7
TIK untuk Indonesia Cerdas Deteksi Dini Tingkat Stadium Diabetik Retinopati Berdasarkan Pengetahuan Dasar Menggunakan Metode Extreme Learning Machine Desti Fitriati Department of Informatics Engineering Universitas Pancasila Jakarta Selatan, Indonesia [email protected] AbstrakDiabetik Retinopati (DR) adalah penyakit yang dapat mengakibatkan kebutaan. Penyakit ini terjadi akibat adanya kerusakan mikrovaskular pada retina mata manusia dan dipengaruhi pula oleh Diabetes Melitus. Proses kebutaan pada DR melewati beberapa tahapan. Mulai dari tahap awal hingga ke tahap lanjut. Untuk itu proses pendeteksian dini sangat penting untuk dilakukan sehingga pengobatan dan penanganan yang tepat dapat diberikan. Pada penelitian ini tingkatan stadium yang digunakan adalah Normal, Early NPDR, Advanced NPDR, dan PDR. Adapun eksperimen dilakukan menjadi 2 mekanisme. Mekanisme pertama menggunakan fitur tekstur dari Grey Level Coocurence Matrix (GLCM). Mekanisme kedua menggunakan fitur penanda DR yang khas seperti mikroaneurisma, eksudat keras, dan pembuluh darah. Data yang digunakan adalah data citra retina dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Indonesia dimana pembagian data pelatihan dan pengujian menggunakan 10-fold Cross Validation. Kemudian data diolah dengan teknik morfologi dan diklasifikasi menggunakan Extreme Learning Machine (ELM) yang dikenal sebagai metode klasifikasi yang 1000 kali lebih cepat dibanding dengan Single Layer Perceptron dan cocok untuk pembelajaran citra medis. Penelitian ini menghasilkan suatu informasi dasar yang dapat dijadikan sebagai acuan kategori tingkatan stadium DR dengan akurasi sebesar 53,53% untuk mekanisme satu dan 52,26% untuk mekanisme kedua. Kata kunciDiabetic Retinopathy; Cross Validation; GLCM Morfologi; Extreme Learning Machine I. PENDAHULUAN Kebutaan yang terjadi pada orang yang sebelumnya bisa melihat dapat memberikan efek psikologis yang sangat besar yang berdampak pada kualitas hidup penderita. Salah satu contoh penyebabnya adalah Diabetik Retinopati (DR). DR sendiri adalah suatu penyakit yang terjadi akibat adanya kerusakan mikrovaskular pada retina mata. Penyakit ini adalah dampak jangka panjang dari diabetes melitus yang menyebabkan kebutaan permanen [1]. Berdasarkan Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Research Group (ETDRS) [2], DR tergolong menjadi dua bagian besar yaitu Non-Proliferatif Diabetik Retinopati (NPDR) dan Proliferatif Diabetik Retinopati (PDR). NPDR adalah fase awal yang terdiri dari 4 tahapan perkembangan, yaitu mild, moderate, severe, dan very severe. Sedangkan PDR adalah tahapan lanjutan yang mengarah ke kebutaan. Setiap tingkatan memiliki cirri yang berbeda. Secara garis besar, ciri penanda DR ada 5 yaitu mikroaneurisma, hemorrhage, eksudat lunak dan keras, serta neovaskular dimana setiap penanda memiliki bentuk dan karakteristik yang berbeda [2]. Pada pemeriksaan medis untuk menentukan stadium penderita, tim medis memeriksa retina dan mengamati apakah ada salah satu atau lebih dari ciri penanda DR. Hal ini tentu lebih kompleks karena untuk mendeteksi 1 citra retina saja dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Selain itu, biasanya citra medis adalah citra berukuran besar. Untuk itu diperlukan suatu metode yang mampu mempelajari citra retina secara cepat dan presisi. Sehingga diperoleh suatu hasil berupa pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai acuan penentuan kategori stadium yang mungkin diderita oleh pasien. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka penelitian ini melakukan 2 mekanisme percobaan. Pada mekanisme pertama percobaan dilakukan hanya dengan mengambil fitur tekstur dari citra retina saja, artinya mekanisme ini mengabaikan fitur penanda DR. Sedangkan pada percobaan kedua fitur yang digunakan adalah fitur khas penanda DR. kedua hal ini dilakukan untuk melihat perbandingan hasil yang diperoleh dan menentukan fitur mana yang memiliki hasil akurasi yang lebih baik. Gambar 1 berikut adalah perbedaan antara citra retina normal dan abnormal (menderita DR). Gbr. 1. Perbedaan Citra Normal dan Abnormal

TIK untuk Indonesia Cerdas Deteksi Dini Tingkat Stadium ...dosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/4514211002155454994906April2019.pdfklasifikasi yang 1000 kali lebih cepat dibanding dengan

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TIK untuk Indonesia Cerdas Deteksi Dini Tingkat Stadium ...dosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/4514211002155454994906April2019.pdfklasifikasi yang 1000 kali lebih cepat dibanding dengan

TIK untuk Indonesia Cerdas

Deteksi Dini Tingkat Stadium Diabetik Retinopati

Berdasarkan Pengetahuan Dasar Menggunakan

Metode Extreme Learning Machine

Desti Fitriati

Department of Informatics Engineering

Universitas Pancasila

Jakarta Selatan, Indonesia

[email protected]

Abstrak— Diabetik Retinopati (DR) adalah penyakit yang

dapat mengakibatkan kebutaan. Penyakit ini terjadi akibat

adanya kerusakan mikrovaskular pada retina mata manusia dan

dipengaruhi pula oleh Diabetes Melitus. Proses kebutaan pada

DR melewati beberapa tahapan. Mulai dari tahap awal hingga ke

tahap lanjut. Untuk itu proses pendeteksian dini sangat penting

untuk dilakukan sehingga pengobatan dan penanganan yang

tepat dapat diberikan. Pada penelitian ini tingkatan stadium

yang digunakan adalah Normal, Early NPDR, Advanced NPDR,

dan PDR. Adapun eksperimen dilakukan menjadi 2 mekanisme.

Mekanisme pertama menggunakan fitur tekstur dari Grey Level

Coocurence Matrix (GLCM). Mekanisme kedua menggunakan

fitur penanda DR yang khas seperti mikroaneurisma, eksudat

keras, dan pembuluh darah. Data yang digunakan adalah data

citra retina dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)

Indonesia dimana pembagian data pelatihan dan pengujian

menggunakan 10-fold Cross Validation. Kemudian data diolah

dengan teknik morfologi dan diklasifikasi menggunakan Extreme

Learning Machine (ELM) yang dikenal sebagai metode

klasifikasi yang 1000 kali lebih cepat dibanding dengan Single

Layer Perceptron dan cocok untuk pembelajaran citra medis.

Penelitian ini menghasilkan suatu informasi dasar yang dapat

dijadikan sebagai acuan kategori tingkatan stadium DR dengan

akurasi sebesar 53,53% untuk mekanisme satu dan 52,26%

untuk mekanisme kedua.

Kata kunci— Diabetic Retinopathy; Cross Validation; GLCM

Morfologi; Extreme Learning Machine

I. PENDAHULUAN

Kebutaan yang terjadi pada orang yang sebelumnya bisa melihat dapat memberikan efek psikologis yang sangat besar yang berdampak pada kualitas hidup penderita. Salah satu contoh penyebabnya adalah Diabetik Retinopati (DR). DR sendiri adalah suatu penyakit yang terjadi akibat adanya kerusakan mikrovaskular pada retina mata. Penyakit ini adalah dampak jangka panjang dari diabetes melitus yang menyebabkan kebutaan permanen [1].

Berdasarkan Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Research Group (ETDRS) [2], DR tergolong menjadi dua bagian besar yaitu Non-Proliferatif Diabetik Retinopati (NPDR) dan Proliferatif Diabetik Retinopati (PDR). NPDR

adalah fase awal yang terdiri dari 4 tahapan perkembangan, yaitu mild, moderate, severe, dan very severe. Sedangkan PDR adalah tahapan lanjutan yang mengarah ke kebutaan. Setiap tingkatan memiliki cirri yang berbeda.

Secara garis besar, ciri penanda DR ada 5 yaitu mikroaneurisma, hemorrhage, eksudat lunak dan keras, serta neovaskular dimana setiap penanda memiliki bentuk dan karakteristik yang berbeda [2]. Pada pemeriksaan medis untuk menentukan stadium penderita, tim medis memeriksa retina dan mengamati apakah ada salah satu atau lebih dari ciri penanda DR. Hal ini tentu lebih kompleks karena untuk mendeteksi 1 citra retina saja dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Selain itu, biasanya citra medis adalah citra berukuran besar. Untuk itu diperlukan suatu metode yang mampu mempelajari citra retina secara cepat dan presisi. Sehingga diperoleh suatu hasil berupa pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai acuan penentuan kategori stadium yang mungkin diderita oleh pasien.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka penelitian ini melakukan 2 mekanisme percobaan. Pada mekanisme pertama percobaan dilakukan hanya dengan mengambil fitur tekstur dari citra retina saja, artinya mekanisme ini mengabaikan fitur penanda DR. Sedangkan pada percobaan kedua fitur yang digunakan adalah fitur khas penanda DR. kedua hal ini dilakukan untuk melihat perbandingan hasil yang diperoleh dan menentukan fitur mana yang memiliki hasil akurasi yang lebih baik. Gambar 1 berikut adalah perbedaan antara citra retina normal dan abnormal (menderita DR).

Gbr. 1. Perbedaan Citra Normal dan Abnormal

Typewritten text
e-Indonesia Initiatives (eII-Forum) 2015, Institut Teknologi Bandung Smart Indonesia Initiatives (SII) | Inovasi TIK untuk Indonesia Cerdas
Page 2: TIK untuk Indonesia Cerdas Deteksi Dini Tingkat Stadium ...dosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/4514211002155454994906April2019.pdfklasifikasi yang 1000 kali lebih cepat dibanding dengan

TIK untuk Indonesia Cerdas

No. Penanda Diabetik Retinopati

Nama Fitur Karakteristik

3

Hard Exudate

Bercak berwarna kuning

4

Soft Exudate/ cotton wool spot

Daerah retina yang bercak-bercak putih berwarna pucat

5

Neovascularization

Pembuluh darah abnormal, dibagi menjadi 2 yaitu neovascularization

disc (NVD) dan neovascularization

everywhere (NVE).

No. Penanda Diabetik Retinopati

Nama Fitur Karakteristik

1

Mikroaneurisma/red

small dot

Berupa bintik merah/ hitam (tidak lebih dari 1 piksel)

2

Hemorrhages

Perdarahan lebih dari 1 piksel

II. STUDI LITERATUR

Berdasarkan permasalahan yang dijelaskan sebelumnya,

maka fokus penelitian ini adalah mengkategorikan stadium

penyakit DR. Ravinskar [3] telah melakukan pengkategorian

DR tergolong normal dan abnormal. Hal yang sama juga

dilakukan oleh Narasihman [4] dan Saranya [5] dimana fitur

dan metode yang digunakan berbeda.

Kemudian ada lagi beberapa peneliti yang fokus hanya

pada satu kategori, yaitu Verma [6] yang mengkategorikan

citra retina tergolong NPDR atau bukan NPDR, dan Akram

[7] yang hanya mengkategorikan PDR. Akan tetapi

pengaktegorian stadium DR secara lengkap masih sedikit.

Kelengkapan itu sendiri berbeda-beda tergantung focus dan

data yang dimiliki peneliti. Misalnya Yun, et al [8]

mengklasifikasikan stadium DR menjadi Normal, Moderate

NPDR, Severe NPDR, dan PDR. Fitur yang digunakan ada 6,

yaitu area dan perimeter dari masing-masing komponen RGB

dimana fitur yang diekstrak adalah pembuluh darah dari hasil

proses Histogram Equalization (HE) dan Binarization dan

diklasifikasi menggunakan Neural Network (NN). Selain itu

Nayak, et al [9] mengklasifikasikan citra fundus menjadi

normal, NPDR, dan PDR. Pada penelitiannya fitur yang

digunakan ada 3, yaitu area dan perimeter pembuluh darah,

area eksudat, dan tekstur. Ketiga fitur di pra-proses

menggunakan Adaptive Histogram Equalization (AHE) dan

diklasifikasi menggunakan di NN.

Secara umum para peneliti menggunakan salah satu atau

lebih fitur penanda DR seperti : mikroaneurisma, hemorrhage,

eksudat lunak, keras, serta neovaskular. Sebelum diklasifikasi,

fitur-fitur tersebut diekstrak untuk mengambil cirinya dimana

cirri tersebut akan dijadikan masukan pada metode klasifikasi.

Pada Tabel 1 berikut dapat dilihat perbedaan dan karakteristik

penanda DR [2].

TABEL I. KARAKTERISTIK FITUR PENANDA DR

Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa tampak

perbedaan antara penanda satu dengan yang lainnya. Hal ini

dapat dilihat dari bentuk setiap penanda. Akan tetapi ada

beberapa fitur yang peneliti anggap dominan dan memiliki

karakteristik khusus yaitu pembuluh darah, mikroaneurisma,

dan eksudat. Pembuluh darah hampir melingkupi dan paling

dominan pada citra retina, mikroaneurisma adalah penanda

awal penyakit DR, dan eksudat (baik lunak maupun keras)

merupakan penanda stadium awal dan akhir. Oleh karena itu

penelitian ini akan menggunakan ketiga fitur ini pada

percobaan mekanisme kedua.

Di sisi lain, terdapat sebuah metode morfologi yang

menyatakan bentuk. Dalam konteks matematika, morfologi

merupakan alat untuk mengekstrak komponen citra yang

berguna untuk representasi dan deskripsi bentuk daerah,

seperti boundaries, skeletons, dan convex hull [4]. Teknik ini

juga digunakan untuk pra-proses dan post-proses. Oleh karena

itu, pada penelitian ini metode morfologi dianggap lebih cocok

dipakai untuk mengambil fitur khas DR.

III. METODOLOGI

A. Data Set

Data set yang digunakan pada penelitian ini diambil dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Indonesia sebanyak 135 citra. Citra yang diambil adalah retina mata khusus yang berpenyakit DR berbagai stadium dan citra retina normal. Data yang diperoleh dari RSCM sudah digolongkan menjadi beberapa kategori. Tabel II berikut adalah informasi yang diperoleh mengenai data yang digunakan.

Typewritten text
e-Indonesia Initiatives (eII-Forum) 2015, Institut Teknologi Bandung Smart Indonesia Initiatives (SII) | Inovasi TIK untuk Indonesia Cerdas
Page 3: TIK untuk Indonesia Cerdas Deteksi Dini Tingkat Stadium ...dosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/4514211002155454994906April2019.pdfklasifikasi yang 1000 kali lebih cepat dibanding dengan

TIK untuk Indonesia Cerdas

TABEL II. INFORMASI DATASET RSCM

No Pembanding RSCM

1 Jumlah 135 citra fundus 2 Jumlah citra normal 64 3 Jumlah citra abnormal 71 4 Bagian mata yang diambil Retina mata kanan dan kiri 5 Jenis data Primer 6 Asal Rumah sakit di Jakarta 7 Analisis variasi data Mengambil sampel citra fundus secara

acak. Sehingga citra yang mengalami

penyakit lain seperti katarak ikut

termasuk, dimana ada citra katarak

yang juga memiliki penyakit DR dan

sebaliknya 8 Kriteria stadium yang

diberikan Membagi setiap citra kedalam salah

satu kategori berikut :

R0 : Normal

R1 : Early NPDR

(MILD)

R2 : Advance NPDR

(Moderate & Severe)

R3 : PDR

Berdasarkan data yang digunakan maka rancangan penelitian yang diajukan pada penelitian ini sebagai berikut :

Fundus Images (RGB)

Preprocessing

Fitur Ekstraksi

Klasifikasi

terlihat lebih jelas sehingga cocok digunakan untuk penelitian

citra medis.

Setelah band hijau diambil, selanjutnya akan dilakukan

invers band hijau dan melakukan penyeragaman kontras citra

menggunakan Adaptive Histogram Equalization (AHE).

Kemudian citra hasil pra-proses ini di resize menjadi ukuran

845 x 833 piksel. Berikut adalah skema dari tahapan pra-

proses citra fundus.

C. Fitur Ekstraksi

Fitur ekstrasi yang akan digunakan terbagi menjadi dua

bagian, yaitu Grey Level Coocurence Matrix (GLCM) untuk

mekanisme pertama dan Morfologi untuk mekanisme kedua.

1) GLCM

Metode ini digunakan untuk mengambil tekstur dari citra retina. Tekstur adalah bentuk yang dapat mencirikan sebuah

benda dimana ciri tersebut dapat berupa adanya keteraturan

pada suatu area tertentu pada citra. Tidak hanya itu, tekstur

pula dapat dideskripsikan sebagai bentuk kehalusan maupun

kekasaran suatu benda. Metode ini memanfaatkan nilai-nilai

piksel citra yang berpasangan dan memiliki intensitas tertentu

[11]. Pada penelitian ini fitur GLCM yang digunakan hanya 5 yaitu kontras, korelasi, energy, homogeniti, dan entropi.

a) Kontras

fitur ini diambil karena apabila dilihat dari citra fundus stadium rendah (R1) dan stadium tinggi (R3), maka akan tampak jelas perbedaan kontras dan intensitas pada citra. Dalam hal ini stadium rendah memiliki intensitas yang tinggi atau gambar cenderung agak terang/ bersih sedangkan stadium tinggi memiliki intensitas yang cukup rendah atau gambar tampak lebih gelap.

b) Korelasi

fitur ini diambil karena setiap stadium memiliki ciri khas

masing-masing. Artinya adalah setiap komponen dalam

citra memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga

mencerminkan makna tertentu (tanda sebuah penyakit). Normal Early NPDR Advanced NPDR PDR

Gbr. 2. Rancangan Penelitian

Oleh karena itu fitur ini dianggap cukup berperan untuk

memperoleh nilai tekstur pada citra fundus manusia.

c) Energy

fitur ini digunakan sebagai tambahan untuk mengukur nilai

B. Pra-proses

Tahapan pra-proses dilakukan untuk mengambil citra

secara standar atau normal. Artinya citra yang digunakan akan

diperjelas dan dihaluskan agar fitur yang digunakan dapat

sepenuhnya terambil. Data set yang diperoleh berbentuk

gambar RGB, tentu akan lebih sulit memprosesnya. Untuk itu

pada penelitian ini band citra yang dipakai adalah band hijau

karena band ini menghasilkan gambar yang lebih stabil jika

dibandingkan dengan band merah (red) dan band biru (blue).

Dalam hal ini stabil adalah citra yang dihasilkan tidak

terlalu terang (tingkat intensitasnya tinggi) dan tidak terlalu

gelap (kontras yang tinggi). Tidak hanya itu, citra yang

dihasilkan juga menunjukkan komponen dalam citra yang

energy yang dihasilkan pada setiap citra. Dalam hal ini,

nilai energi untuk stadium yang sama memiliki nilai

dengan kisaran yang hampir sama.

d) Homogeneity

sama seperti fitur yang lain, setiap citra fundus memiliki

ciri masing-masing yang mengindikasikan stadium yang

diderita. Tentu saja citra yang memiliki level stadium yang

sama akan memiliki ciri yang serupa. Keserupaan inilah

yang dapat dimanfaatkan untuk menarik tekstur

homogeniti pada citra fundus manusia.

e) Entropy

fitur ini digunakan untuk melihat nilai entropi dari sebuah

intensitas citra, dimana intensitas disini berkaitan dengan

Typewritten text
e-Indonesia Initiatives (eII-Forum) 2015, Institut Teknologi Bandung Smart Indonesia Initiatives (SII) | Inovasi TIK untuk Indonesia Cerdas
Page 4: TIK untuk Indonesia Cerdas Deteksi Dini Tingkat Stadium ...dosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/4514211002155454994906April2019.pdfklasifikasi yang 1000 kali lebih cepat dibanding dengan

TIK untuk Indonesia Cerdas

kontras yang dihasilkan. Sehingga fitur ini dianggap cukup

berperan untuk klasifikasi citra fundus manusia.

2) Morfologi Secara umum operasi morfologi adalah mem-passing

sebuah struktur elemen atau strel ke dalam sebuah citra yang digunakan untuk meneliti sifat citra. Sebuah strel harus memiliki titik pusat. Beberapa contoh dari tipe strel adalah arbitrary, diamond, disk, line, octagon, pair, periodicline, rectangle, dan square. Disamping itu, fitur penanda DR memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga penerapan morfologi untuk fitur-fitur tersebut pun berbeda.

D. Klasifikasi

Metode klasifikasi yang digunakan adalah Extreme

Learning Machine dimana penjelasan formulanya dapat dilihat

pada paper G-B.Huang [10]. Adapun arsitektur klasifikasi

yang diusulkan sebagai berikut :

Gbr. 3. Arsitektur ELM Metode Usulan

E. Metode Evaluasi

1) Analisis hasil klasifikasi lokal

Hasil klasifikasi secara lokal dihitung menggunakan

formula seperti berikut :

(1)

Miss Klasifikasi rate adalah jumlah total data atau citra

yang gagal dikenali. Dalam hal ini gagal adalah hasil

pengenalan tidak sesuai dengan target yang diharapkan.

2) Uji statistik Annova

Selain itu, hasil percobaan juga akan diuji menggunakan

uji statistik ANOVA dimana yang akan diukur adalah

apakah ada perbedaan jumlah fitur area untuk setiap

stadium sehingga dapat diperoleh sebuah kesimpulan.

IV. EKSPERIMEN DAN HASIL

A. Hasil Eksperimen

TABEL III. HASIL PRA-PROSES

B. Fitur Ekstraksi

a) Pembuluh darah

TABEL IV. EKSTRAKSI FITUR PEMBULUH DARAH

Typewritten text
e-Indonesia Initiatives (eII-Forum) 2015, Institut Teknologi Bandung Smart Indonesia Initiatives (SII) | Inovasi TIK untuk Indonesia Cerdas
Page 5: TIK untuk Indonesia Cerdas Deteksi Dini Tingkat Stadium ...dosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/4514211002155454994906April2019.pdfklasifikasi yang 1000 kali lebih cepat dibanding dengan

TIK untuk Indonesia Cerdas

a)

b)

c)

d)

e)

f)

g)

h)

i)

b) Microaneurysm

TABEL V. FITUR EKSTRAKSI MICROANEURYSM

c) Exudates

TABEL VI. FITUR EKSTRAKSI EXUDATE

d) GLCM

TABEL VII. EKSTRAKSI FITUR GLCM

C. Hasil Klasifikasi

Percobaan ini dilakukan sesuai mekanisme yang telah

dijelaskan sebelumnya. Untuk setiap mekanisme pembagian

data training dan testing menggunakan 10-fold cross

validation. Penggunaan cross validation dilakukan karena data

yang diperoleh sedikit.

TABEL VIII. HASIL KLASIFIKASI

Pembanding ELM ANN

Mekanisme 1 53,53% 40,8%

Mekanisme 2 52,26% 46,4%

D. Hasil Annova

TABEL IX. ANNOVA RESULT

Typewritten text
e-Indonesia Initiatives (eII-Forum) 2015, Institut Teknologi Bandung Smart Indonesia Initiatives (SII) | Inovasi TIK untuk Indonesia Cerdas
Page 6: TIK untuk Indonesia Cerdas Deteksi Dini Tingkat Stadium ...dosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/4514211002155454994906April2019.pdfklasifikasi yang 1000 kali lebih cepat dibanding dengan

TIK untuk Indonesia Cerdas

E. Diskusi

Berdasarkan hasil-hasil di atas maka dapat diketahui

bahwa hasil setiap mekanisme (sesuai mekanisme percobaan)

tidak terlalu signifikan perbedaannya karena masih dalam

range yang sama, yaitu 50% dan memiliki selisih sekitar 1%.

Hasil ini dapat saja dipengaruhi oleh fitur yang digunakan

pada setiap mekanisme merepresentasikan bentuk penanda DR

yang sebenarnya. Dengan kata lain baik dengan menggunakan

fitur tekstur maupun fitur bentuk (sesuai dengan metode yang

perolehan fitur yang diusulkan) adalah sama. Sehingga kita

dapat menggunakan salah satunya saja. Kemudian untuk hasil

akurasi yang rendah yaitu rata-rata 50% dapat dipengaruhi

oleh: jumlah data set yang hanya 135 citra retina; dan variasi

jumlah kelas stadium yang tidak seimbang. Namun jika dilihat

dari segi kecepatan proses belajar maka metode ELM adalah

metode klasifikasi yang sangat cepat.

Adapun metode klasifikasi yang digunakan adalah ELM

yang memiliki kecepatan klasifikasi jauh lebih singkat

dibandingkan dengan metode pencetusnya Neural Network

(NN). Jika ingin dibandingkan dengan metode lainnya, maka

yang bisa dibandingkan hanya dengan metode klasifikasi dari

jenis yang sama yaitu Multilayer Perceptron dari ANN.

Alasannya karena metode ELM merupakan perkembangan

dari ANN dari sisi kecepatan pembelajaran, sehingga untuk

membuktikannya perlu dilakukan perbandingan. Berdasarkan

hasil uji coba, hasil dari metode ELM memiliki akurasi lebih

baik dibandingkan dengan Multilayer Perceptron (Tabel 5.7).

Berdasarkan hasil percobaan diambil pembanding rata-rata

dan standar deviasi dari setiap akurasi yang diperoleh. Berikut

adalah hasil perbandingannya.

TABEL X. STD-DEV PERBANDINGAN ELM DAN ANN

PEMBANDING ELM min STD-

DEV max STD-

DEV Mekanisme 1 53,53 39,98071757 67,07928243

Mekanisme 2 52,26 36,24654659 68,27345341

ANN min STD-

DEV max STD-

DEV Mekanisme 1

40,8 0 40,8 Mekanisme 2

46,4 0 46,4

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa hasil dari

setiap metode klasifikasi saling tumpang tindih (overlap).

Contoh : Data RSCM – Mekanisme 1 Klasifikasi Lokal

Akurasi ELM min. 39,98 - max. 67,079

Akurasi ANN min. 0 - max. 40,8

Hal ini menandakan bahwa bisa saja hasil akurasi yang

menggunakan ELM lebih tinggi (lebih baik) dan lebih rendah,

begitu juga sebaliknya untuk ANN. Sehingga hasil akurasi

dari kedua metode klasifikasi ini tidak dapat dibandingkan.

Oleh karena itu digunakan cara lain yaitu head to head

compare yang berarti membandingkan hasil dari N percobaan,

dipilih yang mana metode klasifikasi yang memiliki akurasi

tertinggi paling banyak (Win Solution). Berdasarkan hasil 10

kali percobaan menggunakan 10-fold cross validation maka

metode yang paling baik untuk mekanisme, hierarki, dan

data tertentu adalah ELM.

F. Analisis Annova

Untuk melengkapi penelitian ini, maka dilakukan pula

uji statistik Annova, untuk melihat apakah ada perbedaan yang

signifikan dari area sebuah fitur terhadap kategori stadiumnya.

Berdasarkan Tabel 5.8 hingga Tabel 5.10 terdapat peningkatan

jumlah area (yang diambil rata-ratanya) untuk setiap kenaikan

stadiumnya. Hal ini cukup logis bila dibandingkan dengan

informasi medis yang menyatakan bahwa terjadinya

pertambahan fitur penanda Diabetik Retinopati ketika

stadiumnya meningkat, seperti pembuluh darah yang semakin

melebar, bercak kuning/ putih (eksudat) yang semakin banyak

sehingga menutupi penglihatan, dan mikroaneurisma yang

dapat menyebabkan perdarahan. Tidak hanya itu, data RSCM

yang diambil ada yang memiliki katarak sekaligus mengalami

DR. Sehingga hal ini dapat menjadi noise ketika pemrosesan

data dilakukan.

Adapun kekurangan dari penelitian ini tidak memiliki citra

ground truth untuk membandingkan hasil ekstraksi fitur setiap

penanda DR. Tetapi memiliki Ophthalmologist (ahli penyakit

mata) secara langsung untuk menunjukkan apakah benar

bahwa hasil deteksi telah sesuai dengan fitur penanda yang

dimaksud.

V. KESIMPULAN

Penelitian ini melakukan 2 mekanisme percobaan yaitu

dari sudut pandang computer science (mekanisme 1 : 5 fitur)

dan sudut pandang medis (mekanisme 2 : 3 fitur). Teknik

pembagian data yang digunakan adalah 10-fold cross

validation. Akurasi yang diperoleh adalah 53,53% untuk

mekanisme pertama dan 52,26% untuk mekanisme kedua.

Hasil analisis diketahui bahwa standar deviasi tidak

memberikan hasil yang cukup baik sehingga perbandingan

metode klasifikasi ELM dan ANN tidak dapat dilakukan. Oleh

karena itu digunakan metode Head to Head compare. Teknik

head to head menghasilkan bahwa ELM selalu baik untuk

melakukan klasifikasi Lokal. Meskipun pada percobaan

metode ELM memiliki kecepatan dalam proses belajar, namun

hasil akurasi yang diperoleh masih sekitar 50%. Hal ini dapat

dipengaruhi oleh jumlah data set, variasi kelas stadium yang

tidak seimbang, dan data RSCM yang diambil ada yang

memiliki katarak sekaligus mengalami DR. Sehingga hal ini

dapat menjadi noise ketika pemrosesan data dilakukan.

Berdasarkan knowledge base yang diperoleh, terdapat

kenaikan jumlah rata-rata area fitur penanda untuk setiap

peningkatan stadium. Hal ini sesuai dengan kondisi nyata.

Knowledge base yang diperoleh dapat digunakan untuk

mengidentifikasi kemungkinan stadium yang diderita pasien

berdasarkan tempat asal data yang digunakan. Fitur yang

diusulkan pada setiap mekanisme tidak memberikan hasil

akurasi yang signifikan. Oleh karena itu, pemilihan fitur dapat

menggunakan salah satunya saja. Fitur pada mekanisme

pertama saja atau fitur mekanisme kedua saja.

Typewritten text
e-Indonesia Initiatives (eII-Forum) 2015, Institut Teknologi Bandung Smart Indonesia Initiatives (SII) | Inovasi TIK untuk Indonesia Cerdas
Page 7: TIK untuk Indonesia Cerdas Deteksi Dini Tingkat Stadium ...dosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/4514211002155454994906April2019.pdfklasifikasi yang 1000 kali lebih cepat dibanding dengan

TIK untuk Indonesia Cerdas

REFERENSI

[1] Wilardjo, “Kebutaan Sebagai Akibat Dari Retinopati Diabetik dan Upaya Pencegahannya”, Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Dalam Ilmu Penyakit Mata FK UNDIP, Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2001. 1-37.

[2] K. Pandelaki, “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”. Ed. Sudoyo, Aru W., et al. Eds. 4, Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007.

[3] S. Ravishankar, A. Jain, A. Mittal, “Automated Fitur Ekstraksi for Early Detection of Diabetic Retinopathy in Fundus Images”, IEEE International Conference on Computer Vision and Pattern Recognition (CVPR), pp.210-217, 2009.

[4] K. Narasimhan, V. C. Neha dan K. Vijayarekha, ”An Efficient Automated System for Detection of Diabetic Retinopathy from Fundus Images Using Support Vector Machine and Bayesian Classifiers”, IEEE International Conference on Computing, Electronics and Electrical Technologies (ICCEET), Kumaracoil, pp. 964-969, 21-22 March 2012.

[5] K. Saranya, B. Ramasubramanian dan S. Kaja Mohideen, ”A Novel Approach for the Detection of New Vessels in the Retinal Images for screening Diabetic Retinopathy”, IEEE International Conference on Communications and Signal Processing (ICCSP), pp. 57-61, 2012.

[6] K. Verma, P. Deep dan A. G. Ramakrishnan, ”Detection and Klasifikasi of Diabetic Retinopathy using Retinal Images”, IEEE Annual IEEE India Conference (INDICON), pp. 1-6, 2011.

[7] Akram, M. Usman, et al. ”Automated Segmentation of Pembuluh darahs for Detection of Proliferative Diabetic Retinopathy”, IEEE Proceedings of the IEEE-EMBS International Conference on Biomedical and Health Informatics (BHI), Hong Kong and Shenzhen, China, pp. 232 – 235, Jan 2012.

[8] L. Yun Wong, et al, “Identification of Different Stages of Diabetic Retinopathy Using Retinal Optical Images”, Information Sciences, Vol. 178.1, pp. 106-121, 2008.

[9] J. Nayak, et al, “Automated Identification of Diabetic Retinopathy Stages Using Digital Fundus Images”, Springer Journal of Medical System, Vol. 32.2, pp. 107-115, 2008.

[10] G-B. Huang, Q-Y. Zhu, C-K. Siew. "Extreme Learning Machine : Theory and Applications", Elsevier Neurocomputing 70 , pp. 489-501, 2006.

[11] Mokji, M.M, S.A.R. Abu Bakar,"Gray Level Co-Occurrence Matrix Computation Based On Haar Wavelet". IEEE Computer Graphics, Imaging and Visualisation (CGIV), pp.1-7, 2007.

Typewritten text
e-Indonesia Initiatives (eII-Forum) 2015, Institut Teknologi Bandung Smart Indonesia Initiatives (SII) | Inovasi TIK untuk Indonesia Cerdas