Upload
aji-imaduddin
View
9
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PENDAHULUAN
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman
Clostridium tetani, bermanifestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti
kekakuan otot seluruh badan.Kekuatan tonus otot massater dan otot-otot rangka.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit
ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat
dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta
diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala
klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf
pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan
spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh
drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan
kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam
tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi
bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua
jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui
kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro,
sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat
yang menyebabkan spasme otot dan kejang.
PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka
dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.
1 | P a g e
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.
Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi
toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor
tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain
Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah
menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan
penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.
Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan
berbagai cara, sebagai berikut :
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka,
kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui
sinap ke dalam susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah
sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik,
namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui
pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan
beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam
pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan
dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara
intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran
darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat
penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain
melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan
transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.
2 | P a g e
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara
retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan
autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus
motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan
saraf inhibitor.
Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:
§ Tetanus lokal
Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin
tetanus yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir
toksin yang berada di sekitar luka.
§ Tetanus sefal
Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot
yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari
batang otak dan medula spinalis servikalis.
§ Ascending Tetanus
Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya
mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah
terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara
asenderen masuk ke dalam SSP.
§ Tetanus umum
Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai
otot dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului
trismus kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas.
Hal ini disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda,
yang paling pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara
berurutan mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf.
Mekanisme kerja toksin tetanus:
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin
mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek
3 | P a g e
kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus
manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik,
penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan
dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik,
baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini
penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara
pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas.
Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin
tetanus yaitu toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan
dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas,
dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf.
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan
saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter
inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin
dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada
susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf
yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan
glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan
kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara
mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.
Perubahan akibat toksin tetanus:
1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya
letupan listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of
pathological enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran
impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi
kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena
4 | P a g e
makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan
cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah
medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti
retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal
ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada
beberapa yang resisten terhadap toksin.
Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang
kala ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun
pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin
terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan
interneuron.
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak
sadar biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap
otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif
atau antikonvulsan yang diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin
sehingga mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh
efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek
toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin
secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik
terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin
n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena
axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer
berupa:
1. Neuropati perifer
5 | P a g e
2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan
otot yang terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu
sampai beberapa bulan setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.
3. Perubahan pada sistem saraf autonom
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan
parasimpatis, hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan
dari kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem
autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun
hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis
medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara
umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna,
kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun
dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4. Gangguan Sistem pernafasan
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan
abdomen; otot diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding
thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan
keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu ventilasi.
Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea
akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak
terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus
karena adanya spasme dan kekakuan otot faring dan
ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan baik.
Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat
menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
6 | P a g e
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi.
Kelainan yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah
pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat
terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti
sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
e. Gangguan pusat pernafasan
Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat
pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan
tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian
toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan
bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat
pernafasan pada penderita tetanus adalah :
§ Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang
berat tanpa ditemukan adanya komplikasi pulmonal,
bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode
ini bervariasi dalam beberapa menit sampai ½-1 jam.
§ Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi
prolonged respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan
akhirnya meninggal.
§ Henti nafas akut dan mati mendadak.
Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh
penyebab sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia
kaena kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan
distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa.
5. Gangguan hemodinamika
7 | P a g e
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus
dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai
hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan
karena :
§ Kendala etik
§ Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti
sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan
keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem
kardio-respirasi
§ Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik
mempersulit penilaian dari hasil penelitian.
6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan
adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem
saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat,
hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle
relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan
ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan
serum protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen
tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai
masalah dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan
segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan
protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan
mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi
kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen
sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk.
Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita
8 | P a g e
tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin.
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus
dicurigai terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya
episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya
infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness menimbulkan
dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan.
Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang
merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut
dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin,
TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap
mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin.
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin
secara langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan
ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron,
inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa
gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan
klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas
traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau
oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit
dan metabolik yang terganggu.
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar
dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-
parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus
maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ
dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan
perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.
9 | P a g e
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
1. Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus
sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang
disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan
dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan
spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal
luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi
1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media
kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi
nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi
tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat
berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan
dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai,
rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi
dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi
tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan
ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering
timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable
10 | P a g e
diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan
pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis
lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan
tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal,
ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan
fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia,
pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :
a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada,
disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan
disfagia ringan
c. Derajat III (berat)
Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell,
disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
d. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem
kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan
bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak
berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka
derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.
2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat
luka.
- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan
otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
11 | P a g e
- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
- Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun
spontan dimana kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium :
- Lekositosis ringan
- Trombosit sedikit meningkat
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram
positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)
2. Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia,
bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan
pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya
karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran
nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis.
Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia,
gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan
fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa
tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal
akut, dehidrasi dan asidosis metabolik.
PENATALAKSANAAN
1. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari,
IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis
12 | P a g e
50.000 Unit/KgBB/12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila
sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain
seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis tidak
melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Bila
tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000
unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari
C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya
komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak
boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti
complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi alergi yang serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus
antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan
cara pemberiannya adalah 20.000 U dari antitoksin dimasukkan
kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena,
pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit.
Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada
daerah pada sebelah luar.
3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan
bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda
dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara IM.
Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.
4. Antikonvulsan
13 | P a g e
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang
klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta
komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle
relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.
Tabel JENIS ANTIKONVULSAN
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat
badan / 4 jam (IM)
Stupor, Koma
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Tidak ada
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depresi
pernafasan
Biasanya obat yang dipilih adalah diazepam. obat ini diberikan
melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2–4 jam. Pemberian
berikutnya tergantung pada basil evaluasi setelah pemberian anti
kejang. Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol,
maka jadwal pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat
disusun.
Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang
terkontrol) adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian
(pemberian dilakukan tiap 3 jam). Kemudian dilakukan evaluasi
terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam
14 | P a g e
dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis
maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari (dosis maintenance).
Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat
dibuat, dan ini dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi
berikutnya tidak dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat
diturunkan secara bertahap, yaitu 10-15 % dari dosis optimum
tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh
karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan
dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol
kejang yang terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang,
dosis harus segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila
tidak terjadi kejang dipertahankan selama 2-3 hari dan dirurunkan lagi
secara bertahap, hal ini dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam
penggunaan diazepam, kejang masih terjadi, sedang dosis maksimal
telah tercapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus
dilakukan.
ILUSTRASI KASUS
I. ANAMNESA
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. B
Umur : 51 Tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Pokoh, Wonogiri
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMA
15 | P a g e
Pekerjaan : buruh
Tanggal masuk : 13 Agustus 2010
Tanggal Pemeriksaan : 16 Agustus 2010
No. CM : 924272
B. DATA DASAR
Anamnesis dilakukan secara auto anamnesis dan allo anamnesa pada
tanggal 16 agustus 2010 di kamar 6 bangsal isolasi bed17 Melati I
RSDM
1. Keluhan Utama : kejang
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
1 hari sebelum masuk RS pasien megeluh mendadak badan
terasa kejang-kejang, lama kejang ± 40 detik, setiap kejang disertai
perut terasa kaku, keras, mulut tidak bisa membuka, pasien
mengeluh susah untuk makan karena mulut tidak dapat dibuka.
Kejang tidak disertai demam, pusing (-), nggliyeng (-).
8 hari SMRS pasien mengeluh mulut sulit dibuka dan suluit
menelan, tapi keluhan tersebut hilang timbul dan hanya
sementara.
13 hari SMRS pasien menjalani operasi prostat dan luka
bekas jahitan dinilai bagus dan benang jahitannya sudah dapat
diambil, pasien melakukan operasi di Rumah Sakit Wonogiri, dan
mondok selama operasi tersebut selama 4 hari.
Sebelumnya pasien mengaku tidak memilki keluhan anggota
gerak maupun mulut mencong, pasien juga tidak memiliki keluhan
BAK maupun BAB. BAK sehari 6-7 kali @ ½ -1 gelas belimbing,
warna kening jernih, darah (-), pasir (-), nyeri BAK (-).
16 | P a g e
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat kelainan serupa : (-)
b. Riwayat tekanan darah tinggi : (-)
c. Riwayat dirawat di RS :(+) di RS
Karangayar karena operasi prostat selama 5 hari, 2minggu
yang lalu.
d. Riwayat sakit gula : (-)
e. Riwayat sakit Jantung : (-)
f. Riwayat alergi : (-)
4. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga
a. Riwayat sakit gula : disangkal
b. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum Compos Mentis, sakit sedang, gizi kesan cukup,
B. Status gizi BB → 46 kg
TB → 155 cm
BMI → 19,15 kg/ m2
Kesan : Status Gizi Normoweight
Tanda Vital Tensi : 130/90 mmHg
Nadi : 88x/ menit, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Respirasi : 32 x/menit
Suhu : 37,0 0C
C. Kulit Warna sawo matang, petechie (-), ikterik (-),
turgor cukup, hiperpigmentasi (-)
D. Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam,uban
(+), mudah rontok (-), luka (-), atrofi
17 | P a g e
m.temporalis (-), muka rhisus sardonicus
(+).
E. Mata Konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya
(+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-)
F. Mulut Trismus (+), sianosis (-), gusi berdarah (-),
kering (-) pucat (-), lidah tifoid (-), papil lidah
atrofi (-) stomatitis (-), luka pada sudut bibir
(-)
G. Leher JVP (R+2), trakea di tengah, simetris,
pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi
cervical (-), leher kaku (-)
H. Thorax Bentuk normochest, simetris, retraksi
intercostal (-), atrofi m. Pectoralis (-),
ginecomasti (-), spider nevi (-) regio infra
clavicula, pernafasan torakoabdominal, sela iga
melebar (-), pembesaran KGB axilla (-/-)
Jantung :
Inspeksi Iktus kordis tidak tampak
Palpasi Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi Batas jantung kanan atas : SIC II linea
parasternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea
parasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea
parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial
linea medioklavicularis sinistra
18 | P a g e
Pinggang jantung : SIC II-III lateral
parasternalis sinistra
→ konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi HR : 92 kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II
murni, intensitas normal, reguler, bising (-),
gallop (-).
Pulmo :
Depan
Inspeksi Statis Normochest, simetris, sela iga tidak melebar
Dinamis Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi Statis Simetris
Dinamis Pergerakan dada ka = ki, penanjakan dada ka =
ki, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi Kiri Sonor
Kanan Sonor
Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara
tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (-)
basal paru, ronchi basah halus (-), krepitasi (-)
Kiri Suara dasar vesikuler intensitas meningkat,
suara tambahan wheezing (-), ronchi basah
kasar (-), ronchi basah halus (-), krepitasi (-)
Belakang
Inspeksi Statis Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga mendatar
Dinamis Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi interkostal (-)
Palpasi Statis Dada kanan dan kiri simetris, sela iga tidak
19 | P a g e
melebar, retraksi (-),
Dinamis Pergerakan kanan = kiri, simetris, fremitus
raba kanan = kiri, penanjakan dada kanan =
kiri
Perkusi Sonor /Sonor
Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler meningkat, wheezing(-),
ronchi basah kasar (-), ronchi basah halus (-),
krepitasi (-)
Kiri Suara dasar vesikuler intensitas normal,
wheezing(-), ronchi basah kasar (-), ronchi
basah halus (-), krepitasi (-)
I. Punggung kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri
ketok kostovertebra (-),
J. Abdomen
Inspeksi Dinding perut sejajar dinding thorak, bekas
luka operasi (+), venektasi (-), sikatrik (-),
stria (-), caput medusae (-)
Auscultasi Peristaltik (+) normal, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
Perkusi Perut keras seperti papan (+), timpani, pekak
sisi (-), pekak alih (-), undulasi (-), area trobe
tymphani, NKCV (-/-)
Palpasi Perut keras seperti papan (+), nyeri tekan
(-), hepar/ lien sulit dievaluasi.
K. Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-),
nyeri (-).
L. Ekstremitas
Superior dekstra Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-),
akral dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik
20 | P a g e
(-) petechie (-), Spoon nail (-) kuku pucat (-),
clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar
eritema (-)
Superior sinistra Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-),
akral dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik
(-), petechie (-), Spoon nail (-) kuku pucat (-),
clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar
eritema (-)
Inferior dekstra Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-),
akral dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik
(-), petechie (-), Spoon nail (-), kuku pucat (-),
clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), nyeri
tekan (-)
Inferior Sinistra Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-),
akral dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik
(-), petechie (-), Spoon nail (-), kuku pucat (-),
clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), nyeri
tekan (-)
21 | P a g e
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium Darah
Pemeriksaa
n 12/09/10 13/09/10Satuan Nilai Rujukan
Hb 13.9 13,8 Gr/dlLk : 13,5-18.,00
Pr : 12,0-16,0
Hct 44.4 40 %Lk : 40-54
Pr: 38-47
Jumlah
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
3.77
3.88
91.7
30.9
33.6
106/uL
Fl
Pg
%
Lk : 4,6-6,2
80-96
27-31
33-37
Retikulosit % 0,5-1,5
Iron Ug/dl 35-150
TIBC Ug/dl 250-450
Jumlah
Lekosit
Jenis lekosit
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfos
Monosit
12.3 14.9
0.1
0.1
93.7
3.00
3.10
103/uL
%E
%B
%N
%L
%M
4,5-12.4
1,00-4,00
0,00-1,00
38,0-71,0
22,0-40,0
4,00-5,00
Jumlah
Trombosit313 273 103/uL 150-440
PT detik 10-15
22 | P a g e
INR
APTT detik 20-40
Gol darah O
GDS 112 Mg/dL 80-110
GDP Mg/dL 76-120
GD2PP Mg/dL 80-140
Ureum 46 45 Mg/dL 10-50
Kreatinin 1.0 1.1 Mg/dL 0,7-1,1
Elektrolit
Na
K
Cl
Ca
148
5.1
109
143
4.6
102
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mmol/L
136-146
3,5-5,1
98-106
1,0-1,2
Prot total 6.1 g/dL 6,6-8,7
Albumin 3.5 g/dL 3,5-5
Globulin 2.6 g/dL 0,6-5,2
Bil. Total 0.46 mg/dL 0-1,1
Bil direk 0,21 Mg /dL 0-0,25
Bil. Indirek 0,25 Mg /dL 0-0,75
SGOT 64 u/L 0-38
SGPT 28 u/L 0-41
Alkaliphospa
tase57 u/L 0-270
Gamma GT 21 u/L 10-66
Kol total 145 Mg /dL 50-200
HDL-D 45 Mg /dL 41-67
LDL-D 89 mg /dL 0-130
Trigliserid 43 mg /dL 50-150
Asam urat 5 mg /dL 3,4-7
HbsAg (-) Negative
Anti HCV Negative
23 | P a g e
II. Scoring Tetanus
Massa inkubasi > 12 hari : 1
Kejang > 3 hari : 3
Kejang spontan : 2
Trismus : 1
Rhisus sardonicus : 1
Perut papan : 1
Score tetanus = 9 ( Tetanus grade II )
E. DIAGNOSIS
Tetanus grade II
F. TUJUAN TERAPI
a. Memperbaiki keadaan umum
b. Menangani kegawatan
G. TERAPI
Tata laksana penderita rawat inap:
- bed rest tidak total bangsal isolasi
- Diet sonde 1700 kkal/hari
- Inf NaCl 0.9% 30 tpm
- Inf D5% + diazepam 2amp 20 tpm
- Inf metronidazol 500 mg / 8 jam
- Inj ATS 20.000 U, i.m.
- Inj penicillin procain 1.5 juta unit i.m.
- Injeksi diazepam 0.5 – 1 mg/kgBB/4jam IM
24 | P a g e
Penulisan resep :
R/ NaCl 0.9% Inf No. III
Cum infus set No. I
Cum IV catheter no. 22
S imm
R/ Inf metronidazol 500 mg fl No. III
S imm
R/ Inj ATS 20.000 UI No. I
Cum spuit injeksi cc 10 No. I
S imm
R/ Inj penicillin procain 1.5 juta unit No. I
Cum spuit injeksi cc 10 No. I
S imm
R/ diazepam inj amp No. IV
Cum spuit injeksi cc 3 No. IV
S imm
Pro: Tn B (51 th)
25 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis.
Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung,
2005 ; 209-213.
2. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical
Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
3. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD,
Nelson Textbook of Infection Disease Vol 1” 17th edition W.B. Saunders
Company. 2004
4. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305
5. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
6. WHO News and activities. The Global Eliination of tetanus : progress to date,
Bull WHO 1994; 72 : 155-157
7. www.emidicine.com/ped/topic3038.htm
26 | P a g e