktis hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan
untuk
pembinaan bahasa Jawa. Pernyataan tersebut berdasarkan pemikiran
bahwa
dalam pembinaan bahasa, termasuk bahasa Jawa, pembenahan
terhadap
materi yang berupa bahasa mutlak diperlukan.
Hasil penelitian ini dapat memberikan penjelasan kepada penutur
bahasa
Jawa mengenai tindak tutur komisif. Adanya kejelasan mengenai
tindak tutur
komisif akan menjadi informasi kebahasaan yang sangat bermanfaat
bagi
masyarakat penutur bahasa Jawa.
Penelitian ini mengenai pola-pola kekhasan tindak tutur, bukan
meliputi varian
bunyi bahasa. Sehubungan dengan hal itu, maka wujud data dapat
berupa
23
pemakaian bahasa tidak memandang wilayah geografis dan kelas
sosial, karena
cara orang menggunakan tindak tutur komisif akan sama. Penelitian
tindak tutur
jajarannya bukan fonologi dan morfologi pembentukan kata, tetapi
pola
komponen sintaksisnya. Sehubungan dengan itu pengumpulan data
dapat
dijalankan pada berbagai kelas sosial dan dialek geografi yang
berbeda.Pada
dialek sosial dan geografi yang berbeda dalam satu bahasa sistem
sintaksis
sama. Untuk kelas sosial tinggi, madya, rendah apabila bertutur
komisif sama.
Perbedaan kelas sosial pada umumnya hanya pemilihan leksikon dan
undha-
usuk yang sering berbeda.
menganalisis data, (3) menyajikan hasil analisis data. Dalam
hubungan itu,
dijelaskan pula perihal data dan lokasi penelitian. Oleh karena
itu, pembicaraan
mengenai metode penelitian ini meliputi data penelitian, lokasi
penelitian,
pengumpulan data, dan metode analisis data. Penjelasan
selengkapnya
sebagai berikut.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan terhadap tindak tutur
komisif
bahasa Jawa. Bentuk data penelitian ialah tuturan bahasa Jawa
berjenis tindak
tutur komisif.
Sumber data diambil dari data lisan berupa penggunaan bahasa
Jawa
dalam bentuk tindak tutur bahasa Jawa, yaitu tindak tutur komisif.
Tuturan
tersebut diperoleh dari peristiwa tutur masyarakat Jawa yang
terjadi dalam
domain sosial, seperti diajukan oleh Gumperz (dalam Fishman,
1975:34).
Domain sosial tersebut berupa enam lingkungan, yaitu lingkungan
keluarga,
pendidikan, jaringan kerja, pemerintahan, kebudayaan, dan agama.
Dari enam
lingkungan sosial tersebut, peristiwa tutur yang diambil hanyalah
peristiwa tutur
yang menggunakan tindak tutur komisif.
1.6.2 Lokasi Penelitian
peristiwa tutur dari masyarakat di luar Surakarta dan Yogyakarta
yang
kebanyakan juga merupakan penutur bahasa Jawa. Dengan cara itu
keabsahan
data dapat dipertanggungjawabkan. Pemakai bahasa Jawa di Kodia
Surakarta
adalah orang Jawa yang menggunakan bahasa Jawa untuk alat
komunikasi
sehari-hari bukan hanya bahasa Jawa yang khas digunakan di Kodia
Surakarta.
Demikian juga pemakai bahasa Jawa di wilayah Yogyakarta tidak
memandang
kekhasan bahasa Jawa di Yogyakarta, namun pemakaian bahasa Jawa
sehari-
hari, bukan harus orang Jawa asli Yogyakarta.
25
menentukan domain sosial untuk menentukan kelompok masyarakat
pengguna
bahasa Jawa yang dianggap dapat mewakili masyarakat Jawa secara
memadai.
Domain sosial dalam penelitian ini meliputi enam lingkungan sosial,
yaitu
lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan
kebudayaan,
lingkungan jaringan kerja, lingkungan pemerintahan, dan
lingkungan
keagamaan. Setelah domain sosial sebagai tempat pengambilan
data
ditetapkan, peneliti terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data
tindak tutur
komisif bahasa Jawa. Data yang diambil dari enam lingkungan tadi
ialah data
lisan yang memuat peristiwa tindak tutur berjenis tindak tutur
komisif bahasa
Jawa.
Alat yang digunakan dalam pengumpulan data ini ialah peneliti
sendiri.
Peneliti langsung menyimak penggunaan bahasa Jawa, terutama
penggunaan
tindak tutur komisf. Aktivitas peneliti selama pengumpulan data,
yaitu mencatat
penggunaan bahasa Jawa yang berbentuk tindak tutur komisif. Selain
mencatat
penggunaan tindak tutur komisif, peneliti juga mencatat
faktor-faktor penting
yang melatarbelakangi penggunaan tindak tutur komisif, terutama
aspek
nonlingual yang menyangkut komponen tutur dan konteks. Hal-hal yang
menjadi
perhatian khusus segera dicatat, antara lain bentuk bahasa yang
digunakan,
pelaku tindak komunikasi, waktu dan situasi yang melatari, termasuk
keadaan
26
emosi, raut muka, dan gerak-gerik pelaku. Pencatatan ini perlu
dilakukan karena
merupakan informasi di luar bahasa yang dapat membantu saat
analisis
kebahasaan. Pencatatan tidak disertai interpretasi penulis.
Di samping mencatat penggunaan tindak tutur komisif bahasa Jawa,
peneliti
juga menggunakan alat rekam untuk mendapatkan data yang sifatnya
aktual dan
alamiah. Data alamiah adalah data, dalam hal ini tuturan komisif,
yang tidak
terpengaruh oleh faktor-faktor lain; data yang tidak dibuat-buat
sekadar untuk
memenuhi keperluan. Data aktual adalah data, dalam hal ini tindak
tutur komisif
bahasa Jawa, yang betul-betul dipakai pada saat itu untuk
berkomunikasi. Oleh
karena itu, perekaman data dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Perekaman
dapat dilakukan secara terbuka jika peneliti dapat memancing
terjadinya
penggunaan tindak tutur komisif bahasa Jawa. Hasil perekaman
data
selanjutnya ditranskripsi dan dituliskan dalam kartu data.
1.6.4 Analisis Data
yaitu tahap seleksi data (pemilihan data), tahap klasifikasi data
(pemilahan data),
tahap analisis data, dan tahap interpretasi data .Penjelasannya
sebagai berikut.
Setelah data berupa catatan dialog terkumpul, data ditindaklanjuti
dengan
klasifikasi. Klasifikasi dimaksudkan untuk memilah-milah data
berdasarkan jenis
tindak tutur komisifnya, yaitu berniat, berjanji, bersumpah, atau
bernadar.
Analisis data dilakukan dengan memberikan penjelasan mengenai
penanda bentuk yang menandai tindak tutur komisif. Setelah
mendapatkan ciri
27
dan penjelasan mengenai alasan mengapa bentuk tersebut dipilih dan
dipakai
untuk menyatakan tindak tutur komisif dalam bahasa Jawa. Pada
analisis
digunakan analisis kotekstual yang dilanjutkan dengan pembuatan
formulasi.
Untuk pemahaman maksud dan cara pemakaian tuturan performatif
dalam
tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar,
pembahasan
menerapkan metode kontekstual dan analisis wacana, secara internal
dan
eksternal.
pemikiran Poedjosoedarmo (tt) bahwa penelitian sosiolinguistik pada
dasarnya
adalah penelitian kontekstual, yaitu penelitian tentang wujud
tuturan (bahasa)
yang harus memperhatikan konteks sosialnya. Oleh karena itu, dalam
studi
sosiolinguistik metode analisis data harus bersifat
kontekstual.
Dalam penelitian ini akan menyertakan kajian konteks sosial.
Konteks
sosial yang dimaksud adalah komponen tutur yang menyertai bentuk
bahasa
dalam suatu peristiwa tutur. Analisis tindak tutur ini sangat erat
dengan analisis
maksud dan tujuan tuturan.
masalah konteks yang meliputi konteks fisik atau situasi, konteks
epistemik,
konteks linguistik, dan kontek sosial dengan memperhatikan komponen
tutur
yang menyertai bentuk bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Komponen
tutur
yang diperhatikan dalam analisis ialah penutur, mitra tutur, warna
emosi penutur,
maksud dan kehendak penutur, anggapan penutur terhadap kedudukan
sosial
28
dan relasinya dengan mitratutur, sarana bicara, peristiwa tutur,
urutan bicara,
dan topik. Selain itu, juga diperhatikan masalah ketaatan peserta
tutur terhadap
prinsip-prinsip budaya yang mendasari sikap dan pandangan hidup
masyarakat
Jawa, yang meliputi prinsip sopan santun, prinsip kerja sama, dan
prinsip
hormat.
Penyajian hasil analisis data dilakukan dalam bentuk deskripsi.
Penyajian
dalam bentuk deskripsi adalah penyajian (atas hasil analisis data)
dalam bentuk
uraian dengan menggunakan kalimat formal, bagan-bagan, serta kode
secara
konsisten. Fenomena yang menyangkut aspek sosiopragmatik,
dideskripsikan
dan dipaparkan dengan diberi argumentasi yang berpedoman pada
konsep dan
kerangka teori yang dipakai.
simpulan. Pokok-pokok pikiran itu akan dituangkan tujuh bab. Bab
I,
Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
relevansi
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta metode penelitian.
Bab II,
Tinjauan Pustaka dan Landasan Teoretik, berisi pembicaraan tentang
penelitian-
penelitian tindak tutur komisif, pemikiran-pemikiran tentang tindak
tutur dan
tindak tutur komisif, serta landasan teori. Bab III berisi analisis
terhadap tuturan
untuk menyatakan bentuk tindak tutur komisif bersumpah, berjanji,
dan berniat
29
dalam bahasa Jawa. Bab IV berisi analisis terhadap pemakaian tindak
tutur
komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam bahasa
Jawa. Bab V
berisi analisis terhadap maksud tindak tutur komisif berniat,
berjanji, bersumpah,
dan bernadar dalam bahasa Jawa. Bab VI berisi analisis mengenai
realisasi
tuturan performatif dalam tindak tutur komisif berniat, berjanji,
bersumpah, dan
bernadar dalam bahasa Jawa. Terakhir, Bab VII, Penutup, berisi
simpulan dan
saran. Laporan penelitian ini juga dilengkapi dengan daftar
pustaka, lampiran
data penelitian, dan peta wilayah pengambilan data.
30
1 Metapesan, istilah ini pertama kali dipergunakan oleh Deborah
Tannen, 1986 dalam karyanya
berjudul That’s Not I What Meant ! How Conversational style makes
or breaks your relation with other. Diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia oleh Dra. Amitya Kumara,1996, Seni Komunikasi Efektif
Membangun Relasi dengan Membina Gaya Percakapan. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 15. Yang dimaksud pesan adalah
informasi yang terungkap melalui makna kata- kata. Metapesan adalah
informasi yang terungkap melalui hubungan kita dengan orang lain-
sikap kita terhadap orang lain, kesempatannya, dan apa yang kita
katakan adalah metapesan.
2 Istilah propositif pertama kali digunakan oleh H.N. Killian
(1919) dalam karyanya yang berjudul
Javaansche Spraakkunst, S’Gravenhage Martinus Nijhoff dengan
istilah De Propositief. Propositif terdiri atas dua bentuk, yaitu
propositif aktif dan pasif (305); M.Prjohoetomo (1937) dalam
karyanya yang berjudul Javaansche Spraakkunst, Leiden: E.J. Brill
menggunakan istilah propositief, bentuknya berupa propositif aktif
dan pasif (100); Marsono (1980) dalam karyanya yang berjudul
Propositif Tunggal dalam Bahasa Jawa, Makalah pada Kegiatan Ilmiah
dalam Rangka Sumpah Pemuda dan Lustrum VI Fakultas Sastra dan
Kebudayaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Propositif adalah
suatu modus yang ditandai dengan bentuk tertentu pada predikatnya.
Propositif menyatakan makna ‘niat akan melakukan suatu pekerjaan,
keadian, atau hal sehubungan dengan predikat, dengan pelaku orang
pertama tuinggal’. Pekerjaan atau kejadian itu, sewaktu tuturan
dituturkan, belum ada atau belum dilakukan. Persona pertama atau
orang pertama sebagai pelaku “berniat akan” melakukan pekerjaan
untuk yang akan datang. Contohnya, Taktukokake bakso dhisik ‘akan
kubelikan bakso dahulu’. Taktukokake {tak – tuku – ake} {tak – D -
ake}, propositif pasif, subjek orang pertama tunggal, desideratif,
bermakna subjek orang pertama (saya) akan melakukan pekerjaan
seperti pada predikat tuku ‘beli’, -(a)ke sebagai penenada
benefaktif. Akan saya belikan dulu bakso. Pekerjaan membeli bakso
belum dilakukan, baru akan dilakukan. Propositif Bahasa Jawa juga
terdiri atas propositif aktif dan pasif berdasar jenis pengisi
predikatnya. Pada Tata Bahasa Jawa Mutakhir karya Wedhawati, dkk.
(2001), pembahasan makna verba bentuk {tak – (a)ke} yang juga
mempunyai varian {dak – (a)ke} termasuk verba pasif; yang melakukan
orang pertama tunggal. {tak – (a)ke} mempunyai makna kausatif
pasif, (subjek) orang pertama tunggal yang bermakna akan melakukan
tindakan yang berkaitan dengan predikat pada kalimat itu.
Contohnya, Tugasmu takcedhakake kantor Kecamatan ‘Tugasmu akan saya
dekatkan kantor Kecamatan’ (89). Istilah kausatif yang dipakai
Wedhawati, dkk. (2001) perlu mendapatkan koreksi seperlunya untuk
bidang makna yang menyatakan pekerjaan yang belum dilakukan.
3 Untuk istilah tuturan performatif, Austin (1962 : 4-5)
mengemukakan pandangannya bahwa di
dalam mengutarakan tuturan, seseorang dapat melakukan sesuatu
selain mengatakan sesuatu. Wijana (1996:23) menjelaskan bahwa
tuturan performatif adalah tuturan yang pengutaraannya digunakan
untuk melakukan sesuatu. Gunarwan (1994:43) mengemukakan bahwa
tuturan performatif adalah tuturan yang merupakan tindakan
melakukan sesuatu dengan membuat tuturan itu.Tuturan “saya berjanji
akan membelikan anak saya baju” adalah tuturan performatif, karena
penuturnya akan melakukan tindakan seperti yang dituturkan.
Sedangkan tuturan yang dipakai untuk mengatakan sesuatu disebut
tuturan konstatif (Autin, 1962; Gunarwan; 1994; Wijana, 1996;
Rustono, 1999). Di dalam tindak tutur komisif berjanji bahasa Jawa,
tuturan performatif sering tidak ditampakkan secara eksplisit.
Untuk mengukur validitasnya, diperlukan pengetahuan inferensial.
Oleh karena itu, perlu dijelaskan secara baik.
4 De Saussure (1916) membedakan langue, langage, dan parole. Langue
adalah salah satu
bahasa (misalnya bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Jawa dan
sebagainya) sebagai suatu sistem. Langue adalah merupakan konsep
yang menunjuk konsep bahasa tertentu, memandang bahasa sebagai
fakta sosial, bahasa bersifat kolektif, bahasa sebagai hasil
konvensional, pemakaian bahasa sebagai sistem kaidah (Ferdinand de
Saussure,1996.
31
5 Parole menunjuk bahasa sebgai ujaran, individual, hiterogin dan
sesaat. (Ferdinand de Saussure,1996. Pengantar Linguistik Umum
(cetakan ke-3) Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Hlm.74-84. Dengan demikian faktor pembeda dengan langue, parole
lebih terikat pada bunyi bahasa sebagai objek (bahan mentah)
penelitian linguistik. Langue faktor pembedaanya di atas tataran
morfologi pembentukan kata yaitu pada kaidah sintaksis.
32
2. 1. Pengantar
Bab ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berupa
tinjauan
pustaka tentang tindak tutur komisif; bagian kedua berupa
penjelasan
mengenai landasan teori. Kajian tentang tindak tutur komisif berisi
paparan
atas beberapa hasil penelitian mengenai tindak tutur komisif,
terutama tindak
tutur komisif dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa.
Tujuan
pemaparan dimaksudkan untuk mengetahui hasil penelitian yang
telah
dilakukan dan dipublikasikan, baik dalam bentuk laporan penelitian
maupun
yang telah diterbitkan dalam bentuk buku. Dengan mempelajari
penelitian
mengenai tindak tutur komisif yang telah dilakukan, khususnya
yang
berdasarkan sudut pandang sosiolinguistik dan pragmatik, dapat
diketahui (1)
bagaimana penelitian dilakukan dan (2) perbedaan antara penelitian
yang
satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, kajian mengenai tindak
tutur
komisif yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai pembanding
atas
penelitian tindak tutur komisif dalam bahasa Jawa yang akan
dilaksanakan.
Bagian kedua bab ini, yaitu Landasan Teori, memaparkan
teori-teori
yang relevan untuk kajian sosiolinguistik dan pragmatik, khususnya
tindak
tutur komisif bahasa Jawa. Bagian kedua ini akan mengetengahkan
teori-teori
yang saling terkait, yaitu teori sosiolonguistik, teori pragmatik,
teori tindak
tutur, teori tentang prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan
teori wacana.
Paparan bertujuan untuk memahami latar belakang yang sifatnya
teoretis
33
bagian tuturan yang bermaksud komisif.
Berikut dipaparkan kajian tentang tindak tutur komisif. Pada
bagian
berikutnya dipaparkan teori yang terkait dengan penelitian tindak
tutur komisif,
terutama dalam bahasa Jawa.
Masalah tindak tutur komisif belum pernah diteliti secara
mendalam
dan komprehensif, terutama yang berkaitan dengan bentuk, pemakaian,
dan
maksud tindak tutur. Beberapa hasil penelitian dan pembahasan yang
relevan
dengan penelitian ini, baik dalam bentuk laporan hasil penelitian
maupun
terbitan, sebagai berikut.
Pragmatik, sedikit menyinggung masalah tindak tutur komisif pada
bagian
tindak tutur dan jenisnya. Namun, penulis hanya memberikan definisi
dan tiga
contoh kalimat untuk menyatakan tindak tutur.
Dardjowidjojo (2003), dalam bukunya yang berjudul
Psikolinguistik
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, pada bab IV, yaitu
tentang
pelaksanaan tindak ujaran komisif, menjelaskan bahwa tindak tutur
komisif
ditandai dengan tuturan berjanji, bersumpah, dan bertekat.
Pembicaraan
tentang pelaksanaan tindak tutur komisif dalam buku itu hanya
didasarkan
pada satu contoh penggunaan tuturan berjenis komisif.
34
“Pasangan Tutur dalam Dialog Bahasa Jawa”, mengkaji masalah
macam
wacana pasangan tutur bahasa Jawa dan jenis tindak tutur yang
digunakan
dalam pasangan tutur itu. Dalam menentukan jenis tindak tutur,
peneliti hanya
mengikuti pola pelaksanaan tutur. Dengan demikian, hanya ada tindak
tutur
langsung, tindak tutur tidak langsung, dan tindak tutur literal.
Data penelitian
pda kajian itu banyak yang berjenis wacana tindak tutur komisif.
Namun,
karena penelitian tidak membahas secara khusus masalah tindak
tutur
komisif, penganalisisan tidak sampai ke sana.
Indiyastini (2003), dalam laporan penelitiannya yang berjudul
“Tinjauan
Prgamatik (Tindak Tutur, Implikatur, dan Praanggapan) dalam Wacana
Bisnis
(Iklan) Bahasa Jawa”, juga membicarakan masalah tindak tutur
komisif.
Dalam mengelompokkan tindak tutur, peneliti mengikuti teori
Dardjowidjojo
(2003), yaitu dengan mengelompokkan tindak tutur komisif menjadi
berjanji,
bersumpah, dan bertekat. Dalam penelitian itu Indiyastini hanya
memberikan
dua contoh tindak tutur komisif, yaitu berjanji dan memastikan.
Kedua contoh
tidak diikuti analisis dan penjelasan.
Nurlina (2003) melakukan penelitian berjudul “Prinsip
Kesopanan
dalam Wacana Lisan Bahasa Jawa”. Di dalam penelitian itu
dibicarakan pula
kesopanan tuturan komisif yang dibagi atas tuturan bahasa Jawa
ragam
ngoko dan krama. Peneliti berpendapat bahwa tuturan komisif
digunakan
untuk mengungkapkan penawaran dan berjanji. Jumlah data tuturan
komisif
menawarkan ada tujuh. Data juga dianalisis untuk mengetahui maksud
yang
terkandung dalam tuturan itu. Namun, analisis belum menjelaskan
konteks
35
(termasuk konteks situasi) yang melatari terjadinya tuturan. Selain
itu, data
juga hanya berupa kalimat; bukan dialog. Oleh sebab itu, gambaran
untuk
latar belakang pragmatisnya juga menjadi tidak jelas.
Kushartanti (2005), dalam memberikan penjelasan mengenai
pragmatik, membicarakan masalah “pertuturan’” (yang dimaksudkan
ialah
tindak tutur). Ia menjelaskan tentang pertuturan ilokusioner yang
bertujuan
untuk menghasilkan ujaran yang dikenal sebagai daya ilokusi ujaran
. Penulis
buku ini menjelaskan bahwa berdasarkan tujuannya, pertuturan
dapat
dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu asertif, direktif,
komisif,
ekspresif, dan deklaratif. Akan tetapi, dalam kaitan dengan tipe
komisif,
penulis tidak memberikan penjelasan dan analisis yang mendalam,
terutama
yang berkaitan dengan bentuk, fungsi, maksud, daya pragmatis,
dan
kesantunan berbahasa secara komisif.
menulis tentang pola-pola struktur tindak tutur komisif bahasa
Jawa. Dalam
tulisan itu struktur kalimat dalam tindak tutur komisif bahasa Jawa
dipolakan
berdasarkan bentuk, struktur, dan parameter kesantunan
berbahasanya.
Penelitian tindak tutur komisif juga dilakukan oleh Abderrahim
AGNAOU
(1999),(http://www.geocities.com/elroyagnaou/personal/writings/Socio/one.ht
m), melalui kajian atas tindak tutur bersumpah yang merupakan salah
satu
kelompok tindak tutur komisif. Objek penelitian ini ialah bahasa
Arab Moroko.
Secara garis besar penulis menyimpulkan bahwa ada dua tipe
maksud
bersumpah, yaitu swearing assertory ‘sumpah untuk menguatkan”
dan
swearing promissory ‘bersumpah untuk menyanggupi’. Dalam tulisan
itu,
36
bersumpah, dan daya pragmatis dari tindakan bersumpah. Bersumpah
di
dalam budaya yang berbeda-beda mempunyai ciri dan bentuk yang
berbeda-
beda pula.
memberikan penjelasan tentang tuturan komisif (commissive
utterances).
Tuturan komisif adalah indak tutur yang commit (mengikat)
penuturnya sendiri
untuk melakukan tindakan (Kreidler, 1998 : 192). Termasuk dalam
tuturan itu
ialah tuturan berjanji, kesanggupan, ancaman, dan nadar. Bentuk
kata kerja
dalam tindak tutur komisif dapat dilihat pada tindakan menyetujui,
meminta,
menawarkan, menolah, bersumpah. Predikat dalam tuturan
komisif
menunjukkan bahwa yang akan melakukan tindakan adalah dirinya
sendiri.
Pelaku pada subjek kalimat komisif adalah persona pertama (O1).
Selain itu,
Kreidler juga memberikan penjelasan bahwa struktur predikat pada
kalimat
komisif dapat digambarkan seperti berikut.
Commissive predicate (predikat komisif)
I / We you actor predicate saya/kita kamu pelaku predikat
I / we saya/kita
(Kreidler, 1998 ; 193).
Predikat komisif dapat diklasifikasikan menjadi (1) respon
langsung, (2)
motivasi dirinya sendiri, dan (3) fokus pada tindak tutur (1998 :
193).
Tentang tindak tutur komisif Kleidler secara ringkas
menjelaskan
bahwa tuturan komisif adalah tuturan yang mengikat diri penutur
untuk
melakukan tindakan yang dituturkannya. Predikat pada kalimat
komisif
menunjukkan bahwa pelaku ialah persona pertama tunggal/jamak,
ditujukan
kepada persona kedua, pelaku tindakan (aktor) adalah persona
pertama
tunggal/jamak. Syarat yang harus dipenuhi dalam tindak tutur
komisif ini
berupa adanya kondisi yang cocok antara penutur dan lawan tutur
(1998 :
195).
George Yule (2006) membuat klasifikasi tindak tutur menjadi (1)
tindak
tutur deklaratif, (2) tindak tutur ekspresif, (3) tindak tutur
direktif, dan (4) tindak
tutur komisif. Khusus mengenai tindak tutur komisif, George Yule
memberikan
definisi sebagai berikut.
“Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk
mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan
datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksud oleh
penutur. Tindak tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan,
ikrar, dan dapat ditampilkan sendiri oleh penutur atau penutur
sebagai anggota kelompok.” (Yule, 1998:94).
Definisi tersebut menunjukkan bahwa tuturan komisif, bagi
penuturnya,
mempunyai sifat mengikat atau commit atau ‘sanggem’ (Jw). Pelaku
ialah
persona pertama dan tindakan itu akan dilakukan pada masa yang
akan
datang.
tentang kategori tindak ilokusi yang berkaitan dengan sopan
santun,
menjelaskan tentang tindak tutur komisif sebagai berikut.
38
“Komisif : pada ilokusi ini n (penutur) sedikit banyak terikat pada
suatu tindakan masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkan,
berkaul. Jenis ilokusi ini cenderung berfungsi menyenangkan dan
kurang bersifat kompetitif, karena tidak mengacu pada kepentingan
penutur tetapi pada kepentingan petutur (lawan tutur)” (1993 :
164).
Penjelasan Leech tersebut mengisyaratkan bahwa pelaku tindakan
komisif
adalah penutur yang selanjutnya disebut persona pertama (O1),
sedangkan
yang mendapat perlakuan atas tindakan itu adalah petutur (lawan
tutur) yang
selanjutnya disebut (O2). Tindakan tersebut belum dilakukan, tetapi
akan
dilakukan pada masa mendatang. Fungsi tindak tutur ini untuk
menyenangkan sebab (O1) akan bertindak untuk memenuhi
kepentingan
(O2).
pasangan minimal. Perbedaan itu dapat dilihat pada verba pengisi
kalimat
komisif. Ciri pembeda itu berupa ciri kebersyaratan jawaban.
Perbedaan itu
didasarkan pada aspek semantik yang bersifat kategorial, dan
pragmatik
yang bersifat skala atau gradasi.
2.3 Landasan Teori
penelitian mengenai tindak tutur komisif bahasa Jawa dilihat dari
sudut
pandang sosiolinguistik dan pragmatik. Data penelitian ini berupa
wacana
dialog yang berisi tindak tutur komisif. Oleh karena itu, perlu
dipaparkan
tentang teori prinsip kerja sama dan teori analisis wacana.
39
digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Hartmann dan
Stork
(1972 : 205) dan Crystal (1980 : 178) menjelaskan bahwa
semantik,
pragmatik, dan sintaksis merupakan cabang semiotika, yaitu ilmu
tentang
tanda. Semiotika dibagi menjadi tiga cabang kajian, yaitu (1)
sintaksis sebagai
cabang semiotika yang mengkaji hubungan formal antartanda-tanda,
(2)
semantik sebagai cabang semiotika yang mengkaji hubungan tanda
dengan
objek yang diacunya, dan (3) pragmatik sebagai cabang semiotika
yang
mengkaji hubungan tanda dengan penggunaan bahasa.
Leech (1993: 8) menyatakan bahwa pragmatik berkaitan erat
dengan
semantik. Semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan
yang
melibatkan dua segi, yaitu dyadic, seperti pada “apa artinya X?”,
sedangkan
pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang
melibatkan
tiga segi, yaitu triadic, seperti pada “Apa maksudmu dengan X?”.
Dengan
demikian, dalam pragmatik makna diberi definisi dalam hubungannya
dengan
penutur atau pemakai bahasa, sedangkan dalam semantik
semata-mata
didefinisikan sebagai ciri-ciri ungkapan dalam suatu bahasa
tertentu; terpisah
dari situasi, penutur, dan lawan tutur. Levinson (1983: 27)
memberikan
definisi pragmatik sebagai berikut: Pragmatics is the study of
diexis (at least in
part), implicature, presuposition, speech act, and aspects of
discourse
structure. ‘Pragmatik adalah kajian mengenai dieksis
(setidak-tidaknya
bagian dari dieksis), implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan
aspek struktur
wacana’. Pandangan lain yang senada dengan Levinson berasal dari
Cruse
40
meliputi antara lain referensi dan dieksis, implikatur percakapan,
tindak tutur.
Sehubungan dengan penelitian tentang tindak tutur komisif, di
samping
teori pragmatik, dalam landasan teori ini akan dipaparkan teori
tentang tindak
tutur, teori tentang prinsip kerja sama, teori tentang prinsip
kesopanan
berbahasa, dan teori tentang kalimat propositif bahasa Jawa
untuk
mengetahui penanda adanya tindakan yang akan dilakukan oleh
penutur.
Untuk menunjukkan perbedaan antara semantik dan pragmatik,
Parker
(1986: 36) menyebutkan dua hal, yaitu adanya speaker reference
‘referensi
penutur’ yang masuk dalam kajian pragmatik, dan linguistic speaker
‘bahasa
penutur’ yang masuk dalam kajian semantik. Demikian juga, Finegan
(1992:
140) menyebutkan bahwa semantik kalimat tidak berhubungan
dengan
makna tuturan. Tuturan dikaji dalam cabang ilmu bahasa yang
disebut
pragmatik. Sehubungan dengan itu, Frawly (1993: 37) menjelaskan
bahwa
pragmatik berkaitan dengan konteks dan penggunaan bahasa.
Semantik
bahasa tidak terlalu terkait dengan pengkajian konteks dan
penggunaan
bahasa. Namun, Frawly tidak membedakan makna dan maksud. Pada
kajian
pragmatik, kajian bukan lagi tentang makna, kecuali makna yang
telah terikat
oleh konteks sehingga disebut maksud (Wijana, 1996: 2; Rustono,
1999: 14).
Ada beberapa definisi tentang pragmatik yang hampir semuanya
menjelaskan bahwa pragmatik adalah pengkajian terhadap bahasa
yang
dipergunakan dalam konteks tertentu. Pendapat lain menyebutkan
bahwa
pragmatik adalah kajian tentang bagaimana bahasa digunakan
untuk
berkomunikasi (Parker. 1986 : 11). Dalam kaitan ini, Parker
menegaskan pula
41
bahwa pragmatik tidak menelaah struktur bahasa secara internal
seperti tata
bahasa, melainkan secara eksternal. Oleh karena itu, Parker
menekankan
bahwa dalam pragmatik penggunaan bahasa untuk komunikasi
menjadi
tekanan dalam definisinya. Demikian juga, tentang pragmatik, Mey
(1993: 42)
memberikan tekanan pada konteks. Selanjutnya, Mey mendefinisikan
bahwa
pragmatik adalah kajian tentang kondisi penggunaan bahasa
manusia
sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya. Mey (1993:
38)
menjelaskan bahwa konteks adalah situasi lingkungan dalam arti luas
yang
memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi dan
membuat
ujaran yang dapat dipahami. Levinson (1983: 9) memberikan
definisi
pragmatik sebagai berikut : Pragmatics is the study of those
relations between
language and context the are grammaticalized, or encoded in the
structure of
language ‘Pragmatik adalah studi tentang hubungan bahasa dan
konteks
yang gramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa’.
Sehubungan
dengan hal itu, Searle, Keifer, dan Bierwich (1980 : ix) menegaskan
bahwa
pragmatics is concerned with the way in which the interpretation
of
syntactically defined expressions depends on the particular
conditions of their
use in context ‘pragmatik berkaitan dengan interpretasi suatu
ungkapan yang
dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dengan cara
menginterpretasi
ungkapan tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus
penggunaan
ungkapan tersebut dalam konteks'. Sehubungan dengan pandangan
tersebut,
dalam kajian pragmatik konteks memegang peranan penting.
Konteks sangat penting dalam kajian pragmatik karena
pragmatik
mengkaji makna yang terikat oleh konteks, yang selanjutnya disebut
maksud
42
(Wijana, 1996 : 2; Rustono, 1999 : 14). Konteks adalah hal-hal yang
berkaitan
dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan ataupun latar
belakang
pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur
dan yang
membantu lawan tutur menginterpretasikan maksud tuturan.
Sehubungan
dengan itu, Lecch (1983: 13) mendefinisikan konteks sebagai
bacground
knowledge assumed to be shared by s (speaker) and h (hearer) and
which
contributer to h’s interpretation of what s means by a given
utternce ‘Latar
belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan
tutur
sehingga lawan tutur dapat