40
1 PERTUMBUHAN, KEKUATAN TARIK DAN MULUR SERAT RAMI (Boehmeria nivea (L.) Gaudich) DENGAN PEMBERIAN ASAM GIBERELAT (GA 3 ) DAN VARIASI KETERSEDIAAN AIR THE GROWTH, PULLING AND ELASTICITY STRENGTH OF HEMP FIBER Boehmeria nivea (L.) Gaudich WITH APPLICATION OF GIBERELIC ACID GA 3 AND WATER AVAILABILITY Shafi Fauzi Rahman, Widya Mudyantini, M.Si., Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Hemp plant Boehmeria nivea is an annual plant which is easy to grow and to reproduce in a tropical region. Hemp fiber has a higher strength than cotton fiber, so that it is not easily broken off. It provides less reduction than another fibers, the humidity of hemp fiber can achieve 12%, and hemp fiber has smooth characteristic, long lasting, and its glint is similar with the silk. This research used complete random design CRD using two factors that were GA 3 with 3 concentration variations G, such as 0 ppm, 175 ppm, 200 ppm, and 3 water availability variations A), such as 50%, 75%, 100%. The treatment was given to the rhizome before it was planted and the water availability was given when the shoot was started to form. The measured parameters were parameter of growth and fiber quality. The conclusion of this research is that GA 3 treatment has an influence toward the increase of shoot stem height, dry weight, wet weight, fiber pulling test fiber’s strength, but it has no influence in the change of shoot number, leaf number, and elasticity of the fiber. The water availability treatment has no influence toward the entire parameter. The interaction between GA 3 and water availability has influence toward hemp B. nivea fiber elasticity. The giving of GA 3 in the concentration of 200 ppm shows the best influence toward the entire parameter of growth and fiber quality observed except in wet weight and dry weight. Water availability treatment in SQ 100% shows good influence toward wet weight and dry weight, in SQ 75% it shows a good influence toward the elasticity of the fiber. Key words: Giberelat Acid GA 3 , water availability, Boehmeria nivea, growth, pulling and elasticity test.

THE GROWTH, PULLING AND ELASTICITY STRENGTH OF …... · tunas. Potongan rhizoma tersebut kemudian ditanam pada media di dalam polibag sedalam 5 cm dengan posisi agak miring kemudian

Embed Size (px)

Citation preview

1

PERTUMBUHAN, KEKUATAN TARIK DAN MULUR SERAT RAMI (Boehmeria nivea (L.) Gaudich) DENGAN PEMBERIAN ASAM

GIBERELAT (GA3) DAN VARIASI KETERSEDIAAN AIR

THE GROWTH, PULLING AND ELASTICITY STRENGTH OF HEMP FIBER Boehmeria nivea (L.) Gaudich WITH APPLICATION OF

GIBERELIC ACID GA3 AND WATER AVAILABILITY

Shafi Fauzi Rahman, Widya Mudyantini, M.Si., Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Hemp plant Boehmeria nivea is an annual plant which is easy to grow and to reproduce in a tropical region. Hemp fiber has a higher strength than cotton fiber, so that it is not easily broken off. It provides less reduction than another fibers, the humidity of hemp fiber can achieve 12%, and hemp fiber has smooth characteristic, long lasting, and its glint is similar with the silk. This research used complete random design CRD using two factors that were GA3 with 3 concentration variations G, such as 0 ppm, 175 ppm, 200 ppm, and 3 water availability variations A), such as 50%, 75%, 100%. The treatment was given to the rhizome before it was planted and the water availability was given when the shoot was started to form. The measured parameters were parameter of growth and fiber quality. The conclusion of this research is that GA3 treatment has an influence toward the increase of shoot stem height, dry weight, wet weight, fiber pulling test fiber’s strength, but it has no influence in the change of shoot number, leaf number, and elasticity of the fiber. The water availability treatment has no influence toward the entire parameter. The interaction between GA3 and water availability has influence toward hemp B. nivea fiber elasticity. The giving of GA3 in the concentration of 200 ppm shows the best influence toward the entire parameter of growth and fiber quality observed except in wet weight and dry weight. Water availability treatment in SQ 100% shows good influence toward wet weight and dry weight, in SQ 75% it shows a good influence toward the elasticity of the fiber. Key words: Giberelat Acid GA3, water availability, Boehmeria nivea, growth,

pulling and elasticity test.

2

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki industri serat yang terdiri dari industri serat alam, serat

buatan dan benang filamen; dan industri pemintalan serta pencelupan (spinning).

Saat ini Indonesia merupakan produsen serat buatan ke tujuh terbesar dunia yang

memasok 10% kebutuhan serat rayon dunia. Sekitar separuh dari produksi industri

pemintalan dikonsumsi di dalam negeri, dan sisanya di ekspor ke luar negeri

(Miranti, 2007). Penggunaan serat rami di Indonesia saat ini masih sebatas sebagai

campuran serat kapas pada industri tekstil dan produk tekstil (IT-PT). Panjang

serat rami disesuaikan dengan panjang serat kapas dengan cara dipotong-potong

terlebih dahulu, karena sebagai suplemen kebutuhannya belum begitu besar yaitu

sekitar 11 ton per tahun dan hampir seluruhnya dipenuhi dari impor asal China

(Deptan, 2007).

Tanaman rami (B. nivea) merupakan tanaman tahunan yang mudah

tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis. Serat rami merupakan bahan yang

dapat diolah untuk kain fashion berkualitas tinggi dan bahan pembuatan selulosa

berkualitas tinggi (selulose α) (Tarmansyah, 2007). Serat rami mempunyai

kekuatan yang lebih tinggi dibanding dengan serat kapas, sehingga tidak mudah

putus. Kekurangan serat rami pada elastisitasnya yang lebih rendah dan kurang

fleksibel jika dibandingkan dengan serat kapas (Gossypium sp). Keunggulan

pakaian yang dibuat dari kain berbahan serat rami antara lain kemampuan

menyerap air tinggi dan mudah dicuci (Saroso dan Sastrosupadi, 2000; Brink dan

Escobin, 2003). Menurut Hill (1972), serat rami bersifat halus, tahan lama dan

kilatannya seperti sutera. Salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan pada

kapas adalah penggunaan serat alami yang berasal dari tanaman rami (B. nivea)

yang memiliki karakteristik mirip kapas dan dapat digunakan sebagai bahan baku

tekstil (Buxton dan Greenhalg, 1989).

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dikendalikan oleh zat pengatur

tumbuh, contohnya adalah Gibberelic acid (GA3) (Kastono, 2005). Menurut

Kusumo (1990), giberelin berperan dalam pembelahan sel dan mendukung

pembentukan RNA sehingga terjadi sintesis protein. Salah satu aspek yang sangat

penting dalam budidaya tanaman adalah air karena air berfungsi sebagai pelarut

3

hara tumbuhan di dalam tanah dan berperan dalam translokasi hara dan fotosintat

di dalam tubuh tumbuhan (Gardner et al., 1991). Tersedianya air dalam jumlah

yang tepat akan mendukung pertumbuhan tanaman, sebaliknya bila air terlalu

berlebih atau kurang, pertumbuhan tanaman juga akan terhambat sehingga hasil

panen yang didapatkan tidak optimal (Levitt, 1980).

Kekuatan tarik serat mengindikasikan besarnya kekuatan serat yang dapat

mendukung sebelum putus, kekuatan mulur serat didefinisikan sebagai

panjangnya serat yang dapat mulur sebelum putus (Lee, 1999 dalam Indrawan,

2007). Pemberian GA3 dan ketersediaan air yang tepat dapat meningkatkan

kualitas serat. Selulosa dan lignin sebagai penyusun dinding sel akan meningkat

jumlahnya seiring peningkatan jumlah floemnya karena pemberian GA3. Selulosa

merupakan penentu kualitas serat, sedangkan lignin menambah ketahanan serat.

Dengan adanya perlakuan GA3 dan ketersediaan air dalam penelitian ini

maka diharapkan dapat meningkatkan uji tarik yang cukup tinggi dan kemuluran

yang cukup baik, serta serat yang dihasilkan dari pemungutan hasil yang pertama

kali dari tanaman rami tersebut akan memiliki kualitas yang lebih tinggi, sehingga

dapat meningkatkan efisiensi waktu tunggu panen.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang Digunakan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rhizoma rami;

air untuk mencuci dan menyiram media; media tanam yang berupa campuran

tanah, pasir, dan pupuk kandang; alkohol; GA3: 175 ppm, 200 ppm. Bahan untuk

uji tarik dan mulur berupa serat rami yang telah terpisahkan per helai.

Persiapan Media

Media dipersiapkan dengan mencampur tanah, pasir dan pupuk kandang

dengan perbandingan 1:1:1. Campuran media ditimbang untuk masing-masing

polibag ½ kg.

Persiapan dan penanaman Rimpang Rami

Dalam penelitian ini rhizoma rami dipilih yang seragam kemudian

dipotong-potong sepanjang 10 cm, dengan tiap-tiap rhizoma memiliki 1 mata

4

tunas. Potongan rhizoma tersebut kemudian ditanam pada media di dalam polibag

sedalam 5 cm dengan posisi agak miring kemudian disiram air.

Perlakuan Pemberian GA3

Pemberian GA3 dilakukan sekali sebelum penanaman. Masing-masing

rhizoma disemprot dengan hormon sebanyak 5 ml. Setelah penyemprotan,

tanaman langsung disimpan di tempat yang gelap dan tertutup sebelum ditanam

dalam polibag agar hormon tidak rusak terkena cahaya dan tidak menguap.

Penanaman dilakukan 2 hari setelah perlakuan (Mudyantini, 2008).

Penentuan kapasitas lapang

Campuran media tanam yang telah dikeringanginkan ditimbang seberat 1/2

kg dalam polibag yang telah dilubangi bagian bawahnya. Kemudian disiram

dengan air sampai air berhenti menetes dari lubang bawah polibag sehingga dapat

diketahui volume air yang digunakan untuk menyiram dan kapasitas lapangnya.

Kapasitas lapang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

KL = (Berat tanah + polibag + air) – (Berat tanah + polibag) (Patoni, 2000).

Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman setiap 1 hari sekali dengan

berbagai variasi ketersediaan air yaitu 50%; 75%; 100% kapasitas lapang.

Pengamatan Pertumbuhan

Penghitungan jumlah tunas, tinggi batang tunas, dan jumlah daun

dilakukan setiap 1 minggu sekali dimulai hari ke-0 semenjak perlakuan selama 2

bulan. Berat basah tanaman diukur dengan penimbangan semua tunas yang

muncul pada masing-masing rhizoma pada akhir perlakuan. Berat kering tanaman

diukur dengan mengeringkan semua tunas yang muncul pada masing-masing

rhizoma dengan cara dikeringanginkan dibawah sinar matahari sampai kering

kemudian ditimbang.

Pengujian Kekuatan Tarik dan Mulur Serat

Serat rami dipisahkan perhelai dengan panjang ± 10 cm. Dibuat media

berupa kertas karton (kertas tebal) dengan panjang 10 cm, lebar 2 cm. Pada bagian

tengah kertas dilubangi berbentuk persegi panjang, dengan panjang 5 cm dan

lebar 1 cm. Serat yang telah dipisahkan perhelai ditempel ditengah media kertas

5

berlubang. Direkatkan ujung-ujung serat dengan isolatip dan lem agar menempel

pada media, kemudian diujikan di alat Tenso Lab. yang secara otomatis akan

menunjukkan angka kekuatan tarik dan mulurnya dalam nilai statistik

(Laboratorium Evaluasi Tekstil, 2008).

Analisis Data

Data kuantitatif yang diperoleh diuji dengan analisis sidik ragam (Anava)

untuk perlakuan awal/satu perlakuan; GA3, (Ancova) untuk perlakuan

berkelanjutan; variasi ketersediaan air, dan General Linier Model (GLM)

Univariate untuk 2 perlakuan; pada analisis kualitas serat. Untuk mengetahui beda

nyata di antara perlakuan, dilanjutkan dengan uji Duncans Multiple Range Test

(DMRT) pada taraf uji 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan Tanaman

Jumlah Tunas

Hasil rerata jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Rerata jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 berumur 32 hari setelah tanam.

Perlakuan GA3

Jumlah tunas

G0

G175

G200

4

2

1

Keterangan:

G = konsentrasi GA3(ppm), G0=0, G175=175, G200=200.

6

Dari hasil analisis sidik ragam (Anava) diketahui bahwa perlakuan GA3

tidak berpengaruh terhadap perubahan jumlah tunas yang muncul. Jumlah tunas

tertinggi B. nivea pada Tabel 1 terdapat pada perlakuan G0 (kontrol) dengan rerata

sebesar 4 buah, sedangkan jumlah hasil tunas terendah diperoleh pada perlakuan

G175 dan G200 yaitu 2 dan 1 buah. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan

kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tumbuhan membutuhkan konsentrasi

yang sesuai untuk pertumbuhannya. Konsentrasi yang tidak sesuai tidak akan

memacu pertumbuhan, tetapi justru menghambat pertumbuhan. Menurut

penelitian Rahman, et al., (2006) pemberian GA3 pada konsentrasi 250 ppm

mendorong pertumbuhan Allium sativum 31,67%, sedangkan pada konsentrasi

500 ppm hanya 10,00%.

Adanya pengaruh yang tidak signifikan tersebut diduga disebabkan karena

jumlah tunas yang muncul ditentukan oleh jumlah mata tunas yang sudah ada

pada rhizoma. Jumlah mata tunas pada setiap potongan rhizoma ditentukan oleh

jarak antar ruas-ruas pada rhizoma dan merupakan faktor internal dari tanaman

rami itu sendiri. Oleh karena itu, antara potongan rhizoma yang satu dengan yang

lain dengan panjang yang sama dapat mempunyai jumlah mata tunas yang

berbeda, meskipun mata tunas yang sudah muncul telah dipotong sebelum

perlakuan. Selain itu, menurut Wahid (1990) dalam Hidayanto dkk., (2003),

kandungan karbohidrat yang terdapat pada bahan stek, yaitu rhizoma, merupakan

faktor utama untuk perkembangan primordia tunas dan akar.

Tabel 2. Rerata jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam.

Ketersediaan Air Perlakuan GA3 A1 A2 A3

Rerata

G0 - - 5,67 5,67 G1 2,67 5,33 6,00 4,67 G2 3,33 3,00 4,33 3,56 Rerata 3,00 4,17 5,33

Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

7

Dari hasil analisis sidik ragam (Ancova) pada Tabel 2 diketahui bahwa

pada perlakuan GA3 tidak memberikan pengaruh yang signifikan begitu juga

dengan perlakuan ketersediaan air juga tidak memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap jumlah tunas B. nivea. Rerata jumlah tunas tertinggi terdapat

pada perlakuan G1A3 dan G0A3 (kontrol) yang memiliki jumlah tunas sebesar 6

buah, sedangkan rerata terendah terdapat pada perlakuan G1A1, G2A1 dan G2A2

yang memiliki jumlah tunas sebesar 3 buah. Rerata peningkatan jumlah tunas

setiap 1 minggu sekali disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Rerata peningkatan jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali (cm).

Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200 Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100

Jumlah tunas dihitung setiap 1 minggu sekali. Tabel peningkatan jumlah

tunas B. nivea menunjukkan pertumbuhan yang meningkat setiap minggunya.

Mulai minggu ke-7 ditunjukkan adanya penurunan pada G1A2, G2A1 dan G2A3,

pada minggu ke-8 ditunjukkan adanya peningkatan pada G2A2. Perbandingan

peningkatan jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan

air ditunjukkan pada Gambar 1.

Rerata jumlah tunas minggu ke - Perlakuan GA3 dan

Air 1 2 3 4 5 6 7 8 9

G0A3 G1A1 G1A2 G1A3 G2A1 G2A2 G2A3

0 1 0 0 0 0 0

1 4 6 6 3 4

10

3 3 6 6 2 4 9

4 2 5 5 2 3 8

4 2 4 4 2 2 5

6 2 4 3 3 2 5

6 3 6 6 4 2 5

6 3 5 6 3 2 5

6 3 5 6 3 3 4

8

Gambar 1. Rerata peningkatan jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan

variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali. Keterangan:

Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

Konsentrasi GA3 yang diberikan dalam penelitian ini meliputi 0 ppm, 175

ppm dan 200 ppm. Dari ketiga perlakuan jumlah tunas tertinggi B. nivea di

hasilkan pada konsentrasi 0 ppm, sedangkan jumlah tunas terendah pada

konsentrasi 200 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tumbuhan membutuhkan

konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhannya. Konsentrasi yang tidak sesuai

tidak akan memacu pertumbuhan, tetapi justru menghambat pertumbuhan.

Menurut Wareing dan Phillips (1981), pemberian senyawa IAA pada

konsentrasi yang optimum akan menyebabkan pembelahan sel yang bersifat

meristematis, sehingga akan menyebabkan jumlah tunas lebih cepat keluar.

Namun, pemberian GA3 pada rhizoma rami tidak dapat mempengaruhi perubahan

jumlah tunas yang dihasilkan karena tidak dapat meningkatkan jumlah mata tunas

yang ada pada rhizoma. GA3 lebih dominan dalam merangsang pemanjangan sel

dan IAA lebih dominan dalam merangsang pembesaran sel (Davies, 1995).

Variasi ketersediaan air yang diberikan pada penelitian ini meliputi 50%,

75% dan 100% KL. Jumlah tunas tertinggi B. nivea dihasilkan pada perlakuan

100% KL, sedangkan jumlah tunas terendah B. nivea pada perlakuan 50% KL

(Tabel 2).

9

Ketersediaan air yang semakin meningkat menyebabkan semakin

meningkatnya jumlah tunas tanaman, dan bila ketersediaan air menurun maka

jumlah tunas akan menurun. Fitter dan Hay (1998) menyatakan bahwa air

berpengaruh terhadap pertumbuhan sel, semakin menurun ketersediaan air maka

tekanan turgor akan menurun, hal ini menyebabkan menurunnya laju

pertumbuhan.

Cekaman air menyebabkan perubahan macam dan jumlah senyawa

karbohidrat di dalam tanaman. Pada tanaman yang mengalami cekaman air terjadi

penurunan tepung dan peningkatan kadar gula. Penelitian Kramer (1977) dalam

Islami dan Wani (1995), menunjukkan bahwa penurunan kadar tepung tidak selalu

diikuti kenaikan kadar gula. Bahkan pada tanaman buncis (Phaseolus sp) dan

tanaman tomat (Lycopersicon sp) cekaman air yang terjadi berkelanjutan

menurunkan kadar tepung, gula dan karbohidrat total pada buncis (Phaseolus sp)

dan tomat (Lycopersicon sp). Adanya pengaruh cekaman air terhadap

metabolisme karbohidrat dan nitrogen, dapat menghambat pembentukan auksin

pada tanaman yang menderita cekaman air. Kegiatan tersebut diikuti oleh

penurunan transpor auksin ke kambium sehingga terjadi modifikasi aktivitas

kambium. Cekaman air juga menyebabkan penurunan aktivitas sitokinin dan

penyediaan giberelin ke batang (Islami dan Wani, 1995). Menurut Mullet dan

Whitsitt (1996), efek utama dari kekurangan air adalah laju pertumbuhan batang

yang lebih rendah akibat akumulasi asam absisat (ABA).

10

Panjang Tunas

Hasil rerata panjang tunas tanaman rami dengan perlakuan GA3 disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Rerata panjang tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 berumur 32 hari setelah tanam (cm).

Perlakuan GA3

Panjang tunas (cm)

G0

G175

G200

6,12a

18,13ab

22,92b

Keterangan: G= konsentrasi GA3(ppm), G0=0, G175=175, G200=200. Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama

menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

Dari hasil analisis sidik ragam (Anava) menunjukkan bahwa perlakuan

GA3 berpengaruh nyata terhadap panjang tunas tanaman B. nivea. Rerata panjang

tunas selalu meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi GA3.

Pertumbuhan panjang tunas tersebut antara lain dipercepat oleh penggunaan

hormon GA3 yang sesuai. Hasil ini sesuai dengan pendapat Sumiasri dan Priadi

(2003) yang menyatakan bahwa pada pertumbuhan stek cabang sungkai

(Peronema canescens Jack) pada konsentrasi GA3 5 mg/l optimum meningkatkan

tinggi tunas sungkai.

Berdasarkan hasil penelitian ini rerata panjang tunas tertinggi diperoleh

pada perlakuan G200 yaitu 22,92 cm dan rerata panjang tunas terendah adalah pada

G0 (kontrol) yaitu 6,12 cm. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tumbuhan

membutuhkan konsentrasi GA3 yang sesuai untuk pertumbuhannya. Konsentrasi

GA3 yang tidak sesuai tidak akan memacu pertumbuhan, tetapi justru dapat

menghambat pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan Salisbury dan Ross (1995) yang

menyatakan bahwa zat tumbuh aktif pada konsentrasi rendah dan sampai batas

tertentu akan merangsang pertumbuhan. Menurut Gul (2006) bahwa pemberian

11

hormon GA3 300 ppm pada Araucaria heterophylla, berpengaruh pada tinggi

tanaman yang maksimum. Aisyah (2004) juga menyatakan bahwa pemberian GA3

pada Allium cepa dengan perendaman cenderung semakin meningkatkan tinggi

tanaman seiring dengan meningkatnya konsentrasi GA3 hingga 10 ppm. Namun

pada konsentrasi di bawah maupun di atasnya justru semakin rendah.

Respon yang khas pada tanaman dengan perlakuan GA3 adalah terjadinya

pemanjangan batang akibat adanya aktivitas kambium di internodus; sehingga

tanaman menjadi lebih tinggi dari pada tanaman normal. Pemanjangan batang

selain di pengaruhi oleh aktivitas kambium juga disebabkan oleh peningkatan

mitosis di daerah meristem subapikal batang, sehingga jumlah sel pada masing-

masing internodus meningkat. Peningkatan jumlah sel menyebabkan pertumbuhan

batang lebih cepat, sehingga dihasilkan batang yang lebih panjang. Respon ini

pada batang biasanya hanya berupa peningkatan panjang internodus, dan

umumnya tidak meningkatkan jumlah internodus yang terbentuk (Wareing dan

Phillips, 1981).

Tabel 5. Rerata panjang tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam (cm).

Ketersediaan Air Perlakuan GA3 A1 A2 A3

Rerata

G0 - - 7,48 7,48 G1 16,35 9,87 4,89 10,37 G2 8,04 10,99 10,97 10,00 Rerata 12,20 10,43 7,78

Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

Dari hasil analisis sidik ragam (Ancova) pada Tabel 5 diketahui bahwa

pada perlakuan GA3 tidak memberikan pengaruh yang signifikan begitu juga

dengan perlakuan ketersediaan air juga tidak memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap panjang tunas B. nivea. Panjang tunas tertinggi terdapat pada

perlakuan G1A1 yang memiliki rerata sebesar 16,35 cm, sedangkan rerata terendah

terdapat pada perlakuan G1A3 yang memiliki panjang tunas sebesar 4,89 cm. Hasil

12

ini lebih rendah jika dibandingkan dengan G0A3 dengan rata-rata panjang tunas

sebesar 7,48 cm. Hal ini diduga berkaitan erat dengan proses pemanjangan sel

yang menurun akibat adanya cekaman air.

Variasi ketersediaan air yang diberikan pada penelitian ini meliputi 50%,

75% dan 100% KL. Panjang tunas tertinggi B. nivea dihasilkan pada perlakuan

50% KL, sedangkan panjang tunas terendah B. nivea pada perlakuan 100% KL.

Pertumbuhan sel merupakan fungsi tanaman yang sensitif terhadap kekurangan

air. Nilai potensial air jaringan meristem pada siang hari sering menyebabkan

penurunan tekanan turgor dibawah yang dibutuhkan untuk pengembangan sel. Hal

ini menyebabkan pengurangan sintesis protein, dinding sel dan pengembangan sel

yang berakibat pertumbuhan yang lebih kecil (Gardner, et al., 1991). Berdasarkan

penelitian Dewi (1993) terhadap dua kultivar tanaman kedelai (Glycine max (L.))

Merry Willis dan Lompo Batang, setelah berumur 47 hari pada stress air yang

paling besar menyebabkan tinggi tanaman mengalami penurunan hampir 50% dan

diameter batang mengalami pengurangan 47,7% untuk Willis dan 42,14% untuk

Lompo Batang. Menurut Anggarwulan dkk., (2008) bahwa perlakuan ketersediaan

air 60% memberikan pertumbuhan kimpul (Xanthosoma sagittifolium) yang

terbaik pada semua taraf naungan. Rerata peningkatan panjang tunas setiap 1

minggu sekali disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Rerata peningkatan panjang tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali (cm).

Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200 Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100

Rerata panjang tunas minggu ke – Perlakuan GA3 dan

Air 1 2 3 4 5 6 7 8 9

G0A3 0 0.56 2.06 4.58 5.23 3.95 5.00 5.79 7,48 G1A1 0.6 2.24 6.04 11.44 15.87 15.22 15.32 15.91 16.35 G1A2 0 1.18 15.22 8.32 10.6 11.35 8.65 9.51 9.87 G1A3 0 1.22 2.82 4.39 5.97 7.92 4.11 4.44 4.89 G2A1 0 3.11 10.88 14.89 16.23 12.34 9.87 8.23 8.04 G2A2 0 1.79 6.96 7.58 16.32 17.82 15.47 13.27 10.99 G2A3 0 1.04 4.67 6.02 11.74 14.05 13.58 7.42 10.97

13

Panjang tunas dihitung setiap 1 minggu sekali. Tabel peningkatan panjang

tunas B. nivea menunjukkan pertumbuhan yang meningkat setiap minggunya.

Mulai minggu ke-6 ditunjukkan adanya penurunan, kecuali pada G0A3 dan G1A1

yang masih menunjukkan peningkatan sampai minggu ke-9. Perbandingan

peningkatan tinggi batang tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi

ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Rerata peningkatan panjang tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali (cm).

Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

Konsentrasi GA3 yang diberikan dalam penelitian ini meliputi 0 ppm, 175

ppm dan 200 ppm. Panjang tunas tertinggi B. nivea dihasilkan pada konsentrasi

175 dan 200 ppm, sedangkan panjang tunas terendah pada konsentrasi 0 ppm

(Tabel 5).

Giberelin eksogen yang dapat diangkut ke apeks tajuk akan memacu

pembelahan di apeks tajuk. Giberelin dapat memacu pembelahan sel dengan

meningkatkan hidrolisis pati, fruktan dan sukrosa menjadi molekul glukosa dan

frukltosa. Giberelin lebih dominan dalam merangsang pembelahan sel dengan

meningkatkan plastisitas dinding sel, yang akan menyebabkan terjadinya

pemanjangan batang dan perkembangan batang dan perkembangan daun muda

(Salisbury dan Ross, 1995). Hal ini didukung oleh Taiz dan Zeiger (1998), bahwa

14

GA3 mempunyai peran dalam mendukung pembelahan sel, pembentangan sel,

aktivitas kambium, pembentukan RNA, dan sintesis protein yang menyebabkan

peningkatan tinggi batang.

Peningkatan kecepatan pertumbuhan dan tinggi tanaman akibat pengaruh

GA3 dijelaskan dengan peran fisiologis zat tumbuh ini yang mempercepat

tumbuhnya tanaman dengan mendukung perkembangan dinding sel dan

merangsang pemanjangan sel karena adanya hidrolisis pati yang mendukung

terbentuknya enzim amilase, yang pada akhirnya bisa mempercepat

perkembangan sel (Wattimena, 1998). Menurut Wuryaningsih dan Sutater (1993)

bahwa pemberian GA3 25 ppm menunjukkan beda nyata terhadap tinggi batang

dan pembungaan yang lebih cepat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sanjaya

(1991) bahwa pemberian GA3 dapat meningkatkan tinggi tanaman dan

berpengaruh nyata terhadap panjang tangkai bunga krisan pada konsentrasi

optimum 25 ppm yang diberikan dua kali yaitu pada umur 6 dan 8 minggu setelah

tanam.

Menurut Van Oberbeek (1966) dalam Weaver (1982), penggunaan GA3

akan mendukung pembentukan enzim proteolitik yang akan membebaskan

triptophan sebagai prekursor dari auksin. Hal ini berarti bahwa kehadiran giberelin

tersebut akan meningkatkan kandungan auksin. Mekanisme lain menyebutkan

bahwa giberelin akan menstimulasi pemanjangan sel karena adanya hidrolisis pati

yang dihasilkan dari giberelin akan mendukung terbentuknya -amilase. Sebagai

akibat dari proses tersebut, maka konsentrasi gula meningkat yang mengakibatkan

tekanan osmotik di dalam sel menjadi naik, sehingga ada kecenderungan sel

tersebut berkembang (Weaver, 1972 dalam Abidin, 1990).

Ketersediaan air yang terlalu melimpah dalam tanah menyebabkan

anoksia/berkurangnya oksigen pada daerah sekitar akar, hal ini dapat mengganggu

penyerapan hara dari tanah oleh akar tanaman (Pezehski, 1994). Menurut Suyana

dan Widijanto (2002), keberadaan air yang terlalu berlimpah dalam tanah juga

dapat berakibat tercucinya hara dalam tanah sehingga kesuburan tanah berkurang.

15

Pencucian unsur hara dari permukaan komplek adsorpsi dan larutan tanah oleh air

bersifat memiskinkan tanah.

Jumlah Daun

Hasil rerata jumlah daun tanaman rami dengan perlakuan GA3 disajikan

pada Tabel 7.

Tabel 7. Rerata jumlah daun B. nivea dengan perlakuan GA3 berumur 32 hari setelah tanam.

Perlakuan GA3

Jumlah daun

G0

G175

G200

7

5

3

Keterangan: G = konsentrasi GA3(ppm), G0=0, G175=175, G200=200.

Hasil analisis sidik ragam (Anava) menunjukkan bahwa perlakuan GA3

tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Rerata jumlah daun tertinggi

terdapat pada perlakuan G0 (kontrol) yaitu sebanyak 7 buah, sedangkan nilai

terendah pada perlakuan G175 dan G200 yang mempunyai rerata jumlah daun 5 dan

3 buah. Hasil tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini

menunjukkan setiap tumbuhan membutuhkan konsentrasi yang sesuai untuk

pertumbuhannya. Konsentrasi yang tidak sesuai tidak akan memacu pertumbuhan,

tetapi justru menghambat pertumbuhan. Adanya peristiwa pengguguran daun juga

berpengaruh terhadap jumlah daun. Daun-daun yang sudah tua dan tidak aktif lagi

melakukan fotosintesis akan menjadi layu kemudian gugur, yang nantinya akan

mengurangi jumlah daun keseluruhan. Pada penelitian yang telah dilakukan

Aisyah (2004) melalui perendaman umbi bibit Allium cepa dengan GA3

menyatakan bahwa pada konsentrasi yang tidak sesuai tidak meningkatkan jumlah

daun bahkan cenderung menghambat karena semua hasil di bawah kontrol. Hal

tersebut dimungkinkan karena adanya persaingan unsur hara maupun hasil kerja

giberelin dengan organ reproduktif lain maupun adanya faktor genetik atau

16

lingkungan lain yang kurang sesuai. Gardner et al. (1991), menyebutkan bahwa

jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Posisi

daun pada tanaman dikendalikan oleh faktor genetik, posisi daun ini

mempengaruhi laju pertumbuhan daun.

GA3 diketahui dapat memacu pertumbuhan seluruh tanaman, termasuk

daun dan akar. GA3 yang diberikan dengan cara apapun di tempat yang dapat

mengangkutnya ke ujung tajuk, maka akan terjadi peningkatan pembelahan sel

dan pertumbuhan sel yang mengarah kepada pemanjangan batang dan (pada

beberapa spesies) perkembangan daun muda (Salisbury dan Ross, 1995).

Pengaruh GA3 terhadap proses pembentukan daun sesuai hasil penelitian

Anwarudin dkk., (1996), bahwa GA3 tidak mempengaruhi proses pembentukan

daun terhadap pertumbuhan manggis.

Tabel 8. Rerata jumlah daun B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam.

Ketersediaan Air Perlakuan

GA3 A1 A2 A3 Rerata

G0 - - 29,33 29,33 G1 5,00 19,33 17,33 13,89 G2 10,33 12,33 17,00 13,22 Rerata 7,67 15,83 21,22

Keterangan:

Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200 Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100

Dari hasil analisis sidik ragam (Ancova) pada Tabel 8 diketahui bahwa

perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air tidak memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap jumlah daun B. nivea. Rerata jumlah daun tertinggi terdapat

pada perlakuan G0A3 (kontrol) yang memiliki jumlah daun sebesar 29 buah,

sedangkan rerata terendah terdapat pada perlakuan G1A1 yang memiliki jumlah

daun sebesar 5 buah. Rerata peningkatan jumlah daun setiap 1 minggu sekali

disajikan dalam Tabel 9.

17

Tabel 9. Rerata peningkatan jumlah daun B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali.

Keterangan:

Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

Penghitungan jumlah daun dilakukan setiap 1 minggu sekali. Tabel

peningkatan jumlah daun B. nivea menunjukkan pertumbuhan yang meningkat

setiap minggunya. Mulai minggu ke-7 ditunjukkan adanya penurunan, kecuali

pada G0A3 yang masih menunjukkan peningkatan sampai minggu ke-9.

Perbandingan peningkatan jumlah daun B. nivea dengan perlakuan GA3 dan

variasi ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Rerata peningkatan jumlah daun B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali.

Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

Rerata jumlah daun minggu ke – Perlakuan GA3 dan

Air 1 2 3 4 5 6 7 8 9

G0A3 0 6 14 19 20 28 29 26 29 G1A1 3 23 24 23 20 22 18 9 5 G1A2 0 19 28 32 33 34 40 23 19 G1A3 0 26 37 35 27 25 23 21 17 G2A1 0 12 16 19 19 21 21 13 10 G2A2 0 15 21 21 21 22 17 11 12 G2A3 2 39 38 48 29 28 28 23 17

18

Daun sebagai alat fotosintesis akan dapat berperan secara optimal jika

didukung oleh ketersediaan air, cahaya dan unsur-unsur hara yang cukup. Air dan

hara akan diserap oleh akar. Auksin berperan dalam pembelahan sel dan diikuti

dengan pembesaran sel akan menghasilkan primordial daun yang berkembang

(Salisbury dan Ross, 1995; Loveless, 1991). Salah satu sifat GA3 adalah

mendukung pembentukan enzim proteolitik yang membebaskan triptofan sebagai

prekursor auksin sehingga kandungan kadar auksin akan meningkat (Abidin,

1990). Konsentrasi GA3 yang diberikan dalam penelitian ini meliputi 0 ppm, 175

ppm dan 200 ppm. Jumlah daun tertinggi B. nivea dihasilkan pada konsentrasi 0

ppm, sedangkan jumlah daun B. nivea terendah pada konsentrasi 200 ppm

(Tabel 8).

Jumlah daun B. nivea tertinggi dihasilkan pada perlakuan 100% KL yaitu

29 helai. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut tumbuhan memiliki

ketersediaan air yang cukup selain itu peningkatan jumlah cabang juga akan

meningkatkan jumlah daun. Ketersediaan air yang cukup akan mendukung

peningkatan luas daun sehingga berhubungan dengan tingkat produksi tanaman

(Sulistyaningsih dkk., 1994).

Jumlah daun yang terendah pada perlakuan 50% KL yaitu 5 helai. Pada

kondisi ini terjadi kehilangan air (transpirasi) yang tidak diimbangi dengan

ketersediaan air yang cukup sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.

Kecepatan absorbsi yang tidak dapat mengimbangi kehilangan air melalui proses

transpirasi akan menyebabkan cekaman air (Islami dan Wani, 1995). Menurut

Fitter dan Hay (1998), air berpengaruh terhadap pertumbuhan sel, semakin

menurun ketersediaan air maka tekanan turgor juga akan menurun. Hal ini

menyebabkan menurunnya laju pertumbuhan yaitu jumlah daun yang dihasilkan

rendah.

19

Berat Basah

Hasil rerata berat basah tanaman rami dari penelitian ini disajikan dalam

Tabel 10.

Tabel 10. Rata-rata berat basah B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam (gr).

Ketersediaan Air Perlakuan

GA3 A1 A2 A3 Rerata

G0 - - 24,54 24,54b G1 5,84 9,56 5,48 6,96a G2 5,40 6,40 6,80 6,19a Rerata 5,61 7,98 12,27

Keterangan:

Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

* Angka yang diikuti huruf sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

Dari hasil analisis sidik ragam (Ancova) pada Tabel 10 diketahui bahwa

pada perlakuan GA3 memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat basah

B. nivea, dengan nilai signifikansi sebesar 0,00. Pada perlakuan ketersediaan air

tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat basah B. nivea. Pada

Tabel 10 hasil tertinggi ditunjukkan pada perlakuan kontrol (G0A3) sebesar 24,54

gr, sedangkan untuk perlakuan yang lain lebih rendah jika dibandingkan dengan

kontrol. Hasil terendah ditunjukkan pada perlakuan G2A1 sebesar 5,40 gr. Hal ini

menunjukkan bahwa setiap tumbuhan membutuhkan konsentrasi yang sesuai

untuk pertumbuhannya. Konsentrasi yang tidak sesuai tidak akan memacu

pertumbuhan bahkan bisa menghambat. Perbandingan berat basah B. nivea

dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 4.

20

Gambar 4. Berat basah B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan

air berumur 2 bulan setelah tanam. Keterangan:

Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

Pada Tabel 10 (Gambar 4) menunjukkan bahwa berat basah tertinggi

B. nivea dihasilkan pada GA3 konsentrasi 0 ppm, sedangkan berat basah terendah

B. nivea pada GA3 konsentrasi 200 ppm. Untuk ketersediaan air yang diberikan

dalam penelitian ini, berat basah tertimggi B. nivea dihasilkan pada perlakuan

100% KL dan berat basah terendah B. nivea pada perlakuan 50% KL. Berat basah

tumbuhan dipengaruhi oleh kadar air dalam jaringan. Adanya pembesaran sel

mengakibatkan ukuran sel yang baru lebih besar dari sel induk. Pertambahan

ukuran sel menghasilkan pertambahan ukuran jaringan, organ dan akhirnya

meningkatkan ukuran tubuh tanaman secara keseluruhan maupun berat tanaman.

Peningkatan pembelahan sel menghasilkan jumlah sel yang lebih banyak. Jumlah

sel yang meningkat, termasuk di dalam jaringan pada daun, memungkinkan

terjadinya peningkatan fotosintesis penghasil karbohidrat, yang dapat

mempengaruhi berat tanaman (Wareing dan Phillip, 1981; Salisbury Ross, 1995).

Air merupakan komponen yang penting bagi pertumbuhan tanaman.

Pertumbuhan sendiri berfungsi sebagai proses yang mengolah masukan substrat

yang sesuai untuk menghasilkan produk pertumbuhan. Substrat yang berupa

bahan organik dan unsur lain yang diserap tanaman dari lingkungan seperti

karbondioksida, unsur hara, air dan cahaya matahari diolah menjadi bahan organik

21

yang dapat diukur dengan penambahan bobot keseluruhan tanaman (Sitompul dan

Guritno, 1995).

Cekaman air akan mengakibatkan perbanyakan dan perbesaran sel

menjadi terhambat. Hal ini berkaitan dengan pengaruh tekanan turgor sel. Selain

itu, kekurangan air akan mengakibatkan metabolisme sel terganggu termasuk

proses fotosistesis. Fotosintesis akan terhambat jika air yang merupakan bahan

utama hanya tersedia dalam jumlah sedikit, sehingga hasil dari fotosintesis juga

akan berkurang. Fotosintat yang dihasilkan akan terhambat pula dalam

peredarannya ke seluruh bagian tumbuhan, yang dapat menurunkan berat tanaman

(Harjadi dan Yahya, 1988). Peningkatan jumlah cabang akan meningkatkan

jumlah daun. Jumlah daun yang meningkat menyebabkan berat basah tumbuhan

juga meningkat. Menurut Kusumo (1990), spesies yang perkembangan daunnya

berlangsung cepat dan banyak akan semakin meningkatkan laju fotosintesis yang

kemudian menghasilkan peningkatan keseluruhan tanaman.

Berat Kering

Hasil rerata berat kering tanaman rami dari penelitian ini disajikan dalam

Tabel 11.

Tabel 11. Rata-rata berat kering B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam (gr).

Ketersediaan Air Perlakuan GA3 A1 A2 A3

Rerata

G0 - - 5,46 5,46b G1 2,22 2,50 1,86 2,19a G2 1,88 2,19 2,20 2,09a Rerata 2,05 2,34 3,18

Keterangan:

Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

* Angka yang diikuti huruf sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

22

Dari hasil analisis sidik ragam (Ancova) pada Tabel 11 diketahui bahwa

pada perlakuan GA3 memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat basah B.

nivea, dengan nilai signifikansi sebesar 0,00. Pada perlakuan ketersediaan air

tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat basah B. nivea.

Berat kering mencerminkan akumulasi senyawa organik yang berhasil

disintesis tanaman dari senyawa anorganik, terutama air dan CO2. Tumbuhan

dapat memanfaatkan intensitas sinar matahari secara baik sehingga meningkatkan

pembentukan karbohidrat yang digunakan untuk pertumbuhan. Ketersediaan air

yang melimpah dan unsur hara yang diserap akan memberi kontribusi terhadap

pertambahan berat kering tumbuhan. Pada Tabel 11 hasil tertinggi ditunjukkan

pada perlakuan kontrol (G0A3) sebesar 5,46 gr, sedangkan untuk perlakuan yang

lain lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil terendah ditunjukkan

pada perlakuan G1A3 sebesar 1,86 gr. Hal ini menunjukkan bahwa setiap

tumbuhan membutuhkan konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhannya.

Konsentrasi yang tidak sesuai tidak akan memacu pertumbuhan bahkan bisa

menghambat.

Peningkatan berat kering terjadi sebagai akibat bertambahnya protoplasma

yang terjadi karena ukuran dan jumlah sel bertambah. Pertambahan protoplasma

berlangsung melalui perubahan air, karbondioksida dan garam anorganik menjadi

bahan hidup. Proses ini meliputi fotosintesis, absorbsi dan metabolisme yang

menghasilkan karbohidrat sehingga meningkatkan berat kering tanaman (Harjadi,

1993; Lakitan, 1996). Perbandingan berat kering B. nivea dengan perlakuan GA3

dan variasi ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 5.

23

Gambar 5. Berat kering B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan

air berumur 2 bulan setelah tanam. Keterangan:

Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

Pada Tabel 11 (Gambar 5) menunjukkan bahwa berat kering tertinggi

B. nivea dihasilkan pada GA3 konsentrasi 0 ppm, sedangkan berat kering terendah

B. nivea pada GA3 konsentrasi 200 ppm. Untuk ketersediaan air yang diberikan

dalam penelitian ini, berat kering tertimggi B. nivea dihasilkan pada perlakuan

100% KL dan berat kering terendah B. nivea pada perlakuan 50% KL.

Menurut Delvin dan Withan (1983) dalam Rahardjo dkk., (1999) berat

kering tanaman dapat dipakai sebagai petunjuk seberapa besar tanggapan tanaman

terhadap cekaman air, karena air merupakan faktor pembatas utama bagi

pertumbuhan tanaman. Gardner et al. (1991) menyebutkan kekurangan air yang

parah dapat menyebabkan penutupan stomata, sehingga mengurangi pengambilan

karbondioksida, akibatnya pertumbuhan terhambat dan produksi berat kering

berkurang.

Menurut Fitter dan Hay (1998), bahwa air memberi pengaruh terhadap

berat kering, hal ini berkaitan dengan proses metabolisme yaitu proses

fotosintesis. Berat kering total hasil panen tanaman budidaya merupakan akibat

dari penimbunan hasil bersih asimilasi CO2 sepanjang musim pertumbuhan.

Pemanfaatan hasil fotosintesis oleh tanaman antara lain untuk pembentukan

struktur tubuh dan cadangan makanan. Fotosintesis menambat CO2 untuk

24

produksi heksosa dan respirasi. Cekaman/stress air dapat mengurangi laju

fotosintesis yang lambat laun juga akan mengurangi sintesis/pembentukan struktur

tubuh dan cadangan makanan sehingga mengurangi berat kering. Meskipun air

merupakan salah satu bahan baku dalam proses fotosintesis, namun pengaruh dari

pengurangan air dalam daun terhadap kecepatan fotosintesis umumnya terjadi

secara tidak langsung. Pengaruh kadar air dalam tanah akan menyebabkan

pengurangan dalam kecepatan fotosintesis, hal ini disebabkan karena;

berkurangnya kapasitas difusi dari stomata karena stomata menutup, penurunan

hidrasi dari kloroplas dan bagian-bagian lain dari protoplasma sehingga

mengurangi efektifitas mekanisme fotosintesis, terjadi akumulasi gula sehingga

menghambat proses fotosintesis lebih lanjut (Haddy, 1987). Menurut Fitter dan

Hay (1998), menutupnya stomata, mengakibatkan difusi CO2 dari atmosfer ke

daun terhenti. Sebagai akibatnya fotosintesis tidak dapat terjadi, dan dalam jangka

panjang akan mengganggu proses-proses fisiologi lainnya sehingga pertumbuhan

tanaman terhambat.

B. Kualitas Serat

Kekuatan Tarik Serat

Hasil rerata kekuatan tarik serat tanaman rami dengan perlakuan GA3 dan

ketersediaan air disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Rerata kekuatan tarik serat B. nivea dengan perlakuan GA3 dan ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam (gr).

Ketersediaan Air Perlakuan

GA3 A1 A2 A3 Rerata

G0 - - 58 58a G1 102 148 82 110a G2 326 178 180 228b Rerata 214 163 106

Keterangan:

Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

* Angka yang diikuti huruf sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

25

Dari analisis sidik ragam General Linier Model (GLM) menunjukkan

bahwa perlakuan GA3 memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan tarik

serat, dengan nilai signifikansi sebesar 0,008. Perlakuan ketersediaan air, maupun

interaksi antara GA3 dan pemberian ketersediaan air tidak memberikan pengaruh

yang nyata terhadap kekuatan tarik serat. Perbandingan kekuatan tarik serat

B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air ditunjukkan pada

Gambar 6.

Gambar 6. Kekuatan tarik serat B. nivea dengan perlakuan GA3 dan perlakuan

ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam. Keterangan:

Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200 Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100

Gambar 6 menunjukkan bahwa kekuatan tarik serat paling tinggi ada pada

perlakuan GA3 200 ppm dan ketersediaan air 50% (G2A1) yaitu sebesar 326,

sedangkan kekuatan tarik terendah ada pada perlakuan GA3 0 ppm dan

ketersediaan air 100% (G0A3/kontrol) yaitu sebesar 58. Pada Gambar 6 dapat

dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi pemberian GA3 maka hasil kekuatan

tarik serat akan semakin tinggi.

Penunjang kekuatan serat yaitu selulosa dan lignin. Semakin tinggi kadar

selulosa dan lignin, maka kekuatan serat yang dihasilkan akan semakin baik.

Tetapi selulosa sebagai penyusun utama dinding sel lebih berperan memberi

kekuatan pada serat. Salah satu sifat penting selulosa adalah kemampuannya

bertahan terhadap regangan karena kelenturannya. Lignin menambah ketahanan

dinding terhadap tekanan dan mencegah melipatnya mikrofibril selulosa. Arah

26

mikrofibril yang berbeda-beda merupakan faktor penting penentu kekuatan

dinding (Mudyantini dkk., 2006).

Menurut Salisbury dan Ross (1995) bahwa peningkatan GA3 endogen juga

dapat meningkatkan hidrolisis pati, fruktan, dan sukrosa menjadi molekul glukosa

dan fruktosa. Selulosa merupakan penggabungan unit-unit glukosa menjadi

senyawa makromolekul yang tidak larut dalam semua pelarut yang biasa

digunakan (Fengel dan Gerd, 1995). Menurut Abidin (1990) GA3 dapat

menghasilkan hidrolisa pati yang akan mendukung terbentuknya α-amilase.

Sebagai akibat dari proses tersebut, maka konsentrasi glukosa akan meningkat.

Kekurangan air akan mengakibatkan metabolisme sel terganggu termasuk

proses fotosintesis. Fotosintesis akan terhambat jika air yang merupakan bahan

utama hanya tersedia dalam jumlah sedikit, sehingga hasil dari fotosintesis juga

akan berkurang (Harjadi dan Yahya, 1988). Menurut Islami dan Wani (1995)

bahwa cekaman air menyebabkan perubahan macam dan jumlah senyawa

karbohidrat di dalam tanaman. Tanaman yang mengalami cekaman air terjadi

penurunan tepung dan peningkatan kadar gula.

Menurut Hamid (2001) dan Sjostrom (1995) menyebutkan bahwa

biosintesis selulosa dimulai dari glukosa. Maka dengan pemberian GA3 dan

variasi ketersediaan air kandungan glukosa dalam tanaman meningkat yang dapat

digunakan untuk bosintesis selulosa, sehingga kandungan selulosa dalam tanaman

juga ikut meningkat. Jalur sintesis selulosa dari glukosa dapat dilihat pada

Gambar 7.

27

Gambar 7. Jalur Biosintesis selulosa dari glukosa (Sjostrom, 1995).

Glukosil aktif (UDP-glukosa) merupakan prekursor dalam sintesis

selulosa. UDP-glukosa dihasilkan dalam sitoplasma dari dua sumber: dari sukrosa

oleh sintase sukrosa (1) (reaksi dapat balik) dan dari glukosa oleh reaksi-reaksi

berurutan yang dikatalisis oleh heksokinase (2), fosfoglukomutase (3), dan UDP-

glukopirofosfosilase (4). Setelah penembusan ke dalam selaput plasma, maka

UDP-glukosa mentranfer sisa glukosilnya ke rantai pertumbuhan glukan

(selulosa) disertai dengan pelepasan UDP. Penggabungan ini dikatalisis oleh

tempat-tempat aktif pada subunit-subunit kompleks sintase selulosa yang

disimpan dalam selaput plasma. Rantai-rantai glukan yang berasal dari satu

kompleks diperkirakan terasosiasi dengan ikatan hidrogen membentuk

mikrofibril, yang ukurannya dapat bervariasi diantara tipe-tipe sel yang berbeda.

Ketika sintesis berlangsung orientasi mikrofibril dapat ditentukan dengan gerakan

kompleks dalam lapisan ganda cairan lipida. Gerakan seperti ini dapat diarahkan

oleh mikrotubula yang terdapat pada permukaan dalam selaput plasma

(Sjostrom, 1995).

Masuknya bahan-bahan tambahan ke dalam dinding sel dalam rangka

selulosa disebut inkrustasi (pengerakan). Proses inkrustasi yang paling penting

pada tumbuhan tinggi adalah lignifikasi, tetapi pada banyak sel, bahan-bahan lain

28

seperti suberin, tanin, kutin, lilin kuinin, dan bahan organik serta bahan mineral

lainnya dapat pula melapisi dinding sel (Fahn, 1991).

Menurut Neish (1968), Sarkanen (1971), Griseboch (1977), Gross (1977)

dan (1978) dalam Fengel dan Gerd (1995) menyebutkan bahwa biosintesis lignin

dimulai dari glukosa. Maka dengan pemberian GA3 dan variasi ketersediaan air

kandungan glukosa dalam tanaman meningkat yang dapat digunakan untuk

bosintesis lignin, sehingga kandungan lignin dalam tanaman juga ikut meningkat.

Jalur metabolik dari glukosa menjadi senyawa induk lignin dapat dilihat pada

Gambar 8.

Gambar 8. Jalur metabolik dari glukosa menjadi senyawa induk lignin (Fengel

dan Gerd, 1995).

Fenilalanin ammonia liase Tirosin amonialiase

Fenolase

Fenolase

Fenilalanin

Tirosin

CoA Ligase Reduktase

Dehidrogenase

Asam Sinamat

Asam p-koumarat p- Koumaril-CoA-ester

p-Koumaraldehida

Asam kafeat

Asam 5-hidroksi ferulat

Asam ferulat Feruloil-CoA ester

Asam prefenat Asam shikimat

Reduktase

Sinapoil CoA ester

Sinapildehida

Koniferildehida

p-Koumaral-alkohol

p-Koniferil alkohol

CoA Ligase

Dehidrogenase

Asam sinapat Reduktase CoA Ligase

Metiltransferase

Fenolase

Metiltransferase

Sinapil alkohol

Dehidrogenase

Glkukosa

29

Pembentukan makromolekul lignin oleh tumbuhan terdiri atas sistem

biologi, biokimia dan kimia yang kompleks. Banyak studi dengan karbon radioktif

menegaskan bahwa p-hidroksisinamil alkohol, p-koumaril-alkohol, p-koniferil

alkohol dan sinapil alkohol merupakan senyawa induk (prekursor) primer dan

merupakan unit pembentuk semua senyawa lignin (Fengel dan Gerd, 1995).

Gambar 8 di atas memberikan gambaran secara umum langkah-langkah

utama pembentukan senyawa induk lignin. Biosintesis lignin dimulai dari glukosa

yang diperoleh dari fotosintesis. Ia diubah menjadi asam shikimat, senyawa antara

dari yang disebut jalur shikimat. Dua asam amino aromatik L-fenilalanin dan

L-tirosin dibentuk berdasarkan animasi reduktif melalui asam prefenat sebagai

senyawa-senyawa akhir dari jalur tersebut. Zat-zat tersebut merupakan zat-zat

awal (kelompok asam amino) untuk metabolisme enzimatik fenil propanoid (jalur

asam sinamat) yang menghasilkan tiga sinamil alkohol melalui turunan asam

sinamat teraktifasi. Asam-asam amino dideaminasi oleh deaminase (fenilalanin

ammonia liase dan tirosin aminoliase) menjadi asam sinamat yang sesuai.

Langkah-langkah utama lebih lanjut adalah hidroksilasi (oleh fenolase/

hidroksilase) menghasilkan asam p-koumarat, asam kafeat, asam ferulat, asam

5-hidroksi-ferulat, dan asam sinapat. Sinamil alkohol (p-koumaril-alkohol,

p-koniferil alkohol dan sinapil alkohol) akhirnya dibentuk oleh aktifasi enzimatik

(CoA ligase) dan reduksi (NADP reduktase, NADP hidrogenase) asam-asam yang

sesuai melalui koenzim-A trioster (p-koumaril-CoA-ester, Feruloil-CoA-ester dan

Sinapoil-CoA-ester) dan aldehida (p-kumaraldehida, koniferal dehida dan

sinapildehida) (Fengel dan Gerd, 1995). P-kumaril alkohol, koniferil alkohol dan

sinapil alkohol merupakan senyawa induk (precursor) primer dan merupakan unit

pembentuk semua lignin (Fengel dan Gerd, 1995; Robinson, 1995). Jalur

metabolik senyawa induk lignin menjadi lignin dapat dilihat pada Gambar 9.

30

Gambar 9. Jalur metabolik senyawa induk lignin menjadi lignin (Robinson, 1995;

Sjostrom, 1995).

Menurut Biemelt et al (2004) bahwa, pemberian GA3 meningkatkan

biosintesis lignin dan menstimulasi formasi xilem pada tembakau transgenik.

Xinjun Li et al (2003) juga menyatakan bahwa pemberian GA3 selama

pembungaan dan induksi anakan mampu meningkatkan kandungan lignin pada

Myrica rubra. Mudyantini (2008) juga menyatakan bahwa pemberian GA3

meningkatkan kandungan lignin pada B. nivea.

Lignin

31

Kekuatan Mulur Serat

Hasil rerata kekuatan mulur serat tanaman rami dengan perlakuan GA3 dan

ketersediaan air disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Rerata kekuatan mulur serat B. nivea dengan perlakuan GA3 dan ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam (%).

Ketersediaan Air Perlakuan

GA3 A1 A2 A3 Rerata

G0 - - 1,88 1,88 G1 0,94 2,09 1,26 1,43 G2 1,74 1,66 2,23 1,88 Rerata 1,34a 1,87b 1,79ab

Keterangan:

Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.

* Angka yang diikuti huruf sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

Dari analisis sidik ragam General Linier Model (GLM) menunjukkan

bahwa perlakuan GA3 dan ketersediaan air tidak memberikan pengaruh yang nyata

terhadap kekuatan mulur serat, sedangkan interaksi antara GA3 dan ketersediaan

air memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan mulur serat dengan nilai

signifikansi sebesar 0,017. Perbandingan kekuatan mulur serat B. nivea dengan

perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 10.

32

Gambar 10. Kekuatan mulur serat B. nivea dengan perlakuan GA3 dan perlakuan

ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam. Keterangan:

Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200 Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100

Gambar 10 menunjukkan bahwa kekuatan mulur serat paling tinggi ada

pada perlakuan GA3 200 ppm dan ketersediaan air 100% (G2A3) yaitu sebesar

2,23%, sedangkan kekuatan mulur terendah ada pada perlakuan GA3 175 ppm dan

ketersediaan air 50% (G1A1) yaitu sebesar 0,94%. Hal ini menunjukkan bahwa

setiap tumbuhan membutuhkan konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhannya.

Salah satu sifat penting selulosa adalah kemampuannya bertahan terhadap

regangan karena kelenturannya. Lignin menambah ketahanan dinding terhadap

tekanan dan mencegah melipatnya mikrofibril selulosa. Arah mikrofibril yang

berbeda-beda merupakan faktor penting penentu kekuatan dinding. Sifat mekanik

yang luar biasa dari selulosa ialah kekuatan meregang, sedangkan di bawah

tekanan kompresif, fibril-fibril selulosa itu membengkok. Sifat fisik dinding sel

diantaranya adalah regangan, kekuatan, ketahanan terhadap tekanan,

mengembang, dan sifat permeabilitas ditentukan oleh perbedaan komposisi dan

struktur lamela yang bertambah terus selama proses pembentukan dinding.

Perbedaan struktur dapat disebabkan karena perbedaan arah dan kerapatan

mikrofibril selulosa, perbedaan kandungan lignin dan lain-lain (Fahn, 1991).

Pemberian GA3 dan variasi ketersediaan air dapat meningkatkan

kandungan glukosa dalam tanaman maka kandungan selulosa juga akan

meningkat. Abidin (1990) mengemukakan bahwa GA3 dapat menghasilkan

33

hidrolisa pati yang akan mendukung terbentuknya α-amilase. Sebagai akibat dari

proses tersebut, maka konsentrasi glukosa akan meningkat. Menurut Mudyantini

(2008) bahwa perlakuan GA3 dapat meningkatkan kandungan glukosa dalam

tanaman yang dapat meningkatkan kandungan selulosa. Perlakuan GA3 yang

paling optimal dalam meningkatkan selulosa pada B. nivea yaitu pada konsentrasi

200 ppm dengan nilai kandungan selulosa sebesar 26,33 % b/b.

Kekurangan air dapat menghambat laju fotosintesa, karena turgiditas sel

penjaga stomata akan menurun (Haryati, 2003). Menurut Harjadi dan Yahya

(1988) bahwa fotosintesis akan terhambat jika air yang merupakan bahan utama

hanya tersedia dalam jumlah sedikit, sehingga hasil dari fotosintesis juga akan

berkurang. Menurut Islami dan Wani (1995) bahwa cekaman air menyebabkan

perubahan macam dan jumlah senyawa karbohidrat di dalam tanaman. Tanaman

yang mengalami cekaman air terjadi penurunan tepung dan peningkatan kadar

gula. Menurut Lee (1999) dalam Indrawan (2007), faktor yang berpengaruh

terhadap kekuatan tarik mulur serat adalah kelembaban. Semakin besar

kelembaban semakin besar pula kekuatan mulur serat dan sebaliknya akan

cenderung menurunkan kekuatan tarik.

KESIMPULAN

1. Perlakuan GA3 berpengaruh meningkatkan pertumbuhan B. nivea pada

panjang tunas dengan konsentrasi 200 ppm, tetapi menurun pada berat

basah dan berat kering. Perlakuan GA3 tidak berpengaruh pada jumlah

tunas dan daun. Sedangkan perlakuan ketersediaan air, maupun interaksi

antara GA3 dan ketersediaan air tidak berpengaruh terhadap semua

parameter pertumbuhan B. nivea.

2. Perlakuan GA3 berpengaruh meningkatkan terhadap kekuatan tarik serat

pada konsentrasi 200 ppm, tetapi tidak berpengaruh terhadap kekuatan

mulur serat. Perlakuan ketersediaan air tidak berpengaruh terhadap semua

parameter serat, sedangkan interaksi antara GA3 dan ketersediaan air

berpengaruh terhadap kekuatan mulur serat B. nivea dengan KL 75%.

DAFTAR PUSTAKA

34

Abidin, Z. 1990. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. CV.

Angkasa. Bandung. Aisyah, W. 2004. “Pengaruh Perendaman Umbi Bibit dalam Larutan Giberelin

terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Allicin Umbi Bawang Merah Allium cepa var. ascalonicum (L) Back”. Skripsi. Fakultas Biologi. UGM. Yogyakarta.

Anggarwulan, E., Solichatun dan W. Mudyantini. 2008. “Karakter Fisiologi

Kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) pada Variasi Naungan dan Ketersediaan Air”. Biodiversitas. 9(4): 264-268.

Anwarudin, M.J; N.L.P. Indriyani; S. Hadiati dan E. Masyah. 1996. “Pengaruh

Konsentrasi Giberelin dan Lama Perendaman Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Biji Manggis”. J. Host. 6(1): 1-5.

Biemelt, S., H. Tschiersch and U. Sonnewald. 2004. Impact of Altered Giberelin

Metabolisme on Biomass Accumulation, Lignin Biosintesis, and Photosyntesis in Transgenic Tobacco Plants. Plant Physiol 135(1) : 254-256.

Brink, M. and R.P. Escobin.(Eds).2003.Plant Resurces of South-East Asia No.17.

Fibre Plants. Prosea Foundation. Bogor. Indonesia. Pp.86-91. Buxton, A. and P. Greenhalg. 1989. Ramie, Short live Curiosity or fibre. The

future Textile Outlook international, May, 1989. The Economist Intellegence Unit, London. (5): 52-71.

Davies, J.P. 1995. Plant Hormone: Their Nature, Occurrence and Function). In

P.J. Davies (edt) : Plant Hormones : Phisiology, Biochemistry, and Moleculer Biology. Kluwer Academic Publisher. Boston.

Deptan. 2007. Tanaman Rami, Emas Putih yang Terpendam.

http://www.ditjenbun.deptan.go.id [24 Juli 2008]. Dewi, A.P. 1993. Pengaruh Stress Air terhadap Perkembangan Dua Kultivar

Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merry Wilis dan Lompo Batang. http://digilib.bi.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbbi-gdl-s1-1993-anugerahpa-841 [2 Mei 2009].

Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan. (diterjemahkan oleh Ahmad Soediarto dkk.).

Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Fengel, D and W. Gerd. 1995. Kayu, Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi.

(diterjemahkan oleh Hardjono S). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

35

Fitter, A.H., R.K.M. Hay. 1998. Fisiologi Lingkungan Tanaman. (diterjemahkan

oleh Sri Andani dan E. D. Purbayanti). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitcheli. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.

(diterjemahkan oleh Herawati Susilo). UI Press, Jakarta. Gul, H., A.M. Khatak and N. Amin. 2006. Accelerating the Growth of Araucaria

heterophylla Seedlings Through Different Gibberellic Acid Concentrations and Nitrogen levels. Journal of Agricultural and Biological Science.1(2): 25-29.

Haddy, S. 1987. Biologi Pertanian. Rajawali Press, Jakarta . Hamid, A. 2001. Biokimia : Metabolisme Biomolekul. Penerbit Alfabeta.

Bandung. Harjadi, S.S. 1993. Pengantar Agronomi. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Harjadi, S.S. dan S. Yahya. 1988. Fisiologi Stres Lingkungan. PAU Bioteknologi

IPB, Bogor. Haryati. 2003. Pengaruh Cekaman Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil

Tanaman. Program Studi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Hidayanto, M., S. Nurjanah., dan F. Yossita. 2003. “Pengaruh Panjang Stek Akar

dan Konsentrasi Natriumnitrofenol terhadap Pertumbuhan Stek Akar Sukun (Artocarpus communis F.)”. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 6(2):154-160.

Hill, A.F. 1972. Economic Botany. Tata Mc. Graw Hill Publishing Company

Limited. New Delhi. Indrawan, M. 2007. ”Karakter Sutera Dari Ulat Jedung (Attacus atlas L.) Yang

Dipelihara Pada Tanaman Senggugu (Clerodendron Serratum Spieng)”. Laporan Penelitian Dosen Muda. Jurusan Biologi Fakultas MIPA UNS. Surakarta.

Islami, T. dan H.U. Wani. 1995. Hubungan Air dan Tanaman. IKIP Semarang

Press, Semarang. Kastono, D. 2005. “Pengaruh Jumlah Batang Bawah dan Kadar IAA terhadap

Pertumbuhan Bibit Durian Sambung Pucuk”. Agrivet. 9(1): 1-5.

36

Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Penerbit Yusa Guna. Bogor. Pp: 54-61.

Laboratorium Evaluasi Tekstil. 2008. Cara Kerja Pengoprasian Alat Uji Tenso

Lab./ Mesdan Lab.(Alat Uji Kekuatan Tarik dan Mulur). Jurusan Teknik Industri FTI-Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Jakarta:

Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Levitt, J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stress Volume II. Academic

Press, New York. Loveless, A.R. 1991. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Daerah Tropik

(diterjemahkan oleh Kusuma Kartawinata). Gramedia. Jakarta. Miranti, E. 2007. Mencermati Kinerja Tekstil Indonesia antara Potensi dan

Peluang. Jakarta. Mudyantini, W. 2008. “Pertumbuhan, Kandungan Selulosa, dan Lignin pada Rami

(Boehmeria nivea L. Gaudich) dengan Pemberian Asam Giberelat (GA3)”. Biodiversitas. 9(4): 269-274.

Mudyantini, W., Suratman, dan Sutarno. 2006. “Kandungan Selulosa dan Lignin

pada Rami (Boehmeria nivea L. Gaudich.) serta Limbah Hasil Perendaman Jerami dengan Perlakuan Bakteri Alkalofil”. Enviro. 7(1): 27-31.

Mullet, J.E and M.S. Whitsitt. 1996. Plant Cellular Responses to Water Deficit.

In: E. Belhassen (edt) Drought Tolerance in Higher Plants. Kluwer Academic Publisher, Netherland.

Patoni, 2000. “Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Pertumbuhan, Hasil dan

Kandungan Vitamin C Buah Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.)”. Skripsi. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.

Pezelshki, S.R. 1994. Plant Response to Flooding. In Wilkinson, R.E. (ed). In

Plant –Environment Interaction. Mercel Dekker, Inc., USA. Rahardjo, M., S.M.D. Rosita, R. Fathan, dan Sudiarto. 1999. “Pengaruh Cekaman

Air Terhadap Mutu Simplisia Pegagan (Centella asiatica L.)”. Jurnal Littri. 5(3): 92-97.

Rahman, M.H., M.H. Haque, M.A. Karim and M. Ahmed. 2006. Effects of

Gibberellic Acid (GA3) on Breaking Dormancy in Garlic (Allium sativum L.). Jounal of Agriculture and Biology. 8(1).

37

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata). Penerbit ITB, Bandung.

Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3 (diterjemahkan

oleh Dian Lukman). Penerbit ITB, Bandung. Sanjaya, L. 1991. Pengaruh asam giberelin terhadap pertumbuhan dan kualitas

bunga seruni. Prosiding Tanaman Hias. Cipanas, Sub Balithor Cipanas. Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta. Sjostrom, E. 1995. Kimia Kayu Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi Kedua.

(diterjemahkan oleh Hardjono S). Gadjah nada University Press, Yogyakarta.

Sulistyaningsih, Y.C., Dorli dan H. Akmal. 1994. “Studi Anatomi Daun Saccarum

sp. Sebagai Induk dalam Pemuliaan Tebu”. Hayati. 1(2): 61-65. Sumiasri, N dan D. Priadi. 2003. ”Pertumbuhan Stek Cabang Sungkai (Peronema

canescens Jack) dalam Media Cair”. Jurnal Nature. 6(1). Suyana, J. Dan H. Widijanto. 2002. Studi Kualitas Air dan Sumbangan Hara dari

Irigasi Sidorejo Jawa Tengah Pada Budidaya Padi Sawah. Sains Tanah. 2(1): 1-5.

Saroso, B. dan A. Sastrosupadi. 2000. “Tanaman Rami sebagai Bahan Tekstil,

Pulp, Pakan Ternak dan Obat”. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Bogor.

Taiz, L. and E. Zeiger. 1998. Plant Physiologi. Massashusetts: Sinauer

Assosiattes, Inc. Tarmansyah, U.S. 2007. “Pemanfaatan Serat Rami untuk Pembuatan Selulosa”.

Tim Puslitbang Indhan Balitbang Dephan. Buletin Litbang Dephan.10(18): 1-12.

Wareing, P.F. and I.D.J. Phillips. 1981. Growth and Differentiation in Plants. 2nd

Edition. Pergamon Press. Toronto. Wattimena, G.A. 1998. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas.

IPB. Bogor. pp: 12-15, 54-56.

38

Weaver, T.E., C.R. Stocking., M.G. Barbour., and T.L. Rost., 1982. Botany: An Introduction to Plant Biology. 6nd edition. University of California. California.

Wuryaningsih, S dan T. Sutater. 1993. Pengaruh zat pengatur tumbuh dan pupuk

N terhadap pertumbuhan dan produksi bunga krisan standar warna putih. Buletin Tanaman Hias. 1(1): 47-55.

Xingjun Li; Sanyu Li and JinXing Lin. 2003. Effect of GA3 Spraying on Lignin

and Auxin Contens and the Corellated Enzyme Activities In Bayberry (Myrica rubra Bieb.) During Flower-Bud Induction. Plant Science. 164(4): 549-556.

39

PERTUMBUHAN, KEKUATAN TARIK DAN MULUR SERAT RAMI

(Boehmeria nivea (L.) Gaudich) DENGAN PEMBERIAN ASAM

GIBERELAT (GA3) DAN VARIASI KETERSEDIAAN AIR

Naskah Publikasi

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains

Oleh : Shafi Fauzi Rahman

M0405057

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

40

PERSETUJUAN

Naskah Publikasi

SKRIPSI

PERTUMBUHAN, KEKUATAN TARIK DAN MULUR SERAT RAMI (Boehmeria nivea (L.) Gaudich) DENGAN PEMBERIAN ASAM

GIBERELAT (GA3) DAN VARIASI KETERSEDIAAN AIR

Oleh:

Shafi Fauzi Rahman

NIM. M0405057

Telah disetujui untuk dipublikasikan

Surakarta, ………………...

Menyetujui,

Pembimbing I

Widya Mudyantini, M.Si. NIP. 197305051999032001

Pembimbing II

Dra. Endang Anggarwulan, M.Si.

NIP. 195003201978032001

Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi

Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. NIP. 195003201978032001