Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
ANALISIS DISTRIBUSI INFEKSI Mycobacterium bovis DENGAN
TEKNIK KONVENSIONAL, POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
DAN GEOGRAPHICAL INFORMATION SYSTEM (GIS) PADA TERNAK
SAPI PERAH DI KABUPATEN ENREKANG
THE ANALYSIS OF DISTRIBUTION OF Mycobacterium bovis
INFECTION WITH CONVENTIONAL TECHNIQUES, POLYMERASE
CHAIN REACTION (PCR) AND GEOGRAPHICAL INFORMATION
SYSTEM (GIS) IN DAIRY COW CATTLE IN ENREKANG REGENCY
SARTIKA JUWITA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ANALISIS DISTRIBUSI INFEKSI Mycobacterium bovis DENGAN
TEKNIK KONVENSIONAL, POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
DAN GEOGRAPHICAL INFORMATION SYSTEM (GIS) PADA
TERNAK SAPI PERAH DI KABUPATEN ENREKANG
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Biomedik
Disusun dan diajukan oleh
SARTIKA JUWITA
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini
Nama : Sartika Juwita
Nomor Mahasiswa : P1506211006
Program Studi : Biomedik
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar, Juli 2013
Yang Menyatakan
Sartika Juwita
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
Rahmat dan KaruniaNya serta nikmat kesehatan sehingga penyusunan
tesis ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan program Magister (S2) pada program studi Biomedik
konsentrasi Mikrobiologi Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil
studi pustaka penulis terhadap kasus Tuberkulosis (TB) di beberapa
negara yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan
Mycobacterium bovis. Penulis ingin mengetahui teknik pemeriksaan
konvensional dan molekuler dalam mendetekasi Mycobacterium bovis
pada ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang dan mengetahui distribusi
infeksi Mycobacterium bovis di lapangan.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka
penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka
tesis ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan
tulus menyampaikan terima kasih kepada Prof. dr. Moch. Hatta, Sp.MK,
Ph.D sebagai ketua komisi penasihat dan Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin,
M.Sc sebagai anggota komisi penasihat atas bantuan dan bimbingannya
yang telah diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap
permasalahan penelitian ini, pelaksanaan penelitian sampai dengan
penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Prof. Ahyar Ahmad, Ph.D, Dr.
Rosana Agus, M.Si sebagai penguji yang banyak memberi masukan dan
membantu dalam penulisan, serta Dr. dr. Ilhamjaya Patellongi, M.Kes
sebagai penguji.
Terima kasih kepada Kepala Badan Penyuluhan dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian
Republik Indonesia, Ketua Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP)
Gowa Drs. H. Muh. Arby Hamire, M.Si yang memberikan kesempatan
untuk melanjutkan pendidikan program Magister.
Terima kasih yang tak terhingga kepada Kepala Dinas Peternakan
dan Perikanan Kabupaten Enrekang Ir. H. Yunus Abbas, M.Pd dan
seluruh staf kesehatan hewan drh. Suhartila, drh. Desita Asra, Yusril
S.ST, dan Ridwan S.ST atas bantuan dan kerjasamanya di lapangan.
Terima kasih kepada kepala Stasiun Karantina Pertanian Pare-Pare drh.
Muhlis Natsir M.Kes dan stafnya atas bantuan dan dukungannya.
Terima kasih kepada suamiku tercinta drh. Ahmad Nadif atas
kesabaran, cinta kasihnya, dan dukungannya yang luar biasa. Kepada
kedua orang tuaku, ibu mertuaku, saudara-saudaraku mbak Ratna dan
mas Anton serta seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya.
Teman-teman S2 biomedik mikrobiologi angkatan 2011 kk Nor, kk Syam,
kk Salsa, kk Arni, kk Anita, kk Celing, Uni, Tatia, Nawir, Andini, Waris,
Fardi, Phia atas persahabatan yang luar biasa ini. Staf Laboratorium
Mikrobiologi FK Unhas Pak Romy, Pak Mus, dan Pak Markus atas
bantuan dan dukungannya dalam penyelesaian penelitian. Dosen dan staf
STPP gowa khususnya drh. Purwanta, M.Kes atas dukunganya dan
seluruh pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang memerlukan.
Makassar, Juli 2013
Sartika Juwita
ABSTRAK
SARTIKA JUWITA. Analisis distribusi infeksi Mycobacterium bovis dengan teknik konvensional, Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Geographical Information System (GIS) pada ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang (Pembimbing Mochammad Hatta dan Lucia Muslimin). Bovine tuberculosis adalah penyakit zoonosis penting yang tersebar di seluruh dunia. Mycobacterium bovis merupakan agen penyebab bovine tuberculosis pada ternak, hewan domestikasi lain dan satwa liar. Mycobacterium bovis berpotensi menyebabkan bahaya kesehatan baik pada hewan maupun manusia.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis kemampuan sejumlah tes untuk mendeteksi Mycobacterium bovis yaitu tes konvensional dengan pewarnaan basil tahan asam (BTA) dan kultur, serta tes molekuler dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), (2) melihat distribusi infeksi Mycobacterium bovis di lapangan dengan teknik Geographical Information System (GIS). Penelitian ini adalah penelitian eksploratif untuk menganalisis kemampuan sejumlah tes yang digunakan untuk mendeteksi Mycobacterium bovis dan untuk mengetahui distribusi infeksi Mycobacterium bovis di lapangan. Pengambilan sampel susu ternak sapi perah dilakukan secara acak dari dua kecamatan yang mewakili lokasi penelitian. Data dianalisis dengan menggunakan analisis statistik crosstabulation yang dilanjutkan dengan uji Chi-square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 60 sampel susu ternak sapi perah yang dilakukan pewarnaan basil tahan asam (BTA) terhadap dekontaminasi susu terdapat 2 sampel (3,3 %) yang positif Mycobacterium bovis, 60 sampel susu (100%) negatif terhadap kultur bakteri dan 6 sampel (10%) dengan pengujian PCR positif Mycobacterium bovis. Sensitifitas pengujian PCR sebesar 100% dan spesifitas 93,1% dibandingkan dengan uji pewarnaan BTA dekontaminasi susu. Enam sampel positif pengujian PCR selanjutnya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) maka terlihat 2 sampel yang berkelompok (kluster) sedangkan empat sampel lain terlihat tersebar. Kata Kunci : Mycobacterium bovis, Teknik Konvensional, PCR, Ternak
Sapi Perah
ABSTRACT SARTIKA JUWITA. The Analysis of distribution of Mycobacterium bovis infection with conventional techniques, Polymerase Chain Reaction (PCR) and Geographical Information System (GIS) in dairy cow cattle in Enrekang regency (Supervisor Mochamman Hatta and Lucia Muslimin).
Bovine tuberculosis is currently an important zoonosis worldwide, Mycobacterium bovis is the etiological agent of bovine tuberculosis has an extraordinarily broad mammalian host range that includes cattle, domestic livestock, and wildlife. Mycobacterium bovis pose a potential health to both animals and humans.
The aims of the research are to (1) analyze the ability of the number
of test to detect Mycobacterium bovis, i.e conventional tests with staining acid-fast bacilli (AFB) and culture, and molecular tests with Polymerase Chain Reaction (PCR), (2) find out the distribution of Mycobacterium bovis infection in the field with Geographical Information System (GIS). The research was an explorative study to analyze a number of tests used to detect Mycobacterium bovis and to find out the distribution of Mycobacterium bovis infection in the field. The sample was the milk of dairy cow cattle taken using random sampling method from two districts representing the research location. The data were analyzed using crosstabulation statistics continued with Chi-square test. The results of the research indicate that of the 60 samples of milk of dairy cow cattle done by staining acid-fast bacilli (AFB) to milk decontamination there are 2 samples (3.3%) which are positive of Mycobacterium bovis, 60 samples (100%) are negative of bacterial culture and 6 samples (10%) with PCR test which are positive of Mycobacterium bovis. The sensitivity of PCR testing is 100% and the specificity is 93.1% compared to staining acid-fast bacilli (AFB) to milk decontamination. The next six samples are positive of PCR testing by using Global Positioning System (GPS), two samples are clustering samples, while the other four ones are spreading samples.
Keywords: Mycobacterium bovis, Conventional technique, PCR, Dairy
Cow Cattle
DAFTAR ISI
halaman PRAKATA v
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN xv
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 5
II. TINJAUAN PUSTAKA 6
A. Bovine tuberculosis (btb) 6
B. Tes laboratorium 23
C. Geographic Information System (GIS) 27
D. Kerangka Teori 28
E. Definisi Operasional 33
III. METODE PENELITIAN 35
A. Desain Penelitian 35
B. Tempat dan Waktu Penelitian 35
C. Populasi Penelitian 35
D. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel 36
E. Perkiraan Besar Sampel 36
F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 36
G. Ijin Subyek Penelitian 36
H. Cara Kerja 37
I. Metode Analisis 44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45
A. Hasil 45
B. Pembahasan 54
V. PENUTUP 58
A. Kesimpulan 58
B. Saran 58
DAFTAR PUSTAKA 60
Lampiran 65
DAFTAR TABEL Nomor halaman 1. Tingkat Kerentanan Berbagai Spesies Hewan Terhadap
Bermacam-macam Tipe Basil Tuberkulosis
9
2. Perbandingan antara jumlah positif dan negatif hasil
pengujian BTA dekontaminasi susu, kultur bakteri
dan PCR
46
3. Sensitifitas dan Spesifitas pengujian molekuler
dibandingkan dengan pewarnaan BTA
dekontaminasi susu
49
DAFTAR GAMBAR
Nomor halaman 1. Mycobacterium bovis 7
2. Pewarnaan BTA yang memberikan hasil positif 7
3. Hasil biakan yang positif pada medium Lowenstein Jensen 8
4. Penularan Mycobacterium bovis 17
5. Kerangka Teori 31
6. Kerangka Konsep 32
7. Hasil pewarnaan BTA dekontaminasi susu 46
8. Hasil PCR sampel susu no. 1 - 13 47
9. Hasil PCR sampel susu no. 14 - 29 47
10. Hasil PCR sampel susu no. 30 - 45 48
11. Hasil PCR sampel susu no. 46 - 60 48
12. Sampel susu positif PCR 50
13. Kondisi ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang 51
14. Peta lokasi hasil PCR Mycobacterium bovis 52
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor halaman 1. Daftar hasil pemeriksaan sampel susu ternak sapi
perah
65
2. Daftar lokasi peternak 67
3. Perhitungan statistik 69
4. Rekapitulasi populasi Ternak Kabupaten Enrekang 70
5. Dokumentasi Penelitian 71
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/ singkatan Arti dan Keterangan
BTB Bovine tuberculosis
BTA Basil Tahan Asam
CDC Centers for Disease Control
DNA Deoxyribonucleic Acid
GIS Geographical Information System
GPS Global Positioning System
LJ Lowenstein Jensen
M. bovis Mycobacterium bovis
NaOH Natrium Hydroksida
OIE Office International des Epizooties
PCR Polymerase Chain Reaction
TB Tuberkulosis
WHO World Health Organization
ZN Ziehl Neelsen
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bovine tuberculosis adalah penyakit zoonosis penting yang tersebar di
seluruh dunia. Mycobacterium bovis merupakan agen penyebab bovine
tuberculosis pada ternak, hewan domestikasi lain dan satwa liar.
Mycobacterium bovis termasuk kelompok dari Mycobacterium
tuberculosis complex, dimana anggota kelompok tersebut Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti (Al-
Saqur et al, 2009; OIE, 2009).
Negara Amerika Serikat sebagian besar kasus Tuberkulosis (TB)
pada manusia disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacterium bovis adalah Mikobakterium lain yang dapat
menyebabkan penyakit TB pada manusia (CDC, 2011), selanjutnya vaksin
live-attenuated strain Mycobacterium bovis Bacillus Calmette and Guerin
(BCG) berasal dari isolat Mycobacterium bovis dan vaksin ini tersebar
luas penggunaannya di dunia (Elizabeth et al, 1997). Mycobacterium bovis
telah dilaporkan menyebabkan 6-30% kasus TB pada manusia di USA
pada susu yang belum terpasteurisasi, di USA tahun 1995-2005 sekitar
1,4% kasus TB manusia disebabkan oleh Mycobacterium bovis dan di
San Diego lebih dari 45% hasil kultur mengkonfirmasi kasus TB pada
manusia pada anak-anak dan 8% dari seluruh kasus TB pada manusia
disebabkan oleh Mycobacterium bovis. Dilaporkan juga di Western Ireland
bahwa Mycobacterium bovis menyebabkan 6.3% kasus TB manusia.
Penelitian yang dilakukan di New Zealand menunjukkan peningkatan
kasus bovine tuberculosis antara 1983 (3.7%) dan 1989 (14.6%).
Disamping itu ternyata dibeberapa daerah di Amerika latin diagnosis TB
manusia yang masih berdasarkan pemeriksaan pewarnaan basil tahan
asam, dilaporkan sekitar 7000 kasus TB manusia baru per tahun adalah
disebabkan infeksi dari Mycobacterium bovis (Juan et al, 1995; Deepti et
al, 2012). Di negara Inggris dilaporkan bahwa kejadian TB manusia yang
disebabkan oleh Mycobacterium bovis mencapai angka kurang dari 1%
dari total kasus TB manusia (Anonimus, 2009). Mycobacterium bovis
bertanggung jawab sekitar 5% kasus TB pada manusia di Brazil dan
dilaporkan prevalensi bovine tuberculosis (btb) pada ternak sapi di Brazil
diperkirakan 1,3% dari tahun 1989-1999 (Cristina et al, 2005). Prevalensi
btb ternak sapi perah di Central Ethiopia sekitar 50% (Firdessa et al,
2012), sedangkan di Southeast Ethiopia prevalensi btb pada ternak sapi
sebesar 2% (Gumi et al, 2012).
Mycobacterium bovis dinyatakan sebagai agen patogen penyebab
bovine tuberculosis yang menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan
pada industri ternak sapi (Rose et al, 1999) dan industri ternak sapi perah
(Tejeda et al, 2006).
Deteksi Mycobacterium bovis dari sampel ternak sapi sangat
penting, susu dan daging adalah sumber utama protein dan nutrisi lain
dapat terkontaminasi oleh agen patogen dan memiliki kemampuan
sebagai penular penyakit TB pada manusia dan infeksi mycocabterium
lain dari hewan kepada manusia. Hewan yang terinfeksi memiliki potensi
besar untuk menginfeksi manusia (zoonosis tuberkulosis). Sehingga
Mycobacterium bovis berpotensi menyebabkan bahaya kesehatan baik
pada hewan maupun manusia (Al-Saqur et al, 2009).
Upaya mencegah penyakit zoonosis diperlukan langkah yang tepat
untuk mengontrol dan membasmi infeksi Mycobacterium bovis pada
ternak sapi. Deteksi lesi tuberkulosis di rumah potong hewan (RPH) harus
diikuti dengan pemeriksaan pada daerah asal ternak sapi tersebut agar
dapat mengindentifikasi kasus lebih lanjut (John et al, 2012).
Pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mengidentifikasi
Mycobacterium bovis adalah pemeriksaan makroskopis lesi tuberkulosis di
rumah potong hewan, pemeriksaan mikroskopis melalui pewarnaan basil
tahan asam (BTA), kultur, PCR (Polymerase Chain Reaction) (John et al,
2012), pemeriksaan darah dengan ELISA (OIE, 2009) dan pembuatan
preparat histologi (Chirtophe et al, 2000; Selwyn, 2002).
Data dari Office International des Epizooties (OIE) pada tahun 2010
menyebutkan bahwa di Indonesia termasuk Provinsi Sulawesi Selatan,
secara klinis tidak pernah dilaporkan adanya kasus bovine tuberculosis.
Pada tahun 2013 di Kabupaten Bangli Provinsi Bali dari hasil penelitian
dilaporkan bahwa seroprevalensi bovine tuberculosis adalah 2,22% (Putu,
2013). Sampai saat ini belum ditemukan laporan atau penelitian studi
kasus penyebaran bovine tuberculosis pada ternak sapi perah di
Kabupaten Enrekang berdasarkan informasi dari Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk menganalisis
sejumlah tes yang digunakan untuk mendeteksi Mycobacterium bovis
yaitu pewarnaan basil tahan asam (BTA), kultur, dan PCR pada ternak
sapi perah dan mengetahui distribusi infeksi Mycobacterium bovis di
lapangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kemampuan sejumlah tes yaitu tes konvensional dengan
pewarnaan basil tahan asam (BTA) dan kultur, serta tes molekuler
melalui PCR dalam mendeteksi Mycobacterium bovis pada ternak sapi
perah?
2. Bagaimana distribusi infeksi Mycobacterium bovis di lapangan dengan
teknik Geographical Information System (GIS)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Membandingkan tes konvensional dengan pewarnaan basil tahan asam
(BTA), kultur dan tes molekuler dengan cara PCR dalam mendeteksi
Mycobacterium bovis pada ternak sapi perah.
2. Melihat distribusi infeksi Mycobacterium bovis di lapangan dengan
teknik Geographical Information System (GIS).
D. Manfaat Penelitian
1. Dalam mendeteksi Mycobacterium bovis untuk kepentingan
epidemiologis, dapat dipilih tes dengan sensitivitas dan spesifitas yang
cukup tinggi, cepat dan mudah diaplikasikan dimana saja.
2. Dengan melihat hasil analisis sejumlah tes untuk mendeteksi
Mycobacterium bovis dapat diketahui tes yang lebih sensitif dan spesifik
untuk diaplikasikan dalam klinis guna mendiagnosis bovine tuberculosis
dan memonitor terapi.
3. Menambah khazanah informasi ilmiah mengenai tes untuk mendeteksi
Mycobacterium bovis bagi pengembangan ilmu kedokteran hewan
khususnya di bidang laboratorium mikrobiologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bovine Tuberculosis (btb)
A.1. Definisi
Bovine tuberculosis (btb) merupakan penyakit bakteri yang
bersifat kronis pada ternak sapi dan kadang-kadang menyerang
spesies mamalia lainnnya. Penyakit ini bersifat zoonosis (C. Allix et
al, 2012) yang bisa menular ke manusia, penularan melalui inhalasi
aerogen atau meminum susu yang tidak terpasteurisasi (Centre for
Food Security and Publik Health, 2009).
Mycobacterium bovis merupakan agen etiologi dari bovine
tuberculosis (btb) (Noel et al, 2007). Bakteri berbentuk batang
langsing, lurus atau membentuk kurva, kadang-kadang berbentuk
filamen atau bercabang membentuk huruf X, Y, atau V. Ukurannya
0,2 – 0,6 x 1,5 – 4,0 mikron. Kuman Mycobacterium bovis
mempunyai granula metakromatik yang disebut granula much, tidak
membentuk spora dan tidak bergerak, dinding selnya berlapis lilin.
Pada pewarnaan Ziehl Neelsen kuman berwarna merah atau bersifat
tahan asam (Hasutji dkk, 2004). Karakteristik koloni Mycobacterium
bovis adalah datar, halus, berwarna putih, tak berwarna, lembab,
koloni bersifat gembur/rapuh dan tumbuh lambat (tampak setelah 4
atau 5 minggu) (Sridhar, 2012; Hassanain et al, 2009).
Gambar 1. Mycobacterium bovis (Sumber : http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/M.bovis)
Gambar 2. Pewarnaan BTA yang memberikan hasil positif
(Sumber : http://www.merckvetmanual.com/mvm/index.jsp)
Gambar 3. Hasil biakan yang positif (ada pertumbuhan) pada medium Lowenstein Jensen
(Sumber : www.arc.agric.za)
A.2. Epidemiologi
Spesies mamalia yang paling banyak terserang oleh TB adalah
sapi, babi dan manusia. Dalam suasana alami yang dimiliki, hewan-
hewan liar jarang yang menderita TB. Meskipun demikian apabila
mereka tertangkap oleh manusia, misalnya kera, beberapa telah
menderita tuberkulosis. Diantara sapi-sapi, kejadian yang tertinggi
terdapat pada sapi yang dipelihara secara bersama-sama, seperti
halnya pada sapi perah. Sapi pedaging pun dapat memiliki angka
kejadian yang tinggi bila hewan-hewan tersebut harus berdesak-
desakan karena terbatasnya pakan dan minum yang disediakan.
Kerbau juga sangat rentan terhadap infeksi mikobakterium. Babi
biasanya menderita karena kerentanannya terhadap tipe human dan
bovin. Spesies anjing, kucing dan kuda hanya kadang-kadang saja
ditemukan menderita, sedangkan domba dan kambing sangat jarang
menderita infeksi kuman ini. Tingkat kerentanan berbagai spesies
terhadap bermacam tipe mikobakterium dapat dilihat pada tabel 1
berikut (Subronto, 2003).
Tabel 1. Tingkat Kerentanan Berbagai Spesies Hewan Terhadap Bermacam-macam Tipe Basil Tuberkulosis.
Spesies Hewan Tipe Basil Tuberkulosis
Bovin Human Avier
Marmot Kelinci Mencit*) Hamster Kera Kuda Anjing Sapi Babi Bangsa Kakaktua Unggas
++++ ++++ ++++
++ ++++
++ ++
++++ +++ +++
0
++++ +
++++ +++
++++ 0 + + +
++ 0
0 ++++
± + 0
++ 0 ±
++++ ++++ ++++
*) galur mencit tertentu saja. Penyebaran penyakit tuberkulosis tergantung pada adanya kasus
terbuka (open case) yang membebaskan basil-basil ke dalam
sekreta dan ekskreta tubuh ke lingkungan sekitarnya. Kuman-kuman
akan tinggal di tempat tersebut yang selanjutnya hewan-hewan sehat
yang lain akan tertular baik melalui mulutnya atau melalui inhalasi.
Meskipun jarang terjadi, namun infeksi secara kongenital dapat pula
terjadi. Penempatan hewan-hewan yang berdesakan dan adanya
stres mempermudah terjadinya penularan penyakit TB. Pada
umumnya perawatan yang kurang baik, yang berlangsung dalam
waktu lama, kurang begitu berpengaruh terhadap infeksi kuman
tuberkulosis secara percobaan. Telah pula dibuktikan bahwa
kelaparan yang sebentar-sebentar ditimbulkan dapat mengakibatkan
proses kejadian penyakit dipercepat. Kondisi tubuh yang baik terbukti
tidak melindungi terhadap infeksi kuman TB. Faktor-faktor genetik
mungkin mempunyai pengaruh atas kerentanan maupun ketahanan
individu terhadap infeksi kuman (Subronto, 2003).
Beberapa galur kuman TB memiliki virulensi lebih besar daripada
lainnya. Sebelum pengendalian terhadap tuberkulosis ternak biasa
dijalankan, kelompok-kelompok sapi perah yang bereaksi positif
dalam program vaksinasi dapat mencapai 100%, dan banyak dari
mereka yang menunjukkan adanya lesi tersifat dalam pemeriksaan
yang dilakukan di rumah potong. Hal demikian terjadi terutama
karena dimasukkannya sapi perah yang belum pernah mengalami uji
tuberkulinasi ke dalam suatu peternakan. Di Australia bagian utara
yang beriklim tropis, sebelum adanya program pengendalian
tuberkulosis, diketahui bahwa lebih dari 50% sapi-sapi yang berasal
dari beberapa kelompok peternakan memeperlihatkan lesi-lesi
tersifat tuberkulosis waktu diperiksa di rumah potong. Hal yang
demikian terjadi karena sapi-sapi potong terdapat bergerombol di
sekitar tempat-tempat minum pada waktu musim kering, hingga
penularan penyakit menjadi dipermudah karenanya. Di beberapa
daerah diketahui bahwa kerbau-kerbau yang bertindak sebagai
reaktor mencapai 13%. Di Australia Utara kejadian tuberkulosis pada
waktu itu mencapai sekitar 0,2% (Subronto, 2003).
Air susu yang terinfeksi merupakan sumber penularan penyakit
bagi pedet, babi dan manusia. Sekitar 5% dari sapi-sapi yang
menderita infeksi menunjukkan radang ambing TB (Mastitis
tuberkulosis) (Subronto, 2003).
A.3. Patogenesis
Basil TB mencapai selaput lendir melalui saluran pernafasan,
pencernaan atau secara kontak. Kuman akan mengalami fagositosis
oleh makrofag pada tempat kuman tesebut memasuki tubuh. Tempat
masuk kuman yang paling banyak diketahui terdapat didalam paru-
paru. Ditempat ini kuman akan memperbanyak diri hingga terjadi lesi
yang dikenal sebagai fokus primer, yang berukuran kecil dan bersifat
eksudatif (Subronto, 2003).
Di dalam saluran pencernaan juga dapat terbentuk lesi lokal,
mungkin pula basilus diangkut ke dalam kelenjar limfe yang
berdekatan hingga terbentuk lesi pada kelenjar tersebut. Lesi-lesi
lokal yang mengenai kelenjar limfe yang terbentuk setelah terjadinya
infeksi dikenal dengan sebutan kompleks primer. Pada beberapa
spesies penyakit TB mungkin tidak berkembang lebih lanjut. Hal
tersebut tergantung pada tipe kuman penyebab infeksi (Subronto,
2003).
Penyakit TB mungkin saja menunjukkan kesembuhan sempurna.
Pada sapi hal tersebut jarang terjadi, dan reaksi positif pada uji
tuberkulinasi biasanya menunjukkan adanya infeksi yang
sebenarnya. Lesi penyakit mungkin bersifat statis untuk beberapa
waktu, dan kemudian jadi progresif apabila kondisi jaringan tubuh
bersifat mendukung untuk berkembangnya kuman tuberkulosis
(Subronto, 2003).
Jumlah kuman yang menimbulkan infeksi, atau yang sering
dikenal dengan infecting dose, merupakan hal yang penting dalam
perkembangan penyakit. Jumlah kuman yang sangat kecil mungkin
hanya mengakibatkan infeksi yang sifatnya non-progresif, atau
kuman-kuman tersebut langsung ditampung oleh kelenjar limfe tanpa
terbentuknya fokus primer. Jumlah kuman yang besar dapat
mengakibatkan lesi primer yang luas dan kelenjar limfe regional juga
akan terlibat dalam waktu yang pendek, dalam waktu beberapa
minggu perluasan penyakit ke jaringan-jaringan lain akan terjadi, dan
penderita dapat mengalami kematian, tanpa adanya kesempatan
tubuh untuk menahannya agar proses infeksi dapat berlangsung
lambat (Subronto, 2003).
Setelah infeksi terjadi dengan mantap, penyebaran penyakit
dapat berlangsung dengan berbagai cara. Cara-cara penyebaran
tersebut adalah sebagai berikut (Subronto, 2003) :
a. Penyebaran langsung atas lesi TB
Penyebaran dimulai dari lesi nekrotik sentral dari tuberkel,
yang secara sentrifugal meluas ke jaringan-jaringan di sekitarnya,
yang selanjutnya akan membentuk tuberkel-tuberkel baru yang
segar. Proses demikian terjadi berulang kali sehingga dari satu
fokus primer dapat terbentuk masa tuberkulosis yang besar.
b. Penyebaran melalui saluran-saluran alami dalam tubuh
Dengan rusaknya dinding-dinding saluran, bahan yang
terdapat di dalam tuberkel yang lunak akan terbebaskan dan
masuk ke dalam saluran pernafasan, hingga penyebaran terjadi
dari satu bagian paru-paru ke bagian yang lain, baik melalui
proses batuk maupun aspirasi. Dahak mungkin dibatukkan untuk
kemudian ditelan lagi, hingga terjadi penyebaran ke saluran
pencernaan makanan. Infeksi terhadap ginjal dapat meluas,
melalui saluran perkencingan, ke dalam kantong kemih.
c. Penyebaran melalui saluran limfe
Tuberkulosis pada awalnya merupakan infeksi jaringan
limfoid. Perluasan basilus TB dihentikan di dalam folikel limfe dari
selaput lendir (tekak, bronchi dan usus) atau di dalam kelenjar
limfe yang terdapat di sekitar alat-alat tersebut. Apabila kuman
tadi berhasil lolos dari jaringan-jaringan di muka, kuman akan
tersebar luas meskipun masih ada di dalam arah aliran cairan
limfe. Dengan melalui ductus thoracicus basil akan masuk ke
dalam vena cava, yang selanjutnya dengan mengikuti aliran akan
sampai di paru-paru. Dalam paru-paru kuman akan berhenti
beredar dan membentuk fokus penyakit, yang kemudian
menyerang kelenjar bronchial, mungkin juga kuman terbawa lagi
oleh aliran darah dari peredaran kecil (circulation parva) masuk ke
dalam peredaran darah umum, hingga akhirnya mencapai alat-alat
tubuh yang lain.
d. Penyebaran melalui peredaran darah
Bakteriemia atau basilemia tuberkulosis pada umumnya terjadi
selama ada infeksi kuman TB. Pada waktu basil TB sampai di
peredaran darah sistemik, kuman akan dibersihkan dari darah
oleh fagosit dari sistem retikulo-endotelial. Selanjutnya lesi akan
terbentuk di dalam paru-paru, hati, limpa dan alat-alat tubuh
lainnya. Dalam keadaan demikian penyakit dikenal sebagai
tuberkulosis yang meluas (generalized tuberculosis). Apabila
jumlah kuman yang masuk peredaran darah sangat besar, di
dalam berbagai alat tubuh akan segera terbentuk tuberkel-tuberkel
yang berukuran kecil, yang dikenal sebagai TB-milier, dan
biasanya merupakan hasil perkembangan tuberkel di dalam
pembuluh darah. Oleh adanya tuberkel-tuberkel di berbagai alat
tersebut akan terjadi infeksi akut yang dapat mengakibatkan
kematian dalam waktu beberapa minggu. Pada kebanyakan
kejadian tuberkulosis lesi tetap terlokalisasi pada satu alat tubuh
dan tidak ada kuman yang dibebaskan ke dalam darah.
e. Penyebaran melalui permukaan serosa
Lesi TB yang terdapat di dalam paru-paru atau dinding usus
kadang-kadang meluas dan mengenai dinding luar serosa dari
alat-alat tubuh tersebut. Dengan gerak pernafasan atau gerak
peristaltik usus kuman akan tersebar luas hingga terbentuk folikel-
folikel baru pada membrana serosa.
Pada umumnya TB berkembang secara lambat, namun pada
hewan-hewan muda dan anak-anak dapat berlangsung cepat
serta bersifat fatal.
Lesi TB bersifat granulomatous dengan kecenderungan
terjadinya pengkejuan serta keterlibatan kelenjar limfe. Sifat-sifat
yang khas dalam histopatologi sangat membantu dalam mengenal
jaringan yang menderita TB. Proses perkembangan penyakit
bervariasi tergantung pada faktor-faktor seperti ketahanan intrinsik
yang dimiliki, yang berbeda-beda pada berbagai spesies, maupun
bangsa dan individu masing-masing hewan. Selain itu proses
perkembangan penyakit juga tergantung pada pembentukan cell
mediated immunity dari inang setelah berlangsungnya infeksi.
Meskipun beberapa zat anti, antibodi, juga terbentuk namun hal
tersebut rupanya tidak cukup kuat untuk melindungi tubuh. Dalam
perkembangan selanjutnya adanya antibodi yang terbentuk dapat
digunakan untuk mengenali infeksi kuman TB secara serologik.
Pada stadium awal infeksi basil-basil TB dapat hidup di
dalam makrofag. Dengan makin teraktifkannya sel tersebut oleh
respons kekebalan, basil tidak dapat bertahan dengan baik. Basil-
basil di dalam lesi lebih banyak ditemukan di luar sel. “Cord factor”
yang dimiliki oleh basil virulen memiliki efek sebagai detergen
yang toksik pada membran sel mitokondria sel. Nekrosis yang
seperti keju pada suatu tuberkel yang sudah terbentuk dapat
melindungi basil dari obat-obatan yang diberikan untuk waktu
yang panjang. Metabolisme basil aerob juga terhambat hingga
daya hidupnya yang panjang menjadi terjamin, meskipun
sebenarnya perkembangbiakan sel tersebut tidak besar.
Transmisi melalui aerogen, ingesif dan congenital. Organ
yang terkena adalah paru-paru, hepar, limfoglandula, ginjal, otak
dan mammae.
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui aerogen dan akan
menimbuklan lesi primer pada paru-paru berupa tuberkel yang
mengkeju. Selanjutnya tuberkel ini dapat pecah dan eksudatnya
akan dibatukkan keluar dan sebagian dari eksudat tadi ada yang
masuk ke dalam saluran pencernaan. Di dalam saluran
pencernaan kuman tadi akan diserap masuk dalam aliran darah
dan selanjutnya dapat menyebar ke organ yang lain (Hasutji dkk,
2004).
A.4. Penularan
Gambar 4. Penularan Mycobacterium bovis (Sumber : www.heartlandtbc.org)
Mycobacterium bovis bisa menyebabkan penyakit TB pada
manusia yang dapat menyerang paru-paru, lymph nodes dan bagian
tubuh lainnya. Tidak semua orang yang terinfeksi Mycobacterium
bovis menjadi sakit. Orang yang terinfeksi tetapi tidak sakit disebut
Infeksi TB laten. Orang yang menderita infeksi TB laten tidak merasa
sakit, tidak memiliki gejala apapun dan tidak dapat menyebar TB
kepada orang lain (CDC, 2011).
Manusia paling sering terinfeksi oleh Mycobacterium bovis melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi, produk susu yang tidak
dipasteurisasi, kontak langsung dengan luka, atau dengan menghirup
bakteri di udara yang dihembuskan oleh hewan yang terinfeksi
Mycobacterium bovis. Penularan langsung dari hewan ke manusia
melalui udara jarang terjadi, tetapi Mycobacterium bovis dapat
menyebar secara langsung dari orang ke orang ketika orang terinfeksi
mengalami batuk atau bersin (CDC, 2011; Good, 2011).
Infeksi Mycobacterium bovis yang menyebar ke ternak terutama
melalui aerosol baik dari batuk atau bersin hewan dengan TB terbuka
atau dari partikel debu yang terinfeksi. Mengingat dominasi penularan
secara aerosol, infeksi bisa menyebar lebih cepat pada peternakan
sapi perah model intensive/dikandangkan. Penularan secara aerosol
efektif hanya pada jarak lebih pendek (1-2 m) dan karenanya
kepadatan ternak merupakan faktor signifikan dalam menentukan
tingkat penularan. Akibatnya, pada peternakan dengan kepadatan
ternak tinggi atau dalam sistem produksi ternak yang dikandangkan
untuk waktu yang lama, tingkat transmisi antara hewan rentan
mungkin sangat tinggi. Dalam kondisi kandang yang terinfeksi,
tetesan dan partikel infektif mungkin terus hadir di udara,
menghadirkan bahaya bagi hewan rentan dan peternak
(Cousins, 2001).
Penyebaran Mycobacterium bovis melalui konsumsi bahan
infeksius juga telah dilaporkan yaitu dengan minum susu yang
terinfeksi (Crofton et al, 2002) atau makan rumput atau melalui pakan
yang terkontaminasi. Cutaneous, infeksi bawaan dan genital telah
dicatat tetapi dianggap langka. Infeksi pencernaan dapat bersifat
primer, seperti yang terjadi pada pedet yang minum susu sapi dengan
mastitis tuberkulosis, atau mungkin sekunder dengan menelan
mikobakterium sarat eksudat dari paru-paru. Infeksi tonsil dengan
sekunder keterlibatan kelenjar getah bening regional mungkin hasil
dari konsumsi basil dalam makanan (Cousins, 2001).
A.5. Gejala Klinik
Pada sapi tidak ada tanda-tanda klinis pada stadium awal dari
infeksi. Bila penyakit melanjut pada sapi terdapat batuk yang
menetap, tidak ada nafsu makan dan kondisi badan sangat menurun
disertai pembesaran lymphoglandula yang dapat diraba. Pengerasan
pada ambing disebabkan oleh terbentuknya jaringan ikat sering
ditemukan. Pada waktu itu kuman dapat diperlihatkan dalam sekreta
dan eksreta (Hasutji dkk, 2004).
A.6. Kelainan Pasca Mati
Kelainan pasca mati dapat bervariasi mulai dari terbentuknya
tuberkel kecil-kecil tunggal, banyak menyebar atau bergabung, baik
pada lymphoglandula, paru-paru maupun alat-alat tubuh lainnya.
Sifat khas dari tuberkel tersebut berupa sarang-sarang perkejuan
atau perkapuran.
Sarang-sarang bovine tuberculosis pada sapi, terdapat pada
paru-paru dan pleura, hati, limpa, peritoneum, lymphoglandula,
kadang-kadang pada kulit dan tulang (OIE, 2009; Hasutji dkk, 2004).
Tuberkulosis ambing lebih sering diderita oleh sapi daripada
spesies yang lain. Pada waktu kasus-kasus TB masih terdapat luas,
di Eropa dan Amerika diketahui 5% dari sapi-sapi yang menderita
infeksi TB menunjukkan adanya lesi pada ambingnya. Keempat
(kwartir) ambing dapat menderita infeksi meskipun biasanya penyakit
hanya bermula dari salah satu perempatan ambing belakang, pada
bagian atasnya. Infeksi terjadi secara hematogen yang berasal dari
satu fokus TB yang terdapat pada alat lain, atau karena masuknya
kuman TB secara langsung dengan melalui alat-alat pemerahan, ke
dalam ambing. Bentuk penyakit tuberkulosis ambing dapat
bermacam-macam, mungkin berbentuk milier akut dengan
pengkijuan atau berbentuk kronik dengan infiltrasi luas oleh fagosit
mononuklear yang disertai dengan sedikit pengkijuan maupun
pengapuran. Kelenjar limfe supramamer kebanyakan terlibat pada
lesi yang berkiju, atau kadang hanya mengalami kebengkakan ringan
saja. Proses penyakit di dalam ambing berlangsung lambat tanpa
adanya gejala radang kelenjar susu yang akut.
Ukuran dan konsistensi ambing sedikit demi sedikit meningkat
hingga pada suatu saat ukuran ambing jauh lebih besar dari
normalnya dengan disertai indurasi jaringan yang sangat. Kalau
ditekan, ambing yang menderita tersebut tidak terasa sakit ataupun
menjadi lebih peka. Pada awal proses penyakit, meskipun
mengandung kuman-kuman TB, secara fisik air susu nampak
normal. Perubahan selanjutnya meliputi perubahan warna, dan
kualitasnya menurun. Air susu menjadi lebih encer dan tidak
mengandung sir susu kelapa (krim). Bila dipusingkan dengan
sentrifuge endapannya mengandung lekosit, dengan jumlah monosit
yang sangat meningkat. Pada tingkat penyakit lebih lanjut air susu
berubah secara nyata dengan adanya gumpalan-gumpalan yang
sifatnya purulen. Basil TB pada akhirnya ditemukan dalam jumlah
besar, mungkin sampai 500.000 sel per mililiter (Subronto, 2003).
A.7. Diagnosis
Diagnosis bovine tuberculosis (btb) dilaksanakan berdasarkan
gejala klinis, isolasi dan identifikasi kuman (kultur dan pewarnaan
basil tahan asam), tuberculin test, pemeriksaan darah {Gamma-
Interferon assay (IFNɣ assay), lymphocyte proliferation assay, dan
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)}, serta pemeriksaan
molekuler (PCR). Bahan pemeriksaan yang perlu diambil meliputi
dahak, yang diambil probang, tinja dan atau air susu (OIE, 2009;
Subronto, 2003).
A.8. Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner
Pertimbangan dari segi pemotongan hewan dan pemanfaatan daging
bovine tuberculosis (btb) pada sapi, meliputi :
1. Di daerah pemberantasan btb
Reaktor (+) maka seluruh hewan diafkir (tidak dianjurkan untuk
dipotong).
2. Pada saat akhir dari suatu tindakan pemberantasan
Reaktor (+), tanda-tanda lesi (-) maka diadakan perebusan
terhadap karkas, viscera maupun organ lebih dahulu sebelum
daging dimanfaatkan. Reactor (+), terdapat lesi pada satu organ
maka dilakukan perebusan lebih dahulu terhadap karkas dan
viscera, sedang organ dan bagian karkas yang menyimpang
diafkir. Reactor (+), terdapat lesi pada lebih dari satu organ maka
seluruh hewan diafkir.
3. Permulaan pemberantasan di daerah tertular
Reactor (+), tanpa tanda-tanda lesi diijinkan untuk dijual dengan
daerah distribusi terbatas (lulus bersyarat). Reactor (+) terdapat
lesi pada salah satu organ tanpa adanya lesi millier maka
dilakukan perebusan lebih dahulu terhadap karkas dan viscera.
Btb lokal pada ambing atau paru-paru maka afkir bagian kelenjar
ambing atau paru-paru. Reactor (+), terjadi lesi pada lebih dari
satu organ tetapi tidak ada tada-tanda infeksi umum maka afkir
seluruh hewan atau dilakukan perebusan lebih dahulu terhadap
karkas, sedang paru-paru dan bagian lain yang mengalami lesi
diafkir (Hasutji dkk, 2004).
B. Tes Laboratorium
B.1. Tes Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan cara pewarnaan
basil tahan asam dengan metode pemanasan (Ziehl Neelsen)
atau metode tanpa pemanasan (Gabbett’s atau Kinyoun’s).
Pemeriksaan minimal 100 lapangan pandang sebelum
menyatakan negatif pada hasil pemeriksaan (Sridhar, 2012).
Hasil pemeriksaan basil tahan asam (BTA) rekomendasi RNTCP
tahun 1998 :
(3+) jika ditemukan lebih dari 10 BTA per lapangan pandang
(2+) jika ditemukan 1-10 BTA per lapangan pandang
(1+) jika ditemukan 10 – 99 BTA per 100 lapangan pandang.
B.2. Kultur (pembiakan)
Teknik kultur yang digunakan di laboratorium kedokteran
hewan berbeda dengan laboratorium kedokteran. Strain
Mycobacterium bovis tumbuh sedikit atau tidak semua tumbuh
pada media Lowenstein Jensen (egg-based media) yang berisi
glycerol yang biasa digunakan sebagai media untuk pertumbuhan
Mycobacterium tuberculosis, tetapi pertumbuhan Mycobacterium
bovis bisa distimulasi dengan sodium pyruvat sebagai pengganti
glycerol. Kultur Mycobacterium bovis juga bisa menggunakan
media Stonebrink (Pyruvate-based medium) (John et al, 2012;
Lisa et al, 2005).
B.3. Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR pertama kali ditemukan oleh Kary B. Mullis pada tahun
1985. PCR merupakan metode untuk mengamplifikasi/melipat
gandakan fragmen DNA target secara invitro yang melibatkan
banyak siklus, dimana setiap siklus masing-masing tiga tahap
berulang mencakup denaturasi template, annealing, elongating.
Pada akhir tiap siklus terjadi duplikasi fragmen DNA dengan
menggunakan primer yang tepat (Maidin, 1997).
Di dalam proses PCR, denaturasi awal dilakukan sebelum
enzim Taq polymerase ditambahkan di dalam tabung reaksi. Ini
biasanya berlangsung sekitar 3 menit untuk meyakinkan bahwa
molekul DNA yang ditargetkan ingin dilipatgandakan jumlahnya
benar-benar telah terdenaturasi menjadi DNA untai tunggal. Untuk
denaturasi berikutnya, waktu yang diperlukan hanya 30 detik pada
suhu 950C atau 15 detik pada suhu 970C. Apabila DNA terget
mengandung banyak nukleotida G/C, suhu denaturasi dapat juga
dinaikkan. Denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA
mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda lagi) secara
cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya proses PCR. Adapun
waktu denaturasi yang terlalu lama mungkin dapat mengurangi
aktivitas enzim Taq polymerase. Aktivitas enzim tersebut
mempunyai waktu paruh lebih dari 2 jam, 40 menit, 5 menit
masing-masing pada suhu 92,5; 95; dan 97,50C (Muladno, 2010).
Pada tahap penempelan primer (Annealing), temperatur
yang digunakan biasanya 50C di bawah Tm, dimana formula untuk
menghitung Tm = 4(G+C) + 2(A+T). Semakin panjang ukuran
primer, semakin tinggi temperaturnya. Kisaran temperatur
penempelan yang digunakan antara 360C sampai dengan 720C,
namun suhu yang biasa digunakan antara 50 – 600C (Muladno,
2010).
Selama tahap pemanjangan primer (Extension), taq
polymerase memulai aktivitasnya memperpanjang DNA primer
dari ujung 3’. Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim
tersebut pada suhu 720C diperkirakan antara 35 sampai 100
nukleotida per detik, bergantung pada bufer, pH, konsentrasi
garam dan molekul DNA target. Dengan demikian, untuk produk
PCR sepanjang 2000 pasang basa, waktu 1 menit sudah lebih
dari cukup untuk tahap pemanjangan primer ini. Biasanya, di akhir
siklus PCR, waktu yang digunakan untuk tahap ini diperpanjang
sampai lima menit, sehingga seluruh produk PCR diharapkan
berbentuk DNA untai ganda (Muladno, 2010).
Ada beberapa macam PCR, berdasarkan jenis dan
kegunaannya yaitu (zulkifli, 2012) :
1. Long Distance PCR merupakan jenis PCR yang berguna
untuk mengamplifikasi dan mendeteksi produk PCR dengan
ukuran 50 kb atau lebih.
2. AP-PCR Genom merupakan jenis PCR yang dapat digunakan
untuk mendeteksi polimorfisme sehubungan dengan
pemetaan gen, filogenetik dan populasi biologi.
3. AP-PCR RNA merupakan PCR yang digunakan untuk
mendeteksi ekspresi gen yang berbeda dan dapat langsung
diklon dengan mengisolasi produk amplifikasi.
4. RT-PCR (Reverse Transcription-PCR/ Transkripsi Balik)
berguna untuk mendeteksi dan mengamplifikasi RNA.
5. Multiplex PCR adalah PCR yang menggunakan dua atau lebih
urutan DNA target yang spesifik dari spesimen yang sama
dan kemudian diamplifikasi secara simultan. Umumnya
digunakan dua set primer pertama digunakan untuk
mengamplifikasi kontrol internal dan set primer kedua
digunakan untuk mengamplifikasi urutan DNA target.
6. QC-PCR (Quantitative Comparative-PCR), menggunakan
tambahan eksogen internal. Tambaha tersebut terdiri dari
fragmen DNA di mana pada kedua sisinya terdapat urutan
DNA target dan urutan primer spesifik.
7. RAPD-PCR (Random Amplified of polymorphic DNA)
merupakan jenis PCR yang menggunakan primer
oligonukleotida pendek dengan low-strigency PCR untuk
mengamplifikasi fragmen DNA tertentu yang dapat digunakan
sebagai marka molekuler.
8. RFLP-PCR (Restriction Fragment Length Polymorphism)
merupakan jenis PCR yang mendeteksi mutasi yang terdapat
pada genom DNA. RFLP-PCR ini mampu mengamplifikasi
DNA termasuk urutan yang bermutasi dengan menggunakan
apitan primer dan diikuti enzim restriski terhadap produk PCR.
9. Nested PCR dibutuhkan dua amplifikasi secara terpisah dan
menggunakan dua set primer ampifikasi. Satu set primer
digunakan untuk mengamplifikasi produk amplifikasi dari satu
set primer sebelumnya dan produk amplifkasi kedua lebih
pendek dari produk amplifikasi pertama. Sensitivitas dan
spesifitas nested PCR ini terletak pada primer yang hanya
menempel pada amplikon sesuai dengan urutannya.
C. Geographic Information System (GIS)
Geographic Information System (GIS) merupakan komponen yang
terdiri dari perangkat keras (Hardware), perangkat lunak (Software), data
geografis dan sumber daya manusia yang bekerja bersama secara efektif
untuk memasukkan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui,
mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis dan
menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Dalam ilmu
kedokteran hewan GIS digunakan untuk pemetaan penyakit, analisis
ekologi, surveilan epidemiologi dan GIS menjadi alat yang sangat
diperlukan untuk pengolahan, analisis dan visualisasi data spasial
(Renaldi et al, 2006).
Data yang akan diolah pada GIS merupakan data spasial. Ini
adalah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang
memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga
aplikasi GIS dapat menjawab beberapa pertanyaan, seperti lokasi,
kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang
membedakan GIS dari sistem informasi lainnya. Untuk epidemiologi
spasial GIS telah menjadi alat penting untuk merancang sebuah
penelitian, sampel wilayah, dan menggambar peta (Renaldi et al, 2006).
Pemodelan data spasial bertujuan untuk menjelaskan atau
memprediksi terjadinya penyakit. Data ini akan diubah menjadi
pengetahuan dan menyajikan pengetahuan ini dalam berbagai format
untuk tujuan mendukung keputusan (Martin et al. 2012).
D. Kerangka Teori
Beberapa hasil penelitian yang dapat mendukung kerangka teori
penelitian dikemukakan secara berurutan sebagai berikut :
1. Abraham Mekibeb et al. 2012 (Ethiopia), meneliti prevalensi bovine
tuberculosis dan karakterisasi molekuler pada agen penyebab btb di
rumah potong hewan addis ababa municipal ethiopia pusat. Dari 500
sampel yang diperiksa 25 sampel menunjukkan lesi yang mengarah
suspect TB dan hanya 7 sampel yang positif dengan teknik molekuler.
2. I.M Al-Saqur et al. 2009 (Iraq), mendeteksi Mycobacterium spp pada
susu sapi dengan menggunakan metode konvensional dan PCR.
Hasilnya dari 68 sampel susu ternyata 3 positif melalui pewarnaan
BTA, 7 sampel positif dari kultur dan 7 sampel positif dari PCR.
3. Eduardo Eustaquio desouzaf et al. 2009 (Brazil), mengidentifikasi
isolat Mycobacterium bovis dengan metode multiplex PCR. Hasil dari
34 sampel paru-paru dan limfa node 17 positif kultur dan 15 positif
dengan teknik PCR.
4. Srivastava K et al. 2008 (India), melakukan isolasi Mycobacterium
bovis dan Mycobacterium tuberculosis pada ternak sapi dibeberapa
peternakan didaerah India utara. 54 isolat M. tb complex yang didapat,
40 isolat teridentifikasi sebagai M. bovis dan 14 isolat teridentifikasi
M.tb. Isolasi bakteri yang diambil dari prescapular lymph gland biopsy
(PSLG) tumbuh M.bovis (19/40, 47,5%) dan M. tb (5/14, 35,7%),
Isolasi dari darah tumbuh M. bovis (9/40, 22.5%) dan M.tb (4/14,
28,5%), Isolasi dari sampel susu tumbuh M. bovis (6/40, 15%) dan M.
tb (4/14, 28,5%), Isolasi dari rectal pinch tumbuh M. bovis (3/40,
7,5%), swab pharyngeal (2/40, 5%), sampel feses tumbuh M.bovis
(1/40, 2,5%), sedangkan 1/14 (7,1%) tumbuh M. tb dari swab
pharyngeal.
5. Tejeda Aurora R et al. 2006 (Meksiko), konfirmasi Mycobacterium
bovis dari eksudat hidung dengan menggunakan metode nested PCR
di peternakan sapi perah. Dari 25 reaktor tuberkulin 22 positif INF-ɣ, 9
positif pewarnaan ZN, dan 6 positif dengan teknik PCR.
6. Shah, D.H et al. 2002 (India). Membedakan Mycobacterium bovis dan
Mycobacterium tuberculosis dengan menggunakan teknik multiplex
PCR. Dengan menggunakan metode ini dapat membedakan dua
bakteri tersebut yang memiliki hubungan dekat dimana M. bovis
terdeteaksi pada panjang amplikon 500 bp dan M. tuberculosis pada
panjang amplikon 185 bp.
7. Rosa E. Romero et al. 1999 (Colombia), mengidentifikasi
Mycobacterium bovis pada sampel klinis ternak sapi dengan metode
PCR-primer spesifik spesies. Hasilnya sampel dari Mucus hidung
dengan teknik bacilloscopy 1 positif, 1 positif dengan kultur dan 16
positif dengan PCR. Sampel Darah 8 positif dengan teknik PCR
sedangkan teknik bacilloscopy dan kultur negatif. Sampel Susu 4
positif dengan teknik PCR sedangkan teknik bacilloscopy dan kultur
negatif.
8. Elizabeth A. Talbot et al. 1997 (Amerika), melakukan identifikasi teknik
PCR untuk mendeteksi Mycobacterium bovis strain BCG dengan
metode multiplex PCR. Hasil RD1 terhapus pada 23 dari 23 strain
BCG, dan RD1 hadir pada 129 dari 129 strain Mycobacterium
tuberculosis complex lainnya.
9. Juan G Rodriguez et al. 1995 (Colombia), melakukan identifikasi
spesifik-spesies Mycobacterium bovis dengan PCR. Metode yang
dipakai RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).
Untuk memudahkan pemahaman terhadap kerangka teori penelitian ini,
maka akan diterangkan secara skematik sebagai berikut :
Gambar 5. Kerangka Teori
Mycobacterium bovis
Infeksi Alam
Hewan Terinfeksi (Sapi)
Gejala Klinis Deteksi
(BTA, Kultur, PCR)
Penelusuran Epidemiologi Penyakit
Pengembangan Diagnosa
Pengendalian dan pemberantasan
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
Gambar 6. Kerangka Konsep
Umur
Lingkungan
Jenis kelamin
Bovine tuberculosis
Mycobacterium bovis
Gejala Klinis Laboratorium
Susu Tes Tuberkulin
PCR Mikroskopik BTA
Kultur
Pemeriksaan darah
D. Definisi Operasional
Bovine tuberculosis (btb) merupakan penyakit yang disebabkan
oleh Mycobacterium bovis, bersifat kronis pada ternak sapi dan
kadang-kadang menyerang spesies mamalia lainnya serta bersifat
zoonosis.
Susu (Milk) adalah sekresi dari kelenjar susu pada mamalia yang
merupakan cairan kompleks yang mengandung komponen zat
nutrisi, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah
sesuatu apapun dan belum mendapat perlakukan apapun kecuali
proses pendinginan.
PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah suatu metode enzimatis
dengan melipatgandakan fragmen DNA secara eksponensial
dengan cara invitro. Diagnosis btb untuk metode PCR bila terdapat
pita sesuai target (500 bp) yang terlihat pada saat proses
pembacaan gel agarosa hasil elektroforesis.
LJ (Lowenstain Jensen) merupakan media padat mengandung telur
yang digunakan untuk mengisolasi Mycobacteria.
GIS (Geographical Information System) adalah komponen yang
terdiri dari perangkat keras (Hardware), perangkat lunak (Software),
data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama
secara efektif untuk memasukkan, menyimpan, memperbaiki,
memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan,
menganalisis dan menampilkan data dalam suatu informasi
berbasis geografis.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif untuk menganalisis
kemampuan sejumlah tes yang digunakan untuk mendeteksi
Mycobacterium bovis dan untuk mengetahui distribusi infeksi
Mycobacterium bovis di lapangan.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di :
1. Peternakan sapi perah di Kabupaten Enrekang untuk seleksi
sampel.
2. Laboratorium Imunologi dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran
Unhas untuk pewarnaan basil tahan asam (BTA), tes kultur, PCR,
dan pembuatan peta hasil GPS.
Waktu Penelitian selama 3 bulan (Maret – Mei 2013)
C. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah ternak sapi perah betina yang berada
di peternakan sapi perah di Kabupaten Enrekang.
D. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel
Sampel adalah semua populasi terjangkau yang memenuhi kriteria
penelitian.
E. Perkiraan Besar Sampel
Jumlah sampel dihitung menggunakan rumus deteksi penyakit dengan
asumsi prevalensi Mycobacterium bovis 5% dan tingkat kepercayaan
95%. Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampel sebanyak 60 ekor
ternak sapi perah (Budiharta, 2002).
F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
F.1. Kriteria Inklusi
F.1.1 Ternak sapi perah yang mengalami radang ambing
F.1.2 Ternak sapi perah yang pernah memiliki riwayat penyakit
radang ambing
F.1.3 Ternak sapi perah yang mengalami pneumonia
F.2. Kriteria Eksklusi
Ternak sapi perah produktif
G. Ijin Subyek Penelitian
Permintaan izin (informed concent) ternak sapi perah kepada pemilik
ternak untuk dijadikan sampel penelitian.
H. Cara Kerja
H.1. Alokasi Subyek
Penelitian dilakukan pada semua ternak yang memenuhi kriteria
inklusi di peternakan sapi perah di Kabupaten Enrekang.
H.2. Cara Penelitian
1. Setiap ternak yang memenuhi kriteria inklusi dicatat identitasnya,
pemberian informasi dan penjelasan secara rinci mengenai apa
yang akan dilakukan selama penelitian kepada peternak.
2. Pengambilan susu menggunakan tabung steril tertutup yang
disimpan di dalam box berpendingin suhu 40C sebagai sampel
untuk pewarnaan basil tahan asam (BTA), susu didekontaminasi
untuk selanjutnya dilakukan pewarnaan basil tahan asam (BTA)
dekontaminasi, tes kultur dan PCR.
3. Pada saat sampel sudah cukup dilakukan tes PCR dibawah
bimbingan supervisor dari Laboratorium Imunologi dan Biologi
Molekuler Fakultas Kedokteran Unhas.
2.1 Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat penelitian
a. Pewarnaan Ziehl Neelsen : Pot plastik, objek gelas, bunsen,
rak, ose, mikroskop.
b. Dekontaminasi : Neraca analitik, tabung reaksi, batang
pengaduk, pipet volume, tabung skrup steril, rak tabung,
vorteks, sentrifuse.
c. Kultur : Tabung skrup, ose, pipet volume, autoclave,
inkubator, magnetik stirrer steril, neraca analitik, vorteks.
d. PCR : Tabung microcentrifuge, micropipet, thermocycler,
elektroforesis, UV, sentrifuse, autoklaf, vorteks, rotator,
inkubator, bunsen, neraca analitik, clinipet, tips, PCR (Hybaid
Omn-E).
e. GIS : alat GPS, Komputer.
2. Bahan Penelitian
Sampel : susu
a. Pewarnaan Ziehl Neelsen : Carbol fuchsin, HCl alkohol,
methylen blue, imersion oil, xylol.
b. Dekontaminasi : NaCl 7% dan NaOH 4%.
c. Kultur : Media Lowenstein Jensen, aquades steril, sodium
pyruvat, telur ayam kampung.
d. PCR : Primer JB21 (5´-TCGTCCGCTGATGCAAGTGC-3´),
JB22 (5´-CGTCCGCTGACCTCAAGAAAG-3´), ATB-1
(5’-ATGCGGGCGTTGATCATCGTC-3’), ATB-2 (5’-
CGGTGTGCCGGAGAAGCGG-3’) (Shah et al, 2002), Taq
Buffer, dNTPs, Taq DNA polymerase, DNA template, DNA
extract Mycobacterium bovis, agarose gel, Tris borate-EDTA,
buffer, ethidium bromide.
2.2 Prosedur kerja tes laboratorium
1. Dekontaminasi sampel susu
Dekontaminasi terhadap sampel susu menggunakan metode
HS-SH : 10 ml susu dicampur dengan 5 ml 7% NaCl dan 4%
NaOH campur selama 15 – 20 detik, selanjutnya inkubasi pada
suhu 370C selama 20 menit. Kemudian ditambahkan phosphate
buffer pH 6,8 selanjutnya disentrifuse pada 3000 rpm selama 15
menit. Selanjutnya supernatan dibuang dan sedimen digunakan
untuk persiapan pewarnaan basil tahan asam dan inokulasi kultur
media (Al-saqur, 2009).
2. Pewarnaan basil tahan asam (BTA) dengan metode
pemanasan (Ziehl Neelsen)
susu dioleskan di atas objek gelas yang telah diberi tanda,
dibiarkan sampai kering dan difiksasi dengan jalan melewatkan
di atas nyala api sebanyak tiga kali. Kemudian tempatkan
sediaan pada rak yang tersedia dan genangi zat warna carbol
fuchsin sampai menutupi seluruh sampel. Lalu nyala api
dilewatkan dibawah sediaan sampai zat mengeluarkan uap
(tidak sampai mendidih) sebanyak tiga kali, biarkan selama 5
menit. Kemudian di cuci dengan air mengalir dan ditambahkan
HCl Alkohol biarkan selama 2 menit, kemudian cuci dengan air
mengalir. Terakhir genangi zat warna methilen blue selama 1-2
menit, lalu cuci dengan air mengalir dan biarkan kering.
Pembacaan Hasil
Sediaan dibaca pada mikroskop, dan jika terdapat batang
berwarna merah yang biasa disebut basil tahan asam, berarti
ternak sapi tersebut positif terinfeksi bakteri bovine tuberculosis.
3. Kultur Mycobacterium bovis dengan media Lowenstein
Jensen (LJ)
Pembuatan media Lowenstein Jensen
Media Lowenstein Jensen untuk kultur Mycobacterium bovis
tidak menggunakan glycerol karena glycerol dapat menghambat
pertumbuhan strain Mycobacterium bovis. Oleh karena itu
digunakan sodium pyruvat sebagai pengganti glycerol (John et al,
2012; Lisa et al, 2005).
Timbang sebanyak 37,2 gr medium LJ dan larutkan dalam
600 ml aquades yang bebas mineral, lalu ditambahkan 4 gr
sodium pyruvat, dimasukkan ke dalam autoclave selama 15 menit
pada suhu 1210C, didinginkan sampai 500C. Tambahkan telur
ayam kampung dengan takaran sebanyak 400 ml dan diaduk
secara merata dengan menggunakan magnetic stirrer steril
sampai homogen. Setelah tercampur rata saring dengan
penyaring lapis dua yaitu menggunakan kain kassa steril dan
saringan steril. Masukkan kedalam tabung skrup steril masing-
masing sebanyak 5 ml. Terakhir panaskan dengan suhu 850C
selama 45 menit, selama 2 hari berturut-turut disimpan dalam
posisi miring dan media siap dipakai.
Cara kultur Mycobacterium bovis
Bahan yang telah didekontaminasi diisap dengan pipet steril
dan diteteskan pada permukaan media, bahan pemeriksaan
diratakan diseluruh permukaan media. Sebelum diinkubasi, media
yang telah diinokulasi diletakkan beberapa saat pada suhu kamar
dan dihindari dari cahaya. Kemudian inkubasi pada suhu
350C-370C, penambahan CO2 5%-10% dalam atmosfir akan
sangat mempercepat pertumbuhan koloni. Agar CO2 dapat masuk
kedalam botol media, maka harus dilonggarkan tutupnya selama
satu minggu.
Pembacaan Hasil
Dinyatakan negatif apabila setelah 8 minggu tidak ada
pertumbuhan dan dinyatakan positif Mycobacterium bovis dengan
pertumbuhan koloni datar, halus, berwarna putih, tak berwarna,
lembab, dan tumbuh lambat (tampak setelah 4 atau 5 minggu).
4. Ekstraksi DNA Mycobacterium bovis dengan Metode Wizard-
Genome DNA Purification KIT (Promega ®)
Sampel susu, 1,5 ml sampel susu disentrifuse dengan
kecepatan 16000 rpm selama 15 menit, kemudian supernatan
dibuang. Selanjutnya tambah 600 µl nuclei lysis solution, campur
dengan cara dibolak balik. Kemudian inkubasi pada suhu 800C
selama 5 menit, lalu dinginkan di suhu ruangan.
Tambahkan 3µl RNase Solution, campur dengan bolak-balik
sebanyak 2-5 kali. Lalu inkubasi pada suhu 370C selama 60 menit,
kemudian dinginkan di suhu ruangan. Tambahkan 200 µl protein
precipitation solution, campur dengan menggunakan vortek
selama 20 detik. Kemudian inkubasi sampel tersebut didalam es
selama 5 menit. Selanjutnya sentrifuse 13000 rpm selama 3
menit.
Pindahkan supernatan yang berisi DNA ke tabung eppendorf
1,5 ml yang sebelumnya telah diisi dengan 600 µl isopropanol,
campur dengan cara bolak balik. Kemudian Sentrifus 16000 rpm
selama 2 menit. Buang supernatan dengan hati-hati, selanjutnya
tambahkan 600 µl ethanol 70%, campur dengan cara membolak-
balik. Langkah selanjutnya sentrifuse 16000 rpm selama 2 menit,
dengan hati-hati buang ethanol. Lalu keringkan tabung (angin-
anginkan selama 10 – 15 menit). Terakhir tambahkan 100 µl DNA
Rehydration Solution lalu inkubasi pada suhu 40C semalam.
5. Amplifikasi DNA Mycobacterium bovis dengan teknik
Multiplex PCR
Masukkan dalam tabung eppendorf gobead yaitu bahan yang
siap digunakan, terdiri dari : (10x PCR buffer sebanyak 2,5 µl,
dNTPs 0,1 µl, Taq DNA Polymerase (1 µ) sebanyak 0,1 µl,
diencerkan dengan Water PCR grade sebanyak 19,3 µl lalu
masukkan masing-masing 0,1 µl primer JB 21 dan JB 22,
masukkan masing-masing 0,15 µl primer ATB1 dan ATB2.
Kemudian masukkan lagi 2,5 µl DNA template (sampel hasil
ekstraksi DNA). Masukkan pada tabung eppendorf 25 µl destilate
water untuk kontrol negatif, kemudian untuk kontrol positif
menggunakan 2,5 µl ekstrak DNA dari Mycobacterium bovis.
Amplifikasi dilakukan pada mesin PCR Hybaid Omne.
Amplifikasi pertama pada suhu 950C selama 10 menit, dan
selanjutnya amplifikasi dilakukan sebanyak 30 siklus, dan setiap
siklus terdiri dari denaturasi pada suhu 940C selama 1 menit,
annealing pada suhu 670C selama 1 menit, extension 720C
selama 1 menit dan proses pemanjangan akhir pada suhu 720C
selama 10 menit.
6. Elektroforesis
Pembuatan agarose 2% dengan cara menimbang 2 gr
agarose dan dilarutkan dalam 100 ml TBE 1x lalu dipanaskan
sampai mendidih. Tunggu agak dingin lalu tambahkan ethidium
bromide 15 µl, selanjutnya larutkan agarose dan tuang ke dalam
cetakan dan tunggu hingga beku. Gel yang telah beku
dimasukkan ke dalam alat elektroforesis dan direndam dalam
larutan TBE 1x.
Produk amplifikasi (hasil PCR) diambil sebanyak 10 µl dan
dicampur dengan `1 µl Blue juice loading buffer (tanpa marker),
dicampur kemudian dimasukkan ke dalam sumur gel agarose
yang sudah jadi, yang sebelumnya pada sumur pertama
dimasukkan 13 µl marker, kemudian dialiri arus listrik dari muatan
negatif (Katode) ke muatan positif (Anode) pada 100 A selama 60
menit.
Pembacaan hasil PCR
Hasil produk amplifikasi yang dilewatkan pada gel
elektroforesis akan dibaca dengan bantuan sinar ultra violet
dalam ruangan gelap, dan jika tampak pita (band) pada panjang
amplikon 500 bp di gel tersebut berarti sampel positif, dan
sebaliknya bila tidak tampak, berarti sampel negatif.
I. Metode Analisis
Analisis data dengan menggunakan SPSS versi 15.0 untuk
mengukur keakuratan (sensitifitas dan spesifitas) teknik PCR terhadap
pewarnaan BTA dekontaminasi susu dalam mendeteksi Mycobacterium
bovis.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Hasil pemeriksaan sampel susu dengan tes konvensional dan
molekuler
Enam puluh sampel susu dari ternak sapi perah yang diambil dari
beberapa peternak di Kecamatan Cendana dan Kecamatan Enrekang
Kabupaten Enrekang kemudian dilakukan pengujian konvensional dengan
teknik pewarnaan basil tahan asam (BTA) terhadap dekontaminasi susu
dan kultur, serta pengujian molekuler dengan teknik multiplex PCR
dengan menggunakan dua macam primer yaitu JB21 dan JB22 untuk
mendeteksi Mycobacterium bovis dan primer ATB1 dan ATB2 untuk
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis. Hasil pengujian pewarnaan basil
tahan asam (BTA) terhadap dekontaminasi susu, kultur dan PCR dari 60
sampel susu ternak sapi perah di laboratorium ditunjukkan pada tabel 2 :
Tabel 2. Perbandingan antara jumlah positif dan negatif hasil pengujian BTA dekontaminasi susu, kultur bakteri dan PCR
Hasil Pengujian
BTA dekontaminasi susu
Kultur Bakteri PCR susu
Positif 2 (3,3%) 0 (0%) 6 (10%)
Negatif 58 (96,7%) 60 (100%) 54 (90%)
Jumlah 60 60 60
Dari tabel 2 menunjukkan bahwa dari 60 sampel susu ternak sapi
perah yang dilakukan pewarnaan basil tahan asam (BTA) terhadap
dekontaminasi susu terdapat 2 sampel (3,3%) yang positif Mycobacterium
bovis, sebanyak 60 sampel susu (100%) negatif terhadap kultur bakteri,
dan 6 sampel (10%) positif terhadap pengujian PCR untuk mendeteksi
Mycobacterium bovis.
Gambar 7. Hasil pewarnaan BTA dekontaminasi susu
PCR dapat mendeteksi Mycobacterium bovis dari sampel susu
ternak sapi perah dengan menggunakan primer spesifik yang
menghasilkan panjang amplikon 500 bp (Juan et al, 1999).
Gambar 8. Hasil PCR sampel susu no. 1- 13 pada target amplifikasi 500 bp
Gambar 9. Hasil PCR sampel susu no. 14-29 pada target amplifikasi 500 bp
Keterangan :
M : Ladder 1 kb P : Positif Kontrol N : Negatif Kontrol LJ : Sampel no.23
pada Media LJ gliserol
Gambar 10. Hasil PCR sampel susu no. 30 – 45 pada target amplifikasi 500 bp
Gambar 11. Hasil PCR sampel susu no. 46-60 pada target amplifikasi
500 bp
Sensitifitas dan spesifitas pengujian molekuler dibandingkan
dengan pengujian pewarnaan BTA dekontaminasi susu (Konvensional) di
tunjukkan pada Tabel 3 :
Keterangan :
M : Ladder 1 kb
P : Positif Kontrol
Tabel 3. Sensitifitas dan Spesifitas pengujian molekuler dibandingkan dengan pewarnaan BTA dekontaminasi susu
Hasil Uji Pewarnaan BTA Jumlah
Positif Negatif
Hasil Uji
PCR
Positif 2 4 6
Negatif 0 54 54
Jumlah 2 58 60
Sensitifitas 100% , spesifitas 93,1%
Hasil pengujian menunjukkan 2 sampel positif pewarnaan BTA
dekontaminasi susu dan positif PCR, 4 sampel positif PCR tetapi negatif
pewarnaan BTA dekontaminasi susu dan 54 sampel yang negatif
Pewarnaan BTA dekontaminasi susu dan PCR. Sensitifitas pengujian
PCR untuk mendeteksi Mycobacterium bovis pada sampel susu
dibandingkan dengan pengujian pewarnaan BTA dekontaminasi susu
mencapai 100% sedangkan spesifitasnya mencapai 93,1%. Hasil
pengujian menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara hasil
pengujian PCR dengan pewarnaan BTA dekontaminasi susu (p < 0,05).
Gambar 12. sampel susu yang positif PCR
Enam sampel susu positif PCR ditunjukkan dengan gambaran fisik
susu yang yang tampak normal (Kode sampel : Sun3, Nas 1, L2,
Nar 2), dan gambaran fisik susu yang abnormal tampak pada kode
sampel Sun1 dan Ali 1. Menurut Subronto (2003) menyatakan bahwa
pada awal proses penyakit bovine tuberculosis meskipun mengandung
kuman Mycobacterium bovis secara fisik air susu nampak normal.
Perubahan selanjutnya meliputi perubahan warna dan kualitasnya
menurun dimana susu menjadi lebih encer dan tidak mengandung
susu kelapa (krim). Pada tingkat penyakit lebih lanjut air susu berubah
nyata dengan adanya gumpalan-gumpalan yang sifatnya purulen.
KODE SAMPEL Sun1 Sun3 Nas 1 L2 Ali 1 Nar2
Gambar 13. Kondisi ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang
Enam puluh sampel susu diambil dari ternak sapi perah tidak
menunjukkan gejala klinis bovine tuberculosis yang jelas (lihat gambar
13), lokasi kandang berdampingan dengan rumah peternak dengan
jarak ± 3 meter, dan populasi ternak sapi perah padat disetiap
kandang. Menurut Hasutji dkk (2004) pada stadium awal infeksi ternak
sapi tidak menunjukkan tanda-tanda klinis dan menurut Good (2011)
bovine tuberculosis hampir tidak menunjukkan tanda-tanda klinis yang
jelas pada sapi. Faktor yang mendukung terjadinya infeksi pada ternak
sapi adalah frekuensi kontak dengan manusia sangat tinggi, jarak
kandang dengan pemukiman penduduk sangat dekat, kondisi
lingkungan yang buruk seperti kelembaban yang tinggi, ventilasi
kandang yang buruk dan kondisi pakan yang buruk.
2. Analisis cluster dari positif Mycobacterium bovis
Enam puluh sampel susu ternak sapi perah yang diperiksa dengan
teknik PCR ditemukan enam sampel positif Mycobacterium bovis dan
dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning System) maka
ditemukan ada dua sampel dari enam sampel yang terlihat
berkelompok/cluster. Dimana cluster tersebut terdapat pada posisi S
03.56316 dan E 119. 76555, sedangkan empat sampel lain terlihat
tersebar.
Gambar 14. Peta lokasi hasil PCR Mycobacterium bovis
Hasil penelitian tersebut menunjukkan kemungkinan kedua sampel
yang positif dalam satu cluster tersebut mempunyai hubungan yang erat
dalam penularan Mycobacterium bovis, maka diperlukan untuk melakukan
genotyping dari kedua sampel dan menentukan sumber dari infeksi
Mycobacterium bovis. Selanjutnya empat sampel positif Mycobacterium
bovis yang tersebar juga perlu dilakukan pelacakan sumber infeksi.
B. Pembahasan
Hasil pemeriksaan sampel susu dengan tes konvensional dan
molekuler
Dalam penelitian ini mengkaji 60 sampel susu ternak sapi perah dari
beberapa peternak di Kecamatan Cendana dan Kecamatan Enrekang
Kabupaten Enrekang. Susu merupakan salah satu media penting dalam
penularan bovine tuberculosis (btb) (Srivastava et al, 2008). Manusia bisa
terinfeksi oleh Mycobacterium bovis bila meminum susu mentah atau susu
yang tidak terpasteurisasi dari ternak sapi yang terinfeksi btb. Diperkirakan
dibeberapa negara lebih dari 10% TB manusia berhubungan dengan
bovine tuberculosis (btb) (OIE, 2009).
Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 60 sampel susu yang
didekontaminasi kemudian dilakukan pewarnaan Ziehl-Neelsen dan
diperiksa di bawah mikroskop pada perbesaran 10x100 terdapat 2 sampel
(3,3%) positif Mycobacterium bovis. 60 sampel (100%) negatif terhadap
Mycobacterium bovis. 6 sampel (10%) positif terhadap pengujian PCR.
Mycobacterium bovis dari sampel susu dapat dideteksi dengan
menggunakan primer spesifik yaitu JB21 dan JB22 yang memiliki panjang
amplikon 500 bp yang merupakan daerah penanda spesifik dari
Mycobacterium bovis dan mampu mendeteksi 20 pg DNA murni (sama
dengan 4000 genome) (Shah et al, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh
Juan et al (1995) primer JB21 dan JB22 mampu mendeteksi
Mycobacterium bovis sampai 10 fg DNA. Juan et al (1995) juga
berpendapat bahwa komponen yang berada di dalam susu tidak akan
menghambat reaksi PCR. Penelitian yang dilakukan oleh Al-Saqur et al
(2009) dari 68 sampel susu sapi perah hasil menunjukkan 3 sampel positif
dengan pewarnaan BTA, 7 sampel positif kultur dan 7 sampel positif
dengan teknik PCR.
Penelitian ini menunjukkan terdapat 2 sampel positif pewarnaan
BTA dekontaminasi susu dan positif PCR, 4 sampel positif PCR tetapi
negatif pewarnaan BTA dekontaminasi susu. Menurut Al-Saqur et al
(2009) Pewarnaan BTA dari susu memiliki sensitifitas yang rendah, bukan
berarti pewarnaan BTA negatif tidak menunjukkan terjadinya infeksi. Jadi
pewarnaan BTA susu dibatasi hanya dilakukan untuk deteksi ternak sapi
yang memang positif terinfeksi btb.
Pada pengujian dengan kultur semua sampel menunjukkan negatif
Mycobacterium bovis. Hal ini disebabkan karena jumlah bakteri terlalu
sedikit untuk bisa di kultur pada media LJ. Menurut Sjahrurachman (2008)
hasil positif untuk kultur diperlukan 1000 kuman/ml, dan pada
pemeriksaan mikroskopis langsung, hasil positif pada mayoritas kasus
baru terjadi jika jumlah kuman per milliliter minimal 5000 kuman. Bila
ditemukan BTA positif disediaan mikroskopis dan tidak terdapat
pertumbuhan di kultur, hal ini mungkin disebabkan karena kuman yang
nonviable. Faktor yang menentukan keberhasilan kultur adalah tingkat
pertumbuhan dan adanya asosiasi mikroorganisme yang akan
menghambat isolasi pertumbuhan yang lambat, ketidakmampuan isolat
potensial untuk beradaptasi dalam kondisi kultur in vitro, terutama dalam
situasi di mana jumlah bakteri sedikit, yang dapat mengakibatkan false
negative, kultur memiliki variabilitas membosankan dalam proses
identifikasi dimana dilaporkan menjadi masalah dan komposisi media
yang digunakan untuk isolasi primer Mycobacterium bovis dari isolat klinis
(Al-Saqur, 2009). Media stonebrink’s dan media Lowenstein Jensen
dengan sodium pyruvat direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan
sebagai media isolasi Mycobacterium bovis (John et al, 2012). Komposisi
media LJ yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan komposisi
media LJ yang direkomendasikan oleh WHO.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dengan elektroforesis terlihat pita
DNA yang terbentuk pada sumur nomor 1, 3, 15, 17, 35, dan 50
sedangkan kontrol negatif tidak terbentuk pita DNA. Pita DNA yang
terbentuk menunjukkan bahwa dalam sampel susu dari ternak sapi perah
tersangka bovine tuberculosis positif memang menderita bovine
tuberculosis. Menurut Hatta dkk (2004) Pita DNA yang terbentuk
memperlihatkan ketebalan yang berbeda-beda yang tergantung pada
besar kecil dan banyaknya DNA yang akan diamplifikasi. Semakin banyak
DNA yang diamplifikasi maka semakin tebal pita DNA yang terbentuk. Pita
DNA yang terbentuk pada kontrol positif terlihat tipis hal ini dikarenakan
koloni bakteri yang diambil dari isolat kultur media LJ yang disimpan
dalam jangka waktu lama dan tidak dikultur ulang akan menyebabkan
degradasi DNA bakteri tersebut. Teknik PCR memiliki sensitifitas dan
spesifitas tinggi untuk mendeteksi Mycobacteria spp. Teknik PCR lebih
akurat dan cepat daripada menggunakan metode konvensional dalam
mendiagnosa Mycobacterium bovis (Al-Saqur, 2009; Shah et al, 2002;
Juan et al, 1995).
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Tes molekuler melalui PCR memiliki sensitifitas 100% dan
spesifitas 93,1% dibandingkan dengan tes konvensional dengan
pewarnaan basil tahan asam (BTA) terhadap dekontaminasi susu.
2. Distribusi infeksi Mycobacterium bovis dilapangan dengan
menggunakan teknik Geographical Information System (GIS)
terlihat berkelompok/cluster dari dua sampel positif dalam satu
kandang sedangkan empat sampel positif terlihat pola yang
tersebar.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan genotyping Mycobacterium bovis di laboratorium
terutama dalam penelusuran epidemiologi penyakit dengan sampel
positif Mycobacterium bovis.
2. Perlu diperhatikan pemilihan media LJ dengan komposisi yang
tepat untuk pertumbuhan Mycobacterium bovis.
3. Perlu penelitian lebih lanjut tentang tingkat keterpaparan
Mycobacterium bovis pada manusia di Provinsi Sulawesi Selatan
terutama peternak sapi perah di Kabupaten Enrekang.
4. Perlu dilakukan uji tuberkulinasi di peternakan sapi perah di
Kabupaten Enrekang dalam rangka pencegahan penularan
Mycobacterium bovis.
DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2009. Reducing the Risk of Human M.bovis Infection :
Information for farmers. National public health; Health Protection Agency; Health Protection Scotland; Animal Health.
Abraham Mekibeb, Tadele Tolosa F, Rebuma Firdessa, Elena Hailu.
2012. Prevalence Study on Bovine Tuberculosis and Molecular Characterization of its causative agents in Cattle Slaughtered at Addis Ababa Municipal Abattoir, Central Ethiopia. Trop Anim Health Prod. DOI 10.1007/s11250-012-0287-x.
Al-Saqur I.M, A.N Al-Thwani, I.M Al-Attar. 2009. Detection of
Mycobacterium spp in cows milk using conventional methods and PCR. Iraqi Journal of Veterinary Science, vol 23, supplement II (259-262). (http://www.vetmedmosul.org/ijvs).
Budiharta, S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Veteriner. Bagian
Kesehatan Masyarakat Veteriner. FKH UGM. Yogyakarta. C. Allix-Beguec, M. Fauville-Dufaux, K.Stoffeis, D. Ommeslag, K.
Walravens, C. Saegerman and P. Supply. 2012. Importance of Identifying Mycobacterium bovis as a causative agents of human tuberculosis. European Respiratory Journal Vol 35 Number 3. DOI : 10.1183/ 09031936.00137309.
CDC. 2011. Mycobacterium bovis (Bovine tuberculosis) in Humans.
Division of Tuberculosis Elimination. (http://www.cdc.gov/tb) diakses pada tanggal 18 Mei 2013.
Centre for Food Security and Publik Health. 2009. Bovine Tuberculosis.
(http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/bovine_tuberculosis.pdf) diakses pada tanggal 10 Februari 2013.
Cousins, D.V. 2001. Mycobacterium bovis infection and control in
domestic livestock.Rev.sci.tech.off.int.Epiz. 20(1), 71-85. Cristina P de A, Clarice Q.F.L, Karina A de P, Klaudia dos S.G.J, Ana
Luiza A.R.O. 2005. Mycobacterium bovis Identification by a molecular method from post-mortem Inspected Cattle Obtained in abbattoirs of Mato Brosso do Sul Brazil. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro. Vol 100 (7) : 749-752.
Cristophe Coetsier, Pascal V, Nathalie B, Jean-Francois D, Carlo C, Jean-
Luc G. 2000. Duplex PCR for Differential Identification of
Mycobacterium bovis, M.avium and M. Avium subsp. Paratuberculosis in Formalin-fixed Parrafin-Embedded Tissue from cattle. J. Clin Microbiol 38(8) : 3048. (http://jcm.asm.org/) diakses pada tanggal 27 Juni 2012.
Crofton John, Norman Horne, and Fred Miller. 2002. Tuberkulosis Klinis
Edisi 2. Widya Medika. Jakarta. Hal. 8. Deepti Joshi, N.Beth Harris, ray Waters, Barun Mathema, Barry K, and
Srinand S. 2012. Single Nucleotida Polymorphisms in Mycobacterium bovis Genome Resolve Phylogenetic Relationship. J. Clin Microbiol 50(12) : 3853. DOI : 10.1128/JCM.D1499.12. (http://jcm_asm.org) diakses pada tanggal 6 Desember 2012.
Eduardo Eustáquio de Souza Figueiredo, Flávia Galindo Silvestre, Wilma
Neres Campos, Leone Vinícius Furlanetto, Luciana Medeiros, Walter Lilenbaum, Leila Sousa Fonseca, Joab Trajano Silva, Vânia Margaret Flosi Paschoalin. 2009. Identification of Mycobacterium bovis isolates by a Multiplex PCR. Brazilian Journal of Microbiology 40: 231 – 233. ISSN 1517 – 8382.
Elizabeth A. Talbot, Diana L Williams, and Richard Frothingham. 1997.
PCR Identification of Mycobacterium bovis BCG. Journal of Clinical Microbiology Vol. 35 No. 3 p 566-569.
Firdessa, R et al. 2012. High Prevalence of Bovine Tuberculosis in Dairy
Cattle in Central Ethiopia : Implications for the Dairy Industry and Public Health. Plos One 7(12) : e52851. DOI : 10.1371/journal. pone.0052851.
Good, Margaret and Anthony Duignan. 2011. Review Article : Perspective
on the History of Bovine TB and the Role of Tuberculin in Bovine TB Eradication. Veterinary Medicine International volume 2011. DOI : 10.4061/2011/410470.
Gumi, B, Esther S, Rebuma F, Girume E, Demelash B, Abraham A, Rea
T, Lawrence Y, Douglas Y, Jakob Z. 2012. Low Prevalence of bovine tuberculosis in Somali pastoral livestock, Southeast Ethiopia. Trop Anim Health Prod 44: 1445 – 1450. DOI : 10.1007/s11250-012-0085-5.
Hassanain, N.A, Mohey A. Hassanain, Y.A. Soliman, Alaa A. Ghazy,
Yasser A.G. 2009. Bovine tuberculosis in a dairy cattle farm as a threat to public health. African Journal of Microbiology Research vol 3(8) pp. 446 – 450.
Hasutji E.N, Didik H, Susilohadi, Suryani, Ratih R, Erni R, Sri C, Wiwik T, Midian N. 2004. Ilmu Penyakit Infeksius I. Laboratorium Bakteriologi dan Mikologi. FKH Universitas Airlangga. Surabaya.
Hatta, Moch, Eka W, Zaraswati D, Rosana A, M. Sabir, Yadi, Masyhudi.
2004. Pengaruh dekontaminasi dalam identifikasi Mycobacterium tuberculosis dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dan Polymerase Chain Reaction. Jurnal Kedokteran Yarsi 12(3) : 17-24.
Juan G Rodriguez, Gloria A Mejia, Patricia Del Portillo, Manuel E.
Patarroyo, Luis A Murillo, 1995. Species-specifik identification of Mycobacterium bovis by PCR. Microbiology 141 (2131-2138). Instituto de inmunologia, Hospital San Juan de Dios, Universidad Nacional de Colombia. Bogota Colombia.
Juan German R, Juan Calos F, Patricia Del P, Manuel Elkin P, Maria
Isabel R and Angel Cataldi. 1999. Amplification of a 500 Base Pair Fragment from Cultured Isolates of Mycobacterium bovis. Journal of Clinical Microbiology Vol 37 No. 7.
John M.G, Malcolm D. Yates, Isabel N.de Kantor. 2012. Guidelines for
speciation within the Mycobacterium tuberculosis complex. Second edition. World Health Organization. Emerging and other Communicable Diseases, Surveillance and Control. (http://www.who.int/emc).
Lisa A.K, Paul R.W, Huma Mansoor, Jacqueline K.I, James Dale, R. Glyn.
H, Stephen V.G. 2005. The Pyruvate requirement of some members of the Mycobacterium tuberculosis complex is due to an inactive pyruvate kinase : implications for in vivo growth. Molecular Microbiology 56 (1), 163-174. Doi : 10.1111/j.1365-2958.2005.04524.x.
Maidin, M.A. 1997. Studi DNA molekuler Mycobacterium tuberculosis
Complex dengan menggunakan Teknik Reaksi Rantai Polimerase dan Kaitannya terhadap Tes Kepekaan Obat. Ujung Pandang : Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
MartinJ.B, T Vasantha K, R. Joseph. 2012. Using Geographic Information
System (GIS) for Spatial Planning and Enviromental Management in India : Critical Consideration. International Journal of Applied Science and Technology Vol. 2 No. 2 February 2012. (www.ijastnet.com/journals/vol_2_no_2/pdf) diakses pada tanggal 9 Mei 2013.
Noel P Harrington, OM P. Surujballi, W. Ray Waters and John F. Prescott. 2007. Development and Evaluation of a Real-Time Reverse Transcription-PCR Assay for Quantification of Gamma Interferon mRNA to Diagnose Tuberculosis in Multiple Animal Species. Clinical and Vaccine Immunology vol 14 No 12 p 1563-1571. DOI 10.1128/CVI.00263-07.
OIE. 2009. Bovine Tuberculosis. OIE Terrestrial Manual.
www.oie.int/disease_cards/Bovine_TB_EN.pdf. Diakses pada tanggal 9 Mei 2013.
Putu Gede W.P, Nengah Kerta B, Hapsari Mahatmi. 2013. Deteksi
Antibodi Mycobacterium tuberculosa bovis pada Sapi di Wilayah Kabupaten Bulelang, Bangli, dan Karangasem Provinsi Bali. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan vol. 1, No. 1 : 1 – 6.
Ratmawati M, 2010. Pengantar Teknologi Susu. Masagena Press.
Makassar. Rosa E.R, Daniel D.G, Gloria A.M, William M, Manuel E.P, Luis A.M.
1999. Identification of Mycobacterium bovis in Bovine Clinical Samples by PCR species-specific Primers. Jurnal Vet Res 63 (101-106).
Rinaldi L, Vincenzo M, Annibale B, Giuseppe C. 2006. New insights into
the application of geographical information system and remote sensing in veterinary parasitology. Geospatial health 1, pp 33-47.
Sandjaja, B. 1992. Isolasi dan Identifikasi Mikobakteria. Penerbit Widya
Medika. Jakarta. Selwyn A. Headley. 2002. Systemic bovine tuberculosis : a case report.
Semina : Ciencias Agrarias, Londrina, v 23, n 1, p. 75-79. Shah, D.H, Rishendra Verma, C.S. Bakshi, R.K. Singh. 2002. A Multiplex-
PCR for the differentiation of Mycobacterium bovis and Mycobacterium tuberculosis. FEMS Microbiology Letters 214 (2002) 39-43.
Sjahrurachman, A. 2008. Kultur dan Uji kepekaan M. tuberculosis
Terhadap Obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama. Departemen Kesehatan R.I.
Sridhar Rao P.N. 2012. Mycobacterium. Dept of Microbiology JJM
Medical College davangere. (www.microrao.com) diakses pada tanggal 27 Juni 2012.
Srivastava, K, D.S. Chauhan, P. Gupta, H.B. Singh, V.D. Sharma, V.S. Yadav, Sreekumaran, S.S. Thakral, J.S. Dharamdheeran, P.Nigam, H.K. Prasad, V.M. Katoch. 2008. Isolation of Mycobacterium bovis & M. tuberculosis from cattle of some farms in north India – Possible relevance in human health. Indian J Med Res 128, pp 26-31.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. Tejeda, A.R, Camila A.D, Jesus G.V, Jose Alfredo G.S, Ruben A.T.L, Ciro
E.C. 2006. Confirmation of Mycobacterium bovis excretion in nasal exudates using nested PCR in a dairy cattle herd. Vet mex 37(1).
Zulkifli, A. 2012. Analisis Polimorfisme Gen Glutamate-Cysteine Ligase
Catalytic (GCLC) Sebagai Pendeteksi Kerentanan Penderita Tuberculosis Terhadap Stres Oksidatif Akibat Infeksi Mycobacterium tuberculosis. Makassar : Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
Lampiran 1. Daftar hasil pemeriksaan sampel susu ternak sapi perah
NO KODE
SAMPEL
BTA DEKONTAMINASI
SUSU
KULTUR PCR
SUSU
PCR Media
LJ LJ
pyruvat LJ gliserol
1 Sun 1 + - - +
2 Sun 2 - - - -
3 Sun 3 - - kontaminasi +
4 Sun 4 - - - -
5 Sun 5 - - - -
6 Sun 6 - - - -
7 Sun 7 - - - -
8 Sil 1 - - kontaminasi -
9 Sil 2 - - - -
10 R1 - - - -
11 R 2 - - - -
12 R 3 - - - -
13 R 4 - - kontaminasi -
14 Saha 1 - - kontaminasi -
15 Nas 1 + - - +
16 L1 - - kontaminasi -
17 L2 - - - +
18 L3 - - - -
19 L4 - - - -
20 L5 - - - -
21 L6 - - - -
22 Bas1 - - kontaminasi -
23 Bas2 + kontaminasi + BTA +
- -
24 H1 - - Kontaminasi -
25 H2 - - - -
26 Ab1 - - - -
27 Ab2 - - - -
28 Awl1 - - - -
29 Awl2 - - - -
30 Awl3 - - - -
31 Awl4 - - - -
32 Sat1 - - - -
33 Sat2 - - - -
34 Sat3 - - - -
35 Ali 1 - - - +
36 Ali 2 - - - -
37 Ali 3 - - - -
38 Ali 4 - - - -
39 Sal 1 - - - -
40 Sal 2 - - - -
41 Kah 1 - - - -
42 Kah 2 - - - -
43 Mah 1 - - - -
44 Mah 2 - - - -
45 Mah 3 - - - -
46 Mah 4 - - - -
47 Mah 5 - - - -
48 Mah 6 - - - -
49 Nar 1 - - - -
50 Nar 2 - - - +
51 Nar 3 - - - -
52 Nar 4 - - - -
53 Nar 5 - - - -
53 Nar 6 - - - -
55 Nar 7 - - - -
56 Hat 1 - - - -
57 Hat 2 - - - -
58 Hat 3 - - - -
59 Nurh 1 - - - -
60 Hild 1 - - - -
Keterangan : BTA : Basil Tahan Asam,
- : negatif
+ ; positif
Lampiran 2. Daftar lokasi peternak
No Kode Sampel Desa/ Dusun Kecamatan
1 Sun 1 Talaga Enrekang
2 Sun 2 Talaga Enrekang
3 Sun 3 Talaga Enrekang
4 Sun 4 Talaga Enrekang
5 Sun 5 Talaga Enrekang
6 Sun 6 Talaga Enrekang
7 Sun 7 Talaga Enrekang
8 Sil 1 P. Malua/Pinang Cendana
9 Sil 2 P. Malua/Pinang Cendana
10 R1 P. Malua/Pinang Cendana
11 R 2 P. Malua/Pinang Cendana
12 R 3 P. Malua/Pinang Cendana
13 R 4 P. Malua/Pinang Cendana
14 Saha 1 P. Malua/Pinang Cendana
15 Nas 1 P. Malua/Pinang Cendana
16 L1 P. Malua/Pinang Cendana
17 L2 P. Malua/Pinang Cendana
18 L3 P. Malua/Pinang Cendana
19 L4 P. Malua/Pinang Cendana
20 L5 P. Malua/Pinang Cendana
21 L6 P. Malua/Pinang Cendana
22 Bas1 P. Malua/Pinang Cendana
23 Bas2 P. Malua/Pinang Cendana
24 H1 P. Malua/Pinang Cendana
25 H2 P. Malua/Pinang Cendana
26 Ab1 Panette/Lebang Cendana
27 Ab2 Panette/Lebang Cendana
28 Awl1 Panette/Lebang Cendana
29 Awl2 Panette/Lebang Cendana
30 Awl3 Panette/Lebang Cendana
31 Awl4 Panette/Lebang Cendana
32 Sat1 Panette/Lebang Cendana
33 Sat2 Panette/Lebang Cendana
34 Sat3 Panette/Lebang Cendana
35 Ali 1 Panette/Lebang Cendana
36 Ali 2 Panette/Lebang Cendana
37 Ali 3 Panette/Lebang Cendana
38 Ali 4 Panette/Lebang Cendana
39 Sal 1 Panette/Lebang Cendana
40 Sal 2 Panette/Lebang Cendana
41 Kah 1 Panette/Lebang Cendana
42 Kah 2 Panette/Lebang Cendana
43 Mah 1 Panette/Lebang Cendana
44 Mah 2 Panette/Lebang Cendana
45 Mah 3 Panette/Lebang Cendana
46 Mah 4 Panette/Lebang Cendana
47 Mah 5 Panette/Lebang Cendana
48 Mah 6 Panette/Lebang Cendana
49 Nar 1 Panette/Lebang Cendana
50 Nar 2 Panette/Lebang Cendana
51 Nar 3 Panette/Lebang Cendana
52 Nar 4 Panette/Lebang Cendana
53 Nar 5 Panette/Lebang Cendana
53 Nar 6 Panette/Lebang Cendana
55 Nar 7 Panette/Lebang Cendana
56 Hat 1 Baba Selatan Cendana
57 Hat 2 Baba Selatan Cendana
58 Hat 3 Baba Selatan Cendana
59 Nurh 1 Baba Selatan Cendana
60 Hild 1 Baba Selatan Cendana
Lampiran 3. Perhitungan Statistik
CROSSTABS
/TABLES=PCRSusu BY BTAdekontaminasisusu
/FORMAT= AVALUE TABLES
/STATISTIC=CHISQ
/CELLS= COUNT ROW COLUMN
/COUNT ROUND CELL .
Crosstabs [DataSet0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
PCRSusu * BTAdekontaminasisusu 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
PCRSusu * BTAdekontaminasisusu Crosstabulation
BTAdekontaminasisusu Total
positif negatif positif
PCRSusu Positif Count 2 4 6
% within PCRSusu 33.3% 66.7% 100.0%
% within BTAdekontaminasisusu 100.0% 6.9% 10.0%
negatif Count 0 54 54
% within PCRSusu .0% 100.0% 100.0%
% within BTAdekontaminasisusu .0% 93.1% 90.0%
Total Count 2 58 60
% within PCRSusu 3.3% 96.7% 100.0%
% within BTAdekontaminasisusu 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 18.621(b) 1 .000
Continuity Correction(a)
9.713 1 .002
Likelihood Ratio 9.899 1 .002
Fisher's Exact Test .008 .008
Linear-by-Linear Association 18.310 1 .000
N of Valid Cases 60
a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .20.
Lampiran 5. Rekapitulasi Populasi Ternak Kabupaten Enrekang Bulan Juli 2012
NO KECAMATAN JENIS TERNAK LUAS LAHAN (Ha)
KET SAPI PEDAGING SAPI PERAH KERBAU KUDA KAMBING AYAM BURAS AYAM RAS Kebun Padang
JT BT JML JT BT JML JT BT JML JT BT JML JT BT JML JT BT JML JT BT JML Rumput
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
1 Anggeraja 1.866 2.804 4.67 49 178 227 20 20 40 124 15 139 1.161 2.274 3.455 5.611 8.358 13.969 500 7.257 7.757 414 643
2 Aila 477 717 1.194 44 111 155 14 45 59 1 1 2.207 4.111 6.318 4.116 5.898 10.014 5000 8090 13090 459 87
3 Baraka 1.645 1.884 3.529 15 48 63 270 478 748 92 82 174 1.909 3.094 5.003 7.919 12.576 20.495 500 88
4 Baroko 346 364 710 13 7 20 27 46 73 2 1 3 949 2.063 3.012 503 1.044 1.547 43 1
5 Masalle 495 431 926 27 7 34 9 15 24 48 8 56 606 1.742 2.548 1.943 2.127 4070 85 17
6 Buntu Batu 882 882 12 12 47 47 79 79 2.374 2.374 9.496 9.496 439
7 Curio 734 1.474 2.208 4 13 17 246 508 754 9 2 11 1.608 3.328 5.136 6.854 9.824 16.678 353 264
8 Bungin 1.105 2.064 3.169 1 2 3 25 25 14 30 44 5.288 7.098 12.386 441 41
9 Malua 546 1.302 1.848 8 8 59 180 239 2 2 1.134 3.422 4.556 4.049 11.295 15.344 223 52
10 Cendana 881 2.117 2.998 144 512 656 11 8 19 10 6 16 105 266 371 3.318 6.721 10.039 800 33200 34000 175 84
11 Maiwa 2.337 7.337 9.674 5 12 17 266 966 1.232 3 7 10 87 253 340 6.739 10.614 17.353 52800 629700 682500 402 1.251
12 Enrekang 4.712 8.553 13.265 79 167 246 1 1 2 64 62 126 592 1.581 2.173 8.079 14.197 23.194 7500 7500 1.075 409
JUMLAH 16.026 29.047 45.073 392 1.063 1.155 971 2.269 3240 459 183 642 13.166 22.164 35330 64.833 89.752 154.585 59100 685.717 744.847 4.607 2.937
JUMLAH 45.073 1.455 3240 642 35330 154.585 744.847 7.544
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Enrekang