39
PENDAHULUAN Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanifestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan.Kekuatan tonus otot massater dan otot-otot rangka. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot. Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan 1 | Page

Tetanus

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tetanus

PENDAHULUAN

Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman

Clostridium tetani, bermanifestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti

kekakuan otot seluruh badan.Kekuatan tonus otot massater dan otot-otot rangka.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh

tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit

ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat

dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta

diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala

klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf

pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.

Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,

bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan

spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh

drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan

kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam

tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi

bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua

jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui

kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro,

sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat

yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

PATOFISIOLOGI

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka

dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk

vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,

nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.

1 | P a g e

Page 2: Tetanus

Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.

Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi

toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor

tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain

Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah

menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan

penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.

Penyebaran toksin

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan

berbagai cara, sebagai berikut :

1. Masuk ke dalam otot

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka,

kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui

sinap ke dalam susunan saraf pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus

limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah

sistemik.

3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.

Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik,

namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui

pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan

beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam

pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan

dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara

intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran

darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat

penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain

melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan

transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.

2 | P a g e

Page 3: Tetanus

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara

retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan

autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus

motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan

saraf inhibitor.

Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:

§ Tetanus lokal

Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin

tetanus yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir

toksin yang berada di sekitar luka.

§ Tetanus sefal

Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot

yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari

batang otak dan medula spinalis servikalis.

§ Ascending Tetanus

Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya

mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah

terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara

asenderen masuk ke dalam SSP.

§ Tetanus umum

Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai

otot dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului

trismus kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas.

Hal ini disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda,

yang paling pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara

berurutan mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf.

Mekanisme kerja toksin tetanus:

1. Jenis toksin

Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin

mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek

3 | P a g e

Page 4: Tetanus

kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus

manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik,

penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan

dengan toksin tersebut.

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf

Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik,

baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini

penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara

pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas.

Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin

tetanus yaitu toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan

dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas,

dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf.

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter

Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan

saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter

inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin

dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada

susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf

yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan

glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan

kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara

mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.

Perubahan akibat toksin tetanus:

1. Susunan saraf pusat

Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya

letupan listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of

pathological enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran

impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi

kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena

4 | P a g e

Page 5: Tetanus

makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan

cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah

medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti

retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal

ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada

beberapa yang resisten terhadap toksin.

Rasa sakit

Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang

kala ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun

pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin

terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan

interneuron.

Fungsi Luhur

Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak

sadar biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap

otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif

atau antikonvulsan yang diberikan.

2. Aktifitas neuromuskular perifer

Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin

sehingga mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh

efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek

toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin

secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik

terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin

n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena

axonopathi.

Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer

berupa:

1. Neuropati perifer

5 | P a g e

Page 6: Tetanus

2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan

otot yang terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu

sampai beberapa bulan setelah sembuh.

3. Denervasi parsial dari otot tertentu.

3. Perubahan pada sistem saraf autonom

Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan

parasimpatis, hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan

dari kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem

autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun

hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis

medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara

umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna,

kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun

dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.

4. Gangguan Sistem pernafasan

Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :

a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan

abdomen; otot diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding

thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan

keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu ventilasi.

Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai

dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea

akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak

terkena efek toksin.

b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus

karena adanya spasme dan kekakuan otot faring dan

ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan baik.

Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat

menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.

6 | P a g e

Page 7: Tetanus

c. Kelainan paru akibat iatrogenik.

d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal

Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi.

Kelainan yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah

pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat

terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti

sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.

e. Gangguan pusat pernafasan

Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat

pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan

tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian

toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan

bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.

Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat

pernafasan pada penderita tetanus adalah :

§ Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang

berat tanpa ditemukan adanya komplikasi pulmonal,

bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode

ini bervariasi dalam beberapa menit sampai ½-1 jam.

§ Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi

prolonged respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan

akhirnya meninggal.

§ Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh

penyebab sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia

kaena kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan

distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa.

5. Gangguan hemodinamika

7 | P a g e

Page 8: Tetanus

Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus

dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai

hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan

karena :

§ Kendala etik

§ Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti

sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan

keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem

kardio-respirasi

§ Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik

mempersulit penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik

Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan

adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem

saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat,

hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle

relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan

ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan

serum protein terutama fraksi albumin.

Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen

tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai

masalah dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan

segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan

protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan

mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi

kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen

sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk.

Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita

8 | P a g e

Page 9: Tetanus

tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap

toksin.

7. Gangguan Hormonal

Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus

dicurigai terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya

episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya

infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness menimbulkan

dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan.

Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang

merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut

dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin,

TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap

mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin.

8. Gangguan pada sistem lain

Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin

secara langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan

ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron,

inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa

gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan

klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas

traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau

oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit

dan metabolik yang terganggu.

Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar

dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-

parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus

maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ

dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan

perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

9 | P a g e

Page 10: Tetanus

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

1. Manifestasi Klinis

Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus

sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang

disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.

Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:

a. Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan

dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan

spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal

luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.

b. Tetanus sefal

Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi

1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media

kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi

nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi

tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.

c. Tetanus umum

Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat

berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan

dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai,

rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi

dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan

kesadaran yang tetap baik.

d. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi

tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan

ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering

timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable

10 | P a g e

Page 11: Tetanus

diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan

pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis

lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan

tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal,

ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan

fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia,

pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :

a. Derajat I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada,

disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.

b. Derajat II (sedang)

Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan

disfagia ringan

c. Derajat III (berat)

Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell,

disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi

d. Derajat IV (sangat berat)

Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem

kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan

bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak

berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.

Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka

derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.

2. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:

- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat

luka.

- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap

- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan

otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

11 | P a g e

Page 12: Tetanus

- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek

- Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun

spontan dimana kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium :

- Lekositosis ringan

- Trombosit sedikit meningkat

- Glukosa dan kalsium darah normal

- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat

- Enzim otot serum mungkin meningkat

- EKG dan EEG biasanya normal

- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka

dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram

positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

2. Komplikasi

Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia,

bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan

pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya

karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran

nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis.

Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia,

gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan

fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa

tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal

akut, dehidrasi dan asidosis metabolik.

PENATALAKSANAAN

1. Antibiotika :

Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari,

IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis

12 | P a g e

Page 13: Tetanus

50.000 Unit/KgBB/12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila

sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain

seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis tidak

melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Bila

tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000

unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.

Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari

C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya

komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.

2. Antitoksin

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG)

dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak

boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti

complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat

mencetuskan reaksi alergi yang serius.

Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus

antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan

cara pemberiannya adalah 20.000 U dari antitoksin dimasukkan

kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena,

pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit.

Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada

daerah pada sebelah luar.

3. Tetanus Toksoid

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan

bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda

dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara IM.

Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap

tetanus selesai.

4. Antikonvulsan

13 | P a g e

Page 14: Tetanus

Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang

klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta

komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle

relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.

Tabel JENIS ANTIKONVULSAN

Jenis Obat Dosis Efek Samping

Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat

badan / 4 jam (IM)

Stupor, Koma

Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak ada

Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Tidak ada

Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depresi

pernafasan

Biasanya obat yang dipilih adalah diazepam. obat ini diberikan

melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2–4 jam. Pemberian

berikutnya tergantung pada basil evaluasi setelah pemberian anti

kejang. Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol,

maka jadwal pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat

disusun.

Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang

terkontrol) adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian

(pemberian dilakukan tiap 3 jam). Kemudian dilakukan evaluasi

terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam

14 | P a g e

Page 15: Tetanus

dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis

maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari (dosis maintenance).

Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat

dibuat, dan ini dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi

berikutnya tidak dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat

diturunkan secara bertahap, yaitu 10-15 % dari dosis optimum

tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh

karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan

dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol

kejang yang terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang,

dosis harus segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila

tidak terjadi kejang dipertahankan selama 2-3 hari dan dirurunkan lagi

secara bertahap, hal ini dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam

penggunaan diazepam, kejang masih terjadi, sedang dosis maksimal

telah tercapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus

dilakukan.

ILUSTRASI KASUS

I. ANAMNESA

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. B

Umur : 51 Tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Alamat : Pokoh, Wonogiri

Agama : Islam

Suku : Jawa

Status perkawinan : Menikah

Pendidikan : SMA

15 | P a g e

Page 16: Tetanus

Pekerjaan : buruh

Tanggal masuk : 13 Agustus 2010

Tanggal Pemeriksaan : 16 Agustus 2010

No. CM : 924272

B. DATA DASAR

Anamnesis dilakukan secara auto anamnesis dan allo anamnesa pada

tanggal 16 agustus 2010 di kamar 6 bangsal isolasi bed17 Melati I

RSDM

1. Keluhan Utama : kejang

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

1 hari sebelum masuk RS pasien megeluh mendadak badan

terasa kejang-kejang, lama kejang ± 40 detik, setiap kejang disertai

perut terasa kaku, keras, mulut tidak bisa membuka, pasien

mengeluh susah untuk makan karena mulut tidak dapat dibuka.

Kejang tidak disertai demam, pusing (-), nggliyeng (-).

8 hari SMRS pasien mengeluh mulut sulit dibuka dan suluit

menelan, tapi keluhan tersebut hilang timbul dan hanya

sementara.

13 hari SMRS pasien menjalani operasi prostat dan luka

bekas jahitan dinilai bagus dan benang jahitannya sudah dapat

diambil, pasien melakukan operasi di Rumah Sakit Wonogiri, dan

mondok selama operasi tersebut selama 4 hari.

Sebelumnya pasien mengaku tidak memilki keluhan anggota

gerak maupun mulut mencong, pasien juga tidak memiliki keluhan

BAK maupun BAB. BAK sehari 6-7 kali @ ½ -1 gelas belimbing,

warna kening jernih, darah (-), pasir (-), nyeri BAK (-).

16 | P a g e

Page 17: Tetanus

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

a. Riwayat kelainan serupa : (-)

b. Riwayat tekanan darah tinggi : (-)

c. Riwayat dirawat di RS :(+) di RS

Karangayar karena operasi prostat selama 5 hari, 2minggu

yang lalu.

d. Riwayat sakit gula : (-)

e. Riwayat sakit Jantung : (-)

f. Riwayat alergi : (-)

4. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga

a. Riwayat sakit gula : disangkal

b. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

c. Riwayat alergi : disangkal

d. Riwayat sakit jantung : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan Umum Compos Mentis, sakit sedang, gizi kesan cukup,

B. Status gizi BB → 46 kg

TB → 155 cm

BMI → 19,15 kg/ m2

Kesan : Status Gizi Normoweight

Tanda Vital Tensi : 130/90 mmHg

Nadi : 88x/ menit, isi dan tegangan cukup

Frekuensi Respirasi : 32 x/menit

Suhu : 37,0 0C

C. Kulit Warna sawo matang, petechie (-), ikterik (-),

turgor cukup, hiperpigmentasi (-)

D. Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam,uban

(+), mudah rontok (-), luka (-), atrofi

17 | P a g e

Page 18: Tetanus

m.temporalis (-), muka rhisus sardonicus

(+).

E. Mata Konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),

perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor

dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya

(+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-)

F. Mulut Trismus (+), sianosis (-), gusi berdarah (-),

kering (-) pucat (-), lidah tifoid (-), papil lidah

atrofi (-) stomatitis (-), luka pada sudut bibir

(-)

G. Leher JVP (R+2), trakea di tengah, simetris,

pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi

cervical (-), leher kaku (-)

H. Thorax Bentuk normochest, simetris, retraksi

intercostal (-), atrofi m. Pectoralis (-),

ginecomasti (-), spider nevi (-) regio infra

clavicula, pernafasan torakoabdominal, sela iga

melebar (-), pembesaran KGB axilla (-/-)

Jantung :

Inspeksi Iktus kordis tidak tampak

Palpasi Iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi Batas jantung kanan atas : SIC II linea

parasternalis dextra

Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea

parasternalis dekstra

Batas jantung kiri atas : SIC II linea

parasternalis sinistra

Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial

linea medioklavicularis sinistra

18 | P a g e

Page 19: Tetanus

Pinggang jantung : SIC II-III lateral

parasternalis sinistra

→ konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi HR : 92 kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II

murni, intensitas normal, reguler, bising (-),

gallop (-).

Pulmo :

Depan

Inspeksi Statis Normochest, simetris, sela iga tidak melebar

Dinamis Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga

tidak melebar, retraksi intercostal (-)

Palpasi Statis Simetris

Dinamis Pergerakan dada ka = ki, penanjakan dada ka =

ki, fremitus raba kanan = kiri

Perkusi Kiri Sonor

Kanan Sonor

Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara

tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (-)

basal paru, ronchi basah halus (-), krepitasi (-)

Kiri Suara dasar vesikuler intensitas meningkat,

suara tambahan wheezing (-), ronchi basah

kasar (-), ronchi basah halus (-), krepitasi (-)

Belakang

Inspeksi Statis Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,

iga mendatar

Dinamis Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela

iga tidak melebar, retraksi interkostal (-)

Palpasi Statis Dada kanan dan kiri simetris, sela iga tidak

19 | P a g e

Page 20: Tetanus

melebar, retraksi (-),

Dinamis Pergerakan kanan = kiri, simetris, fremitus

raba kanan = kiri, penanjakan dada kanan =

kiri

Perkusi Sonor /Sonor

Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler meningkat, wheezing(-),

ronchi basah kasar (-), ronchi basah halus (-),

krepitasi (-)

Kiri Suara dasar vesikuler intensitas normal,

wheezing(-), ronchi basah kasar (-), ronchi

basah halus (-), krepitasi (-)

I. Punggung kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri

ketok kostovertebra (-),

J. Abdomen

Inspeksi Dinding perut sejajar dinding thorak, bekas

luka operasi (+), venektasi (-), sikatrik (-),

stria (-), caput medusae (-)

Auscultasi Peristaltik (+) normal, bruit hepar (-), bising

epigastrium (-)

Perkusi Perut keras seperti papan (+), timpani, pekak

sisi (-), pekak alih (-), undulasi (-), area trobe

tymphani, NKCV (-/-)

Palpasi Perut keras seperti papan (+), nyeri tekan

(-), hepar/ lien sulit dievaluasi.

K. Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-),

nyeri (-).

L. Ekstremitas

Superior dekstra Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-),

akral dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik

20 | P a g e

Page 21: Tetanus

(-) petechie (-), Spoon nail (-) kuku pucat (-),

clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar

eritema (-)

Superior sinistra Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-),

akral dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik

(-), petechie (-), Spoon nail (-) kuku pucat (-),

clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar

eritema (-)

Inferior dekstra Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-),

akral dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik

(-), petechie (-), Spoon nail (-), kuku pucat (-),

clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), nyeri

tekan (-)

Inferior Sinistra Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-),

akral dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik

(-), petechie (-), Spoon nail (-), kuku pucat (-),

clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), nyeri

tekan (-)

21 | P a g e

Page 22: Tetanus

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

I. Pemeriksaan Laboratorium

a. Laboratorium Darah

Pemeriksaa

n 12/09/10 13/09/10Satuan Nilai Rujukan

Hb 13.9 13,8 Gr/dlLk : 13,5-18.,00

Pr : 12,0-16,0

Hct 44.4 40 %Lk : 40-54

Pr: 38-47

Jumlah

Eritrosit

MCV

MCH

MCHC

3.77

3.88

91.7

30.9

33.6

106/uL

Fl

Pg

%

Lk : 4,6-6,2

80-96

27-31

33-37

Retikulosit % 0,5-1,5

Iron Ug/dl 35-150

TIBC Ug/dl 250-450

Jumlah

Lekosit

Jenis lekosit

Eosinofil

Basofil

Netrofil

Limfos

Monosit

12.3 14.9

0.1

0.1

93.7

3.00

3.10

103/uL

%E

%B

%N

%L

%M

4,5-12.4

1,00-4,00

0,00-1,00

38,0-71,0

22,0-40,0

4,00-5,00

Jumlah

Trombosit313 273 103/uL 150-440

PT detik 10-15

22 | P a g e

Page 23: Tetanus

INR

APTT detik 20-40

Gol darah O

GDS 112 Mg/dL 80-110

GDP Mg/dL 76-120

GD2PP Mg/dL 80-140

Ureum 46 45 Mg/dL 10-50

Kreatinin 1.0 1.1 Mg/dL 0,7-1,1

Elektrolit

Na

K

Cl

Ca

148

5.1

109

143

4.6

102

mmol/L

mmol/L

mmol/L

mmol/L

136-146

3,5-5,1

98-106

1,0-1,2

Prot total 6.1 g/dL 6,6-8,7

Albumin 3.5 g/dL 3,5-5

Globulin 2.6 g/dL 0,6-5,2

Bil. Total 0.46 mg/dL 0-1,1

Bil direk 0,21 Mg /dL 0-0,25

Bil. Indirek 0,25 Mg /dL 0-0,75

SGOT 64 u/L 0-38

SGPT 28 u/L 0-41

Alkaliphospa

tase57 u/L 0-270

Gamma GT 21 u/L 10-66

Kol total 145 Mg /dL 50-200

HDL-D 45 Mg /dL 41-67

LDL-D 89 mg /dL 0-130

Trigliserid 43 mg /dL 50-150

Asam urat 5 mg /dL 3,4-7

HbsAg (-) Negative

Anti HCV Negative

23 | P a g e

Page 24: Tetanus

II. Scoring Tetanus

Massa inkubasi > 12 hari : 1

Kejang > 3 hari : 3

Kejang spontan : 2

Trismus : 1

Rhisus sardonicus : 1

Perut papan : 1

Score tetanus = 9 ( Tetanus grade II )

E. DIAGNOSIS

Tetanus grade II

F. TUJUAN TERAPI

a. Memperbaiki keadaan umum

b. Menangani kegawatan

G. TERAPI

Tata laksana penderita rawat inap:

- bed rest tidak total bangsal isolasi

- Diet sonde 1700 kkal/hari

- Inf NaCl 0.9% 30 tpm

- Inf D5% + diazepam 2amp 20 tpm

- Inf metronidazol 500 mg / 8 jam

- Inj ATS 20.000 U, i.m.

- Inj penicillin procain 1.5 juta unit i.m.

- Injeksi diazepam 0.5 – 1 mg/kgBB/4jam IM

24 | P a g e

Page 25: Tetanus

Penulisan resep :

R/ NaCl 0.9% Inf No. III

Cum infus set No. I

Cum IV catheter no. 22

S imm

R/ Inf metronidazol 500 mg fl No. III

S imm

R/ Inj ATS 20.000 UI No. I

Cum spuit injeksi cc 10 No. I

S imm

R/ Inj penicillin procain 1.5 juta unit No. I

Cum spuit injeksi cc 10 No. I

S imm

R/ diazepam inj amp No. IV

Cum spuit injeksi cc 3 No. IV

S imm

Pro: Tn B (51 th)

25 | P a g e

Page 26: Tetanus

DAFTAR PUSTAKA

1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis.

Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman

Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung,

2005 ; 209-213.

2. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical

Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871

3. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD,

Nelson Textbook of Infection Disease Vol 1” 17th edition W.B. Saunders

Company. 2004

4. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305

5. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan

Dokter Anak Indonesia.

6. WHO News and activities. The Global Eliination of tetanus : progress to date,

Bull WHO 1994; 72 : 155-157

7. www.emidicine.com/ped/topic3038.htm

26 | P a g e