Upload
trantram
View
324
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
ANALISIS KINERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN MAMBERAMO TENGAH PADA
PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK
PERFORMANCE ANALYSIS OF CENTRAL MAMBERAMO DISTRICT HEALTH OFFICE
ON MATERNAL AND CHILD HEALTH PROGRAM
SEMUEL TANDI SALLA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
ii
ANALISIS KINERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN MAMBERAMO TENGAH PADA
PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Kesehatan Masyarakat
Disusun dan diajukan oleh
SEMUEL TANDI SALLA
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
TESIS
ANALISIS KINERJA DINAS KESEHATANKABUPATEN MAMBERAMO TENGAH
PADA PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK
Disusun dan diajukan oleh
sNomor Po 13504
ESIS
Ketua Anggota
Ketua Program StudiKesehatan Masyarakat,
FA Kesehatan Masyarakatddin,
a,ltlDr. Ridwan M. Thaha. M.Sc
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Semuel Tandi Salla
Nomor Pokok : P1800213504
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain kecuali yang
merupakan kutipan. Apabila dikemudian hari terbukti dan atau dibuktikan
bahwa sebagian dan atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain,
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 22 November 2017
Yang menyatakan,
Semuel Tandi Salla
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas segala rahmat dan pertolongan-Nya sehingga tesis ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan tidak terlepas dari
kekurangan dan keterbatasan. Namun karena adanya bimbingan, bantuan
dan dorongan dari berbagai pihak sehingga penyusunan tesis ini dapat
terselesaikan. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Prof.Dr.drg. Andi Zulkifli, M.Kes, sebagai Ketua Komisi Penasehat dan
Prof. Sukri Paluturri, SKM., M.Kes., M.ScPH, Ph.D., sebagai Anggota
Komisi Penasehat, Prof.Dr.dr. H.M.Tahir Abdullah, MPH.,MSPH, Dr.dr. Indahwaty Sidin, MHSM, dan Dr. Fridawaty Rivai, SKM.,M.Kes., selaku
penguji atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis
sejak proses awal hingga akhir penyusunan tesis ini. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA., selaku Rektor Unhas yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan program pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
2. Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat beserta seluruh dosen dan pegawai yang telah
memberikan bantuan fasilitas selama penulis mengikuti pendidikan.
3. Dr. Ridwan M. Thaha, M.Sc., selaku Ketua Program Studi
Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat beserta seluruh staf
pengelola yang telah banyak membantu penulis selama mengikuti
pendidikan di Pascasarjana Universitas Hasanuddin
4. Pihak Pimpinan Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah
beserta seluruh informan yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis dalam melaksanakan penelitian tesis.
vi
5. Orangtua, Istri dan anak-anak tercinta yang selalu mendoakan dan
mendukung penulis dalam menyelesaikan pendidikan.
6. Rekan-rekan seangkatan khususnya dari kelas Papua dengan segala
kekompakan dan kebersamaannya selama mengikuti pendidikan dan
kepada semua pihak yang namanya tidak tercantum tetapi telah
banyak membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan
dan tesis ini.
Makassar, 22 November 2017
Semuel Tandi Salla
vii
viii
ix
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL i
LEMBAR PENGAJUAN ii
LEMBAR PERSETUJUAN iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN iv
PRAKATA v
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 9
C. Tujuan Penelitian 9
D. Manfaat Penelitian 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12
A. Kinerja 12
B. Kemampuan dan Keterampilan 23
C. Ketersediaan Dana 30
D. Supervisi Program 33
x
E. Perencanaan Program 40
F. Program Kesehatan Ibu dan Anak 48
G. Penelitian Terdahulu 60
H. Kerangka Teori 64
I. Kerangka Konsep 67
J. Defenisi Operasional 68
BAB III METODE PENELITIAN 70
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 70
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 71
C. Pengelolaan Peran Sebagai Peneliti 71
D. Informan 72
E. Teknik Pengumpulan Data 74
F. Teknik Analisa Data 76
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 79
A. Hasil Penelitian 79
B. Pembahasan 98
BAB V PENUTUP 127
A. Kesimpulan 127
B. Keterbatasan Penelitian 128
C. Saran 128
DAFTAR PUSTAKA 131
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel halaman
Tabel 1. Cakupan program KIA tahun 2013 dan 2014 5
Tabel 2. Distribusi SPM menurut SK Kemenkes Nomor 741/2008 59
Tabel 3. Sintesa Penelitian Terdahulu 60
Tabel 4. Distribusi Karakteristik Informan Penelitian 73
Tabel 5. Distribusi Hasil Evaluasi Cakupan Program Dinas Kesehatan
tahun 2016 89
Tabel 6. Distribusi Alokasi Dana Sumber Pembiayaan Kegiatan
Kesehatan di Kabupaten Mamberamo Tengah (tahun 2014-
2016) 92
Tabel 7. Alokasi Dana per Program (tahun 2014-2016) 93
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar halaman Gambar 1. Kerangka Teori 66
Gambar 2. Kerangka Konsep 67
Gambar 3. Peta Kabupaten Mamberamo Tengah 80
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran halaman
Lampiran 1. Pedoman Wawancara 135
Lampiran 2. Daftar Inisial Responden Menurut Jabatan 139
Lampiran 3. Matriks Analisis Data Hasil Penelitian 140
Lampiran 4. Permohonan Izin Penelitian 147
Lampiran 5. Rekomendasi Izin Penelitian dari Badan
Kesbangpol Kabupaten Mamberamo Tengah 148
Lampiran 6. Surat Keterangan Selesai Penelitian 149
Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian 150
xiv
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/singkatan Arti dan keterangan
AKB Angka Kematian Bayi AKI Angka Kematian Ibu ANC Ante Natal Care APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APN Asuhan Persalinan Normal ASEAN Association of South East Asian Nation BALITBANGKES Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan BBLR Berat Badan Lahir Rendah BIKOR Bidan Koordinator BOK Bantuan Operasional Kesehatan BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial DAK Dana Allokasi Khusus DAU Dana Allokasi Umum Dkk dan kawan-kawan et al. et alli, dan kawan-kawan IBI Ikatan Bidan Indonesia KB Keluarga Berencana KESMAS Kesehatan Masyarakat KIA Kesehatan Ibu dan Anak KUA Kebijakan Umum Anggaran MDGs Milenium Development Goals MPS Making Pregnancy Safer MTBM Manajemen Terpadu Balita Muda MTBS Manajemen Terpadu Balita Sakit MTKP Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi NKKBS Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera OTSUS Otonomi Khusus PAD Pendapatan Asli Daerah PHBS Perilaku Hidup Bersih dan Sehat POA Plan of Action PP Peraturan Pemerintah P2P Pencegahan dan Pengendalian Penyakit P4K Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan komplikasi
xv
Lambang/singkatan Arti dan keterangan
RSUD Rumah Sakit Umum Daerah RENSJA Rencana Kerja RENSTRA Rencana Strategis RKPD Rencana Kerja Pembangunan Daerah RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional SDKI Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia SDM Sumber Daya Manusia SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah SOP Standar Operasional Prosedur SPM Standar Pelayanan Minimal STR Surat Tanda Registrasi UCI Universal Child Immunization UPTD Unit Pelaksana Teknis Dinas UU Undang-undang YANKES Pelayanan Kesehatan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indikator kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di suatu negara
dapat dilihat dari Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB) di negara tersebut. Indonesia menjadi salah satu negara di
Association of South East Asian Nation (ASEAN) yang memiliki AKI yang
tinggi. Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2007 AKI di Indonesia mencapai 228/100.000 kelahiran hidup.
Tidak hanya AKI saja yang tinggi, AKB di Indonesia juga masih sangat
tinggi yaitu sebanyak 35 bayi per seribu kelahiran hidup. Dengan jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai 225.642.000 jiwa, ada 9.774 ibu
meninggal per tahun atau 1 orang ibu meninggal per jam dan 17 orang
bayi meninggal per jam yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan
nifas (Balitbangkes 2013).
Secara umum ada tiga penyebab utama kematian ibu di Indonesia
yaitu 40-60% diakibatkan oleh perdarahan, 30% diakibatkan oleh infeksi
dan 20% diakibatkan oleh eklampsia. Kematiam ibu umumnya terjadi
pada kelompok ibu dengan resiko tinggi yang dapat mengancam jiwa ibu
dan janin. Sedangkan penyebab kematan bayi baru lahir adalah infeksi tali
pusat, imaturitas, BBLR dan asfiksia. Pemerintah telah menggalakkan
Program Safe Motherhood sejak tahun 1988 dengan keterlibatan berbagai
2
pihak baik pemerintah maupun organisasi non pemerintah, masyarakat
dan dukungan dari berbagai lembaga internasional. Upaya ini berhasil
menurunkan AKI dari 450 per 1.000 kelahiran hidup di tahun 1985 menjadi
334 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997. (Menkes, 2001)
Walaupun sudah menunjukkan penurunan yang signifikan, namun
jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, AKI di Indonesia masih
cukup tinggi. Oleh karena itu untuk mencapai target MDGs 2015 yaitu AKI
sebesar 102 per 100 ribu kelahiran hidup diperlukan upaya yang lebih
keras dan strategis. (Menkes, 2012)
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.836/Menkes/SK/VI/2005
tentang Pedoman Pengembangan Manajemen Kinerja Bidan dan
Perawat. Pengembangan ini diharapkan dapat diterapkan diseluruh
sarana pelayanan kesehatan. Khususnya Puskesmas dan rumah sakit di
Indonesia, sehingga dapat mempercepat peningkatan pelayanan
kesehatan yang berkualitas dapat terwujud. (Menkes, 2005)
Upaya Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kesehatan
dalam rangka menekan AKI dan AKB serta peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan ibu dan anak terlihat dalam program, salah satunya
melalui program Gerakan Sayang Ibu (Safe Motherhood), Program
Perencanaan Persalinan dan Pencegahan komplikasi (P4K). Pada
awalnya, program ini memfokuskan kegiatannya pada peningkatan
kapasitas bidan. Namun sasaran program kemudian bergeser pada
peningkatan dan perbaikan kinerja bidan, memperkuat kualitas pelayanan
3
kesehatan utamanya bagi kesehatan ibu dan anak. Kualitas pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh tenaga bidan di unit pelayanan kesehatan
dasar tidak terlepas dari faktor gaji, keamanan kerja, kondisi kerja, kualitas
pengawasan teknis, kualitas hubungan interpesonal yang dapat
mempengaruhi kinerja dari luar diri bidan dan faktor pengakuan,
tanggungjawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, kemungkinan untuk
pengembangan karier yang dapat mempengaruhi kinerja dari dalam diri
bidan. Kedua faktor ini cukup memberi andil dalam dalam menentukan
tinggi rendahnya kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak. (Menkes,
2001)
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
telah menetapkan bidang Kesehatan merupakan salah satu urusan wajib
yang harus dilaksanakan kabupaten/kota, penyelenggaraan urusan wajib
oleh daerah sebagai perwujudan otonomi atau kewenangan daerah dalam
pelaksanaan tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh kabupaten/kota.
Penyelenggaraan urusan pemerintah yang bersifat wajib, berpedoman
pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan
ditetapkan pemerintah. (Undang-undang, 2004).
Guna memberikan panduan dalam melaksanakan urusan wajib
pada bidang kesehatan telah ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan RI
nomor: 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan di kabupaten/kota. Standar Pelayanan Minimal (SPM)
adalah tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan yang diselenggarakan
4
yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap
warga. Adapun pelayanan dasar adalah fungsi pemerintah dalam
memberikan dan mengurus keperluan kebutuhan dasar masyarakat untuk
meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat. (Menkes, 2008)
Target tahunan SPM merupakan rencana kinerja kegiatan yang
dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, yang membutuhkan input dan
proses. Proses program kesehatan berupa kegiatan pelayanan individu,
kegiatan pelayanan masyarakat, kegiatan manajemen dan kegiatan
pengembangan kapasitas. (Gani, 2004)
Untuk pencapaian target SPM, maka sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan RI nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan
dasar puskesmas yaitu puskesmas mempunyai upaya kesehatan wajib
yang dikenal dengan basic six yang meliputi promosi kesehatan, KIA dan
KB, Imunisasi, pemberantasan penyakit menular, gizi dan pengobatan. Di
samping dapat melaksanakan upaya pelayanan kesehatan
pengembangan. (Menkes, 2004)
Data pada Tabel 1 menggambarkan cakupan program KIA tahun
2013 dan 2014 tidak jauh berbeda. Berdasarkan indikator SPM
menunjukkan bahwa semua cakupan program KIA tersebut masih di
bawah standar pencapaian target SPM.
5
Tabel 1. Cakupan program KIA tahun 2013 dan 2014 Kabupaten Mamberamo Tengah:
No Indikator Cakupan Dinkes
2013 (%)
Cakupan Dinkes
2014 (%) Standar SPM (%)
1 Cakupan kunjungan ibu
hamil K4 (ANC lengkap)
45,29 45,73 95
2 Cakupan komplikasi
kebidanan yang ditangani
66,21 73,16 80
3 Cakupan pertolongan
persalinan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki
kompetensi kebidanan
52,55 53,65 90
4 Cakupan pelayanan nifas 72 70,92 90
5 Cakupan neonatus dengan
komplikasi yang ditangani
70,5 70,41 80
6 Cakupan kunjungan bayi 69,33 74,18 90
7 Cakupan pelayanan anak
balita
70 66,42 90
8 Cakupan peserta KB aktif 44,75 41,83 70
Sumber Data: Dinas Kesehatan Kab. Mamberamo Tengah
Prinsip-prinsip Standar Pelayanan Minimal adalah menjamin akses
dan kualitas pelayanan dasar kepada masyarakat, diperlakukan untuk
seluruh daerah Kabupaten atau kota, merupakan indikator kinerja bersifat
dinamis dan ditetapkan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan dasar
pada kewenangan kewajiban yang paling meningkatkan tingkat kinerja
adalah petugas. Petugas akan bekerja dengan baik kalau ia cukup
termotivasi untuk melakukannya. Bagi petugas, yang dibutuhkan bukanlah
termotivasi secara individu, melainkan termotivasi secara kelompok.
6
Sebenarnya hal-hal positif yang ingin diperoleh petugas dalam
bekerja tidaklah semata-mata bersifat finansial tetapi juga hal-hal yang
bersifat psikologis, maka sebagai upaya meningkatkan kinerja perlu
pemenuhan psikologis income yaitu dengan membuat desain/rancangan
kerja yang dapat memenuhi kebutuhan petugas antara lain: membuat
pekerjaan lebih berarti, lebih menarik dan lebih memberikan tantangan
(pekerjaan lebih banyak variasi yang isinya menuntut keahlian lebih tinggi,
memberikan otonomi dan tanggungjawab lebih besar dalam membuat
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pekerjaan sendiri), serta
memasukkan tujuan kerja, feed back, insentif kedalam pekerjaan.
(Mangkunegara & Prabu, 2014)
Kinerja menurut Gibson (1987) dalam Sedarmayanti (2013)
dipengaruhi tiga variabel yaitu : variabel individu, organisasi, dan variabel
psikologi. Variabel individu dikelompokkan pada sub variabel kemampuan
dan keterampilan, latar belakang dan demografis. Sub variabel
kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis
mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.
Variabel organisasi, berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja
individu. Variabel organisasi digolongkan dalam sub variabel sumber
daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.
Menurut Sedarmayanti (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja, antara lain: sikap dan mental (motivasi kerja, disiplin kerja, dan
7
etika kerja), pendidikan, ketrampilan, manajemen kepemimpinan,
penghasilan, gaji dan kesehatan, jaminan sosial, iklim kerja, sarana dan
prasarana, teknologi, dan kesempatan berprestasi.
Salah satu isu penting juga dalam penyelenggaraan sistem
kesehatan di daerah adalah pembiayaan kesehatan. Fungsi pembiayaan
kesehatan adalah salah satu penentu kinerja sistem kesehatan. Fungsi ini
tidak hanya terkait dengan proses mobilisasi dana tetapi juga dengan
menyalurkan atau mengalokasikannya dalam operasional sistem
kesehatan. Fungsi pembiayaan menjadi alat kontrol yang penting bagi
penentu kebijakan dalam menyelenggarakan sistem kesehatan di daerah.
(Harmana, 2006)
Undang-Undang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua nomor 21
tahun 2001 telah menetapkan semua jenis biaya pelayanan kesehatan
dasar di puskesmas bagi masyarakat Papua ditanggung oleh pemerintah
daerah. Hal ini menegaskan bahwa masyarakat asli Papua secara gratis
memperoleh pelayanan kesehatan dasar. (Geay, 2012)
Masalah dalam pembiayaan kesehatan di Indonesia adalah belum
optimalnya efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan. Hal ini terkait erat
dengan jumlah dana yang kurang, alokasi yang tidak sesuai prioritas, dan
pola belanja yang cenderung pada investasi barang dan kegiatan tidak
langsung. Dominannya belanja investasi dan kegiatan tidak langsung
berdampak pada kurangnya biaya operasional dan biaya untuk kegiatan
langsung. Di sisi lain, kinerja suatu program kesehatan sangat ditentukan
8
oleh kecukupan biaya operasional dan biaya untuk kegiatan langsung.
Kondisi ini diperburuk lagi dengan terlambatnya pencairan dana yang
secara umum mempengaruhi pencapaian target program.(Ahmad &
Padang, 2010)
Masalah yang dihadapi di banyak daerah dalam mencapai target
Millennium Development Goals (MDGs) adalah alokasi pembiayaan yang
tidak efektif dan berbasis pada data atau informasi yang tidak akurat.
Strategi yang ditempuh dalam mengatasi hal ini adalah pengembangan
kebijakan kesehatan berbasis bukti. Implikasinya, pemerintah perlu
memperbaiki kualitas pembuatan kebijakan dalam situasi keterbatasan
sumber daya. (Gani, 2001)
Dalam aspek pelayanan kesehatan salah satu penyebab tingginya
angka kematian ibu adalah karena pelayanan antenatal care dan
pertolongan persalinan oleh tenaga profesional yang belum mampu
terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Keadaan ini menyebabkan masih
banyak ibu tidak memeriksakan kehamilan dan banyak ibu hamil tidak
mendapatkan pelayanan antenatal care yang sesuai standar. Penempatan
bidan di desa diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap
penurunan angka kematian ibu dan bayi serta berperan untuk
meningkatkan persepsi peran masyarakat berperilaku hidup sehat dan
bersih. Kegiatan bidan di desa pada umumnya meliputi kegiatan yang
berkaitan dengan pelayanan KIA termasuk Keluarga Berencana,
Pengelolaan program KIA dan pembinaan peran serta masyarakat dalam
bidang kesehatan ibu dan anak. (Menkes, 2014)
9
Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka diajukan
penelitian dengan judul “Analisis Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Mamberamo Tengah pada Program Kesehatan Ibu Dan Anak “
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang penelitian tersebut maka
peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kemampuan dan keterampilan petugas program KIA di
Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah ?
2. Bagaimana ketersediaan dana sebagai sumber daya dalam
menjalankan program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo
Tengah ?
3. Bagaimana supervisi program dari pimpinan dalam kaitannya dengan
program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah ?
4. Bagaimana perencanaan program dalam menjalankan program KIA di
Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah ?
C. Tujuan Penelitian
1) Tujuan Umum
Untuk menganalisis Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Mamberamo Tengah pada Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
10
2) Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisis kemampuan dan keterampilan petugas KIA
dalam menjalankan program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten
Mamberamo Tengah
b. Untuk menganalisis ketersediaan dana dalam menjalankan program
KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah
c. Untuk menganalisis supervisi program dalam kaitannya dengan
program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah
d. Untuk menganalisis perencanaan program dalam menjalankan
program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Ilmiah
Penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan wawasan ilmu
kesehatan khususnya terkait dengan kinerja Dinas Kesehatan pada
program KIA. Di samping itu, akan melihat kesesuaian teori mengenai
pengaruh kemampuan dan keterampilan, ketersediaan dana, supervisi
program, perencanaan program dalam pelaksanaan program KIA di
Kabupaten Mamberamo Tengah.
b. Manfaat Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan dapat dijadikan bahan masukan dan pengambilan keputusan dalam
11
pengembangan pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten
Mamberamo Tengah.
c. Manfaat Praktis
semua tahapan penelitian dan hasil penelitian yang diperoleh dapat
memperluas wawasan sekaligus memperoleh pengetahuan empirik dalam
rangka pengembangan bidang ilmu kesehatan masyarakat pada
umumnya dan pada khususnya untuk lebih mendalami berbagai aspek
dalam meningkatkan pencapain suatu program pelayanan kesehatan.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kinerja
1). Pengertian
Kinerja sebagai hasil–hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang
atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu.
Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dicapai seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan kemampuan yang diberikan kepadanya. (Munir, 2013)
Istilah kinerja mengandung berbagai macam pengertian. Kinerja
dapat ditafsirkan sebagai arti penting suatu pekerjaan; tingkat
keterampilan yang diperlukan; kemajuan dan tingkat penyelesaian dari
suatu pekerjaan. (Panggabean, 2012)
Menurut Prawirosentono dalam (Simamora, 2013), kinerja atau
performance adalah usaha yang dilakukan dari hasil kerja yang dapat
dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi
sesuai dengan wewenang dan kemampuan masing-masing dalam rangka
mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar
hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Defenisi kinerja menurut (Mahsun, 2006) mendefinisikan kinerja
atau performance yaitu merupakan gambaran mengenai tingkat atau
13
pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang dituangkan
melalui perencanaan strategis suatu organisasi.
Menurut (Ilyas, 2001) dalam (Suswati (2012) mendefinisikan kinerja
adalah penampilan hasil karya personel baik kuantitas maupun kualitas
dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu
maupun kelompok kerja personel. Penampilan hasil karya tidak terbatas
kepada personel yang memangku jabatan fungsional maupun struktural,
tetapi juga kepada keseluruhan jabatan personel di dalam organisasi.
Rivai (2004) menyebutkan Kinerja adalah kesediaan seseorang
atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan
menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil
seperti yang diharapkan. Sedangkan menurut Bangun (2012) kinerja
adalah hasil pekerjaan yang dicapai karyawan berdasarkan persyaratan-
persyaratan pekerjaan.
Mangkunegara menjelaskan kinerja sebagai hasil kerja karyawan
baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang
telah ditentukan. Kinerja individu ini akan tercapai apabila didukung oleh
atribut individu, upaya kerja dan dukungan organisasi. (Mangkunegara,
2006)
Rivai (2004) menyatakan bahwa kinerja tidak berdiri sendiri tapi
berhubungan dengan kepuasan kerja dan kompensasi, dipengaruhi oleh
14
ketrampilan, kemampuan dan sifat-sifat individu. Dengan kata lain kinerja
ditentukan oleh kemampuan, keinginan dan lingkungan. Oleh karena itu
agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus mempunyai
keinginan yang tinggi untuk mengerjakan dan mengetahui pekerjaannya
serta dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan
kemampuan.
Hasibuan dalam Sujak (1990) dan Sutiadi (2003) mengemukakan
bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan
atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Dengan kata
lain bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang dalam
melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sesuai dengan kriteria
yang ditetapkan. Selanjutnya As‟ad dalam Agustina (2002) dan Sutiadi
(2003) mengemukakan bahwa kinerja seseorang merupakan ukuran
sejauhmana keberhasilan seseorang dalam melakukan tugas
pekerjaannya. (Brahmasari & Suprayetno, 2008)
Tugas pelayanan bidan dalam pelayanan kebidanan telah diatur
melalui SK Menkes RI No.900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan
Praktik Bidan serta uraian tentang kinerja bidan yaitu hasil kerja yang
dicapai oleh bidan dalam melaksanakan tugasnya yang berhubungan
dengan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak terdiri dari cakupan
pelayanan antenatal (sebelum kelahiran), cakupan pelayanan persalinan,
cakupan pelayanan nifas dan neonatal termasuk kegiatan pencatatan dan
15
kegiatan pelaporan sesuai dengan pelayanan yang diberikan. (Menkes,
2002).
2). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Gibson (1987) dalam (Dharma, 1997), menyatakan
terdapat tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja dan perilaku
yaitu: (1) variabel individu, yang meliputi kemampuan dan ketrampilan,
fisik maupun mental, latar belakang, pengalaman dan demografi, umur
dan jenis kelamin, etnik dan sebagainya. Kemampuan dan ketrampilan
merupakan faktor utama yang mempengaruhi kinerja individu, sedangkan
demografi mempunyai hubungan tidak langsung pada perilaku dan
kinerja, (2) variabel organisasi, yakni sumber daya, kepemimpinan,
imbalan, struktur dan desain pekerjaan, (3) variabel psikologis, yakni
persepsi, sikap, kepribadian, belajar, kepuasan kerja dan motivasi.
Persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek dan
sulit diukur serta kesempatan tentang pengertiannya sukar dicapai, karena
seseorang individu masuk dan bergabung ke dalam suatu organisasi kerja
pada usia, etnis, latar belakang, budaya dan ketrampilan yang berbeda
satu sama lainnya.
Ketiga kelompok variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja
yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja personel. Perilaku yang
berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas
16
pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan
atau tugas.
Variabel individu dikelompokkan pada sub variabel kemampuan
dan keterampilan, latar belakang dan demografis. Sub variabel
kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis
mempunyai efek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu.
(Rahmawati, 2012)
Variabel organisasi dikelompokkan pada sub variabel sumber daya
(tenaga, dana), kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.
Dubrin (2005) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah upaya
mempengaruhi banyak orang melalui komunikasi untuk mencapai tujuan,
cara mempengaruhi orang dengan petunjuk atau perintah, kekuatan
dinamis penting yang memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi
dalam rangka mencapai tujuan. Siagian (2002) mengemukakan bahwa
peranan pemimpin atau kepemimpinan dalam organisasi ada tiga bentuk
yaitu peranan yang bersifat interpersonal, informasional, dan peranan
pengambilan keputusan. Peranan interpersonal artinya seorang pemimpin
adalah simbol akan keberadaan organisasi, bertanggungjawab
memberikan arahan kepada bawahan dan sebagai penghubung. Bersifat
informasional artinya sebagai pemberi, penerima dan penganalisa
informasi. Sedangkan peranan pengambilan keputusan artinya sebagai
penentu kebijakan yang akan diambil berupa strategi-strategi yang
17
mampu mengembangkan motivasi, mengambil peluang, bernegosiasi dan
menjalankan usaha organisasi dengan konsisten. Sedangkan menurut
Tika (2006) mengemukakan bahwa ada sembilan peranan kepemimpinan
dalam organisasi antara lain sebagai perencana, pembuat kebijakan, ahli,
pelaksana, pengendali/pengawas, pemberi hadiah atau hukuman, teladan,
tempat menimpakan kesalahan, dan pengganti peran orang lain.
(Brahmasari & Suprayetno, 2008)
Variabel psikologis terdiri dari sub variabel persepsi, sikap,
kepribadian dan belajar. Menurut Gibson (1987) kinerja merupakan hal
yang komplek dan sulit diukur serta sukar mencapai kesepakatan
pengertian variabel tersebut, karena individu masuk dan bergabung dalam
organisasi, kerja pada usia, etnis, latar belakang budaya dan keterampilan
yang berbeda satu dengan yang lain.
Kinerja pegawai merupakan hasil sinergi dari sejumlah faktor.
Faktor-faktor tersebut adalah faktor lingkungan internal organisasi, faktor
lingkungan eksternal, dan faktor internal karyawan atau pegawai
(Wirawan, 2009) yaitu:
- Faktor internal pegawai, yaitu faktor-faktor dari dalam diri pegawai yang
merupakan faktor bawaan dari lahir dan faktor yang diperoleh ketika ia
berkembang. Faktor-faktor bawaan, misalnya bakat, sifat pribadi, serta
keadaan fisik dan kejiwaan. Sementara itu, faktor-faktor yang diperoleh,
misalnya pengetahuan, keterampilan, etos kerja, pengalaman kerja,
dan motivasi kerja.
18
- Faktor-faktor lingkungan internal organisasi. Dalam melaksanakan
tugasnya, pegawai memerlukan dukungan organisasi tempat ia bekerja.
Dukungan tersebut sangat memengaruhi tinggi rendahnya pegawai.
Sebaliknya, jika sistem kompensasi dan iklim kerja organisasi buruk,
kinerja karyawan akan menurun. Faktor internal organisasi lainnya
misalnya strategi organisasi, dukungan sumber daya yang diperlukan
untuk melaksanakan pekerjaan, serta sistem manajemen dan
kompensasi. Oleh karena itu, manajemen organisasi harus
menciptakan lingkungan internal organisasi yang kondusif sehingga
dapat mendukung dan meningkatkan produktivitas karyawan.
- Faktor lingkungan eksternal organisasi. Faktor-faktor lingkungan
eksternal organisasi adalah keadaan, kejadian, atau situasi yang terjadi
di lingkungan eksternal organisasi yang memengaruhi kinerja
karyawan.
Untuk mengetahui baik atau buruk kinerja seorang pegawai maka
perlu dilakukan penilaian kinerja, yang pada dasarnya penilaian kinerja
merupakan faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara
efektif dan efisien.
Peningkatan kinerja karyawan di instansi pemerintah dapat
ditempuh dengan beberapa cara, misalnya melalui pemberian imbalan
yang layak, pemberian motivasi, penegakan disiplin, serta peningkatan
pengetahuan melalui pendidikan dan pelatihan. Oleh karena itu, karyawan
diharapkan dapat memaksimalkan kemampuan mereka setelah dibekali
dengan pengetahuan yang berkaitan dengan implementasi pekerjaan
19
mereka, penegakan disiplin serta adanya motivasi secara berkelanjutan
yang diimbangi imbalan yang memadai perlu dilakukan dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Disadari sepenuhnya bahwa cukup banyak variabel yang terkait
dengan kinerja perawat atau aparat pemerintah. Namun dengan
memperhatikan lokasi, kondisi dan pengamatan awal, maka kinerja yang
dibahas dalam penelitian ini, dihubungkan dengan faktor disiplin, motivasi,
imbalan dan pengetahuan perawat.
3). Penilaian Kinerja
Tujuan pokok penilaian kinerja adalah menghasilkan informasi yang
akurat dan valid berkenaan dengan perilaku dan kinerja anggota
organisasi. Tujuan khusus tersebut secara mendasar dapat digolongkan
kepada dua golongan besar yaitu evaluasi dan pengembangan.
Sedangkan Dale Furtwengler (2002), mengatakan bahwa kinerja dapat di
ukur melalui empat aspek kinerja yaitu kecepatan, kualitas, layanan dan
nilai. (Simamora, 2013)
Tujuan penilaian kinerja antara lain :
- Penilaian kemampuan personil, merupakan tujuan mendasar dalam
rangka penilaian personel secara individual, yang dapat digunakan
sebagai informasi untuk menilai efektivitas manajemen SDM,
20
- Pengembangan personil, sebagai informasi untuk pengambilan
keputusan untuk pengembangan personil seperti promosi, mutasi,
imbalan,
- Memperbaiki kualitas pelaksanaan pekerjaan, 4). Sebagai bahan
perencanaan sumber daya manusia organisasi di masa depan, 5).
Memperoleh umpan balik prestasi kerja personil.
Menurut Mardiasmo (2009), tujuan penilaian dan pengukuran
kinerja antara lain :
a. Untuk mengkomunikasikan strategi secara lebih baik (top down dan
bottom up)
b. Untuk mengukur kinerja financial dan non financial secara berimbang
sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strategi.
c. Untuk mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level
menengah dan bawah serta memotivasi untuk mencapai goal
congruence.
d. Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan
individual dan kemampuan kolektif yang rasional.
Indikator untuk mengukur kinerja karyawan secara individu ada
enam indikator, yaitu (Robbins, 2006) :
1. Kualitas; kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas
pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap
keterampilan dan kemampuan karyawan.
21
2. Kuantitas; merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah
seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.
3. Ketepatan waktu; merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal
waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output
serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
4. Efektivitas; merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi
(tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud
menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya.
5. Kemandirian; merupakan tingkat seorang karyawan yang nantinya akan
dapat menjalankan fungsi kerjanya
6. Komitmen kerja; merupakan suatu tingkat dimana karyawan
mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan kemampuan karyawan
terhadap kantor.
Menurut Rivai dan Fawzi (2005), ada beberapa manfaat dari
penilaian kinerja antara lain :
- Posisi tawar, untuk memungkinkan manajemen untuk melakukan
negosiasi yang objektif dan rasional dengan serikat buruh atau
langsung dengan karyawan.
- Perbaikan kinerja, sebagai umpan balik pelaksanaan kerja yang
bermanfaat bagi karyawan, manajer, dan spesialis personil dalam
bentuk kegiatan untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja.
22
- Penyesuaian kompensasi, penilaian kinerja membantu pengambil
keputusan dalam penyesuaian ganti rugi untuk menentukan siapa yang
perlu dinaikkan upah, bonus, dan kompensasi lainnya.
- Keputusan penempatan, membantu dalam promosi, keputusan
penempatan, perpindahan, dan penurunan pangkat pada umunya
didasarkan pada masa lampau atau mengantisipasi kinerja.
Pentingnya penilaian unjuk kerja atau penilaian kinerja menurut
Hariandja (2007) adalah:
- Penilaian unjuk kerja memberikan kesempatan kepada karyawan untuk
mengambil tindakan-tindakan perbaikan untuk meningkatkan kinerja
melalui feedback yang diberikan oleh organisasi.
- Penyesuaian gaji, yaitu penilaian kinerja dapat dipakai sebagai
informasi dalam menentukan kompensasi secara layak sehingga dapat
memotivasi pegawai.
- Keputusan untuk penempatan yaitu dapat dilakukannya penempatan
sesuai dengan keahliannya.
- Pelatihan dan pengembangan yaitu melalui penilaian akan diketahui
kelemahan-kelemahan dari dari pegawai sehingga dapat ditentukan
program pelatihan dan pengembangan yang lebih efektif.
- Perencanaan karier, yaitu organisasi dapat memberikan bantuan
perencanaan karir bagi pegawai dan menyelaraskannya dengan
kepentingan organisasi.
23
- Mengindentifikasi kelemahan-kelemahan dalam proses penempatan,
yaitu unjuk kerja yang tidak baik menunjukkan adanya kelemahan
dalam penempatan sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan.
- Mengindentifikasi adanya kekurangan dalam desain pekerjaan, yaitu
kekurangan kinerja akan menunjukkan adanya kekurangan dalam
perancangan pekerjaan.
- Meningkatkan adanya perlakuan yang sama terhadap semua pegawai
yaitu dengan dilakukannya penilaian yang obyektif.
- Membantu pegawai mengatasi masalah eksternal, yaitu dengan
penilaian unjuk kerja, atasan akan mengetahui apa yang menyebabkan
terjadinya unjuk kerja yang jelek, sehingga atasan dapat membantu
mengatasinya.
- Umpan balik pada pelaksanaan fungsi manajemen sumber daya
manusia, yaitu dengan diketahuinya unjuk kerja pegawai secara
keseluruhan dapat menjadi informasi sejauh mana fungsi sumber daya
manusia berjalan baik atau buruk.
B. Kemampuan Dan Keterampilan
Menurut Notoatmojo (2014) mengemukakan kemampuan adalah
kapasitas yang dimiliki seseorang dalam menerima suatu beban
pekerjaan, baik yang bersifat fisik maupun mental. Kemampuan atau
kapasitas kerja seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
24
status gizi (kesehatan), pendidikan, pengalaman, jenis kelamin serta
ukuran bentuk tubuh.
Kemampuan seorang karyawan sangat bergantung pada
keterampilan yang dimiliki serta profesionalisme mereka dalam bekerja. Ini
memberikan daya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diemban
kepada mereka (Sutrisno, 2011).
Kemampuan perawat dalam melaksanakan tugasnya merupakan
perwujudan dari pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh Blanchard : “Kematangan pekerjaan (kemampuan)
dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan sesuatu. Hal ini berkaitan
dengan pengetahuan dan ketrampilan”.
Pendidikan dengan berbagai program mempunyai peranan penting
dalam proses memperoleh meningkatkan kualitas kemampuan profesional
individu. Melalui pendidikan, seseorang dipersiapkan untuk memilih bekal
agar siap tahu, mengenal dan mengembangkan metode berpikir secara
sistematik agar dapat memecahkan masalah yang akan dihadapi dalam
kehidupan di kemudian hari. Hal tersebut nantinya akan nampak pada
kinerjanya, yang pada akhirnya akan menjamin produktivitas kerja yang
masih meningkat.
Robbin (2008), Kemampuan (ability) berarti kapasitas seorang
individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan.
Kemampuan adalah sebuah penilaian terkini atas apa yang dapat
dilakukan seseorang. Kemampuan keseluruhan individu pada dasarnya
25
terdiri atas dua kelompok faktor yaitu intelektual dan fisik. Kemampuan
intelektual adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan
berbagai aktivitas mental-berfikir, menalar dan memecahkan masalah.
Kemampuan fisik yaitu kemampuan melakukan tugas-tugas yang
menuntut stamina, keterampilan, kekuatan dan karakteristik serupa.
Aplikasi kerja seseorang selain dari hasil pendidikan yang telah
diperoleh, juga berdasarkan pengalaman-pengalaman yang pernah
dialaminya. Pada dasarnya orang belajar dan mengetahui sikap dapat
diketahui tergantung pada situasi yang dihadapinya, dimana situasi
tersebut ditentukan oleh pengalaman artinya ditentukan oleh apa yang
pernah dialaminya, didengar serta dibacanya.
Pengalaman kerja pada hakekatnya merupakan rangkuman
pemahaman terhadap apa yang dialami seseorang dalam pekerjaannya,
sehingga apa yang dialami tersebut merupakan miliknya. Keterampilan
seseorang dapat dikembangkan melalui pengalaman langsung ketika
bekerja. Seseorang yang mempunyai pengalaman dalam menyelesaikan
tugas, akan memperoleh satu keunggulan, atau akan mengembangkan
cara yang lebih baik untuk melakukan sesuatu. Lebih lanjut menurut
Simamora (2014) mengatakan bahwa pada hakekatnya kemampuan
seseorang itu dipengaruhi oleh faktor pembawaan, yang dibawa sejak
lahir dan faktor lingkungan sekitar (pendidikan dan pengalaman
lingkungan).
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa seseorang akan merubah
sikapnya dalam bertindak itu tergantung dari pengalaman yang
26
diperolehnya pada masa lalu. Seseorang akan bekerja dengan cara atau
metode tertentu berdasarkan apa yang pernah dialaminya dan dirasai.
Perbedaan antara orang yang berpengalaman dengan orang yang tidak
berpengalaman, dapat dilihat dalam penerapan kerja dan pemanfaatan
sumber daya atau dalam pengelolaan sumberdaya yang ada dalam
lingkungan organisasi.
Pada dasarnya setiap orang akan berbeda di dalam dua
kemampuan (ability), yaitu dasar kemampuan yang dibawa sejak lahir,
dan kemampuan yang diperoleh dari pengalaman lingkungan.
Kemampuan manusia merupakan tenaga, keterampilan, bakat dan
pengetahuan secara potensial dapat digunakan untuk memproduksi
barang-barang dan jasa.
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan
sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi intensitas
perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan
seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera
penglihatan (mata). (Notoatmodjo, 2010)
Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal.
Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana
diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut
akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan,
27
bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak
berpengetahuan rendah pula. Pengetahuan seseorang tentang suatu
objek mengandung dua aspek, yaitu aspek positif dan negatif. Kedua
aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang semakin banyak aspek
positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin
positif terhadap objek tertentu (Dewi, 2011)
Menurut Notoatmodjo (2012) cara mendapatkan pengetahuan
yaitu:
a. Cara coba salah (Trial and Error)
Cara ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam
memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil,
dicoba kemungkinan yang lain, dan apabila kemungkinan tidak berhasil
pula dapat dicoba kemungkinan yang lain pula sampai masalah tersebut
dapat terpecahkan.
b. Cara kekuasaan (otoriter)
Sumber pengetahuan ini dapat berupa pemimpin masyarakat baik
formal maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintahan, ahli ilmu
pengetahuan dan sebagainya. Dengan kata lain, pengetahuan tersebut
diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan.
c. Berdasarkan pengalaman pribadi
Cara ini dengan mengulang kembali pengalaman yang diperoleh
dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu.
d. Melalui jalan pikiran
28
Yaitu dengan cara menggunakan penalaran dalam memperoleh
kebenaran pengetahuan. Penalaran dengan menggunakan jalan pikiran
ada 2 cara yaitu dengan cara induksi dan deduksi. Penalaran induktif yaitu
penalaran yang berdasar atas cara berpikir untuk menarik kesimpulan
umum dari sesuatu yang bersifat khusus atau individual. Penalaran
deduktif, yaitu penalaran yang berdasar atas cara berpikir yang menarik
kesimpulan yang khusus dari sesuatu yang bersifat umum.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi tingkat pengetahuan dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
pengetahuan, antara lain:
a. Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha untuk mempengaruhi orang lain melalui
kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang
berlangsung seumur hidup sehingga mereka dapat melakukan apa
yang diharapkan. Dari batasan ini, terdapat unsur-unsur pendidikan
yakni: input yang meliputi obyek pendidikan (individu, kelompok,
masyarakat) dan pendidik (subyek pendidikan); proses (upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain); dan output
(meningkatnya pengetahuan). Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka akan semakin tinggi pula tingkat kemampuan orang
tersebut menangkap informasi.
29
b. Pengalaman.
c. Pengetahuan dapat terbentuk dari pengalaman dan ingatan yang
didapat sebelumnya. Seorang anak akan memperoleh pengetahuan
bahwa apa itu panas adalah setelah memperoleh pengalaman tangan
atau kakinya terkena panas. Seorang perawat akan melakukan upaya
pencegahan terhadap suatu penyakit setelah salah satu rekannya
tertular penyakit tertentu.
d. Sumber informasi.
Sumber informasi selalu berkaitan dengan pengetahuan, baik dari
orang yang menerima maupun media yang digunakan dalam
menyampaikan. Sumber informasi dari seseorang akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang, yang dipengaruhi antara lain:
masyarakat, baik teman bergaul maupun tenaga kesehatan.
Kemajuan teknologi yang ada saat ini juga sangat memudahkan
masyarakat dalam mengakses informasi yang ada. Masyarakat dapat
dengan mudah mendapatkan informasi melalui media massa, seperti
televisi, koran, radio, maupun internet. Sumber informasi ini akan
mampu meningkatkan tingkat pengetahuan seseorang dalam upaya
peningkatan pengetahuan.
e. Lingkungan.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh
terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang
30
berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya
interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai
pengetahuan oleh setiap individu.
f. Usia.
Usia berpengaruh terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya
tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya
semakin membaik.
Sumber pengetahuan keperawatan menurut Suherman (2013),
pengetahuan dalam ilmu keperawatan bersumber pada berbagai sumber
yang melakukan pengembangan bidang keperawatan, seperti
pengetahuan ilmiah dari penelitian para ahli, pengalaman perawat, serta
pemahaman individu dari seorang profesi perawat. Pengalaman kerja
perawat dapat berasal dari intuisi atau trik yang dilakukan oleh perawat
dalam melaksanakan praktik sehari-hari. Pengetahuan yang berasal dari
pengalaman intuisi dan trik dapat dibangun melalui pengetahuan personal
(personal knowledge). Pengetahuan personal merupakan pengetahuan
yang berasal dari intuisi dan pengalaman pribadi terkait dengan berbagai
situasi dan kejadian-kejadian tertentu dalam praktik keperawatan.
C. Ketersediaan Dana
Salah satu isu penting dalam penyelenggaraan sistem kesehatan di
daerah adalah pembiayaan kesehatan. Fungsi pembiayaan kesehatan
31
adalah salah satu penentu kinerja sistem kesehatan. Fungsi ini tidak
hanya terkait dengan proses mobilisasi dana tetapi juga dengan
menyalurkan atau mengalokasikannya dalam operasional sistem
kesehatan. Fungsi pembiayaan menjadi alat kontrol yang penting bagi
penentu kebijakan dalam menyelenggarakan sistem kesehatan di daerah.
(Harmana, 2006)
Masalah dalam pembiayaan kesehatan di Indonesia adalah belum
optimalnya efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan. Hal ini terkait erat
dengan jumlah dana yang kurang, alokasi yang tidak sesuai prioritas, dan
pola belanja yang cenderung pada investasi barang dan kegiatan tidak
langsung. Dominannya belanja investasi dan kegiatan tidak langsung
berdampak pada kurangnya biaya operasional dan biaya untuk kegiatan
langsung. Di sisi lain, kinerja suatu program kesehatan sangat ditentukan
oleh kecukupan biaya operasional dan biaya untuk kegiatan langsung.
Kondisi ini diperburuk lagi dengan terlambatnya pencairan dana yang
secara umum mempengaruhi pencapaian target program. (Ahmad &
Padang, 2010)
Masalah yang dihadapi di banyak daerah dalam mencapai target
Millennium Development Goals (MDGs) adalah alokasi pembiayaan yang
tidak efektif dan berbasis pada data atau informasi yang tidak akurat.
Strategi yang ditempuh dalam mengatasi hal ini adalah pengembangan
kebijakan kesehatan berbasis bukti. Implikasinya, pemerintah perlu
32
memperbaiki kualitas pembuatan kebijakan dalam situasi keterbatasan
sumber daya.
Analisis pembiayaan kesehatan di Indonesia mengungkapkan
beberapa masalah yaitu : jumlahnya kecil, kurang biaya untuk program
promotif dan preventif, kurang biaya operasional, terlambat realisasi, tidak
dikaitkan dengan kinerja, terfragmentasi, dan inefisien. (Gani, 2001)
Puskesmas dapat memanfaatkan berbagai sumber anggaran
kesehatan terpadu yang berbasiskan kinerja berdasarkan SPM bidang
kesehatan secara tepat, sehingga dapat melaksanakan pelayanan dasar
kesehatan secara optimal.(Menkes, 2004)
Menurut Mardiasmo (2002), mengatakan bahwa salah satu aspek
penting dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah
masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah. Anggaran daerah
yang tercermin dalam APBD merupakan instrumen kebijakan utama bagi
pemerintah daerah, menduduki porsi sentral dalam upaya pengembangan
kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Anggaran daerah
seharusnya digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya
pendapatan dan belanja, alat bantu pengambilan putusan dan
perencanaan pembangunan serta alat otoritas pengeluaran di masa yang
akan datang dan ukuran standar untuk mengevaluasi kinerja serta alat
koordinasi bagi smeua aktivitas pada berbagai unit kerja. APBD pada
hakikatnya merupakan instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat
untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di
33
daerah. Oleh karena itu, DPRD dan pemerintah daerah harus selalu
berupaya secara nyata dan terstruktur untuk menghasilkan suatu APBD
yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat atas dasar potensi
masing-masing daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya
anggaran daerah yang berorientasikan kepentingan dan akuntabilitas
publik. Suatu anggaran yang telah direncanakan dengan baik, sehingga
baik tujuan maupun sasaran akan dapat tercapai secara berdayaguna dan
berhasil guna.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 jo pasal 3 dan 4 Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1999 jo Pasal 157 Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 menyatakan, bahwa sumber pendapatan/penerimaan daerah
terdiri atas:
1). Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
2) Dana Perimbangan, yang terdiri dari dana bagi hasil pajak, dana bagi
hasilb bukan pajak, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi
khusus (DAK).
3) Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah.
D. Supervisi Program
Menurut Kartono (1994) fungsi kepemimpinan adalah memandu,
menuntun, membimbing, membangun, memberi atau membangun
34
motivasi kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan komunikasi
yang baik, memberikan supervisi atau pengawasan yang efisien, dan
membawa pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju sesuai dengan
ketentuan waktu dan perencanaan. Fungsi pengendalian pemimpin
berasumsi bahwa kepemimpinan yang efektif harus mampu mengatur
aktifitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif,
sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal.
Dalam melaksanakan fungsi pengendalian, pemimpin dapat mewujudkan
melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.
Supervisi berasal dari bahasa latin, super : atas, dan videre :
melihat. Supervisi yaitu melakukan pengamatan secara langsung dan
berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan,
dan jika ditemukan masalah segera diberi petunjuk atau bantuan langsung
untuk mengatasi masalah tersebut.
Muninjaya (1999) menyatakan bahwa supervisi adalah salah satu
bagian proses atau kegiatan dari fungsi pengawasan dan pengendalian
(controlling). Swanburg (1990) melihat dimensi supervisi sebagai suatu
proses kemudahan sumber-sumber yang diperlukan untuk penyelesaian
suatu tugas ataupun sekumpulan kegiatan pengambilan keputusan yang
berkaitan erat dengan perencanaan dan pengorganisasian kegiatan dan
informasi dari kepemimpinan dan pengevaluasian setiap kinerja
karyawan.
35
Supervisi adalah kegiatan-kegiatan yang terencana seorang
manajer melalui aktifitas bimbingan, pengarahan, observasi, motivasi dan
evaluasi pada stafnya dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehari-
hari (Arwani, 2006)
Supervisi kinerja merupakan tinjauan kinerja sementara,
menentukan sasaran sementara dan mengambil tindakan untuk
memperbaiki kinerja buruk jika diperlukan. (Burtonshaw & Gunn, 2011).
Supervisi kinerja dengan kata lain disebut supervisi. Supervisi
menurut Azwar (1996) adalah melakukan pengamatan secara Iangsung
dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh
bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan
petunjuk atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya.
Menurut Azwar (1996), terdapat beberapa unsur pokok pengertian
supervisi yaitu :
- Pelaksana atau yang berkemampuan melaksanakan supervisi adalah
atasan yakni mereka yang memiliki kelebihan dalam organisasi.
- Sasaran atau obyek dari supervisi adalah pekerjaan yang dilakukan
oleh bawahan (sasaran langsung) serta bawahan yang melakukan
pekerjaan (supervisi tidak Iangsung).
- Supervisi harus dilakukan dengan frekuensi yang berkala, supervisi
yang dilakukan hanya sekali, bukan supervisi yang baik
- Tujuan supervisi ialah memberikan bantuan kepada “bawahan” secara
Iangsung sehingga dengan bantuan tersebut “bawahan” memiliki bekal
36
yang cukup untuk dapat melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan
hasil yang balk.
- Teknis kegiatan pokok supervisi pada dasarnya mencakup empat hal
yang bersifat pokok yaitu 1) menetapkan masalah dan prioritas, 2)
menetapkan penyebab masalah, prioritas dan jalan keluar, 3)
melaksanakan jalan keluar serta 4) menilai hasil yang dicapai untuk
tindak lanjut.
Manfaat supervisi apabila ditinjau dari sudut manajemen dapat
dibedakan atas dua macam (Azwar, 1996) :
a. Dapat lebih meningkatkan efektivitas kerja
Peningkatan efektivitas kerja erat hubungannya dengan makin
meningkatnya pengetahuan dan keterampilan “bawahan”, serta makin
terbinanya hubungan dan suasana kerja yang Iebih harmonis antar
“atasan” dengan “bawahan”
b. Dapat lebih meningkatkan efisiensi kerja
Peningkatan efisiensi kerja erat hubungannya dengan makin
berkurangnya kesalahan yang dilakukan oleh “bawahan”, dan karena
itu pemakaian sumber daya (tenaga, dana dan sarana) yang sia-sia
akan dapat dicegah.
Sesungguhnya pokok dari supervisi ialah bagaimana dapat
menjamin pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah direncanakan secara
benar dan tepat dalam arti lebih efektif dan efisien, sedemikian rupa
sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan memuaskan.
37
Perbaikan dengan kinerja harus dilakukan karena prestasi kerja
yang dicapai tidak seperti yang diharapkan. Dengan melakukan perbaikan
kinerja diharapkan tujuan organisasi di masa depan dapat dicapai dengan
lebih baik. Namun, perbaikan kinerja juga perlu dilakukan walaupun
individu atau organisasi telah mencapai sasaran untuk dapat menetapkan
target yang lebih tinggi di masa depan. Dengan cara pendekatan seperti
ini dapat membuka peluang bagi organisasi dan individu untuk
mengembangkan dirinya dan meningkatkan kinerjanya (Wibowo, 2012).
Kegiatan supervisi mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja
yang kondusif dan nyaman yang mencakup lingkungan fisik, beban kerja,
dan prosedur kerja yang dibutuhkan untuk memudahkan pelaksanaan
tugas. Untuk itu diperlukan beberapa prinsip pokok pelaksanaan supervisi.
Prinsip pokok supervisi secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut
(Suarli, 2009):
- Tujuan utama supervisi ialah untuk lebih meningkatakan kinerja
bawahan, bukan untuk mencari kesalahan. Peningkatan kinerja ini
dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap
pekerjaan bawahan, untuk kemudian apabila ditemukan masalah,
segera diberikan petunjuk atau bantuan untuk mengatasinya.
- Sejalan dengan tujuan utama yang ingin dicapai, sifat supervisi harus
edukatif dan suportif, bukan otoriter
- Supervisi harus dilakukan secara teratur atau berkala. Supervisi yang
hanya dilakukan sekali bukan supervisi yang baik.
38
- Supervisi harus dapat dilaksanakan sedemikan rupa sehingga terjalin
kerja sama yang baik antara atasan dan bawahan, terutama pada saat
proses penyelesaian masalah, dan untuk lebih mengutamakan
kepentingan bawahan
- Strategi dan tata cara supervisi yang akan dilakukan harus sesuai
dengan kebutuhan masing-masing bawahan secara individu.
Penerapan strategi dan tata cara yang sama untuk semua kategori
bawahan, bukan merupakan supervisi yang baik.
- Supervisi harus dilaksanakan secara fleksibel dan selalu disesuaikan
dengan perkembangan.
Menurut Bactiar (2009), yang bertanggung jawab dalam
melaksanakan supervisi adalah atasan yang memiliki kelebihan dalam
organisasi. Idealnya kelebihan tersebut tidak hanya aspek status dan
kedudukan, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan. Berdasarkan hal
tersebut serta prinsip-prinsip pokok supervisi maka untuk dapat
melaksanakan supervisi dengan baik ada beberapa syarat atau
karasteristik yang harus dimilki oleh pelaksana supervisi (supervisor).
adalah :
1) Sebaiknya pelaksana supervisi adalah atasan langsung dari yang
disupervisi. Atau apabila hal ini tidak mungkin, dapat ditunjuk staf
khusus dengan batas-batas wewenang dan tanggung jawab yang
jelas.
39
2) Pelaksana supervisi harus memilki pengetahuan dan keterampilan
yang cukup untuk jenis pekerjaan yang akan disupervisi.
3) Pelaksana supervisi harus memiliki keterampilam melakukan supervisi
artinya memahami prinsip-prinsip pokok serta tehnik supervisi.
4) Pelaksana supervisi harus memilki sifat edukatif dan suportif, bukan
otoriter.
5) Pelaksana supervisi harus mempunyai waktu yang cukup, sabar dan
selaluberupaya meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
perilaku bawahanyang disupervisi.
Teknik pokok supervisi pada dasarnya identik dengan tehnik
penyelesaian masalah. Bedanya pada supervisi tehnik pengumpulan data
untuk menyelesaikan masalah dan penyebab masalah menggunakan
tehnik pengamatan langsung oleh pelaksana supervisi terhadap sasaran
supervisi, serta pelaksanaan jalan keluar. Dalam mengatasi masalah
tindakan dapat dilakukan oleh pelaksana supervisi, bersama-sama
dengan sasaran supervisi secara langsung di tempat . Dengan perbedaan
seperti ini, jelaslah bahwa untuk dapat melaksanakan supervisi yang baik
ada dua hal yang perlu diperhatikan menurut (Bachtiar, 2009) yaitu:
a. Pengamatan langsung:
- pengamatan langsung perlu ditetapkan sasaran pengamatan, yakni
hanya ditujukan pada sesuatu yang bersifat pokok dan strategis saja
(selective supervision).
40
- Pengamatan langsung yang tidak terstandarnisasi dapat menggangu
objektivitas. Untuk mencegah keadaan yang seperti ini, maka
pengamatan langsung perlu dibantu dengan dengan suatu daftar isi
yang telah dipersiapkan. Daftar tersebut dipersiapkan untuk setiap
pengamatan secara lengkap dan apa adanya.
- Pengamatan langsung sering menimbulkan berbagai dampak dan
kesan negatif, misalnya rasa takut dan tidak senang, atau kesan
menggangagu kelancaran pekerjaan. Untuk mengecek keadaan ini
pengamatan langsung harus dilakukan sedemikian rupa sehingga
berbagai dampak atau kesan negatif tersebut tidak sampai muncul.
Sangat dianjurkan pengamatan tersebut dapat dilakukan secara
edukatif dan suportif, bukan menunjukkan kekuasaan atau otoritas.
b. Kerja sama
Agar komunonikasi yang baik dan rasa memiliki ini dapat muncul,
pelaksana supervisi dan yang disupervisi perlu bekerja sama dalam
penyelesaian masalah, sehingga prinsip-prinsip kerja sama kelompok
dapat diterapkan. Masalah, penyebab masalah serta upaya alternatif
penyelesaian masalah harus dibahas secara bersama-sama. Kemudian
upaya penyelesaian masalah tersebut dilaksanakan secara bersama-
sama pula.
E. Perencanaan Program
Perencanaan menurut Suandy (2001), secara umum perencanaan
merupakan proses penentuan tujuan organisasi (perusahaan) dan
41
kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan jelas strategi-strategi
(program), taktik-taktik (tata cara pelaksanaan program) dan operasi
(tindakan) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan secara
menyeluruh.
Adapun menurut Sjamsulbachri (2004), perencanaan merupakan
proses dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai dan strategi apa yang
akan digunakan dalam usaha pencapaian tersebut.
Perencanaan ialah menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan,
fakta, imajinasi, dan asumsi untuk masa yang akan datang dengan tujuan
memvisualisasi dan memformulasi hasil yang diinginkan, urutan kegiatan
yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima
yang akan digunakan dalam penyelesaian. (Uno, 2009)
Menurut Siagian (1994), perencanaan adalah keseluruhan proses
pemikiran dan penetuan secara matang daripada hal-hal yang akan
dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian
yang telah ditentukan
Sedangkan Arsyad (2002), menyatakan ada 4 elemen dasar
perencanaan yakni:
1. Merencanakan berarti memilih
2. Perencanaan merupakan alat pengalokasian sumber daya
3. Perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan
4. Perencanaan untuk masa depan.
42
Menurut Jhingsn (1983), syarat-syarat keberhasilan suatu perencanaan
memerlukan adanya hal-hal sebagai berikut:
- Komisi Perencanaan; pembentukan suatu komisi (badan atau lembaga)
perencanaan yang harus diorganisir secara tepat yang dibagi dalam
bagian-bagian dan subbagian yang dikoordinir oleh para pakar, seperti
pakar ekonomi, statistik, teknik serta pakar lain yang berkenaan dengan
masalah perekonomian.
- Data Statistik; adanya analisis yang menyeluruh tentang potensi
sumber daya yang dimiliki suatu negara beserta segala kekurangannya.
Analisis seperti ini penting untuk mengumpulkan informasi dan data
statistik serta sumberdaya-sumberdaya potensial lain seperti sumber
daya alam, sumber daya manusia dan modal yang tersedia di negara
tersebut.
- Tujuan Perencanaan; menetapkan tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai. Berbagai sasaran dan tujuan yang ingin dicapai tersebut
hendaknya realistis dan disesuaikan dengan kondisi perekonomian
negara yang bersangkutan.
- Penetapan Sasaran dan Prioritas Penetapan sasaran; prioritas
perencanaan dibuat secara makro dan sektoral. Sasaran secara makro
dirumuskan secara tegas serta mencakup setiap aspek perekonomian
dan dapat dikuantifikasikan. Untuk sasaran sektoral harus disesuaikan
dengan sasaran makronya, sehingga ada keserasian dalam
pencapaian tujuan. Mobilisasi Sumberdaya Dalam perencanaan
43
ditetapkan adanya pembiayaan oleh pemerintah sebagai dasar
mobilisasi sumberdaya yang tersedia. Sumber pembiayaan ini bisa
berasal dari sumber luar negeri dan dalam negeri (domestik).
- Keseimbangan dalam Perencanaan; suatu perencanaan hendaknya
mampu menjamin keseimbangan dalam perekonomian, untuk
menghindarkan kelangkaan maupun surplus pada periode
perencanaan.
- Sistem Administrasi yang Efisien Administrasi yang baik; efisien dan
tidak ada unsur KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) adalah syarat
mutlak keberhasilan suatu perencanaan.
- Kebijaksanaan Pembangunan yang Tepat; pemerintah harus
menetapkan kebijaksanaan pembangunan yang tepat demi berhasilnya
rencana pembangunan dan untuk menghindari masalah-masalah yang
mungkin timbul dalam pelaksanaannya.
- Administrasi yang Ekonomis; setiap usaha harus dibuat berdampak
ekonomis dalam administrasi, khususnya dalam pengembangan
bagian-bagian departemen dan pemerintahan.
- Dasar Pendidikan; administrasi yang bersih dan efisien memerlukan
dasar pendidikan yang kuat. Perencanaan yang berhasil harus
memperhatikan standar moral dan etika masyarakat.
- Teori konsumsi; syarat penting dalam perencanaan pembangunan
modern adalah bahwa perencanaan tersebut harus dilandasi oleh
teori konsumsi. Negara sedang berkembang tidak harus demokratis
44
dan perhatian pertama harus diberikan kepada barang dan jasa yang
berada dalam jangkauan pendapatan masyarakat tertentu.
- Dukungan Masyarakat; merupakan faktor penting bagi keberhasilan
suatu perencanaan didalam suatu negara yang demokratis.
Perencanaan memerlukan dukungan luas dari masyarakat.
Perencanaan ekonomi harus diatas kepentingan golongan. Tetapi
pada saat yang sama, perencanaan tersebut harus memperoleh
persetujuan semua golongan. Dengan kata lain, suatu perencanaan
harus dianggap sebagai rencana nasional bila rencana tersebut
disetujui oleh wakil-wakil rakyat.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, perspektif pendelegasian wewenang terhadap pemerintah di
daerah mencakup efisiensi, eksternalitas, dan akuntabilitas. Ketiga prinsip
ini menjadi landasan dan kriteria bagi daerah umunya dalam pelaksanaan
pembagian fungsi utama pemerintahan. Pusat dan daerah memperoleh
wewenang dalam mewujudkan pembangunan berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk setiap siklus
pemerintahan. Pada Pelaksanaannya desentralisasi dan pemerintahan di
daerah dibutuhkan untuk menumbuhkan prakarsa dan sekaligus
memfasilitasi aspirasi daerah berdasarkan kapasitas lokal masing-masing
daerah. Dalam Praktiknya implementasi desentralisasi dan otonomi
daerah membutuhkan perangkat pengaturan dan pedoman dalam
45
memanfaatkan sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan
kinerja daerah dalam penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan
publiknya. Pada konteks perencanaan daerah, perencanaan merupakan
suatu proses penyusunan visi, misi dan program dalam rangka pelayanan
kepada masyarakat dengan mempertimbangkan faktor ketersediaan
sumber daya yang dimiliki daerah secara efesien dan efektif serta
mempertimbangkan aspek keberlanjutan dari ketersediaan sumber daya
tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menjelaskan
bahwa ruang lingkup perencanaan pembangunan daerah meliputi
tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan
rencana pembangunan daerah yang terdiri atas:
- Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk
periode 20 tahun;
- Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD ) untuk
periode 5 tahun;
- Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) untuk periode 1 tahun;
- Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD)
untuk periode 5 tahun; dan
- Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) untuk
periode 1 tahun
46
Perencanaan diperlukan dalam desain pekerjaan. Desain pekerjaan
adalah proses penentuan tugas-tugas yang akan dilaksanakan, metode-
metode yang digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas ini, dan
bagaimana pekerjaan tersebut berkaitan dengan pekerjaan lainnya di
dalam organisasi. Desain pekerjaan memadukan isi pekerjaan (tugas,
wewenang dan hubungan) balas jasa dan kualifikasi yang dipersyaratkan
(keahlian, pengetahuan dan kemampuan) untuk setiap pekerjaan dengan
cara memenuhi kebutuhan pegawai maupun perusahaan. Pekerjaan yang
tidak sesuai dengan keahlian akan sangat sulit untuk dilaksanakan oleh
pegawai. Desain pekerjaan haruslah dirancang dengan sebaik mungkin
dengan mempertimbangkan elemen-elemen yang mempengaruhi desain
pekerjaan.
Menurut Handoko (1987), desain pekerjaan adalah fungsi
penetapan kegiatan-kegiatan kerja seorang individu atau kelompok
karyawan secara organisasional. Tujuannya adalah untuk mengatur
penugasan-penugasan kerja yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan
organisasi, teknologi dan keperilakuan. Dari sudut pandang manajemen
personalia, desain pekerjaan sangat mempengaruhi kualitas kehidupan
kerja, dimana hal ini tercermin pada kepuasan individu para pemegang
jabatan.
Herjanto (2001) menjelaskan bahwa desain pekerjaan adalah
rincian tugas dan cara pelaksanaan tugas atau kegiatan yang mencakup
47
siapa yang mengerjakan tugas, bagaimana tugas itu dilakukan, dimana
tugas dikerjakan dan bagaimana tugas itu dilaksanakan.
Menurut Dessler (2004), desain pekerjaan merupakan
pengetahuan tertulis tentang apa yang harus dilakukan oleh pekerja,
bagaimana orang itu harus melakukan, dan bagaimana kondisi kerjanya.
Desain pekerjaan meliputi identifikasi pekerjaan, hubungan tugas
dan pekerjaan, standard dan wewenang pekerjaan, syarat kerja harus
diuraikan dengan jelas, penjelasan tentang jabatan dibawah dan
diatasnya. Tujuan dari desain pekerjaan yaitu mengatur pekerjaan-
pekerjaan yang dibutuhkan organisasi, dan digunakan untuk memotivasi
dan menciptakan peluang kepada individu pemegang jabatan untuk
mencapai kinerja yang lebih baik dan memperoleh kepuasan kerja.
Inti dalam membuat desain pekerjaan adalah bagaimana membuat
semua pekerjaan yang ada disusun secara sistematis. Desain pekerjaan
membantu dalam menjelaskan pekerjaan apa yang harus dikerjakan,
bagaimana mengerjakan pekerjaan tersebut, berapa banyak pekerjaan
yang harus dilakukan dan bagaimana ketentuan yang harus dijalankan
sehingga pekerjaan dapat diselesaikan.(Sastrohadisuwiryo & Suswanto,
2002)
Para penyusun desain pekerjaan harus mempertimbangkan hal-hal
berikut (Herjanto, 2001) :
- Perluasan tugas (job enlargement) meliputi pemberian tugas yang lebih
besar secara horizontal, dimana pekerjaan tambahan itu berada pada
48
tingkat kecakapan dan tanggung jawab yang setara dengan pekerjaan
semula. Gibson (1983) mengatakan perluasan pekerjaan membuat
karyawan mempunyai tanggung jawab dan wewenang yang lebih
besar.
- Pengayaan tugas (job enrichment) mencakup penambahan tugas
dengan tanggung jawab yang lebih tinggi seperti perencanaan dan
pengendalian.
- Perputaran tugas (job rotation) yaitu melakukan penukaran tugas antar
pekerja secara periodik untuk menghindari seseorang bekerja secara
monoton mengerjakan tugas yang sama setiap hari. Perputaran tugas
ini memberikan kesempatan kepada pekerja untuk memperbanyak
pengalaman dan memungkinkan seorang pekerja untuk menggantikan
pekerja lain yang tidak masuk.
F. Program Kesehatan Ibu Dan Anak
a. Pengertian Program KIA
Upaya Kesehatan ibu dan anak adalah upaya dibidang kesehatan yang
menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu
meneteki, bayi dan anak balita serta anak prasekolah
b. Kesehatan Ibu
Program kesehatan ibu terfokus pada 3 (tiga) pesan kunci “making
Pregnancy Safer” /MPS (Gerakan Nasional Kehamilan yang aman)
menurut (Menkes, 2001)yaitu :
49
- Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
- Setiap komplikasi obsetri dan neonatal mendapat pelayanan yang
adekuat.
- Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi
keguguran.
Tujuan program kesehatan ibu melalui MPS adalah menurunkan
kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia. Untuk
mencapai hal tersebut di atas dilakukan melalui 4 (empat) strategi utama
yaitu :
- Meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir berkualitas yang cost-effective dan berdasarkan bukti-bukti.
- Membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program,
lintas sektor dan mitra lainnya untuk melakukan advokasi guna
memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta meningkatkan
koordinasi perencanaan dan kegiatan MPS.
- Mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan
pengetahuan untuk menjamin perilaku sehat dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
- Mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
50
c. Kesehatan Anak
Tujuan program kesehatan anak adalah menurunkan kesakitan dan
kematian bayi dan balita, guna mencapai hal tersebut dilakukan
melalui upaya prioritas yang meliputi :
- Upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, melalui peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan tenaga kesehatan dan melengkapi
sarana dan prasarana fasilitas kesehatan.
- Upaya peningkatan jangkauan pelayanan kesehatan, melalui kegiatan
kunjungan rumah bagi bayi dan balita yang tidak akses kepada
pelayanan kesehatan, dukungan rujukan bagi yang tidak mampu dan
kegiatan surveilans.
- Upaya peningkatan pengelolaan program, melalui kegiatan manajemen
program kesehatan anak yang mencakup P1, P2 dan P3.
- Upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pemeliharaan
kesehatan ibu dan anak melalui penggunaan buku KIA.
d. Tujuan Program KIA
Tujuan Program Kesehatan Ibu dan anak (KIA) adalah tercapainya
kemampuan hidup sehat melalui peningkatan derajat kesehatan yang
optimal, bagi ibu dan keluarganya untuk menuju Norma Keluarga Kecil
Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta meningkatnya derajat kesehatan anak
untuk menjamin proses tumbuh kembang optimal yang merupakan
landasan bagi peningkatan kualitas manusia seutuhnya.
51
Sedangkan tujuan khusus program KIA adalah :
- Meningkatnya kemampuan ibu (pengetahuan, sikap dan perilaku),
dalam mengatasi kesehatan diri dan keluarganya dengan
menggunakan teknologi tepat guna dalam upaya pembinaan kesehatan
keluarga, paguyuban 10 keluarga, Posyandu dan sebagainya.
- Meningkatnya upaya pembinaan kesehatan balita dan anak prasekolah
secara mandiri di dalam lingkungan keluarga, Posyandu, dan Karang
Balita serta di sekolah Taman Kanak-Kanak atau TK.
- Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu
hamil, ibu bersalin, ibu nifas, dan ibu meneteki.
- Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, nifas,
ibu meneteki, bayi dan anak balita.
- Meningkatnya kemampuan dan peran serta masyarakat , keluarga dan
seluruh anggotanya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu, balita,
anak prasekolah, terutama melalui peningkatan peran ibu dan
keluarganya.
e. Prinsip Pengelolaan Program KIA
Prinsip pengelolaan Program KIA adalah memantapkan dan
peningkatan jangkauan serta mutu pelayanan KIA secara efektif dan
efisien. Pelayanan KIA diutamakan pada kegiatan pokok :
- Peningkatan pelayanan antenatal di semua fasilitas pelayanan dengan
mutu yang baik serta jangkauan yang setinggi-tingginya.
52
- Peningkatan pertolongan persalinan yang lebih ditujukan kepada
peningkatan pertolongan oleh tenaga professional secara berangsur.
- Peningkatan deteksi dini resiko tinggi ibu hamil, baik oleh tenaga
kesehatan maupun di masyarakat oleh kader dan dukun bayi serta
penanganan dan pengamatannya secara terus menerus.
- Peningkatan pelayanan neonatal (bayi berumur kurang dari 1bulan)
dengan mutu yang baik dan jangkauan yang setinggi tingginya.
f. Pelayanan dan jenis Indikator KIA
- Pelayanan antenatal
adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu selama masa
kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan antenatal. Frekuensi
pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan dengan
ketentuan waktu minimal 1 kali pada triwulan pertama, minimal 1 kali
pada triwulan kedua, dan minimal 2 kali pada triwulan ketiga.
- Pertolongan Persalinan :
Jenis tenaga yang memberikan pertolongan persalinan kepada
masyarakat :
1. Tenaga profesional : dokter spesialis kebidanan, dokter umum,
bidan, pembantu bidan dan perawat.
2. Dukun bayi terlatih ialah dukun bayi yang telah mendapatkan
latihan tenaga kesehatan yang dinyatakan lulus, Dukun bayi tdak
terlatih ialah dukun bayi yang belum pernah dilatih oleh tenaga
53
kesehatan atau dukun bayi yang sedang dilatih dan belum
dinyatakan lulus.
Deteksi dini ibu hamil berisiko :
Faktor risiko pada ibu hamil diantaranya adalah :
- Primigravida kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun .
- Anak lebih dari 4
- Jarak persalinan terakhir dan kehamilan sekarang kurang 2 tahun
atau lebih dari 10 tahun
- Tinggi badan kurang dari 145 cm
- Berat badan kurang dari 38 kg atau lingkar lengan atas kurang dari
23,5 cm
- Riwayat keluarga menderita kencing manis, hipertensi dan riwayat
cacat kongenital.
- Kelainan bentuk tubuh, misalnya kelainan tulang belakang atau
panggul.
Risiko tinggi kehamilan merupakan keadaan penyimpangan dan normal
yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun
bayi .Risiko tinggi pada kehamilan meliputi :
- Hb kurang dari 8 gram%
- Tekanan darah tinggi yaitu sistole lebih dari 140 mmHg dan
diastole lebih dari 90 mmHg
- Oedema yang nyata
- Eklampsia
54
- Perdarahan pervaginam
- Ketuban pecah dini
- Letak lintang pada usia kehamilan lebih dari 32 minggu.
- Letak sungsang pada primigravida
- Infeksi berat atau sepsis
- Persalinan prematur
- Kehamilan ganda
- Janin yang besar
- Penyakit kronis pada ibu antara lain Jantung,paru, ginjal.
- Riwayat obstetri buruk, riwayat bedah sesar dan komplikasi
kehamilan.
Risiko tinggi pada neonatal meliputi :
- BBLR atau berat lahir kurang dari 2500 gram
- Bayi dengan tetanus neonatorum
- Bayi baru lahir dengan asfiksia
- Bayi dengan ikterus neonatorum yaitu ikterus lebih dari 10 hari
setelah lahir
- Bayi baru lahir dengan sepsis
- Bayi lahir dengan berat lebih dari 4000 gram
- Bayi preterm dan post term
- Bayi lahir dengan cacat bawaan sedang
- Bayi lahir dengan persalinan dengan tindakan.
55
g. Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
di dalamnya menyatakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Penyelenggaraan urusan pemerintah yang bersifat wajib yang
berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara
bertahap dan ditetapkan pemerintah.
Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah
berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Sedangkan
pelayanan yang berkualitas itu sendiri sangat tergantung pada berbagai
aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana),
dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan. (PP, 2005)
Menurut Rasyid (2000), mengatakan bahwa: fungsi utama
pemerintah adalah pelayanan kepada masyarakat, yang bertujuan
menciptakan kondisi yang menjamin warga masyarakat melaksanakan
kehidupan mereka secara wajar. Dalam hal ini pelayanan yang
diharapkan adalah pelayanan yang berkualitas. Kualitas pada dasarnya
terkait dengan pelayanan yang baik, yaitu suatu sikap atau cara karyawan
ataupun instansi dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara
memuaskan.
Saat ini bentuk pelayanan publik kesehatan di Indonesia masih
perlu banyak perbaikan lagi. Demi mencapai pelayanan publik yang
merata dan sesuai dengan kondisi negara Indonesia diperlukan banyak
56
kerja sama dari semua pihak untuk terjun langsung di dalamnya. Keadaan
keuangan ekonomi serta banyaknya penduduk di Indonesia juga menjadi
kendala tersendiri untuk pelayanan kesehatan di Indonesia. Jadi,
diperlukan beberapa langkah jitu yang tepat pada sasaran untuk
mewujudkannya.
Langkah yang sebaiknya dilakukan dalam rangka perbaikan
pelayanan publik di antaranya adalah :
1. Melakukan pendataan menyeluruh penduduk negara Indonesia lalu
setelah itu melakukan penetapan sasaran. adanya pendataan dan
penetapan sasaran kita akan lebih mengetahui langkah konkrit apa
saja yang harus dilakukan.
2. Sosialisasi kepada masyarakat dengan pemberian penyuluhan
kesehatan secara rutin dan periodik yang di dukung ketersediaan buku
tentang kesehatan agar membentuk mindset masyarakat tentang
kepedulian terhadap kesehatan.
3. Menambah unit pelayanan kesehatan, seperti: puskesmas atau
poliklinik, rumah sakit, dan pusat layanan konsultasi kesehatan, dll
khususnya di daerah terpencil serta mengadakan puskesmas keliling
yang rutin dilakukan selama satu minggu sekali. Penambahan fasilitas
kesehatan ini sangatlah penting guna menunjang pelayanan publik di
Indonesia khususnya disetiap daerah dan desa yang terpencil
sehingga dapat memudahkan masyarkat dalam menerima fasilitas
pelayanan kesehatan dengan cepat dan efisien.
57
4. Menambah tenaga medis dan menyebarnya di seluruh wilayah guna
mempermudah masyarakat untuk bisa segera mendapatkan
pertolongan pertama saat mereka terserang penyakit.
5. Pengobatan tradisional. Pengobatan ini terbukti lebih murah
dibandingkan dengan pengobatan modern. Kelemahan pada
pengobatan ini adalah tidak dapat digunakan pada penyakit yang
parah.
6. Sistem pembayaran universal dan di setiap acara tertentu adakan
pengobatan gratis dengan mengundang masyarakat yang kurang
mampu. Pembayaran dalam pelayanan publik kesehatan Indonesia
adalah sesuatu yang sangatlah vital karena dengan banyaknya
penduduk Indonesia yang masih berada pada garis kemiskinan
sangatlah mustahil apabila mereka mengeluarkan uang pribadinya
untuk keperluan kesehatan.
7. Melakukan supervise secara continue pada setiap instansi. Ini perlu
dilakukan mengingat akan sifat lumrah manusia yang sering lalai.
Dalam hal ini sebagai salah satu bentuk keseriusan pemerintah.
Sehingga suatu sistem yang berada didalamnya bisa semakin tertata
dan terarah.
Peraturan Pemerintah RI nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman
penyusunan Penerapan Standar Pelayanan Minimal dalam PP (2005),
urusan wajib diartikan sebagai urusan yang sangat mendasar yang
berkaitan dengan hal dan pelayanan dasar warga negara antara lain
58
perlindungan hak konstitusional, perlindungan kepentingan nasional,
kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam
kerangka menjaga keutuhan NKRI, dan pemenuhan komitmen nasional
yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional.
Sedangkan urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di
daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah.
Adapun Standar Pelayanan Minimal adalah suatu standar dengan
batas-batas tertentu untuk mengukur kinerja penyelenggaraan
kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar
kepada masyarakat yang mencakup jenis pelayanan, indikator dan nilai
(benchmark).(Menkes, 2008). Pelayanan dasar kepada masyarakat
adalah fungsi pemerintah dalam memberikan dan mengurus keperluan
kebutuhan dasar masyarakat untuk meningkatkan taraf kesejahteraan
rakyat.
Jenis pelayanan dalam SPM merupakan pelayanan publik yang
harus dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak dalam
kehidupan.
Standar pelayanan minimal bidang kesehatan berdasar SK Menkes
741 tahun 2008 terdiri dari 4 kewenangan wajib dan 18 indikator
pelayanan sebagaimana tercantum pada tabel berikut:
59
Tabel 2. Distribusi SPM menurut Kepmenkes 741/2008 No Kewenangan
Wajib Indikator Pelayanan 1 Pelayanan
Kesehatan
Dasar
1. Cakupan kunjungan ibu hamil K4 95%
2. Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani 80%
3. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
yang memiliki kompetensi kebidanan 90%
4. Cakupan pelayanan nifas 90%
5. Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 80%
6. Cakupan kunjungan bayi 90%
7. Cakupan desa/kelurahan Universal Child Immunization
(UCI) 100%
8. Cakupan pelayanan anak balita 90%
9. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak
usia 6-24 bulan keluarga miskin 100%
10. Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100%
11. Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan Setingkat
100%
12. Cakupan peserta KB aktif 70%
13. Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit
100%
14. Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin
100%
2 Pelayanan
Kesehatan Rujukan
15. Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat
miskin 100%
16. Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus
diberikan sarana kesehatan (RS) di kabupaten/kota 100%
3
Penyelidikan dan
penanggulangan
Kejadian Luar
Biasa/KLB
17. Cakupan desa/kelurahan mengalami KLB yang dilakukan
penyelidikan epidemiologi < 24 jam 100%
4
Promosi kesehatan
dan pemberdayaan
masyarakat
18. Cakupan desa siaga aktif 80%
60
G. Penelitian Terdahulu
Tabel 3. Tabel Sintesa Penelitian
No Penulis/ Tahun Judul Penelitian Variabel Penelitian Jenis
Penelitian Hasil Penelitian 1 Siregar (2014) Pengaruh Motivasi Dengan
kinerja Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Swadana Tarutung Tapanuli Utara Tahun 2008
motivasi (prestasi, tanggung jawab, pengembangan, kondisi kerja, pengakuan, dan pendapatan) dengan kinerja perawat pelaksana
explanatory research
Prestasi, tanggung jawab, pengembangan, kondisi kerja, pengakuan, dan pendapatan berpengaruh dengan kinerja perawat pelaksana. Variabel yang paling berpengaruh dengan kinerja perawat adalah prestasi (Exp(β)=31,445).
2 Purwanto and Wahyudin (2008)
Pengaruh Faktor-Faktor kepuasan Kerja Dengan kinerja Karyawan Pusat Pendidikan Komputer Akuntansi IMKA dl Surakarta
Kepuasan kerja (Gaji, kepemimpinan, dan sikap rekan sekerja) terhadap kinerja
Cross sectional study
Faktor kepuasan kerja, gaji, kepemimpinan, dan sikap rekan sekerja mempunyai pengaruh signifikan dan positif dengan kinerja karyawan. Sikap rekan sekerja merupakan faktor kepuasan kerja yang mempunyai pengaruh paling dominan besar dibandingkan variabel lain terhadap kinerja.
61
No Penulis/ Tahun Judul Penelitian Variabel Penelitian Jenis
Penelitian Hasil Penelitian 3 Basmala and
Adisasmito (2012)
Karakteristik Perawat, Isi Pekerjaan Dan Lingkungan Pekerjaan Terhadap Kepuasan Kerja Perawat Di Instalasi Rawat Inap RSUD Gunung Jati Cirebon
Karakteristik Perawat, Isi Pekerjaan dan Lingkungan Pekerjaan terhadap kepuasan kerja perawat
deskriptif kuantitatif
Faktor yang paling berpengaruh terhadap kepuasan kerja perawat adalah faktor Kesempatan Pengembangan Karier dengan p = 0,282 (sig 0,000) dan Pengaruh dengan Atasan Langsung dengan p = 0,254 (sig 0,000).
4 Mulyati and Lukito (2008)
Analisis Kepuasan Kerja Tenaga Perawat dan Tenaga Non Medis dalam Kaitan dengan Peningkatan Kepuasan Pelanggan(Studi Kasus pada Rumah Sakit di Sumatera Barat)
kepuasan kerja (pekerjaan itu sendiri, rekan kerja, atasan, kompensasi, dan kesempatan promosi), terhadap kepuasan pasien
Cross sectional study
terdapat pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja perawat dan tenaga non medis terhadap kepuasan pelanggan, dimana semakin dirasakannya kepuasan perawat dan tenaga non medis maka akan memberikan kepuasan pula terhadap pelanggan/pasien
5 Paryanto (2012) Analisis pengaruh faktor kolaborasi perawat Terhadap kepuasan kerja dokter spesialis Di rawat inap paviliun garuda Rs. Dr. Kariadi Semarang Tahun 2012
persepsi tentang kecakapan dan keterampilan perawat, kemampuan melaksanakan tugas dokter, dan komunikasi perawat-dokter dengan kepuasan kerja dokter spesialis
cross-sectional.
Ada hubungan persepsi tentang kecakapan dan keterampilan perawat dan persepsi tentang perawat mampu melaksanakan tugas delegasi dokterpersepsi tentang kemampuan perawat dalam menjalankan tugas rutin klinis, dan persepsi tentang komunikasi perawat-dokter dengan kepuasan kerja dokter spesialis
62
No Penulis/ Tahun Judul Penelitian Variabel Penelitian Jenis
Penelitian Hasil Penelitian 6 Subakti (2008) Pengaruh kepuasan kerja
dengan kinerja Pegawai klinik spesialis Bestari Medan Tahun 2011
kepuasan terhadap pekerjaan, peng-awasan, gaji, dan pengaruh kerabat kerja, promosi, manajemen kondisi kerja sistem penilaian kinerja
cross sectional study
kepuasan terhadap pekerjaan, terhadap pengawasan, terhadap gaji, dan terhadap pengaruh kerabat kerja berpengaruh dengan kinerja
7 Rahmawati (2012)
Analisis Kinerja Pegawai Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2012
faktor individu dan faktor organisasi
cross sectional study
Faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan Tahun 2012 adalah pendidikan terakhir (Beta = 0,482). Hasil penelitian kinerja pegawai kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan tahun 2012 berkinerja rendah.
8 Ningsih (2011) Analisis Hubungan Prinsip-Prinsip Good Governance Dengan Kinerja Pegawai Di Dinas Kesehatan Kabupaten Luwu Timur
cross sectional study
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua variabel independen berhubungan dengan variabel dependen. Akuntabilitas berhubungan dengan kinerja pegawai dengan nilai p=0,002; transparansi, keadilan dan partisipasi juga berhubungan dengan kinerja pegawai yang memiliki nilai yang sama yaitu p=0,000. Keadilan merupakan variabel yang paling berhubungan terhadap kinerja pegawai dengan nilai wald =6,142 dan nilai sig=0,013.
63
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, di
antaranya adalah :
a) Indikator sesuai kondisi lokasi penelitian
Indikator variabel penelitian yang digunakan dirancang sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kondisi dan situasi petugas kesehatan di
dinas kesehatan kabupaten Mamberamo Tengah. Penggunaan
indikator ini, menjadi salah satu fokus peneliti dalam rangka
mengungkap data sebenarnya yang ada di jajaran dinas kesehatan
dan penanggungjawab/petugas program KIA.
b) Penelitian ini menganalisis kinerja program dan hal-hal yang
mempengaruhi
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kinerja pelaksanaan
program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah
yang kemudian dilanjutkan dengan menganalisis faktor yang
mempengaruhi kinerja program KIA.
c) Penelitian dilakukan berdasarkan hasil evaluasi cakupan tahunan
program KIA
Penelitian ini dilakukan setelah dinas kesehatan kabupaten
Mamberamo Tengah melakukan evaluasi pencapaian program KIA.
Oleh karena cakupan program tidak meningkat dari tahun ke tahun
berdasarkan SPM dan target yang ditentukan, sehingga peneliti tertarik
untuk melihat, mengevaluasi dan menganalisis kinerja Dinas
64
Kesehatan dan penanggungjawab, petugas/pelaksana pada program
KIA.
H. Kerangka Teori
Kinerja adalah suatu hasil yang dicapai dari proses seseorang yang
dapat dinilai atau diukur sesuai dengan standar atau tata cara penilaian
kinerja. Menurut Gibson dalam Sedarmayanti (2007) terdapat 3 (tiga)
kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja dan perilaku seseorang,
yaitu variabel individu meliputi: kemampuan dan keterampilan, latar
belakang individu, demografi. Variabel organisasi meliputi: sumber daya
(manusia dan dana), kepemimpinan, imbalan, struktur, desain pekerjaan).
Variabel psikologis meliputi: motivasi, persepsi, sikap, kepribadian,
belajar.
Kinerja petugas kesehatan mencerminkan kemampuan petugas
untuk mengimplementasikan proses pelayanan kesehatan. Dengan
memperhatikan lokasi, kondisi dan pengamatan awal, maka kinerja yang
dibahas dalam penelitian ini, dihubungkan dengan faktor kemampuan dan
keterampilan petugas, ketersediaan sumber daya dana untuk program
KIA, supervisi program KIA dari pimpinan, dan desain pekerjaan dalam
melaksanakan program KIA.
Kemampuan menunjukkan potensi orang untuk melaksanakan
tugas/pekerjaan. Kemampuan seorang karyawan sangat bergantung pada
keterampilan yang dimiliki serta profesionalisme mereka dalam bekerja. Ini
65
memberikan daya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diemban
kepada mereka.(Sutrisno, 2011)
Salah satu isu penting dalam penyelenggaraan sistem kesehatan di
daerah adalah pembiayaan kesehatan. Fungsi pembiayaan kesehatan
adalah salah satu penentu kinerja sistem kesehatan. Fungsi ini tidak
hanya terkait dengan proses mobilisasi dana tetapi juga dengan
menyalurkan atau mengalokasikannya dalam operasional sistem
kesehatan. Fungsi pembiayaan menjadi alat kontrol yang penting bagi
penentu kebijakan dalam menyelenggarakan sistem kesehatan di
daerah.(Harmana, 2006)
Isu utama kebijakan pembiayaan dalam era desentralisasi adalah
bagaimana meningkatkan cakupan program KIA oleh pemerintah daerah
dengan ketersediaan dana yang ada untuk kegiatan pencapaian cakupan
indikator program KIA.
Supervisi untuk menjamin pelaksanaan berbagai kegiatan yang
telah direncanakan secara efektif dan efisien, sehingga tujuan yang telah
ditetapkan dapat dicapai dengan memuaskan. Supervisi merupakan sub-
fungsi pembinaan dalam manajemen yang memiliki fungsi tersendiri yaitu
kegiatan yang berkaitan dengan pengamatan dan pemberian bantuan.
Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan
obyektif tentang pelaksanaan program.
Perencanaan merupakan proses penentuan tujuan organisasi dan
kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan jelas strategi-strategi
(program), taktik-taktik (tata cara pelaksanaan program) dan operasi
66
(tindakan) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan secara
menyeluruh. (Suandy, 2001)
Pada konteks perencanaan daerah, perencanaan merupakan suatu
proses penyusunan visi, misi dan program dalam rangka pelayanan
kepada masyarakat dengan mempertimbangkan faktor ketersediaan
sumber daya yang dimiliki daerah secara efesien dan efektif serta
mempertimbangkan aspek keberlanjutan dari ketersediaan sumber daya
tersebut.
Adapun kerangka teori penelitian di gambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Teori Kinerja (Gibson, 1987)
Variabel Individu:
- Kemampuan dan keterampilan
- Latar belakang
individu
- Demografi
Kinerja
(Hasil yang
dicapai)
Variabel Organisasi:
- Sumberdaya :
Manusia, dana - Kepemimpinan :
Supervisi Perencanaan
- Imbalan
- Struktur
- Desain pekerjaan
Variabel Psikologis:
- Persepsi
- Sikap
- Kepribadian
- Motivasi
- Belajar
67
I. Kerangka Konsep
Beranjak dari kerangka teori, kerangka pemikiran serta kajian
pustaka yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dalam penelitian
diajukan kerangka konsep sebagai berikut :
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
Kemampuan dan Keterampilan
Kinerja Program KIA
Ketersediaan Dana
Supervisi
Perencanaan Program
68
J. Defenisi Operasional
Definisi operasional variabel dibutuhkan dalam rangka
memberikan batasan-batasan yang jelas atas variabel yang diteliti dalam
penelitian ini. Adapun definisi operasional variabel penelitian ini yaitu:
a. Kinerja yang dibahas dalam penelitian ini, dihubungkan dengan faktor
kemampuan dan keterampilan petugas, ketersediaan sumber daya
dana untuk program KIA, supervisi program KIA dari pimpinan, dan
desain pekerjaan dalam melaksanakan program KIA.
b. Kemampuan yang dibahas dalam penelitian ini adalah kapasitas yang
dimiliki petugas program KIA dalam menerima suatu beban pekerjaan,
baik yang berupa intelektual maupun fisik yang sangat bergantung
pada keterampilan yang dimiliki serta profesionalisme mereka dalam
bekerja dan memberikan daya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang
diemban
c. Ketersediaan dana program KIA yang dibahas dalam penelitian ini
adalah proses pengalokasian dan pemanfaatan dana dalam
operasional program KIA . Fungsi pembiayaan menjadi alat kontrol
yang penting bagi penentu kebijakan dari berbagai sumber dana
daerah yang ada.
d. Supervisi program KIA yang dibahas dalam penelitian ini adalah
pengamatan secara Iangsung dan berkala oleh atasan terhadap
pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk kemudian apabila
69
ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau bantuan yang
bersifat langsung guna mengatasinya.
e. Perencanaan pada program KIA yang dibahas dalam penelitian ini
adalah menjelaskan bagaimana proses penyusunan perencanaan,
implementasi perencanaan tersebut terhadap program, serta
kesesuaian tujuan/hasil yang dicapai berdasarkan perencanaan yang
telah dibuat.
.
70
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang dimaksudkan
untuk menganalisis kinerja program KIA dan mengetahui penyebab
rendahnya cakupan Program KIA tersebut di Kabupaten Mamberamo
tengah.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan studi kasus, yang dimaksudkan untuk menganalisis kinerja
program KIA dan mengetahui penyebab rendahnya cakupan Program KIA
tersebut di Kabupaten Mamberamo Tengah. Metode penelitian studi
kasus meneliti suatu kasus atau fenomena tertentu yang ada dalam
masyarakat yang dilakukan secara mendalam untuk mempelajari latar
belakang, keadaan, dan interaksi yang terjadi. Studi kasus dilakukan pada
suatu kesatuan sistem yang bisa berupa suatu program, kegiatan,
peristiwa, atau sekelompok individu yang ada pada keadaan atau kondisi
tertentu. Meski mencakup satu kesatuan sistem, penelitian studi kasus
tidak harus meneliti satu orang atau idnividu saja, namun bisa dengan
beberapa orang atau objek yang memiliki satu kesatuan fokus fenomena
yang akan diteliti. Untuk mendapatkan data yang mendalam, penelitian
studi kasus menggunakan teknik wawancara, observasi, sekaligus studi
dokumenter yang kemudian akan dianalisis menjadi suatu teori. Studi
kasus akan memahami, menelaah, dan kemudian menafsirkan makna
71
yang didapat dari fenomena yang diteliti tersebut. (Speziale & Carpenter,
2003)
Sugiyono (2014) menyatakan bahwa metode kualitatif digunakan
untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung
makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang
merupakan suatu nilai di balik data yang tampak. Analisis data dalam
penelitian kualitatif juga bersifat induktif, yaitu berdasarkan fakta-fakta
yang ditemukan di lapangan dan kemudian dikonstruksikan menjadi
hipotesis dan teori. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif tidak
menekankan pada generalisasi, tetapi lebih menekankan pada makna.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengumpulan data ini dilaksanakan di Kantor Dinas Kesehatan dan
5 (lima) Puskesmas Kabupaten Mamberamo Tengah pada bulan dan
Desember 2015 – Januari 2016. Menurut Budiman (2011), pemilihan
lokasi yang berbeda berguna untuk mengkaji variasi program, karena
faktor pengelola program maupun perubahan kondisi dan program yang
dilaksanakan pada banyak lokasi akan menunjukkan perbedaan yang
penting dari satu tempat ke tempat lain.
C. Pengelolaan Peran sebagai Peneliti
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen penelitian
adalah penelitinya sendiri, dimana sebagai instrumen penelitian maka
peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga
72
mampu bertanya, menganalisis, memotret dan mengkonstruksi situasi
sosial yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna (Sugiyono, 2014).
Menurut Prastowo (2011), peran peneliti sebagai partisipan penuh
dan sekaligus melakukan pengamatan. Langkah awal sebelum dimulainya
penelitian ini adalah menjalin komunikasi yang baik kepada para informan
dan melakukan langkah prosedural penelitian secara formal kepada
institusi yang akan diteliti. Penulis menyiapkan pedoman wawancara yang
berisi pertanyaan-pertanyaan yang disesuaikan dengan teori yang
digunakan dalam penelitian ini yang disesuaikan dengan pokok
permasalahan dalam penelitian ini. Pokok permasalahan ini dapat
berkembang sehingga penulis menemukan informasi lain yang
berhubungan dengan pokok permasalahan tersebut selama wawancara
berlangsung.
D. Informan
Dalam pandangan penelitian kualitatif, gejala itu bersifat holistik
(menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan), sehingga penelitian kualitatif
tidak akan menetapkan penelitiannya hanya berdasarkan variabel
penelitian, tetapi keseluruhan situasi sosial yang diteliti dan meliputi aspek
tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi
secara sinergis.(Sugiyono, 2014)
Dalam penelitian ini, jumlah informan penelitian sesuai dengan
survey awal, yakni sebanyak 12 orang. Adapaun karakteristik informan
dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4.
73
Tabel 4. Tabel distribusi Karakteristik Informan Penelitian
No Kode
Informan Umur
(Tahun) Jabatan Lama Jabatan
Pendidikan Terakhir
1 MS 54 Kepala Dinas 4 tahun S3 Kesmas
2 KP 40 Kepala Seksi KIA 4 tahun S1 Kesmas
3 YG 39 Kepala Puskesmas
Ilugwa 4 tahun D3 Kebidanan
4 MH 54 Kepala Puskesmas
Kelila 4 tahun D3 Keperawatan
5 LG 46 Kepala Puskesmas
Eragayam 4 tahun D3 Keperawatan
6 KW 36 Kepala Puskesmas
Megambilis 1 tahun S1 / Kedokteran
7 AS 35 Kepala Puskesmas
Kobakma 4 tahun S1 / Kedokteran
8 SS 24
Penanggungjawab KIA Puskesmas
Ilugwa 2 tahun D3
Kebidanan
9 KY 48
Penanggungjawab KIA Puskesmas
Kelila 6 tahun D3
Kebidanan
10 LP 54
Penanggungjawab KIA Puskesmas
Eragayam 11 tahun D3
Kebidanan
11 FS 26
Penanggungjawab KIA Puskesmas
Megambilis 1 tahun D3
Kebidanan
12 MM 25
Penanggungjawab KIA Puskesmas
Kobakma 2 tahun D3
Kebidanan
Sumber informan ditentukan secara sengaja (purposive). Teknik
purposive yang dimaksud adalah bahwa informan yang diwawancarai
ditentukan secara sengaja oleh peneliti, karena informan tersebut terlibat
langsung dengan program KIA.
74
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berupa observasi,
wawancara mendalam (indepth interview) dan telaah dokumen. (Moleong,
2014a). Dimana peneliti adalah merupakan instrumen kunci dalam
penelitian kualitatif berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih
informan kunci sebagai sumber data serta catatan, dan alat tulis. Data
yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder :
1. Data Primer, diperoleh dengan cara :
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara
mendalam. Wawancara mendalam adalah wawancara yang berusaha
menggali sedalam-dalamnya dan mendapat pengertian yang seluas-
luasnya dari jawaban yang diberikan oleh informan. Wawancara
mendalam dilakukan kepada informan Kepala Dinas Kesehatan, Kepala
seksi KIA di Dinas Kesehatan, Kepala Puskesmas,
Penanggungjawab/petugas program KIA di seluruh Puskesmas, dengan
menggunakan instrumen wawancara mendalam yang dilakukan oleh
peneliti sendiri.
2. Data Sekunder, diperoleh dari :
a. Profil tahunan Dinas Kesehatan dan Puskesmas.
b. Telaah dokumen yang berkaitan dengan penelitian dilakukan untuk
mendapatkan informasi mengenai Program KIA
Peneliti melaksanakan observasi selama wawancara dilakukan dan
selama berada di lokasi penelitian. Peneliti mengumpulkan data dengan
cara mencatat perilaku-perilaku subyek yang diteliti baik selama
wawancara. Dengan menggunakan metode ini dimungkinkan peneliti
75
untuk melihat dan mengamati sendiri serta untuk menjawab keragu-
raguan peneliti akan data yang diperoleh sebelumnya (Moleong, 2014b).
Melalui observasi, peneliti juga belajar tentang perilaku, dan makna dari
perilaku tersebut (Sugiyono, 2014).
1. Alat Bantu
Alat bantu sangat diperlukan agar hasil wawancara dapat terekam
dengan baik, dan peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara
kepada informan atau sumber data. Alat bantu yang secara umum
diperlukan adalah sebagai berikut: alat perekam, buku catatan, pena dan
kamera.
1. Buku catatan dan pena berfungsi untuk mencatat semua percakapan
dengan informan/sumber data.
2. Alat perekam berfungsi untuk merekam semua percakapan atau
pembicaraan. Penggunaan alat ini perlu diberitahu kepada informan
untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan seperti kurang terbuka
karena adanya ketakutan akan didengar oleh semua orang, dan
sebagainya.
3. Kamera untuk memotret kalau peneliti sedang melakukan pembicaraan
dengan sumber data/informan atau memotret momen-momen penting
dari suatu peristiwa yang berkenaan dengan penelitian. Dengan
adanya foto ini, maka dapat meningkatkan keabsahan penelitian dan
penelitian akan lebih terjamin karena peneliti betul-betul melakukan
pengumpulan data.
76
2. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, karya-karya monumental dari
seseorang. Menurut Sugiyono (2014), dokumen berbentuk tulisan
misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, ceritera, biografi, peraturan
dan kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar
hidup, sketsa dan lain-lain.
F. Teknik Analisa Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif. Data penelitian kualitatif
tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, deskripsi, cerita,
dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto) ataupun bentuk-bentuk
non angka lainnya. Analisis dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan
masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai
penulisan hasil penelitian (Sugiyono, 2014). Namun dalam penelitian
kualitatif analisis data biasanya lebih difokuskan selama proses di
lapangan bersamaan dengan pengumpulan data.
Menurut Miles & Huberman dalam Sugiyono (2014) mengemukakan
bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif
dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenuh. Proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang
muncul dari jawaban atau kata-kata dari responden sendiri (indigenous
concepts) maupun konsep-konsep yang dikembangkan atau dipilih peneliti
untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis (senziting concepts). Kata-
kata kunci dapat diambil dari istilah yang dipakai oleh responden sendiri,
77
yang oleh peneliti dianggap benar-benar tepat dan dapat mewakili
fenomena yang dijelaskan. Sementara itu, konsep yang diambil peneliti
umumnya adalah konsep-konsep yang telah dikenal dan digunakan dalam
literatur dan disiplin ilmu yang terkait.
Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisis teks dengan
memasukkannya kedalam kelompok-kelompok kalimat yang disebut
sebagai segmen data dan menetapkan arti dari masing-masing segmen.
Deskripsi ini secara khusus meliputi informasi kontekstual mengenai orang
atau idea yang sedang diteliti, seperti setting, waktu, individu yang terlibat,
dan peristiwa-peristiwa dimana orang mengalami fenomena tersebut.
Selain itu menurut Miles & Huberman dalam Sugiyono (2014)
menyatakan bahwa analisis data kualitatif dilakukan dengan mengunakan
model interaktif yaitu sebagai berikut:
a) Pengumpulan data; data dikumpulkan dari wawancara, observasi dan
dokumentasi. Hasilnya ditulis dalam bentuk catatan lapangan dan
disalin dalam bentuk transkrip.
b) Pembuatan Koding dan Kategori (reduksi data) yaitu bentuk analisis
yang menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa. Cara yang
dapat ditempuh adalah dengan membaca semua transkrip kemudian
di koding yaitu dengan membuat simbol yang dibuat peneliti dan
mempunyai arti berdasarkan topik pada setiap kelompok kata, kalimat
atau paragraf dari transkrip yang selanjutnya dikelompokkan ke dalam
kategori dan dicari hubungannya antara kategori tersebut.
78
c) Penyimpulan sementara yaitu suatu tahapan peneliti dapat mengambil
kesimpulan yang masih bersifat sementara. Kesimpulan ini 100%
harus berdasarkan data tidak boleh dicampur aduk dengan pikiran dan
penafsiran peneliti. Apabila peneliti ingin memberi penafsiran berdasar
pendapatnya maka ditulis pada bagian akhir kesimpulan sementara
yang disebut Observer’s Comments (OC).
d) Penyimpulan akhir merupakan ujung terakhir dari suatu proses
penelitian. Kesimpulan penelitian kualitatif berbentuk deskriptif
kualitatif, yang merupakan kristalisasi dan konseptualisasi dari temuan
di lapangan.
79
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
a) Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Berdasarkan tinjauan astronomi maka Kabupaten Mamberamo Tengah
terletak pada 138028‟ – 139032‟ BT dan 3027‟ LU – 3058‟ LS. Kabupaten
Mamberamo Tengah sebagai Kabupaten pemekaran Kabupaten
Jayawijaya tahun 2008, luas wilayahnya sebesar 1.275 km2, terdiri dari 5
distrik , 59 kampung. Kabupaten Mamberamo Tengah terletak di Provinsi
Papua dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Distrik Mamberamo Hulu Kabupaten Mamberamo Raya
Sebelah Timur : Distrik Elelim dan Distrik Abenaho Kababupaten Yalimo
Sebelah Selatan : Distrik Wolo dan Bolakme Kabupaten Jayawijaya
Sebelah Barat : Distrik Bokondini Kabupaten Tolikara
Secara topografis wilayah Kabupaten Mamberamo Tengah sangat
bervariasi sebagian wilayah terdiri dari daerah dataran rendah dan
sebagian lagi terdiri dari daerah perbukitan hingga pegunungan, dengan
ketinggian antara 1.300 m – 1.700 m dpl. Berdasarkan kemiringan lahan
wilayah Kabupaten Mamberamo Tengah memiliki lahan dengan
kemiringan antara 0-15 % seluas 57.375 Ha, kemiringan 15%-40% seluas
44.625 Ha dan kemiringan 40% ke atas seluas 22.500 Ha. Iklim di
Kabupaten Mamberamo Tengah adalah Tropis basah, temperatur berkisar
antara 12 - 33qC dengan kelembaban berkisar 75 - 90%. Menurut data
80
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Mamberamo Tengah, jumlah
Penduduk Kabupaten Mamberamo tengah Tahun 2016 sebesar 43.865
jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebesar 24.126 jiwa dan perempuan
sebesar 19.739 jiwa. Distribusi penduduk terbanyak di Distrik Kobakma
(12.626 jiwa) dan paling sedikit di Distrik Megambilis ( 3541 jiwa) yang
merupakan distrik tersulit dilihat dari jangkauan pelayanannya. Berikut
dalam Gambar 3 disajikan peta Kabupaten Mamberamo Tengah:
Gambar 3. Peta Kabuapten Mamberamo Tengah
81
Profil Umum Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah
Dinas Kesehatan dipimpin oleh Seorang Kepala Dinas yang
Berkedudukan dibawah dan bertanggung sepenuhnya Kepada Bupati
sebagai Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Kepala Dinas
Kesehatan diangkat dan diberhentikan oleh Bupati dengan peraturan dan
Perundang-undangan yang berlaku. Kepala Dinas Kesehatan Membawahi
Sekretaris Dinas dan 4 Bidang yaitu Bidang Yankes, P2P, Kesmas, SDM.
Salah satu bidang yang membawahi program KIA adalah Bidang Yankes
yang membawahi 3 Seksi yaitu Seksi KIA, Seksi Gizi dan Seksi
Kesehatan Dasar.
a. Fungsi
Dinas kesehatan melaksanakan fungsi sebagai pelaksana rumah tangga
dibidang kesehatan dan tugas lain-lain yang diberikan oleh Bupati Kepala
Daerah.
b. Tugas Pokok
Untuk Melaksanakan Fungsi sebagaimana tersebut diatas, Dinas
Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah Mempunyai Tugas Pokok
sebagai berikut :
1. Menyusun rencana dan Program Kebijakan teknis dibidang
Kesehatan;
2. Melaksanakan Pembinaan Umum dibidang Kesehatan berdasarkan
kebijakan oleh Bupati selaku Kepala Daerah;
3. Melaksanakan Pembinaan Teknis dibidang Upaya Kesehatan
Masyarakat, Upaya Kesehatan Pengendalian Penyakit dan Upaya
82
Peningkatan Sumber Daya Kesehatan berdasarkan Kebijakan yang
ditetapkan oleh Bupati;
4. Memberikan Perijinan bidang kesehatan sesuai kebijakan yang
ditetapkan oleh Bupati berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
5. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian teknis dibidang
kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Melaksanakan pengendalian dan pembinaan UPTD (Puskesmas,
Puskesmas Pembantu, Polindes) dalam lingkup tugasnya;
7. Membangun kemitraan dengan lintas sektor, pihak swasta dalam
rangka meningkatkan akses pelayanan kesehatan tingkat dasar dan
rujukan;
8. Melaksanakan tugas tambahan lainnya yang ditugaskan oleh Bupati
Kepala Daerah.
Untuk mencapai Visi dan Misi, Dinas Kesehatan mempunyai beberapa
Rencana Strategis Pembangunan Kesehatan Kabupaten Mamberamo
Tengah 2013-2018 antaralain :
- Meningkatkan Mutu Manajemen Pelayanan Kesehatan;
- Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Dasar (KIA, Gizi, Imunisasi,
Promosi Kesehatan, dan Rujukan);
- Meningkatkan 6 Program pokok Puskesmas
- Meningkatkan Status Kesehatan Gizi Masyarakat dan Gizi Klinik;
- Meningkatkan Mutu Manajemen Pengawasan obat dan Makanan
Kadaluarsa;
83
- Meningkatkan Mutu Pelayanan rawat Jalan dan Rawat Inap;
- Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian Akibat Penyakit
Menular;
- Meningkatkan Penyediaan Anggaran Rujukan untuk Kesehatan dalam
rangka Mengurangi Resiko Tinggi;
- Meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tatanan
Rumah Tangga;
- Terpenuhinya kebutuhan Tenaga Kesehatan Strategis di Dinas
Kesehatan, Puskesmas Perawatan, Puskesmas Non-perawatan dan
Puskesmas Pembantu, serta Peningkatan Kesejahteraannya;
- Meningkatkan Kewaspadaan dan Pengendalian Resiko Penyakit Tidak
Menular;
- Meningkatkan Peran dan Fungsi Puskesmas dalam Menjalankan 3
Fungsi „P‟ Puskesmas (Perencanaan, Pengorganisasian/Pelaksanaan,
dan Pengendalian Evaluasi);
- Meningkatkan Peran dan Fungsi Puskesmas dalamMelaksanakan
Standar Pelayanan Minimal;
- Meningkatkan Kemampuan puskesmas dalam SOP menuju
Puskesmas ISO;
- Meningkatkan Pengawasan dan Pengendalian Program Terpadu
Kesehatan secara Berjenjang Setiap Tengah Tahun dan Akhir Tahun
Berjalan.
b) Program-program Pembangunan Kesehatan tahun 2016:
- Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
84
Program ini bertujuan untuk menumbuhkan budaya hidup bersih dan
sehat, meningkatkan peran serta dan kemandirian masyarakat baik
bagi individu, keluarga dan masyarakat dalam bidang kesehatan.
Sasaran program meliputi meningkatnya perwujudan kepedulian
perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan bermasyarakat,
terwujudnya komitmen semua unsur atau stakeholders kesehatan akan
pentingnya promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, serta
meningkatnya persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan
sehat.
- Program perbaikan gizi Masyarakat
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarga
dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu
hamil, bayi dan balita serta usia produktif. Sasaran program yakni
mencegah meningkatnya prevalensi kegemukan dan KEP pada balita,
anak sekolah dan orang dewasa, meningkatnya cakupan ibu hamil
yang mendapatkan tablet Fe, menurunnya prevalensi anemia gizi besi
pada ibu hamil dan ibu nifas, meningkatnya cakupan ASI eksklusif,
serta meningkatnya cakupan balita mendapatkan Vitamin A
- Program Pengembangan Lingkungan Sehat
Tujuan program ini adalah mewujudkan mutu lingkungan hidup yang
lebih sehat melalui pengembangan kesehatan kewilayahan untuk
menggerakkan pembangunan kesehatan berwawasan kesehatan.
Sasaran program ini adalah meningkatnya persentase keluarga
penghuni rumah yang memenuhi syarat kesehatan, meningkatnya
85
persentase keluarga pengguna air bersih, meningkatnya keluarga
pengguna jamban yang memenuhi syarat kesehatan, meningkatnya
persentase tempat-tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan
serta meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk
memelihara lingkungan sehat
- Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tujuan program ini adalah menurunkan angka kesakitan, kematian dan
kecacatan akibat penyakit menular dan tidak menular. Sasaran
programnya adalah persentase desa mencapai UCI hingga 80%,
meningkatnya temuan kasus penyakit TB dan meningkatnya
keberhasilan pengobatan penderita TB, semua penderita HIV bisa
ditangani, penderita malaria semua bisa diobati, terselenggaranya
sistem surveilans dan kewaspadaan dini, serta penanggulangan
kejadian luar biasa.
- Program Pengadaan peningkatan dan Perbaikan Sarana dan
Prasarana Puskesmas/Puskesmas Pembantu dan Jaringannya
Tujuan program ini untuk meningkatkan Sarana dan Prasarana
Puskesmas dalam rangka meningkatkan pelayanan ke masyarakat dan
juga memperbaiki atau memelihara gedung dan alat-alat pemeriksaan
kesehatan lainnya.
- Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Tujuan program ini adalah untuk menurunkan angka kematian ibu dan
ank melalui peningkatan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak
antara lain pemeriksaan kehamilan secara rutin untuk menghindari
86
riisiko kehamilan, peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan, pelayanan kesehatan anak baru lahir (nenonatus),
pemantauan tumbuh kembang anak. Pelayanan KIA meliputi:
1. Kesehatan Ibu Hamil
2. Pertolongan Persalinan dan Penanganan bayi baru lahir
3. Kesehatan Ibu Nifas dan neonatus
4. Kesehatan Bayi,Anak Balita dan Anak Pra Sekolah
5. Penangan Resiko Tinggi Ibu Hamil
6. Penanganan Neonatus Resiko Tinggi (BBLR/Prematur).
7. Pelayanan Keluarga Berencana.
- Program Peningkatan SIstem Informasi dan Manajemen Kesehatan
Tujuan program ini adalah untuk mengembangkan kebijakan serta
manajemen kesehatan sehingga berguna dalam mendukung
penyelenggaraan pembangunan kesehatan di daerah. Sasaran
program meliputi tersedianya pembiayaan kesehatan dengan jumlah
yang mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara
berhasil guna dan berdaya guna, tersedianya berbagai kebijakan serta
pedoman kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan daerah,
tersedianya informasi kesehatan yang akurat, tepat waktu dan lengkap
sebagai bahan untuk proses pengambilan dan pengelolaan
pembangunan kesehatan, serta untuk perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan serta evaluasi program kesehatan, tersusunnya
perencanaan kesehatan yang mendukung desentralisasi dan
pembangunan daerah, tercapainya target program, proyek dan
87
kegiatan yang telah ditetapkan secara tepat waktu, berkualitas dan
berkesinambungan.
- Program Pelayanan Kesehatan daerah Terpencil
Tujuan Program ini adalah mendekatkan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dengan sulitnya akses dan
transportasi.
c) Kondisi Mortalitas Kesehatan di Kabupaten Mamberamo Tengah
3) Jumlah kasus kematian bayi
Kasus kematian bayi Kabupaten Mamberamo Tengah berdasarkan
laporan rutin kematian Puskesmas Tahun 2016 tercatat 18 kasus atau
12,6/1000 KLH. Penyebab kematian bayi antara lain BBLR, Asfiksia,
Infeksi dalam persalinan, panggul sempit.
3) Jumlah kasus kematian ibu maternal
Kasus kematian ibu maternal adalah kasus kematian pada ibu yang
disebabkan oleh karena kondisi pada masa kehamilan atau persalinan
dan atau pada masa nifas. Kondisi ini menggambarkan rendahnya
derajat kesehatan masyarakat khususnya kaum ibu yang diharapkan
dapat melahirkan generasi penerus sebagai sumber daya manusia
yang berkualitas.
Dari laporan rutin data kematian per puskesmas diperoleh data
kematian ibu maternal sebanyak 8 kasus dari 144 kelahiran hidup atau
11,2/1000 Kelahiran Hidup, kasus ini terjadi karena perdarahan, infeksi
dalam persalinan, eklamsia. Namun harus kita waspadai karena ada
kemungkinan kasus-kasus kematian ibu maternal yang tidak dilaporkan
88
oleh Puskesmas mengingat keadaan geografis yang sulit dan
kemampuan Puskesmas yang terbatas dalam mendata kasus.
b. Penjelasan Hasil Penelitian
Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui wawancara mendalam,
telaah dokumen, dan observasi. Berdasarkan tujuan dari penelitian ini
maka akan disajikan hasil penelitian untuk menjawab pertanyaan
penelitian sehingga penyusunan penelitian ini dipaparkan sebagai berikut:
1. Kemampuan dan Keterampilan
Kemampuan seorang petugas kesehatan dalam melaksanakan
program Kesehatan Ibu dan Anak sangat bergantung pada beberapa
faktor seperti keterampilan yang dimiliki serta profesionalisme yang dimiliki
oleh masing-masing petugas kesehatan tersebut.
Dari data sekunder profil Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo
Tengah tahun 2016, evaluasi capaian program KIA berpedoman pada
standar pelayanan minimal yang telah ditentukan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia dengan indikator-indikator sesuai dengan
target dan pencapaian cakupan kinerja program. Hasil evaluasi program
tahun 2016 dituangkan dalam tabel 5 sebagai berikut:
89
Tabel 5. Tabel distribusi hasil evaluasi cakupan program pelayanan
kesehatan dasar dinas kesehatan tahun 2016:
PELAYANAN KESEHATAN DASAR
2016
NO. Target
(%) Realisasi
(%)
1 Target/Sasaran Cakupan kunjungan Ibu Hamil K-4 95 43,7
2 Target/Sasaran Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani
80 47,4
3 Target/Sasaran Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan
90 60,1
4 Target/Sasaran Cakupan Pelayanan Nifas 90 69,8
5 Target/Sasaran Cakupan Neonatus dengan komplikasi yang ditangani
80 26,5
6 Target/Sasaran Cakupan Kunjungan Bayi 90 71,6
7 Target/Sasaran Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI)
100 44,9
8 Target/Sasaran Cakupan pelayanan anak balita sakit 90 73
9 Target/Sasaran Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6 - 24 bulan keluarga miskin
100 80,7
10 Target/Sasaran Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan
100 100
11 Target/Sasaran Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat
100 56,6
12 Target/Sasaran Cakupan peserta KB aktif 70 51,2 Sumber : Data sekunder, Profil Dinas Kesehatan Kab. Memberamo Tengah (2016)
Pada Tabel 5 di atas terdapat 12 indikator SPM yang berkaitan
langsung dengan program KIA. Realisasi cakupan pada tahun 2016 masih
di bawah target nasional yang sudah ditentukan oleh Kementerian
Kesehatan. Ada beberapa indikator yang cakupannya masih rendah dan
berkaitan langsung dengan kemampuan dan keterampilan bidan seperti
pemeriksaan ibu hamil, pertolongan persalinan, imunisasi, dan
pemasangan KB.
90
Dari hasil wawancara dari beberapa informan yang menyatakan
bahwa :
“...bidan yang sudah berpengalaman itu biasanya terampil dalam menolong persalinan, tapi ada juga yang belum...biasanya itu bidan yang baru-baru lulus..ya baru diangkat honorer...baru sebagian juga belum punya STR (Surat Tanda Registrasi) bidan...kami rekrut saja karena untuk menutupi kekurangan tenaga...ya walaupun tidak punya STR... ” (KP) “...Bidan di wilayah kerja saya ini masih bidan baru lulus semua... jadi masih kurang terampil... mungkin karena pengalaman mereka masih kurang... seharusnya mereka itu diberikan pelatihan-pelatihan... tidak ada bidan koordinator (bikor) di sini yang mendampingi...”(CK)
“...kami (Dinas Kesehatan Kabupaten Memberamo Tengah) sudah
2 kali melaksanakan program pelatihan APN (Asuhan Persalinan Normal)...memang belum semua bidan ikut pelatihan itu...pelatihan lainnya baru kami mau rencanakan ke depan...” (MS)
Pernyataan diatas juga dikuatkan oleh pengakuan petugas program
KIA di Puskesmas yang mengatakan bahwa:
“...saya belum pernah ikut pelatihan atau kursus, macam pelatihan APN (asuhan persalinan normal) tuh belum pernah diikutkan...kitong (kami) di puskesmas kobakma ini ada 15 bidan tapi yang ikut pelatihan APN baru 3 orang saja...” (MM) “...kalau kami tuh urus STR (Surat Tanda Registrasi) masing-masing saja... itu urusnya ke MTKP (Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi di dinas kesehatan provinsi ...adek-adek bidan yang baru honorer itu ada yang belum punya STR...” (LP)
91
Dari beberapa wawancara yang dilakukan, peneliti berkesimpulan
bahwa kemampuan yang dimiliki oleh sebagian petugas pelaksana
program KIA (bidan) di wilayah kerja Kabupaten Mamberamo Tengah
masih rendah.
Hal ini dapat dinilai dari beberapa pengakuan pimpinan Dinas
Kesehatan dan Kepala Puskesmas bahwa sebagian bidan masih kurang
pengalaman kerja, pemberian pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan
KIA masih sangat kurang dan bahkan ada sebagian yang belum pernah
ikut pelatihan Asuhan Persalinan Normal. Kemudian di salah satu
Puskesmas belum ada bidan koordinator (bikor) yang merupakan bidan
senior yang seharusnya melakukan pendampingan kepada bidan-bidan
yang baru lulus/tamat dan langsung dipekerjakan. Dari hasil wawancara
juga mengakui hal yang sama bahwa pelatihan APN baru 2 kali
dilaksanakan sehingga pelatihan lainnya baru direncanakan ke depannya.
Di samping itu masih ada beberapa tenaga bidan yang tidak memiliki STR
(Surat Tanda Registrasi) bidan. Dan pengurusan STR oleh masing-
masing bidan ke MTKP yang berkedudukan di Dinas Kesehatan Provinsi.
Hal ini dikarenakan belum terbentuknya organisasi profesi IBI (Ikatan
Bidan Indonesia) di Kabupaten Mamberamo Tengah sebagai
penyelenggara uji kompetensi bidan dan yang berhak mengeluarkan
rekomendasi untuk pengurusan STR bidan.
92
2. Ketersediaan dana
Perincian APBD Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah
tahun 2016 berdasarkan sumber dana dan alokasi per program dapat
dilihat pada tabel 6 dan tabel 7 di bawah ini.
Tabel 6. Tabel distribusi Alokasi Dana Sumber Pembiayaan Kegiatan
Kesehatan di Kabupaten Memberamo Tengah (Tahun 2014-2016)
No. SUMBER DANA 2014 (Rp) 2015 (Rp) 2016 (Rp)
1 DAK 11.000.000.000.- 13.044.540.000.- 25.845.190.000.-
2 DAU 5.555.089.700,- 10.000.000.000.- 13.848.900.000.-
3 OTSUS 10.000.000.000,- 16.000.000.000.- 10.939.670.000.-
4 DANA BOK 1.500.000.000. 1.800.000.000. 1.885.000.000.
5 DANA BPJS 2.403.000.000,- 3.200.000.000.- 2.400.000.000.-
JUMLAH Rp.30.458.089.700 Rp.44.044.540.000 Rp.54.918.760.000
Sumber : Data sekunder, Profil Dinas Kesehatan Kab. Memberamo Tengah (2016)
Pendanaan atau pembiayaan kesehatan dalam pelaksanaan
Program KIA di Dinas Kesehatan Kab. Mamberamo Tengah tahun 2016
bersumber dari dana APBD Kabupaten dan dana tugas pembantuan BOK
dari Kementerian Kesehatan. Dana APBD Kabupaten terdiri dari dana
DAU yang dipergunakan untuk membiayai belanja aparatur dan kegiatan
penunjang lainnya, dana OTSUS yang digunakan untuk membiayai
kegiatan atau program yang sifatnya adalah pelayanan publik dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) yang dikhususkan untuk membiayai kegiatan fisik
sarana dan prasarana kesehatan (Puskesmas dan jaringannya).
93
Berikut data anggaran per program di bawah ini pada tabel 7 di
bawah ini:
Tabel 7. Alokasi Dana per program (Tahun 2014-2016)
NO PROGRAM/KEGIATAN JUMLAH DANA (Rp)
PERSENTASE ANGGARAN
(%)
1 Pelayanan Administrasi Perkantoran 10,616,000,000 19.3
2 Peningkatan Sarana dan Prasarana 23,475,850,000 42.7
3 Peningkatan Sumber Daya Kesehatan 4,846,340,000 8.8
4 Peningkatan Upaya Kesehatan Masyarakat 5,857,984,000 10.7
5 Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat 736,500,000 1.3
6 Perbaikan Gizi Masyarakat 1,500,605,000 2.7 7 Kesehatan Lingkungan 400,940,000 0.7
8 Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular 3,086,150,000 5.6
9 Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak 2,297,731,000 4.2
10 Pelayanan Kesehatan Daerah Sangat Terpencil 2,100,660,000 3.8
TOTAL 54,918,760,000 100.00
Sumber : Data sekunder, Profil Dinas Kesehatan Kab. Mamberamo Tengah (2016)
Dari data sekunder Tabel 6 dan Tabel 7 di atas menunjukkan
bahwa pada tahun 2016 total alokasi APBD Dinas Kesehatan Kabupaten
Mamberamo Tengah sebesar Rp. 54.918.760.000,- sedangkan besaran
alokasi dana untuk program KIA tahun 2016 sebesar Rp. 2.297.731.000.-
yang artinya hanya 4,2 % dari total anggaran APBD Dinas Kesehatan
Kabupaten Mamberamo Tengah tahun 2016. Dari data tersebut
menggambarkan bahwa alokasi anggaran masih lebih mengutamakan
pembangunan fisik (sarana prasarana) dan belanja pegawai (administrasi
perkantoran) dibanding program/kegiatan pelayanan dasar.
94
Selain itu, dari hasil wawancara terhadap beberapa informan dalam
kaitannya dengan pembiayaan program KIA menyatakan bahwa:
“...dana untuk program KIA diambil dari dana BOK biasanya
mereka pergunakan untuk kegiatan posyandu... sebagian juga dari
dana BPJS, itu biasanya dorang pake untuk klaim pertolongan
persalinan atau jasa pelayanan saja... sedangkan dana DAK,
OTSUS dan DAU tidak kami alokasikan untuk program KIA...
sebenarnya belum cukup...pemda masih mengutamakan
pembangunan fisik jadi... ” (MS)
“...dana yang dialokasikan untuk program KIA di puskesmas kami
itu sebenarnya bisa cukup... hanya karena selain membiayai
kegiatan ini juga kadang kami ini ada kebutuhan lain lagi
jadi...macam rehab Polindes yang sudah lapuk tuh...”(MH)
“...biasanya kalau mau rujuk pasien ibu hamil risiko tinggi tuh kapus
bilang kamu stop sudah pakai biaya rujukan tidak ada uang untuk
rujukan ibu hamil...dana dari dinas mereka kasih itu tidak
cukup...kasih tau berangkat sendiri sudah...ini kan pakai pesawat...
baru mahal lagi..kasian ibunya belum tentu dia ada uang...” (FS)
“...wilayah kerja Puskesmas kami 19 kampung yang sangat
berjauhan... ini membutuhkan biaya yang besar untuk transportasi
bidan setiap bulan melaksanakan PWS KIA... akhirnya ada saja
yang tidak bisa jalan tiap bulan...”(KY)
95
Kemudian ada juga hasil wawancara lain yang menyatakan bahwa:
“...dana yang mereka cairkan dari dinas tuh selalu terlambat ke
puskesmas... ini kegiatan rutin sebenarnya dimulai dari januari...
akhirnya program seperti KIA jadi terhambat... itu sangat pengaruh
dalam pelayanan kami kepada masyarakat...” (LG)
Dari wawancara informan Dinas Kesehatan mengatakan bahwa
ketersediaan dana dalam menjalankan program di Kabupaten
Mamberamo Tengah belum tepat sasaran karena masih lebih
mengutamakan pembangunan fisik (sarana dan prasarana). Dana OTSUS
dan DAU tidak dialokasikan untuk program KIA. Kemudian dari sebagian
puskesmas mengatakan bahwa dana tidak cukup untuk biaya transportasi
kegiatan KIA, biaya rujukan pasien, dan rehabilitasi polindes. Dana untuk
salah satu puskesmas (Puskesmas Eragayam) terlambat di cairkan dari
dinas kesehatan sehingga itu juga sangat berpengaruh dalam
menjalankan program yang seharusnya sudah dimulai berjalan dari awal
tahun.
3. Supervisi program
Supervisi merupakan pengamatan secara langsung dan berkala
oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk
kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau
bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya.
Berikut ini beberapa wawancara dengan informan dari Dinas
Kesehatan yang dilakukan berkaitan dengan kegiatan supervisi program
KIA menyatakan bahwa:
96
“...kalau saya jarang turun ke lapangan untuk supervisi karena saya sifatnya hanya menerima laporan dari kepala seksi KIA... kalau ada kendala-kendala baru dicarikan solusinya...” (MS) “...supervisi jarang kami lakukan... yang penting laporan bulanan dari puskesmas lancar-lancar saja kan...” (KP) Hal serupa juga dikemukakan oleh informan dari Puskesmas yang
menyatakan bahwa:
“...dari dinas mereka jarang turun melakukan pendampingan atau supervisi untuk program KIA... iya mungkin hanya 2 kali setahun kah...itu pun hanya datang sebentar saja ambil data-data di puskesmas...” (AS)
“...sepanjang tahun ini kami belum pernah didampingi dari dinas kalau kegiatan posyandu...mungkin mereka sibuk...” (SS)
Dari hasil wawancara informan dari dinas kesehatan di atas
disimpulkan bahwa supervisi program KIA dari pimpinan jarang dilakukan
karena hanya mengharapkan laporan dari seksi KIA di dinas, serta
pencatatan dan pelaporan bulanan progam KIA dari masing-masing
puskesmas. Hal ini didukung juga oleh pernyataan dari beberapa informan
di puskesmas mengatakan bahwa dari dinas belum ada keseriusan dalam
hal supervisi dan pendampingan program. Dikatakan bahwa kadang
kunjungan dari dinas kesehatan hanya 2 kali dalam setahun. Bahkan ada
petugas puskesmas yang merasa tidak pernah ada pendampingan dalam
kegiatan posyandu. Dalam pengamatan di lapangan ditemukan bahwa
97
supervisi pimpinan masih belum optimal dalam mendukung program
kegiatan KIA di Kabupaten Mamberamo Tengah.
4. Perencanaan Program
Berikut ini hasil wawancara yang dilakukan terhadap beberapa
pihak terkait Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah :
“...kalau Renstra itu disusun oleh pejabat lama...saya belum ada sosialisasi ke bawahan mengenai renstra dinas kesehatan...” “...untuk pedoman pelaksanaan program KIA sudah ada (SPM) standar pelayanan minimal...itu diberikan dari pusat (kementerian kesehatan)... saya kurang tau kalau sudah di sosialisasikan kah tidak... saya pikir itu tugas Kepala Seksi KIA... kami belum buatkan SOP khusus untuk kegiatan di KIA...” (MS)
Hal ini didukung oleh pernyataan informan dari seksi KIA bahwa:
“...mengenai Renja SKPD tahunan belum kami susun...itu mungkin di bagian perencanaan program kah... SPM itu saja yang kami jadikan dasar sebagai target puskesmas... yang penting mereka laksanakan kegiatan rutin sesuai tupoksinya... SOP kami belum buat juga di unit layanan KIA...” (KP)
Kemudian hasil wawancara dengan informan dari puskesmas menyatakan
bahwa:
“...dalam minilokakarya puskesmas hanya membahas jadwal
kegiatan rutin bulanan, termasuk kegiatan KIA...itu biasanya kami buat POA Puskesmas sebagai acuan dalam menjalankan kegiatan...” (AS)
98
“...kami ini hanya berpedoman pada penyusunan target tahunan yang sudah ditentukan dari dinas... tugas kami itu melaksanakan kegiatan rutin di KIA dan buat laporan bulanan untuk di kirim ke dinas...tidak pernah disuruh buat perencanaan program KIA...” (FS)
Dari hasil wawancara di atas disimpulkan bahwa dinas kesehatan
tidak memiliki Renja SKPD yang jelas. Kepala Dinas mengakui bahwa
Renstra SKPD 5 tahun sudah disusun dari pejabat yang lama namun
belum pernah ada sosialisasi ke puskesmas. Kemudian Kepala Seksi KIA
mengatakan bahwa mereka tidak menyusun Renja tahunan. Target
pencapaian program KIA di puskesmas mengacu pada standar pelayanan
minimal (SPM) yang telah ditentukan dari Kementerian Kesehatan.. Di sisi
lain belum ada standar operasional prosedur (SOP) sebagai pedoman
dalam menjalankan program KIA di puskesmas. Namun ada satu
puskesmas yang membahas POA (Plan of Action) program dalam
minilokakarya puskesmas, sehingga POA puskesmas menjadi acuan
dalam menjalankan program termasuk program KIA.
B. Pembahasan
Program Kesehatan Ibu Anak (KIA) merupakan salah satu prioritas
utama pembangunan kesehatan di Indonesia. Program ini bertanggung
jawab terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan, dan
bayi neonatal. Salah satu tujuan program ini adalah menurunkan kematian
dan kejadian sakit pada ibu dan anak melalui peningkatan mutu
pelayanan dan menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan ibu dan
perinatal di tingkat pelayanan dasar dan pelayanan rujukan primer.
99
Strategi KIA antara lain pemberdayaan perempuan/suami dan keluarga,
pemberdayaan masyarakat, adanya kerjasama lintas sektor/ mitra lain
termasuk pemerintah daerah dan lembaga legislatif dan yang terakhir
adalah peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan
anak secara terpadu dengan komponen kesehatan reproduksi yang lain.
Penelitian ini menganalisis kemampuan dan keterampilan petugas
KIA, ketersediaan sumber daya dana/pembiayaan yang diperuntukkan
pada program KIA, supervisi program dan desain pekerjaan dari pimpinan
dalam menjalankan program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten
Mamberamo Tengah.
1. Kemampuan dan Keterampilan
Bidan merupakan ujung tombak pelaksana program KIA di
pelayanan kesehatan tingkat dasar (puskesmas). Masyarakat berhak
mendapat pelayanan kesehatan yang baik khususnya ruang lingkup
kesehatan ibu dan anak. Adalah merupakan suatu hal yang sangat fatal
jika kemampuan dan keterampilan masih jauh dari harapan masyarakat.
Kompetensi bidan yang meliputi pendidikan, pengetahuan dan
ketrampilan harus dimiliki oleh bidan dalam melaksanakan praktik
kebidanan secara aman dan bertanggung jawab pada berbagai tatanan
pelayanan kesehatan (Ikatan Bidan Indonesia, 2006).
Dari hasil telaah dokumen profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Mamberamo Tengah tahun 2016, terdapat 12 indikator SPM yang
berkaitan langsung dengan program KIA. Realisasi cakupan pada tahun
100
2016 masih di bawah target nasional yang sudah ditentukan oleh
Kementerian Kesehatan. Ada beberapa indikator yang cakupannya masih
rendah dan berkaitan langsung dengan kemampuan dan keterampilan
bidan seperti pemeriksaan ibu hamil, pertolongan persalinan, imunisasi,
dan pemasangan KB.
Kabupaten Mamberamo Tengah baru dimekarkan sejak tahun
2008, hal ini berdampak pada kualitas SDM yang ada di layanan tingkat
dasar. Berdasarkan pengamatan/observasi terlihat jelas bahwa PNS yang
sudah berpengalaman jumlahnya masih jauh lebih sedikit. Sehingga
SKPD teknis termasuk Dinas Kesehatan melakukan perekrutan tenaga
honorer yang kebanyak masih lulusan baru seperti yang dijelaskan oleh
beberapa informan di atas. Hal ini menggambarkan bahwa sebagian bidan
masih kurang dalam pengalaman kerja. Selain itu, sebagian bidan belum
pernah ikut pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan KIA seperti
pelatihan Asuhan Persalinan Normal. Padahal pelatihan APN adalah
salah satu syarat dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan
tenaga bidan. Pelatihan-pelatihan lainnya pun baru mau direncanakan ke
depan. Kemudian di salah satu Puskesmas bahkan tidak ada bidan
koordinator (bikor) yang merupakan bidan senior yang seharusnya
melakukan pendampingan kepada bidan-bidan yang baru lulus/tamat dan
langsung dipekerjakan. Sehingga dampak dari masalah tersebut di atas
adalah cakupan program KIA masih rendah di Kabupaten Mamberamo
Tengah.
101
Walaupun mereka sudah melalui pendidikan formal kebidanan
namun tentu masih kurang dalam pengalaman kerja. Perekrutan tenaga
tersebut tidak dibarengi dengan jaminan mutu tenaga bidan tersebut
sehingga persyaratan STR (Surat Tanda Registrasi) bidan tidak terlalu
dianggap penting. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 161/Menkes/Per/I/2010 tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan mengatakan bahwa setiap tenaga kesehatan yang akan
menjalankan pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki STR sebagai
jaminan mutu tenaga kesehatan tersebut. STR diperoleh melalui Uji
Kompetensi sebagai suatu proses untuk mengukur pengetahuan,
keterampilan, dan sikap tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi.
Sehingga proses standarnisasi kompetensi bidan di Kabupaten
Mamberamo Tengah belum bisa dilakukan, yang mana sebenarnya yang
sudah layak melaksanakan praktek kebidanan dan mana yang belum
bisa.
Petugas yang sudah pernah mendapatkan pelatihan mempunyai
peluang kinerja tinggi 2,9 kali lebih besar dibandingkan dengan petugas
yang tidak pernah dilatih. Pelatihan atau training menurut Notoatmodjo
adalah salah satu bentuk proses pendidikan, karena melalui training, akan
memberikan pengalaman belajar yang akhirnya akan menimbulkan
perubahan perilaku. Pelatihan bagi karyawan mutlak diperlukan sebagai
proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar
karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung
jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar kerja. Pelatihan
102
yang diberikan merujuk pada pengembangan ketrampilan bekerja yang
dapat digunakan dengan segera sehingga akan memberikan pengaruh
positif terhadap kinerja dari karyawan yang bersangkutan (Notoatmodjo,
2008).
Pelatihan program KIA yang semakin banyak didapatkan oleh
petugas akan meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan program pada
petugas yang bersangkutan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Fort & Voltero (2004). di Armenia yang mendapatkan
hasil serupa yaitu pelatihan merupakan faktor yang berhubungan kuat
dengan kinerja. Demikian juga hasil penelitian Purwanti dan Ayubi (2007)
di Kabupaten Karawang menyatakan bahwa pelatihan merupakan variabel
yang berhubungan secara statistik dengan kinerja petugas.
Untuk dapat meningkatkan kinerja petugas diperlukan upaya
pelatihan teknis secara berkelanjutan terutama tentang pembuatan dan
pemanfaatan PWS, meningkatkan motivasi melalui pemberian
penghargaan baik berupa finansial maupun non finansial dan
mengalokasikan dana bantuan operasional kesehatan untuk kegiatan
kelas ibu hamil.
Penelitian Setyaningsih (2008) di Kota Pekalongan membuktikan
bahwa interaksi petugas kesehatan dengan responden secara bermakna
berhubungan terhadap praktik ibu balita dalam pencegahan anemia gizi
besi balita. Berdasarkan aspek kualitas tenaga pelayanan KIA, aspek
jenjang pendidikan sudah cukup ideal, tetapi dari aspek pendidikan dan
pelatihan untuk meningkatkan kemampuan kompetensi masih belum
103
maksimal. Kesadaran tenaga kesehatan terhadap kualitas harus terus
ditingkatkan karena permasalahan kesehatan sering terjadi pada petugas
yang kurang kompeten dan kepuasan pengguna jasa juga tidak akan
terwujud. Sejalan dengan hasil Penelitian Sari (2007) di Posyandu
membuktikan bahwa kualitas pelayanan berhubungan dengan tingkat
pemanfaatan posyandu, artinya orang tidak akan mewujudkan praktik
ideal dalam pelayanan kesehatan jika tidak didukung oleh pelayanan
tenaga kesehatan yang kompeten.
Penelitian yang sama yang di lakukan oleh Asikin (2013) dengan
judul “Analisis Penerapan Program KIA di Puskesmas Samata dan
Puskesmas Bontolempangan Kabupaten Gowa Tahun 2013”,
mengemukakan bahwa dampak dari masih rendahnya kualitas bidan di
Puskesmas Samata dan Puskesmas Bontolempangan sangat
menyebabkan program KIA tidak berjalan optimal dikarenakan minimnya
pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh bidan sebagai petugas KIA.
Kemudian penelitian oleh Aryanti (2010) dengan judul “Analisis Kualitas
Pelayanan Antenatal Oleh Bidan Di Puskesmas Di Kabupaten
Purbalingga tahun 2010” mengatakan bahwa hasil pengamatan yang
dilakukan pada saat bidan melakukan pelayanan antenatal diperoleh hasil
rata-rata keseluruhan 65,85%, masih di bawah standar yaitu 75%, hal ini
dikarenakan belum ada kepatuhan terhadap standar pelayanan antenatal,
ada bagian yang belum dilaksanakan di antaranya penyuluhan,
pengukuran panggul, dan patela reflek.
104
Kepatuhan adalah sikap mau mentaati dan mengikuti suatu
spesifikasi, standar atau aturan yang telah diatur dengan jelas yang
diterbitkan oleh organisasi yang berwenang. Seseorang dikatakan patuh
apabila ia dapat memahami, menyadari dan menjalankan peraturan yang
telah ditetapkan, tanpa paksaan dari siapapun. Kepatuhan bidan dalam
menerapkan standar pelayanan kebidanan dapat dipengaruhi oleh faktor
individu dan organisasi (Robbins, 2002).
Kepatuhan bidan menerapkan standar pelayanan kebidanan bagi
kesehatan ibu dan anak berdampak dan mempunyai daya ungkit terhadap
kualitas pelayanan antenatal yang diberikan, yang selanjutnya
berkontribusi terhadap penurunan angka morbiditas dan mortalitas pada
ibu dan bayi. Terdapat cukup bukti yang menunjukkan masih rendahnya
kualitas pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat, seperti studi yang
dilakukan di Indonesia oleh D‟Ambruoso, (2009) yang menyatakan bahwa
pelayanan kebidanan yang diberikan oleh bidan masih di bawah standar
pelayanan. Penelitian Prual,et.all (2011) di Nigeria menyebutkan kualitas
pemeriksaan faktor risiko selama konsultasi antenatal memiliki efektivitas
dalam mencegah dan memprediksi komplikasi obstetrik. Didukung
penelitian Mathole (2011) di Zimbabwe yang menyatakan kunjungan
antenatal yang pertama kali dapat mendeteksi komplikasi kehamilan.
Dari beberapa penelitian diatas tersebut sangat jelas bahwa
kemampuan dan keterampilan seorang petugas KIA sangat berpengaruh
pada hasil kinerja petugas tersebut. Hal ini menjadi salah satu penyebab
kenapa cakupan program KIA tidak bisa mencapai target SPM yang telah
105
ditentukan dari Kementerian Kesehatan terutama dalam menurunkan
angka kematian ibu dan anak.
Untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan para tenaga
kesehatan tersebut maka seharusnya diberikan peningkatan kapasitas
keahlian dan keterampilan terkait KIA yang kedepannya akan berdampak
pada kinerja yang dihasilkannya secara individu dan organisasi tempat dia
bekerja secara keseluruhan.
Salah satu hal untuk mendorong percepatan kualitas kerja petugas
KIA dalam hal ini bidan-bidan di puskesmas yaitu memberikan lebih
banyak pelatihan-pelatihan atau kursus yang berkaitan dengan tugas
utamanya. Ada banyak jenis pelatihan/ kursus pelatihan untuk bidan
seperti Asuhan Persalinan Normal, Pelatihan Pemasangan KB,
penanganan asfiksia Noenatus (bayi baru lahir), manajemen terpadu
balita sakit (MTBS), manajemen terpadu balita muda (MTBM), dan lain-
lain. Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo Tengah seharusnya sudah
merencanakan pelatihan-pelatihan tersebut.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
836/Menkes/Sk/VI/2005 diatur tentang Bidan koordinator (Bikor) adalah
bidan di puskesmas atau di dinas kesehatan kabupaten/kota yang karena
kemampuannya mendapat tanggung jawab membina bidan di wilayah
kerjanya baik secara perorangan maupun berkelompok. fungsi dari bikor
adalah membimbing pengetahuan, keterampilan klinis profesi dan
sikap bidan serta membina bidan dalam pengelolaan program KIA.
Aplikasi kerja seseorang selain dari hasil pendidikan yang telah
106
diperoleh, juga berdasarkan pengalaman-pengalaman yang pernah
dialaminya. Pada dasarnya orang belajar tergantung pada situasi yang
dihadapinya, dimana situasi tersebut ditentukan oleh pengalaman artinya
ditentukan oleh apa yang pernah dialaminya, didengar serta dibacanya.
Pengalaman kerja pada hakekatnya merupakan rangkuman
pemahaman terhadap apa yang dialami seseorang dalam pekerjaannya,
sehingga apa yang dialami tersebut merupakan miliknya. Keterampilan
seseorang dapat dikembangkan melalui pengalaman langsung ketika
bekerja. Seseorang yang mempunyai pengalaman dalam menyelesaikan
tugas, akan memperoleh satu keunggulan, atau akan mengembangkan
cara yang lebih baik untuk melakukan sesuatu.
Peneliti berkesimpulan bahwa kemampuan dan keterampilan
sebagian bidan sebagai pelaksana program KIA di wilayah kerja
puskesmas Kabupaten Memberamo Tengah masih rendah.
2. Ketersediaan dana
Dalam pembangunan nasional, perkembangan kesehatan sangat
berpengaruh dan dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi. Berkaitan
dengan hal tersebut, besarnya alokasi dana merupakan salah satu unsur
strategis dalam pembangunan kesehatan. Tersedianya alokasi dana yang
memadai dan pemanfaatan yang efisien, serta pemerataan akan
mendukung suksesnya pembangunan kesehatan (Akhirani & Trisnantoro,
2004).
Masalah dalam pembiayaan kesehatan di Indonesia adalah belum
optimalnya efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan. Hal ini terkait erat
107
dengan jumlah dana yang kurang, alokasi yang tidak sesuai prioritas, dan
pola belanja yang cenderung pada investasi barang dan kegiatan tidak
langsung. Dominannya belanja investasi dan kegiatan tidak langsung
berdampak pada kurangnya biaya operasional dan biaya untuk kegiatan
langsung. Di sisi lain, kinerja suatu program kesehatan sangat ditentukan
oleh kecukupan biaya operasional dan biaya untuk kegiatan langsung.
Kondisi ini diperburuk lagi dengan terlambatnya pencairan dana yang
secara umum mempengaruhi pencapaian target program (Gani, 2009).
Penelitian ini yang dilakukan Dodo (2012) di Yogyakarta
menemukan bahwa ada ketidakpastian pembiayaan dalam kegiatan
program KIA dari awal tahun sampai pertengahan tahun bahkan akhir
tahun. Ketidakpastian pembiayaan ini menyulitkan tenaga kesehatan yang
ada di tingkat pelayanan dasar di kecamatan dan desa/posyandu. Tenaga
kesehatan mengeluarkan biaya sendiri atau berhutang kepada pihak lain.
Dalam kondisi ketidakpastian pembiayaan ini, sangat sulit untuk
menjalankan kegiatan rutin dan membuat inovasi di tingkat desa atau
puskesmas.
Peraturan Pemerintah No. 8/2008 tentang Tahapan, Tatacara
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah, pada pasal 36 ayat (1) butir c menyebutkan
bahwa: program, kegiatan dan pendanaan disusun berdasarkan program
prioritas urusan wajib dan urusan pilihan yang mengacu pada standar
pelayanan minimal sesuai dengan kondisi nyata daerah dan kebutuhan
masyarakat. Program KIA adalah program prioritas secara nasional, oleh
108
karena itu sudah semestinya pemerintah daerah mengalokasikan
anggaran sesuai dengan kebutuhan dan tingkatan prioritas tersebut. Jika
mengacu kepada SPM, maka lebih jelas lagi bahwa program KIA
merupakan salah satu pelayanan kesehatan dasar dengan 8 indikator
yang wajib dipenuhi.
Pendanaan atau pembiayaan kesehatan dalam pelaksanaan
Program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Memberamo Tengah tahun
2016 bersumber dari dana APBD Kabupaten dan dana tugas pembantuan
BOK dari Kementerian Kesehatan. Dana APBD Kabupaten terdiri dari
dana DAU yang dipergunakan untuk membiayai belanja aparatur dan
kegiatan penunjang lainnya, dana OTSUS yang digunakan untuk
membiayai kegiatan atau program yang sifatnya adalah pelayanan publik
dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dikhususkan untuk membiayai
kegiatan fisik sarana dan prasarana kesehatan (Puskesmas dan
jaringannya). Sedangkan sumber dana dari Kementerian Kesehatan
dipergunakan untuk dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Dari
data sekunder diperoleh bahwa persentase alokasi dana untuk program
KIA pada tahun 2016 yaitu hanya 4,2 %. Sebagian besar alokasi
anggaran untuk pembangunan fisik sarana dan prasarana serta belanja
pegawai. Beberapa sumber dana seperti dana OTSUS dan DAU yang
seharusnya menurut petunjuk teknisnya bisa dpergunakan untuk program
KIA namun pada kenyataannya tidak dialokasikan untuk program KIA.
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) merupakan bantuan
pemerintah kepada pemerintah daerah dalam melaksanakan Standar
109
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan untuk pencapaian Millenium
Development Goals (MDGs) tahun 2015 melalui peningkatan kinerja
Puskesmas dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat
promotif dan preventif. Implementasi pemanfaatan BOK dalam upaya
peningkatan KIA di puskesmas mencakup beberapa kegiatan yaitu
pendataan sasaran, surveilans, kunjunganrumah, rujukan peserta
jampersal, serta transportasi ANC, persalinan, PNC, KN dan KF. (Menkes,
2011).
Rendahnya alokasi anggaran program KIA yang bersumber dari
dana APBD tidak terlepas dari pengaruh proses pengambilan keputusan
yang bersifat politis. Meskipun sudah diketahui bahwa program KIA
merupakan kebijakan nasional dan beberapa kegiatan yang akan
dilakukan adalah intervensi yang paling efektif untuk mengatasi masalah
kematian ibu dan bayi, tetap saja tidak akan dipilih jika tidak mendapat
dukungan dari kekuatan politis yang memiliki akses terhadap penggunaan
sumber daya, baik di parlemen maupun pemerintah (Reinke, 1994).
Dibutuhkan alokasi dana yang besar untuk membiayai program
kesehatan. Besarnya alokasi biaya untuk kesehatan sangat dipengaruhi
oleh pola kebijakan politik, ekonomi dan perundangan yang ada. Political
will pemerintah disemua tingkatan dalam rangka kebijakan alokasi biaya
kesehatan dapat berperan banyak demi sistem kesehatan yang lebih
reliabel dan tahan goncangan (Sasmito, 2007). Menyatakan komitmen
politik daerah sangat tergantung pada koalisi stakeholder yang mampu
menggerakkan arah kebijakan yang sesuai dengan prioritas daerah
110
(Hasanbasri, 2009). Ini juga dipertegas oleh Oyaya (2003) yang
menyatakan reformasi sektor kesehatan diartikan sebagai proses
perubahan yang terus menerus dalam meningkatkan kinerja dan fungsi
dari sektor kesehatan untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat.
Keberadaan pemerintah dan dukungan dari lembaga-lembaga donor
diharapkan mampu meningkatkan komitmen untuk menciptakan sehat
untuk semua. Komitmen stakeholder dalam koordinasi pembiayaan
seperti BOK, Jamkesmas, Jampersal dan sumber yang lain mutlak
diperlukan. Menyatakan upaya pemerintah pusat menggulirkan BOK ini
harus diperkuat oleh komitmen dinas kesehatan selaku operator dana
BOK di daerah sebelum diserahkan ke puskesmas. Harus ada suatu
grand strategi bagaimana pengelolaan dana kesehatan yang baik dan
akan memberikan dampak untuk tercapainya hasil yang baik.
Tersedianya dana BOK di puskesmas sangat membantu petugas
dalam menjalankan program promotif dan preventif yang mana
sebelumnya dana operasional puskesmas sangat terbatas. Jangkauan
pelayanan bisa lebih luas karena adanya dana operasional yang
mendukung program puskesmas. Dana yang cukup untuk membiayai
program KIA akan mampu meningkatkan kinerja petugas KIA. Hasil
penelitian Hani (2012) di Kabupaten Gowa menyatakan bahwa dana BOK
terbukti dapat meningkatkan kinerja puskesmas.
Hal ini sejalan dengan Heywood & Harhap (2009) yang
menyatakan bahwa besarnya dana yang disalurkan oleh pemerintah pusat
berlawanan dengan janji desentralisasi, hanya terjadi sedikit peningkatan
111
wewenang bagi kebijaksanaan di tingkat kabupaten dalam mengelola
dana masyarakat untuk kesehatan yang alasan kurangnya peningkatan
fasilitas kesehatan masyarakat. Keputusan-keputusan penting masalah
pembiayaan masih dibuat oleh pemerintah pusat (Borghi et.al, 2006).
Kemampuan negara-negara miskin untuk memobilisasi sumber keuangan
untuk kesehatan masih dipertanyakan, untuk itulah kehadiran lembaga
donor sangat penting untuk mengatasi kesenjangan sumber daya
keuangan. Untuk menghasilkan sesuatu yang efektif pada umumnya
lembaga donor harus meningkatkan investasi disektor kesehatan terutama
kesehatan ibu.
Hasil penelitian penelitian yang dilakukan oleh Erpan (2012) yang
menemukan bahwa pada tingkat kabupaten proses perencanaan
pembiayaan KIA dalam pembangunan kesehatan antara lain dalam
bentuk Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) dan forum Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang bersifat lintas sektor, serta
Rencana Kerja (Renja) dinas kesehatan yang bersifat internal atau lintas
program dimana pihak dinas kesehatan dan unsur terlibat. Hasil penelitian
Siahaan (2010) membuktikan bahwa dana merupakan faktor utama yang
berperan dalam mewujudkan pelayanan KIA. Tidak cukupnya dana
membuat banyak program KIA yang seharusnya dilaksanakan tidak dapat
terwujud atau tidak maksimal dilakukan. Dana merupakan salah satu
unsur yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, dana merupakan alat
yang penting untuk mencapai tujuan.
112
Kabupaten Mamberamo Tengah merupakan kabupaten baru
dimekarkan sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih nihil. Hal ini
berdampak pada pendanaan program khususnya program KIA pada
Dinas Kesehatan. Dengan kondisi seperti ini maka pemerintah daerah
Kabupaten Mamberamo Tengah sampai saat ini masih bergantung penuh
pada dana transfer dari pusat.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 tahun 2015 tentang
Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dijelaskan bahwa
dana BOK peruntukannya untuk pelayanan kesehatan Puskesmas,
Puskesmas Pembantu, Poskesdes / Polindes. Dijelaskan bahwa 60 %
harus dilalokasikan pada program pelayanan kesehatan prioritas
diantaranya menurunkan prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk,
menurunkan angka kematian balita, menurunkan angka kematian ibu dan
mewujudkan akses kesehatan reproduksi. Program prioritas yang telah
disusun dalam juknis BOK antara lain pelayanan ANC (Antenatal Care),
pelayanan Kesehatan Ibu bersalin (bulin), pelayanan kesehatan ibu nifas
(bufas), pelayanan bayi baru lahir (neonatus), balita dan perbaikan gizi
anak, serta imnusisasi. Selain itu, dalam Pergub Papua Nomor 8 tahun
2014 tentang Juknis Penggunaan Dana Otonomi Khusus (OTSUS)
dijelaskan bahwa alokasi dana Otsus sebesar 40 % untuk operasional
pelayanan kesehatan dasar yang di dalamnya termasuk program KIA.
Penelitian dari Dodo, et.al (2012) dengan judul “analisis
pembiayaan program kesehatan ibu dan anak bersumber pemerintah
dengan pendekatan health account”, mengatakan bahwa komitmen
113
pemerintah masih rendah dalam pembiayaan program KIA sebagai
program prioritas, serta keterlambatan pencairan dana mengganggu
implementasi kegiatan dan memberi peluang terjadinya
penyalahgunaan/korupsi sehingga fungsi pengawasan harus ditingkatkan
baik secara internal maupun ekternal. Penelitian ini juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Saefudin (2007) dengan judul “analisis
perencanaan dan penganggaran program kesehatan ibu dan anak pada
puskesmas di kota banjar jawa barat tahun 2007 “ mengatakan bahwa
realisasi dan kecukupan anggaran di puskesmas guna pelaksanaan
program KIA sangat memadai karena didukung dari berbagai sumber
dana yang meliputi APBD Kota, PKPS BBM/JPKMM, APBD Propinsi dan
APBN, dan untuk APBD Kota dan JPKMM puskesmas mempunyai
kewenangan yang sangat luas untuk merencanakan dan memanfaatkan.
Dari hasil penelitian di atas sangat jelas bahwa ketersediaan dana
itu sangat membantu peningkatan cakupan program KIA. Dalam pe
nganggaran seharusnya program KIA itu dimasukkan sebagai salah satu
program prioritas, bukan posisinya sebagai program tambahan/penunjang.
Oleh karena itu, sumber anggaran yang ada dalam APBD dapat
dimanfaatkan secara optimal dalam menjalankan program KIA. Kemudian
proses pencairan yang terlambat itu juga sangat menggangu dalam
kelancaran operasional program KIA karena kegiatannya bersifat rutin dan
sewaktu-waktu dibutuhkan dalam kondisi mendesak.
Masalah dalam pembiayaan kesehatan di Indonesia adalah belum
optimalnya efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan. Hal ini terkait erat
114
dengan jumlah dana yang kurang, alokasi yang tidak sesuai prioritas, dan
pola belanja yang cenderung pada investasi barang dan kegiatan tidak
langsung. Dominannya belanja investasi dan kegiatan tidak langsung
berdampak pada kurangnya biaya operasional dan biaya untuk kegiatan
langsung. Di sisi lain, kinerja suatu program kesehatan sangat ditentukan
oleh kecukupan biaya operasional dan biaya untuk kegiatan langsung.
Kondisi ini diperburuk lagi dengan terlambatnya pencairan dana yang
secara umum mempengaruhi pencapaian target program. (Ahmad &
Padang, 2010)
Dari hasil wawancara dan telaah dokumen dapat disimpulkan
bahwa ketersediaan dana untuk kegiatan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
di Kabupaten Memberamo Tengah sangat mempengaruhi kinerja para
petugas kesehatan di tingkat bawah dalam memberikan pelayanan
kesehatan yang optimal kepada Ibu dan Anak. Penggunaan dana menjadi
tidak tepat sasaran karena pemanfaatannya belum sesuai juknis dan
penganggran masih cenderung lebih fokus pada pembangunan fisik.
Selain itu, proses keterlambatan pencairan dana ke puskesmas juga
mempengaruhi pelaksanaan program KIA karena seharusnya program itu
berjalan dari awal tahun dengan adanya ketersediaan dana.
3. Supervisi program
Supervisi merupakan pengamatan secara langsung dan berkala
oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk
kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau
115
bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya. Supervisi ini
mempunyai tujuan mengetahui kinerja bidan desa yang ada di lapangan
dalam teknis pelayanan dan manajemen program kesehatan ibu dan
anak. Kegiatan ini mengacu kepada perbaikan mutu pelayanan bidan
dalam meningkatnya cakupan program kesehatan Ibu dan anak.
Prinsip pokok supervisi adalah untuk lebih meningkatakan kinerja
bawahan, dengan melakukan pengamatan langsung terhadap pekerjaan
bawahan, kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan
petunjuk atau bantuan untuk mengatasinya. Supervisi harus dilakukan
secara teratur atau berkala dengan frekuensi lebih sering lebih baik.
Strategi dan tata cara supervisi yang dilakukan harus sesuai dengan
kebutuhan masing-masing bawahan secara individu.
Penelitian Bradley (2013) mendapatkan kesimpulan bahwa
supervisi merupakan komponen penting dalam manajemen sumber daya
manusia. Pada penelitian ini yang bertugas dalam melakukan supervisi
bukan hanya seorang bidan koordinator namun terdapat sebuah tim yang
terdiri dari tenaga kesehatan dari berbagai disiplin ilmu yang melakukan
supervisi terpadu untuk mengkaji berbagai aspek dalam kinerja
pelayanan. Ditambahkan juga bahwa supervisi yang dilakukan termasuk
menghabiskan waktu bersama dengan tenaga kesehatan yang
disupervisi, hal ini merupakan komponen penting dari sebuah supervisi.
Adanya observasi harian dan obsevasi terhadap teknik pelayanan bidan,
dan diakhiri dengan tindak lanjut dengan membahas kekuatan dan
kelemahan bidan serta rencana untuk meningkatkan pelayanan
116
merupakan kegiatan yang harus ada pada tiap supervisi yang dilakukan,
namun semua hal ini dapat dilakukan oleh seorang supervisor yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik pula.
Penelitian Gusna et.al. (2014) dengan judul “Analisis Cakupan
Antenatal Care K4 Program Kesehatan Ibu dan Anak di Wilayah Kerja
Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman” mengatakan bahwa
Hambatan dalam melakukan supervisi di wilayah kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten Padang Pariaman adalah kurangnya motivasi supervisor
dalam menggali masalah, berbagi, hingga mencari solusi untuk
penanganan setiap masalah yang ditemui oleh bidan di desa. Adanya
berbagai hambatan ini menyebabkan kurang efektifnya supervisi yang
dilakukan oleh bidan koordinator (bikor) sehingga hasil analisis output
diketahui bahwa cakupan antenatal care K4 Program KIA di kabupaten
Padang Pariaman belum bisa dikatakan berhasil ditandai dengan
pencapaian target yang masih rendah dan diharapkan mencapai target
95% sementara ini pencapaian target baru sekitar 85% pada tahun 2012.
Penelitian serupa oleh Fatkhiyah (2015), dengan judul “Analisis Motivasi,
Kualitas Supervisi Dan Kepatuhan Bidan Dalam Mendeteksi
Preeklampsia” mengatakan bahwa Secara bersama-sama variabel
motivasi dan kualitas supervisi berpengaruh terhadap kepatuhan bidan
dalam deteksi preeklampsia. Faktor yang paling dominan berpengaruh
terhadap kepatuhan dalam deteksi preeklampsia secara berurutan adalah
kualitas supervisi. Ada kecenderungan bahwa semakin kurang motivasi
bidan maupun kualitas supervisi yang dilaksanakan oleh bidan
117
koordinator, maka bidan semakin tidak patuh dalam melaksanakan
deteksi preeklampsia sesuai standar prosedur operasional.
Penelitian-penelitian di atas serupa dengan hasil penelitian ini
dimana disimpulkan bahwa supervisi program KIA sangat mempengaruhi
pada hasil kinerja di program KIA. Padahal supervisi program mutlak
dilakukan dengan turun ke lapangan karena pimpinan akan lebih aktual
mengetahui permasalahan yang terjadi sehingga tepat dalam memberikan
solusi atas permasalahan yang terjadi di lapangan. Pada hakekatnya
supervisi program seharusnya rutin namun hal itu tidak dilaksanakan.
Selain itu perlu dibentuk tim supervisi yang terdiri dari unsur pimpinan dan
bikor (bidan koordinator) dan mempersiapkan modul/materi supervisi
program KIA dan dibagikan ke seluruh bidan puskesmas. Bidan
Koordinator diharapkan dapat mengaplikasikan teknik, keterampilan dan
pengetahuan untuk membantu bidan puskesmas dalam menerapkan
standar praktik.
Hill et.al. (2014) memberikan rekomendasi dalam pelaksanaan
supervisi yang terjadwal namun tetap menyesuaikan dengan masalah
yang ada di wilayah kerja bidan di desa; supervisi oleh teman sejawat
dimana sesama bidan di desa dapat melakakukan supervisi pada bidan di
desa lainnya sehingga dukungan teman sejawat semakin kuat dan
memacu motivasi masing- masing bidan, supervisi oleh tim dilakukan oleh
Dinas Kesehatan kesehatan sehingga masalah kebidanan komunitas
yang lebih kompleks dan beragam dapat dikaji dan diatasi dengan tepat
sehingga dapat menjadi bahan perbaikan dan pengembangan layanan
118
bagi bidan. Kemudian yang penting juga adalah harus adanya tim penjaga
mutu oleh bidan koordinator sebagai supervisor.
Pembinaan sumber daya manusia (SDM) Puskesmas melalui
supervisi oleh Dinas Kesehatan harus dilakukan agar SDM puskesmas
dapat menyelengarakan upaya pelayanan puskesmas dengan baik dan
benar sesuai dengan petunjuk teknis, pedoman dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pembinaan dan pengawasan penyelengaraan
praktik bidan dilakukan oleh Puskesmas, Dinas Kesehatan dan IBI dengan
tujuan meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan
melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat
menimbulkan bahaya kesehatan. Upaya untuk meningkatkan mutu
pelayanan dalah menjalankan kegiatan sesuai dengan petunjuk teknis,
pedoman dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk
menghasilkan pembinaan yang baik, diperlukan interaksi yang baik serta
harmonis antara pembina dan yang dibina. Dengan dasar interaksi yang
baik inilah kemudian direncanakan strategi pembinaan yang mantap dan
terarah. Pembinaan yang efektif akan menghasilkan tenaga yang beretika,
terampil, efisien dan tangguh. Kualitas tenaga bidan yang demikian akan
mempunyai dampak dalam mempercepat penurunan angka kematian ibu,
bayi baru lahir (neonatus), bayi dan anak balita.
Prinsip pokok supervisi adalah untuk lebih meningkatakan kinerja
bawahan, bukan untuk mencari kesalahan. Peningkatan kinerja ini
dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap pekerjaan
bawahan, kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan
119
petunjuk atau bantuan untuk mengatasinya. Sifat supervisi harus edukatif
dan suportif, bukan otoriter. Supervisi harus dilakukan secara teratur atau
berkala dengan frekuensi lebih sering lebih baik. Strategi dan tata cara
supervisi yang dilakukan harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing
bawahan secara individu. Supervisi harus dilaksanakan secara fleksibel
dan selalu disesuaikan dengan perkembangan.
4. Perencanaan Program
Perencanaan adalah merupakan inti kegiatan manajemen, karena
semua kegiatan manajemen diatur dan diarahkan oleh perencanaan
tersebut. Dengan perencanaan itu memungkinkan para pengambil
keputusan atau manajer untuk menggunakan sumber daya mereka secara
berhasil guna dan berdaya guna (Notoadmojo, 2003). Sebelum
seseorang dapat mengorganisir, mengarahkan atau mengawasi, harus
terlebih dahulu membuat rencana-rencana Yang memberikan tujuan dan
arah suatu kelompok atau kegiatan pembangunan.
Dalam perencanaan pimpinan/manajer memutuskan apa yang
harus dilakukan, kapan melakukannya, bagaimana melakukannya dan
siapa yang akan melakukannya. Jadi perancanaan adalah pemilihan
sekumpulan kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang harus
dilakukan, kapan, bagaimana, dan oleh siapa. Perencanaan yang baik
dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi di waktu yang akan
datang di mana rencana yang telah di putuskan akan dilaksanakan, serta
periode sekarang pada saat rencana dibuat (Waode, 2012).
120
Perencanaan pelayanan program KIA adalah sebuah proses untuk
merumuskan masalah-masalah program KIA yang akan dilaksanakan di
masa yang akan datang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, serta
pemantauan dan penilaian atas perkembangan hasil pelaksanaan yang
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Untuk itu sebelum
merencanakan pelayanan program KIA harus dilakukan analisis situasi,
mengidentifikasi masalahnya serta menentukan prioritasnya, menetapkan
tujuannya, mengkaji hambatan dan kelemahannya serta menyusun
rencana kerja operasional.
Menurut Green (1992) dalam Symon (2007) bahwa dalam
penyusunan setiap program, hendaknya diperhatikan apakah program
yang terpilih dapat memenuhi tujuan/sasaran yang ditetapkan, hal apa
saja yang dibutuhkan dalam program terpilih, agar tujuan/sasaran dapat
tercapai, dan bagaimana kebutuhan akan kecukupan sumber daya. Hal ini
perlu dipertimbangkan adalah bagaimana dukungan struktur organisasi
yang menyangkut tugas/fungsi/kewenangan dari perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi programtersebut, serta dukungan politis dari
Pemerintah Daerah dan Legislator bahkan bantuan sumber daya dan
waktu pelaksanaan yang tepat untuk menghasilkan sasaran yang optimal.
Dalam rangka otonomi ini dalam perencanaan lebih berorientasi
pada paradigma promosi (promotif) dan pencegahan (preventif) serta
melibatkan masyarakat di dalamnya (Azwar, 1996) Karena perencanaan,
tujuan umum (goal) yang sering disetarakan dengan dampak (impact)
merupakan keadaan di masa yang akan datang yang hendak dicapai,
121
sehingga kegiatan program yang dipilih, diharapkan benar-benar dapat
mencapai tujuan (Depkes RI, 1998).
Perencanaan program kesehatan yang dilakukan dinas kesehatan
hendaknya melibatkan semua sektor yang terkait dengan program yang
direncanakan. Keterlibatan dan partisipasi dari organisasi profesi
kesehatan seperti IDI, IBI, POGI dan IDAI mutlak di laksanakan dari tahap
perencanaan. Hal ini sejalan dengan Reinke (1994) yang
menyatakan bahwa mereka yang terkena pengaruh perencanaan harus
langsung dilibatkan dalam proses perencanaan, dengan cara ini para
perencana dapat menjamin bahwa prioritas telah ditetapkan dengan tepat,
rencana dapat dikerjakan dengan mudah dan fase penerapan akan
mendapatkan dukungan yang luas. Menurut Denisto dalam Azwar (1996),
suatu program kesehatan dapat dinilai dari beberapa hal, yaitu kelayakan
program (appropriateness), kecukupan program (adequancy), efektifitas
program (effectiveness), dan efisiensi (effisiency).
Salah satu sistem perencanaan adalah perencanaan dengan
pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak
yang berkepentingan terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah
untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Para
profesional perawatan kesehatan dan organisasi profesi memiliki peran
utama untuk memainkan posisi dalam proses peningkatan kesehatan ibu
dan anak. Mereka merupakan organisasi para profesional yang sangat
terlatih, dan mereka tinggal dan bekerja di negara-negara di seluruh dunia
(Chamberlain et al, 2007).
122
UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional bertujuan untuk mendukung koordinasi antar
pelaku pembangunan; menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan
sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi
pemerintah maupun antara pusat dan daerah; menjamin keterkaitan dan
konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan
pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan menjamin
tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan,
dan berkelanjutan. Ruang lingkup perencanaan pembangunan daerah
meliputi tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi
pelaksanaan rencana pembangunan daerah.
Perencanaan bertujuan untuk mengalokasikan sumber daya yang
terbatas, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan modal.
Perencanaan Operasional unit kerja dibuat di satuan kerja perangkat
daerah dalam rangka memperlihatkan bagaimana peluang secara spesifik
ditunjukkan, bagaimana setiap sasaran program dilaksanakan di setiap
unit kerja. Tidak jelasnya desain pekerjaan pada tingkat pimpinan tentu
saja bisa menghambat kinerja karena proses pekerjaan atau kegiatan
yang tidak didahului dengan perencanaan, pembagian tugas yang jelas.
Organisasi profesi kesehatan atau Health Care Professional
Organizations (HCPOs) yang terdiri dari anggota dalam kemitraan untuk
kesehatan ibu dan anak yaitu Partnership for Maternal Newborn and Child
Health (PMNCH). Para profesional perawatan kesehatan dan organisasi
profesi kesehatan sangatlah penting dalam keberhasilan dan
123
keberlanjutan sejumlah kegiatan seperti: meningkatkan kesehatan dan
menangani penyakit dalam bidang kesehatan perempuan, reproduksi,
kehamilan, pertolongan persalinan, kesehatan bayi, anak dan remaja,
mengajar dan melatih tenaga professional pada pelayanan layanan
kesehatan ibu dan anak pada pelayanan perorangan disemua tingkatan,
menetapkan standard sebagai bukti yang berbasis kurikulum kesehatan
ibu, bayi, dan anak, intervensi, strategi layanan persalinan, dan
pendidikan pada tingkat nasional, regional,dan global, serta monitoring
kesehatan bidang perawatan dan persalinan, memberikan kepemimpinan
dan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring
program, melakukan advokasi peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan anak
serta untuk meningkatkan perhatian dalam memperkuat sistem kesehatan
yang terkait (WHO, 2006).
Berdasarkan hasil wawancara disimpulkan bahwa Rencanaan
Strategis (Renstra) SKPD belum tersosialisasikan secara baik di tingkat
pimpinan. Renstra SKPD memuat visi misi, tujuan, strategi dan kebijakan
serta program dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan
tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat daerah serta berpedoman
kepada RPJM Daerah. Renstra SKPD yang disusun berlaku selama 5
tahun merupakan patokan mutlak untuk menyusun rencana kerja (Renja)
SKPD tahunan yang memuat prioritas program/kegiatan; rencana kerja
dan pendanaannya baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah
maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Dalam menjalankan suatu program tentu harus ada Renja SKPD yang
124
sudah disusun lebih awal. Kaitannya dengan program KIA adalah program
tidak berjalan optimal karena penyusunan Renja SKPD di tingkat Seksi
KIA pun tidak berjalan. Dinas kesehatan dalam menjalankan program KIA
hanya berpedoman pada indikator standar pelayanan minimal (SPM) yang
telah ditentukan dari Kementerian Kesehatan sehingga puskesmas dalam
menjalankan program KIA hanya berpedoman pada target yang telah
ditentukan dari dinas. Adapun salah satu puskesmas menyusun POA
melalui miniokakarya bulanan pada tingkat puskesmas dan dijadikan
acuan dalam menjalankan program di wilayah kerja puskesmas tersebut.
Program KIA harus senantiasa disosialisasikan oleh tenaga
kesehatan, guna mencapai target kesehatan yang diinginkan. Sosialisasi
program tersebut dilakukan melalui kegiatan promosi kesehatan. Promosi
kesehatan adalah suatu program perubahan perilaku masyarakat yang
menyeluruh, dalam konteks masyarakat, bukan hanya perubahan
perilaku, tetapi juga perubahan lingkungannya (Prawirohardjo, 2009).
Pemerintah dalam hal ini mulai dari Kementerian Kesehatan
sampai ke tingkat kabupaten kota bertanggungjawab dalam rangka untuk
menekan angka kematian ibu dan anak. Oleh karena itu disusun suatu
Standar Pelayanan Minimal yang dituangkan dalam SK Menkes Nomor
741 Tahun 2008. Adapun Standar Pelayanan Minimal adalah suatu
standar dengan batas-batas tertentu untuk mengukur kinerja
penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan
pelayanan dasar kepada masyarakat yang mencakup jenis pelayanan,
indikator dan nilai (benchmark). Dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Dan
125
Penerapan Standar Pelayanan Minimal dikemukakan bahwa
Pemerintahan Daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat
target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu
pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri. Target tahunan
pencapaian SPM dituangkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD),
Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) sesuai klasifikasi belanja daerah
dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah.
Hasil penelitian dari Iswarno (2013) dengan judul “Analisis
stakeholder dalam kebijakan program kesehatan ibu dan anak (KIA) di
Kabupaten Kepahiang” mengatakan bahwa keterlibatan stakeholder lokal
dalam proses perencanaan dan penganggaran program masih kurang,
koordinasi antara dinas kesehatan dengan stakeholder kunci dalam
perencanaan dan penganggaran juga tidak berjalan dengan baik,
sehingga sering terjadi perbedaan pemahaman tentang program. Selain
itu kualitas perencanaan kegiatan dinilai masih rendah, dan lemahnya
advokasi dinas kesehatan sehingga berdampak pada kecilnya alokasi
anggaran untuk program KIA. Permasalahan ini lebih banyak disebabkan
karena kualitas perencanaan (desain) program yang kurang baik
disamping peran dan keterlibatan stakeholder dalam proses perencanaan
masih kurang.
Penelitian oleh Aryanti (2010) dengan judul “Analisis Kualitas
Pelayanan Antenatal Oleh Bidan Di Puskesmas Di Kabupaten
Purbalingga tahun 2010” mengatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas
126
pelayanan antenatal, diharapkan Dinas Kesehatan perlu membentuk tim
tingkat kabupaten untuk menyusun SOP pelayanan antenatal kemudian
disosialisasikan dan dipantau pelaksanaanya, serta perlunya memberikan
pelatihan kepada bidan tentang pelayanan antenatal, sehingga bidan bisa
menerapkan pelaksanaan pelayanan antenatal sesuai dengan SOP, dan
senantiasa melakukan evaluasi sehingga pelayanan menjadi berkualitas.
Dari hasil penelitian-penelitian di atas didapatkan bahwa perlu
adanya koordinasi yang baik antar lintas sektor dan lintas program dalam
menyusun suatu perencanaan sehingga bersifat top down dan buttom up.
Serta adanya perencanaan strategis yang berfokus pada sasaran
kebutuhan lokal, haruslah dirancang secara lintas program dan lintas
sektor. Perencanaan strategis akan memberi arahan bagi kegiatan yang
akan datang. Selain itu perencanaan strategis akan menggali sumber
daya yang ada, termasuk upaya keterpaduan antara pemegang program
dan dukungan politis Pemerintah Daerah, serta swasta dan patisipasi
masyarakat untuk dijadikan sebagai suatu kekuatan dan peluang
mencapai sasaran kebutuhan lokal.
127
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan hasil dan pembahasan penelitian ini, maka analisis
kinerja program KIA di seluruh Puskesmas Kabupaten Mamberamo
Tengah dapat disimpulkan bahwa:
1. Sebagian dari petugas program KIA di Puskesmas se Kabupaten
Mamberamo Tengah memiliki kemampuan dan keterampilan masih
rendah yang berkaitan dengan standar pelayanan minimal (SPM).
2. Alokasi dana oleh Pemerintah Kabupaten Mamberamo Tengah
melalui APBD Kabupaten masih lebih mengutamakan pembangunan
fisik berupa sarana dan prasarana serta belanja pegawai sehingga
program prioritas lainnya seperti program KIA sehingga pemanfaatan
dana menjadi tidak tepat sasaran, serta adanya keterlambatan dalam
penyerapan anggaran.
3. Supervisi program KIA tidak dilaksanakan secara rutin dan berkala,
bahkan belum ada pembentukan tim supervisi terpadu yang terdiri dari
unsur pimpinan (Kepala Seksi KIA), bidan koordinator (bikor),
perencana program dan organisasi profesi Ikatan Bidan Indonesia
(IBI).
4. Perencanaan Program berupa Rencana Kerja (Renja) SKPD tahunan
belum dibuat sehingga hanya berpedoman pada penyusunan target
program tahunan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
128
B. Keterbatasan Penelitian
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian maka terdapat beberapa
keterbatasan penelitian ini antara lain:
1. Kondisi geografis tempat penelitian (letak Puskesmas dan Dinas
Kesehatan) masih kategori daerah sangat terpencil, sulit akses dan
lokasi puskesmas yang berjauhan sehingga butuh waktu yang lama
dalam proses penelitian.
2. Data sekunder berupa Profil Tahunan Puskesmas belum dibuat oleh
pihak Puskesmas saat waktu penelitian sehingga hanya mengambil
data/dokumen dari profil Dinas Kesehatan
3. Belum bisa mendapatkan data SDM berupa Surat Tanda Registrasi
(STR) bidan, SK bidan koordinator (bikor) dari organisasi profesi
Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dikarenakan organisasi IBI belum
terbentuk di Kabupaten Mamberamo Tengah
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan di atas maka peneliti
dapat mengajukan beberapa saran kepada :
a. Pimpinan Dinas Kesehatan Kabupaten Memberamo Tengah:
1. Segera merencanakan dan membuat pelatihan-pelatihan untuk
peningkatan kapasitas kemampuan dan keterampilan para tenaga
kesehatan terkait dengan Program Kesehatan Ibu dan Anak, antara
lain: Asuhan Persalinan Normal (APN), pelatihan pemasangan alat
kontrasepsi, pelatihan penanganan asfiksia Noenatus, pelatihan
129
manajemen terpadu balita sakit (MTBS), pelatihan manajemen
terpadu balita muda (MTBM), pelatihan PONED, pelatihan kelas ibu
hamil, pelatihan stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang
(SDIDTK) dan pelatihanlainnya yang dianggap perlu.
2. Membuat perencanaan anggaran yang sesuai dengan petunjuk
teknis yang ada sehingga pemanfaatannya tepat sasaran serta
dapat memberikan daya ungkit dalam pencapaian program
3. Memberikan advokasi kepada tim anggaran pemerintah daerah
sehingga program KIA menjadi bagian dari program prioritas
daerah serta proses pencairan keuangan lebih dipercepat dari awal
tahun anggaran berjalan
4. Membentuk tim supervisi terpadu yang terdiri dari Kepala Seksi
KIA, bidan koordinator (Bikor), subbag perencanaan program dan
bidang pengembangan SDM Ikatan Bidan Indonesia (IBI) yang
secara rutin melakukan supervisi dan dapat memberikan umpan
balik serta hal-hal yang perlu disupervisi dibuat dalam bentuk modul
sehingga lebih mudah dipahami oleh petugas (bidan) di puskesmas
5. Membentuk tim perencanaan program yang terdiri dari Kepala
Seksi KIA, Kepala Puskesmas, Penaggungjawab KIA di
Puskesmas dan subbag perencanaan program tingkat dinas untuk
menyusun rencana kerja (RENJA) SKPD tahunan.
b. Seluruh Kepala Puskesmas Kabupaten Mamberamo Tengah:
1. Membuat daftar nominatif bidan yang belum mengikuti pelatihan-
pelatihan peningkatan kapasitas kemampuan dan keterampilan
130
yang terkait dengan Program KIA antara lain: Asuhan Persalinan
Normal (APN), pelatihan pemasangan alat kontrasepsi, pelatihan
penanganan asfiksia Noenatus, pelatihan manajemen terpadu
balita sakit (MTBS), pelatihan manajemen terpadu balita muda
(MTBM), pelatihan PONED, pelatihan kelas ibu hamil, pelatihan
stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang (SDIDTK).
2. Membuat perencanaan anggaran program KIA yang sifatnya dari
bawah (bottom up) dari tingkat Puskesmas dan diajukan ke Dinas
Kesehatan agar ada sinkronisasi yang baik antar kebutuhan dan
perenacanaan anggaran.
c. Seluruh Petugas program KIA di Puskesmas Kabupaten Mamberamo
Tengah:
1. Mengikuti pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas kemampuan
dan keterampilan para tenaga kesehatan terkait dengan Program
Kesehatan Ibu dan Anak antara lain: Asuhan Persalinan Normal
(APN), pelatihan pemasangan alat kontrasepsi, pelatihan
penanganan asfiksia Noenatus, pelatihan manajemen terpadu
balita sakit (MTBS), pelatihan manajemen terpadu balita muda
(MTBM), pelatihan PONED, pelatihan kelas ibu hamil, pelatihan
stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang (SDIDTK).
2. Membuat perencanaan kebutuhan anggaran program KIA dan
diajukan ke Kepala Puskesmas
131
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. W., & Padang, J. A. P. N. (2010). Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Outcomes Bidang Kesehatan: Studi Empiris Di Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera Barat.
Akhirani & Trisnantoro. (2004). Analisis Pembiayaan Kesehatan yang Bersumber dari Pemerintah Melalui District Health Account di Kabupaten Sinjai. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 07(01): 19-26.
Aryanti. (2010). Analisis Kualitas Pelayanan Antenalat Oleh Bidan Di Puskesmas Kabupaten Purbalingga. (Tesis). Semarang : Universitas Diponegoro.Azwar, A. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Bina Putra Aksara.
Asikin. (2012). Karakteristik Individu dan Karakteristik Organisasi Pengaruhnya terhadap Motivasi dan Kinerja Bidan Puskesmas Samata dan Puskesmas Bontolempangan Kabupaten Gowa. (Skripsi). Makassar : STIKES.
Balitbangkes. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.
Basmala, D., & Adisasmito, G. W. (2012). Karakteristik Perawat, Isi Pekerjaan Dan Lingkungan Pekerjaan Terhadap Kepuasan Kerja Perawat Di Instalasi Rawat Inap RSUD Gunung Jati Cirebon.
Borghi J, Ensor T, Somanathan A, Lissner C, Mills A. (2006). Maternal Survival 4 Mobilising Financial Resources for Maternal Health. Online, 6736(06).
Brahmasari, I., & Suprayetno, A. (2008). Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja Perusahaan Manajemen dan Kewirausahaan, 10.
Bradley S. (2013). District Health Manager‟s Perceptions Of Supervision In Malawi And Tanzania. Biomed central of Journal,11(43):1-8.
Budiman. (2011). Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Rafika Aditama. Chamberlain J, et al. (2007). The Role of Professional Associations in Reducing
Maternal Mortality Worldwide. Interudimannational Journal of Gynecology & Obstetrics, 83(1):94-102.
Dessler. (2004). Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Indeks. Dharma, A. (1997). Perilaku, Struktur, Proses Organisasi. Jakarta: Penerbit
Erlangga. D‟Ambruoso, et.al. (2009).Confidential Inquiries Into Maternal Death:
Modifications and Adaption in Ghana and Indonesia. Journal of Gynecology and Obstetrics,106:80-84.
Erpan. (2011). Koordinasi Pelaksanaan Pembiayaan Program Kesehatan lbu dan Anak di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011.
Fort AL, Voltero L. 2004. Factors Affecting the Performance of Maternal Health Care Providers in Armenia. Available from: http://www.human-resources-health. com/content/2/1/8 (Accessed : 2017, November 15).
Gani, A. (2001). Pembiayaan Kesehatan Indonesia. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Gani, A. (2004). Analisis Biaya dan Resiko Lingkungan. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
132
Geay, A. (2012). Memutuskan Mata Rantai Kematian di Tanah Papua. Jayapura: Percetakan Deiyai.
Gusna. (2016). Analisis Cakupan Antenatal Care K4 Program Kesehatan Ibu dan Anak di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(1).
Handoko. (1987). Managemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Yogyakarta.
Hani SU. (2012). Pengaruh Pemberian Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) terhadap Kinerja Puskesmas Bontonompo II Kabupaten Gowa. (Skrips). .Makasar: Universitas Patria Artha.
Harmana, T. (2006). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembiayaan Kesehatan Daerah Bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2006. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 9(03).
Hasanbasri M. Politik Daerah dan Program Kesehatan di Masa Desentralisasi in Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan di Indonesia 2000-2007, BPFE, Yogyakarta, 2009.
Heywood P. Harahap NP. Health Research Policy and Systems Public Funding of Health at the District Level in Indonesia After Decentralization – Sources, Flows and Contradictions. Health Research Policy and Systems, 2009;14:1-14.
Herjanto, E. (2001). Manajemen Produksi dan Operasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hill Z, et al. Supervising community health workers in low-income countries - a review of impact and implementation issues. UK: Global Health Action; 2014
Ikatan Bidan Indonesia. 2006. Bidan Menyongsong Masa Depan-IBI 50 tahun. Jakarta. Depkes RI. Jakarta.
Iswarno. (2013). Analisis Untuk Penerapan Kebijakan: Analisis Stakeholder dalam Kebijakan Program Kesehatan Ibu dan Anak Di Kabupaten Kepahiang. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 02: 77-85.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan. Jakarta: Kemenkes. Jakarta.
Lalonde AB. (2009). Delivering Services and Influencing Policy: Health Care Professionals Join Forces to Improve Maternal, Newborn, and Child Health. International Journal of Gynaecology and Obstetrics: The Official Organ of the International Federation of Gynaecology and Obstetrics. International Journal Federation of Gynecology and Obstetrics, 105(3):271.
Mangkunegara. (2006). Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: PT Refika Aditama. Bandung.
Mangkunegara, & Prabu. (2014). Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: PT. Refika Aditama. Bandung.
Mathole. (2011). Dillemas and Paradoxes in Providing and Changing antenatal care:a Study of Nurse and midwives in Rural Zimbabwe. Heapol Oxford Journals, 046: 385-393.
Menkes. (2001). Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) 2001 - 2010. Jakarta: Depkes. Jakarta.
Menkes. (2002). Registrasi dan Praktik Bidan. Jakarta: Depkes. Jakarta. Menkes. (2004). Kebijakan Dasar Puskesmas. Jakarta: Depkes. Jakarta.
133
Menkes. (2005). Pedoman Pengembangan Manajemen Kinerja Bidan dan Perawat. Jakarta: Menteri Kesehatan. Jakarta.
Menkes. (2008). Permenkes Nomor 741 tentang Standar Pelayanan Minimal. Jakarta: Depkes. Jakarta.
Menkes. (2012). Target MDGs tahun 2015. Menkes. (2014). Kebijakan Kemenkes Tentang Program KIA. Moleong, L. J. (2014a). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Moleong, L. J. (2014b). Metodologi Penelitian Kualitatif (33 ed.). Bandung:
Remaja Rosdakarya. Mulyati, Y., & Lukito, H. (2008). Analisis Kepuasan Kerja Tenaga Perawat dan
Tenaga Non Medis dalam Kaitan dengan Peningkatan Kepuasan Pelanggan(Studi Kasus pada Rumah Sakit di Sumatera Barat).
Munir, M. (2013). Pengaruh Motivasi Kerja, Kepuasan Kerja, Budaya Organisasi dan Kepemimpinan terhadap Kinerja Karyawan RSUD Tugurejo Semarang. Universitas Diponegoro, Semarang.
Nahajar, S.W. 2012. Gambaran Manajemen Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat Di Puskesmas Mokoau Kota Kendari Tahun 2012. Skripsi. Kendari.
Ningsih, N. A. (2011). Analisis Hubungan Prinsip-Prinsip Good Governance Dengan Kinerja Pegawai Di Dinas Kesehatan Kabupaten Luwu Timur.
Notoatmodjo. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Notoatmodjo. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Notoatmodjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarata: PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Oyaya C O, Rifkin S B. Health Sector Reforms in Kenya: an Examination of District Level Planning. Health Policy, 64:113-27.
Panggabean. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Paryanto, A. T. (2012). Analisis pengaruh faktor kolaborasi perawat Terhadap kepuasan kerja dokter spesialis Di rawat inap paviliun garuda Rs. Dr. Kariadi Semarang Tahun 2012.
Prual. (2011). Effectieness of External Inspection of Compliance with Standards in Improving Healthcare Organization Behavior and Healthcare Profesional Behavior. Department of Publish Health. Journal University of Oxford, 4(6).
PP. (2005). Peraturan Pemerintah RI nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman penyusunan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Jakarta: Pemerintah RI.
Prastowo. (2011). Memahami Metode-Metode Penelitian, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis. Yogyakarta: Penerbit Media Maguwoharjo.
Purwanto, & Wahyudin. (2008). Pengaruh Faktor-Faktor kepuasan Kerja Dengan kinerja Karyawan Pusat Pendidikan Komputer Akuntansi IMKA dl Surakarta.
Purwanti E, Ayubi D. (2007). Hubungan antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dan Karakteristik Petugas Gizi Puskesmas di Kabupaten Kerawang. (Tesis). Jakarta: FKM UI.
134
Rahmawati, P. (2012). Analisis Kinerja Pegawai Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten BintanProvinsi Kepulauan RiauTahun 2012.
Rasyid. (2000). Fungsi Pemerintah dalam Pelayanan Publik. Jakarta. Reinke W A. (1994). Perencanaan Kesehatan Untuk Meningkatkan Efektivintas
Manajemen. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Robbin Stephen P. (2002). Perilaku Organisasi Konsep Kontroversi Aplikasi.
Edisi VIII. Jakarta: Prenhallindo. Jakarta. Sari R.W. (2007). Hubungan karakteristik ibu hamil, ketersediaan sarana, dan
kualitas pelayanan dengan tingkat pemanfaatan posyandu. (skripsi). Sasmito, A. (2003). Sistem Kesehatan. Raja Grafindo Persada, 2007. Sastrohadisuwiryo, & Suswanto. (2002). Manajemen Tenaga Kerja Indonesia.
Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Sedarmayanti. (2007). Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Jakarta. Sedarmayanti. (2013). Good Governance (Kepemerintahan yang baik)
Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan produktivitas Menuju Good Government. Bandung: PT. Mayar Maju.
Setyaningsih S. (2008). Pengaruh interaksi, pengetahuan, dan sikap terhadap praktik ibu dalam pencegahan anemia gizi besi balita di Kota Pekalongan tahun 2008. (tesis). Semarang: Universitas Diponegoro.
Simamora. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN.
Siregar, M. (2014). Pengaruh Motivasi Dengan kinerja Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Swadana Tarutung Tapanuli Utara Tahun 2008.
Speziale, & Carpenter. (2003). Penelitian Kualitatif. Subakti. (2008). Pengaruh kepuasan kerja dengan kinerja Pegawai klinik
spesialis Bestari medan Tahun 2011. Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta. Suswati, E. (2012). Karakteristik Individu dan Karakteristik Organisasi
Pengaruhnya terhadap Motivasi dan Kinerja Bidan oada RSUD Tapal Kuda Jawa Timur. UKSW institutional repository.
Sutrisno. (2011). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Kencana. Jakarta.
Symon. (2007). Kajian Perencanaan Dan Penganggaran Kesehatan Di Dinas Kesehatan Kota Padang Tahun 2006. Jurnal Kesehatan Masyarakat, II (1).
Undang-undang. (2004). UU Nomor 32 tentang Pemerintah Dareah. Jakarta: UU RI.
Wirawan. (2009). Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
WHO. (2006). The Role Of Health Care Professional Organizations in The Partnership for Maternal Newborn and Child Health. Geneva: WHO.
135
Lampiran 1 Pedoman Wawancara
NO
INFORMAN
DAFTAR PERTANYAAN DINAS KESEHATAN KEPALA PUSKESMAS PETUGAS/PENANGGUNGJAW
AB KIA PUSKESMAS MS KP AS MH YG LG CK MM KY SS LP FS
A. KEMAMPUAN DAN KETERAMPILAN PETUGAS
1 Mohon kiranya Bapak/Ibu memberikan penjelasan tentang program KIA? √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Menurut Bapak/Ibu, kegiatan pelayanan apa saja yang sudah berjalan di puskesmas berkaitan dengan program KIA?
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3
Bagaimana pandangan bapak/ibu tentang kemampuan dan keterampilan petugas KIA di Puskesmas ? Apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum?
√ √ √ √ √ √ √ - - - - -
4 Apa saja selama ini yang sudah ditempuh dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan petugas KIA di puskesmas ?
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
5 Apakah ada standar tertentu sebagai ukuran dalam menilai kemampuan dan keterampilan petugas KIA di puskesmas?
√ √ √ √ √ √ √ - - - - -
6 Aoakah setiap tenaga bidan sudah memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) sebagai petugas KIA di Kabupaten Mamberamo Tengah?
√ √ - - - - - √ √ √ √ √
7 Bagaimana pengalaman anda sebagai petugas program KIA di Puskesmas ? - - - - - - - √ √ √ √ √
136
136 136 136
NO
INFORMAN
DAFTAR PERTANYAAN DINAS
KESEHATAN
KEPALA PUSKESMAS PETUGAS/PENANGGUNGJAWAB KIA PUSKESMAS
MS KP AS MH YG LG CK MM KY SS LP FS B. KETERSEDIAAN DANA
1 Darimana saja sumber pembiayaan program KIA yang Bapak/Ibu ketahui? √ √ √ √ √ √ √ - - - - -
2
Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang ketersediaan dana untuk program KIA baik di tingkat Dinas maupun di Puskesmas?
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3 Berapa Alokasi dana yang diperuntukkan dalam menjalankan program KIA pada tahun ini (2015) ?
√ √ √ √ √ √ √ - - - - -
4
Apakah ketersediaan dana tersebut sudah dianggap mencukupi atau belum dalam menjalankan program KIA?
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
136
137
136
137
NO
INFORMAN
DAFTAR PERTANYAAN DINAS KESEHATAN KEPALA PUSKESMAS PETUGAS/PENANGGUNGJAWAB
KIA PUSKESMAS MS KP AS MH YG LG CK MM KY SS LP FS
C. SUPERVISI PROGRAM
1 Bagaimana pandangan Bapak/Ibu tentang supervisi program ? √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Hal-hal apa saja yang Bapak/Ibu dilakukan dalam pelaksanaan supervisi program KIA ?
√ √ - - - - - - - - - -
3 Apakah selama ini sudah dibentuk tim supervisi terpadu program KIA? √ √ - - - - - - - - - -
4 Apakah supervisi program KIA selama ini sudah berjalan secara rutin atau belum ?
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
5
Bagaimana pendampingan/supervisi dari pimpinanan dalam pelaksanaan program KIA di puskesmas dan jaringannya ?
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
138
136
138
NO
INFORMAN
DAFTAR PERTANYAAN DINAS KESEHATAN KEPALA PUSKESMAS PETUGAS/PENANGGUNGJAWAB
KIA PUSKESMAS
MS KP AS MH YG LG CK MM KY SS LP FS
D. PRENCANAAN PROGRAM
1 Bagaimana pandangan Bapak/Ibu tentang perencanaan program KIA ? √ √ √ √ √ √ √ - - - - -
2 Apakah perencanaan program KIA sudah tertuang dalam Renstra dan Renja SKPD? √ √ √ √ √ √ √ - - - - -
3
Hal-hal apa saja yang Bapak/Ibu dilakukan dalam pelaksanaan perencanaan program KIA ?
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
4
Apakah sudah ada penyusunan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan SOP (standar Operasional Prosedur) sebagai pedoman dalam menjalankan program KIA di puskesmas ?
√ √ √ - - - - - - - - -
5 Apakah perencanaan program KIA selama ini sudah berjalan baik atau belum ? √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
139
Lampiran 2. DAFTAR INISIAL RESPONDEN MENURUT JABATAN
No Inisial Jabatan
1.
MS
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mamberamo
Tengah
2. KP Kepala Seksi KIA Dinas Kesehatan Kabupaten
Mamberamo Tengah
3. AS Kepala Puskesmas Kobakma
4. MH Kepala Puskesmas Kelila
5. YY Kepala Puskesmas Ilugwa
6. LG Kepala Puskesmas Eragayam
7. CK Kepala Puskesmas Megambilis
8. MM Penanggungjawab KIA Puskesmas Kobakma
9. KY Penanggungjawab KIA Puskesmas Kelila
10. SS Penanggungjawab KIA Puskesmas Ilugwa
11. LP Penanggungjawab KIA Puskesmas Eragayam
12. FS Penanggungjawab KIA Puskesmas Megambilis
140
Lampiran 3. MATRIKS ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN
1. Kemampuan dan Keterampilan
No Informan Emik Reduksi/
Konsep Emik Konsep Etik Proposisi Rangkuman
1 KP
“...bidan yang sudah berpengalaman itu biasanya terampil dalam menolong persalinan, tapi ada juga yang belum...biasanya itu bidan yang baru-baru lulus..ya baru diangkat honorer...baru sebagian juga belum punya STR (Surat Tanda Registrasi) bidan...kami rekrut saja karena untuk menutupi kekurangan tenaga...ya walaupun tidak punya STR... ”
petugas di puskesmas bahwa masih kurangnya pengalaman kerja, pemberian pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan KIA masih sangat kurang dan bahkan ada yang belum pernah ikut pelatihan Asuhan Persalinan Normal. Kemudian di salah satu Puskesmas bahkan tidak ada bidan koordinator (bikor) yang merupakan bidan senior yang seharusnya melakukan pendampingan kepada bidan-bidan yang baru lulus/tamat dan langsung dipekerjakan. Dari informan dinas kesehatan juga mengakui hal yang sama bahwa pelatihan APN baru 2 kali dilaksanakan sehingga pelatihan lainnya baru direncanakan ke depannya.
Pelaksanaan Program KIA di Kabupaten Mamberamo Tengah masih belum optimal karena masih rendahnya kemampuan dan keterampilan dari pelaksana program dalam hal ini bidan
-Keberhasilan pelaksanaan program KIA bergantung pada kemampuan dan keterampilan para petugas/pelaksana program KIA tersebut
kemampuan dan keterampilan petugas KIA masih rendah sehingga pelaksanaan program KIA tidak optimal
- Peningkatan kemampuan dan keterampilan dapat ditempuh dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan kepada para bidan yang bertugas di KIA
2 CK
“...Bidan di wilayah kerja saya ini masih bidan baru lulus semua... jadi masih kurang terampil... mungkin karena dong pu pengalaman masih kurang kah (pengalaman mereka masih kurang)... seharusnya mereka itu diberikan pelatihan-pelatihan... trada (tidak ada) bidan koordinator (bikor) di sini yang mendampingi...”(CK)
3 MS
“...kami (Dinas Kesehatan Kabupaten Memberamo Tengah) sudah 2 kali melaksanakan program pelatihan APN (Asuhan Persalinan Normal)...memang belum semua bidan ikut pelatihan itu...pelatihan lainnya baru kami mau rencanakan ke depan...” (MS)
141
136
141
No Informan Emik Reduksi/
Konsep Emik Konsep Etik Proposisi Rangkuman
4 MM
“...saya belum pernah ikut pelatihan atau kursus, macam pelatihan APN (asuhan persalinan normal) tuh belum pernah diikutkan...kitong (kami) di puskesmas kobakma ini ada 15 bidan tapi yang ikut pelatihan APN baru 3 orang saja...” (MM)
5 LP
“...kalau kami tuh urus STR (Surat Tanda Registrasi) masing-masing saja... itu urusnya ke MTKP (Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi di dinas kesehatan provinsi ...adek-adek bidan yang baru honorer itu ada yang belum punya STR...” (LP)
142
136
142
2. Ketersediaan Dana
No Informan Emik Reduksi/ Konsep Emik /
Konsep Etik Proposisi Rangkuman Kata Kunci
1 MS
“...dana untuk program KIA diambil dari dana BOK biasanya dorang (mereka) pergunakan untuk kegiatan posyandu...
Dana OTSUS dan DAU tidak dialokasikan untuk program KIA, dana di puskesmas tidak cukup untuk operasional kegiatan KIA, biaya rujukan pasien, dan bahkan ada puskesmas yang dananya terlambat di cairkan dari dinas kesehatan
Ketersediaan dana untuk pembiayaan program KIA di Kabupaten Mamberamo Tengah masih sangat kurang
- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) peruntukkannya 60 % untuk pelayanan kesehatan Puskesmas dan jaringannya pada program pelayanan kesehatan prioritas diantaranya menurunkan angka kematian balita dan ibu.
Alokasi dana yang tidak mencukupi mempengaruhi keberhasilan target/capain kinerja program KIA
...sebagian juga dari dana BPJS, itu biasanya dorang pake untuk klaim pertolongan persalinan atau jasa pelayanan saja... ”
“.. sedangkan dana DAK, OTSUS dan DAU tidak kami alokasikan untuk program KIA... sebenarnya belum cukup... ”
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 tahun 2016 tentang pengelolaan transfer ke daerah dijelaskan pada pasal 5 bahwa alokasi anggaran di bidang kesehatan sebesar 5 % dari APBN.
2 MH
“...dana yang dialokasikan untuk program KIA di puskesmas kami itu tra (tidak) cukup...
karena selain membiayai kegiatan ini juga kadang kitong (kami) ini ada kebutuhan lain lagi...macam rehab Polindes yang sudah lapuk tuh...”
- Pergub Papua Nomor 8 tahun 2014 tentang Juknis Penggunaan Dana Otonomi Khusus (OTSUS) sebesar 40 % untuk operasional pelayanan kesehatan dasar yang di dalamnya termasuk program KIA.
143
No Informan Emik Reduksi/ Konsep Emik /
Konsep Etik Proposisi Rangkuman Kata Kunci
3 FS
“...biasanya kalau mau rujuk pasien ibu hamil risiko tinggi tuh kapus bilang kamu stop sudah pake biaya rujukan, trada (tidak ada) uang untuk rujukan ibu hamil
...dana dari dinas dong (mereka) kasih itu tra cukup...
suruh berangkat sendiri sudah...ini kan pakai pesawat... baru mahal lagi..kasian ibunya belum tentu dia ada uang...”
4 KY
“...wilayah kerja Puskesmas kami 19 kampung yang sangat berjauhan...
... ini membutuhkan biaya yang besar untuk transportasi bidan setiap bulan melaksanakan PWS KIA...
akhirnya ada saja yang tidak bisa jalan tiap bulan...”
5 LG
“...dana yang dong (mereka) cairkan dari dinas tuh selalu cairkan terlambat ke puskesmas...
... ini kegiatan rutin sebenarnya dimulai dari januari..
rutin sebenarnya dimulai dari januari... akhirnya program seperti KIA jadi terhambat... itu sangat pengaruh dalam pelayanan kami terhadap masyarakat...”
144 136
144
3. Supervisi Program
No Informan Emik Reduksi/ Konsep Emik /
Konsep Etik Proposisi Rangkuman Kata Kunci
1 MS “...kalau saya jarang turun ke lapangan untuk supervisi karena saya sifatnya hanya menerima laporan dari kepala seksi KIA... kalau ada kendala-kendala baru dicarikan solusinya...”
supervisi program KIA dari pimpinan jarang dilakukan karena hanya mengharapkan pencatatan dan pelaporan bulanan progam KIA dari masing-masing puskesmas. Pernyataan dari beberapa informan di puskesmas mengatakan bahwa dari dinas belum ada keseriusan dalam hal supervisi dan pendampingan program, kadang kunjungan dari dinas kesehatan hanya 2 kali dalam setahun, tidak pernah ada pendampingan dalam kegiatan posyandu.
Supervisi program KIA tidak berjalan di Kabupaten Mamberamo Tengah
- Supervisi bertujuan mengetahui kinerja bidan yang ada di lapangan dalam teknis pelayanan dan manajemen program kesehatan ibu dan anak yang mengacu kepada perbaikan mutu pelayanan dalam meningkatnya cakupan program KIA
Supervisi mengacu kepada perbaikan mutu pelayanan dan manajemen pelayanan dalam meningkatnya cakupan program kesehatan Ibu dan anak.
2 KP “...supervisi jarang saya lakukan... yang penting laporan bulanan dari puskesmas lancar-lancar saja toh...”
- Supervisi yang terintegrasi dapat dilakukan oleh Puskesmas, Dinas Kesehatan dan organisasi profesi (IBI) bermanfaat memberikan pembinaan dan pengawasan penyelengara praktik bidan di puskesmas
3
AS
“...dari dinas dong (mereka) jarang turun melakukan pendampingan atau supervisi untuk program KIA...
... iya mungkin hanya 2 kali setahun kah...itu pun hanya datang sebentar saja ambil data-data di puskesmas...”
4 SS
“...sepanjang tahun ini kami belum pernah didampingi dari dinas kalau kegiatan posyandu...mungkin mereka sibuk...
145
145
136
4. Perencanaan Program
No Informan Emik Reduksi/ Konsep Emik /
Konsep Etik Proposisi Rangkuman Kata Kunci
1 MS
“...kalau Renstra itu disusun oleh pejabat lama jadi kami kurang tau penjabarannya seperti apa...saya belum ada sosialisasi ke bawahan mengenai renstra dinas kesehatan...”
Dinas kesehatan tidak memiliki Renstra dan Renja SKPD yang jelas. Tidak ada sosialisasi petunjuk teknis standar pelayanan minimal (SPM) program KIA kepada petugas di puskesmas. Belum ada standar operasional prosedur (SOP) sebagai pedoman dalam menjalankan program KIA di puskesmas. Namun ada puskesmas yang menggunakan POA (Plan of Action) puskesmas untuk menjalankan program KIA
Perencanaan program KIA di tingkat dinas dan puskesmas Kabupaten Mamberamo Tengah belum optimal, hanya berpedoman pada penyusunan target program tahunan, SPM yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, dan Plan of Action (POA) bulanan Puskesmas
- Renstra dan Renja SKPD memuat prioritas program/kegiatan; rencana kerja dan pendanaannya baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Perencanaan bertujuan mengalokasikan sumber daya yang terbatas, Perencanaan Operasional unit kerja dibuat di satuan kerja perangkat daerah dalam rangka memperlihatkan bagaimana peluang secara spesifik ditunjukkan, bagaimana setiap sasaran program dilaksanakan di setiap unit kerja.
“...untuk program KIA sudah ada (SPM) standar pelayanan minimal...
- SK Menkes Nomor 741 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal merupakan standar pelayanan dengan batas-batas tertentu untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat yang mencakup jenis pelayanan, indikator dan nilai (benchmark).
...itu diberikan dari pusat (kementerian kesehatan)... saya kurang tau kalau sudah di sosialisasikan kah tidak... saya pikir itu tugas Kepala Seksi KIA...
... kami belum buatkan SOP khusus untuk kegiatan di KIA...”
- tim tingkat kabupaten
menyusun SOP pelayanan KIA kemudian disosialisasikan dan dipantau pelaksanaanya sehingga bidan bisa menerapkan pelaksanaan pelayanan KIA sesuai dengan SOP, dan senantiasa melakukan evaluasi sehingga pelayanan menjadi berkualitas
2 KP
“...mengenai RENJA SKPD belum pernah kami susun...itu mungkin di bagian perencanaan program kah...
...kami tidak sosialisasikan SPM itu ke puskesmas karena saya pikir tidak perlu..
yang penting mereka laksanakan kegiatan rutin sesuai tupoksinya...
...SOP kami belum buat juga di unit layanan KIA...penyusunan target pencapaian program KIA ada tiap tahun...”
146 136
146
No Informan Emik Reduksi/ Konsep Emik /
Konsep Etik Proposisi Rangkuman Kata Kunci
3 LG
“...belum ada SOP untuk KIA di puskesmas eragayam... seharusnya dari dinas yang buatkan..
...jadi hanya jalankan kegiatan rutin saja...
...untuk target pencapain program itu sudah ditentukan dari dinas...”
4 AS
“...dalam minilokakarya puskesmas hanya membahas jadwal kegiatan rutin bulanan, termasuk kegiatan KIA...
...itu biasanya kami buat POA... puskesmas tra (tidak) pernah susun SOP...”
5 FS “...kami hanya berpedoman pada target tahunan cakupan program...
... tugas kami itu melaksanakan kegiatan rutin di KIA dan buat laporan bulanan untuk di kirim ke dinas...”
147
Lampiran 4. PERMOHONAN IZIN PENELITIAN
148
Lampiran 5. Rekomendasi izin penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah Kabupaten Mamberamo Tengah
149
Lampiran 6. Surat Keterangan Selesai Penelitian
150
Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian Ket foto: foto bersama Kapus & Bidan di Puskesmas Kelia
Ket foto: foto bersama Kapus & Bidan di Puskesmas Taria
151
Ket foto: foto bersama Kapus & Bidan di Puskesmas Eragayam Ket foto: foto bersama Kapus & Bidan di Puskesmas Ilugwa
152
Ket foto: foto bersama Kapus & Bidan di Puskesmas Dogobak