20
Demam Tifoid, Penyebab, Gejala serta Terapinya Yudha Adi Pradana Djatioetomo 102012436 / F7 12 November 2013 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Email: [email protected] Pendahuluan Demam merupakan kenaikan suhu tubuh di atas variasi sirkardian yang normal sebagai akibat dari perubahan pada pusat termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus anterior. Suhu tubuh normal dapat dipertahankan, ada perubahan suhu lingkungan, karena adanya kemampuan pada pusat termoregulasi untuk mengatur keseimbangan panas yang diproduksi oleh jaringan, khususnya oleh otot dan hati, dengan panas yang hilang. Dalam keadaan demam, keseimbangan tersebut bergeser hingga terjadi peningkatan suhu dalam tubuh. Hipertermia merupakan kenaikan suhu di atas titik penyetelan (set point) hipotalamus sebagai akibat dari kehilangan panas yang tidak memadahi. Dalam keadaan normal, suhu tubuh adalah 36,8 ± 0,4°C. 1 Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara 1

tifoid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalahnya

Citation preview

Page 1: tifoid

Demam Tifoid, Penyebab, Gejala serta Terapinya

Yudha Adi Pradana Djatioetomo

102012436 / F7

12 November 2013

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email: [email protected]

Pendahuluan

Demam merupakan kenaikan suhu tubuh di atas variasi sirkardian yang normal

sebagai akibat dari perubahan pada pusat termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus

anterior. Suhu tubuh normal dapat dipertahankan, ada perubahan suhu lingkungan, karena

adanya kemampuan pada pusat termoregulasi untuk mengatur keseimbangan panas yang

diproduksi oleh jaringan, khususnya oleh otot dan hati, dengan panas yang hilang. Dalam

keadaan demam, keseimbangan tersebut bergeser hingga terjadi peningkatan suhu dalam

tubuh. Hipertermia merupakan kenaikan suhu di atas titik penyetelan (set point) hipotalamus

sebagai akibat dari kehilangan panas yang tidak memadahi. Dalam keadaan normal, suhu

tubuh adalah 36,8 ± 0,4°C.1

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang

terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,

kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar

higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.2-4

Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan

penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti.5

Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan

laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak

ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit

1

Page 2: tifoid

lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya

pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.2,3,6

Anamnesis

Dokter sebagai petugas medis, dalam mengobati pasiennya wajib mengetahui apa

yang dikeluhkan oleh pasien hingga pasien dating kepada dokter. Untuk mengetahui apa yang

dikeluhkan pasien serta data-data pendukugn yang diperlukan dari pasien, maka dokter

melakukan anamnesis. Anamnesis lebih baik dilakukan dalam suasana nyaman dan santai.

Anamnesis dapat dilakukan secara auto-anamnesis atau alo-anamnesis. Pada auto-anamnesis,

dokter dapat langsung bertanya kepada pasien. Sedangkan alo-anamnesis, dokter bertanya

pada keluarga terdekat ataupun orang terdekat yang mengetahui kondisi pasien.7,8

            Anamnesis sendiri terdiri dari beberapa pertanyaan yang dapat mengarahkan kita

untuk dapat mendiagnosa penyakit apa yang diderita oleh pasien. Pertanyaan tersebut

meliputi identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,

riwayat kesehatan keluarga dan riwayat sosial.7,8

Dalam anamnesis, dokter wajib mengetahaui mengenai identitas yang meliputi nama,

umur, jenis kelamin pasien. Jika pasien tersebut tidak sadar, maka tanyakan identitas pasien

terhadap orang yang dekat dengan pasien. Setelah menanyakan identitas, dokter bertanya

tentang keluhan utama yang membuat pasien tersebut datang ke dokter dan juga bertanya

sejak kapan keluhan tersebut diderita pasien. Pertanyaan selanjutnya mengenai riwayat

penyakit yang diderita pasien. Pertanyaan tersebut mengenai penyebab yang dikeluhkan

pasien, adanya perbaikan ataupun perburukan keadaan, jika ada perbaikan keadaan

ditanyakan juga penyebab keadaan membaik dan jika semakin buruk, tanyakan juga

penyebabnya, dan tanyakan pula waktu keluhan seperti keluhan pada setiaap saat atau hanya

waktu tertentu. Pertanyaan tentang riwayat penyakit dahulu, dokter bertanya tentang

pernahkah dahulu pasien mengalami keluhan yang sama. Dokter juga wajib menanyakan

kesehatan keluarga pasien untuk mengetahui lingkungan keluarga pasien. Selain itu, dokter

menanyakan keadaan social pasien serta gaya hidup ataupun makanan yang biasa pasien

makan.7,8

Pemeriksaan Fisik

2

Page 3: tifoid

Pemeriksaan fisik dapat dimulai dengan pemeriksaan tanda tanda vital pasien seperti

suhu tubuh yang dapat diukur melalui oral, rektal, aksila ataupun telinga, lalu mengukur

frekuensi nadi, frekuensi respirasi, tekanan darah dan mengetahui tingkat kesadaran pasien.

Pada kasus, didapati kesadaran pasien compos mentis, suhu tubuh 38,6°C, frekuensi

pernafasan 20x/menit, frekuensi nadi 80x/menit dan tekanan darah 110/80mmHg. Selain itu

terdapat nyeri tekan pada region epigastrium dimana pada daerah tersebut terdapat hati,

duodenum

Tingkat kesadaran pasien ada enam yaitu c ompos m entis (sadar sepenuhnya, baik

terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan

pemeriksa dengan baik), a patis (kurang memberikan respon terhadap sekelilingnya atau

bersifat acuh tak acuh terhadap sekelilingnya), d elirium (penurunan kesadaran disertai

kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah,

kacau, disorientasi dan meronta-ronta), s omnolen (keadaan mengantuk yang masih dapat

pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali),

s opor (keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang

yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat

memberikan jawaban verbal yang baik), s emi koma (penurunan rangsangan yang tidak

memberikan respon terhadap rangsangan verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali,

tetapi refleks pupil dan kornea masih baik) c oma (tidak sadar, dan tidak ada reaksi terhadap

rangsangan apapun juga).8,9

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menunjang hasil anamnesis kita terhadap

pasien. Pemerikasaan laboratorium juga dapat digunakan sebagai bukti penguat diagnosis

kita. Seperti pada kasus yang diduga terkena infeksi dari Salmonella thypi, pemeriksaan

laboratorium yag dilakukan antara lain adalah uji widal, uji tubex, uji typidot,uji IgM dipstick

dan kultur darah.

Uji widal dilakukan untuk deteksi antobodi terhadap kuman s.thypi. Pada uji widal

terjadi suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman s.thypi dengan antibody yang disebut

aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah

dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya

aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : Aglutinin O (dari tubuh

3

Page 4: tifoid

kuman), aglutinin H (flagella kuman), dan c aglutinin Vi ( simpai kuman). Dari ketiga

agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.

Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi.Pembentukan aglutinin mulai

terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai

puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selam beberapa minggu. Pada fase akut

mula-mula timbul O, kemudian diikuti aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin

O masih dijumpai setelah 4-6 bulan, sedang aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12

bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Ada

beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu; 1) pengobatan dini dengan antibiotic, 2)

gangguan pembentukan antibody, dan pemberian kortikosteroid, 3) waktu pengambilan

darah, 4) daerah endemic atau non endemic, 5) riwayat vaksinasi. 6) reaksi anamnestik, yaitu

peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa

lalu atau vaksinasi,7) factor teknik pemeriksaan laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan

strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Saat ini belum ada kesamaan

pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostik.

Uji tubex merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat(beberapa menit) dan

mudah untuk di kerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-Styphi O9 pada serum pasien,

dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonkugasi pada partikel latex

yang berwarna dengan lipopolisakarida s.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic

latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D  walau

tidak spesifik menunjukkan pada S,typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan member hasil

negative.

Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein

membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot  didapatkan 2-3 hari setelah

infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen

s.typhi seberat 50 KD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.

Uji IgM Dipstick secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap s.typhi

pada specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung anti

gen lipopolisakarida (LPS) s.typhoid dan anti IgM(sebagai control), reagen deteksi yang

mengandung anti IgM yang dilekati dengan lateks berwarna, vairan membasahi strip sebelum

diinkubasi dengan reagen dan serum pasien , tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil

4

Page 5: tifoid

untk disimpan selama dua tahun pada suhu 4-250 C di tempat kering tanpa paparan sinar

matahari.

Kultur Darah merupakan salah satu dari sekian banyak tes yang dilakukan untuk

mengetahui adanya salmonella. Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid,

akan tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin sisebabkan

beberapa hal sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum

dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan

terhambat dan hasil mungkin negative, 2) volume darah yang kuran(diperlukan kurang lebih

5cc darah). Bila darah yang dibikkan sedikit maka hasil negative. Darah yang diambil

sebaiknya secara bedside langsung dimaukkna ke dalam media cair empedu untuk

pertumbuhan kuman, 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibody

dalam darah pasien. Antibody (aglutinin) dapat menekan bakteremia hingga biakan darah

dapat negative ,4) saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin

semakin meningkat.10,11

Epidemiologi

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia

pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4

per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai

dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% .

Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi

lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedang di daerah

urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan

berhubungan erat dengan persediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi

lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan

lingkungan.

Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1.08% dari seluruh

kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga

Departemen Kesehatan RI tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit

dengan mortalitas tinggi.

5

Page 6: tifoid

Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella thypi  ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makan

yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos

masuk dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa

(IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan

selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit  oleh

sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam

makrofag. Dan selanjutnya di bawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar

getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di

dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama)

yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikulo endothelial tubuh terutama hati

dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit  dan kemudian

berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi

darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan desertai tanda-tanda dan

gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian

kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah

menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktifasi

dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator

inflamasi sistemik seperti demam,malaise,mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas

vascular, gangguan mental, dan koagulasi.

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan

(s.thypi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan

dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah

sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel

mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga

ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel

di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan

neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

Prognosis

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias terapi yang tepat

dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini penting unutk

6

Page 7: tifoid

membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu di butuhkan pemeriksaan

tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.

Masa tunas demam tifoid berlansung anara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang

timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran

penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa

dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

anoreksi,mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan

epiktasis.

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat deman adalah

meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua

gejala-gejala semakin jelas  berupa demam, bradikardia relative (peningkatan suhu 10 C tidak

diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput ( kotor di tengah,

tepid an ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan

mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan 

pada orang Indonesia.

Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas)

Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung ditegakkan.

Yang termasuk gejala khas Demam tifoid adalah sebagai berikut.

Minggu Pertama (awal terinfeksi)12

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama

dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu

setinggi 39ºc hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk,

dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan

gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan

sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada

penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Episteksis

dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika

penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di

atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya

terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata,

bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna.

Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua

ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada

7

Page 8: tifoid

bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang

difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.

Minggu Kedua12

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang

biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu,

pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu

badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan

relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu,

saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia

semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium, somnelon,

stupor, koma dan psikosis. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak

kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan

diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan.

Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran.

Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.

Minggu Ketiga12

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu

jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan

berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi

perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.

Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya

tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan

inkontinensia urin.

Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat

diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat

meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah

terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial

toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga. 12

Minggu keempat12

Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai

adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.12

8

Page 9: tifoid

Relaps

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya

menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam

waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat

menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam

tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps. 11

Komplikasi

1. Komplikasi Intestinal

a. Perdarahan Usus

b. Perforasi Usus

c. Ileus paralitik

2. Komplikasi Ekstra –Intestinal

a. Komplikasi Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan septik),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, dan /atau Disseminted

intravascular Coagulation (DIC)

c. Komplikasi paru : Pneumonia,empiema,dan pleuritis

d. Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis

e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis, dan perinefritis

f. Komplikasi tulang : osteomielitis,periostitis,spondilitisdan Artritis

g. Komplikasi Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis

perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia13

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan cara menguji sampel najis atau darah untuk memastikan

keberadaan bakteri Salmonella sp dalam darah penderita, dengan membiakkan darah pada

hari 14 yang pertama dari penyakit. Selain itu tes widal (O dah H agglutinin) mulai posotif

pada hari kesepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit.

Pengulangan tes widal selang 2 hari menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin

(diatas 1:200) menunjukkkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.14

Biakan tinja yang dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada

minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella.

Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni

polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka

9

Page 10: tifoid

arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka

berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari

lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari

usus penderita.14

Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:

1. Istirahat dan perawatan.

Dengan tirah baring dan perawatan profesinal bertujuan untuk mencegah komplikasi.

Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perklengkapan

pakaian yang di pakai.

2. Diet dan terapi penunjang.

Makanan yang kurang akan menurukan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin

turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan

dengan makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari

sementara sayuran berserat) dapat di beri dengan aman pada pasien demam tifoid

3. Pemberian antimikroba

Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah

kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisilin dan amoksilin, golongan

fluorokuinon, azitromisin

Kombinasi obat anti mikroba atau lebih diindikasi hanya pada keadaan tertentu saja

antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septic, yang pernah terbukti

ditemukan 2 macam organism ddalam kultur darah selain kuman salmonella. Pada

wanita hamil obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksilin, dan sefriakson selainnya

dikawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine dan grey

sindrom pada neonates.

Diagnosis banding

Demam Bedarah Dengue = sama sama mengalami nyeri kepala dan nyeri otot serta

demam. Akan tetapi demam pada demam berdarah dengue bersifat bifasik yang naik

turun tidak teratur, berbeda dengan demam tifoid yang demamnya sepanjang hari.1,2

Malaria = demam pada malaria adalah demam intermitten, dimana suhu badan turun

ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari. Berbeda dengan demam tifoid

yang tergolong demam kontinyu, demam sepanjang hari. 15,16

10

Page 11: tifoid

Demam kuning (yellow fever) = demam yang muncul bersifat bifasik, mirip dengan

demam berdarah dengue. 15,16

Influenza = demam disertai pilek dan batuk. 15,16

Leptospirosis = seperti demam tifoid, sama-sama mengalami demam, tetapi pada

leptospirosis terdapat nyeri tiba-tiba di kepala, terutama bagian frontal, nyeri otot yang

hebat terutama pada paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Selain itu pada

leptospirosis ditemukan fotofobia. 15,16

Campak = pada campak tampak jelas adanya konjungtivitis, yang tidak dapat

ditemukan pada demam tifoid. 15,16

Hepatitis karena virus = pada hepatitis karena tifoid kenaikan enzim transaminase

tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin. 15,16

Diagnosis banding demam tifoid sangat luas karena sebagian besar penyakit infeksi

memiliki gejala demam, nyeri kepala, nyeri otot, mual, dan gangguan kesadaran.

Diagnosis yang tepat dapat dicapai dengan pemeriksaan penunjang.

Kesimpulan

Demam tipoid merupakan salah satu penyakit yang sudah sering didengar oleh

masyarakat Indonesia pada umumnya. Penyakit yang disebabkan oleh Salmonella Thypi,

dapat didiagnosa dengan mudah dengan ujia widal. Penyakit ini dapat menular melalui

makanan maupun minuman.

Daftar Pustaka

1. Isselbacher,Braunwald,Wilson,Martin,Fauci& Kasper. Harrison : Prinsip – prinsip

Ilmu Penyakit Dalam edisi 13.Jakarta:EGC.1999.h.97-104.

2. Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds.

Nelson Textbook of Pediatrics, edisi 16. Philadelphia : WB Saunders.2000.p.842-8.

3. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan

Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta :

BP FKUI.2001.h.65-73.

4. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,

Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba

Medika.2002.h.1-43.

5. Pang T. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T, Koh CL,

Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90’s. Singapore : World

Scientific.1992.p.1-2.

11

Page 12: tifoid

6. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan

Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club.2003.h.19-34.

7. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga.2005.h.5.

8. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics

Update. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia;2003.h. 37-46

9. Isselbacher,Braunwald,Wilson,Martin,Fauci& Kasper. Harrison : Prinsip – prinsip

Ilmu Penyakit Dalam edisi 13.Jakarta:EGC;1999.h.101-4. pemeriksaan demam tifoid.

10. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 20. Jakarta:

penerbit buku kedokteran EGC. 1996.

11. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta:

departemen farmakologi dan terapeutik FKUI. 2009.

12. Widodo D. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan

Penyakit Tropis. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: 2002.h. 367-375

13. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,

Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba

Medika, 2002:1-43.

14. Demam tifoid. 23 Febuari 2010. Diunduh dari

http://medicastore.com/penyakit/10/Demam_Tifoid.html. 28 November 2010.

15. Widodo D. Demam tifoid, dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,

Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;

2009.h.2797-806.

16. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit

dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2767-993.

12